Anda di halaman 1dari 238

Diktat Hukum Perkawinan

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,


yang mana atas segala berkah dan rahmat-Nya telah memberikan kesehatan
dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Diktat Mata
Kuliah Hukum Adat yang sederhana ini. Shalawat beriring salam tidak lupa
disanjungsajikan ke pangkuan alam, Pemimpin Besar Revolusi Sedunia, Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam jahiliyah
yang penuh dengan kebodohan kepada alam Islamiyah yang penuh dengan
ilmu pengetahuan sebagaimana yang kita rasakan selama ini.
Penulisan Diktat Mata Kuliah Hukum Perkawinan ini dimaksudkan untuk
menambah khasanah kepustakaan dan menjadi pegangan bagi mahasiswa
dalam proses pembelajaran Mata Kuliah Hukum Asuransi pada Fakultas
Hukum Universitas Malikussaleh, walaupun Diktat ini bukanlah satu-satunya
referensi yang kami berikan kepada mahasiswa. Oleh karena itu pada
kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tinginya kepada Dekan Fakultas Hukum
Universitas Malikussaleh Bapak Prof. Dr. Jamaluddin, S.H,. M.Hum., yang telah
banyak memberikan dukungan kepada penulis. Berikutnya juga tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak dan Ibu Dosen
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, khususnya yang mengampu Mata
Kuliah Hukum Adat yang telah membantu dari permulaan hingga selesainya
penyusunan Diktat ini.
Sembah sujud dan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada
Ibunda tersayang, Hj. Cut Safniati T. M. Ali (Almarhumah) yang sudah
melahirkan, mendidik dan membesarkan penulis. Ibunda selalu berpesan
bahwa “Hidup adalah perjuangan anakku, dan selebihnya adalah takdir Tuhan”,
yang pada masa hidup sampai akhir hayat beliau selalu memanjatkan doa
terbaik, memberikan dukungan baik secara moril maupun materil. Penulis juga
menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih kepada Ayahanda yang
sangat penulis cintai dan banggakan, Drs. H. T. Usman Ismail (Almarhum).
Menjelang berpulang menghadap Allah SWT, Ayahanda meninggalkan tiga
pesan kepada penulis: Pertama, “Ayahanda dan Ibunda hanyalah seorang Guru,
tetapi ananda harus menjadi Mahaguru pada suatu saat walaupun kami berdua

Diktat Hukum Perkawinan


2
sudah tiada”. Kedua, “Seribu kawan masih terlalu sedikit, tetapi satu orang
musuh terlalu banyak, musuh jangan dicari tetapi kalau dia mendatangi jangan
pula berlari, namun hadapilah untuk mempertahankan kehormatan diri”.
Ketiga, “Pandai-pandailah meniti buih supaya selamat badan sampai ke
seberang”. Pesan-pesan itulah yang terus memicu dan memacu penulis untuk
terus berkarya.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak henti-hentinya secara
khusus penulis sampaikan kepada isteri (zaujatun) tercinta dan pendamping
hidup yang setia, Hj. Roslinda, S.E., M.S.M., Ak., (Ayank) yang dengan penuh
pengertian, kerelaan dan kesabaran telah mendampingi serta memberikan
dukungan, baik moril maupun materil serta do’a terbaik yang selalu mengiringi
langkah penulis dalam menjalani hidup ini supaya lebih sabar, lebih baik dan
lebih bijaksana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan secara istimewa
kepada kedua putra-putri cahaya mata, Ananda Cut Naila Shafira Binti Teuku
Yudi Afrizal dan Ananda Teuku Fairuz Zayyan Bin Teuku Yudi Afrizal yang
seringkali harus merelakan waktunya bermain tanpa kehadiran Papi
disamping kalian berdua pada saat proses penyusunan Diktat ini. Kalian semua
adalah sumber spirit dan inspirasi terbaik bagi Papis untuk terus berkarya dan
berjuang mengarungi samudera ilmu pengetahuan yang sangat luas dan dalam.
Semoga Allah SWT memberikan ganjaran yang berlipat ganda atas segala
pengorbanan yang telah diberikan.
Penulis sangat menyadari bahwa Diktat ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik menyangkut dengan materi yang disajikan maupun gaya
bahasa yang dipergunakan. Hal tersebut merupakan keterbatasan penulis
sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesilapan dan ketidaksempurnaan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan yang konstruktif demi
kesempurnaan Diktat ini dimasa-masa mendatang.
Harapan penulis semoga karya sederhana ini dapat memberi setitik
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Akhirnya kepada Allah Yang
Maha Kuasa penulis berserah diri seraya mengharapkan bimbingan dan
perlindungan-Nya. Aamiin…

Lhokseumawe, September 2022

Diktat Hukum Perkawinan


3
Penulis,

Teuku Yudi Afrizal, S.H. M.H.


NIP. 197809252010121001

Diktat Hukum Perkawinan


4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perkawinan.................. 4

BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN ......................................................... 11


A. Pengertian Perkawinan .............................................................. 11
B. Tujuan Perkawinan ...................................................................... 25
C. Asas-Asas Perkawinan ................................................................ 28
D. Hukum Melakukan Perkawinan .............................................. 34
E. Bentuk-Bentuk Perkawinan ...................................................... 36

BAB III RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN ............................................. 39


A. Pengertian Rukun Perkawinan ................................................ 39
B. Syarat-syarat Perkawinan ......................................................... 48
C. Sahnya Perkawinan ..................................................................... 56
D. Pendaftaran dan Pencatatan Perkawinan serta
Tujuannya ....................................................................................... 58

BAB IV HAMBATAN DAN PENCEGAHAN PERKAWINAN ......................... 72


A. Larangan Perkawinan ................................................................. 72
B. Pencegahan Perkawinan ............................................................ 78
C. Pembatalan Perkawinan ............................................................ 80

BAB V TATA CARA PERKAWINAN ............................................................... 87


A. Pemberitahuan Kehendak Untuk Perkawinan ................... 87
B. Penelitian Syarat-Syarat Perkawinan .................................... 88
C. Pengumuman Kehendak Melangsungkan Perkawinan.... 89
D. Pelaksanaan Perkawinan ........................................................... 90
E. Tata Cara dan Akta Perkawinan .............................................. 91

Diktat Hukum Perkawinan


5
F. Wali dan Saksi Dalam Perkawinan ......................................... 92
G. Upacara Perkawinan (Walimatul ’Urusy) ............................. 94

BAB VI POLIGAMI ............................................................................................... 97


A. Pengertian Poligami .................................................................... 97
B. Dasar Hukum Poligami ............................................................... 99
C. Alasan-Alasan dan Syarat-Syarat Poligami ..........................102
D. Tata Cara Poligami .......................................................................103
E. Hikmah Poligami ........................................................................... 105
F. Hikmah Larangan Poligami Lebih dari Empat ....................106

BAB VII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN .................................108


A. Asal Usul Harta Dalam Perkawinan ........................................108
B. Harta Bersama Menurut KUH Perdata ...................................109
C. Harta Bersama Menurut Undang-Undang Perkawinan....112
D. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam .............116
E. Harta Bersama Menurut Hukum Islam ..................................119
F. Harta Bersama Menurut Hukum Adat ...................................121
G. Wewenang Suami dan Istri Terhadap Harta Kekayaan
Perkawinan ..................................................................................... 131
H. Tanggung Jawab Suami dan Isteri Terhadap Harta
Kekayaan Perkawinan ................................................................134

BAB VIII KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM RUMAH TANGGA...135


A. Tanggung Jawab Suami dan Isteri ...........................................135

B. Kedudukan Harta Perkawinan (Harta Bersama) ...............140

BAB IX PERJANJIAN PERKAWINAN ..............................................................142


A. Pengertian Perjanjian Perkawinan ........................................142
B. Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan ...................................144
C. Syarat Sah Perjanjian Perkawinan ..........................................147

Diktat Hukum Perkawinan


6
D. Pertimbangan Calon Suami/Calon Isteri Membuat
Perjanjian Perkawinan ...............................................................150
E. Bentuk Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukum
Tidak Dipenuhinya Kewajiban Oleh Para Pihak dalam
Perjanjian Perkawinan ...............................................................154

BAB X HAK DAN KEDUDUKAN ANAK DAN ORANG TUA .......................164


A. Pengertian Anak ............................................................................ 164
B. Hak, Kewajiban dan Kedudukan Anak ..................................164
C. Hubungan Hukum antara Orang Tua dengan Anak ...........172
D. Kewajiban Orang Tua Menurut Hukum Islam .....................177
E. Kewajiban Orang Tua Menurut Undang-Undang
Perkawinan ..................................................................................... 179

BAB XI PERKAWINAN CAMPURAN ...............................................................181


A. Perkawinan Antara Orang-Orang Berbeda Agama ............181
B. Perkawinan Antara Orang-Orang yang Berbeda
Kewarganegaraan ......................................................................... 194
C. Perkawinan di Luar Negeri ........................................................202

BAB XII PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA ..............................204


A. Menurut Undang-Undang Perkawinan ..................................204
B. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam ....................207
C. Tata Cara Perceraian ...................................................................218
D. Akibat Putusnya Perkawinan ...................................................219

BAB XIII RUJUK, IDDAH DAN IHDAD ...............................................................224


A. Ruju’ .................................................................................................. 224
B. Iddah ................................................................................................. 229
C. Ihdad ................................................................................................. 231

DAFTAR PUSTAKA
PERTANYAAN-PERTANYAAN LATIHAN

Diktat Hukum Perkawinan


7
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjalanan hidup manusia pada umumnya akan mengalami 3 (tiga) peristiwa
hukum penting, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dari ketiga peristiwa
hukum tersebut, jika dikaitkan dengan kedudukan manusia sebagai warga negara,
maka peristiwa yang terpenting adalah perkawinan, karena perkawinan adalah suatu
perilaku makhluk ciptaan Allah Swt untuk menjaga eksistensi manusia di alam
dunia. Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang meliputi
kebutuhan lahiriah maupun batiniah. Kebutuhan lahiriah tersebut terdorong oleh
naluri manusia untuk mengembangkan keturunan yang sah, ini bersifat biologis.
Unsur rohaniah dalam perkawinan merupakan penjelmaan dari hasrat manusia
untuk hidup berpasang-pasangan dengan rasa kasih sayang.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menyatakan bagi
suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya suatu Undang-
Undang Perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat.
Hal ini bermakna bahwa dengan terbitnya Undang-Undang Perkawinan
maka keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan di berbagai
daerah dapat diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya,
ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, sepanjang belum diatur secara tersendiri
oleh Undang-Undang Perkawinan dan hal ini tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Perkawinan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan atau sebelum adanya
unifikasi peraturan dibidang perkawinan, kondisi hukum perkawinan di Indonesia
sangat pluralistik. Hal ini ditandai dengan berlakunya beraneka ragam hukum
perkawinan bagi orang Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
(perkawinan) Islam yang telah diresepsi oleh hukum adat;

Diktat Hukum Perkawinan


8
2. Bagi orang Indonesia asli yang beagama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie
Christenen voor Indonesiers (HOCI), Staatsblad Tahun 1933 Nomor 74;
3. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat;
4. Bagi orang-orang Timur Asing China dan warga negara Indonesia keturunan
China berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) dengan sedikit perubahan;
5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan
Timur Asing lainnya berlaku hukum (perkawinan) adat dan agama mereka
masing-masing;
6. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kondisi hukum perkawinan yang sangat pluralistik tersebut tidak terlepas dari
pengaruh politik pemerintah kolonial Belanda yang termuat dalam Pasal 131 IS
(Indische Staats Regeling) yang mengatur tentang penggolongan penduduk menjadi
3 (tiga) golongan, yaitu sebagai berikut:
1. Golongan Eropa;
2. Golongan Timur Asing; dan
3. Golongan Bumi Putera (inlander).
Oleh karena hukum perkawinan yang ada sangat pluralistik, dimana
menonjolkan segi keperdataan dan cenderung sekuler, maka berimplikasi pada
munculnya ketidakpastian hukum. Dengan demikian diperlukan adanya solusi yang
dapat mengatasi ketidakpastian tersebut, yaitu dengan upaya untuk melahirkan
sebuah Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional. Hal ini dijawab dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan bertitik tolak dari anggapan bahwa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sudah tidak
cocok lagi dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh karena itu,
Undang-Undang Perkawinan ini harus dipandang sebagai hasil proses
penyempurnaan berbagai konsep hukum di masa lalu. Suatu perwujudan dari
berbagai keinginan dalam menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat
nasional dan sesuai dengan kebutuhan hukum rakyat Indonesia di masa kini dan
masa mendatang. Dengan kelahiran Undang-Undang Perkawinan ini tentunya

Diktat Hukum Perkawinan


9
membawa konsekuensi antara lain bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
Perkawinan ini, maka dinyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan perkawinan
yaitu:
1. Sebagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau
BW).
2. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Staatsblad 1933 Nomor 74.
3. Peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken)
Staatsblad 1898 Nomor 158 dan peraturan lain tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sekalipun telah berlaku hukum perkawinan nasional, eksistensi hukum
perkawinan Islam masih tetap diakui. Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan
”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. Hal-hal yang belum diatur dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan tetap berlaku menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
2. Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa yang
tidak berlaku bukanlah peraturan secara keseluruhan, melainkan hanyalah hal-hal
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan.
Pemberlakuan Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional secara
perlahan-lahan telah memberikan pengaruh dalam proses perkawinan serta
membatasi berlakunya hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang
bertentangan dengan ketentuan hukum agama. Oleh sebab itu hukum adat yang
biasanya berpengaruh dalam pelaksanaan perkawinan semakin banyak ditinggalkan.
Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat, serta besarnya
pengaruh hukum agama, baik Islam, Nasrani (Katholik dan Protestan), ataupun
Hindu dan Budha, yang kemudian diserap oleh Undang-Undang Perkawinan
memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan.
Walaupun dalam kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan karena
hukum adat bersifat fleksibel dan praktis sehingga mampu untuk menerima
intervensi dari hukum agama dan menyerap hukum agama tersebut, khususnya
hukum Islam yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan

Diktat Hukum Perkawinan


10
perkawinan sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum
agama juga telah diresepsi oleh hukum adat.

B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perkawinan


Perkawinan adalah suatu perilaku makhluk ciptaan Allah Swt agar kehidupan
di dunia dapat berkembang biak dengan baik. Perkawinan tidak hanya terjadi pada
kalangan manusia saja, tetapi juga terjadi pada tumbuhan dan hewan sebagai suatu
sunatullah. Oleh karena manusia adalah hewan yang berakal dan berbudaya, maka
perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan dan mengikuti
perkembangan dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya
perkawinannya juga sederhana, sempit dan tertutup. Demikian pula sebaliknya,
dalam mayarakat modern budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu kelompok
masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat tersebut berada. Demikian pula halnya dengan
pengaturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh adat budaya
masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran berbagai agama seperti
Islam, Protestan, Katholik, Hindu dan Budha.
Bagi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistik (majemuk), antara satu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya mempunyai pandangan
hidup atau ideologi yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam tata cara pelaksanaan
perkawinanpun juga sangat berbeda-beda dan juga menimbulkan perbedaan dalam
hukum perkawinan yang berlaku.
Akibat adanya pluralisme dalam hukum perkawinan inilah mendorong
pemerintah untuk meninjau kembali ketentuan mengenai peraturan perundang-
undangan di bidang perkawinan. Sehingga keinginan untuk mempunyai suatu
Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung aspirasi masyarakat Indonesia
merupakan suatu proses perkembangan yang telah dilakukan sejak puluhan tahun
yang lalu. Bahkan pergerakan kaum perempuan sejak tahun 1928 telah mulai
memperjuangkan lahirnya sebuah Undang-Undang Perkawinan sesuai dengan
kehidupan dan perkembangan masyarakat.
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan bertitik tolak pada persepsi bahwa
peraturan perundang-undangan dimasa lalu sudah tidak cocok dengan politik

Diktat Hukum Perkawinan


11
hukum dan kebutuhan hukum rakyat Indonesia. Kelahiran Undang- Undang
Perkawinan bukannya sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan
yang bersifat dan berlaku secara ”nasional” dan ”menyeluruh”, melainkan juga
dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan, memperbaiki atau bahkan
menciptakan konsep-konsep hukum perkawinan yang baru sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik. Menurut
Hazairin, Undang-Undang Perkawinan ini adalah suatu hasil usaha untuk
menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku bagi setiap Warga Negara
Republik Indonesia.
Dalam kaitan ini penjelasan umum Undang- Undang Perkawinan antara lain
menyatakan dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas
mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman. Cita-cita
unifikasi hukum perkawinan yang telah ditinggalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda menjadi aktual kembali dan bersifat nasional. Pemerintah kolonial Belanda
selalu mengalami kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukum di Indonesia.
Pada dasarnya rencana hukum tersebut mengarah dan berlandaskan kepada
hukum barat. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk
dan telah memiliki hukumnya sendiri, sudah tentu sangat keberatan untuk tunduk
dan patuh pada hukum Eropa yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk
Hindia Belanda pada saat itu.
Para ahli hukum Indonesia memiliki perbedaan pendapat mengenai perlu atau
tidaknya dilakukan unifikasi hukum perkawinan, berhubung hukum perkawinan
tersebut erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius. Sebagian besar ahli hukum
menghendaki adanya suatu unifikasi hukum perkawinan, namun mereka
mengisyaratkan agar proses pengunifikasiannya dilakukan dengan sangat berhati-
hati dan bertahap serta jangan sampai menyinggung perasaan golongan hukum
tertentu.
Sebaliknya ada juga ahli hukum yang mengecam pengunifikasian hukum
perkawinan sebab hubungan hukum perkawinan dipengaruhi secara mendalam oleh
berbagai paham keagamaan dan kemasyarakatan. Keinginan pemerintah untuk
membentuk hukum perkawinan yang bersifat nasional sudah mulai dirintis sejak
awal kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu sejak tahun 1950.

Diktat Hukum Perkawinan


12
Pada masa lalu, pembaharuan terhadap hukum perkawinan selalu mengalami
kegagalan karena subjek dan objek yang diatur oleh hukum perkawinan berkaitan
erat dengan kehidupan sosial keagamaan yang tidak mudah untuk disatukan. Hal ini
berarti bahwa pembaharuan hukum perkawinan harus dilakukan ekstra hati-hati,
sehingga tidak menimbulkan pergesekan dan kekecewaan bagi golongan penduduk
lainnya.
Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama Nomor:
B/2/4299 tanggal 01 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan
Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini bertugas untuk
menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung
semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada
waktu itu. Keanggotaan panitia tersebut terdiri dari orang-orang yang dianggap ahli
mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang
diketuai oleh Tengku Hasan.
Pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia telah membuat suatu Rancangan
Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum yang berlaku untuk
semua golongan dan agama dan peraturan khusus yang mengatur mengenai hal-hal
mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada bulan Desember 1952
Panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada
semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing
memberikan pendapat atau pandangannya mengenai persoalan tersebut paling akhir
pada tanggal 1 Pebruari 1953. Rancangan yang dimajukan tersebut selain berusaha
ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan
masyarakat dengan menetapkan hal-hal sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan pada kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk
mencegah kawin paksaan ditetapkan batas umur 18(delapan belas) tahun bagi
laki-laki dan 15 (lima belas) tahun bagi perempuan;
2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
3. Poligami diizinkan jika diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi
orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian rupa hingga dapat memenuhi
syarat keadilan;
4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik
bersama;

Diktat Hukum Perkawinan


13
5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-
alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan hukum Islam;
6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan
anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang
tua dan perwalian.
Pada tanggal 24 April 1953 diadakan dengar pendapat (hearing), oleh Panitia
Nikah, Talak dan Rujuk dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, yang mana
pada rapatnya dibulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-
Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku:
1. Undang-Undang Pokok yang berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum
bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama;
2. Undang-Undang Organik yang mengatur soal perkawinan menurut agama
masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katholik dan Kristen
Protestan;
3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk ke dalam
suatu golongan itu;
Kemudian pada tahun 1954 Panitia telah berhasil membuat Rancangan
Undang-Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh
Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan
masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul kemudian. Namun sampai
pada permulaan tahun 1958 belum ada tindakan apapun dari pemerintah mengenai
persoalan Undang-Undang Perkawinan itu.
Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan apapun
sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita di parlemen (DPR-RI) di bawah
pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting, diantaranya setidak-
tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah persoalan yang menggemparkan bahwa
di dalam usul inisiatif tersebut telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan
monogami. Pada waktu itu pemerintah sudah memberikan reaksi dengan
mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justeru
dari kalangan Islam tradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam
diperlukan Hukum Perkawinan. Bukankah peraturan-peraturan yang sekali telah
diberikan Tuhan, sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat
diperuntukkan untuk segala zaman dan negara.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, pada bulan Oktober 1959,
Rancangan Undang-Undang Perkawinan versi kelompok Soemari tersebut ditarik

Diktat Hukum Perkawinan


14
kembali oleh para pengajunya, meskipun memperoleh perhatian yang besar dari
sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Rancangan
Undang-undang tersebut sepertinya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para
anggota DPR dari partai-partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap
asas monogami yang dimuat di dalam Rancangan Undang-Undang tersebut. Sudah
barang tentu berbagai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang
dipergunakan untuk membenarkan poligami.
Antara tahun 1967-1970, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, juga
telah membahas Rancangan Undang-Undang Perkawinan. Namun nasib RUU ini
juga sama dengan nasib RUU Perkawinan sebelumnya. Pembentukan Undang-
Undang Perkawinan membutuhkan proses yang sangat panjang dan
dimusyawarahkan dengan sungguh-sungguh Rancangan Undang-Undang
Perkawinan agar dapat menampung aspirasi masyarakat dan memberikan
formulasinya secara teknis yuridis. Dalam memberikan isi kepada Rancangan
Undang-Undang Perkawinan tersebut diusahakan untuk mempertemukan aspirasi
hukum yang berbeda-beda itupun tidak bisa dilakukan materi yang dipermasalahkan
akan dicabut.
Pada bulan Juli 1973, Pemerintah kembali mengajukan Rancangan Undang-
Undang Perkawinan kepada DPR. Setelah mendapatkan berbagai tanggapan pro dan
kontra mengenai beberapa bagian penting materi Rancangan Undang-Undang
Perkawinan tersebut, baik dikalangan internal DPR sendiri maupun di dalam
masyarakat, akhirnya dicapailah suatu konsensus yang membawa pengaruh kepada
sidang-sidang berikutnya. Sehingga tercapai juga kata mufakat di antara para
anggota DPR.
Setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, maka Pemerintah
mengundangkan Undang-Undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam
Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya sama dengan nomor dan
tahun Undang-Undang Perkawinan tersebut, yaitu Nomor 1 Tahun 1974.
Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Kehakiman yang pada
saat itu dijabat oleh Oemar Seno Adji dalam sambutannya atas disetujuinya
Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan untuk disahkan menjadi Undang-
Undang Perkawinan sangat penting bagi pemerintah. Bagi suatu Negara dan bangsa
Indonesia adalah mutlak adanya suatu Undang-Undang Perkawinan nasional dan

Diktat Hukum Perkawinan


15
dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka
Undang-Undang Perkawinan harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 serta di
dalamnya mengandung unsur-unsur dan ketentuan hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu.
Sebagai suatu Undang-Undang yang nasional sifatnya dan yang meliputi
seluruh warga negara Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutan dari TAP
MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang antara
lain menentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan
hukum, dalam arti bahwa hanya ada satu hukum dalam hukum nasional yang
mengabdi kepada kepentingan nasional.
Ketunggalekaan dalam Hukum Perkawinan dalam beberapa hal masih
memungkinkan adanya kebhinekaan. Undang-Undang tentang Perkawinan ini
merupakan suatu refleksi dari pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus
1973, tentang menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikan bersama
dan disahkan oleh DPR yang terhormat. Undang-Undang tentang Perkawinan ini
memiliki landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci dan
luhur oleh semua agama dan cita budaya yang mengilhami alam pikiran atas dasar
mana dibangun suatu keluarga yang kekal, sejahtera dan bahagia diwujudkan dalam
asas monogami yang memandang poligami sebagai eksepsional dan restriktif, dan
perceraian harus dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan kedudukan,
harkat, dan martabat wanita, sedangkan pengaturan itu sejalan dengan tugas negara
untuk memberikan perlindungan terhadap kesucian dan keseluruhan tujuan
perkawinan.
Kemudian pada tanggal 1 April 1975, atau setelah 1 (satu) tahun 3 (tiga)
bulan Undang-Undang Perkawinan tersebut diundangkan, maka pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat tentang
peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan demikian mulai tanggal 1 Oktober 1975, Undang-Undang Perkawinan telah
dapat berjalan secara efektif sebagai hukum positif bidang perkawinan yang berlaku
di Indonesia.

Diktat Hukum Perkawinan


16
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang berarti perjodohan antara
laki-laki dengan perempuan menjadi suami-isteri; nikah; beristeri atau
bersuami; atau bersetubuh. Sedangkan perkawinan berarti pernikahan; hal
(urusan dan sebagainya) kawin.
Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan
manusia, karena di dalamnya mengandung berbagai unsur hak dan kewajiban
masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang
harus dipenuhi, baik itu menyangkut dengan hak dan kewajiban suami isteri
maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, harta kekayaan
perkawinan, kewarisan dan faktor kependudukan (demografi) di dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat.
Dalam memberikan rumusan pengertian perkawinan dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang, yaitu menurut hukum agama yang dianut, hukum
adat, peraturan perundang-undangan bidang perkawinan dan pendapat para
sarjana, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Hukum Masing-masing Agama
a. Agama Islam
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat
dilaksanakan oleh orang yang telah baligh atau cukup umur dan berakal
sehat, yang telah diberikan kewajiban hukum untuk melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan (mukallaf) yang memenuhi syarat.
Pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk mentati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan
warahmah.
Sakinah adalah suasana kehidupan dalam rumah tangga suami
isteri terdapat keadaan yang aman dan tenteram, tidak terjadi silang
sengketa atau pertentangan pendapat yang prinsipil. Mawaddah adalah

Diktat Hukum Perkawinan


17
hubungan antara suami isteri harus selalu dijamin akan tetap saling cinta
mencintai, sayang menyayangi, seia sekata, ke lurah sama menurun ke
gunung sama mendaki, seciok bak ayam, sedancing bagai besi, terendam
sama basah, terapung sama hanyut. Rahmah adalah rasa saling membela
dan saling memerlukan di masa tua.
Nikah menurut bahasa berarti berkumpul menjadi satu. Menurut
syara’ nikah berarti suatu aqad yang berisi membolehkan persetubuhan
dengan menggunakan lafaz inkahin (menikahkan) atau tazwiwin
(mengawinkan). Menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibary
sebagaimana dikutip Neng Zubaidah, kata nikah itu sendiri secara hakiki
berarti aqad dan secara majazi berarti bersenggama.
Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan perkawinan dengan akad
yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami isteri dengan
lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu. Ulama mazhab Hanafi
mendefinisikan perkawinan dengan akad yang memfaedahkan halalnya
melakukan hubungan suami isteri antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, saling tolng menolong antara keduanya serta
menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.
Menurut hukum Islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara
wali calon isteri dengan laki-laki calon suaminya. Akad nikah itu harus
diucapkan oleh wali calon isteri dengan jelas berupa serah (ijab) dan
diterima (qabul) oleh calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua
orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan
tidak sah, karena bertentangan dengan hadist Nabi Muhammad SAW
yang diriwayatkan oleh Ahmad ”Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan
dua orang saksi yang adil”.
b. Agama Katholik
Menurut agama Kristen Katholik, Perkawinan adalah suatu
Sakramen (suatu yang kudus dan suci), yang merupakan persetujuan
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk saling mengikatkan
diri sampai salah seorang dari mereka meninggal dunia dan hanya pada
seorang itu saja, untuk memperoleh keturunan.
Pengertian lainnya adalah persekutuan hidup antara pria dan
wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas

Diktat Hukum Perkawinan


18
dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali. Jadi perkawinan adalah
perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta kasih antara
kedua suami isteri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang
penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu
adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis.
c. Agama Hindu
Perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna
mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah
orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual
menurut agama Hindu Weda Smrti. Jika perkawinan tidak dilangsungkan
dengan upacara menurut hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah.
d. Agama Budha
Menurut Hukum Perkawinan Agama Budha (HPAB) keputusan
Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 Pasal 1 dikatakan bahwa
perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai
suami dan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan Cinta Kasih
(Metta), Kasih Sayang (Karuna) dan Rasa Sepenanggungan (Mudita)
dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia
yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para
Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa. Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut Hukum Perkawinan Agama Budha Indonesia (Pasal 2
HPAB).
Pada umumnya menurut hukum agama, perkawinan/pernikahan
adalah suatu perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak
(laki-laki dan perempuan) dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan
Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta
berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai ajaran agama dan
kepercayaan masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi
keagamaan adalah suatu ”perikatan jasmani dan rohani” yang membawa
akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua mempelai beserta
keluarga dan kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan
manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan
apa yang dilarang. Oleh karena itu pada dasarnya setiap agama tidak

Diktat Hukum Perkawinan


19
dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung dengan pasangan
yang tidak seagama.
Dengan demikian perkawinan dalam arti ”perikatan jasmani dan
rohani” adalah suatu perikatan untuk mewujudkan kehidupan yang
selamat, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat, bukan saja lahiriah
tetapi juga batiniah, bukan hanya gerak langkah yang sama dalam
berkarya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa. Sehingga
kehidupan rumah tangga berjalan rukun dan damai karena suami dan
isteri serta anggota keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan
tujuan yang sama.
2. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu
bukan saja berarti sebagai ”perikatan perdata”, tetapi juga merupakan
”perikatan adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan
ketetanggaan”. Dengan demikian terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan
semata-mata membawa akibat terhadap hubungan- hubungan keperdataan,
seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak
dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat kewarisan,
kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-
upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban menaati
perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan
Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan sesama manusia
(muamalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan di akhirat.
Oleh karenanya B.Z.N. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu
adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
martabat, urusan pribadi dan juga menyangkut urusan keagamaan. Van
Vollenhoven juga mengatakan bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-
lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan
tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia.
Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa perkawinan dalam arti
perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat terhadap hukum
adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan setelah terjadinya
ikatan perkawinan maka timbullah hak-hak kewajiban orang tua (termasuk
anggota atau kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam

Diktat Hukum Perkawinan


20
pelaksanaan upacara adat dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak
mereka yang terikat dalam perkawinan.
Perkawinan dalam arti ”perikatan adat” adalah perkawinan yang
mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak
sebelumperkawinan dilangsungkan, misalnya dengan adanya hubungan
pelamaran yang merupakan ”rasan sanak” (hubungan anak-anak, bujang-
gadis) dan ”rasan tuha” (hubungan antara orang tua keluarga dari para
calon suami dan isteri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka
timbullah hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua, termasuk anggota
keluarga dan kerabat menurut hukum adat setempat, yaitu dalam
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan
memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-
anak mereka yang terikat dalam perkawinan.
Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum dalam
perikatan adat, seperti kedudukan suami dan isteri, kedudukan anak dan
pengangkatan anak, kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak
adat, anak asuh dan sebagainya. Kemudian juga harta perkawinan, yaitu
harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan sangat tergantung pada
bentuk dan sistem perkawinan adat setempat.
Perkawinan dalam arti perikatan adat, walaupun dilangsungkan antar
adat yang berbeda, tidak akan seberat penyelesaiannya dari pada
perkawinan yang berbeda agama, oleh karena perbedaan adat hanya
menyangkut perbedaan masyarakat saja dan bukan perbedaan keyakinan.
3. Menurut Peraturan Perundang-undangan (Hukum Positif)
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam KUH Perdata tidak memuat suatu ketentuan mengenai
rumusan pengertian perkawinan. Sehubungan dengan hal tersebut
Hilman Hadikusuma mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Menurut Pasal 26 KUH Perdata dikatakan bahwa “Undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan bahwa “Tidak
ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum

Diktat Hukum Perkawinan


21
kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa
perkawinan dihadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung”.
Pasal 81 KUH Perdata ini diperkuat oleh Pasal 530 Ayat (1) KUH
Pidana yang menyatakan “Seorang petugas agama yang melakukan
upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan
pejabat catatan sipil, sebelum dinyatakan kepadanya bahwa
pelangsungan dihadapan pejabat itu sudah dilakukan, diancam
dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Kalimat “yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat
catatan sipil” tersebut menunjukkan bahwa peraturan ini tidak
berlaku bagi mereka yang berlaku hukum Islam, hukum Hindu-
Budha dan/atau Hukum Adat, yaitu orang-orang yang dahulu
disebut pribumi (Inlander) dan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)
tertentu, di luar orang Cina.
Dengan kata lain menurut KUH Perdata perkawinan hanya dilihat
dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Berdasarkan
uraian tersebut nampak jelas perbedaan mengenai pengertian
perkawinan menurut KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan.
Perkawinan dalam KUH Perdata hanya sebagai “perikatan perdata” saja,
sedangkan perkawinan menurut UUP tidak hanya sebagai “perikatan
perdata” tetapi juga “perikatan keagamaan”.
Walaupun perkawinan termasuk ke dalam perjanjian, namun
perjanjian dalam perkawinan tidak sama dengan perjanjian lain pada
umumnya, karena perkawinan adalah perjanjian yang suci. Suci di sini
dilihat dari segi keagamaan suatu perkawinan. Menurut Ali Afandi,
Perbedaan perjanjian biasa dengan perjanjian dalam perkawinan dapat
dilihat sebagai berikut:
Perjanjian biasa hanya berlaku bagi para pihak yang mengadakan
perjanjian, isi perjanjian bebas, ketentuan dalam undang-undang
hanya bersifat sebagai tambahan dan perjanjian dapat dihentikan.
Sedangkan perjanjian dalam perkawinan berlaku umum,
persetujuan kedua belah pihak harus disahkan oleh pemerintah,
dalam perkawinan ketentuan undang-undang bersifat mengikat dan
perjanjian perkawinan dapat dibubarkan karena kematian, cerai
dan keputusan pengadilan.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan: “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Diktat Hukum Perkawinan


22
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengertian perkawinan berdasarkan pasal tersebut dapat dimengerti
bahwa dengan melakukan perkawinan, pada masing-masing pihak telah
terkandung maksud untuk hidup bersama secara abadi, dengan
memenuhi hak-hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara,
untuk mencapai keluarga bahagia.
Pengertian perkawinan berdasarkan Pasal 1 tersebut di atas dapat
dirincikan lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri.
2. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera.
3. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pencantuman frasa ”berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”


adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang
mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini
dengan tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang
erat sekali dengan agama, dan kerohanian, sehingga unsur perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir (jasmani) saja, tetapi juga memiliki
unsur batin (rohani).
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan
seorang wanita sehingga tidak dimungkinkan terjadinya hubungan
perkawinan antara pasangan yang sesama jenis kelaminnya. Ikatan
antara seorang pria dengan seorang wanita baru dipandang sebagai
suami isteri apabila ikatan tersebut berdasarkan perkawinan yang sah.
Kata sah berasal dari bahasa Arab, yaitu “sahih”, yang secara etimologi
berarti sesuatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat. Suatu perkawinan
yang sah mempunyai beberapa akibat hukum, antara lain adalah halalnya
bergaul (berhubungan badan) antara suami dan isteri, saling waris
mewarisi diantara mereka dan anak keturunannya. Suatu perkawinan
dapat dikatakan sah apabila dipenuhinya syarat-syarat tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Diktat Hukum Perkawinan


23
c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam merumuskan pengertian
perkawinan sebagai berikut: ”Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Kompilasi berasal dari kata “compilare” yang mempunyai arti
mengumpulkan bersama-sama dalam sebuah buku atau kitab,
seperti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar dan
berserakan dimana-mana. Istilah ‘compilare” ini kemudian
dikembangkan menjadi “compilation” dalam bahasa Inggris atau
“compilatie” dalam bahasa Belanda. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991. Materi KHI memuat 3 (tiga)
Buku, yaitu Buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170); Buku II
Hukum Kewarisan (Pasal 171-214); dan Buku III Hukum
Perwakafan (Pasal 215-229). Lebih lanjut secara garis besar
sistematika Isi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah sebagai
berikut: Buku I tentang Hukum Perkawinan, terdiri dari Bab I:
Ketentuan Umum (Pasal 1); Bab II: Dasar-dasar Perkawinan (Pasal
2-10); Bab III: Peminangan (Pasal 11-13); Bab IV: Rukun dan Syarat
Perkawinan (Pasal 14-29); Bab V: Mahar (Pasal 30-38); Bab VI:
Larangan Kawin (Pasal 39-44); Bab VII: Perjanjian Perkawinan
(Pasal 45-52); Bab VIII: Kawin Hamil (Pasal 53-54); Bab IX:
Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59); Bab X: Pencegahan
Perkawinan (Pasal 60-69); Bab XI: Batalnya Perkawinan (Pasal 70-
76); Bab XII: Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84); Bab
XIII: Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97); Bab XIV:
Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106); Bab XV: Perwalian (Pasal 107-
112); Bab XVI: Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148); Bab XVII:
Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162); Bab XVIII: Rujuk
(Pasal 163-169); Bab XIX: Masa Berkabung , Buku II tentang Hukum
Kewarisan, terdiri dari Bab I: Ketentuan Umum (Pasal 171); Bab II:
Ahli Waris (Pasal 172-175); Bab III: Besarnya Bahagian (Pasal 176-
191); Bab IV: Aul dan Rad (Pasal 192-193); Bab V: Wasiat {Pasal
194-209); Bab VI: Hibah (Pasal 210-214); Buku III tentang Hukum
Perwakafan, terdiri dari Bab I: Ketentuan Umum (Pasal 215); Bab II:
Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (Pasal 216-222); Bab
III: Tatacara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (Pasal 223-
224); Bab IV: Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda
Wakaf (Pasal 225-227); Bab V: Ketentuan Peralihan (Pasal 228) dan
Ketentuan Penutup (Pasal 229).

Diktat Hukum Perkawinan


24
Mengenai perintah Allah SWT kepada manusia untuk menikah
dalam Al-Qur’an antara lain disebutkan dalam Surat An-Nur Ayat 32,
yang artinya: ”Dan kawinkanlah orang- orang yang sendirian diantara
kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba sahayamu yang
lelaki dan perempuan”.
Perintah mengenai manusia untuk menikah juga terdapat dalam Al-
Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 21 yang artinya: ”Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berpikir”.
Nabi Muhammad SAW memperkuat firman Allah SWT di atas dalam
sebuah hadist, yang artinya: ”Nikah adalah sunnahku, barang siapa yang
mengikuti sunnahku berarti termasuk golonganku, dan barang siapa yang
membenci sunnahku berarti bukan termasuk golonganku”. (H.R. Bukhari-
Muslim).
Hukum perkawinan seperti yang diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam adalah bersifat khusus dan hanya digunakan bagi mereka yang
beragama Islam.
4. Menurut Pendapat Sarjana
a. R. Subekti menyebutkan: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
b. Ali Afandi menyebutkan: Perkawinan itu adalah suatu persetujuan
kekeluargaan.
c. Hazairin menyebutkan: Perkawinan itu adalah hubungan seksual, tidak
ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual, dan bila
tidak ada hubungan seksual antara suami isteri maka tidak perlu ada
tenggang waktu tunggu (iddah) untuk menikah lagi bekas isteri itu
dengan laki-laki lain.
d. Hilman Hadikusuma menyebutkan: Perkawinan adalah perikatan antara
dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa
yang membawa akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban dalam
rangka melanjutkan keturunan.

Diktat Hukum Perkawinan


25
e. R. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan: Perkawinan yaitu suatu hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi
syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum Perkawinan.
f. Ibrahim Hosen menyebutkan: Nikah menurut arti asli kata dapat juga
berarti aqad, dengannya menjadi halal kelamin antara pria dan wanita,
sedangkan menurut arti lain bersetubuh.
g. K. Wantjik Saleh menyebutkan: Perkawinan adalah suatu perjanjian yang
diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang laki-
lakidengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam
Pancasila.
h. Mohd. Idris Ramulyo menyebutkan: Perkawinan adalah suatu perjanjian
yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga
bahagia yang kekal, dimana antara suami isteri itu saling menyantuni,
kasih mengasihi, terdapat keadaan aman dan tenteram penuh
kebahagiaan baik moral spiritual dan material berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
i. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika menyebutkan: Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan
keluarga sejahtera dan bahagia dimana kedua suami isteri memikul
amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami
suatu proses psikologis yang berat, yaitu kehamilan dan melahirkan yang
meminta pengorbanan.
j. Wahbah Az-Zuhaily menyebutkan: Perkawinan adalah akad yang
membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang
wanita atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama wanita tersebut
bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau
sepersusuan.
k. Ahmad Azhar Basyir menyebutkan: Perkawinan (nikah) adalah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan
kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup yang

Diktat Hukum Perkawinan


26
diliputi oleh rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang
diridhai oleh Allah.
l. Sajuti Thalib menyebutkan: Perkawinan adalah suatu perjanjian yang
kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-
menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.
m. Nadimah Tandjung menyebutkan: Perkawinan adalah mensyahkan
persekutuan antara pria dan wanita, serta untuk menumbuhkan cinta
kasih antara yang satu dengan yang lain dan mewajibkan yang satu
menjadi teman hidup bagi yang lain.
n. Muhammad Abu Zahrah menyebutkan: Nikah adalah akad yang
menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan
antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta
menimbulkan hak dan kewajiban.
o. Tahir Mahmood menyebutkan: Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir
dan bathin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami
dan isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan
membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.
p. R. Abdul Jamali menyebutkan: Istilah perkawinan menurut hukum Islam
adalah nikah atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam
bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata “nikah” berarti hubungan
seks antara suami isteri, sedangkan “ziwaj” berarti kesepakatan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam
hubungan suami isteri untuk mencapai tujuan hidup dalam
melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.
q. Soemiyati menyebutkan: Perkawinan dalam agama Islam disebut nikah,
ialah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
pria dan wanita guna menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak
untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi
rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang dirihoi Allah.
r. Sudarsono menyebutkan: Istilah nikah berasal dari bahasa Arab,
sedangkan menurut bahasa Indonesia memakai istilah perkawinan. Pada
prinsipnya antara pernikahan dengan perkawinan hanya berbeda dalam

Diktat Hukum Perkawinan


27
menarik akad kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum kan lebih jelas
bahwa pernikahan adalah “ikatan suci dan luhur antara laik-laki dan
perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami-isteri dan
dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, penuh kasih dan saling menyantuni.
s. Syaidus Sahar menyebutkan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin yang
sakral dan kekal, bukan hanya menyatukan dua pribadi tetapi juga
menyatukan dua keluarga yang mempunyai latar belakang yang berbeda.
Membentuk keluarga yang bahagia diperlukan adanya hubungan yang
saling menghormati, saling menghargai dan saling memahami satu sama
lainnya dan tidak hanya memerlukan rasa cinta saja. Pengertian di atas
mengandung maksud bahwa perkawinan tersebut tidak hanya terbatas
pada lahirnya saja, melainkan mencakup jiwa dan raga, material dan
spiritual demi kebahagiaan dunia akhirat. Hubungan keluarga yang diikat
dengan perkawinan sah merupakan suatu perjanjian yang suci yang
bukan saja disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga
dipertanggung jawabkan kepada-Nya. Pengertian ikatan lahir dalam
perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan
lahir tersebut merupakan hubungan yang sifatnya formal, baik bagi para
pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan maupun bagi
pihak ketiga atau masyarakat. Ikatan lahir terjadi dengan adanya upacara
perkawinan yang bahwa para pihak melafazkan perkataan atau ucapan
yang diucapkan oleh calon suami atau calon isteri (sighat aqad nikah)
yang terdiri dari ijab dan qabul. Sedangkan yang dimaksud dengan ikatan
batin dari suatu perkawinan ialah pertalian jiwa seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri dalam
membina rumah tangga. Ikatan batin merupakan suatu ikatan yang tidak
nyata. Walaupun tidak nyata, ikatan batin harus tetap ada, karena tanpa
adanya ikatan batin, ikatan lahir akan sangat rapuh sekali. Ikatan batin
inilah yang menggabungkan hubungan batin antara laki-laki dan
perempuan dengan berbagai perasaan sebagai penghubung seperti
perasaan cinta, rindu dan kasih sayang serta perasaan lain yang saling
membutuhkan antara satu sama lainnya. Terjalinnya ikatan batin

Diktat Hukum Perkawinan


28
tersebut merupakan pondasi yang utama dalam membentuk dan
membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Adanya perbedaan pendapat para sarjana di atas, tidak memperlihatkan
adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu
dengan pendapat yang lain. Perbedaan tersebut hanya pada keinginan para
sarjana untuk memasukkan berbagai unsur yang sebanyak-banyaknya dalam
merumuskan pengertian perkawinan. Namun demikian, dari berbagai
pendapat para sarjana di atas terdapat satu kesamaan pandangan, yaitu bahwa
perkawinan merupakan suatu perjanjian antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, yang mana perjanjian dalam suatu perkawinan
merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal,
dan abadi.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka dapat
dirumuskan unsur-unsur suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin
2. Adanya unsur ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami isteri
Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam waktu yang bersamaan
seorang suami tidak diperbolehkan untuk kawin lagi dengan perempuan
lain. Dalam hal ini mengandung asas monogami. Dalam situasi dan kondisi
asas monogami dapat dikesampingkan, namun diperbolehkan bagi mereka
yang diperkenankan oleh agama dan undang-undang untuk menikah lagi
dengan alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal
Hal ini dapat diartikan bahwa perkawinan mereka haruslah
berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan
begitu saja. Pemutusan hubungan perkawinan karena sebab-sebab di luar
kematian (cerai mati), yaitu perceraian (cerai hidup) merupakan jalan
terakhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.
4. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Artinya bahwa perkawinan tersebut tidak begitu saja menurut kemauan
para pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada umat manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna beradab.

Diktat Hukum Perkawinan


29
B. Tujuan Perkawinan
1. Menurut Hukum Islam
Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari pernyataan
Al Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama. Tujuan perkawinan
dalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam Surat Ar-Ruum Ayat 21, artinya:
”Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Dia
menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki dan jenis mereka sendiri agar
mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan/
menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan
rahmah) di antara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat
tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir”.
2. Menurut Hukum Adat
Tujuan pokok dari hukum adat adalah untuk mempertahankan dan
meneruskan keturunan, untuk kebahagiaan rumah tangga, keluarga dan
untuk memperoleh nilai-nilai adat serta kedamaian dan mempertahankan
kewarisan. Hubungan suami isteri setelah perkawinan bukanlah suatu
hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi
merupakan suatu paguyuban/somah/keluarga, dan merupakan satu
ketunggalan.
Sebagai bukti bahwa suami isteri merupakan satu ketunggalan adalah
sebagai berikut:
a. Melepaskan nama menjadi satu nama, biasanya menggunakan nama
suaminya;
b. Merupakan belahan jiwa bagi keduanya; dan
c. Adanya harta gono-gini.
3. Menurut Undang-Undang Perkawinan
Tujuannya adalah untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan
yang tidak mempunyai tujuan ini, bukanlah perkawinan dalam arti Undang-
Undang Perkawinan.
Rumusan tujuan perkawinan di atas mengandung arti bahwa dengan
melangsungkan perkawinan diharapkan akan memperoleh kebahagiaan
lahir dan bathin. Kebahagiaan yang akan dicapai tersebut bukanlah
kebahagiaan yang bersifat sementara, tetapi kebahagiaan yang bersifat

Diktat Hukum Perkawinan


30
kekal selamanya sampai kematian yang memisahkan pasangan suami isteri.
Tujuan perkawian tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Membentuk keluarga, artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil
yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak.
b. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami
isteri dalam suatu wadah yang disebut dengan kediaman bersama.
c. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami dan isteri,
atau antara suami, isteri dan anak-anak dalam rumah tangga.
d. Kekal artinya berlangsung secara terus menerus seumur hidup dan tidak
boleh diputuskan begitu saja ataupun dibubarkan menurut kehendak
para pihak.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan tidak terjadi
begitu saja menurut kehendak atau kemauan para pihak, melainkan
sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk yang beradab.
Oleh karena itu, perkawinan dilakukan secara berperadaban pula, sesuai
dengan ajaran agama yang diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah.
4. Menurut Pendapat Sarjana
a. Zahri Hamid memberikan tujuan perkawinan sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan naluriah manusia.
2. Memenuhi petunjuk agama, yaitu:
a. Menaati perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasul terutama
meneladani sunnah Rasulullah SAW, karena beliau juga hidup
beristeri, berumah tangga dan berkeluarga;
b. Memelihara pandangan mata, menentramkan jiwa, memelihara
nafsu seksual, memenangkan pikiran, membina kasih sayang serta
menjaga kehormatan dan kepribadian. Dalam sebuah Hadits yang
telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: ”Hai sekalian pemuda
barang siapa diantara kamu telah sanggup kawin, maka kawinlah,
karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih memelihara
faraj”. (H.R. Bukhari dan Muslim). Kemudian Hadits lain dari Abu
Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, artinya: ”Sesungguhnya
perempuan itu menghadap dengan rupa syetan dan membelakangi
dengan rupa syetan pula. Jika seseorang diantara kamu tertarik
kepada seseorang perempuan, hendaklah ia datangi isterinya, agar

Diktat Hukum Perkawinan


31
nafsunya dapat tersalurkan”. (H.R. Muslim, Abu Dawud dan
Tirmidzi)
c. Memelihara dan membina kualitas keturunan untuk meneruskan
kontinyuitas pembinaan keluarga sepanjang masa yang dirihai
Allah SWT.
d. Mempererat dan memperkokoh tali silaturrahim diantara keluarga
suami dengan keluarga isteri dan membangun rumah tangga untuk
membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar rasa cinta dan
kasih sayang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum
Ayat 21, artinya: Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah
bahwa Dia menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki dan jenis mereka
sendiri agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah
menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang
(mawaddah dan rahmah) di antara mereka. Dalam hal demikian
benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang
mau berfikir”.

b. Soemiyati menjelaskan tujuan perkawinan sebagai berikut, yaitu:


1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat
kemanusiaan;
2. Mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan
kasih sayang;
3. Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’at.

c. Ahmad Azhar Basyir, menjelaskan tujuan perkawinan dalam Islam adalah


memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-
laki dengan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
d. Abd. Rahman Ghazali sebagaimana mengutip pendapat Imam Al- Ghazali
tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu
dapat dikembangkan menjadi 5 (lima), yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Diktat Hukum Perkawinan


32
Tujuan perkawinan tidak selamanya dapat terwujud sesuai harapan, ada
kalanya dalam kehidupan berumah tangga terjadi kesalahpahaman dan
percekcokan, perselisihan dan pertengkaran yang berkepanjangan sehingga
menjadi salah satu faktor penyebab putusnya hubungan perkawinan antara
suami dan isteri. Oleh karena itu sangat diperlukan kesabaran dan membangun
rasa saling pengertian diantara suami dan isteri dalam membina mahligai
perkawinan.

C. Asas-Asas Perkawinan
1. Menurut Undang-Undang Perkawinan
Dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi
dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Adapun prinsip-prinsip
atau asas-asas mengenai perkawinan yang diatur dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri harus saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan mencapai
kesejahteraan baik materil maupun spirituil.
b. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan harus dicatat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan penting lainnya dalam
kehidupan seseorang, seperti halnya dengan kelahiran, kematian dan suatu
akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-Undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan karena hukum atau ketentuan agamanya
mengizinkannya, maka seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang,
meskipun hal itu dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu yang
diputuskan oleh pengadilan.
d. Calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri

Diktat Hukum Perkawinan


33
yang masih di bawah umur. Perkawinan sangat berkaitan dengan masalah
kependudukan. Apabila batas umur yang lebih muda bagi seorang wanita
untuk melangsungkan perkawinan akan berakibat meningkatnya laju angka
kelahiran secara signifikan jika dibandingkan dengan batas umur yang telah
cukup untuk melakukan perkawinan. Oleh sebab itu, Undang-Undang
Perkawinan menentukan batasan umur untuk melangsungkan perkawinan,
yaitu 19 (sembilan belas tahun) bagi laki-laki dan 19 (sembilan belas) tahun
bagi perempuan (lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan .
e. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan
sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan terjadinya perceraian harus
disertai alasan-alasan tertentu dan harus di depan sidang pengadilan.
f. Hak kedudukan isteri seimbang dengan hak kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan
diputuskan bersama oleh suami isteri.
2. Menurut Hukum Adat
Asas-asas perkawinan menurut Hukum Adat adalah sebagai berikut:
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga, rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun, damai dan bahagia serta kekal.
b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau
kepercayaannya saja, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari anggota
keluarga (kerabat).
c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita
sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut
hukum adat setempat.
d. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota
kerabat.
e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur
atau masih anak-anak, begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan
harus berdasarkan izin orang tua atau keluarga atau kerabat.

Diktat Hukum Perkawinan


34
3. Menurut Pendapat Sarjana
a. Menurut M. Yahya Harahap:
Asas-asas yang dipandang cukup prinsipil dalam Undang-Undang
Perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dan bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-Undang
Perkawinan sekarang menampung di dalammya segala unsur-unsur
ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman
Maksudnya adalah terpenuhinya aspirasi kaum perempuan yang
menuntut adanya emansipasi, disamping perkembangan sosial
ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang telan membawa
berbagai implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan
pemikiran.
3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal
Tujuan perkawinan tersebut dapat dielaborasi dalam 3 (tiga) hal.
a. Suami isteri saling bantu membantu serta saling lengkap
melengkapi.
b. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk
pengembangan kepribadian itu suami isteri harus saling membantu.
c. Tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh keluarga bangsa Indonesia
adalah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan materil.
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga
negara bangsa Indonesia. Yaitu perkawinan harus dilakukan
berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
Disamping itu perkawinan harus memenuhi syarat administratif
pemerintahan dalam bentuk pencatatan atau adanya akta nikah.
5. Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami akan tetapi
tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum
agamanya mengizinkannya.
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-
pribadi yang telah matang jiwa raganya.
7. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang,
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan
masyarakat.

Diktat Hukum Perkawinan


35
b. Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip perkawinan tersebut ada 4
(empat) yang didasarkan kepada firman Allah SWT dalam beberapa ayat
Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh
Prinsip sebenarnya adalah kritikan terhadap tradisi bangsa Arab yang
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk
dirinya sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
apa yang terbaik bagi dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh
adalah adalah hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan
sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
2. Prinsip Mawaddah wa rahmah
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Ar-Ruum ayat 21, yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”. Prinsip Mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia
yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Jika hewan melakukan
hubungan seksual semata-mata hanya untuk melakukan hubungan
seks itu sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak.
Perkawinan pada manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah SWT
di samping tujuan memenuhi hasrat biologis.
3. Prinsip saling melengkapi dan melindungi
Prinsip ini berdasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 187 yang artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam
hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…..”
Perkawinan laki-laki dengan perempuan dimaksudkan untuk saling
membantu dan melengkapi karena setiap manusia memiliki kelebihan
dan kekurangan.
4. Prinsip Mu’asarah bi al-ma’ruf
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 19, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak
halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah
kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak”. Dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya
adalah pengayoman dan penghargaan kepada wanita.

Diktat Hukum Perkawinan


36
Jika disederhanakan maka Undang-Undang Perkawinan menganut
beberapa asas atau prinsip sebagai berikut:
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal
Tujuan perkawinan bukanlah sekedar hanya memenuhi kebutuhan
biologis saja, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna manusiawi yang
sangat luhur. Oleh sebab itu dikatakan oleh undang-undang bahwa
perkawinan bukanlah hanya ikatan lahir saja, melainkan juga ikatan bathin.
Tujuannya adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
artinya bahwa dengan adanya perkawinan tidak diharapkan terjadinya
penderitaan dan kesengsaraan, baik secara materil maupun spirituil.
Selain itu tujuan perkawinan di dalam Islam adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup, baik secara jasmani dan rohani dalam hal membentuk
keluarga, memelihara dan meneruskan keturunan dalam menjalani hidup di
dunia, serta menghindarkan diri dari terjadinya perzinahan agar terciptanya
ketenangan dan ketentraman jiwa.
b. Perkawinan bersifat monogami
Dalam suatu masa, perkawinan hanya dibolehkan antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan. Hal ini mengandung arti bahwa dalam
waktu yang bersamaan seorang suamivdilarang untuk melakukan
perkawinan dengan perempuan lain (poligami).
c. Kebebasan kehendak
Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan yang bebas antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang akan melangsungkan
perkawinan. Persetujuan bebas juga mengandung arti suka sama suka, dan
tidak ada unsur paksaan sama sekali dari pihak lain, termasuk orang tua
sendiri.
d. Pengakuan kelamin secara kodrati
Jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah suatu kodrat yang
diciptakan oleh Tuhan dan tidak dibentuk oleh manusia. Namun karena
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka manusia sudah mampu
untuk merubah bentuk jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan.
e. Mempersulit terjadinya perceraian
Sekali perkawinan dilangsungkan, maka perkawinan tersebut
berlangsung seumur hidup dan tidak dapat diputuskan begitu saja.
Perkawinan yang kekal tidak mengenal jangka waktu. Apabila ada

Diktat Hukum Perkawinan


37
perkawinan yang bersifat sementara maka bertentangan dengan asas ini
dan jika dilakukan maka perkawinan tersebut batal. Salah satu prinsip
dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran agama
adalah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraia
berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia. Namun demikian
lain halnya putusnya perkawinan terjadi karena kematian yang merupakan
takdir dari Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat dielakkan manusia.
Dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan, yang mulai berlaku
secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, yakni sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan
pelaksanaannya, maka perceraian tidak bisa lagi dilakukan dengan
semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya, melainkan harus
dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan atau
alasan-alasan yang dapat dibenarkan.
f. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan
kepercayaan masing-masing
Perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing yang dianut oleh para pihak yang akan
melakukan perkawinan tersebut. Kedua belah pihak yang akan
melangsungkan perkawinan harus menurut hukum agama yang sama. Jika
diantara keduanya berbeda agama maka perkawinan tidak dapat
dilangsungkan, kecuali apabila salah satu pihak ikut memeluk agama yang
dianut oleh salah satu pihak.
g. Perkawinan terdaftar
Setiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama sah
menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan apabila
didaftarkan pada lembaga atau instansi pencatatan perkawinan.
Perkawinan yang dilakukan dan tidak terdaftar maka tidak akan diakui
keabsahannya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
h. Kedudukan suami isteri adalah seimbang
Suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Masing-
masing pihak dapat melakukan perbuatan hukum apa saja. Suami sebagai

Diktat Hukum Perkawinan


38
kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Oleh karenanya
diantara kedua suami dan isteri tidak mempunyai kedudukan di atas atau di
bawah yang lainnya.
i. Poligami sebagai pengecualian
Dalam kondisi dan situasi yang tertentu monogami dapat disimpangi
atau dikecualikan oleh mereka yang diperkenankan oleh ajaran agamanya
dengan alasan dan persyaratan yang sangat berat untuk dipenuhi.

D. Hukum Melakukan Perkawinan


Di dalam hukum Islam, terdapat tingkatan atau penggolongan hukum
yang lima (Al-Ahkam Al-Khamsah) dalam melakukan perkawinan, yaitu wajib,
sunat, jaiz dan haram.
1. Jaiz, ibahah (mubah) atau dibolehkan
Hukum asal bagi seseorang untuk melakukan pernikahan adalah
mubah, karena setiap orang yang memenuhi syarat kawin boleh melakukan
perkawinan. Allah SWT yang menciptakan manusia yang membolehkan
menyalurkan nalurinya tersebut apabila syarat-syarat telah terpenuhi.
Hukum asal melakukan perkawinan dari yang mubah tersebut dapat beralih
menjadi sunat, wajib, makruh dan haram tergantung kondisi orang yang
melakukannya.
2. Sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan
sebagainya.
Seseorang yang sudah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani
sudah wajar dan terdorong hatinya untuk kawin serta mempunyai bekal
atau pencaharian untuk biaya hidup berkeluarga disunatkan untuk segera
menikah.
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda
melakukan zina
Bila seseorang dilihat dari pertumbuhan jasmaninya sudah layak
untuk menikah, kedewasaannya sempurna, mempunyai biaya kehidupan
yang cukup dan apabila dia tidak menikah akan jatuh ke dalam perbuatan
yang tercela (zina), maka dia wajib untuk menikah.

Diktat Hukum Perkawinan


39
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
Seseorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmani sudah layak
untuk menikah, kedewasaannya sempurna, tetapi tidak mempunyai biaya
untuk bekal hidup isterinya maka dia dimakruhkan untuk menikah.
5. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang
dinikahinya
Seseorang yang akan mengawini perempuan dengan maksud untuk
menyakiti, menganiaya atau mempermainkannya, maka dia diharamkan
mengawini perempuan tersebut. Dia berdausa meskipun pernikahannya sah
karena memenuhi persyaratan formal yang ditentukan.
Selanjutnya dari Abu Sa’id Al-Khudri R.A., Nabi Muhammad SAW
bersabda, artinya: ”Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena
kecantikannya, hartanya, akhlaknya dan agamanya”.
1. Karena kecantikannya
Menikah karena kecantikan adalah lebih baik karena harta benda
cepat lenyap atau musnah dengan cepat. Namun kecantikan seorang
perempuan dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama, bahkan sampai
tua tetapi jangan bersifat sombong dan takabur.
2. Karena harta bendanya
Kehendak ini datangnya bisa dari pihak laki-laki maupun pihak
perempuan. Misalnya ingin menikah dengan seorang hartawan sekalipun
dia mengetahui pernikahan tersebut tidak sesuai dengan keadaan dirinya
dan kehendak masyarakat karena hanya mengharapkan harta benda. Hal
seperti ini sangat bertentangan dengan sunnah Rasul SAW dan perintah
Allah SWT. Nabi Muhammad SAW bersabda, artinya: ”Barang siapa menikah
dengan seorang perempuan karena kekayaannya, niscaya tidak akan
bertambah kekayaannya, bahkan sebaliknya kemiskinan yang akan
dihadapi”.
3. Karena akhlaknya
Hal ini lebih baik dibandingkan dengan kedua hal tersebut di atas yang
hanya mengharapkan kecantikan dan harta benda semata.
4. Karena agamanya
Hal inilah yang patut dan baik menjadi ukuran untuk pergaulan suami
isteri yang kekal serta menjadi dasar kerukunan dan kemaslahatan rumah
tangga serta sesama keluarga.

Diktat Hukum Perkawinan


40
E. Bentuk-Bentuk Perkawinan
Pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari 2 (dua) segi,
yaitu sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi jumlah suami atau isteri
Ditinjau dari segi jumlah suami atau isteri, maka bentuk perkawinan
terdiri dari:
a. Perkawinan Monogami
Yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta
Undang-Undang Perkawinan.
b. Perkawinan Poligami
Yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu
perempuan ataupun perkawinan antara seorang peremouan dengan
lebih dari satu laki-laki. Dengan demikian, bentuk perkawinan ini dapat
dibedakan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari
satu perempuan.
2. Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan lebih
dari satu laki-laki. Misalnya pada orang Eskimo, orang Markesas di
Oceania, orang Philipina di Pulau Palawan dan sebagainya.
2. Dilihat dari segi asal suami-isteri
Apabila ditinjau dari segi asal suami-isteri, maka bentuk perkawinan
terdiri dari:
a. Perkawinan Eksogami ialah perkawinan antara laki-laki dan perempuan
yang berlainan suku dan ras. Misalnya: masyarakat di Tapanuli,
Minangkabau dan Sumatera Selatan.
b. Perkawinan Endogami ialah perkawinan antara laki-laki dan perempuan
yang berasal dari suku dan ras yang sama. Misalnya: masyarakat Toraja.
c. Perkawinan Homogami ialah perkawinan antara laki-laki dan perempuan
dari lapisan sosial yang sama. Misalnya: orang kaya cenderung kawin
dengan anak orang kaya pula, suku Batak cenderung kawin dengan anak
dari keluarga Batak pula, dan sebagainya.
d. Perkawinan Heterogami ialah perkawinan antara laki-laki dan
perempuan dari lapisan sosial yang berlainan. Misalnya: orang keturunan
bangsawan menikah dengan orang biasa, orang Batak menikah dengan
orang Sunda.

Diktat Hukum Perkawinan


41
Disamping bentuk-bentuk perkawinan di atas, terdapat pula bentuk-
bentuk perkawinan lainnya, yaitu:
a. Perkawinan Cross Cousin
Yaitu perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara laki-laki
ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah. Misalnya: di
daerah Batak (pariban), dan sebagainya.
b. Perkawinan Parallel Cousin
Yaitu perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka bersaudara atau
ibu mereka bersaudara.
c. Perkawinan Eleutherogami
Yaitu seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam perkawinan, baik
itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya. Misalnya: pada masyarakat
di Jawa, Sumatera Timur, Kalimantan, Minahasa, Ternate, Bali dan
sebagainya.

Diktat Hukum Perkawinan


42
BAB III
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

A. Pengertian Rukun Perkawinan


Menurut syariat Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi 2 (dua)
unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi
untuk sahnya suatu pekerjaan; asas; dasar; sendi. Syarat adalah segala sesuatu
yang bergantung padanya keberadaan hukum syar’i, dan dia berada di luar
hukum itu sendiri atau syarat adalah janji (sebagai tuntutan atau permintaan
yang harus dipenuhi); segala sesuatu yang perlu atau harus ada (sedia, dimiliki
dan sebagainya).
Untuk melangsungkan perkawinan calon mempelai harus memenuhi
rukun perkawinan dan syarat-syarat perkawinan. Antara rukun dan syarat
perkawinan tersebut terdapat perbedaan dalam pengertiannya. Rukun
perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri atau unsur-unsur yang
harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan, dimana tanpa adanya
salah satu rukun, maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Apabila
rukun perkawinan tidak lengkap atau tidak terpenuhi maka perkawinan
tersebut tidak sah. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan dan tidak termasuk hakekat perkawinan. Apabila salah satu
syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut tidak
sah.
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku. Kalau perkawinan itu
tidak dilaksanakan tidak menurut tata tertib hukum yang telah ditentukan
maka perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, berarti tidak sah menurut peraturan
perundang-undangan. Begitu juga kalau tidak sah menurut aturan hukum
agama berarti tidak sah menurut agama.
Menurut Muhammad Amin Summa, berkaitan dengan perbedaan antara
rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, nampak
begitu tipis. Atas dasar ini maka tidaklah mengherankan jika berkenaan
dengan ihwal rukun dan syarat nikah, ada hal-hal tertentu yang oleh sebagian
ulama dikatagorikan ke dalam syarat nikah. Jadi rukun dan syarat memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad.

Diktat Hukum Perkawinan


43
Menurut Jumhur Ulama, rukun perkawinan ada (lima), dan masing-
masing rukun tersebut mempunyai persyaratan tertentu pula, yaitu sebagai
berikut:
1. Adanya calon suami (mempelai pria), syaratnya:
a. Beragama Islam;
b. Laki-laki;
c. Jelas orangnya;
d. Dapat memberikan persetujuan;
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Adanya calon isteri (mempelai wanita), syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam;
b. Perempuan;
c. Jelas orangnya;
d. Dapat memberikan persetujuan;
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3. Adanya wali nikah, syarat-syaratnya:
a. Laki-laki;
b. Baligh/Dewasa;
c. Mempunyai hak perwalian;
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4. Adanya saksi nikah, syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki;
b. Hadir dalam pelaksanaan ijab dan qabul;
c. Dapat mengrti maksud akad;
d. Islam;
e. Baligh/Dewasa.
5. Adanya sighat (ijab dan qabul), syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan menikahkan dari wali mempelai wanita atau
wakilnya;
b. Adanya pernyataan penerimaan nikah dari calon mempelai pria atau
wakilnya;
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut;
d. Antara ijab dan qabul bersambungan;
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

Diktat Hukum Perkawinan


44
f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang terkait dengan
ihram haji atau umrah;
g. Majelis ijab dan qabul tersebut harus dihadiri oleh minimal 4 (empat)
orang, yaitu: calon mempelai laki-laki atau wakilnya, wali dari
mempelai perempuan dan dua orang saksi.

Calon Mempelai
Adanya calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan
merupakan syarat mutlak (absolut) dalam suatu perkawinan. Tidak dapat
dikatakan suatu perkawinan apabila hanya ada seorang laki-laki saja atau
seorang perempuan saja, atau kedua-duanya laki-laki atau kedua-duanya
perempuan semua dan disyaratkan adalah bukan mahram sendiri. Mahram
adalah perempuan yang harus dikawini, yaitu mahram karena keturunan,
saudara sesusuan atau mahram perkawinan (semenda) berdasarkan
ketentuan Al-Qur’an yang terdapat dalam beberapa Surat sebagai berikut:
1. Surat An-Nisa’ Ayat 22, artinya:
”Dan janganlah kamu kawina wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.

2. Surat An-Nisa’ Ayat 23, artinya:


”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak- anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdausa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

3. Surat An-Nisa’ Ayat 24, artinya:


”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)

Diktat Hukum Perkawinan


45
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.

4. Serta surat An-Nur Ayat 31, yang artinya:


”Katakanlah pada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang merka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung”.

Selain hal tersebut kedua calon mempelai harus seagama (seakidah).


Tidak dibenarkan seorang laki-laki muslim beristerikan perempuan
beragama lain ataupun sebaliknya. Laki-laki muslim atau perempuan
muslimah tidak boleh beristerikan atau bersuamikan orang musyrik, yaitu
orang yang mempersekutukan sesuatu selain Allah SWT berdasarkan Al-
Qur’an yang disebutkan dalam beberapa surat sebagai berikut:
1. Surat Al-Baqarah Ayat 221, artinya:
”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran”.

Diktat Hukum Perkawinan


46
2. Surat An-Nisa’ Ayat 144, artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”.

3. Surat Al-Mumtahanah Ayat 10, artinya:


”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keinginan mereka;
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa
atasmu mengawini mereka apabila apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu meminta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya
di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Khusus bagi mempelai laki-laki diisyaratkan ketika hendak


melangsungkan perkawinan itu tidak sedang dalam perkawinan poligami
dengan jumlah isteri yang maksimal, yaitu 4 (empat) orang berdasarkan
ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3, artinya:
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Perkawinan poligami yang melebihi batas maksimal 4 (empat)


orang isteri pada saat yang bersamaan maka batallah perkawinannya
dengan isterinya yang kelima.
Wali Nikah
Dalam sebuah perkawinan harus ada wali, karena tanpa adanya wali
maka perkawinan tidak sah.
A. Kedudukan Wali
Kedudukan wali begitu penting dalam suatu perkawinan menurut
pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Adapun yang menjadi dasar

Diktat Hukum Perkawinan


47
hukumnya adalah beberapa hadist Nabi Muhammad SAW, yang artinya
sebagai berikut:
1. ”Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”. (H.R. Ahmad)
2. ”Barang siapa di antara perempuan yang menikah dengan tak seizin
walinya maka perkawinannya batal”. (H.R. Empat orang ahli hadits
kecuali Nasai)
3. ”Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan lain dan jangan
pula menikahkan seorang perempuan akan dirinya sendiri”. (H.R. Ibnu
Majah dan Daruquthni)
Sedangkan menurut pendapat Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali. Dasarnya
adalah hadist Nabi Muhammad SAW, artinya: ”Orang-orang yang tidak
mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada
walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan
tanda ijinnya ialah diamnya”. (H.R. Bukhari Muslim).
B. Tertib Wali
Tertib wali menurut Imam Syafi’i adalah sebagai berikut:
a) Ayah;
b) Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki;
c) Saudara laki-laki kandung;
d) Saudara laki-laki seayah;
e) Kemenakan laki-laki kandung;
f) Kemenakan laki-laki seayah;
g) Paman kandung;
h) Paman seayah;
i) Saudara sepupu laki-laki kandung;
j) Saudara sepupu laki-laki seayah;
k) Sultan/hakim; dan
l) Orang yang ditunjuk oleh mempelai wanita.
C. Pembagian Wali
a) Wali Nasab
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai
perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan
calon mempelai perempuan.

Diktat Hukum Perkawinan


48
Wali nasab terbagi menjadi dua:
1) Wali Mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan
kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan
tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan hak yang
dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. Wali yang
memiliki hak ijbar ini menurut Imam Syafi’i hanya ayah, kakek
dan seterusnya ke atas. Para ulama berpendapat bahwa wali
mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
(a) Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada
permusuhan.
(b) Laki-laki pilihan wali harus sekufu dengan wanita yang akan
dikawinkan.
(c) Di antara calon mempelai wanita dengan calon suami tidak
ada permusuhan
(d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.
(e) Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya
terhadap isteri dan tidak ada kekhawatiran akan
menyengsarakannya.
Catatan: Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wanita
dapat meminta fasakh ke pengadilan.
2) Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai
kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa ijin/persetujuan
dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak
mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar.
b) Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau
pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan
untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim diatur dalam
Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakim. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila:
(1) Wali nasab tidak ada: memang tidak ada (kemungkinan calon
mempelai wanita kehabisan wali dalam arti semua wali nasab
yang yang memenuhi syarat telah meninggal dunia, calon
mempelai wanita tidak mempunyai wali karena wali lain agama
dan merupakan anak luar kawin;

Diktat Hukum Perkawinan


49
(2) Wali nasab tidak mungkin hadir: bepergian jauh, berhaji dan
melaksanakan umrah;
(3) Wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya;
(4) Wali nasab gaib (mafqud); diperkirakan masih hidup tetapi tidak
diketahui rimbanya;
(5) Wali nasab adlal atau enggan (setelah ada putusan Pengadilan
Agama tentang wali tersebut). Wali adlal adalah wali yang
enggan menikahkan wanita yang telah balig dan berakal dengan
seorang laki-laki pilihannya. Sedangkan masing-masing pihak
menginginkan adanya pernikahan tersebut. Dalam kaitan ini, ada
sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Apabila
datang kepadamu laki-laki yang kamu rasakan mantap karena
kekuatan agama dan akhlaknya. Nikahkanlah dia dengan anak
perempuanmu. Apabila kamu tidak menerimanya, akan terjadi
bencana dan kerusakan di muka bumi”. Dengan demikian, baik Al-
Qur’an maupun hadits menjadikan ketaqwaan sebagai nilai
utama dalam pemilihan jodoh. Oleh karenanya dalam Pasal 61
KHI ditentukan bahwa ”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama dan ikhtilaafu ad dien.
Saksi Nikah
Akad nikah harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi yang adil. Tanpa
adanya dua orang saksi maka perkawinan tidak sah. Kesaksian dalam
agama Islam diperlukan untuk menunjukkan betapa besarnya dan
pentingnya arti suatu perkawinan dalam kehidupan manusia. Sehingga
dengan adanya kesaksian dapat menghindari kemungkinan mangkirnya
salah seorang diantara suami atau isteri yang telah melakukan
perkawinan. Hal ini mempunyai kaitan dengan persoalan anak (hadhanah),
nafkah hidup, harta kekayaan perkawinan, warisan dan sebagainya.
Perkawinan adalah bentuk perjanjian, dan saksi mempunyai arti
penting yaitu sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan
perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak.
Saksi nikah harus hadir serta menyaksikan secara langsung akad nikah,
menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan.
Syarat saksi adalah sebagai berikut:

Diktat Hukum Perkawinan


50
a. Beragama Islam;
b. Laki-laki;
c. Adil;
d. Baligh (dewasa);
e. Tidak terganggu ingatannya; dan
f. Tidak tuna rungu.
Akad nikah Sighat (Ijab dan Qabul)
Ijab qabul adalah serah terima dari wali mempelai perempuan atau
wakilnya kepada mempelai laki-laki atau wakilnya dan yang
diserahterimakan adalah mempelai perempuan. Setelah pihak wali
mempelai perempuan mengucapkan ikrar ijab dan mempelai laki-laki
mengucapkan lafaz qabul maka hubungan diantara keduanya sudah sah
dan resmi menjadi sepasang suami isteri.
Prosesi aqad nikah biasanya dilakukan sebagai berikut:
1. Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul
yang diucapkan oleh mempelai pria dan wakilnya disaksikan oleh dua
orang saksi.
2. Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas,
beruntun dan tidak berselang waktu.
3. Akad nikah dapat dilaksanakan sendiri oleh wali nikah atau mewakilkan
kepada orang lain.
4. Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi. Akan tetapi, atas persetujuan mempelai wanita dan walinya,
ucapan penerimaan qabul dapat diwakilkan kepada pria lain dengan
surat kuasa khusus.
5. Contoh redaksional ijab qabul yang diwakilkan.
Ijab: Saya nikahkan puteri kandung saya bernama A kepada X bin Y
yang telah mewakilkan kabul nikahnya kepada C bin D dengan
mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.
Qabul: Saya terima pernikahan puteri kandung Bapak bernama A
dengan X bin Y yang telah mewakilkan kabulnya kepada saya
dengan mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.

B. Syarat-syarat Perkawinan

Diktat Hukum Perkawinan


51
Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus
dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum perkawinan
dilangsungkan. Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting.
Sebab suatu perkawinan yang dilakukan tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan maka
perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat
dibatalkan.
Ketentuan syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
terdapat pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 yang memuat berbagai
persyaratan bagi para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
Keseluruhan persyaratan perkawinan ini harus dipenuhi dan wajib ditaati.
Apabila tidak dipenuhi atau tidak ditaati, maka perkawinan yang telah
dilangsungkan dapat digugat oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan
dibatalkan oleh Pengadilan.
Sebelum melangsungkan perkawinan, ada 2 (dua) macam syarat yang
harus dipenuhi, yaitu syarat materil dan syarat formil. Syarat materil (syarat
subjektif) adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri para pihak yang
akan melangsungkan perkawinan. Syarat formil (syarat objektif) adalah tata
cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Syarat materil (subjektif) yang meliputi:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
{Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan};
b. Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah berusia 19 (sembilan belas)
tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun {Pasal 7
Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan};
c. Tidak masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal
yang diizinkan dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-
Undang Perkawinan.
Menurut ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan seorang yang
masih terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam
Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tentang persyaratan
poligami, yaitu:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya;

Diktat Hukum Perkawinan


52
2. Isteri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
d. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang sama
yang hendak dikawini, {Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan};
e. Bagi janda sudah lewat waktu tunggu {Pasal 10 Undang-Undang
Perkawinan}.
Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan masa
tunggu sebagai berikut:
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan ditentukan sebagai
berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggunya
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
datang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan karena perceraian, waktu tunggu dihitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,
tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
f. Tidak ada larangan perkawinan;
Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang
Perkawinan, yaitu perkawinan dilarang antara dua orang yang
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas, ke bawah,
menyamping, hubungan semenda, sesusuan, seiparan, dan mempunyai
hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin.
g. Sudah memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan 10
(sepuluh) hari sebelum melangsungkan perkawinan;

Diktat Hukum Perkawinan


53
Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di tempat
perkawinan yang akan dilangsungkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
h. Tidak ada yang mengajukan pencegahan perkawinan.
Yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan adalah para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara,
wali nikah, wali pengampu, dan salah seorang calon mempelai dan pihak
yang berkepentingan.
2. Syarat formil (objektif), yaitu tata cara atau prosedur melangsungkan
perkawinan menurut peraturan perundang-undangan atau hukum agama,
yang meliputi:
a. Penelitian
Menurut ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak untuk
melakukan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
peraturan perundang-undangan. Penelitian ini dilakukan terhadap surat-
surat keterangan yang diperlukan untuk membuktikan bahwa syarat-
syarat perkawinan sudah dipenuhi, misalnya: surat keterangan dari
kepala kelurahan/ kepala desa, surat izin dari orang tua atau pengadilan,
surat kuasa dan lain-lain.
b. Pengumuman
Menurut ketentuan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, setelah dipenuhi syarat-syarat serta tidak ada halangan
perkawinan, Pegawai Pencatat Perkawinan menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
formulir yang telah ditetapkan oleh Kantor Pencatatan Perkawinan pada
suatu tempat yang telah ditentukan dan mudah dibaca oleh masyarakat
umum.
c. Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, perkawinan dilangsungkan pada hari ke 10 (sepuluh) sejak
pengumuman kehendak perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai

Diktat Hukum Perkawinan


54
Pencatat Perkawinan. Perkawinan dilangsungkan menurut hukum
agamanya dan kepercayaannya masing-masing.
Apabila syarat-syarat tersebut di atas, baik syarat formil atau syarat
materil telah terpenuhi, maka kedua calon mempelai sudah sah menjadi
suami isteri. Tetapi apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka
menimbulkan ketidak absahan perkawinan yang berakibat batalnya suatu
perkawinan.
Adapun dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam, mengenai rukun dan
persyaratan perkawinan diatur mulai Pasal 14 sampai dengan Pasal 29, yang
dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu:
1. Rukun perkawinan adalah:
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali Nikah;
d. Dua orang saksi; dan
e. Ijab dan kabul.
2. Calon mempelai, persyaratannya:
a. Calon suami berumur sekurang-kurangnya 19 (sembilan belas) tahun
dan calon isteri berumur sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun;
b. Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun
harus mendapat izin dari orang tua/wali;
c. Perkawinan didasarkan persetujuan kedua calon mempelai, berupa
pernyataan yang tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tetapi
juga dapat berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang
tegas;
d. Sebelum perkawinan dilangsungkan, Petugas Pencatat Nikah
menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua
orang saksi nikah;
e. Apabila salah seorang calon mempelai tidak memberikan
persetujuannya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan;
f. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat
dimengerti;
g. Tidak terdapat halangan perkawinan.

Diktat Hukum Perkawinan


55
3. Wali Nikah:
a. Wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam
yakni muslim, aqil dan baligh;
b. Wali nikah terdiri dari Wali Nasab dan Wali Hakim;
Wali nasab terdiri dari 4 (empat) kelompok, yaitu:
1) Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya ke atas;
2) Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah, dan keturunan laki-laki mereka;
3) Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka;
4) Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka.
c. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
bersama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi
wali nikah ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita;
d. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan, maka yang
paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat
yang seayah;
e. Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, sama-sama
derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-
sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua
dan memenuhu syarat wali nikah;
f. Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara,
tunga rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada
wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya;
g. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau gaib atau adlal (enggan menikahkan);
h. Dalam hal wali adlal atau enggan menikahkan, maka wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan
Agama tentang wali tersebut.
4. Saksi Nikah:

Diktat Hukum Perkawinan


56
a. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah;
b. Setiap perkawinan harus dihadiri oleh dua orang saksi;
c. Saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh,
tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuki;
d. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsungakad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan.

5. Akad Nikah:
a. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun
dan tidak berselang waktu;
b. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan;
c. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi;
d. Dalam hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria;
e. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Persetujuan kedua calon mempelai adalah bahwa perkawinan yang akan
dilangsungkan harus berdasarkan kehendak yang bebas dari kedua calon
mempelai. Adanya persetujuan atau kesukarelaan dari kedua mempelai untuk
melangsungkan perkawinan merupakan syarat yang sangat penting untuk
membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera.
Perlunya izin dari orang tua sangat berkaitan dengan pertanggung
jawaban orang tua dalam pemeliharaan anak. Orang tua telah bersusah payah
membesarkan anak-anaknya sehingga kebebasan yang ada pada anak untuk
menentukan pilihan calon suami atau isteri jangan sampai menghilangkan
fungsi atau tanggung jawab orang tua.
Dengan adanya pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan,
maka kekaburan terhadap penafsiran batasan umur baik yang terdapat di
dalam hukum adat maupun hukum Islam sendiri dapat dihindari. Penentuan

Diktat Hukum Perkawinan


57
batasan umur juga sangat penting karena perkawinan sebagai perjanjian
perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai
pasangan suami isteri harus dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang,
baik dari segi biologis maupun psikologis. Hal ini dimaksudkan untuk
mewujudkan tujuan perkawinan. Disamping itu juga mencegah terjadinya
perkawinan pada usia muda yang banyak mengakibatkan perceraian dan
keturunan yang diperoleh bukan keturunan yang sehat. Namun demikian
Undang-Undang Perkawinan masih memberikan kelonggaran untuk
melangsungkan perkawinan di bawah umur asalkan adanya dispensasi dari
Pengadilan berdasarkan permintaan dari kedua orang tua kedua belah pihak,
sesuai bunyi ketentuan Pasal 7 Ayat (2).

F. Sahnya Perkawinan
Mengenai sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-
Undang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Berdasarkan rumusan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
dapat disimpulkan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan dapat dirujuk
kepada beberapa pendapat sarjana sebagai berikut:
1. Semata-mata ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti bahwa suatu
perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum
agama, dengan sendirinya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak
mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan;
2. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata
tertib salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan
perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon
suami isteri dan/atau keluarganya;
3. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh Pegawai
Pencatat Nikah dari Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi orang non muslim

Diktat Hukum Perkawinan


58
pribumi maupun keturunan dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim
baik pribumi maupun keturunan.
Hal ini dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal demi Pasal dari
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, yakni bahwa “dengan
perumusan pada Pasal 2 Ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya, sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Ini berarti
bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab
kabul telah dilaksanakan bagi umat Islam dan pendeta/pastur/biksu telah
melaksanakan pemberkatan atau ritual keagamaan lainnya bagi yang
beragama bukan Islam, maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di
mata agama dan kepercayaan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut,
Bagir Manan berpendapat sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan
2 (dua) asas yang berbeda sebagai dasar melakukan perkawinan, yaitu
dasar sah suatu perkawinan dan syarat-syarat perkawinan. Hal ini tidak
lazim dalam menentukan hubungan hukum yang dibenarkan menurut
hukum. Persoalan ini menjadi sumber kegaduhan mengenai perkawinan
yang dicatat dan tidak dicatat atau karena tidak dipenuhi berbagai syarat
lain. Karena setiap hubungan hukum yang dilakukan sesuai syarat-syarat
hukum akan melahirkan hubungan hukum dan akibat hukum yang sah.
Dalam kaitannya dengan pencatatan perkawinan, pencatatan perkawinan
bukan syarat perkawinan. Pencatatan perkawinan berfungsi untuk
menjamin ketertiban hukum (legal order).

Sehubungan dengan penafsiran para sarjana terhadap Pasal 2 Undang-


Undang Perkawinan, Mohd. Idris Ramulyo mengemukakan pendapat sebagai
berikut:
Ada 2 (dua) pendapat tentang Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974. Pendapat pertama menyatakan ada
kecenderungan dari beberapa Sarjana Hukum yang ingin memisahkan
Pasal 2 Ayat (1) dan (2), yaitu perkawinan sah bila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sedangkan
pendaftaran adalah syarat administrasi saja. Dilakukan atau tidak, tidak

Diktat Hukum Perkawinan


59
merupakan suatu cacat atau lebih tegas lagi tidak menyebabkan tidak
sahnya perkawinan tersebut. Pendapat kedua menafsirkan bahwa Pasal 2
Ayat (1) dan (2) bukan saja dari sudut yuridis semata-mata, yaitu sahnya
perkawinan itu tetapi juga dikaitkan secara sosiologis yang menurut para
Sarjana Hukum, pasal ini tidak dapat dipisahkan sedemikian rupa, tetapi
dianggap merupakan rangkaian kesatuan bagaikan benang yang jalin-
menjalin menjadi satu, bila yang satu lepas maka yang lain berkurang
kekuatannya bahkan hilang sama sekali. Undang-Undang Perkawinan
yang menegaskan mengenai sahnya perkawinan secara materil dalam
Pasal 2 Ayat (1) dan secara formil dalam Ayat (2), maka secara nasional
mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh rakyat
Indonesia.

G. Pendaftaran dan Pencatatan Perkawinan serta Tujuannya


Hukum Islam tidak mengatur secara jelas tentang pencatatan
perkawinan, apakah suatu perkawinan harus dicatatkan atau tidak. Pada masa
Rasulullah SAW dan maupun para sahabat belum mengenal pencatatan
perkawinan. Pada masa tersebut perkawinan adalah sah apabila telah
memenuhi seluruh rukun dan syaratnya. Agar perkawinan yang telah
dilangsungkan maka diumumkan kepada khalayak dengan cara resepsi pesta
perkawinan (walimatul ’ursy).
Namun seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman demi
kepentingan kemaslahatan, di beberapa negara muslim termasuk di Indonesia,
pemerintah telah menerbitkan regulasi yang mengatur tentang pencatatan
perkawinan. Hal ini dilakukan demi untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan
dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi para pihak
yang melakukan perkawinan. Disamping itu juga untuk melindungi implikasi
hukum karena terjadinya perkawinan seperti nafkah terhadap isteri, hubungan
orang tua dan anak, saling waris mewarisi diantara mereka dan sebagainya.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan kutipan Akta
Nikah (Buku Nikah), apabila terjadi perselisihan antara suami isteri atau salah
satu pihak tidak bertanggung jawab, maka pihak lainnya dapat melakukan
berbagai upaya hukum untuk mempertahankan haknya masing-masing. Dalam
hal ini suami dan isteri yang memegang Akta Nikah (Buku Nikah) memiliki
bukti otentik atas perkawinan yang telah mereka langsungkan.

Diktat Hukum Perkawinan


60
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan
dalam hukum Islam diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan
mudayanah yang mana dalam situasi tertentu diperintahkan untuk
mencatatnya, sebagaimana dimaksudkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
Ayat 282, yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermua’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya”.
Peristiwa perkawinan (pernikahan) bukanlah hubungan muamalah yang
biasa saja, tetapi merupakan perjanjian yang sangat kuat, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 21, yang artinya: ”Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-
isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
Berdasarkan kedua ayat Al-Qur’an tersebut dapat diambil kesimpulan
untuk akad utang piutang (muamalah) ataupun hubungan kerja yang lain
harus dicatatkan, seharusnya akad nikah yang sangat suci, luhur, agung dan
sakral tersebut lebih-lebih utama lagi untuk diadakan pendaftaran nikah
(ilanun nikah) atau dicatatkan kepada pejabat yang berwenang.
Dengan melihat tujuan dari adanya pencatatan perkawinan seperti yang
telah diuraikan di atas, sebenarnya pencatatan perkawinan ini sangat banyak
kegunaannya bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan.
Dimilikinya Akta Nikah (Buku Nikah) yang merupakan akta otentik maka
seorang suami tidak dapat mengingkari seorang perempuan sebagai isterinya.
Begitupun sebaliknya seorang perempuan tidak dapat mengingkari seorang
laki-laki sebagai suaminya, kecuali mereka mampu membuktikan lain.
Pada sisi yang lain, Allah SWT menyebutkan tentang ketentuan utama di
dalam melaksanakan perkawinan. Mengenai dengan hal ini dapat ditemukan
dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 59, yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu dan lebih baik
akibatnya)”.

Diktat Hukum Perkawinan


61
Untuk meyakinkan umat Islam dalam perilaku perkawinan mereka
khususnya mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dan untuk
menghilangkan keraguan mereka terhadap Undang-Undang Perkawinan, maka
Hazairin berpendapat sebagai berikut:
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan suatu
unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi
berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan). Disamping hal
tersebut, unifikasi bertujuan hendak melengkapi segala apa yang diatur
hukumnya dalam agama dan kepercayaan, karena dalam hal masyarakat
serta tuntutan zaman.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka berdasarkan prinsip
”maslahah mursalah” dalam hukum Islam, pencatatan perkawinan adalah
suatu perbuatan yang harus dilaksanakan. Prinsip maslahah mursalah adalah
menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali di
dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasul atas pertimbangan menarik kebaikan dan
menolak kerusakan dalam hidup bermasyarakat.
Setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk,
agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah
tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa
perkawinan benar-benar telah terjadi atau dilangsungkan. Jadi semata-mata
hanya bersifat administratif.
Menurut Lies Soegondo, bahwa pencatatan perkawinan tidak
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan
bahwa: ”peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi semata-mata bersifat
administratif”. Namun apabila ada perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan tersebut tidak

Diktat Hukum Perkawinan


62
mempunyai kekuatan hukum, artinya hukum tidak memberikan perlindungan
apabila terjadi sesuatu terhadap perkawinan tersebut. Pada dasarnya
pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam suatu surat keterangan yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Dasar hukum pencatatan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan
diatur pada Pasal 2 Ayat (2), yang berbunyi: ”Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dasar hukum tata
cara perkawinan dan pencatatan perkawinan juga diatur dalam Pasal 10 Ayat
(2) dan Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang aturan
pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, yang menyebutkan sebagai berikut:
..............
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 beserta
Penjelasannya ditemukan ketentuan sebagai berikut: a. Instansi yang
melaksanakan perkawinan adalah: 1. Bagi mereka yang beragama Islam
pencatannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk; dan b.
Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat
yang membuatnya. b. Tata cara pencatatan perkawinan harus dilakukan
berdasarkan: 1. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975; dan 2. Ketentuan-
ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, yang merupakan
perlengkapan bagi peraturan pemerintah ini, yaitu: a) Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (L. N. 1954 Nomor
98) dan beberapa Peraturan Menteri Agama yang berhubungan dengan hal
tersebut; b) Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama
Kristen di Jawa, Madura, dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1917 Nomor 75 jo
Stb. 1936 Nomor 607 beserta dengan segala perubahannya); c) Reglement

Diktat Hukum Perkawinan


63
Catatan Sipil untuk Golongan Cina (Stb. 1917 Nomor 130 jo Stb. 1919 Nomor
81 dengan segala perubahannya); d) Reglement Catatan Sipil bagi Golongan
Eropah yang dipersamakan (Stb. 1849 Nomor 25); dan e) Daftar Catatan Sipil
untuk Perkawinan Campuran (Stb. 1904 Nomor 279).
Dalam Kompilasi Hukum Islam, dasar pencatatan perkawinan diatur
dalam Pasal 5 dan Pasal 6, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1954.
Pasal 6:
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dasar hukum lainnya tentang pencatatan perkawinan adalah Peraturan
Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Dalam
Peraturan Menteri Agama tersebut ditentukan tentang pencatatan nikah dan
pencatatan nikah Warga Negara Indonesia di luar negeri, yaitu pada Pasal 26
sampai dengan Pasal 28, yang bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 26:
PPN mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah.
1. Akta nikah ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi
dan PPN.
2. Akta nikah dibuat rangkap 2 (dua), masing-masing disimpan di KUA
setempat dan Pengadilan.
3. Setiap peristiwa pernikahan dilaporkan ke kantor administrasi
kependudukan di wilayah tempat pelaksanaan akad nikah.

Diktat Hukum Perkawinan


64
Pasal 27:
1. Buku nikah adalah sah apabila ditandatangani oleh PPN.
2. Buku nikah diberikan kepada suami dan isteri segera setelah proses
akad nikah selesai dilaksanakan.
Pasal 28:
Pencatatan Nikah bagi warga negara Indonesia yang ada di luar negeri
dilakukan sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Agama
Republik Indonesia dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor
589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar
Negeri.
Berdasarkan berbagai ketentuan dibidang perkawinan yang telah
diuraikan tersebut di atas, bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali
tidak mengatur materi hukum perkawinan. Materi perkawinan adalah hal-hal
yang berkaitan dengan prosesi perkawinan atau tata cara perkawinan, sesuai
dengan adat istiadat mempelai (pengantin). Perkawinan hanya sah dilakukan
apabila sesuai atau menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan hanya
mengatur dari segi yuridis formilnya saja, yaitu perkawinan sebagai suatu
peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan hukumnya.
Pencatatan perkawinan dalam kenyataannya lebih banyak manfaatnya
dari pada mudharatnya, terutama bagi kepentingan pihak isteri, anak-anak
yang dilahirkan dan harta kekayaan perkawinan, maka sudah sepatutnya bagi
yang melangsungkan perkawinan mencatatkannya pada pejabat yang
berwenang. Berdasarkan dari berbagai ketentuan peraturan perundang-
undangan serta penjelasan-penjelasannya, maka perkawinan yang sah harus
dibenarkan menurut ajaran atau hukum agama dan kepercayaan masing-
masing calon suami isteri.
Peraturan perundang-undangan bidang perkawinan menitikberatkan
bahwa sahnya suatu perkawinan pada 2 (dua) unsur, yaitu perkawinan harus
dilangsungkan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh
Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama. Maksudnya adalah jika
perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara
tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan agama, perkawinan tersebut tidak
sah, demikian juga sebaliknya.

Diktat Hukum Perkawinan


65
Tujuan pencatatan perkawinan menurut pendapat para sarjana adalah
sebagai berikut:
1. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan
berdasarkan hukum Islam, maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh
masyarakat yang tidak berdasarkan pada hukum Islam.
2. Pencatatan nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
peraturan perundang-undanganuntuk melindungi martabat dan kesucian
perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah
tangga. Melalui pencatatan nikah yang dibuktikan oleh akta nikah, apabila
terjadi perselisihan diantara suami isteri maka salah satu diantaranya dapat
melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak
masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti
autentik atas perbuatan hukum yang mereka lakukan.
3. Pencatatan nikah juga berfungsi sebagai “pengatur” lalu lintas praktik
poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu
yang hanya menjadikan nikah di bawah tangan tanpa pencatatan sebagai
alat poligami atau berpoliandri. Setiap pasangan yang akan menikah di
Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS) biasanya
melalui mekanisme pengumuman status calon mempelai setelah terdaftar
sebagai pasangan yang hendak menikah. Ketika data tentang status masing-
masing calon mempelai diumumkan dan ternyata ada yang keberatan,
perkawinan bisa saja batal.
4. Rangkaian dari pelaksanaan perkawinan yang harus dilaksanakan adalah
pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan mempunyai arti penting
untuk menjamin ketertiban dan diharapkan dapat terhindarkan dari
berbagai hal yang dapat merugikan para pihak yang melangsungkan
perkawinan maupun pihak lain. Dengan adanya pencatatan perkawinan,
orang-orang yang telah melangsungkan perkawinan tidak akan dapat kawin
lagi dengan semaunya karena sudah ada bukti dari perkawinan terdahulu
yang telah dicatat oleh pemerintah, yaitu di Kantor Urusan Agama
Kecamatan bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang
tidak beragama Islam. Perkawinan yang telah didaftarkan atau dicatatkan

Diktat Hukum Perkawinan


66
akan diberikan bukti, berupa kutipan Akta Nikah (Buku Nikah) yang
mempunyai kekuatan hukum yang sangat kuat bagi pasangan suami isteri
itu sendiri dan pihak ketiga lainnya. Sebaliknya bila perkawinan tidak
didaftarkan akan mendapatkan kesulitan dalam hal pembuktian telah
terjadinya perkawinan, karena secara hukum pasangan suami isteri
tersebut tidak dianggap telah menikah sebab tidak pernah mendaftarkan
perkawinan mereka.
5. Pencatatan perkawinan bergunan sebagai suatu pengakuan sahnya
perkawinan oleh negara, dan lembaga yang berwenang untuk melakukan
pencatatan perkawinan adalah Kantror Urusan Agama dan Kantor Catatan
Sipil. Dengan demikian penyelenggaraan register pencatatan perkawinan
pada lembaga pencatat perkawinan ini mempunyai 4 (empat) tujuan, yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mewujudkan kepastian hukum;
2. Untuk membentuk ketertiban hukum;
3. Untuk pembuktian; dan
6. Untuk memperlancar aktivitas Pemerintah di bidang kependudukan atau
administrasi kependudukan. Ini berarti bahwa pencatatan suatu
perkawinan mempunyai peranan yang sangat menentukan. Dengan adanya
pencatatan perkawinan, maka perkawinan tersebut diakui oleh negara dan
hal ini akan mempunyai akibat hukum yang pasti bagi yang bersangkutan.
Peranan pencatatan nikah merupakan persyaratan administratif yang
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban umum (legal order) juga mempunyai
manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu
perkawinan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat sarjana tentang
manfaat pencatatan nikah, sebagai berikut:
Berkaitan dengan manfaat pencatatan nikah, Ahmad Rofiq sebagaimana
dikutip oleh Happy Susanto, menjelaskan ada 2 (dua) manfaat pencatatan
nikah, yaitu:
a. Manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi
penyimpangan rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik
menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, maupun
menurut peraturan perundang-undangan.

Diktat Hukum Perkawinan


67
b. Manfaat represif, yaitu untuk membantu msyarakat agar dalam
melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek
hukum fiqih saja, tetapi juga aspek-aspek keperdataannya. Jadi
pencatatan adalah merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi
masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan dalam masalah
perkawinan.

Akibat adanya pencatatan, maka perkawinan yang telah dilangsungkan


menjadi sah, baik dalam perspektif hukum agama dan hukum negara. Bagi
perkawinan yang tidak tercatat akan menimbulkan akibat sebagai berikut:
1. Terhadap isteri
Perkawinan yang dilangsungkan tidak dicatatkan atau secara di bawah
tangan sangat merugikan kaum perempuan pada umumnya, dan isteri pada
khususnya, baik secara hukum, sosial-psikologis maupun ekonomis. Secara
hukum isteri tidak dianggap sebagai isteri yang sah, sehingga tidak berhak
menuntut nafkah lahir dan bathin dari suami, tidak bisa menggunakan hak
pengaduan apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga baik kekerasak
fisik, psikis maupun seksual, tidak mendapat hak perlindungan hukum jika
ditinggal pergi oleh suami tanpa pesan, tidak berhak mendapatkan warisan
apabila suami meninggal dunia (cerai mati), tidak berhak atas harta
bersama (gono gini) jika terjadi peristiwa perceraian (cerai hidup) karena
secara hukum, perkawinan mereka dianggap tidak pernah terjadi sama
sekali. Ketika seorang perempuan merelakan dirinya dinikahi secara di
bawah tangan maka secara otomatis dia menyerahkan dirinya hidup tanpa
perlindungan hukum, sedangkan pihak suami tanpa mengalami kerugian
apapun. Dari serangkaian uraian di atas, maka dalam hal ini yang sangat
diuntungkan adalah pihak suami, karena: a. Suami bebas menikah lagi
dengan perempuan lain karena perkawinannya dianggap tidak pernah ada
sama secara hukum; b. Suami bisa berkelit dan mengelak dari kewajibannya
memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak yang dilahirkan; dan c. Suami
tidak dipusingkan dengan pembagian harta bersama (gono gini), warisan,
kewajiban nafkah terhadap isteri dan kewajiban pendidikan anak- anak
ketika terjadi perceraian.
Secara sosial-psikologis isteri akan sulit untuk bersosialisasi dan
berinteraksi dengan masyarakat karena perempuan yang melakukan
perkawinan di bawah tangan sering dianggap atau diberikan stigma negatif,
yaitu tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (kumpul
kebo, samen liven) atau dianggap menjadi isteri simpanan serta berbagai
bentuk pergunjingan lainnya dalam masyarakat. Disamping itu juga

Diktat Hukum Perkawinan


68
menyulitkan perangkat desa untuk mendata status keluarga tersebut karena
tidak dapat menunjukkan bukti tertulis, berupa kutipan akta nikah (buku
nikah). Situasi dan kondisi seperti ini sangat menyulitkan isteri untuk
beradaptasi dengan lingkungan karena perkawinan yang dilakukan tidak
normal atau tidak lazim sehingga membawa dampak psikologis yang besar
terutama bagi isteri. Dampak sosial lainnya adalah suatu perkawinan yang
tidak tercatat akan dinilai oleh masyarakat sebagai suatu perkawinan yang
tidak ideal dan membuat suasana rumah tangga tidak harmonis karena
rentan terjadi percekcokan antara suami isteri. Walaupun secara realitas
yang melakukan perkawinan tidak tercatat tersebut adalah sepasang laki-
laki dan perempuan, namun stigma negatif hanya ditujukan bagi kaum
perempuan saja. Dengan kata lain hanya kaum perempuan saja yang patut
disalahkan dalam perkawinan yang tidak tercatat.
Secara agama memang perkawinan yang tidak tercatat atau dilakukan
di bawah tangan sah sepanjang rukun-rukun dan syarat-syaratnya
terpenuhi, namun dampak negatifnya jauh lebih besar daripada ketenangan
bathin yang diperoleh. Fenomena yang terjadi dewasa ini adalah praktek
perkawinan yang tidak tercatat justru terjadi peningkatan, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya oleh berbagai kalangan masyarakat. Para
pelaku nikah yang tidak tercatat, terkesan hanya ingin mencari solusi sesaat
atas hasrat seksualnya yang sudah tidak terbendung. Apabila opini negatif
masyarakat tentang perkawinan yang tidak tercatat sudah terbentuk
sedemikian rupa, maka sama saja dengan membentuk opini negatif
terhadap agama Islam. Dari sinilah perkawinan yang tidak tercatat yang
mana keabsahannya secara agama justru mendatangkan kemudharatan
yang jauh lebih besar.
2. Terhadap Anak
Anak sebagai hasil suatu perkawinan merupakan komponen yang
sangat penting dalam suatu keluarga. Dalam pandangan agama Islam anak
yang dilahirkan proses penciptaannya adalah melalui media perkawinan
antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Sahnya seorang anak
di dalam pandangan Islam adalah menentukan ada atau tidaknya hubungan
nasab kebapakan dengan seorang laki-laki. Dalam hal hubungan nasab
dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia
semata. Namun ditentukan oleh kehendak Allah SWT melalui media
perkawinan antara bapak dan ibunya.

Diktat Hukum Perkawinan


69
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksananakan sesuai
dengan tata cara agama dan kepercayaan yang dianut dan dicatat oleh
instansi negara yang berwenang. Dengan demikian maka anak yang
dilahirkan dari perkawinan tidak tercatat walaupun pelaksanaan
perkawinannya memenuhi ketentuan agama serta mempunyai hak dan
kewajiban menurut hukum Islam tetapi tidak dicatatkan kepada instansi
pencatatan negara, maka dianggap sebagai anak luar kawin yang tidak
mendapatkan hak-hak seperti halnya dengan anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hak-hak yang tidak akan didapatkan adalah
masalah keperdataan yang berkaitan dengan status dan hubungan dengan
ayah biologisnya.
Sahnya suatu perkawinan yang tidak tercatat atau di bawah tangan
memiliki dampak negatif terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam
perkawinan tersebut dalam aspek hukum. Status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai anak tidak sah, karena anak tidak mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya. Dalam akta kelahirannya, status anak dianggap
sebagai anak luar kawin dan hanya mencantumkan nama ibu yang
melahirkannya saja. Status sebagai anak luar kawin dan tidak tercantumnya
nama ayah akan menimbulkan dampak yang sangat mendalam, baik secara
psikologis dan sosial bagi anak dan ibunya. Tidak jelasnya status anak di
mata hukum mengakibatkan hubungan antara ayah dengan anak tidak kuat.
Sewaktu-waktu ayahnya bisa saja menyangkal bahwa anak tersebut adalah
anak kandungnya. Maka dalam hal ini yang jelas-jelas sangat dirugikan
adalah anak sendiri karena anak tidak berhak atas nafkah hidup, pendidikan
dan warisan dari ayahnya. Dampak lainnya adalah jika anak yang dilahirkan
dalam perkawinan tidak tercatat berjenis kelamin perempuan dan hendak
melangsungkan perkawinan maka walin nikahnya adalah wali hakim karena
termasuk ke dalam golongan yang tidak mempunyai wali.
Secara syari’at Islam, hubungan anak dengan ayah dan ibunya tidak
masalah. Tetapi apabila dihadapkan dengan hukum negara, hubungan
keperdataan dengan ayah biologisnya tidak diakui. Penderitaan anak akan
semakin bertambah bila ayah dan keluarga ayahnya tidak mengakui
kehadirannya dan hanya diakui oleh ibu dan keluarga ibunya saja, sehingga

Diktat Hukum Perkawinan


70
fasilitas pendukung hidupnya terputus. Apalagi bila ibunya telah
ditinggalkan atau dicerai ayahnya, semua hak ibu dan anaknya tidak didapat
kecuali ada kesadaran dari ayahnya untuk menjalankan ketentuan agama
Islam.
Banyak kasus anak yang lahir dari perkawinan sirri dan tidak diakui
keberadaannya oleh ayah biologisnya selama bertahun-tahun. Salah satu
contoh kasus yang hangat diperbincangkan di berbagai media massa baik
cetak maupun elektronik adalah seperti anak dari perkawinan sirri antara
penyanyi dangdut Aisyah Mochtar (Macicha Mochtar) dengan Alm.
Moerdiono (bekas Menteri diera Orde Baru) yang bernama Muhammad
Iqbal Ramadhan. Walaupun Aisyah Mochtar memenangkan sebagian
gugatannya di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam
memperjuangkan status anaknya, namun sampai sekarang pengakuan
Aisyah Mochtar dari hasil perkawinan sirri yang telah melahirkan seorang
anak masih dibantah keras oleh keluarga besar Alm. Moerdiono.
3. Terhadap Suami
Dalam perkawinan yang tidak tercatat hampir tidak ada dampak yang
merugikan bagi diri suami yang melakukan perkawinan dengan seorang
perempuan. Justeru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu sangat
menguntungkan suami, karena dapat menikah lagi dengan perempuan lain
disebabkan oleh perkawinannya yang terdahulu dianggap tidak sah di mata
hukum. Suami bisa saja menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah,
baik kepada isteri maupun anak-anak yang dilahirkan serta tidak perlu
memikirkan pembagian harta bersama (gono gini), warisan dan sebagainya.
4. Terhadap Harta Kekayaan (Harta Bersama)
Suatu perkawinan sah yang dilakukan menurut hukum agama/
kepercayaannya dan hukum negara, akan menimbulkan berbagai implikasi
hukum. Implikasi hukum yang timbul tidak hanya terhadap diri sendiri atau
individu yang melangsungkan perkawinan. Salah satu implikasi hukum dari
suatu perkawinan adalah timbulnya harta kekayaan atau harta bersama
(gono gini). Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum

Diktat Hukum Perkawinan


71
kekayaannya terjalin sedemikian eratnya, sehingga keduanya memang
dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Hubungan hukum
kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya dan hukum harta
perkawinan tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga.
Bila perkawinan yang tidak tercatat ini akan dilegalkan (disahkan)
secara hukum negara, maka ada 2 (dua) macam cara yang dapat ditempuh,
yaitu dengan cara mencatatkan perkawinan melalui itsbat (penetapan atau
pengesahan) nikah dan menikah ulang dengan mengikuti tata cara atau
prosedur pencatatan nikah pada Kantor Urusan Agama (KUA). Itsbat nikah
bagi yang beragama Islam dapat dimohonkan kepada Pengadilan Agama,
sesuai dengan ketentuan pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapatdiajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka menyelesaikan perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang
Nomor 1 tahun 1974; dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau
isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.

Pihak yang berkepentingan (misalnya jaksa dalam rangka penuntutan


perkara pidana pelanggaran perkawinan ex Pasal 279 KUHP, yakni jika
pernikahan yang dijadikan dasar penuntutan itu tidak mempunyai akta
nikah/belum tercatat pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan, maka jaksa dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan
Agama untuk membuktikan terjadinya pelanggaran tindak pidana).

Diktat Hukum Perkawinan


72
BAB IV
HAMBATAN DAN PENCEGAHAN PERKAWINAN

A. Larangan Perkawinan
Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat
perkawinan yang telah ditentukan belum tentu perkawinan tersebut akan
berjalan dengan mulus, karena masih tergantung pada satu hal lagi,
perkawinan tersebut telah terlepas dari segala macam hal-hal yang
menghalanginya. Halangan perkawinan tersebut disebut juga dengan larangan
perkawinan.
Adapun yang dimaksudkan dengan larangan perkawinan adalah orang-
orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Artinya perempuan yang mana
saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki ataupun sebaliknya, laki-
laki mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang perempuan. Sifat
larangan perkawinan itu berupa berlainan agama dan keyakinan, hubungan
darah, hubungan sepersusuan, karena hubungan semenda (hubungan
perkawinan yang terdahulu) dan larangan poliandri (bersuami lebih dari satu
orang pada waktu yang bersamaan).
Larangan perkawinan yang akan diuraikan dalam pembahasan ini adalah
larangan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Al-Qur’an,
Hadist Nabi Muhammad SAW dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
1. Larangan perkawinan menurut Hukum Agama
a. Larangan perkawinan karena perbedaan agama dalam Islam, secara
tegas tertulis dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 221, dengan
ketentuannya sebagai berikut:
1) Jangan kamu kawini perempuan musyrik hingga dia beriman;
2) Jangan kamu kawinkan laki-laki musyrik hingga dia beriman;
3) Orang musyrik itu membawa kepada neraka sedangkan Tuhan
membawa kamu kepada kebaikan dan kemampuan;
4) Dihubungkan dengan Surat Al-Mumtahanah Ayat 10 dengan
ketentuan:
“…Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan
perempuan-perempuan kafir…”

Diktat Hukum Perkawinan


73
b. Larangan perkawinan karena hubungan darah, tercantum dalam Al-
Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 23 yang berbunyi:
1) Diharamkan bagi kamu mengawini ibu kamu;
2) Anak perempuan kamu;
3) Saudara perempuan kamu;
4) Saudara ibu kamu;
5) Saudara bapak kamu;
6) Anak perempuan saudara laki-laki kamu;
7) Anak perempuan saudara perempuan kamu.
c. Larangan perkawinan karena hubungan sepersusuan tercantum dalam
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 23 yang berbunyi:
1) Ibu susu kamu;
2) Saudara perempuan kamu.
d. Larangan perkawinan karena hubungan semenda, artinya hubungan
perkawinan yang telah terjadi lebih dahulu juga terdapat dalam Al-
Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 23 yang berbunyi diharamkan bagi kamu
mengawini:
1) Ibu isteri kamu (mertua kamu yang perempuan);
2) Anak tiri kamu yang perempuan yang ada dalam pemeliharaan kamu
dari isteri yang telah kamu campuri, dan apabila isteri itu belum
dicampuri maka tidak mengapa kamu kawini anak tiri itu;
3) Isteri anak shulbi kamu (menantu kamu yang perempuan);
4) Dan bahwa kamu kawini sekaligus dua orang bersaudara;
5) Jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak
kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji. (Q.S. An-Nisa’
Ayat 22)
e. Larangan poliandri, yaitu larangan mengawini perempuan yang
bersuami, sebagaimana ditentukan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat
24.
Secara garis besar larangan perkawinan tersebut terbagi kepada 2
(dua) macam, yaitu sebagai berikut:
1) Larangan yang berlaku untuk selamanya (mahram muabbad), yang
terbagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu sebagai berikut:

Diktat Hukum Perkawinan


74
a) Karena hubungan kekerabatan;
b) Karena hubungan perkawinan (mushaharah) atau semenda.
c) Karena hubungan sepersusuan.
2) Larangan yang berlaku untuk sementara waktu, artinya pada suatu
waktu tidak lagi menjadi haram (mahram muakkad)
Dalam fiqh munakahat bahwa secara garis besar larangan perkawinan
seorang laki-laki dan seorang perempuan menurut syara’ dibagi ke
dalam 2 (dua) macam, yaitu halangan abadi dan halangan sementara.
a) Halangan abadi terbagi 3 (tiga), yaitu:
- Keturunan (nasab)
- Pembisanan (semenda)
- Sepersusuan
b) Halangan sementara terbagi 9 (sembilan), yaitu:
- Halangan bilangan
- Halangan mengumpulkan
- Halangan kehambaan
- Halangan kafir
- Halangan ihram
- Halangan sakit
- Halangan ‘iddah
- Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan
- Halangan peristerian.
2. Larangan Menurut Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau lurus ke
bawah, yaitu:
- Ibu, yaitu ibunya ibu/ibunya ayah (nenek) dan seterusnya dalam
garis lurus ke atas;
- Anak, yaitu anak dari anak laki-laki/anak dari anak perempuan
(cucu) dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
- Saudara, baik kandung seayah atau seibu (kakak atau adik)

Diktat Hukum Perkawinan


75
- Saudara ayah, baik hubungan kepada ayah sekandung, seayah atau
seibu (bibi), saudara nenek kandung
- Anak saudara laki-laki kandung, seayah atau seibu (keponakan)
- Cucu saudara laki-laki kandung
- Anak saudara perempuan kandung, seayah atau seibu (keponakan)
- Cucu saudara perempuan kandung
3) Berhubungan semenda (karena perkawinan terdahulu), yaitu mertua,
anak tiri, menantu, dan bapak/ibu tiri.
4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi/paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri (bibi), atau keponakan dari isteri
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6) Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.
b. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam
Larangan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur mulai
dari ketentuan Pasal 39 sampai dengan Pasal 44. Larangan-larangan
tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita disebabkan:
(1) Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya;
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
(2) Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas
isterinya;
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;

Diktat Hukum Perkawinan


76
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,
kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya
itu qabla al-dukhul;
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan:
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah;
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan
sesusuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke
atas;
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan
isterinya:
a. Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-
isterinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.

Diktat Hukum Perkawinan


77
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita apabila tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang
keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam
masa iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih
terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.

Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri
tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut
putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.

B. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah perbuatan untuk menghalangi,
merintangi, menahan, tidak menurutkan, sehingga suatu perkawinan tidak
berlangsung. Pencegahan perkawinan dilakukan apabila syarat-syarat
perkawinan tidak dipenuhi. Misalnya tidak persetujuan dari salah seorang atau
kedua calon mempelai, tidak ada izin dari pengadilan, calon mempelai belum
cukup umur dan melanggar larangan perkawinan, serta tidak memenuhi syarat
untuk berpoligami dan melanggar waktu adalah perintah atau aturan yang
melarang berbuat sesuatu.
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh keluarga dari garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara calon mempelai dan pihak lain
yang berkepentingan apabila:
1. Terdapat pelanggaran umur perkawinan, yaitu umur calon mempelai laki-
laki kurang dari 19 (sembilan belas) tahun dan umur calon mempelai

Diktat Hukum Perkawinan


78
perempuan kurang dari 19 (sembilan belas) tahun, kecuali ada dispensasi
dari pengadilan.
2. Jika hukum masing-masing agama dan kepercayaan pihak suami dan pihak
isteri menentukan lain dari pada kehendak pihak suami dan pihak isteri
untuk kawin kedua kalinya diantara mereka.
3. Jika terdapat pelanggaran tata cara pelaksanaan perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, pencegahan dan pelaksanaan
pencegahan perkawinan diatur dalam Bab III, mulai dari Pasal 13 sampai
dengan Pasal 21, yang mana intinya adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 13);
2. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan, isteri
yang akan dimadu kecuali atas izin dari pengadilan, pejabat yang ditunjuk
untuk itu (Pasal 14, 15 dan 16);
3. Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan akan dilangsungkan, dengan member tahu juga kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan. Pencegahan perkawinan juga harus
diberitahukan kepada calon mempelai (Pasal 17);
4. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan atas
penarikan kembali permohonan pencegahan oleh yang bersangkutan (Pasal
18);
5. Selama pencegahan belum dicabut perkawinan tidak dapat dilangsungkan
(Pasal 19);
6. Meskipun tidak ada permohonan pencegahan perkawinan, Pegawai
Pencatat Perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan, jika diketahui bahwa syarat-syarat
perkawinan tidak dipenuhi, atau terdapat hubungan larangan kawin antara
calon-calon mempelai (Pasal 20);
7. Jika Pegawai Pencatat Perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut terdapat larangan Undang-undang, ia akan menolak
melangsungkan perkawinan dengan disertai keterangan tertulis adanya
penolakan-penolakan itu dan alasan-alasan penolakan itu yang
bersangkutan berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan dalam

Diktat Hukum Perkawinan


79
wilayah hukum kedudukan Pegawai Pencatat Perkawinan dimaksud. Lalu
setelah mengadakan pemeriksaan dengan acara singkat, Pengadilan itu
memberikan ketetapan yang menguatkan penolakan atau memerintahkan
agar perkawinan dilangsungkan (Pasal 21).
Oleh sebab itu sebelum dilangsungkannya perkawinan maka perlu
dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk
melengkapi semua syarat-syarat perkawinan yang diperlukan agar tidak
terdapat hal-hal yang menghalangi terjadinya perkawinan.

C. Pembatalan Perkawinan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Menurut hukum Islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan
hukum taklifi maupun hukum wad’i bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad,
fasid atau batal (batil) (). Sehubungan dengan sahnya perkawinan selain harus
memenuhi syarat dan rukun perkawinann juga harus memperhatikan berbagai
ketentuan perkawinan dalam hukum agama. Jika dikemudian hari ditemukan
penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan
tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan
perkawinan yang telah ada menjadi putus. Maksudnya adalah bahwa
perkawinan tersebut dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah ada. Pasangan
suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin dan
tidak pernah berstatus sebagai suami isteri. Jadi status mereka kembali kepada
status awal mereka sebelum melangsungkan perkawinan, yaitu perjaka atau
perawan.
Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas menyebutkan:
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Kata “dapat” disini bisa diartikan
bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Perkawinan dapat dibatalkan berarti
sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya
pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa:
“Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan”. Hal ini
disebabkan pembatalan perkawinan membawa berbagai implikasi hukum,
baik terhadap suami isteri itu sendiri, anak-anak yang dilahirkan dalam

Diktat Hukum Perkawinan


80
perkawinan tersebut (jika dilahirkan), harta kekayaan perkawinan maupun
pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh sebab itu pembatalan perkawinan
tidak dibenarkan dilakukan di luar pengadilan.
Peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan tidak memberikan
rumusan pengertian pembatalan perkawinan. Namun demikian untuk
mengetahui pengertian pembatalan perkawinan dapat merujuk kepada
pendapat para sarjana, antara lain sebagai berikut:
a. Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja menyebutkan, pembatalan
perkawinan adalah suatu perkawinan yang sudah terjadi dapat dibatalkan,
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan, dan pembatalan suatu perkawinan tersebut hanya dapat
diputuskan oleh pengadilan.
b. Riduan Syahrani dan Abdurrahman, menyebutkan, pembatalan perkawinan
adalah bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan itu
dilangsungkan oleh para pihak (suami isteri) atau salah satu pihak (suami
atau isteri) terbukti tidak memenuhi syarat-syarat untuk berlangsungnya
perkawinan.
Berdasarkan beberapa pengertian pembatalan perkawinan yang telah
diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Dalam pembatalan perkawinan suatu perkawinan sudah terjadi atau
dilangsungkan.
b. Perkawinan tersebut dilangsungkan dengan tidak memenuhi syarat- syarat
perkawinan.
c. Perkawinan tersebut hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan.

2. Alasan Pembatalan Perkawinan dan Pihak yang dapat membatalkan


Perkawinan
Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan: “Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan”. Maksud dari pasal tersebut adalah jika syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
Menurut Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan “Batalnya suatu perkawinan atau perkawinan dapat dikatakan

Diktat Hukum Perkawinan


81
batal adalah dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya suatu perkawinan”.
Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan
fasakh. Yang dimaksud dengan memfasakh nikah adalah memutuskan atau
membatalkan ikatan hubungan antara suami dan isteri. Fasakh bisa terjadi
karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsungnya akad nikah,
atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan
kelangsungan perkawinan.
1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa isterinya adalah saudara
kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b. Suami isteri masih kecil, dan diadakan akad nikah oleh selain ayah atau
datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan
perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Caranya seperti ini
disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami isteri,
maka hal ini disebut fasakh baligh.
2. Fasakh karena hal-hal yang Datang Setelah Akad.
a. Bila salah seorang dari suami murtad atau keluar dari agama Islam dan
tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena
kemurtadan yang terjadi belakangan.
b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri masih tetap
dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal
(fasakh).
Dalam hukum Islam pembatalan perkawinan dapat terjadi karena 2
(dua) hal, yaitu:
a. Terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dilaksanakan. Hal yang
membatalkan perkawinan dalam Al-Qur’an diatur dalam surat An-Nisa’ ayat
22, 23, dan 24 yaitu larangan menikah dengan yang masih mahram,
misalnya suami istri yang telah melang sungkan perkawinan tiba-tiba
diketahui bahwa antara mereka terdapat hubungan saudara sesusuan. Sejak
diketahui hal itu maka perkawinan menjadi batal, meskipun telah
mempunya keturunan, yang pandang sebagai anak sah suami istri yang
bersangkutan. Perkawinan tersebut dibatalkan karena tidak memenuhi
syarat sahnya akad, yaitu adanya hubungan mahram antara laki-laki dan

Diktat Hukum Perkawinan


82
perempuan. Misalnya lagi, perkawinan antara laki-laki dan perempuan
ternyata akhirnya diketahui bahwa perempuan tersebut masih mempunyai
hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau dalam masa idah talak laki-
laki lain. Sejak diketahuinya hal itu, perkawinan mereka dibatalkan sebab
tidak memenuhi syarat sahnya akad nikah. Hal lain yang membatalkan
perkawinan adalah perkawinan orang islam laki-laki dengan istri yang
kelima.
b. Terdapat hal baru yang dialami sesudah akad nikah terjadi dan hubungan
perkawinan berlangsung yaitu dalam hal perkawinan dilakukan dengan
penipuan, yakni suami yang semula beragama non Islam kemudian masuk
Islam hanya untuk menikahi wanita Islam (secara formalitas) dan setelah
pernikahan terjadi suami kembali pada agamanya semula, maka
perkawinan yang demikian dapat dilakukan pembatalan. Dalam Al Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 221, Al Mumtahanah ayat 10 mengenai larangan
orang islam menikahi orang non islam, misalnya suami istri pada waktu
berlangsungnya akad nikah beragama Islam tetapi setelah berumah tangga
tiba-tiba suami murtad, keluar dari agama Islam. Apabila telah diusahakan
agar suami kembali lagi beragama Islam tetapi masih menolak, maka
hubungan perkawinan diputuskan sebab terdapat penghalang perkawinan,
yakni larangan kawin antara perempuan muslimah dengan laki-laki non
muslim.
Menurut Kompilasi Hukum Islam di dalam Pasal 70 perkawinan
dinyatakan batal (batal demi hukum) apabila:
a) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari
keempat istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i;
b) Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya; Seseorang
menikahi bekas istrinya yang dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila
bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian
bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
c) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, yaitu sebagai berikut:
1) Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas;

Diktat Hukum Perkawinan


83
2) Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah
tiri;
4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi
atau paman sesusuan;
d) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri
atau istri-istrinya.
Sedangkan menurut Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam perkawinan yang
dapat dibatalkan adalah sebagai berikut:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri
pria yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami yang lain;
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan hubungan
perkawinan adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab badan peradilan,
mengingat akibat yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut suami istri saja,
tetapi juga termasuk keturunan dan pembagian harta kekayaan hasil
perkawinan. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat perkawinan itu dahulunya dilangsungkan, atau ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami istri yang
bersangkutan, atau ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman
salah seorang dari suami istri tersebut.
Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapat diajukan oleh pihak-pihak
yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang
meliputi tempat berlang sungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua
suami-istri, suami atau istri (Pasal 38 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975).

Diktat Hukum Perkawinan


84
Sebenarnya Undang-undang Perkawinan telah menentukan tentang hal ini,
yaitu tercantum dalam Pasal 23 dan Pasal 24, sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam Pasal 73.
Mengenai pihak-pihak yang dapat melakukan pembatalan perkawinan
menurut Undang-Undang Perkawinan diatur di dalam Pasal 23, yaitu sebagai
berikut:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Adapun pihak-pihak yang dapat melakukan pembatalan di dalam
Kompilasi Hukum Islam yang di atur di dalam Pasal 73, antara lain sebagai
berikut:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami
istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-Undang;
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat hukum
dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.
Barang siapa yang karena perkawinan tersebut masih terikat dengan salah
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan
tersebut, dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.

Diktat Hukum Perkawinan


85
BAB V
TATA CARA PERKAWINAN

A. Pemberitahuan Kehendak Untuk Perkawinan


Pemberitahuan kehendak perkawinan tidak diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, melainkan di dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 3 Ayat (1) yang menyatakan: “Setiap yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai
pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan”. Kemudian dalam
Pasal 4 disebutkan bahwa: “Pemberitahuan dilakukan dengan secara lisan atau
tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya”.
Calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di
tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut harus
dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dapat diberikan
oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah apabila ada alasan yang sangat
penting.
Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan itu juga harus
memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon
mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, juga
disebutkan nama suami atau isteri terdahulu. Hal-hal yang harus dicantumkan
dalam pemberitahuan tersebut merupakan ketentuan minimal, sehingga masih
mungkin ditambah dengan hal-hal lain, misalnya wali nikah bagi mereka yang
beragama Islam.
Pemberitahuan kehendak perkawinan ini dapat dilakukan oleh calon
mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Surat Persetujuan calon mempelai (N3);
2. Akta kelahiran atau surat kenal lahir;
3. Surat keterangan tentang orang tua (N4);
4. Surat keterangan untuk Nikah (N1);
5. Surat ijin kawin bagi calon mempelai anggota TNI/Polri;
6. Akta cerai talak/cerai gugat atau kutipan buku pendaftaran talak/cerai jika
calon mempelai seorang janda/duda;

Diktat Hukum Perkawinan


86
7. Surat keterangan kematian suami atau isteri yang dibuat oleh Kepala Desa
yang mewilayahi tempat tinggal/matinya suami/isteri menurut contoh
model (N6), jika calon mempelai seorang janda/duda karena kematian
suami/isteri.
8. Surat izin dan dispensasi bagi calon yang belum mencapai umur menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) sampai
dengan (6) dan Pasal 7 ayat (2).
9. Surat dispensasi camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang
dari 10 (sepuluh) hari kerja sejak pengumuman.
10. Surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa bagi mereka yang tidak
mampu.

B. Penelitian Syarat-Syarat Perkawinan


Setelah Pegawai Pencatat Perkawinan menerima pemberitahuan
kehendak untuk melangsungkan perkawinan, maka selanjutnya dilakukan
penelitian apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan
apakah terdapat halangan perkawinan menurut peraturan perundang-
undangan.
Hal-hal lain yang juga harus diteliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
adalah sebagai berikut:
1. Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir kedua calon mempelai. Dalam
hal tidak ada Akta Kelahiran atau surat kenal lahir dapat digunakan surat
keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang
dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah atau yang setingkat dengan itu;
2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat
tinggal orang tua calon mempelai;
3. Izin tertulis dari Pengadilan dalam hal salah seorang calon mempelai atau
keduanya belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun;
4. Izin tertulis dari Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang
suami yang masih mempunyai isteri untuk perkawinan poligami;
5. Dispensasi dari Pengadilan/Pejabat apabila terdapat halangan perkawinan;
6. Surat keterangan kematian (akta kematian) suami atau isteri yang
terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian (akta
cerai), bagi perkawinan untuk kedua kalinya;
7. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam/Pangab
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan
bersenjata;

Diktat Hukum Perkawinan


87
8. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak hadir
sendiri karena suatu alasan yang penting sehingga mewakilkannya kepada
orang lain.
Mengenai dengan penelitian syarat-syarat perkawinan, Pegawai Pencatat
Perkawinan harus bertindak aktif, artinya tidak hanya menerima apa yang
dikemukakan atau disampaikan oleh calon mempelai yang akan
melangsungkan perkawinan. Apabila Pegawai Pencatat Perkawinan
menemukan halangan untuk melangsungkan perkawinan maka harus segera
memberitahukannya kepada kedua calon mempelai atau orang tuanya ataupun
wakilnya. Disamping itu juga, apabila setelah diadakan pemeriksaan dan
ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka Pegawai
Pencatat Perkawinan harus menolak pelaksanaan perkawinan tersebut.

C. Pengumuman Kehendak Melangsungkan Perkawinan


Setelah seluruh persyaratan perkawinan dipenuhi oleh kedua calon
mempelai, maka Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman
tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan dengan cara
menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan oleh
Kantor Pegawai Pencatat Perkawinan pada suatu tempat yang telah ditentukan
dan mudah dibaca oleh masyarakat luas. Pengumuman tersebut
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat identitas
kedua calon mempelai, tanggal pelaksanaan perkawinan dan dimana
perkawinan tersebut akan dilangsungkan. Pengumuman tersebut selama 10
(sepuluh) hari sejak ditempelkan tidak boleh dicabut atau dirobek.
Tujuan dari pengumuman tersebut adalah sebagai berikut:
b. Untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengetahui
dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap perkawinan yang akan
dilangsungkan. keberatan-keberatan terhadap perkawinan dapat diajukan
dengan alasan bahwa perkawinan bertentangan dengan hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
c. Untuk memberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk
mencegah maksud perkawinan karena alasan-alasan tertentu.

Diktat Hukum Perkawinan


88
d. Ada kemungkinan suatu perkawinan luput dari perhatian Pegawai Pencatat
Perkawinan sehingga masyarakat luas juga dapat mengawasi perkawinan
tersebut.

D. Pelaksanaan Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
perkawinan dilangsungkan pada hari ke 10 (sepuluh) sejak pengumuman
kehendak perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan
dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, maka akad nikahnya dilakukan oleh wali
nikah atau yang mewakilinya.
Di dalam praktek berlangsungnya perkawinan menurut agama Islam
dilakukan disalah satu tempat dari rumah kedua mempelai. Di rumah calon
mempelai laki-laki/perempuan atau keluarganya atau di Balai Nikah (Kantor
Urusan Agama), yang dilakukan oleh wali calon mempelai wanita dengan dua
saksi dan dihadiri oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
E. Tata Cara dan Akta Perkawinan
1. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah. Setelah akad nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat dalam
akta nikah rangkap dua (Model N).
2. Bila nikah dilangsungkan di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat pada halaman
4 Model NB dan ditandatangani oleh Suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi
serta Pegawai Pencatat Nikah yang mengawasinya. Kemudian segera dicatat
dalam akta nikah (Model N), dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat
Nikah atau wakil Pegawai Pencatat Nikah.
3. Akta nikah dibaca atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti
oleh yang bersangkutan dan saksi-saksi kemudian ditandatangani oleh
suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan Pegawai Pencatat Nikah atau wakil
Pegawai Pencatat Nikah.
4. Pegawai Pencatat Nikah membuatkan kutipan akta nikah (Model NA)
rangkap dua, dengan kode dan nomor yang sama.
5. Kutipan akta nikah diberikan kepada suami dan isteri.
6. Nomor ditengah pada Model NB diberi nomor yang sama dengan nomor
akta nikah.

Diktat Hukum Perkawinan


89
7. Akta nikah dan kutipan akta nikah harus ditandatangani oleh Pegawai
Pencatat Nikah. Bila wakil Pegawai Pencatat Nikah yang melaksanakan
pernikahan dan menghadiri akad nikah diluar Balai Nikah, wakil Pegawai
Pencatat Nikah hanya menandatangani daftar pemeriksaan nikah pada
kolom 5 dan 6 dan menandatangani akta nikah pada kolom 6.
8. Pegawai Pencatat Nikah berkewajiban mengirimkan akta nikah kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahinya.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikatakan
bahwa “Pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatatan
Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk
olehnya”, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun1954, tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai Pencatatan
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Setelah dilangsungkannya perkawinan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan
yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan
ketentuan yang berlaku dan juga ditandatangani oleh dua orang saksi dan
Pegawai Pencatat. Kalau menurut Islam ditandatangani pula oleh wali nikah
atau yang mewakilinya sebagaimana ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975.
Pencatatan perkawinan bertujuan menjadikan suatu perkawinan menjadi
jelas bagi semua pihak, khususnya secara hukum. Hal ini karena dengan
pencatatan perkawinan bersifat resmi dan memiliki bukti otentik yang dapat
dipergunakan apabila diperlukan.

Diktat Hukum Perkawinan


90
F. Wali dan Saksi Dalam Perkawinan
Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dikatakan
bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh
para keluarga. Dengan demikian apabila terjadi perkawinan yang dilakukan
oleh wali nikah yang tidak sah, dapat dimintakan pembatalan.
Perwalian dalam arti umum yaitu “segala sesuatu yang berhubungan
dengan wali” dan wali mempunyai banyak arti, antara lain:
1. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta harta bendanya sebelum anak tersebut dewasa.
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
3. Orang shaleh (suci), penyebar agama Islam/
4. Kepala Pemerintahan dan sebagainya.
Persyaratan Menjadi Wali
Para ulama mazhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima
wasiat untuk menjadi wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama,
bahkan banyak diantara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil,
sekalipun ayah dan kakek. Sebab ‘adalah (adil) itu adalah sarana untuk
memelihara dan menjaga, dan bukan merupakan tujuan itu sendiri.(fiqh
Munakahat).
Banyak dalil yang menyebutkan bahwa wanita itu tidak boleh
melaksanakan akad pernikahan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang
lain. Tetapi ia harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan
seorang wali yang mewakilinya. Jika ada seorang wanita yang melaksanakan
akad nikah sendiri (tanpa wali), maka akad nikahnya batal (mayoritas ahli
fiqh)
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 25 yang artinya: “……………
Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka”………..

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, artinya:

Diktat Hukum Perkawinan


91
Dari Aisyah. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda. “ tidak sah
nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Jika wali-wali
itu enggan (berkeberatan), maka hakimlah yang menjadi wali orang yang
tidak mempunyai wali” (riwayat Daruqutni).

Penulis kitab Ar-Raudhah fi al-Aulia mempunyai ungkapan yang bagus


mengenai hal ini, ia mengemukakan, dalil-dalil yang menunjukkan yang
mengutamakan wali, yang tiada pernikahan tanpanya, dan bahwa pernikahan
yang dilakukan tanpanya dinyatakan bathal, telah diriwayatkan oleh beberapa
orang sahabat, yang derajatnya shahih dan hasan.
Hadits-hadits tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan hadits
Rasulullah SAW, berikut ini;
“Seorang janda itu lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya,
sedangkan seorang gadis harus dimintai pendapat”.

Kemudian hadits yang lain, artinya:


”Tidak ada kekuasaan bagi wali terhadap seorang janda, dan anak yatim
itu harus diajak bermusyawarah”.
Yang dimaksud dengan hal itu adalah bahwa ia lebih berhak atas dirinya
dalam menentukan orang dikehendakinya untuk menikahinya jika seorang
janda. Sedang seorang gadis akan malu untuk menentukan orang yang
dikehendaki, sehingga diharuskan meminta izin darinya.
Menurut Jumhur ulama, wali adalah orang dari kalangan ashabah
(keturunan dari garis laki-laki/bapak) yang paling dekat. Diriwayatkan dari
Abu Hanifah, bahwa dzawil arham (keturunan dari garis perempuan/ibu)
termasuk wali.

G. Upacara Perkawinan (Walimatul ’Urusy)


Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinan adat di Indonesia
dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam
kaitannya dengan susunan masyarakat/kekerabatan yang dipertahankan
masyarakat bersangkutan. Upacara perkawinan adat dalam segala bentuk dan
cara tersebut, pada umumnya dilaksanakan sejak masa pertunangan.

Diktat Hukum Perkawinan


92
Di daerah Lampung di kalangan masyarakat beradat pepadun yang
sifatnya kekerabatannya juga patrilinial tidak begitu jauh upacaranya di tanah
Batak, namun pelaksanaan upacara itu dibedakan dalam empat tingkatan
menurut besar kecilnya upacara yang dilakukan. Keempat upacara itu ialah
yang disebut ‘hibal serba” yaitu upacara yang terbesar dengan menyembelih
kerbau di tempat wanita dan ditempat pria. Setelah selesai upacara ditempat
wanita mempelai wanita diantar dengan upacara ke tempat pria.
Apabila dibandingkan antara upacara perkawinan agama dengan upacara
perkawinan adat, maka upacara perkawinan agama lebih sederhana. Upacara
perkawinan Islam tidak harus dilaksanakan di tempat ibadah (mesjid), dan
dihadapan ulama, seperti halnya dihadapan agama Hindu di sanggah
(bangunan suci di muka rumah) yang acaranya dipimpin oleh Brahmana
(Pendeta). Upacara perkawinan Islam dinamakan dengan walimah.
1. Pengertian dan dasar hukum Walimatul ’Urusy
Walimah ialah kenduri yang dilaksanakan setelah akad nikah. Pada
dasarnya, walimah adalah suatu pengumuman kepada masyarakat bahwa
telah dilakukan ikatan perkawinan secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagaimana ditetapkan dalam syari’at.
Walimah berbeda dengan resepsi perkawinan. Dalam acara walimah
yang diutamakan adalah makan bersama oleh orang-orang yang turut
menyaksikan akad nikah, yang dilakukan pada hari itu juga. Adapun resepsi
perkawinan adalah keramaian yang diadakan untuk memeriahkan
perkawinan, yang diadakan kapan saja. Dari Anas bin Malik, bahwa
Rasulullah SAW, menyuruh ‘Abdurrahman Bin ‘Auf melakukan walimah
walau menyembelih seekor kibasy. Dan juga sewaktu Rasulullah kawin
dengan Zainab, beliau menyembelih seekor kibasy untuk walimahnya.
2. Hukum mengadakan walimah dan menghadiri
Menurut jumhur ulama, mengadakan walimah itu hukumnya sunat,
bukan wajib, karena walimah itu pemberian makanan lantaran mendapat
kegembiraan. Walaupun hukum walimah itu sunat, tetapi orang yang
diundang dalam upacara walimah wajib menghadirinya.
3. Adab walimah yang Islami

Diktat Hukum Perkawinan


93
Karena pernikahan itu merupakan ibadah, maka Islam itu mengatur
pelaksanaan atau tata cara dan walimah dengan cara-cara yang tidak boleh
menyimpang dari nilai dan Norma Islam. Dalam pandangan Islam, walimah
adalah sesuatu yang dianjurkan untuk diadakan, betapapun dalam bentuk
yang sangat sederhana. Hal ini formalitas dari pernikahan agar khalayak
mengetahui secara resmi, upacara pernikahan itu. Dengan demikian secara
sosial akan menghilangkan hal-hal yang mengarah kepada fitnah.
Adapun upacara walimah yang Islami itu adalah harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. Bertujuan untuk melaksanakan ibadah
Tidak dibenarkan menyelenggarakan walimah yang didasari oleh
kepentingan-kepentingan lain selain untuk mencari ridha Allah. Harus
dijauhkan upacara-upacara yang mengandung kemusyrikan, seperti ada
sesajian atau bentuk-bentuk lain yang dipengaruhi oleh agama selain
Islam, menghindari kecendrungan sikap riya’ yakni memamerkan
kemewahan, kekayaan atau kecantikan.
b. Menghindari Kemaksiatan
Dalam Islam tidak dibenarkan sang pengantin dipertontonkan di
depan umum. Adapun kehadiran para tamu, dimaksudkan agar turut
memberi selamat dan ikut memeriahkan. Harus dihindari suasana
campur baur wanita antara undangan pria dan wanita. Syari’at melarang
hubungan sosial dalam bentuk saling pandang atau sentuhan antara lain
jenis, kecuali mahramnya.
Allah berfirman dalam Surat An-Nur ayat 30, artinya;
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang mereka perbuat".

Kemudian kepada Saidina Ali Rasulullah SAW bersabda, artinya:


”Wahai Ali janganlah kamu melemparkan pandangan yang kedua kalinya
setelah pandangan yang pertama, pandangan yang kedua kali tidak dapat
diampuni”.

c. Menghindari dari perbuatan mubazir

Diktat Hukum Perkawinan


94
Dalam upacara walimah tidak dibenarkan hal-hal yang sifatnya
mubazir, pemborosan dalam biaya berlebihan dalam hidangan sehingga
banyak makanan yang terbuang.
d. Harus mengundang kaum fakir-miskin
Tamu yang diundang tidak dibatasi kepada orang kaya saja, tetapi
harus diundang orang fakir-miskin. Sebagaimana dalam sabda Nabi,
Muhammad SAW, artinya:
”Seburuk-buruk makanan ialah makanan walimah yang hanya
dipanggil orang kaya saja, sedangkan orang miskin ditinggalkan.
Siapa yang tidak memperkenankan undangan (walimah), maka
sebenarnya ia maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya (H.R. Bukhari
dan Muslim).

Diktat Hukum Perkawinan


95
BAB VI
BERISTERI LEBIH DARI SATU
(POLIGAMI)

A. Pengertian Poligami
Hukum agama yang mengatur tentang poligami adalah hukum Islam dan
juga hukum Hindu, sedangkan hukum Katolik/Protestan dan Budha tidak
memperkenankan poligami. Perkataan poligami berasal dari bahasa Yunani,
yang terdiri dari dua pokok kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak,
gamein berarti kawin. Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa
Indonesia disebut "Permaduan". Dalam teori hukum, poligami dirumuskan
sebagai sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang
isteri.
Poligami atau mempunyai lebih dari satu isteri bukan merupakan
masalah baru. Poligami sudah ada sejak dahulu. Bangsa Arab dan bangsa-
bangsa lain bahkan berpoligami jauh sebelum kedatangan agama Islam.
Apabila ditelaah kitab Yahudi dan Nasrani, akan didapatkan bahwa poligami
sudah menjadi jalan hidup yang diakui keberadaannya.
Data-data historis secara jelas menginformasikan bahwa ribuan tahun
sebelum Islam turun di jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia
telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga
ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk
pada masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat
itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah isteri maupun syarat moralitas
keadilan.
Lalu Islam datang melakukan koreksi total secara radikal terhadap
perilaku poligami yang tidak manusiawi itu. Koreksi Islam menyangkut dua
hal: Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, dan kedua, ini yang paling
radikal bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin keadilan
untuk para isteri. Perubahan drastis inilah yang diapresiasi Robert Bellah,
sosiolog terkenal asal Amerika sehingga menyebut Islam sebagai agama yang
sangat modern untuk ukuran masa itu.
Bangsa Arab jahiliah biasa kawin dengan sejumlah perempuan dan
menganggap mereka sebagai harta kekayaan, bahkan dalam sebagian besar
kejadian, poligami itu seolah-olah bukan seperti perkawinan, karena

Diktat Hukum Perkawinan


96
perempuan-perempuan itu dapat dibawa, dimiliki, dan dijual belikan
sekehendak hati orang lelaki.
Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam seharusnya
dimaknai sebagai suatu cita-cita luhur dan ideal Islam untuk menghapuskan
poligami secara gradual dalam kehidupan masyarakat. Layaknya kasus
minuman memabukkan, larangan itu tidak diturunkan sekaligus, demikian
pula larangan terhadap perbudakan, melainkan dilarang secara bertahap
sehingga terbangun kesiapan masyarakat untuk menerimanya secara mental
dan sosial. Sebab, tradisi minum khamer begitu juga perbudakan sudah
demikian berakar dalam tradisi masyarakat sehingga mustahil rasanya
melarang mereka minum atau membasmi perbudakan secara total. Semua ayat
AI-Qur'an menggunakan ungkapan sesuai dengan keadaan masa turunnya,
tetapi pesan moral AI-Qur'an tidaklah dibatasi oleh waktu yang bersifat
historis itu. Pesan moral keagamaan dibalik ayat-ayat poligami, perbudakan,
dan larangan minuman keras adalah menyadarkan manusia akan martabat
kemanusiaannya, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling
bermartabat. Manusia harus menghormati sesamanya tanpa perbedaan apa
pun, jangan menganiaya diri sendiri, apalagi menganiaya orang lain.
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah poligami sudah ada di Indonesia
sebelum agama Islam datang? Di Indonesia sendiri sebelum datangnya agama
Islam, sistem poligami itu merupakan lembaga yang dibenarkan oleh Hukum
Keluarga, baik dalam stelsel Unilateral maupun dalam stelsel Parental.
Malahan kedatangan Islam memberi kepastian hukum yang menjamin anak-
anak yang dilahirkan sebagai keturunan yang sah dari lembaga perkawinan
poligami.

B. Dasar Hukum Poligami


Allah SWT membolehkan berpoligami sampai dengan 4 (empat) orang
isteri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Hal ini sebagaimana Allah
berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3, artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terdapat (hak-hak)
perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah

Diktat Hukum Perkawinan


97
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang
saja, atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Ahmad Azhar Basyir


berpendapat sebagai berikut:
Poligami yang diatur dalam Surat An-Nisa ayat 3 di atas, merupakan jalan
keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana
terhadap anak-anak yatim. Dahulu orang-orang Arab suka kawin dengan
anak perempuan yatim yang diasuhnya, dengan maksud agar dapat ikut
makan hartanya dan tidak usah memberi mas kawin. Untuk menghidari
agar orang jangan sampai berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim
itu, seorang laki-laki diperbolehkan kawin dengan perempuan lain, dua,
tiga sampai empat orang. Tetapi itu pun dengan syarat harus berbuat
adil.
Ketentuan poligami ini diperbolehkan dengan bersyarat. Ayat di atas
secara lebih khusus merujuk kepada keadilan yang harus dilaksanakan
terhadap anak yatim. Kawinilah anak yatim apabila anda yakin dengan cara
poligami itu anda dapat melindungi kepentingan dan harta secara adil
terhadap istri-istrimu, dan terhadap anak-anak yatim, juga merupakan
ketentuan umum atas hukum perkawinan dalam Islam, oleh karena itu para
ulama dan fukaha telah menetapkan persyaratan di bawah ini;
1. Seorang lelaki harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk
membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi.
2. Seorang lelaki harus memperlakukan semua isterinya dengan adil. Tiap
isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-
hak lain.
3. Apabila seorang lelaki merasa tidak mampu berbuat adil atau tidak bisa
memenuhi nafkah untuk isteri-isterinya cukup memiliki satu isteri saja.
Abu Daud meriwayatkan dari Haris bin Qais;
Haris bin Qais berkata: “Aku memeluk Islam sedangkan aku mempunyai
delapan isteri. Aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW., lalu
beliau bersabda;”pilihlah empat isteri saja dari mereka”.
Mempunyai lebih dari satu isteri sangat penting bagi si suami berlaku
seadil mungkin terhadap tiap isterinya. Tujuan utama perkawinan dalam Islam

Diktat Hukum Perkawinan


98
adalah untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera; suami dan isteri-
isterinya serta anak-anaknya hidup rukun dan damai, berkasih sayang dan
sejahtera.
Syarat harus berbuat adil bagi pria yang berpoligami merupakan suatu
yang tidak akan terlaksana, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga, karena
ketidakmungkinan berbuat adil ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-
Nisa ayat 129 yang artinya:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri
(mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang".

Berdasarkan bunyi Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 129 di atas dapat


disimpulkan, bahwa yang berlaku adil secara mutlak hanya Allah SWT.
Mengingat syarat harus berbuat adil, penulis mengikuti pendapat yang lazim
tentang adil, yaitu keadilan secara lahiriah.
Selanjutnya untuk menjaga agar poligami tidak disalahgunakan oleh laki-
laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran
Islam, atas dasar "maslahat nursalah" negara dibenarkan mengadakan
penertiban, tetapi tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu
poligami.
Berdasarkan hal di atas, maka tidak berlebihan bahwa apa yang telah
dilakukan Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat agar
supaya poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang kurang mendalami
maksud dan tujuan perkawinan, adalah sangat tepat. Apa yang telah
dikemukakan di atas dapatlah dilihat, bahwa negara kita telah mempunyai
Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yang di dalamnya antara lain mengatur masalah
poligami.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu
pada saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah

Diktat Hukum Perkawinan


99
Nomor 9 Tahun 1975). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka di Indonesia
telah terjadi unifikasi hukum dalam bidang perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara Indonesia tanpa memandang mereka berasal dari
golongan penduduk apa dan mereka berasal dari daerah mana. Dengan
demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga berlaku bagi warga
negara Indonesia yang sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tunduk kepada ketentuan
KUH Perdata.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pelaksanaannya ditentukan bahwa Poligami hanya diperuntukkan bagi mereka
yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang pria beristri lebih dari
seorang. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1974 pada huruf c yang menyatakan, bahwa Undang-undang ini
menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya seorang
pria dapat beristeri lebih dari seorang.
Di muka telah dijelaskan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menutup
pintu bagi pria untuk beristeri lebih dari seorang, hal ini tidak berarti
membuka pintu dalam arti seluas-luasnya, karena UU No. 1 Tahun 1974
memberikan pembatasan yang sangat berat. Pembatasan itu diatur dalam
Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974. Seorang pria yang telah diizinkan oleh
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya untuk beristeri lebih
dari seorang, ia terlebih dahulu harus dapat menunjukkan alasan-alasan dari
syarat-syarat yang secara liminatif telah ditentukan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

C. Alasan-Alasan dan Syarat-Syarat Poligami


Alasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristeri lebih dari
seorang, diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
jo. Pasal 41 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 57
Kompilasi hukum Islam yaitu:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;

Diktat Hukum Perkawinan


100
Apabila salah satu dari alasan di atas dapat dipenuhi, maka alasan-alasan
tersebut masih harus didukung oleh syarat-syarat yang telah diatur dalam
Pasa15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mapu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud Ayat (1) huruf a di atas, tidak
diperlukan lagi oleh seorang suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau tidak ada kabar dari isteri selama sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat panilaian dari Hakim
Pengadilan, sesuai Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Persetujuan dalam Pasal 15 Ayat (1) huruf a UU Nomor 1 Tahun 1974.
dipertegas lagi oleh Pasal 41 huruf b PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu : “Ada atau
tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,
apabila persetujuan lisan, pcrsetujuan itu harus diucapkan di depan
Pengadilan.” Selanjutnya Pasal 58 ayat 2 KHI menyatakan bahwa: “Dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan
ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama”.
Kemudian dalam Pasal 59 KHI dinyatakan bahwa: Dalam isteri tidak mau
memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu
orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 Ayat (2) dan
57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi”.
Sedangkan kemampuan seorang suami dalam Pasal 5 Ayat (2) huruf b UU
Nomor 1 Tahun 1974, dipertegas lagi oleh Pasal 41 huruf c PP Nomor 9 Tahun
1975, yaitu: “Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

Diktat Hukum Perkawinan


101
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat kerja; atau
2. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.
Selanjutnya jaminan keadilan dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf c UU Nomor 1
Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41 huruf d PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu:
Ada atau tidaknya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan menyatakan atau janji dari suami
yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

D. Tata Cara Poligami


Tata cara poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974
jo. Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, yang
menetapkan sebagai berikut:
1. Seorang suami yang bermaksud beristeri lebih dari satu, wajib mengajukan
permohonan secara tertulis, disertai dengan alasan-alasan dan syarat-
syarat yang ditentukan oleh Pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal
41 PP Nomor 9 Tahun 1975, kepada Pengadilan. Bagi suami yang beragama
Islam permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama.
2. Pemeriksaan permohonan poligami harus dilakukan oleh hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya;
3. Dalam melakukan pemeriksaan ada dan tidaknya alasan-alasan dan syarat-
syarat untuk poligami, Pengadilan harus memanggil dan mendengar
isterinya yang bersangkutan; dan
4. Apabila Pengadilan berpendapat, bahwa cukup bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberi putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Khusus mengenai suami yang beragama Islam, Menteri Agama pada
tanggal 19 Juli 1975 mengeluarkan Peraturan No. 3 Tahun 1975, tentang
Kewajiban Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagi yang
beragama Islam. Peraturan Menteri Agama tersebut baru berlaku pada tanggal
1 Oktober 1975.
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, adalah pelaksanaan teknis
yang harus dipatuhi oleh hakim. Pengadilan Agama dalam memberikan

Diktat Hukum Perkawinan


102
putusan/penetapan izin poligami maupun oleh Pejabat Nikah dalam
menyelenggarakan perkawinan. Ketentuan-ketentuan dari Peraturan Menteri
Agama No. 3 Tahun 1975 yang berkaitan dengan tata cara poligami, yaitu Pasal
14 yang menetapkan sebagai berikut:
1. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan membawa
kutipan akta nikah dan surat-surat lainnya yang diperlukan;
2. Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana diatur dalam
Pasal 42 Ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975;
3. Pengadilan Agama dalam melakukan pemeriksaan, harus memanggil dan
mendengar isteri yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 42
Ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975;
4. Apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama
memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang
kepada pemohon yang bersangkutan. Permohonan izin beristeri lebih dari
seorang tidak mengandung sengketa, oleh sebab itu pada hakekatnya
merupakan tindakan administratif.
Dalam Hukum Acara Perdata, hal ini merupakan Jurisictio Voluntaria,
yang pemeriksaan dan putusannya merupakan tindakan adminitratif,
sedangkan bentuk putusan dalam Jurisdictio Voluntaria merupakan penetapan
(beschiking). Selanjutnya apabila belum ada izin dari pengadilan untuk beristri
lebih dari seorang, maka Pegawai Pencatat Perkawinan dilarang
melangsungkan, mencatat atau menyaksikan poligami.
Dahulu sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara efektif,
“menurut tafsir lama sebagaimana yang berlaku dalam praktek, berdasarkan
Mazhab Syafi’i tidak menundukkan poligami kepada pengawasan hakim,
oleh sebab orang bebas melakukan poligami sesuai dengan kemauannya
sampai empat orang isteri”.

E. Hikmah Poligami
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan
syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun
isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebgai isteri, atau ia mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Diktat Hukum Perkawinan


103
3. Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan
krisis akhlaknya.
4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum
prianya, misalnya dari akibat peperangan yang cukup lama.
Mengenai hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristeri lebih dari
seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi ummatnya
(yang merupakan khusushiyat bagi Nabi) adalah sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama.
Isteri Nabi sebanyak 9 (Sembilan) orang, itu bisa menjadi sumber informasi
bagi ummat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam
berkeluarga dan bermasyarakat.
2. Untuk kepentingan politik
mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk
agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi denganJuwairiyah, putrid Al-
Harits (kepada suku Bani Musthaliq) dan dengan Shafiyah (seorang tokoh
dari Bani Quraizhah dan Bani Nazhir).
3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan.
Misal perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan beberapa janda pahlawan
Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah (suami
meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia).

F. Hikmah Larangan Poligami Lebih dari Empat


Allah Yang Maha Biajksana memperbolehkan seseorang untuk menikah
satu, dua sampai empat wanita, dengan syarat dia mampu berlaku adil. Allah
melarangnya kawin lebih dari empat karena melebihi batas jumlah itu akan
mendatangkan aniaya, namun larangan itu tidak berlaku untuk Nabi
Muhammad SAW, karena beliau adalah manusia yang terjaga dari kesalahan
dan tidak pernah menyalahi Al-Qur’an dalam segala keadaan. Diriwayatkan
bahwa seorang laiki-laki bernama Ghailan masuk Islam, sedangkan isterinya
berjumlah 10 orang, maka Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat
orang di antara mereka, demikian juga dengan Qais bin Al-Harits masuk Islam
dengan delapan isteri, maka Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat
diantara mereka (kitab Al-Bada’i).
Kawin lebih dari empat orang dikhawatirkan akan menimbulkan aniaya
karena tidak mampu memberikan hak-hak isterinya. Sebagai mana Allah
berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3, artinya;

Diktat Hukum Perkawinan


104
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamutakut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Di samping itu, karena Rasulullah lebih memuliakan orang fakir daripada


orang kaya, lebih memperhatikan kesusahan daripada kelapangan hidup. Jadi
singkatnya, hikmah dilarangnya nikah lebih dari empat isteri (bagi manusia
biasa) adalah:
1. Batas maksimal beristeri bagi manusia biasa adalah empat isteri. Jika lebih
dari empat isteri berarti melampaui batas kemampuan, baik dari segi
kemampuan fisik, mental maupun tanggung jawab, sehingga nantinnya akan
kerepotan sendiri, bingung sendiri, dan akhirnya akan menimbulkan
gangguan kejiwaaan (stress).
2. Karena melampaui batas kemampuan, maka ia akan terseret melakukan
kezaliman (aniaya), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap isterinya.
Manusia biasa pada umumnya di dominasi oleh nafsu syahwatnya, yang
cendrung melakukan penyimpangan-penyimpangan, sehingga ia tidak
mempunyai kekuatan untuk memberikan hak-haknya kepada isteri-
isterinya.

Diktat Hukum Perkawinan


105
BAB VII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Dalam perkawinan yang telah dilangsungkan terdapat harta benda


sebagai penopang kehidupan pasangan suami isteri dalam membina rumah
tangga. Harta benda tersebut ada yang diperoleh sebelum perkawinan, pada
saat perkawinan dan setelah perkawinan. Dalam pembahasan ini akan
diuraikan pengertian harta bersama menurut hukum positif (KUH Perdata,
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), hukum adat dan
hukum Islam.

A. Asal Usul Harta Dalam Perkawinan


Ada 4 (empat) sumber atau asal-usul harta suami isteri dalam
perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau
isteri
Harta tersebut tetap menjadi milik suami atau isteri yang
menerimanya, dan apabila terjadi perceraian tetap berada di bawah
penguasaan masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak meninggal dunia
dan mereka tidak mempunyai anak maka harta benda tersebut kembali
kepada masing-masing keluarga suami atau isteri yang masih hidup.
Tujuannya agar harta benda tersebut tidak hilang dan kembali ke asalnya.
Sebaliknya apabila mereka mempunyai anak maka harta benda tersebut
beralih kepada anak dan keturunan seterusnya yang melanjutkan hak atas
kekayaan dari keluarganya.
2. Harta hasil usaha sendiri sebelum perkawinan
Terhadap harta ini maka suami isteri secara sendiri-sendiri menjadi
pemiliknya. Dalam hal terjadi perbuatan hukum terhadap harta benda
tersebut, maka diperlukan kemufakatan dari kerabat/keluarga yang
bersangkutan atau sekurang-kurangnya sepengetahuan dari ahli waris yang
bersangkutan.
3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan
Pada umumnya harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan
menjadi harta perkawinan milik bersama dan menjadi harta kekayaan
keluarga. Dalam hal terjadi perceraian, maka suami isteri masing-masing
dapat menuntut hak yang menjadi bagiannya. Harta bersama ini juga dapat

Diktat Hukum Perkawinan


106
digunakan untuk membayar utang piutang suami isteri selama perkawinan
sepanjang untuk keperluan keluarga. Jika harta bersama tidak mencukupi
untuk membayarnya maka pelunasan utang dapat dibebankan atas harta
asal atau harta bawaan dari pihak suami atau isteri. Begitu pula dalam hal
utang suami isteri yang dibuatnya sebelum perkawinan, maka pelunasan
pertama harus dibebankan atas harta bawaan atau harta asal yang
mempunyai utang tersebut. Jika tidak mencukupi kekurangannya dapat
diambil dari harta bersama.
4. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk
salah seorang dari suami isteri dan selain dari harta warisan

Pengurusan harta ini menjadi milik bersama seperti diperoleh karena


hadiah. Jika perkawinan putus, maka suami atau isteri yang hidup
meneruskan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk mengurus
harta tersebut. Jika dalam perkawinan tidak mempunyai anak maka suami
atau isteri yang hidup berhak menentukan sendiri atas harta perkawinan
mereka dengan catatan orang tua atau keluarga pihak yang meninggal dunia
berhak menuntut kembali barang-barang bawaan yang masuk ke dalam
perkawinan, berupa harta peninggalan, harta warisan, dan harta
penghasilan pribadi almarhum/almarhumah sebelum terjadi perkawinan.
Sedangkan harta perkawinan lainnya tetap dapat dikuasai oleh suami atau
isteri yang hidup terlama untuk melanjutkan kehidupannya.

B. Harta Bersama Menurut KUH Perdata


KUH Perdata mengatur masalah harta bersama dalam Pasal 119 sampai
dengan Pasal 123. Pasal 119 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “Sejak saat
dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama
menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan”. Harta bersama itu,
selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami isteri”. Berdasarkan pasal tersebut bahwa sejak
mulai terjadinya perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara
otomatis dengan harta milik isteri. Hal ini berarti bahwa dengan perkawinan

Diktat Hukum Perkawinan


107
antara suami isteri, maka harta kekayaan suami isteri dilebur menjadi satu.
Dengan demikian pada prinsipnya di dalam satu keluarga terdapat satu
kekayaan milik bersama.
Pasal 120 KUH Perdata menyebutkan: “Berkenaan dengan soal
keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan
barang-barang tak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada, juga barang-barang yang akan mereka peroleh secara cuma-cuma,
kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan
menentukan kebalikannya dengan tegas”.
Selanjutnya Pasal 121 KUH Perdata menyebutkan: “Berkenaan dengan
beban-beban, maka harta bersama itu meliputi semua utang yang dibuat oleh
masing-masing suami isteri, baik sebelum perkawinan maupun setelah
perkawinan maupun selama perkawinan”. Kemudian Pasal 122 KUH Perdata
menyebutkan “semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua
keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang diperoleh selama
perkawinan, juga menjadi keuntungan dan kerugian harta bersama itu”. Pasal
123 KUH Perdata menyebutkan “semua utang kematian, yang terjadi setelah
seorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris dan yang
meninggal itu”.
Adanya penyatuan harta antara suami isteri tersebut adalah sah dan
tidak dapat diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir karena
kematian atau perceraian. Namun demikian, apabila suami isteri sepakat tidak
menginginkan adanya persatuan harta kekayaan mereka, maka dapat
membuat perjanjian perkawinan (huwelijk voorwaarderen) dihadapan notaris
sebelum perkawinan dilangsungkan. Tujuan pokok dibuatnya perjanjian
perkawinan adalah untuk mengatur hubungan antara suami isteri tentang apa
yang akan terjadi mengenai harta kekayaan yang mereka bawa dan/atau yang
akan mereka peroleh masing-masing.
Perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 147 KUH
Perdata secara tegas harus dibuat dengan akta notaris dengan ancaman
kebatalan. Maksud dari perjanjian perkawinan harus dibuat dengan Akta
Notaris dengan ancaman kebatalan adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang kuat;
2. Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami isteri atas
harta benda mereka, mengingat perjanjian kawin mempunyai implikasi

Diktat Hukum Perkawinan


108
hukum yang luas. Untuk membuat perjanjian perkawinan diperlukan
seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta kekayaan perkawinan
dan dapat merumuskan semua persyaratan dengan teliti. Hal ini berkaitan
dengan ketentuan bahwa bentuk harta perkawinan harus tetap sepanjang
perkawinan tersebut. Suatu kekeliruan dalam merumuskan syarat dalam
perjanjian kawin tidak dapat diperbaiki lagi sepanjang perkawinan.
Tidak bolehnya perjanjian perkawinan dirubah diatur dalam Pasal 150
KUH Perdata yang berbunyi: “Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian
kawin dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah”. Berdasarkan ketentuan
pasal tersebut dapat disimpulkan perubahan terhadap perjanjian kawin
selama perkawinan dilang sungkan tidak mungkin sama sekali. Tetapi sebelum
perkawinan berlangsung, calon suami dan calon isteri masih dapat merubah
perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Perubahan ini juga harus dituangkan
dalam bentuk akta notaris.
Ketentuan tidak dapat diubahnya perjanjian perkawinan ini berkaitan
erat dengan sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami isteri pada
saat berlangsungnya perkawinan yang menyandarkan pada pokoknya akan
kekhawatiran bahwa semasa perkawinan suami dapat memaksa isteri untuk
mengadakan perubahan yang tidak diinginkan oleh isterinya. Pada intinya
larangan untuk merubah perjanjian perkawinan adalah untuk melindungi
kepentingan pihak ketiga, yaitu mencegah timbulnya kerugian. Disamping itu
untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan
isteri yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab.
Pada dasarnya suami isteri mempunyai hak yang sama atas harta
bersama atau dengan perkataan lain harta bersama itu dimiliki secara
bersama-sama oleh suami isteri. Meskipun demikian Pasal 124 menyebutkan
bahwa suami sendiri harus mengurus harta kekayaan persatuan, ia
diperolehkan menjual, memindahkan dan membebankannya tanpa campur
tangan si isteri, kecuali disebutkan dalam perjanjian kawin, maka dapat
mengurangi hak suami mengurus hartanya. Artinya pengurusan harta
perkawinan menurut KUH Perdata dipegang oleh suami sepanjang tidak
diadakan perjanjian kawin.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka menurut hukum harta
kekayaan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata, seorang laki-laki yang
melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan tanpa membuat
perjanjian perkawinan mengakibatkan terjadinya persatuan menyeluruh atau

Diktat Hukum Perkawinan


109
bulat (algehele gemeenschap van goederen) harta kekayaan perkawinan.
Seluruh harta kekayaan yang dibawa (harta bawaan) maupun yang diperoleh
selama perkawinan, apakah harta yang merupakan hasil usaha sendiri maupun
yang berasal dari hadiah, hibah dan warisan bercampur menjadi satu, yaitu
menjadi harta persatuan.
Selain mengatur tentang harta kekayaan perkawinan, perjanjian
perkawinan juga dapat mengatur tentang persoalan monogami, hak dan
kewajiban yang sama sebagai orang tua, pembagian peran domestik maupun
publik, reproduksi, perwalian,pemeliharaan dan pemeliharaan anak,
pengangkatan anak, hak pribadi untuk memilih nama keluarga, profesi serta
jabatan.

C. Harta Bersama Menurut Undang-Undang Perkawinan


Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, merumuskan pengertian
harta bersama adalah “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama”. Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama
dalam perkawinan adalah saat terjadinya perkawinan sampai ikatan
perkawinan itu putus. Oleh karena itu Undang-Undang Perkawinan tidak
mempersoalkan apakah harta benda tersebut berupa benda bergerak atau
benda tidak bergerak (berwujud atau tidak berwujud). Disamping itu Pasal 35
ayat (2) menentukan bahwa: “Harta bawaan dari masing-masing suami-isteri
dan harta benda yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain”.
Berkaitan dengan harta bersama ini, masing-masing pihak memiliki
kewajiban yang sama untuk menjaga dan memanfaatkannya. Kedua belah
pihak juga tidak dapat melakukan perbuatan hukum apapun terhadap harta
bersama tanpa adanya persetujuan dari salah satu pasangannya.
Selanjutnya Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menetapkan
bahwa mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan dalam ayat (2) menjelaskan bahwa
mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Secara normatif terdapat perbedaan yang signifikan antara penguasaan
terhadap harta bersama dan harta bawaan, harta hadiah dan/atau harta
warisan selama perkawinan berlangsung. Harta bawaan, harta hadiah dan

Diktat Hukum Perkawinan


110
harta warisan berada di bawah kekuasaan masing-masing pihak suami atau
isteri. Dengan kata lain, pihak yang menguasai harta tersebut dengan bebas
dapat melakukan perbuatan apa saja terhadap harta yang dikuasainya tanpa
memerlukan izin atau persetujuan pihak lainnya. Namun harta bersama tetap
berada di bawah penguasaan bersama suami isteri, sehingga jika salah satu
pihak, baik suami ataupun isteri ingin melakukan suatu perbuatan hukum atas
harta bersama, seperti menjual, menghibahkan atau menggadaikan harus
mendapatkan izin dan persetujuan dari pihak lainnya. Ketentuan ini bersifat
absolut selama masa perkawinan berlangsung.
Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa konsep harta bersama yang
merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan segi hukum,
walaupun antara keduanya berbeda namun mempunyai hubungan satu sama
lain. Tinjauan ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaannya, sedangkan
dari segi hukum menitik beratkan pada aturan hukum yang berlaku.
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan “Apabila perkawinan
putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing”. Adapun yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah
hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Mengenai dengan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan,
Syahrizal Abbas mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Ketidaktegasan ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
mengenai penyelesaian harta bersama mungkin juga disebabkan bahwa
rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku masih mempunyai
hukum adat yang beraneka warna dan masih hidup dalam masyarakat.
Dalam keadaan suami - isteri hidup rukun dan damai dalam membina
rumah tangga tidak ada kesulitan yang berbeda-beda itu disatukan. Akan
tetapi bila terjadi sengketa yang berujung pada perceraian maka hal itu
amat sulit dilakukan. Oleh karena itu jalan terbaik untuk menyelesaikan
masalah tersebut diserahkan kepada hukumnya masing-masing, baik
berupa hukum adat maupun hukum Islam.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Djuhaendah Hasan yang


menyebutkan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang
Perkawinan tersebut, pengaturan harta perkawinan dikembalikan lagi oleh
undang-undang kepada hukum keluarga yang berlaku sebelum berlakunya
Undang-Undang Perkawinan.
Dengan demikian Undang Undang Perkawinan lebih berorientasi pada
hukum adat dan menghindari hukum Perdata Eropa yang jauh berbeda dengan
hukum Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa Undang Undang Perkawinan itu

Diktat Hukum Perkawinan


111
telah menerima hukum adat yang menyangkut harta perkawinan. Memang ini
dimungkinkan sesuai untuk keluarga yang bersifat parental, tetapi tidak sesuai
dengan keluarga atau rumah tanga yang bersifat patrilineal maupun
matrilineal. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang Perkawinan dipakai
frasa “sepanjang para pihak tidak menentukan lain” dan frasa “diatur menurut
hukumnya masing-masing”.
Pembagian menurut hukumnya masing-masing iniakan menjadi
benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal sebagai
benturan hukum (conflict of law) karena pengaturan harta benda perkawinan
dan pembagian harta bersama setelah perceraian menurut hukum agama dan
hukum adat pasti berbeda, karena masing-masing memiliki aturan-aturan
tersendiri.
Sehubungan dengan kedudukan harta bersama maka M. Yahya Harahap
berpendapat bahwa “semua harta harta yang diperoleh sejak hari tanggal
ikatan perkawinan terjadi sampai hari tanggal perkawinan pecah, dengan
sendirinya berlangsung jatuh menjadi harta bersama”.
Pendapat lainnya tentang kedudukan harta bersama juga dikemukakan
oleh A, Hamid Sarong, yaitu sebagai berikut:
Menentukan status kepemilikan harta bersama selama perkawinan itu
sangat penting, untuk memperoleh kejelasan bagaimana kedudukan
harta itu jika terjadi kematian salah satu, suami atau isteri. Harta mana
yang merupakan harta peninggalan yang akan diwariskan kepada ahli
waris masing-masing; atau apabila terjadi perceraian, harus ada
kejelasan mana yang menjadi hak isteri dan mana yang menjadi hak
suami, jangan sampai suami mengambil hak isteri, dan sebaliknya jangan
sampai isteri mengambil hak suami.

Berdasarkan uraian di atas, dalam Undang-Undang Perkawinan,


khususnya Pasal 35, harta bersama dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) jenis,
yaitu:
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah berada di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.

Patut kita ketahui bersama bahwa Pasal 35 sampai dengan Pasal 37


Undang-Undang Perkawinan disusun berdasarkan pada nilai-nilai umum yang

Diktat Hukum Perkawinan


112
muncul dalam aturan hukum adat tentang harta bersama, yaitu sebagai
berikut:
a. Dalam suatu perkawinan masing-masing pihak memiliki hak untuk
mengambil keputusan terhadap harta kekayaan yang mereka peroleh
sebelum perkawinan;
b. Melalui ikatan perkawinan suami atau isteri secara intrinsik memiliki posisi
yang setara terkait dengan harta kekayaan keluarga (harta bersama)
terlepas siapa yang sebenarnya mencari atau mengusahakan harta bersama
tersebut. Undang-undang tidak mempermasalahkan siapa sebenarnya yang
mencari harta kekayaan tersebut, apakah suami atau isteri. Demikian juga
halnya dengan kepemilikan harta kekayaan tersebut, apakah terdaftar atas
nama suami atau atas nama isteri. Yang penting harta kekayaan tersebut
diperoleh selama dalam masa perkawinan mereka, maka menjadi harta
bersama.

D. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam


Kompilasi Hukum Islam memberikan pengaturan yang hampir serupa
dengan pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan
mengenai harta benda dalam perkawinan. Pengaturan harta bersama di dalam
KHI terdapat pada Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Pasal 85 KHI menyatakan
bahwa: “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”.
Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat penggabungan
hak milik menjadi harta bersama di dalam perkawinan. Pasal 86 Ayat (1) KHI
selanjutnya dinyatakan: “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta
suami dan harta istri karena perkawinan. Selanjutnya Pasal 86 Ayat (2) KHI
menyatakan bahwa: “Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh
olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai
penuh olehnya”.
Berdasarkan Pasal 86 Ayat (1) dan (2) KHI ini dapat pula ditafsirkan
adanya pengaturan yang memisahkan hak kepemilikan pada harta benda
dalam perkawinan sebagaimana yang ditetapkan oleh kaidah-kaidah hukum
Islam. Penafsiran pertama adalah terdapat ketentuan yang mengatur adanya
harta bersama (pasal 85 KHI). Dengan demikian adanya harta bersama ini

Diktat Hukum Perkawinan


113
menimbulkan konsekuensi terjadinya percampuran harta kekayaan suami dan
istri selama perkawinan berlangsung menjadi hak kepemilikan kolektif si suami
dan si istri baik dalam hal penghasilan masing-masing menjadi harta bersama.
Penafsiran kedua: terdapat ketentuan yang mengatur bahwa tidak ada
penggabungan harta dalam perkawinan, melainkan tetap terjadi pemisahan
harta benda. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 86 Ayat (1) KHI: “Pada
dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena
perkawinan”. Dan bunyi Pasal 86 Ayat (2) KHI: “Harta istri tetap menjadi hak
istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasai penuh olehnya”.
Pasal 87 Ayat (1) KHI berbunyi: Harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dalam Ayat (2) berbunyi:
“Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah atau lainnya.
Menurut Pasal 88 KHI menyatakan: “Apabila terjadi perselisihan antara
suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu
diajukan kepada Pengadilan Agama”. Secara umum pembagian harta bersama
baru dapat dilakukan setelah adanya gugatan perceraian atau perkawinan
putus karena kematian salah satu pihak. Maksudnya daftar harta bersama dan
bukti-buktinya dapat diproses jika harta tersebut diperoleh selama
perkawinan dan dapat disebutkan dalam dalil gugatan (posita) perceraian dan
kemudian disebutkan dalam isi tuntutan (petitum).
Ketentuan tentang pembagian harta bersama didasarkan kepada kondisi
yang menyertai hubungan suatu perkawinan, seperti kematian, perceraian dan
lain sebagainya, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Cerai mati

Cerai mati lazimnya dipahami sebagai bentuk perpisahan hubungan suami


isteri karena meninggalnya suami atau isteri. Menurut Pasal 96 Ayat (1) KHI
yang berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama

Diktat Hukum Perkawinan


114
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Adapun status kematian
salah satu pihak, baik suami atau isteri harus jelas terlebih dahulu supaya
pembagian harta bersama menjadi jelas. Apabila salah satu dari keduanya
hilang harus ada ketentuan tentang kematian dirinya secara hukum melalui
putusan Pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 96 Ayat (2) KHI yang
berbunyi: “Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang
isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama”.
2. Cerai hidup
Apabila putusnya hubungan perkawinan diantara suami isteri karena
perceraian, maka pembagian harta bersama dilakukan berdasarkan
hukumnya masing-masing sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37
Undang-Undang Perkawinan. Bagi umat Islam ketentuan pembagian harta
bersama dilakukan menurut KHI, sedangkan bagi penganut agama selain
Islam dilakukan menurut KUH Perdata. Sesuai Pasal 97 KHI, disebutkan
bahwa: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan”. Ketentuan pembagian harta bersama bagi penganut agama
bukan Islam berdasarka Pasal 128 KUH Perdata yang berbunyi: “Setelah
bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami
dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tidak
mempedulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperoleh”.
Ketentuan ini juga tidak berbeda dengan dengan Pasal 97 KHI.
Pasal 91 KHI membagi jenis-jenis harta bersama sebagai berikut:
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat
berupa benda berwujud atau tidak berwujud;
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,
benda bergerak dan surat-surat berharga;
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun
kewajiban; dan
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Diktat Hukum Perkawinan


115
E. Harta Bersama Menurut Hukum Islam
Hukum Islam mengatur sistem pemisahan harta suami dan isteri
sepanjang para pihak tidak menentukan lain atau diperjanjikan dalam
perjanjian perkawinan. Namun hukum Islam memberikan kelonggaran kepada
suami dan isteri untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan
keinginan mereka berdua dan perjanjian perkawinan tersebut mengikat secara
hukum.
Hukum Islam hanya mengatur masalah perkongsian (syirkah) diantara
suami dan isteri. Menurut fiqh, dalam Islam dikenal 4 (empat) macam bentuk
syirkah atau syarikah, yaitu sebagai berikut:
1. Syariqatul Inan, yaitu dua orang berkongsi dalam suatu urusan yang
tertentu, tidak semua dalam harta mereka, umpamanya dalam membeli
suatu barang.
2. Syariqatul Muwafadhah, yaitu dua orang atau lebih dengan harta-harta
mereka dengan tidak mencampurkan kedua-duanya harta mereka itu
sebelum melakukan aqad perkongsian.
3. Syariqatul Wujuh, yaitu berserikat dua orang terkemuka atau lebih membeli
suatu barang perniagaan dengan harga yang ditangguhkan, menjualnya
dengan laba dibagi antara mereka atau berkongsi seseorang yang
terkemuka dengan seorang biasa atas dasar dibeli oleh orang terkemuka
dengan mempergunakan pengaruhnya, lalu dijual kepada orang lain.
4. Syariqatul Abdan, yaitu berkongsi dua orang atau lebih mengerjakan
masing-masing suatu pekerjaan dengan khadamnya dan hasilnya mereka
bagi.
Setelah dilihat dari ke 4 (empat) macam definisi syirkah atau syariqatul di
atas, maka pencaharian bersama suami isteri dapat digolongkan ke dalam
syariqatul abdan dan syariqatul muwafadhah. Dikatakan termasuk syariqatul
abdan karena dalam kenyataannya suami isteri sama-sama bekerja untuk
kehidupan dan kesejahteraan mereka berdua dan anak-anaknya. Dikatakan
termasuk syariqatul muwafadhah karena selama berlangsungnya perkawinan,
perkongsian harta bersama suami isteri tidak terbatas.
Adanya pembahasan syirkah atau syariqatul ini menurut Imam Syafi’i dan
pengikut-pengikutnya seperti Nawawi dan Syarbaini pada awalnya hanya
terdapat dalam kitab-kitab “perdagangan” saja dan tidak termasuk dalam
kitab-kitab tentang “pernikahan”. Dalam hal ini Sayuti Thalib menjelaskan

Diktat Hukum Perkawinan


116
bahwa “kenyataan ini berarti bahwa asal persoalan syirkah adalah mengenai
pengaturan persyarikatan atau perkongsian dalam perdagangan atau
pemberian jasa, kemudian diterapkan pada soal harta bersama suami isteri
dalam membicarakan hukum perkawinan”.
Dilihat dari segi ketentuan-ketentuan hukum dasar, harta suami dan
isteri terpisah, baik harta bawaan masing-masing maupun harta yang
diperoleh oleh salah seorang suami atau isteri atas usahanya sendiri-sendiri
maupun harta yang diperoleh oleh salah seorang karena hadiah atau hibah
atau warisan setelah mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Sebagai
dasar pendirian tersebut dapat dipergunakan Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 32,
yang artinya: “Bagi laki-laki ada harta kekayaan perolehan dari usahanya
sendiri dan bagi wanita ada harta kekayaan perolehan dari usahanya sendiri”.
Disamping itu alasan penguat yang lain adalah Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat
29, yang artinya: “Jangan kamu percampurkan harta kamu diantara kamu
dengan bathil (tidak benar)”.
Dalam kehidupan masyarakat tertentu seperti di Indonesia dirasa sangat
baik adanya syirkah atau perkongsian antara suami dan isteri sejauh mengenai
harta yang akan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berdasarkan
keadaan masyarakat itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh:
1. Kesempatan isteri mencari kekayaan dan berusaha sendiri oleh isteri sangat
terbatas dibandingkan kesempatan seorang suami.

2. Terselenggaranya dengan baik bagian pekerjaan yang dipegang oleh isteri


dalam suatu rumah tangga yang merupakan pekerjaan yang cukup berat
merupakan sebab langsung bagi suami untuk dapat menguruskan dan
usahanya jauh dari rumah mereka dengan perasaan tenang dan sungguh-
sungguh.

Berkaitan dengan pentingnya syirkah antara suami isteri ini maka


Hazairin menyatakan pendapat sebagai berikut:
Dilihat dari segi pemikiran yang wajar, tergabungnya atau syirkah harta
pencaharian antara suami isteri itu akan sangat mengurangi terjadinya
perceraian. Kita akan melihat akan adanya suatu perubahan yang besar

Diktat Hukum Perkawinan


117
dalam masyarakat bangsa Indonesia andai kata terjadi cerai hidup, maka
harta pencaharian itu harus dibagi secara berimbang dan patut.

Harta bersama yang ada di Indonesia adalah termasuk dalam bidang


muamalah dan mengenai ketentuan hubungannya sama dengan hukum
“syirkah abdan muwafadhah”. Yaitu perkongsian tenaga. Misalnya beberapa
orang berkongsi untuk melakukan beberapa pekerjaan sedangkan
keuntungannya dibagi menurut perjanjian yang telah disepakati. Sedangkan
yang dimaksud dengan syirkah muwafadhah adalah perkongsian dalam
menjalankan usaha dengan ketentuan bahwa masing-masing anggota
perkongsian memiliki hak penuh kepada anggota kongsi untuk bertindak
dalam rangka menjalankan perkongsian (perkongsian tak terbatas).
Disamping melalui perjanjian atau undang-undang maka syirkah antara
suami-isteri juga dapat terjadi karena kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Syirkah ini khusus bagi harta yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami
isteri selama dalam masa perkawinan. Secara diam-diam telah terjadi syirkah
itu apabila kenyataan suami isteri bersatu atau secara bersama-sama mencari
harta dan membiayai hidup rumah tangga mereka.

F. Harta Bersama Menurut Hukum Adat


Dalam Hukum Adat, harta bersama merupakan bagian dari harta
perkawinan. Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh
suami isteri untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari beserta anak-
anaknya. Harta pencaharian bersama menjadi menjadi milik bersama suami
isteri. Sehubungan dengan hal tersebut R. Wirjono Prodjodikoro berpendapat
bahwa “milik bersama dari suami dan isteri ini adalah tumbuh dan makin
kuatnya suatu kelompok dalam masyarakat yang dinamakan serumah atau
somah, yaitu suatu kekeluargaan kecil, yang terdiri dari suami-isteri dan anak-
anak”.
Harta bersama tidak hanya meliputi harta yang diusahakan atau
diperoleh suami atau isteri setelah berlangsungnya perkawinan, tetapi juga
termasuk pemberian atau hadiah dari orang lain yang diterima pada saat

Diktat Hukum Perkawinan


118
perkawinan berlangsung, sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry Lee
Aweng sebagai berikut:
Telah menjadi kelaziman pada masyarakat Indonesia apabila
dilangsungkan perkawinan masyarakat memberikan barang-barang atau
uang sebagai hadiah bagi kedua mempelai tersebut. Pemberian hadiah
tersebut dilakukan pada saat upacara perkawinan dilaksanakan. Pada
banyak masyarakat maka kekayaan yang demikian itu pada dasarnya
merupakan harta bersama. Namun di Madura harta kekayaan yang
diperoleh pada waktu perkawinan dilangsungkan, yaitu hadiah dari para
undangan dibagi antara suami isteri dimana suami dan isteri masing-
masing mendapat bagian yang sama.

Pada prinsipnya masing-masing suami isteri berhak menguasai harta


bendanya sendiri sebagaimana keadaan mereka sebelum menjadi suami isteri.
Oleh karena itu harta benda keluarga dapat dibedakan dan dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Soepomo
sebagaimana dikutip oleh Imam Mukhlas membagi harta kekayaan keluarga
menurut hukum adat terdiri atas beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
1. Harta asal, yaitu semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki oleh
pewaris sejak mula pertama, baik harta bawaan atau lainnya yang dibawa
masuk ke dalam perkawinan dan kemungkinan bertambah selama dalam
perkawinan sampai akhir hayatnya.
2. Harta gono-gini adalah harta semua harta yang diperoleh selama
berlangsung perkawinan baik yang diperoleh suami atau isteri.
Istilah harta bersama dalam lingkungan hukum adat di Indonesia tidak
ada kesamamaan dalam hal penamaannya, seperti yang dikemukakan oleh
Bushar Muhammad, yaitu sebagai berikut:
Harta bersama yang dihasilkan suami isteri selama perkawinan di Aceh
disebut dengan “Harta Sihareukat”, di Bali dinamakan “Druwe-Gobro”, di
Kalimantan dinamakan “Barang Perpantangan”, di Jawa Tengah
dinamakan “Barang Guna” atau “Gono-Gini”, di Minangkabau dinamakan
dengan “Harta Suarang”, di Madura dikenal dengan nama “Guna Ghana”,
di Pasundan disebut “Guna Kaya”, “Barang Sekaya”, “Campur Kaya” atau
“Kaya Reujeung” di Sumedang disebut Raja Kaya, di Jakarta disebut Harta
Pencaharian, dan di Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) dinamakan
Ma’ruf dengan Barang-barang Cakra. Harta golongan ini dikuasai oleh
suami-isteri.

Diktat Hukum Perkawinan


119
Meskipun istilah terhadap harta bersama bagi tiap-tiap daerah hukum
adat beraneka ragam penamaannya, tetapi tetap mengandung pengertian yang
sama. Namun dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, maka istilah-
istilah harta bersama menurut hukum adat diseragamkan penamaannya
menjadi satu istilah saja, yaitu “harta bersama”. Oleh karena itu di seluruh
wilayah di Indonesia telah menerima lembaga harta bersama itu sebagai suatu
kenyataan hukum yang hidup dalam sistem kekeluargaan masyarakat hukum
Indonesia.
Selain ke 2 (dua) jenis harta tersebut di atas, disebutkan juga bahwa
kekayaan harta benda yang yang diperoleh masing-masing pihak suami atau
isteri selama dalam masa perkawinan baik karena hadiah atau warisan
merupakan harta bawaan. Tidak disebutkan dengan tegas apakah harta
kekayaan yang diperoleh dari harta bawaan termasuk ke dalam harta bersama
atau harta bawaan.
Untuk dapat membedakan berbagai macam istilah harta bersama
tersebut maka diperlukan berbagai macam penafsiran atau pendapat para
sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut:
Iman Sudiyat menyatakan bahwa harta kekayaan keluarga dibedakan ke
dalam 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Harta warisan (dibagi semasa hidup atau setelah pewaris meninggal
untuk salah seorang diantara suami atau isteri dari kerabat masing-
masing);
2. Harta yang diperoleh atas usaha-usaha untuk diri sendiri oleh suami atau
isteri masing-masing sebelum atau selama perkawinan;
3. Harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan ataa usaha dan
sebagai milik bersama; dan
4. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama pada
waktu pernikahan.
Perbedaan harta kekayaan dalam keluarga tersebut di atas, sesuai pula
dengan perbedaan yang dikemukakan oleh Soerojo Wignjodipoero, yaitu
sebagai berikut:
1. Barang-barang yang diperoleh suami isteri secara warisan ataupun
penghibahan dari kerabat (famili) masing-masing dan dibawa dalam
perkawinan;

Diktat Hukum Perkawinan


120
2. Barang-barang yang diperoleh suami isteri serta atas jasa diri sendiri
sebelum perkawinan atau dalam kuasa perkawinan;
3. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami isteri
sebagai milik bersama;
4. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama pada
waktu pernikahan.
Kemudian hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh R. Soetojo
Prawiro Hamidjojo dan Azies Safioedin, walaupun tidak dirincikan atau
dibedakan secara jelas, yaitu sebagai berikut:
Perkawinan merupakan pergaulan hidup manusia secara sah sebagai
suami isteri yang mempunyai waktu yang lama. Dalam perkawinan itu
menghendaki adanya harta kekayaan baik sebagai harta bersama dalam
bawaan masing-masing pihak maupun harta bersama dalam perkawinan,
sebagai bekal suami isteri dalam mengarungi hidup tersebut. Tidak
jarang terjadi perceraian, maka harta bersama atau persatuan harta
perkawinan menjadi terhenti karena perceraian dan tibalah saatnya
untuk pemisahan pembagiannya.

Ismail Muhammad Syah membedakan harta benda keluarga itu ke dalam


4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Warisan adalah: harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum mereka
menjadi suami-isteri maupun sesudahnya;
2. Harta pembujang atau penantian adalah: harta yang diperoleh dengan
keringat sendiri sebelum menjadi suami isteri;
3. Harta bersama adalah: harta yang dihasilkan bersama oleh suami-isteri
selama perkawinan.
4. Hadiah adalah: harta ketika nikah diberikan kepada kedua pengantin.
Kemudian B.Z.N. Ter Haar membagi harta kekayaan keluarga menjadi 4
(empat) jenis pula, yaitu sebagai berikut:
1. Harta warisan.
2. Harta hasil usaha sendiri salah seorang suami atau isteri;
3. Harta hasil usaha bersama suami-isteri;
4. Harta yang dihadiahkan kepada suami-isteri pada waktu perkawinan.
Namun demikian di beberapa daerah terdapat pengecualian terhadap
harta bersama. Misalnya di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya

Diktat Hukum Perkawinan


121
sendiri, apabila isterinya tidak memberikan suatu dasar materil yang
berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman bagi keluarga atau
tidak memberikan bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan.
Sementara di Jawa Barat apabila pada saat perkawinan kondisi isteri
yang kaya sedangkan suaminya miskin maka penghasilan yang diperoleh
semasa perkawinan menjadi milik isteri sendiri. Di daerah Kudus-Kulon (Jawa
Tengah) dalam lingkungan para pedagang, maka suami dan isteri masing-
masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan
dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama
perkawinan.
Adanya harta bersama dalam perkawinan merupakan gejala umum dan
telah menjadi asas umum dalam hukum adat seiring dengan pertumbuhan
somah yang semakin kuat di dalam masyarakat yang menggeser kedudukan
dan pengaruh keluarga besar atau kerabat dalam masalah harta perkawinan.
Diberbagai daerah lain yang mengakui adanya harta bersama memiliki
konsep bahwa segala kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama
perkawinan berlangsung termasuk harta bersama, selama suami isteri
tersebut sama-sama bekerja untuk keperluan somah. Pengertian bekerja itu
sendiri lama kelamaan menjadi semakin luas dan kabur, sehingga seorang
isteri yang bekerja di rumah saja untuk memelihara dan mendidik anak-anak
serta mengurus rumah tangga sudah dianggap bekerja juga, sehingga semua
harta kekayaan yang telah diperoleh atau dikumpulkan oleh suami menjadi
harta bersama.
Hal yang demikian adalah sesuatu yang wajar karena walaupun isteri
tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta tersebut, namun dengan
memelihara dan mendidik serta mengurus rumah tangga, suami telah
menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat mempengaruhi
kelancaran pekerjaannya sehari-hari sehingga secara tidak langsung juga
mempengaruhi jumlah harta yang akan diperoleh suami. Disamping itu apabila
dalam mengurus rumah tangga sehari-hari isteri mampu melakukan
penghematan yang wajar, maka isteri secara langsung isteri juga membantu
dalam memelihara dan memperbesar harta milik bersama suami isteri. Oleh
sebab itu, persepsi masyarakat umum yang saat ini berlaku adalah bahwa
harta yang diperoleh selama dalam perkawinan selalu menjadi milik bersama

Diktat Hukum Perkawinan


122
suami isteri, tanpa mepersoalkan siapa yang sesungguhnya bersusah payah
memperoleh harta tersebut.
Hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika suatu
perkawinan berakhir akibat kematian salah satu pihak atau akibat terjadinya
perceraian. Tidak ada keseragaman dalam hukum adat mengenai tata cara
pembagian harta bersama. Dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka
lazimnya semua harta bersama tetap berada di bawah kekuasaan pihak yang
masih hidup dan dia berhak untuk menggunakan harta bersama tersebut bagi
keperluan hidupnya.
Tetapi dalam hal sudah tersedia secara pantas sejumlah harta yang
diambil dari harta bersama untuk keperluan hidupnya maka sisanya dapat
dibagikan kepada ahli waris lainnya. Apabila terdapat anak maka anak itulah
yang menerima bagiannya sebagai barang asal, sedangkan kalau tidak memiliki
anak, maka sesudah kematian suami atau isteri yang hidup lebih lama maka
harta bersama tersebut harus dibagi antara kerabat suami dan kerabat isteri
menurut ukuran pembagian yang sama dengan ukuran pembagian yang sama
dengan ukuran pembagian yang digunakan suami isteri seandainya mereka
masih hidup dan membagi harta bersama tersebut. Namun dalam hal putusnya
perkawinan karena perceraian maka dalam pembagian harta bersama
tersebut, masing-masing pihak akan mendapat bagian separuhnya
(setengahnya).
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas dapat diketahui
bahwa jenis harta kekayaan dalam perkawinan menurut hukum adat dapat
dibedakan ke dalam 5 (lima) jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Harta warisan yang diperoleh suami atau isteri dari kerabat-kerabatnya
yang dibawa ke dalam kehidupan perkawinan.
2. Harta yang diperoleh dan atas usaha sendiri dari suami atau isteri sebelum
atau selama perkawinan.
3. Harta yang diperoleh secara bersama oleh suami isteri sebagai milik
bersama.
4. Harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan kepada suami dan isteri
secara bersama-sama.
5. Harta yang diberikan kepada salah seorang suami atau isteri.

Diktat Hukum Perkawinan


123
Harta perkawinan tidak harus harta yang diperoleh dari usaha yang
dilakukan bersama-sama oleh suami isteri, tetapi harta yang didapatkan oleh
salah satu pihak juga termasuk harta bersama. Alasannya adalah baik suami
atau isteri juga bekerja untuk kepentingan keluarga.
Sehubungan dengan pengertian harta bersama dalam hukum adat,
Hilman Hadikusuma juga memberikan rumusan pengertian harta bersama
dengan menggolongkannya ke dalam beberapa jenis golongan, yaitu sebagai
berikut:
1. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau isteri sebelum peristiwa
perkawinan, yaitu harta bawaan.
2. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami isteri secara perseorangan
sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu harta penghasilan.
3. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami isteri bersama-sama selama
perkawinan, yaitu harta pencaharian.
4. Harta yang diperoleh suami isteri bersama ketika upacara perkawinan
sebagai hadiah yang disebut sebagai harta perkawinan.
Sajuti Thalib berpendapat bahwa harta bersama dibagi ke dalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Dilihat dari asal usul harta suami isteri itu dapat digolngkan lagi ke dalam
3 (tiga) golongan:
a. Harta masing-masing suami atau isteri yang didapat sebelum
perkawinan adalah harta bawaan atau dapat dimiliki secara sendiri-
sendiri;
b. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan itu berjalan, tetapi bukan
dari usaha mereka, melainkan hibah, wasiat atau warisan adalah harta
masing-masing; dan
c. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan, baik atas usaha sendiri
suami atau isteri maupun bersama-sama merupakan harta
pencaharian atau harta bersama.
2. Dilihat dari sudut pandang pengguna, maka harta digunakan untuk:
a. Pembiayaan untuk rumah tangga, keluarga dan belanja sekolah anak-
anak; dan

b. Harta kekayaan yang lain.

Diktat Hukum Perkawinan


124
3. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat,
harta itu akan berupa:
a. Harta milik bersama;
b. Harta milik seseorang tetapi terikat pada keluarga; dan
c. Harta milik seseorang dan pemiliknya dengan tegas oleh yang
bersangkutan.
Berdasarkan berbagai uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa ada 4 (empat) sumber yang menjadi asal usul harta
suami isteri dalam suatu perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1. Harta hibah atau harta warisan yang diperoleh salah seorang suami atau
isteri.
Harta tersebut tetap menjadi milik suami atau isteri yang menerimanya,
demikian pula apabila terjadi perceraian tetap dikuasai oleh masing-masing
pihak. Apabila salah pihak meninggal dunia dan mereka tidak mempunyai
anak, maka barang-barang tersebut kembali pada masing-masing keluarga
suami atau isteri yang masih hidup. Tujuannya agar barang tersebut tidak
hilang dan kembali ke asalnya. Sebaliknya apabila mereka mempunyai anak,
maka barang-barang tersebut beralih kepada anak dan keturunan
seterusnya yang melanjutkan hak atas kekayaan dari keluarganya.
2. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka nikah.
Terhadap harta ini, maka suami isteri secara sendiri-sendiri menjadi
pemiliknya. Dalam hal terjadi perbuatan hukum seperti melakukan
transaksi dengan barang-barang tersebut, diperlukan kemufakatan dari
kerabat yang bersangkutan, sekurang-kurangnya sepengetahuan dari ahli
waris yang bersangkutan.
3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan.
Pada umumnya harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan jatuh
ke dalam harta perkawinan milik bersama, harta ini menjadi bagian dari
harta kekayaan keluarga. Dalam hal terjadi perceraian, maka suami isteri
masing-masing dapat menuntut bagiannya. Harta bersama ini dapat juga
dipergunakan untuk membayar hutang piutang suami isteri selama
perkawinan sepanjang untuk keperluan hidup keluarga. Jika harta bersama
tidak mencukupi untuk membayar nya, maka pelunasan utang dapat
dibebankan atas barang asal dari pihak suami atau isteri. Begitu juga dalam

Diktat Hukum Perkawinan


125
hal utang suami isteri yang dibuatnya sebelum perkawinan, maka pelunasan
pertama harus dibebankan atas barang asal yang mempunyai utang
tersebut, jika tidak mencukupi kekurangannya dapat diambilkan dari harta
milik bersama.
4. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk
salah seorang dari suami isteri dan selain dari harta warisan.
Pengurusan harta ini menjadi milik bersama seperti diperoleh karena
hadiah. Jika perkawinan mereka putus, maka suami atau isteri yang hidup
meneruskan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk mengurus
harta perkawinan tersebut. Jika dalam perkawinan tidak mempunyai anak,
maka suami atau isteri yang hidup berhak menentukan sendiri atas harta
perkawinan mereka, dengan catatan orang tua atau keluarga pihak yang
meninggal berhak menuntut kembali barang-barang bawaan yang masuk ke
dalam perkawinan, berupa harta peninggalan, harta warisan dan harta
penghasilan pribadi almarhum sebelum perkawinan terjadi. Sedangkan
harta perkawinan lainnya tetap dapat dikuasai oleh suami atau isteri yang
hidup terlama untuk melanjutkan kehidupannya.
Menurut M. Yahya Harahap yurisprudensi ataupun putusan pengadilan
menentukan 5 (lima) macam kriteria yang termasuk dalam ruang lingkup
harta bersama, yaitu sebagai berikut:
1. Harta yang dibeli selama masa perkawinan
Kriteria pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk dalam
katagori objek harta bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan
pembelian. Jadi setiap pembelian suatu barang yang dilakukan selama
dalam masa ikatan perkawinan, maka harta atau barang tersebut menjadi
harta bersama. Hal yang demikian tanpa mempersoalkan apakah suami atau
isteri yang membeli, apakah harta itu tercatat atau terdaftar atas nama
suami atau isteri.
2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta
bersama
Untuk menentukan suatu barang termasuk objek harta bersama adalah
ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang
bersangkutan, meskipun setelah terjadi perceraian. Misalnya suami isteri
mempunyai simpanan (deposito) di bank yang dikuasai oleh suami atau

Diktat Hukum Perkawinan


126
isteri sebagai harta bersama. Kemudian terjadi perceraian sehingga harta
bersama berupa simpanan (deposito) tersebut tidak sempat dibagi. Namun
demikian, suami iateri yang menguasai simpanan (deposito) tersebut
membeli barang atau bangunan dengan uang simpanan tersebut, maka
barang yang dibeli atau bangunan tersebut menjadi harta bersama.
3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
Kriteria ketiga ini adalah sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yaitu
semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan adalah harta
bersama. Tetapi untuk menentukan apakah suatu barang termasuk objek
harta bersama atau tidak, maka ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilan melalui pembuktian, sebab hak kepemilikan dapat dialihkan
berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah.
4. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Kriteria keempat ini menentukan bahwa baik penghasilan yang tumbuh dari
harta bersama, maupun penghasilan yang tumbuh dari hasil usaha pribadi
suami atau isteri. Dengan demikian fungsi harta pribadi dalam perkawinan
ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Meskipun hak
kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya,
namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga.
Intinya adalah barang pokoknya tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil
yang tumbuh daripadanya menjadi harta bersama.
5. Segala penghasilan pribadi suami isteri
Kriteria yang kelima ini menentukan bahwa sepanjang mengenai
penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan
sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan
penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum sepanjang
suami isteri tidak menentukan lain yang didasarkan atas perjanjian
perkawinan.

G. Wewenang Suami dan Istri Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan

Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan merupakan ketentuan


mengenai wewenang suami dan istri terhadap harta bersama, menegasakn
bahwa: “Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas
persetujuankedua belah pihak”. Hal ini berarti wewenang atau kekuasaan atau
hak suami dan isteri sama besarnya. Oleh karena itu suami atau isteri dapat

Diktat Hukum Perkawinan


127
menggunakan atau melakukan perbuatan hukum terhadap harta mereka,
tetapi daengan syarat harus ada persetujuan dari pihak lainnya (Suami/Istri)
karena ada pihak tersebut juga di atasnya.
Pada prinsipnya harat bersama itu diatur bersama dan dipergunakan dan
dalam segala sesuatu harus persetujuan bersama. Suami dan istri bersama-
sama berhak atas aharta bersama karena kedudukan suami dan istri yang
seimbang di dalam rumah tangga maupaun di dalam masyarakat. Seperti yang
ditegaskan di dalam Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengenai
hak dan kewajiban suami istri, yaitu: “Hak dan kewajiban isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”. Akibat kedudukan suami isteri
yang seimbang itu, wewenang atas benda bersama juga seimbang. Selanjutnya
diatur dalam Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan: “Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
Dikaitkan dengan wewenang suami istri terhadap harta benda, maka baik
suami maupun istri bisa melakukan perbuatan hukum atas harta bersama,
seperti misalnya menjamin harta bersama sebagai agunan kredit, walaupun
harus dengan persetujuan suami isteri. Barang-barang yang termasuk harta
bawaan dari suami dan istri menurut Pasal 35 Ayat (2) Undang- Undang
Perkawinan, tetap berada di bawah penguasaannya masing-masing sepanjang
para pihak-pihaknya tidak menentukan lain. Selanjutnya di dalam Pasal 36
Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, dikatakan bahwa terhadap harta
bawaan itu para pihak mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum.
Berdasarkan Pasal 36 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tersebut
dapat disimpulkan bahwa suami dan istri mempunyai kekuasaan atas harta
pribadi masing-masing yang dibawa ke dalam perkawinan mereka. Suami dan
isteri mempunyai hak sepenuhnya. Berarti masing-masing mempunyai hak
milik atas harta pribadinya dan karena mereka berhak untuk melakukan apa
saja terhadap harta pribadi.
Di dalam KUH Perdata wewenang atas harta bersma atau disebut juga
harta persatuan diatur dalam bab VI, bagian kedua, Pasal 124 dan Pasal 125.
Pasal 124 KUH Perdata menyatakan bahwa pada dasarnya harta persatuan

Diktat Hukum Perkawinan


128
hanya diurus oleh suami seorang. Kata mengurus (beheer) di dalam Pasal 124
KUH Perdata ditetapkan arti yang luas, karena di dalam Pasal 124 Ayat (2)
KUH Perdata ditetapkan bahwa seorang suami diperbolehkan menjual,
memindahkan dan membebaninya tanpa campur tangan isteri, kecuali dalam
hal yang disebutkan dalam Pasal 140 Ayat ( 3 ) KUH Perdata.
Pengurus atau beheer suami atas persatuan harta kekayaan merupakan
kekuasaan suami sepenuhnya. Walaupun semula harta kekayaan itu
merupakan milik atau barang bawaan istrinya, akan tetapi apabila kemudian
menjadi bagian atau termasuk kedalam persatuan harta kekayaan, maka suami
mepunyai hak penuh atas pengurusannya dan suami tidak diwajibkan untuk
memberikan pertanggungjawabannya. Dengan kekuasaan suami yang penuh
ini, maka kedudukan istri lemah. Hal ini berkaitan dengan ketidak cakapan
isteri untuk membuat persetujuan, yang diatur dalam pasal 1330 KUH Perdata.
Ditegaskan oleh Pasal 140 Ayat (3) KUH Perdata, bahwa jika dilihat
kekuasaan suami atas harta persatuan luas sekali, maka diadakan pembatasan
terhadap kekuasaan suami dan disamping itu isteri dapat meminta
diperjanjikan pembatasan dalam perjanjian perkawinan.
Pasal 124 Ayat (3) KUH Perdata memberikan pembatasan terhadap
wewenang suami, dalam hal hibah antara yang masih hidup, suami tak
diperbolehkan menggunakan barang-barang persatuan, baik barang-barang
tak bergerak, maupun barang-barang bergerak, untuk seluruhnya, untuk
sebagian yang tertentu, atau sejumlah dari itu, melainkan untuk
menyelenggarakan kedudukan bagi anak-anak dari perkawinan tersebut.
Pasal 124 Ayat (4) KUH Perdata juga memberikan pembatasan dalam hal
hibah tak bolehlah suami menggunakan barang bergerak yang diistimewakan
meskipun hal tersebut diperjanjikan, hanya hak pakai hasil atas barang tadi
tetap pada suami.
Harta pribadi di dalam suatu perkawinan baru ada apabila sebelum
perkawinan dibuat perjanjian kawin tentang hal tersebut. Ini adalah
penyimpangan dari asas persatuan bulat harta kekayaan suami isteri yang
diatur dalam Pasal 119 KUH Perdata. Harta pribadi juga bisa terjadi jika si

Diktat Hukum Perkawinan


129
pewaris ataupun penghibah menentukan bahwa harta warisan atau harta
hibah itu adalah khusus diberikan untuk si suami atau si isteri. Pemberian
warisan atau hibahan ini ditentukan dengan tegas.
Harta pribadi suami, harta yang didapat dari warisan atau hibah, dimana
pewaris atau pemberi hibah secara tegas menyatakan bahwa harta tersebut
tidak termasuk harta persatuan, kepengurusannya ada pada suami sendiri,
sedangkan menurut Pasal 105 Ayat (3) KUH Perdata, harta pribadi isteri,
kepengurusannya ada pada pihak suami, kecuali dalam hal isteri
memperjanjikan lain.

H. Tanggung Jawab Suami dan Isteri Terhadap Harta Kekayaan


Perkawinan

Tanggung jawab yang dimaksudkan disini adalah tanggung jawab


mengenai siapa yang memikul beban atas hutang-hutang yang dibuat suami
dan istri, baik masing-masing ataupun bersama-sama. Mengenai tanggung
jawab ini tidak diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Perkawinan, maka
hanya dapat ditafsirkan dari pasal-pasalnya saja. Menurut Pasal 35 Ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan, harta bawaan suami dan isteri tetap berada di
bawah masing-masing. Frasa “di bawah penguasaan masing-masing” dapat
diartikan bahwa tanggung jawab atas harta bawaan itu dipikul masing-masing
pihak.
Undang-undang tidak menyebut dengan jelas mengenai hutang-hutang
yang dibuat suami atau istri sebelum atau selama perkawinan, apakah menjadi
kewajiban bersama suami istri ataukah tetap menjadi hutang pribadi para
pihaknya. Demikian juga dengan harta bersama,suami dan istri mempunyai
wewenang yang sama besarnya atas harta bersama itu. Oleh karena itu atas
hutang bersama suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk
mengikatkan diri dengan pihak ketiga.
Dengan demikian pada dasarnya atas hutang pribadi tetap ditanggung
oleh masing-masing suami/istri. Sedangkan untuk hutang bersama suami dan
istri masing-masing memikul setengah kewajiban atas hutang bersama itu.

Diktat Hukum Perkawinan


130
Di dalam KUH Perdata, hutang-hutang yang dibuat suami istri baik
sebelum maupun selama perkawinan berlangsung termasuk harta persatuan.
Berarti suami dan istri bersama-sama menanggung hutang tersebut. Pada saat
perkawinan bubar, besar tanggungan akan diperhitungkan, yaitu masing-
masing setengah bagian, sebagaimana diatur dalam Pasal 130 KUH Perdata.
Jika di dalam perkawinan ternyata ada harta pribadi suami.istri, atau harta
pribadi suami dan istri, apabila si suami atau si istri mempunyai hutang, maka
hutang tersebut adalah tanggung jawab pribadi si suami atau si isteri.

Diktat Hukum Perkawinan


131
BAB VIII
KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

A. Tanggung Jawab Suami dan Isteri


Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah serta memenuhi syarat/
rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukumnya. Dengan demikian akan
menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami dan isteri dalam
keluarga. Menurut Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan: ”Suami isteri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat”. Selanjutnya dalam Pasal 31 Undang-
Undang Perkawinan disebutkan bahwa:
1. Hak dan kedudukan Isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2. Masing masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-
masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga
sempurnalah kebahagian hidup berumah tangga. Dengan demikian tujuan
hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu
sakinah, mawaddah dan warahmah.
Menurut hukum Islam hak dan kewajiban tersebut dapat dibagi kepada 3
(tiga) bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Hak dan Kewajiban suami terhadap istri
2. Hak dan Kewajiban istri terhadap suami
3. Hak dan kewajiban suami/isteri (hak bersama suami isteri).
Berikut ini akan diuraikan pembahasan dari masing-masing hak dan
kewajiban suami isteri:
1. Hak dan kewajiban suami terhadap isteri
Pernikahan dalam arti sosial dapat membentuk rumah tangga dan
keturunan serta menjalin kehidupan yang harmonis, penuh kasih sayang,
cinta mencintai dan tolong menolong antara keluarga yang satu dengan
keluarga yang lain. Untuk semua itu harus ada pergaulan yang baik antara
suami dan istri dan tidak boleh memperturutkan kehendak sendiri-sendiri.

Diktat Hukum Perkawinan


132
Dalam kompilasi Hukum Islam. Kewajiban suami terhadap isteri
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 80, yaitu sebagai berikut:
a) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri (bersama).
b) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
c) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama, dan bangsa.
d) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung;
1) nafkah (batin), kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
2) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak
3) biaya pendidikan bagi anak.
e) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
f) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat(4) huruf a dan b.
g) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri
nusyuz.
Dengan demikian hubungan suami istri sebagaimana tercantum dalam
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 187, artinya: ”…….mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka...
Suami dan istri saling membantu, saling menghibur, saling melindungi,
dan saling mengingat dari berbuat dosa. Bagi masing-masing mereka bagaikan
pakaian yang saling tutup menutupi satu sama lain. Pakaian juga berfungsi
sebagai penutup dan sekaligus sebagai perhiasan.
Dalam pandangan hukum, hak-hak isteri berkenaan dengan suaminya
adalah sama dengan hak-hak suami terhadap istrinya. Sungguhpun istri
setingkat lebih tinggi dari suami. Allah Maha Bijaksana, pernyataan bahwa
derajat lelaki lebih tinggi ketimbang perempuan, secara sederhana

Diktat Hukum Perkawinan


133
menunjukkan bahwa wewenang mengendalikan dan memimpin rumah tangga
itu berada dipundak suami. Hal ini karena kewajiban lelaki untuk melindungi
keluarga dan menjamin nafkah istrinya. Sebagaimana Allah berfirman dalam
surat An-Nisa’ ayat 34, artinya:
“Laki-laki itu menjadi tulang punggung (pemimpin) bagi perempuan, sebab
Allah telah melebihkan sebagian mereka dari yang lain dan karena mereka
(laki-laki) memberi belanja dari hartanya (bagi perempuan).

Berdasarkan uraian di atas dalam beberapa hal tetentu, yang lebih


berhak untuk memperoleh perlindungan khusus. Kaum lelaki diperingatkan
agar bergaul dengan istrinya secara baik. Dan Allah berfirman dalam surat An-
Nisa’ ayat 19, artinya:
“........jika kamu tidak menyukai mereka.(maka bersabarlah ) karena boleh
jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah Menjadikan kebaikan
yang banyak padanya.

Kemudian nabi bersabda “orang yang paling baik di antara kamu adalah
orang yang paling baik memperlakukan anggota keluarga.”

Maka kewajiban lain yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:


1. Wajib atas suami adil terhadap isteri/isteri-isterinya (kalau poligami)
2. Suami berkewajiban menahan diri dari menyakiti, dan dari perlakuan/
perbuatan yang memudharatkan istri dengan tidak ada sebab.
3. Wajib atas suami memberi izin dan kesempatan kepada isterinya untuk
ziarah mengunjungi keluarganya.
Bahwa Allah menjadikan perempuan itu sebagai teman hidup dalam
kehidupan laki-laki di dunia, maka hendaklah suami:
1. Timbang rasa dan berlaku dengan rasa kasih sayang terhadap istri, berkata
dengan lemah lembut, jangan bermuka masam dan janganlah bagaikan
singa.
2. Hendaklah beramah tamah, kalau perlu bersenda gurau antara keduannya
3. Jangan memperturutkan saja kehendak istri, sehingga menurunkan harga
dirinya atau sebabnya melecehkan.
4. Dibolehkan suami memukul istri untuk pengajaran, bukan untuk marah
dan balas dendam. Dalam hal ini tidak boleh sekali-kali memukul

Diktat Hukum Perkawinan


134
dimukanya dan tidak boleh berkata-kata kasar. Apabila hendak
memberinya pengajaran dengan tidak tidur setempat, maka tak boleh
suami menyuruh istrinya keluar rumah orang, atau mengusir dari
rumahnya.
2. Hak dan kewajiban isteri terhadap suami
Sebagaimana pada uraian tentang hak dan kewajiban suami terhadap
isteri, diantaranya telah banyak disinggung masalah yang berhubungan
dengan apa yang menjadi hak isteri dan bagaimana kewajiban isteri
terhadap suami.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban isteri terhadap suami
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 83, yang berbunyi:
a. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
b. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya juga dijelaskan dalam hal menyangkut kewajiban isteri
terhadap suami adalah laksana pakaian, dia harus dapat menghiasi
suaminya sehingga menjadi gembira dan selalu senang jika bersama.
Sebaliknya jangan sekali-kali membuat suami menaruh kecurigaan,
misalnya saja isteri yang suka memperlihatkan perhiasannya kepada laki-
laki lain. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nur ayat 31, artinya:
“…dan janganlah mereka(para istri) memperlihatkan perhiasan mereka,
kecuali kepada suami mereka.
Ibrahim Husein dalam tulisannya yang berjudul Keruntuhan moral sex
di kalangan anak muda, mengatakan bahwa, maksud perhiasan dalam ayat
ini adalah bagian tubuh yang merangsang.
Dapat diambil kesimpulan pada ayat ini yang bahwa Allah SWT
memerintahkan kepada orang-orang mukmin laki-laki agar menutup
pandangannya terhadap lawan jenisnya (untuk menjauhi kemungkinan
berbuat dosa).
Maka kewajiban-kewajiban, maupun tugas seorang isteri terhadap
suaminya, adalah diantaranya sebagai berikut:
1. Isteri mesti berkelakuan sopan terhadap suami; dan

Diktat Hukum Perkawinan


135
2. Isteri diwajibkan memelihara peraturan suami, karena tidak boleh istri
memasukkan seseorang ke dalam rumahnya (laki-laki atau perempuan)
kerabat atau bukan dengan tidak seizin suaminya.
3. Jangan memberati suaminya dalam soal nafkah, (pakaian atau uang dan
tempat), yang lebih ukuran yang wajib baginya.
4. Hendaklah meminta keizinan suami, apabila keluar dari rumahnya,
walaupun itu untuk ziarah/ bertemu kepada orang tuanya.
5. Hendaklah istri memakai pakaian yang cantik, berhias dengan celak
dantidak berlebihan serta tidak bermewah-mewah dan jangan sampai
mengubah ciptaan bersih dan berharum-haruman, sehingga dapat
menumbuhkan rasa cinta kecuali masuk mesjid (tidak boleh memakai
wewangian).
6. Tidak boleh seorang istri berpuasa sunat kalau suami bersamanya (tanpa
memberi tahu terlebih dahulu pada suami).
Segala sesuatu amal atau pekerjaan baik yang diperbuat isteri
terhadap suaminya, adalah diberi ganjaran (pahala) oleh Allah SWT sebagai
mana menurut hadist Nabi SAW, diantaranya:
a. Sekali suami meminum air yang disugukan (disediakan) oleh istrinya,
adalah lebih baik (baginya) dari pada puasa setahun.
b. Makanan yang disugukan istri kepada suaminya, lebih baik (baginya) dari
pada mengerjakan haji dan umrah. (H. Abu Bakar Ya’qub).
3. Hak dan kewajiban suami isteri (hak bersama-sama)
Hukum Islam memerintahkan kepada suami dan istri supaya bergaul
dengan baik. Hal ini sebagai tujuan dari pernikahan yang diidam idamkan
oleh sepasang suami istri. Mereka menyelenggarakan kehidupan bersama
untuk mendapatkan keturunan yang sah serta membina rumah tangga yang
bahagia yang didasarkan atas saling pengertian dan saling membimbing,
berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
a. Hak bersama suami isteri
1. Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah,
bilamana salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya
ikatan perkawinan yang lain dapat mewarisi hartanya, sekalipun
belum pernah berhubungan seksual.
2. Kedua belah pihak wajib berperilaku yang baik, sehingga dapat
melahirkan kedamaian hidup. Sebagaimana Allah berfirman dalam

Diktat Hukum Perkawinan


136
surat An-Nisa’ ayat 19, artinya: “…..dan pergaulilah mereka (isteri)
dengan baik”.
b. Kewajiban Suami Isteri
Dalam Kompilasi Hukum Islam kewajiban suami istri sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 77 sebagai berikut:
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

B. Kedudukan Harta Perkawinan (Harta Bersama)


Menurut Undang-Undang Perkawinan, bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta
bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (vide Pasal 35
ayat 1-2). Harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
Dilihat dari sudut pandangan Hukum Islam bahwa mengenai harta
bersama tidak diatur dalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan
tentang adanya hak milik pria atau wanita serta mas kawin ketika perkawinan
berlangsung Ajaran Islam memberikan hak penuh kepada isteri atas harta
miliknya, ia boleh menjual, menggadai, menghibah hartanya itu terlepas dari
kekuasaan orang lain termasuk suaminya. Suami tidak boleh bertindak atas

Diktat Hukum Perkawinan


137
harta benda seorang perempuan (isteri), tetapi segala harta benda isterinya itu
tetap kepunyaan pribadinya, bahkan suami berkewajiban untuk turut menjaga
dan memeliharanya, tetapi tidak menjadi hak bagi suami itu untuk bertindak
secara hukum kepadanya. Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 32,
artinya;
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan,
dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Diktat Hukum Perkawinan


138
BAB IX
PERJANJIAN PERKAWINAN

A. Pengertian Perjanjian Perkawinan


Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa perikatan adalah suatu
hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perikatan lahir sebagai akibat
adanya perjanjian atau persetujuan, yaitu suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
Hubungan antara perjanjian dan perikatan sangat erat, sebab suatu
perjanjian menimbulkan adanya perikatan dan sekaligus merupakan sumber
perikatan. Perjanjian merupakan suatu hal atau suatu peristiwa yang kongkrit,
karena diwujudkan dalam bentuk yang tertulis, sedangkan perikatan lebih
merupakan pengertian abstrak.
Perjanjian yang terdapat dalam Buku ke III KUH Perdata menganut
sistem terbuka (aanvullen), yang mengandung arti bahwa hukum perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar
ketertiban umum, dan kesusilaan. Mengingat akan hal demikian, maka pasal-
pasal dari hukum perjanjian lebih bersifat sebagai optional law atau sebagai
hukum pelengkap saja dan dapat dihilangkan apabila dikehendaki oleh para
pihak.
KUH Perdata tidak memberikan rumusan pengertian perjanjian
perkawinan, sehingga doktrin berusaha untuk merumuskannya dalam titik
tolak yang berbeda. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli
mengenai pengertian perjanjian perkawinan:
1. Mike Rini: Perjanjian kawin/pranikah (praenuptial agreement), yaitu suatu
perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat
kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak
pernikahan dilangsungkan. Perjanjian pranikah berlaku sejak pernikahan
dilangsungkan dan isinya mengatur bagaimana harta kekayaan suami isteri
akan dibagi jika terjadi perceraian atau kematian dari salah satu pasangan.

Diktat Hukum Perkawinan


139
Perjanjian ini juga memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga
akan diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung.
2. R. Wirjono Prodjodikoro: Perjanjian kawin diartikan sebagai suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak,
dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan
suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian
itu.
3. R. Soetojo Prawirohamidjojo: Perjanjian kawin adalah perjanjian
(persetujuan) yang dibuat oleh calon suami-isteri sebelum atau pada saat
perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan mereka.
4. R. Subekti: Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta
benda suami-isteri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas
atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.
5. Komar Andasasmita: Apa yang dinamakan “perjanjian atau syarat kawin” itu
adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami-isteri dalam
mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari
perkawinan mereka.
6. Happy Susanto: Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat
pasangan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan sebelum
perkawinan mereka dilangsungkan, dalam isi perjanjian tersebut mengikat
hubungan perkawinan mereka.
7. Ko Tjay Sing: Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh bakal
suami isteri untuk mengatur akibat perkawinannya terhadap harta
kekayaan mereka.

B. Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan


Perjanjian perkawinan dalam KUH Perdata diatur dalam Buku Kesatu Bab
Ketujuh dan Kedelapan, mulai Pasal 139 sampai dengan Pasal 179. Ketentuan
Pasal 139 KUH Perdata berbunyi: “Dengan mengadakan perjanjian kawin
suami isteri berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan
perundang-undangan disekitar harta kekayaan asal perjanjian itu tidak
menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula

Diktat Hukum Perkawinan


140
segala ketentuan dibawah ini”. Maksud dari pembentuk undang-undang
tentang frasa “segala ketentuan di bawah ini” dalam Pasal 139 KUH Perdata
tersebut adalah, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal
berikutnya dari KUH Perdata.
Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan, perjanjian perkawinan
diatur dalam Pasal 29, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan;
3. Perjanjian tersebut berlaku, sejak perkawinan dilangsungkan; dan
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan pada
pokoknya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Perjanjian kawin dibuat berdasarkan atas persetujuan bersama antara calon
suami istri sebelum atau pada saat melakukan perkawinan.
b. Dibuat secara tertulis, namun tidak perlu harus dibuat secara notariil atau
tidak harus dengan akta notaris.
c. Dapat dirubah sepanjang tidak merugikan pihak ketiga.
d. Disahkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragama Islam
atau Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk yang beragama selain Islam.
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tersebut dapat
diketahui, bahwa pembuatan perjanjian kawin dapat terjadi sebelum
pelaksanaan perkawinan itu sendiri maupun pada saat berlangsungnya
perkawinan. Pada sisi lain perjanjian kawin tidak boleh membatasi hak dan
kewajiban suami istri karena hal tersebut merupakan hak asasi perkawinan itu
sendiri. Kewajiban suami istri, adalah memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangganya, yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat. Sementara hak suami isteri adalah, seimbang juga dalam
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Diktat Hukum Perkawinan


141
Dasar hukum lainnya tentang perjanjian perkawinan adalah Pasal 45
sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selanjutnya Pasal 45
KHI berbunyi: “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk: a. Taklik talak; dan b. Perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.”
Menurut Pasal 147 KUH Perdata, perjanjian kawin harus dibuat dengan
akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian kawin yang telah
dibuat calon suami isteri itu mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
dan tidak bisa dirubah dengan cara apapun. Sebelum perkawinan itu
dilangsungkan, calon suami isteri masih dapat merubah perjanjian kawin yang
dibuatnya. Perubahan perjanjian perkawinan itu harus dilakukan dengan akta
Notaris. Namun apabila orang orang yang ikut dalam perjanjian kawin tidak
menyukai adanya perubahan perjanjian perkawinan, maka tidak dapat
diadakan perubahan terhadap perjanjian itu.
Ketentuan tersebut didasarkan karena dalam perjanjian kawin
adakalanya pihak ketiga dapat juga ikut serta, mengingat pihak ketiga dapat
memberikan hadiah kepada suami atau isteri saja dalam perkawinan mereka
dengan ketentuan tidak jatuh ke dalam kebersamaan harta suami isteri itu.
Perjanjian perkawinan berdasarkan KUH Perdata juga harus didaftarkan di
dalam register umum kepaniteraan Pengadilan Negeri di wilayah hukum di
mana suami isteri tersebut berdomisili atau bertempat tinggal.
Maksud dari pendaftaran perjanjian kawin dilakukan agar dapat
diketahui oleh umum terutama pihak ketiga yang tersangkut atau
berkepentingan langsung dapat meneliti isi yang terkandung dalam perjanjian
perkawinan tersebut. Apabila perjanjian kawin telah didaftarkan di dalam
register umum kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka perjanjian perkawinan
tersebut juga berlaku terhadap pihak ketiga. Adapun implikasi hukum dari
perjanjian perkawinan yang belum atau tidak didaftarkan dalam register
umum kepaniteraan Pengadilan Negeri adalah pihak ketiga yang tersangkut
dapat beranggapan bahwa harta kekayaan suami isteri dalam perkawinan
sebagai harta bersama, dimana ketika terjadi pemutusan hubungan
perkawinan, baik karena kematian salah satu pihak atau perceraian akan
berlaku hukum yang berbeda.
Dalam praktik ada 3 (tiga) kriteria yang membawa akibat perjanjian
kawin yang dibuat suami isteri itu berlaku atau tidak berlaku terhadap pihak
ketiga, yaitu sebagai berikut:

Diktat Hukum Perkawinan


142
1. Perjanjian Perkawinan dibuat dihadapan Notaris
Apabila perjanjian kawin dibuat oleh calon suami isteri dengan akta
Notaris tetapi tidak di catatkan pada Kantor Catatan Sipil serta tidak
didaftarkan di pengadilan Negeri, maka perjanjian kawin tersebut hanya
berlaku terhadap suami isteri saja.
2. Perjanjian perkawinan dibuat dihadapan Notaris dan di
catatkan/didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil
Bilamana perjanjian perkawinan dibuat dengan akta Notaris dan
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, namun tidak didaftarkan di Pengadilan
Negeri, maka perjanjian kawin tersebut hanya berlaku terhadap suami
isteri dalam perkawinan, dan tidak berlaku kepada pihak ketiga.
3. Perjanjian perkawinan dibuat dihadapan Notaris, dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil dan ditindaklanjuti dengan pendaftaran dalam register umum
kepaniteraan Pengadilan Negeri
Bilamana perjanjian perkawinan dibuat dengan akta Notaris,
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan ditindaklanjuti dengan pendaftaran
dalam register umum kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka perjanjian
perkawinan tersebut berlaku dan mengikat pula kepada pihak ketiga. Para
pihak (suami isteri) serta pihak ketiga yang berkepentingan dapat
dilindungi secara hukum.

C. Syarat Sah Perjanjian Perkawinan


Dalam hubungan hukum, perjanjian perkawinan merupakan bagian dari
hukum perjanjian sehingga terikat kepada syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi: “Untuk
sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Selain syarat umum mengenai sahnya suatu perjanjian, dalam membuat
perjanjian perkawinan calon suami-isteri juga harus memperhatikan
persyaratan khusus mengenai perjanjian perkawinan yang harus dipenuhi.

Diktat Hukum Perkawinan


143
Persyaratan tersebut meliputi diri pribadi, bentuk dan isi perjanjian
perkawinan. Persyaratan khusus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Syarat Mengenai Diri Pribadi
Mengingat bahwa perjanjian kawin masuk dalam ruang lingkup
perjanjian, maka untuk terjadi perjanjian kawin tersebut diharuskan adanya
syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata sebagaimana yang telah diuraikan dalam sub 3 (Syarat Sah
Perjanjian) di atas.
2. Syarat Mengenai Bentuk dan Isi Perjanjian
Sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang
menentukan bahwa perjanjian kawin harus dibuat secara tertulis dan
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada waktu atau sebelum
perkawinan. Ayat (4) dari Pasal 29 tersebut lebih lanjut menyatakan bahwa
selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubahnya dan
perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Menurut Heru Kuswanto, mengenai syarat-syarat dibuatnya suatu
perjanjian kawin, ketentuan Pasal 147 KUH Perdata, menetapkan atas ancaman
kebatalan, setiap perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris, sebelum
perkawinan berlangsung. Syarat tersebut dimaksudkan agar:
a. Perjanjian perkawinan tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik,
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat.
b. Agar terdapat kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami isteri
atas harta benda mereka.
c. Untuk mencegah perbuatan tergesa-gesa oleh karena akibat dari
perjanjian akan mengikat para pihak.
d. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.
e. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan hukum.
Pembuatan perjanjian kawin dibutuhkan suatu keahlian khusus dalam
merumuskan isi akta perjanjian. Dengan demikian orang yang membuat
perjanjian kawin harus benar-benar orang yang paham dan mengetahui
hukum harta perkawinan serta dapat merumuskan semua syarat yang ada
dalam akta dengan teliti. Orang yang mempunyai keahlian tersebut adalah
Notaris.

Diktat Hukum Perkawinan


144
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, akta Notaris dalam perjanjian
kawin tidak semata-mata dimaksudkan sebagai alat pembuktian saja. Tetapi
lebih dari itu akta notaris dimaksudkan agar:
a. Perjanjian kawin tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat.
b. Memiliki kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban suami isteri
atas harta benda mereka.
c. Mencegah kemungkinan adanya penyelundupan hukum atas ketentuan
Pasal 144 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Perjanjian kawin tidak
boleh diubah dengan cara apapun setelah perkawinan berlangsung”.
d. Untuk mencegah perbuatan tergesa-gesa dari para pihak, serta untuk
memikirkan perbuatan hukum yang dilakukannya. Hal ini mengingat
perjanjian kawin mempunyai akibat atas harta kekayaan suami isteri dalam
jangka waktu yang lama atau sepanjang perkawinan.
Mengenai dengan syarat-syarat isi perjanjian perkawinan merupakan
peraturan yang bersifat memaksa. Peraturan memaksa mempunyai pengertian
tidak boleh menyimpang dari peraturan yang dikenakan kepadanya. Syarat
mengenai isi perjanjian kawin menurut Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan, adalah perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika isinya
bertentangan dengan kesusilaan, undang-undang atau ketertiban umum.
Pasal 139 KUH Perdata menyatakan bahwa calon suami isteri dapat
menyimpang dari berbagai ketentuan yang ditetapkan dalam persatuan harta
kekayaan, asalkan penyimpangan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum. Mengenai dengan syarat isi perjanjian kawin
dikemukakan oleh Hartono Soerjopraktiknjo, yang menyatakan bahwa:
Perjanjian kawin tidak boleh bertentangan dengan goeden zeden (tata susila),
openbare orde (ketertiban umum) dan tidak boleh bertentangan dengan dasar-
dasar hukum perkawinan.
M. Yahya Harahap Secara lebih khusus lagi isi perjanjian kawin harus
memperhatikan syarat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 139-Pasal 142
KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum;
2. Tidak boleh memuat syarat yang menghilangkan status suami sebagai
kepala keluarga, dan juga janji yang memuat isteri akan tinggal secara
terpisah tidak mengikuti suami;

Diktat Hukum Perkawinan


145
3. Tidak boleh memuat perjanjian yang melepaskan diri dari ketentuan
undang-undang tentang pusaka bagi keturunan mereka, atau salah satu
pihak harus menanggung lebih besar hutang dari keuntungan yang
diperoleh dari kekayaan bersama;
4. Tidak boleh membuat perjanjian-perjanjian yang bersifat kalimat yang
umum, bahwa perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang negara
lain atau oleh adat kebiasaan yang pernah berlaku di Indonesia.

D. Pertimbangan Calon Suami/Calon Isteri Membuat Perjanjian


Perkawinan

Pada dasarnya setiap calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan


bebas untuk membuat perjanjian kawin yang berisi apa saja. Kebebasan ini
merupakan implementasi dari Pasal 1338 KUH Perdata. Namun demikian
kebebasan untuk membuat perjanjian tersebut tidak boleh melanggar atau
tidak boleh bertentangan dengan tata kesusilaan (goeden zeden) dan,
ketertiban umum (openbare orde) dan tidak boleh bertentangan dengan dasar-
dasar hukum perkawinan.
Walaupun hal ini tidak lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia,
namun pembuatan perjanjian kawin bukanlah merupakan perbuatan yang
tabu untuk dilakukan. Lembaga hukum perjanjian kawin sebenarnya tidak
dikenal dalam hukum adat karena lembaga tersebut diadopsi dari hukum
perdata Barat. Ada masyarakat yang bisa menerima konsep pemikiran tentang
pembuatan perjanjian perkawinan. Namun yang belum menerima keberadaan
lembaga perjanjian perkawinan tersebut juga tidak dapat dikatakan sedikit.
Dalam kenyataannya masih sedikit pasasangan calon mempelai
memnadang perjanjian perkawinan ini sebagai suatu hal yang positif atau
bermanfaat bagi kehidupan perkawinan mereka. Bahkan pemikiran untuk
pembuatan perjanjian perkawinan kemungkinan akan menimbulkan persoalan
tersendiri diantara pasangan calon mempelai yang akan melangsungkan
perkawinan karena dapat menodai kesucian dan kesakralan suatu perkawinan.
Maksudnya adalah makna dari perkawinan itu sendiri telah dikesampingkan,
dimana suatu perkawinan untuk menyatukan, namun dengan adanya
perjanjian perkawinan telah menimbulkan niat untuk tidak menyatukan
terutama masalah harta kekayaan walaupun perjanjian perkawinan tersebut

Diktat Hukum Perkawinan


146
dibolehkan dan tidak ada suatu peraturan positif manapun yang melarang
tentang perjanjian perkawinan, baik KUH Perdata, Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Banyak masyarakat, terutama yang berada di wilayah pedesaan yang
kurang mengetahui adanya perjanjian kawin yang dibuat pasangan sebelum
perkawinan dilangsungkan, mengingat hal tersebut tidak lumrah dilakukan
masyarakat timur, disamping juga menimbulkan kesan mengecilkan arti
lembaga perkawinan. Seakan-akan perkawinan hanya merupakan sebuah
“company” atau perusahaan, layaknya kerja sama dalam bisnis, sehingga harus
diantisipasi kerugian atau resiko yang akan terjadi jika suatu saat terjadi
perceraian.
Namun tidak demikian halnya dengan masyarakat yang hidup di kota-
kota besar. Dewasa ini terdapat kecenderungan fenomena semakin banyaknya
pasangan yang membuat perjanjian perkawinan. Lembaga perjanjian
perkawinan semakin diterima sejalan dengan tuntutan dan perkembangan
zaman serta munculnya sikap individualis-materialis. Sehingga lembaga
perjanjian perkawinan merupakan suatu kebutuhan hukum bagi masyarakat.
Hal ini disebabkan mmereka tidak ingin direpotkan dengan berbagai masalah
dalam perkawinan yang dapat mengganggu kondisi perekonomian masing-
masing pasangan.
Bagi calon suami isteri yang membuat perjanjian kawin sebelum
perkawinannya berlangsung biasanya dilandasi oleh beberapa pertimbangan.
Pada dasarnya ada beberapa alasan atau pertimbangan yang mendasari calon
suami isteri membuat perjanjian kawin sebelum perkawinan berlangsung,
antara lain sebagai berikut:
1. Adanya sikap individualis-materialis
Sikap individualistis dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia
yang semakin subur seiring dengan pengaruh lingkungan, perkembangan
dan kemajuan jaman. Sikap individualis ini pada akhirnya terbawa oleh
orang-orang yang akan melakukan perkawinan, berupa pembuatan
perjanjian perkawinan.
2. Adanya pergeseran fungsi dan peran dalam rumah tangga
Pergeseran fungsi dan peran ataupun kedudukan seorang isteri dalam
suatu perkawinan saat ini mulai berubah, yaitu dari semula sebagai ibu
rumah tangga biasa yang kemudian menjadi tulung punggung keluarga yang
ikut mencari nafkah. Pergerseran fungsi ini membuat kedudukan isteri

Diktat Hukum Perkawinan


147
semakin dinamis, sehingga pola pikir mereka menjadi lebih realistis dan
pragmatis, termasuk dalam masalah harta kekayaan dalam perkawinannya.
3. Pandangan suami isteri terhadap harta kekayaan
Pandangan suami isteri saat ini semakin kritis dan realistis dalam
hidup berumah tangga. Hal tersebut berpengaruh terhadap meningkatnya
kesadaran suami isteri terhadap masalah harta kekayaan dalam
perkawinan. Banyak diantara suami isteri saat ini memandang masalah
harta kekayaan sebagai sesuatu yang sensitif dan sewaktu-waktu dapat
mengakibatkan terjadinya konflik dalam membina rumah tangga, sehingga
diperlukan semacam tindakan pengamanan terhadap harta benda miliknya.
Jika alasan-alasan tersebut ditinjau kembali, maka keberadaan lembaga
perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon suami isteri merupakan sikap
yang dibentuk dari hasil pemikiran untuk menimbang secara matang saat
memasuki jenjang perkawinan.
Adapun manfaat perjanjian perkawinan antara lain sebagai berikut:
1. Dapat menimbulkan sikap saling terbuka antar pasangan dalam hal
keuangan.
2. Menghindari sifat boros salah satu pasangan.
Dalam hal salah satu pasangan mempunyai indikasi boros maka
perjanjian perkawinan dapat menyelamatkan rumah tangga atau
perkawinan mereka. Dengan adanya perjanjian perkawinan maka pihak
yang boros harus mentaati semua aturan-aturan yang sudah disepakti
dalam perjanjian perkawinan.
3. Menghindari maksud buruk salah satu pasangan.
Seringkali perkawinan menjadi suatu sarana untuk memperoleh
keuntungan atau kekayaan dari pihak lain. Misalnya dengan menikah tetapi
kemudian mengajukan gugatan cerai untuk mendapatkan harta gono-gini.
4. Melindungi salah satu pihak dari tindakan hukum.
Apabila salah satu pihak mengajukan kredit (misalnya kredit
perumahan), biasanya akan dilakukan penandatanganan perjanjian kredit
oleh suami isteri sehingga utang kredit tersebut ditanggung bersama.
Namun dengan adanya perjanjian perkawinan maka pihak yang
mengajukan kredit bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bukan
menjadi utang bersama.

Diktat Hukum Perkawinan


148
Perjanjian perkawinan kontemporer berasal dari perjanjian perkawinan
pada masa lalu. Ketika pada zaman penjajahan Belanda, perjanjian perkawinan
sering tidak terbatas hanya pada ketentuan mengenai harta kekayaan.
Perjanjian perkawinan juga menentukan hal-hal lain, misalnya hak dan
kewajiban suami isteri, janji dimana mereka akan bertempat tinggal, ketentuan
tentang perwalian anak-anak jika terjadi perpisahan dan sebagainya.
Mengenai isi dari suatu perjanjian perkawinan, KUH Perdata
memberikan kebebasan kepada calon suami dan isteri untuk menentukan
sendiri isinya, asalkan sesuai dengan kehendak mereka dan sepanjang tidak
bertentangan dengan kesusilaan, agama dan ketertiban masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, P.N.H. Simanjuntak mengatakan bahwa
ada beberapa hal tidak boleh dimuat atau dimasukkan dalam perjanjian
perkawinan, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan;
2. Tidak boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di dalam
perkawinan;
3. Tidak boleh mengenai hal kekuasaan orang tua;
4. Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang-undang kepada suami
atau isteri yang hidup terlama;
5. Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala
persatuan suami isteri;
6. Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie (hak mutlak) atas
warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari
keturunannya;
7. Tidak boleh diperjanjikan bahwa suatu pihak harus membayar sebagian
utang yang lebih besar dari pada bagian keuntungannya; dan
8. Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum, bahwa ikatan
perkawinan mereka akan diatur oleh Undang-Undang luar negeri, adat
kebiasaan, ataupun peraturan daerah.
Dalam suatu perjanjian perkawinan harus dinyatakan secara tegas
mengenai pemisahan harta perkawinan atau terjadi persatuan terbatas antara

Diktat Hukum Perkawinan


149
calon suami isteri. Apabila tidak secara tegas menyatakan persatuan terbatas
dalam perjanjian perkawinan, maka terjadi pemisahan harta sama sekali
diantara suami isteri. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian perkawinan tidak
ditegaskan adanya percampuran harta dan tidak ada persatuan terbatas.

E. Bentuk Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukum Tidak


Dipenuhinya Kewajiban Oleh Para Pihak dalam Perjanjian Perkawinan

Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga)


sumber, yaitu menurut KUH Perdata, Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam:
1. Menurut KUH Perdata
KUH Perdata menganut asas percampuran harta dan kekayaan antara
suami isteri (algehele gemeenschap van goederen) ketika perkawinan
terjadi, jika sebelumnya tidak diadakan perjanjian perkawinan terlebih
dahulu. Tetapi suami isteri dapat membuat perjanjian perkawinan
sebagaimana diatur dalam Pasal 139 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri
adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari beberapa
peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal
perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib
umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini”.
KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa ada 2 (dua) jenis perjanjian
perkawinan yang banyak dipergunakan dewasa ini, yaitu percampuran
untung rugi (gemeenschap van wints en verlies) dan perjanjian percampuran
penghasilan (gemeenschap van vruchten en inkomsten).
a. Persatuan untung dan rugi (gemenschap van winst en verlies)
sebagaimana diatur dalam Pasal 155 KUH Perdata
Dalam perjanjian perkawinan dengan persatuan untung rugi, segala
keuntungan dan kerugian yang diperoleh dalam perkawinan harus dibagi
rata antara mereka berdua, dengan prinsip perbandingan 1:1 atau
masing-masing mendapatkan setengah bagian. Untuk mencegah

Diktat Hukum Perkawinan


150
kemungkinan adanya kesulitan pembuktian dikemudian hari, maka
benda-benda tak terdaftar harus dirincikan dengan jelas dalam
perjanjian perkawinan yang bersangkutan, atau dalam suatu laporan
yang ditandatangani suami-isteri dihadapan Notaris, dilampirkan dalam
perjanjian perkawinan yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam
Pasal 165 KUH Perdata.
b. Persatuan hasil dan pendapatan (gemeesnschap van vruchten en
inskomsten) sebagaimana diatur dalam Pasal 164 sampai dengan Pasal
167 KUH Perdata
Pada prinsipnya persatuan hasil dan pendapatan hampir sama
dengan persatuan untung rugi. Namun termasuk di dalam persatuan hasil
dan pendapatan adalah hibah dan hibah wasiat yang diterima oleh suami
dan isteri pada saat perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan
seperti ini tidak ada yang menggunakan sehingga ketentuan ini hampir
merupakan huruf-huruf mati.
Berdasarkan ketentuan Pasal 164 KUH Perdata, maka dalam
perjanjian ini hanya berlaku apa pada persatuan untung dan rugi
dianggap sebagai keuntungan menjadi percampuran tetapi
penanggungan kerugian bersama, adalah sama sekali tidak ada. Kerugian
hanya menjadi tanggungan suami. Isteri bertanggung jawab atas hutang-
hutang yang timbul dari pihaknya.
Pada pemecahan isteri juga dapat melepaskan percampuran, tetapi
hal ini tidak mempunyai banyak arti, karena dengan tidak usah
melepaskan percampuran isteri juga tidak ikut membayar dengan harta
pribadinya apabila ada kerugian. Dalam perjanjian ini juga ada 3 (tiga)
macam harta kekayaan, yaitu harta pribadi suami, harta pribadi isteri dan
harta persatuan.
Sebagian besar ahli hukum berpendapat bahwa kebersamaan
tersebut dalam kebanyakan hal adalah sama dengan kebersamaan
untung dan rugi. Perbedaannya adalah apabila kebersamaan tersebut
menunjukkan kerugian (saldonya negatif), maka suamilah yang
mengurus kebersamaan itu. Artinya bahwa suamilah yang memikul
seluruh kerugian (saldo negatif). Apabila kebersamaan itu menunjukkan

Diktat Hukum Perkawinan


151
keuntungan, maka keuntungan tersebut harus dibagi rata antara suami
isteri.
Dalam KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian perkawinan mulai
berlaku antara suami isteri pada saat pernikahan telah ditutup dimuka
Pegawai Pencatatan Sipil, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 147 Ayat
(2), yang berbunyi: “Perjanjian itu mulai berlaku pada saat perkawinan
dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu”.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas, maka orang tidak
diperbolehkan menyimpang dari peraturan tentang saat mulai
berlakunya perjanjian perkawinan tersebut. Dan juga tidak
diperbolehkan menggantungkan perjanjian perkawinan pada suatu
kejadian yang terletak di luar kekuasaan manusia, sehingga terdapat
suatu keadaan yang meragukan bagi pihak ketiga, misalnya suatu
perjanjian bahwa antara suami-istri akan berlaku persatuan untung dan
rugi jika dari perkawinan mereka dilahirkan seorang anak laki-laki.
Berdasarkan ketentuan Pasal 147 KUH Perdata, dimana perjanjian
perkawinan berlaku saat perkawinan ditutup dimuka pegawai
pencatatan sipil. Maka perjanjian perkawinan tersebut berlaku selama
perkawinan tersebut masih berlangsung, kecuali ada kesepakatan
dikemudian hari untuk menggabungkan harta kekayaan dari perkawinan
yang disepakati oleh suami isteri yang membuat perjanjian perkawinan
tersebut. Perjanjian perkawinan tersebut tetap berlaku sampai
perkawinan yang dilakukan berakhir atau suami isteri bercerai.
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata,
Undang-Undang Perkawinan mengatur sesuai pola yang dianut hukum adat
maupun hukum Islam, yaitu harta bawaan (harta pribadi) dan harta yang
diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dikuasai oleh masing-masing
suami isteri, sedangkan yang menjadi harta bersama hanya harta benda
yang diperoleh selama perkawinan.
Melalui perjanjian perkawinan, calon suami dan calon isteri dapat
menyimpangi ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan bila dikehendaki
dapat membuat perjanjian percampuran harta pribadi. Hal ini dapat
dipertegas kembali dalam bentuk sebagai berikut:

Diktat Hukum Perkawinan


152
1. Seluruh harta pribadi, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun
selama perkawinan berlangsung.
2. Hanya terbatas pada harta pribadi saat perkawinan dilangsungkan (harta
pribadi yang diperoleh selama selama perkawinan tetap menjadi milik
masing-masing) atau sebaliknya, percampuran harta benda pribadi
hanya saat perkawinan berlangsung (harta bawaan atau harta pribadi
sebelum perkawinan dilangsungkan menjadi milik masing-masing).
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam KHI, perjanjian perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 45
yang dinyatakan bahwa:
“Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian dalam bentuk:
(1) Taklik talak; dan
(2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”.
Perjanjian perkawinan lain yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 47 KHI yang berbunyi sebagai
berikut:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai
Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam Ayat (1) dapat meliputi percampuran harta
pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
(3) Disamping ketentuan dalam Ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.
Taklik talak sebagai suatu bentuk dari perjanjian perkawinan tidak
disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan. Tetapi KHI mengaturnya sebagai salah satu bentuk perjanjian
perkawinan. Selain bentuk perjanjian perkawinan berupa taklik talak, KHI
juga mengatur tentang bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian, sebagaimana
diatur dalam Pasal 47 KHI.

Diktat Hukum Perkawinan


153
Pada dasarnya isi perjanjian kawin dapat mengatur penyelesaian dari
berbagai permasalahan yang muncul dalam suatu perkawinan.
Permasalahan yang sering muncul dalam suatu perkawinan antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Pemisahan harta kekayaan
Pemisahan harta kekayaan harus dibuat sebelum dilangsungkannya
perkawinan karena setelah perkawinan dilangsungkan tidak bisa lagi
membuat pemisahan harta. Semua harta akan menjadi harta bersama
(gono-gini/harta pencaharian bersama), yaitu harta yang diperoleh
selama masa perkawinan. Terhadap harta yang telah ada sebelum
perkawinan berlangsung tetap berada di bawah penguasaan masing-
masing pihak.
Namun dalam rangka proses perceraian ingin memisahkan harta
ada kemungkinan untuk membuat perjanjian pembagian harta. Pada
asasnya dalam perjanjian perkawinan bisa dicapai kesepakatan tentang
tidak adanya percampuran harta penghasilan atau berbagai aset, baik
selama perkawinan atau karena putusnya perkawinan karena peristiwa
perceraian ataupun kematian salah satu pasangan.
2. Pemisahan utang
Perjanjian perkawinan juga dapat mengatur permasalahan utang
yang akan tetap menjadi tanggung jawab dari pihak yang membawa atau
membuat utang tersebut. Utang tersebut adalah utang yang terjadi
sebelum masa perkawinan atau setelah perceraian ataupun setelah
kematian salah satu pasangan.
3. Nafkah terhadap keluarga
Perjanjian perkawinan juga dapat mengatur tanggung jawab
terhadap anak-anak yang dilahirkan, terutama mengenai nafkah hidup
dan biaya pendidikan anak-anak. Khusus mengenai hal ini orang tua
dapat mengaturnya sesuai dengan kontribusi masing-masing orang tua
demi kesejahteraan anak.
4. Taklik Talak
Taklik talak adalah penggantungan talak. Dalam hukum Indonesia
dipahami sebagai semacam ikrar dimana seorang suami
menggantungkan terjadinya suatu talak atas isterinya apabila ternyata
dikemudian hari melaksanakan salah satu atau semua hal yang telah

Diktat Hukum Perkawinan


154
diikrarkannya. Taklik talak sebagai suatu perjanjian perkawinan hanya
diatur dalam KHI dan diucapkan atau dibacakan setelah akad
pernikahan. Untuk sighat (lafaznya) sudah diatur dalam Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990.
Adapun sighat taklik talak yang diucapkan oleh suami sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Sesudah akad nikah, maka saya ….. bin ….. berjanji dengan sesungguh
hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai sebagai seorang
suami dan akan saya pergauli isteri saya bernama ….. binti ….. dengan
baik (mu’asyarah bilma’ruf) menurut ajaran syariat Islam. Selanjutnya
saya membaca sighat taklik atas isteri saya sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1) Meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut;
(2) Atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan
lamanya;
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya;
(4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam)
bulan lamanya, kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan
halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar
uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh
(pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan Pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima
uang iwadh itu dan kemudian menyerahakan kepada Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Cq Direktorat Urusan Agama
Islam dan Pembinaan Syariah untuk keperluan ibadah sosial.

Perjanjian perkawinan yang telah dibuat secara sah mengikat dan


berlaku sebagai undang-undang bagi suami dan isteri. Penghormatan
terhadap suatu perjanjian hukumnya wajib, apabila perjanjian tersebut
berpengaruh positif peranannya sangat besar dalam memelihara
perdamaian dan sangat penting (urgen) dalam mengatasi kemusykilan,
menyelesaikan perselisihan dan menciptakan kerukunan. Jumhur ulama
berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk
perjanjian itu hukumnya adalah wajib, bahkan syarat-syarat yang berkaitan
dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan, sebagaimana hadis
Nabi dari ‘Ubah bin ‘Amir yang artinya: “Syarat-syarat yang paling layak
untuk dipenuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan”.

Diktat Hukum Perkawinan


155
Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian dan
terikatnya dengan kelangsungan perkawinan tergantung kepada bentuk
persyaratan yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini jumhur ulama
membagi syarat itu menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:
Pertama: syarat-syarat yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan
kewajiban suami isteri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dari
perkawinan itu sendiri. Umpamanya, suami isteri bergaul secara baik, suami
memberi nafkah untuk anak dan isterinya, isteri melayani kebutuhan
seksual suaminya dan suami isteri mesti memelihara anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Kedua: syarat-syarat yang bertentangan dengan
hakikat perkawinan atau yang secara khusus dilarang untuk dilakukan atau
memberi mudharat kepada pihak-pihak tertentu. Umpamanya, suami atau
isteri mempersyaratkan tidak akan beranak, isteri mempersyaratkan suami
untuk menceraikan isteri-isteri yang lebih dahulu, suami mempersyaratkan
dia tidak akan membayar mahar atau nafkah dan suami meminta isterinya
mencari nafkah secara tidak halal, seperti melacur. Ketiga: syarat-syarat
yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak ada larangan secara
khusus namun tidak tuntunan dari syara’ untuk dilakukan. Umpamanya,
isteri mempersyaratkan bahwa suaminya tidak akan memadunya, hasil
pencaharian dalam rumah tangga menjadi milik bersama.
Pihak yang terlibat atau yang berjanji dalam perjanjian perkawinan
wajib memenuhi apa yang diperjanjikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Q.S. Al-Maidah Ayat 1, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman
penuhilah janji yang kamu janjikan” dan Q.S. Al-Isra Ayat 34, yang artinya:
“Dan penuhilah janji-janjimu karena janji itu suatu yang harus dipertanggung
jawabkan”. Meskipun syarat dan perjanjian itu harus dipenuhi, namun bila
syarat tersebut melanggar syara’ tidak wajib dipenuhi.
Namun bila pihak yang berjanji tidak memenuhi persyaratan tersebut
tidak menyebabkan perkawinan dengan sendirinya batal. Risiko dari tidak
memenuhi persyaratan ini adalah adanya hak bagi pihak yang dirugikan
untuk menuntut suaminya di pengadilan untuk batalnya perkawinan.
Posisi perjanjian pranikah sebelum melangsungkan perkawinan lebih
kuat dari pada peraturan-peraturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena perjanjian perkawinan tersebut

Diktat Hukum Perkawinan


156
dapat melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Apabila terjadi
sengketa dan perceraian diantara keduanya, maka perjanjian pranikah
dapat dijadikan pegangan untuk penyelesaiannya. Bahkan apa yang telah
diatur oleh Undang-Undang Perkawinan bisa batal oleh adanya perjanjian
pranikah.
Menurut Muhammad Afandhi Nawawi, perjanjian pranikah sangat
berkaitan dengan 2 (dua) konsekuensi hukum, berkaitan dengan suatu
perkawinan, yaitu tentang status anak sebagai buah dari perkawinan dan
harta. KUH Perdata tidak membedakan antara harta bawaan dengan harta
bersama, semuanya dianggap sebagai harta yang tunduk pada hukum
perkawinan (huwelijksvermogensrecht). Ketika berbicara dalam konteks
pemberdayaan perempuan, maka perjanjian pranikah dapat dijadikan
sebagai sarana perlindungan bagi perempuan dari berbagai kemungkinan
terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Disamping hal tersebut
sebaiknya dalam perjanjian pranikah juga harus dicantumkan dan
dipertimbangkan persoalan poligami, mahar, keuangan, perceraian dan
menempuh pendidikan.
Dalam praktik tidak selamanya para pihak akan mematuhi isi
perjanjian perkawinan yang telah disepakati. Apabila terjadi sengketa
diantara para pihak mengenai isi perjanjian perkawinan, maka hal ini perlu
diatur pada pasal terakhir dalam akta perjanjian perkawinan. Dalam pasal
terakhir tersebut disebutkan bahwa “tentang akta ini dengan segala akibat
dan pelaksanaannya, para pihak telah memilih tempat tinggal hukum yang
umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri dalam perkawinan
dilangsungkan atau dilakukan pilihan hukum (choice of law).
Tidak dipenuhinya isi perjanjian yang telah disepakati oleh salah satu
pihak mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Adapun unsur-unsur dari
wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan;
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat; dan

Diktat Hukum Perkawinan


157
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian yang tidak boleh
dilakukannya.
Adapun implikasi hukum jika salah satu pihak tidak mematuhi atau
memenuhi isi perjanjian perkawinan yaitu sebagai berikut:
1. Menurut KUH Perdata pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
gugatan, baik tuntutan pelaksanaan perjanjian maupun tuntutan ganti
rugi kepada Pengadilan Negeri.
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan pihak yang dirugikan dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Menurut KHI apabila terjadi pelanggaran atas perjanjian perkawinan
memberikan hak kepada isteri untuk mengajukan keberatannya dan dapat
dipergunakan sebagai alasan gugatan perceraian atau pembatalan nikah ke
Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 KHI. Hal ini adalah
sebagai bentuk hukuman bagi bagi suami yang melanggar isi perjanjian
perkawinan yang telah disepakati.

Diktat Hukum Perkawinan


158
BAB X
HAK DAN KEDUDUKAN ANAK DAN ORANG TUA

A. Pengertian Anak
Definisi mengenai anak banyak ditemui dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah anak, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Undang-Undang 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, memberikan
definisi: “Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-
dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya”.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
memberikan definisi: “Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri
dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara
utuh, serasi, selaras dan seimbang.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
memberikan definisi: “Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya”.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan
Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, memberikan definisi: “Anak
adalah sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam
pembangunan bangsa dan Negara”.

B. Hak, Kewajiban dan Kedudukan Anak


Secara garis besar hak anak terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Untuk Jangka Panjang
Hak untuk jangka panjang adalah hak untuk beragama tauhid, orang
tua wajib mengasuh anak-anaknya agar dapat hidup lebih baik, selamat dan

Diktat Hukum Perkawinan


159
sejahtera serta bahagia baik di dunia maupun akhirat. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Tahrim ayat (6), artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

2. Untuk Jangka Pendek


Hak untuk jangka pendek adalah hak anak untuk hidup yang lebih
baik, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al-Baqarah ayat
233, artinya:
Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dausa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dausa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Kewajiban tersebut tetap berlaku baik saat ibu masih dalam ikatan
perkawinan maupun ibu telah bercerai dari suaminya.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, maka setiap orang tua mempunyai
kewajiban terhadap anaknya sesuai dengan tingkatan kadar
kemampuannya, yaitu memelihara, mengasuh, mendidik, menjaga dan
melindunginya. Sehubungan dengan hak-hak yang harus didapatkan oleh
seorang anak, Abdur Rozak Husein mengemukakan hak-hak anak adalah
sebagai berikut:
a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.

b. Hak anak dalam kesucian keturunannya.

c. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik.

d. Hak anak dalam menerimam susuan.

Diktat Hukum Perkawinan


160
e. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan, dan pemeliharaan.
f. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau kewarisan demi
kelangsungan hidupnya.
g. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Dalam rangka untuk melindungi kepentingan dan hak-hak seorang


anak, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak khususnya pada Bab III mengenai Hak dan Kewajiban Anak, mulai
ketentuan Pasal 3 sampai dengan Pasal 19. Hak-hak anak tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (Pasal 3);
2. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4);
3. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan (Pasal 5);
4. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua (Pasal 6).
5. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam
keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat
sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7);
6. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8);

Diktat Hukum Perkawinan


161
7. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya. Selain ain hak anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9);
8. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan (Pasal 10);
9. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat,dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal
11);
10. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12);
11. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan,
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau
pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman
(Pasal 13);
12. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan
itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir (Pasal 14);
13. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan
dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan
dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan. (Pasal 15);
14. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak

Diktat Hukum Perkawinan


162
berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16);
15. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan
hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17);
16. Setiap anak yang menjadi korban dari pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18); dan
17. Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru;
mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah
air, bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran
agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19).
Mengenai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak diatur dalam
ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang bunyi selengkapnya sebagai berikut:
1. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal
20);
2. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati
dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak,
urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
3. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak
(Pasal 22);

Diktat Hukum Perkawinan


163
4. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan
kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua,
wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak
(Pasal 23);
5. Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya
dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan
anak (Pasal 24);
6. Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25);
7. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak
diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat beralih
kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 26);
Mengenai dengan kedudukan anak diatur mulai dari ketentua Pasal 27
sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang bunyi selengkapnya sebagai berikut:
1. Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang
dituangkan akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat
keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses
kelahiran. Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan
orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran
untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang
menemukannya (Pasal 27);
2. Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam
pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat
kelurahan/desa dan harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari dari
terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan tidak dikenai biaya.
Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran

Diktat Hukum Perkawinan


164
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-
undangan (Pasal 28);
3. Anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran antara warga negara
Republik Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau
ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan
putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang
tuanya. Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarga
negaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas
permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarga
negaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut (Pasal 29).
Hubungan yang kokoh dan kuat dari hubungan pertalian darah oleh
hukum syari’at menimbulkan hak dan kewajiban antara anak dan orang tua.
Adanya hubungan nasab antara diantara orang tua dan anak, maka
menimbulkan hak-hak atas orang tua anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam
Aris Bintania mengatakan ada 5 (lima) macam hak anak terhadap orang
tuanya, yaitu: hak nasab (keturunan), hak radla’ (menyusui), hak hadlanah
(pemeliharaan), hak walayah (perwalian), dan hak alimentasi (nafkah). Dengan
terpenuhinya kelima macam hak ini maka orang tua akan mampu
mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri.
Kelima hak seperti tersebut di atas dapat diberikan pengertian lebih
lanjut sebagai berikut:
a. Hak Radla’ (menyusui), yaitu hak anak untuk mendapatkan pelayanan
makanan pokoknya dengan jalan menyusu pada ibunya. Dalam masa
menyusui tersebut yang paling bertanggung jawab terhadap
pembiayaannya adalah kerabat terdekat yang memeliki garis nasab, yang
mana dalam hal ini adalah ayahnya;
b. Hak Hadlanah (pemeliharaan) yaitu untuk menjaga, mengasuh atau
mendidik bayi atau anak kecil sejak dia lahir sampai mampu menjaga dan
mengatur dirinya sendiri.

Diktat Hukum Perkawinan


165
c. Hak Walayah (perwalian) yaitu tugas perwalian selain mengandung
pengertian pada saat melangsungkan pernikahan juga meliputi tugas
pemeliharaan atas diri anak sejak berakhir periode hadlanah sampai si
anak berakal, atau sampai menikah bagi anak perempuan dan perwalian
dalam perihal harta benda. Dalam hukum Islam, perwalian bagi anak
terbagi ke dalam 3 (tiga) hal, yaitu: Perwalian dalam pemeliharaan dan
pendidikan anak, perwaalian harta dan perwalian dalam pernikahan.
d. Hak Nafaqah, yaitu hak anak yang berhubungan langsung dengan nasab.
Begitu anak lahir maka hak nafkahnya sudah mulai harus dipenuhi. Hak
nafkah ini saling terkait dengan masing-masing hak di atas.
Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Anak memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebankan tanggung
jawab terhadap anak-anaknya. Jika digolongkan maka hak anak dapat
digolongkan dalam 4 (empat) kelompok besar, yaitu hak untuk hidup, hak
untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapat perlindungan dan hak
untuk berpartisipasi.
Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut agama Islam,
akan mempunyai hak dan kewajiban terhadap orang tua yang melahirkan
walaupun kedua orang tuanya telah bercerai. Suatu perceraian tidak berakibat
hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-
anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri. Namun demikian semua itu
sangat tergantung dari sikapkedua orang tuanya, apakah mereka tetap
mempunyai keinginan untuk memenuhi kewajibannya saat kedua suami isteri
tersebut telah bercerai. Semuanya dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah dan mendasarkan kepada pemahaman agama dan terpulang
kepada hati nurani masing-masing untuk menyadari bahwa masih terdapat
anak-anak yang membutuhkan kasih sayang orang tuanya.
Hukum positif bidang perkawinan di Indonesia membedakan antara
keturunan yang sah dan keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah
didasarkan kepada perkawinan yang sah. Sedangkan keturunan yang tidak sah
adalah keturunan yang tidak didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, atau
lazimnya orang sering menyebutnya dengan anak luar kawin. Riduan Syahrani
mengatakan bahwa ”anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah
bukan anak yang sah, sehingga dengan demikian membawa konsekuensi

Diktat Hukum Perkawinan


166
dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

C. Hubungan Hukum antara Orang Tua dengan Anak


Anak sebagai hasil suatu perkawinan merupakan komponen yang sangat
penting dalam suatu keluarga. Dalam pandangan agama Islam anak yang
dilahirkan yang proses penciptaannya adalah melalui media perkawinan
antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Di dalam Al-Qur’an, anak
sering disebut dengan kata walad-awlad yang berarti anak yang dilahirkan
orang tuanya, baik laki-laki atau perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun
banyak. Oleh karena itu jika anak belum dilahirkan maka belum dapat disebut
sebagai al-walad atau al-mawlud tetapi disebut dengan al-janin yang berarti al-
mastur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di rahim ibu.
Kata al-walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan
keturunan. Sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah dan
ibu kandung. Berbeda dengan kata ibn yang tidak mesti menunjukkan
hubungan keturunan dan kata ab tidak mesti berarti ayah kandung.
Seorang anak yang sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah
antara bapak dan ibunya. Sahnya seorang anak di dalam pandangan Islam
adalah menentukan ada atau tidaknya hubungan nasab kebapakan dengan
seorang laki-laki. Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak
ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia semata. Namun ditentukan
oleh kehendak Allah SWT melalui media perkawinan antara bapak dan ibunya.
Anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan adalah amanah Allah SWT
kepada setiap orang tua. Dengan demikian setiap orang tua harus memiliki
tanggung jawab dalam mengasuh, mendidik, dan memenuhi segala kebutuhan
hidupnya sampai anak dewasa. Menurut hukum perkawinan Islam anak baru
dianggap sah dan mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya bila
perkawinan perempuan hamil yang mana usia kandungannya minimal 6
(enam) bulan sejak perkawinan resminya. Di luar ketentuan tersebut maka
anak dianggap sebagai anak tidak sah atau anak zina, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soedaryo Soimin:
Dalam hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam
bulan (177 hari) semenjak pernikahan orang tuanya. Tidak perduli
apakah anak itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam
perkawinan ataukah sudah berpisah karena wafatnya si suami, atau
karena perceraian dimasa hidupnya. Dan jika anak itu lahir sebelum

Diktat Hukum Perkawinan


167
genap jangka waktu 177 hari maka anak itu hanya sah bagi ibunya. Di
luar ketentuan itu adalah anak dianggap anak tidak sah atau anak zina.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa status anak


hasil dari perempuan hamil menurut hukum perkawinan Islam adalah apabila
anak tersebut lahir sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dari perkawinan yang
sah kedua orang tuanya, maka anak tersebut adalah anak sah dan dapat
dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Namun apabila anak tersebut
dilahirkan kurang dari jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dari perkawinan
yang sah kedua orang tuanya maka anak tersebut adalah anak tidak sah dan
tidak dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya. Anak seperti ini hanya
mempunyai hubungan nasab kepada ibunya saja.
Menurut pendapat Aswadi Syukur dikatakan bahwa: ”Para fuqaha
menetapkan suatu tenggang waktu kandungan yang terpendek adalah 180
(saratus delapan puluh) hari. Seluruh mazhab fiqh, baik mazhab Sunni atau
Syi’ah sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah 6 (enam) bulan”.
Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, dalam hukum Islam
seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan
oleh isterinya adalah bukan anaknya selama pihak suami dapat
membuktikannya. Untuk menguatkan penolakan tersebut, maka suami harus
dapat membuktikan hal-hal sebagai berikut:
a. Suami belum pernah menjima’ isterinya, namun isteri tiba-tiba melahirkan
anak;
b. Lahirnya anak itu adalah kurang dari 6 (enam) bulan sejak menjima’
isterinya sedangkan bayi yang dilahirkan seperti bayi yang telah cukup
umurnya.
c. Bayi lahir sesudah lebih dari umur 4 (empat) tahun dan isteri tidak dijima’
oleh suaminya.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia status hukum anak hasil dari
perkawinan perempuan hamil adalah anak yang sah karena baik dalam KUH
Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat atau dalam
perkawinan yang sah tanpa melihat usia kandungan. Perkawinan sah yang
dimaksudkan di sini adalah perkawinan yang dicatat pada instansi negara yang
berwenang KUA Kecamatan atau Kantor Catatan Sipil.

Diktat Hukum Perkawinan


168
Menurut J. Satrio, hukum perkawinan di Indonesia membedakan antara
anak yang sah dan anak yang tidak sah. Anak yang sah didasarkan atas adanya
perkawinan yang sah dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang lain
berdasarkan kelahiran atau akibat perkawinan yang sah, maka anak-anak yang
demikian disebut anak sah. Sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang
tidak didasarkan atas suatu perkawinanyang sah, dan orang menyebut anak
yang demikian ini adalah anak luar kawin.
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang dilaksananakan sesuai dengan tata cara
agama dan kepercayaan yang dianut dan dicatat oleh instansi negara yang
berwenang. Dengan demikian maka anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri
walaupun pelaksanaan perkawinannya memenuhi ketentuan agama serta
mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum Islam tetapi tidak dicatatkan
kepada instansi pencatatan negara maka dianggap sebagai anak luar kawin
yang tidak mendapatkan hak-hak seperti halnya dengan anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hak-hak yang tidak akan didapatkan adalah masalah
keperdataan yang berkaitan dengan status dan hubungan dengan ayah
biologisnya.
Menurut Satria Efendi Sehubungan dengan hak asuh orang tua, terdapat
2 (dua) periode perkembangan anak, yaitu periode sebelum mumayyiz yaitu
periode anak belum dapat membedakan antara yang bermanfaat dan
berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur 7 (tujuh) atau 8 (delapan)
tahun. Bahkan menurut KHI sampai berusia 12 (dua belas) tahun dan sesudah
mumayyiz. Dengan demikian sebelum anak mumayyiz maka isteri (ibu) lebih
berhak atas pengasuhan anak karena ibu lebih mengerti tentang kebutuhan
anak dengan kasih sayangnya apalagi dalam usia tersebut seorang anak sangat
membutuhkan kedekatan dengan ibunya.
Ketika anak sudah menjelang dewasa (baligh) seorang anak sudah dapat
memilih dan memutuskan apakah hidup bersama bapak atau ibunya. Namun
demikian dalam situasi dan kondisi tertentu ketika pilihan anak tidak
menguntungkan bagi kehidupan anak, maka demi kepentingan anak hakim
dapat merubah putusan dan menentukan mana yang lebih maslahat bagi anak.

Diktat Hukum Perkawinan


169
Sander Diki Zulkarnain mengatakan, salah satu hal terpenting dan
melekat dalam diri anak adalah Akta Kelahiran. Dewasa ini Akta Kelahiran
menjadi menjadi bahan perbincangan global dan sangat asasi disebabkan
menyangkut identitas diri dan penentuan status kewarganegaraan. Di samping
hal tersebut Akta Kelahiran merupakan hak identitas seorang anak sebagai
perwujudan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Akta Kelahiran bersifat universal karena terkait
dengan pengakuan negara terhadap status keperdataan seseorang. Bila
seorang anak yang dilahirkan tidak terdaftar identitasnya maka di kemudian
hari akan menghadapi berbagai persoalan, baik itu dengan negara, pemerintah
dan masyarakat. Dalam perspektif Konvensi Hak Anak maka negara harus
memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap anak dan terjaminnya
perlindungan atas keberlangsungan tumbuh kembang anak.
Eksistensi dan posisi anak di dalam perundang-undangan nasional antara
lain dapat ditemukan dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan
bahwa: ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Di samping itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara,
memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum.
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya,
anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya
nama si ayah, akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis
bagi si anak dan ibunya. Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa
anak tersebut bukan anak kandungnya. Hal yang jelas-jelas sangat merugikan
adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan
warisan dari ayahnya.
Perkawinan di bawah tangan dapat menimbulkan dampak negatif,
mengkhawatirkan atau merugikan, kecuali jika kemudian perempuan tersebut
melakukan perkawinan yang sah. Anak hasil perkawinan di bawah tangan

Diktat Hukum Perkawinan


170
dianggap anak tidak sah, apabila terjadi perkawinan sah anak hanya diakui.
Sedangkan anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah tangan dikatakan
anak yang disahkan karena hanya ada pengakuan dari ayah anak tersebut dan
harus disertai putusan pengadilan. Dengan demikian, akibat hukum tidak
dicatatnya perkawinan, maka perkawinan dianggap tetap sah. Sehingga meski
perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata
negara perkawinan tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum jika
belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

D. Kewajiban Orang Tua Menurut Hukum Islam


Ikatan kekeluargaan dapat menimbulkan berbagai hubungan, orang yang
satu di wajibkan untuk memeliharaan atau alimentasi terhadap orang yang lain.
Apabila perkawinan melahirkan anak, maka kedudukan anak serta bagaimana
hubungan antara orang tua dengan anaknya itu menimbulkan persoalan
sehingga memang dirasakan adanya aturan-aturan hukum yang mengatur
tentang hubungan antara mereka. Menurut RI Suharhin, disebutkan bahwa
demi pertumbuhan anak yang baik orang tua harus memenuhi kebutuhan
jasmani seperti makan, minum, tidur, kebutuhan keamanan dan perlindungan
kebutuhan untuk di cintai orang tuanya, kebutuhan harga diri (adanya
penghargaan) dan kebutuhan untuk menyatakan diri baik, secara tertulis
maupun secara lisan. Selain itu M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pemeliharaan anak adalah :
1. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan
yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak.
2. Pemeliharaan yang berupa pengawasan, pelayanan serta pencukupan
nafkah anak tersebut adalah bersifat kontinyu (terus menerus) sampai
anak itu dewasa.
Pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam
kedudukan yang mulia, Anak mendapat kedudukan dan tempat yang istimewa
dalam Nash Al-Qur’an dan Al Hadits, Oleh karena itu, anak dalam pandangan
Islam harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran,
keterampilan dan akhakrul karimah agar anak itu kelak bertanggung jawab

Diktat Hukum Perkawinan


171
dalam menyosialisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa
depan.
Dalam pandangan Islam anak adalah titipan Allah SWT Kepada orang tua,
masyarakat, bangsa, negara sebagai pewaris dari ajaran Islam, Pengertian ini
memberikan hak atau melahirkan hak yang harus diakui, diyakini dan
diamankan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 31
yang artinya dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Inilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga
kepadamu, sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang amat
besar.
Masalah anak dalam pandangan Al-Qur’an menjadi tanggung jawab
kedua orang tuanya yaitu tanggung jawab syariat islam yang harus diemban
dalam kehidupan berumah tangga, masyarakat bangsa dan negara sebagai
suatu yang wajib. Ajaran islam meletakkan tanggung jawab dimaksud pada dua
aspek yaitu: Pertama, aspek duniawiyah yang meliputi pengampunan dan
keselamatan di dunia kedua, aspek ukhrawiyah yang meliputi pengampunan
dan pahala dari tanggung jawab pembinaan, pemeliharaan dan pendidikan
diatas dunia.
Jika diperhatikan pengertian kesejahteraan dalam aspek duniawiyah
tersebut di sini termasuk di dalamnya tentang biaya nafkah anak biaya nafkah
anak, tidak hanya menyangkut biaya sandang, pangan, dan tempat tinggal anak
semata, akan tetapi juga biaya pendidikan anak. Pendidikan ini penting
disebabkan dalam ajaran Islam anak merupakan generasi pemegang tongkat
estafet perjuangan dan khalifah di muka bumi.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam memuat hukum material tentang perkawinan,
kewarisan dan wakaf yang merumuskan secara sistematis hukum di Indonesia
secara konkret, maka untuk itu dalam hal ini perlu dirujuk mengenai
ketentuan-ketentuan dalam kompilasi hukum Islam yang mengatur tentang
kewajiban orang tua terhadap anak. Dalam Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa:
(1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.

Diktat Hukum Perkawinan


172
(2) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.

Pasal 81 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa suami wajib


menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya. Dalam Pasal 98
tentang pemeliharaan anak, ditegaskan pula bahwa:
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua
puluh satu) tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
didalam maupun di luar pengadilan.
3. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.

E. Kewajiban Orang Tua Menurut Undang-Undang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal


30 menyebutkan bahwa: “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat”. Selanjutnya dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 1 berlaku
sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Selanjutnya dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut:


(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan.

Diktat Hukum Perkawinan


173
Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut akan tetapi orang tua tidak
dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak hal tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, sebagai berikut:
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih
berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

Diktat Hukum Perkawinan


174
BAB XI
PERKAWINAN CAMPURAN

A. Perkawinan Antara Orang-Orang Berbeda Agama


Dalam kepustakaan hukum Indonesia, istilah perkawinan campuran
mempunyai arti yang luas. Ke dalamnya juga termasuk perkawinan antara
orang-orang yang berlainan kewarganegaraan, tempat, golongan, dan agama
sehingga berlainan pula hukum yang mengatur perkawinan mereka.
Sementara itu yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah
perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda keyakinan atau
berbeda agamanya atau berbeda kebangsaannya (asal keturunannya) atau
kewarganegaraan.29 Akan tetapi penjelasan tentang hukum perkawinan pria
muslim dengan wanita non muslim telah sepakat ulama mengatakan bahwa
bagi seorang pria muslim haram mengawini wanita non muslim dari bangsa
Arab yang sewaktu turunnya Al Qur’an mereka tetap menyembah berhala
Perkawinan campuran yang dimaksudkan di sini adalah perkawinan
campuran dalam arti yang sempit, yaitu perkawinan antara dua orang (laki-
laki dan perempuan) yang tunduk kepada hukum yang berlainan karena
perbedaan keyakinan atau agama. Dalam berbagai kepustakaan dan media
massa perkawinan campuran sering disebut dengan perkawinan antar agama.
Penyebutan perkawinan antar agama untuk perkawinan antara orang-orang
yang berbeda agama adalah sesuatu yang salah, karena tidak mungkin ada
perkawinan antar agama. Misalnya perkawinan agama Islam dengan agama
Nasrani, meskipun kedua agama tersebut termasuk ke dalam katagori agama
samawi, yaitu agama yang diturunkan dari langit, namun dalam perkembangan
kemudian akidahnya menjadi sangat berbeda. Agama Islam sebagai agama
samawi terakhir yang ajarannya berisi tentang keesaan Allah SWT sebagai
contoh tetap tidak berubah-ubah, tauhidnya tetap murni dan konsekuen
dipahami, dipelihara dan dijalankan oleh pemeluk-pemeluknya, yaitu kaum
muslimin dan muslimat di seluruh penjuru dunia.

Diktat Hukum Perkawinan


175
Menurut Muhammad Daud Ali, penyebutan yang salah terhadap
perkawinan antar agama disebabkan karena perkataan interreligious marriage
(Inggris) atau interreligious huwelijk (Belanda) diterjemahkan secara langsung
ke dalam bahasa Indonesia. Perkataan interreligious marriage atau
padanannya yang lain dalam bahasa eropa mungkin sesuai dengan keadaan
dalam masyarakat Kristen di Eropa dan Amerika, misalnya yang mempunyai
satu kitab dan dipersatukan dalam satu tubuh, walaupun terbagi ke dalam dua
agama, yaitu agama Katolik dan agama Protestan.
Agama Kristen menerima sepenuhnya paham yang memisahkan agama
dengan negara karena sesuai dengan ajarannya dan sebagai akibat logisnya
memerima pula pemisahan hukum agama (gereja) dengan hukum negara
dengan wilayah pemberlakuannya masing-masing. Ajaran yang memisahkan
agama (gereja) dengan negara, hukum agama atau hukum yang dibuat gereja
dengan hukum negara, yaitu hukum yang dibuat dengan cara tertentu sesuai
dengan Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan dengan sadar dan
sistematis atau sering disebut dengan sekulerisme. Paham sekuler
mengajarkan antara lain pada manusia untuk hal-hal sebagai berikut: (1) Tidak
percaya kepada Tuhan; (2) Tidak percaya pada (isi) kitab suci; (3) Tidak
percaya pada adanya hari akhir tempat dimana manusia mempertang
gungjawabkan semua sikap dan perbuatannya semasa hidup di dunia. Dewasa
ini sekulerisme telah menjadi ideologi yang membentuk sistem nilai sendiri
yang dianggap mutlak dan benar.
Paham sekulerisme di atas dengan adanya dukungan paham individu
(individualisme) mengembangkan antroposentris (antrophocentric) yang
memusatkan segala-galanya pada manusia yang kemudian melahirkan hak-hak
asasi manusia yang dipahami secara berlebihan dengan melupakan sisi
lainnya, yaitu kewajiban asasi manusia, baik terhadap Tuhan yang
menciptakannya maupun terhadap masyarakat dan lingkungan hidupnya.

Diktat Hukum Perkawinan


176
1. Perkawinan Antara Orang-orang Berbeda Agama Menurut Hukum
Agama
Menurut agama yang ada dan diakui eksistensinya di negara Indonesia,
pada hakikatnya berpendapat bahwa perbedaan agama merupakan halangan
bagi laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan secara sah.
Sebagai contoh kita bisa mengambil agama Islam, Katolik dan Protestan yang
pemeluknya relatif banyak di negara kita. Berikut akan diuraikan pandangan
beberapa agama yang dianut di Indonesia mengenai perkawinan berbeda
agama.
a. Agama Islam
Dalam Islam, laki-laki dan perempuan muslim dilarang menikah dengan
perempuan dan laki-laki musyrik dan kafir. Larangan Islam ini berdasarkan
pernyataan dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221, yang artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin itu lebih baik daripada wanita
musyrik, walaupun walaupun wanita musyrik itu sungguh menggiurkan
hatimu…

Sebab turunnya ayat di atas berkenaan dengan Kannaz bin Hasin Al-
Ghanawi yang diutus Rasulullah SAW ke Mekkah dengan membawa sebuah
misi. Di Mekkah Kannaz bin Hasin Al-Ghanawi mengenal seorang perempuan
bernama ‘Anaz yang sangat dicintainya semenjak zaman Jahiliyah pra Islam
pra Islam. Kannaz datang menemui ‘Anaz dan memberitahu kepadanya bahwa
Islam melarang apa pun yang biasanya dilakukan di zaman jahiliah, lantas si
perempuan tadi menjawab; ”Kalau begitu, kawinilah aku”. Kannaz
menjawab;”Terlebih dahulu aku meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW”.
Dan setelah bertemu dengan Rasulullah, kemudian Kannaz menceritakan
semuanya apa yang telah dialami semasa di Mekkah dan Nabi menjawab;”
Kamu tidak boleh mengawini perempuan musyrik, karena kamu seorang
muslim, sementara ‘Anaz adalah seorang perempuan Musyrik”.
Menurut Abdullah bin Abbas bahwa sebab turunnya ayat di atas
berkenaan berkaitan dengan kasus Abdullah bin Rawahah sahabat Nabi
Muhammad SAW.., yang memiliki budak perempuan yang beriman kepada

Diktat Hukum Perkawinan


177
Allah, dan akhirnya beliau kawin dengannya setelah dimerdekakannya.
Berdasarkan hal ini, maka perkawinan orang mukmin dengan orang musyrik
itu akan menyesatkan pihak orang muslim karena akan membawa ke jalan
kemusyrikan dan membawa kamu ke neraka.
Allah SWT memberikan dispensasi atau pengecualian berupa hak berupa
hak kepada laki-laki muslim untuk menikahi perempuan ahlul kitab, yaitu
perempuan-perempuan yang percaya kepada kitabullah. Mereka ini adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang percaya kepada Kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa As dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa As.
Dalam Islam menikah dengan perempuan ahli kitab memang diperbolehkan,
sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 5, artinya:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan orang-
orang ahli kitab itu halal bagimu, sedang makanan mu halal pula bagi
mereka. (dan dihalalkan juga bagimu mengawini)”

Sungguhpun demikian banyak contoh para sahabat yang saleh dan para
tabi’in yang menikah dengan ahli kitab, hendaknya berhati-hati sebelum
melaksanakan perkawinan yang beda agama dan kepercayaannya. Memang
para sahabat mempunyai sifat yang patut diteladani dan mereka hidup dengan
penuh ketakwaan dan kesederhanaan. Setelah menikahi perempuan ahli kitab,
para sahabat mengetahui bagaimana cara mengendalikan isteri sehingga anak-
anak mereka tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh
karena itu menikah dengan perempuan ahli kitab pada umumnya
diperkenankan namun dianggap makruh hukumnya. (A.Rahman I Doi,1996:
238).
Hak atau kewenangan terbuka tersebut dapat dipergunakan atau tidak
dipergunakan oleh laki-laki muslim, tergantung pada situasi, kondisi dan
keadaan dirinya. Hak yang diberikan kepada laki-laki muslim tersebut tidak
boleh ditafsirkan seenaknya berdasarkan emosi dan keinginan manusia, baik
secara perorangan maupun kelompok dengan menyatakan bahwa izin yang
secara eksplisit hanya diberikan kepada laki-laki muslim itu secara implisit
diberikan pula kepada perempuan muslimah untukmenikah dengan laki-laki
bukan muslim, khususnya dengan laki-laki ahlul kitab Nasrani dan Yahudi.

Diktat Hukum Perkawinan


178
Dengan kata lain, bahwa dispensasi atau pengecualian itu hanya diberikan
kepada laki-laki muslim saja dan tidak kepada perempuan muslimah.
Mengenai penggunaan hak laki-laki muslim mengawini perempuan ahlul
kitab menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum.
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa hak itu boleh saja dipergunakan laki-
laki muslim kalau dia mempergunakannya.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa dispensasi yang diberikan dalam Al-
Qur’an tersebut ada persyaratannya. Menurut Hazairin syarat tersebut
tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 25, antara lain jika susah
mendapatkan perempuan muslimah disekitar laki-laki muslim yang
berumah tangga. Untuk mengawini perempuan ahlul kitab hanya mungkin
dilakukan di negeri-negeri atau di tempat-tempat yang perempuan
muslimahnya sangat sedikit karena ummat Islam minoritas di negeri
tersebut sedangkan perempuan ahlul kitabnya sangat banyak dijumpai di
sana. Kemudian syarat lainnya adalah kemampuan dan iman harus pula
dipenuhi oleh mereka yang akan mempergunakan haknya untuk mengawini
perempuan yang berbeda agama. Untuk memelihara agama dan keturunan
yang beragama Islam, dispensasi tersebut hanya dapat digunakan oleh laki-
laki muslim yang kuat imannya, yang benar-benar mampu menjadi kepala
keluarga dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu laki-laki muslim yang
mampu menyandang predikat “laki-laki yang menjadi pemimpin
perempuan yang menjadi isterinya dalam kehidupan keluarga dan rumah
tangga, terutama dalam menentukan pendidikan anak-anaknya secara
Islam”. Laki-laki muslim yang tidak mampu menyandang predikat yang
diberikan Allah SWT itu dan imannya juga tidak kuat, sebaiknya dilarang
atau dihalangi kawin dengan perempuan yang berbeda agama. Alasannya
adalah dia tidak dapat mempertahankan iman Islamnya dan anak-anaknya
akan dididik secara Nasrani, sedangkan isterinya sesuai dengan perjanjian
yang telah dibuat dengan gereja tersebut di atas, tetap akan memeluk
agamanya semula.

Diktat Hukum Perkawinan


179
3. Pendapat ketiga, datangnya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
tanggal 1 Juni 1980 mengeluarkan fatwa “mengharamkan perkawinan laki-
laki muslim dengan perempuan non muslim (termasuk perempuan ahlul
kitab). Fatwa ini didasarkan kepada alasan bahwa perkawinan antara
orang-orang yang berbeda agama lebih banyak membawa mudharatnya
daripada manfaatnya dalam kehidupan keluarga, terutama bagi kehidupan
anak-anak yang lahir dari perkawinan itu pada khususnya dan kepentingan
ummat Islam Indonesia pada umumnya. Pendapat kedua dan ketiga ini lebih
banyak penganutnya di Indonesia, dibandingkan dengan pendapat pertama
tersebut di atas. Dalam kenyataannya banyak perkawinan antara orang-
orang yang berbeda agama berakhir dengan perceraian atau jika
perkawinan tersebut terus berlangsung akan memunculkan konflik atau
pertentangan yang melekat pada dirinya. Kehidupan keluarga yang
demikian itu tidak akan harmonis, bulat dan menyatu lahir dan bathin yang
membawa akibat sebagian anak-anak yang lahir dari perkawinan itu
mungkin akan mengikuti agama ibunya dan sebagian yang lain akan
mengikuti agama ayahnya atau mungkin sebagian yang lainnya tidak
beragama (atheis) atau mengikuti ajaran yang bertentangan dengan
Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 29 Ayat (1) UUD
1945 dan tentunya juga bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan.
Karena dampak negatif perkawinan berbeda agama itu, maka Khalifah
Umar Bin Khattab setelah beberapa tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
melarang laki-laki muslim, teritama para pemimpinnya kawin dengan
perempuan non muslim ahlul kitab. Larangan itu didasarkan pada
pertimbangan: (1) Untuk melindungi kepentingan perempuan muslim
bersuamikan pemimpin Islam; dan (2) Untuk kepentingan negara, agar supaya
jangan sampai laki-laki muslim yang memegang jabatan penting membocorkan
rahasia negara melalui isterinya yang bukan muslimah tersebut.

Diktat Hukum Perkawinan


180
Adapun hikmah yang membolehkan kawin dengan ahli kitab semata-
mata mendasarkan kaedah-kaedah syara’ yang wajar dimana seorang suami
pembimbing isterinya, dialah yang mengepalai keluarga dan yang
mengarahkan pendidikan anak-anaknya dan diperbolehkan kawin dengan ahli
kitab agar perkawinan ini menjadi ikatan kecintaan dan keserasian sehingga
dapat menghilangkan rasa anti kepada Islam di dalam hati wanita tersebut,
dan perlakuan suami yang baik tentunya akan tertarik pada ajaran-ajaran
agama secara langsung. Di bawah naungan suami yang muslim ia akan
menemukan ketentraman menjalankan agama serta mendapat hak-haknya
sebagai isteri tanpa kekurangan sedikitpun, akan tetapi setiap muslimah
betapapun keadaannya adalah lebih baik, daripada seorang perempuan ahli
kitab.
Walaupun demikian, Nikah beda agama memunculkan sekian banyak
konsekwensi-konsekwensi, salah satunya adalah soal waris, sebagaimana
Sabda Nabi Muhammad SAW, artinya:
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun
tidak dapat mewarisi harta Islam” (HR.Mutafaqun ‘alaih). .

Konsekwensi lain adalah;


1. Orang tua atau anak terhalang untuk mengucapkan salam satu sama
lainnya;
2. Terhalang untuk saling mendo’akan (salah satu) diantara keduanya;
3. Menziarahi kuburnya jika salah satu diantara keduanya meninggal dunia;
atau
4. Tidak bisa dimakamkan dipekuburan keluarga muslim.
b. Agama Katolik
Agama Katolik dengan tegas mengatakan dalam Kanon 1086 bahwa:
“Perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain tidak sah”.
Namun demikian bagi mereka yang sudah tidak mungkin dipisahkan lagi
karena cintanya sudah terlanjur dalam pada pasangannya, pejabat gereja yang
berwenang (uskup) dapat memberikan pengecualian dari aturan umum untuk
suatu keadaan yang khusus (dispensasi) dengan jalan mengawinkan pemeluk

Diktat Hukum Perkawinan


181
agama Katolik dengan pemeluk agama lain, asalkan kedua-duanya memenuhi
persyaratan yang ditegaskan dalam Kanon 1125, yaitu sebagai berikut:
a. Bagi yang beragama Katolik berjanji:
1. Tetap setia pada iman Katolik;
2. Berusaha mempermandikan dan mendidik seluruh anak-anak mereka
secara Katolik.
b. Bagi yang tidak beragama Katolik berjanji:
1. Menerima perkawinan secara Katolik;
2. Tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik;
3. Tidak akan menghalang-halangi pihak yang beragama Katolik
melaksanakan imannya; dan
4. Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.
Walupun Uskup terpaksa memberikan dispensasi, namun dalam
pandangan Gereja Katolik perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda
akan menimbulkan berbagai macam konflik atau pertentangan dalam
kehidupan keluarga atau rumah tangga. Konflik-konflik yang akan timbul
adalah konflik iman, konflik bathin, konflik hak asasi, konflik sistem nilai,
konflik kewajiban asasi terhadap anak-anak yang dilahirkan, konflik kejiwaan
dan kebingungan pada anak-anak yang dilahirkan serta berbagai konflik
lainnya setelah hubungan diantara pasangan suami isteri yang berbeda agama
tidak harmonis lagi karena api cinta sudah padam di hati mereka. Oleh karena
itu, agama Katolik melarang perkawinan antara orang-orang yang berbeda
agama.

c. Agama Kristen Protestan


Gereja Kristen Protestan menganjurkan kepada pengikutnya untuk
mencari pasangan hidup yang seiman untuk mewujudkan kebahagiaan dalam
perkawinan. Bagi orang Kristen Protestan tidak ada kemungkinan untuk
melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum-hukum agamanya
sendiri. Hukum agama Kristen, yang berdasarkan kepada Alkitab, tidak
mengatur perkawinan beda agama, namun dari isi Alkitab Perjanjian Baru
Kitab Efesus 5 : 22-33, tertulis bahwa “kasih Kristus adalah dasar hidup suami

Diktat Hukum Perkawinan


182
isteri”, dapat ditafsirkan iman Kristen menjadi dasar bagi kehidupan
perkawinan, sehingga perkawinan yang diharapkan oleh Kristen adalah
perkawinan antara orang yang seiman. Namun dalam situasi yang tidak dapat
dihindari, yaitu dalam kondisi darurat gereja dapat memberikan izin
perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama yakni penganut agama
Protestan dengan penganut agama lain asalkan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh masing-masing gereja yang berbeda antara satu gereja dengan
gereja lainnya.
Dengan pemberian dispensasi dalam hal pemberkatan perkawinan bagi
pasangan beda agama dari pihak Gereja, merupakan pengecualian aturan-
aturan yang telah ditentukan oleh hukum agama Kristen yang bersumber dari
Injil, dengan adanya dispensasi perkawinan beda agama antara orang yang
beragama Kristen dengan orang yang beragama selain Kristen, maka
perkawinan tersebut dapat dilaksanakan dan Gereja mengeluarkan Surat
Pemberkatan Perkawinan, sehingga perkawinan tersebut dinyatakan sah oleh
pihak Gereja.
Apabila seorang jemaat Gereja akan melangsungkan perkawinannya
dengan pasangan yang beragama selain Kristen, maka pasangan yang bukan
beragama Kristen tersebut harus di lakukan Pembaptisan terlebih dahulu.
Dengan dibaptis, maka seseorang akan mengikuti iman Kristen, atau dengan
kata lain orang tersebut beragama Kristen, sehingga apabila akan
melangsungkan perkawinan di Gereja, pasangan calon suami isteri haruslah
seiman.
Gereja Kristen Indonesia misalnya menetapkan persyaratan perkawinan
antara penganut agama yang berbeda sebagai berikut:
a. Bagi yang beragama Kristen Protestan harus menandatangani suatu
perjanjian yang berisikan:
1. Tetap akan melaksanakan iman Kristennya;
2. Akan mempermandikan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu secara
Kristen.
3. Berjanji akan mendidik anak-anak mereka secara Kristen.

Diktat Hukum Perkawinan


183
b. Bagi yang tidak beragama Kristen Protestan harus menandatangani surat
pernyataan bahwa dia:
1. Tidak keberatan perkawinan dilaksanakan di gereja Protestan;
2. Tidak keberatan anak-anak mereka dididik secara Protestan.
Jika dibandingkan perkawinan antara pemeluk agama Kristen dengan
pemeluk agama bukan Kristen, misalnya agama Islam, Gereja Kristen protestan
lebih menyukai perkawinan antara pemeluk agama Kristen Protestan dengan
pemeluk agama Katolik. Hal ini disebabkan karena agama Kristen Protestan
memandang bahwa perkawinan dengan pemeluk agama Katolik sesungguhnya
bukan perkawinan antara orang-orang/pemeluk agama yang berbeda, tetapi
adalah perkawinan antara orang-orang yang berbeda gereja. Kedua pemeluk
agama tersebut mempunyai kitab suci yang sama dan masih dipersatukan
dalam “satu tubuh Yesus Kristus” dan mempunyai misi yang sama juga.
Oleh sebab itu, Konferensi Waligereja Indonesia ((KWI/Katolik) dan
Persatuan Gereja Indonesia (PGI/Protestan) dalam seminarnya tentang
perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda, pada tanggal 12-14 Maret
1987 di Malang memutuskan mengenai perkawinan (campuran) berbeda
gereja yang dapat disebut sebagai perkawinan antar agama antara lain sebagai
berikut:
1. Perkawinan campuran berbeda gereja sudah sepenuhnya diterima antar
gereja anggota Persatuan Gereja Indonesia (PGI/Protestan);
2. Perkawinan antara Protestan dengan Katolik pada umumnya sudah
diterima juga berdasarkan banyaknya persamaan;
3. Perkawinan antara Protestan dengan Katolik sudah semakin umum
dilaksanakan secara pindah gereja.
Mengenai masalah perkawinan karena perbedaan agama, antara pemeluk
agama Kristen Protestan dengan pemeluk agama Islam.misalnya, seminar
tersebut antara lain memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Mereka yang benar-benar berbeda agama dianjurkan untuk menikah secara
sipil di Kantor Catatan Sipil (KCS) dimana kedua belah pihak tetap
menganut agama masing-masing;

Diktat Hukum Perkawinan


184
2. Kepada mereka diadakan penggembalaan khusus;
3. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka;
4. Apabila kemudian mereka bertobat dan menjadi Kristen, perkawinan
mereka dapat diberkati oleh gereja;
5. Kepada mereka diberikan petunjuk untuk mengubah atau menambah
keterangan pada surat nikah mereka yang lama yang menyatakan bahwa
mereka sudah menjadi Kristen.

2. Perkawinan Orang-orang Berbeda Agama Menurut Undang-Undang


Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berdasarkan


asas agama. Maksudnya sah atau tidaknya perkawinan seseorang ditentukan
oleh hukum agamanya. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dengan
tegas mengatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian tidak boleh
ada dan tidak boleh dilangsungkan perkawinan di luar hukum agama dan
kepercayaannya.
Sebagai konsekuensi dianutnya asas bahwa perkawinan adalah sah kalau
dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, maka segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan tidak boleh bertentangan dengan
hukum agama yang dianut oleh Warga Negara Indonesia. Mengenai
perkawinan orang-orang berbeda agama dikaitkan dengan Undang-Undang
Perkawinan ada beberapa pendapat, antara lain sebagai berikut:
1. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama dapat saja dilangsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi
manusia, kebebasan seseorang untuk menentukan pasangannya, hak dan
kedudukan suami isteri yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut pendapat ini
perkawinan yang demikian mempergunakan Stb. 1898 Nomor 158 tentang
Ordonansi Perkawinan Campuran yang mana dalam Pasal 1 disebutkan
bahwa: ”Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara
orang-orang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan”.

Diktat Hukum Perkawinan


185
Dalam Pasal 7 ordonansi tersebut juga menegaskan bahwa: ”Perbedaan
agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk
perkawinan itu”. Ketentuan tersebut membuka kemungkinan seluas-
luasnya untuk melakukan perkawinan beda agama. Ordonansi perkawinan
campuran warisan kolonial Belanda tersebut digunakan sebagai landasan
dalam mencatatkannya pada Kantor Catatan Sipil di tempat mereka
melangsungkan perkawinan. Untuk melakukan perkawinan, diperlukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan melaksanakan
perkawinan, begitu juga dengan perkawinan beda agama. Dalam
perkawinan beda agama, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak
tidak berbeda dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak
yang akan melaksanakan perkawinan tanpa adanya perbedaan agama dari
masing-masing pihak. Setelah terpenuhinya syarat-syarat dari perkawinan
tersebut, maka Kantor Catatan Sipil akan melakukan proses pencatatan
serta mengeluarkan akta perkawinannya. Menurut pendapat ini perbedaan
agama tidak boleh menjadi penghalang untuk melangsungkan perkawinan.
Pegawai Kantor Catatan Sipil tidak boleh menolak bahkan mengawinkan
orang-orang yang berbeda agama yang sedang menyala api cintanya. Bagi
penganut pendapat ini persoalan perkawinan adalah persoalan kehidupan
dalam masyarakat di dunia, bukan persoalan kehidupan di akhirat. Karena
itu persoalan perkawinan antara orang-orang berbeda agama serahkan saja
sepenuhnya kepada hukum hasil ciptaan manusia. Untuk mendukung
pendapatnya mereka mengutip pendapat Prof. W.L.G. Lemaire, seorang
Guru Besar dari Universitas Leiden negeri Belanda yang mengatakan bahwa
“tugas hukum adalah mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat,
bukan mengatur kesejahteraan dan keselamatan dalam kehidupan akhirat.
Inilah pandangan yang sangat sekuler, yang memisahkan kehidupan dunia
dengan kehidupan akhirat. Pandangan inilah yang terumus dalam Pasal 11
Ayat (2) Rancangan Undang-Undang Perkawinan tahun 1973 yang ditolak
oleh DPR dan dikeluarkan dari Rancangan Undang-Undang Perkawinan
tahun 1974 karena tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Diktat Hukum Perkawinan


186
2. Pendapat yang mengatakan Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur
perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama. Menurut
pendapat ini perkawinan antara pasangan yang berbeda agama adalah
suatu kenyataan. Dalam masyarakat plural (majemuk) seperti di Indonesia
sulit untuk mencegah adanya orang-orang berbeda agama saling jatuh cinta
dan ingin menjalin hubungan membentuk suatu keluarga. Oleh karena itu
menurut penganut pendapat ini perlu dirumuskan ketentuan hukumnya,
daripada membiarkan kemaksiatan. Lebih lanjut mereka mengatakan lebih
baik membenarkan atau mengesahkan perkawinan orang-orang yang saling
jatuh cinta itu, meskipun keyakinan agama yang dianutnya berbeda.
3. Pendapat ketiga mengatkan bahwa perkawinan campuran antara orang-
orang berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-undang
(Pemerintah dan DPR). Kehendak tersebut dengan tegas dinyatakan dalam
Pasal 2 Ayat (1) mengenai sahnya perkawinan dan Pasal 8 huruf (f)
mengenai larangan perkawinan. Pasal 8 huruf (f) menyatakan dengan tegas
bahwa: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin”. Artinya
Undang-Undang Perkawinan melarang dilangsungkan atau disahkan
perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan yang berlaku di dalam
wilayah negara Indonesia. Larangan yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan selaras dengan larangan agama dan hukum masing-masing
agama yang telah diuraikan di atas. Oleh karena itu pembenaran dan
pengesahan perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda
agama, selain bertentangan dengan agama atau hukum agama
sesungguhnya bertentangan juga dengan Undang-Undang Perkawinan yang
berlaku bagi segenap warga negara dan penduduk Indonesia.
Berdasarkan berbagai uraian yang tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama dengan
berbagai alasan apapun tidak sah menurut hukum agama yang diakui
eksistensinya di negara Indonesia. Karena sahnya perkawinan didasarkan

Diktat Hukum Perkawinan


187
pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah memurut hukum
agama tidak sah juga menurut hukum negara (peraturan perundang-
undangan bidang perkawinan);
2. Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama
mengandung berbagai konflik. Oleh karena tujuan perkawinan seperti
tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam perkawinan campuran antara orang-
orang yang berbeda agama akan sulit terwujud;
3. Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama adalah
penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum
agama dan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia. Untuk
penyimpangan seperti ini, walaupun ada dalam kenyataan di tengah-tengah
masyarakat tidak perlu dibuat peraturan tersendiri;
4. Laki-laki atau perempuan yang akan melangsungkan perkawinan campuran
berdasarkan agama yang berbeda dikaitkan dengan hak asasi manusia dan
menuruti kata hati agar supaya benar-benar menyatu dan terikat secara
lahir bathin dengan pasangannya sebagaimana yang dimaksudkan dalam
pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, sebaiknya memeluk agama
pasangannya saja. Dengan demikian perkawinan mereka berada di bawah
aturan satu agama sehingga mungkin dapat membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

B. Perkawinan Antara Orang-Orang yang Berbeda Kewarganegaraan


1. Dasar Hukum
Perkawinan campuran yang di atur dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal
62 Undang-undang Perkawinan. Pasal 57 memberikan rumusan pengertian
perkawinan campuran sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Diktat Hukum Perkawinan


188
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, pengertian perkawinan campuran
di atas merupakan pengertian dalam arti sempit, sebab perkawinan campuran
yang dimaksud Undang-Undang Perkawinan hanya terbatas pada perkawinan
campuran internasional, yakni perkawinan yang dilakukan antara seorang
warga negara Indonesia dengan seorang warga negara asing. Jadi titik
beratnya adalah pada perbedaan kewarganegaraan, sehingga masing-masing
calon mempelai sendirinya tunduk kepada hukum yang berlainan.
Selain itu pengertian perkawinan campuran secara luas dapat ditafsirkan
sebagai perkawinan antara dua orang yang di Indonesia:
1. Yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan agama,
golongan penduduk dan tempat;
2. Yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan bangsa atau
kewarganegaraan;
3. Yang tunduk pada hukum yang berlainan dimana salah satu calon
mempelainya adalah warga negara Indonesia.
Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional, berdasarkan rumusan pasal
tersebut perkawinan campuran yang dimaksud oleh Undang-Undang
Perkawinan memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perkawinan antara pasangan yang tunduk kepada hukum perkawinan
yang berbeda karena berbeda kewarganegaraan;
2. Salah satu pihak adalah Warga Negara Indonesia (WNI);
3. Pihak lainnya adalah warga Negara Asing (WNA);
4. Perkawinan dilangsungkan di Indonesia;
5. Atau dilangsungkan di luar negeri (Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan).

Berdasarkan rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum


perkawinan campuran Indonesia menggunakan asas kewarganegaraan untuk
menetapkan status personal dan kapasitas para pihak dalam suatu
perkawinan. Bahwa dalam berbagai sistem Hukum Perdata Internasional di
dunia, disamping asas kewarganegaraan dikenal pula asas domisili untuk
menetapkan status hukum personal seseorang dan pada gilirannya juga untuk
menetapkan kapasitas para pihak serta validitas suatu perkawinan.

Diktat Hukum Perkawinan


189
Dewasa ini ketentuan tentang kewarganegaraan dari suami/isteri yang
melangsungkan perkawinan campuran mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sejalan
dengan hal tersebut Pasal 58 Undang-Undang Perkawinan merupakan kaidah
penunjuk yang menentukan akibat-akibat dari perkawinan campuran terhadap
kewarganegaraan para pihak yang menunjuk ke arah hukum Indonesia.
Pasal 59 Undang-Undang Perkawinan menentukan sistem hukum yang
berlaku dalam perkawinan campuran berdasarkan asas kewarganegaraan
yang menunjuk ke arah hukum Indonesia. Kewarnegaraan yang diperoleh
sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum
mana yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum privat.
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan ini.
Menurut Bachtiar Hamzah dan Sulaiman Hamid, terhadap orang-orang
yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran
dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat juga
kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang ditentukan dalam
Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia yang berlaku. Kewarganegaraan
yang diperoleh itu menentukan hukum yang berlaku, baik hukum publik
maupun hukum privat dan status anak yang lahir dari perkawinan campuran
diatur sesuai dengan ketentuan tersebut di atas.
Merujuk pada Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang
berbunyi:
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia
atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara
Indonesia tidak melanggar ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di
wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan
di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.

Menurut Zulfa Djoko Basuki, pakar Hukum Perdata Internasional,


mengaitkan perkawinan di luar negeri ini dengan Pasal 16 AB (Algemene

Diktat Hukum Perkawinan


190
Bepalingen van wetgeving), yang menyebutkan: “bagi warga negara Indonesia
dimanapun ia berada akan tunduk pada hukum Indonesia.
Sahnya suatu perkawinan, diperlukan dua syarat, yaitu syarat formil dan
syarat materil. Syarat formil diatur dalam Pasal 18 AB, yakni ‘tunduk pada
hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan’ (lex loci celebrationis). Jika di
negara dimana perkawinan dilangsungkan berlaku perkawinan sipil, maka
perkawinan harus dilakukan secara sipil. Untuk syarat materil, misalnya
mengenai batas usia menikah, berlaku hukum nasional (dalam hal ini
Indonesia). Kedua syarat harus dipenuhi oleh Warga Negara Indonesia yang
menikah di luar negeri.
Syarat formil dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan tadi
dirumuskan dalam frase “bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara dimana perkawinan itu dilangsungkan”. Sedangkan syarat materilnya
dirumuskan dalam frase “tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini”.
Undang-Undang Perkawinan sudah mensyaratkan bahwa perkawinan
yang dilaksanakan di luar negeri tetap harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan Undang-Undang Perkawinan. Jadi, sangat mungkin perkawinan sah
secara formal di negara tempat perkawinan dilangsungkan, tetapi tidak sah
menurut hukum Indonesia (lihat Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan).
Menurut Zulfa, bila syarat materiil tersebut dilanggar, maka perkawinan
tersebut dapat dibatalkan. Ini adalah risiko yang mungkin dihadapi pasangan
yang menikah di luar negeri, dan tidak mendaftarkannya sesuai batas waktu
yang ditentukan Undang-Undang Perkawinan.
Lalu, dimanakah perkawinan itu didaftarkan? Pasal 56 ayat 2 Undang-
Undang Perkawinan hanya menyebut didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
hanya menerima pelaporan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
Bahwa di dalam Surat Pelaporan Perkawinan itu ditulis dengan tegas bahwa
Surat Pelaporan Perkawinan bukan merupakan Akta Perkawinan.

Diktat Hukum Perkawinan


191
2. Status Kewarganegaraan Anak Perkawinan Campuran
Dalam lapangan hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki
status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUH Perdata memberi
pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek
hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam
keadaan hidup.
Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan
kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap
bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki
kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh
orang lain. Berdasarkan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
mereka yang digolongkan tidak cakap salah satunya adalah mereka yang
belum dewasa. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek
hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak
cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam
melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari orang tua yang melakukan
perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki
kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum
yang berbeda.
Anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita warga negara Indonesia
dengan pria warga negara asing, maupun anak yang lahir dari perkawinan
seorang wanita warga negara asing dengan pria warga negara indonesia, sama-
sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun
atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk
memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak
berusia 18 (delapan belas) tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang
positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah,
apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru

Diktat Hukum Perkawinan


192
di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk
pada dua yurisdiksi.
Apabila, sampai tenggang waktu 1 Agustus 2010 anak-anak hasil
perkawinan campuran ini tidak didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, maka mereka akan kehilangan hak menjadi warga negara
Indonesia sebagai konsekuensinya. Mereka akan diperlakukan sebagai warga
negara asing yang izin tinggalnya memakai Kartu Izin Menetap Sementara
(KITAS) dan masuk ke Indonesia memakai Visa. Seandainya, orang tua tidak
mendaftarkan anaknya jadi warga negara Indonesia sampai 2010, maka
anaknya akan tetap meneruskan perpanjangan KITAS atau KITAP. Posesnya
memakai re-entry permit, buku biru, sama seperti bapaknya. Selama anak
tersebut berstatus warga negara asing, ia tidak masuk yurisdiksi Indonesia.
Jadi jika anaknya di luar negeri, tidak bisa masuk Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) untuk meminta perlindungan.
Namun apabila terjadi kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan
menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status
personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapai taraf dewasa, ia akan
banyak melakukan perbuatan hukum, di mana dalam setiap perbuatan hukum
tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur
dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum
nasionalnya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan
hukum yang lain.
Terkait dengan persoalan status anak, perlu dinyatakan bahwa Pasal 6
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini, dimana anak diizinkan
memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan
pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan
penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan
menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan
negara yang lain.

Diktat Hukum Perkawinan


193
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, terdapat 2 (dua)
asas utama dalam menentukan kewarganegaraan, antara lain sebagai berikut:
1. Asas tempat kelahiran (ius soli);
Berdasarkan asas ius soli, kewarganegaraan seseorang ditentukan
oleh tempat kelahirannya. Bila ia seseorang dilahirkan dinegara X,
maka ia merupakan warga Negara daripada Negara X tersebut. Untuk
sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan lahirnya
anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah
hubungan dengan negara asal.
2. Asas keturunan (ius sanguinis);
Asas ius sanguinis menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunannya. Seseorang yang lahir dari orang tua yang
berkewarga negaraan Y, maka orang tersebut merupakan warga
Negara daripada Negara Y. Keadaan dalam cara menentukan
kewarganegaraan antara berbagai Negara berakhibat bahwa dalam
keadaan tertentu seseorang dapat mempunyai lebih dari satu
kewarganegaraan dengan kedudukan bipatride atau multi patride,
tapi bisa juga seseorang tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali
yang disebut apatride. Keuntungan dari asas ius sanguinis adalah:
1. Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga
negara.
2. Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga
negara yang lain.
1. Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme.

Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, anak hanya


mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan Undang-Undang
Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan.
Berdasarkan Pasal 4 huruf (d) Undang-Undang No. 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan dinyatakan bahwa;”anak yang lahir dari
perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga
Negara Indonesia”, maka untuk anak-anak yang lahir dari pasangan tersebut
diberikan kebebasan untuk berkewarganegaraan ganda sampai anak-anak
tersebut berusia 18 tahun atau sampai menikah. Setelah berusia 18 tahun atau
sudah menikah harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti
ayahnya atau menjadi WNI. Ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
sang anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi repot-repot mengurus
izin tinggal bagi anak-anaknya.

Diktat Hukum Perkawinan


194
Apabila pasangan WNI yang status anaknya lahir di luar negeri, maka
dalam hal memperoleh kewarganegaraan harus menganut dimana anak
tersebut lahir atau berdasarkan tempat kelahiran (asas ius soli), misalnya anak
yang lahir di jerman dari pasangan orang tuanya WNI yang sudah menetap
secara sah di jerman, maka sesuai dengan asas yang dianut di Negara itu,
otomatis anak tersebut menjadi warga negara jerman , sementara kedua orang
tuanya tetap WNI sepanjang mereka melaporkan diri kepada Perwakilan RI di
Jerman setiap lima tahun sekali.
Pasal 4 huruf (I) Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan Indonesia dikatakan bahwa;”anak yang dilahirkan di luar
wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan dan ibu Warga
Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut
dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan”;
Berdasarkan pasal tersebut di atas, bahwa anak tersebut adalah WNI dan
UU ini membolehkan memiliki kewarganegaraan ganda yakni Jerman dan
Indonesia secara bersamaan sampai anak tersebut berusia 18 tahun atau
sampai dengan dia menikah, akan tetapi hal ini harus ditelusuri apakah UU
kewarganegaraan jerman membolehkan untuk memilih salah satu
kewarganegaraan, Jerman atau Indonesia atau memilih kedua-duanya. Jadi UU
kewarganegaraan Indonesia yang baru tidak menghalangi anak itu menjadi
WNI karena kedua orang tuanya adalahWNI.

3. Kekuasaan Orang Tua


Berkaitan dengan kewarganegaraan anak akibat perkawinan campuran,
apabila terjadi perceraian pada pasangan suami isteri maka masalah
pengurusan terhadap anak-anak menjadi masalah. Berkaitan dengan masalah
tersebut, Pasal 41 huruf (a) dan (b) Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menegaskan:
“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusan.

Diktat Hukum Perkawinan


195
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.

Berdasarkan kedua ketentuan di atas terlihat bahwa meskipun masing-


masing pihak telah bercerai namun tanggung jawab dalam hal pengasuhan anak
berada pada kedua pihak, sedangkan dalam hal pembiayaan bekas suami lah
yang paling bertanggung jawab, sehingga dengan adanya tanggung jawab ini
masa depan si anak lebih terjamin, Karena segala sesuatu yang berkaitan
dengan masalah pengasuhan anak sebagai dampak putusanya perkawinan
kedua orang tua, yang perlu diperhatikan adalah kepentingan terbaik si anak.
Menurut Zulfa Djoko Basuki, dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, akibat putusnya perkawinan kedua orang tua
tidak mengakibatkan berakhirnya kekuasaan orang tua. Kepada orang tua
tidak diberikan perwalian, tetapi pengasuhan anak. Hal ini disebabkan
perwalian diberikan kepada anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua. Sementara itu, dalam hal terjadinya perceraian,
kekuasaan orang tua tetap berlanjut meskipun kedua orang tua bercerai. Hak
orang tua termasuk kekuasaannya terhadap si anak tidak berubah, tetap sama
dengan hak yang dimilikinya sebelum terjadi perceraian. Terkecuali, adalah
apabila hak atau kekuasaan orang tua terhadap si anak dicabut.

C. Perkawinan di luar Negeri


Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warga Negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga
Negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
Negara, di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Negara
Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Dalam
waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan perkawinan

Diktat Hukum Perkawinan


196
tempat tinggal mereka (UU No 1/1974 Pasal 56 (1-2). Jadi yang dimaksud
perkawinan di luar Negara adalah perkawinan di luar Indonesia.
Dengan demikian jika yang beragama Islam kawin dengan pria/wanita
Arab beragama Islam di Negara-negara Islam seperti Mesir, Irak dan lain-lain,
menurut tata cara agama Islam dan tidak bertentangan dengan UU no.1 tahun
1974 terutama Pasal 2(1), maka perkawinan tersebut sah, begitu juga yang
beragama Kristen kawin dengan pria/wanita Eropa beragama Kristen, di
Negara Eropa dilaksanakan menurut agama Kristen dan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Perkawinan.
Sebaliknya perkawinan itu menjadi tidak sah, jika misalnya seseorang
berada di Inggris hanya melakukan kawin kantor (di hadapan Hakim atau
Pencatatan Sipil), tanpa melakukan upacara pemberkatan di gereja, mesjid
atau lembaga agama lainnya, maka perbuatan tersebut sama dengan hidup
bersama tanpa nikah (samen leven) atau kumpul kebo.

BAB XII

Diktat Hukum Perkawinan


197
PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

A. Menurut Undang-Undang Perkawinan


Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan Nasional yang seirama dan
sejalan dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian,
khususnya cerai hidup, karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan
untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera karena akibat
perbuatan manusia. Sebelum membahas mengenai putusnya perkawinan,
maka harus dibahas terlebih dahulu pengertian perkawinan secara umum.
Perkawinan adalah adalah suatu perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk
keluarga yang kekal, di mana suami istri harus saling menyantuni, mengasihi,
dalam keadaan aman dan penuh kebahagian, moral spirituil dan materil
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada prinsipnya pokok-pokok
perkawinan hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya pergaulan yang ma’ruf antara suami isteri dan saling menjaga
rahasia masing-masing serta saling membantu.
2. Adanya pergaulan yang aman dan tentram (sakinah).
3. Adanya pergaulan yang saling cinta mencintai antara suami istri
(mawaddah).
4. Adanya pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni terutama setelah
tua (rahmah).
Suatu perkawinan itu sendiri baru dapat dikatakan sah, apabila
dilaksanakan sesuai ketentuan, yaitu memenuhi syarat dan rukun perkawinan.
Namun dari tujuan perkawinan itu sendiri kadang tidak berjalan seperti yang
diharapkan, misalnya sering terjadinya pertengkaran, perselisihan atau
percekcokan diantara suami isteri yang mengakibatkan perjalanan dan situasi
serta kondisi rumah tangga tidak harmonis lagi. Akibatnya salah satu pihak
kemudian mengajukan permohonan/gugatan perceraian ke pengadilan, guna
memperoleh putusan cerai dari Pengadilan.

Diktat Hukum Perkawinan


198
Penjelasan umum dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyebutkan,
karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan
sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
atau mempersulit terjadinya perceraian. Berdasarkan penjelasan umum
tersebut dapat disimpulkan, bahwa prinsip undang-undang perkawinan sejauh
mungkin menghindarkan terjadinya perceraian dalam membina rumah tangga.
Perceraian yang dimaksud harus ada alasan-alasan yang tertentu serta
dilakukan di depan sidang pengadilan. Suatu perkawinan yang bertujuan
untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah,
merupakan keinginan dari setiap pasangan suami isteri. Perkawinan
mempunyai tujuan yang mulia, akan tetapi dalam kenyataannya dapat putus
atau berakhir karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dikatakan bahwa: ”Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian,
b. Perceraian, dan c. atas keputusan Pengadilan”. Pembahasan dari pasal
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Karena Kematian (Cerai Mati)
Kematian adalah meninggalnya salah satu pihak (suami atau isteri) yang
menyebabkan putusnya atau berakhirnya perkawinan. Apabila terdapat
halangan maka isteri atau suami yang ditinggal mati berhak mewarisi atas
harta peninggalan atau sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan
keperluan penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai pemakaman,
kemudian untuk melunasi hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiatnya.
Mengenai putusnya perkawinan tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor Tahun 1974 atau Undang-Undang lain, tetapi hanya menyangkut harta
peninggalan atau harta warisan dari pasangan perkawinan yang meninggal,
karena hal itu diatur dalam hukum waris.
2. Karena Perceraian (Cerai Hidup)
Peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan telah mengatur
secara mendetail mengenai perceraian, mulai dari Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan

Diktat Hukum Perkawinan


199
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Menurut Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”. Ayat (2): “Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun
sebagai suami isteri”.
Adapun alasan atau alasan-alasan yang dijadikan sebagai dasar
perceraian diatur dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 adalah sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya serta sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
Jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan
walaupun alasan tersebut terpenuhi, akan tetapi masih mungkin antara suami
istri untuk hidup rukun kembali, maka perceraian tidak dapat dilakukan.

Diktat Hukum Perkawinan


200
3. Atas Keputusan Pengadilan
Pasal 38 huruf (c) Undang-Undang Perkawinan mengatakan putusnya
perkawinan atas Putusan Pengadilan berbeda dengan keputusan pengadilan
dalam rangka perceraian, baik cerai talak ataupun cerai gugat. Putusnya
perkawinan dimaksud yaitu tanpa adanya permohonan pembatalan atau gugat
cerai dari pihak suami atau isteri atau keluarganya atau yang diatur dalam
Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan. Sedangkan menurut Pasal 23
UU Perkawinan permohonan pembatalan perkawinan ini di samping dapat
diajukan oleh keluarga dari suami istri atau masing-masing suami istri
bersangkutan, dapat pula diajukan oleh pemerintah yang berwenang. Sehingga
dengan demikian, mungkin saja suami istri tidak ingin bercerai atau
membatalkan perceraian tersebut, tetapi oleh pejabat pemerintah yang
berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan tersebut.
Jika memang perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat suatu
perkawinan, sesuai dengan bunyi Pasal 22 UU Perkawinan yaitu, perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan, misalnya melanggar larangan perkawinan
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu suami istri ternyata
masih saudara kandung dan perkawinan juga berdasarkan suatu agama
tertentu, mungkin pasangan tersebut tidak ingin bercerai tetapi perkawinan
tersebut tidak sah lagi, sehingga pihak yang berwenang perlu mengusahakan
melakukan pembatalan.

B. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam


Menurut Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, putusnya perkawinan
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Karena Kematian (Cerai Mati)
Perkawinan yang telah berjalan sekian lama dapat menjadi putus
seketika, jika salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal terlebih
dahulu.

Diktat Hukum Perkawinan


201
2. Karena Perceraian
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan yang terdapat dalam Pasal 116
Kompilasi Hukum Islam) yaitu sebagai berikut:
a. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
penganiayaan berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat
f. Menjalankan kewajiban sebagai suami atau isteri.
g. Antara suami terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan
tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
h. Suami melanggar taklik talak.
i. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.

Selain itu perceraian itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa hal:
1. Gugat Cerai (diajukan oleh pihak isteri)
Permohonan gugat cerai oleh pihak istri diajukan secara tertulis
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan
menyertai alasan (Pasal 32 Kompilasi Hukum Islam). Namun sebelumnya
pengadilan dalam setiap kesempatan tetap berusaha mendamaikan kedua
belah pihak dan meminta bantuan kepada Badan Penasehat Penyelesaian
Perceraian (BP-4).

Diktat Hukum Perkawinan


202
2. Permohonan Talak (diajukan oleh pihak suami )
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya
hendaknya mengajukan permohonan secara lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disetai dengan
alasan serta minta diadakan sidang sebagaimana diatur dalam Pasal 129
Kompilasi Hukum Islam.
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut dan terhadap putusan tersebut dapat diminta upaya hukum
banding atau kasasi.
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Di dalam Kompilasi
Hukum Islam telah diatur bahwa akibat talak akan menimbulkan kewajiban
bagi suami terhadap bekas istrinya yaitu sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, bila perkawinan putus karena talak maka
bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang/ harta benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
b. Memberi nafkah maskan dan kiswah kepada bekas istri selama massa
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila
qobla al dukhul.
d. Memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun.
Adapun bentuk-bentuk putusnya hubungan perkawinan menurut hukum
Islam adalah sebagai berikut:
1. Ta’lik Talak (Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 128)
Artinya talak yang digantungkan terjadinya terhadap suatu peristiwa
tertentu sesuai dengan perjanjian. Ta’lik talak ini terlihat di dalam setiap
mempelai laki-laki selesai mengucapkan ijab kabul, mengucapkan lagi iklar
ta’lik talak yang berbunyi: “Apabila saya (suami) meninggalkan istri saya 6
(enam) bulan berturut-turut, tanpa memberi kabar dan memberi nafkah
kepada istri saya atau apabila saya memukul/ menyakiti isteri saya

Diktat Hukum Perkawinan


203
melampaui batas dan berbekas atau apabila isteri saya tidak ridha datang
kepada saya atau pihak yang berwajib atau KUA atau Masjid dan membayar
uang iwadh sebesar yang ditentukan, maka jatuhlah talak saya satu.
2. Talaq
a. Pengertian talaq
Thalaq berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya
“melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’, talak yaitu:
melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Al-Jaziry mendefinisikan:
Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatanya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya
(talak ba’in sugra), sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari
tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak
talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.

b. Hukum Talaq
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan perintah Allah dan
Sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya
melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi aturan Allah
dan Sunnah Rasul tersebut. Meskipun demikian, bila hubungan
pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga
akan menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka
pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya
perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang
dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.
Walaupun hukum asal dari thalaq itu adalah makruh, namun
melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalaq itu
adalah sbb;

Diktat Hukum Perkawinan


204
1. Wajib, jika kedua orang hakim memandang bahwa perceraian lebih
baik bagi mereka, Jadi jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan
apa-apa selain keburukan, perselisihan pertengkaran dan bahkan
menjerumus keduanya ke dalam kemaksiatan, maka saat itulah talak
menjadi wajib.
2. Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan
kebutuhan.
3. Haram/Mahzhur (terlarang) yaitu talak yang dilakukan ketika isteri
sedang haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli. Para ulama
di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. (disebut juga
dengan talak bid’ah).
Apabila dilakukan dapat menimbulkan kemudharatan bagi dirinya
dan bagi isterinya. Atau tidak mendatangkan manfaat apapun.
Tindakan ini haram, sama seperti menghambur-hamburkan uang.
Dan didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW, yang artinya;”sesuatu hal
yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.
4. Mubah, talak yang dilakukan karena adanya kebutuhan, misalnya
karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya pergaulannya yang
hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan
perkawinan.
5. Sunnah, yaitu yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak
Allah yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan
kewajiban lainnya. Atau isteri tidak lagi menjaga kehormatan dan
kesucian dirinya.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An.Nisa’ ayat
19, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata”.

Diktat Hukum Perkawinan


205
Bisa jadi talak dalam kondisi seperti ini bersifat wajib. Hal itu
sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits, dari Ibnu Abbas, ia
bercerita, “ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah dan
mengatakan ‘sesungguhnya isteriku tidak melarang tangan orang yang
menyentuhnya’, maka beliau bersabda ‘ceraikanlah ia’ lalu orang itu
berkata, ‘aku takut diriku akan mengikutinya’. Kemudian beliau
bersabda, ‘Bersenang-senanglah dengannya.” (HR.Abu Dawud dan Nasa’i).
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 1, artinya;
”Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)”.

c. Macam-macam talaq
Talaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa
keadaan. Dengan melihat kepada keadaan isteri waktu talaq itu
diucapkan oleh suami, thalaq itu ada dua macam;
a. Talaq Sunni, yaitu talaq yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah.
b. Talaq bid’i, yaitu talaq yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan
sunnah atau talaq yang diucapakan/dijatuhkan oleh suami sewaktu
isteri dalam keadaan haid (mentruasi)
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami
rujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua macam,
sebagai berikut;
a. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang
telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari
isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Dalam talak ini bekas suami boleh kembali kepada bekas isteri yang
tidak memerlukan pembaruan akad nikah(rukun dan syarat).
b. Talak ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas
suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke
dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad
nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.

Diktat Hukum Perkawinan


206
Talak ba’in ada dua macam;
1) Talak ba’in shugra, talak yang menghilangkan pemilikan bekas
suami terhadap isteri, tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas
suami untuk kawin kembali dengan bekas isteri.
2) Talak ba’in kubra, yaitu talak yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap bekas isteri serta menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas isterinya.(isteri
kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain serat telah bercerai
secara wajar).

3. Khuluk/mubaraah (Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229)


a. Pengertian Khuluk
Khulu’ ini diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 yang
artinya: Apabila kamu khawatir bahwa suami istri tidak akan
menjalankan hukum-hukum Allah SWT, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang pembayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya”.
Menurut bahasa, kata khulu’ berarti tebusan. Dan menurut istilah
khulu’ berarti talak yang diucapkan isteri dengan mengembalikan mahar
yang pernah dibayarkan suaminya. Artinya tebusan itu dibayarkan oleh
seorang isteri kepada suaminya yang dibencinya, agar suaminya itu dapat
menceraikannya.
Jadi istri bisa membebaskan dirinya dari perjanjian perkawinan
dengan mengembalikan sejumlah uang tebusan/mahar. Artinya suatu
ikatan perkawinan dapat putus oleh karena adanya kehendak dari istri
oleh karena suatu sebab, sedangkan suaminya memberikan kepada
istrinya suatu khuluk, yang artinya melepaskan kekuasaannya sebagai
suami dan memberikan kepada istrinya dalam bentuk talak.
b. Hukum khulu’
Jika ada seorang wanita membenci suaminya karena keburukan akhlak,
ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombongan atau karena
yang lain-lain dan ia sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak
Allah Azza wa Jalla, maka diperbolehkan baginya meng-khulu’, dengan

Diktat Hukum Perkawinan


207
cara memberikan ganti berupa tebusan untuk menebus dirinya darinya
(suaminya), sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-
Baqarah ayat 229, yang artinya: “……. tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144].
Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim.

Tetapi jika tidak ada alasan apa pun bagi isteri untuk meminta cerai,
lalu ia meminta tebusan dari suaminya, maka oleh karena itu Ibnu Jarir
telah meriwayatkan, dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda.
Artinya;” wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya
tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga”.
(HR. Tirmidzi).
c. Syarat khulu’
Ada beberapa syarat bagi pasangan suami isteri untuk bisa
melakukan khulu’ syarat-syarat itu adalah;
1. Seorang isteri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan
khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa
takut tidak akan menegakkan hukum Allah Azza wa Jalla.
2. Khulu’ itu dilakukan hendaknya sampai selesai tanpa dibarengi
dengan tindakan penganiayaanyang dilakukan oleh suami, jika pihak
suami melakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh mengambil
sesuatu pun dari isterinya.
Sedangkan Muibara’ah, artinya baik istri maupun suami sama-sama
membebaskan dirinya dari kekuasaan sebagai suami maupun istri
dengan memenuhi persyaratan antara lain:
a. Harus ada persetujuan bebas dari suami dan istri.
b. Pemberian iwadh oleh istri kepada suami sebagai penebus/
pengembalian mahar yang dulu pernah diterima.

Diktat Hukum Perkawinan


208
4. Fasakh
a. Pengertian
Adalah suatu lembaga pemutus hubungan perkawinan karena tertipu
atau karena tidak mengetahui sebelum perkawinan bahwa istri yang
telah dinikahinya itu ada cacat celanya seperti mempunyai penyakit
menular atau gila, dan lain-lain.
Pengertian fasakh itu sendiri ialah pembatalan akad dan
melepaskan ikatan perkawinan antara suami dengan istri. Fasakh dapat
terjadi karena cacat dalam akad atau karena sebab lain yang datang
kemudian dan mencegah kelanjutan perkawinan.
Dalam arti terminologi ditemukan beberapa rumusan yang hampir
bersamaan maksudnya, diantaranya yang terdapat pengertian berikut
ini:
“Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama
atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum
pernikahan”.
Definisi di atas mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan
hakikat dari fasakh itu, yaitu:
Pertama: kata “pembatalan” mengandung arti bahwa fasakh mengakhiri
berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya.
Kedua: kata “ikatan pernikahan” yang mengandung arti bahwa yang
dinyatakan tidak boleh berlangsung untuk selanjutnya itu adalah ikatan
perkawinan dan tidak terhadap lainnya.
Ketiga: kata “pengadilan Agama” mengandung arti pelaksanaan atau
tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga
peradilan yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.
Keempat: kata ”berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat
dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah
terlanjur menyalahi hukum pernikahan”, ungkapan ini merupakan alasan
terjadinya fasakh.

Diktat Hukum Perkawinan


209
b. Hukum Fasakh dan Hikmahnya
Pada dasasrnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh
dan tidak pula dilarang.
Adapun hikmah dibolehkan fasakh itu adalah memberikan
kemaslahatan kepada ummat manusia yang telah dan sedang menempuh
hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan itu mungkin ditemukan
hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan
perkawinan, yaitu kehidupan sakinah, mawaddah dan rahmah.
c. Beberapa faktor penyebab terjadinya fasakh
a) Syiqaq
b) Karena cacat
c) Karena ketidakmampuan suami memberi nafkah
d) Karena suami gaib (al-mafqud)
e) Karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.

5. Fahisah (Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 15)


Suatu perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang keji/perbuatan
buruk yang memalukan keluarga seperti perbuatan mesum, penyelewengan
atau perzinahan, lesbian, dan lain-lain.

6. Illa’ (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 226)


Adalah merupakan sumpah yang digantungkan, hal ini dilakukan oleh
suami yang bersumpah tidak akan memcampuri istrinya dan dia tidak akan
menalak atau menceraikan istrinya, sehingga membuat istrinya menderita.
Pada masa jahiliah, illa itu adalah talak, suami tidak mencampuri selama
setahun atau dua tahun dengan maksud untuk menyakiti semata-mata.
Maka agama islam merubahnya dengan menetapkan dasarnya empat bulan.
Adapun dasar hukumnya adalah surat Al-Baqarah ayat 226-227 yaitu:
“Kepada orang-orang yang mengilla istrinya diberi tanggung empat bulan
lamanya, kemudian jika mereka kembali kepada istrinya maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. “Dan jika mereka merasa

Diktat Hukum Perkawinan


210
(bertetap hati) untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”.

7. Zhihar (Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 1,2,3 dan 4)


Adalah seorang suami bersumpah, bahwa istrinya sama dengan
punggung ibunya, hal ini berarti ungkapan khusus bagi orang di tanah arab
yang berarti ia tidak akan mencampuri isterinya lagi karena isterinya sudah
diibaratkan sama dengan ibunya.

8. Li’an (Al-Qur’an surat An-Nur ayat 6 dan 7)


Adalah merupakan sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan
bersedia menerima laknat Allah, hal ini bisaanya terjadi ketika suami
menuduh istrinya berbuat zina, padahal dia sendiri tidak mempunyai saksi.
Dinamakan li’an karena suami istri dalam perkara ini jauh dari rahmat
Allah atau saling menjatuhkan, sehingga tidak dapat dinilai kembali, Li’an
dapat terjadi apabila:
a. Suami telah melontarkan tuduhan zina kepada istrinya dan tidak
sanggup mengemukakan empat orang saksi untuk membuktikannya.
b. Suami menolak atau tidak mengakui anak yang dikandung (dilahirkan)
istrinya sebagai anak kandungnya sendiri. Sebelum ada tuduhan dari
suami li’an tidak akan terjadi.

9. Murtad (Riddah)
Suatu perbuatan dimana salah satu seseorang dari suami atau isteri
keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain atau ke sesuatu yang
bukan agama. Murtad berasal dari bahasa arab yaitu riddah yang
mempunyai arti “kembali ke jalan asal”. Dalam Al-Qur’an pengertian tentang
murtad tidak secara langsung dijelaskan, namun beberapa ayat dalam Al-
Qur’an yang berkaitan dengan murtad antara lain surat An-Nissa: 137
dikatakan bahwa, sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian
kembali menjadi kafir bahkan bertambah ingkarnya, Allah tidaklah akan
mengampuni mereka dan tidak akan menunjukinya jalan yang benar.

Diktat Hukum Perkawinan


211
Terjadinya murtad disebabkan oleh 3 (tiga) hal;
1. Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud kepada berhala, menyembah
bulan atau matahari atau batu, dan sebagainya.
2. Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah atau Rasul-Nya
atau memaki salah seorang Nabi Allah SWT.
3. Itikad (keyakinan), seperti mengitikadkan alam kekal, Allah baru,
menghalalkan zina, mengalalkan minuman arak, dan mengharamkan
yang disepakati ulama akan halalnya.
Menurut Ahmad Rofiq, Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat
terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya
perceraian, yaitu sebagai berikut:
1. Terjadinya Nusyuz dari pihak istri.
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,
penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah
tangga.
2. Nusyuz suami terhadap istri
Kemungkinan Nusyuz tidak hanya datang dari istri, tetapi juga dapat
datang dari suami. Dalam hal ini yaitu apabila terdapat kelalaian dari pihak
suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun
nafkah batin.
3. Terjadinya syiqaq Yaitu suatu keadaan yang terjadi karena kedua-duanya
terlibat dalam percekcokan, misalnya disebabkan kesulitan ekonomi,
sehingga keduanya sering bertengkar.
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan
saling tuduh menuduh antara keduanya.

C. Tata Cara Perceraian


Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa
“gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. Tata cara mengajukan
gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan tersendiri,

Diktat Hukum Perkawinan


212
sebagaimana diatur dalam Pasal 40. Pengadilan yang dimaksud adalah
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri
bagi yang lainnya, sebagaimana diatur pada Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut PP Nomor 9 Tahun 1975, tentang tata cara perceraian dikatakan
antara lain bahwa “seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat
kepada Pengadilan (agama) di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta
meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu,
sebagaimana diatur pada Pasal 14. Mengenai ‘cerai talak’ bagi ummat Islam
diatur dalam Pasal 15,16, 17, dan 18.
Tata cara gugatan perceraian (cerai gugat) di Pengadilan bukan saja
berlaku bagi seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam,
yang menggugat melalui pengadilan agama, tetapi juga bagi suami dan isteri
lain dari Islam yang melakukan perkawinan diluar Islam melalui pengadilan
Negeri diatur mulai dari Pasal 20-36 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Dengan demikian PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur tata cara perceraian
dalam dua (2) cara yaitu:
a. Cerai talak ialah perceraian yang dijatuhkan suami terhadap isteri.
b. Cerai Gugat ialah perceraian yang diajukan isteri terhadap suami.
Sedangkan gugatan cerai, oleh suami atau isteri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama selain Islam atau menurut cara lain, melalui
Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur pada Pasal 20-26 PP Nomor 9 Tahun
1975.

D. Akibat Putusnya Perkawinan


1. Menurut Undang-Undang Perkawinan
a. Karena Perceraian
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dijelaskan mengenai akibat putusnya karena perceraian
adalah sebagai berikut:

Diktat Hukum Perkawinan


213
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak mampu dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi
biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi
bekas isteri.
b. Karena Pembatalan Perkawinan
Suatu Perkawinan yang telah putus oleh karena adanya
permohonan pembatalan dari salah satu pihak baik istri atau suami yang
telah memenuhi ketentuan Pasal 22, 24, 26 dan 27 Undang-Undang
Perkawinan Nomor1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:
1) Menurut Pasal 22, Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
2) Pasal 24, Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dari
salah satu dari kedua belah pihak dan karena masih adanya
perkawinan dapat memajukan pembatalan perkawinan yang baru,
tidak mengurangi Pasal 3 Ayat (2) undang-undang ini yaitu
pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seseorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
3) Menurut Pasal 26, perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai
Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah atau yang di langsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi
dapat diminta pembatalannya oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa, suami atau istri,
hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan dalam

Diktat Hukum Perkawinan


214
Pasal 26 ayat (1), Pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
perkawinan diperbarui supaya sah.
4) Pasal 27, Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di
bawah ancaman yang melanggar hukum, seorang suami atau istri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan salah sangka mengenai diri
suami atau istri.

2. Menurut Hukum Islam


a. Karena Perceraian
Suatu perkawinan yang telah diputuskan oleh karena adanya
putusan cerai sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum
Islam, berdampak pada:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari
ibunya. Bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh wanita-wanita kerabat sedarah garis samping dari
ibu, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah.
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapat
hadanah dari ayah atau ibunya.
3) Pemindahan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai
hak-hak hadhanah oleh pengadilan agama atas permintaan kerabat
yang bersangkutan apabila pemegang hadhanah ternyata tidak
dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun
biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).

Diktat Hukum Perkawinan


215
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama pengadilan memberikan keputusannya
berdasarkan angka 1 sampai dengan 4.
6) Pengadilan dapat pula menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan anak yang tidak turut padanya dengan mengingat
kemampuan ayahnya.
Menurut Hukum Islam hadhanah adalah:
1) Suatu sikap pemeliharaan tehadap anak kecil baik laki-laki maupun
wanita atau yang kurang akal, belum bisa membedakan antara yang
baik dan yang buruk, belum mampu dengan bebas mengurus dirinya
sendiri dan belum tahu mengerjakan suatu untuk kebaikannya, dan
memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan
membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik fisik
ataupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna
dan bertanggung jawab.
2) Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan
menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakannya atau
membahayakannya.
3) Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan
mendidiknya.
4) Mendidik atau mengasuh orang yang tidak mampu mengurus diri
sendiri sampai dapat membedakan yang buruk dangan baik atau
sampai ibu yang mengasuhnya kawin dengan laki-laki lain.
5) Memelihara orang yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri dari
sesuatu yang menyakitinya, karena belum dapat membedakan
antara yang buruk dengan yang baik.
Sementara itu dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam terhadap
putusan perkawinan karena talak, berakibat sebagai berikut:
a. Pemberian mut’ah yang layak kepada bekas istri, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas istri dijatuhi talak qabla addukbul.

Diktat Hukum Perkawinan


216
b. Pemberian nafkah, maskan kiswah kepada bekas istri telah dijatuhi
talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar terutang seluruhnya.
d. Memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
b. Karena Pembatalan Perkawinan
Suatu perkawinan yang telah putus oleh karena adanya
permohonan pembatalan dari salah satu pihak baik istri atau suami yang
telah memenuhi ketentuan Pasal 71 dan 72 Kompilasi Hukum Islam
yaitu:
1. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami
melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, perempuan yang
dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang
mufqud, perempuan yang di kawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain, perkawinan yang melarang batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974,
perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak dan perkawinan yang dilangsungkan dengan
paksaan (Pasal 71).
2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan dibawah
ancaman yang melanggar hukum, seorang suami atau istri dapat
mengajukan permohonan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri (Pasal 72). Sementara itu batalnya
suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Dan terhadap adanya keputusan
pembatalan perkawinan, maka halersebut tidak berlaku surut
terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 serta Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam.

Diktat Hukum Perkawinan


217
BAB XII
PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

E. Menurut Undang-Undang Perkawinan


Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan Nasional yang seirama dan
sejalan dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian,
khususnya cerai hidup, karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan
untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera karena akibat
perbuatan manusia. Sebelum membahas mengenai putusnya perkawinan,
maka harus dibahas terlebih dahulu pengertian perkawinan secara umum.
Perkawinan adalah adalah suatu perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk
keluarga yang kekal, di mana suami istri harus saling menyantuni, mengasihi,
dalam keadaan aman dan penuh kebahagian, moral spirituil dan materil
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada prinsipnya pokok-pokok
perkawinan hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
5. Adanya pergaulan yang ma’ruf antara suami isteri dan saling menjaga
rahasia masing-masing serta saling membantu.
6. Adanya pergaulan yang aman dan tentram (sakinah).
7. Adanya pergaulan yang saling cinta mencintai antara suami istri
(mawaddah).
8. Adanya pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni terutama setelah
tua (rahmah).
Suatu perkawinan itu sendiri baru dapat dikatakan sah, apabila
dilaksanakan sesuai ketentuan, yaitu memenuhi syarat dan rukun perkawinan.
Namun dari tujuan perkawinan itu sendiri kadang tidak berjalan seperti yang
diharapkan, misalnya sering terjadinya pertengkaran, perselisihan atau
percekcokan diantara suami isteri yang mengakibatkan perjalanan dan situasi
serta kondisi rumah tangga tidak harmonis lagi. Akibatnya salah satu pihak
kemudian mengajukan permohonan/gugatan perceraian ke pengadilan, guna
memperoleh putusan cerai dari Pengadilan.

Diktat Hukum Perkawinan


218
Penjelasan umum dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menyebutkan,
karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan
sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
atau mempersulit terjadinya perceraian. Berdasarkan penjelasan umum
tersebut dapat disimpulkan, bahwa prinsip undang-undang perkawinan sejauh
mungkin menghindarkan terjadinya perceraian dalam membina rumah tangga.
Perceraian yang dimaksud harus ada alasan-alasan yang tertentu serta
dilakukan di depan sidang pengadilan. Suatu perkawinan yang bertujuan
untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah,
merupakan keinginan dari setiap pasangan suami isteri. Perkawinan
mempunyai tujuan yang mulia, akan tetapi dalam kenyataannya dapat putus
atau berakhir karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dikatakan bahwa: ”Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian,
b. Perceraian, dan c. atas keputusan Pengadilan”. Pembahasan dari pasal
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
4. Karena Kematian (Cerai Mati)
Kematian adalah meninggalnya salah satu pihak (suami atau isteri) yang
menyebabkan putusnya atau berakhirnya perkawinan. Apabila terdapat
halangan maka isteri atau suami yang ditinggal mati berhak mewarisi atas
harta peninggalan atau sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan
keperluan penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai pemakaman,
kemudian untuk melunasi hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiatnya.
Mengenai putusnya perkawinan tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor Tahun 1974 atau Undang-Undang lain, tetapi hanya menyangkut harta
peninggalan atau harta warisan dari pasangan perkawinan yang meninggal,
karena hal itu diatur dalam hukum waris.
5. Karena Perceraian (Cerai Hidup)
Peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan telah mengatur
secara mendetail mengenai perceraian, mulai dari Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan

Diktat Hukum Perkawinan


219
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Menurut Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”. Ayat (2): “Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun
sebagai suami isteri”.
Adapun alasan atau alasan-alasan yang dijadikan sebagai dasar
perceraian diatur dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 adalah sebagai berikut:
g. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya serta sukar disembuhkan;
h. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
di luar kemampuannya;
i. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
j. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
k. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
l. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
Jika tidak terdapat alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 atau Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka tidak dapat dilakukan perceraian. Bahkan
walaupun alasan tersebut terpenuhi, akan tetapi masih mungkin antara suami
istri untuk hidup rukun kembali, maka perceraian tidak dapat dilakukan.

Diktat Hukum Perkawinan


220
6. Atas Keputusan Pengadilan
Pasal 38 huruf (c) Undang-Undang Perkawinan mengatakan putusnya
perkawinan atas Putusan Pengadilan berbeda dengan keputusan pengadilan
dalam rangka perceraian, baik cerai talak ataupun cerai gugat. Putusnya
perkawinan dimaksud yaitu tanpa adanya permohonan pembatalan atau gugat
cerai dari pihak suami atau isteri atau keluarganya atau yang diatur dalam
Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UU Perkawinan. Sedangkan menurut Pasal 23
UU Perkawinan permohonan pembatalan perkawinan ini di samping dapat
diajukan oleh keluarga dari suami istri atau masing-masing suami istri
bersangkutan, dapat pula diajukan oleh pemerintah yang berwenang. Sehingga
dengan demikian, mungkin saja suami istri tidak ingin bercerai atau
membatalkan perceraian tersebut, tetapi oleh pejabat pemerintah yang
berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan tersebut.
Jika memang perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat suatu
perkawinan, sesuai dengan bunyi Pasal 22 UU Perkawinan yaitu, perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan, misalnya melanggar larangan perkawinan
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu suami istri ternyata
masih saudara kandung dan perkawinan juga berdasarkan suatu agama
tertentu, mungkin pasangan tersebut tidak ingin bercerai tetapi perkawinan
tersebut tidak sah lagi, sehingga pihak yang berwenang perlu mengusahakan
melakukan pembatalan.

F. Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam


Menurut Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, putusnya perkawinan
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
3. Karena Kematian (Cerai Mati)
Perkawinan yang telah berjalan sekian lama dapat menjadi putus
seketika, jika salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal terlebih
dahulu.

Diktat Hukum Perkawinan


221
4. Karena Perceraian
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan yang terdapat dalam Pasal 116
Kompilasi Hukum Islam) yaitu sebagai berikut:
j. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
k. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
l. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
penganiayaan berat setelah perkawinan berlangsung.
m. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
n. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat
o. Menjalankan kewajiban sebagai suami atau isteri.
p. Antara suami terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan
tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
q. Suami melanggar taklik talak.
r. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.

Selain itu perceraian itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa hal:
3. Gugat Cerai (diajukan oleh pihak isteri)
Permohonan gugat cerai oleh pihak istri diajukan secara tertulis
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan
menyertai alasan (Pasal 32 Kompilasi Hukum Islam). Namun sebelumnya
pengadilan dalam setiap kesempatan tetap berusaha mendamaikan kedua
belah pihak dan meminta bantuan kepada Badan Penasehat Penyelesaian
Perceraian (BP-4).

Diktat Hukum Perkawinan


222
4. Permohonan Talak (diajukan oleh pihak suami )
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya
hendaknya mengajukan permohonan secara lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disetai dengan
alasan serta minta diadakan sidang sebagaimana diatur dalam Pasal 129
Kompilasi Hukum Islam.
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut dan terhadap putusan tersebut dapat diminta upaya hukum
banding atau kasasi.
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Di dalam Kompilasi
Hukum Islam telah diatur bahwa akibat talak akan menimbulkan kewajiban
bagi suami terhadap bekas istrinya yaitu sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, bila perkawinan putus karena talak maka
bekas suami wajib:
e. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang/ harta benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
f. Memberi nafkah maskan dan kiswah kepada bekas istri selama massa
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak.
g. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila
qobla al dukhul.
h. Memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun.
Adapun bentuk-bentuk putusnya hubungan perkawinan menurut hukum
Islam adalah sebagai berikut:
10. Ta’lik Talak (Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 128)
Artinya talak yang digantungkan terjadinya terhadap suatu peristiwa
tertentu sesuai dengan perjanjian. Ta’lik talak ini terlihat di dalam setiap
mempelai laki-laki selesai mengucapkan ijab kabul, mengucapkan lagi iklar
ta’lik talak yang berbunyi: “Apabila saya (suami) meninggalkan istri saya 6
(enam) bulan berturut-turut, tanpa memberi kabar dan memberi nafkah
kepada istri saya atau apabila saya memukul/ menyakiti isteri saya

Diktat Hukum Perkawinan


223
melampaui batas dan berbekas atau apabila isteri saya tidak ridha datang
kepada saya atau pihak yang berwajib atau KUA atau Masjid dan membayar
uang iwadh sebesar yang ditentukan, maka jatuhlah talak saya satu.
11. Talaq
d. Pengertian talaq
Thalaq berasal dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya
“melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’, talak yaitu:
melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Al-Jaziry mendefinisikan:
Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatanya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya
(talak ba’in sugra), sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari
tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak
talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.

e. Hukum Talaq
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan perintah Allah dan
Sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya
melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi aturan Allah
dan Sunnah Rasul tersebut. Meskipun demikian, bila hubungan
pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga
akan menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka
pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya
perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang
dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.
Walaupun hukum asal dari thalaq itu adalah makruh, namun
melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalaq itu
adalah sbb;

Diktat Hukum Perkawinan


224
6. Wajib, jika kedua orang hakim memandang bahwa perceraian lebih
baik bagi mereka, Jadi jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan
apa-apa selain keburukan, perselisihan pertengkaran dan bahkan
menjerumus keduanya ke dalam kemaksiatan, maka saat itulah talak
menjadi wajib.
7. Makruh, yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan
kebutuhan.
8. Haram/Mahzhur (terlarang) yaitu talak yang dilakukan ketika isteri
sedang haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli. Para ulama
di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. (disebut juga
dengan talak bid’ah).
Apabila dilakukan dapat menimbulkan kemudharatan bagi dirinya
dan bagi isterinya. Atau tidak mendatangkan manfaat apapun.
Tindakan ini haram, sama seperti menghambur-hamburkan uang.
Dan didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW, yang artinya;”sesuatu hal
yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.
9. Mubah, talak yang dilakukan karena adanya kebutuhan, misalnya
karena buruknya akhlak isteri dan kurang baiknya pergaulannya yang
hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan
perkawinan.
10. Sunnah, yaitu yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak
Allah yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan
kewajiban lainnya. Atau isteri tidak lagi menjaga kehormatan dan
kesucian dirinya.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An.Nisa’ ayat
19, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata”.

Diktat Hukum Perkawinan


225
Bisa jadi talak dalam kondisi seperti ini bersifat wajib. Hal itu
sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits, dari Ibnu Abbas, ia
bercerita, “ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah dan
mengatakan ‘sesungguhnya isteriku tidak melarang tangan orang yang
menyentuhnya’, maka beliau bersabda ‘ceraikanlah ia’ lalu orang itu
berkata, ‘aku takut diriku akan mengikutinya’. Kemudian beliau
bersabda, ‘Bersenang-senanglah dengannya.” (HR.Abu Dawud dan Nasa’i).
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 1, artinya;
”Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)”.

f. Macam-macam talaq
Talaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa
keadaan. Dengan melihat kepada keadaan isteri waktu talaq itu
diucapkan oleh suami, thalaq itu ada dua macam;
c. Talaq Sunni, yaitu talaq yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah.
d. Talaq bid’i, yaitu talaq yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan
sunnah atau talaq yang diucapakan/dijatuhkan oleh suami sewaktu
isteri dalam keadaan haid (mentruasi)
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami
rujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua macam,
sebagai berikut;
c. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang
telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari
isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Dalam talak ini bekas suami boleh kembali kepada bekas isteri yang
tidak memerlukan pembaruan akad nikah(rukun dan syarat).
d. Talak ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas
suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke
dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad
nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.

Diktat Hukum Perkawinan


226
Talak ba’in ada dua macam;
1) Talak ba’in shugra, talak yang menghilangkan pemilikan bekas
suami terhadap isteri, tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas
suami untuk kawin kembali dengan bekas isteri.
2) Talak ba’in kubra, yaitu talak yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap bekas isteri serta menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas isterinya.(isteri
kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain serat telah bercerai
secara wajar).

12. Khuluk/mubaraah (Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229)


d. Pengertian Khuluk
Khulu’ ini diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 yang
artinya: Apabila kamu khawatir bahwa suami istri tidak akan
menjalankan hukum-hukum Allah SWT, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang pembayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya”.
Menurut bahasa, kata khulu’ berarti tebusan. Dan menurut istilah
khulu’ berarti talak yang diucapkan isteri dengan mengembalikan mahar
yang pernah dibayarkan suaminya. Artinya tebusan itu dibayarkan oleh
seorang isteri kepada suaminya yang dibencinya, agar suaminya itu dapat
menceraikannya.
Jadi istri bisa membebaskan dirinya dari perjanjian perkawinan
dengan mengembalikan sejumlah uang tebusan/mahar. Artinya suatu
ikatan perkawinan dapat putus oleh karena adanya kehendak dari istri
oleh karena suatu sebab, sedangkan suaminya memberikan kepada
istrinya suatu khuluk, yang artinya melepaskan kekuasaannya sebagai
suami dan memberikan kepada istrinya dalam bentuk talak.
e. Hukum khulu’
Jika ada seorang wanita membenci suaminya karena keburukan akhlak,
ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombongan atau karena
yang lain-lain dan ia sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak
Allah Azza wa Jalla, maka diperbolehkan baginya meng-khulu’, dengan

Diktat Hukum Perkawinan


227
cara memberikan ganti berupa tebusan untuk menebus dirinya darinya
(suaminya), sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-
Baqarah ayat 229, yang artinya: “……. tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144].
Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-
orang yang zalim.

Tetapi jika tidak ada alasan apa pun bagi isteri untuk meminta cerai,
lalu ia meminta tebusan dari suaminya, maka oleh karena itu Ibnu Jarir
telah meriwayatkan, dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda.
Artinya;” wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya
tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga”.
(HR. Tirmidzi).
f. Syarat khulu’
Ada beberapa syarat bagi pasangan suami isteri untuk bisa
melakukan khulu’ syarat-syarat itu adalah;
3. Seorang isteri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan
khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa
takut tidak akan menegakkan hukum Allah Azza wa Jalla.
4. Khulu’ itu dilakukan hendaknya sampai selesai tanpa dibarengi
dengan tindakan penganiayaanyang dilakukan oleh suami, jika pihak
suami melakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh mengambil
sesuatu pun dari isterinya.
Sedangkan Muibara’ah, artinya baik istri maupun suami sama-sama
membebaskan dirinya dari kekuasaan sebagai suami maupun istri
dengan memenuhi persyaratan antara lain:
c. Harus ada persetujuan bebas dari suami dan istri.
d. Pemberian iwadh oleh istri kepada suami sebagai penebus/
pengembalian mahar yang dulu pernah diterima.

Diktat Hukum Perkawinan


228
13. Fasakh
d. Pengertian
Adalah suatu lembaga pemutus hubungan perkawinan karena tertipu
atau karena tidak mengetahui sebelum perkawinan bahwa istri yang
telah dinikahinya itu ada cacat celanya seperti mempunyai penyakit
menular atau gila, dan lain-lain.
Pengertian fasakh itu sendiri ialah pembatalan akad dan
melepaskan ikatan perkawinan antara suami dengan istri. Fasakh dapat
terjadi karena cacat dalam akad atau karena sebab lain yang datang
kemudian dan mencegah kelanjutan perkawinan.
Dalam arti terminologi ditemukan beberapa rumusan yang hampir
bersamaan maksudnya, diantaranya yang terdapat pengertian berikut
ini:
“Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama
atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum
pernikahan”.
Definisi di atas mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan
hakikat dari fasakh itu, yaitu:
Pertama: kata “pembatalan” mengandung arti bahwa fasakh mengakhiri
berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya.
Kedua: kata “ikatan pernikahan” yang mengandung arti bahwa yang
dinyatakan tidak boleh berlangsung untuk selanjutnya itu adalah ikatan
perkawinan dan tidak terhadap lainnya.
Ketiga: kata “pengadilan Agama” mengandung arti pelaksanaan atau
tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga
peradilan yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.
Keempat: kata ”berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat
dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah
terlanjur menyalahi hukum pernikahan”, ungkapan ini merupakan alasan
terjadinya fasakh.

Diktat Hukum Perkawinan


229
e. Hukum Fasakh dan Hikmahnya
Pada dasasrnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh
dan tidak pula dilarang.
Adapun hikmah dibolehkan fasakh itu adalah memberikan
kemaslahatan kepada ummat manusia yang telah dan sedang menempuh
hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan itu mungkin ditemukan
hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan
perkawinan, yaitu kehidupan sakinah, mawaddah dan rahmah.
f. Beberapa faktor penyebab terjadinya fasakh
f) Syiqaq
g) Karena cacat
h) Karena ketidakmampuan suami memberi nafkah
i) Karena suami gaib (al-mafqud)
j) Karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.

14. Fahisah (Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 15)


Suatu perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang keji/perbuatan
buruk yang memalukan keluarga seperti perbuatan mesum, penyelewengan
atau perzinahan, lesbian, dan lain-lain.

15. Illa’ (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 226)


Adalah merupakan sumpah yang digantungkan, hal ini dilakukan oleh
suami yang bersumpah tidak akan memcampuri istrinya dan dia tidak akan
menalak atau menceraikan istrinya, sehingga membuat istrinya menderita.
Pada masa jahiliah, illa itu adalah talak, suami tidak mencampuri selama
setahun atau dua tahun dengan maksud untuk menyakiti semata-mata.
Maka agama islam merubahnya dengan menetapkan dasarnya empat bulan.
Adapun dasar hukumnya adalah surat Al-Baqarah ayat 226-227 yaitu:
“Kepada orang-orang yang mengilla istrinya diberi tanggung empat bulan
lamanya, kemudian jika mereka kembali kepada istrinya maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. “Dan jika mereka merasa

Diktat Hukum Perkawinan


230
(bertetap hati) untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”.

16. Zhihar (Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 1,2,3 dan 4)


Adalah seorang suami bersumpah, bahwa istrinya sama dengan
punggung ibunya, hal ini berarti ungkapan khusus bagi orang di tanah arab
yang berarti ia tidak akan mencampuri isterinya lagi karena isterinya sudah
diibaratkan sama dengan ibunya.

17. Li’an (Al-Qur’an surat An-Nur ayat 6 dan 7)


Adalah merupakan sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan
bersedia menerima laknat Allah, hal ini bisaanya terjadi ketika suami
menuduh istrinya berbuat zina, padahal dia sendiri tidak mempunyai saksi.
Dinamakan li’an karena suami istri dalam perkara ini jauh dari rahmat
Allah atau saling menjatuhkan, sehingga tidak dapat dinilai kembali, Li’an
dapat terjadi apabila:
c. Suami telah melontarkan tuduhan zina kepada istrinya dan tidak
sanggup mengemukakan empat orang saksi untuk membuktikannya.
d. Suami menolak atau tidak mengakui anak yang dikandung (dilahirkan)
istrinya sebagai anak kandungnya sendiri. Sebelum ada tuduhan dari
suami li’an tidak akan terjadi.

18. Murtad (Riddah)


Suatu perbuatan dimana salah satu seseorang dari suami atau isteri
keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain atau ke sesuatu yang
bukan agama. Murtad berasal dari bahasa arab yaitu riddah yang
mempunyai arti “kembali ke jalan asal”. Dalam Al-Qur’an pengertian tentang
murtad tidak secara langsung dijelaskan, namun beberapa ayat dalam Al-
Qur’an yang berkaitan dengan murtad antara lain surat An-Nissa: 137
dikatakan bahwa, sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian
kembali menjadi kafir bahkan bertambah ingkarnya, Allah tidaklah akan
mengampuni mereka dan tidak akan menunjukinya jalan yang benar.

Diktat Hukum Perkawinan


231
Terjadinya murtad disebabkan oleh 3 (tiga) hal;
4. Perbuatan yang mengkafirkan, seperti sujud kepada berhala, menyembah
bulan atau matahari atau batu, dan sebagainya.
5. Perkataan yang mengkafirkan, seperti menghina Allah atau Rasul-Nya
atau memaki salah seorang Nabi Allah SWT.
6. Itikad (keyakinan), seperti mengitikadkan alam kekal, Allah baru,
menghalalkan zina, mengalalkan minuman arak, dan mengharamkan
yang disepakati ulama akan halalnya.
Menurut Ahmad Rofiq, Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat
terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya
perceraian, yaitu sebagai berikut:
5. Terjadinya Nusyuz dari pihak istri.
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,
penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah
tangga.
6. Nusyuz suami terhadap istri
Kemungkinan Nusyuz tidak hanya datang dari istri, tetapi juga dapat
datang dari suami. Dalam hal ini yaitu apabila terdapat kelalaian dari pihak
suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun
nafkah batin.
7. Terjadinya syiqaq Yaitu suatu keadaan yang terjadi karena kedua-duanya
terlibat dalam percekcokan, misalnya disebabkan kesulitan ekonomi,
sehingga keduanya sering bertengkar.
8. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan
saling tuduh menuduh antara keduanya.

G. Tata Cara Perceraian


Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa
“gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. Tata cara mengajukan
gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan tersendiri,

Diktat Hukum Perkawinan


232
sebagaimana diatur dalam Pasal 40. Pengadilan yang dimaksud adalah
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri
bagi yang lainnya, sebagaimana diatur pada Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut PP Nomor 9 Tahun 1975, tentang tata cara perceraian dikatakan
antara lain bahwa “seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat
kepada Pengadilan (agama) di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta
meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu,
sebagaimana diatur pada Pasal 14. Mengenai ‘cerai talak’ bagi ummat Islam
diatur dalam Pasal 15,16, 17, dan 18.
Tata cara gugatan perceraian (cerai gugat) di Pengadilan bukan saja
berlaku bagi seorang isteri yang melakukan perkawinan menurut agama Islam,
yang menggugat melalui pengadilan agama, tetapi juga bagi suami dan isteri
lain dari Islam yang melakukan perkawinan diluar Islam melalui pengadilan
Negeri diatur mulai dari Pasal 20-36 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Dengan demikian PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur tata cara perceraian
dalam dua (2) cara yaitu:
c. Cerai talak ialah perceraian yang dijatuhkan suami terhadap isteri.
d. Cerai Gugat ialah perceraian yang diajukan isteri terhadap suami.
Sedangkan gugatan cerai, oleh suami atau isteri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama selain Islam atau menurut cara lain, melalui
Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur pada Pasal 20-26 PP Nomor 9 Tahun
1975.

H. Akibat Putusnya Perkawinan


3. Menurut Undang-Undang Perkawinan
c. Karena Perceraian
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dijelaskan mengenai akibat putusnya karena perceraian
adalah sebagai berikut:

Diktat Hukum Perkawinan


233
4) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
5) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak mampu dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu memikul biaya tersebut.
6) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi
biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi
bekas isteri.
d. Karena Pembatalan Perkawinan
Suatu Perkawinan yang telah putus oleh karena adanya
permohonan pembatalan dari salah satu pihak baik istri atau suami yang
telah memenuhi ketentuan Pasal 22, 24, 26 dan 27 Undang-Undang
Perkawinan Nomor1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut:
5) Menurut Pasal 22, Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
6) Pasal 24, Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dari
salah satu dari kedua belah pihak dan karena masih adanya
perkawinan dapat memajukan pembatalan perkawinan yang baru,
tidak mengurangi Pasal 3 Ayat (2) undang-undang ini yaitu
pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seseorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
7) Menurut Pasal 26, perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai
Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah atau yang di langsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi
dapat diminta pembatalannya oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa, suami atau istri,
hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan dalam

Diktat Hukum Perkawinan


234
Pasal 26 ayat (1), Pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
perkawinan diperbarui supaya sah.
8) Pasal 27, Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di
bawah ancaman yang melanggar hukum, seorang suami atau istri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan salah sangka mengenai diri
suami atau istri.

4. Menurut Hukum Islam


c. Karena Perceraian
Suatu perkawinan yang telah diputuskan oleh karena adanya
putusan cerai sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum
Islam, berdampak pada:
7) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari
ibunya. Bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh wanita-wanita kerabat sedarah garis samping dari
ibu, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah.
8) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapat
hadanah dari ayah atau ibunya.
9) Pemindahan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai
hak-hak hadhanah oleh pengadilan agama atas permintaan kerabat
yang bersangkutan apabila pemegang hadhanah ternyata tidak
dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun
biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi.
10) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).

Diktat Hukum Perkawinan


235
11) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama pengadilan memberikan keputusannya
berdasarkan angka 1 sampai dengan 4.
12) Pengadilan dapat pula menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan anak yang tidak turut padanya dengan mengingat
kemampuan ayahnya.
Menurut Hukum Islam hadhanah adalah:
6) Suatu sikap pemeliharaan tehadap anak kecil baik laki-laki maupun
wanita atau yang kurang akal, belum bisa membedakan antara yang
baik dan yang buruk, belum mampu dengan bebas mengurus dirinya
sendiri dan belum tahu mengerjakan suatu untuk kebaikannya, dan
memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan
membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik fisik
ataupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna
dan bertanggung jawab.
7) Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan
menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakannya atau
membahayakannya.
8) Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan
mendidiknya.
9) Mendidik atau mengasuh orang yang tidak mampu mengurus diri
sendiri sampai dapat membedakan yang buruk dangan baik atau
sampai ibu yang mengasuhnya kawin dengan laki-laki lain.
10)Memelihara orang yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri dari
sesuatu yang menyakitinya, karena belum dapat membedakan
antara yang buruk dengan yang baik.
Sementara itu dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam terhadap
putusan perkawinan karena talak, berakibat sebagai berikut:
e. Pemberian mut’ah yang layak kepada bekas istri, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas istri dijatuhi talak qabla addukbul.

Diktat Hukum Perkawinan


236
f. Pemberian nafkah, maskan kiswah kepada bekas istri telah dijatuhi
talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
g. Melunasi mahar terutang seluruhnya.
h. Memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
d. Karena Pembatalan Perkawinan
Suatu perkawinan yang telah putus oleh karena adanya
permohonan pembatalan dari salah satu pihak baik istri atau suami yang
telah memenuhi ketentuan Pasal 71 dan 72 Kompilasi Hukum Islam
yaitu:
3. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami
melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, perempuan yang
dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang
mufqud, perempuan yang di kawini ternyata masih dalam iddah dari
suami lain, perkawinan yang melarang batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974,
perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak dan perkawinan yang dilangsungkan dengan
paksaan (Pasal 71).
4. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan dibawah
ancaman yang melanggar hukum, seorang suami atau istri dapat
mengajukan permohonan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri (Pasal 72). Sementara itu batalnya
suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Dan terhadap adanya keputusan
pembatalan perkawinan, maka halersebut tidak berlaku surut
terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 serta Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam.

Diktat Hukum Perkawinan


237
ss

Diktat Hukum Perkawinan


238

Anda mungkin juga menyukai