Anda di halaman 1dari 125

KEBIJAKAN

ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA INDONESIA
KEBIJAKAN
ASAS HUKUM PIDANA
DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA INDONESIA

Dr. Iskandar Muda Sipayung, S.H., M.H.

DAMERA PRESS
Judul Buku:
KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA DALAM
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Penulis:
Dr. Iskandar Muda Sipayung, S.H., M.H.

Editor:
Dr. Urip Giyono, S.H., M.H.

Desain Sampul:
Sri Murni, S.Si.

Penata Isi:
Pandu Dwinarsa, S.H.

Edisi Pertama: September 2023

Jumlah Halaman:
x + 116 halaman | 15 x 23 cm

Diterbitkan Oleh:
Damera Press
Jl.Pagujaten Raya No 9, Pasar Minggu
Pejaten Timur, Jakarta Selatan
Telp: 081513178398
Email: damerapress@gmail.com
www.damerapress.co.id

ANGGOTA IKAPI

ISBN:
978-623-8262-87-8

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian maupun
seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa seizin penerbit.

iv
KATA PENGANTAR

Pembentukan hukum nasional harus mampu menginternalisasikan


dan memperhatikan keberagaman atau eksistensi hukum lokal (hukum
adat) sebagai mozaik kekayaan hukum Indonesia tanpa mengabaikan
pengaruh positif dari nilai-nilai hukum dari luar.Hukum bukan hanya
berperan sebagai sarana rekayasa sosial-masyarakat dan pembaharuan
birokrasi semata, akan tetapi harus mampu menciptakan keseimbangan
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman,
tertib dan tenteram dalam lingkup nasional maupun internasional.
Buku ini memaparkan kebijakan asas hukum pidana dalam hukum
pidana positif serta kebijakan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Diharapkan buku ini bisa menjadi referensi bagi dunia akademik tentang
hukum pidana di Indonesia serta memperkaya khasanah pembahasan
ilmu pengetahuan terutama berkaitan dengan hukum pidana.

Jakarta, September 2023


Penulis

v
vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................. v
DAFTAR ISI ........................................................ vii
BAB I HUKUM PIDANA DI INDONESIA ........... 1
A. Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia.......... 1
B. Membangun Teori Hukum Pancasila.......... 6
BAB II KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
POSITIF .............................................. 21
A. Politik Hukum Pidana ............................... 21
B. Kebijakan Penegakan Hukum Pidana ......... 35
C. Ajaran Sifat Melawan Hukum Pidana ........ 46
D. Potret Hukum Pidana Islam dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia ............... 51
BAB III KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM
PIDANA INDONESIA ............................ 57
A. Urgensi Pembaruan.................................... 57
B. Membangun Sistem Hukum Pidana
Nasional (SHPN)....................................... 62
C. Pembaharuan Hukum Pidana dari KUHP
Kolonial ke KUHP Nasional...................... 66

vii
D. Pokok-pokok Pemikiran dalam Konsep
RUU KUHP.............................................. 69
BAB IV KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
DALAM HUKUM PIDANA POSITIF ......... 73
A. Konsep Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan ................................ 73
B. Norma-norma Materiil dan Hukum
Pidana....................................................... 79
C. Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia....................................... 84
BAB V KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM
PIDANA INDONESIA ............................ 89
A. Perubahan Teori dalam RKUHP Menuju
KUHP yang Baru ...................................... 89
B. Pengembangan Hukum Pidana dalam
Konteks Negara Kebangsaan ...................... 93
C. Pancasila sebagai Sumber Hukum ............... 99
D. Ruang Berlakunya Hukum Pidana............... 100
E. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) ....... 105
DAFTAR PUSTAKA .............................................. 109
BIODATA PENULIS............................................... 115

viii
BAB I
HUKUM PIDANA
DI INDONESIA

A. Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia


Sistem hukum di dunia terbagi kepada 4 yaitu Anglo Saxon
(Common Law), European Continental (Civil Law), Islamic Law
(Sistem Hukum Islam) dan Sistem Hukum Adat.
Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda membagi
antara hukum Publik (pidana) dan Hukum Privat (perdata) akan
tetapi masih dalam satu atap Peradilan disamping menggunakan
hukum pidana dan hukum perdata BW peninggalan Belanda di
Indonesia juga menggunakan pengadilan syariah (pengaddilan
agama) khusus bagi warga negara Indonesia yang beragam
Islam, demikian juga negara malaysia disamping menggunakan
peradilan umum untuk mengadili perkara-perkara pidana namun
juga masih menggunakan pengadilan syariah untuk mengadili
sengketa perkara-perkara perdata bagi warga negaranya yang
beragama Islam.
Terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan di Indonesia
berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yaitu lingkungan
Peradilan Umum (perdata dan pidana), lingkungan Peradilan
Agama (hukum keluarga seperti perkawinan, penceraian dan lain-
lain), Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (sengketa antara

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 1


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
warganegara dan pejabat tata usaha negara) dan Lingkungan
Peradilan Militer (meliputi kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan oleh militer.
Belanda menjajah wilayah Indonesia selama kurang lebih 350
(tiga ratus lima puluh) tahun tentu bukan hanya menjajah wilayah-
wilayah yang ada di Indonesia untuk diambil hasil buminya,
terutama rempah-rempah, akan tetapi Belanda juga menerapkan
sistem hukum yang digunakan di negaranya untuk diterapkan di
wilayah jajahanya, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan
bangsa Belanda di wilayah-wilayah jajahannya.
Jika kita bandingkan dengan KUHP-KUHP negara–
negara modern lainnya di dunia, Indonesia masih ketinggalan
jaman, namun hingga saat ini KUHP negara ini masih terus
menggunakanya, namun Indonesia agak sedikit lebih maju di
bidang pembaharuan hukum pidana. Hal ini terbukti dengan telah
disahkanya Rancangan Buku I KHUP Indonesia yang baru oleh
anggota legislatif periode 2014 –2019 suatu kesyukuran yang tiada
taranya bagi bangsa Indonesia jika Rancangan KUHP yang sudah
54 tahun ‘mangkrak’ tidak ada kemajuan yang berarti, sekarang
sudah ada itikad yang baik dan luhur oleh anggota legislatif kita.
Sebagaimana diketahui dari tahun 1811 sampai 1814
Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris,
berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas
koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda. Pemerintah Inggris
diserahterimakan kepada Komisaris Jenderal yang dikirim dari
Belanda.
Agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dikeluarkan
aturan pada 19 Agustus 1916, Stbl. 1816 Nomor 5 yang

2 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan
bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya
masih berlaku Statuta Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi
hukum adat pidana masih diakui asal tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah, begitu pula
undang-undang dari pemerintah.
Kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja
paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16,
mereka dibagi atas dua golongan,yaitu:
1. Yang dipidana kerja rantai
2. Yang dipidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah.
Dalam prakteknya, pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga
cara:
1. Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan;
2. Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang;
3. Kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang.
Dengan sendirinya semua peraturan terdahulu tidak berlaku
lagi.
KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga saduran
dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi
yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun pidananya lebih
berat daripada KUHP Belanda 1886.1
Setelah Indonesia merdeka, beberapa orang ahli hukum
Indonesia mencoba untuk membuat KUHP sendiri yang sesuai
dengan karakteristik bangsa Indonesia yang berdasarkan

1
Andi Hamzah,., Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), h.
16-17

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 3


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pancasila dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang
didalam masyarakat Indonesia, namun semangat para ahli hukum
yang dimiliki bangsa Indonesia itu tidak diimbangi oleh anggota
legislatif yang bertugas pada masa orde lama ,orde baru maupun
orde reformasi barulah pada masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo rancangan undang-undang kitab hukum pidana terutama
pada bukui I telah disahkan pada tahun 2018 ini
Dengan disahkanya Rancangan Undang-Undang KUHP
Buku I menjadi Undang-Undang oleh legislatif periode 2014 –
2019 maka secara otomatis, RUU KUHP yang telah mangkrak
selama kurang lebih 56 tahun, kini telah sah menjadi Undang-
Undang, meskipun belum didaftarkan di dalam lembaran negara
Indonesia.
Yang menjadi landasan pokok dan alasan segera disahkannya
RUU KUHP menjadi Udang-Undang, adalah sebagaimana
tercantum di dalam konsideran menimbang, seperti berikut:
Menimbang:
1. Bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan pemerintah
kolonial Hindia Belanda;
2. Bahwa hukum pidana nasional tersebut harus disesuaikan
dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang

4 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
3. Bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur
keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan
kepentingan individu, antara pelindungan terhadap pelaku
tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur
perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan
keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam
masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta
antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia;
Rancangan undang-undang KUHP Indonesia yang rencananya
akan disahkan menjadi Undang-Undang, KUHP ini mempunyai
karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan KUHP
sebelumnya. Jika KUHP peninggalan kolonial Belanda terdiri dari
III buku yang terdiri dari: 1) buku I aturan umum atau ketentuan
umum terdiri dari 103 pasal; 2) buku II tentang kejahatan yang
terdiri dari 383 pasal, dan 3) buku III tentang pelanggaran yang
terdiri dari 186 pasal, maka dalam KUHP yang baru ini hanya
terdiri dari II (dua) buku; yakni 1) Buku I berisi tentang Aturan
Umum yang terdiri dari enam (VI) bab dan 205 pasal, dan 2) Buku
II yang tentang Tindakan Pidana yang berisikan 530 pasal.
Pada bab I bagian ke 2 tentang Aturan Umum pada paragraf
1 memuat asas wilayah atau teritorial, paragraf 2 memuat asas
tentang asas nasional pasif, paragraf 3 tentang asas universal,
paragraf 4 memuat asas nasional aktif.

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 5


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
B. Membangun Teori Hukum Pancasila
Menyelami esensi konsep negara hukum Pancasila selalu sarat
dengan sejumlah pendapat ataupun pertanyaan pembuka, yang
berkaitan dengan konsepsi paradigmatik di balik konsep negara
hukum Pancasila itu sendiri. Ada pendapat yang mengemuka
bahwa proses kelahiran negara hukum Indonesia menjadi suatu
negara hukum dikarenakan “dipaksa” melalui proses pencakokan
(transplantasi) hukum oleh Belanda dan tidak melalui proses
pergulatan sistem sosial seperti yang terjadi di Eropa. Pemaksaan
ini dilakukan tanpa melalui proses musyawarah ataupun menunggu
keambrukan suatu sistem sosial Indonesia. Proses kelahiran
negara hukum Indonesia tergolong instan, cepat, melalui sebuah
lompatan sistem sosial dari tradisional dan feodalisme langsung
ke negara hukum. Substansi hukum pada masa penjajahan
menjadi sangat kompleks, yaitu berlaku dualisme hukum (hukum
Barat dan hukum adat) pada wilayah yang sama dan dalam waktu
bersamaan pula.
Lebih kompleks lagi bahwa hukum adat sendiri bersifat
kedaerahan, komunalistik, religius, sehingga terdapat pluralisme
hukum di Indonesia pada waktu itu. Pada tataran ini, apakah
konsep negara hukum yang sesungguhnya dianut oleh Indonesia
pasca perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, apakah itu “rechstaat” ataukah “rule of law” ?. Pertanyaan
lain yang muncul dan tidak kalah penting juga adalah apakah
sebelum dilakukannya perubahan UUD Negara RI Tahun 1945
yang negara Indonesia benar-benar sepenuhnya menganut konsep
“rechstaat”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diakui masih
mengusik arus pemikiran sebagian kalangan ahli hukum kita

6 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
selama ini yang perlu diluruskan secara epistimologis maupun
secara yuridis-konstitusional.2
Pada level ini, kiranya sangat relevan jika Sudjito pernah
melontarkan gagasan yang mempertanyakan identitas negara
hukum Indonesia. Paling tidak, ada beberapa persoalan mendasar
yang menurut Sudjito merupakan faktor utama yang dianggap
masih mengganggu kenyamanan kehidupan bangsa Indonesia
dalam konteks ketika memproklamirkan dirinya sebagai sebagai
negara hukum, yakni:
Pertama, sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus,
Indonesia telah lahir. Sejak kelahirannya itu telah diumumkan
mengenai bentuk negara yaitu Republik. Di samping itu, secara
eksplisit diumumkan pula bahwa Indonesia adalah negara hukum
(rechstaat). Tetapi bernegara hukum tidak cukup pada tataran
formal saja, melainkan harus diikuti dengan upaya-upaya mengisi
negara hukum tersebut dengan berbagai perangkat dan perilaku
hukum agar benar-benar menjadi negara hukum substansial. Pada
tataran ini, masih terdapat perbedaan-perbedaan tajam mengenai
pemikiran negara hukum, sebagian ingin berkiblat ke Barat, dan
sebagian lain ingin membumi pada nilai-nilai kultural Indonesia
asli.
Kedua, secara empiris kita belum memiliki banyak pengalaman
bernegara hukum. Memang, sejak dijajah Belanda maupun
Jepang, kita sudah hidup bernegara hukum. Tetapi posisi kita pada
waktu itu bukan sebagai subyek pengelola, melainkan sebagai
obyek penderita. Ketiadaan pengalaman bernegara hukum itu

2
King Faisal Sulaiman, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2017), h. 297

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 7


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
terbukti berpengaruh besar pada kesiapan bangsa ini, ketika tiba-
tiba harus mandiri dalam mengelola negara hukum, banyak sekali
kesulitan, kendala, hambatan yang belum mampu diselesaikan
dengan baik sehingga menyisakan kepedihan, ketidakadilan, dan
ketidaknyamanan kehidupan.3
Dalam kajian yang lebih jauh, terkait konstruksi negara
hukum Pancasila dan pengaruh konsep “rechtstaat”, ada sejumlah
faktor yang menurut pandangan Sudjito juga perlu dijadikan
bahan pertimbangan, yakni:
Pertama, konsep “rechstaat” sebenarnya merupakan konsep
negara hukum modern khas Eropa. Konsep modern ini dibawa
masuk ke Indonesia oleh Belanda melalui penjajahan. Belanda
sendiri mengalami kesulitan untuk memberlakukannya secara
konsisten. Tindakan maksimal yang dapat dilakukan sekedar
pencangkokan (transplantasi) hukum modern ke dalam sistem
hukum adat yang telah berlaku mapan bagi golongan pribumi.
Hukum modern tersebut diberlakukan bagi golongan Eropa dan
Timur Asing, sedangkan bagi golongan pribumi tetap berlaku
hukum adatnya masing-masing. Kedua, secara ideologi, kita
bersepakat untuk membangun negara hukum versi Indonesia
yaitu negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan
sumber dari segala sumber hukum. Nilai-nilai Pancasila harus
mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada
tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya.
Apabila negara hukum Pancasila nanti telah terbentuk, tidaklah

3
Sudjito, Hukum dalam Perspektif Pancasila, Proceeding Kongres Pancasila:
Pancasila dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Kepaniteraan MK,
2009), h. 188

8 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
menjadi persoalan ketika tercatat negara hukum tersebut berbeda
dengan rechstaat di Eropa atau Amerika. Hal terpenting adalah
konsep negara hukum Pancasila itu harus mampu menjadi sarana
dan tempat yang nyaman bagi kehidupan bangsa Indonesia.4
Dari sejumlah penjabaran ahli terkait karakteristik ataupun
tipologi konsep negara hukum Pancasila sebagaimana dipaparkan
di atas, maka konsep hukum Pancasila pada hakikatnya harus
dilandasi oleh sebuah paradigma atau konsepsi dasar berpikir
yang selanjutnya disebut “teori hukum Pancasila”. Adapun basis
asumsi dasar dari teori hukum Pancasila dapat diuraikan sebagai
berikut:5
1. Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee), yang merefleksikan
dasar negara, ideologi bangsa, jiwa dan kepribadian,
pandangan hidup bangsa serta sumber dari segala sumber yang
melandasi seluruh kehidupan bangsa dan negara terutama
pembentukan sistem hukum nasional harus menjadi pijakan
utama dalam pembangunan hukum nasional dan menjaga
integrasi nasional;
2. Karakteristik hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan karakter kepribadian dan falsafah hidup bangsa
(Pancasila) sebagaimana hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia selama ini;
3. Pembentukan hukum nasional harus mampu
menginternalisasikan dan memperhatikan keberagaman atau
eksistensi hukum lokal (hukum adat) sebagai mozaik kekayaan
hukum Indonesia tanpa mengabaikan pengaruh positif dari
nilai-nilai hukum dari luar;

4
Ibid.
5
King Faisal Sulaiman, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Indonesia...., h. 299

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 9


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
4. Hukum bukan hanya berperan sebagai sarana rekayasa sosial-
masyarakat dan pembaharuan birokrasi semata, akan tetapi
harus mampu menciptakan keseimbangan tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman, tertib
dan tenteram dalam lingkup nasional maupun internasional;
5. Proses internalisasi atau pelembagaan nilai-nilai Pancasila
tidak hanya mencakup produk legislasi (UU) namun mencakup
semua produk hukum yang berlaku di Indonesia, mulai dari
konstitusi (UUD RI Tahun 1945), hingga peraturan-peraturan
hukum yang paling rendah sekalipun, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis seperti dijumpai dalam pranata-pranata
hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat adat selama
ini;
6. Perilaku penguasa, aparat penegak hukum, aparatur birokrasi,
dan masyarakat luas tidak ditentukan oleh baiknya substansi
dan sistem hukum yang dibangun, melainkan sangat
dipengaruhi oleh sejauhmana penghayatan, pembudayaan,
dan pelembagaan nilai-nilai Pancasila k edalam setiap
orang secara individual maupun kolektif-komunal, termasuk
pelaku kekuasaan, lembaga-lembaga negara dalam praktek
penyelenggaraan negara secara keseluruhan.
Jika mengurai dan mencerna lebih mendalam ikhwal
aspek relevansi dan unsur kesamaan “negara hukum pluralistik
Pancasila” yang diasumsikan tersebut, kemudian dihubungkan
dengan arus pemikiran oleh sejumlah ahli hukum di atas, maka
sebenarnya konsep negara hukum Pancasila secara epistimologis
dapat diartikan sebagai suatu konsep negara hukum berkarakter
khas Indonesia karena hasil dari kristalisasi dan proses endapan

10 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang bijaksana
dan universal, menghendaki adanya harmonisasi, perpaduan,
dan hubungan timbal balik, dimana sistem norma hukum yang
dibangun dengan sistem perilaku hukum yang diimplementasikan
haruslah berpijak pada Pembukaan UUD RI Tahun 1945 dan
sistem nilai yang terdapat pada sila-sila Pancasila.
Negara hukum Pancasila tidak bersifat individualistik-sekuler,
tidak pula bersifat nomokrasi Islam-teokrasi, dan sosio-komunis
serta tidak pasif, melainkan memiliki karakter sistem nilai yang
berporos pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai
Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai nasionalisme Persatuan
Indonesia, Permusyawaratan/ perwakilan, dan Keadilan sosial
yang memiliki mobilitas (fleksibelitas) secara fungsional, dan
perannya secara aktif serta senantiasa adaptif dan selalu sesuai
dengan perkembangan dinamika masyarakat secara nasional
maupun internasional.
Mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar
ata hukum (rechstaat), maka setiap kegiatan mendasarkan pada
hukum. Dua hal yang perlu dipadukan dalam pembangunan
hukum, adalah tentang hubungan antara hukum dan masyarakat,
yaitu pemaduan antara hukum sebagai alat perubahan masyarakat
dan hukum sebagai cermin keadaan masyarakat.
Pada awal 1970-an, saat program pembangunan nasional
mulai lebih terencana dan pembangunan hukum harus juga
dimasukkan di dalam GBHN, wacana tentang hukum sebagai alat
atau sebagai cermin ini cukup meluas. Mochtar Kusumaatmaja
mengemukakan bahwa sebenarnya jika hubungan antara dua
konsep itu dilihat sebagai pertentangan, maka sebenarnya ia

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 11


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
merupakan pertentangan antara legisme (termasuk positivism)
dan aliran mazhab sejarah. Aliran legisme menghendaki bahwa
pembuatan hukum dapat begitu saja dilakukan dengan undang-
undang, sedangkan aliran mazhab sejarah menentang penyamaan
hukum dengan undang-undang, sebab hukum itu tidak mungkin
dibuat melainkan harus tumbuh dari kesadaran hukum
masyarakatnya.6 Pertentangan ini tidak perlu diterus-teruskan,
melainkan harus dipertemukan dalam keseimbangan antara
keduanya yaitu hukum sebagai alat dan sebagai cermin budaya
masyarakat; juga antara hukum sebagai alat untuk menegakkan
ketertiban yang sifatnya koservatif (memelihara) dan hukum
sebagai alat untuk membangun (mengarahkan) masyarakat agar
menjadi lebih maju.
Brian Z. Tamanaha,7 mengatakan bahwa hukum dari
masyarakat memiliki bingkai yang disebut “the law-society
framework” yang memiliki karakteristik hubungan tertentu.
Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar.
Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang
menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide
bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan “social order”.
Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu custom/consent,
morality/reason, dan positive law. Custo consent and morality/reason
dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture.8

6
Mochtar Kusumaatmaja dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Menuju
Pembangunan Sistem Hukum Nasional, makalah seminar Arah Pembangunan Hukum
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, Jakarta, 29-31 Mei 2006, h. 10
7
Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, (New York:
Oxford University Press, 2006), h. 1-2
8
Donald Black, The Behavior of Law, (New York: Academic Press, 1976), h. 61

12 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Teori cermin (the mirror theory), menggambarkan bahwa hukum
dalam suatu masyarakat merupakan pencerminan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat tersebut.
Pancasila sebagai falsafah negara, di dalamnya terkandung
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang wajib diterapkan dalam
pembangunan termasuk pembangunan di bidang hukum. Nilai-
nilai Pancasila sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966, pada hakikatnya adalah pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum serta cita-cita moral luhur yang
meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia yang
pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan dipadatkan
oleh PPKI menjadi dasar negara Republik Indonesia.9
Menurut Hamid S. Attamimi, dalam kedudukannya
sebagai dasar dan ideologi negara, maka Pancasila harus
dijadikan paradigma (kerangka berpikir, sumber nilai, dan
orientasi arah) dalam pembangunan hukum, termasuk semua
upaya pembaruannya. Pancasila sebagai dasar negara memang
berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan
perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber
darinya, sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan
sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu
alatnya dan karenanya juga harus besumber dari Pancasila.10
Pancasila yang tergolong nilai kerohanian, di dalamnya
terkandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik
nilai material, vital, kebenaran (kenyataan), estetis, etis, maupun

9
Siti Malikatun Badriyah, Penemuan Hukum dalam Konteks Pencarian Keadilan,
(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010), h. 11
10
Hamid Attamimi dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum
Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 52

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 13


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
nilai religius, yang dapat dibuktikan dari 5 (lima) sila Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila juga mempunyai sifat obyektif dan subyektif
sekaligus. Obyektif berarti sesuai dengan obyeknya, umum, dan
universal. Subyektif berarti keberadaan nilai-nilai itu tergantung
pada bangsa Indonesia sendiri. Dalam hal ini Pancasila timbul dari
bangsa Indonesia, merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa
Indonesia, yang diyakini bangsa Indonesia sebagai petunjuk
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di samping Pancasila sebagai falsafah negara, Pancasila
menjadi dasar negara Indonesia. Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum, sehingga Pancasila menjadi ukuran
dalam menilai hukum kita. Kedudukan Pancasila dalam hal ini
berkedudukan sebagai Grundnorm. Ajaran grundnorm11 dipahami
dalam dua pengertian, yaitu grundnorm dalam pengertian Hans
Kelsen dan grundnorm dalam pengertian yang lain yaitu dalam
ajaaran asalnya sumber hukum.
Pengertian grundnorm menurut Kelsen dapat dikualifikasi ke
dalam empat indikator, yaitu:
1. Grundnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan, tidak
tertulis, dan mempunyai daya keberlakuan secara universal;
2. Ia tidak gesetzt (ditetapkan), melainkan diasumsikan adanya
oleh akal budi manusia;
3. Ia tidak masuk ke dalam tatanan hukum positif, ia berada
di luar namun menjadi landasan keberlakuan tertinggi bagi
tatanan hukum positif, ia meta juristic sifatnya;

11
Jazim Hamidi, Kedudulan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 3 Nomor 1, Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, Pebruari 2006, h. 103

14 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
4. Seyogyanya seseorang menaati atau berperilaku seperti yang
ditetapkan oleh konstitusi.12
Grundnorm dalam pengertian yang lain yaitu dalam kaitan
dengan ajaran “asalnya sumber hukum”. Dalam konteks ini,
grundnorm itu merupakan sumber berlakunya hukum yang tertinggi
dan terakhir. Ia memberikan pertanggungjawaban mengapa hukum
itu harus dilaksanakan. Meskipun, ketidakpatuhan terhadapnya
tidak terdapat sanksi. Ia diterima masyarakat secara aksiomatis.
Kata norm dalam terminologi grundnorm itu menunjuk pada suatu
norma yang bersifat umum, seperti norma agama, susila, sopan
santun, hukum, dan norma-norma yang lain.
Dari pengertian grundnorm pertama maupun pengertian kedua,
tampak jelas bahwa Pancasila dapat dikualifikasikan secara penuh
sebagai grundnorm. Pancasila memenuhi keempat persyaratan
kualifikasi grundnorm dalam pengertian yang pertama, begitu pula
dalam pengertian kedua.
Melalui pengertian grundnorm dalam konsepsi Hans Kelsen,
berikut ini dilukiskan kedudukan hukum Pancasila dalam bentuk
diagram/gambar.
Kedudukan hukum Pancasila pespektif Grundnorm Kelsen.13
Sedangkan apabila mengacu pada Tata Perundangan menurut
UU No.12 Tahun 2011, dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

12
Siti Malikatun Badriyah, Penemuan Hukum dalam Konteks Pencarian ....., h. 12
13
Ibid, h. 13

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 15


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hal yang perlu diperhatikan dalam stufenbautheorie adalah
bahwa keseluruhan hukum positif itu tersusun dalam sebuah
hierarki logikal. Struktur logikal ini memiliki bentuk sebuah
piramida yang terdiri atas sejumlah tataran bertingkat/berlapis.
Kaidah-kaidah konstitusi mewujud-kan tataran tertinggi, dan
kaidah-kaidah dimaksud tidak banyak. Di bawahnya terdapat
kaidah-kaidah hukum yang secara langsung timbul dari konstitusi
seperti undang-undang dalam arti formal. Kaidah-kaidah ini
jumlah jauh lebih banyak dibanding kaidah-kaidah konstitusi.
Di bawahnya terdapat kaidah-kaidah hukum individual, yakni
kaidah-kaidah hukum yang memberikan hak atau membebankan
kewajiban kepada subyek hukum tertentu, yaitu ketetapan-
ketetapan pemerintah, putusan-putusan hakim dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban keperdataan. Pada akhirnya, keberlakuan
dari semua kaidah hukum yang termasuk ke dalam sebuah tataran
hukum sistem piramidal tersebut berasal dari konstitusi. Konstitusi
sendiri sebagai norma hukum tertinggi dalam suatu negara
memperoleh keberlakuannya atau landasan keberlakuannya dari
grundnorm, sedangkan grundnorm adalah landasan keberlakuan
tertingi dari sebuah tataran hukum, namun ia bukan sebuah
kaidah hukum positif, ia bersifat meta juristik.14

14
Jazim Hamidi, Op.cit, h. 113

16 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Berdasarkan pola pikir demikianlah dapat diuji mengenai
konsistensi antara peraturan perundang-undangan yang satu
(lebih rendah) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya
(lebih tinggi) baik melalui judicial review oleh Mahkamah Agung
(MA) maupun oleh Mahkamah Konstitusi (MK).15
Pada setiap negara selalu terdapat asas atau norma tertinggi
sebagai asas, norm yang menjadi sumber bagi semua asas
hukum, norma hukum, dan hukum yang berlaku di negara yang
bersangkutan, yang disebut dengan grundnorm. Grundnorm yang
dimiliki Indonesia adalah Pancasila yang pada dasarnya memiliki
multifungsi bagi bangsa Indonesia antara lain berfungsi sebagai
pandangan hidup, ideologi bangsa dan dasar negara.
Pada tahun 1945 dalam Pembukaan UUD 1945
dirumuskan Pancasila oleh para pendiri negara (founding fathers).
Dicantumkannya Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945
sama artinya dengan secara yuridis konstitusional Pancasila
ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia, sebagai sumber tertib
hukum. Sebagai konsekuensi logis atas fungsi Pancasila sebagai
dasar negara adalah semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia harus bersumber pada Pancasila, harus
merupakan perwujudan Pancasila dengan karakter hukumnya.
Sejak lahirnya Negara Republik Indonesia serta ditetapkannya
UUD 1945 sebagai konstitusinya, terbentuk pula sistem norma
hukum Negara Republik Indonesia. Apabila dipelajari teori Jajang
Norma (stufentheori) dari Hans Kelsen sebagaimana tersebut di
atas, akan diperoleh pemahaman mengenai cerminan sistem
tersebut ke dalam Sistem Norma Hukum Republik Indonesia.

15
Siti Malikatun Badriyah, Penemuan Hukum dalam Konteks Pencarian ....., h. 14

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 17


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Dalam sistem norma hukum ini, norma-norma hukum yang
berlaku berada dala suatu sistem berlapis-lapis dan berjenjang
sekaligus berkelompok-kelompok. Suatu norma selalu berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi; dan
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagu, demikian seterusnya sampai suatu
norma dasar negara (staatfundamentalnorm) Republik Indonesia,
yaitu Pembukaan UUD 1945.16 Secara formal, hierarki logikal
peraturan perundang-undangan nasional dapat ditemukan dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden.
Namun karena mengikuti perkembangan atau dinamika
hukum yang semakin komplek, sehingga peraturan tersebut diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang mana di
dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;

16
Ibid, h. 15

18 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pancasila sebagai falsafah negara maupun dasar negara
Indonesia membawa konseksuensi bahwa dalam segala peraturan
perundang-undangan pelaksanaan dan penegakannya seharusnya
mendasarkan pada Pancasila.
KUHP yang berlaku saat ini berasal dari WvS Nederlandsch–
Indie (S.1915 No.732 ) yang dinyatakan berlaku di indonesia
berdsaarkan UU No. 1/1946 jo. UU No.73/1958. Oleh karena
itu, membicarakan “perkembangan” aturan umum buku I KUHP
dapat ditelusuri sejak UU No.1/1946 sampai sekarang.
Mengamati perkembangan aturan umum Buku I KUHP sejak
UU No. 1/1946 sampai saat ini, dapatlah dikatakan bahwa sistem
pemidanaan dalam aturan umum Buku I KUHP tidak mengalami
perubahan yang mendasar. Dikatakan demikian, karena asas-
asas/prinsip-prinsip umum (general principle) hukum pidana dan
pemidanaan yang ada dalam KUHP masih seperti WvS Hindia
Belanda. Memang di dalam perkembangan ada perubahan/
penambahan/pencabutan beberapa pasal di dalam aturan umum
Buku I, namun hal itu hanya perubahan parsial yang tidak
mendasar dan tidak merubah keseluruhan sistem pemidanaan.17
Perubahan/perkembangan itu misalnya antara lain:
1. UU No. 1/1946 (pasal VIII): menghapus pasal 94 Baba IX
Buku I KUHP tentang pengertian istilah “kapal Belanda”
(Nederlandsche schepen);

17
Barda Nawawi Arief. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia,
(Semarang: Pustaka Magister, 2017), h. 5-6

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 19


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
2. UU No. 20/1946 (pasal 1): Menambah pidana pokok baru
dalam pasal 10 sub a KUHP dengan pidana tutupan;
3. UU No. 73/1958 (Pasal II: Menambah pasal 52a tentang
pemberatan pidana karena melakukan kejahatan dengan
menggunakan bendera kebangsaan;
4. UU No. 20/2001 (pasal 43 B): menyatakan tidak berlaku
pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, 435 KUHP
5. UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Pasal 65 mencabt dan menyatakan tidak
berlaku lagi pasal 297 dan pasal 324 KUHP)
Dengan tidak adanya perubahan mendasar dari asas-asas
hukum sistem pemidanaan di dalam KUHP seperti dikemukakan
di atas, maka masih sangat relevan penyataan 54 tahun yang
lalu dari Tim Penyusun Konsep Pertama Buku I KUHP Baru
tahun 1964 yang menyatakan di dalam “Penjelasan Umum”-nya
bahwa:18
1. Walaupun UU No. 1 Tahun 1946 telah berusaha untuk
disesuaikan dengan suasana kemerdekaan, namun pada
hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan
hukum pidana masih tetap dilandaskan pada ilmu hukum
pidana dan praktek hukum pidana kolonial;
2. Pada hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana
dan hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan
selimut dan wajah Indonesia;

18
Lihat Moeljanto, Atas Dasar atau Asas-asas Apakah Hendaknya Hukum
Pidana Kita Dibangun? (Surabaya, Prasaran Kongres Persahi II, 15-19 Juli 1964), h.
2–3; Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), h. 101

20 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
BAB II
KEBIJAKAN ASAS HUKUM
PIDANA POSITIF

A. Politik Hukum Pidana


Politik hukum pidana terkait dengan politik hukum. Politik
hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut
Sudarto,19 istilah politik dipakai politik dipakai dalam berbagai
arti, yaitu: perkataan politik dalam bahasa Belanda berarti sesuatu
yang berhubungan dengan negara; berarti membicarakan masalah
kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara.
Lebih lanjut Sudarto menegaskan, makna lain dari politik
adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam
pengertian ini dijumpai kata-kata seperti politik ekonomi, politik
kriminal, politik hukum, dan politik hukum pidana.
Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud 20 menjelaskan
bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang
sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai
independent variable (variabel berpengaruh). Dengan asumsi yang
demikian itu, Mahfud merumuskan politik hukum sebagai:

19
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 16
20
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 1-2

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 21


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan
penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang
sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-
keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang
dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh
politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun
dalam implementasi dan penegakannya.
Menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik
yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku
mengatur berbagai hak kehidupan bermasyarakat dan bernegara.21
Dengan dasar itu, Sudarto mengatakan, politik hukum
merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang
untuk menerapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang
dicita-citakan.22
Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam
masyarakat, tentu tidak dapat hanya berpijak pada pandangan
dogmatis yuridis saja, akan tetapi mencakup pula pandangan
fungsional. Dalam kaitan ini, Paul Scholten23 menolak pandangan

21
Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1989),
h. 49
22
Sudarto, Loc.cit.
23
Paul Scholten, Stuktur Ilmu Hukum, terj. B. Arief Sidharta dalam Seri Dasar-
dasar Ilmu Hukum, (Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
Katolik Prahyangan, 1997), h. 5

22 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Hans Kelsen yang melihat putusan-putusan ilmu hukum tidak
lain merupakan pengolahan logikal bahan-bahan positif, yakni
undang-undang dan vonis-vonis. Menurut Scholeten, bahan-
bahan positif itu ditentukan secara historis dan kemasyarakatan.
Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa historis yang
merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan
secara kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemurnian ilmu hukum
selalu mengandung sesuatu yang tidak murni dari bahannya. Jika
hal itu tidak dilakukan maka ilmu hukum akan menjadi makhluk
tanpa darah.
Politik kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel,
dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the
control of crime by society.24 Definisi tersebut tidak berbeda dengan
pandangan G. Peter Hoernagels yang menyatakan, criminal policy is
the rational organization of the social reaction to crime.25 Hal ini berarti
politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian
dari politik hukum (dalam tataran makrok), dalam pembentukan
undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku
dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan
cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat
dihormati.26

24
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), h.
47
25
G. Peter Hoernagels, The Other Side of Criminology, (Holland: Kluwer
Deventer, 1973), h. 57
26
Sudarto, Op.cit, h. 23

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 23


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Jika demikian halnya menurut Sudarto, melaksanakan politik
hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Lebih lanjut Sudarto menyatakan:
Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial
dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai
pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau
mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh
penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang
itu mempunyai dua fungsi: 1) fungsi untuk mengekspresikan nilai-
nilai; dan 2) fungsi instrumental.
Menurut Sahetapy,27 peranan hukum dengan pendekatan
fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu
alat (instrumen) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum
dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan
darimana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber
pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak
mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum
dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan
dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila.
Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya
sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam
pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali
tidak dijiwai oleh semangat dan idealisme Pancasila.

27
Sahetapy, Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya dala Kebijakan Pembangunan
Sistem Hukum. Analisis CSIS (Januari-Pebruari, XXII), No. 1993, h. 55-56

24 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Sudarto28 merujuk pada hasil simposium tentang “Kesadaran
Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, yang diselanggarakan di
Semarang tanggal 20-23 Januari 1975 menulis, negara-negara yang
sudah Perang Dunia II telah memperoleh kemerdekaan berusaha
untuk melakukan langkah-langkah modernisasi di negaranya
masing-masing. Dengan adanya langkah-langkah tersebut maka
telah terjadi proses perkembangan masyarakat yang meliputi
bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Modernisasi itu,
menurut Sudarto, dapat diartikan sebagai proses penyesuaian diri
dengan keadaan konstelasi dunia pada waktu ini. Apabila hukum
pidana hendak dilibatkan maka harus dilihat dalam hubungan
keseluruhan politik kriminil. Menurut Sudarto,29 politik kriminil
itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.
Dalam arti sempit, politik kriminil digambarkan sebagai
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. Dalam arti yang
lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi.
Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan
yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral
masyarakat.
Penegakan norma-norma sentral itu mernurut Sudarto dapat
diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan
politik kriminil berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak
alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan
kejahatan.

28
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h. 96
29
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h. 113-114

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 25


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pada bagian lain, Sudarto menyatakan,30 menjalankan
politik hukum pidana, juga mengadakan pilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam
arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Untuk mencapai
hasil yang berhasilguna dan berdayaguna maka para pembuat
kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan
oleh kriminologi. Apabila mengabaikan informasi tersebut
akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak
fungsional.
Pandangan Sudarto di atas sejalan dengan Marc Ancel,31
menurutnya, in modern science has primery three essencial components:
criminology, criminal law, and penal policy. Criminology mempelajari
kejahatan dalam semua aspek. Selanjutnya criminal law
menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas
reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik
sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya
untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan
lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator
yang merancang peraturan perundang-undangan pidana, tetapi
juga pengadilan di mana peraturan-peraturan itu diterapkan dan
penyelenggaraan pemasyarakatan (prison administration) yang
memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.
Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan tindak pidana
tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas. Ini berarti
politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.

30
Sudarto, Op.cit, h. 161-162
31
Marc Ancel, Social Defence, a Modern Approach to Criminal Problems, (London:
Routledge & Kegan Paul, 1965), h. 4-5

26 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa
kebijakan penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat
ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu:32 1) criminal law application,
2) prevention without punishmen; 3) influencing views of society on crime
and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan
menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak
pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal
policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan
menggunakans arana di luar hukum pidana (non penal policy).
Pada dasarnya penal policy lebih menitik-beratkan pada tindakan
represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-
penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum
terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut
politik kriminil secara makro, non-penal policy merupakan
kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis.
Hal itu dikarenakan non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan
pencegahan terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-
penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor
kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan
menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan
istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”.
Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal
policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman

32
Ibid, h. 5

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 27


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan
undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah
satu komponen dari modern criminal science di samping criminology
dan criminal law.33
Dengan demikian, penal policy atau politik (kebijakan) hukum
pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan
dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-
undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan
yudikatif), dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).
Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan
bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-
undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang
hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa
yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan
yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti, menyangkut proses
kriminalisasi. Kriminalisasi menurut Sudarto,34 merupakan
proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan
yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya
undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan,35 kebijakan
untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik
tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Sedangkan pengertian penanggulangan kejahatan, menurut

33
Marc Ancel, Op.cit, h. 4-5
34
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana...., h. 39-40
35
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), h. 29-30

28 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Mardjono Reksodiputro,36 adalah usaha untuk mengendalikan
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum
pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian
dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan
peraturan perundang-undangan pidana yang merupakan bagian
integral dari politik sosial. Politik sosial tersebut menurut Barda
Nawawi Arief dapat diartikan sebagai segala saha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
mencakup perlindungan masyarakat.
Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik
hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang
dibuat dengan sengada dan sadar. Memilih dan menetapkan
hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan
harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat
mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam
kenyataannya.37 Oleh karena itu, proses kriminalisasi yang terus
berlangsung harus dilakukan evaluasi, karena sebagaimana yang
ditulis Bruggink:38
Dewasa ini orang mungkin mengeluh bahwa melimpahnya
aturan-aturan hukum mempunyai dampak sebaliknya ketimbang
dituju. Semula aturan hukum dimaksudkan untuk mengatur

36
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan), (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994), h. 84
37
Barda Nawawi Arief, Op.cit, h. 37
38
Bruggink, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996), h. 167

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 29


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
kehidupan kemasyarakatan dengan cara yang lebih baik akan
tetapi aturan-aturan hukum justeru mencekik kehidupan
kemasyarakatan itu, dengan terlalu membelenggu kreativitas dan
spontanitas.
Untuk memperjelas, Bruggink memberikan contoh pada
aturan-aturan hukum yang menyangkut hubungan antara orang
tua dan anak. Jika pemerintah lebih banyak menetapkan aturan,
ada kemungkinan inti hubungan antara orang tua dan anak akan
tertekan. Untuk itu, menurut Bruggink, diperlukan wawasan
tentang peranan kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat
sebagai titik tola.
Namun demikian, Sudarto mengingatkan, pengaruh umum
pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui
tentang adanya sanksi (pidana) itu. Dan intensitas pengaruhnya
tidak sama untuk semua tindak pidana. Terhadap tindak pidana
yang oleh masyarakat dianggap sepele, artinya kalau orang
melakukannya tidak dianggap tercela, misalnya dalam pelanggaran
lalu lintas, ancaman pidana berat merupakan mekanisme kontrol
yang cukup ampuh untuk mencegah perbuatan tersebut. Akan
tetapi, ancaman pidana berat tidak banyak artinya jika tidak
dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula.39
Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam
tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur.40 Hal itu penting
agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai

39
Sudarto, Op.cit, h. 90-91
40
Muladi, Materi Kuliah: Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Ilmu
Hukum (S.2) UNDIP, 1993

30 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan
yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga
tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justeru
akan merugikan masyarakat sendiri.
Sudarto berpendapat, melaksanakan politik hukum pidana
berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-
undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan
dan daya guna.41 Dalam kesempatan lain dikemukakan pula,
bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti
sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu
dan untuk masa-masa yang akan datang.
Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy)
dapat difungsionalisasikan dan diperasionalisasikan melalui
beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif,
tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif, dan tahap eksekutif atau
kebijakan administratif.42
Tahap formulasi atau kebihkana legislatif dapat dikatakan
sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-
undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif
merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-
undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau
kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan
pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekutan
hukum tetap.

41
Sudarto, Op.cit, h. 151
42
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 75

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 31


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap
awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses
fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap
formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar,
landasan dan pedoman bagi tahap-tahap fungsionalisasi atau
operasionalisasi hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi
dan tahap eksekusi.43 Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi
atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang
dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam
kebijakan hukum pidana (penal policy) yaitu tahap aplikasi dan
tahak eksekusi.
Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu
diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy),
khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan
perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan
masalah penentuan sanksi apa yang sebaiklnya digunakan atau
dikenakan kepada si pelanggar.44
Teori-teori criminalisering yang mengemukakan tentang
proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang
berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang
mempengaruhi proses-proses ini ternyata masih terbatas sekali.
Penentuan perbuatan yang dijadikan tindak pidana mempunyai
hubungan yang erat dengan masalah “kriminalisasi”, yaitu proses
untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak
pidana menjadi tindak pidana.

43
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 1992), h. 157-158
44
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002), h. 24

32 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Proses kriminalisasi tersebut diakhiri dengan terbentuknya
peraturan perundang-undangan dimana perbuatan tersebut
diancam dengan suatu sanksi berupa pidana (tahap formulasi).
Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan
oleh hakim (tahap aplikasi), dan selanjutnya apabila dijatuhkan
pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (tahap
eksekusi).
Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto
berpendapat, dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di
atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan
hal-hal yang intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil
makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila;
2. Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri,
demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
3. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang
tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan
prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);
5. Peggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan
kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan
penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban
tugas (overbelasting).

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 33


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana.
Namun demikian usaha ini pun harus sering dipersoalkan.
Perbedaan peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan,
menurut Inkeri Antila, telah berlangsung beratus-ratus tahun, dan
menurut Herbert L. Packer, usaha pengendalian perbuatan anti
sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah
melanggar peraturan pidana merupakan suatu problem sosial
yang mempunyai dimensi hukum yang penting.45
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai
salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam
bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena
tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada
umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam
bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah,
penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu
keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena
pada hakikatnya, dalam masalah kebijakan orang dihadapkan
pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai
macam alternatif.46 Dengan demikian masalah pengendalian atau
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana
bukan hanya merupakan problem sosial seperti dikemukakan
oleh Packer di atas, tetapi juga merupakan masalah kebijakan (the
problem of policy).

45
Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, (California: Stanford
University Press, 1968), h. 3
46
Sudarto, Op.cit, h. 61

34 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
B. Kebijakan Penegakan Hukum Pidana
Istilah kejahatan dan penjahat, kendati kata-kata sederhana
meruakan aktifitas yang seumur dengan kehidupan manusia
itu sendiri. Ditilik dari “umur kejahatan” yang dikenal oleh
umat manusia, sudah hampir sama tuanya dengan prostitusi
atau pelacuran yang dianggap sebagai profesi tertua di dunia.
Aktifitas kejahatan dan penjahat, walau hampir setiap orang tidak
menyukainya selalu silih berganti terjadi, di mana dan kapan pun
tanpa mengenal ruang dan waktu yang dapat merenggut korban
jiwa dan harta benda siapa saja. Artinya dari waktu ke waktu,
soal kejahatan dan penjahat tidak pernah dapat dituntaskan oleh
siapa dan pihak mana pun juga di dunia ini. Ibarat bunyi pepatah
tua, “patah tumbuh hilang berganti”. Kejahatan adalah masalah
abadi umat manusia atau masyarakat sebagaimana keberadaan
masyarakat itu sendiri, seperti dikatakan oleh Frank Tannenbaum,
“crime is eternal as eternal as society”.47
Pelaku dan perilaku kejahatan sesungguhnya tidak mengenal
adanya strata sosial dalam kehidupan masyarakat. Kedudukan
dan status sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya tidak
bisa dijadikan tolok ukur. Selama manusia masih memiliki
hawa nafsu dan tidak mampu mengekangnya, kejahatan akan
terus berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara. Masalah kejahatan tetap menjadi aktual dan wacana
masyarakat dan “pekerjaan rumah” pihak kepolisian untuk
segera menanggulanginya. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang
signifikan, bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana di
Indonesia?

47
Harry Elmer Barnes dan Negley K. Teeters, New Horizons in Criminology,
(New Jersey: Englewood Cliffs, 1959), h. 2

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 35


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
1. Makna Kejahatan dalam Persepsi Masyarakat
Kejahatan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
tetap menjadi masalah besar dalam upaya penagakan hukum
suatu negara hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya akan
berguna untuk “memulihkan” kembali keamanan dan ketertiban
masyarakat yang sempat terganggu agar tercipta suatu kepastian
hukum. Namun makna kejahatan menjadi aktual sepanjang
masa dari segi persepsi warga masyarakat dan politik kriminal
dari kebijakan pembangunan hukum sebagai politik hukum oleh
pemerintah yang berkuasa. Hal ini disebabkan adanya pandangan
yang berbeda dalam menyikapi kejahatan sebagai suatu masalah
sosial dan hukum.
Ambil contoh jenis kejahatan semua lapisan umur dan strata
seperti perjudian,. Berulangkali pihak berwajib menggerebek
sarang perjudian, akan tetapi berulangkali pula pekerjaan terlarang
ini muncul kembali. Anehnya, sering kali si bandar gede adalah
orang-orang yang sama. Kasus-kasus perjudian dengan omzet
jutaan sampai miliaran rupaih di Jakarta, Bandung, Medan,
Surabaya dan sebagai yang berhasil digerebek oleh pihak kepolisian
merupakan contoh nyata terjadinya perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang yang sempat diekspos oleh media massa sampai
saat ini. Perbuatan mereka jelas sebagai kejahatan dalam tataran
hukum positif. Anehnya lagi, siapa dalang utama yang berdiri di
balik usaha perjudian itu belum berhasil diungkapkan oleh pihak
kepolisian. Masyarakat menganggap bahwa kejahatan itu sangat
sulit untuk diberantas oleh karena penegakan hukum hanya
sebatas retorika dan utopia saja. 48

48
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), 35-36

36 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Keadaan ini sering menjadi perbincangan hangat warga
masyarakat awam di warung kopi pinggir jalan, bahwa intellectual
actors dari kejahatan perjudian tidak penah tertangkap atau “kebal
hukum”. Buktinya, mereka ini tidak dapat diajukan ke depan
“meja hijau” oleh aparat penegak hukum. Sementara itu, dalang
utama alias sang bandar yang menyelenggarakan perjudian
tersebut, bisa saja hidup dengan enak dan mewah di villanya
sambil ditemani oleh gadis-gadis cantik tanpa sedikit pun diri
merasa bersalah telah merusak mentalitas bangsa yang bermimpi
dengan mudah dalam waktu singkat memperoleh kekayaan yang
berlimpah. Hukum dalam masyarakat tidak selalu berpihak pada
rakyat kecil sehingga perlu adanya suatu law reform.
2. Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Politik Kriminal
Gambaran kejahatan yang diuraikan di atas memberikan
pemahaman bahwa kejahatan dari waktu ke waktu semakin
berkembang, beragam, dan memiliki cakupan dimensi yang kian
luas seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kejahatan tidak hanya dapat terjadi pada institusi pemerintah atau
perbankan saja, akan tetapi juga terjadi di lembaga asuransi dan
lembaga keuangan bukan bank. Selain itu, sudah tidak terbilang
kejahatan yang dilakukan oleh “the blue collar criminals” (kejahatan
elite) ini di tengah-tengah kehidupan masyarakat awam. Mereka
melakukan kejahatan setiap hari menghiasi halaman media massa
nasional dan daerah sehingga dianggap “lagu lama” yang sudah
basi. Semua ini perlu menjadi bahan refleksi (perenungan) tentang
adanya “penyakit kejahatan” yang menulari bangsa yang dikenal
ramah dan beradab ini.

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 37


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Kejahatan yang terjadi dewasa ini semakin kompleks. Para
pelakunya bukan lagi setiap individu manusia biasa atau elite
melainkan sudah merupakan suatu jaringan kerja (network crime)
yang dinamakan dengan sindikat atau gang-gang (gangster). Ini bisa
dilihat dari kejahatan narkotika, perbankan, perjudian, terorisme
dan KKN yang jaringan kerjanya bisa mirip dengan kejahatan dan
perilaku Mafia, Triad dan Yakuza. Mereka ini “bekerja” dengan
jaringan kejahatan yang sangat rapi untuk menghilangkan jejak
dari pandangan masyarakat. Para bos yang mendalangi kejahatan
itu tidak mudah digaet oleh “hamba hukum” disebabkan adanya
gerakan tutup mulut (GTM) dari anggota sindikat yang tertangkap
oleh pihak kepolisian.49
Barangkali inilah tugas berat aparat penegak hukum dalam
upaya membongkar setiap modus operandi kejahatan yang
dilakukan oleh para kejahatan profesinal. Dalam pembentukan
kaidah hukum pidana dan politik kriminal, kriminalisasi
merupakan objek kajian yang terpenting dalam menganalisis
masalah kejahatan dalam kehidupan masyarakat.
Kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa
mengenai perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan
masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana
menjadi perbuatan pidana.50
Penetapan kriminalisasi berarti melaksanakan kebijakan
hukum pidana, yaitu usaha mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada

49
Ibid, h. 42
50
Sorjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981), h. 62

38 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Politik
hukum pidana sebagai usaha rasional menanggulangi kejahatan
dan memerhatikan hak semua unsur, termasuk nations of state,
society, the individual, humanity, god, freedom adn appression.51
Kejahatan merupakan masalah klasik umat manusia dan
memberantasnya bukan pekerjaan yang gampang. Banyak kendala
dialmi oleh penegak hukum itu sendiri, bahkan bisa saja bersumber
dari kalangan birokrat dan masyarakat. Memberantas kejahatan
bukan bak lampu Aladin, sekali ucap, sim salabim muncul segala
keinginan pemiliknya. Memberantas kejahatan membutuhkan
tenaga penegak hukum andal, kerja keras, waktu dan biaya yang
tidak kecil untuk membekuk para pelakunya. Itu pun belum dapat
menjamin untuk menangkap para pelaku kejahatan, terutama
intellectual actors yang melarikan diri ke luar negeri seperti bankir
dan konglomerat yang ngemplang uang rakyat. Mereka ini justeru
dilindungi oleh oknum-oknum pejabat atau penegak hukum,
karena adanya kepentingan tertentu.
Di sisi lain, pemberantasn kejahatan dengan cara “dor”
ala petrus tidak sesuai dengan tatanan kehidupan suatu negara
hukum dan demokrasi. Cara ini juga tidak akan mampu
menyelesaikan masalah kejahatan di tanah air, kendati relatif
dapat menekan angka kejahatan. Akan tetapi usai petrus, angka
kejahatan cenderung meningkat tajam seperti fenomena yang
terjadi dewasa ini di kota-kota besar di Indonesia pasca reformasi.
Di sini diperlukan adanya “tangan-tangan dingin” aparat penegak

51
Pat Carlen, On Rights and Powers: Some Notes on Penal Politics, dalam David
Garland dan Peter Young (ed), The Power to Punish, (New Jersey: Humanities Press,
1983), h. 204

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 39


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
hukum untuk dapat menyelesaikan masalah kriminalisasi sebagai
politik kriminal. Kejahatan dalam masyarakat memang tidak akan
habis selama masih ada kehidupan manusia di muka bumi ini.
Di sini harus ada kerja sama erat antara aparat penegak hukum
dengan masyarakat, terutama korban kejahatan untuk bersama-
sama menanggulangi kejahatan yang merasahkan dan menarik
perhatian masyarakat.
Pendapat umum masyarakat bagi suatu negara hukum
dan demokrasi merupakan salah satu “senjata” ampuh yang
mendorong penegak hukum untuk menanggulangi setiap bentuk
kejahatan. Ucapan warga masyarakat yang dilontarkan, baik
secara bisik-bisik maupun terbuka akan menjadi masukan tentang
adanya sesuatu yang perlu segera “dibenai” pada perilaku penjahat
dan elite tertentu yang melanggar norma masyarakat terutama
dalam kerangka penegakan hukum oleh pihak berwajib. Ada
adagium sebagai ungkapan bijak berbunyi “kehendak (pendapat)
rakyat merupakan kehendak Tuhan”. Artinya, suara rakyat harus
didengar sebagai bentuk kehendak warga negara demi tegaknya
hukum, keadilan, dan kebenaran.
3. Objek Studi Hukum Pidana
Objek sstudi ilmu hukum pidana pertama-tama adalah
hukum positif, norma-norma dan sanksi hukum pidana yang
nyata-nyata berlaku berlaku di negara republik Indonesia. Ilmu
hukum itu harus berfungsi menerangkan dan menganalisis dan
mensistematisasikan dalam rangka penerapan hukum secara
benar, tepat dan berkeadilan.
Ilmu hukum pidana harus mampu memunculkasn asas-
asas yang melandasi ketentuan perundang-undangan, baik yang

40 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
mendasari kepentingan umum maupun yang berkenaan dengan
rumusan tentang hukum pidana khusus.
Karena itu, ilmu hukum harus mampu merumuskan asas-
asas tersebut dan menatanya. Di samping tugas mensistimatisir
di atas, ilmu hukum pidana juga memililki fungsi kritik. Dalam
hal ini yang dipersoalkan adalah kelayakan dari asas-asas (huku
pidana) dan karena itu tugas kajian hukum adalah menelaah soal
perlunya penyelarasan antara perundang-undangan serta hukum
pidana dan asas-asas tersebut. Analisis logis yuridis yang dilakuan
secara internal dalam konteks ini ditunjang oleh argumentasi yang
beranjak dari satu tertib hukum yang pada gilirannya dilandaskan
pada sistem nilai tertentu.
Beranjak dari uraian tentang ilmu hukum pidana yang dapat
kita katakan merupakan dogmatika (ilmu hukum) di atas, menjadi
penting untuk mencakupkan ke dalam tugas lain dari ilmu
hukum pidana penelaahan atas proses acara pidana, yaitu aturan
main serta hak dan keweajiban orang-orang dan otoritas yang
yang terlibat di dalamnya. Ini sangatlah penting dalam hukam
pidana, karena seperti yang akan kita lihat nanti, hukum acara
pidana khusus diwujudkan melalui aturan-aturan prosesuil dan
aturan-aturan hukum acara pidana kerap berpengaruh terhadap
interpretasi aturan-atuiran hukum materiil, terlepas dari adanya
pelbagai bidang yang termasuk kedua-duanya (misalnya asas non
bis in idem), yaitu hukum pidana materiil maupun acara pidana.
Kareana itu, penarikan garis batas bidang telaah hukum yang
berbeda-beda, juga menjadi salah satu tugas dari ilmu hukum
pidana .

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 41


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pendalaman dan perluasan pengertian memerlukan
pendekatan historis. Di samping kemunculan dan perkembangan
pranata-pranata hukum pidana akan ditelaah, latar belakang
sosiologis dan kejiwaan (maksud-tujuan) pranata-pranata tersebut
juga akan dipelajari.
Di samping sejarah hukum pidana, (pendekatan) filsafat
hukum pidana juga penting karena dalam keseluruhan filsafat
hukum, problematika pembenaran (sanksi) pidana (pengenaan
derita) menempati tempat penting. Selain itu, pendekatan
filsafat hukum pidana juga menjadi penting karena dalam hal,
misalnya, topik kesalahan atau (in-) determinisme alasan atau
keberatan atas dasar suara hati nurani yang dapat menghilangkan
culpa dan pembatasan penjatuhan sanksi (hukum) pidana dapat
dipertanyakan – pesoalan mendasar tentang ‘tindakan’ dan
‘penyertaan’.
Lebih dari itu, dalam dunia yang semakin ‘internasional’
timbul kebutuhan untuk mengkaji hukum pidana dari sudut
pandang internasional. Kalau dahulu topik-topik tentang
yurisdiksi dan penyerahan (ekstradisi) dipelajari tersendiri
(ekstradisi sering disampaikan sebagai telaah dari hukum
publik internasional), dalam beberapa tahun terakhir ini timbul
kecenderungan untuk memandang soal-soal tersebut dalam
hukum supra nasional (misalnya perjanjian tentang hak asasi
manusia), pelbagai bentuk bantuan hukum (penyerahan dan
pelimpahan kewenangan penuntutan pidana dan eksekusi
pidana), dan perbandingan hukum sebagai subdisiplin dari hukum
pidana, yaitu hukum pidana internasional. Studi penting dalam
bidang ini dilakukan oleh Max Planck Institut fiir Auslandisches

42 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
und Internationales Strafrecht di Freiburg in Breisgau yang pernah
dan masih melibatkan banyak pakar hukum anda. Profesor
Jescheck yang pernah menjabat direktur institut tersebut selama
bertahun-tahun, menyatakan bahwa perbandingan hukum tidak
hanya memperluas pemahaman kita akan hukum pidana, namun
lebih dari itu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih
langsung dan praktis – singkatnya, memperluas Losungsvorrat kita
(persediaan alat untuk menyelesaikan pertanyaan dan persoalan
tertentu).52
4. Asas Legalitas Negara untuk Melarang dalam
Hukum Pidana
Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan tercela
yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang
merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu
sanksi terhadapnya disebut legalitas hukum.
Konsep bahwa tindak pidana adalah melanggar kepentingan
negara sebagai representasi kepentingan publik, umumnya
menjadi dasar kewenangan negara untuk menentukan, membuat
peraturan, menuntut, dan menghukum seseorang yang melanggar
peraturan. Hal ini diperkuat oleh pengklasifikasian ilmu hukum,
dimana hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang
tidak membolehkan campur tangan individu.53
Asas legalitas mengandung makna: pertama, ketentuan dapat
dipidananya suatu perbuatan harus terjadi melalui undang-undang
yang dibuat oleh negara dalam arti formal atau berdasarkan

52
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003),
h. 40-41
53
Mudzakkir, “Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan
Pidana”, disertasi program Pascasarjana FH-UI, Jakarta, 2001, h. 145

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 43


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
kekuatan undang-undang dalam arti formal, yang berarti undang-
undang dalam arti materiil yang dibuat oleh pembentuk undang-
undang yang lebih rendah harus berdasarkan kuasa undang-
undang untuk berbuat demikian; kedua, mengandung makna
bahwa pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat
membuat peraturan pidana selama mendapatkan legitimasi dari
undang-undang dalam arti formal, tetapi tidak boleh menciptakan
sanksi pidana selain yang ditentukan oleh undang-undang dalam
arti formal.
Asas ini, baik di Belanda maupun Indonesia, tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP dengan rumusan “Geen feit is strafbaar dan
uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepalingen”,
atau “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada”.54
Meskipun telah berumur seratus tahun lebih, yaitu sejak
1886 diberlakukannya WvS di Belanda, dan 1918 di Indonesia,
rumusan ini tidak berubah.
Dalam hukum Islam juga mengenal asas legalitas, yang
berkenaan dengan unsur formal hukum pidana Islam, asas legalitas
dalam fiqh jinayah berbunyi: “Tidak ada tindak pidana dan tidak
ada sanksi hukuman atas suatu tindakan tanpa ada aturannya”.
Menurut Groenhuijsen, ada empat makna yang terkandung
dalam asas legalitas. Dua dari yang pertama ditujukan kepada
pembuat undang-undang, dan dua lainnya merupakan pedoman
hakim. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh

54
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 27

44 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku surut. Kedua,
bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam
rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan
bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap
peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.55
Menurut Dupont, Het legaliteitsbeginsel is in een van de meest
fundamentele beginselen van het strafrecht. Artinya, asas legalitas
adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana.
Dikatakan selanjutnya bahwa asas ini dikenal dengan
adagium nullum delictum noella poene praevia sine lege poenali. Secara
singkat, nullum crimen sine lege berarti tidak ada tindak pidana
tanpa undang-undang, dan nulla poene sine lege berarti tidak ada
pidana tanpa undang-undang. Jadi undang-undang menetapkan
dan membatasi perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang
dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.56
Asas ini mengandung makna asas perlindungan, yang secara
historis merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan
penguasa di zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan
fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan
di dalam suatu negara hukum liberal pada waktu itu. Sekarang
pun keterikatan negara-negara hukum modern terhadap asas ini
mencerminkan keadaan bahwa tidak ada suatu kekuasaan negara
yang tanpa batas terhadap rakyatnya dan kekuasaan negara pun
tunduk pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan.57

55
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana...., h. 28
56
Ibid, h. 29
57
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 45


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
C. Ajaran Sifat Melawan Hukum Pidana
Gambaran umum suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan
manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan
membuat bersalah pelaku perbuatan itu.
Asas legalitas mewajibkan kepada pembuat undang-undang
untuk menentukan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan
tindak pidana, harus dirumuskan dengan jelas. Rumusan tersebut
mempunyai peranan dalam menentukan mengenai apa yang
dilarang atau apa yang harus dilakukan seseorang.
Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif
adalah sifat melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas
yang tersirat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam bahasa
Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (bertentangan/
melawan hukum).
Langemeyer mengatakan, untuk melarang perbuatan yang
tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dipandang keliru, itu
tidak masuk akal. Persoalannya adalah apa yang dimaksud dengan
melaan hukum itu, dan apa ukuran keliru atau tidaknya suatu
perbuatan? Apakah hanya yang dilarang oleh undang-undang
saja? Apakah sifat melawan hukum yang ditentukan oleh undang-
undang itu juga selalu dianggap melawan hukum oleh anggota
masyarakat sehingga pantas mendapat sanksi pidana?
Ketentuan-ketentuan dalam KUHP menyatakan bahwa unsur
melawan hukum tidak selalu tercantum dengan tegas di dalam
setiap pasalnya. Perumusannya tidak selalu menggunakan kata-
kata tegas melawan hukum.

Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi),
(Bandung: Alumni, 2002), h. 7

46 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pasal-pasal yang dengan tegas mencantumkan kata “melawan
hukum” antara lain adalah pasal 167, 168, 333, 335, 362, 372. Di
samping itu, ada yang menggunakan istilah lain, seperti: tanpa
izin (pasal 496, 510), dengan melampaui batas kekuasaan (pasal
429, 430), tanpa memperhati-kan cara-cara yang ditentukan
dalam peraturan umum, dan istilah-istilah lain yang senada,
hanya sebagian kecil dari pasal-pasal KUHP yang mencantumkan
kata-kata itu.
Pompe mengatakan bahwa pembentuk undang-undang
mempunyai alasan untuk tidak mencantumkan dengan tegas itilah
tersebut justeru karena berbagai perbuatan yang telah dinyatakan
sebagai tindak pidana atau delik itu bersifat melawan hukum.58
Suatu perbuatan yang telah memenuhi ruusan perundang-
undangan pidana, dan dilakukan oleh orang yang dapat
mempertanggungjawabkan kesalahannya, berakibat orang itu
dapat dijatuhi pidana. Demikianlah hubungan antara perbuatan
dan dapat dipidanakannya pelaku, baik menurut ajaran monistis
maupun dualistis.
Mengenai sifat melawan hukum ini, ternyata perbuatan yang
memenuhi rumusan delik tidak selalu bersifat melawan hukum,
dengan akiabt pelakunya tidak dapat dijatuhi pidana. Misalnya,
seorang polisi yang karena tugasnya menangkap atau menahan
seseorang yang dicurigai sebagai pelaku tindak pidana. Perbuatan
menangkap dan menahan itu sendiri memenuhi rumusan pasal
333 KUHP yaitu merampas kemerdekaan orang. Tetapi karena
polisi tersebut menjalankan tugas yang juga diatur oleh perundang-
undangan yang memberi kewenangan padanya untuk menangkap

58
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana..., h. 30

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 47


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
dan menahan orang maka sifat melawan hukum perbuatan polisi
itu dihapuskan. Bab III dari Buku Kesatu KUHP mengatur tentang
hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan
pengenaan sanksi pidana.
Sudarto memberikan beberapa contoh:
1. Seorang ayah yang memukul orang yang memperkosa anak
gadisnya;
2. Seorang yang menembak mati rekannya atas permintaan
sendiri karena luka berat dan tidak mungkin untuk hidup
terus, sementara mereka sedang berada di kutub selatan.
3. Seorang ahli biologi yang membedah binatang demi penelitian
ilmiah.
Apakah mereka itu dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya
yang secara harfiah memenuhi rumusan pasal-pasal tertentu
dalam KUHP. Kita tidak dapat begitu saja menjawab dengan ya
atau tidak. Tetapi perlu menelaah ajaran-ajaran mengenai sifat
melawan hukum.
Pembuat undang-undang, karena alasan-alasan teknis
perundang-undangan, sering kehabisan kata-kata untuk
melukiskan gambaran secara umum, singkat dan jelas, tingkah laku
atau keadaan yang dimaksudkan dengan tindak pidana. Penetapan
bahwa dalam isi rumusan tindak pidana mengharuskan adanya
sifat melawan hukum atau dapat dicelanya perbuatan, tidak selalu
dipenuhi dan karenanay tidak juga selalu dicantumkan, tetapi
sebagai tanda tetap ada. Keberadaannya terlihat dari kelakuan-
kelakuan tertentu, keadaan-keadaan tertentu, atau akibat-akibat
tertentu yang dilarang atau yang diharuskan.59

59
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum
Pidana...., h. 8

48 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pendapat tentang apakah melawan hukum harus dicantumkan
atau tidak dalam setiap rumusan delik mempunyai hubungan
dengan ajaran sifat melawan hukum, masih dipersoalkan. Ajaran
itu terkait dengan ajaran formal dan material.
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi
rumusan delik undang-undang. Sifat melawan hukum formal
merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan.
Secara singkat, ajaran sifat melawan hukum formal
mengatakan, apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua
unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan
tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar
maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas
dalam undang-undang.60
Menurut ajaran ini, dengan berpegang pada asas legalitas,
apabila perbuatan diancam dengan pidana dan dirumuskan
sebagai suatu delik di dalam undang-undang yang tertulis misalnya
KUHP maka perbuatan itu bersifat melawan hukum. Kalaupun
ada hal-hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya,
sehingga pelakunya tidak dapat dijatuhi pidana, hal-hal yang
menghapuskan itu harus pula berdasar ketentuan undang-undang
tertulis.
Ajaran material menyatakan, melawan hukum atau tidaknya
suatu perbuatan tidak hanya terdapat di dalam undang-undang
(yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asa hukum
yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan
berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang
tidak tertulis.

60
Ibid, h. 25

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 49


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi
semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-
benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-
alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan kata lain, alasan
pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
Pompe mengatakan, untuk dapat dipidananya seseorang yang
telah dituduh melakukan tindak pidana disyaratkan:
1. Tindak pidana yang dituduh atau didakwakan harus
dibuktikan;
2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi
semua unsur yang terdapat di dalam rumusan undang-undang.
Dikatakan selanjutnya, jika unsur melawan hukum itu
memenuhi rumusan delik maka unsur itu harus dibuktikan,
sebaliknya, jika tidak dengan tegas dirumuskan maka tidak perlu
dibuktikan. Dalam acara peradilan, unsur melawan hukum
selalu harus dibuktikan, dan itu merupakan beban yang berat
dan mempersulit proses itu sendiri. dicantumkannya unsur
sifat melawan hukum sebagai unsur delik berakibat jaksa harus
menyebutkan di dalam surat dakwaannya dan harus dibuktikan.
Hazewinkel Suringa dan Moeljatno mengatakan, sebenarnya
unsur melawan hukum itu telah inheren di dalam setiap delik.
Dengan kata lain, unsur itu diam-diam selalu dianggap ada di
dalamnya. Barangkali akan lebih baik jika unsur itu tidak usah
dicantumkan dengan tegas di dalam pasal-pasal KUHP. Misalnya,
Pasal 167 ayat (1) KUHP yang berisi larangan untuk memaksa
masuk rumah atau pekarangan dengan melawan hukum itu
dihilangkan, bukankah secara diam-diam itu sudah jelas bahwa

50 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
memasuki rumah/pekarangan orang lain tanpa izin itu adalah
perbuatan melawan hukum karena memang sudah dilarang.
Seandainya ada seorang polisi yang hendak menggeledah, dan
pemilik rumah menolak atas dasar pasal 167 ayat (1) tersebut,
polisi itu dapat menunjukkan surat tugas penggeledahan, dengan
demikian sifat melawan hukumnya dihapuskan atas dasar
perintah jabatan atau menjalankan undang-undang (Pasal 50 dan
51 KUHP). 61
D. Potret Hukum Pidana Islam dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia
Hukum pidana Islam tidak banyak dipahami secara benar dan
mendalam oleh masyarakat, bahkan juga oleh masyarakat Islam
sendiri. masyarakat awam hanya menangkap dan memperoleh
kesan bahwa sanksi hukum pis Islam, bila dilaksanakan kejam
dan mengerikan. Mereka hanya menggambarkan tentang betapa
kejamnya sanksi hukum potong tangan terhadap pencuri, hukum
rajam terhadap orang yang berzina, serta hukum jilid dan hudud
pada umumnya. Mereka tidak memahami tentang sistem hukum
Islam dan sistem peradilan Islam serta eksekusi pelaksanaan
sanksinya. Masyarakat yang seperti inilah yang kita jumpai hampir
di seluruh pelosok tanah air.
Kedudukan hukum Islam di bidang keperdataan telah terjalin
secara luas dalam hukum positif. Baik hal itu sebagai unsur yang
mempengaruhi, atau sebagai modifikasi norma agama, yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan keperdataan,
ataupun yang tercakup dalam lingkup hukum substansial dari
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

61
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana..., h. 34

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 51


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Sedang hukum Islam di bidang kepidanaan – untuk menyebut
lain dari Hukum Pidana Islam – belum mendapat tempat seperti
bidang hukum positif keperdataan Islam.
Sudut pandang filosofi bangsa Indonesia, yang berdasarkan
Pancasila, memungkinkan bagi hukum Islam untuk menjadi
bagian dari pembangunan hukum nasional Indonesia. Masalahnya
adalah, bagaimana hukum Islam di bidang kepidanaan itu dapat
menjadi bagian hukum positif dalam rangka pembangunan
hukum nasional tersebut.
Hukum Islam di bidang kepidanaan dapat didiskusikan
dan bahkan dijalin ke dalam hukum pidana Indonesia. Hal
ini dimungkinkan sepanjang ia sesuai dengan dasar filosofis
Pancasila dan hukum dasar Undang-Undang Dasar 1945 yang
melandasi Negara Republik Indonesia sebagai suatu negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terdapat perbedaan pandangan di antara para fuqaha tentang
penggunaan istilah jarimah atau jinayah yang terbagi dalam
tiga golongan. Yang pertama, jarimah ta’zir, larangan/perintah
syari’ah yang tidak dirumuskan secara pasti, tetapi diserahkan
kepada penguasa, atau tidak ditentukan oleh syari’ah mengenai
perbuatan terlarang dan sanksinya. Yang kedua, jarimah qishash
atau diyat (pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan mirip
sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan
penganiayaan tidak sengaja). Sedangkan yang ketiga, jarimah
hudud (zina, menuduh orang lain zina, minum minuman keras,
merampok/ membegal/merusak/membuat onar, murtad, dan
memberontak). Namun terlepas dari perbedaan-perbedaan ini,
dapat disamakan dengan jenis larangan/ perintah dalam hukum

52 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
pidana positif, yang dikualifikasikan sebagai bentuk perbuatan/
tindakan pidana/delik (strafbaarfeit). Akan tetapi, jika sifat jarimah
dikaji lebih mendalam, hanya jarimah ta’zir yang dapat dianggap
sepadan dengan delik dalam hukum pidana. Karakter jarimah
hudud dan qishash lebih dogmatis dan menjadi hak Allah – yang
tidak mungkin diubah atau dikurangi oleh kekuasaan manusia.
Karakteri inilah berbeda dengan karakter delik pidana yang dapat
berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat.62
Sebuah negara yang hukum negara yang sepenuhnya
berasarkan syari’ah Islam, berarti substansi jarimah Islam menjadi
bagian hukum negara, dalam norma manapun sanksinya,
walaupun terdapat berbagai pandangan tentang kebutuhan hukum
dari para mujtahidin.
Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia
sudah lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang
pada zaman Hindia Belanda. Perwujudan harapan tersebut,
pada masa itu, terarah pada syariah Islam yang sudah menyatu
dengan kehidupan masyarakat setempat, telah menjadi hukum
adat yang di dalamnya terkandung unsur keagamaan. Maka
dalam perkembangannya, hal itu dirumuskan menjadi “kesadaran
hukum adat” yang di dalamnya terjalin unsur-unsur syariat Islam
(Ordonantie S. 1881 No. 83; S. 1904 No. 473; S. 1916 No. 432,
yang berlaku di Aceh). Pokok pikiran yang demikian itulah yang
diteruskan sampai sekarang, walaupun hasilnya tidak banyak
diketahui oleh masyarakat luas.63

62
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001), h.15-16
63
Ibid, h. 17

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 53


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pertanyaan yang timbul kemudian, bagaimanakah perspektif
dan kemungkinan perkembangan kontribusi hukum Islam di
Indonesia pada masa yang akan datang?
Untuk melihat hal tersebut, perlu dilakukan tiga kaian yang
berkenaan dengan (1) pengertian hukum Islam, (2) subjek hukum
Islam, dan (3) objek hukum Islam.
Dari sudut pengertian, bentuk asas-asas hukum tersebut
sangat penting, mengingat bahwa:
1. Asas-asas hukum merupakan unsur yang mendasari kaidah
hukum. Sehingga apabila asas-asas hukum Islam tertentu
dapat diterima sebagai asas hukum nasional, maka seluruh
kaidah hukum akan mendapat jiwa dan semangat dari asas
Islam tertentu itu;
2. Asas hukum berisi dan mencerminkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam cita-cita, fungsi dan tujuan hukum. Adanya
asas hukum akan menjamin penerapan dan penegakan hukum
secara adil, benar, tepat dan bermanfaat bagi individu maupun
masyarakat. Asas hukum merupakan kendali agar kaidah
hukum tidak diterapkan atau ditegakkan secara menyimpang
dari cita-cita, fungsi, dan tujuan hukum;
3. Asas hukum merupakan instrumen dinamisator suatu kaidah,
sehingga tetap dapat diterapkan dan ditegakkan secara adil,
benar, tepat, dan bermanfaat bagi individu dan masyarakat.
Akan sangat besar kontribusinya apabila dapat diketemukan
kesejajaran berbagai asa hukum Islam dengan kebutuhan
pembangunan hukum nasional yang mengandung sendi-sendi
hukum yang demokratis.

54 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Mengenai kemungkinan kontribusi kaidah-kaidah hukum
Islam perlu dipahami lebih dahulu karakteristiknya, antara lain:
1. Kaidah-kaidah hukum Islam yang secara normatif semata-
mata akan berlaku bagi orang yang beragama Islam, dan
kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum dan diberlakukan
pada semua orang tanpa harus menyentuh (memeluk)
kepercayaan (agama) yang bersangkutan);
2. Kaidah hukum yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah.
Hal-hal yang bersifat ibadah (dalam arti sempit) hanya akan
berlaku bagi mereka yang beragama Islam. Hal-hal yang
menyangkut muamalah ada pula yang hanya berlaku bagi
mereka yang beragama Islam dan dapat pula berlaku secara
umum.64
Mengenai subjek hukum Islam dapat dikatakan bahwa dalam
sistem hukum positif yang belaku, subjek hukum Islam adalah
orang-orang yang beragama Islam. Apakah hukum Islam juga
menjadikan mereka yang tidak beragama Islam sebagai subjek
hukum, itu tergantung pada karakter asas dan kaidah hukum
Islam. Suatu asas dan kaidah akan berlaku umum, apabila:
1. Perlakuan kaidah hukum tersebut bersifat netral, yang berarti
subjek hukum tidak menganut kepercayaan (agama) yang
terkait;
2. Harus dapat dibuktikan bahwa kaidah hukum Islam akan
menjamin terlaksananya tujuan hukum secara universal;
3. Harus dapat dibuktikan bahwa asas dan kaidah hukum Islam
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat umum.

64
Ibid, h. 19

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 55


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Tentang objek hukum Islam, uraian di atas menyebutkan dua
aspek hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah.
Hal itu menunjukkan bahwa cakupan objek hukum Islam lebih
luas daripada hukum yang semata-mata mengatur hubungan dan
tingkah laku keduniawian. Di masa mendatang, perlu dipikirkan
kontribusi yang lebih mengarahkan peranan hukum Islam dalam
mempengaruhi isi hukum yang sedang berlaku.
Kontribusi hukum Islam ditinjau dari perspektif pembinaan
hukum nasional dapat melalui peraturan perundang-undangan
atau yurisprudensi, hukum kebiasaan, dan ketentuan-ketentuan
yang bukan peraturan perundang-undangan. Kontribusi melalui
peraturan perundang-undangan dapat beraneka ragam, sehingga
kontribusi hukum Islam dapat terjadi pada setiapjenis perundang-
undangan, mulai dari undang-undang dasar sampai pada peraturan
tingkat daerah.
Kontribusi hukum Islam dalam perundang-undangan masih
sangat terbatas, karena:
1. Sampai saat ini usaha menempatkan hukum Islam dalam
peraturan perundang-undangan nasional lebih diarahkan
pada ketentuan khas dan berlaku bagi mereka yang beragama
Islam;
2. Belum banyak diungkapkan dimensi-dimensi hukum Islam
yang berkaitan dengan kehidupan kebangsaan secara
keseluruhan dan dapt diserap ke dalam peraturan perundang-
undangan nasional;
3. Pemikiran memasukkan hukum Islam dalam sistem
perundang-undangan nasional belum banyak diarahkan pada
asas-asas hukum yang dapat berlaku secara umum.65

65
Ibid, h. 21

56 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
BAB III
KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM
PIDANA INDONESIA

A. Urgensi Pembaruan
Usaha untuk melakukan pembaruan Hukum Pidana
merupakan bidang Politik Hukum Pidana. Sebagaimana
dinyatakan bahwa secara politis dan kultural, pemberlakuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia
sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun
terhadap KUHP telah dilakukan pelbagai perubahan dan
penyesuaian, tidaklah menjadikan usaha tersebut sebagai upaya
pembaruan Hukum Pidana dalam arti sesungguhnya serta
memiliki karakter nasional. Penegasan ini disebabkan karena
perubahan terhadap KUHP bukan hanya untuk mengganti
Wetboek van Strafrecht (WvS) menjadi KUHP sebagai produk
bangsa sendiri. Pembaruan Hukum Pidana harus menyentuh segi-
segi filosofis, yakni perubahan atau orientasi terhadap asas-asas
hingga ke tahap nilai-nilai yang melandasinya.

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 57


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Urgensi perubahan terhadap KUHP didasarkan kepada
pertimbangan politis, praktis, dan sosiologi.66 Alasan politis, yakni
sebagai negara yang merdeka, wajar bahwa negara Republik
Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional. Tugas
pembentuk undang-undang untuk menasionalisasikan semua
perundang-undangan warisan zaman kolonial dan usaha tersebut
harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum.
Alasan praktis didasarkan kenyataan semakin sedikitnya
sarjana hukum Indonesia yang mampu memahami bahasa
Belanda berikut asas-asas hukumnya. Alasan sosiologis di mana
KUHP berisi pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu
bangsa. WvS belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga alasan tersebut ditambah oleh Mulati bahwa pembaruan
Hukum Pidana didasarkan kepada tuntutan adaptif, yakni agar
hukum pidana mampu beradaptasi dengan perkembangan dalam
pergaulan masyarakat yang bergerak cepat. Bahkan, pembaruan
Hukum Pidana juga didasarkan kepada alasan kultural. Mengingat
sistem hukum suatu negara/masyarakat merupakan pencerminan
budaya bangsa tersebut, di samping itu terdapat alasan ideologis,
bahwa Hukum Pidana tidak bisa dilepaskan dari ideologi bangsa
Indonesia yakni Pancasila. Alasan ini sejalan dengan pandangan
Robert B. Seidman dengan dalil yang dikemukakannya yakni the
law of nontransferability of law. Artinya, hukum suatu bangsa tidak
dapat ditransformasikan begitu saja kepada bangsa lain.
Bahkan Brian Z. Tramanaha telah mengintroduksi miror
thesis dengan menyatakan bahwa hukum suatu bangsa adalah

66
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h. 70-71

58 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
cermin (miror) bangsa tersebut. Dengan demikian pemberlakuan
WvS hanya didasarkan kepada pertimbangan praktis yang bersifat
temporer. Sudah seharusnya bangsa Indonesia bertekad melalui
badan legislasi untuk mengganti hukum kolonial dengan hukum
nasional yang bercorak Pancasila.
Hukum Pidana dituntut untuk memberikan keadilan di tengah-
tengah situasi yang tengah berkembang dan terus berubah. Dengan
kata lain, bahwa KUHP nasional harus dapat menyesuaikan
diri dengan perkembangan-perkembangan baru khususnya
perkembangan internasional dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi dan kesepakatan-kesepakatan internasional yang
digariskan oleh PBB maupun seminar-seminar internasional.
Dapat dikemukakan contoh tentang penerasap asas legalitas
yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) “Sesungguhnya dijiwai
oleh semangat individualisme yang terlalu melindungi hak-hak
individu, akibatnya penerapan asas itu dapat mengorbankan
kepentingan hak-hak masyarakat maupun negara”. Melalui asas
itu, prinsip subsosialiteit tidak dipertimbangkan. Hal ini berakibat
kepada pemenuhan terhadap tuntutan keadilan dikesampingkan.
Bahkan semenjak Reformasi tahun 1998, asas Legalitas sering
digunakan sebagai tameng bagi pelaku tindak pidana korupsi.67
Dalam arah sebaliknya asas legalitas digunakan juga untuk
menghadapi perbuatan yang sedemikian rupa sifatnya yang
dipandang tidak layak untuk diajukan ke sidang pengadilan.

67
Indrianto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara
dan Konsultasi Hukum “ Oemar Seno Adji & Rekan, 2002), h. 310; lihat juga Harian
Umum Kompas, Senin 24 Januari 2000, h. 12

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 59


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Telah dikemukakan di atas bahwa Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang hingga saat ini berlaku, merupakan
warisan penjajah yang dijiwai oleh semangat individualisme.
Akibatnya penggunaan asas legalitas sebagai bentuk perlindungan
terhadap hak-hak individu menimbulkan dampak negatif dalam
penegakan hukum. Sejatinya, tujuan penegakan hukum adalah
untuk mewujudkan keadilan, tujuan ini yang harus menjadi
tujuan akhir seluruh upaya penegakan hukum, akan tetapi demi
kepastian hukum, keadilan sering dikorbankan.
Sudah seharusnya penerapan Hukum Pidana dilakukan
secara proporsional dengan mengindahkan sifat subsidiaritas
sanksi pidana. Sanksi pidana hendaklah dipandang sebagai usaha
terakhir dalam hal alternatif lain tidak tersedia. Penggunaan
sanksi ultimum remidium harus tetap dipertahankan, demi menjaga
ketertiban masyarakat. Berdasarkan hal itu pula, sanksi pidana
perlu dihindarkan dalam hal masih terdapat upaya lain yang
seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan.68
Fungsi hukum tidak hanya untuk melakukan pencegahan
atau pemberantasan kejahatan, akan tetapi juga berfungsi untuk
pengayoman. Fungsi hukum pengayoman harus ditonjolkan untuk
mengimbangi asas legalitas. Hal ini disebabkan karena penerapan
asas legalitas dapat menimbulkan ketidakadilan. Dalam rangka
penerapan hukum, melalui asas legalitas, meyebabkan hakim
terikat pada ketentuan undang-undang, tanpa ada kesempatan
untuk mempertimbangkan apakah putusan yang akan dijatuhkan
tersebut adil atau tidak, rasional atau tidak, dan seterusnya.

68
M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015)
h. 61-62

60 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Berbagai perubahan senantiasa terjadi, baik secara perlahan
sehingga hampir luput dari peninjauan yang biasa, atau terjadi
begitu cepat sehingga sukar untuk menyatakan dengan pasti
adanya lembaga kemasyarakatan yang menetap.69
Demikian juga masyarakat, seiring dengan kemajuan yang
dialami masyarakat dalam berbagai bidang, bertambah juga
peraturan-peratuan hukum penambahan peraturan hukum
itu tidak dapat dicegah karena masyarakat berharap dengan
bertambahnya peraturan tersebut, kehidupan dan keamanan
bertambah baik walaupun mungkin jumlah pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan itu bertambah.
Namun, di Indonesia perubahan dan kemajuan yang dialami
selama Orde Baru (1966–1998) menimbulkan beberapa aspek
negatif, antara lain penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum,
pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat, serta terjadinya praktik-praktik negatif
dalam proses peradilan. Keadaan demikian mendorong Majelis
Permusyarawaratan Rakyat (MPR) menetapkan dalam Ketetapan
Nomor X/MPR/1998, antara lain pada Bab IV huruf C, butir 2
huruf c, sebagai berikut:
“Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Hal tersebut dimaksudkan untuk merealisasikan negara
hukum sebagaimana dimuat pada penjelasan resmi Undang-
Undang Dasar 1945 sehingga hukum berperan sebagai pengatur
kehidupan nasional. Upaya mewujudkan hal tersebut tentunya

69
R. Firth, Ciri-ciri untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pembangunan, 1958),
273

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 61


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
tidaklah mudah karena tidak hanya sistem hukum nasional
yang harus dibangun dan ditertibkan, namun juga aparat negara
terutama aparat penegak hukumnya sehingga diperoleh aparat
yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Jika hal di atas dapat terwujud, akan tercapai sikap dan perilaku
seluruh aparat dan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum.70
B. Membangun Sistem Hukum Pidana Nasional (SHPN)
Kehadiran suatu Sistem Hukum Pidana Nasional (SHPN)
merupakan suatu kebutuhan. Pembentukan SHPN tidak bisa
dilepaskan dari usaha untuk membentuk suatu Sistem Hukum
Nasional (SHN) yang secara formal mengacu kepada sistem hukum
yang ada di dunia dengan melakukan modifikasi sesuai dengan
karakter khas bangsa Indonesia, di sisi lain harus bersumber dari
nilai-nilai Pancasila yang mengindahkan pluralisme dan nilai-nilai
religius dan sosial bangsa.
Oleh karena itu, prinsip integralistik atau perlindungan
kepentingan hukum yang proporsional hanya akan relevan jika
SHPN telah terbentuk. Dengan demikian usaha pertama kali yang
harus dilakukan adalah merombak sistem hukum yang ada guna
mewujudkan SHN dan SHPN yang dicita-citakan.
Terbentuknya SHN (Sistem Hukum Nasional) dan SHPN
(Sistem Hukum Pidana Nasional)
Achmad Ali mengemukakan bahwa Sistem Hukum kita lebih
tepat disebut dengan Mix Legal System dan bukan Sistem Hukum
Eropa Kontinental.71 Realitas hukum di Indonesia memberlakukan:

70
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,
2017), h. 1-2
71
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence), termasuk Interpretasi Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), h. 499

62 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
1) Perundang-undangan (ciri hukum Eropa Kontinental); 2)
Hukum Adat (ciri customary law); 3) Hukum Islam dan eksistensi
Peradilan Agama di Indonesia (ciri moslem law system), dan 4)
Hakim Indonesia di dalam praktik mengikuti yurisprudensi (yang
merupakan ciri common law, dengan asasnya stare decisis). Itulah
argumentasi, sehingga pakar modern memasukkan Indonesia ke
dalam “Mix Legal Sistem” dan memang itulah yang tepat.
Untuk hak tersebut, Achmad Ali menyarankan agar tugas
para ilmuwan hukum untuk mengenyahkan “paradigma rendah
diri” kepada penjajah dengan tidak lagi mau dicekoki indoktrinasi
seolah-olah Sistem Hukum Indonesia adalah Sistem Hukum
Eropa Kontinental. Marilah kita meniru harga diri bangsa Jepang,
yang tegas menyatakan “There has been no transformation, nothing
more than the turning of old abilities into new and larger channels”.72
Di dunia dikenal beberapa sistem hukum, yakni:73
1. Sistem Eropa Kontinental dan Amerika Latin (atau disebut
system of Civil Law);
2. Sistem Anglo-American (atau disebut Common Law System);
3. Sistem Timur Tengah (Middle East System), misal Irak,
Yordania, Saudi Arabia, Libanon, Syiria, Maroko, Sudan,
dan sebagainya;
4. Sistem Timur Jauh (Far East System), misal Cina, Jepang
5. Sistem negara-negara sosialis (Socialist Law System).

72
Ibid, h. 499
73
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015), h. 19

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 63


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Sedangkan Rene David membagi sistem hukum ke dalam
empat keluarga hukum (family law), yaitu:74
1. The Romano-Germanic Family
Adalah kelompok sistem hukum yang didasarkan pada
civil law Romawi yang pada dasarnya terdiri sistem hukum
yang dikodifikasikan, berorientasi pada definisi-definisi hukum,
konsep-konsep/pemikiran-pemikiran abstrak, teknik hukum, dan
ajaran-ajran/dogma hukum.
2. The Common Law Family
Didasarkan atau dibentuk dari penyelesaian hukum secara
konkret oleh hakim dalam memecahkan perkara-perkara
individual.
3. The Family of Socialist Law
4. Other Conceptions of Law and The Social Order (konsepsi-konsepsi
hukum dan ata sosial lainnya); keluarga hukum agama dan
hukum tradisional
Romano-Germanic Family lebih menekankan kepada rule of
law sebagai aturan tingkah laku yang berkaitan dengan cita-cita
keadilan (the idea of justice) dan kesusilaan (morality). Tugas untuk
merumuskan hukum diserahkan kepada ahli doktrin-doktrin
hukum sehingga kurang memperhatikan soal pertanggungjawaban
hukum dan administratif dan praktik penegakan hukum. Semenjak
abad ke-19 ciri pokok dan keluarga hukum ini lebih menekankan
kepada undang-undang (legislation) dalam bentuk kitab undang-
undang.75

74
Ibid, h. 17
75
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta:
Fikahati Aneka, 2009), h. 41

64 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
The Common Law Family lebih menekankan kepada aspek
pembentukan hukum oleh hakim. Sistem ini lebih menekankan
kepada penyelesaian sengketa melalui peradilan daripada
merumuskan suatu aturan umum untuk suatu tingkah laku di
masa yang akan datang. Masalah administrasi peradilan, prosedur,
pembuktian, dan pelaksanaan putusan sama pentingnya atau
bahkan lebih utama dari undang-undang. Bagi keluarga hukum
ini, yang terpenting adalah menciptakan kedamaian daripada
suatu artikulasi dasar-dasar kesusilaan dari suatu tertib sosial.
Sementara itu, The Family of Socialist Law dipengaruhi
oleh Romano Germanic dengan juga pandangan politik negara
sosialis yang revolusioner. Hukum adalah alat ekonomi untuk
menciptakan tata dunia baru, dengan demikian sifat hukum publik
lebih menonjol daripada hukum privat.
Sistem Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia merupakan
sistem yang dianut oleh negara dengan karakteristik Civil Law
dimana undang-undang merupakan sumber utama, sedang
menurut tata hukum masyarakat Indonesia lebih tepat masuk ke
dalam golongan ke empat sebagaimana dikemukakan oleh Rene
David. Dengan memperhatikan keadaan hukum kita saat ini, jika
kita amati dengan membandingkan sistem hukum yang ada di
dunia, tidak mustahil jika sistem hukum kita berada dalam titik
yang kritis.
Dikatakan demikian, karena antara ius contitutum dengan
ius contituendum terjadi diskrepansi yang mencolok, belum lagi
jika dihubungkan dengan ius operatum. Tidak dapat dilelakkan
bahwa dalam kehidupan Hukum Pidana mengalami ambivalensi.
Hal ini disebabkan antara tata hukum yang berlaku mengalami

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 65


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
kontradiksi. Ketentuan tentang overspel dalam KUHP jelas
bertentangan dengan norma-norma sosial dan hukum agama
yang dianut.
Dalam sistem hukum Indonesia segala sesuatu bercampur-
baur, sehingga tidak ada pemisahan yang tajam antara hukum
publik dan hukum privat. Keduanya merupakan dwi tunggal
sesuai dengan karakteristik individu manusia. Oleh karena itu,
sistem hukum yang (akan) dibangun nantinya harus memiliki
karakteristik mengikuti pandangan manusia dengan alam
sekitarnya. Pandangan tentang dunia telah dipadatkan dalam
Pancasila yang juga berfungsi sebagai sumber dari segala sumber
hukum.
Dengan demikian, pembangunan Sistem Hukum Nasional
harus diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam
tata hukum. Pengalaman dengan menggunakan sistem hukum
asing telah cukup memberikan dorongan untuk secepatnya
meninggalkan sistem hukum kolonial, dengan menggantikannya
dengan sistem hukum yang selaras dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia.
C. Pembaharuan Hukum Pidana dari KUHP Kolonial
ke KUHP Nasional
Keinginan melakukan pembaharuan hukum pidana,
khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah
dimulai sejak tahun 1946 mengingat undang-undang pidana ini
merupakan warisan kolonial Belanda, yang tidak sesuai lagi dengan
situasi Indonesia merdeka. Kebutuhan pembaharuan hukum
pidana menjadi penting dengan memperhatikan karakteristik
hukum pidana berwawasan ke-Indonesiaan. Pembentukan KUHP

66 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
baru ini ditujukan dengan semangat pada perlindungan hak asasi
manusia (HAM) dan reformasi hukum demi rakyat. Pembaharuan
hukum pidana adalah jalan terbaik dengan terbentuk RUU KUHP
Baru menjadi KUHP Nasional sebagai kebutuhan primer bangsa
dan negara dalam reformasi hukum pada abad ke-21 ini.
Pembaharuan hukum pidana (criminal law reform) kini telah
menjadi suatu “harga mati” untuk adanya perubahan mendasar
dalam rangka mencapai tujuan dari pidana, tindakan, kebijakan,
dan pemidanaan yang lebih baik dan manusiawi kelak di Indonesia.
Kebutuhan tersebut sejalan pula dengan keinginan kuat untuk
dapat mewujudkan suatu penegakan hukum (laaw enforcement)
yang lebih adil terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum pidana
dalam era reformasi ini. Suatu era yang sangat membutuhkan
adanya keterbukaan, demokrasi, pemerintahan yang bersih dan
baik, perlindungan hak asasi manusia (HAM), penegakan hukum
dan keadilan/kebenaran pada segenap aspek dari kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.76
Keinginan untuk dilakukannya pembaharuan hukum pidana
sudah ada sejak tahun 1946 dengan keluarnya UU No. 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita RI II No. 9).
Menurut Sudarto, pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari
politik kriminal sudah pada tempatnya dan sudah pada waktunya
segera dilaksanakan. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya
ketentuan undang-undang pidana lama yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai suatu “umbrella
act” atau “undang-undang payung” yang besifat umum. Undang-

76
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 1-2

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 67


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
undang ini akan memengaruhi pula formulasi pembentukan
undang-undang pidana khusus, sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat dalam era kemerdekaan dan keterbukaan pada abad
ke-21 ini.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun
1958, KUHP yang diberlakukan melalui asas konkordansi dengan
Staatblad 1915 NO. 732 sejak tanggal 1 Januari 1918 di Hindia
Belanda merupakan terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor
Nederlands Indie milik Kolonial Belanda dan diganti namanya
menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Di negeri Belanda, undang-undang
pidana ini berlaku sejak tahun 1886 sebagai penggandi dari Code
Penal Prancis yang diundangkan tahun 1811, saat bangsa Belanda
masih dijajah Prancis. Namun WvS ini di Belanda telah mengalami
beberapa kali perubahan redaksional, sesuai perkembangan
kehidupan bangsa Belanda. Terakhir diganti total dengan WvS
baru berdasarkan Stb 1989 No. 7 tanggal 19 Januari 1989. Selama
ini, tercatat ada 11 terjemahan KUHP berbahasa Indonesia yang
dapat ditemukan di perpustakaan. Terjemahan dan penafsiran
kadang-kdang tidak sama dengan redaksi WvS aslinya.
“Warisan” undang-undang pidana Belanda tersebut, kini
semakin dirasakan amat mendesak untuk dilakukan pembaharuan
berupa penggantian total pada situasi masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia yang sudah berubah. Pada era reformasi ini,
kebutuhan hukum yang lebih moderat dan adil oleh rakyat
sangat diperlukan akibat perubahan paradigma (cara pandang/
pemikiran) baru kehidupan masyarakat dan negara, terutama
pasca-amandemen UUD 1945. Keinginan mewujudkan penegakan

68 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
hukum, demokrasi, HAM, dan pemerintahan yang bersih, kini
telah menjadi tuntutan masyarakat yang tidak bisa dielakkan lagi
dengan perubahan pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi.
Tujuan pembaharuan hukum pidana nasional itu juga tertuang
dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menegaskan :
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta meweujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari perumusan pembukaan UUD 1945 diatas terlihat dua
tujuan nasional yang utama yaitu (1) “untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia; dau ntuk melindungi segenap ban (2) untuk
memajukan kesejahteraan umum berdasrkan Pancassila” dua kata
kunci dari tujuan nasional yaitu “ perlindungan masyarakat” dan
kesejahteraan masyarakat.
D. Pokok-pokok Pemikiran dalam Konsep RUU KUHP
1. Penyusunan konsep didasarkan pada beberapa pokok
pemikiran antara lain sebagai berikut:
a. KUHP hanya merupakan suatu bagian/sub-sistem dari
“sistem pemidanaan” (sentencing system) atau bagian/sub-
sistem dari “sistem penegakan hukum pidana”. Oleh karena
itu, disadari sejak awal bahwa upaya pembaharuan hukum

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 69


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
pidana di Indonesia tidak dapat dilakukan hanya dengan
mengajukan Kopnsep/RUU KUHP (hukum pidana materiil),
tetapi juga harus disertai dengan Konsep/ RUU mengenai
hukum acara pidana (KUHAP) dan mengenai hukum
pelaksanaan pidananya;
b. Penyusunan hukum pidana materiil/substantif (termasuk
KUHP) pada hakikatnya merupakan penyusunan “sistem yang
bertujuan” (purposive system) dan merupakan bagian/sub-sistem
dan tahap-tahap kebijakan fungsionalisasi/operasionalisasi
hukum pidana. Oleh karena itu harus ada keterjalinan atau
kesatuan mata rantai antara tahap pembuatannya dengan
tahap penerapan dan tahap pelaksanaannya;
c. Materi konsep KUHP (sistem hukum pidana materiil) disusun
dengan bertolak pada berbagai pokok pemikiran yang secara
garis besar dapat disebut “ide keseimbangan”, antara lain
mencakup:
1) Keseimbangan monodualistik antara “kepentingan
umum/ masyarakat” dengan “kepentingan individu”
2) Keseimbangan antara unsur/faktor “obyektif ”
(perbuatan/ lahiriah) dan “subyektif ” (orang/batiniah/
sikap batin)
3) Keseimbangan antara kriteria “formil” dan “materiil”
4) Keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan/
elastisitas/fleksibelitas” dan “keadilan”;
5) Keseimbangan nilai-nila nasional dan nilai-nilai global/
international/universal;
2. Bentuk dari pokok-pokok pemikiran di atas (ide kesatuan
sistem, ide keseimbangan, ide perlindungan masyarakat,

70 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
ide pemidanaan yang berorientasi pada individu pidana, ide
elastisitas dan beberapa ide/ pokok pemikiran lain), Konsep
menetapkan kebijakan formulasi sebagai berikut:
a. Tujuan pemidanaan: bertolak dari pemikiran bahwa
sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem
yang bertujuan (purposive system) dan pidana hanya
merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan,
maka konsep merumuskan tujuan pemidanaan yang
bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu
“perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/
pembinaan individu”
b. Syarat pemidanaan: bertolak dari keseimbangan dua
sasaran pokok itu, maka syarat pemidanaan juga bertolak
dari keseimbangan monodualistik antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu. Oleh karena
itu syarat pemidanaan didasarkan pada dua pilar/asas
yang sangat fundamental, yaitu “asas legalitas” (asa
kemasyarakatan) dan “asas kesalahan/culpabilitas” (asas
kemanusiaan);
c. Sumber hukum pidana: sumber/landasan legalitas untuk
menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana (menjadi
tindak pidana) atau tidak, konsep tetap mempertahankan
perumusan asa legalitas formal dalam pasal 1 (1) KUHP,
namun diimbangi dan diperluas ke perumusan materiil
yang memberi tempat kepada “hukum yang hidup atau
hukum tidak tertulis”
d. Kriteria (rambu-rambu) sumber hukum materiil: di dalam
konsep belum ada penegasan mengenai kriteria atau

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 71


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
rambu-rambu mengenai sumber hukum materiil mana
yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber
legalitas). Pasal 1 (3) Konsep hanya menegaskan, bahwa
ketentuan dalam ayat (1), yaitu asas legalitas formal, tidak
mengurangi berlakunya “hukum yang hidup atau hukum
adat yang menentukan bahwa seorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
e. Perumusan pasal 1 ayat (3) masih memerlukan kajian
ulang mengenai kriteria/rambu-rambunya, antara lain
diusulkan rambu-rambu: a) sesuai dengan nilainilai
nasional (Pancasila); b) sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-
bangsa;

72 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
BAB IV
KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

A. Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah pedoman atau rambu-rambu dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik. Pembentukan
peraturan perundang-undangan menyangkut:
1. Isi peraturan
2. Bentuk dan susunan peraturan
3. Metode pembentukan peraturan
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan
Menurut Monstesqueu dalam “L’Esprit des Lois”
mengemukakan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi dalam
pembentukan perundang-undangan, yakni:77
1. Gaya penuturannya padat dan sederhana. Artinya bahwa
pengutaraan dengan menggunakan ungkapan kebesaran
(grandiose) dan retorik hanya merupakan tambahan yang
menyesatkan dan mubazir;

77
Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 319-
320

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 73


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
2. Istilah-istilah yang dipilih bersifat mutlak dan tidak relatif
sehingga memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan
pendapat yang individual;
3. Hukum membatasi diri pada hal-hal yang riil dan aktual
dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan
hipotesis;
4. Hukum tidak dirumuskan dalam bahasa yang tinggi karena
ditujukan kepada rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan
rata-rata. Bahasa hukum bukan untuk latihan penggunaan
logika, melainkan penalaran sederhana yang bisa dipahami
oleh orang rata-rata;
5. Hukum tidak merancukan pokok masalah dengan
pengecualian, pembatasan atau pengubahan; gunakan semua
itu hanya apabila benar-benar diperlukan;
6. hukum tidak bersifat debatable (argumentatif), berbahaya
memerinci alasan-alasan, karena hal itu akan menimbulkan
konflik;
7. Pembentukan hukum dipertimbangkan masak-masak dan
mempunyai manfaat praktis, dan tidak menggoyahkan
sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan, dan hakikat
permasalahan. Sebab, hukum yang lemah, tidak perlu, dan
tidak adil akan membawa seluruh sistem perundang-undangan
mendapat citra buruk dan menggoyahkan legitimasi negara.
Lon Fuller menekankan bahwa hukum positif yang berlaku
harus memenuhi delapan persyaratan berikut:78
1. Adanya aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan
keputusan memerlukan sifat persyaratan dan sifat keumuman.

78
Ibid, h. 320

74 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti
keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas dasar ad hoc,
dan atas dasar kebijakan yang bebas, tetapi atas dasar aturan-
aturan umum;
2. Aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh
dirahasikan, tetapi diumumkan;
3. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi
kegiatan-kegiatan pada kemudian hari. Artinya, hukum harus
berlaku pasang;
4. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
dimengerti oleh rakyat;
5. Aturan-aturan tidak boleh saling bertentangan antara satu dan
lainnya;
6. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku di luar
kemampuan pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak
boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan;
7. Dalam hukum harus ada ketegasan, hukum tidak boleh
diubah sewaktu-waktu;
8. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang
diumumkan dengan kenyataan dalam pelaksanaannya.
Asas-asas pembentukan peraturan negara yang baik dibagi
dalam asas-asas formil dan materiil. Asas-asa formil meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas organ/lembaga yang tepat;
3. Asas perlunya pengaturan;
4. Asas dapatnya dilaksanakan; dan
5. Asas konsensus

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 75


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Sedangkan asas-asas materiil meliputi:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar;
2. Asas tentang dapat dikenali;
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
4. Asas kepastian hukum; dan
5. Asas pelaksanaan sesuai dengan kemampuan individu.
Adapun prinsip-prinsip yang harus dijadikan pijakan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu
kesatuan sistem hukum yang bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945. Oleh sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi antara
berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan;
2. Tidak semua aspek kehidupan masyarakat dan bernegara
harus diatur dengan peraturan perundang-undangan. Berbagai
tatanan yang hidup dalam masyarakat yang tidak bertentangan
dengan cita hukum, dengan asas yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan diakui sebagai
subsistem hukum nasional sehingga mempunyai kekuatan
hukum seperti peraturan perundang-undangan;
3. Pembentukan perundang-undangan selain mempunyai dasar
yuridis, harus mempertimbangkan dengan seksama dasar-
dasar filosofi dan kemasya-rakatan tempat kaidah tersebut
akan berlaku;
4. Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengatur
keadaan yang ada, harus mempunyai jangkauan masa depan;

76 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan sekedar
menciptakan instrumen kepastian hukum, tetapi instrumen
keadilan dan kebenaran;
6. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus
didasarkan pada partisipasi langsung atau tidak langsung dari
masyarakat;
Adapun kekuatan berlakunya undang-undang terdiri atas
beberapa hal sebagai berikut:
1. Kekuatan berlaku yuridis; Undang-undang mempunyai
kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan formal
terbentuknya undang-undang terpenuhi. Kaidah hukum
mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya
didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu
kaidah hukum merupakan sistem hierarkis.
2. Kekuatan berlaku sosiologis; kekuatan berlakunya hukum di
dalam masyarakat ada adua macam, yaitu: 1) Menurut teori
kekuatan, hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis
apabila dipaksakan oleh penguasa, terlepas dari diterima
ataupun tidak oleh warga masyarakat; 2) Menurut teori
pengakuan, hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis
apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat.
3. Kekuatan berlaku filosofis; hukum mempunyai kekuatan
berlaku filosofis apabila kaidah hukum tersebut sesuai
dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi
(uberpositiven werte: Pancasila, masyarakat adil dan makmur).
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila
norma hukum itu sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang
dianut oileh negara.

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 77


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
4. Keberlakuan politis; suatu norma hukum dikatakan berlaku
secara politis apabila pemberlakuannya didukung oleh faktor-
faktor kekuatan politik yang nyata. Meskipun norma yang
bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput,
sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki
landasan yuridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan
kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum
yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan
politik untuk diberlakukan sebagai hukum.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang
mengatur hubungan antara negara dan warga negara. Hukum
pidana dalam pengertian sempit haya mencakup hukum pidana
materiil, sedangkan dalam arti luas hukum pidana mencakup
hukum pidana materiil dan hukum pidana formil atau hukum
acara pidana.
Hukum pidana materiil diatur dalam KUHP, sedangkan
hukum acara pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hukum acara pidana atau hukum formil merupakan ketentuan
tentang tata cara proses perkara pidana sejak adanya sangkaan
seseorang telah melakukan tindak pidana hingga pelaksanaan
keputusan sampai pelaksanaan putusan pengadilan, mengatur
hak dan kewajiban bagi mereka bersangkut-paut dengan proses
perkara pidana berdasarkan undang-undang, serta diciptakan
untuk penegakan hukum dan keadilan. Fungsi dan tujuan hukum
acara pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum
pidana untuk mencari kebenaran materiil dan bertujuan mencari
kebenaran materiil.

78 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkut-paut
dengan proses perkara pidana mengacu pada asas hukum acara
pidana, antara lain perlakuan di muka sidang, perintah tertulis dari
yang berwenang, memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya,
hadirnya terdakwa, sidang terbuka untuk umum, dan lain-lain.
Proses berita acara pidana meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Penyidikan oleh penyidik (penyidik polisi dan penyidik PNS);
2. Penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau penuntut umum;
3. Pemeriksaan di depan sidang oleh hakim
4. Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga
pemasyarakatan.
B. Norma-norma Materiil dan Hukum Pidana
Kepada siapakah hukum pidana ini ditujukan atau siapakah
adresat hukum pidana? Apakah hanya ditujukan kepada
pelanggar-pelanggar aturan hukum pidana dan karenanya mereka
dihukum? Ataukah ditujukan kepada para penegak hukum
untuk menegakkannya agar terdapat tata tertib dalam lalu lintas
pergaulan hidup pada suatu negara?
Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat
dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama,
oleh kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-
kaidah sosial lainnya.79
Kaidah-kaidah tersebut dapat menjadi tuntunan orang untuk
berperilaku atau menjadi norma-norma perilaku. Sebagai norma
biasanya tidak dengan sengaja dibuat oleh pembuat norma,

79
Mochat Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, t.t), h. 3

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 79


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
tetapi berkembang sendiri dalam hidup manusia dari generasi ke
generasi.
Kaidah-kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat
kebiasaan, dan sosial, yang selanjutnya menjadi norma perilaku
tersebut, ada yang dikukuhkan menjadi norma hukum. Norma
hukum itu ada yang menjadi bagian dari hukum perdata, hukum
administrasi, atau hukum pidana.
Penyebutan dan pengakuan hukum dari norma-norma
perilaku oleh pembuat undang-undang bukan saja karena
bertujuan melindungi norma-norma yang sudah ada itu terhadap
bahaya, terhadap penciptaan norma perilaku yang baru, atau
pengembangannya yang tidak jelas, tetapi menurut Von Hayeck
seperti dikutip oleh Schaffmeister: 80
Die Besonderheit von durch einen dazu berufenen Gazetzcebber
aufgestelten Rechtsregeln gegenuber anderen ‘gawachsenen’ Verhaltensregeln
ist dann auch hauptsachlich darin zu sehen, dab wir sie in einem gawissen
Grade bewubt so gestalten konnen, dab sie in Verbindung mit den anderen
Regeln und in den zu erwartenden tatsachlichen Umstanden zur Bildung
einer Gesamtordnugh fuhren.
Keistimewaan aturan hukum yang dibuat oleh pembuat
undang-undang yang berwenang untuk itu berhadapan dengan
aturan perilaku yang sudah tumbuh, terutama terlihat di situ,
bahwa kita secara sadar dapat membentuknya sampai derajat
tertentu.
Masalahnya ialah, apakah yang menjadi kriteria untuk
menentukan suatu norma perilaku menjadi norma hukum,

80
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam
Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2013), h. 2

80 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
khususnya dalam bidang hukum pidana yang kelak memberinya
sanksi-sanksi?
Strafrecht is een overgeidsmonopolie (hukum pidana suatu
monopoli dari pemerintah), demikian kata Enschede.81 Hal tersebut
terjadi karena tugas pertama setiap negara untuk mempertahankan
keamanan dan ketertiban, dan karena itu negara mempunyai alat
pemaksa untuk melaksanakannya, yang dalam suasana demikian
tempatnya hukum pidana. Hukum pidana melegitimasi dan
sekaligus menunjukkan batas-batas paksaan itu.
Negara yang menetapkan norma-norma perilaku mana yang
akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama dari
intervensi pihak lain. Juga tidak semua kepentingan dapat dilayani
oleh hukum karena kepentingan setiap orang berbeda. Bahkan,
dapat juga saling bertentangan, lagi pula tidak setiap kepentingan
patut dihormati.82
Pendapat Enschede yang dikutip oleh Schaffmeister “....das Sr.
enthalt wedewr befehle noch normen sondern nur deliktsumschreibungen.83
(bahwa hukum pidana hanyalah rumusan delik, yang
menunjukkan fragmen-fragmen dari norma-norma yang dapat
dipidana). Padahal, khususnya rumusan delik, mempunyai sifat
sebagai suatu model yang mempunyai suatu aspek kenyataan yang
kompleks, dan model itu didefinisikan melalui tingkat abstraksi
yang tinggi. Dengan demikian, tampak lebh jelas bahwa antara

81
CH. J. Enschede, Problemen van Strafwetgeving, (Kluwer Deventer, 1982), h.
165
82
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil...., h. 3
83
CH. J. Enschede, Op.cit, h. 283

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 81


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
norma perilaku dan hukum pidana (perumusan delik) mempunyai
hubungan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan
karena asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana
adalah melayani tegaknya tertib hukum dalam suatu negara.
Pembuat undang-undang juga menentukan dalam hal mana
dan bagaimana boleh dilakukan pemberian sanksi, pelaksana
hukum pidana melakukan wewenang yang diberikan secara
demikian untuk melayani kedamaian dalam masyarakat,
keseimbangan antara keresahan yang terjadi dan ketidakdamaian,
dan untuk menambah kepatuhan terhadap norma.84
Di samping aturan-aturan yang diundangkan, tetap
berkembang aturan-aturan yang tidak diundangkan yang terus
hidup dalam masyarakat, yang bahkan justeru aturan-aturan yang
tidak diundangkan itu dirasakan lebih adil. Oleh karena itu, aturan
hukum pidana harus cocok/berhubungan dengan norma perilaku
yang terbanyak dianut, karena apabila terlalu banyak norma yang
diberi sanksi, sistem hukum pidana akan sangat meragukan.
Banyak aturan yang diundangkan kurang berhasil. Aturan-
aturan itu tidak akan didukung apabila bertentangan dengan
aturan-aturan yang masih dianut dalam masyarakat sekalipun
tidak diundangkan.
Hukum pidana adalah suatu codex, dan karena sifatnya sebagai
codex jauh dari sempurna. Karena itu, hakim sering mencari
keadilan dalam nilai-nilai masyarakat. Yang sangat mencolok
dalam hukum pidana adalah penegakan norma-normanya karena
penegakan hukum pidana sesungguhnya banyak ditentukan oleh
asas legalitas.

84
Ibid, h. 278

82 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Asas legalitas ini, baik di Belanda maupun Indonesia,
tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dengan rumusan “Geen
feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettrlijke
strafbepalingen”, atau “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada”. 85
Meskipun telah berumur seratus tahun lebih, yaitu sejak
1886 diberlakukannya WvS di Belanda, dan 1918 di Indonesia,
rumusan ini tidak berubah.
Menurut Groenhuijsen, ada empat makna yang terkandung
dalam asas legalitas. Dua dari yang pertama ditujukan kepada
pembuat undang-undang, dan dua lainnya merupakan pedoman
hakim. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh
memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku surut. Kedua,
bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam
rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan
bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap
peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.86
Menurut Dupont, Het legaliteitsbeginsel is in een van de meest
fundamentele beginselen van het strafrecht. Artinya, asas legalitas
adalah suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana.
Dikatakan selanjutnya bahwa asas ini dikenal dengan
adagium nullum delictum noella poene praevia sine lege poenali. Secara
singkat, nullum crimen sine lege berarti tidak ada tindak pidana

85
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 27
86
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana...., h. 28

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 83


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
tanpa undang-undang, dan nulla poene sine lege berarti tidak ada
pidana tanpa undang-undang. Jadi undang-undang menetapkan
dan membatasi perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang
dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.87
Asas ini mengandung makna asas perlindungan, yang secara
historis merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan
penguasa di zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan
fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan
di dalam suatu negara hukum liberal pada waktu itu. Sekarang
pun keterikatan negara-negara hukum modern terhadap asas ini
mencerminkan keadaan bahwa tidak ada suatu kekuasaan negara
yang tanpa batas terhadap rakyatnya dan kekuasaan negara pun
tunduk pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan.88
C. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesaia
KUHP yang kita gunakan sekarang jika merujuk sejak
ditetapkanya oleh pemerintah Belanda pada tahun 1915, hingga
saat ini tahun 2018 berrarti telah berusia 103 tahun, negara
Indonesaia sudah merdeka dan berdaulat namun dari sisi hukum
Indonesia masih terjajah.
Bertitik tolak dari KUHP saat ini yang digunakan sekarang
ini sudah tidak sesuai dengan zaman, dan tidak sesuai nilai-
nilai keadilan dan nilai-nilai kemanusian seperti yang tercantum
dalam dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
maka eksekutif dan legislatif periode 2014-2019 diharapkan
bisa mensahkan Rancangan Undang-Undang KUHP yang baru
menjadi Undang-Undang.

87
Ibid, h. 29
88
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum
Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi),
(Bandung: Alumni, 2002), h. 7

84 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, merupakan
kesatuan dari rangkaian nilai-nilai luhur, yang berfungsi sebagai
kerangka acuan untuk menata kehidupan individu, interaksi
antarindividu, dan individu dengan alam sekitarnya dalam suatu
lingkup kehidupan berbangsa.
Pedoman hidup (pandangan hidup) bangsa dan negara
mengandung dua konsepsi dasar mengenai kehidupan bernegara
yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Pertama, bersifat
khusus, yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa...”. Kedua, bersifat umum dengan arti dalam lingkup
kehidupan sesama bangsa di dunia, yang dalam Pembukaan
UUD 1945 berbunyi, “dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial...”
Bangsa Indonesia merupakan kuasa materialis Pancasila
atau asal dari nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila pada
hakikatnya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari
bangsa Indonesia. Nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan telah ada, tercermin
dan terkandung dalam kehidupan masyarakat yang berupa
adat-istiadat, kebudayaan, dan kebiasaan dalam memecahkan
permasalahan mereka sehari-hari.
Susunan isi, arti, dan esensi nilai-nilai Pancasila dapat
dikategorikan dalam tiga lingkup. Pertama, umum-universal,
yaitu sebagai pangkal tolak penjabatannya dalam bidang-bidang
kenegaraan dan tertib hukum Indonesia, serta penerapannya dalam
berbagai bidang kehidupan. Kedua, umum-kolektif, yaitu sebagai

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 85


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia, terutama dalam
menegakkan tertib hukum Indonesia. Ketiga, khusus-kongkrit,
dalam artian isi, arti, dan esensi Pancasila dapat dijabarkan dalam
berbagai bidang kehidupan.
Pancasila sebagai dasar negara amat penting dan mendasar
bagi Indonesia. Pancasila merupakan landasan fundamental bagi
penyelenggaraan negara. Unsur-unsur Pancasila telah dimiliki
oleh bangsa Indonesia sebagai kristalisasi dari asas-asas dalam
kebudayaan, nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian diformulasikan
oleh para pendiri negara sebagai dasar negara oleh Panitia Sembilan
(asal mula tujuan/kausa finalis). Selanjutnya, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Pancasila sebagai
dasar negara yang sah (asal mula karya/kausa efisien).
Pancasila memiliki kedudukan yuridis sebagai dasar negara
sejak 18 Agustus 1945 bersama dengan diundangkannya UUD
1945 dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 oleh
PPKI. Secara formal, Pancasila memperolah kedudukan yuridis
konstitusionel dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
membawa konsekuensi logis, yaitu kekuatan imperatif atau
memaksa secara hukum. Kekutan imperatif atau memaksa artinya
menuntut warga negara untuk taat dan tunduk pada Pancasila dan
aturan hukum yang dijiwainya. Pelanggaran terhadap Pancasila
dan peraturan-peraturan yang dijiwainya diikuti dengan sanksi
hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya tercantum sila-sila
dalam Pancasila tidak dapat diubah karena secara tegas tidak
dijadikan sebagai salah satu objek perubahan ketentuan pasal 37

86 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
tentang Perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian,
kedudukan Pancasila secara konstitusional tidak dapat diubah.
Menurut ketentuan pasal 37 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945,
hanya pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai perubahan.
Dasar negara menjiwai dan dijabarkan dalam bentuk
perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengatur ketertiban
masyarakat dan mencapai tujuan hidup bernegara. Menurut UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Tata urutan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
2. Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah (PP);
4. Peraturan Presiden (Perpres);
5. Peraturan Daerah (Perda), terdiri dari:
a. Perda Propinsi;
b. Perda Kabupaten;
c. Peraturan Desa atau Peraturan yang setingkat;
Kemudian tata urutan tersebut diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang mana dalam pasal 7 ayat
(1) disebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 87


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

88 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
BAB V
KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM
PIDANA INDONESIA

A. Perubahan Teori dalam RKUHP Menuju KUHP yang Baru


Ilmu hukum pidana telah mengenal sejak lama pengertian sifat
melawan hukum, kealahan, tindak pidana, pertanggungjawaban
pidana dan pemidanaan yang di Indonesia banyak mengadopsi
dari hukum pidana Belanda yang menganut civil law system.
Berlakunya hukum pidana di Indonesia tidak terlepas dengan
berlakunya hukum pidana (Het Wetboek van Strafrecht) di negara
Belanda dengan adanya asa konkordansi. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 hukum pidana yang berlaku di
Hindia Belanda menjadi hukum pidana Indonesia (KUHP)
yang dahulu dikenal dengan nama Het Wetboek van Strafrecht
voor Nederlans-Indie. Hukum pidana peninggalan Belanda ini
sudah sangat tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat
dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya pengaturan hukum
pidana yang lebih baik.
Pertanggungjawaban pidana sangat diperlukan dalam suatu
sistem hukum pidana dalam hubungannya dengan prinsip
daad-daderstrfs recht. KUHP Indonesia sebagaimana halnya

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 89


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
WvS yang berlaku di negara Belanda tidak mengatur secara
khusus tentang pertanggungjawaban pidana, tetapi hanya
mengatur tentang keadaan-keadaan yang mengakibatkan
tidak dipertanggungjawabkannya pembuat. Tidak
dipertanggungjawabkannya pembuat hanya dijelaskan di dalam
Memorir van Toelichting (MvT) bahwa seorang pembuat tidak
dipertanggung-jawabkan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.
Ini menandakan bahwa pertanggungjawaban pidana di dalam
KUHP diatur secara negatif, yaitu dengan keadaan-keadaan
tertentu pada diri pembuat atau perbuatan mengakibatkan tidak
dipidananya pembuat.
Syarat tidak dipertanggungjawabkannya pembuat adalah pada
saat pembuat melakukan tindak pidana, karena adanya faktor
dalam diri pembuat maupun faktor di luar diri pembuat. Seseorang
yang telah melakukan tindak pidana tidak akan dipidana apabila
dalam keadaan yang sedemikian rupa sebagaimana yang dijelaskan
di dalam MvT. Apabila pada diri seorang pembuat tidak terdapat
keadaan sebagaimana yang diatur dalam MvT tersebut, pembuat
adalah orang yang dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana.
Sifat melawan hukum dan kesalahan dalam hukum pidana
yang berlaku di Indonesia, khususnya KUHP yang sampai
sekarang masih berlaku menganut teori monistis yang menyatakan
bahwa sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan
(schuld) merupakan unsur tindak pidana (strafbaar feit).89 Untuk
memenuhi suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana, KUHP
mensyaratkan adanya unsur-unsur utama yang harus dipenuhi,

89
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 346

90 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
yaitu sifat melawan hukum dan kesalahan. Sifat melan hukum
selalu meliputi suatu tindak pidana, baik sifat melawan hukum
tersebut secara eksplisit tercantum dalam rumusan tindak pidana
maupun tidak. Unsur kesalahan selalu meliputi suatu tindak
pidana, baik secara eksplisit tercantum dalam rumusan tindak
pidana mauun tidak, kecuali dalam rumusan tindak pidana
terdapat unsur kealpaan. Agar terpenuhi suatu perbuatan sebagai
suatu tindak pidana harus memenuhi unsur sifat melawan hukum
dan kesalahan.
Teori monistis banyak diikuti oleh beberapa ahli hukum pidana
Belanda, dan beberapa ahli hukum pidana di Indonesia, misalnya
menurut van Hamel bahwa tindak pidana merupakan kelakuan
manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan
hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.90
Menurut Simon, tindak pidana mempunyai unsur-unsur: diancam
dengan pidana oleh hukum, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu dipandang
bertanggung jawab atas perbuatannya. Vos berpendapat bahwa
suatu tindak pidana adalah kelakuan manusia yang oleh peraturan
perundang-undangan diberi pidana; jadi suatu kesalahan manusia
pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.91
KUHP tidak menjelaskan hubungan pertanggung jawaban
pidana dengan pembuat, tetapi pertanggungjawaban pidana
hanya disinggung berkaitan dengan alasan pemaaf dan alasan
pembenar. Peniadaan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal-pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP memungkinkan seorang

90
Ibid, h. 117
91
Ibid, h. 117

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 91


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
pembuat tidak dipidana sebagai penjabaran dari MvT. Beberapa
ahli hukum pidana yang tidak sependapat dengan teori monistis,
berpendapat keadaan hukum pidana di Belanda dan Indonesia
terjadi kejanggalan, meskipun kesalahan sebagai sifat mutlak bagi
pertanggungjawaban pidana, tetapi dalam praktik kesengajaan dan
kealpaan masing-masing dianggap sebagai unsur tindak pidana,
dan bukan unsur pertanggung jawaban pidana.92 Moeljatno
berharap untuk membentuk kitab undang-undang dalam bahasa
Indonesia, yang tidak akan mengukuhi terus sistem yang
digunakan dalam WvS terhadap unsur kesengajaan, oleh karena
dalam teks Belanda tempatnya kesengajaan di dalam kalimat
rumusan undang-undang, mempunyai arti tertentu berhubung
dengan soal kesengajaan (welke element worden door het opzet beheerst),
tempat mana tentu tidak dapat dipertahankan. Pendirian dan
harapan ini didasarkan atas pandangan bahwa kesalahan dalam
suatu kejahatan sebagai unsur pertanggung jawaban pidana, dan
bukan sebagai unsur tindak pidana (strafbaar feit). Psychisch element
(unsur psikis) merupakan dasar kesalahan adalah termasuk dalam
kesalahan, maka tidak mungkin menggolongkan unsur psikis
pada strafbaar feit dader.
Pandangan yang memisahkan antara tindak pidana
dengan pertanggungjawaban pidana, yaitu unsur utama dari
pertanggungjawaban dari tindak pidana ini dikenal sebagai
teori dualistis. Ahli hukum pidana yang pertama kali yang
mengemukakan teori dualistis adalah Herman Kantorowicz,
seorang sarjana hukum pidana Jerman yang menulis buku yang

92
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 27

92 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
berjudul Tut und Schuld pada tahun 1933. Pandangan Moeljatno
yang mengikuti pendapat Herman Kantorowicz ini banyak
diikuti dan dikembangkan oleh ahli hukum pidana Indonesia, di
antaranya Roeslan Saleh, Zainal Abidin Farid, Barda Nawawi
Arief, dan Chairul Huda. Teori dualistis selain dipengaruhi oleh
hukum pidana Jerman, juga banyak dipengaruhi oleh sistem
hukum pidana yang dipakai di negara-negara Eropa Anglo Saxon
yang menggunakan common law system.
Konsep pertanggungjawaban pidana yang menganut satu
prinsip utama yang hanya mendasarkan pada ajaran kesalahan
sebagai mens rea, konsep ini dianut oleh sistem hukum di
Inggris dan Amerika Serikat dengan prinsip an act does not make
a person guilty unless his mind is guilty (suatu perbuatan tidak
dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksud tidak
bersalah).93 Teori dualistis memisahkan antara perbuatan dengan
pertanggungjawaban pidana. Unsur dari pertanggung-jawaban
pidana hanyalah kesalahan, tetapi sifat melawan hukum bukan
sebagai unsur pertanggungjawaban pidana. Sifat melawan hukum
adalah unsur dari perbuatan, sehingga tindak pidana berkaitan
dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
B. Pengembangan Hukum Pidana dalam Konteks Negara
Kebangsaan
Upaya pembaharuan hukum pidana (KUHP) nasional yang
saat ini sedang dilakukan, khususnya dalam rangka menggantikan
KUHP warisan zaman kolonial, sangat memerlukan bahan kajian

93
Syawal Abdulajid dan Anshar, Pertanggungjawaban Pidana Komando Militer
pada Pelanggaran Berat HAM (Suatu Kajian dalam Teori Pembaruan Pidana), (Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2011), h. 30

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 93


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
komparatif yang kritis dan konstruktif. Terlebih dilihat dari sudut
perbandingan hukum, sistem hukum pidana menurut KUHP/
WvS yang berasal dari zaman kolonial, memang bukan satu-
satunya sistem atau konsep untuk memecahkan masalah hukum.
Dalam sistem hukum pidana dari zaman kolonial itu termasuk
keluarga hukum Civil Law System atau The Romano-Germanic
Family, yang berorientasi pada nilai-nilai individualisme/liberalisme.
Masih ada konsep atau sistem hukum lain yang sepatutnya dikaji
untuk lebih memantapkan upaya pembaharuan hukum pidana di
Indonesia. Oleh karena itu, memang sepatutnya dilakukan kajian
perbandingan atau kajian alternatif.
Salah satu kajian alternatif/perbandingan yang sangat
mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum nasional
saat ini ialah kajian terhadap keluarga hukum (law family) yang
lebih dekat dengan karakteristik masyarakat dan sumber hukum
di Indonesia. Karakter masyarakat Indonesia lebih bersifat
monodualistis dan pluralistis. Berdasarkan berbagai kesimpulan
seminar nasional, sumber hukum nasional diharapkan berorientasi
pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),
yang bersumber dari nilai-nilai hukum adat dan hukum agama.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian perbandingan dari
sudut “keluarga hukum tradisional dan agama” (traditional and
religious law family). Kajian komparatif yang demikian tidak hanya
merupakan suatu kebutuhan, tetapi juga suatu keharusan.94

0
Sambutan Menteri Kehakiman, Prof. Dr. Muladi, SH, disampaikan oleh Prof.
Dr. Barda Nawawi Arief, SH, dalam Muhammad Amin Suma, dkk. Pidana Islam di
Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 23

94 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pemahaman bersama tentang kebutuhan KUHP Baru dalam
suasana Indonesia yang telah berubah ini, perlu memerhatikan
pada karakteristik hukum pidana dengan ciri khas kehidupan
masyarakat, bangsa Indonesia, dan ideologi Pancasila. Hal ini
mengingat, KUHP Baru yang dilahirkan dari pemikiran bangsa
sendiri akan diberlakukan dalam jangka waktu panjang sehingga
perlu dimatangkan dengan cermat dan teliti dari substansi atau
materi hukum, struktural hukum, budaya hukum masyarakat,
sampai pada validitas hukum (daya berlaku) dari pembaruan
hukum pidana tersebut. Semua itu dimaksudkan agar pembentukan
KUHP Baru tersebut tidak sia-sia dengan upaya penegakan hukum
yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dalam era reformasi.
Masalah ini telah lama diingatkan oleh Moeljatno yang
mengemukakan bahwa:
Perlu dicari konsepsi baru dalam hukum pidana yang tidak
asing bagi bangsa Indonesia. Ketentuan hukum pidana itu dapat
digali dari hukum tidak tertulis atau hukum adat dengan dua
syarat, yaitu: 1) ia harus hidup di dalam kalangan masyarakat
Indonesia; dan 2) tidak akan menghambat perkembangan
masyarakat adil dan makmur, yaitu bahwa aturan hukum tidak
tertulis harus disertai dengan ancaman pidana. Adanya ancaman
pidana dalam hukum tidak tertulis tersebut bertujuan agar delik
adat lambat laun akan meluas menjadi hukum nasional sehingga
hakim berwenang pula menentukannya sebagai suatu perbuatan
pidana.95

95
Moeljatno, Asas Dasar atau Asas-asas Apakah Hendaknya Hukum Pidana Kita
Dibangun, (Surabaya: Prasaran Kongres II Persahi, 25 Juli 1964), h. 38-40

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 95


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Di dalam hal ini, Moeljatno menunjuk ketentuan dari
Fundamental of Criminal Legislation for the USSR and Union Republics
dari Uni Soviet (1958), KUHP Yugoslavia (1951), dan KUHP
Swiss (1942) yang dipandang sesuai dengan keadaan di Indonesia.
Pembentuk KUHP nasional dapat membandingkannya, akan
tetapi harus ekstra hati-hati dan selektif memuat tentang pidana,
tindakan, pemidanaan dan kebijakan karena sistrem pemerintahan
dan ideologi negaranya berbeda dengan Indonesia.
Apabila dibandingkan, KUHP warisan kolonial Belanda ini
pada abad ke-21 telah berumur lebih dari 80 ahun dan cukup
mampu memenuhi kepentingan penegakan hukum di tanah air
secara fungsional. Sistem penegakan hukum itu merupakan
suatu sistem aksi. Aktifitas ini dilakukan oleh alat perlengkapan
negara dalam penegakan hukum. Sungguh tidak elok apaboila
KUHP Baru setiap saat harus diamandemen atau diganti dengan
perkembangan pesat dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu
pengetahuan serta teknologi baru. Artinya, hukum pidana dan
undang-undang pidana di Indonesia akan selalu mendapat
pengaruh modernisasi di dalam perkembangannya antara ilmu
hukum (pidana) dengan kemajuan iptek dan pemikiran masyarakat
yang selalu dan mudah berubah-ubah.96
Ketentuan hukum pidana akan selalu mendapat pengaruh
modernisasi, apabila dilihat dari tiga segi berikut ini. Pertama,
hukum pidana yang dicita-citakan atau hukum pidana sebagai ius
constuendum. Kedua, hukum pidana yang berlaku sekarang, artinya
aturan hukum pidana yang diterapkan oleh pengadilan atau aturan

96
Teguh Sulitia dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13

96 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
hukum pidana yang diterapkan oleh pengadilan atau disebut
hukum pidana sebagai ius constitutum atau ius operandum. Ketiga,
hukum pidana yang benar-benar diterapkan untuk suatu perbuatan
kongkret atau hukum pidana sebagai ius operatum. Pengaruh yang
dimaksudkan menyangkut pada upaya pembentukan undang-
undang pidana baru, KUHP Nasional, dan peraturan-peraturan
hukum pidana yang sekarang berlaku dan pemberian keputusan
dalam perkara pidana oleh hakim.
Di dalam hal ini, perlu dikutip pendapat Muladi bahwa
ada lima karakteristik bagi operasional hukum pidana materiil
Indonesia pada masa mendatang yang dapat dimuat dalam
pembentukan KUHP Baru.97
Pertama, hukum pidana nasional mendatang dibentuk tidak
hanya sekadar alsan sosiologis, politis, dan praktis, namun secara
sadar harus disusun dalam kerangka ideologi nasional Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila harus masuk di dalam seluruh nafas pasal-
pasal KUHP dan undang-undang pidana, namun demikian kita
harus tetap memilih pada aspek-aspek paling pas untuk kofidikasi
yang direncanakan tersebut.
Kedua, hukum pidana masa mendatnag tidak boleh
mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi
manusia, alam, dan tradisi bangsa Indonesia. Hukum adat dapat
menjadi sumber hukum. Bagi mereka yang mempunyai pemikiran
individualistis, untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber
hukum dalam arti positif jelas tidak mungkin dapat dilakukan.

97
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro,
1990), h. 8-29

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 97


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Namun, beberapa keputusan pengadilan selama ini, membuktikan
bahwa hukum adat telah dipakai sebagai salah satu sumber hukum
positif di Indonesia, antara lain dengan terbitnya: (1) Keputusan
MA RI No. 666 K/Pd/1984; (2) Putusan PN Denpasar No. 104/
PN/Pid/ 1980/PPN Denpasan; (3) Putusan PN Denpasar No.
2/Pid/B/1985/PN Denpasar; (4) Putusan PN Denpasar No. 25/
Pid/B/1986/PN Denpasar; dan (5) Putusan PN Mataram tanggal
29 Oktober 1987.
Ketiga, hukum pidana nasional masa mendatang harus dapat
menyesuaikan diri dengan kecenderungan universal yang tumbuh
di dalam pergaulan masyarakat beradab. Artinya sebagai bangsa
yang berdaulat, merdeka, dan punya harga diri, Indonesia tetap
harus mengikuti perkembangan yang ada, disaring, disesuaikan
dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia.
Keempat, hukum pidana masa mendatang harus memikirkan
pula aspek-aspek yang bersifat preventif atau pencegahan
kejahatan. Hal ini berhubungan erat dengan pengakuan bahwa
sistem peradilan pidana, politik kriminal, politik penegakan hukum
adalah bagian dari politik sosial yang bersifat interaktif. Sifat
sangat khusus dari sistem peradilan pidana dan salah satu tujuan
pemidanaan adalah pencegahan kejahatan dari kemungkinan
terjadinya pelanggaran hukum.
Kelima, hukum pidana mendatang harus selalu tanggap
terhadap setiap bentuk perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi guna peningkatan efektifitas fungsinya dalam
masyarakat. Misalnya, perkembangan hukum pidana dalam
rangka menghadapi bentuk baru kejahatan seperti kejahatan
komputer atau kejahatan mayantara (cyber crime) yang tidak
dikenal sebelumnya pada ketentuan KUHP Lama.

98 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
C. Pancasila sebagai Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala yang menimbulkan aturan-
aturan yang mempunyai kekutan memaksa, yaitu aturan yang jika
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber-
sumber hukum diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar.
Pertama, sumber hukum materiil, yaitu sumber hukum yang
menentukan isi norma hukum. Sumber hukum materiil dapat
ditinjau dari banyak sudut pandang, misalnya sudut pandang ahli
sejarah, ahli sosiologi, para filsuf, dan sebagainya. Kedua, sumber
hukum formal, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata
cara penyusunannya.
Termasuk dalam sumber hukum formal di antaranya Undang-
Undang (statute), kebiasaan (custom), keputusan-keputusan hakim
(jurisprudensi), traktat (treaty), dan pendapat sarjana hukum
(doktrin).
Dalam hukum positif Indonesia, hukum lahir dari berbagai
sumber hukum formal tersebut. Dalam kesatuan integral hukum
di Indonesia, menurut Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004, Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Fungsi dan
peranan Pancasila sebagai sumber hukum, antara lain: Pertama,
sebagai perekat kesatuan hukum nasional, dalam arti setiap
aturan hukum yang mengatur segi-segi kehidupan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat,
pandangan hidup, dan dasar negara. Kedua, sebagai cita-cita
hukum nasional, bermakna bahwa seluruh peraturan yang timbul
dan mengatur kehidupan masyarakat dibentuk untuk mewujudkan
cita-cita berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila secara utuh.98

98
M. Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.
283-285

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 99


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Kebijakan pembaharuan hukum pidana yang mana saat ini
buku I telah disahkan oleh Legislatif yang bertugas pada periode
2014 –2019 mengadopsi nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai
hukum yang berkembang dan hidup dimasyarakat sebagai dasar
penegakan hukum pidana
D. Ruang Berlakunya Hukum Pidana
Dilihat dari keseluruhan sistem pemidanaan, ruang
berlakunya hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
sistem pemidanaan, karena keseluruhan aturan (umum dan
khusus) untuk dapat dipidananya seseorang terkait erat dengan
asas-asas ruang berlakunya hukum pidana.
Asas-asas ruang berlakunya hukum pidana menurut Konsep
RUU KUHP terdiri dari:
1. Menurut waktu: asas legalitas;
Pasal 1
(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi
pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan
pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana, dilarang
digunakan analogi.
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang‑undangan.

100 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan
sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui
masyarakat beradab.99
2. Menurut tempat: asas teritorial, asas nasional aktif
(personal), asas nasional pasif (asas perlindungan), dan asas
universal.
Paragraf 1
Asas Wilayah atau Teritorial
Pasal 4
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia
berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan:
a. Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Tindak Pidanadi Kapal atau pesawat udara yang berbendera
Indonesia; atau
c. Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak
Pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di Kapal dan di
pesawat udara berbendera Indonesia.
­

99
RUU KUHP , Buku I, h. 2

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 101


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Paragraf 2
Asas Nasional Pasif
Pasal 5
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik
Indonesia berlaku bagi Setiap Orang di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana
terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berhubungan dengan:
a. Keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan;
b. Martabat Presiden, Wakil Presiden,dan/atau pejabat
Indonesia di luar negeri;
c. Mata uang, segel, cap negara, meterai, Surat berharga, atau
kartu kredit;
d. Perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia;
e. Keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan;
f. Keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset
nasional atau negara Indonesia;
g. Keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik;
h. Kepentingan nasional Indonesia sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-Undang; atau
i. Warga negara Indonesia berdasarkan perjanjian internasional
dengan negara tempat terjadinya Tindak Pidana.
Paragraf 3
Asas Universal
Pasal 6
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia
berlaku bagi Setiap Orang yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indone­sia yang melakukan Tindak Pidana

102 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai
Tindak Pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia.
Pasal 7
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia
berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di
luar wilayah Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh
Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional
yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia
untuk melakukan penuntutan pidana.
Paragraf 4
Asas Nasional Aktif
Pasal 8
(1) Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik ­Indo­nesia
berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan
Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika
perbuatan tersebut juga merupakan Tindak Pidana di negara
tempat Tindak Pidanadilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk Tindak Pidana yang hanya diancam pidana denda
Kategori I atau pidana denda Kategori II.
(4) Penuntutan terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan walaupun tersangka menjadi warga
negara Indonesia, setelah Tindak Pidana tersebut dilakukan
sepanjang perbuatan tersebut merupakan Tindak Pidana di
negara tempat Tindak Pidana dilakukan.

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 103


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
(5) Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana sebagai­
mana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati
jika Tindak Pidana tersebut menurut hukum negara tempat
Tindak Pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan
pidana mati. 100
Jadi pada dasarnya, asas-asas ruang berlakunya hukum pidana
menurut konsep tidak jauh berbeda dengan KUHP yang sekarang
berlaku. Namun ada juga perbedaan dan perkembangannya,
sebagai berikut:
a. Di samping mengatur ruang berlakunya hukum pidana
menurut waktu dan menurut tempat, Konsep juga mengatur
tentang “waktu terjadinya tindak pidana” (tempus delicti / time
of the act / time of commission of an offence / time of perpetration
of a crime) dan “tempat terjadinya tindak pidana” (locus delicti
/ place of the act / place of commission of an offence/place of
perpretation of a crime); kedua hal ini tidak diatur dalam KUHP
yang sekarang berlaku.
b. Mengenai ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu
(asas legalitas), Konsep tetap mempertahankan asas legalitas
formal seperti dalam KUHP, namun diperluas juga ke asas
legalitas materiil;
c. Mengenai ruang berlakunya hukum pidana menurut tempat
(asas teritorial, personal, nasional pasif, dan universal), pada
awalnya (yaitu sampai dengan Konsep 2002) tidak jauh
berbeda pengaturannya dengan KUHP.101 Namun dalam

100
RUU KUHP , Buku I, h. 2-3
101
Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru; Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi

104 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
konsep 2012–2018 mengalami perubahan menjadi pasal 4,
pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8 sebagaimana tersebut di atas.
E. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal
science” terdiri dari tiga komponen “criminology”, “criminal law”,
dan “penal policy”. Dikemukakan olehnya, bahwa “penal policy”
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi tidak hanya
kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan
yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.102
Dengan penegasan di atas berarti masalah kebijakan pidana
termasuk salah satu bidang yang seyogyanya menjadi pusat
perhatian kriminologi. Terlebih memang “pidana” sebagai salah
satu bentuk reaksi atau respon terhadap kejahatan, merupakan
salah satu obyek studi kriminologi.103
Istilah “kebijakan” berasal dari istilah “policy” (Inggris) atau
“politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka
istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan
istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah
“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah,
antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts
politiek”.

Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Pustaka Magister, 2017), h. 65-66


102
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 23
103
Ibid, h. 24

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 105


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Pengertian “kebijakan” atau “politik hukum pidana” dapat
dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.
Menurut Prof. Sudarto, “politik hukum” adalah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki
yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan.104
Bertolak dari pengertian demikian, “politik hukum pidana”
berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-
undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna.105
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana adalah sebagai berikut:Dilihat dari
sudut pendekatan kebijakan;
1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah
kemanusiaan) dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan
nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);
2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan
kejahatan);

104
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. (Bandung: Sinar
Baru, 1983), h. 20
105
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h. 161

106 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbarui substansi hukum (legal substance) dalam rangka
lebih mengefektifkan penagakan hukum.
Dilihat dari sudut pendekatan nilai pembaruan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan
dan penilaian kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai
sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan
memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum
pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”)
hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang
dicita-citakan (misalnya KUHP Baru sama saja dengan orientasi
nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau
WvS).

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 107


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
108 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence), termasuk Interpretasi Undang-
Undang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Andi Hamzah, 2014. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta
Andi Zainal Abidin Farid, 2007. Hukum Pidana I, Sinar Grafika,
Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
––––––––––, 2000. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
––––––––––, 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
––––––––––, 2015. Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
––––––––––. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
––––––––––. 2016. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana;
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenadamedia
Group, Jakarta

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 109


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
––––––––––. 2017. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia,
Pustaka Magister, Semarang
––––––––––. 2017. RUU KUHP Baru; Sebuah Restrukturisasi/
Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Pustaka Magister,
Semarang
Brian Z. Tamanaha, 2006. A General Jurisprudence of Law and
Society,: Oxford University Press, New York.
Bruggink, 1996. Refleksi tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
CH. J. Enschede. 1982. Problemen van Strafwetgeving, Kluwer
Deventer, Holland.
Donald Black. 1976. The Behavior of Law, Academic Press, New
York.
Efran Helmi Juni, 2012. Filsafat Hukum, Pustaka Setia, Bandung
G. Peter Hoernagels, 1973. The Other Side of Criminology, Kluwer
Deventer, Holland.
Harry Elmer Barnes dan Negley K. Teeters. 1959. New Horizons in
Criminology, Englewood Cliffs, New Jersey.
Herbert L. Packer, 1968. The Limits of Criminal Sanction, Stanford
University Press, California.
Indrianto Seno Adji, 2002. Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor
Pengacara dan Konsultasi Hukum “ Oemar Seno Adji &
Rekan, Jakarta.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Jazim Hamidi, Kedudulan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus
1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi,
Vol. 3 Nomor 1, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Pebruari
2006

110 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Jimly Asshiddiqie, 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
Angkasa, Bandung.
Juhaya S. Praja, 2002. Fiqh Jinyah: Hukum Pidana Islam Bagian
Pertama, Program Pascasarjana UNISBA, Bandung.
King Faisal Sulaiman, 2017. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman
Indonesia,: UII Press, Yogyakarta.
Komariah Emong Sapardjaja, 2002. Ajaran Melawan Hukum
Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang
Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Alumni,
Bandung.
Leden Marpaung, 2017. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta
Lexy J. Moleong, 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung
Moeljanto, Atas Dasar atau Asas-asas Apakah Hendaknya Hukum
Pidana Kita Dibangun? (Surabaya, Prasaran Kongres Persahi
II, 15-19 Juli 1964),
M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015) h. 61-62
M. Efran Helmi Juni. 2012. Filsafat Hukum, Pustaka Setia, Bandung
Mahfud MD, 1998. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
––––––, 2006. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi,
LP3ES, Jakarta.
–––––––, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum
Nasional, makalah seminar Arah Pembangunan Hukum
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, BPHN, Jakarta, 29-
31 Mei 2006.

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 111


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Marc Ancel, 1965. Social Defence, a Modern Approach to Criminal
Problems, Routledge & Kegan Paul, London.
Mardjono Reksodiputro, 1994. Sistem Peradilan Pidana (Peran
Penegak Hukum Melawan Kejahatan), Universitas Indonesia,
Jakarta
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum
dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum
dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Moeljatno, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
–––––––, Atas Dasar atau Asas-asas Apakah Hendaknya Hukum
Pidana Kita Dibangun? (Surabaya, Prasaran Kongres Persahi
II, 15-19 Juli 1964)
Mudzakkir, 2001. “Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem
Peradilan Pidana”, disertasi program Pascasarjana FH-UI,
Jakarta.
Muhammad Amin Suma, dkk, 2001. Pidana Islam di Indonesia:
Peluang, Prospek, dan Tantangan,, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Bunga Rampai Hukum
Pidana, Alumni, Bandung.
Muladi, 1993. Materi Kuliah: Sistem Peradilan Pidana, Program
Magister Ilmu Hukum (S.2) UNDIP
–––––––, 2003. Pengkajian Hukum tentang Asas-asas Pidana Indonesia
dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum
dan HAM RI, Jakarta.

112 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
–––––––, 1990. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa
Mendatang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum
Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang.
Pat Carlen, 1983. On Rights and Powers: Some Notes on Penal Politics,
dalam David Garland dan Peter Young (ed), The Power to
Punish, Humanities Press, New Jersey.
Paul Scholten, 1997. Stuktur Ilmu Hukum, terj. B. Arief Sidharta
dalam Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Katolik Prahyangan, Bandung.
R.Firth, 1958. Ciri-ciri untuk Masyarakat Indonesia, Pembangunan,
Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2009. Perbandingan Hukum Pidana
Kontemporer, Fikahati Aneka, Jakarta.
RUU KUHP, Buku I
Sahetapy, 1993. Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya dala
Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum. Analisis CSIS (Januari-
Pebruari, XXII),
Siti Malikatun Badriyah, 2010. Penemuan Hukum dalam Konteks
Pencarian Keadilan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Soeharto RM, 1993, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika, Jakarta
Solly Lubis, 1989. Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju,
Bandung.
Sorjono Soekanto, 1981. Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung
–––––––, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian
terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung.

KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 113


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
–––––––, 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Sudjito, 2009. Hukum dalam Perspektif Pancasila, Proceeding
Kongres Pancasila: Pancasila dalam Berbagai Perspektif,
Sekretariat Jenderal Kepaniteraan MK, Jakarta.
Syawal Abdulajid dan Anshar, 2011. Pertanggungjawaban Pidana
Komando Militer pada Pelanggaran Berat HAM (Suatu Kajian
dalam Teori Pembaruan Pidana), Laksbang Pressindo,
Yogyakarta.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2012. Politik Hukum
Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011 Hukum Pidana: Horizon
Baru Pasca Reformasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta
–––––––––, 2012. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

114 KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA


DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
BIODATA PENULIS

Dr. Iskandar Muda Sipayung, SH, MH., Lahir di Silau Rakyat 17 Agustus
1985, dan saat ini bekerja di kepolisian Republik Indonesia, tahun lulus
bintara Gel II Tahun 2004 (Zero Empat dua) di SPN Sampali medan,
kemudian pada tahun 2020 mengikuti pendidikan Sekolah Inspektur Polisi
angkatan 49 Resimen Wira Adhibrata Sanskara di Setukpa Polri Propinsi
Jawa Barat, serta Aktif menjadi Dosen di Universitas Al Wasliyah
Labuhanbatu dan Universitas Labuhanbatu.Menyelesikan Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Semarang - Jawa tengah)
pada tahun 2019, Kemudian mengikuti pelatihan Certified Propesional
Mediator (CPM). Certified Propesional Arbitrator (CPArb), Certified
Procurement Contract Legal Expert (CPCLE), Certified Maritem Lawywr
(CML). Certified Procurement Lawyer (CPL) Saat ini aktip di Kepolisian
bertugas di Polres Labuhanbatu Polda Sumatra Utara.
KEBIJAKAN ASAS HUKUM PIDANA 115
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai