Anda di halaman 1dari 64

Dr. Musteklm, S.I-k, M.H.

Fakultas Hukum Universitas Nasional


PANDUAN PRAKTIS
PRAKTEK SIDANG DI PERADILAN SEMU
DI LINGKUNGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NASIONAL

Dr. Mustakim, S.H., M.H.

Penerbit :

Fakultas Hukum Universitas Nasional


i
PANDUAN PRAKTIS
PRAKTEK SIDANG DI PERADILAN SEMU
DI LINGKUNGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
NASIONAL

Oleh : Dr. Mustakim, S.H., M.H.

ISBN/KDT : 978-623-7376-80-4

Perpustakaan Nasional : Kataloq Dalam Terbitan (KDT)

Cetakan Pertama : 15 Desember 2020

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbnyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam


bentuk dan dengan cara apapun termasuk dengan cara
mengunakan mesin fotocopy, tanpa seizin dari penerbit

Penerbit :

Fakultas Hukum Universitas Nasional

ii
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah Penulis haturkan kepada Allah SWT, atas


segala rahmat dan nikmat yang diberikan, terutama nikmat
kesehatan, sehingga keinginan Penulis untuk membuat buku
berupa pedoman bagi Mahasiswa Hukum dalam mempraktekkan
teori-teori hukum di Peradilan Semu di Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Nasional dapat terselesaikan.

Buku ini didorong atas pengalaman Penulis, ketika mengampu


Mata Kuliah Praktek Peradilan Perdata dan Praktek Peradilan
Agama di Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta, dimana
mahasiswa mengalami kendala dalam mempraktekkan kasus-
kasus di Peradilan Semu yang ada di Fakultas. Atas dasar itulah,
Penulis berusaha untuk mewujudkan suatu panduan praktis bagi
mahasiswa hukum dalam berpraktek di Peradilan Semu sebagai
bagian pendidikan sebelum para mahasiswa hukum betul-betul
melakukan praktek hukum yang sebenarnya.

Buku ini menguraikan materi-materi penjelasan terkait


pelaksanaan praktek, meliputi Kompetensi Pengadilan, Jenis
Perkara Perdata, Pihak-Pihak Dalam persidangan, tahapan-
tahapan persidangan dan contoh-contoh dokumen-dokumen
hukum dalam persidangan mulai dari Surat Kuasa, gugatan,
jawaban, Replik, Duplik, Alat-Alat bukti, Kesimpulan dan
Putusan Pengadilan.

Penulis berharap dengan adanya buku ini, memudahkan Para


Dosen dan Mahasiswa Hukum dalam melaksanakan praktek
peradilan di Peradilan Semu di Lingkungan Fakultas Hukum,
khususnya Fakultas Hukum Universitas Nasional.

Ucapan terimakasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas


Nasional yang telah memberikan dukungan atas terbitnya buku
panduan ini, segenap Para Dosen Hukum di Lingkungan

iii
Fakultas Hukum Universitas Nasional atas saran dan
masukannya serta segenap mahasiswa yang memberikan
motivasi.

Saran dan Kritik sangat Penulis harapkan bagi para pembaca


demi kesempurnaan dan pencapaian proses belajar secara
maksimal, seperti Pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak
retak”. Akhirnya Penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut
membantu terbitnya buku ini dan semoga bermanfaat bagi Para
Dosen dan mahasiswa hukum serta para pembaca semuanya.

Salam hangat,
Dr. Mustakim, S.H., M.H.

iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................ v

PERTEMUAN 1
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA ................. . 1
A. Kekuasaan Kehakiman .................................................. 1
B. Kewenangan Pengadilan.................................................... 2
C. Susunan Badan-Badan Pengadilan.................................... 7
D. Tempat Kedudukan Pengadilan........................................ 10
.
PERTEMUAN 2
PRINSIP PERSIDANGAN DI PENGADILAN ............................ 12
A. Hakim bersifat pasif.......................................................... 12
B. Mengutaman Perdamaian (Dading)................................. . 13
C. Prosedur Berperkara Sederhana, Cepat dan Biay a 13
Ringan ………………………………………………………………………
D. Sidang Pengadilan Terbuka Untuk Umum ................. . 1
15
E. Tidak ada keharusan untuk diwakilkan............................
.
PERTEMUAN 3
PERKARA PERDATA DI PENGADILAN ..................................... 16
A. Perkara Perdata................................................................. 16
B. Jenis Perkara Perdata....................................................... 16
.
PERTEMUAN 4
PIHAK-PIHAK DALAM PROSES PERSIDANGAN D
I
PENGADILAN ....................................................................................... 17
A. Hakim ............................................................................
B. Panitera ......................................................................... 1
C. Juru Sita........................................................................ . 1
D. Juru Sumpah..................................................................... . 21
E. Penggugat dan Tergugat................................................... . 22
F. Pihak Ketiga...................................................................... 23
G. Advokat............................................................................. 23
.

v
24
H. Saksi............................................................................
. 25
I. Ahli..............................................................................
.
.
PERTEMUAN 5 .
PROSES BERACARA DI PENGADILAN ................................ .
26
A. Tahap Pendahuluan.................................................... . 26
B. Tahap Penentuan........................................................ 29
C. Tahap Pelaksanaan...................................................... 32
.
DAFTAR PUSTAKA....................................................... . 33
RIWAYAT HIDUP PENULIS.......................................... . 35
LAMPIRAN................................................................... . 38

vi
PERTEMUAN 1
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

A. Kekuasaan Kehakiman

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri


merupakan salah satu hasil Perubahan UUD 1945 khususnya
Pasal 24 yang setelah diubah selengkapnya berbunyi: (1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang1

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman memberikan penjelasan tentang
lembaga peradilan yang telah diberikan kewenangan oleh
undang-undang, yaitu kewenangan absolut yang merdeka
terlepas dari campur tangan orang lain dan tidak
ada tekanan dari pihak-pihak lain dengan tujuan
untuk menegakan hukum dan menegakan keadilan.2

1 Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan


Uud 1945 Achmad Edi SubiyantoJurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4,
Desember 2012
2 KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA MENGADILI ATAS

OTENTISITAS AKTA YANG DIBUAT OLEH NOTARIS DI LUAR

1
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157), bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Keempat lingkungan peradilan ini
adalah peradilan dibawah Mahkamah Agung untuk
melaksanakan kekuasaan kehakiman dibidang yudikatif,
yang dibedakan dengan tugas masingmasing lingkungan
peradilan.

Berdasarkan bunyi tersebut, maka ada beberapa


macam pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan
Umum, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama,
Pengadilan Administrasi/Tata Usaha Negara,
Mahkamah Konstitusi

B. Kewenangan Peradilan

1. Pengadilan Umum.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum disebutkan bahwa peradilan
umum berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pengadilan Militer adalah pengadilan yang hanya
berwenang untuk mengadili perkara pidana yang
terdakwanya berstatus anggota ABRI/Militer (Undang-
Undang No. 5 tahun 1950) atau Peradilan militer

WILAYAH KERJA Oleh: Indriana Prima Puspita Sari, Istislam, Nurini

2
ApriliandaADIL: Jurnal Hukum Vol. 8 No.1

3
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3. Pengadilan Agama adalah Pengadilan yang


kewenanganya mengadili perkara perdata yang kedua
pihaknya beragama islam dan menurut hukum yang
dikuasai hukum islam yang meliputi warisan, wasiat,
hibah yang dilakukan berdasarkan islam, wakaf serta
shadagoh (Pasal 49 Undang-Undang No. 7 tahun 1989)
Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang No. 7
tahun 1989 (LNRI 1989-49, TLNRI 3400). Pasal 49
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama menjelaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan,
wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam, wakaf dan shadaqah. Selanjutnya Pasal 49 UU No.
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang
menjadi kewenangan dari pengadilan agama adalah
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. waris;

c. wasiat;

d. hibah;

4
e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah;

i. ekonomi syari'ah.

4. Pengadilan Administrasi/Tata Usaha Negara berwenang


memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau menyelesaikan
perkara yang tergugatnya pemerintah dan penggugatnya
perorangan dimana pemerintah itu digugat dengan
kesalahan menjalankan administrasi (Pasal 47 Undang-
Undang No. 5 tahun 1986).

5. Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi


adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 3 UU No.
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
kehakiman) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk :

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

5
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik;

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;


dan

e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.

Untuk mengajukan gugatan pengadilan harus dilihat jenis


dan macam pengadilan, agar gugatan bisa diterima oleh
pengadilan, Dalam hukum acara perdata, dikenal dua
macam, yaitu.
1. Wewenang mutlak atau absolut competentie adalah
menyangkut pembagian kekuasan antar badan-badan
Peradilan, dilihat dari macamnya Pengadilan menyangkut
pemberian kekuasaan untuk mengadili. Misalnya
persoalan mengenai perceraian bagi mereka yang
beragama Islam berdasarkan ketentuan Pasal 163 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah wewenang
Pengadilan Agama.

6
2. Wewenang relatif atau relative competentie Adalah
mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar
Pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal
tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif.
Asas yang yang menyangkut wewenang ini adalah ”Actor
Sequitur Forum Rei” terhadap asas Actor Sequitur Forum
Rei terdapat beberapa pengecualian, misalnya yang
terdapat dalam Pasal 118 HIR itu sendiri :

a. Gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri setempat


kediaman tergugat, apabila tempat tinggal tergugat
tidak diketahui.

b. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih,


gugatan diajukan pada tempat tinggal salah satu
tergugat, terserah pilihan dari penggugat, jadi
penggugat yang menentukan di mana ia akan
mengajukan gugatannya.

c. Akan tetapi dalam ad. 2 tadi, apabila pihak tergugat


ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah
berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan
harus diajukan kepada Pengadilan Negeri pihak yang
berhutang. Sehubungan dengan hal ini perlu
dikemukakan, bahwa secara analogis dengan
ketentuan yang termuat dalam Pasal 118 ayat (2)
bagian akhir ini, apabila tempat tinggal tergugat dan
turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di
tempat tinggal tergugat.

7
d. Apabila tempat tinggal dan tempat tergugat tidak
dikenal, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri tempat tinggal penggugat atau salah satu dari
penggugat.

e. Dalam ad. 4 apabila gugatan adalah mengenai barang


tetap, dapat juga diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri di mana barang tetap itu terletak.

f. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu


akta gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
tempat tinggal yang dipilih oleh akte tersebut.

Pengecualian lain juga ditunjukan dalam BW, RV dan


Undang-Undang tentang Perkawinan yaitu
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974-LN.1974 No. 1-
TLN. Nomor 3019.

C. Susunan Badan-Badan Pengadilan

Menurut Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dari Undang-
Undang No. 14 tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 4 tahun
2004 adalah Mahkamah Agung adalah pengadilan
tertinggi dan mempunyai organisasi, administrasi, dan
keuangan tersendiri. Oleh karena masing-masing lingkungan
peradilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama
dan tingkat banding yang semua berpuncak kepada
Mahkamah Agung. Artinya dibidang memeriksa, dan
mengadili perkara, maka susunan badan-badan peradilan di
Indonesia adalah sebagai berikut:

8
1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri
(PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung
(MA).

2. Lingkup Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama


(PA), Pengadilan Tinggi Agama (PTA), dan Mahkamah
Agung (MA).

3. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer


(Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), dan
Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung) yakni
Mahkamah Agung.

4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah


Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan
Tinggi Tata Usaha (PT.TUN), dan Mahkamah Agung.

5. Mahkamah Konstitusi.

Pasal 1 angka 3 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang


Kekuasaan kehakiman menjelaskan
Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi herarki badan-badan peradilan adalah :


1. Peradilan tingkat pertama, berwenang mengadili pada
tingkat pertama.

2. Pengadilan tinggi atau pengadilan tingkat banding yang


merupakan pengadilan yang berwenang dan bertugas
mengadili perkara perdata dan pidana pada tingkat
banding dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan negeri

9
di daerah hukumnya (Pasal 51 Undang-Undang No. 2
tahun 1986) yang juga disebut pengadilan tingkat
kedua dimana merupakan upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh pihak yang kurang puas dengan
pengadilan tingkat pertama.

3. Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tingkat


akhir dan bukan pengadilan tingkat ketiga. Mahkamah
Agung merupakan pengadilan negara tertinggi yang
berwenang memeriksa dan memutus kasasi, sengketa
tentang mengadili dan permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap (Pasal 28 Undang-Undang No. 14 tahun
1985 Jo. Undang-Undang No. 5 tahun 2004). Selain itu
Mahkamah Agung juga berwenang melakukan pengujian
terhadap peraturan perundang-Undangan dibawah
undang-undang).

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara


tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam
keempat lingkungan peradilan yang mempunyai
wewenang :
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain;

b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah


undang-undang terhadap undang-undang; dan

1
c. kewenangan lainnya yang
diberikan undang-undang

D. Tempat Kedudukan Pengadilan

1. Pengadilan Negeri.

Kedudukan pengadilan pada prinsipnya berada di tiap


kabupaten,(Pasal 4 Undang-Undang No. 2 tahun
1986), namun diluar pulau jawa masih terdapat
banyak pengadilan negeri yang wilayah hukumya
meliputi lebih dari satu kabupaten. Kedudukan
Pengadilan Negeri ada sebuah kejaksaan negeri
disamping tiap pengadilan tinggi ada kejaksaan tinggi.
Khusus ibu kota jakarta ada lima instansi pengadilan
negeri yakni di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara demikian pula
dengan kejaksaan negerinya.

2. Pengadilan Tinggi (Pengadilan Tingkat Banding).

Pengadilan tinggi berada di Ibukota Propinsi dan wilayah


hukumnya yang meliputi wilayah propinsi (Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang No. 2 tahun 1986).

3. Mahkamah Agung.

Pasal 1 angka 2 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang


Kekuasaan Kehakiman menjelaskan Mahkamah Agung
adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah
Agung meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia dan
berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
(Pasal 1,2 dan 3 Undang-undang No. 14 tahun 1985).

1
4. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (disingkat MKRI) adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-
sama dengan Mahkamah Agung. Berkedudukan di
Ibukota Negara Indonesia.

1
PERTEMUAN 2
PRINSIP PERSIDANGAN DI PENGADILAN

A. Hakim Bersifat Pasif

Menurut Lilik Mulyadi asas Hakim yang pasif dapat


ditinjau dari 2 segi yaitu :
1. Ditinjau dari visi inisiatif datangnya pekara, tergantung
dari pihak-pihak yang merasa dirugikan artinya hakim
baru dapat memeriksa dan mengadili suatu gugatan kalau
diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan, jadi hakim
bersifat menunggu. Namun apabila perkara diajukan
hakim tidak boleh menolak dengan alasan tidak ada
hukumnya atau kurang jelas (Pasal 14 ayat (1) Undang-
Undang No. 14 tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 4 tahun
2004).

2. Ditinjau dari luas pokok sengketa maksudnya ruang


lingkup gugatan dan kelanjutan pokok perkara para
pihaklah yang menentukan, sehingga hakim hanya bertitik
tolak pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak.

Selanjutnya dalam perkara perdata para pihak yang


berperkara dapat secara bebas mengakhiri sendiri perkara
mereka yang telah diajukan dan diperiksa di pengadilan
dan hakim tidak bisa menghalanginya. Pengakhiran
perkara perdata ini dapat dilakukan dengan pencabutan
gugatan atau dengan perdamaian pihak-pihak yang
berperkara ( Pasal 178 HIR / 189 RBg ).

1
B. Mengutamakan Perdamaian ( Dading ).

Pedoman mengenai pengutamaan perdamaian ini ditegaskan


melalui Pasal 130 ayat (1) HIR / 154 ayat (1) R Bg, yang
intinya adalah bahwa pada hari yang telah ditentukan
untuk persidangan dan para pihak yang berperkara hadir
maka hakim diwajibkan untuk mengusahakan perdamaian
antara mereka.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR /


154 ayat (2) RBg dan Pasal 1858 BW, maka terhadap
putusan perdamaian yang dibuat oleh hakim karena
adanya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara,
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,
oleh karena itu maka cara pelaksanaan akta perdamaian itu
sama dengan cara melaksanakan putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan tetap. Apabila ada pihak yang
kemudian enggan melaksanakan akta perdamaian itu
secara sukarela, maka pelaksanaannya dapat dilakukan
secara paksa oleh Pengadilan Negeri, kalaupun perlu dengan
bantuan Polri dan Angkatan Bersenjata lainnya.

C. Prosedur Berperkara Sederhana, Cepat dan Biaya


ringan.

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun


1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
diubah menjadi Undang-undaang No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman telah secara jelas ditegaskan
mengenai asas berperkara bahwa peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Mengenai biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan,


pemangilan para pihak, pemberitahuan, materai dan

1
administrasi. Dan bagi yang kurang mampu dapat meminta
kepada pengadilan untuk berperkara secara Cuma-Cuma
dengan menyertakan surat keterangan tidak mampu dari Rt,
Rw dan diketahui Lurah dan Camat.

Ketentuan ini dimaksudkan agar peradilan harus memenuhi


harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki
peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan. Tidak
diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang
dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan
kadang-kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari
keadilan. Biaya ringan dimaksudkan biaya yang serendah
mungkin sehingga dapat dipikul oleh rakyat. Ini semua
dipedomani dan dilaksanakan dengan tanpa mengorbankan
ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.

D. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum.

Pasal 17 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah


menjadi Undang-undaang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa sidang pengadilan
dalam pemeriksaan perkara perdata pada asasnya terbuka
untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang boleh hadir,
mendengar dan menyaksikan jalannya pemeriksaan
perkara perdata itu di Pengadilan. Tujuan asas ini
ialah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak
memihak, adil dan benar sesuai dengan peraturan hukum
yang berlaku, yakni dengan meletakkan peradilan di
bawah pengawasan umum.

Sedang menurut Lilik Mulyadi persepsi peradilan terbuka


untuk umum adalah harus dinyatakan persidangan dibuka
terlebih dahulu dengan menyatakan bahwa persidangan
terbuka untuk umum.

1
E. Tidak ada keharusan Untuk Mewakilkan.

Peraturan perundang-undangan tidak mengatur bahwa para


pihak dalam suatu perkara harus mewakilkan kepada pihak
lain. Orang yang langsung berkepentingan sendiri dapat aktif
bertindak sebagai penggugat maupun tergugat. Mereka ini
merupakan pihak materiil karena mempunyai kepentingan
langsung dalam perkara yang bersangkutan, dengan demikian
akan lebih menguntungkan karena mereka yang lebih tahu
tentang duduk persoalannya. Namun apabila tidak bisa atau
berhalangan hadir dapat diwakilkan oleh seseorang yang
menurut undang-undang dapat atau mempunyai hak untuk
mewakili seseorang di Pengadilan. Tentunya harus mendapat
persetujuan dari orang yang berkepentingan dengan
menunjukan surat kuasa sebagai tanda bukti.

1
PERTEMUAN 3
PERKARA PERDATA DI PENGADILAN

A. Perkara Perdata
Perkara Perdata adalah persoalan yang menyangkut
kepentingan subjek hukum lawan subjek hukum lainya yaitu
antara individu hukum. Suatu perkara perdata apabila tidak
dapat diselesaikan secara musyawarah pada umumnya
penyelesaianya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

B. Jenis Perkara Perdata


Mengenai kewenangan pengadilan dalam menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara
selain istilah kompetensi dalam hukum acara perdata dikenal
pula istilah yuridiksi yang meliputi
1. Yuridiksi contensiosa adalah wewenang pengadilan yang
sesungguhnya, cirinya adalah perkara yang ditangani
pengadilan merupakan suatu sengketa, ada dua pihak
yaitu penggugat dan tergugat, dimulai dengan surat
gugat, diakhiri dengan putusan yang amar putusanya
bersifat kondemnatoir, kontitutif, atau bahkan
deklaratoir.

2. Yuridiksi voluntaria adalah merupakan wewenang


pengadilan yang tidak sesungguhnya atau wewenang
pengadilan yang bersifat ekstra judicial, cirinya adalah
perkara yang ditangani pengadilan bukan sengketa, ada
satu pihak yaitu pemohon, dimulai dengan surat
permohonan, diakhiri dengan penetapan yang amar
putusannya bersifat constitutif atau deklaratoir.

1
PERTEMUAN 4
PIHAK-PIHAK DALAM PROSES PERSIDANGAN
DI PENGADILAN

A. Hakim
1. Pengertian Hakim
Dalam kamus bahasa indonesia terbitan Balai Pustaka
memberi tiga definisi hakim, yaitu (i) orang yang
mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah); (2)
pengadilan; atau (3) juri penilai. Secara normatif menurut
Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 22 Tahun
2004 yang dimaksud dengan hakim adalah hakim
agung dan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi
sebagimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam bahasa Belanda disebut rechter, dan dalam bahasa


Inggris dikenal sebagai judge.
“Judge”, menurut Bangalore Principle of Judicial
Conduct (2002), adalah “any person exercising judicial
power, however designed”.

Pada dasarnya pengertian hakim, apabila kata tersebut


ditafsirkan secara generik maka dapat diartikan bahwa
hakim adalah seluruh hakim disemua jenis dan tingkatan
peradilan yaitu Hakim Agung, hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung dan Hakim Konstitusi.

Di tiap pengadilan terdapat beberapa hakim diataranya


menjabat sebagai Ketua Pengadilan dan Wakil Ketua
Pengadilan. Dimana hakim tersebut bertugas memeriksa
dan mengadili perkara di persidangan.

1
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim
pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut

2. Tugas dan kewajiban Hakim


Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,


dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat dan harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum serta
wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pengadilan dilarang menolak untuk


memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya, sesuai dengan ketentuan Pasal
22 A.B (Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor
Indonesie) berbunyi : “Bilamana seorang hakim
menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan
bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan
tidak menyebutnya, tidak jelas, atau tidak lengkap,
maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.

Pasal 14 UU No. 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan


Kedua UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum,
1
untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. sarjana hukum;
e. lulus pendidikan hakim;
f. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan
tugas dan kewajiban;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
h. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan
paling tinggi 40 (empat puluh) tahun; dan
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena
melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua
pengadilan negeri, hakim harus berpengalaman paling
singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim pengadilan negeri

B. Panitera
Disamping itu ada Panitera yang bertugas memimpin bagian
administrasi atau tata usaha dibantu oleh wakil panitera,
beberapa panitera penganti dan karyawan-karyawan lainya.

Tugas dari panitera adalah :


1. Menyelenggarakan administrasi perkara serta mengikuti
sidang serta mengikuti semua sidang serta musyawarah-
musyawarah pengadilan dengan mencatat secara teliti
semua hal yang dibicarakan ( Pasal 59 Undang-Undang
No. 2 tahun 1986, Pasal 63 RO).

2
2. Harus membuat berita acara sidang pemeriksaan dan
menandatangani bersama-sama dengan ketua sidang
(Pasal 186 HIR, Pasal 197 Rbg).

3. Karena ia tidak mungkin mengikuti semua sidang


pemeriksaan perkara, maka di dalam praktik tugas
tersebut dilakukan oleh panitera penganti.

Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera,


Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpahnya
menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.

Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk


memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak
langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapa pun juga".

"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak


melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali
akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa
pun juga suatu janji atau pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan


mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945,
dan segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan


jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak

2
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam
melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil
Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan

C. Juru Sita
Juru sita dan Juru sita penganti (Pasal 38 Undang-Undang
No. 2 tahun 1986) adapun tugas dari juru sita
adalah Melaksanakan tugas dari ketua sidang dan
menyampaikan pengumuman, teguran-teguran,
pemberitahuan putusan pengadilan, panggilan resmi
kepada tergugat dan penggugat dalam perkara perdata dan
pada saksi, dan juga melakukan penyitaan atas perintah
hakim.

Istilah jurusita merupakan terjemahan dari bahasa


Belanda, deurwaarder. bertugas membantu administrasi
pengadilan. Karena itu, jurusita adalah bagian dari fungsi
kepaniteraan pengadilan, dan dalam beberapa hal
bertanggung jawab kepada dan berkoordinasi dengan
Panitera. Perannya sangat penting untuk menjamin proses
administrasi perkara berjalan. Memanggil para pihak yang
bersengketa hanya salah satu tugas seorang jurusita.
Undang-Undang menyaratkan agar pemanggilan dilakukan
secara patut.

Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, seorang calon harus


memenuhi syarat warga negara Indonesia, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa;, setia kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
berijazah pendidikan menengah, berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai jurusita
pengganti; dan mampu secara rohani dan jasmani untuk
menjalankan tugas dan kewajiban. Untuk dapat diangkat
menjadi juru sita pengganti, seorang calon harus
2
memenuhi syarat

2
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf f; dan berpengalaman paling singkat 3
(tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan negeri.

D. Juru Sumpah
Juru saumpah merupakan petugas pengadilan yang diberi
tugas hanya memegang Kitab Al’Quran bagi mereka yang
beragama Islam di atas kepala daripada yang mengucapkan
sumpah atau kitab lainya menyesuaikan agama saksi atau
pihak yang dihadirkan dalam persidangan sebelum
memberikan keterangan. Sedangkan yang memandu lafal
sumpah adalah hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

Berikut lafal sumpah :


1. Bagi saksi yang beragama Islam. “Demi Allah saya
bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar
dan tidak lain dari daripada yang sebenarnya”.

2. Bagi Saksi yang beragama Non Muslim. “Saya


bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar
dan tidak lain dari daripada yang sebenarnya, semoga
tuhan menolong saya”.

3. Bagi saksi ahli “Saya bersumpah bahwa saya akan


memberikan pendapat tentang soal-soal yang
dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-
baiknya”.

4. Bagi yang agamanya melarang bersumpah “Saya berjanji


bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak
lain dari daripada yang sebenarnya”.

2
E. Penggugat dan Tergugat
Penggugat (erser, plaintid) dan Tergugat (gedaagde,
defendant). Pihak ini dapatt secara langsung berperkara di
pengadilan dan dapatt juga diwakilkan baik melalui kuasa
khusus (pengacara) maupun kuasa insidentil (hubungan
keluarga).

Penggugat ialah pihak yan g memulai membuat perkara


dengaan mengajukan gugatan karena merasa hak perdata
dirugikan. Sedangkan Tergugat ialah pihak yan g ditarik
dimuka pengadilan karena dirasa oleh penggugat sebagai
yan g merugikan hak perdatanya.

F. Pihak Ketiga (voeging, /tussenkomst, dan


vrijwaring)
Keikutsertaan pihak ketiga dalam proses perkara yaitu
voeging, intervensi/tussenkomst, dan vrijwaring tidak diatur
dalam HIR atau RBg, tetapi dalam praktek ketiga
lembaga hukum ini dapat dipergunakan dengan berpedoman
pada Rv (Pasal 279 Rv dst dan Pasal 70 Rv), sesuai
dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan,
baik dalam hukum materiil maupun hukum formil.

Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung


kepada penggugat atau tergugat

Intervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak ketiga


untuk ikut dalam proses perkara itu atas alasan ada
kepentingannya yang terganggu. Intervensi diajukan oleh
karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya
disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat.

Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk


bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari
tanggung jawab kepada penggugat).

2
G. Advokat
Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat, Pasal 1
ayat (1) mengatakan bahwa istilah advokat adalah orang
yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
undang-undang ini.

Pasal 2 Jo Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No 18 tahun


2003 mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat
adalah warga negara Republik Indonesia, bertempat tinggal
di Indonesia, tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau
pejabat negara, berusia sekurang-kurangnya 25 (dua
puluh lima) tahun, berijasah sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum, lulus ujian yang
diadakan oleh Organisasi Advokat, magang sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun terus- menerus pada kantor
Advokat, pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih, berprilaku baik, jujur,
bertanggungjawab, adil, dan mempunyai integritas yang
tinggi.

H. Saksi
Saksi merupakan salah satu jenis alat bukti dalam perkara
perdata yaitu seseorang yang dihadirkan dalam proses
persidangan untuk memberikan keterangan. Untuk bisa
memberikan keterangan haruslah seseorang yang memenuhi
persyaratan baik materiil maupun formil. Setidaknya
keterangan yang diberikan haruslah keterangan yang di yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di


persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan
jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
2
yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang di panggil
di persidangan.

Pengertian saksi dalam Undang - Undang Nomor 13


tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban ini menggunakan konsep tentang pengertian
saksi seperti yang diatur oleh KUHAP dimulai. Pasal 1 butir
26 dan 27 KUHAP diatur mengenai pengertian Saksi
serta Keterangan Saksi. Saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
alami sendiri. Dan Keterangan Saksi adalah salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri dan alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.”

I. Ahli
Tidak ada ketentuan yang menjelaskan mengenai pengertian
ahli. Dalam kamus bahasa indonesia ahli1/ah·li/ n
orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu
(kepandaian).

2
PERTEMUAN 5

PROSES BERACARA DI PENGADILAN

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata terdiri


dari tiga tahap kegiatan:

A. Tahap Pendahuluan.

Tahap pendahuluan merupakan tahap persiapan menuju


tahap penentuan dan pelaksanaan. Dalam tahap ini ada
sejumlah kegiatan yang harus dilakukan, antara lain
membuat surat gugatan, mendaftar gugatan di panitera,
membayar biaya perkara.

Pada asasnya setiap orang boleh berperkara di depan


pengadilan atau dengan kata lain dapat
mengajukan gugatan, kecuali orang-orang yang dinyatakan
tidak cakap. Sebagai subjek hukum maka badan hukum
yang bersifat publik maupun yang bersifat privat dapat
juga beracara di pengadilan yakni melalui pengurusnya atau
wakilnya. (Pasal 1655 BW, Pasal 8 No.2 RV)

Dalam hukum acara dikenal adanya pihak materiil dan pihak


formil. Pihak materiil adalah pihak yang berkepentingan
penggugat dan tergugat dan pihak formal adalah mereka
yang menghadap dalam sidang, dapat merupakan pihak
materiil itu sendiri atau orang yang diberi kuasa maupun
wali atau kuratornya.

Gugatan dapat diajukan dengan lisan dan tulisan ke


pengadilan negeri yang berwenang. Pada asasnya para pihak

2
harus menghadap sendiri tetapi mereka dapat
diwakilinya oleh seorang kuasa (Pasal 118ayat (1) jo.
Pasal 123 HIR). Kuasa ini dapat diberikan secara lisan
dengan syarat yang bersangkutan hadir secara pribadi di
persidangan (Pasal 123 ayat (1)HIR, Pasal 147 ayat (1)
Rbg atau Para pihak dapat memberikan kuasa kepada
wakilnya secara tertulis dengan surat kuasa khusus
karena dengan surat kuasa umum tidaklah mencukupi
sebab harus dicantumkan pihak yang bersengketa dan
pokok permasalahan. Surat kuasa ini dapat dibuat secara
autentik atau di bawah tangan. Surat kuasa khusus tidak
diperlukan bagi pegawai negeri yang bertindak sebagai
wakil pemerintah (Pasal 123 ayat (2) HIR, Pasal 147 ayat (2)
Rbg)

Setelah ditandatangani oleh wakilnya penggugat


mendaftar surat gugatanya yang harus memenuhi bea
meterai (Pasal 121 ayat 4 HIR, Pasal 145 ayat 4 Rbg) disertai
dengan salinan kepada kepaniteraan pengadilan yang
bersangkutan, Pada waktu memasukkan gugatan,
penggugat harus pula membayar biaya perkara yang
meliputi : biaya kepaniteraan, beaya panggilan dan
pemberitahuan para pihak. Jadi beracara perdata
tidaklah tanpa biaya, tetapi terhadap asas ini ada
pengecualianya bagi mereka yang tidak mampu yaitu dengan
Cuma-Cuma dengan mangajukan permohonan ijin kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang harus disertai surat
keterangan tidak mampu dari camat .

Agar gugatan dapat disidangkan, maka gugatan harus


diajukan kepada Pengadilan yang berwenang. Dalam
mengajukan gugatan, pihak Penggugat harus
mendaftarkannya dan gugatan itu baru dapat didaftar
apabila biaya perkara sudah dilunasi. Setelah terdaftar,
gugatan diberi nomor perkara dan kemudian diajukan
kepada Ketua Pengadilan.

2
Setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia
menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara
tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam
persidangan dilakukan oleh majelis hakim. Untuk ini
Ketua Pengadilan menunjuk seorang hakim sebagai Ketua
Majelis dan dua hakim anggota. Hakim yang
bersangkutan dengan surat penetapan menentukan hari
sidang dan memanggil para pihak agar menghadap para
sidang Pengadilan Negeri pada hari sidang yang telah
ditetapkan dengan membawa saksi- saksi serta bukti-
bukti yang diperlukan (Pasal 121 Ayat (1) HIR, Pasal 145
ayat (1) Rbg). Pemanggilan dilakukan oleh jurusita, surat
panggilan tersebut dinamakan exploit. Exploit itu berserta
salinan surat gugat diserahkan kepada Tergugat pribadi di
tempat tinggalnya. Apabila Tergugat tidak
diketemukan, surat panggilan tersebut kepada Kepala
Desa yang bersangkutan untuk diteruskan kepada Tergugat
(Pasal 390 Ayat (1) HIR , Pasal 789 ayat (1) Rbg). Kalau
Tergugat sudah meninggal maka surat panggilan
disampaikan ahliwarisnya dan apabila ahliwarisnya tidak
diketahui maka disampaikan kepada Kepala Desa ditempat
tinggal terakhir.

Apabila tempat tinggal tidak diketahui maka surat panggilan


diserahkan kepada Bupati dan untuk selanjutnya surat
panggilan tersebut ditempelkan pada papan pengumuman di
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Pasal 126 HIR, Rbg Pasal 150 memberi kemungkinan untuk


memanggil sekali lagi tergugat sebelum perkaranya
diputus hakim. Setelah melakukan panggilan, jurusita
harus menyerahkan relaas (risalah) panggilan kepada
hakim yang akan memeriksa perkara yang
bersangkutan. Relaas itu merupakan bukti bahwa
Tergugat telah dipanggil. Kemudian pada hari yang telah
ditentukan sidang pemeriksaan perkara dimulai, untuk ini

3
dapat diikuti Bab tentang jalannya persidangan.

3
B. Tahap Penentuan

1. Sidang Pertama

Hakim ketua akan membuka sidang dan menyatakan


“sidang dibuka dan terbuka untuk umum” dengan
mengetuk palu. Hakim memulai dengan mengajukan
pertanyaan–pertanyaan kepada Penggugat dan Tergugat
meiputi : Identitas Penggugat. dentitas Tergugat dan/atau
kuasa hukumnya jika dalam persidangan diwakili oleh
kuasa hukum/Advokat.

Hakim menghimbau agar dilakukan perdamaian, dalam


hal ini meskipun para pihak menjawab bahwa tidak
mungkin damai Karena usaha penyelesaian perdamaian
sudah dilakukan berkali–kali, hakim meminta agar
dicoba lagi. Jadi pada sidang pertama ini sifatnya
merupakan cecking identitas para pihak dan apakah para
pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk
menghadiri.Sidang.

Sebagai bukti identitasnya, para pihak menunjukkan KTP


masing– masing atau Kartu Tanda Pengenal
sebagai Advokat dan Surat Sumpah Profesi.
Apabila tidak ditemukan kekurangan atau cacat
maka sidang dilanjutkan ke tahapan mediasi sebagai
tahapan wajib yang disyaratkan Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2016.

Selanjutnya proses mediasi akan dipimpin oleh


seorang Mediator dengan mengacu pada Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 dan hasil dari
proses mediasi tersebut harus dilaporkan kepada
Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

3
2. Sidang Kedua (Jawaban Tergugat)

Pada sidang ini, Para Pihak menyampaikan dan


mempertegas kepada Majelis Hakim mengenai hasil dari
proses mediasi yang sebelumnya telah dilaporkan secara
resmi oleh mediator. Ada dua kemungkinan, jika mediasi
berhasil maka akan dibuatkan dading oleh Pengadilan,
akan tetapi jika gagal, maka proses akan dilanjutkan ke
tahapan selanjutnya yaitu pembacaan gugatan dan/atau
perubahan gugatan jika ada hal-hal yang perlu dirubah
dengan mengacu kepada ketentuan.

Jika pihak Tergugat sudah siap dengan jawaban atas


gugatan, maka dalam sidang kedua adalah jawaban dari
Tergugat terhadap gugatan yang diajukan Penggugat.
Jawaban yang diajukan dapat berisi eksepsi terhadap
gugatan dan jawaban terhadap pokok perkara gugatan
serta Rekonpensi.

3. Sidang Ketiga (Replik)

Replik adalah suatu dokumen bantahan/tanggapan oleh


Penggugat atas adanya jawaban oleh pihak
Tergugat/kuasa hukumnya.Pada sidang ini penggugat
atau kuasa hukumnya menyerahkan replik, satu untuk
hakim, satu untuk tergugat dan satunya untuk penggugat
sendiri.

4. Sidang Keempat (Duplik)

Dalam sidang, tergugat menyerahkan duplik yaitu


tanggapan tergugat terhadap duplik penggugat.

5. Sidang Kelima (Pembuktian dari Penggugat)

3
Sidang kelima dapat disebut sidang pembuktian oleh
penggugat, di sini penggugat mengajukan bukti-bukti
yang memperkuat dalil-dalil penggugat sendiri dan yang
melemahkan dalil-dalil tergugat. Alat pembuktian melalui
surat (fotocopy) harus di nazagelen terlebih dahulu dan
pada waktu sidang dicocokkan dengan aslinya oleh hakim
maupun pihak tergugat. Hakim mempuyai kewenangan
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dilanjutkan oleh tergugat sedangkan pihak penggugat
memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Terhadap saksi-saksi hakim mempersilahkan penggugat
mengajukan pertanyaan terlebih dahulu, kemudian
hakim sendiri juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dalam rangka memperoleh keyakinan. perdebatan-
perdebatan di bawah pimpinan hakim. Apabila
pembuktian ini belum selesai maka akan dilanjutkan
pada sidang berikutnya. Sidang pembuktian ini dapat
cukup sehari, tetapi biasanya bisa dua tiga kali atau lebih
tergantung kepada kelancaran pembuktian, perlu dicatat
disini bahwa sebelum ditanyakan serta memberikan
keterangan saksi harus disumpah lebih dahulu dan tidak
boleh masuk dalam ruang sidang belum dipanggil.

6. Sidang Keenam (Pembuktian dari Tergugat)

Kalau sidang kelima merupakan sidang pembuktian


penggugat, maka sidang keenam ini adalah sidang
pembuktian dari pihak tergugat. Jalannya sidang sama
dengan sidang kelima dengan catatan bahwa yang
mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi adalah tergugat,
sedang tanya jawabnya kebalikan daripada sidang kelima.

7. Sidang Ketujuh

3
Sidang ketujuh adalah sidang penyerahan kesimpulan,
disni kedua belah pihak membuat kesimpulan dari hasil-
hasil sidang tersebut. Isi pokok kesimpulan sudah barang
tentu yang menguntungkan para pihak sendiri.

8. Sidang Kedelapan

Sidang kedelapan dinamakan sidang putusan hakim,


dalam sidang kedelapan ini hakim membaca
putusan yang seharusnya dihadiri oleh para pihak.
Setelah selesai membaca putusan maka hakim
menetukkan hakim palu tiga kali dan para pihak
diberi kesempatan untuk mengajukan banding apabila
tidak puas dengan putusan hakim. Pertanyaan banding
ini harus dilakukan dalam jangka waktu 14 hari
terhitung ketika putusan dijatuhkan.

C. Tahap Pelaksanaan

Tahap pelaksanaan adalah tahap dilakukanya tindakan


pelaksanaan putusan dan eksekusi yang telah dijatuhkan
oleh hakim. Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan
atau eksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai
inkracht yaitu putusan yang tidak mungkin dilawan dengan
upaya hukum yang ada (verzet, banding dan kasasi). Putusan
dimana pihak tergugat lebih dari satu dan ada salah
satu tergugat yang tidak menyatakan upaya hukum,
maka pelaksanaanya putusan harus menunggu
putusan itu inkracht (Mahkamah Agung Tgl 3-12-
1974 No. 1043 K/Sip/1971).

3
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Hasibuan, Fauzie Yusuf . Strategi Penegakan Hukum. Jakarta :


Fauzie & Patners, 2002
, Hukum Acara Perdata, disampaikan
pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat angkatan
XII (Jakarta tanggal 01 Juni 2005) yang diadakan
oleh PERADI bekerja sama dengan Lembaga
Pendidikan Hukum dan Bisnis Jakarta Studi Centre.

, Bahan Ajar Hukum Acara Perdata Tata Cara


dan Proses Persidangan, disampaikan pada
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)
dilaksanakan oleh Organisasi Profesi Advokat PERADI,
tahun 2005. Beliau adalah Ketua Komisi
Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI).

LBH Jakarta, Sari Kalabahu LBJ JKT hukum Pedata, LBH


Jakarta, 2001.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata


di Lingkungan Peradilan Agama, Edisi Revisi, Cet.
III, Jakarta : Prenada Media, 2005.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indoneisa.


Yogyakarta : Liberty, 1979.

Muhammad, Abdul Kadir Hukum Acara Perdata. Bandung: Cv.


Citra Aditya Bakti, 1990.

Protjodikoro, R. Wirjono . Hukum Acara Perdata di Indonesia.


Sumur Bandung, 1982.

3
.
RMJ Koosmargono dan Moch Dja’s, Membaca dan Mengerti
HIR (Penerbit :FH-Undip Semarang, 1995), hal 120-
121.

Teguh Samudera, “Strategi dan Taktik Bercara “Makalah di


sampaikan paa Karya Latihan Bantuan Hukum
(KALABAHU), Jakarta 6 April 2005.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkarta Winata,
Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek.
Bandung : Mandar Maju, 1997.

Yudha Pandu, Klien dan Penasehat hukum dalam Perspektif


Masa Kini. Jakarta : PT. Abadi Jaya. 2001

Hukum Online, Bahasa Hukum: Hakim itu Adalah


Hakim, Jumat, 30 Oktober 2009.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik


Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang


Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata


Usaha Negara
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016 tentang
Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 tentang Prosedur


Gugatan Perwakilan/ Class Action

3
RIWAYAT SINGKAT PENULIS

Dr. MUSTAKIM, S.H., M.H. lahir di


Banyuwangi 08 Oktober 1979, Jawa Timur, anak ke dua dari
pasangan Bapak RAMELI dan Ibu JULAEHAK, Menempuh
Pendidikan Dasar di SD Negeri 1 di Sumbersari-
Srono, Pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri 2 Srono-
Banyuwangi dan Pendidikan Menengah Atas di SMA
Negeri 2 Genteng- Banyuwangi.
Setelah tamat SMA kemudian merantau ke Jakarta untuk
bekerja sambil kuliah. Di tahun 2000 masuk kuliah Fakultas
Hukum Universitas Nasional (UNAS JAKARTA)
bidang kekhususan Praktisi Hukum dan lulus tahun 2004.
Setelah lulus dari Fakultas Hukum sempat bekerja di
Kantor Notaris & PPAT di Jakarta. Sempat bergabung dengan
Perkumpulan Pengacara Publik Berpektif Lingkungan Hidup
(PIELs), sebuah organisasi yang mempunyai visi dan misi
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan pada Kelompok
Kerja Pengelolaan Sumber Daya Alam (POKJA-PSDA) yaitu
sebuah organisasi yang melakukan pemantauan dan mendorong
pembahasan RUU PSDA sebagai payung dari semua aturan
dibidang lingkungan hidup.
Pada awal tahun 2006, Penulis bekerja di Kantor Hukum
FAUZIE & PARTNERS, dipimpin Advokat Senior yang terpelajar
Prof. Dr. H. FAUZIE YUSUF HASIBUAN, S.H.,M.H,
(Ketua
Umum PERADI Periode 2015-2020), yang saat ini menjadi Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Pada tahun
2007 mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat
yang dilaksanaksan oleh Universitas Islam Jakarta (UIJ) dan
Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) bekerja sama dengan

3
Perhimpunan

3
Advokat Indonesia (PERADI) sebagai pemegang
otoritas penyelenggaraan Pendidikan Khsusu Profesi
Advokat. Pada tahun yang sama mengikuti Ujian Advokat
yang dilaksanakan oleh Panitia Ujian PERADI (PUPA-
PERADI) dan dinyatakan LULUS. Kemudian di tahun 2008
dilantik menjadi Advokat PERADI. Pada tahun 2007,
melanjutkan kuliah pada Program Pasca Sarjana (S2)
jurusan Hukum Bisnis pada Universitas Nasional Jakarta,
lulus tahun 2009.
Pada bulan September tahun 2015 menempuh
Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya dan dinyatakan lulus dan berhak
menyandang gelar doktor pada Maret 2019. Tahun 2020
mengikuti Pelatihan Mediasi Bersertifikat Mahkamah Agung
dan dinyatakan lulus menjadi Mediotor Bersertifikasi.
Selain sebagai Advokat, saat ini menjabat Wakil
Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional. Di luar aktifitas
tersebut, aktif dalam organisasi profesi diantaranya Asosiasi
Hukum Acara Perdata (ADHAPER), Pengurus Asosiassi
Laboratrium dan Klinik Hukum Indonesia (ALHI), Pengurus
Dewan Pimpinan Nasional menjadi Sekretaris Bidang
Eksekusi Pelaksanaan Putusan Dewan Kehormatan Kode Etik
Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI Periode
2015-2020), Ketua Bidang Hukum dan Perundang-
Undangan Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO).
Kegiatan sebelumnya Pengurus DPC PERADI JAKBAR
Periode 2012-2015, Anggota Solidaritas Advokat Publik Untuk
Pengendalian Tembakau di Indonesia (SAPTA-INDONESIA) dan
Anggota Dewan Transportasi Jakarta (DTKJ) Periode 2012-2013
dan Periode 2014-2017 merupakan lembaga independen yang
tugasnya memberikan rekomendasi kepada Gubernur
DKI Jakarta terkait kebijakan di bidang Transportasi di DKI
Jakarta
Aktif menulis buku dan artikel ilmiah. Buku yang
sudah ditulis diantaranya Mekanisme Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang

4
No. 2 tahun 2004 (Bipartit, Tripartit dan PPHI), Mediasi
sebagai Alternatif

4
Penyelesaian Sengketa bidang Ketenagakerjaan di
Indonesia, Buku Panduan Pelaksanaan Magang calon
Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Buku
Pedoman Praktis Praktek Sidang di Peradilan Semu di
Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Nasional dan
Hukum dan Kebijakan Transportasi Provinsi DKI Jakarta
dan juga artikel- artikel yang sudah dipublikasi diantaranya
Reformulation of Regulations on Restictions on Individual
Vehicles in Realizing Order and Justice Crossed in Indonesia,
Reformulasi Pengaturan Larangan Pengusaha Membayar
Upah Lebih Rendah Upah Minimum, Rencana Penerapan
Electronic Road Pricing (ERP) di Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta (Aspek Hukum dan Permasalahannya),
Management of Tobacco As A Contitutional Rights Warranty
for Health in Indonesia’s Tourism Denpasar 2018 dan
Urgensi Kempimpinan Berintegritas Publik Dalam Negara
Hukum di Tengah Pandemi Covid-19, Pengendalian Lalu Lintas
Jalan Berbayar Elektronik (Studi Peraturan Gubernur DKI
Jakarta No. 149 Tahun 2016), Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan
Force Majeure Dalam Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja di
Indonesia dan Reformulasi Aturan Larangan Pengusaha
Membayar Upah Lebih Rendah dari Upah Minimum.

4
LAMPIRAN
1. Contoh Surat Kuasa

a. Surat Kuasa Perdata

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini :

NURZANAH, Perempuan, Lahir di Jakarta, 03


september 1960, Agama Islam , Alamat di Jalan Melati
No. 10 Rt. 010 Rw. 002, Kelurahan Pejaten Barat,
Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan,
dan selanjutnya disebu sebagai------PEMBERI KUASA

Dalam hal ini memilih tempat domisili atau kediaman


hukum di Kantor kuasanya Fauzie & Partners,
Advocate, tersebut di bawah ini, menerangkan
dengan ini Pemberi Kuasa memberikan kuasa khusus
kepada :
Dr. H. FAUZIE YUSUF HASIBUAN, S.H. M.H.
MUSTAKIM, S.H., M.H.
ERIK PRABUALDI, S.H

4
Yang beralamat kantor di Jalan S. Parman No. 19 Lantai 2,
Slipi Jakarta–Indonesia 11480, Telephone (62-21) 5357019,
Faximile (62-21) 5357019, E-mail : adv_fauzie@yahoo.com.

Baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mewakili


dan bertindak untuk dan atas nama PEMBERI KUASA
mengurus hak-hak serta kepentingan hukumnya dan
selanjutnya disebut sebagai---PENERIMA KUASA

------------------------------------------KHUSUS-------------------------------------------
Mewakili kepentingan hukum PEMBERI KUASA,
menyelesaikan pemberesan Harta Bawaan sebelum
Perkawinan dan Harta Bersama sebagai akibat dari
Putusnya hubungan perkawinan antara PEMBERI KUASA
dengan Sarjono sebagaimana dimaksud dalam Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
09/Pdt.G/2009/PAJS, tanggal 5 Februari 2009.
------------------

untuk itu :
• Menghadap di muka Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
Mahkamah Syariah, Pengadilan Tinggi Agama,

4
Mahkamah Agung RI, Badan Peradilan lainnya, serta
Institusi Penegak

4
Hukum, POLRI, Kejaksaan RI, Institusi lain yang
ditentukan oleh Undang-Undang, Pejabat-Pejabat
Pemerintah.
• Membuat, menyusun, menandatangani, mengajukan
gugatan, duplik, memori banding dan/atau
mengajukan kontra memori banding, mengajukan
memori kasasi dan/atau mengajukan kontra memori
kasasi serta menurus surat-surat dan permohonan-
permohonan lainnya yang dianggap perlu,
menjalankan perbuatan-perbuatan atau memberikan
keterangan-keterangan yang menurut hukum harus
dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa ;-------------
• Mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti, menerima
uang dan menandatangani kwitansi-kwitansi, menerima
dan melakukan pembayaran-pembayaran dalam perkara
ini, mempertahankan dan membela kepentingan yang
memberi kuasa, meminta putusan dan menolak serta
mengajukan upaya hukum terhadap putusan, meminta
eksekusi, membalas surat-surat dan melakukan
perlawanan ;
• Dan selanjutnya melakukan segala tindakan dan
upaya-upaya lain yang dianggap penting, berguna
dan baik oleh yang menerima kuasa untuk

4
menyelesaikan

4
masalah dimaksud yang diperkenankan menurut
hukum walaupun tidak dengan tegas disebutkan
dalam surat kuasa ini;

• Kuasa ini diberikan dengan hak substitusi (recht van


subtitutie) dan secara tegas dengan hak retensi ;

Jakarta, 21 April 2009

PENERIMA KUASA PEMBERI KUASA

Dr. Mustakim, S.H., M.H. NURZANAH

2. Contoh Gugatan Perdata

4
Jakarta, 06 Juli 2010

Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
di
- JAKARTA-

Hal : Gugatan Perceraian

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini, kami : H.


INDRAWAN,S.H.,M.H.,MUSTAKIM,S.H.,M.H., BAMBANG
BUDIONO,S.H.,M.H, Para Advokat pada Kantor
INDRAWAN & REKAN, beralamat di Ruko Multi Guna 3H
Jl. Rajawali Selatan Raya Blok C5 No.2, Kemayoran Jakarta
Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Nomor : 045
/SK/I&R/V/2010, tertanggal 21 Juni 2010 (Vide : Foto copy
Surat Kuasa terlampir), oleh karenanya bertindak untuk
dan atas nama:

4
SUSANA WANGI, Umur 42 tahun, Agama Islam, Pekerjaan
Ibu rumah tangga, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat
tinggal di Jalan Lurus 3 No. 85 Cilandak Barat Jakarta
Selatan, Pemegang Kartu Tanda Penduduk No.
09.5201.440576.0383, dalam hal ini memilih tempat
kediaman hukum (domisili) di kantor kuasanya tersebut
diatas, dengan ini menandatangani dan memajukan surat
gugatan, dan selanjutnya disebut PENGGUGAT.

Dengan ini mengajukan gugatan terhadap:

DARWUNU WARU, Umur 49 tahun, Agama Islam,


Pekerjaan Wiraswasta, Kewarganegaraan Indonesia,
bertempat tinggal di Jalan Lurus 3 No. 85 Cilandak Barat
Jakarta Selatan , dan Selanjutnya disebut sebagai
TERGUGAT.

Adapun alasan/dalil - dalil Gugatan Perceraian adalah


sebagai berikut :

1. Bahwa, pada tanggal 28 Desember 2001, antara


Penggugat dengan Tergugat telah dilangsungkan
pernikahan yang dicatat oleh Kantor Urusan Agama

5
sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 5542 pada
tanggal 28 Desember 2001 (Vide Bukti P-1);

2. Bahwa, setelah pernikahan tersebut Penggugat dengan


Tergugat bertempat tinggal bertempat tinggal di Jalan
Lurus 3 No. 85 Cilandak Barat Jakarta Selatan, sesuai
dengan Kartu Keluarga Nomor 3102.000603 (Vide
Bukti P-2);

3. Bahwa dalam pernikahan antara Penggugat dan


Tergugat telah di karuniai 2 (dua) orang anak yang masing-
masing bernama :
a. Sanitasi, lahir tanggal 19/9/2002 (Vide Bukti P-3);
b. Wina Korelasi, lahir tanggal 08/09/2003 (Vide Bukti
P-4);

4. Bahwa pada mulanya kehidupan rumah tangga antara


Penggugat dengan Tergugat berjalan rukun dan damai,
akan tetapi kehidupan rukun dan damai tersebut
tidaklah berlangsung lama, memasuki tahun kedua
pernikahan ketentraman rumah tangga Penggugat
dengan Tergugat mulai goyah, setelah :

5
a. Antara Penggugat dengan Tergugat sering kali terjadi
perselisihan yang tidak ada kunjung penyelesaiannya
dan Tergugat seringkali berlaku kasar dan memukul
serta mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas
kepada Penggugat dan tidak jarang pula perlakuan
tersebut dilakukan di hadapan anak-anak (Vide Bukti
P-5);
b. Tergugat tidak bertanggung jawab terhadap keluarga,
selama ini Tergugat hidup dengan seenaknya tidak
memikirkan biaya kehidupan dan tanggung jawab
selaku kepala keluarga, segala biaya dan kebutuhan
rumah tangga dan anak-anak dipikul penuh oleh
Penggugat.
c. Bahwa Tergugat setiap hari meninggalkan rumah
dengan alasan dan keperluan yang tidak jelas,
Tergugat lebih sering berkumpul dengan teman-
temannya daripada bersama-sama dengan anak dan
istri;
d. Tergugat mempunyai sifat dan sikap serta perilaku
yang kasar kepada Penggugat dimana ucapannya
sangat menyakitkan hati Penggugat;
e. Tergugat mempunyi sifat dan sikap serta perilaku yang
menyimpang dari ajaran serta tuntunan agama

5
dimana seringkali melakukan tindakan-tindakan
provokatif irrasional yang membuat perasaan tidak
nyaman dan/atau tertekannya Penggugat (selaku istri)
secara mental (Vide Bukti P-6)
f. Bahwa, Penggugat telah berkali-kali berupaya
mengatasi masalah tersebut dengan membicarakannya
kepada Ibu Tergugat namun tidak mendapatkan
respon/tanggapan positip dari Ibu Tergugat maupun
Tergugat ;

5. Bahwa, akibat tindakan tersebut diatas, Penggugat


telah menderita lahir batin (Vide Bukti P-7) dan
Penggugat tidak menerima atas perlakuan Tergugat
terhadap Penggugat serta Penggugat merasa tidak
sanggup lagi untuk melanjutkan rumah tangga dengan
Tergugat oleh karenanya Penggugat berkesimpulan
satu-satunya jalan keluar yang terbaik bagi Penggugat
adalah bercerai dengan Tergugat, karena sudah tidak
sesuai lagi dengan tujuan perkawinan dan menurut
Pasal 1 UU 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan serta
Kompilasi Hukum Islam.

5
6. Bahwa, 2 (dua) anak hasil perkawinan Penggugat dan
Tergugat saat ini masih kecil (belum berumur 12
tahun) dan membutuhkan kasih sayang dari Penggugat
sebagai ibu kandungnya, oleh karenanya mohon
Penggugat ditunjuk sebagai pengasuh dan
pemelihara atas anak tersebut sesuai dengan
ketentuan Yurisprodensi MARI No.239/K/Sip/1968
jo Yurisprodensi MARI No.102K/Sip/1973 ;

7. Bahwa, apabila nantinya Penggugat ditunjuk menjadi


pemelihara dan pengasuh terhadap anak tersebut,
maka sudah barang tentu memerlukan biaya
pemeliharaan terhadap anak-anak tersebut diatas, maka
Penggugat menuntut kepada Tergugat biaya
pemeliharaan anak sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta
Rupiah) per bulan diluar biaya kesehatan dan
pendidikan ;

Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon


agar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat cq Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara aquo,
selanjutnya menjatuhkan putusan (dalam pokok perkara)
yang amarnya berbunyi :

5
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menetapkan perkawinan Penggugat dan Tergugat
sebagaimana termaksud dalam Kutipan Akta Nikah
Nomor : 5542, tanggal 28 Desember 2001, yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama, putus karena
perceraian ;
3. Menetapkan 2 (dua) orang anak masing masing
bernama Sanitasi, lahir tanggal 19/9/2002 dan Wina
Kolerasi, lahir tanggal 08/09/2003, di bawah
pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat;-
4. Menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak
kepada Penggugat sebesar Rp 5.000.000,- (Lima Juta
Rupiah) per bulan diluar biaya kesehatan dan
pendidikan;
5. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon


putusan yang seadil-adilnya (ex. aequo et bono).

Demikian gugatan perceraian ini Penggugat ajukan, dengan


harapan Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan,

5
berkenan mengabulkannya, dan atas perkenannya
Penggugat ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,
KUASA HUKUM PENGGUGAT

H. INDRAWAN,S.H.,M.H.

MUSTAKIM,S.H.,M.H.

Anda mungkin juga menyukai