Anda di halaman 1dari 78

FILSAFAT HUKUM

DR. H. RANTAWAN DJANIM, SH. MH.

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Pokok Bahasan
I. Pendahuluan
a. Pengetahuan dan ilmu pengetahuan
b. Pengertian filsafat dan pengertian ilmu hukum
c. Pembidangan filsafat dan letak filsafat hukum
d. Pengertian filsafat hukum
e. Sifat-sifat pokok Filsafat
f. Manfaat mempelajari filsafat hukum
II. Sejarah dan perbandingan antara Filsafat Timur dan Barat
III. Sejarah Filsafat Hukum
a. Zaman kuno
b. Abad pertengahan
c. Zaman modern dan zaman kini/sekarang
IV. Sumber Hukum
a. Sumber Hukum Materiil
b. Sumber Hukum Formil
V. Asas Hukum 1
VI. Aliran-aliran atau Mazhab-mazhab dalam Filsafat Hukum
a. Dua Aliran Besar dalam keberlakuan hukum
Aliran/Mazhab Hukum Kodrat Alam
Aliran/Mazhab Hukum Positif (Positivisme Hukum)
b. Utilitarianisme
c. Aliran/Mazhab Hukum Sejarah
d. Aliran Sociological Jurisprudence
e. Realisme Hukum
f. Aliran Hukum Bebas (Freirechtslehre)
g. Hukum Progresif
VII. Penegakan, Penafsiran dan Penemuan Hukum
a. Penegakan Hukum
b. Penemuan Hukum
c. Metode-metode Penafsiran Hukum
VIII. Masalah-masalah dalam filsafat hukum
a. Hukum In Abstracto, Hukum In Concreto dan Hukum In
Realita
b. Hukum dan kekuasaan
2
PENGETAHUAN, ILMU PENGETAHUAN DAN
FILSAFAT

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, koheren tentang seluruh


kenyataan.
Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan metodis, koheren, sistematis tentang suatu
bidang tertentu dari kenyataan.
Ilmu Pengetahuan terdiri dari:
1. Objek Materia: lapangan/bahan penyelidikan suatu ilmu.

2. Objek Forma: sudut pandang tertentu yang menentukan jenis ilmu.

Objek Filsafat:
1. Tentang hakikat Tuhan
2. Tentang hakikat alam
3. Tentang hakikat manusia
Kebenaran:
1. Kebenaran inderawi (knowledge)
2. Kebenaran ilmiah (science)
3. Kebenaran filsafat
4. Kebenaran agama
3
Perbedaan dan hubungan ilmu pengetahuan
dan filsafat

Perbedaan Ilmu Pengetahuan dan Filsafat:


Ilmu Pengetahuan objek formanya bersifat faktual kuantitatif dan
sektoral, sedangkan Filsafat objek formanya lebih bersifat
integral atau menyeluruh.
Hubungannya:
1. Ada saling ketergantungan dari keduanya, karena filsafat
tidak dapat berpikir tanpa ilmu pengetahuan, sedangkan
ilmu pengetahuan tidak dapat berjalan tanpa filsafat,
karena ilmu pengetahuan membutuhkan asas-asas dan
kategori-kategori.
2. Sama-sama mencari kebenaran; (1.)kebenaran hakiki,
(2.)kebenaran yang harus diuji dengan pengalaman praktis.
4
Hamersma

“filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu”

Filsafat Ilmu Filsafat

“sebelum”: karena semua ilmu yang khusus, bermula sebagai


bagian dari filsafat.
“sesudah”: karena semua ilmu dalam menghadapi pertanyaan-
pertanyaan yang melewati batas spesialisasinya,
akan ditampung dan dijawab oleh filsafat.

5
Sifat-sifat pokok filsafat:
1. Menyeluruh: tidak sempit (fragmentaris/sektoral) tetapi
melihat persoalan dari setiap sudut yang ada.
2. Mendasar: tiap sudut dianalisis secara mendalam sampai ke
akar-akarnya.
3. Spekulatif: membahas berbagai pertanyaan dengan
langkah-langkah spekulatif dengan metode dan dasar-
dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
4. Refleksi kritis: pengendapan dari apa yang dipikirkan
secara berulang-ulang dan mendalam secara terus menerus.
Kritis berarti analisis yang dibuat tidak berhenti pada
“faktanya” saja, melainkan analisis “nilai”. Pada analisis
“nilai” ini hasilnya bukan lagi gejala-gejala, tetapi HAKIKAT.
6
Manfaat mempelajari Filsafat Hukum

1. Karena sifatnya yang menyeluruh, kita dituntut


berwawasan luas dan terbuka, menghargai pendapat
orang lain, tidak bersifat arogan dan apriori.
2. Dari sifatnya yang mendasar, kita diajak memahami
hukum tidak dalam arti hukum positif semata.
3. Spekulatif, agar kita berfikir inovatif dengan selalu
mencari sesuatu yang baru.
4. Refleksi kritis, untuk membimbing kita menganalisis
masalah-masalah hukum secara rasional, sampai kepada
nilai-nilai yang ada dalam gejala-gejala hukum 
bijaksana
7
Pembidangan ilmu filsafat
1. Logika, cabang filsafat yang 6. Epistimologi, tentang asal mula,
membahas tentang cara susunan, metode-metode dan
pengambilan kesimpulan. sahnya pengetahuan.
2. Metodologi, tentang teknik-teknik 7. Biologi, tentang hakikat hidup.
penelitian & penyelidikan 8. Psikologi, tentang jiwa.
3. Metafisika, tentang hakikat 9. Sosiologi, tentang hakikat
segala sesuatu yang masyarakat dan negara.
ada/mungkin ada.
10. Antropologi, tentang manusia.
4. Ontologi, tentang asas-asas
rasional dari kenyataan (yang 11. Etika, tentang apayang baik &
ada). buruk dari perilaku manusia.
12. Estetika, tentang keindahan.
5. Kosmopologi, tentang
bagaimana keadaannya 13. Agama, tentang Hakikat Agama.
sehingga ada asas-asas rasional
dari kenyataan yang teratur itu. 8
Apakah filsafat hukum itu ?
Ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis, yakni hukum sebagai objek
talaah dikaji secara mendalam
sampai kepada inti atau dasarnya
yang disebut dengan HAKIKAT

9
Dimana letak Filsafat Hukum ?
Hukum  berkaitan dengan norma-norma untuk
mengatur perilaku manusia. Jadi, termasuk
dalam cabang filsafat manusia, yaitu etika.

Filsafat Filsafat Etika Filsafat


Manusia Hukum
• Sebagai • Sebagai • Sebagai
genus species subspecies

10
Menurut objek materianya :

umum
ada ada
mutlak
khusus
alam antropologi
ada
tidak
mutlak Filsafat
manusia etika
Hukum

logika

11
FILSAFAT TIMUR & BARAT
Sejarah Filsafat Timur:
1. Filsafat India  weda, skeptisisme, puranis,
zaman muslim, zaman modern
2. Filsafat China  klasik (konfuisme, taoisme,
yinyang),
neotaoisme/budisme,
neokonfusianisme, zaman
modern
3. Filsafat Islam
12
Sejarah Filsafat Barat:
1. Zaman kuno: zaman prasokrates, zaman yunani,
helenisme, patristik
2. Zaman pertengahan (400-1500M)

3. Zaman Modern: Renesance, Barok, Fajarbudi

(aufklarung), romantik
4. Zaman sekarang (setelah 1800)

a. Filsafat abad 19: positivisme, marxisme,


pragmatisme
b. Filsafat abad 20: neokantianisme, fenomenologi,
eksistensialisme, strukturalisme

13
Perbandingan Filsafat Timur & Barat
FILSAFAT TIMUR FILSAFAT BARAT
1. Asli 1. Buatan
2. Suka hidup damai 2. Suka konflik
3. Pasif 3. Aktif
4. Bergantung dengan pihak lain 4. Mandiri
5. Lamban 5. Cepat
6. Bersifat meneruskan 6. Menciptakan
7. Konservatif 7. Progresif
8. Intuitif 8. Rasional
9. Teoritis 9. Experimental
10. Artistik 10. Ilmiah
11. Kerohanian 11. Materialistis
12. Psikis 12. Fisik
13. Ukhrowi 13. Duniawi
14. Manusia & alam sejajar 14. Menguasai alam
14
15. kolektivitas 15. Individualistis
Ilmu Hukum dan Hukum

Ilmu Hukum  Jurisprudence


Objeknya  Hukum: Sebagai suatu gejala dalam

kehidupan manusia dimanapun di dunia


dan dari masa kapan pun (fenomena-
universal).

Metodenya: 1. Metode yang bersifat idealis


2. Metode normatif/ normatif analitis
3. Metode sosiologis

15
Metode dalam mempelajari hukum:
Metode yang bersifat idealis
yaitu apabila kita memilih untuk melihat
hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai
tertentu, yakni membahas apa saja yang
menjadi tuntutan dari nilai tersebut dan
apa yang seharusnya dilakukan oleh
hukum untuk mewujudkan nilai-nilai itu.

16
Metode normatif/normatif analitis
yaitu apabila kita ingin melihat hukum
sebagai suatu sistem peraturan-
peraturan yang abstrak, yaitu hukum
sebagai suatu lembaga yang benar-
benar otonom terlepas dari kaitan-
kaitannya dengan hal-hal di luar
peraturan-peraturan tersebut.

17
Metode sosiologis
yaitu apabila kita memahami hukum
sebagai alat untuk mengatur
masyarakat, yaitu mengaitkan hukum
kepada usaha untuk mencapai tujuan-
tujuan serta memenuhi kebutuhan-
kebutuhan konkrit dalam masyarakat
(efektifitas hukum)

18
Ilmu Hukum dan Teori Hukum
Ilmu Hukum:
Bertujuan memaparkan dihadapan kita fenomena
hukum dalam hakekatnya, sifat-sifatnya, dan
fungsinya dalam masyarakat, singkatnya mencoba
memberikan jawaban terhadap segala pertanyaan
mengenai fenomena hukum.
Teori Hukum:
Yaitu ilmu yang memikirkan hukum sampai jauh ke
latarbelakang hubungannya dengan konsepsi tentang
manusia, tentang hubungan antara manusia dengan
manusia, dan menusia dengan lingkungannya. 19
Hubungan ilmu hukum & teori hukum
1. Teori hukum memberikan sumbangan yang
besar kepada ilmu hukum
2. Teori hukum merupakan bagian yang penting
dalam ilmu hukum
3. Melalui teori hukum, ilmu hukum dapat
mencerminkan perkembangan masyarakat.

20
Bidang-bidang Studi Ilmu Hukum
(Ilmu-ilmu lain yang berobjek hukum)
Disiplin hukum
(yurisprudence) Politik Hukum
Teori hukum dalam arti
luas Filsafat Hukum

Ilmu Hukum
(teori hukum dalam arti
sempit)

Ilmu tentang Ilmu tentang Ilmu tentang


norma/kaidah Pengertian Hukum Kenyataan Hukum
- Sosiologi Hukum
- Psikologi Hukum
- Perbandingan
Hukum
- Antropologi Hukum
- Sejarah hukum
- Politik Hukum
Hukum sebagai Kaidah Sosial
1. Sebagai suatu perlengkapan masyarakat untuk
menciptakan ketertiban dan keteraturan hukum
memberikan petunjuk/ pedoman tentang tingkah
laku berupa NORMA
2. hukum merupakan serangkaian aturan yang
tersusun dalam suatu sistem, yang berisikan
petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan, perintah dan larangan
bagi warga masyarakat, yang disertai sanksi
pemaksa yang bersifat eksternal.
22
 Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan
aturan, kaidah, norma, ketentuan-ketentuan
baik tertulis maupun tidak yang pada dasarnya
berlaku dan diakui orang sebagai peraturan
yang harus ditaati dalam kehidupan
bermasyarakat dan apabila dilanggar akan
dikenakan sanksi. (D.D.Machmudin, 2000:7)
 Hukum adalah karya manusia, berupa norma-
norma, berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku,
sebagai cerminan dari kehendak manusia
tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu
dibina dan kemana harus diarahkan. (Rahardjo,
1986:20) 23
 Dari berbagai pengertian/definisi hukum dapat
disimpulkan bahwa hukum dapat diartikan
sebagai:
1. Ketentuan penguasa (UU, putusan hakim

dan sebagainya).
2. Petugas-petugas (penegak hukum)

3. Sikap tindak

4. Jalinan nilai-nilai (tujuan hukum)

5. Tata hukum

6. Ilmu hukum

7. Disiplin hukum
 Unsur-unsur hukum:
1.Peraturan tentang tingkah laku manusia
2.Peraturan itu dibuat oleh badan berwenang
3.Bersifat memaksa, namun tidak dapat dipaksakan
4.Mempunyai sanksi yang tegas dan dapat
dirasakan nyata bagi pelakunya.

 Ciri-ciri Hukum:
1.Adanya perintah,larangan dan kebolehan
2.Larangan dan perintah itu harus ditaati
3.Adanya sanksi hukum yang tegas

24
Sumber Hukum
Sumber hukum adalah tempat kita dapat melihat
bentuk perwujudan hukum, dengan perkataan lain,
segala sesuatu yang dapat menimbulkan atau
melahirkan hukum (asal mula hukum). (Machmudin,
2001:77)
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang
menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan
memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar
akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi
pelakunya. (J.B Daliyo, 2001:51)
25
Menurut Prof. Sudikno
Sumber hukum dapat berarti:
1. Sebagai asas hukum, sesuatu yang merupakan permulaan
hukum. Misalnya: kehendak Tuhan, akal manusia, dll.
2. Sebagai sumber hukum terdahulu yang memberi bahan-
bahan kepada hukum yang saat ini berlaku.
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan
berlaku secara formal kepada peraturan hukum, misal :
penguasa, masyarakat.
4. Sebagai sumber darimana hukum itu dapat diketahui, misal
Dokumen, Undang-Undang, Prasasti Dll.
5. Sebagai sumber terbentuknya atau sumber yang 26
menimbulkan hukum
SUMBER HUKUM MATERIL

Sumber Hukum Materil


Faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum :
1. Faktor Idiil  Patokan-patokan keadilan bagi pembentuk UU & Pembentuk
hukum dalam tugasnya.
2. Faktor kemasyarakatan (sosial)  yaitu hal-hal yang hidup dalam
masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai
petunjuk masyarakat yang bersangkutan (Daliyo, Hal 52-53)
Sumber Hukum yang bersifat sosial
- Merupakan sumber-sumber yang dapat melahirkan hukum, namun sumber ini
tidak mendapatkan pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga tidak
secara langsung bisa diterma sebagai hukum ( Fitzgerald, 1996:109)
- Merupakan sumber bahan yang kekuatannya tidak otoritatif, melainkan hanya
persuasif (Ibid, -110)
- Menurut Allen sumber hukum ini merupakan kehendak dan vitalitas dari
masyarakat sendiri. Sifatnya bawah ke atas (aliran sejarah) (Raharjo ,
1986:111-112). 27
SUMBER HUKUM FORMAL

 Sumber hukum dalam bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya


hukum secara formal, yakni merupakan dasar kekuatan mengikatnya
peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh para
penegak hukum. Dengan perkataan lain, sumber hukum ini merupakan causa
eficient dari hukum. (Daliyo, hal. 53)
 Sumber hukum formal adalah sumber hukum ditinjau dari segi
pembentukannya. (Machmudin, hal. 78)
 Sumber yang bersifat hukum, yaitu sumber yang diakui oleh hukum sendiri
sehingga secara langsung dapat melahirkan atau menciptakan hukum.
Substansi yang dikeluarkan /dihasilkan adalah ipso jure (yang dengan
sendirinya sah).
 Menurut Allen, sumber hukum ini dikaitkan pada kehendak yang berkuasa
(penguasa), bersifat atas ke bawah (positivisme hukum).
28
Bentuk-bentuk sumber hukum formal:

Peraturan negara, dibentuk oleh alat perlengkapan


1. Undang-Undang negara, yang berwenang dan mengikat masyarakat.
(statute)
Dibagi 2 (dua) macam:
1. UU dalam arti materiil
2. UU dalam arti formal
2. Kebiasaan (custom)
Keberlakuan Undang-Undang:
3. Yurisprudensi (judge - Secara Yuridis: apabila persyaratan nformal
made law) terbentuknya UU itu terpenuhi.
- Secara Sosiologis: apabila UU itu telah diterima dan
4. Traktat (treaty) ditaati oleh masyarakat tanpa memperhatikan
bagaimana terbentuknya UU itu, dengan perkataan lain
5. Perjanjian apabila UU itu efektif berlaku di masyarakat.
- Secara Filosofis: apabila UU itu memang sesuai dengan
6. Doktrin (doctrine) cita-cita hukum dan nilai-nilai positif yang tertinggi yang
dianut masyarakat tersebut.

29
ASAS HUKUM
Eikema Hommes: merupakan dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-
petunjuk bagi hukum yang berlaku atau petunjuk arah dalam pembentukan
hukum positif. Jadi, asas hukum bukanlah norma-norma hukum yang konkrit.
Satjipto Rahardjo: asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari
suatu peraturan hukum atau merupakan “jantungnya” peraturan hukum,
karena:
1. Asas hukum merupakan landasan/pedoman yang paling luas bagi lahirnya
suatu peraturan hukum.
2. Asas hukum merupakan alasan/dasar bagi lahirnya peraturan hukum, atau
merupakan “ratio legis” dari peraturan hukum.
Bellefroid: asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum
positif danyang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari naturan yang
lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan dari hukum positif.

30
 Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan
terbentuknya atau lahirnya suatu peraturan hukum, akan tetapi
selalu dan tetap akan melahirkan peraturan-peraturan hukum
selanjutnya.
 Asas hukum merupakan sarana yang membuat hukum itu hidup,
tumbuh dan berkembang dan ia menunjukkan bahwa hukum itu
bukan sekedar kompulan dari peraturan-peraturan belaka,
karena asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-
tuntutan etis.
 Karena asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis,
maka asas hukum merupakan jembatan/penghubung antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan
pandangan etis masyarakatnya.

31
Perbedaan Asas & Norma (kaidah)
 Asas merupakan dasar pemikiran (ide) yang
bersifat umum dan abstrak, sedangkan norma
merupakan aturan konkrit.
 Asas adalah suatu konsep/ide, sedangkan
norma adalah penjabaran dari konsep/ide
tersebut.
 Asas tidak mempunyai sanksi, sedangkan

norma ada sanksi.


32
Contoh-contoh asas hukum:
 Asas Presumption of innocence (praduga tak bersalah)
 Asas Pacta sunt servanda, bahwa perjanjian yang sudah disepakati berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan.
 Asas Geen straft zonder schuld, bahwa tiada hukuman tanpa kesalahan.
 Asas Nebis In idem, mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh
disidangkan untuk kedua kalinya.
 Asas Joro suo uti nemo cogitur, tak ada seorangpun yang diwajibkan menggunakan
haknya.
 Asas unus testis nullus testis, satu saksi bukanlah saksi.
 Asas in dubio pro reo, dalam keraguan diberlakukan ketentuan yang
menguntungkan bagi si terdakwa
 Asas koop breekt geen huur, jula beli tidak menggugurkan/memutuskan sewa
menyewa.
 Asas Cogatitoinis poenam nemo patitur, seseorang tidak dapat dihukum karena hal
yang baru dipikirkannya.
 Asas Res Nullius credit occupanti, benda yang ditelantarkan pemiliknya dapat
diambil untuk dimiliki orang lain.
 Asas Qui fact consentire videtur, bediam diri dianggap setuju. 33
Aliran-aliran/Mazhab-mazhab
dalam ilmu hukum
 Pembahasan tentang aliran-aliran dalam filsafat hukum
merupakan inti dari mata kuliah filsafat hukum. Dengan
mengetahui pokok-pokok aliran tersebut, sekaligus juga
dapat diamati berbagai corak pemikiran tentang hukum.
Dengan demikian, sadarlah kita betapa kompleksnya
hukum itu dengan berbagai sudut pandangnya. Hukum
dapat diartikan bermacam-macam, demikian juga tujuan
hukum. Setiap aliran berangkat dari argumentasinya
sendiri. Akhirnya pemahaman terhadap aliran-aliran
tersebut akan membuat wawasan kita menjadi kaya dan
terbuka dalam memandang hukum dan masalahnya.
Untuk menjawab apa sesungguhnya, hukum itu?
 Mengapa hukum mempunyai kekuatan yang mengikat?
 Dari mana hukum itu berasal?
 Mengapa hukum itu berlaku? dan adakah hukum yang berlaku mutlak?

Para sarjana/ahli hukum mempunyai pendapat dan pandangan berbeda,


tergantung pendekatan mereka terhadap hukum, antara lain dari sudut
pandang: sejarah-sosiologi-filsafat atau hukum.

Pendapat berdasarkan sudut-sudut pandang yang berbeda inilah yang


menimbulkan aliran-aliran/mazhab-mazhab dalam filsafat hukum, antara lain:
1. Aliran hukum kodrat alam
2. Aliran Positivisme hukum (imperatif)=legisme
3. Aliran Utilitarianisme
4. Aliran hukum sejarah
5. Aliran hukum sosiology jurisprudence
6. Realisme Hukum
7. Aliran hukum bebas, dll.
34
Dua aliran besar dalam keberlakuan hukum
--hukum alam & positivisme hukum--

Aliran Hukum Kodrat Alam Aliran Positivisme Hukum

Suatu aliran yang menelaah hukum Aliran ini menganggap tidak ada
dengan bertitik tolak dari keadilan hukum kecuali kaidah hukum positif.
yang mutlak/tidak dapat diganggu Dalam aliran ini dinyatakan bahwa,
gugat, berlaku abadi, dimanapun “perlu ada pemisahan secara tegas
(universal), kapanpun, terlepas dari antara hukum dan moral”.
kehendak manusia. Hukum adalah perintah dari
Oleh karenanya, memiliki sifat yang penguasa yang berdaulat, dan
lebih sempurna dan mempunyai tolak ukur formal-lah yang
derajat yang lebih tinggi dari hukum menentukan adanya hukum.
buatan manusia. Dalam aliran ini,
dikatakan sebagai, “hukum yang
seharusnya” (law is it ought to be)
35
Aliran Hukum Kodrat Alam Aliran Positivisme Hukum

Aliran ini bertolak dari: Hukum identik dengan


 Pandangan bahwa hukum Undang-Undang(legisme):
dan etik sangat erat  di luar UU bukanlah hukum

kaitannya dengan  UU merupakan satu-


keadilan, HAM, sosial, satunya sumber hukum
moral, kepatutan, dll.  hanya apa yang dibuat
 Tidak sewenang-wenang Badan Legislatif yang
dan tidak bergantung merupakan hukum.
pada keputusan manusia.
 Dikatakan sebagai,
“hukum yang seharusnya”
(law is it ought to be).

36
Aliran Hukum Kodrat Alam Aliran Positivisme Hukum
1. Irrasional 1. Aliran hukum murni
 Hukum harus dibersihkan dari unsur-
bahwa hukum yang berlaku
unsur yang non yuridis, sosiologis, politis,
universal dan abadi adalah
historis, moral(etis), ideologis.
bersumber dari Tuhan secara  Hukum bukanlah “bagaimana hukum
langsung (Thomas Aquinas, John itu?”, tetapi “apa hukumnya?”.
Salisbury, Dante, dll)  Yang digunakan adalah hukum positif

(ius constitutum) dan bukan hukum yang


2. Rasional dicita-citakan (ius constituendum)
bahwa sumber dari hukum yang 2. Aliran hukum positif analitis (analitical
universal dan abadi itu adalah jurisprudence)
rasio manusia (Hugo de Groot,  Hukum adalah perintah penguasa

Immanuel Kant, dll)  Hakekat hukum terletak pada unsur


“perintah”
 Hukum dipandang sebagai suatu sistem
yang tetap, logis dan tertutup

37
Mazhab Sejarah
 Tokohnya: Von Savigny, Puchta, Henry Summermaine
 Timbulnya mazhab ini merupakan reaksi terhadap para
pengikut hukum alam yang berpendapat bahwa hukum
kodrat itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi semua
bangsa (universal) dimana pun dan kapan pun.
 Menurut mazhab sejarah: bahwa tiap-tiap hukum itu
ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu
dan tempat (empiris).
 Mazhab ini menitikberatkan pandangannya pada jiwa
bangsa (volkgeist), jadi hukum itu tumbuh dan berkembang
bersama-sama dengan tumbuh dan berkembangnya suatu
bangsa. 38
Utilitarianisme
 Tokohnya: Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Rudolf Von
Jhering
 Aliran ini meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama
hukum.
 Kemanfaatan diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum,
bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada masyarakat.
 The greatest happiness for the greatest number, hukum harus
diupayakan untuk memberikan kebahagiaan bagi sebanyak
mungkin individu dalam masyarakat.
38
Sosiological Jurisprudence
 Tokohnya: Eugen Ehrlich, Roscoe Pound.
 Hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
 Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif
(the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law).
 Aliran ini timbul dari proses dialektika antara positivisme
hukum dan mazhab sejarah.
 Positivisme hukum memandang tiada hukum kecuali perintah
yang diberikan penguasa (mementingkan akal), sedangkan
mazhab sejarah mementingkan pengalaman (empiris) yaitu
hukum timbul dan berkembang bersama masyarakat.
39
Realisme Hukum
 Inti dari realisme hukum adalah empirisme, khususnya
pengalaman-pengalaman yang digali dari pengadilan
(putusan hakim).
 Hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat
kontrol sosial.
 Munurut realisme hukum: bahwa tidak ada hukum yang
mengatur perkara, sampai ada putusan hakim terhadap
perkara itu. “apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku-
buku, baru merupakan anggapan tentang bagaimana hakim
akan memutus”.
 Hakim lebih berfungsi sebagai penemu hukum, dengan
pengertian pembuat hukum yang mengandalkan peraturan
perundang-undangan. 40
Aliran Hukum Bebas (Freirechtslehre)
 Aliran ini merupakan penentang Positivisme Hukum, tapi sejalan
dengan Aliran Realisme Hukum.
 Penemuan hukum bebas bukan berarti peradilantidak terikat
pada UU, tetapi UU itu bukan memegang peran utama, tetapi
sebagai alat bantu saja dan keputusan-keputusannya tidak
harus sama dengan yang tertuang dalam UU.
 Menurut aliran ini, hakim mempunyai tugas menciptakan hukum,
bukan hanya menerapkan UU tetapi membuat suatu
penyelesaian yang tepat untuk suatu peristiwa konkrit.
 Bahkan menurut Stampe: bahwa pengadilan berhak untuk
mengubah hukum, apabila hukum yang ada justru akan
mengakibatkan suatu malapetaka.
41
Hukum Progresif
 Paradigma-asas-doktrin hukum progresif:
“Hukum adalah untuk manusia/rakyat/masyarakat, dan bukan sebaliknya”
 Prinsip utama/kata kunci Hukum Progresif, adalah PEMBEBASAN. Hukum
Progresif menolak sikap “status quo” dan submisif dalam berteori:
a. karena setiap pikiran, pendapat, doktrin, asas maupun suatu substansi
hukum  terbuka untuk ditinjau dan pikirkan kembali penggunaannya.
b. sikap tersebut merujuk kepada maksim “Hukum untuk manusia”.
c. sikap mempertahankan “status quo”, menyebabkan kita tidak berani
melakukan “pembebasan” dan menganggap doktrin tersebut sebagai
sesuatu yang mutlak. Jadi, sikap ini merujuk kepada maksim:
“manusia/masyarakat/rakyat untuk hukum”
 Hukum progresif berpendapat, bahwa semua hal tersebut adalah sesuatu
yang terbuka untuk perubahan.
42
 Penting sekali dalam pendidikan hukum diajarkan bahwa teks hukum sangat
terbuka terhadap pemberian makna:
- “membaca” Undang-Undang tidak dapat diartikan sebagai “mengeja
pasal-pasal Undang-Undang”
- indenpendensi dan kebebasan hakim, juga terletak pada kebebasannya
untuk memberi makna kepada suatu teks hukum (Undang-Undang)
- yurisprudensi bisa bermanfaat, akan tetapi tunduk kepada yurisprudensi
secara absolut, merupakan suatu kesalahan yang besar.
 Hukum progresif menghendaki agar hukum/yurisprudensi dan hal-hal yang
menunjang semua itu selalu dalam proses diperbaharui dan disempurnakan
(always in the making).
 Contoh: 1. Putusan pengadilan yang berani mematahkan yurisprudensi lama,
yaitu Putusan Hoge Raad (MA Belanda) tentang Perbuatan
Melawan Hukum (onrechtmatigedaad) pada perkara Cohen vs
Lindenbau.
2. Penafsiran dengan Perluasan pengertian, yaitu pada kasus
pencurian “listrik”. Bahwa dalam putusan ini, hakim menafsirkan,
“listrik” dapat diartikan sebagai “barang” dalam pasal
pencurian.
43
 Dalam penegakan hukum, kita tidak harus selalu bertumpu pada logika,
melainkan juga “meninggalkan rutinitas logika”. Penafsiran yang
“progresif” mencakup semua aspek, dengan pemberian makna
terhadap teks peraturan dan karena itu tidak boleh berhenti pada
pembacaan harfiah saja. Dengan cara seperti itu, maka hukum menjadi
Progresif.
 Jadi, penafsiran progresif adalah memahami hukum sebagai proses
pembebasan terhadap suatu konsep yang sudah usang, yang tidak
tepat lagi dipakai untuk melayani kehidupan masa kini dan yang akan
datang.
 Hukum progresif, menawarkan bentuk pemikiran dan penegakkan hukum
yang tidak submisif terhadap sistem yang ada, tetapi lebih afirmatif
(affirmative law enforcement), yaitu keberanian untuk melakukan
terobosan dan pembebasan ari praktek-praktek hukum yang
konvensional, serta menegaskan penggunaan suatu cara yang lain.
 Para hakim, jaksa, polisi dan pengacara perlu mendapat pembelajaran
kembali agar berani membaca teks dengan bebas dan progresif, yaitu
mencakup/menempatkan pada konteks sosial dan tujuan sosial masa
kini. 44
Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)

 Liberalisme merupakan suatu tradisi yang timbul dari filsafat


politik yang didasarkan pada teori “Kontrak Sosial” (due
contract social) dari Hobbes dan John Locke. Teori ini meyakini,
bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang
otonom, serta memiliki nilai-nilai berdasarkan kehendak-
kehendak subjektif.

 Individu-individu yang membentuk masyarakat yang kemudian


memiliki nilai-nilai bersama tersebut., dapat diakomodasikan
melalui lembaga-lembaga hukum, politik dan sosial.

45
 Studi Hukum Kritis, menolak dan menentang tradisi
Liberalisme ini, dengan alasan:

1. Bahwa liberalisme telah menciptakan visi yang menyimpang


dari adanya kemampuan bermasyarakat oleh masyarakat.
2. Liberalisme mengarahkan dunia pada keadaan-keadaan
yang bersifat dualistik, misalnya: invidualisme dan altruisme.
Seperti teori kapitalisme klasik dari Adam Smith: “apabila
setiap individu diberi kebebasan untuk mencapai
kepentingannya sendiri, maka situasi ini akan menghasilkan
kebaikan bagi masyarakat secara keseluruhan.
3. Liberalisme, memberikan legitimasi kepada kapitalisme dan
menyembunyikan fakta adanya eksploitasi dibalik slogan
dihormatimnya kebebasan dan hak-hak individu.

46
 Penyembunyian fakta-fakta tersebut telah menyesatkan masyarakat, sehingga
mereka justru mendukung suatu sistem yang sebenarnya bahkan menekan
mereka. Dengan perkataan lain, bahwa hal yang sesungguhnya merugikan
itu, justru diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran. Inilah yang disebut
sebagai proses Reifikasi.

 Menurut SHK/CLS, bahwa setiap individu yang menurut liberalis harus


dibebaskan dalam memenuhi kepentingannya, ini akan mengorbankan
individu yang lain dalam mencapai kepentingannya.

 Bagi SHK, bahwa liberalisme harus dibuang, didelegitimasi dan disingkirkan,


karena paham tersebut ternyata hanya menjadi sistem yang digunakan untuk
memperkuat kepentingan ekonomi.

 Menurut Millavanovic, SHK bermaksud membongkar struktur-struktur hierarkis


dalam masyarakat tersebut yang tercipta karena adanya dominasi yang
dilegitimasi dengan menggunakan sarana hukum melalui Hegenom dan
Reifikasi.

47
 Menurut SHK, bahwa institusi sosial merupakan institusi yang direkayasa dan
mengandung ketidakpastian dan ketidakseimbangan. Akan tetapi hukum
disini justru melegitimasi keadaan seperti ini melalui penciptaan khayalan
masyarakat seolah–olah keadaan yang ada tampak secara inderawi
tersebut merupakan keadaan yang alamiah.

 Apa-apa yang tampak sebagai asosiasi (kehidupan bersama) masyarakat,


sebenarnya tidak ada. Kehidupan bersama dalam masyarakat liberalis
adalah kehidupan yang direkayasa, yang diperkuat dengan menggunakan
sarana hukum. Dengan demikian, SHK bermaksud membongkar kepalsuan-
kepalsuan dan rekayasa hukum tersebut.

 SHK, menentang pandangan, bahwa sengketa yang terjadi dalam


masyarakat dapat diselesaikan dengan menggunakan hukum yang dianggap
sebagai suatu sistem nilai yang netral. Karena menurut SHK, bahwa semua
pembuatan keputusan, tergantung pada keyakinan atau pandangan-
pandangan si pembuat keputusan. Jadi, tidak ada penafsiran yang netral
dari suatu doktrin hukum.

48
 Di dalam setiap tahap proses pembuatan hukum, selalu ada interpretasi-
interpretasi politis yang bersifat subjektif. Selanjutnya pilihan-pilihan yang
bersifat politis-subjektif tadi, akan terwujud dalam teks dari peraturan-
peraturan suatu ketentuan hukum.

 SHK, menerima dan menggunakan pendekatan anti positivistik dari


pandangan Frankfurt School dan menolak pernyataan bahwa ilmu
pengetahuanempirik atau alamiah dapat diterapkan dalam hukum.
Sebagaimana dikatakan Santos, bahwa mazhab positiviosme memuat nilai-
nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena
yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol dan diukur serta dapat
diprediksi atau diramalkan.
Dalam padangan positivisme, bahwa suatu Realitas dapat direduksi menjadi
fakta-fakta yangdiamati.

 Akan tetapi Reduksionisme tidak mudah diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial,


karena tidak adanya teori sosial yang bersifat universal dan bebas nilai.

49
 Menurut paahm Liberal, bahwa pemisahan hukum dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang lain seperti: ekonomi, sosial, politik dan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, adalah sesuatu yang rasional.

 Sedangkan menurut SHK, bahwa keinginan dan keberpihakan tidak dapat


dihapuskan dari hukum.

 Menurut SHK, hukum merupakan ekspresi dari politik, sedangkan menurut


penganut kelompok Neo Marxian, bahwa “hukum merupakan instrumen pihak
penguasa untuk memaksakan kehendaknya”.

 Dalam hal ini, bahwa hukum akan memberikan keuntungan pada pihak yang
dominan atau kuat, sekalipun secara formil bahwa suatu ketentuan hukum
tertulis adalah hasil dari “suatu kepakatan” bersama.
Subjek yang menyatakan bahwa “hukum itu telah dibuat atas kesepakatan
bersama”, adalah orang-orang yang berkepentingan untuk menyatakan
demikian.

50
Hukum telah berkembang dalam waktu yang sangat lama, yaitu dari
zaman yunani kuno, bahkan sejak permulaan peradaban manusia, hukum
telah lahir di tengah-tengah masyarakat.
• Peran hukum yang strategis, yaitu sebagai ilmu yang mengatur
manusia/masyarakat, maka hukum pun dipelajari, diteorisasikan, dibedah,
disistematisir dan seterusnya.
• Perkembangan hukum pun dalam perjalanannya terjebak pada pertanyaan
yang mendasar, yakni bagaimana kita membentuk hukum? Bagaimana
menjalankannya? Dan bagaimana pula kita mengevaluasinya?
• Maka dengan hukum yang di jadikan ilmulah, hukum itu tidak sekedar
menjawab pertanyaan dasar tersebut, tetapi lebih bisa membuka ruang
diskusi yang luas dan bermanfaat.
• Ilmu hukum tampil dalam kehidupan manusia, sebagai suatu alat yang
diharapkan dapat dipercaya untuk menyelesaikan permasalahan manusia
yang berkaitan dengan hukum. Tetapi bukan dalam arti membuat produk
perundang-undangan yang terbaik dengan cara dan mekanisme tertentu.

51
 Bukan pula untuk sekedar dapat menerpkan hukum dengan
basis profesionalitas/keterampilan aparat-aparat penegak
hukum, juga tidak hanya untuk mengoreksi produk hukum yang
ada, melainkan untuk menarik hukum ke arah yang FILOSOFIS.
 Yaitu, menggiring hukum untuk kembali kepada kodratnya,
yaitu untuk hal yang berguna untuk manusia, sekaligus untuk
mendorong terwujudnya janji-janji terhadap tercapainya
keadilan dan kebenaran yang hakiki atas hukum itu sendiri.
 Mayoritas para juris di Indonesia cenderung menganut mazhab
hukum positif (Positif Hukum) dalam membentuk dan
menemukan hukum.
 Akibatnya, ketentuan tertulis atau peraturan perundang-
undangan menjadi pedoman utama, bahkan dapat dikatakan
satu-satunya.

52
 Paham atau cara berfikir seperti tersebut berakibat bahwa
cara/proses penegakan hukum menjadi kering, kaku dan
monoton, bahkan akan menimbulkan masalah-masalah baru,
(contoh: kasus Raju, nenek Minah, Prita Mulyasari, dll), yaitu
ketika penegak hukum terlalu terbelenggu/terikat dengan
ketentuan/aturan-aturan tertulis.

 Agar hukum tidak melahirkan masalah-masalah baru dan


mempertahankan “Status Quo”, maka cara berhukum kita
harus di bebaskan dari sebatas mengeja aturan-aturan tertulis
dan perlu mempertimbangkan fakta-fakta lain di luar hukum.
Dengan demikian, hukum dapat merasakan kebutuhan,
penderitaan dan keinginan masyarakat, yaitu bahwa hukum
yang di sertai kesadaran dan hati nurani.

53
 Negara kita adalah negara hukum, hukum itu bertolak dari teks-teks tertulis,
sehingga muncullah paham positivisme hukum, yang di sebut “Positivisme
Analitis”. Jadi positivisme itu adalah bahan pemikiran yang timbul seiring
dengan tradisi perundang-undangan.
 Akan tetapi, apabila kita hanya mendasarkan pada ketentuan yang tertulis
saja, maka dapat menyebabkan dinamika yang sangat kompleks di
masyarakat, tidak akan tertampung dalam perundang-undangan. Karena
perundang-undangan yang tertulis biasanya bersifat kaku dan rigit,
sehingga kurang dapat mengikuti keadaan dan kompleksitas yang
berkembang.
 Para penganut “Positivisme Hukum” (Positivisme Analitis), misalnya dalam
penanganan kasuk-kasus/perkara, selalu akan mengatakan: “Kita tidak
dapat berbuat lain, karena Undang-undangnya mengatakan seperti itu,
kecuali Undang-undangnya di rubah, dan kita tidak dapat melakukan hal-
hal yang tidak tercantum dalam Undang-undang”. Hal tersebut di katakan
“Mempertahankan Status Quo”. 54
 Berdasarkan perkembangan zaman dan masyarakat saat ini, hukum
memang sebaiknya berdasarkan peraturan atau Rules. Akan tetapi melihat
perkembangan penegakan hukum di Indonesia, misalnya dalam hal
pemberantasan korupsi atau narkoba di Indonesia, yang kurang berhasil,
maka hukum itu tidak cukup hanya di pahami sebagai peraturan atau Rules
saja, tetapi juga sebagai perilaku atau behaviour, yaitu perilaku penegak
hukum, perilaku masyarakat, jaksa dan hakim.
 Karena merekalah yang menjadi jembatan atau alat penghubung agar
ketentuan perundang-undangan yang kaku dan rigit tersebut justru dapat
mengikuti perkembangan, dan kompleksitas perkembangan zaman dan
masyarakat.
 Apabila hanya berpedoman atau berpedoman pada peraturan, jelas
bahwa hal tersebut akan mempertahankan “Status Quo”, dan terpaku
hanya pada hitam dan putihnya teks Undang-undang. Sedangkan apabila
melaksanakan suatu peraturan di lengkapi dengan “Semangat” akan
kebutuhan/keinginan yang ada di dalam masyarakat, maka masih ada
peluang untuk memaknai perundang-undangan itu dan menerapkannya
secara dinamis dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
55
 Khusus untuk keadaan di Indonesia saat ini, hukum membutuhkan perilaku.
Perilaku itu adalah perilaku manusia, dimana di dalamnya ada faktor-
faktor: empati, kejujuran, keberanian dan hati nurani dan sebagainya.
 Menerapkan peraturan perundang-undangan itu perlu, karena kita adalah
negara hukum. Tetapi, bagaimana cara menerapkannya, itu adalah yang
lebih penting.
Misalnya: mengapa kasus korupsi yang diadili di Pengadilan Negeri,
banyak yang lolos/bebas? Tetapi kalau diadili di Pengadilan
Tipikor sampai sekarang belum ada yang lolos?
 Ini karena faktor manusia (perilaku manusia) yang membuat hasil
penerapan hukum bisa berbeda.

56
PENEGAKAN, INTERPRETASI, dan
PENEMUAN HUKUM

 Hukum berfungsi sebagai perlindungan


kepentingan manusia:
 Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum
harus dilaksanakan, baik secara normal,
damai, maupun karena ada pelanggaran
hukum.
 Melalui penegakkan hukum inilah, hukum ini

menjadi kenyataan.
 Jadi, hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan.
57
 Dalam menegakkan hukum ada 3 unsur yang harus
diperhatikan:
 Kepastian hukum (rechtssicherheit)

 Kemanfaatan (zweckmassigheit)

 Keadilan (gerechtigheit)

 Apabila dalam menegakkan hukum hanya


diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-
unsur lainnya dikorbankan (hukum kaku dan tidak
adil).
 Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi
dari ketiga unsur tersebut atau harus mendapat
perhatian secara proporsional (seimbang).
58
 Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena
dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Dalam hal ini, hukum bertugas menciptakan kepastian
hukum, demi tujuan adanya ketertiban masyarakat.
 Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakkan hukum, karena hukum adalah
untuk manusia, maka pelaksanaan atau penegakan hukum
harus memberi manfaat bagi masyarakat, dan bukan justru
menimbulkan keresahan di dalam masyarakat.
 Unsur ketiga adalah keadilan. Dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum harus adil, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap
orang dan menyamaratakan, sebaliknya keadilan bersifat
subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.

59
 Umumnya hukum itu dilihat hanya berupa peraturan-peraturan
dalam arti kaedah atau peraturan perundang-undangan,
apalagi bagi para praktisi hukum.
 Undang-Undang itu tidak sempurna, dan tidak mungkin UU
dapat mengatur segala kegiatan kehidupan
manusia/masyarakat.
(Tidak sempurna, tidak lengkap, tidak jelas dan bahkan
tidak/belum ada).
 Namun, dalam keadaan seperti apapun hukum harus
dilaksanakan/ditegakkan  oleh HAKIM
 Oleh karena UU itu tidak lengkap/tidak jelas, maka hakim
harus mencari hukumnya atau harus menemukan hukumnya. Ia
harus melakukan PENEMUAN HUKUM (rechtsvinding)
 Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan suatu
peristiwa penemuan hukum dan tidak sekedar hanya
penerapan hukum saja. 60
PENEMUAN HUKUM
 Proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas
hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.
 Hal ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi dari
suatu peraturan hukum yang bersifat umum dengan
menghubungkannya dengan peristiwa yang konkrit.
 Kalaupun UU itu jelas, tidak mungkin UU itu lengkap dan
tuntas. Tidak mungkin UU itu mengatur segala kegiatan
kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas, karena
kegiatan manusia itu tidak terbilang/terhingga banyaknya.
 Selain itu, UU adalah hasil karya manusia yang sangat
terbatas kemampuannya.
61
PENAFSIRAN/INTERPRETASI HUKUM

 Ketentuan UU tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada


suatu peristiwa.
 Untuk dapat menerapkan ketentuan UU yang kita ketahui berlaku Umum
dan Abstrak sifatnya, pada suatu peristiwa yang konkrit dan khusus, maka
ketentuan UU itu harus diberi arti, dijelaskan, atau ditafsirkan dan diarahkan
atau disesuaikan dengan peristiwanya, untuk kemudian baru diterapkan
pada peristiwanya.
 Jadi, Peristiwa Hukum nya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa
konkritnya, kemudian Undang-Undangnya ditafsirkan untuk dapat
diterapkan.
 Interpretasi/penafsiran, merupakan salah satu metode penemuan hukum
yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks UU agar
ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan pada suatu peristiwa tertentu.
 Metode interpretasi adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna dari
suatu UU.
 Menafsirkan UU, untuk menemukan hukumnya bukan hanya dilakukan oleh
hakim saja, tetapi juga oleh ilmuwan hukum , para justiable yang
mempunyai kepentingan dengan perkara dipengadilan (pengacara).

62
52
METODE-METODE INTERPRETASI HUKUM

a. Metode penafsiran hukum yang terdiri atas:


1. Penafsiran gramatikal

2. Penafsiran historis

3. Penafsiran sistematis

4. Penafsiran teleologis

b. Metode konstruksi hukum yang terdiri atas:


1. Penafsiran analogis

2. Penafsiran a contrario

3. Penghalusan hukum

63
53
A. Metode Penafsiran Hukum
1. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran berdasarkan pada bunyi Undang-Undang dengan pedoman pada arti
kata-kata dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai dalam
Undang-Undang.
Contoh: dipercayakan  diserahkan
menggelapkan  menghilangkan, mengambil
2. Penafsiran Historis
Makna UU dapat dijelaskan atau ditafsirkan dengan meneliti sejarah terjadinya
(asbabun nuzulnya). UU selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk
mengatur, yang dapat dijelaskan secara historis.
Interpretasi historis dibagi 2 macam:
a. penafsiran menurut sejarah UU  metode subyektif
b. penafsiran menurut sejarah hukum.
3. Penafsiran Sistematis
Penafsiran yang memperhatikan susunan kata-kata yang berhubungan dengan bunyi
pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu sendiri maupun UU lainnya. Jadi, tidak ada UU
yang berdiri sendiri terlepas dari keseluruhan sistem per-UU-an.
4. Penafsiran Teleologis (sosiologis)
penafsiran yang memperhatikan tentang tujuan UU itu, mengingat kebutuhan
masyarakat berubah menurut masa atau waktu, sedangkan bunyi UU tetap.
Konkritnya walaupun suatu UU tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, akan tetapi kelau
UU itu masih berlaku, maka tetap diterapkan terhadap kejadian atau peristiwa masa
kini.
64
B. Metode Konstruksi Hukum
1. Penafsiran Analogis
Penafsiran dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai
dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok
dengan peraturannya, dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu.
Contoh: istilah menyambung listrik dianggap sama dengan mengambil
listrik.
2. Penafsiran a contrario
Penafsiran atau menjelaskan UU yang didasarkan pada
perlawanan/kebalikan pengertian antar suatu peristiwa konkrit dengan
peristiwa yang diatur dalam UU. Adakalanya, suatu peristiwa tidak secara
khusus diatur oleh UU, tetapi kebalikannya diatur, amak peraturan itu
terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa diluarnya berlaku
kebalikannya.
3. Penghalusan hukum (rechtsverfijning)
Penafsiran dengan cara menyempitkan berlakunya ketentuan UU karena
jika tidak akan terjadi kerugian yang lebih besar.
Contoh: tentang perbuatan melawan hukum: penderita kerugian hanya
berhak menuntut ganti rugi sebagian saja, karena dia juga turut merugikan
diri sendiri.
65
Hubungan Hukum & Kekuasaan
 Hukum sebagai sarana untuk mengontrol
kekuasaan yang ada pada orang-orang.
 Hukum tidak hanya membatasi kekuasaan, tapi

ia juga menyalurkan dan memberikan


kekuasaan kepada orang-orang.
 Jadi, hukum merupakan “Sumber Kekuasaan”,
baik untuk orang, individu, Badan atau
kumpulan orang-orang dibidang kenegaraan.
66
APAKAH HUKUM ITU?

Jawaban tentang pertanyaaan tersebut


sangat tergantung pada metode yang
digunakan dalam melihat hukum itu! Yaitu:
1. Hukum In Abstracto

2. Hukum In Concreto

3. Hukum In Realita

67
1. Hukum In Abstracto
 Apakah kita mangartikan hukum itu hanya sebagai hukum menurut
pengertian sebagai atau diidentikkan dengan peraturan yang tertulis
dan dibuat oleh negara. Seperti: UU, PP, Perpu, dll (normatif).
 Dengan perkataan lain, hukum merupakan ketentuan-ketentuan yang
bersifat mengatur dalam arti bagaimana kita harus bertingkah laku.
Jadi, hukum disini sering diidentikkan dengan Hukum Positif. (bersifat
tertulis)
 Keberadaan hukum disini, terkadang sangat kurang dirasakan oleh
masyarakat, bahkan sering kurang menyentuh rasa keadilan
masyarakat.
 Hukum dirasakan hanya sebagai paksaan yang datang dari
penguasa/perintah semata. (berupa larangan-larangan)
 Pengertian hukum disini merupakan kaidah yang bersifat seharusnya (law
as ought to be). Sedangkan bagaimana hukum yang senyatanya kurang
di perhatikan.
 Hukum dalam pengertian ini bersifat: normatif, abstrak dan impersonal.

68
2. Hukum In Concreto
 Pengertian hukum disini adalah juga merupakan
ketentuan penguasa, tetapi dengan sifat yang
berbeda yaitu: bersifat konkrit, kasuistis dan
individual.
 Hukum in concreto ini merupakan perwujudan nyata

dari hukum in abstracto dalam penerapannya,


misalnya dalam bentuk: Keputusan Hakim dalam
proses peradilan.
 Secara tidak langsung hakim disini mendapat
kewenangan membentuk hukum dari aturan yang lebih
tinggi terhadap hal-hal konkret. (kasuistis)
69
3. Hukum In Realita
 Jika hukum in abstracto & concreto sulit dirasakan
keberadaannya oleh masyarakat, maka hukum dalam arti yang
hidup ini sangat dirasakan keberadaannya. Walaupun ia tida
tertulis atau tersistematisir dalam suatu Kodifikasi Hukum.
 Hukum in realita bukan dibentuk oleh kekuasaan, baik dalam
arti penguasa/negara atau yang lainnya.
 Tapi bersumber dari dalam jiwa manusia secara naluriah
dengan kesadaran dan kebenaran serta kepatuhan.
 Hukum disini merupakan penjelmaan nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat tersebut, yang membangun hukumnya sendiri.
 Walaupun sering dirasakan hukum disini tidak sesuai dengan
hukum dalam arti in abstracto atau kaidah tingkah laku yang
seharusnya.
70
HUKUM DAN KEKUASAAN
Hukum sebagai institusi sosial:
 Bekerjanya hukum tidak dapat dilepaskan/berkaitan erat dari

pelayanannya kepada masyarakat.


 Dengan perkataan lain, hukum bekerja tidak hanya menurut
ukuran dan pertimbangannya sendiri, melainkan dengan
ukuran dan pertimbangan tentang apa yang terbaik untuk
dilakukannya bagi masyarakat.
 Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya itu, hukum
membutuhkan suatu kekuatan Pendorong, berupa kekuasaan.
 Hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-

keinginan dan ide-ide saja.


71
 Walaupun hukum membutuhkan kekuasaan, namun hukum
juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu menunggangi
hukum.
 Pada dasarnya, bahwa kekuasaan dalam wujudnya yang
paling murni tidak dapat menerima pembatasan-
pembatasan.
 Sedang hukum, justru bekerjanya dengan cara
memberikan pembatasan-pembatasan berupa patokan
tingkah laku.
 Kekuasaan  diartikan sebagai, “suatu kemampuan
untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain”.
Konsep tentang kekuasaan, bahwa “dominasi dari
seseorang kepada atau terhadap orang lain, merupakan
cirinya yang utama”.
72
Hubungan Hukum dan Kekuasaan
 Hukum sebagai sarana untuk mengontrol
kekuasaan yang ada pada orang-orang.
 Hukum tidak hanya membatasi kekuasaan, tapi ia
juga menyalurkan dan memberikan kekuasaan
kepada orang-orang.
 Jadi, hukum merupakan “Sumber Kekuasaan”,
baik untuk orang, individu, Badan atau kumpulan
orang-orang dibidang kenegaraan.

73
BAHAN-BAHAN BACAAN FILSAFAT HUKUM

A. Buku Wajib:
a. Prof. Dardji Darmodiharjo, SH., Shidarta, SH.,M.Hum., Pokok-pokok
Filsafat Hukum, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
b. Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH., Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2000.
c. Prof. Purnadi Purbacaraka, SH., Prof. DR. Soerjono Soekanto, SH.,MA.,
Renungan tentang Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1987
d. Prof. DR. Sudikno Martokusumo, SH., dan Prof. MR. A. Pitlo, Bab-bab
tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1993.
e. JB Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Prenhallindo, Bandung.
f. Prof. MR. Roeslan Saleh, Diktat-diktat Filsafat Hukum I & II.

B. Buku Anjuran:
Semua buku-buku yang berkaitan dengan Filsafat Hukum.

74

Anda mungkin juga menyukai