PROBLEMATIKA
PEMBARUAN
HUKUM PIDANA
NASIONAL
Berdasarkan
Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013
(SPHN 2013)
“Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional”
Jakarta – Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
26 – 27 November 2013.
2013
PROBLEMATIKA
PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL
Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI,
Cetakan Pertama : Desember 2013
Jl. Diponegoro 64, Jakarta Pusat 10310
Website : http//www.komisihukm.go.id
ISBN :
DAFTAR ISI.................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................
SAMBUTAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA.......
SAMBUTAN PEMERINTAH PROPINSI PAPUA.................................
SAMBUTAN PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA...........................................................................................
iii
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
iv
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
vi
KATA PENGANTAR
vii
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
ix
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
756 ayat (1) RUU Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa setiap orang
yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang tidak tertulis
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi
pidana adalah tindak pidana.
SAMBUTAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA DALAM SEMINAR
PENGKAJIAN HUKUM NASIONAL
Para Panelis, Para Pemakalah, Ibu dan Bapak sekalian, serta para peserta
dan hadirin yang berbahagia,
Pertama-tama mari lah kita panjatkan puji dan syukur kepada
Tuhan yang Maha Esa. Atas perkenan-Nya lah, kita dapat menghadiri
Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 yang dilaksanakan
oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia dengan tema “Arah
Pembaruan Hukum Pidana Nasional”. Selanjutnya, perkenankan lah saya
menyampaikan permohonan maaf dari Yang Mulia Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Bapak Dr. Haji Muhammad Hatta Ali, S.H.,
M.H. karena pada saat ini, pada saat yang bersamaan ini, Beliau sedang
menghadiri acara yang tidak dapat diwakilkan, sehingga menugaskan
saya untuk menyampaikan sambutan dan pokok-pokok pikiran, ke arah
pembaruan hukum pidana sebagaimana tema yang akan diseminarkan
pada hari ini, sekaligus membuka acara seminar pada hari ini.
xii
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
dengan sub tema yang pertama dalam seminar ini. Benarkah pemikiran
yang seperti itu bahwa sekarang sudah saatnya kita mengedepankan
sanksi pidana, dibandingkan dengan upaya menggunakannya sebagai
upaya terakhir. Ibu dan Bapak sekalian, saya harus menyampaikan
suatu pemikiran terutama perlunya para pembuat undang-undang, kita
paham mengenai konteks berpikir para pembuat undang-undang ini,
yang harus disadari bahwa undang-undang kita memiliki kelemahan-
kelemahan dalam menentukan sanksi pidana yang tepat, atau paling
tidak harus ada kesetaraan atau standar norma. Tidak ada standar
norma yang mendekati kebenaran, maka rumusan sanksi pidana hanya
merupakan “selera” subyektif dari para pembuat undang-undang.
Sebagai dampaknya ialah rumusan sanksi pidana yang telah dibuat
oleh pembuat undang-undang, tidak saja merupakan suatu hal yang
disharmonis dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi
juga menjadi ketidakharmonisan yang setara dengan undang-undang
di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tidak cukup mengatur mengenai standar perumusan sanksi
pidana. Walaupun pada akhirnya akan berujung pada kebebasan dan
keyakinan hakim dalam memutuskan sanksi dalam suatu perkara,
namun bukan suatu persoalan yang mudah bagi hakim apabila terjadi
diversitas atau adanya perbedaan-perbedaan yang timbul yang hakim
harus segera menggunakan keyakinannya, menggunakan logikanya,
dalam menentukan standar norma yang kadang-kadang tidak jelas di
atur dalam perundang-undangan, untuk menempatkan keadilan di
dalam kasus pidana. Berdasarkan persoalan tersebut, maka Seminar
Pengkajian Hukum Nasional ini diharapkan dapat mengangkat
dan membicarakan sebab-sebab terjadinya disharmonisasi dalam
perundang-undangan dan juga peraturan daerah.
2. Selanjutnya, dalam penggunaan hukum adat, putusan Mahkamah
Konstitusi telah membuka ruang dan jaminan bagi pengakuan
masyarakat hukum adat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga
telah menjadikan dasar bagi penyusun undang-undang dalam membuat
Rancangan Undang-Undang tentang Desa, yang sampai dengan saat ini
telah berada dalam proses akhir pembahasan di DPR. Pembahasannya
oleh Panitia Khusus Komisi Pemerintahan Dalam Negeri di DPR.
Intinya, dari perkembangan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, ke depan keberadaan hukum adat akan semakin diakui dalam
berbagai undang-undang. Oleh karena itu perlu dilakukan harmonisasi
yang mengarah pada pemanfaatan kontribusi hukum adat dalam
kehidupan sehari-hari atau dalam hukum nasional kita. Saya juga perlu
mengingatkan bahwa ada 4 (empat) sub sistem hukum dari total hukum
nasional kita, hukum adat diantaranya, hukum barat, hukum agama
yang dalam hal ini ialah hukum Islam, dan hukum nasional itu sendiri.
xiii
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Harmonisasi diantara keempat sub sistem hukum ini akan menjadi hal
yang penting di masa mendatang. Dalam kaitannya dengan pengakuan
hukum adat, kami berpendapat bahwa ada 2 (dua) hal, yang pertama
dalam hal ini ialah perlunya mengangkat prinsip-prinsip penyelesaian
dengan musyawarah, yang mengangkat nilai-nilai hukum adat dalam
format restorative justice. Suatu model yang melibatkan pihak sebagai
pelaku dan pihak lainnya sebagai korban dalam kasus pidana, untuk
mendapatkan solusi sebagai, untuk menciptakan keseimbangan atau
mengembalikan keadaan seperti semula, melalui proses perundingan
untuk menentukan cara penyelesaian akhir bagi para korban dan
pelaku itu sendiri. Pada sisi yang lain, hal-hal yang penting yang perlu
diperkuat adalah posisi hukum pidana yang akan mengadopsi Pasal
756 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Pidana
bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum
tidak tertulis dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan sanksi pidana adalah tindak pidana. Ini perlu dirumuskan
dengan lebih baik yang mungkin dapat dilakukan dalam seminar ini.
Hal ini karena rumusan ini sangat umum dan berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum. Perlu kiranya melibatkan Tim Perumus dan
Tim Pembahas Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Pidana
agar dapat diinventarisir kembali perbuatan-perbuatan yang dilarang
di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Pidana,
dibandingkan dengan aspek perbuatan-perbuatan yang dilarang di
masyarakat, agar tidak terjadi interpretasi secara sendiri-sendiri.
3. Selanjutnya mengenai keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan,
atau yang dahulu dikenal juga dengan Hakim Komisaris. Secara
filosofis keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan
bentuk komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia. Oleh
karena itu, dibandingkan dengan mekanisme praperadilan, maka
keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan memiliki aspek
positf terhadap akses masyarakat untuk memperjuangkan hak asasi
manusianya, yang seringkali hak tersebut diabaikan oleh aparat
penegak hukum terutama penyidik. Penyidik harus dapat menjelaskan
keadaan tersangka pada hakim setiap saat sehingga pelaksanaan hak
asasi tersangka dapat diketahui pada persidangan nanti. Pelaksanaan
sistem Hakim Komisaris ini nanti akan bersinggungan dengan peran
dan bahkan kepentingan dari aparat dan institusi hukum yang ada,
namun kami berpandangan bahwa ketika sosiologis sistem yang ada
pada saat ini tidak dapat menjamin pelaksanaan hak asasi manusia dan
keadilan bagi masyarakat, maka model ini, sistem Hakim Komisaris ini,
akan menjadi sistem yang “mau tidak mau” diadopsi ke dalam sistem
hukum nasional kita.
xiv
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
xv
SAMBUTAN GUBERNUR PEMERINTAH
PROPINSI PAPUA DALAM DISEMINASI
REKOMENDASI BAGI PEMBARUAN HUKUM DI
INDONESIA
Selamat pagi,
Syaloom,
Salam sejahtera bag ikita semua,
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
xviii
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
dan benar, dan mampu memberikan rasa keadilan bagi para pencari
keadilan di negeri ini. Sehingga yang benar tetap dibenarkan dan salah
tetap disalahkan, bukan yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan,
yang pada akhirnya tidak ada kepastian hukum di Republik ini sehingga
publik atau masyarakat bingung mau mencari keadilan kemana lagi.
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan
yang berbahagia ini.
Akhirnya, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa, Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaruan Hukum di
Indonesia Tahun 2013, dengan resmi saya nyatakan dibuka.
xix
SAMBUTAN GUBERNUR PEMERINTAH
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DALAM DISEMINASI REKOMENDASIBAGI
PEMBARUAN HUKUM DI INDONESIA
xxi
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
sebuah hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara yang
demokratis.
Semangat ini menjadi relevan dalam konteks politik kita saat ini yang
berada dalam transisi demokrasi, yakni transisi dari meninggalkan Orde
Baru menuju sistem politik demokrasi baru, yang sampai saat ini belum
sepenuhnya terwujud dengan baik. Konteks inilah yang harus dijawab
dalam penyusunan hukum pidana baru dan diletakkan sebagai bagian
dari upaya reformasi saat ini.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu
upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan
reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-
politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia
dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar
hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-
filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Akhirnya dengan mengucap
Bismillahirrohmanirohim, Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaruan
Hukum di Indonesia Tahun 2013, secara resmi saya nyatakan dibuka.
Semoga Allah SWT senantiasa berkenan meridhoi setiap langkah dan
upaya kita semua. Amin.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
xxii
DISEMINASI 2013:
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU HUKUM PIDANA
DENGAN UU LAINNYA, DAN
PENGGUNAAN HUKUM ADAT
(TULISAN PEMBAHAS)
HUKUM YANG HIDUP -
“THE LIVING LAW” DALAM RUU KUHP
Oleh:
Sirande Palayukan, S.H., M.Hum.
(Hakim Tinggi Pengadilan Papua)
I. Pendahuluan.
KUH Pidana yang berlaku saat ini di Indonesia menurut sejarahnya
adalah warisan dari Pemerintah Hindia Belanda yang mulai diberlakukan
di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Stbl 1915 Nomor 732
yang dikenal dengan Koninklijk Besluit van Strafrecht Voor Nederlands
Indie dan setelah merdeka tahun 1945, Stbl 1975 tetap berlaku berdasarkan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang kemudian berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946, namanya dibuah menjadi Wetboek van
Strafrecht (WvS) atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Sebagai warisan kolonial, maka sangat beralasan apabila timbul upaya
untuk melakukan pembaruan KUHP. Upaya mana telah dimulai dengan
diadakannya Seminar Hukum Nasional I di Jakarta pada tanggal 11 sampai
dengan tanggal 15 Maret 1963 yang merekomendasikan adanya pembaruan
KUHP, maka pada tahun 1964, RUU KUHP pertama diluncurkan. RUU
KUHP tahun 1964 kemudian mengalami beberapa kali perubahan terakhir
RUU KUHP yang diajukan oleh Pemerintah pada tahun 2012 yang sampai
sekarang nasibnya masih tetap RUU. Lamanya RUU KUHP menimbulkan
pertanyaan, mengapa RUU KUHP tersebut tidak kunjung menjadi UU,
pertanyaan mana akan mengajak kita untuk mengetahui materi perubahan
atau pembaruan dari RUU KUHP.
Pemerintah dalam keterangannya tentang RUU KUHP di depan Rapat
DPR pada tanggal 6 Maret 2013 menyampaikan bahwa ada perbedaan
yang mendasar antara KUHP warisan Belanda (Wetboek van Strafrecht)
dengan KUHP baru ini adalah:
Disampaikan dalam “Diseminasi Rekomendasi bagi Pembaruan Hukum di Indonesia
– Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional: Sinkronisasi Pemidanaan dalam RUU KUHP dengan
UU Lainnya”, di Jayapura tanggal 4 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum
Nasional.
Media publikasi Peraturan Perundang-undangan dan Informasi Hukum Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
DAFTAR BACAAN
1. Keterangan Presiden Republik Indonesia atas RUU KUHP Tahun
2012, Media Publikasi Peraturan Perundang-undangan dan Informasi
Hukum, Direktur Jenderal Perundang-undangan.
2. ELSAM Position Paper – Asas Legalitas dan RUU KUHP, 2005.
3. Farid, Andi Zainal, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, 1985.
4. Griffiths, John, Pluralisme Hukum, Huma, 2005.
5. Santoso, Jodi, Kajian terhadap Ketentuan Pemidanaan dalam Draft
RUU KUHP.
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DAN PENGGUNAAN HUKUM ADAT
Oleh:
Asdar Djabbar, S.H., M.Hum.
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri – Jayapura - Papua)
I. Pendahuluan.
Keinginan untuk membangun suatu sistem hukum nasional sejak
proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 merupakan keinginan
pemerintah untuk senantiasa menampakkan identitas filosofi dan budaya
Indonesia di dalam sistem hukum. Pemikiran ini relevan, mengingat
hingga kini masih dikenal keanekaragaman hukum dalam kehidupan
masyarakat berdasarkan filosofi dan budaya kolonial. Sebagai hukum yang
bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana
hukum di Indonesia, hal ini terjadi karena di dalam hukum pidana itu
terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang
tidak boleh dilakukan dengan syarat ancaman berupa pidana (nestapa)
dan menentukan syarat-syarat pidana yang dapat diajukan.
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi
bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka
hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah Negara RI. Di
samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai
kemanusiaan, dan bertujuan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, namun
di sisi lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi nestapa
bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itu, kemudian pembahasan
mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu
dengan memperhatikan konteks masyarakat dimana hukum pidana
itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana
hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik
atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika
memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat,
sebaliknya hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai
dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Pentingnya mengembangkan kajian
terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat sesungguhnya merupakan
suatu hal yang sudah sepantasnya, sebab hukum pidana pada hakekatnya
berfungsi untuk melindungi dan sekaligus untuk menjaga keseimbangan
pelbagai kepentingan masyarakat, negara, pelaku tindak pidana dan
10
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Hukum itu terntu hanya bisa berklaku efektif apabila antara aparat
dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai visi hukum dan
mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka. Maka
komunikasi hukum melakukan masalah besar tersendiri, sebelum hukum
itu dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat setempat, sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki.
Indonesia berbeda dibandingkan dengan negara-negara yang sudah
hampir urbanized secara total. Masih terlalu banyak kantong-kantong
lokal/tradisional yang ada di Indonesia. Jarak antara Jakarta dengan papua
tidak hanya bersifat fisik, tetapi budaya yang mungkin malah berbilang
abad. Keadaan yang demikian itu membutuhkan kearifan berhukum
sendiri dan tidak bisa menerapkan hukum secara seragam untuk seluruh
Indonesia.
Konfigurasi sosial yang demikian itu memberikan beban tambahan
pada pemerintah dan lembaga pembuat hukum, untuk berbuat lebih
hati-hati. Pembuatan undang-uindang tidak bisa dilakukan dengan
sembarangan dalam arti menganggap Indonesia sebagai masyarakat yang
homogen. Cara berpindah yang didasarkan pada persepsi demikian itu
bisa berakibat cukup fatal.
Hukum adat memiliki struktur yang sangat berbeda dengan hukum
nasional yang notabene adalah tipe hukum modern. Hukum nasional
memiliki sekalian kelengkapan untuk bisa dijalankan secara efektif.
Mulai dari teks tertulis aparat penegak hukum dukungan finansial dan
kelengkapan fisik lainnya. Hukum nasional memiliki legitimasi di seluruh
negeri dan dipaksakan keberlakuannya. Rakyat harus mematuhi hukum
nasional tersebut. Bahkan politik hukum masih menempatkan hukum
adat di bawah hukum nasional oleh karena keberlakuannya didasarkan
pada legitimasi atau pengakuan keberadaannya oleh hukum nasional.
Dalam RKUHP ini diakui adanya tindak pidana atas dasar hukum
yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai
tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di
dalam masyarakat, adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah
di tanah air khususnya di tanah Papua dan Papua Barat, masih terdapat
ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan diakui
sebagai hukum, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu
patut dipidana dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa
pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh
pembuat tindak pidana. Hal ini mengandung arti, bahwa standar nilai dan
norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam lingkungan tertentu.
Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin
pelaksanaan asas legalitas serta pelarangan analogi yang dianut dalam
KUHP.
14
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
15
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
18
DISEMINASI 2013:
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN
(TULISAN PEMBAHAS)
ARAH PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL –
KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN/HAKIM KOMISARIS
Oleh:
Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.H.
(Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – Daerah Istimewa
Yogyakarta)
I. RKUHP - RKUHAP.
1. RKUHAPdanR KUHP telah disampaikan Presiden kepada Ketua
DPR-RI melalui surat nomor R-7/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember
2012 dan surat nomor R-8/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember
2012;
2. Hukum Acara Pidana untuk melaksanakan KUHP (Paket).
3. Secara teoritik RKUHP harus dibahas dahulu, baru RKUHAP,
setidaknya Buku I KUHP, karena merupakan salah satu sumber
Hukum Acara Pidana.
4. Beberapa Delik Khusus dimasukkan dalam RKUHP akan
berpengaruh pada kewenangan penyidik Penuntut Umum dan
Hakim.
5. Sifat khusus dari delik khusus akan bergeser pada kewenangan
penegak hukum dalam HAP ?
II. RKUHP.
Ada 11 hal yang menonjol :
1. Dirumuskan dan dipertegas asas legalitas; à peradilan dilakukan
menurut cara yang diatur dalam UU ini”à ada dua kesalahanà
Psl 2 à “Acara pidana dijalankan hanya berdasarkan tata cara yang
diatur dalam UU”.
2. Sistem penahanan yang diperketat; à sesuai dengan konvensi hak-
hak sipil dan politik harus ada ijin pengadilanӈ Baca Pasal 59, 60.
3. Diciptakan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan ; à untuk
menggantikan lembaga pra peradilan à Pasal 111.
20
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
praperadilan;
2. Meskipun benar-benar terjadi pelanggaran, praperadilan tidak
berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan, tanpa adanya permintaan dari
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
3. Hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya
syarat-syarat formil dari suatu penangkapan atau penahanan;
4. Para hakim umumnya menerima saja hal adanya kekhawatiran
tsk akan memelarikan diri, melakukan tindak pidana lagi atau
menghilangkan barang bukti, semata-mata merupakan urusan
penilaian sebjektif dari pihak penyidik atau penuntut umum.
VI. Kesimpulan.
1. Penyusun RUU KUHAP telah berusaha memperbaiki kelemahan
KUHAP 1981.
2. Ada pendapat pembentukan lembaga baru yang disebut dengan
Hakim pemeriksa pendahuluan , Tim Penyusun telah mengabaikan
kondisi objektif penegakan hukum pidana di Indonesia termasuk
faktor geografis serta sarana dan prasarana penegakan hukum
pidana.
3. Keberadaan Hakim pemeriksa pendahuluan dianggap dapat
menjadi solusi hukum dari masalah besar (makro) di Belanda dan
Perancis, tetapi solusi hukum itu belum tentu cocok dengan kondisi
riil di Indonesia.
4. Konsep itu belum banyak melibatkan unsur IKAHI sebagai salah
satu pihak yang sangat berkepentingan.
5. Keberadaan hakim pemeriksa pendahuluan dipandang sebagai
peralihan persoalan wewenang dan tanggung jawab penyidik
dan penuntut umum yang selama ini menjadi beban penyidik
dan penuntut umum kepada Hakim. Peralihan wewenang dan
23
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
24
ARAH PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL –
KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN
Oleh:
Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum.
(Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta –
Daerah Istimewa Yogyakarta)
25
Penggagas
Penggagas
Prof. Prof.
Dr. Andi
Dr. Andi
Hamzah,
Hamzah,
S.H dan
S.H Prof
dan Dr.
ProfIndrianto
Dr. Indrianto
SenoSeno
Adjie,Adjie,
S.H.,S.H.,
M.H. M.H.
III. Pro
III. dan
Pro Kontra.
dan Kontra. Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Pro
Pro Pro Kontra
Kontra
Kontra
Komisi
Komisi
Hukum
Hukum
Nasional
Nasional
RI – Diseminasi
RI – Diseminasi
20132013 17 17
IV. Alasan Munculnya Kembali Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
1. Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
atau International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR)
melalui UU No. 12 Tahun 2005.
2. Lihat Pasal 9 ICCPR
Ayat (3) “Setiap orang yang ditangkap atau ditahan atas suatu
tuduhan kejahatan harus segera dibawa ke muka seorang hakim
atau pejabat lain yang dibenarkan oleh hukum untuk menjalankan
kewenangan yudisial dan harus berhak untuk diadili dalam kurun
waktu yang wajar atau untuk dibebaskan”
Ayat (4) “Setiap orang yang dirampas kebebasannya melalui
penangkapan atau penahanan harus berhak untuk mengajukan
perkara ke muka pengadilan agar pengadilan dapat memutuskan
tanpa penundaan waktu menganai keabsahan penahanan
terhadapnya dan perintah pembebasannya apabila penangkapan
itu tidak sah”
Pasal 111
VI. Pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Kewenangan
RUU KUHAP 2012 mengatur Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam:
BAB Pasal
IX 112 s.d. 144
Pasal 111
AcaraKewenangan
Pasal
Pasal115
112s.d.
s.d. 122
144
Acara
Pasal Syarat dan122
115 s.d. Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
27
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
VIII. Acara Pemeriksaan Pendahuluan.
Hakim
Penuntut
5 hari Pemeriksa
Umum
Pendahuluan
• Kajari
• Kajati Perpanjangan
Penahanan Penangguhan
• Direktur Penahanan
Penuntutan
Kejagung
20 hari
Komisi HukumPerpanjangan
Nasional RI – Diseminasi 2013
Penahanan
19
Hakim PN 30 hari
30 hari 30 hari
29
PRAPERADILAN
DAN HAKIM KOMISARIS
Oleh:
Brigadir Jenderal Polisi Drs. R.M. Haka Astana M. Widya, S.H.
(Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta)
I. Pendahuluan.
Usaha mengedepankan peran hukum dalam mengatasi multidimensi
sejak lama dilakukan dan salah satunya dengan pembaruan hukum pidana
nasional, termasuk dalam hal ini ialah pembaruan hukum acara pidana
nasional. Hanya sampai dengan saat ini KUHAP yang sempat dianggap
sebagai karya agung dalam pembaruan hukum acara pidana nasional
karena dapat menggantikan hukum acara pidana peninggalan kolonial
dianggap tidak sesuai dengan hak asasi manusia di alam kemerdekaan
Indonesia. bersamaan dengan perkembangan gagasan.
Salah satu prinsip mendasar dalam KUHAP, yaitu adanya lembaga
kontrol yang disebut Praperadilan. Namun praperadilan dalam KUHAP
dinilai memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, proses penyitaan dan
penggeledahan tidak diatur sebagai hal yang dapat dipraperadilankan.
Kedua, posisi yang tak seimbang antara aparat dan tersangka yang
acapkali mengalami intimidasi dan kekerasan. Ketiga, hakim praperadilan
hanya mengedepankan aspek formil ketimbang menguji aspek materil
karena tak ada kewajiban bagi penyidik untuk membuktikan alasan-alasan
penahanan.
Narendra Jatna, mengatakan ide tentang Hakim Komisaris tak bisa
dilepaskan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil
Dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights). Dalam
salah satu ketentuan konvensi tersebut, mengisyaratkan bahwa apapun
tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum harus
segera dihadapkan ke depan sidang pengadilan. Artinya, semua upaya
Makalah disampaikan sebagai pembicara dalam Diseminasi Komisi Hukum nasional Republik
Indonesia dengan tema Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional - Kewenangan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan, Rabu, 11 Desember 2013, di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
RM. Pangabean, Sikap Polri terhadap Hakim Komisaris Dalam RUU KUHAP (Powerpoint),
Disampaikan Dalam seminar nasional Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Trisakti, Jakarta,
2007.
Narendra Jatna, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi RUU KUHAP
Menuju Pembaruan KUHAP di gedung LBH Jakarta, pada tanggal 13 Februari 2009.
30
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
31
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
32
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah
merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman
orang. Pemikiran dibentuknya hakim komisaris tersebut merupakan
hasil studi banding ke Belanda, di samping alasan historis, dalam rangka
penyusunan RUU KUHAP dengan modifikasi yang disesuaikan dengan
perkembangan hukum di Indonesia12.
II. Kewenangan.
Praperadilan sebagaimana Pasal 1 butir 10 KUHAP, adalah adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Permintaan ganti kerugian yang diajukan ke praperadilan adalah
akibat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Pasal 95
dan Penjelasan Pasal 95), sedangkan permintaan rehabilitasi yang diajukan
ke praperadilan adalah akibat diputus bebas atau diputus lepas (Pasal
97).
Dibandingkan dengan Praperadilan, Hakim Pemeriksaan Pendahuluan
(Hakim Komisaris), mempunyai wewenang yang lebih luas13, yaitu :
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan.
2. Pembatalan atau penangguhan penahanan.
3. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri.
4. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti.
5. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap
atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak
milik yang disita secara tidak sah.
6. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara.
7. Penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak
sah.
12
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di Indonesia,
Jakarta, 2011, hlm. 1-2.
13
Lihat pasal 111 RUU KUHAP.
33
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
III. Pelaksanaan.
Permohonan Praperadilan diajukan setelah adanya upaya paksa
yang dilakukan penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan14.
Penyidikan adalah tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang
dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana
atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar
terjadi15. Penyidikan dimulai dari pembuatan Laporan Polisi, administrasi
penyelidikan, penyelidikan, administrasi penyidikan dan penyidikan16.
Upaya penyidikan selain untuk memperoleh keterangan juga melakukan
tindakan penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
Pemeriksaan Praperadilan dilaksanakan oleh Hakim Tunggal yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang Panitera17,
setelah ditentukan hari persidangan, pemeriksaan dilakukan secara cepat
dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya 18 dan tugas Hakim praperadilan selesai saat sidang telah
diputus.
Dalam RUU KUHAP setiap tindakan penggeledahan, penyitaan,
penangkapan19, dan penahanan harus menunjukkan surat ijin dari
Hakim pemeriksa Pendahuluan atau Hakim Komisaris. RUU KUHAP
menyebutkan Hakim adalah pejabat pengadilan atau pejabat lain yang
diberi wewenang untuk melakukan tugas kekuasaan kehakiman dan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau yang disebut Hakim Komisaris
adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan
penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan.
Dalam menjalankan kewenangannya Hakim Komisaris memberikan
keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak
menerima permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat
perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang
relevan dan penetapan atau putusan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan
14
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Cetakan Pertama,
Rineka Cipta, Jakarta 1991, hlm.87.
15
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.32.
16
Lihat Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana.
17
Lihat pasal 78 ayat (2) KUHAP.
18
Lihat pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP.
19
Budiman Tanuredjo, Op. Cit.
34
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
IV. Kesimpulan.
Pembaruan Hukum Acara Pidana memang diperlukan dalam
menghadapi perubahan yang ada dalam masyarakat, namun perlu
dipersiapkan sarana prasarana untuk mendukungnya, sehingga
pelaksanaan Hukum Acara Pidana dapat diterapkan dan berjalan sesuai
dengan yang dicita-citakan seluruh lapisan masyarakat.
20
RM. Pangabean, Op. Cit.
35
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN/
HAKIM KOMISARIS
Oleh:
Dr. Heru Iriani, S.H., M.H.
(Hakim Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta)
I. Hakim Komisaris.
1. Ide adanya HAKIM KOMISARIS merujuk pada Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant for Civil and Political Rights / ICCPR) yang telah
diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005.
2. Pernah di kenal di Indonesia saat berlakunya REGLEMENT
OP DE STRAFVORDERING, yangg dikenal dengan REGTER
COMMISSARIS.
3. Setelah berlakunya HIR dng Staatblad No. 44 Tahun. 1941 tidak
terdapat lagi.
4. Sebelum diundangkannya KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) telah
disebut dalam draft RUU KUHAP tahun 1974.
5. RUU KUHAP tahun 1979 tidak terdapat konsep tentang Hakim
Komisaris, ketika dibawa ke DPR timbul reaksi keras dari
masyarakat – dianggap tidak melindungi hak asasi tersangka
ataupun terdakwa.
6. Perlunya lembaga pengawas pd pemeriksaan pendahuluan
memunculkan ide tentang lembaga PRAPERADILAN.
7. Muncul lembaga PRAPERADILAN di KUHAP.
III. Praperadilan.
1. Diatur dalam pasal 77 KUHAP.
36
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
2. Kelemahan:
a. Tidak semua upaya paksa dapat dipraperadilankan, hanya
penangkapan dan penahanan, sedangkan penyitaan,
penggeledahan dan pemeriksaan surat tidak dapat.
b. Pasif, menunggu ada tuntutan/ gugatan.
c. Hakim praperadilan hanya memeriksa syarat formil tanpa
menilai syarat materiil (“dugaan keras”, “berdasar bukti
permulaan yang cukup” dan alasan-alasan konkrit penahanan).
d. Porsi tidak seimbang antara aparat dan tersangka ataupun
terdakwa.
V. Hakim Komisaris.
1. Diangkat dan diberhentikan Presiden atas usul KPT.
2. Berpengalaman hakim PN minimal 10 tahun, pangkat minimal III
c.
3. Hakim komisaris berbeda dengan HAKIM yang tugasnya mengadili
perkara pokok.
4. Kewenangan Hakim komisaris dil uar kewenangan mengadili yang
menentukan tentang bersalah tidaknya terdakwa.
5. Memeriksa keabsahan tindakan hukum penyidik dan penuntut
umum pada tahap pendahuluan.
37
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
38
pendahuluan
6. Penetapan dan putusan hakim komisaris bersifat final dan mengikat (Pasal 122).
39
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
harus dihentikan,
6. Penetapan padahal
dan putusan KPKbersifat
hakim komisaris tidak
finalberwenang keluarkan
dan mengikat (Pasal 122). SP3.
3. Penyitaan, penyadapan, wajib ijin Hakim Komisaris, padahal saat
VIII. Perbedaan Praperadilan dan Hakim Komisaris.
ini KPK dapat melakukan penyitaan tanpa ijin KPN.
XI. Saran.
1. Penguatan lembaga PRAPERADILAN.
2. Menambah kewenangan dengan kewenangan sebagaimana
kewenangan Hakim Komisaris.
3. Penunjukan hakim praperadilan mengikuti model Hakim
Komisaris.
40
Oleh:
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
(Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran – Bandung
- Jawa Barat)
I. Pendahuluan.
Kodifikasi hukum pidana berusia lebih dari satu abad, dan diperkenalkan
oleh pemerintah Kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan, diperkuat oleh
kehadiran Gurubesar Hukum Belanda yang telah memberikan pengajaran
hukum di fakultas Hukum di Indonesia, seperti Universitas Indonesia,
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Padjadjaran. Semua buku hukum
belanda menjadi bacaan wajib para mahasiswa di perguruan tinggi di
Indonesia, dan kurikulum pendidikan hukum di Indonesia terutama pasca
kemerdekaan masih merujuk pendidikan hukum di Belanda.Pengakuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda sebagai Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia melalui asas konkordansi diterapkan di
seluruh wilayah RI berdasarkan UU RI Nomor 73 Tahun 1958.
Beberapa perubahan terhadap KUHP tersebut telah dilakukan setelah
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2001 khususnya adopsi ketentuan
delik jabatan dalam KUHP menjadi bagian delik korupsi berdasarkan
UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Perubahan yang telah dilakukan terbatas
pada perubahan ketentuan KUHP sehubungan dengan perkembangan
tindak pidana baru yang berkembang dan terjadi dalam masyarakat (lihat
Penjelasan Umum RUU KUHP).Perubahan KUHP dimaksud hanya dengan
maksud agar dapat menjangkau perkembangan tindak pidana baru dan
bersifat parsial belum menyentuh dan meng-elaborasi aspek filosofi, visi
dan misi ke arah perkembangan politik hukum pidana Indonesia baru.
Gagasan dan inisiatif Kementrian Kehakiman (sekarang
Kemenhukham) sejak Tahun 1960 menyusun draft rancangan undang-
undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah dibantu dan diperkuat
oleh Ahli Hukum Pidana Indonesia terkenal seperti, Almarhum: Prof Oemar
Senoaji, Prof Sudarto, Prof. Roeslan Saleh, Prof Satochid Kartanegara, Prof
Loebby Loqman dan Prof Andi Zaenal Abidin. Selain itu, juga dibantu
MAKALAH TELAH DISAMPAIKAN PADA RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM DI KOMISI III
DPR RI TANGGAL 13 MARET 2013 dengan beberapa tambahan. Makalah ini hanya bahan diskusi
terbatas.Penyebarluasannya harus memperoleh izzin penulisnya.
42
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
oleh para ahli hukum pidana generasi kedua, seperti:Prof Andi Hamzah,
Prof Mardjono Reksodipoetro, Prof Muladi, Prof Barda Nawawi, Prof
Sahetapy,Prof.Bambang Poernomo, dan Prof Romli Atmasasmita, Prof
Komariah Emong Sapardjaya, dan Prof.Indriyanto Senoaji, dan dilanjutkan
oleh para ahli hukum pidana generasi ketiga, seperti Prof Nyoman Syarikat,
Prof Harkristuti , Dr.Mudzakir, dan Dr.Chaerul Huda, serta (Alm) Dr.Rudy
Satrio. Penyusunan RUU KUHP selanjutnya mengikutsertaan disiplin lain
seperti Kriminologi, Prof Tb.Ronny Nitibaskara, dan Ahli hukum pidana
Islam, Prof Amin Suma. Selain para ahli hukum di atas, juga diikutsertakan
instansi kepolisian, kejaksaan dan MA RI.
Perubahan penting yang perlu dipertimbangkan dan dibahas kembali
dari naskah RUU KUHP ini adalah pertimbangan penyusunan-nya.
Penyusun menyampaikan 3(tiga) misi yang lebih luas bukan sekedar
mengandung makna “dekolonisasi” perundangan pidana, melainkan juga,
pertama, demokratisasi hukum pidana; kedua, konsolidasi hukum pidana,
dan misi ketiga, adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum
yang terjadi dalam masyarakat Indonesia masa kini (Penjelasan Umum).
Ketiga misi penting yang mempengaruhi perubahan politik hukum pidana
Indonesia tersebut tentu diharapkan secara konsisten menjiwai segenap
batang tubuh naskah RUU KUHP. Tugas dan tanggung jawab mengkaji
dan membahas ketiga misi tersebut adalah pada anggota DPR RI periode
2009 – 2014 atau mungkin masih berlanjut pada periode kerja DPR RI
berikutnya.
Bila disandingkan Naskah RUU KUHP ini dan KUHP Belanda (1996)
maka tampak gambaran sebagai berikut:
43
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Final Provisions
44
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
45
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
46
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
47
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
kaitan ini perlu dicermati secara dalam ketentuan RUU KUHP khusus
Pasal 1 dan Pasal 2 sebagaimana akan diuraikan dalam makalah ini.
Saran konkrit agar diteliti secara mendalam, ketentuan RUU KUHP
berkaitan dengan sumber daya alam dan aktivitas keuangan dan perbankan.
Selain itu perlu diteliti agar ketentuan RUU KUHP tidak lagi bertentangan
dengan Ketentuan UUD 1945 khusus di bidang HAM dalam seluruh aspek
kehidupan, dan ketentuan pidana yang mendorong penguatan ketentuan
Pasal 33 UUD 1945 tentang sistem perekonomian kerakyatan.
48
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
49
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
50
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Pengkajian yang perlu didalami oleh anggota Komisi III DPR RI dan
penting adalah wujud nyata ketentuan tindak pidana yang mengandung
misi “Kodifikasi” yaitu menempatkan seluruh ketentuan tindak pidana
dalam satu Kitab UU tersendiri dan hanya memberikan kekecualian untuk
membentuk UU khusus di luar Kitab UU (lihat Pasal 103 KUHP). Misi yang
diemban dalam perancangan naskah RUU KUHP ini, diwujudkan dengan
memasukkan ketentuan-ketentuan tindak pidana (diluar KUHP) seperti,
Tindak HAM(Bab IX), yang telah diatur dalam UU RI Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM; Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
dan Psikotropika (Bab XVII), Tindak Pidana Korupsi (Bab XXXII).
Tindak pidana yang telah diatur di dalam undang-undang khusus
baik merupakan “lex specialis” maupun “lex specialis systematische”
oleh Tim Penyusun RUU KUHAP semuanya dimasukkan ke dalam RUU
KUHP. Persoalannya bagaimana penerapan hukum di lapangan jika misi
penyusun adalah untuk mengembalikan KUHP sebagai satu-satunya
Kodifikasi (total) dan merupakan Kebijakan Hukum Pidana (Criminal Law
Policy) Indonesia, maka diperlukan UU tentang Pemberlakuan KUHP
sehingga membantu pemahaman dan penerapan ketentuan (R) KUHP
dalam praktik.
Solusi tersebut juga agak sulit karena ancaman pidana dalam lege
generali (KUHP) lazimnya di semua Negara tidak menganut sistem
minimum khusus tetapi maksimum umum sedangkan dalam UU Pidana
Khusus, ancaman pidana menggunakan sistem minimum khusus dan
maksimum umum.
51
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
52
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
53
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
satu sisi, sekalipun hukum pidana Indonesia berlaku untuk semua jenis
tindak pidana menurut hukum internasional(perjanjian internasional)
asalkan telah diratifikasi dan diundangkan tetapi di sisi lain pensyaratan
peratifikasian dan pengundangan tersebut tidak dapat mencegah pengaruh
tekanan asing (international pressure)terhadap yurisdiksi kriminal
Indonesia yang menguntungkan kepentingan asing daripada sebaliknya.
54
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
55
ARAH PEMBARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL –
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU HUKUM PIDANA
DENGAN UU LAINNYA
Oleh:
Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia – Daerah Istimewa
Yogyakarta)
I. Pendahuluan.
1. Masalah pemidanaan dalam sistem hukum pidana nasional
Indonesia dapat dikatakan sebagai perumusan ancaman pidana
paling tidak konsisten dalam sejarah hukum pidana nasional
Indonesia.
2. Pola pengancaman sanksi pidana tidak sinkron antara ancaman
pidana di dalam KUHP dengan perumusan ancaman pidana di
dalam UU di luar KUHP.
3. Pokok permasalahan yang dibahas:
Bagaimanakah mensinkronkan perumusan ancaman pidana dalam
RUU hukum pindana nasional Indonesia dengan UU lainnya agar
membentuk sistem pemidanaan dalam hukum pidana nasional
Indonesia?
56
4. Tidak mempertimbangkan unsur tindak pidana secara tepat dan konsisten.
IV.Komisi
Perkembangan HukumRIPidana
Hukum Nasional – SPHNdan Pemindaaan melalui UU di Luar
2013
KUHP.
1. Secara umum perumusan norma hukum pidana yang berlanjut
kepada perumusan ancaman sanksi pidana sebagai catatan yang
perlu mendapat perhatian dalam diskusi ini adalah kebijakan
menghapus pasal KUHP dipindahkan ke dalam hukum pidana
dalam undang-undang di luar KUHP disertai dengan pemberatan
ancaman pidana, sehingga menjadi satu-satunya norma hukum
pidana yang berada di luar KUHP.
2. Kebijakan menduplikasi atau menggandakan pasal-pasal KUHP ke
dalam hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP dengan
memberatkan ancaman pidana.
3. Kebijakan merumuskan norma hukum pidana baru yang
sesungguhnya rumusannya telah ada dalam KUHP tetapi dengan
menambah unsur-unsur baru sebagai rumusan perbuatan pidana
umum (genus) disertai dengan pemberatan ancaman pidana.
4. Kebijakan mengubah rumusan norma hukum pidana sebagai
bentuk kejahatan (independent crimes) menjadi ancaman sanksi
pidana di bidang administrasi (dependent crimes), meski jumlahnya
relatif sedikti.
5. Kebijakan merumuskan norma hukum pidana baru dengan
menggunakan frasa atau kata yang tidak lazim dalam hukum
pidana yang menyebabkan rumusannya bersifat ambigu atau
meluas dan tanpa batas atau serba meliputi yang tidak menjamin
adanya kepastian hukum dan berpotensi pelanggaran terhadap hak
dasar manusia.
59
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
VIII. Kebijakan.
VIII. Kebijakan.
60
IX. Implikasi Pembaruan Hukum Pidana pada Sistem Pemidanaan - Kebijakan Kod
Hukum Pidana Nasional Membawa Implikasi pada Sistem Pemidanaan.
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
X. Sistem Pemidanaan dalam RUU KUHP Dimuat dalam BAB III tentang Pemidanaan,
Pidana, dan Tindakan.
XI. ManajemenXI.Pemidanaan.
Manajemen Pemidanaan.
XI. Manajemen Pemidanaan.
61
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif.
62
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
XVI. XVI.
Efektivitas Hukum
Efektivitas Hukum Pidana Pidana
Terletak Terletak
pada Kemampuan
XVI. Efektivitas pada
Aparat
Hukum Pidana Kemampuan
Penegak
Terletak Hukum.
pada Aparat
Kemampuan Aparat Penegak Huku
Penegak Hukum.
63
SPHN 2013:
PENGGUNAAN HUKUM ADAT
(TULISAN PEMBAHAS)
ARAH PEMBARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL –
PENGGUNAAN HUKUM ADAT
Oleh:
Prof. Dr. Valerine J. L. Kriekhoff, S.H., M.A.
(Hakim Agung Republik Indonesia dan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia – Depok - Jawa Barat)
Dari berbagai literatur yang saya baca mengenai hukum adat, seperti
misalnya hasil penelitian dari Prof. Dr. M. Laiza Marzuki, S.H., yang
membahas mengenai siri pada orang Bugis Makassar atau berbagai karya
ilmiah lainnya, kita melihat bahwa dalam berbagai masyarakat di Indonesia
terdapat tatanan nilai adat atau apapun istilahnya yang menurut mereka
hal itu harus dipertahankan, sehingga bila masyarakat atau anggota
masyarakat melakukan hal yang tidak sesuai, maka hal itu tidak dapat
ditolerir dan dapat dipidana secara adat. Dengan demikian, kita melihat
bahwa jika hal-hal ini ada, maka bagaimana hal itu dapat diintegrasikan
di dalam Rancangan KUHP atau Rancangan KUHAP yang terkait dengan
pembuktian yang akan dibahas nanti. Oleh karena melihat keadaan yang
demikian, dari yang saya amati ketika membaca perkara-perkara pidana
beberapa waktu yang lalu, aspek yang menonjol adalah legalitasnya.
Dalam pembicaraan mengenai hukum adat, maka apakah prinsip
legalitas ini akankah dipatuhi secara murni atau kita coba memberikan isi
yang lebih lentur dalam pelaksanaannya. Oleh karena jika melihat undang-
undang yang ada, masih diakui hukum yang tidak tertulis itu. Bahwa
ada celah untuk mengakui adanya aturan-aturan yang tidak tertulis.
Oleh karena itu secara sederhana, bagaimana aturan-aturan yang tidak
tertulis ini, termasuk adat pidana ini, dapat dimasukkan atau ditampung
di dalam Rancangan KUHP. Kita menyadari bahwa di dalam praktik,
berdasarkan putusan yang telah dikeluarkan pengadilan, banyak hakim
mengakui, ketika berhadapan dengan kasus pidana di lapangan, terutama
di luar Pulau Jawa, di daerah-daerah yang masih kuat adat-istiadatnya,
ternyata banyak pidana adat yang masih berlaku. Hal ini ada di dalam
hasil penelitian Mahkamah Agung, khususnya yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum pada tahun 2010. Menurut
penelitian tersebut, hakim-hakim yang dijadikan responden mengakui
masih ada praktik pidana adat di masyarkat dan hakim-hakim mencoba
mengakomodir hal tersebut sebatas masih dimungkinkan penerapannya,
dan dibenarkan dalam hukum positif. Contoh dalam hal ini ialah tindakan-
66
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
67
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
adatnya. Hal ini lah yang perlu menjadi pemikiran ke depan dalam rangka
memasukkannya di dalam Rancangan KUHP. Dalam pandangan pribadi,
hukum adat perlu ditampung di dalam Rancangan KUHP. Hal ini sesuai
dengan tugas seorang hakim yang harus menggali nilai-nilai yang hidup
di masyarakat. Selain itu pula, memasukkannya di dalam Rancangan
KUHP akan memberikan pengetahuan bagi mahasiswa fakultas hukum
untuk menelusuri lebih jauh lagi penggunaan hukum adat di masyarakat.
Kelak jika pilihannya adalah menjadi seorang hakim, maka hal tersebut
akan sangat membantunya nanti.
68
SPHN 2013:
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN
(TULISAN PEMBAHAS)
BEBERAPA HAL DALAM
RANCANGAN KUHAP
Oleh:
Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.
(Mantan Ketua Tim Perumus RUU KUHAP 1999 – 2009/Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Trisakti – DKI Jakarta)
70
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
the same offences should be judged according to the same rules, the maintenance of
constitutional system of the Republic of Indonesia against criminal encroachment,
the maintenance of peace and security of mankind and the prevention of crimes).
71
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
72
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
74
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
75
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
77
BEBERAPA CATATAN RUU KUHAP
DAN HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
DALAM KONTEKS
SISTEM PERADILAN PIDANA
Oleh:
Prof. Dr. Eddy O. S. Hiariej, S.H., M.H.
(Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – Daerah Istimewa
Yogyakarta)
78
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat
penegak hukum yang lain. Secara tegas dikatakan oleh Feeney “ …..what
once criminal justice agency does likely to affect and be affected by other agencies
and …..a detailed knowledge of the kinds of interactions that are likely to take is
essential for undertaking system improvement “.
Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam
sistem peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang
tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang
satu dengan lainnya saling berkaitan. Packer selanjutnya memperkenalkan
dua model dalam sistem peradilan pidana yaitu crime control model dan
due process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi,
mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt sehingga tingkah laku
kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri
yang melakukan perlawanan.
Sedangkan due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi,
mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan
penasehat hukum amat penting sekali dengan tujuan jangan sampai
menghukum orang yang tidak bersalah. Model ini diibaratkan seperti
orang yang sedang melakukan lari gawang. Kedua model tersebut ada
nilai-nilai yang bersaing tetapi tidak berlawanan.
Ajaran Packer kemudian dilengkapi oleh King yang mengemukakan
beberapa model dalam sistem peradilan pidana. Selain crime control model
dan due porocess model, King menambahkan empat model lainnya yaitu
medical model, bureaucratic model, status pasage model dan power model.
Dalam medical model proses acara pidana diibaratkan seperti
mengobati orang sakit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh King, “…..
the restoration of the defendant to a state of mental and social health whereby s/he
will be able to cope with the demands society makes oh him/her and refrain from the
conduct which causes further intervention to be necessary” Bureaucratic model
memandang sistem peradilan pidana sebagai konflik antara negara dan
terdakwa. Hukum acara pidana dinilai diskriminatif terhadap individu
atau kelompok tertentu. Dikatakan demikian karena dengan aturan yang
terbatas dalam beracara dan pembuktian, negara bebas memilih untuk
membuat putusan kendatipun terkadang meniadakan kejadian yang
sesunggunya. King berpendapat bahwa bureaucratic model dan due process
model mempunyai hubungan yang jelas namun didasarkan pada aspek
yang berbeda. Due process model mengutamakan perlindungan terhadap
individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara sedangkan
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman
Center, University Of Leicester, hlm. 13.
Hebert L Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University Press, hlm.
164 – 165.
University Of Leicester, Ibid, hlm. 24.
M. King, 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London, hlm. 20.
79
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
80
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
81
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
82
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
83
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Referensi
Cavadino, Michael and Dignan, James, The Penal Sistem An Introduction,
1997, SAGE Publication Ltd.
Enschede , Ch.J., 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer.
Hiariej, Eddy O.S 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory
And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean
Legislation Research Institute.
King M., 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London.
Packer, Hebert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University
Press.
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice
Process”, Scarman Center, University Of Leicester.
Vos, H.B., 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk,
H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
Wasserman Rhonda, 2004, Procedural Due Process : A Refernce Guide to the
United States Constitution, Greenwood Publishing Group
84
ARAH PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL –
KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN
Oleh:
Komisaris Besar Polisi Dr. Drs. R. Sigid Tri Hardjanto, S.H., M.Si.
(Divisi Pembinaan Hukum Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia)
I. Latar Belakang.
Dalam upaya membenahi kondisi penegakan hukum di Indonesia,
telah menjadi kelaziman selalu dilakukan dengan cara membentuk
lembaga baru:
1. Dalam RUU KUHAP dimasukkannya lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan (HPP).
2. Lembaga pra peradilan dianggap tidak bekerja sebagaimana mestinya
dan dalam implementasinya banyak merugikan masyarakat.
Sekalipun secara konseptual eksistensi lembaga HPP sangat ideal namun
tidak berarti dalam pelaksanaan tidak akan menimbulkan permasalahan
baru:
Dikhawatirkan akan sulit diterapkan di wilayah NKRI mengingat
aspek yang akan mempengaruhi dalam operasionalnya à geografis,
sosial budaya, sosial politik, sarana prasarana, sumber daya manusia.
85
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
III. Kesimpulan.
a. Sistem pengawasan unsur CJS yang semula diselenggarakan oleh
lembaga praperadilan dalam RUU KUHAP digantikan dengan HPP
à konsep ini sangat ideal dan positif bila dapat diterapkan secara
konsekuen dan didukung dengan kesiapan infrastruktur dan saran
yang memadai.
b. Namun apabila infastruktur tidak siap akan mengundang resiko
dan kerugian yang lebih banyak daripada manfaatnya.
86
SPHN 2013:
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU HUKUM PIDANA
DENGAN UU LAINNYA
(TULISAN HASIL ”CALL FOR PAPERS”)
MEMBUMIKAN
PEMIDANAAN PROGRESIF
Oleh:
Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang – Jawa Timur)
I. Pendahuluan.
Menurut teori utilitas, hukum bertujuan untuk menghasilkan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan
kesenangan dan kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham
dalam bukunya “Introduction to the Morals and Legislation”. Teori ini
menitukberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak atau
bersifat umum. Kepentingan masyarakat, korban, negara, pelaku kejahatan,
dan lainnya merupakan kepentingan yang menjadi fokus idealisme
hukum.
Mengingat hukuman (pemidanaan) merupakan wujud dari hukum
yang diimplementasikan, maka jika mengacu pada teori utilitas itu, berarti
hukuman yang diterapkan idealnya berbasiskan pemenuhan kepentingan
banyak orang atau aspek-aspek lain yang terkait dengan kepentingan
manusia, seperti lingkungan hidup.
Dalam ranah teoritis, hukuman atau pidana ialah suatu perasaan tidak
enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada
orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Siapapun
orangnya yang terkena hukuman, kesejatiannya pastilah tidak akan ada
yang mau menerima, apalagi kalau hukuman itu bersifat memberatkan
dan menentukan hidup mati.
88
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
89
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
90
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
91
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
92
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
93
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
94
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
V. Penutup.
Masyarakat memang di satu sisi membutuhkan bangunan
kehidupannya terjaga keharmonisain dan kedamaiannya, akan tetapi selalu
saja terjadi gangguan dari tangan-tangan jahat yang merusaknya. Dalam
kasus seperti inilah kemudian negara tampil dengan cara menggunakan
kekuatannya atau mewujudkan kewajibannya untuk mengembalikan
keseimbangan sosial yang sudah dirusak tangan-tangan jahat. Negara
tampil dengan instrumen yuridis guna memberikan pelajaran terhadap
perusak tatanan, dan memberikan jalan yang seharusnya atau idealisasinya
memberikan peluang supaya mereka dapat memanusiakan dirinya atau
memperlakukan dirinya sendiri sebagai subyek sosial yang bermartabat.
Ketika “perusak tatanan” itu sudah memasuki ranah perbuatan
yang mengakibatkan “kegentingan” atau perbuatannya tergolong
sebagai pelanggaran hak-hak yang serius, maka idealisme publik yang
menjadi korban pun harus dijadikan sebagai pertimbangan. Disinilah
pemidanaan yang bersifat progresif sulit dihindari, artinya pemidanaan
dijatuhkan dengan mengakomodasi kepentingan bersifat makro, termasuk
kepentingan yang bersifat “kegentingan” seperti kejahatan bersifat
pemberatan atau pelanggaran HAM serius, dengan mempertimbangkan
dinamika kecenderungan masyarakat terhadap pola-pola penghukuman
yang dijadikan opsinya.
Daftar Pustaka.
Ahmad Bahiej, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Materiel Indonesia, http://ahmadbahiej.blogspot.
com/2003/08/prinsip-individualisasi-pidana-dalam.html, akses 15
November 2013.
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Jakarta, Pradnya Paramita, Cet.I, 1986.
Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra
Aditya Bhakti, 2000.
Duswara Machmudin Dudu, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Seketsa,
Bandung: PT Refika Aditama, 2001.
E. Utrecht, 1958, hlm: 168, dalam http://ayub.staff.hukum.uns.
ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurut-perspektif-ham-
internasional/, akses 20 Oktober 2013.
Lili Rasjidi & I.B. Yasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Rosyda Karta,
Bandung 1993.
Rancangan Undang Undang Republik Indonesia No….. Tahun …. Tentang
Kitab Undang Undang Hukum Pidana, diambil dari dokumen (file)
Barda Nawawi Arief, revisi Oktober 2008
95
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
96
SINKRONISASI KEBIJAKAN
FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
BAGI KORPORASI PUBLIK
DALAM BEBERAPA UNDANG-UNDANG ORGANIK
DENGAN RUU HUKUM PIDANA
Oleh:
Galuh Praharafi Rizqia, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Balikpapan – Kalimantan Timur)
I. Pendahuluan.
Perkembangan peradaban manusia memberikan dampak yang tidak
hanya positif namun juga negatif. Salah satu dampak negatif yang muncul
yaitu semakin berkembangnya bentuk dan motif kejahatan. Pelaku
kejahatan bukan lagi hanya person saja, namun berkembang menjadi
kejahatan oleh korporasi. Perkembangan ilmu dan pengaturan dalam
hukum pidana melakukan penyesuaian terhadap perkembangan kondisi
ini dengan memperluas subjek hukum pidana, yaitu tidak hanya person
saja, namun juga korporasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, tindak
pidana tidak hanya melibatkan pihak swasta atau masyarakat umum saja,
namun adakalanya alat perlengkapan negara justru menyalahgunakan
kedudukannya untuk melakukan suatu tindak pidana.
John Emerich Edward Dalberg Acton (1834–1902) pernah mengungkapkan
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yang dapat
diartikan sebagai “kekuasaan cenderung korupsi (menyalahgunakan
kewenangan), dan kekuasaan mutlak akan cenderung pada korupsi
(menyalahgunakan kewenangan) secara mutlak”. Oleh karena itu, perlu
disusun suatu peraturan yang tegas bagi alat perlengkapan negara yang
memiliki kekuasaan serta kewenangan yang besar, dengan tujuan untuk
meminimalisir penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya.
Pengaturan mengenai pidana dan pemidanaan bagi alat perlengkapan
negara bukanlah merupakan sesuatu hal yang aneh. Sudarto menyatakan
bahwa adressat dari norma hukum adalah warga masyarakat, agar
bertindak laku seperti apa yang dipandang patut oleh norma tersebut.
Disamping itu, adressat norma hukum juga alat-alat perlengkapan negara
sebagai pedoman dalam melaksanakan aturan tersebut. Dengan demikian
Sudarto, 2009, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, hlm. 6-7.
97
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
99
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
100
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
101
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
IV.2. Siapa yang Dapat Dituntut dan Dijatuhi Pidana atas Tindak Pidana
yang Dilakukan oleh Badan Hukum Publik.
Mengenai unsur yang kedua, yaitu siapa yang dapat dituntut dan
dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum publik,
merujuk pada ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50 RKUHP Tahun 2012, diatur
bahwa:
“Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban
pidana dikenakan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya.”
“Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/ atau atas nama korporasi,
102
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
103
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
V. Kesimpulan.
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana bagi korporasi
publik dalam formulasi hukum pidana di Indonesia saat ini secara umum
menganut doktrin vicarious liability, sehingga pertanggungjawaban pidana
dikenakan kepada pejabat senior atau pemimpin badan hukum publik
saja. Hal ini berimbas pada jenis sanksi pidana yang belum berorientasi
pada korban. Korporasi publik belum diposisikan sebagai pengampu
pertanggungjawaban pidana secara langsung atas tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi publik.
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana bagi korporasi publik
terhadap korban tindak pidana korporasi publik dalam kebijakan formulasi
hukum pidana di Indonesia yang akan datang diharapkan menempatkan
korporasi publik, sebagai pihak yang dapat dipertanggungjawabkan
secara langsung dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
publik, disamping pejabat senior atau pemimpin dari korporasi publik.
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Menunjang Kebijaksanaan Pemerintah dalam
Bidang Perekonomian, dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hlm. 150.
104
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
VI. Saran.
Segera mengakomodir kebijakan formulasi hukum pidana mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi publik secara tegas, yang tidak
hanya menempatkan pertanggungjawaban pidana bagi pejabat senior atau
pemimpin korporasi publik, namun juga bagi korporasi publik itu sendiri
dalam RKUHP untuk merevisi KUHP yang berlaku saat ini. Lebih lanjut,
perlu dilakukan sinkronisasi pengaturan antara Undang-Undang Khusus
di luar KUHP yang didalamnya mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana bagi korporasi publik dengan RKUHP.
Perlu diadakan penelitian dan seminar lebih lanjut terkait dengan
perkembangan konsep mengenai pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi publik dengan pemidanaan yang berorientasi pada kepentingan
korban.
Daftar Pustaka.
Amrullah, Arief, 2006, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia
Publishing.
Arief, Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana;
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
___________________, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
________, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang:
UNDIP.
_______________________, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mahmud, Peter, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan (Antara Norma dan Realita), Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Moeljatno, 1985, Membangun Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.
________, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
105
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
106
MENYOAL PEMBERATAN PIDANA
SEPERTIGA DAN DUA PERTIGA
PADA UU ITE DAN HARMONISASINYA
ATAS RUU KUHP
Oleh:
Dr. Go Lisanawati, S.H.,M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya – Jawa Timur)
107
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
108
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
109
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
112
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
113
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
114
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
IV. Simpulan.
Permasalahan pemberatan pidana antara RUU KUHP dengan UU ITE
terkait dengan pengaturan tindak pidana di bidang informasi dan transaksi
elektronik harus memperhatikan kembali pada fungsi pemidanaan
mengingat masalah tindak pidana di bidang siber ini telah berkembang
menjadi perbuatan pidana yang berbahaya. Pemidanaan harus tepat
sasaran, dan mengingat manifestasinya yang sangat luas. Pemberatan
pidana harus ditujukan secara tepat, bukan sebagai suatu pembalasan
belaka, tetapi harus pula ditujukan pada seberapa besar kepentingan yang
dirugikan. Harmonisasi pengaturan delik yang ada di dalam RUU KUHP
dengan UU ITE harus dilakukan. Sekalipun perumusan di UU ITE tidak
sempurna, tetapi pengaturan dalam RUU KUHP harus disusun kembali
secara baik dan tidak tumpang tindih, macamnya perbuatan yang dilarang
lainnya, berikut pula stelsel pidana dan pemberatan pidananya.
Daftar Referensi.
Gray, Charles M.. 1979. The Cost of Crime. London: Sage Publication.
Hermin Hadiati Koeswadji. 1995. Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam
Rangka Pembangunan Huikum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Petrus Golosse. 2008. Seputar Kejahatan Hacking: Teori dan Studi Kasus.
Jakarta: YPKIK.
Sutan Remy Sjahdeini. 2009. Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer. Jakarta:
Grafiti.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana:
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
115
SINKRONISASI PENGATURAN
TINDAK PINDANA PERPAJAKAN
ANTARA RUU KUHP DAN RUU KUHAP
DENGAN LEX SPECIALIS
DI BIDANG PERPAJAKAN
Oleh:
Irine Handika, S.H., LL.M.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – D.I. Yogyakarta)
I. Urgensi Sinkronisasi.
Selama 68 tahun eksistensi Indonesia fakta menunjukkan bahwa
ketergantungan terhadap bantuan asing akan menjauhkan negara dari
kemandirian. Rowena M. Lawson, Joan Robinson, dan Hans Singer
berpendapat bahwa tidak ada negara yang secara sukarela membantu
negara lain, karena motif dibalik hubungan utang luar negeri semata-mata
demi penyedotan surplus ekonomi melalui berbagai persyaratan negara
kreditor untuk mengintervensi kebijakan negara debitor. Indonesia
bahkan pernah masuk dalam kelompok Negara Miskin Pengutang Berat
(Highly Indebted Poor Countries, HIPS). Terlihat bahwa pinjaman luar negeri
terbukti tidak berperan substansial terhadap pembangunan ekonomi
nasional.
Realita yang melahirkan kesadaran pentingnya kemandirian melalui
pemberdayaan optimal seluruh elemen dan sumber daya ekonomi bangsa
yang potensial. Salah satunya adalah pajak karena terbukti mampu
menjadi sumber daya ekonomi yang handal, terlihat dari dominasi pajak
di APBN yang setiap tahun semakin meningkat. Dalam struktur APBN
TA 2012 kontribusi pajak terhadap penerimaan negara hampir 79% dan
TA 2009 sebesar 74,9. Naik dari lima tahun sebelumnya, dimana pada
TA 2004 kontribusi pajak hanya sebesar 69,6%. Kontribusi tersebut
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan RI, 2006, Dengan Pajak Kita Wujudkan
Kemandirian Bangsa, Jakarta, hlm. 1.
Ada beberapa kejahatan yang terdapat dalam utang luar negeri Indonesia, antara lain: (1)
Jumlahnya sangat fantastic sehingga Indonesia termasuk ke dalam kelompok Highly Indebted Poor
Countries; (2) Sejak tahun 1985 Rasio Pembayaran Utang (debt service ratio) Indonesia mencapai
54%, bahkan sudah di atas 30%, yang artinya melampaui ambang batas “wajar dan sehat” yang
disyaratkan oleh Bank Dunia dan IMF.
Jose Mayer Sinaga, Berdiri di Puncak Kursi Kemandirian, diakses di www.pajak.go.id pada
tanggal26 Oktober 2013.
Lampiran Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK/PMK.01/2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014.
Ibid.
116
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
117
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
118
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
120
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
121
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
15
Lihat Pasal 1 angka 1 UU KUP.
16
Sudikno Mertokusumo menyatakan: “setiap manusia di Indonesia, tanpa kecuali, selama
hidupnya adalah orang, adalah subjek hukum.” Lebih lanjut dikatakan: “subjek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.” Lihat Sudikno Mertokusumo, hlm,
73.
17
Lihat Pasal 1 angka 2 UU KUP.
18
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer: Konsep Dasar Perpajakan
Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 178.
122
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
III.2.2. Fiskus.
Fiskus atau fiscus berasal dari kata fiscale, yang berarti keranjang uang
atau kantong uang,19 sehingga secara leksikal dimaknai sebagai aparat
pemerintah yang berwenang memungut pajak berdasarkan undang-
undang perpajakan. Oleh karena pajak terbagi menjadi pajak pusat20 dan
pajak daerah21 maka yang wenang memungut pajak meliputi pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, maka yang menjadi fiskus bisa merupakan
pegawai pemerintah pusat maupun pegawai pemerintah daerah. Fiskus
pada pajak pusat terbagi ke dalam beberapa jabatan, mulai dari Menteri
Keuangan, Direktur Jenderal Pajak, dan pejabat yang menerima pelimpahan
wewenang dari Direktur Jenderal Pajak. Tugas dan wewenang Direktur
Jenderal Pajak dilimpahkan kepada pejabat pajak di instansi vertikal
DJP, baik di pusat maupun daerah. Pejabat dimaksud adalah Sekretaris
Direktorat Jenderal Pajak, Direktur pada Direktorat Jenderal Pajak, Kepala
Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak, hingga Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP). Ada pula pejabat yang berwenang melakukan
penagihan pajak, juru sita, pemeriksa pajak hingga penyidik pajak.22
Lebih lanjut, yang menjadi fiskus untuk jenis pajak daerah pada
dasarnya adalah Kepala Daerah. Dalam pelaksanaan sehari-hari wewenang
itu dilimpahkan kepada pejabat daerah pada instansi pemerintah daerah
yang ditunjuk untuk mengelola pajak daerah. Pejabat itu meliputi pimpinan
dan pegawai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang memiliki tugas
pokok dan fungsi mengelola pajak daerah. SKPD tersebut antara lain Dinas
Pendapatan Daerah, BPKKD, DPPKAD, atau KPPD.23 Jelaslah bahwa yang
dimaksud fiskus tidak melingkupi seluruh pejabat publik (negara).
19
Chidir Ali, 1993, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, hlm. 31.
20
Pajak Pusat adalah kontribusi wajib kepada pusat yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan udang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
21
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan udang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
22
Marihot Pahala, Op.Cit, hlm. 193.
23
Ibid, hlm. 200.
123
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Pihak ketiga meliputi: wakil WP; kuasa WP; dan pegawai dari WP.
Wakil WP meliputi pengurus mewakili badan, kurator mewakili badan
yang dinyatakan pailit, orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan mewakili badan dalam pembubaran, likuidator mewakili
badan dalam likuidasi, pelaksana wasiat atau oleh salah seorang ahli
warisnya yang mengurus harta peninggalannya mewakili suatu warisan
yang belum terbagi, atau orang tua yang mewakili anak yang belum
dewasa, serta wali atau pengampu mewakilii orang yang berada dalam
pengampuan.
124
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
“Sanctions can also have more than one purpose. First, the most important
component of sanctions is their ability to deter unwanted behavior, so as to bring
about greater compliance. (...) Second, sanctions must be fair under the general
jurisprudential criteria in effect in a particular jurisdiction, (which) means that
sanctions should apply only when the sanctioned person is somehow at fault
and should not be unduly harsh or disproportional, or imposed in a violation
of principles of due process. (...) this leaves a general principle that faultless
or reasonable behavior by taxpayers, even if it results in an underpayment
of tax, should not be punished by sanctions. Only negligent or unreasonable
behavior resulting in an underpayment should result in sanctions. In addition
to their deterrence component, sanctions may also have an important financial
component. Financial sanctions may raise revenue, while prison sentences may
increase expenditures. Financial sanctions may even be designed in such a way
that they cover the tax administration’s expenses in pursuing a case, from
investigation through final collection. Fines may also be designed to reduce
administrative costs by encouraging early settlement of disputes between
administration and taxpayer. (...) Both financial and penal sanctions may also
be designed to punish, not for the purpose of directly affecting the behavior of
the person punished, but for the purpose of retribution or to indicate that society
seriously disapproves of particular behavior. (...) the severity of sanctions may
play a role in affecting people’s attitudes toward the particular crime. For these
two reasons, certain taxpayer activities that are viewed as particularly heinous,
such as intentional evasion through fraud, are usually punished more harshly
than a less serious avoidance or error. (...) Although rarely discussed, another
goal of sanctions policy should be not to cause (or worsen) other problems”.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian
sanksi hendaknya memperhatikan bentuk pelanggaran yang dilakukan
yang dikaitkan dengan kemampuan masyarakat secara umum dan
fiskus dalam menjalankan sistem self assessment. Hal itu diafirmatif oleh
Australian Tax Office yang menyatakan tingkat kepatuhan WP adalah
refleksi dari kebijakan perpajakan yang diterapkan oleh negara.28 Terkait
dengan itu, keputusan melakukan tax evasion bergantung pula pada
persepsi WP terhadap perilaku orang lain, termasuk fiskus.29 James et al.
Mengemukakan bahwa “work in sociology has identified a number of relevant
variables such as social support, social influence, attitudes and certain background
such as race and culture”.30 Pendapatan yang mengisyaratkan bahwa
pelanggaran kewajiban perpajakan dipeengaruhi oleh masalah-masalah
28
Australian Tax Office, Compliance Model, 2000.
29
Timbul Hamonangan Simanjuntak dan Imam Mukhlis, 2012, Dimensi Ekonomi Perpajakan
dalam Pembangunan Nasional, Raih Asa Sukses, Jakarta, hlm. 91. Diafirmatif dengan penelitian
penulis dalam Irine Handika dan Dwi Haryati, 2011, Ekistensi Majelis Kode Etik Sebagai Pengawas
Integritas Aparat Pajak dalam Mewujudkan Clean Government di Direktorat Jenderal Pajak, Laporan
Penelitian FH UGM.
30
James, Simon, and Clinton Alley, 1999, Tax Compliance, Self Assessment and Tax
Administration, Journal of Finance and Management in Public Service Volume 2 Number 2:pp. 27-
42.
125
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak, Salemba
32
126
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Gambar 1
Tindak
Pidana
Umum
Tindak Tindak
Pidana Pidana
Khusus
Lainnya Pajak
Gambar 2
Saat terjadi persinggungan dan tumpang-tindih,
maka sistem hukum menawarkan sejumlah opsi,
antara lain menggunakan asas hukum. Asas (dalam
ilmu hukum) yang relevan diantaranya asas lex
specialis derogat legi generalis, artinya ketentuan khusus
TAX
(specialis) mengesampingkan
EVASION ketentuan
TAX yang bersifat
AVOIDANCE
umum (generalis). Ini apabila yang bertentangan
adalah norma KUHP dengan norma UU Perpajakan.
Dalam hal ini, ketentuan khusus mengenai tindak
pidana perpajakan terdapat di dalam UU KUP. Kepelikan terjadi apabila
kedua ketentuan yang saling menduplikasi itu sama-sama bersifat
specialis, seperti norma tipikor dengan PPh Komponen
norma tindak yang perpajakan.
pidana
TAX Terutang diperhitungkan
Ilmu hukum member solusi melalui asas lex specialis sistematis,33 dimana
EVASION TAX
AVOIDANCE
yang dianggap lebih khusus adalah tindak pidana perpajakan. Meskipun
demikian, penggunaan asas hukum yang sifatnya abstrak tidak cukup
untuk menjembatani ketidaksinkronan dan menjamin terwujudnya
kepastian hukum, meskipun tetap menjadi acuan dalam penyusunan
model sinronisasi. Dibutuhkan sinkronisasi yang secara tegas dan eksplisit
PPh Komponen yang
dituangkan di dalam undang-undang, dengan cara menetapkan secara
diperhitungkan
Terutang
tegas pemisahan pengaturan terhadap tindak pidana perpajakan ke dalam
undang-undang di bidang perpajakan (UU KUP).
Apabila Pasal 760 dan pasal 761 tetap dipaksakan untuk berlaku maka
dikhawatirkan akan terjadi kesulitan dalam implementasinya. Seperti
diketahui bahwa terjadinya tindak pidana perpajakan dipengaruhi oleh
33
Ada tiga batu uji dalam menentukan mana yang lebih spesialis. Pertama, adakah keduanya
secara khusus mengatur hukum materiilnya. Kedua, adakah keduanya secara khusus mengatur
hukum formilnya. Ketiga, mana yang memiliki addressat yang lebih khusus. Batu uji ketiga yang
mendudukkan pajak lebih specialis.
127
Pidana
Umum
Tindak Tindak
Pidana Pidana
Khusus Tindak Tindak
Pajak
Pidana
Lainnya
Khusus
Pidana Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Lainnya Pajak
128
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
jelas tidak ada unsur kerugian pada pendapatan negara. Sebagai ilustrasi:
Fiskus A menetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
atas PT. XZZ adalah sebesar Rp 1,5 Miliar, padahal pajak terutang PT. XYZ
riilnya hanya Rp 1 Miliar. Dalam konteks ini tidak ada kerugian negara,
karena negara tetap menerima Rp 1 Miliar. Selisih Rp 500 juta tersebut
diperoleh oleh fiskus dengan cara menggunakan jabatannya untuk
memanipulasi perhitungan dalam SKPKB. Dalam hal ini yang dirugikan
adalah WP, dan terhadap tindakan demikian sulit untuk pembuktian
sehingga tidak heran jika fiskus memiliki rekening gendut.
Illicit Enrichment dapat digunakan untuk konteks kasus di atas, dan
menggunakan metode ekstensifikasi fleksibel pula untuk diterapkan
terhadap penyalahgunaan wewenang yang erat kaitan dengan kerugian
pendapatan negara. Hal yang perlu diantisipasi adalah kecepatan
perkembangan dan tumbuhnya modus-modus tindak pidana di kalangan
pejabat pemerintah yang berbanding terbalik dengan kelambanan dan
kestatisan sistem pembuktian. Kaitan dengan itu dibutuhkan sebuah
terobosan penanganan, diantaranya konsep illicit enrichment yang dapat
diintrodusir.
Illicit enrichment secara umum dapat diartikan sebagai kriminalisasi
pejabat publik yang memiliki kekayaan dan/atau peningkatan kekayaan
dalam jumlah yang tidak wajar, tanpa mampu membuktikan bahwa
kekayaan itu diperoleh secara sah serta tidak terkait dengan tindak pidana.
Konsep ini fokus pada kepemilikan tidak wajar atau berlebihan (excessive)
yang diperoleh sehubungan dengan status sebagai pejabat publik. Oleh
karenanya, objek pengaturan illicit enrichment sifatnya terbatas, hanya
meliputi public official (pejabat publik). Dalam konsep illicit enrichment
logika hukumnya adalah logika deduktif, yaitu melakukan penelusuran
terhadap dugaan adanya kekayaan tidak wajar (hasil) pejabat publik, bukan
terhadap tindak pidana yang terkait dengan keberadaan harta tersebut.
Logika ini linear dengan sistem pembuktian terbalik yang menjadi salah
fokus uama dalam konsep illicit enrichment.
Sebagai salah satu instrumen hukum yang lahir untuk mengatasi
ketidakefektifan sistem pembuktian konvensional, maka proses
pembuktian terbalik yang layak untuk diterapkan. Pembuktian terbalik
disini sifatnya terbatas, dimana negara yang diwakili oleh Penuntut
Umum tetap memiliki kewajiban pembuktian, namun terbatas untuk
membuktikan adanya dugaan kuat illicit enrichment. Di lain sisi, terdakwa
memiliki beban untuk membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dari
sumber-sumber yang sah, dalam artian kepemilikan tidak secara melawan
hukum. Berangkat dari sistem ini, selama negara memiliki bukti awal yang
cukup untuk mencurigai pejabat publik yang memiliki kekayaan tidak
wajar maka negara lebih leluasa dan forcefull untuk memeriksa pejabat
yang bersangkutan untuk membuktikan sah tidaknya perolehan kekayaan
yang dimilikinya.
129
PENAFSIRAN HAKIM
TERHADAP KETENTUAN PIDANA MINIMUM
KHUSUS DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 31 TAHUN 1999
jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh:
Dr. Ismail Rumadan, S.H., M.H.
(Dosen Program Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Universitas
Nasional – DKI Jakarta/Peneliti Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung
RI)
I. Pendahuluan.
Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang
ditengarai sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya
kesenjangan sosial, ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah
dan berbagai permasalahan lainnya yang mendorong lahirnya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Hal yang menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya
ketentuan pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap
pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan
pidana pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang lebih mengenal ketentuan pidana maksimum. Ketentuan
tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi.
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
Tema ini merupakan salah satu topik penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitiah
Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI terkait dengan penelitian terhadap adanya putusan-
putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis di bawah batas pidana minimum khusus dalam UU
tindak pidana korupsi.
130
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
131
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
132
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
133
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
134
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
135
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
136
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Jadi dalam hal ini terdapat pidana minimum yang harus dijatuhkan
sebagaimana dimaksud dalam ancaman pidana Pasal 9 Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menuntut
Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan
pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidair 2
(dua) bulan kurungan. Majelis Hakim berpendapat penerapan sistem atau
asas minimum khusus mempunyai dua sisi, yaitu sisi menjamin adanya
kepastian hukum dan untuk menghindari adanya disparitas penjatuhan
pidana, serta di sisi lain dapat menimbulkan kesenjangan vonis masa
hukuman yang berbeda dalam berat tindak pidana yang dilakukan, tetapi
mendapat hukuman yang sama, yaitu sama-sama mendapat hukuman
minimum khusus. Seharusnya pada kasus yang lebih ringan dapat
memperoleh hukuman yang lebih ringan pula. Justru penerapan asas hukum
cenderung mencerminkan ketidakadilan. Untuk menghilangkan rasa
ketidakadilan itu dari ancaman tindak pidana korupsi, yang dikategorikan
relatif kecil, maka dicantumkan oleh Pembuat Undang-Undang, yaitu
Pasal 12 A UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu ketentuan mengenai pidana
penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah). Pasal 12 A ini merupakan pengecualian penjatuhan
pidana terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
Di bagian lain dalam putusannya, Majelis Hakim tingkat pertama
itu mengatakan dalam pertimbangannya, bahwa Saksi Ahli Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diajukan JPU, dalam
keterangan kesaksiannya di persidangan, tidak dapat menyimpulkan
adanya kerugian Negara dalam perkara Terdakwa. Sedangkan
berdasarkan fakta persidangan, bahwa Terdakwa tidak mendapatkan
keuntungan materil dari perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dengan
demikian Majelis Hakim berpendapat kurang adil untuk menerapkan
sistem minimal khusus terhadap diri Terdakwa sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 9 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu
Majelis Hakim berpendapat Pasal 12 A Undang-Undang Nomor Tindak
Pidana Korupsi dapat diterapkan kepada Terdakwa dalam hal penjatuhan
pidana penjaranya. Bahwa, ancaman pidana sebagaimana dalam Pasal 12
A maupun Pasal 9 Undang-Undang tersebut bersifat kumulatif, yaitu di
samping pidana penjara, juga dijatuhkan pidana. Terhadap hal ini Majelis
137
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
138
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
139
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
140
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
141
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
142
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
IV. Kesimpulan.
Masih terdapat perbedaan penafsiran di kalangan para hakim dalam
menerapkan ketentuan pidana minimum khusus terhadap pelaku tindak
pidana korupsi. Perbedaan penafsiran masih sekitar perbuatan melawan
hukum secara formil, maupun perbuatan melawan hukum secara materil.
143
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Daftar Pustaka.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum
yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006.
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan
Latar Belakang Pemikirannya, Kupang : Universitas Cendana Kupang,
1989.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan
Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Cet. 2, Kencana Prenada Kencana, Jakarta, 2006.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Tentang Penemuan
Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993.
144
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
145
PERKEMBANGAN
HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
KINI DAN MASA DEPAN
Oleh:
Kamal Pasinringi, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako – Palu - Sulawesi Tengah)
I. Pendahuluan.
Hukum lingkungan berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan obyek yang dipelajarinyapun mengalami perkembangan
baik secara nasional maupun secara global, perkembangan tersebut
diakibatkan oleh kemajuan masyarakat dari yang tradisonal ke arah yang
lebih modern. Masyarakat yang tradisional sudah mengenal hukum yang
berkaitan dengan kearifan lokal untuk perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup seperti Suku Kajang di Sulawesi Selatan, seperti mengatur
mengenai pohon-pohon yang dapat ditebang dan pengaturan mengenai
pemanfaatan air. Dalam masyarakat modern perlindungan terhadap
lingkungan menjadi rumit, sejalan dengan perkembangan industri, seperti
bahan baku dari hasil hutan, bahan galian dan sistem perkebunan dari
yang tradisionl ke modern yang menuntut perluasan lahan yang lebih luas
sehingga hutan dijadikan lahan perkebunan.
Perubahan dan perkembangan masyarakat yang sejalan dengan
perkembangan industri menuntut diadakannya pembaharuan terhadap
hukum yang mengaturnya dalam hal penegakan hukum lingkungan
baik sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Selain sanksi
tersebut, yang utama dan terpenting adalah peran serta masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga penerapan
sanksi hanyalah alternatif terakhir. Peran serta masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat diharapkan,
karena dampak dari kerusakan lingkungan dirasakan langsung oleh
masyarakat.
Selain masyarakat, yang terpenting adalah peran negara dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan
secara tidak langsung diakibatkan oleh berbagai kebijakan pemerintah
dalam memberikan izin dan pengelolaan lingkungan hidup tanpa disertai
analisis lingkungan yang benar. Diharapkan pemerintah untuk menjaga
agar terjadinya kesinambungan dan Keserasian serta keseimbangan antara
146
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
148
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
149
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
IV. Kesimpulan.
1. Menurut pandangan baru (modern) bahwa hukum yang ada itu tidak
lengkap,tidak dapat mencakup seluruh peristiwa hukum yang timbul
dalam masyarakat. Oleh sebab itu hakim turut serta menemukan hukum
yang oleh Prof. Mr. PaulSchalten menyebutkan Hakim menjalankan
Recht vinding.
2. Walaupun Hakim turut menemukan hukum, ia bukanlah legislatif.
3. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim menggunakan metode
penafsiran terhadap Undang-undangseperti penafsiran menurut
bahasa, penafsiran secarahistoris, penafsiran secara sistematis,
penafsiran secara teleologis / sosiologis,penafsiran secara authentik,
penafsiran secara ektensif, penafsiran secararestriktif, penafsiran secara
analogi, penafsiran secara argumentus a contrario.
Daftar Pustaka.
Chainur Arrasjid, Pengatar Ilmu Hukum, Yani Corp Medan, 1988.
------------, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika Jakarta, 2000.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka Jakarta, 1986.
C. Asser, Mr/Paul Scholtes, Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata
Belanda, Gajah Mada University Press, 1986.
E. Utrecht, & M. Saleh Djinjang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, 1982.
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramitha, Jakarta,
1985.
Satjipto, Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 1996.
Syahruddin Husin, Pengantar Ilmu Hukum, Kel Study Hukum & Masyarakat,
Medan 1992.
Sudikno Merto Kusumo, Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta, 1999.
-----------, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. CitraAditya Bakti, 1993.
150
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU KUHP
DENGAN UNDANG-UNDANG
DI LUAR KUHP DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Oleh:
Lushiana Primasari, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret – Surakarta - Jawa
Tengah)
I. Pendahuluan.
Upaya penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) masih terus berlangsung hingga saat
ini. Kajian keilmuan terus dilakukan untuk penyempurnaan RUU KUHP.
Hal ini dilakukan mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berlaku pada saat ini merupakan KUHP warisan zaman
kolonial Hindia-Belanda, sehingga seiring dengan perkembangan zaman
yang salah satunya ditandai dengan perkembangan dalam masyarakat
Indonesia yang dinamis, maka perlu adanya upaya pembaharuan hukum
pidana yang disesuaikan dengan budaya dan jatidiri bangsa Indonesia.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah belum
digantinya hukum pidana induk yang dimuat dalam KUHP, khususnya
Buku I mengenai Ketentuan Umum. Namun demikian, perkembangan
masyarakat Indonesia yang begitu dinamis ternyata tidak disertai dengan
perkembangan rumusan pemidanaan dalam KUHP, sehingga hal ini
dirasa tidak lagi mampu dijadikan dasar hukum untuk mengatasi problem
kejahatan yang semakin berkembang motifnya. Untuk mengantisipasi hal
ini maka salah satu kebijakan yang ditempuh adalah melakukan kebijakan
legislatif melalui undang-undang di luar KUHP, baik melalui undang-
undang di bidang hukum administrasi maupun bidang hukum lain yang
memuat ketentuan pidana.
Namun dalam perkembangannya, hukum pidana di luar KUHP
tersebut mengalami kemajuan yang cukup pesat sehingga dikhawatirkan
akan meninggalkan prinsip-prinsip hukum pidana dalam Ketentuan
Umum Hukum Pidana (Buku I KUHP). Akibatnya, seolah-olah terjadi
dualisme sistem hukum pidana, yaitu sistem hukum pidana berdasarkan
151
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
II. Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka
permasalahan pokok dalam tulisan ini adalah kajian lebih lanjut mengenai
bagaimanakah sinkronisasi pemidanaan dalam RUU KUHP dengan
Undang-Undang di luar KUHP dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia?
Anthony Allot, The Limits of Law, Butterwoth & Co. Ltd, London, 1980, hal. 28 dalam Barda
Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan
Perbandingan Beberapa Negara, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, hlm. 9.
Ibid, hlm. 9.
152
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
III. Pembahasan.
Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the
sentencing system) adalah „aturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan sanksi pidana dan pemidanaan“, (the statutory rules relating to penal
sanction and punishment). Dalam arti luas, sistem pemidanaan dilihat dari
sudut fungsional yaitu sudut bekerjanya/prosesnya. Dalam arti luas ini
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/ operasionalisasi/ konkretisasi pidana;
2. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik
dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub sistem
hukum pidana materiel/substantif, sub sistem hukum pidana formal dan
sub sistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga sub sistem itu merupakan
satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana
dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub
sistem itu.
Terbitnya undang-undang yang mengatur tentang hukum pidana
di luar KUHP baik yang dikategorikan sebagai hukum pidana khusus
maupun hukum pidana di bidang hukum administrasi yang menyimpangi
Ketentuan Umum Hukum Pidana yang dimuat dalam Buku I KUHP telah
menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP kepada sistem
hukum pidana di luar KUHP sehingga terbentuk dua sistem hukum pidana
dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia, padahal idealnya dalam
satu Negara terdapat satu sistem hukum pidana nasional dan sistem hukum
pidana nasional dibentuk berdasarkan Ketentuan Umum yang dimuat
dalam Buku I KUHP. Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang
patut menjadi perhatian. Kondisi ini tentu menimbulkan permasalahan
dalam pelaksanaan praktek penegakan hukum di Indonesia, terjadi
tumpang tindih peraturan sehingga perlu adanya sinkronisasi antara
berbagai Undang-Undang di luar KUHP dengan ketentuan-ketentuan
dalam RUU KUHP, hal ini dimaksudkan agar tercipta situasi yang kondusif
dalam penegakan hukum di Indonesia terutama kaitannya dengan Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia sebagai dampak dari adanya beberapa hal
L.H.C Hulsman, The Dutch Criminal Justice System From A Comparative Legal Perspective,
di dalam D.C Fokkema (Ed), Introduction to Dutch Law For Foreign Lawyers (Kluwer Deventer, The
Nederlands 1978), hal.320 dalam Barda Nawawi Arief. 2011. Perkembangan Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Semarang : Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNDIP.
Ibid, hlm. 2.
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia RI Tahun 2010, hlm. 6.
153
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
yang baru diatur dalam RUU KUHP sedangkan hal-hal baru tersebut
belum disesuaikan dengan Undang-Undang yang saat ini berlaku.
Terhadap keadaan hukum pidana nasional tersebut, dipandang perlu
disusun langkah-langkah pembentukan hukum pidana nasional Indonesia
guna membentuk sistem hukum pidana nasional Indonesia dalam suatu
kitab hukum pidana atau KUHP (baru) dilakukan dengan cara: reformulasi,
restrukturisasi, dan rekonstruksi terhadap norma hukum pidana positif
Indonesia (hukum pidana yang berlaku sekarang baik norma hukum
pidana yang ada dalam KUHP maupun norma hukum pidana yang dimuat
dalam undang-undang di luar KUHP) serta penambahan norma hukum
pidana yang dipandang perlu (kriminalisasi) sesuai dengan kebutuhan
hukum di Indonesia pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
RUU KUHP saat ini mencoba untuk mengantisipasi berkembangnya
undang-undang di luar KUHP dengan memasukkan jenis-jenis tindak
pidana yang lebih lengkap Buku Kedua mengenai Tindak Pidana. Dalam
merumuskan tindak pidana, di samping mengacu pada perkembangan
perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP (misalnya UU tentang
Pencucian Uang, UU tentang Pemberantasan Terorisme, UU tentang
Penghapusan KDRT, UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
tentang Perlindungan Cagar Budaya, UU tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU tentang Pengadilan HAM, UU tentang Kesehatan,
UU tentang Sisdiknas dan sebagainya), secara antisipatif dan proaktif
juga memasukkan pelbagai RUU yang sudah diterima masyarakat yaitu
antara lain pelbagai RUU Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi, Tindak
Pidana di Dunia Maya atau Tindak Pidana tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (cybercrime), Tindak Pidana Perdagangan Orang (human
trafficking) dan lain-lain. Di samping itu adaptasi terhadap perkembangan
kejahatan atau tindak pidana internasional (international crimes), khususnya
yang merupakan jus cogens yang bersumber dari pelbagai konvensi
internasional, baik yang sudah diratifikasi atau belum juga dilakukan.
Sebagai contoh adalah Tindak Pidana Penyiksaan atas dasar ratifikasi
terhadap “Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment” (1984), demikian pula antisipasi terhadap
kemungkinan ratifikasi terhadap Statuta Roma 1998 tentang International
Criminal Court, perluasan tindak pidana korupsi yang bersumber pada
UN Convention Against Corruption (2003), Palermo Convention tentang
Transnational Organized Crimes (2000), dan sebagainya; Dengan demikian
penambahan Bab dan Pasal-pasal tak dapat dihindarkan; Pemikiran
“gender sensitives” mempengaruhi Tim RUU untuk memasukkan pelbagai
tindak pidana baru tentang perkosaan dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, pornografi dan pornoaksi dan lain-lain. Upaya ini diharapkan
Ibid, hlm 165.
Muladi. 2006. Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP. Bahan Bacaan
untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM dengan tema: “Melihat Politik Kodifikasi
dalam Rancangan KUHP”.
154
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
155
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
pedoman pemidanaan.10
Selanjutnya perumusan tujuan pemidanaan, rumusan tujuan
pemidanaan mengalami beberapa kali perubahan. Dalam RUU KUHP
2012, tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 54 sebagai berikut :
(1) Pemidanaan bertujuan :
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia
Dimasukkannya tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP perlu
menjadi perhatian bagi aparat penegak hukum sebagai unsur dari sistem
peradilan pidana di Indonesia yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Hakim dan
Lembaga Pemasyarakatan. Ketika RUU KUHP telah disahkan, perlu
adanya harmonisasi dan sinkronisasi antara peraturan perundang-
undangan yang tersebar di berbagai undang-undang dan RUU KUHP,
tanpa adanya pemahaman yang mendalam oleh aparat penegak hukum
mengenai tujuan pemidanaan kaitannya dengan sanksi pidana yang ada
pada berbagai undang-undang maka tujuan pemidanaan itu sendiri akan
sulit tercapai.
Dalam RUU tentang KUHP Pemerintah memandang perlu adanya
pengaturan mengenai masa transisi (engagement period) guna memberikan
ruang bagi Pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat,
terutama bagi penegak hukum, dalam menerapkan KUHP yang baru.
Selain itu, pengaturan masa transisi juga bertujuan untuk memberikan
kesempatan bagi pemerintah untuk menyiapkan sarana, prasarana,
dan sumber daya manusia dalam pelaksanaan pidana tutupan, pidana
pengawasan, dan pidana kerja sosial. KUHP yang baru nantinya juga
diharapkan dapat menjadi dasar dan pedoman utama dalam hal konsep
kriminalisasi, penalisasi, dan penyesuaian istilah bagi Undang-Undang
lainnya yang bersifat lex specialis. Pemerintah berpendapat bahwa masa
transisi (engagement period) yang ideal adalah 2 (dua) tahun, sehingga
KUHP yang baru nantinya mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal
diundangkan.11
Ibid. Hlm. 3-4.
10
Hukum Pidana, disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin dalam
156
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Beberapa hal baru dalam RUU KUHP misalnya pidana kerja sosial
memerlukan masa sosialisasi kepada sumber daya manusia dalam hal
ini adalah aparat penegak hukum agar terjadi persamaan persepsi antar
penegak hukum. Di samping persamaan persepsi, dukungan fasilitas
sarana dan prasarana juga diperlukan untuk mendukung penerapan hal-
hal baru yang sebelumnya belum diatur dalam KUHP saat ini.
IV. Penutup.
RUU KUHP saat ini mencoba untuk mengantisipasi terhadap
berkembangnya undang-undang di luar KUHP dengan memasukkan
materi hukum pidana yang berada di luar KUHP ke dalam Buku Kedua
mengenai Tindak Pidana, di samping mengacu pada perkembangan
perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP secara antisipatif dan
proaktif juga memasukkan pelbagai RUU yang sudah diterima masyarakat
dan yang bersumber dari pelbagai konvensi internasional, baik yang
sudah diratifikasi atau belum juga dilakukan. Dimasukkannya tujuan
pemidanaan dalam RUU KUHP perlu menjadi perhatian bagi aparat
penegak hukum sebagai unsur dari sistem peradilan pidana di Indonesia
dengan memahami harmonisasi dan sinkronisasi antara peraturan
perundang-undangan yang tersebar di berbagai undang-undang dan
RUU KUHP, sehingga diharapkan dapat mewujudkan tujuan pemidanaan
sesuai yang diamanatkan dalam RUU KUHP. Perlu adanya pengaturan
mengenai masa transisi (engagement period) guna memberikan ruang bagi
Pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama bagi
penegak hukum, dalam menerapkan KUHP yang baru. Pengaturan masa
transisi juga bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pemerintah
untuk menyiapkan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia.
Daftar Pustaka.
Barda Nawawi Arief. 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara,
Semarang : Badan Penerbit UNDIP
_________________. 2011. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia.
Semarang : Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNDIP
Muladi. 2006. Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP.
Bahan Bacaan untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan
Rapat Kerja antara Komisi III DPR-RI dan Pemerintah dalam rangka penyampaian Keterangan
Presiden atas Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
tentang KUHP) pada tanggal 6 Maret 2013, diakses dari http://www.kemenkumham.go.id/berita/
headline/1836-keterangan-presiden-atas-rancangan-undang-undang-tentang-kitab-undang-undang-
hukum-pidana.
157
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
158
PEMBAHARUAN PEMIDANAAN
DALAM RANCANGAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
INDONESIA
Oleh:
Maria Ulfah, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan – Bandung -
Jawa Barat)
I. Pendahuluan.
Sebagaimana diketahui bahwa jenis tindak pidana di masyarakat
saat ini terus berkembang, begitu pun bentuk-bentuk sanksi pidana di
Indonesia yang turut berkembang di masing-masing undang-undang
di luar KUHP. Akan tetapi, perubahan tersebut belum diiringi dengan
kejelasan tujuan pemidanaan untuk mewujudkan penegakkan hukum
pidana Indonesia yang sejalan satu sama lain bagi aparat penegak hukum.
Kejelasan tujuan pemidanaan di Indonesia baru tampak di dalam RKUHP
sebagai ius constituendum hukum pidana di Indonesia.
Sehubungan dengan hal di atas, sanksi pidana dan tujuan pemidanaan
merupakan dua hal yang saling terkait. Tujuan pemidanaan diperlukan
untuk memberi arahan jelas saat sanksi pidana diberikan dan diterapkan
bagi pelaku tindak pidana. Hingga tahun 2013 ini, aparat penegak
hukum (dari pihak Kepolisian hingga pihak Lembaga Pemsyarakatan) di
Indonesia menegakkan hukum pidana dengan tujuan pemidanaan yang
dipilih masing-masing. Hal itu tidak akan terjadi lagi apabila RKUHP
diberlakukan karena adanya pengaturan Pasal 54 RKUHP. Akan tetapi,
keharmonisan bentuk-bentuk sanksi pidana dalam RKUHP di Indonesia
sangat diperlukan agar tujuan pemidanaan dapat tercapai di masa
mendatang.
159
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California,
1968, hlm. 9-10.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hal. 49-51. Bambang
Poernomo dan Van Bemmelen juga menyatakan ada 3 teori pemidanaan sebagaimana yang
dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan (absolute theorien), teori tujuan (relatieve theorien)
dan teori gabungan atau (verenigings theorien). Lihat Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana,
Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 27.
Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan
khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat.
Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif.
Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan
terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan
kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang.
160
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
161
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
162
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai
dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan (diatur di Pasal 60
RKUHP).
Selain tujuan pemidanaan, RKUHP juga mengakui adanya faktor-
faktor meringankan dari pelaku tindak pidana yang tercantum dalam
Pasal 55 di atas tentang Pedoman Pemidanaan. Pengaturan Pedoman
Pemidanaan ini menunjukkan adanya teori relatif dan mengarah pada
teori integratif (teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa
fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian, di mana pencegahan
dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang
harus dicapai dalam suatu rencana pemidanaan). Hal tersebut terlihat dari
adanya ketentuan mengenai pertimbangan tentang riwayat hidup dan
sosial ekonomi pembuat tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa
depan, pemaafan korban dan/atau keluarganya, dan juga pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Penjelasan dalam
ketentuan mengenai pedoman pemidanaan juga menentukan bahwa
hakim dapat menambahkan pertimbangan lain yang tercantum dalam
ketentuan pasal ini, dan bertujuan agar pidana yang dijatuhkan bersifat
proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun pelaku
tindak pidana.
163
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
1. Pidana Penjara.
Pidana ini merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan
orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di
dalam lembaga pemasyarakatan.13 Pidana ini berlaku dalam jangka waktu
seumur hidup atau dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, dikenal pula
adanya maksimum khusus dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat
maksimum ancaman pidananya, sedangkan untuk batas pemidanaan
yang paling rendah ditetapkan minimum umum. Minimum umum untuk
pidana penjara adalah satu hari. Minimum khusus dalam arti untuk tindak
pidana yang meresahkan masyarakat.
2. Pidana Tutupan.
Pidana ini yakni pidana yang dimaksudkan untuk mengganti pidana
penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku tindak
kejahatan atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah
dilakukan karena didorong oleh maksud yang patut dihormati.14 Pidana ini
merupakan pelaksanaan pidana penjara yang bersifat istimewa, sehingga
tidak tercantum dalam pasal dan pertimbangan penjatuhan pidana ini
didasarkan pada motif dari pembuat tindak pidana tindak pidana yaitu
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tindak pidana yang
dilakukan karena alasan ini pada dasarnya adalah tindak pidana politik.
11
Jan Remmelink, Hukum Pidana-Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 8.
12
Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya
Menurut Konsep KUHP Baru, USU Press, Medan, 2010, hlm. 13.
13
PAF Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm. 69.
14
Ibid, hlm. 147.
164
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
3. Pidana Pengawasan.
Pidana ini berlaku jika Terdakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pidana dijatuhkan
dengan jangka waktu paling lama tiga tahun dan dapat ditetapkan dengan
syarat-syarat tertentu.
4. Pidana Denda.
Pidana ini adalah pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar
oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan
minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah). Lalu pidana denda di RKUHP untuk orang sebagai pelaku
tindak pidana terdapat ketentuan kategori sebagai berikut:
a. kategori I Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah);
b. kategori II Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
c. kategori III Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
e. kategori V Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah);
dan
f. kategori VI Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Sedangkan untuk korporasi sebagai pelaku tindak pidana, pidana
denda paling sedikit untuk korporasi adalah pidana denda Kategori IV.
Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak
pidana yang diancam dengan:
a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima
belas) tahun adalah pidana denda Kategori V;
b. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori
VI.
Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam jangka
waktu sesuai dengan putusan hakim.
5. Pidana Kerja Sosial.
Pidana ini merupakan pidana pengganti untuk pidana penjara yang
akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak
lebih dari pidana denda Kategori I. Pelaksanaan pidana kerja sosial ini tidak
boleh dikomersialkan. Pidana ini paling singkat dalam jangka waktu tujuh
jam serta paling lama adalah dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa
yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas dan seratus dua puluh
jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Lalu berdasarkan Pasal 66 RKUHP, pidana mati menjadi pidana
pokok bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif dengan pidana
165
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
166
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
5. Adapun dikenalnya ”double track system” yakni sistem dua jalur artinya
pidana pokok dan tindakan dapat dijatuhkan bersama-sama. Hal
tersebut sama sekali tidak dikenal di KUHP.
Kesemua bentuk sanksi pidana di atas memang belum mencakup
bentuk sanksi pidana yang ada di luar KUHP, seperti pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti yang ada di dalam tindak pidana
korupsi atau bentuk sanksi pidana lainnya. Hal tersebut dapat teratasi
dengan model kebijakan kodifikasi terbuka. Model terbuka dalam RKUHP
dapat memberi kesempatan untuk pembentukan dan pengembangan
hukum pidana melalui undang-undang di luar kodifikasi. Pengaturan
model tersebut diperlukan karena terdapat beberapa kelebihan yaitu
bentuk sanksi pidana dapat diperbaharui secara rutin untuk merespon
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat baik dalam skala nasional
maupun internasional dengan berbagai modus operandinya. Akan tetapi,
mengingat bahwa sinkronisasi bentuk sanksi pidana juga harus diikuti
dengan perubahan hukum pidana formal serta hukum pelaksanaan
pidana, maka perlu dilakukan pembatasan sebagai berikut:
1. Adanya tambahan klausul “... bentuk sanksi pidana dapat dibentuk
berbeda dengan ketentuan ini, jika bentuk sanksi pidana itu sejalan
dengan tujuan pemidanaan yang diatur dalam undang-undang ini.”
2. Lalu pembentukan sanksi pidana baru (di luar bentuk sanksi pada Pasal
65 RKUHP) yang memberikan dampak perubahan besar bagi hukum
pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana hanya dapat dilakukan
dengan amandemen atau revisi dari peraturan kodifikasi. Misalnya
adalah pidana pokok berupa pidana kerja sosial. Bentuk pidana pokok
ini sangat berdampak pada perubahan hukum pidana formal, terutama
perubahan pada hukum pelaksanaan pidana sehingga hanya dapat
dibentuk melalui peraturan kodifikasi.
Sebaliknya, jika pembentukan sanksi pidana baru masih dapat
dijalankan dengan hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana
yang ada, maka baru dapat dibuat pada undang-undang di luar peraturan
kodifikasi. Contohnya adalah pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti yang ada di dalam tindak pidana korupsi. Bentuk pidana
tambahan ini tidak berdampak besar pada perubahan hukum pidana
formal dan hukum pelaksanaan pidana sehingga dapat dibentuk melalui
undang-undang di luar peraturan kodifikasi.
IV. Penutup.
Hakikatnya pemidanaan adalah hal penting dalam hukum pidana.
Tujuan pemidanaan dan bentuk sanksi pidana di dalam RKUHP,
perumusannya cukup memadai karena telah ada keseluruhan teori
Pemidanaan, baik yang bersifat pencegahan umum dan pencegahan khusus
167
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
168
“MEMAAFKAN TERPIDANA”
DALAM PARADIGMA NEGARA HUKUM
Oleh:
Dr. Mariyadi Faqih, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang – Jawa Timur)
I. Pendahuluan.
Terpidana merupakan bagian penting dan fundamental dari tujuan
hukum, khususnya hukum pidana. Seseorang bisa menjadi terpidana atau
narapidana, sejatinya adalah akibat rangkaian bekerjanya sistem yang
berhasil membuktikan kalau dirinya telah bersalah melakukan tindak
pidana. Ada yang bersalah melakukan tindak pidana ini karena unsur
kesengajaan, namun juga ada yang karena kealpaan.
Meski seseorang itu secara yuridis diputus bersalah (jahat), namun
ia juga tidak selalu menginginkan hidup yang dijalani tetap dalam ranah
kejahatannya. Hidup yang lebih baik, bermartabat, dan berkeadaban
tentulah menjadi keinginan normal setelah melakukan kesalahan atau
menjalani hidup dalam ketidakadaban.
Idealisme hidup dalam keadaban dan kedamaian itulah yang
sebenarnya dicita-citakan oleh norma yuridis. Penulis dan pakar hukum
Notohamidjojo menyatakan, bahwa tujuan hukum adalah mendatangkan
tatanan (keteraturan) dan kedamaian dalam masyarakat, mewujudkan
keadilan, dan menjaga supaya manusia diperlakukan sebagai manusia.
Orientasi itu pula yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno,
bahwa secara moral politik setidaknya ada empat alasan utama orang
menuntut agar negara diselenggarakan (dijalankan) berdasarkan atas
hukum yaitu: (1) kepastian hukum, (2) tuntutan perlakuan yang sama, (3)
legitimasi demokrasi, dan (4) tuntutan akal budi
Pemikiran tersebut menunjukkan, bahwa tujuan hukum, yang
merupakan payung idealitas secara spesifik tujuan hukum pidana, adalah
terkonstruksinya atmosfir kedamaian dan keadilan di tengah masyarakat,
di samping memperlakukan terpidana atau orang yang bersalah dalam
koridor sebagai subyek yang dimanusiakan.
Mariyadi, dkk, Meirndukan Hukum Populis, Visipres Media, Surabaya, 2012, hlm. 3-4.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1994, hlm. 295.
169
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
172
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
menjadi RUU KUHP 2008. Subatansi yang diubahnya dapat dibaca dalam
pasal 54 RUU KUHP 2008, yang berbunyi:
(1) Pemidanaan bertujuan: mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan asa damai dalam masyarakat,
membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan
terpidana;
(2) pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
“Memaafkan terpidana” sebagaimana konsep RUU KUHP tersebut
merupakan substansi pemidanaan yang memahami idealitas hukum
fundamental yang berprinsip memanusiakan manusia.Terpidana tidak
“dihakimi” sebagai sosok manusia yang “sudah tamat” dalam menjalani
kehidupannya, tetapi sebagai subyek sosial dan hukum yang berhak untuk
melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya secara manusiawi.
Riset Mohammad Furqon, dkk menyebutkan, bahwa dalam kasus
kejahatan kesusilaan dan badan (membahayakan dan merampas nyawa
orang), semakin terjadi pergeseran ke usia dini. Kalau para pelakunya
berusia dini, sementara ancaman pemidanaannya berupa sanksi hukuman
mati, maka bangsa ini akan terancam kelangkaan generasi. Beda jika
pemidanaannya memberikan kata “maaf”.
Pemberian kesempatan melalui jalan “memaafkan terpidana” juga
merupakan idealitas negara hukum, yang memang menempatkan manusia
sebagai unsur fundamental. Menurut Friedrich Julius Stahl, bahwa
negara hukum harus memenuhi (memiliki) empat unsur (elemen) yaitu:
(1) terjaminnya hak asasi manusia (HAM), (2) pembagian kekuasaan, (3)
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan (4)
peradilan tata usaha negara. Sedangkan beberapa unsur Negara hukum
juga unsur disebutkan oleh AV. Dicey adalah: (1) supremacy of law, (2)
equality before the law, dan (3) human rights.
Negara hukum “Rule of Law” untuk Republik Indonesia antara
lain harus mengacu pada Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila yang
menyebutkan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan
Mohammad Furqon, dkk, Hukuman Mati, Ancaman Serius Generasi, P3Hati-Pustaka Hikmah,
Jakarta, 2011, hlm. 22.
Fanny Tanuwijaya, Sunardi, Abdul Wahid, Op.Cit.
173
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
174
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
pula mutlak (absolut), langgeng dan merupakan hak yang tidak dapat
dipisahkan dari manusia. Rumusan-rumusan definisi ini sesuai dengan
definisi yang sudah bersifat universal sebagaimana yang tertuang dalam
Universal Declaration of Human Rights, yaitu those right are inherent in our
nature and without which we cannot live as human being.
Satjipto Raharjo berpendapat bahwa apabila kita dengar istilah hak-
hak asasi manusia mengartikan hak-hak yang melekat pada manusia
sebagai manusia, maka kita tidak boleh mengecualikan orang-orang atau
kelompok-kelompok manusia tertentu. Sudah melekat pada pengertian
hak-hak asasi manusia itu sendiri, bahwa hak-hak asasi manusia harus
dipahami dan dimengerti secara universal.
Pemahaman tentang HAM bermacam-macam. Ada yang menyebut,
bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang melekat dalam diri manusia.
Dasar pertimbangan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa manusia,
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas
mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan
penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-
Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan
martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;
175
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
176
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Daftar Pustaka.
A. Mansyur Effendi, Hak-hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1993.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2000.
Daud Hamidi, Ensiklopedi HAM (Dinamika Hak Asasi Manusia dari generasi
ke Generasi), Pusaka Bangsa, Jakarta, 2011
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1994.
Fanny Tanuwijaya, Sunardi, Abdul Wahid, Republik Kaum Tikus, Edsa
Mahkota, Jakarta, 2006.
Idham Khalid, Quo Vadis HAM di Indonesia, Lentera, Jakarta, 2011.
Mariyadi, dkk, Merindukan Hukum Populis, Visipres Media, Surabaya,
2012.
Mohammad Furqon, dkk, Hukuman Mati, Ancaman Serius Generasi, P3Hati-
Pustaka Hikmah, Jakarta, 2011.
Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum
Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Padjadjaran,
Alumni, Bandung, 1995.
Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak
Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak
Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI,
Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001.
177
KEBIJAKAN FORMULASI
NORMA HUKUM SANKSI PIDANA
BAGI JASA PENAGIH HUTANG
(DEBT COLLECTOR) DI INDONESIA
Oleh:
Masrudi Muchtar, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Achmad Yani – Banjarmasin -
Kalimantan Selatan)
I. Pendahuluan.
Kejahatan selain merupakan masalah kemanusian juga merupakan
permasalahan sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest sosial
problem. Menghadapi masalah ini telah banyak dilakukan upaya untuk
menanggulanginya. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan adalah
dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa
pidana.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada
pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Dilihat
sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan
apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan
dengan menggunakan sanksi pidana.
Salah satu kejahatan yang sedang eksis dimasyarakat Indonesia
namun belum ditanggulangi melalui suatu kebijakan hukum pidana yang
tepat adalah kejahatan yang dilakukan oleh Debt collector terhadap debitur
yang mengalami kredit macet.
Kasus kematian nasabah kartu kredit Citibank bernama Irzen Octa
diruang negosiasi kantor Citibank Cabang Menara Jamsostek Jakarta
29 Maret 2011 yang lalu, membuka polemik dimasyarakat mengenai
keberadaan jasa Debt collector selama ini. Sebelum kasus kematian Irzen
Octa mencuat kepermukaan, banyak kasus yang menimpa nasabah
pengguna kartu kredit yang mengalami kredit macet diperlakukan secara
Benedict A. Alper dalam Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung:
Nusa Media, 2010), hlm. 20.
Gene Kassebaum, Delinguency And Social Policy, (London: Prentice Hall, Inc., 1974), Hal. 93.
Dalam Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Ibid. hlm. 20.
178
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
II. Konstruksi Norma Hukum Sanksi Pidana yang Tepat bagi Debt
Collector di Indonesia.
Adapun bentuk sanksi pidana yang diusulkan sebagai sanksi pidana
terhadap Debt collector adalah sebagai berikut:
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Masrudi Muchtar, Debt Collector Dalam Optik Kebijakan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2013), hlm. 150.
179
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
180
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
terhadap korban dan keluarga korban tindak pidana. Pidana denda dapat
dijatuhkan terhadap Debt collector secara alternatif. Sebagai contoh Apabila
Debt collector dalam melakukan penagihan hutang terhadap debitur
Menyerang kehormatan atau nama baik debitur melalui lisan atau tulisan,
dengan maksud debitur melunasi hutangnya kepada kreditur.Berkaitan
dengan hal ini sanksi pidana dapat dijatuhkan secara alternatif (pidana
penjara atau denda).
Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana pokok berupa Pembayaran ganti kerugian dan Pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian diancamkan
kepada Debt collector yang melakukan tindak pidana dalam penagihan
hutang terhadap debitur dengan kesengajaan. Pembayaran ganti kerugian
harus sebanding dengan dampak tindak pidana terhadap korban.
Pidana tambahan berupa Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/
atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dapat
dijatuhkan dalam hal akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Debt
collector menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Pengancaman pidana pokok, pidana tambahan bagi korporasi
disesuaikan dengan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi.
Beberapa katagori pertanggungjawaban pidana korporasi adalah sebagai
berikut:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Sepanjang pengurus atau wakil yang ditunjuk untuk dan atas
nama korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana maka dasar
pertanggungjawaban pidana adalah adanya unsur kesengajaan. Berkaitan
dengan hal tersebut maka sanksi pidana yang diancamkan sebanding
dengan sanksi pidana bagi subjek hukum orang perorangan (natuurlijke
person).
Khusus korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana maka
sanksi pidana yang dapat diancamkan adalah pidana denda, sedangkan
pidana tambahan yang diancamkan dapat berupa Perbaikan akibat tindak
pidana, Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana,
Pencabutan izin usaha, Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan, Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi. Pilihan
untuk menetapkan tindakan tertentu bagi pelaku tindak pidana yang
181
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
III. Dasar Yuridis dan Teoritis Konstruksi Norma Hukum Sanksi bagi
Debt Collector di Indonesia.
182
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
183
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
184
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
alternative atau kumulatif dengan tujuan adanya pilihan bagi hakim untuk
memilih tindakan yang tepat bagi korporasi yang bergerak di bidang
pelayanan jasa penagihan hutang yang melakukan tindak pidana terhadap
debitur
Perumusan sanksi pidana yang tepat bagi Debt collector juga harus
didasarkan pada ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan
masyarakat umum dan kepentingan individu; ide keseimbangan antara
pidana yang berorientasi pada pelaku/ ”offender” (individulalisasi pidana)
dan “victim” (korban); dan ide mendahulukan/mengutamakan keadilan
dari kepastian hukum.
185
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
186
POLITIK HUKUM PIDANA INDONESIA,
MENUJU PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA YANG BERBASIS
PADA PANCASILA
Oleh:
Mokhammad Najih, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang – Jawa
Timur)
I. Pendahuluan.
Mempunyai Hukum Pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional
adalah sebuah mimpi yang hingga hari ini belum menjadi nyata. Telah
panjang perjalanan para intelektual hukum pidana hingga bergenerasi
masih belum ampu menjelmakan sebuah cita-cita yang hendak
membebaskan dari cengkeraman kuku-kuku hukum produk kolonialisme.
Hal ini disebabkan oleh politik hukum penyelenggara negara yang tidak
konsisten berkomitmen menyelesaikannya, sejak rezim Orde Lama, Orde
Baru mahupun Orde Reformasi saat ini.
Melihat sejarah pembentukan RUU KUHP sampai tahun 2012, tidak
dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh.
Usaha ini baru dimulai sejak adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum
Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan
agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin
Lihat Mardjono Reksodiputro, 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi
UI, Jakarta, halaman 13-15 , bahkan dijelaskan oleh beliau juga bahwa pemerintah secara serius
membentuk tim untuk menyusun RUU KUHP baru sejak tahun 1981/1982 (35 tahun setelah merdeka).
Para ahli yang masuk dalam tim tersebut antara lain, Prof. R. Sudarto, Prof. Oemar Seno Adji, Prof.
Mr. Reslan Saleh, termasuk Prof Mardjono Reksodiputro sendiri (sebagai pakar-pakar peletak dasar
pembaharuan KUHP), selain itu ada Prof. J.E Saehatpy, Prof. Muladi, Prof. Barda Nawawi Arief,
Prof. Romli Atmasasmita dan sebagainya. Namun Konsep ke-1 baru dapat diserahkan pada tanggal
13 Maret 1993, sayang sekali Konsep-ke1 (RUU KUHP 1993) pada masa menteri Oetojo Oesman
terlupakan begitu saja. Baru kemudian pada masa tugas Menteri Kehakiman Muladi dan kemduian
Menetri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra di bahas kembali. Tahun 1999-2000 terbit Konsep ke-2
dan kemudian tahun 2004 terbit Konsep ke-3,. Kemudian setahu penulis pada tahun 2007/2008
lahir Konsep-ke4 dan terakhir tahun 2012 lahir RUU KUHP Konsep ke-5. Setelah lebih kurang 32
tahun pergumulan pemikiran pembaharuan hukum pidana telah mengalami dinamika yang luar biasa,
mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat. Pertanyaan yang mengemuka adalah aApakah
konsep-konsep itu akan terus berkembang? Dan kapan KUHP Nasional yang baru itu segera wujud??.
Lihat juga Mardjono Reksodiputro. 2009. Menyelaraskan Pembaharuan Hukum. KHN Jakarta. Hlm.
33-34.
187
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
188
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
189
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Menurut Salman Luthan dan Muladi ada beberapa faktor yang dapat
menjadi alasan dilakukannya pembaharuan hukum pidana;
1. Hukum pidana yang sudah ada sudah tidak bersesuaian dengan
perkembangan sosial dan keperluan masyarakat yang berkenaan.
Hukum dan Undang-undang itu tidak lagi relevan dengan keadaan
sosial masyarakat yang hendak diaturnya, umpamanya dengan
wujudnya kejahatan baru;
2. Sebahagian ketentuan dalam hukum pidana yang sedia ada, tidak sejalan
dengan idea pembaharuan/reformasi yang membawa pada nilai-nilai
hak asasi manusia, nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, demokrasi dan
nilai moral yang berkembang di masyarakat;
3. Bahwa pelekasanaan penegakan hukum pidana yang sedia ada
mewujudkan ketidakadilan (unjustice) dan bahkan merusak hak asasi
manusia;
4. Hukum dan Undang-undang pidana yang sedia ada sudah tidak
bisa mengawal dan mengendalikan keamanan dan ketertiban
masyarakatnya;
Seterusnya dikemukakan juga oleh Muladi bahawa, politik hukum
pidana dan pembaharuan hukum pidana harus tetap berasaskan kepada tiga
inti dan subtansi utama undang-undang pidana; pertama, merumuskan dan
menentukan kelakuan atau perbuatan yang disebut sebagai pidana; kedua,
menentukan bentuk unsur tindak pidana dan pertanggungjawabannya;
dan ketiga, menentukan bentuk atau macam hukuman yang dapat diberikan
kepada sesiapa yang melakukan kesalahan tersebut.
Sebagaimana di rujuk oleh Barda Nawawi Arif, Marc Ancel (1965)
pernah menyatakan bahawa dalam modern criminal science, terdapat
tiga komponen kajian utama dalam hukum pidana, iaitu; “Criminology”,
“Criminal Law” and “Penal Policy”. Maka untuk mewujudkan hukum pidana
yang baik, berkemajuan dan realistik maka diperlukan kerjasama yang
terpadu antara ilmuwan (scholar) dengan praktisi hukum (practitioners),
antara pakar tentang kejahatan (criminologist) dengan advocad/peguam
(lawyers), sehingga dapat disatukannya gagasan-gagasan pencegahan
kejahatanh dengan idea-idea teknik perundangan dalam proses
perancangan hukum pidana.
Lihat, Salman Luthan, ”Kebijakan kriminalisasi dalam reformasi hukum pidana”, dalam Jurnal
Hukum No. 11 Vol. 6 tahun 1999. Yogjakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ms. 1-
12 dan Muladi, Proyeksi hukum pidana meteriil pada masa yang akan datang. Sarahan perdana
penganugrahan gelar profesor dalam undang-undang jenayah di Fakiltas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, 27 April 1990.
Lihat Barda Nawawi Arif, 2005, Bunga rampai kebijakan hukum pidana, (Cetakan ke-III),
Bandung: Citra Aditya Bakti, halaman 21, merujuk kepada Marc Ancel, 1965, Social defence, a
modern approach to criminal problem, London: Routledge & Kegan Paul, p. 4-5.
190
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Dalam pada itu Marc Ancel juga memberikan pengertian “penal policy”
sebagai suatu ilmu sekali gus seni yang bertujuan untuk memungkinkan
peraturan-perundangan dalam hukum pidana dirumuskan secara lebih
baik dan berkembang maju (progresive), sehingga tidak hanya memberikan
panduan kepada para pembentuk hukum, tetapi juga kepada penegak
hukum yang melaksanakan perundangan berkenaan10. Sejalan dengan itu
Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai politik hukum pidana
(criminal policy), yaitu:
1. Dalam arti sempit, keseluruhan asas/prinsip dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa
penghakiman;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari para penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari peradilan dan pihak polisi;
3. Dalam arti paling luas (diambil dari pandangan Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui undang-undang dan
badan-badan rasmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.11
Dengan demikian secara ringkas boleh dikatakan bahawa politik
hukum pidana (penal policy/ criminal law policy/strafrechtpolitiek) dapat
diertikan sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan perundangan
pidana yang sesuai dengan keadaan semasa dan untuk perbaikan undang-
undang di masa depan, sesuai dengan kaedah keadilan dan nilai manfaat
bagi masyarakat dan negara.12
Sejalan dengan itu Peter Hoefnagels13 mengemukakan bahawa “criminal
policy is the rational organization of the social reaction to crime”, (politik hukum
pidana adalah bentuk reaksi sosial terhadap kejahatan yang terorganisasi
secara rasional), dan beberapa istilah lain yang dikemukakannya seperti
berikut:
1. Politik hukum pidana merupakan ilmu tindak balas atau reaksi
terhadap kejahatan (Criminal policy is the sciences of responses);
2. Politik hukum pidana merupakan ilmu pencegahan kejahatan (Criminal
policy is the sciences of crime prevention);
3. Politik hukum pidana merupakan sesebuah kebijakan yang
mengkonstruksi/mendesain perbuatan manusia yang bagaimana
sebagai kejahatan (Criminal policy is a policy of designating human behavior
10
Lihat Barda Nawawi Arif, 2005, hlm. 21.
11
Lihat Sudarto, 1981a, halaman 161; lihat juga dalam Sudarto, 1981b, Kapita selekta hukum
pidana, Bandung: Alumni, 113-114; lihat pula dalam Dwija Prijatno, 2004, Kebijakan legislasi tentang
sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, Bandung : Utomo, halaman 140-141; lihat
dalam Barda Nawawi Arif, 2005, hlm. 1;
12
Lihat Al. Wisnubroto, 1999, Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan penyalahgunaan
komputer, Yogjakarta: Universitas Atmajaya, hlm. 11.
13
Lihat dalam Barda Nawawi Arif, 2005, hlm. 2-3.
191
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
as crime; dan
4. Politik hukum pidana merupakan sebuah reaksi yang rasional dan
menyeluruh ke atas tindak kejahatan (Criminal policy is a rational total of
the responses to crime).
Sedangkan A. Mulder, menyebut politik hukum pidana sebagai
“strafrechtspoliitiek” yang bermaksud sebagai garis panduan untuk
menentukan ; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang sedang
berkuat kuasa itu perlu diubahsuai atau diperbaharui; (2) apa yang boleh
dilakukan untuk mencegah berlakunya tindakan jahat; (3) menentukan
cara atau prosedur penghakiman dan melaksanakan hukuman oleh kuasa
penghakiman14.
Kemudian Ifdal Kasim mengertikan politik hukum pidana sebagai
suatu kebijakan, baik untuk memberikan penilaian ke atas suatu kelakuan
manusia sebagai kelakuan jahat atau bukan jahat; yang disebut melakukan
kriminalisasi (criminalization) maupun dekriminalisasi (decriminalization)
terhadap suatu kelakuan atau perbuatan15. Dalam kaitan ini, tersabut
persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu kelakuan ditentukan sama ada
sebagai perbuatan kejahatan atau bukan, dan pemilihan antara pelbagai
alternatif yang ada, mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum
pidana di masa yang akan datang. Dengan demikian negara diberikan kuasa
merumuskan dan menentukan kelakuan yang dinilai dan dikategorikan
sebagai kelakuan jahat dan merumuskan bentuk tindakan penghakiman
yang dapat diberikan kepada siapa saja yang perbuatannya memenuhi
ketentuan perundangan berkenaan16.
Apabila Mardjono Reksodiputro (Ketua tim RUU KUHP Nasional
1987-1993), menyatakan bahawa pendekatan kelompok kerja dalam
mengamalkan kriminalisasi dan de-kriminalisasi adalah mencari sintesis
antara tiga hak, iaitu hak-hak yang bersifat individual (sivil liberties), hak-
hak masyarakat (communal rights), serta menjaga kepentingan politik
negara (State’s policy). Persoalan yang berlaku ialah, apakah mudah
menyeimbangkan tiga domain berkenaan. Oleh kerana, kegagalan menjaga
keseimbangan terhadap ketiga kepentingan tersebut (individu, masyarakat
dan negara) akan menjejaskan dasar perundangan yang dibuat, dan sangat
14
Lihat Barda Nawawi Arief, 2005, halaman 25-26 yang merujuk kepada A Mulder, 1980,
”Strafrechtspolitiek” dalam Delikt en Delinkwent, edisi Mei 1980, hlm. 333.
15
Lihat Ifdal Kasim, 2005, ”Kearah mana pembaruan KUHP?: Tinjaun kritis atas RUU KUHP”
dalam Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 7, Jakarta: ELSAM, hlm. 4.
16
Criminalization diertikan sebagai penjenayahan (menilai suatu kelakuan sebagai jenayah),
iaitu suatu proses yang dilakukan oleh kuasa perundangan untuk menilai dan menentukan suatu
kelakuan yang semula bukan sebagai kelakuan jenayah dan menyalahi undang-undang kemudian
ditentukan sebagai kelakukan jenayah dengan menenukan kadar hukumannya dan sesiapa yang
melakukannya boleh dibicarakan di mahkamah. Demikian sebaliknya decriminalization diartikan
sebagai suatu proses menilai dan menentukan suatu kelakuan yang semua sebagai jenayah dan
bagi pelakuknya boleh dibicarakan di mahkamah, berubah tidak lagi sebagai kelakuan jenayah. (lihat
Wright-Miller, dalam Insikolopedia of Criminology Vol. I ,2003 dan McLaughlin-Muncie, The sage
dictionary of criminologi, Sage Publication, London, 2002 ).
192
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Rajah 2.4. Rekabentuk perumusan Dasar Perundangan menuju Dasar Perundangan Jenayah
PERLEMBAGAAN /
KONSTITUSI
NEGARA Macam
Perbuatan
Jenayah
SOCIAL POLICY
Social Welfare Policy
POLITIK HUKUM Social Defense Policy
Dari matrik 1.1 dapat dijelaskan bawa secara umum politik hukum
(LEGAL POLICY)
luas dan menyeluruh dari semua segi kehidupan itu, sangatPenguatkua dipengaruhi
Jenayah Pecah
Amanah;
Jenayah
oleh ideologi
DASAR
PERUNDANGAN
politik yang menguasai pemerintahan. Jadi politik saan oleh
Keselamatan
Negara;
hukum
pidana adalah bagian kecil dari rancangan pelaksanaan strategi Sistem
Jenayah
Keadilan
Rasuah; politik
Objektif :
Bidang/Sektoral Perumusan: Bidang/ Perkara Jenayah
dan program
Ekonomi; pembangunan
Interpretasi;
Legalitimasi;
suatu pemerintahan negara. Dari
Jenayah dadah
(Polis,
konsep
Keselamatan
Masyarakat
Politik;
inilah Pendidikan
dapatdan ditelaah dan Legislasi;
dikaji
Bentuk dan isi;
bagaimana
Undang-Undang
Jenayah;
hubungan ideologi
Peguam
Negara,
politik
dan Negara;
Wujudnya
Pengajaran;
yang menguasai
Luar Negara; pemerintahan, kaitannya Kriminalisasi; dengan pelaksanaan
Dekriminalisasi; Penjara; asas-asas
Mahkamah, Masyarakat
yang damai,
Keselamatan; Asas – Filosofi; aman sejahtera
dasar Sistem
danKeadilanprinsip-prinsip negara yang telah dikuatkuasakan melalui
Agensi
Asas – Yuridis; Penalisasi; Konun kerajaan:
Jenayah; Asas – Sosiologis; Prosedur Jenayah; Jenayah; BPR.
konstitusinya
Pentadbiran Awam;.
Mahkamah;
18 Asas – Historis;
Asas – Gramatikal
Crime Control;
Agensi-Agensi
Akta
Jenayah
AADN
dsb.)
Asas – Manfaat Pelaksana; (Akta
Dan seumpamanya
Lebih lanjut secaraAsas
lebih rinci, berikut dalam matrik 1.2 tentang, akan
- Tujuan Dadah,
Akata
Rasuah)
diterangkan mengenai gambaran ruang lingkup politik hukum pidana,
serta kedudukannya dalam politik hukum nasional.
Rajah 2.5. Sekema Kedudukan Politik Hukum Pidana dalam Poitik Hukum
SOCIAL POLICY
Social Welfare Policy
POLITIK HUKUM Social Defense Policy
(LEGAL POLICY)
Law Enforcement
Policy
LEGISLATIVE
POLICY
PERATURAN
PERUNDANGAN LEGISLATIVE
DRAFTING
194
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
195
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
196
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
197
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
lain mengenai: perkawinan dan waris, haji, zakat, waqaf, dan beberapa
ketentuan mu’amalah lainnya. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 secara tegas
menyatakan bahwa ”negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia...”.
198
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
yang ada dalam kenyataan sosial tetap menjadi sumber hukum yang dicita-
citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang
baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-
undangan yang baru, meskipun penguasanya berbeda aliran politiknya.
23
Muladi. “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Medatang”. Pidato pengukuhan
guru besar Hukum Pidana. Universitas Diponegoro, Semarang. 1990, hlm. 8-29.
199
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
200
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Sejalan dengan itu, maka fasal 5-nya diatur mengenai asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, ada 7 asas; (1). Asas kejelasan tujuan; (2)
asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (3) asas kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan; (4) asas dapat dilaksanakan; (5)
asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; (6) asas kejelasan rumusan; dan (7)
asas keterbukaan; mangat ini kemudian dalam fasal 6 UUP3U 2011 diatur
mengenai asas-asas umum pembentukan peraturan perundangan.
Selain itu di dalam pembukaan (preambule) UUDRI 1945, tesirat
beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan panduan dalam pelaksanaan
pembangunan bangsa, termasuk di-implementasikan dalam membentuk
peraturan-perundang-undangan, diantaranya sebagai berikut.27
201
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
jaminan untuk memperoleh hak dan perlakuan yang adil dalam status sosial
dan ekonomi khususnya. Namun dalam penerapanya seperti kita ketahui
bersama banyak sekali diskriminasi dan ketimpangan – ketimpangan dalm
berbagai hal, penyebabnya tidak lain adalah status sosial dan kekuasaan,
artinya jaminan kesejahteraan seolah – olah justru menjadi alasan utama
bagi golongan yang memiliki kedudukan tinggi untuk mendapatkan
berbagai tunjangan dengan berbagai alasan.
Sedangkan dalam bentuk lembaga pokok pikiran yang kedua ini
terlihat dengan adanya departemen sosial yang bertugas menyelesaikan
berbagai permasalahan sosial, sedangkan dalam bidang legislatif tercermin
dalam setiap putusan hakim selalu memuat klausul “ demi keadilan
berdasarkan ketuhanan yang maha esa”
IV.4. Pokok Pikiran yang Keempat; Ketuhanan yang Maha Esa dan
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Pasal 29 ayat (1) UUDRI 1945 menyatakan; “ Negara berdasarkan atas
Ketuhanan yang Maha Esa “ dari ketentuan tersebut mengandung maksud
bahwa, Indonesia merupakan negara yang menghendaki dan mengakui
warga masyarakatnya beragama dalam artia luas. Maknanya bahwa
negara melindungi dan menerima sistem nilai yang hidup dan bersumber
dari berbagai macan agama yang berbeda-beda. Meskipun mayoritas
masyarakatnya beragama Islam namun bukan bukan berarti negara hanya
melindungi agama mayoritas saja, sebagaimana diatur dan ditegaskan
dalam pasal 29 ayat (2) “ Negara menjamin kemerdekanan tiap – tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaanya itu “.
28
Lihat lebih jauh dalam Budiardjo, Miriam.1994. Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Gramedia, dan
Huntington, Samuel P. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rajawali.
202
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
203
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
3. Nilai Persatuan.
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna, bahwa keragaman
harus diterima sebagai realitas nasional yang tidak bisa ditolak oleh
bangsa Indonesia. Bahwa dalam nasionalisme kebangsaan Indonesia
itu digerakkan oleh kebhinekaan. Tidak boleh dikembangkan sikap
mayoritas mengatasi yang minoritas, demikian sebaliknya. Persamaan
hak dan kewajipan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dipersatukan dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia.
Nilai ini juga bermakna bahwa keragaman itu harus dilebur menjadi
tata nilai nasional yang dimiliki bangsa indonesia.
4. Nilai Kerakyatan.
Nilai dalam sila ke-4 ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan’, menegaskan
bahwa persatuan bangsa Indonesia mesti dikelola dengan sistem
demokrasi yang khas Indonesia. Bahwa tata nilai demokrasi Indoensia
lebih mendahulukan permusyawaratan, melalui wakil-wakil yang
terpilih secara demokratis. Masyarakat diberikan kesempatan untuk
terlibat secara terbuka dalam alam demokrasi yang dipandu oleh sistem
nilai Indoensia. Hal ini mengandung makna juga suatu pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dijalankan dengan cara
musyawarah mufakat melalui lembaga lembaga perwakilan.
5. Nilai Keadilan.
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung
makna bahwa keadilan sebagai dasar sekaligus tujuan. Bahwa nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan dan nilai kerakyatan/
demokrasi menjadi panduan untuk menciptakan tata keadilan sosial.
Nilai keadilan sosial menjadi tujuan yang hendak dicapai dengan
melaksanakan nilai-nilai yang sebelumnya. Dengan pencapaian itu
maka tujuan nasional bisa diwujudkan, yaitu tercapainya masyarakat
Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atau batiniah.
Adapun konsepnya secara epistemologinya29 adalah sebagai berikut,
bahwa nilai Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan
dengan cahaya dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang
bersudut lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata Negara, yaitu
ilmu perundang-undangan saat ini realitas semiotika hukumnya adalah
diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian, dan
29
Uraian konsep epistemologi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum diadopsi
dari tulisan Turiman Fatchurrahman Nur. 2013. “Pancasila Sebagai Sumber segala Sumber Hukum
Negara dan Hirarki Peraturanp Perundang-undangan Berdasarkan UU No. 12/2011”; tersedia dalam
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2013/06/pancasila-sebagai-sumber-segala sumber
hukum. html [diakses, 17 Oktober 2013].
204
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
205
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
206
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
207
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
adalah menjaga dan memelihara tingkah laku warga negara agak tidak
berbuat jahat dan amoral. Dalam bagian ini penulis ingin memberikan
uraian tentang bagaimana rumusan tujuan hukum pidana nasional itu
dibentuk, sebagai upaya untuk mengimplementasikan Pancasila sebagai
sumber hukum; Bahwa tujuan hukum pidana nasional mesti merangkumi
beberapa tujuan berikut ini;
1. Hukum pidana nasional bertujuan untuk melindungi prinsip Ketuhanan dan
Agama yang hidup di Indoensia. Jadi semua tata nilai yang bersumber dari
ajaran agama dan yang dipercaya oleh masyarakat Indoensia mendapat
tempat dalam hukum pidana; Dengan demikian maka norma-norma
yang diatur dalam hukum pidana harus mengatur perintah atau
larangan yang tidak boleh bertentangan dengan sistem kepercayaan/
Agama yang diakui di Indonesia. Seperti mendahulukan asas manfaat
daripada kemudaratan., Mendahulukan keadilan daripada kepastian
hukum, dan semacamnya.
2. Hukum pidana nasional bertujuan untuk melindungi jiwa dan raga manusia
Indoensia. Bahwa tujuan pengaturan norma-norma hukum dalam
hukum pidana nasional harus memperhatikan jiwa dan raga manusia.
Dalam sila kedua Pancasila, melahirkan prinsip-prinsip kemanusianan.
Maka perumusan norma perbutan yang dilarang dan atau diperintah
oleh hukum pidana untuk melindungi jiwa dan raga manusia.
Termasuk di dalamnya adalah norma mengenai penghukuman, juga
memperhatikan prinsip kemanusiaan. Prinsip perlindungan ini bukan
bermaksud juga membiarkan manusia menjalankan hak hidupnya
dengan sebebas-bebasnya.
3. Hukum Pidana Nasional bertujuan untuk melindungi akal manusia Indoensia.
Bahwa pembentukan hukum pidana, mesti dapat melindungi daya
kreatifitas, daya nalar/fikir. Meskipun hukum pidana tidak boleh
menjamin manusia dapat bertindak dengan sebebas-bebasnya juga,
bukan pula bermaksud hukum pidana menyekat kemerdekaan
kretaifitas manusia. Maka norma-norma yang berkaitan dengan
perlindungan kretaifitas manusia, harus tetap bersandar pada nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila itu.
4. Hukum Pidana nasional juga bertujuan untuk melindungi keturunan
(regenerasi manusia/bangsa Indonesia); bahwa dalam merumuskan
perbuatan sebagai tindak pidana (straafmaat), merumuskan bentuk
hukuman, harus dapat memastikan bahwa aspek perlindungan
kehormatan regenerasi bangsa Indonesia mematuhi tata nilai agama.
Seperti, hukum pidana nasional harus menjamin perlindungan
terhadap lembaga perkahwinan, lembaga keluarga, tata pergaulan
itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
208
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
209
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
210
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
211
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
VI. Penutup.
Artikel singkat ini, masih bersifat eksploratif, sehingga masih perlu
pendalaman dan kajian lebih lanjut, pada aspek penggalain sistem nilai
yang secara teknis dapat disandingkan dengan sistem norma yang hendak
dibentuk dalam hukum pidana materiil mahupun formil. Pada bagian akhir
artikel ini, penulis ingin mengakhiri dengan mengemukakan beberapa
pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tema ini; Apakah
212
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Sumber Rujukan.
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia! (Telaah atas RUU
KUHP Tahun 2004) dalam SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November
2006, halaman 1-22
Al Marsudi Subandi H. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi.
Jakarta : Rajawali Pers. 2003.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Prenada Media Group, Jakarta,
2011
Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi
Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan
RI”, Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006.
Kelsen, Hans “General Theory of Law and State” Terjemah oleh Anderes
Wedberg, Russell, New York, 1973
K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, Ghalia Indonesia,
Jakarta. 1980.
Kusnardi Moh, Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
213
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Bahan Internet :
http://www.bphn.go.id/data/documents/politik_hukum_pidana_
dalam_sistem_hukum_nasional_revisi.ppt.
http://www.isomwebs.net/2011/10/makalah-pancasila-sebagai-
sumber-hukum-indonesia/
http://www:journal.undiksha.ac.id/index.php/MKFIS/article/
view/467.
http://mastergocapricorn.blogspot.com/2011/12/pancasila-sebagai-
sumber-dari-segala.html#CKDvxi3VoWHk1oIM.99.
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2013/06/pancasila-
sebagai-sumber-segala-sumber_23.html.
214
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DI INDONESIA MENUJU HUKUM
PELAKSANAAN PIDANA
BERDASARKAN PANCASILA
Oleh:
Dr. Mompang Lycurgus Panggabean, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia – DKI Jakarta)
I. Pendahuluan.
Masalah pidana dan pemidanaan terus menerus dibahas di berbagai
belahan dunia pada jamannya masing-masing, sebab sama halnya dengan
pemahaman secara sosiologis tentang kejahatan yang merupakan akibat
dari suatu pelanggaran hukum yang dirasakan memiliki dampak hukum
berupa pemidanaan, pemahaman mengenai pidana dan pemidanaan pun
berkembang sesuai dengan tempat dan waktu (locus dan tempus).
Perkembangan pidana dan pemidanaan dalam dunia hukum tak
dapat dipisahkan dari hakikat pidana sebagai penderitaan yang dikenakan
oleh negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, yang dalam
penerapannya dapat bersinggungan dengan hak asasi manusia. Namun
bukan hanya menyangkut kriteria pengancaman dan penjatuhan suatu
jenis sanksi pidana dalam rangka pembalasan, dan perlindungan serta
pengayoman masyarakat, tetapi pemikiran tentang pidana dan pemidanaan
juga berkembang ke arah pencapaian berbagai tujuan pemidanaan modern.
Jika pada mulanya, pidana dikenakan demi pembalasan semata, maka
sejalan dengan perkembangan jaman, terjadi perubahan ke arah perbaikan
pelanggar hukum melalui berbagai sanksi pidana.
Pesatnya kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan akibat
globalisasi turut mewarnai corak pidana dan pemidanaan di suatu negara,
hal mana ditandai oleh adanya pengaruh interaksi antarnegara dan antara
suatu negara dengan organisasi-organisasi dunia sebagai bagian dari
pergaulan dunia. Semua itu semakin menguatkan pendapat bahwa hukum
pidana suatu bangsa merupakan cermin peradaban suatu bangsa tersebut
atau indikasi dari peradaban bangsa itu (a mirror of civilization of a nation).
Masalah pengancaman dan penjatuhan pidana tidak dapat dilihat
hanya sekadar persoalan pembuatan dan penerapan aturan hukum, tetapi
Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 108.
215
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
216
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
217
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
218
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
219
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Ancel yang menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari tiga
komponen, yaitu criminology, criminal law, dan penal policy. Penal policy
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan. Pada hakikatnya, masalah kebijakan hukum pidana bukanlah
semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan
secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan
yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan
yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan
komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari
berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan
sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.13
Melihat maknanya yang demikian, maka menjalankan politik
hukum pidana juga berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan dayaguna.14 Oleh karena itu, melaksanakan politik
hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa yang akan datang.15 Sejalan dengan itu, maka
pemikiran tentang politik hukum pelaksanaan pidana juga penting untuk
dikemukakan dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan
pelaksanaan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi mendatang
dalam dinamika perkembangan masyarakat khususnya dalam menunjang
hukum pidana materiel dan hukum pidana formal sebagai salah satu
sarana penanggulangan kejahatan.
Sudarto mengatakan bahwa undang-undang pidana tidak dapat
beroperasi dengan sendirinya. Hukum hanya dapat beroperasi melalui
orang. Untuk ini dibutuhkan peraturan-peraturan yang memungkinkan
undang-undang pidana itu dilaksanakan. Ini bukan hal baru. Memang bukan,
akan tetapi bagaimanakah keadaan dalam hukum positif Indonesia? Yang
dimaksud tidak hanya mengenai hukum acara pidana (Strafverfahrensrecht)
saja, tetapi juga apa yang disebut “hukum pelaksanaan pidana” (Strafvol
220
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
221
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
19
Herbert L. Packer menyatakan bahwa “Some people argue that we ought never subject
lawbreakres to criminal punishment. Such punishment, they say, is a vestige of our savage past
that we ought to abandon in favor of more benign measures of social control, measures that do not
involve us in cruelty to our fellow man.” Vide: Herbert L. Packer. The Limits of the Criminal Sanction.
California: Stanford University Press, 1988, p. 3.
20
Barda Nawawi Arief, “Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia,”
dalam Komisi Yudisial Republik Indonesia, Potret Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Komisi
Yudisial Republik Indonesia, 2009, hlm. 194, 195.
21
Ibid.
22
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Yogyakarta:
Yayasan Penerbit Gadjah Mada, 1970, hlm. 17.
222
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
223
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
224
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
225
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
226
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Nama Negara
B o s n i a -
Harzegovina
Montenegro
Macedonia
Norwegia
No Hal-hal yang diatur
Tajikistan
Sarajevo
Islandia
Kosovo
Latvia
Serbia
31
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional. Jakarta: CV Karya
Dunia Fikir, 1996, hlm. 67-69.
32
Mompang L. Panggabean, Kebijakan Legislatif dalam Hukum Pelaksanaan di Indonesia.
Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm. 439, 440.
227
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
9 Pengawasan dalam
lembaga kerja p p p p p p p p p p
10 Pelaksanaan pidana
penjara p p p p p p p p p p
11 Bantuan setelah
selesai menjalani p p p p p p p p p
pidana
12 Hal-hal yang
dilaku-kan apabila
narapidana p p p p
meninggal dunia
13 Pelaksanaan pidana
denda p p p p p p p p p
14 Tindakan alternatif p p p p p p p p p
15 Tindakan keamanan:
pengobatan
kejiwaan, p p p p p p p p p
pengobatan alkohol
16 Sanksi pidana dan
tindakan edukatif
terhadap anak/ p p p p p p p p p
remaja
17 Pelaksanaan
tindakan disipliner p p p p p p p p p
18 Pengawasan oleh
orang tua p p p p p
19 Sanksi pidana bagi
korporasi p
20 Sanksi terhadap
pelanggaran ringan p p p p p p p
21 Kerja sama
internasional p p p p p p p p
228
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Hukum pelaksanaan pidana yang ada hingga kini bukan hanya produk
legislatif dalam arti sempit, yakni DPR dan pemerintah, tetapi ada yang
merupakan warisan kolonial Belanda yaitu yang diatur dalam KUHP, juga
legislatif pada masa Orde Lama, dan bahkan hingga lembaga eksekutif,
dalam hal ini Menteri Kehakiman (atau Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia). Namun mencari makna yang tersimpan di balik rumusan suatu
peraturan perundang-undangan tidaklah mudah, sebab aparat penegak
hukum (baca: aparat pelaksana hukum pelaksanaan pidana) akan membuat
penilaian berdasarkan logika yang dimilikinya dalam menerapkan suatu
ketentuan yang ada. Padahal harus juga dipahami bahwa perkembangan
masyarakat sekarang demikian pesatnya sehingga timbul reaksi terhadap
sistem hukum yang berlaku pada masing-masing jamannya.
Hukum nasional33 adalah hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan,
asas, dan cita hukum suatu negara. Dalam hal ini sistem hukum nasional
Indonesia adalah kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibangun untuk mencapai tujuan negara yang bersumber dari
Pembukaan dan pasal-pasal yang terdapat di dalam UUD 1945, sebab di
dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 itulah terkandung tujuan
negara, dasar negara dan cita hukum negara Indonesia.34 Dengan demikian
maka Sistem Hukum Nasional Indonesia adalah sistem hukum yang
berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum, seperti
substansi, struktur dan budaya, sarana, peraturan perundang-undangan,
dan semua subunsur yang saling bergantung satu sama lain, bersumber
dari Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945.
III. Epilog.
Pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana mengandung makna:
suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana
yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan
sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Pembaharuan hukum pidana ini harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus
33
Soetandyo Wignyosoebroto, mendefinisikan Hukum Nasional sebagai hukum yang
kesahihan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara.
Nasionalisasi hukum kadang ditempuh dengan cara unifikasi dan kodifikasi hukum yang acapkali
amat berkesan mengingkari eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional. Vide: Soetandyo
Wignyosoebroto dalam Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam dan
Huma, 2002, hlm. 301-302.
34
Mahfud M.D., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional,” Makalah pada
Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: BPHN, 29-31
Mei 2006, hlm. 6.
229
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Kepustakaan.
Bachrudin, Pidana Tutupan: Latar Belakang Pembentukan, Penerapan dan
Prospeksinya dalam KUHP Baru, tesis. Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1992.
Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum. Perspektif Ilmu-ilmu Sosial
(diterjemahkan dari: The Legal System. A Social Science Perspective,
oleh: M. Khozim), Bandung: Nusa Media, 2011.
Gosita, Arif, Viktimologi dan KUHAP yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak
Korban. Jakarta: Akademika Pressindo, 1987.
Hamzah, Andi, Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1995
-----, “Hukum Pidana adalah Salah Satu Cermin yang paling Terpercaya
mengenai Peradaban Suatu Bangsa,” dalam Indroharto, dkk (editor),
Kapita Selekta Hukum, Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji,
S.H. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995
35
Barda Nawawie Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op.cit., hlm. 30-32. Ditegaskan
oleh beliau bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana melalui kedua pendekatan
tersebut adalah sebagai berikut. Dari sudut pendekatan kebijakan, maka ia merupakan bagian
dari kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum pidana. Sedangkan dari
sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan kembali dan penilaian kembali (re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-
filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif
hukum pidana yang dicita-citakan.
230
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
231
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana Jilid II. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2004
Viano, Emilio C. (ed.), Victims and Society, Visage Press Inc., Washington
D.C, USA, 1976.
Wignyosoebroto, Soetandyo, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma, 2002
Wisnubroto, Aloysius dan Gregorius Widiartana, Pembaharuan Hukum
Acara Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005
232
HARMONISASI
KETENTUAN SANKSI PIDANA
DALAM PERANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
SEBAGAI UPAYA PEMBENAHAN PROBLEM
“HULU” PEMIDANAAN DI INDONESIA
Oleh:
Muh. Risnain, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram – Nusa Tenggara Barat)
I. Pendahuluan.
Pencantuman sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia dalam perkembangannya dihadapkan pada dua permasalahan
besar : di satu sisi tuntutan untuk mengambil kebijakan pidana dalam
rangka pengendelaian tindak pidana, namun di sisi lain dihadapkan
gejala over-criminalization yang sudah mengkhawatirkan. Pencantuman
sanksi pidana dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah tidak saja
menimbulkan permaslahan keterbatasan kemampuan penegak hukum
untuk menegakan norma hukum karena keterbatasan SDM, dampak yang
lebih luas adalah pada daya tampung lembaga pemasyarakatan yang
sudah over-capacity. Namun jika tidak diatur dengan sanksi pidana maka
norma hukum kelihatan tidak “bergigi”.
Pada tataran praktik ada satu gejala umum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan nasional yaitu keinginan pembentuk
undang-undang untuk mengatur sanksi pidana dalam setiap peraturan
perundang-undangan.Kecenderungan ini dapat kita lihat ketika
penyusunan perundang-undangan baik pada tingkat Undang-undang
maupun Peraturan Daerah yang selalu memasukan sanksi pidana dalam
setiap Rancangan UU dan Perda. Padahal dampak yang ditimbulkan dari
kebijakan itu adalah selain over criminalization yang berujung pada tidak
efektifnya sistem pemidanaan.
Persoalan demikian harus diselesaikan dengan melakukan per-
baikan di “hulu”nya yaitu ketika penyusunan peraturan perundang-
undangan dilakukan oleh DPR dan Presiden maunpun ketika Gubernur/
bupati/walikota ketika penyusunan Peraturan daerah. Untuk itu setiap
pembentukan UU dan Perda diperlukan kajian mendalam tentang
233
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Bandingkan dengan Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 27-33.
234
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
perda. Norma hukum pidana hadir agar perbuatan yang oleh hukum
dianggap sebagai pelanggaran adalah perbuatan yang dapat dihukum dan
ditegakan melalui istitusi negara. Ketentuan ini terdapat dalam lampiran
No.13 UU PPP yang menyatakan bahwa “Ketentuan pidana memuat
rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap
ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah”.
3. Merujuk Pada Buku I KUHP.
Dalam perkembangan kebijakan pidana dewasa ini, rumusan pidana
dalam KUHP tidak dapat menampung lagi perkembangan jenis,sifat,
dan modus tindak pidana, oleh karena itu UU dan Perda diperbolehkan
untuk mengatur secara spesifik jenis tindak pidana. Walaupun demikian
dalam pembentukan norma hukum pidana atau sanksi pidana dalam UU
dan Perda harus tetap memperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana
yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Asas hukum pidana seperti : asas legalitas, pertanggung jawaban
pidana, penghapusan tuntutan, penyertaan dll harus diperhatikan ketika
membuat ketentuan pidana dalam UU dan Perda.
4. Lamanya Pidana dan Banyaknya Pidana Sepadan dengan dampak
dan Kesalahan Pelaku.
Prinsip penting dalam pengaturan sanksi pidana adalah bahwa harus
ada kesepadanan antara lamanya pidana dan banyaknya dengan dampak
yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur
kesalahan pelaku. Jadi persyaratan bagi lama atau sedikitnya pidana atau
banyak atau sedikitnya denda dalam sebuah undang-undang didasarkan
pada dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran pidana dan kesalahan
pelaku. Standar ini masih sangat umum penilaiannya ditentukan pada
penafsiran pembentuk Undang-undang dan Perda berapa lamanya sanksi
pidana dan besarnya denda dalam UU dan perda. Tidak ada standar umum
yang ditentukan Undang-undang untuk menjadi rujukan bagi pembentuk
UU dalam mengatur sanksi pidana.
5. Ketentuan Pidana Hanya diatur dalam Undang-undang dan Peraturan
Daerah.
Undang-undang ini membatasi ketentuan pidana hanya boleh
diatur dalam materi muatan dua produk hukum yaitu Undang-undang
dan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daera Kabupaten/Kota.
Pembatasan ini merupakan pembatasan yang bersifat ketatanegaraan
yang hanya memberikan kewenangan untuk mengatur sanksi pidana
pada Undang-undang dan Perda. Hal ini dapat dipahami karena sanksi
pidana merupakan ketentuan yang membatasi hak kemerdekaan warga
negara maka harus mendapatkan legitimasi dan pengesahan dari wakil
Marwan Effendi, Kapita Selekta Hukum Pidana : Perkembangan dan Isu-Isu Aktual dalam
Kejahatan Finansial dan Korupsi, Cetakan Ke-1, (Jakarta : Referensi, 2012), hlm.128
235
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
mereka yaitu DPR dan DPRD. Produk hukum yang lain yang berada di
bawah Undang-undang atau dibawah perda tidak diperbolehkan untuk
mengatur aspek pidana.
236
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Pasal 100, dan ketentuan Pasal 101 UU SPPA. Perjuangan para hakim
untuk keluar dari jeratan UU SPPA akhirnya pada tanggal 23 maret 2013
mahkamah konstitusi mengabulkan semua permohonan para pemohon dan
menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU SPPA bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan
demikian Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU SPPA tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum berlaku.
Begitu juga dengan kehadiran RUU MA merupakan jawaban untuk
merespon perkembangan dunia peradilan yang sudah tidak mampu
lagi dijawab dengan Undang-undang yang lama. Serupa dengan UU
SPPA, RUU ini lagi-lagi menjadikan hakim sebagai obyek kriminalisasi
ketika hakim mengeluarkan putusan. Dalam RUU tersebut terdapat dua
rancangan pasal kontroversial yaitu Pasal 95 dan Pasal 97. Rancangan Pasal
95 melarang hakim untuk menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain, atau keluarga, mempunyai
hubungan pekerjaan.partai/finansial atau mempunyai nilai ekonomis
secara langsung/tidak langsung; merekayasa fakta-fakta hukum dalam
penanganan perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya dalam
penanganan perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk
melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis; meminta dan/atau
meminta hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya
meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dengan
jabatannya; dan bertindak diskriminatif.
Rancangan Pasal 97 RUU MA mengatur tentang larangan bagi hakim
ketika memutuskan perkara : 1) membuat putusan yang melanggar Undang-
undang, 2). Membuat keputusan yang mengakibatkan kerusuhan, huru-
hara, 3). Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan
karena bertentangan dengan realitas ditengah-tengah masyarakat, adat-
istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan
pertikaian dan keributan; dilarang merubah keputusan bersama ketua
Mahkamah Agung dan keputusan ketua Komisi Yudisial secara sepihak
dan/atau keputusan bersama kode etik dan pedoman perilaku hakim
secara sepihak.
Dalam RUU Kejaksaan yang diajukan DPR terdapat juga ketentuan
sanksi pidana bagi jaksa yaitu terdapat dalam 37 L-37 P.
Pasal 37L mengatur” Jaksa yang menggunakan jabatan dan/
atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf d dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 37M mengatur bahwa Jaksa yang merekayasa fakta-fakta hukum
dalam penanganan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1)
237
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 37N mengatur bahwa Jaksa yang menggunakan kapasitas dan
otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf f dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
Pasal 37O Jaksa yang meminta dan/atau menerima hadiah dan/
atau keuntungan serta menyuruh keluarganya untuk meminta dan/atau
menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf g dipidana dengan
pidana pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 37P Jaksa yang melakukan penyidikan, penangkapan,
penahanan, penuntutan, pengajuan kasasi atas putusan bebas dan/
atau melakukan peninjauan kembali tanpa alasan berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37K dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
Secara prosedural RUU ini telah menjadi RUU inisiatif DPR yang telah
disahkan dalam rapat paripurna DPR. Bila dikaji lebih dalam ketentuan
pidana yang ada dalam Pasal 37 L-37 P merupakan pelanggaran yang
bersifat etika dan administrasi yang hukuman dan penyelesaiaanya telah
diatur dalam Kode Etik Kejaksaan dan upaya hukum penyelesaian dapat
dilakukan melalui upaya banding, kasasi, dan peninjuan kembali yang
telah diatur dalam KUHAP.
Ketentuan ini jelas merupakan ketentuan pidana yang dipaksakan
untuk dimasukan dalam RUU dan terkesan emosional tanpa memperhatikan
kesalahan dan dampak yang akan ditimbukan dari ketentuan ini.
Ketentuan over-criminalization bagi penegak hukum tidak saja berdampak
bagi amburadulnya sistem penegakan hukum terpadu dan kemerdekaan
penegak hukum tetapi juga menimbulkan dampak psikologis bagi penegak
hukum. kriminalisasi demikian menimbukan dampak rasa ketakutan bagi
penegak hukum karena mereka selalu diselimuti perasaan takut akan
238
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
239
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
240
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Daftar Pustaka.
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media
Group, Jakarta, 2008.
Jilmy Assidiqie, Perihal undang-undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2007.
____________, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005.
Marwan Effendi, Kapita Selekta Hukum Pidana : Perkembangan dan Isu-Isu
Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi, Cetakan Ke-1, Jakarta,
Referensi, 2012.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiel Indonesia Di Masa Mendatang, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
1990, Semarang.
241
KONKRETISASI PENGATURAN
SANKSI PIDANA KERJA SOSIAL
SEBAGAI IMPLEMENTASI KONSEP
RESTORATIVE JUSTICE DALAM
KERANGKA PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL
Oleh:
Rahel Octora, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha – Bandung - Jawa
Barat)
I. Latar Belakang.
Pemidanaan merupakan salah satu sub sistem dalam sistem hukum
pidana. Pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana merupakan sub sistem
yang bekerja terakhir setelah serangkaian proses hukum acara pidana
dilalui. Pemidanaan juga merupakan konkretisasi adanya aturan pidana.
Suatu aturan pidana hanya menjadi rangkaian kata-kata belaka apabila
ketika dilanggar, tidak mendatangkan dampak atau konsekuensi apapun
bagi pelanggarnya.
Pandangan umum tentang pemidanaan senantiasa berubah seiring
dengan perkembangan zaman. Pada mulanya pemidanaan bersifat retributif.
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif
terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat
sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan
terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya
masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang
(backward-looking).
Pandangan umum yang semula bersifat melihat ke belakang ini
kemudian bergeser. Selanjutnya, pandangan tentang pemidanaan dilandasi
oleh filsafat utilitarian. Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari
segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau
Setyo Utomo. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice, hlm. 15 (Makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang
“Politik Perumusan Ancaman Pidana dalam Undang-Undang Di Luar KUHP”, diselenggarakan oleh
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010)
242
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
243
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
244
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Dwidja Priyatno, Jenis-Jenis Sanksi (Pidana) dalam Konsep RUU KUHP Nasional ( Ditinjau
dari Filsafat Pemidanaan), Disampaikan Dalam Rangka Seminar Sehari “Meninjau Kembali Jenis-
Jenis Pemidanaan Dalam RUU KUHP” yang Diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa STHB,
Selasa,14 Maret 2006, hlm.9.
Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International Human Rights, Restorative Justice :
International Perspective, Edited by Burt Galaway and Joe Hudson, (Kugler Publications, Amsterdam,
The Netherland), hlm 24 dalam Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM
2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, hlm 11, 12.
Howard Zehr & Ali Gofar, The Little Book of Restorative Justice, Uni Graphics,2003, hlm.19
245
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
246
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Makalah dibawakan dalam Seminar “ Pidana Kerja Sosial sebagai bentuk Baru Sanksi Alternatif
dalam RUU KUHP: Prospek dan Kendalanya. hlm.1
Eryana Ganda Nugraha, Kebijakan Legislatif tentang Pidana Kerja Sosial di Indonesia, Tesis
: Universitas Diponegoro- Semarang, (2004), hlm.4.
10
ibid., hlm.10.
11
ibid., hlm.11.
12
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Semarang, 1995, hlm.139.
247
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
248
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
masyarakat.
Dikaitkan dengan penerapan sanksi kerja sosial, ketiga unsur
tersebut harus menjadi tiga subsistem yang saling terintegrasi untuk
mendukung tercapainya tujuan hukum yakni keadilan,kepastian hukum
dan kemanfaatan. Dari aspek legal substance, diperlukan aturan yang
bersifat teknis untuk mengatur pelaksanaan sanksi pidana kerja sosial ini.
Dari aspek legal structure, harus diatur dan ditentukan siapa pihak yang
bertanggungjawab atas pelaksanaannya.
Hal yang perlu dipersiapkan adalah sumber daya manusia yang akan
terlibat dalam proses penerapan dan pelaksanaan sanksi kerja sosial ini.
Dimulai dari jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan tuntutannya,
hakim di dalam proses memutus perkara, dan tidak kalah pentingnya
perlu ditetapkan siapa yang akan bertanggungjawab untuk mengawasi
pelaksanaan dari pidana kerja sosial ini. Berdasarkan pasal 30 ayat (1)
huruf b dan c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, dinyatakan bahwa :
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat.
Perlu ditentukan apakah pengawasan pelaksanaan pidana kerja sosial
ini akan menjadi wewenang dari lembaga kejaksaan ataukah diperlukan
adanya probation officer yang memiliki tugas khusus di bidang pengawasan
pidana kerja sosial ini.
Setelah membahas mengenai legal substance dan legal structure, perlu
dibahas pengaruh legal culture terhadap proses penegakan hukum. Faktor
budaya Indonesia mempengaruhi pandangan tersebut. Melakukan kerja
sosial bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat pedesaan
khususnya, sudah merupakan hal yang biasa, misalnya melakukan kerja
sosial dalam bentuk gotong royong atau kerja bakti. Berdasarkan fakta
tersebut terdapat pandangan bahwa istilah ”kerja sosial” tidak memiliki
sifat ”punishment”.13
Menanggapi pandangan tersebut, penulis berpendapat bahwa
dalam menerapkan sanksi pidana kerja sosial, target yang harus dicapai
bukan semata-mata apakah terpidana merasakan hukuman atau tidak. Di
samping itu, sanksi ini diharapkan dapat membangun relasi mutual antara
13
Dr. Mudzakkir, SH.,MH, Kebijakan Sanksi Pidana Kerjas Sosial dalam Pembaharuan Hukum
Pidana di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Sanksi Pidana Kerja Sosial dengan
tema “Pidana Kerja Sosial sebagai Bentuk Baru Sanksi Alternatif dalam RUU KUHP, Prospek dan
Kendalanya”, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Bandung, 21
Oktober 2013.
249
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
250
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
251
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
252
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Daftar Pustaka.
Buku.
Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana (Perspektif Teoritis dan Praktik).
Bandung: Alumni,2008.
Muladi, et..al., Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:Alumni, 2007.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang, 1995.
253
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Sumber Internet:
Bismar Nasution. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya. (2009),
pada situs internet: http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/
kejahatan-korporasi)
254
SELUBUNG KEKUASAAN,
DAN PENGETAHUAN PADA PEMIDANAAN
- PERSPEKTIF TEORI DISKURSUS
MICHEL FOUCAULT
Oleh:
Ufran, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram– Nusa Tenggara Barat)
I. Pendahuluan
Makalah ini tidak hendak mencari pembenaran-pembenaran yang
berkaitan dengan adanya pemidanaan. Makalah ini hendak memfokuskan,
pemidanaan diletakkan sebagai sebuah objek studi. Pendekatan yang
dipakai untuk menelaah ‘pemidanaan’ ini tentunya dalam kacamata ilmu-
ilmu sosial atau lebih tepatnya dalam kacamata sosiologi hukum pidana.
Berangkat dari premis tersebut, analisis tentang pemidanaan akan dilihat
dari keterhubungannya dengan masyarakat. Ini bertujuan agar kita dapat
memahami pemidanaan sebagai sebuah fenomena dan perannya dalam
kehidupan sosial. Lebih jauh, cara pandang ini bisa kita gunakan untuk
melihat latarbelakang, settingan sosial seperti apa yang melahirkan dan
memunculkan suatu jenis ataupun bentuk pemidanaan. Puncaknya
pemahaman ini bertujuan untuk membuka struktur sosial dan jejaring
kultural seperti apa yang bekerja dibalik bekerjanya suatu pemidanaan.
Hasil dari analisis tersebut bertujuan untuk menyiapkan basis deskriptif
yang berkaitan dengan penilaian normatif tentang kebijakan kriminal
(criminal policy).
Persoalan untuk memahami pemidanaan haruslah dipahami sebagai
suatu kesatuan dari realitas sosial di mana intitusi pemidanaan itu lahir
dan berada. Wujudnya akan selalu unik, dan selalu berubah menurut
waktu dan tempat di mana ia dimunculkan (a peculiar form society). Artinya
pemidanaan tidak bisa direduksi dalam bentuk satu makna ataupun
mempunyai tujuan yang sama.. Untuk memahaminya pemidanaan tersebut
di dalam masyarakat harus dipahami dari beberapa titik pandang tentang
nilai-nilai, teori tentang perseorangan dan kebutuhan untuk berpikir secara
koheren tentang keberadaan fakta-fakta yang ada (these matters constitute
David Garland, Punishment and Modern Society: A Study in Social Theory, Chicago: The
University of Chicago Press, 1990, hlm. 10.
255
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
the facts).
Relasi antara pemidanaan dengan masyarakat ini memang cukup
banyak mendapat perhatian dari beberapa ahli. Mereka mencoba
memberikan rasionalisasi tentang eksistensi pemidanaan dalam
masyarakat. Katakanlah, Emile Durkheim yang melihat pemidanaan
dalam konstruk solidaritas sosial (social solidarity), Rusche dan Kirchheimer
yang melihat pemidanaan dalam perspektif ekonomi politik, ataupun
Pashukanis yang menyatakan pemidanaan sebagai ideologi dan kontrol
kelas. Namun dalam pembahasan makalah ini ingin memfokuskan
kepada salah satu tokoh yang membahas sosiologi pemidanaan yaitu
Michel Foucault. Foucault melihat pemidanaan sebagai bagian dari
praktek pengontrolan, regulasi dan normalisasi yang diterapkan dalam
masyarakat. Pemidanaan sebagai institusi pendisplin akan selalu terdapat
silang pengaruh kekuasaan dengan ilmu pengetahuan. Relasi kuasa
dibalik pemidanaan yang bertujuan membentuk tubuh-tubuh yang patuh
(docile body) yang berusaha dibongkar oleh Foucault. Dengan kata lain,
Foucault ingin membuka struktur kekuasaan dan penindasan yang berada
di belakang segala interaksi antarmanusia yaitu representasi kekuasaan
dan pengetahuan dalam pemidanaan.
II. Pembahasan.
II.1. Riwayat Intelektual Michel Foucault.
Paul-Michel Foucault adalah filsuf Prancis, sejarawan, intelektual,
kritikus, dan sosiolog. Ia lahir Lahir pada 15 Oktober 1926 di Poitiers, Paris.
Pada tahun 1945 Foucault menempuh studinya di Ecole Normale Superieure.
Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1948 memperoleh licence dalam
filsafat dan sesudah dua tahun lagi mendapatkan licence dalam psikologi
(1950). Foucault juga mendapatkan diploma dalam psikopatologi (1952).
W. A. Miller, A Theory of Punishment, http://www.jstor.org/page/info/about/policies/ terms.jsp,
p 315
Michel Foucault ditempatkan sebagai salah satu figur penting dalam membahas sosiologi
hukum pidana. Hal tersebut, bersesuaian dengan pernyatan Cohen yang menyebutkan, ‘membahas
sosiologi pemidanaan tanpa membahas Mitchel Foucault seperti membahas ketidaksadaran tanpa
membahas Freud. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila pernyataan dari Cohen tersebut
menjadi salah satu alasan kenapa makalah ini juga berusaha membahas sosiologi pemidanaan dari
perspektif teori diskursus. Cohen, Visions of Social Control: crime punishment and classification,
Cambridge, 1985. hlm. 10.
Oleh Magniz Suseno pemikiran Foucault digolongkan ke dalam versi filsafat penelanjangan
(philosophy of debunking). Filsafat penelanjangan tidak saja semua aliran reduktif tetapi juga aliran
yang mau membatasi pengetahuan pada salah satu bidang kecil saja dan menelanjangi segal filsafat
lain sebagai salah paham, tipu diri atau wahana kepentingan tersembunyi. Filsafat penelanjangan
ini akhirnya jatuh ke dalam kontradiksi. Mereka hanya dapat merumuskan penelanjangan mereka
dengan memakai kata ‘semua’, padahal menurut prinsip-prinsip mereka sendiri, kata semua harus
ditolak karena tidak empiris dan tidak dapat diverifikasikan, lihat Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar
Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, Dari Adam Muller...., Jogjakarta: Kanisius, ....hlm.
221.
256
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
257
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
258
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
baik itu kelangkaan pernyataan (statement) dan kekuasaan dari pihak yang
afirmatif. Dari segi hubungan antara kedua metode Foucault tersebut,
arkeologi melakukan tugas yang diperlukan untuk melakukan tugas
genealogi. Secara spesifik, arkeologi melibatkan analisis empiris terhadap
diskursus sejarah, sedangkan genealogi menjalankan serangkaian analisis
kritis terhadap diskursus historis dan hubungannya dengan isu-isu yang
menjadi perhatian dunia kontemporer.
Dalam genealogi kekuasaan, Foucault melihat hubungan struktural
pengetahuan dan kekuasaan. Ia membahas bagaimana orang mengatur
diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Di antaranya
Foucault melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan
mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek
dengan pengetahuan. Setelah meneliti jalannya sejarah, Foucault tak
melihat kemajuan dari kebrutalan primitif ke arah ke kemanusiaan yang
lebih modern berdasarkan sistem pengetahuan yang lebih canggih.
Malahan Foucault melihat sejarah bergerak maju dengan tiba-tiba dari
satu sistem dominasi (sistem pengetahuan) ke sistem dominasi yang lain.11
Dengan latar belakang pemikiran tersebut di atas, Foucault melakukan
beberapa proyek ilmiah dalam disepanjang karir intelektualnya khususnya
berkaitan dengan pidana penjara`didalam buku karyanya yang berjudul
Discipline and Punish: The Birth of Prison.
259
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
260
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
261
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
19
Jean Louis Chevreau pengantar dalam Michel Foucault, La Volonte de Savoir (Histoire de
la Sexualite, tome I) diterjemahkahn Forum jakarta Paris, Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas, Jakarta:
yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan FIB Univ Indonesia dan Forum Jakrta Paris, 1976,
hlm 14.
20
George Junus Aditjondro, dalam Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media,
Jogjakarta: LKIS, 2001, hlm. 77.
21
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, Jogjakarta: Kanisius, 2011,
hlm. 302.
22
Kris Budiman, Feminis Laki-laki Dan Wacana Gender, Jakarta: yayasan Indonesia Tera,
2000, hlm. 47.
262
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
263
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
III. Simpulan.
Pemidanaan sebagai institusi pendisplin memperlakukan individu
sebagai sub-ordinat yang sangat tergantung. Narapidana akan terikat
kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Atas tubuh
mereka bekerja sebuah kekuasaan dan otoritas yang memaksa. Mereka
25
O’Neill (1986) dalam Peter Burke, Sejarah Dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
hlm.226.
26
Gresham M Sykes dan Sheldon L Messinger, Theoritical Studies in The Social Organization
of The Prison, New York: Science Research Council, 1960, hlm. 188.
264
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Daftar Pustaka.
Alant Hunt and Gary Wickham, Foucault and Law: Towards a Sociology of
Law as Governance, London: Pluto Press, 1994.
David Garland, Punishment and Modern Society: A Study in Social Theory,
Chicago: The University of Chicago Press, 1990.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Jogjakarta: LKIS,
2001
F Budi Hardiman, Memahami Negativitas: Diskursus Tentang Massa, Teror,
dan Trauma, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005.
Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,
Jogjakarta: Kanisius, 1999.
Goerge Ritzer and Douglas J Goodman, Modern Sociological Theory
diterjemahkan oleh Alimandan, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam,
Jakarta: Prenada Media Kencana, 2004.
George Ritzer, The Postmodern Social Theory, diterjemhkan oleh, Abdullah
Sumrahadi, Teori Sosial Postmodern, Jogjakarta: Kreasi Wacana,
2003
Gresham M Sykes dan Sheldon L Messinger, Theoritical Studies in The Social
Organization of The Prison, New York: Science Research Council,
1960.
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Posmodernitas,
Jogjakarta: Kanisisus, 2001.
K Bertens, Filsafat barat Kontemporer Prancis, Cet. Ke 4. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006
Kris Budiman, Feminis Laki-laki Dan Wacana Gender, Jakarta: yayasan
Indonesia Tera, 2000
Mitchel Foucault, Discpline and Punish: The Birth of Prison, Edition. II. USA:
Vintage Books, 1995
265
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
266
SPHN 2013:
PENGGUNAAN HUKUM ADAT
(TULISAN HASIL ”CALL FOR PAPERS”)
POLITIK PEMBARUAN
HUKUM PIDANA BERBASIS “LIVING LAW”
Oleh:
Prof. Dr. H. Bambang Satriya, S.H., M.H.
(Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kertanegara Malang – Jawa
Timur)
I. Pendahuluan.
Seiring dengan perkembangan jaman, kehidupan masyarakat
Indonesia sudah semakin maju dan berkembang. Permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam hukum juga berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat Indonesia. Aturan-aturan yang telah ada
sejak dulu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepentingan-
kepentingan yang ada dalam masyarakat serta tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman. Meski demikian, kepentingan masing-masing
haruslah ditentukan batas-batasnya dan dilindungi. Membatasi dan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam pergaulan antar
manusia adalah tugas hukum. Hukum yang mendapatkan tugas berat
ini, dalam kenyataannya seringkali tidak disadari oleh pihak-pihak yang
mendapatkan kepercayaan dari negara, kalau secara substansial, hukum
dimaksud sudah saatnya diubah.
Mahatma Gandi pernah berpesan, “You may never know what results
come of your action, but if you do nothing there will be no, atau anda mungkin
tidak pernah tahu hasil dari usaha-usaha yang anda lakukan, tetapi jika
anda tidak melakukan sesuatu, Anda tidak mungkin mendapatkan hasil,”
yang sebenarnya mengingatkan pada setiap orang supaya dalam hidup ini,
manusia tidak suka menyerah dalam menjawab tantangan, dan sebaliknya
berusaha menunjukkan kemampuan dirinya untuk melahirkan sejarah,
baik bagi diri maupun masyarakat dan bangsanya. Salah satu bentuk
usaha yang belum terwujud hingga sekarang adalah memperbarhui
hukum pidana (KUHP).
Jimly Asshidiqie memberikan pendapat, bahwa perumusan ketentuan
dalam KUHP baru seyogyanya merupakan produk kesadaran hukum
masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak merupakan perumusan yang
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2005,
hlm.5.
Bambang Satriya, Hukum Indonesia masih di Simpang Jalan, Nirmana Media, Jakarta, 2012,
hlm. 34.
268
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
269
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
270
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
271
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
272
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
273
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
274
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
26
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas
Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 13.
27
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Material Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang, 1993, hlm. 15.
275
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Daftar Pustaka.
A. Colin dan H. Capiten, Droit Civil Francais, Perancis, Dalloz, Cet. 3, 1920,
hal. 11-13; (Boston/Toronto, Little Brown and Company, 1975
Ahmad Fadli, Pertanggungjawaban Pidana, Lingkar Pena Anak Bangsa,
Bandung, 2012.
Asri Yusuf, Alasan Pembaharuan Hukum Pidana, http://asriyusuf.wordpress.
com/2010/12/10/alasan-pembaharuan-hukum-pidana/
Bambang Satriya, Hukum Indonesia masih di Simpang Jalan, Nirmana Media,
Jakarta, 2012.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang,
1994
Chaidir, http:// drh.chaidir.net/kolom/167-Ubi-Societas- Ibi-Ius--
-Dimana-ada-masyarakat,-di-situ-ada-hukum.html, akses 15
September 2013.
Chidir Ali, Teori-Teori Hukum Dewasa Ini, Chidir Ali Memory, Jakarta,
1976.
G. Scelen, P. Esmein, L. J. De La Morandiere, Introduction atau L’etude du
Droit Civil Francais, Arthur Rousseau Perancis, Paris, Cet. 1, 1951
Jimly Asshidiqie,1997, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa,
Bandung, 1997.
Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia,
Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia:
Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya di Banda
Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Material Indonesia di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang,
1993.
R. David, Le Grands Systemes de Droits Contemporains, Perancis, Dalloz, No.
349, Cet. 4, 197.
R. Foignet, Droit Roman, Arthur Rousseau Perancis, cet. 7, Paris, 192
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1998.
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Penerbit UKI Press,
Jakarta, 2006
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Gravindo Persada,
Jakarta, 2005.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977
Soerjono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1981.
Undang Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahun 2005-2025.
276
HUKUM ADAT
SEBAGAI ALAS PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL:
REFLEKSI DAN PROYEKSI
Oleh:
Dr. Deni Bram, S.H.,M.H.,
Budiyanto, S.H., M.H.,
Warih Anjari, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 – DKI Jakarta)
I.1. Pendahuluan.
Salah satu karakteristik khas Indonesia adalah sebuah negara yang
memiliki tingkat pluralisme yang sangat tinggi dalam sistem hukum baik
dalam konteks budaya, etnis, ekonomi, dalam dimensi hukum maupun
geografis merupakan suatu entitas yang sangat plural. Dalam konstelasi
sistem hukum nasional keberadaan dari hukum adat bukanlah suatu hal
yang baru. Bahkan dalam pengajaran hukum adat ditasbihkan Van Vallen
Hoven sebagai salah satu Bapak Hukum Adat karena kehadirannya
dengan melakukan pendokumentasian sistem hukum adat nasional yang
kemudian dituangkan dalam bukunya “Het Adat-Recht Van Nederlandsch”.
Cita – cita mulia dari perkembangan hukum adat nasional mencoba
untuk mendudukkan bahwa hukum yang ideal merupakan hukum yang
berasal, hidup dan berkembang di masyarakat. Bahkan salah satu pemikir
Cornelis van Vollenhoven (lahir di Dordrecht, Belanda, 8 Mei 1874 – meninggal di Leiden,
Belanda, 29 April 1933 pada umur 58 tahun) adalah seorang antropolog Belanda yang dikenal akan
karyanya “Hukum Adat” di Hindia-Belanda sehingga ia dijuluki “Bapak Hukum Adat”.Cornelis muda
masuk universitas Leiden pada usia 17 tahun. Ia kemudian memperoleh gelar magister di bidang
hukum pada 1895, sarjana dalam bahasa Semiotik pada 1896, dan magister dalam bidang ilmu politik
pada 1897, serta doktor dalam hukum dan ilmu politik pada 1898. Ia menerima predikat ‘dengan
pujian” untuk tesisnyaOmtrek en inhoud van het internationalerecht (“Cakupan dan kandungan hukum
internasional”).Pada usia 27 tahun, ia diangkat sebagai Guru Besar Hukum Konstitusi dan Administrasi
Daerah-daerah Seberang Lautan Belanda serta Hukum Adat Hindia Belanda di Universitas Leiden.
Setelah lulus, van Vollenhoven menjadi sekretaris pribadi Jacob Theodoor Cremer, seorang pejabat
kolonial “Kapten Perindustrian” dan menteri urusan kolonial. Tahun 1901 van Vollenhoven menjadi
profesor Hukum Adat Hindia-Belanda dari Universitas Leiden. Gelar doktor kehormatan kemudian
diperolehnya dari Universitas Amsterdam pada 1932.Kebanyakan masa hidupnya difokuskan
untuk mempelajari hukum adat Indonesia dan kemudian mengampanyekan pelestariannya.
Tulisan-tulisannya umumnya berkaitan dengan hukum adat, seperti Het Ontdekking van Adatrecht,
Orientatie in het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1913). Mahakaryanya adalah kumpulan tulisan
yang berjilid-jilid Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië (“Hukum Adat Hindia Belanda”) yang berisi
kajian dan kumpulan hukum adat dari 19 lingkungan adat di Hindia Belanda yang berbeda dari
tradisi adat kaum pendatang (VreemdeOosterlingw Kaum Timur Asing, seperti suku Arab, Tionghoa,
dan India). Yang mengagumkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar karyanya dikerjakan di
Leiden. Van Vollenhoven hanya dua kali mengunjungi Hindia-Belanda, yaitu pada 1907 dan 1923.
Lihat profil Cornelis van Vollenhoven dalam van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia
(terjemahan), Jambatan-LIPI 1981.
277
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
278
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
“Beberapa ahli adat dan perwira dari Polda masih menyusun pedoman penerapan Undang-
undang Nan 20 dalam Adat Minangkabau untuk mengaktualisasikan restorative justice atau
penyelesaian sengketa di luar peradilan,” katanya. Dalam kesepakatan yang ditandatangani Ketua
LKAAM dan Direktur Binmas Polda Sumbar Kombes ImronKorry tersebut, kedua pihak sepakat
mengoptimalkan pemberdayaan hukum adat dalam pemeliharaan keamanan, ketertiban dan
ketentraman di nagari (masyarakat). Sayuti memberi contoh, dalam Undang-Undang Nan 20, misalnya
ada aturan ‘dago dagi’ (memberi malu) atau membantahi adat yang sudah biasa. Bisa juga diartikan,
dago merupakan salah bawahan kepada atasan (kemenakan kepada mamak) sedangkan dagi salah
atasan kepada bawahan (mamak kepada kemenakan). “Dalam hukum pidana, seperti pasal perbuatan
tidak menyenangkan dan penghinaan. Hal-hal seperti ini, akan lebih baik diselesaikan menurut hukum
adat,” katanya. Bila hal itu diterapkan, menurut Sayuti, dubalang di nagari akan difungsikan, begitu
juga Kerapatan Adat Nagari (KAN). “Penyelesaian menurut hukum adat untuk pidana ringan seperti
itu, akan lebih menyelesaikan masalah dan meringankan kerja polisi,” ujar Sayuti. Lihat dalam http://
www.ranahberita.com/news.php?id_news=282/Berita/view/LKAAM-Gagas-Penyelesaian-Pidana-
Ringan-dengan-Hukum-Adat#.UpFSg-L91nY diakses pada tanggal 20 November 2013.
279
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
280
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Dalam konteks umum misalnya, ini dapat dilihat saat terobosan besar
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mendudukkan konsep Hutan
Adat sebagai konsep penguasaan masyarakat adat. Terhitung mulai dari
tanggal 16 Mei 2013 maka Hutan Adat bukan lagi termasuk dalam wilayah
hutan negara. Bersamaan dengan keputusan ini pula, terminologi ‘negara’
dalam Pasal 1 angka 6 itu tidak memiliki kekuatan hukum dan berubah
menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat”. Putusan dari Mahkamah Konstitusi ini dapat dikatakan
sebagai sebuah kemenangan besar dari masyarakat adat dalam rangka
memperjuangkan hak – hak atributif yang dimiliki. Hal ini menjadi sangat
penting pada saat legislasi ini kerap menjadi dasar pelemah eksistensi dari
masyarakat adat dalam berbagai bentuk pengelolaan dan keikutsertaan
pada mekanisme pengambilan kebijakan terkait dengan sumber daya
hutan. Dalam konteks kekinian, eksistensi dari Hutan Adat terus menerus
menjadi perhatian penting terlebih saat masyarakat sekitar kawasan
hutan termasuk salah satu variabel yang cukup diperhitungkan dalam
pertimbangan skema REDD+. Berbagai implikasi yang merujuk pada
lemahnya pengakuan normatif eksistensi hutan adat tentu berpengaruh
pula pada saat membicarakan konsep – konsep yang mengikutinya. Salah
satu hal penting terkait peng-kooptasi-an Hutan Adat sebagai Hutan
Negara terkait dengan pembagian keuntungan dalam proyek REDD+ yang
281
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
282
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
283
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
pola pikir dan cara pandang terhadap hutan adat. Hal ini menjadi mutlak
dan penting untuk dilakukan saat pihak eksekutif dan legislatif justru
memiliki cara pandang yang berbeda dan tersesat dalam konsep hutan
adat secara cacat logika dan cacat hukum. Jauh lebih penting lagi hal ini
merupakan bentuk pertanggungjawaban secara ideologis dan akademis
dari para pihak guna menghadirkan konsep pengelolaan hutan adat secara
berkelanjutan.
Khusus dalam model pembaharuan hukum pidana, eksistensi dari
pidana adat dan pidana konvensional (KUHP) sebenarnya berada pada
sisi yang berbeda di beberapa sisi. Hukum barat secara jelas memisahkan
antara hukum pidana dan hukum perdata, karena tidak setiap perbuatan
yang melanggar hukum adalah termasuk perbuatan pidana /delict. Hanya
pelanggaran /perbuatan yang diancam dengan pidana (straf /punishment)
saja yang termasuik dalam pengertian hukum pidana.
Hukum Adat tidak memisahkan antara perbuatan pelanggaran hukum
yang mewajibkan tuntutan pembalasan yang berupa pidana dengan
pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut dengan penggantian
kerugian dalam lapangan hukum perdata. Oleh karena itu dalam hukum
adat tidak ada perbedaan dalam acara penuntutan dimuka hakim antaa
penuntutan dimuka hakim antara penuntutan ganti kerugian dalam
lapangan perdata dan penuntutan kriminal.
Perbedaan sistem hukum barat dengan sistem hukum adat dalam
pemisahan atau pembedaan hukum perdata dengan hukum pidana ini
berpangkal pada perbedaan alam fikiran dari kedua masyarakat. Hukum
Barat yang menitikberatkan pada pola – pola individualistis, liberalistis
dan rasionalistis berada pada sisi diametral dengan Hukum Timur yang
menjunjung tinggi nilai – nilai komunal tradisional, kosmis yang meliputi
segala-galanya sebagai satu kesatuan/totaliter.
Menurut alam fikiran kosmis ini umat manusia merupakan bagian
dari alam semesta, tidak ada pemisahan dari berbagai macam lapangan
kehidupan dan tidak dikenal pembatasan antara dunia lahir dan dunia
ghaib. Segala sesuatu itu bercampur baur, bersangkut paut dan saling
pengaruh mempengaruhi satu sama lain.Yang penting bagi masyarakat
adalah adanya keseimbangan (evenwicht) dan keserasian (harmonie) antara
dunia lahir dan dunia ghaib, antara individu dengan masyarakat, antara
persekutuan dengan warganya. Oleh karena itu yang dimaksud dengan
delict adalah : “suatu perbuatan sefihak dari seseorang atau sekumpulan orang
yang mengancam atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan masyarakat,
baik yang bersifat materiil maupun immateriil, terhadap seseorang atau terhadap
masyarakat sebagai satu kesatuan”.
Perbuatan atau tindakan yang demikian ini akan mengakibatkan
suatu reaksi adat atau upaya adat yang dimaksudkan untuk memulihkan
284
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
TABEL
PERBANDINGAN SISTEM KUHP DAN PIDANA ADAT
285
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Dalam kata akhir pada sub ini dapat dilihat bahwa hukum adat dan
hukum negara berada pada posisi yang berseberangan baik mulai dari
ranah nilai, asas hingga norma maupun pelaksanaan yang ada. Di sinilah
pentingnya untuk melihat peran dari hukum adat sebagai salah satu opsi
pembaharuan pidana nasional.
286
MENGINDONESIAKAN
HUKUM PIDANA ADAT
DALAM PEMBARUAN HUKUM PIDANA
Oleh:
Hairus, S.H.
(Dosen Politeknik Negeri Malang – Jawa Timur)
I. Pendahuluan.
Hampir tidak ada ahli hukum yang tidak menyepakati bahwa hukum
(selalu) memerlukan pembaruan. Hal ini terjadi karena masyarakat selalu
berubah, tidak statis. Meskipun demikian, biaya atau ongkos pembaruan
hukum di negeri ini ternyata tidak murah. Mengacau pada capaian (kinerja)
DPR perioode 2004-2009 yang dalam lima tahun menyelesaikan 193 RUU,
maka jika mengacu DPR perioode 2009-2014 menyelesaikan RUU dalam
jumlah sama, annggaran yang dihabiskan diprediksi mencapai lebih
dari Rp. 1. Trilyun dalam lima tahun.Menurur Ketua Ignatius Mulyono,
anggaran negara yang disediakan untuk membiayai pembahasan satu
rancangan undang-undang (RUU) di DPR semakin besar. Biayanya
mencapai Rp 5,8 miliar. Anggaran itu membengkak sepuluh kali lipat jika
dibandingkan dengan lima tahun lalu yang hanya Rp 560 juta.
Hal itu menunjukkan bahwa biaya (cost) untuk memproduk hukum
atau memperbarui norma yuridis ternyata tidak murah. Dana 1 trilyun
rupiah yang secara umum menjadi biaya akomodasi, transportasi, dan
lain-lain bagi elite politik kita yang menduduki jabatan sebagai elemen
badan legislatif, jelas sangatlah besar, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi
perekonomian masyarakat dari lapis strata akar rumput (grassroot) yang
jelas-jelas berada dalam ketidakberdayaan.
Meski terlihat besar pengeluaran secara ekonomi untuk
memperbaharui hukum itu, namun menjadi tidak terasa besar, bilamana
target memperbaharui hukum benar-benar sejalan dengan apa yang
diinginkan oleh masyarakat. Kepentingan masyarakat Indonesia di
berbagai sektor fundamental ”harganya” jauh lebih besar dibandingkan
harga produk hukum, namun dana 1 trilyun dapat menjadi bagian dari
konsumerisme dan segmentasi program ”melukai” masyarakat, bilamana
Muchtar Zamzami, Pembaruan Hukum, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/
PEMBARUAN%20HUKUM-MZ.pdf
Firman Syah, Quo Vadis Pembaruan Hukum Indonesia, LKPES, Jakarta, 2012, hlm. 2.
287
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
288
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
289
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
290
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
12
Mary Ann Gledon, Michael Wallace Gordon, Christopher Osakwe, Comparative Legal
Traditions,Text, Materials and Cases on the Civil and Common Law Traditions, with Special Reference
to French, German, English and European Law, Second Edition, (St.Paul.Minn, West Publishing Co.,
1994), p. 17.
13
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), Hlm. 103.
14
Ibid., hlm 104.
292
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
IV. Penutup.
Memasukkan hukum pidana adat yang jelas-jelas bersifat pluralistik
di Indonesia memang bukan hal mudah. Mermang tarik ulur kepentingan
masing-masing daerah bisa terjadi untuk memaksakan hukum pidana adat
yang berlaku di daerahnya ini menjadi bagian dari hukum nasional, akan
tetapi setidak-tidaknya jika dalam RUU KUHP yang nantinya ditetapkan
sebagai produk legislasi, menjadikan hukum adat sebagai bagian dari
hukum nasional, meskipun pada tataran prinsip atau asas-asasnya, maka
hal ini dapat dikategorikan sebagai proses pengindonesiaan hukum pidana
adat.
Sudah saatnya negara atau badan legislatif bekerja keras untuk
menformulasikan hukum pidana adat menjadi bagian dari hukum pidana
nasional. Riet-riset secara serius dan maksimal harus dilakukan sebagai
wujud usaha mereformasi kelemahan hukumpidana nasional. Politik
nasionalisasi pembaruan hukum berbasis kearifan lokal menjadi suatu
keharusan seiring dengan tuntutan masyarakat terhadap penegakan
keadilan yang benar-benar berbasis kemaslahatan rakyat.
Daftar Pustaka.
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta,
2005.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan
Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998.
Fahmi Maulana, Hukum tanpa Suara Rakyat, makalah untuk FGD, Malang,
2012.
Firman Syah, Quo Vadis Pembaruan Hukum Indonesia, LKPES, Jakarta, 2012.
Maulana Ghaffar, Mendambakan Hukum Populis, Suara Kebangsaan-Mimbar
Bebas, Surabaya, 2011.
Mary Ann Gledon, Michael Wallace Gordon, Christopher Osakwe,
Comparative Legal Traditions,Text, Materials and Cases on the Civil
and Common Law Traditions, with Special Reference to French, German,
293
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
294
KEDUDUKAN KALO SARA
(HUKUM ADAT) DALAM PENYELESAIAN
TINDAK PIDANA PERZINAHAN (UMOAPI)
PADA MASYARAKAT SUKU TOLAKI
DI KABUPATEN KONAWE PROPINSI
SULAWESI TENGGARA
Oleh:
Prof. Dr. H. Muntaha, S.H., M.H.
(Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo – Kendari - Sulawesi
Tenggara)
295
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
296
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
La Ode Abdul Rauf, Lembaga Adat dan Peranannya Dalam Menyuseskan Pembangunan
Di Sulawesi Tenggara, (Makalah) pada Sminar Nasional Peluang dan Tantangan Masyarakat Sultra
Menyongsong Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas, Kendari, 29-30 Mei 2000, hlm. 2.
Mahrus Ali, Melampaui Positivisme Hukum Negara, Cetakan I, Januari 2013, Aswaja
Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 1
Op. Cit.
297
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
II. Permasalahan.
Latar belakang pemikiran di atas menunjukan bahwa penyelesaian
barbagai kasus di Indonesia, penggunaan hukum negara (hukum positif)
yang sentralistik tidak membuahkan hasil yang maksimal. Atas dasar
tersebut perlu dilakukan pengkajian untuk menemukan model alternatif
di dalam penyelesaian kasus-kasus hukum, terutama kasus pidana yang
berkaitan dengan kehormatan yang dalam hal ini kasus Umoapi (perzinahan)
yang terjadi dikalangan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-
nilai hukum adatnya. Dengan demikian sebagai fokus permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kedudukan Kalo Sara dalam masyarakat suku Tolaki di
Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara;
Andi Zainal Abidin Farid, Arti dan Fungsi Hukum Menurut Lontara, Majalah Ilmiah Hukum
Amana Gappa, No.2 Tahun 1 Juli-Agustus 1992, Ujung Pandang, 1992, hlm. 5.
298
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
300
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
301
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
302
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
303
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
304
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
IV. Kesimpulan.
Hukum adat mempunyai eksistensi, di sampaing sebagai mediasi
dalam penyelesaian berbagai kasus-kasus pidana di masyarakat, juga
sebagai pelengkap dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat
pluralisme terhadap nilai-nilai budaya dan norma-norma yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia semakin kompleks.
Penerapan hukum adat dalam sisten peradilan pidana lebih bersifat
kasuistis, dalam arti bahwa hukum adat akan diterapkan apabila
masyarakat tersebut memilih peneyelesaian melalui hukum adat
dibandingkan peneyelesaian melalui hukum formal, sepanjang hukum
adat tersebut masih diakui dan berlaku, serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
305
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Daftar Pustaka.
Alkostar, Artidjo, (Editor), 1997 : Sumbangsih Budaya Sulawesi Selatan Untuk
Pembentukan Hukum Nasional, FH-UII, Yogyakarta.
______________, (Editor), 1997 : Nilai-Nilai Tata Hukum Nasional, FH-UII,
Yogyakarta.
Ali, Mahrus, 2009 : Menggugat Dominasi Hukum Negara Penyelesaian Perkara
Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya masyarakat Madura, Rengkang-
Indonesia, Jakarta.
___________, 2011 : Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
___________, 2013 : Melampaui Positivisme Hukum Negara, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta.
Dwi Putro, Widodo, 2011 : Perselisihan Hukum Modern dan Hukum Adat
dalam kasus Pencurian Sisa Panen Randu, Jurnal Yudisial, Vol-IV/
No.02- Agustus 2011, Jakarta.
Farid, Andi Zainal Abidin, 1992 : Arti dan Fungsi Hukum Menurut Lontara,
majalah Ilmiah Amanah Gappa, No. 2,1 Juli-Agustus, Tahun 1992,
Ujung Pandang.
Hadikusumah, Hilman, 1992 : Pengantar Ilmu hukum Adat, Mandar Maju,
Bandung.
Moeljatno, 1983 : Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina
Aksara, Jakarta.
Rauf, La Ode Abdul, 2000 : Lembaga Adat dan Peranannya Dalam Menyukseskan
Pembangunan Daerah di Sulawesi Tenggara, Maka-lah pada Seminar
Nasional Peluang dan Tantangan Masyarakat Sultra Menyongsong
Otonomi Daerah dan Era Perdagangan Bebas, Kendari.
Sarita, Ahmad, 2000 : Lembaga adat dan Peranannya Dalam Mensukseskan
Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara, Makalah pada Seminar Nsional
Peluang dan Tantangan Masyarakat Sultra Menyongsong Otonomi
Daerah dan Era perdagangan Bebas, Kendari.
Subekti, R, 1995 : Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta.
Widnyana, I Made, (Editor), 1995 : Hukum Dasar Kita dan Hukum Tak tertulis,
Eresco, Bandung.
________________, (Editor), 1995 : Peradilan Adat Masyarakat Sedang
Membangun, Eresco, Bandung.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 2006, WiPres, Jakarta.
306
PLURALISME HUKUM PIDANA
SEBAGAI SUATU KENISCAYAAN
(PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM)
Oleh:
Dr. Rini Fidiyani, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang – Jawa Tengah)
I. Pendahuluan.
Sebuah obsesi bagi negara yang merdeka yang tampaknya masih
menjadi beban dan terus diperjuangkan oleh Bangsa Indonesia untuk
terlepas dari bayang-bayang negeri penjajahnya adalah memiliki hukum
pidana buatan sendiri. Seperti yang tercatat oleh sejarah, hukum pidana
yang dikenal di Indonesia merupakan turunan dari Wetbook van Strafrecht
Belanda yang kemudian diberlakukan di Hindia Belanda menjadi Wetbook
van Strafrecht voor Nederlands Indie. Kemudian berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 dan UU No. 1 Tahun 1946 diberlakukan untuk
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Keberadaan dan masih
diberlakukannya hukum pidana warisan pemerintah Kolonial bukan
sekadar menjadi beban politis, akan tetapi juga beban sosiologis karena
ada keinginan agar hukum pidana yang nantinya dibentuk sebisa mungkin
dapat bersumber dan mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa
Indonesia.
Upaya untuk itu sesungguhnya telah dimulai sejak lama, tepatnya
1958 dengan dibentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN)
yang kemudian berubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN). Melalui lembaga ini telah disusun berbagai versi Rancangan
Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang kenyataannya sampai
sekarang belum disetujui oleh DPR untuk menjadi Undang-undang.
Berdasar pada upaya tersebut di atas, sesungguhnya hukum pidana
yang hendak dibentuk merupakan cara untuk mengatur perilaku manusia
Indonesia. Apabila argumen ini ditelusuri lebih jauh, aturan perilaku orang
Indonesia sudah ada bahkan sebelum WvS diberlakukan di Indonesia.
Aturan perilaku orang Indonesia itu sekarang terangkum dalam Pancasila,
yang nilai-nilainya digali dari hukum adat, hukum asli Indonesia, sehingga
sudah seharusnya pengembangan hukum pidana berakar pada hukum
asli bangsa sendiri dengan memperhatikan pula perkembangan nilai-nilai
307
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
308
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
309
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
310
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
311
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
312
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
313
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
314
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
IV. Simpulan.
Pengembangan hukum pidana yang berorientasi pada terciptanya
hukum pidana yang tunggal melalui proyek kodifikasi dan unifikasi
hukum akan menghadapi sebuah dilema apabila dihadapmukakan dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural yang masing-
masing memiliki aturan normatif dan otonom tersendiri. Pengakuan akan
keberadaan aturan atau hukum tidak tertulis yang dipunyai oleh masyarakat
adat pada beberapa pasal pada RUU KUHP sesungguhnya merupakan
pengakuan sekaligus pemakluman bahwa kodifikasi dan unifikasi yang
bersifat ketat dan tunggal sebagaimana aslinya asas ini dikembangan di
Eropa, tak dapat diterapkan secara ketat di Indonesia. Dengan demikian
pluralisme hukum dalam hukum pidana merupakan suatu keniscayaan.
Tampaknya pandangan ini perlu diketahui dan dipahamkan bagi penegak
hukum agar tidak terlalu memaksakan berlakunya hukum negara pada
masyarakat tertentu, sekaligus menegaskan tugas konstitusional seorang
penegak hukum (terutama hakim) untuk menggali, mengikuti, memahami
dan melaksanakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pada
penegakan hukum.
Daftar Pustaka.
Benda-Beckmann, K. von. Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan
Perdebatan Teoritis, dalam Tim HuMa (ed), 2005, Pluralisme Hukum,
Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: HuMa;
Falk-Moore, Sally. 1978. Law as Process: An Anthropological Approach.
London: Routledge & Kegan;
-------. 1983. Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an
Appropriate Subject of Study, dalam Sally Falk Moore, Law as Process,
An Anthropological Approach, London: Routledge & Kegan Paul;
Griffiths, John. “What is Legal Pluralism”. Journal of Legal Pluralism and
Unofficail Law, No. 24, 1986. The Foundation of Journal of Legal
Pluralism;
Hooker, B. 1975. Legal Pluralism: Introduction to Colonial and Neo-Colonial
Law. London: Oxford University Press;
Irianto, Sulistiyowati. 2003. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran
Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya”. Majalah
Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun XXXIII, Oktober-Desember,
FH UI Jakarta;
Jaya, Nyoman Serikat Putera. 2002. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana
Adat Bali). Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas
315
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Indonesia;
Masinambow, E.K.M. (ed). 2003. Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta:
Yayasan Obor;
Muladi. 1990. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Mendatang.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Undip, Semarang;
Nurjaya, I Nyoman. ”Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Majalah Forum Keadilan, No.
51, 30 April 2006;
Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti;
Tamanaha, Brian Z. 1993. The Folly of the “Social Scientific” Concept of
Legal Pluralism, makalah dalam The IXth International Congress
of Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Law Faculty,
Victoria University of Wellington, New Zealand;
Tanya, Bernard L. 2000. Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara,
Analisis Budaya Atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi
Regulasi Negara. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Undip
Semarang.
316
SPHN 2013:
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN
(TULISAN HASIL ”CALL FOR PAPERS”)
HAKIM KOMISARIS
DALAM “PATRONASE YUDISIAL”
Oleh:
Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang – Jawa Timur)
I. Pendahuluan.
“Äda resiko yang tidak bisa kita hindari jika kita melangkah, tetapi lebih
beresiko lagi kalau kita tidak melangkah kemanapun”, demikian ungkap Peter
Drucker menyikapi atau memaknai langkah yang dilakukan elemen
strategis negara (Abdul Wahid, 2010). Salah satu elemen strategis negara
yang sering menghadapi resiko saat mengonstruksi langkah adalah aparat
penegak hukum.
Langkah yang dikonstruksi aparat yudisial tentulah mengandung
resiko kecil dan besar, namun jika kinerjanya dijadikan sebagai tantangan
logisnya untuk mewujudkan profesionalisme, maka sosok penegak hukum
demikian potensial sukses membentuk kepribadiannya menjadi pilar
yudisial bermental pejuang, pembangun, atau pembaharu, dan militan.
Sampai sejauh ini, publik menilai dan bahkan mengeksaminasi
kalau jagad hukum merupakan jagad yang berwarna sengkarut, yang
salah satu akarnya berasal dari kesalahan aparat penegak hukum dalam
menunjukkan kinerjanya. Ketidakprofesionalan dan malapraktik profesi
dikonklusi publik sebagai akar penyebab buruknya indek prestasi aparat
penegak hukum itu.
Setidak-tidaknya sejak tahun 1981 (kelahiran Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana: UU Nomor 8 Tahun 1981) hingga sekarang, tidak
sedikit dijumpai adanya praktik-praktik bercorak dehumanisasi atau
“tiranisasi” aparat terhadap hak-hak asasi manusia (tersangka), padahal
idealisme historis kelahiran KUHAP itu sejatinya sebaga jawaban atas
kegagalan produk lama (kolonial) HIR dalam melindugi HAM.
319
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
320
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
324
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
oleh tersangka atau korban, pasalnya bukan tak mungkin hakim lebih
menjunjung tinggi hubungan kolegialismenya dengan sesama aparat
daripada dengan tersangka.
Kompetensi hakim tersebut memang sudah merambah berbagai sektor
strategis yang berhubnngan dengan pemeriksaan pendahuluan, namun
masih ada yang terlewat, yakni soal kekerasan dalam penyidikan yang
salama ini dialami tersangka. Pemaksaan yang dilakukan oleh penyidik
pada tersangka guna mendapatkan pengakuan atau testimoninya, seingkali
ditempuh oleh penyidik dengan cara-cara kekerasan atau melanggar
HAM.
Sayangnya, kompetensi hakim di era KUHAP ini tidak sampai pada
ranah eksaminasi substansi BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang diperoleh
dengan cara kekerasan. Hakim hanya menguji keabsahan prosedur atau
pengaplikasian sistem peradilan pidana (criminal justice system), dan
bukan pada kabsahan kinerja penyidik atau prisip etik-humanistik dalam
penyidikan.
Keberadaan lembaga prapedilan juga bertujuan untuk menegakkan hak
asasi manusia, berkaitan dengan sah tidaknya penangkapan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
(dalam hal ini penyidik). Namun demikian keberadaan praperadilan
mempunyai beberapa perbedaan mendasar dengan hakim komisaris.
Sekalipun tujuan keberadaan keduanya memang untuk penegakan/
perlindungan HAM, namun mempunyai perbedaan mendasar. Pertama,
dilihat dari konsep dasarnya, keduanya memiliki konsep yang berbeda.
Hakim komisaris sebagai lembaga yudikatif (kehakiman) mempunyai
hak mengendalikan terhadap jalannya pemeriksaan pendahuluan yang
dilakukan pihak eksekutif ((penyidik dan penuntut umum) berkaitan
dengan wewenangnya. Sedangkan lembaga praperadilan bersumber pada
habeas corpus yang memberikan dasar kepada seseorang yang dilanggar
haknya untuk melawan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan
terhadap dirinya. Artinya bahwa dalam praperadilan hak asasi manusia
diberikan sebagai seorang manusia yang merdeka dan dapat melakukan
perlawanan apabila dirasa upaya paksa yang dilakukan terhadap dirinya
tidak sah. Kedua, sistem pemeriksaan oleh hakim komisaris pada dasarnya
bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan oleh hakim terhadap penyidik,
penuntut umum, saksi-saksi atau terdakwa. Hal ini akan menghambat
transaparansi terhadap masyarakat yang berperan sebagai pengawas
terhadap jalannya persidangan artinya akan rawan dengan KKN (korupsi,
kolusi, nepotisme), sedangkan dalam sidang praperadilan dilaksanakan
secara terbuka untuk umum dan dapat disaksikan oleh publik (masyarakat).
Model persidangan demikian identik dengan pemberian kesempatan pada
publik untuk memberikan kontrol. (Jodi Santoso, 2003, dalam Mustofa,
2011).
325
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
V. Penutup.
Kehadiran norma yang mengatur peran hakim komisaris dalam
pemeriksaan pendahuluan merupakan bagian dari upaya memprevensi
kemungkinan terjadinya kriminasasi terhadap criminal justice system
dengan modos pelanggaran hak-hak tersangka, yang perannya lebih
spesifik dan bernilai kepastian dibandingkan dengan peran hakim dalam
praperadilan seperti sekarang ini (era berlakunya UU Nomor 8 tahun 1981
tentang KUHAP).
326
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Daftar Pustaka.
Abdul Wahid, dkk, Masihkah KUHAP sebagai Karya Agung, LPKI-Press,
Jakarta. 2011.
Adami Chazawi, Kemahiran Dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana,
Bayumedia, Malang, 2006.
Idam Khalid, KUHAP, Hak Asasi Manusia, dan Penegak Hukum, Visipres,
Suabaya, 2011.
Jodi Santoso, http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-
versus-hakim-komisaris.html, akses 15 September 2013.
Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982.
Mustofa, Perkembangan Hukum Acara Pidana Indonesia, Galaksi-Media,
Jakarta, 2011.
Muhtarom, Mencari Keadilan di Lorong Pemeriksaan Pendahuluan, makalah,
FGD-Indonesia Centre, Malang, 2010.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan
Kembali (Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Purnadi Purbacaraka & M. Chaidir Ali, Disiplin Hukum, Alumni, Bandung,
1986.
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(RUU KUHAP).
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
327
ALAT BUKTI PENGAMATAN HAKIM
DALAM RUU KUHAP, SARANA
HAKIM DALAM MENEMUKAN HUKUM
(RECHTSVINDING)
Oleh:
Aries Budi, S.H.
[Advokat pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas
Muhammadiyah Malang – Jawa Timur]
329
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
b. Keterangan ahli.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Keterangan tersebut dinyatakan di depan sidang pengadilan dengan
bersumpah atau berjanji atau dinyatakan pada waktu diperiksa oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan
dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau
pekerjaan.
c. Surat.
Surat dalam hal ini adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-
tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksudkan untuk mengeluarkan
isi pikiran.
d. Alat bukti petunjuk.
Alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.
e. Keterangan terdakwa.
Keterangan terdakwa dalam hal ini adalah apa yang terdakwa nyatakan
di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
Permasalahan alat bukti seringkali membawa kesulitan baik lembaga
kepolisian selaku penyelidik dan/atau penyidik, lembaga kejaksaan selaku
penuntut maupun lembaga pengadilan dalam menerima, memeriksa dan
memutus perkara. Aturan mengenai alat bukti dalam KUHAP sangat
terbatas mengingat perubahan yang sangat pesat dalam masyarakat.
Adanya perubahan aturan mengenai alat bukti dalam RUU KUHAP
diharapkan memberi keleluasaan bagi hakim untuk menemukan hukum
(rechtsvinding) terhadap perkara yang dihadapinya.
330
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
331
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
e. Keterangan Saksi.
Menurut pasal 180 ayat (1) RUU KUHAP, yang dimaksud dengan
keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf
e RUU KUHAP sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan
oleh saksi di sidang pengadilan. Sedangkan definisi saksi sendiri
menurut pasal 1 angka 25 RUU KUHAP adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana
yang dilihat sendiri, dialami sendiri atau didengar sendiri.
f. Keterangan Terdakwa.
Menurut pasal 181 ayat (1) RUU KUHAP keterangan terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf f adalah segala
hal yang dinyatakan oleh terdakwa di dalam sidang pengadilan tentang
perbuatan yang dilakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri.
g. Pengamatan Hakim
Pengamatan hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1)
RUU KUHAP adalah pengamatan yang dilakukan oleh hakim selama
sidang yang didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan atau barang
bukti yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Alat-alat bukti sebagaimana tercantum dalam pasal 177 RUU KUHAP
tersebut tidak semuanya baru, sebagaimana dimensi pembaharuan
yang disampaikan oleh Ismail Saleh, tidak perlu membongkar
keseluruhan peraturan perundang-undangan, akan tetapi yang tidak
sesuai dengan perkembangan itulah yang akan diganti. Diantaranya
yang ditambah dan diganti yaitu alat bukti berupa barang bukti, alat
bukti elektronik dan alat bukti pengamatan hakim. Sedangkan alat
bukti yang dihilangkan atau lebih tepatnya diganti yaitu alat bukti
petunjuk.
Oleh:
Endang Suparta, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau - Pekanbaru – Riau)
I. Pengantar.
Pembangunan sistem hukum Indonesia pasca kemerdekaan tidak
mulus dan tidak mudah, banyak produk hukum yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, salah satunya
adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), “aturan
main” dalam peradilan pidana ini sudah sejak lama dirasa perlu untuk
segera direvisi, atau bahkan bila memungkinkan sebaiknya diganti
demi perbaikan sistem penegakan hukum Indonesia. Karut marut
dalam penegakan hukum saat ini, salah satunya berkat sumbangsih dari
kekaburan (obscuur)/ ketidakjelasan batasan kewenangan yang diberikan
oleh KUHAP, sehingga dalam praktiknya sering disalahgunakan bahkan
disimpangi oleh penegak hukum demi kepentingan sesaat. Hal inilah
yang pada akhirnya menimbulkan penilaian negatif masyarakat terhadap
institusi yang tergabung dalam sistem peradilan pidana tersebut.
Sistem peradilan pidana merupakan sebuah sistem penang-gulangan
kejahatan, yang mempunyai perangkat struktur atau sub-sistem yang
seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif, dan integratif agar
dapat mencapai efisiensi dan efektifitas yang maksimal dalam penegakan
hukum. Sub-sistem tersebut terdiri dari kepolisian, kejaksaan, lembaga
peradilan, dan lembaga pemasyarakatan. Keterpaduan dan pola
Sistem peradilan pidana merupakan suatu lembaga khusus yang sengaja dibentuk guna
menjalankan upaya penegakan hukum, (khususnya hukum pidana) yang dalam pelaksanaannya
dibatasi oleh suatu mekanisme kerja tertentu dalam suatu aturan tentang prosedur hukum (yang
saat ini dikenal sebagai suatu Hukum Acara Pidana). Sistem peradilan pidana berjalan dengan
tujuan menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan jaminan atas
pelaksanaan hukum disuatu Negara. Marjono Reksodiputro memberika defenisi sistem peradilan
pidana sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti
mengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi masyarakat.Eva Achjani Zulfa, Pergeseran
Paradigma Pembinaan, PT. Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal. 19, lihat juga dalam Shinta Agustina,
Menuju Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu di Indonesia (Kajian
terhadap RUU dari Perspektif HAM), Makalah dalam Diskusi Publik tentang Membangun Dukungan
dari Masyarakat dalam Proses Advokasi RUU KUHAP, Padang, 2010, hlm. 1
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1998, hlm. 21.
Sedangkan posisi advokat dalam sistem peradilan pidana berada disekitar masing-masing
sub-sistem tersebut mengingat advokat berhak mendampingi tersangka atau terdakwa dalam setiap
tingkat pemeriksaan
335
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
336
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
337
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
atau diganti karena yang dirasa sudah sangat ketinggalan jaman dan
perkembangan kebutuhan hukum.
Pembaharuan hukum pidana, khususnya hukum pidana formil
(KUHAP) merupakan masalah yang penting dan mendesak, disatu sisi
sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan,
tetapi disisi lain menjadi ancaman bagi hak asasi manusia yang semestinya
dilindungi oleh hukum pidana tersebut. Perlindungan adalah pemberian
jaminan atas keamanan, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas
segala bahaya yang mengancam pihak yang dilindungi. Dalam konteks
ini keberadaan hakim komisaris diharapkan dapat menjadi pelindung bagi
tersangka atau terdakwa atas segala penyalahgunaan kewenangan upaya
paksa yang dijalankan oleh aparat penegak hukum.
Keberadaan hakim komisaris dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, merupakan sebuah keharusan dalam rangka menjalankan fungsi
pengawasan10 kewenangan atas upaya paksa yang dilakukan oleh penegak
hukum agar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum11 dan selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Perlunya
menghidupkan kembali lembaga Hakim Komisaris dalam perubahan
KUHAP kedepan semata-mata dalam semangat untuk melindungi hak
asasi tersangka atau terdakwa atas segala tindakan kesewenangan yang
merugikannya.
Memang tidak mudah ‘menghidupkan kembali’ lembaga hakim
komisaris di dalam peradilan pidana Indonesia, dikarenakan apabila
ingin memunculkan kembali kelembagaan hakim komisaris dalam
hukum acara pidana maka juga harus dilakukan perombakan yang
mendasar terhadap undang-undang yang mengatur institusi-institusi
yang terlibat dalam sistem peradilan pidana seperti institusi kehakiman,
Menurut Barda Nawawi Arif, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat
dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Dapat
dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentra
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia. Lihat dalam Eman Sulaeman, Delik Perzinahan Dalam Pembaharuan hukum
Pidana Di Indonesia, Wali Songo Press, Jakarta, 2008, hlm. 22.
Perlindungan hukum adalah hal perbuatan melindungi menurut hukum. Lili Rasjidi dan I. B.
Wyasa Putra mengemukakan bahwa hukum dapat difungsikan tidak hanya mewujudkan kepastian,
tetapi juga jaminan perlindungan dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,
namun juga prediktif dan antisipatif. Abintoro Prakosa, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak,
Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 13.
10
Menurut Paulus Lotulung, fungsi pengawasan dalam perspektif hukum adalah untuk menilai
apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah dilakukan sesuai dengan norma hukum yang
berlaku dan apakah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma
hukum yang berlaku. Dalam konteks supremasi hukum, melihat pengawasan tiada lain untuk
melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutism kekuasaan kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan. Lihat dalam Idul Risham, Komisi Yudisial (suatu Upaya Mewujudkan Wibawa
Peradilan), Genta Press, Jogjakarta, 2013, hlm. 69.
11
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hlm. 4.
338
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
kejaksaan dan kepolisian, namun tidak ada salahnya, apabila mulai dari
sekarang dilakukan pembenahan menyeluruh dalam rangka sinkronisasi
kelembagaan penegak hukum di Indonesia sebagai salah satu negara yang
menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental, agar dapat memaksimalkan
kerja-kerja penegakan hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan,
serta dalam menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Pada dasarnya, keberadaan hakim komisaris dalam sebuah negara yang
menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental sudah jamak dipraktekkan,
seperti di Belanda Hakim Komisaris bertugas mengawasi jalannya proses
hukum acara pidana khususnya pelaksanaan wewenang pihak eksekutif
dalam hal ini penyidik dan penuntut umum, dalam rangka mencari bukti
pada pemeriksaan pendahuluan melakukan tindakan-tindakan upaya
paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pembukaan surat-surat. Dengan demikian pengawasan yang dilakukan
hakim komisaris menunjukkan dijalankannya fungsi control dari yudikatif,
terhadap pihak eksekutif12.
Konsep hakim komisaris yang ideal di Indonesia tidak sepenuhnya
meniru konsep yang digunakan oleh Belanda. Hakim Komisaris yang
dimaksud oleh penulis merupakan sebuah konsep yang memilik
kewangan yang lebih luas dari Praperadilan, sehingga kedepannya hakim
komisaris tidak hanya menguji secara administrative sebuah upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, tapi juga memiliki
kewenangan menguji secara materil upaya paksa tersebut, dan memiliki
beberapa kewenangan tambahan lainnya seperti ganti rugi atas tindakan
kriminalisasi, pengawasan putusan dan kewenangan lainnya, demi
memberikan perlindungan terhadap asasi manusia.
12
Adnan Buyung Nasution, Praperdilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN, April 2002.
Lihat dalam www.legalitas.org diakses 20 November 2013.
339
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
340
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
342
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
IV. Penutup.
Saat ini, KUHAP sudah usah dan tidak seiring dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, salah satunya adalah Lembaga Praperadilan yang diberikan
kewenangan oleh KUHAP tidak mampu untuk melindungi tersangka atau
terdakwa dari penyalahgunaan kewenangan upaya yang dilakukan oleh
penegak hukum, sehingga dirasa sangat urgen menghidupkan kembali
kelembagaan Hakim Komisaris di Indonesia. Untuk itu hal yang harus
segera dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah segera menormakan
keberadaan Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
sebagai jawaban atas kegagalan lembaga Praperadilan, dengan cara
mentasbihkan kewenangannya ke dalam revisi atau penggantian KUHAP
dan melakukan sinkronisasi kelembagaan penegak hukum lainnya guna
semakin memaksimalkan penegakan hukum dan keadilan.
343
PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA
DAN JABATAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN DALAM PERSPEKTIF
PANCASILA, ASAS-ASAS HUKUM
DAN POLITIK HUKUM NASIONAL
Oleh:
Dr. Hotma P. Sibuea,S. H. ,M. H.
Maman Suparman, S. H. , M. H.
KMS. Herman, S. H. , M. Si.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 – DKI Jakarta)
I. Pendahuluan.
Pembaharuan hukum nasional sesungguhnya sudah harus
dilaksanakan sejak proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Hal itu merupakan
konsekuensi logis dari Proklamasi Kemerdekaan karena Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia menuntut segenap tatanan hukum positif
yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan Pancasila sebagai falsafah
negara dan cita hukum bangsa Indonesia. Akan tetapi, cita-cita ideal
pembaharuan hukum tersebut tidak dapat direalisir karena situasi dan
kondisi pada masa itu. Oleh karena itu,untuk mencegah kemungkinan
kekacauan hukum perlu ditetapkan suatu politik hukum (kebijakan
hukum) yang bersifat sementara dalam masa peralihan pasca Proklamasi
Kemerdekaan.
Politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat sementara dan
yang bertujuan untuk menyikapi masa peralihan tersebut ditetapkan
Pemerintah dan kemudian dituangkan dalam Peraturan Peralihan UUD
1945. Politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan yang dituangkan
dalam Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi
logis terhadap keberadaan segenap tatanan hukum positif produk hukum
kolonial. Berdasarkan politik hukum (kebijakan) hukum dalam Peraturan
Peralihan UUD 1945 tersebut, tatanan hukum produk kolonial Belanda
kemudian ditetapkan untuk tetap berlaku dalam wilayah Negara Republik
Hotma P. Sibuea, Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia
Dalam Kehidupan Berbangasa dan Bernegara, Jurnal Ilmiah, Law Review, Vol. XII No. 3. Maret 2013,
hlm. 322.
344
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
345
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Adnan Buyung Nasution, Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN, April 2002,
hlm. 1.
346
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
347
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Abdul Hamid S. Attamimi, op. cit. , hlm. 319.
Ibid.
348
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Hotma P. Sibuea, Politik Hukum, Krakataw Book, Jakarta, 2010, hlm. 194.
349
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
350
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
sebagai berikut.
Asas negara hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila
mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia
kekuasaan tunduk kepada hukum. Segenap kewenangan yang melekat
pada para penyelenggara negara harus dibatasi oleh hukum atau tunduk
kepada hukum. Dengan perkataan lain, sekecil apapun kekuasaan
yang melekat pada suatu jabatan termasuk jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan, kekuasaan itu harus tunduk kepada hukum. Inilah makna
supremasi hukum sebagai salah satu prinsip hukum atau pokok pendirian
atau asas hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus
selalu diingat dan ditegakkan. Dalam konteks pembaharuan hukum acara
pidana dan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, prinsip
ini juga berlaku. Penegasan bahwa kekuasaan para penyelenggara negara
harus tunduk kepada hukum sangat penting diingat dan ditegakkan
dengan maksud untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para
penyelenggara negara khususnya jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam hal ini.
Asas demokrasi yang diderivasi dari cita hukum Pancasila
mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia,
kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang
kedaulatan (kekuasaan tertinggi) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, sumber dari segenap kewenangan yang melekat
kepada jabatan adalah berasal dari rakyat. Asas kedaulatan rakyat ini lebih
jauh mengandung konsekuensi bahwa tujuan pemberian kewenangan
kepada suatu jabatan seperti halnya Hakim Pemeriksa Pendahluan adalah
untuk dan dalam rangka melayani kepentingan rakyat. Jabatan-jabatan
dalam organisasi negara Republik Indonesia dibentuk semata-mata untuk
melayani dan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang
kekuasaan yang tertinggi (kedaulatan).
Asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan) yang
diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam
organisasi Negara Republik Indonesia, kekuasaan yang melekat kepada
suatu jabatan tertentu bukanlah kekuasaan yang bersifat absolut (mutlak).
Dalam perspektis asas pembatasan kekuasaan atau kewenangan tidak
dikenal kekuasaan yang bersifat mutlak. Segenap kekuasaan harus dibatasi
supaya tidak membuka peluang terhadap kekuasaan yang sewenang-
wenang karena kekuasaan yang sewenang-wenang pada akhirnya
akanmelanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat. Padahal, rakyat itu
sendiri adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam negara Republik
Indonesia.
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 48 –dan seterusnya.
351
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
352
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
V. Penutup.
Demikian pandangan Tim Penulis dari Fakultas Hukum Universitas
17 Agustus 1945 Jakarta yang dapat disampaikan sebagai sumbangsih
pemikiran dalam rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam
konteks jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Atas segala kekurangan dan kelemahannya mohon dimaafkan. Terima
kasih.
353
KEWENANGAN HAKIM KOMISARIS
UNTUK MENCAPAI KEPASTIAN,
KEADILAN DAN KEMANFAATAN HUKUM
Oleh:
Ida Keriahenta Silalahi, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo – Surabaya - Jawa
Timur)
I. Latar Belakang.
Ada perubahan penting dalam Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yaitu pembentukan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan (HPP) atau disebut Hakim Komisaris. Hakim Komisaris
adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan
penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang
ini. (Pasal 7 RUU HAP).
Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
b. pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti
e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap
atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak
milik yang disita secara tidak sah;
f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara;
g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
354
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
II. Permasalahan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah kewenangan
Hakim Komisaris dalam prespektif kepastian hukum, keadilan hukum
dan kemanfaatan hukum.
III. Metodologi.
Penelitian ini adalah penelitian hukum. Penelitian hukum adalah “suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. Hal
ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Hasil yang diharapkan
dalam penelitian hukum adalah “untuk menghasilakan argumentasi, teori,
atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi”. Ilmu hukum merupakan disiplin ilmu yang sui generis yang
tidak dapat diintegrasikan pada ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif, yang berkaitan dengan pendekatan undang-undang, pendekatan
konsep.
1. Pendekatan Undang-Undang
2. Pendekatan konsep
IV. Analisis.
Wewenang Hakim Komisaris sebagai Hakim yang memutuskan
tunututan pra peradilan berkembang sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 111 ayat 1 RUU HAP. Perkembangan keweangan Hakim Komisaris
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2009, hlm. 35
Ibid, hlm. 22 .
Peter Mahmud Marzuki. Kareteristik Ilmu Hukum. Yuridika. Vol. 23. No. 2 . Mei-Agustus. 2008,
hlm. 118.
355
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
356
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
manusia.
2. Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus
dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara
berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana;
3. Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan
secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
4. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan
melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana
di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan
sesuai dengan usia dan status hukum mereka.
Bahkan dalam Pasal 11 UU No 12 Tahun 2005 ditegaskan, tidak
seorang pun dapat dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya
untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian. Kebebasan
sesorang tidak boleh dirampas dalam hal menyangkut hukum perdata.
Wewenang Hakim Komisaris ini bertindak sebagai penjaga hukum
agar hak-hak terdakwa dalam proses penyelidikan, penyidikan, yang
dilakukan oleh polisi tetap dalam koridor hukum. Pasal 14 (g) UU No
2 Tahun 2002 ayat (1) menyatakan, dalam melaksanakan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Pasal 13 Undang Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik (UU No. 2 Tahun 2002
menyebutkan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Begitupun ketika taat penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai
penuntut umum. Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004) ayat (1) menyatakan
dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
357
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
358
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
V. Kesimpulan.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Hakim Komisaris merupakan
penjaga kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum
warga negara Indonesia yang sedang diselidiki, disidik, dan dituntut dalam
kasus tindak pidana agar hak-haknya sebgai manusia tidak dilanggar atau
diabaikan.
VI. Rekomendasi.
Berdasarkan besarnya wewenang yang diberikan hukum kepada
Hakim Komisaris maka harus ada beberapa point yang harus dilakukan
oleh pembuat undang-undang, yaitu
1. Hakim Komisaris harus merupakan hakim yang mempunyai intergritas
yang tinggi dan mempunyai pengetahuan hukum yang tinggi
sehingga tujuan hukum dapat terpenuhi, yaitu kepastian, keadilan,
kemanfaatan;
2. Penetapan Hakim Komisaris harus dilakukan dengan Standard
Operasional yang jelas dan terbuka, sehingga dapat diperoleh kriteria
hakim sebagaimana dipersyaratkan oleh rekomendasi pertama.
Daftar Bacaan.
John Rawls. A Theory Of Justice. President and Fellow of Harvard College.
United Sated Of America. 1971.
Lord Lloyd of Hampstead & M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to
Jurisprudence, London: ELBS, 1985.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2009.
-------. Kareteristik Ilmu Hukum. Yuridika. Vol. 23. No. 2 . Mei-Agustus.
2008.
Rimdan. Kekuasaan Kehakiman. Kencana Prenada Media Group. 2012.
359
UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM
ACARA PIDANA NASIONAL
MELALUI HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN SEBAGAI PENGGANTI
PRA PERADILAN
Oleh:
Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan – Bandung
– Jawa Barat)
I. Pendahuluan.
Undang Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)) memang
patut diapresiasi karena Kitab Undang Undang ini sudah merupakan
pembaharuan total dari kitab undang undang hukum acara pidana
kolonial, Herziene Indische Reglement (HIR), sehingga dibangga banggakan
sebagai salah satu “masterpiece” dalam hukum nasional. Namun, harus
diakui bahwa setelah berjalan lebih dari dua dekade, ternyata terdapat
banyak kekurangan dan kelemahan yang ditemukan dalam praktek,
sehingga timbul kebutuhan mendesak untuk memperbaiki Kitab Undang
Undang ini. Hal ini sangatlah wajar mengingat dinamika perkembangan
masyarakat demokratis yang menuntut adanya pembaharuan hukum
secara berkala melalui produk hukum yang responsif. Oleh karena itu,
upaya pembaharuan hukum acara pidana nasional melalui Rancangan
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang akan
menggantikan keberadaan KUHAP memang patut disambut gembira.
Salah satu ketentuan baru dalam RKUHAP adalah diusulkannya lembaga
Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk menggantikan keberadaan pra
peradilan dalam KUHAP.
Adnan Buyung Nasution, “Pra Peradilan versus Hakim Komisaris, Beberapa Pemikiran Tentang
Keduanya”, Newsletter KHN, April 2002. Dalam RKUHAP sebelumnya, tidak dikenal lembaga Hakim
Pemeriksaan Pendahuluan. Yang dikenal adalah Hakim Komisaris. Dikarenakan kekeliruan sebagian
kalangan yang berpikir bahwa Hakim Komisaris identik dengan Rechter Commissaris di Belanda yang
memimpin penyidikan (investigating judge), lembaga ini mengalami penolakan. Hakim Komisaris
kemudian berganti nama menjadi Hakim Pemeriksan Pendahuluan namun dengan kewenangan yang
persis sama, sehingga perdebatan yang muncul pada saat diintrodusirnya Hakim Komisaris dalam
RKUHAP sebelumnya tetap menjadi perdebatan hingga saat ini.
360
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
361
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Kelima, posisi yang tidak seimbang antara penegak hukum dan tersangka
atau terdakwa yang mengalami upaya paksa, sehingga dalam hal terjadi
intimidasi atau penyiksaan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum
selama masa penyidikan dan penuntutan, tersangka, terdakwa maupun
keluarganya tidak memiliki keberanian untuk mengajukan permohonan
pra peradilan.
Berbagai persoalan yang timbul tersebut pada prinsipnya berkenaan
dengan persoalan kewenangan, para pihak yang berhak mengajukan
permohonan, serta hukum acara pemeriksaan permohonan pra peradilan
yang kemudian memunculkan ide untuk mengganti pra peradilan dengan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ide ini timbul tentunya dengan harapan
bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan mampu mengatasi berbagai
persoalan yang selama ini muncul dalam pra peradilan. Lembaga Hakim
Pemeriksa Pendahuluan memang memiliki kewenangan yang lebih luas
jika dibandingkan dengan pra peradilan. Namun demikian, terlampau
luasnya wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan inilah yang justru turut
menambah alasan ditentangnya lembaga baru ini, selain persoalan biaya
dan infrastuktur, rekrutmen, kondisi geografis Indonesia dan efisiensi
penanganan perkara.
Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan mencoba menjelaskan bahwa
pada prinsipnya akan terjadi pembaharuan hukum acara pidana nasional
melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai pengganti pra peradilan
dengan menitik beratkan pada konsep ideal lembaga pengawasan
kewenangan penyidik dan penuntut umum (mekanisme kontrol
horizontal) dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system). Indikator yang akan digunakan untuk
membandingkan pra peradilan dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah
: (1) kewenangan, (2) para pihak yang berhak mengajukan permohonan
dan (3) hukum acara pemeriksaan permohonan.
362
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
10
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hlm. 9.
Dalam hal ini KUHAP telah menciptakan suatu mekanisme atau sistem checking dan korelasi antara
aparat penegak hukum yang sebagian perannya diserahkan kepada lembaga praperadilan yang
berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan maupun
tindakan lain yang dilakukan penyidik atau penuntut umum. Pengadilan melalui praperadilan ikut
memainkan peranan dalam membatasi kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
aparat penyidik dan penuntut umum sebagai mekanisme kontrol horizontal.
11
Marc Weber Tobias R. David Peterson, Pre-Trial Criminal Procedure, A Survey of Constitutional
Rights, Charles c Thomas, publisher, Springfield Illionis.
12
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, Cetakan Ketiga, Edisi Pertama, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia), 2007, hlm. 27-28.
13
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta : Erlangga, 1980, hlm. 20.
14
Lihat ketentuan pasal 111 ayat 1 RKUHAP.
Spesifik berbicara soal penyadapan, perlu dipikirkan mekanisme khusus yang menyimpang dari
ketentuan ketentuan dalam RKUHAP terkait tindak pidana khusus yang dikualifisir sebagai extra
ordinary crime sehingga membutuhkan extra ordinary tools untuk saat ini.
363
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
364
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
365
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
366
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
367
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
V. Penutup.
Mengingat kewenangannya yang begitu luas, perlu perhatian ekstra
terhadap proses rekrutmen Hakim Pemeriksa Pendahuluan agar hakim
yang menjalankan tugasnya merupakan hakim hakim yang sungguh
kompeten dan berintegritas atau dengan kata lain memenuhi syarat
memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi sebagaimana
disyaratkan undang undang. Terkait hal tersebut Peraturan Pemerintah
yang mengatur lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Hakim Pemeriksa Pendahuluan perlu secara jelas
mengatur kriteria kapabilitas dan integritas moral yang tinggi tersebut.
Selain itu, persoalan yang menjadi sama pentingnya adalah pengawasan
terkait penilaian mengenai ketidakcakapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam menjalankan tugasnya yang dilakukan oleh Tim Pengawas
sebagaimana mekanisme pengawasan di Pengadilan Tinggi. Selain itu,
peran Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas eksternal dalam mengawasi
hakim terutama upaya pencegahan terjadinya pelanggaran terhadap Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) juga harus lebih ditingkatkan.
Perlu pula dipikirkan pola pengawasan yang melibatkan peran civil society
sehingga penilaian yang dilakukan terhadap kapabiltas dan integritas
moral hakim dapat lebih objektif.
368
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
Daftar Pustaka.
Buku.
Adji, Oemar Seno. Hukum Hakim Pidana. Jakarta : Erlangga, Cetakan Kedua,
1984.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1998.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Marc Weber Tobias R. David Peterson, Pre-Trial Criminal Procedure, A Survey
of Constitutional Rights. Charles c Thomas, publisher, Springfield
Illionis
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Cetakan Pertama, 1995.
Pangaribuan, Luhut M P. Lay Judges & Hakim Ad Hoc : Suatu Studi Teoritis
Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta : Fakultas Hukum
Pasca Sarjana Universitas Indonesia dengan Penerbit Papas Sinar
Sinanti, Cetakan Pertama, 2009.
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Edisi Pertama. Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia), Cetakan Ketiga, 2007.
Makalah.
Hamzah, Andi. Penjelasan Beberapa Hal Dalam Naskah Akademik Rancangan
Undang Undang Hukum Acara Pidana, disampaikan pada acara
Sosialisai Naskah Akademik RUU Hukum Acara Pidana, Hotel
Harris Jakarta, 1 November 2010.
_____________. Tanggapan atas Surat No. B/211/I/2010 tertanggal 21 Januari
2010 tentang Saran Kapolri Kepada DPR Terhadap RKUHAP.
Komisi Hukum Nasional, Menguak Misi Komisi Hukum Nasional dan
Kinerjanya, Kilas Balik 6 Tahun Komisi Hukum nasional Republik
Indonesia. Jakarta, Komisi Hukum Nasional, 2006.
Nasution, Adnan Buyung. Beberapa Catatan Tentang Pra Peradilan versus
Hakim Komisaris, disampaikan dalam Acara Diskusi Tematik
Pembaruan Hukum Acara Pidana dengan Tema Pra Peradilan
Versus Hakim Komisaris yang diselenggarakan oleh Masyarakat
Pemantau Peradilan (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 24 Maret 2010.
369
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Internet.
Hakim Komisaris Masih Terus Diperdebatkan, http://www.hukumonline.
com/berita/baca/ho118142/hakimkomisaris-masih-terus-
diperdebatkan, diakses tanggal 24 April 2011.
Penelitian KHN : Praperadilan Mengandung Banyak Kelemahan,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/1t4b29bab9ef3a7/
penelitian-khn-praperadilan-mengandung-banyak-kelemahan,
diakses tanggal 24 April 2011.
Lain-lain.
Surat No. B/211/I/2010 tertanggal 21 Januari 2010 dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia kepada Ketua Komisi III DPR RI tentang Saran
dan masukan Polri atas RUU tentang HAP.
Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana.
370
HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
SEBAGAI JALUR TERJAL
PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh:
Siti Marwiyah, S.H., M.H.
(Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo – Surabaya - Jawa
Timur)
I. Pendahuluan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan sejumlah
kewenangan, termasuk di antaranya menyita dan menyadap pembicaraan.
Karena dua kewenangan itu harus mendapat izin hakim pemeriksa
pendahuluan. Keharusan izin ini merujuk pada draf Revisi UU KUHAP
yang kini dibahas di Komisi III DPR RI.
Koordinator dan Divisi Hukum Peradilan Indonesia Corruption
Watch, Emerson Yunto, menerangkan, bahwa peran hakim pemeriksa
pendahuluan atau hakim komisaris berwenang menentukan apakah
penyitaan atau penyadapan atas pidana korupsi boleh dilakukan KPK,
karena dalam draf RUU KUHAP memberi kewenangan luar biasa (exstra
ordinary) bagi hakim komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) yang
dapat memutuskan dilanjutkan atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan
penyadapan sebuah perkara pidana secara final.
Setidaknya ada sembilan pasal dalam RUU KUHAP yang dinilai
ICW bermasalah dan mengekang kewenangan dan mengebiri eksistensi
KPK yang selama ini memakan banyak korban koroptor dari kalangan
eksekutif, yudikatif, legislatif dan swasta
Pasal 44 RUU KUHAP misalnya menyebutkan, bahwa penuntut
umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak dilakukan penuntutan
ke pengadilan. Hal ini menunjukkan, bahwa dampak dari Pasal 44 yaitu
penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh
Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Sedangkan Pasal 83 menjadi salah satu jalan terjal bagi KPK, karena
KPK baru bisa melakukan penyadapan bilamana mendapat izin dari Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Artinya penyadapan baru bisa dilakukan oleh
KPK bilamana KPK lebih dahulu mendapatkan rekomendasi penyidikan.
Selama hakim pemeriksa pendahuluan tidak memberikan ijin penyadapan,
maka KPK tidak berhak atau tidak boleh melakukannya.
371
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
372
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
373
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Tidak sedikit para pemegang palu dan penentu timbangan keadilan ini
yang berurusan dengan malapraktik profesi hukum. Kalau demikian ini
yang terjadi, bagaimana mungkin mereka mengijinkan KPK melakukan
penyadapan.
Hakim pemeriksa pendahuluan mempunyai otoritas yang membuatnya
bisa terjerumus dalam penyalahgunaan wewenang atau peran. Prof
Klittgard mengingatkan, bahwa korupsi timbul karena adanya monopoli
kekuasaan ditambah diskresi (discretion) yang, tidak diimbangi dengan
pertanggungjawaban (accountability). Rumus C=M+D-A ini menunjukkan
bahwa discretion (otoritas) merupakan kewenangan yang melekat pada
setiap orang atau elite untuk mengambil pilihan dari beberapa alternatif,
yang dilakukan tanpa ada kendali akuntabilitas, sehingga menjadi sumber
korupsi.
Peran yang dimainkan oleh hakim pemeriksa pendahuluan pun bisa
terjerumus ke ranah korupsi, karena hakim ini mempunyai otoritas yang
bersifat eksklusif yang bisa menyeretnya ke tahapan penyalahgunaan
kekuasaan. Misalnya ketika KPK mengajukan permohonan melakukan
penyadapan, hakim pemeriksa ini menolaknya dengan alasan irasional dan
disobyektifitas, padahal dibalik alasan ini, hakim pemeriksa pendahuluan
sudah lebih dahulu dikuasai oleh kalangan mafioso atau pejabat-pejabat
korup.
Logika Klittgard di atas juga sejalan dengan pernyataan paling populer
dari Lord Acton yang menyebut power tend to corrupt, absolute power corrupt
absolutely atau kekuasaan itu cenderung melakukan korupsi dan semakin
absolut kekuasaan, maka korupsi juga semakin absolut. Akibat absolutnya
korupsi di negeri ini, kerugian besar dan berlapis sudah dirasakan oleh
rakyat. Kerugian demikian tidak lepas dari sepak terjang para hakim
bermental korup yang telah menjadikan norma yuridis sebagai instrumen
untuk membenarkannya.
Pada 2012 misalnya ada pemberitaan yang menyebutkan, bahwa
Indonesia kehilangan Rp 2.13 trillion (US$238.6 million) akibat korupsi
pada tahun 2011. Akibat besarnya kerugian negara dan dahsyatnya sepak
terjang koruptor, Corruption Perceptions Index 2012 menempatkan Indonesia
di peringkat 118.
Kondisi buram dan memalukan rezim Indonesia akibat korupsi itu
mengindikasikan kalau pelaku korupsi telah memperlakukan bangsa ini
sekedat obyek jarahan, dan bukan negara atau bangsa yang dimartabatkan.
Kekayaan yang dimiliki rakyat bukan dikembalikan untuk memanusiakan
atau menyejahterakn rakyat, tetapi menyejahterakan diri, keluarga, kroni,
dan partainya. Bahkan mereka terus berusaha jadikan kekuasaan di lini
apapun, termasuk kekuasaan yudisial diintervensi dan dihegemoni supaya
Muhtadi Anwar, Hakim dan Koruptor Kontemporer, Makalah, FGD-Malang Media Centre,
2012, hlm. 3-4.
374
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
375
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain.
Akan tetapi menurut Sudikno Mertokusumo profesi yang paling banyak
melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya
hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus
diselesaikan. Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang
mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil
penemuan hukum itu dituangkan dalam bentuk putusan.
Posisi dan peran fundamental dan sakralitas hakim itu menjadi
kehilangan fundamental dan sakralitasnya itu dapat terbaca ketika
putusan-putusannya “terbaca” membela koruptor. Publik selama ini
sudah demikian sering dikecewakan oleh putusan-putusan hakim yang
memberikan hukuman ringan dan bahkan membebaskan koruptor.
Sebagai sampel kasus, adalah sebagaimana kasus yang terjadi pada
Soedjiono Timan, konsultan dan juga mantan Direktur Utama PT Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia (Dirut PT BPUI) pada tahun 1995-1997. Dalam
kasus ini, putusan Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis Kasasi 15
tahun penjara terhadap Soedjiono Timan dan dibatalkannya ganti rugi Rp
1,2 triliun. Tidak hanya masyarakat dan tokoh bangsa dan lembaga anti
korupsi yang heran dengan putusan tersebut. Internal MA juga dibuat
terperanjat dengan vonis bebas yang penuh kontroversial tersebut. Mantan
hakim agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja berkomentar “Sedih,
putusan ini menyedihkan”.
V. Modrick. pernah menyatakan “saat di masyarakat atau kehidupan
bernegara banyak tumbuh subur penyakit penyimpangan jabatan, bisnis
kekuasaan, penyalahgunaan etik profesi, atau kriminal elite berlaku arogan
dan absolut, maka itu menandakan kalau karakter masyarakatnya toleran,
mudah acuh tak acuh, atau bergaya kompromistik terhadap kejahatan.
Kejahatan diberikannya tempat menyuburkan dan memeratakan dirinya,
sehingga sulit dikendalikan oleh kekuatan elitis negara. Salah satu pemberi
angin segar tumbulnya kejahatan elitis seperti korupsi ini adalah mereka
yang memegang palu sidang (hakim)”
Apa yang dinyatakan Sosiolog tersebut menunjukkan, bahwa
membaca dan memahami model penyimpangan kekuasaan, termasuk di
lingkungan institusi yudisial, yang berjaya, dan menggurita dalam suatu
negara, tidak akan sampai kehilangan obyek dan aktualitasnya, karena
institusi yudisial merupakan lembaga utama dalam bidang pemberantasan
korupsi. Ketika institusi peradilan seperti dunia kehakiman semakin
diragukan oleh publik akibat sering terjerat dalam perkara korupsi, dan
Said Haidar, Hakim dan Keadilan (Catatan Harian Para Pencari Keadilan), Inklusif-Pres,
Malang, 2012, hlm. 23.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/08/27/26497/ironi-demokrasi-koruptor-12-
triliun-uang-bumn-dilepaskan-ma/, akses 8 November 2013.
Bambang Satriya, Hukum Indonesia Masih di Simpang Jalan, Nirmana Media, Jakarta, 2012.
376
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
bukan karena sibuk menjerat koruptor dengan landasan etik, maka tidak
bisa disalahkan ketika publik memosisikannya sebagai ancaman atau jalur
terjal yang menghambat pemberantasan korupsi.
377
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Daftar Pustaka.
Bambang Satriya, Hukum Indonesia Masih di Simpang Jalan, Nirmana Media,
Jakarta, 2012.
G.W Paton, A Text-book of Jurisprudence, Oxford University Press, London,
1964.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/08/27/26497/
ironi-demokrasi-koruptor-12-triliun-uang-bumn-dilepaskan-ma/,
akses 8 November 2013.
http://www.negarahukum.com/hukum/ironi-hakim-tipikor.html, akses
5 November 2013.
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana,
Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995.
Muhtadi Anwar, Hakim dan Koruptor Kontemporer, Makalah, FGD-Malang
Media Centre, 2012
Said Haidar, Hakim dan Keadilan (Catatan Harian Para Pencari Keadilan),
Inklusif-Pres, Malang, 2012.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1991.
Syifaul Qulub, Asas Hukum, http://rangerwhite09-artikel.blogspot.
com/2010/05/asas-hukum.html, akses 5 November 2013.
378