i
ii
Ramli, S.Ag., M.H
USHUL FIQH
iii
Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT)
USHUL FIQH
ISBN : 978-623-95325-5-6
Penulis:
Ramli
Layout/Setting:
Tim Citra Kreasi Utama
Desain Sampul:
Tim Citra Kreasi Utama
Penerbit:
Nuta Media
Jln. P. Romo. No. 19 Kotagede/ Jln. Nyi Wiji Adhisoro,
Prenggan, Yogyakarta
Bekerjasama dengan
CV. Citra Kreasi Utama
Jln. Tgk. Imuem Lueng Bata. No. 3
iv
KATA PENGANTAR
n
Puji Syukur saya sampaikan Kehadirat Allah Swt atas segala rahmat dan
Nikmat-Nya saya senantiasa diberi kekuatan dan kesehatan untuk menyelesaikan
penyusunan buku ini. Selawat berserta salam semoga selalu tercurahkan kepada
junjungan kita penghulu alam baginda Rasulullah Nabi Besar Muhammad Saw beserta
keluarga dan sahabat beliau sekalian, dengan perjuangannya yang gigih mengantarkan
kita umatnya dari zanman jahiliah kezaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan,
selalu kita nantikan syafa’at-Nya di hari kiamat nanti.
Saya menyadari dalam penyusunan buku ini masih banyak kekurangan baik
secara teknis maupun isi muatan buku ini sendiri dalam penyusunannya, buku ini
semaksimal mungkin saya upayakan berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak
sengga saya dapat memperlancarkan daalam penyusunannya, untuk itu saya tidak lupa
juga mengucapkan banyak terimakasih atas semua pihak yang telah mendukung saya
sehingga dapat menyelesaikan buku ini.
Buku ini saya beri judul “USHUL FIQH”, saya mengharapkan kepada
pembaca agar dapat mengambil inti sari dari isi buku ini, semoga bermanfa’at dan bisa
menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang baik serta diamalkan agar menjadi ilmu
pengetahuan untuk dari sendiri dan bisa diberikan kepada orang lain, semoga dengan
diberikan kepada orang lain dengan ikhlas kerena Allah Swt agar Allah Swt
menjadikan sebuah amal baik dan dengan amal baik itu menjadi teman di alam barzah
nanti.
Buku ini insya Allah akan memberikan banyak manfa’at bagi pembabaca
khususnya mahasiswa dan mahasiswi agar menambah pengetahuan dan pengalaman
yang baik. Bagi pembaca yang budiman saya dengan lapang dada selalu menerima
kritikan dan saran-saran yang baik demi kesempurnaan buku ini untuk masa-masa
yang akan datang, karena saya keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, saya
yakin masih banyak kekurangan dalam buku ini. Dan buku ini semoga mbermanfa’at
v
buat penyusun sendiri maupun kepada kaum muslimin sekalian.Aaaminnn yarabbal
‘alamin.
vi
DAFTAR ISI
vii
BAB VI IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM ........................................ 71
A. Pengertian Ijma’ ................................................................................. 71
B. Kehujjatan Ujma’ ............................................................................... 71
C. Sandaran Ijma’ ................................................................................... 72
D. Pembagian Ijma’ ................................................................................ 72
viii
C. “Am dan Khusus ................................................................................ 131
D. Al-Musytarak ..................................................................................... 134
E. Al-Muuawwal ..................................................................................... 135
ix
D. Macam-macam Qaidah Fiqhiyyad ..................................................... 225
E. Perbedaan Qaidul Fiqhiyyad dengan Dhabith .................................... 227
x
BAB XXVI LAFADZ ‘AM DAM KHAS .................................................... 323
A. Pengertian Lafadz ‘Am ...................................................................... 323
B. Macam-macam Lafdz ‘Am ................................................................ 324
C. Pengertian Lafadz Khas ..................................................................... 330
D. Macam-macam Lafadz Khas .............................................................. 331
E. Dallah Lafadz Khas ............................................................................ 334
F. Lafadz Jama’ Munakkan .................................................................... 335
G. Lafadz Musytarak ............................................................................... 337
xi
xii
BAB I
USHUL FIQH
Kata Ushul Fiqh merupakan gabungan dari dua kata, yakni Ushul
berarti pokok, dasar, pondasi. Yang kedua adalah Fiqh yang berarti
paham yang mendalam. Kata Ushul yang merupakan jama’ dari kata
Ashal. Secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang
lainnya. Arti etimologi ini tidak jauh definitive dari kata ashal tersebut
karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan
fiqh.1
Sebagai nama dari suatu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat, para
ulama mengungkapkan definisi ini dalam berbagai pengertian. Menurut
Muhammad al-Khudlary Beik, Ushul Fiqhadalah : “kaidah-kaidah yang
dengannya di istinbath-kan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil
tertentu”.3
1
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, cet.1 (Jogjakarta: Ar_Ruzz Media,
2011) hal. 23.
2
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (sebuah pengantar), cet. 3 (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 2
3
Muhammad al-Khudlary Beik, Ushul Fiqh, (Mesir: Darul Fikri, 1969), hal.
12.dikutip oleh Alaidin Koto, op.cit. hal. 3
1
yang dikatakan sebagai larangan adalah menandakan sebuah
keharaman, dan suatu yang dikatakan sebagai perbuatan Nabi
Muhammad Saw,Ijma(konsensus para ulama), dan Qiyas(analogi) adalah
sebuah Hujjah (argumentasi)”.4
4
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah Fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th), hal. 6
5
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarata: Al-Majlis al-a’la ai-Indonesia li
al-Dakwah al-Islamiyah, 1972) hal. 11
6
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Mesir: Darul Fikri al-Arabyu, 1958), dikutip oleh Alaidin
Koto, op.cit.hal. 4
7
Suyatno, op.cit. hal. 23
2
ushul Fiqh merupakan metodologi penetapan hukum-hukum yang
berdasarkan pada dalil-dalil ijmali tersebut yang bermuara pada dalil
syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriterianya dan macam-macamnya.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan dari ilmu ushul Fiqh adalah
menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang
rinci untuk menghasilkan hukuk syara’ yang ditunjuki dalil itu. Jadi,
berdasarkan kaidah-kaidahnya dan bahasan-bahasannya maka nash-
nash syara’ dapat dipahami dan hukum yang menjadi dalalahnya dapat
diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan kesamaran lafadz
yang samar dapat diketahui. Selain itu juga diketahui juga dalil-dalil yang
dimenangkan ketika terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil
yang lainnya.9
8
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, cet. VI (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996). hal. 6
9
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 5-6.
3
peristiwa-peristiwa atau tindakan yang secara pasti tidak ditemui
nashnya, yaitu denganjalan Qiyas istishab, dan lain sebagainya.
Ushul fiqh juga sangat penting bagi umat Islam, karena disatu
pihak pertumbuhan nash telah terhenti sejak meninggalnya Nabi Saw,
sementara dipihak lain, akibat kemajuan sains dan teknologi,
permasalahan yang mereka hadapi kian hari kian bertambah. Kehadiran
sains dan teknologi tidak hanya dapat membantu dan
10
Alaiddin Koto. Op.cit. hal. 11
4
membuatkehidupan manusia menjadi mudah, tetapi juga membawa
masalah-masalah baru yang memerlukan penanganan serius oleh para
ahli dengan berbagai bidangnya. Penggunaan produk-produk teknologi
maju itu, atau pergeseran nilai-nilai social sebagai akibat modernisasi,
langsung atau tidak langsung telah pula membawa pengaruh yang cukup
berarti terhadap praktik-praktik keagamaan (Islam). Hal ini antara lain
terlihat disekitar perkawinan, warisan dan bahkan ibadah sekalipun.
Sebagai contoh dalam permasalahan pernikahan misalnya, ditemui
kasus-kasus baru seperti akad nikah lewat telepon, penggunaan alat-alat
kontrasepsi KB, harta pencarian bersama suami istri dan lain sebagainya
secara tekstual tidak ditemui jawabannya dalam Al-Kitab As-Sunnah,
apakah hal ini berartiIslam tidak mau bicara mengenai hal tersebut
sehingga masalah ini tidak masuk dalam permasalahan hukum Islam?
Disinilah peran ulama ahli hukum Islam dan para intelektualnya agar
supaya mereka mampu merepresentasikan Islam untuk semua bidang
kehidupan manusia, mereka dituntut untuk mencari kepastian itu
dengan mengkaji dan meneliti nilai-nilai yang terkandung dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah secara cermat dan intens dengan alat yang
digunakan yakni Ushul Fiqh. Yang juga perlu dipahami bersama adalah
bahwa ilmu Ushul Fiqh tidak hanya berguna bagi para Mujtahid atau ahli
hukum saja, akan tetapi bagi semua orang Islam untuk mencari
kepastian hukum bagi setiap masalah yang mereka hadapi sekalipun
tidak sampai ketingkat Mujtahid mereka akan beramal sebagai muttabi’,
mengikuti pendapat para ahli dengan mengetahui dalil dan alas an-
alasannya.11
11
Ade Dedi Rohayana,Ilmu Ushul fiqih (Pekalongan:STAIN Press,2006), hal.10
5
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa fiqh adalah ilmu yang
berbicara tentang hukum-hukum praktis yang penetapannya
diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya
yang terperinci (tafshili) dalam nash.
12
Ibid, Hal. 11
13
Alaiddin Koto, op.cit. hal 4-5
6
Menurut Abdul Wahab Kallaf didefinisikan Ushul Fiqh adalah
ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan
sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
dari dalil-dalilnya yang terperinci, maka dapat di lihat perbedaan antara
ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh. Kalau ilmu fiqh berbicara tentang
hukum dari suatu perbuatan, maka ilmu ushul fiqh berbicara tentang
metode dan proses bagaimanamenemukan hukum itu sendiri.
Kesimpulan
14
Alaiddin Koto, op.cit. hal 6
7
bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut dan lain-
lain.
Perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh adalah kalau
ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, sedangkan
ilmu ushul fiqh berbicara tentang metode dan proses
bagaimanamenemukan hukum itu sendiri.
8
BAB II
1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan yaitu. Ushul Fiqh Masa Rasulullah Saw.
Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini
daerah kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang yang
bukan arab memeluk agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan
kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan
kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka
lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi penuntun dalam memahami
nash.15
15
A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh ( Bandung : Pustaka Setia, 2006 ), hal. 45-46
16
Muhammad Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf
al-Fuqaha ( Beirut : Muassassah al-Risalah, 1994 ), hal. 122-123
9
Rasulullah Saw. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa
dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah
prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan
lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh..
17
Thaha Jabir Alwani, Methodology in islamic jurisprudence ( Virginia :IIIT, 1994),
hal. 19
10
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk
pemecahan hukum, para sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan
istishlah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak
ditemukan secara tertulus dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.18
18
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh ( Jakarta : Pranada Media ), hal. 17
19
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, hal. 17-18
11
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para
ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama
dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada
itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah memiliki
tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al
madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah
dihasilkan oleh generasi sahabat.
12
Oleh karena itu, Imam Malik pernah berkirim surat kepada Imam
al-Laits, imam orang Mesir, yang isinya mengajak Imam Laits untuk
mempergunakan amalan orang Madinah. Akan tetapi tawaran tersebut
ditolak oleh Imam Laits karena ia lebih setuju mengutamakan hadits,
meskipun hadits itu ahad.
13
malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu; Ijma’ Ahlul Madinah
(kesepakatan penduduk madinah).21
1. Aliran Mutakallimin.
21
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh ( Jakarta : Logos, 1996 ), hal. 10
14
c. Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah
dibuatnya dengan menggunakan berbagai macam dalil, tanpa
menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab
atau melemahkannya.22
1) Analisis kasus-kasus.
d) Al-Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar al- Razi al-
Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini diringkas oleh dua orang dengan
judul:
22
Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh ( Jombang : Darul Hikmah, 2008 ),
hal. 39
15
f) Al- Tahsil oleh Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawi (w. 672
H).23
2. Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut
oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena
dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada
pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para
muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
3. Aliran Gabungan
23
Masykur Anhari, Ushul Fiqh ( Surabaya : Diantama, 2008 ), hal. 10
24
Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh ( Jakarta : Amzah, 2011 ), hal. 8
16
dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij al-
Furu’ ‘ala al-Ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang
secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala al-
Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya
al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang
mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar,
seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-
Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam
Maqashid al-Syariah.25
Kesimpulan.
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut
oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena
dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada
pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para
muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
25
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, hal. 25
17
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan
kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan
ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam
realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-
imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi
sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.
18
BAB III
A. Pengertian Hukum
1 Definisi Hukum.
26
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 295
19
2) Obyek hukum Islam adalah perilaku perbuatan yang
sasarannya bukan pada benda atau dzat. Sedang sifat hukum
hanya dikenal dalam ranah perbuatan dan tidak dapat
diterapkan pada benda atau dzat.
27
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, Cet I , hal.142
20
c) Imperatif (Iqtidha) maksudnya adalah tuntutan untuk
melakukan sesuatu,yakni memerintah atau tuntutan untuk
meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu memaksa
maupun tidak.
B. Macam-macam Hukum.
1. Hukum Taklifi.
Prof. DR. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh,
beliau mendefinisikan bahwa hukum taklifiy adalah hukum yang
menghendaki untuk dikerjakan oleh mukallaf, baik berupa larangan
mengerjakan, atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.30
28
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 295-296
29
Muhammad Ma’shum Zain, hal. 172
30
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, Cet I , hal.144
21
َ ب َعلَى ٱﻟَّ ِذ
ۡين ِمن ﻗَ ۡبلِ ُكم َ ِصﻴَﺎ ُم َك َمﺎ ُكﺘ
ِّ ب َعلَ ۡﻴ ُك ُم ٱﻟ
َ ِﻮﺍ ُكﺘ َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
ْ ُين َءﺍ َمن
َ ُﻟَ َعلَّ ُكمۡ ﺗَﺘَّق
ﻮن
Artinya. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
1) Ijab (Wajib).
31
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, Cet I , hal.146
22
Ijab yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melakukan sesuatu
dan tidak boleh ditinggalkan.Orang yang meninggalkannya dikenakan
sanksi. Contoh dalam surat An-Nur : 56
ْ ُصلَﻮةَ َو َءﺍﺗ
َﻮﺍ ٱﻟ َّز َكﻮة ْ َوأَﻗِﻴ ُم
َّ ﻮﺍ ٱﻟ
Artinya. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat......…”(QS.
An-Nur ; 56)
a) Al-Wajib al-‘Aini.
32
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 298
23
Wajib ‘ain bersifat individual, tanpa membedakan antara satu
mukallaf dengan mukallaf yang lainnya. Wajib ain harus dilaksanakan
secara sendiri, tidak boleh gugur hanya karena sudah dikerjakan oleh
mukallaf yang lain. Misalnya kewajiban shalat, sebagai mana dijelaskan
dalam QS.Al-‘Ankabut:45,
b) Al-Wajib al-Kafa’i.
a) Al-Wajib al-Muthlaq.
24
Wajib muthlaq ialah Sesuatu yang dituntut syar’i untuk
dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Dengan kata
lain, waktu pelaksanannkewajiban ini dapat ditangguh dan dilaksanakan
kapan saja seorang merasa mampu. Misalanya membayar kafarah
sumpah, meng-qhada’ puasa Ramadhan karena ‘uzur, seorang dapat
melaksanakan kapan saja pada waktu yang dianggapanya lapang,
sebagaimana pendapat imam Hanafi.
b) Al-Wajib al-Mu’aqqat.
33
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, hal 48
25
dilakukan perbuatan yang sejenis. Misalnya, waktu pelaksanaan puasa
Ramadhan.
34
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 304
26
dikerjakan pada waktu yang lain. Mengerjakan amalan-amalan yang
tidak pada waktunya disebut qadha’. 35
35
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 305
27
ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu. Misalnya,
kewajiban memberi nafkah kepada kerabat/keluarga dan
penentuan hukuman dalam tidak pidana diluar hudud dan
qishash yang diserahkan kepada para qadhi (hakim).
b. Nadb (Sunat)
36
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 298
28
3) Mandub Zaidah (sunnah tambahan). Mandub Zaidah (sunnah
tambahan adalah sesuatu yang dikerjakan Rasulullah Saw
berupa hal-hal biasa yang bersifat akhlak/sifat qudrat
manusia. Seperti etika makan, minum, tidur, memakai pakaian
dan sebagainya.37
c. Ibahah (Mubah).
37
Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.162
38
Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.167
29
menjadi wajib apabila dilihat dari keseluruhan atau
kepentingan umat secara keseluruhan. Misalnya makan,
minum dan berpakaian.
d. Karahah (Makruh).
39
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 311
40
Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.165
30
Menurut Kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua
macam:
e. Tahrim ( Haram).
ُٱَّلل ِۗ َّ َّﺎرﻗَةُ فَ ۡٱﻗطَع َُٰٓﻮ ْﺍ أَ ۡي ِديَهُ َمﺎ َج َز َٰٓﺍ َۢ َء بِ َمﺎ َك َسبَﺎ نَ َك اٗل ِّم َن
َّ ٱَّللِ َو ِ ق َوٱﻟس ُ َّﺎر
ِ َوٱﻟس
ﻴمٞ َع ِزي ٌز َح ِك
Artinya.“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
41
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 309
31
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (Q.S. al Mai’dah : 38)42
Para ulama ushul fiqh, antara lain Abdul Karim Zaidan, membagi
haram kepada beberapa macam, yaitu:
42
Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.163
32
Jual beli bilamana dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan,
tetapi ada larangan melakukannya pada waktu azan Jumat karena akan
melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah.43
C. Hukum Wadh’i.
1. Sebab
Contoh:
ﻮﺍ ُوجُﻮهَ ُكمۡ َوأَ ۡي ِديَ ُكمۡ إِﻟَى ْ ُٱغ ِسل ۡ َصلَﻮ ِة ف َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
َّ ين َءﺍ َمنُ َٰٓﻮ ْﺍ إِ َذﺍ ﻗُمۡ ﺘُمۡ إِﻟَى ٱﻟ
وس ُكمۡ َوأَ ۡر ُجلَ ُكمۡ إِﻟَى ۡٱﻟ َك ۡعبَ ۡﻴ َۚ ِن ْ ق َوٱمۡ َسح
ِ ُﻮﺍ بِ ُﺮ ُء ِ ِٱﻟ َم َﺮﺍف
ۡ
Artinya. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki, (QS. Al-Maidah: 6)
43
M. Satria Effendi, M.Zein. Hal 55.
44
Abdul Wahab Khalaf, hal. 197
33
Macam-macam.
2. Syarat.
45
Syafi’I Karim, hal. 107 Diakses melalui
http://badriegen.blogspot.com/2012/10/hukum-hukum-syariat_3165.htm
46
Khallaf, ilmu ushul fiqih, hal.173
34
satu nishab, sebagai syarat wajib zakat dikeluarkan. Dalam
kasus ini tidak diperintahkan untuk memenuhi
persyaratannya dan juga tidak dilarang.47
3. Mani’
47
Muhammad Ma’shum Zain, hal. 191,
48
Muhammad Ma’shum Zain, hal. 191,
49
Syafi’I Karim, hal. 117
35
mendapat bagian harta warisan, sekalipun sebabnya ada, yaitu keluarga
kandung.50
Macam-macam Mani’
50
Muhammad Ma’shum Zain, hal. 191,
51
Syafi’i Karim, hal. 119
52
Muhammad Ma’shum Zain, hal. 193.
36
5. Rukhsah.
53
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Op.cit.,h. 322.
54
Teuku Muhammad Hasby Ash-Shidieqy, op.cit., h. 479.
37
Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa : hukum
menjalankan rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan
rukhshah, tidak wajib menjalankannya. Demikianlah hal menjalankan
hukum rukhshah, bila diingat, bahwa hukum rukhshah, hukum yang
hanya dibolehkan.
ُ ۡ فَ َم ِن
ٖ َٱﺿط َّﺮ َغ ۡﻴ َﺮ ب
َٰٓ َ َﺎغ َو ََل َع ٖﺎد ف
ٗل
Artinya“. . .maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. …” (QS. Al Baqarah : 173)
55
Teuku Muhammad Hasby Ash-Shidieqy, op.cit., h. 479.
38
diberikan kepada orang mukallaf dalam melakukan perintah dan
menjauhi larangan.
Macam-macam Ruksah :
a. Rukhsah Memperbuat.
b. Rukhshah meninggalkan.
39
َ ة ِّم ۡن أَي ٍَّﺎم أُ َخ َۚ َﺮ َو َعلَى ٱﻟَّ ِذٞ ﺎن ِمن ُكم َّم ِﺮيﻀًﺎ أَ ۡو َعلَى َسفَ ٖﺮ فَ ِع َّد
ين َ فَ َمن َك
َٖۖ ة طَ َعﺎ ُم ِم ۡس ِكٞ َي ُِطﻴقُﻮنَ ۥهُ فِ ۡدي
ﻴن
Artinya. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
40
4) Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan
kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur dalam waktu
ashar pada jama’ ta’khir karena dalam perjalanan.
Menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu
sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam
perjalanan.
5. Sah
56
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 32
57
Muhammad Ma’shum Zain, hal. 197.
58
Ibid. hal.198
41
Sebaliknya jika perbuatan yang dituntut tersebut dilakukan
dengan tidak memenuhi persyaratan dan rukunnya, bahkan
bertentangan dengan aturan syara’, maka tuntutan tersebut tetap
menjadi tanggung jawabnya dan pelakunya dituntut hukuman, baik di
dunia maupun di akhirat kelak.59
6. Bathil.
59
Khalaf, hal. 214
60
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, Cet IV hal. 314
42
D. Hakim.
ﻴن
َ ِصل َّ َۖ َّللِ يَقُصُّ ۡٱﻟ َح
ِ َق َوهُ َﻮ َخ ۡﻴ ُﺮ ۡٱﻟف َۖ َّ ِ إِ ِن ۡٱﻟح ُۡك ُم إِ ََّل
Artinya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling
baik. (QS. Al-An’am: 57)
Secara hakikat hakim adalah Allah swt. Semata, tidak ada yang
lain. Para utusan Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan
hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak menciptakan atau
menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar
menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum
syariat, sekalipun secara adat mereka juga terkadang disebut hakim.61
61
Abdullah bin Yusuf al-Judai’, Taysiir ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah ar-
Rayyan, 1997.), hlm. 71.
43
1. Mazhab Asy’ariyah, pengikut Abu Hasan al-Asy’ari yang
menyatakan bahwa akal dengan sendirinya tidak akan mampu
mengetahui hukum-hukum allah tanpa mediasi para rasul dan
kitab-kitabnya. Kelompok ini berargumen bahwa yang disebut
dengan kebaikan adalah sesuatu yang telah ditunjukkan oleh
syari’ bahwa hal itu memang baik. Sementara kejelekan
adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh syari’ bahwa hal itu
memang jelek. Kebaikan dan keburukan tidak dapat
ditentukan oleh penalaran akal semata.
E. Mahkum Fih.
44
manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini
tidak lain adalah sebagai bentuk uji coba/ ibtila’ dari Allah kepada para
hambanya supaya dapat diketahui mana hamba yang benar-benar taat
dan mana hamba yang maksiat kepadaNya.
62
Abdul Wahab khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 199.
45
sendiri atau dengan cara bertanya pada ahlinya, maka ia telah
dianggap sebagai orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan
kepadanya.
63
Abdul Wahab khollaf, Opcit., hlm. 129.
46
tersendiri, ibarat dokter mengobati pasien dengan pil pahit
untuk kesembuhan/ kebaikan pasien.
F. Mahkum ‘Alaih.
64
Muhammad Sulaiman abdullah, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, (t.tp., Dar as-Salam,
2004), hlm. 72
47
Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah
perbuatan hukum yang sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua
persyaratan, yaitu:
48
orang yang tidak berakal adalah mustahil, layaknya batu padat
dan hewan.65
65
Wahba az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t), 2011 Juz I, hlm.
137.
66
Abdul Wahab khollaf, Opcit., hlm. 137.
49
Kesimpulan.
2. Secara hakikat hakim adalah Allah Swt. Semata, tidak ada yang
lain. Para utusan Allah hanya sekedar menyampaikan risalah
dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak menciptakan
atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma
sekedar menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan
pencipta hukum syariat, sekalipun secara adat mereka juga
terkadang disebut hakim.
50
BAB IV
A. Pengertian Al-Qur’an.
67
Moh.Rifa’I. Ilmu Fiqh Islam Lengkap.PT.Karya Toha Putra. Semarang. 1978.
Hal.17
51
3. Janji dan ancaman ; Al-Qur’an menjanjikan pahala bagi orang
yang mau menerima dan mengamalkan isi Al-Qur’an dan
mengancam mereka yang mengingkari dengan siksa.
52
Artinya : “Dan inilah sebuah kitab yang Kami turunkan yang
diberkahi, sebab itu ikutilah dia dan bertawakkallah agar kamu diberi
rahmat”. (S. Al-An’am, ayat 155).
1. Tidak memberatkan.
2. Berangsur-angsur.
53
Berangsur-angsur ; Al-Qur’an telah membuat hukum-hukum
dengan berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman
keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah :
54
Demikianlah Allah membuat larangan secara berangsur-angsur
dan sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur
pula, misalnya pengumuman dasar peperangan dan jihad di masa
permulaan Islam di kota Madinah. Misalnya firman Allah :
ۡ ۡ
ِ َۚ ﻮن ﻟَ َٰٓۥهُ أَ ۡس َﺮى َحﺘَّى يُث ِﺨ َن فِي ٱۡلَ ۡر
َ ض ﺗُ ِﺮي ُد
ون َ ﺎن ﻟِنَبِ ٍّي أَن يَ ُك َ َمﺎ َك
َّ ٱۡل ِخ َﺮ ِۗةَ َو
ﻴمٞ ٱَّللُ َع ِزي ٌز َح ِك َٰٓ ۡ ٱَّللُ ي ُِﺮي ُد
َّ ض ٱﻟ ُّد ۡنﻴَﺎ َوَ َع َﺮ
Artinya : “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan
(untuk ditebus) sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka
bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat” Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (S. Al-Anfal, ayat 67).
55
Tentang Ghanimah pembagiannya diatur sebagaimana firman
Allah :
ٱعلَ ُم َٰٓﻮ ْﺍ أَنَّ َمﺎ َغنِمۡ ﺘُم ِّمن َش ۡي ٖء فَأ َ َّن ِ ََّّللِ ُخ ُم َس ۥهُ َوﻟِل َّﺮسُﻮ ِل َوﻟِ ِذي ۡٱﻟقُ ۡﺮبَى
ۡ َو
ِ َو ۡٱﻟﻴَﺘَ َمى َو ۡٱﻟ َم َس ِك
ِ ِﻴن َو ۡٱب ِن ٱﻟ َّسب
ﻴل
Artinya : “ Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu
peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim piatu, orang-orang miskin
dan ibnussabil”. (S. Al-Anfal, ayat 41). 68
56
Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun karena ada pertanyaan antara lain
terdapat pada ayat-ayat yang didahuluinya oleh lafadh “yas-aluunaka
mereka bertanya kepadamu”. Dan ayat-ayat semacamnya ini banyak
sekali. Misalnya :
وح ﻗُ ِل ٱﻟﺮُّ و ُح ِم ۡن أَمۡ ِﺮ َربِّي َو َمﺎَٰٓ أُوﺗِﻴﺘُم ِّم َن َ َسَٔٔ ﻟُﻮن
ِ َۖ ُّك َع ِن ٱﻟﺮ ۡ ََوي
ۡٱﻟ ِع ۡل ِم إِ ََّل ﻗَلِ اﻴٗل
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah :
Ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi ilmu,
melainkan sedikit”. (S. Al-Isra’, ayat 85).
57
Maka turunlah ayat sebagai berikut:
ﺮ ِّمن ُّم ۡش ِﺮ َك ٖة َوﻟَ ۡﻮٞ ة ُّم ۡؤ ِمنَةٌ َخ ۡﻴٞ ت َحﺘَّى ي ُۡؤ ِم َۚ َّن َو َۡلَ َم ِ ُﻮﺍ ۡٱﻟ ُم ۡش ِﺮ َك ْ َو ََل ﺗَن ِكح
ْ َۚ ُﻴن َحﺘَّى ي ُۡؤ ِمن
ﺮ ِّمنٞ د ُّم ۡؤ ِم ٌن َخ ۡﻴٞ ﻮﺍ َوﻟَ َع ۡب َ ُﻮﺍ ۡٱﻟ ُم ۡش ِﺮ ِك
ْ أَ ۡع َجبَ ۡﺘ ُكمِۡۗ َو ََل ﺗُن ِكح
ُِّۗۡم ۡش ِﺮ ٖك َوﻟَ ۡﻮ أَ ۡع َجبَ ُكم
Artinya : “ Janganlah kamu kawini perempuan musyrik hingga
mereka beriman, sesungguhnya hamba sahaya perempuan yang sudah
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik walaupun perempuan
musyrik itu menarik hati. Dan janganlah kamu mengawinkan seorang
musyrik dengan anak-anak perempuan hingga orang musyrik itu
beriman, sesungguhnya hamba sahaya laki-laki yang telah beriman itu
lebih baik daripada orang musyrik, walaupun orang musyrik itu menarik
hatimu”. (S. Al-Baqarah, ayat 221).
58
Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas, misalnya :
ْ َُو َءﺍﺗ
َﻮﺍ ٱﻟ َّز َكﻮة
Artinya : “ Dan keluarkanlah olehmu zakat”. (S. Al-Baqarah, ayat
43).
69
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal. 4-
7.
59
60
BAB V
A. Pengertian Sunnah.
B. Pembagian Sunnah
61
atau dilarangnya, maka yang demikian dinamai sunnah
ketetapan Nabi (taqrir).70
70
Moh. Rifa.I. Ilmu Fiqih Islam Lengkap.Karya Toha Putra. Semarang.1978. hal.27
62
)ْت ْﺍﻟقُﺮْ ﺍ َن َو ِم ْثلَهُ َم َعهُ (روﺍه ﺍبﻮ دﺍود وﺍﻟﺘﺮمذى
ُ ﺍََلَ َوﺍِنِّ ْى ﺍُ ْوﺗِﻴ
Artinya : “Ingatlah bahwasanya saya sudah diberi Qur’an dan
disertai dengan yang sebangsanya (sunnah) itu”. (HR. Abu Daud dan At-
Turmudzi).
ْ َۚ َو َمﺎَٰٓ َءﺍﺗَى ُك ُم ٱﻟ َّﺮسُﻮ ُل فَ ُﺨ ُذوهُ َو َمﺎ نَهَى ُكمۡ َع ۡنهُ فَٱنﺘَه
ُﻮﺍ
Artinya : “Apa saja yang dibawa oleh Rasulullah Saw kepadam
ambilllah, dan hentikanlah atau tinggalkan apa yang dilarangnya
bagimu”. (S. A-Hasyr, ayat 7).
D. Sunnah Qauliyah.
71
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal. 9
63
hidup dan mati dapat berkumpul, atau khabar yang
bertentangan dengan ketentuan syari’at, seperti mengakui
menjadi Rasul yang tidak ada kenyataan mu’jizat.
1. Pembagian Khabar.
Khabar itu jika ditinjau dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau
sedikitnya orang yang meriwayatkan, dapat dibagi menjadi dua : Khabar
Mutawatir, dan Khabar Ahad.
2. Khabar Mutawatir.
64
1) Mereka yang memberitahukan itu benar mengetahui
kenyataan dengan cara melihat atau mendengar sendiri.
1) Mutawatir lafdhi.
2) Mutawatir ma’nawi.
ْ
ِ َّب َعلَى ُمﺘَ َع ِّمدًﺍ فَ ْلﻴَﺘَبَ َّﻮأ َم ْق َع َدهُ ِم َن ﺍﻟن
) ﺎر (مﺘفﻮ علﻴه َ َم ْن َك َذ
Artinya : “Barangsiapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”.
Keterangan
Saw
65
ْ
ِ َّى َمﺎﻟَ ْم ﺍَﻗُلْ فَ ْلﻴَﺘَبَ َّﻮأ َم ْق َع َدهُ ِم َن ﺍﻟن
(روﺍه ﺍبن مﺎجه.ﺎر َّ َ) َم ْن ﺗَقَ َّﻮ َل َعل
Artinya : “Barangsiapa mengada-adakan omongan atas namaku tentang
sesuatu yang belum pernah kukatakan, maka hendaklah ia mengambil
tampat duduknya dari neraka”. (Ibnu Majah)
ْ
ِ َّى َمﺎﻟَ ْم ﺍَﻗُلْ فَ ْلﻴَﺘَبَ َّﻮأ َم ْق َع َدهُ ِم َن ﺍﻟن
(روﺍه ﺍﻟحﺎكم.ﺎر َّ َﺎل َعل
َ َ) َم ْن ﻗ
Artinya : “ Barangsiapa berkata atas namaku sesuatu yang belum
pernah kukatakan, maka hendaklah ia mengambil tempat dudukannya
dari neraka “. (Al-Hakim )
66
4) Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat-sahabat shalat
maghrib tiga raka’at diketahui oleh Nabi Saw.
3. Khabar Ahad.
67
d) Keadaanya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli hadits.
E. Sunnah Fi’liyah
72
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal. 9-
11.
68
4. Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal,
seperti : shalatnya, hajjinya, yang kedua-duanya menjelaskan
sabdanya :
F. Sunnah Taqririyah.
69
Syarat sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar-
benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafik.
Contoh taqrir antara lain sebagai berikut :
G. Sunnah Hammiyah.
73
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal. 12-
13.
70
BAB VI
A. Pengertian Ijma’
صلَّى هللاُ َعلَ ْﻴ ِه َو َسلَّ َم بَ ْع َد َوفَﺎﺗِ ِه فِ ْى َعصْ ٍﺮ َ ق ُمجْ ﺘَ ِه ِدىْ ﺍُ َّم ِة ُم َح َّم ٍد
ُ ﺍِﺗِّفَﺎ
ﺎر َعلى ﺍَ ْم ٍﺮ ِم َن ْﺍَلُ ُم ْﻮ ِر ٍ ص َ ِم َن ْﺍَلَ ْع
“Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Muhammad, sesudah
wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum)”.
B. Kehujjahan ijma’.
Menurut Al-Qur’an :
71
Artinya : “ Wahai orang-orang beriman, patuhilah akan Allah,
patuhilah akan Rasul, dan patuhilah orang-orang yang memerintah
diantara kamu”.(S. An-Nisa’, Ayat 59).
Menurut hadits :
C. Sandaran ijma’
D. Pembagian ijma’
74
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal.
13-14.
72
Sebagian Ulama berpendapat, bahwa sesuatu penetapan, jika
yang menetapkan hakim yang berkuasa, dan didiamkan oleh para Ulama,
belum dapat dijadikan hujjah. Tetapi sesuatu pendapat yang ditetapkan
oleh seorang Faqih, lalu didiamkan para Ulama yang lain, maka dapat
dipandang ijma’.
Tambahan
2) Zaman sesudahnya.
73
Kalau sampai zaman tabi’in saja, sudah sukar akan terjadi ijma’,
maka lebih-lebih zaman sekarang dimana para Ulama telah tersebar luas
keseluruh pelosok. Sedang sahnya ijma’ ialah : “Kebulatan pendapat
semua ahli ijtihad”.
Karena itu kita dapat mengerti pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
: “Barangsiapa mendakwa ada terjadi ijma’ (sesudah zaman sahabat),
berarti ia berdusta”. Cukup ia katakan: “ Aku tidak mengetahui, apakah
ada orang yang menyalahi faham ini, karena boleh jadi ada, namun aku
belum mengetahuinya”.
Ijma’ yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan
:” ijma’ dari keputusan musyawarah yang diambil oleh para Ulama yang
mewakili segala lapisan masyarakatnya. Untuk membicarakan
kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang dinamai Ulil-Amri
atau ahlul halil wal’aqdi. Mereka diberi hak oleh syari’at Islam untuk
membikin undang-undang yang belum terdapat dalam syara’. Keputusan
mereka wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan
nash syari’at yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nash syari’at,
maka betapa dan bagaimanapun juga keputusan itu tetap batal.75
75
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal.
14-15.
74
BAB VII
A. Pengetian Qiyas.
B. Kedudukan Qiyas.
Firman Allah :
.ﺿ َى هللاُ َع ْنهُ ﻟَ َمﺎبَ َعثَهُ ﺍِﻟَى ْﺍﻟﻴَ َم ِنِ صلَّى هللاُ َعلَ ْﻴ ِه َو َسلَّ َم ﻟِ ُم َعﺎ ٍذ َر َ ُﻗَ ْﻮﻟُه
فَﺎ ِ ْن: ﻗَﺎ َل.ُب هللاِ ﻀ ْى بِ ِكﺘَﺎ ِ ﺍَ ْﻗ:ﺎل
َ َﻀﺎ ٌء؟ ﻗ
َ َك ﻗ َ َض ﻟ َ ﻀ ْى ﺍِ َذﺍ َع َﺮ ِ ْف ﺗَ ْقَ َكﻴ
:ب هللاِ؟ ﻗَﺎ َل ِ فَبِ ُسنَّ ِة َرس ُْﻮ ِل هللاِ َوَلَفِ ْى ِكﺘَﺎ:ﺎل َ َب هللاِ؟ ﻗ ِ ﻟَ ْم ﺗَ ِج ْد فِ ْى ِكﺘَﺎ
75
ْ ﺍَ ْﻟ َح ْم ُد ِ َّّللِ ﺍﻟَّ ِذى:ﺎل
َ َص ْد َرهُ َوﻗَ ُب َرس ُْﻮ ُل هللا َ َ ف.ﺍَجْ ﺘَ ِه ُد َر ْأيِ ْى َوَلَ ﺍﻟُ ْﻮﺍ
َ ﻀ َﺮ
ِﺿﺎهُ َرس ُْﻮ ُل هللا َ َّوف.
َ ْق َرس ُْﻮ ِل هللاِ ﻟِ َمﺎيَﺮ َ
()روﺍه ﺍحمد وﺍبﻮ دﺍود وﺍﻟﺘﺮمذى
Artinya : “Sabda Nabi Saw. ketika beliau mengutus Mu’adz ra. Ke
Yaman, maka Nabi bertanya kepadanya : “Dengan apa kamu
mendapatkan perkara yang datang kepadamu ?”. Kata Mu’adz : “ Saya
memberi keputusan dengan kitab Allah”. Nabi bersabda : “Kalau kamu
tidak mendapatkan pada Kitab Allah”, Mu’adz menjawab : “Dengan
Sunnah Rasul”. Nabi bertanya lagi :”Kalau pada Kitab Allah dan Sunnah
Rasul tidak kau dapati ? “. Mu’adz menjawab : “Saya berijtihad dengan
pendapat saya dan saya tidak akan kembali”. Kemudian Rasulullah
menepuk dadanya (bergirang hati) sambil bersabda : “Alhamdulillah
Allah telah memberi taufiq kepada pesuruh Rasulullah sesuai dengan
keridlaan Rasulullah”.(HR. Ahmad, abu Dawud, Turmudzi yang mereka
menyatakan, bahwa qiyas itu masuk ijtihad ra’yu juga).76
C. Rukun Qiyas :
76
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal. 15-
16.
76
a. Segala minuman yang memabukkan ialah far’un/cabang,
artinya yang diqiyaskan.
Surakarta. 2015.hal.16-17.
1 Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta.
2015.hal.17-19..
77
puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah
menyelesaikan puasanya”. Sesungguhnya Allah yang
memberinya makan dan minum”.(HR. Bukhari dan Muslim)
E. Syarat-syarat far’i.
F. Syarat-syarat ‘Illat.
77
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal.16-
17.
78
Contoh. Sebagaimana Ulama berpendapat bahwa perempuan
dapat melakukan nikah tanpa izin walinya (tanpa wali), dengan alasan
bahwa perempuan dapat memiliki dirinya diqiyaskan kepada bolehnya
menjual harta bendanya sendiri. Qiyas tersebut tidak dapat diterima
diterima, karena berlawanan dengan nash hadits Nabi Saw.
G. Macam-macam Qiyas.
Qiyas Musawi, ialah ‘illlatnya sama dengan ‘illat qiyas aulawi, hanya
hukum yang berhubungan dengan cabang (far’i) itu, sama setingkat
dengan hukum ashalnya.
79
Seperti qiyas memakan harta benda anak yatim kepada
membakarnya, dilihat dari segi ‘illatnya ialah sama-sama
melenyapkan.(dalam pelajaran “mafhum”, ini disebut “lahnal khitab”).
78
Ramli. Sumber-sumber Hukum Islam, Citra Sains LPKBN. Surakarta. 2015.hal.17-
19..
80
BAB VIII
HUKUM DIPERSELISIHKAN
A. Pengertian Istihsan
79
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar ..., 59-60.
81
2. Sedangkan istihsan istisna’i terbagi kepada beberapa macam
yaitu:
D. Maslahah Mursalah
80
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh ..., 144-145.
82
“Kemaslahatan yang searah dengan tujuan syari’ al-Islami (Allah Swt.),
namun tidak petunjuk khusus yang mengakuinya atau menolaknya”.81
2. Bentuk-bentuk Maslahat
81
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar ..., 64.
82
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 119.
83
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Kencana, 2009), 337.
83
4. Kedudukan Maslahah Mursalah sebagai Dalil Hukum Syara’.
Oleh karena tidak adanya petunjuk khusus dalam nash atau ijma’
yang memandangnya, ulama’ berbeda pendapat dalam menempatkannya
sebagai dalil hukum syara’. Ulama’ Malikiyah menempatkannya sebagai
dalil hukum dengan alasan bahwa ia adalah maslahat dan tidak ada pula
petunjuk khusus yang menolaknya.
E. Istishab
1. Pengertian Istishab
2. Macam-macam Istishab.
84
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar ..., 67-68.
84
َٰٓ ٱسﺘَ َﻮ ۡ
ى إِﻟَى ٱﻟ َّس َمﺎَٰٓ ِء ۡ ض َج ِمﻴعا ﺎ ثُ َّم ِ ق ﻟَ ُكم َّمﺎ فِي ٱۡلَ ۡر َ َهُ َﻮ ٱﻟَّ ِذي َخل
ٖ َۚ فَ َس َّﻮىه َُّن َس ۡب َﻊ َس َم َﻮ
ﻴمٞ ِت َوهُ َﻮ بِ ُكلِّ َش ۡي ٍء َعل
Artinya. Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-
Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Al-Baqarah.
29).
F. Sad Dzari’ah.
85
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Terjemah: Saefullah Ma’sum dkk,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 454.
86
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar ..., 79.
85
berakhir dengan suatu kerusakan (mafsadah). Contoh: seseorang yang
telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum h{aul (genap setahun) ia
menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari
kewajiban zakat.
87
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh..., 438-439.
88
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar ..., 71.
86
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab
timbulnya hukum ada dua hal:
87
ُﺎل يَسُبُّ ﺍﻟ َّﺮ ُج ُل أَبَﺎ ﺍﻟ َّﺮج ُِل فَﻴَسُبُّ أَبَﺎه
َ َْف يَ ْل َع ُن ﺍﻟ َّﺮ ُج ُل َوﺍﻟِ َد ْي ِه ﻗ
َ هللاِ َو َكﻴ
ُ َويَسُبُّ أُ ُّمه.
Artinya.Dampak dari perbuatan seseorang mencaci maki
orangtua oranglain seolah-olah melaknat orangtua sendiri, sehingga
menjadi dosa besar. Menghindari perbuatan tersebut adalah sebagian
dari sadd al- dhari’ah.
G. ‘Urf
Pengertian ‘Urf.. ‘Urf atau disebut juga adat menurut definisi ahli
ushul fiqh adalah:
1. Macam-macam Adat.
89
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I ..., 73
88
1) ‘Urf Amm, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-
mana, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama.
c. Ditinjau dari penilaian baik dan buruk, ‘urf dibagi menjadi dua:
90
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I ..., 367-368.
89
d. ‘Urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung oleh nash itu tidak bisa diterapkan.
Penerimaan ‘urf sebagai dalil jika persoalan tersebut tidak
diatur dalam nash.
Kesimpulan.
Selain dua sumber hukum utama yang berupa nash al-Quran dan sunnah
Rasulullah saw. masih terdapat dalil-dalil yang dapat digunakan oleh
seorang mujtahid dalam menggali sebuah hukum. Seorang diberikan
kebebasan memilih metode yang dapat mendekati kemaslahatan secara
utuh bagi umat Islam. Namun demikian, harus berpegang pada kajian
ushul fiqh yang memilah antara sumber hukum atau dalil-dalil yang
disepakati dan sumber hukum atau dalil-dalil yang tidak disepakati.
91
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I ..., 143-144
90
BAB IX
TA’ARRUDH AL-‘ADILLAH
A. Pengertian Ta’arrudh.
Prof. Alaiddin Koto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Fiqh dan
Ushul fiqh mengakatan bahwa ta’arudh berasal dari kata ‘arudh yang
memiliki arti taqabul dan tamanu’ atau bertentangan dan sulitnya
pertemuan. Ulama Ushul mengartikan ta’arudh ini sebagai dua dalil yang
masing-masing menafikan apa yang ditunjuk oleh dalil yang lain.93
92
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 231.
93
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 141.
94
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta :
Amzah, 2009), h. 311. Lihat juga : Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), h. 225.
95
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 134. Lihat
Juga : Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. Cit, h. 312.
96
Sapiudin Shidiq, Loc. Cit.
91
Ulama Ushul melihat bahwa ta’arudh tidak hanya terjadi di
sekitar ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, tetapi juga di antara dua qiyas
antara kaidah-kaidah yang digunakan dan dalil-dalil yang menyebabkan
berbeda pula produk hukum yang dihasilkan.98
97
Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 134. Lihat Juga : Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, Op. Cit, h. 312.
98
Alaiddin Koto, Op. Cit, h. 143.
99
Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 134-135. Lihat Juga : Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, Op. Cit, h. 312-313.
92
Artinya. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?
Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S An-Nisa’ [4] :
82).100
100
Mardani, Loc. Cit.
101
Sapiudin Shidiq, Loc. Cit.
102
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 292.
93
konsep Allah. Pertentangan tersebut adalah semata-mata keterbatasan
manusia dalam menangkap pesan-pesan syar’i yang sedang mereka
pelajari.
103
Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 232.
104
Alaiddin Koto, Op. Cit, h. 142.
94
1. Ta’arudh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Firman Allah
Swt:
َۚ
َ ﺎل َو ۡٱﻟ َح ِم
ﻴﺮ ﻟِﺘَ ۡﺮ َكبُﻮهَﺎ َو ِزينَ اة َ َو ۡٱﻟ َﺨ ۡﻴ َل َو ۡٱﻟبِ َغ
Artinya.“dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai,
agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan...” (Q.S An-
Nahl [16]: 8).
95
Nash ini berdasarkan keumumannya menghendaki bahwasanya
setiap orang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka iddah
isterinya berakhir dengan empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu
dalam keadaan hamil atau tidak.
Contoh lain ada pada surah Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi :
106
Sapiudin Shidiq, Loc. Cit.
96
صﻴَّةُ ﻟِ ۡل َﻮﻟِ َد ۡي ِن
ِ ك َخ ۡﻴﺮًﺍ ۡٱﻟ َﻮ
َ ت إِن ﺗَ َﺮُ ﻀ َﺮ أَ َح َد ُك ُم ۡٱﻟ َم ۡﻮ َ ب َعلَ ۡﻴ ُكمۡ إِ َذﺍ َح َ ُِكﺘ
َ ُِوف َحقًّﺎ َعلَى ۡٱﻟ ُمﺘَّق
ﻴن ِ َۖ ﻴن بِ ۡٱﻟ َم ۡعﺮَ َِو ۡٱۡلَ ۡﻗ َﺮب
Artinya.“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(Q.S Al-Baqarah [2]
: 180)
ۡ ۡ
يﺮ ِ حُﺮِّ َم ۡت َعلَ ۡﻴ ُك ُم ٱﻟ َم ۡﻴﺘَةُ َوٱﻟ َّد ُم َوﻟَ ۡح ُم ٱﻟ ِﺨ
ِ نز
Artinya. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi...” (Q.S Al-Maidah [5] : 3).
97
Ayat ini tampaknya ta’arudh dengan firman Allah Swt yang
berbunyi :
107
Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 135-136.
98
صلَّى هللاُ َعلَ ْﻴ ِه َو َسلَّ َم
َ ﺿ َي هللاُ َع ْنهَﺎ ﺍَ َّن ﺍﻟنَّبِ ِّيِ َع ْن َعﺎئِ َشةَ َوﺍ ُ ِّم َسٗلَ َمةَ َر
(مﺘفق علﻴه.ع ثُ َّم يَ ْغﺘَ ِس ُل َويَص ُْﻮ ُم ٍ َ ﺎن يُصْ بِ ُح ُجنُبَﺎ ِم ُن ِجﺎ
َ ) َك
Artinya. “Dari Siti ‘Aisyah dan Ummi Salamah ra. Bahwa Nabi
masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima’
kemudian mandi dan menjalankan puasa.” (H.R Bukhari Muslim).
ََل ﺗَبِ ُﻊ ْﺍﻟبُ َّﺮ بِ ْﺎﻟبُﺮِّ ﺍِ ََّل َمثَ ًٗل بِ َمثَ ٍل
Artinya. “Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam
jumlah yang sama.” (H.R Bukhari dan Muslim).
108
Riba nasiah adalah riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat ganda
karena waktunya diundurkan. Lihat : Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011), h. 62.
99
Dari dua hadits di atas tampak terlihat adanya pertentangan
mengenai hukum riba. Hadist pertama menjelaskan bahwa riba hanya
terdapat pada jual beli sedangkan hadits kedua melarang riba fadl
kecuali menukar benda yang sejenis. Jika dikompromikan kedua hadits
di atas maka dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan ialah riba
nasiah sedangkan riba fadl dibolehkan jika benda yang ditukar itu
sejenis.109
109
Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 233-234.
100
Ta’arudh antara qiyas dan sunnah ini dapat juga dikemukakan,
tentang ukuran ‘aqiqah berdasarkan sunnah, satu kambing untuk putri
dan dua kambing untuk putra, didasarkan pada hadist :
Bagi yang berpegang pada qiyas, maka untuk aqiqah ini boleh
hewan yang lebih besar seperti unta dan sapi. Ini pendapat hampir
sebagian para fuqaha. Sedang yang berpegang pada hadist di atas ialah
Imam Malik, bahwa ‘aqiqah itu dilakukan dengan menyembelih
kambing.110
Contoh lain dari ta’arudh antara qiyas dengan qiyas itu ialah
terhadap masalah perkawinan Rasulullah dengan siti ‘Aisyah
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
110
Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 136-137.
111
Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 234.
101
ِ صلَّى هللاُ َعلَ ْﻴ ِه َو َسلَّ َّم ﻟِ َس
ت َ ِ ﺗَ َز َّو َجنِى َرس ُْﻮ ُل هللا: تْ ََو َع ِن َعﺎئِ َشةَ ﻗَﺎﻟ
(روﺍه مسلم عن عﺎئسة.ْح ِسنِ ْﻴ ِن ِ ت ﺗِس ُ ) ِسنِﻴ َْن َوبَنِﻴَى بِى َوﺍنَﺎ بِ ْن
Artinya.“Dari ‘Aisyah, beliau berkata: Rasulullah Saw mengawini
saya ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuli ketika saya
sebagai gadis yang telah berumur sembilan tahun.” (H.R Muslim dari
‘Aisyah).
D. Cara Penyelesaian.
112
Ahmad Sanusi dan Sohari, Op. Cit, h. 138.
102
1. Bila terjadi ta’arudh wajiblah diadakan ijtihad dengan
mengadakan jamak dan taufik di antara keduanya.
3. Bila tidak juga bisa dilakukan tarjih, maka dicari mana yang
lebih dahulu dan yang kemudian wurudnya, untuk dinyatakan
nasikh mansukh.
2) Bila ta’arudh itu bukan urusan ibadah, maka kita adakan jama’
dan taufiq, dalam arti kita takwilkan arti pada sunnah itu
sehingga sesuai qiyas.
103
5. Bila antara qiyas dengan qiyas, maka langsung kita tarjihkan.
Yang rajih kita pakai dan yang marjuh kita tinggalkan.113
Maksud dari cara ini adalah agar kedua dalil yang tampaknya
ta’arudh menjadi tidak ta’arudh dan bisa dipergunakan keduanya. 114
ۡ ۡ
يﺮ ِ حُﺮِّ َم ۡت َعلَ ۡﻴ ُك ُم ٱﻟ َم ۡﻴﺘَةُ َوٱﻟ َّد ُم َوﻟَ ۡح ُم ٱﻟ ِﺨ
ِ نز
Artinya.“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi...” (Q.S Al-Maidah [5] : 3).
113
Ibid, h. 139.
114
Ibid, h. 140.
115
Sapiudin Shidiq, Op. Cit, h. 244.
104
Artinya. “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir...” (Q.S Al- An’am [6] : 145)
E. Nasakh.
116
Rachmat Syafe’i, Op. Cit, h. 231.
105
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh itu dibolehkan,
didasarkan pada firman Allah
117
Ibid, h. 234.
106
Allah swt, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia
pulalah yang menghapusnya.
3. Syarat-syarat Nasakh:
118
Ibid, h. 235.
119
Ibid, h. 236.
107
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Baqarah [2]
: 180)
4. Metode tarjih.
“Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lsinnya untuk
diamalkan berdasarkan dalil tersebut.”121
Contoh Tarjih
120
Mardani, Op. Cit, h. 394.
121
Rachmat Syafe’i, Op. Cit, h. 242.
108
Kedua hadis di atas terjadi ta’arudh, namun ulama mengatakan
dalil hadis kedua (riwayat Aisyah dan Ummu Salamah lebih kuat) dari
pada hadis riwayat Abu Hurairah.122
5. Tawaquf
b. Metode Hanafiyyah
1. Nasakh.
122
Mardani, Op. Cit, h. 395.
109
a. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
2. Tarjih.
b. Tarjih
3. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
c. Nasakh
4. Tasaqut Al-Dalilain
d. Tasaqut Al-Dalilain.
110
meninggalkan salah satu dari dalil yang bertentangan,
sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i.123
Kesimpulan :
123
Sapiudin Shidiq, Loc. Ci
111
112
BAB X
A. Pengertian.
124
Tengku Mohammad, Ilmu-Ilmu Al-quran (Semarang: PT Pustaka Riski Putra,
2002), 150
113
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan
pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh
dan makhasshish, muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian
naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian,
untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan
ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang
diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian
tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu
pengertian, dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian.125
125
Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika, 2002), 50-
52
114
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
C. Jenis-jenis Nasakh.
126
Rosihon Anwar, Ulum Al-quran (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 165-166
127
Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran (Jakarta: PT Lentera Basritama
2002), 171
115
Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa memang
terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at
Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian
dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan
ketentuan hukum lain.
D. Macam-macam Nasikh.
Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
128
Ibnu Qoyyim, Belajar Mudah Ulum Al-quran (Jakarta: PT Lentera Basritama
2002), 172-173
116
Kedua, Al-Qur’an dinasikhkan dengan Hadits Mutawatir. Hal ini
menurut imam malik, Abu hanifah dan ahmad bin hambal.
E. Bentuk-bentuk Nasakh.
129
Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2 (Jakarta: PT Rineka Cipta 1995),
36-37
130
Ibid.,38
117
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan
mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:
118
Artinya. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia
telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada
diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu
orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang
sabar.(An-Anfal.66)
ﺍﻟ َّش ْﻴ ُخ َوﺍﻟ َّشﻴ َْﺨةُ إِ َذﺍ َزنَﻴَﺎ فَﺎرْ ُج ُمﻮهُ َمﺎ ْﺍﻟبَﺘَّةَ نَ َكﺎَلً ِم َن هللاِ َو هللاُ َع ِز ْي ٌز
َح ِك ْﻴ ٌم
Artinya.Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka
rajamlah keduanya. Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha
Gagah lagi Maha Bijaksana. 131
131
Ibid.,39
119
1. Menjaga kemaslahatan hamba.
132
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 179
120
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat
mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif,
atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Kesimpulan.
133
Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran (Bekasi: Media Grafika, 2002), 53
121
122
BAB XI
1. Istinbat Lafdziyah
134
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, (Jakarta: 1998), hlm. 2.
123
c. Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu
lafadz.
2. Istinbat Maknawiyah.
135
Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986),
hlm. 2
124
untuk mendapatkan suatu hukum yang baru dengan merujuk hukum
dasar yang sudah ada dan guna untuk menjawab persoalan yang ada,
disini akan dijelaskan beberapa metode saja yang ada dalam metode
istinbath antara lain adalah.
125
yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan.Mutlaq dan
Muqayad itu sama dengan ‘am dan Khasa.136
ة ُّم َسلَّ َمةٌ إِﻟَ َٰٓى أَ ۡهلِ َِٰٓهۦٞ ََو َمن ﻗَﺘَ َل ُم ۡؤ ِمنًﺎ َخطَٔ أﺍ فَﺘَ ۡح ِﺮي ُﺮ َرﻗَبَ ٖة ُّم ۡؤ ِمنَ ٖة َو ِدي
ْ َۚ ُص َّدﻗ
ﻮﺍ َّ ََل أَن ي
َٰٓ َّ ِإ
Artinya......dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (QS
An Nisa 92).
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
136
Imam Jalaludin As –Syuthi,Samudra Ulumul Qur’an,Jilid 3, Surabaya ,Pt Bina
Ilmu, 2007, hlm.129.
126
b. Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan
sebabnya.
c. Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda,
baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
127
Artinya “Hendaknya puasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dibatasi oleh
kata-kata berturut-turut.”
Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda
dalam hukum (persamaan hukum), bagian ini diperselisihkan oleh ulama
ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlak harus diikutkan pada yang
muqayyad, sedangkan ulama yang mutlak tetap pada kemutlakannya.
Contoh lafal berbentuk mutlak dalam QS Mujadilah:3
ة ُّم َسلَّ َمةٌ إِﻟَ َٰٓى أَ ۡهلِ َِٰٓهۦٞ ََو َمن ﻗَﺘَ َل ُم ۡؤ ِمنًﺎ َخطَٔ أﺍ فَﺘَ ۡح ِﺮي ُﺮ َرﻗَبَ ٖة ُّم ۡؤ ِمنَ ٖة َو ِدي
ْ َۚ ُص َّدﻗ
ﻮﺍ َّ ََل أَن ي
َٰٓ َّ ِإ
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah
(tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang
mukmin, serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), .” (QS. An-Nisa’. 92).
128
Jadi dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan
muqayyad itu satu tujuan walaupun diantara keduanya ada perbedaan
tetapi masih tetap sama.
Contoh dari al-amr ini ,misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 43.
137
Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung:2010), hlm 198-199
138
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh, (JawaTimur:2008), hlm. 52
129
ْ ﻮﺍ ٱﻟ َّز َكﻮةَ َو ۡٱر َكع
َ ُﻮﺍ َم َﻊ ٱﻟ َّﺮ ِك ِع
ﻴن ْ ُصلَﻮةَ َو َءﺍﺗ ْ َوأَﻗِﻴ ُم
َّ ﻮﺍ ٱﻟ
Artinya. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'.
130
masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang
lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.
Contoh dari lafazd ‘am secara umum seperti firman Allah dalam
surat At-Thur ayat 21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat dengan
apa yang dikerjakannya.
Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori:
131
segala bentuk perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang
mengecualikan salah satu bentuknya. Contoh lain misalnya
kata An-nas atau manusia dalam firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 21 yang Artinya : Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa.
2. Khas
139
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Hlm 179-183
140
Muhammad Khudarî Bik, Ushûl al-Fiqh. Hlm 147
132
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna
tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya
itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang
tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak
terpengaruh:
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang
berbunyi: Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin
mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh
lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah
qatiyah.
4. Macam-Macam Khas.
133
5. Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.141
D. Al-Musytarat.
ۡ َﻴض ﻗُ ۡل هُ َﻮ أَ اذى ف
ْ ُٱعﺘَ ِزﻟ
ﻮﺍ ٱﻟنِّ َسﺎَٰٓ َء فِي ۡ َ َسَٔٔ ﻟُﻮن
ِ َۖ ك َع ِن ٱﻟ َم ِح ۡ ََوي
ُ ﻴض َو ََل ﺗَ ۡق َﺮبُﻮهُ َّن َحﺘَّى يَ ۡطه ُۡﺮ َۖ َن فَإ ِ َذﺍ ﺗَطَه َّۡﺮ َن فَ ۡأﺗُﻮهُ َّن ِم ۡن َح ۡﻴ
ث ِ ٱﻟ َم ِح
ۡ
َ ﻴن َوي ُِحبُّ ۡٱﻟ ُمﺘَطَه ِِّﺮ
ين َۚ َّ أَ َم َﺮ ُك ُم
َّ ٱَّللُ إِ َّن
َ ِٱَّللَ ي ُِحبُّ ٱﻟﺘَّ َّﻮب
Artinya. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat
dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid atau
berhenti dari haid dan sudah mandi wajib. Contoh lafal musytarak yang
mempunyai tiga arti:Artinya:
ت فَلِ ُك ِّل َو ِح ٖد ِّم ۡنهُ َمﺎٞ ة َوﻟَ َٰٓۥهُ أَ ٌخ أَ ۡو أُ ۡخٞ َث َك َٰلَلَةً أَ ِو ٱمۡ َﺮأ
ُ ُﻮر َ َوإِن َك
َ ُل يٞ ﺎن َرج
َۚ ٱﻟ ُّس ُد
ُس
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
141
Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 2003), hlm.199
134
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta.”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang
meninggalkan anak tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan
anak dan juga tidak meninggalkan ayah dan orang tidak meninggalkan
keluarga jurusan anak dan jurusan ayah. Namun yang dimaksud dalam
ayat ini ialah orang yang meninggalkan anak, tetapi tidak meninggalkan
ayah.
E. Al-Muawwal
1. Objek Al-muawwal
142
Miftahul Arifin dan A. Faisal Haq, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum
Islam, (Surabaya: 1997), hlm. 204.
143
Rachmat syafiie, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: 2010), hlm. 169
135
yang berguna untuk menentukan ketetapan hukum permasalahan dalam
furu’ sehingga para imam dapat menerima dan mengamalkannya. Takwil
juga tidak menyangkut dengan hukum-hukum agama penting lainnya
yang mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasr-dasar
syariat yang bersifat umum diantaranya bahan-bahan yang memerlukan
penafsiran dan pematokan hukum karena maksud syara’ harus
diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath’i agar terhindar
dari munculnya arti yang spekulatif.
b. Ijma’.
136
g. Hakikat syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud
yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian,
politik dan akhlak.
Kesimpulan.
Ada dua macam istinbat yaitu yaitu yang berbentuk lafdziyah dan
maknawiyah.
1. Istinbat Lafdziyah
2. Istinbat Maknawiyah
137
Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan
pada makna atau pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz.
Sedangkan muqayyad adalah suatu lafal nash yang maknanya telah
tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga
pengertiannya lebih terbatas dan pasti.
138
Dari segi bahasa At-tafsir mempunyai arti penjelasan atau uraian, Al-
marja berarti kembali atau tempat kembali.
139
140
BAB XII
141
sesama manusia, sesuai dengan jalan fitrah dan kemaslahatan. Baik bagi
diri sendiri maupun orang banyak.145
145
Ahmad Iwudh Abduh, Mutiara Hadis Qudsi, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006),
hlm. 224.
146
Al-Ghazali, Intisari Ihya’ ‘Ulumiddin Terjemahan dari Mukhtashar Ihya’
‘Ulumiddin, Terj. Junaidi Ismaiel, (Jakarta: PT. Serambi Semesta Distribusi), hlm. 279-281.
142
sesungguhnya saya mendengar Rasululllah saw. bersabda
:”sesungguhnya apabila orang-orang melihat orang yang bertindak
aniaya kemudian mereka tidak mencegahnya, maka kemungkinan besar
Allah akan meratakan siksaan kepada mereka, disebabkan perbuatan
tersebut.” (HR. At-Tirmidzi).
طبَ ِة يَ ْﻮ َم ْﺍﻟ ِعﻴ ِد ﻗَ ْب َل ﺍﻟصَّٗل ِة ْ ﺎل أَ َّو ُل َم ْن بَ َدأَ بِ ْﺎﻟ ُﺨ
َ َب ﻗٍ ق ْب ِن ِشهَﺎ ِ ﺎرِ ََع ْن ط
ك َمﺎ َ ﺎل ﻗَ ْد ﺗُ ِﺮ َ َطبَ ِة فَق ْ ﺎل ﺍﻟصَّٗلةُ ﻗَب َْل ْﺍﻟ ُﺨ َ َﺍن فَقَﺎ َم إِﻟَ ْﻴ ِه َر ُج ٌل فَق ُ َمﺮْ َو
َّ ْت َر ُسﻮ َل
ِهللا ُ ﻀى َمﺎ َعلَ ْﻴ ِه َس ِمع َ َﺎل أَبُﻮ َس ِعﻴ ٍد أَمـَّﺎ هَ َذﺍ فَقَ ْد ﻗ َ َ ك فَقــ َ ِهُنَﺎﻟ
هللا َعلَ ْﻴ ِه َو َسلَّ َم يَقُـﻮ ُل مـ َ ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكﺮًﺍ فَ ْلﻴُ َغﻴِّﺮْ هُ بِﻴَـــ ِد ِه فَــإ ِ ْنَّ صلَّى َ
147
Muhammad Hasbi Ash Shiddiqey, Al-Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2001), hlm. 348.
148
Oneng Nurul Bariyah, Materi Hadits, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm. 204.
143
ُ ك أَﺿْ َع
) ِ ف ﺍَلي َمﺎن َ ِﻟــ َ ْم يَ ْسﺘَ ِط ْﻊ فَبِلــ ِ َسﺎنِ ِه فَإ ِ ْن ﻟَ ْم يَسْﺘـ َ ِط ْﻊ فَبِقَ ْلبـ ِ ِه َو َذﻟ
)أخﺮجه مسلم في كﺘﺎب ﺍَليمﺎن
Artinya.“... Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata : Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa diantara kamu sekalian melihat
kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya
(kekuasaannya). Jika ia tidak sanggup maka dengan lisannya (nasihat).
Jika ia tidak sanggup maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah
termasuk iman paling lemah.” (HR. Muslim)
149
Abdul Malik al-Qasim, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, terj. Muhammad
Khairuddin, (tt, IslamHous.com, 2009), hlm. 5-6.
144
C. Urgensi dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar
150
Al-Ghazali, Intisari Ihya’ ‘Ulumiddin, hlm. 279-281.
145
pahala mereka, dan siapa saja yang membuat jalan keburukan, lalu
diikuti orang lain, maka baginya beban dosa seperti dosa orang-orang
yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa yang mereka
terima.”151
151
Muhammad Nashiridin al-Bani, Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 3, terj.
Fakhturrazi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 95.
152
Muhammad Jamaludin Qasyimi, Roudhlotul Mu’minin terj. Abu Ridho,
(Semarang: Assyifa, 1993), hlm. 373
146
BAB XIII
153
Manna’ khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor:Pustaka Litera Antar
Nusa,2012),h.350.
154
Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 212.
147
memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi member petunjuk
kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.155
Misalnya, kata َرﻗَبَ ٍةyang terdapat pada firman Allah Swt. Lafazh
di bawah ini merupakan mutlaq, karena tidak dibatasi sifat tertentu.
ۡ ۡ
يﺮ ِ حُﺮِّ َم ۡت َعلَ ۡﻴ ُك ُم ٱﻟ َم ۡﻴﺘَةُ َوٱﻟ َّد ُم َوﻟَ ۡح ُم ٱﻟ ِﺨ
ِ نز
Artinya: “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah dan
daging babi”.
155
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 121-122.
156
Praja, Ilmu……., hal, 212.
148
Kata ( َوﺍﻟ َّد ُمdan darah) pada ayat di atas adalah mutlaq; dalam arti tidak
diikat oleh sifat atau syarat apapun. Selanjutnya, dalam firman Allah
pada surah Al-An’am ayat 145.
Pada ayat di atas, kata ( َوﺍﻟ َّد ُمdan darah) diberi sifat dengan َّم ْسفُﻮ ًحﺎ
(mengalir). Tetapi hukum pada kedua ayat tersebut adalah sama, yaitu
sama-sama “haram”. Demikian pula sebab yang menimbulkan hukum
juga sama, yaitu “darah”. Kedua contoh di atas, kata “darah” yang
terdapat dalam lafazh mutlaq harus diartikan dengan “darah yang
mengalir” sebagaimana yang terdapat dalam lafazh muqayyad.
Lafazh َرﻗَبَ ٍةyang menjelaskan kafarah zhihar ini adalah dalam bentuk
mutlaq. Selanjutnya, dalam firman Allah pada surah An-Nisa’ ayat 92:
149
ة ُّم َسلَّ َمةٌ إِﻟَ َٰٓى أَ ۡهلِ َِٰٓهۦٞ ََو َمن ﻗَﺘَ َل ُم ۡؤ ِمنًﺎ َخطَٔ أﺍ فَﺘَ ۡح ِﺮي ُﺮ َرﻗَبَ ٖة ُّم ۡؤ ِمنَ ٖة َو ِدي
Artinya.....dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Lafazh َرﻗَبَ ٍةpada ayat di atas diberi qayid (batasan) yaitu dengan sifat
ُّم ْؤ ِمنَ ٍة. Sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat di atas berbeda:
pada lafazh mutlaq (ayat pertama) adalah dalam kasus kafarah zhihar,
sedangkan pada lafazh muqayyad (ayat kedua) dalam kasus
pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum dalam kedua ayat di atas
adalah sama, yaitu kewajiban memerdekakan hamba sahaya (budak).
ﻮﺍ ُوجُﻮهَ ُكمۡ َوأَ ۡي ِديَ ُكمۡ إِﻟَى ْ ُٱغ ِسل ۡ َصلَﻮ ِة فَّ ين َءﺍ َمنُ َٰٓﻮ ْﺍ إِ َذﺍ ﻗُمۡ ﺘُمۡ إِﻟَى ٱﻟ َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
وس ُكمۡ َوأَ ۡر ُجلَ ُكمۡ إِﻟَى ۡٱﻟ َك ۡعبَ ۡﻴ َۚ ِن َوإِن ُكنﺘُمۡ ُجنُبا ﺎ ِ ُﻮﺍ بِ ُﺮ ُء ْ ق َوٱمۡ َسح ۡ
ِ ِٱﻟ َم َﺮﺍف
د ِّمن ُكم ِّم َن ۡٱﻟ َغﺎَٰٓئِ ِطٞ ﺿ َٰٓى أَ ۡو َعلَى َسفَ ٍﺮ أَ ۡو َجﺎَٰٓ َء أَ َح َ ُوﺍ َوإِن ُكنﺘُم َّم ۡﺮ ْ َۚ فَٱطَّهَّﺮ
ْ ص ِع اﻴدﺍ طَﻴِّبا ﺎ فَٱمۡ َسح
ُﻮﺍ َ ﻮﺍ ْ وﺍ َمﺎَٰٓءا فَﺘَﻴَ َّم ُمْ أَ ۡو ﻟَ َم ۡسﺘُ ُم ٱﻟنِّ َسﺎَٰٓ َء فَلَمۡ ﺗَ ِج ُد
ٱَّللُ ﻟِﻴَ ۡج َع َل َعلَ ۡﻴ ُكم ِّم ۡن َح َﺮ ٖج َوﻟَ ِكن ي ُِﺮي ُد َّ بِ ُﻮجُﻮ ِه ُكمۡ َوأَ ۡي ِدي ُكم ِّم ۡن َۚهُ َمﺎ ي ُِﺮي ُد
َ ﻟِﻴُطَه َِّﺮ ُكمۡ َوﻟِﻴُﺘِ َّم نِ ۡع َمﺘَ ۥهُ َعلَ ۡﻴ ُكمۡ ﻟَ َعلَّ ُكمۡ ﺗَ ۡش ُكﺮ
ُون
Artinya Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan
kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
150
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
ُٱَّلل ِۗ َّ َّﺎرﻗَةُ فَ ۡٱﻗطَع َُٰٓﻮ ْﺍ أَ ۡي ِديَهُ َمﺎ َج َز َٰٓﺍ َۢ َء بِ َمﺎ َك َسبَﺎ نَ َك اٗل ِّم َن
َّ ٱَّللِ َو ِ ق َوٱﻟس ُ َّﺎر
ِ َوٱﻟس
ﻴمٞ َع ِزي ٌز َح ِك
Artinya. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
151
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berdiri
mengerjakan shalat maka basuhlah muka dan
tanganmu sampai ke siku”.
152
Bentuk dan contoh yang disebutkan sebelumnya adalah lafazh
muqayyad berada dalam satu tempat, sehingga lafazh mutlaq hanya
mungkin ditangguhkan kepada lafazh muqayyad itu saja.
ﺍخ ُذ ُكم بِ َمﺎ َعقَّدﺗُّ ُم ۡٱۡلَ ۡي َم َۖ َن ِ ٱَّللُ بِٱﻟلَّ ۡغ ِﻮ فِ َٰٓي أَ ۡي َمنِ ُكمۡ َوﻟَ ِكن ي َُؤ َّ ﺍخ ُذ ُك ُم
ِ ََل ي َُؤ
ﻮن أَ ۡهلِﻴ ُكمۡ أَ ۡو َ ﻴن ِم ۡن أَ ۡو َس ِط َمﺎ ﺗُ ۡط ِع ُم َ فَ َكفَّ َﺮﺗُ َٰٓۥهُ إِ ۡط َعﺎ ُم َع َش َﺮ ِة َم َس ِك
ۡك َكفَّ َﺮةُ أَ ۡي َمنِ ُكم ِ َِك ۡس َﻮﺗُهُمۡ أَ ۡو ﺗَ ۡح ِﺮي ُﺮ َرﻗَبَ ٖ َۖة فَ َمن ﻟَّمۡ يَ ِج ۡد ف
َ ِصﻴَﺎ ُم ثَلَثَ ِة أَي ٖ ََّۚﺎم َذﻟ
َ ٱَّللُ ﻟَ ُكمۡ َءﺍيَﺘِِۦه ﻟَ َعلَّ ُكمۡ ﺗَ ۡش ُكﺮ
ُون ۡ إِ َذﺍ َحلَ ۡفﺘُمَۡۚ َو
َ ِٱحفَظُ َٰٓﻮ ْﺍ أَ ۡي َمنَ ُكمَۡۚ َك َذﻟ
َّ ك يُبَﻴ ُِّن
Artinya. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah
kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
Kata “tiga hari” dalam ayat ini merupakan lafazh mutlaq tanpa
keterangan. Artinya, tiga hari tersebut boleh berturut-turut dan boleh
pula terpisah. Selanjutnya, firman Allah dalam kasus kafarah zhihảr pada
surah Al-Mujadalah ayat 4:
ۡصﻴَﺎ ُم َش ۡه َﺮ ۡي ِن ُمﺘَﺘَﺎبِ َع ۡﻴ ِن ِمن ﻗَ ۡب ِل أَن يَﺘَ َمﺎَٰٓس ََّۖﺎ فَ َمن ﻟَّم ِ َفَ َمن ﻟَّمۡ يَ ِج ۡد ف
َ ِّيَ ۡسﺘَ ِط ۡﻊ فَإ ِ ۡط َعﺎ ُم ِسﺘ
ﻴن ِم ۡس ِك اﻴن َۚﺎ
153
Artinya. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin.
َ صﻴَﺎ ُم ثَلَثَ ِة أَي َّٖﺎم فِي ۡٱﻟ َحجِّ َو َس ۡب َع ٍة إِ َذﺍ َر َج ۡعﺘُمِۡۗ ﺗِ ۡل
ةٞ ك َع َش َﺮ ِ َفَ َمن ﻟَّمۡ يَ ِج ۡد ف
ﺎﺿ ِﺮي ۡٱﻟ َم ۡس ِج ِد ۡٱﻟ َح َﺮ َۚ ِﺍم ِۗ
ِ ك ﻟِ َمن ﻟَّمۡ يَ ُك ۡن أَ ۡهلُ ۥهُ َح
َ ِة َذﻟٞ ََكﺎ ِمل
Artinya. ....maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari)
yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-
orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-
orang yang bukan penduduk kota Mekah).
157
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal, 129-130.
154
B. Hukum Lafazh Mutlaq dan Lafazh Muqayyad
158
Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 213.
155
b. Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama
hukumnya. Namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga
diperselisihkan. Menurut Ulama Hanafi tidak boleh membawa
mutlaq kepada muqayyad, melainkan masing-masingnya
berlaku sesuai dengan sifatnya.159
1. Alasan Hanafiyah
2. Alasan Jumhur
159
Ibid., hal, 213-214.
160
Ibid.
156
menolaknya, sedangkan muqayyad sebagai orang yang berbicara, yang
menjelaskan adanya qayyid.
Kesimpulan
161
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,2010) hal,
157
158
BAB XIV
A. Pengertian Mujmal
162
Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta:Zikrul Hakim, 2004), Hlm.161.
159
َّص َن بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَلَثَةَ ﻗُﺮ َُٰٓو َٖۚء ُ ََو ۡٱﻟ ُمطَلَّق
ۡ ت يَﺘَ َﺮب
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’.
Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam syafi’I
berpendapat ahwa lafal quru’ berarti suci sedangkan imam abu hanifa
berpendapat bahwa quru’ berarti haid.163
Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah
palingkan dari makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat
yang tidak diketahui melalui aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat
hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
C. Hukum Mujmal
163
Ibid., Hlm. 163.
160
hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika
penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya kesamaran maka
berpindah ke hukum musykil. Dalam hal ini, mujthahid berupaya kuat
untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat dalam lafal tersebut
dengan tidak bergantung pada penjelasan baru dari syari’misalnya lafal
riba pada firman Allah surah al-Baqarah ayat 275:
Menurut Abu Hanifah, lafal riba di ayat ini mujmal karena riba
secara bahasa erarti tambahan . sebagaimana yang kita ketahui tidak
semua tambahan termaksuk riba. Jual beli yang di syariatkan islam
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan penambahan. Namun
yang dilarang dalam islam adalah tambahan dalam bentuk transaksi
tanpa ada pengganti yang diisyaratkan ketika transaksi berlansung. Atau
tidak didukung oleh penjelasan syari’. Dalam hal ini nabi hanya
menjelaskan enam jenis barang yang termaksuk riba, yaitu emas, perak,
gandum, jelai, korma, dan garam( HR. bukhari). Untuk itu oleh para
ulama oleh melakukan berijtihad menentukan riba dengan cara meng
qiyaskan.164
D. Pengertian Mubayyan
164
Op. cit ., Hlm. 164.
161
Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal
peletakannya, seperti lafadz;( سمﺎءlangit), ( أرضbumi) ( جبلgunung), عدل
(adil), ( ظلــمdhalim), ( صدقjujur). Dalam hubungannya dengan
mubayyan, maka dapat dipahami tiga hal, yaitu:
3. Bayan (penjelasan).
E. Bentuk Mubayyan
َّ َو
ﻴمٞ ِٱَّللُ بِ ُكلِّ َش ۡي ٍء َعل
Artinya: dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.
162
dapat memahaminya bahwa yang di perintahkan sebenarnya bertanya
kepada penduduk yang tinggal dikampung tersebut.
Kesimpulan
165
Ibid., Hlm. 165-167.
163
164
BAB XV
1. Zhahir
Tetapi bukanlah makna itu yang dimaksud oleh syaqul kalam dan
lafadz itu sendiri masih dapat ditakwilkan di tafsiran dan dapat pula di
nasakhkan pada masa Rasulullah Saw, misalnya firman Allah :
ﺎب ﻟَ ُكم ِّم َن ٱﻟنِّ َسﺎَٰٓ ِء َ َُﻮﺍ َمﺎ ط ْ ۡٱﻟﻴَﺘَ َمى فَٱن ِكح ﻮﺍ فِي ْ َُوإِ ۡن ِخ ۡفﺘُمۡ أَ ََّل ﺗُ ۡق ِسط
ك َ ِﻮﺍ فَ َﻮ ِح َدةً أَ ۡو َمﺎ َملَ َك ۡت أَ ۡي َمنُ ُكمَۡۚ َذﻟ
ْ ُأَ ََّل ﺗَ ۡع ِدﻟ َ ََم ۡثنَى َوثُل
ۡث َو ُربَ َۖ َﻊ فَإ ِ ۡن ِخ ۡفﺘُم
ْ ُأَ ۡدنَ َٰٓى أَ ََّل ﺗَعُﻮﻟ
ﻮﺍ
Artinya. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (An-Nisa’.3).
166
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986, h. 268
165
Adalah lafadz zhahir, sebab makna yang dikehendaki dan segera
dapat dipahamkan dari lafadz “ fankihu ma thaaba lakum minan nisa’i”
ialah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi, akan tetapi
kalau kita perhatikan siyaqul kalan (rangkaian pembicaraan) maka
bukan itu yang dimaksud. Maksud yang sebenarnya dari ungkapan itu
ialah membatasi jumlah wanita yang boleh dikawini yaitu 4 orang sekali
pegang.
2. Nash
166
yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada dalil yang
mentakwilkan, menafsirka atau menasakhnya.167
3. Mufassar.
ﻴن َج ۡل َد اة
َ ِٱجلِ ُدوهُمۡ ثَ َمن
ۡ َف
Artinya. maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali dera, (An-Nisa;.4).
Macam-macam mufassar :
4. Muhkam.
Misalnya firman Allah Swt berikut yang sangat jelas dan tegas dan
tidak mungkin diubah :
167
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986, h. 271.
168
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986, h. 277
167
ﻮﺍ ﻟَهُمۡ َشهَ َدةً أَبَ اد َۚﺍ
ْ َُو ََل ﺗَ ۡقبَل
Artinya.Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka
selama-lamanya. (QS. An Nuur : 4)
B. Khafiyud Dalalah.
1. Khafi.
168
Suatu lafadz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (
dilalah )-nya yang di sebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat
lafadz sendiri.169
2. Musykil
169
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.hlm.102
170
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.298
169
Sumber kesamaran lafadz itu berasal dari lafadz itu sendiri.
Adakalanya karena lafadz itu digunakan untuk arti yang banyak secara
penggunaan yang sebenarnya sehingga tidak dapat di pahami artinya
dari semata-mata hanya melihat kepada lafadz itu.
َّص َن بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَلَثَةَ ﻗُﺮ َُٰٓو َٖۚء ُ ََو ۡٱﻟ ُمطَلَّق
ۡ ت يَﺘَ َﺮب
Artinya. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'.(Al-Baqarah.228)
ۡ َٰٓ
ﻴض ِمن نِّ َسﺎَٰٓئِ ُكمۡ إِ ِن ۡٱرﺗَ ۡبﺘُمۡ فَ ِع َّدﺗُه َُّن ثَلَثَةُ أَ ۡشه ُٖﺮح م
ِ ِ َ ٱﻟ ن
َ م
ِ ن
َ سۡ َّ
ِ َ ِ َوٱﻟ
ئ ي ي ـ
َۚﻀ َن َٰٓ
ۡ َوٱﻟَّـِي ﻟَمۡ يَ ِح
170
Artinya. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.(At-Thalak.4)
3. Mujmal
171
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.301
171
Umpamanya kata shalat dan zakat yang terdapat dalam al-Qur’an,
namun secara bahasa tidak dapat dipahami artinya. Untuk itu
penjelasannya di serahkan kepada Nabi.172
4. Mutasyabih
172
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.hlm.104-105
173
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 21
172
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighatnya
sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah
yang akan menjelaskan maksudnya; sedangkan syari’ membiarkan saja
kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia
tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya
kepada Allah sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan
manusia.
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
a. Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam
beberapa pembukaan surat dalam al-Qur’an.
b. Ayat-ayat yang menurut dzahirnya mempersamakan Allah
yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, sehingga tidak
mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak
terang ) artinya dalam kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan
dalam kelompok yang terang artinya lafadz muhkam berada dalam
tingkat atas dari segi kejelasannya.
Kedua bentuk lafadz ini secara jelas disebutkan dalam alqur’an
pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i ), sedangkan lafadz yang
mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan
pemahaman yang tidak meyakinkan ( dzanni ).174
Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah Swt:
حم, ص,طه
َۚۡق أَ ۡي ِدي ِهم َّ يَ ُد
َ ٱَّللِ فَ ۡﻮ
Artinya. “ Tangan Allah diatas tangan mereka “.( Q.S.Al-fath :10)
173
daripadanya. Dia Maha Mengetahui artinya. Begitu pula ayat-ayat yang
dzahirnya menunjukkan penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk-Nya,
dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah
Swt. Adalah Maha Suci dari ( mempunyai ) tangan, mata, tempat dan
segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui, maka syara‘ tidak menjelaskan arti kata-kata itu, Dia
Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu )
tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah
Swt. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka
mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
Kesimpulan
Jadi Jelaslah bahwa dalam menanggapi teks teks yang ada dalam
al-Qur’an menggunakan beberapa lafadz di antaranya adalah lafadz
dhahir setiap nash yang jelas dalalahnya harus diperlakukan sesuai
dengan kejelasan dalalahnya yang ditunjukkannya nash yang
mengandung takwil tidak boleh di takwil kecuali karena adanya dalil
kemudian dasar perbedaan antara yang jelas dalalahnya dan yang tidak
jelas dalalahnya adalah maknya yang dimaksud dalalah nash itu sendiri
melalui cara memperhatikan faktor luar atau tidak.
175
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.308-311
174
BAB XVI
A. Pengertian Ijtihad
َوأَ َّمﺎﺍﻟ ُّسج ُْﻮ ُد فَﺎجْ ﺘَ ِه ُد ْوﺍ فِى ﺍﻟ ُّد َعﺎ ِء
176
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986, h. 268
177
Ibid., h.271
175
Artinya: “Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam
berdo’a.”
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah
mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan
dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua
puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang
ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan
178
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.hlm.102
176
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu
per satu dalilnya.”179
177
pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan
hadis.
َۚ َّ ك
ُٱَّلل َ ﺎس بِ َمﺎَٰٓ أَ َرى ِّ ب بِ ۡٱﻟ َح
ِ َّق ﻟِﺘَ ۡح ُك َم بَ ۡﻴ َن ٱﻟن َ َك ۡٱﻟ ِكﺘ
َ نز ۡﻟنَﺎَٰٓ إِﻟَ ۡﻴ
َ َإِنَّﺎَٰٓ أ
Artinya: “Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara
hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah
mengetahui kepadamu.”(An-Nisa’.105)
182
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.hlm.104-105
178
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sabda NabiSaw:
أخطأ ْ إ َذﺍ حكم ﺍﻟحﺎكم فﺎجْ ﺘهد فﺎصﺎب فله ﺍجﺮﺍن وإذﺍ حكم فﺎجْ ﺘهد ثـ ّم
فلهُ أجْ ٌﺮ
Artinya: “Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad
dan ia menemukan kebenaran dalam berijtihadnya, maka ia mendapat
dua pahala. Jika ia tidak memperoleh kebenaran dalam ijtihadnya, maka
ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat
Tasyri’.184
183
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 21
184
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 22
179
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah Saw dengan Mu’adz
bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
ِب ُم َعﺎذ ْب ِن َجبَ ِل إِ َّن َرس ُْﻮ ُل هللا ِ س ِّم ْن ﺍَ ْه ِل َح َمص ِم ْن أَصْ َحﺎ ٍ َ َع ْن أُنﺎ
كَ َض ﻟ َ ض إِ َذﺍ َع َﺮِ ْف ﺗَ ْق َ َكﻴ:ﺎل َ َث ُم َعﺎ ًذﺍ ﺍﻟِ َي ْﺍﻟﻴَ َم ِن ﻗَ ﻟَ َّمﺎ أَ َرﺍ َد أَ ْن يَ ْب َع
:ب هللا؟ ﻗَﺎ َل ِ فَإ ِ ْن ﻟَ ْم ﺗَ ِج ْد فِي ِكﺘَﺎ:ﺎل
َ َ ﻗ.ِب هللا ِ ﻀى بِ ِكﺘَﺎ ِ أَ ْﻗ:ﺎل َ َﻀﺎ ٌء؟ ﻗ َ َﻗ
ِ فَإ ِ ْن ﻟَ ْم ﺗَ ِج ْد فِي ُسنَّ ِة َرس ُْﻮ ِل هللاِ َو ََل فِي ِكﺘَﺎ: ﻗَﺎ َل.ِفَبِ ُسنَّ ِة َرس ُْﻮ ِل هللا
ب
:ص ْد َرهُ َوﻗَﺎ َل
َ ِب َرس ُْﻮ ُل هللا َ ﻀ َﺮ َ َ ف. ﺍَجْ ﺘَ ِه ُد َرﺍي ِْئ َو ََلآﻟُ ْﻮ:ﺎل َ َهللاِ؟ ﻗ
ﺿي َرس ُْﻮ ُل هللاِ (روﺍه َ ْق َرس ُْﻮ َل َرس ُْﻮ ِل هللاِ ﻟَ َّمﺎ يَﺮ َ َّﺍَ ْﻟ َح ْم ُد ِ ََّّللِ ﺍﻟَّ ِذيْ َوف
).ﺍبﻮدﺍود
Artinya.“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn
Jabal, bahwa Rasulullah Saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz
ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus
hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya
akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi Saw bertanya lagi:, Jika
kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw . Lebih lanjut
Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul Saw
dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama.
Kemudian Rasulullah Saw menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah Saw terhadap jalan yang diridlai-
Nya.”(HR.Abu Dawud).185
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Saw wafat.
Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.186
185
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.308-311
186
Ibit. 312.
180
C. Fungsi Ijtihad.
D. Macam-macam Ijtihad
187
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005),
126.
181
memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad
itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
188
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 104
182
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua,
yaitu:
E. Syarat-syarat Ijtihad
189
Ibid.
190
Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan, h. 93
183
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik
menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak
disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui
letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia
membutuhkannya. Ibnu Arabian membatasinya sebanyak
3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan
dengan hadis Nabi Saw berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh
karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena
hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang
berbeda-beda.191
191
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 104-105
184
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang
berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal
ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah ditulis dengan
bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul
menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-
kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-
Qur’an atau Al-Hadis.
192
Ibid. h.105-106
185
dilakukan secara kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad
yang efektif.193
F. Tingkatan Mujtahid.
Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan
pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya
perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid
muntasib yang semuanya berbeda.194
193
Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011)
h. 59
194
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 108
186
Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya
kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar
pokok yang bersifat umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid
dalammazhab Hanafi, Imam Al-Gazali merupakan mujtahid dalam
mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab
Hambali.
4. Mujtahid Muqayyad
G. Objek Ijtihad.
195
Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011)
h. 60
187
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian:
ْ ُصلَﻮةَ َو َءﺍﺗ
َﻮﺍ ٱﻟ َّز َكﻮة ْ َوأَﻗِﻴ ُم
َّ ﻮﺍ ٱﻟ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur
ayat 56)
196
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 106-107
188
kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan
di kalangan para ulama.197
197
Ibid. h.107
198
Ibid. 107-108
189
Kesimpulan
190
BAB XVII
A. Pengertian Taqlid.
199
Asy -Sy aikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul
Fiqih, hal. 133
200
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), Hal.
163. Lihat juga T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, pengantar ilmu fiqh, (jakarta: bulan bintang,
1974), Hal.190.
201
Mardani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja wali Pers, 2013), hal. 368
202
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 163.
203
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Op.Cit., hal. 190-191.
191
Taqlid. Karena sebenarnya dia mengambil dari dalil bukan dari mujtahid.
Lebih lanjut beliau mengatakan, Ringkasnya Ittiba’ adalah: “mengikuti
sesuatu yang ada hujjahnya.”204
1. Hukum Bertaqlid.
c. Ahmad bin hanbal, Abu ishak bin al-rawahaih dan sofyan al-
tsauri mengatakan boleh mujtahid melakukan taqlid kepada
mujtahid lain secara mutlak.
204
Ibid.
205
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 164-167
206
Amir Syarifuddin, Op.Cit., hal. 167-168.
192
dalam level shahabat nabi dan tidak boleh kepada mujtahid
lainnya.
193
سَٔٔ ﻟُ َٰٓﻮ ْﺍ أَ ۡه َل ٱﻟ ِّذ ۡك ِﺮ إِن
ۡ َﻮح َٰٓي إِﻟَ ۡﻴ ِهمَۡۖ ف َ َِو َمﺎَٰٓ أَ ۡر َس ۡلنَﺎ ِمن ﻗَ ۡبل
ِ ُّك إِ ََّل ِر َج اﺎَل ن
َ ُكنﺘُمۡ ََل ﺗَ ۡعلَ ُم
ﻮن
Artinya. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-
orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,(An-Nahl.43).
(4) Mujtahid.
207
Mardani, Op.Cit. hal. 369-370
194
2. Ketentuan Bertaqlid.
208
al-'Utsaimin, Op.cit. hal. 135
195
yang lain, yang mana 'ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Allah
terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu
pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib
dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
3. Syarat-syarat taqlid.
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat
orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu
yakni sebagai berikut :209
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa
yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti
pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan
mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali
sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau
baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan
dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain
(dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh
mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
209
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka
Setia, cet. 2, 2001), hal. 155.
196
dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad
Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al-Jauzi dan sebagainya.210
210
Loc.cit.
211
Loc.cit.
197
yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Allah
terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu
pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib
dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
B. T a l f i q.
Pengertian Talfiq
212
Syarh al-Asnawi, III, 266, Tuhfah al-Ra’yi al-Sadid, V, 79.
198
Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat
atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan
oleh seseorang atau imam madzhab manapun .
213
Syarh al-Asnawi, III, 266, Tuhfah al-Ra’yi al-Sadid, V, 80
199
a. Seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tanpa wali
dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu Hanifah,
kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar
dan tanpa menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam
Malik. Contoh talfiq seperti ini tidak diperbolehkan karena
menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para ulama.
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas
pada pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-
cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah
ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu
bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan bertaklid saja dalam masalah
ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak di perbolehkan
bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu yang jelas jelas
keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan minuman
keras.
214
Syarhu al-Tanqih, 386
200
ibadah, karena dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya
adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada
Allah Swt.
215
‘Umdatu al-tahqiq,127
201
Kedua, kelompok yang membolehkan praktik talfiq, diantaranya
adalah sebagian ulama‘ Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi‘i serta Abu
Hanifah: mereka membolehkan talfiq dengan alasan bahwa larangan
talfiq tersebut tidak ditemukan dalam syara‘, karenanya seorang
mukallaf boleh menempuh hukum yang lebih ringan. Selain itu, ada
hadits Nabi Saw (qauliyah maupun fi‘liyah) yang menunjukkan bolehnya
talfiq. Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Aisyah, Nabi Saw
bersabda:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama
suatu kesempitan. 217
216
Ushul al-Fiqh al-Islamiy, II, 1181
217
Fatawa Saikh ‘Alaisy,I,78
202
ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang
diikutinya.
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil sharih
yang menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq.
Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu
bersumber dari apa yg dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma`
mereka, dimana mereka beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan
timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan pendapat antara
dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama` berpendapat
203
tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi
sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq).
204
Rasulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan ialah sesuatu yang
diperbolehkan oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman ialah
sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila
tidak tersebutkan maka dima`fu olehnya dan tidak memberatkan atas
kamu” .
C. ITTIBA’
Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itiba’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau
fi’il “Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau
menurut.
218
Ushul al-Fiqih al-Islami, II, 1176-1177
205
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah: “Menerima perkataan orang
lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya.”
1. Hukum Ittiba’
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah
perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
206
Artinya.“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan
perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (HR.Abu Daud)219
207
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu
pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli
dalam ilmu Al-Qur’an dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan
pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir
dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Rasul Saw, bahkan
yang terkandung dalam Al-Qur’an. Untuk itu, kepada orang-orang yang
seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
3. Macam-macam ittiba’
220
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2011), hal. 129-131
208
Ulama’ sepakat bahwa seluruh kaum muslimin wajib mengikuti
segala perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya.
D. IFTA’
1. Fatwa (IFTA’)
Secara etimologi kata ifta’ terambil dari akar kata “ ﺍفﺘى- ﺍفﺘﺎء-”يفﺘى
yang berarti memberi penjelasan , memberi jawaban dan atau berarti
memberi fatwa. Ifta’ itu pada intinya adalah usaha memberikan
penjelasan tentang suatu hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang
belum mengetahuinya. Dari sini dapat dipahami bahea yang dimaksud
dengan ifta’ ialah kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai
jawaban atas dasar pertanyaan yang diajukan.
221
Ibid,Hlm: 129-130
222
Ali Bin Muhammad al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jeddah :Al-haromain) hal.32
209
Dari segi terminologi fatwa adalah pendapat atau keputusan dari
alim ulama atau ahli hukum Islam.
223
Totok jumantoro. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. AMZAH: jakarta. 2005. Hal. 101
224
Yusuf al-Qaradawi, al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Kairo: Dar Sahwah
li al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988), Hal. 11
210
berat dan besar bahayanya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula
karena orang yang berfatwa itu bukan sembarang orang melainkan
adalah pewaris para nabi yang secara fardlu kifayah harus melaksanakan
urusan itu” Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa mufti adalah
penyambung lidah para nabi, khususnya Nabi Muhammad Saw. untuk
menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat dibumi ini.
Kesimpulan
225
Ibid.
211
Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau
menggabungkan . pada hal ini ruang lingkup talfiq menurut Para ulama`
fiqh sepakat bahwa hanya terbatas pada pada masalah-masalah
furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih
perkiraan).
212
BAB XVIII
QAIDAH FIQHIYYAH
226
Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 1.
227
Ibid., hlm. 2.
213
B. Hubungannya dengan Ilmu Lainnya.
214
dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q. S.
Al-Maidah ayat 3)
215
mendinamiskan ilmu fikih ke arah pemecahan problema hukum
masyarakat.228
Kemudian tujuan dari pada ushul fiqh itu sendiri adalah untuk
mengetahui jalan dalam mendaptkan hukum syara’ dan cara-cara untuk
menginstimbatkan suatu hukum dari dalil-dalinya. Dengan
menggunakan ushul fiqh itu, seseorang dapat terhindar dari jurang
taklid. Ushul fiqh itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai
pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu, berisikan antara lain teori-
teori hukum baik berupa asas-asas hukum, dalil-dalil atau kaidah-kaidah
ushul fiqh yang harus digunakan untuk dapat memahami syari’at itu
dengan baik.229
228
Imam Musbikin, Qawa’id Al-fiqhiyah, (jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011),
hlm. 13.
229
Basiq Djalali, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 17.
216
menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya
dengan tepat.230
Hukum yang digali dari dalil atau sumber hukum itulah yang
kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk
operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari
dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dan sunnah) tanpa melalui ushul fiqih.
Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar
(landasan) fiqih.
ْ ُصلَﻮةَ َو َءﺍﺗ
َﻮﺍ ٱﻟ َّز َكﻮة ْ َوأَﻗِﻴ ُم
َّ ﻮﺍ ٱﻟ
Artinya:“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ...”
Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang
secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai
aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat
maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
230
Op. Cit.,hlm. 43.
217
dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-
kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan
tepat pada waktunya. Kemudian seorang mualaf dalam menjalankan
kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika
mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasusu seperti ini,
mualaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya
terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid
fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah bahaya wajid dihilangkan.
Ini adalah salah satu perbedaan antara qawaid ushuliyah dengan qawaid
fiqhiyah. Qawaid ushuliyah menkaji dalil hukum (nash al-Qur’an dan
sunnah) dan hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji
perbuatan mukalaf dan hukum syarak.
Periode ini, dari segi fase sejarah hukum Islam dapat dibagi
menjadi tiga dekade: zaman Nabi Muhammad Saw. yang berlangsung
231
Ibid., hlm. 44.
218
selama 22 tahun lebih (610-632 M / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in
serta tabi’ al-tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M /
100-351 H). Tahun 351 H/ 974 M dianggap sebagai zaman kejumudan
karena tidak ada lagi ulama pendiri mazhab. Ulama pendiri mazhab
terakhir adalah Ibn Jarir Al-Thabari (w. 310 H/ 734 M) yang menirikan
mazhab Jaririah.
232
Saidus Syahar, Asas-asas Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 35.
219
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Menurut riwayat al-‘Ala’i al-Ayafi’i (w. 761 H.), al-Suyuthi (w. 911
H.), Ibn al-Nujaim (w. 970 H.), Abu Thahir al-Dabbas (ulama abad IV H.)
telah mengumpulkan tujuh belas kaidah penting dalam mazhab Hanafi.
Al-Karkhi (w. 340 H.) yang hidup sezaman dengan Abu Thahir al-
Dabbas mengadopsi kaidah-kaidah fikih tersebut dan
mengumpulkannya dengan kaidah lain sehingga berjumlah 37 kaidah
seperti yag dibukukannya dalam Ushul al-Karkhi.
233
Ibid., hlm. 64.
220
Dengan demikian, pada abad IV H telah ada dua kitab kaidah fikih,
yaitu Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi yang beraliran hukum Hanafi dan
Ushul al-Futiya yang disusun oleh Muhammad Ibn Harits al-Husyni yang
berliran hukum Maliki. Oleh karena itu, ulama yang berjasa dalam
pembentukan kaidah fikih pada abad IV H aalah aliran Hanafi dan Malik.
234
Ibid., hlm. 66.
221
Kitab pertama dan kedua disusun oleh ulama pengikut mazhab al-
Syafi’i, sedangkan kitab ketiga disusun oleh ulama pengikut mazhab
Maliki. Oleh karena itu, dominasi mazhab dalam kodifikasi dan
perkembangan kaidah fikih telah bergeser: abad IV dan V hijriah
kodifikasi dan perkembangan kaidah fikih didominasi oleh aliran Hanafi,
sedangkan pada abad VII hijriah, aliran al-Syafi’i yang mendominasinya.
1) Sesuai dengan tema besar yang kitab tersebut, Izz al-Din Ibn
‘abd al-Salam menjelaskan tentang syari’at “semua
(ketentuan) syari’at adalah mashlahat; baik dengan cara
penolakan terhadap kesulitan maupun dengan mendatangkan
kegunaan”.
222
7) Dosa memiliki tingkatan (terutama antara dosa besar dan
dosa kecil) dan perbuatan baik yang mendatangkan pahala
pun memiliki tingkatan.
235
Ibid., hlm. 75.
223
Pada abad IX H tercatat sebagai periode syarh (penjelasan),
karena pada zaman ini muncul Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H) yang
mengkodifikasi kaidah fikih dengan cara menjelaskan kitab-kitab yang
telah ada sebelumnya. Disamping itu, diikuti pula oleh peneliti lainnya.
Banyak buku-buku kaidah fikih yang disusun pada abad IX H.236
236
Ibid., hlm. 84.
237
Ibid., hlm. 98.
224
Utsmaniah. Para Fuqaha merangkum dan memilih kaidah fikih dari
sumber-sumbernya.
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
sentral dan marginal. Yang pertama disebut dengan kaidah fiqh sentral
karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas.
Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya
: “Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
238
Ibid., hlm. 99.
225
Ditinjau dari segi pengecualiannya, kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi dua:
3. Segi kualitas
1) تِ ( ﺍِنَّ َمﺎ ْﺍۡلَ ْع َمﺎ ُل بِﺎﻟنِّﻴَﺎperbuatan atau perkara itu tergantung pada
niat)
226
3) ( ْﺍﻟ َم ْشقَةُ ﺗَجْ لِبُ ﺍﻟﺘَ ْﻴ ِسﻴ َْﺮkesulitan mendatangkan kemudahan).239
239
Adib Hamzawi, http://jurnal.staih.ac.id/index.php/inovatif/article/download/58/46/,
diakses pada tanggal 24 Februari 2019 pukul 22.15 WIB.
227
sedangkan dalam dhabith fikih belum ada penjelasannya
mengenai ada tidaknya pengecualian.240
Kesimpulan
240
Op. Cit., hlm. 12.
228
BAB XIX
Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan
fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa
berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang
berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum
syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari
dalil-dalil yang terperinci.241
241
Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,3.
242
A. Mu’in, dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, 1986, hal, 181.
229
2. Qaidah-qaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup
banyak, tetapi tak seluas yang pertama, qaidah ini biasa
disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.
243
Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,82.
230
Sedangkan qaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal
tersebut.
231
yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –
alfiqhiyawa tashiliha.244
Dasar qaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
Qaidah.
Qaidah
244
Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian
Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011, hal. 4
245
Drs. Burhanuddin, Mag, “Fiqih Ibadah”, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal, 249.
232
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat
56:
َ صلَ ِحهَﺎ َو ۡٱد ُعﻮهُ َخ ۡﻮ افﺎ َوطَ َمع ًَۚﺎ إِ َّن َر ۡح َم
ت ۡ
ِ وﺍ فِي ٱۡلَ ۡر
ۡ ِض بَ ۡع َد إ ْ َو ََل ﺗُ ۡف ِس ُد
َ ِيب ِّم َن ۡٱﻟ ُم ۡح ِسن
ﻴن َّ
ٞ ٱَّللِ ﻗَ ِﺮ
246
Ibid, hal, 251.
233
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan
rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.”
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Qaidah
247
Ibid, hal, 260.
234
Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana
kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya
kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut,
kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut,
maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.
Qaidah
Qaidah
Qaidah
235
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan
melalui nash.248
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Qaidah
Qaidah
236
Contoh: apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalana
tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar shalat,
maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak
mengqsar shalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang
cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan
perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada
tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila
harus melakukan shalat pada waktu shalat tersebut.
Qaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185:
ﺿ ِع اﻴفﺎ ِۡ ق
َ ٱﻹن َس ُن َ ِف َعن ُكمَۡۚ َو ُخل
َ ِّٱَّللُ أَن ي َُﺨف
َّ ي ُِﺮي ُد
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.”(An-Nisa’. 28).
Qaidah
Qaidah
Qaidah
237
Qaidah
Kesimpulan
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh
tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua
buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah
bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang
dijadikan dasar bagi yang lain.
250
Ibid, hal, 257.
238
BAB XX
MAQASHID SYAR’IAH
Maqashid al-Syariah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan al-
Syari’ah yang berhubungan antara satu dan lainnya dalam bentuk
mudhaf dan mudhafun ilaih. Kata maqashid adalah jamak dari kata
maqshad yang berarti adalah maksud dan tujuan. Kata Syariah yang
sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah,
maupun ditetapkan Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan
Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang ditetapkan
Allah atau dijelaskan oleh Nabi Saw. Karena yang dihubungkan kepada
kata syari’at itu adalah kata “maksud”, maka kata syari’ah berarti
pembuat hukum atau syar’i, bukan hukum itu sendiri. Dengan demikian,
kata maqashid al-syari’ah berarti apa yang dimaksud oleh Allah dalam
menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam menetapkan hukum
atau apa yang ingin di capai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.
251
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. I, Cet. 6, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2005), h.
233.
252
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), h.
231
239
B. Cara Mengetahui dan Tujuan mengetahui maqashid syari’ah
253
Ibid, h. 248.
240
akhir dari tujuan awalnya adalah ta’lil al-ahkam yang artinya mencari
dan mengetahui illat hukum. Adapun tujuan mengetahui illat hukum
antara lain:
241
akalan seperti ini tampaknya belum berkenan di hati
mayoritas ulama.254
254
Ibid, h. 246-247.
242
hukum, maka al-Ghazali membuat rumusan baru yaitu memelihara
tujuan syara’, sedangkan tujuan syara’ sehubungan dengan hambanya
adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Tujuan yang lima
itulah yang populer dengan sebutan prinsip yang lima255.
1. Memelihara agama.
َل إِ ۡك َﺮﺍهَ فِي ٱﻟدِّي َۖ ِن ﻗَد ﺗَّبَﻴ ََّن ٱﻟﺮُّ ۡش ُد ِم َن ۡٱﻟ َغ َۚ ِّي
َٰٓ َ
Artunya. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS.
Al-Baqarah: 256).
Asbabun Nuzul ayat ini yaitu diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa ada seorang wanita yang sedikit keturunannya, dia
bersumpah kepada dirinya, bahwa bila ia dikaruniai anak, dia akan
menjadikannya sebagai seorang Yahudi (hal ini dilakukan oleh para
255
Ibid, h. 231-233.
243
wanita dari kaum Anshar pada masa jahiliyyah), lalu ketika muncul bani
Nadzir, diantara mereka terdapat keturunan dari kaum Anshar. Maka
bapak-bapak mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak-anak
kami”; mereka tidak akan membiarkan anak-anak mereka memeluk
agama Yahudi, lalu Allah menurunkan ayat ini,
256
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, TT), h. 1.
244
Artinya. Sesungguhnya orang yang beriman itu adalah orang yang
percaya pada kepada Allah dan percayalah kepada Rasul-Nya.257
257
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana Prenadamedia Group, 2008), h.
233.
258
Ibid, h. 233.
259
Ibid, h. 233.
245
Qur’an menjadikan salah satu sebab diperkenankannya berperang
adalah karena untuk menjaga kebebasan beribadan.260
2. Memelihara jiwa.
َ ﻮﺍ ﻗُ َٰٓﻮ ْﺍ أَنفُ َس ُكمۡ َوأَ ۡهلِﻴ ُكمۡ نَ اﺎرﺍ َوﻗُﻮ ُدهَﺎ ٱﻟنَّﺎسُ َو ۡٱﻟ ِح َج
ُﺎرة َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
ْ ُين َءﺍ َمن
Artinya. Peliharalah dirimu dan pelihara pula keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
b. Larangan pembunuhan.
246
Dalam rangka menguatkan larangan ini Allah menetapkan
ancaman akhirat, yang berbunyi;
َو َمن يَ ۡقﺘُ ۡل ُم ۡؤ ِم انﺎ ُّمﺘَ َع ِّم ادﺍ فَ َج َز َٰٓﺍ ُؤ ۥهُ َجهَنَّ ُم
Artinya. Barang siapa yang membunuh seseorang dengan sengaja,
ancamannya adalah neraka jahannam. (QS. An-Nisaa’: 93)
c. Larangan Aborsi
247
(malaikat pun) diperintahkan empat kata: menulis rezekinya, ajalnya,
amalnya, dan tercatat sebagai orang yang celaka atau orang yang
beruntung. Maka demi dzat Yang tiada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya
setiap kalian akan melakukan amalan penghuni surga hingga jarak
antara dirinya dan surga hanya satu dzira’ (ukuran panjang dari siku
sampai ujung jari; kurang lebih 18 inci), lalu catatan amal (takdir)
mendahuluinya, dia pun mengerjakan amalan penghuni neraka, dan
akhirnya dia masuk neraka. Dan sungguh setiap kalian akan melakukan
amalan penghuni neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka hanya
satu dzira’, lalu catatan amal (takdir) mendahuluinya, dia pun
mengerjakan amalan penghuni surga, dan akhirnya masuk surga. (HR.
Muslim)
3. Memelihara Akal .
262
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarata: Amzah, TT), h. 32-
33
248
Artinya.Allah meningkatkan orang-orang yang beriman
diantaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajad. (QS. Al-
Mujadilah:11)263
4. Memelihara Keturunan.
263
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana Prenadamedia Group, 2008), h.
236.
264
Ibid, h. 236.
265
Ibid, h. 237.
249
dengan keluarga adalah keluarga yang dihasilkan melalui perkawinan
yang sah. Perintah Allah dalam rangka Jalbu manfa’at yakni melakukan
perkawinan.266
266
Ibid, h. 237.
267
Ibid, h. 237.
250
Artinya. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,(An-
Nur.2).
5. Memelihara Harta .
ۡ
َّ ﻀ ِل
ِٱَّلل ۡ َﻮﺍ ِمن ف ِ ُوﺍ فِي ٱۡلَ ۡر
ْ ض َو ۡٱبﺘَ ُغ ْ صلَﻮةُ فَٱنﺘَ ِشﺮ َّ ت ٱﻟ ِ َ ﻀﻴِ ُفَإ ِ َذﺍ ﻗ
َ ﻴﺮﺍ ﻟَّ َعلَّ ُكمۡ ﺗُ ۡفلِح
ُﻮن ْ َو ۡٱذ ُكﺮ
َّ ُوﺍ
ٱَّللَ َكثِ ا
Artinya. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS. Al-Jumu’ah:10)
َٰٓ َّ ِﻮﺍ ََل ﺗَ ۡأ ُكلُ َٰٓﻮ ْﺍ أَمۡ َﻮﻟَ ُكم بَ ۡﻴنَ ُكم بِ ۡٱﻟبَ ِط ِل إ
َ َل أَن ﺗَ ُك
ًﻮن ﺗِ َج َﺮة ْ ُين َءﺍ َمن َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
ََۚۡعن ﺗَ َﺮﺍض ِّمن ُكم
ٖ
Artinya. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS.
An-Nisaa’: 29)
ِۗ َّ َّﺎرﻗَةُ فَ ۡٱﻗطَع َُٰٓﻮ ْﺍ أَ ۡي ِديَهُ َمﺎ َج َز َٰٓﺍ َۢ َء بِ َمﺎ َك َسبَﺎ نَ َك اٗل ِّم َن
ِٱَّلل ُ َّﺎر
ِ ق َوٱﻟس ِ َوٱﻟس
268
Ibid, h. 238.
269
Ibid, h. 238.
251
Artinya. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (QS. Al-Maaidah: 38).
b. Hasil mencuri.
e. Penipuan
g. Dan sebagainya.
270
Ibid, h. 233.
271
Ibid, h. 239.
252
hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kemaslahatan yang
akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu kebutuhan dharuriyyah, kebutuhan hajiyat dan kebutuhan
tahsiniyat.
َۖ َّ ِ ِّين
َِّلل َ ة َويَ ُكٞ َﻮن فِ ۡﺘن
ُ ﻮن ٱﻟد َ َوﻗَﺘِلُﻮهُمۡ َحﺘَّى ََل ﺗَ ُك
Artinya.Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi
dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. (QS. Al-
Baqarah: 193).
272
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana Prenadamedia Group, 2008), h.
240.
253
Artinya. Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-
Baqarah: 179)
273
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Ed. I, Cet. 6, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2005), h. 234.
274
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana Prenadamedia Group, 2008), h.
240
254
perjanjian bagi laba) dan beberapa ‘uqubat (sanksi hukum), Islam
mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak sengaja,
dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang
mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Suatu kesempatan menimbulkan keringanan dalam syariat Islam adalah
ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an juga. Misalnya, Surat Al-
Maidah ayat 6;
ِّين ِم ۡن َح َﺮ َۚ ٖج
ِ َو َمﺎ َج َع َل َعلَ ۡﻴ ُكمۡ فِي ٱﻟد
Artinya. Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan.(QS. Alj-Hajj; 78).275
255
menganjurkan berhias ketika hendak ke masjid, menganjurkan
memperbanyak ibadah sunnah.
َ َوﻟَ ِكن ي ُِﺮي ُد ﻟِﻴُطَه َِّﺮ ُكمۡ َوﻟِﻴُﺘِ َّم نِ ۡع َمﺘَ ۥهُ َعلَ ۡﻴ ُكمۡ ﻟَ َعلَّ ُكمۡ ﺗَ ۡش ُكﺮ
ُون
Artinya.Tetapi Dia (Allah) hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur. (QS. Al-
MAidah: 6)
256
muktabarah, namun disitu ada mudharatnya, maka mujtahid
menetapkan hokum larangan sebagaimana Allah melarang setiap yang
member mudharat. Begitu pula jika suatu tindakan diyakini baik dan
mengandung mashlahat, maka mujtahdi menetapkan suruhan
sebagaimana Allah menyuruh melakukan suatu perbuatan yang baik,
baik dalam bentuk wajib maupun mandhub.276
Kesimpulan :
276
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta:Kencana Prenadamedia Group, 2008), h.
246.
257
258
BAB XXI
HUKUM SYARA’
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah
dan sabda Rasul Saw. Apabila disebut hukum syara’, maka yang
dimaksud ialah hukum yang bersangkutan dengan manusia, yakni yang
dibahas dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang bersangkutan dengan
aqidah dan akhlak. 277
277
Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.
259
5. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau
tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk
dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
Hukum Taklifi
260
Contoh hukum Taklifi yang boleh bagi si mukallaf untuk
memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya :
1. Wajib.
2. Mandup (sunah).
3. Haram.
278
Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: 1985), hlm.20.
261
kemuliaan. Contohnya seperti : berzina, mencuri, minum khamar,
membunuh tanpa hak, memakan harta orang dengan zalim, dan lain-lain.
4. Makruh.
Makruh ialah berasal dari kata kariha yaitu sesuatu yang tidak
disenangi, dibenci atau sesuatu yang dijauhi. Secara istilah makruh ialah
sesuatu yang dituntut syara’ kepada mukallaf untuk meninggalkannya
dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti. Contohnya seperti : larangan
Allah kepada manusia untuk tidak bertanya tentang sesuatu yang apabila
dijelaskan akan menyusahkan kamu, dan menghamburkan harta.
5. Mubah.
Hukum Wadh’i
1. Sebab.
279
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Mesir : Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah , tt), hlm. 105-115
262
datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan
adalah suatu yang jelas dan dapat diukur, apakah bulan Ramadhan
sebab, sedangkan datangnya kewajiban berpuasa Ramadhan disebut
musabbab atau hukum atau disebut juga sebagai akibat.
2. Syarat.
3. Mani’(penghalang).
263
Contoh seperti : shalat lima waktu yang diwajibkan kepada semua
mukallaf dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat,
puasa. Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ada
hukum yang mendahului hukum wajib tersebut.
Sah dan batal secara etimologi kata sah atau shihhah merupakan
lawan saqam yang berarti sakit. Istilah sah dalam syara’ digunakan
dalam ibadah dan akad maumalat. Yaitu suatu perbuatan dipandang sah
apabila sejalan dengan kehendak Syara’, atau perbuatan mukallaf
disebut sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan istilah
batal, tidak tecapainya suatu perbuatan yang memberikan pengaruh
secara syara’. Yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan mukallaf apabila
tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan syara’, maka perbuatan
disebut batal. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang tidak memenuhi
rukun dan syaratnya, maka perbuatan itu menjadi batal. 280
1. Hukum.
264
hukum dalam pandangan para ahli fiqh adalah apa yang
dikandung oleh khitab Allah atau al-nushus tersebut.
Istilah khitab Allah dalam definisi diatas adalah kalam Allah yang
langsung terdapat dalam Al-Qur’an atau kalam Allah melalui perantaraan
yang berasaldari Sunnah, ijma’, dan semua dalil-dalil syara’ yang
dihubungkan kepada Allah untuk mengetahui hukum-Nya.281
2. Al-Hakim.
281
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), cet.Ke-2,
hlm. 42.
265
b. Kalangan Asy’ariyyah, berpendapat bahwa akal secara
independen tidak dapat mengetahui hukum Allah tanpa
perantaraan Rasul dan Wahyu.
282
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1987), Cet. Ke-2, hlm. 55.
266
c. Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat
dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf sesuai dengan
kadar kemampuannya. Mengingat tujuan hukum adalah agar
hukum itu dapat ditaati, oleh karena itu tidak ada beban yang
diperintahkan oleh Al-Qur’an untuk dikerjakan atau
ditinggalkan yang melewati batas kemampuan manusia.
Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah memberikan beban
yang mustahil (di luar kemampuan) mukallaf. Contohnya
perintah untuk terbang seperti burung. 283
4. Mahkum Alaih.
283
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 124-126.
267
dalam perut seorang ibu. Baginya ada beberapa hak, ia berhak
menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tetapi
tidak mampu melaksanakan kewajiban.
5. Ahliyyah.
a. Ahliyyah al-ada’,
284
Wahbah al-Zulhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), Cet.Ke-2,
hlm. 37.
268
Contohnya seperti : apabila mukallaf mendirikan shalat, puasa
atau haji, maka semua itu bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan
kewajiban.
b. Ahliyyah al-wujub.
Kesimpulan
285
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1987), Cet. Ke-2, hlm. 112-126
269
Secara garis besar, hukum syara’ adalah seperangkat peraturan
tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu
Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya.
270
BAB XXII
HUKUM TAKLIFI
271
mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan
hukum taklifi. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum
tersebut:
287
Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: 1985), hlm.20.
272
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Abu Hanifah
membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih,
nadb, dan ibahah.
1. Wajib
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah)
lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar
(perintah) dalam firman Allah:
273
Artinya. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)
Pembagian Wajib
274
2) Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis
sama atau sama banyak dengan waktu mengerjakan
kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu
sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena
itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu yang
tersedia untuk mengerjakannya.
275
dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka
menjadi hutang dan boleh diambil dengan paksa.
a. Wajib muthlaq.
b. Wajib muaqqad
288
Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 38-39.
276
Wajib muaqqad yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya
ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut.
Contohnya puasa Ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Wajib muwassa’.
2) Wajib mudhayyaq.
a. Wajib ‘ain.
b. Wajib kifayah.
277
a. Wajib mu’ayyan yaitu Wajib yang ditentukan zatnya , contoh :
membaca Al Fatihah dalam shalat.
2. Mandub.
ين َءﺍ َمنُ َٰٓﻮ ْﺍ إِ َذﺍ ﺗَ َدﺍيَنﺘُم بِ َد ۡي ٍن إِﻟَ َٰٓى أَ َج ٖل ُّم َس ا ّمى فَ ۡٱكﺘُبُﻮ َۚهُ َو ۡﻟﻴَ ۡكﺘُب َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
ٱَّللُ فَ ۡلﻴَ ۡكﺘُ ۡب
َۚ َّ ُب َك َمﺎ َعلَّ َمه َ ُب َكﺎﺗِبٌ أَن يَ ۡكﺘ َ ب َّۡﻴنَ ُكمۡ َكﺎﺗِ َۢبُ بِ ۡٱﻟ َع ۡد َۚ ِل َو ََل يَ ۡأ
س ِم ۡنهُ َش ۡئ أ َۚﺍ فَإِن َّ ق
ۡ ٱَّللَ َربَّ ۥهُ َو ََل يَ ۡب َﺨ ۡ ُّ َو ۡﻟﻴُمۡ لِ ِل ٱﻟَّ ِذي َعلَ ۡﻴ ِه ۡٱﻟ َح
ِ َّق َوﻟﻴَﺘ
ﺿ ِعﻴفًﺎ أَ ۡو ََل يَ ۡسﺘَ ِطﻴ ُﻊ أَن يُ ِم َّل هُ َﻮ َ ق َسفِﻴهًﺎ أَ ۡو ُّ ﺎن ٱﻟَّ ِذي َعلَ ۡﻴ ِه ۡٱﻟ َح َ َك
رِّجﺎﻟِ ُكمَۡۖ فَإِن ﻟَّمۡ يَ ُكﻮنَﺎ َ وﺍ َش ِهﻴ َد ۡي ِن ِمن ْ ٱسﺘَ ۡش ِه ُدۡ فَ ۡلﻴُمۡ لِ ۡل َوﻟِﻴُّ ۥهُ بِ ۡٱﻟ َع ۡد َۚ ِل َو
ﻀ َّل إِ ۡح َدىهُ َمﺎ ِ َﺿ ۡﻮ َن ِم َن ٱﻟ ُّشهَ َد َٰٓﺍ ِء أَن ﺗ َ ﺎن ِم َّمن ﺗَ ۡﺮ ِ َُل َوٱمۡ َﺮأَﺗٞ َر ُجلَ ۡﻴ ِن فَ َﺮج
سَٔٔ ُم َٰٓﻮ ْﺍ ۡ َﻮﺍ َو ََل ﺗ ْ َۚ ب ٱﻟ ُّشهَ َد َٰٓﺍ ُء إِ َذﺍ َمﺎ ُد ُع َ فَﺘُ َذ ِّك َﺮ إِ ۡح َدىهُ َمﺎ ۡٱۡلُ ۡخ َﺮ َۚى َو ََل يَ ۡأ
ٱَّللِ َوأَ ۡﻗ َﻮ ُم ﻟِل َّشهَ َد ِة
َّ ص ِغﻴﺮًﺍ أَ ۡو َكبِﻴﺮًﺍ إِﻟَ َٰٓى أَ َجلِ َِۚۦه َذﻟِ ُكمۡ أَ ۡﻗ َسطُ ِعن َد َ ُأَن ﺗَ ۡكﺘُبُﻮه
س َ ﺎﺿ َﺮ اة ﺗُ ِديﺮُونَهَﺎ بَ ۡﻴنَ ُكمۡ فَلَ ۡﻴ ِ ﻮن ﺗِ َج َﺮةً َح َ َل أَن ﺗَ ُك َٰٓ َّ َِوأَ ۡدنَ َٰٓى أَ ََّل ﺗَ ۡﺮﺗَﺎب َُٰٓﻮ ْﺍ إ
ب َو ََلٞ ُِﻀﺎَٰٓ َّر َكﺎﺗ َ َعلَ ۡﻴ ُكمۡ ُجنَﺎ ٌح أَ ََّل ﺗَ ۡكﺘُبُﻮهَ ِۗﺎ َوأَ ۡش ِه ُد َٰٓو ْﺍ إِ َذﺍ ﺗَبَﺎيَ ۡعﺘُمَۡۚ َو ََل ي
278
ِۗ َّ ٱَّللَ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم
َّ ٱَّللُ َو
ٱَّللُ بِ ُك ِّل ُ َۢ ﻮﺍ فَإِنَّ ۥهُ فُسُﻮ
ْ ُق بِ ُكمِۡۗ َوٱﺗَّق
َۖ َّ ﻮﺍ ْ َُۚﻴد َوإِن ﺗَ ۡف َعلٞ َش ِه
ﻴمٞ َِش ۡي ٍء َعل
Artinya. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak
ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.(QS. Al-Baqarah 282)
Ayat ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya
mandub (sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan
untuk memalingkan amar yang mempunyai arti wajib ke arti mandub
279
melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan mungkin juga
ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
b. Pembagian Mandub.
280
seperti mengucapkan salam, mendoakan orang bersin, dan
lain sebagainya.
289
Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset hal 363
281
a) Sunah muakkadah. Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi
disamping ada keteranganyang menunjukkan bahwa
perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
3. Haram
Pengertian Haram.
282
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-
Maidah 3)
a. Pembagian Haram
291
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), cet.Ke-2,
hlm. 42.
283
Artinya. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
b) Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan
kias dan haram seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga
dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti larangan bagi
kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang
diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya:
“Kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu Daud, Ahmad dan
Nasai dari Ali bin Thalib)
َۖم َو ََلٞ ض ٱﻟظَّنِّ إِ ۡث َ ﻴﺮﺍ ِّم َن ٱﻟظَّنِّ إِ َّن بَ ۡع ُﻮﺍ َكثِ ا ْ ٱجﺘَنِبۡ ﻮﺍ ْ ُين َءﺍ َمن َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
ﻀ ُكم بَ ۡعﻀ ًَۚﺎ أَي ُِحبُّ أَ َح ُد ُكمۡ أَن يَ ۡأ ُك َل يَ ۡأ ُك َل ﻟَ ۡح َم ُ ُﻮﺍ َو ََل يَ ۡغﺘَب ب َّۡع ْ ﺗَ َج َّسس
ﻴمٞ َّح
ِ ﺍب ر َّ ٱَّللَ إِ َّن
ٞ ٱَّللَ ﺗَ َّﻮ ْ ُأَ ِخﻴ ِه َم ۡﻴ اﺘﺎ فَ َك ِﺮ ۡهﺘُ ُمﻮ َۚهُ َوٱﺗَّق
َۚ َّ ﻮﺍ
Artinya. Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan
dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang)
kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa dan
janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban
orang dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain.
Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang
telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu
284
jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang tersebut)
dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima
taubat, lagi Maha mengasihani. al-Hujarat : 12
4. Makruh.
a. Pembagian Makruh
292
Saipiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 124-126
285
ﻮﺍ َع ۡن أَ ۡشﻴَﺎَٰٓ َء إِن ﺗُ ۡب َد ﻟَ ُكمۡ ﺗَس ُۡؤ ُكمۡ َوإِن ْ ُسَٔٔ ﻟ ۡ َﻮﺍ ََل ﺗ َ يََٰٓأَيُّهَﺎ ٱﻟَّ ِذ
ْ ُين َءﺍ َمن
َّ ٱَّللُ َع ۡنهَ ِۗﺎ َو
ٱَّللُ َغفُﻮ ٌر ُ ﻴن يُنَ َّز ُل ۡٱﻟقُ ۡﺮ َء
َّ ﺍن ﺗُ ۡب َد ﻟَ ُكمۡ َعفَﺎ َ ﻮﺍ َع ۡنهَﺎ ِحْ ُسَٔٔ ﻟ ۡ َﺗ
ﻴمٞ َِحل
Artinya.Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu
akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an
itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan
(kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Al-Maidah : 101.
5. Mubah.
a. PembagianMubah
286
Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang
diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Kesimpulan.
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib),
nadb (sunat) , tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
293
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Mesir : Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah , tt), hlm. 105-115
287
Ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada
mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235: “Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan mestilah sindiran.”
288
BAB XXIII
HUKUM WADH’I
B. Sebab
294
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, kencana, Jakarta: 2010, hlm. 42
295
Hasan Nurdin, Syariat Islam, CV. Toha Putra, Semarang: 1978, hlm. 19
289
hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa
sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia. 296
290
“sebab” seperti hubungan masuknya bulan Ramadhan dengan datangnya
kewajiban puasa. Kita tidak akan tahu kenapa demikian, dalam hal ini
kita serahkan saja kepada kehendak Allah. Tetapi bila kesersian
hubungan itu jelas dan dapat diketahui oleh akal manusia, maka
petunjuk adanya hukum itu disebut “’illat”. Dalam contoh sifat
memabukkan diatas yang terdapat pada minuman, jelas ada
hubungannya dengan hukum haram, karena sifat memabukkan itu akan
merusak akal, sedangkan kita disuruh memelihara akal.
298
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan:
2006, hlm. 270
291
1. Macam-macam sebab:
292
d. Kadang-kadang “sebab” itu berupa sesuatu yang tidak mampu
dilakukan mukallaf dan bukan termasuk perbuatan mukallaf. Seperti
masuk waktu menjadi sebab kewajiban sholat. Hubungan kerabat
menjadi sebab adanya hak waris dan perwalian.
Jika ditemukan suatu sebab, baik berupa perbuatan mukallaf atau bukan,
dan sudah memenuhi syarat sebagai sebab serta tidak ada penghalang,
maka pasti ada akibat. Baik akibat itu berupa hukum taklifi, penetapan
hak milik, penghalalan atau meniadakan keduanya. Karena menurut
syara’, akibat tidak akan tertinggal dari sebabnya. Baik akibat itu
disengaja oleh yang menimbulkan, yaitu sebab, atau tidak disengaja.
Artinya, pasti ada akibat meskipun akibat itu tidak disengaja. 299
G. Syarat
299
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit. hlm. 163.
300
Rachmat Syafe’i, IlmuUshul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung: 2010, hlm. 313-
314
293
Berikut merupakan contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu
menjadikan sesuatu sebagai syarat:
294
jumlah senisab itu belum tampak adanya dalam bentuknya yang
sempurna kecuali bila jumah senisab itu telah berlalu satu tahun secara
penuh ditangannya. Dengan demikian haul ini menjadi syarat bagi
jumlah harta yang mencapai nisab.
H. Mani’ (penghalang)
302
Ibid., hlm. 337.
295
ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi
hukum atas masalah tersebut.
303
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit,. hlm. 166.
296
2. Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan
demikian sebab itu tidak tidak lagi mempunyai akibat hokum.
Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab,
menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu
karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya. Namun, jika
pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu
bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka
dalam kajian fiqih keadaan berhutang itu menjadi mani’
(penghalang) bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu,
telah menghilangkan predikatnya sebagai orang kaya
sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.
297
perbuatan apakah berat atau ringan, karena itu batasan yang lebih
konkrit tentang keringanan itu tidak ditemukan. Syara’ hanya
meletakkan dasarnya dalam rangka dugaan seperti dalam perjalanan
dianggap syara’ sebagai kesukaran karena biasanya memang terdapat
kesukaran dan selain itu diserahkan kepada ijtihad para mukallaf. 305
305
Syafe’i Karim, Fiqih-Ushul fiqh, CV Pustaka Setia, Bandung: 1997, hlm. 123
298
adanya hajat. Orang yang terpaksa menuturkan perkataan yang
mengandung kekafiran kepadanya diperbolehkan menuturkan asal saja
hatinya tetap beriman kepada Allah. Demikian juga orang yang dipaksa
berbuka pada siang hari bulan Ramadhan atau dipaksa merusak milik
orang lain dan diperbolehkan bagi orang yang kelaparan memakan
bangkai atau meminum tuak karena kehausan. Semua ini dinamakan
Rukhshah karena member keringanan atau dinamakan tarfih.
299
kesukaran yang tidak dapat dipikul oleh manusia maka wajib
melaksanakan Rukhshah tidak boleh mlaksanakan ‘azimah. Kebolehan
memakan makanan yang haram karena darurat tetapi kalau tidak
dimakan akan mati maka wajib mempergunakan Rukhshah dan wajib
meninggalkan ‘azimah.306
1. Shah
Ibadah itu dikatakan sah dalam arti perbuatan ibadah itu dianggap
telah memadai dan telah melepaskan orang yang melakukannya dari
tanggung jawabnya terhadap Allah SWT dan telah menggugurkannya
dari kewajiban qadha dalam hal-hal yang dapat diqadha.
300
b. Kedua dimaksud dengan shah adalah perbuatan itu mempunyai
pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat, seperti berhaknya
atas pahala dari Allah SWT. Bila perbuatan itu dikatakan shah
berarti dari hasil perbuatan itu diharapkan mendapat pahala di
akhirat.
2. Bathal
301
tuntutan dan syariatnya. Jika tidak demikian maka tidak dianggap
menurut syara’.
Dari penjelasan ini dapat diambil pelajaran bahwa apa yang timbul
dari mukallaf, baik berupa perbuatan, sebab atau syarat dan tidak sesuai
dengan apa yang dituntut dan disyariatkan oleh syari’ maka disebut
tidak sah menurut syara’, dan tidak mempunyai pengaruh sama sekali.
Sesuatu itu tidak sah mungkin kena cacat dalam rukunnya atau karena
tidak memenuhi syarat-syaratnya, baik berupa ibadah, akad maupun
pengelolaan. Oleh Karen itu tidak ada perbedaan antara istilah batal dan
fasid (rusak), dalam hal ibadah atau muamalah. Sholat yang batal
hukumnya seperti sholat yang rusak, tidak dapat menggugurkan
kewajibandari mukallaf dan tidak membebaskan dari tanggungan.307
307
Ibid., hlm. 128.
308
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., hlm. 176.
302
Kesimpulan:
Bila firman Allah menunjukan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi,
baik bersifat sebagai sebab atau syarat, atau penghalang maka ia disebut
hukum wadh’i.
Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat. Penghalang itu
ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari’
menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum
yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada
penghalang (mani’) dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak
ada apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan
untuk mengerjakannya.
Apa yang timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, sebab atau syarat
dan tidak sesuai dengan apa yang dituntut dan disyariatkan oleh syari’
maka disebut tidak sah menurut syara’, dan tidak mempunyai pengaruh
sama sekali. Sesuatu itu tidak sah mungkin kena cacat dalam rukunnya
atau karena tidak memenuhi syarat-syaratnya, baik berupa ibadah, akad
maupun pengelolaan. Oleh Karen itu tidak ada perbedaan antara istilah
batal dan fasid (rusak), dalam hal ibadah atau muamalah. Shalat yang
batal hukumnya seperti sholat yang rusak, tidak dapat menggugurkan
kewajibandari mukallaf dan tidak membebaskan dari tanggungan.
303
304
BAB XXIV
309
A.Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, kencana, Jakarta: 2010, hlm. 42
305
atau belum sampai kepadanya hukum syariat, ia tidak dikatakan mukalaf
sebab mukalaf adalah orang yang harus mengerti tentang hukum wajib
dan larangan dari nash atau dari orang lain.310
ث َرس ا
ُﻮَل َ َِو َمﺎ ُكنَّﺎ ُم َع ِّذب
َ ﻴن َحﺘَّى نَ ۡب َع
Artinya. dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang Rasul lebih dahulu.
,صبِ ِّي َحﺘَى يَحْ ﺘَلِ َمَّ َع ْن ﺍﻟنّﺎَئِ ِم َحﺘَى يَ ْسﺘَﻴقِظُ َو َع ِن ﺍﻟ,ُرفِ َﻊ ْﺍﻟقَلَ ُم َع ْن ثَلَثَ ٍة
َو َع ِن ْﺍﻟ َمجْ نُ ْﻮ ِن َحﺘَى يَ ْعقِ َل
Artinya : Diangkatlah pena itu (tidak terkena tuntutan hukum)
atas tiga orang, orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai
berusia baligh (dewasa) dan orang gila sampai ia berakal. 311
310
Hasan Nurdin, Syariat Islam, CV. Toha Putra, Semarang: 1978, hlm. 19
311
Ibid. Hal 191
306
C. Pembagian Subyek Hukum Dari Segi Hak Dan Kewajiban.
312
Abdul Wahab Kholaf (Faiz El Mutaqin. S.Ag) Terjemah Ilmu Ushul Fiqih…. Hal
191
307
memiliki hutang, ia tetap harus membayar hutangnya melalui ahli
warisnya.
Jika ia melakukan kriminal atas jiwa, harta atau harga diri orang
lain, maka ia berdosa akibat tindakannya dan diberi hukuman pada fisik
atau hartanya. Keahlian inilah yang dimintai pertanggungjawaban.
Usia ahli ini jika melakukan ibadah hukumnya telah wajib dan
berdosa jika meninggalkan kewajiban.313
313
Prof. Dr.H.Rachmad Syafii.MA, Fiqih Muamalah, pustaka setia, bandung, cet X,
2001. Hal.56
308
D. Hilangnya Status Subyek Hukum.
ﺎنَ هللاُ َعلَى َو َسلَ َم َح َج َﺮ َعلَى ُم َعﺎ ٍذ َوبَﺎ َع َمﺎﻟُهُ فِى َد ْي ٍن َك َّ صلَى َ ﺍَ َّن ﺍﻟنَّبِى
ِ َصﺎبَهُ ْم َخ ْم َسةُ آَ ْسب
فَقَﺎ َل ﻟَهُ ْم,ﺎع ُحقُ ْﻮﻗِ ِه ْم َ َ َعلَ ْﻴ ِه َوﻗَ َس َمهُ بَﻴ َْن ُغ َﺮ َمﺎ ْئ ِه فَﺎ
)طنِى ْ ُك ( َر َوﺍهُ ﺍﻟ َّدﺍ ُرﻗ
َ ِْس ﻟَ ُك ْم ﺍَِلَّ َذﻟ
َ هللاُ َعلَى َو َسلَ َم ﻟَﻴ َّ صلَى َ ﺍﻟنَّبِي
309
Artinya: Sesungguhnya Nabi Saw menghijr (menahan) Mu’adz,
dan menjual harta bendanya karena hutang yang dimilikinya, dan Nabi
membagi (hasil penjualan hartanya) kepada beberapa orang yang
memberi hutang kepada Muadz, kemudian mereka menerima lima asba’
masing-masing, kemudian nabi mengatakan pada mereka “tidak ada
bagian kecuali itu”.
Adapun tujuan dari hijer bagi orang yang terhijr dalam hukum
islam klasik sebagaimana Sayid Musthofa Adzahabi jelaskan dalam
kitabnya Fathul Wahab ada dua macam. Pertama, alasan memberi
kemaslahatan pada orang lain, hijr dapat menjaga kemaslahatan bagi
orang yang bangkrut kepada orang yang memberi hutang, orang
menyewa kepada orang pemberi sewa dalam barang yang disewakan,
orang yang sakit kepada ahli warisnya dalam menjaga 1/3 harta, budak
kepada pemiliknya dan orang murtad kepada orang muslim. Kedua
kemaslahatan bagi orang terhijer.
Kesimpulan.
310
yang di anggap menjadi subyek hukum juga dikendalikan oleh manusia
jadi dapat disimpulkan mengkuratel badan hukum hakikatnya adalah
mengkuratel orangnya agar tidak dapat mengoperasikan badan hukum.
311
312
BAB XXV
A. Pengertian Al-Ahliyyah
315
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih,-cet. III, Bandung; Pustaka
Setia, 2007, hlm. 339
313
B. Macam-macam Al-ahliyyah.
1. Ahliyyah Al-Wujub.
316
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA.op.cit.hlm. 341
314
dibebani kewajiban apa-apa, karena secara jelas ia belum bernama
manusia. 317
Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa ada empat hak bagi
seorang janin, yaitu:
317
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul fiqih jilid 1,-cet. 1, Jakarta; Logos wacana
ilmu, 1997, hlm. 357-358
318
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA,op.cit. hlm. 341-342
315
dapat dilakukan oleh orang lain. Adapun kewajiban yang menyangkut
pribadi, seperti shalat yang tertinggal menjadi gugur oleh kematiannya
karena pelaksanaan kewajiban seperti itu dapat digantikan orang lain.
2. Ahliyyah al-ada’
319
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,op.cit.hlm. 358
316
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk
menikah. Dan jika menurut pendapatmu mereka cerdas (pandai
memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…”
(QS. An-Nisa’ :6)
320
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA.op.cit.hlm. 340
317
umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya
telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum.
318
Menurut jumhur ulama’ umur dewasa itu adalah 15 tahun bagi laki-laki
dan perempuan. Menurut Abu Hanifah umur dewasa untuk laki-laki
adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Bila
seseorang telah mencapai umur tersebut, maka belum berlaku padanya
beban hukum atau taklif. 321
321
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,op.cit.hlm.359-360
319
Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang
dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali,
tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum. Maka
tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah,
namun yang merugikan dirinya dianggap batal.
Kesimpulan
Ahliyah dalam ilmu Ushul Fiqh terbagi dua, yatu: ahliyahtul wujub
dan ahliyatul ada’. Dan kemudian ahliyahtul wujub ini terbagi menjadi
ahliyahtul wujub kamilahdanahliyahtul wujub naqisah. Begitu pula
dengan ahliyahtul ada’ yang juga terbagi dua, yaitu:ahliyahtul ada’
kamilah dan ahliyahtul ada’ naqisah.
322
Prof. DR. Rachmat Syafe’I, MA.op.cit.hlm. 343-344
320
Dan adapula hal-hal yang dapat mempegaruhi kecakapan
(ahliyah) berbuat hukum, hal ini sering disebut dengan awaridh.
Awaridh ini sendiri terbagi kedalam dua bentuk, yaitu: awaridh
samawiyah dan juga awaridh muksabah yang masing-masing terdiri atas
pembagiannya masing-masing berdasarkan asal mula kejadian tersebut.
321
322
BAB XXVI
A. Pengertian ‘Amm
323
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung,
hal. 61
324
Prof.Dr.satria Effendi, M. Zein, M.A, ushul fiqh,jakarta:prenada media,2005,hal.
196
323
B. Macam-macam lafadz ‘Amm.
a. Kullun.
b. Jamiun.
ۡ
ِ ق ﻟَ ُكم َّمﺎ فِي ٱۡلَ ۡر
ض َج ِمﻴعا ﺎ َ َهُ َﻮ ٱﻟَّ ِذي َخل
Artinya :”Dia-lah (Allah) yang menjadikan bagimu apa-apa yang
ada di bumi, semuanya.”(QS. Al-Baqarah;29).
c. Ma’syar.
d. Kaffah.
324
2. Isim istifham ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun ( di
mana), dan mata (kapan), misalnya :
a. Man (siapa).
b. Ma (apa).
c. Ayyun (siapakah)
َ ﺎل يََٰٓأَيُّهَﺎ ۡٱﻟ َملَ ُؤ ْﺍ أَيُّ ُكمۡ يَ ۡأﺗِﻴنِي بِ َع ۡﺮ ِشهَﺎ ﻗَ ۡب َل أَن يَ ۡأﺗُﻮنِي ُم ۡسلِ ِم
ﻴن َ َﻗ
Artinya : Siapakah di antara kamu yang bias membawa kursi
tahta kerajaannya (Bulqis) di hadapanku sebelum mereka dating
menyerahkan diri kepadaku.” (QS: an-Naml : 38)
d. Mata (kapan)
َّ ص َﺮ
ٞ ٱَّللِ ﻗَ ِﺮ
يب َٰٓ َ َٱَّللِ أ
ۡ ََل إِ َّن ن ِۗ َّ ص ُﺮ
ۡ ََمﺘَى ن
Artinya :”Kapan datangnya pertolongan Allah? Ingatlah
sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.”(QS. Al-Baqarah :215)
325
أ ين مسكنك ؟
Artinya :”Di manakah tempat tinggalmu?”
ص ا
ﻴﺮﺍ َّ َمن يَ ۡع َم ۡل س َُٰٓﻮءا ﺍ ي ُۡج َز بِِۦه َو ََل يَ ِج ۡد ﻟَ ۥهُ ِمن ُدو ِن
ِ َٱَّللِ َوﻟِ اﻴّﺎ َو ََل ن
Artinya.Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat
pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.(QS. An-
Nisa :123)
b. Ma (apa saja)
326
Artinya :”Siapa saja perempuan yang minta ditalak kepada
suaminya tanpa alasan, maka haram baginya wangi surga.” (HR. Ahmad)
4. Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah :
خ َ ۡ ُ حُﺮِّ َم ۡت َعلَ ۡﻴ ُكمۡ أُ َّمهَﺘُ ُكمۡ َوبَنَﺎﺗُ ُكمۡ َوأَ َخ َﻮﺗُ ُكمۡ َو َع َّمﺘُ ُكمۡ َو َخلَﺘُ ُكمۡ َوبَنَﺎ
ِ ت ٱۡل
تُ ََّﺿ َع ِة َوأُ َّمه َ ﺿ ۡعنَ ُكمۡ َوأَ َخ َﻮﺗُ ُكم ِّم َن ٱﻟﺮ َ ت َوأُ َّمهَﺘُ ُك ُم ٱﻟَّﺘِ َٰٓي أَ ۡر ِ ﺎت ۡٱۡلُ ۡخ
ُ ََوبَن
ُۡﻮر ُكم ِّمن نِّ َسﺎَٰٓئِ ُك ُم ٱﻟَّﺘِي َد َخ ۡلﺘُم بِ ِه َّن فَإِن ﻟَّم َٰٓ
ِ نِ َسﺎَٰٓئِ ُكمۡ َو َربَئِبُ ُك ُم ٱﻟَّﺘِي فِي ُحج
َٰٓ
ۡصلَبِ ُكمۡ َين ِم ۡن أ َ ﺎح َعلَ ۡﻴ ُكمۡ َو َحلَئِ ُل أَ ۡبنَﺎَٰٓئِ ُك ُم ٱﻟَّ ِذ َ َﻮﺍ َد َخ ۡلﺘُم بِ ِه َّن فَ َٗل ُجن ْ ُﺗَ ُكﻮن
ﺎن َغفُ ا
ﻮرﺍ َّر ِح اﻴمﺎ َ ٱَّللَ َك َّ ف إِ َّن َ ِۗ َُﻮﺍ بَ ۡﻴ َن ۡٱۡلُ ۡخﺘَ ۡﻴ ِن إِ ََّل َمﺎ ﻗَ ۡد َسل
ْ َوأَن ﺗَ ۡج َمع
327
Artinya. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. An-Nisa :23)
مﺎ ر أ يت ر جٗل
Artinya :”Aku tidak melihat seorangpun.”
328
ٱَّللِ ِر ۡزﻗُهَﺎ ۡ
ِ َو َمﺎ ِمن َد َٰٓﺍب َّٖة فِي ٱۡلَ ۡر
َّ ض إِ ََّل َعلَى
Artinya :”Dan tidak ada suatu bintang melata pun d bumi
melainkan Allah-;ah yang member rizkinya.” (QS. Hud : 6)
َّص َن بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَلَثَةَ ﻗُﺮ َُٰٓو َٖۚء ُ ََو ۡٱﻟ ُمطَلَّق
ۡ ت يَﺘَ َﺮب
Artinya : “wanita-wanita yang ditalak hemdaknya menahan
(menunggu) tiga kalii quru’.” (QS. Al-Baqarah : 228)
329
Artinya :”dan orang-orang yang menuduh wanita—wanita yang
baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera.” (QS. AN-Nur :4)325
C. Pengertian Khas.
Lafadz khas merupakan lawan dari lafadz ‘am jika lafadz ‘am
memberikan lafadz umum yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai
satuan-satuan yang banyak, lafadz khas adalah suatu lafadz yang
menunjukkan suatu makna khusus. Definisi lafadz khas dari ulama’
adalah sebagai berikut:
325
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Op Cit, hal. 62-71
326
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Op Cit, hal. 62-71
330
1. Menurut Manna Al-Qattan, lafadz khaas adalah lafadz yang
merupakan kebalikan dari lafadz ‘am yaitu tidak hanya
menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada
pembatasan.
327
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Op Cit, hal. 81
331
ُﻮﺍ َو ََل ﺗُ ۡس ِﺮفُ َٰٓﻮ َۚ ْﺍ ۡ ﻮﺍ َو
ْ ٱش َﺮب ْ َُو ُكل
Artinya : “Dan malam serta minumlah tetapi jangan berlebih-
lebihan.” (QS. Al-A’raf : 31)
328
Syafi’i karim Op.Cit
332
Hal tersebut karena perintah ibadah kepada seluruh hamba Allah
hanya dengan lafal yang datang dari syar’I, padahal lafal ini umum. Jika
menjumpai suatu hadis Nabi Saw yang merupakan jawaban atas suatu
pertanyaan tiba-tiba kita lihat bahwa itu menggunakan perkataan (lafal)
yang memberikan pengertian umum maka kita tidak usah
mengembalikan pada sebab timbulnya hadits tersebut. Dalam hal ini,
kita mengambil kesimpulan hukum dari hadits tersebut. Contoh seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw.
329
Ibid, hal,80
333
E. Dilalah lafadz khas
330
Ibid,hal.168-169
334
F. Lafadz Jama’ Munakkar.
صلَﻮ ِة َوإِيﺘَﺎَٰٓ ِء َّ ة َو ََل بَ ۡﻴ ٌﻊ َعن ِذ ۡك ِﺮٞ ﺎل ََّل ﺗُ ۡل ِهﻴ ِهمۡ ﺗِ َج َﺮ
َّ ٱَّللِ َوإِﻗَ ِﺎم ٱﻟ ٞ ِر َج
ٱﻟ َّز َكﻮ ِة
Artinya. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan
sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. (QS. An-Nur: 37)
335
Sebagia dari ulama ahli Ushul memasukkan jama’ mudzakkar ke
dalam lafazh ‘amm, sesuai dengan penafsiran mereka terhadap lafazh
‘amm. Yaitu bahwa lafazh ‘amm itu adalah lafazh yang mencakup satuan-
satuan yang banyak, baik yang menghabiskan satuan-satuan yang ada
maupun tidak.
336
rumah-rumah, maka lafazh buyut tersebut menjadi umumlah
pengertiannya. 331
G. Lafadz Musyatarak.
331
Muhammad,nor Ikhwan,memahami Bahasa Al-Qur’an,jogjakarta,Pustaka
Pelajar,2002,hal.166-167
337
hasta seluruhnya, sedangkan oleh qabilah yang lain diciptakan
untuk arti telapak tangan sampai siku, dan qabilah lain lagi
mengartikannya hanya untuk telapak tangan saja.
338
hendaklah diambil makna menurut istilah syar’i. Misalnya lafaz
“shallah”yang menurut bahasa diartikan dengan do’a dan menurut syara’
diartikan dengan ibadah yang sudah tertentu itu. Dalam hal ini
hendaklah diartikan menurut arti istilahsyar’i, yaitu ibadah yang sudah
tertentu itu, bukan menurut makna lughawi, yaitu do’a. Demikian juga
lafazh “thalaq”, yang menurut bagasa berarti lepas dan menurut syara’
berarti melepaskan ikatan perkawinan, maka hendaklah diartikan
dengan arti syar’i, yaitu melepaskan ikatan perkawinan.
ِۗ َّ َّﺎرﻗَةُ فَ ۡٱﻗطَع َُٰٓﻮ ْﺍ أَ ۡي ِديَهُ َمﺎ َج َز َٰٓﺍ َۢ َء بِ َمﺎ َك َسبَﺎ نَ َك اٗل ِّم َن
ِٱَّلل ُ َّﺎر
ِ ق َوٱﻟس ِ َوٱﻟس
Artinya. Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah
tangan keduanya sebagai pembalasan apa yang telah mereka kerjakan
dan sebagai balasan dari Allah. . . . . ( Al-Maidah, 38 ).
339
a. Menurut ulama hanafiah disebagian ulama syafi’yah, lafaz
musytarak itu tidak dapat digunakan untuk seluruh arti yang
banyak itu dalam suatu pemakaian. Andai kata dimaksud
untuk arti keseluruhan, lafazh itu disebut ‘amm, bukan
musytarak lagi dan bukan pula majaz. Karena yang demikian
ini berarti lafazh itu digunakan untuk arti yang haqiqi dan
majasi dalam sekali pakai.
ۡ
ُض َوٱﻟ َّشمۡ س ِ ت َو َمن فِي ٱۡلَ ۡر ِ ٱَّللَ يَ ۡس ُج ًُد ﻟَ ۤۥهُ َمن فِي ٱﻟ َّس َم َﻮَّ أَﻟَمۡ ﺗَ َﺮ أَ َّن
ٞ َِو ۡٱﻟقَ َم ُﺮ َوٱﻟنُّجُﻮ ُم َو ۡٱﻟ ِجبَﺎ ُل َوٱﻟ َّش َج ُﺮ َوٱﻟ َّد َو َٰٓﺍبُّ َو َكث
ِ َۖ َّﻴﺮ ِّم َن ٱﻟن
ﺎس َو َكثِﻴ ٌﺮ
ِۗ ق َعلَ ۡﻴ ِه ۡٱﻟ َع َذ
ُﺍب َّ َح
Artinya Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah
bersujud apa yang ada dilangit, dan dibumi, matahari, bintang, gunung,
pepohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar dari pada
manusia. Tetapi banyak yang diantara manusia yang ditetapkan azab
atasnya. (al-hajj: 18).
340
Firman Allah:
َٰٓ
ﻮن َعلَى ٱﻟنَّبِ َۚ ِّي
َ ُُّصل َّ إِ َّن
َ ٱَّللَ َو َملَئِ َكﺘَهۥُ ي
Artnya. Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya
berselawat untuk Nabi . . . .(Al- Ahzab, 56)
332
Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal.
178
341
342
BAB XXVII
333
Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008).hlm.42
334
Satria effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:kencana,2008).hlm.44
343
Menurut Al-sarkhisi majaz ialah nama untuk setiap lafaz yang
dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan.
344
حنفقﻴق, dalam bahasa arab yang berarti bahaya besar yang
menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk diucapkan
seseorang. Karenanya ia lebih senang menggunakan kata-kata
maut ()مﻮ ت.
336
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2011).hlm.29
345
1.Haqiqah Lughawiyah.
2.Haqiqah Syar’iyyah.
346
dilakukan maupun dilakukan, umpamanya penggunaan kata dabbah
dalam bahasa arab untuk hewan ternak yang berkaki empat.337
Kebenaran maksud dari lafaz itu terletak pada yang kurang itu.
Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf (12): 82:
337
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.28
347
b. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian
“menukar kedudukan suatu kata”. Umpamanya firman Allah
dalam surat An-Nisa’ (4): 11.
338
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2011).hlm.31
339
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana,2011).hlm.32
348
Adapun untuk mengetahui lafaz haqîqah adalah secara sima’i,
yaitu dari pendengaran terhadap apa yang biasa dilakukan oleh orang-
orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain
dari itu, juga tidak dapat diketahui melalui analogi. Sebagaimana
keadaan hukum syara’ yang tidak dapat diketahui melalui nash syara’ itu
sendiri.
340
Arufin Miftahul, Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam,(Surabaya:
Citra Media,1997),hlm.175
349
2. ﺍﻟكﻮنartinya adalah menamakan atau memaknai suatu lafad
sesuai dengan sifat yang melekat padanya, seperti pada ayat
al-Qur’an:
ﺎح فَإ ِ ۡن َءﺍنَ ۡسﺘُم ِّم ۡنهُمۡ ر ُۡش ادﺍ فَ ۡٱدفَع َُٰٓﻮ ْﺍ ْ ﻮﺍ ۡٱﻟﻴَﺘَ َمى َحﺘَّ َٰٓى إِ َذﺍ بَلَ ُغ
َ ﻮﺍ ٱﻟنِّ َك ْ َُو ۡٱبﺘَل
َۖۡإِﻟَ ۡﻴ ِهمۡ أَمۡ َﻮﻟَهُم
Artinya. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya. (QS.an-Nisa’:6).
ص ُﺮ َخمۡ اﺮ َۖﺍ
ِ إِنِّ َٰٓي أَ َرىنِ َٰٓي أَ ۡع
Artinya, “Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur.
(QS.Yusuf:36)
Maksud ayat di sini adalah Nabi Yusuf memeras buah anggur yang
ditakwil dengan khamr.
350
6. أﻟجزئﻴةوعكسهﺎadalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan
menyebutkan tempatnya dan menyebutkan keseluruhan untuk
menjelaskan sebagiannya saja. Contohnya ﺗبﺘﻴدﺍأبىلهبmaksud ayat di sini
bukan hanya tangan Abu Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga
seluruh jiwa dan raganya.
341
Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih,(Bandung: Pustaka Setia,2001),hlm.180
351
memanah”. Adanya kata “memanah” menjadi petunjuk apa
yang sebenarnya yang dimaksud dengan “singa” itu.
342
Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,(Jakarta:Kencana,2011).hlm.36
352
walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan
kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikatnya.
Seumpama firman Allah, surat al-Kahfi ayat 29 yang
artinya:“Barang siapa yang mau, berimanlah, dan barang siapa
yang kafirlah. Sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi
orang yang zalim.”
Kesimpulan.
343
Nazar Bakry, Ushul Fiqih,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003),hlm.153
353
adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada
selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks. Majaz dari segi
pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian: 1. Adapun
tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2.
Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan
kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan
dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu
kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu
dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
354
BAB XXVIII
A. Pengertian Sharih
Secara arti kata Sharih berasal dari kata sharah yang berati
‘’terang’’ ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain
dengan ungkapan yang seterang mungkin. Menurut abdul azhim bin
badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu
kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak
mengandung makna lain dalam pengertian istilah hukum, sharih berarti.
“Setiap lafaz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk
haqiqah atau majaz”.344
Jadi bahwa lafal sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas
yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak
seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafaz yang Sharih
diantaranya:
344
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,jilid 2,cet 5, Jakarta:Kencana 2008, hal 37
345
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003, h. 253
355
niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah,
beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.346
ﻮن إِ ََّل َك َمﺎ يَقُﻮ ُم ٱﻟَّ ِذي يَﺘَ َﺨبَّطُهُ ٱﻟ َّش ۡﻴطَ ُن َ ﻮن ٱﻟﺮِّ بَﻮ ْﺍ ََل يَقُﻮ ُم َ ُين يَ ۡأ ُكل َ ٱﻟَّ ِذ
َّ ك بِأَنَّهُمۡ ﻗَﺎﻟُ َٰٓﻮ ْﺍ إِنَّ َمﺎ ۡٱﻟبَ ۡﻴ ُﻊ ِم ۡث ُل ٱﻟﺮِّ بَﻮ ِۗ ْﺍ َوأَ َح َّل
ٱَّللُ ۡٱﻟبَ ۡﻴ َﻊ َو َح َّﺮ َم َ ِسِّ َذﻟ َۚ ِم َن ۡٱﻟ َم
َۚ
ِ َۖ َّ ف َوأَمۡ ُﺮ َٰٓۥهُ إِﻟَى
ٱَّلل َ َة ِّمن َّربِِّۦه فَٱنﺘَهَى فَلَ ۥهُ َمﺎ َسلٞ َٱﻟﺮِّ بَﻮ ْﺍ فَ َمن َجﺎَٰٓ َء ۥهُ َم ۡﻮ ِعظ
َٰٓ
َ ﺎر هُمۡ فِﻴهَﺎ َخلِ ُد
ون َِۖ َّص َحبُ ٱﻟن ۡ َك أ َ َِو َم ۡن َعﺎ َد فَأ ُ ْوﻟَئ
Artinya. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
346
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003, h. 253
356
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.(Q.S. Al-Baqarah:275).
ﺎب ﻟَ ُكم ِّم َن ٱﻟنِّ َسﺎَٰٓ ِء َ َُﻮﺍ َمﺎ ط ْ َوإِ ۡن ِخ ۡفﺘُمۡ أَ ََّل ﺗُ ۡق ِسطُﻮ ْﺍ فِي ۡٱﻟﻴَﺘَ َمى فَٱن ِكح
ك َ ِﻮﺍ فَ َﻮ ِح َدةً أَ ۡو َمﺎ َملَ َك ۡت أَ ۡي َمنُ ُكمَۡۚ َذﻟ َ ََم ۡثنَى َوثُل
ْ ُث َو ُربَ َۖ َﻊ فَإ ِ ۡن ِخ ۡفﺘُمۡ أَ ََّل ﺗَ ۡع ِدﻟ
ْ ُأَ ۡدنَ َٰٓى أَ ََّل ﺗَعُﻮﻟ
ﻮﺍ
Artinya:“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil
terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya),
maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka
nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian
miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.”
(Q.S An-Nisa: 3)
B. Pengertian Kinayah
357
melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan
suami “pulanglah kamu”.348
348
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, (Bandung: Pustaka Satia, 2001,)hlm,
181.
349
A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 412.
358
tekun,” akan mudah orang memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, “ia
sedang shalat dengan tekun,” orang akan bertanya, “siapa yang sedang
shalat itu?”.
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud,
termasuk kinayah. Umpamanya seseorang mengatakan kepada isterinya,
“pulanglah kau ke rumah ibu mu,”. Ungkapan ini mengandung beberapa
maksud: dapat berarti cerai dan dapat pula berarti pulang sementara.
Bila seseorang menggunakan ucapan tersebut kepada isterinya dan yang
dimaksud dengan ucapannya itu untuk cerai, berarti ia menggunakan
lafaz kinayah untuk “cerai”.
Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan
menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan
majaz. Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu : Pada majaz
harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud oleh lafaz sebenarnya
dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya orang
“pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa
keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya
menamai seseorang dengan menggunakan nama anaknya meskipun
kebetulan sifat orang itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada
bentuk kinayah, kalau anaknya pemberani dinamai dengan suja’ secara
kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja’. Padahal si ayah sendiri seorang
penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada keterkaitan antar lafadz
yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafadz sharih dalam ucapan
adalah berlakunya apa yang disebut dalam lafadz itu dengan sendirinya,
tanpa memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula
menggunakan ungkapan yang resmi untuk itu.
Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan hubungan antara
suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan, maka
berlangsunglah perceraian, seperti : “saya ceraikan engkau”, “hai, cerai”,
“kita bercerai”, atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk
terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu diperlukan
359
adanya niat atau kesengajaan dalam hati ; atau cara lain yang sama
artinya dengan itu.350
Jadi dari penjelasan di atas dapat di pahami bahwasanya kinayah
adalah lafaz atau perkataan yang memerlukan penjelasan lebih
mendalam untuk mendapatkan suatu pengertian dari sebuah perkataan
atau ungkapan. Terkadang lafaz itu di jelaskan melalui kata lain atau
lafadz lain untuk dapat memahami pengertian dari lafaz yang
pertama.Kinayah berbeda dengan majaz, jika majaz atara perkataan
pertama dengan apa yang di umpamakan sama bentuk sifatnya.
Kesimpulan
Secara arti kata Sharih berasal dari kata sharah yang berati
‘’terang’’ ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain
dengan ungkapan yang seterang mungkin Sharih adalah lafadz yang
tidak memerlukan penjelasan.menurut abdul azhim bin badawi al-
khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang
langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung
makna lain
Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:
1. Aku ceraikan kau dengan talak satu.
2. Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.
3. Hari ini aku ceraikan kau
Kinayah adalah lafaz atau perkataan yang memerlukan
penjelasan lebih mendalam untuk mendapatkan suatu pengertian dari
sebuah perkataan atau ungkapan. Contoh kinayah sebagai berikut:
350
Prof. Dr. H.Amir Syarifudin. Ushul Fiqih. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001),
hlm.25-37
360
BAB XXIX
QAWAIDUL KULLIYAH
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak
yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu”.353
351
. Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandariyah Muassasah
Tsaqofah Al-Jamiiyah .1983. Hal 4
352
Hasbi As-Siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang 1975. Hal 25
353
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan Bintang. 1976. Hal 11
361
Maka Al-Qawaid al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara
etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih.354
354
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, Hal. 13
355
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, Hal. 13
362
C. Pengertian Qawaid Ushul Fiqh
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak
dari Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi
sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
363
hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan
dalalah lafazh atau kebahasaan.
356
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, Hal. 14
364
Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk membedakan
antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk
menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
َٰٓ ۡ ﺍب
ٱۡل ِخ َﺮ ِة َ ﺍب ٱﻟ ُّد ۡنﻴَﺎ نُ ۡؤﺗِِۦه ِم ۡنهَﺎ َو َمن ي ُِﺮ ۡد ثَ َﻮ
َ َو َمن ي ُِﺮ ۡد ثَ َﻮ
Artinya ”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki
pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-
Imran: 145)
Dasar Qaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
365
ٱَّللُ بِ ُك ُم ۡٱﻟﻴ ُۡس َﺮ َو ََل ي ُِﺮي ُد بِ ُك ُم ۡٱﻟع ُۡس َﺮ
َّ ي ُِﺮي ُد
ﺿ ِع اﻴفﺎ ِۡ ق
َ ٱﻹن َس ُن َ ِف َعن ُكمَۡۚ َو ُخل
َ ِّٱَّللُ أَن ي َُﺨف
َّ ي ُِﺮي ُد
Artinya.“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. An-Nisa: 28).357
F. Qaidah-qaidah Cabang.
2. Hukum Gharar
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar
sabda Rasulullah Saw dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi :
357
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam
(penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 6
366
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta
orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta
orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.
3. Jenis Gharar
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang
muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan
367
harga seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan
harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa
juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual
tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak
diketahui.
5. Riba.
368
Pengertian Riba menurut bahasa, riba memiliki beberapa
pengertian, yaitu :
358
Prof.Dr.H.Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah,(Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada,2005). hlm. 57
359
Ibid., hlm. 217
369
Al-Qur’an menyinggung keharaman rba secara kronologis
diberbagai tempat. Pada periode Mekkah turun firman Allah Swt. Dalm
surat Ar-Ruum ayat 39 :
Pada periode Madinah turun ayat yang seccara jelas dan tegas
tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 130 :
ُصلَّى هللاُ َعلَ ْﻴ ِه َو َسلَّ َم آ ِك َل ﺍﻟﺮِّ بﺎ َ َو ُم ْﻮ ِكلَهُ َو َكﺎﺗِبَه َ ِﻟَ َع َن َرس ُْﻮ ُل هللا
َ َ َوﻗ,َو َشﺎ ِه َد ْي ِه
هُ ْم َس َﻮﺍ ٌء:ﺎل
370
Artinya. “Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang
memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia
bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)
7. Macam-macam Riba
a. Riba Al-Fadhl
َّ ِﻀةُ بِ ْﺎﻟف
ﻀ ِة َو ْزنًﺎ بِ َﻮ ْز ٍن َّ ِب َو ْزنًﺎ بِ َﻮ ْز ٍن ِم ْث ًٗل بِ ِم ْث ٍل َو ْﺍﻟفِ َﺎﻟذهَّ ِﺍﻟذهَبُ ب َّ
ِم ْث ًٗل بِ ِم ْث ٍل فَ َم ْن َزﺍ َد أَ ْو ﺍ ْسﺘَ َزﺍ َد فَهُ َﻮ ِربًﺎ
Artinya.“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak
dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah
atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR
Muslim dari Abu Hurairah).360
b. Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual
beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya,
seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual
langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang
apakah cukup atau tidak.
360
Prof.Dr.H.Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.Fiqh Muamalat.(Jakarta:Kencana
Prenada Media Group,2010).hlm. 220
371
ُب ِربًﺎ إِ ََّل هَﺎ َء َوهَﺎ َء َو ْﺍﻟبُﺮُّ بِ ْﺎﻟبُ ِّﺮ ِربًﺎ إِ ََّل هَﺎ َء َوهَﺎ َء َوﺍﻟﺘَّ ْم ُﺮ بِﺎﻟﺘَّ ْم ِﺮ ِربًﺎ إِ ََّل هَﺎ َء َوهَﺎ َء َوﺍﻟ َّش ِعﻴﺮ
ِ َﺍﻟ َّذهَبُ بِﺎﻟ َّذه
ﻴﺮ ِربًﺎ إِ ََّل هَﺎ َء َوهَﺎ َء
ِ بِﺎﻟ َّش ِع
c. Riba An-Nasi’ah
d. Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang
piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari
orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang
meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian
diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu
372
rupiah). Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan
menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw :
361
Ibid., hlm. 220
362
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.191
373
harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat
jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-
surat berharga yang memiliki nilai rating investasi yang baik.
1. Contoh jual hutang dengan hutang
Jual hutang dengan hutang juga boleh berlaku samada hutang
tersebut dijual kepada penghutang atau kepada pihak ketiga :
a. Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga
Contoh jual hutang dengan hutang kepada pihak ketiga ialah
seperti A berkata kepada B, saya menjual 10 kilogram gandum yang
menjadi tanggungan hutang C terhadapku kepada engkau dengan nilai
Rp. 500 ribu yang akan dibayar oleh engkau kepadaku secara tangguh.
Cara ini ulama menyifatkan sebagai "bai` al-dayn bi al-dayn".363
Kesimpulan
Al-Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah dasar-
dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-
jenis fiqih. Sedangkan Al-Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah
kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih dan
kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus
baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.
Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk
menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan
ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah cabang fiqh yaitu Gharar, riba dan Bai Al-
Dayn. Jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan pertaruhan, atau perjudian. Bai’ al-Dayn adalah akad jual
beli ketika yang diperjual belikan adalah dayn atau hutang. Riba adalah
adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa
ada ganti dari tambahan ini.
363
Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I,
Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332
374
BAB XXX
1. Zhahir.
ﺎب ﻟَ ُكم ِّم َن ٱﻟنِّ َسﺎَٰٓ ِء َ َُﻮﺍ َمﺎ ط ْ ﻮﺍ فِي ۡٱﻟﻴَﺘَ َمى فَٱن ِكح ْ َُوإِ ۡن ِخ ۡفﺘُمۡ أَ ََّل ﺗُ ۡق ِسط
ك َ ِﻮﺍ فَ َﻮ ِح َدةً أَ ۡو َمﺎ َملَ َك ۡت أَ ۡي َمنُ ُكمَۡۚ َذﻟ َ ََم ۡثنَى َوثُل
ْ ُث َو ُربَ َۖ َﻊ فَإ ِ ۡن ِخ ۡفﺘُمۡ أَ ََّل ﺗَ ۡع ِدﻟ
ْ ُأَ ۡدنَ َٰٓى أَ ََّل ﺗَعُﻮﻟ
ﻮﺍ
Artinya. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
364
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islami, Bandung : PT. al-Ma’arif. 1986, h. 268
375
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.(Al-Maidah.3)
2. Nash
365
Ibid., h.271
376
yang dikehendaki oleh siyaqul kalam). Selama tidak ada dalil yang
mentakwilkan, menafsirka atau menasakhnya.
3. Mufassar
ﻴن َج ۡل َد اة
َ ِٱجلِ ُدوهُمۡ ثَ َمن
ۡ َف
Artinya...maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera,(An-Nur.4)
4. Muhkam
Misalnya firman Allah Swt berikut yang sangat jelas dan tegas dan
tidak mungkin diubah :
366
Ibid., 277
377
Artinya. Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka
selama-lamanya. (QS. An Nuur : 4)
B. Khafiyud Dalalah
1. Khafi
367
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.hlm.102
378
itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang samar dan
tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu
diperlukan upaya berfikir secara mendalam.368
2. Musykil
َّص َن بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَلَثَةَ ﻗُﺮ َُٰٓو َٖۚء ُ ََو ۡٱﻟ ُمطَلَّق
ۡ ت يَﺘَ َﺮب
368
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.298
379
Artinya. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqara.228)
ﻴض ِمن نِّ َسﺎَٰٓئِ ُكمۡ إِ ِن ۡٱرﺗَ ۡبﺘُمۡ فَ ِع َّدﺗُه َُّن ثَلَثَةُ أَ ۡشه ُٖﺮحِ َۡ َوٱﻟََّٰٓـِي يَئِ ۡس َن ِم َن
م ٱﻟ
ِ َٰٓ
ﻀ َۚ َن
ۡ َوٱﻟَّـِي ﻟَمۡ يَ ِح
Artinya. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan.
380
para mujtahid ketika menentukan pengertian lafadz ﺍﻟقﺮءdalam ayat
tersebut, serta perbedaan orientasi pandangan mujtahid dalam
menentukan ini. Apabila terdapat beberapa nash sedang dzahirnya
nampak terdapat perbedaan dan pertentangan, maka seorang mujtahid
harus mentakwilkan nash dengan benar dan dapat memberikan
kejelasan nash-nash itu, sehingga seorang mujtahid dapat memberikan
petunjuk pentakwilan ini dalam bentuk keterangan, selain berupa nash-
nash yang lain, juga berupa kaidah-kaidah syara’ atau hikmah
pembentukan hukum.369
3. Mujmal
369
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.301
370
Wahbah az zuhaili, Ushululfiqh al islami, Damasq: Darul Fikri, 1986 M, hlm. 340
371
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.hlm.104-105
381
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafadz mujmal setelah
mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw menjadi “ mufassar “ sehingga
tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima
takhsis.
4. Mutasyabih
372
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 21
382
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
حم, ص,طه
373
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008. Hlm. 22
383
Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama‘ salaf ( terdahulu )
tentang pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah
Swt. Dan ilmu-Nya arti al-mutasyabih tersebut dan mereka
mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwilnya.
374
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, Ilmu
Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, hlm.308-311
384
BAB XXXI
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh adalah kalau
ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, sedangkan
ilmu ushul fiqh berbicara tentang metode dan proses
bagaimanamenemukan hukum itu sendiri.
B. S a r a n.
385
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi
memberikan saran kritik konstruktif kepada penulis demi sempurnanya
buku ini dan penulisan berikutnya.Semoga buku ini berguna bagi
penulis sendiri pada khususnya juga kepada para pembaca yang
budiman pada umumnya
386
DAFTAR PUSTAKA
Alaiddin Koto. 2006. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo.
A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
Al-Amidi, Ali bin Abi Ali bin Muhammad,Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz
1, Pati: TB. Himmah, t.th.
387
Anwar, Rosihon. Ulum Al-quran. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Al-Qasim, Abdul Malik. 2009. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, terj.
Muhammad Khairuddin.
tt, IslamHous.com.
Putra.
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-
1, Jakarta: Kencana, 2010.
388
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2011.
Bakry, Nazar.Fiqih dan Ushul Fiqih. Cet. IV, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003.
Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
389
Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. Hadits Akhlak. Surabaya: Pustaka As-
Sunnah.
Haq, Abdul dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh.
Jakarta : Amzah.
Koto Alaiddin , Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih: PT Raja Grafindo persadaa,
Jakarta, 2004.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Cet. II,. Bandung: Pustaka Satia.
Karim Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Satia, 2001
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarata: Al-Majlis al-a’la ai-
Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972
390
Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr,
1998.
Khallaf, Abdul Wahab. 2012. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta.
Khudlarî Bik, Syaikh Muhammad al-. Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr,
1998.
391
Mardani. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta : Rajawali Pers.
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fikih: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Nazar Bakry, Sidi, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
392
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy,
Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy,
Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana,2008
Assyifa.
393
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
2008.
Satria Effendi dan M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group,
2005.Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia,
Bandung. 2007
Syafii, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Cet ke IV. Bandung: CV Pustaka Setia.
2010
Sanusi, Ahmad dan Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
394
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir ( Syarat, Ketentuan, Dan Aturan Yang
Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat Ayat Al Quran),
Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Syafii, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Cet ke IV. Bandung: CV Pustaka Setia.
2010.
Pustaka Setia.
395
Zahrah, Abu,Ushul Fiqh, Mesir: Darul Fikri al-Arabyu, 1958
396
RIWAYAT HIDUP PENULIS
397
Pangkat Penata Muda Golongan III/a ditusgaskan sebagai Staf pada
Subbag. Umum Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry.
398
Tanggal 18 Januari 2018. Pada Tahun 2017 berdasarkan SK Rektor UIN
Ar-Raniry No. 1060/Un/R/Kp.07.5/09/2017, tanggal 20 September
2017 dipindahkan dari Dosen DPK STIA Nusantara Banda Aceh Ke
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Prodi PAI UIN Ar-Raniry Darussalam
Banda Aceh.
399