Anda di halaman 1dari 304

RAJAWALI PERS

Divisi Buku Perguruan Tinggi


PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Bakhri, Syaiful
DINAMIKA HUKUM PEMBUKTIAN: Dalam Capaian Keadilan / Syaiful Bakhri
— Ed. 1—Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2017.
x, 294 hlm. 23 cm
Bibliografi: hlm. 285
ISBN 978-602-425-238-0

1. XXXXXXXXXXXXXX I. Judul
XXX. XX

Hak cipta 2017, pada Penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit

2017.XXXX RAJ
Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H.
Editor: Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H.
DINAMIKA HUKUM PEMBUKTIAN: Dalam Capaian Keadilan

Cetakan ke-1, Juli 2017


Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Desain cover octiviena@gmail.com
Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset

PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan
Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-601 18, Jl. Rungkut Harapan
Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang
Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan
Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence
Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14
Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-701 14, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam
Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I
RT 005 Kel. Tanjung Raya Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 082181950029.
KATA PENGANTAR

Hukum pembuktian sebagai hukum yang sangat teknis, mengatur


dengan sangat limitatif, dalam peraturan perundang-undangan, makna dari
pencarian keadilan di Pengadilan, maka berbagai isu tentang kejahatan, tidak
bermakna, tanpa bukti dan alat bukti sebagai daya dukung utama. Segala hal
yang berkaitan dengan hukum pembuktian, akan digunakan oleh hakim dalam
menyelesaikan sengketa, dengan seadil-adilnya.
Keadilan yang terus menerus diupayakan oleh umat manusia, selalu
berakhir di penghujung ilmu hukum pidana yakni, di hilirnya atau di lembaga
peradilan dalam kaidah hukum, tetapi kerapkali juga diberikan warna pada bagian
politik hukum, di parlemen, ketika menentukan berbagai rumusan kesalahan,
pertanggungjawaban, dan stelsel pemidanaan, dan segala perlindungan terhadap
korban kejahatan, dalam perspektif Hak Asasi Manusia, semua hal menyangkut
proses pencarian keadilan, selalu terjadi pergumulan antara pelaku dan korban
kejahatan, serta peran negara, dalam mempolakan agar keadilan dapat disentuh
secara nyata dan konkret. Keadilan bermakna pemuasan bagi para pihak dan
sebagai jalan terselenggaranya tujuan kehidupan sosial.
Keadilan adalah suatu isu yang mendalam dipersoalkan dalam ilmu
hukum, dari rentang sejarah mula mengenal hukum, hingga berbagai prinsip-
prinsip negara hukum modern, selalu dalam perkara konkret maupun abstrak
di berbagai peradilan, memerlukan pembuktin. Sehingga pembuktian sebagai
suatu ilmu, mengalami perkembangan yang sangat pesat, seirama dengan

v
denyut nadi kehidupan yang memerlukan hukum-hukum yang logis, nyata
dan dapat disentuh dalam perjuangan keadilan.
Buku ini, disusun, untuk suatu maksud sebagai buku ajar, yang dapat
dipergunakan oleh mahasiswa serta praktisi hukum, guna memahami dan
mendalami perkembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan
“Pembuktian”. Jalan panjang dalam perjuangan keadilan, yang menggambarkan

Y
pentingnya memahami makna pembuktian, dalam praktik Peradilan Pidana,
Peradilan Perdata, Peradilan Niaga, Arbitrasi, Peradilan Tata Usaha Negara
dan Peradilan Pajak. Termasuk Peradilan etika, serta Peradilan Mahkamah
Konstitusi sebagai peradilan politik.
Semoga buku ajar ini bermanfaat sebagai sumbangan keilmuan, dan terus

M
memberikan inspirasi bagi cendekiawan hukum lainnya, untuk berkarya.
Selamat membacanya.

Universitas Muhammadiyah Jakarta,

M
Juli, 2017

Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H.

U
D
vi Dinamika Hukum Pembuktian
DAFTAR ISI

PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii

BAGIAN PERTAMA
PROLOG 1
Jalan Panjang Perjuangan Keadilan 1

BAGIAN KEDUA
MEMBUKTIKAN DALAM RANAH PERADILAN PIDANA 15
A. Perkembangan Model Pembuktian 24
B. Pembuktian dan Perlindungan HAM 31
C. Problematika Asas Pembuktian 37
D. Makna Alat Alat Bukti Dan Makna Barang Barang Bukti 41
E. Pembuktian dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi 49
F. Pembuktian Dalam Peradilan Militer 65
G. Pembuktian Dalam Peradilan Perikanan 78
H. Pembuktian Dalam Pembaruan Acara Pidana 86
I. Pembuktian Pidana Dalam Hukum Islam 89
J. Pembuktian Dalam Hukum Pidana Adat 104

vii
BAGIAN KETIGA
JALAN BERLIKU PEMBUKTIAN PERADILAN
PERDATA & KEPAILITAN 111
A. Pergulatan Keadilan Dalam Hukum Perdata 113
B. Pembuktian Dalam Dinamika Hukum Perdata 119
C. Keyakinan Hakim dan Problematikanya 134

Y
D. Nilai Beban Pembuktian Hukum Perdata 137
E. Pembuktian Peradilan Niaga 141
F. Dinamika Pembuktian Peradilan HAKI 143
G. Prinsip Keadilan Dalam Kepailitan 149

M
H. Struktur Pembuktian Dalam Peradilan Arbitrasi 152
I. Dinamika Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial 156

BAGIAN KEEMPAT
BEBAN PEMBUKTIAN TATA USAHA NEGARA& PAJAK 169

M
A. Hukum Publik dan Peradilan TUN 170
B. Dinamika pembuktian 175
C. Asas Hukum Terkait Dalam Pembuktian 181
D. Karakter Aneka Putusan Hakim 187

U
E. Pembuktian Pada Peradilan Pajak 193

BAGIAN KELIMA
RAGAM PEMBUKTIAN PADA PERADILAN ETIK 201

D
A. Falsafah Etika 204
B. Berbagai Etika Profesi 206
C. Dinamika Etika Hukum 208
D. Dinamika Etika Kedokteran 223
E. Dinamika Etika Politik 229
F. Dinamika Etika di Penyelenggara Pemilu 238

viii Dinamika Hukum Pembuktian


BAGIAN KEENAM
PERADILAN POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI 249
A. Problematika Kewenangan Mengadili 251
B. Dinamika Pembuktian 255
C. Model Pembuktian Formal ke Progresif Beban 265

Y
D. Kecenderungan Keyakinan Hakim 268
E. Konsekuensi Politik Dari Putusan MK 274

BAGIAN KETUJUH
EPILOG 275

M
Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian 275

DAFTAR PUSTAKA 285


BIODATA PENULIS 293

M
U
D
Daftar Isi ix
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAGIAN PERTAMA

PROLOG

“Jalan Panjang Perjuangan Keadilan”


Perjuangan untuk mencapai dan mencari jejak-jejak keadilan, adalah
jalan yang mengasyikkan dan juga sekaligus mengecewakan. Karena itulah
sandaran atas adil dengan segala ornamennya, memerlukan perjuangan yang
abstrak dan tak tersentuh, tetapi dapat dirasakan. Keadilan sebagai tujuan
dari terbentuknya hukum. Hukum diadakan sebagai upaya untuk meraih
sebuah keadilan. Maka dapat dipahami telah terjadi jarak antara hukum dan
keadilan, hukum berjarak dengan keadilan, ketika manusia menggerakkan
hukum, karena esensi hukum tidak berisi keadilan, karena keadilan itu baru
akan dicapai atau dituju oleh hukum.
Oleh karena itu, kendaraan mencapai tujuan, dapat saja tidak pada
tujuannya yaitu keadilan, maka logis jika dikatakan, bahwa hukum tidak pernah
adil, karena kendaraan tidak pernah sampai pada tujuannya. Hukum ketika
bergerak dan menuju keadilan sebagai salah satu tujuannya tidak berisi apa
pun. Bebas dengan segala substansinya, sehingga kehendak mengisi esensi
hukum akan bergantung dari idea dan cita para pelaku hukum. Keadilan
bukanlah tujuan dari hukum. Hukum tidak hendak menuju keadilan, jika
hukum hendak menuju keadilan, berarti hukum tidak bernuansa keadilan,
karena masih hendak ditujunya.1

1
Fokky Fuad Wasitaatmadja. Filsafat Hukum Akar Religiositas Hukum, (Jakarta: Prenada
Media Grouf, 2015), hlm. 47.

1
Kenyataan dalam perjuangan keadilan masih memilukan, karena itu studi
hukum dan keadilan dalam praktik, bergantung pada pemahaman mengenai
“pembuktian” dalam ranah berbagai peradilan, selanjutnya menjadi bukti
juga, bahwa keadilan ternyata mesti diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, adalah tiga terminologi
yang sering dilantunkan di ruang-ruang kuliah dan kamar-kamar peradilan,

Y
namun belum tentu dipahami hakikatnya atau disepakati maknanya. Keadilan
dan kepastian hukum misalanya, sekilas dua terma itu berseberangan, tetapi
boleh jadi tidak demikian. Kata keadilan dapat menjadi terma analog, sehingga
tersaji istilah keadilan prosedural, keadilan legalis, keadilan komulatif,
keadilan distributif, keadilan indikatif, keadilan kreatif, keadilan substantif,

M
dan sebagainya. Keadilan prosedural, salah satu indikatornya dari tipe hukum
otonom, ternyata telah dicermati bermuara pada kepastian hukum demi
tegaknya the rule of law, sehingga dalam konteks ini keadilan dan kepastian
hukum tidak berseberangan melainkan justru bersandingan.2
Secara ideal yang dipelajari secara serius dalam studi hukum, adalah

M
bagaimana “keadilan” sebagai suatu tertib sosial, sebagai bagian yang tidak
terpisahkan, bahwa keadilan mesti dirasakan dalam denyut nadi kehidupan
masyarakat, sekaligus juga orde tertib “kepastian hukum”, dengan pangkal
tolak pada keharusan aturan-aturan dalam kehidupan sosial ditaati. Maka

U
akan tercapai cita-cita, bahwa hukum mempunyai manfaat untuk mencapai
tujuan sosial, yakni kebahagiaan untuk sebanyak-banyaknya bagi kehidupan
umat manusia.
Tentang keadilan, adalah sebuah refleksi setiap orang di dunia ini, dan

D
dituntun selalu berpikir, agar tidak mengabaikan tanggung jawab kepada orang
lain. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang
tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian dan kemanfaatan. Idealnya, hukum
memang harus mengakomodasi ketiganya. Putusan hakim, sedapat mungkin
merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang
berpendapat, di antara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan
yang paling penting, bahkan merupakan tujuan hukum satu-satunya. Dalam
cita hukum, keadilan merupakan pergulatan kemanusiaan yang berevolusi

2
Sidharta. Putusan Hakim; Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan. Dalam
Reformasi Peradilan dan Tanggungjawab Negara, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2010), hlm. 3.

2 Dinamika Hukum Pembuktian


mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti,
dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi. Manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang terdiri atas roh dan jasad memiliki
daya rasa dan daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani, di mana
rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal, agar
berjalan di atas nilai-nilai moral, seperti kebaikan dan keburukan, karena yang

Y
dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.3
Rasa keadilan hanya didapati, pada tingkat keluhuran budi pekerti, dan
perasaan yang mendalam, maka keadilan bergumul di wilayah moral dan etika,
bahkan rasa seni yang mendalam. Pada akhirnya rasa keadilan semula dipahami
suatu yang abstrak, tetapi dapat disentuh dan dirasakan kebahagiaannya.

M
Keadilan sebagai kesetaraan, menyediakan pandangan yang jelas berbeda
dari kaum utilitarian. Prinsip-prinsip keadilan diperoleh bukan dengan
mengevaluasi kemanfaatan dan tindakan-tindakan atau kecenderungan
tindakan, melainkan dari pilihan rasional di dalam kondisi yang adil. Prinsip-
prinsip tersebut dilekatkan pada struktur dasar masyarakat, bukannya setiap

M
tindakan atau setiap tingkatan di mana keadilan dipersoalkan.4
Posisi keadilan di antara hukum dan moral, adalah suatu kesatuan yang
utuh tidak dibagi-bagi, dan saling melengkapi, maka keadilan adalah ujud dari
kebenaran moral yang hidup dalam relung-relung masyarakatnya. Hukum dan

U
keadilan dapat diturunkan menjadi kaidah-kaidah normatif, yang mengatur
kebaikan dan keburukan dengan segala risikonya.
Hukum sebagai suatu perangkat norma-norma, yang benar dan yang
salah, yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang dituangkan

D
baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan, serta dengan ancaman sanksi
bagi pelanggar aturan itu. Sehingga hukum bukanlah hanya undang-undang,
tidak harus diciptakan oleh pemerintah, tetapi cukup diakui, meliputi pula
perkembangan dari konvensi-konvensi internasional.5

3
Shidarta. Filsafat Hukum, Refleksi Kristis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam
Dimensi Ide dan Aplikasi), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 291.
4
Karen Lebacqz. Teori-Teori Keadilan. Penerjemah Yudi Santoso, (Bandung: Nusa Media,
1986), hlm. 61.
5
Akhmad Ali. Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang
Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 1-2.

Bagian Pertama — Prolog 3


Hukum sebagai keseluruhan ketentutan-ketentuan kehidupan yang
bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam
masyarakat. Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang
berlaku dalam suatu negara dan terdiri dari norma-norma bagaimana orang
harus berperilaku.
Selanjutnya hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku

Y
orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan
dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam
masyarakat itu, serta hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis
dan tidak tertulis yang bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam
masyarakat negara serta antar negara.6

M
Pengertian hukum beraneka ragam disampaikan oleh para ahli. Tetapi
hukum dengan segala aktivitasnya telah lama memasuki ruang kehidupan
sosial, dalam masyarakatnya di manapun di dunia ini. Kehadiran hukum
dalam ruang sosial berlangsung terus-menerus. Hukum sebagai sistem formal
modern, dirancang bangun secara sentral nasional, hadir dalam budaya lokal,

M
yang informal khas lokal.7
Hukum mengatur segala aktivitas makhluk hidup, dengan hubungan
antar pribadi, masyarakat dan negara, dan bahkan dengan segenap alam,
dengan segala ekosistemnya. Hukum terus berputar dan seirama dengan

U
hukum-hukum alam, yang selalu berubah dan saling menyesuaikan, terkadang
tersusun dalam kaidah-kaidah formal, tetapi kerapkali tersususn dalam kaidah
moral yang berserakan mengatur order kepatutan-kepatutan.
Hukum yang telah dikodifikasi dan unifikasi, dimaksudkan, untuk

D
lebih memudahkan, penerapannya, walaupun hukum tidak tertulis menjadi
perhatian, karena juga telah mencerminkan keadilan pada masyarakatnya.
Pekikan yang paling lantang, terjadi di abad ini, adalah seruan keadilan, dan
tidak ada hujatan yang lebih sering terlontar daripada teriakan, Ketidak-
adilan. Ungkapan-ungkapan moral modern, harus dipahami sebagai rangkaian
fragmen-fragmen pergulatan hidup masa lalu, memang masih bertahan,

6
Teguh Prasetyo, dan Abdul Halim Barakatullah. Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2016), hlm. 13.
7
Bernard L. Tanya. Hukum Dalam Ruang Sosial, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010),
hlm. 1-2.

4 Dinamika Hukum Pembuktian


namun tidak ada perekat sosial yang sanggup memberinya kekuatan.
Sayangnya jeritan keadilan dan hujatan ketidakadilan muncul di dalam
serpihan-serpihan tersebut.8
Hukum yang sejatinya mengatur dan melibatkan manusia, maka selalu
terjadi penyesuaian, dalam upaya-upaya terciptanya harmonisasi kehidupan,
yang hendak diujudkan oleh keagungann sifat-sifat hukum itu.

Y
Keterlibatan manusia itu menyebabkan bahwa berhukum itu tidak
mengeja teks, melainkan penuh dengan kreativitas dan pilihan-pilihan. Dalam
proses pembuatan putusan-putusan hukum selalu terjadi suatu lompatan
(een sprong) dan oleh karena itu bersifat non-linier. Dengan demikian, hukum
bukan suatu proses logis semata. Seorang hakim misalnya, akan memutus

M
berdasarkan keadaan (the felt necessities of the time), kendatipun bertolak dari
teks hukum. Keterlibatan manusia secara aktif juga berarti melibatkan empati,
nilai-nilai, keberanian, dan lain-lain. Dengan demikian, maka berhukum tidak
dilakukan dengan mengutak-atik teks undang-undang dan menggunakan
logika, melainkan dengan akal sehat dan rohani. Bukan dengan logos (logika),

M
melainkan holos (wholeness) atau seluruh potensi yang ada pada manusia. Dalam
gagasan hukum progresif itulah, maka hukum itu adalah untuk manusia,
bukan sebaliknya. Oleh karena itu, kendatipun berhukum itu dimulai dari
teks, tetapi selanjutnya pekerjaan berhukum itu diambil-alih oleh manusia.

U
Artinya, manusia itulah yang akan mencari makna lebih dalam dari teks-
teks undang-undang dan kemudian membuat putusan. Berhukum secara
progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum.
Kalau dikatakan, bahwa menjalankan hukum itu adalah menciptakan keadilan
dalam masyarakat, maka berhukum itu adalah upaya untuk mewujudkan

D
keadilan tersebut. Berhukum dengan teks semata tidak otomatis menciptakan
keadilan. Oleh karena itu, orang membedakan antara “keadilan menurut teks”,
dan keadilan sebenarnya. Keadilan itu, memang ada dalam undang-undang,
tetapi masih harus ditemukan. Dengan demikian, maka berhukum itu tidak
persis sama dengan menerapkan undang-undang, melainkan suatu usaha
untuk memunculkan keadilan yang tersimpan di dalamnya. Itulah makna
menguji batas kemampuan hukum. Para hakim bukanlah legislator, karena
tugasnya adalah melakukan ajudikasi atau memeriksa dan mengadili. Tugas
membuat undang-undang itu ada dalam ranah legislasi. Kendatipun demikian

8
Karen Lebacqz. Teori-Teori Keadilan, Op.Cit., hlm. 1.

Bagian Pertama — Prolog 5


pada akhirnya hakim memang harus memutus berdasarkan hukum, tetapi
sesungguhnya hakim tidak hanya mengeja teks undang-undang, melainkan
memutuskan apa yang tersimpan dalam teks tersebut. Memutuskan hukum
itu tidak dilakukan dengan membaca teks, melainkan menggali moral di
belakangnya.9
Posisi moral, dalam makna hukum, sangatlah mendalam, dan terus akan

Y
selalu bergandengan dengan keadilan, disebabkan butir-butir keadilan adalah
landasan moral, yang tersebar dalam kaidah-kaidah filosofis moral yang tidak
pernah kering, dan terus membasahi kehidupan sosial.
Hukum bukanlah sesuatu yang dipilih dan dipertimbangkan, sebelum
dianut oleh negara, tetapi sistem itu, ikut berevolusi bersama dengan

M
masyarakat negara itu. Dalam sistem hukum yang dianut oleh suatu negara,
terutama negara-negara bekas jajahan, sering terdapat beberapa hal yang
kurang sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai tradisional masyarakat
setempat. Setiap negara dalam praktiknya mengembangkan sistem peradilan
pidananya sendiri-sendiri, yang ditentukan oleh perkembangan kepercayaan,

M
agama, kebiasaan, budaya dan tradisi, pengalaman sejarah bangsa tersebut,
struktur ekonomi dan organisasi politik negara tersebut.10
Maka kaidah-kaidah dan sistem kemasyarakatan, dalam suatu kebiasaan
suatu masyarakat asli dari bangsa itu, selalu hidup, walaupun pernah tergerus

U
oleh kaidah-kaidah hukum asing, karena kolonialisasi berabad-abad lamanya,
tetapi hukum asli tetap masih dirindukan.
Hukum, selalu berkaitan erat dengan kepastian dan keadilan, sebagai
dua poros yang saling berlawanan, bahkan saling melengkapi, dari berbagai

D
sudut pandang. Biasanya perlawanan keduanya, dipahami dalam pergulatan
dengan kekuasaan, terlebih kekuasaan yang absolut di bidang ketatanegaraan.
Perkembangan yang paling dahsyat, pada setiap negara hukum, maka
terselenggaranya kekuasaan, yang berkaitan erat dengan kedaulatan hukum
atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Maknanya hukum sebagai
pemandu, pengendali, pengontrol dan pengatur dari segala aktivitas berbangsa

Satjipto Rahardjo. Kata Pengantar Dalam, Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti,
9

Memahami Hukum, Dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,


2012), hlm. 4.
10
O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka Terdakwa dan Terpidana,
(Bandung: Alumni, 2006), hlm. 3.

6 Dinamika Hukum Pembuktian


dan bernegara. Prinsip pembagian kekuasaan yang penting dari ciri negara
hukum, yakni, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Adanya
peradilan tata usaha negara, dan peradilan tata negara. Perlindungan HAM,
Demokrasi, Negara Kesejahteraan, Transparansi dan kontrol sosial.11
Doktrin universal hak-hak asasi manusia, adalah suatu jalan tengah, guna
memantapkan praktik hukum yang masih tidak berkepastian dan berkeadilan,

Y
maka instrumen HAM Internasional adalah jalan tengah yang menjawab, suatu
keharusan berhukum untuk masyarakat yang beradab.
Negara-negara yang baru lepas dari kekuasaan otoritarian, selalu
dihadapkan pada tuntutan penyelesaian masalah-masalah politik, hukum dan
hak asasi manusia dalam negeri yang kompleks, warisan rezim otoritarian

M
itu. Pada aspek hukum didesakan agenda pembaruan sistem hukum, atau
paling tidak penegakan hukum menuju tegaknya supremasi hukum, dan pada
hak-hak asasi manusia, muncul tekanan untuk menegakkan, penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan HAM.12

M
Percampuran antara norma hukum, selalu dimuat prinsip-prinsip HAM
Universal dan lokal, agar menjadi fondasi utama dalam negara hukum modern,
dengan keyakinannya, diatur secara lugas dan tegas dalam suatu konstitusi
berbagai negara di dunia.
Hukum dan HAM, merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan,

U
keduanya seperti dua sisi mata uang. Apabila suatu bangunan hukum dibangun
tanpa memperhatikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dalam HAM,
maka hukum tersebut dapat menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan
kekuasaannya (abuse of power). Sebaliknya apabila HAM dibangun tanpa

D
didasarkan pada suatu komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut akan
rapuh dan mudah untuk disimpangi.13

11
Syaiful Bakhri. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Total
Media, bekerja sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta,
2009), hlm. 1.
12
Suparman Marzuki. Tragedi Politik Hukum dan HAM, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), hlm. 1.
13
Ahmad M. Ramli. Perkembangan Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia. Dalam
Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan Masyarakat Indonesia
Kapita Selekta Hukum. Tim Penulis Pakar Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung:
Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 224.

Bagian Pertama — Prolog 7


Tindakan yang sewenang-wenang dalam praktik peradilan, pada umumnya,
adalah berkaitan dengan penggunaan alat-alat bukti, dan masalah penerapan
beban pembuktian dalam hukum acaranya. Masih terdapat pelanggaran hak
asasi manusia. Ilmu hukum, pada dasawarsa sekarang ini, telah terkonsentrasi
pada peradilan. Karenanya kecenderungan memahami lika-liku peradilan,
dengan segala aktivitasnya, menarik untuk dikaji, ditelaah, guna mendapatkan

Y
kedalaman makna yang terkandung dalam segala proses peradilan.
Hukum semestinya harus ditegakkan, untuk mencapai kepastian dan
keadilan. Sebagai dua pasangan dalam perjuangan hukum. Adanya keharusan
keseimbangan pasangan antara kepastian dan keadilan, mendekatkan keadilan
dalam masyarakat, yang pencahariannya terjadi setiap waktu, tempat dan di

M
seluruh pelosok dunia. Beban pembuktian merupakan suatu titik sentral, di
lapangan hukum acara, bahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.14
Penegakan hukum diselenggarakan dalam suatu proses peradilan yang
didasarkan pada prinsip-prinsip beracara di pengadilan. Prinsip-prinsip
dimaksud memuat ketentuan yang bersifat meta norma atau asa (principle)

M
yang harus dipedomani oleh setiap yuris dalam proses peradilan. Prinsip fair
trial atau peradilan yang wajar (berimbang, adil dan konsekuen) merupakan
salah satu prinsip dasar dan paling umum dalam praktik peradilan di seluruh
dunia. Prinsip tersebut terejawantah dalam sistem hukum setiap negara yang

U
mengedepankan terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
pada setiap proses peradilan yang diselenggarakan.
Fire trial,15 atau peradilan yang wajar (adil dan berimbang) merupakan
proses peradilan di mana para pihak didengarkan oleh hakim secara berimbang,

D
tidak ada keberpihakan hakim baik dalam sikap, tutur kata, maupun perlakuan
dalam persidangan. Prinsip fair trial mengedepankan pengungkapan kebenaran
akan fakta secara konprehensif dan masif, sebelum suatu putusan dijatuhkan.
Karenanya aksentuasi utama dalam prinsip ini adalah bagaimana hakim
bersikap, bagaimana hakim mengungkap fakta secara konprehensif dan masif,
serta bagaimana hakim mengambil suatu kesimpulan yang tepat berdasarkan

14
Otje Salman dan Anthon F. Susanto. Tinjauan Filsafat Hukum Tentang Penegakan
Hukum Di Indonesia. Dalam Kapita Selekta Hukum Tim Penulis Pakar Hukum Universitas
Padjadjaran, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 15-16.
15
“a hearing by an impartial and disinterested tribula; a proceeding which hears befor it condemns,
which proceeds upon inquiry and renders judgment only after trial”.

8 Dinamika Hukum Pembuktian


atas fakta-fakta tersebut. Muaranya adalah putusan yang mencerminkan
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Fair trail pada dasarnya
merupakan prinsip yang telah dianut, dan telah dikooptasi di hampir seluruh
negara di dunia yang berkiblat pada konsep rule of law. Negara dengan rule of
law sebagai patronasenya menempatkan hukum sebagai “pengatur” terhadap
sekalian dimensi kenegaraan.16

Y
Dalam pandangan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hakim senantiasa
ditempatkan pada posisi sentral dalam penegakan hukum. Seolah-olah adil
tidak adil, baik buruk, lancar-tidak lancar penegakan hukumnya, semuanya
bersumber pada hakim. Sehingga secara manusiawi kedudukan dan tanggung
jawab semacam itu sungguh berat. Dalam rangka menjamin tercapainya hakim

M
yang sentral dan maha penting itu, maka diperlukan berbagai kondisi dan
persyaratan yang harus ada pada atau melekat atau dilekatkan pada hakim,
seperti jaminan kebebasan hakim, kedudukan hukum dan syarat-syarat
pengetahuan yang perlu dimiliki oleh hakim.17
Hakim adalah ahli hukum yang terpilih, yang mewakili dirinya serta di

M
bawah kendali administrasi dan segala pembinaannya oleh Mahkamah Agung.
Ikatan moral sangat melekat, pada dirinya, selain itu, berfungsi pula untuk
mengisi dan memperbaiki undang-undang, yang dibuat, untuk waktu tertentu,
dan diuji oleh zamannya. Juga menengok pada ketentuan-ketentuan yang tidak

U
tertulis, guna mendapatkan makna hukum dan keadilan, yang berdiri tegak,
di atas kepastian hukum. Karenanya polemik keadilan harus dirasakan oleh
hakim, melalui hati nurani yang adil, jujur, bersih, dan putusannya melampaui
eranya. Dapat dirasakan dan dikenang sepanjang sejarahnya. Menjadi rujukan
dalam kajian generasi hukum akan datang. Serta tidak menafikan pembuktian

D
yang rasional, yang diyakini kebenarannya.
Tugas hakim adalah memberi keputusan, dalam setiap perkara atau konflik
yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum,
nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau
konflik, secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku. Maka hakim harus

16
M. Natsir Asnawi. Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan
Umum dan Peradilan Agama, (Yogtakarta: UII Press, 2016), hlm. 2.
17
Bagir Manan dan Kuntara Maqnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.
(Bandung: Alumni, 1997), hlm. 37-38.

Bagian Pertama — Prolog 9


selalu mandiri dan bebas dari segala pengaruh pihak manapun, terutama dalam
mengambil suatu keputusan. 18
Pada praktik hukum. Hakim memainkan peranannya sebagai penyeimbang
dalam menegakkan prinsip kebenaran formiil maupun materiil. Melalui suatu
keyakinannya, dengan pembuktian sebagai sandaran utamanya. Masalah
yang paling menonjol dalam praktik peradilan, adalah munculnya beberapa

Y
peradilan khusus. Hal demikian terjadi, karena perkembangan masyarakat yang
sedemikian pesat. Sehingga seluruh persoalan yang timbul dalam masyarakat,
selalu bermuara dalam sidang pengadilan. Kesadaran ini membuktikan bahwa
kesadaran untuk beracara di muka pengadilan, bukan lagi sesuatu yang baru,
dan sebaliknya masalah pro dan kontra, perlu dan tidak perlunya peradilan

M
tidak lagi ada sentuhan signifikasinya di dalam tata dunia abad-21. Jika dapat
dikatakan, bahwa masyarakat dunia saat ini, telah terjebak dalam kejenuhan,
untuk saling bersengketa dihadapan pengadilan, yang ditenggarai juga adanya
judicial corruption dan miscarriage of justice. Dalam praktik peradilan sehari-
hari, pada beberapa kasus perkara pidana tertentu, tampaknya lambang dewi

M
keadilan berubah menjadi srigala berbulu domba, sehingga pedangnya yang
seharusnya di bawah ditempatkan di atas, dan timbangan yang seharusnya
seimbang tampak berat sebelah.19
Pada posisi praktik peradilan itu, maka perlu memahami makna dari

U
“pembuktian”. Makna dari prinsip-prinsip penbuktian, serta ketentuan-
ketentuan pengaturan berbagai filosofis yang meneranginya, sehingga
sebagai tujuan mulia peradilan untuk mencapai keadilan, dapat tercermin,
sehingga peradilan bukanlah suatu model sistem ban berjalan, layaknya suatu
industri, tetapi pertaruhan kecerdasan dengan memaknai sistem dan makna

D
“pembuktian”. Maka negara hukum akan tercapai dengan sebaiknya, dan terus
memberikan andil kebahagiaan di tengah-tengah nadi kehidupan masyarakat.
Orang yang baik dan mencintai negaranya, adalah orang yang selalu
berani berdiri di barisan terdepan dalam menegakkan dan menghadapi hukum
laksana ksatria yang bertarung di bawah kilauan cahaya tembaga, sejelek dan
seburuk apa pun bentuk dan bunyi dari hukum itu. Sebaliknya, ketika kita

18
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.
19
Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media
Grouf, 2010), hlm. viii-ix.

10 Dinamika Hukum Pembuktian


berlaku seperti seorang pengecut yang bersembunyi di bawah meja dan ketiak
ayahnya, untuk menghindar dari hukum, maka ia bukanlah orang yang baik
dan mencintai negaranya, dan ia, dengan demikian bukanlah seorang ksatria,
melainkan seorang pengkhianat. Perilaku bersembunyi dan melarikan diri dari
hukum merupakan sikap yang tidak terpuji atau tidak bijaksana, karena setiap
orang dapat mengetahui, menegakkan atau menghadapi hukum itu tidak selalu

Y
membuat kita menjadi orang yang lebih buruk. Menegakkan hukum, sama
halnya dengan bertempur di medan perang, membela dan mengharumkan
nama bangsa. Karenanya, jadilah seorang prajurit sejati bagi tumpah-darah
tercinta, dan bertahanlah pada posisi itu, sebagaimana kita telah menerimanya
dari Ibu Pertiwi untuk mengerjakan itu. Di sini, kita tidak seharusnya

M
memperlakukan hidup kita dalam kondisi seolah-olah kita adalah kubu yang
tengah dalam gencatan senjata, sambil tidur-tiduran dan menspekulasikan apa
yang akan terjadi nantinya, seperti yang selalu mereka kerjakan sebelumnya.
Saat ini, Ibu Pertiwi meminta kita semua untuk menuntaskan misi praktikal,
ini, memburu dan menuntaskan para penjahat, atas apa pun yang mereka

M
telah curi dan sembunyikan dari perempuan Olympus itu. 20
Tentang penegakan hukum di sini adalah melihat hakim sebagai manusia
yang akan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim
dalam kaitannya dengan penegakan hukum ini adalah dua hal yang saling

U
berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan yaitu “Hukum dan Keadilan”.
Apabila hukum/undang-undang secara sadar atau sengaja mengingkari
keadilan, misalnya secara seenaknya dan tidak menentu kepada manusia
tetapi sekaligus juga menolak hak-hak asasinya, maka undang-undang yang
demikian itu kehilangan kekuatan berlaku mengingatnya, karena itu pula

D
rakyat tidak wajib menaatinya. Oleh karena itu, pula maka para ahli/penegak
hukum haruslah memiliki keberanian untuk menolak dan menyangkal dan
tidak mengakui sifat hukum dari undang-undang tersebut.
Tugas hakim dalam penegakan hukum akan sangat berkait erat dengan
persoalan filsafat hukum. Oleh karena itu, tugas hakim secara konkret adalah
mengadili perkara, yang pada dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan
penafsiran terhadap realitas, yang sering disebut sebagai penemuan hukum.
Apabila dilihat lebih jauh secara filsafat hukum maka penemuan hukum

20
Herman Bakir. Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan, (Bandung: Refika
Aditama, 2007), hlm. 357.

Bagian Pertama — Prolog 11


dapatlah digambarkan sebagai berikut: Apakah penemuan hukum hanya
sekadar penerapan hukum semata, yakni memasukkan atau mensubmisi
fakta posita (premis minor) ke dalam peraturan/undang-undang (premis
mayor) secara silogisme formal, sebagaimana positivisme hukum, karena
didasari pandangan bahwa undang-undang sudah lengkap, dan sempurna
untuk setiap persoalan yuridis. Apakah penerapan hukum yang didasarkan

Y
kepada anggapan bahwa undang-undang itu belum lengkap dan sempurna,
akan tetapi undang-undang itu dipandang memiliki ekspansi logis atau
jangkauan melebar menurut logika (logishceexpansionskraft), sebagaimana
diajarkan Begriffsjurisprudenz dan Konstruktionsjurisprudenz. Apakah penemuan
hukum itu, hanya menempatkan undang-undang sebagai posisi sekunder, dan

M
sebagai kompas dan jiwa dan aspirasi rakyat hukum kebiasaan, digunakan
sebagai sumber hukum yang utama, sebagaimana dilakukan oleh aliran
Interessenjurisprudenz atau aliran sejarah hukum atau sosiologis.21
Hukum pembuktian sebagai titik sentral dari pencarian keadilan, maka
sangat diperlukan memahami dan mengerti cara-cara perjuangan keadilan

M
atas pandangan hukum, baik dalam kerangka hukum publik maupun hukum
privat. Cara berhukum yang sudah dipositifkan dalam bentuk perundang-
undangan, adalah upaya untuk menjamin kepastian, tetapi hakim sebagai
bagian penting dalam pergulatan keadilan di pengadilan, mempunyai

U
kebijaksanaan dan melihat persengketaan dan pergulatan hukum di
berbagai tingkat pengadilan dengan perasaan hukumnya sendiri-sendiri
dan sangat otonom, artinya tanpa intervensi dari kekuasaan manapun,
yang mengitarinya. Maka kekuasaan untuk menjatuhkan putusan, mesti
memuat kaidah-kaidah adil dan bermanfaat untuk kemanusiaan dan

D
bahkan peradaban bagi suatu bangsa. Bangsa yang beradab adalah bangsa,
yang menghormati dan melaksanakan hukum dan keadilan sebagai bagian
utama, sehingga masyarakatnya merasakan denyut keadilan, dan terpelihara
perikeadilan bersama bagi suatu bangsa yang beradab tersebut. Keadilan
sosial adalah cita-cita bersama yang mesti diujudkan.
Karena itulah dalam berbagai perkara konkret di pengadilan, maupun
perkara abstrak di Mahkamah Konstitusi. Pembuktian menjadi pusat
perhatian, dan juga sekaligus pusat perhatian, apakah hakim menggunakan

21
Lili Rasjidi et. all, Kapita Selekta Hukum, Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring
Perkembangan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), hlm. 15-16.

12 Dinamika Hukum Pembuktian


logika doktrin, ataukah, mengesampingkan segala bukti bukti dengan segala
pengaruh-pengaruh dari kekuatan-kekuatan lain, dalam memanipulasi
pembuktian dan hukum, sehingga keadilan tidak tercapai sesuai dengan
koridor dan tujuannya. Karena itu perlu memotret keadaan pencarian
pembuktian dalam beberapa peradilan, guna memahami lebih jauh tentang
perjuangan capaian keadilan, yang selalu berliku dan penuh dengan tantangan.

Y
Tantangan-tantangan itu meliputi kegelisahan para cendekiawan hukum di
berbagai fakultas hukum, dan bahkan dalam tataran praktik hukum.

M
M
U
D
Bagian Pertama — Prolog 13
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAGIAN KEDUA

MEMBUKTIKAN DALAM
RANAH PERADILAN PIDANA

Setiap perkara pidana, selalu memerlukan pembuktian, dan segala


pembuktian itu juga mesti terukur dengan jelas, terutama bagaimana caranya
mendapatkan alat bukti dan barang bukti, guna meyakinkan peradilan. Dalam
proses itulah dikenal suatu proses hukum acara pidana, dengan keterlibatan
sistem peradilan pidana, yang terpadu, dalam melaksanakan prinsip-prinsip
pemidanaan, atas segala kejahatan yang terjadi. Karenanya sangat terkait antara
peradilan pidana dengan proses mengadili, sebagai pergulatan pembuktian
di pengadilan.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, masih menganut konsep bahwa
perkara pidana adalah merupakan “sengketa” antara individu dengan
masyarakat, dan sengketa itu akan diselesaikan oleh negara, sebagai wakil
dari masyarakat. Sekalipun HIR telah digantikan oleh KUHAP tetapi konsep
itu tetap belum berubah. Sengketa itu, berhubungan dengan salah satu, atau
beberapa substansi dari pasal-pasal yang sudah diatur dan diancam dengan
hukuman, dalam hukum pidana materiil yang saat ini ditentukan dalam KUHP
dan di luar KUHP. Individu yang terlibat dalam sengketa itu yakni, sebagai
subjek hukum disebut “tersangka” atau “terdakwa”. Status sebagai tersangka
menurut hukum acara pidana ditetapkan penyidik setelah ditemukan “bukti
permulaan yang cukup” untuk menduga bahwa perbuatan individu itu, telah
memenuhi unsur delik dari satu atau beberapa pasal dalam hukum pidana,
sehingga ditetapkan oleh penyidik sebagai “Tersangka”. Sementara, aparatur
pemerintah yang berwenang mewakili publik dalam menyelesaikan perkara

15
pidana ini, ialah penyidik dan penutut umum serta kemudian oleh hakim.
Dalam penyelesaian “sengketa” dianut suatu konsep, bahwa negara akan selalu
berbuat baik, bagi warga negaranya termasuk para pencari keadilan dalam
perkara pidana. Konsep ini agaknya masih pengaruh dari paham theokrasi
dalam abad pertengahan, yang dalam perkembangannya sudah ditinggalkan.
Namun konsep itu tanpa disadari masih dipertahankan, dalam sistem peradilan

Y
pidana yang ada saat ini.1
Sistem peradilan pidana di dunia, adalah suatu cerminan bagi budaya
masyarakatnya, untuk mencapai keadilan, dan terus-menerus menyesuaikan
diri, dengan keadaan-keadaan masyarakat, maka beberapa ciri khas dari
sistem peradilan yang berlaku di dunia, adalah suatu percampuran dari sisi-

M
sisi khasnya masing-masing. Tetapi selalu berupaya untuk mendekatkan
dan mempermudah capaian keadilan masyarakat. Melalui cara-cara yang
berperikemanusiaan dan berkeadilan, yang tunduk dan patuh pada kaidah-
kaidah pembuktian.
Adapun ciri khas sistem peradilan pidana, yakni interface, dimaksudkan

M
sebagai sistem pidana yang saling berhadapan, dengan lingkungannya,
karena sistem ini sejatinya tidak pernah bisa dipisahkan, dan sangat besar
pengaruh lingkungan masyarakat dan segala bidang-bidang kehidupannya,
terhadap keberhasilan pencapaian, meliputi interaksi, interkoneksi dan

U
interdependensi.2
Pembuktian mempunyai dua arti, yakni dalam arti luas, bahwa pem­
buktian itu membenarkan hubungan hukum. Membuktikan dalam arti luas,
berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.

D
Selanjutnya dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan, apabila hal yang
dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat, sementara hal itu
tidak dibantah, maka tidak perlu dibuktikan. Maka membuktikan mempunyai
makna logis, yakni memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku
bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Sedangkan
pembuktian konvensional, yaitu memberikan kepastian yang bersifat nisbi

1
Luhut M. P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan,
(Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2014), hlm. 19.
2
Interaksi, yakni dengan bekerjanya SPP dalam menyelesaikan kejahatan di masyarakat.
Sedangkan interkoneksi, karena berbagai urusan pribadi, mengharuskan berhubungan
dengan SPP, Interdependensi, menunjukkan bahwa SPP dalam menjalankan aktivitasnya
tergantung pada apa yang terjadi pada lingkungannya.

16 Dinamika Hukum Pembuktian


atau relatif, atau memberikan kepastian didasarkan atas perasaan belaka,
atau kepastian yang bersifat intuitif yang biasa disebut “conviction in time”,
dan kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal yang biasa disebut
“conviction in raisonee”. Pembuktian dalam arti yuridis, yakni memberikan dasar-
dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.3

Y
Pembuktian selalu menjadi perhatian dalam sistem peradilan pidana
di manapun, pada masyarakat manapun, tetapi ketidaktaatan asas-asas
fundamental, selalu menjadi pintu masuk, agar keadilan tidak digunakan
dalam memutuskan perkara dengan cara-cara yang adil dan beradab, dan pada
posisi itulah, pentingnya memahami tentang perjuangan penegakan hukum

M
melalui beban-beban pembuktian dengan baik dan terukur secara terang dan
jelas. Dalam memenuhi tujuan hukum dan perjuangan keadilan itu.
Tujuan utama peradilan, khususnya pidana, adalah memutuskan apakah
seseorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan melalui prosedur
yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian, yang mencakup

M
semua batas-batas konstitusional, dan berakhir pada proses pemeriksaan di
pengadilan. Proses yang berkaitan dengan syarat-syarat dan tujuan peradilan
yang fair meliputi antara lain asas praduga tidak bersalah, cara kerja yang benar,
di mana seseorang yang dituduh mengalami pemeriksaan atau pengadilan

U
yang jujur dan terbuka.4
Tahapan berlangsung hukum acara pidana, sebagai suatu proses
penanganan perkara pidana, sejak ada sangkaan telah terjadinya tindak
pidana, hingga pelaksanaan putusan hakim. Maka segala kegiatan penyidikan

D
dan penuntutan, harus sesuai dengan undang-undang, agar tidak terjadi
penyimpangan dan pertentangan dengan hak-hak fundamental manusia
yang universal. Maka batas-batas kewenangan itu, akan selalu dengan batas
hukum yang jelas dan pasti, dan dilakukan dengan sangat profesional dan
bertanggung jawab.
Pembatasan kesewenangan para penegak hukum, menjadi tolok ukur
adalah, ketaatan mereka pada beban pembuktian, yang diterapkan secara

3
Eddy O,S Hiariej.Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga; 2012), hlm. 6-7.
4
Anthon F. Susanto. Wajah Peradilan Kita. Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan,
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2004),
hlm. 1.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 17


objektif, terukur dan rasional, serta manusiawi. Karena pembuktian bagian dari
titik sentral, dalam proses mencapai keadilan yang berada di tengah-tengah
masyarakat. KUHAP, diharapkan berlaku secara efektif mengubah mental
para aparat penegak hukum, sehingga dapat terbina, satuan tugas penegak
hukum yang berwibawa yang mampu bertindak atas landasan pendekatan
yang manusiawi dan memahami rasa tanggung jawab.5

Y
Sehingga hukum pembuktian, selalu berputar tentang bukti, dalam
segala kegiatan mengumpulkan barang bukti, dari suatu permulaan perbuatan
terjadinya kejahatan. Adapun hukum pembuktian itu selalu berkembang
seirama dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai suatu alasan yang dipergunakan oleh hakim, untuk memutuskan

M
sengketa, yang menjadi tugas dan beban yang sangat mulia, sekaligus
kontroversial, atas tugas dan fungsinya. Karenanya putusan hakim harus
berdasarkan bukti-bukti yang sah, dan hakim, berkeyakinan menjatuhkan
hukuman. Hukum pembuktian, dalam berperkara, merupakan bagian yang
sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit,

M
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian
atau peristiwa masa lalu, sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran
yang dicari dan diwujudkan dalam proses perdata, bukan kebenaran yang
bersifat absolut, tetapi bersifat kebenaran relatif, atau bahkan cukup bersifat

U
kemungkinan, namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun, tetap
menghadapi kesulitan. Kesulitan itu disebabkan beberapa faktor.
Pertama, sistem adversarial,6 Sistem ini yang mengharuskan memberi
hak yang sama kepada para pihak, yang berperkara untuk saling mengajukan

D
kebenaran masing-masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah,
kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial. Pada
prinsipnya, kedudukan hakim dalam proses pembuktian, adalah lemah
dan pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran, di luar dari apa

5
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 5-9.
6
Sistem adversery, dimaknai sebagai sistem peradilan, di mana pihak-pihak yang
bersangkutan mengajukan bukti-bukti, yang saling berlawanan dalam usahanya
memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya. Contoh di Amerika sistem
ini, di mana para pengacara yang berseberangan berusaha memenangkan putusan yang
menguntungkan pihaknya masing-masing, karena kebenaran akan muncul antara para
pihak yang berseberangan yang memberikan interpretasi berlawanan terhadap bukti-bukti
yang dikemukakan kepada pencari fakta.

18 Dinamika Hukum Pembuktian


yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan. Mencari dan
menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit, disebabkan fakta dan bukti,
yang diajukan para pihak, tidak dianalisis dan dinilai oleh para ahli.7
Karenanya hakim telah dibekali ilmu dan keterampilan, untuk
mengkonstatir segala hal yang berkaitan dengan fakta-fakta di persidangan,
untuk mencapai keyakinannya, dalam menilai bukti-bukti yang disuguhkan

Y
oleh tersangka (pengacara), maupun penuntut umum, dalam melaksanakan
tugas-tugas mewakili pemerintah, maupun rasa keadilan dan kepastian hukum
masyarakat, agar kejahatan dapat dihukum sesuai dengan tingkat dan derajat
kesalahannya.
Hakim pidana dalam menjalankan pembuktian memegang peranan yang

M
bebas sepenuhnya. Sedangkan hakim perdata yang menjalankan tugasnya
dibatasi oleh alat bukti yang mengikat atau memaksa seperti halnya akta
autentik, pengakuan di muka hakim, sumpah, sehingga hanya cukup dengan
kebenaran formal (formiel waarheid). Masalah yang pembuktian adalah
beban pembuktian yang harus adil, dan merupakan suatu persoalan yuridis

M
yang dapat diperjuangkan, hingga tahap kasasi ke Mahkamah Agung, guna
membatalkan putusan ataupun menguatkan putusan pengadilan di bawahnya.8
Maka hukum acara pidana, menjadi sumber perhatian utama, dan
sekaligus alat kontrol dari kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dalam

U
tugas-tugas pokok, sebagaimana dikenal sebagai sistem ban berjalan, dan
mempunyai saling kontrol, yang terintegrasi secara apik dan tanggung jawab,
sebagaimana ditentukan oleh hukum acara pidana tersebut, guna capaian
keadilan dan kepastian dalam melaksanakan fungsi masing-masing tugasnya.

D
Maka pembuktian menjadi titik sentral dalam mengungkapkan dugaan
kejahatan hingga keyakinan hakim dalam menyelesaikan perkara konkret di
peradilan pidana.
Sifat hukum acara pidana yang berbasis pada pembuktian, dengan
mengacu pada aspek kepentingan umum, maka hukum acara pidana disebut
sebagai ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa, karena melindungi
kepentingan bersama guna menjaga keamanan, ketenteraman, kedamaian
hidup masyarakat. Selanjutnya, mempunyai dimensi perlindungan hak asasi

7
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 496.
8
R. Subekti. Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm. 7-15.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 19


manusia, dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar, yakni kewajiban untuk
didampingi oleh penasihat hukum, hak untuk diadili dan terbuka untuk umum,
mengajukan saksi-saksi, dan melakukan upaya hukum, sehingga terdapat
keadilan, menghindari error in persona, dan menerapkan asas praduga tidak
bersalah secara ketat.9
Beberapa asas-asas hukum pidana yang sangat fundamental, selalu

Y
menjadi perhatian dalam hukum acara pidana, asas praduga tidak bersalah,
asas legalitas, asas persamaan kedudukan dalam hukum, menjadi perhatian,
dan proses pembuktian merupakan cara pandang dan menilai untuk
mendapatkan keyakinan hakim pidana.
Dimaksudkan dengan membuktikan adalah tentang kebenaran dalil-

M
dalil yang dikemukakan pada suatu persengketaan. Sehingga pembuktian,
diperlukan dalam suatu persengketaan atau perkara di muka pengadilan.
Pembuktian diperlukan bilamana terjadi perselisihan. Hakim sebagai suatu
perlengkapan dalam suatu negara hukum, yang ditugaskan untuk memutuskan
suatu perkara. Beban pembuktian merupakan suatu ketidakpastian dan

M
kesewenangan, bilamana hakim dalam memutuskan suatu perkara atas
keyakinannya semata-mata. Maka diperlukan suatu keseimbangan dalam
pembebanan kewajiban. Sehingga pembuktian itu dimaksudkan sebagai
rangkaian tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan pertarungan

U
di pengadilan.10
Tata cara mengelola pembuktian dilakukan secara tertib dan terukur,
bahkan harus ditentukan dalam perundang-undangan, agar memenuhi makna
asas legalitas, agar terjaga segala hal tentang kemungkinan penyalahgunaan

D
kekuasaan dan bahkan untuk mencapai putusan yang tidak berkeadilan.
Pengadilan hingga sekarang ini, tidak mampu mengangkat isu keadilan
seperti yang diharapkan masyarakat. Para hakim hanya memproses sebuah
perkara secara formalitas saja. Sehingga keputusannya pun hanya formal saja.
Padahal yang diinginkan masyarakat adalah hal yang sangat substansial, bukan
hanya sekadar aturan formal. Semenjak banyak masalah yang muncul, sejak
adanya istilah mafia peradilan, putusan hakim yang kontroversial, mahalnya
biaya perkara, proses upaya hukum melalui peradilan berjalan lambat, petugas

9
Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana: Prespektif, Teoritik, dan Praktik, (Bandung:
Alumni, 2008), hlm. 13-14.
10
R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 1-2.

20 Dinamika Hukum Pembuktian


administrasi dan hakim yang tidak berdisiplin, serta adanya ikut campur pihak
lain. Pemeriksaan perkara pidana umumnya berlangsung lama, berbelit-belit
dan rumit, tidak sederhana, seperti yang disebutkan aturan-aturan formal/
prosedur, normatif sesuai dengan KUHAP. Sehingga masalah menegakkan
peradilan tidak dapat dibicarakan secara parsial, tetapi menyangkut masalah
lebih luas.11

Y
Dari masa ke masa isu di peradilan selalu bergema, dan mendapatkan
perhatian terus-menerus, maka sejatinya ukuran keadilan mendasarkan pada
keyakinan pembuktian dan penilaian alat-alat dan barang bukti yang baik
dan terukur secara adil, maka pada diri hakim harapan para pencari keadilan
disandarkan.

M
Sehingga kedudukan hakim sangat penting dalam suatu sistem hukum,
termasuk dalam sistem hukum Indonesia, fungsi hakim adalah untuk
melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui penemuan hukum,
yang mengarah kepada penciptaan hukum baru. Fungsi menemukan hukum
itu, harus diartikan mengisi kekosongan hukum, dan mencegah tidak

M
ditanganinya suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau tidak
ada.12
Kedudukan hakim dalam sistem peradilan pidana, menjadi perhatian
dalam rumusannya di berbagai perundang-undangan, dengan dogma,

U
kebiasaan, kelaziman, hingga ketaatan pada proses beracara dalam sistem
peradilan pidana yang sudah dirumuskan secara ketat dalam peraturan
perundang-undangan.
Sistem peradilan pidana “Criminal Justice System” menunjukkan

D
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
dasar pendekatan sistem. Juga diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana, sebagai suatu sistem merupakan
hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, atau juga merupakan
setiap tahap dari setiap putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke
dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sehingga
sistem peradilan pidana merupakan interkoneksi antara keputusan dari setiap
instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Sering juga disebut

Anthon F. Susanto. Wajah Peradilan Kita, Op.Cit., hlm. 1.


11

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta:
12

Sinar Grafika, 2010), hlm. 7.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 21


sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari Lembaga Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan Terpidana, atau sering
juga dikenal sebagai sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan,
agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.13
Adanya suatu sistem yang sudah dinormakan, adalah keperluan untuk
memenuhi asas legalitas, sehingga tercipta berbagai kepastian hukum, dan

Y
mudah melakukan kontrol antar aparatur, karena kewenangannya sudah
diatur secara legalistis.
Sistem hukum telah menyediakan instrumen sebagai pegangan, yakni
hukum acara, yang akan memberi rambu-rambu, bagi para yuris tentang
bagaimana menjalankan peradilan yang wajar, sebagai jembatan bagi

M
terwujudnya keadilan. Hukum acara adalah koridor yang membimbing para
yuris, khususnya hakim, untuk menyelenggarakan peradilan yang benar dan
adil, wajar dan profesional, sehingga hak-hak para pencari keadilan dapat
terpenuhi. Benar dan adilnya penyelesaian suatu perkara. Sementara banyak
kalangan menilai adil dan benarnya penyelesaian suatu perkara hanya melihat

M
putusan hakim, adil dan benarnya penyelesaian suatu perkara sejatinya dinilai
secara holistik, mencakup proses dari awal penyelesaian suatu perkara,
bagaimana hakim bersikap dan memberikan kesempatan yang sama kepada
pihak di persidangan untuk menyampaikan dan mengajukan hal-hal yang

U
dipandang berguna untuk mempertahankan dan mendapatkan apa yang
seharusnya menjadi haknya, serta bagaimana hakim mengambil kesimpulan
yang benar dan proporsional atas keseluruhan fakta yang terungkap di
persidangan.14

D
Ketentuan hukum acara pidana sangat diperlukan, sifatnya amat penting
guna penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan hukum pidana materiil
tidak a priori memaksa, apabila tanpa adanya dukungan hukum acara pidana.
Karena itu sistem peradilan pidana Indonesia, bermanfaat untuk menjamin
penegakan hukum dan mempertahankan hukum pidana materiil. Karena itulah
sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya Kepolisian, Kejaksaan, dan
Peradilan, serta Advokat mengacu pada KUHAP. Pendekatan terhadap sistem
peradilan pidana, secara luas melalui pendekatan ilmu sosiologi, ekonomi,

13
Syaiful Bakhri. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Dalam Perspektif Pembaruan, Teori, dan
Praktik Peradilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 8.
14
M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 9.

22 Dinamika Hukum Pembuktian


manajemen dan dari segi profesional, hal ini dikenal sebagai pendekatan
positivis analisis.
Menegakkan hukum tidak hanya berkonsentrasi pada kerja memperbaiki
atau mengamandemen hukum perundang-undangan saja, tanpa membenahi
struktur organisasi yang ada pada sistem hukum nasional. Termasuk
kerja-kerja para penegak hukum, yang hanya berkonsentrasi pada instansi

Y
kekuatan struktural dan mengabaikan intervensi kultural para insan pencari
keadilan. Penegak hukum tidak lagi harus dibataskan hanya pada kerja-kerja
polisionil yang disebut sebagai legal enforcement, melainkan kerja mereformasi
sistem hukum. Kerja reformasi hukum ini pun tidak hanya dibatasi, pada
memperbarui hukum undang-undang semata-mata (legal reform), melainkan

M
juga law reform. Dengan menelaah seluruh aspek sistem perundang-undangan
yang ada, dalam rangka mengaktifkan perubahan dalam sistem hukum yang
ada demi meningkatnya efisiensi sistem dalam fungsinya, memberikan layanan
pada khalayak ramai yang tengah mencari keadilan.
Jika penerapan hukum tidak dilakukan hati-hati, tergesa-gesa penuh

M
amarah dan sewenang-wenang maka akan kontra produktif, bagi ketertiban
dan kesejahteraan umat manusia. Hukum tidak perlu ditakuti, jika hukum itu
sendiri sesungguhnya dilaksanakan dengan sentuhan-sentuhan tangan yang
bijak, amanah dan dengan nurani kemanusiaan, bukan dengan keangkuhan,

U
sakit hati, dan tanpa nurani, sebagaimana lambang “Dewi Keadilan”, mata
ditutup, tangan kanan memegang pedang yang diturunkan ke bawah dan
tangan kiri ke atas sambil memegang timbangan. Lambang tersebut penuh
muka, seorang dewi yang melambangkan sosok wanita yang diketahui penuh
dengan nurani, mata ditutup harus dimaknai hukum tidak membedakan

D
siapa yang berbuat kejahatan, dan tangan kanan memegang pedang yang
diturunkan, mencerminkan bahwa hukum bukan alat untuk membunuh, jika
tidak diperlukan atau ultimum remedium saja sifatnya, dan tangan kiri di atas
memegang timbangan, mencerminkan hukum harus adil dan tidak berpihak
serta hukuman (pedang) yang dijatuhkan harus seimbang dengan berat
ringannya perbuatan pelanggaran hukum yang telah dilakukan.15
Karenanya amat diperlukan untuk dipahami, lebih jauh tentang makna
pentingnya pembuktian serta perkembangan model-model pembuktian dalam

15
Ibid., hlm. 10.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 23


hukum acara pidana, guna melaksanakan cara-cara yang adil dalam proses
pembuktian di peradilan pidana.

A. Perkembangan Model Pembuktian


Menata keadilan yang dicapai oleh peradilan, untuk selalu memuaskan

Y
masyarakat serta memberi kemanfaatan keadilan dalam masyarakat, adalah
hal yang paling penting dalam proses beracara di peradilan pidana. Maka
pembuktian menjadi perjuangan fundamental, yang mesti menjadi bintang
pemandu, dari kegelapan dan kemungkinan berbagai penyalahgunaan
kekuasaan.

M
Pembuktian selalu memberikan arti yang sangat bermanfaat, untuk
pencarian kebenaran yang hakiki, dalam memperjuangkan hak-hak hukum
masyarakat. Sehingga arti pentingnya pembuktian ini sangat bersifat
menyeluruh dan universal, dan merupakan suatu basis utama, dalam tata
kelola hukum, atas suatu peristiwa dan keadaan hukum, yang tentunya telah

M
mengakibatkan hukum dalam artian yang konkret. Pembuktian, dalam hukum
acara pidana, merupakan bagian yang sangat esensial, guna menentukan
nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya seorang terdakwa,
sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan, ditentukan pada proses

U
pembuktiannya. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan
kebenaran dari isi surat dakwaan, yang disampaikan oleh penuntut umum,
yang kegunaannya adalah untuk memperoleh kebenaran sejati (materiil)
terhadap pertanyaan. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti
menurut pemeriksaan persidangan. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa

D
telah bersalah. Tindak pidana apakah yang dilakukan. Hukuman apakah yang
dijatuhkan.16
Setiap kejahatan yang selalu meresahkan dan menakutkan masyarakat,
mesti mendapatkan perhatian oleh negara, agar setiap warga negara menjadi
tenang dan berbahagia, dalam meraih impian dan cita-cita, menjadi masyarakat
yang berkeadilan, berkesejahteraan dan berbahagia. Maka makna pembuktian
menjadi perhatian dalam perannya mencapai keadilan dan kesejahteraan.

16
Martiman Prodjohamidjojo. Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hlm. 133.

24 Dinamika Hukum Pembuktian


Hakikat pembuktian dalam hukum acara pidana teramat penting,
bilamana dijabarkan, dengan suatu pembuktian, yang merupakan suatu
proses, untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang.
Konklusi pembuktian ini, dilakukan melalui proses peradilan, sehingga akan
menentukan apakah seseorang dapat dijatuhkan pidana, atau dapat dibebaskan
dari dakwaan, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana, ataukah

Y
dilepaskan dari tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan terbukti, tetapi
perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.17
Perjuangan keadilan untuk sejatinya, memenuhi hasrat berhukum yang
baik dan benar, mesti tunduk dan taat pada kaidah-kaidah pembuktian, yang
bertujuan mulia, yaitu mendapatkan dan memberikan keyakinan penyidikan,

M
penuntutan hingga hakim dalam memutuskan dan mengakhiri pergolakan di
peradilan pidana.
Beberapa hal yang fundamental terkait suatu pembuktian. Ada empat
hal terkait konsep pembuktian yakni: pertama, suatu bukti haruslah relevan
dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses. Ketiga, hal yang disebut

M
sebagai exclusionary discretion rules didefinisikan sebagai prinsip hukum yang
mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum.
Keempat, dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat
diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim.18

U
Maka sistem, pembuktian, adalah bagian yang dipotret oleh sub-sistem-
sub-sistem peradilan pidana, untuk menerapkan kepastian dalam proses
beracara, dan menerapkan makna pembuktian secara menyeluruh.
Kepolisian dan kejaksaan, terlibat, untuk melihat sifat dan kekuatan alat

D
alat pembuktian dan mengatur tentang beban pembuktian. Sehingga kedua
alat negara ini, diberikan hak-hak dan kewajiban sekaligus prosedur yang
ditempuh oleh Polisi, Jaksa dan Hakim, serta Lembaga Pemasyarakatan.19
Fungsi penyidikan, penuntutan dan pemidanaan serta lembaga pemasya­
rakatan, ditentukan dalam perundang-undangan yang saling berkaitan, dan
memberikan jaminan atas berbagai kewenangan masing masing. Sehingga

17
Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni,
2007), hlm. 76.
18
Eddy O.S. Hiariej. Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), Op.Cit.,
hlm. 11.
19
Oemar Seno Adji. KUHAP Sekarang, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 2.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 25


praktik peradilan selalu menjadi harapan masyarakat yang mencari keadilan,
dalam menyuguhkan pembuktian dalam berbagai rangkaian kegiatannya.
Sistem hukum pidana abad ke-20 masih baru diciptakan. Sistem demikian
hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang
yang beriktikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.
Sistem Hukum Pidana asasnya memiliki empat elemen substantif yaitu nilai

Y
yang mendasari sistem hukum, adanya asas-asas hukum, adanya norma atau
peraturan perundang-undangan, dan masyarakat hukum sebagai pendukung
sistem hukum tersebut. Keempat elemen dasar itu tersusun dalam suatu
rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida, bagian atas adalah
nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di

M
bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat. Korelasi asas hukum
dengan hukum, menentukan isi hukum dan peraturan hukum positif hanya
mempunyai arti hukum jika dikaitkan dengan asas hukum. Asas hukum
merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Asas hukum sebagai pikiran-
pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-

M
masing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim, yang berkenaan dengannya, ketentuan-ketentuan dan keputusan-
keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.20
Pembuktian memberikan makna dan berkaitan erat dengan beberapa asas-

U
asas hukum, yang memberikan alasan pembenar, dilakukannya segala hal, untuk
mendapatkan keyakinan peradilan, guna tercapainya putusan yang berkeadilan.
Asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum merupakan disiplin tengah
yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Setiap

D
aparat hukum membentuk hukum, asas ini selalu dan terus-menerus mendesak
masuk ke dalam kesadaran hukum dari pembentuk. Sejauh mempunyai sifat-
sifat konstitutif, tidak dapat dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak
dapat dikesampingkan olehnya. Jika hal itu dilakukannya, terjadilah yang
disebut non-hukum atau yang kelihatannya saja sebagai hukum. Walaupun
sistem hukum pidana masih harus diciptakan. Pengertian sistem hukum pidana
dalam tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang
terdiri dari: peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; suatu prosedur
hukum pidana; dan suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).21

20
Oemar Seno Adji. KUHAP Sekarang. Op.Cit., hlm. 67.
21
Ibid., hlm. 67-68.

26 Dinamika Hukum Pembuktian


Dapat diketahui, bahwa dalam suatu proses pembuktian, maka langkah-
langkah penegakan hukum, selalu mendasarkan pada kekuasaan undang-
undang, sehingga proses pembuktian diyakini telah benar dan berkeadilan.
Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan
perkara pidana, ketika penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya, dilakukan

Y
penyidikan, pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindakan
penyidik untuk mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang
suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya.
Sehingga konkretnya pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir pada
penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim di depan persidangan, baik pada tingkat

M
pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun upaya hukum ke Mahkamah
Agung. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang
pengadilan, guna menemukan kebenaran materiil (materiel waarheid) akan
peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian
tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang seadilnya.22

M
Pembuktian berkaitan erat dengan tujuan-tujuan hukum pidana, yang
dari masa ke masa dan diketahui, dari berbagai teori-teori pemidana, adalah
bertugas untuk menjaga hukum pidana, dan bahkan untuk mempertahankan
sistem dan tata tertib sosial. Sehingga fungsi hukum pidana dapat tercapai.

U
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang, membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian merupakan suatu
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang,

D
dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan
dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa
dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan. 23
Karenanya pembuktian dalam proses peradilan pidana, menjaga suatu
proses hukum yang baik dan adil, agar kewibawaan hukum pidana dapat dicapai,
sebagai bagian dari tujuan sosial, maka kejahatan dapat dilakukan suatu proses
yang berkepastian, dan terhindar dari berbagai kriminalisasi politik.

Ibid., hlm. 85.


22

M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang


23

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm.
252-255.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 27


Penerapan pembuktian dalam praktik peradilan pidana, haruslah
berpedoman pada hal-hal, yang secara limitatif ditentukan secara yuridis.
Bilamana menyimpang, maka ada mekanisme kontrol, yang juga secara ketat
ditentukan oleh perundang-undangan. Secara umum dapat diketahui, bahwa
pembuktian yang berarti bukti yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran
suatu peristiwa, sehingga pembuktian, bermakna suatu perbuatan untuk

Y
membuktikan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan
serta meyakinkan.24
Terselenggaranya mekanisme kontrol antar penegak hukum, adalah
sebagai bukti, bahwa kesewenang-wenangan penegak hukum mesti dihindari,
dan penghormatan terhadap hak asasi manusia selalu menjadi perhatian.

M
Dengan demikian, maka dapat dimengeti, bahwa pembuktian dilihat
dari perspektif hukum acara pidana yakni; Ketentuan yang membatasi sidang
pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik
oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum, kesemuanya
terikat pada ketentuan dan tata cara, penilaian alat bukti yang ditentukan oleh

M
undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa
sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang. Terdakwa tidak diperkenankan untuk mempertahankan sesuatu yang
dianggap benar di luar ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang. Hakim

U
dalam putusannya harus sadar, cermat dalam menilai dan mempertimbangkan
kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan.
Hakim dalam meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam pemeriksaan
sidang di pengadilan, maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti yang
ditemukan dalam undang-undang sebagaimana Pasal 184 KUHAP.25

D
Setidaknya secara limitatif. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas
yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang
hendak dijatuhkan, hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus
dibenarkan.

24
Soedirjo. Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV Akademika Pressindo,
1985), hlm. 47.
25
Pasal 184 KUHAP. (1) Alat bukti yang sah ialah, keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, keteranga terdakwa. (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak
perlu dibuktikan.

28 Dinamika Hukum Pembuktian


Hakim harus senantiasa berpedoman pada pembuktian, dan menghindari
dari pikiran subjektif. KUHAP telah menggariskan pedoman dalam proses
peradilan pidana, yakni; penuntut umum bertindak sebagai aparat yang
diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Sebaliknya terdakwa dan penasihat hukum mempunyai
hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai

Y
dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, sanggahan, bantahan,
eksepsi harus beralasan sesuai hukum dengan saksi yang meringankan
(adecharge) ataupun alibi sesuai dengan fakta yuridis. Pembuktian, berarti
penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan
kepada terdakwa. Surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari

M
hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan,
maka kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang
didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian.
Maknanya adalah bahwa arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan
tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan

M
dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan
dakwaan tindak pidana yang tidak dapat dibuktikan.
KUHAP menentukan ketentuan tentang pengakuan tidak melenyapkan
kewajiban pembuktian sebagaimana ditentukan menurut Pasal 189 ayat (4).26

U
Tentang hal-hal yang secara umum telah diketahui tidak perlu dibuktikan,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1),(2).27
Putusan pengadilan selalu membuat suatu alasan-alasan kesalahan,
dan elemen-elemen terbuktinya kesalahan sebagaimana pasal-pasal
yang didakwakan. Maka hal yang mendasar selalu alasan pembuktian

D
yang berkeyakinan bahwa telah terjadi kesalahannya. Maka hakim selalu
mengkonstatir barang bukti, alat bukti dan mempergunakan sistem dan model
pembuktian yang diyakininya.
Pembuktian dalam beberapa hal dapat menyangkut atau menjadi tolok
ukur dalam menyelenggarakan pekerjaan pembuktian yakni; sebagai dasar atau

26
Pasal 189 (4) KUHAP: “Yakni keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa Ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”
27
Pasal 184 KUHAP: “(1) alat bukti yang sah ialah; keterangan saksi; keterangan ahli;
Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa; (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak
perlu dibuktikan.”

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 29


prinsip-prinsip pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan
pengadilan. Alat-alat pembuktian yang dapat dipergunakan hakim untuk
memperoleh gambaran tentang terjadinya perbuatan pidana yang sudah
lampau. Penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada
hakim di sidang pengadilan. Kekuatan pembuktian dari masing-masing
alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. Beban

Y
pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
tentang dakwaan di muka sidang pengadilan. 28
Selalu menjadi problematika dalam praktik beracara di peradilan pidana,
adalah menerapkan dengan teliti berbagai beban pembuktian dan terkadang
menjadi masalah-masalah yang dapat menjadi penilaian tidak jujur dan

M
keberpihakan peradilan tanpa dasar-dasar hukum dan kepatutan.
Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah
masalah pembagian beban pembuktian, dan semestinya harus dijalankan
dengan adil dan tidak berat sebelah, karena bilamana berat sebelah, maka
berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban pembuktian

M
ini dianggap sebagai suatu persoalan yuridis, yang dapat diperjuangkan
sampai tingkat kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban
pembuktian yang tidak adil dianggap suatu pelanggaran hukum atau undang-
undang yang merupakan, alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan

U
putusan hakim atau pengadilan yang bersangkutan.29
Pengaturan beban pembuktian dimulai dari tingkat penyidikan, maka
beban pembuktian merupakan suatu cara kerja penyidik yang profesional, untuk
menjahit kesalahan dengan fakta-fakta hukum serta beban pembuktiannya.

D
Tentang beban pembuktian, maka penuntut umum harus mempersiapkan
alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, yang bertujuan untuk
meyakinkan hakim dalam memutuskan kesalahan terdakwa. Konsekuensi
prinsip ini, berhubungan erat dengan asas praduga tidak bersalah dan
aktualisasi tidak mempersalahkan diri sendiri, teori ini dikenal dalam Pasal
66 KUHP.30

28
Rusli Muhammad. Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Adytia Bakti,
2007), hlm. 186.
29
R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 15.
30
Pasal 66 KUHAP: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.”

30 Dinamika Hukum Pembuktian


Hak-hak tersangka/terdakwa yang bersumber pada asas praduga tidak
bersalah, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan dituntut dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah,
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.31
Kaitan dengan pembuktian, yang paling erat adalah asas legalitas,

Y
sebagaimana ditentukan menurut Pasal 1(1) KUHP.32
Dalam praktik peradilan pidana, di mana pusat perhatiannya pada hukum
pembuktian, maka model-model pembuktian berkembang selaras dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya teknologi informasi, maka cara-
cara mendapatkan bukti-bukti, diatur secara ketat dalam perundang-undangan,

M
sehingga tidak akan mungkin terjadinya diskriminasi dan pelampauan
kekuasaan. Rambu-rambu pengelolaan pembuktian dengan berbagai caranya
itu, mesti berada atas prinsip-prinsip hak asasi manusia, sebagai salah satu
prinsip fundamental negara hukum.

M
B. Pembuktian dan Perlindungan HAM
Sebagai negara hukum modern, maka perlakuan hak-hak asasi manusia
dalam peradilan pidana mesti dipenuhi, agar hukum acara pidana itu

U
memerhatikan sendi-sendi fundamental sebagai negara hukum dengan
basis konstitusi, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, terlebih
penyesuaian dengan perkembangan hukum dan hak asasi manusia universal.
Usaha untuk melindungi hak asasi manusia atau HAM sudah diper­

D
debatkan sejak waktu penyusunan rancangan UUD 1945 di Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika UUD 1945
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, di dalam batang tubuh UUD 1945,
HAM hanya dimuat pada Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31,
dan masih harus ditetapkaan dengan undang.-undang. HAM dalam UUD 1945
ini, mendahului Declaration of Human Right atau Deklarasi Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 di Paris. Baik pada zaman

31
H. MA. Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2004), hlm. 2.
32
KUHP Pasal (1): “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan
ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.”

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 31


Orde Lama maupun Orde Baru, banyak dikeluarkan peraturan perundang-
undangan yang isinya merupakan pelanggaran HAM, di antaranya Penetapan
Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyerdehanaan
Kepartaian dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1985. Karena terjadi banyak pelanggaran HAM, maka banyak sekali

Y
pula tekanan-tekanan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri agar
ada perlindungan HAM di Indonesia. Untuk menghadapi tekanan tersebut,
dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 telah dibentuk Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM.33
Dalam mewujudkan negara kebangsaan yang lebih baik di semua bidang

M
kehidupan. Maka Proklamasi Kemerdekaan dan kemerdekaan itu sendiri,
dipandang sebagai jembatan, atau pintu gerbang memasuki kehidupan kebangsaan,
yang memung­kinkan pengerahan segenap potensi kehidupan individu dan sosial,
demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Pendaya­gunaan dan
pengembangan segenap potensi kehidupan berbangsa ini, dengan sendirinya

M
meliputi pendayagunaan sistem hukum nasional sebagai instrumen penopang
terselenggaranya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berkaitan dengan fungsi instrumental hukum, yakni memfasilitasi
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara menuju terwujudnya kehidupan

U
yang adil dan sejahtera, telah sejak semula disadari tidak mungkin dapat
diwujudkan melalui pembentukan suatu sistem hukum nasional yang serba
memadai dalam tempo yang singkat. Sebaliknya juga dipahami betul, tidak
mungkin pula sepenuhnya mengandalkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang diwarisi dari pemerintahan kolonial. Bertitik tolak dari kondisi

D
demikian itu, sebagaimana terlihat kemudian, yang terjadi adalah kompromi,
yakni pendayagunaan hukum warisan kolonial untuk sementara dengan
ditopang oleh peraturan baru yang akan dibentuk kemudian. Transformasi
dalam bidang hukum ini dilakukan secara bertahap, dan mengalami pasang
surut yang merugikan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Transformasi dalam bidang hukum ini, dengan menggunakan konsep friedman,
mencakup aspek struktural, substansial, dan kultural.34

R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 1.
33

Natangsa Surbakti. Sifat Melawan Hukum Materiel dan Implikasinya Terhadap HAM
34

Kolektif Atas Pembangunan di Indonesia, Dalam H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakikat,

32 Dinamika Hukum Pembuktian


Di bidang hukum pidana, pada masa awal-awal kemerdekaan, bidang
peradilan di Indonesia tampak berpegang pada visi yang konservatif. Dalam
sistem peradilan pidana, berkaitan dengan unsur sifat melawan hukum sebagai
unsur mutlak tindak pidana, badan peradilan Indonesia yang direpresentasikan
oleh Mahkamah Agung, pada awalnya berpegang pada ajaran sifat melawan
hukum formal, sehingga badan peradilan tertinggi di Indonesia ini cenderung

Y
berpegang pada rumusan undang-undang. Hal ini sejalan dengan mainstream
yang berkembang dalam arus pemikiran tentang negara dan hukum modern
yang positivistik, di mana suatu perbuatan dianggap bersifat melawan hukum
manakala perbuatan itu nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan undang-
undang. Hak Asasi Manusia (HAM), adalah hak yang melekat di dalam diri

M
pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap
individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas masyarakat.
Bangunan-bangunan dasar HAM yang melekat di dalam episentrum otoritas
individu yang merdeka, merupakan bawaan semenjak lahir, sehingga tidak
bisa digugat dengan banalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi

M
dan hasrat. Dengan dan atas nama apa pun, bahwa dasar-dasar kemanusiaan
yang intim harus dilindungi, dipelihara, dan tidak dibiarkan berada sama
sekali dalam ruang-ruang sosial yang mengalienasinya.35
Karenanya pengawasan publik, adalah model yang paling efektif,

U
dibandingkan dengan pengawasan intenal. Penggunaan pembuktian dengan
alat-alat bukti, sebagai persyaratan untuk dinilai kebenaran materiilnya oleh
hakim, semestinya selalu terjaga dari koridor kemanusiaan, yang terukur oleh
instrumen hak asasi manusia secara universal. Sehingga nuansa berhukum
para pemangku kepentingan dalam mengungkapkan kejahatan, tetap dalam

D
ukuran norma-norma hukum, tidak pada pendekatan kekuasaan. Hukum
adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana merupakan
bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma. Sebagai sebuah sistem,
hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh,
memiliki beberapa elemen, semua elemen saling terkait, dan kemudian
membentuk struktur, substansi dan budaya hukum. Ketiga elemen tersebut
saling mempunyai korelasi erat, sistem hukum tersebut diumpamakan sebuah

Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama,
2005), hlm. 14.
35
Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana, Memahami Perlindungan HAM dalam Proses
Penahanan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 1-2.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 33


mesin bahwa budaya hukum sebagai bahan bakar yang menentukan hidup dan
matinya mesin tersebut. Konsekuensi aspek ini, budaya hukum begitu urgen
sifatnya. Oleh karena itu, tanpa budaya hukum, sistem hukum menjadi tidak
berdaya, seperti seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan
seperti seekor ikan hidup yang berenang di lautan. Suatu sistem hukum terdiri
atas tiga unsur yang memiliki kemandirian tertentu, yakni memiliki identitas

Y
dengan batas-batas yang relatif jelas, yang saling berkaitan, dan masing-masing
dapat dijabarkan. Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum tersebut pada
hakikatnya, berupa; Unsur idiil,36 Unsur operasional.37
Unsur aktual, adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-
perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari

M
pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya
terdapat sistem hukum itu.38
Memperlakukan kitab undang-undang hukum pidana, sebagai induk
dari segala hukum pidana sampai hari ini termasuk criminal justice systemnya,
meskipun telah diperbarui melalui KUHAP tahun 1981.39

M
Pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia, setidaknya masih
ada pengaruh kolonial, terutama budaya penyidikan yang masih tersisa,
menggunakan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, terhadap
penggunaan dan pencarian pembuktian, serta rekayasa barang-barang bukti.

U
Pemberlakuan KUHAP, sebagai hukum acara yang bersifat nasional,
telah menaruh harapan akan perjuangan dan penerapan hak asasi manusia.
Mengurangi budaya dan pengaruh kolonial, dengan penerapan beban
pembuktian, yang berkecenderungan dengan penggunaan pemaksaan

D
secara berlebihan, dan mengingkari hak asasi manusia. Dalam hukum
pembuktian, tidak dapat dipisahkan secara tajam antara kepentingan umum
dan kepentingan perseorangan, maka inisiatif untuk melindungi kepentingan

36
terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-
kaidah dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum”. Bagi para
sosiolog hukum, masih ada unsur lainnya.
37
terdiri dari keseluruhan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan
dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban
jabatan (ambstsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
38
Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian. Op.Cit., hlm. 65.
39
Mokhammad Najih. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana
Sebagai Instrumen Dalam Mewujudkan Tujuan Negara, (Malang: In-Trans Publising, 2008),
hlm. 1-2.

34 Dinamika Hukum Pembuktian


umum, melalui suatu alat negara yang khusus, yakni kejaksaan dibebani
tugas untuk melakukan beban pembuktian, guna melakukan tuntutan
pidana, sehingga hakim dalam perkara pidana diwajibkan untuk mencari
kebenaran materiil.40
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran

Y
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran
hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana. Sehingga proses

M
pembuktian hakikatnya, memang lebih dominan pada sidang pengadilan,
guna menemukan kebenaran materiil, akan peristiwa yang terjadi, dan
memberi keyakinan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut.
Pada proses pembuktian, terhadap korelasi dan interaksi mengenai apa yang
akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil, melalui tahap

M
pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek
sebagai berikut.41
Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti. Apakah telah
terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan

U
kepadanya. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-
perbuatan itu. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.
Pembuktian yang lain adalah beban pembuktian keseimbangan
kemungkinan, yang diperlakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi,

D
dengan mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara
perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu
di satu sisi, dengan keharusan membuktikan asal usul pembuktian kekayaan
pelaku di sisi lainnya, sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Hal
ini dipraktikkan di Pengadilan Tinggi Hongkong. Dalam hukum acara perdata,
maka dapat diketahui masalah pokok dalam pembuktian, yakni pembuktian
yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara adalah untuk menentukan

40
A. Pillo. Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.
Op.Cit., hlm. 5-6.
41
Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni,
2007), hlm. 86.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 35


hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara,
tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang dapat
dibuktikan, akan tetapi adanya suatu hak juga dapat dibuktikan. Sehingga
dalam ilmu hukum pembuktian itu ada, apabila terjadi bentrokan kepentingan
yang diselesaikan melalui pengadilan, karena adanya suatu perkara.42
Maka menjadi jelas, bahwa pembuktian dengan segala doktrinnya, sebagai

Y
pegangan utama. Dalam berbagai tahap pembuktian, guna merentas jalan,
bahwa pengadilan adalah upaya yang adil dalam melaksanakan keadilan.
Hal mana konflik kepentingan dapat diakhiri dengan kekuasaan
kehakiman yang mandiri, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hakim dalam menerapkan makna beban pembuktian, selalu berlindung

M
atas keyakinan dan kebebasannya dalam memutuskan suatu perkara pidana.
Karenanyalah pada diri hakim, diletakkan pengakhiran dari pergumulan
kemanusiaan, dalam proses mengadili, antar sesama manusia, dengan
segala keterbatasannya. Sehingga diharapkan cara-cara pembuktian dengan
berbagai doktrin pembuktian, dapat diterapkan dengan prinsip-prinsip yang

M
adil, memuaskan dan bertanggung jawab. Proses pembuktian di peradilan
pidana, sejatinya adalah memenuhi hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak
asasi manusia. Pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan.43

U
Karenanya sifat hakiki dan kodrati HAM, yang melekat pada diri
setiap orang tidak dapat dicabut atau dihapuskan oleh siapa pun, termasuk
oleh penguasa negara. Menghapus dan mencabut HAM sama artinya,
menghilangkan eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.44

D
Maka menjadi perhatian dalam praktik pembuktian itu, masih terjadi
berbagai penyimpangan praktik yang tidak jujur, dan rekayasa terhadap
pembuktian yang kemudian menjadi problematika dalam capaian keadilan.

42
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992),
hlm. 10-11.
43
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 8.
44
Ruslan Renggong. Hukum Acara Pidana Memahami Perlindungan HAM Dalam Proses
Penahanan Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 1.

36 Dinamika Hukum Pembuktian


C. Problematika Asas Pembuktian
Asas hukum dalam pembuktian berkaitan dengan asas hukum acara
pidana, sebagai pemandu dalam melaksanakan secara normatif, dalam
mengungkapkan kejahatan, dengan keterkaitan dengan berbagai hal. Dalam
pelaksanaan penegakan hukum pidana, maka asas menjadi sangat penting,

Y
guna menghindari kekuasaan yang berlebihan dari setiap komponen penegak
hukum pidana.
Secara universal beberapa asas penting dalam hukum pidana yang
berkaitan erat dengan ketentuan pembuktian adalah asas legalitas.45 Pada
dasarnya, asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang

M
berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.” Dalam perspektif tradisi civil
law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap
peraturan perundang-undangan, retroaktivitas, lex certa dan analogi. Asas
legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu: Pertama, Tidak ada perbuatan

M
yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, Guna menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi (kiyas). Ketiga,
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.46

U
Beberapa asas pembuktian yang berkaitan dalam praktik peradilan
pidana, yakni, Due process of law.47 Presumtion of innocence.48 Legalitas.49 Adversary

D
45
Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian. Op.Cit. hlm. 76.
Ibid., hlm. 77.
Yakni, seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara
yang berlaku universal. Due process menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan
terhadap individu, yang menguji dua hal: (a) apakah penuntut umum telah menghilangkan
kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa prosedur; (b) jika menggunakan
prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan Due process.
46
Indriyanto Seno Adji. KUHAP Dalam Prospektif, (Jakarta: Diadet Media, 2011), hlm.
34.
47
Yakni, seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara
yang berlaku universal.
48
Seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
bersalah dan mempunyai kekuatan hukum.
49
Yakni tidak ada perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa undang-undang
pidana pidana sebelumnya.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 37


System.50 Clear and Convicing Evidence.51 Beyond a Resonable Doubt.52 Actori In Cumbit
Probatio.53 Actori Incumbit Onus Probandi.54 Secundum Allegat Iudicare.55 Actus Dei
Nemini Facit Injuriam.56 Negativa Non Sunt Probanda.57 Unus Testis Nullus Testis.58
Persona Standi Injudicio.59 Discovery.60 Directed Verdict.61 Unlawful Legal Evidance.62
Audi Et Alteram Partem.63
Pemahaman asas legalitas dalam hukum acara pidana, seringkali memiliki

Y
polemik, bahkan ada pemahaman, bahwa asas legalitas dan asas retro aktif,
tidak dikenal dalam hukum acara pidana, sehingga pemahaman asas tersebut,
hanya ada dalam hukum acara pidana materiil, tentunya hal ini didasarkan
sikap konkordansi Indonesia terhadap Ned. Strafrecht, yang menyatakan
bahwa. Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan

M
ketentuan perundang-undangan pidana yang wettelijke strafbepalinging. Maknanya,
bahwa segala peraturan yang berada di bawah undang-undang dalam artian
formal, dapat memuat rumusan dalam hukum acara pidana. Yang menyatakan
bahwa undang-undang diartikan secara definitif dari wet, memuat mengenai
aturan acara pidana, artinya persoalan prosedural Undang-undang. Semua ini

M
menegaskan, bahwa larangan retroaktif dalam hukum acara pidana, jauh lebih
ketat dan limitatif dibandingkan dengan larangan yang sama dalam hukum

50
Yakni sebagai sistem peradilan di mana pihak-pihak yang berseberangan mengajukan

U
bukti-bukti yang saling berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang
menguntungkan pihaknya.
51
Yakni sebagai standar pembuktian antara standar preponderance of evidence dan beyond
a reasonable doubt.
52
Yakni standar pembuktian yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah tanpa
keraguan yang masuk akal.

D
53
Artinya siapa yang menggugat, dialah yang wajib membuktikan.
54
Asas ini merupakan kelanjutan dari Asas Actori In Cumbit Probatio. Yakni, bilamana
penuntut umum tidak dapat membuktikan, maka terdakwa harus dibebaskan.
55
Yakni bahwa hakim tutwuri terhadap peristiwa-peristiwa yang diajukan oleh para
pihak.
56
Artinya, tidak seorangpun dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian akibat
kecelakaan yang tidak dapat dihindari.
57
Artinya mengartikan sesuatu yang negatif sangatlah sulit.
58
Artinya satu orang saksi bukanlah saksi.
59
Artinya orang yang berwenang dan cakap hukum berperkara di pengadilan.
60
Yakni prosedur untuk mengungkapkan informasi di antara pihak-pihak yang
berperkara.
61
Artinya, putusan dalam persidangan yang dijatuhkan hakim karena ketidakmampuan
salah satu pihak untuk menyodorkan buki-bukti yang cukup untuk mendukung posisinya.
62
Perolehan bukti yang tidak sah akan mengakibatkan gugurnya perkara.
63
Yakni, hakim dalam mengadili harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang.

38 Dinamika Hukum Pembuktian


pidana materiil. Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya
diakuinya dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1)
KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun
2008).64
Dalam praktik perbuatan yang sepatutnya dipidana tidak dipidana karena,
adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum

Y
pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terinci. “Terhadap asas
nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama
bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif. Akibat asas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang
melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum disebut secara tegas sebagai

M
suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang
melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi
tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Asas
nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum
seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”

M
masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan Pasal 1
ayat 1 KUH Pidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh hakim pidana
di daerah bahwa Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya
hukum pidana adat.65

U
Walaupun demikian, pada umumnya asas legalitas, diterima dalam
KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema, karena memang dilihat dari
segi hukum adat yang masih hidup, sehingga tidak mungkin dikodifikasikan
seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, akan tetapi
dari sudut lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi

D
manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil.66
Perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya
asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas
“nonretroaktif ”, dalam makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat
paling tidak ada 4 (empat) larangan (Prohibitions) yang dapat dikembangkan

64
Nyoman Serikat Putra Jaya. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya bakti, 2005), hlm. 221-253.
65
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
1958), hlm. 195-198.
66
Loebby Loqman. Perkembangan Azas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, (Semarang:
Makalah, 2004), hlm. 6-7.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 39


asas tersebut, yaitu: nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk
memidana atas dasar hukum tidak tertulis-unwritten law); “nullum crimen, nulla
poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogi); “nulla poena sine
lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut);
“nullum crimen poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum
pidana yang tidak jelas.

Y
Asas legalitas dalam konteks KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar
adanya kepastian hukum. Akan tetapi, dalam implementasinya ketentuan asas
legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. Pengecualian asas legalitas terdapat
dalam hukum transistor (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa
berlakunya undang-undang menurut waktu yang terdapat pada Pasal 1 (2)

M
KUHP yang berbunyi: “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu
terwujudnya perbuatan pidana, terhadap tersangka digunakan ketentuan yang
paling menguntungkan baginya”. Hal demikian diartikan dalam terminologi
melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain karena sebagai berikut:
Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri,

M
yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP; Dalam praktik yurisprudensi
dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang
materiil; Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam
Undang-Undang Dasar Sementara 1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951;

U
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999; dan konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan
sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine
ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga
legalitas materiil, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang

D
hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum.67
Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan
perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, di sini sudah ada tahapan
pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya
tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti
tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

67
Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Adytia Bakti,
2003), hlm. 10-1.

40 Dinamika Hukum Pembuktian


tersangkanya. Konkretnya, pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir
sampai adanya penjatuhan pidana oleh hakim di depan sidang pengadilan baik
di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, melalui upaya hukum
banding. Dalam pembuktian di berbagai tingkat peradilan pidana, maka yang
menjadi pusat perhatian, adalah barang dan alat bukti, untuk menjadi batu uji
utama, dalam menilai fakta-fakta di persidangan peradilan pidana. Sehingga

Y
dapat dimengerti bahwa pembuktian, adalah suatu bagian utama dalam hukum
acara pidana, karena pada pembuktian menentukan peraturan perundang-
undangan, yang menata berlangsungnya perkara di sidang peradilan pidana.
Bahkan semua tingkat dan jenis peradilan.

M
D. Makna Barang Bukti dan Alat Bukti
Maknanya hakim dalam menjatuhkan pemidanaan harus didukung
sekurangnya dua alat bukti yang sah. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya
seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk,

M
dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus “saling
menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain;
atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang
saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan
antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan

U
saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
Sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
(MARI) tanggal 27 Juni 1983 No. 185 K/Pid/1982. Putusannya telah
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Alasan

D
pembatalan didasarkan pada pendapat, kesalahan yang didakwakan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, karena alat bukti yang mendukung
keterbuktian kesalahan terdakwa, hanya didasarkan pada suatu petunjuk
saja, yakni pengakuan terdakwa di luar sidang (confession out side the court).
Dengan demikian, alat bukti tersebut belum memenuhi asas batas minimum
pembuktian yang ditentukan undang-undang. Dengan demikian maka, prinsip
minimum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem pembuktian
yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah: a) sekurang-kurangnya dengan
dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus
dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah; b) maka tidak dibenarkan dan

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 41


dianggap tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan
satu alat bukti yang berdiri sendiri.
Prinsip umum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal
183 KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun, sebagai aturan umum
dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183. Oleh karena itu,
tanpa mengurangi prinsip umum yang diatur dalam Pasal 183 tersebut, perlu

Y
juga diketahui beberapa asas yang diatur pada pasal-pasal lain yang bertujuan
untuk lebih menegaskan prinsip umum yang diatur pada Pasal 183, antara
lain: a) Pasal 185 ayat (2).68
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini

M
lazim disingkat dengan istilah; satu saksi tidak merupakan saksi. Istilah ini
merupakan pengertian yang ditarik dari rumusan: “unus testis nullus testis”;
keterangan atau pengakuan terdakwa (confession by on accused) saja tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa. Hal inilah yang disebut sebagai pedoman
yang diperhatikan sehubungan dengan sistem pembuktian yang berkaitan

M
dengan prinsip batas minimum pembuktian dalam pemeriksaan perkara
dengan “acara pemeriksaan cepat”. Sistem dan prinsip pembuktian yang
berlaku dalam perkara dengan acara pemeriksaan biasa, tidak sepenuhnya
diterapkan dalam perkara dengan “acara pemeriksaan cepat”. Dalam perkara

U
dengan acara pemeriksaan cepat, prinsip minimum pembuktian tidak mutlak
dipedomani. Artinya dalam perkara acara cepat, pembuktian tidak diperlukan
mesti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja
sudah cukup mendukung keyakinan hakim. Hal ini dapat dibaca dari bunyi
“penjelasan” Pasal 184. “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim

D
cukup didukung satu alat bukti yang sah”.
Penyimpangan ini dapat dibenarkan, sebab pada dasarnya, pembuktian
dalam perkara acara cepat, lebih cenderung pada pendekatan “pembuktian
secara formal”. Berikut ini dikemukakan putusan MARI yang berkaitan
dengan masalah asas batas minimum pembuktian, dimulai dari putusan
yang dijatuhkan sebelum KUHAP berlaku. diambil putusan tanggal 17 April
1978 No. 18 K/Kr/1977. Dalam putusan ini MARI membatalkan putusan
perkara yang dikasasi, dan menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa

68
Pasal 185(2) KUHAP: “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”

42 Dinamika Hukum Pembuktian


atas alasan pengadilan salah menerapkan hukum pembuktian: “Pengadilan
telah mendasarkan putusannya semata-mata atas keterangan seorang saksi
saja, padahal para terdakwa mungkir. Sedang keterangan saksi-saksi yang lain
tidak memberi petunjuk atas keterbuktian kejahatan yang didakwakan.” Pada
putusan ini, alasan pembatalan didasarkan atas kekeliruan penerapan hukum
yang telah menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa tanpa didukung oleh

Y
minimum dua alat bukti yang sah, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
294, jo. Pasal 300 HIR sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 183 jo. Pasal
185 (2) KUHAP.69
Demikian pula dalam putusan tanggal 8 September 1983 Reg. No.932
K/Pid/1982, MARI membatalkan dan menjatuhkan putusan bebas terhadap

M
terdakwa dengan alasan: “bahwa menurut berita acara persidangan Pengadilan
Negeri, saksi tidak sempat didengar keterangannya, sedang Visum et Repertum
ternyata tidak ada satupun yang dibacakan. Lagi pula menurut kesimpulan
dari pihak kepolisian, kesalahan berada di pihak korban, dan terdakwa
tidak mengakui telah perbuatan seperti yang didakwakan kepadanya”. Juga

M
dalam putusan tanggal 15 Agustus 1983 Reg. No. 298 K/Pid/1982, MARI
telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan menjatuhkan
putusan bebas terhadap terdakwa. dalam putusan ini, MARI menyatakan:
“kesalahan para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena

U
tidak ada seorang saksi di bawah sumpah maupun alat bukti lain yang dapat
dipergunakan sebagai alat bukti mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa
baik mengenai dakwaan perkosaan maupun atas dakwaan persetubuhan
dengan perempuan yang bukan istrinya”.
Tentang alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat diketahui melalui

D
ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif”
alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak
dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas

69
Pasal 183 KUHAP: “(1) apabila suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di
dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan militer/pengadilan militer tinggi
menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hakim ketua atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi kepada perkara pidana itu.
(2) permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) hanya dapat diajukan paling lambat
sebelum oditur mengajukan tuntutan pidana. Pasal 185 KUHAP (2) Apabila terhadap
suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, permintaan banding mengenai
putusan ganti rugi tidak diperkenankan.”

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 43


hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja, dan tidak
leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti
yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Penilaian sebagai alat bukti, dan yang
dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada
alat-alat bukti yang sah. Pembuktian di luar jenis alat bukti sebagaimana
Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan

Y
pembuktian yang mengikat. Beberapa alat-alat bukti dalam proses peradilan
pidana nasional yakni; Keterangan saksi. Keterangan Ahli. Alat Bukti Surat.
Alat Bukti Petunjuk. Keterangan Terdakwa.
Alat bukti tidak boleh diperoleh secara melawan hukum, sehingga
pemancingan tidak diperbolehkan. Hasil penyidikan adalah rahasia dan

M
dilarang keras penyidik memberikan hasil penyidikan. Di Indonesia tampaknya
masyarakat menghendaki penyidikan transparan, tujuan penyidikan adalah
rahasia, sehingga menjaga praduga tidak bersalah, di sampaing itu untuk
kepentingan penyidikan sendiri, sehingga tersangka tidak akan mudah untuk
menghilangkan alat-alat bukti, atau memengaruhi saksi. Dalam hukum acara

M
pidana mendatang alat-alat bukti dikenal sebagai barang bukti; meliputi
surat-surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli, keterangan seorang
saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim. Pada hakikatnya asas
ini, hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian

U
yang diatur dalam Pasal 183. Sedikit pun tidak ada perbedaan penegasan
Pasal 189 ayat (4) dengan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur
Pasal 183. Asas batas minimum pembuktian ini tidak berbeda dengan apa
yang ditentukan pada Pasal 189 ayat (4), dapat disimpulkan, bahwa alat
bukti keterangan atau pengakuan terdakwa, bukan alat bukti yang memiliki

D
sifat menentukan dan mengikat. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The
Confession Outside the Court). Salah satu asas penilaian yang menentukan
sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti, keterangan terdakwa
itu harus dinyatakan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat diketahui,
bahwa keterangan terdakwa yang di luar sidang pengadilan, sama sekali tidak
mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Akan tetapi, apakah pernyataan di
luar sidang dapat diketahui maknanya sebagaimana Pasal 189 ayat (2) KUHAP.
Beberapa putusan Mahkamah Agung, yang masih tetap dipergunakan
badan peradilan sebagai pedoman, atau stare decisis dalam praktik., yakni;
dapat dipergunakan “sebagai petunjuk”. Pencabutan harus berdasar

44 Dinamika Hukum Pembuktian


alasan. Keterangan pengakuan yang diberikan di luar sidang, dapat dicabut
terdakwa kembali di sidang pengadilan, mesti mempunyai alasan yang
berdasar dan logis. Pencabutan kembali tanpa didasarkan alasan yang logis
adalah pencabutan yang tidak dapat dibenarkan hukum, sebagaimana yang
ditegaskan oleh beberapa yurisprudensi, yang dipedomani oleh praktik
peradilan sampai sekarang. Kekuatan pembuktian keterangan terdakwa secara

Y
sepintas lalu sudah disingggung juga mengenai kekuatan pembuktian alat
bukti keterangan terdakwa. Seperti yang telah diungkapkan, seribu kali pun
terdakwa memberikan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan ini tidak
boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan

M
mengikat. Seandainya pembuat undang-undang menetapkan nilai pengakuan
sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat, ketentuan
yang seperti itu memaksa hakim untuk tidak boleh beranjak dari alat bukti
pengakuan tersebut.
Hakim secara mutlak harus memutuskan perkara atau alasan pembuktian

M
pengakuan. Ketentuan seperti ini sangat berbahaya. Karena seperti apa yang
telah diterangkan terdahulu, orang jahat akan banyak berkeliaran di belakang
pengakuan orang yang diupah. Akibatnya orang yang kaya yang mampu dan
jahat akan semakin jahat. Dia akan tetap bebas berkeliaran di tengah-tengah

U
masyarakat dengan jalan membeli orang miskin yang mau mengaku sebagai
orang yang bertanggung jawab atas tindak pidana yang terjadi. Akibat buruk
yang paling jauh, penegakan hukum dapat diperjualbelikan oleh mereka yang
punya duit. Untunglah pembuat undang-undang tidak menetapkan ketentuan
yang seperti itu, sehingga kecil kemungkinan terdapat orang jahat yang

D
berlindung dibalik pengakuan seorang terdakwa bayaran.
Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undang-undang
tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat bukti
yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan.
Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan
atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut: Sifat nilai kekuatan
pembuktiannya adalah bebas. Harus memenuhi batas minimum pembuktian.
Harus memenuhi asas keyakinan hakim.
Pembalikan beban pembuktian, secara teoretis, dikenal; Pertama, Teori
hukum pembuktian, menurut keyakinan hakim, dan tidak berdasarkan pada

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 45


suatu peraturan. Kedua, Teori berdasarkan pada alasan yang logis. Ketiga,
Bedasarkan pada undang-undang secara positif. Titik tolaknya adalah pada
bukti yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang. Keempat, Hukum
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yakni hakim hanya
boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, bilamana alat bukti itu secara
limitatif ditentukan undang-undang, dan didukung pula oleh keyakinan hakim,

Y
terhadap eksistensi alat-alat bukti.
Adapun beban pembuktian pada penuntut umum, sebagai konsekuensi
dari alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, untuk meyakinkan hakim
tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis dari beban pembuktian pada
penuntut umum ini, berkolerasi dengan asas praduga tidak bersalah, dan

M
aktualisasi dari asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self discrimination).
Dalam konteks, maka terdakwa berperan aktif, untuk menyatakan bahwa
dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di
depan sidang pengadilan, yang akan menyiapkan segala beban pembuktian, dan
bilamana tidak membuktikan, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan

M
tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian ini dikenal sebagai teori
beban pembuktian (omkering van het bewijslaat, atau Shifing of burden of proof).70
Dalam RUU KUHAP, telah diperkenalkan adanya promote adversarial trial
procedures. Memperkenalkan adversarial khususnya, pada tahap persidangan.

U
Adanya kesempatan untuk memberikan pertanyaan dari pihak jaksa penuntut
umum dan penasihat hukum, dan kesempatan untuk menghadirkan saksi,
untuk memperkuat dan memperjelas dakwaan. Peran pengadilan menentukan
pencarian fakta secara aktif. RUU KUHAP, juga memperluas alat bukti,
yakni bukti elektronik dan barang bukti physical evidence, bertujuan untuk

D
mempermudah dengan cara meninggalkan segala fleksibilitas bagi jaksa
dan penasihat hukum, dengan menampilkan alat bukti baru yang diperoleh
di luar negeri, dianggap sebagai alat bukti yang sah, jika diperoleh secara
sah, berdasarkan hukum di negara hukum tersebut dengan tidak melanggar
konstitusi.71

Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian. Op.Cit., hlm. 102-103.


70

Syaiful Bakhri. Sejarah Pembaruan KUHP & KUHAP, (Yogyakarta: Total Media, bekerja
71

sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2011), hlm. 106.

46 Dinamika Hukum Pembuktian


Bukti elektronik, yang dapat dikaitkan dengan hukum pidana,
sebenarnya dalam praktik mengalami kesulitan. Khususnya tindak pidana
yang menggunakan komputer, yakni tidak adanya suatu patokan, atau dasar
peng­gunaan bukti elektronik ini dalam perundang-undangan. Padahal dalam
kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan
suatu peristiwa pidana, adalah berupa data-data elektronik, baik yang berada

Y
dalam komputer itu sendiri (hard disk/floppy disc), atau yang merupakan hasil
print out, atau dalam bentuk lain, berupa jejak (path), dari suatu aktivitas
penggunaan komputer. Sehingga bilamana bukti elektronik, dijadikan
dasar dalam pembuktian, maka diperlukan kekuatan pembuktian melalui
keterangan ahli. Dalam praktik setidaknya panduan untuk menggunakan,

M
alat bukti elektronik dalam mengungkap kejahatan komputer yakni; Adanya
pola (modus operandi), yang relatif sama dalam melakukan tindak pidana
dengan menggunakan komputer. Adanya persesuaian antara satu peristiwa
dengan peristiwa yang lain.72
Pasal 83 RUU KUHAP, menentukan tentang penyadapan, bahwa

M
penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang
lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan terkait dengan tindak
pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut,
yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan. Tindak pidana

U
serius meliputi; terhadap keamanan negara, perampasan kemerdekaan,
pencurian dengan kekerasan, pemerasan, pengancaman, perdagangan orang,
penyeludupan, korupsi, pencucian uang, pemalsuan uang, keimigrasian,
mengenai bahan peledak dan senjata api, terorisme, pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, psikotrapika dan narkotika dan pemerkosaan. Penyadapan

D
harus dengan surat izin, kecuali dalam hal mendesak, setelah itu wajib untuk
memberitahukannya kepada hakim komisaris. Pasal 174 RUU KUHAP,
menentukan tentang pembuktian dan putusan, hakim dilarang menjatuhkan
pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan dengan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

72
Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika Suatu kompilasi Kajian, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 455-456.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 47


Alat bukti yang sah mencakup barang bukti surat-surat, bukti elektronik,
keterangan seorang ahli,73 keterangan seorang saksi,74 keterangan terdakwa,75
dan pengamatan hakim.76
Alat bukti yang sah, harus diperoleh secara tidak melawan hukum.77 Hal
hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Barang bukti,
adalah alat atau sarana yang dipakai untuk melakukan tindak pidana atau

Y
yang menjadi objek tindak pidana atau hasilnya atau bukti fisik atau materiil
yang dapat menjadi bukti, dilakukannya tindak pidana.
Surat, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
yakni; berita acara dan surat lain, dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat

M
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami
sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya.
Dalam menilai kebenaran saksi hakim wajib memerhatikan: persesuaian
antara keterangan saksi satu dengan yang lain; persesuaian antara keterangan

M
saksi dengan alat bukti yang lain; alasan yang mungkin digunakan oleh
saksi untuk memberi keterangan tertentu; cara hidup dan kesusilaan saksi
serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memengaruhi dipercayanya
keterangan tersebut; dan/atau keterangan saksi sebelum dan pada waktu
sidang. Keterangan saksi yang tidak disumpah, yang sesuai satu dengan

U
yang lain, walaupun tidak merupakan alat bukti, dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti yang sah, apabila keterangan tersebut sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah.

D
73
Pasal 179: “Keterangan ahli, adalah segala hal yang dinyatakan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus, di sidang persidangan.”
74
Pasal 180: “keterangan saksi, sebagai alat bukti, segala hal yang dinyatakan oleh
saksi di sidang pengadilan.”
75
Pasal 181: “keterangan terdakwa, adalah segala hal yang dinyatakan oleh terdakwa
di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau diketahui sendiri atau
dialami sendiri.”
76
Pasal 182: “pengamatan hakim selama sidang, adalah didasarkan pada perbuatan,
kejadian, keadaan, atau barang bukti yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya.”
77
Pasal 183: “alat bukti yang diberikan oleh pemerintah, orang, atau perusahaan negara
lain dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah, apabila diperoleh secara sah berdasarkan
peraturan perundang-undangan negara lain tersebut.”

48 Dinamika Hukum Pembuktian


Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang pengadilan, dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan, dengan
ketentuan bahwa keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa
hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari satu pengamatan hakim selama

Y
sidang dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah hakim
mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan seksama berdasarkan hati
nurani.
Tentang saksi mahkota, bahwa salah seorang tersangka atau terdakwa
yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi alam perkara yang

M
sama, dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila saksi membantu
mengungkapkan keterlibatan tersanka lain, yang patut dipidana dalam tindak
pidana tersebut. Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya
ringan dalam tindak pidana, maka tersangka atau terdakwa yang mengaku
bersalah, berdasarkan Pasal 199, dan membantu secara substantif mengungkap

M
tindak pidana, dan peran tersangka lain, dapat dikurangi pidananya dengan
kebijaksanaan hakim pengadilan negeri. Penuntut umum menentukan
tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota.

U
E. Pembuktian dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi
Pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi, menjadi suatu sorotan
publik, disebabkan posisi pidana khusus ini, menuai banyak permasalahan,
terutama berkaitan dengan prinsip hak asasi manusia, serta pengaturan

D
perundang-undangan tindak pidana korupsi serta hukum acara pidana
sekarang.
Berbagai cara untuk membuktikan dalam peradilan pidana, maka ada
perkembangan terhadap pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi,
di mana sejatinya, tidak hanya memuaskan untuk menghukum pelaku, tetapi
upaya untuk pengembalian uang negara, sebagai bagian utama kerugian sosial,
dan amat mengganggu tercapainya keadilan sosial, serta merusak sendi-sendi
perekonomian nasional.
Dalam perjuangan prinsip negara hukum, maka tercermin dari sejumlah
proses peradilan pidana yang wajar, transparan dan tidak berbasiskan

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 49


kekuasaan, oleh karena itu pembuktian,78 merupakan masalah yang penting
dalam proses peradilan pidana di Indonesia, dengan melalui pembuktian,
yang bermakna sebagai titik sentral pemeriksaan di sidang pengadilan,
guna menentukan posisi terdakwa, apakah telah memenuhi unsur-unsur
yang ditentukan dalam hukum acara pidana. Pada tahap inilah nasib
terdakwa, atau tersangka akan dinilai oleh hakim, dengan kecermatan untuk

Y
mempertimbangkan fakta-fakta dan seluruh alat bukti sebagaimana yang
ditentukan pada Pasal 184.79
Pembuktian dalam sistem hukum acara pidana Indonesia, berlaku untuk
acara pidana peradilan korupsi, ditambah dengan kekhususan, dalam mencari
dan mengumpulkan pembuktian dengan cara-cara yang luar biasa, seperti

M
penyadapan, adalah suatu hal yang mendapatkan perhatian, karena diperlukan
pengawasan dalam setiap aksi-aksinya guna mendapatkan pembuktian yang
teramat sulit dicapai, maka undang-undang memberikan suatu kewenangan
lebih mudah dan luas, agar kejahatan korupsi dapat diungkapkan.
Perspektif sistem peradilan pidana, pembuktian sangat memegang

M
peranan penting untuk menyatakan kesalahan terdakwa, apabila dilihat dari
visi letaknya dalam kerangka yuridis aspek pembuktian terbilang unik karena
dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum acara pidana, dikaji secara
mendalam karena dipengaruhi oleh adanya pendekatan dari hukum perdata.

U
Aspek pembuktian telah dimulai pada tahap penyelidikan, hingga penjatuhan
vonis oleh hakim, dan secara dominan terjadi pada sidang di pengadilan, dalam
rangka hakim menemukan kebenaran materiil, selain itu aspek pembuktian
juga bermanfaat pada kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga
penelitian.80

78

D
Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 151.
Pembuktian secara etimologi, berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa,
dengan proses perbuatan, cara membuktikan. lihat juga R.Subekti. Hukum Pembuktian,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 7. Dikemukakan, bahwa pembuktian ialah, upaya
untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengkataan di pengadilan.
79
Pasal 184 KUHAP: “(1) Alat bukti yang sah ialah; keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. (2) hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan.”
80
Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik. Op.Cit.,
hlm. 91-93.

50 Dinamika Hukum Pembuktian


Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah, ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan
kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasihat
hukum, dari semua tingkatan itu, maka ketentuan dan tata cara serta
penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak
diperkenankannya untuk leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai

Y
pembuktian, termasuk terdakwa tidak leluasa untuk mempertahankan sesuatu
yang dianggapnya benar di luar dari undang-undang. Karenanya hakim harus
cermat, sadar dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian,
yang ditemukan selama dalam pemeriksaan persidangan, dan mendasarkan
pada alat bukti yang secara limitatif dtentukan menurut Pasal 184 KUHAP.81

M
Hukum acara pidana dalam pengertian formal menunjukkan, bahwa
hukum acara pidana merupakan serangkaian aturan-aturan hukum yang
berkaitan dengan prosedur penyelesaian perkara pidana. Sementara itu,
hukum acara pidana dalam artian materiil menunjukkan, bahwa hukum acara
pidana merupakan serangkaian aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan

M
prosedur penyelesaian perkara pidana, hukum pidana formal mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana
dan menjatuhkan pidana.82
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, menganut asas bahwa kasus

U
pidana adalah sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan
sengketa itu akan diselesaikan oleh pemerintah sebagai wakil dari publik,
dengan menganut dan mengikuti civil law atau disebut juga dengan sistem
enacted law yang dibangun dengan satu doktrin, bahwa pemerintah akan
selalu berbuat baik, hukum direnungkan oleh ahli politik, ahli hukum

D
merencanakannya dalam bentuk tertulis.
Sedangkan dalam sistem common law sengketa itu diputuskan oleh pihak
ketiga yang disebut jury kecuali yang bersangkutan memilih lain. Pilihan
selalu ada pada pihak terdakwa sebagai konsekuensi dari asas due process of
law. Hukum bukan dibuat oleh ahli politik atau ahli hukum akan tetapi oleh

81
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hlm. 252-253.
82
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008),
hlm. 4-6.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 51


orang awam yang jujur yang disebut jury. Oleh karenanya hukum dibuat
dari kasus-kasus yang diproses melalui pengadilan, disebut common law atau
judge made law.83
Terhadap pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan, maka ketentuan
perundang-undangan memberikan hak istimewa atau ”hak privilese” kepada
polisi untuk memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah,

Y
menyita terhadap tersangka, atas dugaan bukti yang kuat telah melakukan
tindak pidana, terhadap pelaksanaan hak istimewa itu, harus taat dan tunduk
pada prinsip the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan
dilakukan penyidikan di atas landasan sesuai dengan hukum acara, dan ide
penghormatan terhadap due process of law bersumber pada cita-cita ”negara

M
hukum” yang menjunjung tinggi supremasi hukum, yang menegaskan
pemerintahan diatur oleh hukum, dan bukan pada perseorangan (government
of law and not a man). Dengan demikian maka, konsep esensi due process of
law dalam pelaksanaannya, para penegak hukum harus memedomani dan
mengakui, serta menjamin berbagai hak yang ditentukan oleh KUHAP, yakni

M
prinsip; “the right of self incrimination”, without due process of law”, “unresonible
searches and seizures”, “the right of conform”, “the right to a speedy trial”, “equal
protection and equal treatment of the law”, “the right to have assistance of cuonsil.”84
Dalam perkara pidana maupun perkara perdata, hakim memerlukan

U
pembuktian, khususnya hukum acara pidana sebagai hukum publik, dipakai
system negative menurut undang-undang, sistem ini terkandung dalam RIB
(Reglemen Indonesia yang diperbarui).85
Sistem Hukum Pidana secara umum, berlaku dan melandasi Sistem

D
Hukum Pidana Indonesia Asas Pembalikan beban pembuktian dalam
tindak pidana korupsi menurut Sistem Hukum Pidana Indonesia mencakup
pengertian sistem pemidanaaan dan pembaruan hukum pidana.

83
Luhut M.P. Pangaribuan. Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan
KUHAP Serta Dilengkapi Dengan Hukum Internasional yang Relevan, (Jakarta: Djambatan,
2000), hlm. xviii-xix.
84
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 95-96.
85
Pasal 294 (1) RIB: “Tiada seorangpun yang dapat dihukum, kecuali jika hakim
berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana
telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya.”

52 Dinamika Hukum Pembuktian


Pada sistem pemidanaan, asas pembalikan beban pembuktian berorientasi
kepada subsistem Hukum Pidana Formal dan subsistem Hukum Pidana
Materiil. Pada subsistem Hukum Pidana Formal, praktik asas pembalikan
beban pembuktian di Indonesia tidak pernah diterapkan. Akan tetapi, pada
praktik peradilan perkara tindak pidana korupsi di Hongkong dan India
diterapkan terhadap pembuktian asal usul harta kekayaan pelaku yang diduga

Y
berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Kemudian pada subsistem Hukum
Pidana Materiil khususnya terhadap peraturan hukum positif tindak pidana
korupsi ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan
norma asas pembalikan beban pembuktian pada ketentuan Pasal 12B.
”Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal

M
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Pasal 37, Pasal 37A, (1) terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan,
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, (2) dalam hal terdakwa

M
dapat membuktikan, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar
untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti; Pasal 37 a, (terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

U
benda istri dan suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan; (2)
dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk

D
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi;(3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya. dan Pasal 38b UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001.(1) setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 53


Membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi; (2) Dalam
hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi,
harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi
dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda

Y
tersebut dirampas untuk negara; (3) Tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum
pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok; (4) Pembuktian
bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal
dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan

M
pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori
banding dan memori kasasi; (5) Hakim wajib membuka persidangan yang
khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4); (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan
lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan

M
perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) harus ditolak oleh hakim.
Tentang perampasan aset dalam peraturan perundang-undangan pidana
di Indonesia, sebelum ratifikasi konvensi PBB anti korupsi 2003, berdasarkan

U
UU No. 7 Tahun 2006, telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan
pidana yang berhubungan dengan perampasan aset hasil tindak pidana.
Walaupun ruang lingkup pengembalian aset, belum diatur secara rinci dan
memadai, termasuk pembuktian terbalik dalam perampasan aset tindak
pidana. Instrumen hukum nasional itu, yakni sebagai berikut.86

D
UU No. 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan KUHP, dan perubahannya
dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHAP, yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap keamanan negara; UU No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP; UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang telah diubah
dengan UU No. 17 Tahun 2006; UU No. 31 Tahun 1999, diubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No.35
Tahun 2009 tentang Nakotika; UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotrapika;

86
Romli Atmasasmita. Perampasan Aset Melalui Pembuktian Terbalik, Studi Perbandingan
Hukum Pidana, (Jakarta: Mabes Polri, Fokus Grouf Discusson, 10 Maret 2011), hlm. 6.

54 Dinamika Hukum Pembuktian


UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Dalam perkara tindak pidana korupsi, berlaku hukum acara pidana
(KUHAP), selain itu diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa, khusus perkara TIPIKOR, dapat diperoleh; Alat bukti lain yang
berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara

Y
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, tetapi tidak terbatas
pada data penghubung elektronik (electronik data interchange), surat elektronik
(e-mail), telegram, teleks dan faksimili; dan dokumen, yakni setiap rekaman
data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan /atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di

M
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.87
Asas pembalikan beban pembuktian diterapkan dalam lingkup perdata
(civil procedure) khususnya dalam pengembalian harta pelaku tindak pidana

M
korupsi, dan di sini ditemukan ketidakharmonisan peraturan pembalikan
beban pembuktian di Indonesia. Oleh karena itu, setelah berlakunya KAK
2003 diharapkan adanya kejelasan dan keharmonisan peraturan pembalikan
beban pembuktian sehingga ditemukan adanya sinkronisasi antara das sollen

U
dan das sein dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Harmonisasi dan
sinkronisasi diperlukan dalam rangka untuk menindak pelaku tindak pidana
korupsi dengan melalui pembalikan beban pembuktian sehingga diharapkan
adanya aspek ideal antara kebijakan legislasi dan kebijakan aplikasi. Oleh
karena itu, memang relatif diperlukan adanya pembaruan hukum pidana

D
khususnya terhadap peraturan tindak pidana korupsi dalam Sistem Hukum
Pidana Indonesia agar menjadi harmonis dan sinkron.
Permasalahan krusial Sistem Hukum Pidana Indonesia dalam arti
perspektif sistem pemidanaan dan pembaruan hukum pidana. Hakikat
pembuktian dalam hukum pidana adalah teramat urgen, karena pembuktian
merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang
kesalahan seseorang dapat dijatuhkan pidana, karena dari hasil persidangan
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, kemudian dapat

Aziz Syamsuddin. Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 168-169.
87

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 55


dibebaskan dari dakwaan, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana
ataukah dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan
terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana.
Secara sederhana dapat dikatakan terdapat anasir erat antara asas-asas hukum
pidana dengan dimensi pembuktian yang merupakan rumpun hukum acara
pidana (formeel strafreht /strafproceesrecht).88

Y
Pemulihan aset korupsi dalam konvensi PBB anti korupsi 2003, didahului
oleh tiga resolusi sidang majelis umum PBB yakni sebagai berikut; Resolusi
sidang umum PBB. No. 5/188, tanggal 20 Desember 2000, Preventing and
combating corrupt practices and illegal transfer of punds and repatriation of such funds
to countries of origion. Resolusi sidang majelis umum PBB. No 56/260, tanggal

M
31 Januari 2002, yang meminta komite adhoc negosiasi draft konvensi PBB
anti korupsi untuk memasukkan suatu pendekatan multidisiplin termasuk
pencegahan dan penindakan terhadap transfer aset yang berasal dari korupsi.
Resolusi Badan Ecosoc Tahun 2001/13 tanggal 24 juli 2001. Strenghtening
internasional cooperation in preventing and combating the transfer of funds of illicit

M
origin, including loundering of funds.
Ketiga resolusi itu ditindaklanjuti dengan lokakarya teknis, dengan topik;
Transfer abroad of funds or asset of illicit origin. Return of funds or asset of illicit origin.
Prevention of the transfer of funds or assets of illicit origin. Adapun sejarah perkembangan

U
asset recovery, dapat ditelusuri dari beberapa instrumen internasional mengenai
korupsi dan pencucian uang sebagai berikut: United nations convention againts
transnational organized crime tahun 2000; The convention of loundering, search, seizure and
confiscation of the proceeds from crime; Criminal law convention on corruption of the council
of europe; Civil law convention on corruption of the council of europe; The inter-american

D
convention againts corruption of the organization of American state; The convention on
combating bribery of foreign public officials in international business transaction of the
organization economic coorperation and depelopment.
Sejak diterapkannya regulasi tersebut, maka regulasi mengenai perampasan
aset tindak pidana, telah mengalami perkembangan baru, dari sisi teori
pembuktian maupun dari sisi praktik, peradilan di beberapa negara, terhadap
perkara tindak pidana serius, seperti tindak pidana narkotika, pencucian uang
dan di bidang perpajakan.89

88
Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban. Op.Cit., hlm. 76.
89
Romli Atmasasmita. Perampasan Aset Melalui Pembuktian Terbalik, Op.Cit., hlm. 9-10.

56 Dinamika Hukum Pembuktian


Tentang pembuktian dalam perkara pidana, dapat diikuti Pasal 66
KUHAP.90 Ikhwal pembuktian terbalik diatur dalam ketentuan Pasal 37
(1) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan,
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan, bahwa dia tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Karenanya, dalam hal terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia, tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut

Y
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan, bahwa
dakwaan tidak terbukti (Pasal 37(2) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20
Tahun 2001). Pembuktian terbalik bersifat premium remedium, dan sekaligus
mengandung sifat prefensi khusus terhadap pegawai negeri, yang diperlakukan
pada tindak pidana baru, tentang gratifikasi dan pada tuntutan perampasan

M
harta benda terdakwa, yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana
(predicate crime).91
Dalam perkembangannya, terhadap hal-hal tertentu, beban pembuktian
dapat diperlakukan kepada tersangka/terdakwa, yang dikenal sebagai
pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast). Pembuktian terbalik

M
merupakan sistem pembuktian, dengan pola baru, yang diterapkan di negara
negara Anglo Saxon, dan berhasil dipraktikkan di Hongkong, Inggris, Malaysia
serta Singapura. Beban pembuktian bertumpu pada terdakwa, sehingga
terdakwalah yang membuktikan, bahwa dirinya tidak bersalah, sehingga

U
konsekuensinya adalah beban pembuktian ada pada terdakwa, dengan suatu
pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap presumtion of innocence
dan non self incrimination.92
Kebijakan legislasi tenang pembalikan beban pembuktian, mulai
terdapat dalam UU No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan

D
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana ketentuan Pasal 5 (1) UU
No. 24 Tahun 1960. ’Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istrinya/suaminya dan anak dari harta benda sesuatu
badan hukum yang diurusnya apabila diminta oleh jaksa. ’ Selanjutnya dalam UU
No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 menentukan;
hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan

90
Pasal 66 KUHAP. Terdakwa atau tersangka, tidak dibebani kewajiban pembuktian.
91
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus. Op.Cit., hlm. 168-169.
92
Rofinus Hotmaulana. Perlindunan Terhadap Hak-Hak Tersangka/Terdakwa Atas Penerapan
Beban Pembuktian Terbalik, (Jakarta: Mabes Polri, Fokus Grouf Discusson, 10 Maret 2011),
hlm. 1-2.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 57


memberikan keterangan tentang pembuktian, bahwa ia tidak bersalah
melakukan tindak pidana korupsi. Keterangan tentang pembuktian yang
dikemukakann oleh terdakwa, bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam
ayat 1 hanya diperkenankan dalam hal apabila terdakwa menerangkan dalam
pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafannya yang wajar
tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau apabila terdakwa

Y
menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi
kepentingan umum.
Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian
yang dimaksud dalam ayat 1, maka keterangan tersebut dipergunakan
sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal

M
kemudian penuntut umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan
pembuktian yang berlawanan. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan
keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat 1, maka
keterangan tersebut, dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan
baginya. Dalam hal demikian penuntut umum tetap diwajibkan memberi

M
pembuktian, bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Politik hukum kebijakan legislasi mengenai pembalikan beban pembuktian
diatur dalam ketentuan Pasal 38B (1) UU No. 20 Tahun 2001, yakni; ”Setiap
orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana

U
dimaksud dalam Pasal 2, 3,4,13, 14, 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
UU ini, wajib membuktikan sebaliknya, terhadap harta benda miliknya yang
belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.” Pada
hakikatnya ketentuan pasal ini, merupakan pembalikan beban pembuktian,

D
yang dikhususkan pada perampasan harta benda, yang diduga keras berasal
dari tindak pidana korupsi.93
Justice Collaborator dan Whistle Blower Dalam Proses Pembuktian Pidana.
Istilah “justice collaborator” relatif baru, “whistle blower” dalam referensi
hukum pidana internasional dan telah digunakan di beberapa negara. Ada
perbedaan besar antara sebutan keduanya, yaitu whistle blower adalah setiap
orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan
kepada penyidik mengenai seluk-beluk tindak pidana yang ia ketahui dan

93
Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban. Op.Cit., hlm. 20.

58 Dinamika Hukum Pembuktian


dengar sendiri bahkan ia alami sendiri. Dengan itu dia mendapatkan jaminan
perlindungan atas keamanan (fisik) di bawah supervisi kepolisian. Caranya
dengan mengubah identitas, menempatkan di suatu lokasi tertentu dan berada
di bawah pengawasan superketat dari pihak intelijen kepolisian. Tujuan dari
keberadaan whistle blower adalah memudahkan tugas penyidikan sehingga suatu
perkara dapat diungkap tuntas sampai kepada intelectual-dader dan pimpinan

Y
organisasi kejahatan. Sementara justice collaborator adalah setiap tersangka yang
terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik
atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja
sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti
sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif. Perlindungan

M
hukum terhadap whistle blower berbeda dengan justice collaborator.94
Whistle blower dalam Hukum Acara Pidana di Belanda. Salah satu alat
bukti yang menjadi poros dalam peradilan pidana adalah keterangan saksi.
Apabila ditinjau dari perbandingan dengan negara-negara Eropa, maka peluang
untuk memanfaatkan keterangan saksi dalam proses pembuktian merupakan

M
salah satu hal yang populis khususnya di Belanda sejak kurun waktu 1990-an.
Peluang untuk penegak hukum dalam hal ini kejaksaan (Openbaar Ministrie)
untuk membuat kesepakatan dengan saksi untuk atas imbalan tertentu,
misalnya pengurangan hukuman, memberi kesaksian dalam kasus pidana di

U
mana ia sendiri berkedudukan sebagai saksi sekaligus terdakwa.95
Posisi ini lebih dikenal sebagai justice collaborator. Opsi ini menjadi
populis dikarenakan melalui kesepakatan dengan saksi tertentu, saksi yang
bersangkutan dapat didorong lebih jauh khususnya dalam memberikan
keterangan mengenai tindak pidana yang hendak dibuktikan dan sesuatu

D
kemungkinan untuk menggali lebih dalam keterangan yang berpotensi untuk
mengkriminalisasi atas dirinya itu sendiri sukar untuk dapat terjadi apabila
tanpa adanya sebuah kesepakatan khusus.96

94
Romli Atmasasmita, Justice Collaborator, Mungkinkah?, Harian Seputar Indonesia,
24 Mei 2012.
95
Jan Crins, “Kesepakatan dengan Saksi dalam Peradilan Pidana Belanda dan Pelajaran
yang mungkin dapat dipetik oleh Indonesia”, dalam, Hukum Pidana dalam Perspektif,
Editor: Agustinus Pohan, Topo Santoso, dkk., (Bali: Pustaka Larasan Bekerjasama dengan
Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Gronigen, 2012), hlm. 155.
96
E. W. Thomas, The Judicial Process, (New York: Cambridge Press, 2005), hlm. 231-232.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 59


Namun, di dalam kenyataannya instrumen kesepakatan sebagaimana
digambarkan tersebut jarang sekali digunakan, dalam berbagai alasan bahwa
secara faktual metode demikian banyak pula sistem negatifnya. Kesepakatan
yang dimaksudkan di sini adalah afspraak atau dapat pula dinyatakan sebagai
konsensus, bukanlah yang dimaksudkan membuat perjanjian atau dalam
artian overkomst, namun dapat pula dinyatakan kesepakatan yang berbentuk

Y
perjanjian apabila terdapat kondisi tertentu yang memaksa untuk itu. 97
Sesungguhnya yang menjadi titik lemah utama mengapa opsi seperti ini
jarang dilakukan di sistem penegakan hukum pidana Belanda dikarenakan
penggunaan opsi ini akan mempertaruhkan nama kejaksaan (Openbaar
Ministrie) itu sendiri. Posisi yang tampak dari luar bahwa penegak hukum

M
justru berkerja sama dengan orang yang dinyatakan kriminal terkadang
mengusik rasa keadilan itu sendiri.
Selain itu, terdapat pula pertimbangan bahwa munculnya keragu-raguan
yang beralasan apabila dalam penegakan hukum pidana dengan mengandalkan
keterangan-keterangan saksi yang telah diiming-imingi suatu imbalan, padahal

M
di sisi lain saksi tersebut secara tidak langsung dicurigai pula sebagai pelaku
tindak pidana sebagaimana yang diselidiki. Namun apa pun yang menjadi
pertimbangan atas suatu keberatan yang timbul, terdapat pula pertimbangan
yang lebih penting dari beberapa anggapan yang timbul yakni adanya tingkat

U
kebenaran dari keterangan yang diberikan akibat adanya kesepakatan-
kesepakatan yang timbul, maka dapat dipastikan proses pembuktian akan
berjalan lebih mudah. Namun pada kesimpulannya Openbaar Ministrie akan
sangat berhati-hati dalam membuat kesepakatan dengan saksi mahkota.98
Di Belanda, sampai pada medio tahun 1960-an, hanya sedikit perhatian

D
pada suatu opsi pembuatan kesepakatan dengan saksi yang nantinya akan
menjadi justice collaborator dalam pengungkapan suatu kejahatan dalam skala
besar dan terorganisir. Namun, situasi ini berubah total seiring meningkatnya
keperluan untuk memberantas kejahatan skala besar atau yang terorganisir.
Selain itu polisi ataupun Openbaar Ministrie seringkali berhadapan dengan saksi-
saksi yang enggan memberikan kesaksian yang memberatkan atau keterangan
yang melawan sesama tersangka/terdakwa. Apalagi pada saat yang sama pula,
saksi-saksi yang demikian tersebut memiliki hak ingkar atau hak untuk tidak

97
Jan Crins, Op.Cit., hlm. 156­.
98
Ibid.

60 Dinamika Hukum Pembuktian


memberikan kesaksian (verschoningsrechts), tidak dapat dipaksa memberikan
kesaksian yang diperlukan.
Maka untuk menerobos kebuntuan tersebut, maka kerapkali digunakan
instrumen kesepakatan dengan saksi. Meskipun pada saat itu belum
ada perundang-undangan yang dapat memberikan landasan hukum bagi
kesepakatan dengan saksi, kejaksaan berpendapat bahwa kewenangan tersebut

Y
dimiliki dikarenakan berbasiskan kepada adanya asas oportunitas (the principles
of discretional powers) yang dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 167 (2) dan
Pasal 242 (2) dari Wetboek van Strafvordering (KUHAP Belanda). Baru setelah
Hoge Raad berulang kali mengingatkan kepada pembentuk undang-undang
untuk membentuk suatu regulasi yang jelas mengenai praktik tersebut,

M
maka tahun 2006 peraturan yang demikian tersebut diberlakukan. Sejak saat
itu di dalam KUHAP Belanda dapat ditemukan pengaturan mengenai justice
collaborator dalam Pasal 226g sampai 226l.99
Seluruh pihak yang terlibat dalam pengadilan berhak atas penghormatan
privasi dan keamanan dan tidak dapat menjadi subjek atas perlakuan yang

M
merendahkan martabat. Di dalam proses pembuktian, keterangan saksi
memiliki posisi yang khusus dalam menentukan proses pembuktian atas suatu
tindak pidana. Saksi dapat dikatakan sebagai alat bukti penting, dikarenakan
sulit sekali menegakkan dakwaan tanpa kesaksian, walaupun terdapat alat

U
bukti lain yang saling mendukung dalam suatu kasus.100
KUHAP sesungguhnya telah mengatur tentang hak-hak terhadap saksi
di antaranya adalah hak atas penerjemah (Pasal 177), hak untuk memberikan
keterangan tanpa tekanan (Pasal 117), hak untuk tidak diajukan pertanyaan

D
yang menjerat (Pasal 166), hak untuk mendapatkan penggantian biaya (Pasal
229). Pengaturan ini kemudian diperkuat oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur bahwa
saksi dan korban berhak untuk: memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang
berkenaan dengan kesaksiaan yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan; memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat

99
Ibid., 162.
100
Jenny Mc Ewan, The Testimony of Vulnerable Victims and Witnesses in Criminal Proceedings
in the European Union, (Era Forum, 2009), hlm. 369-389.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 61


penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapatkan informasi
mengenai perkembangan kasus/mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapatkan
identitas baru; mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian
biaya transportasi sesuai kebutuhan; mendapat nasihat hukum; dan/atau
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

Y
berakhir.
Lebih lanjut lagi, dalam Pasal 6 dikatakan bahwa korban dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan
bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Perlindungan terhadap justice collaborator dan

M
whislte blower di Indonesia sendiri diatur lebih lanjut melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Pada Pasal 10 UU tentang
Perlindungan Saksi dan korban menyatakan bahwa: saksi, korban, dan pelapor
tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan,
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. seorang saksi yang

M
juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana
yang bersangkutan.

U
Hingga saai ini, perlindungan hukum terhadap whistle blower sebatas
perlindungan fisik sedangkan perlindungan terhadap justice collaborator tidak
sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawarkan.
Keringanan itu baik dalam menentukan besarnya tuntutan penuntut atau
hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim di persidangan atau bahkan

D
kemungkinan untuk dibebaskan dari penuntutan. Keringanan-keringanan
bagi justice collaborator telah diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi 2003 dan
Konvensi PBB tentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah diratifikasi
Indonesia. Dalam RUU Tipikor 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal
52 ayat (1): ”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling
ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan
dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap “tindak pidana
korupsi tersebut”. Pasal 52 ayat (2): “Jika tidak ada tersangka atau terdakwa
yang peranannya ringan dalam tindak pidana korupsi maka yang membantu
mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.” Namun dalam

62 Dinamika Hukum Pembuktian


Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai
baik whistle blower maupun justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak
istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit”.
Persamaan whistle blower dan justice collaborator adalah keduanya bertujuan
untuk memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap

Y
tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan organisasi
kejahatan. Dalam konteks ini, kasus korupsi di Indonesia yang tidak pernah
dilakukan sendirian melainkan bersifat kolektif, keberadaan ketentuan
whistle blower dan justice collaborator merupakan celah hukum yang diharapkan
memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan.

M
Namun demikian, celah hukum baik bagi whistle blower maupun justice
collaborator bukan tanpa risiko baik dari sisi kepentingan perlindungan yang
bersangkutan maupun dari sisi kepentingan peradilan yang fair and impartial
sejak proses penyidikan sampai pada proses pemasyarakatan. Kedua risiko
tersebut tergantung dari kesiapan dan kejelian penyidik untuk mencegah upaya

M
yang bersangkutan “mengail di air keruh” atau bahkan pihak penguasa yang
memanfaatkan hal tersebut.101
Di dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 jenis kejahatan yang disebutkan adalah
korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang,

U
perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.
Keseluruhan kejahatan yang disebutkan hingga saat ini telah memiliki
pengaturan, namun khusus mengenai kejahatan yang terorganisir belum
mendapatkan penjelasan yang mendalam yang diberikan oleh SEMA No. 4
Tahun 2011, namun hal ini jelas memberikan keuntungan untuk memberikan

D
pengaturan bagi tindak pidana yang baru pada masa yang akan datang. Namun
apabila merujuk kepada instrumen hukum internasional, maka kejahatan
terorganisir yang dianut di dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 merupakan jenis
kejahatan yang diakui dalam United Nations Conventions Against Transnasional
Organized Crime, Palermo pada tahun 2000.
Konvensi tersebut pada akhirnya diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun
2009, dan beberapa undang-undang lain yang secara tidak langsung memiliki
substansi yang sama dengan undang-undang ini, antara lain: Undang-Undang

101
Romli Atmasasmita, Op.Cit.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 63


Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001; Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Penggannti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Y
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-
undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum
Timbal Balik dalam Masalah Pidana; Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Maka

M
berdasarkan penjelasan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tersebut,
tindak pidana terorganisir dapat ditentukan berdasarkan lingkup, karakter,
modus operandi dan pelakunya.
Pembuktian dalam perkara korupsi, terus menuai permasalahan, karena
para penegak hukum, masih bekerja, dengan kerangka tebang pilih, dengan

M
menafsirkan pembuktian secara subjektif. Padahal kunci pokok yang paling
utama dalam penegakan tindak pidana korupsi, adalah suatu komitmen dari
penegak hukum untuk bekerja secara profesional, memberikan penelusuran
alat alat bukti dengan cerdas. Sehingga pengungkapan alat-alat bukti, sangat

U
mudah untuk ditelusuri, karena peraturan perundang-undangan yang terkait,
sudah cukup memadai. Karenanya komitmen penegakan hukum oleh aparatur,
harus dalam semangat moral yang tinggi dan harus jauh dari dimensi dan
pernik-pernik politis.
Penegakan hukum, dengan fokus pada penggunaan beban pembuktian,

D
masih menjadi alat rekayasa, dengan pertautan pada kepentingan dan tekanan
politis. Tekanan politis, adalah suatu benturan dari suatu konfigurasi kekuatan
politik, dengan pengaruh-pengaruh dan tekanan kekuatan politik, untuk
mencapai tujuannya. Kebebasan aparatur penegak hukum dari intervensi
kekuasaan apa pun dalam artian yang luas, masih menyisahkan, persoalan
yang belum terpecahkan. Padahal peraturan perundang-undangan telah
cukup ketat dan sangat limitatif, menentukan jalan dan proses pembuktian,
guna pencapaian tujuannya, untuk membantu sistem peradilan pidana, guna
menentukan pelaku kejahatan terhadap ragam pembuktian juga, bersamaan
dan terdapat perbedaan dengan sistem serta jenis peradilan lainnya.

64 Dinamika Hukum Pembuktian


F. Pembuktian dalam Peradilan Militer
Peradilan Militer, adalah peradilan khusus, yang menyangkut kejahatan
yang dilakukan oleh anggota militer, ataupun yang melibatkan anggota militer,
atas terjadinya kejahatan. Peradilan ini berlaku sejak adanya kemerdekaan, dan
berlanjut serta berkembang hingga sekarang dengan menyesuaikan prinsip-

Y
prinsip negara hukum Indonesia.
Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus
1945, maka sejak saat itu berakhirlah penjajahan di seluruh Indonesia, dan
hal ini menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu untuk mengatur diri
sendiri. Guna mengatur kehidupan bernegara, maka pada tanggal 18 Agustus

M
1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, mengadakan sidang khusus
untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Maka, setelah diadakan perubahan-perubahan, kemudian naskah tersebut
disahkan sebagai Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku di seluruh wilayah
Indonesia.

M
Di dalam UUD 1945, terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang
kehidupan peradilan di Indonesia, di antaranya Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi; “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan ayat

U
(2); “susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang”. Walaupun telah ada ketentuan di atas, sebagai negara yang
baru berdiri, maka tidak mungkin melengkapi dan mengatur segala sesuatu
dengan serentak. Oleh karena itu, di dalam UUD 1945, terdapat ketentuan
dalam Pasal II Aturan Peralihan yang menentukan “segala badan negara dan

D
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Dalam konteks Peradilan Ketentaraan, sebenarnya dapat saja mengambil
alih Peradilan Ketentaraan yang berlaku pada masa penjajahan Jepang. Namun
hal itu tidak dilakukan, sebaliknya Peradilan Ketentaraan baru dibentuk setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan
Ketentaraan.102

102
Dalam bagian menimbang UU No. 7 Tahun 1946 tentang Peradilan Ketentaraan
ditentukan: “bahwa dianggap perlu di samping pengadilan biasa diadakan pengadilan
ketentaraan”.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 65


Selanjutnya, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946
tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Militer. Adanya 2 (dua) undang-
undang di atas, menunjukkan bahwa Hukum Acara Pidana Militer merupakan
produk hukum Bangsa Indonesia asli (orisinil) dan bukan diambil alih dari
hukum bangsa lain atau warisan dari hukum zaman penjajahan di Indonesia.103
Berbeda dengan hukum acaranya, KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum

Y
Pidana Militer) dan KUHDM (Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer)
sebagai hukum pidana militer materiil, adalah hukum yang diwariskan dari
pemerintah kolonial. Hukum Pidana Militer di Indonesia merupakan turunan
dari wetboek van militair strafrecht (WvMS) dari Belanda. WvMS diberlakukan
di Indonesia berdasarkan asas konkordansi Pasal 132 I.S, yang menentukan

M
pelaksanaan hukum pidana militer dicantumkan dalam ordansi-ordansi yang
sejauh mungkin bersesuaian dengan Undang-Undang yang ada di negeri Belanda.
Karena Perang Dunia 1, WvMS baru dapat diberlakukan pada 1923. Atas dasar
asas konkordansi, maka pada tahun 1933 rancangan WvMSvNI (Wetboek van
Militair Strafrecht voor NederlandschIndi) diajukan ke Volksraad Nederland Indie oleh

M
Gubernur Jenderal De Jonge bersamaan dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Disiplin Militer (KUHDM), dan kemudian diberlakukan oleh pemerintah
kolonial dengan Stbl. 1934 No. 167 dan 168 pada 1 Oktober 1934.104
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan Peraturan

U
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, KUHPM dan KUHDM dinyatakan berlaku
bagi seluruh Indonesia. KUHPM dan KUHDM inilah yang kemudian setelah
diadakan perubahan, pengurangan, dan penambahan, terhadap kedua undang-
undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 dan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1947.105

D
Pada waktu itu, keadaan negara dalam keadaan terancam karena pemerintah
kolonial Belanda dengan membonceng kepada tentara sekutu bermaksud
menjajah kembali negara Republik Indonesia, maka untuk menyesuaikan
dengan situasi dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang
Susunan dan Kekuasaan Pengadilan Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan

103
Moch. Faisal Salam. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 2002), hlm. 8.
104
Tri Andrisman. Hukum Pidana: Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia, (Bandar Lampung: Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung, 2005), hlm. 34.
105
Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: PETEHAEM, 1985), hlm. 15.

66 Dinamika Hukum Pembuktian


Ketentaraan, yang mencabut keberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946
tentang Pengadilan Tentara. Selanjutnya untuk melakukan penyesuaian, maka
dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948 yang mengubah
pasal-pasal yang tidak sesuai lagi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946
tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Militer.
Setelah terbentuk pemerintah Republik Indonesia Serikat, maka terjadi lagi

Y
perubahan baik undang-undang mengenai Susunan dan Kekuasaan Kehakiman
dengan disahkannya Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950 menjadi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan
Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Ketentaraan. Begitu juga
dengan Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1950 ditetapkan sebagai

M
Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara, menjadi Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara.
Dalam penerapannya, ketentuan di atas menimbulkan persoalan, karena
Susunan dan Kekuasaan/Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan
diisi oleh personel dari pengadilan umum, seperti Ketua Pengadilan Negeri

M
karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan Tentara, begitu pula Jaksa
pada Pengadilan Negeri menjadi Jaksa pada Pengadilan Tentara. Sehingga
dapatlah dikatakan bahwa Pengadilan Tentara dalam arti formalnya sudah
ada, sedangkan dalam arti materiilnya masih dijalankan oleh personel non

U
militer yang telah terdidik dalam bidang hukum.106
Persoalan lainnya adalah komandan selaku Ankum (Atasan yang Berhak
Menghukum) sebagai penanggung jawab daripada kesatuannya merasa
dilampaui kewenangannya dan akan menimbulkan salah pengertian antara

D
komandan selaku penanggung jawab keamanan dan ketertiban kesatuan di
satu pihak, dengan jaksa yang bertanggung jawab menegakkan hukum di lain
pihak. Dapat saja seorang tersangka sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan
tanpa sepengetahuan dari Ankum yang bersangkutan. Menyadari persoalan
ini, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan
Negara Republik Indonesia, yang dalam Pasal 35 dikatakan; ”Angkatan Perang
mempunyai peradilan tersendiri dan komandan mempunyai hak penyerah
perkara”. Sebagai realisasi dari Pasal 35 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
1954 tersebut, kamudian lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1958

106
Ibid., hlm. 9.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 67


tentang Hukum Acara Pidana Tentara yang mengubah Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1950.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950, Jaksa Tentara yang
pada waktu itu dipegang oleh Jaksa Sipil dari Pengadilan Negeri bertindak
sebagai pengusut, penuntut dan penyerah perkara, maka dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 maka wewenang jaksa tersebut

Y
berpindah ke tangan komandan. Oleh karena itu, kewenangan jaksa yang
sebelumnya aktif, maka berubah pasif.
Kemudian didirikanlah Akademi Militer dan Perguruan Tinggi Militer,
untuk menghasilkan tenaga ahli hukum di kalangan militer. Upaya edukatif
ini, kemudian diikuti dengan penandatanganan Surat Keputusan Bersama

M
KASAD dan Menteri Jaksa Agung No. MK/KPTS-189/9/1961 pada tanggal
19 September 1961, di mana Menteri Jaksa Agung mengalihkan wewenang,
kekuasaan, dan tanggung jawabnya yang berhubungan dengan kejaksaan
tentara. Maka sejak saat itu, pengadilan tentara sudah terwujud dalam arti
baik formal maupun materiilnya.

M
Pengadilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
di lingkungan peradilan militer, yang meliputi Pengadilan Militer,107 Pengadilan
Militer Tinggi, 108 Pengadilan Militer Utama, 109 dan Pengadilan Militer

U
107
Pasal 40 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan Militer memeriksa n memutus pada
tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah: (a) Prajurit yang berpangkat
Kapten ke bawah; (b) mereka sebagaimana dimaksud Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf
c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan, (c) mereka

D
yang berdasarkan Psal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengdilan Militer”.
108
Pasal 41 UU No. 31 Tahun 1997: “(1) Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat
pertama: (a) memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah: 1) Prajurit
atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas; 2) mereka sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya
“termasuk tingkat kepangkatan” Mayor ke atas; dan, 3) mereka yang berdasarkan Pasal 9
angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi; (b) Memeriksa memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata; ayat (2) Pengadilan Mliter Tinggi
memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh
Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding; ayat (3) Pengadilan
Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.”
109
Pasal 42 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan Militer Utama memerikasa dan
memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang
dimintakan banding.

68 Dinamika Hukum Pembuktian


Pertempuran.110 Menjadi pertanyaan yang penting adalah, mengapa perlu
dibedakan antara pengadilan pada umumnya dengan Pengadilan Tentara/
Militer. Pada kenyataannya, setiap tentara merupakan warga negara Republik
Indonesia dan bukan merupakan kelas tersendiri, akan tetapi karena adanya
beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan
pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih

Y
berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok
tersendiri untuk mencapai/melaksanakan tujuan tugas pokoknya, dan
karenanya diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan yang tersendiri
yang terpisah dari Peradilan Umum. Di samping berlaku khusus untuk tentara,
kekhususan Pengadilan Militer juga terletak pada kewenangan penuntutan

M
dan penyidikan yang tidak dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi oleh Atasan Yang
Berhak Manghukum (ANKUM),111 Polisi Militer, dan Oditurat,112 ditambah
Penyidik Pembantu yang terdiri dari Provos Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat, Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Provos
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Provos Kepolisian Nasional

M
Indonesia. Oditurat merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan
negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan
Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memerhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

U
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan
Militer Pertempuran. Pengadilan di lingkungan peradilan militer memiliki
kewenagan untuk:

D Pasal 45 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan


110

memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran.”
111
Atasan yang berhak menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang
untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang ini.
112
Pasal 1 angka (2) UU No. 31 Tahun 1997: “Oditurat Militer, Oditurat Militer
Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat Militer
Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang
penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia”.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 69


1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah: (1) Prajurit; (2) Yang berdasarkan
undang-undang dipersamakan dengan prajurit; (3) Anggota suatu
golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau dianggap
sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; (4) Seseorang yang tidak
masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan

Y
Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Dalam persidangan perkara-perkara di peradilan militer, dikenal beberapa
acara pelaksanaan persidangan yang terdiri dari: Acara Pemeriksaan
Biasa; Acara Pemeriksaan Koneksitas; Acara Pemeriksaan Khusus; Acara

M
Pemeriksaan Cepat.113
3. Dalam pemeriksaan biasa, dikenal beberapa alat bukti yang sah, sebagaimana
diatur dalam Pasal 172 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer,
yakni: Keterangan Saksi;114 Keterangan Ahli;115 Keterangan Terdakwa;116
Surat;117 dan, Petunjuk.118 Dilihat dari urutan penyebutan alat bukti,

M
terdapat perbedaan dengan susunan alat-alat bukti yang tercantum dalam
Pasal 184 KUHP, di mana dalam Hukum Acara Pidana Militer keterangan
terdakwa ditempatkan pada urutan ke-3, sedangkan dalam KUHAP
keterangan terdakwa ditempatkan pada urutan ke-5.

U
Perbedaan ini berkenaan dengan cara menyampaikan alat-alat bukti kepada
Hakim di Pengadilan (bewijis Voering), di mana dalam peradilan militer, yang
diutamakan adalah kesaksian.119 Keterangan saksi, tidak bisa hanya dilakukan

D
113
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer. Op.Cit., hlm. 175.
114
Pasal 173 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan Saksi sebagai alat bukti adalah
keterangan yang dinyatakan saksi di sidang pengadilan”.
115
Pasal 173 UU No. 31 Tahun 1997 ditentukan: “Keterangan ahli sebagai alat bukti
ialah keterangan yang dinyatakan seorang ahli di sidang pengadilan.”
116
Pasal 175 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan terdakwa sebagai alat bukti ialah
keterangan yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.”
117
Pasal 176 UU No. 31 Tahun 1997 ditentukan: “Surat sebagai alat bukti yang sah,
apabila dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.”
118
Pasal 177 UU No. 31 Tahun 1997: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dan yang lain maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa sudah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.”
119
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer, Op.Cit., hlm. 205.

70 Dinamika Hukum Pembuktian


oleh 1 (satu) orang saksi karena dianggap tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
akan tetapi jika keterangan dari satu orang saksi disertai dengan suatu alat
bukti yang sah lainnya, maka keterangan seorang saksi tersebut dianggap
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya.

Y
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim

M
harus dengan sungguh-sungguh memerhatikan: (1) persesuaian antara
keterangan saksi satu dan yang lain; (2) persesuaian antara keterangan
saksi dan alat bukti lain; (3) alasan yang mungkin dipergunakan oleh untuk
memberikan keterangan yang tertentu; dan, (4) cara hidup dan kesusilaan saksi
serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memengaruhi dapat tidaknya

M
keterangan itu dipercaya. Bagi saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai
satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, tetapi apabila keterangan
itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

U
Keterangan ahli sebagai alat bukti adalah keterangan ahli yang
disampaikan dalam persidangan. Dalam penjelasan Pasal 174 UU No. 31
Tahun 1997 ditentukan bahwa, keterangan ahli dapat diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau Oditur yang dituangkan dalam suatu bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah yang diucapkan pada waktu ia

D
menerima jabatan atau pekerjaan. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau Oditur pada pemeriksaan di sidang, diminta
untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan sesudah ia mengucapkan sumpah atau janji
di hadapan hakim.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah keterangan dalam
persidangan. Adapun keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang
dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dalam persidangan,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 71


digunakan terhadap dirinya sendiri, akan tetapi hal ini saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, tetapi keterangan tersebut harus disertai dengan alat bukti yang
lain.
Surat sebagai alat bukti yang sah, adalah yang dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah.120 Bila disimak, ketentuan dalam Pasal 176

Y
UU No. 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer, maka dibedakan berbagai
macam surat, yakni: (a) akta autentik; (b) akta di bawah tangan; dan, (c) surat
biasa. Akta autentik berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat
umum, seperti notaris, juru sita, hakim, dan lain-lain, yang dibuat dengan
sengaja untuk menjadi alat bukti. Akta autentik ini disebutkan dibuat “oleh”

M
atau dibuat ”dihadapan” pejabat umum. Akta autentik yang dibuat dihadapan
pejabat umum, seperti akta jual beli notariel. Ada juga akta jual beli yang
dibuat di bawah tangan. Nilai kekuatan pembuktian pada akta yang dibuat di
bawah tangan tidak sama dengan akta yang dibuat oleh notaris. Akta autentik
yang dibuat oleh pejabat umum, mempunyai kekuatan bukti yang sempurna

M
tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Akta di bawah tangan, berupa surat keterangan dari seorang ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya. Akta di bawah tangan dapat
didelegasikan dihadapan pejabat umum, sehingga mempunyai kekuatan

U
hukum seperti akta autentik. Surat biasa atau surat lain jika ada hubungannya
dengan isi alat bukti yang lain. Surat ini tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat
bukti, akan tetapi karena isinya ada hubungannya dengan alat bukti lain, dapat
dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain.

D
Petunjuk sebagai alat bukti, hanya dapat diperoleh dari: (a) Keterangan
Saksi; (b) Keterangan Terdakwa; dan, (c) Surat. Penilaian atas kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan

120
Pasal 176 UU No. 31 Tahun 1997: “(a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk
resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; (b) Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.; (c) Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; (d) Surat lain
yang hanya dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi alat pembuktian yang lain.

72 Dinamika Hukum Pembuktian


oleh hakim dengan arif dan bijaksana sesudah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Petunjuk pada hakikatnya bukan alat bukti yang sebenarnya, karena petunjuk
itu diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Kata
“diperoleh” berarti diambil dari cara menyimpulkan atas keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa (de waarneming van de rechter). Keterangan saksi,

Y
surat dan keterangan terdakwa itu sendiri, secara expressis verbis telah disebut
sebagai alat bukti yang sah oleh Pasal 172.121
Acara pemeriksaan koneksitas adalah pemeriksaan yang dilakukan
terhadap tindak pidana koneksitas, yakni tindak pidana yang dilakukan oleh
orang sipil bersama-sama dengan seorang atau beberapa orang anggota

M
ABRI.122
Di mana orang sipil tersebut seharusnya yang berwenang mengadilinya
adalah peradilan umum, sedangkan anggota ABRI diadili oleh Pengadilan
Militer. Dengan adanya peraturan mengenai koneksitas, maka perkara pidana
dapat diadili oleh pengadilan umum, dan dapat juda diadili oleh Pengadilan

M
Militer, dengan melihat pada titik berat atau kepentingan dari perkara
tersebut.123
Dalam hal penyidikan yang diusulkan masuk dalam TIM penyidik dalam
tindak pidana koneksitas, apabila penyidik berasal dari Polisi Milter dan Oditur,

U
maka perlu terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Atasan Yang Berhak
Menghukum (ANKUM) karena pada dasarnya yang berwenang mengadakan
penyidikan terhadap seorang anggota ABRI adalah ANKUM. Setelah mendapat
persetujuan, barulah dibentuk tim yang kemudian diusulkan kepada Menteri

D
Pertahanan Keamanan dan Menteri Hukum dan Ham untuk mendapat
persetujuan. Sedangkan penyidik dari lingkungan peradilan umum, maka

121
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer, Op.Cit., hlm. 208.
122
Ibid., hlm. 216.
123
Pasal 198 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997: “Tindak pidana yang dilakukan bersama-
sama oleh mereka yang termasuk yustisiable peradilan militer dan yustisiable peradilan
umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali
apabila menurut menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”. Ayat (2):
“penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh suatu
tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur, dan Penyidik dalam lingkungan peradilan
umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku
untuk penyidikan perkara pidana.”

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 73


yang duduk dalam TIM akan tergantung pada tindak pidana yang dilakukan
oleh para tersangka.
Apabila yang dilakukan adalah tindak pidana ekonomi, maka yang
duduk di dalam tim itu adalah jaksa, sedangkan jika yang dilakukan oleh
para tersangka adalah tindak pidana biasa, maka yang duduk di dalam tim
penyidik adalah polisi. Dalam menentukan suatu perkara diselesaikan dalam

Y
lingkungan peradilan militer atau dalam lingkungan peradilan umum, maka
penentuannya dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana tersebut. Jika titik berat kerugian adalah pada kepentingan umum,
maka perkara tersebut diselesaikan di pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum.124 Sebaliknya, jika titik berat kerugian tindak pidana tersebut terletak

M
pada kepentingan militer, maka yang mengadili adalah Pengadilan Militer.125
Di samping acara pemeriksaan koneksitas, dikenal pula acara pemeriksaan
khusus.126
Riwayat lahirnya acara pemeriksaan khusus tidak lepas dari situasi

M
Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan. Ketika Pemerintah Indonesia
berusaha mengembalikan Irian Barat dari Belanda, maka pada tahun 1975
dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1957 yang mulai berlaku
sejak 14 Maret 1957. Indonesia dalam usahanya itu ternyata mendapat
rongrongan pula dari dalam negeri, berupa pemberontakan oleh PRRI dan

U
Permesta, sehingga kita dihadapkan pada 2 (dua) medan pertempuran, yaitu
keluar melawan penjajah di wilayah Irian Barat, dan ke dalam menghadapi
pemberontakan. Pemberontakan dalam negeri ternyata lebih merepotkan,

D
124
Pasal 200 UU No. 31 Tahun 1997 ditentukan: “(1) Apabila menurut pendapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan kerenanya perkara pidana
itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Perwira Penyerah
Perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui
Oditur kepada Penuntut Umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut
kepada Pengadilan Negeri yang berwenang.
125
Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), titik berat kerugian
yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga
perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur
Jenderal untuk mengusulkan kepada menteri, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman
dikeluarkan keputusan menteri yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
126
Pasal 204 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997: “Acara Pemeriksaan Khusus dilaksanakan
oleh Pengadilan Militer Pertempuran.”

74 Dinamika Hukum Pembuktian


karena melibatkan tokoh-tokohnya yang beberapa adalah tentara. Maka
pemerintah kemudian menyatakan seluruh wilayah dalam keadaan bahaya,
yang kemudian disusul dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 74 Tahun
1957 tentang Kedadaan Bahaya dan peraturan pelaksananya Keputusan
Presiden Nomor 225 Tahun 1957. Dengan dasar UU inilah dibentuk badan
peradilan di lingkungan TNI-AD, yakni Mahkamah Angkatan Darat Daerah

Y
Pertempuran (MAHADPER), dan disusul pula di lingungan Angkatan Udara
dan Angkatan Laut, di samping peradilan militer yang sudah ada berdasarkan
UU No. 5 Tahun 1950. Selanjutnya, UU Keadaan Bahaya Nomor 74 Tahun
1957, dicabut dan diganti dengan PERPU No. 23 Tahun 1959 tentang
Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.

M
Dengan dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 1997, maka Pengadilan Militer
Pertempuran ditegaskan sebagai bagian dari badan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman di lingkungan militer.127 Pengadilan Militer Pertempuran
melaksanakan kewenangan memeriksa dan mengadili perkara pidana pada
tingkat pertama dan terkhir, yang dilakukan di medan pertempuran. Di sinilah

M
kekhususan Pengadilan Militer Pertempuran, di mana kedudukannya yang
bersifat “mobile”, yakni mengikuti di mana wilayah yang terjadi pertempuran.
Kekhususan yang lainnya jupa pada konteks pembuktian yang menggunakan
acara pemeriksaan khusus, di mana pengetahuan hakim dan surat keterangan

U
yang dibuat atas sumpah pejabat, merupakan alat bukti.128
Dimaksudkan dengan pengetahuan hakim adalah apa yang dilihat,
didengar, dan dialami sendiri oleh hakim di luar sidang mengenai hal-hal yang
bersangkut-paut dengan perkara yang disidangkannya dan karenanya diyakini
kebenarannya. Hakim Pengadilan Pertempuran, selain berdasarkan data-data

D
yang disampaikan kepadanya, juga mengadakan penelitian terlebih dahulu
terhadap kejadian tindak pidana itu, sehingga apa yang dilihat, didengar dan
dialami dalam penelitian itu, menimbulkan keyakinan tentang kebenaran dari
tindak pidana tersebut.

127
Pasal 1 angka (1) UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan adalah badan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi
Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan
Militer Pertempuran.”
128
Pasal 205 UU No. 31 Tahun 1997: “Pembuktian dalam acara pemeriksaan khusus
berlaku ketentuan bahwa: (a) pengetahuan hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat
bukti; (b) barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat
atas sumpah pejabat yang bersangkutan”.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 75


Sedangkan yang dimaksud dengan barang bukti yang cukup dibuktikan
dengan adanya surat keterangan yang dibuat oleh pejabat di bawah sumpah,
maka dalam hal ini barang-barang buktinya tidak perlu di bawah kemuka
sidang. Surat keterangan pejabat di bawah sumpah yang berisi keterangan
tentang jenis barang, jumlah barang, tempat serta waktu penyitaan dan/
atau ditemukan, dianggap telah mewakilkan barang bukti yang disebutkan.

Y
Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa maupun ditur
adalah kasasi.
Pada acara pemeriksaan cepat, yakni pemeriksaan yang dilakukan terhadap
perkara tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan.129 Dalam hal pemeriksaan,
terdapat perbedaan sistem pemeriksaan cepat pada pengadilan negeri dengan

M
pengadilan militer, karena tindak pidana ringan yang diperiksa dengan acara
cepat pada Pengadilan Negeri,130 dalam militer masuk dalam kategori tindak
pidana yang sedemikian ringan sifatnya dan diselesaikan menurut hukum
disiplin Prajurit ABRI.131

M
129
Pasal 211 UU No. 31 Tahun 1997: “(1)yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
cepat adalah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu
lintas dan angkutan jalan; (2) untuk perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan,

U
tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, cukup berita acara pelanggaran lalu lintas dan
angkutan jalan; (3) pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi mengadili dengan
hakim tunggal yang dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah bukti pelanggaran
diterima; (4) putusan dapat dijatuhkan meskipun terdakwa tidak hadir di sidang; (5) dalam
hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat mengajukan banding;
(6) dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa

D
pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan; (7) dalam
hal 7 (tujuh) hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu; (8) dengan
perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur; (9) sesudah Panitera
memberitahukan kepada Oditur tentang perlawanan itu, hakim sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu; (10) apabila
putusan sudah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud ayat
(6), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding”.
130
Pasal 205 KUHAP: “yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan
ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan
dan/atau denda sebanyak-banyak tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan
kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”.
131
Pasal 5 UU No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI: “(3)
Pelanggaran hukum disiplin tidak murni merupakan setiap perbuatan yang merupakan
tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum
disiplin prajurit”.

76 Dinamika Hukum Pembuktian


Dimaksud dengan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya adalah:
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi
Rp6.000.000,- (enam juta rupiah); perkara sederhana dan mudah dibuktikan;
dan, tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya
kepentingan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan/atau kepentingan

Y
umum.132
Di samping pembuktian perkara pidana dalam peradilan militer, dikenal
juga pembuktian dalam hal Sengketa Tata Usaha Militer.133
Orang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat mengajukan gugatan

M
tertulis kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang berisi tuntutan
supaya Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan
tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti dan/atau rehabilitas. Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata diajukan
kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang daerah hukumnya

M
meliputi tempat kedudukan tergugat. Dalam pembuktian tata usaha militer,
dikenal 5 (lima) alat bukti, yang terdiri dari: (a) surat atau tulisan;134 (b)

U
132
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer. Op.Cit., hlm. 227.
133
Pasal 265 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1997: “Alasan yang dapat digunakan dalam
gugatan sebagaimana pada ayat (1) adalah: (a) keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata

D
yang digugat itu bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; (b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut; (c) Badan atau Pejabat Tata
Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesudah mempertimbangkan semua kepentingan
yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau
tidak pengambilan keputusan tersebut.”
134
Pasal 312 UU No. 31 Tahun 1997: “Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis
yaitu: (a) akta autentik, adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat
umum, yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; (b) akta di bawah tangan, adalah surat
yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum
di dalamnya; dan, (c) surat-surat lain yang bukan akta.”

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 77


keterangan ahli;135 (c) keterangan saksi;136 (d) pengakuan para pihak;137 €
pengetahuan hakim.138 Dalam persidangan, hakim harus menentukan apa
yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan
untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti
berdasarkan keyakinan Hakim.

Y
G. Pembuktian dalam Peradilan Perikanan
Dalam perkembangan hukum yang dinamis, maka upaya-upaya untuk
menegakkan kejahatan kelautan, sebagai negara kepulauan adalah suatu
keharusan, guna mengatur berbagai kejahatan yang baru, maka penegak

M
hukumnya juga fokus pada masalah perikanan, yang sebenarnya sekaligus
mengatur tata kelola pelaksanaan negara hukum.
Peranan Pengadilan Perikanan dalam penegakan hukum terhadap
Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di perairan Indonesia. Sistem
peradilan pidana pada hakikatnya menunjukkan mekanisme kerja dalam

M
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Criminal
justice system diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana. Sementara itu, proses peradilan
pidana merupakan setiap tahapan yang dilewati oleh pelaku tindak pidana

U
dalam rangka membuat terang tindak pidana yang telah terjadi sampai dengan
penjatuhan hukuman untuk pelaku. Perbedaan tentang sistem peradilan pidana
dan proses peradilan pidana dalam penegakan hukum di wilayah perairan
Indonesia akan difokuskan pada peran dari lembaga-lembaga yang ada dalam
penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia.

D
Lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan, penuntutan, peradilan,
sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan, dapat dikatakan sebagai

135
Pasal 313 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan ahli adalah pendapat orang yang
diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengetahuan dan pengalamannya.”
136
Pasal 315 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti
apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat dan/atau didengar oleh
saksi sendiri.”
137
Pasal 316 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali
kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.”
138
Pasal 317 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya
diketahui dan diyakini kebenarannya.”

78 Dinamika Hukum Pembuktian


komponen dari sistem peradilan pidana. Pengadilan Perikanan merupakan
pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
badan peradilan dan berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam
undang-undang. Ragam pembuktian pada peradilan perikanan, juga memiliki
perbedaan dan persamaan sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, dan ciri

Y
ciri sistem pembuktiannya yang bersifat khusus.
Di Indonesia sendiri, telah terdapat beberapa Pengadilan Perikanan,
yakni:139 Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan
Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan
Pengadilan Negeri Tual;140 Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Tanjung

M
Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai;141 Pengadilan Perikanan di Pengadilan
Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke.142
Berdasarkan kajian perundang-undangan yang terkait dengan perikanan
menunjukkan adanya kekhususan dalam proses pidananya. Khusus untuk
tindak pidana di bidang perikanan ternyata telah ditetapkan sistem peradilan

M
pidana yang bersifat khusus. Dalam artian bahwa undang-undang perikanan
telah menetapkan adanya sistem dan proses peradilan pidana khusus untuk
pemeriksaan perkara yang berhubungan dengan tindak pidana perikanan.
Dalam hal ini terdapat penyidik khusus, dan peradilan khusus dalam

U
rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan. Terkait dengan
kekhususan ini, dalam undang-undang perikanan telah mengatur secara
khusus hukum acara pidana. Hal-hal yang telah diatur mengenai hukum acara
pidana tersebut adalah mengenai penyidikan, barang bukti, penuntutan, dan

D
139
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah
Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 149.
140
Dasar pembentukan kelima Pengadilan Perikanan ini adalah Pasal 71 UU No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan: “(1) Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
Perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang
perikanan; (3) Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.”
141
Dasar pembentukan kedua Pengadilan Perikanan ini adalah “Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan
pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai”.
142
Dasar pembentukan ketiga Pengadilan Negeri ini adalah “Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan
pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri
Merauke”.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 79


pengadilan di bidang perikanan. Sepanjang belum diatur dalam UU Perikanan
masih tetap berlaku peraturan umum yang ada dalam KUHAP. Jadi, hukum
acara pidana di bidang perikanan yang berlaku adalah Undang-Undang
Perikanan dan KUHAP yang mengikuti asas lex spesialis derogate lex generalis.143
Berkenaan dengan barang bukti dalam tindak pidana di bidang perikanan,
memang diatur secara khusus terkait perampasan, penggunaan, dan

Y
pemusnahan barang bukti dalam UU No. 45 Tahun 2009. Benda dan/atau alat
yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan
dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan
ketua Pengadilan Negeri. Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang
mudah rusak berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk

M
kepentingan pembuktian di pengadilan. Benda dan/atau alat yang dirampas
dari hasil tindak pidana perikanan dapat dilelang untuk negara. Pelaksanaan
lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan

M
disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Benda dan/
atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal
perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau
koperasi perikanan. Terhadap selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam

U
tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat
dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing sebagaimana dilakukan
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui kedutaan
atau perwakilan negara asal awak kapal.144

D
Dalam Pengadilan Perikanan, pemeriksaan sidang dalam perkara tindak
pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang perikanan. Hakim

143
Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditentukan: “Penyidikan tindak
pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan,
Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”. Pasal 75 ayat (2) UU No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditentukan: ”Penuntut umum perkara tindak pidana di
bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sbb:
a. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; b. telah
mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan, c. cakap dan memiliki
integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.”
144
Pasal 76A, 76B, 76C, dan 83A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

80 Dinamika Hukum Pembuktian


pada Pengadilan Perikanan terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc
yang diangkat dan ditugaskan pada Pengadilan Perikanan, untuk mengadili
tindak pidana perikanan. Di samping itu, ada Majelis Kehormatan Hakim
Majelis yang memeriksa dan menerima pengajuan pembelaan diri dari Hakim
Ad Hoc Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri, serta memberikan
pertimbangan, pendapat dan saran atas pembelaan diri tersebut.

Y
Mahkamah Agung dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan
seleksi administratif dan tes tertulis untuk menetapkan daftar nominasi
calon Hakim Ad Hoc. Mahkamah Agung juga melakukan seleksi kompetensi
calon Hakim Ad Hoc. Terhadap Calon Hakim Ad Hoc yang telah dinyatakan
lulus seleksi kompetensi diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan

M
yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc yang
dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah
Agung kepada presiden untuk diangkat sebagai Hakim Ad Hoc.
Hakim Ad Hoc diberi kesempatan untuk membela diri dalam tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya pemberitahuan hasil

M
pemeriksaan. Pembelaan diri dilakukan di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim. Hakim Ad Hoc sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementaras dilakukan
untuk kelancaran pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim atau karena

U
perintah penangkapan yang tidak diikuti dengan penahanan. Pemberhentian
sementara Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung atas
usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Mahkamah Agung
memutuskan untuk mengabulkan atau menolak usulan tersebut dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul Ketua Pengadilan Negeri diterima.

D
Apabila alasan pemberhentian tidak dengan hormat tidak terbukti,
pemberhentian sementara tersebut harus dicabut. Apabila alasan pem­
berhentian tidak dengan hormat terbukti, maka pemberhentian tidak dengan
hormat ditetapkan oleh presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.Pegawai
Negeri Sipil yang diangkat menjadi Hakim Ad Hoc diberhentikan dari jabatan
organiknya selama menjadi Hakim Ad Hoc tanpa kehilangan statusnya sebagai
Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil dapat dinaikkan pangkatnya setiap
kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat sesuai peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 81


Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pengawasan, para petugas
Pengawas Perikanan sebagian telah dididik menjadi Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS), sehingga petugas pengawas yang terkualifikasi PPNS
tidak saja dibekali pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan tetapi juga diberikan keterampilan dan kewenangan
untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran tindak pidana di bidang

Y
perikanan. Pelaksana pengawasan:145.
Instansi penanganan tindak pidana perikanan diatur dalam Pasal 73 Ayat 1
UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang mengatur: “Penyidikan Tindak
Pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perikanan, Perwira TN-AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.”

M
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai kewenangan sebagai
berikut. Berdasarkan Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang: Menerima laporan
atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang
perikanan. Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi. Membawa

M
dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar
keterangannya. Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga
dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang
perikanan. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau

U
menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di
bidang perikanan. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
perikanan. Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang
perikanan. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan tindak pidana di bidang perikanan. Membuat dan menandatangani

D
berita acara pemeriksaan. Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang
digunakan dan/atau hasil tindak pidana. Melakukan penghentian penyidikan.
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Peranan TNI AL dalam pengawasan dan penegakan hukum di laut. Secara
universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil
dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa laut merupakan
wahana kegiatan laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakkan

145
Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan, Standar Operasional dan Prosedur Pengawasan Penangkapan Ikan,
(Jakarta, 2004), hlm. 6-7.

82 Dinamika Hukum Pembuktian


hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut nasional,
memelihara keamanan dan ketertiban di laut serta mendukung pembangunan
bangsa. Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis
formal memberikan kewenangan penegak hukum bagi kapal perang terhadap
setiap bentuk kejahatan yang dilakukan di/dari lewat laut, terutama kejahatan

Y
yang bersifat internasional. Di samping itu, dalam peraturan perundangan
nasional juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk
melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut.
Salah satu tugas TNI AL adalah menegakkan hukum dan ketertiban
di laut sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional

M
yang mengaturnya serta kebiasaan internasional, agar tugas tersebut dapat
dilaksanakan secara profesional dan proporsional untuk itu diperlukan suatu
prosedur tetap (protap) tentang langkah-langkah penanganan terhadap tindak
pidana di laut oleh unsur operasional TNI AL. Dasar Kewenangan Penyidikan
oleh TNI AL146

M
Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan
(Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) 1939 Stbl. 1 939 Nomor
442 menyatakan bahwa: “Untuk memelihara dan mengawasi pentaatan
ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini ditugaskan kepada komandan

U
Angkatan Laut Surabaya, Komandan-komandan Kapal Perang Negara dan
kamp-kamp penerbangan dari angkatan laut”. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam Pasal 14 ayat
(1) undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang
ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan

D
terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat (1)
undang-undang ini menyatakan:

“Aparat penegak hukum yang berwenang melaksanakan penyidikan


terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang ini di perairan Indonesia
adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan dalam pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia”.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal

146
Ibid., hlm. 5-6.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 83


perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di
laut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain Pasal 107,
110, 111, dan Pasal 224 UNCLOS 1982. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Pasal
39 ayat (2) kewenangan penyidik Kepolisian Negara RI, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya

Y
alam hayati dan ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
ZEEI dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ditetapkan


dalam pasal 99 ayat (1): “Selain penyidik pejabat Polisi Negara RI, Pegawai

M
Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pelayaran dan perwira Tantara Nasional Indonesia
Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang pelayaran yang dimaksud dalam undang-undang
ini”. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Jo Peraturan

M
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 17
beserta penjelasannya menyebutkan bahwa: “bagi penyidik dalam perairan
Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI penyidikan dilakukan
oleh perwira TNI AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh

U
undang-undang yang mengaturnya”. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia Pasal 24 ayat (3): “Penegakan hukum dilakukan
oleh instansi terkait antara lain TNI AL, Polri, Departemen Keuangan dan
Departemen Kehakiman sesuai dengan wewenang masing-masing instansi
terkait tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

D
nasional maupun hukum internasional.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ayat (5) tentang Lingkungan
Hidup: “Bahwa penyidikan tindak pidana di lingkungan hidup di perairan
Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. (lihat Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 14 beserta penjelasannya menyebutkan
bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara termasuk di dalamnya
mempertahankan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan bangsa dan

84 Dinamika Hukum Pembuktian


negara, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara
aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Dimaksudkan melaksanakan Operasi Militer selain perang antara lain bantuan
kemanusiaan, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengawasan pelayaran dan/
atau penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan, bantuan pengungsian
dan korban bencana alam berdasarkan permintaan dan/atau peraturan

Y
perundang-undangan. Kewenangan TNI AL di perairan Indonesia:147 (1)
Mempertahankan eksistensi/keberadaan Negara Kesatuan RI dari segala
bentuk ancaman dan gangguan. (2) Memelihara stabilitas nasional dan turut
serta memelihara stabilitas regional dan internasional. (3) Menegakkan hukum
terhadap tindak pidana di wilayah perairan Indonesia, meliputi: illegal entry/

M
pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing; imigran gelap; pelanggaran hak
lintas damai; pelanggaran hak lintas kepulauan; pelanggaran hak lintas transit;
pelanggaran hak akses komunikasi; tindakan provokasi oleh kapal-kapal asing
di sekitar wilayah perairan di Indoneia; sabotase objek vital dan tindakan
terorisme lainnya. (4) Melindungi sumber daya alam dan buatan, meliputi:

M
pengamanan sumber daya alam hayati dari kegiatan penangkapan/ eksploitasi
tanpa izin, antara lain: perikanan; kehutanan; benda cagar budaya; pasir laut;
pencemaran laut. (5) Pengamanan sumber-sumber mineral dan sumber daya
alam non hayati lainnya dari kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tanpa izin.
(6) Perlindungan terhadap pulau buatan atau instansi buatan maupun industri

U
lainnya di laut.
Mengamankan pelayaran, meliputi: Mencegah dan manindak kegiatan
pelayaran yang dilakukan di luar jalur pelayaran yang telah ditentukan;
Mencegah dan menindak penggunaan bendera negara yang tidak sesuai dengan

D
ketentuan penggunaan oleh kapal di laut. Mencegah dan menindak perbuatan
yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran dan keselamatan jiwa di
laut. Memberi bantuan dan pengamanan kegiatan SAR di laut. Mengamankan
pipa-pipa dan kabel-kabel bawah/dasar laut dan sarana komunikasi lainnya.
Mencegah dan menindak kegiatan dan penelitian kelautan tanpa izin.
Mencegah dan menindak kegiatan pemetaan atau survei hidrooseanografi
tanpa izin. Mencegah dan menindak perampokan/pembajakan di laut.

147
Ibid., hlm. 8-9.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 85


Dalam hukum acara pidana mendatang, seiring dengan KUHP baru, maka
hukum acara pidana juga mengalami pembaruan, maka akan terjadi perubahan
yang mendasar, dan disesuaikan dengan keadaan global, maka pembaruan
hukum acara pidana, menegaskan beberapa hal dalam model pembuktian
dalam kebaruannya.

Y
H. Pembuktian dalam Pembaruan Acara Pidana
Hukum acara pidana yang baru, sedang dalam pembahasan, seiring dengan
pembahasan RUU KUHP (2017), dan sebagai satu kesatuan hukum pidana
formal dan materiil, maka akan terjadi suatu perubahan dalam memaknai

M
pembuktian pada hukum acara pidana mendatang.
Adapun RUU KUHAP, yang telah mendapatkan berbagai masukan dari
Robert R. Strang, terdapat sembilan perubahan yang mendasar, yakni:148
1. Memperlakukan adanya suspects right to remain silent and the presumtion of
innocence. Aturan ini memberikan hak kepada tersangka, untuk tidak bisa

M
menjawab pertanyaan penyidik.
2. Adanya protect citezens liberty and privacy interest in the area of pretrial detention.
Hal ini berkaitan dengan penahanan. Yakni dalam waktu 5X24 jam
tersangka harus dihadapkan pada hakim komisaris, diselaraskan dengan

U
ketentuan Internasional Covenant Civil and Political Right (ICCPR).
3. Adanya remove the preliminary investigation stge and ensure better police/
prosecutor cooperatin. Persoalan hubungan penyidikan dan penuntutan,
sejak awal terjalin, di mana jaksa memberikan petunjuk sehingga

D
memenuhi persyaratan formal dan substansi berita acara yang ada.
4. Adanya Develop a pretrial stage and clarify the role of the commissioner judge to
preside over it. Perubahan yang penting pada tahap prapersidangan dan
pembentukan lembaga baru yakni hakim komisaris, memiliki tanggung
jawab pemberian otorisasi atas surat perintah penggeledahan. Hakim
komisaris melakukan hearing secara khusus pada penuntut umum. Hakim
komisaris dapat meniadakan dan memerintahkan untuk membebaskan
penangkapan kepada tersangka secara sewenang-wenang. Sehingga

Syaiful Bakhri. Sejarah Pembaharuan KUHP dan KUHAP, (Jakarta: P3IH-FH UMJ bekerja
148

sama dengan Total Media, 2011), hlm. 105-106.

86 Dinamika Hukum Pembuktian


hakim komisaris dapat melindungi kebebasan individu pada tahap
prapersidangan.
5. Adanya Simplity indicment (penyederhanaan dakwaan) surat dakwaan
yang ringkas, terfokus, surat dakwaan yang diteliti oleh jaksa terutama
persoalan apakah dakwaan akan bertanggung jawab sesuai dakwaannya.
6. Adanya Promote adversarial trial procedures. Memperkenalkan adversarial

Y
khususnya pada tahap persidangan. Adanya kesempatan untuk
memberikan pertanyaan dari pihak jaksa dan penasihat hukum, dan
kesempatan untuk menghadirkan saksi, untuk memperkuat dan
memperjelas dakwaan. Peran pengadilan menentukan pencarian fakta
secara aktif. RUU KUHAP memperluas alat bukti, yakni bukti elektronik

M
dan barang bukti physical evidence, bertujuan untuk mempermudah dengan
cara meninggalkan segala fleksibilitas bagi jaksa dan penasihat hukum,
dengan menampilkan alat bukti baru yang potensial di pengadilan.
Terhadap alat bukti atas kejahatan transnasional, alat bukti yang diperoleh
di luar negeri, dianggap sebagai alat bukti yang sah, jika diperoleh

M
secara sah, berdasarkan hukum di negara hukum tersebut, dengan tidak
melanggar konstitusi, hukum dan perjanjian kerja sama dengan Indonesia.
7. Adanya Case dismissal, guity pleas, and cooperating dependants. Adanya
kemungkinan penghentian kasus-kasus yang tidak berdasarkan

U
kepentingan umum, biasanya semua kasus pidana, bahkan tuntutan pidana
yang kecil diserahkan pada pengadilan. Terutama adanya perdamaian
antara pelaku dan korban, perhatian pada adanya pengurangan hukuman,
pengakuan bersalah dari terdakwa. Tetapi dalam hal tertentu hakim dapat
membatalkan atau menarik putusannya. Terdakwa tidak secara otomatis

D
menjadi saksi mahkota, kesemuanya di bawah kontrol jaksa.
8. Adanya Rights of Victims. Dengan memperkuat hak korban dengan adanya
tuntutan perdata yang paralel dengan pidana, untuk menerima ganti rugi.
Karenanya RUU KUHAP. Menentukan keputusan pidana secara final atas
tuntutan perdata yang memiliki paralitas dengan perkara pidana.

Urgensi pembaruan KUHAP, karena penyesuain dengan pembaruan KUHP,


sebagai konsekuensinya. Karenanya akan terjadi perubahan yang sangat pesat
di lapangan hukum pidana, dimaksudkan sebagai perubahan watak hukum
bangsa Indonesia, dari pengaruh kolonialis, dan secara nyata, adalah nuasa

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 87


kemerdekaan, yang dipengaruhi oleh peradaban maju hukum Indonesia, yang
diwarnai oleh hukum dan pengaruh para ahli filsafat hukum, serta berbagai ahli
lainnya. Hukum pidana Indonesia, yang lebih progresif, setara dengan hukum
pidana negara maju di dunia, walaupun masih memerhatikan nuansa kearifan
lokal, yang dapat diterima oleh masyarakat hukum Indonesia yang pluralistis.
Terjadi perubahan makna alat bukti dan barang bukti dalam pembaruan

Y
hukum acara pidana mendatang, di mana dalam konsep ditentukan:
Dalam Pasal 175 RUU KUHAP diatur berkenaan dengan alat bukti, yakni:
(1) Alat bukti yang sah mencakup:
a. barang bukti;

M
b. surat-surat;
c. bukti elektronik;
d. keterangan seorang ahli;
e. keterangan seorang saksi;

M
f. keterangan terdakwa; dan
g. pengamatan hakim.
(2) Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh
secara tidak melawan hukum;

U
(3) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Sedangkan berkenaan dengan barang bukti, diatur dalam Pasal 176 RUU
KUHAP, yakni:

D
“Barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) huruf
a adalah alat atau sarana yang dipakai untuk melakukan tindak pidana
atau yang menjadi objek tindak pidana atau hasilnya atau bukti fisik atau
materiil yang dapat menjadi bukti dilakukannya tindak pidana.”

Terhadap barang bukti, terjadi perbedaan, dengan KUHAP yang sekarang


berlaku. Maka akan terjadi perubahan watak dalam berhukum, dan akan terjadi
perubahan fundamental, dalam hukum acara pidana Indonesia, dengan suatu
semangat global.

88 Dinamika Hukum Pembuktian


I. Pembuktian Pidana dalam Hukum Islam
Hukum Islam, adalah bagian yang sangat penting, diyakini oleh pemeluk
agama Islam, karena menyangkut Keimanan, Ketauhidan, sebagai suatu
jalan untuk mncapai derajat yang tinggi dalam kepatuhan terhadap agama,
dan juga untuk melakukan ketaatan dalam kehidupan di dunia dan akhirat.

Y
Bahkan lebih jauh adalah tangga untuk mencapai Ridho Tuhan Yang Maha
Esa. Karenanya dalam pembuktian dan menemukan ketaatan pembuktian
dalam hukum pidana islam mesti perlu diketahui.
Pembuktian dalam hukum pidana Islam, sangat terinci ditentukan pada
Al-Qur’an dan Hadis, serta beberapa pendapat ulama, dari berbagai kasus-

M
kasus konkret, sepanjang peradaban. Hukum Pidana Islam, adalah segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal, yang
dilakukan oleh orang-orang yang dibebani kewajiban, sebagai hasil dari
pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadis.
Sehingga hukum pidana Islam merupakan syariat Allah Swt. yang mengandung

M
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Syariat Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi
setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban syariat, yaitu
menempatkan Allah sebagai pemegang hak, baik yang ada pada diri sendiri
maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya sebagai pelaksana yang

U
berkewajiban memenuhi perintah Allah, harus ditunaikan untuk kemaslahatan
dirinya dan orang lain.149
Ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan kitab-kitab hadis yang sahih, maka dapat mengetahui tujuan hukum

D
Islam. Secara umum, sering dirumuskan, bahwa tujuan hukum Islam adalah
kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan akhirat kelak, dengan jalan
mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang
mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Ada lima tujuan
hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan,
dan (5) harta. Kelima tujuan hukum Islam ini dalam kepustakaan disebut al-
maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah.150

149
Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 1.
150
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 61.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 89


Agama yang ditetapkan untuk manusia disebut syariah, bentuk kesamaan
syariah dengan jalannya air, adalah siapa yang mengikuti syariah, akan bersih
jiwanya. Allah menjadikan air penyebab kehidupan bagi setiap makhluk,
sebagaimana menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan yang insani.151
Syariat merupakan wahyu Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Fikih merupakan hasil istijah manusia dalam memahami Al-Qur’an dan As-

Y
Sunnah yang memenuhi syarat. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas, sedangkan fikih bersifat instrumental, ruang
lingkupnya terbatas pada hukum-hukum yang mengatur perbuatan manusia
yang disebut juga perbuatan hukum. Syariat adalah ketetapan Allah dan
ketentuan Rasul-Nya karena ia berlaku abadi, sedangkan fikih adalah hasil

M
ijtihad manusia yang bersifat sementara, karenanya dapat berubah sesuai
kondisinya.152
Pidana adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
mukallaf, yang melanggar, perintah atau larangan Allah, yang dikhitbahkan
kepada orang-orang mukallaf, yang dikarenakan ancaman hukuman, sanksi

M
itu harus dilaksanakan sendiri, dilaksanakan penguasa maupun Allah Swt.,
baik tempat pelaksanaan hukuman itu di dunia maupun akhirat.153
Asas-asas hukum pidana Islam, mengenal juga asas legalitas.154 Asas
larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tidak

U
bersalah. Tentang ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian,
perzinaan termasuk homoseksual dan lesbian, menuduh orang baik-baik

151
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Tinjauan Aspek Metodologis, Legalisasi

D
dan Yurisprudensi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 39-42.
152
A.Rachmat Rosyadi dan H.M.Rais Ahmad. Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif
Tata Hukum Indonsia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 39.
153
Abdul Halim Berkatullah dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2006), hlm. 256.
154
Surat Al Israa (17: 15). Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah, maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk kemaslahatan dirinya sendiri, dan barangsiapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi kerugian didrinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul. Surat
Al Anaam (7: 119). Katakanlah, siapakah yang lebih kuat persaksiannya. Katakanlah Allah, Dia
menjadi saksi antara aku dan kamu, dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an kepadanya. Apakah
sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?. Katakanlah, aku
tidak mengakui. Katakanlah sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan ALLAH).

90 Dinamika Hukum Pembuktian


yang berzina, meminum minuman yang memabukkan, membunuh dan/atau
melukai seseorang, merusak harta seseorang, melakukan gerakan kekacauan.
Hukum pidana jenis ini dikenal juga sebagai Jarimah yang terdiri dari jarimah
tazir dan hudud. Jenis hukumannya adalah rajam, atau dera, potong tangan,
kurungan, pengasingan, deportasi dan disalib.155
Ahkam al-bayyinat (hukum-hukum pembuktian) sama seperti halnya

Y
hukum-hukum Islam yang lain, merupakan hukum-hukum syara’ yang
digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Bayyinat (pembuktian) kadang-
kadang terjadi pada kasus pidana (‘uqubat), kadang-kadang terjadi pula pada
kasus-kasus perdata (mu’amalat). Namun demikian, para ulama fikih tidak
membedakan hukum-hukum bayyinat dalam perkara mu’amalat (perdata)

M
dengan hukum bayyinat pidana dalam perkara ‘uqubat (pidana). Semuanya
mereka bahas dalam kitab Syahadat (kitab tentang Kesaksian). Sebagian
pembahasan mengenai hukum-hukum bayyinat juga mereka cantumkan
dalam kitab Aqdliyyah (kitab Peradilan), dan dalam kitab ad-Da’awiy wa al-
Bayyinaat (kitab Tuduhan dan Pembuktian). Sebagian pembahasan mengenai

M
hukum bayyinat juga mereka jelaskan dalam sebagian kasus-kasus ‘uqubat,
sebab, al-bayyinat (pembuktian) merupakan salah satu syarat dari ‘uqubat
(pidana), di samping sebagai bagian juga terpenting dari pembahasan
mengenai perkara-perkara ‘uqubat.

U
Dalam hukum Islam, mengenai prinsip-prinsip pembuktian tidak banyak
berbeda dengan perundang-undangan yang berlaku di zaman modern sekarang
ini, dari berbagai macam pendapat tentang arti pembuktian, maka dapat
disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu proses mempergunakan atau
mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan.

D
sesuai dengan hukum acara yang berlaku, sehingga mampu meyakinkan
hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan atau dalil-
dalil yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran dalil-dalil
yang telah dikemukakan oleh pihak lawan. Perbedaannya dalam hukum acara
Islam dasar hukum pembuktian ialah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijtihad.
Ayat-ayat Al-Qur’an seluruhnya adalah qath’i (pasti) dari segi turunnya
dan lafaznya, keasliannya dan pemindahannya dari Rasulullah sampai ke
tangan umat Islam sekarang ini. Artinya diyakini kebenarannya datang dari

155
Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Op.Cit., hlm. 9-12.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 91


Allah. Sedangkan dari segi penunjukannya terhadap hukum, sebagian adalah
qath’i dan sebagian adalah zanni.156
Bukti (al-bayyinat) adalah semua hal yang bisa membuktikan sebuah
dakwaan. Alat bukti, adalah alat untuk menjadikan pegangan hakim, sebagai
dasar memutus suatu perkara, sehingga dengan berpegang kepada alat bukti
tersebut dapat mengakhiri sengketa di antara pihak yang berperkara. Sehingga

Y
alat bukti, adalah suatu upaya yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang
berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan, dan dipergunakan
oleh hakim untuk memutus suatu perkara, sehingga alat bukti diperlukan
oleh pencari keadilan maupun pengadilan. Bukti merupakan hujjah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya.

M
Dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi Saw.
bersabda yang artinya:

“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi
orang yang didakwah.”

M
Imam Baihaki juga meriwayatkan sebuah hadis dengan isnad shahih dari
Nabi Saw., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi

U
orang yang mengingkarinya.”

Dalam hukum Islam dikenal empat macam alat bukti, dan tidak lebih dari
itu, yakni:157 (1) Pengakuan; (2) Sumpah; (3) Kesaksian; dan, (4) Dokumen-
dokumen tertulis yang meyakinkan. Adapun berkenaan dengan indikasi

D
(qarinah), secara syar’i tidak termasuk bukti. Berdasarkan pada pendapat Roihan
A. Rsyid, Samir Aliyah, Abdul Karim Zaidan, Sayyid Sabiq, Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, Nasyir Farid Washil, di dalam hukum Islam alat bukti terdiri dari:158
• Al Iqrar. Adalah suatu bentuk keterangan, ataupun pengakuan. Yang
dilakukan oleh tersangka.
• Al Bayyinah. Adalah saksi dari pihak pendakwa, yang disampaikan secara lisan.

156
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam: Menjawab Tantangan
Zaman. Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 7-10.
157
Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Da’ur. Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian
Dalam Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), hlm. 8.
158
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam. Op.Cit., hlm. 55-59.

92 Dinamika Hukum Pembuktian


• Al Yamin. Bermakna mempunyai kekuatan.
• An Nukul. Bermakna sebagai alat bukti penolakan sumpah.
• AL Qosamah. Bermakna kuat, segala sesuatu yang dinyatakan secara
khidmat atau diberikan dengan sumpah.
• Ilmu pengetahuan hakim. Artinya adalah bahwa hakim boleh memutuskan

Y
suatu perkara karena pengetahuannya dalam perkara pidana secara
mutlak.
• Qorinah. Bermakna petunjuk yang dapat menimbulkan keyakinan.
• Qosamah. Bermakna sebagai sumpah, tetapi biasanya dipergunakan
untuk peradilan pidana islam, karena dimintakan oleh wali si terbunuh,

M
karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan pembunuhan tersebut,
sehingga atas permintaan keluarga korban untuk bersumpah, sebanyak
50 orang yang taat beragama, bahwa mereka bukan pembunuhnya.
• Qiyaffah. Qurah. Bukti berdasarkan indikasi yang tampak. Pengakuan
bermakna menetapkan dan mengakui sesuatu hak dengan tidak

M
mengingkarinya.
• Saksi. Adalah suatu pemberitaan yang pasti, yaitu ucapan yang keluar
yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang
diperoleh dari orang lain, karena beritanya telah tersebar, semuanya

U
diyakini bukan karena dugaan atau perkiraan.

Pengakuan sendiri telah ditetapkan (sebagai bukti), berdasarkan dalil,


baik yang tercantum di dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Allah SWT berfirman
dalam QS Al-Baqarah (2): 84, yang artinya:

D
“Dan (ingatah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan
menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu
(saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan
memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.”

Maksudnya, kemudian kalian berikrar (memberikan pengakuan) dengan


isi perjanjian tersebut dan kebenarannya. Dan Allah Swt. telah menetapkan
ikrar (pengakuan) mereka, lalu ikrar (pengakuan) mereka menjadi hujjah bagi
mereka. Dalam hadis tentang Ma’iz telah disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa
Nabi Saw. bertanya kepada Ma’iz bin Malik, yang artinya:

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 93


“Apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu? Ma’iz
balik bertanya, ‘Apa yang disampaikan kepada engkau tentang diriku?’ Nabi
Saw. menjawab, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina
dengan budak perempuan keluarga si fulan’. Ma’iz menjawab, ‘Benar’. Kemudian
bersaksilah empat orang saksi. Lalu, Rasullulah Saw. memerintahkan agar Ma’iz
dirajam. Maka dirajamlah al-Ma’iz.”

Y
Seorang qadliy (hakim) tidak boleh mencukupkan pengakuan hanya dari
terdakwa. Pengakuan itu harus bisa dibuktikan untuk mengetahui apakah orang
yang memberi pengakuan tersebut memahami bahwa dengan pengakuannya
itu, berarti ia menjadi orang yang mendakwa, atau dirinya berhak untuk dikenai
sanksi (jika pengakuannya keliru atau berdusta). Oleh karena itu, seorang qadliy

M
(hakim) harus bertanya secara teliti kepada orang yang mengaku itu, tentang
apa yang diakuinya. Jika kita lihat hadis di atas, ketika Ma’iz mengaku berzina,
Rasullulah Saw. menanyainya hingga tiga kali atas pengakuannya tersebut.
Beliau juga bertanya kepada keluarganya tentang diri Ma’iz. Rasullulah Saw.
juga meminta penjelasan kepada orang yang memberi pengakuan tentang apa

M
yang diakuinya. Bahkan beliau bertanya dengan bentuk pertanyaan yang sangat
jelas. Dari Abu Huraira ra. berkata yang artinya:

“Al-Aslami mendatangai Rasullulah Saw., kemudian ia bersaksi dengan dirinya


sendiri bahwasanya ia telah menyetubuhi seorang wanita yang diharamkan

U
(baginya). Pengakuan tersebut diulang-ulang sebanyak empat kali. Akan tetapi
beliau tetap menolak kesaksian tersebut. Baru setelah pengakuan kelima, Rasullulah
Saw. menerima (pengakuannya)-nya. Kemudian beliau bertanya: ‘apakah engkau
telah menyetubuhinya?’ ia menjawan: ‘Ya’. Nabi bertanya lagi: ‘Apakah seperti anak
celak masuk ke dalam celak, dan seperti timba masuk ke dalam sumur?’ Ia menjawab:
‘Ya’. Nabi bertanya lagi: ‘Apakah engkau tahu tentang zina?’ Ia menjawab: ‘Ya, aku

D
tahu, yaitu aku telah melakukan perbuatan haram seperti halnya yang dilakukan
seorang laki-laki (suami) melakukan perbuatan halal dengan istrinya.”

Hadis di atas menunjukkan sejauh mana investigasi yang harus dilakukan


seorang qadliy kepada orang yang memberikan pengakuan. Ia (qadliy) harus
membuktikan bahwa pengakuan tersebut meyakinkan.
Sumpah sebagai bukti, telah pula ditetapkan dalilnya baik di dalam
Al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Yang dimaksud dengan sumpah adalah
sumpah atas apa yang telah dilakukannya di masa lalu, dan bukan yang akan
dilakukan di masa akan datang. Terhadap sumpah yang akan dilakukan di masa
yang akan datang –yang di dalamnya berhak dikenai kafarat—tidak termasuk

94 Dinamika Hukum Pembuktian


perkara bayyinat (pembuktian). Sumpah yang merupakan bukti dalam perkara
bayyinat adalah sumpah atas apa yang telah dilakukan di masa biasa disebut
dengan sumpah palsu (al-yamin al-ghumus). Lalu Allah Swt. berfirman dalam
QS Al-Maidah, (5): 89, yang artinya:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud

Y
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang
budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya
puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar).”

M
Adapun kedudukan sumpah sebagai alat bukti dalam pembuktian hukum
islam, adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasullulah Saw., yang artinya:

“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa sedangkan sumpah itu wajib bagi

M
orang yang mengingkarinya.”

Sumpah sebagai bukti, hanyalah sumpah yang diminta oleh qadliy (hakim)
baik dari pendakwa maupun terdakwa. Artinya, sumpah harus didasarkan
pada niat orang yang meminta sumpah, dalam hal ini adalah niat dari hakim

U
itu sendiri. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi Saw., yang diriwayatkan oleh
Muslim ra., yang artinya:

“Sumpah itu wajib didasarkan pada niat orang yang meminta.”

D
Dalil di atas menunjukkan bahwa sumpah yang diakui hanyalah sumpah
yang didasarkan pada niat orang yang meminta sumpah, dan bukan atas
dasar inisiatif dari yang bersumpah. Selain daripada pengakuan dan sumpah
sebagai alat bukti, maka dikenal juga bukti kesaksian. Secara istilah, kata
asy-syahadah merupakan bentuk musytaq (pecahan) dari al-musyahadah, yang
memiliki arti al-mu’ayanah (sesuatu yang disaksikan secara langsung).
Kadang-kadang juga disebut dengan memberikan kesaksian (al-ada asy-
syahadah). Al-mu’ayanah merupakan sebab bagi pemberian kesaksian (al-
ada asy-syahadah). Kesaksian hanya akan terwujud bila ada al-mu’ayanah,
atau hal-hal yang serupa dengan al-mu’ayanah, seperti mendengar, melihat
dan hal-hal lain yang serupa. Oleh karena itu, sebab satu-satunya untuk

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 95


menyampaikan kesaksian dinamakan dengan memberi sebuah kesaksian.
Hal ini sebagaimana dalam Hadis Nabi Saw:

“Jika engkau melihat, (maka) seperti engkau melihat matahari, maka bersaksilah.
Jika tidak, tinggalkanlah.”

Hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak membolehkan

Y
seseorang untuk memberi kesaksian, kecuali jika kesaksian tersebut
didasarkan atas ilmu, yang dibangun di atas landasan keyakinan. Kesaksian
adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan sebuah
kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz kesaksian di hadapan sidang
pengadilan. Kesaksian tidak boleh didasarkan pada dzan. Semua bukti yang

M
berasal dari jalan al-mu’ayanah atau yang serupa dengan al-mu’ayanah, seperti
bukti meyakinkan yang berasal dari pengindraan, maka masyarakat dibolehkan
bersaksi dengan bukti-bukti semacam itu. Kesaksian tidak boleh ditetapkan
dengan jalan as-sama’ (mendengar dari orang lain). Dalam hal ini, tidak
diperbolehkan seseorang memberikan kesaksian dengan menyatakan: “saya

M
mendengar dari orang” atau “saya mendengar bahwa orang-orang berkata”,
atau yang sejenisnya. Jika kesaksian dengan jalan as-sama’ ini disampaikan
kepada qadliy, maka kesaksian tersebut tidak akan diterima, karena seorang
qadliy tidak diperbolehkan menerima kesaksian yang didasarkan pada

U
“mendengar informasi dari orang lain”.
Hakikat dan maksud dari kesaksian adalah menyampaikan kebenaran,
yaitu berita yang benar dan meyakinkan yang disampaikan oleh orang
yang jujur/benar, karena kesaksian merupakan upaya untuk membuktikan
kebenaran. Dengan mendasarkan kepada hakikat dan maksud dari kesaksian,

D
maka kesaksian dengan penyangkalan murni tidak akan diterima, sebab
hal ini tidak sesuai dengan definisi dari kesaksian itu sendiri. Akan tetapi,
jika pengingkaran itu lebih dulu diawali dengan sebuah pembuktian, maka
kesaksian dengannya diperbolehkan. Hal ini dikarenakan kesaksian itu secara
otomatis bukan lagi kesaksian dengan pengingkaran, melainkan kesaksian
di dalam pembuktian. Kesaksian harus disampaikan dengan ucapan ‘saya
bersaksi’ dengan bentuk kalimat sekarang. Jika tidak menyatakan ‘saya
bersaksi’, maka hal tersebut tidak mengantarkan pada kesaksian. Alasan lain
dari keharusan mengucapkan ‘saya bersaks’ adalah, bahwa ucapan orang yang
bersaksi dengan lafadz-lafadz kesaksian, posisinya tidak bisa digantikan oleh

96 Dinamika Hukum Pembuktian


orang lain. Selain itu, di dalam kesaksian itu terkandung sumpah, artinya
kesaksian merupakan bagian dari lafadz-lafadz sumpah. Jadi, pengertian
sumpah juga harus diperhatikan dalam perkara ini. Disyaratkan dalam bentuk
mudlari’ (bentuk waktu sekarang), agar mengandung pengertian bahwa orang
yang bersaksi sedang memberikan kesaksian pada sebuah kondisi tertentu.
Kesaksian yang diakui adalah kesaksian yang terjadi di dalam sidang

Y
pengadilan. Sidang pengadilan merupakan syarat pokok bagi absahnya
sebuah kesaksian. Kesaksian di depan pengadilan diperbolehkan, meskipun
tidak di depan sidang pengadilan. Kesaksian yang diberikan di depan
pengadilan, di manapun tempatnya-, maka kesaksian tersebut tetap
diakui, sebab pengadilan keputusannya tidak terikat pada sebuah sidang

M
tertetu. Kesaksian diperuntukkan untuk memperkuat dakwaan atas orang
yang didakwa. Namun, bukan berarti bahwa kesaksian harus didahului
dengan dakwaan. Harus dibedakan dalam dakwaan tersebut, antara hak
yang menyangkut anak Adam, dan hak yang menyangkut Allah Swt. Jika
menyangkut hak anak Adam, seperti hak tentang harta, pernikahan, jual beli

M
dan lain sebagainya, maka disyaratkan ada dakwaan terlebih dahulu, sebagai
syarat-syarat kesaksian. Sebab, kesaksian merupakan hujjah atas dakwaan,
artinya kesaksian tidak boleh mendahului dakwaan.
Adapun kesaksian menyangkut hak-hak anak Adam yang (bersifat) tidak

U
tentu, seperti wakaf bagi fakir miskin, atau jalanan yang diperuntukkan bagi
orang masyarakat, ataupun hak-hak yang merupakan bagian dari hak-hak
Allah Swt., maka saksiannya tidak memerlukan dakwaan terlebih dahulu. Atas
dasar itu Abu Bakar dan para sahabat telah memberi kesaksian atas Mughira,
demikian Jarrud dan Abu Huraira telah memberi kesaksian atas Qudamah bin

D
Madz’un dalam kasus minum khamar. Dalam kasus-kasus tersebut tidak harus
didahului oleh adanya dakwaan, sehingga kesaksian mereka diperbolehkan.159
Syarat-syarat yang sama dalam berbagai perkara taklif, yakni baligh dan
berakal. Allas Swt. berfirman dalam QS Al-Baqarah (2): 282, yang artinya:

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu,
jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya”.

159
Ibid., hlm. 326.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 97


Diutamakan menjadi saksi adalah laki-laki atau baligh, dan juga orang
yang adil. sifat adil menjadi penting, karena telah diindikasikan oleh Allah
Swt. pada diri saksi dalam banyak ayat. Hal ini menunjukkan pula bahwa adil
merupakan salah satu syarat kesaksian. Allah Swt. berfirman, yang artinya:

“Apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasia,

Y
maka hendaklah (wasiat) itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu
atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu. (QS Al-Maidah, [5]: 106)”

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu. (QS Ath-
Thalaq, [65]: 2)”

Memang terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan keadilan.

M
Adil adalah orang yang tidak menunjukkan sifat kefasikan. Orang fasik yang
menunjukkan kefasikannya, maka kesaksiannya tidak diterima. Sebaliknya jika
orang tersebut tidak menampakkan kefasikannya, kesaksiannya tetap dapat
diterima. Definisi keadilan yang lebih tepat adalah “setiap orang yang dapat
mencegah dirinya dari perbuatan yang dianggap masyarakat tidak keluar dari

M
jalan istiqamah (yang lurus dan benar)”.160
Lafadz adil termasuk bagian dari lafadz-lafadz Al-Qur’an. Apabila dikaji
secara mendalam, kata adil yang dilekatkan dengan kesaksian tidak memiliki
makna khusus yang ditetapkan oleh syara, selain hanya makna bahasa saja.

U
Dengan demikian, kata adil harus ditafsirkan dengan makna bahasanya. Jadi,
kata adil jika dilekatkan dengan kesaksian, secara literal berarti “setiap orang
yang dikenal masyarakat bahwa secara umum dia adalah orang yang lurus”.
Akan tetapi, kata al-‘adl masih dimungkinkan untuk ditafsirkan secara

D
literal. Kemudian maknanya ditetapkan berdasarkan penunjukan (kaidah
ilmu) tafsir. Adapun pernyataan mereka, “sifat-sifat lurus yang terdapat
dalam jiwa seseorang”, bermakna, “orang-orang yang secara terang-terangan
diketahui mampu menghindarkan dirinya dari sesuatu yang dianggap oleh
masyarakat tidak pantas”. Oleh karena itu, al-‘adl lebih tetap didefinisikan
dengan, “orang-orang yang mampu menghindari hal-hal yang dianggap oleh
masyarakat telah keluar dari jalan yang lurus (istiqamah), baik dia muslim
maupun kafir”. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Maidah, [5]: 106, yang
artinya:

160
Ibid., hlm. 329.

98 Dinamika Hukum Pembuktian


“Apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat,
maka hendaklah (wasiat) itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu,
atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu.”

Berdasarkan dalil di atas, maka syarat adil itu tidak harus dari kalangan
kaum muslimin, akan tetapi juga dari kalangan non-muslim. Pada dasarnya,
asalnya seorang muslim adalah adil, maka asalnya pembuktian kesaksian

Y
seorang muslim tidak diperlukan. Pembuktian hanya disyariatkan bagi
orang yang menyalahi ‘asalnya’. Jika seorang muslim bersengketa dan dalam
persengketaan itu ada dakwaan atas ketidakadilan, atau ada tuduhan bahwa
dirinya orang yang fasik, kemudian dakwaan itu terbukti dengan sebuah
pembuktian yang menjadikan dirinya dijatuhi had (sanksi) syar’i, maka

M
secara otomatis kesaksian dirinya ditolak. Kecuali bila kemudian dalam
persengketaan itu tidak terbukti cacat dirinya dalam memberikan kesaksian,
maka pernyataannya harus diperhatikan dan kembali pada asalnya, yaitu
bahwa dirinya adil. Adapun untuk orang kafir, jika dirinya dikenal mampu
menghindar dari hal-hal yang dianggap masyarakat telah keluar dari jalan yang

M
lurus, maka pada dasarnya dirinya adalah adil, sehingga keadilan dirinya tidak
perlu dipertanyakan lagi. Sebaliknya jika kesaksiannya memperoleh celaan,
maka orang yang mencela kesaksiannya harus membuktikan celaannya itu.
Dalam hal ini, qadliy harus menyelidiki dirinya, dan tidak harus meminta

U
orang yang mencela kesaksian orang tersebut untuk membuktikan celaannya.
Namun yang harus dipahami terkait dengan kesaksian dari seorang non-
muslim adalah, bahwa kesaksian mereka dibolehkan hanya untuk kasus-kasus
tertentu, seperti misalnya pembunuhan, pencurian, qadzaf, minum khamar,
dan perkara-perkara hudud (delik kejahatan) lainnya. Sebaliknya pada kasus

D
tertentu seperti pada kasus harta, maka yang dapat memberikan kesaksian
haruslah seorang muslim. Memang tidak disyaratkan secara mutlak bagi orang
yang memberikan kesaksian itu harus seorang muslim, begitu pula sebaliknya,
tidak boleh memutlakkan kebolehan kesaksian non-Muslim secara umum.
Saksi non-Muslim, adalah saksi-saksi yang dapat mengungkapkan tabir
yang menutup kebenaran, orang-orang yang dapat mengungkapkan kebenaran
itu, adakalanya dari orang-orang yang bukan Islam dan orang-orang itu dapat
dijamin kepercayaannya, maka dalam hal ini kesaksian dapatlah diterima.
Misalnya pembuktian yang harus diberikan dokter yang kebetulan dokter
tersebut bukan Islam.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 99


Pemeriksaan setempat. Dalam Islam pemeriksaan setempat diperlukan
terhadap perkara-perkara yang membutuhkan kejelasan, dari hakim yang
sedang memutus perkara dalam rangka mencari kebenaran, isi suatu gugatan,
dan dibolehkan untuk melakukan sidang di tempat. Permintaan para pihak
yang bersengketa. Berdasarkan berita mutawir. Berdasarkan berita tersebar.
Berdasarkan hasil penelusuran.

Y
Di mana dikemukakan bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi
orang-orang non-Muslim berkuasa terhadap orang-orang Islam. Demikian
juga tersebut dalam surat At-Thalaq ayat 2 di mana Allah Swt. memerintahkan
agar dalam menyelesaikan segala masalah hendaknya dipersaksikan dengan
dua orang saksi yang adil dari golonganmu (Orang Islam).161

M
Demikian juga dalam hal pembuktian yang harus diberikan dokter
yang kebetulan dokter tersebut bukan Islam, menurut Ibnu Qayyim tidak
ada salahnya untuk diterima asalkan keterangan dokter tersebut dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pendapat Ibnu Qayyim, sejalan
dengan perkembangan zaman saat ini, di mana pengaruh globalisasi dunia

M
mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi membaur satu sama lain,
yang tidak terikat dengan satu agama saja. Apabila terjadi permasalahan di
antara mereka bukan suatu hal yang mustahil peristiwa dan kejadian yang
terjadi itu justru disaksikan oleh orang-orang yang beragama selain Islam.

U
Para praktisi hukum di beberapa negara Islam, pendapat Ibnu Qayyim ini
banyak dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, para praktisi hukum harus dapat
membedakan saksi sebagai syarat hukum atau sebagai alat pembuktian, kalau
syarat hukum berkenaan dengan syarat materiil dan berhubungan dengan

D
diyanatan, sedangkan saksi sebagai alat pembuktian berhubungan dengan
syarat formal yang berkaitan dengan qadlaan.162
Kesaksian juga dapat diberikan oleh wanita. Ada banyak nash-nash yang
menjadi dalil atas kesaksian wanita, yaitu bahwa kesaksian wanita separuh dari
kesaksian laki-laki. Kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian
seorang laki-laki. Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 282, terhadap ayat ini
para fuqaha telah mendiskusikan satu aturan umum. Yaitu satu saksi laki-laki
setara nilainya dengan dua orang saksi perempuan dan karena itu laki-laki

161
Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Op.Cit., hlm. 160.
162
Ibid., hlm. 133.

100 Dinamika Hukum Pembuktian


lebih unggul dari perempuan. Juga ayat ini menyebutkan dua saksi perempuan
dan satu saksi laki-laki dalam kaitannya hanya dalam kontrak keuangan saja.
Tidak ada penyebutan tentang kontrak-kontrak jenis lain, namun para fuqaha
menyimpulkan dari ayat ini bahwa dalam masalah apa pun, baik keuangan
ataupun yang lain seorang perempuan akan diperlakukan sebagai separuh
saksi. Sikap yang benar pandangan ini harus diperlakukan sebagai hasil

Y
interpretasi dan kajian mereka atas surat Al-Baqarah ayat 282.163
Hal ini dapat dilihat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar ra., Rasullulah Saw. bersabda, yang artinya:

“Kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki.”

M
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasullulah Saw. bersabda, yang artinya:

“Bukankah kesaksian seorang wanita itu separuh kesaksian laki-laki? Kami


menjawab: benar ya Rasullulah”.

M
Dalam memahami dalil di atas, yang penting adalah bahwa walaupun
dua saksi perempuan diajukan sebagai pengganti seorang saksi laki-laki
hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan kesaksian fungsi
yang lain tidak lebih dari pengingatnya jika dia bimbang (karena kurangnya
pengalamannya dalam masalah keuangan). Ungkapan Al-Qur’an surat Al-

U
Baqarah (2): 282 adalah:

“jika salah seorang di antara keduanya membuat kesalahan yang lain akan
mengingatkan.164

D
Pada masa itu selalu ada kemungkinan bagi saksi perempuan melakukan
kesalahan dalam masalah keuangan karena mereka tidak berpengalaman
dan bukan karena rendahnya kemampuan kecerdasan. Ayat ini harus
dikategorikan sebagai ayat kontekstual dan bukan normatif. Al-Qur’an tentu
saja tidak menetapkan suatu norma bahwa dalam masalah kesaksian dua
orang perempuan diperlakukan sebagai setara dengan satu laki-laki. Jika itu
yang dimaksudkan Al-Qur’an maka di manapun masalah kesaksian muncul,
Al-Qur’an akan memperlakukan perempuan dengan cara yang sama. Namun

163
Ibid., hlm. 96.
164
Ibid., hlm. 70.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 101


kenyataannya tidak begitu. Ada tujuh ayat lain tentang pencatatan kesaksian
dalam Al-Qur’an, tetapi tidak satu pun yang menetapkan syarat dua orang
saksi perempuan sebagai pengganti satu saksi laki-laki. Ayat-ayat tersebut
antara lain dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 106, ada kalimat yang
digunakan untuk dua orang saksi.
Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 6 sampai dengan ayat 9. Ayat ini

Y
berkenaan dengan masalah li’an yakni mengutuk diri sendiri jika berbicara
dusta. Dari ayat ini ternyata seorang perempuan mempunyai hak untuk
membatalkan kesaksian seorang laki-laki (dalam hal ini suaminya), dan
bersumpah dapat memastikan suaminya sebagai pendusta. Dengan demikian,
seorang perempuan tidak hanya mempunyai hak untuk menjadi saksi tetapi

M
juga hak untuk membantah kesaksian laki-laki. Di sini pengambilan sumpah
dilakukan karena tidak ada saksi-saksi dan bahwa sumpah itu berlaku juga
dalam hukuman hudud, walaupun para fuqaha mengatakan bahwa perempuan
tidak dapat memberikan kesaksian dalam hukuman hudud. Ibnu Qayyim,
seorang murid Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang perempuan jika

M
dia dapat dipercaya dapat diterima sebagai saksi. Dia mengatakan dalam
bukunya bahwa “jika perempuan tersebut sempurna ingatannya tentang apa
yang dia lihat, adil dan juga cenderung religius maka hukum ditetapkan atas
dasar kesaksiannya saja”.165

U
Dalam hukum Islam bukti tulisan adalah merupakan satu alat bukti, selain
pengakuan dan saksi, bukti tulisan merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti
di pengadilan dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak. Pentingnya
bukti tulisan berdasarkan QS Al-Baqarah (2): 282. “Hai orang orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan hendaklah

D
kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar, dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah, telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berutang itu,
mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah”.
Alat bukti tulisan surat dipersamakan dengan saksi, sebagaimana Nabi
Muhammad, telah mengirimkan surat-suratnya kepada Raja-Raja lainnya,
dan menyampaikan argumentasi melalui surat-surat, dan beliau, tidak
memperlihatkan isi suratnya kepada orang yang diperintah untuk mengirimnya.

165
Ibid., hlm. 71.

102 Dinamika Hukum Pembuktian


Tidak pernah terjadi sekalipun sepanjang sejarah hidup beliau, menyerahkan
surat yang telah disegelnya, dan memerintahkan untuk diserahkan ke alamat
yang dituju. Karenanya penulisan wasiat, merupakan bukti tulisan. Sehingga
bukti tulisan dapat dinilai oleh hakim, untuk dijadikan dasar pertimbangan
hukum dalam menjatuhkan putusan, sehingga secara imperatif sebagai bukti
yang mengikat, sehingga bukti tulisan dapat dipandang sebagai bukti yang

Y
mengikat.166
Ikrar atau pengakuan, adalah menetapkan dan mengakui sesuatu hak
dengan tidak mengingkarinya. Dasar hukum pengakuan adalah Al-Qur’an
Surah An-Nisa, (4): 135. “Wahai orang orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap

M
dirimu sendiri”. “Dan hendaklah orang yang berutang itu, menyatakan dengan tertulis,
dan hendaklah bertakwa kepada Allah, bahwa dalam pengakuannya itu tidak boleh
berbohong”. QS Al-Baqarah, (2): 282. Karenanya terhadap pengakuan, dalam
praktik peradilan Islam, tidak dapat dijadikan dasar yang utama. Adapun
persyaratan pengakuan adalah orang yang berakal, baliq dan tidak dipaksa,

M
serta bukan orang yang berada di bawah pengampuan. Pengakuan adalah suatu
alat bukti yang terbatas, dan berlaku bagi yang memberikan pengakuan saja,
tidak dapat mengenai diri orang lain, walaupun dipandang sebagai alat bukti
yang paling kuat, sehingga berbeda dengan saksi, persaksian mengenai orang

U
lain dengan kaidah menyatakan.167
Beban pembuktian, menurut hukum Islam di Malaysia, berdasarkan pada
prinsip-prinsip, hukum pidana Islam, yakni; Pertama. Ke atas siapakah beban
pembuktian, terletak pada yang mendakwakan kesalahan tersangka. Kedua.
Apakah tahap pembuktian diperlukan oleh pendakwa. Sehingga menurut

D
undang-undang AKMSWP 1997, yakni yang memikul beban pembuktian
adalah pihak pendakwa, sehingga menjadi tugas hakim, untuk menilainya.168
Hakim menurut Islam, memiliki kewenangan yang luas, dalam
melaksanakan keputusan hukum dan bebas dari pengaruh siapa pun. Hakim

166
Ibid., hlm. 64-66.
167
Ibid., hlm. 95-96.
168
Azam Moh. Shariff. Prosedur Pendakwaan Jenayah Syariah; Analisis Keats
Peruntukan Undang-Undang di Bawah Akta Prosedur Jenayah Syariah (wilayah-wilayah
Persekutuan) 1997 dan akta keterangan mahkamah syariah. Dalam Jurnal Undang-Undang
dan Masyarakat. (Bangi, Selangor, D.E. Malaysia, 2011), hlm. 8.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 103


wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapa pun.169 Tugas
hakim adalah melaksanakan keadilan. Karenanya hakim harus menjaga segala
tingkah lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari perbuatan yang dapat
menjatuhkan martabatnya sebagai hakim, sehingga hakim dalam persidangan,
harus bebas dari pengaruh orang lain, persidangan terbuka untuk umum,
tidak membedakan orang, dan selalu memberikan nasihat untuk berdamai,

Y
dan memberikan hak untuk berbicara kepada orang lain, untuk berbicara
kepada orang lain yang menuntut keadilan, setiap putusannya wajib untuk
bertawakkal, dan setiap putusan, berdasarkan syariat, melindungi pencari
keadilan, memandang sama kepada para pihak, dan memulai persidangan
dengan ucapan yang sopan.170

M
Keadilan yang dikaitkan dengan hukum, dan peradilan Islam, dianggap
sebagai interdependentie. Lahirnya hukum dituntut adanya rasa keadilan,
terwujudnya keadilan, melahirkan teori keadilan, dan teori keadilan perlu
diwujudkan dalam hukum, dan hukum harus melahirkan keputusan hukum
yang mencerminkan rasa keadilan. Islam merupakan sendi yang fundamental

M
dalam rangka penegakan supremasi hukum. Maka dalam tatanan masyarakat
sangat memerlukan lembaga peradilan yang menciptakan rasa dan nilai
keadilan. Lembaga peradilan merupakan tempat memutar roda keadilan guna
menjaga keseimbangan hidup dalam masyarakat.171

U
Dengan demikian, maka terjadi banyak persamaan dalam pembuktian,
dalam perkara pidana maupun perdata. Hukum Islam memandang sangat
penting membuktikan dalam proses acaranya, yang digunakan oleh hakim
dalam mengakhiri peristiwa hukum secara konkret.

D
J. Pembuktian dalam Hukum Adat
Sebagai hukum asli bangsa Indonesia, yang tersebar di seluruh nusantara,
adalah suatu fakta sejarah, bahwa kerajaan kesultanan itu, telah mengatur
tata kelola Monarki dengan prinsip-prinsip hukum, guna diterapkan pada

169
Makhrus Munajat. Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.
219.
Abdul Manan. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian Dalam Sistem
170

Pradilan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 34-36.


171
Makhrus Munajat. Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.
221.

104 Dinamika Hukum Pembuktian


masyarakatnya, agar masyarakat dapat secara teratur tunduk dan taat pada
aturan-aturan yang dibuat oleh Raja atau para Sultan. Maka hukum adat yang
dikenal dalam berbagai literatur ilmu hukum, telah menentukan, bahwa sistem
hukum adat memang benar berlaku pada berbagai era dan zamannya. Hukum
adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum,
terutama keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan

Y
hukum itu, atau dalam hal bertentangan kepentingan dan keputusan para
hakim mengadili sengketa. sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan
hukum rakyat, senapas, dan seirama dengan kesadaran tersebut diterima
atau ditoleransi.
Hukum Adat adalah Hukum Non-Statutair, yakni. Hukum adat pada

M
umumnya memang belum/tidak tertulis. Oleh karena itu, dilihat dari mata
seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan adatnya dengan pikiran juga
dengan perasaan. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan
peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi di mana ada
kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat

M
dituntut dan kemudian dihukum. Hukum Adat Tidak Statis. Hukum adat
adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum
yang nyata dari sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus
dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Aspek

U
Sosiologis.172
Pada prinsipnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan
manusia lainnya karena manusia adalah mahluk sosial dan memiliki naluri.
Karena hidup manusia membutuhkan manusia lainnya maka setiap manusia
akan berinteraksi dengan manusia lainnya, dan dari interaksi tersebut

D
melahirkan pengalaman. Dari pengalaman ini akan didapatkan sistem nilai
yang dapat dianggap sebagai hal yang baik dan hal yang buruk.
Dari sistem nilai ini, akan melahirkan suatu pola pikir/asumsi yang
akan menimbulkan suatu sikap yaitu kecenderungan untuk berbuat atau
tidak berbuat. Bila sikap ini telah berkecenderungan untuk berbuat maka
akan timbul perilaku. Kumpulan perilaku-perilaku yang terus berulang dapat
dilahirkan/diabstraksikan menjadi norma yaitu suatu pedoman perilaku untuk
bertindak. Norma-norma tersebut dapat dibagi dua, yaitu: norma pribadi yaitu

172
Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 5-7.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 105


kepercayaan dan kesusilaan; norma antar pribadi yaitu kesopanan dan hukum
(sanksinya memaksa). Aspek Yuridis, yakni aspek ini dilihat dari tingkat
sanksinya. Bentuk konkret dari wujud perilaku adalah cara yang seragam dari
sekumpulan manusia misalnya cara jual beli, cara bagi waris, cara menikah, dan
sebagainya. Bila ada penyimpangan atau ada sanksi namun lemah. Dari cara
tersebut akan tercipta suatu kebiasaan, dan sanksi cara/usage. Kebiasaan yang

Y
berulang-ulang dalam masyarakat akan melahirkan standar kelakuan atau mores
di mana sanksi atas penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan
standar kelakuan atau mores ini akan melahirkan custom yang terdiri dari adat
istiadat dan hukum adat, dan sanksinya pun sudah kuat sekali.173
Alam pikiran dalam masyarakat hukum, memandang segala-galanya dalam

M
kehidupan ini sebagai kesatuan yang homogen, di mana kedudukan manusia
adalah sentral. Manusia merupakan sebagian dari alam besar (kosmos), tidak
terpisah dari dunia lahir dan dunia gaib dan malahan berpadu dengan alam
hewan dan tumbuh-tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakatnya sendiri
sebagai satu kesatuan, jadi segala sesuatu bercampur-baur, bersangkut-paut

M
serta saling pengaruh memengaruhi satu sama lain.
Semuanya berada dalam suatu keseimbangan dan senantiasa harus dijaga,
dan jika pada suatu saat terganggu, harus dipulihkan. Dalam hubungan ini,
maka memproyeksikan delik-delik hukum adat dengan alam pikiran yang

U
kosmis-komunalistis itu. Alam pikiran ini merupakan latar belakang delik
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat di Indonesia. Di
dalam alam pikiran tradisional itu, senantiasa masyarakat hukum atau
persekutuan sebagai suatu kesatuan didahulukan atau dipentingkan. Juga
pemeliharaan hukum harus mementingkan persekutuan lebih dari orang-orang

D
tertentu secara individual; ada orang-orang tertentu yang dipentingkan, diberi
penghargaan lebih di hadapan hukum, hal itu di dalam hukum adat adalah
disebabkan oleh kedudukannya di dalam masyarakat; jadi bertambah penting
kedudukan seseorang di dalam masyarakat, lebih penting pula artinya orang
itu sebagai subjek hukum di dalam masyarakat tersebut.174
Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan
perorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan
dalam kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateriil, terhadap orang

173
Ibid., hlm. 7.
174
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), hlm. 61.

106 Dinamika Hukum Pembuktian


seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan
yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat
memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai
jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan
selamatan, memotong hewan besar/kecil, dan lain-lain. Sebagaimana yang
telah lazim diketahui bahwa hukum adat merupakan hukum yang tidak

Y
tertulis, sehingga sukar untuk menentukan bilamana dan apa unsur dari
suatu delik adat. Untuk menentukan suatu perbuatan merupakan delik adat
atau bukan, maka hal ini tergantung dari representations collectives, yakni alam
pikiran dalam masyarakat, merupakan perpaduan dari nilai-nilai yang ada di
dalam masyarakat, selalu bersifat partisipasi dan analisis.

M
Di dalam hukum adat, tidak mengenal sistem prae-existente, artinya bahwa
hukum adat tidak mengenal sistem pelanggaran atau perbuatan kejahatan yang
telah ditetapkan lebih dulu, untuk dapat dikenakan hukuman atau tindakan
balasan atau perbuatan pengembalian keseimbangan. Artinya, delik hukum
adat tidak mengenal semacam Pasal 1 KUHP, melainkan dipahami bahwa

M
seluruh kehidupan ini di dalam totalitasnya, yaitu seluruh lapangan kehidupan
menjadi buku terbuka yang memuat hal apa yang dilarang dan hal apa yang
diperbolehkan.175
Dalam hukum adat, di mana hal pembuktian diatur oleh masyarakatnya,

U
dan melalui kepala atau ketua adat, menentukan keyakinan, terhadap barang
bukti dan alat bukti, yang dilakukan atau diterapkan secara sosiologis magis,
sehingga menemukan suatu kesimpulan atas keyakinan berdasarkan adat
istiadat.

D
Ada beberapa hal yang membedakan antara hukum pidana pada umumnya
dengan hukum ada yang juga memiliki implikasi dalam konteks pembuktian, di
antaranya: Pertama, dalam hukum pidana yang dapat dipidana hanyalah seorang
manusia, sedangkan dalam hukum adat, persekutuan hukum umumnya
dapat dibebani tanggung jawab pidana, seperti Batak, Minangkabau, Nias,
Gayo, Ambon, dan lain-lain; Kedua, dalam hukum pidana, dikenal adanya
unsur sengaja (dolus/opzet) atau khilaf (culpa/alpa), artinya orang tersebut
bertanggung jawab karena adanya kesalahan. Sedangkan dalam hukum adat,
sebagaimana yang juga dikatakan oleh Vollenhoven, cara pembuktian yang

175
Ibid., hlm. 62.

Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 107


demikian tidak diperlukan, yakni yang berkenaan dengan adanya unsur
kesengajaan atau kekhilafan. Artinya, dalam membuktikan perbuatan pidana
seseorang, maka dalam hukum adat tidak perlu dibuktikan apakah dalam
perbuatan tersebut terdapat unsur kesengajaan atau kekhilafan.176
Ketiga, dalam hukum pidana, seseorang yang dapat dipidana hanyalah
bila ia cukup sifat psikis untuk bertanggung jawab. Sedangkan dalam

Y
literatur, terutama di daerah Minangkabau, bahwa di daerah itu seseorang
yang gila dan membunuh orang, disamakan perlakuannya dengan orang
biasa atau orang normal, artinya gilanya seseorang tidak memengaruhi
berat ringannya daya upaya yang harus dilakukan terhadap delik yang telah
dilakukan orang gila itu. Namun di daerah lain seperti Bali, menurut Dr.

M
V. E. Korn, bahwa orang gila dan anak yang belum dewasa (8 tahun) tidak
boleh dihukum, kecuali bila ia melakukan delik yang termasuk berat, yang
disebut sadta taji, seperti melakukan pembakaran, meracun orang, menghina
Raja, dan lain sebagainya.
Keempat, hukum pidana tidak membedakan orang yang satu dengan yang

M
lain, sedangkan dalam hukum adat, besar kecil kepentingan hukum seseorang
sebagai individu, tergantung pada kedudukan atau fungsinya di dalam
masyarakat. Misalnya di masyarakat Bugis atau Makassar, terdapat tingkat-
tingkat (standen) di dalam masyarakat. Kelima, hukum pidana melarang orang

U
bertindak sendiri menegakkan hukum atas perbuatan orang lain terhadap
dirinya (eigenrichting = tindakan hukum sendiri atau main hakim sendiri),
karena segala tindak pidana harus diselesaikan melalui pengadilan pidana,
yang di dalamnya dilakukanlah serangkaian pembuktian untuk menentukan
apakah seseorang terbukti sehingga dihukum, ataukah sebaliknya. Sebaliknya

D
dalam sistem hukum adat, terdapat suatu keadaan di mana seseorang yang
terkena dampak suatu perbuatan pidana, diperbolehkan bertindak sebagai
hakim. Sebagai contoh, seorang melarikan gadis, melakukan zina atau mencuri.
Atas perbuatan ini dia tertangkap basah, maka pihak yang merasa terkena dan
mendapat malu, menurut paham adat boleh bertindak menegakkan hukum.
Hal ini terdapat di antaranya di masyarakat Batak dan Minangkabau.177

176
Ibid., hlm. 68.
177
Ibid., hlm. 69.

108 Dinamika Hukum Pembuktian


Pada dasarnya, peradilan menurut hukum adat adalah:
1. Meneruskan dengan rasa tanggung jawab pembinaan segala hal yang
terbentuk sebagai hukum di dalam msyarakat.
2. Jika tidak ada ketetapan terhadap soal yang serupa/jika ketetapan dari
waktu lampau ada, tetapi tidak dapat dipertahankan lagi, hakim menurut

Y
keyakinannya wajib memberikan putusan yang akan berlaku sebagai
hukum di dalam daerah hukumnya. Jadi hakim harus memberi bentuk
(vorm) kepada hal yang dikehendaki oleh sistem hukum, oleh kenyataan
sosial dan oleh dara perikemanusiaan.

Pembuktian dalam hukum adat, keberlakukannya ditentukan oleh

M
kepala adat, yang sangat mempunyai kewibawaan, untuk dipatuhi oleh
masyarakatnya, maka kepala adat sebagai pemangku adat yang berkuasa, mesti
mempunyai keadilan yang berhimpitan dengan keadilan pada masyarakat
adatnya. Karena itu pembuktian pada masyarakat yang dikenal pada masing-
masing persekutuan adat, adalah suatu makna historis yang tersimpan dalam

M
naskah-naskah, dan pernah diberlakukan pada masyarakatnya.

U
D
Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana 109
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAGIAN KETIGA

JALAN BERLIKU PEMBUKTIAN


PERADILAN PERDATA & NIAGA

Dalam rentang sejarah yang panjang, di mana hukum pidana dan


hukum perdata, menjadi satu kesatuan, tetapi setelah perkembangan atas
kebutuhan manusia, maka ilmu pengetahuan hukum, memisahkan hukum
publik dan privat, dalam perbedaan yang fundamental, maka senada dengan
ajaran pemisahan kekuasaan, terjadilah pemisahan doktrin dan kepentingan-
kepentingan hukum bagi warga masyarakat. Objek dari ilmu hukum acara
perdata, adalah keseluruhan peraturan, yang bertujuan untuk melaksanakan
dan mempertahankan, atau menegakkan hukum perdata materiil, dengan
perantaraan kekuasaan negara. Hal demikian terjadi dalam peradilan, untuk
melaksanakan hukum, dalam hal konkret, adanya tuntutan hak, fungsi itu
dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, yang diadakan oleh negara,
serta bebas dari pengaruh apa saja, dengan cara memberikan putusan yang
bersifat mengikat dan bertujuan untuk mencegah perbuatan yang melawan
hukum.
Hukum acara perdata dimulai dengan pendahuluan, yakni persiapan
untuk menuju kepada penentuan atau pelaksanaan, tahap penentuan diadakan
pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai pada putusannya,
dan tahap pelaksanaan terhadap putusan. Pada hakikatnya hakim perdata,
hanya diminta untuk mempertimbangkan, benar tidaknya suatu peristiwa
yang diajukan kepadanya. Guna mengetahui hukumnya dapat ditanyakan
kepada ahlinya. Pada umumnya, hukum acara perdata dimungkinkan untuk

111
melakukan penafsiran. Hakim bertindak sebagai stabilator hukum, serta harus
sungguh-sungguh menguasai hukum acara perdata.1
Dalam suatu proses gugatan perdata, tugas hakim adalah untuk menyelidiki,
suatu hubungan hukum, yang menjadi dasar gugatan. Adanya hubungan hukum
inilah, yang harus terbukti, apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam
suatu perkara. Maka pembuktian menjadi sangat penting, sebagai dasar diterima

Y
atau ditolaknya suatu gugatan. Walaupun tidak semua dalil yang menjadi dasar
gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal,
apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi.2
Hukum perdata sebagai hukum privat, tentu ranahnya, adalah mengadili
atau menyelesaikan persoalan para individu dengan berbagai kepentingan-

M
kepentingannya, untuk dapat menyelesaikan sengketa para pihak untuk
mendapatkan keadilannya. Perjuangan keadilan dalan peradilan perdata, hanya
bergantung pada kebenaran materiil, yakni suatu hal, yang sangat diyakini, atas
dasar-dasar perjanjian yang telah disepakati antarindividu ataupun oleh badan
hukum, juga berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, yang bermakna

M
sangat luas, maka kebenaran atas pembuktiannya bertumpu pada hal-hal
yang bersifat objektivitas atas bukti tertulis, persaksian, sumpah, pengakuan,
sehingga hakim perdata, sampai pada suatu kesimpulan untuk mengakhiri
perkara di pengadilan. Tentunya hakim sangat terikat pada asas-asas, yang

U
patut dalam peradilan yang wajar dan objektif.
Hukum acara perdata yang baik, adalah menjamin bahwa roda pengadilan
dapat berjalan lancar, agar penetapan atau keputusan pengadilan, tentang
masalah hukum, dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Dapat

D
dilaksanakan dengan cepat, tepat dan murah. Hukum acara itu bersifat
mengabdi pada kepentingan hukum materiil.3
Tetapi dalam praktiknya hukum acara perdata memiliki jalan berliku
sendiri, tidak memandang keadilan sebagai tujuannya, tetapi lebih jauh pada
pengaruh-pengaruh tertentu, yang kemudian menimbulkan problematika
yang berkepanjangan.

1
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998),
hlm. 5-6.
2
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 51.
3
Subekti. Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1982), hlm. 8.

112 Dinamika Hukum Pembuktian


Sumber hukum acara perdata adalah undang-undang, Tentang Mahkamah
Agung. HIR, untuk Jawa dan Madura, RBg, untuk luar Jawa dan Madura.
Selanjutnya sumber hukum acara perdata, dilakukan dalam Undang-undang
Kepailitan, Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
undang tentang Perlindungan Konsumen. Yurisprudensi, adat kebiasaan
yang dianut oleh hakim dalam melaksanakan pemeriksaan perkara perdata,

Y
termasuk Perjanjian Internasional. Doktrin. Instruksi dan surat edaran
Mahkamah Agung.4
Pembuktian dalam hukum acara perdata, menyisahkan persoalan-
persoalan yang bersentuhan dengan kepastian dan keadilan, dalam
proses pemenuhannya. Maka sebagai bangsa yang merdeka, sepatutnya

M
mempertimbangkan berbagai hal tentang pembuktian yang lebih rasional,
dan selalu memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian di wilayah
hukum privat, dan selalu menghindari pintu pintu belakang dalam jalan yang
ditempuh, serta tetap berdasarkan pada keadilan atas dasar “Ketuhanan Yang
Maha Esa”.

M
A. Pergulatan Keadilan dalam Hukum Perdata
Terhadap pergulatan di peradilan keperdataan, yang mengandalkan

U
pembuktian secara formal, maka bukti-bukti atas akta menjadi sangat
penting, dan para pihak yang dirugikan selalu berinisiatif untuk melakukan
gugatan di peradilan perdata, guna capaian keadilan yang dipersengketakan,
dan menegakkan hak dan kewajiban para pihak, antarindividu dengan segala
konsekuensi hubungannya dalam tata pergaulan masyarakat.

D
Hakim perdata selalu terikat pada kepentingan-kepentingan perorangan,
karena hukum perdata melindungi kepentingan dan hukum perorangan,
antara penggugat dan tergugat merupakan atau memiliki batas-batas sendiri,
untuk diadili oleh hakim perdata. Sehingga hakim perdata dibolehkan
mengabulkan apa yang digugat, dan tidak diperkenankan untuk memenuhi
apa yang tidak digugat. Maka pembuktian dalam acara perdata, hanyalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengketaan.5

4
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Op.Cit., hlm. 10-14.
5
R. Subekti. Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 14-15.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 113
Perselisihan ataupun persengketaan keperdataan, berbasis pada gesekan
pergaulan di masyarakat yang sangat bersifat pribadi, antarpergaulan dan
kemudian menentukan batas-batas hak serta kewajiban yang tidak dilaksanakan,
ataupun suatu keadaan-keadaan yang merugikan kepentingan para pihak.
Inisiatif untuk melakukan tuntutan hak, diserahkan sepenuhnya kepada
para pihak. Hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak (iudex ne

Y
procedat ex officio), Pasal 118 HIR6, 142 RBg.7
Berbagai asas yang penting dari suatu permohonan gugatan para
pihak, adalah bahwa pengadilan perdata tidak dibenarkan untuk menolak
permohonan gugatan yang diajukan salah satu pihak, akibat dari perjanjian
ataupun perbuatan melawan hukum. Hakim tidak boleh menolak untuk

M
memeriksa dan mengadilinya, karena hukum tidak ada atau kurang jelas
mengaturnya. Hakimnya harus dianggap tahu hukumnya (ius corea novit).
Hakim wajib untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya.
Dalam pemeriksaan acara perdata, hakim bersikap pasif, dimaksudkan,

M
bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa, yang diajukan kepada hakim,
untuk diperiksa pada asasnya, ditentukan oleh para pihak, yang berperkara
dan bukanlah oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan
dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan. Hakim secara aktif memimpin sidang, membantu kedua

U
pihak dalam mencari kebenaran, dan bersikap tutwuri handayani. Hakim
terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak dan para pihak dapat
secara bebas untuk mengakhiri sengketa. Hakim wajib mengadili seluruh
gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut

D
atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut.8

6
Pasal 118 ayat (1) HIR: “Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama
termasuk lingkup wewenang Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat permintaan
(surat gugatan) yang ditandatangani oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut Pasal
123, kepada ketua Pengadilan Negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya
tidak diketahui, kepada ketua Pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenamya.”
7
Penjelasan Pasal 142 ayat (1) RBg: “Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama
yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seorang
kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 147, dengan
suatu permohonan yang ditandatangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan
kepada ketua Pengadilan Negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tergugat
atau, jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.”
8
Pasal 178 HIR: “(1) Pada waktu bermusyawarah, hakim, karena jabatannya, wajib
melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak; (2)

114 Dinamika Hukum Pembuktian


Pemeriksaan sidang di pengadilan, pada asasnya terbuka untuk umum,
bermakna, bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini, yakni untuk memberikan
perlindungan hak asasi manusia dalam bidang peradilan, serta untuk menjamin
objektivitas peradilan, dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang
fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.9 Bilamana

Y
putusan diucapkan tidak terbuka untuk umum, maka putusan itu tidak
sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum, serta mengakibatkan batalnya
putusan itu menurut hukum. Asas ini memberikan manfaat untuk adanya
sosial kontrol. Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, yang dimuat
dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka peradilan dilakukan

M
secara tertutup. Perkara perceraian, atau perzinaan, dinyatakan pintu tertutup,
walaupun harus dibuka dan dinyatakan terbuka.
Di dalam hukum acara perdata, kedua pihak, haruslah diperlakukan sama,
tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili
menurut hukum, dengan tidak membedakan orang.10 Dalam pemeriksaan

M
acara perdata, yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas
perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan
untuk memberi pendapatnya. Audi et alteram paartem. Hal ini berarti, hakim
tidak boleh menerima keterangan, dari salah satu pihak, sementara yang lain

U
tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
Penjelasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 184(1), 319 HIR,
Pasal 195, 618 RBg.11
Alasan atau argumentasi itu dimaksudkan, sebagai pertanggungjawaban

D
hakim, dari segala putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan

Hakim itu wajib mengadili semua bagian tuntutan; (3) Ia dilarang menjatuhkan keputusan
atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut.”
9
Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004: “(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka
untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain; (2) Tidak dipenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum.”
10
Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004: “Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang.”
11
Pasal 184(1) HIR: “Keputusan harus berisi keterangan ringkas, jelas gugatan dan
jawaban, serta dasar alasan-alasan keputusan, ongkos perkara para pihak yang hadir
dalam berperkara, harus disebutkan dasar undang-undang, terdapat tanda tangan hakim
dan panitera.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 115
yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga mempunyai nilai objektif.
Karena adanya alasan-alasan itulah, maka putusan mempunyai wibawa dan
bukan karena hakim tertentu, yang menjatuhkannya. Putusan yang tidak ada
alasan, akan menimbulkan masalah subjektivitas hukum, yang bertentangan
dengan ilmu pengetahuan hukum sebelumnya. Berperkara di pengadilan,
pada umumnya dikenakan biaya. Biaya itu meliputi biaya kepaniteraan, biaya

Y
surat panggilan, biaya materai. Bagi setiap warga negara yang tidak mampu
mengeluarkan biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma
(prodeo), dengan mendapatkan izin, untuk dibebaskan dari pembayaran biaya
perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu, yang dibuat oleh
polisi, atau dalam praktik surat keterangan itu, cukup dibuat oleh camat, di

M
mana domisili yang bersangkutan. Permohonan perkara prodeo akan ditolak
oleh pengadilan, apabila penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.
HIR tidak mewajibkan, para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung, terhadap para
pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu

M
atau diwakili oleh kuasanya, kalau dikehendakinya. Dengan demikian, hakim
tetap wajib, memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para
pihak tidak mewakilkan pada kuasanya. Pada hakikatnya seorang kuasa adalah
Sarjana Hukum.12

U
Adapun prinsip-prinsip pembagian beban pembuktian dalam praktik
peradilan, yakni; Pertama, yang harus dibuktikan adalah hal yang positif,
maknanya di dalamnya terdapat fakta atau terkandung suatu peristiwa
hukum. Kedua, hal yang negatif negatif tidak perlu dibuktikan, karenanya
sesuatu yang tidak patut membebani bukti kepada tergugat mengenai hal

D
negatif, karena tidak mungkin dapat dibuktikan hal yang tidak diketahui
atau yang diperbuatnya. Ketiga, pembebanan secara profesional, bahwa
masing-masing pihak dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil gugatan
dan dalil bantahan. Tetapi pihak penggugat dibebani wajib bukti, bilamana
tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, maka cukup beralasan untuk
membebaskan tergugat untuk membuktikan dalil bantahannya. Keempat,
siapa yang menguasai suatu hak atas barang tidak dibebani wajib bukti.
Hal ini didasarkan pada asas kepatutan. Dianggap tidak patut membebani
pembuktian kepada seseorang untuk membuktikan barang yang dikuasainya,

12
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Op.Cit., hlm. 16.

116 Dinamika Hukum Pembuktian


karenanya siapa yang menguasai atau memiliki hak atas suatu barang, tidak
perlu membuktikannya.13
Pembuktian merupakan masalah yang paling penting, dalam hukum
acara perdata, kepada para pihak dipikulkan beban pembuktian bilamana
terjadi suatu proses berperkara. Beban pembuktian dapat menimbulkan
kesewenangan, terhadap pihak yang dibebani, dan memberi keuntungan gratis

Y
kepada pihak yang lain. Karenanya diperlukan pemahaman beban pembuktian,
prinsip dan praktik yang berkenaan dengan penerapannya, yakni prinsip beban
pembuktian, tidak bersikap berat sebelah.
Makanya hakim dalam memikulkan pembebanan pembuktian harus
bersikap adil sesuai dengan prinsip fair trial, dan tidak berat sebelah atau tidak

M
bersikap parsial, tetapi imparsialitas. Menegakkan risiko alokasi pembebanan.
Artinya risiko yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak. Beban
pembuktian ditujukan kepada pihak dan mendapatkan alokasi untuk
membuktikan, bilamana tidak mampu membuktikan, maka risikonya adalah
kehilangan hak atau kedudukan atas kegagalan memberi bukti yang relevan.

M
Beban pembuktian adalah masalah yuridis, maknanya dalam penerapan dapat
diperjuangkan hingga sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Adanya
pedoman beban pembuktian, yakni berdasarkan undang-undang, sebagaimana
ditentukan menurut Pasal 163 HIR, pasal 283 Rbg,14 Pasal 1865 KUH Perdata.

U
Berdasarkan teori hak, yakni beban pembuktian bertitik tolak dan
mempertahankan hak, siapa yang mengemukakan hak, wajib membuktikan
haknya tersebut, berarti yang lebih dahulu memikul wajib bukti dibebankan
pada, yang mengajukan mengenai haknya. Beban pembuktian, berdasarkan

D
teori hukum, hakim harus berdasarkan pada hukum dan menjalankan peraturan
perundang-undangan, setiap sengketa yang terjadi di pengadilan. Beban
pembuktian berdasarkan kepatutan, maknanya memberikan keseimbangan
untung dan ruginya kepada para pihak, kepatutan sebagai bagian untuk
menambah atau memperkuat ketentuan hukum.15

13
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 530-531.
14
Pasal 163 HIR: “Barang siapa yang mengatakan hak, dan mempunyai hak, atau
menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya, atau untuk memantah hak
orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu.”
15
M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 518-535.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 117
Pembuktian yang dilakukan oleh hakim dalam mengadili perkara, adalah
untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak
yang berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja
yang dapat dibuktikan, akan tetapi adanya sesuatu hak, juga dapat dibuktikan.
Karenanya yang dapat dibuktikan di depan pengadilan adalah hal-hal yang
menjadi perselisihan dalam perkara perdata, meliputi bukti tulisan, bilamana

Y
bukti ini kurang cukup, maka dilihat bukti saksi, persangkaan, bilamana
dianggap kurang cukup maka ditambah lagi dengan bukti sumpah. Sehingga
dapat diketahui, bahwa guna mendapatkan keputusan akhir, maka hakim
memerlukan fakta-fakta, tentang adanya bukti.16
Hukum pembuktian adalah sebagian dari hukum acara perdata pada

M
umumnya. Dalam praktik di pengadilan, di mana hukum pembuktian dari
HIR dan RBg, maupun pembuktian dari BW. Maka dapat diketahui beberapa
prinsip-prinsip yakni hal-hal yang harus dibuktikan (bewijsobject) dan hal
pembagian beban pembuktian (bewijlslastverdeeling).
Dengan demikian, maka pembuktian merupakan tahap yang menentukan,

M
dalam proses perkara, karena dari hasil pembuktian, dapat diketahui benar
atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. Sehingga setidaknya ada dua
unsur yang memegang peranan dalam pembuktian, yakni, Pertama, unsur
alat bukti, yakni membuktikan dengan alat bukti yang sah, dan tidak boleh

U
dengan setiap alat. Adapun alat-alat bukti menurut Pasal 164 HIR dan Pasal
284 RBg,17 ada lima macam alat bukti, yakni bukti tulisan/surat, bukti saksi,
bukti persangkaan, bukti pengakuan, dan bukti sumpah. Kedua, peraturan
pembuktian, dari kelima macam bukti, maka dapat digunakan sebagai alat
bukti, maka peraturan perundang-undangan mengatur cara pembuatan,

D
penggunaan dan kekuatannya, atau nilainya sebagai alat bukti.18
Hukum acara perdata yang bersifat nasional, belum dimulai
pembahasannya, seiring dengan KUHPerdata, maka hukum acara ini, masih
sepenuhnya memakai hukum perdata formiil maupun materiil, dengan nuansa
kolonial.

16
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992),
hlm. 9-10.
17
Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesi, (Bandung: Sumur Bandung,
1992), hlm. 101-105.
18
Bambang Sugeng dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara
Perdata, (Jakarta: Prenada Media Grouf, 2011), hlm. 7.

118 Dinamika Hukum Pembuktian


B. Pembuktian dalam Dinamika Hukum Perdata
Dinamika hukum pembuktian dalam peradilan keperdataan, selau
mengacu pada asas-asas hukum acara perdata pada umumnya, tetapi tafsir
atas alat dan barang bukti, memberikan suatu penilaian tersendiri, ketika
proses beracara di depan peradilan, dimana pada khususnya hakim bersifat

Y
pasif, dan selalu memberikan keleluasaan, pada para pihak yang bersengketa
untuk memberikan alasan-alasan yang rasional, mendasarkan pada bukti-
bukti yang meyakinkan, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran tentang
duduk perkaranya, dan memudahkan bagi hakim untuk mengakhiri sengketa
dengan adil.

M
Tentang beban pembuktian dalam praktik peradilan perdata, adalah adanya
keseimbangan kepentingan para pihak yang berperkara demi tercapainya
ketenteraman masyarakat. Asas umum beban pembuktian sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 163 HIR dan 1865, 1244, 1394, 1769, 1977 (1), 252,
489, 533, 535,, 468 (2) KUH Perdata.19

M
Pembuktian dalam praktik peradilan dapat diketahui yakni;20
1. Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak
diajukan oleh para pihak. Hal-hal yang diajukan oleh penggugat yang
tidak disangkal oleh penggugat, dapat dianggap telah terbukti. Dengan

U
adanya pengakuan tergugat, dianggap pengakuan gugatan penggugat
telah terbukti. Dalam hukum acara perdata, tidak perlu adanya keyakinan

19
KUH Perdata. Pasal 1244. Keadaan yang memaksa harus dibuktikan oleh pihak

D
debitur. Pasal 1365. Pihak yang menuntut penggantian kerugian akibat perbuatan yang
melanggar hukum harus membuktikan adanya kesalahan. Pasal 1394. Adanya kuitansi
yang berturut-turut tanggal pembayarannya sebanyak tiga kuitansi membebaskan debitur
untuk membuktikan pembayaran-pembayaran yang lebih dulu.Pasal 1769. Adanya bukti
pembayaran pokok uang pinjaman dianggap terbukti telah membayar bunga dari pinjaman
tersebut. Pasal 252. Seorang suami dapat menyangkal seorang anak yang lahir dari istrinya,
sebagai anaknya yang sah, apabila ia dapat membuktikan bahwa dalam waktu antara 300
hari dan 180 hari sebelum lahirnya anak itu, tidak bersetubuh dengan istrinya. Pasal 489.
Seorang yang menyatakan mempunyai hak yang didapat dari orang yang tidak karuan tempat
tinggalnya, dan tidak karuan apakah orang itu masih hidup, maka harus dibuktikan, harus
dapat dibuktikan tentang orang tersebut. Pasal 533. Seorang yang telah menguasai barang
tidak perlu membuktikan iktikad baiknya, tetapi orang yang mengemukakan adanya iktikad
buruk itu harus membuktikannya. Pasal 535. Seseorang yang telah memulai menguasai
sesuatu untuk orang lain, maka ia selalu dianggap meneruskan penguasaan itu, kecuali
yterbukti sebaliknya.
20
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 159-160.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 119
hakim. Oleh pengadilan Negeri dipertimbangkan bahwa menurut hukum
dan keyakinan kami, perlawanan harus ditolak. Belumlah merupakan
pembuktian karena cara-cara pemindahan harta terperkara termasuk
posita yang mengharuskan pembuktian dari penggugat. Adalah wewenang
judex facti, untuk menentukan diterima atau tidaknya permohonan
pembuktian. Sebagai contoh, keberatan yang diajukan penggugat untuk

Y
kasasi, bahwa permohonan penggugat asal untuk membuktikan, bahwa
sawah perkara telah diserobot oleh tergugat asal ditolak oleh hakim yang
memimpin pemeriksaan tidak dibenarkan.
2. Beban Pembuktian,21 Persoalan ada tidaknya onhellbare tweespalt, adalah
mengenai penilaian hasil pembuktian yang merupakan penghargaan dari

M
suatu kenyataan. Hal mana menjadi wewenang sepenuhnya dari juddex
facttie, karena itu tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.22
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, ganti rugi harus dibuktikan
dan tergugat dalam kasasi, ini tidak dapat membuktikan hal itu, tetapi
oleh karena penggugat untuk kasasi baik di muka Pengadilan Negeri

M
maupun dalam memorie kasasinya bersedia untuk membayar ganti rugi
sebesar 2% setiap bulan, maka mengenai presentasi ganti rugi ini perlu
diperbaiki.23
Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum acara oleh sebab

U
kesimpulan-kesimpulan oleh Pengadilan Tinggi, tidak berdasarkan pada
pembuktian yang diajukan dalam persidangan sebagaimana tercantum
dalam berita acara. 24 Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum
acara, karena telah memerintahkan agar sita jaminan (conservatoir beslag),
diangkat tanpa disertai pertimbangan.25

D
3. Bukti Tertulis,26 walaupun dalam perkara, cap dagang, tidak diperlukan
peraturan perundang-undangan pembuktian di muka pengadilan biasa
tidak tepat, satu affidavit, dianggap sama kuat dengan keterangan saksi
di muka hakim.

21
Ibid., hlm. 160-162.
22
R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), hlm. 1-10.
23
Ibid., hlm. 39-51.
24
Ibid., hlm. 94-106.
25
Ibid., hlm. 111-132.
26
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 162-168.

120 Dinamika Hukum Pembuktian


Pada umumnya, dalam suatu perkara perdata, salah satu pihak meng­
ajukan suatu putusan pidana untuk membuktikan sesuatu, pihak lawan
harus diberikan kesempatan untuk mengajukan bukti alasan, tetapi dalam
hal ini pemberian bukti pembalasan tersebut, tidaklah perlu karena fakta-
faktanya terang dan tidak merupakan perselisihan antara kedua pihak,
sedang perselisihan paham antara pengguat untuk kasasi di satu pihak dan

Y
Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi di lain pihak, adalah mengenai
kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta itu, yang menurut penggugat ia
beriktikad baik.
Surat bukti pinjam uang yang diakui tanda tangannya, tetapi disangkal
jumlah uang pinjamannya, dapat dianggap sebagai permulaan pembuktian

M
tertulis. Surat “patuk” pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak,
bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam
patuk pajak bumi tersebut.
Surat-surat yang ditandatangani oleh orang-orang yang tidak cakap
berbuat dalam hukum (onberkwan personen), tidak dapat diajukan sebagai

M
alat bukti. Surat bukti yang tidak diberi materai, tidak termasuk alat
bukti yang sah.27 Surat keterangan pajak bukan merupakan tanda bukti
yang mutlak, karena sering terjadi bahwa pada surat keterangan pajak,
masih tercantum nama pemilik tanah yang lama, padahal tanahnya sudah

U
menjadi milik orang lain. Suatu akta perjanjian jual beli yang dilaksanakan
di hadapan seorang pejabat akta tanah menurut UU No. 10 Tahun 1961,
dianggap sebagai akta yang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.
Akta jual beli di bawah tangan yang disangkal oleh pihak lawan dan
tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya, dianggap sebagai alat bukti

D
yang lemah. Dalam hal tanda tangan yang dibuat oleh orang yang sama,
terdapat sedikit perbedaan, disebabkan oleh perbedaan jangka waktu,
maka hakim dapat mengambil kesimpulan sendiri tentang suatu alat
bukti, tanpa perlu mendengarkan saksi ahli.
Surat-surat bukti yang diajukan penggugat untuk kasasi, berupa
keterangan keputusan desa Andir tanggal 9 Oktober 1968, yang dikuatkan
oleh camat IPD, tanggal 3 Desember 1966 No. 282/18; feta form 332
A/410/69, tanggal 24 April bukan merupakan akta autentik seperti yang

27
Putusan MA, tgl 13 Maret 1971 No. 589 K/Sip/1970.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 121
dimaksudkan oleh undang-undang (ptusan MA. Tgl 20 agustus 1975 No.
907K/Sip/1972). Kuitansi yang diajukan oleh penggugat sebagai bukti,
karena tidak bermaterai oleh hakim dikesampingkan.
Suatu putusan hakim pidana mempunyai kekuatan bukti yang sempurna
dalam perkara perdata, baik terhadap orang yang dihukum pada putusan
hakim pidana, maupun terhadap pihak ketiga. Dengan membolehkan

Y
adanya pembuktian perlawanan. Apabila penggugat sudah dapat
membuktikan dalil- dalilnya, maka surat-surat bukti tergugat dianggap
tidak mempunyai nilai lagi.
Satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain tidak dapat
diterima sebagai pembuktian. Pengakuan tergugat yang dikaitkan oleh

M
akta notaris, harus dianggap bukti cukup untuk membenarkan keadaan
yang diakui tergugat itu.28
Apabila pembantah dapat membuktikan bahwa tanah sengketa dibeli oleh
pembantah di depan pejabat pembuat akta tanah, dan tanah itu masih
tercatat atas nama si penjual, maka pembantah adalah yang beriktikad

M
baik.29
Apabila dalam perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihak-
pihak dalam perkara yang sudah diputuskan lebih dahulu, maka tidak
ada Nebis in idem. Prinsip yang terkandung dalam Pasal 1970 BW, yakni

U
bahwa putusan pengadilan mengenai status seseorang berlaku penuh,
terhadap setiap orang dianggap juga berlaku dalam hukm adat, karena
prinsip demikian pada hakikatnya melekat pada tiap putusan pengadilan
yang berisikan pencantuman tentang status seseorang. 30

D
Surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang
memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai
kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan pembuktian
kesaksian).31

28
R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian. Op.Cit.,
hlm. 15-30.
29
Ibid., hlm. 176.
30
Ibid., hlm. 198- 216.
31
Ibid., hlm. 295-308.

122 Dinamika Hukum Pembuktian


4. Bukti-bukti Saksi,32 Bagi Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,
tidak ada keharusan untuk mendengar seorang saksi ahli berdasarkan
Pasal 138(1) jo Pasal 164 HIR. Tidak ada keberatan menurut hukum
untuk meluluskan permintaan salah satu pihak agar kuasa dari lawannya
didengar sebagai saksi. Testominium de audite, tidak dapat digunakan sebagai
bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan, sebagai

Y
persangkaan, yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidaklah dilarang.
Berapa banyak saksi ahli yang harus didengar dan penilaian atas
keterangan para saksi tersebut, terserah kepada kebijaksanaan hakim
yang bersangkutan, dan hal ini tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan kasasi. Pengetahuan saksi-saksi yang hanya didengarnya

M
dari orang lain, tidak perlu dipertimbangkan oleh pengadilan, sehingga
keterangan-keterangan seperti itu tidak merupakan alat pembuktian
yang sah. Keterangan-keterangan saksi yang hanya mengetahui tentang
barang-barang sengketa dan tidak disertai dengan pengetahuan asal
usul dari barang sengketa (niet metrederen van watenschap omkleed), tidak

M
dapat dipergunakan sebagai bukti yang sempurna. Seseorang yang ada
hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga, dengan salah satu
pihak yang berperkara, tidak dapat menjadi saksi yang sah, tetapi hanya
dapat memberikan keterangan. Saksi yang diajukan oleh salah satu pihak
dalam perkara pengadilan dapat menguatkan atau membenarkan dalil-

U
dalil pihak lawannya.
Keterangan saksi de audite, bukan merupakan alat bukti. Persaksian dari
ibu tiri, sesuai dengan Pasal 145 (1) HIR,33 harus dikesampingkan.
Saksi bekas ipar tidak termasuk yang disebut dalam Pasal 146(1) HIR,34

D
sedangkan saksi keponakan ada hak untuk mengundurkan diri.

32
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 169-172.
33
Pasal 146 ayat (1) HIR: “yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: (a) keluarga
sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus; (b) istri atau suami
salah satu pihak, meskipun sudah bercerai; (c) anak-anak yang umumnya tidak dapat
diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia lima belas tahun; (d) orang gila, meskipun
kadang-kadang ingatannya terang”.
34
Pasal 146 ayat (1) HIR: “Yang boleh mengundurkan diri dari memberi kesaksian
adalah: (a) saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan; (b)
keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau
istri salah satu pihak; (c) sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya
yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang
diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 123
Bekas suami menurut hukum acara yang berlaku Pasal 172 Rbg,35 tidak
boleh didengar sebagai saksi.
Keterangan tergugat yang bertentangan dengan keterangan saksi tergugat
sendiri tanpa disertai bukti-bukti lain, tidak dapat dinilai kbenarannya.
Tidak mempunyai nilai yuridis.
Keterangan-keterangan yang, jika dihubungkan satu sama lain,

Y
mempunyai arti dan maksud yang sama, dapat menghasilkan bukti yang
sah dan penuh.
Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena
keterangan saksi tidak saling menguatkan dan tidak bersesuaian.36

M
5. Dugaan atau Persangkaan,37 dengan tidak menggunakan alat pembuktian
berupa saling tidak disangkalnya, isi surat-surat bukti yang diajukan oleh
kedua belah pihak. Yudic facti, tidak melakukan peradilan menurut cara
yang diharuskan oleh undang-undang, maka putusannya harus dibatalkan.
Dugaan Pengadilan Tinggi tentang adanya hubungan dagang tersebut,

M
tidak sesuai dengan dugaan yang dibolehkan oleh undang-undang, karena
Pengadilan Tinggi hanya mendasarkan dugaan tersebut pada keterangan
keterangan saksi yang tidak sempurna dan pula saksi-saksi tersebut
memberi keterangan tidak di bawah sumpah.
6. Pengakuan atau Dugaan,38 dalam pengakuan disertai tambahan yang

U
tidak ada hubungannya dengan pengakuan itu, yang oleh doktrin dan
yurisprudensi dinamakan gekwalificeerde bekentenis. Pengakuan dapat
dipisahkan dari tambahannya.
Penggugat asli menuntut kepada tergugat asli, penyerahan sawah

D
sengketa kepada penggugat asli kepada kedua anaknya, atas alasan bahwa
sawah tersebut adalah budel warisan dari almarhum suaminya yang
kini dipegang oleh tergugat asli tanpa hak, yang atas gugatan tersebut,
tergugat asli menjawab bahwa, sawah itu kira-kira lima belas tahun yang
lalu, sudah dibeli dari penggugat asli oleh marhum suami tergugat asli.

Pasal 172 RBg: “Tidak boleh didengar sebagai saksi adalah mereka: (c) suami atau
35

istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai;”


36
R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian. Op.Cit.,
hlm. 15-30.
37
Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 173.
38
Ibid., hlm. 173-174.

124 Dinamika Hukum Pembuktian


Jawaban tergugat asli tersebut merupakan suatu jawaban yang tidak dapat
dipisahkan (onsplitssbaar aveu), maka sebenarnya penggugat aslilah yang
harus dibebani untuk membuktikan kebenaran dalilnya, bahwa sawah
sengketa adalah milik almarhum suaminya.
Perkembangan yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR (pengakuan yang
terpisah-pisah), ialah bahwa dalam hal ada pengakuan yang terpisah-

Y
pisah Hakim bebas menentukan untuk pada siapa harus dibebankan
kewajiban pembuktian. Dalam hal pengakuan yang terpisah-pisah, hakim
bebas untuk menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus
dibebankan pembuktian.39
7. Bukti Sumpah,40 pengangkatan sumpah harus dilakukan oleh orang yang

M
bersangkutan sendiri dan tidak dapat dibuktikan, oleh orang lain meskipun ahli
waris. Kecuali apabila ada surat kuasa khusus untuk itu. Bahwa tergugat tidak
dapat mengajukan alat-alat bukti untuk membuktikan kebenaran bantahannya,
sehingga hanya sumpahlah satu-satunya, sarana untuk menggantungkan
putusan dalam sengketa kedua belah pihak. Pembuktian dengan surat,

M
dimaksudkan dengan surat adalah akta autentik, yang dibuat dengan maksud
untuk dijadikan bukti, atau dimuka pejabat umum notaris. Sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 165 HIR,41 dan 285 Rbg, bahwa suatu-surat atau akta
autentik, merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak, ahli waris, dan

U
orang yang mendapatkan suatu hak. Kekuasaan pembuktian tersebut, sebagai
kekuatan dari keterangan notaris. Selanjutnya akta atau surat di bawah tangan
Pasal 1875 BW, sama dengan surat biasa, karena tidak ditujukan khusus untuk
pembuktian, hanya untuk menunjukkan sesuatu hal saja, sehingga pengadilan
leluasa untuk menilainya, mesti ditambah dengan bukti lainnya.

D
Alat bukti tulisan mengandung segi yuridis, dengan ciri adanya tanda
baca, kalimat disusun dalam suatu pernyataan, ditandatanganani oleh
pihak disertai tanggal, berfungsi sebagai formalitas kausa, maksudnya
surat atau akta berfungsi sebagai syarat atau keabsahan sebagai tindakan

39
R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian. Op.Cit.,
hlm. 67-83.
40
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 176-180.
41
Pasal 165 HIR: “Surat (akte) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian
oleh atau dihadapan pegawai umum, yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti
yang cukup, bagi kedua pihak dan ahli warisnya, dan sekalian orang yang mendapat hak
daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang ada
surat itu sebagai pemberitahuan.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 125
hukum. Berfungsi juga sebagai probationis causa, yakni surat atau akta
merupakan satu-satunya alat bukti, yang sah dan membuktikan suatu
hal atau peristiwa. Fungsi utama surat atau akta, adalah sebagai bukti
pada urutan pertama, karena tujuan utama dari setiap surat atau akta,
adalah diperuntukkan untuk bukti, maka sejak semula diperuntukkan,
bilamana terjadi sengketa, guna membuktikan kebenaran transaksi dalam

Y
masyarakat. Sehingga maksud dari surat atau akta, merupakan satu-
satunya alat bukti, yang dapat sah membuktikan suatu hal atau peristiwa.
Sehingga keperluan alat bukti ini merupakan dasar untuk membuktikan.

Bilamana tidak sesuai dengan maksud tersebut, maka notaris dapat


menolak untuk membuatkan akta yang diminta.42 Surat-surat dapat diminta

M
oleh suatu pihak, agar diserahkan kepada hakim, penyerahan surat-surat dapat
dimintakan, apabila surat itu mengenai soal yang menjadi pokok perselisihan
para pihak. Bilamana ada penyangkalan terhadap surat-surat tersebut, maka
hakim wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal tersebut.
Apabila dalam penyelidikan, terdapat suatu sangkaan yang beralasan, bahwa

M
surat tersebut adalah palsu atau dipalsukan, maka surat tersebut dikirimkan
kepada jaksa untuk dilaksanakan tuntutan. Maka pemeriksaan perdata untuk
sementara ditangguhkan. Hal ini disebabkan dalam perkara perdata bukti
surat merupakan bukti yang penting dan utama.43

U
Pembuktian dengan saksi. Pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal
168-172 HIR dan Pasal 306 sampai dengan 309 RBg, serta Pasal 1895, 1902
sampai dengan Pasal 1908 BW. Pasal 168 HIR, menunjuk pada hukum adat.
Pasal 1895 BW, menunjuk pada undang-undang lain, di mana terdapat

D
ketentuan pembuktian dengan saksi tidak diperbolehkan. Hal demikian tidak
begitu berarti, karena dengan dicabutnya Pasal 1896, 1899, 1900, 1901 BW,
melalui Stb 1925-525, serta pencabutan Pasal 1897 BW, melalui Stb 1938-276,
sehingga pembuktian dengan saksi, selalu diperbolehkan.
Adapun kekuatan pembuktian dengan saksi, hanya diatur dalam Pasal
169 HIR,44 atau Pasal 306 RBg atau Pasal 1905 BW. Bahwa kesaksian seorang

42
M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 559-565.
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori
43

dan Praktik. Op.Cit., hlm. 56-57


44
Pasal 169 HIR: “Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada alat bukti lain,
di dalam hukum tidak dapat dipercaya.”

126 Dinamika Hukum Pembuktian


saksi tidak cukup untuk membuktikan hal sesuatu. Dalam praktik diketahui,
bahwa apabila beberapa orang saksi. Masing-masing menceritakan suatu
keadaan yang berlainan tetapi dapat dihubungkan satu dengan yang lain, maka
hakim leluasa untuk menganggap terbukti suatu keadaan-keadaan tersebut.
Hakim harus percaya pada kebenaran keterangan saksi, dalam hal dua orang
menentukan secara minimum. Hakim harus waspada dan bijaksana terhadap

Y
keterangan saksi, dengan mencocokannya satu dengan yang lain, bahkan
memeriksa cara hidup dan kesusilaan, adat istiadat, martabat yang pada
umumnya segala hal ikhwal yang dapat berpengaruh, sehingga saksi dengan
keterangannya itu, dapat dipercaya atau tidak. 45
Alat bukti saksi, menjangkau segala bidang dan jenis sengketa perdata,

M
kecuali apabila undang-undang menentukan sendiri sengketa, hanya dapat
dibuktikan dengan akta atau tulisan, maka alat bukti saksi tidak dapat
diterapkan. Posisi saksi adalah menyempurnakan permulaan pembuktian
tulisan, dan menjadi saksi merupakan suatu kewajiban yang bersifat memaksa.
Tidak selamanya sengketa perdata, dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan

M
atau akta. Dalam praktik dapat terjadi, bahwa penggugat tidak memiliki alat
bukti tulisan, untuk membuktikan dalil gugatan, atau alat bukti tulisan yang
ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian, karena alat bukti tulisan
yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan.. Sehingga

U
jalan keluarnya adalah penggugat untuk membuktikan gugatannya, dengan
jalan menghadirkan saksi-saksi, yang melihat, mengalami, mendengar sendiri
kejadian yang diperkarakan, dan sengaja diminta, untuk hadir menyaksikan
peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi, sangat relevan menghadirkannya
sebagai saksi, sebagaimana hal alat bukti tulisan.

D
Dalam perkara pidana, setiap saksi sekaligus dianggap cakap dan dapat
dipaksa, berarti menjadi saksi dalam perkara pidana merupakan kewajiban hukum,
dan bagi yang tidak taat, dapat dipaksa dengan jalan membawanya ke persidangan.
Sedangkan dalam perkara perdata, menjadi saksi adalah kewajiban hukum, tetapi
tidak imperatif dalam segala hal, karena yang wajib menyediakan saksi adalah
pihak yang berperkara. Adapun syarat menjadi saksi, memenuhi syarat formal yang
melekat, yakni cakap untuk menjadi saksi, tidak ada hubungan keluarga, suami
atau istri, meskipun sudah bercerai. Anak yang belum cukup berusia 15 tahun,

45
Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung,
1992), hlm. 101-105.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 127
Orang gila meskipun terkadang terang ingatannya. Orang yang berada dalam
tahanan. Sedangkan syarat materiil, yakni keterangan satu saksi saja menjadi
tidak sah, karenanya perlu ditambah dengan alat bukti yang lain. Selanjutnya
keterangan saksi harus mempunyai landasan pengetahuan berdasarkan sebab yang
diterangkannya, berdasarkan pengalaman, penglihatan, pendengaran, dan tidak
diperkenankan untuk memberikan keterangan berdasarkan pada pendapat pribadi,

Y
berupa dugaan, kesan, dan tidak saling bersesuaian, ataupun saling bertentangan,
adanya persesuaian antara keterangan saksi, persesuaian dengan alat bukti lain.
Hal yang penting diperhatikan adalah cara hidup kesusilaan saksi menjadi sangat
penting dan menjadi dasar kepercayaan, saksi yang tidak diperkenankan adalah
pihak yang langsung berperkara, tidak dibolehkan utuk menjadi saksi, karena

M
dapat dipastikan akan memihak pada dirinya sendiri. 46
Pembuktian dengan saksi dalam praktik disebut sebagai kesaksian. Hal
ini sangat penting dikaitkan dengan perjanjian-perjanjian hukum adat, karena
adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat perjanjian, maka dalam
perselisihan, para pihak mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau

M
menguatkan dalil-dalil yang diajukan ke pengadilan. Saksi dilarang untuk
menarik suatu kesimpulan, karena hal itu, adalah tugas hakim. Saksi harus
disumpah atau berjanji untuk memberikan keterangan yang benar. Bilamana
dengan sengaja memberikan keterangan palsu, saksi dapat dituntut dan

U
dihukum karena melakukan sumpah palsu, menurut hukum pidana.47
Persangkaan, adalah suatu kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh
hakim, ditarik dari suatu peristiwa, yang terang dan nyata. Karenanya persangkaan
hanya merupakan suatu kesimpulan saja. Kesimpulan yang dijadikan alasan
oleh hakim, adalah suatu hal yang layak, karena dalam pemeriksaan perdata,

D
juga berlaku dari suatu yang belum terang, menjadi sesuatu yang terang.
Persangkaan semata-mata, untuk membantu hakim, agar berhati-hati, agar hanya
memperhatikan hal yang penting dan yang tepat saja. Hal demikian digunakan
oleh hakim di atasnya untuk menilai kehati-hatian oleh hakim yang di bawahnya.48
Dalam praktik persangkaan ini, bilamana sulit ditemukan saksi yang
melihat, mendengar atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang

46
M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 623-682.
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori
47

dan Praktik. Op.Cit., hlm. 63.


48
Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 190.

128 Dinamika Hukum Pembuktian


harus dibuktikan, diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaan.
Persangkaan ini mirip dengan atau menyerupai petunjuk dalam hukum acara
pidana. Persangkaan berarti suatu kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa
yang dianggap terbukti atau tidak terbukti, dan yang menarik kesimpulan
tersebut adalah hakim atau undang-undang.49
Persangkaan dirumuskan dalam pasal 1915 KUH Perdata. Alat bukti ini

Y
disebut sebagai suatu kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh
hakim, dari suatu peristiwa yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya
yang belum diketahui.Persangkaan merupakan suatu uraian, tentang fakta
fakta atau alat bukti fisik yang bersipat langsung yang diajukan diperesidangan,
atau setidaknya disebut sebagai bukti langsung., dan persangkaan merupakan

M
titik sentral dalam dalam persidangan dan berfungsi sebagai perantara, fungsi
ini menghantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian kearah
yang lebih konkret mendekati kepastian.
Dalam kehidupan sehari-hari, di mana masyarakat selalu berada dalam
lingkaran persangkaan, sehingga para ahli maupun praktisi, ada yang berpendapat,

M
bahwa persangkaan (vermoden/presumtion) tidak termasuk rumpun alat bukti, lebih
tepat disebut sebagai uraian, dalam arti fakta atau alat bukti fisik, yang bersifat
langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan yang lebih konkret
kepastiannya, untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui.

U
Setidaknya persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung,
ataupun fakta langsung, tetapi hanya merupakan kesimpulan yang ditarik dari
bukti atau fakta langsung tersebut. Persangkaan sebagai alat bukti perantara,
menjadi sangat penting dalam praktik, karena fungsinya akan menghantarkan
atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret,

D
mendekati kepastian. Adapun klasifikasi persangkaan, yakni persangkaan menurut
undang-undang, yakni persangkaan berdasarkan pada ketentuan khusus undang-
undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu,
yakni yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena adanya putusan hakim
yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena adanya pengakuan atau sumpah
oleh salah satu pihak.
Selanjutnya persangkaan oleh hakim, hal ini berdasarkan pada kenyataan,
atas pertimbangan hakim, dengan syarat-syarat adanya suatu fakta yang

49
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktik, Op.Cit., hlm. 70.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 129
telah terbukti dalam persidangan, cara pengungkapannya, dengan jalan
menarik kesimpulan dari fakta yang sudah ada dan yang telah terbukti
tersebut. Persangkaan harus dipertimbangkan oleh hakim, dengan berbagai
pertimbangan dan kewaspadaan untuk menarik persangkaan, karenanya
terdapat tingkat gradasi kualitas persangkaan, yakni suatu persangkaan yang
benar-benar mendekati kepastian. Kekuatan nilai pembuktian persangkaan

Y
hakim, adalah bebas, yakni persesuaian yang terjalin dari fakta-fakta yang
ditemukan dalam persidangan, dan tidak boleh memperhitungkan fakta-fakta
yang bersumber dari fakta fakta yang saling berlawanan.50
Pengakuan dari satu pihak. Sumber hukum pengakuan adalah Pasal
174-176 HIR, Pasal 311-313 Rbg, Pasal 1923-1928 KUH Perdata.51 Tentang

M
pengakuan, dapat dilakukan di muka hakim dan pengakuan yang dilakukan di
luar sidang pengadilan. Pengakuan di muka hakim menurut Pasal 174 HIR,52
Pasal 311 R.Bg, Pasal 1925 BW, merupakan bukti yang sempurna,
terhadap hal-hal yang diakui itu. Pengakuan dapat mengenai keadaan-keadaan
yang kenyataannya diakui benar atau mengenai suatu hak, yang diakui

M
sebagai dimiliki oleh pihak lawan berdasar atas hukum. Pengakuan suatu
pihak di hadapan hakim tidak dapat ditarik kembali. Sehingga kekuatan
pembuktiannya, diserahkan sepenuhnya kepada hakim, dan hakim dapat saja
memakai pengakuan itu, sebatas sebagai alat pembuktian permulaan saja.

U
Selanjutnya dapat disempurnakan dengan alat-alat bukti lainnya. Karenanya
dalam praktik peradilan perdata, perlu dilihat tentang pengakuan yang
dilakukan oleh penggugat, baik seluruhnya maupun sebagian, dalam jawaban
juga, diketahui seolah-olah mengandung penyangkalan, semua hal-hal yang
diajukan oleh penggugat, karenanya semua hal itu, harus dibuktikan oleh

D
penggugat, dan hal-hal yang sudah diakui kebenarannya oleh tergugat.53

50
M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 683-688.
51
HIR Pasal 174: “Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti
untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya sendiri, maupun
dengan pertolongan orang lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu. Pasal 176. Tiap tiap
pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima sebagian,
dan menolak sebagian, sehingga merugikan orang yang mengaku tersebut. Kecuali orang
yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang
terbukti, ternyata berbohong.”
52
HIR Pasal 174: “Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti,
untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya sendiri, maupun
dengan pertolongan orang lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu.”
53
Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 194.

130 Dinamika Hukum Pembuktian


Pengakuan yang dilakukan di depan sidang pengadilan, mempunyai
kekuatan bukti yang sempurna. Sedangkan yang dilakukan di luar sidang,
kekuatan pembuktiannya diserahkan pada kebijaksanaan hakim, atau
merupakan suatu bukti bebas, berarti hakim leluasa untuk memberi kekuatan
pembuktian, atau disebut juga sebagai bukti permulaan.54
Sumpah. Pengertian sumpah sebagai suatu alat bukti, adalah suatu

Y
keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan
agar orang yang beresumpah dalam memberi keterangan, atau pernyataan
itu, takut akan Tuhan bilamana berbohong. Ketakutan itulah yang mendorong
untuk menerangkan yang sebenarnya.55
Tentang sumpah diatur dalam Pasal 155 sampai dengan Pasal 158

M
dan 187 RBg serta Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 BW. Sumpah dapat
digolongkan, sumpah yang diperintahkan oleh hakim, dan yang dimohonkan
oleh pihak lawan. Sumpah diyakini dapat membuktikan sesuatu hal, karena
penyumpahan ini didasarkan atas kepercayaan agama yang dianutnya, bahwa
seseoang yang disumpah tidak akan berbohong, kareana akan mendapatkan

M
hukuman dari Tuhan.
Kepercayaan ini menimbulkan anggapan, bahwa biasanya seseorang
yang meneguhkan perkataannya dengan sumpah, akan takut melakukannya,
bilamana berbohong. Karenanya perselisihan dalam perkara, harus selesai

U
dengan penyumpahan, karenanya keterangan dengan sumpah, mestinya bersifat
menyelesaikan tentang perselisihan. Adapun syarat formal sumpah dilakukan
atau diucapkan secara lisan di muka hakim dalam persidangan, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1929 KUH Perdata, maupun Pasal 154 (1) HIR.

D
Jika terjadi halangan yang sah, yang mengakibatkan pelaksanaan sumpah
tidak dapat dilakukan di ruang sidang pengadilan, pengucapan dapat dilakukan
di rumah orang yang harus mengangkat sumpah. Praktik peradilan memperluas
penafsiran rumah menurut pasal 1944 KUH Perdata, maupun pasal 186(1)
HIR, membolehkan pelaksanaan sumpah di mesjid, gereja dan klenteng. Syarat
lain, pengucapan sumpah dilakukan di hadapan pihak lawan, karena bilamana
hal demikian dilanggar, maka sumpah sebagai alat bukti tidak sah, dan tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Jenis sumpah yakni sumpah pemutus

54
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktik. Op.Cit., hlm. 79-80.
55
M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 745.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 131
(deciiosoir eed), yakni sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah
pihak lawan. Selanjutnya sumpah penaksir, yakni merupakan salah satu alat
bukti sumpah, yang secara khusus diterapkan, untuk menentukan berapa
jumlah nilai ganti rugi, atau harga barang yang digugat oleh penggugat, apabila
dalam persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah ganti
rugi yang sebenarnya atau berapa harga barang yang dituntutnya.. Taksiran itu

Y
dilakukan melalui pembebanan sumpah penaksir.. Nilai pembuktian sumpah
penaksir, bersifat sempurna, mengikat dan menentukan.56
Dalam praktik sumpah ini, dapat dibebankan pada hakim dan sumpah
yang dimohonkan oleh salah satu pihak. Sumpah ini dikenal juga sumpah
penambah dan sumpah pemutus. Keterangan yang dikuatkan dengan sumpah

M
bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan. Sumpah berfungsi untuk
melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap57
Pemeriksaan setempat. Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum
pembuktian adalah pemeriksaan setempat, walaupun secara formal tidak
termasuk sebagai alat bukti, namun pemeriksaan setempat, berfungsi untuk

M
membuktikan, kejelasan dan kepastian tentang lokasi, ukuran, dan batas batas
objek sengketa. Dalam praktik, dapat dilakukan pemeriksaan setempat dengan
bantuan panitera, untuk membuat berita acara, pemeriksaan persidangan
dilakukan tidak di ruang sidang, tetapi dipindahkan dan dilakukan di tempat

U
lain, yakni di tempat objek yang berperkara.
Persidangan tersebut, bertujuan untuk melihat keadaan objek perkara,
dsn memeriksanya, dengan dilakukan pengukuran setiap batas, serta membuat
gambar situasi tanah. SEMA No. 7 Tahun 2001, mementukan bahwa,

D
hasil pemeriksaan setempat berfungsi memperjelas objek gugatan, guna
pelaksanaan eksekusi riil, atas putusan yang dijatuhkan. Nilai pembuktian
pemeriksaan setempat, melekat pada hasil pemeriksaan setempat, dijadikan
sebagai keterangan oleh hakim, yang menjelaskan tentang kepastian definitif
atas barang yang disengketakan. Sehingga dapat mempunyai daya yang
mengikat bagi hakim, walaupun tidak mutlak. Hakim bebas menentukan nilai
kekuatan pembuktiannya.58

56
Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 190.
57
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktik. Op.Cit., hlm. 77-78.
58
M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 781-782.

132 Dinamika Hukum Pembuktian


Memeriksa barang bergerak oleh hakim, pada umumnya tidak mengalami
kesukaran, oleh karena barang bergerak itu mudah dibawa atau diajukan di
persidangan yang berlangsung di pengadilan. Pemeriksaan barang tetap, maka
hakim mengalami kesukaran dalam pemeriksaannya. Hakim dalam hal ingin
memperoleh kepastian, dan tidak hanya menggantungkan kepada keterangan
saksi atau surat, maka dapat diadakan pemeriksaan setempat, yang dimungkin

Y
oleh Pasal 90 RO. Dimaksudkan dengan pemeriksaan setempat, ialah
pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim, karena jabatannya, yang dilakukan
di luar pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri, memperoleh gambaran
atau keterangan yang memberi kepastian, tentang peristiwa peristiwa yang
menjadi sengketa. Pemeriksaan setempat dalam praktik biasanya dilakukan,

M
berkenaan dengan letak gedung atau batas tanah.59
Keterangan ahli. Pemeriksaan saksi ahli, diatur dalam Pasal 154 HIR,
maupun Pasal 215-229 Rv. Pasal ini, tidak menyebutkan saksi ahli, tetapi
mengangkat ahli, tetapi praktik peradilan menentukannya sebagai saksi ahli,
tetapi sebenarnya disebut sebagai keterangan ahli. Maksud pemeriksaan ahli,

M
dikaitkan dengan perkara, secara umum dipahami sebagai pengertian ahli,
yakni orang yang memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu. Menurut
hukum, bahwa seorang ahli itu, memiliki pengetahuan khusus di bidang ilmu
pengetahuan tertentu, sehingga orang itu benar-benar kompeten.

U
Keahlian itu bisa dalam bentuk skill, karena hasil latihan atau hasil
pengalaman, sehingga keterangannya, dapat membantu menemukan fakta
melebihi kemampuan umum orang biasa. Pengajuan ahli dapat dimintakan oleh
hakim, atau atas permintaan salah satu pihak. Pemeriksan ahli di persidangan,
didasarkan pada keahliannya di bidang perkara yang disengketakannya, dan

D
bukan atas dasar pengalaman, penglihatan atau pendengarannya. Menurut
Pasal 154 (1) HIR,60
Ahli diperlukan, karena terdapat hal-hal yang belum jelas, sehingga satu-
satunya cara yang dianggap dapat memperjelasnya, hanya berdasarkan pada
laporan atau keterangan ahli, yang benar-benar kompeten, memberi opini

Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Op.Cit., hlm. 194-195.


59

HIR Pasal 154 (1): “Jika menurut pendapat ketua Pengadilan Negeri, perkara itu
60

dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau penjelasan ahli, maka karena jabatannya itu, atau
katrena permintaan para pihak dapat mengangkat ahli tersebut. (2) Hakim tidak wajib
mengikuti pendapat ahli, jika berlawanan dengan keyakinannya.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 133
atau pendapat, mengenai kasus yang diperkarakan sesuai dengan spesialisasi
yang dimilikinya. Adapun bentuk pendapat ahli dilakukan secara lisan, tulisan,
dan disampaikan dalam persidangan, dan dikuatkan dengan sumpah. Nilai
kekuatan pembuktian pendapat ahli, secara formal berada di luar alat bukti,
oleh karenanya menurut hukum pembuktian, tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian. Karena hakim atau pengadilan, tidak wajib mengikuti pendapat

Y
ahli, jika pendapat itu berlawanan dengan keyakinannya.. Karenanya pendapat
ahli tidak dapat berdiri sendiri, tempat dan kedudukannya, hanya untuk
menambah, memperkuat, memperjelas permasalahan perkara, sehingga fungsi
dan kualitasnya, menambah alat bukti yang sah lainnya.61
Pada akhirnya suatu sengketa dalam peradilan keperdataan, akan berakhir

M
pada keyakinan hakim, dan memformulasikan putusannya, dengan kaidah
kaidah yang pasti, serta memuat berbagai dalil-dalil yang menguatkan para
pihak, dan lebih jauh sangat memerhatikan berbagai pembuktian yang
digelar dalam suatu peradilan yang terbuka untuk umum, serta memberikan
keseimbangan yang sama, kesempatan yang sama, dalam menentuikan dan

M
mengolah pembuktian dalam makna keperdataan. Walaupun dalam praktik
masih menyisahkan problematika keadilan, yang tentu menimbulkan
ketidakpuasan para pihak yang sangat subjektif.

U
C. Keyakinan Hakim dan Problematikanya
Hakim dengan segala liku-liku keyakinannya, bertugas untuk
memberikan kepastian dan keadilannya, dalam memutuskan perkara para
pihak, yang diyakininya benar, atas dasar pergulatan pergulatan kepentingan

D
dalam praktik peradilan, asas-asas hukum keperdataan, serta interpretasi atas
pasal-pasal sebagai alasan dari gugatan para pihak, yang kemudian diyakini
kebenarannya. Maka tugas hakim berakhir dalam sengketa konkret, dan
tentunya putusan hakim perdata, akan terus terbuka untuk dikaji, ditelaah
oleh para pihak yang mencari keadilan, dan bahkan untuk perkembangan
ilmu pengetahuan hukum.
Sebagaimana yang ditentukan menurut Pasal 178 HIR, Pasal 189
Rbg. Apabila pemeriksaan perkara selesai, maka hakim karena jabatannya
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.

61
M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 789-795.

134 Dinamika Hukum Pembuktian


Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban
dari tergugat sesuai dengan Pasal 121 HIR,62
Dibarengi dengan replik dari penggugat, maupun duplik dari penggugat,
dan dilanjutkan dengan proses pembuktian dan konklusi. Semua tahap
dilaksanakan maka pengadilan menyatakan selesai, selanjutnya pengadilan
menjatuhkan atau pengucapan putusan. Dimaksudkan dengan putusan adalah,

Y
putusan pada tingkat pertama, yang berisi keyakinan hakim atas perkara,
terhadap objek perkara yang disengketakan.63
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan, harus berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup. Bilamana putusan tidak memenuhi hal
demikian, maka dapat dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan

M
atau onvoldoende gemontiveerd/lnsufficient judgement. Alasan hukum itu harus
berdasarkan pada pertimbangan pasal-pasal tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin
hukum. Adapun asas-asas putusan dikenal dalam hukum acara perdata,
yakni; Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci (onvoldoendegemontiveerd/

M
insufficientjudgement).Wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Putusan harus
secara total dan menyeluruh, memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan
yang diajukan. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan (ultra petitum
partium). Maknanya hakim yang melebihi posita maupun petitum gugatan,

U
dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires, yakni bertindak
melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority), sehingga putusan
harus dinyatakan cacat, meskipun dilakukan oleh hakim yang beriktikad baik,
maupun sesuai dengan kepentingan umum. Hakim yang memutuskan hal
demikian, sama saja hakim telah melakukan pelanggaran prinsip rule of law.

D
Diucapkan di muka umum, dan bersifat imperatif, mengandung prinsip
dan asas fair trial, pemeriksaan peradilan harus dilakukan berdasarkan proses
yang jujur, sehingga proses peradilan terhindar dari perbuatan yang tercela.64

62
HIR Pasal 178: “Hakim karena jabatannya, melalui musyawarah, wajib mencukupkan
segala alasan hukum, yang tidak ditentukan oleh kedua pihak. Hakim wajib mengadili
atas semua bagian dari gugatan, dan hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan keputusan,
atas perkara ynga tidak digugat, atau memberikan lebih dari yang digugat.Pasal 121. Surat
gugatan ditujukan kepada Pengadilan Negeri, selanjutnya ditetapka hari dan tanggal sidang,
dilanjutkan dengan jawaban yang berisi tangkisan.”
63
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 797.
64
Ibid., hlm. 797-803.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 135
Tujuan suatu proses pengadilan, adalah memperoleh putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap. Artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat
diubah lagi. Karenanya hubungan kedua pihak yang berperkara ditetapkan
untuk selama-lamanya, dengan maksud supaya ditaati secara sukarela, atau
dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara. Suatu putusan diambil untuk
memutusi suatu perselisihan atau sengketa, sedangkan penetapan berdasarkan

Y
pada suatu permohonan, disebut juga sebagai yurisdiksi voluntair. Menurut
sifatnya amar putusan atau diktum dapat dibedakan dalam tiga macam, yakni:65
1. Putusan condemnatoir, yaitu amarnya berbunyi menghukum atau
seterusnya. Berupa penghukuman untuk menyerahkan suatu barang,
mengosongkan sebidang tanah, serta melakukan suatu perbuatan tertentu,

M
meng­hentikan suatu perbuatan/keadaan, serta membayar sejumlah uang.
Putusan ini memerlukan eksekusi.
2. Putusan declaratoir, yaitu amarnya berbunyi suatu keadaan sebagai suatu
keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini menegaskan tentang
penggugat sebagai pemilik sah atas tanah sengketa atau yang menyatakan

M
penggugat adalah ahli waris. Putusan ini tidak memerlukan eksekusi
dalam pelaksanaannya.
3. Putusan yang konstitutif, yaitu amarnya menciptakan suatu keadaan baru.
Yakni dalam amarnya membatalkan suatu perjanjian, memutuskan ikatan

U
perkawinan, atau pernyataan pailit.

Suatu putusan hakim mempunyai tiga macam kekuatan, yakni:66


1. Kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum
terhadap pihak yang tidak menaatinya secara sukarela. Kekuatan ini

D
dinamakan kekuatan eksetorial.
2. Harus diperhatikan, bahwa putuan hakim itu sebagai dokumen merupakan
suatu akta autentik, menurut pengertian undang-undang, sehingga tidak
hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat, tetapi juga ke luar.
Artinya terhadap pihak ketiga dalam hal membuktikan, bahwa telah ada
suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu,
mengenai perkara yang dijatuhkan dalam putusan.

65
R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 124-127.
66
Ibid., hlm. 128.

136 Dinamika Hukum Pembuktian


3. Sesuatu yang melekat pada suatu putusan hakim, yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, adalah kekuatan untuk menangkis, suatu gugatan
baru mengenai hal yang sama yaitu berdasarkan asas nebis in idem, yang
berarti, bahwa tidak boleh dijatuhkan putusan lagi, dalam perkara yang
sama. Karena itu beban pembuktian dalam hukum acara perdata, yang
diperlukan untuk mengakhiri sengketa keperdataan.

Y
D. Nilai Beban Pembuktian Hukum Perdata
Keyakinan hakim perdata, selalu mempertimbangkan fakta-fakta
persidangan yang, selalu menjadi pertimbangan, tentu dengan memberikan

M
nilai-nilai dalam makna pembuktian, atas alat-alat dan barang barang
bukti. Berbagai ragam pembuktian, serta pembagian beban-bebannya, yang
mendapatkan nilai-nilai tersendiri oleh keyakinan Hakim perdata.
Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian, adalah
masalah pembagian beban pembuktian, karena harus dilakukan dan diterapkan

M
secara adil dan tidak berat sebelah. Suatu pembagian beban pembuktian
yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima
beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban
pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis, yang
dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung.67

U
Dengan demikian, hakim dalam memikulkan beban pembuktian harus
bersikap adil sesuai dengan prinsip fair trial dan tidak berat sebelah atau
imparsialitas, bukan bersikap parsial. Dalam menegakkan risiko pembebanan,
berarti risiko tersebut harus ditanggung oleh masing-masing pihak. Beban

D
pembuktian ditunjukkan kepada pihak dan mendapatkan alokasi untuk
membuktikan. Bila tidak mampu membuktikan, maka risikonya adalah
kehilangan hak atau kedudukan atas kegagalan memberi bukti yang relevan.
Pedoman pembagian beban pembuktian, secara tersirat telah ditentukan dalam
undang-undang. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh Pengadilan
Negeri berkenaan dengan pembuktian dan menerima atau menolak menerima
alat-alat bukti dalam perkara perdata.68 Berdasarkan teori hak yang beban

R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 19.


67

Pasal 163 HIR; “Barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak, atau
68

mengajukan suatu peristiwa (feit) untuk menegaskan haknya atau untuk membantah
adanya hak orang lain haruslah membuktikan tentang adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 137
pembuktiannya bertolak belakang dan dapat mempertahankan hak bahwa
yang mengemukakan hak tersebut wajib untuk membuktikannya, berarti yang
terlebih dahulu memikul wajib bukti akan dibebankan mengenai pengajuan
haknya.69
Dalam perspektif keadilan, maka jelas pula betapa berat tugas yang
diemban pengadilan untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak/para

Y
justiciable, agar kedua belah pihak itu tidak ada yang dirugikan. Tugas ini harus
benar-benar dijalankan oleh hakim dengan memberikan kesempatan kepada
kedua belah pihak, untuk mengajukan alat bukti secara bebas dan memuaskan.
Beban pembuktian haruslah berjalan secara objektif, adil dan seimbang agar
masing-masing dapat membuktikan sesuatu yang benar dan dimungkinkan

M
pula seseorang dapat membuktikan apa yang tidak benar. Berkaitan dengan
itu, maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat diberikan
kepada penggugat, tergugat ataupun pihak ketiga yang melakukan intervensi.
Prinsip utama yang digunakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan sesuatu,
maka ia wajib membuktikannya.70

M
Pembuktian yang dilakukan oleh hakim dalam mengadili perkara perdata,
adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-
pihak yang berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
saja yang dapat dibuktikan, adanya suatu hak juga dapat dibuktikan. Oleh

U
sebab itu, hal-hal yang dapat dibuktikan di depan pengadilan adalah hal-hal
yang menjadi perselisihan dalam perkara perdata, yang dibuktikan dengan alat
bukti yang meliputi bukti tulisan. Bila bukti ini dipandang kurang cukup, maka
akan dilihat bukti saksi persangkaan atau ditambah lagi dengan bukti sumpah.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan keputusan

D
akhir, hakim memerlukan fakta-fakta tentang adanya pembuktian tersebut.71
Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara
karena dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan dari
hasil pembuktian tersebut. Ada dua unsur yang memegang peranan dalam
pembuktian:

69
Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2012), hlm. 108.
70
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group,
2015), hlm. 99.
71
Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian. Op.Cit., hlm. 109.

138 Dinamika Hukum Pembuktian


1. Unsur alat bukti, yakni membuktikan dengan alat bukti yang sah dan tidak
boleh dengan setiap alat. Menurut Pasal 146 HIR dan Pasal 1866 BW, telah
dijelaskan bahwa ada lima macam alat bukti, yakni bukti tulisan/surat,
bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan, dan bukti sumpah.
2. Peraturan pembuktian yang dapat digunakan sebagai alat bukti, yakni
peraturan perundang-undangan yang mengatur cara pembuatan,

Y
penggunaan, kekuatannya, atau nilainya sebagai alat bukti.72

Dalam peradilan perdata, maka masing-masing alat bukti yang diajukan


oleh para pihak memiliki kekuatannya masing-masing, yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Adapun kekuatan alat bukti terdiri dari:

M
1. Bukti lemah. Dalam hal ini, alat bukti yang diajukan penggugat maupun
tergugat sangat lemah, sehingga sedikitpun tidak memberikan pembuktian,
serta tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima dalil-dalil
gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti permulaan
(kracht van begin bewijs). Karena nilai kualitatif alat bukti yang ditampilkan

M
belum tercapai oleh karenanya gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai
pihak yang kalah. Jelaslah bahwa alat bukti permulaan saja tidak dapat
menjadi dasar hakim bagi penerimaan suatu gugatan.
2. Bukti sempurna. Hal ini terjadi ketika dalam suatu perkara, salah satu pihak

U
memiliki dan mengajukan alat bukti berupa akta autentik yang dibuat
oleh seorang notaris serta mengajukan sertifikat hak milik tanah atas
namanya. Maka bukti-bukti autentik tersebut dapat dikategorikan sebagai
alat bukti yang sempurna. Bukti sempurna itu artinya pihak yang memiliki
surat autentik itu tidak perlu lagi melengkapi pembuktiannya dengan alat

D
bukti lain yang derajatnya lebih lemah dari dokumen autentik itu. Dengan
alat bukti sempurna itu dapat membantu para hakim dan menambah
keyakinan yang cukup bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Dengan
demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa
tuntutan penggugat benar dan harus diterima, kecuali tergugat dengan
bukti sangkalannya (tegen bewijs) berhasil mengemukakan alat bukti yang
berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim
telah benar.73

72
Ibid.
73
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 114.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 139
3. Bukti pasti/menentukan (Beslissend Bewijs). Jenis alat bukti yang pasti
hampir mirip dengan alat bukti yang sempurna. Jika dalam alat bukti
yang sempurna masih bisa diadakan penyangkalan, maka dalam alat bukti
yang pasti ini tidak ada upaya untuk mengajukan sangkalan. Misalnya
jika seorang anak mengajukan gugatan harta warisan dengan dalil bahwa
dirinya sebagai anak atau ahli waris dengan mengajukan bukti akta

Y
kelahiran. Maka akta kelahiran yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil tidak
terbantahkan lagi dengan alat bukti lain tentang kedudukannya sebagai
anak sah dan berhak mewarisi harta warisan orang tuanya. Pembuktian
dengan alat bukti pasti/menentukan, mengakibatkan bagi penggugat atau
tergugat yang mengemukakan alat bukti tersebut, berada dalam suatu

M
posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian, tuntutan
yang diajukan dianggap benar, beralasan dan dapat diterima. Peluang
pihak lawan untuk mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.74
4. Bukti yang mengikat (Verplicht Bewijs). Dalam suatu perkara acap
kali hakim memiliki keraguan atas alat-alat bukti yang diajukan oleh

M
penggugat maupun tergugat. Maka kemudian hakim memerintahkan
salah satu pihak untuk mengucapkan sumpah pemutus. Sumpah pemutus
(decissoir) mempunyai daya bukti mengikat, oleh karenanya hakim wajib
untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian tersebut.

U
5. Bukti sangkalan (Tengen Bewijs). Bukti sangkalan adalah alat bukti yang
digunakan dalam bantahan terhadap pembuktian yang diajukan oleh
lawan dalam persidangan. Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan
gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya segala bukti dapat dilemahkan
dengan bukti sangkalan, kecuali undang-undang sendiri secara tegas

D
melarang diajukannya suatu alat bukti sangkalan, misalnya terhadap
sumpah pemutus (sumpah decissoir) yang diatur dalam Pasal 1963 KUH
Perdata.75

Kesemua beban-beban pembuktian, akan mendapatkan penilaian, atas


ukuran-ukuran yang adil, sehingga hakim akan sampai pada alasan-alasan
hukum formal, dan akan mempunyai alasan-alasan, setelah meyakini berbagai
perhelaan di depan pengadilan, dengan berbagai fakta-fakta yang dipotret,
guna mendapatkan objektivitas dalam putusannya.

74
Ibid.
75
Ibid., hlm. 115.

140 Dinamika Hukum Pembuktian


E. Pembuktian Peradilan Niaga
Ragam peradilan perdata, yang sangat khusus, di antaranya adalah
peradilan niaga atau dikenal juga sebagai peradilan kepailitan, di mana dalam
beberapa hal sistem pembuktiannya sama dengan hukum acara perdata,
adapun bagian khususnya ditentukan oleh perundang-undangan.

Y
Salah satu hal yang baru dan merupakan andalan dari UUK-PKPU adalah
diintrodusirnya pengadilan khusus (pengadilan perdata khusus) dengan
hakim-hakim khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara
di bidang perniagaan, termasuk tidak terbatas pada pemeriksaan perkara
kepailitan.76

M
Sebagai pengadilan yang bersifat sangat khusus, hal mana mengadili
sengketa-sengketa perniagaan, bahkan tentang utang-piutang dalam arti yang
sangat luas, dengan syarat-syarat pengajuannya sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan.
Pengadilan Niaga, adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan

M
peradilan umum, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi
putusan terhadap perkara kepailitan, Penundaan dan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU), serta sengketa-sengketa komersial lainnya seperti sengketa di
bidang kekayaan intelektual (HKI) dan sengketa dalam proses likuidasi bank

U
yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sesuai dengan penjelasan atas Pasal 284 ayat (1) UUK-PKPU, maka Ketua
MA mempunyai kewajiban untuk membimbing dan mengawasi jalannya
peradilan niaga ini agar terpenuhinya prinsip-prinsip hukum dari peradilan

D
niaga sebagai berikut:
1. Prinsip Kesinambungan. Dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung harus
menjamin terselenggaranya persidangan secara berkesinambungan;
2. Prinsip Persidangan yang Baik. Yang dimaksud adalah tersedianya
prosedur peradilan niaga yang cepat, efektif, dan terekam;
3. Prinsip Putusan Baik. Dalam hal ini kepada masyarakat pencari keadilan
harus tersedia putusan yang tertulis dengan memuat pertimbangan-
pertimbangan yang cukup yang mendasari putusan yang bersangkutan;

76
Erna Widjajati, Hukum Perusahaan dan Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Jalur, 2014),
hlm. 88.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 141
4. Prinsip Kearsipan yang Baik. Untuk itu setiap putusan harus diberi
arsip dengan baik dan diterbitkan secara berkala;77

Hakim pada Pengadilan Niaga adalah hakim-hakim yang secara khusus


diberi tugas untuk memeriksa dan memutus permohonan kepailitan atau perkara
perniagaan tertentu. Pada Pengadilan Niaga, diinginkan ada hakim ad-hoc yang

Y
diangkat presiden atas usul Mahkamah Agung. Dalam putusan pailit, pengadilan
menunjuk seorang hakim pengawas yang bertugas mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit. Bagi seorang hakim pengawas memberikan putusan
terhadap permohonan-permohonan yang diajukan oleh kurator dalam melakukan
tindakan-tindakan tertentu terhadap asset/harta pailit.78

M
Adapun perkara-perkara yang merupakan bagian dari ruang lingkup
Pengadilan Niaga adalah: (a) Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU);79 (b) Perkara di bidang Hak Kekayan Intelektual yang terdiri
dari: Desain Industri;80 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;81 Paten;82 Merek:83
Hak Cipta:84 (c) sengketa dalam proses likuidasi dan tuntutan pembatalan

M
segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau
bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sebelum pencabutan izin usaha.85
Pengadilan Niaga yang pertama kali dibentuk adalah Pengadilan Niaga di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1998 berdasarkan Pasal 306 Undang-

U
77
Erna Widjajati, Hukum Perusahaan dan Kepailitan. Op.Cit., hlm. 89.
78
Ibid.
79
Pasal 1 angka (7) UU Nomor 37 Tahun 2004: “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga
dalam lingkungan peradilan umum,”

D
80
Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000: “Gugatan pembatalan pendaftaran Desain
Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 4 kepada Pengadilan Niaga.”
81
Pasal 30 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2000: “Gugatan pembatalan pendaftaran Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 kepada Pengadilan Niaga.”
82
Pasal 117 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2001: “Jika suatu Paten diberikan kepada pihak
lain selain dari yang berhak berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak
atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.”
83
Pasal 51 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2001: “Keberatan terhadap keputusan
penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan
kepada Pengadilan Niaga.”
84
Pasal 56 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002: “Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan
gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta
penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.”
85
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

142 Dinamika Hukum Pembuktian


Undang Nomor 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 199 tentang
Kepailitan.86 Selanjutnya secara berturut-turut dibentuk di empat kota besar
lainnya yakni di Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan. Kini peradilan
niaga, menjadi suatu model peradilan yang sudah biasa, dan semakin matang,
karena kekhususannya dalam praktik peradilan, dan menjadi kebutuhan
para pihak yang mengalami sengketa dagang, selain perdilan keperdataan

Y
umumnya. Walaupun dinamika peradilan niaga, selalu menjadi tumpuan
tentang akses keadilan yang sangat formal.

F. Dinamika Pembuktian Peradilan HAKI

M
Pembuktian pada Peradilan Haki, sesungguhnya, adalah bagian dari sistem
pembuktian dalam kaidah hukum acara perdata, yakni memerhatikan pada
kebenaran materiil. Dengan adanya beberapa perubahan-perubahan yang
ditentukan oleh perundang-undangan.
Perubahan yang sangat penting dalam sistem peradilan di Indonesia

M
di bidang Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property right), atau yang
biasa dan selanjutnya disebut HaKI dalam tulisan ini, adalah dibentuknya
Pengadilan Niaga yang dapat menyelesaikan sengketa perdata di bidang
HaKI. Penyelesaian sengketa perdata di bidang HaKI melalui Pengadilan

U
niaga dengan hakim-hakim yang khusus merupakan hal yang baru yang dapat
diharapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tepat waktu dengan
tetap menjunjung tinggi penegakan hukum dan bersikap adil serta dapat
memenuhi harapan masyarakat. Dalam Undang-undang HaKI telah mengatur
time frame untuk kepastian hukum dalam interval waktu penyelesaian sengketa.

D
Hal ini guna untuk mengimplimentasikan hasil kesepakatan-kesepakatan
internasional di bidang HaKI yang diikuti oleh Indonesia. Kesepakatan
internasional merekomendasikan bahwa penyelesaian sengketa di bidang
HaKI harus dilakasanakan dalam waktu yang singkat.87

86
Pasal 306 UU No. 37 Tahun 2004: “Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan
sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap
berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.”
87
Tri Rusti Maydrawati, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intlektual
(HaKI) Di Pengadilan Niaga, Jurnal YUSTIKA Volume 7 Nomor 2 Desember. 2004, hlm. 415.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 143
Indonesia telah mempraktikkan kesepakatan itu, di mana dalam
penyelesaian sengketa di bidang HaKI diselesaikan melalui Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang mengadili permasalahan
dalam bidang ekonomi dan bisnis. Tidak seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan
Niaga mempunyai tahap penyelesaian yang lebih cepat karena terdapat
pemangkasan tahapan. Tahapan yang dipangkas adalah tahap banding.

Y
Dalam Pengadilan Niaga tidak dikenal upaya banding, akan tetapi langsung
upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Selain itu juga, tiap tahapan dalam
penyelesaian sengketa terdapat limitasi waktu atau yang disebut dengan time
frame, misalnya dari awal memasukkan perkara sampai dengan putusan di
Pengadilan Niaga diberikan waktu 90 hari untuk Hak Citpa dan Merek dan

M
180 hari atau setengah tahun untuk paten.
Ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa sistem penyelesaian
sengketa bisnis melalui litigasi telah menganut asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan. Oleh karenanya tentu para hakim dituntut untuk lebih
profesional dalam penanganan kasus di bidang bisnis ini. Selain itu alasan

M
pemangkasan proses penyelesaian sengketa di bidang HaKi karena HaKI
juga mempunyai limitasi waktu perlindungan. Misalnya Merek dilindungi
hanya 10 tahun, paten biasa 20 tahun, paten sederhana hanya 10 tahun. Jika
penyelesaian sengketa yang berlarut-larut maka tentu para pihak tidak akan

U
merasa kebutuhannya untuk memproleh keadilan terpenuhi, meskipun sudah
ke pengadilan tapi jika prosesnya lama tentu para pihak, dalam hal ini adalah
pengusaha, akan berpikir seribu kali untuk menyelesaikan permasalahannya
melalui Pengadilan Niaga. Dunia bisnis adalah dunia yang berpacu dengan waktu
untuk meraih keuntungan sehingga diperlukan pengadilan yang diharapkan

D
dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk itulah maka pengadilan diharapkan
menyelesaikan permasalahan dalam kurun waktu yang sesingkat-singkatnya.
Pengadilan Niaga merupakan salah satu produk reformasi hukum
kepailitan di Indonesia. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat, termasuk juga
menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian,
verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi
persimpangan dengan kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
hal pemeriksaan perkara, terutama perkara-perkara yang bersifat perdata.
Melalui UUK, kewenangan mutlak (kompetensi absolut) pengadilan umum
untuk memeriksa permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga. Saat ini

144 Dinamika Hukum Pembuktian


perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan untuk memeriksa masalah-
masalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang
meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, desain industri, dan
desain tata letak sirkuit terpadu.
Namun pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga
dalam masing-masing UU tersebut belum bersifat integratif dan koordinatif.

Y
Hal ini antara lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum
acara perkara niaga di luar masalah kepailitan. Hukum acara yang selama ini
digunakan dalam pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga masih
menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/Rechtsreglement
Buitengewesten (HIR/R.BG).88

M
Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang
penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu
UU tentang Kepailitan dan paket UU tentang HaKI. Berkenaan dengan
kepailitan, maka Pengadilan Niaga mempunyai kekhususan, yakni: (1)
pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa

M
tidak puas dapat mengajukan upaya hukum dengan cara kasasi ke Mahkamah
Agung;89 (2) jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan
putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu 60 hari;90
(3) jangka waktu penjatuhan putusan kasasi di Mahkamah Agung harus

U
diputus dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari, sejak Mahkamah Agung
menerima Permohonan Kasasi;91 (4) jangka waktu penjatuhan putusan kasasi
di Mahkamah Agung harus diputus dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari,
sejak Mahkamah Agung menerima Permohonan Kasasi.92

D
88
Pasal 299 UU No. 37 Tahun 2004: “Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang
ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata.”
89
Pasal 11 UU No. 37 Tahun 2004: “(1) Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap
putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung: (2)
Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan)
hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan
kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit.”
90
Pasal 8 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004: “Putusan Pengadilan atas permohonan
pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan.”
91
Pasal 13 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004: “Putusan atas permohonan kasasi harus
diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima
oleh Mahkamah Agung.”
92
Pasal 14 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 berlaku mutatis mutandis bagi peninjauan kembali.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 145
Berkaitan dengan hukum acara di bidang kepailatan, maka merujuk Pasal
284 UU Kepailitan menyebutkan bahwa sepanjang tidak ditentukan dalam
undang-undang ini, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata (HIR/
RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai
saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan
Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan objek sengketa yang

Y
diajukan. Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang
penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu
UU tentang Kepailitan dan paket UU tentang HaKI Kekhususan Pengadilan
Niaga dalam perkara kepailitan adalah: 6 (1) pengadilan ini tidak mengenal
banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan

M
upaya hokum dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung; (2) jangka waktu
proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat
Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu 30 hari 7; (3) jangka waktu Kasasi
di Mahkamah Agung adalah selama 34 hari. Dalam hukum acara perkara
kepailitan terdapat terobosan waktu berperkara yang sangat cepat.

M
Dari waktu yang biasanya dua sampai dengan empat tahun berperkara
melalui Pengadilan Negeri (dari gugatan di Pengadilan Negeri sampai
dengan upaya khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung), turun
drastis menjadi 154 hari. Dengan perincian; maksimal waktu 30 hari untuk

U
memutuskan permohonan kepailitan di tingkat Pengadilan Niaga; maksimal
waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan Kasasi di tingkat Kasasi; dan
maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus
Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Selebihnya adalah perhitungan
waktu pendaftaran permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.8 Namun

D
dalam beberapa kasus, para hakim niaga, khususnya majelis hakim tingkat
Mahkamah Agung tampaknya kurang memperhatikan jangka waktu tersebut,
seperti dalam beberapa putusan, majelis hakim kasasi ataupun Peninjauan
Kembali memberikan putusan pailit melebihi jangka waktu yang telah
ditetapkan, tanpa akibat hukum apa pun.93

Contohnya adalah kasus Bank Niaga Tbk. Cs lawan Dharmala Agrifood Tbk. No.
93

7/K/N/1998. Dalam perkara ini Majelis Hakim Kasasi memutuskan permohonan kasasi
tersebut dalam waktu 40 hari. Jawaban majelis hakim terhadap keberatan yang diajukan
pemohon kasasi terhadap ketidakdisiplinan waktu tersebut adalah: “Bahwa keberatan
ini tidak dapat dibenarkan karena tidak ada sanksi hukum yang menentukan bahwa
putusan menjadi tidak sah, batal atau dapat dibatalkan apabila putusan kasasi diucapkan
melampaui jangka waktu 30 hari...” Tentu saja ketidakpatuhan terhadap ketentuan tersebut

146 Dinamika Hukum Pembuktian


Pembuktian untuk perkara kepailitan di Pengadilan Niaga lebih cepatnya
waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh
sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana. Untuk membuktikan
adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga
mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 UUK, yang menyatakan bahwa
debitur dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitur tersebut

Y
mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan
dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya. Sifat pembuktian
yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak
permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa
perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara

M
dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit,
maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan
Niaga, melainkan Pengadilan Perdata.
Sistem pembuktian yang sederhana pada perkara kepailitan dirasakan
tidak dapat diterapkan pada Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa

M
HaKI, sehingga jangka waktunya diperpanjang. Namun dalam kenyataannya,
untuk beberapa kasus perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga,
pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang seharusnya.11 Pada
perkara kepailitan, yang dibuktikan hanyalah kebenaran tentang ada atau

U
tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan
atau menolak permohonan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pada
praktiknya, kebenaran yang akan dibuktikan pada beberapa kasus kepailitan
adalah kebenaran tentang hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya
permasalahan hukum yang perlu diselesaikan secara adil, bukan untuk

D
dipailitkan.
Berkerkaitan dengan pembuktian pada perkara HaKI. Kini terdapat
lima UU HaKI yang mengatur gugatan pembatalan pendaftaran yang harus

yang sesungguhnya diperintahkan UUK terhadap status pailit suatu debitur yang berupa
Perseroan Terbatas akan memengaruhi perdagangan sahamnya di Bursa Efek, baik Bursa
Efek Jakarta maupun Surabaya. Sebab, saham perusahaan debitur yang dipailitkan tersebut,
sampai saat jatuhnya putusan masih diperdagangkan di kedua Bursa Efek tersebut. Dapat
dikatakan bahwa sebagian besar isi UUK adalah khusus mengenai hukum acara kepailitan.
Untuk itu, perlu kejelasan mengenai ketentuan-ketentuan hukum acara tersebut, apakah
harus diatur tersendiri, ataukah bab ketiga tentang Pengadilan Niaga harus dikeluarkan dari
sistematika UUK. Hal ini berkaitan erat dengan amanat perluasan kompetensi Pengadilan
Niaga sebagaimana tercantum dalam Pasal 280 ayat 2 UUK.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 147
diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat
tinggal tergugat. Namun dalam lima UU tersebut, tidak ada satu pasal pun
yang mengatur pembuktian seperti yang terdapat pada HIR dan RBg. Dalam
hukum acara tertulis, setelah replik dan duplik diterima, hendaknya majelis
hakim mempertimbangkan untuk menerima atau tidak gugatan tersebut,
kemudian mengeluarkan putusan akhir. Namun apabila masih belum jelas dan

Y
perlu ada pembuktian, maka para pihak yang bersengketa diberi kesempatan
untuk mengajukan alat bukti.
Dalam penyelesaian perkara HaKI di Pengadilan Niaga, peraturan-
peraturan tersebut tidak berlaku. Hal ini mengakibatkan timbulnya
ketidakjelasan, sehubungan dengan adanya bukti yang berbentuk faksimile,

M
mikro film, internet, multi media lain dan sebagainya. Selain itu terdapat
ketentuan mengenai Penetapan sementara merupakan mekanisme baru dalam
paket UU HaKI, sebagai pelaksanaan dari Article 50 Trade Related Intelectual
Property (TRIPs), yang dikenal dengan istilah “injunction”. Sebagai contoh,
jika ada pihak yang merasa Hak Desain Industrinya dilanggar, maka sebelum

M
perkaranya disidangkan di pengadilan, yang bersangkutan dapat meminta
hakim melarang barang yang dianggap mengandung unsur pelanggaran
tersebut memasuki pasar. Dalam hal ini, hakim dalam waktu 30 hari harus
mengambil keputusan, apakah telah terjadi pelanggaran hak atau tidak. Kalau

U
hakim berpendapat telah terjadi pelanggaran hak, maka hakim menetapkan
larangan terhadap barang tersebut untuk memasuki pasar. Sebaliknya, atas
permintaan penetapan sementara yang terbukti terjadi pelanggaran hak, pihak
yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Namun ketentuan tentang
penetapan sementara ini tidak mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan

D
oleh pihak yang terkena tindakan penetapan sementara.94
Sebenarnya keterangan yang diberikan oleh pihak yang terkena tindakan
penetapan sementara sebagaimana tersebut di atas dapat diartikan pula
bahwa pihak tersebut diberi kesempatan untuk mengajukan bantahan (verzet)
terhadap penetapan sementara dimaksud. Berkenaan dengan ketentuan
tersebut, maka dalam hal penetapan sementara dibatalkan, termohon dapat

Pasal 126 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 menyebutkan bahwa:


94

“Dalam hal penetapan sementara tersebut telah dilakukan, para pihak harus segera diberi
tahu mengenai hal itu, termasuk mengenai hak untuk didengar bagi pihak yang dikenai
penetapan sementara tersebut”.

148 Dinamika Hukum Pembuktian


menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara
tersebut. Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, maka menunjukkan
bahwa proses bantahan atau perlawanan (verzet) secara implisit diatur pula
di dalam ketentuan Undang-undang HaKI.

G. Prinsip Keadilan dalam Kepailitan

Y
Bila ditelusuri secara lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam
perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris. Di dalam bahasa
Prancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran. Oleh sebab itu, orang yang mogok atau macet atau berhenti

M
membayar utangnya di dalam bahasa Prancis disebut lefailli. Untuk arti yang
sama dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failliet. Sedangkan dalam
bahasa Inggris dikenal istilah “to fail”, dan di dalam bahas Latin dipergunakan
istilah “fallire”. Pailit di dalam khazanah ilmu pengetahuan hukum diartikan
sebagai keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar utang-

M
utangnya. Hal ini tercermin di dalam Pasal ayat (1) Peraturan Kepailitan (PK),
yang menentukan: “Pengutang yang ada dalam keadaan berhenti membayar,
baik atas pelaporan sendiri maupun atas permohonan seorang penagih atau
lebih, dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.95

U
Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si
debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-
kreditornya (orang-orang berpiutang). Pengertian kepailitan di Indonesia
mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan dapat diartikan sebagai

D
suatu penyitaan semua aset debitur yang dimasukkan ke dalam permohonan
pailit. Debitur pailit tidak serta-merta kehilangan kemampuannya, untuk
melakukan tindakan hukum, tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus
keyakinannya yang dimasukkan dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan
kepailitan itu. Pengertian kepailitan secara definitif tidak ada pengaturannya
atau penyebutannya di dalam Undang-undang Kepailitan. Namun, para
sarjana hukum kebanyakan memberikan definisi kepailitan dari berbagai
sudut pandang dan dari berbagai pasal di dalam undang-undang itu sendiri.

95
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia.
(Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), hlm. 23.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 149
Pengertian kepailitan secara definitif tidak ada pengaturannya atau
penyebutannya di dalam Undang-undang Kepailitan. Namun, para sarjana
hukum kebanyakan memberikan definisi kepailitan dari berbagai sudut
pandang dan dari berbagai pasal di dalam undang-undang itu sendiri.
Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur
(orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya

Y
(orang-orang berpiutang). Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1),96 dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor

M
separatis dan kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan
kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap
harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Dari definisi di atas tampak
bahwa kepailitan merupakan perbuatan yang berbentuk penyitaan maupun

M
eksekusi terhadap harta debitur untuk pemenuhan kepada debitur. Ketentuan
dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan
pailit adalah debitur telah berhenti membayar utangnya, bukan karena tidak
sanggup. Dengan kata lain, berhenti karena debitur tidak berkeinginan untuk

U
membayar utangnya.97
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam kepailitan dikenal dua prinsip
utama, yakni prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte
dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrecht). Prinsip paritas creditorium
berarti bahwa semua kekayaan debitur, baik yang berupa barang yang bergerak

D
maupun barang tidak bergerak ataupun harta yang sekarang telah dimiliki
debitur dan barang-barang pada kemudian hari akan dimiliki debitur terkait
kepada penyelesaian kewajiban debitur. Adapun prinsip pari passu prorate parte
berarti bahwa kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para
kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka,

96
Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
97
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 25.

150 Dinamika Hukum Pembuktian


kecuali apabila di antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang
harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.98
Dalam hukum kepailitan Indonesia, prinsip paritas creditorium dianut dalam
sistem hukum perdata di Indonesia. Hal tersebut termuat dalam Pasal 1131
KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru

Y
akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseroan.99 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte termuat dalam Pasal 1132
KUH Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu

M
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan.100
Di samping dua prinsip di atas, dikenal juga beberapa prinsip-prinsip
hukum lainnya dalam kepailitan dalam berbagai sistem hukum, di antaranya
adalah:

M
1. Prinsip Structured Creditors, adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan
mengelompokan berbagai macam debitur sesuai dengan kelasnya masing-
masing. Dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam: (1)
kreditor separatis; (2) kreditor preferen; (3) kreditor konkuren. Pembagian

U
kreditor menjadi tiga klasifikasi tersebut di atas berbeda dengan pembagian
kreditor pada rezim hukum perdata umum. Dalam hukum perdata umum
pembedaan kreditor hanya dibedakan dari kreditor preferen dengan kreditor
konkuren, namun ketiga kreditor tersebut diakui eksistensinya.

D
2. Prinsip Utang. Dalam proses acar kepailitan konsep utang tersebut sangat
menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara
kepailitan akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut maka esensi

98
Beni Ahmad Saebani dan Dewi Mayaningsi, Perbandingan Hukum Perdata, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2016), hlm. 346.
99
Pasal 1131 KUH Perdata: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik
debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-
perikatan perorangan debitur itu.”
100
Pasal 1132 KUH Perdata: “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua
kreditor terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan
piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk
didahulukan.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 151
kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah merupakan pranata
hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang-
utangnya terhadap para kreditornya. Dengan demikian, utang merupakan
raison d’etre dari suatu kepailitan.

H. Struktur Pembuktian dalam Peradilan Arbitrase

Y
Pengadilan bukanlah satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa, karena selain melalui pengadilan ada jalan lain yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa yang populer dengan sebutan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)/Alternatif Dispute Resolution (ADR).101

M
Definisi atau pengertian yang jelas dan konprehensif tentang apa
yang dimaksud dengan lembaga APS, bukanlah hal yang mudah. Di antara
pengertian tersebut adalah; Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu
pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang disepakati oleh para pihak
dengan tujuan menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas, dan

M
meniadakan pemeriksaan berlarut-larut.
Istilah Arbitrase berasal dari kata Arbitrate (latin) yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.102
Penggunaan kata kebijaksanaan apabila dihubungkan dengan arbitrase

U
dirasa kurang tepat, karena asumsinya arbiter dalam menyelesaikan sengketa
hanya berdasarkan pada kebijaksanaan tanpa memerhatikan norma-norma
hukum. Hal ini jelas salah, karena arbiter menerapkan hukum sebagaimana juga
hakim di pengadilan dalam memutus perkara. Sehingga seorang arbiter juga
memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang menang dan yang kalah.103

D
101
Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
102
Menurut Blacks Law Dictionary (terjemahan): “Arbitrase. Referensi dari sengketa bahwa
pihak (ketiga) yang tidak memihak dipilih oleh para pihak yang sepakat didepan untuk
mematuhi putusan arbiter setelah sidang yang sebelumnya para pihak diberikan kesempatan
untuk didengar. Kesepakatan untuk mengambil dan mematuhi putusan dari orang yang dipilih
dalam menyelesaikan sengketa, daripada membawanya ke persidangan, dan dimaksudkan
untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan frustasi dari litigasi yang biasa.
103
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999; “Arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

152 Dinamika Hukum Pembuktian


Di Indonesia sendiri terdapat lembaga/badan independen bernama
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang memberikan jasa yang
beragam berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.104 Pembentukan BANI pada tahun
1977 tidak lepas dari kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan
bisnis atau ekonomi (dalam arti luas) secara cepat dan lebih memenuhi

Y
apa yang diharapkan oleh dunia perdagangan, bisnis atau ekonomi yaitu
efisiensi dalam waktu dan biaya dan tetap terpeliharanya profesionalisme dan
kepercayaan dalam penanganan masalah sengketa perdagangan.105
Undang-undang Arbitrase dan APS mengatur penyelesaian sengketa atau
beda pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu

M
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat
yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut
akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian
sengketa. Undang-undang ini merupakan produk hukum yang dihasilkan
pemerintah indonesia di samping lembaga litigasi yang telah ada. Ada beberapa

M
tawaran yang justru menjadi daya tarik alternatif penyelesaian sengketa, yakni:
Pertama; dipercaya dapat menghasilkan win-win solution bagi para pihak
yang bersengketa.
Kedua; apa yang diharapkan para pihak yang bersengketa adalah cepat

U
memberikan keputusan, sehingga tidak berlarut-larut masalahnya.
Ketiga; dalam hal keadilan yang dicari oleh kedua belah pihak adalah
rasa keadilan kedua belah pihak dan bukan keadilan menurut hukum atau
undang-undang belaka.

D
Pengelompokan yang jelas dan berbeda antara bentuk-bentuk APS
dengan proses melalui pengadilan umum ini, menjadilan APS sebagai suatu
proses penyelesaian yang sifatnya khusus, dan sangat berbeda dengan proses
peradilan umum (litigasi). Sehingga, APS memerlukan pengaturan yang

104
Pasal 1 ayat (1) Statuta Badan Arbitrase Nasional Indonesia ditentukan: “Badan
Arbitrase Nasional Indonesia disingkat BANI adalah sebuah badan yang didirikan yang
bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat atas beda pendapat dan masalah-
masalah sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industri dan keuangan
dalam arti seluas-luasnya baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional.”
105
M. Husseyn Umar, BANI dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2013), hlm. 3.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 153
khusus (lex specialis) sehingga dapat mengesampingkan asas-asas hukum
umum (lex generalis).106
Penting untuk dipahami dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase
adalah bahwa para pihak yang telah menyetujui bahwa penyelesaian sengketa
mereka diselesaikan melalui jalur arbitrase dan telah memberikan wewenang
kepada arbiter, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya

Y
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian
mereka. Hal ini memiliki konsekuensi sebagai berikut:
1. Arbitrase dilaksanakan dalam menyelesaikan kasus perdata, hal ini dilihat
dari rumusan kata-kata “mengatur penyelesaian sengketa atau beda
pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu”.

M
Hubungan hukum tertentu dimaksud adalah hubungan hukum perdata,
hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999.
2. Perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak berdasarkan asas kesepakatan
bahwa mereka telah memilih lembaga ini untuk menyelesaiakn sengketa di
antara mereka. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur

M
dalam Pasal 1338 ayat (1) bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.107

Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Hal ini berkaitan dengan

U
bentuk perjanjian yang dibuat para pihak di mana harus berbentuk tertulis
mengingat dalam klausul kontrak harus dicantumkan bahwa para pihak akan
memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa apabila terjadi di antara
mereka; Arbiter diberi tugas dan kewenagan dalam bentuk “keputusan”. Hal
ini dapat dilihat dalam rumusan kata-kata “abiter berwenang menentukan

D
dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur
dalam perjanjian mereka”. Dengan demikian, arbiter mempunyai kewenangan
untuk menentukan putusan sebagaimana layaknya sebuah putusan pengadilan.
Uraian di atas merupakan konsekkuensi bagi para pihak yang telah memilih
lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hal ini

106
Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan. Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: Alumni Bandung,
2013), hlm. 3.
107
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999; “Para pihak dapat menyetujui
suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan
melalui arbitrase.”

154 Dinamika Hukum Pembuktian


sesuai dengan bunyi Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999, “Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase.108
Semua ini uraian di atas menunjukan bahwa penyelesaian sengketa di
luar pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan penyelesaian
melalui litigasi (pengadilan).109

Y
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasarkan atas
kesepakatan bersama (mutual consent). Keabsahan perjanjian arbitrase harus
memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai klausul pilihan
hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau timbul di antara pihak.

M
Ada 2 (dua) jenis perjanjian arbitrase, yaitu: Pactum de Compromittendo,110 artinya
para pihak mengikatkan diri untuk menyelesaikan sengketa (disputes) yang
timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengikatkan diri, belum
terjadi perselisihan. Dalam hal ini, klausul arbritase dipersiapkan untuk
mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa datang. Pembuatan

M
Pactum de Compromitendo ada dua cara, yaitu:
1. Mencantumkan kalusul Pactum de Compromittendo dalam perjanjian pokok,
sebagai cara yang paling lazim digunakan; dan
2. Klausul Pactum de Compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri.

U
Akta Kompromis,111 merupakan suatu akta yang dibuat para pihak
untuk menyelesaikan suatu sengketa yang timbul melalui lembaga arbitrase.

D
108
Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999: “Adanya suatu perjanjian arbritase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. Selanjutnya dalam ayat (2)
ditentukan: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”
109
Susilawatty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam Prespektif
Peraturan Perundang-Undangan. (Jakarta: Gramata Publishing, 2013), hlm. 3.
110
Klausul Pactum de Compromittendo diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yakni: “Para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase”.
111
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Dalam hal para pihak memilih
untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak”.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 155
Perbedaannya dengan Pactum de Compromittendo adalah terletak pada saat
pembuatan. Jika Pactum de Compromittendo dibuat sebelum sengketa terjadi,
maka Akta Kompromis dibuat setelah sengketa terjadi.
Penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase, dilakukan oleh Arbiter, yakni
orang yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi dan wewenang arbitrase.112
Jumlah arbiter yang dipilih bergantung kepada keinginan para pihak, bisa satu

Y
(tunggal), bisa juga misalnya 3 (tiga) orang, satu dipilih oleh masing-masing
pihak, dan yang ketiga oleh mereka bersama sehingga jumlahnya ganjil. Jika
para pihak tidak memilih, maka dapat diserahkan pada lembaga arbitrase
yang dicantumkan dalam perjanjian ataupun oleh Ketua Pengadilan Negeri.113
Adapun syarat untuk dapat diangkat sebagai arbiter, ditentukan dalam

M
Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999: “yang dapat ditunjuk atau diangkat
sebagai arbiter harus memenuhi syarat: Cakap melakukan tindakan hukum;
berumur paling rendah 35 tahun; Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang
bersengketa;Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain

M
atas putusan arbitrase; dan Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif
dibidangnya paling sedikit 15 tahun”. Ayat (2): “Adapun untuk hakim, jaksa,
panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat diangkat sebagai arbiter”.

U
I. Dinamika Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada

D
nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hubungan
industrial, semua pihak memiliki peran masing-masing.114

112
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Arbiter adalah seorang
atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan
Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu
yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”.
113
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Dalam hal para pihak
tidak mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang
dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau
majelis arbiter”.
114
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm. 4.

156 Dinamika Hukum Pembuktian


Pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan
berkeadilan. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya dalam
melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,

Y
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Adapun pemerintah dalam
melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menetapkan kebijakan,
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan

M
penindakan terhadap peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya hubungan industrial tersebut, maka terjadilah hubungan
hukum, khususnya antara pengusaha dan pekerja untuk menciptakan
hubungan yang harmonis. Hubungan hukum tersebut menimbulkan hak
dan kewajiban, yang kadangkala dilanggar oleh salah satu pihak, maka

M
timbullah perselisihan atau persengketaan, yang mana perselisihan ini disebut
perselisihan hubungan industrial atau sengketa perburuhan.115
Perselisihan hubungan di bidang hubungan industrial yang selama ini
dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai

U
keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan, baik dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, maupun peraturan
perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan
oleh pemutusan hubungan kerja. Hal ini terjadi karena hubungan antara
pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh

D
kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja.
Apabila salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk mengikatkan diri dalam
suatu hubungan kerja tersebut, sulit bagi para pihak untuk mempertahankan
hubungan yang harmonis. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluar yang
terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian,

115
Pasal 1 angka (22) UU No. 13 Tahun 2003: “Perselisihan hubungan industrial
adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja serta perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 157
sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan
hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.116
Dikenal 4 (empat) jenis perselisihan dalam perselisihan hubungan
industrial, yakni:

Y
1. Perselisihan hak karena tidak dipenuhinya hak; di mana hal ini timbul
karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan pernafsiran terhadap
ketentuan UU, PK, PP atau PKB.
2. Perselisihan kepentingan karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja dalam PK,

M
PP, atau PKB.
3. Perselisihan PHK apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.
4. Perselisihan antara SP/SB dalam satu perusahaan karena tidak adanya
kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban

M
keserikatan.117

Terhadap keempat jenis perselisihan hubungan industrial di atas,


maka dikenal 3 (tiga) mekanisme yang harus ditempuh dalam penyelesaian
perselisihan dimaksud, yakni: (a) bipartit;118 (b) mediasi,119 konsiliasi120 dan/

U
atau arbitrasi.121

Asri Wijatanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),
116

hlm. 178.
117
Joni Bambang S., Hukum Ketenagakerjaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 310.

D
118
Pasal 1 angka (10) UU No. 2 Tahun 2004: “Perundingan bipartit adalah perundingan
antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.”
119
Pasal 1 angka (11) UU No. 2 Tahun 2004: “Mediasi Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lebih mediator yang netral.”
120
Pasal 1 angka (13) UU No. 2 Tahun 2004: “Konsiliasi Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral.”
121
Pasal 1 angka (15) UU No. 2 Tahun 2004: “Arbitrase Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan
perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar

158 Dinamika Hukum Pembuktian


Berkenaan dengan pengadilan hubungan industrial, merupakan lembaga
peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua jenis perselisihan,
karena masalah perselisihan hubungan industrial yang terjadi semakin
kompleks, maka dalam rangka memenuhi kebutuhan peradilan yang bebas dari
intervensi pihak manapun, dibutuhkan suatu pengadilan yang khusus untuk
menangani, memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hubungan

Y
industrial. Maka dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI)
pada tahun 2004, maka dibentuklah pengadilan khusus yang diberi nama
Pengadilan Hubungan Industrial. Susunan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri terdiri atas: (1) Hakim; (2) Hakin Ad Hoc; (3) Panitera

M
Muda; (4) Panitera Pengganti. Sedangkan susunan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Mahkamah Agung terdiri atas: (1) Hakim Agung; (2) Hakim
Ad Hoc pada Mahkamah Agung; (3) Panitera.122
Pangadilan Hubungan Industrial adalah bentuk pengadilan khusus dari
Pengadilan Negeri. Kompetensi Pengadilan Negeri berdasarkan Undang-Undang

M
Nomor 2 Tahun 1986 adalah perkara perdata dan pidana. Terhadap perkara
perdata yang masuk ke Pengadilan Negeri, hakim hanya memutus sesuai
dengan yang dituntut oleh penggugat. Tidak boleh memberikan putusan lebih
dari yang dituntut. Perselisihan hubungan industrial adalah bagian dari perkara

U
ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan merupakan cabang dari bidang ilmu perdata.
Prinsip dari norma hukum perdata adalah bersifat mengatur, dalam arti hukum
pihak-pihak bebas untuk membuat suatu aturan yang tertuang dalam klausul
perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan,
dan kesopanan yang ada di masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah

D
mungkin hakim Pengadilan Hubungan Industrial menyelesaikan sengketa yang
merupakan perkara doelmatigheid? Tentunya hakim PHI lebih tepat jika hanya
menangani perkara yang rechtsmatigheid saja. Untuk perkara rechtsmatigheid yang
berupa perselisihan kepentingan hendaknya dikeluarkan dari kompetensi PHI
selanjutnya untuk diberikan kepada lembaga arbitrase saja.123

Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih
untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat
para pihak dan bersifat final;”
122
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 93.
123
Asri Wijatanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Op.Cit., hlm. 196.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 159
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus:
1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.;
2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.

Y
4. Di tingkat pertama dan terkahir mengenai perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, harus


didahului dengan upaya mediasi dan konsiliasi.124 Dengan kata lain, untuk
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, para pihak terlebih

M
dahulu harus menyelesaikan perselisihannya melalui mediasi atau konsiliasi.
Jadi, salah satu syarat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial adalah dilampirkannya risalah penyelesaian melalui mediasi atau
konsiliasi, tanpa itu, maka pengadilan akan menolaknya.
Dengan diajukannya gugatan dan diterima oleh pengadilan, maka

M
dimulailah tahapan acara di Pengadilan Hubungan Industrial, yang di
antaranya adalah pembuktian. Berkenaan dengan pembuktian di pengadilan,
hal ini merupakan bagian yang sangat penting untuk dilakukan, karena
dengan pembuktian maka dalil-dalil yang dikemukakan para pihak dalam

U
sidang-sidang sebelumnya menjadi kuat dan meyakinkan. Pembuktian adalah
tahapan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa suatu perkara, guna memberikan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang dikemukakan. Pembuktian bertujuan untuk meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil yang dikemukakan oleh para pihak.125

D
Mengingat kedua belah pihak yang berperkara mempunyai kepentingan
yang sama untuk memenangkan perkaranya, maka pembuktian dibebankan
kepada kedua belah pihak secara adil. Prinsip yang berlaku dalam pembuktian
adalah “barangsiapa mendalilkan bahwa dirinya mempunyai sesuatu hak atau
membantah hak orang lain, maka dia harus membuktikan dalil tersebut”. Hal-
hal yang perlu dibuktikan adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian

124
Pasal 83 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004: “Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri
risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan
Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.”
125
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 142.

160 Dinamika Hukum Pembuktian


yang dianggap paling relevan dan menentukan dalam suatu perselisihan,
termasuk dalil yang tidak diakui atau dibantah oleh lawan. Sedangkan dalil
yang tidak dibantah atau diakui oleh lawan, maka tidak perlu untuk dibuktikan
lagi. Dalam rangka pembuktian, maka dikenal alat-alat bukti berdasarkan Pasal
164 HIR jo. 284 RBg jo.1866 KUH Perdata. Mengapa dalam KUH Perdata,
karena seperti yang diuraikan sebelumnya, perselisihan hubungan industrial

Y
adalah bagian dari perkara ketenagakerjaan, dan perkara ketenagakerjaan
merupakan cabang dari bidang ilmu perdata. Adapun alat-alat bukti dimaksud
adalah:126
1. Bukti tertulis/surat;
2. Bukti saksi;

M
3. Persangkaan;
4. Pengakuan;
5. Sumpah;
6. Keterangan ahli.

M
Alat bukti tertulis/surat, adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan
atau tulisan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai bahan bukti. Bukti tertulis
ini merupakan alat bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan sering
kali orang dengan sengaja menyediakan suatu alat bukti yang dapat dipakai kalau

U
timbul perselisihan, dan bukti yang disediakan itu berupa bukti tulisan. Bukti
tertulis ini terdiri dari akta dan bukan akta. Yang dimaksud dengan akta adalah
tulisan yang memang sengaja dibuat untuk digunakan sebagai bukti tentang
suatu peristiwa dan ditandatangani. Sedangkan bukti tertulis yang bukan akta

D
adalah tulisan yang dalam pembuatannya tidak dimaksudkan untuk digunakan
sebagai bukti, namun sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai bukti dalam
acara pembuktian. Berkenaan dengan akta, maka dibagi menjadi dua, yakni akta
autentik dan akta yang bukan akta autentik. Akta autentik adalah akta yang
dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang berwenang, antara lain notaris,
panitera, hakim, PPAT, dan lain-lain, sedangkan akta di bawah tangan adalah
akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
pejabat yang berwenang.127

Ibid., hlm. 29.


126

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta:
127

Kencana, 2015), hlm. 92.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 161
Dilihat dari sudut kekuatan pembuktian, maka akta autentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya hakim harus menganggapnya
benar dan tidak memerlukan alat bukti lain. Sedangkan akta yang bukan akta
autentik atau yang disebut juga akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya
sangat tergantung pada hakim menilainya atau disebut kekuatan bukti bebas,
namun apabila para pihak yang membuatnya mengakui tanda tangan yang

Y
ada dalam akta, maka akta tersebut juga mempunyai kekuatan pembuktian
yang sama dengan akta autentik.
Nilai kekuatan pembuktian akta autentik yang melekat padanya adalah
sempurna (volledig bewijskracht) dan mengikat (bidende bewijskracht), artinya
apabila alat bukti akta autentik yang diajukan memenuhi syarat formal dan

M
materiil, kemudian bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak mengurangi
keberadaannya, pada dirinya sekaligus melekat kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat. Dengan demikian, kebenaran isi dan pernyataan
yang tercantum di dalamnya, sempurna dan mengikat kepada para pihak
mengenai apa yang disebut dalam akta, dan juga sempurna dan mengikat

M
kepada hakim, sehingga hakim harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang
sempurna dan cukup untuk mengambil putusan atas penyelesaian perkara
yang disengketakan.128 Batas minimal pembuktian dengan akta autentik
adalah cukup dengan akta autentik itu saja, artinya tidak diperlukan alat

U
bukti lain. Adapun nilai kekuatan pembuktian akat dibawah tangan, maka
harus terpenuhi terlebih dahulu syarat formal dan materiilnya, yakni: (1)
dibuat secara sepihak atau para pihak (sekurang-kurangnya dua pihak), tanpa
campur tangan pejabat yang berwenang; (2) ditandatangani oleh pembuatnya;
(3) sis dan tanda tangan diakui. Jika syarat ini dipenuhi, maka nilai kekuatan

D
pembuktiannya sama dengan akta autentik, sehingga akta di bawah tangan
tersebut dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain.129
Alat Bukti Saksi, adalah bukti berupa keterangan seseorang tentang apa
yang ia lihat sendiri, yang ia alami sendiri atau yang ia dengan sendiri. Alat
bukti saksi ini dapat digunakan apabila alat bukti surat tidak ada, juga dapat

Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm.


128

Pasal 1875 BW: “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya
129

oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan
olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta autentik bagi orang-orang yang
menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka;
ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.”

162 Dinamika Hukum Pembuktian


digunakan untuk memperkuat alat bukti lain yang nilai pembuktiannya belum
sempurna. Jadi, walaupun telah ada bukti surat, tidak ada salahnya untuk
memperkuat dalil-dalil yang dikemukakan diajukan alat bukti lagi berupa alat
bukti saksi, atau jika alat bukti surat nilai kekuatan pembuktiannya belum
sempurna, sehingga dibutuhkan lagi alat bukti saksi, untuk memperkuat
dalil-dalilnya.

Y
Dalam mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus
memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksian-kesaksian satu sama
lain. Pada persamaan antara kesaksian-kesaksian itu dengan apa yang diketahui
dari sumber lain tentang hal yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang
kiranya telah mendorong seorang saksi untuk mengutarakan perkaranya secara

M
begini atau begitu, pada cara hidup, kesusilaan, dan kedudukan para saksi,
dan pada umumnya pada segala apa yang mungkin ada pengaruhnya terhadap
lebih atau kurang dapat dipercayainya para saksi itu.130
Nilai pembuktian alat bukti saksi bersifat bebas atau vrij bewijskracht.131
Artinya, hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi

M
berdasarkan kesamaan atau saling berhubungannya antara saksi yang satu
dengan saksi yang lainnya. Yang dimaksud dengan nilai kekuatan pembuktian
bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah:132
1. Kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di

U
persidangan dianggap:
a. Tidak sempurna dan tidak mengikat;
b. Hakim tidak wajib terikat untuk menerima atau menolak kebenarannya;
2. Dengan demikian, hakim bebas sepenuhnya menerima atau menolak

D
kebenarannya, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pembuktian.

130
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 41.
131
Pasal 1908 BW: “Dalam mempertimbangkan suatu kesaksian, hakim harus
memberikan perhatian khusus; pada kesesuaian kesaksian-kesaksian satu sama lain;
pada persamaan antara kesaksian-kesaksian dan apa yang diketahui dan sumber lain
tentang pokok perkara; pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong para saksi untuk
menerangkan duduknya perkara secara begini atau secara begitu; pada peri kehidupan,
kesusilaan dan kedudukan para saksi; dan umumnya, ada apa saja yang mungkin ada
pengaruhnya terhadap dapat tidaknya para saksi itu dipercaya.”
132
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 40-41.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 163
Persangkaan, yakni kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang
telah terkenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak
terkenal, artinya belum terbukti. Ada 2 (dua) macam persangkaan, yaitu
persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan yang ditarik oleh
hakim berdasarkan fakta-fakta persidangan. Persangkaan menurut undang-
undang adalah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-

Y
undang, yang dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu.133
Adapun persangkaan yang ditarik oleh hakim berdasarkan fakta-fakta
persidangan adalah persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan dan
kewaspadaan hakim.
Berkenaan dengan nilai kekuatan pembuktian, maka di antara

M
persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan berdasarkan fakta-
fakta persidangan memiliki perbedaan. Dalam persangkaan menurut undang-
undang, maka memiliki nilai kekuatan pembuktiannya: “(a) bersifat sempurna
(volledig), mengikat (bindende), dan memaksa (dwingend); (b) kebenaran yang
melekat pada alat bukti ini bersifat imperatif bagi hakim untuk dijadikan

M
sebagai dasar penilaian dalam mengambil keputusan.” Namun, yang penting
juga dipahami tentang nilai kekuatan pembuktian menurut undang-undang
adalah sifat nilai kekuatan pembuktian yang mutlak ini hanya berlaku pada
persangkaan menurut undang-undang yang tidak dapat dibantah. Sebaliknya,

U
terhadap persangkaan menurut undang-undang yang dapat dibantah, sifat
nilai kekuatannya tidak absolut karena dapat dibantah dengan bukti lawan.
Adapun nilai pembuktian persangkaan yang ditarik berdasarkan fakta-
fakta persidangan, memiliki nilai kekuatan pembuktian:134

D
133
Pasal 1916 BW: “Persangkaan yang berdasarkan undang-undang ialah persangkaan
yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan
ketentuan undang-undang. Persangkaan semacam itu antara lain adalah; (1) perbuatan
yang dinyatakan batal oleh undang-undang, karena perbuatan itu semata-mata berdasarkan
dari sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan
undang-undang; (2) pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak milik
atau pembebasan utang dari keadaan tertentu; (3) kekuatan yang diberikan oleh undang-
undang kepada suatu putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti; (4)
kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau kepada sumpah
salah satu pihak.”
134
Pasal 1922 KUH Perdata: “Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang
sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim, yang dalam hal ini
tidak boleh memerhatikan persangkaan-persangkaan yang lain. Persangkaan-persangkaan
yang demikian hanya boleh diperhatikan, bila undang-undang mengizinkan pembuktian

164 Dinamika Hukum Pembuktian


1. Nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakik.
2. Dengan demikian, sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij
bewijskracht), karena itu hakim bebas untuk menerima atau menolak
kebenaran yang terdapat di dalam persangkaan itu.

Pengakuan, adalah keterangan sepihak (khususnya yang di depan

Y
pengadilan) baik tertulis maupun lisan, yang tegas dinyatakan oleh salah satu
pihak dalam perkara persidangan yang membenarkan baik seluruhnya maupun
sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh
lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim menjadi
tidak perlu lagi.

M
Pengakuan merupakan keterangan sepihak karena tidak memerlukan
persetujuan pihak lawan. Pengakuan yang dilakukan di depan hakim tidak
dapat ditarik kembali, kecuali apabila dibuktikan bahwa pengakuan itu adalah
dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan di depan
hakim dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:135 (a) pengakuan murni, yakni

M
pengakuan yang sifatnya sederhana dan seluruhnya sesuai dengan tuntutan
pihak lawan; (b) pengakuan dengan kualifikasi, yakni pengakuan yang disertai
dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan; dan, (c) pengakuan dengan
klausul, yakni pengakuan yang disertai dengan tambahan yang bersifat
membebaskan.

U
Nilai kekuatan pembuktian pengakuan juga berbeda antara pengakuan
murni dan bulat dengan pengakuan berklausul. Dalam pengakuan murni
dan bulat, memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig),
mengikat (bindende), dan memaksa (dwingend).136 Artinya nilai pengakuan

D
ini merupakan kekuatan yang bersifat mutlak, para pihak dan hakim
terikat untuk menerima kebenaran tersebut, dan karenanya hakim mesti
mempergunakannya sebagai dasar penyelesaian dalam pengambilan
keputusan. Adapun nilai kekuatan pembuktian pengakuan berklausul
adalah: (1) memiiliki nilai pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht);

dengan saksi-saksi, begitu pula bila terhadap suatu perbuatan atau suatu akta diajukan
suatu bantahan dengan alasan-alasan adanya iktikad buruk atau penipuan.”
135
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 154.
136
Pasal 1925 KUH Perdata: “Pengakuan yang diberikan di hadapan hakim, merupakan
suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang telah memberikannya, baik sendiri maupun
dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu.”

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 165
(2) tidak sempurna dan tidak mengikat; (3) sifat pembuktiannya hanya
berkualitas sebagai alat bukti permulaan.137
Sumpah, sebagai alat bukti memiliki dua fungsi, yakni untuk memberi
keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak,
dan sebagai janji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu,
yang disebut sumpah promissoir.138 Secara umum, sumpah sebagai alat bukti

Y
terdiri dari 3 (tiga) jenis, yakni Sumpah decisoir (sumpah pemutus), sumpah
supletoir (sumpah pelengkap), dan sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).
Sumpah decisoir ini adalah sumpah yang dibebankan kepada salah satu
pihak atas permintaan salah satu pihak lainnya. Sumpah decisoir ini dapat
dibebankan walaupun tidak ada pembuktian sama sekali, dan dapat dilakukan

M
pada setiap saat selam pemeriksaan persidangan. Adapun sumpah supletoir
adalah sumpah pelengkap, yang bersifat melengkapi alat bukti yang sudah
ada tetapi belum cukup. Sumpah supletoir diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya (ex officio). Kepada pihak mana hakim memerintahkan untuk
bersumpah supletoir adalah tergantung pertimbangan hakim. Sumpah ini

M
masih memungkinkan pembuktian lawan. Yang terakhir adalah sumpah
aestimatoir, yakni sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya
kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang gati rugi yang dituntutnya.
Sumpah ini baru dibebankan hakim kepada penggugat, jika penggugat telah

U
berhasil membuktikan haknya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya masih
simpang siur. Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir bersifat sempurna,
tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan.139
Sumpah sebagai alat bukti terbagi dua, yakni sumpah pemutus (decisoir

D
edd) dan sumpah penambah (aanvullende eed).140 Pada dasarnya keduanya
memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama, yang membedakan adalah
landasan dasar dalam penerapannya. Kekuatan pembuktian sumpah
pemutus adalah sempurna, mengikat, dan menentukan (volledig bindende
en beslissende bewijskracht). Sedemikian kuatnya nilai pembuktian sumpah

137
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 155.
138
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-asas Pembuktian Perdata. Op.Cit., hlm. 96.
139
Ibid., hlm. 97.
140
Pasal 1929 KUH Perdata: “Ada dua macam sumpah di hadapan hakim: (1) sumpah
yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu
perkara; sumpah itu disebut sumpah pemutus; (2) sumpah yang diperintahkan oleh hakim
karena jabatan kepada salah satu pihak.”

166 Dinamika Hukum Pembuktian


pemutus, sehingga menurut Pasal 177 HIR, tidak dapat diminta bukti lain
untuk menguatkan kebenaran yang disumpahkan pihak yang mengucapkan.
Pengguguran sumpah ini hanya mungkin dilakukan berdasar putusan pidana
yang telah berkekuatan hukum tetap atas kejahatan sumpah palsu. Adapun
untuk sumpah penambah, pada dasarnya adalah sumpah yang oleh hakim
diperintahkan untuk diucapkan kepada salah satu pihak, ketika baik penggugat

Y
maupun tergugat, dalam mengajukan bukti, sama-sama hanya bernilai bukti
permulaan. Sehingga dipahami bahwa nilai kekuatan pembuktian sumpah
tambahan adalah: (1) tidak dapat berdiri sendiri; (2) hanya boleh ditegakkan
di atas alat bukti pemulaan; (3) berfungsi untuk menambah kesempurnaan
alat bukti permulaan yang ada.141

M
Keterangan Ahli, adalah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.142
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang di muka
sidang pengadilan berdasarkan pengetahuan atau keahlian yang dimiliki.143
Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah kekuatan pembuktian bebas

M
(vrijbewijskracht), yang berarti penilaiannya diserahkan sepenuhnya kepada
hakim. Dalam menilai keterangan ahli, hakim perlu berhati-hati, karena
pada umumnya keterangan yang diberikan oleh saksi berupa pendapat yang
didasarkan pada pengetahuan dan keahliannya. Hakim perlu melakukan

U
penilaian secara objektif dan mempelajari relasi dan relevansi keterangannya
dengan pokok permasalahan dalam sengketa yang sedang diadili.144
Majelis Hakim wajib memberikan putusan dalam waktu selambat-
lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.

D
Putusan Majelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, serta
mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.
Putusan setidak-tidaknya harus memuat: “(a) kepala putusan berbunyi:
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; (b)
nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan
para pihak yang berselisih; (c) ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban

141
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm.
142
Pasal 90 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004: “Majelis Hakim dapat memanggil saksi
atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.”
143
Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 159.
144
Asri Wijatanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Op.Cit., hlm. 100.

Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga 167
termohon/tergugat yang jelas; (d) pertimbangan terhadap setiap bukti dan
data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu
diperiksa; (e) alasan hukum yang menjadi dasar putusan; (f) amar putusan
tentang sengketa; (g) hari, tanggal putusan, nama hakim, Hakim Ad-Hoc
yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak
hadirnya para pihak.” Apabila salah satu poin diatas tidak dipenuhi, hal ini

Y
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan
perlawanan atau kasasi. Terhadap perkara mengenai perselisihan kepentingan
dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,

M
maka Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Adapun Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Namun pengajuan upaya hukum kasasi harus diajukan sebelum 14 (empat

M
belas) hari sejak putusan dibacakan, jika lewat 14 (empat belas) hari, maka
putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.145

U
D
Pasal 110 UU No. 2 Tahun 2004: “Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada
145

Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja: (a) bagi
pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang Majelis Hakim; (b)
bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.”

168 Dinamika Hukum Pembuktian


BAGIAN KEEMPAT

BEBAN PEMBUKTIAN
DALAM PRAKTIK PERADILAN
TATA USAHA NEGARA DAN PAJAK

Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara merupakan syarat mutlak dalam


konsep negara hukum (rechtstaat), karena menjadi indikator kualitas demokrasi
dalam pembagian kekuasaan negara (machtsverdeling). Tidak perlu ditolak
pendapat yang menyatakan bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia dipengaruhi oleh konsep conseil de’etat Prancis dan Administraieve
Rechtspraak Nederland, yang di negaranya juga dipengaruhi oleh kultur budaya
dan sejarah hukum negara asalnya. Namun juga tidak perlu dimunculkan
superioritas kekhasan Peradilan Tata Usaha Negara yang seakan-akan terlepas
dari pengaruh negara lain, karena akan menutut studi komparasi bagi
perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena
itu segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun badan atau
pejabat tata usaha negara di Indonesia harus berdasarkan hukum. Dalam
negara hukum, hubungan penguasa dengan rakyat tidak didasarkan atas dasar
kekuasaan, tetapi hubungan yang sederajat atau setara yang diatur oleh atau
berdasarkan hukum. Rakyat bukan hamba dan raja bukan tuan, sehingga
rakyat dapat meminta pertanggungjawaban secara yuridis dari penguasa
jika penguasa melakukan kesalahan dan menjalankan kekuasaannya. Dalam
rangka menyeimbangkan pengaturan kepentingan individu, kelompok, sering

169
dijumpai perselisihan tersebut terjadi antara kelompok atau individu dengan
badan atau pejabat tata usaha negara.1
Peradilan harus diselenggarakan secara profesional oleh hakim yang
berkompeten, mandiri (independent), dan tidak memihak. Peradilan harus
benar-benar berdiri di atas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
peradilan demikian akan menghadirkan terjadinya kesewenang-wenangan

Y
(arbitrariness) yang dapat merugikan kepentingan para pihak. Hakim wajib
menjaga independensi dan profesionalismenya dalam mengadili setiap perkara.
Adanya benturan kepentinagn (conflict of interest) hakim dengan para pihak
mewajibkan hakim tersebut untuk mundur atau menyatakan mundur dari
mengadili perkara dimaksud dan digantikan oleh hakim lain yang terbebas

M
dari konflik dimaksud. Bila tidak mundur atau menyatakan mundur, maka
sangat besar kemungkinan proses peradilan dan putusan atas perkara tersebut
menjadi bias (deviatif) dan merugikan salah satu pihak.
Secara kelembagaan, pengadilan wajib terbebas dari bias kepentingan
pengaruh dan kepentingan pihak eksekutif dan legislatif, sebagaimana dalam

M
konsep separation of power-nya trias politica. Pengadilan harus benar-benar
terbebas dari pengaruh apa pun yang dapat mencederai prinsip fair trial.
Meski pengadilan sebagai lembaga yudikatif tidak dapat melepaskan diri
dari hubungan antar lembaga (eksekutif dan yudikatif), namun hal tersebut

U
tidak boleh menjadi preseden bagi pengadilan untuk masuk dalam konflik
kepentingan yang mungkin saja ada.2
Sejatinya peradilan tata usaha negara adalah, sebagai persyaratan untuk
memenuhi negara hukum modern. Hukum pembuktiannya mengikuti

D
model-model yang sudah dikenal, dan disesuaikan dengan model berhukum
masyarakat Indonesia.

A. Hukum Publik dan Peradilan TUN


Objek dari Peradilan TUN adalah Keputusan Administrasi Negara, yang
merugikan antar lembaga, maupun masyarakat secara langsung. Karenanya

Ali Abdullah. Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-
1

Amandemen, (Jakarta: Prenada Media, 2015), hlm. 10.


2
M. Natsir Asnawi. Hukum Acara Perdata Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan
Umum dan Preradilan Agama, (Yogyakarta; UII Press, 2017) hlm. 5.

170 Dinamika Hukum Pembuktian


beberapa doktrin dalam hukum administrasi negara, memberikan petunjuk
atas doktrin maupun asas-asas hukum adminitrasi, yang menjadi perhatian para
pihak dalam perkara, maupun model Hakim TUN dalam memutuskan sengketa.
Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu sosial, yang mempelajari
hukum sebagai objek kajiannya. Hukum administrasi negara sebagai suatu
pengkhususan atau salah satu bagian dari hukum tata negara. Hukum

Y
administrasi negara mengatur hubungan hukum antara pemerintah/penguasa
dengan masyarakat atau anggota masyarakat yang dilayaninya. Semakin
modern suatu negara, semakin banyak campur tangan pemerintah, terhadap
kegiatan-kegiatan di bidang politik, di bidang ekonomi, sosial budaya, keluarga,
dan sebagainya. Agar supaya terjadi keharmonisan di dalam hubungan antara

M
pemerintah dengan masyarakat atau anggota masyarakat, maka perlu adanya
kontrol terhadap pemerintah/penguasa, dimana salah satu teori tersebut,
adalah kontrol yuridis, yang diserahkan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara. Kontrol yuridis dalam kehidupan organisasi, terutama negara, adalah
salah satu fungsi manajemen, yakni fungsi perencanaan, pengorganisasian,

M
pelaksanaan, dan fungsi pemantauan.3
Kontrol terhadap tindakan pejabat tata usaha negara, adalah suatu
mekanisme dari wujud negara hukum modern, karena untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan negara, yang berlebihan terhadap warga negara,

U
maka kontrol yuridis, dalam suatu Peradilan Tata Usaha Negara sangat
diperlukan, guna penguatan, perlindingan hak asasi manusia. Negara hukum
modern, mengharuskan adanya Peradilan Tata Usaha Negara, yang merupakan
suatu sarana, yang sangat penting, dan sekaligus, menjadi ciri yang menonjol
pada negara hukum. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, merupakan

D
suatu kehendak konstitusi, dalam rangka memberikan perlindungan hukum
terhadap rakyat secara maksimal. Indonesia yang sedang melaksanakan
kesejahteraan bagi seluruh warganya, dalam segala bidang. Kesejahteraan itu
dapat dicapai dengan melakukan aktivitas pembangunan, yang multikompleks
sifatnya, tidak dapat dipungkiri, bahwa aparatur pemerintah memainkan
peranan yang besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut,
adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan, seperti korupsi,
penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-

3
Lintong O. Siahan. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004 (UU No.
5/1986 jo.UU NO. 6 Tahun 2004), (Jakarta: Percetakan Negara, 2009) hlm. 18-21.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 171


wenang, pemborosan, dan sebagainya. Penyimpangan yang dilakukan oleh
aparat pemerintah itu, tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Maka diperlukan
sarana hukum, untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Perlindungan hukum itu ditampung dalam Peradilan Tata Usaha Negara.4
Pengaturan kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas dalam
konstitusi, dipengaruhi oleh gagasan mengenai, perlunya peningkatan kualitas

Y
pengawasan terhadap pemerintah, sejalan dengan semakin meningkatnya tugas
tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, yang dipengaruhi oleh paham
negara kesejahteraan (welfare state). Paham negara kesejahteraan, merupakan
sintetis dari paham individualisme yang menekankan pada kebebasan individu,
dan paham sosialisme, yang menekankan pada besarnya kekuasaan negara di

M
satu sisi, dan disisi lain, adanya pembatasan terhadap kebebasan individu.
Paham negara kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar
terhadap negara, dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar
kekuasaan tersebut, dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara menguasai benda-benda publik dan cabang-cabang produksi yang

M
penting bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak, namun
mengakui hak-hak individu.5
Perlindungan hukum masyarakat di bidang administrasi, disebabkan suatu
birokrasi pemerintahan yang tidak taat asas, dan tidak taat pada peraturan

U
perundang-undangan, karena itu, sangat penting mewujudkan birokrasi yang
rasional, menciptakan efisiensi dan efektivitas, serta produktivitas, sehingga
diharapkan tercapainya organisasi yang kaya, fungsi, ramping struktural, efisien
dan efektif. Tujuan pelayanan prima bagi masyarakat, dalam mewujudkan
pemerintahan yang bersih, birokrasi haruslah mengembangkan. Pertama,

D
etika yang syarat dengan nilai-nilai moral dan keagamaan dalam menjalankan
fungsinya, mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial (social equity). Kedua,
etika yang mengacu pada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara, yang
merujuk pada konstitusi. Ketiga, etika yang menyangkut nilai nilai kemanusiaan
yang bersifat universal, yang harus menjadi pegangan bagi para birokrat.6

4
Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1997), hlm. 11-18.
5
W. Riawan Tjandra. Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya;
2009), hlm. 1-2.
6
Akhmad Sumargono. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan Yang Bersih Telaah
Kritis Terhadap Perjalanan Birokrasi Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Kajian Strategi Politik dan
Pemerintahan PKSPP, 2009), hlm. 14-15.

172 Dinamika Hukum Pembuktian


Pengaturan kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas
ditentukan dalam konstitusi, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pasca amandemen, dalam Pasal 24 (2), menyatakan, bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

Y
dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal demikian dipengaruhi oleh gagasan
mengenai perlunya peningkatan kualitas, pengawasan terhadap pemerintah.
Sejalan dengan semakin meningkatnya, tugas-tugas yang harus dilaksanakan
oleh pemerintah, yang dipengaruhi oleh paham negara kesejahteraaan.
Paham ini merupakan sintetis dari paham individualisme yang menekankan

M
pada kebebasan individu, dan paham sosialisme, yang menekankan pada
besarnya kekuasaan negara di satu sisi, adanya pembatasan terhadap kebebasan
individu. Paham negara kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang
besar terhadap negara dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki
agar kekuasaan tersebut, dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

M
Negara menguasai benda-benda publik dan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara, serta yang menguasai hajat hidup orang banyak, namun
mengakui hak hak invidu, berkaitan dengan paham negara kesejahteraan.
Paham negara kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar

U
terhadap negara, dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar
kekuasaan tersebut dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.7
Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai perwujudan dari paham negara
modern, dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia, memberikan
keleluasaan, kelenturan dalam proses beracaranya, dengan basis pada kekuatan

D
pembuktian secara formal, sebagaimana yang ditentukan dalam hukum acara
perdata. Walaupun tidak selamanya sengketa administrasi itu, harus melalui
pengadilan. Malahan penyelesaian sengketa melalui pengadilan sedapat
mungkin dihindari, sebab begitu masuk ke dalam proses pengadilan, sengketa
tersebut akan terjebak kepada suatu penyelesaian yang sangat berkepanjangan,
dan memakan waktu yang sangat lama. Hal ini bertentangan dengan konsep
welfare state, yang mengutamakan kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat
dalam pelayanan. Hanya dalam hal-hal yang sangat terpaksa saja, dan tidak
ada jalan lain lagi, haruslah diselesaikan melalui pengadilan.8

7
W. Riawan Tjandra. Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 1-2.
8
Lintong O. Siahan. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amademen. Op.Cit., hlm. 30.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 173


Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai pranata khusus
berlangsung melalui perdebatan yang panjang dalam kurun waktu yang cukup
lama. Berbagai alasan dikemukakan, tetapi yang lebih konkret, adalah suatu
alasan atau kerinduan untuk memperoleh keadilan di bidang sengketa tata
usaha negara. Indonesia terlalu lama mengalami masa penjajahan di bawah
pemeritahan kolonial. Tidak ada suatu kontrol ketika itu. Adapun dalam

Y
perkembangan, berlangsungnya sengketa tata usaha negara, dapat diketahui
dalam undang-undang, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat,
pertengkaran, perbantahan yang menjadi pertikaian dan perselisihan, bahkan
hingga menjadi perkara di pengadilan. Sengketa di bidang hukum administrasi
negara, adalah sengketa yang lahir dari atau sebagai akibat pelaksanaan

M
hukum administrasi negara materiil oleh pemerintah, atau kompetensi
peradilan administrasi negara, menyangkut perkara-perkara administrasi
negara. Berbagai perkembangan dalam praktik. Hakim tata usaha negara,
para hakimnya berusaha untuk memperluas pengertian, dengan menafsirkan,
urusan pemerintahan, guna mengakomodir gugatan-gugatan yang masuk,

M
di mana ketentuan perundang-undangan belum mengaturnya secara jelas.9
Peradilan Tata Usaha Negara, pada dasarnya menegakkan hukum publik
adiministrasi, sebagaimana ditegakkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1946, bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan Peradilan

U
Tata Usaha Negara, adalah sengketa tata usaha negara, dan mensyaratkan
adanya tindakan hukum tata usaha, untuk adanya keputusan tata usaha
negara. Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara, tidak hanya melindungi hak
individu, tetapi juga hak masyarakat.10
Peradilan administrasi, telah menjadi persyaratan bagi negara hukum

D
modern, untuk memberikan kontrol terhadap masuknya kesewenang-
wenangan penguasa. Adapun beban pembuktiannya, pada para pihak yang
berperkara, dan hakim secara aktif mengikuti dan menggiring ke arah
kebenaran materiil, sebagaimana yang dikenal dalam peradilan pidana. Hal
ini dimaklumi karena Peradilan Administrasi bagian dari hukum publik,
sehingga hakim lebih aktif dalam persidangan, dan berbeda dengan peradilan
perdata, di mana hakim lebih bersifat pasif dan menunggu para pihak. Pada

Ibid., hlm. 45-47.


9

Philipus. M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Adiminstrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah


10

Mada University Press, 2005), hlm. 313-314.

174 Dinamika Hukum Pembuktian


proses peradilan TUN, hakim memberikan kesempatan untuk memperbaiki
permohonan gugatan, sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan.

B. Dinamika Pembuktian

Y
Hukum pembuktian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, Bab IV, bagian ketiga dari pasal 100 sampai dengan Pasal 107,
Pasal 100: (1) Alat bukti ialah: a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c.
keterangan saksi; d. pengakuan para pihak; e. pengetahuan hakim. (2) Keadaan
yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan;

M
Pasal 101: Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah: a. akta autentik,
yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut
peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum
yang tercantum di dalamnya; b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat

M
dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk
dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya; c. surat-surat lainnya yang bukan akta;
Pasal 102: (1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan

U
di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengalaman dan pengetahuannya. (2) Seseorang yang tidak boleh didengar
sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli;
Pasal 103: (1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau

D
karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa
orang ahli. (2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik
dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji
menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya;
Pasal 104: Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan
itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri;
Pasal 105: Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim;
Pasal 106: Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan
diyakini kebenarannya;

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 175


Pasal 107: Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim,
merupakan bagian hukum acara tata usaha negara.
Dalam hukum pembuktian tata usaha negara dapat digolongkan;
Pertama. ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum

Y
materiilnya atau dengan susunan, kompetensi dari bahan yang melakukan
peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya; Kedua.
ketentuan prosedur berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam
bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainnya. Tujuan pembuktian
menurut Peradilan Tata Usaha Negara, adalah menyusun putusan atas dasar

M
pembuktian.11
Penilaian pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara, adalah berarti
memberikan nilai atau memberikan harga atau mutu, apa yang dibuktikan
itu, adalah suatu peristiwa atau fakta, sehingga penilaian atas pembuktian
berarti memberikan penghargaan atas suatu kenyataan peristiwa atau fakta,

M
yang disengketakan dan telah diajukan pembuktian, dan harus dinilai,
diberikan harga, kadar atau mutu. Guna kelancaran proses pemeriksaan
perkara, maka penggugat, semestinya mempersiapkan alat-alat bukti, yang
dapat menerangkan perkara pembuktian menurut Peradilan Tata Usaha

U
Negara, yakni:
– Surat atau tulisan, sebagai alat bukti, meliputi, akta autentik, yang dibuat
oleh pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan,
berwenang membuat surat, dengan maksud, untuk dipergunakan sebagai

D
alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.Termasuk
juga akta di bawah tangan, yakni surat yang dibuat dan ditandatangani,
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, dengan maksud untuk dapat
dipergunakan, sebagai alat bukti tentang peristiwa, atau peristiwa hukum
yang tercantum di dalamnya. Selanjutnya surat surat lain yang bukan
akta, diserahkan pertimbangannya oleh hakim. Karena surat-surat itu,
sejak dibuatnya, bukan secara sengaja, untuk dijadikan sebagai alat bukti,
tetapi, guna menjaga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian
hari. Alat bukti surat dalam praktik, dapat juga berupa penolakan atau

11
Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Pembuktian dalam Sengketa Tata Usaha Negara,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 4-5.

176 Dinamika Hukum Pembuktian


pencabutan keputusan tata usaha negara, termasuk resi, kwitansi, yang
diterima oleh penggugat dari pegawai, instansi yang bersangkutan.12
– Sengketa tata usaha negara, selalu dikaitkan dengan adanya suatu
keputusan tata usaha negara, sehingga selalu yang dapat digugat di
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah surat atau tulisan, yang merupakan
salah satu bukti yang penting dalam pemeriksaan sengketa, sedangkan

Y
keterangan saksi, dianggap sebagai bukti, bilamana keterangan saksi
tersebut, berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh
saksi tersebut.13
– Surat sebagai akta autentik, terdiri dari tiga jenis, yakni akta autentik,
akta di bawah tangan dan surat surat lain yang bukan akta.14

M
– Keterangan ahli sebagaimana ditentukan dalam Pasal 102 UU No. 3
Tahun 1986, yakni, pendapat orang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang diketahuinya menurut pengalaman dan
pengetahuannya. Ahli memberikan jawaban atas pertanyaan terhadap
apa yang terjadi. Kedudukan ahli dipersidangan atas permintaan kedua

M
pihak, atau salah satu pihak, atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang
dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli, untuk memberikan
keterangan baik dengan surat maupun dengan tulisan.15
Keterangan ahli, adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah,

U
dalam persidangan, tentang hal yang diketahui, menurut pengalaman dan
pengetahuannya. Atas permintaan kedua pihak atau salah satu pihak, atau
karena jabatannya. Maka ketua majelis dapat menunjuk seseorang atau
beberapa orang ahli, termasuk keterangan ahli, adalah keterangan yang
diberikan oleh juru taksir.16

D
Di dalam Hukum Acara Peradilan PTUN, keterangan ahli sebagai salah satu
alat bukti mempunyai arti dan kedudukan yang cukup penting. Karenanya
tidak berlebihan apabila pembuat undang-undang menempatkannya pada
urutan kedua, setelah alat bukti surat atau tulisan. Hal ini berbeda dengan

12
Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 120-121.
13
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,(Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada,2002), hlm. 69.
14
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. (Yogyakarta: FH-UII
Press,2011), hlm. 321.
15
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 71.
16
Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 122.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 177


hukum acara perdata, yang tidak menjadikan keterangan ahli sebagai alat
bukti yang mutlak, sebab keterangan ahli baru didengar, apabila kebutuhan
untuk itu benar-benar sangat diperlukan seperti halnya pemeriksaan
setempat. Mereka yang dilarang bertindak sebagai ahli, adalah mereka yang
mempunyai hubungan karena keluarga, sedarah atau semenda, menurut
garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari satu

Y
pihak yang bersengketa; istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa
meskipun sudah bercerai, anak yang belum berusia 17 tahun dan orang
yang sakit ingatan. Saksi ahli yang memberikan keterangannya dalam
persidangan, dapat dilakukan dengan surat atau tulisan yang dikuatkan
dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan yang

M
sebaik-baiknya, untuk memperoleh keterangan saksi ahli itu dapat ditunjuk
seseorang atau beberapa orang ahli, tergantung permintaan kedua pihak
atau salah satu pihak atau hakim ketua sidang karena jabatannya. Manfaat
keterangan ahli, dapat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa, karena
akan mendapatkan keterangan secara objektif, lebih dari itu sangat berguna

M
bagi hakim dalam memutuskan sengketa yang diperiksanya.17
– Keterangan saksi menurut Pasal 104 UU No. 5 Tahun 1986, dianggap
sebagai alat bukti, apabila keterangan itu, berkenaan dengan hal yang
dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Kehadirannya dipengadilan
atas kehendak dan permintaan, salah satu pihak atau karena jabatannya.

U
Dengan kewajiban untuk mengucapkan sumpah atau janji, menurut agama
dan kepercayaannya, dengan dihadiri oleh pihak yang bersengketa.18
Permintaan menghadirkan seorang saksi di persidangan untuk didengar
kesaksiannya, dapat merupakan inisiatif para pihak, dan dapat pula merupakan

D
inisiatif hakim karena jabatannya. Dalam pemeriksaan dan penentuan saksi
peranan hakim sangat aktif, sehingga seorang saksi yang sengaja tidak datang
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun telah dipanggil
dengan patut, dan hakim cukup punya alasan, serta menduga bahwa saksi
tersebut sengaja tidak datang. Hakim ketua sidang dapat memberi perintah,
agar saksi dibawa oleh polisi dengan paksa ke persidangan. Karena menjadi
saksi merupakan kewajiban hukum setiap orang. Maknanya bilamana seorang
saksi menolak menunaikan kewajibannya, untuk itu saksi dapat dipaksa

17
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Op.Cit., hlm. 323-325.
18
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 72-73.

178 Dinamika Hukum Pembuktian


untuk melaksanakan kewajibannya, sehingga saksi berkenan untuk hadir
memeberi kesaksiannnya.19
– Keterangan saksi, dianggap sebagai alat bukti, apabila keterangan itu,
berkenaan dengan hal-hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi
sendiri. Dengan demikian, pendapat, dugaan, anggapan atau keterangan
yang diperoleh dari orang lain, menjadi tidak relevan dijadikan kesaksian

Y
saksi, yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah keluarga sedarah
atau semenda garis lurus atas dan bawah sampai derajat kedua dari salah
satu pihak yang berperkara. Istri atau suami, salah seorang pihak yang
bersengketa, meskipun sudah bercerai. Anak yang belum berusia tujuh
belas tahun. Orang yang sakit ingatan.20

M
Pengakuan para pihak, tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan
alasan kuat dan dapat diterima oleh hakim. Dalam proses perkara tata usaha
negara, suatu perkara harus diterima secara bulat atau utuh, hakim tidak
diperkenankan, hanya menerima sebagian dari pengakuan dan menolak
sebagian yang lain. Pengakuan adalah keterangan yang membenarkan

M
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan, dengan
maksud untuk segera menyelesaikan perkara. Dengan demikian, pengakuan
dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan di luar sidang,
baik tertulis maupun lisan, dan masih harus dibuktikan di persidangan,

U
karenanya bukanlah menjadi bukti yang sempurna, dan menjadi alat bukti
yang bebas. Pengakuan tidak diperkenankan dilakukan secara terpaksa atau di
bawah tekanan dari pihak-pihak tertentu, terutama pengakuan yang diberikan
oleh salah satu pihak di luar persidangan, baik secara lisan maupun tulisan.

D
Suatu pengakuan, akan diterima, sebagai suatu bukti yang sempurna,
bilamana diberikan di muka hakim dalam persidangan, sedangkan pengakuan
yang diberikan di luar sidang tidak dapat diterima, sebagai suatu bukti yang
mengikat, tetapi hanya sebagai alat bukti bebas, terserah kepada hakim, untuk
menerima atau menolaknya. Pengakuan yang diberikan dihadapan hakim tidak
dapat ditarik kembali, kecuali dapat dibuktikan adanya suatu kekhilafan.21
Dalam praktik Peradilan PTUN, peranan hakim bersifat aktif, maka penilaian
terhadap pengakuan yang disampaikan atau diucapkan di luar persidangan, dapat

19
S.F. Marbun. Peradilan AdministrasiNegara di Indonesia. Op.Cit., hlm. 326-327.
20
Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 122-123.
21
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 75.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 179


sepenuhnya diserahkan kepada hakim untuk menilainya, sebab lebih dari itu
hakim dapat juga menentukan alat-alat bukti lainnya yang diperlukan.22
Pengetahuan hakim, adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya. Pengetahuan hakim, yang dialami oleh hakim, selama
pemeriksaan perkara dalam sidang, maupun dalam sidang setempat, tentang
dugaan-dugaan, dalam pemeriksaan, guna dapat menilai, termasuk barang

Y
barang yang diajukan sebagai bukti, serta orang-orangnya. Pengetahuan
hakim, adalah pengetahuan yang objektif, dan tidak diperkenankan untuk
mengesampingkan alat-alat bukti yang lain.23
Pengetahuan hakim dan atau keyakinan ini, dalam hukum acara pidana
terdapat teori pembuktian berdasarkaan keyakinan hakim melulu dan/atau

M
teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis.24
Beban pembuktian dalam perkara tata usaha negara, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 107 UU Pengadilan Tata Usaha Negara, diperlukan
sekurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Karenanya hakim

M
tata usaha negara dapat menerima sendiri, tentang apa yang harus dibuktikan,
siapa yang harus dibebani pembuktian, hak apa saja yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara, dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim. Alat
bukti mana saja, yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian, serta
kekuatan pembuktian dari bukti yang diajukan. Karenanya berdasarkan pada

U
Pasal 107 UU Peradilan Tata Usaha Negara, hukum acaranya, menganut ajaran
pembuktian bebas. Namun terdapat batas-batas tertentu terhadap kebebasan
dalam hukum acaranya. Misalnya syarat-sayarat sekurang-kurang dua alat
bukti secara limitatif. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang

D
dipersoalkan adalah sah tidaknya sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Persoalan rechtmatigheid menyangkut alat ukur, sehingga yang diperlukan
adalah alat ukur yang diperlukan oleh hakim, untuk menyatakan suatu
keputusan tata usaha negara sah atau tidak sah, keabsahannya itu, diukur
dengan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis, berupa asas-asas
umum pemerintahan yang baik, sehingga aspek yang diukur adalah wewenang,
prosedur serta subtansi.25

22
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Op.Cit., hlm. 330-331.
23
Zairin Harahap. Hukum Cara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 128-129.
24
S.F. Marbun. Op.Cit., hlm. 331.
25
Philipus M Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Op.Cit., hlm. 330.

180 Dinamika Hukum Pembuktian


C. Asas-Asas Terkait dalam Pembuktian
Asas berarti landasan, dasar, fundamen, prinsip, jiwa serta cita-cita,
sehingga asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum
dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat
juga disebut sebagai pengertian-pengertianan nilai nilai yang menjadi titik

Y
tolak berpikir tentang sesuatu.26
Asas hukum sebagai jantungnya peraturan hukum. Asas hukum merupakan
landasan yang paling luas, bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan
hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan pada asas-asas. Asas hukum
merupakan pikiran-pikiran yang terdapat di dalam dan di belakang sistem

M
hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan aturan perundang-undangan,
dan putusan putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan
keputusan keputusan individual dipandang sebagai penjabarnnya. Asas-asas
hukum yang terdapat dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:27
1. Asas Praduga Rechmatig. Asas ini, berdasarkan atas tindakan pemerintah

M
selalu dianggap rechmatig sampai terdapat pembatalan.Asas gugatan pada
dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara,
yang diperesengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari
penggugat.

U
2. Asas Para Pihak Harus Didengar. Para pihak mempunyai kedudukan yang
sama, dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim tidak
dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan
salah satu pihak saja.
3. Asas Kesatuan Beracara Dalam Perkara Sejenis. Dalam pemeriksaan

D
di peradilan judex fakti, maupun Kasasi di Mahkamah Agung sebagai
puncaknya. Atas dasar kesatuan hukum bedasarkan wawasan nusantara,
maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi tidak
relevan.
4. Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka. Maksudnya
segala tindakan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang
lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bermaksud untuk
memengaruhi keobjektifan putusan pengadilan.

26
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di INdonesia. Op.Cit., hlm. 202.
27
Philipus M Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Op.Cit., hlm. 25-29.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 181


5. Asas Perdilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sederhana adalah
hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Dengan
hukum acara yang mudah dipahami, maka peradilan akan berjalan dalam
waktu yang relatif cepat, dan biaya semakin menjadi ringan.
6. Asas Hakim Aktif. Sebelum dilakkan pemeriksaan terhadap pokok perkara
sengketa, hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan,

Y
apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan, dikenal juga sebagai
masa persiapan, bahkan hakim dapat memerintahkan kepada suatu adan
pejabat negara sebagai pihak tergugat itu, untuk memberikan informasi
atau data yang diperlukan.

M
7. Asas Sidang Terbuka untuk Umum. Asas ini, membawa konsekuensi,
bahwa semua putusan pengadilan hanya sah, dan mempunyai kekuatan
hukum, apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
8. Asas Peradilan Berjenjang. Peradilan berjenjang dimaksudkan Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya

M
adalah Mahkamah Agung. Dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam
putusan pengadilan lebih rendah, dapat dikoreksi oleh pengadilan yang
lebih tinggi.
9. Asas Pengadilan sebagai Upaya Terakhir untuk Mendapatkan Keadilan.

U
Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium. Sengketa
tata usaha negara, sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan
penyelesaiannya dengan musyawarah, untuk mencapai mufakat hukum
secara konfrontatif.

D
10. Asas Objektivitas. Guna pencapaian keputusan yang adil, maka hakim atau
panitera, wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga,
semenda sampai derajat ketiga.

Dalam pekembangannya asas hukum acara peradilan Administrasi,


meliputi;28
1. Asas Negara Hukum. Asas ini, mempunyai korelasi erat dengan peradilan
administrasi negara, karena salah satu unsur negara hukum Indonesia,
adalah peradilan administrasi, sehigga secara yuridis, empiris, jaminan

28
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 331.

182 Dinamika Hukum Pembuktian


eksistensi peradilan administrasi itu menemukan landasannya, serta
perwujudan dari cita-cita negara hukum Indonesia.
2. Asas Demokrasi. Demokrasi yang selalu dikaitkan dengan konstitusional,
yakni dengan gagasan terwujudnya cita-cita pemerintahan yang terbatas
kekuasaannya, terdapat larangan pemerintah bertindak sewenang-
wenang, terjaminnya hak asasi manusia, dan dihindarinya terpusatnya

Y
kekuasaan pada satu tangan, yang dapat menimbulkan penyalahgunaan
kekuasaan.
3. Asas Kekeluargaan. Adanya hubungan kekeluargaan dengan kesatuan
sosial yang didasari oleh rasa cinta kasih, sayang, rasa seia sekata dan
simpati. Solidaritas melahirkan sikap saling asah, asih dan asuh serta

M
kewajiban dan tanggung jawab timbal balik, akhirnya melahirkan
masyarakat gotong-royong.
4. Asas serasi seimbang selaras. Asas ini merupakan suatu rangkaian dari
jiwa Pancasila, dengan formulasinya ke dalam cita-cita negara hukum,
yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa

M
yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib, menjamin kedudukan warga
negara dalam hukum.
5. Asas Persamaan di hadapan Hukum. Melahirkan suatu ketentuan, setiap
tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dapat dituntut

U
pertanggungjawabannya dihadapan pengadilan, tidak terkecuali tindakan
yang menimbulkan kerugian itu dilakukan oleh Pemerintah.
6. Asas Peradilan Netral. Dimaksud dengan peradilan netral adalah peradilan
administrasi negara yang bebas dan merdeka, karena peradilan ini adalah

D
salah satu peradilan yang penting dikaitkan dengan unsur negara hukum.
7. Asas Sedehana, Cepat, Adil Mudah dan Murah. Bahwa prosedur beracara
dirumuskan dengabn sederhana dan murah, dan mengurangi hal-hal
formalitas yang tidak perlu, dengan tetap memperhatikan kepastian
hukum dan nilai nilai keadilan.
8. Asas Kesatuan Beracara. Adanya keberagaman beracara bagi peradilan
administrasi di seluruh Indonesia.
9. Asas Keterbukaan Persidangan. Maksudnya agar setiap proses acara
persidangan dapat terjaga dari aspek kejujuran, keterbukaan, sehingga
peradilan berjalan dengan objektif.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 183


10. Asas Musyawarah dan Perdamaian. Prinsip musyawarah harus ditegakkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang harus dilandasi oleh jiwa
persaudaraan sesuai dengan prinsip negara hukum, dengan memberikan
kemungkinan adanya perdamaian para pihak.
11. Asas Hakim Aktif. Dalam merapkan beban pembuktian, maka hakim
secara aktif, guna menemukan kebenaran materiil terhadap sengketa yang

Y
diperiksanya.
12. Asas Pembuktian Bebas. Hakim diberi peluang untuk melaksanakan
pembuktian bebas, sebagai suatu konsekuensi logis dari pemberian peran
aktif hakim adminstrasi.
13. Asas Audi Et Altream Partem. Asas ini adalah implementasi dari asas

M
persamaan, di mana hakim tidak boleh membedakan antara penggugat
dengan tergugat dan hakim harus bersifat adil, terhadap kedua pihak.
14. Asas Het Vermoden Van Rechtmatigheid atau Asas Presumtio Justea Causa. Bahwa
demi kepastian hukum, setiap keputusan administrasi tata usaha negara,
yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat

M
dilaksanakan terlebih dahulu, selama belum dibuktikan sebaliknya dan
dinyatakan oleh Hakim Administrasi sebagai keputusan yang bersifat
melawan hukum.
15. Asas Rechmatigheid dan Larangan Doelmatigheid. Segi pemeriksaan

U
adminstrasi dilakukan oleh peradilan administrasi murni, hanya terbatas
dari segi Rchmatig dari keputusan tata usaha negara yang disengketakan,
karenanya yang dilakukan pengujiannya dari segi yuridis saja.
16. Asas Pengujian Ex-tunc. Pengujian yang dimaksudkan adalah hanya

D
terbatas pada fakta-fakta atau keadaan hukum, pada saat putusan
tata usaha negara disengketakan akan dinyatakan batal dan berakibat
tidak sah, sehingga pernyataan batal berlaku surut, terhitung dari saat
dikeluarkannya.
17. Asas Konvensasi atau Asas Ongelijkheids Compentatie. Asas ini berkaitan
dengan rehabilatrsi, yakni pemulihan hak-hak penggugat dalam kemampuan
dan kedudukan harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri sipil semula,
sebelum adanya sengketa. Karenanya penggugat dapat diangkat dalam
jabatan lainnya, sekiranya jabatan itu telah diisi oleh orang lain.
18. Asas Hak Uji Materiil. Yakni pengujian dapat dilakukan oleh badan
peradilan terhadap suatu peraturan perundang-undangan di bawah

184 Dinamika Hukum Pembuktian


undang-undang yang dikeluarkan oleh badan/pejabat administrasi negara.
Pengujian meliputi segi formal dan materiil.
19. Asas Ultra Petita. Hal ini adalah suatu konsekuensi dari hakim aktif,
karena hakim dapat melakukan penyempurnaan terhadap objek sengketa,
dengan cara melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak.
Penggunaan ultra petita ini, diupayakan semaksimalnya, dan terbatas

Y
pada memperbaiki fakta-fakta yang tidak didalilkan oleh penggugat dan
menambahkan dengan yang tidak diminta oleh penggugat.
20. Asas Putuan Bersifat Erga Omnes. Sengketa TUN, adalah sengketa hukum
publik, maka putusan peradilannya akan menimbulkan konsekuensi
mengikat umum, dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung

M
persamaan yang mungkin timbul pada masa akan datang.

Adapun ciri dari hukum acara peradilan tata usaha negara, terletak pada
asas asas hukum yang melandasinya, yaitu:29
Pertama. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid/praesumptio

M
iustae causa. Asas ini mengandung makna, bahwa setiap tindakan penguasa
selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini
gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha Negara yang digugat
(Pasal 67 (1) UU No. 5 Tahun 1986).

29

U
Philipus. M.Hadjon, vdkk. Pengantar Hukum Adiminstrasi Indonesia. Op.Cit., hlm.
313. Pasal 67 (1) UU No. 5 Tahun 1986. Gugatan tidak menunda atau menghalangi

D
dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Pasal 58 Apabila dipandang perlu Hakim
berwenang memerintahkan kedua pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri
ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa. Pasal 63 (1) Sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan
untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. (2) Dalam pemeriksaan persiapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim, wajib memberi nasihat kepada penggugat
untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya, dengan data yang diperlukan dalam
jangka waktu tiga puluh hari. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan. Pasal 80. Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim
ketua sidang berhak di dalam memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa
mengenai upaya hukum dan alat bukti, yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Pasal 85.(1) untuk kepentingan pemeriksaan, dan apabila hakim ketua sidang memandang
perlu, dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat, yang dipegang oleh Pejabat Tata
Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan
keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 185


Kedua. Asas Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban
pembuktian. Hal ini berbeda dengan dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas
ini dianut dalam Pasal 107, hanya saja, masih dibatasi ketentuan Pasal 100.
Ketiga. Asas Keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan
untuk mengimbangi kedudukan para pihak, karena tergugat adalah pejabat tata
usaha negara, sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata.

Y
Penerapan asas ini, terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 (1),(2), 80, 85.
Keempat. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga
omnes, sengketa TUN, adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian
putusan pengadilan TUN,berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak
yang bersengketa

M
Dalam praktik, tidak semua hal, kputusan tata usaha negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu,
maka sengketa tata usaha negara tersebut, harus diselesaikan melalui upaya

M
administratif yang tersedia. Pengadilan baru berwenang, memutuskan dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara, sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat 1, jika seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan.
Dengan demikian terdapat dua jalur penyelesaian, yakni dalam hal tidak
terdapat upaya administrasi, maka jalur Pengadilan Tata Usaha Tingkat

U
pertama yang ditempuh, sedangkan melalui jalur administrasi, maka jalur yang
tersedia adalah gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 53 (1),30 yang dapat bertindak sebagai penggugat,
adalah orang atau badan hukum perdata, yang berkepentingan dirugikan oleh

D
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dengan kerugian/kepentingan. Petitum
pokoknya adalah agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dinyatakan
tidak sah atau batal, Petitum tambahan adalah ganti rugi dan rehabilitasi.31

30
Pasal 53 (1): “Seseorang atau badan hukum perdata, yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara, dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada pengadilan yang berweang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara
yang disengketakan itu, dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan atau rehabilitasi.”
31
Philipus. M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Adiminstrasi Indonesia. Op.Cit., hlm. 325.

186 Dinamika Hukum Pembuktian


D. Karakter Aneka Putusan Hakim
Unsur-unsur objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara,
berdasarkan pasal 1(3) UU No. 5 Tahun 1986, terdiri dari, penetapan
tertulis, oleh badan atau pejabat tata usaha negara; tindakan hukum tata
usaha negara; Konkret individual dan final; akibat hukum bagi seseorang

Y
atau badan hukum perdata.32
Unsur Penetapan Tertulis.33 Istilah penetapan tertulis, terutama ditujukan
kepada isi dan bukan kepada bentuk formasi, yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk
kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat

M
memenuhi syarat tertulis, dan akan merupakan suatu keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini.
Unsur Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pengertian Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, terkesan adalah orang yang menduduki jabatan,
padahal yang menduduki jabatan, bukanlah orang tetapi jabatannya. Setiap

M
badan atau pejabat tata usaha negara, meliputi setiap badan, organisasi atau
perorangan yang mendapat limpahan wewenang, untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.
Unsur Tindakan Hukum Tata Usaha Negara. Unsur ini membedakan

U
perbuatan-perbuatan pemerintah, yang merupakan tindakan hukum dan
perbuatan pemerintah yasng merupakan tindakan faktual. Hanya perbuatan-
perbuatan pemerintah yang merupakan tindakan hukum yang menjadi
wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, selebihnya adalah gugatan ganti
kerugian.

D
Unsur Konkret, Individual dan Final. Unsur konkret, hanya sekadar
membedakan antara perbuatan pemerintah, yang konkret dengan yang abstrak.
Sedangkan individual maksudnya bahwa perbuatan pemerintah tersebut
ditujukan kepada individu tertentu atau seseorang atau badan hukum perdata
tertentu. Dalam praktik unsur individual mengalami perkembangan.

Lintong O. Siahaan. Teori Hukum dan Wajah PTNU Setelah Amandemen. Op.Cit., hlm. 68.
32

Pasal 1 (3): “Keputuan Tata Usaha Negara, adalah suatu penetapan tertulis yang
33

dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, yang berisi tindakan hukum tata
usaha negara, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.”

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 187


Unsur final, berarti keputusan pemerintah tersebut sudah dapat langsung
menimbulkan akibat hukum apabila dilaksanakan. Tidak memerlukan
persetujuan lagi, dari atasan maupun instansi sejajar.
Unsur Akibat Hukum. Artinya keputusan pemerintah tersebut, apabila
dilaksanakan langsung, menimbulkan akibat hukum, bagi seseorang atau
badan hukum perdata. Akibat hukum berupa kerugian yang timbul, yang

Y
diderita oleh orang yang terkena keputusan.
Peraturan perundang-undangan, dan keputusan-keputusan tata usaha
negara yang memuat pengaturan bersifat umum. Sebagaimana ditentukan
dalam penjelasan pasal 1 angka 1, 2. Pasal 2 huruf b.34

M
Peraturan peraturan Kebijaksanaan. Para pejabat pelaksana pemerintahan
sehari-hari, menunjukan betapa badan atau pejabat tata usaha negara,
acpkalai menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain
menciptakan, apa yang yang disebut sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel,
policy rule). Produknya tidak terlepas dari peraturan kebijakan, yang berkaitan

M
dengan freis emerssen, yaitu berdasarkan atau pejabat tata usaha negara, yang
bersangkutan merumuskan kebijakan, dalam berbagai bentuk jurische regela,
Suatu kebijaksanaan pada hakikatnya, merupakan produk dari peraturan tata
usaha negara, yang bertujuan, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan
peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara, yang menciptakan

U
peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan kebijaksanaan dimaksud, pada
kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan. Saat
ini peraturan kebijaksanaan telah menjadi hal yang penting, dalam hukum
administrasi Belanda, atau disebut juga sebagai perundang-undangan semu

D
(pseudo-wetgeving). Peraturan kebijaksanaan ini tidak mengikat hukum secara
langsung, namun mempunyai relevansi hukum, karena telah memberi
ruang, bagaimana suatu badan tata usaha negara, menjalankan kewenangan
pemerintahan (beschikingbevoegdheid).

34
Pasal 1 angka 1: “Yang dimaksudkan dengan urusan pemerintahan, ialah kegiatan
yang bersifat eksekutif. Angka 2, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan
dalam undang-undang ini, ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum,
yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat,
maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara,baik
ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum. Pasal
2 huruf b, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum, ialah pengaturan yang
memuat norma norma hukum yang dituangkan, dalam bentuk peraturan yang kekuatan
berlakunya mengikat tiap orang.”

188 Dinamika Hukum Pembuktian


Bentuk Gugatan dan Kepentingan.35 Gugatan adalah, adalah suatu
permohonan berisi tunutan terhadap badan/pejabat TUN yang diajukan ke
pengadilan administrasi untuk mendapatkan putusan, suatu gugatan dibuat
dalam bentuk tertulis.
Dasar atau Alasan Gugatan.36 Dasar atau alasan diajukannya gugatan
terhadap suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN, karena

Y
keputusan yang dikeluarkan tersebut oleh penggugat dianggap;
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
bersifat prosedural/formal dan bersifat materiil/substansial. Maupun karena
dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN yang tidak berwenang (onbevoegheid),
yang berkaitan dengan ratione materiae atau ratione loci atau ratione temporis;

M
Bersifat prosedural berarti berkaitan dengan hukum acara dilingkungan
pemerintah (non kontentiosa) atau prosedur dikeluarkannya keputusan
(beschikking) yang disengketakan. Bersifat formal berkaitan dengan atribusi
atau dasar hukum dikeluarkannya keputusan yang disengketakan.

M
Dikeluarkan atas dasar penyalahgunaan wewenang (de tournement de pouvoir);
Dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang (a bus de droit/ wilikeur).
Dalam hukum acara PTUN, peranan hakim bersifat aktif (nielijkeheid van de
rechter). Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata, di mana hakim bersifat

U
pasif (lijdelijk). Timbulnya hakim aktif dalam PTUN dilandasi pertimbangan
yakni; karena keputusan tata usaha negara yang disengketakan merupakan
bagian dari hukum positif, yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde)
yang berlaku dan sengketa berada dalam wilayah hukum publik. Karena itu
hakim dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil.

D
Kecuali peran aktif hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan
yang tidak seimbang antara penggugat dengan tergugat, di mana kedudukan
tergugat jauh lebih kuat, daripada kedudukan penggugat, baik berupa pasilitas
dan keuangan serta kemampuan pengetahuan. Hakim tidak lagi tergantung
sepenuhnnya kepada dalil dan bukti yang diajukan para pihak kepadanya.37
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum, setelah seluruh rangkaian proses pemeriksaan sengketa.

35
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 247.
36
Ibid., hlm. 253-254.
37
S.F.Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 333-334.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 189


Maka hakim terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada para pihak
untuk menyampaikan kesimpulan masing-masing. Selanjutnya hakim akan
bermusyawarah, dalam ruang tertutup guna mempertimbangkan putusan.
Permufakatan dilakukan dengan sungguh sungguh, dengan mufakat bulat,
atau dengan suara terbanyak, dan diupayakan untuk mufakat, bilamana tidak
tercapai nufakat, maka hakim ketua sidang akan menentukan.38

Y
Selanjutnya berdasarkan Pasal 109 UU No. 5 Tahun 1986,39 Bahwa putusan
pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat; Kepala putusan yang berbunyi
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nama jabatan,
Kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang
bersangkutan. Ringkaan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas. Pertimbangan

M
dan penilaian setiap bukti yang diajukan, dan hal yang terjadi dalam persidangan
selama sengketa itu diperiksa. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Amar putusan yang tentang sengketa dan biaya perkara. Hari tanggal putusan,
serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. Semua putusan
yang tidak memuat hal-hal tersebut, akan mengakibatkan batalnya putusan

M
tersebut. Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa;40 Gugatan
dinyatakan gugur, apabila penggugat tidak hadir. Gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima. Gugatan dinyatakan ditolak. Gugatan dinyatakan dikabulkan.
Dalam hal gugatan dinyatakan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut,

U
dapat diterapkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, yang disengketakan itu, yakni berupa kewenagan;
Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan atau Pencabutan
keputusan tata usaha negara yang bersangkutan dan menerbitkan Putusan
Tata Usaha Negara yang baru, atau Penerbitan keputusan tata usaha negara,

D
dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. Tahun 1986.41

38
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 79-80.
39
Pasal 109: “(1)Putusan pengadilan harus memuat Kepala putusan, nama jabatan,
pertimbangan hukum, alasan hukum, amar putusan, hari, tanggal, nama hakim, panitera.(2)
Tidak dipenuhi salah satunya mengakibatkan putusan batal demi hukum.(3) selambatnya
tiga puluh hari, setelah diucapkan putusan hari ditandatangani. (4) Dalam hal hakim ketua
majelis berhalangan, maka putusan ditandatangani oleh ketua pengadilan. (5) Dalam hal
anggota berhalangan, maka hakim ketua yang menandatangainya, dengan menyatakan
hakim anggota berhalangan hadir.”
40
Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 80.
41
Pasal 3: “(1) Apabila badan atau pejabat tata usaha negara, tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal itu disamakan dengan
keputusan tata usaha negara. (2) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak

190 Dinamika Hukum Pembuktian


Setiap orang yang bersengketa di pengadilan mengharapkan adanya suatu
putusan, dan putusan itu merupakan tujuan akhir dari setiap orang yang
bersengketa. Putusan akhir ini dikenal sebagai suatu putusan yang sifatnya
mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat tertentu. Siatnya dapat bersifat
menghukum (condemnatoir), putusan yang bersifat menciptakan (constitutif) dan
putusan yang bersifat menerangkan (declaratoir). Sedangkan putusan sela atau

Y
schorsing adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim, sebelum mengeluarkan
putusan akhir, dengan maksud mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya
dalam rangka memberikan putusan akhir. Putusan ini dibedakan menjadi putusan
praeparatoir. Yakni putusan yang menggabungkan dua perkara menjadi satu atau
putusan untuk menetapkan tenggang waktu, di mana para pihak harus bertindak.

M
Putusan interlucutoir adalah putusan berisi perintah kepada salah satu pihak untuk
membuktikan sesuatu hal. Adapun putusan peradilan berisi tentang:
Pertama, Gugatan Gugur. Putusan Hakim PTUN dapat berisi menyatakan
suatu gugatan gugur karena penggugat atau kuasa hukumnya tidak hadir di
persidangan pada hari, tanggal, dan jam yang telah ditentukan, baik pada

M
hari sidang pertama dan kedua secara berturut-turut tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, sedangkan penggugat setiap kali telah dipanggil
dengan patut. Terhadap gugatan yang dinyatakan gugur tersebut, penggugat
atau kuasa hukumnya masih diberikan kesempatan untuk memasukkan

U
gugatannya sekali lagi dengan membayar uang muka biaya perkara dan
diberikan nomor register perkara baru.42 Kecuali itu perkara dapat pula
dinyatakan gugur karena uang muka biaya perkara habis, sedangkan penggugat
tidak menambahnya. Umumnya setelah pengadilan memperingatkan
agar penggugat menambah uang muka biaya perkara dan penggugat tetap

D
mengabaikannya, sidang pemeriksaan gugatan akan berhenti. Dalam batas
waktu tertentu jika penggugat tidak juga memenuhi kewajibannya membayar
tambahan uang muka biaya perkara, hakim dapat dan akan menggugurkan
perkara, kecuali apabila pihak tergugat bersedia membayar kekurangan

mengeluarkan putusan yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan


dalam peraturan perundang-undangan, dimaksud telah lewat, Maka badan atau pejabat
tata usaha negara dianggap tidak menolak mengeluarkan keputusan dimaksud. (3) Dalam
hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan
sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
42
Pasal 71 UU Nomor 5 tahun 1986.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 191


tambahan uang muka biaya perkara. Kemungkinan penggugat tidak
bersedia membayar tambahan biaya perkara, karena penggugat menemukan
kesalahan yang cukup esensial dalam gugatannya, sehingga apabila gugatan
diteruskan penggugat memperkirakan bahwa putusan terhadap gugatannya
akan dinyatakan gugur atau tidak diterima atau bahkan ditolak, sedangkan
untuk memperbaikinya sudah tidak dimungkinkan menurut hukum acara

Y
administrasi. Sebaliknya apabila tergugat mengetahui kelemahan gugatan
tersebut, ada kemungkinan tambahan uang muka biaya perkara akan dibayar
oleh tergugat, dengan harapan pemeriksaan perkara diteruskan dan Hakim
akan memutuskan serta menyatakan gugatan ditolak.
Kedua, Gugatan Tidak Diterima (niet onvankelijk). Suatu gugatan dinyatakan

M
tidak dapat diterima dapat terjadi karena: keputusan yang digugat tidak termasuk
pengertian keputusan menurut hukum positif.43 Atau karena keputusan
dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, keadaan
luar ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku,44 atau karena syarat-
syarat gugatan tidak dipenuhi,45 atau karena gugatan tidak berdasar.46

M
Ketiga, Gugatan di tolak.(BersepwordtVerwapen/Ofoongonground). Suatu
gugatan dinyatakan ditolak berarti keputusan badan/pejabat TUN dikuatkan
atau dibenarkan, sehingga gugatan tidak dapat diajukan kembali.
Keempat, dikabulkan (Geground/of teoegewezen).47 Menurut Surat Edaran

U
Ketua Mahkamah Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara Nomor MA/Kumdi/ 213/VII/K/1991,48 suatu
gugatan dikabulkan dapat berarti Hakim PTUN menetapkan:
Mengabulkan gugatan penggugat; menyatakan batal keputusan TUN yang

D
disengketakan atau yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara
(hendaknya disebutkan tanggal, nomor. perihal) atau menyatakan tidak sah
keputusan TUN yang disengketakan atau yang dikeluarkan badan/pejabat
TUN (tanggal nomor. dan perihal).

43
Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986.
44
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986.
45
Pasal 56 jo Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986.
46
Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986.
47
S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 356-358.
48
Lihat Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Nomor MA/ Kumdi/ 213/ VII/ K/ 1991 tanggal 9 Juli
1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1986.

192 Dinamika Hukum Pembuktian


Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat dilaksanakan, adalah
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu suatu putusan
yang tak dapat diubah lagi, melalui suatu upaya hukum, sebagaimana
ditentukan menurut Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986.49
Adapun proses pelaksanaan Peradilan TUN oleh pejabat tata usaha
negara di beberapa daerah, dipengaruhi oleh kesadaran kolektif dan interaksi

Y
di antara faktor-faktor, yang terkait dengan penyelengaraan pemerintahan
dalam arti luas meliputi; DPRD, Pemerintah daerah, Ombudsmen, masyarakat
dan pers/media massa, guna mendorong tumbuhnya self respect dari pejabat
tata usaha negara di beberapa daerah, untuk senantiasa mematuhi peradilan
TUN. Kendala itu meliputi pemahaman pejabat administrasi di daerah dalam

M
memahami teori negara hukum. Kendala peraturan perundang-undangan,
kendala pelaksanaan, sehingga langkah yang diperlukan, yakni peningkatan
kesadaran dari pemerintah, peningkatan kapasitas kemampuan Peradilan TUN,
pengawasan dari DPR atau DPRD, menjaga upaya keseimbangan kekuasaan
dalam rangka pembagian kekuasaan negara dalam sistem negara hukum

M
demokratis, agar dapat memberikan ruang yang memadai bagi Peradilan
TUN, untuk melakukan fungsi pengawasan (yudicial control) guna mencegah
terjadinya perbuatan pemerintah yang melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang

U
baik. Diperlukan peran Ombudsman.50

E. Pembuktian Pada Peradilan Pajak


Pajak adalah bagian dari pemasukan keuangan negara, yang bermanfaat

D
untuk kelanjutan pembangunan fisik negara. Karena iu, terdapat suatu
kekhususan, terhadap peradilan pajak, yang dipusatkan pada kurang atau lebih
bayar kewajiban perpajakan perorangan maupun badan hukum.
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara (Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah). Pajak merupakan dan/atau kutipan secara resmi
oleh pemerintah terhadap rakyatnya yang dilindungi oleh undang-undang dan
dibuat oleh pemerintah sendiri. Pajak dapat dikelompokan menjadi 2 bagian

49
Pasal 115: “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap yang dapat dilaksanakan.”
50
W. Riawan Tjandra. Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 429-432.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 193


besar, yaitu: (1) Pajak tahun berjalan yang bersumber dari dalam dan luar
negeri; dan, (2) Pajak yang berasal dari tuntutan pemerintah kepada wajib
pajak yang berada di Peradilan Pajak.51
Kata pajak sering diidentikkan dengan kosa kata fiskal, begitu juga pegawai
pemerintah di bidang pajak disebut juga dengan fiskus. Oleh karena itu, dalam
konteks hukum, apabila hukum pajak disebut juga hukum fiskal, maka tidak

Y
perlu diperdebatkan karena sudah menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan teknis
perpajakan di Indonesia. Kedudukan hukum pajak dalam hukum adalah sebagai
Hukum Publik, yang terdiri atas: (a) Hukum Tata Negara; (b) Hukum Administrasi
(Hukum Tata Usaha Negara); (c) Hukum Pajak; dan Hukum pidana.
Dalam praktik perpajakan, sering kali terjadi timbul persoalan hukum

M
antara wajib pajak (WP) atau penanggung pajak (PP) dengan pejabat
perpajakan, yang lazim disebut sengketa pajak. 52 Sengketa yang timbul
akibat suatu keputusan yang dikeluarkan Dirjen Pajak sesuai kewenangan
yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

M
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Ketentuan (KUP), maka
terhadap keputusan tersebut Wajib Pajak merasa yang tidak puas, selanjutnya
mengajukan upaya hukum sesuai dengan UU KUP. Penyelesaian sengketa
Pajak tersebut hanya bermuara pada banding dan gugatan di Pengadilan Pajak

U
bukan di Peradilan Umum (pengadilan) dan terakhir di peninjauan kembali
atas sebagian putusan pengadilan pajak di Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
merupakan suatu perangkat dan sarana hukum yang disediakan untuk

D
menyelesaikan sengketa perpajakan antara pembayar pajak dengan aparat
pajak. Ditinjau dari struktur dan muatan pada undang-undang tersebut terasa
adanya ketidakseimbangan posisi antara para wajib pajak pencari keadilan
dengan petugas pajak dalam hal terjadinya sengketa perpajakan. Ada 3 (tiga)
hal yang menyebabkan ketidakseimbangan posisi tersebut, yakni; Pertama,

Rositua Pandiangan, Hukum Pajak. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 5.


51

Di dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan


52

Pajak ditentukan: “Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”.

194 Dinamika Hukum Pembuktian


dari segi bentuk formal pengadilan pajak yang berada di bawah kewenangan
administratif eksekutif. Kedua, dari segi substansi di mana pengadilan pajak
tidak mengenal upaya banding untuk memberi kesempatan bagi para pencari
keadilan untuk menemukan kebenaran hakiki. Ketiga, adanya kewajiban bagi
para pencari keadilan untuk terlebih dahulu menyetor sejumlah 50% dari nilai
uang yang dipersengketakan.

Y
Persyaratan berupa kewajiban melunasi 50% dari jumlah pajak yang
terutang seperti yang disebutkan di atas, menjadi tidak berlaku lagi dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
UU KUP yang mulai berlaku 1 januari 2008.53
Hukum yang adil adalah hukum yang memberi ruang kepada para pencari

M
keadilan untuk didengar dan dipertimbangkan keberatan-keberatannya
manakala hak-haknya dilanggar orang lain atau kepadanya dibebankan suatu
kewajiban melebihi yang sepatutnya diembannya. Hukum yang adil adalah
hukum yang memihak secara seimbang kepada keadilan dan yang dari semula
dikonstruksikan memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk

M
mempertahakan hak-haknya.54
Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir
dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.55 Pengadilan Pajak mempunyai
tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak, yang terdiri

U
atas banding56 dan gugatan.57 selain tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak juga mengawasi kuasa hukum
yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa

D
53
Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait Dengan Pemeriksaan, Penyidikan, dan
Penagihan Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 213
54
Adrian Sutedi, Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 222
55
Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002: “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari
keadilan terhadap Sengketa Pajak”. Selanjutnya dalam Pasal 3: “Dengan Undang-undang
ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di Ibukota negara”.
56
Pasal 31 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002: “Pengadilan Pajak dalam hal Banding
hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
57
Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002: “Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan
memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan
pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 195


dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak, dan untuk selanjutnya diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Ketua.
Berdasarkan Pasal 23 UU KUP, Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak dapat dilakukan terhadap:
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau

Y
Pengumuman Lelang;
2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau,
4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang

M
dalam penerbitanya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.58

Dalam acara Peradilan Pajak, dikenal dua cara pemeriksaan yang terdiri
dari Pemeriksaan dengan Acara Biasa dan Pemeriksaan dengan Acara Cepat.59
Secara prinsipil, perbedaan d iantara kedua jenis pemeriksaan ini adalah

M
pada formasi hakim yang memimpin sidang, jika pada pemeriksaan dengan
acara biasa harus dilakukan oleh Majelis Hakim, maka dalam pemeriksaan
dengan acara cepat dapat dilakukan baik oleh Majelis maupun Hakim Tunggal.
Di samping perbedaan pada formasi hakim, pada umumnya pemeriksaan

U
dilakukan adalah pemeriksaan dengan acara biasa. Adapun yang dilakukan
dengan acara cepat adalah terhadap:
1. Sengketa Pajak tertentu; 60

2. Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud

D
dalam Pasal 81 ayat (2);61

58
Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait dengan Pemer iksaan, Penyidikan, dan
Penaguhan Pajak. Op.Cit., hlm. 234.
59
Dalam Pasal 49 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan:
“Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis”, selanjutnya dalam Pasal 65
ditentukan: “Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal”.
60
Dalam Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan:
“Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah Sengketa
Pajak yang Banding atau Gugatannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37
ayat (1), Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6).”
61
Dalam Pasal 81 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan:
“Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sejak Surat Gugatan Diterima.”

196 Dinamika Hukum Pembuktian


3. Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (1) atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung,
dalam Putusan Pengadilan Pajak;62
4. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan
wewenang Pengadilan Pajak.

Y
Dalam upaya untuk mencari keadilan dalam beracara di Pengadilan Pajak,
maka untuk kepentingan pembuktian, dikenal jenis-jenis alat bukti yang dapat
dihadirkan dalam persidangan. Alat bukti tersebut terdiri atas:63
1. Surat atau tulisan;
2. Keterangan ahli;64

M
3. Keterangan para saksi;65
4. Pengakuan para pihak; dan/atau
66

5. Pengetahuan hakim.67

Dimaksud dengan surat atau tulisan yang dapat dijadikan alat bukti

M
dalam peradilan pajak adalah: Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh
atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-

62
Dalam Pasal 84 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan:

U
“Putusan Pengadilan Pajak harus memuat: (a) kepala putusan yang berbunyi “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; (b) nama, tempat tinggal
atau tempat kediaman, dan/atau identitas lainnya dari pemohon Banding atau Penggugat;
(c) nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat; (d) hari, tanggal diterimanya Banding
atau Gugatan; (e) ringkasan Banding atau Gugatan, dan ringkasan Surat Uraian Banding
atau Surat Tanggapan, atau Surat Bantahan, yang jelas; (f) pertimbangan dan penilaian

D
setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu
diperiksa; (g) Pokok sengketa; (h) alasan hukum yang menjadi dasar putusan; (i) amar
putusan tentang sengketa; dan, (j) hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus,
nama Panitera, dan keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.”
63
Pasal 69 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
64
Pasal 71 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan:
“keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.”
65
Pasal 73 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “Keterangan
saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami,
dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi”.
66
Pasal 74 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “pengakuan
para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat, dan dapat
diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.”
67
Pasal 75 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “Pengetahuan
hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.”

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 197


undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum
di dalamnya.
Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;

Y
Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang; Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf
b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan banding atau gugatan;
Setelah melalui rangkaian pembuktian, maka dijatuhkanlah Putusan
Pengadilan Pajak.68 Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil

M
penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan hakim. Dalam
hal pemeriksaan dilakukan oleh majelis, Putusan Pengadilan Pajak diambil
berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam
musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara

M
terbanyak. Dalam hal ini, pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan
putusan tersebut dinyatakan dalam putusan pajak. Putusan Pengadilan Pajak
dapat berupa:
1. Menolak;

U
2. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
3. Menambah Pajak yang harus dibayar;
4. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau,
5. Membatalkan.

D
Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding,
atau kasasi. Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
maka putusan Pengadilan Pajak tersebut tidak dapat diajukan gugatan ke
Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain,
kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang menyangkut kewenangan/
kompetensi. Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum. Tidak terpenuhinya ketentuan tersebut putusan Pengadilan

68
Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan:
“Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum
tetap.”

198 Dinamika Hukum Pembuktian


Pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan karena itu putusan
dimaksud harus diucapkan kembali dalam sidang terbuka untuk umum.
Apabila tidak puas dengan putusan pengadilan pajak, pihak-pihak yang
bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan
Pajak kepada Mahkamah Agung.69
Pembuktian dalam peradilan pajak, juga mengikuti doktrin pembuktian

Y
dalam acara perdata, dan tata usaha negara, dilengkapi dengan perhitungan
akuntansi, dalam model menghitung peradilan perpajakan.

M
M
U
D
69
Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait dengan pemeriksaan, Penyidikan, dan
Penagihan. Op.Cit., hlm. 240.

Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan 199


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAGIAN KELIMA

RAGAM PEMBUKTIAN
PADA PERADILAN ETIK

Sebagai perkembangan dari berbagai profesi, dan keharusan menjalankan


profesi dengan standar-standarnya, maka etika profesi diatur, pada berbagai
kebijakan hukum. Etika profesi mengharuskan adanya model peradilan
tersendiri, sehingga putusan peradilan etika tidak mengarah pada peradilan
dalam arti yang sebenarnya dikenal. Tetapi lebih pada makna yang sangat
mulia, dari etika profesi itu.
Sistem etika di zaman pasca modern sekarang ini, dikembangkan tidak
saja sebagai sistem norma yang abstrak yang biasa dikhotbahkan dalam
ritual-ritual keagamaan, tetapi juga sebagai sistem norma yang lebih konkret
untuk kepentingan mengendalikan dan mengarahkan perilaku warga suatu
komunitas, atau anggouta suatu masyarakat ke arah nilai-nilai yang diidealkan
bersama. Sebagaimana tahap-tahap perkembangan sistem norma hukum
dalam sejarah, sistem etika juga mengikuti alur perkembangan sejarah yang
serupa, meskipun tidak persis sama. Dahulu kala hukum bukanlah suatu
sistem norma yang biasa dituliskan dalam bentuk undang-undang, seperti di
zaman sekarang. Sistem norma hukum baru dituliskan setelah umat manusia
berkenalan akrab dengan tradisi baca- tulis, dan munculnya kebutuhan yang
lebih konkret untuk mengatur perikehidupan bersama dalam masyarakat dan
dalam kerangka organisasi bernegara.1

1
Jimly Asshiddiqie. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),
hlm. vii.

201
Pada abad ke-9 H atau awal abad ke-13 M, dapat dikatakan bahwa
pengertian umat manusia tentang etika sudah berkembang dalam waktu yang
panjang. Jika ditelusuri, pengertian umat manusia tentang etika itu, sudah
berkembang sejak lama dalam sejarah dan tumbuh dinamis melalui 5 (lima)
tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan sistem etika itu, yakni (i)
tahap teologis, (ii) tahap ontologis, (iii) tahap positivist, (iv) tahap fungsional

Y
tertutup, serta (v) tahap fungsional terbuka atau tahap peradilan etika. Tahap
perkembangan etika fungsional tertutup adalah yang terus berkembang di
dunia sampai sekarang. Di Indonesia pun, perkembangan etika fungsional
tertutup masih terus menjadi kebiasaan. Akibatnya, proses penegakan kode
etik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara independen dan terbuka

M
kepada publik yang di zaman sekarang menurut keterbukaan, transparansi,
dan akuntabilitas publik yang lebih luas di semua bidang kehidupan sebagai
prasyarat untuk terwujudnya prinsip good governance.2
Selama ini, semua kasus dugaan pelanggaran kode etik di pelbagai
organisasi profesi, di pelbagai lembaga-lembaga kenegaraan, instansi

M
pemerintahan, dan organisasi kemasyarakatan, cenderung bersifat melindungi
dan tidak sungguh-sungguh menegakkan kode etik. Yang berlaku adalah kultur
ewuh-pekewuh. Misalnya, Majelis Kehormatan Dokter, cenderung melindungi
dan membela kepentingan para dokter sendiri, dibandingkan melindungi dan

U
membela apa yang dituntut pasien. Begitu juga dengan organisasi profesi
lainnya seperti akuntan, advokat, dan sejenisnya, biasanya hanya melindungi
teman-temannya sendiri daripada kliennya. Akibatnya, penegakan etika
menjadi tidak efektif, etika profesi menjadi tidak tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman, sementara tuntutan akan

D
pelayanan profesional yang semakin baik, dan kesadaran konsumen dan klien
akan hak-haknya tumbuh menjadi lebih kritis dan terbuka, menyebabkan
munculnya tuntutan untuk mengembangkan pendekatan kriminalisasi
terhadap kasus-kasus mal-praktik dalam pelayanan profesional.
Dalam sejarah, tradisi membangun etika positif berupa prinsip-prinsip
etika dan perilaku yang dirumuskan sebagai standar yang diidealkan bagi
anggota suatu komunitas profesi atau jabatan tertentu yang membutuhkan
kepercayaan publik, pada mulanya muncul dalam praktik di Inggris, dan
kemudian dikembangkan dalam arti yang lebih modern di Amerika Serikat.

2
Ibid., hlm. 92.

202 Dinamika Hukum Pembuktian


Bidang profesi yang pertama kali memperkenalkan sistem etika positif ini
adalah di dunia kedokteran (medical ethics), kemudian yang menyusul berikutnya
adalah profesi akuntan, kemudian yang ketiga adalah profesi hukum, dan terus
berkembang selama abad ke-20, berkembang pesat di semua bidang profesi,
di dunia bisnis, dan bahkan di lingkungan kekuasaan pemerintahan negara.
Sistem kode etik dan kode perilaku terus berkembang dalam praktik di semua

Y
bidang kehidupan, baik di ranah dunia usaha (market), di ranah masyarakat
(civil society), maupun di sektor publik dan dalam penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan negara (state). Dalam ranah negara pun, sistem kode etik dan
infrastruktur etik ini berkembang, baik di lingkungan cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, maupun judikatif, serta di lembaga-lembaga atau agencies

M
yang bersifat independen.
Gejala pembentukan komisi-komisi atau institusi-institusi penegak kode
etik ini, baik yang bersifat permanen ataupun yang bersifat adhoc (sewaktu-
waktu diperlukan), mencerminkan makin berkembangnya kesadaran umat
manusia mengenai pentingnya sistem etika profesional itu ditegakkan secara

M
efektif. Hal inilah yang mendorong United Nations menetapkan secara
resmi rekomendasi Sidang Umum (General Assembly) pada tahun 1996, yang
menganjurkan agar semua negara anggota PBB membangun apa yang disebut
infrastruktur etik untuk jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure in public

U
offices). Hal ini tentu sangat berpengaruh ke seluruh dunia, sehingga semua
negara terus mengadakan upaya pembentukan kode etik di pelbagai bidang
dengan didukung oleh institusi-institusi penegakannya dalam praktik. Dengan
demikian, sistem kode etik yang sudah dikenal sejak awal abab ke-19 sampai
akhir abad ke-20, mengalami revitalisasi lebih lanjut dengan dukungan

D
kelembagaan yang memungkinkan sistem etika benar-benar diterapkan secara
fungsional dan ditegakkan secara efektif. Namun, dalam perkembangan
mutakhir, fungsionalisasi sistem kode etik profesi dan etika jabatan publik ini
belum dikonstruksikan sebagai suatu proses peradilan (norma etika), seperti
yang dikenal dalam sistem norma hukum yang dilengkapi dengan mekanisme
peradilan yang efektif. Pengertian etika itu sendiri masih dipahami sebagai
sistem norma yang bersifat privat, sebagai norma yang pemberlakuannya
didasarkan pada kesadaran internal yang bersifat sukarela (volutair).3

3
Ibid., hlm. 99-100.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 203


Beban pembuktian pada sistem peradilan etika, diatur pada kebutuhan,
organisasi masyarakat etika, dan disesuaikan pula dengan kaidah-kaidah
umum sistem peradilan dengan model pembuktiannya, juga ditentukan oleh
norma-norma dan etika profesi yang bersifat universal.

A. Falsafah Etika

Y
Filsafat sebagai sumber utama hukum dan etika, baik atas dasar norma-
norma agama, maupun standar kepatutan dalam kehidupan pergaulan
masyarakat. Maka filsafat juga mengenal norma-norma etika, yang berasal
dari asas-asas umum dan universal.

M
Menggabungkan pemikiran filsafat, moral, budaya, etika, dan estetika,
adalah suatu hasil seni yang bermakna kehalusan budi pekerti dalam sikap
tindak. Sehingga memberikan sumbangan untuk keilmuan, dengan dasar-
dasar berpikir terstruktur, maka akan ditemukan cara berpikir dan berperilaku
etika dalam bertindak. Aksiologi ilmu pengetahuan, yang menyelidiki hakikat

M
nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan, bahwa
cabang pengetahuan yang diketahui merupakan masalah-masalah nilai yang
khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat, agama dan epistemologi
yang berkaitan dengan kebenaran dalam arti kesusilaan, dan estetika yang

U
bersangkutan dengan masalah keindahan. Etika yang berarti adat atau
budi pekerti, pada umumnya mengajarkan bahwa setiap pribadi manusia
mempunyai “otonomi moral”. Artinya, mempunyai hak dan kewajiban untuk
menentukan sendiri tindakan-tindakannya, dan mempertanggungjawabkan
di hadapan Tuhan.

D
Keberadaan etika dalam strata kehidupan sosial tidak terlepas dari sistem
kemasyarakatan, manusia yang terdiri atas aspek jasmaniah dan aspek rohaniah.
Aspek rohaniah terdiri atas kodrat alamiah, kodrat budaya, serta dunia nilai.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika
umum membicarakan mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia
bertindak secara etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang
menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak, serta tolok ukur menilai
baik atau buruk. Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar
dalam bidang kehidupan khusus. Etika khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu
etika individual dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban dan

204 Dinamika Hukum Pembuktian


sikap manusia terhadap diri sendiri. Etika sosial mengenai kewajiban sikap
dan pola perilaku manusia sebagai anggota masyarakat.4
Pada hakikatnya, pelaksanaan suatu profesi merupakan penerapan
reflektif kritis atas kaidah-kaidah etika kedalam kenyataan. Pelaksanaan
pekerjaan profesi dipagari oleh kaidah-kaidah etika. Dengan etika profesi
dapat diukur apakah suatu profesi dilakukan secara benar dan wajar. Esensi

Y
yang sangat penting dalam etika profesi adalah integritas, yaitu berusaha
melakukan sesuatu dengan cara-cara terbaik untuk mendapatkan hasil terbaik.
Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan
keputusan moral. Sedang profesi adalah adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian, keterampilan, dan kejujuran tertentu. Sedangkan kode

M
etik adalah asas dan norma yang diterima oleh suatu kelompok tertentu
sebagai landasan tingkah laku.5
Etika profesi sebagai sikap hidup merupakan kesanggupan untuk
memenuhi kebutuhan pelayananprofessional dari pasien atau klien dengan
keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban

M
masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang
membutuhkannya disertai dengan refleksi yang seksama. Dalam menjalankan
profesinya, hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat
atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban

U
profesi sudah memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Kepatuhan
pada etika profesi akan sangat bergantung pada ahlak pengemban profesi
yang bersangkutan. Dalam lingkungan pengemban profesi dimunculkan
seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi, yang
disebut kode etik profesi atau disingkat kode etik. Setiap profesi, mengenal

D
pendidikan/pelatihan yang khusus, dan harus mengabdi pada masyarakat, dan
memiliki suatu kode moral dan suatu kode etik tersendiri. Kode etik adalah
pedoman perilaku yang berisikan garis-garis besar. Kode etik harus memiliki
sifat-sifat antara lain: (1) harus rasional, tetapi tidak kering dari emosi, (2)
harus konsisten, tetapi tidak kaku, dan (3) harus bersifat universal.6

4
Syaiful Bakhri, Konstelasi Filsafat Ilmu dan Islam, (Tanggerang Selatan: UMJ Press,
2017), hlm. 200.
5
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia
dalam Dimensi Ide dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 446.
6
Syaiful Bakhri, Konstelasi Filsafat Ilmu dan Islam. Op.Cit., hlm. 201.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 205


Sejatinya filsafat adalah standar yang paling tinggi, di samping norma-
norma agama, dalam mengatur tata pergaulan di masyarakat tertentu sesuai
dengan profesi, maupun kemuliaan klehidupan, yang memerlukan norma-
norma dalam kaidah berprilaku yang pantas, baik harmonis. Karenanya dalam
membuktikan terhadap larangan-larangan etika, mesti disusun model kode
etika profesi, dan sebagai bagian dari legalitas, dalam kehidupan

Y
B. Berbagai Etika Profesi
Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau pelbagai
pendekatan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Ada tiga pendekatan dalam

M
kajian ilmiah tentang moralitas ini, yaitu:
Etika Deskriptif, yakni etika yang melukiskan tingkah laku moral dalam
arti luas yang erat hubungannya dengan antropologi, sosiologi dan psikologi,
dan bersandar pada ketiganya. Etika deskriptif mempelajari dan menguraikan
moral sesuatu masyarakat, kebudayaan dan bangsa tertentu dalam suatu

M
periode sejarah ia melukiskan adat istiadat, anggapan-anggapan tentang
baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan yang dilarang. Ia
juga membandingkan dan menghadapkan sistem moral, kode-kode, praktik,
dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ia hanya melukiskan,

U
tidak memberikan nilai. Pendekatan Etika Deskriptif dipastikan oleh fakta
moral, yang menggambarkan bagaimana bentuknya dibandingkan dengan
bentuknya dalam masyarakat-masyarakat yang berlainan, diselidiki sejarahnya,
jangkauannya dan seterusnya.
Etika Normatif, ialah etika yang secara sistematis berusaha menyajikan

D
serta membenarkan suatu sistem moral. Di sini para ahli tidak bertindak
sebagai penonton netral, seperti dalam etika deskriptif tapi ia melibatkan diri
dengan memberikan penilaian tentang perilaku manusia. Etika normatif tidak
deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan, melainkan
menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Etika normatif
berusaha mengembangkan serta membenarkan prinsip dasar moral atau nilai-
nilai dasar sesuatu sistem moral. Sistem itu sendiri terdiri dari prinsip atau
nilai-nilai dasar moral dan aturan-aturan moral yang khusus menguasai perilaku
manusia dalam arti menghapuskan tindakan-tindakan yang buruk atau tidak
bermoral, tetapi juga menganjurkan perilaku yang bermoral. Perilaku dan nilai-
nilai inilah yang membentuk norma-norma moral sesuatu masyarakat.

206 Dinamika Hukum Pembuktian


Metaetika, yakni etika yang erat hubungannya dengan etika normatif.
Sampai taraf tertentu etika normatif dan etika deskriptif mencakup juga
kegiatan meta etika. Meta etika adalah studi tentang etika normatif. Ia kadang
kala disebut etika analitis, karena ia menganalisis. Metaetika mengkaji makna
istilah-istilah moral dan logika dari penalaran moral. Misalnya ia menyatakan
apakah yang dimaksud dengan istilah “baik” dan “buruk” dalam arti moral dan

Y
apakah yang dimaksud dengan tanggung jawab moral, kewajiban moral dan
pengertian-pengertian sejenis itu. Di samping dari segi pendekatan ilmiah,
etika juga dapat dilihat dari segi wilayah berlakunya, yakni etika umum dan
etika khusus.
Etika Umum. Yakni etika yang memandang tema-tema umum seperti,

M
apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungannya satu
sama lain? Mengapa norma moral mengikat kita? apa itu nilai dan apakah
kekhususan nilai moral, dan sebagainya. Etika umum menyajikan suatu
pendekatan yang teliti mengenai norma-norma yang berlaku umum bagi
setiap warga masyarakat. Norma itu umpamanya dibedakan menjadi tiga

M
bagian, yakni norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. Etika
umum adalah suatu ilmu praktis dengan sasaran yang praktis pula. Ia bukan
suatu disiplin yang sudah lengkap, melainkan berkembang terus dengan
terus mengkaji isu-isu yang sedang diperdebatkan. Ia mengembangkan dan

U
menganalisis bentuk argumentasi moral kehidupan, problema-problema
moral yang dihadapi masyarakat dan perorangan, dengan tujuan menciptakan
masyarakat yang serasi dan selaras.
Etika Khusus menerapkan etika umum atas wilayah perilaku manusia
yang khusus. Wilayah pertama etika khusus terbagi 2 (dua). Wilayah pertama

D
adalah wilayah untuk memecahkan masalah-masalah khusus dan meneliti
moral dari wilayah-wilayah kegiatan manusia yang khusus, atau sering disebut
kasuistik. Sedangkan wilayah kedua dari etika khusus adalah wilayah yang
mencakup penerapan etika umum dalam bidang-bidang khusus, seperti etika
bisnis, etika profesi, etika sosial, dan sebagainya. Etika khusus sering juga
disebut etika terapan (applied ethics).7
Di dalam wilayah etika khusus inilah tempatnya etika profesi yang terbagi
dalam berbagai bidang profesi yang digeluti oleh manusia dewasa ini.

7
Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait Dengan Pemeriksaan, Penyidikan, dan
Penagihan Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 26-27.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 207


C. Dinamika Etika Hukum
Etika hukum, adalah suatu etika yang mendasarkan pada profesi hukum
yang terdiri dari para penegak hukum, serta organisasi profesi.
Dalam profesi di bidang hukum, dikenal berbagai profesi yang masing-
masing memiliki kode etiknya sendiri, di antaranya Profesi Hakim,8

Y
Profesi Advokat,9 dan Profesi Notaris.10 Pengertian Hakim di Indonesia
dalam kaitannya dengan penegakan kode etik hakim, maka harus dibedakan
antara hakim di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya, dengan hakim di Mahkamah Konstitusi. Jika hakim di Mahkamah
Agung dan badan peradilan di bawahnya terikat pada mekanisame pengawasan

M
oleh Komisi Yudisial,11 maka hakim di Mahkamah Konstitusi tidak terikat
pada mekanisme pengawasan oleh Komisi Yudisial. KY tidak bisa mengawasi
MK dikarenakan telah ada Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 dan putusan
MK No. 1-2/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa Badan Pengawas atau
Panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim

M
konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan KY ini sudah
dinyatakan inkonstitusional pada tahun 2006 silam, sehingga pengawasan
hakim konstitusi oleh KY dianggap melanggar UUD 1945.
Di lingkungan Mahkamah Agung, hakim diikat oleh Kode Etik dan

U
Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2009. Kode etik ini
disusun dengan kesadaran bahwa pengadilan yang mandiri, netral (tidak
memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu
menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum, dan

D
keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah

Untuk Hakim dalam Lingkungan Mahkamah Agung, diatur Keputusan Bersama Ketua
8

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi


Yudisial No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
sedangkan untuk Hakim Mahkamah Konstitusi, diatur dalam
9
Kode Etik Profesi Advokat diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
10
Kode Etik Notaris diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.
11
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.

208 Dinamika Hukum Pembuktian


negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar utama dalam
penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.
Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran
nilai-nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas
negara. Hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan
senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas,

Y
kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan
hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Wewenang dan tugas hakim
yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan
pengadilan yang diucapkan dengan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”, menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran

M
dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada
semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.12
Pengadilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan,
akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum,

M
pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sin
equanon atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan
hukum. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran
nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara,

U
dengan hakim sebagai aktor utama atau figur sentral.
Dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan
nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan
profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak.

D
Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus
dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan
tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur
dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya
di depan hukum dan hakim. Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar
itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang
diucapkan dengan irah-irah “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan
keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua

12
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm. 159.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 209


manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.13
Ada 10 standar etika bagi hakim dalam melaksanakan kewenangannya,
atau yang sering disebut Prinsip-prinsip Dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim yakni: (1) Berperilaku Adil; (2) Berperilaku Jujur; (3) Berperilaku
Arif dan Bijaksana; (4) Bersikap Mandiri; (5) Berintegritas Tinggi; (6)

Y
Bertanggung jawab; (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri; (8) Berdisiplin Tinggi;
(9) Berperilaku Rendah Hati; (10) Bersikap Profesional.
Berperilaku adil,14 merupakan hal paling mendasar yang harus ada
pada diri hakim. Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya
dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip

M
bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian,
tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan
dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap

M
Muqaddimah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
13

047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang


Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
14
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas
hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.;

U
(2) Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap
menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.; (3) Hakim wajib
menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili
perkara yang bersangkutan.; (4) Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak
yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penutut dan saksi berada dalam posisi yang
istimewa untuk memengaruhi hakim yang bersangkutan.; (5) Hakim dalam menjalankan

D
tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan,
prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan,
perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas
dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam
proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.; (6) Hakim dalam suatu proses
persidangan wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan untuk
menerapkan standar perilaku sebagaimana dimaksud dalam butir (5).; (7) Hakim dilarang
bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan
kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya,
atau saksi-saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi advokat,
penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan
hakim yang bersangkutan.; (8) Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak
dan tidak beriktikad semata-mata untuk menghukum.; (9) Hakim dilarang menyuruh /
mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk memengaruhi, mengarahkan,
atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap
para pihak yang terkait dengan perkara.”

210 Dinamika Hukum Pembuktian


orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di
bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang
adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan
orang.
Berperilaku Jujur,15 bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa
yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong

Y
terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakikat
yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang
tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun di luar
persidangan. Berperilaku arif dan bijaksana,16 bermakna mampu bertindak
sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma

M
hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan
dengan memerhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu
memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana

15
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi

M
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan
menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.; (2) Hakim
harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di
luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum
lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan
lembaga peradilan (impartiality). (3) Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus

U
mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya,
untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan
pinjaman atau fasilitas; (4) Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung,
dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima. (5) Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada

D
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum, selama, dan setelah menjabat, serta bersedia
diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat.”
16
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim wajib menghindari tindakan tercela. (2)
Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang secara teratur
beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau
sikap keberpihakan. (3) Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim
yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang
memiliki kepentingan dengan perkara tersebut. (4) Hakim dilarang mengizinkan tempat
kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien
atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut. (5) Hakim dalam
menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak
ketiga lainnya. (6) Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan
pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya. (7) Hakim dilarang mempergunakan keterangan
yang diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan
wewenang dan tugas yudisialnya.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 211


mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang
rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
Bersikap Mandiri,17 bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan
pihak lain, bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apa
pun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh,
berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan

Y
moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Berintegritas Tinggi, 18bermakna sikap
dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas
tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada
nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan

M
segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas
dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.
Bertanggung jawab19 bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-
baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki

M
17
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim harus menjalankan fungsi peradilan
secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang

U
bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak mana pun. (2) Hakim wajib bebas dari
hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok
lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) Hakim dan Badan Peradilan.
(3) Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap
Badan Peradilan.”
18
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi

D
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “(1) Hakim harus berperilaku tidak tercela; (2)
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik
karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan
(reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.; (3) Hakim harus menghindari
hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-
pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.; (4) Hakim
harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan
Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum pengadilan tempat hakim tersebut
menjabat.; (5) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan
keluarga, Ketua Majelis, hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang
menangani perkara tersebut.”
19
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “ (1) Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan
untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain. (2) Hakim dilarang mengungkapkan
atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai
Hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.”

212 Dinamika Hukum Pembuktian


keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang
dan tugasnya tersebut. Menjunjung tinggi harga diri bermakna bahwa pada
diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan
dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri,
khususnya hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan
tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan

Y
dan martabat sebagai aparatur peradilan.20
Berdisiplin Tinggi,21bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-
kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta
kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong
terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam

M
pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta
tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.Berperilaku
rendah hati,22bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh
dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah
hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk

M
terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuhkembangkan sikap

20
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “ (1) Hakim harus menjaga kewibawaan serta
martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.; (2)

U
Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi
memanfaatkan posisi sebagai hakim.; (3) Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan
lain yang berhubungan dengan perkara.”
21
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1)Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami
serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

D
berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat
memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.; (2) Hakim harus menghormati hak-
hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara
secara sederhana, cepat dan biaya ringan.; (3) Hakim harus membantu para pihak dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.; (4) Ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara
kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara
kepada hakim yang memiliki konflik kepentingan.”
22
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“ (1) Hakim harus melaksanakan pekerjaan
sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata
pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah
amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha
Esa.; (2) Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari
popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapa pun juga.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 213


tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas
di dalam mengemban tugas. Yang terakhir adalah bersikap profesional,23 yang
bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan
pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh
keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap
profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga

Y
dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan
pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil
pekerjaan, efektif dan efisien.
Untuk menegakkan prinsip-prinsip dari perilaku hakim di atas, maka hal
ini merupakan kewenangan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas

M
melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, termasuk
juga dapat mengajukan usul penjatuhan Sanksi terhadap hakim.24Dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim

M
yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung, yang dalam
realisasinya dituangkan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial No.
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

U
Adapun tahapan pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

D
23
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi
Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “(1) Hakim harus mengambil langkah-langkah
untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi
untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.; (2) Hakim harus secara
tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para Hakim
dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.; (3) Hakim wajib
mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara professional.; (4) Hakim
wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan
fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat
pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu
perkara yang ditanganinya.”
24
Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011: “Komisi Yudisil mempunyai wewenang: b.
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta menjaga perilaku
hakim; c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan
Mahkamah Agung; dan, d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.”

214 Dinamika Hukum Pembuktian


1. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
2. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
3. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;

Y
4. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/
atau Pedoman Perilaku Hakim; dan,
5. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

M
Dalam lingkungan Peradilan Konstitusi, hakim konstitusi bukanlah
merupakan bagian dari objek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Hal ini
dipertegas dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 dan putusan MK No.
1-2/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Badan Pengawas
atau Panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim

M
konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Pada tahun 2006, 9 (sembilan)
orang hakim konstitusi mendeklarasikan Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi. Deklarasi ini dilakukan dengan merujuk pada “The Bangalore
Principles”, sebagaimana yang diuraikan dalam Pembukaan Deklarasi bahwa,

U
penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini merujuk kepada
“The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh
negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”,
kemudian disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika
kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor

D
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku.
Bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi
(independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan
dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan
(competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode
etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan
tolok ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan
kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja
keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat
diri sebagai hakim konstitusi.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 215


Dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kode
atik dan perilaku Hakim Konstitusi, maka dibentuklah Dewan Etik Hakim
Konstitusi25 dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.26
Menjadi tugas dari Dewan Etik Hakim Konstitusi pada pokokya adalah:
1. melakukan pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dan/

Y
atau informasi tentang dugaan pelanggaran27yang dilakukan oleh Hakim
Konstitusi; dan,
2. menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun
kepada Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memiliki tugas:

M
1. malakukan pengelolaan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan
oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga)
kali;

M
2. menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Ketua Mahkamah
Konstitusi.

25
Pasal 1 angka (2) PMK No. 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi:

U
“Dewan Etik Hakim Konstitusi, yang selanjutnya disebut Dewan Etik, adalah perangkat
yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi.”
26
Pasal 1 angka 2 PMK No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi: “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut Majelis

D
Kehormatan, adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait
dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh hakim terlapor
atau hakim terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik.”
27
Pasal 21 ayat (2) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “yang dimaksud pelanggaran yang
dilakukan Hakim Konstitusi adalah: (a) melakukan perbuatan tercela; (b) tidak menghadiri
persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut
tanpa alasan yang sah; (c) melanggar sumpah atau janji; (d) dengan sengaja menghambat
Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; (e) melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi; (f) melanggar larangan
sebagai Hakim Konstitusi: (1) merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, anggota
partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri; (2) menerima suatu pemberian atau
janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung; (3) mengeluarkan
pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya
mendahului putusan; (g) tidak melaksanakan kewajiban sebagai Hakim Konstitusi”

216 Dinamika Hukum Pembuktian


Baik Dewan Etik maupun Majelis Kehormatan, keduanya diberikan tugas
dan wewenang untuk menegakkan Etika Hakim Kostitusi dan menindak setiap
pelanggaran etik yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi. Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, Dewan Etik dan Majelis Kehormatan mendasarkan
diri pada prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Independensi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis

Y
Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara;
2. Prinsip Objektivitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya menggunakan kriteria, parameter,

M
data, informasi, dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan;
3. Prinsip Imparsialitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak memihak kepada siapa pun
dan kepentingan apa pun;

M
4. Prinsip Penghormatan kepada profesi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik
dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
wajib menjaga kehormatan dan keluhuran martabat Hakim Konstitusi;
5. Prinsip Praduga Tidak Bersalah, yaitu Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
dianggap tidak bersalah sampai dengan dibuktikan sebaliknya berdasarkan

U
Keputusan Dewan Etik atau Keputusan Majelis Kehormatan;
6. Prinsip Transparansi, yaitu masyarakat dapat mengakses data, informasi,
Keputusan Dewan Etik, dan Keputusan Majelis Kehormatan, kecuali hal-
hal yang ditentukan lain dalam peraturan ini; dan,

D
7. Prinsip Akuntabilitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus
dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Penangan pelanggaran Etik yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi,


pertama-tama ditangani oleh Dewan Etik, setelah didahului oleh adanya
laporan dan/ atau informasi mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik
kepada Dewan Etik. Dugaan pelanggaran yang diperoleh melalui laporan
masyarakat harus disampaikan oleh pelapor dalam bentuk tertulis,28 sedangkan

28
Pasal 56 ayat (2) PMK RI NO. 2 Tahun 2014: “Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat: (a) Nama lengkap dan alamat pelapor; (b) Nama lengkap Hakim terlapor;
dan, (c) Uraian mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 217


dugaan yang diperoleh melalui informasi adalah dugaan pelanggaran yang
diperoleh melalui pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik
dan/atau dari masyarakat luas. Dalam hal dugaan pelanggaran diperoleh
melalui laporan, maka Dewan Etik akan memanggil Pelapor maupun Hakim
Terlapor untuk memberikan keterangan dalam Rapat Dewan Etik. Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga wajib hadir sendiri dan tidak dapat menguasakan

Y
kepada pihak lain termasuk tidak dapat didampingi kuasa hukum dalam
setiap Rapat Dewan Etik.29 Dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
tidak memenuhi panggilan yang telah dilayangkan sebanyak 3 (tiga) kali,
maka Rapat Dewan Etik dilaksanakan tanpa kehadiran Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga.

M
Rapat Dewan Etik dilaksanakan tertutup untuk umum dan dilakukanlah
dalam rangka pemeriksaan yang meliputi: (a) mendengarkan keterangan
pelapor; (b) mendengarkan keterangan saksi dan/ atau ahli; (c) memeriksa
alat bukti; dan, (d) mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga.

M
Pemeriksaan dalam Rapat Dewan Etik, bertujuan untuk melakukan
pembuktian terhadap dugaan pelanggaran kode etik itu sendiri, sehingga
untuk kepentingan tersebut, maka dikenal Alat Bukti berdasarkan Pasal 62
ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014, sebagai berikut:

U
1. Surat atau tulisan;
2. Keterangan saksi;
3. Keterangan ahli;
4. Alat bukti lain berupa data dan/atau informasi yang diucapkan,

D
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan,
5. Putunjuk.

Pasal 24 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Rapat Dewan Etik dilaksanakan untuk: (a)
29

merumuskan pendapat tertulis Dewan Etik atas pertanyaan Hakim Konstitusi mengenai
suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a; (b) melakukan pemeriksaan terhadap
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b; dan,
(c) mengambil keputusan Dewan Etik.”

218 Dinamika Hukum Pembuktian


Alat bukti surat atau tulisan adalah alat bukti yang dapat diperoleh dari
Pelapor, Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, dan Pihak Lain. Alat bukti
berupa keterangan saksi disampaikan di bawah sumpah, dan memberikan
sebatas pada apa yang dilihat, didengar dan/atau dialami sendiri. Berbeda
dengan alat bukti surat, keterangan saksi selain diajukan oleh Pelapor, Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga, juga dapat diajukan oleh Majelis Kehormatan

Y
atau Dewan Etik. Keterangan Ahli adalah keterangan yang disampaikan oleh
seseorang yang dipandang memiliki kemampuan di bidang tertentu, yang
menyampaikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan/
atau pengalamannya di bawah sumpah. Alat bukti pentunjuk adalah alat bukti
yang diperoleh baik oleh Majelis Kehormatan atau Dewan Etik berdasarkan

M
penilaian terhadap alat bukti dengan memerhatikan penyesuaian antara alat
bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Berkenaan dengan alat Bukti,
maka Rapat Dewan Etik menilai apakah suatu bukti dapat dijadikan sebagai
alat bukti yang sah ataukah sebaliknya, dengan mendasarkan pada cara
perolehannya dapat dipertanggaungjawabkan secara hukum.

M
Setelah pemeriksaan alat bukti, maka Hakim Terlapor atau Hakum
Terduga diberikan hak untuk melakukan pembelaan melalui klarifikasi dalam
Rapat Dewan Etik.30 Akan tetapi, jika Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
memilih untuk tidak menggunakan Hak Pembelaannya, maka Dewan Etik

U
tetap melanjutkan rapat untuk mengambil keputusan tanpa klarifikasi dan/
atau pembelaan dari yang bersangkutan. Hasil pemeriksaan Dewan Etik
menghasilkan kesimpulan Dewan Etik yang di antaranya menyatakan:
1. Tidak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) yang diduga dilakukan oleh Hakim Terlapor atau

D
Hakim Terduga;
2. Terdapat pelanggaran ringan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga;
3. Terdapat dugaan pelanggaran berat terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang dilakukan oleh Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga;

30
Pasal 68 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Klarifikasi dan/ atau pembelaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada pihak lain.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 219


4. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga telah mendapatkan teguran lisan
sebanyak 3 (tiga) kali.

Apabila Dewan Etik menyimpulkan terdapat pelanggaran ringan yang


dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, maka Dewan Etik
Mengambil Keputusan menjatuhkan Sanksi berupa teguran lisan, yang

Y
dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik.31
Dalam hal Dewan Etik menyimpulkan terdapat dugaan pelanggaran
berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga atau telah
mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali, maka Dewan Etik
mengambil keputusan yang menyatakan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim

M
Terduga diduga melakukan pelanggaran berat. Keputusan dugaan pelanggaran
berat ini, disertai dengan usul pembentukan Majelis Kehormatan dan
pembebastugasan hakim dimaksud.32
Majelis Kehormatan berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur: (a)
1 (satu) orang Hakim Konstitusi; (b) 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial;

M
(c) 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; (d) 1 (satu) orang Guru Besar
dalam bidang hukum; dan, (e) 1 (satu) orang tokoh masyarakat.33 Persidangan
Majelis Kehormatan terdiri atas:
1. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;

U
2. Sidang Pemeriksaan Lanjutan; dan,
3. Rapat Pleno Majelis Kehormatan.

Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan untuk melakukan


pemeriksaan pendahuluan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga

D
yang diduga melakukan pelanggaran berat dan membacakan Keputusan
Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.34 Sidang pemeriksaan

31
Pasal 31 ayat (3) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Berita Acara Pemeriksaan Dewan
Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) hari kerja sejak Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik ditandatangani.”
32
Pasal 2 ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Majelis Kehormatan dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi atas usul Dewan Etik.”
33
Pasal 9 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Susunan majelis kehormatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.”
34
Pasal 35 ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a tertutup untuk umum, kecuali ditentukan
lain oleh Majelis Kehormatan.”

220 Dinamika Hukum Pembuktian


pendahuluan meliputi: (a) mendengarkan keterangan Dewan Etik; (b)
mendengarkan keterangan pelapor; (c) memeriksa alat bukti; (d) mendengarkan
penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Sidang
pemeriksaan pendahuluan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan yang
menyatakan bahwa:
1. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran;

Y
2. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran
ringan;
3. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran
berat.

M
Apabila sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran, maka Majelis
Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan merehabilitasi Hakim
yang bersangkutan.35 Sebaliknya jika sidang pemeriksaan pendahuluan

M
menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan
pelanggaran ringan, Majelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga melakukan pelanggaran ringan dan
menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan. Lebih lanjut, apabila sidang

U
pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
diduga melakukan pelanggaran berat, maka Majelis Kehormatan mengambil
keputusan melanjutkan pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga dalam Sidang Pemeriksaan lanjutan, disertai dengan rekomendasi
pemberhentian sementara.36

D
35
Pasal 41 ayat (3) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Rehabilitasi Haki Terlapor atau
Hakim Terduga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Ketua
Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya
Keputusan Majelis Kehormatan.”
36
Pasal 46 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “(1) Mahkamah Kosntitusi mengajukan
permintaan pemberhentian sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya Keputusan Majelis
Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2); (2) Pemberhentian sementara
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hri kerja.; (3) Sejak Mahkamah Konstitusi mengajukan permintaan
pemberhentian sementara kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga tidak menangani perkara.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 221


Sidang pemeriksaan lanjutan dilaksanakan untuk: (a) melakukan
pemeriksaan lanjutan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang
diduga melakukan pelanggaran berat; (b) melakukan pemeriksaan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak
3 (tiga) kali; (c) membacakan Keputusan Majelis Kehormatan terkait hasil
pemeriksaan pada point a dan b. Sidang pemeriksaan lanjutan dilaksanakan

Y
setelah Presiden mengeluarkan Keputusan (KEPPRES) tentang pemberhentian
sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Adapun Pemeriksaan pada
pemeriksaan lanjutan meliputi:37
1. Mendengarkan keterangan Dewan Etik;
2. Mendengarkan Keterangan pelapor;

M
3. Memeriksa alat bukti;
4. Mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga.

Terhadap hasil sidang pemeriksaan lanjutan yang menyatakan Hakim

M
Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran, maka
diambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti
melakukan pelanggaran dan memberikan usul merehabilitasi hakim yang
bersangkutan.38

U
Sebaliknya, jika sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, maka
Mejelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan dan sekaligus memuat
penjatuhan sanksi berupa teguran lisan.

D
Lebih lanjut, jika sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat, maka

37
Pasal 50 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “ (a)Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
tidak terbukti melakukan pelanggaran; (b) Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti
melakukan pelanggaran ringan; dan, (c) Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga
melakukan pelanggaran berat.”
38
Pasal 51 ayat (3) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Permintaan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Mahkamah
Konstitusi.”

222 Dinamika Hukum Pembuktian


diambil keputusan yang menyatakan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga melakukan pelanggaran berat. Keputusan ini disertai juga dengan
sanksi berupa teguran tertulis atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Khusus untuk Sanksi pemberhentian dengan tidak hormat, maka keputusan
tersebut disampaiakn kepada Mahkamah Konstitusi untuk selanjutnya
diajukan pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim

Y
Terduga kepada Presiden.
Segala keputusan yang diambil oleh Majelis Kehormatan, diputuskan
dalam Rapat Pleno yang tertutup untuk umum.39
Keputusan Majelis Kehormatan bersifat final dan mengikat, oleh karena
itu maka dalam mengambil keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan

M
mendasarkan pada:
1. Asas kepatutan, moral, dan etika;
2. Fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat;
3. Kode Etik Hakim Konstitusi; dan,

M
4. Keyakinan anggota Dewan Etik dan anggota Majelis Kehormatan.

Pengambilan keputusan berkenaan dengan penegakan etik oleh Dewan


Etik dan Majelis Kehormatan dilakukan secara musyawarah mufakat dalam
rapat tertutup untuk umum. Namun jika dalam musyawarah tidak mencapai

U
mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

D. Dinamika Etika Kedokteran

D
Dalam konteks Indonesia, organisasi profesi yang dapat dikatakan
pertama menyusun dan memberlakukan sistem kode etik itu bagi para
anggotanya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang sering disebut Kode
Etik Kedokteran Indonesia atau disingkat Kodeki.40

39
Pasal 54 ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Rapat Pleno Majelis Kehormatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c dilaksanakan untuk mengambil keputusan
Majelis Kehormatan.”
40
Kode Etik Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia pada 19 April 2002 di Jakarta.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 223


Dalam kodeki, 4 (empat) macam kewajiban dalam profesi kedokteran,
yakni: Kewajiban umum;41 Kewajiban Dokter Terhadap Pasien;42 Kewajiban
Dokter Terhadap Teman Sejawat:43 Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri.44

Y
41
Pasal (1) setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter; Pasal (2) Seorang dokter senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tinggi; Pasal (3) dalam melakukan pekerjaan
kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi; Pasal (4) setiap dokter harus menghindarkan
diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri; Pasal (5) tiap perbuatan atau nasihat yang
mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan

M
dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien; Pasal (6) setiap dokter harus
senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik
atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat; Pasal(7) seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya; Pasal (7a) seorang dokter harus, dalam
setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan

M
atas martabat manusia; Pasal (7b) seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien; Pasal (7c) seorang dokter harus
menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan
harus menjaga kepercayaan pasien; Pasal (7d) setiap dokter harus senantiasa mengingat

U
akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani; Pasal (8) dalam melakukan pekerjaannya
seorang dokter harus memerhatikan kepentingan masyarakat dan memerhatikan semua
aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif),
baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenar-benarnya; Pasal (9) setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di
bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

D
42
Pasal (10) Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalm hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut; Pasal (11) Setiap
dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya; Pasal
(12) Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; Pasal (13) Setiap dokter wajib
melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
43
Pasal (14) Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan; Pasal (15) Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman
sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
44
Pasal (16) Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik; Pasal (17) Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

224 Dinamika Hukum Pembuktian


Di samping empat jenis kewajiban di atas, dalam dunia kedokteran
terdapat 6 (enam) sifat dasar yang harus dijadikan pegangan oleh setiap
dokter dalam menjalankan tugas profesionalnya, yaitu: (1) sifat ketuhanan;
(2) kemurnian niat; (3) Keluhuran budi; (4) kerendahan hati; (5) kesungguhan
kerja; dan, (6) integritas (ilmiah dan sosial).45 Dalam menjalankan enam sifat
dasar diatas, ada beberapa prinsip etika yang harus dijadikan rujukan, yaitu:

Y
(a) Autonomy, yakni hak untuk menentukan atau memilih sesuatu yang terbaik
bagi dirinya dan bagi pasien; (b) Beneficience, yakni prinsip memberikan bantuan
atau melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain; (c) Nonmaleeficence, yakni
tidak membahayakan atau menimbulkan rasa sakit fisik maupun emosional;
(d) Justice,yakni berperilaku secara adil; (e) Veracity, yakni berperilaku jujur

M
atau tidak berbohong; dan (f) Fidelity, yakni memiliki komitmen terhadap
pelayanan sehingga menimbulkan rasa saling percaya.46
Dalam LSDI dan KODEKI telah tercantum secara garis besar perilaku
atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter
dalam menjalankan profesinya. Terhadap pelanggaran yang terbukti dilakukan,

M
tersedia ancaman sanksi yang tergantung berat ringannya kesalahan atau
pelanggaran kode etik. Perbuatan atau tindakan yang termasuk kategori
pelanggaran itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni pelanggaran yang
bersifat etika murni dan pelanggaran yang bersifat etikolegal. Pelanggaran yang

U
bersifat etika murni adalah perbuatan atau tindakan yang hanya melanggar
norma etika seperti yang diatur dalam KODEKI.47
Adapun pelanggaran yang bersifat etikolegal adalah tindak atau perbuatan
yang melanggara norma etika dan sekaligus memenuhi unsur pelanggaran
hukum.48

D
Mukadimah Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
45

46
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm. 152.
47
Contoh pelanggaran yang bersifat etika murni adalah: (i) menarik imbalan yang
tidak wajar, atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat sendiri (sejawat dokter atau
dokter gigi); (ii) mengambil alih pasien tanpa persetujuan dokter sejawat; (iii) memuji diri
sendiri di depan pasien, apalagi dengan membandingkan dengan keburukan dokter lan;
(iv) memberikan perlakuan khusus kepada pasien tertentu dengan mengabaikan pasien
lain yang berdekatan yang menghadapi masalah yang sama.
48
Contoh pelanggaran yang bersifat etikolegal adalah: (i) memberikan pelayanan
kedokteran di bawah standar; (ii) menerbitkan surat keterangan palsu; (iii) membuka
rahasia jabatan atau pekerjaan dokter lain; (iv) melakukan tindakan abortus provokatus
yang dilarang menurut undang-undang; (v) melakukan pelecehan seksual terhadap pasien.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 225


Di samping itu, setiap pelanggaran yang memenuhi unsur pelanggaran
hukum secara otomatis tergolong juga sebagai pelanggaran etika, tetapi
sesuatu pelanggaran etika, belum tentu melanggar hukum.
Dalam upaya untuk mengimplementasikan KODEKI secara efektif, maka
ditetapkanlah Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia.49

Y
Adapun tujuan ditetapkannya Pedoman iniadalah sebagai aturan yang
harus diikuti sebagai tata laksana pembinaan penerapan etik kedokteran dalam
pengabdian profesi dan penyelesaian dugaan pelanggaran etik kedokteran
oleh MKEK di Indonesia dalam rangka penyempurnaan berkelanjutan praktik
kedokteran yang peduli terhadap pasien/publik.

M
MKEK bertugas melakukan pembinaan etika kedokteran yang dilakukan oleh
Divisi Pembinaan Etiva Provesi MKEK, untuk meningkatkan profesionalisme
dokter, serta meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan, pengamalan
kaidah dasar bioetika dan etika kedokteran oleh para dokter dan calon dokter

M
di Indonesia dalam menyelenggarakan pengabdian profesi kedokteran. Selain
pembinaan, MKEK juga berwenang untuk menangani pelanggaran etik
kedokteran, yang dilakukan oleh Divisi Kemahkamahan MKEK.50

U
49
Mejalis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah badan otonom Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) yang bertanggung jawab mengoordinasikan kegiatan internal organisasi
dalam pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan
etika kedokteran, yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang
untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas
kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.

D
50
Pasal 20 Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Indonesia: (1) Menilai keabsahan dan meneliti pengaduan, menetapkan
persidangan, memeriksa dan menilai bukti-bukti, memanggil dan memeriksa saksi-saksi,
menyidangkan kasus dokter teradu atau diadukan akibat dugaan penyimpangan sikap,
tindak, perilaku, kesalahan dan pelanggaran praktik profesi kedokteran, menetapkan
adanya pelanggaran etik atau tidak, kemudian menjatuhkan sanksi etik bagi yang terbukti
melanggarnya sesuai ketentuan yang berlaku dari sengketa medik yang diperiksanya; (2)
Menilai keabsahan pengaduan, memeriksa, menilai bukti-bukti, memanggil dan memeriksa
saksi-saksi, menyidangkan, menetapkan putusan dugaan konflik etikolegal antara dokter
– dokter, antar sesama perangkat dan jajaran IDI serta antara dokter – tenaga kesehatan
lainnya; (3) Melakukan pemeriksaan, penyidangan, penjatuhan sanksi dan penilaian banding
kasus konflik etikolegal dan atau sengketa medik yang telah diperiksa, disidangkan dan
dijatuhi sanksi etik oleh lembaga-lembaga etika atau disiplin dalam perangkat dan jajaran
IDI setingkat, apabila terdapat ketidakpuasan para pihak.; (4) Menyidangkan kasus etika
yang dikirim oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia setingkat atau
lembaga disiplin tenaga kesehatan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku;

226 Dinamika Hukum Pembuktian


Penanganan pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang dokter, dimulai
setelah adanya aduan yang diajukan pada pada MKEK.51
Pengaduan dapat disampaikan melalui IDI Cabang/Wilayah atau langsung
ke MKEK Cabang/Wilayah tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut.
Pengaduan diajukan secara tertulis dan sekurang-kurangnya harus memuat:
(i) identitas pengadu; (ii) nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu

Y
tindakan dilakukan; (iii) alasan sah pengaduan; dan,(d) bukti-bukti atau
keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang dugaan pelanggaran etika
tersebut. Terhadap pengaduan yang tidak memenuhi syarat di atas, maka
permohonan tersebut dapat ditolak oleh Ketua MKEK setempat.52
Setelah proses pengaduan dinilai sah, selanjutnya dilakukan proses

M
penelahaan. Penelaahan dilakukan oleh MKEK Wilayah/ Cabang setempat
dimana pengaduan tersebut pertama kali diterima atau sesuai dengan
yurisdiksinya dan dilakukan dalam bentuk sidang MKEK dengan atau tanpa
Divisi Pembina Etika Profesi MKEK Wilayah/Cabang yang dinyatakan khusus
untuk itu. Dalam tahap penelaahan sampai dengan penjatuhan sanksi etik

M
MKEK menggunakan asas praduga tak bersalah. Berdasarkan hasil penelaahan,
Ketua MKEK menetapkan pengaduan tersebut layak atau tidak layak untuk
disidangkan oleh majelis pemeriksa. Terhadap aduan yang dinyatakan layak
untuk disidangkan, maka aduan tersebut kemudian dilanjutkan ke proses

U
pemeriksaan oleh Divisi Kemahkamahan MKEK.
Pembuktian dalam persidangan di Mahkamah Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran, mengenal jenis-jenis barang bukti yang terdiri dari: (1)

D
51
Pasal 22 ayat (1) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia: “Pengaduan dapat berasal dari: (a) Langsung oleh pengadu
seperti pasien, teman sejawat, tenaga kesehatan lainnya, institusi kesehatan, dan organisasi
profesi.:(b) Rujukan/banding dari MKEK Cabang untuk MKEK Wilayah atau rujukan/
banding dari MKEK Wilayah untuk MKEK pusat:(c) Temuan IDI setingkat:(d) Temuan
dan atau permintaan Divisi Pembinaan Etika Profesi MKEK setingkat; (e) Hasil verifikasi
MKDKI atau lembaga disiplin profesi atau lembaga pembinaan etika yang menemukan
adanya dugaan pelanggaran etika sesuai ketentuan yang berlaku.;(f) Hal-hal lain yang
akan ditentukan kemudian oleh MKEK Pusat sesuai dengan asas keadilan dan pencapaian
tujuan pembinaan etika profesi.
52
Pasal 22 ayat (6) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia: “Dalam hal pengaduan tidak lengkap atau tidak sah atau
berisi keterangan yang dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk pembinaan
pengabdian profesi, Ketua MKEK setempat dapat menolak atau meminta pengadu
memperbaiki atau melengkapinya.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 227


Barang bukti surat-surat; (2) rekam medik; (3) obat atau bagian obat; (4)
alat kesehatan; (5) benda-benda; (6) dokumen; (7) kesaksian-kesaksian;53
(8) kesaksian ahli;54 (9) petunjuk yang terkait langsung dalam pengabdian
profesi atau hubungan dokter – pasien yang masing-masing menjadi teradu
– pengadu atau para pihak.55
Pada saat penelaahan atau persidangan, MKEK dapat meminta

Y
diperlihatkan, diperdengarkan, dikopi, difoto, digandakan atau disimpankannya
barang bukti asli. Akan tetapi, pengadu dan atau teradu diberikan kebebasan
untuk menolak melakukan permintaan MKEK tersebut, dan selanjutnya
penolakan tersebut dicatat sebagai bahan pertimbangan MKEK dalam
menjatuhkan putusan.Yang menarik dalam pembuktian oleh mahkamah

M
MKEK adalah bahwa MKEK tidak berwenang melakukan penyitaan atas
barang bukti asli yang baik oleh pengadu dan teradu. Apabila barang-barang
bukti tersebut mengandung sesuatu yang diduga memiliki unsur pidana atau
perbuatan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
MKEK berhak meneruskannya kepada pihak yang berwenang.

M
Berdasarkan hasil pembuktian dalam persidangan Mahkamah MKEK,
maka majelis pemeriksa kemudian menjatuhkan Putusan.56
Apabila dijatuhkan Putusan bersalah, maka hal ini harus diikuti dengan
sanksi sekaligus cara, ciri dan lama pembinaan dokter terhukum/pelanggar

U
dari Majelis Pemeriksa atau Divisi Kemahkamahan MKEK terhadap hasil
penelaahan dan persidangan dugaan pelanggaran etika kedokteran terhadap
dokter teradu oleh pasien/keluarga pengadu.

D
53
Pasal 27 ayat (2) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia: “Saksi adalah tenaga medis, tenaga kesehatan, pimpinan sarana
kesehatan, komite medik, perorangan atau praktisi kesehatan lainnya yang mendengar atau
melihat atau yang ada kaitan langsung dengan kejadian/perkara atau dokter yang diadukan”
54
Pasal 27 ayat (3) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia: “Saksi ahli adalah dokter yang memiliki keahlian dan keilmuan
yang tidak terkait langsung dengan kejadian/perkara dan tidak memiliki hubungan keluarga
atau kedinasan dengan dokter teradu atau dengan pasien pengadu.”
55
Pasal 27 ayat (2) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia: “Petunjuk sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas dapat berupa
rekomendasi atau temuan badan advokasi/pengkajian profesi/badan lain sejenis di perangkat
dan jajaran IDI yang dapat ditentukan lebih lanjut oleh keputusan Ketua MKEK Pusat.”
56
Pasal 28 ayat (1) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia: “Putusan adalah ketentuan akhir berupa ketetapan bersalah
atau tidak bersalah dokter teradu, dengan berupa dinyatakannya melanggar atau tidak
melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia.”

228 Dinamika Hukum Pembuktian


E. Dinamika Etika Politik
Selama abad ke-20, ide tentang kode etik berkembang pesat disemua
bidang profesi, di dunia bisnis, bahkan di lingkungan kekuasaan pemerintahan
negara. Di Amerika misalnya, sekarang dari 50 negara bagian Amerika Serikat,
sudah ada 42 negara bagian yang membangun infrastruktur etik berupa kode

Y
etik dan kode perilaku, dilengkapi dengan terbentuknya Komisi Etik yang
bersifat permanen dalam rangka mengembangkan dan menegakkan kode
etik tersebut sebagai institusi yang bersifat mandiri (independent oversight
commission). Sistem kode etik dan kode perilaku terus berkembang dalam
praktik di semua bidang kehidupan, baik di ranah dunia usaha (market),

M
di ranah masyarakat (civil society), maupun di sektor publik dan dalam
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara (state). Dalam ranah
negara pun, sistem kode etik dan infrastruktur etik ini berkembang, baik di
lingkungan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun judikatif, serta di
lembaga-lembaga atau agencies yang bersifat independen.57

M
Di lingkungan cabang kekuasaan legislatif, berdasarkan Undang-Undang
MD3, telah dibentuk Mahkamah Kehormatan Dewan.58
Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Kehormatan 59 untuk Dewan
Perwakilan Daerah, sebagai bagian dari alat kelengkapan dewan, yang bertugas

U
untuk menegakkan kode etik bagi setiap anggota DPR dan anggota DPD.
Kode etik DPR adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota
DPR selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan,
citra, dan kredibilitas DPR. Setidaknya ada 16 (enam belas) kode etik yang
harus dijadikan pedoman oleh setia anggota Dewan Perwakilan Rakyat

D
selama menjalankan tugasnya, yakni: (1) Kode etik pada kepentingan

57
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm. 100.
58
Pasal 1 angka (4) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Mahkamah Kehormatan
Dewan, selanjutnya disingkat MKD adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.”
59
Pasal 89 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib: “Badan kehormatan
merupakan Alat Kelengkapan DPD yang bersifat tetap dalam pelaksanaan fungsi untuk
menjaga kehormatan dan menegakan kode etik.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 229


umum; 60 (2) Integritas; 61 (3) Hubungan dengan mitra kerja; 62 (4)
Akuntabilitas;63 (5) Keterbukaan dan Konflik Kepentingan;64 (6) Rahasia;65
(7) Kedisiplinan;66 (8) Hubungan dengan konstituen atau masyarakat;67
(9) Perjalanan Dinas;68 (10) Independensi:69 (11) Pekerjaan lain di luar
negeri; 70 (12) Hubungan dengan wartawan;71 (13) Hubungan dengan

Y
60
Kode etik pada kepentingan umum di antaranya, Pasal 2 ayat (1) Peraturan DPR RI
No. 1 Tahun 2015: “Anggota dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan
bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.”
61
Kode etik pada Integritas di antaranya, Pasal 3 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1
Tahun 2015: “ (1) Anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang
dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung DPR maupun di

M
luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat.”
62
Kode etik Hubungan dengan mitra kerja di antaranya, Pasal 4 Peraturan DPR RI
No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota harus bersikap profesional dalam melakukan hubungan
dengan Mitra Kerja; (2) Anggota dilarang melakukan hubungan dengan Mitra Kerjanya
untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.”
63
Kode etik Akuntabilitas di antaranya, Pasal 5 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015:
“(1) Anggota bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan

M
fungsi, tugas, dan wewenangnya demi kepentingan negara.”
64
Kode etik Keterbukaan dan Konflik Kepentingan di antaranya, Pasal 6 Peraturan
DPR RI No. 1 Tahun 2015: “ (1) Sebelum mengemukakan pendapatnya dalam pembahasan
suatu permasalahan tertentu, Anggota harus menyatakan di hadapan seluruh peserta Rapat
jika ada suatu keterkaitan antara permasalahan yang sedang dibahas dengan kepentingan
pribadinya di luar kedudukannya sebagai Anggota.”
Kode etik Rahasia diantaranya, Pasal 7 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Anggota

U
65

wajib menjaga Rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil Rapat yang dinyatakan
sebagai Rahasia sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan atau sampai dengan
masalah tersebut sudah dinyatakan terbuka untuk umum.”
66
Kode etik Kedisiplinan diantaranya, Pasal 8 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1)
Anggota harus hadir dalam setiap Rapat yang menjadi kewajibannya; (4) Anggota harus
aktif selama mengikuti Rapat terkait dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya.”

D
67
Kode etik Hubungan dengan konstituen atau masyarakat di antaranya, Pasal 9
Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota harus memahami dan menjaga kemaje­
mukan yang terdapat dalam masyarakat, baik berdasarkan suku, agama, ras, jenis kelamin,
golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, maupun pilihan politik.”
68
Kode etik Perjalanan Dinas di antaranya, Pasal 10 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun
2015: “(3) Anggota tidak boleh membawa Keluarga dalam suatu Perjalanan Dinas, kecuali
dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan atau atas biaya sendiri.”
69
Kode etik Independensi di antaranya, Pasal 11 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015:
“(1) Anggota MKD harus bersikap independen dan bebas dari pengaruh fraksinya atau
pihak lain dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya.”
70
Kode etik Pekerjaan lain di luar tugas kedewanan di antaranya, Pasal 12 Peraturan
DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Anggota wajib mendahulukan fungsi, tugas, dan wewenangnya
sebagai Anggota.”
71
Kode etik Hubungan dengan wartawan di antaranya, Pasal 13 Peraturan DPR RI
No. 1 Tahun 2015: “(2) Anggota dapat menjelaskan kepada wartawan mengenai data dan

230 Dinamika Hukum Pembuktian


tamu di lingkungan DPR;72 (14) Hubungan antara-anggota dengan alat
kelengkapan DPR;73
(15) Etika Persidangan;74 (16) Hubungan dengan Tenaga Ahli, Staf
Administrasi Anggota, dan Sekretariat Jenderal.75
Hak yang menarik dalam pengaturan tentang etika dalam UU MD3

Y
adalah,pelanggaran etik didefinisikan sebagai pelanggaran Peraturan
Perundang-undangan ataupun sebaliknya, pelanggaran Peraturan Perundang-
undangan oleh anggota merupakan pelanggaran kode etik.76
Pelanggaran etik oleh anggota Dewan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
jenis, yakni pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan pelanggaran berat.

M
Yang dimaksud dengan pelanggaran ringan adalah pelanggaran kode etik
dengan kriteria:
1. tidak mengandung pelanggaran hukum;
2. tidak menghadiri Rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam

M
1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat
Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan
yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi;
3. menyangkut etika pribadi dan Keluarga; atau,

U
4. menyangkut tata tertib Rapat yang tidak diliput media massa.

informasi yang didapatkan dalam Rapat, kecuali yang bersangkutan tidak menghadiri
Rapat, serta data dan informasi Rapat yang bersifat Rahasia”
72
Kode etik Hubungan dengan tamu di lingkungan DPR di antaranya, Pasal 14 Peraturan

D
DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota wajib menjaga hubungan profesional dengan tamu.”
73
Kode etik Hubungan antar-anggota dengan alat kelengkapan DPR di antaranya, Pasal
14 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Sesama Anggota harus saling menghormati dan
menghargai fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing sesuai dengan penugasan pada
alat kelengkapan DPR.”
74
Etika persidangan diantaranya, Pasal 16 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1)
Anggota wajib mematuhi tata cara rapat sebagaimana diatur dalam peraturan DPR yang
mengatur mengenai tata tertib.”
75
Hubungan dengan Tenaga Ahli, Staf Administrasi Anggota, dan Sekretariat Jenderal
diantaranya, Pasal 18 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota dilarang
melakukan diskriminasi dalam hal penentuan tenaga ahli dan staf administrasi Anggota
serta pemberian kompensasi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
76
Pasal 20 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014: “Pelanggaran peraturan perundang-
undangan oleh Anggota merupakan pelanggaran Kode Etik.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 231


Dimaksud dengan pelanggaran sedang adalah pelanggaran kode etik
dengan kriteria sebagai berikut:
1. mengandung pelanggaran hukum;
2. mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD;
3. mengulangi ketidakhadiran dalam rapat yang merupakan fungsi, tugas,

Y
dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat
paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen)
dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang
tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok
fraksi setelah sebelumnya mendapatkan sanksi ringan; atau,

M
4. menyangkut pelanggaran tata tertib Rapat yang menjadi perhatian publik.

Terhadap pelanggaran berat, yakni pelanggaran kode etik dengan kriteria


sebagai berikut;
1. mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi sedang oleh MKD;

M
2. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
3. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

U
tetap sebagai anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan yang sah;
4. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota sebagaimana ketentuan
mengenai syarat calon anggota yang diatur dalam undang–undang yang

D
mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
5. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang
yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
6. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau,
7. terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan
hukum tetap.

232 Dinamika Hukum Pembuktian


MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.77 Susunan
dan keanggotaan MKD berasal dari anggota DPR yang secara keseluruhan
berjumlah 17 (tujuh belas) orang, yang pengisiannya dilakukan dengan
memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi

Y
pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. MKD
adalah alat kelengkapan yang bertugas menegakkan etik, baik melaui upaya
pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan dilakukan melalui sosialisasi,
pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi, atau cara
lain yang ditetapkan oleh MKD. Adapun upaya penindakan dilakukan oleh

M
MKD dengan merujuk pada peraturan DPR yang mengatur mengenai tata
beracara MKD. Dalam rangka pencegahan, maka MKD bertugas melakukan
pemantauan terhadap perilaku anggota agar tidak melakukan pelanggaran
atas kewajiban anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

M
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.
Perkara yang diajukan ke MKD, dapat berupa perkara pengaduan, maupun
perkara tanpa pengaduan. Yang dimaksud perkara dengan pengaduan adalah: (a)

U
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (b)
tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang

D
sah; (c) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan
mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang yang
mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau,
(d) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang
yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

77
Pasal 119 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2014: “Mahkamah Kehormatan Dewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 233


Sedangkan yang dimaksud dengan perkara tanpa pengaduan adalah: (a)
tidak menghadiri rapat paripurna 40% (empat puluh persen) dari jumlah
rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari
pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi; (b) tidak menghadiri rapat
alat kelengkapan DPR 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat alat
kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah

Y
dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi; (c) pelanggaran terhadap
undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan
Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai tata tertib dan
Kode Etik yang menjadi perhatian publik; (d) tertangkap tangan melakukan

M
tindak pidana; dan, (f) terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan
yang berkekuatan hukum tetap.
Pengaduan dapat disampaikan baik oleh Pimpinan DPR atas aduan
anggota terhadap anggota, anggota terhadap Pimpinan DPR atau Pimpinan

M
AKD, maupun masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap
anggota,78
Pimpinan DPR, atau Pimpinan AKD.Pengaduan disampaikan secara
tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani atau diberi cap jempol

U
oleh Pengadu, serta setidak-tidaknya memuat: (a)identitas Pengadu;79
(b) identitas Teradu;80 dan, (c) uraian peristiwa yang diduga pelanggaran.
Berkenaan dengan uraian peristiwa yang diduga pelanggaran, maka yang
disampaikan adalah uraian singkat meliputi fakta perbuatan yang dilakukan
oleh Teradu dengan kejelasan tempat dan waktu terjadinya disertai bukti awal.

D
Setelah aduan diterima, maka sekretariat kemudian melakukan verifikasi

78
Pasal 6 ayat (3) Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2015: “Dalam hal Pengadu adalah
kelompok atau organisasi, identitas Pengadu dilengkapi akta notaris, struktur organisasi,
atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga organisasi beserta domisili hukum yang
dapat dihubungi.”
79
Pasal 6 ayat (2) Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2015: “Identitas Pengadu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi identitas diri yang sah paling sedikit meliputi:
(a) nama lengkap; (b) tempat tanggal lahir/umur; (c) jenis kelamin; (d) pekerjaan; (e)
kewarganegaraan; dan, (f) alamat lengkap/domisili.
80
Pasal 6 ayat (4) Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2015: “Identitas Teradu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: (a) nama lengkap; (b) nomor
anggota; (c) daerah pemilihan; dan, (d) fraksi/partai politik.”

234 Dinamika Hukum Pembuktian


terhadap kelengkapan berkas dan bukti yang diajukan. Apabila telah selesai
tahap verifikasi, maka sekretariat menyampaikan hasilnya kepada MKD,
untuk selanjutnya diadakan rapat untuk memutuskan tindak lanjut Perkara
Pengaduan dimaksud. Keputusan tindak lanjut dari suatu aduan, didasarkan
pada kelengkapan alat bukti.
Dalam hal penanganan perkara tanpa pengaduan, maka pelaksanaannya

Y
didasarkan pada: (a) usulan anggota MKD atau pimpinan MKD; atau (b) hasil
Verifikasi oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli terhadap pelanggaran yang tidak
memerlukan Pengaduan. Berbeda dengan perkara yang didahului pengaduan,
dalam perkara tanpa pengaduan, maka keputusan untuk melanjutkan
perkara tidak didasarkan pada kelengkapan alat bukti, melainkan cukup

M
dengan diputuskan dalam Rapat MKD. Apabila rapat memutuskan untuk
menindaklanjuti perkara, maka perkara dimaksud kemudian dicatat secara
administratif oleh Sekretariat dengan memberi nomor register perkara.
Sidang MKD dilaksanakan setelah rapat MKD memutuskan terhadap suatu
perkara untuk ditindaklanjuti. Pada dasarnya Sidang MKD bersifat tertutup,

M
kecuali dinyatakan terbuka oleh Sidang MKD. Dalam pengaturan Acara Sidang,
Ketua Sidang memberikan kesempatan yang sama bagi semua, baik Pengadu,
Teradu, bahkan Saksi dan juga Ahli selama proses persidangan.81 Pengadu
diberikan kesempatan untuk menjelaskan pokok-pokok aduannya, begitu

U
pula Teradu diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan, tanggapan,
dan pembelaan atas aduan yang disampaikan oleh pengadu. Begitu pula
halnya terhadap Saksi dan Ahli, oleh ketua sidang diberikan kesempatan yang
sama untuk menyampaikan keterangan dan pendapatnya, serta memberikan

D
81
Pasal 18 Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “(7) Ketua Sidang memeriksa
identitas, baik keadaan fisik maupun psikis Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli.; (8)
Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli mengucapkan sumpah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing sebelum menyampaikan keterangan dan pendapatnya
yang dipandu oleh Ketua atau anggota Sidang.; (9) Ketua Sidang memberikan kesempatan
kepada Pengadu untuk menjelaskan pokok-pokok aduannya.; (10) Ketua Sidang
memberikan kesempatan kepada Teradu untuk menyampaikan keterangan, tanggapan,
dan/atau pembelaan atas Pengaduan dari pihak Pengadu.: (11) Ketua Sidang memberikan
kesempatan kepada Saksi untuk menyampaikan keterangan dan Ahli untuk menyampaikan
pendapatnya sesuai dengan pokok Pengaduan. (12) Ketua Sidang memberikan kesempatan
kepada Pengadu dan Teradu untuk saling mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan atas
keterangan Saksi dan/atau pendapat Ahli jika dibutuhkan; (13) Ketua Sidang memberikan
kesempatan kepada anggota Sidang untuk mengajukan pertanyaan kepada Pengadu, Teradu,
Saksi, dan/atau Ahli.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 235


kesempatan terhadap Pengadu dan Teradu untuk memberikan tanggapan dan/
atau menanggapi terhadap keterangan atau pendapat Saksi dan Ahli.
Hal yang sama juga berlaku dalam hal pengajuan alat bukti, di mana
Pengadu dan Teradu diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan
alat bukti. Untuk kepentingan pembuktian dalam persidangan MKD, maka
dikenal alat bukti menurut 27 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015, yakni:

Y
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang

M
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna;

M
5. Keterangan Pengadu dan Teradu; dan/atau,
6. Petunjuk lain.

Saksi dapat diajukan baik oleh Pengadu, Teradu, maupun oleh Majelis
Kehormatan Dewan Sendiri. Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib

U
disumpah menurut agama dan/atau kepercayaannya. Pemeriksaan terhadap
saksi meliputi pemeriksaan atas identitas 82 dan pemeriksaan terhadap
pengetahuan Saksi tentang materi aduan yang sedang diverifikasi. Yang
dimaksud dengan pengetahuan saksi adalah pengetahuan yang terbatas pada

D
apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Sama halnya dengan Saksi, Ahli
juga dapat diajukan baik oleh Pengadu, Teradu, maupun Majelis Kehormatan
Dewan sendiri dan sebelum memberikan keterangan, Ahli wajib disumpah
menurut agama dan/atau kepercayaannya. Pemeriksaan Ahli meliputi
pemeriksaan atas identitas83 dan pengetahuan ahli. Yang dimaksud dengan

82
Pasal 29 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015: “Identitas Saksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: (a) nama lengkap; (b) tempat tanggal
lahir/umur; (c) jenis kelamin; (d) pekerjaan; dan, (e) alamat/domisili yang dibuktikan
dengan kartu tanda penduduk atau identitas resmi lainnya.”
83
Pasal 31 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Identitas Ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: (a) nama lengkap; (b) tempat,
tanggal lahir/umur; (c) jenis kelamin; (d) pekerjaan; (e) alamat/domisili; dan, (f) keahlian.”

236 Dinamika Hukum Pembuktian


pengetahuan Ahli adalah Pengetahuan yang didasarkan pada pendidikan,
keahlian, dan pengalamannya.
Alat bukti surat adalah surat asli atau salinan surat asli yang harus
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. jika alat bukti surat bukan merupakan
surat asli atau salinan yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang, maka
surat tersebut hanya bernilai sebagai alat bukti petunjuk. Alat bukti elektronik

Y
dapat berupa data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

M
Khusus untuk alat bukti elektronik, maka untuk menilai kebenarannya,
dapat diminta keterangan ahli yang di bidangnya. Berdasarkan alat bukti
yang diajukan dalam persidangan, maka majelis menilai untuk menentukan
sah atau tidaknya alat bukti, serta menilai alat bukti yang diajukan dalam
pemeriksaan dengan memerhatikan penyesuaian antara alat bukti yang satu

M
dan alat bukti yang lain, untuk mendapatkan keyakinan bagi majelis dalam
menjatuhkan putusan.
MKD dikenal juga penanganan khusus pelanggaran kode etik yang bersifat
berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk

U
Panel yang bersifat adhoc. Panel dibentuk untuk melaksanakan tugas
menyelidiki dan memverifikasi dugaan pelanggaran kode etik yang bersifat
berat serta melakukan persidangan secara tertutup.84
Guna melaksanakan tugasnya, maka Panel diberikan kewenangan, yakni:

D
(a) memanggil para pihak, Saksi, dan Ahli; (b) mengambil sumpah Saksi
dan/atau Ahli yang akan memberikan keterangan dan/atau pendapat dalam
acara pemeriksaan; (c) meminta keterangan para pihak, Saksi, dan/atau
pendapat Ahli; (d) memeriksa dan mengesahkan alat bukti dan barang bukti
yang disampaikan dalam acara pemeriksaan; dan (e) meminta alat bukti dan
barang bukti lainnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Panel melakukan rapat, yang terdiri dari
rapat persiapan Panel dan rapat akhir Panel. Rapat persiapan panel adalah

84
Pasal 46 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Tugas Panel meliputi: (a)
melaksanakan acara pemeriksaan; (b) membuat resume pemeriksaan; dan, (c) membuat
laporan Panel antara lain catatan rapat, risalah, pemeriksaan, dan berita acara pemeriksaan.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 237


rapat yang dilakukan sebelum dimulainya acara pemeriksaan, maka terlebih
dahulu diadakan rapat persiapan yang bertujuan untuk: (a) memeriksa
kesiapan pelaksanaan acara pemeriksaan; dan (B) mempersiapkan agenda
acara pemeriksaan.85 Setelah Panel selesai melakukan acara pemeriksaan, maka
dilaksanakanlah rapat akhir Panel.86 Rapat akhir Panel dilaksanakan dengan
tujuan: (a) mengevaluasi pelaksanaan acara pemeriksaan; (b)menyusun

Y
resume pemeriksaan yang dituangkan pada formulir; dan, (c) menyusun
putusan Panel untuk kemudian dituangkan dalam formulir sebagaimana yang
dilampirkan dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015.

F. Dinamika Etika di Penyelenggara Pemilu

M
Sebagai negara hukum modern, maka pemilihan umum setiap lima
tahunan, selalu berubah-ubah, disebabkan perkembangan demokrasi,
dan kebutuhan model-model pemilihan umum, yang terus mengalami
perkembangannya.

M
Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri di era
reformasi yang kurang prospektif, bahkan begitu berharganya pemilu
dibutuhkan sebuah lembaga khusus yang secara permanen melakukan
penegakan kode etik guna menghasilkan pemilu yang tidak saja luber, jurdil,

U
tapi meningkatkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.
Untuk itulah maka dibentuklah Dewan Kehormatan Penyelenggaraan
Pemilihan Umum atau yang disingkat DKPP, sebagai lembaga baru dalam
praktik demokrasi di Indonesia.87 Keberadaan DKPP bukanlah hal yang sama
sekali baru karena sebelumnya sudah ada yang namanya Dewan Kehormatan

D
Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) sejak 2008. DK KPU adalah institusi
etik yang difungsikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran
kode etik bagi penyelenggara. Namun, wewenangnya tidak begitu kuat,

85
Pasal 53 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Rapat persiapan Panel
dilaksanakan sebelum dimulainya acara pemeriksaan.”
86
Pasal 54 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Rapat akhir Panel
dilaksanakan setelah acara pemeriksaan selesai dan perkara dinyatakan ditutup.”
87
Pasal 1 angka (22) UU No. 15 Tahun 2011: “Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran
kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
Pemilu.”

238 Dinamika Hukum Pembuktian


lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan
hingga memberikan rekomendasi pada KPU dan bersifat adhoc.88
DKPP secara resmi dibentuk tanggal 12 Juni 2012. Sejak dibentuk,
DKPP langsung aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan produktif,
namun tetap dalam bingkai amanat UU. Salah satu perubahan mendasar
dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 menjadi UU No. 15 Tahun 2011 adalah

Y
terdapat upaya lembaga legislatif dan eksekutif melakukan penataan pada
kualitas penyelenggaraan pemilu dengan meningkatkan status, tugas, fungsi,
dan wewenang kelembagaan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum
(DK-KPU) menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang
lebih kuat.

M
Pada masa transisi mencari bentuk menjadi lembaga peradilan etika yang
independen dan mandiri, DKPP menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang
berdasarkan amanat UU No. 15 Tahun 2011, khususnya berkaitan dengan
bagaimana membangun infrastruktur teknis operasional peraturan perundang-
undangan, sehingga disusunlah Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP

M
No. 13 Tahun 2012, 11 Tahun 2012, dan 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013 tentang
Pedoman Beracara DKPP, Serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2013 tentang
Pemeriksaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Daerah.89

U
DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibukota negara. DKPP dibentuk
untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya
dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota
KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS,

D
anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota
Bawaslu Provinsi dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu
Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas
Pemilu Luar Negeri. Untuk melaksanakan tugasnya, maka DKPP menyusun
dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan
kredibilitas anggota seluruh unsur penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat
Pusat sampai kepada pengawas pemilu lapangan, baik yang ada di dalam
negeri, maupun yang ada di luar negeri. Kode etik ini bersifat mengikat serta
wajib dipatuhi oleh seluruh unsur penyelanggara pemilu.

88
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm., 278.
89
Ibid., hlm., 280.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 239


Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah satu kesatuan landasan norma
moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara
pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan
dalam semua tindakan dan ucapan. Dalam menyelenggarakan pemilu,
penyelenggara pemilu berpedoman pada asas-asas sebagai beriku: (a) Mandiri;
(b) Jujur; (c) Adil; (d) Kepastian Hukum; (e) Tertib; (f) Kepentingan Umum;

Y
(g) Keterbukaan; (h) Proporsionalitas; (i) Profesionalitas; (j) Akuntabilitas;
(k) Efisiensi; dan, (l) Efektivitas.Adapun yang menjadi prinsip dasar dan etika
perilaku penyelenggara pemilu meliputi: Kewajiban penyelenggara pemilu
terhadap negara:90
Kewajiban penyelenggara pemilu terhadap lembaga penyelenggara

M
pemilu:91 Kewajiban penyelenggara pemilu terhadap masyarakat;92
Kewajiban penyelenggara pemilu terhadap penyelenggaraan pemilu;93

90
Pasal 6 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “ (a)
menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

M
1945, dan peraturan perundang-undangan; (b) menjunjung tinggi kepentingan bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) menunjukkan penghargaan dan kerja sama
dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan, (d) menjaga dan memelihara nama baik Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
91
Pasal 7 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “(a)

U
memelihara dan menjaga kehormatan lembaga Penyelenggara Pemilu; (b) menjalankan
tugas sesuai visi, misi, tujuan, dan program lembaga Penyelenggara Pemilu; (c) menjaga
rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia
sampai batas waktu yang telah ditentukan atau sampai masalah tersebut sudah dinyatakan
untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (d)
menghargai dan menghormati sesama lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku

D
kepentingan Pemilu; dan, (e) melakukan segala upaya yang dibenarkan etika sepanjang tidak
bertentangan dengan perundang-undangan sehingga memungkinkan bagi setiap penduduk
yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak memilihnya.”
92
Pasal 8 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “(a)
menjaga dan memelihara tertib sosial dalam penyelenggaraan Pemilu; (b) mengindahkan
norma dalam penyelenggaraan Pemilu; dan, (c) menghormati kebhinnekaan masyarakat
Indonesia.”
93
Pasal 9 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “(a)
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) menjunjung tinggi sumpah/janji
jabatan dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya; (c)
menjaga dan memelihara netralitas, imparsialitas, dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu
yang jujur, adil, dan demokratis; (d) tidak mengikutsertakan atau melibatkan kepentingan
pribadi maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajibannya;
(e) melaksanakan tugas-tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, undang-undang, peraturan
perundang-undangan, dan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu; (f)

240 Dinamika Hukum Pembuktian


Nilai-nilai etik yang diuraikan di atas, wajib dipatuhi dan dijadikan
pegangan oleh setiap penyelenggara pemilu, demi mewujudkan pemilu yang
dicita-citakan. Demikian pentingnya etika penyelenggra pemilu, dikarenakan
pengaruhnya secara langsung terhadap kualitas dan hasil pemilu. Oleh karena
itu, merupakan hal yang tidak bisa disangkal lagi akan pentingnya kehadiran
DKPP untuk menegakkan etika penyelenggara pemilu.94 Dalam penegakan

Y
etik oleh DKPP, maka secara garis besar ada 4 (empat) tahapan yang meliputi:
Pengaduan dan/atau Laporan;95 penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan
atas pengaduan dan/atau laporan:96 Persidangan dan Menetapkan Putusan;97
menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
Pengaduan dan/atau Laporan terhadap dugaan pelanggaran kode etik

M
dapat diajukan langsung kepada DKPP atau melalui rekomendasi kepada DPR.
Pengaduan dan/atau laporan dimaksud, dapat diajukan oleh: (a) Penyelenggara
Pemilu; (b) Peserta Pemilu; (c) tim kampanye; (d) masyarakat; dan/atau

mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, baik

M
langsung maupun tidak langsung; (g) menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau
jasa atau pemberian lainnya yang apabila dikonversi melebihi standar biaya umum dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) jam, dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun
tidak langsung dari calon peserta pemilu, peserta pemilu, calon anggota DPR dan DPRD,
dan tim kampanye; (h) mencegah atau melarang suami/istri, anak, dan setiap individu
yang memiliki pertalian darah/semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami/istri

U
yang sudah bercerai di bawah pengaruh, petunjuk, atau kewenangan yang bersangkutan,
untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman
atau bantuan apa pun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu; (i)
menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungan keluarga atau sanak
saudara dengan calon, peserta pemilu, atau tim kampanye.”
94
Pasal 111 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2011: “Tugas DKPP meliputi: (a) menerima

D
pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara
pemilu; (b) melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan
dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; (c)
menetapkan putusan; dan, (d) menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk
ditindaklanjuti.”
95
Pasal 1 angka (3) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Pengaduan dan/atau Laporan
adalah pengaduan dan/atau laporan tentang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu yang diajukan secara tertulis oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim
kampanye, masyarakat, pemilih, dan rekomendasi DPR.”
96
Pasal 1 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “ayat (6) Verifikasi Administrasi adalah
pemeriksaan formal dalam rangka pemeriksaan kelengkapan persyaratan pengaduan dan/
atau laporan; ayat (7) Verifikasi Materiil adalah pemeriksaan terhadap indikasi pelanggaran
Kode Etik dari pengaduan dan/atau laporan.”
97
Pasal 1 angka (8) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Persidangan adalah sidang-
sidang yang dilakukan oleh DKPP untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan
pelanggaran Kode Etik yang diadukan atau dilaporkan kepada DKPP.”

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 241


(e) pemilih.Pengaduan dan/atau laporan dugaan pelanggaraan kode etik
disampaikan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 8 (delapan)
rangkap, serta setidak-tidaknya harus memuat: Identitas lengkap Pengadu
dan/atau Pelapor;98 Identitas Teradu dan/atau Terlapor;99 Alasan pengaduan
dan/atau laporan;100 dan, Permintaan kepada DKPP untuk memeriksa dan
memutus dugaan pelanggaran Kode Etik.

Y
Pengaduan dan/atau laporan kepada DKPP dapat dilakukan baik
secara langsung maupun secara tidak langsung.101 Secara langsung adalah
pengaduan dan/atau laporan yang disampaikan langsung melalui petugas
penerima pengaduan, sedangkan secara tidak langsung adalah pengaduan
dan/atau laporan yang disampaikan melalui media elektronik ataupun media

M
nonelektronik.102
Pengaduan dan/atau laporan dijukan dengan disertai sedikitnya 2 (dua)
alat bukti. Adapun alat bukti dalam peradilan etik di DKPP, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013, adalah:

M
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;

98
Pasal 6 ayat (1) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Pengaduan dan/atau Laporan

U
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diajukan dengan mengisi formulir dan melampirkan:
(a) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas lain Pengadu dan/atau Pelapor; (b)
surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pengadu dan/atau Pelapor; dan, (c) alat bukti.”
99
Pasal 5 ayat (4) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Identitas Teradu dan/atau
Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat: (a) nama
lengkap; (b) jabatan; dan, (c) alamat kantor.”

D
100
Pasal 5 ayat (5) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Alasan Pengaduan dan/atau
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c memuat uraian jelas mengenai
tindakan atau sikap Teradu dan/atau Terlapor yang meliputi: (a) waktu perbuatan dilakukan;
(b) tempat perbuatan dilakukan; (c) perbuatan yang dilakukan; dan, (d) cara perbuatan
dilakukan.”
101
Pasal 9 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Jika Teradu dan/atau Terlapor adalah
Penyelenggara Pemilu yang menjabat sebagai: (a) anggota KPU; (b) anggota Bawaslu; (c)
anggota KPU Provinsi atau KIP Aceh; (d) anggota Bawaslu Provinsi; (e) anggota Panitia
Pemilihan Luar Negeri; atau, (f) anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri. Pengaduan dan/
atau Laporan diajukan langsung kepada DKPP.”
102
Pasal 9 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Jika Teradu dan/atau Terlapor adalah
Penyelenggara Pemilu yang menjabat sebagai: (a) anggota KPU Kabupaten/Kota atau KIP
Kabupaten/Kota; (b) anggota Panwaslu Kabupaten/Kota; (c) anggota PPK; (d) anggota
Panwaslu Kecamatan; (e) anggota PPS; (f) anggota Pengawas Pemilu Lapangan; atau, (g)
anggota KPPS. Pengaduan dan/atau Laporan diajukan kepada DKPP melalui Bawaslu
Provinsi.”

242 Dinamika Hukum Pembuktian


3. Surat atau tulisan;
4. Petunjuk; dan,
5. Data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar,

Y
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.

Dalam hal Pengaduan telah diterima oleh DKPP, maka tahapan selanjutnya
adalah terhadap aduan tersebut dilakukan verifikasi yang meliputi verifikasi

M
administrasi dan administrasi materiil. Dalam verifikasi administrasi, setiap
berkas pengaduan akan dicek untuk menentukan apakah memenuhi syarat-
syarat administrasi yang meliputi: (a) kelengkapan identitas lengkap Pengadu
dan Teradu; (b) alasan pengaduan diajukan; (c) permohonan kepada DKPP
untuk memeriksa dan memutus perkara yang diadukan; (d) uraian yang

M
ringkas dan jelas mengenai tindakan, perbuatan, dan sikap Teradu; dan/atau
(e) waktu perbuatan dimaksud dilakukan; (e) tempat perbuatan tersebut
dilakukan; (f) lingkup perbuatan apa saja yang dilakukan atau disangkakan
kepada Teradu; dan (g) bagaimana atau dengan cara apa perbuatan tersebut
dilakukan.103

U
Terhadap Pengaduan yang belum lengkap secara administratif, maka
DKPP dalam paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak pengaduan diterima, akan
memberitahukan pengaduan dan/atau laporan dimaksud untuk diperbaiki.
Perbaikan terhadap Pengaduan harus diselesaikan paling lambat 5 (lima)

D
hari sejak pemberitahuan diterima,apabila pengadu dan/atau pelapor tidak
melengkapi atau memperbaiki pengaduan dan/atau laporan dalam batas waktu
yang ditentukan, DKPP menyatakan Pengaduan dan/atau Laporan tidak dapat
diterima. Sebaliknya, apabila pengaduan dan/atau laporan telah dinyatakan
lengkap dan memenuhi syarat, maka terhadap pengadu dan/atau pelapor atau
kuasanya diberikan surat tanda terima pengaduan dan/atau Laporan.

103
DKPP RI, Outlook 2016: Refleksi dan Proyeksi untuk Kemandirian, Integritas dan
Kredibilitas Penyelenggara Pemilu. (Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
Republik Indonesia, 2016), hlm. 37.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 243


Setelah verifikasi administratif selesai dan dinyatakan lengkap serta
memenuhi syarat, maka verifikasi dilanjutkan pada tahap verivikasi materiil.
Verifikasi Materiil merupakan langkah berikutnya setelah berkas pengaduan
dinyatakan memenuhi dari verifikasi administrasi, sekurang-kurangnya
memeriksa: (a) Konstruksi perbuatan yang dilakukan sehingga diadukan;
(b) Unsur-unsur perbuatan yang dilakukan, apakah memenuhi kualifikasi

Y
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu?; (c) Apakah perbuatan yang
diadukan tersebut memiliki kaitan dengan tempat (locus), waktu (tempus), dan
perbuatan dilakukan (focus); (d) keterkaitan antara konstruksi perbuatan yang
diadukan/disangkakan didukung bukti-bukti yang memadai dengan minimal
terpenuhinya 2 (dua) alat bukti; dan (e) Relevansi antara perbuatan dengan

M
setidaknya 2 (dua) alat bukti. Titik tekan (stressing) dalam verifikasi materiil
ini adalah substansi dan materi keterpenuhan berkas yang diajukan pengadu.104
Verifikasi materiil dilakukan untuk menentukan apakah pengaduan dan/
atau laporan memenuhi unsur pelanggaran Kode Etik. Hasil verifikasi materiil
adalah: (a) terdapat dugaan pelanggaran Kode Etik; atau (b) tidak terdapat

M
dugaan pelanggaran Kode Etik.Apabila verifikasi menentukan terdapat dugaan
pelanggaran kode etik, maka terhadap pengaduan dan/atau laporan kemudian
dicatat dalam buku registrasi perkara, dan untuk selanjutnya ditetapkan jadwal
persidangan.105

U
Rangkaian penanganan Pengaduan dan/atau laporan pelanggaran kode
etik penyelenggara pemilu bermuara pada sidang DKPP. Sidang berfungsi dan
bertujuan untuk memeriksa, mengadili dan memutus dugaan pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu terhadap pengaduan dan atau laporan yang
dinyatakan memenuhi syarat baik syarat formal maupun syarat materiil.Setelah

D
pengaduan dan atau laporan dinyatakan naik sidang, oleh Bagian Persidangan
diregistrasi dalam buku perkara untuk selanjutnya persiapan dilakukan untuk
melaksanakan suatu persidangan, di antaranya menyusun jadwal persidangan,
mempersiapkan berkas dan resume pengaduan dan/atau laporan, konfirmasi
majelis pemeriksa, undangan para teradu, undangan Pengadu serta berbagai
kelengkapan teknis pelaksanaan sidang. Persidangan dimulai dengan sidang

Ibid., hlm. 41.


104

Pasal 22 ayat (1) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “DKPP menetapkan jadwal
105

sidang dalam waktu paling lambat 2 (dua) Hari setelah Pengaduan dan/atau Laporan
diverifikasi dan dicatat dalam buku registrasi perkara.”

244 Dinamika Hukum Pembuktian


pemeriksaan awal yang dipimpin oleh salah satu Majelis DKPP untuk
mengecek dan perkenalan para pihak baik Pengadu dan atau Pelapor, saksi,
pihak terkait. Dilanjutkan dengan penyampaian pokok-pokok dalil aduan,
jawaban dan keterangan Para Teradu, pemeriksaan alat bukti, dokumen, saksi,
keterangan pihak terkait serta segala hal terkait dengan proses pemeriksaan
dan pembuktian di persidangan.106

Y
Pada garis besarnya terdapat 3 (tiga) jenis sidang yang dikenal di
lingkungan DKPP, yakni sidang reguler, sidang jarak jauh melalui sarana
dan prasarana video conference yang difasilitasi oleh Mabes Polri dan jajaran
Polda se-Indonesia, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan jajaran Kejaksaan
Tinggi, dan Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi serta sidang setempat yang

M
dilakukan di Kantor KPU maupun Bawaslu Provinsi seTanah Air. Sidang
Reguler adalah sidang yang digelar secara tatap muka antarpihak di Ruang
Sidang DKPP, dengan Panel paling kurang terdiri atas 2 (dua) orang anggota
DKPP dengan seorang di antaranya menjadi Ketua Majelis Sidang. Sedangkan
Sidang Jarak Jauh Melalui Video Conference adalah sidang yang digelar

M
secara jarak jauh melalui sarana dan prasarana video conference baik yang
difasilitasi Mabes Polri dan jajaran Polda maupun Kejaksaan Agung dan
jajaran Kejaksaan Tinggi, serta Bawaslu dan Bawaslu Provinsi. Adapun Sidang
Setempat adalah sidang yang dikoordinasi secara teknik dengan mengutus

U
2 (dua) orang staf Bawaslu Provinsi yang diperbantukan sebagai staf DKPP
di daerah. Dalam sidang ini DKPP telah membentuk dan melibatkan Tim
Pemeriksa di Daerah (TPD) di setiap provinsi, terdiri atas seorang anggota
unsur KPU provinsi, seorang anggota unsur Bawaslu provinsi, dan 2 (dua)
tokoh masyarakat, serta dengan seorang anggota DKPP menjadi Ketua

D
Majelis. Dengan demikian, dalam setiap persidangan akan terdapat 5 (lima)
panel majelis sidang.107
Produk akhir dari rangkaian sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode
etik penyelenggara Pemilu oleh DKPP adalah putusan. Putusan diambil melalui

106
Pasal 34 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Acara Pemeriksaan meliputi:
(a) memeriksa kedudukan hukum Pengadu dan/atau Pelapor; (b) mendengarkan
pokok Pengaduan dan/atau laporan yang diajukan oleh Pengadu dan/atau Pelapor; (c)
mendengarkan keterangan dan/atau jawaban Teradu dan/atau Terlapor; (d) mendengarkan
keterangan saksi; (e) mendengarkan pendapat ahli; (f) mendengarkan keterangan pihak
terkait; dan, (g) memeriksa dan mengesahkan alat bukti dan barang bukti.”
107
DKPP RI, Op.Cit, hlm. 62.

Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 245


Rapat Pleno anggota DKPP.108 Rapat Pleno pengambilan keputusan hanya
dapat dilakukan terhadap perkara yang pemeriksaannya telah dinilai cukup dan
dinyatakan selesai oleh Majelis Pemeriksa. Keputusan akhir terhadap suatu
perkara dapat diambil secara musyawarah mufakat atau pemungutan suara
(voting) manakala tidak memungkinkan tercapainya mufakat. Anggota DKPP
yang tidak sependapat (dissenting opinion) dengan keputusan akhir terhadap

Y
suatu perkara dapat mencantumkan pendapatnya yang berbeda tersebut di
dalam putusan. Satu dokumen putusan dapat memuat lebih dari satu nomor
perkara. Sehingga antara jumlah dokumen putusan dengan jumlah perkara
yang ditangani DKPP tidaklah sama. Amar putusan DKPP dapat menyatakan:
1. Pengaduan dan/atau Laporan tidak dapat diterima;

M
2. Teradu dan/atau Terlapor terbukti melanggar; atau,
3. Teradu dan/atau Terlapor tidak terbukti melanggar.

Apabila dalan amar putusan DKPP menyatakan Pengaduan dan/atau


Laporan tidak dapat diterima atau Teradu dan/atau Terlapor tidak terbukti

M
melanggar, maka DKPP melakukan rehabilitasi kepada Teradu dan/atau
Terlapor. Sebaliknya, jika amar putusan DKPP menyatakan Teradu dan/atau
Terlapor terbukti melanggar, maka DKPP memberikan sanksi berupa:
1. teguran tertulis;

U
2. pemberhentian sementara; atau
3. pemberhentian tetap.

D
Pasal 41 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “(1) Penetapan putusan dilakukan
108

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah sidang pemeriksaan dinyatakan selesai; (2)


Sidang pembacaan putusan dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak rapat
pleno penetapan putusan; (3) Rapat pleno DKPP dilakukan secara tertutup yang diikuti
oleh seluruh anggota DKPP dengan dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP;
(4) Rapat pleno DKPP mendengarkan penyampaian berita acara Persidangan; (5) DKPP
mendengarkan pertimbangan atau pendapat tertulis para anggota DKPP untuk selanjutnya
menetapkan putusan; (6) Penetapan keputusan dalam rapat pleno DKPP dilakukan secara
musyawarah untuk mufakat.; (7) Dalam hal tidak tercapai musyawarah untuk mufakat
dalam penetapan keputusan bagaimana dimaksud pada ayat (5) maka dilakukan berdasarkan
suara terbanyak secara langsung atau melalui pemungutan suara elektronik.; (8) Dalam
hal terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan menyangkut hal ikhwal yang luar
biasa, setiap anggota majelis yang berpendapat berbeda dapat menuliskan pendapat yang
berbeda sebagai lampiran putusan.”

246 Dinamika Hukum Pembuktian


Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Penyelenggara pemilu wajib
melaksanakan putusan DKPP paling lama 7 (tujuh) hari sejak putusan
dibacakan. Adapun yang melakukan pengawasan dalam pelaksanaan putusan
DKPP adalah Bawaslu. Putusan DKPP disampaikan kepada Teradu dan/atau
Terlapor dan Pengadu dan/atau Pelapor serta pihak terkait lainnya untuk
ditindaklanjuti. Lebih jauh, jika selama pemeriksaan, DKPP menemukan

Y
dugaan pelanggaran di luar pelanggaran Kode Etik, DKPP menyampaikan
rekomendasi kepada lembaga dan/atau instansi terkait untuk ditindaklanjuti.

M
M
U
D
Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik 247
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAGIAN KEENAM

PERADILAN POLITIK
DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Negara dengan sistem konstitusi, yang terukur, menandakan suatu


keharusan dalam suatu negara hukum modern. Sehingga setiap langkah,
kewenangan apa pun dalam negara hukum, selalu dibatasi oleh konstitusi.
Kedudukan, fungsi dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari
zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki
dengan kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi
berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa, yang
kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat
dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah
perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan
perannya, dari sekadar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat
terhadap terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas
rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem
monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas
dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai
ideologi, seperti individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan
sebagainya. Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh
ideologi yang melandasi negara.1

1
Nimatul Huda. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di Mahkamah
Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2016), hlm. 1-2.

249
Berbagai rentang sejarah penerapan kontrol konstitusi terhadap
kewenangan penguasa, selalu mendapatkan perlawanan, maka Mahkamah
Konstitusi menjadi harapan masyarakat guna mencari keadilan, guna
mewujudkan hak-hak politik masyarakat.
Dalam catatan sejarah, judicial review kali pertama muncul dalam praktik
hukum di Amerika serikat, melalui putusan supreme court Amerika serikat dalam

Y
perkara Merbury vs Madison tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review
tidak tercantum dalam undang-undang dasar Amerika Serikat. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi (MK), secara teoretis diperkenalkan oleh Hans Kelsen
(1881-1973), yakni pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin, hanya jika suatu organ selain badan legislatif, diberikan

M
tugas untuk menguji. Apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau
tidak, dan juga tidak diperlakukannya, jika menurut organ ini produk badan
legislatif tersebut tidak konstitusional.
Ide Hans Kelsen, dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Selanjutnya dalam

M
rentang sejarah, suatu momentum perubahan UUD pada era reformasi, ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, diterima keberadaannya,
sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan undang-undang dasar
dalam bentuk undang-undang. Selain itu pembentukan Mahkamah Konstitusi

U
didorong oleh berbagai alasan, yakni sebagai negara hukum, terjadinya
perubahan UUD, yang mengakibatkan pergeseran hubungan kekuasaan negara
secara besar-besaran.2
Sesungguhnya dalam rangka memberdayakan Mahkamah Agung, Ikatan

D
Hakim Indonesia (IKAHI), telah lama memperjuangkan agar Mahlamah
Agung diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945, sebagai salah satu strategi, yang dicetuskan sejak tahun 1970 –an,
untuk memperdayakan Mahkamah Agung. Strategi yang diusulkan itu juga
meliputi pembatasan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali, untuk
mengurangi beban tunggakan perkara yang terlalu besar, yang kebanyakana
dilihat dari sudut hukum, sudah jelas terbukti dan tidak ada masalah
hukum penting yang harus diperiksa Mahkamah Agung, yang merupakan
salah penerapan maupun melampaui wewenangnya. Strategi lain, adalah

2
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan
Demokrasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK, 2008), hlm. 3-5.

250 Dinamika Hukum Pembuktian


mewujudkan sistem satu atap, yang memberi kewenangan pada Mahkamah
Agung, untuk menangani dan mengawasi, kewenangan dan dan organisasi,
sehingga dapat menjamin kemandirian Mahkamah Agung, tuntutan tersebut
tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius dalam waktu yang cukup
lama. Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi di
tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat drastis, dalam kehidupan sosial

Y
politik dalam kehidupan sosial, politik dan hukum di Indonesia. Diawali
dengan perubahan UUD 1945.3
Kehadiran lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi, adalah sebagai
suatu kelengkapan pentingnya peran tersendiri, dari MK, untuk menentukan
kontrol yudisial terhadap kerja perundang-undangan, yang bertentangan dan

M
melahirkan korban konstitusional, juga berbagai sengketa pemilihan umum,
serta sengketa antarlembaga, dan mengadili tentang Presiden yang diduga
melanggar konstitusi. Semuanya dapat dipandang bahwa MK adalah suatu
peradilan politik. Sebagai peradilan politik maka masalah-masalah yang
ditemukan dalam praktiknya, menjadi suatu tantangan, terutama memaknai

M
pembuktian, dengan berbagai misterinya.

A. Problematika Kewenangan Mengadili

U
Konstitusi merupakan aturan dasar ketatanegaraan, yang dibuat oleh
masyarakat guna memberikan arah dalam penyelengaraan pemerintahan
negara. Konstitusi merupakan realisasi, dari demokrasi yang berisi kesepakatan
tentang pembatasan kekuasaan negara oleh rakyat dan bukan sebaliknya.
Kebebasan ditentukan oleh penguasa. Konstitusi sebagai alat pembatas

D
penguasa, agar tidak melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
harus memuat. Pembatasan wewenang antarlembaga negara legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai
hasil perjanjian. Harus adanya lembaga yang menjaga, agar konstitusi tetap
dapat dijalankan dengan baik, dan sesuai dengan cita cita negara.4

3
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), hlm. 3-4.
4
Syarif dan Achmad Rizky Pratama. Mengungkap Wajah Peradilan Tata Negara Indonesia,
(Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 13.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 251


Pasal 24C ayat (1),(2) UUD 1945, telah menggariskan wewenang
Mahkamah Konstitusi sebagai berikut;5 Wewenang Mahkamah Konstitusi, secara
khusus, diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yakni;
Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Memutus pembubaran partai politik,

Y
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi
wajib memberi putusan atas pendapat DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela lainnya, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau

M
wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.6
Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk, dan terdaftar di
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan parameter, sebagaimana

M
ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yakni dalam membentuk peraturan perundang-undangan,
harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, meliputi; kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk

U
yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan,
kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Tentang memutus sengketa kewenangan lembaga negara, yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yakni dibatasi, oleh lembaga
negara yang memperoleh kewenangannya menurut UUD 1945. Sehingga

D
lembaga negara tersebut, harus merupakan organ konstitusi, yaitu yang
dibentuk atas konstitusi, maupun secara langsung wewenangnya diatur
dan diturunkan dari UUD 1945. Memutus pembubaran Partai Politik, yakni

5
Pasal (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-
undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilu. (2). Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
6
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm.
11-12.

252 Dinamika Hukum Pembuktian


yang mempunyai standing untuk mengajukan pembubaran partai politik,
sebagaimana yang diatur dalam pasal 68 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi hanya pemerintah, yaitu pemerintahan pusat, sebagai satu kesatuan
di bawah pimpinan Presiden. Dengan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk
menguraikan dengan jelas. Ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai
politik. Yang kesemuanya bertentangan dengan UUD 1945.

Y
Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan
pendaftaran partai pada pemerintah. Pembubaran partai politik diatur juga
dalam Undang-Undang tentang Partai Politik. Tentang Memutus perselisihan
hasil Pemilihan Umum. Sebagai pemohonnya adalah perorangan warga negara
Indonesia calon anggota DPD peserta pemilihan umum. Pasangan calon

M
Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum, serta peserta partai
politik. Menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum, meskipun asal
perselisihan pada daerah tertentu, terutama mengenai salah perhitungan yang
dilakukan oleh KPU, dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.
Selanjutnya adalah Impeachment Presiden/Wakil Presiden. Terutama adanya

M
pengkhianatan, korupsi, tindak pidana berat, perbuatan tercela, serta tidak
memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden.7
Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang
didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan, dalam pemeriksaan perkara,

U
merupakan bagian yang paling penting dalam hukum acara di pengadilan. Di
dalamnya terkait erat persoalan hak-hak hukum dan bahkan hak asasi manusia,
setiap orang atau pihak pihak yang dipersangkakan telah melakukan pelanggaran
hukum. Lebih-lebih dalam hukum pidana, dimana seseorang dapat didakwa
telah melakukan perbuatan pidana tertentu, yang apabila berdasarkan alat-

D
alat bukti, yang diajukan disertai oleh keyakinan hakim menyatakan bersalah,
padahal sebenarnya tidak bersalah. Sehingga putusan hakim berdasarkan
pembuktian, yang dilakukan itu dapat menyebabkan orang yang bersalah bebas
tanpa ganjaran. Sedangkan orang yang sama sekali tidak bersalah, menjadi
terpidana, dengan cara yang sangat tidak adil. Karenanya pembuktian yang
dikembangkan oleh hakim, haruslah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan,
sehingga dapat sungguh-sungguh menghasilkan keadilan.8

Ibid., hlm. 11-40.


7

Jimly Asshiddihie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi Press,


8

2006), hlm. 201.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 253


Proses peradilan konstitusi, dalam perkara pengujian undang-undang,
diawali dengan persoalan konkret orang perorang, yang dinyatakan memiliki
legal standing, untuk berperkara, tetapi substansi perkara yang dipermasalahkan,
oleh pemohon, adalah menyangkut undang-undang, yang berisi norma hukum
yang bersifat umum dan abstrak. Oleh karena proses peradilan dalam perkara
pengujian undang-undang, berkaitan erat dengan kepentingan umum. Jika

Y
suatu norma dalam undang-undang terbukti, dengan UUD, dan karena itu
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka alasan
yang dipakai untuk itu, haruslah didasarkan atas pertimbangan kepentingan
umum, yaitu setidak-tidaknya untuk kepentingan umum, yang lebih besar
dan lebih luas. Malahan jika dikaitkan dengan kenyataan, bahwa putusan

M
Mahkamah konstitusi, sangat luas dampaknya, kepada tertib hukum, yang
diharapkan melindungi kepentingan umum itu, maka mau tidak mau, hakim
konstitusi haruslah membuat keputusan berdasarkan, pembuktian yang benar-
benar sangat mendalam. Setiap undang-undang yang telah disyahkan, menjadi
norma hukum yang mengikat untuk umum, dapat dikatakan mencerminkan

M
kehendak mayoritas, suara rakyat yang berdaulat di suatu negara. Sebabnya
ialah, setiap undang-undang yang disahkan, menjadi norma hukum yang
berlaku mengikat untuk umum, adalah produk hukum yang telah mendapatkan
persetujuan. Pembuktian dalam perkara pengujian undang-undang, haruslah
diorientasikan, untuk menemukan kebenaran hakiki, dari pokok persoalan,

U
yang sedang diuji nilai konstitusionalnya. Jika pembuktian hanya terpaku
pada hal-hal yang bersifat formal. Niscaya para hakim konstitusi tidak dapat
menemukan kebenaran yang terdapat di balik layar (the underlying truth). Karena
itu, walaupun pihak tidak mengajukan bukti-bukti yang memadai. Para hakim

D
karena jabatannya, secara ex-officio, wajib menggali sendiri, kebenaran materiil
dimaksud, untuk sampai pada keyakinan dalam menjatuhkan putusan, yang
bersifat final dan mengikat.9
Tentang beban pembuktian berdasarkan Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-undang. Ditentukan, bahwa pembuktian dibebankan
kepada pemohon. Bilamana dimungkinkan. Hakim dapat memerintahkan
pembebanan pembuktian kepada Termohon Presiden dan atau DPR atau
pihak yang terkait. Pasal 18 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/

9
Ibid., hlm. 205.

254 Dinamika Hukum Pembuktian


PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-
undang.10
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya
memiliki karakter tersendiri, dan berbeda dengan perselisihan yang
dihadapi sehari-hari oleh peradilan biasa. Hal ini disebabkan oleh adanya
sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andai kata

Y
permohonan diajukan oleh seseorang atau individu tertentu, keputusan
yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, akan
membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang atau
individu yang mengajukan permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga
negara, dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya. Terutama

M
tentang pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Perselisihan hukum, diatur secara limitatif dalam aturan hukum, yang
membolehkan dan melarang, dalam satu proses yang tertib, di mana pihak-
pihak yang dipanggil secara patut, serta pihak-pihak yang memberikan
keterangan untuk didengar, menegakkan dan melindungi hak-haknya, sebelum

M
pengadilan menggunakan haknya untuk memutus perkara.11

B. Dinamika Pembuktian

U
Mahkamah Konstitusi, dalam melaksanakan kinerjanya, harus tunduk
pada asas-asas peradilan yang baik, dalam undang-undang hukum acara,
kekuasaan kehakiman, serta asas-asas lainnya meliputi.12
Asas Persidangan terbuka untuk umum, sebagaimana ditentukan

D
dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, menentukan bahwa sidang
terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini
berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Pasal

10
(1) “Pembuktian dibebankan kepada Pemohon; (2) Apabila dipandang perlu,
hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah/DPR dan/
atau pihak terkait; (3) Presiden/Pemerintah/DPR, dan/atau pihak lain, dapat mengajukan
bukti sebaliknya (Tegen Bewijs); (4) Dalam hal Mahakamh Konstitusi menentukan perlu
mendengar keterangan Presiden/Pemerintah dan DPR, keterangan ahli dan/atau saksi,
didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah dan DPR, kecuali untuk kepentingan
kelancaran persidangan, Mahkamah menentukan lain.”
11
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit.,
hlm. 42.
12
Ibid., hlm. 42.,-56.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 255


40(1),13Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, menentukan secara khusus,
bahwa sidang terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
Keterbukaan sidang merupakan sosial kontrol, dan juga bentuk akuntabilitas
hakim, transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan Mahkamah
Konstitusi, dengan dapat membaca transkrip, berita acara, dan putusan yang
dipublikasikan lewat situs internet.

Y
Asas Indpenden dan Imparsial. Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk
menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga
dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan. Independen atau kemadirian, sangat berkaitan erat dengan sikap

M
imparsial atau tidak memihak. Sehingga larangan adanya intervensi dari pihak
mana pun, dan hal demikian tidak bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum
dan keadilan yang didasarkan pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita
hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak dari
rakyat yang dirumuskan dalam Pancasila. Kebebasan hakim disertai dengan

M
dukungan keahlian, pertanggungjawaban serta ketaatan pada kode etik.
Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah. Dimaksudkan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif,

U
sedangkan biaya murah, adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat.
Keduanya tanpa mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan
keadilan. Biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon
dikenal dalam acara Mahkamah Konstitusi. Semua biaya yang menyangkut
persidangan di Mahkamah Konstitusi dibebankan pada biaya negara. Hal

D
ini dapat dipahami, karena tindakan-tindakan yang diminta dilakukan oleh
badan peradilan, seperti di pengadilan umum, untuk sita dan eksekusi yang
merupakan beban terbesar, tidak dikenal di Mhkamah Konstitusi. Karenanya
dalam praktik, untuk melaksanakan asas ini, diperlukan sidang jarak jauh
melalui fasilitas Teleconfrence.

Pasal 40 (1). Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat
13

permusyawaratan hakim. (2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati
tata tertib persidangan. (3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.(4) Pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan penghinaan terhadap
Mahkamah Konstitusi.

256 Dinamika Hukum Pembuktian


Asas Hakim Aktif dan juga Pasif dalam Proses Persidangan. Hal ini terjadi
disebabkan oleh karakteristik khusus perkara konstitusi, yang kental dengan
kepentingan umum, ketimbang kepentingan perorangan, telah menyebabkan
proses persidangan, tidak dapat diserahkan melulu pada inisiatif para
pihak. Mekanisme sosial kontrol, harus digerakkan pemohon dengan satu
permohonan, dan dalam hal demikian, hakim bersikap pasif, dan tidak boleh

Y
secara aktif melakukan, inisiatif untuk menggerakkan mekanisme Mahkamah
Konstitusi, memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan,
karenanya hakim juga aktif dalam memeriksa, terutama dalam menggali bukti,
keterangan-keterangan, yang dianggap perlu, untuk membuat jelas dan terang,
hal yang diajukan dalam permohonan tersebut.

M
Asas Ius Curia Novit. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. Asas ini, merupakan suatu pintu masuk bagi hakim untuk
menemukan hukum melalui penafsiran, konstruksi dan penghalusan hukum.

M
Dinamika pembuktian di MK, meliputi; alat bukti, yang ditentukan
secara limitatif dalam Pasal 36 (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi; yakni berupa; surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan
ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain, berupa informasi yang

U
diucapkan, dikirimkan, diterima atau yang serupa dengan itu.
Alat bukti surat, atau tertulis, adalah segala dokumen yang bersifat
tertulis, berisi huruf, tanda-baca, kata, anak kalimat atau kalimat, termasuk
gambar, bagan, atau hal-hal yang memberikan pengertian tertentu, mengenai

D
sesuatu hal, yang tertuang di atas kertas, ataupun bahan-bahan lainnya, yang
bukan kertas. Salah satu bukti surat adalah dokumen resmi, seperti undang-
undang, lembaran negara dan tambahan berita negara. Lembaran daerah dan
tambahan berita daerah. Risalah-risalah dan arsip. Surat atau akta autentik.
Surat resmi lainnya yang dibuat oleh pejabat umum. Dibuat dan dibubuhi
tanda tangan pejabat dan petugas yang bersangkutan. Dokumen tertulis yang
bersifat resmi.14
Selanjutnya ditentukan, bahwa pemeriksaan alat bukti surat atau
tulisan, dimulai dengan menanyakan cara perolehannya, yang dapat

14
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 201.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 257


dipertanggungjawabkan secara hukum. Pemeriksaan alat bukti surat
atau tulisan yang berupa foto kopi, meliputi; materai, legalisasi dan atau
pencocokan dengan surat aslinya. Dalam hal, tidak dipenuhi, maka ketua
sidang dapat mengembalikannya kepada pemohon, untuk dipenuhi sebelum
atau pada sidang berikutnya. Selanjutnya bilamana dipenuhi, maka ketua
sidang menyatakan sah alat bukti tersebut dalam suatu persidangan.15

Y
Dalam praktik peradilan tata usaha negara, alat bukti surat atau tulisan,
dimaknai hampir bersamaan dengan praktik peradilan Mahkamah Konstitusi,
demikian juga menurut praktik peradilan Perdata.
Surat sebagai alat bukti, meliputi, akta autentik, yang dibuat oleh
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan, berwenang

M
membuat surat, dengan maksud, untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Termasuk juga akta di
bawah tangan, yakni surat yang dibuat dan ditandatangani, oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, dengan maksud untuk dapat dipergunakan, sebagai alat
bukti tentang peristiwa, atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

M
Selanjutnya, surat-surat lain yang bukan akta, diserahkan pertimbangannya
oleh hakim. Karena surat-surat itu, sejak dibuatnya, bukan secara sengaja,
untuk dijadikan sebagai alat bukti, tetapi, guna menjaga terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan di kemudian hari. Alat bukti surat dalam praktik, dapat juga

U
berupa penolakan atau pencabutan keputusan tata usaha negara, termasuk
resi, kuitansi, yang diterima oleh penggugat dari pegawai, instansi yang
bersangkutan.16
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

D
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal-hal yang
penting dalam perubahan UU dimaksud, ialah Susunan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi, Pengawasan Hakim Konstitusi, Masa Jabatan Ketua
dan Wakil Ketua MK, syarat pendidikan untuk dapat diangkat sebagai hakim
konstitusi, serta kode etik dan atau pedoman perilaku hakim MK. Pasal 41
UU No. 8 Tahun 2011, menentukan bahwa dalam pemeriksaan persidangan,
hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan.

15
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Pasal 20.
16
Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 199), hlm. 120-121.

258 Dinamika Hukum Pembuktian


Adanya kewajiban untuk memanggil para pihak yang berperkara untuk
memberi keterangan yang dibutuhkan dan atau meminta keterangan secara
tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga
negara wajib menyampaikan penjelasannya dengan jangka waktu tujuh hari
kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima. Pemeriksaan sidang meliputi
pemeriksaan pokok perkara, pemeriksaan alat bukti tertulis, mendengarkan

Y
keterangan para pihak yang berperkara, mendengarkan keterangan saksi,
mendengarkan keterangan ahli, mendengarkan keterangan pihak terkait,
pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan atau
peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
dan pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,

M
dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan alat bukti lain.
Keterangan Saksi, adalah seseorang yang memberikan pernyataan atau
menandatangani kesaksian, dalam suatu dokomen. Sebagai alat bukti di
kemudian hari atau, seseorang yang memberikan keterangan berdasarkan

M
kesaksiannya sendiri, mengenai sesuatu fakta yang dilihatnya sendiri,
didengarnya sendiri, dirasakannya sendiri, atau dialaminya sendiri. Kesaksian
itu merupakan keterangan-keterangan, yang dapat berisi fakta fakta yang
dilihat, didengar, dialami oleh saksi yang bersangkutan. Karena itu siapa saja

U
yang memenuhi syarat sebagai saksi, kecuali orang yang tidak sehat atau
sakit jiwa dan untuk kasus-kasus tertentu, anak kecil yang belum dewasa.
Sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, Pasal 171, yakni anak yang
umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin. Orang sakit
ingatan atau sakit jiwa, meskipun ingatannya baik kembali.

D
Pada umumnya saksi dapat dipaksa oleh hakim untuk memberikan
keterangan berdasarkan kesaksiannya. Bilamana menolak setelah dipanggil
dengan patut. Maka dapat dikenakan Pasal 38(1).17
UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dapat dinilai
melakukan penghinaan terhadap pengadilan (comtemp of court). Sehingga
saksi wajib menjawab pertanyaan dengan di bawah sumpah. Saksi dilarang

Pasal 38 (1): “Para pihak saksi, dan ahli wajib hadir, memenuhi panggilan Mahkamah
17

Konstitusi. Jika saksi tidak hadir, tanpa alasan yang sah, meskipun telah dipanggil secara
patut menurut hukum. Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk
menghadirkan saksi tersebut secara paksa.”

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 259


untuk menyembunyikan informasi tentang kesaksiannya, atau menjawab
pertanyaan dalam persidangan dalam persidangan terbuka menurut
kesaksiannya.
Kesaksian pada umumnya diberikan secara lisan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, dengan persetujuan
majelis hakim, kesaksian dapat saja diberikan secara tertulis. Jika saksi

Y
yang sudah dipanggil secara patut, karena sakit, yang tidak memungkinkan
untuk hadir. Setiap saksi memberikan keterangan yang faktual berdasarkan
kesaksiannya di bawah sumpah, sehingga saksi harus menyampaikannya
secara objektif dan apa adanya. Dalam pembuktian saksi dapat diajukan oleh
pemohon, termohon, pihak lembaga negara yang terkait, dan pihak yang

M
mempunyai kepentingan lainnya.18
Pasal 21PMK.No.06/2005. Menentukan, bahwa saksi dapat diajukan oleh
Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, pihak terkait, atau dipanggil atas
perintah Mahkamah. Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan identitas,
nama, tempat, tanggal lahir/umur, agama, dan alamat, dan kesediaannya

M
diambil sumpah atau janji berdasarkan agamanya, untuk menerangkan
apa yang didengar, dilihat dan dialaminya sendiri. Lafal sumpah atau janji
saksi adalah sebagai berikut;” Saya bersumpah/berjanji sebagai saksi, akan
memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya.

U
Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah” untuk yang
beragama Kristen, Protestan dan Katolik ditutup dengan: “semoga Tuhan
menolong saya”. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “om atah parama
wisesa”. Untuk yang beragama Budha. “Demi Hyang Budha”, saya bersumpah,
diakhiri dengan “sadhu, sadhu, sadhu”. Untuk yang beragama lain, mengikuti

D
aturan agamanya masing masing.19
Saksi dapat dibedakan, antarmereka, yang diajukan oleh salah satu dari
pihak-pihak tersebut. Posisi saksi atau para saksi itu, terhadap pokok perkara,
pada dasarnya dapat dibedakan menjadi; Kelompok saksi, yang kesaksiannya
turut memperkuat undang-undang yang diuji, serta kelompok saksi yang
kesaksiannya memperlemah undang-undang yang sedang diuji. Sedangkan
saksi yang dipanggil atas inisiatif majelis hakim sendiri, biasanya keterangan
yang mereka berikan dalam persidangan sangat tergantung, kepada pihak mana

18
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 224-228.
19
Pasal 21 PMK.No.06/2005.

260 Dinamika Hukum Pembuktian


yang mengajukan sebagai saksi dalam persidangan. Jika yang mengajukan
pihak pemohon, biasanya mereka cenderung berpihak kepada pemohon.
Sebaliknya, saksi yang diajukan oleh pemerintah, biasanya cenderung berpihak
kepada kepentingan pemerintah semua saksi harus dapat ditanya oleh para
pihak. Semua pihak yang berkepentingan dengan kesaksian atau keterangannya
sebagai saksi, harus diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk melakukan

Y
cross examination.20
Kredibilitas saksi, dapat dipertanyakan oleh pihak-pihak dalam
persidangan di Mahkamah Konstitusi, terutama oleh pihak yang berlawanan
kepentingan dengan kesaksiannya. Majelis hakim harus memberikan
kesempatan yang adil kepada pihak-pihak itu, untuk mengajukan pertanyaan

M
kepada saksi sebagaimana mestinya. Guna mendapatkan kejujuran dan
kebenaran keterangan saksi, majelis hakim dapat mengadakan tanya jawab cross
examination yang terbatas. Batasannya adalah materi pokok perkara dan hal- hal
yang memang berkaitan dengan persoalan kredibilitas saksi. Kebijaksanaan
yang ditempuh oleh majelis hakim mengenai soal ini, dapat mencakup pula

M
permintaan, mengenai hal-hal yang bersifat tambahan, yang dianggap penting
dalam tanya jawab, mengenai kredibilitas saksi tersebut. Dalam hal saksi
mengeluarkan pernyataan yang berubah-ubah atau tidak konsisten, majelis
hakim juga dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai hal itu. Pihak

U
pihak yang berpekara dapat diberi kesempatan oleh majelis hakim, untuk
mengajukan pertanyaan. Atas permintaan salah satu pihak, Majelis hakim
dapat memerintahkan, seorang saksi atau saksi-saksi untuk mengeluarkan
calon saksi dari ruang sidang, sehingga di antara mereka sendiri, tidak saling
mendengarkan kesaksian masing-masing.21

D
Keterangan ahli, adalah keterangan seorang di bawah sumpah mengenai
sesuatu hal, menurut pengetahuan dan pendapat berdasarkan bidang
keahliannya yang bersangkutan (exspert testimony, verklaringen van een deskundege,
ekspert witness). Kesaksian ahli di Mahkamah Konstitusi dibedakan secara
tajam. Saksi didengar berdasarkan kesaksian yang dilihat, didengar, dialami.
Kesaksian itu tidak hanya bersifat faktual, tetapi juga mengandung persepsi
dan opini, orang biasa yang tidak hanya digolongkan sebagai ahli. Jika
pengetahuan ilmiah, teknis, atau pengetahuan khusus lainnya dianggap, dapat

20
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 228-229.
21
Ibid., hlm. 230-231.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 261


membantu pengetahuan pengadilan menilai bukti atau fakta yang sedang
diperiksa, seorang saksi yang mempunyai kualifikasi sebagai ahli, karena
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pelatihan atau pendidikan, dapat
diminta untuk menilai hal tersebut. Penilaian itu dapat berupa pendapat
atau bentuk lainnya. Sepanjang kesaksian itu didasarkan atas fakta atau data
yang cukup. Merupakan hasil dari prinsip-prinsip dan atau metode yang

Y
terpercaya. Saksi yang bersangkutan, telah menerapkan prinsip-prinsip dan
metode yang memang terpercaya, terhadap fakta-fakta yang terkait dengan
perkara yang bersangkutan. Berdasarkan fakta-fakta itulah, pendapat ahli,
dapat memberikan fakta yang diketahuinya di dalam persidangan.22
Ahli dapat diajukan oleh pemohon Presiden/Pemerintah, DPR, DPD,

M
pihak terkait atau dipanggil atas perintah Mahkamah. Keterangan ahli yang
dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah, adalah keterangan yang diberikan
oleh seorang, yang tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict
of interest) dengan subjek dan atau objek perkara yang sedang diperiksa.
Pemeriksa ahli dimulai dengan menanyakan identitas, dan riwayat hidup serta

M
keahliannya, dan ditanyakan juga kesediaannya untuk disumpah atau janji
menurut agamanya, untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya.
Terhadap ahli dalam bidang yang sama keahliannya, dapat diajukan oleh pihak-
pihak yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.23

U
Dalam praktik di Mahkamah Konstitusi, biasanya pihak-pihak yang
mengajukan ahli dari berbagai bidang, untuk didengar keterangannya dalam
persidangan. Mereka dapat diajukan oleh pemohon oleh pemerintah atau
pihak terkait, yang kepentingan langsung terkait dengan materi perkara.
Jika undang-undang yang diuji berkenaan dengan materi yang kompleks dan

D
menuntut pengetahuan yang multi atau lintas disiplin, kadang-kadang oleh
pihak-pihak diajukan pula para ahli dari masing-masing bidang keahliannya
yang diperlukan. Para ahli biasanya terdapat berbagai perbedaan. Keterangan
para ahli sangat diperlukan, dalam rangka kualitas pembuktian, yang dapat
membawa hakim pada kesimpulan yang tepat mengenai materi perkara,
pengujian undang-undang yang bersangkutan. Biasanya ahli yang diajukan
untuk memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi meliputi; ahli di bidang
hukum tata negara, ahli di bidang hukum selain dari hukum tata negara,

22
Ibid., hlm. 232-234.
23
Pasal 22. PMK No. 06/2005.

262 Dinamika Hukum Pembuktian


yang berkaitan dengan materi undang-undang yang diuji. Ahli di luar hukum
yang berkaitan dengan substansi undang-undang yang sedang diuji serta ahli
lainnya, dari bidang-bidang yang bersifat menunjang dalam proses pembuktian
terhadap substansi yang sedang diuji. Pengujian ahli itu, merupakan hak semua
pihak yang terkait dengan pengujian undang-undang yang bersangkutan.24
Menurut Pasal 42A UU No. 8 Tahun 2011, menentukan, bahwa saksi

Y
dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait atau
dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saksi dan ahli memberikan keterangan
di bawah sumpah atau janji, saksi dan ahli masing masing berjumlah paling
sedikit dua orang saksi.
Keterangan para pihak. Para pihak yang terlibat langsung, dalam perkara

M
pengujian undang-undang adalah, Pemohon, Pemerintah,25 Dewan Perwakilan
Rakyat,26 Dewan Perwakilan Daerah,27 Lembaga negara yang terkait langsung
sebagai pelaksana undang-undang yang bersangkutan. Pihak-pihak lain
di luar organ negara yang mempunyai kepentingan, yang terkait langsung
dengan undang-undang yang bersangkutan. Bahkan bilamana diperlukan

M
Mahkamah konstitusi dapat memanggil pihak lain, di luar dari lembaga negara,
termasuk MPR, untuk dimintai keterangan mengenai hal-hal, yang berkaitan
dengan undang-undang dasar. Keterangan itu dapat dibagi; meliputi suatu
keterangan yang bersifat informatif dan faktual. Selanjutnya juga berisi opini

U
dan kepentingan masing masing.28
Pemeriksaan terhadap pihak terkait, dilalukan dengan mendengar
keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. Pihak terkait yang
mempunyai kepentingan langsung diberikan kesempatan, untuk memberikan

D
keterangan lisan dan atau tertulis. Mengajukan pertanyaan kepada ahli dan

24
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 238-239.
25
Keterangan presiden atau pemerintah, adalah keterangan resmi baik secara lisan
maupun tertulis, mengenai pokok permohonan, yang merupakan hasil koordinasi dengan
menteri-menteri dan atau lembaga/badan pemerintah terkait. Presiden dapat memberikan
kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM, beserta para Menteri terkait
dengan pokok permohonan.
26
Keterangan DPR, adalah keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis,
yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan atau risalah yang berkenaan
dengan pokok perkara.
27
Keterangan DPD, dalam hal undang-undang yang melibatkan DPD, atau UU tentang
daerah.
28
Ibid., hlm. 243-246.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 263


atau saksi. Mengajukan ahli-ahli dan atau saksi sepanjang berkaitan dengan
hal-hal, yang dinilai belum mewakili dalam keterangan ahli dan atau saksi yang
telah didengar keterangannya dalam persidangan. Menyampaikan kesimpulan
akhir secara lisan dan atau tertulis.29
Petunjuk. Petunjuk, sebagai alat bukti yang dikenal dalam KUHAP,30
dalam perkembangannya, dimaknai sebagai pengamatan hakim. Petunjuk

Y
hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan barang-barang bukti.
Karenanya dalam praktik, bahwa pengamatan hakim, tidak berbeda dengan
petunjuk. Hanya berbeda dalam lingkup, kesimpulan yang ditarik dari alat
alat bukti kesaksian, surat dan barang-barang bukti. Pengamatan hakim,
hanya dibatasi pada pengamatan dalam persidangan dan tidak mencakup

M
pada hal-hal yang dapat memberikan petunjuk di luar sidang, sehingga
petunjuk dapat diperoleh dari alat-alat bukti lain, yang tidak dibahas dalam
persidangan tetapi disertakan dalam berkas perkara.31Menurut UU No. 8
Tahun 2011, Pasal 41, Menentukan bahwa pemeriksaan rangkaian data,
keterangan, perbuatan, keadaan dan atau peristiwa yang sesuai dengan alat

M
bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk
Bukti Elektronik. Alat bukti lain, berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu. Alat bukti yang bersifat elektronik ini

U
sebenarnya, memang sesuatu yang masih baru. Dalam praktik belum semua
orang mengakuinya sebagai alat bukti, masih banyak yang meragukannya,
karenanya merupakan suatu perkembangan baru. Akan tetapi setiap bukti
elektronik, yang isinya sama saja dengan bukti surat atau dokumen yang
berisi tulisan. Pada praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi pemeriksaan

D
sidang dengan menggunakan bukti elektronik dapat diterima sah dalam
rangka pembuktian.32

29
Pasal 23.PMK.No.06/2005.
30
Pasal 188 (1) KUHAP: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.”
31
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 247-248
32
Ibid., hlm. 249-252.

264 Dinamika Hukum Pembuktian


UU No. 8 Tahun 2011, menentukan dalam Pasal 41, bahwa pemeriksaan
alat bukti yang lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan alat bukti itu.

C. Model Pembuktian Formal ke Progresif Beban

Y
Adanya aspek keyakinan hakim, yang timbul dari alat-alat bukti, yang
diajukan para pihak yang berperkara, sebagai dasar untuk mengambil
keputusana di Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat dikemukakan bahwa
hukum acara mahkamah konstitusi, untuk mencari kebenaran materiil.

M
Keyakian hakim yang timbul dari alat bukti yang sah (beyond reasonable
doubt) tentang kesalahan seorang terdakwa, merupakan ciri utama sikap
hakim dalam acara pidana, standar pembuktian demikian justru diadopsi
dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Hal itu dapat dibandingkan
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha

M
Negara, menentukan, bahwa apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya diperlukan sekurang
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Karenanya tujuan
dari pembuktian dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, adalah untuk
memberikepastian akan kebenaran secara materiil, adanya fakta peristiwa dan

U
hukum, sebagaimana didalilkan pemohon, kebenaran materiil demikian, tidak
dapat dikatakan mutlak, karena sikap keyakinan hakim tetap saja subjektif.
Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam hukum acara peradilan
Mahkamah Konstitusi, yakni;33Notoire Fiet. Peristiwa hukum atau keadaan

D
yang telah diketahui secara umum, karena telah diketahui semua orang, atau
telah dianggap diketahui orang, yang tidak memerlukan bukti lagi. Hal-hal
yang sudah diketahui sendiri oleh hakim, baik karena pengalaman maupun
karena melihat sendiri di depan persidangan, pengetahuan berdasarkan
pengalaman. Adanya pengakuan yang tidak disangkal oleh pihak lawan, atas
dalil yang dikemukakan oleh salah satu pihak, sehingga dipandang sebagai,
hal tidak diperselisihkan.

33
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm.
106-107.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 265


Alat Bukti Utama. Dari beberapa alat bukti yang dikenal dalam undang-
undang tentang Mahkamah Konstitusi, maka yang paling sering dipergunakan
adalah keteranga tertulis maupun lisan dari pihak DPR dan Pemerintah.
Bukti-bukti surat atau tulisan yang diajukan oleh pemohon dan keterangan
ahli yang diajukan, baik oleh pemohon ataupun oleh pihak pemerintah
dan DPR. Hal ini disebabkan,bahwa ketentuan umum yang terdapat dalam

Y
dokumen undang-undang tersebar bebas dalam ruang publik. Semua orang
dapat memperoleh dan membacanya secara bebas yang harus diuji terhadap
UUD Tahun 1945, yang juga merupakan dokumen milik publik. Karena itu
dokumen yang diperlukan hanya tinggal keterangan-keterangan yang terdapat
dalam dokumen-dokumen yang merekam atau mendokumentasikan ide-

M
ide dalam proses penyusunan, rumusan rumusan teks undang-undang dan
Undang-Undang Dasar itu sendiri, yang terdapat dalam dokumen-dokumen
yang dikuasai oleh MPR, DPR dan pemerintah. Selebihnya bagi Mahkamah
Konstitusi adalah, keterangan para ahli, yang terkait dengan persoalan yang
sedang dipermasalahkan.

M
Kadang-kadang diantara para ahli itu sendiri, terdapat ruang perbedaan
pendapat yang tajam mengenai sesuatu masalah. Karena itu, penting bagi
Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak,
yang saling berbeda atau saling bertentangan kepentingan, untuk sama-

U
sama menghadirkan ahli dari perspektif yang berlainan. Bahkan mahkamah
konstitusi bergerak sangat maju, karena menerima informasi elektronik, dan
yang tersimpan dalam serat optik atau yang serupa dengan itu, sebagai alat
bukti yang sah. Dengan cara dan perolehannya secara sah.34
Beban Pembuktian di MK. Dalam Sistem peradilan di manapun, pada

D
umumnya, dianut prinsip bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah
yang harus membuktikan. Namun dalam perkara-perkara tertentu, seperti
pada perkara lingkungan, berlaku prinsip pembebanan terbalik atau yang
biasanya disebut sebagai strict liability. Persoalannya adalah, dalam perkara
pengujian undang-undang, di pihak manakah beban pembuktian berada.
Menjawab hal ini, maka perlu diketahui teori-teori yang biasa dikembangkan
oleh para ahli mengenai beban pembuktian. Yakni;35

34
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 255-256.
35
Ibid., hlm. 260-261.

266 Dinamika Hukum Pembuktian


Teori Normatif.(Normatif theory). Siapa yang dibebani tanggung jawab
pembuktian pada pokoknya secara normatif, dapat ditentukan tersendiri oleh
undang-undang. Jika undang-undang sudah menentukan pihak mana yang diberi
beban pembuktian, maka pihak itulah yang bertanggung jawab membuktikan.
Teori Affirmatif (Affirnative theory). Beban pembuktian dipikulkan di
pundak yang mendalilkan, yang harus membuktikan bukanlah orang dituduh,

Y
dengan cara mengingkari tuduhan, melainkan pihak yang menuduhlah
yang harus membuktikan tuduhannya. Artinya proses pembuktian yang
dilakukan haruslah mengafirmasikan kebenaran fakta atau data apa yang
dipersangkakan atau didalilkan. Sehingga sangat tidak adil menurut teori ini,
untuk membebankan kewajiban di pundak orang yang dituduh.

M
Teori Kepatutan (Billijkheid). Menurut teori ini, bahwa yang seharusnya
dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu dalil, bukanlah siapa yang
mendalilkan ataupun siapa yang dituduh, melainkan pihak mana yang lebih kuat
kedudukannya dalam pembuktian. Jika pihak yang lemah dibebani kewajiban
pembuktian, tentulah tidak adil, karena itu siapa yang kuat dialah yang wajib

M
membuktikan. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran lingkungan oleh suatu
industri. Masyarakat yang mendalilkan adanya pencemaran, melalui gugatan
class action, maka pihak industrilah yang membuktikan adanya pencemaran
tersebut. Beban pembuktian yang berada di pihak tertuduh pencemaran itulah,

U
yang biasa dikenal dengan beban pembuktian terbalik sesuai dengan doktrin
strict liability, atau tanggung jawab mutlak pencemar.
Teori Presumtion of Liberty. Teori ini, mendasarkan diri pada pra-
anggapan, bahwa rakyat itu bebas sampai adanya pembatasan oleh

D
undang-undang(presumtion liberty). Jika yang dianut adalah prinsip siapa
yang mendalilkan inkonstitusionalitas undang-undang, dialah yang harus
membuktikan, berarti pra-anggapan yang dianut adalah prinsip presumtion of
constitutionality, bukan presumtion liberty. Dengan mengandaikan, bahwa setiap
undang-undang semestinya dapat dianggap sudah baik, dan konstitusional
berdasarkan prinsip presumtion of constutitionality, maka pembuktian dibebankan
kepada yang mendalilkan insncontationalitas. Namun jika yang dianut adalah
prinsip presumtion of liberty, berarti rakyat dianggap sebagai manusia bebas,
sampai adanya undang-undang yang membatasi kebebasan itu. Oleh karena
itu, beban pembuktian undang-undang itu, harus diletakkan di pundak negara,
yang menetapkan undang-undang itu mengikat untuk umum.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 267


Teori Hak (subjectieve rehtelijkeetheorie).Yakni siap yang mengemukakan hak
yang dibantah pihak lain, harus membuktikannya, termasuk yang dibuktikan
bukan hanya hak tetapi juga suatu keadaan.36
Teori Hukum Objektif (objectieve rechtelijkeetheorie). Pihak yang mendalilkan
adanya peraturan hukum materiil tertentu, harus membuktikan kaidah hukum
objektif yang dijadikan dasar tersebut. Bukan hanya harus dibuktikan bahwa

Y
hukum objektif tertentu telah memberi hak dan kewenangan. Jikalau undang-
undang tertentu yang dinyatakan berlaku menimbulkan kerugian pada haknya,
harus dibuktikan juga kerugian yang ditimbulkan tersebut.
Teori Pembebanan Berdasarkan Kaidah yang Bersangkutan (Pocess
rechtelijketheorie). Bahwa pihak yang dibebani untuk membuktikan, telah

M
ditentukan oleh kaidah hukum tertentu. Terkadang norma hukum tertentu hukum
acara, ditentukan dalam pasal tertentu tentang siapa yang dibebani pembuktian.
Sebelum mengadakan penilaian terhadap alat-alat bukti, yang diajukan
oleh pihak-pihak dalam persidangan, majelis hakim harus terlebih dahulu,

M
mencocokkan alat bukti, yang diajukan dengan alat-alat bukti yang diajukan,
dengan alat-alat bukti yang ada pada hakim. Maksudnya agar kelak di kemudian
hari, tidak timbul kesalahan dalam menilai sesuatu bukti, yang diajukan oleh
pemohon tetapi tidak terdapat dalam berkas perkara hakim, atau sebaliknya
terdapat dalam berkas para hakim, padahal tidak diajukan atau sudah ditarik

U
kembali oleh pemohon. Tentang sah atau tidaknya alat-alat bukti yang
diajukan, akan dinilai oleh majelis hakim dalam suatu rapat tertutup, dalam
suatu permusyawaratan yang bersifat rahasia.37

D
D. Kecenderungan Keyakinan Hakim
Putusan dalam peradilan, merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat
berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat
secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak
kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa
yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim itu, merupakan tindakan

36
Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm.
110.
Jimly Asshiddigie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 270-271.
37

268 Dinamika Hukum Pembuktian


negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan
UUD 1945 maupun undang-undang.38
Mahkamah konstitusi, dalam perkembangan putusan-putusannya,
mencerminkan suatu kewenangan untuk mengawal konstitusi, mengawal
demokrasi, serta pelindung hak konstitusional warga negara dan pelindung
HAM. Dalam pelaksanaannya, maka praktik peradilan Mahkamah Konstitusi,

Y
berpegang pada hukum acaranya, yang ditentukan menurut Pasal 86 UU No.
24 Tahun 2003, untuk kelancarannya, MK membentuk peraturan MK (PMK)
yang hingga kini, terdiri dari:39
1. PMK RI No. 01/PMK/2003 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi.

M
2. PMK RI No. 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah
Laku.
3. PMK RI No. 03/PMK/2004 tentang Tata Tertib dalam Persidangan Pada
Mahkamah Konstitusi.

M
4. PMK RI No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan
Hasil Pemilu.
5. PMK RI No. 05/PMK/2005 tentang Prosedur Pengajuan Keberatan Atas
Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004.

U
6. PMK RI No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang.
7. PMK RI No. 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi.

D
8. PMK RI No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
9. PMK RI No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi.
10. PMK RI No. 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi.

Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm.
38

201.
39
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan
Demokrasi.(Jakarta; Sekjen dan Kepaniteraan MK, 2008) hlm. 13-14.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 269


11. PMK RI No. 11/PMK/2006 tentang Pedoman Administrasi Yustisial
Mahkamah Konstitusi.
12. PMK RI No. 12/PMK/2008 tentang Prosedur Beracara Partai Politik.
13. PMK RI No. 13/PMK/2008 tentang Pedoman Penulisan Putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi.

Y
14. PMK RI No. 14/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
15. PMK RI No. 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
16. PMK RI No. 16/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan

M
Hasil Pemilihan Umum Anggouta DPR, DPD dan DPRD.
17. PMK RI No. 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
18. PMK RI No. 18/PMK/2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan
Elektronik (Electronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh

M
(Video Confrence).
19. PMK RI No. 19/PMK/2009 tentang Pedoman Tata Tertib Persidangan.
20. PMK RI No. 20/PMK/2009 tentang Pedoman Penulisan Putusan.

U
Putusan di Mahkamah Konstitusi, mengenal adanya bentuk produk
hukum, yakni putusan, peraturan, ketetapan di bidang administrasi umum.
Semuanya dijalankan dengan suatu prosedur yang tepat, dilaksanakan dengan
cara yang tepat, dan diadministrasikan dengan cara yang tepat. Semua produk
hukum, dapat diakses oleh semua pencari keadilan, dan dapat membantu

D
upaya bangsa, untuk membangun keadilan yang lebih merata di setiap relung-
relung kemanusiaan.40
Bentuk putusan, merupakan produk hukum utama, yang harus diproduksi
oleh Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan konstitusi. Pada
putusan, memuat tujuh unsur, yakni;
1. Kepala putusan berbunyi“DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2. Identitas pihak;

40
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 279-280.

270 Dinamika Hukum Pembuktian


3. Ringkasan permohonan;
4. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
5. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
6. Amar putusan;
7. Hari, tanggal, putusan, nama hakim konstitusi dan panitera.

Y
Putusan hakim selalu dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya pada bagian awal, harus diuraikan
tentang identitas para pihak yang mengajukan permohonan, selanjutnya
tentang duduk perkaranya, dengan memuat ringkasan yang jelas dalam
rangka pengujian undang-undang, memuat tentang uraian rinci pertimbangan

M
pertimbangan mengenai fakta-fakta, yang terungkap dalam persidangan, dan
pertimbangan hukum, yang dijadikan dasar untuk mengambil putusan yang
bersifat final dan mengikat.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh
pemohon dan kuasanya, dalam dua belas rangkap, dengan memuat, identitas

M
pemohon, yang meliputi nama, tempat tangal lahir/umur, agama, pekerjaan,
kewarganegaraan, alamat lengkap, no. Telp/faksimile/email. Uraian hal yang
menjadi dasar permohonan, yang meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi,
kedudukan hukum pemohon, pengujian undang-undang yang bersangkutan.

U
Uraian mengenai hal-hal yang dimohonkan oleh pemohon, untuk diputus
dalam permohonan pengujian undang-undang secara formal, atau uraian
mengenai hal-hal yang dimohonkan dalam permohonan pengujian undang-
undang secara materiil, dan tanda tangan pemohon dan kuasanya.41

D
Pada bagian awal putusan, selalu diuraikan dengan jelas mengenai
identitas para pihak yang mengajukan permohonan. Sebanyak apa pun jumlah
pemohon, harus dimuat dengan jelas dalam permohonan mengenai identitas
mereka. Identitas, seluruhnya berkaitan dengan dengan pokok perkara,
masing-masingnya diterangkan dalam bukti surat yang mendukung yakni
foto kopi kartu tanda penduduk, dokumen tanda daftar resmi sebagai badan
hukum, untuk organisasi yang berstatus badan hukum.
Selanjutnya tentang duduk perkaranya, yang memuat tentang ringkasan
secara jelas, tentang persoalan yang dipermasalahkan dalam rangka pengujian

41
Pasal 5 PMK.No. 06//PMK/2006.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 271


undang-undang, serta menentukan bagian mana yang menentukan dari
undang-undang, yang dinilai bertentangan dengan norma hukum dari UUD
Tahun 1945, serta kerugian yang dideritanya. Setelah itu diuraikan dengan
rinci pertimbangan pertimbangan mengenai fakta-fakta, yang terungkap dalam
persidangan, serta pertimbangan-pertimbangan hukum yang menjadi dasar
untuk mengambil putusan yang bersifat final dan mengikat dalam perkara

Y
pengujian undang-undang bersangkutan. Pertimbangan hukum itulah, yang
mengantarkan pada kesimpulan amar putusan yang ditulis pada bagian yang
tersendiri. Setelah itu, pada bagian terakhir atau penutup putusan dimuat
mengenai hari, tanggal putusan, nama hakim dan panitera.42
Pendapat Berbeda. Dalam putusan peradilan Mahkamah Konstitusi,

M
harus dimuat tentang pendapat hakim yang berbeda, tentang putusan yang
bersangkutan. Hal ini ditentukan secara tegas dalam Pasal 45 (10) UU No.
24 Tahun 2003.43
Dimaksudkan dengan pendapat hakim yang berbeda itu, adalah pendapat
hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim, yang menyusun

M
keseluruhan isi putusan itu. Sebagaimana ditentukan menurut Pasal 48(7)
UU No. 24 Tahun 2003. 44
Maknanya dari sembilan orang hakim konstitusi, atau sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi dapat terjadi silang pendapat,

U
yang tidak dapat dipertemukan sama sekali. Meskipun sudah diusahakan
semaksimal mungkin, perbedaan pendapat diantara para hakim, itu tidak juga
dapat dipertemukan, maka putusan dapat diambil dengan suara terbanyak.
Pendapat hakim yang berbeda mencerminkan pendapat yang hidup yang juga

D
berkembang di tengah-tengah masyarakat, karenanya pendapat tersebut harus
dihormati, dan bahkan diberi kesempatan, untuk dibuka, sehingga masyarakat
mengetahuinya secara transparan.45

42
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 281-282.
43
Pasal 45 (10) UU No. 24 Tahun 2003. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat
jahat, sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota majelis hakim
yang berbeda dimuat dalam putusan.
44
Pasal 48 (7) UU No. 24 Tahun 2003. Dalam hal musyawarah sidang pleno, setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil
dengan suara terbanyak. (8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi,
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara
terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
45
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 284-285.

272 Dinamika Hukum Pembuktian


Dissenting, Concurrent, dan Concenting Opinion, pendapat hakim yang
berbeda dari pendapat mayoritas, yang menentukan putusan dapat dibagi
menjadi dua macam, yakni Pertama, Dissenting Opinion, yakni suatu pendapat
yang berbeda secara substantif, sehingga menghasilkan amar yang berbeda.
Kedua, adalah Concurrent Opinion atau Consenting opinion, yakni suatu pendapat
yang pada kesimpulan akhirnya sama, tetapi argumen yang diajukan berbeda.

Y
Karenanya dalam praktik sulit dibedakan pengertian-pengertian tersebut,
tetapi, pendapat-pendapat yang diajukan itu, sama sekali berbeda argumennya,
dan berbeda kesimpulannya terhadap pendapat mayoritas hakim yang menjadi
putusan final dan mengikat.46
Penuangan dalam Putusan. Penuangan pendapat berbeda, bersifat

M
fakultatif, optional, tidak bersifat imperatif, sebagaimana ditentukan menurut
Pasal 45(10) UU No. 24 Tahun 2003. Pencantuman pendapat berbeda,
selalu harus dimuat dalam putusan, akan tetapi dalam praktik, keharusan
pencantuman itu tidaklah realistis. Lazimnya proses pembahasan suatu
permohonan pengujian undang-undang, diperlukan tahapan-tahapan yang

M
cukup panjang. Di dalamnya terdapat proses take and give, diantara pandangan
pandangan yang saling berbeda diantara para hakim, yakni melalui tahap
penyusunan pendapat hukum individual hakim yang bersifat resmi dan
tertulis, sebagaimana ditentukan menurut Pasal 45 (5) UU No. 24 Tahun

U
2003.47
Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi sebagai negatif legislator,
dapat saja mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya, akan tetapi,
dapat saja suatu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak
memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi

D
meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan
tertentu. Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim, jika menyangkut
pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi.48

46
Ibid., hlm. 288-289.
47
Pasal 45 (5) UU No. 24 Tahun 2003. Yang menentukan dalam sidang
permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap permohonan.
48
Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang dinyatakan bahwa undang-
undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi 273


Sehingga putusan tersebut tidak berlaku surut, dan kekuatan mengikatnya
adalah sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.49

E. Konsekuensi Politik dari Putusan MK

Y
M
M
U
D
49
Maruarar Siahaan. Op.Cit hlm. 218.

274 Dinamika Hukum Pembuktian


BAGIAN KETUJUH

EPILOG
MAKNA FILOSOFIS
TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN

Berhukum yang baik dan benar pada masyarakat modern, mesti


mendapatkan respons dari demokrasi, serta makna yang terdalam dari
perjuangan hak asasi manusia, disebabkan berhukum memerlukan kontrol
dari berbagai kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, dan selalu berada
di hadapan kehidupan sosial masyarakat.
Hukum merupakan sesuatu yang kompleks dan teknis sehingga kita sering
menjumpai orang yang menghadapi hukum dengan tidak sabar dan sinis.
Lebih lanjut, hukum merupakan salah satu perhatian umat manusia beradab
yang paling pokok di mana-mana, karena hukum itu dapat menawarkan
pelindungan terhadap tirani, di suatu pihak dan terhadap anarki di lain hak.
Hal ini merupakan pantulan dari sosok hukum dalam masyarakat, karena orang
tidak akan mengerti hukum hanya dengan melihat undang-undangnya saja
lalu membandingkannya dengan kenyataan, atau praktik hukum itu sendiri.
Apalagi dalam kenyataan masyarakat sering ditemui penerapan hukum yang
berbeda dari apa yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu sendiri.
Dengan kata lain, terdapat kesenjangan antara hukum dalam arti positif (rechts
positiviteit) dengan hukum dalam kenyataan (rechts werkelijkheid). Penerapan
hukum yang berbeda, kenyataannya di tengah masyarakat yang sering ditemui
berbeda dari yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu sendiri. Hal
demikian sering terjadi di semua bidang hukum, termasuk di dalamnya pada
praktik atau implementasi dalam hukum pidana. Hukum pidana memberikan
pedoman yang jelas tentang perlindungan terhadap manusia. Sebaliknya, juga

275
menghancurkan yang seharusnya dilindungi. Oleh karena itu, hukum pidana
termasuk hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana sering disorot,
dianalisis, dan dikritik oleh berbagai pihak tidak hanya dari kalangan hukum,
tetapi dari kalangan non-hukum. Hal ini memang benar karena hukum pidana
mencakup seluruh kehidupan manusia baik perorangan, kelompok, maupun
penguasa secara langsung atau tidak langsung.1

Y
Beban pembuktian dalam praktik berbagai pengadilan, hanya terjadi,
bilamana suatu keadaan yang berbenturan kepentingan para pihak, baik
dengan kepentingan publik maupun kepentingan privat, yang ditengarai
telah mengganggu kepentingan hak-hak, serta dilanggarnya hak konstitusi
perorangan, maupun kelompok warga negara. Maka Pengadilan akan melihat,

M
mendengar, dan menilai tentang argumentasi yuridis, melalui serangkaian
pembuktian dengan berbagai cara-cara yang logis, dan penuh keyakinan, agar
Hakim yang memutuskan perkara yang diajukan menjadi yakin atas beban
pembuktian yang ditunjukkannya.
Kekhasan dari Peradilan pidana, perdata, tata usaha negara, peradilan

M
tata negara, maupun hukum Islam, sebagian besar mempunyai kemiripan,
dalam pembebanan pembuktian, walaupun terdapat berbagai perbedaan yang
hakiki. Tetapi seluruhnya, mempersilahkan kepada hakim, untuk menentukan,
memberikan keyakinannya dalam memutus sengketa, yang ditanganinya.

U
Karena itu suatu keputusan hakim adalah keadaan yang mengakhiri segala
sengketa secara yuridis.
Tentang beban pembuktian dalam perkara praktik peradilan pidana,
perdata, tata usaha negara maupun peradilan Mahkamah Konstitusi, serta

D
peradilan etika semuanya memerlukan pembuktian, dengan beban pembuktian
yang dianut dengan ciri-cirinya masing-masing. Beban pembuktian dalam
hukum acara perdata, dikenal beberapa alat alat pembuktian sebagaimana
ditentukan pada Pasal 1865 KUH Perdata, beban pembuktian diatur dalam
Pasal 1244, 1365, 1394, 1769, 1977(1), 252, 489, 533, 535, 468(1), KUH
Perdata. Sedangkan pembuktian dalam peradilan tata usaha negara meliputi;
surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan saksi; pengakuan para pihak,
dan pengetahuan hakim. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 hingga
107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

1
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2016), hlm. 1-2.

276 Dinamika Hukum Pembuktian


Negara. Fungsi peradilan tata negara, adalah sebagai kontrol yuridis, terhadap
administrasi lembaga baik struktural maupun non struktural, sedangkan
kontrol non yuridis meliputi, proses pembuatan perundang-undangan,
keputusan, baik sebelum maupun setelah dibuatnya keputusan. Pada
Mahkamah Konstitusi ragam alat bukti diatur dalam Pasal 36 (1) UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai alat bukti yang sah,

Y
dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Hakim konstitusi dalam memeriksa
dan memutuskan setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya.
Alat bukti itu meliputi; suarat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan
ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat

M
optik atau yang serupa dengan itu. Dalam suatu masyarakat yang teratur,
di mana masyarakat sudah memiliki sesuatu cara untuk mempertahankan
hukumnya. Penguasa mewujudkan badan-badan yang diberikan tugas untuk
mempertahankan hukum. inilah yang disebut kekuasaan kehakiman.
Ajaran Trias Politika dari Montesquieu, didahului oleh perbedaan-

M
perbedaan yang lain. Perbedaan dalam kekuasaan-kekuasaan pembuatan
undang-undang, pengadilan, dan eksekutif yang sampai sekarang lebih dari dua
abad, ajarannya masih memadai, dan sudah menjadi milik umum. Tetapi belum
merupakan titik terakhir. Pada suatu waktu, bersamaan dengan pertumbuhan

U
terus-menerus dalam hubungan-hubungan masyarakat, menjelma pula
pembagian yang lain, yang akan menggantikan ajaran Montesquieu. Permulaan
perubahan itu sudah dapat dilihat dari sekarang.
Hukum pembuktian dengan menentukan bebannya, menjadi suatu
perhatian yang utama, dalam praktik berbagai peradilan. Penerapan beban

D
pembuktian, yang ditentukan dalam perundang-undangan secara ketat,
dimaksudkan, agar terhindar dari kesewenang-wenangan, dari perilaku
penguasa, maupun hakim dalam penerapannya. Karena itu, dalam pencarian
keadilan dan kepastian hukum, dalam falsafahnya, berkeinginan untuk
mengedapankan keadilan, di atas kepastian hukum, sehingga tercapai tujuan
yang lebih jauh dari setiap sistem peradilan, yakni, mendekatkan keadilan
yang sesungguhnya, yang tercermin dalam putusan-putusan peradilan.
Karena itu rezim hakim dalam menutuskan suatu perkara, yang dipikulnya,
adalah tercapainya tujuan terjauh dari hukum, yakni keadilan. Karena capaian
keadilan, terus diperjuangkan oleh masyarakat, hingga tingkat yang tertinggi,

Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian 277


yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keadilan adalah sesuatu yang abstrak,
tetapi dapat dirasakan dan bahkan diperjuangkan secara konkret.
Praktik peradilan pidana korupsi, dalam era sekarang ini, terus
menuai permasalahan, karena para penegak hukum, masih bekerja, dengan
kerangka tebang pilih, dengan menafsirkan pembuktian secara subjektif.
Padahal kunci pokok yang paling utama dalam penegakan tindak pidana

Y
korupsi, adalah, suatu komitmen dari penegak hukum, untuk bekerja
secara profesional, memberikan penelusuran alat-alat bukti, dengan cerdas.
Sehingga pengungkapan alat-alat bukti, sangat mudah untuk ditelusuri,
karena peraturan perundang-undangan yang terkait, sudah cukup memadai,
karenanya komitmen penegakan hukum oleh aparatur, harus dalam semangat

M
moral yang tinggi dan harus jauh dari dimensi dan pernik-pernik politis.
Penegakan hukum, dengan fokus pada penggunaan beban pembuktian, masih
menjadi alat rekayasa, dengan pertautan pada kepentingan dan tekanan
politis. Tekanan politis, adalah suatu benturan dari suaru konsfigurasi
kekuatan politik, dengan pengaruh dan tekanan kekuatan politik, untuk

M
mencapai tujuannya.
Kebebasan aparatur penegak hukum dari intervensi kekuasaan apa pun
dalam artian yang luas, masih menyisahkan, persoalan yang belum terpecahkan.
Padahal peraturan perundang-undangan telah cukup ketat dan sangat limitatif,

U
menentukan jalan dan proses pembuktian, guna pencapaian tujuannya, untuk
membantu sistem peradilan pidana, guna menentukan pelaku kejahatan, yang
selalu juga berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hukum pembuktian sangat relevan, untuk dikaji
dan didalami, sehingga tidak hanya pengetahuan teknis yang meningkat, tetapi

D
makna filosofis, pemanfaatan beban pembuktian dalam praktik peradilan,
dipahami, dengan memerhatikan segi-segi kemanusiaan, dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam beban pembuktian, semua pihak di
pengadilan memerlukan pembuktian sebagai suatu argumentasi logis dan
rasional, untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seorang tersangka, oleh
hakim.
Prinsip-prinsip pembagian beban pembuktian dalam praktik peradilan
perdata, harus dibuktikan adalah hal yang positif, maknanya di dalamnya
terdapat fakta atau terkandung suatu peristiwa hukum. Hal yang negatif tidak
perlu dibuktikan, karenanya sesuatu yang tidak patut membebani bukti kepada

278 Dinamika Hukum Pembuktian


tergugat mengenai hal negatif, karena tidak mungkin dapat dibuktikan hal yang
tidak diketahuinya atau yang diperbuatnya. Pembebanan secara profesional,
bahwa masing masing pihak dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil
gugatan dan dalil bantahan. Tetapi pihak penggugat dibebani wajib bukti,
bilamana tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, maka cukup beralasan
untuk membebaskan tergugat untuk membuktikan dalil bantahannya. Siapa

Y
yang menguasai suatu hak atas barang tidak dibebani wajib bukti. Hal ini
didasarkan pada asas kepatutan. Dianggap tidak patut membebani pembuktian
kepada seseorang untuk membuktikan barang yang dikuasainya, karenanya
siapa yang menguasai atau memiliki hak atas suatu barang, tidak perlu
membuktikannya.

M
Tentang beban pembuktian dalam perkara praktik peradilan pidana,
perdata, tata usaha negara, hukum Islam maupun peradilan Mahkamah
Konstitusi, semuanya memerlukan pembuktian, dengan beban pembuktian
yang dianut dengan ciri-cirinya masing-masing. Beban pembuktian dalam
hukum acara perdata, dikenal beberapa alat-alat pembuktian sebagaimana

M
ditentukan pada pasal 1865 KUH Perdata, beban pembuktian diatur dalam
Pasal 1244, 1365, 1394, 1769, 1977(1), 252, 489, 533, 535, 468(1), KUH
Perdata. Sedangkan pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara meliputi;
surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan saksi; pengakuan para pihak,

U
dan pengetahuan hakim. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 hingga
107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Fungsi peradilan tata negara, adalah sebagai kontrol yuridis, terhadap
administrasi lembaga baik struktural maupun non struktural, sedangkan
kontrol non yuridis meliputi, proses pembuatan perundang-undangan,

D
keputusan, baik sebelum maupun setelah dibuatnya keputusan.2
Pada Mahkamah Konstitusi ragam alat bukti diatur dalam Pasal 36 (1) UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai alat bukti yang sah,
dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam memeriksa
dan memutuskan setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya.
Alat bukti itu meliputi; surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan
ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain berupa informasi yang

2
Lintong O. Siahan. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004 (UU No.
5/1986 jo.UU No. 6 Tahun 2004) (Jakarta: Percetakan Negara, 2009), hlm. 11-12.

Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian 279


diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu.3
Adapun tempat hukum pembuktian dalam sistem hukum Indonesia.
Dalam suatu tata hukum yang primitif, orang mempertahankan haknya
dengan kekuatan sendiri. Siapa yang dipukul akan memukul kembali. Orang
yang barangnya diambil akan mengejar si pencuri dan merebutnya kembali.

Y
Keadaan demikian dinamakan bertindak menjadi hakim sendiri. Dalam
suatu masyarakat yang teratur, tidak akan dibiarkan orang bertindak menjadi
hakim sendiri seperti ini, kecuali dalam keadaan yang luar biasa. Sejak zaman
dahulu, masyarakat sudah memiliki sesuatu cara untuk mempertahankan
hukumnya. Penguasa mewujudkan badan-badan yang diberikan tugas untuk

M
mempertahankan hukum. inilah yang disebut kekuasaan kehakiman.
Hukum Indonesia, hampir tidak pernah membiarkan orang bertindak
menjadi Hakim sendiri. Di dalam B.W, kita akan menemukan hanya beberapa
bekas tentang peradilan bentuk lama ini, misalnya dalam ayat kedua dari Pasal
613 dan ayat ketiga dari Pasal 714. Juga dalam hal berat lawan (overmacht:

M
Pasal 40S) dapat dikatakan ada perbuatan bertindak menjadi hakim sendiri.
Selain dalam hal-hal di mana peraturan di dalam peraturan hukum diizinkan
bertindak menjadi hakim sendiri, maka perbuatan tersebut, merupakan
perbuatan melanggar hukum. Pada masa lalu orang tidak membedakan antara

U
kekuasaan membuat perundang-undangan, kekuasaan pengadilan dan kekuasaan
pemerintah, menurut fungsinya atau menurut badannya.
Pada waktu, orang tidak membutuhkan perbedaan yang demikian, karena
badan penguasa tunggal mencakup ketiga fungsi tersebut dalam pelaksanaannya.

D
Kemudian datanglah tuntutan spesialisasi, yang disebabkan karena semakin
menjadi berseluk-beluknya hubungan kemasyarakatan, sehingga diperlukan
juga badan-badan kemasyarakatan yang berseluk-beluk. Badan-badan penguasa
yang khusus dibebani dengan tugas yang khusus pula. Akan tetapi ini belum
berarti bahwa pemisahan antara tugas pembuatan undang-undang (legislatif),
tugas pengadilan (yudikatif), dan tugas pelaksanaan (eksekutif) langsung
menjadi jelas. Baru setelah berkembang pikiran analistis ada perbedaan yang
tegas. Dalam proses pertumbuhan yang berabad-abad lamanya, terjadilah
bagian-bagian yang terpisah dari badan yang semula tidak terbentuk itu, dan

3
Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press,
2006), hlm. 214.

280 Dinamika Hukum Pembuktian


keluar dengan ciri-cirinya sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan ini,
maka taraf yang terakhir dari proses tersebut, berubah dari tahun ke tahun.4
Di satu pihak orang memakai istilah itu dalam arti, bahwa hukum materiil
adalah hukum dalam suasana damai dan hukum formal adalah hukum dalam
suasana pertentangan. Dalam arti yang demikian, hukum pembuktian
termasuk dalam hukum formal, karena ia adalah satu bagian dari hukum

Y
acara, dan hukum acara mengandung aturan tentang hukum dalam suasana
pertentangan. Di lain pihak orang mengatakan, bahwa aturan hukum materiil
adalah suatu aturan mengenai isi; aturan hukum formal adalah suatu aturan
mengenai bentuk luar. Hukum pembuktian merupakan, bagian hukum yang
sangat teknis, dalam capaian keadilan yang diperjuangkan masyarakat, atas,

M
berbagai gesekan-gesekan kehidupan dalam tata pergaulan, maka perjuangan
keadilan, dalam ranah hukum, diselesaikan secara yuridis, hal mana tata kelola
hukum, ditentukan secara hukum, dengan berbagai tata cara dan kelola, untuk
mencapaikan beberapa model pembuktian, hingga tercapai putusan hakim
yang berkeadilan, berkepastian serta bermanfaat untuk kemanusiaan.

M
Dalam hukum acara perdata, landasannya pemikiran yang tertuang dalam
pasal demi pasal, tetapi sama-sama memiliki dasar pijakan. Hukum acara Islam
dasar hukumnya dari Nash (Al-Hadis). Hukum acara perdata landasannya
pemikiran yang tertuang dalam pasal demi pasal. Persamaannya, menganggap

U
bahwa membuktikan kebenaran adalah suatu hal yang sangat penting. Tentang
beban pembuktian sama-sama didahulukan pada penggugat yang mengaku
memiliki hak Sistem pembuktian berimbang artinya tergugat juga harus
membuktikan bantahannya. Baik hukum acara pidana maupun hukum acara
perdata, sama-sama menganggap mutlak diperlukan mengenai alat-alat itu,

D
tidak hanya bersandar kepada keyakinan hakim saja, karena keyakinan hakim
itu sangat subjektif, maka dari itu sewajarnyalah apabila dari dalil-dalil yang
dikemukakan para pihak yang bersengketa itu, menjadi dasar pertimbangan
bagi hakim agar tercapainya suatu keputusan yang objektif.
Menurut hukum Islam bukti tertulis merupakan bukti yang penting dan
pokok, sama halnya di dalam hukum acara perdata bukti tertulis merupakan
bukti yang utama, hanya di dalam hukum acara Islam, setiap bukti tertulis
tidak boleh mengorbankan hukum materiil Islam.

4
A.Pitlo. Pembuktian dan Daluarsa Menurut KUH Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa,
1968), hlm. 3-4.

Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian 281


Dalam hukum acara Islam, setiap alat bukti terutama bukti surat, bukti
saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah berdasarkan Nash, sedangkan
selain itu, misalnya pengetahuan hakim, pemeriksaan setempat, keterangan
ahli, qasamah, qiyafah, qur’ah, nukul dan lain-lain berdasarkan hasil ijtihad.
Dalam hukum Islam tidak semua qarinah dapat dijadikan alat bukti, qarinah
yang bisa dijadikan alat bukti walaupun tidak didukung oleh bukti lainnya

Y
disebut qarinah wadhlihah, yaitu qarinah yang jelas dan meyakinkan yang tidak
bisa untuk dibantah lagi oleh manusia berakal. Qarinah itu tetap dijadikan
sebagai bukti persangkaan, dan bisa menjadi alat pembuktian yang langsung
jika tidak ada lagi bukti yang lain.
Dalam hukum positif bukanlah (HIR, RBg, BW) bahwa persangkaan itu

M
bukanlah sebagai alat bukti, atau disebut juga alat pembuktian tidak langsung
karena hakim dalam mengambil kesimpulan, haruslah menghubungkan dan
menyesuaikan dengan alat bukti lainnya. Bila dikomparasikan dengan hukum
acara pidana, maka makna persangkaan/petunjuk dalam hukum Islam lebih
luas. Karena dalam hukum Islam batasan dalam mengaplikasikan alat bukti

M
persangkaan/petunjuk adalah yakinkan hakim. Sementara itu, dalam hukum
acara pidana alat bukti persangkaan/petunjuk hanya dapat diaplikasikan bila
didapat dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sehingga alat
bukti ini terkesan sebagai alat pembuktian yang bersifat tidak langsung. bukti

U
saksi merupakan alat bukti yang penting dan pokok, hanya berbeda dalam
masalah.
Menurut hukum Islam, bahwa pembuktian seseorang harus mampu
mengajukan bukti-bukti yang autentik, keharusan ini didasarkan pada
Surat Al-Baqarah (2); 282. Periksalah dengan dua orang saksi dari laki-laki

D
diantaramu, jika tidak ada dua orang saksi, maka boleh seorang laki-laki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang
lupa maka seseorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
memberi keterangan apabila mereka dipanggil. Dan periksalah apabila kamu
berjual beli, dan janganlah menulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah. Dia mengajarmu dan Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Maka pembuktian dengan berbagai sistem, model penerapannya dalam
sistem peradilan, adalah suatu upaya untuk meyakinkan peradilan, agar hakim

282 Dinamika Hukum Pembuktian


dalam mengakhiri sengketa privat maupun publik, dapat memperlakukan
keadilan sosial sebagaimana amanah konstitusi, maupun tanggung jawab
kepada Ketauhidan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga capaian keadilan
memberikan manfaat, berkeadilan dan berkepastian. “Keadilan dan hukum
ditegakkan tanpa tekanan dan pengaruh kekuatan manapun”. Tetapi dengan
keyakinan pada pembuktian yang objektif dan rasional.

Y
M
M
U
D
Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian 283
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada. 2002).
Adji, Indriyanto Seno. KUHAP dalam Prospektif. (Jakarta: Diadet Media. 2011).
Adji, Oemar Seno. KUHAP Sekarang. (Jakarta: Erlangga. 1985).
Ali, Achmad dan Heryani, Wiwie. Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata. (Jakarta:
Kencana. 2015).
Ali, Akhmad. Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam
Bidang Hukum. (Jakarta: Prenada Media Group. 2008).
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika. 2007).
Andrisman, Tri. Hukum Pidana: Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia. (Bandar Lampung: Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung.
2005).
Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004).
Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Adytia
Bakti. 2003).
Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk. Memahami Hukum, dari Konstruksi Sampai
Implementasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2012).
Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media
Group. 2015).

285
. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Indonesia. (Bandung: Pustaka Reka Cipta. 2013).
Asnawi, M. Natsir. Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahanya di
Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press. 2016).
Asshiddigie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi
Press. 2006).

Y
Astarini, Dwi Rezki Sri. Mediasi Pengadilan. Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan. (Bandung:
Alumni. 2013).
Atmasasmita, Romli. Perampasan Aset Melalui Pembuktian Terbalik Studi

M
Perbandingan Hukum Pidana. (Jakarta: Mabes Polri, Focus Group Discusson.
10 Maret 2011).
. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. (Jakarta: Prenada Media
Group. 2010).
Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan. (Jakarta:

M
Gramata Publishing. 2012).
. Hukum Pembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana. (Yogyakarta:
Total Media, Bekerja Sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta. 2009).

U
. Konstelasi Filsafat Ilmu dan Islam. (Tanggerang Selatan: UMJ
Press. 2017).
. Sejarah Pembaruan KUHP dan KUHAP. (Yogyakarta: Total Media,
Bekerja Sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta. 2011).

D
. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam Prespektif Pembaruan,
Teori, dan Praktik Peradilan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014).
Bakir, Herman. Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan (Bandung:
Refika Aditama. 2007).
Bambang S., Joni. Hukum Ketenagakerjaan. (Bandung: Pustaka Setia. 2013).
Berkatullah, Abdul Halim dan Prasetyo, Teguh. Hukum Islam Menjawab
Tantangan Zaman yang Terus Berkembang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006)
DKPP RI. Outlook 2016: Refleksi dan Proyeksi untuk Kemandirian, Integritas
dan Kredibilitas Penyelenggara Pemilu. (Jakarta: Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia. 2016).

286 Dinamika Hukum Pembuktian


Erwin, Muhamad. Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia dalam Dimensi Ide dan Aplikasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2015).
Hadjon, Philipus M. dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. 2005).
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika. 2014).

Y
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009).
. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan. (Jakarta: Sinar Grafika. 2000).

M
Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 1997).
Hiariej, Eddy O,S. Teori dan Hukum Pembuktian. (Jakarta: Erlangga. 2012).
Hotmaulana, Rofinus. Perlindunan terhadap Hak-hak Tersangka/Terdakwa Atas
Penerapan Beban Pembuktian Terbalik. (Jakarta: Mabes Polri, Focus Group

M
Discusson. 10 Maret 2011).
Husin, Kadri dan Husin, Budi Rizki. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika. 2016).
Kaligis, OC. Pendapat Ahli dalam Perkara Pidana. (Bandung: Alumni. 2008).

U
. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka Terdakwa dan
Terpidana. (Bandung: Alumni. 2006).
Kuffal, H.M.A. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang. 2004).

D
Kurniawan, Anang Mury. Upaya Hukum Terkait dengan Pemeriksaan, Penyidikan,
dan Penagihan Pajak. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011).
lamintang, P.A.F. dan Lamintang, Theo. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. (Jakarta: Sinar Grafika. 2010).
Lebacqz, Karen. Teori-teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Yudi Santoso.
(Bandung: Nusa Media. 1986).
Loqman, Loebby. Perkembangan Azas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia,
(Semarang: Makalah. 2004).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan
Demokrasi.(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK. 2008).

Daftar Pustaka 287


Mahmudah, Nunung. Illegal Fishing, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di
Wilayah Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2015).
Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian. (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2005).
Manan, Abdul. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam
Sistem Pradilan Islam (Jakarta: Prenada Media Group. 2007).

Y
. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Tinjauan Aspek Metodologis,
Legalisasi dan Yurisprudensi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007).
Manan, Baqir dan Maqnar, Kuntara. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. (Bandung: Alumni. 1997).

M
Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. (Yogyakarta: FH-UII
Press. 2011).
Mardjuki, Suparman. Tragedi Politik Hukum dan HAM. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2011).
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty.

M
1998).
Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer. (Yogyakarta: FH-UII
Press. 2009).
Mulyadi, Lilik. Bunga Rampai Hukum Pidana: Prespektif, Teoritik, dan Praktik.

U
(Bandung: Alumni. 2008).
. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. (Bandung:
Alumni. 2007).
. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik

D
Penyusunan dan Permasalahannya. (Bandung: PT Citra Adytia Bakti. 2007).
Munajat, Makhrus. Hukum Pidana Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Teras. 2009).
Najih, Mokhammad. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum
Pidana Sebagai Instrumen dalam Mewujudkan Tujuan Negara. (Malang: IN-
Trans publishing. 2008).
Pangaribuan, Luhut M. P. Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan
(Jakarta: Papas Sinar Sinanti. 2014).
Pillo, A. Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda. Alih bahasa M.Isa Arief. (Jakarta: Intermasa. 1978).

288 Dinamika Hukum Pembuktian


Prasetyo, Teguh dan Barakatullah, Abdul Halim. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum,
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2016).
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Pembuktian dalam Sengketa Tata Usaha Negara
(UU No. 5 Tahun 1986, LN, No. 77). (Jakarta: Pradnya Paramita. 1997).
. Pembahasan Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktik. (Jakarta:

Y
Pradnya Paramita. 1989).
Projodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia. (Bandung: Sumur
Bandung. 1992).
Ramli, Akhmad M. Perkembangan Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia.,

M
dalam Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan
Masyarakat Indonesia Kapita Selekta Hukum. Tim Penulis Pakar Hukum
Universitas Padjadjaran. (Bandung: Widya Padjadjaran. 2009).
Rasjidi, Lili. et.all. Kapita Selekta Hukum, Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum
Seiring Perkembangan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran.

M
2009).
Remmelink, Jan. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terrpenting dari KUH
Pidana Belanda, dan Padanannya dalam KUH Pidana Indonesia. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. 2003).

U
Renggong, Ruslan. Hukum Acara Pidana, Memahami Perlindungan HAM dalam
Proses Penahanan di Indonesia (Jakarta: Kencana. 2014).
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.
(Jakarta: Sinar Grafika. 2010).
Rosyadi, A. Rachmat dan Ahmad, H.M. Rais. Formalisasi Syariat Islam dalam

D
Perspektif Tata Hukum Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia. 2006).
Salam, Moch. Faisal. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju. 2002).
Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. Tinjauan Filsafat Hukum tentang Penegakkan
Hukum di Indonesia. Dalam Kapita Selekta Hukum Tim Penulis Pakar
Hukum Universitas Padjadjaran. (Bandung: Widya Padjadjaran. 2009).
Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. (Bandung: Alumni.
1992).
Shariff, Azam Mohd. Prosedur Pendakwaan Jenayah Syariah; Analisis ke atas
Peruntukan Undang-Undang di Bawah Akta Prosedur Jenayah Syariah (Wilayah-

Daftar Pustaka 289


wilayah Persekutuan) 1997 dan Akta Keterangan Mahkamah Syariah. Dalam
Jurnal Undang-Undang dan Masyarakat. (Bangi, Selangor, D.E. Malaysia.
2011).
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.(Jakarta:
Sinar Grafika. 2011).
Siahan, Lintong O. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004 (UU

Y
No. 5/1986 jo.UU NO. 6 Tahun 2004) (Jakarta: Percetakan Negara. 2009).
Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: PETEHAEM. 1985).
Sidharta. Filsafat Hukum, Refleksi Kristis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia
(dalam Dimensi Ide dan Aplikasi). (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2015).

M
. Putusan Hakim; Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan
Kemanfaatan. Dalam Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara.
(Jakarta Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2010).
Soedirjo. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. (Jakarta: CV Akademika
Pressindo. 1985).

M
Soepomo, R. Bab-bab tentang Hukum Adat. (Jakarta: Balai Pustaka. 2013).
Soeroso, R. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 tentang Pembuktian.
(Jakarta: Sinar Grafika. 2010).
Subekti, R. Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita. 2008).

U
Subekti. Hukum Acara Perdata. (Bandung: Binacipta. 1982).
Sugeng, Bambang dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara
Perdata. (Jakarta: Prenada Media Group. 2011).
Suherman, Ade Maman.

D
Suhor, Syamsuddin. Jenayah Undang-undang Mengimbas Perkembangan. Dalam
Undang-Undang Malaysia 50 Tahun Merentasi Zaman. (Fakulti Undang-
Undang; Universiti Kebangsaan Malaysia: Bangi Selangor. 2007).
Sumargono, Akhmad. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih Telaah
Kritis Terhadap Perjalanan Birokrasi di Indonesia. (Jakarta: Pusat Kajian Strategi
Politik dan Pemerintahan PKSPP. 2009).
Sungguh, As’ad. Kode Etik Profesi tentang Kesehatan: Kedokteran, Psikologi,
Kebidanan, Keperawatan, Apoteker, dan Rumah Sakit. (Jakarta: Sinar Grafika.
2014).

290 Dinamika Hukum Pembuktian


Susanto, Anthon F. Wajah Peradilan Kita. Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan,
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Rafika
Aditama. 2004).
Sutanto, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktik. (Bandung: Mandar Maju. 1989).
Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. (Bogor: Ghalia Indonesia. 2009).

Y
Sutedi, Adrian. Hukum Pajak. (Jakarta: Sinar Grafika. 2013).
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. (Jakarta: Sinar Grafika. 2011).
Syarif dan Pratama, Achmad Rizky. Mengungkap Wajah Peradilan Tata Negara
Indonesia. (Yogyakarta: Genta Press. 2008).

M
Tanya, Bernard L. Hukum dalam Ruang Sosial. (Yogyakarta: Genta Publishing.
2010).
Tjandra, W. Riawan. Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya
Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
2009).

M
Ugo dan Pujiyo. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
(Jakarta: Sinar Grafika. 2012).
Umar, M. Husseyn. BANI dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Fikahati Aneska.
2013).

U
Utomo, Laksanto. Hukum Adat. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2016).
Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia. 1958).
Wasitaatmadja, Fokky Fuad. Filsafat Hukum Akar Religiusitas Hukum, (Jakarta:

D
Prenada Media Group. 2015).
Widjajati, Erna. Hukum Perusanaan dan Kepailitan di Indonesia. (Jakarta: Jalur.
2014).
Wijatanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. (Jakarat: Sinar Grafika.
2014).
Wiyono, R. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Kencana. 2006).

Daftar Pustaka 291


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BIODATA PENULIS

Y
M
Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. Guru
B e s a r H u ku m P i d a n a U n i v e r s i t a s

M
Muhammadiyah Jakarta, Rektor Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Periode 2015-2019,
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP
Muhammadiyah Periode 2015-2020, Dekan
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

U
Jakarta, 2012-2015, telah menerbitkan
publikasi ilmiah lebih dari 20 buku
diantaranya Perkembangan Stelsel Pidana
Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009),

D
Korupsi dan Pidana Denda, (Yogyakarta: Total
Media, 2009), Kebijakan Kriminal, (Yogyakarta: Total Media, 2010), Sejarah
Pembaruan KUHP dan KUHAP, (Yogyakarta: Total Media 2010), Hukum
Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Total Media, 2009),
Beban Pembuktian dalam beberapa Praktek Peradilan, (Jakarta: Gramata, 2012) dan
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) dan
puluhan tulisan lainnya dalam berbagai jurnal ilmiah.

Biodata Penulis 293

Anda mungkin juga menyukai