1
KATA PENGANTAR
DAFTAR PUSTAKA
PERTANYAAN-PERTANYAAN LATIHAN
A. Latar Belakang
Perjalanan hidup manusia pada umumnya akan mengalami 3 (tiga) peristiwa
hukum penting, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dari ketiga peristiwa
hukum tersebut, jika dikaitkan dengan kedudukan manusia sebagai warga negara,
maka peristiwa yang terpenting adalah perkawinan, karena perkawinan adalah suatu
perilaku makhluk ciptaan Allah Swt untuk menjaga eksistensi manusia di alam
dunia. Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang meliputi
kebutuhan lahiriah maupun batiniah. Kebutuhan lahiriah tersebut terdorong oleh
naluri manusia untuk mengembangkan keturunan yang sah, ini bersifat biologis.
Unsur rohaniah dalam perkawinan merupakan penjelmaan dari hasrat manusia
untuk hidup berpasang-pasangan dengan rasa kasih sayang.
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menyatakan bagi
suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya suatu Undang-
Undang Perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat.
Hal ini bermakna bahwa dengan terbitnya Undang-Undang Perkawinan
maka keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan di berbagai
daerah dapat diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya,
ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, sepanjang belum diatur secara tersendiri
oleh Undang-Undang Perkawinan dan hal ini tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Perkawinan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan atau sebelum adanya
unifikasi peraturan dibidang perkawinan, kondisi hukum perkawinan di Indonesia
sangat pluralistik. Hal ini ditandai dengan berlakunya beraneka ragam hukum
perkawinan bagi orang Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
(perkawinan) Islam yang telah diresepsi oleh hukum adat;
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang berarti perjodohan antara
laki-laki dengan perempuan menjadi suami-isteri; nikah; beristeri atau
bersuami; atau bersetubuh. Sedangkan perkawinan berarti pernikahan; hal
(urusan dan sebagainya) kawin.
Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting dalam kehidupan
manusia, karena di dalamnya mengandung berbagai unsur hak dan kewajiban
masing-masing pihak, menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang
harus dipenuhi, baik itu menyangkut dengan hak dan kewajiban suami isteri
maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, harta kekayaan
perkawinan, kewarisan dan faktor kependudukan (demografi) di dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat.
Dalam memberikan rumusan pengertian perkawinan dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang, yaitu menurut hukum agama yang dianut, hukum
adat, peraturan perundang-undangan bidang perkawinan dan pendapat para
sarjana, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Hukum Masing-masing Agama
a. Agama Islam
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat
dilaksanakan oleh orang yang telah baligh atau cukup umur dan berakal
sehat, yang telah diberikan kewajiban hukum untuk melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan (mukallaf) yang memenuhi syarat.
Pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk mentati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan
warahmah.
Sakinah adalah suasana kehidupan dalam rumah tangga suami
isteri terdapat keadaan yang aman dan tenteram, tidak terjadi silang
sengketa atau pertentangan pendapat yang prinsipil. Mawaddah adalah
C. Asas-Asas Perkawinan
1. Menurut Undang-Undang Perkawinan
Dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi
dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Adapun prinsip-prinsip
atau asas-asas mengenai perkawinan yang diatur dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri harus saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan mencapai
kesejahteraan baik materil maupun spirituil.
b. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan harus dicatat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan penting lainnya dalam
kehidupan seseorang, seperti halnya dengan kelahiran, kematian dan suatu
akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-Undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan karena hukum atau ketentuan agamanya
mengizinkannya, maka seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang,
meskipun hal itu dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu yang
diputuskan oleh pengadilan.
d. Calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri
Calon Mempelai
Adanya calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan
merupakan syarat mutlak (absolut) dalam suatu perkawinan. Tidak dapat
dikatakan suatu perkawinan apabila hanya ada seorang laki-laki saja atau
seorang perempuan saja, atau kedua-duanya laki-laki atau kedua-duanya
perempuan semua dan disyaratkan adalah bukan mahram sendiri. Mahram
adalah perempuan yang harus dikawini, yaitu mahram karena keturunan,
saudara sesusuan atau mahram perkawinan (semenda) berdasarkan
ketentuan Al-Qur’an yang terdapat dalam beberapa Surat sebagai berikut:
1. Surat An-Nisa’ Ayat 22, artinya:
”Dan janganlah kamu kawina wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.
B. Syarat-syarat Perkawinan
5. Akad Nikah:
a. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun
dan tidak berselang waktu;
b. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan;
c. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara
pribadi;
d. Dalam hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk
mempelai pria;
e. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Persetujuan kedua calon mempelai adalah bahwa perkawinan yang akan
dilangsungkan harus berdasarkan kehendak yang bebas dari kedua calon
mempelai. Adanya persetujuan atau kesukarelaan dari kedua mempelai untuk
melangsungkan perkawinan merupakan syarat yang sangat penting untuk
membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera.
Perlunya izin dari orang tua sangat berkaitan dengan pertanggung
jawaban orang tua dalam pemeliharaan anak. Orang tua telah bersusah payah
membesarkan anak-anaknya sehingga kebebasan yang ada pada anak untuk
menentukan pilihan calon suami atau isteri jangan sampai menghilangkan
fungsi atau tanggung jawab orang tua.
Dengan adanya pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan,
maka kekaburan terhadap penafsiran batasan umur baik yang terdapat di
dalam hukum adat maupun hukum Islam sendiri dapat dihindari. Penentuan
F. Sahnya Perkawinan
Mengenai sahnya suatu perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-
Undang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Berdasarkan rumusan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
dapat disimpulkan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan dapat dirujuk
kepada beberapa pendapat sarjana sebagai berikut:
1. Semata-mata ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti bahwa suatu
perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum
agama, dengan sendirinya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak
mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan;
2. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata
tertib salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan
perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon
suami isteri dan/atau keluarganya;
3. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh Pegawai
Pencatat Nikah dari Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi orang non muslim
A. Larangan Perkawinan
Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat
perkawinan yang telah ditentukan belum tentu perkawinan tersebut akan
berjalan dengan mulus, karena masih tergantung pada satu hal lagi,
perkawinan tersebut telah terlepas dari segala macam hal-hal yang
menghalanginya. Halangan perkawinan tersebut disebut juga dengan larangan
perkawinan.
Adapun yang dimaksudkan dengan larangan perkawinan adalah orang-
orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Artinya perempuan yang mana
saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki ataupun sebaliknya, laki-
laki mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang perempuan. Sifat
larangan perkawinan itu berupa berlainan agama dan keyakinan, hubungan
darah, hubungan sepersusuan, karena hubungan semenda (hubungan
perkawinan yang terdahulu) dan larangan poliandri (bersuami lebih dari satu
orang pada waktu yang bersamaan).
Larangan perkawinan yang akan diuraikan dalam pembahasan ini adalah
larangan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Al-Qur’an,
Hadist Nabi Muhammad SAW dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
1. Larangan perkawinan menurut Hukum Agama
a. Larangan perkawinan karena perbedaan agama dalam Islam, secara
tegas tertulis dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 221, dengan
ketentuannya sebagai berikut:
1) Jangan kamu kawini perempuan musyrik hingga dia beriman;
2) Jangan kamu kawinkan laki-laki musyrik hingga dia beriman;
3) Orang musyrik itu membawa kepada neraka sedangkan Tuhan
membawa kamu kepada kebaikan dan kemampuan;
4) Dihubungkan dengan Surat Al-Mumtahanah Ayat 10 dengan
ketentuan:
“…Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan
perempuan-perempuan kafir…”
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan
isterinya:
a. Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-
isterinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri
tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut
putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.
B. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah perbuatan untuk menghalangi,
merintangi, menahan, tidak menurutkan, sehingga suatu perkawinan tidak
berlangsung. Pencegahan perkawinan dilakukan apabila syarat-syarat
perkawinan tidak dipenuhi. Misalnya tidak persetujuan dari salah seorang atau
kedua calon mempelai, tidak ada izin dari pengadilan, calon mempelai belum
cukup umur dan melanggar larangan perkawinan, serta tidak memenuhi syarat
untuk berpoligami dan melanggar waktu adalah perintah atau aturan yang
melarang berbuat sesuatu.
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh keluarga dari garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara calon mempelai dan pihak lain
yang berkepentingan apabila:
1. Terdapat pelanggaran umur perkawinan, yaitu umur calon mempelai laki-
laki kurang dari 19 (sembilan belas) tahun dan umur calon mempelai
C. Pembatalan Perkawinan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan
Menurut hukum Islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan
hukum taklifi maupun hukum wad’i bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad,
fasid atau batal (batil) (). Sehubungan dengan sahnya perkawinan selain harus
memenuhi syarat dan rukun perkawinann juga harus memperhatikan berbagai
ketentuan perkawinan dalam hukum agama. Jika dikemudian hari ditemukan
penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan, maka perkawinan
tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan
perkawinan yang telah ada menjadi putus. Maksudnya adalah bahwa
perkawinan tersebut dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah ada. Pasangan
suami isteri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin dan
tidak pernah berstatus sebagai suami isteri. Jadi status mereka kembali kepada
status awal mereka sebelum melangsungkan perkawinan, yaitu perjaka atau
perawan.
Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan dengan tegas menyebutkan:
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Kata “dapat” disini bisa diartikan
bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Perkawinan dapat dibatalkan berarti
sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya
pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.
Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa:
“Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan”. Hal ini
disebabkan pembatalan perkawinan membawa berbagai implikasi hukum,
baik terhadap suami isteri itu sendiri, anak-anak yang dilahirkan dalam
D. Pelaksanaan Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
perkawinan dilangsungkan pada hari ke 10 (sepuluh) sejak pengumuman
kehendak perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan
dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, maka akad nikahnya dilakukan oleh wali
nikah atau yang mewakilinya.
Di dalam praktek berlangsungnya perkawinan menurut agama Islam
dilakukan disalah satu tempat dari rumah kedua mempelai. Di rumah calon
mempelai laki-laki/perempuan atau keluarganya atau di Balai Nikah (Kantor
Urusan Agama), yang dilakukan oleh wali calon mempelai wanita dengan dua
saksi dan dihadiri oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
E. Tata Cara dan Akta Perkawinan
1. Akad nikah dilangsungkan di bawah pengawasan dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah. Setelah akad nikah dilangsungkan, nikah itu dicatat dalam
akta nikah rangkap dua (Model N).
2. Bila nikah dilangsungkan di luar Balai Nikah, nikah itu dicatat pada halaman
4 Model NB dan ditandatangani oleh Suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi
serta Pegawai Pencatat Nikah yang mengawasinya. Kemudian segera dicatat
dalam akta nikah (Model N), dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat
Nikah atau wakil Pegawai Pencatat Nikah.
3. Akta nikah dibaca atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti
oleh yang bersangkutan dan saksi-saksi kemudian ditandatangani oleh
suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan Pegawai Pencatat Nikah atau wakil
Pegawai Pencatat Nikah.
4. Pegawai Pencatat Nikah membuatkan kutipan akta nikah (Model NA)
rangkap dua, dengan kode dan nomor yang sama.
5. Kutipan akta nikah diberikan kepada suami dan isteri.
6. Nomor ditengah pada Model NB diberi nomor yang sama dengan nomor
akta nikah.
A. Pengertian Poligami
Hukum agama yang mengatur tentang poligami adalah hukum Islam dan
juga hukum Hindu, sedangkan hukum Katolik/Protestan dan Budha tidak
memperkenankan poligami. Perkataan poligami berasal dari bahasa Yunani,
yang terdiri dari dua pokok kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak,
gamein berarti kawin. Jadi poligami berarti perkawinan banyak. Dalam bahasa
Indonesia disebut "Permaduan". Dalam teori hukum, poligami dirumuskan
sebagai sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang
isteri.
Poligami atau mempunyai lebih dari satu isteri bukan merupakan
masalah baru. Poligami sudah ada sejak dahulu. Bangsa Arab dan bangsa-
bangsa lain bahkan berpoligami jauh sebelum kedatangan agama Islam.
Apabila ditelaah kitab Yahudi dan Nasrani, akan didapatkan bahwa poligami
sudah menjadi jalan hidup yang diakui keberadaannya.
Data-data historis secara jelas menginformasikan bahwa ribuan tahun
sebelum Islam turun di jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia
telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga
ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk
pada masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat
itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah isteri maupun syarat moralitas
keadilan.
Lalu Islam datang melakukan koreksi total secara radikal terhadap
perilaku poligami yang tidak manusiawi itu. Koreksi Islam menyangkut dua
hal: Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, dan kedua, ini yang paling
radikal bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin keadilan
untuk para isteri. Perubahan drastis inilah yang diapresiasi Robert Bellah,
sosiolog terkenal asal Amerika sehingga menyebut Islam sebagai agama yang
sangat modern untuk ukuran masa itu.
Bangsa Arab jahiliah biasa kawin dengan sejumlah perempuan dan
menganggap mereka sebagai harta kekayaan, bahkan dalam sebagian besar
kejadian, poligami itu seolah-olah bukan seperti perkawinan, karena
E. Hikmah Poligami
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan
syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul.
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun
isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebgai isteri, atau ia mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Kemudian nabi bersabda “orang yang paling baik di antara kamu adalah
orang yang paling baik memperlakukan anggota keluarga.”
A. Pengertian Anak
Definisi mengenai anak banyak ditemui dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah anak, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Undang-Undang 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, memberikan
definisi: “Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-
dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya”.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
memberikan definisi: “Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri
dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara
utuh, serasi, selaras dan seimbang.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
memberikan definisi: “Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya”.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan
Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, memberikan definisi: “Anak
adalah sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam
pembangunan bangsa dan Negara”.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 1 berlaku
sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan.
Sebab turunnya ayat di atas berkenaan dengan Kannaz bin Hasin Al-
Ghanawi yang diutus Rasulullah SAW ke Mekkah dengan membawa sebuah
misi. Di Mekkah Kannaz bin Hasin Al-Ghanawi mengenal seorang perempuan
bernama ‘Anaz yang sangat dicintainya semenjak zaman Jahiliyah pra Islam
pra Islam. Kannaz datang menemui ‘Anaz dan memberitahu kepadanya bahwa
Islam melarang apa pun yang biasanya dilakukan di zaman jahiliah, lantas si
perempuan tadi menjawab; ”Kalau begitu, kawinilah aku”. Kannaz
menjawab;”Terlebih dahulu aku meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW”.
Dan setelah bertemu dengan Rasulullah, kemudian Kannaz menceritakan
semuanya apa yang telah dialami semasa di Mekkah dan Nabi menjawab;”
Kamu tidak boleh mengawini perempuan musyrik, karena kamu seorang
muslim, sementara ‘Anaz adalah seorang perempuan Musyrik”.
Menurut Abdullah bin Abbas bahwa sebab turunnya ayat di atas
berkenaan berkaitan dengan kasus Abdullah bin Rawahah sahabat Nabi
Muhammad SAW.., yang memiliki budak perempuan yang beriman kepada
Sungguhpun demikian banyak contoh para sahabat yang saleh dan para
tabi’in yang menikah dengan ahli kitab, hendaknya berhati-hati sebelum
melaksanakan perkawinan yang beda agama dan kepercayaannya. Memang
para sahabat mempunyai sifat yang patut diteladani dan mereka hidup dengan
penuh ketakwaan dan kesederhanaan. Setelah menikahi perempuan ahli kitab,
para sahabat mengetahui bagaimana cara mengendalikan isteri sehingga anak-
anak mereka tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh
karena itu menikah dengan perempuan ahli kitab pada umumnya
diperkenankan namun dianggap makruh hukumnya. (A.Rahman I Doi,1996:
238).
Hak atau kewenangan terbuka tersebut dapat dipergunakan atau tidak
dipergunakan oleh laki-laki muslim, tergantung pada situasi, kondisi dan
keadaan dirinya. Hak yang diberikan kepada laki-laki muslim tersebut tidak
boleh ditafsirkan seenaknya berdasarkan emosi dan keinginan manusia, baik
secara perorangan maupun kelompok dengan menyatakan bahwa izin yang
secara eksplisit hanya diberikan kepada laki-laki muslim itu secara implisit
diberikan pula kepada perempuan muslimah untukmenikah dengan laki-laki
bukan muslim, khususnya dengan laki-laki ahlul kitab Nasrani dan Yahudi.
BAB XII
Selain itu perceraian itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa hal:
1. Gugat Cerai (diajukan oleh pihak isteri)
Permohonan gugat cerai oleh pihak istri diajukan secara tertulis
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan
menyertai alasan (Pasal 32 Kompilasi Hukum Islam). Namun sebelumnya
pengadilan dalam setiap kesempatan tetap berusaha mendamaikan kedua
belah pihak dan meminta bantuan kepada Badan Penasehat Penyelesaian
Perceraian (BP-4).
b. Hukum Talaq
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan perintah Allah dan
Sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya
melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi aturan Allah
dan Sunnah Rasul tersebut. Meskipun demikian, bila hubungan
pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga
akan menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka
pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya
perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang
dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.
Walaupun hukum asal dari thalaq itu adalah makruh, namun
melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalaq itu
adalah sbb;
c. Macam-macam talaq
Talaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa
keadaan. Dengan melihat kepada keadaan isteri waktu talaq itu
diucapkan oleh suami, thalaq itu ada dua macam;
a. Talaq Sunni, yaitu talaq yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah.
b. Talaq bid’i, yaitu talaq yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan
sunnah atau talaq yang diucapakan/dijatuhkan oleh suami sewaktu
isteri dalam keadaan haid (mentruasi)
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami
rujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua macam,
sebagai berikut;
a. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang
telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari
isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Dalam talak ini bekas suami boleh kembali kepada bekas isteri yang
tidak memerlukan pembaruan akad nikah(rukun dan syarat).
b. Talak ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas
suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke
dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad
nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Tetapi jika tidak ada alasan apa pun bagi isteri untuk meminta cerai,
lalu ia meminta tebusan dari suaminya, maka oleh karena itu Ibnu Jarir
telah meriwayatkan, dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda.
Artinya;” wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya
tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga”.
(HR. Tirmidzi).
c. Syarat khulu’
Ada beberapa syarat bagi pasangan suami isteri untuk bisa
melakukan khulu’ syarat-syarat itu adalah;
1. Seorang isteri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan
khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa
takut tidak akan menegakkan hukum Allah Azza wa Jalla.
2. Khulu’ itu dilakukan hendaknya sampai selesai tanpa dibarengi
dengan tindakan penganiayaanyang dilakukan oleh suami, jika pihak
suami melakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh mengambil
sesuatu pun dari isterinya.
Sedangkan Muibara’ah, artinya baik istri maupun suami sama-sama
membebaskan dirinya dari kekuasaan sebagai suami maupun istri
dengan memenuhi persyaratan antara lain:
a. Harus ada persetujuan bebas dari suami dan istri.
b. Pemberian iwadh oleh istri kepada suami sebagai penebus/
pengembalian mahar yang dulu pernah diterima.
9. Murtad (Riddah)
Suatu perbuatan dimana salah satu seseorang dari suami atau isteri
keluar dari agama Islam dan pindah ke agama lain atau ke sesuatu yang
bukan agama. Murtad berasal dari bahasa arab yaitu riddah yang
mempunyai arti “kembali ke jalan asal”. Dalam Al-Qur’an pengertian tentang
murtad tidak secara langsung dijelaskan, namun beberapa ayat dalam Al-
Qur’an yang berkaitan dengan murtad antara lain surat An-Nissa: 137
dikatakan bahwa, sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian
kembali menjadi kafir bahkan bertambah ingkarnya, Allah tidaklah akan
mengampuni mereka dan tidak akan menunjukinya jalan yang benar.
Selain itu perceraian itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa hal:
3. Gugat Cerai (diajukan oleh pihak isteri)
Permohonan gugat cerai oleh pihak istri diajukan secara tertulis
kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan
menyertai alasan (Pasal 32 Kompilasi Hukum Islam). Namun sebelumnya
pengadilan dalam setiap kesempatan tetap berusaha mendamaikan kedua
belah pihak dan meminta bantuan kepada Badan Penasehat Penyelesaian
Perceraian (BP-4).
e. Hukum Talaq
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan perintah Allah dan
Sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya
melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi aturan Allah
dan Sunnah Rasul tersebut. Meskipun demikian, bila hubungan
pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga
akan menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka Islam membuka
pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya
perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang
dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.
Walaupun hukum asal dari thalaq itu adalah makruh, namun
melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum thalaq itu
adalah sbb;
f. Macam-macam talaq
Talaq itu dapat dibagi-bagi dengan melihat kepada beberapa
keadaan. Dengan melihat kepada keadaan isteri waktu talaq itu
diucapkan oleh suami, thalaq itu ada dua macam;
c. Talaq Sunni, yaitu talaq yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah.
d. Talaq bid’i, yaitu talaq yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan
sunnah atau talaq yang diucapakan/dijatuhkan oleh suami sewaktu
isteri dalam keadaan haid (mentruasi)
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami
rujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua macam,
sebagai berikut;
c. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang
telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari
isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Dalam talak ini bekas suami boleh kembali kepada bekas isteri yang
tidak memerlukan pembaruan akad nikah(rukun dan syarat).
d. Talak ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas
suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke
dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad
nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Tetapi jika tidak ada alasan apa pun bagi isteri untuk meminta cerai,
lalu ia meminta tebusan dari suaminya, maka oleh karena itu Ibnu Jarir
telah meriwayatkan, dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda.
Artinya;” wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya
tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga”.
(HR. Tirmidzi).
f. Syarat khulu’
Ada beberapa syarat bagi pasangan suami isteri untuk bisa
melakukan khulu’ syarat-syarat itu adalah;
3. Seorang isteri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan
khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa
takut tidak akan menegakkan hukum Allah Azza wa Jalla.
4. Khulu’ itu dilakukan hendaknya sampai selesai tanpa dibarengi
dengan tindakan penganiayaanyang dilakukan oleh suami, jika pihak
suami melakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh mengambil
sesuatu pun dari isterinya.
Sedangkan Muibara’ah, artinya baik istri maupun suami sama-sama
membebaskan dirinya dari kekuasaan sebagai suami maupun istri
dengan memenuhi persyaratan antara lain:
c. Harus ada persetujuan bebas dari suami dan istri.
d. Pemberian iwadh oleh istri kepada suami sebagai penebus/
pengembalian mahar yang dulu pernah diterima.