STUDI AL-QUR’AN
KELAS 5F
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT ysng telah
memberikan ‗inayah dan hidayah-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Sholawat
beserta salam ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
umat manusia ke jalan yang diridhoi Allah dengan cara memberikan suri tauladan
dengan memeragakan akhlak dan moral tinggi kepada umatnya menuju kehidupan
yang lebih baik, didunia dan di akhirat.
Al-Qur‘an adalah sumber utama ajaran islam dan pedoman hidup bagi
setiap muslim di dunia. Al-Qur‘an bukan sekedar memuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya, dan manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran islam
secara sempurna diperlukan pemahaman yang dalam terhadap kandungan Al-
Qur‘an dan mengamalkan nya dalam kehidupan sehari-hari.
Buku studi Al-Qur‘an ini merupakan salah satu modul metode belajar
yangterdiri atas materi-materi dasar yang sangat elementer dalam kajian
―Studi Al-Qur‘an‖ agar dapat mengetahui berbagai hal yang terkandung di dalam
kitab suci tersebut. Buku yang berisi tentang dasar-dasar pemahaman ilmu Al-
Qur‘an yang meliputi pengertian Al-Qur‘an, pengertian Studi Al-Qur‘an, sejarah
turunnya Al- Qur‘an,
Tujuan serta manfaat mempelajari Al-Qur‘an dan lain-lain nya. Tujuan
utama dari penulisan ini adalah untuk membantu dan memudahkan para
mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan dengan harapan agar dapat memahami
nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur‘an yang memudahkan mahasiswa
untuk memahaminya secara terarah dan sistematis.
i
DAFTAR ISI
4. Qira’at Al-Qur’an................................................................................. 25
A. Pengertian Qira‘at Al-Qur‘an .......................................................... 25
B. Latar Belakang Timbulnya Qira‘at.................................................. 26
C. Macam-Macam Qira‘at.................................................................... 29
D. Pengaruh Perbedaan Qira‘at Terhadap Istinbath Hukumnya .......... 30
ii
5. Asbab Al-Nuzul...........................................................................................32
A. PengertianAsbab Al-Nuzul....................................................................32
B. Macam-Macam Asbab Al-Nuzul...........................................................33
C. Kaidah-Kaidah Dalam Menentukan Asbab Al-Nuzul...........................34
D. Kedudukan Riwayat Mengenai Asbab Al-Nuzul..................................35
6. Munasabah Al-Qur’an...............................................................................37
A. Pengertian Munasabah Al-Qur‘an.........................................................37
B. Macam-Macam Munasabah...................................................................38
C. Metode Mencari Munasabah.................................................................44
D. Peran Munasabah Dalam Tafsir.............................................................45
9. I’jaz Al-Qur’an...........................................................................................66
A. Pengertian Ijazul Qur‘an........................................................................66
B. Macam-Macam Mukjizat Al-Qur‘an.....................................................67
C. Segi-Segi Kemukjizatan Al-Qur‘an.......................................................68
D. Isi Kandungan Al-Qur‘an......................................................................72
ii
i
10. Aqsam Al-Qur’an.....................................................................................73
A. Pengertian Aqsam Al-Qur‘an...............................................................73
B. Unsur-Unsur Atau Rukun Qasam.........................................................74
C. Macam-Macam Qasam.........................................................................76
D. Tujuan Dan Hikmah Qasam.................................................................79
i
v
v
PENGANTAR STUDI AL-QUR’AN
A. Pengertian Al-Qur’an
Istilah ulumul quran berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua
kata, yaitu ―ulum‖ dan ―Al-Quran‖. Kata ulum adalah bentuk jamak dari
kata ilm yang berate ilmu-ilmu. ―al-quran‖ adalah kitab kitab suci
umat islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Untuk
menjadi pedoman hidup manusia.
Secara bahasa ulumul quran berate ilmu-ilmu al-quran. Kata
―ulum‖ yang didasarkan pada kata ―AL-quran‖ telah memberikan
pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang
berhubungan dengan al quran, baik dari segi keberadaanya sebagai al
quran maupun dari segi pemahamanya terhadap petunjuk yang terkandung
di dalamnya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu rasmil quran,
ilmu I‘jazil quran, dan ilmu yang kaitanya dengan al quran menjadi bagian
dari ulumul quran.
Secara istilah, para ulama telah merumuskan berbagai definisi ulumul
quran. Al-zarqani merumuskan definisi ulumul quran sebagai berikut :
―beberapa pembahasan yang berhubungan dengan al quran al karim
dari segi turunnya, urut-urutanya, pengumpulanya, penulisannya,
bacaanya, penafsirannya, kemukjizatanya, nasikhnya dan masuknya,
penolakan hal- hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan
sebagainya‖. 1 Menurut al-qaththan memberikan definisi berikut: ―ilmu
yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan al-
quran, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunya, pengumpulan
al-quran dan urutan-urutanya, pengetahuan tentang ayat-ayat makkiyah
dan madaniyah, dan hal-hal yang ada hubunganya tentang al-quran ―.
Menurut Abu Syahbah: ―sebuah ilmu yang memiliki banyak
objek pembahasan yang berhubungan dengan Al-
Qur‘an, mulai proses
1
Al-zarqani, Muhammad Abd. Al azam, munahil Al-Irfan Fi Ulumul Qur‘an jilid 1, Dar
Al-Fikr, Beirut, 1988, hal 27
1
penurunan, urutan penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca,
penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh, muhkan-mutasyabih, sampai
pembahasan-pembahasan lain.‖ Walaupun dengan redaksi yang sedikit
berbeda, ketiga definisi di atas memiliki maksud yang sama. Sehingga
ketiga ulama tersebut sepakat bahwa ‗ulumul qur‘an adalah sejumlah
pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur‘an.2
2
Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
2
Al-qur‘an karena mereka tidak mengerti perubahan-perubahan bacaan
akhir kalimat dalam Al-qur‘an (I‘rab).
Sedangkan Al-qur‘an ketika itu belum diberi harakat atau tanda baca
lainnya untuk memudahkan membaca Al-qur‘an. Oleh karena itu,‘Ali
memerintahkan Abu al-Aswad al-Dualiy (w.619 H.) untuk menyusun
kaidah-kaidah bahasa Arab dalam upaya bahasa Al-qur‘an. Tindakan ‗Ali
ini kemudian dianggap sebagai perintis lahirnya ‗Ilm al-Nahw dan ‗Ilm
I‘rab Al-qur‘an.3
Setelah berakhirnya masa pemerintahan KhulafauRasyidin,
pemerintahan islam dilanjutkan oleh penguasa Bani Umayyah. Upaya
pengembangan dan pemeliharaan Ulumul Qur‘an di kalangan sahabat dan
tabi‘in semakin marak, khususnya melalui periwayatan sebagai awal dari
usaha pengkodifikasian. Tokoh penting sebagai perintis dalam usaha
periwayatan adalah sahabat besar yang empat, Ibn ‗Abbas,Ibn Mas‘ud,
Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka‘b, Abu Musa al-Asy‘ariy dan Abd Allah bin
Zubair (kalangan sahabat); Mujahid,‘Atha bin Abi Rabbah, Ikrimah
(maula Ibn ‗Abbas), Qatadah, Hasan al-Bashr, Sa‘id bin Zubair, Za‘id bin
Aslam di Madinah (kalangan tabi‘in). Mereka mempelopori lahirnya
disiplin ilmu yang dinamai ‗Ilm Asbab al-Nuzul,‘Ilm al-Makiy wa al-
Madaniy,‘Ilm al-Nasikh wa al-Mansukh,‘Ilm Gharib Alqur‘an,‘Ilm al-
Tafsir dan sebagainya.
3
Al Qaththan, manna, mabahis fi Ulumul Qur‘an, Al-Syarikah Al-Mutahidah li Al-Tauzi,
Beirut, 1973. hal 15,16.
3
kitab Mujtaba‘ fi ‗Ulum Tata‘allaq bi Al-qur‘an yang ditulis oleh Abu al-
Faraj ibn al-Jawziy (w. 597 H.)
Pendapat lain bahwa mengatakan bahwa istilah Ulumul Qur‘an lahir
pada permulaan abad ke-5 H,tetapi ada juga yang mengatakan bahwa
Ulumul Qur‘an lahir sejak abad ke-3 H, yaitu dengan munculnya karya Ibn
Marzuban yang dalam kitabnya telah menggunkan istilah Ulumul Qur‘an,
al-Hawiy fi ‗Ulumul Qur‘an. )
Dengan memperhatikan pendapat-pendapat-pendapat diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa Ulumul Qur‘an sudah ada semenjak abad ke-3
H. Dengan munculnya al-Hawiy karya Ibn al-Marzuban, dilanjutkan pada
abad ke-5 H, Dengan munculnya al-Burhan karya al-khufiy,
dikembangkan pada abad ke-7H dengan munculnya kitab funun al-afnan
karya al-jawziy, dikembangkan lagi oleh al-zarkasyiydi abad ke-8 H,
Dengan karyanya al-burhan dan disempurnakan oleh al-suyuthiy denan
karyanya al-Itqan.
4
Qur‘an, Muhammad bin ayyub adh-durraits (w. 294 H.) yang menyusun
Ilmu Makki wa Al-Madani, Muhammad bin Khalaf Al-Marzuban (w. 309
H.) yang menyusun kitab Al-Hawi Fi‘ ‗Ulum Al-Qur‘an.
3. Perkembanga Ulumul Qur‘an abad IV H.
Pada abad IV H. mulai disusun Ilmu Gharib Al-Qur‘an dan beberapa kitab
Ulumul Qur‘an dengan memakai istilah ‗Ulum Al-Qur‘an. Diantara ulama
yang menyusun ilmu-ilmu itu adalah: Abu Bakar As-Sijistani (w.330 H.)
yang menyusun kitab Gharib Al-Qur‘an, Abu bakar Muhammad bin Al-
Qasim Al-Anbari (w. 328 H.) yang menyusun kitab ‗Aja‘ib ‗Ulum Al-
Qur‘an, Abu Al-Hasan Al-Asy‘ari (w. 324 H.) yang menyusun kitab Al-
Mukhtazan fi‘ ‗Ulum Al-Qur‘an, Abu Muhammad Al-Qassab Muhammad
bin Ali Al-Kurkhi (w. 360 H.) yang menyusun kitab Nukat Al-Qur‘an Ad-
Dallah ‗Ala Al-Bayan fi Anwa‘ Al-‗Ulum Wa Al-Ahkam Al-Munbi‘ah
‗An Ikhtilaf Al-Anam, Muhammad bin ‗Ali Al-Adfawi (w. 388 H.) yang
menyusun kitab Al-Istighna‘ fi‘ ‗Ulum Al-Qur‘an (20 jilid).
4. Perkembangan Ulumul Qur‘an Abad V H.
Pada abad V H. mulai disusun Ilmu I‘rab Al-Qur‘an dalam satu kitab. Di
samping itu, penulisan kitab – kitab Ulumul Qur‘an masih terus dilakukan
oleh ulama masa ini. Di antara ulama ulama yang berjasa dalam
pengembangan Ulumul Qur‘an pada masa ini adalah : ‗Ali bin Ibrahim bin
Sa‘id al-Hufi (w. 430 H.), selain mempelopori penyusunan I‘rab Al-
Qur‘an, ia pun menyusun kitab Al-Burhan fi‘Ulum Al-Qur‘an., Abu ‗Amr
Ad-Dani (w. 444 H.) yang menyusun kitab At-Taisir fi Qira‘at As-Sab‘i
dan kitab Al-Muhkam fi An-Naqth
5. Perkembangan Ulumul Qur‘an Abad VI H.
Pada abad VI H. di samping terdapat ulama yangbmeneruskan
pengembangan Ulumul Qur‘an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun
ilmu Mubhamat Al-Qur‘an, di antaranya adalah:Abu Al-Qasim bin
‗Abdurrahman As-Suhaili (w. 581 H.) yang menyusun kitab Mubhamat
Al-Qur‘an, Ibn Al-jauzi (w. 597 H.) yang menyusun kitab Funun Al-
5
Afnan fi ‗Aja‘ib Al-Qur‘an dan kitab Al-Mujtaba‘ fi ‗Ulum Tata‘allaq bi
Al-Qur‘an.
6. Perkembangan Ulumul Qur‘an Abad VII H.
Pada abad VII H. ilmu-ilmu Al-Qur‘an terus berkembang dengan mulai
tersusunnya Ilmu Majas Al-Qur‘an dan Ilmu Qira‘at. Di antara ulama abad
VII yang besar perhatiannya terhadap ilmu-ilmu ini adalah: Alamuddin
As-Sakhawi (w. 643 H.), kitabnya mengenai ilmu Qira‘at dinamai Hidayat
Al-Murtab fi Mutasyabih, Ibn ‗Abd As-Salam yang terkenal dengan nama
Al-‗Izz (w. 660 H.) yang mempelopori penulisan ilmu Majaz Al-Qur‘an
dalam satu kitab, Abu Syamah (w. 655 H.) yang menyusun kitab Al-
Mursyid Al-Wajiz fi ‗Ulum Al-Qur‘an Tata‘allaq bi Al-Qur‘an Al-
‗Aziz.Perkembangan Ulumul Qur‘an Abad VIII H
7. Pada abad VII H.
Muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-
Qur‘an, sedangkan penulisan kitab-kitab tentang Ulumul Qur‘an terus
berjalan. Di antara mereka adalah: Ibn Abi Al-isba‘ yang menyusun ilmu
Badai‘i Al-Qur‘an, Ibn Al-Qayyim (w. 752 H.) yang menyusun ilmu
Aqsam Al-Qur‘an, Najmuddin ath-Thufi (w. 716 H.) yang menyusun Ilmu
Hujaj Al-Qur‘an atau Ilmu Jadal Al-Qur‘an, Abu Al-Hasan Al-Mawardi,
yang menyusun Ilmu Amtsal Al-Qur‘an, Badruddin Az-Zarkasyi (745-794
H.) yang menyusun kitab Al-Burhan fi ‗ulum Al-Qur‘an, Taqiyuddin
Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani (w. 728 H.) yang menyusun kitab Ushul
Al-Tafsir
8. Perkembangan Ulumul Qur‘an Abad IX dan X H
Pada abad IX dan permulaan abad X H., makin banyak karangan yang
ditulis ulama tentang Ulum Al-Qur‘an. Pada masa ini, perkembangan
Ulumul Qur‘an mencpai kesempurnaannya. Di antara ulama yang
menyusun Ulumul Qur‘an pada masa ini adalah: Jalaluddin Al-Bulqni (w.
824 H.) yang menyusun kitab Mawaki‘ Al-‗Ulum min Mawaqi‘ al-Nujum,
Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiyaji (w. 879 H.) yang menyusun kitab
At-Taisir fi Qawa‘id At-Tafsir, Jalaluddin ‗Abdurrahman bin Kamaluddin
6
As-Suyuthi (849-911H.) yang menyusun kitab Ath-TAhbir fi ‗Ulum At-
Tafsir
9. Perkembangan Ulumul Qur‘an Abad XIV H.
Setelah memasuki abad XIV H., bangkitlah kembali perhatian ulama
dalam penyusunan kitab-kitab yang membahas Al-Qur‘an dari berbagai
segi. Kebangkitan ini di antaranya dipicuh oleh kegiatan ilmiah di
Universitas Al-Azhar Mesir, terutama ketika universitas ini membuka
jurusan-jurusan bidang studi yang menjadikan tafsr dan hadits sebagai
salah saatu jurusannya.
Pada abad ini ada sedikit pengembangan tema yang dilakukan oleh
para ulama dibandingkan pada abad-abad sebelumnya. Pengembangan
itu di antaranya berupa penerjemahan Al-Qur‘an ke dalam bahasa-bahasa
Ajam. Pada abad ini, perkembangan Ulumul Qur‘an diwarnai oleh usaha-
usaha menebarkan keraguan di seputar Al-Qur‘an yang dilakukan oleh
kalangan orientalis atau oleh orang islam itu sendiri yang dipengaruhi
oleh orientalis.
Di antara karya-karya Ulumul Qur‘an yang lahir pada abad ini
adalah: Syekh Thahir Al-Jazairi yang menyusun kitab At-Tibyan fi‘Ulum
Al-Qur‘an yang selesai pada tahun 1335 H, Jamaluddin Al-Qasimy (w.
1332 H.) yang menyusun kitab Mahasin Al-Ta‘wil, Muhammad ‗Abd
Al-
‗Azhim Az-Zarqani yang menyusun kitab Manahil Al-‗irfan fi‘Ulum Al-
Qur‘an (2 jilid), Muhammad ‗Ali Salamah yang menyusun kitab Manhaj
Al-Furqan fi‘Ulum Al-Qur‘an, Syeikh Tanthawi Jauhari yang menyusun
kitab Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur‘an dan Al-Qur‘an wa ‗Ulum
‗Ashriyyah, Mushthafa Shadiq Ar-Rafi‘I yang menyusun kitab I‘jaz Al-
Qur‘an, Ustadz Sayyid Quthub yang menyusun kitab At-Tashwir Al-Fani
fi Al-Qur‘an, Ustadz Malik bin Nabi yang menyusun kitab Az-Zhahirah
Al-Quraniyah., Sayyid Imam Muhammad Rasyid Ridha yang menyusun
kitab Tafsir Al-Qur‘an Al-Hakim (TAfsir Al-Manar), Syekh Muhammad
‗Abdullah Darraz yang menyusun kitab An-Naba‘ Al-‗Azhim ‗an Al-
Qur‘an Al-Karim: Nazharat Jadidah fi Al-Qur‘an, DR. Subhi As-SAlih,
7
Guru Besar Islamic Studies dan Fiqhu Lugah pada Fakultas Adab
Universitas Libanon, yang menyusun kitab Mabahits fi ‗Ulum Al-
Qur‘an., Syekh Mahmud Abu Daqiqi yang menyusun kitab ‗Ulum Al-
Qur‘an., Syekh Muhammad ‗Ali Salamah, yang menyusun kitab Manhaj
Al-Furqan fi‘Ulum al-Qur‘an. Ustadz Muhammad Al-Mubarak yang
menyusun kitab Al-Manhal Al-Khalid. Muhammad Al-Ghazali yang
menyusun kitab Nazharat fi Al-Qur‘an., Syekh Muhammad Musthafa Al-
Maraghi yang menyusun sebuah risalah yang menyusun kitab Nazharat fi
Al-Qur‘an., Syekh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang menyusun
sebuah risalah yang menerangkan kebolehan kita menerjemahkan Al-
Qur‘an. Ia pun menulis kitab Tafsir Al-Maraghi.4
4
Buku Studi Al-Qur‘an, Dr. H. Achmad Zuhdi DH, M.Fil.I., DKK hal.83
8
biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti
menjelskan makna kata-kata yang pelik dan tinggi.
f. Ilmu I‘rab Al-Qur‘an adalah Ilmu ini menerangkan baris kata-kata Al-
Qur‘an dan kedudukannya dalam susunan kalimat.
g. Ilmu Wujuh wa al-Nazair adalah Ilmu ini menerangkan kata-kata Al-
Qur‘an yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang
dimaksud pada tempat tertentu.
h. Ilmu Ma‘rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih adalah Ilmu ini
menjelaskan ayat-ayat yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan
yang mutasyabihat (samar maknanya, perlu ditakwil).
i. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh adalah Ilmu ini menerangkan ayat-ayat
yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian mufassir.
j. Ilmu Badai‘ Al-Qur‘an adalah Ilmu ini bertujuan menampilkan
keindahan-keindahan Al-Qur‘an dari sudut kesusastraan, keanehan-
keanehan,danketinggianbalaghahnya.
k. Ilmu I‘jaz Al-Qur‘an adalah Ilmu ini menerangkan kekuatan susunan
dan kandungan ayat-ayat Al-Qur‘an sehingga dapat membungkam
para sastrawanArab.
l. Ilmu Tanasub Ayat Al-Qur‘an adalah Ilmu ini menerangkan
persesuaian dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang didepan
dan dibelakangnya.
m. Ilmu Aqsam Al-Qur‘an adalah Ilmu ini menerangkan arti dan maksud-
maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur‘an.
n. Ilmu Amtsal Al-Qur‘an adalah Ilmu ini menerangkan maskud
perumpamaan-perumpamaan yang dikemukan Al-Qur‘an.
o. Ilmu Jidal Al-Qur‘an adalah Ilmu ini membahas bentuk-bentuk dan
cara-cara debat dan bantahan Al-Qur‘an yang dihadapkan kepada
kamu Musyrik yang tidak bersedia menerima kebenaran dari Tuhan.
p. Ilmu Adab Tilawah Al-Qur‘an adalah Ilmu ini memaparkan tata-cara
dan kesopanan yang harus diikuti ketika membaca Al-Quran.
9
SEJARAH TURUNNYA WAHYU ALLAH
5
Achmad Zuhdi. (Studi Al-Quran), Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2021. hal. 28
1
c. Penyampaian wahyu dengan perantaraan Jibril yang disebut ―Rūḥ
al-Amīn‖ Seperti yang dialami Nabi Muhammad ketika menerima
wahyu al-qur‘an yang dibawa oleh Jibril ke dalam hati beliau.
Sebagaimana Q.S asy-Syu‘arā : 192-193.6
Periode pertama:
6
Muhammad Rafly. Sejarah Turunya Wahyu Al-Qur‟an, Surabaya:Uin Sunan
Ampel. Jurnal HISTORIA Volume 3, Nomor 1.2022. hlm. 6
1
bacaan.‖ Lalu malaikat Jibril melanjutkan dengan membaca surat Al
Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
خه اْ غب ي ػهَ ٍ ك
ٍْ َِْْل
ك
Artinya: ―Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.”
ۙ شُ و
َِاْ ل ش ٔ س اْ ْل
ْ ث ْك ك
أ
Periode kedua:
1
Sejarah turunnya Al-Qur‘an pada periode kedua terjadi selama
8-9 tahun, pada masa ini terjadi pertikaian dahsyat antara kelompok
Islam dan Jahiliah. Kelompok oposisi terhadap Islam menggunakan
segala cara untuk menghalangi kemajuan dakwah Islam. Pada masa itu,
ayat-ayat Al-Qur‘an di satu pihak, silih berganti turun menerangkan
1
kewajibankewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi
dakwah ketika itu (Q.s. An-Nahl [16]: 125).
Periode ketiga:
7
Cahaya Khaeroni. (SEJARAH AL-QUR‟AN: Uraian Analitis, Kronologis, dan Naratif
tentang Sejarah Kodifikasi Al-Qur‟an), Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Metro,
Jurnal HISTORIA Volume 5, Nomor 2, 2017. Hlm. 196-198
1
C. Mendapatkan Tanda Sebelum Turunnya Wahyu
1
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
1
Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23
tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu
kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara
langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari
melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena
khawatir akan bercampur dengan Al-Qur‘an. Rasul SAW bersabda
"Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur‘an,
barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‘an maka
hendaklah ia menghapusnya" (HR. Muslim)
Di samping itu banyak juga sahabatsahabat langsung
menghafalkan ayatayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Penulisan pada masa Rasulullah belum terkumpul menjadi satu
mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni; Pertama,tidak adanya faktor
pendorong untuk membukukan Al-Qur‘an menjadi satu mushaf
mengingat Rasulullah masih hidup, di samping banyaknya sahabat yang
menghafal Al-Qur‘an dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang
diduga akan mengganggu kelestarian Al-Qur‘an.
Kedua, Al-Qur‘an diturunkan secara berangsur-angsur, maka
suatu hal yang logis bila Al-Qur‘an bisa dibukukan dalam satu mushaf
setelah Nabi saw wafat.
Ketiga, selama proses turunnya Al-Qur‘an, masih terdapat
kemungkinan adanya ayat-ayat Al-Qur‘an yang mansukh. (Said Agil
Husin Al Munawar, 2002: 18) Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-
Shiddiq, pada waktu terjadi pertempuran di Yamamah, yaitu
―Perang Kemurtadan (riddah)‖. Perang ini terjadi pada tahun ke-12 H,
yakni perang antara kaum muslimin dan kaum murtad (pengikut
MusailamatulKadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana
mengakibatkan 70 penghafAl-Qur‘an di kalangan sahabat Nabi gugur.
(Subhi As-Shalih, 1999:85)
Akibat banyaknya penghafal Al-Qur‘an yang terbunuh, hal ini
membuat Umar ibn al-Khattab risau tentang masa depan Al-Qur‘an.
1
Sebab itu beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakr untuk
melakukan pengumpulan AlQur‘an. Kendatipun pada mulanya Abu
Bakr ragu-ragu untuk melakukan tugas itu, karena dia belum mendapat
wewenang dari Nabi Muhammad saw. Secara jelas, keraguan ini
nampak ketika Abu Bakar berdialog dengan Umar ibn al-Khattab, Abu
Bakar berkata: ―Bagaimana aku harus memperbuat Sejarah Al-
Qur‘an: sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.?‖
sambil balik bertanya. Demi Allah, kata Umar, ―Ini adalah
perbuatan yang sangat baik dan terpuji‖. (Usman, 2009: 69). Hingga
pada akhirnya beliau menyetujuinya. (W. Montgomery Watt, 1998: 35).
Kemudian beliau menugasi Zaid ibn Tsabit (salah satu mantan
juru tulis Nabi Muhammad saw) untuk menuliskannya. Perlu diketahui
juga bahwa metode yang ditempuh Zaid ibn Tsabit dalam pengumpulan
Al-Qur‘an terdiri dari empat prinsip: Pertama, apa yang ditulis
dihadapan Rasul. Kedua, apa yang dihafalkan oleh para sahabat.
Ketiga, tidak menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum disaksikan
(disetujui) oleh dua orang saksi, bahwa ia pernah ditulis dihadapan
Rasul. Keempat, hendaknya tidak menerima dari hafalan para sahabat
kecuali apa yang telah mereka terima dari Rasulullah saw. (Fahd Bin
Abdurrahman Ar-Rumi, 1999: 117).8
8
Usman, Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta: Teras, 2009). Hal. 39
1
ILMU JAM’ AL-QUR’AN
9
Achmad Zuhdi. Dkk. 2021. STUDI AL-QUR‘AN, Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.
45.
10
Muzakkir Muhammad Arif Ahmad Marzuki. 2020. ―Analisis Sejarah Jam‘u Al-Qur‘an‖
dalam Jurnal Kajian Al-qur‘an dan Tafsir, vol. 5, no. 1, 3
2
pandangan dari sebagian ulama, paling tidak Jam‘ al-Qur‘an memiliki 2
macam makna, yakni :
1.) Jam‘ al-Qur‘an dalam arti hifzuhu
Yakni menghafalkan Al-Qur‘an didalam hati. Periode ini dimulai
sejak awal turunnya Al-Qur‘an adalah Rasulullah Didalam firman
Allah SWT dijelaskan bahwasannya allah menjamin akan
mengumpulkan bacaan al Qur‘an di dalam dada nabi muhammad
SAW. Didalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh ibnu abbas
bahwasannya rasulullah sangat takut apabila wahyu yang diturunkan
kepada beliau terlewatkan. Sehingga apabila ada wahyu yang turun,
beliau segera menghafalkannya.
2.) Jam‘ Al Qur‘an dalam arti kibatuhu
2
11
Muzakkir Muhammad Arif Ahmad Marzuki. 2020. ―Analisis Sejarah Jam‘u Al-Qur‘an‖
dalam Jurnal Kajian Al-qur‘an dan Tafsir, vol. 5, no. 1, 4
2
Pada dasarnya pemeliharaan Al-Qur‘an yang menonjol dalam
sejarah ada dua bentuk, yang terurai dalam masa periodisasi masa
pemeritahan Islam. Adapun bentuk-bentuk tersebut sebagai berikut :
1. Penghimpunan dalam hati, yakni melalui penghafalan.
2. Penghimpunan atau pengumpulan dalam shahifah-shahifah melalui
penulisan dan pencatatan.12
12
Nihayatul Masykuroh. 1998. ―Pemeliharaan Al-Qur‘an (Suatu Tinjauan Historis)‖, vol.
13, no. 72, 22-23
13
Miftakhul Munir. 2021. ―Metode Pengumpulan Al-Qur‘an‖, vol. 09, no. 01, 145
14
Muhammad Ichsan. 2012. ―Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur‘an Pada Masa
Nabi Muhammad SAW dan Sahabat‖ dalam Jurnal Substantia, vol. 14, no. 1, 3
2
bin al-Walid, Mu‘awiyah bin Abi Sufyan, Ubai bin Ka‘ab, Zayd bin
Thabit.
Diantara faktor pendorong penulisan Al-Qur‘an pada masa
Nabi Muhammad SAW adalah :
1. Memback-up hafalan yang telah dilakukan Nabi dan para sahabat
2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna
Dalam suatu catatan, disebutkan sejumlah media yang digunakan
untukmenulis wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah yaitu :
1. Riqa‘ atau lembaran lontar
2. Likhaf atau batu tulis berwarna putih
3. ‗Usub atau pelepah kurma
4. Aktaf atau tulang belikat
5. Adla‘ atau tulang rusuk
6. Adim atau lembaran kulit.15
15
Irpina dkk. 2022. ―Jam‘ul Qur‘an Masa Nabi Muhammad SAW‖ dalam Jurnal Ilmu Al-
Qur‘an dan Hadis, vol. 2, no. 1. 96-97
2
tersebut diserahkan kepada khalifah Abu Bakar sampai meninggal, lalu
dilanjutkan pada pemerintahan Umar bin Khattab.
2
dalam pepatah Umar lah yang mendapat sebuah keutamaan lebih,sebab
ialah yang menggagas ide ini.
2
yang dapat dibaca dua bunyi. Apabila kita memperhatikan kedua kabar
yang dikutip di atas, maka tampaklah bahwa diantara perbedaan yang
pokok pengumpulan ayat-ayat Al-Qur‘an di zaman Abu Bakar dan
pembukuan al-qur‘andi zaman Uthman bin Affan ialah terletak
pada motivasi yangmelatarbelakangi masing-masing kegiatan itu.
Faktor yang mendorong pengumpulan Al-Qur‘an di zaman
Abu Bakar ialah karena takut sebagian ayat-ayat Al-Qur‘an hilang
kalau tidak dihimpun dalam satu mushaf. Sedangkan faktor yang memacu
Ustman untuk menyalin dan memperbanyak Al-Qur‘an ialah disebabkan
banyak perselisihan pendapat dikalangan umat Islam mengenai qiraat
(bacaan) Al-Qur‘an.
Selain itu, pada masa Abu Bakar, Al-Qur‘an dihimpun tanpa
memperhatikan tertib urutan ayat dan surah, sedangkan pada masa
Ustman hal itu telah dilakukan. Al-Qur‘an pada masa kekhalifahan
Ustman bin Affan memegang peran penting dalam sejarahAl-Qur‘an. Hal
ini karena pada masa Ustman, Al-Qur‘an dibukukan. Teks-teks atau
riwayat yang ada mengenai pembukuan pada masa Ustman bin Affan ini
menunjukkan bahwa Ustman bekerja bukan karena kepentingan dirinya
sendiri dan tidak dipengaruhi oleh unsur fanatisme dalam proses
pelaksanaannya. Pembukuan yang dilakukannya adalah untuk kepentingan
kesatuan umat Islam disatu sisi dan untuk pemeliharaan Al-Qur‘an di sisi
lain.
2
QIRA'AT AL-QUR’AN
2
kemudian Al-Qur‟an dinisbatkan kepada seorang Imam Qira‟at yang
meneliti dan menyeleksinya (Qira‘at Qalun)16
Al-Qur‟an adalah Kalam Allah SWT yang tiada tandingannya
(mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantara
Malaikat Jibril dimulai dengan Qs. Al-Fatihah dan diakhiri dengan Qs.
An-Nash, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita
secara mutawatir serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah17
Jadi, yang dimaksud dengan Ilmu Qira‟at Al-Qur‟an adalah ilmu
yang mempelajari tentang cara membaca ayat-ayat Al-Qur‟an yang berupa
wahyu Allah SWT, dipilih oleh salah seorang imam ahli qira‟at, berbeda
dengan cara ulama lain, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir sanadnya
dan selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta cocok dengan bacaan
terhadap tulisan Al-Qur‟an yang terdapat dalam salah satu mushaf
Utsman.18
16
Anshori, Ulumul Qur‘an; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta: Rajawali
Press, 2014), hal. 143-144
17
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur‘an (Bandung: Pustaka Setia,
1998), hal. 15.
18
Abdul Djalal, Ulumul Qur‘an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), hal. 340-341.
2
beberapa huruf yang belum pernah dibacakan oleh Rasulullah saw.
kepadaku, sehingga setelah selesai shalatnya aku bertanya
kepadanya:
Siapa yang membacakan ini kepadamu? Ia menjawab Rasulullah
yang membacakan kepadaku! Setelah itu aku mengajaknya untuk
menghadap pada Rasulullah: Aku mendengar laki-laki ini
membaca surah al-Furqan dengan beberapa huruf yang belum
pernah Engkau bacakan, sedang Engkau sendiri yang telah
membacakan surah alFurqan kepadaku! Rasulullah menjawab:
Begitulah surah ini diturunkan‖.
b. Imam Muslim dengan sanad dari Ubai bin Kaab berkata: Ketika
aku berada di masjid tiba-tiba masuklah seorang laki-laki untuk
shalat dan membaca bacaan yang aku ingkari, setelah itu masuk
lagi lakilaki lain, bacaannya berbeda dengan laki-laki yang
pertama. Setelah kami selesai shalat kami menemui Rasulullah,
lalu aku bercerita tentang hal tersebut, kemudian Rasulullah
memerintahkan keduanya untuk membaca, maka Rasulullah saw.
mengatakan kepadaku: ―Hai Ubay, sesungguhya aku diutus
membaca Al-Qur‘an dengan tujuh huruf‖.19
Kedua riwayat tersebut membuktikan bahwa lafaz-lafaz Al-Qur‘anyang
iucapkan oleh sahabat masing-masing berbeda, kemudian Rasulullah tidak
menyalahkan para sahabat dan memberi jawaban yang sama yaitu AlQur‘an
diturunkan tujuh huruf Untuk mengetahui apakah qira‘at itu benar atau tidak harus
memenuhi tiga syarat yaitu pertama, sesuai dengan kaedah bahasa Arab kedua,
sesuai dengan mushaf Usmani dan ketiga, sanad-sanadnya shahih.
Oleh karena itu apabila suatu qira‘at tidak memenuhi salah satu diantara tiga
syarat tersebut, maka qiraat tersebut tidak sah atau lemah. Orang yang pertama
kali menyusun qira‘at adalah Abu Ubaidah al-Kasim bin Salam, kemudian setelah
19
Ratnah Umar, ―QIRA‘AT AL-QUR‘AN Makna dan Latar Belakang
Timbulnya Perbedaan Qira‘at‖ Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2019
3
itu menyusullah ulama-ulama lain, namun diantara mereka berbeda dalam
menetapkan jumlah syarat-syarat qira‘at yang benar.
2. Latar Belakang Cara Penyampaian.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa setelah para
sahabattersebar, maka mereka membacakan qira‘at Al-Qur‘an kepada
muridmuridnya secara turun temurun. Pada akhirnya murid-murid lebih
suka mengemukakan qira‘at gurunya dari pada mengikuti qira‘at imam-
imam yang lain. Hal ini mendorong beberapa ulama merangkum beberapa
bentukbentuk perbedaan cara melafazkan Al-Qur‘an adalah sebagai
berikut:
a. Perbedaan dalam I‘rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna
dan bentuk kalimat. Misalnya dapat dilihat dalam Qs. an-Nisa/4: 37
(kata bil-bukhli yang berarti kikir dapat dibaca fathah pada huruf
banya, sehingga dapat dibaca bil-bakhli tanpa perubahan makna).
b. Perubahan pada I‘rab dan harakat, sehingga dapat merubah
maknanya.Misalnya dalam Qs. Saba‘/34:19 (Kata baa‘id artinya
jauhkanlah, yang kedudukannya sebagai fi‘il amr, boleh juga dibaca
ba‘ada yang kedudukannya menjadi fi‘il madhi, sehingga maknanya
berubah ―telah jauh‖).
c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I‘rab dan bentuk
tulisan, sedang makna berubah. Misalnya dalam Qs.al-Baqarah/2: 259
(Kata nunsyizuha ―Kami menyusun kembali‖ ditulis dengan huruf zay
diganti dengan huruf ra‘, sehingga berubah bunyi menjadi nunsyiruha
yang berarti ―Kami hidupkan kembali‖).
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisan, tapi
makna tidak berubah.Misalnya dalam Qs. al-Qari‘ah/101: 5 (Kata ka-
al- ‗ihni ―bulu-bulu‖ kadang dibaca kaash-shufi ―bulu-bulu domba‖.
Perubahan ini berdasarkan ijmak ulama, namun tidak dibenarkan
karena bertentangan dengan mushaf Usmani). (Rosihan Anwar:
2000).
3
Dengan demikian, dengan menyebarnya imam-imam qira‘at ke
berbagai daerah, dengan mengajarkan dialek atau lahjah mereka masing-
masing, yang pada gilirannya melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan yaitu
timbulnya qira‘at yang beraneka ragam, maka para ulama mengambil
inisiatif untuk meneliti qira‘at dari berbagai penyimpangan.
C. Macam-macam Qiroat
Macam-macam qira‘at itu ada banyak, sejak Abu Ubaid al-Kasim
Ibnu Salam sebagai orang yang pertama mengarang buku masalah qira‘at,
setelah itu bermunculan ahli-ahli qira‘at yang menyebabkan para ulama
berbeda-beda dalam system qira‘at. Masalah itu mulai pada permulaan
abad ke 2 H, yaitu setelah banyak orang dinegeri Islam menerima qira‘at
dari beberapa imam dan berakhir pada akhir abad ke 3 H. Di mana pada
abad itu qira‘at dibukukan, maka lahirlah ragam qira‘at yang masyhur
sebagai berikut:
1. Dari segi Kuantitas
a. Qira‘at Sab‘ah (qira‘at tujuh) yaitu qira‘at yang disandarkan
kepada imam qira‘at yang tujuh mereka adalah Abdullah al-Katsir
al-Dari, Nafi‘ bin Abdrrahmana bin Abi Naim, Abdullah al-Yasibi,
Abu Amar, Ya‘kub, Hamzah dan Ashim.
b. Qira‘at Asyarah (qira‘at sepuluh), yaitu qira‘at tujuh ditambah tiga
ahli qira‘at yaitu Yazid bin al-Qa‘qa al-Maksumi al-madani,
Ya‘kub bin Ishak dan Khallaf bin Hisyam.
c. . Qira‘at Arba‘ah Asyarah (qira‘at empat belas), yaitu qira‘at
sepuluh ditambah empat imam qira‘at yaitu Hasan Basri,
Muhammad bin Abdul Rahman, Yahya bin al-Mubarak dan Abu
al-Farj Muhammad bin Ahmad asy-Syambusy. (Rosihan Anwar:
2000).
Berdasarkan masalah qira‘at di atas masih ada ulama yang
memperselisihkan kemutawatiran qira‘at-qira‘at tersebut, ada yang
mengatakan qira‘at tujuh, sepuluh dan qira‘at empat belas. Yang perlu
3
diperpegangi bahwa boleh saja mengambil selain dari ahli-ahli qira‘at
tersebut yang penting ada kepastian bahwa ia menerima system qira‘at
itu dari ulama sebelumnya, baik secara lisan maupun mendengarkan
sehingga rangkaian berakhir pada seorang sahabat Nabi saw., yang
langsung menerima qira‘at itu dari Rasulullah saw.
2. Dari Segi Kualitas
Qira‘at dari segi kualitas masih banyak ulama yang berbeda
pendapat, seperti hasil penelitian al-Jazari mengolompokkan kedalam
lima bagian yaitu:
a. Qira‘at mutawatir yaitu qira‘at yang disampaikan oleh sekolompok
orang mulai dari awal sampai akhir sanad tidak mungkin sepakat
untuk berdusta.maka sebagian ulama sepakat yang termasuk dalam
kelompok ini adalah qira‘ah sab‘ah, qira‘at asyarah, dan qira‘at
arba‘ah asyarah
b. Qira‘at masyhur yaitu, qira‘at yang memiliki sanad yang shahih,
tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, hanya sesuai dengan
kaedah bahasa Arab dan tulisan mushaf usmani.
c. Qira‘at ahad yaitu, qira‘at yang memiliki sanad shahih, tetapi
menyalahi tulisan mushaf usmani dan kaedah bahasa Arab.
d. Qira‘at syadz yaitu qira‘at yang sanadnya tidak shahih
e. Qira‘at yang menyerupai hadis mudraj (sisipan) yaitu adanya
sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran
D. Pengaruh Perbedaan Qira‟at terhadap Istinbath Hukumnya
Dalam hal istimbat hukum, perbedaan qiraat alQur'an adakalanya
berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.
Contoh firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 222 :
Terjemahnya :
“ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu adalah kotoran.
Oleh sebab itu hendaklah menjauhkan diri dari wanita itu waktu haid; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah
3
suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-
orang yang mensucikan diri”.20
Ayat di atas adalah larangan Allah terhadap suami untuk berhubungan intim
dengan istrinya yang sementara haid. Perbedaan bacaan dari ayat di atas
menimbulkan perbedaan hukum yang dikandungnya. Bacaan pertama dengan
bacaan takhfif lafaz ( ٓطٌشٚ )bahwa seorang suami haram hukumnya untuk
berhubungan intim dengan istrinya dalam keadaaan haid sampai berhenti haidnya
dan mandi. Pandangan ini diperpegangi oleh Imam Malik, Imam Syafi‘i dan
Ahmad. Bacaan kedua dengan tasydid lafaz ( ٚ ) ٓطٌش, menurut Imam Abu Hanifah
bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah larangan kepada suami untuk
berhubungan intim sampai istrinya suci, artinya berhenti darah haid. Dengan
demikian, suami diperbolehkan untuk berhubungan intim dengan istrinya karena
telah berhenti haid, meskipun belum mandi. Jika dua qira‘at berbeda makna, tetapi
tidak jelas kontradiksi antara keduanya, sedangkan keduanya mengacu kepada
hakikat yang sama, maka kedua qira‘at itu saling melengkapi. Perbedaan kedua
qira‘at tidak kontradiksi dari segi makna, keduanya termasuk qira‘at sahih.
Perbedaan yang ditimbulkan terhadap perbedaan istinbath hukum di sini hanya
perbedaan dari wajib mandi setelah berhenti haid dan boleh saja sebelum mandi
jika sudah berhenti haid
20
Kementerian Agama RI, al-Qur‘an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia,
2012), h.54.
3
ASBAB AL-NUZUL
3
masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut. Asbab an-nuzul
merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk memberikan
keterangan terhadap turunnya ayat Al-qur‘an dan memberinya konteks
dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini
hanya melingkupi peristiwa pada masa al-qur‘an masih turun (ashr at-
tanzil).21
و ُق ْل
ّ ا ح١ م٢ ي ول ي ِل ْ د ل ْ م٣ ً وا َّل ه ا ح د
ٰ ُْ
لال ل
ُ ّ د ال ول ْم ُد ي ُكْ ن كف
ْ د ول ْم
ل
ص
ا
artinya:“Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah
adalah tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Tiada berada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tiada
seoarangpun yang setara dengan dengan dia.
3
21
Rosihon Anwar, Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 61
22
Muhammad Ali Ash-shaabuuniy, At-Tibyaan Fii Uluumil Qur‘an, Alih Bahasa oleh.
Aminuddin, Studi Ilmu al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 52
3
Ayat-ayat yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan
terhadap orang-orang musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap
kaum ahli kitab yang ditemui di madinah setelah hijrah. Contoh yang lain:
―peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharah) shalat wustha.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu‘.23
2. Ta‘adud an-nazil wa al-asbab wahid Satu sebab yang mekatarbelakangi
turunnya beberapa ayat. Contoh: Q.S. Ad-dukhan/44: 10,15 dan 16, yang
artinya: Artinya: “maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang
nyata”. Artinya: “sesungguhnya (kalau) kami akan melenyapkan siksaan
itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar)”.
Artinya:―(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan
hantaman yang keras. Sesungguhnya kami memberi balasan”.
23
Ibid hal 53
24
Almufida Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2016
3
(tidak jelas). Seorang rawi dianggap menggunakan shighah sharîh bila
menyatakan secara tegas bahwa ―asbab al-nuzûl ayat ini adalah....‖, atau
seseorang menyatakan peristiwa yang menyebabkan turunnya sebuah ayat
seperti ―Rasulullah pernah ditanya tentang sesuatu maka turunlah ayat. ‖,
maka bila ada riwayat dengan menggunakan kedua redaksi ini, maka
disepakati oleh ulama sebagai riwayat yang sharîh dalam asbab al-nuzûl.25
25
Manna‟Al-Qaththân. (1990). hlm. 85
26
Jalaluddin Al-Suyuthi. (1990). hlm.15.
3
Para ulama memberikan solusi bahwa apabila terdapat pertentangan dalam
beberapa riwayat maka peganglah riwayat yang bersumber dari orang yang
mengalami kejadian itu (hâdhir al-qishshah) atau dari para sahabat yang
terkenal sebagai ulama tafsir seperti Ibn Abbas dan Ibn Mas‟ud. Karena
banyak pula rawi yang keliru (wahm) dalam menuturkan riwayat yang
asalnya fatalâ menjadi nazalat.27
Harus berpegang pada riwayat yang shahîh dan tsubût, dan hanya
mengambil yang shahîh saja serta membuang riwayatriwayat yang
tidak shaih.
Apabila telah ditemukan beberapa riwayat yang shahih saja maka
pilihlah riwayat yang memakai shighah yang sharih.
Ketika sudah dipilih beberapa riwayat yang shahih dengan shighah
sharih, namun riwayatriwayatnya menjelaskan kasuskasus yang
berbeda maka perhatikanlah waktu kejadiannya.
Namun bila ternyata waktu kejadiannya saling berjauhan, maka
bisa jadi ayat ini turun berulang kali.
27
Jalaluddin Al-Suyuthi. (2009). hlm. 127
3
MUNASABAH AL-QUR’AN
A. Pengertian Munasabah
Secara etimologi, ‖munasabah‖ semakna dengan ―musyakalah‖
dan ―muraqobah‖, yang berarti serupa dan berdekatan. Secara istilah,
―munasabah‖ berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara
ayat- ayat al- Qur‘an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh Imam As-Syayuti,
mendifinisikan ―munasabah‖ itu kepada ―Keterkaitan ayat-ayat al-Qur‘an
antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai
suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.‖ Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa ―munasabah‖ adalah suatu ilmu yang membahas tentang
keterkaitan atau keserasian ayat-ayat al-Qur‘an antara satu dengan yang lain.
Az-Zarkasy mengatakan: ―manfaatnya ialah menjadikan sebagian
dengan sebagian lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk
susunannya kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah
bangunann yang amat kokoh.‖ Qadi Abu Bakar Ibnul ‗Arabi
menjelaskan: ―Mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat- ayat satu
dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang
maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu yang besar.‖
Sehingga munasabah dapat diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang
membahas tentang hubungan al-Qur‘an dari berbagai sisinya. Tokoh yang
memelopori munasabah adalah Abu Bakar an-Naysaburi. Beliau adalah
soerang alim berkebangsaan Irak yang sangat ahli ilmu syariah dan kesustraan
Arab. Selain itu, ada pula Abu Ja‘far bin Zubair dengan karyanya ―Al-Burhan
fi Munasabah Tartib Suwar a l-Qur‘an‖, Burhanuddin Al-Biqa‘i dengan
karyanya ―Nuzhum Adh-Dhurar fi Tatanasub A l-Ayi wa As-Suwar‖ dan
As-Sayuti dengan karyanya ―Tanasuq Adh-Dhurar fi Tanasub As-Suwar‖.28
28
Chalik, Drs. H.A. Chaerudji Abd., „Ulum Al-qur‟an, (Jakarta : Diadit Media, 2007)
Hlm. 34
3
B. Macam Macam Munasabah
Dalam Al-Qur‘an sekurang-kurangnya terdapat tujuh macam
munasabah. yaitu sebagai berikut:
i. Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya As-Sayuti
menyimpulkan bahwa munasabah antar stau surta dengan surat
sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan
pada surat sebelumya. Sebagai contoh Qur‘an surat Al-Baqarah ayat 2
فّٛ ستٚ رانك انكزت ْل...
Artinya : inilah kitab yang tidak ada keraguan padanya. Korelasi
dengana surat Ali Imran ayat 3
ٛ ذّ َٔأضال انٕزساىخ ٔاألَاٚٚ ثٍٛ هك انكزت ثب انؾك يص ّذلب نًّبَٛ ّ ضل ػ
غم
Artinya: Dia menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan
Taurat dan Injil.
ii. Munasabah Antarnama Surat dan Tujuan Turunnya Setiap surat
mempunyai tema pembicaraan yang menonjol. Hal itu tercrmin pada
namanya masing-masing. Misalnya Surat Al-Baqarah (sapi betina)
bercerita tentang Nabi Musa dan kaumnya tentang sapi betina yang
harus disembelih oleh Bani Isra‘il (Al-Baqarah ayat 67-71). Cerita
tentang sapi betina dalam ayat tersebut dapat diambil tujuan turunnya
surat, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata
lain tuajuannya adalah menyangkut keimanan pada hari kemudian dan
menyangkut kekuasaan Tuhan.29
iii. Munasabah Antar Bagian Suatu Ayat Munasabah antar bagian suatu
ayat sering berbentuk pola munasabah perlawanan. Contohnya pada
Surat Al-Hadid ayat 4:
شطٚ ٔيب ؼ..فبٛٓ غب
ً ضل ٍي انُٚ خشط ُٓيب ٔيبٚ هظ ٗف األسض ٔيبٚ هى يب...
ٚؼ
ء
Artinya :...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang
keluuar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya...
3
29
Ibid Hal. 35
3
Dari kata-katanya sudah sangat jelas terdpat korelasi yang berlawanan.
iv. Munasabah Atarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan
jelas, namun sering pula tidak jelas. munasabah antarayat yang terlihat
jelas umumnya menggunakan pola ta‘kid(penguat), tafsir (penjelas),
i‘tiradh(bantahan), dan tasydid(penegasan).
a. Pola Tafsir
30
Anwar, Dr. Rosihan, Ulum Al-Qur‟an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008, cet. I) Hlm. 67
3
d. Pola Tasydid
Apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas ayat yang terletak di
sampingnya. Contohnya pada surat al-Fatihah ayat 6 sampai 7.
Munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melaui qara‘in
ma‘nawiyyah (hubungan makna) yang dapat terlihat dalam pola
munasabah at-Tanzir (perbandingan), al-mudhad (perlawanan), istithrad
(penjelasan lebih lanjut) dan at-takhalush (perpindahan).
a. Al-Mudhad (berlawanan),
yaitu dua ayat berurutan yang memeperbincangkan dua hal yang
berlawanan seperti surga dan neraka serta kafir dan iman. Hal ini, misalnya
terlihat dalam Surah an-Nisa‘ (4) ayat 150-152.
ٔمٌٕٕن َؤ ٍي ثجؼط ٔ َكفشٚ ث هلال ٔسعّهٍٛ ف ّ شلٕاٚ شذٔ ٌ ٌأٚٚ ٔ كفٌٔش ثبَّلل ٔسعّهٚ زٍٚإ ٌّ ان
ٓيبُٛ
ش ػزا ثبٍٚ) أٔنئك ْى انكفٌش ؽمّب ٔأػزَذب نهكف5ٔٓ (جالٛث رنك عٍٛ ّزخٔزاٚ شذٌٔ ٌأٚٔٚ ثجؼط
عْس ى ٔكٌب هلال ُٓيى
ٕ ؤرى أٛٓٚ عف
ٕ ٔأنئك
ث أؽذٍٛ ف ّ شلٕاٚ ز ءاُيٕا ثبَّلل ٔ سعّه ٔنىٍّٚ) ٔان5ٔ(ٔ
5ٔ(ٕ ؽبًٛ س )غٕفسا
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-
Nya, dengan mengatakan: ―Kami beriman kepada yang sebagian dan
Kami kafir terhadap sebagian (yang lain)‖, serta bermaksud (dengan perkataan
itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan
memberikan kepada mereka pahalanya. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Ayat 150-151 bercerita tentang karakteristik orang-orang kafir dan balasan
atas mereka, meraka ingkar kepada Allah dan rasul-Nya, membedakan antara
Allah dan rasul-Nya serta mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari
sebagian yang lain. Maka dari itu Allah menimpakan azab kepada mereka.
4
Sedangkan ayat 152 berbicara tentang sifat orang-orang mukmin, di mana
mereka mempercayai semua rasul yang diutus oleh Allah. Maka Allah
memberikan balasan dan mengampuni mereka.31
Jika dilihat secara zahir, kedua kelompok ayat (150-151 dan 152) ini tidak
memiliki hubungan. Sebab ayat pertama berbicara tentang orang kafir,
sedangkan yang terakhir berbicara tentang orang mukmin, dan keduanya
tidak pula dihubungkan oleh wawu ‗athaf. Akan tetapi, jika dilihat lebih
dalam, hubungan tersebut akan terlihat, di mana lazimnya al-Qur‘an bercerita
tentang orang kafir dan orang mukmin, kemudian diiringi dengan
perbincangan mengenai orang kafir. Hal ini bermaksud untuk memotivasi
pembaca agar menghindari kekafiran dan berpegang teguh kepada iman.
b. Istithrad (penjelasan lebih lanjut),
yaitu perbincangan suatu ayat mengenai suatu masalah sampai kepada hal
lain yang tidak berkaitan langsung dengan masalah yang sedang
diperbincangkan, tetapi hukumnya sama dengan hal yang diperbincangkan
tersebut. Hal ini seperti yang terdapat dalam Surah Al-A‘raf (7) ayat 26:
ٚ خش رنك ٍيٛ سشب ٔنجب عب انّزمٕٖا رنكٚٔ عء ركى
ءاذ هلال ٕ ٖسٕٚ هكى نجب عبٛ ُٗج ءادو لذَأضنُب ػٚ
(ٕ6زكٌٔش ّٚ )نؼ ّٓهى
:Artinya
Hai anak adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian
untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian
takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-
tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.
Kata ( ) انّزمٕا عب ٔنجبdalam ayat ini tidak berkaitan dengan ungkapan
sebelumnya, sebab ungkapan sebelumnya berbicara tentang pakaian penutup
aurat, sedangkan (( )انّزمٕا عب ٔنجبpakaian taqwa) bukan pakaian fisik sebagai
penutup aurat. Jadi kata ( )انّزمٕا عب ٔنجبsecara zahir tidak ada hubungannya
dengan aurat. Akan tetapi hubungan tersebut terlihat pada pakaian sebagai
penutup aurat yang merupakan bagian dari takwa.32
31
Ibid Hlm. 70
32
Ibid Hal 71
4
c. Munasabah at tanzir
munasabah berpola at-tanzir terlihat pada adanya perbandingan
antara ayat-ayat yang berdampingan. Contohnya firman Allah dalam
surat al-Anfal ayat 4-5 :
ثزكٛ ( ًكبأخشعك سثّك ٍي4)شىٚٔأنئك ْى انًؤ ٌُٕي ؽمّب نٓى دسعذ ُػذ سثّٓى ٔ يغفشح ٔ سصق ك
(5ُٕي نك ٌْشٍٛشمب ٍي انًؤٚ)ثبنؾك ٔإ ٌّ ف
Artinya : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.
Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya
dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu
menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal
sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang berimanitu tidak
menyukainya.
33
Al-Qattan, Manna‘ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (terj. Mabahis fi ‗Ulumil Qur‘an
oleh Drs. Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009). Hal 109
4
Dalam surat al-Baqarah ayat 1 sampai 3,misalnya, Allah memulai
penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi al-Qur‘an bagi orang-orang
yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga
kelompok manusia dan sifat merekayang berbeda-beda, yaitu mukmin,
kafir, dan munafik.
6. Munasabah Antar Fashilah (pemisah) dan Isi Ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya
adalah menguatkan makna yang terkandung dalam suatu ayat.
Umpamanya dalam surat an-Naml ayat 80:
ٍٚ غغ انًٕٗر ْٔل رغًغ ان ص ّى ان ّذػبء إرا ٔنّٕا يذثش
ً َإّك ْل ر
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang
mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli
mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.
7. Munasabah Antar Awal Surat dengan Akhir Surat yang Sama
Tentang munasabah ini, as-Suyuti mengarang sebuah buku yang berjudul
Marasid al-Mathali fi Tanasub al-Maqti wa al- Mathali. Contoh munasabh
ini terdapat dalam surat al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan
perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi kekejaman Fir‘aun.Atas
perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir
dengan penuh tekanan. Di akhir surat, Allah menyampaikan kabar gembira
kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan
jajni Allah atas kemenangannya. Di awal surat dikemukakan bahwa Nabi
Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi
kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8. Munasabah Antar Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya
Jika diperhatiakn pada setiap pembukaan surat, dijumpai munasabah
dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya.
Umpamanya, pada permulaan surat Al-Hadiddi mulai dengan tasbih:
ْٕٔ كى ّ عجؼ َّلل يب ٗف انًغٕاد ٔاألسضٛانؼض انؾ
4
Artinya : Semua yang ada di langit dan bumi bertasbih kapada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Ayat ini munasabah dengan akhir sebelumnya, al-Waqi‘ah yang
memerintahkan bertasbih:
ثّك عى ثبŸŸŸŸŸŸظى س
ٛ ّؼ انؼŸ Ÿ Ÿ Ÿ فغج
Artinya : Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
Maha Besar. 34
34
Ibid Hlm. 110
4
D. Peranan Munasabah dalam Tafsir
Mengetahui Munasabah dalam tafsir tidak kalah pentingnya dengan asbab
al-nuzul. Kalau asbab al-nuzul membahas ayat dari segi sebab-sebab turunnya
atau latar belakang historisnya. Sedangkan munasabah membahas ayat-ayat dari
sudut hubungannya (Korelasi). Walaupun jumhur ulama berpandangan bahwa
menjelaskan dan mencari asbab al-nuzul adalah jalan yang kuat dalam memahami
ayat-ayat Alquran, tidak berarti bahwa peranan munasabah dalam tafsir tidak ada.
Dalam memahami ayat-ayat Alquran, pengetahuan tentang munasabah sangat
membantu. Hal ini disebabkan ayat-ayat Alquran tersusun berdasarkan petunjuk
Allah sehingga pengertian suatu ayat kurang dapat dipahami begitu saja tanpa
memahami ayat-ayat sebelumnya. Dengan demikian, munasabah Alquran
mempunyai peranan dalam memahami ayat-ayat Alquran.35
Ayat-ayat Alquran itu banyak bercerita tentang umat-umat terdahulu, baik
peristiwa yang berlaku pada mereka maupun kewajiban-kewajiban yang pernah
dibebankan atas mereka. Jika suatu ayat dipelajari, tanpa melihat keterkaitannya
dengan ayat-ayat lain, maka mungkin akan terjadi penetapan hukum yang
sebenarnya hukum itu dibebankan kepada umat sebelum nabi Muhammad SAW,
yang tidak diwajibkan kepada umat Muhammad SAW. Bahkan tanpa bantuan
munasabah ini seperti yang telah disinggung diatas mungkin terjadi kekeliruan
dalam memahami ayat seperti pemahaman kaum Bathiniyyah terhadap penggalan
ayat :
Dan membuangkan dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada
mereka. (QS.Al-A‘raf (7) : 15)
Kaum Bathiniyyah memahami ayat ini, ― bahwa ada orang-orang tertentu
yang telah dibebaskan dari larangan dan kewajiban agama yang dianggap sebagai
belenggu bagi mereka; orang-orang yang telah sampai pada peringkat tersebut
boleh berbuat apa saja yang mereka sukai‖. Padahal ayat ini tidak dapat dilepaskan
dari ayat sebelumnya.
Lebih jauh lagi, peranan munasabah dalam Tafsir adalah :
35
Ichwan, Muhammad Nor, Memasuki Dunia Al-Qur‟an, (Semarang : Lubuk Raya,2001)
Hlm. 120
4
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Alquran
kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya. Contohnya
terhadap firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 189 :
Artinya :
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:‖Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;Dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu
beruntung‖ (QS.Al Baqarah : 189).
Orang yang membaca ayat tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah
korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi
rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu.36
2. Mengetahui atau persambungan/ antara bagian Alquran, baik antara
kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Alquran dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya, serta dapat
membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran setelah diketahui
hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
36
Ibid Hlm. 121
4
MAKKIYAH DAN MADANIYAH
2. Teori Historis
Menurut teori ini, pengertian Makkiyah adalah ayat yang turun
sebelum Rasulullah SAW hijrah meskipun ayat tersebut turun di luar kota
Makah, semisaldi Mina, Arafah atau Hudaibiyah dan lainnya. Sedangkan
pengertian Madaniyah adalah ayat yang turun sesudah Rasulullah SAW
hijrah, meskipun ayat tersebut diturunkan di Badar, Uhud, Arafah atau
Makah.
3. Teori Subjektif
Menurut teori ini, pengertian Makkiyah adalah ayat yang berisi
pangilan kepada penduduk Mekkah dengan panggilan ―wahai
manusia‖,
―wahai orang-orang yang ingkar‖, ―wahai anak adam‖. Sedangkan
pengertian Madaniyah adalah ayat yang berisi panggilan kepada penduduk
Madinah dengan panggilan ―wahai orang-orang yang beriman‖.
67
hal.
4
37
Syeikh
Manna Al-
Qathan,
Studi Ilmu
Al-Qur‟an,
(Jakarta:
Pustaka Al-
Kautsar,200
6),
4
4. Teori Konten Analisis
4
aspek non-material mencakup kehalalan dan keislman dalam
penyajian.
5
Terdapat pernyataan sumpah yang lazim dinyatakan oleh orang-orang
Arab.38
2. Ciri-ciri surah Madaniyah
Sebagaimana adanya ciri-ciri umum dalam menentukan surah-surah
Makkiyah di atas, maka dalam surah-surah Madaniyah juga terdapat ciri-ciri
umum yang dapat dipedomani dalam menentukan dan menggolongkan suatu
surah ke dalam surah Madaniyah. Demikian juga beberapa pengecualian yang
mesti diperhatikan.
Ciri-ciri yang menonjol yang dapat dijadikan patokan menentukan surah-
surah Madaniyah sebagai berikut:
Surah yang di dalamnya terdapat izin perang atau yang menerangkan
soal peperangan dan menjelaskan hukum-hukumnya.
Surah di dalamnya terdapat pembagian hukum harta pusaka, hukum
hadd faraid, hukum sipil, hukum sosial dan hukum antar negara dan
hubungan internasional.
Surah yang di dalam terdapat uraian kaum munafik, kecuali surah Al-
‗Ankabut yang Makkiyah, selain sebelas surah pada pendahuluannya
adalah Madaniyah.
Bantahan terhadap ahli kitab dan seruan agar mereka mau
meninggalkan sikap berlebihan dalam mempertahankan agamanya.
Umumnya memiliki surah yang panjang, susunan kalimatnya bernada
tenang dan lembut.
Berisi penjelasan-penjelasan tentang bukti-bukti dan dalil-dalil
mengenai kebenaran agama Islam secara rinci.39
Ciri-ciri khusus susunan kalimat dalam surah-surah Madaniyah tersebut,
baik yang bersifat pasti maupun yang bersifat umum, menggambarkan
langkah-langkah kebajikan yang penuh dengan hikmah, setahap demi
setahap, sebagaimana yang ditempuh oleh Islam dalam menetapkan
38
Amroeni Drajat, ULUMUL QUR‟AN pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Depok: Kencana:
2017), hal. 67.
39
Amroeni Drajat, ULUMUL QUR‟AN pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Depok: Kencana:
2017), hal. 68
5
perundang-undangan. Suatu ketentuan yang ditetapkan bagi penduduk
Mekkah, sebelum hijrah, tidak mungkin sama dengan ketentuan yang
ditentukan bagi penduduk Madinah setelah hijrah Rasul. Sebab, kondisi
masyarakat dan lingkungan baru di Madinah memerlukan perundang-
undangan terperinci untuk membangun masyarakat baru. Karena itu, Al-
Qur‘an memandang perlu memberikan penjelasan yang panjang, yang
terperinci, sehingga tidak seringkas seperti yang diberikan kepada Rasulullah
masih berada di Mekkah. Kecuali itu juga, Al-Qur‘an perlu memberikan
keterangan perinci, bukan garis besar seperti yang diberikan sebelum hijrah.
Tiap ayat dan surah yang turun di Madinah selalu memperhatikan keadaan
yang dituju.
Pada masa awal datangnya Islam, penduduk Mekkah merupakan penduduk
yang menentang Rasulullah SAW dan mengejar-ngejar orang yang beriman.
Sesuai dengan keadaan yang dihadapi Mekkah itu, Allah menurunkan firman-
Nya:
―Sesungguhnya kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu
menyakitkan hatimu, dan telah didustakan pula para rasul sebelum engkau.
Dan seumpama kami bukakan bagi mereka salah satu dari pintu-pintu langit
lalu mereka terus dapat naik ke atas, tentu mereka akan berkata
―sesungguhnya pandangan mata kamilah yang dikaburkan, dan kami adalah
orang-oranag yang terkena sihir.‖
Namun Allah SWT tetap meneguhkan Nabi dengan menurunkan ayat-ayat
yang menghibur Rasulullah SAW dan kaum mukmin. Banyak wahyu
diturunkan, bagaimana menyikapi tingkah mereka di antaranya mengajarkan
sikap toleransi, lapang dada dan memberikan maaf. Lain halnya di Madinah
pada masa setelah hijrah, di sana terdapat tiga golongan manusia, yakni
mukmin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, kaum munafik dan yahudi.
Terhadap orang-orang yahudi, Al-Qur‘an menyanggah kepercayaan mereka
dan menyerukan supaya mereka jujur untuk mengikuti agama yang lurus.
Terhadap kaum munafik, Al-Qur‘an membukakan kedok dan niat jahat
mereka. Adapun terhadap kaum mukmin, Al-Qur‘an memberikan semangat,
5
dorongan, supaya tetap maju kejalan yang lurus. Al-Qur‘an menetapkan
perundang-undangan mengenai soal-soal yang berkaitan dengan masalah
perang dan damai serta masalah-masalah kemasyarakatan. Selain menetapkan
tata aturan intern, juga hubungan intern suku dan kabilah, dan ini merupakan
cikal bakal terbukanya hubungan yang lebih luas lagi, yang dalam masa
modern dikenal hubungan internasional.
Zakat, misalnya, tidak akan ada artinya jika kewajiban itu ditetapkan
berlakunya bagi kaum Muslim pada masa Rasulullah SAW tinggal di
Mekkah, karena mereka itu adalah kaum melarat dan hidup tertindas.
Demikian pula sholat khauf dalam perang, tidak mungkin ditetapkan
ketentuannya di Mekkah. Sebab, kaum Muslim diizinkan perang setelah
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.
5
[4], al-Nur [24], al-Ahzab [33], al-Hujurat [49], al-Mumtahanah [60], al-
Zalzalah [99], dan lain-lain.
3. Surat-surat Makkiyah yang di dalamnya terdapat ayat Madaniyah, yaitu
surat yang sebagian besar Makkiyah tetapi di dalamnya terdapat sedikit
ayat Madaniyah. Surat-surat seperti ini terdapat 32 surat yang terdiri atas
2699 ayat, misalnya surat al-An‗am [6], al-A‗raf [7], Hud [11], Yusuf
[12], Ibrahim [14], al-Furqan [25], az-Zumar [39], as-Syura [42], al-
Waqi‗ah [56], dan lain-lain.
4. Surat-surat Madaniyah yang berisi ayat Makkiyah, yaitu surat yang
sebagian besar ayat-ayatnya Madaniyah. Surat-surat seperti ini terdapat
enam surat yang terdiri atas 726 ayat, yaitu surat al-Baqarah [2], al-
Ma‘idah [5], al-Anfa>l [8], at-Taubah [9], al-Hajj [22], dan Muhammad
atau al-Qital [47].
5
An Nashr. Kecuali yang tidak disebutkan, Semua Surat dan ayat Al Quran
yang lainnya tergolong kedalam kelompok surat Makkiyah.40
40
Rosihan Anwar, Sejarah dan ulum Al-Qur‟an, (Yogyakarta:Kalimedia, 2009), hal.54
41
Amroeni Drajat, ULUMUL QUR‟AN Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur‟an,
(Depok:Kencana, 2017), hal.145
5
ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima
dakwah, seperti dalam surat al –maidah.
2) Sebagian besar surat madaniyyah panjang-panjang dan
berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan, sebab
ditujukan kepada orang-orang yang menerima dakwah,
seperti ayat dain(ayat tentang hutang ) padasurat al baqarah
ayat 282.
b. Perbedaan Dari SegiTema:
Diantara perbedaan makkiyah dan madaniyyah ditinjau dari segi
temanya adalah:
Makkiyah :Sebagian besar surat makkiyah berisi pengokohan
tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaiatan dengan
tauhid uluhiyyah dan penetapannya iman kepada hari ke
bangkitan, sebab kebanyakan yang diajak bicara mengingkari
halitu.
Madaniyyah :Sebagian besar surat madaniyyah berisi
perincian ibadah-ibadah dan mu‘amalah, sebab kebayakan
yang diajak bicara waktu itu jiwanya telah kokoh dengan
tauhid dan aqidah, sehingga membutuhkan perincian tentang
berbagai Ibadan dan mu‘amalah
5
4. Untuk mengetahui kronologis penurunan syari‘ah yang berangsur-angsur..
5. Untuk mengetahui perjalanan Rasulullah
6. Untuk mengetahui kesungguhan para sahabat dan generasinya dalam
menjaga otensitas al-qur‘an.42
42
Sahid Hardani, Ulum Al-Qur‟an Memahami Otentifikasi Al-Qur‟an, (Surabaya: Pustaka
idea, 2016), hal.89
5
MUHKAM DAN MUTASHABIH
a) Lafal muhkam adalah lafal yang jelas petunjuknya, dan tidak mungkin
dihapuskan hukumnya. Sedangkan lafal mutashabih adalah lafal yang
samar maksud petunjuknya sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran
manusia atau tidak tercantum dalam dalil-dalil, sebab lafal mutashabih
hanya dapat diketahui oleh Allah SWT. Pendapat ini dianut oleh al-
alusi dan golongan Hanafiyah.
b) Ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat diketahui karena
dengan gamblang dan jelas, baik melalui takwil ataupun tidak.
Sedangkan ayat mutashabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat
diketahui Allah SWT.45 Pendapat ini dipilih oleh kelompok ahl as
sunnah.
c) Lafal muhkam adalah lafal yang bisa ditakwilkan kecuali hanya dari
satu arah atau satu segi saja, sedangkan lafal mutashabih adalah lafal
43
Zuhdi Achmad dkk, Studi Al-Qur‟an,(Surabaya,UINSA Press),hlm. 343-344
44
Ibid, hlm. 345
45
Anwar, Rosihon, Ulum Al-Quran, (Bandung,CV PUSAKA SETIA: 2015), Hlm.
121
5
yang dapat ditakwilkan dalam beberapa arah atau segi, karena
memiliki banyak makna. Pendapat ini dinisbahkan kepada Ibn Abbas
r.a dan mayoritas utama ahli Usul al Fiqh.
d) Lafal muhkam adalah lafal yang bisa berdiri sendiri atau telah jelas
sendirinya tanpa membutuhkan penjelasan yang lain. Mutashabih
adalah lafal yang tidak yang bisa berdiri sendiri dan membutuhkan
penjelasan. Pendapat ini dianut oleh imam Ahmad bin Hanbal.
e) Lafadz muhkam adalah lafadz yang tepat susunan dan rangkaiannya,
sehingga mudah untuk dipahami arti maupun maksudnya. Lafadz
mutashabih adalah lafadz yang makna dan maksudnya tidak dapat
terjangkau oleh ilmu bahasa manusia, kecuali disertai dengan adanya
isyarat yang menjelaskannya.
f) Lafadz muhkam adalah lafadz yang sudah jelas maknanya sehingga
tidak menyebabkan kesulitan arti. Lafadz mutashabih adalah lafadz
yang maknanya sulit dipahami sehinnga menyebabkan kesulitan.
g) Lafadz muhkam adalah lafadz yang petunjuknya kepada sesuatu
makna itu kuat. Lafadz mutashabih adalah lafal yang petunjuknya
tidak kuat.
Dari pengertian - pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi.
Sedangkan mutashabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas,
sehingga memerlukan penjelasan yang lain.46
46
Ibid, hlm. 122
5
Contoh : Q.S. Abasa : 31, ٔ َأثًّب ِ َٓكُخ َٔفبartinya ―dan buah- buahan
serta rerumputan‖. Lafadz أَثًّبjarang untuk dijumpai pada A-Qur‘an
karena maknanya yang asing, makadari itu Lafadz أَثًّبdijelaskan pada
ayat selanjutnya yaitu ْ يز نَ ُكْ ى أ َ ىyang artinya ―untuk kesenangan
ُك ي ب ػ ب ل ؼب
َ
kalian dan binatang ternak kalian‖, seperti bayam, kangkung dan
sebagainya47.
ْ َ ٔ ُصَهش
ٗي ُض ُ ََز ًَٗ َف ُْ ِك غٛا ِٗف ا ْن
طٕ ٕؾأ يب َن ُكْ ى ٍَ ا ُِن ٔ ِإ ٌْ ْ ى ُر ْف
بة ي ِ ء َأ خ ْل
غ ْفُز
آ
ْ ًُُ كْ ى ط ر ك َأ ْدَٗ َأ ْلََّر ُؼ ْٕنُٕأٚ َأ ٔ ُ سثَ َ غ ص َفِئ ٌْ أَ َّْل َر ْم ِذنُٕأ َف َٕ خْ فز أَْٔ َ يب ؽ
َ
ذ ن َذحً َك ْى
َيه
5
ُ ٔ ُ سثَبع
ٔص ٗي ْ َُض ِيبَغب نَ ُك ٍَ اُن
َالس ْى ة ي ِء
غ
آ
Dengan tambahan ini akan menjadi lebih jelas karena jika ada
orang yang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak istrinya
yang perempuan yatimah, yang mana harus menjaga status dan
hartanya, oleh sebab itu sebaiknya menikah dengan perempuan lain
47
Zuhdi Achmad, dkk, Studi Al-Qur‟an,(Surabaya,UINSA Press),hlm. 343-
6
yang bukan yatim karena lebih bebas sedikit penjagaannya terhadap
hak-haknya.
ُ ٍْ ي
ٗظُٕٓ د ِ ك ٍَّ انِج َّ ش َي ٍ اَرَّم ُ ْٕ ظ انِجِٛثَؤ ٌْ َرؤُْرٕا ا ْنج ْٛ ٔ َن
َْسَب ٔن ُّش
َ ػًْ َ شٍ ح
ْٔأ ٍَ ِثٛ ْ ِإ ٌْ ْ ُُز ي
ؾظ شع ْ ى ْخ
ك
Maka ayat tersebut akan menjadi lebih mudah untuk dimengerti
dan dipahami, apalagi bagi orang yang sudah mengetahui berbagai
syarat dan rukun ihram dalam haji dan umrah.
6
48
Al-Qur‘an dan Terjemahannya, Asy-Syifa‟, semarang, hlm. 408
6
C. Macam - Macam Ayat Mutashabihat
1. Ayat - ayat mutashabihat yang tidak diketahui oleh seluruh umat manusia,
kecuali oleh Allah SWT. Contohnya seperti Dzat Allah SWT. Hakikat
sifat- sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya. Allah SWT.
berfirman dalam Q.S. Al-An‘am [6] : 59
َٕ ُْ َّ ؼْ هَ ًَُٓآ ِا ْلَٚ ٔ ػْ َُ ذِ يَفب ر ؼ ا ْن ت َْل
ْٛ َغ
ِّ غآ ِء
ٍَ َأا ََز ًَٗ َفب غطُٕ ِ ٕؾ أ يب ب َن ُكٛا ِفٗ ا ْن ْ ى ا َْلّ ئ ٌْ ٔ ِا
ي ْى ة ك ْم خ ْفُز
َ
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang senangi...50
ٕؾ ا يبَغب ة َن ُكْ ى ُ ََزب َٗي نَ ْٕ َر َ ض َّٔ غٛا ْن ٔ ِا ٌْ ْ فُز ُئْ م
ِ ًُ طٕ ا ِٗف ْ ُْٕ ٍَّ َفب عُز ي ٍَ َِأا
ك ْل ْى ا ِء
َ خ غ
آ
6
49
bid, hlm. 107
50
Ibid, hlm. 61
6
3. Ayat - ayat mutashabihat yang hanya dapat diketahui oleh pakar ilmu
dan sains (ulama), bukan oleh semua orang, apalagi oleh orang awam.
Hal-hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah
SWT. Dan orang-orang yang rasik ( mendalam ) ilmu pengetahuannya.
Inilah yang diisyaratkan Nabi dalam doanya bagi Ibn Abbas:
51
Anwar Rosihon, Ulum Al-Qur‟an, (Bandung,CV PUSAKA SETIA : 2015), Hlm.
6
126
6
berada diatas hambanya‖ menunjukkan kemahatinggian-Nya, bukan
menunjukkan bahwa Dia menempati suatu tempat. ―Wajah dan mata
Allah‖ ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. ―Tangan‖ ditakwilkan
dengan kekuasaan-Nya.
ْشٛ خِج
ٛ ْ ٌْ ُصَّ ى ُف ءا صه ْ ٍ َنّ ُذ، َـ ُّزٚ أُ ْ ؽ ِك انش ط ك
ي ٍى ؽ ذ ًَذ ت ز
ِك
....ٗ َ
َّ لهالُ َ َّ ض َ ل أَ ْ ؽ ٍَ اْ ن ؾ كَزًجب ي شِجًٓب يضب
ْ ش زٚ غ ِذ
6
ْؾَ ك َّ ٍ اُ ُّو ا ْن ِكز ت ٔاُ َ خ ُ ش ا ْن ْ ُُّ اَٚذ ْ ُ َٕ انَِّ ز ٘ اَ َْ ػهَ
ذ ُْ ًَ ي ي َض َ ل ِ ْٛكَزت ك
6
َفؤَ يب انَّ ز يب ثَٓب شب ي ُّْ ا ْثِز َغب، َزّج ُؼ ْٕ ٌَ ذْٛ ٌ غ فٚ يز شج ٗف لُهُ ْٕث ٓ ً َ ض
ِ َّ ِ َ ِِْ ِ ِ
ٍَ رْٚ
خ ْٕ ٌَ ِفىب ْن ِؼ ْه ِى
ٔ ان ْ َُّه لهٚ ٔ ِاَّْل ٔ ْ َ ؼْ َه ُى َرؤٚ ء، ِّ ِْهٚ ٔ ِ ٔ ا ْثِز ء ا ْنِف ْ َُز ِخ
َّشاع ل َيب َْرؤ َغب
ُا
َّزَٚ ٔ َيب. ُ ش ِإ َّْل أُ ُْٔن ْٕ ا َْل ا ْنَجـت،ي ػ سثَُِّب ، ِّ َُم ُْٕن ْٕ ٌَ َ ُيَّب ِثٚ
َّك ْ ْ
ءا ٌّم ٍ ُِ ذ
ك
6
c) Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah
mudah diketahui, gampang dipahami dan jelas untuk diamalkan.
d) Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari
6
isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat sudah jelas arti dan maksudnya,
tidak harus menunggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau
surah yang lain
2. Hikmah adanya ayat- ayat mutashabihat
a) Ayat-ayat mutashabihat yang maknanya hanya diketahui oleh
Allah SWT.
b) Sebagai rahmat Allah SWT. Bagi hamba-Nya yang tidak
mampu mengetahui segala sesuatu. Karena itu Allah SWT.
Tidak mengatakan di dalam Al-Qur‘an kapan kiamat terjadi,
kapan ajal manusia akan datang.
c) Sebagai ujian dan cobaan bagia hamba-Nya serta membuktikan
kelemahan dan kebodohan manusia. Dan menunjukkan bahwa
kebesaran Ilmu-Nya yang maha mengetahui segalanya.
d) Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur‘an bahwa kitab Al-
Qur‘an merupakan wahyu dari Allah SWT.
3. Ayat- ayat mutashabihat yang mungkin diketahui maknanya.
a) Adanya ayat mutashabihat mendorong pembacanya untuk
bekerja keras dan menggunakan nalar akal dalam memahami
makna yang tepat dan terdorong untuk mendalami ilmu-ilmu
yang lain.
b) Memperlihatkan kelebihan orang yang berilmu dengan
selainnya. Seseorang yang telah mengetahui makna satu ayat
mutashabihat akan semakin giat untuk mengetahui makna ayat
yang lain.
c) Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan
yang bermacam-macam.
6
I’JAS AL-QUR’AN
52
Manna khalli al-qattan, studi ilmu-ilmu al-qur‘an (terjemahan dari mubahits fiulumil
qur‘an), (Jakarta: putaka litera antar musa, 2004), hlm.371
6
hamba-Nya. Mukjizat adalah perkara yang luar biasa yang disertai dengan
tsantangan yang tidak mungkin dapat ditandingi oleh siapapun dan kapanpun.
Muhammad Bakar ismail menegaskan, mukjizat adalah perkara luar biasa yng
di sertahin dan di ikuti tantangan yang di berikan oleh Allah Swt kepada nabi-
nabi sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa
yang di embannyah yang bersumber dari Allah swt.
6
2. Mu‘jizat immaterial logis dan kekal
Adapun mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw yaitu
mu‘jizat yang bersifat immaterial logis dan kekal, yaitu berupa al-Qur‘an.
Hal ini dimaksudkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh umat
manusia hingga akhir zaman. Al-Qur‘an sebagai bukti kebenaran
ajarannya, ia harus siap untuk disajikan kepada semua orang, kapanpun,
tanpa mengenal batas waktu, situasi, dan kondisi apapun.
Hal ini seiring dengan berjalannya waktu setiap manusia mengalami
perkembangan dalam pemikirannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Auguste Comte sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab tentang
fase-fase perkembangan pikiran manusia, yaitu:
a. Fase keagamaan, karena keterbatasan pengetahuan manusia
tentang menafsirkan tentang semua gejala yang terjadi,
dikembalikan kepada kekuasaan Tuhan atau jiwa yang tercipta
dalam pikirannya masing-masing.
b. Fase metafisika, semua fenomena atau kejadian dikembalikan
pada awal kejadian, misalnya: manusia pada awal kejadiannya.
c. Fase ilmiah, manusia dalam menafsirkan fenomena melalui
pengamatan yang teliti dan penelitian sehingga didapat sebuah
kesimpulan tentang hukum alam yang mengatur semua fenomena
alam ini.
7
mempesona, jauh lebih indah dari pada apa yang di buat oleh penyair dan
sastrawan.
Kemukjizatannya Al-Qur‘an dari segi bahasanya bisa kita liat dari tiga
hal yaitu :
53
Mawardi Abdullah, ulumul Qur‘an(Yogyakarta pustaka pelajar 2014) hlm.129
7
Tentang akidah Al-Qur‘an mengajak umat manusia pada akidah yang
suci dan tinggi, yakni beriman kepada Allah yang maha Agung,
menyatakan adanya nabi dan rasul serta mempercayai kitab samawi.
Dalam bidang undang-undang ,Al-Qur‘an telah menetapkan kaidah-kaidah
mengenai perdata, pidana, politik, dan ekonomi.Adapun mengenai
hubungan internasional, Al-Qur‘an telah menetapkan dasar-dasar yang
paling sempurna dan adil, baik dalam keadaan damai maupun perang. Al-
Qur‘an menggunakan du acara tatkala menetapkan sebuah ketentuan
hukum.
3. Gaya bahasa
Gaya bahasa Al-Qur‘an membuat orang Arab pada saat itu merasa
kagum dan terpesona. Al-Qur‘an secara tegas menentang semua sastrawan
pada orator Arab untuk menandingi ketinggian Al-Qur‘an baik bahasa
maupun susunanya. Setiap kali mereka mencoba menandingi, mereka
mengalami kesulitan dan kegagalan dan bahkan mencapat cemoohan dari
masyarakat. Diantara pendusta dan musyrik Arab pada saat itu yang
berusaha untuk menandingi ialah musailimah Kadzazab dan tokohtokoh
masyarakat Arab lain pada waktu itu yang ingin menandingi kalam Allah
itu, namun selalu mengalami kegagalan.54
7
54
Quraish Shihab, membumikan Al-Qur‘an, (Bandung; Mizan, 1993), Hlm.62
7
sesunggunya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuatan
kami.‖ [QS. Yunus (10);92]
5. Isyarat-Isyarat Ilmiah
7
ٔ ٌ َ ش ِد أُٚ ٍي ذ ش ػَٚ َُّ ٚ ٓ َٚ ٌَأ شُٚ ٍ ً َف
لعِ ْ ِص ذ س ُ
ن ال و ش
له
ل
ا
ان غ َّ ص ِن ك َز َك بءٙ ُذ ِف ًََّؤ ب ؽش ّم ً بِٛ ُِس ظ غ ُ ّّ َ ُ ع هٚ
ً ؼ عب صذ ؼم
ٌٕ ُ ٍ ػ ْل يٚ هَٗ ان َ ّز لهال ُ ش َ غ ؼمٚ
ؤُٚ ان عظ
― Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya
petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama islam )
dan barang siapa yang di kehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah
menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendekati
langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.‖ [QS.al-An‘am (6) :125]
a. Keindahan Bahasa
Satu kenyataan, bahwa Rasulullah adalah seorang nabi yang Ummi yang
tidak tahu baca tulis. Semasa hidupnya belum pernah belajar di madrasah,
apalagi diperguruan tinggi semisal pascasarjana UIN. Beliau belum pernah
belajar secara khusus kepada siapapun tentang sastra, sejarah dan lainnya.
Namun Kitab samawi yang beliau terima sangat mengagumkan. Dari segi
bahasa, para Ulama sepakat bahwa Al-Qur‘an mempunyai uslub (gaya
bahasa) yang tinggi, fashohah (ungkapan kata yang jelas, dan balaghoh
(kefasihan lidah yang dapat mempengaruhi jiwa pembaca, pendengar yang
mempunyai rasa bahasa yang tinggi) Al-Qur‘an menantang kepada
pujangga-pujangga arab untuk membuat tandingan. Baik seluruhnya,
sebagiannya, bahkan satu surat yang pendekpun dipersilahkan. Namun
7
kenyataannya sampai sekarang tidak ada yang bisa menandinginya.55
55
Kadar M. Yusuf , Studi Al-Qur‟an,( Amzah: Jakarta, 2009), hlm 165.
7
AQSAM AL-QUR’AN
56
Mannā‗ al-Qaṭṭān, Mabāḥits Fi ‗Ulūm al-Qur‘Ān (Manshūrāt al-‗Aṣr al-Hadīts, 1973),
290.
7
ilmu Aqsām Al- Qur‘ān adalah ilmu yang mengkaji secara detail tentang
kalimat sumpah yang ada di dalam Al-Qur‘an.57
1) Fi‟il ألغىdan أػ نفyang dimuta‘addikan atau disertai dengan huruf bā' (ا
( ل ثبءsebagai sighah asli qasam yang mesti diiringi oleh fi'il. Contohnya
surat al- Taubah ayat 62
2. Muqsam bih ( ( ادنمغى ّثatau penguat sumpah, yaitu sumpah itu harus
diperkuat dengan sesuatu yang diagungkan oleh yang bersumpah yaitu
Allah. Ditinjau dari muqsam bihnya, maka qasam itu hanya dengan
57
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
219.
58
Ā'isyah Abd al Raḫmān al Syāthi'. Al Tafsīr al Bayānī li al Qur'ān al Karīm. Kairo: Dār
al Ma`ārif. (1977M). 165-166.
59
Al Qāsim bin al Ḫasan al Ḫawarizmī. Kitāb Tarsyīh al `Ilal fī Syarh al Jumal. Editor:
`Ādil Muḫsin al `Amīrī. Cet. I. Mekkah al Mukarramah: Maktabah al Malik Fahd al Wathaniyyah.
(1998M). 206.
7
menggunakan nama atau sesuatu yang diagungkan atau dibesarkan.
Kadangkala Allah bersumpah dalam al- Qur'an dengan menyebut diri Nya
atau zat- Nya, dan ini terdapat di tujuh tempat yaitu:
Selain dari ayat- ayat tersebut di atas maka Allah bersumpah dalam
al- Qur'an semuanya dengan menggunakan ciptaannya sesuai dengan
kehendaknya. Al Zarkasyī menjelaskan beberapa argument bahwa Allah
bersumpah menggunakan makhluk ciptaan-Nya. Pertama, membuang
mudhāf seperti ayat ٔسة انفغش dan ayat ٔٙسة انُز, demikian juga contoh
lainnya. Kedua, Benda- benda yang dipakai untuk bersumpah oleh Allah
adalah benda-benda yang dikagumi oleh orang Arab dan mereka
mempergunakannya untuk bersumpah, sehingga al- Qur'an diturunkan
sesuai dengan kebiasaan mereka. Ketiga, Sumpah- sumpah yang
diucapkan tersebut dengan menggunakan makhluk ciptaan-Nya
disebabkan karena benda- benda tersebut menunjukkan tanda- tanda
kebesaran penciptanya60
60
Badr al Dīn Muḫammad bin `Abdullah al Zarkasyī. Al Burhān fī `Ulūm al Qur'ān. Cet.
I. Beirūt: Dār al Fikr. (1988M). Jilid: 3. 46-47.
7
3. Muqsam alaih ( هّٛ) ايم لغى ػatau berita yang diperkuat dengan sumpah yaitu
berupa ucapan yang ingin diterima atau dipercaya oleh orang yang
mendengar, lalu diperkuat dengan sumpah tersebut. Muqsam `alaih ini
dinamakan juga dengan jawāb al qasam ( ٕع اة انمغىInilah sebenarnya yang
menjadi tujuan dari sumpah itu sendiri yaitu membenarkan dan
menguatkan berita yang disampaikan.61
1. Dilihat dari segi disebutkan atau tidaknya fi‘il, adat al-qasam dan muqsam
bihnya, maka ada dua macam qasam, yaitu: qasam ẓāhir (jelas, tegas), dan
muḍmar (tidak jelas, tersirat).
a. Qasam ẓāhir (jelas, tegas), yaitu fi‘il al-qasam, ḥurūf al- qasam (ādāt al
qasam) dan muqsam bihnya disebutkan secara jelas, termasuk dalam
kategori ini adalah yang hanya menyebutkan ḥurūf al-qasam ba‘, wawu,
dan ta‘.
61
Mannā‗ al-Qaṭṭān, Mabāḥits Fi ‗Ulūm al-Qur‘Ān (Manshūrāt al-‗Aṣr al-Hadīts, 1973),
301.
62
Sofiah Shamsuddin. Al- Madkhal ilā Dirāsah `Ulūm al- Qur'ān. Cet. I. Malaysia:
Markaz al- Buḫūth al- Jāmi`ah al Islamiyyah al- `Ālamiyyah bi Mālīziā. (2006M). 257
7
b. Qasam muḍmar (tidak jelas, tersirat), yaitu fi‘il qasam dan muqsam bih nya
tidak disebutkan, hanya muqsam ‗al-aih (jawab qasam) yang disebutkan
dengan disertai ―lam taukid‖.
2. Dilihat dari muqsam bihnya, maka macam-macam sumpah yang ada di dalam
Al-Qur‘an secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dengan
Zat Allah sendiri dan dengan makhlukNya.
a. Dengan zat-Nya sendiri terdapat pada tujuh tempat dalam Al-Qur‘an. Tiga
yang pertama berupa perintah Tuhan kepada Nabi-Nya agar bersumpah
dengan Zat- Nya, yaitu terdapat pada:
8
1) Dengan malaikat-malaikat Allah, Q.S. al-Nāzi‘āt (79): 1-5
3) Dengan matahari, bulan, langit, bumi, siang dan malam, Q.S. al Syams
(91): 1-7
Muqsam ‗alayh atau jawab qasam dalam Al-Qur‘an terdiri dari beberapa
macam sebagaimana berikut:
63
Muḫammad al Mukhtār al Salāmī. Al- Qasam Fi al Lughah wa fi al Qur'ān. Cet. I.
Beirūt: Dār al Gharb al Islāmī. (1999M). 73.
8
4. Dilihat dari bentuk kalimatnya, qasam ada dua:
2) Sebagai informasi bahwa muqsam bih yang dipakai dalam bersumpah itu,
khususnya Dzat Allah adalah menunjukkan keagungan dan kekuasannya,
sedang muqsam bih dalam bentuk makhluknya, maka menunjukkan bahwa
ia memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi umat manusia;
64Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.th.),
7
3) Memberi pelajaran bagi umat manusia bahwa Allah bebas bersumpah
dengan apapun, Dzat atau makhlukNya, sedang manusia hanya boleh
bersumpah dengan Dzat Allah.65
65
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.th.),
8
QASHAS AL-QUR’AN
66
Q.S. Al-Kahfi: 64 dan Q.S Al-Qashash :11
67
Q.S. Al-Imran 62 dan Q.S. Yusuf: 111
68
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-ilmu Al-Qur‟an. (Jakarta: Bulan Bintang,1972).
Hlm.176
69
Manna‘ Khalil Al-Qaththan, Mahabits fi Ulumul Qur‟an, (tt Masyurah al-Asyr,1073).
Hlm. 306
70
Fajrul Munawir dkk. Al-Quran. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga,2005). Hlm 107
8
B. Macam-Macam Kisah-Kisah Dalam Al-Qur'an
Kisah-kisah di dalam Al-Qur'an itu bermacam-macam, ada yang
menceritakan para Nabi dan umat-umat dahulu, dan ada yang mengisahkan
berbagai macam peristiwa dan keadaan, dari masa lampau, masa kini. ataupun
masa yang akan datang.
1. Ditinjau dari Segi Waktu
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam Al-
Qur'an, maka qashshashil Qur'an itu ada tiga macam, sebagai berikut:
a. Kisah-kisah ghaib pada masa lalu (al-qashshashul ghuyub al-
madhiyah)
Yaitu, kisah yang menceritakan kejadian-kejadian ghaib yang
sudah tidak bisa ditangkap panca indera, yang terjadinya di masa
lampau. Contohnya seperti kisah-kisah Nabi Nuh, Nabi Musa, dan
kisah Maryam, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat 44 surat Ali
Imran:
71
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, 55
8
Contohnya seperti kisah yang menerangkan tentang Allah SWT
dengan segala sifat-sifat-Nya, para malaikat, jin, setan, dan siksaan
neraka, kenikmatan surga, dan sebagainya. Kisah-kisah tersebut dari
dahulu sudah ada, sekarang pun masih ada dan hingga masa yang akan
datang pun masih tetap ada. Misalnya, kisah dari ayat 1-6 surat Al-
Qari'ah;
"Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari
kiamat itu? Pаdа hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang
berterbangan. Dan gunung-gunung seperti bulu-bulu yang dihambur
hamburkan72”
72
Ibid, 600
8
"Sungguh, Allah akan membuktikan kepada RasulNya tentang
kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki
Masjidilharam jika Allah. menghendaki dalam keadaan aman,
dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya,
sedang kamu tidak merasa takut73”
73
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 514
74
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi In Ilmu Quran Manna" Khalil al-Qattan (Jakarta: PT.
Mitra Kerjaya Indonesia, 2002), 436
8
tempat ada bagian yang di dahulukan dan ditempat lain diakhirkan. Kadang-
kadang pula disajikan secara ringkas dan kadang secara panjang lebar. Hal
tersebut menimbulkan perdebatan diantara kalangan orang yang meyakini dan
orang-orang yang meragukan al-Qur'an. Mereka yang ragu terhadap al-Qur'an
sering mempertanyakan, mengapa kisah-kisah dalam al-Qur'an tidak disusun
secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami? Karena hal
itu tersebut menurut mereka dipandang tidak efektif dan efisien75
75
Muhammad Chirjin, al Qur'an dan Ulumul Qur'an (Yogyakarta: Dana Bakti Prima
Yasa, 1989), hlm.11
8
Ketiga, menerangkan bahwa agama itu semuanya dasarnya satu dan itu
semuanya dari tuhan yang Maha Esa (QS 7:59).
Keempat menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam
berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga
serupa (QS Hud)
Kelima, menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim As., secara khusus, dengan
agama-agama bangsa israil pada umumnya dan menerangkan bahwa
hubungan ini lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama.
Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa
dan Isa As".76
76
bid. hlm. 120
8
dipatuhi oleh seni, tanpa harus menguranginya sebagai kebenaran sejarah, la
sejalan dengan kisah seorang sastrawan yang mengkisahkan suatu peristiwa
secara artistik. Bahwa al Qur'an telah menciptakan beberapa kisah dan ulama-
ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah Qur'ani sebagai
sejarah yang dapat dipegangi.77
Kisah-kisah yang ada dalam al Qur'an tentu saja tidak dapat dianggap
semata-mata sebagai dongeng. Apalagi al Qur'an adalah kitab suci yang
berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering timbul perbdebatam, apakah
kisah-kisah tersebut benar-benar memiliki landasan historis atau sebaliknya,
sebagai kisah yang ahistoris, sejauh manakah posisi al Qur'an dalam
memandang sejarah sebagai suatu realitas.
Sebagai kitab suci, al Qur'an bukanlah kitab sejarah, sehingga tidaklah
adil jika al Qur'an dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada
didalamnyatidak dipaparkan secara gamblang. Akan tetapi berbeda dengan
cerita fiksi, kisah-kisah tersebut tidak didasarkan pada khayalan yang jauh dari
realitas. Melalui studi yang mendalam, di antara kisahnya dapat ditelusuri akar
sejarahnya, misalnya situs-stus sejarah bangsa Iran yang diidentifikasikan
sebagai bangsa Ad dalam kisah al-Qur'an. Di samping itu memang terdapat
kisah-kisah yag sulit untuk dideteksi sisi historisnya seperti peristiwa Isra
Mi'raj dan kisah Ratu Saba. Karena ini sering disinyalir bahwa kisah-kisah
dalam al Qur'an itu ada yang historis dan ada pula yang ahistoris.
Meskipun demikian pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan
penemuan-penemuan arkeologi untuk dijadikan bahan pnyelidikan menurut
kaca mata pengetahuan modern, misalnya mengenai raja-raja Israil yang
dinyatakan dalam al Qur'an. Karena itu sejarah serta pengetahuan lainnya
tidaklah lebih merupakan sarana untuk mempermudah usaha memahami al
Qur'an. Kisah itu adalah bagian dari ayat-ayat yang dituturkan dari sisi yang
Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Namun untuk mengetahui sejarah dan kisah yang ada dalam al-Qur'an itu
tidak mudah. Perlu ditelusuri kapan terjadinya dan di mana. Siapa saja yang
77
Manna" al-Qattan, Mabahist fi Ulum al-qur'an
8
teerlibat dalam peristiwa tersebut. Hal itu untuk memberikan informasi atau
keterangan yang jelas yang tidak menyimpang, sehingga sesuai dengan kondisi
masyarakat pada waktu itu, baik pada masa pra Islam atau sesudah Islam.
Kondisi sejarah pra Islam masih banyak diliputi kekaburan informasi,
terselimuti kegelapan, sehingga tidak ada satu riwayat pun yang bisa dipercaya
untuk mengetahui secara utuh biografi tokoh-tokoh sanad (jalur informasi) nya
dan tidak ada yang murawatir, sehingga dinilai lebih utama Namun kondisi
dunia telah berubah setelah duturnkannya al Qur'an secara bertahap, sehingga
mulailah permulaan sejarah manusia. Hal inilah yang tidak bisa dipungkiri,
bahwa dalam al Qur'an itu tidak hanya menceritakan kisah sejarah pada masa
Islam tersebar tetapi sebelum Islam datang.
Kisah tidak bermaksud mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah seperti
halnya buku-buku sejarah. Yang sangat dipentingkan oleh kisah al-Qur'an
adalah memberi nasehat, bukan mensejarahkan perorangan atau golongan
bangsa-bangsa.
Namun, jika dalam memahami kisah-kisah al Qur'an harus dipakai
metode sejarah selengkap-lengkapnya, sperti kalau memahami dokumen
dokumen sejarah, maka akan banyak dihadapi kesulitan-kesulitan. maka
banyak ulama dan mufassir yang menganggap kisah-kisah al Qur'an sebagai
ayat-ayat mutasyabihat".78
78
A Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan Pada kisah-kisah Al Qur'an. (Pustaka al Husna
Jakarta, 1983), him, 26
8
TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH
A. Pengertian Tafsir
Kata Tafsir pada mulanya berarti penjelasan, atau penampakan makna.
Ahmad Ibnu Faris (w 395 H) pakar ilmu bahasa menjelaskan dalam bukunya Al-
Maqayis fil Al-Lughoh bahwa kata-kata yang terdiri dari ketiga huruf fa sin ra
mengandung makna keterbukaan dan kejelasan.79
Kata fassara merupakan tsulasi mazid biharf (kata dasar tiga kemudian
mendapat tambahan huruf; yaitu tasydid atau huruf sejenis ain fi-ilnya).
Penambahan ini berkonsekuensi terhadap perubahan makna yaitu taksir (banyak).
Maka dengan demikian secara harfiah tafsir dapat diartikan kepada banyak
memberikan penjelasan. Maka menafsirkan Al-Quran sesuai dengan pengertian
atau makna yang dapat dinjangkau oleh seorang mufassir. 80Dari sini kata Fasara
serupa dengan kata Safara, hanya saja yang pertama mengandung arti
menampakkan makna yang dapat terjangkau oleh akal, sedangkan yang kedua
safara menampakkan hal yang bersifat material dan indriawi.
79
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2013) h.09
80
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (Jakarta: Amzah, 2012) edisi H, h.121
8
2. Az-Zarkasyi, menurutnya tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-
maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
3. Az-Zarqani, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-
Qur‘an Al-Karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan
maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan manusia.
Salah satu definisi yang mencakup adalah penjelasan tentang maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir itu lahir dari
upaya sungguh-sungguh dan berulang-ulang sang penafsir untuk
beristinbath/menarik dan menemukan makna-makna pada teks ayat-ayat al-
quran serta menjelaskan apa yang samar dari ayat-ayat tersebut sesuai
kemampuan dan kecendrungan sang penafsir.
B. Pengertian Ta'wil
Ta'wil adalah konsep dalam Islam yang mengacu pada penafsiran alegoris
atau makna tersembunyi dari teks-teks suci, terutama Al-Quran. Istilah "ta'wil"
sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "interpretasi" atau "penjelasan dalam
kedalaman." Ta'wil sering digunakan dalam konteks tafsir atau penafsiran alegoris
Al-Quran, yang berarti mencari makna yang lebih dalam dan tersembunyi di balik
kata-kata yang tertulis dalam teks suci.
81
Murtado, M. (2021). Tafsir, Ta'wil Dan Terjemah. Hal 13
90
C. Pengertian Tarjamah
Tarjamah adalah istilah dalam bahasa Arab yang merujuk kepada terjemahan atau
translasi. Ini adalah proses mengubah teks yang ditulis dalam satu bahasa ke dalam
bahasa lain agar dapat dipahami oleh orang yang berbicara bahasa target. Tarjamah
sangat penting dalam konteks penyebaran pengetahuan, komunikasi antar budaya, dan
pemahaman lintas bahasa.
Dalam konteks agama Islam, tarjamah sering merujuk kepada terjemahan Al-
Quran dari bahasa Arab ke bahasa-bahasa lain agar umat Muslim di seluruh dunia dapat
memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Terjemahan Al-Quran ini sering disebut
"terjemahan Al-Quran" atau "tarjamah Al-Quran."
Penting untuk dicatat bahwa dalam agama Islam, terjemahan Al-Quran sering
diberi peringatan bahwa itu bukanlah teks asli Al-Quran. Terjemahan hanya mencoba
untuk menyampaikan makna dalam bahasa lain, sementara teks asli Al-Quran dianggap
sebagai wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab dan memiliki nilai yang sangat
penting. Oleh karena itu, umat Muslim masih diharapkan untuk mempelajari dan
memahami Al-Quran dalam bahasa Arab jika memungkinkan, bahkan jika mereka
menggunakan terjemahan untuk bantuan pemahaman82
Berikut adalah titik persamaan dan perbedaan antara tafsir, ta'wil, dan
tarjamah: Persamaan:
Berkaitan dengan Penafsiran Teks Suci: Tafsir, ta'wil, dan tarjamah semua
berkaitan dengan penafsiran teks suci dalam Islam, terutama Al-Quran.
Membantu Memahami Teks Suci: Tujuan utama ketiganya adalah untuk
membantu umat Muslim memahami teks suci agar dapat mengaplikasikan
ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Konteks Bahasa: Semua konsep ini melibatkan pemahaman dan
penggunaan bahasa, baik dalam bahasa asal teks suci (bahasa Arab untuk
Al-Quran) maupun dalam bahasa yang dimengerti oleh pembaca.
82
Maulana, M. (2020). Memahami tafsir, Ta‘wil dan tarjamah al-Quran. Cross-
border, 3(1), 203-215.
91
Perbedaan:
Tafsir:
Ta'wil:
Jenis Penafsiran: Ta'wil adalah penafsiran alegoris, simbolis, atau makna
metaforis dari teks suci. Ini mencari makna yang lebih dalam dan
tersembunyi di balik kata-kata teks.
Tujuan: Ta'wil sering digunakan dalam aliran-aliran mistis Islam, seperti
Sufisme, untuk mencapai pemahaman spiritual yang mendalam tentang
agama.
Tarjamah:
Jenis Penafsiran: Tarjamah adalah proses terjemahan teks suci dari satu
bahasa ke bahasa lain agar dapat dipahami oleh orang yang berbicara
bahasa target.
Tujuan: Tarjamah lebih tentang menjaga makna teks tetap setia dalam
bahasa yang berbeda daripada melakukan penafsiran. Ini membantu orang
yang tidak berbicara bahasa Arab untuk mengakses dan memahami teks
suci, seperti Al-Quran.
92
2.5 Macam macam tafsir
Dari sumber penafsiran, tafsir terbagi menjadi 3 macam , yaitu :
Tafsir bil matsur ialah tafsir al-Quran yang didasarkan kepada nash atau
dalil yang sahih yang dinukilkan dengan shahih secara tertib, yang dimulai dari al-
Quran atau sunnah karena sunnah datang sesudah al-Quran, atau dengan apa yang
diriwayatkan dari para sahabat karena mereka adalah orang yang paling tahu
dengan kitab Allah atau dengan pendapat tabiin sebabmereka umumnya menerima
dari para sahabat artinya penafsiran yang sudah terdapat dalam al-Quran sendiri
atau dalam hadis rasullulah atau dalam kata-kata sahabat sebagai penjelasan bagi
apayang dikehendaki oleh Allah SWT dalam firmannya. Tafsir bil matsur ialah
tafsir al-Quran yang didasarkan kepada nash atau dalil-dalil yang shahih yang
dinukilkan dengan shaih secara tertib yang dimulai dari al-Quran atau sunnah, dan
apa yang diriwayatkan dari para sahabat. 83 Tafsir ini mencakup pada:
Dan ayat yang menjelaskan lafadz dari "kalimaatin" itu sebagian ahli tafsir
mengatakan terdapat pada surat al-a'raf ayat 23:
Keduanya berkata "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan
jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
83
Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1994)
h.482
93
Penafsiran ayat dengan hadis
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk".
94
sedangkan hal- hal yang mereka peroleh dengan cara pemahaman dan ijtihad lebih
tepat digolongkan ke dalam deretan hadis mauquf tidak tepat kedalam hadis
marfu'.85
2. Tafsir bi ra’yi
Disebut juga dengan tafsir dirayah yaitu tafsir al-quran yang didasarkan
kepada ijtihad dan pemikiran mufassir sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah
bahasa arab artinya pola pemahaman terdapat ayat-ayat al-quran dilakukan
melakui ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dan menggunakan seluruh
kemampuan ilmu yang dimiliki guna mencapai hasil penafsiran yang memadai
sesuai dengan yang dikehendaki oleh isi ayat yang bersangkutan.86
85
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h.343
86
Muhammad Husyn Al Dzahabi, A-Tafsir Wal Al Mufassirun. J.1. h.295
87
Muhammad Amin Suma op.cit, h. 351
88
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Quran; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir.
(Jakarta: gaya media pratama: 2007) h.83
95
Tafsir bil ra‘yi yang tercela. Ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai
b. Tidak didasarkan kepada kaidah-kaidah keilmuan
c. Menafsirkan al-quran dengan semata-mata mengandalkan
kecendrungan hawa nafsu
d. Mengabaikan aturan-aturan bahasa arab dan aturan syariag yang
menyebabkan penafsirannya menjadi rusak, sesat, dan
menyesatkan.
3. Tafsir isyari
Kata isyarah adalah sinonim dengan kata al-dalil yang berarti tanda petunjuk
indikasi, isyarat signal, perintah, panggilan, nasihat dan saran. Tafsir isyari juga
tafsir yang makna-maknanya ditarik dari ayat-ayat al-quran yang tidak diperoleh
dari bunyi lafazh ayat tetapi dari kesan yang ditimbulkan oleh lafazh itu dalam
benak penafsirnya yang memiliki kecerahan hati dan pikiran tanpa membatalkan
makna lafazhnya
96
ALQUR’AN & SAINS MODERN
97
Qur‘an adalah penjelasan esensi-esensi, sifat–sifat dan perbuatan-Nya. Al-
Qur‘an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan jika sekiranya lautan itu
menjadi tinta untuk menjelaskan kata-kata Tuhanku, niscaya lautan itu akan
habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir (lihat Al-Ghazali, 11329 H: 9, 32).
As-Suyuti memiliki pandangan yang sama dengan mengatakan, bahwa
al-Qur‘an itu mengandung seluruh ilmu-ilmu klasik dan modern. Kitab Allah
itu mencakup segala sesuatunya. Tidak ada bagian atau problem dasar suatu
ilmu pun yang tidak ditunjukkan di dalam al-Qur‘an (As-Suyuthi, 1979, I: 1).
Kelompok kedua, seperti yang diwakili oleh As-Syatibi mengatakan, bahwa
orang-orang salih zaman dulu (para sahabat) tidak berbicara tentang bentuk-
bentuk ilmu, padahal mereka lebih memahami al-Qur‘an (lihat Az-Zahabi, 1987:
485, 489, Quraish Shihab, 1992: 41).
Ulama‘ masa kini yang tidak setuju dengan adanya konsep sains dalam al-
Qur‘an berpendapat, bahwa al-Qur‘an itu kitab petunjuk di dunia maupun di
akhirat, bukan ensiklopedi sains. Mencocok-cocokkan al-Qur‘an dengan teori-
teori sains yang tidak mapan (selalu berubah-ubah) adalah sangat mengancam
eksistensi al-Qur‘an itu sendiri (Ghulsyani, 1991: 141).
Perbedaan ini juga akibat pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur‘an dalam
surat An-Nahl: 89: ―Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur‘an)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang berserah diri‖.
Dalam konteks ini saya sependapat dengan Mushthafa Al-Maraghi yang
berpendapat, bahwa al-Qur‘an mengandung prinsip-prinsip umum, artinya
seseorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik
dan spiritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan prinsip-prinsip
tersebut. Dan kewajiban ilmuwan adalah menjelaskan rincian-rincian yang
diketahui pada masanya kepada masyarakat. Adalah penting menafsirkan makna
ayat dalam sorotan sains. Tetapi juga tidak boleh berlebih-lebihan menafsirkan
fakta-fakta ilmiah dengan mencocok-cocokkan al-Qur‘an. Bagaimana pun jika
makna lahiriah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiah yang telah mantap,
kita menafsirkan dengan bantuan fakta itu. (Ghulsyani, 1991: 143).
98
Meski demikian, sebagaimana yang dijelaskan Ghulsani (1991:144), bahwa
walaupun al-Qur‘an bukanlah merupakan ensiklopedi sains, namun yang perlu
diperhatikan ada pesan penting di dalam ayat-ayat yang melibatkan fenomena, dan
para ilmuwan Muslim harus memusatkan perhatiannya pada pesan atau misi
tersebut dari pada melibatkan diri pada aspek-aspek keajaiban al-Qur‘an dalam
bidang sains.
Menurut Quraish Shihab (1992:41), membahas hubungan al-Qur‘an dengan
ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan
kebenaran-kebenaran teori ilmiah, melainkan pembahasan hendaknya diletakkan
pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur‘an
dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurut Shihab,
mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting dari pada menemukan
teori ilmiah, karena tanpa mewujudkan iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang
menemukan teori tersebut akan mengalami nasib seperti Galileo yang menjadi
korban hasil penemuannya (Shihab, 1992: 44).
Jadi, kembali kepada penafsiran ayat al-Qur‘an atau juga Al-Hadis,
sesungguhnya kita hendak mengatakan bahwa nas-nas itu memiliki perhatian
besar terhadap ilmu, bahwa agama (Islam) itu memiliki ruh, concern terhadap
ilmu dan sikap keilmuan. Dan seperti yang disebutkan oleh Kuntowijoyo
(1991:329-331), bahwa kita ini ingin membangun paradigma al-Qur‘an dalam
rangka memahami realitas dengan berusaha semaksimal mungkin untuk
menempatkan preposisi-preposisi al-Qur‘an tetap sebagai ―unsur konstitutif‖ yang
sangant berpengaruh. Ini yang terpenting.
Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan
(maju) karena dua hal: pertama, karena pengaruh sinar al-Qur‘an yang memberi
semangat terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan
bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat
diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar mereka (Bandingkan dengan
Ghallab: 121). Mengenai pergumulan dan akulturasi budaya tersebut memang
ditunjang oleh ajaran Islam itu sendiri yang inklusif, terbuka.
99
Dalam sejarahnya belum pernah ada agama yang menaruh perhatian sangat
besar dan lebih mulia terhadap ilmu kecuali Islam. Salah satu ciri yang
membedakan Islam dengan agama yang lain adalah perhatiannya kepada ilmu dan
ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa
mencari dan menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan pun mendapatka perlakuan
yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. Al-Qur‘an dan as-
Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta
menempatkan mereka pada posisi yang luhur (untuk ini lihat Abdul Halim
Mahmud, 1979: 61-62).
Dalam al-Qur‘an, kata ‗ilm dan kata jadiannya disebutkan kurang lebih
mencapai 800 kali. Al-Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu‘jam
al-Mufahras li al-fazh al-Qur‘an al-Karim (lihat Fuad Abdul Baqi, tt.:469-481)
melaporkan, bahwa kata ‗ilm (ilmu) dalam al-Qur‘an baik dalam bentuknya yang
definitif (ma‘rifat) maupun indefinitif (nakirah) terdapat 80 kali, sedangkan kata
yang berkait dengan itu seperti kata ‗allama (mengajarkan), ya‘lamun (mereka
menegetahui), ‗alim (sangat tahu) dan seterusnya, disebutkan beratus-ratus kali.
Kata ‗aql (akal) tidak terdapat dalam bentuk nomina, kata benda (mashdar), tetapi
yang ada adalah kata al-albab sebanyak 16 kali. Dan kata al-nuha sebanyak 2 kali.
Adapun kata yang berasal dari kata ‗aql itu sendiri berjumlah 49. Kata fiqh
(paham) muncul sebanyak 2 kali, kata hikmah (ilmu, filsafat) 20 kali, dan kata
burhan (argumentasi) sebanyak 20 kali. Belum termasuk kata-kata yang berkaitan
dengan ‗ilm atau fikr seperti kata unzuru (perhatikan, amatilah, lihatlah),
yanzhurun (mereka memperhatikan, mereka mengamati dan seterusnya) (Al-
Qardhawi, 1986:1-2).
Selain itu, jika kita telaah kitab-kitab hadis, semuanya penuh dengan kata-
kata ‗ilm tersebut. Dalam kitab al-Jami‘ al-Shahih karya Al-Bukhari kita dapati
102 hadis. Dalam Shahhih Muslim dan yang lain seperti al-Muwatha‘, Sunan al-
Tirmizi, Sunan Abu Daud, al-Nasai, Ibn Majah terdapat pula bab ilmu. Belum lagi
kitab-kitab yang lain, misalnya Al-Faturrabbani yang memuat sebanyak 81 hadis
tentang ilmu, Majma‘ az-Zawaid memuat 84 halaman, al-Mustadrak karya An-
Naisaburi memuat 44 halaman, al-Targhib wa ‗l-Tarhib karya Al-Wundziri
10
memuat 130 hadis sedangkan kitab Jam‘ al Fawaid Min Jami‘ al-Ushul wa
Majma‘ al-Zawaid karya Sulaiman memuat 154 hadis tentang ilmu tersebut (Al-
Qardhawi, 1986, lihat juga Weinsink, al-Mu‘jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits
al-Nabawi, Leiden, 1962: 312-339).
Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan
pentingnya membaca, menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru:
―Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq: 1-5).
Sebagaimana yang dituturkan oleh Thanthawi Jauhari (1350 H: 217),
bahwa bertambahnya kemuliaan itu adalah karena ilmu, dan Allah adalah Zat
yang menyebarkan dan mengajarkan ilmu itu dengan pena. Tidakkah
menakjubkan, bahwa Nabi adalah seorang ummi, sementara surat pertama kali
yang diturunkan menyangkut masalah ―pengajaran‖ dan ―pena‖? Dan bagaimana
kemudian Nabi itu memelihara ilmu dengan menyuruh kepada para sahabat untuk
mencatat dan menyebarluaskan kepada yang lain? Bukankah perkembangan ilmu
pengetahuan begitu meluas setelah keutusan Nabi?
Sebagian ahli tafsir berpendapat, ar-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud
dengan ―iqra‖ dalam ayat pertama itu berarti ―belajar‖ dan ―iqra‖ yan kedua
berarti ―mengajar‖. Atau yang pertama berarti ―bacalah dalam shalatmu‖ dan yang
kedua berarti ―bacalah di luar shalatmu‖ (Binti Syathi‘, 1968:20. Bandingkan
dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul Halim Mahmud, 1979:55-56).
Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan ―qalam‖ adalah
―tulisan‖. Karena tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat dikodifikasikan,
seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegak persoalan agama dan dunia
(Mahmud, 1979:23 lihat juga Abu Hayan, tt.: 492).
Dan tentang penciptaan alam, al-Qur‘an menjelaskan bahwa Malaikat pun
diperintahkan untuk sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama:
10
―Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malikat dan berfirman:
‗Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu memang orang-orang
yang benar‘. Mereka menjawab: ‗Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Engkau Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-32).
Al-Qur‘an juga menandaskan, bahwa tidaklah sama antara mereka yang
mengetahui dengan yang tidak mengetahui:
―Katakanlah: ‗Adakah sama orang-orang yang mengetahuidengan
orang- orang yang tidak mengetaui?‘. Sesungguhnya orang yang berakallah orang
yang dapat menerima pelajaran‖ (QS. Ak-Zumar: 9).
Dan perumpaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu‖ (QS. Al-Ankabut: 43).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama‖ (QS. Al-Fathir: 28).
Dan masih banyak lagi ayat al-Qur‘an yang mwenyinggung masalah yang
berkaitan dengan ilmu itu. Dalam Hadis Nabi juga disebutkan antara lain:
―Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam‖ (HR. Ibn Majah).
―Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah
sampai ia kembali (HR. Bukhari dan Muslim).
―Carilah ilmu walau sampai di negeri Cina‖.
Hadis di atas sanatnya dhaif tapi matannya populer (lihat catatan kaki
Ihya‘ Ulumuddin, 1975, juz 1: 15).
―Kalimat hikmah (ilmu) itu bagaikan (barang) hilangnya orang Mukmin.
Dimana pun orang menemukan, maka ia lebih berhak atasnya‖.
Hadis di atas sanadnya dhaif tapi maknanya shahih (Al-Qardhawi, 1989:
56).
―Wahai sekalian manusia belajarlah. Ilmu hanya diperoleh melalui
belajar…(HR. Ibn Abi ‗Ashim dan At-Thabrani).
―Para ulama‘ itu adalah pewaris para Nabi (HR. Ibn Majjah).
10
Dan masih banyak lagi hadis yang menyebutkan tentang hal ini. Hanya di
sini ada persoalan yang cukup menjadi perhelatan pagi para ahli (ulama‘).
Persoalannya adalah, ―ilmu yang manakah yang wajib dicari atau diperoleh oleh
setiap Muslim itu? Apakah ada bentuk ilmu khusus, atau ada ilmu prioritas?‖.
Dari sinilah lantas setiap kelompok mengklaim pendapatnya sendiri. Para
ahli kalam mengakui belajar ilmu kalam merupakan kewajiban yang dituntut (di-
fardhukan), sedang ahli fiqh juga demikian, bahwa ilmu yang diwajibkan adalah
ilmu fiqh. Dan kelompok ahli tafsir dan juga ahli hadis mengakui kewajiban yang
ditentukan adalah tafsir dan hadis. Demikian juga ahli tasawuf dan seterusnya.
Dalam hal ini Al-Ghazali menghimpun sekitar 20 pendapat yang berbicara tentang
ilmu yang difardhukan ini (lihat Al-Ghazali, 1975, I: 15, lihat pula Sunan Ibn
Majjah, I: 98).
Al-Ghazali sendiri lalu involved terhadap penggolongan ilmu tersebut,
sehingga ia sangat populer dengan pembagiannya mengenai ―ilmu agama dan non
agama‖, ilmu yang fardhu ‗ain dan fardhu kifayah‖, ―ilmu yang terpuji dan ilmu
yang tercela‖ (Al-Ghazali, 1975: 28).
Sebagaimana yang dikutip oleh Mahdi Ghulsyani (1991: 43), Shadrudddin
Syirazi dalam komentarnya terhadap ―wajib bagi setiap Muslim‖, menuturkan:
1. Bahwa kata ilmu di sini mengandung makna yang luas dan umum
(generik) yang mencakup spektrum arti yang telah digunakan dalam
sunnah Nabi. Hadis tersebut bermksud untuk menetapkan bahwa tingkat
ilmu apapun seorang Muslim harus berjuang untuk mengembangkan lebih
jauh;
2. Hadis tersebut mengisyaratkan makna bahwa seorang Muslim tidak akan
pernah akan keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu;
3. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam
dirinya sendiri; karena ilmu laksana cahaya yang selalu dibutuhkan. Ilmu
dianggap tercela karena akibat-akibat tercela yang dihasilkan.
Banyak para ahli belakangan ini yang tidak sependapat dengan klasifikasi
ilmu yang dikhotomis yang dibuat oleh Al-Ghazali. Ghulsyani sendiri misalnya
mengatakan, bahwa ilmu yang wajib dicari oleh setiap Muslim adalah ilmu yang
10
menyangkut posisi manusia pada hari akhirat dan yang mengantarkan kepada
pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabi-Nya, utusan-utusan-Nya,
sifat-sifat-Nya, hari akhirat dan hal-hal yang menyebabkan dekat dengan-Nya
(Ghulsyani, 1991: 44).
Murthadha Muthahhari dengan benar telah menunjukkan, bahwa klafisikasi
yang dikhotomis itu bisa menyebabkan miskonsepsi, bahwa ―ilmu non-
agama‖ terpisah dari Islam dan nampak tidak sesuai dengan keuniversalan agama
Islam. Kelengkapan dan kesempurnaan Islam, sebagai suatu agama menuntut agar
setiap lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam dianggap sebagai
bagian dari kelompok ―ilmu agama‖ (Ghulsyani, 1991:44 dan lihat juga
Ahmad Anwar Anees, 1991:77, Abdul Halim Mahmud, 1979: 47).
Dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Al-Qardhawi (1989: 99-100), bahwa
ilmu yang wajib dipelajari setiap Muslim adalah ilmu yang diperlukan dan yang
dituntut oleh agama dan dunianya. Persoalan apakah jenis ilmunya, adalah hal
baru yang tidak membawa segi ibadah. Yang penting sesungguhnya adalah
essensinya, label dan nama bukanlah persoalan. Ghulsyani (1991:44-46) dapat
menunjukkan, bahwa konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang
generik dengan bukti al-Qur‘an dan al-Sunnah sebagai berikut ini:
―Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?‖ (QS. Al-Zumar: 9).
―Dia mengajarkan manusia apa yang belum ia ketahui‖ (QS. Al-‗Alaq: 5).
―Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama, kemudian
mengemukakannya kepada Malaikat dan berfirman: ‗sebutkanlah kepada-Ku
nama-nama benda itu jika kamu memang orang yang benar‖ (QS. Al-
Baqarah:31).
Lihat juga misalnya surat Yusuf: 76, Al-Nahl: 70 dan hadis Nabi:
―Barang siapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya
jalan ke surga‖.
―Orang yang paling berharga adalah orang yang paling banyak ilmunya…..‖.
10
Nabi Sulaiman memandang bahwa pengetahuan bahasa burung (binatang)
sebagai rahmat atau kemurahan Allah ( Q.S Al-Naml: 15-16). Dan sangat jelas
bahwa Cina pada saat itu bukan pusatnya studi ilmu agama Islam, akan tetapi
lebih terkenal dengan industrinya.
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam
harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya
lebih besar daripada manfaatnya (ilmu sihir, forkas dan sebagainya), sebagaimana
sabda Nabi: ―sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat‖ (Ghusyani,1991:44,
dan bandingkan dengan Al-Qardhawi, 1989: 31-32).
Bagi penulis sendiri memang persoalannya bukan ―ilmu agama‖ dan ―non
agama‖, tetapi lebih kepada ―kepentingan‖, untuk apa ilmu tersebut (karena ilmu
sebagai instrumen, bukan tujuan). Dan apalagi jika kita sepakat, pada dasarnya
sumber ilmu itu dari Allah. Jadi terminologi ―ilmu agama‖ dan ―ilmu umum, non
agama‖ itu peristilahan sehari-hari dalam pengertian sempit saja. Hanya memang,
pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa sebagai seorang Muslim harus
menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan ibadah mahdhah itu, misalnya
ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, yang ilmu tersebut sering
disebut ilmu syar‘iah/fiqh; dan ilmu tentang ketuhanan/keimanan kepada Allah
SWT, yang ilmu tersebut sering disebut sebagai ilmu tauhid/ kalam. Ilmu-ilmu
inipun sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan kritis tampak sangat
berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini disebut
―ilmu umum‖ itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam. Karena
semua sistem peribadatan (al-‘ibadah, worship) didalam Islam mengandung
dimensi ajaran yang tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT sebagai Zat
pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam sebagai yang dicipta (al-makhluq).
Dan hubungan ini dalam al-Qur‘an disebut sebagai hablun min Allah wa hablun
min al-nas, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Di sini rukun iman
dalam ajaran Islam lebih berorientasi pada hubungan vertikal, manusia dengan
Allah atau yang ghaib, sedang rukun Islam lebih berorientasi pada hubungan
horizontal antara manusia dengan manusia yang lain ataupun alam semesta.
10
Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat dipisahkan tak ubahnya seperti
hubungan ilmu dan amal.
Pada akhirnya semua harus bermuara pada konsep ―tauhid‖, kesadaran
Yang Kudus. Oleh sebab itu Al-Ghazali juga benar ketika mengatakan, bahwa
ilmu muamalah (karena ia juga membagi ilmu yang mukasyafah) yang pertama
diwajibkan bagi orang mukallaf adalah ilmu tauhid, yaitu belajar dua kalimat
syahadat meskipun dengan taklid, kemudian setelah itu belajar thaharah dan shalat
(fiqh) (Al-Ghazali, 1975, I, : 25).
Pemikir Islam abad duapuluh khususnya setelah Seminar Internasional
Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu dalam
dua katageri:
1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi
yang tertera dalam al-Qur‘an dan al-Hadis serta segala yang dapat
diambil dari keduanya;
2. Ilmu yang dicari (inquired knowledge) termasuk sains kealaman
dan terapannya (teknologi) yang dapat berkembang secara
kualitatif (Quraish Shihab, 1992: 62-63).
10
Jika ketiga hal di atas tidak dipenuhi, maka al-Qur‘an tidak akan memberikan
petunjuk, obat maupun rahmat bagi manusia. Mana mungkin al Qur‘an bisa
memberikan hidayah kepada manusia tanpa manusia membaca dan
menghayatinya? Ibarat rambu-rambu lalu lintas, mana mungkin pengendara
kendaraan bisa aman di jalan/ tahu arah tanpa ia bisa membaca dan memahami
rambu-rambu tersebut? (dan tentunya harus mentaatinya).
Oleh sebab itu, orang yang banyak bergelimang dengan maksiat adalah
orang yang tidak mendapat petunjuk al-Qur‘an, yaitu orang-orang yang tidak mau
dan mampu membaca dengan benar, tidak mau menghayati maknanya dan tidak
pula mengamalkannya.
Sebagai orang terpelajar, tentu kita harus berusaha mampu membaca
dengan arti yang sesungguhnya, yaitu mampu menangkap isyarat atau makna al-
Qur‘an tersebut, untuk kemudian mau mengamalkannya. Jangan sampai kita
termasuk orang yang dilaknat al-Qur‘an itu sendiri sebagaimana yang disinggung
oleh Nabi:
―Banyak orang membaca al-Qur‘an, tetapi justru al-Qur‘an melaknatinya‖.
Kenapa? Karena mereka tidak menjadikan al-Qur‘an sebagai pegangan hidupnya,
tidak menjadikan al-Qur‘an sebagai akhlaknya. Oleh sebab itu orang yang terdidik
(intelektual) amat potensial untuk mendekatkan diri (takwa) kepada Allah, sebab
ia mau membaca dan mengkaji maknanya, dan lebih dari itu adalah
mengamalkannya. Inilah manusia ulu al-‗ilmi, ahl al-zikri dan ulul albab.
Al-Qur‘an adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut informasi
ilmu pengetahuan maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak.
Terkait dengan informasi ilmu pengetatahuan, tidak sedikit dari para akademisi,
baik akademisi Timur maupun Barat yang mengakui akan kemukjizatan al-
Qur‘an. Dan tidak sedikit dari kalangan mereka yang kemudian tunduk, khudhu‘
wal- inqiyad, alias menjadi muslim. Bahkan yang tidak muslim pun bisa
mendapatkan informasi ilmiah dari al-Qur‘an, sebagaimana yang dialami oleh
para orientalis itu.
Jika para orientalis yang tidak beriman dengan al-Qur‘an mereka mau
mempelajari secara serius untuk memperoleh informasi ilmiah, kenapa kita tidak?
10
Kenapa selama ini kita banyak mengetahui informasi ilmiah justru lewat orang
Barat yang sekuler, bukan dari al-Qur‘an yang milik kita sendiri yang nyata-nyata
di dekat kita, di telinga kita. Suatu contoh, kita tahu bahwa matahari berputar pada
porosnya, bahwa asal muasal alam ini air, adalah dari ilmuwan Barat dan Filosof
Yunani (Thales). Kenapa tidak dari al-Qur‘an yang kita baca setiap hari?
Misalnya dalam surat Yasin dan al-Anbiya‘ itu Allah berfirman:
―Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ini berasal dari air‖
(QS. Al-Anbiya‘: 36).
10
tetapi ia memiliki fungsi petunjuk, rahmat dan obat bagi kita. Mari kita baca al-
Qur‘an karena ia bisa memberikan syafaat di hari kiamat, Mari kita baca al-
Qur‘an karena ia bisa menjadi penerang di rumah kita di tengah-tengah keluarga
kita. Janganlah kita termasuk orang yang jauh dari al-Qur‘an sehingga ibarat
rumah kosong, tanpa penghuni, sebagaimana yang ditegaskan Nabi.
10
PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP AL-QUR’AN
89
M. Muzayyin. “ Al- qur‟an Menurut Pandangan Orientalis.” UIN Sunan Klaijaga ,
Yohyakarta 2015 hal 107
11
samping itu, Allah juga melaknat orang-orang Nasrani karena menyatakan
al-Masih itu putera Allah.
Pernyataan al-Qur‘an tersebut membuat kalangan Kristi ani marah dan
geram. Oleh sebab itu, sejak awal mereka menganggap al-Qur‘an sama
sekali bukan kalam Ilahi. Mereka menjadikan Bibel sebagai tolak ukur
untuk menilai al-Qur‘an. Menurut penilaian mereka, jika isi al-Qur‘an
bertentangan dengan kandungan Bibel, maka al-Qur‘an yang salah.
Sebabnya bagi mereka Bibel adalah God‘s Word, yang tidak mungkin
salah dan karena al-Qur‘an berani mengkritik dengan sangat tajam kata-
kata Tuhan di dalam Bibel, maka al-Qur‘an bersumber dari setan.
Hujatan terhadap al-Qur‘an dari kalangan Kristen dimulai dari abad ke-
8 sampai abad ke-16; sebagai contoh, Johannes (652- 750) asal Damaskus
menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur‘an banyak memuat cerita-cerita
bodoh (idle tales). Kemudian, Abdul Masih al-Kindi (873) berkesimpulan
bahwa orang yang percaya bahwa al-Qur‘an berasal dari Tuhan adalah
orang yang sangat tolol. Menurut al-Kindi, Muhammad dengan al-
Qur‘annya sama sekali tidak membawa mukjizat sebagaimana Nabi Musa
yang membelah laut dan Kristus yang bisa menghidupkan orang mati serta
menyembuhkan penyakit kusta. Tidak jauh berbeda dengan al-Kindi,
Petrus Venerabilis, seorang kepala Biara Cluny di Perancis, menyatakan
bahwa al-Qur‘an tidak terlepas dari peran setan. Selanjutnya, Ricoldo da
Monte Croce (1243-1320), seorang biarawan Dominikus. Dia mengatakan
bahwa setan mengarang al-Qur‘an sekaligus membuat Islam. Selain itu,
Ricoldo juga mengklaim banyak penyimpangan yang terjad dalam sejarah
al-Qur‘an dan susunan al-Qur‘an sangat tidak sistematis. Selanjutnya,
Marthin Luther (1483-1546) tidak jauh berbeda dengan Ricoldo dan
Nicholas dalam pemikirannya tentang alQur‘an; dia menganggap
menganggap setan adalah pengarang terakhir al-Qur‘an (The Devil is the
ultimate author of the Qur‘an
11
2. Penilaian Negatif Terhadap Sosok Nabi
Image negative tentang Nabi Muhammad dalam kajian dan literatur
sarjana Barat khususnya di Eropa, sudah mulai tersebar dan tampak pada
tahun 1120. Nama Nabi Muhammad kemudian dirubah dengan sebutan
―mahomet‖, atau ―mahound‖ yang berarti sebuah ejekan untuk Nabi
Muhammad, sementara ―mahound‖ sebagaimana yang kemukakan oleh
W.Monggomery Watt dalam tulisannya ―Muhammad Prophet and
Statesment‖ menyebutkan bahwa sebutan ―mahound‖ berarti pangeran
kegelapan atau nama untuk kejahatan.
Pastor Bede dari Inggris (673-735 M) berpendapat bahwa Muhammad
adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert).
Bede menggambarkan Muhammad sebagai seorang yang kasar, cinta
perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang
dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan
mengklaim sebagai seorang nabi.
Sebuah karya yang berjudul ―Life of Saint Juliana‖ ditulis sekitar abad
ke-12, menganggap Nabi Muhammad sebagai seorang ―pembidah
legendaris‖ yang disamakan dengan legendalegenda tukang bidah dalam
tradisi Kristen yaitu Simon Magus dan Deacon Nicholas. Selanjutnya, The
Quest of the historical Mohamed Karya Arthur Jeffery (1893-1959), dia
menganggap Nabi Muhammad sebagai seorang kepala perampok (a
Robber Chief) atau sebagai tokoh ideal yang penuh dengan cerita dongeng
(an ideal and legendary picture).90
Demikian, yang pada intinya, kajian mereka tentang Nabi sangat
beragam, ada yang secara khusus meneliti karakter atau kepribadian, idea
atau visi Nabi Muhammad Saw. seperti yang dilakukan oleh tokoh
Orientalis Fr. Buhl, R. F. McNeile, W. H. T. Gairdner, Henri Lammens,
G.W. Bromfield dan Richard Bell. Ada juga kajian yang meneliti kasus,
90
Natsir Mahmud, Muhammad. “Studi Al-Qur‟an dengan Pendekatan Historisme dan
Fenomenologi: Evalusi terhadap Pandangan Barat tentang Al-Qur‟an,‖ Desertasi, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 1992, hal 89
11
seperti mengenai ke-ummi-an Nabi Saw. sebagaimana yang dilakukan
oleh tokoh orientalis, S. M. Zwemer, H. G. Reissner, Isaiah Goldfeld,
Norman Calder, dan Khalil ‗Athamina BirZeit. Selain itu, kajian sejarah
hidup Nabi Saw. secara umum juga mereka lakukan, misalnya kajian W.
Muir, Josef Horovitz, D. S. Margoliouth, W. Irving dan A. Guillaume.
Kaitannya antara Nabi dengan wahyu, William Muir, dalam magnum
opusnya The Life of Muhammad, berpendapat bahwa apa yang disebut
dengan wahyu (al-Qur‘an) tidak lain hanyalah katakata Muhammad
sendiri. Kata-kata itu dihimpun dari sekumpulan pengalaman pribadi
Muhammad. Pengalaman karir publiknya, pandangan keagamaannya serta
kareteristik pribadinya. Hal serupa juga dikemukakan oleh Macdonald,
dalam karyanya Development of Muslim Theology, Jurisprudence and
Constitutional Theory, menurutnya Muhammad merupakan seorang ahli
sastra yang tidak tertandingi. Kemampuan sastranya sangat tinggi,
sehingga ia mampu menciptakan karya sastra seperti al-Qur‘an. Karena
itu, apa yang disebut al-Qur‘an adalah produk pemikiran Muhammad.
Muhammad memproduksi wahyu tidak lepas dari suasana psikologisnya
yang mengalami kasus patologis. Dalam hal ini, tidak jauh beda juga
dengan pandangan para orientalis sebelumnya, W. Monggomery Watt,
seorang orientalis yang sangat terkenal luas dalam blantika intelektual
dunia. Ia memberikan sebuah kesimpulan bahwa al-qur‘an sebagai firman
Tuhan tetapi diproduksi melalui pribadi Nabi Muhammad. Oleh karena itu,
dalam analisanya, Watt cenderung melihat aspek manusiawi dalam
wahyu.91
91
Ibid, hal 90
11
dalam al-Qur‘an. Kedua ialah mereka yang berasumsi adanya pengaruh
―Kristen‖ dalam al-Qur‘an.92
a. Abraham Geiger
Karya kesarjanaan Jerman dalam studi al-Qur‘an dengan terfokus pada
upaya penemuan ―sumber-sumber al-Qur‘an‖ dari tradisi Yahudi diawali
dengan riset Abraham Geiger.31 Sebelum memulai investigasinya, dalam
pengantar buku berjudul Was hat Muhammad aus dem Judhentum, Geiger
berkata:
Tentunya tema dari risalah ini telah lama dikenal dan diketahui bahwa
Muhammad dalam al-Qur‘annya banyak sekali mengambil dari Yahudi,
meski untuk pengambilannya tersebut tidak banyak memiliki pijakan yang
jelas.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Geiger, melalui investigasinya
terhadap beberapa kosa kata al-Qur‘an berkeyakinan bahwa Muhammad
dalam al-Qur‘an banyak mengambil perbendaharaan Yahudi. Untuk
mempertegas dan mengawali kajiannya, Geiger melontarkan beberapa
pertanyaan di awal bukunya. Bagian pertama, ―Apakah
Muhammad memang berkeinginan untuk mengambil dari Yahudi, bisakah
Muhammad melakukan pengambilan itu, jika bisa dilakukan, dengan cara
apa Muhammad melakukannya, dan apa yang sebanding dengan rencana
Muhammad untuk mengambil dari Yahudi?‖
Untuk membutktikan pengaruh Yahudi terhadap Nabi Muhammad ia
menegaskan bahwa hal tersebut berdasarkan pada dua fakta: pertama,
adalah fakta tentang adanya unsur-unsur agama lain yang diambil alih dan
dipadukan ke dalam agama Islam. Geiger berasumsi bahwa penyerapan
gagasan tertentu menjadi mungkin karena sebuah budaya relatif terbuka
bagi masuknya konsep budaya lain. Kedua, adalah fakta yang
92
Ahmad Nasir, Malki. ― Orientalis dan Sitah Nabi Muhammad SAW: Sketsa Awal
Kerancuan Orientalis Dalam Kajian Islam.” ISLAMIA, Vol. III. No. 1 Tahun 2006 hal 225
11
memungkinkan kita memperlihatkan bahwa gagasan yang dipinjam itu
berasal dari tradisi Yahudi, bukan Kristen atau Arab kuno. 93
Selain itu, Geiger memaparkan sejumlah indikasi; antara lain dari segi
kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu. Ta>bu>t, Janna>tu ‗adn,
Jahannam dan sebagainya. Ia berargumen bahwa gagasan-gagasan tersebut
masuk ke dalam agama Islam secara langsung dari literatur Rabinik atau
dari Al-Kitab berbahasa Ibrani yang ditafsirkan oleh orang-orang Yahudi.
Metode yang digunakan adalah mengidentifikasi ayat al-Qur‘an yang
serupa dengan teks Injil dan literatur Rabinik; misalnya, orang Yahudi dan
Islam sama-sama bersembahyang dalam posisi berdiri, namun posisi lain
juga diperkenankan. Ia mencatat bahwa dalam dua agama itu, sembahyang
dalam kondisi mabuk dilarang secara tegas (berbeda dengan Yahudi, Islam
belakangan melarang orang meminum minuman memabukkan di semua
tempat dan waktu). Dalam agama Yahudi dan Islam, ritual bersuci
diwajibkan sebelum sembahyang, tapi jika tidak air, debu bisa digunakan
untuk bersuci, yang merupakan kemudahan bagi orang Yahudi dan Islam
yang berpergian di daerah kering. Geiger juga menyatakan bahwa dalam
beberapa kasus ada perbedaan, yakni Muhammad dengan sengaja
mengubah atau menyalahi ajaran Yahudi untuk menyesuaikannya dengan
konteks sejarah, budaya atau etika moralnya sendiri. Dalam kasus lain,
Muhammad tidak mengubah informasi yang ia terima dari informannya,
tapi komunitas Yahudi Madinah tidak memahami ajarannya sendiri
sehingga muncullah perdebatan tersebut. Akhirnya, dalam beberapa kasus
Muhammad keliru mencatat informasi yang ia terima, bisa jadi karena
kesalahan dalam memahami maknanya atau karena informasinya bersifat
verbal, bukan tulisan, sehingga kekeliruan yang terjadi lebih besar lagi.94
b. Theodere Noldeke
Teori pengaruh yang dikemukakan Geiger dikembangkan lagi oleh para
orientalis lainnya. Theodor Noldeke, seorang Pendeta Kristen berasal dari
93
Ibid hal 226
94
Ibid hal 227
1
Jerman memuji pemikiran Geiger. Noldeke menyatakan: Kita
menginginkan, misalnya, klasifikasi dan diskusi yang komprehensif
mengenai segala elemen Yahudi di dalam alQur‘an; permulaan untuk
menggalakkan itu telah dibuat oleh Geiger pada usia muda dalam essainya
―Apa yang telah dipinjam Muhammad dari Yahudi?
Dengan menjadikan Bibel sebagai tolok ukur untuk menilai al-Qur‘an,
Noldeke berpendapat bahwa al-Qur‘an merupakan hasil karangan Nabi
Muhammad. Noldeke menyatakan bahwa sumber utama wahyu yang
dibawa Muhammad bersumber dari kitab Yahudi. Semua ajaran-ajaran al-
Qur‘an, misalnya, kisah-kisah para Nabi yang disebutkan dalam al-Qur‘an,
bahkan aturan-aturan yang dibawa oleh Muhammad mulai dari surah yang
pertama secara jelas tiruan dari kitab Yahudi.Noldeke membandingkan,
menurutnya pengaruh dari ajaran yang ada dalam kitab injil terhadap al-
Qur‘an lebih sedikit. Untuk membuktikan risetnya, Noldeke memberikan
beberapa contoh tentang teori keterpengaruhan yang diambil oleh
Muhammad dari tradisi atau elemen Yahudi dan Kristen. Di antara contoh
yang dikemukakan Noldeke adalah sbb;
a. Kalimat ―La> ila>ha illa Alla>h‖. Kalimat Syahadat ini menurut
Noldeke diadopsi Muhammad dari kitab Samoel II. 32: 22,
Mazmur 18: 32.
b. Bacaan ―Basmalah‖ sebagai ayat yang terletak di bagian depan
surah. Menurut Noldeke, kalimat ini biasa diucapkan saat akan
melakukan perbuatan ibadah yang sudah dikenal dalam tradisi
Yahudi dan Kristen. Dari tradisi Yahudi inilah - tegas Noldeke -
Muhammad kemudian menirukan hal yang sama, terutama pada
saat ia di Madinah untuk naskah undang-undang Madinah dan
sebagainya.
c. Noldeke menyitir satu ayat yang dijadikannya sebagai bukti
bahwa al-Qur‘an diambil dari perjanjian lama, yaitu QS. al-
Anbiya>‘: 105 - yang artinya: ―Dan sungguh telah Kami tulis
di
11
dalam Za>bu>r 46 sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh,
bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.‖95
1. William Muir
William Muir termasuk pakar modern setelah Abraham Geiger, dan
Noldeke yang telah mempopulerkan gagasan tentang teori pengaruh secara
menyeluruh (Yahudi-Kristen). Gagasan Muir tentang persoalan ini banyak
memberikan pengaruh khususnya bagi perkembangan kesarjaan Barat
dalam menghasilkan karyakarya yang berhubungan dengannya. Hal itu
terjadi ketika tulisan Muir dalam sejumlah karyanya yang membahas
tentang teori pengaruh ini muncul di permukaan. Terbukti setelah itu
muncul karya Richard Bell‘s yang berjudul The Origin of Islam in its
Christian Environment; karya C.C. Torrey‘s yang berjudul The Jewish
Foundation of Islam dan karya A. I Katsh‘s yang berjudul Judaism in
Islam. Muir mengatakan bahwa Muhammad mengambil ajaran-ajaran
yang dibawanya dari Yahudi dan Kristen. Pengambilan itu terjadi, kata
Muir, melalui keterhubungannya dengan pengikut dari kedua agama
tersebut ketika di Mekkah, Madinah dan Ukaz. Terlebih lagi - lanjut Muir
- dalam kaitannya dengan kepergian Nabi dalam berdagang ke Syiria.
Bahkan, - masih menurut Muir - semasa kecilnya, Nabi pernah
mengatakan telah melihat tempat ibadah orang-orang Yahudi di Madinah,
―mendengar‖ ibadah mereka, serta belajar menghormati mereka
sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan.
2. John Wansbrough
John Wanbrough, seorang ahli tafsir terkemuka di London yang
terkenal sebagai pengkritik paling tajam terhadap kenabian Muhammad
dan al-Qur‘an. kenabian Muhammad dianggap sebagai tiruan dari
kenabian Nabi Musa As. yang dikembangkan secara teologis untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Al-Qur‘an, menurutnya bukan
merupakan sumber biografis Muhammad, melainkan sebagai konsep yang
disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian.
95
Ibid hal 228
11
Untuk memperjelas gagasannya tentang pengaruh yang dilakukan
Wansbrough, para pembaca bisa melihat paparannya karyanya yang
berjudul: Qur‘anic Studies: Source and Methods of Scriptual
Interpretation. Dalam karya tersebut, Wanbrough mengatakan bahwa
wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan
kepanjangan dari kitab Taurat. Untuk membuktikan hal itu Wansbrough
memberikan contoh tentang pengambilan term setan. Dia mengatakan:
…Qur‘anic adaption of the Judae-Christian Satan will not have been a
consequence merely of autonamasia, not yet of an attempt to sparate
prophet from poet (from both might be devinely inspirited) but rather of
the persuasion that all inspirations required an intermediary…
Menurutnya juga, isi-isi al-Qur‘an kemudian dinaikkan derajatnya
oleh umat Islam menjadi kitab suci yang bernilai mutlak. Dalam hal ini dia
mengatakan sebagai berikut:
Whatever body of prophetical wisdom might from time to time have
been regarded as supplementary to the contents of scripture it was with an
organized corpus of recognizable logia that mainstream of Islamic
theology was concerned and not with a source of connected wisdom for
the elect. Selain itu, berkenaan dengan pandangannya terhadap fenomena
isra>‘ mi‗ra>j, Wansbrough mengungkapkan bahwa informasi dalam al-
Qur‘an adalah tidak benar. QS. al-Isra>‘ [17]: 1, menunjukkan adanya
tambahan; ayat tersebut merupakan ayat yang menjelaskan perjalanan
malam Nabi Musa As. yang kemudian dimodifikasi oleh penulis al-Qur‘an
sehingga seolaholah Nabi Muhammad sendri yang melakukan perjalanan
malam tersebut.96
96
Muzayyin, Moch. ―Struktur logis „Al-Qur‟an Edisi Kritis‟” dalam
“Proceedings International Seminar „Living Phenomena of Arabic Language And Al-Qur‟an,‘‖
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 2014, hal 67
11
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nasir, Malki.2006. Orientalis dan Sitah Nabi Muhammad SAW: Sketsa
Awal Kerancuan Orientalis Dalam Kajian Islam.‖ ISLAMIA, Vol. III.
Ahmad Sarwat Lc, MA. 2013. Muhkam dan Mutasyabih. Jakarta Selatan: rumah
fiqih publishing
Al-‗Aini, Ahmad. Tt. 1987. Umdat al-Qari‘ Syarh Shahih al-Bukhari, jilid II,
Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Ghazali .1975. Ihya ‗Ulum al-Din, jilid I & V, Libanon: Dar al-Ma‘arif.
11
Al-Qardhawi, Yusuf 1989. Al-Rasul wa ‗l-Ilm, terjemahan Kamaluddin A.
Marxuki, Bandung: Rasda.
Al-Suyuthi, Jalaluddin .1979. Al-Itqan fi ‗Ulum al-Qur‘an, Juz I, Beirut: Dar al-
Fikr.
Chirjin, Muhammad. 1989. al Qur'an dan Ulumul Qur'an Yogyakarta: Dana Bakti
Prima Yasa.
12
Hanafi, A. 1983. Segi-segi Kesusasteraan Pada kisah-kisah Al Quran. Jakarta:
Pustaka al Husna
Irpina dkk. 2022. Jam‟ul Qur‟an Masa Nabi Muhammad SAW dalam Jurnal Ilmu
Al-Qur‟an dan Hadis, vol. 2, no. 1
Jalal ad-Din as-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Dar al-Fikr, Beirut,tt, Jilid I.
Manna Khalil al-Qathan. 1994. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: Litera Antar
Nusa
12
Manna khalli al-qattan, 2004, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur‟an (terjemahan dari
mubahits fiulumil qur‟an, Jakarta: Pustaka Litera Antar Musa
Mannā` bin Khalīl al- Qaththān. (2000M). Mabāhits fī `Ulūm al- Qur`ān. Riyādh:
Maktabah al Ma`ārif li al- Nasyr wa al Tawzī'. Jilid. 1
Mannaul Quthan. 1995. Pembahasan Ilmu Al-Quran II. Jakarta: Rineka Cipta
Marzuki, Muzakkir Muhammad Arif Ahmad. 2020. ―Analisis Sejarah Jam‟u Al-
Muhammad Amin Suma. 2013. Ulumul Quran. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Munawir, Fajrul dkk. 2005. Al-Quran. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga.
12
Prof. Dr. H. AmroeniDrajat, M.Ag, 2017. Ulumul Qur‘an pengantar ilmu-ilmu
Al-Qur‘an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sofiah Shamsuddin. 2006M. Al- Madkhal ilā Dirāsah `Ulūm al- Qur'ān. Cet. I.
Malaysia: Markaz al- Buhūts al- Jāmi`ah al Islamiyyah al- `Ālamiyyah bi
Mālīziā.
Yunus Hasan Abidu. 2007. Tafsir Al-Quran; Sejarah Tafsir dan Metode Para
Mufasir. Jakarta: Gaya Media Pratama
Zuhdi Achmad, dkk. 2017. Studi Al-Quran. Surabaya: UINSA Press. Cet. 7
12