Anda di halaman 1dari 400

KHN

KOMISI HUKUM NASIONAL


REPUBLIK INDONESIA

PROBLEMATIKA
PEMBARUAN
HUKUM PIDANA
NASIONAL

Berdasarkan
Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013
(SPHN 2013)
“Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional”
Jakarta – Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
26 – 27 November 2013.

Dan Diseminasi Rekomendasi bagi Pembaruan Hukum di Indonesia Tahun 2013


(Diseminasi 2013)
“Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional”
Jayapura – Propinsi Papua, 4 Desember 2013.
Yogyakarta – Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 11 Desember 2013

2013
PROBLEMATIKA
PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL
Jakarta : Komisi Hukum Nasional RI,
Cetakan Pertama : Desember 2013
Jl. Diponegoro 64, Jakarta Pusat 10310
Website : http//www.komisihukm.go.id

ISBN :

Penanggung Jawab/Peneliti Utama : Peneliti :


1. Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., MA 1. Mujahid A. Latief, S.H., M.H.
(Ketua) 2. T. Rifqy Thantawi, S.H., M.Si.
2. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., MA 3. Hardian Aprianto, S.H.
(Sekretaris) 4. M. Jody Santoso, S.H.
5. Ikhwan Fahroji, S.H.
3. Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. 6. Jamil Burhan, S.H.
(Anggota) 7. Totok Suryawan Wibisino, S.H.
4. Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., MA., M.Sc. 8. Sulaiman Sujono, S.H.
(Anggota) 9. Aryanti Hoed, S.H., LL.M.
10. Diani Indah Rachmitasari, S.H.
11. Yuniarti Widyaningsih, S.H.
12. Gina Nurthika Rajagukguk, S.H.
Tim Penerbitan :

1. Mohammad Saihu, M.Si.


2. Agus Surono, S.Sos
3. Suyanto Londrang, S.H.
4. Farakh Harahap, S.H.
5. Sadariyah Ariningrum

© Hak Cipta dilindungi undang-undang


Diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI
"Pengutipan, pengalibahasaan dan penggandaan (copy)
isi buku ini demi pembaruan hukum diperkenankan
dengan menyebutkan sumbernya'
*tidak untuk dijual*
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................
SAMBUTAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA.......
SAMBUTAN PEMERINTAH PROPINSI PAPUA.................................
SAMBUTAN PEMERINTAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA...........................................................................................

DISEMINASI 2013: SINKRONISASI PEMIDANAAN DALAM RUU


HUKUM PIDANA DENGAN UU LAINNYA, DAN PENG-GUNAAN
HUKUM ADAT (TULISAN PEMBAHAS)...........................................
I.1. Hukum yang Hidup – ”The Living Law” dalam RUU KUHP.
Oleh: Sirande Palayukan, S.H.,M.Hum.....................................
I.2. Sinkronisasi Pemidanaan dan Penggunaan Hukum Adat.
Oleh: Asdar Djabbar, S.H., M.Hum...........................................

DISEMINASI 2013: KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA


PENDAHULUAN (TULISAN PEMBAHAS)........................................
II.1. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Kewenangan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan/Hakim Komisaris.
Oleh: Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H.,M.H....................
II.2. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Kewenangan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan.
Oleh: Dr. Trisno Raharjo, S.H.,M.Hum.....................................
II.3. Praperadilan dan Hakim Komisaris.
Oleh: Brigadir Jenderal Polisi Drs. R. M. Haka Astana M. Widya,
S.H...................................................................................................
II.4. Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan/Hakim Komisaris.
Oleh: Dr. Heru Iriani, S.H., M.H.................................................

SPHN 2013: SINKRONISASI PEMIDANAAN DALAM RUU HUKUM


PIDANA DENGAN UU LAINNYA (TULISAN PEMBAHAS)........
III.1. Beberapa Catatan atas RUU KUHP Tahun 2012.
Oleh: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H.,LL.M.......................
III.2. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Sinkronisasi
Pemidanaan dalam RUU Hukum Pidana dengan UU Lainnya.
Oleh: Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.................................................

iii
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

SPHN 2013: PENGGUNAAN HUKUM ADAT


(TULISAN PEMBAHAS)..........................................................................
IV.1. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Penggunaan Hukum
Adat.
Oleh: Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, S.H., M.A...................

SPHN 2013: KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN


(TULISAN PEMBAHAS)..........................................................................
V.1. Beberapa Hal dalam Rancangan KUHAP.
Oleh: Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.............................................
V.2. Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana.
Oleh: Prof. Dr. Eddy O. S. Hiariej, S.H.,M.H............................
V.3. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Kewenangan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan.
Oleh: Komisaris Besar Polisi Dr. Drs. R. Sigid Tri Hardjanto, S.H.,
M.Si.................................................................................................

SPHN 2013: SINKRONISASI PEMIDANAAN DALAM RUU HUKUM


PIDANA DENGAN UU LAINNYA (TULISAN HASIL ”CALL FOR
PAPERS”)....................................................................................................
VI.1. Membumikan Pemidanaan Progresif.
Oleh: Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A...........................................
VI.2. Sinkronisasi Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana
bagi Korporasi Publik dalam Beberapa Undang-Undang Organik
dengan RUU Hukum Pidana.
Oleh: Galuh Praharafi Rizqia, S.H., M.H...................................
VI.3. Menyoal Pemberatan Pidana Sepertiga dan Duapertiga pada UU
ITE dan Harmonisasinya atas RUU KUHP.
Oleh: Dr. Go Lisanawati, S.H., M.Hum.....................................
VI.4. Sinkronisasi Pengaturan Tindak Pindana Perpajakan Antara
RUU KUHP dan RUU KUHAP dengan Lex Specialis di Bidang
Perpajakan.
Oleh: Irine Handika, S.H., LL.M . ..............................................
VI.5. Penafsiran Hakim terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Oleh: Dr. Ismail Rumadan, S.H., M.H.......................................
VI.6. Perkembangan Hukum Pidana Lingkungan Kini dan Masa
Depan.

iv
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Oleh: Kamal Pasinringi, S.H., M.H............................................


VI.7. Sinkronisasi Pemidanaan dalam RUU KUHP dengan Undang-
Undang di Luar KUHP dalam Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia.
Oleh: Lushiana Primasari, S.H.,M.H..........................................
VI.8. Pembaharuan Pemidanaan dalam Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia.
Oleh: Maria Ulfah, S.H., M.Hum................................................
VI.9. “Memaafkan Terpidana” dalam Paradigma Negara Hukum.
Oleh: Dr. Mariyadi Faqih, S.H.,M.H..........................................
VI.10. Kebijakan Formulasi Norma Hukum Sanksi Pidana bagi Jasa
Penagih Hutang (Debt Collector) di Indonesia.
Oleh: Masrudi Muchtar, S.H., M.Hum......................................
VI.11. Politik Hukum Pidana Indonesia, Menuju Pembaharuan Hukum
Pidana yang Berbasis pada Pancasila.
Oleh: Mokhammad Najih, S.H.,M.H.........................................
VI.12. Sinkronisasi Pemidanaan di Indonesia Menuju Hukum
Pelaksanaan Pidana Berdasarkan Pancasila.
Oleh: Dr. Mompang Lycurgus Panggabean, S.H.,
M.Hum...........................................................................................
VI.13. Harmonisasi Ketentuan Sanksi Pidana dalam Perancangan
Peraturan Perundang-undangan sebagai Upaya Pembenahan
Problem “Hulu” Pemidanaan di Indonesia.
Oleh: Muh. Risnain, S.H. M.H....................................................
VI.14. Konkretisasi Pengaturan Sanksi Pidana Kerja Sosial sebagai
Implementasi Konsep Restorative Justice dalam Kerangka
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.
Oleh: Rahel Octora, S.H., M.Hum..............................................
VI.15. Selubung Kekuasaan, dan Pengetahuan pada Pemidanaan
– Perspektif Diskursus Teori Michel Foucault.
Oleh: Ufran, S.H., M.H . ..............................................................

SPHN 2013: PENGGUNAAN HUKUM ADAT (TULISAN HASIL


”CALL FOR PAPERS”).............................................................................
VII.1. Politik Pembaruan Hukum Pidana Berbasis ”Living Law”.
Oleh: Prof. Dr. H. Bambang Satriya, S.H., M.H.......................
VII.2. Hukum Adat sebagai Alas Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional: Refleksi dan Proyeksi.
Oleh: Dr. Deni Bram, S.H., M.H., Budiyanto, S.H., M.H., Warih
Anjari, S.H., M.H...........................................................................


Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

VII.3. MengIndonesiakan Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan


Hukum Pidana.
Oleh: Hairus, S.H..........................................................................
VII.4. Kedudukan Kalo Sara (Hukum Adat) dalam Penyelesaian Tindak
Pidana Perzinahan (Umoapi) pada Masyarakat Suku Tolaki di
Kabupaten Konawe Propinsi Sulawesi Tenggara.
Oleh: Prof. Dr. H. Muntaha, S.H., M.H.....................................
VII.5. Pluralisme Hukum Pidana sebagai Suatu Keniscayaan (Perspektif
Antropologi Hukum).
Oleh: Dr. Rini Fidiyani, S.H., M.Hum.......................................

SPHN 2013: KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN


(TULISAN HASIL ”CALL FOR PAPERS”)..........................................
VIII.1. Hakim Komisaris dalam ”Patronase Yudisial”.
Oleh: Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A...........................................
VIII.2. Alat Bukti Pengamatan Hakim dalam RUU KUHAP, Sarana
Hakim dalam Menemukan Hukum (Rechtsvinding).
Oleh: Aris Budi, S.H.....................................................................
VIII.3. Urgensi Keberadaaan Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia.
Oleh: Endang Suparta, S.H., M.H...............................................
VIII.4. Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam Perspektif Pancasila, Asas-Asas
Hukum dan Politik Hukum Nasional.
Oleh: Dr. Hotma P. Sibuea, S.H., M.H., Maman Suparman, S.H.,
M.H., KMS. Herma, S.H., M.Si...................................................
VIII.5. Kewenangan Hakim Komisaris untuk Mencapai Kepastian,
Keadilan dan Kemanfaatan Hukum.
Oleh: Ida Keriahenta Silalahi, S.H., M.H...................................
VIII.6. Upaya Pembaharuan Hukum Acara Pidana Nasional melalui
Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai Pengganti Pra Peradilan.
Oleh: Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H.....................................
VIII.7. Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai Jalur Terjal
Pemberantasan Korupsi.
Oleh: Siti Marwiyah, S.H., M.H..................................................

vi
KATA PENGANTAR

Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN), pertama kali diadakan


KHN pada tahun 2003, dengan tema “Membangun Indonesia Baru
Yang Demokratis; Transparan, Partisipatif dan Akuntabel”. Selanjutnya
diadakan pada tahun 2004 dengan tema “Membangun Paradigma Baru
Pembangunan Hukum Nasional”. SPHN berlanjut diselenggarakan
setiap tahun hingga tahun 2012 lalu dan diselenggarakan pula di tahun
2013 ini. SPHN yang diselenggarakan setiap tahunnya selalu mempunyai
tema yang khas, yang bermaksud untuk menyelaraskan dinamika hukum
yang berkembang di masyarakat dengan kegiatan yang dilakukan KHN
sebelum penyelenggaraan SPHN. Bahkan SPHN juga merupakan sarana
untuk melakukan analisis terhadap kegiatan reformasi hukum yang
telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, dan sebagai evaluasi
pelaksanaan pembangunan hukum yang direncanakan Pemerintah.
Dalam setiap SPHN, KHN mengimplementasikan “call for papers”.
Dengan “call for papers”, keselarasan dinamika hukum yang berkembang
di masyarakat dengan kegiatan yang dilakukan KHN menjadi lebih
terwujudkan. Dengan “call for papers” juga, KHN membahas tema yang
direpresentasikan dengan tulisan yang berbasis penelitian hukum maupun
sosial. Berkaitan dengan hal itu, KHN selalu mengundang perguruan tinggi
negeri, perguruan tinggi swasta, lembaga pemerintah, lembaga swasta dan
perorangan tertentu di 33 propinsi, untuk mengirimkan tulisan-tulisan
terbaiknya yang berbasiskan penelitian hukum maupun sosial yang telah
dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
KHN juga menindaklanjuti SPHN yang telah diselenggarakan pada
tanggal 26 – 27 November 2013 di Jakarta tersebut, dengan melakukan
Diseminasi ke daerah. Diseminasi tersebut dalam rangka diseminasi
rekomendasi bagi pembaruan hukum di Indonesia. Diseminasi ke Daerah,
pertama kali diadakan KHN pada tahun 2003. Setelah tidak diadakan di
tahun 2004, 2005 dan 2006, maka selanjutnya Diseminasi ke Daerah kembali
diadakan pada tahun 2007. Sejak 2007 itu, Diseminasi ke Daerah berlanjut
diselenggarakan setiap tahun hingga tahun 2012 lalu dan diselenggarakan
pula di tahun 2013 ini. Di tahun 2013 ini, Diseminasi ke Daerah bertempat
di 2 Daerah yaitu Jayapura – Propinsi Papua pada tanggal 4 Desember
2013 dan Yogyakarta – Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal
11 Desember 2013.
KHN bersyukur bahwa SPHN maupun Diseminasi 2013 telah berjalan
dengan baik, dengan dihadiri oleh berbagai kalangan, terutama Mahkamah
Agung, Pemerintah Propinsi Papua dan Pemerintah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan sambutannya sekaligus

vii
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

membuka acara tersebut. Dengan selesainya pelaksanaan SPHN maupun


Diseminasi 2013, KHN tetap mampu membuktikan untuk senantiasa
membangun proses “bottom up” dalam pembaruan hukum di Indonesia.
Substansi yang terjadi dalam proses “bottom up” tersebut, tercermin
dengan berbagai pemikiran yang berkembang di dalam SPHN maupun
Diseminasi 2013. Di dalamnya terdapat perpaduan pemikiran dari para
pengirim tulisan hasil seleksi “Call for Papers” dan para pembahas
sesuai dengan keahlian dan pengalamannya di pusat Ibukota Jakarta dan
daerah (Jayapura dan Yogyakarta). Hal tersebut telah KHN rangkum di
dalam buku ini yang berjudul “Problematika Pembaruan Hukum Pidana
Nasional”. Adapun penjelasan mengenai substansi SPHN dan Diseminasi
2013 yang bertema “Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional terdapat
dalam bagian di bawah ini.

SPHN dan Diseminasi 2013: Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional.


Di tahun 2013, KHN mencoba menganalisis bagaimana arah pembaruan
hukum pidana nasional pasca diserahkannya RUU Hukum Pidana dan
RUU Hukum Acara Pidana oleh pemerintah kepada DPR. Berdasarkan
pertimbangan yang telah dipikirkan KHN, dan juga keterbatasan yang
dimiliki oleh KHN, bahwa sehubungan dengan tema “Arah Pembaruan
Hukum Pidana Nasional”, yang menjadi sub bahasan atau sub tema dalam
SPHN dan Diseminasi 2013 ialah:
1. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Sinkronisasi Pemidanaan
dalam RUU Hukum Pidana dengan UU Lainnya.
2. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Penggunaan Hukum
Adat.
3. Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Kewenangan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan.
Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional dalam ketiga hal tersebut
dapat dijadikan indikasi bagaimana pelaksanaan peran hukum pidana di
Indonesia di masa mendatang. Adapun penjelasan singkat dari masing-
masing sub tema tersebut terdapat dalam uraian di dalam bagian di bawah
ini.

Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Sinkronisasi Pemidanaan


dalam RUU Hukum Pidana dengan UU Lainnya.
Di dalam Pasal 54 RUU Hukum Pidana, disebutkan bahwa pemidanaan
bertujuan: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang
baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
viii
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai


dalam masyarakat; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia. Realitas saat ini ialah begitu banyak undang-undang
yang memuat sanksi pidana yang terdapat potensi bahwa satu sama lain
tidak tersinkronisasi dengan baik. Keadaan yang demikian itu dapat
membuat rumusan pemidanaan yang terdapat di berbagai undang-
undang, tidak mampu mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri, terlebih
lagi dengan idealitas tujuan pemidanaan dalam RUU Hukum Pidana jika
kelak disahkan menjadi undang-undang.
Hal yang demikian tersebut di atas, membutuhkan pemahaman
dan kearifan yang cukup dari aparat penegak hukum (Kepolisian dan
Kejaksaan) serta Hakim dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan, agar
potensi tidak tersinkronisasi dan terharmonisasinya sanksi pidana di
berbagai undang-undang, tetap tidak menjadi hambatan tercapainya
tujuan pemidanaan. Hal yang demikian tersebut di atas, juga menjadi hal
yang menarik bagi para pengamat hukum untuk tetap menelaah bentuk
terbaik dari pengaturan sanksi pidana di berbagai undang-undang.

Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Penggunaan Hukum Adat.


Dalam Pasal 1 ayat (2) RUU Hukum Pidana disebutkan bahwa
dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Ketentuan tersebut mempertegas prinsip legalitas yang menjadi prinsip
utama dalam RUU Hukum Pidana sebagaimana tersebut di dalam Pasal 1
ayat (1) RUU Hukum Pidana yaitu tiada seorang pun dapat dipidana atau
dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan
sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada saat perbuatan itu dilakukan. Hanya saja realitas kebiasaan masyarakat
Indonesia mempunyai kaidah tersendiri yang diantaranya mempunyai
sanksi yang biasa dikenal dengan hukum adat. Hukum adat yang demikian
tentu tidak tertulis, dalam arti tidak menjadi hukum tertulis yang resmi
disahkan negara sebagaimana halnya undang-undang. Oleh karenanya, di
dalam Pasal 2 disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian, di dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa berlakunya hukum
yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa.
Hal yang demikian tersebut di atas, menarik untuk ditelaah oleh para
pengamat hukum, terlebih lagi dengan adanya ketentuan di dalam Pasal

ix
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

756 ayat (1) RUU Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa setiap orang
yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang tidak tertulis
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi
pidana adalah tindak pidana.

Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional – Kewenangan Hakim


Pemeriksa Pendahuluan.
Sejak awal keberadaannya, hukum pidana dan hukum acara pidana
diperuntukkan melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan
penguasa. Dalam hal ini J. E. Sahetapy, meminjam konsep Jerome H.
Skolnick yang mengatakan bahwa ”criminal procedure is intended to
control authorities, not criminals”. Hal senada juga diungkapkan Mardjono
Reksodiputro yang mengatakan bahwa fungsi dari suatu hukum acara
pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak
terhadap setiap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan.
Dalam kerangka tersebut, kebutuhan pada pembaruan hukum acara
pidana di Indonesia telah direspon oleh pemerintah dengan membuat
suatu RUU tentang Hukum Acara Pidana.
Hal yang demikian tersebut di atas, menarik untuk ditelaah oleh para
pengamat hukum, terutama karena terdapat hal yang dapat merekonstruksi
kembali peran hakim dalam tahap pra ajudikasi (sebelum persidangan)
seperti dengan adanya Hakim Komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan).
Rekonstruksi peran Hakim menjadi penting karena Hakim merupakan
benteng keadilan terakhir dan juga berwenang mencari kebenaran materil
dalam suatu peradilan pidana. Hakim Komisaris (Hakim Pemeriksa
Pendahuluan) di dalam Bab IX RUU Hukum Acara Pidana pada dasarnya
merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum
di satu pihak dan hakim di lain pihak. Wewenang Hakim Komisaris
(Hakim Pemeriksa Pendahuluan) lebih luas dan lebih lengkap daripada
prapenuntutan (lembaga praperadilan) yang ada di UU tentang Hukum
Acara Pidana saat ini (KUHAP). Keberadaan Hakim Komisaris (Hakim
Pemeriksa Pendahuluan) menjadi hal yang penting untuk menjamin proses
peradilan pidana dalam tahap pra ajudikasi, tetap berada dalam jalur yang
benar dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia. Permasalahan tahap
pra ajudikasi yang banyak terjadi saat ini, menjadi masalah yang berlanjut
pada kelemahan pencarian keadilan dalam tahap ajudikasi (persidangan)
selama ini.

Jakarta, Desember 2013.


Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,
Ketua,

Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H., M.A.


SAMBUTAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA DALAM SEMINAR
PENGKAJIAN HUKUM NASIONAL

Yang saya hormati,


Bapak Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H., M.A.
Bapak Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.
Bapak Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
Bapak Suhadibroto, S.H.
Bapak Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H.
Bapak M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc.
Bapak Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.
Beserta Tokoh-Tokoh Hukum Lainnya yang telah menghadiri Seminar
Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 pada pagi hari menjelang siang
hari ini.

Para Panelis, Para Pemakalah, Ibu dan Bapak sekalian, serta para peserta
dan hadirin yang berbahagia,
Pertama-tama mari lah kita panjatkan puji dan syukur kepada
Tuhan yang Maha Esa. Atas perkenan-Nya lah, kita dapat menghadiri
Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 yang dilaksanakan
oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia dengan tema “Arah
Pembaruan Hukum Pidana Nasional”. Selanjutnya, perkenankan lah saya
menyampaikan permohonan maaf dari Yang Mulia Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Bapak Dr. Haji Muhammad Hatta Ali, S.H.,
M.H. karena pada saat ini, pada saat yang bersamaan ini, Beliau sedang
menghadiri acara yang tidak dapat diwakilkan, sehingga menugaskan
saya untuk menyampaikan sambutan dan pokok-pokok pikiran, ke arah
pembaruan hukum pidana sebagaimana tema yang akan diseminarkan
pada hari ini, sekaligus membuka acara seminar pada hari ini.

Hadirin yang berbahagia,


Saya sangat mengapresiasi forum seminar yang membahas berbagai
paper dan penelitian hukum dan sosial melalui metode “call for papers”.
Dengan metode ini, saya tentunya berharap agar pemikiran-pemikiran
yang dikemukakan melalui seminar ini, sudah melalui proses pengkajian
yang mendalam mengenai persoalan-persoalan hukum nasional dan hal
itu sudah terseleksi bagian demi bagian pembahasannya.
xi
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Demikian peran Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,


kiranya terus menjadi tempat berkumpulnya para ahli hukum untuk
membicarakan permasalahan-permasalahan hukum dan tentunya ini
dapat mengimbangi pengetahuan masyarakat yang sering merujuk pada
acara-acara talk show hukum di berbagai stasiun televisi nasional. Di sini
lah tempatnya bagi para ilmuwan untuk berpikir, dan menemukan solusi
atas permasalahan hukum nasional yang kita hadapi. Tema seminar yang
diangkat pada saat ini semuanya merupakan persoalan yang nyata, dan
mari kita duduk bersama menjauhkan diri dari hingar bingar dan sisi
pelik politik. Perlu kita sadari juga bahwa pada akhirnya materi-materi
yang dibahas pada saat ini semuanya akan melalui proses politik. Namun
sudah saatnya pemikiran-pemikiran kita yang akan dimunculkan tidak
saja merupakan pertimbangan politik praktis namun berdasarkan suatu
pemikiran yang mendalam. Bahkan melalui proses dekonstruksi hukum
untuk mendapatkan hukum yang bermartabat, dan bisa menjamin
keadilan dan kepastian bagi semua golongan masyarakat, dan bukan
untuk kepentingan sekelompok masyarakat saja.

Hadirin yang berbahagia,


Ketiga sub tema dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional ini,
yang pertama mengenai “Sinkronisasi Pemidanaan dalam RUU Hukum
Pidana dengan UU lainnya”, yang kedua mengenai “Penggunaan Hukum
Adat”, dan yang ketiga mengenai “Kewenangan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan”, merupakan persoalan aktual hukum saat sekarang ini.
Pengertian Hakim Pemeriksa Pendahuluan pada saat yang lalu dikenal
juga dengan bagaimana pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh Hakim
Komisaris.
Pada kesempatan ini, izinkan kami memberikan beberapa pokok
pikiran berkaitan dengan tema dan sub tema dalam Seminar Pengkajian
Hukum Nasional ini:
1. Yang pertama, dalam kaitannya dengan harmonisasi pemidanaan
sebelum sampai pada rumusan ketentuan pidana, perlu dikaji lebih
mendalam tentang prinsip ultimum remedium atau lebih dikenal dengan
upaya hukum yang terbatas atau merupakan upaya hukum yang terakhir
saja, sehingga pemidanaan perlu dipertimbangkan lagi. Artinya sanksi
pidana itu diminimalisasi sedapat mungkin. Kecenderungan yang
terjadi dalam beberapa dekade akhir-akhir ini, justru sanksi pidana telah
terjadi primum remedium, atau bagaimana hukum mengedepankan sanksi
pidana. Dalam hal ini, melegalisasi atau legislasi secara nasional, perlu
dikaitkan dengan sanksi pidana bagi masyarakat umum. Hukum tanpa
sanksi pidana seperti terasa kurang “tajam” atau menjadi “hambar”
atau “tumpul”. Ini persoalan yang terjadi saat ini jika dihubungkan

xii
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dengan sub tema yang pertama dalam seminar ini. Benarkah pemikiran
yang seperti itu bahwa sekarang sudah saatnya kita mengedepankan
sanksi pidana, dibandingkan dengan upaya menggunakannya sebagai
upaya terakhir. Ibu dan Bapak sekalian, saya harus menyampaikan
suatu pemikiran terutama perlunya para pembuat undang-undang, kita
paham mengenai konteks berpikir para pembuat undang-undang ini,
yang harus disadari bahwa undang-undang kita memiliki kelemahan-
kelemahan dalam menentukan sanksi pidana yang tepat, atau paling
tidak harus ada kesetaraan atau standar norma. Tidak ada standar
norma yang mendekati kebenaran, maka rumusan sanksi pidana hanya
merupakan “selera” subyektif dari para pembuat undang-undang.
Sebagai dampaknya ialah rumusan sanksi pidana yang telah dibuat
oleh pembuat undang-undang, tidak saja merupakan suatu hal yang
disharmonis dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi
juga menjadi ketidakharmonisan yang setara dengan undang-undang
di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tidak cukup mengatur mengenai standar perumusan sanksi
pidana. Walaupun pada akhirnya akan berujung pada kebebasan dan
keyakinan hakim dalam memutuskan sanksi dalam suatu perkara,
namun bukan suatu persoalan yang mudah bagi hakim apabila terjadi
diversitas atau adanya perbedaan-perbedaan yang timbul yang hakim
harus segera menggunakan keyakinannya, menggunakan logikanya,
dalam menentukan standar norma yang kadang-kadang tidak jelas di
atur dalam perundang-undangan, untuk menempatkan keadilan di
dalam kasus pidana. Berdasarkan persoalan tersebut, maka Seminar
Pengkajian Hukum Nasional ini diharapkan dapat mengangkat
dan membicarakan sebab-sebab terjadinya disharmonisasi dalam
perundang-undangan dan juga peraturan daerah.
2. Selanjutnya, dalam penggunaan hukum adat, putusan Mahkamah
Konstitusi telah membuka ruang dan jaminan bagi pengakuan
masyarakat hukum adat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga
telah menjadikan dasar bagi penyusun undang-undang dalam membuat
Rancangan Undang-Undang tentang Desa, yang sampai dengan saat ini
telah berada dalam proses akhir pembahasan di DPR. Pembahasannya
oleh Panitia Khusus Komisi Pemerintahan Dalam Negeri di DPR.
Intinya, dari perkembangan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, ke depan keberadaan hukum adat akan semakin diakui dalam
berbagai undang-undang. Oleh karena itu perlu dilakukan harmonisasi
yang mengarah pada pemanfaatan kontribusi hukum adat dalam
kehidupan sehari-hari atau dalam hukum nasional kita. Saya juga perlu
mengingatkan bahwa ada 4 (empat) sub sistem hukum dari total hukum
nasional kita, hukum adat diantaranya, hukum barat, hukum agama
yang dalam hal ini ialah hukum Islam, dan hukum nasional itu sendiri.

xiii
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Harmonisasi diantara keempat sub sistem hukum ini akan menjadi hal
yang penting di masa mendatang. Dalam kaitannya dengan pengakuan
hukum adat, kami berpendapat bahwa ada 2 (dua) hal, yang pertama
dalam hal ini ialah perlunya mengangkat prinsip-prinsip penyelesaian
dengan musyawarah, yang mengangkat nilai-nilai hukum adat dalam
format restorative justice. Suatu model yang melibatkan pihak sebagai
pelaku dan pihak lainnya sebagai korban dalam kasus pidana, untuk
mendapatkan solusi sebagai, untuk menciptakan keseimbangan atau
mengembalikan keadaan seperti semula, melalui proses perundingan
untuk menentukan cara penyelesaian akhir bagi para korban dan
pelaku itu sendiri. Pada sisi yang lain, hal-hal yang penting yang perlu
diperkuat adalah posisi hukum pidana yang akan mengadopsi Pasal
756 ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Pidana
bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum
tidak tertulis dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan sanksi pidana adalah tindak pidana. Ini perlu dirumuskan
dengan lebih baik yang mungkin dapat dilakukan dalam seminar ini.
Hal ini karena rumusan ini sangat umum dan berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum. Perlu kiranya melibatkan Tim Perumus dan
Tim Pembahas Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Pidana
agar dapat diinventarisir kembali perbuatan-perbuatan yang dilarang
di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Pidana,
dibandingkan dengan aspek perbuatan-perbuatan yang dilarang di
masyarakat, agar tidak terjadi interpretasi secara sendiri-sendiri.
3. Selanjutnya mengenai keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan,
atau yang dahulu dikenal juga dengan Hakim Komisaris. Secara
filosofis keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan
bentuk komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia. Oleh
karena itu, dibandingkan dengan mekanisme praperadilan, maka
keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan memiliki aspek
positf terhadap akses masyarakat untuk memperjuangkan hak asasi
manusianya, yang seringkali hak tersebut diabaikan oleh aparat
penegak hukum terutama penyidik. Penyidik harus dapat menjelaskan
keadaan tersangka pada hakim setiap saat sehingga pelaksanaan hak
asasi tersangka dapat diketahui pada persidangan nanti. Pelaksanaan
sistem Hakim Komisaris ini nanti akan bersinggungan dengan peran
dan bahkan kepentingan dari aparat dan institusi hukum yang ada,
namun kami berpandangan bahwa ketika sosiologis sistem yang ada
pada saat ini tidak dapat menjamin pelaksanaan hak asasi manusia dan
keadilan bagi masyarakat, maka model ini, sistem Hakim Komisaris ini,
akan menjadi sistem yang “mau tidak mau” diadopsi ke dalam sistem
hukum nasional kita.

xiv
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Hadirin yang berbahagia,


Demikian lah kiranya pokok-pokok pikiran kami, yang dapat kiranya
dibicarakan atau dibahas lebih lanjut dalam seminar ini. Sekali lagi,
kami mengucapkan selamat mengikuti seminar ini, dan kiranya dapat
bermanfaat bagi kemajuan hukum nasional, khususnya penegakan hukum
pidana nasional. Dengan ini pula, atas nama Yang Mulia Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Bapak Dr. Haji Muhammad Hatta Ali, S.H.,
M.H., saya membuka Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013,
yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,
dan dengan ini saya menyatakan bahwa acara Seminar Pengkajian Hukum
Nasional Tahun 2013 ini, resmi dibuka. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 26 November 2013.


Atas Nama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Hakim Agung Republik Indonesia,

Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H.

xv
SAMBUTAN GUBERNUR PEMERINTAH
PROPINSI PAPUA DALAM DISEMINASI
REKOMENDASI BAGI PEMBARUAN HUKUM DI
INDONESIA

YM. Ketua MRP;


Yth. Ketua DPRP;
Para Anggota FOKORPIMDA Propinsi Papua;
Perwakilan dari Kepolisian Daerah Propinsi Papua;
Perwakilan dari Pengadilan Tinggi Propinsi Papua
Ketua Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia beserta Rombongan;
Para Peserta;
Undangan dan Hadirin yang berbahagia.

Selamat pagi,
Syaloom,
Salam sejahtera bag ikita semua,
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Mengawali sambutan ini, saya mengajak kita sekalian untuk


menaikkan pujian dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
kasih dan pertolonganNya, kita semua diberikan kesempatan untuk
dapat hadir di tempat ini dalam rangka melaksanakan acara Pembukaan
Diseminasi Rekomendasi bagi Pembaruan Hukum di Indonesia pada hari
ini.

Hadirin yang saya hormati,


Penegakan hukum yang bertanggung-jawab (akuntabel) dapat
diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan
terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku,
juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem
hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan
bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan
serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada
tegaknya kepastian hukum.
xvi
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kita perlu ketahui bersama


penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu
anehnya masyarakat pun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum,
sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika
terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu
bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau
melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar
masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses
hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya.
Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement
di negeri ini.
Sekalipun tidak komprehensif perlu ada langkah-langkah untuk
membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain:
1. Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi
perangkat hukum serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-
undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No. 4 tahun 2004
terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi
pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,
dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau
karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana
telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum
baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit
Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum
yang sedang ditegakkannya.
3. Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana
para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas
(non Hakim aktif, Jaksa aktif, dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi
proses penegakan hukum (law enforcement) dimana lembaga tersebut
nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi
para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau
melanggar proses penegakanhukum [vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU
No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3
ayat (2) dan (3) Jo. Psl. 18 ayat (1) dan (4) UU No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (HAM)].
4. Perlu dilakukannya standardisasi dan pemberian tambahan
kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang
digaji yaitu: Hakim, Jaksa dan Polisi (Non Advokat) agar profesionalisme
mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia dalam
kerjanya lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu
sendiri.
xvii
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

5. Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara


intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum
yang mengatakan bahwa; “setiap masyarakat dianggap tahu hukum“,
sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan
serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan
Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat
diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan
peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan
dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi
tercapainya tujuan hukum itu sendiri.
6. Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang
konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai
dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum,
yaitu: Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut
dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat.
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem
penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa
ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’),
karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem
hukum pemerintahan. Pemerintahan negara (‘lapuissance de executrice’)
harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya
dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya
terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik
hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat
Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan
dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum
(‘rechtsstaat’). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria/ukuran
yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol
dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya
akan menjadi mimpi belaka.

Hadirin yang saya hormati,


Sebagai Gubernur Pemerintah Propinsi Papua, saya menyambut baik
kegiatan yang dilaksanakan ini. Dan mendukung segala upaya penegakan
hukum yang sedang, akan dan nanti dilaksanakan oleh para penegak
hukum di tanah Papua sesuai Visi saya yaitu Papua Bangkit, Mandiri dan
Sejahtera.
Harapan saya, kegiatan ini dapat berlangsung dengan baik sehingga
apa yang menjadi tujuan dari kegiatan ini dapat tercapai, sehingga kedepan
upaya-upaya penegakan hukum di Indonesia dapat berjalan dengan baik

xviii
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dan benar, dan mampu memberikan rasa keadilan bagi para pencari
keadilan di negeri ini. Sehingga yang benar tetap dibenarkan dan salah
tetap disalahkan, bukan yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan,
yang pada akhirnya tidak ada kepastian hukum di Republik ini sehingga
publik atau masyarakat bingung mau mencari keadilan kemana lagi.
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan
yang berbahagia ini.
Akhirnya, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa, Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaruan Hukum di
Indonesia Tahun 2013, dengan resmi saya nyatakan dibuka.

Sekian dan terima kasih.


Tuhan memberkati.

Jayapura, 4 Desember 2013.


Gubernur Pemerintah Propinsi Papua

Lukas Enembe, SIP., M.H.

xix
SAMBUTAN GUBERNUR PEMERINTAH
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DALAM DISEMINASI REKOMENDASIBAGI
PEMBARUAN HUKUM DI INDONESIA

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Salam sejahtera bagi kita semua,

Yth. Ketua Komisi Hukum Nasional RI,


Prof.Dr.J.E. Sahetapy,SH, MA;
Para Narasumber, serta
Hadirin dan Para Peserta Diseminasi yang berbahagia,

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita
masih diberi kesempatan untuk hadir dan berkumpul di tempat ini dalam
keadaan sehat wal’afiat.
Selanjutnya atas nama Pemerintah Daerah DIY, saya menyam-
paikan apresiasi yang besar atas diselengarakannya kegiatan Diseminasi
Rekomendasi bagi Pembaruan Hukum di Indonesia Tahun 2013, oleh
Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia dan bertempat di
Yogyakarta. Kegiatan ini sesuai dengan tujuan KHN yaitu mewujudkan
sistem hukum nasional untuk menegakkan supremasi hukum dan hak-hak
asasi manusia, berdasarkan keadilan dan kebenaran, dengan melakukan
pengkajian masalah-masalah hukum serta penyusunan rencana pembaruan
di bidang hukum secara obyektif dengan melibatkan unsur-unsur dalam
masyarakat.

Hadirin dan Saudara sekalian,


Sebagaimana kita pahami bersama bahwa penegakan hukum
merupakan proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan
diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan
atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti luas, penegakan hukum ini
mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
xx
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Hukum yang harus ditegakkan pada intinya bukanlah norma aturan


sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan
penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan
keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma
hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak
dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum.
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh
aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan
hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum
sebagai tidak ada. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan
dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum
ada dan akan tunduk. Dalam konteks demikian masyarakat Indonesia
masih dalam taraf masyarakat yang ’takut’ pada aparat penegak hukum
dan belum dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang ’taat’ atau sadar
pada hukum. Pada masyarakat yang takut pada hukum, masyarakat tidak
akan tunduk pada hukum bila penegakan hukum lemah, inkonsisten dan
tidak dapat dipercaya.
Adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai
benteng terakhir rasa keadilan, disebabkan antara lain masih banyaknya
kasus KKN dan pelanggaran HAM yang belum tuntas penyelesaiannya
secara hukum. Hal ini akibat adanya intervensi pihak-pihak penegak
hukum, juga kualitas profesionalisme serta moral dan aklak para penegak
hukum yang masih rendah.
Sedangkan terjadinya kekerasan horizontal maupun vertikal yang
sering terjadi, pada dasarnya disebabkan lunturnya penerapan nilai-nilai
budaya dan kesadaran hukum masyarakat, yang mengakibatkan rendahnya
kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan timbulnya berbagai tindakan
penyalahgunaan wewenang. Demikian juga kurangnya sosialisasi
peraturan perundang-undangan, baik kepada masyarakat umum maupun
kepada penyelenggara negara untuk menciptakan persamaan persepsi,
seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara masyarakat dengan
penyelenggara negara termasuk aparat penegak hukum.

Hadirin sekalian yang saya hormati,


Sehubungan dengan tema kegiatan ini maka keinginan mempunyai
sebuah hukum pidana nasional telah lama menjadi obsesi bangsa ini.
Namun demikian, keinginan yang obsesif itu, hendaknya tidak diletakkan
dalam kesadaran sekadar menggantikan Wetboek van Strafrecht produk
hukum pidana pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tetapi lebih jauh
dari itu, hendaknya dilandasi oleh suatu semangat atau keinginan memiliki

xxi
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

sebuah hukum pidana yang dapat difungsikan dalam tatanan negara yang
demokratis.
Semangat ini menjadi relevan dalam konteks politik kita saat ini yang
berada dalam transisi demokrasi, yakni transisi dari meninggalkan Orde
Baru menuju sistem politik demokrasi baru, yang sampai saat ini belum
sepenuhnya terwujud dengan baik. Konteks inilah yang harus dijawab
dalam penyusunan hukum pidana baru dan diletakkan sebagai bagian
dari upaya reformasi saat ini.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu
upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan
reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-
politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia
dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar
hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-
filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Akhirnya dengan mengucap
Bismillahirrohmanirohim, Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaruan
Hukum di Indonesia Tahun 2013, secara resmi saya nyatakan dibuka.
Semoga Allah SWT senantiasa berkenan meridhoi setiap langkah dan
upaya kita semua. Amin.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 11 Desember 2013.


Gubernur Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Sri Sultan Hamengkubuwono X.

xxii
DISEMINASI 2013:
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU HUKUM PIDANA
DENGAN UU LAINNYA, DAN
PENGGUNAAN HUKUM ADAT
(TULISAN PEMBAHAS)
HUKUM YANG HIDUP -
“THE LIVING LAW” DALAM RUU KUHP 

Oleh:
Sirande Palayukan, S.H., M.Hum.
(Hakim Tinggi Pengadilan Papua)

I. Pendahuluan.
KUH Pidana yang berlaku saat ini di Indonesia menurut sejarahnya
adalah warisan dari Pemerintah Hindia Belanda yang mulai diberlakukan
di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918 berdasarkan Stbl 1915 Nomor 732
yang dikenal dengan Koninklijk Besluit van Strafrecht Voor Nederlands
Indie dan setelah merdeka tahun 1945, Stbl 1975 tetap berlaku berdasarkan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang kemudian berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946, namanya dibuah menjadi Wetboek van
Strafrecht (WvS) atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Sebagai warisan kolonial, maka sangat beralasan apabila timbul upaya
untuk melakukan pembaruan KUHP. Upaya mana telah dimulai dengan
diadakannya Seminar Hukum Nasional I di Jakarta pada tanggal 11 sampai
dengan tanggal 15 Maret 1963 yang merekomendasikan adanya pembaruan
KUHP, maka pada tahun 1964, RUU KUHP pertama diluncurkan. RUU
KUHP tahun 1964 kemudian mengalami beberapa kali perubahan terakhir
RUU KUHP yang diajukan oleh Pemerintah pada tahun 2012 yang sampai
sekarang nasibnya masih tetap RUU. Lamanya RUU KUHP menimbulkan
pertanyaan, mengapa RUU KUHP tersebut tidak kunjung menjadi UU,
pertanyaan mana akan mengajak kita untuk mengetahui materi perubahan
atau pembaruan dari RUU KUHP.
Pemerintah dalam keterangannya tentang RUU KUHP di depan Rapat
DPR pada tanggal 6 Maret 2013 menyampaikan bahwa ada perbedaan
yang mendasar antara KUHP warisan Belanda (Wetboek van Strafrecht)
dengan KUHP baru ini adalah:


Disampaikan dalam “Diseminasi Rekomendasi bagi Pembaruan Hukum di Indonesia
– Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional: Sinkronisasi Pemidanaan dalam RUU KUHP dengan
UU Lainnya”, di Jayapura tanggal 4 Desember 2013 yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum
Nasional.

Media publikasi Peraturan Perundang-undangan dan Informasi Hukum Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.


Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

1. Pergeseran filosofi yang mendasarinya, yaitu dari pemikiran klasik


(classical school) yang berfokus pada perbuatan atau tindak pidana
(daad – strafrecht) yang dianut oleh KUHP warisan Belanda menjadi
mendasarkan pada pemikiran aliran Neo Classic (Neo Classical School)
yang mempertimbangkan aspek-aspek individual pelaku tindak pidana
(daad-dader strafrecht) yang memiliki karakter lebih manusiawi yang
berusaha menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan
pidana) dengan faktor subyektif (sikap batin).
2. Diakuinya tindak pidana dan pemidanaan berdasarkan hukum yang
hidup dalam masyarakat sesuai dengan nilai-nila Pancasila, hak
asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat internasional.
3. Tidak membedakan antara tindak pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan
(misdrijven) dan tindak pidana pelanggaran (overtredingen) dan untuk
kedua hal tersebut digunakan istilah “tindak pidana” yang selama ini
diatur dalam buku ketiga.
4. Modernisasi hukum pidana nasional dengan mengatur korporasi
sebagai subyek hukum pidana sehingga dianggap mampu melakukan
tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
(corporate criminal responsibility).
5. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap
merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun dalam
hal tertentu sebagai pengecualian dimungkinkan penerapan asas “strict
liability” dan asas “vicarious liability”.
6. Adanya jenis-jenis baru dalam tindak pidana pokok antara lain berupa
pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang perlu dikembangkan
bersama dengan pidana denda sebagai alternatif pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence).
7. Pidana mati tidak lagi diatur sebagai pidana pokok, namun diatur
dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa pidana mati betul-
betul bersifat khusus sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) untuk
mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling
berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis
pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan
memberikan masa percobaan. Dalam tenggang waktu masa percobaan
tersebut, terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga
pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti dengan pidana
perampasan kemerdekaan.
8. Perubahan konsep pemidanaan, yaitu:
a. Dianutnya sistem 2 (dua) jalur (double track system) yakni selain
jenis pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan, diatur
pula jenis-jenis tindakan (maatregelen) bagi yang melakukan tindak

Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pidana tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan


perbuatannya karena menderita gangguan jiwa atau retardasi
mental dan dalam hal tertentu dapat pula diterapkan kepada
terpidana yang mampu memper-tanggungjawabkannya.
b. Rambu-rambu pemidanaan baru guna menghindari disparitas
pidana terhadap tindak pidana yang relatif sama kualitasnya.
c. Pidana minimum khusus yang hanya boleh diterapkan untuk tindak
pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan,
atau meresahkan masyarakat, dan untuk tindak pidana yang
dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.
d. Sistem kategorisasi pidana denda guna mengantisipasi fluktuasi
nilai mata uang akibat situasi perekonomian.
e. Jenis pidana dan cara pelaksanaan pemidanaan secara khusus
terhadap anak yang sejalan dengan Konvensi tentang Hak-Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child), mengingat Indonesia
telah meratifikasi konvensi tersebut dalam kerangka pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia.
9. Adaptasi dan harmonisasi juga dilakukan terhadap perkembangan
tindak pidana di luar KUHP, dan berbagai Konvensi Internasional
yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dengan demikian, terhadap
jenis tindak pidana baru yang akan muncul namun belum diatur
dalam RUU tentang KUHP yang baru ini, pengaturannya tetap dapat
dilakukan melalui perubahan KUHP atau diatur dalam undang-undang
tersendiri karena kekhususannya berdasarkan Buku Kesatu Pasal 211
RUU tentang KUHP ini.
Satu dari 9 (sembilan) hal baru dalam RUU KUHP sebagaimana
dikemukakan oleh pemerintah di atas yang menjadi topik bahasan dalam
tulisan ini karena selain merupakan acuan yang telah digariskan oleh
Komisi Hukum Nasional selaku pelaksana seminar, juga karena masuknya
hukum yang hidup ke dalam RUU KUHP yang dilatarbelakangi oleh
semangat meng-Indonesia-kan hukum pidana dan adanya pendapat yang
berbeda dimana masukanya hukum yang hidup ke dalam KUHP adalah
suatu kemunduran bahkan sebagai suatu pasal yang akrobatik.
Tulisan ini tidak akan membawa kita pada posisi pro kontra ataupun
poros tengah, namun akan mengajak kita untuk melihat bagaimana
implementasi ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat jika RUU
KUHP menjadi undang-undang karena suatu undang-undang terutama
hukum pidana tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diimplementasikan
melalui proses peradilan yang diawali oleh proses penyidikan, penuntutan
dan proses persidangan yang akan berakhir dengan putusan.

ELSAM, 2005, Asas Legalitas dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP
Seri 1, hlm. 21.


Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

II. Hukum yang Hidup dalam Proses Peradilan Pidana.


II.1. Pengertian Hukum yang Hidup.
Dalam Pasal 2 RUU KUHP Tahun 2012 diatur tentang berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang untuk jelasnya bunyi Pasal 2
tersebut sebagai berikut:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Ketentuan Pasal 2 RKUHP tersebut tidak memberikan batasan yang
jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat,
apakah yang dimaksud hukum yang hidup itu adalah hukum yang pada
saat berlakunya KUHP ini sudah hidup ataukah hukum yang akan ada
setelah berlakunya KUHP. Kalau yang dimaksud adalah hukum yang
sudah ada dan hidup pada saat berlakunya KUHP baru ini, maka timbul
pertanyaan mengapa aturan hukum yang hidup itu tidak dirumuskan
menjadi rumusan tindak pidana dalam KUHP, tetapi kalau dimaksudkan
juga hukum yang akan lahir kemudian, maka pertanyaannya adalah
mengapa tidak dijadikan undang-undang tersendiri. Hukum yang hidup
dalam masyarakat adalah tidak tertulis sehingga tidak dapat diperkirakan
karena bersifat dinamis dan berubah tentang terlarang atau tidaknya
suatu perbuatan sehingga pengakuan hukum yang hidup secara formal
akan menambah keruwetan sistem hukum negara yang pada dasarnya
menginginkan keseragaman.
Meskipun berlakunya hukum yang hidup kemudian dibatasi oleh
ketentuan ayat 2, namun ketentuan ini tidak akan menyelesaikan masalah
dan justru akan menimbulkan masalah baru yaitu siapa yang berwenang
menentukan bahwa hukum yang hidup sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan hak asasi manusia, apakah penyidik
yang akan menyidik kasus ataukah penuntut umum yang akan mendakwa
terdakwa atau hakim dalam putusannya. Keadaan ini akan menimbulkan
keraguan pada penyidik pada saat ia akan melakukan penyidikan apakah
penuntut umum akan sependapat dengan penyidik dan demikian penuntut
umum akan berpikir apakah hakim akan sependapat dengan penuntut
umum. Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Persoalan akan timbul
ketika pembatasan pun diarahkan pada prinsip-prinsip hukum umum
yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, bagaimana mungkin hukum
yang hidup dalam masyarakat tertentu harus diukur dengan pengakuan


Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

masyarakat bangsa-bangsa. Kalau demikian, maka ketentuan Pasal 2 RUU


KUHP ini hanyalah isapan jempol belaka.
Penjelasan Pasal 2 RUU KUHP tersebut semakin memperjelas
ketidakjelasan Pasal 2 karena pada bagian lain menjelaskan bahwa hukum
yang hidup maksudnya hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat
hukum Indonesia. Bentuk hukum yang hidup dalam masyarakat hukum
Indonesia antara lain dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia
masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam
masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut, namun pada
penjelasan selanjutnya mengidentikkan hukum yang hidup adalah hukum
adat.
Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat luas pengertiannya,
tercakup hukum kebiasaan, hukum lokal, hukum agama, hukum adat
sehingga kalau yang dimaksud hukum yang hidup dalam masyarakat
adalah hukum adat yang dalam konteks hukum pidana adalah pidana
adat, maka untuk menghindari pengertian yang bias, penyebutan hukum
yang hidup dalam masyarakat diganti dengan hukum adat.

II.2. Hukum yang Hidup dalam Proses Peradilan


Dimasukkannya hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam
RKUHP berakibat berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
menjadi diperintahkan oleh negara sehingga dengan demikian berlakunya
sangat tergantung pada kekuasaan formal yang berada pada tangan
penegak hukum, bukan lagi berada pada kekuasaan pemangku adat
setempat, sehingga sangat beralasan kalau Griffiths berpendapat bahwa
pengakomodasian hukum adat tersebut adalah bentuk penaklukan dan
upaya melenyapkan hukum adat itu sendiri.
Dalam penerapannya, hukum pidana memerlukan proses peradilan
yang diawali dengan proses penyidikan oleh penyidik. Penuntutan oleh
penuntut umum dan pengadilan oleh hakim. Penyidik menyidik suatu
kasus dapat terjadi, atas dasar laporan masyarakat. Pengaduan korban
atau yang berhak untuk mengadu atau diketahui sendiri oleh penyidik
(tertangkap tangan) dan untuk menyidik suatu kasus penyidik sudah
harus mengetahui adanya dugaan telah terjadi tindak pidana pengetahuan
mana berdasar pada adanya rumusan delik dalam undang-undang,
apakah pelakunya dapat ditahan untuk memudahkan penyidikan, apakah
ada barang bukti yang dapat disita dan berbagai tindakan penyidik untuk
membuat terang kasus tersebut. Setelah melakukan penyidikan, penyidik
akan menentukan apakah pengajuannya ke pengadilan melalui proses
cepat yaitu suatu proses penyidik atas kuasa penuntut umum melimpahkan
berkas perkara bersama dengan terdakwa ke penuntut umum untuk proses
penuntutan.

Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Dalam hal adanya dugaan terjadinya tindak pidana hukum yang


hidup, dan apakah dapat ditahan dan prosedur pelimpahannya penyidik
akan diketahui dari rumusan Pasal 756 RKUHP yang bunyi pasalnya
adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang
tidak tertulis dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan sanksi pidana adalah tindak pidana.
(2) Tindak pidana sebagaimana idmaksud ayat (1) diancam dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (10 huruf e jo. Pasal 100.
Membaca bunyi pasal ini sudah dapat dipastikan bahwa penyidik
tidak akan dapat langsung mengetahui suatu peristiwa yang diduga telah
terjadi tindak pidana tetapi penyidik harus melakukan penelitian terlebih
dahulu apakah benar peristiwa tersebut oleh hukum tidak tertulis di
daerah atau wilayah itu merupakan tindak pidana, demikian juga halnya
bunyi pasal ini tidak segera menunjukkan bahwa terdakwa dapat ditahan
serta prosedur pelimpahannya pada pengadilan.
Ayat (1) pasal ini hanya merupakan penegasan bahwa suatu perbuatan
yang dilarang menurut hukum tidak tertulis (bukan lagi hukum yang hidup
seperti rumusan pasal 2) adalah tindak pidana, penegasan mana adalah
suatu hal yang tidak perlu karena dalam buku I sudah ditegaskan bahwa
semua perbuatan yang diatur dalam RKUHP ini adalah tindak pidana,
sedangkan ayat (2) menentukan pidana diancamkan hanya menunjuk
pada pasal dalam ketentuan umum 1c. Pasal 67 huruf e jo. Pasal 100 yang
sifatnya hanya merupakan dasar atau pedoman pemidanaan. Rumusan
pasal ini memang berbeda dengan rumusan pasal pemidanaan lainnya
yang langsung menyebut lamanya dan jenis pidana yang diancamkan.
Setelah penyidik melakukan penyidikan dan berpendapat bahwa
prosedur pelimpahan perkara ini adalah prosedur biasa, maka penyidik
akan melimpahkan perkara atau berkas perkara dan terdakwa pada
penuntut umum dan kemudian penuntut umum menyusun dakwaan
meskipun juga dipenuhi keraguan karena dalam menyusun dakwaan
harus cermat menguraikan waktu dan tempat terjadinya tindak pidana,
juga wajib menggunakan elemen atau unsur-unsur dan tindak pidana yang
didakwakan serta pasal pidana yang akan dijadikan dasar pemidanaan,
maka kembali lagi pada pertanyaan apakah Pasal 756 RKUHP tersebut
dapat memenuhi syarat penyusunan dakwaan.
Pengadilan dalam memeriksa perkara didasarkan pada dakwaan
penuntut umum, sehingga apabila suatu dakwaan tidak cermat, pengadilan
baik karena adanya eksepsi maupun karena jabatannya dapat menyatakan
suatu dakwaan batal demi hukum yang berarti tindakan yang sudah
dilakukan oleh penyidik, penuntut umum menjadi sia-sia sehingga dapat


Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

menimbulkan ketidakpercayaan publik pada proses peradilan yang pada


gilirannya menjadikan masyarakat main hakim sendiri.
Sebagai suatu perbandingan dapat dikemukakan adanya Peraturan
Daerah Khusus Propinsi Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan
Adat di Papua yang berlakunya didasarkan pada Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua yang dalam
peradilannya menangani penanganan adat namun apabila pihak tidak
menerima atau tidak mau diselesaikan melalui peradilan adat, maka yang
bersangkutan melaporkan pada pihak yang berwenang, artinya pihak
penyidik dapat menyidik kasus tersebut atas pengaduan dari pihak yang
dirugikan. Cara ini akan memudahkan kerja penyidik karena pelapor atau
pengadu sudah memberikan dasar acuan pemeriksaan kasus sekalipun
belum tegas apakah tanpa pengaduan penyidik dapat memproses kasus
tersebut yang berimplikasi dualisme penanganan kasus.

III. Kesimpulan dan Saran.


1. Hukum pidana menghendaki adanya pengaturan yang bersifat rinci
dan cermat yang dikenal dengan prinsip lex certa sedangka hukum
yang hidup dalam masyarakat adalah hukum tidak tertulis, sehingga
apabila hukum yang hidup akan diakomodir dalam RKUHP, maka
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
a. Melakukan penelitian tentang hukum pidana yang tidak tertulis dan
hidup dalam masyarakat, kemudian merumuskan tindak pidana
tersebut dalam KUHP.
b. Memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui
aturan tersendiri yang dapat mengakui keberadaan peradilan adat
dan pengadilan negara baru dapat menangani tindak pidana hukum
yang hidup apabila pihak tidak menerima keputusan peradilan
adat.
2. Sangat sulit bagi penegak hukum untuk mengetahui terjadinya tindak
pidana hukum yang hidup, maka untuk memudahkan dilakukannya
proses peradilan maka tindak pidana ini seharusnya ditetapkan sebagai
delik aduan dan dalam pasal tentang siapa yang berhak mengadu
ditambah dengan lembaga adat.
3. Pasal 2 dan Pasal 756 menggunakan istilah yang berbeda sehingga
dapat menimbulkan multi tafsir, untuk agar istilah tindak pidana
diseragamkan apakah hukum yang hidup atau tindak pidana adat.
4. Dalam pasal pemidanaan – Pasal 756 – ancaman pidana menunjuk pada
pasal dalam ketentuan umum yang hanya menjadi pedoman agar Pasal
756 redaksinya disamakan dengan redaksi pasal pemidanaan lainnya
dan ancaman pidana langsung disebut maksimum lamanya pidana
dan jenis pidana yang diancamkan.

Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

DAFTAR BACAAN
1. Keterangan Presiden Republik Indonesia atas RUU KUHP Tahun
2012, Media Publikasi Peraturan Perundang-undangan dan Informasi
Hukum, Direktur Jenderal Perundang-undangan.
2. ELSAM Position Paper – Asas Legalitas dan RUU KUHP, 2005.
3. Farid, Andi Zainal, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, 1985.
4. Griffiths, John, Pluralisme Hukum, Huma, 2005.
5. Santoso, Jodi, Kajian terhadap Ketentuan Pemidanaan dalam Draft
RUU KUHP.


SINKRONISASI PEMIDANAAN
DAN PENGGUNAAN HUKUM ADAT

Oleh:
Asdar Djabbar, S.H., M.Hum.
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri – Jayapura - Papua)

I. Pendahuluan.
Keinginan untuk membangun suatu sistem hukum nasional sejak
proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 merupakan keinginan
pemerintah untuk senantiasa menampakkan identitas filosofi dan budaya
Indonesia di dalam sistem hukum. Pemikiran ini relevan, mengingat
hingga kini masih dikenal keanekaragaman hukum dalam kehidupan
masyarakat berdasarkan filosofi dan budaya kolonial. Sebagai hukum yang
bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana
hukum di Indonesia, hal ini terjadi karena di dalam hukum pidana itu
terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan yang
tidak boleh dilakukan dengan syarat ancaman berupa pidana (nestapa)
dan menentukan syarat-syarat pidana yang dapat diajukan.
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi
bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka
hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah Negara RI. Di
samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai
kemanusiaan, dan bertujuan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, namun
di sisi lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi nestapa
bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itu, kemudian pembahasan
mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu
dengan memperhatikan konteks masyarakat dimana hukum pidana
itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana
hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik
atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika
memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat,
sebaliknya hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai
dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Pentingnya mengembangkan kajian
terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat sesungguhnya merupakan
suatu hal yang sudah sepantasnya, sebab hukum pidana pada hakekatnya
berfungsi untuk melindungi dan sekaligus untuk menjaga keseimbangan
pelbagai kepentingan masyarakat, negara, pelaku tindak pidana dan

10
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

korban tindak pidana. Tujuan untuk menciptakan keseimbangan berbagai


kepentingan tersebut tiada lain agar terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Terciptanya kesejahteraan masyarakat itu sudah barang tentu karena
adanya kepastian dan keadilan yang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut
oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam melakukan pembaruan hukum pidana ini, kita perlu merujuk
pada pengalaman negara-negara lain dalam melakukan pembaruan
hukum pidana mereka. Belanda, misalnya, negara yang menjadi kiblat
hukum pidana Indonesia, patut diikuti dalam pembaruan hukum pidana
mereka, yang memilih melakukan amandemen secara bertahap. Negara-
negara lainnya seperti Jerman, Kanada dan Perancis bisa juga menjadi
rujukan dalam proses pembaruan ini.
Hukum pidana sebagai sistem sanksi yang negative memberikan
sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat. Hal ini berhubungan dengan pandangan hidup, tata susila
dan moral keagamaan serta kepentingan dari bangsa yang bersangkutan.

II. Sinkronisasi Pemidanaan dalam RUU Hukum Pidana dengan


Undang-Undang lainnya.
Buku I RKUHP merupakan ketentuan umum yang berisi mengenai
asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum dimana asas-asas hukum
ini menjadi titik tolak berlakunya KUHP nanti, serta merupakan perekat
dan pemersatu sistem hukum pidana nasional yang tersebar diluar KUHP.
Secara umum, tidak ada permasalahan dengan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam ketentuan umum Buku I RKUHP tersebut. Namun, ada
beberapa ketentuan penting yang perlu mendapat perhatian secara khusus,
mengingat bagian-bagian tersebut akan mempengaruhi keberadaan dan
keberlakuan RKUHP secara keseluruhan, terutama yang berkaitan dengan
pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Dalam KUHP Indonesia, asas legalitas yang sebenarnya merupakan
peraturan yang tercantum dalam des droits De L’Homme Et du Citoyen tahun
1789 yang berbunyi : “Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas
kekuatan undang-undang yang telah ada sebelumnya”. Asas legalitas
dipandang sebagai suatu adagium (safeguard) dari kepastian hukum dan
merupakan asas fundamental dalam negara hukum, suatu penghubung
antara rule of law dan hukum pidana yang pengenyampingannya hanya
dapat dibenarkan dalam keadaan darurat. Adanya asas legalitas dalam
RKUHP sangat penting dalam perlindungan HAM, dimana UUD 1945
Amandemen Keempat menyatakan bahwa untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur dan dituangkan
dalam perundang-undangan. Oleh karenanya, setiap orang berhak
untuk hidup tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Namun demikian, dalam praktiknya penerapan asas legalitas ini harus
11
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

juga disesuaikan dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat, baik


nasional maupun internasional. Dalam arti, untuk beberapa tindak pidana,
keberadaan asas legalitas ini tidaklah mutlak adanya. Masih dimungkinkan
untuk dilakukan penyimpangan terhadap asas legalitas tersebut. Hal
ini disebabkan karena, ada beberapa tindak pidana yang diatur dalam
RKUHP, dimana tidak pidana tersebut tidak bisa dipersamakan dengan
kejahatan biasa. Disamping itu, penerapan asas legalitas juga harus
tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum
internasional, dimana dalam praktiknya ada penyimpangan terhadap
penerapan dan pemberlakuan asas legalitas.
Disamping mempertahankan tindak pidana yang sudah ada dalam
KUHP lama, RKUHP memasukkan pula jenis-jenis tindak pidana baru.
Tindak pidana tersebut antara lain : tindak pidana terhadap ideologi
negara, tindak pidana terorisme, tindak pidana pelanggaran HAM yang
berat, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kesusilaan dan pornografi,
tindak pidana KDRT, tindak pidana perdagangan manusia, tindak pidana
oleh Pers, tindak pidana lingkungan, tindak pidana terhadap peradilan,
namun pengklasifikasian tindak pidana kedalam satu bab tertentu
seringkali kurang tepat. Kemudian beberapa tindak pidana baru yang
dirumuskan terlihat sudah terlalu jauh masuk ke dalam wilayah paling
personal orang yang kalau boleh dikatakan mengganggu hak privasi warga
negara yang berada dalam domain kebebasan individu seperti kebebasan
berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, kebebasan
beragama dan sebagainya. Disamping itu diratifikasinya beberapa
konvensi internasional, secara signifikan telah berpengaruh pula terhadap
hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan proses
kriminalisasi terhadap satu jenis tindak pidana tersebut.
Berikut kami dapat paparkan beberapa jenis tindak pidana yang baru
dalam RKUHP, sebagai berikut:
1. Tindak pidana genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua
jenis tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru yang diadopsi
dari instrument hukum internasional. Tindak pidana genicida diadopsi
international convention on the prevention and Punishment of the crime of
genocida. Perbuatan yang dilarang dalam ketentuan ini adalah suatu
perbuiatan yang semata-mata bertujuan untuk meniadakan eksistensi
suatu kelompok masyarakat berdasar-kan warna kulit, agama, jenis
kelamin, umur, cacar mental atau fisik.
Kejahatan terhadap kemanusiaan diadopsi dari Rome Statuta of the
International Criminal Court 1998, melalui Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000. Perbuatan yang dilarang oleh ketentuan ini adalah
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa, pemaksaan, kehamilan, pemandulan dan
sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya
yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
12
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan,


etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional, penghilangan orang secara paksa.
Namun, walaupun mengenai pelanggaran HAM berat ini telah
dimasukkan ke dalam RKUHP, ternyata tidak semua instrumen yang
seharusnya dapat digunakan untuk melakukan penegakan hukum
terhadap 2 jenis tindak pidana tersebut tidak diatur dalam RKUHP,
seperti masalah command responsibility, superior order, dan element of
crimes dari masing-masing tindak pidana tersebut. Implikasi dari hal
ini adalah, walaupun ketentuan itu diadopsi dari instrumen hukum
internasional tetapi karena tidak disediakannya sarana untuk melakukan
penegakan hukumnya, maka aparat penegak hukum kesulitan untuk
melakukan penegakan hukum dari kedua jenis tindak pidana ini.
2. Tindak Pidana Penyiksaan.
Tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru yang dimasukkan
dalam R-KUHP. Tindak pidana ini terdapat di dalam Bab mengenai
tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi orang,
kesehatan, barang dan lingkungan hidup.
Ketentuan yang tercantum dalam tindak pidana ini sudah menjadi
tindak pidana internasional melalui International Convention Against
Turture and Other Cruel in Human of Degrading Treathment or Punishment,
Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi konvensi ini dengan
UU Nomor 5 Tahun 1998.

III. Penggunaan Hukum Adat.


Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa : “Kita berpikir dengan
membuat hukum nasional sejak merdeka, segala sesuatunya menjadi
beres dan pandangan tegap ke depan bisa mengatakan bahwa sejak hari
ini sudah mempunyai hukum yang dibuatnya sendiri. Ternyata itu baru
langkah awal saja karena kita masih menghadapi sejumlah besar persoalan
sehubungan dengan hukum nasional kita” (Biarkan Hukum Mengalir,
2008).
Jauh sebelum datangnya era hukum nasional telah ada orde atau
tatanan lokal. Selama ratusan tahun ia telah menunjukkan jasa dan
kemanfaatannya untuk menciptakan kehidupan yang teratur Kitab
Undang-Undang seperti Amana Gappa menunjukkan bahwa wilayah
nusantara ini syarat dengan bangunan tatanan sosial.
Tatanan dan tertib lokal ini tidak dihapus dengan dan sejak kelahiran
hukum nasional. Kuat atau lemahnya orde lokal tersebut tergantung dari
tingkat industrialisasi, urbanisasi dan modernisasi dari suatu wilayah
dalam negara. Semakin kuat perkembangan ketiga proses tersebut,
semakin terpinggirkan orde lokal itu.
13
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Hukum itu terntu hanya bisa berklaku efektif apabila antara aparat
dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai visi hukum dan
mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka. Maka
komunikasi hukum melakukan masalah besar tersendiri, sebelum hukum
itu dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat setempat, sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki.
Indonesia berbeda dibandingkan dengan negara-negara yang sudah
hampir urbanized secara total. Masih terlalu banyak kantong-kantong
lokal/tradisional yang ada di Indonesia. Jarak antara Jakarta dengan papua
tidak hanya bersifat fisik, tetapi budaya yang mungkin malah berbilang
abad. Keadaan yang demikian itu membutuhkan kearifan berhukum
sendiri dan tidak bisa menerapkan hukum secara seragam untuk seluruh
Indonesia.
Konfigurasi sosial yang demikian itu memberikan beban tambahan
pada pemerintah dan lembaga pembuat hukum, untuk berbuat lebih
hati-hati. Pembuatan undang-uindang tidak bisa dilakukan dengan
sembarangan dalam arti menganggap Indonesia sebagai masyarakat yang
homogen. Cara berpindah yang didasarkan pada persepsi demikian itu
bisa berakibat cukup fatal.
Hukum adat memiliki struktur yang sangat berbeda dengan hukum
nasional yang notabene adalah tipe hukum modern. Hukum nasional
memiliki sekalian kelengkapan untuk bisa dijalankan secara efektif.
Mulai dari teks tertulis aparat penegak hukum dukungan finansial dan
kelengkapan fisik lainnya. Hukum nasional memiliki legitimasi di seluruh
negeri dan dipaksakan keberlakuannya. Rakyat harus mematuhi hukum
nasional tersebut. Bahkan politik hukum masih menempatkan hukum
adat di bawah hukum nasional oleh karena keberlakuannya didasarkan
pada legitimasi atau pengakuan keberadaannya oleh hukum nasional.
Dalam RKUHP ini diakui adanya tindak pidana atas dasar hukum
yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai
tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di
dalam masyarakat, adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah
di tanah air khususnya di tanah Papua dan Papua Barat, masih terdapat
ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dan diakui
sebagai hukum, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu
patut dipidana dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa
pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh
pembuat tindak pidana. Hal ini mengandung arti, bahwa standar nilai dan
norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam lingkungan tertentu.
Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin
pelaksanaan asas legalitas serta pelarangan analogi yang dianut dalam
KUHP.

14
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Dalam RKHUP para perumus juga memasukkan ketentuan mengenai


berlakunya hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan memasukkan ketentuan tersebut maka asas legalitas dapat
dikesampingkan, artinya dengan rumusan ini maka asas legalitas tidak
bisa berlaku secara absolute tetapi dapat diterobos dengan berlakunya
hukum adat.
Sementara tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri
adalah memperkuat asas kepastian hukum, menciptakan keadilan dan
kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjerahan dalam sanksi
pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memperoleh rule of
law. Titik berat atas asas legalitas ada pada perlindungan individu bukan
perlindungan komunitas dimana menurut E. Uterct (Hukum Pidana 1,
1960) bahwa asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif (collective bellangen) karena kemungkinan dibebaskannya pelaku
perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum
dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas
ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan
karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap
kejahatan karena tercela).
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa KUHP yang berlaku
berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 bersumber dari Penal Code Perancis,
karena sejak tahun 1810 Belanda dijajah Perancis karena dilihat dari asas
usul KUHP tersebut berasal dari undang-undang hukum pidana asing
yang dipaksakan berlaku di Indonesia, sudah barang tentu nilai serta jiwa
yang terdapat dalam undang-undang tersebut disemangati dengan jiwa
kepribadian bangsa yang membuatnya, sehingga tidaklah mengherankan
bahwa walaupun dilakukan berbagai perubahan dalam KUHP namun
dalam penerapannya ditemukan adanya kesenjangan. Di satu pihak
ada perbuatan-perbuatan yang menurut anggapan masyarakat sebagai
perbuatan tercela, namun KUHP tidak mengaturnya sebagai suatu tindak
pidana.
Terjadinya hal tersebut merupakan suatu indikasi betapa pentingnya
menggali hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat khususnya
hukum adat pidana/hukum pidana tertulis di dalam pembentukan hukum
pidana nasional. Satjipto Rahardjo (1979) menyatakan bahwa hukum adat
merupakan suatu kekayaan yang hidup di dalam masyarakat sehingga ia
merupakn faktor yang turut menentukan baik dalam hal pembentukan
maupun penerapan hukum di Indonesia.
Kesadaran hukum masyarakat/hukum yang masih hidup dalam
masyarakat selain memiliki kekuatan secara materiil, namun secara formil
terdapat kekuatan-kekuatan yang melegalisasinya. Kenyataan tersebut
semakin mendorong dan membuka jalan bagi para pakar hukum pidana
khususnya para pembentuk undang-undang hukum pidana nasional

15
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

untuk mengangkat hukum pidana adat ke dalam hukum pidana nasional.


Perkembangan pemikiran tersebut terletak pada masalah-masalah pokok
dalam hukum pidana yang meliputi tindak pidana, kesalahan dan pidana.
Selama ini dasar hukum untuk menentukan suatu tindak pidana atau
bukan ditentukan secara formal yang dikenal dengan asas legalitas. Dalam
konsep telah mengalami pergeseran, bukan hanya ditentukan secara formal
(hukum yang tertulis) melainkan ditentukan juga secara materiil (tidak
tertulis). Hal ini menunjukkan adanya perluasan perumusan asas legalitas
dan ini tidak dilepaskan dari usaha mewujudkan sekaligus menjamin asas
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Dari hal diatas, jelaskan kiranya bahwa konsep RUU hukum pidana
yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
(hukum yang tidak tertulis/hukum adat pidana). Baik untuk menentukan
suatu tindak pidana menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan dipidana,
maupun untuk menentukan adanya sifat melawan hukum bukan hanya
harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum formal sehingga
adanya suatu kepastian, melainkan harus didasarkan kepada norma dan
rasa keadilan yang diakui oleh masyarakat.
Adanya pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat/
hukum adat pidana, dapat ditentukan pula dalam konsep terhadap
ketentuan mengenai masalah pidana dan pemidanaan. Ketentuan tersebut
merupakan ketentuan baru dimana dalam KUHP yang berlaku sekarang
tidak ada pengaturannya. Adanya ketentuan yang mengakui hukum adat
pidana merupakan refleksi dari adanya perkembangan/kebijakan dalam
tujuan pidana dan hukum pidana, dimana tujuan pidana dan hukum
pidana tersebut berupa perlindungan masyarakat secara sosial (social
defence) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Dengan demikian adanya ketentuan Pasal 1 ayat 3 RKUHP ini
dimungkinkan berlakunya sifat ajaran perbuatan melawan hukum secara
materiil, dimana suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana tidak hanya berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
sudah ada, tetapi juga apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat, bertentangan dengan hukum adat, asas
kepatutan atau hukum tidak tertulis (the living law) dalam arti, walaupun
belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang menyatakan suatu
perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, tetapi
apabila perbuatan tersebut “bertentangan” dengan kesadaran hukum
suatu masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai
suatu perbuatan yang dilanggar. Dengan kata lain dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan untuk
diminta perbuatannya.
Dalam konsep Pasal 54, yang berbunyi :
(1) Pemidanaan bertujuan:
16
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

a. Mencegah diberlakukannya tindak pidana dengan menegakkan


norma hukum demi pengayoman masyarakat; Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna;
b. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
c. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana,dan
d. Memaafkan terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan meren-
dahkan martabat manusia. Tujuan pemidanaan yang berkaitan dengan
hukum adat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 65 :
a. Pidana pokok yang terdiri atas :
1) Pidana penjara;
2) Pidana tutupan;
3) Pidana pengawasan;
4) Pidana denda; dan
5) Pidana kerja sosial.
b. Pidana tambahan terdiri atas :
1) Pencabutan hak tertentu;
2) Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
3) Pengumuman putusan hakim: Pembayaran ganti kerugian; dan
4) Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Atas dasar tersebut secara tegas jenis pidana adat dituangkan
baik berupa pidana kerja sosial maupun pemenuhan kewajiban adat
sebagaimana ditegaskan pada jenis pidana tambahan.
Dicantumkannya kedua jenis sanksi adat tersebut, karena dalam
kenyataan sering terungkap, bahwa penyelesaian masalah secara yuridis
formal dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok saja kepada terdakwa
belum dirasakan oleh warga masyarakat sebagai suatu penyelesaian
masalah secara tuntas. Kedua jenis sanksi adat tersebut antara lain
ditujukan untuk mnampung jenis samksi adat yang tidak secara tegas
disebutkan dalam undang-undang.
Namun penggunaan yang hidup dalam masyarakat tersebut harus
sesuai dengan rambu-rambu nulai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat hukum
internasional. Konsekuensi logis dari kemungkinan diberlakukannya
hukum adat atau hukum yang hidup yang hidup dalam masyarakat
17
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

adalah dalam hal proses pembuktian. Apabila terjadi seseorang dianggap


telah melakukan perbuatan melawan hukum secara materiil, maka secara
otomatis jaksa penuntut umum harus membuktikan bahwa seorang itu
telah melanggar hukum adat atau kesadaran hukum masyarakat. Jaksa
penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa secara sosiologis-
empirik “hukum adat atau kesadaran hukum masyarakat” tersebut
memang “benar adanya”, masih diakui, ditaati dan diterapkan dalam
kehidupan suatu masyarakat.
Tatanan sosial di Indonesia adalah begitu majemuk dan kompleks,
sehingga dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk
merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka bagi
banyak komunitas lokal, hukum nasional malah lebih menjadi beban
daripada menciptakan ketertiban dan kesejahteraan.

18
DISEMINASI 2013:
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN
(TULISAN PEMBAHAS)
ARAH PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL –
KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN/HAKIM KOMISARIS

Oleh:
Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.H.
(Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – Daerah Istimewa
Yogyakarta)

I. RKUHP - RKUHAP.
1. RKUHAPdanR KUHP telah disampaikan Presiden kepada Ketua
DPR-RI melalui surat nomor R-7/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember
2012 dan surat nomor R-8/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember
2012;
2. Hukum Acara Pidana untuk melaksanakan KUHP (Paket).
3. Secara teoritik RKUHP harus dibahas dahulu, baru RKUHAP,
setidaknya Buku I KUHP, karena merupakan salah satu sumber
Hukum Acara Pidana.
4. Beberapa Delik Khusus dimasukkan dalam RKUHP akan
berpengaruh pada kewenangan penyidik Penuntut Umum dan
Hakim.
5. Sifat khusus dari delik khusus akan bergeser pada kewenangan
penegak hukum dalam HAP ?

II. RKUHP.
Ada 11 hal yang menonjol :
1. Dirumuskan dan dipertegas asas legalitas; à peradilan dilakukan
menurut cara yang diatur dalam UU ini”à ada dua kesalahanà
Psl 2 à “Acara pidana dijalankan hanya berdasarkan tata cara yang
diatur dalam UU”.
2. Sistem penahanan yang diperketat; à sesuai dengan konvensi hak-
hak sipil dan politik harus ada ijin pengadilanӈ Baca Pasal 59, 60.
3. Diciptakan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan ; à untuk
menggantikan lembaga pra peradilan à Pasal 111.
20
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

4. Perubahan jenis alat bukti; à Pasal 175)à barang bukti, surat-surat,


bukti elektronik, keterangan seorang ahli, keterangan seorang saksi,
keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim;à ayat (2) Alat bukti
yang sah harus diperoleh secara tidak melawan hukum.
5. Penegasan penyelesaian di luar pengadilan; à alasan yang boleh
diselesaikan di luar pengadilanà perkara pidana ringan , ancaman
pidana penjara paling lama 4 tahun atau perkara pidana diancam
dengan pidana denda; umur tersangka pada wkt melakukan TP
diatas 70 Tahun dan/ atau kerugian sudah diganti à Pasal 42 ayat
3 hanya kewenangan Jaksa.
6. Penegasan saksi mahkota;à Pasal 200à tersangka yang paling
ringan peranannya dapat dikeluarkan dari tersangka atau dijanjikan
dengan pidana ringan asal bersedia membongkar peranan masing-
masing tersangka;à Perlu dikomunikasikan kepada hakim.
7. MA tidak boleh menjatuhkan pidana lebih berat dari pada PT,
kecuali jika putusan pengadilan di bawah MA lebih ringan dari pada
minimum khusus;à semua perkara harus melalui PT, tidak boleh
ada perkara yang langsung Kasasi. à Pasal 250 ayat 3.
8. Putusan PK diterima atau ditolak oleh MA harus melalui sidang
pleno MA yang dipimpin oleh Ketua MA; Pasal 265 ayat (2) à
untuk mencegah tersangka mengulur-ulur waktu;
9. Jalur khusus untuk mempercepat proses dan biaya ringan; à Psl 199
à Pada saat PU membacakan surat dakwaan , terdakwa mengakui
semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah
melakukan tindak pidana yg ancaman pidana yang didakwakan
tidak lebih dari 7 tahun, PU dapat melimpahkan perkara ke sidang
acara pemeriksaan singkat;
10. Pelayanan kepada pencari keadilan;à Pasal 12 ayat (8) sd (12)àjika
penyidik dalam jangka waktu 14 hari selah laporan diterima tidak
melakukan penyidikan, maka pelapor atau pengadu dapat meminta
kepada Jaksa untuk melakukan pemeriksaan; à penuntut umum
wajib menyampaikan turunan hasil pemeriksaan kepada penyidik.
11. Sidang pengadilan mengarah pada adversary system (berimbang) yang
menentukan salah tidaknya terdakwa adalah sidang pengadilan,
bukan berita acara ; à JPU dan PH dapat menambah saksi à
Pasal 150 ayat (10) Setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum
dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah
pembuktian dari penasihat hukum selama persidangan.

III. Kelemahan Praperadilan.


1. Tidak semua upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk
diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh lembaga
21
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

praperadilan;
2. Meskipun benar-benar terjadi pelanggaran, praperadilan tidak
berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan, tanpa adanya permintaan dari
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
3. Hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya
syarat-syarat formil dari suatu penangkapan atau penahanan;
4. Para hakim umumnya menerima saja hal adanya kekhawatiran
tsk akan memelarikan diri, melakukan tindak pidana lagi atau
menghilangkan barang bukti, semata-mata merupakan urusan
penilaian sebjektif dari pihak penyidik atau penuntut umum.

IV. Lembaga Praperadilan Dihapus dan Diganti dengan Konsep Hakim


Pemeriksa Pendahuluan.
Apabila diterima, akan terjadi perubahan yang sangat fundamental di
dalam tata acara peradilan:
1. Bahwa 9 (sembilan) wewenang penyidik dan penuntut umum yang
dicantumkan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf j
RUU KUHAP akan beralih kepada Hakim pemeriksa penahuluan.
2. Peranan Hakim pemeriksa pendahuluan merupakan “entry point”
efektivitas perlindungan HAM tersangka/terdakwa sehingga
menjadi kunci keberhasilan penegakan hukum pidana secara
keseluruhan ; semula beban tersebut berada pada penyidik dan
penuntut umum;
3. Perluasan kewenangan Hakim pemeriksa pendahuluan tersebut
berdampak serius terhadap peta keberhasilan penegakan hukum
baik dalam pemberantasan kejahatan konvensional dan kejahatan
transnasional bagi kepentingan kedaulatan hukum Indonesia.

V. Beberapa Pendapat tentang RKUHAP.


1. Terdapat ketentuan-ketentuan yang memberikan pengecualian
terhadap perlindungan hak asasi manusia sebagaimana dicantumkan
dalam Pasal 4 ICCPR;
2. RUU belum mencerminkan dengan jelas arah politik hukum
pidana/ hukum acara pidana Indonesia di masa yang akan datang,
apakah tetap mendahulukan “due process model” (adversarial model)
atau “crime control model”(Non-adversarial model);
3. Kewenangan hakim komisaris yang nota bene adalah hakim pada
kantor PN, termasuk menentukan/memutuskan kelanjutan suatu
22
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

perkara, telah memasuki pokok perkara, sehingga telah “mengambil


alih” wewenang penyidikan dan penuntutan.
4. Idealisme dibalik keberhasilan hakim komisaris yang merupakan
bagian dari sistem peradilan pidana di Belanda, Perancis, dan
Italia, tidak serta merta dapat diterapkan sepenuhnya di dalam SPP
Indonesia karena banyak faktor yang mempengaruhinya ;
5. Studi komparasi yang mendasari konsep Hakim Komisaris dalam
rangka penyusunan RUU KUHAP tidak/ belum dibandingkan
dengan sistem hukum acara pidana yang tidak menggunakan
hakim komisaris seperti di negara-negara menganut sistem hukum
Common Law.
6. Studi komparasi yang mendasari konsep Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam rangka penyusunan RUU KUHAP tidak/
belum dibandingkan secara koprehensif dengan sistem hukum
acara pidana yang tidak menggunakan hakim komisaris seperti di
negara-negara menganut sistem hukum Common Law.
7. Tim penyusun RUU KUHAP kurang peka terhadap situasi praktik
peradilan saat ini di mana pengawasan terhadap perilaku para hakim
dibebankan kepada lembaga Komisi Yudisial. Ketentuan mengenai
wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan pengamatan hakim
sebagai alat bukti, akan menambah ketidakpercayaan masyarakat
luas terhadap kewibawaan para hakim.

VI. Kesimpulan.
1. Penyusun RUU KUHAP telah berusaha memperbaiki kelemahan
KUHAP 1981.
2. Ada pendapat pembentukan lembaga baru yang disebut dengan
Hakim pemeriksa pendahuluan , Tim Penyusun telah mengabaikan
kondisi objektif penegakan hukum pidana di Indonesia termasuk
faktor geografis serta sarana dan prasarana penegakan hukum
pidana.
3. Keberadaan Hakim pemeriksa pendahuluan dianggap dapat
menjadi solusi hukum dari masalah besar (makro) di Belanda dan
Perancis, tetapi solusi hukum itu belum tentu cocok dengan kondisi
riil di Indonesia.
4. Konsep itu belum banyak melibatkan unsur IKAHI sebagai salah
satu pihak yang sangat berkepentingan.
5. Keberadaan hakim pemeriksa pendahuluan dipandang sebagai
peralihan persoalan wewenang dan tanggung jawab penyidik
dan penuntut umum yang selama ini menjadi beban penyidik
dan penuntut umum kepada Hakim. Peralihan wewenang dan

23
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

tanggung jawab tanpa diimbangi dengan peningkatan integritas dan


akuntabilitas serta keahlian para Hakim pemeriksa pendahuluan
hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat luas terhadap
sistem kekuasaan kehakiman.
6. Ada alternatif pemikiran lain yaitu melalui penguatan lembaga
pra-peradilan atau pra peradilan yang diperluas, à memperluas
wewenang hakim pra-peradilan, sesuai dengan prinsip kebenaran
materiel dalam proses beracara pidana.
7. Beberapa kritik dan keberatan yang disampaikan tentu telah
dipahami oleh perancang RUU KUHAP dan pengambil kebijakan.
8. Keputusan politik berada di tangan pembentuk Undang Undang.
Parameter untuk mengambil keputusan adalah KUHAP harus
menjawab masalah/ persolan yang terjadi pada saaat ini, dapat
dilaksanakan (enforceable), tidak menimbulkan overbelasting bagi
aparat penegak hukum dan menghadirkan keadilan, kepastian
hukum dan kemanfatan bagi para pencari keadilan.

24
ARAH PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL –
KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN

Oleh:
Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum.
(Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta –
Daerah Istimewa Yogyakarta)

I. Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


1. Istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan istilah yang
sebelumnya dinamakan Hakim Komisaris.
2. Pasal 1 angka 7 RUU KUHAP 2010
Hakim Komisaris adalah pejabat pengadilan yang diberi wewenang
menilai jalannya penyidikan, penuntutan, dan wewenang lain yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini.
3. Pasal 1 angka 7 RUU KUHAP 2012
Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah pejabat yang diberi
wewenang minilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan
wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

II. Gagasan yang Berulang.


1. RUU KUHAP 1970-1980
Penggagas Prof. Oemar Seno Adjie, S.H (1974 saat menjabat Menteri
Kehakiman).
2. RUU KUHAP 2008-2010-1012
Penggagas Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H dan Prof Dr. Indrianto Seno
Adjie, S.H., M.H.

III. Pro dan Kontra.

25
Penggagas
Penggagas
Prof. Prof.
Dr. Andi
Dr. Andi
Hamzah,
Hamzah,
S.H dan
S.H Prof
dan Dr.
ProfIndrianto
Dr. Indrianto
SenoSeno
Adjie,Adjie,
S.H.,S.H.,
M.H. M.H.

III. Pro
III. dan
Pro Kontra.
dan Kontra. Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Pro
Pro Pro Kontra
Kontra
Kontra

Komisi
Komisi
Hukum
Hukum
Nasional
Nasional
RI – Diseminasi
RI – Diseminasi
20132013 17 17
IV. Alasan Munculnya Kembali Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
1. Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
atau International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR)
melalui UU No. 12 Tahun 2005.
2. Lihat Pasal 9 ICCPR
Ayat (3) “Setiap orang yang ditangkap atau ditahan atas suatu
tuduhan kejahatan harus segera dibawa ke muka seorang hakim
atau pejabat lain yang dibenarkan oleh hukum untuk menjalankan
kewenangan yudisial dan harus berhak untuk diadili dalam kurun
waktu yang wajar atau untuk dibebaskan”
Ayat (4) “Setiap orang yang dirampas kebebasannya melalui
penangkapan atau penahanan harus berhak untuk mengajukan
perkara ke muka pengadilan agar pengadilan dapat memutuskan
tanpa penundaan waktu menganai keabsahan penahanan
terhadapnya dan perintah pembebasannya apabila penangkapan
itu tidak sah”

V. Perbandingan Menghadapkan secara Fisik Tersangka di Hadapan


Hakim.
1. Prancis “Judge des leberte et de la detention”.
2. Belanda “rechter commisaris”.
3. Thailand “hakim bertugas menandatangani surat perintah penahan
untuk waktu 24 jam” .

VI. Pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


RUU KUHAP 2012 mengatur Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam:
BAB IX
26
V. Perbandingan Menghadapkan secara Fisik Tersangka di Hadapan Hakim.
1. Prancis “Judge des leberte et de la detention”.
2. Belanda “rechter commisaris”.
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013
3. Thailand “hakim bertugas menandatangani surat perintah penahan untuk waktu 24 jam” .

Pasal 111
VI. Pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Kewenangan
RUU KUHAP 2012 mengatur Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam:
BAB Pasal
IX 112 s.d. 144
Pasal 111
AcaraKewenangan
Pasal
Pasal115
112s.d.
s.d. 122
144
Acara
Pasal Syarat dan122
115 s.d. Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian

VII. Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan [Pasal 111 ayat (1)].


VII. Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan [Pasal 111 ayat (1) ].

Sub Tema: “Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan”

Komisi Hukum Nasional RI – Diseminasi 2013 18

VIII. Acara Pemeriksaan Pendahuluan.


VIII. Acara Pemeriksaan Pendahuluan.

27
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
VIII. Acara Pemeriksaan Pendahuluan.

Sub Tema: “Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan”

Hakim
Penuntut
5 hari Pemeriksa
Umum
Pendahuluan
• Kajari
• Kajati Perpanjangan
Penahanan Penangguhan
• Direktur Penahanan
Penuntutan
Kejagung
20 hari
Komisi HukumPerpanjangan
Nasional RI – Diseminasi 2013
Penahanan
19
Hakim PN 30 hari

30 hari 30 hari

5 hari Ke Tersangka Penyidik


Ke Dgn/ Dika
be
Penyidik Keluarga pa 3 hari tanpa bul
rat
Penasihat da Atasan syarat kan
Penahanan an
Hukum Penyidik

PENAHANAN: P 28 & 58- P 60 (1) (2); P 60 (3)–(7); P60(8); P60 (9)


RUU KUHAP

IX. Syarat Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


IX. Syarat Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
1. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi.
2. Bertugas sebagi hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10 tahun.
1. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi.
3. Berusia seredah-rendahnya 35 tahun dan setinggi-tingginya 57 tahun berpangkat serendah
2. rendahnya.
Bertugas sebagi hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya
10 tahun.
3. Berusia
X. Ketentuan seredah-rendahnya
mengenai Hakim Pemeriksa 35Pendahuluan.
tahun dan setinggi-tingginya 57
1. Masa
tahunJabatan 2 Tahun dapat
berpangkat diangkat
serendah kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
rendahnya.
2. Selama menjabat dibebaskan dari tugas mengadili semua jenis perkara dan tugas lain yang
berhubungan dengan tugas pengadilan negeri.
28
3. Dibantu seorang panitera dan beberapa staf sekretariat.
4. Berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara.
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

X. Ketentuan mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


1. Masa Jabatan 2 Tahun dapat diangkat kembali hanya untuk satu
kali masa jabatan.
2. Selama menjabat dibebaskan dari tugas mengadili semua jenis
perkara dan tugas lain yang berhubungan dengan tugas pengadilan
negeri.
3. Dibantu seorang panitera dan beberapa staf sekretariat.
4. Berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara.

XI. Kelemahan mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


1. Tidak adanya pihak ketiga yang dapat mengajukan permohonan
kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan berkenaan dengan
penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan.
2. Kepentingan korban tidak diakomodasi dalam pemeriksaan
pendahuluan.

XII. Pengembangan Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


Pasal 111 ayat (1) huruf i :Layak atau tidaknya suatu perkara untuk
dilakukan penuntutan ke pengadilan
Sub Tema: “Kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan”
• Memungkinkan pendekatan restorative justice.

29
PRAPERADILAN
DAN HAKIM KOMISARIS

Oleh:
Brigadir Jenderal Polisi Drs. R.M. Haka Astana M. Widya, S.H.
(Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta)

I. Pendahuluan.
Usaha mengedepankan peran hukum dalam mengatasi multidimensi
sejak lama dilakukan dan salah satunya dengan pembaruan hukum pidana
nasional, termasuk dalam hal ini ialah pembaruan hukum acara pidana
nasional. Hanya sampai dengan saat ini KUHAP yang sempat dianggap
sebagai karya agung dalam pembaruan hukum acara pidana nasional
karena dapat menggantikan hukum acara pidana peninggalan kolonial
dianggap tidak sesuai dengan hak asasi manusia di alam kemerdekaan
Indonesia. bersamaan dengan perkembangan gagasan.
Salah satu prinsip mendasar dalam KUHAP, yaitu adanya lembaga
kontrol yang disebut Praperadilan. Namun praperadilan dalam KUHAP
dinilai memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, proses penyitaan dan
penggeledahan tidak diatur sebagai hal yang dapat dipraperadilankan.
Kedua, posisi yang tak seimbang antara aparat dan tersangka yang
acapkali mengalami intimidasi dan kekerasan. Ketiga, hakim praperadilan
hanya mengedepankan aspek formil ketimbang menguji aspek materil
karena tak ada kewajiban bagi penyidik untuk membuktikan alasan-alasan
penahanan.
Narendra Jatna, mengatakan ide tentang Hakim Komisaris tak bisa
dilepaskan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil
Dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights). Dalam
salah satu ketentuan konvensi tersebut, mengisyaratkan bahwa apapun
tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum harus
segera dihadapkan ke depan sidang pengadilan. Artinya, semua upaya

Makalah disampaikan sebagai pembicara dalam Diseminasi Komisi Hukum nasional Republik
Indonesia dengan tema Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional - Kewenangan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan, Rabu, 11 Desember 2013, di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.

RM. Pangabean, Sikap Polri terhadap Hakim Komisaris Dalam RUU KUHAP (Powerpoint),
Disampaikan Dalam seminar nasional Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Trisakti, Jakarta,
2007.

Narendra Jatna, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi RUU KUHAP
Menuju Pembaruan KUHAP di gedung LBH Jakarta, pada tanggal 13 Februari 2009.

30
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

paksa harus disetujui oleh pengadilan, begitu pula Amir Syamsuddin


mengatakan pentingnya hakim komisaris untuk mengurangi tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum dalam
melakukan upaya paksa. Dalam praktek, banyak keluhan dialami korban
terkait upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum yang dinilai
melanggar HAM. Prof Andi Hamzah, mengatakan pada prinsipnya
hakim pemeriksa pendahuluan ini sama dengan hakim praperadilan
sekarang, wewenang ditambah dengan perpanjangan penahanan,
izin penggeledahan, penyitaan, izin penyadapan. Hal ini bertujuan
mengurangi beban hakim pengadilan negeri, sehingga bisa konsentrasi
pada persidangan perkara perdata, pidana, dan seterusnya. Seseorang
yang tak terima atas penangkapannya, misalnya, bisa mengadukan hal
tersebut ke hakim pemeriksa pendahuluan.
Romli Atmasmita, guru besar hukum pidana internasional Universitas
Padjajaran (Unpad) salah satu ahli yang didengar pendapatnya. Fungsi
dan peranan hakim komisaris dalam RKUHAP tak jauh berbeda dengan
lembaga praperadilan. Yaitu menyaring kewenangan penyidikan dan
penuntutan. Perluasan kewenangan pada hakim komisaris tidak serta
merta akan memicu perbaikan sistem peradilan pidana. Malah semakin
ketat kewenangan penyidik dan penuntut umum. Akibatnya, sistem
peradilan pidana tidak berjalan secara efektif dan efisien. RUU KUHAP
hanya acuan menuju keadilan prosedural namun sulit mencapai keadilan
substansial. Karena itu, menolak keberadaan hakim komisaris dalam RUU
KUHAP. Ia memilih lembaga praperadilan tetap dipertahankan dalam RUU
KUHAP. Dengan catatan, kewenangan lembaga praperadilan diperluas
dan diperkuat dengan sistem pengawasan ketat dengan mekanisme dan
proses praperadilan.
RM. Pangabean, menyatakan pelaksanaan Hakim Komisaris dengan
keberadaannya pada rumah tahanan negara akan mengakibatkan penyidik
dari Kepolisian mengalami kendala dalam menjalankan penyidikan.
wilayah Indonesia yang luas dan kondisi geografis mengakibatkan
permasalahan di waktu, karena ada Polsek untuk menuju ibu kota

Amir Syamsudin, dalam Diskusi RUU KUHAP Menuju Pembaruan KUHAP di gedung LBH
Jakarta, pada tanggal 13 Februari 2009.

Hukum Online, 15 Februari 2009, Masih Pentingnya Mendorong Konsep Hakim Komisaris,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21203/masih-pentingnya-mendorong-konsep-hakim-
komisaris----, diakses 5 November 2013.

Prof Andi Hamzah, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti yang juga Ketua
Tim Perumus RUU KUHAP dalam Simposium Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi
Indonesia, di Makassar 18-20 Maret 2013.

Budiman Tanuredjo, 19 Maret 2013, RUU KUHAP Perkenalkan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan, http://nasional.kompas.com/read/2013/03/19/11390375/RUU.KUHAP.Perkenalkan.
Hakim.Pemeriksa.Pendahuluan, diakses 4 Desember 2013.

Romli Atmasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran, 15
Maret 2013, Ahli Kritik Hakim Komisaris di RUU KUHAP, http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt51431dd699b58/ahli-kritik-hakim-komisaris-di-rkuhap, diakses 9 Desember 2013.

RM. Pangabean, Op. Cit.

31
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

kabupaten dimana rumah tahanan terletak, harus menempuh perjalanan


5 hari berlayar10.
Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Kabareskrim Polri
Komjen (Purn) Ito Sumardi11, dengan melibatkan hakim komisaris dalam
penentuan perkara layak tidaknya masuk pengadilan, akan bertentangan
dengan prisip kerja kepolisian dalam melakukan proses hukum yang
murah, cepat, dan adil, selain itu faktor grografis dari negara yang dipakai
study banding yaitu Perancis dan Belanda sangat berbeda dengan kondisi
geografis di Indonesia, dan Perancis sendiri saat ini sebenarnya tengah
membekukan pola hakim komisaris, sementara di Belanda proses hukum
seperti ini sudah dihapus.
Istilah Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (Hakim Komisaris) sebenarnya
bukan barang baru di Indonesia, sebab pada saat diberlakukannya Reglement
op de Strafvoerdering, hal itu sudah diatur dalam title kedua tentang Van de
regter-commissaris berfungsi pada tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai
pengawas (examinating judge) untuk mengawasi apakah tindakan upaya
paksa (dwang middelen), yang meliputi penangkapan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak.
Selain itu, dalam Reglement op de Strafvoerdering tersebut Hakim Komisaris
atau regter-commissaris dapat melakukan tindakan eksekutif (investigating
judge) untuk memanggil orang, baik para saksi maupun tersangka,
mendatangi rumah para saksi maupun tersangka, dan juga memeriksa
serta mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka. Akan tetapi
setelah diberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad
No. 44 Tahun 1941, istilah regter-commissaris tidak digunakan lagi.
Selanjutnya istilah Hakim Komisaris mulai muncul kembali
dalam konsep Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
diajukan ke DPR pada tahun 1974, pada masa Prof. Oemar Seno Adjie,
S.H., menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Dalam konsep ini, Hakim
Komisaris memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan
untuk melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen),
bertindak secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya
paksa, menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila
terjadi sengketa antara polisi dan jaksa, serta mengambil keputusan atas
keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan
tindakan. Latar belakang diintrodusirnya Hakim Komisaris adalah untuk
lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pidana dan
menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas
penyidik dari instansi yang berbeda. Penangkapan dan penahanan yang
tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan
dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran
10
Ibid.
11
Brigjen Pol. HS. MALTHA, 13 Maret 2013, Detik News, RUU KUHAP : Mantan Kabareskrim
Kritik Pembentukan Hakim Komisaris, http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/159-ruu-kuhap-
mantan-kabareskrim, diakses 9 Desember 2013.

32
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah
merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman
orang. Pemikiran dibentuknya hakim komisaris tersebut merupakan
hasil studi banding ke Belanda, di samping alasan historis, dalam rangka
penyusunan RUU KUHAP dengan modifikasi yang disesuaikan dengan
perkembangan hukum di Indonesia12.

II. Kewenangan.
Praperadilan sebagaimana Pasal 1 butir 10 KUHAP, adalah adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Permintaan ganti kerugian yang diajukan ke praperadilan adalah
akibat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Pasal 95
dan Penjelasan Pasal 95), sedangkan permintaan rehabilitasi yang diajukan
ke praperadilan adalah akibat diputus bebas atau diputus lepas (Pasal
97).
Dibandingkan dengan Praperadilan, Hakim Pemeriksaan Pendahuluan
(Hakim Komisaris), mempunyai wewenang yang lebih luas13, yaitu :
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan.
2. Pembatalan atau penangguhan penahanan.
3. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri.
4. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti.
5. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap
atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak
milik yang disita secara tidak sah.
6. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara.
7. Penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak
sah.
12
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di Indonesia,
Jakarta, 2011, hlm. 1-2.
13
Lihat pasal 111 RUU KUHAP.

33
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

8. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak


berdasarkan asas oportunitas.
9. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi
selama tahap penyidikan.
namun atas pengajuan yang terbatas pada tersangka atau penasihat
hukumnya atau oleh penuntut umum.

III. Pelaksanaan.
Permohonan Praperadilan diajukan setelah adanya upaya paksa
yang dilakukan penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan14.
Penyidikan adalah tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang
dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana
atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar
terjadi15. Penyidikan dimulai dari pembuatan Laporan Polisi, administrasi
penyelidikan, penyelidikan, administrasi penyidikan dan penyidikan16.
Upaya penyidikan selain untuk memperoleh keterangan juga melakukan
tindakan penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
Pemeriksaan Praperadilan dilaksanakan oleh Hakim Tunggal yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang Panitera17,
setelah ditentukan hari persidangan, pemeriksaan dilakukan secara cepat
dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya 18 dan tugas Hakim praperadilan selesai saat sidang telah
diputus.
Dalam RUU KUHAP setiap tindakan penggeledahan, penyitaan,
penangkapan19, dan penahanan harus menunjukkan surat ijin dari
Hakim pemeriksa Pendahuluan atau Hakim Komisaris. RUU KUHAP
menyebutkan Hakim adalah pejabat pengadilan atau pejabat lain yang
diberi wewenang untuk melakukan tugas kekuasaan kehakiman dan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau yang disebut Hakim Komisaris
adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan
penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan.
Dalam menjalankan kewenangannya Hakim Komisaris memberikan
keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak
menerima permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat
perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang
relevan dan penetapan atau putusan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan
14
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Cetakan Pertama,
Rineka Cipta, Jakarta 1991, hlm.87.
15
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.32.
16
Lihat Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana.
17
Lihat pasal 78 ayat (2) KUHAP.
18
Lihat pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP.
19
Budiman Tanuredjo, Op. Cit.

34
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

banding atau kasasi. Hakim Komisaris tidak berkantor di pengadilan,


tetapi berkantor di dekat rumah tahanan negara yang merupakan hakim
tunggal, memeriksa, menetapkan atau memutus karena jabatannya seorang
diri. Dan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang paniter dan
beberapa orang staf sekretariat. Tidak dijelaskan secara rinci dalam kantor
Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau Hakim Komisaris terdapat satu orang
hakim ataukah lebih, mengingat penyidik yang berada di Polda, Polres
ataupun Polsek yang tidak pernah libur dalam melaksanakan penyidikan.
Dalam Pasal 6 UU Polri disebutkan bahwa Polri dalam melaksanakan
peran dan fungsi kepolisian meliputi seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia dan dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan
pelaksanaan tugas Polri. Dan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 23 tahun 2007 tentang Daerah Hukum Polri, Daerah hukum
kepolisian meliputi:
1. Daerah hukum kepolisian Markas Besar untuk wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia,
2. Daerah hukum Kepolisian Daerah untuk wilayah provinsi,
3. Daerah hukum Kepolisian Resort untuk wilayah kabupaten/kota,
4. Daerah hukum Kepolisian Sektor untuk wilayah kecamatan,
Namun berdasarkan pertimbangan kepentingan, kemampuan, fungsi
dan peran kepolisian, luas wilayah serta keadaan penduduk, Kapolri
dapat menentukan daerah hukum kepolisian di luar ketentuan tersebut,
sebagaimana wilayah Polda DIY terdapat satu kecamatan dengan tiga
Polsek, yaitu Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, dengan Polsek Depok
Barat, Polsek Depok Timur dan Polsek Bulak Sumur, atau satu Polda dengan
wilayah dua propinsi. Penyidikan oleh penyidik dilakukan menurut
daerah hukum penyidik bertugas namun pembagian daerah hukum
kepolisian tidak membatasi setiap pejabat Polri dalam melaksanakan
tugas, fungsi, peran dan kewenangannya sesuai peraturan perundang-
undangan, sehingga dengan ketentuan yang terdapat dalam RUU KUHAP
tentunya hal ini menjadi kendala dengan jangka waktu dalam pengajuan
ijin dan melakukan penangkapan atau penahanan. Perhitungan ini belum
berarti jika dibandingkan dengan Polda dengan luas wilayah yang lebih
besar karena ada kantor polisi yang tersebar di kepulauan dan ditempuh 5
(lima) hari berlayar20.

IV. Kesimpulan.
Pembaruan Hukum Acara Pidana memang diperlukan dalam
menghadapi perubahan yang ada dalam masyarakat, namun perlu
dipersiapkan sarana prasarana untuk mendukungnya, sehingga
pelaksanaan Hukum Acara Pidana dapat diterapkan dan berjalan sesuai
dengan yang dicita-citakan seluruh lapisan masyarakat.
20
RM. Pangabean, Op. Cit.

35
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN/
HAKIM KOMISARIS
Oleh:
Dr. Heru Iriani, S.H., M.H.
(Hakim Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta)

I. Hakim Komisaris.
1. Ide adanya HAKIM KOMISARIS merujuk pada Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant for Civil and Political Rights / ICCPR) yang telah
diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005.
2. Pernah di kenal di Indonesia saat berlakunya REGLEMENT
OP DE STRAFVORDERING, yangg dikenal dengan REGTER
COMMISSARIS.
3. Setelah berlakunya HIR dng Staatblad No. 44 Tahun. 1941 tidak
terdapat lagi.
4. Sebelum diundangkannya KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) telah
disebut dalam draft RUU KUHAP tahun 1974.
5. RUU KUHAP tahun 1979 tidak terdapat konsep tentang Hakim
Komisaris, ketika dibawa ke DPR timbul reaksi keras dari
masyarakat – dianggap tidak melindungi hak asasi tersangka
ataupun terdakwa.
6. Perlunya lembaga pengawas pd pemeriksaan pendahuluan
memunculkan ide tentang lembaga PRAPERADILAN.
7. Muncul lembaga PRAPERADILAN di KUHAP.

II. Upaya Paksa.


1. Meliputi tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, pemeriksaan surat.
2. Salah satu ketentuan dalam ICCPR, apapun tindakan upaya paksa
yang dilakukan penegak hukum harus segera dihadapkan ke sidang
pengadilan, semua upaya paksa harus disetujui pengadilan.
3. Sering terjadi tindakan sewenang-wenang dalam tindakan upaya
paksa oleh penyidik / PU.

III. Praperadilan.
1. Diatur dalam pasal 77 KUHAP.

36
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

2. Kelemahan:
a. Tidak semua upaya paksa dapat dipraperadilankan, hanya
penangkapan dan penahanan, sedangkan penyitaan,
penggeledahan dan pemeriksaan surat tidak dapat.
b. Pasif, menunggu ada tuntutan/ gugatan.
c. Hakim praperadilan hanya memeriksa syarat formil tanpa
menilai syarat materiil (“dugaan keras”, “berdasar bukti
permulaan yang cukup” dan alasan-alasan konkrit penahanan).
d. Porsi tidak seimbang antara aparat dan tersangka ataupun
terdakwa.

IV. RUU KUHAP Tahun 2011.


1. Konsep Hakim Komisaris dimunculkan sebagai alternatif pengganti
Praperadilan.
2. Jaminan perlindungan HAM tersangka/terdakwa
3. Asas PRADUGA TAK BERSALAH.
4. Pasal 111 sampai dengan Pasal 122.
5. Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai
jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenang lain yang
ditentukan dalam undang-undang ini (pasal 1 ke 7).
6. Kontrol/pengawasan terhadap penggunaan wewenang penyidik
dan penuntut umum pada tahap pemeriksaan pendahuluan.

V. Hakim Komisaris.
1. Diangkat dan diberhentikan Presiden atas usul KPT.
2. Berpengalaman hakim PN minimal 10 tahun, pangkat minimal III
c.
3. Hakim komisaris berbeda dengan HAKIM yang tugasnya mengadili
perkara pokok.
4. Kewenangan Hakim komisaris dil uar kewenangan mengadili yang
menentukan tentang bersalah tidaknya terdakwa.
5. Memeriksa keabsahan tindakan hukum penyidik dan penuntut
umum pada tahap pendahuluan.

VI. Pasal 111 RUU KUHAP.


(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, atau penyadapan;

37
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

b. pembatalan atau penangguhan penahanan;


c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa
dengan melanggar hak tidak memberatkan diri sendiri;
d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak
dapat dijadikan alat bukti;
e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang
ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian
untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara;
g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk
tujuan yang tidak sah;
h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak
berdasarkan asas oportunitas;
i. layak atau tidaknya suatu perkara dilakukan penuntutan ke
pengadilan.
j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang
terjadi selama tahap penyidikan.
(2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh
penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya
dapat diajukan oleh penuntut umum.
(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i.

VII. Kewenangan Hakim Komisaris.


1. Lebih besar dan lebih detail dibandingkan lembaga Praperadilan.
2. Lebih memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap Hak
Asasi tersangka/terdakwa
3. Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal yang menjadi
wewenangnya atas inisiatif sendiri
4. Melakukan kontrol terhadap penggunaan wewenang oleh penyidik
dan penuntut umum secara pro aktif
5. Dapat bertindak aktif mengawasi pelaksanaan ijin upaya paksa
dalam pemeriksaan pendahuluan
6. Penetapan dan putusan hakim komisaris bersifat final dan mengikat
(Pasal 122).

VIII. Perbedaan Praperadilan dan Hakim Komisaris.

38
pendahuluan
6. Penetapan dan putusan hakim komisaris bersifat final dan mengikat (Pasal 122).

Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013


VIII. Perbedaan Praperadilan dan Hakim Komisaris.

IX. Wewenang Lain yang Tidak Berkaitan dengan Praperadilan.


1. Ijin penggeledahan yang diminta penyidik.
2. Ijin penyitaan yang diminta penyidik.
3. Ijin pembedahan mayat yg diminta penyidik.
4. Ijin penggeledahan, penyadapan, langkah-langkah lain yang
diminta PU.
5. Perintah penahanan yang diminta PU.
6. Penangguhan penahanan yang diminta PU.

X. Kendala/Kelemahan Bila Diberlakukan Hakim Komisaris.


1. Perombakan mendasar sistem peradilan pidana pada tahap pra
ajudikasi.
2. Hanya mengacu pada due process model yang menekankan
perlindungan
Komisi Hukum Nasional RItersangka/ terdakwa ( secara filosofis sistem
– Diseminasi 2013 29
peradilan pidana Indonesia merupakan perpaduan due process dan
crime control model yang bertujuan pada perlindungan tersangka/
terdakwa, korban dan masyarakat.
3. Harus merubah semua perundang-undangan yang berlaku
yang menyangkut sistem peradilan ( UU Pokok Kehakiman, UU
Mahkamah Agung, UU Peradilan Umum, UU Kejaksaan, UU
Kepolisian).
4. Kesiapan SDM, persyaratan menjadi Hakim Komisaris harus
berpengalaman 10 tahun sebagai hakim PN, sebagian besar PN klas
II diisi hakim yunior.
5. Jumlah Hakim Komisaris tidak sebanding dengan jumlah
penyidik.
6. Tempat kedudukan Hakim Komisaris di Kabupaten/Kota dan
kondisi geografis wilayah Indonesia.
7. Kesulitan teknis seperti, transportasi, kondisi cuaca, keselamatan
tersangka dan penyidik/ pengawal, kemungkinan tersangka
melarikan diri.

39
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

8. Terjadinya pelambatan proses penyidikan.


9. Semakin diperketatnya kewenangan penyidikan dan penuntutan
dikhawatirkan berdampak pada sistem peradilan pidana secara
keseluruhan menjadi tidak efektif dan tidak efisien.
10. Kemungkinan dapat memicu konflik antar lembaga penegak
hukum.
11. Dana besar untuk mempersiapkan sarana dan prasarana
pembentukan Hakim Komisaris dan untuk dana operasional
penyidikan dan penuntutan.
12. Birokrasi dan efisiensi.
13. Pengaturan penggunaan wewenang atas inisiatif sendiri.
14. Putusan Hakim Komisaris final dan mengikat, rentan abuse of
power.
15. Mekanisme pengawasan / kontrol terhadap Hakim Komisaris.
16. Dikhawatirkan memasuki
Sub Tema: “Kewenangan pokok
Hakim Pemeriksa perkara.
Pendahuluan”

XI. Dampak terhadap KPK.


VII. Kewenangan Hakim Komisaris.
Berpotensi melemahkan KPK : hukum terhadap Hak Asasi tersangka/terdakwa
1. Lebih besar dan lebih detail dibandingkan lembaga Praperadilan.
2. Lebih memberikan jaminan perlindungan
3. Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal yang menjadi wewenangnya atas inisiatif sendiri
1. Menghambat danterhadap
4. Melakukan kontrol membatasi kewenangan
penggunaan wewenang oleh KPK
penyidik dan penuntut umum
secara pro aktif
2. Bila5. Hakim Komisaris
Dapat bertindak
pendahuluan
menyatakan
aktif mengawasi perkara
pelaksanaan tidak
ijin upaya paksalayak, penuntutan
dalam pemeriksaan

harus dihentikan,
6. Penetapan padahal
dan putusan KPKbersifat
hakim komisaris tidak
finalberwenang keluarkan
dan mengikat (Pasal 122). SP3.
3. Penyitaan, penyadapan, wajib ijin Hakim Komisaris, padahal saat
VIII. Perbedaan Praperadilan dan Hakim Komisaris.
ini KPK dapat melakukan penyitaan tanpa ijin KPN.

XI. Saran.
1. Penguatan lembaga PRAPERADILAN.
2. Menambah kewenangan dengan kewenangan sebagaimana
kewenangan Hakim Komisaris.
3. Penunjukan hakim praperadilan mengikuti model Hakim
Komisaris.

40

Komisi Hukum Nasional RI – Diseminasi 2013 29


SPHN 2013:
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU HUKUM PIDANA
DENGAN UU LAINNYA
(TULISAN PEMBAHAS)
BEBERAPA CATATAN
ATAS RUU KUHP TAHUN 2012

Oleh:
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
(Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran – Bandung
- Jawa Barat)

I. Pendahuluan.
Kodifikasi hukum pidana berusia lebih dari satu abad, dan diperkenalkan
oleh pemerintah Kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan, diperkuat oleh
kehadiran Gurubesar Hukum Belanda yang telah memberikan pengajaran
hukum di fakultas Hukum di Indonesia, seperti Universitas Indonesia,
Universitas Gadjah Mada dan Universitas Padjadjaran. Semua buku hukum
belanda menjadi bacaan wajib para mahasiswa di perguruan tinggi di
Indonesia, dan kurikulum pendidikan hukum di Indonesia terutama pasca
kemerdekaan masih merujuk pendidikan hukum di Belanda.Pengakuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda sebagai Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia melalui asas konkordansi diterapkan di
seluruh wilayah RI berdasarkan UU RI Nomor 73 Tahun 1958.
Beberapa perubahan terhadap KUHP tersebut telah dilakukan setelah
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2001 khususnya adopsi ketentuan
delik jabatan dalam KUHP menjadi bagian delik korupsi berdasarkan
UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Perubahan yang telah dilakukan terbatas
pada perubahan ketentuan KUHP sehubungan dengan perkembangan
tindak pidana baru yang berkembang dan terjadi dalam masyarakat (lihat
Penjelasan Umum RUU KUHP).Perubahan KUHP dimaksud hanya dengan
maksud agar dapat menjangkau perkembangan tindak pidana baru dan
bersifat parsial belum menyentuh dan meng-elaborasi aspek filosofi, visi
dan misi ke arah perkembangan politik hukum pidana Indonesia baru.
Gagasan dan inisiatif Kementrian Kehakiman (sekarang
Kemenhukham) sejak Tahun 1960 menyusun draft rancangan undang-
undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah dibantu dan diperkuat
oleh Ahli Hukum Pidana Indonesia terkenal seperti, Almarhum: Prof Oemar
Senoaji, Prof Sudarto, Prof. Roeslan Saleh, Prof Satochid Kartanegara, Prof
Loebby Loqman dan Prof Andi Zaenal Abidin. Selain itu, juga dibantu

MAKALAH TELAH DISAMPAIKAN PADA RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM DI KOMISI III
DPR RI TANGGAL 13 MARET 2013 dengan beberapa tambahan. Makalah ini hanya bahan diskusi
terbatas.Penyebarluasannya harus memperoleh izzin penulisnya.

42
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

oleh para ahli hukum pidana generasi kedua, seperti:Prof Andi Hamzah,
Prof Mardjono Reksodipoetro, Prof Muladi, Prof Barda Nawawi, Prof
Sahetapy,Prof.Bambang Poernomo, dan Prof Romli Atmasasmita, Prof
Komariah Emong Sapardjaya, dan Prof.Indriyanto Senoaji, dan dilanjutkan
oleh para ahli hukum pidana generasi ketiga, seperti Prof Nyoman Syarikat,
Prof Harkristuti , Dr.Mudzakir, dan Dr.Chaerul Huda, serta (Alm) Dr.Rudy
Satrio. Penyusunan RUU KUHP selanjutnya mengikutsertaan disiplin lain
seperti Kriminologi, Prof Tb.Ronny Nitibaskara, dan Ahli hukum pidana
Islam, Prof Amin Suma. Selain para ahli hukum di atas, juga diikutsertakan
instansi kepolisian, kejaksaan dan MA RI.
Perubahan penting yang perlu dipertimbangkan dan dibahas kembali
dari naskah RUU KUHP ini adalah pertimbangan penyusunan-nya.
Penyusun menyampaikan 3(tiga) misi yang lebih luas bukan sekedar
mengandung makna “dekolonisasi” perundangan pidana, melainkan juga,
pertama, demokratisasi hukum pidana; kedua, konsolidasi hukum pidana,
dan misi ketiga, adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum
yang terjadi dalam masyarakat Indonesia masa kini (Penjelasan Umum).
Ketiga misi penting yang mempengaruhi perubahan politik hukum pidana
Indonesia tersebut tentu diharapkan secara konsisten menjiwai segenap
batang tubuh naskah RUU KUHP. Tugas dan tanggung jawab mengkaji
dan membahas ketiga misi tersebut adalah pada anggota DPR RI periode
2009 – 2014 atau mungkin masih berlanjut pada periode kerja DPR RI
berikutnya.
Bila disandingkan Naskah RUU KUHP ini dan KUHP Belanda (1996)
maka tampak gambaran sebagai berikut:

RUU KUHP Indonesia KUHP Belanda (1996)

Buku Kesatu: Ketentuan Umum Book I General Provisions


Bab I Ruang Lingkup Berlakunya Title 1 The Scope and Extent of
Ketentuan Peraturan Per-UU-an the Criminal Law
Pidana

Bab II Tindak pidana dan Title 2 Punishments


Pertanggung Jawaban Pidana

Bab III Pemidanaan, Pidana dan Title 3 Exclusion and Increase of


Tindakan Criminal Liability

Bab IV Gugurnya Kewenangan Title 4 Attempt and Preparation


Penuntutan dan Pelaksanaan
pidana

43
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Bab V Pengertian Istilah Title 5 Participation in Criminal


Criminal offense

Bab VI Ketentuan Penutup Title 6 Concurrence of Criminal


Offense

Title 7 The Lodging and


Withdrawal Of a Complaint in
the Case of Serious Offenses Only
Subject to Criminal Prosecution

Title 8 Lapse of the Right to


Prosecute and Lapse of the Right
to Implent Sentence

Title 9 Definitions of Some of the


Terms and Expressions Used in
This Code

Final Provisions

Book II Serious Offenses


Buku Kedua: Tindak Pidana
Book III Lesser Offenses
Penjelasan Umum

Pola penyusunan naskah RUU KUHP tidak membedakan antara


perbuatan Kejahatan dan Pelanggaran seperti KUHP 1818, tetapi
menggunakan pola penyusunan sistem hukum Common Law dan berbeda
dengan pola penyusunan KUHP Belanda (1996) yang masih membagi
dalam tiga buku yaitu: Ketentuan Umum, Kejahatan Serius, dan kejahatan
ringan. Pola Penyusunan naskah RUU KUHP membagi dalam dua buku,
yaitu, Ketentuan Umum dan Kejahatan.
Perbandingan RUU KUHP dan KUHP Belanda , di atas tidak tampak
perbedaan mencolok hanya KUHP Belanda mempertahankan tetap dalam
Tiga Buku sedangkan RUU KUHP berubah menjadi dua buku. KUHP
Belanda tetap masih membedakan dua jenis kejahatan , yaitu Kejahatan
serius dan Kejahatan Ringan (lesser offenses) sebagai pengganti pembedaan
antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen). RUU
KUHP telah menghapuskan perbedaan Kejahatan dan Pelanggaran yang
digunakan dalam KUHP (lama).

44
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Perancang RUU KUHP menulis pertimbangan menghapuskan antara


kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen) sebagai berikut
(halaman 207):
“Alasan penghapusan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa secara konseptual
perbedaan antara kejahatan sebagai “rechsdelict” dan pelanggaran sebagai
“wetsdelict” ternyata tidak dapat dipertahankan, karena dalam perkembanannya
tidak sedikit beberapa “rechsts delict” dikualifikasikan sebagai pelanggaran
dan sebaliknya beberapa perbuatan yang seharusnya merupakan “wetsdelict”
dirumuskan sebagai kejahatan, hanya karena diperberat ancaman pidananya”.
Selanjutnya, dikemukakan, “Kenyataan juga membuktikan bahwa persoalan
berat ringannya kualitas dan dampak tindak pidana kejahatan dan pelanggaran
juga relatif, sehingga kriteria kualitatif semacam ini dalam kenyataannya tidak
lagi dapat dipertahankan lagi secara konsisten”.
Atas pertimbangan Tim Perancang naskah RUU KUHP di atas, Komisi
III DPR RI perlu meminta klarifikasi dan bukti nyata hasil penelitian bahwa
telah terjadi perubahan pandangan atau nilai dalam masyarakat yang telah
tidak dapat membedakan lagi batas-batas kesusilaan perbuatan termasuk
“kejahatan” dan “pelanggaran”, dan apakah masyarakat Indonesia kini
telah tidak memerlukan perbedaan pengaturannya. Pertanyaan Komisi III
DPR RI yang perlu diajukan kepada pemerintah, adalah, apakah secara
sosiologis, pembedaan antara perbuatan yang disebut kejahatan dan
pelanggaran memiliki sifat ketercelaan yang sama dalam pandangan
masyarakat Indonesia?
Dalam pandangan saya, semakin tipis perbedaan antara “kejahatan”
dan “pelanggaran” dalam pandangan masyarakat maka semakin rendah
kualitas kesusilaan masyarakat, dan semakin sulit dibedakan antara
kedua jenis perbuatan tersebut mencerminkan seluruh perilaku anggota
masyarakat Indonesia hampir dipastikan tercela. Jika perbedaan antara
“kejahatan” dan “pelanggaran” atau kejahatan serius dan kejahatan
ringan, dihapuskan dalam pembentukan politik hukum pidana Indonesia.
Cara pandang ini dikhawatirkanmenimbulkan apa yang disebut,
“overcriminalization”; yang berdampak negatif sangat serius terhadap
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan generasi muda Indonesia
yang akan datang. Hal ini disebabkan “overcriminalization” mengakibatkan
terjadinya suatu proses stigmatisasi (stigmatization) bahkan lebih
buruk lagi, terjadi “overstigmatization” bahkan untuk perbuatan yang
mengandung sifat ketercelaan yang tidak serius. Contoh kasus dalam
konteks tersebut, misalnya, A memasuki pekarangan rumah orang lain,

Bandingkan perbuatan korupsi yang dilakukan pejabat negara dan perbuatan pencurian yang
dillakukan mbok minah; sekalipun perbuatan kedua nya melanggar hukum tetap saja perbuatan mbok
minah termasuk dan disebut “kejahatan” bukan “pelanggaran.”.Bagaimana membedakan perbuatan
memasuki pekarangan rumah dan mencuri sepasang sepatu dan perbutan memasuki rumah dan
mencuri perhiasan atau menganiaya pemilik rumah jika kedua jenis perbuatan dimasukkan sebagai
bagain perbuatan Kejahatan.

45
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

merupakan pelanggaran semata, kemudian pemilik rumah keluar dan


mengusir A dari pekarangan, A sebaliknya memukul dan menganiaya
pemilik rumah sehingga pemilik rumah luka berat atau mati. Perbuatan A
memasuki pekarangan, dalam versi penyusun KUHP, adalah “kejahatan
ringan” dan perbuatan memukul sampai mati, termasuk “kejahatan berat”;
sehingga dengan menggunakan nomenklatur sejalan dengan cara pandang
penyusun RUU KUHP, maka kedua sifat perbuatan A tidak berbeda jauh
bahkan stigma sosial tetap saja tidak dapat membedakan kedua karakter
perbuatan tersebut. Perbedaan mencolok baru diketahui dari ancaman
pidana yaitu, perbuatan A memasuki pekarangan rumah orang lain pasti
ancaman pidana lebih ringan dari perbuatan A berikutnya.

II. Nilai-Nilai (Values) Dibalik Norma KUHP Lebih Penting Daripada


Norma An Sich.
Pembentukan suatu UU diakui di Negara manapun sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Negara ybs, dan seharusnya mencerminkan
nilai-nilai pandangan hidup masyarakat di mana undang-undang
tersebut diundangkan. Karakter suatu UU merupakan pencerminan dari
“situation gebundenheit” suatu masyarakat baik dari aspek sosial, politik,
budaya,keragaman etnis, dan agama. Intinya Hukum tidak bersifat
universal sekalipun Hukum yang berkaitan dengan perlindungan Hak
Asasi Manusia karena Hukum Nasional suatu Negara selalu berkorelasi
dengan kepentingan kebutuhan bangsa yang bersangkutan dalam menata
kehidupan kini dan di masa depan dan semuanya itu bersumber pada
Konstitusi Negara yang bersangkutan.
Setiap UU (baca Hukum) yang tidak mencerminkan aspek-aspek
di atas, adalah bukan Hukum yang baik karena tidak mencerminkan
nilai-nilai kehidupan yang berkembang dalam masyarakatnya . Dalam
konteks ini, Mochtar Kusumaatmadja, berpendapat bahwa, pembentukan
hukum (baca perundang-undangan) harus dilandaskan pada pemikiran
ajaran hukum, “sociological jurisprudence” (Roscoe Pound), dan ajaran
“pragmatic legal realism” (Eugen Ehrlich) yang menukik pada kenyataan
yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Selain teori hukum
pembangunan Mochtar Kusumaatmadja, dalam implementasi (penegakan)
hukum, di tengah-tengah krisis nilai perikemanusiaan dan nilai keadilan
sosial; perlu diingat bahwa penegak hukum harus mengutamakan Nurani
dan Kepedulian karena Hukum itu dibuat untuk Manusia bukan sebaliknya
Manusia Untuk Hukum (Alm.Satjipto Rahardjo).
Saya berpendapat bahwa, “Hukum sebagai sistem norma
dinamis(Mochtar Kusumaatmadja) yang mengutamakan “norms and
logic” (Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan makna dalam kenyataan
kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam sistem

46
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

perilaku (Alm.Satjipto Rahardjo) masyarakat dan birokrasi yang sama-


sama taat hukum. Sebaliknya, hukum yang hanya dipandang sebagai
sistem norma dan perilaku saja dan digunakan sebagai “mesin birokrasi”,
akan kehilangan Roh-nya jika mengabaikan sistem nilai yang bersumber
pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara”. Dalil-dalil hukum inilah yang saya sebut Teori Hukum
Integratif.
NILAI-NILAI (VALUES) yang bersumber pada pandangan hidup
Pancasila yang memuat utuh kelima sila-nya, lebih penting, bermakna dan
seharusnya diutamakan/didahulukan baik dalam proses pembentukan
perundang-undangan maupun dalam penegakan hukum. Contoh konkrit,
dalam proses pembentukan UU harus dicegah untuk tidak merumuskan
kalimat suatu UU yang bersifat multi-tafsir dan bertentangan dengan
asas lex certa suatu asas dalam teknik perundang-undangan yang melarang
rumusan kalimat tidak jelas dan tidak pasti dan multi tafsir. Contoh konkrit
dalam implementasi penegakan hukum, aparatur penegak hukum harus
melepaskan faktor subjektivitas pribadi seperti dalam penetapan tersangka
diikuti penahanan karena dalam ketentuan KUHAP, penetapan tersangka
diikuti penahanan bukan suatu keharusan kecuali telah dipenuhi syarat-
syarat sesuai KUHAP.Namun syarat-syarat penahanan inilah dalam
praktik sangat dipengaruhi bahkan ditentukan oleh faktor subjektivitas
penyidik.
Dalam pembentukan UU, faktor NILAI ini sangat penting dan harus
merujuk pada ketentuan UUD 1945 dan dalam Undang-Undang berkaitan
dengan ekonomi, keuangan dan perbankan bahkan yang mengatur hukum
kontrak khususnya di bidang sumber daya alam, dapat dikatakan, tidak
lagi merujuk pada Pancasila dan UUD 1945.
Pengaruh globalisasi sebagai idiologi memasuki akhir abad 20 dan
memasuki abad 21 sampai saat ini masih dominan terutama dalam bidang
perekonomian, perdagangan dan perbankan di seluruh Negara. Namun
demikian pengaruh tersebut tentu berdampak positif dan juga negative
terutama jika menyentuh peraturan perundang-undangan pidana karena
hampir semua Negara sampai saat ini masih kuat memegang teguh asas
legalitas seperti asas non-retroaktif dan asas tiada pidana tanpa kesalahan
(geen straf zonder schuld) serta asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence). Dalam hukum pembuktian di banyak Negara tidak dianut
sistem pembuktian terbalik (reversal of burden of proof) namun tetap dianut
pembuktian negative (negative wettelijke beginsel) atau “proof beyond
reasonable doubt”.Jika Asas-asas hukum pidana tersebut tergoyahkan
maka goyah pula kekuatan suatu Negara sebagai Negara hukum. Dalam

Romli Atmasasmita.”Teori Hukum Integratif:Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif”; Genta Publishing, hlmn 103-104

Jean Jacques Gelinas,”Predatory Globalization;

47
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

kaitan ini perlu dicermati secara dalam ketentuan RUU KUHP khusus
Pasal 1 dan Pasal 2 sebagaimana akan diuraikan dalam makalah ini.
Saran konkrit agar diteliti secara mendalam, ketentuan RUU KUHP
berkaitan dengan sumber daya alam dan aktivitas keuangan dan perbankan.
Selain itu perlu diteliti agar ketentuan RUU KUHP tidak lagi bertentangan
dengan Ketentuan UUD 1945 khusus di bidang HAM dalam seluruh aspek
kehidupan, dan ketentuan pidana yang mendorong penguatan ketentuan
Pasal 33 UUD 1945 tentang sistem perekonomian kerakyatan.

III. Asas-Asas Hukum Pidana.


Asas-asas hukum pidana yang diakui universal sampai saat ini adalah
sebagaimana telah tercantum di dalam Pasal 1 sampai Pasal 103 KUHP di
bawah titel Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum.
Asas-asas umum hukum pidana yang telah tercantum dalam KUHP
(Buku Kesatu Bab I, Pasal 1 sd Pasal 103 ) harus tetap dipertahankan
karena ketentuan-ketentuan tersebut menjadi fondasi tegaknya Negara
Hukum terutama, ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung
ASAS LEGALITAS.
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, diakui, (a) Larangan
penerapan penafsiran ANALOGI dalam perkara pidana; (b) larangan
berlaku retroaktif, (c) hanya mengakui sumber hukum tertulis. Selain asas-
asas hukum pidana tersebut diakui asas-asas lain seperti, Asas Ne Bis In
Idem (Pasal 76 KUHP); (c) Asas Concursus (Pasal 63 dan Pasal 64); (d) Asas
Penyertaan (Pasal 55-56).
Berdasarkan misi yang digagas Tim Perancang RUU KUHP dapat
dikemukakan bahwa dari 31 jenis tindak pidana terdapat ketentuan yang
merupakan Asas-asas umum hukum pidana (general principles of the
Criminal Law) –AUHP- yang telah diakui secara universal oleh karena itu
tidak boleh sekali-kali ditiadakan atau diubah dalam rangka membangun
politik hukum pidana baik kini maupun dalam 25 Tahun yang akan
datang.
Di dalam RUU KUHP Bab I Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan Pidana, telah terdapat perubahan
mendasar yaitu asas legalitas dalam KUHP merupakan fondamen Negara
Hukum dalam penegakan hukum pidana, dengan RUU KUHP dapat
dikecualikan sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1)
RUU KUHP, yang berbunyi:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan-perundang-undangan”.

48
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) :


“Hukum yang hidup maksudnya hukum yang hidup dalam kehidupan
masyarakat hukum Indonesia. Bentuk hukum yang hidup dalam
masyarakat hukum Indonesia antara lain dalam beberapa daerah tertentu
di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum tidak tertulis yang hidup
dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal
demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana …yang biasa
disebut tindak pidana adat. Untuk mendapat dasar hukum yang mantap
mengenai berlakunya hukum pidana adat maka hal tersebut mendapat
pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ini.”
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa,
1. asas lex certa yang mencerminkan kepastian hukum, tidak bersifat
mutlak sehingga terbuka celah hukum ketidakpastian hukum hanya
karena tuntutan/pandangan masyarakat tidak sama dengan pemikiran
pembentuk UU;
2. penyidik Polri dan PPNS dengan kualitas pendidikan hukum yang
dimilikinya belum mampu menghayati dan menafsirkan ketentuan
tersebut dengan benar dan tanpa keragu-raguan yang akan berdampak
pada seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka tanpa ada alas
hukum penetapannya yang jelas hanya karena penafsiran berdasarkan
pandangan masyarakat. Begitupula hal yang sama bagi penuntut.
3. ketentuan tersebut rentan terhadap kesenjangan penerapannya yang
disebabkan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat heterogeen
dengan perbedaan latar belakang etnis, agama, sosial, budaya dan
kondisi geografis daerah masing-masing. Akibat dari kesenjangan
penerapan hukum yang besar maka ketentuan tersebut rentan terhadap
konflik sosial dan etnis atau karena perbedaan agama.
Ketentuan Pasal 2 RUKUHP (2012) merupakan payung hukum
untuk seluruh tindak pidana baik yang diatur dalam KUHP dan UU
Pidana di luar KUHP nanti tentu akan mengandung konsekuensi hukum
yang “membahayakan” tatanan sistem hukum pidana Indonesia dalam
praktik karena beban seorang Hakim tentu sangat berat di mana hakim
menentukan dan wajib menentukan kesalahan seseorang yang nyata-
nyata telah melakukan suatu perbuatan (di antara jenis2 tindak pidana
yang diakui) akan tetapi tidak nyata-nyata diatur secara tegas di dalam
ketentuan perundang-undangan. Dalam konteks ini seorang HAKIM
akan bertindak dan bersikap bukan lagi atas nama Ketuhanan Yang Maha
Esa melainkan ia akan menjadi “TUHAN” terhadap sesamanya.Hal ini
diperkuat oleh ketentuan dalam RKUHAP 2012 di mana PENGAMATAN
HAKIM merupakan dan termasuk salah satu ALAT BUKTI.

Alat bukti dalam RUKUHAP 2012: (1) Keterangan terdakwa, (2) Keterangan saksi, (3) surat,(4)
dokumen elektronik, (5) pengamatan Hakim

49
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Disarankan agar ketentuan ini bukan diatur dalam KUHP sebagai


Hukum Pidana Materiel tetapi cukup diatur dalam KUHAP sebagai
Hukum Pidana Formil yang khusus mengatur tata cara penerapan Hukum
Pidana Materiel khusus dalam penjatuhan pidana (sentencing policy).
Hal ini disebabkan, delik adat diakui masih tetap berlaku pada beberapa
daerah akan tetapi dalam praktik hanya sebagian kecil masyarakat adat
menggunakannya dan kalau digunakan hanya untuk perbuatan-perbuatan
pelanggaran (adat) yang ringan, seperti pencurian kerbau atau melanggar
“ hutan larangan” yang dihukum dengan penggantian in natura. Namun
terhadap perbuatan pelanggaran hukum adat dan sekaligus juga
pelanggaran hukum pidana (KUHP) maka ancaman hukuman harus
digunakan ketentuan KUHP bukan ketentuan hukum adat-nya. Hal ini
untuk mencegah “pengikisan keberlakuan hukum pidana nasional” dan
demi kesatuan hukum (unifikasi hukum). Jika diatur di dalam KUHAP,
maka penyelesaian secara hukum adat dapat dimasukkan sebagai hal-hal
yang meringankan bukan menghapuskan pemidanaan. Contoh, alasan
ini- merupakan salah satu alasan yang digunakan penyusun RUU KUHP
memasukkan delik santet sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Ketentuan yang berhubungan dengan KUHP adalah seluruh ketentuan
dalam Bab I Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum.
KUHP dalam praktik penegakan hukum pidana merupakan norma-
norma fundamental Negara hukum Indonesia (fundamentalnormen des
Rechtsstaats) sehingga dapat dikatakan ketentuan AUHP Indonesa berarti
memperkuat fondasi tegaknya negara hukum dan supremasi hukum
pidana Indonesia baik di dalam maupun di luar batas wilayah NKRI.
Seluruh Ketentuan mengenai Tindak Pidana termasuk strategis
akan tetapi setelah Indonesia merdeka belum memiliki parameter untuk
mengukur tingkat keseriusan kejahatan di Indonesia sekaligus tolok
ukur keberhasilan dalam penegakan hukum, seperti “Crime Index” yang
diadopsi oleh FBI Amerika Serikat. Sampai saat ini keseriusan kejahatan
tertentu saja telah diasumsikan bahwa kondisi kriminalitas di Indonesia
sangat berbahaya dan dalam keadaan waspada atau darurat.
Dalam perumusan ketentuan mengenai tindak pidana patut
dipertimbangkan dan meminta klarifikasi rumusan yang merupakan
“delik fomil (tindak pidana formil) ” dan “delik materiel (tindak pidana
materiel)”; delik pertama, tidak mensyaratkan timbulnya akibat , dan delik
kedua, , sebaliknya, timbulnya akibat (dari perbuatan) menjadi syarat
dapat dipidana perbuatan.
Perbedaan pengertian istilah yang berkembang dalam doktrin hukum
pidana sejak lama perlu dimasukkan ke dalam Penjelasan setiap pasal
tentang tindak pidana dalam Buku Kedua agar dipahami oleh praktisi
hukum.

Hal telah dicantumkan dalam UU Drt Nomor 1 Tahun 1951

50
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Pengkajian yang perlu didalami oleh anggota Komisi III DPR RI dan
penting adalah wujud nyata ketentuan tindak pidana yang mengandung
misi “Kodifikasi” yaitu menempatkan seluruh ketentuan tindak pidana
dalam satu Kitab UU tersendiri dan hanya memberikan kekecualian untuk
membentuk UU khusus di luar Kitab UU (lihat Pasal 103 KUHP). Misi yang
diemban dalam perancangan naskah RUU KUHP ini, diwujudkan dengan
memasukkan ketentuan-ketentuan tindak pidana (diluar KUHP) seperti,
Tindak HAM(Bab IX), yang telah diatur dalam UU RI Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM; Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
dan Psikotropika (Bab XVII), Tindak Pidana Korupsi (Bab XXXII).
Tindak pidana yang telah diatur di dalam undang-undang khusus
baik merupakan “lex specialis” maupun “lex specialis systematische”
oleh Tim Penyusun RUU KUHAP semuanya dimasukkan ke dalam RUU
KUHP. Persoalannya bagaimana penerapan hukum di lapangan jika misi
penyusun adalah untuk mengembalikan KUHP sebagai satu-satunya
Kodifikasi (total) dan merupakan Kebijakan Hukum Pidana (Criminal Law
Policy) Indonesia, maka diperlukan UU tentang Pemberlakuan KUHP
sehingga membantu pemahaman dan penerapan ketentuan (R) KUHP
dalam praktik.
Solusi tersebut juga agak sulit karena ancaman pidana dalam lege
generali (KUHP) lazimnya di semua Negara tidak menganut sistem
minimum khusus tetapi maksimum umum sedangkan dalam UU Pidana
Khusus, ancaman pidana menggunakan sistem minimum khusus dan
maksimum umum.

IV. Ketentuan RUU KUHP yang Bersifat Strategis.


Ketentuan yang bersifat strategis yang saya maksud adalah pertama,
Ketentuan yang mengenai ASAS_ASAS HUKUM PIDANA (BABI) dan
kedua, Ketentuan mengenai bidang ketertiban dan keamanan masyarakat
dan Negara; bidang perlindungan sumber daya alam, dan perlindungan
aktivitas bisnis nasinonal, transnasional dan internasional serta di bidang
perlindungan HAM ASAS-ASAS Berlakunya Hukum Pidana Indonesia

V. Asas Nasional Aktif vide Pasal 5 ayat(1) sub ke 2 KUHP.


Dalam RUU KUHP sebagian diambil alih ke dalam Pasal 8 akan tetapi
makna ketentuan tersebut telah berubah karena salah satu bunyi ketentuan
yang strategis yaitu bahwa perbuatan WNI di Negara lain yang diancam
pidana juga di Indonesia harus diancam pidana, telah dihapus oleh tim
penyusun sehingga jika disahkan, politik hukum pidana Indonesia di
masa yang akan datang, sama sekali tidak mensyaratkan adanya kesamaan
tindak pidana (dual criminality principle) dan dapatnya diancam pidana
di Negara kedua belah pihak yang berkepentingan. Tim penyusun lebih

51
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

mengutamakan jenis ancaman pidana dan status kewarganegaraan.


Konsekuensi ketentuan Pasal 8 RUU KUHP tersebut adalah, politik hukum
pidana Indonesia menganut “non-selective recognition policy” sehingga
tindak pidana apapun yang dilakukan warga Negara Indonesia di Negara
lain tidak dipersoalkan lagi sehingga ybs dapat dipidana di Indonesia.
Namun perlu dipertimbangkan bahwa kebijakan hukum pidana Negara
lain tidak bersifat terbuka, dan masih bersifat selektif dan limitative karena
berkaitan dengan kepentingan (hukum)nasional yang berbeda-beda antara
satu Negara dengan Negara lainnya.
Berdasarkan pernyataan saya di atas, maka kebijakan hukum pidana
Indonesia (politik hukum pidana) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan
oleh kepentingan nasional pada umumnya, khususnya dari aspek
geografis, keragaman budaya dan adat, serta keragaman etnis dan agama
masyarakat di Negara ybs. Politik hukum pidana yang bersifat selektif-
limitatif dan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut untuk mencegah
“internasionalisasi” dengan segala ekses negatifnya tentang perbuatan
yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana sebagaimana telah
terjadi pada pembentukan hukum kontrak dan hukum ekonomi, keuangan
dan perbankan di Indonesia selama ini.
Politik hukum pidana yang bersifat terbuka –berbeda dengan
prinsip selective recognition policy”, tersebut mengabaikan prinsip “Non-
refoulment” dan penolakan permintaan ekstradisi atas atas dasar perbedaan
ras,agama dan sosial; begitu pula ekstradisi pelaku tindak pidana militer,
tindak pidana pajak dan tindak pidana politik; sebagai salah satu syarat
ekstradisi dan perjanjian MLA. Jika ketentuan pasal tersebut disahkan DPR
RI maka Indonesia merupakan satu-satunya Negara di dunia yang sangat
terbuka untuk menjatuhkan pidana kepada WNI di Indonesia yang telah
melakukan setiap jenis tindak pidana dengan locus dan tempus delicti di
Negara lain tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sebagaimana telah
diuraikan di atas dan prinsip-prinsip universal yang telah diakui dalam
Konvensi Internasional tentang Ekstradisi dan MLA

VI. Asas Universal.


Asas universal adalah asas hukum berlakunya hukum pidana atau
dalam hukum pidana internasional, dikenal dengan istilah yurisdiksi
criminal (criminal jurisdiction). Asas hukum berlakunya hukum pidana

Contoh penyusunan UU RI Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, sengaja tidak memasukkan ketentuan bahwa tindak pidana terorisme adalah bukan tindak
pidana politik atau yang disponsori agama tertentu sebagaimana telah dicantumkan dalam UU yang
sama di Kanada, Amerika Serikat dan Irlandia.

Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional”; Refika aditamaa 2010.; “Hukum
Pidana Internasiona: Kebijakan Pertahanan dan Perdamaian”; Fikahati, 2012
 Pengertian istilah “jurisdiction” dalam hukum pidana internasional, adalah, “ exclusive rights”
dari Negara untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan suatu perkara tindak pidana
di dalam batas swilayah Negara yang bersangkutan.

52
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

atau yurisdiksi universal ini mewajibkan setiap Negara untuk menuntut


dan menghukum terhadap setiap tindak pidana di manapun tindak
pidana tersebut dilakukan(terjadi) dan siapapun pelaku tindak pidana
dan korban tindak pidana dan sekalipun tidak ada kepentingan Negara
tersebut terhadap tindak pidana tersebut.Intinya yurisdiksi universal
tidak mengenal locus delicti dan latarbelakang kewarganegaraan pelaku
maupun korban.10
KUHP yang diberlakukan di Indonesia sejak Tahun 1973
mencantumkan prinsip universal secara terbatas yaitu hanya terhadap
tindak pidana tertentu seperti tindak pidana penerbangan dan tindak
pidana berkaitan dengan pemalsuan mata uang tetapi tidak termasuk
tindak pidana berkaitan dengan pelanggaran HAM berat.
Asas universal dalam RUU KUHP11 telah dirumuskan keliru dan
bertentangan dengan Hasil Penelitian Princeton University tentang
Yurisdiksi Universal (Universal Jurisdiction). Hasil penelitian tersebut
menghaslkan beberapa prinsip dasar yurisdiksi universal, antara lain
disebutkan: ”universal jurisdiction is criminal jurisdiction based solely on
the nature of the crime, without regard to where the crime was committed, the
nationality of the alleged or convicted perpetrator, the nationality of the victim, or
any other connection to the state exercising such jurisdiction”.12
RUU KUHP merumuskan Asas Universal sebagai berikut:
“Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana menurut
perjanjian atau hukum intenasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana
dalam Undang-Undang di Indonesia”.
RUU KUHP tentang asas universal tidak memberikan pembatasan
tertentu seperti tindak pidana apa saja yang dapat diberlakukan prinsip
universal sedangkan prinsip universal dalam hukum pidana internasional
hanya diberlakukan terhadap kejahatan tertentu yang disebut “hostis
humanis generis” atau bersifat “erga omnes” yaitu kejahatan yang
membahayakan perdamaian umat manusia dan keamanan dunia,seperti
pembajakan (di laut –piracy, dan di udara, highjacking; genosida, kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi.
Model terbuka yang digunakan dalam RUU KUHP untuk
pemberlakuan asas universal rentan terhadap kedaulatan NKRI karena di
10
Belgia satu-satunya Negara yang menganut prinsip yurisdiksi universal (universal jurisdiction)
dan diantumkan di dalam Konstitusi Belgia tetapi khusus ditujukan terhadap pelanggaran HAM Berat
(gross-violation of human rights) seperti: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan
agresi.
11
Pal 6 (Asas Universal):”Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar wiilayah Negara Republik Indonesia meakukan tindak pidana menurut
perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undng-
Undang di Indonesia”.
12
Stephen Macedo(Ed),”Universal Jurisdiction: National Courts and the Prosecution of Serious
Crimes under International Law”; University of Pennsylvania Press; 2004; page 21

53
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

satu sisi, sekalipun hukum pidana Indonesia berlaku untuk semua jenis
tindak pidana menurut hukum internasional(perjanjian internasional)
asalkan telah diratifikasi dan diundangkan tetapi di sisi lain pensyaratan
peratifikasian dan pengundangan tersebut tidak dapat mencegah pengaruh
tekanan asing (international pressure)terhadap yurisdiksi kriminal
Indonesia yang menguntungkan kepentingan asing daripada sebaliknya.

VII. Tindak Pidana Keamanan Negara.


VII.1. Makar terhadap Pemerintahan yang Sah.
Pengertian istilah MAKAR diakui universal dalam UU Pidana di
seluruh Negara.Namun sejalan dengan perkembangan HAM berserta
konvensi internasional seperti ICCPR saat ini semakin tidak mudah
membedakan perbuatan MAKAR itu dan perbuatan menyuarakan
aspirasi local dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka serta
hak masyarakat setempat untuk memberikan kontra pendapat terhadap
pemerintah pusat.Kalimat “dengan maksud menggulingkan pemerintah
yang sah” dapat menimbulkan tafsir hukum yang beragam begitu pula
dengan kalimat, PEMBERONTAKAN” karena jika terdapat fakta bahwa
ada persiapan-persiapan dan perencanaan saja tanpa ada perwujudan dari
persiapan dan perencanaan tersebut, sulit dikategorikan sebagai MAKAR
atau PEMBERONTAKAN. Dalam praktik fakta tersebut sering dimasukkan
perbuatan percobaan jo Pasal 53. Dalam konteks perlindungan HAM vide
BAB XA UUD 1945, maka konsep hukum tersebut di atas tidak relevan
lagi. Hal ini diperkuat oleh keberadaan UU RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial (PKS) dihubungkan dengan keberadaan UU RI
Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

VII.2. Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden


Dalam RUU KUHP telah dicantumkan ketentuan tindak pidana
“makar terhadap presiden dan wakil presiden” dengan unsur, “perbuatan
membunuh atau merampas kemerdekaan” sehingga tidak mampi
menjalankan pemerintahan yang sah. Ketentuan tersebut tidak diperlukan
lagi dalam bidang hukum pidana karena sejalan dengan prinsip “equality
before the law” dan sejalan dengan perlindungan HAM dalam UUD 1945,
pembedaan status hukum dalam konteks hukum pidana tidak lagi relevan.
Yang masih perlu dipertahankan adaah status hukum jabatan presiden
dan wakil presiden di dalam struktur organisasi pemerintahan dan hak-
hak prerogative yang tidak dimiliki oleh warga Negara biasa. Saran
sebaiknya dimasukkan saja dalam ketentuan tentang Pembunuhan atau
Pembunuhan Berencana; khusus terhadap presiden dan wakil presiden
memerlukan ancaman pemberantan hukuman, yaitu ditambah 1/3 dari
ancaman pidana pokok

54
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

VII.3. Menghadapi ketentuan tersebut di atas, perlu dipertimbangkan


peristiwa-peristiwa masa lalu di wilayah NKRI yang telah
diselesaikan baik melalui Mahkamah Militer atau sipil dan
penyelesaian secara damai seperti yang diperlakukan terhadap
GAM melalui MOU Helsinki.

VIII. Tindak Pidana HAM.


Dalam RUU KUHP telah dicantumkan 4(empat) jenis tindak pidana
berkaitan dengan HAM dan keempat jenis tindak pidana, dua diantaranya,
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan; telah dicantumkan dalam
UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pembentukan Pengadilan HAM.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Statuta ICC
tentang Mahkamah Permanen Pidana Internasional dan konsekuensi
dimasukkannya ke dalam RUU KUHAP adalah, pertama, pelanggaran
HAM berat (gross-violation of human rights) tidak lagi termasuk
“kejahatan luar biasa” (extra-ordinary crimes) sehingga tidak diperlukan
atau dilarang menggunakan cara-cara luar biasa dalam penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan. Kedua,
dorongan terhadap Indonesia untuk segera meratifikasi Statua ICC lebih
semakin kuat sedangkan posisi pemerintah Indonesia dalam forum
internasional tidak sekuat Negara “superpower” yang duduk di dalam
Dewan Keamanan PBB dan mereka (USA,Rusia, CIna) sampai saat ini belum
berani meratifikasi Statuta tersebut.Ketiga, sampai saat ini pemerintah
Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa khusus Protokol II tentang
Kejahatan Perang.
Konsekuensi logis pengesahan ketentuan tindak Pidana Terhadap
HAM maka terhadap setiap tindak pidana terhadap HAM yang terjadi
di Indonesia akan langsung tidak langsung berlaku secara diam-diam
terhadap prinsip “complementarity-principle” sebagaiman dicantumkan
dalam Statuta ICC. Prinsip ini menuntut agar setiap Negara melaksanakan
kewajiban sesuai dengan statute dan jika Negara ybs tidak mau (unwilling)
atau tidak mampu (unable) melaksanakan kewajiban tersebut maka ICC
berwenang mengambil alih perkara pelanggaran HAM di tingkat nasional
ke forum sidang internasional. Pengambil-alihan pemeriksaan pelanggaran
HAM Berat oleh Mahkamah (Permanen) Pidana Internasional (International
Criminal Court-ICC) yang bersidang di Den Haag,berdasarkan salah satu
dari dua alasan tersebut di atas maka muncul persaoalan konstitusional
yaitu bahwa UUD 1945 hanya mengakui dua Mahkamah yaitu Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat 2).

55
ARAH PEMBARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL –
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU HUKUM PIDANA
DENGAN UU LAINNYA
Oleh:
Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia – Daerah Istimewa
Yogyakarta)

I. Pendahuluan.
1. Masalah pemidanaan dalam sistem hukum pidana nasional
Indonesia dapat dikatakan sebagai perumusan ancaman pidana
paling tidak konsisten dalam sejarah hukum pidana nasional
Indonesia.
2. Pola pengancaman sanksi pidana tidak sinkron antara ancaman
pidana di dalam KUHP dengan perumusan ancaman pidana di
dalam UU di luar KUHP.
3. Pokok permasalahan yang dibahas:
Bagaimanakah mensinkronkan perumusan ancaman pidana dalam
RUU hukum pindana nasional Indonesia dengan UU lainnya agar
membentuk sistem pemidanaan dalam hukum pidana nasional
Indonesia?

II. Indikasi Perumusan Ancaman Pidana yang Tidak Konsisten.


1. Tidak mengikuti asas perumusan ancaman pidana dalam Buku I
KUHP;
2. Tidak sistematik atau tidak mendasarkan kepada sistem pemidaan
yang dianut secara konsisten;
3. Tidak mendasarkan kepada filsafat pemidanaan; dan
4. Tidak mempertimbangkan unsur tindak pidana secara tepat dan
konsisten.

III. Undang-Undang di Luar KUHP yang Memuat Ketentuan Pidana (103


KUHP).

56
4. Tidak mempertimbangkan unsur tindak pidana secara tepat dan konsisten.

Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013


III. Undang-Undang di Luar KUHP yang Memuat Ketentuan Pidana (103 KUHP).

IV.Komisi
Perkembangan HukumRIPidana
Hukum Nasional – SPHNdan Pemindaaan melalui UU di Luar
2013
KUHP.
1. Secara umum perumusan norma hukum pidana yang berlanjut
kepada perumusan ancaman sanksi pidana sebagai catatan yang
perlu mendapat perhatian dalam diskusi ini adalah kebijakan
menghapus pasal KUHP dipindahkan ke dalam hukum pidana
dalam undang-undang di luar KUHP disertai dengan pemberatan
ancaman pidana, sehingga menjadi satu-satunya norma hukum
pidana yang berada di luar KUHP.
2. Kebijakan menduplikasi atau menggandakan pasal-pasal KUHP ke
dalam hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP dengan
memberatkan ancaman pidana.
3. Kebijakan merumuskan norma hukum pidana baru yang
sesungguhnya rumusannya telah ada dalam KUHP tetapi dengan
menambah unsur-unsur baru sebagai rumusan perbuatan pidana
umum (genus) disertai dengan pemberatan ancaman pidana.
4. Kebijakan mengubah rumusan norma hukum pidana sebagai
bentuk kejahatan (independent crimes) menjadi ancaman sanksi
pidana di bidang administrasi (dependent crimes), meski jumlahnya
relatif sedikti.
5. Kebijakan merumuskan norma hukum pidana baru dengan
menggunakan frasa atau kata yang tidak lazim dalam hukum
pidana yang menyebabkan rumusannya bersifat ambigu atau
meluas dan tanpa batas atau serba meliputi yang tidak menjamin
adanya kepastian hukum dan berpotensi pelanggaran terhadap hak
dasar manusia.

V. Temuan dan Permasalahan mengenai Perumusan Ancaman Sanksi


Pidana dalam Undang-Undang di Luar KUHP.
1. Terdapat duplikasi norma hukum pidana (bahkan ada yang
triplikasi norma) dengan ancaman sanksi yang berbeda dengan
57
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

indikasi ancaman pidananya lebih berat dari ancaman pidana


dalam KUHP. Sebagian diantaranya membuat rumusan yang
semula sebagai kejahatan (generic crimes) berubah menjadi tindak
pidana di bidang administrasi (administrative crimes/dependent
crimes) meskipun ancamannya lebih berat dari ancaman pidana
dalam KUHP. Permasalahan: aparat penegak hukum acap kali
kebingungan dalam memilih menerapkan pasal yang mana yang
paling tepat? Persoalan pilihan hukum tersebut dapat menimbulkan
diskriminasi dalam penegakan hukum pidana dan penjatuhan
sanksi pidana. Semestinya norma dalam hukum pidana nasional
suatu Negara adalah satu, jika ada unsur perbuatan pidana sebagai
tambahan (hal ihwal), berfungsi sebagai faktor yang memperberat
atau memperingan ancaman sanksi pidana yang tidak perlu harus
dirumuskan dalam undang-undang tersendiri.
2. Ancaman sanksi pidana yang lebih berat dari ancaman pidana
yang dimuat dalam KUHP pada hal perbuatan pidananya relatif
sama, jika ada perbedaan karena penambahan unsur-unsur baru,
menunjukkan penambahan unsur sebagai faktor pemberat ancaman
pidana, ternyata tidak seimbang karena pemberatan ancaman
pidana terlalu berat atau berlebihan. Permasalahan: cara tersebut
menyimpangi kriteria atau parameter perumusan ancaman pidana
dan penjatuhan pidana. Pemberatan ancaman sanksi pidana bukan
terletak pada ditempatkan mana undang-undang mengatur (KUHP
atau dalam undang-undang di luar KUHP), melainkan terletak pada
sifat perbuatannnya.
3. Adanya ancaman pidana minimum khusus terhadap perbuatan
pidana yang sama dengan KUHP pada hal KUHP tidak memuat
ketentuan pidana minimum khusus, bahkan sebagian diantara
ancaman pidana minimum khusus dikenakan terhadap tindak
pidana yang relatif ringan dengan hitungan bulan. Permasalahan:
adanya ancaman pidana minimum khusus ditujukan terhadap
perbuatan pidana atau kejahatan yang luar biasa sehingga
memerlukan batasan bawah (minimum) dalam penjatuhan pidana
agar tercapai rasa keadilan dan sekaligus untuk mengurangi
disparitas dalam penjatuhan pidana. Oleh sebab itu, delik biasa
(umum) tidak perlu mencatumkan ancaman pidana minimum
khusus. Perumusan ancaman pidana minimum khusus harus ada
kriteria atau syarat tertentu yang jelas dan tegas (pasti) agar tercapai
tujuan dicantumkannya idana minimum khusus tersebut dan sesuai
dengan rasa keadilan.
4. Ancaman pidana minimum khusus terlalu berat, yakni ada
yang 5 tahun, 7 tahun, dan bahkan ada yang 10 tahun penjara.
Permasalahan: Ancaman pidana minimum khusus tersebut terlalu
tinggi yang mempersempit ruang gerak hakim untuk menjatuhakan
58
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pidana yang adil kepada terdakwa. Hal tersebut membuat dilemma


bagi penuntut umum dan hakim serta bagi pencari keadilan, karena
menegakkan hukum sebagaimana mestinya dengan ancaman
minum khusus terlalu berat dapat berpotensi menimbulkan
ketidakadilan dalam penjatuhan pidana dan potensi melanggar hak
dasar manusia.
Ancaman pidana minimum khusus diancamkan pada perbuatan
pidana yang sangat berat atau luar biasa berat, semestinya tidak
untuk perbuatan pidana yang relatif ringan. Perumusan ancaman
pidana minimum khusus terhadap tindak pidana yang terlalu ringan
adalah tidak tepat dan dapat mengurangi ruang gerak hakim untuk
menjatuh pidana yang adil kepada terdakwa, mengingat tergolong
ringan dan semesinya juga dapat menjatuh pidana yang ringan, jika
ditemukan faktor yang memperingan ancaman pidana.
5. Pemberatan ancaman pidana yang tidak sesuai dengan model
pemberatan dalam KUHP yaitu ancaman pidana pokok ditambah
sepertiga. Permasalahan: teknik pemberatan ancaman pidana yang
tidak sesuai dengan model pemberatan dalam KUHP yaitu pidana
pokok ditambah sepertiga, akan menimbulkan reaksi masyarakat
yang tidak perlu dan memperlemah praktek penegakan hukum
pidana. Jika dihadapkan antara mengejar kepastian hukum atau
keadilan hukum, acap kali aparat penegak hukum cenderung
memilih untuk tidak mengajukannya ke pengadilan atau
membiarkannya/tidak menuntut, karena diajukan ke pengadilan
akan ditegakkan kepastian hukum, tetapi dapat menabrak rambu-
rambu keadilan atau bertentangan dengan aspirasi keadilan
masyarakat. Pemberatan dalam perumusan ancaman pidana dalam
undang-undang di luar KUHP tidak konsisten dan tidak sistematik/
terstruktur sementara unsur-unsur pemberatnya tidak rasional atau
tidak memiliki ukuran serta batasan yang tegas dan jelas.
6. Pidana mati lebih sering diancamankan dalam hukum pidana yang
dimuat dalam undang-undang di luar KUHP dan pasal ancaman
pidana mati tidak terstruktur dan tidak sistematik. Permasalahan:
ancaman pidana mati ternyata banyak diancamkan dalam undang-
undang di luar KUHP terdapat kurang lebih 16 ancaman pidana
mati. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam penegakan hukum,
dan bahkan dalam sejarahnya ada yang dijatuhi pidana mati karena
hukum pidana yang berlaku surut yang kemudian dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai pemberlakuan yang inkostitusional.
7. Menyamakan rumusan ancaman pidana terhadap perbuatan
permufakatan jahat, persiapan dan percobaan dengan perbuatan
pelaksanaan (selesai). Permasalahan: permufakatan jahat untuk
melakukan tidak pidana dipidana dan pidananya sama dengan

59
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pidana apabila perbuatan tersebut dilakukan/selesai dilakukan.


Perluasan dan pemberatan yang demikian in tidak lazim dalam
hukum pidana dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Sebagai standar umum semestinya mengacu kepada pengancaman
perbuatan pidana percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 KUHP yang ancaman pidananya adalah pidana pokok dikurangi
sepertiga.

VI. Kebijakan Pembaruan Hukum Pidana melalui RUU Hukum Pidana


- Kebijakan pembaruan hukum pidana nasional.
1. Kebijakan kodifikasi hukum pidana nasional Indonesia dalam RUU
KUHP à mencegah hukum pidana di luar Kodifikasi.
2. Norma hukum pidana nasional dimuat dalam Kodifikasi à norma
hukum pidana tidak dimuat di luar Kodifikasi, kecuali sanksi pidana
di bidang hukum administrasi.
3. Sistem pemidanaan tunduk kepada sistem pemidanaan dalam
Kodifikasi
Sub à tidak boleh
Tema: “Sinkronisasi mengembangkan jenis pidana baru di
Pemidanaan”
luar Kodifikasi, kecuali sanksi pidana di bidang hukum pidana
administrasi.
3. Sistem pemidanaan tunduk kepada sistem pemidanaan dalam Kodifikasi  tidak
VII. Bahan Perumusan Pidana
mengembangkan jenis dalam RUUdiKUHP.
pidana baru luar Kodifikasi, kecuali sanksi pidana di bidang
pidana administrasi.
1. Berasal dari KUHP (Pasal 10 KUHP).
2. Berasal dari pidana yang dimuat dalam hukum pidana di luar
VII. Bahan Perumusan Pidana dalam RUU KUHP.
KUHP.
1. Berasal dari KUHP (Pasal 10 KUHP).
3. Berasal dari dari
2. Berasal hukum pidana
pidana yang dalam
yang dimuat hiduphukum
dalam masyarakat/hukum
pidana di luar KUHP.
3. Berasal
pidana adat.dari hukum pidana yang hidup dalam masyarakat/hukum pidana adat.
4. Berasal dari inovasi Tim Prumus RUU KUHP.
4. Berasal dari inovasi Tim Prumus RUU KUHP.

VIII. Kebijakan.
VIII. Kebijakan.

60
IX. Implikasi Pembaruan Hukum Pidana pada Sistem Pemidanaan - Kebijakan Kod
Hukum Pidana Nasional Membawa Implikasi pada Sistem Pemidanaan.
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

IX. Implikasi Pembaruan Hukum Pidana pada Sistem Pemidanaan -


Kebijakan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional Membawa Implikasi
pada Sistem Pemidanaan.
1. Sistem pemidanaan dalam hukum pidana nasional Indonesia ada
dalam hukum pidana Kodifikasi (RUU KUHP).
2. Tidak boleh menambah ancaman pidana jenis baru, kecuali
didahului dengan mengamandemen Buku I KUHP (sebagai hukum
Kodifikasi).
Sub Tema: “Sinkronisasi Pemidanaan”

X. Sistem Pemidanaan dalam RUU KUHP Dimuat dalam BAB III


X. Sistem Pemidanaan dalam RUU KUHP Dimuat dalam BAB III tentang Pemidanaa
tentang Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan.
Pidana, dan Tindakan.
Sub Tema: “Sinkronisasi Pemidanaan”

X. Sistem Pemidanaan dalam RUU KUHP Dimuat dalam BAB III tentang Pemidanaan,
Pidana, dan Tindakan.

XI. ManajemenXI.Pemidanaan.
Manajemen Pemidanaan.
XI. Manajemen Pemidanaan.

XII. Tujuan Pemidanaan.


Pasal 54 RU KUHP

61
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

(1) Pemidanaan bertujuan:


a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak¬kan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.

XIII. Pidana Pokok.


Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan
berat ringannya pidana.

Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif.

XIV. Pidana Tambahan.


Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat.

62
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana


pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan
bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat
atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat
atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan
walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama
dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
(5) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana
dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
peraturan
Sub perundang-undangan
Tema: “Sinkronisasi Pemidanaan” bagi Tentara Nasional Indonesia.
Sub Tema: “Sinkronisasi Pemidanaan”

XV. Hukum Pidana dan Pemidanaan yang Efektif.


XV. Hukum Pidana dan Pemidanaan yang
XV. Hukum Pidana danEfektif.
Pemidanaan yang Efektif.

XVI. XVI.
Efektivitas Hukum
Efektivitas Hukum Pidana Pidana
Terletak Terletak
pada Kemampuan
XVI. Efektivitas pada
Aparat
Hukum Pidana Kemampuan
Penegak
Terletak Hukum.
pada Aparat
Kemampuan Aparat Penegak Huku
Penegak Hukum.

63
SPHN 2013:
PENGGUNAAN HUKUM ADAT
(TULISAN PEMBAHAS)
ARAH PEMBARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL –
PENGGUNAAN HUKUM ADAT

Oleh:
Prof. Dr. Valerine J. L. Kriekhoff, S.H., M.A.
(Hakim Agung Republik Indonesia dan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia – Depok - Jawa Barat)

Dari berbagai literatur yang saya baca mengenai hukum adat, seperti
misalnya hasil penelitian dari Prof. Dr. M. Laiza Marzuki, S.H., yang
membahas mengenai siri pada orang Bugis Makassar atau berbagai karya
ilmiah lainnya, kita melihat bahwa dalam berbagai masyarakat di Indonesia
terdapat tatanan nilai adat atau apapun istilahnya yang menurut mereka
hal itu harus dipertahankan, sehingga bila masyarakat atau anggota
masyarakat melakukan hal yang tidak sesuai, maka hal itu tidak dapat
ditolerir dan dapat dipidana secara adat. Dengan demikian, kita melihat
bahwa jika hal-hal ini ada, maka bagaimana hal itu dapat diintegrasikan
di dalam Rancangan KUHP atau Rancangan KUHAP yang terkait dengan
pembuktian yang akan dibahas nanti. Oleh karena melihat keadaan yang
demikian, dari yang saya amati ketika membaca perkara-perkara pidana
beberapa waktu yang lalu, aspek yang menonjol adalah legalitasnya.
Dalam pembicaraan mengenai hukum adat, maka apakah prinsip
legalitas ini akankah dipatuhi secara murni atau kita coba memberikan isi
yang lebih lentur dalam pelaksanaannya. Oleh karena jika melihat undang-
undang yang ada, masih diakui hukum yang tidak tertulis itu. Bahwa
ada celah untuk mengakui adanya aturan-aturan yang tidak tertulis.
Oleh karena itu secara sederhana, bagaimana aturan-aturan yang tidak
tertulis ini, termasuk adat pidana ini, dapat dimasukkan atau ditampung
di dalam Rancangan KUHP. Kita menyadari bahwa di dalam praktik,
berdasarkan putusan yang telah dikeluarkan pengadilan, banyak hakim
mengakui, ketika berhadapan dengan kasus pidana di lapangan, terutama
di luar Pulau Jawa, di daerah-daerah yang masih kuat adat-istiadatnya,
ternyata banyak pidana adat yang masih berlaku. Hal ini ada di dalam
hasil penelitian Mahkamah Agung, khususnya yang dilakukan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum pada tahun 2010. Menurut
penelitian tersebut, hakim-hakim yang dijadikan responden mengakui
masih ada praktik pidana adat di masyarkat dan hakim-hakim mencoba
mengakomodir hal tersebut sebatas masih dimungkinkan penerapannya,
dan dibenarkan dalam hukum positif. Contoh dalam hal ini ialah tindakan-
66
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

tindakan pidana itu adalah bukan tindakan-tindakan yang mengganggu


keharmonisan dan keseimbangan masyarakat setempat. Selain itu juga
dalam hal kewajiban adat yang harus dipenuhi. Dalam beberapa putusan,
diakomodir mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh terdakwa
atau terpidana menurut pidana adat. Dengan demikian, kita melihat
bahwa hakim pun masih menerapkan pidana adat sesuai dengan kondisi
masyarakatnya dan dimungkinkan dalam hukum positif.
Pertanyaan yang mendasar ialah bagaimana kita mengakui hukum adat
masih ada. Apakah ada literatur yang menjadi acuan atau rujukan, apakah
ada yurisprudensi yang mengatur seperti Prof, Mardjono Reksodiputro
mengatakan pelaksanaan atau penerapan hukum adat harus mempunyai
pedomannya dalam putusan pengadilan. Para hakim biasanya memanggil
para tetua adat ke dalam persidangan untuk menanyakan lebih jauh atau
mendalami apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa berkaitan dengan
unsur yang mengganggu keharmonisan atau keseimbangan masyarakat
hukum adat.
Kita juga perlu menyadari kembali bahwa perbedaan antara pidana
dan perdata di dalam hukum adat, hampir tidak ada atau dapat dikatakan
tidak ada. Konsep tidak tertulis dalam hukum adat tidak memisahkan
antara perdata dan pidana. Hal ini juga cukup menyulitkan ketika hendak
diterapkan di dalam praktik. Meskipun demikian, sebenarnya tujuan
penyelesaian dengan hukum yang biasa dijadikan pedoman atau hukum
positif dan penyelesaian dengan hukum adat, adalah sama yaitu bagaimana
kita menyelesaikan konflik dengan mengembalikan keharmonisan,
disamping kita juga ingin menciptakan keadilan. Penyelesaian konflik dan
mengembalikan keseimbangan, saya pikir itu mempunyai tujuan yang
sama baik di dalam hukum adat maupun hukum positif. Dengan demikian,
sejauh ini tujuannya adalah sama.
Kembali lagi mengenai pertanyaan apakah hukum adat masih diakui
eksistensinya, dan eksistensi tersebut apakah secara normatif terumus
baik di dalam konstitusi, undang-undang yang berkaitan dengan hukum
pidana maupun undang-undang yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. Apakah ini dimungkinkan, karena jika tidak, maka hukum
adat itu akan tereleminasi cepat atau lambat. Bagi masyarakat hukum adat,
mereka masih mengharapkan diakui eksistensinya. Beberapa literatur yang
membahas mengenai hukum adat pun menyebutnya demikian, misalnya
yang membahas mengenai hukum adat pada Orang Timor, Orang Toraja,
Orang Kendari, itu masih ada hukum adat dan keinginan tetap diakui
eksistensi hukum adatnya. Dalam perkembangan kekinian, hal itu perlu
dilihat kembali perkembangannya, apakah masih merupakan adat yang
dahulu, atau sudah mengalami perkembangan dengan pengaruh budaya
lain pada saat ini. Untuk menelusuri hal itu, maka dapat dilhat dengan
apakah masih ada lembaga adatnya, apakah masih ada tokoh-tokoh

67
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

adatnya. Hal ini lah yang perlu menjadi pemikiran ke depan dalam rangka
memasukkannya di dalam Rancangan KUHP. Dalam pandangan pribadi,
hukum adat perlu ditampung di dalam Rancangan KUHP. Hal ini sesuai
dengan tugas seorang hakim yang harus menggali nilai-nilai yang hidup
di masyarakat. Selain itu pula, memasukkannya di dalam Rancangan
KUHP akan memberikan pengetahuan bagi mahasiswa fakultas hukum
untuk menelusuri lebih jauh lagi penggunaan hukum adat di masyarakat.
Kelak jika pilihannya adalah menjadi seorang hakim, maka hal tersebut
akan sangat membantunya nanti.

68
SPHN 2013:
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN
(TULISAN PEMBAHAS)
BEBERAPA HAL DALAM
RANCANGAN KUHAP 

Oleh:
Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H.
(Mantan Ketua Tim Perumus RUU KUHAP 1999 – 2009/Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Trisakti – DKI Jakarta)

I. Mengapa Perlu Menciptakan KUHAP Baru?


1. Ada Rancangan KUHP Baru sehingga hukum acara pidana perlu
disesuaikan dengan KUHP Baru.
2. Selama 32 tahun berlalu banyak perubahan hukum sedunia
mengikuti perkembangan teknologi dan hubungan masyarakat.
3. Secara teknis yuridis ada beberapa kekeliruan dalam KUHAP 1981.
4. Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang
menyangkut hak asasi manusia terutama yang langsung berkaitan
dengan acara pidana, yaitu International Covenant on Civil and Political
Rights. Ketentuan yang dibuat terlepas dari ketentuan universal
menimbulkan :protest internasional. KUHP DAN KUHAP berlaku
bagi semua orang yang ada di Indonesia, bahkan dalam delik tertentu
seperti pemalsuan uang, terorisme, narkotika, pelanggaran berat
HAM berlaku di seluruh dunia berdasarkan asas universalitas.

II. Tujuan Hukum Acara Pidana Indonesia Masa Depan.


Mencari kebenaran materiel, melindungi hak-hak dan kemerdekaan
orang dan warganegara, menyeimbangkan hak-hak para pihak, orang
dalam keadaan yang sama dan dituntut untuk delik yang sama harus
diadili sesuai dengan ketentuan yang sama, mempertahankan sistem
konstitusional Republik Indonesia terhadap pelanggaran kriminal,
mempertahankan perdamaian dan keamanan kemanusiaan dan mencegah
kejahatan.
(the aim of future Criminal Procedure Code is the pursue of objective truth,
the protection of the rights and freedom of man and citizen, preserves a balance
between the rights of the parties, persons in similar situation and procecuted for

Makalah pernah disampaikan pada pertemuan pembahasan RUU KUHAP di Mataram – Nusa
Tenggara Barat pada bulan Mei 2013, dan disampaikan kembali pada Seminar Pengkajian Hukum
Nasional yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia di Jakarta pada
tanggal 26 – 27 November 2013.

70
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

the same offences should be judged according to the same rules, the maintenance of
constitutional system of the Republic of Indonesia against criminal encroachment,
the maintenance of peace and security of mankind and the prevention of crimes).

III. Hal-Hal Baru dalam Rancangan KUHAP.


1. Merumuskan dan mempertegas asas legalitas.
2. Ada perbedaan antara asas legalitas dalam hukum pidana materiel
dan hukum acara pidana.
3. Asas legalitas dalam hukum pidana materiel tercantum dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP dan Rancangan KUHP. Istilah yang dipakai ialah
“perundang-undangan pidana” (wettelijk strafbepaling), termasuk
undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah. Jadi,
Perda dapat memuat rumusan delik dan ancaman pidana, walapun
pidananya ringan.
4. Dalam hukum acara pidana istilah yang dipakai ialah “undang-
undang” (wet). Jadi, tidak boleh orang ditangkap, ditahan, dituntut
dst. berdasarkan PP atau PERDA. Hukum pidana materiel boleh
besifat lokal tetapi acara pidana harus bersifat nasional.
5. Asas legalitas dalam KUHAP sekarang (1981) dirumuskan dalam
Pasal 3 KUHAP yang berbunyi : “Peradilan dilakukan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Ada kekeliruan
dalam perumusannya, karena dipakai istilah peradilan padahal ada
peradilan perdata, TUN, dan agama. Mestinya dipakai istilah acara
pidana. Ada perbedaan antara peradilan pidana dan acara pidana.
Menurut Joan Miller, criminal justice system mulai dari perencanaan
undang-undang pidana sampai pemasyarakatan. Sedangkan
hukum acara pidana mulai penyidikan sampai eksekusi. Hukum
acara pidana tidak meliputi system pemasyarakatan, sedangkan
peradilan pidana meliputi pula pemasyarakatan.
6. Kekeliruan kedua ada kata-kata “undang-undang ini” sedangkan
ada ketentuan acara pidana di luar KUHAP, seperti Undang-
Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang
KPK, dan seterusnya.
7. Tepat rumusan asas legalitas dalam Strafvordering (KUHAP)
Nederland, yang berbunyi:
“Strafvordering heeft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien”.
(Acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur undang-
undang). Begitu pula rumusan asas legalitas dalam KUHAP RRC :
“public security organ, people procuratorate, people judge should
strictly observe this law and other relevant law. (“Badan Sekuriti
Publik, jaksa rakyat, hakim rakyat harus secara ketat memperhatikan

71
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

undang-undang ini dan undang-undang lain yang relevant”). Oleh


karena dipakai istilah “undang-undang ini” maka dilanjutkan
dengan “undang-undang lain yang relevan.”.

IV. Sistem Penahanan yang Diperketat.


1. Oleh karena Indonesia sudah meratifikasi Interational Covenant
on Ccivil and Political Rights, maka penahanan yang diperketat
dalam ICCPR itu harus diimplementasilkan ke dalam KUHAP.
Pasal 9 ICCPR mewajibkan apabila seseorang ditangkap harus
segera (promptly) dibawa (secara fisik) ke hakim untuk ditahan. Jadi,
pada prinsipnhya hakimlah yang menahan orang karena bersifat
merampas kemerdekaan. Banyak negara yang dari dulu meratifikasi
covenant ini seperti Jepang dan telah mengimpelmentasikan ke
dalam KUHAPnya.
2. Dalam Rancangan KUHAP ini, ditentukan bahwa apabila seseorang
ditangkap karena diduga keras telah melakukan delik, maka
penyidik hanya boleh menahan (arrest) selama lima hari yang dapat
diperpanjang oleh penuntut umum selama lima hari berikutnya.
Sesudah itu harus tersangka dibawa secara fisik ke hakim pemeriksa
pendahuluan untuk dilakukan penahanan (detention). Sebagai
perbandingan :
a. Penyidik di Amerika Serikat hanya boleh menahan orang selama
dua kali dua puluh empat jam (Penulis mengunjungi Kejaksaan,
Pengadilan, Badan Pemberantasan Narkotika, Deputy Attorney
General, tahun 1985, Pusat Pendidikan Jaksa, Amerika Serikat
tahun 2008.
b. Penyidik di Nederland boleh tersangka selama tiga kali dua
puluh empat jam diperpanjang oleh penuntut umum selama tiga
kali dua puluh empat jam, selanjutnya dibawa secara fisik ke
Rechter Commissaris untuk ditahan selama 14 hari, sesudahnya
diperpanjang oleh hakim majelis pengadilan negeri selama
30 hari (Penulis mengunjungi Kejaksaan, Pengadilan, Rechter
Commissaris, Kepolsian, tahun 1991, 2006, 2007 dan 2010).
c. Penyidik di Malaysia hanya boleh menahan tersangka selama
satu kali dua puluh empat jam yang selanjutnya harus hakim
yang melakukan penahanan (Penulis mengunjungi BPR (Badan
Pencegah Rasuah) tahun 1986, 2001, 2008, Kepolisiaan tahun
2008. Perjalanan dari tempat penahanan ke kantor polisi tidak
dihitung.
d. Penyidik Prancis hanya boleh menahan tersangka selama satu

72
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

kali dua puluh empat jam diperpanjang oleh jaksa selama


satu kali dua puluh empat jam selanjutnya dibawa secara
fisik ke hakim pembebasan dan penahanan (juge de liberte et
de la detention). Penulis mengunjungi Kejaksaan, Pengadilan,
Mahkamah Agung, Juge d’instruction dan juge de liberte et de la
detention 2006, 2007 di PARIS).
e. Penyidik di Jepang hanya boleh menahan (arrest) tersangka
dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam dan ditahan
(detention) oleh hakim dua kali sepuluh hari (Penulis mengunjungi
Kejaksaan, Pengadilan, Kepolisian, Departemen Kehakiman dan
UNAFEI Jepang di Tokyo, tanggal 22 dan 23 April 2013).

V. Penciptaan Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


1. Pada prinsipnya hakim pemeriksa pendahuluan ini sama dengan
hakim praperadilan sekarang.
2. Wewenang ditambah dengan perpanjangan penahanan, izin
penggeledahan, penyitaan, izin penyadapan. Hal ini untuk
mengurangi beban hakim pengadilan negeri, sehingga bisa
konsentrasi pada persidangan perkara perdata, pidana, TUN dan
seterusnya.

VI. Perubahan Jenis Alat Bukti.

Nomor Rancangan KUHAP KUHAP Sekarang


1 Barang bukti Keterangan saksi
2 Surat-surat Keterangan ahli
3 Bukti elektronik Surat
4 Keterangan seorang ahli Petunjuk
5 Keterangan seorang saksi Keterangan terdakwa
6 Keterangan terdakwa
7 Pengamatan Hakim

Petunjuk dihilangkan diganti dengan pengamatan hakim. Sama dengan


KUHAP negara lain pengamatan hakim disebut oleh Belanda : eigen
waarneming van de rechter, bahasa Inggerisnya : judicial notice. Tidak ada
KUHAP di dunia ini yang menyebut petunjuk (AANWIJZING DALAM
BAHASA BELANDA; INDICATION DALAM BAHASA INGGERIS)
sebagai alat bukti kecuali Strafvordering Belanda tahun 1848, Inlandsch
Reglement, HIR dan KUHAP 1981, karena meniru HIR. Landsgerechtreglement
sudah menyebut eigen waarneming van de rechter sebagai alat bukti, begitu pula
73
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Undang-Undang Mahkamah Agung tahun 1950 sudah menyebut “pengetahuan


hakim” sebagai alat bukti menggantikan petunjuk, sayang penyusun kUHAP
tidak mengetahui hal ini. Dalam Pasal 188 ayat (3) KUHAP disebutkan bahwa
penilaian petunjuk sebagai alat bukti dilakukan oleh hakim. Oleh karena dipakai
istilah keterangan seorang saksi dan keterangan seorang ahli sebagai alat bukti
berarti jika sudah ada dua saksi atau dua ahli, maka sudah cukup memenuhi
karena dipakai kata singular. Sebaliknya pada alat bukti surat, dipakai istilah
surat-surat artinya plural, jadi jika ada sepuluh surat, dihitung hanya satu alat
bukti. Dalam praktek peradilan, kurang dipahami hal ini. Surat sebagai alat
bukti menurut Asser-Anema : “Sekalian tanda-tanda baca yang bermaksud
mengeluarkan isi pikiran yang dapat dimengerti.”

VII. Penegasan Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan.


1. Belanda; afdoening buiten proces; Inggeris; transaction out of judiciary.
Ini mirp dengan restorative justice, tetapi restorative justice itu
bersifat perdata, perdamaian antara kedua pihak korban dan pelaku
dengan ganti kerugian, termasuk perkara berat.
2. Di Arab bahkan sampai pada delik pembunuhan. Dalam ketentuan
afdoening buiten proces, hanya perkara yang tidak berat, dan
penuntut umum yang memutuskan karena dalam perkara pidana
yang menjadi pihak ialah pelaku berhadapan dengan negara yang
diwakili oleh jaksa. Syaratnya, di Nederland delik yang diancam
dengan pidana penjara enam tahun ke bawah, di Rusia, delik yang
diancam dengan pidana penjara 10 tahun ke bawah. Di Prancis,
delik yang diancam dengan pidana penjara lima tahun ke bawah.
3. Dalam Rancangan KUHAP delik yang diancam dengan pidana
penjara empat tahun dan bagi tersangka yang berumur 70 tahun ke
atas, lima tahun ke bawah. Syarat lain, tersangka bukan residivis,
motif ringan, tersangka tidak dalam keadaan ditahan! Di Nederland
sekarang, menurut Prof.Mr Dr Strijards, tenaga ahli Kejaksaan
Nederland kepada delegasi Kejaksaan Agung yang mengadakan
studi banding ke den Haag, tanggal 15 Juni 2010, perkara di
Nederland yang diselesaikan di luar pengadilan mencapai 60 %. DI
Norwegia lebih tinggi lagi 74 %. Jadi, asas trias politica menjadi luntur
di negara-negara tersebut, karena ternyata jaksa dapat mengenakan
sanksi.
4. Kesulitan menerapkan penyelesaian perkara di luar pengadilan di
Indonesia karena menurut Thomas Raffles dalam bukunya History
of Java, orang Belanda mengatakan, orang Jawa (maksudnya
Indonesia) itu pendendam. Sekarang, memang masyarakat
menghendaki semua orang yang melakukan kejahatan harus masuk
penjara supaya jera. Kata “penjara” berasal dari kata “jera”. Padahal

74
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

sejak tahun 1960 Indonesia menganut system pemasyarakatan,


yang prinsipnya, segera seorang narapidana menjadi baik, harus
dikeluarkan dari penjara.

VIII. Penegasan Saksi Mahkota.


Sebenarnya saksi mahkota atau crown witness atau kroon getuige sudah
dikenal dalam yurisprudensi dan doktrin hukum pidana Inddonesia yang
mengacu pada hukum pidana Belanda. Agar lebih tegas ditegaskan dalam
KUHAP, bahwa apabila penuntut umum kesulitan dalam pembuktian,
maka dapat menentukan salah seorang tersangka yang paling ringan
perannya dalam kejahatan yang dilakukan secara medeplegen, yang
bersedia membongkar peran teman-temannya, dapat dikeluarkan dari
daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi yang memberatkan
teman-temannya Apabila tidak ada tersangka yang dapat dimaafkan
beitu saja, karena cukup berat perannya juga, maka tetap dipilih yang
paling ringan perannya untuk dijanjikan pidana yang lebih ringan jika
bersedia membongkar peran semua teman-temannya. Tentu hal ini harus
disampaikan kepada hakim dan jika perlu diberi perlindungan. Italia
sudah membuat undang-undang khusus mengenai saksi mahkota dan
ternyata cukup efektif untuk memberantas kejahatan mafia.

IX. Mahkamah Agung Tidak Boleh Menjatuhkan Pidana Lebih Berat


daripada Pengadilan Tinggi kecuali Jika Putusan Pengadilan di Bawah
Mahkamah Agung Lebih Ringan daripada Minimum Khusus.
Hal ini logis, karena Mahkamah Agung tidak memeriksa judex facti
hanya judex juris. Hoge Raad Nederland dan Supreme Court USA tidak boleh
menjatuhkan pidana lebih berat daripada pengadilan tinggi kecuali pidana
yang dijatuhkan lebih ringan daripada minimum khusus. Secara filosofis
juga, orang yang meminta roti jangan sampai diberi batu panas. Semua
perkara kasasi, harus lewat pengadilan tinggi. Tidak ada permohonan
kasasi langsung ke Mahkamah Agung, harus melalui banding lebih dulu.
Hal ini untuk mengurangi beban Mahkamah Agung.

X. Putusan Diterima atau Ditolak Suatu Peninjauan Kembali oleh


Mahkamah Agung Harus melalui Sidang Pleno Mahkamah Agung
yang Dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung.
Hal ini untuk mengurangi permohonan peninjauan kembali sebagai
usaha menghindari orang mengulur-ulur pemidanaan. Di Prancis,
permohonan PK sekali terjadi dalam sepuluh tahun. Di Indonesia dijadikan
semacam mainan, hampir semua putusan langsung diajukan permohonan

75
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

PK. Anehnya, Mahkamah Agung menerima permohonan PK yang isinya


mengada-ada. Jika Mahkamah Agung menerima permohonan PK karena
memang ada novum atau putusan saling bertentangan, maka putusannya
diserahkan kepada Pengadilan Tinggi yang salah satunya :
1. Bebas,
2. Lepas,
3. Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
4. Dipidana lebih ringan dari pada pidana semula.
Bebas, artinya ada novum bahwa terpidana tidak terbukti dan
meyakinkan melakukan perbuatan yang didakwakan.
Lepas dari segala tuntutan hukum jika ada novum terbukti terpidana
melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi ada dasar pembenar (tidak
melawan hukum) atau pemaaf (tidak ada kesalahan).
Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, jika ada novum
ternyata ne bis in idem, perkara sudah lewat waktu (verjaard), delik aduan
tidak ada pengaduan, ketika diadili dia masih di bawah umur, hukum
pidana Indonesia tidak berlaku (di luar yurisdiksi pengadilan Indonesia)
Dipidana lebih ringan jika ada novum putusan semula salah kualifikasi,
dipidana pembunuhan dipikirkan lebih dulu (Pasal 340 KUHP), padahal
pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP). Jika terpidana dipidana 20 tahun, maka
pidananya harus diturunkan ke 15 tahun ke bawah.

XI. Jalur Khusus untuk Mempercepat Proses dan Biaya Ringan.


Jika pada saat terdakwa dibacakan dakwaannya oleh penuntut umum
sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan mengakui seluruh perbuatan
yang didakwakan, maka penuntut umum membuat berita acara dan
melimpahkan perkara ke hakim tunggal. Pidana yang dijatuhkan tidak
boleh lebih dari 2/3 maksimum. Hakim dapat menolak jika ragu pengakuan
terdakwa. Ternyata di jepang juga ada sidang kilat dengan hakim tunggal
yang sidang berlangsung kira-kira satu jam saja (jadi, benar-benar berlaku
speedy trial atau contante justitie).

XII. Pelayanan kepada Pencari Keadilan.


Pasal 11 RUU-KUHAP :
1. Jika penyidik dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah
menerima permintaan untuk mulai melakukan penyidikan dari
penuntut umum sebagaimana dimakasud pada ayat (9) tidak
melakukan penyidikan, maka pelapor atau pengadu dapat
76
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

memohon kepada penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan


dan penuntutan.
2. Jika penuntut umum berpendapat bahwa kasus itu memang bukan
kasus pidana, maka dia memberitahu dan memberi petunjuk
kepada pelapor untuk menempuh jalur hukum lain, seperti gugatan
perdata, tatausaha Negara dst.
3. Turunan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (11)
penuntut umum wajib menyampaikan kepada penyidik.

XIII. Sidang Pengadilan Mengarah ke Adversary System (Berimbang)


yang Menentukan Salah Tidaknya Terdakwa ialah Sidang Pengadilan
Bukan Berita Acara.
Penuntut umum menentukan saksi mana yang lebih dulu diperiksa
dan di-cross oleh penasihat hukum. Penasihat hukum dapat mengajukan
saksi baru yang meringankan dan penuntut umum dapat menambah saksi
baru juga untuk membantah keterangan saksi yang diajukan penasihat
hukum itu. Hakim dapat menolak penambahan saksi baru jika berpendapat
hasil pemeriksaan sidang sudah sangat jelas terbukti tidaknya dakwaan
penuntut umum.

77
BEBERAPA CATATAN RUU KUHAP
DAN HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
DALAM KONTEKS
SISTEM PERADILAN PIDANA

Oleh:
Prof. Dr. Eddy O. S. Hiariej, S.H., M.H.
(Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – Daerah Istimewa
Yogyakarta)

I. Sistem Peradilan Pidana.


Berbicara mengenai hukum acara pidana tidaklah mungkin terlepas
dari sistem peradilan pidana yang sangat berkaitan erat dengan sistem
hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini merupakan suatu kewajaran,
sebab sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari
sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara.
Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan
pidana yang meskipun secara garis besar hampir sama namun memiliki
karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat,
budaya dan politik yang dianut.
Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang
dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum
pidana. Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan akhirnya
pengadilan. Sebagaimana yang diungkapkan Cavadino dan Dignan bahwa
sistem peradilan pidana adalah ”A term covering all those institution which
respond officially to the commission of offences, notably the police, prosecution
authorities and the court”. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini
tidak hanya mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa
institusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum

Disampaikan dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2013) dengan teman “Arah
Pembaruan Hukum Pidana Nasional” yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional, Rabu 27
November 2013, Hotel Bidakara Jakarta.

Intisari tulisan mengenai Sistem Peradilan Pidana ini pernah dimuat dalam : Eddy O.S Hiariej,
2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No.
2 December 2005, Korean Legislation Research Institute.

Michael Cavadino dan James Dignan, The Penal Sistem An Introduction, 1997, SAGE
Publication Ltd. hlm. 1.

78
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat
penegak hukum yang lain. Secara tegas dikatakan oleh Feeney “ …..what
once criminal justice agency does likely to affect and be affected by other agencies
and …..a detailed knowledge of the kinds of interactions that are likely to take is
essential for undertaking system improvement “.
Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam
sistem peradilan pidana adalah integrated criminal justice system yang
tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, antara tugas penegak hukum yang
satu dengan lainnya saling berkaitan. Packer selanjutnya memperkenalkan
dua model dalam sistem peradilan pidana yaitu crime control model dan
due process model. Crime control model memiliki karakteristik efisiensi,
mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt sehingga tingkah laku
kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri
yang melakukan perlawanan.
Sedangkan due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi,
mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan
penasehat hukum amat penting sekali dengan tujuan jangan sampai
menghukum orang yang tidak bersalah. Model ini diibaratkan seperti
orang yang sedang melakukan lari gawang. Kedua model tersebut ada
nilai-nilai yang bersaing tetapi tidak berlawanan.
Ajaran Packer kemudian dilengkapi oleh King yang mengemukakan
beberapa model dalam sistem peradilan pidana. Selain crime control model
dan due porocess model, King menambahkan empat model lainnya yaitu
medical model, bureaucratic model, status pasage model dan power model.
Dalam medical model proses acara pidana diibaratkan seperti
mengobati orang sakit. Sebagaimana yang diungkapkan oleh King, “…..
the restoration of the defendant to a state of mental and social health whereby s/he
will be able to cope with the demands society makes oh him/her and refrain from the
conduct which causes further intervention to be necessary” Bureaucratic model
memandang sistem peradilan pidana sebagai konflik antara negara dan
terdakwa. Hukum acara pidana dinilai diskriminatif terhadap individu
atau kelompok tertentu. Dikatakan demikian karena dengan aturan yang
terbatas dalam beracara dan pembuktian, negara bebas memilih untuk
membuat putusan kendatipun terkadang meniadakan kejadian yang
sesunggunya. King berpendapat bahwa bureaucratic model dan due process
model mempunyai hubungan yang jelas namun didasarkan pada aspek
yang berbeda. Due process model mengutamakan perlindungan terhadap
individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara sedangkan

University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman
Center, University Of Leicester, hlm. 13.

Hebert L Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University Press, hlm.
164 – 165.

University Of Leicester, Ibid, hlm. 24.

M. King, 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London, hlm. 20.

79
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

bureaucratic model mengutamakan proses terhadap terdakwa berdasarkan


standar prosedur. Akan tetapi, baik due process model maupun bureaucratic
model didasarkan pada aturan yang baku dalam sistem peradilan pidana.
Selanjutnya adalah status passage model. Model ini memandang
sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penerimaan status bagi si
terpidana oleh masyarakat yang diwakili pengadilan. Terhadap status
passage model, King berpendapat, “ ….. this perspective stresses the function of
the criminal court as institutions for denouncing the defendant, reducing his social
status and promoting solidarity within the community . The reduction of social
status in the offender results …..not only in the stigmatization of the defendant
as a person with a tarnished moral character , but also in the enhancement of
social cohesiveness among law – abiding members of the community by setting the
defendant apart from the community and by emphasizing the difference between
him and law abiding citizens”.
Model yang terakhir dari King adalah power model. Berdasarkan
power model, sistem peradilan pidana adalah instrumen dari (ruling
class) golongan yang berkuasa yang melakukan diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok etnis
minoritas. Sistem peradilan pidana adalah untuk melindungi golongan
yang berkuasa kendatipun terdapat perbedaan antara das sollen dan das
sein. Hal ini disebabkan golongan yang berkuasa dapat mengontrol dan
menginterpretasi aturan dengan diskriminasi dan represif10.
Model yang dikemukakan Packer dan King selanjutnya oleh King
dibagi ke dalam dua pendekatan, yakni participant approaches dan social
approaches. Participant approaches adalah sistem peradilan dilihat dari sudut
pandang aparat penegak hukum yang meliputi 3 model, yakni crime control
model, due process model dan medical model. Sedangkan social approaches
adalah sistem peradilan pidana dilihat dari sudut pandang masyarakat
yang mencakup bureaucratic model, status passage model dan power model.
Menurut King, dalam participant approach, ketiga model pertama
tersebut telah mengidentifikasi berbagai nilai dalam proses acara pidana dan
aparat penegak hukum diberi kebebasan untuk memilih mana yang akan
digunakan. Ketiga model tersebut tidak ada satu model pun mengungguli
yang lain, semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Oleh sebab
itu, para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasanya tidak
menerapkan satu model secara tegas tetapi tergantung pada individu atau
kasus yang dihadapi. Sementara, dalam social approaches, ketiga model
yang terakhir didasarkan pada analisis teori sosial mengenai hubungan
antara institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur
lainnya dalam masyarakat. Para penegak hukum mencoba menjelaskan

University Of Leicester, Ibid, 25.

M. King, Ibid, 24.
10
University Of Leicester, Ibid, 26 – 27.

80
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

proses beracara secara keseluruhan kepada masyarakat dengan tujuan-


tujuan tertentu mengapa terjadi kesenjangan antara retorika dan kenyataan
hukum11.
Dalam peraturan hukum kongkrit, sistem peradilan pidana biasanya
dituangkan dalam hukum acara pidana. Oleh Enschede, hukum acara
pidana adalah hukum yang riskan sebagai instrumen penegak hukum yang
pelaksanaaannya dengan pengawasan yang rumit. Secara tegas Enschede
menyatakan, ”Strafprocesrecht is riskant recht : De strafrechtspleging, instrumen
voor handhaving van het recht, vertoont nu in dit opzicht een eigenaardigheid....”12.
Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan dengan mengingat hukum
acara pidana pada dasarnya adalah hak subjektif negara – biasa disebut
jus puniendi – untuk menegak hukum pidana13. Oleh Vos, jus puniendi
didefinisikan : ”..... subjectieve recht van de overhied om te straffen, omvattend
dus het recht om straf te bedreigen, starf op te legen en straf te voltreken14”.
Dalam konteks hukum acara pidana di indonesia, bila dikaitkan
dengan sistem peradilan pidana seperti yang telah diungkapkan di atas
maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: pertama, perihal
integrated criminal justuce system yang diungkapkan baik oleh Packer
maupun king, pada kenyataannya tidak dianut sepenuhnya dalam sistem
peradilan pidana di indonesia. sebab, dalam sistem peradilan pidana di
indonesia dikenal asas diferensiasi fungsional. artinya, masing-masing
aparat penegak hukum mempunyai tugas sendiri-sendiri dan terpisah
antara satu dengan yang lain.
Kedua, perihal model dalam beracara baik yang dikemukakan oleh
packer, maupun king, sistem peradilan pidana di indonesia tidak menganut
secara ketat satu model tertentu. kendatipun kecenderungannya pada crime
control model, namun realitanya dikombinasikan dengan model yang lain.
sebagai contoh, asas presumption of innocent tetap menjadi landasan legal
normatif bagi aparat penegak hukum ketika mengadakan pemeriksaan
terhadap tersangka. artinya, si tersangka diberlakukan seperti orang yang
tidak bersalah.
Namun di sisi lain, secara formal kuhap kita menyatakan dalam pasal
17 nya bahwa penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana (baca : presumption of
guilt). hal ini berarti berdasrkan diskiptif faktual, polisi dan jaksa harus
yakin bahwa terhadap orang yang sedang disidik atau didakwa, dia adalah
11
University Of Leicester, Ibid, hlm. 28. Lihat juga : Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami Asas
Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, hlm. 4.
12
Ch.J.Enschede, 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer, hlm. 63.
13
D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht,
H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 1.
14
Hak penguasa terhadap pemidanaan yang meliputi hak menuntut pidana, menjatuhkan
pidana dan melaksanakan pidana : H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde
Herziene Druk, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 2.

81
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pelaku kejahatan yang sesungguhnya15. demikian pula dalam penanganan


narapidana di lembaga pemasyarakatan, sedikit – banyaknya, sistem kita
mengikuti medical model dari king.

II. Pengaturan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan dalam RUU KUHAP.


Berdasarkan RUU KUHAP, pada bab yang mengatur mengenai Hakim
Pemeriksaan Pendahuluan, menyatakan bahwa Hakim Pemeriksaan
Pendahuluan berwenang untuk menetapkan atau memutuskan : 1) Sah
– tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau
penyadapan; 2) Pembatalan atau penangguhan penahanan; 3) Keterangan
yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk
tidak memberatkan diri sendiri; 4) Alat bukti atau pernyataan yang
diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti; 5) Ganti kerugian
dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara
tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara
tidak sah; 6) tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan
untuk didampingi oleh pengacara; 7) Penyidikan atau penuntutan telah
dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; 8)Ppenghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; 9) Layak
– tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; 10)
Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun lainnya yang terjadi selama
tahap penyidikan.
Adapun ketentuan beracaranya adalah sebagai berikut : Pertama,
Hakim Pemeriksaan Pendahuluan memberikan keputusan dalam
waktu paling lambat 5 hari terhitung sejak menerima permohonan yang
berkaitan dengan kewenangan tersebut di atas. Kedua, Hakim Pemeriksaan
Pendahuluan memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan
hasil penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan,
penyitaan, atau catatan lainnya yang relevan. Ketiga, Hakim Pemeriksaan
Pendahuluan dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat
hukumnya, penyidik, atau penuntut umum. Keempat, apabila merasa
diperlukan, Hakim Pemeriksaan Pendahuluan dibolehkan untuk meminta
keterangan saksi yang relevan dan telah disumpah dan alat bukti surat
yang relevan. Kelima, permohonan yang berkaitan dengan kewenangan
Hakim Pemeriksaan Pendahuluan tersebut di atas tidaklah menunda
proses penyidikan.

III. Kritik terhadap RUU KUHAP dan Kewenangan Hakim Pemeriksaan


Pendahuluan serta Prospeknya di Masa Mendatang.
Apabila dicermati RUU KUHAP ada beberapa catatan kritik sebagai
berikut: PERTAMA, dalam kaitannya dengan model bercara dalam sistem
15
Eddy O.S Hiariej, 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality,
Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute, hlm. 33 – 34.

82
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

peradilan pidana. Tidaklah dapat dinafikkan bahwa RUU KUHAP lebih


condong pada due process of law yang menitikberatkan pada perlindungan
hak-hak tersangka. Hal ini sama dengan tujuan hukum pidana menurut
aliran klasik yang lebih menitikberatkan pada kepentingan individu dan
bukan dalam rangka melindungi masyarakat dari kejahatan.
KEDUA, masih terkait dengan due process of law, adanya indikasi yang
kuat bahwa RUU KUHAP merujuk pada model tersebut yakni adanya
lembaga hakim pemeriksaan pendahulaun yang secara filosofis menolak
efisiensi dalam proses peradilan. Hal ini akan bersinggungan dengan
prinsip umum dalam hukum acara yang mengenal asas cepat, sederhana
dan biaya ringan.
KETIGA, due process menghasilan prosedur dan substansi
perlindungan terhadap individu16. Setiap prosedur dalam due process
menguji dua hal. Pertama, apakah penuntut umum telah menghilangkan
kehidupan, kebebasan dan hak milik tersangka tanpa prosedur. Kedua, jika
menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai
dengan due process17. Tidaklah mudah menerapkan due process of law di
Indonesia, di tengah keadaan hukum yang penuh dengan praktek-praktek
mafia peradilan.
KEEMPAT, masih terkait dengan kewenangan hakim pemeriksa
pendahuluan dalam penerapannya tidak mudah dilaksanakan mengingat
kondisi geografis di Indonesia. Dalam waktu yang relatif singkat harus
dapat menghadapkan tersangka secara fisik kepada hakim pemeriksaan
pendahuluan dalam rangka perpanjangan penahanan. Keberadaan hakim
pemeriksaan pendahuluan ada pada setiap Pengadilan Negeri yang wilayah
yurisdiksi sama dengan wilayah administratif pemerintahan kota atau
kabupaten. Di daerah-daerah kawasan timur Indonesia yang terdiri dari
banyak pulau, satu kecamatan teridiri dari satu bahkan beberapa pulau.
Dengan sarana transportasi yang terbatas, tidaklah mudah menghadapkan
tersangka secara fisik ke pengadilan negeri, belum lagi faktor keamanan.
KELIMA, seyogyanya dalam KUHAP di masa yang akan datang
harus ada perlindungan kepentingan yang proporsional. Hal ini sesuai
dengan doktrin keberadaan hukum pidana yang harus melindungi tiga
kepentingan, masing-masing adalah individuale belangen (kepentingan-
kepentingan individu), sociale of maatschappelijke belangen (kepentingan-
kepentingan sosial atau masyarakat) dan staatsbelangen (kepentingan-
kepentingan negara). Hukum pidana berfungsi untuk melawan
tindakan-tindakan yang tidak normal sebagaimana dikatakn oleh Vos ”.....
het starfrecht zich richt tegen min of meer abnormale gedragingen”18. Tindakan-
16
Rhonda Wasserman, 2004, Procedural Due Process : A Refernce Guide to the United States
Constitution, Greenwood Publishing Group, hlm. 1.
17
Ibid., hlm. 31.
18
H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk
Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 136.

83
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

tindakan tidak normal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang


menyerang kepentingan individu, kepentingan masyarakat maupun
kepentingan negara. Oleh sebab itu hukum acara pidana yang idial harus
ada keseimbangan perlindungan antara kepentingan individu dalam hal
ini adalah pelaku kejahatan, kepentingan masyarakat yang terusik karena
adanya korban kejahatan dan kepentingan negara dalam melaksanakan
penuntutan dan penghukuman.
KEENAM, sebagai solusi untuk membei keseimbangan perlindungan
kepentingan yang proporsional antara tindakan aparat penegakan
hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah dengan
mengoptimalkan lembaga praperadilan. Artinya, praperadilan dapat
dilakukan terhadap semua upaya paksa yang dapat dilakukan aparat
penegak hukum terhadap tersangka dan atau terdakwa. Selain itu juga
harus ada kejelasan status tersangka, jika perkara tersebut tidak pernah
diproses, sedangkan seseorang telah dinyatakan sebagai tersangka.

Referensi
Cavadino, Michael and Dignan, James, The Penal Sistem An Introduction,
1997, SAGE Publication Ltd.
Enschede , Ch.J., 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer.
Hiariej, Eddy O.S 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory
And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean
Legislation Research Institute.
King M., 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London.

Packer, Hebert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University
Press.
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice
Process”, Scarman Center, University Of Leicester.
Vos, H.B., 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk,
H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
Wasserman Rhonda, 2004, Procedural Due Process : A Refernce Guide to the
United States Constitution, Greenwood Publishing Group

84
ARAH PEMBARUAN HUKUM
PIDANA NASIONAL –
KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN

Oleh:
Komisaris Besar Polisi Dr. Drs. R. Sigid Tri Hardjanto, S.H., M.Si.
(Divisi Pembinaan Hukum Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia)

I. Latar Belakang.
Dalam upaya membenahi kondisi penegakan hukum di Indonesia,
telah menjadi kelaziman selalu dilakukan dengan cara membentuk
lembaga baru:
1. Dalam RUU KUHAP dimasukkannya lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan (HPP).
2. Lembaga pra peradilan dianggap tidak bekerja sebagaimana mestinya
dan dalam implementasinya banyak merugikan masyarakat.
Sekalipun secara konseptual eksistensi lembaga HPP sangat ideal namun
tidak berarti dalam pelaksanaan tidak akan menimbulkan permasalahan
baru:
Dikhawatirkan akan sulit diterapkan di wilayah NKRI mengingat
aspek yang akan mempengaruhi dalam operasionalnya à geografis,
sosial budaya, sosial politik, sarana prasarana, sumber daya manusia.

II. Kewenangan HPP dan Kendala dalam Pelaksanaan.


1. HPP yang pro aktif dan dominan.
HPP proaktif dan sangat dominan dalam menentukan keabsahan
sejak proses penyidikan sampai dengan penuntutan akan rawan
konflik kepentingan, serta keterbatasan waktu dan tingginya frekuensi
kejahatan yang ditangani HPP untuk memberikan penilaian berpotensi
bahwa penilaian tersebut hanya bersifat prosedural yang akan
menghasilkan keadilan prosedural bukan keadilan substansial.
2. HPP yang tertutup.

85
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

a. Sistem pemeriksaan HPP bersifat tertutup dan dilaksanakan secara


individual oleh hakim yang bersangkutan terhadap jaksa, penuntut
umum, saksi dan terdakwa
b. Oleh karena bersifat tertutup à tidak ada transparansi dan
akuntabilitas publik sebagaimana halnya dengan proses pemeriksaan
sidang terbuka dalam forum praperadilan.
c. Dalam pemeriksaan oleh HPP yang tertutup à masyarakat tidak
dapat turut mengawasi dan menilai proses pemriksaan pengujian
serta penilaian hakim terhadap benar tidaknya upaya paksa yang
dilakukan.
3. Aspek keamanan.
Menghadapkan tersangka secara fisik kepada HPP memiliki resiko
yang tinggi dari segi keamanan dan inefisiensi terutama di daerah yang
rawan konflik dan daerah yang jauh dari pusat.
4. Penyebaran Sumber Daya Manusia dan Kompetensi.
a. HPP menuntut kompetensi yang maksimal à tidak saja memutus
perkara tetapi juga dituntut untuk tentukan / kendalikan sistem
peradilan sejak penyidikan sampai putusan.
b. HPP selain dituntut untuk mempunyai kompetensi ilmu hukum
tetapi juga standar moral dan etika yang mumpuni karena
kewenangannya yang powerfull.
5. Pembiayaan dan Konsekuensi.
a. Dalam setiap PN dibutuhkan 2 HPP à total dibutuhkan 500 x 2
HPP
b. Syarat HPP yang pangkat dan golongan setingkat Ketua PN,
dibutuhkan suatu lompatan SDM yang luar biasa.
c. Dibutuhkan sarana prasarana dan anggaran yang besar.

III. Kesimpulan.
a. Sistem pengawasan unsur CJS yang semula diselenggarakan oleh
lembaga praperadilan dalam RUU KUHAP digantikan dengan HPP
à konsep ini sangat ideal dan positif bila dapat diterapkan secara
konsekuen dan didukung dengan kesiapan infrastruktur dan saran
yang memadai.
b. Namun apabila infastruktur tidak siap akan mengundang resiko
dan kerugian yang lebih banyak daripada manfaatnya.

86
SPHN 2013:
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU HUKUM PIDANA
DENGAN UU LAINNYA
(TULISAN HASIL ”CALL FOR PAPERS”)
MEMBUMIKAN
PEMIDANAAN PROGRESIF

Oleh:
Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang – Jawa Timur)

I. Pendahuluan.
Menurut teori utilitas, hukum bertujuan untuk menghasilkan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan
kesenangan dan kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham
dalam bukunya “Introduction to the Morals and Legislation”. Teori ini
menitukberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak atau
bersifat umum. Kepentingan masyarakat, korban, negara, pelaku kejahatan,
dan lainnya merupakan kepentingan yang menjadi fokus idealisme
hukum.
Mengingat hukuman (pemidanaan) merupakan wujud dari hukum
yang diimplementasikan, maka jika mengacu pada teori utilitas itu, berarti
hukuman yang diterapkan idealnya berbasiskan pemenuhan kepentingan
banyak orang atau aspek-aspek lain yang terkait dengan kepentingan
manusia, seperti lingkungan hidup.
Dalam ranah teoritis, hukuman atau pidana ialah suatu perasaan tidak
enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada
orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Siapapun
orangnya yang terkena hukuman, kesejatiannya pastilah tidak akan ada
yang mau menerima, apalagi kalau hukuman itu bersifat memberatkan
dan menentukan hidup mati.

II. Keragaman Tujuan Pemidanaan.


Menurut para pakar, tujuan pemidanaan itu bermacam-macam,
pertama, Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu
pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus
dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” (vergelding-
theorie). Dalam teori ini, seseorang atay sekelompok orang yang berbuat
jahat, harus mendapatkan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya,
atau dibalas dengan hukuman yang sejenis.

R. Soesilo, Kitab undang-undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1993, hlm 35.

88
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Frederich Hegel, berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan


logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan yang telah dilakukan. oleh
Andi Hamzah, bahwa menurut teori pembalasan, pidana tidak bertujuan
untuk yang praktis, seperti yang memperbaiki penjahat. Kejahatan itu
sendiri lah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana.
Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan, sehingga
tidak perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana. Setiap kejahatan
harus berakibat jatuhkannya pidana kepada pelaku. Pidana merupakan
tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi
menjadi keharusan. Hakekat suatu pidana adalah pembalasan.
Kedua, Feurbach berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti-
nakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut “teori
mempertakutkan” (afchrikkings-theorie). Artinya, dalam teori ini, hukuman
dimaksudkan sebagai sanksi yang membuat seseorang menjadi penakut
untuk berbuat salah atau jahat. Ketika dirinya pernah berbuat salah (jahat),
dalam dirinya ada perasaan sangat takut terhadap kesalahan atau kejahatan
yang diperbuatnya, sehingga tidak lagi terjerumus dalam perbuatan yang
sama atau pelanggaran hukum lainnya.
Ketiga, Frederick berpendapat, bahwa hukuman itu untuk
memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Ketika seseorang berbuat
salah atau jahat, maka dia diberi jalan oleh hukum untuk menemukan
jalan kebenaran yang pernah ditinggalkan atau dieliminasinya. Teori ini
biasa disebut “teori memperbaiki” (verbetering-stheorie), yakni membina,
mengarahkan, atau mendidik seseorang yang semula berbuat jahat supaya
menjadi seseorang yang menyukai dan memegang teguh norma-norma
hukum dan kebenaran.
Keempat, sejumlah penulis lain yang mengatakan bahwa dasar
dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-
maksud lainnya tidak boleh diabaikan seperti mencegah, menakut-nakuti,
mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang
yang telah berbuat. Mereka ini adalah penganut teori yang disebut “teori
gabungan” (verenigings-theorie).
Leo Polak bahkan memberikan tiga syarat untuk pemidanaan,
yakni; pertama, pemidanaan yang dijatuhkan harus diselaraskan dengan
perbuatannya, artinya perbuatan yang dilakukan dapat dihukum dan
dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika atau
bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif (objective
betreurenswaardigheid), kedua, pemidanaan hanya boleh memperhatikan
apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh memperhatikan apa yang
mungkin akan atau dapat terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan
suatu maksud prevensi. Umpamanya dijatuhkan dengan kemungkinan
besar penjahat diberi suatu penderitaan (onlust) yang beratnya lebih

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta,
Pradnya Paramita, Cet.I, 1986, hlm. 17.

89
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dari pada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi


kepada penjahat, ketiga, beratnya hukuman harus seimbang dengan
beratnya delik. Beratnya hukuman tidak boleh melebihi beratnya delik.
Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil, tetapi harus
ada suatu ‘verdiend leed’, tidak kurang tetapi juga tidak lebih.
Dalam teori absolut dan teori pembalasan (retributive/vergeldings
theorie) disebutkan, bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia pecatum est).
Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan. Menurut Johannes Andenaes,
tujuan utama dari pidana ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan”
(to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang
menguntungkan adalah sekunder.

III. Pemidanaan dan Filosofi Keadilan.


Tuntutan keadilan sebagaimana ide Johannes Andenaes itu sebenarnya
mengingatkan setiap pembelajar dan aparat penegak hukum, bahwa
keadilan merupakan hal sakral. Siapapun mencari dan mendambakan
keadilan, termasuk terpidana atau narapidana, meski hakikatnya mereka
belum tentu juga tahu tentang keadilan.
Filosof kenamaan Aristoteles membagi keadilan itu menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kekayaan
atau kepemilikan lainnya pada masing-masing anggota masyarakat.
Dengan keadilan distributif ini yang dimaksudkan oleh Aristoteles
adalah keseimbangan antara apa yang didapati oleh seseorang dengan
apa yang patut didapatkan.
2. Keadilan Konektif adalah keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi
kejadian yang tidak adil . Dalam hal ini keadilan dalam hubungan
antara satu orang dengan orang lainnya yang merupakan keseimbangan
(equality) antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima.
Di sisi lain, salah satu argument hukum dalam a theory of justice (teori
keadilan) yang dikemukakan oleh Joh Rawls menekankan bahwa salah
satu prinsip penting dalam keadilan, bahwa setiap orang mempunyai hak
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas.
Berbeda dengan siapapun yang merelasikan hukum dengan
keadilan, mereka yang menganut paham integrasi hukum dengan unsur
kemanfaatan, lebih melihat inti hukum terletak pada kemanfaatan. Mereka

E. Utrecht, 1958, hlm: 168, dalam http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-
mati-menurut-perspektif-ham-internasional/, akses 20 Oktober 2013.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Op.Cit., hlm. 10.

Duswara Machmudin Dudu, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Seketsa, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2001), hlm.24.

90
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

ini penganut aliran utilitas (utilitananisme) seperti Jeremy Bentham (1748-


1832), Jhon Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhenng (1818-1889).
Mereka ini berpendapat bahwa pada intinya hukum harus bermanfaat
untuk membahagiakan kehidupan manusia. Apakah kebahagiaan itu
timbul karena diperolehnya keadilan ataupun karena timbulnya kepastian
hukum dalam masyarakat, itu tidaklah penting. Hukum yang baik
menurut aliran ini adalah hukum yang dapat mendatangkan kebahagiaan
sebesar-besarnya bagi masyarakat. Selama masyarakat seperti terpidana
atau narapidana tidak bisa memperoleh kebahagiaan dalam perjalanan
hidupnya di Lembaga Pemasyarakatan, maka hukum gagal menjalankan
misi utamanya.
Menurut Jeremy Bentham yang menganut aliran individual
Utilitanianisme, pada hakikatnya, manusia akan bertindak untuk
mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi
penderitaannya. Kebahagiaan tersebut diartikan sebagai kebebasan untuk
mengemukakan diri dalam membela hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan unsur hukum yang lain, Bentham berpendapat
bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-
undang yang dapat mencermikan keadilan bagi semua individu; sehingga
peraturan itu dapat memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi
sejumlah individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest
numbers). Pendapat Bentham itu menunjukkan bahwa di antara unsur-
unsur hukum (kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan) hanyalah
dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan karena antara unsur yang
satu berkaitan dengan unsur yang lain, bahkan kadangkala bertentangan
(antinomi).
John Stuart Mill mengaitkan lebih jauh hubungan antara unsur
kemanfaatan dan unsur keadilan dalam hukum. Mill berpendapat bahwa
standar keadilan harus didasarkan pada unsur kemanfaatan, tetapi sumber
kesadaran keadilan itu bukan terletak pada kemanfaatan, melainkan pada
dua hal, yaitu rangsangan untuk mempentahankan diri dari perasaan
simpati. Sumber keadilan terletak pada naluri manusia untuk menolak
atau membalas kesakitan yang dideritanya, baik oleh diri sendiri maupun
oleh siapa saja yang mendapat simpati dari orang lain. Perasaan keadilan
akan memberontak terhadap ketidakadilan, penderitaan, tidak hanya atas
dasar kepentingan individu, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada
orang-orang lain yang disamakan dengan diri kita. Hakikat keadilan
mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan
umat manusia.

Roscoe Pound, The Task of Law, Diterjemahkan oleh Muhammad Radjab, Jakarta: Bhratara,
Cetakan pertama, 1972, hlm. 52-53.

Lili Rasjidi & I.B. Yasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Rosyda Karta, Bandung 1993,
hlm. 79.

Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti, 2000),
hlm. 271.

91
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Dalam pemahaman itu, keadilan dapat diposisikan bukan sebatas


milik seseorang, sekelompok orang, negara, masyarakat, dan bangsa, tetapi
sejatinya adalah milik semua, sehingga ketika keadilan yang dikehendaki
dari tujuan pemidanaan, maka keadilannya ini bersifat universal.
Ada banyak pakar berbeda-beda dalam merumuskan tujuan atau
idealisme pemidanaan. Perbedaan ini logis saja, karena selain mereka
berlatarbelakang keilmuan yang berbeda, juga pengalamannya dalam
berelasi sosial, budaya, agama, politik (kekuasaan), dan lannya, yang
berbeda.
Menurut M. Sholehuddin tujuan pemidanaan harus sesuai dengan
politik hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan
masyarakat dari kesejahtraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup
dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/negara, korban, dan
pelaku. M. Sholehuddin (2004 : 59) ini mengemukakan sifat-sifat dari unsur
pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu:
1. Kemanusiaan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut menjunjung
tinggi harkat dan martabat seseorang.
2. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang
sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan
ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha
penanggulangan kejahatan.
3. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil
(baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun masyarakat).
Jenis-jenis pidana yang ada dalam KUHP warisan kolonial, dilihat
dari segi ilmu hukum pidana, masih mencerminkan pidana yang lebih
berorientasi pada “pembalasan” sehingga tampak kaku dan bersifat
imperatif dalam pelaksanannya. Sifat kaku dan imperatifnya jenis pidana
dan pemidanaan dalam KUHP sangat terlihat dalam pasal-pasal deliknya.
Perkembangan dunia hukum pidana secara global, terutama setelah
dilakukannya beberapa kali Kongres PBB tentang The Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders, wacana mengenai hukum pidana mengalami
perombakan yang signifikan. Salah satu perkembangnnya adalah orientasi
pemidanaan yang lebih “memanusiakan” pelaku tindak pidana (offenders)
dalam bentuk pembinaan (treatment). Berdasarkan perkembangan ini,
maka pada saat usaha pembaharuan hukum pidana (materiel) digalakkan,
Indonesia memperbaharui sistem pemidanannya yang kaku dan imperatif
tersebut menjadi sistem pemidanaan yang mengedepankan aspek
kemanusiaan dengan mengambil ide-ide individualisasi pidana.10

Ray Prtama, Pengertian Jenis-Jenis dan Tujuan, http://raypratama.blogspot.com/2012/02/
pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html, akses 15 November 2013.
10
Ahmad Bahiej, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Pembaharuan Hukum Pidana Materiel
Indonesia, http://ahmadbahiej.blogspot.com/2003/08/prinsip-individualisasi-pidana-dalam.html, akses
15 November 2013.

92
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

IV. Tujuan Pemidanaan dalam Konstruksi Pluralisme Hukum.


Pemikiran itu menunjukkan, bahwa orientasi pemanusiaan manusia
dalam tujuan pemidanaan semakin gencar diaktualisasikan oleh kalangan
pembela hak-hak asasi manusia. Mereka ini melihat kalau manusia yang
sedang berurusan dengan hukum atau bahkan telah divonis bersalah
(sebagai penjahat), adalah tetap manusia yang mempunyai hak-hak untuk
dilindungi. Mereka yang telah bersalah ini diantaranya berhak kembali
ke masyarakat, berhak berkumpul kembali dengan keluarga, atau berhak
menunjukkan kalau dirinya masih bisa menjadi orang baik.
Sementara itu menurut Muladi tujuan pemidanaan haruslah bersifat
integratif, yaitu :
1. Perlindungan masyarakat;
2. Memelihara solidaritas mayarakat;
3. Pencegahan (umum dan khusus);
4. Pengimbalan/pengimbangan.11
Dalam masalah pemidanaan dikenal ada dua sistem atau cara yang
biasa diterapkan mulai dari jaman Wetboek van Strafrecht (W. v. S) Belanda
sampai dengan sekarang yang diatur dalam KUHP, yaitu: 1) bahwa orang
dipenjara harus menjalani pidananya dalam tembok penjara. Ia harus
diasingkan dari masyarakat ramai dan terpisah dari kebiasaan hidup
sebagaimana layaknya mereka yang bebas. Pembinaan bagi terpidana juga
harus dilakukan di belakang tembok penjara, 2) bahwa selain narapidana
dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau
rehabilitasi/resosialisasi.
Pasal 51 RUU KUHP tahun 2005 merumuskan tentang tujuan
pemidanaan sebagaimana ditentukan, yaitu: (1) Pemidanaan bertujuan
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
kesimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana, (2) pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Dari tujuan pemidanaan di RUU KUHP tahun 2005, berkembang
tujuan pemidanaan menurut Pasal 54 RUU KUHP 2008, sehingga berbunyi
sebagai berikut:12 (1) Pemidanaan bertujuan: mencegah dilakukannya
tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
11
Ray Prtama, Op.Cit.
12
Rancangan Undang Undang Republik Indonesia No….. Tahun …. Tentang Kitab Undang
Undang Hukum Pidana, diambil dari dokumen (file) Barda Nawawi Arief, revisi Oktober 2008. hlm.
14.

93
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan


sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
dan mendatangkan asa damai dalam masyarakat, membebaskan rasa
bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana, (2) pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Berbagai tujuan pemidanaan mulai dari pendapat ahli (pakar) hingga
tujuan pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHP (2005)
dan RUU KUHP (2008), maka dapat dipahami, bahwa terdapat pluralisme
hukum dalam dimensi tujuan pemidanaan. Hal ini rasional untuk
dimaklumi, mengingat problem yang dihadapi oleh setiap masyarakat,
bangsa, dan negara adalah berbeda-beda, sehingga dalam suatu kasus
tertentu, bisa saja kalangan ahli sependapat terhdap tujuan pemidanaan,
namun dalam kasus lain, bisa terjadi perbedaan.
Bukan tidak mungkin pula, tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP
2008 di masa mendatang akan diubah atau diadaptasikan sesuai dengan
dinamika sosial, budaya, politik, dan berbagai ragam kasus tindak pidana
(straafbarfeit) yang terjadi. Opsi tujuan pemidanaan yang diregulasi dalam
RUU KUHP 2008 menggariskan tentang pemberian maaf pada pelaku
(terpidana), padahal sejumlah pasal dalam peraturan perundang-undangan
(seperti KUHP, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Pemberantasan
Terorisme) jelas-jelas masih memberikan regulasi tentang hukuman mati.
Jika berpijak pada latar belakang dan jenis kasus tindak pidana,
barangkali memang tidak diperlukan homoginisasi tujuan pemidanaan,
dan sebaliknya yang tepat adalah membumikan pemidanaan secara
progresifitas, artinya pemidanaan yang dijatuhkan idealnya berbasis
pada realitas akar kriminogin, motif kriminalitas, modus operandi, dan
dampaknya, yang kesemua ini tidak lepas dari kondisi rasional dan mental
terpidananya.
Pemberian maaf pada pelaku misalnya, memang bisa dijadikan sebagai
tujuan umum pemidanaan, akan tetapi berbagai aspek yang menjadi
konstruksi tindak pidana, seharusnya menjadi pertimbangan khusus,
yang pada suatu saat menjadi pengecualiannya. Begitu pun sebaliknya,
bahwa tujuan pemidanaan dengan merampas nyawa pelaku (hukuman
mati) juga tetap diberikan “tempat”, selain sebagai wujud pembenaran
asas hukum lex specialis derogate lex generalis (hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan atau mengalahkan hukum yang berlaku umum), juga
dalam kasus tertentu, adalah tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat
memang membutuhkannya.

94
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

V. Penutup.
Masyarakat memang di satu sisi membutuhkan bangunan
kehidupannya terjaga keharmonisain dan kedamaiannya, akan tetapi selalu
saja terjadi gangguan dari tangan-tangan jahat yang merusaknya. Dalam
kasus seperti inilah kemudian negara tampil dengan cara menggunakan
kekuatannya atau mewujudkan kewajibannya untuk mengembalikan
keseimbangan sosial yang sudah dirusak tangan-tangan jahat. Negara
tampil dengan instrumen yuridis guna memberikan pelajaran terhadap
perusak tatanan, dan memberikan jalan yang seharusnya atau idealisasinya
memberikan peluang supaya mereka dapat memanusiakan dirinya atau
memperlakukan dirinya sendiri sebagai subyek sosial yang bermartabat.
Ketika “perusak tatanan” itu sudah memasuki ranah perbuatan
yang mengakibatkan “kegentingan” atau perbuatannya tergolong
sebagai pelanggaran hak-hak yang serius, maka idealisme publik yang
menjadi korban pun harus dijadikan sebagai pertimbangan. Disinilah
pemidanaan yang bersifat progresif sulit dihindari, artinya pemidanaan
dijatuhkan dengan mengakomodasi kepentingan bersifat makro, termasuk
kepentingan yang bersifat “kegentingan” seperti kejahatan bersifat
pemberatan atau pelanggaran HAM serius, dengan mempertimbangkan
dinamika kecenderungan masyarakat terhadap pola-pola penghukuman
yang dijadikan opsinya.

Daftar Pustaka.
Ahmad Bahiej, Prinsip Individualisasi Pidana dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Materiel Indonesia, http://ahmadbahiej.blogspot.
com/2003/08/prinsip-individualisasi-pidana-dalam.html, akses 15
November 2013.
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Jakarta, Pradnya Paramita, Cet.I, 1986.
Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT.Citra
Aditya Bhakti, 2000.
Duswara Machmudin Dudu, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Seketsa,
Bandung: PT Refika Aditama, 2001.
E. Utrecht, 1958, hlm: 168, dalam http://ayub.staff.hukum.uns.
ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurut-perspektif-ham-
internasional/, akses 20 Oktober 2013.
Lili Rasjidi & I.B. Yasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Rosyda Karta,
Bandung 1993.
Rancangan Undang Undang Republik Indonesia No….. Tahun …. Tentang
Kitab Undang Undang Hukum Pidana, diambil dari dokumen (file)
Barda Nawawi Arief, revisi Oktober 2008
95
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Ray Prtama, Pengertian Jenis-Jenis dan Tujuan, http://raypratama.blogspot.


com/2012/02/pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html, akses 15
November 2013.
R. Soesilo, Kitab undang-undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1993, hal:
35.
Roscoe Pound, The Task of Law, Diterjemahkan oleh Muhammad Radjab,
Jakarta: Bhratara, Cetakan pertama, 1972

96
SINKRONISASI KEBIJAKAN
FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
BAGI KORPORASI PUBLIK
DALAM BEBERAPA UNDANG-UNDANG ORGANIK
DENGAN RUU HUKUM PIDANA

Oleh:
Galuh Praharafi Rizqia, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Balikpapan – Kalimantan Timur)

I. Pendahuluan.
Perkembangan peradaban manusia memberikan dampak yang tidak
hanya positif namun juga negatif. Salah satu dampak negatif yang muncul
yaitu semakin berkembangnya bentuk dan motif kejahatan. Pelaku
kejahatan bukan lagi hanya person saja, namun berkembang menjadi
kejahatan oleh korporasi. Perkembangan ilmu dan pengaturan dalam
hukum pidana melakukan penyesuaian terhadap perkembangan kondisi
ini dengan memperluas subjek hukum pidana, yaitu tidak hanya person
saja, namun juga korporasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, tindak
pidana tidak hanya melibatkan pihak swasta atau masyarakat umum saja,
namun adakalanya alat perlengkapan negara justru menyalahgunakan
kedudukannya untuk melakukan suatu tindak pidana.
John Emerich Edward Dalberg Acton (1834–1902) pernah mengungkapkan
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yang dapat
diartikan sebagai “kekuasaan cenderung korupsi (menyalahgunakan
kewenangan), dan kekuasaan mutlak akan cenderung pada korupsi
(menyalahgunakan kewenangan) secara mutlak”. Oleh karena itu, perlu
disusun suatu peraturan yang tegas bagi alat perlengkapan negara yang
memiliki kekuasaan serta kewenangan yang besar, dengan tujuan untuk
meminimalisir penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya.
Pengaturan mengenai pidana dan pemidanaan bagi alat perlengkapan
negara bukanlah merupakan sesuatu hal yang aneh. Sudarto menyatakan
bahwa adressat dari norma hukum adalah warga masyarakat, agar
bertindak laku seperti apa yang dipandang patut oleh norma tersebut.
Disamping itu, adressat norma hukum juga alat-alat perlengkapan negara
sebagai pedoman dalam melaksanakan aturan tersebut. Dengan demikian

Sudarto, 2009, Hukum Pidana I, Semarang, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, hlm. 6-7.

97
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

norma hukum tidak hanya memberikan pengaturan yang ditujukan bagi


masyarakat saja, namun juga bagi alat perlengkapan negara. Alat perlengkapan
negara dapat berupa orang maupun korporasi publik.
Perlindungan hak dan kepentingan masyarakat yang dicederai
oleh alat perlengkapan negara, khususnya korporasi publik melalui
penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya, diwujudkan dengan
pengaturan dalam beberapa Undang-Undang yang di dalamnya secara
tersirat meletakkan korporasi publik sebagai subyek hukum pidana.
Pengaturan ini diantaranya dapat dijumpai pada Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Penulis menyatakan bahwa dalam Undang – Undang
tersebut secara tersirat meletakkan korporasi publik sebagai subjek
hukum pidana, karena jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 dan Pasal
182 RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), maka
unsur pembuat tindak pidana dapat ditujukan kepada korporasi publik.
Pasal 47 RKUHP menyebutkan bahwa korporasi merupakan subjek
hukum pidana. Lebih lanjut pada ketentuan Pasal 182 RKUHP disebutkan
bahwa korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dengan demikian, maka institusi penyelenggara pelayanan publik dapat
dikategorikan sebagai korporasi, dalam hal ini adalah korporasi publik,
sehingga merupakan subjek hukum pidana. Akan tetapi, di sisi lain, dalam
hal pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan hanyalah ditujukan
kepada orang saja, yaitu pejabat atau pemimpin dari institusi terkait dan
bukan kepada korporasi publik yang bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka muncul permasalahan, yaitu:
bagaimanakah kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi publik saat ini? apakah person saja yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana, atau dapat pula dikenakan
kepada korporasi publik atau institusi pelayanan publik. Kedua, apabila
pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan kepada korporasi publik,
maka dalam hal bagaimanakah pertanggungjawaban pidana dapat
dikenakan terhadapnya. Ketiga, bagaimanakah bentuk atau jenis pidana
yang dapat dijatuhkan bagi korporasi publik. Mencermati sifat, kedudukan
serta sistem yang berlaku dalam korporasi publik yang berbeda dengan
korporasi privat, maka jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi publik tentunya tidak bisa disamakan dengan korporasi privat.
Pengaturan secara rigid beberapa permasalahan tersebut menjadi penting
dalam rangka untuk mewujudkan tujuan pemidanaan sebagaimana yang
dimuat dalam Pasal 54 RKUHP, khususnya untuk menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
98
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

II. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Sarana Penal bagi


Korporasi Publik.
Kebijakan penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal ialah
“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.
Dalam rangka mencapai tujuan akhir berupa social defence dan social
welfare, serta untuk mengatasi berbagai masalah dan kondisi sosial yang
merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan yang tidak
dapat diatasi semata-mata dengan upaya penal, maka harus ditunjang
dengan upaya nonpenal, diantaranya yaitu dengan kebijakan sosial (social
policy).
Dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan Hukum Pidana
pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa
tahap:
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan
pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan
legislatif.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan Hukum Pidana oleh aparat-
aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan.
Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan Hukum Pidana secara konkrit
oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap
kebijakan eksekutif atau administratif.
Hukum pidana dengan sanksinya memiliki dua fungsi, yaitu fungsi
primer (sebagai sarana dalam menanggulangi kejahatan atau sarana kontrol
sosial (pengendalian masyarakat)), dan fungsi sekunder (pengaturan
tentang kontrol sosial yang dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh
negara dengan alat perlengkapannya). Dalam hal ini, tugas juridis dari
hukum pidana bukanlah “policing society” akan tetapi “policing the police”.
Sudarto juga mengemukakan bahwa addresat norma hukum yang
berbentuk peraturan hukum, selain untuk masyarakat juga diperuntukkan
bagi alat perlengkapan masyarakat (negara) sebagai pedoman dalam
melaksanakan aturan-aturan tersebut. Alat perlengkapan negara, secara
garis besar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu orang perorang dan
instansi penyelenggara pemerintahan (badan hukum publik atau korporasi
publik).

Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, hlm. 4.

Muladi, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, hlm. 13.

Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, hlm. 150-151.

Sudarto, Ibid., hlm. 22 dan Sudarto, Op. Cit., hlm. 6-7.

99
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Badan hukum publik dianggap mempunyai kekuasaan sebagai


penguasa jika badan hukum tersebut dapat mengambil keputusan dan
membuat peraturan yang mengikat orang lain yang tidak tergabung di
dalam badan hukum tersebut. Disamping itu, lapangan pekerjaan dari
badan hukum tersebut adalah untuk kepentingan umum. Pada badan
hukum publik, berlaku pula hukum publik (hukum administrasi negara)
di samping hukum perdata. Berlakunya hukum administrasi negara
ini hanya dalam lingkup intern, yaitu dalam hal pengaturan mengenai
organisasi dan kewenangannya, sedangkan secara ekstern kedudukan
badan hukum publik tersebut memiliki kedudukan yang sederajat dengan
para pihak.
Terdapat tiga teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat
dijadikan sebagai dasar pemidanaan bagi korporasi, yaitu:
1. Teori identifikasi (identification theory), yaitu bahwa pertanggungjawaban
pidana terhadap korporasi, harus dapat diidentifikasikan terlebih
dahulu siapa yang melakukan tindak pidana tersebut. Apabila yang
melakukan tindak pidana tersebut merupakan “directing mind” atau
orang yang diberi wewenang untuk bertindak atas nama korporasi,
maka korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
2. Teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yaitu korporasi
bertanggungjawab atas kesalahan orang lain. Teori ini didasarkan
pada employment principle, dimana majikan bertanggungjawab atas
perbuatan para buruhnya dalam lingkup tugas dan pekerjaannya dan
the delegation principle, yaitu “a guilty mind” dari buruh/ karyawan dapat
dihubungkan ke majikan apabila ada pendelegasian kewenangan dan
kewajiban yang relevan menurut Undang-Undang.
3. Teori pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yaitu pertang-
gungjawaban pidana korporasi dibebankan kepada orang yang
melakukan tindak pidana tersebut tanpa perlu dibuktikan ada atau
tidaknya unsur kesalahan.

III. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi


Publik dalam Beberapa Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia.
Berdasarkan analisis terhadap ketentuan dalam Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia yang mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana bagi korporasi publik, belum terdapat pola aturan pemidanaan

Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, hlm. 128-129.

Rudi Prasetyo, dalam Muladi dan Dwidja Priyatno,Ibid., hlm. 30-31.

Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, PT. Grafiti
Pers, hlm. 78 dan Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya
Bakti, hlm. 250.

100
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

bagi korporasi publik yang seragam dan konsisten dalam hal:


1. Kapan dapat dikatakan bahwa suatu korporasi publik telah
melakukan suatu tindak pidana dan kapan dapat dibebankan suatu
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi publik.
 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak memberikan rumusan,
demikian halnya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan
“apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan
usaha”. Meskipun demikian, tidak memberikan pengaturan secara
khusus bagi korporasi publik, hanya memberikan pengaturan
secara umum bagi badan korporasi.
2. Siapa saja yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi publik.
 Ketiga Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan secara tegas
mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi publik.
Namun dari pengaturan dalam pasal-pasal yang lain dalam Undang-
Undang tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai adanya
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi publik. Meskipun
demikian, sebagian besar menerapkan doktrin pertanggungjawaban
pidana pengganti (vicarious liability) sehingga pihak yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah pimpinan dari korporasi publik,
dan bukan korporasi publik yang bersangkutan.
3. Jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang
berupa korporasi publik.
 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menentukan pidana pokok
yang dapat dijatuhkan adalah berupa pidana penjara dan denda.
Jika pidana dijatuhkan kepada badan hukum publik, maka bentuk
pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana denda dengan
pemberatan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan maksimum
pidana denda yang dijatuhkan kepada pengurus korporasi publik.
 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menentukan pidana pokok
yang dapat dikenakan yaitu berupa pidana penjara atau denda.
Pemidanaan bagi korporasi publik tidak diakomodir.
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menentukan bahwa bentuk
pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah berupa pidana penjara
dan/ atau denda. Apabila pertanggungjawaban pidana dibebankan
kepada korporasi publik, maka bentuk pidana tambahan yang dapat
dikenakan adalah perbaikan akibat tindak pidana dan kewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.

101
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

4. Perumusan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana berupa korporasi


publik.
 Perumusan sanksi pidana ini dirumuskan secara beragam,
sebagaimana telah disebutkan diatas, yaitu:
• Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dirumuskan secara
kumulatif.
• Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dirumuskan secara
alternatif.
• Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dirumuskan secara
gabungan atau kumulatif alternatif.

IV. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana bagi Korporasi


Publik di Masa yang akan Datang.
IV.1. Kapan Suatu Tindak Pidana Dapat Dikatakan sebagai Tindak
Pidana yang Dilakukan Oleh Korporasi Publik.
Rumusan Pasal 48 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) Tahun 2012 menunjukkan dianutnya teori identifikasi
atau direct corporate criminal liability atau doktrin pertanggungjawaban
pidana langsung, yaitu dapat dipertanggungjawabkannya korporasi atas
apa yang dilakukan oleh orang yang berhubungan sangat erat dengan
korporasi, sehingga dipandang sebagai korporasi itu sendiri. “Tindak
pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi,
yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan
korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau
bersama-sama.” Diharapkan dapat dilakukan sinkronisasi peraturan
perundang-undangan di luar KUHP dengan RKUHP ini, khususnya dalam
menerapkan direct corporate criminall liability.

IV.2. Siapa yang Dapat Dituntut dan Dijatuhi Pidana atas Tindak Pidana
yang Dilakukan oleh Badan Hukum Publik.
Mengenai unsur yang kedua, yaitu siapa yang dapat dituntut dan
dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum publik,
merujuk pada ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50 RKUHP Tahun 2012, diatur
bahwa:
“Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban
pidana dikenakan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya.”
“Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/ atau atas nama korporasi,
102
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana


ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi
korporasi yang bersangkutan.”
Pada rumusan tersebut diatur bahwa terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi, terdapat beberapa alternatif pembebanan
pertanggungjawaban pidana, yaitu:
1. korporasi saja;
2. pengurus korporasi saja;
3. korporasi dan pengurus korporasi.
Lebih lanjut, pertanggungjawaban pidana yang dikenakan bagi
pengurus korporasi terdapat pembatasan sebagaimana diatur pada Pasal
51 RKUHP 2012, yaitu:
“Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
korporasi.”
Alasan pemaaf atau alasan pembenar juga dapat berlaku bagi pelaku
korporasi. Merujuk pada pengaturan Pasal 53 RKUHP 2012, diatur
bahwa:
“Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh
pembuat yang bertindak untuk dan/ atau atas nama korporasi, dapat
diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung ber-hubungan
dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.”

IV.3. Jenis-Jenis Sanksi yang Sesuai dengan Subjek Tindak Pidana


Berupa Badan hukum publik yang Berorientasi pada Pemberian
Ganti Kerugian Kepada Korban.
Bentuk pidana pokok yang paling sesuai dengan bentuk dan sifat
badan hukum publik, serta lebih efektif dalam penerapannya adalah
pidana denda. Sedangkan bentuk pidana tambahan yang tepat untuk
diterapkan, merujuk Pasal 67 RKUHP 2012, adalah:
1. pencabutan hak tertentu;
2. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
3. pengumuman putusan hakim;
4. pembayaran ganti kerugian; dan
5. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Bentuk atau jenis pidana bagi badan hukum publik yang dapat
mengakomodir pemberian ganti rugi kepada korban adalah berupa
kompensasi dan restitusi. Pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi di

103
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Indonesia terdapat dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan


Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Disamping itu terdapat pula pengaturan mengenai pemberian ganti rugi
dan rehabilitasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Menurut Muladi, dalam mendudukkan hukum pidana sebagai
primum remidium khususnya terhadap pemidanaan terhadap korporasi,
makaperlu mempertimbangkan upaya effective deterrent, yaitu karena
kejahatan korporasi dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian
suatu bangsa dan dapat membahayakan kelangsungan hidup suatu bangsa.
Meskipun demikian, penggunaan hukum pidana sebagai primum remidium
harus dilakukan dengan hati-hati dan bersifat selektif.
Merujuk pada ketentuan Pasal 52 RKUHP tahun 2012, ditentukan
bahwa hal-hal yang harus pertimbangan sebelum menjatuhkan pidana
bagi korporasi adalah sebagai berikut:
1. Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus
dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
terhadap suatu korporasi.
2. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan
dalam putusan hakim.

V. Kesimpulan.
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana bagi korporasi
publik dalam formulasi hukum pidana di Indonesia saat ini secara umum
menganut doktrin vicarious liability, sehingga pertanggungjawaban pidana
dikenakan kepada pejabat senior atau pemimpin badan hukum publik
saja. Hal ini berimbas pada jenis sanksi pidana yang belum berorientasi
pada korban. Korporasi publik belum diposisikan sebagai pengampu
pertanggungjawaban pidana secara langsung atas tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi publik.
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana bagi korporasi publik
terhadap korban tindak pidana korporasi publik dalam kebijakan formulasi
hukum pidana di Indonesia yang akan datang diharapkan menempatkan
korporasi publik, sebagai pihak yang dapat dipertanggungjawabkan
secara langsung dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
publik, disamping pejabat senior atau pemimpin dari korporasi publik.

Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Menunjang Kebijaksanaan Pemerintah dalam
Bidang Perekonomian, dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hlm. 150.

104
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Disamping itu, jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi


publik diharapkan berorientasi pada kepentingan korban, yaitu berupa
pemulihan hak korban yang telah terlanggar.

VI. Saran.
Segera mengakomodir kebijakan formulasi hukum pidana mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi korporasi publik secara tegas, yang tidak
hanya menempatkan pertanggungjawaban pidana bagi pejabat senior atau
pemimpin korporasi publik, namun juga bagi korporasi publik itu sendiri
dalam RKUHP untuk merevisi KUHP yang berlaku saat ini. Lebih lanjut,
perlu dilakukan sinkronisasi pengaturan antara Undang-Undang Khusus
di luar KUHP yang didalamnya mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana bagi korporasi publik dengan RKUHP.
Perlu diadakan penelitian dan seminar lebih lanjut terkait dengan
perkembangan konsep mengenai pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi publik dengan pemidanaan yang berorientasi pada kepentingan
korban.

Daftar Pustaka.
Amrullah, Arief, 2006, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia
Publishing.
Arief, Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana;
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
___________________, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
________, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Jaya, Nyoman Serikat Putra, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang:
UNDIP.
_______________________, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mahmud, Peter, 2009, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan
Korban Kejahatan (Antara Norma dan Realita), Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Moeljatno, 1985, Membangun Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.
________, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
105
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.


Muladi, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Bandung: Alumni.
_____________, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni.
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Reksodiputro, B. Mardjono, 1989, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
dalam Tindak Pidana Korporasi, Semarang: FH UNDIP.
Schaffmeister, D. N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, 2004, Hukum Pidana,
Yogyakarta: Liberty.
Setiyono, 2009, Kejahatan Korporasi; Analisis Viktimologis dan Pertanggung-
jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Bayumedia
Publishing.
Sjahdeini, Sutan Remi, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:
PT. Grafiti Pers.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers.
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
______, 2009, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana

106
MENYOAL PEMBERATAN PIDANA
SEPERTIGA DAN DUA PERTIGA
PADA UU ITE DAN HARMONISASINYA
ATAS RUU KUHP

Oleh:
Dr. Go Lisanawati, S.H.,M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya – Jawa Timur)

I. Re-Fungsionalisasi Hukum Pidana.


Hukum Pidana selalu dipahami sebagai hukum yang paling
menakutkan dan selalu harus menghukum pelaku tindak pidana.
Hukum pidana yang diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana kemudian
ditempatkan di setiap perundang-undangan dengan secara tidak
seimbang dan terasa sangat berlebih, hanya untuk menimbulkan kesan
bahwa undang-undang tersebut mengancam secara sangat serius bagi
setiap pelaku yang melakukan tindak pidana sebagaimana dilarang dalam
perundang-undangan tersebut. Namun sayangnya di dalam implementasi
di pengadilan tidak selalu terjadi seperti yang diharapkan, bahkan lebih
rendah dari bayangan ideal pemidanaan yang dipikirkan oleh masyarakat.
Kenyataan lainnya sekalipun ancaman pidana begitu tinggi, tetapi tidak
membuat jumlah perbuatan pidananya berkurang, tetapi semakin meluas.
Hukum pidana yang berupa pemidanaan harus ditujukan kepada suatu
tujuan tertentu.
Secara filosofis, hukum pidana memiliki fungsi tertentu. Hukum
pidana harus selalu difungsikan untuk memberikan perlindungan dan
pengayoman kepada masyarakat. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah mengemukakan pendapat Jerome Hall, pemidanaan haruslah:
Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam
hidup; Kedua, ia memaksa dengan kekerasan; Ketiga, ia diberikan atas
nama negara, Ia “diotorisasikan”; Keempat, pemidanaan mensyaratkan
adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya yang
diekspresikan dalam putusan; Kelima, ia diberikan kepada pelanggar
yang telah melakukan kejahatan dan ini mensyaratkan adanya
sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan
dan pemidanaan itu signifikan dalam etika; Keenam, tingkat atau jenis
pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat

107
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar,


motif dan dorongannya. (Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,
2005:74-75). Pemidanaan itu selalu harus diatur dengan baik dan seimbang
dengan memperhatikan beberapa hal yang harus dipertimbangkan.
Pelbagai teori pemidanaan telah diperkenalkan sepanjang diskursus
tentang fungsi hukum pidana dibahas. Perkembangan mulai dari teori
absolut, teori relatif, sampai dengan teori gabungan sesungguhnya
menunjukkan berbagai upaya untuk mencari dasar pembenaran
dijatuhkannya pidana bagi pelaku tindak pidana. Teori pemidanaan
yang absolut mengedepankan retribusi (pembalasan). Teori absolut ini
tidak mempertimbangkan hal-hal lain seperti tujuan-tujuan ataupun
tahapan-tahapan di dalam pemidanaan, tetapi semata-mata menempatkan
pemidanaan sebagai suatu upaya pembalasan bagi pelaku tindak pidana
yang telah melakukan tindak pidana harus dijatuhi nestapa untuk
memulihkan ketertiban di dalam kehidupan bernegara. Pergeseran
selanjutnya adalah munculnya teori relatif atau teori tujuan. Mengenai teori
ini, Hermin Hadiati Koeswadji mengemukakan tujuan pemidanaan adalah:
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat; 2. Untuk memperbaiki
kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya
kejahatan; 3. Untuk memperbaiki si penjahat; 4. Untuk membinasakan si
penjahat; dan 5. Untuk mencegah kejahatan. (Hermini Hadiati Koeswadji,
1995:8). Perkembangan berikutnya pemidanaan adalah yang dimaksud
oleh teori gabungan. Menurut teori ini baik teori absolut dan teori tujuan
memiliki kelemahan. Untuk itu perlu digabungkan antara keduanya.
Selaras dengan hal tersebut, konsep RUU KUHP telah memasukkan
berbagai pertimbangan mengenai pemidanaan. Hal tersebut dapat
dilihat dari ketentuan Pasal Pasal 54 ayat (1) RUU KUHP mengatur
Pemidanaan bertujuan untuk a. Mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan d. Membebaskan rasa
bersalah pada terpidana. Melalui ketentuan tersebut dapat dipahami
bahwa hukum pidana saat ini tidak ingin memberikan sesuatu yang bersifat
retributif kepada pelaku tindak pidana, tetapi lebih mengedepankan
bagaimana harmoninasi di dalam kehidupan antara negara, masyarakat,
korban, dan pelaku dapat tercipta dengan baik.
Tim perumus Rancangan Undang Undang tentang Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) pada penjelasan umum dari RUU
KUHP draft 2012 menegaskan bahwasanya dalam perkembangannya,
makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional
tidak semata-mata diarahkan pada makna dekolonialisasi, tetapi meliputi

108
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pula rekodifikasi, demokratisasi hukum pidana yang harus mengandung


misi terkait dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak
pidana-tindak pidana penaburan kebencian atau permusuhan (Haatzaai-
artikelen), serta makna selanjutnya dari pembaharuan hukum pidana
tersebut adalah upaya konsolidasi hukum pidana yang menyaratkan arti
pada upaya untuk menata kembali pelbagai aturan hukum pidana yang
telah tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan pidana
dengan ke-khasannya. Penataan tentang asas-asas hukum pidana yang
perlu disesuaikan satu dengan yang lainnya. Di samping itu masih terdapat
misi lain yaitu adaptasi dan harmonisasi terhadap pelbagai perkembangan
hukum yang terjadi baik karena perkembangan ilmu pengetahuan, nilai-
nilai, standar-standar, serta norma yang telah diakui oleh berbagai bangsa
di dunia.
Terkait dengan makna adaptasi dan harmonisasi dari hukum pidana,
khususnya yang menyangkut mengenai pemidanaan, menjadi suatu
hal yang menarik untuk dibahas adalah mengenai pemberatan pidana.
Ketentuan Pasal 135 RUU KUHP menentukan bahwa “pemberatan
pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman
pidana”, di mana untuk itu perlu diperhatikan mengenai faktor-faktor
yang memperberat pidana, yang meliputi: a. Pelanggaran suatu kewajiban
jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang
dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; b.
Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara
Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; c. Penyalahgunaan
keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana; d. Tindak pidana
yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur
18 (delapan belas) tahun; e. Tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu,
bersama-sama dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan
berencana; f. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara
atau bencana alam; g. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara
dalam keadaan bahaya; h. Pengulangan tindak pidana; atau i. Faktor lain
yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian masalah pemberatan pidana sebagai bagian dari
penjatuhan pidana itu sendiri harus ditujukan bukan semata-mata untuk
pembalasan, tetapi harus diperhatikan pula tujuan penjatuhan pidananya
dan perbaikan di masa mendatang.

II. Pemberatan Pidana dalam Tindak Pidana di Bidang Informasi dan


Transaksi Elektronik Menurut UU ITE.
Jenis tindak pidana yang dewasa ini berkembang dengan pesat
yaitu tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik (ITE),

109
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

yang kemudian lebih dikenal sebagai cyber crime. Pemerintah telah


mengundangkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut sebagai UU
ITE). Sebagai salah satu upaya merespon perkembangan zaman, Indonesia
bersama dengan negara-negara lain di dunia harus menyediakan sebuah
fasilitas pendukung untuk memperlancar percepatan teknologi. Internet
menjadi salah satu fasilitas yang hari ini memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Internet terus bertumbuh dan semakin diminati oleh
masyarakat dari kalangan manapun juga, di desa maupun di kota besar.
Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari World Information Society atau
Masyarakat Informasi Dunia memiliki kewajiban untuk menciptakan
pembangunan teknologi informasi secara optimal, merata, dan menyebar
ke seluruh lapisan masyarakat (vide Dasar menimbang butir b UU ITE).
Sama halnya dengan masalah yang selalu dihadapi oleh masyarakat, setiap
perkembangan dan pembangunan ternyata tidak hanya memberikan
dampak positif, tetapi sekaligus berkembang pula jenis kejahatannya.
Melihat pada sifat meluasnya tindak pidana di bidang informasi
dan transaksi elektronik yang lintas batas, maka berdasarkan ketentuan
Pasal 2 UU ITE ditentukan jurisdiksi berlakunya UU ITE, yaitu: Undang-
Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia”. Ketentuan tersebut tentu saja hendak menjangkau pelaku
tindak pidana informasi dan transaksi elektronik di manapun berada,
sepanjang perbuatannya tersebut memiliki akibat hukum di wilayan
hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indoensia, dan
merugikan kepentingan Indonesia. Makna merugikan kepentingan
Indonesia berdasarkan penjelasan Pasal 2 UU ITE dimaksudkan tetapi
tidak terbatas pada merugikan perekonomian nasional, perlindungan data
strategis, harkat dan martabat bangsa pertahanan dan keamanan negara,
kedaulatan negara, warga negara serta badan hukum Indonesia. Dengan
demikian perlu dipahami perbuatan-perbuatan hukum yang dituju oleh
UU ITE adalah manakala perbuatan tersebut memiliki akibat di dan di luar
Indonesia, serta merugikan kepentingan Indonesia.
Perbuatan yang dilarang dalam UU ITE diatur mulai dari Pasal 27
sampai dengan Pasal 37. Menilik pasal-pasal yang ada di dalam ketentuan
tersebut sesungguhnya dapat dipahami ada 2 penggolongan delik, yaitu
delik yang muatan materinya telah diatur di dalam ketentuan umum,
yaitu di dalam KUHP, dan golongan delik yang memang baru dan belum
diatur di dalam KUHP.
Mengenai sanksi pidana, UU ITE mengatur sanksi atas perbuatan
yang dilarang tersebut pada pengaturan Pasal 45 – Pasal 51 dengan variasi
110
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

beratnya ancaman pidana penjara antara 6 tahun sampai dengan 12


tahun, dan pidana denda mulai Rp. 600 juta sampai dengan Rp. 12 Milyar.
Ancaman pidana yang sangat tinggi dan kurang dapat dicerna dengan
baik karena ancaman sanksi yang setinggi ini hanya dijadikan sanksi
untuk menakut-nakuti. Perihal lainnya adalah kemungkinan kesulitan
untuk mengkonkritkan perumusan pasal yang memenuhi asas lex certa,
lex stricta, dan lex scripta atas perbuatan di dunia maya. Beberapa kasus
menunjukkan bahwa unsur yang dimuat di dalam masing-masing pasal
menunjukkan ketidak jelasan, dan cenderung membahayakan karena
dapat mengkriminalisasikan suatu perbuatan yang sebenarnya tidak perlu
dimasukkan dan dikonstruksikan memenuhi perbuatan yang dilarang di
dalam UU ITE, misalnya kasus Prita Mulyasari.
Selain sanksi pidana yang sangat besar tersebut, UU ITE mengatur
pula mengenai pemberatan pidana, yaitu sebagaimana yang dimaksud di
dalam ketentuan Pasal 52 UU ITE, yaitu pemberatan sebesar 1/3 dan 2/3
dari maksimum ancaman pidananya. Pemberatan sebesar 1/3 dikenakan
atas dua hal, yaitu atas segala perbuatan yang ditentukan di dalam Pasal
27 ayat (1) yang menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual anak, dan
perbuatan dalam pasal 30 sampai dengan Pasal 37 yang ditujukan terhadap
Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk
layanan publik (vide Pasal 52 ayat (1) dan (2)). Pemberatan sebesar 2/3
diberikan atas Perbuatan-perbuatan yang dilarang pada pasal 30 sampai
dengan Pasal 37 yang ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem
Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas
pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga
Internasional, otoritas penerbangan, serta perbuatan yang dilakukan oleh
Korporasi (vide Pasal 52 ayat (3) dan (4)).
Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2, harus dipahami lebih dalam lagi
bagaimanakah keterhubungan antara upaya pengenaan pidana bagi pelaku
perbuatan pidana yang memberikan dampak bagi dan di luar kepentingan
Indonesia, dan merugikan kepentingan Indonesia dengan ketentuan Pasal
52 tersebut. Harus diyakini betul bahwa pembedaan pemberatan sebesar
1/3 atas perbuatan-perbuatan pidana yang diancam oleh Pasal 52 ayat (1)
dan (2) UU ITE adalah sama berbahayanya dengan ketentuan Pasal 52 ayat
(3) dan (4) untuk pengenaan pemberatan sebesar 2/3 dari ancaman pidana
maksimumnya.
Dengan demikian suatu konstruksi pemberatan yang timbul
seharusnya dinilai sama pentingnya dan rentannya untuk mengatur
pemberatan yang sama atas pelaku tindak pidana di bidang Informasi
dan Transaksi Elektronik karena sepanjang perbuatannya berdampak bagi
kepentingan Indonesia dan juga merugikan kepentingan Indonesia harus
dianggap sama berbahayanya atas kehidupan suatu bangsa.
111
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

III. Harmonisasi UU ITE dan RUU KUHP tentang Pemberatan Pidana.


Mengenai hal ini, RUU KUHP telah mencoba mengadopsi jenis tindak
pidana terkait informasi teknologi ke dalam bab VIII tentang Tindak Pidana
yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang, Kesehatan, Barang,
dan Lingkungan Hidup, yaitu pada bagian ke lima tentang Tindak Pidana
terhadap informatika dan telematika. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur
mulai Pasal 373 sampai dengan Pasal 379.
Kejahatan siber di dalam segala manifestasinya memberikan dampak
yang sangat besar terhadap kehidupan di masyarakat dalam segala aspek.
Manusia ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek dari perkembangan
kejahatan siber. Salah satu aspek penting yang berinteraksi secara langsung
dengan perkembangan kejahatan siber adalah aspek hukum. Hukum di
dalam fungsinya untuk mengayomi masyarakat harus dapat berfungsi
dengan baik, yang secara khusus pula adalah hukum pidana. Peletakan
tindak pidana ini ke dalam bab tentang membahayakan keamanan umum
bagi orang, kesehatan, barang dan lingkungan hidup memberikan batasan
lingkup keluasan sifat tindak pidana di bidang informasi dan transaksi
elektronik itu sendiri. Manifestasi tindak pidana tersebut tidak hanya
atas membahayakan keamanan umum orang, barang, tetapi manifestasi
di bidang lainnya, seperti manifestasi terkait sistem komputer, privasi,
identitas, maupun di bidang lainnya yang belum dapat dikonstruksikan
saat ini. Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan munculnya manifestasi
kejahatan terhadap harta kekayaan; menyangkut identitas; terhadap sistem
komputer; terhadap ketertiban umum (Sutan Remy Sjahdeini, 2009)
Bagian kelima dari Bab VIII RUU KUHP mengenal istilah Tindak
Pidana terhadap Informatika dan Telematika. Pasal 373 diulangi secara
makna di dalam ketentuan Pasal Pasal 376, Pasal 377, Pasal 378 dengan
spesifikasi objek yang berbeda. Pasal 373 dan Pasal 376 saling berulang,
sekalipun di dalam Pasal 376 dicoba untuk dirumuskan lebih detail.
Namun demikian dari tujuannya dapat dilihat hal yang sama yaitu
membuat suatu sistem informasi atau komputer menjadi tidak berfungsi
atau rusak. Pasal 377 menekankan pada informasi milik pemerintah
yang mana informasi tersebut harus dilindungi atau dirahasiakan. Atas
pelanggaran hal tersebut, ancaman sanksinya lebih tinggi, baik penjara
maupun denda. Pasal 378 mengancam lebih tinggi ancaman pidananya,
ditujukan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu sistem
dari Bank sentral, lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan. Pasal
lain yang tidak saling berhubungan adalah Pasal 374, Pasal 375, dan Pasal
379 yang mengkriminalisasikan pornografi anak melalui komputer.
Menilik pada stelsel sanksi, ditemukan bahwa pengaturannya
menggunakan stelsel alternatif, pidana penjara atau denda. Hal ini
berbeda dengan pengaturan yang ada di dalam UU ITE, menggunakan
stelsel alternatif – kumulatif (dan/atau). Melalui sistem sanksi ini maka

112
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

patut dipikirkan kembali mengenai stelselnya, karena macam perbuatan-


perbuatan yang dilakukan dengan media siber banyak mengeksploitasi dan
mendapatkan keuntungan finansial, sekaligus perbuatan-perbuatannya
juga merugikan.
Dikaitkan dengan pemberatan pidana yang ada di dalam UU ITE, maka
dapat ditunjukkan bahwa pemaknaan perbuatan yang lebih memberatkan
di dalam Pasal 52 ayat (3) UU ITE adalah dipersamakan dengan Pasal 376
dan Pasal 378 RUU KUHP, tetapi ancaman pidana di dalam Pasal 378 lebih
berat daripada Pasal 376. Terjadi ketidaksamaan persepsi. Selain itu patut
dipertimbangkan pula bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana
terhadap anak, dengan mengeksploitasi anak secara seksual, tidak saja
terjadi karena berkaitan dengan pornografi anak, tetapi mengeksploitasi
seksual anak. Ancaman kerugian yang dihadapi anak karena kejahatan
siber ini lebih membahayakan, dan sama bahayanya dengan ancaman yang
ditujukan kepada pemerintah. Masa depan anak harus dilindungi. Shinder,
sebagaimana dikutip oleh Petrus Golose, telah memasukkan pornografi
anak menjadi cybercrime with violence, yang berpotensi menimbulkan
kekerasan (Petrus Golose, 2008:28). Perkembangan terkini muncul berbagai
macam eksploitasi seksual secara online atas anak. Selain itu pengertian
pornografi anak belum diatur secara jelas baik di dalam Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun dalam Undang
Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dari sudut perspektif falsafah pemidanaan, maka sesungguhnya
dipahami bahwa pemidanaan harus dapat difungsikan untuk memberikan
pemidanaan kepada pelaku kejahatan sekaligus memberikan kepada korban
dan masyarakat perlindungan, serta upaya-upaya pemulihan hubungan
di antara pelaku – korban – masyarakat. Penjelasan Pasal 54 RUU KUHP
menentukan: “Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini
berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan
pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini
dikemukakan tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan
masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum
adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang
bersangkutan. Meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa,
namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
merendahkan martabat manusia”. Berdasarkan penjelasan ini nampak
bahwa pemidanaan dan hukum pidana harus difungsikan sebagai sarana
perlindungan masyarakat, korban, termasuk pada pelaku itu sendiri.
Melihat pada macamnya perbuatan yang dilarang di dalam
RUU KUHP dengan yang diatur pada UU ITE menunjukkan terdapat
perbedaan-perbedaan, di samping adanya perbedaan tentang pengaturan
pemberatannya. Mengenai hal ini, menarik yang dinyatakan oleh Mario

113
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

J. Rizzo, yang mencoba menghubungkan mengenai cost of crime, terkait


dengan moral, sebagai berikut:
Moral blamworthiness, unlike the notion of moral costs, does not constitute a
residual hypothesis. Both the idea and extent of blameworthiness is independently
ascertainable in the written and otherwise expressed moral views of society. As
these views are not always consistent and not all equally sophisticated, there
will be elements of indeterminateness in the detailed features of the criminal
law. Nevertheless, the broad of framework and central doctrines should exhibit
a reasonable coherence. Finally it needn’t trouble us, as it must Adelstein, that
blamworthiness is not easily quantifiable. This is because he views the criminal
law as seeking optimality while we view it as seeking justice. (Charles M.
Gray, 1979:276)
Permasalahan yang kemudian muncul terkait dengan pemberatan
yang ada pada RUU KUHP dan UU ITE adalah melihat pada macamnya
tindak pidana yang diatur pada RUU KUHP, maka pemberatan yang
ada di dalam UU ITE tidak dapat diberlakukan sepenuhnya, sedangkan
dilihat dari sudut UU ITE, maka pengaturan mengenai pemberatan pidana
sebesar 1/3 dan 2/3 menimbulkan permasalahan pula mengingat bahwa
ukuran dan batasan yang dipakai dalam menetapkan pemberatan tersebut
sebenarnya ditujukan untuk mencari keadilan ataukan mendayagunakan
hukum pidana melalui sanksi pidananya semaksimal mungkin.
Lebih jauh R.A Eipstein menyatakan: “The criminal law on the other
hand, measures accused’s behavior against an ideal standard. The law is here not
allocating a loss but rather given an act. It is deciding whether punishment is
deserved or not. In fact. The actual harm to victim is almost irrelevant to the nature
of a crime”. (Charles M. Gray, 1979: 274). Tindak pidana di bidang informasi
dan transaksi elektronik disadari betul memberikan dampak yang begitu
luar biasa atas suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan menggunakan
kecanggihan perangkat-perangkat elektronik yang terhubung dengan
internet. Namun demikian perlu diteliti lebih lanjut bagaimana perbuatan
tersebut dapat memilih dan menciptakan korban, sehingga apabila
disesuaikan dengan hakikat dari kejahatan itu sendiri, maka tindak pidana
tersebut memang patut diberikan pemberatan pemidanaan.
Pembedaan pemberatan yang dilakukan oleh UU ITE tidak
memberikan penjelasan lebih rinci alasan dan pertimbangan atas
pembedaan pemberatan tersebut, mengingat bahwa permasalahan
eksploitasi anak ataupun kesusilaan terhadap anak, menjadi materi
yang sama berharga dan pentingnya dengan apabila tindak pidana ITE
ditujukan pada Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
Pemerintah yang menduduki peran strategis, seperti lembaga pertahanan,
bank sentral, perbankan, dll. Kedudukan dan peranan dari lembaga-
lembaga pemerintahan sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal 52 ayat
(2) dan ayat (3) UU ITE juga tidak memiliki signifikansi untuk dibedakan,

114
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

mengingat bahwa setiap lembaga memiliki kepentingan yang sama atas


informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut. Terkait
pula dengan pemberatan 2/3 yang dterapkan kepada korporasi, menjadi
sebuah kajian yang harus teliti juga mengingat sulitnya mengenakan
pertanggungjawaban kepada korporasi khususnya dalam hal tindak pidana
informasi dan transaksi elektronik ini, ditambah lagi dengan bentuk tindak
pidana korporasi yang sangat abstrak untuk dapat melakukan berbagai
perbuatan pidana sebagaimana diatur di dalam UU ITE dan RUU KUHP.
Secara umum pemberatan pidana yang ada di dalam RUU KUHP
adalah seberat 1/3, sedangkan pengaturan di dalam UU ITE dikenal 2
macam, yaitu 1/3 dan 2/3. Namun demikian harus selalu diperhatikan
karena kepentingan yang dibedakan di dalam UU ITE masih harus
dipertimbangkan kembali dengan tujuan supaya pidana dapat difungsikan
kembali secara baik dan tepat sasaran.

IV. Simpulan.
Permasalahan pemberatan pidana antara RUU KUHP dengan UU ITE
terkait dengan pengaturan tindak pidana di bidang informasi dan transaksi
elektronik harus memperhatikan kembali pada fungsi pemidanaan
mengingat masalah tindak pidana di bidang siber ini telah berkembang
menjadi perbuatan pidana yang berbahaya. Pemidanaan harus tepat
sasaran, dan mengingat manifestasinya yang sangat luas. Pemberatan
pidana harus ditujukan secara tepat, bukan sebagai suatu pembalasan
belaka, tetapi harus pula ditujukan pada seberapa besar kepentingan yang
dirugikan. Harmonisasi pengaturan delik yang ada di dalam RUU KUHP
dengan UU ITE harus dilakukan. Sekalipun perumusan di UU ITE tidak
sempurna, tetapi pengaturan dalam RUU KUHP harus disusun kembali
secara baik dan tidak tumpang tindih, macamnya perbuatan yang dilarang
lainnya, berikut pula stelsel pidana dan pemberatan pidananya.

Daftar Referensi.
Gray, Charles M.. 1979. The Cost of Crime. London: Sage Publication.
Hermin Hadiati Koeswadji. 1995. Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam
Rangka Pembangunan Huikum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Petrus Golosse. 2008. Seputar Kejahatan Hacking: Teori dan Studi Kasus.
Jakarta: YPKIK.
Sutan Remy Sjahdeini. 2009. Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer. Jakarta:
Grafiti.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana:
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

115
SINKRONISASI PENGATURAN
TINDAK PINDANA PERPAJAKAN
ANTARA RUU KUHP DAN RUU KUHAP
DENGAN LEX SPECIALIS
DI BIDANG PERPAJAKAN

Oleh:
Irine Handika, S.H., LL.M.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – D.I. Yogyakarta)

I. Urgensi Sinkronisasi.
Selama 68 tahun eksistensi Indonesia fakta menunjukkan bahwa
ketergantungan terhadap bantuan asing akan menjauhkan negara dari
kemandirian. Rowena M. Lawson, Joan Robinson, dan Hans Singer
berpendapat bahwa tidak ada negara yang secara sukarela membantu
negara lain, karena motif dibalik hubungan utang luar negeri semata-mata
demi penyedotan surplus ekonomi melalui berbagai persyaratan negara
kreditor untuk mengintervensi kebijakan negara debitor. Indonesia
bahkan pernah masuk dalam kelompok Negara Miskin Pengutang Berat
(Highly Indebted Poor Countries, HIPS). Terlihat bahwa pinjaman luar negeri
terbukti tidak berperan substansial terhadap pembangunan ekonomi
nasional.
Realita yang melahirkan kesadaran pentingnya kemandirian melalui
pemberdayaan optimal seluruh elemen dan sumber daya ekonomi bangsa
yang potensial. Salah satunya adalah pajak karena terbukti mampu
menjadi sumber daya ekonomi yang handal, terlihat dari dominasi pajak
di APBN yang setiap tahun semakin meningkat. Dalam struktur APBN
TA 2012 kontribusi pajak terhadap penerimaan negara hampir 79% dan
TA 2009 sebesar 74,9. Naik dari lima tahun sebelumnya, dimana pada
TA 2004 kontribusi pajak hanya sebesar 69,6%. Kontribusi tersebut

Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan RI, 2006, Dengan Pajak Kita Wujudkan
Kemandirian Bangsa, Jakarta, hlm. 1.

Ada beberapa kejahatan yang terdapat dalam utang luar negeri Indonesia, antara lain: (1)
Jumlahnya sangat fantastic sehingga Indonesia termasuk ke dalam kelompok Highly Indebted Poor
Countries; (2) Sejak tahun 1985 Rasio Pembayaran Utang (debt service ratio) Indonesia mencapai
54%, bahkan sudah di atas 30%, yang artinya melampaui ambang batas “wajar dan sehat” yang
disyaratkan oleh Bank Dunia dan IMF.

Jose Mayer Sinaga, Berdiri di Puncak Kursi Kemandirian, diakses di www.pajak.go.id pada
tanggal26 Oktober 2013.

Lampiran Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK/PMK.01/2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian Keuangan Tahun 2010-2014.

Ibid.

116
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

menunjukkan pajak berperan vital dalam kehidupan negara, sehingga


pemerintah berkepentingan untuk mengoptimalisasi penerimaan
pajak demi meningkatkan pendapatan. Kaitan dengan itu, pemerintah
membutuhkan dukungan dari wajib pajak (selanjutnya disebut WP)
berupa realisasi kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
Kepatuhan menjadi elemen utama penentu keberhasilan pemungutan
pajak di Indonesia, mengingat sistem yang dianut adalah self assessment.
Pada sistem ini WP diberi kepercayaan untuk melaksanakan sendiri
segala kewajibannya, mulai dari mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP, menghitung, menyetorkan pajak, sampai melaporkannya. Dapat
diartikan sistem ini menganut asumsi bahwa pajak yang dihitung dan
disetorkan oleh WP adalah benar, kecuali terbukti sebaliknya melalui
pemeriksaan pajak. Masalahnya, petugas pajak (selanjutnya disebut
fiskus) tidak melakukan pemeriksaan terhadap seluruh WP di Indonesia
karena pemeriksaan hanya dilakukan dalam rangka uji kepatuhan atau
untuk melaksanakan perintah undang-undang. Fiskus pun memiliki
keterbatasan dengan jumlahnya yang hanya 30.000, sedangkan jumlah WP
saat ini ada 40 juta, atau dengan rasio 1:1.400. Dengan kondisi itu, maka
dukungan berupa kepatuhan WP menjadi faktor penentu bagi berjalannya
pemungutan pajak di Indonesia.
Kebutuhan tersebut berbanding terbalik dengan realisasi kepatuhan
yang belum optimal. Masih banyak WP yang melakukan tindakan
untuk melepaskan diri dari kewajibannya dengan cara mengurangi
dasar pajaknya (tax evasion). Modus yang umumialah menyembunyikan
keadaan sebenarnya, misalnya memberikan data berupa keterangan atau
dokumen palsu, atau dengan faktur fiktif. Tindakan itu secara konseptual
dikualifikasikan sebagai tindak pidana perpajakan. Terdapat beberapa
kasus besar yang menarik perhatian publik seperti kasus PT Bumi Resources
(BUMI), PT Asian Agri, dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. Direktorat
Jenderal Pajak mengemukakan bahwa sepanjang tahun 2009-2012 terdapat
92 perkara, yang dilakukan oleh 68 WP Badan, 14 WP Bendaharawan, dan
10 WP Orang Pribadi. Total kerugian negara mencapai +Rp. 2,38 triliun.
Singkatnya, tindak pidana perpajakan kontraproduktif dengan upaya
pemerintah untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak.
Dalam kondisi demikian, dibutuhkan penegakan hukum melalui
pemidanaan karena akan menimbulkan efek jera bagi WP yang tidak
patuh. Kaitan dengan itu, seyogyanya terdapat pemidanaan yang taat asas

http://www.indonesiafinancetoday.com, diakses pada 26 Oktober 2013.

Santoso Brotodihardjo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT. Refika Aditama, Bandung,
hlm. 17.

Richard Burton, Lumpuhnya Hukum Pajak, diakses dari http://www.sinarharapan.co.id pada
tanggal 24 Oktober 2013.

Anonim, “Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Pajak”, diaksesdari www.pajak.go.id pada
tanggal 24 Oktober 2013.

117
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dan proporsional. Proporsionalitas penting untuk diperhatikan karena


penegakan hukum terhadap tindak pidana perpajakan berkaitan erat
dengan keuangan negara. Oleh karenanya, dimensi kepentingan yang
ingin dicapai lewat mekanisme pemidanaan sangat luas karena disamping
untuk menimbulkan efek jera, juga bertujuan untuk mengamankan
pendapatan negara dari sektor pajak.
Adapun agar kepentingan itu dapat tercapai, maka pilihan undang-
undang yang digunakan sebagai acuan oleh aparat penegak hukum
akan sangat menentukan. Penegakan terhadap tindak pidana perpajakan
sejatinya mengakomodir ketentuan-ketentuan khusus di dalam undang-
undang perpajakan, terutama UU KUP.10
Refleksi terhadap beberapa perkara menunjukkan aparat belum
memiliki kesepahaman atas kedudukan tindak pidana perpajakan diantara
tindak pidana lainnya, termasuk menentukan pilihan hukumnya. Sebagai
contoh, dalam perkara terdakwa Praveen Singh yang mengajukan restitusi
pajak menggunakan dokumen eksport fiktif dituntut melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU
Tipikor dan dipidana penjara selama 6 tahun berdasarkan Putusan Kasasi
No.1153 K/Pid/2007. Di lain sisi, dalam Putusan No. 2846 K/PID/2006
Pieter Jaury dituntut melakukan tindak pidana Perpajakan Pasal 39 ayat
(1) huruf i UU KUP, yaitu dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang
telah dipotong atau dipungut. Padahal, terdapat ketentuan UU KUP yang
relevan dengan perkara Praveen Singh dalam Pasal 39 ayat (1)huruf f UU
KUP, yaitu memperlihatkan dokumen yang palsu atau dipalsukan.
Penegakan hukum di atas menunjukkan ketidakkonsistenan aparat
penegak dalam menerapkan ketentuan undang-undang. Lebih lanjut, hal
tersebut bertentangan dengan hak terpidana, yang juga dilindungi oleh
hukum, bilamana sanksi pidana yang terdapat dalam salah satu undang-
undang lebih berat daripada undang-undang lainnya. Hal yang juga
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan mengganggu jalannya
penegakan hukum melalui celah-celah yang timbul akibat ketidaktuntasan
pengaturan.
Perbandingan dua putusan di atas sekaligus memperlihatkan adanya
persinggungan dan tumpang-tindih norma dalam penegakan tindak
pidana perpajakan, yang potensial menyebabkan kekeliruan pemidanaan.
Dikembalikan pada hakikat bahwa tindak pidana terjadi di bidang
perpajakan maka seyogyanya pemidaanaan mendasarkan pada ketentuan
dalam undang-undang perpajakan sebagai lex specialis, sepanjang undang-
undang tersebut telah mengaturnya.
Konsistensi terhadap pola pikir demikian penting, mengingat tindak
pidana perpajakan memiliki unsur-unsur yang berbeda dengan tindak
10
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

118
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pidana umum atau pidana khusus lainnya, termasuk tipikor. Kepentingan


pemidaanan juga berbeda karena perlu mengakomodir diantaranya:
karakteristik pajak; karakteristik sistem pemungutan pajak dan aspek-
aspek terkait didalamnya; serta kepentingan mempertahankan kontinuitas
pendapatan negara.

II. Model Sinkronisasi yang Diusulkan.


Pembentuk RUU KUHP dan RUU KUHAP hendaknya menerapkan
model pemisahan antara lex generalis dan lex specialis. Kedua RUU
tersebut konsisten mengatur materi-materi yang sifatnya merupakan
hukum pidana umum, sehingga kedudukannya tetap sebagai lex generalis.
Adapun pengaturan terhadap tindak pidana khusus, seperti tindak pidana
perpajakan, hendaknya diserahkan pada undang-undang khusus yang
terkait materi itu, misalnya dalam pajak diatur dalam UU KUP. Pencampuran
pengaturan mengenai tindak pidana yang berkarakter khusus, seperti
tindak pidana perpajakan, justru akan mereduksi kekhususan dari tindak
pidana tersebut. Lebih lanjut, akan berimplikasi pada tidak tercapainya
tujuan penegakan hukum dari tindak pidana khusus tersebut.
Nuansa pemisahan pengaturan tindak pidana perpajakan sebenarnya
sudah terlihat di substansi RUU yang tidak mengaturnya. Nuansa
pemisahan juga dapat dilihat dari konstruksi Pasal 760 huruf a RUU
KUHP yang berbunyi: “pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku
maka pengaturan ketentuan pidana, sepanjang menyangkut tindak
pidana yang bersifat umum, harus dilakukan sebagai bagian dari materi
Undang-Undang ini”. A contrario diartikan terhadap tindak pidana khusus
pengaturannya dilepaskan dari KUHP”. Lebih lanjut huruf b menyatakan:
:”ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a secara langsung
merupakan sistem kodifikasi dan unifikasi hukum pidana nasional”. A
contrario diartikan pengaturan terhadap tindak pidana perpajakan berada
di luar sistem kodifikasi dan unifikasi dimaksud.
Namun demikian, nuansa pemisahan tersebut justru direduksi oleh
konstruksi pengaturan dalam Pasal 761 RUU KUHAP. Subtansi huruf a
berbunyi :”semua ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang di
luar Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku sepanjang materinya
tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Lebih lanjut huruf b mengatur:
“jika terjadi perbedaan ketentuan hukum antara Undang-Undang ini dan
undang-undang lain maka diberlakukan undang-undang atau Undang-
Undang ini yang menguntungkan bagi pembuat.....”.
Ada beberapa inkonsistensi legislasi disini, pertama, Pasal 760
yang diasosiasikan dengan Pasal 761 huruf a di satu sisi bermakna
pengakuan atas pengaturan pidana di dalam undang-undang lain. Pasal
ini seharusnya menjadi exit clause untuk mengimbangi konstruksi dalam
119
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Pasal 760 yang memberikan fleksibilitas terhadap pengaturan tindak


pidana khusus. Namun rumusan “tetap berlaku sepanjang tidak diatur di
Undang-Undang ini” menjadi kontradikif dengan fleksibilitas dimaksud.
Dengan substansi demikian justru kedudukan pasal ini menjadi pembatas
bagi keberlakuan lex specialis lainnya. Kedua, apabila ingin tetap konsisten
dengan pengakuan akan eksistensi lex specialis maka rumusannya dapat
berbunyi “sepanjang di dalam undang-undang di luar Undang-Undang
ini tidak mengatur ketentuan pidana maka berlaku materi yang diatur
dalam Undang-Undang ini”. Dengan demikian, konstruksi kedua pasal
di atas tidak menjadi mandul, karena inti rumusan ialah sebatas sebagai
pencegah kekosongan hukum, bukan menegasikan atau mensubordinatkan
kedudukan lex specialis.
Ketiga, rumusan Pasal 761 huruf b bertabrakan dengan asas lex
spesialis derogat legi generalis. Pasal ini lengkapnya berbunyi: “jika terjadi
perbedaan ketentuan hukum antara Undang-Undang ini dan undang-
undang lain maka diberlakukan undang-undang atau Undang-Undang
ini yang menguntungkan bagi pembuat”. Asas lex spesialis derogat legi
generalis kedudukannya adalah sebagai asas umum dalam ilmu hukum.
Sesuai dengan itu, maka ahli hukum, seperti van Eikema Homees, sepakat
untuk memposisikan asas hukum sebagai orientasi atau petunjuk arah di
dalam pembentukan hukum positif. Atas dasar itu, maka legislasi yang
bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku adalah tidak dapat
dibenarkan. Dalam rangka mempertahankan konsistensi maka rumusan
pasal dapat diubah menjadi pengakuan terhadap undang-undang lain
yang sifatnya khusus atau lex spesialis.
Penegasian lex spesialis juga terlihat pada pengaturan kedudukan
KUHAP diantara undang-undang lain. Khususnya pada Pasal 763
yang berbunyi: “pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, undang-
undang di luar Undang-Undang ini yang mengatur hukum acara yang
menyimpangi Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan
hukum acaranya tetap berlaku sepanjang belum diubah atau diganti
berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana yang baru”.
Artinya, apabila hukum acara (formil) yang diatur dalam suatu undang-
undang yang khusus diubah atau diganti berdasarkan Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana yang baru, maka ketentuan lama dalam lex
spesialis tersebut menjadi tidak berlaku. Padahal, secara konseptual untuk
dapat disebut sebagai lex spesialis (bahkan sampai lex spesialis sistematis)
biasanya terdapat hukum formil yang diatur secara tersendiri, misal pidana
perpajakan diatur dalam hukum formil yang disebut UU KUP. Agar
tidak mereduksi makna pemidanaan yang masing-masing lex spesialis
memiliki karakteristik dan tujuan masing-masing, maka hendaknya Pasal
763 disesuaikan agar tetap mengakui keberadaan formil yang bersifat
spesialis.

120
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

III. Ratio Legis sebagai Hukum yang Sifatnya Khusus.


Ada beberapa landasan konseptual yang mendasari kedudukan
tindak pidana perpajakan sebagai hukum yang bersifat khusus, sehingga
sifatnya tidak comparable dengan tindak pidana umum. Dengan demikian,
peletakkan dan penyamarataan di dalam hukum yang bersifat umum
justru tidak akan compatible.

III.1. Kekhususan Dilihat dari Batasan Operasionalnya.


Harydjatmiko mengartikan tindak pidana perpajakan sebagai “suatu
perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang
menimbulkan kerugian keuangan negara, dimana pelakunya diancam
dengan hukuman pidana”.11 Rochmat Soemitro menyebut tindak pidana
di bidang perpajakan dengan istilah pidana fiskal. Menurutnya tindak
pidana fiskal yaitu:12 (a) Perbuatan yang dilakukan oleh orang atau badan
melalui orang; (b) Yang memenuhi perumusan undang-undang; (c) Yang
oleh undang-undang diancam dengan pidana (straf); (d) Yang melawan/
bertentangan dengan hukum; (e) Yang merugikan masyarakat/orang; dan
(f) Yang dilakukan di bidang perpajakan.
Berdasarkan pengertian di atas, ada beberapa hal yang dapat
digaris bawahi. Pertama, tindak pidana pajak merupakan bentuk
perlawanan aktif oleh WP yang dikualifikasikan sebagai tax evasion,
yang diartikan menggelakkan diri dari pembayaran pajak secara melawan
undang-undang.13 Modusnya bisa mengurangi dasar pengenaan pajak,
menyembunyikan keadaan yang sebenarnya atau memberikan dokumen
yang tidak benar.14
Kedua, agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana pajak maka harus ada perumusan delik yang jelas dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Oleh karenanya, penegakan
hukum terhadap tindak pidana perpajakan berada dalam lingkup tersendiri
dalam hukum pidana pajak. Hal ini sesuai dengan ajaran sifat melawan
hukum formil dalam hukum pidana, dimana suatu perbuatan dikatakan
bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan
dirumuskan sebagai suatu delik (tindak pidana) dalam Undang-Undang.
Ketiga, sanksi pidana yang diterapkan dan prosedur penegakkan
ketentuan-ketentuan pidana di bidang perpajakan tunduk pada ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Keempat,
11
Makalah Harydjatmiko, Kanwil DJP Bogor, Kementerian Keuangan.
12
Rochmat Soemitro, 1990, Aspek-aspek Pidana dalam Hukum Pajak dalam Aspek-aspek
Pidana di Bidang Ekonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 186.
13
Lawannya adalah perlawanan pasif berupa hambatan-hambatan yang mempersulit
pemungutan pajak sehubungan dengan struktur ekonomi suatu negara, tingkat intelektual, moral
masyarakat, dan jalannya sistem pemungutan.
14
Santoso Brotodihardjo, op.cit, hlm. 17-18.

121
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

perbuatan tersebut merugikan kepentingan komunal. Artinya, korbannya


tidak perseorangan, namun komunitas yang bersifat komunal. Kelima,
tindak pidana perpajakan dilakukan oleh pihak yang tertentu, yaitu orang
atau badan yang memiliki hubungan aktif dengan pelaksanaan kewajiban
perpajakan yang telah diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan.
Singkatnya, addresat tindak pidana perpajakan adalah khusus. Keempat
hal tersebut yang akan membentuk karakteristik tindak pidana perpajakan
sehingga berbeda dengan tindak pidana lainya.

III.2. Kekhususan Berdasarkan Addresat.


III.2.1. Wajib Pajak.
Wajib Pajak (WP) secara normatif diartikan sebagai “orang pribadi
atau badan, yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
pemungut atau pemotong pajak tertentu”.15 Jadi dalam hal ini WP dapat
berupa orang pribadi maupun badan. Setiap manusia, yang oleh hukum
diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban merupakan orang.16
Adapun badan diartikan sebagai sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan
bentuk badan lainnya.17
Pengertaian di atas memperluas cakupan WP, termasuk melingkupi
Pemungut dan Pemotong. UU KUP tidak memberikan batasan pengertian,
namun dari literatur dapat diketahui bahwa pemungut atau pemotong
ialah pihak diluar wajib pajak dan fiskus, yang oleh undang-undang diberi
kewenangan dan kewajiban untuk memotong atau memungut pajak yang
terutang dari WP, yang kemudian wajib segera menyetorkannya ke kas
negara.18 Contohnya dapat dilihat pada pengenaan dan pemungutan PPh
(Pajak Penghasilan) Pasal 21 terhadap karyawan yang dipungut oleh
pemberi kerja.

15
Lihat Pasal 1 angka 1 UU KUP.
16
Sudikno Mertokusumo menyatakan: “setiap manusia di Indonesia, tanpa kecuali, selama
hidupnya adalah orang, adalah subjek hukum.” Lebih lanjut dikatakan: “subjek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.” Lihat Sudikno Mertokusumo, hlm,
73.
17
Lihat Pasal 1 angka 2 UU KUP.
18
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer: Konsep Dasar Perpajakan
Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 178.

122
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

III.2.2. Fiskus.
Fiskus atau fiscus berasal dari kata fiscale, yang berarti keranjang uang
atau kantong uang,19 sehingga secara leksikal dimaknai sebagai aparat
pemerintah yang berwenang memungut pajak berdasarkan undang-
undang perpajakan. Oleh karena pajak terbagi menjadi pajak pusat20 dan
pajak daerah21 maka yang wenang memungut pajak meliputi pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, maka yang menjadi fiskus bisa merupakan
pegawai pemerintah pusat maupun pegawai pemerintah daerah. Fiskus
pada pajak pusat terbagi ke dalam beberapa jabatan, mulai dari Menteri
Keuangan, Direktur Jenderal Pajak, dan pejabat yang menerima pelimpahan
wewenang dari Direktur Jenderal Pajak. Tugas dan wewenang Direktur
Jenderal Pajak dilimpahkan kepada pejabat pajak di instansi vertikal
DJP, baik di pusat maupun daerah. Pejabat dimaksud adalah Sekretaris
Direktorat Jenderal Pajak, Direktur pada Direktorat Jenderal Pajak, Kepala
Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak, hingga Kepala Kantor
Pelayanan Pajak (KPP). Ada pula pejabat yang berwenang melakukan
penagihan pajak, juru sita, pemeriksa pajak hingga penyidik pajak.22
Lebih lanjut, yang menjadi fiskus untuk jenis pajak daerah pada
dasarnya adalah Kepala Daerah. Dalam pelaksanaan sehari-hari wewenang
itu dilimpahkan kepada pejabat daerah pada instansi pemerintah daerah
yang ditunjuk untuk mengelola pajak daerah. Pejabat itu meliputi pimpinan
dan pegawai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang memiliki tugas
pokok dan fungsi mengelola pajak daerah. SKPD tersebut antara lain Dinas
Pendapatan Daerah, BPKKD, DPPKAD, atau KPPD.23 Jelaslah bahwa yang
dimaksud fiskus tidak melingkupi seluruh pejabat publik (negara).

III.2.3. Pihak Ketiga.


Ada pihak lain di luar WP dan fiskus yang oleh UU KUP disebut
dengan istilah pihak ketiga (dan pihak lainnya). Meskipun sepintas istilah
ini terkesan luas cakupannya, namun sebenarnya hanya pihak-pihak
tertentu saja yang dapat dikualifikasikan sebagai pihak ketiga, yaitu yang
memiliki hubungan langsung dengan wajib pajak atau fiskus yang timbul
akibat pelaksanaan kewajiban perpajakan.

19
Chidir Ali, 1993, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, hlm. 31.
20
Pajak Pusat adalah kontribusi wajib kepada pusat yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan udang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
21
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan udang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
22
Marihot Pahala, Op.Cit, hlm. 193.
23
Ibid, hlm. 200.

123
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Pihak ketiga meliputi: wakil WP; kuasa WP; dan pegawai dari WP.
Wakil WP meliputi pengurus mewakili badan, kurator mewakili badan
yang dinyatakan pailit, orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan mewakili badan dalam pembubaran, likuidator mewakili
badan dalam likuidasi, pelaksana wasiat atau oleh salah seorang ahli
warisnya yang mengurus harta peninggalannya mewakili suatu warisan
yang belum terbagi, atau orang tua yang mewakili anak yang belum
dewasa, serta wali atau pengampu mewakilii orang yang berada dalam
pengampuan.

III.3. Kekhususannya sebagai Economic Crimes.


Tindak pidana pajak dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi
(economic crimes), yang secara umum dirumuskan sebagai tindak pidana
yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken
for economic motives).24 Barda Nawawi mengartikan tindak pidana ekonomi
sebagai “yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai
pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara
yang sehat”.25
Terkait itu Tjipto Soeroso mengusulkan penggunaan tiga jenis sanksi
dalam penegakan hukumnya, yaitu sanksi perdata, administratif, dan
pidana. Yang lebih penting untuk ditentukan oleh pembentuk undang-
undang adalah pilihan apakah sanksi pidana akan digunakan sebagai
ultimum remidium atau premidium remidium, dan kaedah mana dalam sistem
perekonomian Indonesia yang ingin dilindungi.
Kaitan dengan perpajakan, pemidanaan merupakan upaya
pendukung guna untuk menegakan Hukum Pajak materiil, sehingga
hendaknya penegakan agar lebih selektif dan limitatif. Berkaitan dengan
hal tersebut, Ted Honderich berpendapat bahwa pidana dapat disebut
sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents), yang akan
terjadi jika dipenuhinya beberapa syarat berikut:26 (a) pidana itu sungguh-
sungguh mencegah; (b) pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan
yang lebih berbahaya atau merugikan dari pada yang akan terjadi apabila
pidana itu tidak dikenakan; dan (c) tidak ada pidana lain yang dapat
mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil.
Perihal tujuan penerapan sanksi dan pengutamaan pemberian sanksi,
baik administrasi maupun pidana, Gordon berpendapat:27
24
Dalam Supriyanta, Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan
Vol. 7, No. 1, April 2007, hlm. 42-52.
25
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
hlm. 153.
26
Barda Nawawi Arif, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 39.
27
Richard K. Gordon dalam Adrianto Dwi Nugroho, 2010, Hukum Pidana Pajak Indonesia, Citra
Aditya, Yogyakarta, hlm. 12.

124
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

“Sanctions can also have more than one purpose. First, the most important
component of sanctions is their ability to deter unwanted behavior, so as to bring
about greater compliance. (...) Second, sanctions must be fair under the general
jurisprudential criteria in effect in a particular jurisdiction, (which) means that
sanctions should apply only when the sanctioned person is somehow at fault
and should not be unduly harsh or disproportional, or imposed in a violation
of principles of due process. (...) this leaves a general principle that faultless
or reasonable behavior by taxpayers, even if it results in an underpayment
of tax, should not be punished by sanctions. Only negligent or unreasonable
behavior resulting in an underpayment should result in sanctions. In addition
to their deterrence component, sanctions may also have an important financial
component. Financial sanctions may raise revenue, while prison sentences may
increase expenditures. Financial sanctions may even be designed in such a way
that they cover the tax administration’s expenses in pursuing a case, from
investigation through final collection. Fines may also be designed to reduce
administrative costs by encouraging early settlement of disputes between
administration and taxpayer. (...) Both financial and penal sanctions may also
be designed to punish, not for the purpose of directly affecting the behavior of
the person punished, but for the purpose of retribution or to indicate that society
seriously disapproves of particular behavior. (...) the severity of sanctions may
play a role in affecting people’s attitudes toward the particular crime. For these
two reasons, certain taxpayer activities that are viewed as particularly heinous,
such as intentional evasion through fraud, are usually punished more harshly
than a less serious avoidance or error. (...) Although rarely discussed, another
goal of sanctions policy should be not to cause (or worsen) other problems”.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian
sanksi hendaknya memperhatikan bentuk pelanggaran yang dilakukan
yang dikaitkan dengan kemampuan masyarakat secara umum dan
fiskus dalam menjalankan sistem self assessment. Hal itu diafirmatif oleh
Australian Tax Office yang menyatakan tingkat kepatuhan WP adalah
refleksi dari kebijakan perpajakan yang diterapkan oleh negara.28 Terkait
dengan itu, keputusan melakukan tax evasion bergantung pula pada
persepsi WP terhadap perilaku orang lain, termasuk fiskus.29 James et al.
Mengemukakan bahwa “work in sociology has identified a number of relevant
variables such as social support, social influence, attitudes and certain background
such as race and culture”.30 Pendapatan yang mengisyaratkan bahwa
pelanggaran kewajiban perpajakan dipeengaruhi oleh masalah-masalah
28
Australian Tax Office, Compliance Model, 2000.
29
Timbul Hamonangan Simanjuntak dan Imam Mukhlis, 2012, Dimensi Ekonomi Perpajakan
dalam Pembangunan Nasional, Raih Asa Sukses, Jakarta, hlm. 91. Diafirmatif dengan penelitian
penulis dalam Irine Handika dan Dwi Haryati, 2011, Ekistensi Majelis Kode Etik Sebagai Pengawas
Integritas Aparat Pajak dalam Mewujudkan Clean Government di Direktorat Jenderal Pajak, Laporan
Penelitian FH UGM.
30
James, Simon, and Clinton Alley, 1999, Tax Compliance, Self Assessment and Tax
Administration, Journal of Finance and Management in Public Service Volume 2 Number 2:pp. 27-
42.

125
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

sosial, termasuk dukungan dan pengaruh masyarakat, perilaku, ras, dan


budaya.
Mengenai bentuk sanksi yang dapat diterapkan Gordon
berpendapat:
“Sanctions that are easily understood by taxpayers, and that are therefore
easiily applied and determined, are more certain in their outcome and more
likely to affect a taxpayer’s behavior, given that person’s utility function.
Also, sanctions that are easily applied and determined are likely to take fewer
administrative resources and are less likely to be subject to arbitrariness.
Therefore, as a general principle, financial sanctions should be imposed as
automatically as possible. Perhaps the most effective way to do this is to assess
a general deterrence penalty, calculated as a percentage amount involved, for
negligent or unreasonable failure either to (1) report the correct amount of
income (or other tax base) on the return or (2) pay tax when due”.31
Lebih lanjut, Gordon mengungkapkan pendapatnya mengenai
penerapan sansi pidana, sebagai berikut:
“Criminal offenses would be in addition to civil penalties. They can be subject
to flat fines and even terms in jail. However, as with all penalties, high criminal
penalties may only result in taxpayer, taking greater care to disguise their
fraud. Depending on the country’s legal tradition, the provisions imposing
a criminal penalty could be included in the tax administration law or in the
criminal code. Wherever located, the general rules of criminal procedure should
apply”.
Berdasarkan karakteristiknya sebagai tindak pidana ekonomi
maka yang diperhatikan dalam perumusan norma materiil dan penagakan
hukumnya adalah perwujudan keadilan, kepastian hukum dan
keseimbangan antara para pihak yang terlibat di dalamnya.32

IV. Hal yang Perlu Dijadikan Pertimbangan: Persinggungan dengan


Tindak Pidana Lainnya.
Tindak pidana perpajakan adalah berdiri sendiri terpisah dari
tindak pidana umum atau tindak pidana khusus, dengan segala
konsekuensi penegakan hukumnya. Namun demikian, terdapat relasi
antara tindak pidana perpajakan dengan tindak pidana umum, termasuk
yang dirumuskan dalam RUU KUHP, atau tindak pidana khususnya
sebagaimana digambarkan sebagai berikut:

Adrianto Dwi Nugroho, Ibid, hlm. 13-14.


31

Y. Sri Pudyatmoko, 2007, Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak, Salemba
32

Empat, Jakarta, hlm. 25.

126
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Gambar 1
Tindak
Pidana
Umum

Tindak Tindak
Pidana Pidana
Khusus
Lainnya Pajak

Potensi persinggungan dengan RUU KUHP antara lain dengan


rumusan pasal-pasal mengenai pemalsuan dan penyalahgunaan jabatan.
ndak Tanpa perlu ditambah dengan potensi persinggungan antara KUHP (baru)
dana
mum dengan UU Perpajakan, penegakan hukum sudahlah terkendala dengan
Tindak
persinggungan dan tumpang tindih antara norma tindak pidana perpajakan
Pidana
Pajak
dengan tindak pidana korupsi. Adapun masalah itu diakibatkan interaksi
yang timbul akibat konektivitas sebagaimana digambarkan berikut ini:

Gambar 2
Saat terjadi persinggungan dan tumpang-tindih,
maka sistem hukum menawarkan sejumlah opsi,
antara lain menggunakan asas hukum. Asas (dalam
ilmu hukum) yang relevan diantaranya asas lex
specialis derogat legi generalis, artinya ketentuan khusus
TAX
(specialis) mengesampingkan
EVASION ketentuan
TAX yang bersifat
AVOIDANCE
umum (generalis). Ini apabila yang bertentangan
adalah norma KUHP dengan norma UU Perpajakan.
Dalam hal ini, ketentuan khusus mengenai tindak
pidana perpajakan terdapat di dalam UU KUP. Kepelikan terjadi apabila
kedua ketentuan yang saling menduplikasi itu sama-sama bersifat
specialis, seperti norma tipikor dengan PPh Komponen
norma tindak yang perpajakan.
pidana
TAX Terutang diperhitungkan
Ilmu hukum member solusi melalui asas lex specialis sistematis,33 dimana
EVASION TAX
AVOIDANCE
yang dianggap lebih khusus adalah tindak pidana perpajakan. Meskipun
demikian, penggunaan asas hukum yang sifatnya abstrak tidak cukup
untuk menjembatani ketidaksinkronan dan menjamin terwujudnya
kepastian hukum, meskipun tetap menjadi acuan dalam penyusunan
model sinronisasi. Dibutuhkan sinkronisasi yang secara tegas dan eksplisit
PPh Komponen yang
dituangkan di dalam undang-undang, dengan cara menetapkan secara
diperhitungkan
Terutang
tegas pemisahan pengaturan terhadap tindak pidana perpajakan ke dalam
undang-undang di bidang perpajakan (UU KUP).
Apabila Pasal 760 dan pasal 761 tetap dipaksakan untuk berlaku maka
dikhawatirkan akan terjadi kesulitan dalam implementasinya. Seperti
diketahui bahwa terjadinya tindak pidana perpajakan dipengaruhi oleh
33
Ada tiga batu uji dalam menentukan mana yang lebih spesialis. Pertama, adakah keduanya
secara khusus mengatur hukum materiilnya. Kedua, adakah keduanya secara khusus mengatur
hukum formilnya. Ketiga, mana yang memiliki addressat yang lebih khusus. Batu uji ketiga yang
mendudukkan pajak lebih specialis.

127
Pidana
Umum
Tindak Tindak
Pidana Pidana
Khusus Tindak Tindak
Pajak
Pidana
Lainnya
Khusus
Pidana Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
Lainnya Pajak

pengaplikasian hukum materiil perpajakan, yaitu mengenai penentuan


mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam perhitungan dan
penghitungan kewajiban perpajakan. Pengaplikasian ini saja praksisnya
masih bermasalah karena yang seringkali terjadi adalah multi tafsir
dikalangan fiskus, belum lagi jika aparat kepolisian dipaksa untuk
memahami perturan perpajakan yang sangat dinamis dan tunduk pada
banyak peraturan derivate, seperti Keputusan Menteri Keuangan (KMK),
Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan SK Dirjen Pajak. Hal yang terjadi
akibat banyaknya pengaturan pajak yang tersebar di berbagai peraturan
derifat dan peraturan sektoral, seperti PMK dan SK Dirjen Pajak.
Multi tafsir dalam pengaplikasian hukum perpajakan, baik materiil
maupun formil, seringkali mengakibatkan kesulitan untuk menentukan
apakah telah terjadi suatu tindak pidana perpajakan (dalam ilmu pajak
diistilahkan tax evasion). Tipisnya batasan sebagaimana diilustrasikan
TAX
berikut: EVASION TAX
AVOIDANCE
TAX
EVASION TAX
Gambar 3 AVOIDANCE

Gambar 4 PPh Komponen yang


Terutang diperhitungkan

PPh Komponen yang


Terutang diperhitungkan

Rentannya persinggungan dan tumpang tindih norma di atas yang


menurut hemat penulis menjadikan upaya pemisahan tindak pidana
perpajakan menjadi berdiri sendiri terpisah dari tindak pidana umum atau
tindak pidana khusus, dengan segala konsekuensi penegakan hukumnya,
rasional untuk dilakukan.

V. Illicit Enrichment: Terobosan untuk Materi RUU tentang Tindak


Pidana Penyalahgunaan Wewenang.
Illicit Enrichment relevan untuk dimasukkan kedalam materi RUU
KUHP terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang, terbatas pada
yang sulit untuk dibuktikan. Kaitan dengan pajak, tidak semua tindak
pidana yang dilakukan oleh fiskus mudah untuk dibuktikan, apalagi jika

128
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

jelas tidak ada unsur kerugian pada pendapatan negara. Sebagai ilustrasi:
Fiskus A menetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
atas PT. XZZ adalah sebesar Rp 1,5 Miliar, padahal pajak terutang PT. XYZ
riilnya hanya Rp 1 Miliar. Dalam konteks ini tidak ada kerugian negara,
karena negara tetap menerima Rp 1 Miliar. Selisih Rp 500 juta tersebut
diperoleh oleh fiskus dengan cara menggunakan jabatannya untuk
memanipulasi perhitungan dalam SKPKB. Dalam hal ini yang dirugikan
adalah WP, dan terhadap tindakan demikian sulit untuk pembuktian
sehingga tidak heran jika fiskus memiliki rekening gendut.
Illicit Enrichment dapat digunakan untuk konteks kasus di atas, dan
menggunakan metode ekstensifikasi fleksibel pula untuk diterapkan
terhadap penyalahgunaan wewenang yang erat kaitan dengan kerugian
pendapatan negara. Hal yang perlu diantisipasi adalah kecepatan
perkembangan dan tumbuhnya modus-modus tindak pidana di kalangan
pejabat pemerintah yang berbanding terbalik dengan kelambanan dan
kestatisan sistem pembuktian. Kaitan dengan itu dibutuhkan sebuah
terobosan penanganan, diantaranya konsep illicit enrichment yang dapat
diintrodusir.
Illicit enrichment secara umum dapat diartikan sebagai kriminalisasi
pejabat publik yang memiliki kekayaan dan/atau peningkatan kekayaan
dalam jumlah yang tidak wajar, tanpa mampu membuktikan bahwa
kekayaan itu diperoleh secara sah serta tidak terkait dengan tindak pidana.
Konsep ini fokus pada kepemilikan tidak wajar atau berlebihan (excessive)
yang diperoleh sehubungan dengan status sebagai pejabat publik. Oleh
karenanya, objek pengaturan illicit enrichment sifatnya terbatas, hanya
meliputi public official (pejabat publik). Dalam konsep illicit enrichment
logika hukumnya adalah logika deduktif, yaitu melakukan penelusuran
terhadap dugaan adanya kekayaan tidak wajar (hasil) pejabat publik, bukan
terhadap tindak pidana yang terkait dengan keberadaan harta tersebut.
Logika ini linear dengan sistem pembuktian terbalik yang menjadi salah
fokus uama dalam konsep illicit enrichment.
Sebagai salah satu instrumen hukum yang lahir untuk mengatasi
ketidakefektifan sistem pembuktian konvensional, maka proses
pembuktian terbalik yang layak untuk diterapkan. Pembuktian terbalik
disini sifatnya terbatas, dimana negara yang diwakili oleh Penuntut
Umum tetap memiliki kewajiban pembuktian, namun terbatas untuk
membuktikan adanya dugaan kuat illicit enrichment. Di lain sisi, terdakwa
memiliki beban untuk membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dari
sumber-sumber yang sah, dalam artian kepemilikan tidak secara melawan
hukum. Berangkat dari sistem ini, selama negara memiliki bukti awal yang
cukup untuk mencurigai pejabat publik yang memiliki kekayaan tidak
wajar maka negara lebih leluasa dan forcefull untuk memeriksa pejabat
yang bersangkutan untuk membuktikan sah tidaknya perolehan kekayaan
yang dimilikinya.
129
PENAFSIRAN HAKIM
TERHADAP KETENTUAN PIDANA MINIMUM
KHUSUS DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 31 TAHUN 1999
jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20
TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI 

Oleh:
Dr. Ismail Rumadan, S.H., M.H.
(Dosen Program Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Universitas
Nasional – DKI Jakarta/Peneliti Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung
RI)

I. Pendahuluan.
Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang
ditengarai sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya
kesenjangan sosial, ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah
dan berbagai permasalahan lainnya yang mendorong lahirnya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Hal yang menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya
ketentuan pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap
pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan
pidana pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang lebih mengenal ketentuan pidana maksimum. Ketentuan
tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi.
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

Tema ini merupakan salah satu topik penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitiah
Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI terkait dengan penelitian terhadap adanya putusan-
putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis di bawah batas pidana minimum khusus dalam UU
tindak pidana korupsi.

130
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)


tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
Penentuan pidana minimum dalam UU Tipikor ini juga sebagai bentuk
upaya serius dari perumus undang-undang untuk pemberantasan tindak
pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, namun semangat pembentukan
UU Tipikor ini seharusnya diimbangi dengan berbagai ketentuan dan
kaidah hukum yang berlaku secara logis, khusnya dalam rumusan
delik pidana minimum khusus dalam UU Tipikor yang pada dasarnya
memberikan kesan adanya suatu pemaksaan untuk menunjukan bahwa
keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki
adanya standar minimal objektif untuk delik-delik tertentu yang sangat
dicela dan merugikan masyarakat dan/atau negara, serta delik-delik yang
dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) dan
ketidak percayaan terhadap hakim dalam memutus suatu perkara pidana
korupsi.
Namun pencantuman pidana minimum dalam UU Tipokor ini
tidak disertai dengan adanya formulasi tentang aturan atau pedoman
pemidanaannya yang merupakan suatu aturan khusus di luar KUHP yang
mencantumkan pidana minimum khusus dalam rumusan deliknya, pada
gilirannya berpotensi menimbulkan masalah yuridis di tingkat aplikasi.
Setidaknya ketika hakim yang mengadili perkara pidana yang bersangkutan
dihadapkan pada fakta banyaknya faktor-faktor yang meringankan pidana.
Artinya bahwa, meskipun di rumusan deliknya dalam UU Tipikor sudah
secara eksplisit ditentukan pidana minimum khususnya, namun dengan
argumentasi hukum tertentu, tetap saja batas limit pidana minimum khusus
tersebut “diterobs” oleh hakim. Dalam hal ini pada tataran pelaksanaanya,
terdapat putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas
minimum ancaman pidana minimum khusus, dengan legal reasoning-
nya masing-masing. Sehingga problem yuridis yang muncul kemudian
adalah adanya friksi antara kepastian hukum (rechtszekerheid) di satu pihak
dengan keadilan hukum (gerechtigheid) di lain pihak.

II. Alasan Teoritis Putusan Hakim di Bawah Batas Minimum Khusus.


Jaminan terhadap Kebebasan hakim yang didasarkan pada
kemandirian kekuasaan kehakiman secara konstitusional diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945, yang selanjutnya diimplementasikan ke
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tantang Pokok-pokok

Lihat Putusan MA No. 1660 K/Pid.Sus/2009.

131
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999


tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yag kemudian
diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan selanjutnya diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bahwa dalam memeriksa serta memutus perkara pidana yang ada
dihadapnnya, hakim memiliki kebebasan untuk melakukan penilaian.
Segalanya diserahkan pada pandangannya ataupun juga keyakinannya
untuk menentukan salah tidaknya terdakwa. Hal tersebut tentunya
didasarkan pertimbangan fakta-fakta di persidangan maupun peraturan
perundang-undangan atau hukum yang berlaku. Namun kondisi
semacam ini jarang dijumpai dalam tataran praktik, sebab sering terjadi
peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan,
atau meskipun sudah diatur tetapi undang-undang tidak mengaturnya
secara jelas dan lengkap, bahkan undang-undang memiliki keterbatasan
jangkauan dalam memahami situasi dan kondisi sosial masyarakat yang
dinamis dan berkembang dari waktu-kewaktu secara terus menerus.
Apabila hakim menghadapi situasi yang demikian maka hakim tidak
diperbolehkan menolak sustu perkara dengan alasan ketiadaan undang-
undang yang mengaturnya. Sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan: “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Justru sebaliknya
hakim harus memeriksa dan memutus perkara tersebut dengan melakukan
penemuan hukum, bahkan kalau perlu dengan jalan menggunakan kaidah-
kaidah hukum yang tidak tertulis.
Atas padangan tersebut, walaupun secara normatif undang-undang
yang mengatur tentang ancaman pidana minimal baik pidana penjara
maupun pidana denda, namun dalam praktek ada juga hakim yang
menerobos batas minimal ancaman yang sudah diatur jelas tersebut
dengan alasan atau pertimbangan rasa keadilan sosial (social justice) dan
moral justice.
Lebih dari sekedar alasan secara filosofis bahwa menerobos batas
ketentuan formal pidana minimum khusus sebagai bagian dari kinerja
hakim yang bersifat independen atau bebas dalam menemukan suatu
norma hukum. Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi
pembentukan hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan
menyesuaikanya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum.

Lihat Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang berbunyi : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan ,memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya

132
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Hal inilah yang selanjutnya dinyatakan oleh Sudikno Mertokusumo


dan A. Pilto sebagai ajaran tentang kebebasan hakim, ajaran bahwa hakim
tidak hanya corong pembentuk undang-undang saja, tetapi secara otonom,
mencipta, menyelami proses kemasyarakatan.
Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan
hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap
peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-
idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum,
dan kemanfaatan. Adapun untuk hakim sendiri pada hakikatnya, dalam
menjalankan tugas penemuan hukum, hakim harus bebas, baik dari
pengaruh pihak-pihak yang berperkara, maupun pihak-pihak lain seperti :
atasan, eksekutif, legislatif, dan sebagainya.
Berkenaan dengan pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding)
itu sendiri, ada pendapat dari Paul Scholten, sebagaimana dikutip oleh
Bambang Sutiyoso, yang mengatakan:
“Penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada
hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-
kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus
ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi
ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan hukum).”
Menurut Sudikno Mertokusumo, mengatakan bahwa :
“Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim
atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan
kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan
hukum adalah sebagaimana mencarikan atau menemukan hukum
untuk peristiwa kongkret.”
Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan
hukum, yaitu:
1. Rechtsvorming (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturan-
peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya
Bakti, 1993, hal. 7. Dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim dibawah Batas Minium
Khusus dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika, Fakultas Hukum,
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011, hlm. 80

Ibid, hlm. 89.

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan
Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 28.

Bambang Sutiyoso, Loc. Cit.

Sudikno Mertokususmo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1996,
hlm. 49.

Ibid, hlm. 36-37.

133
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan


sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi
yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim
dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya.
2. Rechstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan
hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa
konkret harus dijadikan peritiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan
hukumnya dapat diterapkan.
3. Rechtshandhaving (pelaksaan hukum), dapat berarti menjalakan hukum,
baik ada sengketa / pelanggaran maupun tanpa sengketa.
4. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama
sekali tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada.
Menurut pendapat Roeslan Saleh, hanya pembuat undang-undanglah
yang mencipta hukum, tugas hakim adalah semata-mata menerapkan
undang-undang.10
5. Rechtsvinding (penemuan hukum), dalam arti bahwa bukan hukumnya
tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan
diketemukan.
Istilah Rechtsvinding (penemuan hukum), Rechtsvorming (pembentukan
hukum) dapat memunculkan polemik dalam penggunaanya. Menurut
pendapat Algra, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokususmo dan
A. Pitlo, orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum”
daripada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum
memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.11
Mengenai macam-macam pembentukan hukum, dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu :12
1. Penemuan hukum heteronom (typisch logistisch); Penemuan hukum
disini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang
mengutamakan undang-undang. Sedangkan hakim tidak diberi
kesempatan untuk berkreasi atau melakukan penilaian. Hakim
dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Dalam hal ini hakim tidak
bersikap mandiri, karena harus tunduk pada undang-undang (legisme/
typis logicitis). Hakim hanyalah sebagai penyambung lidah atau corong
dari undang-undang, tidak dapat menambah dan mengurangi apa
yang sudah ditentukan dalam undang-undang.
2. Penemuan hukum otonom (materiel juridisch); Dalam penemuan hukum
otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya
10
Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta, 1979,
hal. 16. dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim … Op.Cit., hlm. 82
11
Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, Op. Cit., hlm.4.
12
Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hlm. 38-39.

134
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri


member bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya
dengan kebutuihan atau perkembangan masyarakat. Penemuan hukum
otonom bersumber dari hati nurani sendiri, hakim tidak dipengaruhi
oleh faktor-faktor diluar dirinya.
Dalam kontek penegakan hukum tindak pidana korupsi pada dasarnya
Hakim di Indonesia menganut penemuan hukum heteronom, sepanjang
hakim terikat pada undang-undang. Tetapi dalam penemuan hukum itu
juga mempunyai unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus
menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pendangannya
sendiri. Sebagai contoh kalau ada hakim Pengadilan Negeri yang mengacu
kepada putusan hakim di atasnya (PT atau MA), tetapi asasnya tetap
bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim lain. Hal ini merupakan
sifat otonom. Mengacunya hakim pada putusan hakim lain, tidak berarti
menganut asas the binding force of precedent, seperti dianut oleh Negara-
negara Anglo Saxon, tetapi karena adanya keyakinan bahwa putusan yang
dianutnya itu memang tepat (The persuacive force of precedent).13
Pada dasarnya melakukan penafsiran terhadap suatu ketentuan
undang-undang, termasuk undang-undang tindak pidana korupsi pada
tataran praktek atau terhadap peristiwa kongkrit, hakim dapat melakukan
penafsiran/Interpretasi menurut bahasa. Metode interpretasi ini yang
disebut interpretasi gramatikal yang merupakan cara penafsiran atas
penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan
undang-undangdengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau
bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit
dari hanya sekedar “membaca undang-undnag”.
Kemudian hakim dapat melakukan interpretasi teleologis atau
sosialogis, yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan
tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang
yang masih berlaku tetapi sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap
peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli
apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang
tersebut dikenal atau tidak.
Interpretasi sistematis dapat juga dilakukan oleh hakim dalam
menangani suatu perrkara hukum, yaitu menafsirkan undang-undang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan
jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain. Hal ini disebabkan
terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri
sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan.
Interpretasi historis dapat dilkukan oleh seorang hakim dengan
meneliti sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Penafsiran ini dikenal
13
Ibid. hlm. 40.

135
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis merupakan penjelasan


menurut terjadinya undang-undang. Ada dua macam interpretasi historis,
yaitu penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut
sejarah hukum. Kemudian hakim dapat juga melakukan interpretasi
futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah
penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-
undang yang belum mempunyai ketentuan hukum.
Metode-metode penafsiran tersebut diatas dapat dijumpai dalam
beberapa putusan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini terhadap
beberapa putusan hakim yang menerapkan metode tersebut dalam
menjatuhkan vonis atau putusan yang melampui ketentuan formal pidana
minimum khusus dalam Undang-undang tindak Pidana Korupsi.

III. Penafsiran Hakim Terhadap ketentuan Pidana Minimum dan


Penjatuhan Pidana di Bawah Batas Minimum Khusus.
III.1. Perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011.
Menarik untuk dikaji putusan Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh
dalam kasus korupsi dengan Nomor Perkara Putusan Mahkamah Agung
No: 1573 K /Pid.Sus/2011. Majelis Hakim pada Pengadilan Tingkat
Pertama dalam perkara ini menjatuhkan vonis penjara selama 5 (lima)
bulan terhadap terdakwa atas nama Edi Ahmad yang didakwa melakukan
tindak pidana korupsi terhadap dana bantuan becana alam di Sumatera
Barat.
Vonis majelis hakim tingkat pertama dalam kasus ini lebih rendah
dari dakwaan JPU yang menuntut agar terdakwa dihukum karena terbukti
bersalah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Korupsi Pemalsuan
Surat”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 9 UU No.
31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 84 ayat (2) KUHAP sebagaimana dalam dakwaan Lebih Subsidiair.
Oleh karena JPU menuntut agar Terdakwa dengan pidana penjara selama
1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) subsidiair 2 (dua) bulan kurungan.
Pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang menjatuhkan vonis
di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-undang Tindak
Pidana Korupsi dengan suatu pertimbangan bahwa, pada dasarnya hukum
mempunyai tiga nilai dasar, yaitu (i) hukum sebagai nilai keadilan; (ii)
hukum sebagai nilai kemanfaatan dan (iii) hukum sebagai nilai kepastian
hukum. Dari sisi kepastian hukum, perbuatan Terdakwa diancam pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

136
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Jadi dalam hal ini terdapat pidana minimum yang harus dijatuhkan
sebagaimana dimaksud dalam ancaman pidana Pasal 9 Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menuntut
Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan
pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidair 2
(dua) bulan kurungan. Majelis Hakim berpendapat penerapan sistem atau
asas minimum khusus mempunyai dua sisi, yaitu sisi menjamin adanya
kepastian hukum dan untuk menghindari adanya disparitas penjatuhan
pidana, serta di sisi lain dapat menimbulkan kesenjangan vonis masa
hukuman yang berbeda dalam berat tindak pidana yang dilakukan, tetapi
mendapat hukuman yang sama, yaitu sama-sama mendapat hukuman
minimum khusus. Seharusnya pada kasus yang lebih ringan dapat
memperoleh hukuman yang lebih ringan pula. Justru penerapan asas hukum
cenderung mencerminkan ketidakadilan. Untuk menghilangkan rasa
ketidakadilan itu dari ancaman tindak pidana korupsi, yang dikategorikan
relatif kecil, maka dicantumkan oleh Pembuat Undang-Undang, yaitu
Pasal 12 A UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu ketentuan mengenai pidana
penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah). Pasal 12 A ini merupakan pengecualian penjatuhan
pidana terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
Di bagian lain dalam putusannya, Majelis Hakim tingkat pertama
itu mengatakan dalam pertimbangannya, bahwa Saksi Ahli Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diajukan JPU, dalam
keterangan kesaksiannya di persidangan, tidak dapat menyimpulkan
adanya kerugian Negara dalam perkara Terdakwa. Sedangkan
berdasarkan fakta persidangan, bahwa Terdakwa tidak mendapatkan
keuntungan materil dari perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dengan
demikian Majelis Hakim berpendapat kurang adil untuk menerapkan
sistem minimal khusus terhadap diri Terdakwa sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 9 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu
Majelis Hakim berpendapat Pasal 12 A Undang-Undang Nomor Tindak
Pidana Korupsi dapat diterapkan kepada Terdakwa dalam hal penjatuhan
pidana penjaranya. Bahwa, ancaman pidana sebagaimana dalam Pasal 12
A maupun Pasal 9 Undang-Undang tersebut bersifat kumulatif, yaitu di
samping pidana penjara, juga dijatuhkan pidana. Terhadap hal ini Majelis
137
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

itu berpendapat penjatuhan pidana denda kepada Terdakwa terlalu


berat karena tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukan, di mana
tidak ada bukti selama persidangan berlangsung, bahwa Terdakwa telah
mengambil keuntungan secara materil. Dengan demikian Terdakwa tidak
perlu dijatuhi pidana denda.
Adapun yang mendasari pemikiran Majelis Hakim, bahwa dalam
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, seharusnya tidak semata-
mata bertumpu, pada pertimbangan aspek yuridis (legal formal) saja,
melainkan juga mencerminkan nilai-nilai keadilan yang seharusnya
diwujudkan oleh peradilan pidana. Selain itu penjatuhan pidana kepada
Terdakwa harus memperhatikan segala aspek pemidanaan yang integral
berorientasi kepada moral justice, social justice dan legal justice, sebagai
wujud pertanggungjawaban Majelis Hakim kepada masyarakat, Negara
dan Bangsa serta terutama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada kasus ini dpat ditemukan bahwa hakim lebih menggunakan
penafsiran secara teleologis – sosiologis, sebab majelis hakim mendasarkan
pada fakta hukum dan kenyataan sehari-hari, perbuatan yang dilakukan
Terdakwa memang sudah biasa dilakukan, sebagaimana keterangan saksi
mantan Kepala Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Lima puluh Kota, Ir.
Sulaiman, begitu juga keterangan saksi dari Petugas Penyuluh Lapangan
(PPL) Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Lima Puluh Kota, dan keterangan
para saksi dari Kelompok Tani yang menerangkan bahwa sudah ada
kebiasaan yang berlaku, Berita Acara biasanya ditandatangani terlebih
dahulu, ketimbang sebelum barangnya datang. Keadaan ini dimungkinkan
karena sistem keuangan pemerintah yang baru akan mencairkan dana,
setelah adanya laporan perkembangan pekerjaan atau penyelesaian
pekerjaan. Namun, Majelis berpendapat, sesuatu yang biasa itu, bukan
suatu kebenaran mutlak, karena secara prinsipnya apa yang dilakukan
Terdakwa merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-
undangan, maka Majelis Hakim berpendirian bahwa tindak pidana yang
dilakukan Terdakwa, haruslah dihukum dengan tujuan pemidanaan
tersebut, dan pemidanaan itu bukanlah pembalasan hukuman, melainkan
sebagai usaha premisif, preventif dan represif serta lebih jauh dari itu
adalah sebagai edukasi, konstruktif dan motivatif, agar Terdakwa tidak
melakukan perbuatan pidana lagi ataupun melakukan perbuatan pidana
pengulangan;
Oleh karena itu Majelis Hakim tingkat pertama, berpendapat tuntutan
pidana JPU kepada Terdakwa sangatlah berat, mengingat pemidanaan,
ialah upaya untuk menyadarkan Terdakwa agar menyadari perbuatannya
yang telah melanggar hukum dan mengembalikannya menjadi warga
masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral,
sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang
aman, tertib dan damai.

138
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Majelis Hakim berpendapat masa penahanan yang telah dijalani


Terdakwa dalam perkara ini cukup membuat Terdakwa jera dan memikirkan
untuk mengubah hidupnya sehingga Terdakwa patutlah diberi kesempatan
untuk berubah menjadi manusia yang lebih berguna; Oleh karena lamanya
pidana penjara yang akan dijatuhkan atas diri Terdakwa, menurut Majelis
Hakim telah cukup adil, memadai, argumentatif, manusiawi, proporsional
dan sesuai dengan kadar kesalahannya;
Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, majelis hakim pengadilan tingkat pertama berpandangan bahwa
ketentuan pidana minimum dalam Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi tidak dapat diterapkan dalam kasus ini, sehingga majelis Hakim
hanya menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara
selama 5 (lima) bulan.
Berbagai argumentasi dan pertimbangan Pengadilan Negeri
Payakumbuh tersebut diatas dimentahkan oleh Pengadilan Tinggi Padang.
Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi Padang sependapat dengan
pertimbangan Hakim tingkat Pertama dalam putusannya yang menyatakan
perbuatan Terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan
Lebih Subsidair dan pertimbangan Hakim tingkat pertama tersebut
diambilalih dan dijadikan sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi dalam
memutus perkara ini dalam tingkat banding, kecuali mengenai lamanya
pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa perlu diperbaiki.
Adapun alasan Pengadilan Tinggi tersebut memperbaiki putusan
Majelis Hakim tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Payakumbuh,
bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jouncto Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, menentukan bahwa batas minimum
pidana paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Menurut
Hakim Banding ketentuan pidana dengan batas minimum tersebut tidak
boleh diterobos dengan alasan apapun, atau dengan alasan tiga nilai
dasar keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dikemukakan
oleh Hakim tingkat pertama dalam putusannya. Jika Hakim menjatuhkan
pidana di bawah batas minimum berarti Hakim telah melanggar Undang-
Undang dan pada akhirnya akan terjadi ketidakpastian hukum yang
dilakukan oleh Hakim itu sendiri.
Selanjutnya Hakim Majelis Banding mengatakan, penentuan batas
pidana minimum dalam tindak pidana korupsi bertujuan untuk membuat
Terdakwa khususnya menjadi jera dan masyarakat lain umumnya
menjadi tidak berbuat lagi atau takut untuk melakukan perbuatan yang
serupa. Berdasarkan pertimbangan tersebut putusan Pengadilan Negeri

139
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Payakumbuh No. 65/Pid.B/2010/ PN.PYK. tanggal 06 September 2010


harus diperbaiki dan dipandang cukup adil sebagaimana amar putusan,
yang menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi; dengan demikian Terdakwa
dijatuhi vonis dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda
sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3
(tiga) bulan. Vonis majelis hakim tingkat banding tersebut sesui dengan
ketentuan formal minimum pemidanaan sebagaimana ketentuan Pasal
9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Majkeis Hakim tingkat banding tersebut kemudian diperkuat
oleh Majelis Hakim pada tingkat Kasasi, meskipun salah satu anggota
majelis hakim pada tingkat kasasi melakukan dissenting oponion dengan
pertimbangan bahwa putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa tidak
sesuai dengan keadilan dan hati nurani, sebab berdasarkan pemeriksaan
di persidangan ternyata tidak terbukti adanya kerugian Negara dan tidak
terbukti Terdakwa mendapatkan keuntungan materiil dari perbuatan
yang didakwakan kepadanya; dalam keadaan demikian, kasus Terdakwa
ini lebih dikenal dengan asas hukum “in dubio pro reo”, yakni dalam hal
terjadi keadaan yang ragu-ragu, maka harus diperlakukan keadaan yang
menguntungkan kepada Terdakwa. Untuk itu berdasarkan pertimbangan
rasa keadilan dan dengan merujuk ke Pasal 9 jo Pasal 12A UU Tindak Pidana
Korupsi, mengusulkan agar pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa
adalah sebagaimana pidana yang dijatuhkan oleh Judex Facti (Pengadilan
Negeri); oleh karena itu, permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa /
Penuntut Umum harus ditolak dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal
12A UU Tindak Pidana Korupsi di mana dalam Pasal 12A tersebut tidak
mengenal batas pidana minimal melainkan hanya menetapkan batas
hukuman maksimal, yaitu 3 tahun penjara, sedangkan mengenai denda
juga hanya ditetapkan ancaman maksimal Rp 50.000.000,00.
Berdasarkan penjelasan terhadap kasus tersebut di atas tergambar
dengan jelas bahwa terdapat perbedaan penafsiran oleh Hakim baik Majelis
Hakim pada pengadilan tingkat pertama, Majelis hakim pada pengadilan
tingkat banding maupun Majelis Hakim pada pengadilan tingkat kasasi
terkait dengan ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Edi
Ahmad, dalam kasus korupsi dana bantuan bencana alam di Sumatera
Barat.
Perbedaan penafsiran tersebut terjadi karena adanya cara pandang
yang berbeda dari majelis hakim dalam memahami ketentuan pidana
minimum khusus dalam UU Tipikor terhadap kasus tersebut. Majelis
Hakim pada pengeadilan tingkat pertama lebih cenderung menggunakan

140
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pedekatan penafsiran sosiologis dalam memahami kasus tersebut,


ketimbang Majelis Hakim pengadilan tingkat banding dan kasasi lebih
cenderung menggunakan pendekatan penafsiran secara gramatikal,
walaupun salah satu anggota majelis yang melakukan dissenting opinion
yang cenderung melakukan penafsiran sosiologis searah dengan
pemahaman dan penafsiran Majelis Hakim Tingkat Pertama.
Vonis pengadilan tingkat pertama lebih mengedepankan konsep
pimidanaan retributive, yang prinsipnya menurut majelis hakim tingkat
pertama bahwa apa yang dilakukan Terdakwa merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan perundang-undangan, maka Majelis Hakim
berpendirian bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, Edi Ahmad,
haruslah dihukum dengan tujuan pemidanaan tersebut, dan pemidanaan
itu bukanlah pembalasan hukuman, melainkan sebagai usaha premisif,
preventif dan represif serta lebih jauh dari itu adalah sebagai edukasi,
konstruktif dan motivatif, agar Terdakwa tidak melakukan perbuatan
pidana lagi ataupun melakukan perbuatan pidana pengulangan.
Oleh karena itu, Majelis Hakim tingkat pertama tersebut berpendapat
bahwa tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa, Edi
Ahmad sangatlah berat, mengingat pemidanaan, ialah upaya untuk
menyadarkan Terdakwa agar menyadari perbuatannya yang telah
melanggar hukum dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat
yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan
keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib
dan damai.
Menurut pendapat penulis bahwa pertimbangan majelis hakim tingkat
pertama yang menjatuhkan vonis 4 (emapat) bulan penjara terhadap
terdakwa dalam kasus ini searah dengan konsep filsafat pemidanaan yang
bersifat integratif, dimana putusan tersebut mengandung dimensi keadilan
yang dapat dirasakan oleh semua pihak yaitu terhadap terdakwa itu sendiri,
masyarakat, dan kepentingan negara. Tegasnya, vonis yang dijatuhkan
oleh hakim merupakan keseimbangan kepentingan antara kepentingan
pelaku di satu pihak serta kepentingan akibat dan dampak kesalahan
yang telah diperbuat pelaku di lain pihak. Konkretnya bahwa, penjatuhan
pidana yang berlandaskan kepada asas monodualistik antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu. Dengan demikian pemidanaan
yang dijatuhkan hakim tersebut berlandaskan kepada eksistensi 2 (dua)
asas fundamental yang dikenal dalam hukum pidana modern yaitu “asas
legalitas” (yang merupakan asas kemasyarakatan) dan “asas culpabilitas”
atau asas kesalahan yang merupakan asas kemanusiaan/individual.
Putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut tidak semata-mata
bertumpu, bertitik tolak pada aspek yuridis (formal legalistik) semata,
melainkan putusan hakim tersebut juga mempertimbangkan aspek,

141
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

sosiologis dan filosofis sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan


dan dipertanggungjawabkan adalah keadilan dengan orientasi pada moral
justice, sosial justice dan legal justice.

III.2. Perkara Nomor: 2399 K/Pidsus/2010.


Terdakwa dalam perkara ini atas nama Kardono T yang didakwa
dengan dakwaan tunggal Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 bersama-sama
dengan Ketua PPK namun dalam berkas yang terpisah. Di tingkat pertama
terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
dan dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun penjara dan denda Rp.200 juta
subsidiair 1 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar 2,9 juta Di tingkat
banding hukuman tersebut dikurangi menjadi 1 tahun penjara dan denda
sebesar 200 juta subsidiair 1 bulan kurungan.
Atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut JPU mengajukan Kasasi
dengan alasan bahwa putusan yang dijatuhkan PT melanggar sanksi
minimum yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 dimana
dalam pasal tersebut diatur ancaman minimum 4 tahun penjara dan denda
minimum 200 juta. Dalam putusan Kasasi ini MA pada intinya selaras
dengan putusan Pengadilan Tinggi namun dengan pertimbangan sendiri.
Majelis Hakim kasasi berpendapat bahwa walaupun pilihan bentuk
dakwaan adalah kewenangan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi dakwaan
tunggal terhadap perkara a quo menyebabkan Majelis Hakim berada pada
posisi dilematis, karena tidak ada pilihan untuk menerapkan hukum yang
tepat dan adil bagi terdakwa dan bagi penegakkan hukum itu sendiri. Oleh
karena itu Majelis Hakim dalam perkara ini mengesampingkan ketentuan
ancaman pidana minimum yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1), hukuman
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi tersebut kembali dikurangi hanya
menjadi penjara 1 tahun tanpa pidana denda dan pidana tambahan uang
pengganti dengan pertimbangan bahwa, pada intinya adalah bahwa
penerapan minimal khusus dalam perkara ini dapat mencederai rasa
keadilan karena tidak seimbang dengan perbuatan terdakwa yang hanya
sebesar 2,9 juta.
Oleh karena itu Majelis Hakim pada tingkat kasasi menjatuhkan
putusan menyatakan Terdakwa tersebut telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “korupsi secara bersama-
sama”. Dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dengan beberapa pertimbangan antara lain:
Bahwa walaupun terdakwa terbukti memenuhi segenap unsur
dakwaan Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi namun Majelis
Hakim menilai penerapan pidana minimal khusus sebagaimana yang
diatur dalam pasal dakwaan yang dimaksud dapat mencederai rasa
keadilan karena ketidakseimbangan antara perbuatan yang dilakukan

142
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Terdakwa dihubungkan dengan jumlah kerugian Negara yang timbul


akibat perbuatan Terdakwa dan dihubungkan pula dengan besaran nilai
yang diperoleh Terdakwa oleh sebab perbuatannya tersebut yakni sebesar
Rp.2.900.000 (dua juta sembilan ratus ribu rupiah).
Menurut pendapat Majelis Hakim lebih lanjut bahwa, tindak pidana
korupsi tidak boleh disikapi secara permisif berapapun nilai kerugian
Negara yang timbul karenanya, akan tetapi sebaliknya penjatuhan pidana
yang mencederai rasa keadilan juga harus dihindarkan. Oleh karena
itu dalam hal-hal yang sangat khusus Mahkamah Agung dalam fungsi
mengadili dapat melakukan penerapan hukum terhadap kasus konkrit yang
dihadapi yang aktualisasinya tidak seutuhnya searah dengan semangat
dan kehendak pembuat undang-undang, akan tetapi diselaraskan dengan
tuntutan keadilan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dari berbagai pertimbangan majelis
hakim yang melakukan penafsiran terhadap ketentuan pidana minimum
khusus dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dalam hal ini baik
majelis hakim tingkat pertama, majelis hakim tingkat banding, maupun
majelis hakim tingkat kasasi, masih terdapat perbedaan pendekatan
penafsiran yang berbeda-benada. Dalam perkara Nomor: 1573 K /Pid.
Sus/2011, majelis hakim tingkat perta cenderung menggunakan penafsiran
sosiologis, sementara majelis hakim tingkat banding dan kasasi cenderung
untuk menggunakan pendekatan legal formal dengan penafsirat secara
gramatikal.
Berbeda halnya dengan perkara Nomor: 2399 K/Pidsus/2010 majelis
hakim pada tingkat pertama melakukan penafsiran secara gramatikal
terhadap ketentuan pidana minimum khusus dalam undang-undang
tindak pidana korupsi, berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh
Majelis Hakim Kasasi yang melakukan pendekatan dengan metode
penafsiran sosiologis
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas yang didasari pada beberapa
contoh kasus dalam pelaksanaan putusan hakim dalam memutus perkara
tindak pidana korupsi, menunjukan bahwa belum adanya keseragaman
dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan tentang pidana minimum
khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi terhadap pelaku
tindak pidana.

IV. Kesimpulan.
Masih terdapat perbedaan penafsiran di kalangan para hakim dalam
menerapkan ketentuan pidana minimum khusus terhadap pelaku tindak
pidana korupsi. Perbedaan penafsiran masih sekitar perbuatan melawan
hukum secara formil, maupun perbuatan melawan hukum secara materil.

143
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Padanga majelis hakim yang menjatuhkan fonis sesuai tuntutan dan


ketentuan pidana minimum khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi,
lebih menafsirkan undang undang secara formil (legal formal). Artinya
bahwa jika perbuatan terdakwa terbukti secara formil melakukan
tindak pidana korupsi maka vonis yang dijatuhkan harus sesuai dengan
ketentuan undang-undang tersebut terlepas dari berapa besar atau ada
tidaknya unsur kerugian negara dan ada tidaknya unsur memperkaya
diri sendiri atau orang lain. Padangan semacam ini sebagaimana terlihat
dalam pertimbangan majelis hakim tingkat bandingh dan kasasi dalam
perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011. Sementara itu, dalam kasus ini
majelis hakim tingkat pertama dan majelis hakim kasasi yang melakukan
dissenting oponion lebih pada pertimbangan perbuatan melawan hukum
secara materiil, dengan pendekatan penafsiran secara teleologis atau
sosialogis.
Pada umumnya beberapa putusan pengadilan yang menerobos
ketentuan pinadana minimum khusus dalam undang-undang tindak
pidana korupsi dilakukan dengan beberapa kriteria yang menjadi
pertimbangan hakim yang paling mendasar adalah, adanya unsur kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara sebagai akibat perbuatan
tiundak pidana korupsi tersebut dan kriteria peran dan kedudukan
terdakwa dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Kriteria ini digunakan
untuk mengukur sejauh mana putusan pengadilan tersebut memenuhi
unsur rasa keadilan yang menjadi salah satu tujuan penegakan hukum
pidana korupsi, walaupun secara formal unsur tindak pidana korupsinya
terpenuhi berdasarkan ketentuan undang-undang namun secara materil
nilai kerugian keuangan negara yang didakwakan sangat kecil dan
peran serta keterlibatan terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak
terlalu aktif maka, ketentuan formal pidana minimum khusus ini dapat
dikesampingkan.

Daftar Pustaka.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum
yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006.
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan
Latar Belakang Pemikirannya, Kupang : Universitas Cendana Kupang,
1989.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan
Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Cet. 2, Kencana Prenada Kencana, Jakarta, 2006.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Tentang Penemuan
Hukum, Citra Aditya Bakti, 1993.

144
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim dibawah Batas Minium


Khusus dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak Pidana
Narkotika, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana Universitas
Indonesia, 2011.
Sudikno Mertokususmo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta :
Liberty, 1996.
Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru,
Jakarta, 1979.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1660 K/Pid.Sus/2009.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2399 K/Pidsus/2010.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011.

145
PERKEMBANGAN
HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
KINI DAN MASA DEPAN

Oleh:
Kamal Pasinringi, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako – Palu - Sulawesi Tengah)

I. Pendahuluan.
Hukum lingkungan berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan obyek yang dipelajarinyapun mengalami perkembangan
baik secara nasional maupun secara global, perkembangan tersebut
diakibatkan oleh kemajuan masyarakat dari yang tradisonal ke arah yang
lebih modern. Masyarakat yang tradisional sudah mengenal hukum yang
berkaitan dengan kearifan lokal untuk perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup seperti Suku Kajang di Sulawesi Selatan, seperti mengatur
mengenai pohon-pohon yang dapat ditebang dan pengaturan mengenai
pemanfaatan air. Dalam masyarakat modern perlindungan terhadap
lingkungan menjadi rumit, sejalan dengan perkembangan industri, seperti
bahan baku dari hasil hutan, bahan galian dan sistem perkebunan dari
yang tradisionl ke modern yang menuntut perluasan lahan yang lebih luas
sehingga hutan dijadikan lahan perkebunan.
Perubahan dan perkembangan masyarakat yang sejalan dengan
perkembangan industri menuntut diadakannya pembaharuan terhadap
hukum yang mengaturnya dalam hal penegakan hukum lingkungan
baik sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Selain sanksi
tersebut, yang utama dan terpenting adalah peran serta masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga penerapan
sanksi hanyalah alternatif terakhir. Peran serta masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat diharapkan,
karena dampak dari kerusakan lingkungan dirasakan langsung oleh
masyarakat.
Selain masyarakat, yang terpenting adalah peran negara dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan
secara tidak langsung diakibatkan oleh berbagai kebijakan pemerintah
dalam memberikan izin dan pengelolaan lingkungan hidup tanpa disertai
analisis lingkungan yang benar. Diharapkan pemerintah untuk menjaga
agar terjadinya kesinambungan dan Keserasian serta keseimbangan antara

146
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Walaupun dalam


kenyataannya sangat sulit untuk diwujudkan karena setiap pembangunan
selalu mengorbankan lingkungan dengan alasan atau program
pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Kerusakan lingkungan harus menjadi perhatian seluruh negara-
negara, karena kerusakan atau pencemaran lingkungan di negara tertentu
dampaknya dapat dapat dirasakan di negara lain, seperti kebakaran hutan
di Indonesia dampaknya dirasakan oleh negara tetangga dan pemanasan
global yang menyebabkan perubahan iklim disetiap Negara. Sehingga
persoalan lingkungan menjadi perhatian setiap negara untuk turut serta
dalam menjaga lingkungan hidup.
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat
penting karena kerusakan lingkungan tidak mungkin dapat diperbaiki
seperti semula waktu yang lebih lama dan biaya untuk memperbaiki lebih
mahal dari pada hasil yang diperoleh dalam pemanfaatan lingkungan.
Melalui konsep regulasi yang jelas serta kepedulian lingkungan yang
tinggi, diharapkan nantinya tercipta peningkatan kualitas kehidupan dan
kesejahteraan generasi masa kini tanpa mengabaikan kesempatan generasi
masa depan. maka perlu ada regulasi hukum yang jelas terkait kepada
pengelolaan lingkungan hidup terutama dalam hal pelaksanaannya,
Sehingga hukum lingkungan sangat penting peranannya dalam
mengantisipasi terjadinya kerusakan lingkungan yang semakin parah yang
diwujudkan dengan adanya kesadaran hukum dan taat hukum. Sehingga
penegakan hukum lingkungan menjadi salah satu alternatif perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, karena hukum berisi norma yang
mengatur prilaku manusia, norma yang berisi perintah dan larangan,
keharusan, izin, dan bersifat preventif selanjutnya dapat dipaksakan
berlakunya oleh pejabat yang berwenang.

II. Perkembangan Hukum Lingkungan Sekarang Ini.


Hukum Lingkungan di Indonesia merupakan Hukum Lingkungan
Modern yang memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral,
selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes,
memperhatikan hak asasi manusia dan peran serta mayarakat termasuk
lingkungan hidup itu sendiri serta mengatur segi hukum administrasi,
segi hukum pidana, dan segi hukum perdata, yang sebagian besar terdiri
atas Hukum Pemerintahan dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
secara Alternatif, yang seiring dengan perkembangan hukum lingkungan
hidup Internasional. Dengan pengaturan tersebut diharapkan pelestarian
lingkungan itu sendiri dapat lebih terwujud.
Dalam UUD 1945 sudah mengatur mengenai pengelolaan dan
pemanfaatan lingkungan seperti alinea keempat Pembukaan: membentuk
147
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa


Indonesia, serta dikaitkan dengan Hak Penguasaan Negara atas bumi, air
dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat.
Selanjutnya dalam amandemen UUD 1945 Pasal 28H (1) mengatur bahwa
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh palayanan kesehatan.
Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak
diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982.
UULH 1982 pada tanggal 19 September 1997 digantikan oleh Undang-
undang No. 23 Tahun 1997 dan kemudian UU No. 23 Tahun 1997 juga
dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 209 No. 140).
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagai dasar formal hukum lingkungan di
Indonesia selain memuat ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-
instrumen hukum yang sama dengan undang undang hukum lingkungan
sebelumnya tetapi juga telah mengalami perubahan-perubahan dan
penambahan norma-norma dan instrumen-instrumen hukum hukum
baru sesuai dengan perkembangan lingkungan yang diaturnya dan
adanya beberapa ketentuan terhadap setiap orang yang memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup, yaitu ketentuan norma yang sangat penting
adalah Pasal 66 memberikan perlindungan hukum kepada orang yang
memperjuangkan, melaporkan dari kemungkinan tuntutan pidana dan
perdata dari orang atau korporasi yang dilaporkan, adanya Penyusunan
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tingkat
Nasional, Provinsi dan Kota/Kabupaten, sejalan dengan Undang-undang
otonomi daerah yaitu diaturnya tugas dan wewenang pemerintah dan
pemerintah daerah, Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan, kewenangan
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melimpahkan berkas
perkaranya langsung kepada Jaksa Penuntut Umum tetapi dalam hal
penangkapan harus koordinasi dengan Polri, dan penambahan larangan
atau tindak pidana yang tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya.

III. Perkembangan Hukum Lingkungan Masa Depan.


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hukum selalu tertinggal
dengan perkembangan masyarakat yang diaturnya, sehingga banyak
peraturan perundang-undangan yang diamandemen bahkan diganti
dengan yang baru, hal tersebut berlaku pula terhada undang-undang
hukum lingkungan.

148
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Perkembangan dan pengaturan norma yang diatur dalam UU No. 32


Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dalam kenyataannya belum membawa perkembangan positif bagi upaya
penegakan hukum lingkungan pidana atau tidak membawa perubahan
apapun secara nyata terhadap kerusakan lingkungan. Dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
sudah sangat jelas kewenangan masing masing baik PPNS, Polri, Pemerintah
Pusat dan Daerah, Peran Serta Masyarakat, sanksi, pertanggungjawaban
pidana dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Berkaitan dengan
hal tersebut, perlunya ditelaah lebih lanjut mengenai perubahan UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
atau bagaimana baiknya pengaturan hukum lingkungan dimasa yang akan
datang memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Dimasa yang akan datang perlu dibentuk suatu badan khusus atau
komisi yang bertugas pencegahan, penindakan dan penegakan hukum
yang mempunyai kewenangan penyidikan yang independen lepas dari
Polri dan PPNS, melakukan dakwaan dan tuntutan. Badan atau komisi
yang dimaksud sama dengan BNN dan KPK yang bersifat independen
dan bertanggungjawab langsung ke Presiden atau DPR. Alasan yang
mendasari perlunya dibentuk badan khusus atau komisi karena
selama ini penegakan hukum lingkungan tidak maksimal sesuai yang
diharapkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Karena pemerintah, pejabat/menteri
melalui kebijakannya dapat merusak lingkungan secara langsung
maupun tidak langsung sehingga diperlukan suatu badan atau komisi
yang independen terlapas dari pemerintah.
2. Dimasa datang perlunya diatur sanksi terhadap Pemerintah dan
Daerah yang tidak melaksanakan peran dan fungsinya sebagaimana
dimanatkan dalam undang-undang lingkungan hidup;
3. Perlunya pengaturan sanksi kepada penegak hukum dalam undang-
undang lingkungan hidup yang tidak melaksanakan penegakan hukum
sesuai dengan aturan seperti penyidik tidak melakukan penyelidikan
dan penyidikan sesuai dengan ketentuan, sanksi terhadap penyidik
yang menghentikan penyidikan tanpa dasar hukum, penyidik yang
bekerjasama dengan tersangka. Sanksi kepada penegak hukum yang
melanggar ketentuan dapat berupa sanksi pidana dan administrasi.
Dengan adanya ketentuan tersebut dalam undang-undang lingkungan
hidup diharapkan penegak hukum lebih serius dalam melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup dan menghindari adanya mafia
dalam penegakan hukum lingkungan;
4. Dimasa yang akan datang undang-undang lingkungan hidup perlu
mengatur mengenai sanksi terhadap orang, masyarakat atau korporasi
yang menghalang-halangi proses penegakan hukum.

149
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

IV. Kesimpulan.
1. Menurut pandangan baru (modern) bahwa hukum yang ada itu tidak
lengkap,tidak dapat mencakup seluruh peristiwa hukum yang timbul
dalam masyarakat. Oleh sebab itu hakim turut serta menemukan hukum
yang oleh Prof. Mr. PaulSchalten menyebutkan Hakim menjalankan
Recht vinding.
2. Walaupun Hakim turut menemukan hukum, ia bukanlah legislatif.
3. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim menggunakan metode
penafsiran terhadap Undang-undangseperti penafsiran menurut
bahasa, penafsiran secarahistoris, penafsiran secara sistematis,
penafsiran secara teleologis / sosiologis,penafsiran secara authentik,
penafsiran secara ektensif, penafsiran secararestriktif, penafsiran secara
analogi, penafsiran secara argumentus a contrario.

Daftar Pustaka.
Chainur Arrasjid, Pengatar Ilmu Hukum, Yani Corp Medan, 1988.
------------, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika Jakarta, 2000.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka Jakarta, 1986.
C. Asser, Mr/Paul Scholtes, Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata
Belanda, Gajah Mada University Press, 1986.
E. Utrecht, & M. Saleh Djinjang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, 1982.
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramitha, Jakarta,
1985.
Satjipto, Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 1996.
Syahruddin Husin, Pengantar Ilmu Hukum, Kel Study Hukum & Masyarakat,
Medan 1992.
Sudikno Merto Kusumo, Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta, 1999.
-----------, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, PT. CitraAditya Bakti, 1993.

150
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DALAM RUU KUHP
DENGAN UNDANG-UNDANG
DI LUAR KUHP DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Oleh:
Lushiana Primasari, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret – Surakarta - Jawa
Tengah)

I. Pendahuluan.
Upaya penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) masih terus berlangsung hingga saat
ini. Kajian keilmuan terus dilakukan untuk penyempurnaan RUU KUHP.
Hal ini dilakukan mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang berlaku pada saat ini merupakan KUHP warisan zaman
kolonial Hindia-Belanda, sehingga seiring dengan perkembangan zaman
yang salah satunya ditandai dengan perkembangan dalam masyarakat
Indonesia yang dinamis, maka perlu adanya upaya pembaharuan hukum
pidana yang disesuaikan dengan budaya dan jatidiri bangsa Indonesia.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah belum
digantinya hukum pidana induk yang dimuat dalam KUHP, khususnya
Buku I mengenai Ketentuan Umum. Namun demikian, perkembangan
masyarakat Indonesia yang begitu dinamis ternyata tidak disertai dengan
perkembangan rumusan pemidanaan dalam KUHP, sehingga hal ini
dirasa tidak lagi mampu dijadikan dasar hukum untuk mengatasi problem
kejahatan yang semakin berkembang motifnya. Untuk mengantisipasi hal
ini maka salah satu kebijakan yang ditempuh adalah melakukan kebijakan
legislatif melalui undang-undang di luar KUHP, baik melalui undang-
undang di bidang hukum administrasi maupun bidang hukum lain yang
memuat ketentuan pidana.
Namun dalam perkembangannya, hukum pidana di luar KUHP
tersebut mengalami kemajuan yang cukup pesat sehingga dikhawatirkan
akan meninggalkan prinsip-prinsip hukum pidana dalam Ketentuan
Umum Hukum Pidana (Buku I KUHP). Akibatnya, seolah-olah terjadi
dualisme sistem hukum pidana, yaitu sistem hukum pidana berdasarkan

151
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

KUHP dan sistem hukum pidana berdasarkan undang-undang yang


tersebar di luar KUHP. Perkembangan hukum pidana tersebut secara
perlahan-lahan telah menimbulkan problem yang serius dalam penegakan
hukum pidana yaitu pengkategorian hukum pidana yang terlalu ketat dan
kurang mempertimbangkan proses kebijakan legislatif dalam pembentukan
hukum pidana, terjadi tumpang tindih norma hukum pidana yaitu antara
norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam
undang-undang di luar KUHP, perumusan ancaman sanksi pidana yang
tidak terstruktur dan tidak sistematik, dan terlalu banyaknya undang-
undang yang membuat ketentuan pidana serta sering terjadi perubahan
norma hukum pidana.
Setiap sistem mempunyai tujuan. Sistem ketatanegaraan, sistem
pemba-ngunan nasional, sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan
hukum dsb.nya juga mempunyai tujuan (dikenal dengan istilah “visi”
dan “misi”). Demikian pulalah dengan sistem hukum (termasuk sistem
hukum pidana), sehingga tepatlah apabila dikatakan bahwa sistem hukum
merupakan suatu sistem yang bertujuan (“purposive system”). Agar ada
keterjalinan sistem, maka tujuan pemidanaan dirumuskan secara eksplisit di
dalam RKUHP. Di samping itu, perumusan yang eksplisit itu dimaksudkan
agar “tidak dilupakan”, dan terutama untuk menegaskan bahwa tujuan
pemidanaan merupakan bagian integral dari sistem pemidanaan.
Namun demikian, tujuan pemidanaan yang telah dirumuskan dalam
RUU KUHP tersebut perlu disinkronkan dengan berbagai Undang-
Undang di luar KUHP, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang
tindih atau kekacauan dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama
kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia sebagai dampak
dari adanya beberapa hal yang baru diatur dalam RUU KUHP sedangkan
hal-hal baru tersebut belum disesuaikan dengan Undang-Undang yang
saat ini berlaku.

II. Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka
permasalahan pokok dalam tulisan ini adalah kajian lebih lanjut mengenai
bagaimanakah sinkronisasi pemidanaan dalam RUU KUHP dengan
Undang-Undang di luar KUHP dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia?


Anthony Allot, The Limits of Law, Butterwoth & Co. Ltd, London, 1980, hal. 28 dalam Barda
Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan
Perbandingan Beberapa Negara, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, hlm. 9.

Ibid, hlm. 9.

152
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

III. Pembahasan.
Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the
sentencing system) adalah „aturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan sanksi pidana dan pemidanaan“, (the statutory rules relating to penal
sanction and punishment). Dalam arti luas, sistem pemidanaan dilihat dari
sudut fungsional yaitu sudut bekerjanya/prosesnya. Dalam arti luas ini
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/ operasionalisasi/ konkretisasi pidana;
2. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik
dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub sistem
hukum pidana materiel/substantif, sub sistem hukum pidana formal dan
sub sistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga sub sistem itu merupakan
satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana
dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub
sistem itu.
Terbitnya undang-undang yang mengatur tentang hukum pidana
di luar KUHP baik yang dikategorikan sebagai hukum pidana khusus
maupun hukum pidana di bidang hukum administrasi yang menyimpangi
Ketentuan Umum Hukum Pidana yang dimuat dalam Buku I KUHP telah
menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP kepada sistem
hukum pidana di luar KUHP sehingga terbentuk dua sistem hukum pidana
dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia, padahal idealnya dalam
satu Negara terdapat satu sistem hukum pidana nasional dan sistem hukum
pidana nasional dibentuk berdasarkan Ketentuan Umum yang dimuat
dalam Buku I KUHP. Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang
patut menjadi perhatian. Kondisi ini tentu menimbulkan permasalahan
dalam pelaksanaan praktek penegakan hukum di Indonesia, terjadi
tumpang tindih peraturan sehingga perlu adanya sinkronisasi antara
berbagai Undang-Undang di luar KUHP dengan ketentuan-ketentuan
dalam RUU KUHP, hal ini dimaksudkan agar tercipta situasi yang kondusif
dalam penegakan hukum di Indonesia terutama kaitannya dengan Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia sebagai dampak dari adanya beberapa hal

L.H.C Hulsman, The Dutch Criminal Justice System From A Comparative Legal Perspective,
di dalam D.C Fokkema (Ed), Introduction to Dutch Law For Foreign Lawyers (Kluwer Deventer, The
Nederlands 1978), hal.320 dalam Barda Nawawi Arief. 2011. Perkembangan Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Semarang : Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNDIP.

Ibid, hlm. 2.

Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia RI Tahun 2010, hlm. 6.

153
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

yang baru diatur dalam RUU KUHP sedangkan hal-hal baru tersebut
belum disesuaikan dengan Undang-Undang yang saat ini berlaku.
Terhadap keadaan hukum pidana nasional tersebut, dipandang perlu
disusun langkah-langkah pembentukan hukum pidana nasional Indonesia
guna membentuk sistem hukum pidana nasional Indonesia dalam suatu
kitab hukum pidana atau KUHP (baru) dilakukan dengan cara: reformulasi,
restrukturisasi, dan rekonstruksi terhadap norma hukum pidana positif
Indonesia (hukum pidana yang berlaku sekarang baik norma hukum
pidana yang ada dalam KUHP maupun norma hukum pidana yang dimuat
dalam undang-undang di luar KUHP) serta penambahan norma hukum
pidana yang dipandang perlu (kriminalisasi) sesuai dengan kebutuhan
hukum di Indonesia pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
RUU KUHP saat ini mencoba untuk mengantisipasi berkembangnya
undang-undang di luar KUHP dengan memasukkan jenis-jenis tindak
pidana yang lebih lengkap Buku Kedua mengenai Tindak Pidana. Dalam
merumuskan tindak pidana, di samping mengacu pada perkembangan
perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP (misalnya UU tentang
Pencucian Uang, UU tentang Pemberantasan Terorisme, UU tentang
Penghapusan KDRT, UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
tentang Perlindungan Cagar Budaya, UU tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU tentang Pengadilan HAM, UU tentang Kesehatan,
UU tentang Sisdiknas dan sebagainya), secara antisipatif dan proaktif
juga memasukkan pelbagai RUU yang sudah diterima masyarakat yaitu
antara lain pelbagai RUU Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi, Tindak
Pidana di Dunia Maya atau Tindak Pidana tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (cybercrime), Tindak Pidana Perdagangan Orang (human
trafficking) dan lain-lain. Di samping itu adaptasi terhadap perkembangan
kejahatan atau tindak pidana internasional (international crimes), khususnya
yang merupakan jus cogens yang bersumber dari pelbagai konvensi
internasional, baik yang sudah diratifikasi atau belum juga dilakukan.
Sebagai contoh adalah Tindak Pidana Penyiksaan atas dasar ratifikasi
terhadap “Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment” (1984), demikian pula antisipasi terhadap
kemungkinan ratifikasi terhadap Statuta Roma 1998 tentang International
Criminal Court, perluasan tindak pidana korupsi yang bersumber pada
UN Convention Against Corruption (2003), Palermo Convention tentang
Transnational Organized Crimes (2000), dan sebagainya; Dengan demikian
penambahan Bab dan Pasal-pasal tak dapat dihindarkan; Pemikiran
“gender sensitives” mempengaruhi Tim RUU untuk memasukkan pelbagai
tindak pidana baru tentang perkosaan dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, pornografi dan pornoaksi dan lain-lain. Upaya ini diharapkan

Ibid, hlm 165.

Muladi. 2006. Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP. Bahan Bacaan
untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM dengan tema: “Melihat Politik Kodifikasi
dalam Rancangan KUHP”.

154
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dapat mengantisipasi berkembangnya undang-undang di luar KUHP serta


mengantisipasi kondisi masyarakat baik saat ini maupun di masa yang
akan datang.
Dengan dimasukannya jenis tindak pidana yang lebih lengkap karena
undang-undang yang mengatur pidana di luar KUHP dimasukkan dalam
RUU KUHP, menunjukkan bahwa merupakan RUU KUHP merupakan
kodifikasi, aturan pidana dimasukkan ke RKUHP, jadi undang-undang
itu merupakan sesuatu yang penting bagi pengaturan tindak pidana itu
sendiri.
Tujuan dan pedoman pemidanaan merupakan bagian integral dari
sistem pemidanaan, di samping sub-sub sistem lainnya yang berupa
tindak pidana, kesalahan (pertanggungjawaban pidana), dan pidana.
Dengan konstruksi demikian, maka persyaratan pemidanaan atau dasar
pembenaran (justifikasi) adanya pidana, tidak hanya didasarkan pada
adanya „tindak pidana“ dan “kesalahan atau pertanggungjawaban
pidana“, tetapi juga didasarkan pada „tujuan pemidanaan“. Hal tersebut
berbeda dengan syarat pemidanaan yang hanya bertolak atau terfokus
pada tiga masalah pokok hukum pidana (tindak pidana; kesalahan/
pertanggungjawaban pidana; dan pidana). Dengan model tersebut tidak
terlihat variabel „tujuan“, karena tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
KUHP, sehingga terkesan „tujuan“ berada di luar sistem.
Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan bertolak dari pokok
pemikiran :
1. sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan
(„purposive system) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk
mencapai tujuan;
2. „tujuan pidana“ merupakan bagian integral (sub-sistem) dari
keseluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-
sistem lainnya, yaitu sub-sistem „tindak pidana“, ‚pertanggungjawaban
pidana (kesalahan)“, dan „pidana“;
3. perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai
fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/
landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;
4. dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan
suatu rangkaian proses melalui tahap „formulasi“ (kebijakan
legislatif), tahap aplikasi (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap
„eksekusi“ (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar
ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai
satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan

Barda Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara, Semarang : Badan Penerbit UNDIP, hlm.14.

Ibid. Hlm. 15-16.

155
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pedoman pemidanaan.10
Selanjutnya perumusan tujuan pemidanaan, rumusan tujuan
pemidanaan mengalami beberapa kali perubahan. Dalam RUU KUHP
2012, tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 54 sebagai berikut :
(1) Pemidanaan bertujuan :
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia
Dimasukkannya tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP perlu
menjadi perhatian bagi aparat penegak hukum sebagai unsur dari sistem
peradilan pidana di Indonesia yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Hakim dan
Lembaga Pemasyarakatan. Ketika RUU KUHP telah disahkan, perlu
adanya harmonisasi dan sinkronisasi antara peraturan perundang-
undangan yang tersebar di berbagai undang-undang dan RUU KUHP,
tanpa adanya pemahaman yang mendalam oleh aparat penegak hukum
mengenai tujuan pemidanaan kaitannya dengan sanksi pidana yang ada
pada berbagai undang-undang maka tujuan pemidanaan itu sendiri akan
sulit tercapai.
Dalam RUU tentang KUHP Pemerintah memandang perlu adanya
pengaturan mengenai masa transisi (engagement period) guna memberikan
ruang bagi Pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat,
terutama bagi penegak hukum, dalam menerapkan KUHP yang baru.
Selain itu, pengaturan masa transisi juga bertujuan untuk memberikan
kesempatan bagi pemerintah untuk menyiapkan sarana, prasarana,
dan sumber daya manusia dalam pelaksanaan pidana tutupan, pidana
pengawasan, dan pidana kerja sosial. KUHP yang baru nantinya juga
diharapkan dapat menjadi dasar dan pedoman utama dalam hal konsep
kriminalisasi, penalisasi, dan penyesuaian istilah bagi Undang-Undang
lainnya yang bersifat lex specialis. Pemerintah berpendapat bahwa masa
transisi (engagement period) yang ideal adalah 2 (dua) tahun, sehingga
KUHP yang baru nantinya mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak tanggal
diundangkan.11
Ibid. Hlm. 3-4.
10

Keterangan Presiden Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang


11

Hukum Pidana, disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin dalam

156
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Beberapa hal baru dalam RUU KUHP misalnya pidana kerja sosial
memerlukan masa sosialisasi kepada sumber daya manusia dalam hal
ini adalah aparat penegak hukum agar terjadi persamaan persepsi antar
penegak hukum. Di samping persamaan persepsi, dukungan fasilitas
sarana dan prasarana juga diperlukan untuk mendukung penerapan hal-
hal baru yang sebelumnya belum diatur dalam KUHP saat ini.

IV. Penutup.
RUU KUHP saat ini mencoba untuk mengantisipasi terhadap
berkembangnya undang-undang di luar KUHP dengan memasukkan
materi hukum pidana yang berada di luar KUHP ke dalam Buku Kedua
mengenai Tindak Pidana, di samping mengacu pada perkembangan
perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP secara antisipatif dan
proaktif juga memasukkan pelbagai RUU yang sudah diterima masyarakat
dan yang bersumber dari pelbagai konvensi internasional, baik yang
sudah diratifikasi atau belum juga dilakukan. Dimasukkannya tujuan
pemidanaan dalam RUU KUHP perlu menjadi perhatian bagi aparat
penegak hukum sebagai unsur dari sistem peradilan pidana di Indonesia
dengan memahami harmonisasi dan sinkronisasi antara peraturan
perundang-undangan yang tersebar di berbagai undang-undang dan
RUU KUHP, sehingga diharapkan dapat mewujudkan tujuan pemidanaan
sesuai yang diamanatkan dalam RUU KUHP. Perlu adanya pengaturan
mengenai masa transisi (engagement period) guna memberikan ruang bagi
Pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, terutama bagi
penegak hukum, dalam menerapkan KUHP yang baru. Pengaturan masa
transisi juga bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pemerintah
untuk menyiapkan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia.

Daftar Pustaka.
Barda Nawawi Arief. 2009. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara,
Semarang : Badan Penerbit UNDIP
_________________. 2011. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia.
Semarang : Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNDIP
Muladi. 2006. Beberapa Tulisan Terkait Kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP.
Bahan Bacaan untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan

Rapat Kerja antara Komisi III DPR-RI dan Pemerintah dalam rangka penyampaian Keterangan
Presiden atas Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
tentang KUHP) pada tanggal 6 Maret 2013, diakses dari http://www.kemenkumham.go.id/berita/
headline/1836-keterangan-presiden-atas-rancangan-undang-undang-tentang-kitab-undang-undang-
hukum-pidana.

157
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

ELSAM dengan tema: “Melihat Politik Kodifikasi dalam Rancangan


KUHP”.
Keterangan Presiden Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, disampaikan oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin dalam Rapat Kerja antara
Komisi III DPR-RI dan Pemerintah dalam rangka penyampaian
Keterangan Presiden atas Rancangan Undang-Undang tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU tentang KUHP) pada
tanggal 6 Maret 2013, diakses dari http://www.kemenkumham.
go.id/berita/headline/1836-keterangan-presiden-atas-rancangan-
undang-undang-tentang-kitab-undang-undang-hukum-pidana.
Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI
Tahun 2010.

158
PEMBAHARUAN PEMIDANAAN
DALAM RANCANGAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
INDONESIA
Oleh:
Maria Ulfah, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan – Bandung -
Jawa Barat)

I. Pendahuluan.
Sebagaimana diketahui bahwa jenis tindak pidana di masyarakat
saat ini terus berkembang, begitu pun bentuk-bentuk sanksi pidana di
Indonesia yang turut berkembang di masing-masing undang-undang
di luar KUHP. Akan tetapi, perubahan tersebut belum diiringi dengan
kejelasan tujuan pemidanaan untuk mewujudkan penegakkan hukum
pidana Indonesia yang sejalan satu sama lain bagi aparat penegak hukum.
Kejelasan tujuan pemidanaan di Indonesia baru tampak di dalam RKUHP
sebagai ius constituendum hukum pidana di Indonesia.
Sehubungan dengan hal di atas, sanksi pidana dan tujuan pemidanaan
merupakan dua hal yang saling terkait. Tujuan pemidanaan diperlukan
untuk memberi arahan jelas saat sanksi pidana diberikan dan diterapkan
bagi pelaku tindak pidana. Hingga tahun 2013 ini, aparat penegak
hukum (dari pihak Kepolisian hingga pihak Lembaga Pemsyarakatan) di
Indonesia menegakkan hukum pidana dengan tujuan pemidanaan yang
dipilih masing-masing. Hal itu tidak akan terjadi lagi apabila RKUHP
diberlakukan karena adanya pengaturan Pasal 54 RKUHP. Akan tetapi,
keharmonisan bentuk-bentuk sanksi pidana dalam RKUHP di Indonesia
sangat diperlukan agar tujuan pemidanaan dapat tercapai di masa
mendatang.

II. Tujuan Pemidanaan dalam RKUHP.


Pembahasan mengenai bentuk sanksi pasti berhubungan dengan
tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan itu sendiri bermakna untuk
menjustifikasi atau mencari pembenaran mengapa pelaku tindak pidana
dikenai pidana serta dampak pidana bagi pelaku tindak pidana, dan
masyarakat. Di dalam KUHP Indonesia, tidak terdapat pengaturan secara
jelas mengenai tujuan pemidanaan yang dianut Indonesia.

Djisman Samosir, Sekelumit tentang Penologi dan Pemasyarakatan, Nuansa Aulia, Bandung,
2012, hlm. 74.

159
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan


hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa
pandangan berikut. Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua teori
tujuan pemidanaan yang berbeda satu sama lain yaitu teori retributif
(retributive theory) dan teori utilitarian (utilitarian theory). Teori retributif
mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan
ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan
yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing.
Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking).
Sedangkan teori utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau
kegunaannya, di mana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan
di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang
lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan
ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan mempunyai sifat
pencegahan (detterence). Selanjutnya Muladi berpendapat bahwa teori-
teori tujuan pemidanaan terbagi menjadi 3 kelompok sebagai berikut:
1. Teori absolut (retributif) memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori
ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan
untuk memuaskan tuntutan keadilan.
2. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan
masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah
agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk
pemuasan absolut atas keadilan.


Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California,
1968, hlm. 9-10.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hal. 49-51. Bambang
Poernomo dan Van Bemmelen juga menyatakan ada 3 teori pemidanaan sebagaimana yang
dinyatakan oleh Muladi, yakni teori pembalasan (absolute theorien), teori tujuan (relatieve theorien)
dan teori gabungan atau (verenigings theorien). Lihat Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana,
Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 27.

Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan
khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat.
Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif.
Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan
terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan
kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang.

160
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

3. Teori retributif-teleologis (teori integratif) memandang bahwa tujuan


pemidanaan bersifat plural. Hal itu karena teori ini menggabungkan
antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu
kesatuan. Teori ini bercorak ganda, di mana pemidanaan mengandung
karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral
dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya
terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi
atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori
ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi
terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi
sekaligus retribution yang bersifat utilitarian, di mana pencegahan dan
sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang
harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat
integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah pencegahan
umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas
masyarakat, dan pengimbalan/ pengimbangan.
Kemudian teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik
karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat
berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa
treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence
tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. Terhadap
tekanan atas tujuan rehabilitasi tersebut, lalu lahir “Model Keadilan”
sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh
Sue Titus Reid. Model keadilan dikenal juga dengan pendekatan keadilan
atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada
dua teori tentang tujuan pemidanaan yaitu pencegahan (prevention) dan
retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap
bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh
mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi
yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan
kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.
Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan
menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih
serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku
kejahatan yang lebih ringan. Akan tetapi, terdapat dua hal yang menjadi
kritik dari teori just desert ini yaitu:
1. Pertama, karena desert theories menempatkan secara utama menekankan
pada keterkaitan antara hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan.
Berdasarkan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini

Soehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 61.

Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publising Company, New York,
1987, hal.352. Dalam Soehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 62.

161
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

mengabaikan perbedaan-perbedaan relevan lain antara para pelaku,


seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak penghukuman
kepada pelaku dan keluarganya. Oleh karena itu, seringkali terdapat
perlakuan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama.
2. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedoman-
pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi
psikologi dari penghukuman dan pihak yang menghukum.
Sehubungan dengan hal di atas, ketentuan mengenai pemidanaan
dalam RKUHP mengatur tentang arahan bagaimana suatu sanksi pidana
dapat dijatuhkan kepada pelaku yang didasarkan pada pertimbangan
tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Ketentuan Pasal 54
RKUHP mengatur mengenai tujuan pemidanaan yang akan dianut di
Indonesia. Perumusan tujuan pemidanaan tersebut dapat dikatakan
berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan
untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju
kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan
pembalasan kepada pelaku, tetapi sanksi pidana ditekankan pada tujuan
utamanya yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.
Tujuan ini juga berdasarkan pandangan utilitarian Herbet L. Packer
yang melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya, di mana
yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan
dijatuhkannya pidana itu. Tujuan pemidanaan untuk menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Oleh karena itu jelas
bahwa tujuan pemidanaan dalam RKUHP adalah berorientasi ke depan
(forward-looking).
Adapun perumusaan empat tujuan pemidanaan pada Pasal 54 di
atas, memperlihatkan adanya dua kepentingan yang hendak dicapai yakni
perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku. Perlindungan
masyarakat tampak dari adanya penentuan pidana minimum dan
maksimum dalam delik-delik tertentu. Sedangkan pembinaan bagi pelaku
tampak dari adanya kesempatan dilakukan perubahan atau penyesuaian
dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan
(diatur di Pasal 57 RKUHP) dan adanya penjatuhan pidana pokok yang

Michael Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996, hlm. 15.

Isi Pasal 54 RKUHP:
“(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang
baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.”

162
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai
dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan (diatur di Pasal 60
RKUHP).
Selain tujuan pemidanaan, RKUHP juga mengakui adanya faktor-
faktor meringankan dari pelaku tindak pidana yang tercantum dalam
Pasal 55 di atas tentang Pedoman Pemidanaan. Pengaturan Pedoman
Pemidanaan ini menunjukkan adanya teori relatif dan mengarah pada
teori integratif (teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa
fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian, di mana pencegahan
dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang
harus dicapai dalam suatu rencana pemidanaan). Hal tersebut terlihat dari
adanya ketentuan mengenai pertimbangan tentang riwayat hidup dan
sosial ekonomi pembuat tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa
depan, pemaafan korban dan/atau keluarganya, dan juga pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Penjelasan dalam
ketentuan mengenai pedoman pemidanaan juga menentukan bahwa
hakim dapat menambahkan pertimbangan lain yang tercantum dalam
ketentuan pasal ini, dan bertujuan agar pidana yang dijatuhkan bersifat
proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun pelaku
tindak pidana.

III. Sinkronisasi Pemidanaan dalam RKUHP Indonesia.


Tugas dari hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum yang
digolongkan ke dalam perlindungan terhadap nyawa, badan, kehormatan,
kebebasan, dan kekayaan. Wujud dari perlindungan tersebut adalah
melalui sanksi pidana. Perkembangan perumusan sanksi pidana di negara
daerah Eropa Barat sudah lebih maju, sehingga terjadi perubahan pada
sistem stelsel hukum pidananya. Perubahan tersebut dilakukan dengan
adanya revisi total suatu KUHP seperti yang terjadi di Jerman, Austria
(1975), RRC (1980). Adapula negara Belanda yang rutin hampir setiap
tahun melakukan perubahan atau bahkan pencabutan pasal-pasal tertentu
di KUHPnya. Sedangkan Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang
tertinggal dalam melakukan perkembangan perubahan rumusan sanksi
pidana di KUHP.10
Sanksi pidana adalah salah satu kekhasan dalam hukum pidana yang
membedakan dengan jenis hukum lainnya. Sanksi pidana ini dijatuhkan
dengan tujuan untuk memberikan nestapa (penderitaan) pada pelaku yang
melakukan tindak pidana. Sanksi pidana seperti pedang bermata dua, di
satu sisi dimaksudkan untuk menegakkan hukum pidana, namun di sisi

Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Bagan dan Catatan Singkat,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 4.
10
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993,
hlm. 17.

163
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

lain menegakkan dengan mengambil sebagian hak dari pelaku (misalnya


adalah kemerdekaan, sejumlah uang, bahkan hingga nyawa). Remmelink
berpendapat bahwa sanksi pidana dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan terhadap norma hukum. Selama norma hukum belum
dilanggar, sanksi pidana hanya memiliki fungsi preventif. Seketika terjadi
pelanggaran, daya kerja sanksi pidana berubah dan sekaligus juga menjadi
represif.11 Sedangkan M. Sholehuddin menyatakan bahwa masalah
sanksi merupakan hal sentral dalam hukum pidana, karena seringkali
menggambarkan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. Artinya pidana
mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang
baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta
apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.12
Sanksi pidana di dalam RKUHP terdiri dari pidana pokok dan pidana
tambahan. Bentuk-bentuk pidana pokok yang terdapat di dalam Pasal 65
RKUHP yakni:

1. Pidana Penjara.
Pidana ini merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang
tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan
orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di
dalam lembaga pemasyarakatan.13 Pidana ini berlaku dalam jangka waktu
seumur hidup atau dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, dikenal pula
adanya maksimum khusus dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat
maksimum ancaman pidananya, sedangkan untuk batas pemidanaan
yang paling rendah ditetapkan minimum umum. Minimum umum untuk
pidana penjara adalah satu hari. Minimum khusus dalam arti untuk tindak
pidana yang meresahkan masyarakat.
2. Pidana Tutupan.
Pidana ini yakni pidana yang dimaksudkan untuk mengganti pidana
penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku tindak
kejahatan atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah
dilakukan karena didorong oleh maksud yang patut dihormati.14 Pidana ini
merupakan pelaksanaan pidana penjara yang bersifat istimewa, sehingga
tidak tercantum dalam pasal dan pertimbangan penjatuhan pidana ini
didasarkan pada motif dari pembuat tindak pidana tindak pidana yaitu
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tindak pidana yang
dilakukan karena alasan ini pada dasarnya adalah tindak pidana politik.
11
Jan Remmelink, Hukum Pidana-Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda
dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 8.
12
Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya
Menurut Konsep KUHP Baru, USU Press, Medan, 2010, hlm. 13.
13
PAF Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm. 69.
14
Ibid, hlm. 147.

164
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

3. Pidana Pengawasan.
Pidana ini berlaku jika Terdakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pidana dijatuhkan
dengan jangka waktu paling lama tiga tahun dan dapat ditetapkan dengan
syarat-syarat tertentu.
4. Pidana Denda.
Pidana ini adalah pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar
oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan
minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah). Lalu pidana denda di RKUHP untuk orang sebagai pelaku
tindak pidana terdapat ketentuan kategori sebagai berikut:
a. kategori I Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah);
b. kategori II Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
c. kategori III Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
e. kategori V Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah);
dan
f. kategori VI Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Sedangkan untuk korporasi sebagai pelaku tindak pidana, pidana
denda paling sedikit untuk korporasi adalah pidana denda Kategori IV.
Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak
pidana yang diancam dengan:
a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima
belas) tahun adalah pidana denda Kategori V;
b. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori
VI.
Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam jangka
waktu sesuai dengan putusan hakim.
5. Pidana Kerja Sosial.
Pidana ini merupakan pidana pengganti untuk pidana penjara yang
akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak
lebih dari pidana denda Kategori I. Pelaksanaan pidana kerja sosial ini tidak
boleh dikomersialkan. Pidana ini paling singkat dalam jangka waktu tujuh
jam serta paling lama adalah dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa
yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas dan seratus dua puluh
jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Lalu berdasarkan Pasal 66 RKUHP, pidana mati menjadi pidana
pokok bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif dengan pidana
165
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pokok lainnya. Pidana ini dilakukan dengan menembak terpidana sampai


mati dan tidak dilaksanakan di muka umum. Sedangkan bentuk-bentuk
pidana tambahan dalam Pasal 67 RKUHP adalah:
1. Pencabutan hak tertentu.
Pidana ini harus disertai salah satu bentuk pidana pokok, berlaku sejak
tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan, serta harus disertai dengan
lamanya jangka waktu pencabutan hak tersebut yang jelas.
2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan.
Pidana ini dapat dijatuhkan dengan/ tanpa pidana pokok (dengan
pembatasan tertentu) atau jika terpidana diberikan tindakan.
3. Pengumuman putusan hakim.
Pidana ini dapat diberikan oleh hakim dan biaya pengumuman
ditanggung oleh terpidana.
4. Pembayaran ganti kerugian.
Pidana ini merupakan ganti kerugian bagi korban/ ahli warisnya.
5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bentuk-bentuk sanksi pidana di RKUHP di atas jelas tampak terdapat
perbedaan dengan sanksi pidana di dalam Pasal 10 KUHP yang mengenal
lima bentuk pidana pokok dan tiga bentuk pidana tambahan. Perbedaan
tersebut memang menunjukkan adanya perubahan dalam penentuan
bentuk-bentuk sanksi pidana bagi pelaku. Perbedaan tersebut tampak
dari:
1. Pidana mati bukan lagi menjadi pidana pokok pertama, tetapi berubah
menjadi pidana bersifat khusus.
2. Pidana tutupan menjadi pidana pokok kedua setelah pidana penjara,
sebagaimana diketahui di dalam KUHP pidana tutupan merupakan
pidana pada urutan kelima.
3. Penghapusan pidana kurungan yang pada prinsipnya adalah sanksi
pidana pembatasan kebebasan bergerak, tetapi dijatuhkan bagi
pelaku yang telah melakukan pelanggaran. Penghapusan ini terjadi
karena RKUHP tidak lagi mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran
(RKUHP terdiri dari dua buku: Ketentuan Umum dan Tindak Pidana),
sehingga tidak perlu lagi adanya pidana kurungan.
4. Perumusan pidana tambahan baru dalam RKUHP yakni pembayaran
ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Jika
dibandingkan dengan KUHP saat ini, dua jenis pidana tambahan
tersebut di atas belum dinyatakan sebagai pidana tambahan karena
dalam KUHP hanya mengenal tiga jenis pidana tambahan.

166
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

5. Adapun dikenalnya ”double track system” yakni sistem dua jalur artinya
pidana pokok dan tindakan dapat dijatuhkan bersama-sama. Hal
tersebut sama sekali tidak dikenal di KUHP.
Kesemua bentuk sanksi pidana di atas memang belum mencakup
bentuk sanksi pidana yang ada di luar KUHP, seperti pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti yang ada di dalam tindak pidana
korupsi atau bentuk sanksi pidana lainnya. Hal tersebut dapat teratasi
dengan model kebijakan kodifikasi terbuka. Model terbuka dalam RKUHP
dapat memberi kesempatan untuk pembentukan dan pengembangan
hukum pidana melalui undang-undang di luar kodifikasi. Pengaturan
model tersebut diperlukan karena terdapat beberapa kelebihan yaitu
bentuk sanksi pidana dapat diperbaharui secara rutin untuk merespon
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat baik dalam skala nasional
maupun internasional dengan berbagai modus operandinya. Akan tetapi,
mengingat bahwa sinkronisasi bentuk sanksi pidana juga harus diikuti
dengan perubahan hukum pidana formal serta hukum pelaksanaan
pidana, maka perlu dilakukan pembatasan sebagai berikut:
1. Adanya tambahan klausul “... bentuk sanksi pidana dapat dibentuk
berbeda dengan ketentuan ini, jika bentuk sanksi pidana itu sejalan
dengan tujuan pemidanaan yang diatur dalam undang-undang ini.”
2. Lalu pembentukan sanksi pidana baru (di luar bentuk sanksi pada Pasal
65 RKUHP) yang memberikan dampak perubahan besar bagi hukum
pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana hanya dapat dilakukan
dengan amandemen atau revisi dari peraturan kodifikasi. Misalnya
adalah pidana pokok berupa pidana kerja sosial. Bentuk pidana pokok
ini sangat berdampak pada perubahan hukum pidana formal, terutama
perubahan pada hukum pelaksanaan pidana sehingga hanya dapat
dibentuk melalui peraturan kodifikasi.
Sebaliknya, jika pembentukan sanksi pidana baru masih dapat
dijalankan dengan hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana
yang ada, maka baru dapat dibuat pada undang-undang di luar peraturan
kodifikasi. Contohnya adalah pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti yang ada di dalam tindak pidana korupsi. Bentuk pidana
tambahan ini tidak berdampak besar pada perubahan hukum pidana
formal dan hukum pelaksanaan pidana sehingga dapat dibentuk melalui
undang-undang di luar peraturan kodifikasi.

IV. Penutup.
Hakikatnya pemidanaan adalah hal penting dalam hukum pidana.
Tujuan pemidanaan dan bentuk sanksi pidana di dalam RKUHP,
perumusannya cukup memadai karena telah ada keseluruhan teori
Pemidanaan, baik yang bersifat pencegahan umum dan pencegahan khusus

167
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

(general and special prevention), pandangan perlindungan masyarakat (social


defence theory), teori kemanfaatan (utilitarian theory), teori keseimbangan
yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori
rasionalisasi sudah tercakup di dalamnya.
Arah tujuan pemidanaan bagi aparat penegak hukum negara Indonesia
telah tercantum secara jelas di dalam RKUHP. Begitu pun perkembangan
bentuk sanksi pidana di RKUHP berupa pidana pengawasan, pidana
denda, dan pidana kerja sosial mendapat pengaruh dari negara Eropa.
Di samping itu, terdapat pula ciri khas Indonesia yaitu pidana tambahan
berupa pemenuhan kewajiban adat.
Kesemua bentuk sanksi pidana pokok, pidana tambahan, serta
tindakan di RKUHP belum mencakup bentuk sanksi pidana pada undang-
undang di luar KUHP. Oleh karena itu, diperlukan model kebijakan
kodifikasi terbuka dengan beberapa pembatasan. Hal tersebut dilakukan
agar adanya sinkronisasi bentuk sanksi pidana dengan tujuan pemidanaan.
Lalu tujuan lain adalah agar pembaharuan bentuk-bentuk sanksi pidana
bukan sekedar upaya tambal sulam tanpa arah, tetapi ditujukan untuk
mencapai perubahan lebih baik dan terarah dengan pemidanaan yang
jelas.

168
“MEMAAFKAN TERPIDANA”
DALAM PARADIGMA NEGARA HUKUM

Oleh:
Dr. Mariyadi Faqih, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang – Jawa Timur)

I. Pendahuluan.
Terpidana merupakan bagian penting dan fundamental dari tujuan
hukum, khususnya hukum pidana. Seseorang bisa menjadi terpidana atau
narapidana, sejatinya adalah akibat rangkaian bekerjanya sistem yang
berhasil membuktikan kalau dirinya telah bersalah melakukan tindak
pidana. Ada yang bersalah melakukan tindak pidana ini karena unsur
kesengajaan, namun juga ada yang karena kealpaan.
Meski seseorang itu secara yuridis diputus bersalah (jahat), namun
ia juga tidak selalu menginginkan hidup yang dijalani tetap dalam ranah
kejahatannya. Hidup yang lebih baik, bermartabat, dan berkeadaban
tentulah menjadi keinginan normal setelah melakukan kesalahan atau
menjalani hidup dalam ketidakadaban.
Idealisme hidup dalam keadaban dan kedamaian itulah yang
sebenarnya dicita-citakan oleh norma yuridis. Penulis dan pakar hukum
Notohamidjojo menyatakan, bahwa tujuan hukum adalah mendatangkan
tatanan (keteraturan) dan kedamaian dalam masyarakat, mewujudkan
keadilan, dan menjaga supaya manusia diperlakukan sebagai manusia.
Orientasi itu pula yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno,
bahwa secara moral politik setidaknya ada empat alasan utama orang
menuntut agar negara diselenggarakan (dijalankan) berdasarkan atas
hukum yaitu: (1) kepastian hukum, (2) tuntutan perlakuan yang sama, (3)
legitimasi demokrasi, dan (4) tuntutan akal budi
Pemikiran tersebut menunjukkan, bahwa tujuan hukum, yang
merupakan payung idealitas secara spesifik tujuan hukum pidana, adalah
terkonstruksinya atmosfir kedamaian dan keadilan di tengah masyarakat,
di samping memperlakukan terpidana atau orang yang bersalah dalam
koridor sebagai subyek yang dimanusiakan.


Mariyadi, dkk, Meirndukan Hukum Populis, Visipres Media, Surabaya, 2012, hlm. 3-4.

Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1994, hlm. 295.

169
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

II. Hukum Bukan untuk “Membunuh”.


Idealitas hukum pidana itu tidak berorientasi “membunuh”, melainkan
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siapapun, tidak terkecuali
terpidana, untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi, dan bukan
perlakuan (hukuman) yang bersifat menghentikan atau mengeksekusi hak
hidup dan keberlanjutan hidupnya.
Pemidanaan yang benar adalah model pemidanaan yang memberikan
perlindungan terhadap kepentingan individu ataupun masyarakat secara
seimbang, yang menyeimbangkan antara kebutuhan negara, masyarakat,
korban, dan kepentingan pelaku (terpidana).
Dalam KUHP peninggalan Kolonial sendiri tidak menyatakan secara
tegas apa tujuan dari penjatuhan hukum pidana. Idealitas hukum pidana
hanya dapat ditemukan dari teori-teori tujuan pidana yang dikemukakan
para ahli, sedangkan teori-teori tujuan pidana ini berelasi dengan
perkembangan dari hukum pidana itu sendiri.
Dalam ranah teoritis, hukum pidana mengenal dua aliran/mazhab,
yaitu Aliran Klasik dan Aliran Positif atau Modern. Dalam Aliran Kalsik,
yang muncul pada abad ke 18, merupakan reaksi terhadap masa ancien
regime yang berkembang di Prancis dan Inggris.
Alian klasik menghendaki supaya hukum pidana menitikberatkan
pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Aliran ini pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk
menetapkan jenis dan ukuran pemidanaannya (definite sentence). Pada
hakikatnya Aliran klasik ini mengidealitaskan adanya suatu kepastian
hukum, sehingga segala sesuatunya harus dirumuskan dengan jelas
dan pasti dalam suatu peraturan perundang-undangan. Aliran klasik ini
didasari oleh pemikiran bahwa manusia mempunyai kebebasan kehendak
(free will).
Selain aliran klasik tersebut, ada Aliran Positif/Modern, yang muncul
pada abad ke 19. Aliran ini lebih memusatkan perhatiannya kepada pelaku
tindak pidana (terpidana). Dalam aliran ini digariskan, bahwa untuk
mencari causa kejahatan haruslah didasarkan pada metode ilmiah. Metode
ini dimaksudkan untuk mendekati dan mempengaruhi pelaku secara
positif sejauh dapat diperbaiki.
Aliran positip itu berasumsi bahwa seseorang melakukan tindak
pidana bukan didasarkan kepada kehendak bebas yang dimiliki setiap
orang, akan tetapi secara konvergentif dipengaruhi oleh watak pribadi,
faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatannya.
Berpijak pada faktor kriminogen tersebut, maka orang yang melakukan
tindak pidana tidak patut untuk dipersalahkan dan dipidana, apalagi
sampai menerima pembalasan. Masyarakatlah yang harus dilindungi
170
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

atau mendapatkan proteksi supaya tidak menjadi korban tindak pidana.


Sedangkan bagi pelaku, harus dikembalikan lagi pada habitatnya sebagai
makhluk sosial yang mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang
secara normal, sehingga hukuman dalam bentuk “memberikan maaf”
padanya harus diberikan, dan bukannya divonis mati.
Ada dua kelompok teori pemidanaan: teori absolut atau teori
pembalasan (Retributive/vergeldings theorieen), dan teori relatif atau teori
tujuan (Utilitarian/doeltheorieen).
Dalam teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatu kejahatan. Pidana merupakan akibat mutlak yang
harus ada sebagai suatu konsekuensi pembalasan kepada orang yang
melakaukan kejahatan. Dalam rana ini, dasar pembenar dari pidana
terletak pada ada atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johanes
Andrenaes, tujuan utama (primer) dari pidana menurut teori pembalasan
adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Ketika kejahatan terjadi, maka
pembuatnya harus dibalas. Keadilan disini identik dengan pembalasan.
Disnilah berlaku prinsip “tidak ada maaf bagi terpidana”.
Teori pembalasan klasik itu kemudian digeser kearah yang lebih
modern, dimana pembalasan bukan lagi sebagai idealitas eksklusif dan
individuaistik, melainkan sebagai pembatasan, dalam arti harus ada
keseimbangan antara perbuatan dan sanksi pidana yang dijatuhkan. Setiap
sanksi pidana bertujuan melindungi masyarakat, yang perlindungannya
ini, diantaranya dengan cara menjatuhkan hukuman yang seadil-adilnya
pada pelaku. Ada pertimbangan rasionalitas terhadap sanksi yang
dijatuhkannya.
Sedangkan menurut teori relatif, memidana bukanlah untuk
memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana lebih ditujukan kepada
perlindungan masyarakat serta mengurangi “indek prestasi” kejahatan.
Dasar rasionalitas penjatuhan pidana dalam teori ini terletak pada
idealitasnya yang bersubstansikan pada prevensi kriminalitas.
Selain dua teori tersebut, dikenal juga suatu teori yang dsebut teori
gabungan (vereningings theorieen). Menurut teori ini, pidana ditujukan
bukan saja sebagai pembalasan yang beratnya tidak boleh melampaui
balasan yang adil, namun pidana juga harus mempunyai pengaruh sebagai
perbaikan terhadap atmosfir yang rusak dalam masyarakat, di samping
sebagai prevensi general.
Dari berbagai macam teori tersebut menunjukkan, bahwa tujuan
dijatuhkannya pidana mengalami dinamika dan bahja kemajuan ke arah
yang lebih rational dan humanistik. Idealisme pemidanaan bergeser ke
tahap pemberian perlindungan masyarakat (social defence) guna mencapai
kesejahteraan.Kalau masyarakat bisa dijauhkan dari kejahatan, maka
otomatis terwujud kesejahteraan.
171
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Konsekuensi dari cita-cita mewujudkan kesejahteraan sosial adalah


mencegah atau menghentikan sifat bahayanya pelaku, sehingga sifat jahat
pelaku harus diperbaiki supaya tidak menjadi kekuatan yang mendestruksi
atau menghancurkan harmonisasi kehidupan bermasyarakat. Dalam
ranah inilah, ada tuntutan lebih awal untuk “memberikan maaf” pada
pelaku, karena selain apa yang diperbuat pelaku tidak selalu merupakan
wujud kesalahan mutlaknya, juga adanya tuntutan penegakan prinsip
pemanusiaan manusia, bahwa siapapun yang bersalah, harus mendapatkan
kesempatan untuk memperbaiki dirinya.
Dalam suatu adagium disebutkan, bahwa “evil causis evil vallacy”
atau dari sesuatu (kejadian) yang buruk yang terjadi di masyarakat
adalah disebabkan oleh kondisi buruk yang mempengaruhinya.
Artinya seseorang bisa berperilaku jahat atau keji atau tersesat menjadi
terpidana dan narapidana, adalah disebabkan oleh kondisi buruk yang
mempengaruhinya. Ia terbentuk menjadi seseorang yang terjerumus
dalam perilaku kriminalitas bisa jadi karena kondisi anomali dan deviatif
di luar dirinya yang berhasil membentuk dan menguasainya.

III. Reformasi Tujuan Pemidanaan.


Akibat kondisi buruk (jahat dan menyesatkan) dan bahkan meminjam
istilah J.E. Sahetapy “pembusukan hukum” (legal decay) di luar dirinya
itulah yang membuat banyak orang dari berbagai elemen masyarakat bisa
terpengaruh atau terseret dan terbentuk menjadi kriminal. Kalau kondisi
ini menjadi pertimbangan logis, barangkali tidak perlu antipati dan reaksi
berlebihan bilamana perkembangan pemidanaan semakin terfokus pada
pemberian maaf dan pembntukan kepribadian.
Perkembangan idelitas pemidanaan itu terbukti dapat diumpai dalam
rumusan-rumusan yang tertuang dalam Rancangan Konsep KUHP. Dalam
pasal 51 RUU KUHP tahun 2005 dirumuskan tentang tujuan pemidanaan
sebagaimana disebutkan berikut, bahwa: (1) pemidanaan bertujuan
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
kesimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
membebaskan rasa bersalah pada terpidana, (2) pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP tahun 2005 itu juga ada
substansinya yang diperbarui saat RUU KUHP tahun 2005 dibahas lagi

Fanny Tanuwijaya, Sunardi, Abdul Wahid, Republik Kaum Tikus, Edsa Mahkota, Jakarta,
2006, hlm. 76.

172
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

menjadi RUU KUHP 2008. Subatansi yang diubahnya dapat dibaca dalam
pasal 54 RUU KUHP 2008, yang berbunyi:
(1) Pemidanaan bertujuan: mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan asa damai dalam masyarakat,
membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan
terpidana;
(2) pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
“Memaafkan terpidana” sebagaimana konsep RUU KUHP tersebut
merupakan substansi pemidanaan yang memahami idealitas hukum
fundamental yang berprinsip memanusiakan manusia.Terpidana tidak
“dihakimi” sebagai sosok manusia yang “sudah tamat” dalam menjalani
kehidupannya, tetapi sebagai subyek sosial dan hukum yang berhak untuk
melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya secara manusiawi.
Riset Mohammad Furqon, dkk menyebutkan, bahwa dalam kasus
kejahatan kesusilaan dan badan (membahayakan dan merampas nyawa
orang), semakin terjadi pergeseran ke usia dini. Kalau para pelakunya
berusia dini, sementara ancaman pemidanaannya berupa sanksi hukuman
mati, maka bangsa ini akan terancam kelangkaan generasi. Beda jika
pemidanaannya memberikan kata “maaf”.
Pemberian kesempatan melalui jalan “memaafkan terpidana” juga
merupakan idealitas negara hukum, yang memang menempatkan manusia
sebagai unsur fundamental. Menurut Friedrich Julius Stahl, bahwa
negara hukum harus memenuhi (memiliki) empat unsur (elemen) yaitu:
(1) terjaminnya hak asasi manusia (HAM), (2) pembagian kekuasaan, (3)
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan (4)
peradilan tata usaha negara. Sedangkan beberapa unsur Negara hukum
juga unsur disebutkan oleh AV. Dicey adalah: (1) supremacy of law, (2)
equality before the law, dan (3) human rights.
Negara hukum “Rule of Law” untuk Republik Indonesia antara
lain harus mengacu pada Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila yang
menyebutkan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan

Mohammad Furqon, dkk, Hukuman Mati, Ancaman Serius Generasi, P3Hati-Pustaka Hikmah,
Jakarta, 2011, hlm. 22.

Fanny Tanuwijaya, Sunardi, Abdul Wahid, Op.Cit.

173
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

keadilan sosial. Negara hukum Republik Indonesia harus menganut


asas dan konsep Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. (1) asas ke Tuhanan (mengamanatkan bahwa tidak
boleh ada produk hukum nasional yang anti agama, anti ajaran agama),
(2) asas kemanusiaan (mengamanatkan bahwa hukum nasional harus
menjamin, melindungi hak asasi manusia), (3) asas kesatuan dan persatuan
(mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum
nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, berfungsi sebagai
pemersatu bangsa), (4) asas demokrasi (mengamanatkan bahwa kekuasaan
harus tunduk pada hukum yang adil, demokratis), (5) asas keadilan sosial
(mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama
dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum).
Pernyataan Stahl, Dicey, dan Mochtar Kusumaatmadja itu
menempatkan salah satu unsur utama negara hukum terletak pada soal
terjaminnya hak asasi manusia. HAM menjadi penentu eksistensi negara
hukum. Bangunan negara ini menjadi kokoh dan terjaga citranya dengan
baik, jika hak asasi manusia terlaksana dengan baik. Artinya suatu negara
tidak layak disebut sebagai negara hukum jika dalam penyelenggaraan
pemerintahannya tidak memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia. Salah satu jenis hak yang harus diterima oleh seseorang atau rakyat
adalah hak mendapatkan prlakuan yang memartabatkan, memanusiakan,
dan menjamin keberlanjutan hidupnya, meskipun berstatus terpidana.
Secara konsepsional, setiap individu mempunyai hak asasi manusia
tanpa terkecuali, oleh sebab itu jabatan, pangkat, kedudukan dan kekayaan
harus tidak membedakan. Ditegaskan pula oleh A. Mansyur Efendi
sebagaimana mengutip salah satu dari pemikiran Maurice Cranston (1983)
tentang moral right yaitu bahwa hak asasi manusia tidak ada kaitannya
dengan jabatan, kedudukan, posisi dan harta kekayaan orang perorang.
Hak asasi dimiliki manusia karena ia adalah manusia, the moral right of all
people in all situation.
Muladi mengatakan, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
melekat (inherent) secara alamiah kepada manusia, dan tanpa itu manusia
tidak dapat sebagai insan manusia. Dalam kesempatan lain, Muladi
berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada
manusia sebagai manusia. Jadi berdasarkan kodratnya merupakan hak-
hak yang bersifat fundamental.
Hak asasi manusia adalah hak kodrati yang melekat pada diri
manusia sejak manusia dalam kandungan, yang membuat manusia sadar
akan jati dirinya dan membuat manusia hidup dengan bahagia. Hak asasi
manusia bersifat universal, hakiki, suci dan individual. Selain itu bersifat

Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa
Kini dan Masa yang Akan Datang, Padjadjaran, Alumni, Bandung, 1995, hlm. 8.

A. Mansyur Effendi, Hak-hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993.

Idham Khalid, Quo Vadis HAM di Indonesia, Lentera, Jakarta, 2011, hlm. 15.

174
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pula mutlak (absolut), langgeng dan merupakan hak yang tidak dapat
dipisahkan dari manusia. Rumusan-rumusan definisi ini sesuai dengan
definisi yang sudah bersifat universal sebagaimana yang tertuang dalam
Universal Declaration of Human Rights, yaitu those right are inherent in our
nature and without which we cannot live as human being.
Satjipto Raharjo berpendapat bahwa apabila kita dengar istilah hak-
hak asasi manusia mengartikan hak-hak yang melekat pada manusia
sebagai manusia, maka kita tidak boleh mengecualikan orang-orang atau
kelompok-kelompok manusia tertentu. Sudah melekat pada pengertian
hak-hak asasi manusia itu sendiri, bahwa hak-hak asasi manusia harus
dipahami dan dimengerti secara universal.
Pemahaman tentang HAM bermacam-macam. Ada yang menyebut,
bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang melekat dalam diri manusia.
Dasar pertimbangan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa manusia,
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas
mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan
penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-
Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan
martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;

IV. Pemidanaan “Memberi Maaf” dan Hak Hidup.


Dalam pemahaman secara yuridis tersebut sudah jelas, bahwa HAM
berelasi dengan sesuatu yang mendasar dan sakral dalam kehidupan
manusia. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena
itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Hak asasi menggambarkan
sesuatu yang melekat dalam diri manusia, baik akibat hokum Negara
maupun ketentuan dari Tuhan.
Apeldorn menyatakan, bahwa hak ialah hukum yang dihubungkan
dengan seorang manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian
menjelma menjadi suatu kekuasaan, dan suatu hak timbul apabila hukum
mulai bergerak
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak
manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang
melekat dengan kodratinya sebagai manusia yang bila tidak ada hak
tersebut, mustahil manusia dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki
oleh manusia semata–mata karena ia manusia, bukan karena pemberian
masyarakat atau pemberian negara, sehingga hak asasi manusia itu tidak

C.S.T. Kansil, 2000, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, hlm. 7.

175
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara


lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Dengan
fundamentalnya hak asasi ini, maka tidaklah manusiawi jika ada negara
yang sampai merampasnya, apalagi jika itu berkenaan dengan hak hidup
manusia.10 Hak hidup manusia merupakan hak yang diberikan oleh
Tuhan, yang tidak boleh siapapun, bangsa manapun, dan bahkan negara
sekalipun, merampas atau mencabutnya.
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh
manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat
tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus
dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak
ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang
memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk
mengambil hak hidupnya.11
Dalam pasal 1 (angka 1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
disebutkan, bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Ketentuan dalam pasal 1 tersebut diantaranya menggariskan, bahwa
keberadaan manusia itu mendapatkan perlindungan dari negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang. Kata “perlindungan” disini menunjuk pada
eksistensi diri manusia yang berelasi dengan hak keberlanjutan hidup dan
martabatnya sebagai manusia.
Hal itu dapat terbaca dalam norma penguatannya yang disebutkan
dalam pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999, bahwa hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal 4 tersebut sudah tegas menyebut, bahwa salah satu hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun adalah
hak untuk hidup. Terpidana merupakan salah satu elemen masyarakat
yang mempunyai hak untuk hidup dan melanjutkan kehidupanya. Ia
memang bersalah dan bahkan dalam kasus tindak pidana pembunuhan, ia
10
Daud Hamidi, Ensiklopedi HAM (Dinamika Hak Asasi Manusia dari generasi ke Generasi),
Pusaka Bangsa, Jakarta, 2011, hlm 123,
11
Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak
Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen
Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001.

176
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

berstigma sebagai “pembunuh”, namun ia juga berhak untuk mendapatkan


“maaf” demi menjaga keberlanjutan hidupnya.
Selain itu, dalam paradigma negara hukum itu sudah jelas, bahwa hak
untuk hidup dan mengembangkan kehidupan bagi manusia (terpidana
dan narapidana) merupakan hak yang harus mendapatkan proteksi oleh
negara, sehingga ketika negara memberlakukan model pemidanaan,
maka model yang dikonstruksinya tidak boleh mengabaikan prinsip
perlindungan terhadap hak hidup manusia. Kata Nurcholis Majid, “siapa
saja yang menghidupi satu orang manusia, maka ia menghidupi manusia
sejagad”.

Daftar Pustaka.
A. Mansyur Effendi, Hak-hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1993.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2000.
Daud Hamidi, Ensiklopedi HAM (Dinamika Hak Asasi Manusia dari generasi
ke Generasi), Pusaka Bangsa, Jakarta, 2011
Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 1994.
Fanny Tanuwijaya, Sunardi, Abdul Wahid, Republik Kaum Tikus, Edsa
Mahkota, Jakarta, 2006.
Idham Khalid, Quo Vadis HAM di Indonesia, Lentera, Jakarta, 2011.
Mariyadi, dkk, Merindukan Hukum Populis, Visipres Media, Surabaya,
2012.
Mohammad Furqon, dkk, Hukuman Mati, Ancaman Serius Generasi, P3Hati-
Pustaka Hikmah, Jakarta, 2011.
Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum
Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Padjadjaran,
Alumni, Bandung, 1995.
Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak
Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak
Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI,
Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001.

177
KEBIJAKAN FORMULASI
NORMA HUKUM SANKSI PIDANA
BAGI JASA PENAGIH HUTANG
(DEBT COLLECTOR) DI INDONESIA

Oleh:
Masrudi Muchtar, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Achmad Yani – Banjarmasin -
Kalimantan Selatan)

I. Pendahuluan.
Kejahatan selain merupakan masalah kemanusian juga merupakan
permasalahan sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest sosial
problem. Menghadapi masalah ini telah banyak dilakukan upaya untuk
menanggulanginya. Salah satu usaha penanggulangan kejahatan adalah
dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa
pidana.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada
pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Dilihat
sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan
apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan
dengan menggunakan sanksi pidana.
Salah satu kejahatan yang sedang eksis dimasyarakat Indonesia
namun belum ditanggulangi melalui suatu kebijakan hukum pidana yang
tepat adalah kejahatan yang dilakukan oleh Debt collector terhadap debitur
yang mengalami kredit macet.
Kasus kematian nasabah kartu kredit Citibank bernama Irzen Octa
diruang negosiasi kantor Citibank Cabang Menara Jamsostek Jakarta
29 Maret 2011 yang lalu, membuka polemik dimasyarakat mengenai
keberadaan jasa Debt collector selama ini. Sebelum kasus kematian Irzen
Octa mencuat kepermukaan, banyak kasus yang menimpa nasabah
pengguna kartu kredit yang mengalami kredit macet diperlakukan secara

Benedict A. Alper dalam Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung:
Nusa Media, 2010), hlm. 20.

Gene Kassebaum, Delinguency And Social Policy, (London: Prentice Hall, Inc., 1974), Hal. 93.
Dalam Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Ibid. hlm. 20.

178
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

tidak manusiawi oleh para Debt collector.


Berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh Debt collector
terhadap debitur, hukum pidana mempunyai tempat dan peran yang
penting dalam menganggulangi berbagai tindak pidana yang dilakukan
oleh Debt collector. Hukum pidana sebagai seperangkat norma, dogma,
dan sistem aturan, menempatkan tingkah laku individu manusia sebagai
objek sekaligus subjek utama dalam pengaturannya. Hal ini, menunjukkan
bahwa hukum pidana memiliki fungsi mempertahankan ketertiban dan
memelihara keteraturan yang ada dalam pergaulan masyarakat.
Perumusan sanksi pidana yang tepat bagi Debt collector tentu akan
dibutuhkan Negara sebagai langkah preventif untuk mencegah korban
tindak pidana yang diakibatkan oleh Debt collector tersebut, dan dalam
hal tindak pidana yang dilakukan oleh Debt collector tersebut telah
terjadi maka sanksi pidana dapat dijadikan sebagai alat untuk menindak
Debt collector yang melakukan tindak pidana terhadap debitur tersebut.
Disamping hal tersebut perumusan sanksi pidana bagi Debt collector juga
merupakan kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan yang pada
hakekatnya adalah bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat
(social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social
welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan
utama dari perumusan norma hukum saksi pidana bagi Debt collector ialah
“Perlindungan Masyarakat Untuk Mencapai Kesejahteraan Masyarakat”.
Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan melalui sebuah
penelitian tesis terhadap pengaturan norma hukum tindak pidana Debt
collector di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, sampai saat
ini belum ada suatu aturan/norma hukum pidana yang responsif untuk
menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh Debt collector terhadap
debitur di Indonesia.
Melalui makalah ini penulis akan mengutarakan mengenai konstruksi
norma hukum sanksi pidana yang tepat bagi Debt collector di Indonesia
melalui sebuah kebijakan yang disebut sebagai kebijakan formulasi
perumusan norma hukum sanksi pidana.

II. Konstruksi Norma Hukum Sanksi Pidana yang Tepat bagi Debt
Collector di Indonesia.
Adapun bentuk sanksi pidana yang diusulkan sebagai sanksi pidana
terhadap Debt collector adalah sebagai berikut:

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Masrudi Muchtar, Debt Collector Dalam Optik Kebijakan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2013), hlm. 150.

179
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

1. Pidana Pokok berupa:


a. Pidana penjara;
b. Denda.
2. Pidana Tambahan berupa:
a. Pembayaran ganti kerugian;
b. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat.
3. Tindakan Khusus bagi korporasi berupa:
a. Perbaikan akibat tindak pidana;
b. Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana
c. Pencabutan izin usaha;
d. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
e. Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi
Penulis berpendapat bahwa usulan bentuk sanksi pidana yang sesuai
bagi Debt collector sebaiknya dirumuskan secara kumulatif alternatif,
tujuannya adalah guna memberikan pilihan kepada hakim untuk
menentukan sanksi pidana yang paling sesuai dengan kondisi subjektif
dan objektif Debt collector yang melakukan tindak pidana dalam penagihan
hutang terhadap debitur. Sebagai acuan maka beberapa pedoman perlu
diberikan berkenaan pidana yang sesuai bagi Debt collector.
Sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku orang perseorangan
(natuurlijke person) dan pengurus atau wakil yang sah dari suatu korporasi
yang bergerak dalam jasa penagihan hutang dipengaruhi oleh bentuk
kesalahan pada saat melakukan tindak pidana dalam penagihan hutang
terhadap debitur. Sanksi Pidana penjara dalam jangka waktu tertentu dan
denda dirumuskan secara alternatif dan kumulatif kepada Debt collector
yang melakukan tindak pidana dalam penagihan hutang terhadap debitur
dengan kesengajaan. Pilihan untuk menjatuhkan pidana penjara secara
tunggal atau pidana denda secara tunggal dan menjatuhkan pidana penjara
berserta denda (kumulatif) ditentukan kondisi subjektif dan kondisi objektif
pada saat pelaku melakukan tindak pidana dalam penagihan hutang
terhadap debitur. Sebagai contoh Apabila Debt collector dalam melakukan
penagihan hutang terhadap debitur dengan menggunakan kekerasan,
yang mengakibatkan nasabah pengguna kartu kredit mengalami luka
berat maka sepatutnya diancamkan pidana penjara secara tunggal tanpa
dijatuhi denda. Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh Debt collector
tersebut mengakibatkan kematian, maka pidana penjara tersebut dapat
diperberat.
Pidana pokok berupa denda yang diancamkan terhadap Debt collector
harus sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Debt collector

180
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

terhadap korban dan keluarga korban tindak pidana. Pidana denda dapat
dijatuhkan terhadap Debt collector secara alternatif. Sebagai contoh Apabila
Debt collector dalam melakukan penagihan hutang terhadap debitur
Menyerang kehormatan atau nama baik debitur melalui lisan atau tulisan,
dengan maksud debitur melunasi hutangnya kepada kreditur.Berkaitan
dengan hal ini sanksi pidana dapat dijatuhkan secara alternatif (pidana
penjara atau denda).
Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana pokok berupa Pembayaran ganti kerugian dan Pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian diancamkan
kepada Debt collector yang melakukan tindak pidana dalam penagihan
hutang terhadap debitur dengan kesengajaan. Pembayaran ganti kerugian
harus sebanding dengan dampak tindak pidana terhadap korban.
Pidana tambahan berupa Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/
atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dapat
dijatuhkan dalam hal akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Debt
collector menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Pengancaman pidana pokok, pidana tambahan bagi korporasi
disesuaikan dengan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi.
Beberapa katagori pertanggungjawaban pidana korporasi adalah sebagai
berikut:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Sepanjang pengurus atau wakil yang ditunjuk untuk dan atas
nama korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana maka dasar
pertanggungjawaban pidana adalah adanya unsur kesengajaan. Berkaitan
dengan hal tersebut maka sanksi pidana yang diancamkan sebanding
dengan sanksi pidana bagi subjek hukum orang perorangan (natuurlijke
person).
Khusus korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana maka
sanksi pidana yang dapat diancamkan adalah pidana denda, sedangkan
pidana tambahan yang diancamkan dapat berupa Perbaikan akibat tindak
pidana, Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana,
Pencabutan izin usaha, Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan, Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi. Pilihan
untuk menetapkan tindakan tertentu bagi pelaku tindak pidana yang

181
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

berbentuk korporasi ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan dari tindak


pidana yang dilakukan oleh korporasi terhadap korban tindak pidana,
masyarakat, dan masa depan korporasi tersebut.

III. Dasar Yuridis dan Teoritis Konstruksi Norma Hukum Sanksi bagi
Debt Collector di Indonesia.

III.1. Dasar Yuridis.


Usulan sanksi seperti yang diuraikan di atas memiliki dasar-dasar
yuridis sebagaimana diatur didalam perundang-undangan di Indonesia,
yang menunjukkan berbagai bentuk sanksi pidana bagi subjek hukum orang
perorangan (natuurlijke person) maupun sanksi pidana bagi korporasi.
Pidana penjara dalam waktu tertentu dan pidana denda sebagai
pidana pokok merupakan adopsi dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), dan perundang-undangan lain yang memuat sanksi
pidana diantaranya seperti Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Mineral Dan Batu Bara, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP Draft
2008).
Pidana tambahan berupa Pembayaran ganti kerugian dan Pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat yang diusulkan sebagai sanksi pidana bagi jasa penagih
hutang diadopsi dari RUU-KUHP Draft 2008.
Tindakan bagi korporasi diadopsi dan dimodifikasi dari Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral
Dan Batu Bara, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP Draft 2008).

III.2. Dasar Teoritis.


Penentuan sanksi pidana yang sesuai bagi Debt collector selain
memiliki dasar yuridis, juga memiliki dasar teoritik berdasarkan teori-
teori pemidanaan. Berdasarkan teori Retributive, Pemidanaan merupakan
sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang.

182
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Berdasarkan teori ini maka pemidanaan yang diancamkan terhadap


Debt collector, semata-mata diancamkan sebagai pernyataan balas dendam
masyarakat dalam hal ini nasabah yang menjadi korban tindak pidana oleh
Debt collector. Perasaan balas dendam masyarakat yang menjadi korban
akan terlampiaskan dengan memberikan rasa sakit kepada pelaku dengan
memasukkannya ke dalam penjara dan memaksanya untuk membayar
denda.
Pemberian pidana penjara dan atau denda selain didasarkan pada
teori retributive juga didasarkan pada Teori relatif atau teori tujuan. Teori
relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain yang
lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan
pencegahan kejahatan, baik prevensi umum maupun prevensi khusus.
Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan
peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan.
Prevensi umum ini menurut Van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu
menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk
norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang
dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak
mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan
kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan
kebebasan selama waktu tertentu, maka masyarakat akan terhindar dari
kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.
Berdasarkan teori tujuan ini maka pemberian sanksi pidana penjara
dan atau denda kepada Debt collector yang melakukan tindak pidana dalam
penagihan hutang terhadap debitur untuk mencegah agar Debt collector
tidak melakukan tindak pidana dalam penagihan hutang terhadap debitur,
karena konsekuensi dari tindak pidana tersebut adalah dikenakannya
sanksi pidana berupa pidana penjara dan atau denda yang diancamkan
terhadap perbuatan tersebut. Penderitaan yang diberikan oleh sanksi
pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana tersebut diharapkan
akan menjadi alasan bagi Debt collector untuk tindak melakukan tindak
pidana terhadap debitur. Pemberian sanksi pidana berupa pidana penjara
dan atau denda tersebut juga diharapkan untuk mencegah Debt collector
untuk tidak mengulangi melakukan tindak pidana terhadap debitur.
Selain teori retributive dan teori relative, terdapat teori lain yang
berusaha mencari pembenar penjatuhan sanksi pidana yakni teori
gabungan. Menurut teori gabungan, Pembalasan (retributif) merupakan
dasar dan pembenaran dijatuhkannya pidana, namun seharusnya perlu
diperhatikan bahwa penjatuhan pidana harus membawa manfaat untuk
mencapai tujuan lain, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Teori ini mencoba menyatukan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan
dan juga untuk pencegahan. Kedua tujuan ini merupakan gabungan antar
teori retributive dan teori relative. Teori ini masih mengakui peranan

183
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pidana dalam menanggulangi kejahatan, tinggal menempatkan tujuan


pidana ini secara proporsional. Van Bemmelen merupakan salah satu
tokoh dari penganut teori gabungan ini, Ia mengatakan bahwa Pidana
bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Jadi
pidana bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke
dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan teori ini maka penjatuhan sanksi pidana berupa pidana
penjara dan pidana denda terhadap jasa penagih hutang disamping sebagai
pembalasan juga bertujuan untuk pencegahan tindak pidana dengan
tujuan akhir untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Ketiga teori tujuan pemidanaan tersebut selain sebagai dasar
penjatuhan sanksi pidana pokok berupa pidana penjara dan denda,
juga sebagai dasar penjatuhan pidana tambahan terhadap jasa penagih
hutang yang melakukan tindak pidana dalam penagihan hutang terhadap
debitur.
Pidana tambahan berupa pemberian ganti kerugian dimaksudkan
sebagai ganti kerugian yang harus diberikan oleh Debt collector kepada
korban dan keluarga korban tindak pidana. Tujuan pemberian ganti
kerugian tersebut adalah untuk mendorong kompensasi terhadap
korban tindak pidana oleh orang yang paling bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkan oleh jasa penagih hutang. Sedangkan untuk
prosedurnya adalah dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebelum atau sesudah adanya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pidana tambahan berupa Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/
atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat bagi
Debt collector bertujuan untuk memulihkan rasa aman dan kedamaian
di dalam masyarakat. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat diharapkan
mampu mengembalikan keseimbangan yang telah rusak akibat adanya
tindak pidana yang dilakukan oleh jasa penagih hutang terhadap korban
tindak pidana. Pelaksanaan Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/
atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dilakukan
secara sepadan bagi kepentingan pelaku, korban dan masyarakat.
Pemberian tindakan khusus kepada pelaku tindak pidana yang
berbentuk korporasi berupa Perbaikan akibat tindak pidana, Kewajiban
membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana, Pencabutan izin
usaha, Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan,
Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, dapat dirumuskan secara

Pemberian kompensasi terhadap saksi dan korban di Indonesia diatur dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dan dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada
Saksi Dan Korban.

184
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

alternative atau kumulatif dengan tujuan adanya pilihan bagi hakim untuk
memilih tindakan yang tepat bagi korporasi yang bergerak di bidang
pelayanan jasa penagihan hutang yang melakukan tindak pidana terhadap
debitur
Perumusan sanksi pidana yang tepat bagi Debt collector juga harus
didasarkan pada ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan
masyarakat umum dan kepentingan individu; ide keseimbangan antara
pidana yang berorientasi pada pelaku/ ”offender” (individulalisasi pidana)
dan “victim” (korban); dan ide mendahulukan/mengutamakan keadilan
dari kepastian hukum.

IV. Sinkronisasi Konstruksi Norma Hukum Sanksi Pidana Debt Collector


dengan Tujuan Pemidanaan dalam RUU-KUHP.
Tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana
dan pedoman pemidanaan bagi Debt collector di Indonesia harus bercirikan
ke indonesiaan. Sanksi pidana seharusnya disesuaikan dengan harkat dan
martabat manusia Indonesia. Berkaitan dengan tujuan pemidaan, RUU-
KUHP draft 2008 merumuskan pemidanaan bertujuan untuk:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;dan
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Berkaitan dengan bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana
dan pedoman pemidanaan yang berlaku bagi Hakim sebagai bahan
pertimbangan di dalam memutuskan suatu kasus di dalam perkara pidana
yaitu :
1. Kesalahan pembuat tindak pidana;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
3. Sikap batin pembuat tindak pidana;
4. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
5. Cara melakukan tindak pidana;
6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan Indonesia, Op.Cit., hlm. 60-61.

Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP Draft 2008).

Pasal 52 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP Draft
2008).

185
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

7. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;


8. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/ atau
11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

186
POLITIK HUKUM PIDANA INDONESIA,
MENUJU PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA YANG BERBASIS
PADA PANCASILA

Oleh:
Mokhammad Najih, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang – Jawa
Timur)

I. Pendahuluan.
Mempunyai Hukum Pidana Indonesia dalam sistem hukum nasional
adalah sebuah mimpi yang hingga hari ini belum menjadi nyata. Telah
panjang perjalanan para intelektual hukum pidana hingga bergenerasi
masih belum ampu menjelmakan sebuah cita-cita yang hendak
membebaskan dari cengkeraman kuku-kuku hukum produk kolonialisme.
Hal ini disebabkan oleh politik hukum penyelenggara negara yang tidak
konsisten berkomitmen menyelesaikannya, sejak rezim Orde Lama, Orde
Baru mahupun Orde Reformasi saat ini.
Melihat sejarah pembentukan RUU KUHP sampai tahun 2012, tidak
dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh.
Usaha ini baru dimulai sejak adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum
Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan
agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin

Lihat Mardjono Reksodiputro, 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi
UI, Jakarta, halaman 13-15 , bahkan dijelaskan oleh beliau juga bahwa pemerintah secara serius
membentuk tim untuk menyusun RUU KUHP baru sejak tahun 1981/1982 (35 tahun setelah merdeka).
Para ahli yang masuk dalam tim tersebut antara lain, Prof. R. Sudarto, Prof. Oemar Seno Adji, Prof.
Mr. Reslan Saleh, termasuk Prof Mardjono Reksodiputro sendiri (sebagai pakar-pakar peletak dasar
pembaharuan KUHP), selain itu ada Prof. J.E Saehatpy, Prof. Muladi, Prof. Barda Nawawi Arief,
Prof. Romli Atmasasmita dan sebagainya. Namun Konsep ke-1 baru dapat diserahkan pada tanggal
13 Maret 1993, sayang sekali Konsep-ke1 (RUU KUHP 1993) pada masa menteri Oetojo Oesman
terlupakan begitu saja. Baru kemudian pada masa tugas Menteri Kehakiman Muladi dan kemduian
Menetri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra di bahas kembali. Tahun 1999-2000 terbit Konsep ke-2
dan kemudian tahun 2004 terbit Konsep ke-3,. Kemudian setahu penulis pada tahun 2007/2008
lahir Konsep-ke4 dan terakhir tahun 2012 lahir RUU KUHP Konsep ke-5. Setelah lebih kurang 32
tahun pergumulan pemikiran pembaharuan hukum pidana telah mengalami dinamika yang luar biasa,
mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat. Pertanyaan yang mengemuka adalah aApakah
konsep-konsep itu akan terus berkembang? Dan kapan KUHP Nasional yang baru itu segera wujud??.
Lihat juga Mardjono Reksodiputro. 2009. Menyelaraskan Pembaharuan Hukum. KHN Jakarta. Hlm.
33-34.

187
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP


pertama kali dan berlanjut terus sampai tahun 2012. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana secara
universal/global/menyeluruh ini masih merupakan rechtsidee (cita
hukum) atau ius contituendum. Sebab belum disahkan menjadi sebuah
perundang-undangan (ius contututum).
Usaha pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh ini dapat
dianggap sebagai pelaksanaan atas amanat pendiri bangsa yang implisit
terkandung dalam Pasal II Aturan Peralihan. Jika demikian adanya, maka
implementasi cita-cita pendiri bangsa ini baru dapat dimulai setelah 19
tahun Indonesia merdeka. Dapat dimaklumi bahwa usaha menyusun
KUHP baru dapat dimulai tahun 1964 ini karena selama kurun waktu
19 tahun (1945-1964), kondisi politik dan ketatanegaraan Indonesia yang
belum stabil. Rancangan KUHP tahun 1964 ini kemudian diikuti dengan
rancangan-rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan KUHP 1968,
Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin (Konsep BAS)
1977, Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP 1982/1983, Rancangan
KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP 1986/1987, Rancangan KUHP
1987/1988, Rancangan KUHP 1989/1990, Rancangan KUHP 1991/1992
yang direvisi sampai 1997/1998, dan Rancangan KUHP 1999/2000.
Kemudian pada tahun 2004 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI telah mengeluarkan RUU KUHP tahun 2004 sebagai revisi RUU KUHP
1999/2000, kemudian terbit RUU KUHP 2012 sebagai pengembangan lebih
lanjut dari draf RUU KUHP 2004. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
para pakar hukum di Indonesia paling tidak telah membuat Rancangan
KUHP sebanyak 14 kali (termasuk revisinya) selama 49 tahun (sejak tahun
1964 s.d. 2013). Adalah sebuah pengembaraan dan pergumulan pemikiran
yang panjang dan sangat dinanti oleh bangsa sebagai salah satu karya
besar.
Artikel ini hendak mencuba menguraikan sebuah pemikiran kecil
tentang gagasan mengenai pembaharuan hukum pidana yang berbasis pada
Pancasila sebagai dasar negara. Meskipun pada tahap sekarang barangkali
dianggap sudah terlambat, tetapi masih perlu untuk dikemukakan sebagai
bahan penilaian. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, semangat untuk
membebaskan diri dari kolonialisme menggelora dalam perjuangan
revolusi baik secara fisik dan psyikis, secara moril dan materiil. Namun
perjuangan dari segi pembaharuan hukum dan peraturan-perundangan

K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, (Ghalia Indonesia, 1980), hlm. 22.

Pasal II aturan peralihan, menegaskan bahwa berlakunya peraturan-perundangan yang pada
waktu itu adalah bersifat sementara. Sebab sebelum ada undang-undang baru maka undang-undang
yang lama tetap digunakan, meskipun produk kolonial, sampai dibentuk undang-undang baru. Ini
bermakna bahwa penyelenggara negara dituntut untuk melakukan pembaharuan hukum secepatnya,
jika tidak ingin undang-undang lama itu terus berlaku.

Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia! (Telaah atas RUU KUHP Tahun 2004)
dalam SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November 2006, hlm. 1-22

188
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

yang ditinggalkan penjajah, masih terus berlangsung. Meskipun upaya ini


belum mendapat prioritas dari para politisi yang bertindak sebagai pihak
legislator. Produk-produk hukum yang telah usang, masih terus digunakan
atas nama “masih relevan dengan kebutuhan sekarang” dan “belum
mendesak diganti”. Sementara hasil-hasil kajian para doktor hukum, para
profesor hukum berserak di seantero fakultas hukum di negeri ini, namun
masih terbungkus rapi dalam kotak pandora ‘menara hading’ keilmuan.
Artikel ini akan membahas pandangan yang berkaitan dengan dua
masalah, yaitu (1) bagaimana karakteristik pembaharuan hukum pidana
yang sesuai dengan kebutuhan hukum bangsa Indonesia? (2) bagaimana
menterjemahkan prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar negara dan
sumber dari segala sumber hukum dalam pembaharuan hukum pidana
nasional?

II. Konsep Politik Hukum Pidana Nasional.


Sejak kemerdekaan keinginan untuk mewujudkan “sistim hukum
nasional” merupakan salah satu agenda utama dalam pembangunan
nasional, sebagaimana ditunjukkan oleh dokumen resmi negara. Politik
Hukum Pidana Nasional, mesti dimaknai sebagai kehendak nasional
untuk menciptakan hukum pidana yang sesuai dengan aspirasi dan tata
nilai yang bersumber dari bangsa Indonesia sendiri. Selain itu hukum
pidana juga dapat berperan serta untuk memberikan sumbangan untuk
mewujudkan tujuan terbentuknya negara(cita-cita kemerdekaan), iaitu
mewujudkan negara yang adil makmur berdasarkan Pancasila.
Berkenaan dengan politik hukum pidana tersebut berikut akan
dikemukakan beberapa pendapat dan pemikiran mengenai pengertian dan
konsep politik hukum pidana, sebagai berikut; Sudarto mengemukakan
bahawa politik hukum pidana diartikan sebagai usaha yang rasional
(logis) untuk mencegah dan menghalangi kejahahatan dengan sarana
hukum pidana dan sistem peradilan pidana Memilih hukum dan undang-
undang yang bersesuaian, paling baik dan memenuhi syarat keadilan
dan fungsinya. Hal ini bermakna pula bahawa politik hukum pidana
mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum dan menjangkau masa
depan.

Dalam dokumen resmi BPUPKI, dalam membahas RUU UUD 1945, dipelopori oleh para
perjuang pergerakan kemerdekaan. Mr. Supomo dengan konsepsi negara integralistiknya, Mr. M
Yamin dengan nasionalisme, juga pemikiran Ir Soekarno dan Muhammad Hatta adalah di antara
tokoh-tokoh yang memiliki gagasan untuk membentuk karakter dan ciri khas sistem hukum nasional.
Di era Orde Baru naskhah GBHN secara nyata mengagendakan cita-cita itu, meskipun dalam
praktiknya banyak mengalami hambatan dan tantangan serius dari para akademisi dan praktisi itu
sendiri. lihat juga dalam. Retno Lukito, 2013. Tradisi Hukum Indoensia.,IMR Press. Cianjur.

Lihat bagian Pembukaan UUD Negara RI 1945.

Lihat, Sudarto, Hukum dan hukum pidana, Bandung : Alumni, 1981 halaman 159 dan Sudarto,
Hukum pidana dan pembangunan masyarakat, Bandung ; Sinar Baru, 1983. Hlm. 93 dan 109.

189
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Menurut Salman Luthan dan Muladi ada beberapa faktor yang dapat
menjadi alasan dilakukannya pembaharuan hukum pidana;
1. Hukum pidana yang sudah ada sudah tidak bersesuaian dengan
perkembangan sosial dan keperluan masyarakat yang berkenaan.
Hukum dan Undang-undang itu tidak lagi relevan dengan keadaan
sosial masyarakat yang hendak diaturnya, umpamanya dengan
wujudnya kejahatan baru;
2. Sebahagian ketentuan dalam hukum pidana yang sedia ada, tidak sejalan
dengan idea pembaharuan/reformasi yang membawa pada nilai-nilai
hak asasi manusia, nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, demokrasi dan
nilai moral yang berkembang di masyarakat;
3. Bahwa pelekasanaan penegakan hukum pidana yang sedia ada
mewujudkan ketidakadilan (unjustice) dan bahkan merusak hak asasi
manusia;
4. Hukum dan Undang-undang pidana yang sedia ada sudah tidak
bisa mengawal dan mengendalikan keamanan dan ketertiban
masyarakatnya;
Seterusnya dikemukakan juga oleh Muladi bahawa, politik hukum
pidana dan pembaharuan hukum pidana harus tetap berasaskan kepada tiga
inti dan subtansi utama undang-undang pidana; pertama, merumuskan dan
menentukan kelakuan atau perbuatan yang disebut sebagai pidana; kedua,
menentukan bentuk unsur tindak pidana dan pertanggungjawabannya;
dan ketiga, menentukan bentuk atau macam hukuman yang dapat diberikan
kepada sesiapa yang melakukan kesalahan tersebut.
Sebagaimana di rujuk oleh Barda Nawawi Arif, Marc Ancel (1965)
pernah menyatakan bahawa dalam modern criminal science, terdapat
tiga komponen kajian utama dalam hukum pidana, iaitu; “Criminology”,
“Criminal Law” and “Penal Policy”. Maka untuk mewujudkan hukum pidana
yang baik, berkemajuan dan realistik maka diperlukan kerjasama yang
terpadu antara ilmuwan (scholar) dengan praktisi hukum (practitioners),
antara pakar tentang kejahatan (criminologist) dengan advocad/peguam
(lawyers), sehingga dapat disatukannya gagasan-gagasan pencegahan
kejahatanh dengan idea-idea teknik perundangan dalam proses
perancangan hukum pidana.


Lihat, Salman Luthan, ”Kebijakan kriminalisasi dalam reformasi hukum pidana”, dalam Jurnal
Hukum No. 11 Vol. 6 tahun 1999. Yogjakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ms. 1-
12 dan Muladi, Proyeksi hukum pidana meteriil pada masa yang akan datang. Sarahan perdana
penganugrahan gelar profesor dalam undang-undang jenayah di Fakiltas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, 27 April 1990.

Lihat Barda Nawawi Arif, 2005, Bunga rampai kebijakan hukum pidana, (Cetakan ke-III),
Bandung: Citra Aditya Bakti, halaman 21, merujuk kepada Marc Ancel, 1965, Social defence, a
modern approach to criminal problem, London: Routledge & Kegan Paul, p. 4-5.

190
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Dalam pada itu Marc Ancel juga memberikan pengertian “penal policy”
sebagai suatu ilmu sekali gus seni yang bertujuan untuk memungkinkan
peraturan-perundangan dalam hukum pidana dirumuskan secara lebih
baik dan berkembang maju (progresive), sehingga tidak hanya memberikan
panduan kepada para pembentuk hukum, tetapi juga kepada penegak
hukum yang melaksanakan perundangan berkenaan10. Sejalan dengan itu
Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai politik hukum pidana
(criminal policy), yaitu:
1. Dalam arti sempit, keseluruhan asas/prinsip dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa
penghakiman;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari para penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari peradilan dan pihak polisi;
3. Dalam arti paling luas (diambil dari pandangan Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui undang-undang dan
badan-badan rasmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.11
Dengan demikian secara ringkas boleh dikatakan bahawa politik
hukum pidana (penal policy/ criminal law policy/strafrechtpolitiek) dapat
diertikan sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan perundangan
pidana yang sesuai dengan keadaan semasa dan untuk perbaikan undang-
undang di masa depan, sesuai dengan kaedah keadilan dan nilai manfaat
bagi masyarakat dan negara.12
Sejalan dengan itu Peter Hoefnagels13 mengemukakan bahawa “criminal
policy is the rational organization of the social reaction to crime”, (politik hukum
pidana adalah bentuk reaksi sosial terhadap kejahatan yang terorganisasi
secara rasional), dan beberapa istilah lain yang dikemukakannya seperti
berikut:
1. Politik hukum pidana merupakan ilmu tindak balas atau reaksi
terhadap kejahatan (Criminal policy is the sciences of responses);
2. Politik hukum pidana merupakan ilmu pencegahan kejahatan (Criminal
policy is the sciences of crime prevention);
3. Politik hukum pidana merupakan sesebuah kebijakan yang
mengkonstruksi/mendesain perbuatan manusia yang bagaimana
sebagai kejahatan (Criminal policy is a policy of designating human behavior
10
Lihat Barda Nawawi Arif, 2005, hlm. 21.
11
Lihat Sudarto, 1981a, halaman 161; lihat juga dalam Sudarto, 1981b, Kapita selekta hukum
pidana, Bandung: Alumni, 113-114; lihat pula dalam Dwija Prijatno, 2004, Kebijakan legislasi tentang
sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, Bandung : Utomo, halaman 140-141; lihat
dalam Barda Nawawi Arif, 2005, hlm. 1;
12
Lihat Al. Wisnubroto, 1999, Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan penyalahgunaan
komputer, Yogjakarta: Universitas Atmajaya, hlm. 11.
13
Lihat dalam Barda Nawawi Arif, 2005, hlm. 2-3.

191
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

as crime; dan
4. Politik hukum pidana merupakan sebuah reaksi yang rasional dan
menyeluruh ke atas tindak kejahatan (Criminal policy is a rational total of
the responses to crime).
Sedangkan A. Mulder, menyebut politik hukum pidana sebagai
“strafrechtspoliitiek” yang bermaksud sebagai garis panduan untuk
menentukan ; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang sedang
berkuat kuasa itu perlu diubahsuai atau diperbaharui; (2) apa yang boleh
dilakukan untuk mencegah berlakunya tindakan jahat; (3) menentukan
cara atau prosedur penghakiman dan melaksanakan hukuman oleh kuasa
penghakiman14.
Kemudian Ifdal Kasim mengertikan politik hukum pidana sebagai
suatu kebijakan, baik untuk memberikan penilaian ke atas suatu kelakuan
manusia sebagai kelakuan jahat atau bukan jahat; yang disebut melakukan
kriminalisasi (criminalization) maupun dekriminalisasi (decriminalization)
terhadap suatu kelakuan atau perbuatan15. Dalam kaitan ini, tersabut
persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu kelakuan ditentukan sama ada
sebagai perbuatan kejahatan atau bukan, dan pemilihan antara pelbagai
alternatif yang ada, mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum
pidana di masa yang akan datang. Dengan demikian negara diberikan kuasa
merumuskan dan menentukan kelakuan yang dinilai dan dikategorikan
sebagai kelakuan jahat dan merumuskan bentuk tindakan penghakiman
yang dapat diberikan kepada siapa saja yang perbuatannya memenuhi
ketentuan perundangan berkenaan16.
Apabila Mardjono Reksodiputro (Ketua tim RUU KUHP Nasional
1987-1993), menyatakan bahawa pendekatan kelompok kerja dalam
mengamalkan kriminalisasi dan de-kriminalisasi adalah mencari sintesis
antara tiga hak, iaitu hak-hak yang bersifat individual (sivil liberties), hak-
hak masyarakat (communal rights), serta menjaga kepentingan politik
negara (State’s policy). Persoalan yang berlaku ialah, apakah mudah
menyeimbangkan tiga domain berkenaan. Oleh kerana, kegagalan menjaga
keseimbangan terhadap ketiga kepentingan tersebut (individu, masyarakat
dan negara) akan menjejaskan dasar perundangan yang dibuat, dan sangat
14
Lihat Barda Nawawi Arief, 2005, halaman 25-26 yang merujuk kepada A Mulder, 1980,
”Strafrechtspolitiek” dalam Delikt en Delinkwent, edisi Mei 1980, hlm. 333.
15
Lihat Ifdal Kasim, 2005, ”Kearah mana pembaruan KUHP?: Tinjaun kritis atas RUU KUHP”
dalam Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 7, Jakarta: ELSAM, hlm. 4.
16
Criminalization diertikan sebagai penjenayahan (menilai suatu kelakuan sebagai jenayah),
iaitu suatu proses yang dilakukan oleh kuasa perundangan untuk menilai dan menentukan suatu
kelakuan yang semula bukan sebagai kelakuan jenayah dan menyalahi undang-undang kemudian
ditentukan sebagai kelakukan jenayah dengan menenukan kadar hukumannya dan sesiapa yang
melakukannya boleh dibicarakan di mahkamah. Demikian sebaliknya decriminalization diartikan
sebagai suatu proses menilai dan menentukan suatu kelakuan yang semua sebagai jenayah dan
bagi pelakuknya boleh dibicarakan di mahkamah, berubah tidak lagi sebagai kelakuan jenayah. (lihat
Wright-Miller, dalam Insikolopedia of Criminology Vol. I ,2003 dan McLaughlin-Muncie, The sage
dictionary of criminologi, Sage Publication, London, 2002 ).

192
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

besar potensi untuk berlaku ”overcriminalization” pada salah satu daripada


tiga domain tersebut17.
Dari huraian di atas, dapat dipahami bahwa politik hukum pidana
memiliki perbedaan maknai dengan istilah ”pembaharuan peraturan-
perundangan hukum pidana”. Walau bagaimanapun, pengertian politik
hukum pidana di dalamnya merangkumi pula konsep pembaharuan
peraturan-perundangan pidana. Perlu ditegaskan bahawa, undang-
undang pidana merupakan salah satu bahagian saja dari sistem hukum
dalam suatu negara. Sungguhpun demikian politik hukum pidana
memiliki makna yang luas, merangkumi pembaharuan peraturan-
perundangan substantif yang tertulis (UU, Perpu, Perda, dan Peraturan
lainnya), pembaharuan struktur administrasi penegakan hukum, dan
budaya masyarakat dalam mengamalkan hukum dan undang-undang.
Secara ringkas dasar perundangan jenayah boleh digambar dalam dua
matrik di bawah berikut;.

Rajah 2.4. Rekabentuk perumusan Dasar Perundangan menuju Dasar Perundangan Jenayah

PERLEMBAGAAN /
KONSTITUSI
NEGARA Macam
Perbuatan
Jenayah

DASAR KERAJAAN/ Jenayah thdp


DASAR AWAM Tubuh,
Jenayah
hartanah,
Jenayah Pecah
Amanah;
Jenayah Penguatkua
DASAR Keselamatan saan oleh
PERUNDANGAN Negara;
Jenayah Sistem
Rasuah; Keadilan Objektif :
Bidang/Sektoral Perumusan: Bidang/ Perkara Jenayah dadah Jenayah
Ekonomi; Interpretasi; Keselamatan
Politik; Legalitimasi; (Polis, Masyarakat
Legislasi; Undang-Undang Peguam dan Negara;
Pendidikan dan
Bentuk dan isi; Jenayah; Negara, Wujudnya
Pengajaran; Mahkamah, Masyarakat
Luar Negara; Kriminalisasi;
Penjara; yang damai,
Keselamatan; Asas – Filosofi;
Dekriminalisasi; aman sejahtera
Agensi
Sistem Keadilan Asas – Yuridis; Penalisasi; Konun kerajaan:
Jenayah; Asas – Sosiologis; Prosedur Jenayah; Jenayah; BPR.
Pentadbiran Awam; Asas – Historis; Crime Control; Akta AADN
Asas – Gramatikal Agensi-Agensi Jenayah dsb.)
Mahkamah; (Akta
Asas – Manfaat Pelaksana;
Dan seumpamanya Dadah,
Asas - Tujuan
Akata
Rasuah)

Sumber : Mokhammad Najih. 2009. Politik Hukum Pidana


Rajah 2.5. Sekema Kedudukan Politik Hukum Pidana dalam Poitik Hukum

SOCIAL POLICY
Social Welfare Policy
POLITIK HUKUM Social Defense Policy
Dari matrik 1.1 dapat dijelaskan bawa secara umum politik hukum
(LEGAL POLICY)

pidana ialah merupakan bahagian dari politik hukum pemerintah pada


Politik Hk. Dasar POLITIK HUKUM PIDANA
keseluruhannya. Politik
Sedangkan
Hukum Pidana politik(Penal
hukumPolicy andpada keseluruhannya ialah
Penal Reform)
Politik HTN
merupakan bagian program
Politik Hukum Acara dari visi/misi
Criminal pemerintahan yang lebih luas
Politik Hukum Perdata Policy/Criminalisation
Politik HAN
17
Dalam Ifdal Kasim,
Politik2005, hlm. 4.
Hk.Ekonomi
Punishment
Politik Hk. Internasional
Policy/Penal Policy
Dan sebagainya 193
Judicial Policy
(Criminal Justice
System
KONSTITUSI
NEGARA Macam
Perbuatan
Jenayah
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional
DASAR KERAJAAN/ Jenayah thdp
DASAR AWAM Tubuh,
lagi. Sedangkan garis besar program dan kebijakan pemerintah yang Jenayah
hartanah,

luas dan menyeluruh dari semua segi kehidupan itu, sangatPenguatkua dipengaruhi
Jenayah Pecah
Amanah;
Jenayah
oleh ideologi
DASAR
PERUNDANGAN
politik yang menguasai pemerintahan. Jadi politik saan oleh
Keselamatan
Negara;
hukum
pidana adalah bagian kecil dari rancangan pelaksanaan strategi Sistem
Jenayah
Keadilan
Rasuah; politik
Objektif :
Bidang/Sektoral Perumusan: Bidang/ Perkara Jenayah
dan program
Ekonomi; pembangunan
Interpretasi;
Legalitimasi;
suatu pemerintahan negara. Dari
Jenayah dadah

(Polis,
konsep
Keselamatan
Masyarakat
Politik;
inilah Pendidikan
dapatdan ditelaah dan Legislasi;
dikaji
Bentuk dan isi;
bagaimana
Undang-Undang
Jenayah;
hubungan ideologi
Peguam
Negara,
politik
dan Negara;
Wujudnya
Pengajaran;
yang menguasai
Luar Negara; pemerintahan, kaitannya Kriminalisasi; dengan pelaksanaan
Dekriminalisasi; Penjara; asas-asas
Mahkamah, Masyarakat
yang damai,
Keselamatan; Asas – Filosofi; aman sejahtera
dasar Sistem
danKeadilanprinsip-prinsip negara yang telah dikuatkuasakan melalui
Agensi
Asas – Yuridis; Penalisasi; Konun kerajaan:
Jenayah; Asas – Sosiologis; Prosedur Jenayah; Jenayah; BPR.
konstitusinya
Pentadbiran Awam;.
Mahkamah;
18 Asas – Historis;
Asas – Gramatikal
Crime Control;
Agensi-Agensi
Akta
Jenayah
AADN
dsb.)
Asas – Manfaat Pelaksana; (Akta
Dan seumpamanya
Lebih lanjut secaraAsas
lebih rinci, berikut dalam matrik 1.2 tentang, akan
- Tujuan Dadah,
Akata
Rasuah)
diterangkan mengenai gambaran ruang lingkup politik hukum pidana,
serta kedudukannya dalam politik hukum nasional.

Rajah 2.5. Sekema Kedudukan Politik Hukum Pidana dalam Poitik Hukum

SOCIAL POLICY
Social Welfare Policy
POLITIK HUKUM Social Defense Policy
(LEGAL POLICY)

Politik Hk. Dasar POLITIK HUKUM PIDANA


Politik Hukum Pidana (Penal Policy and Penal Reform)
Politik HTN
Politik Hukum Acara Criminal
Politik Hukum Perdata Policy/Criminalisation
Politik HAN
Politik Hk.Ekonomi
Punishment
Politik Hk. Internasional
Policy/Penal Policy
Dan sebagainya
Judicial Policy
(Criminal Justice
System

Law Enforcement
Policy

PROSES DAN PEROSEDUR


PENYUSUNAN Administrative Penal
PERATURAN Policy
PERUNDANGAN

LEGISLATIVE
POLICY
PERATURAN
PERUNDANGAN LEGISLATIVE
DRAFTING

Sumber : Mokhammad Najih. 2009. Politik Hukum Pidana

Selanjutnya dalam matrik 1.2, dapat diterangkan bahwa, politik hukum


pidana nasional ialah merupakan bagian dari politk hukum nasional
secara keseluruhannya, yang merupakan bagian dari program yang lebih
18
Bagi negara Indonesia asas-asas dasar tujuan negara dan prinsip-prinsip undang-undang
negara telah termaktub dalam Undang_Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sebagaimana telah
diamandemen ke-4 tahun 2002. Sedangkan bagi negara Malaysia asas-asas dasar tujuan negara dan
prinsip-prinsip undangundang negara sepertimana terdapat dalam Perlembagaan Malaysia.

194
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

luas iaitu bidang kesejahteraan sosial. Bahwa pembaharuan hukum pidana


adalah bagian dari upaya negara mewujudkan kesejahteraan sosial, dan di
antara keluaran dari berfungsinya hukum pidana di masyarakat adalah
mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. Berkenaan dengan matrik tersebut,
maka politik hukum pidana dapat dibagikan dalam beberapa bentuk
cabang dan cakupan politik hukum pidana, antara lain;
1. Kebijakan kriminalisasi (Criminalization Policy), politik hukum yang
fokus pada usaha memformulasikan perbuatan jahat sebagai tindak
pidana yang diperbaharui atau bentuk perumusan yang baru dalam
perancangan undang-undang, seperti pembuatan RUU KUHP atau
tindak pidana tertentu. Termasuk dalam politik hukum ini, adalah
kebijakan yang berkaitan dengan penghapusan perbuatan yang semula
sebagai tindak pidana dalam undang-undang menjadi bukan tindak
pidana (decriminalization);
2. Kebijakan Penghukuman /Hukum Penitensier (Penal dan Non Penal
Policy), politik hukum pidana yang bermusatkan perhatian pada
penghukuman dalam hukum pidana, jenis-jenis atau macam hukuman,
bentuk pelaksana penghukuman, dan sarana yang diperlukan untuk
itu. Termasuk kebijakan untuk mengevaluasi pelaksanaan hukuman,
efektifitas hukuman, aspek segi-segi yang perlu diperbaiki sesuai
dengan perkembangan prinsip-prinsip penghukuman;
3. Kebijakan Peradilan Pidana (Judicial criminal policy), bagian ini adalah
cabang dari politik hukum pidana yang membahas dan mengkaji
sistem dan prosedur peradilan pidana (criminal justice system), dan
membincangkan masalah-masalah prosedur penghakiman, bentuk
penghakiman, dan semacamnya;
4. Kebijakan penegakan hukum pidana (Law enforcement policy), ialah
bagian dari politik hukum pidana yang mengkaji dan membincangkan
masalah-masalah yang perlu diperhitungkan dalam pelaksanaan
penegakan hukum pidana. Masalah ini berkaitan dengan kelembagaan
penegak hukum, kebutuhan dan potensi SDM-nya, aspek profesionalitas
penegak hukum, sarana prasaran yang menunjang penegakan hukum,
dan juga aspek yang berkaitan dengan budaya hukumnya.
5. Kebijakan Adminsitrasi Peradilan Pidana ialah berkenaan dengan
penyelenggaraan administrasi peladilan pidana. Kebijakan ini sangat
erat dengan bidang penegakan hukum dan pelaksanaan penghukuman.
Hal ini berkenaan dengan teknis penyelenggaraan peradilan pidana,
perencanaan anggaran, pengelolaan dan pengadaan asset, sarana
prasaran, seperti keperluan pembinaan gedung pengadilan, gedung
penjara, gedung penyimpanan benda sitaan atau rampasan, sistem
administrasi peradilan pidana, dan sebagainya.

195
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Dari uraian tersebut, penulis ingin menegaskan bahwa politik


hukum pidana, adalah salah satu bagian dari suatu “legal plening ferorm”-
--perencanaan pembangunan hukum yang dirancang secara matang--
- dengan memperhatikan aspek-aspek yang menyertainya. Mulai dari
dasar negara sebagai sumber utama bersama dengan konstitusinya (UUD
RI 1945), ideologi politik kekuasaan, kebijakan pembangunan nasional,
kemudian sampai kepada politik hukum dan politik hukum pidana-
nya. Dari gambaran ini jelas bahwa Pancasila sebagai dasar negara
menjadi sumber nilai substantif dan sumber hukum dalam melaksanakan
pembaharuan dan pembentukan hukum pidana secara Nasional19.

III. Membangun Karakter Hukum Pidana Indonesia (Suatu


Eksplorasi).
Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
dan ciri khas/ karakter yang harus dimengerti dan dijiwai oleh para
penggagas pembaharuan hukum pidana Indonesia, sehingga hukum pidana
nasional memiliki karakteristik Indoensia. Pertama, bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang memiliki keragaman adat
dan budaya yang masing-masing memiliki sistem hukum adatnya sendiri,
yang harus dilindungi, dihormati dan diakui. Kedua, bahwa masyarakat
Indonesia memiliki sistem keberagamaan dan kepercayaan/keyakinan
yang dianut (sistem religi). Nilai-nilai agama sangat berpengaruh dalam
masyarakat, bahkan dalam hukum adat dan tata pergaulan sosial. Ketiga,
sebagai negara merdeka dan negara modern Indoensia juga mempunyai
keinginan untuk membangun sistem hukumnya sendiri yang yang
berkarakter Indoensia. Dan ke-empat, bahwa Indonesia tidak bisa lepas
dari pengaruh perkembangan Internasional, pergaulan antar bangsa. Isu
HAM, demokratisasi dan politik-ekonomi dunia/global memberi tekanan
tersendiri dalam membentuk dan mengembangkan hukum nasional.

III.1. Dukungan terhadap Masuknya/Perhatian terhadap Keberadaan


Hukum Pidana Adat;
Jauh sebelum dibentuk tim perancangan RUU KUHP Nasional
(1981), dalam Kongres Persahi II tahun 1964. Moeljatno menawarkan
suatu model Hukum Pidana Nasional yang bersumber dari Hukum
Pidana Adat (sistem okulasi, pen). Dengan cara memasukkan norma-norma
19
Cita-cita para pendiri negara terhadap masalah Pancasila ini dapat kita lihat kembali dalam
naskah Penjelasan pokok pikiran ke-emapt Pembukaan UUD 1945 sebelum amendemen. Dalam
penjelasan itu disebut “ Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam “pembukaan” ialah
negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-
lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”.

196
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

hukum pidana adat dalam hukum pidana nasional dengan mempertegas


dengan sanksi/pemidanaannya. Beliau mengemukakan; “bahwa untuk
membentuk KUHP Nasional yang akan datang perlu dicari konsepsi baru
dalam hukum pidana yang tidak asing bagi bangsa Indonesia. Ketentuan
hukum pidana itu dapat digali dari hukum tidak tertulis atau hukum adat
dengan dua syarat, iaitu (1) ia harus hidup di dalam kalangan masyarakat
Indoensia; dan (2) tidak akan menghambat perkembangan masyarakat
adil dan makmur. Iaitu, bahwa aturan hukum tidak tertulis harus disertai
dengan ancaman pidana. Adanya ancaman pidana dalam hukum tidak
tertulis tersebut bertujuan agar delik adat lambat laun akan meluas menjadi
hukum nasional, sehingga hakim berwenang pula menentukannya sebagai
suatu perbuatan pidana”20
Secara de facto, Indonesia adalah suatu negara yang memiliki
keragaman suku bangsa, keragaman penduduk dengan beragam latar
belakang sosial dan budaya. Keragaman dimaksudkan juga telah diikat
dan diangkat dengan sebuah motto ”Bhinneka Tunggal Ika”. Keragaman
itu secara politik diikat menjadi satu oleh satunya bangsa, tanah air dan
bahasa, yaitu Indonesia;– Secara de jure, keragaman sosial budaya juga
disertai dengan keragaman hukum adat dan kebiasaan dimana pada
sebagian masyarakat Indonesia hukum adat dan kebiasaan tersebut
masih hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, seperti di:
Papua, Dayak, Samin, Badui dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, potensi
terwujudnya pluralisme hukum pidana dalam kasus tertentu harus
bia diterima, apalagi dengan diberlakukannya autonomi aderah dan
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

III.2. Peranan Norma-Norma Keagamaan dalam Pembentukan Hukum


Pidana Nasional;
Bahwa dalam masyarakat Indoensia bahkan jauh sebelum merdeka,
telah menjadikan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai pilar kehidupan. Bahkan banyak hukam adat pada kesatuan-
kesatuan masyarakat adat bersumberkan agama. (seperti dalam masyarakat
Minangkabau, masyarakat Jawa, masyarakat Madura, masyarakat Bali,
masyarakat Sunda, dan yang lainnya). Secara empiris kita telah menerima
kehadiran peraturan yang berlaku secara khusus, seperti di NAD.
Namun perlu diingat pula bahwa Indonesia juga adalah sebuah
negara dengan penduduknya mayoritas beragama Islam tetapi Indonesia
bukanlah Negara Islam. Kendati Hukum Islam tidak menjadi sendi dan
dasar hukum untuk tata kehidupan masyarakat secara keseluruhan
tetapi dalam soal hukum tertentu digunakan hukum Islam, yaitu antara
20
Moeljatno, Atas Dasar atau Asas-asas Apakah Hendaknya Hukum Pidana Kita Dibangun?.
Prasaran dalam Kongres II Persahi, 25 Juli 1964, Surabaya,, hlm. 38-40.

197
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

lain mengenai: perkawinan dan waris, haji, zakat, waqaf, dan beberapa
ketentuan mu’amalah lainnya. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 secara tegas
menyatakan bahwa ”negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia...”.

III.3. Kehendak untuk Melakukan Pembaharuan Hukum Pidana Nasional


dalam Sistem Hukum Negara yang Modern yang Terencana.(Negara
Hukum).
Pembaharuan hukum pidana sebagai kehendak nasional perlu
memperhatikan juga beberapa prinsip penting dalam sistem kenegaraan
Indonesia yang terkait dengan uraian ini yaitu sistem yang berdasarkan
prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi.
Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan
salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya politik hukum
yang ideal. Prinsip Negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu
pemisahan kekuasaan (check and balances), jaminan kekuasaan kehakiman
yang merdeka (due process of law), dan jaminan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia (human rights). Selanjutnya dalam Negara hukum,
tugas penyelenggara negara, khususnya pemerintah sangat luas, yaitu
menciptakan, memelihara, mempertahankan penyelenggaraan ketertiban,
kemananan dan kesejahteraan para warga negaranya dalam arti seluas-
luasnya.21 Selain itu prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-
lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam
koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan
konstitusi.
Dalam sistem kenegaraan yang demikianlah berbagai produk politik,
berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan,
termasuk hukum pidana nasional. Dalam kerangka paradigmatik yang
demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai
sumber kekuatan mengikat. hukum diharapkan dapat mengakomodir
segala kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat, sehingga apa
yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-
undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas
untuk itu. Kondisi dan konfigurasi politik ini sangat berpengaruh terhadap
konfigurasi produk hukum22. Oleh karena itu pentingnya setiap pemegang
kekuasaan untuk memegang teguh nilai-nilai Pancasila, (moral dan etika)
sangat penting. Dengan demikian nilai moral, etika dan kepentingan rakyat
21
Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah
Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, Konstitusi Press, Jakarta dan Citra
Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 47.
22
Lihat lebih lanjut dalam Mahfud MD. Politik Hukum Indonesia. LP3ES, Jakarta. 2008

198
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

yang ada dalam kenyataan sosial tetap menjadi sumber hukum yang dicita-
citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang
baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-
undangan yang baru, meskipun penguasanya berbeda aliran politiknya.

III.4. Pengaruh Tata Nilai yang Dikampanyekan oleh Dunia Internasional


(Isu Keharusan Universal HAM dan Demokratisasi);
Pembaharuan hukum pidana nasional, juga tidak bisa lepas dari
pengaruh tata nilai yang dikembangkan oleh masyarakat Internasional.
Secara nyata, negara Indonesia telah ikut terlibat aktif, menjadi negara
pihak dalam setiap konvensi-konvensi penting antar bangsa. Misalnya,
turut sertanya Indonesia menjadi pihak dengan meratifikasi Konvensi
HAM PBB, konvensi anti kekerasan, konvensi anti korupsi, konvensi
masalah penanggulangan obat terlarang/spikoterapika, konvensi anti
perdagangan orang, konvensi perlindungan anak dan perempuan dan
sebagainya.
Sebagai negara pihak, negara Indonesia terikat untuk melaksanakan
konvensi-konvensi tersebut dalam bentuk memasukkan tata nilai dan
norma-norma internasional tersebut ke dalam produk hukum dan
peraturan perundangan yang terkait, meskipun kadang pemerintah
meminta dikecualikan (reservasi) dalam norma-norma tertentu.
Sejalan dengan uraian di atas, Muladi memberikan lima karakteristik
hukum pidana Indonesia di masa depan; pertama, hukum pidana
nasional mendatang dibentuk tidak hanya sekadar alasan sosiologis,
politis dan praktis, namun secara sadar harus disusun dalam kerangka
ideologi nasional Pancasila. Kedua, hukum pidana nasional, tidak boleh
mengabaikan aspek-aspek kondisi manusia, alam, dan tradisi bangsa
Indonesia. Ketiga, hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan
diri dengan kecenderungan universal yang tumbuh dalam masyarakat
internasional. Keempat, hukum pidana nasional harus memikirkan aspek-
aspek preventif atau pencegahan kejahatan, dan kelima, hukum pidana
nasional harus selalu tanggap terhadap setiap bentuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi23.
Dengan demikian karakter hukum pidana Indonesia, adalah hukum
pidana yang dapat menerima secara terbuka terhadap tata nilai yang
berkembang di dalam tata pergaluan masyarakat, dengan menjadikan
ideologi Pancasila sebagai parameter penilai dan sekaligus sebagai sumber
nilai yang menjadi standar utama.

23
Muladi. “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Medatang”. Pidato pengukuhan
guru besar Hukum Pidana. Universitas Diponegoro, Semarang. 1990, hlm. 8-29.

199
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

IV. Pancasila sebagai Sumber dalam Pembentukan Hukum Pidana


Indonesia.
Pada tahun 2000, MPR melalui TAP MPR No. III tahun 2000
tentang Sumber Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundangan, telah
menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber hukum utama dalam
pembentukan peraturan-perundangan di Indonesia.24 Di dalam TAP MPR
tersebut beberapa sumber hukum tertulis ditentukan sebagai berikut
: (1). Pancasila, (2). Pembukaan UUD 1945; (3). batang tubuh UUD 1945
dan amandemenya; (4). ketetapan majelis permusyawaratan rakyat; (5).
undang – undang; (6). peraturan perundang – undangan; (7). peraturan
pemrintah; (8). keputusan presiden; (9). peraturan daerah. Kemudian pada
tahun 2004 diberlakukan UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dalam Fasal 2 nya disebutkan bahwa ‘Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Idem dito apabila
tersebut diganti25 dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UUP3U), dimana dalam Pasal 2-nya
tetap mengatur hal yang sama , bahwa “pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara”.
Kemudian penjelasan pasal 2 tersebut dinyaatakan, bahwa;
”penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
adalah sesuai dengan maksud Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.26
24
Sebelum TAP MPR tersebut, dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang memuat
judul tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum republik Indonesia dan tata
urutan peraturan perundangan republik Indonesia, didalam lampiranya menyatakan sebagai berikut :
Pancasila : sumber dari segala sumber hukum “. Al Marsudi Subandi H. 2003. Pancasila dan UUD’45
dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Rajawali Pers.
25
Dalam konsideran UU 12/2011 disebutkan bahwa salah satu alasan penggantian UU
10/2004 adalah bahwa UU yang lama tersebut terdapat kekurangan dan belum responsif terhadap
perkembangan kebutuhan masyarakat, dalam proses pembentukan peraturan-perundang-
undangan.
26
Bunyi lengkap pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 pada alenia ke 4 yang berbunyi
; “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara indonesia yang melindungi
segenapbangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia dan keadilan
sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan indonesia itu dalam suatu undang – undang dasar
negara republik indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ; Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadialn sosial bagi seluruh rakyat indonesia “. (lihat UUDRI 1945 dan amandemennya).

200
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Sejalan dengan itu, maka fasal 5-nya diatur mengenai asas pembentukan
peraturan perundang-undangan, ada 7 asas; (1). Asas kejelasan tujuan; (2)
asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (3) asas kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan; (4) asas dapat dilaksanakan; (5)
asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; (6) asas kejelasan rumusan; dan (7)
asas keterbukaan; mangat ini kemudian dalam fasal 6 UUP3U 2011 diatur
mengenai asas-asas umum pembentukan peraturan perundangan.
Selain itu di dalam pembukaan (preambule) UUDRI 1945, tesirat
beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan panduan dalam pelaksanaan
pembangunan bangsa, termasuk di-implementasikan dalam membentuk
peraturan-perundang-undangan, diantaranya sebagai berikut.27

IV.1. Pokok Pikiran yang Pertama; Persatuan.


Bangsa indonesia merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari
berbagai ragam budaya, adat dan kelompok, lahirnya berbagai keragaman
tersebut justru akan menimbulakan persoalan misalnya perpecahan,
apabila tidak dilandasi oleh sutu falsafah yang tertuang didalam sila ke
3 pancasila yang berbunyi “ pesatuan indonesia “ dikuatkan dalam pasal
1 ayat (1) UUD 1945 “ negara indonesia adalah negara kesatuan yang
berbntuk republik “ hal tersebut telah menjadi alas yang paling dasar
sejak bangsa indonesia merdeka, sehingga dengan modal persatuan dan
kesatuan bangsa diharapkan akan terjadi rasa saling menghormati setiap
perbedaan tersebut. Hanya saja menurut saya, yang terjadi saat ini sikap
saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan justru semakin jauh
keluar dari hakikatnya artinya perbedaan antar suku, ras, budaya, agama
dan lain sebagainya seolah olah telah masuk kedalam bentuk “intervensi”
yang mana memang diantara kedua sikap tersebut memiliki batasan yang
sangat tipis sehingga keanekaragaman tersebut justru memunculkan
penafsiran yang braneka ragam pula. hal inilah sebenarnya yang menjadi
bumerang bagi bangsa kita. solusi mengenai hal tersebut akan dibahas
lebih lanjut dalam bab kesimpulan dan saran.

IV.2. Pokok Pikiran yang Kedua; Keadilan Sosial.


Pasal 33 ayat (4) “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkead
ilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Dari
isi pasal tersebut tercermin bahwa bangsa indonesia menhendaki setiap
warga negaranya melaksanakan apa yang menjadi kewajibanya serta
27
Lihat dalam Anonim, 2011. Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum, tersedia
dalam. http://mastergocapricorn.blogspot.com/2011/12/pancasila-sebagai-sumber-dari-egala.html# [
29 Oktober 2013].

201
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

jaminan untuk memperoleh hak dan perlakuan yang adil dalam status sosial
dan ekonomi khususnya. Namun dalam penerapanya seperti kita ketahui
bersama banyak sekali diskriminasi dan ketimpangan – ketimpangan dalm
berbagai hal, penyebabnya tidak lain adalah status sosial dan kekuasaan,
artinya jaminan kesejahteraan seolah – olah justru menjadi alasan utama
bagi golongan yang memiliki kedudukan tinggi untuk mendapatkan
berbagai tunjangan dengan berbagai alasan.
Sedangkan dalam bentuk lembaga pokok pikiran yang kedua ini
terlihat dengan adanya departemen sosial yang bertugas menyelesaikan
berbagai permasalahan sosial, sedangkan dalam bidang legislatif tercermin
dalam setiap putusan hakim selalu memuat klausul “ demi keadilan
berdasarkan ketuhanan yang maha esa”

IV.3. Pokok Pikiran yang Ketiga; Kerakyatan.


Sebagai perwujudan dari negara demokrasi, salah satu pilar utamanya
adalah kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran
maupun kepentingannya. Huntington 1994) menandaskan bahwa
partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.
Juga dalam pendapat Robert Dahl, praktek demokrasi selalu melibatkan
dua dimensi, yaitu perlombaan (contestation) dan peran serta (participation)28.
Rakyat selalu yang menentukan arah demokrasi dan pembangunan
nasional, melalui mekanisme yang disepakati sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku. Dalam kaitan ini UUDRI 1945 juga
telah mengatur tentang sistem demokrasi dalam penyelenggaraan negara.
Seperti sistem pemilihan umum, sistem penyelenggaraan kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif

IV.4. Pokok Pikiran yang Keempat; Ketuhanan yang Maha Esa dan
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Pasal 29 ayat (1) UUDRI 1945 menyatakan; “ Negara berdasarkan atas
Ketuhanan yang Maha Esa “ dari ketentuan tersebut mengandung maksud
bahwa, Indonesia merupakan negara yang menghendaki dan mengakui
warga masyarakatnya beragama dalam artia luas. Maknanya bahwa
negara melindungi dan menerima sistem nilai yang hidup dan bersumber
dari berbagai macan agama yang berbeda-beda. Meskipun mayoritas
masyarakatnya beragama Islam namun bukan bukan berarti negara hanya
melindungi agama mayoritas saja, sebagaimana diatur dan ditegaskan
dalam pasal 29 ayat (2) “ Negara menjamin kemerdekanan tiap – tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaanya itu “.
28
Lihat lebih jauh dalam Budiardjo, Miriam.1994. Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Gramedia, dan
Huntington, Samuel P. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rajawali.

202
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Ketentuan konstitusional tersebut, membuktikan diterimanya


Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional dari bangsa
Indoensia. Hal ini membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila
dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan
negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi
lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut
adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan / perwakilan, dan
nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan secara singkat
bahwa nilai dasar Pancasila adalah nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan,
nilai Persatuan, nilai Kerakyatan/Demokrasi, dan nilai Keadilan Sosial
dapat diuraikan sebagai berikut;
1. Nilai Ketuhanan.
Nilai Ketuhanan ini mempunyai maksud bahwa masyarakat Indoensia
adalah masyarakat yang memiliki tata nilai yang disandarkan kepada
tata nilai yang bersumber dari ajaran agama. Penerimaan sistem
kepercayaan agama, sistem religi telah berakar lama dalam tradisi
masyarakat. Inilah potensi diri bangsa Indonesia yang harsus terus
menerus digali dan dikembangkan menjadi tata nilai Nasional melalui
proses kristalisasi dalam setiap peraturan perundangan. Bahwa tata
nilai dalam agama-agama yang menjadi kepercayaan masyarakat
Indoenesia dijadikan panduan dalam merumuskan setiap kebijakan,
setiap tindakan. Nilai Ketuhanan juga memiliki arti adanya pengakuan
akan toleransi memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama,
tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama.
Ini membawa makna bahwa Pancasila menjadi nilai pengikat dalam
kehidupan masyarakat, dan bukan sebaliknya.
2. Nilai Kemanusiaan.
Nilai Kemanusiaan yang mengandung makna bahwa eksistensi diri
bangsa Indonesia, harus menempatkan dirinya sebagai manusia yang
utuh, menghormati dirinya sebagai manusia dan menghormati manusia
lain seperti menghormati dirinya sendiri. Keharusan dalam prinsip-
prinsip kemanusiaan universal diamalkan dalam alam kemerdekaan
yang adil dan beradab. Prinsip ini mengandung arti bahwa kesadaran
sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama
atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal
sebagaimana mestinya. Dalam konteks pembentukan hukum, maka
hukum ditempatkan sebagai sarana untuk mengatur perlindungan
manusia (hukum untuk manusia), dan bukan sebaliknya manusia
menciptakan hukum untuk menindas manusia yang lain (bukan manusia
untuk hukum).

203
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

3. Nilai Persatuan.
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna, bahwa keragaman
harus diterima sebagai realitas nasional yang tidak bisa ditolak oleh
bangsa Indonesia. Bahwa dalam nasionalisme kebangsaan Indonesia
itu digerakkan oleh kebhinekaan. Tidak boleh dikembangkan sikap
mayoritas mengatasi yang minoritas, demikian sebaliknya. Persamaan
hak dan kewajipan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dipersatukan dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia.
Nilai ini juga bermakna bahwa keragaman itu harus dilebur menjadi
tata nilai nasional yang dimiliki bangsa indonesia.
4. Nilai Kerakyatan.
Nilai dalam sila ke-4 ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan’, menegaskan
bahwa persatuan bangsa Indonesia mesti dikelola dengan sistem
demokrasi yang khas Indonesia. Bahwa tata nilai demokrasi Indoensia
lebih mendahulukan permusyawaratan, melalui wakil-wakil yang
terpilih secara demokratis. Masyarakat diberikan kesempatan untuk
terlibat secara terbuka dalam alam demokrasi yang dipandu oleh sistem
nilai Indoensia. Hal ini mengandung makna juga suatu pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dijalankan dengan cara
musyawarah mufakat melalui lembaga lembaga perwakilan.
5. Nilai Keadilan.
Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung
makna bahwa keadilan sebagai dasar sekaligus tujuan. Bahwa nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan dan nilai kerakyatan/
demokrasi menjadi panduan untuk menciptakan tata keadilan sosial.
Nilai keadilan sosial menjadi tujuan yang hendak dicapai dengan
melaksanakan nilai-nilai yang sebelumnya. Dengan pencapaian itu
maka tujuan nasional bisa diwujudkan, yaitu tercapainya masyarakat
Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah atau batiniah.
Adapun konsepnya secara epistemologinya29 adalah sebagai berikut,
bahwa nilai Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan
dengan cahaya dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang
bersudut lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata Negara, yaitu
ilmu perundang-undangan saat ini realitas semiotika hukumnya adalah
diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian, dan
29
Uraian konsep epistemologi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum diadopsi
dari tulisan Turiman Fatchurrahman Nur. 2013. “Pancasila Sebagai Sumber segala Sumber Hukum
Negara dan Hirarki Peraturanp Perundang-undangan Berdasarkan UU No. 12/2011”; tersedia dalam
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2013/06/pancasila-sebagai-sumber-segala sumber
hukum. html [diakses, 17 Oktober 2013].

204
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

keselarasan” (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara dan asas ini secara semiotika hukum tetap menjadi basis sentral,
oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan ditengah perisai merah
putih dan ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna hitam sebagai
warna alam dan Sila I yang dilambang dengan cahaya dibagian tengah
berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai ke empat
sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V atau
menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
Secara teoritik atau konsepsional dapat dijelaskan konstruksi model
semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya sila II dasar Kemanusian
Yang Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan tali rantai bermata
bulatan dan persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila. Maknanya
bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat pada
asas kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal
Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011),
artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan
negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum
Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf h Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan Peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Kemudian sila I menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia
yang dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai
Pancasila, maknanya hukum yang bersifat progresif taat kepada asas
Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12
Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.

205
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Kemudian Sila I menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan yang


dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai
Pancasila, karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-
undangan adalah hasil dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai
perwujudan esensi semnagat demokrasi untuk menterjemahkan suara
rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan pemerintah (negara),
maknanya, bahwa hukum yang bersifat Progresif haruslah taat kepada asas
kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas Pengayoman
(Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011),
artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat.
Kemudian Sila I menjadi cahaya sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh
rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi dibagian kanan
bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif
harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau taat pada asas Keadilan
(Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali dan taat pula pada asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal
6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada
asas Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf
i Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi
Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.30
Dengan demikian pada tataran perencanaan penyusunan
UndangUndang dalam prolegnas sebagai skala prioritas program
pembentukan Undang-Undang dalam kerangka sistem hukum nasional31
30
Lihat dalam Turiman Fatchurrahman Nur. 2013. “Pancasila Sebagai Sumber segala Sumber
Hukum Negara dan Hirarki Peraturanp Perundang-undangan Berdasarkan UU No. 12/2011”; tersedia
dalam http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2013/06/pancasila-sebagai-sumber-segala
sumber hukum. html [diakses, 17 oktober 2013].
31
Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional adalah suatu sistem hukum yang berlaku
di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam
rangka mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

206
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945. Artinya Penempatan Pancasila sebagai cita hukum
dengan menempatkan Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat dan sekaligus
menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis negara sehingga materi muatan Peraturan perundang-
Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila yang konsep pembacaan selaras dengan semiotika hukum
pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia
(Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Lambang
Negara), yaitu pembacaan Pancasila dengan logosentrisme berthawaf.32
Dalam konteks itulah, kemudian UU No. 11/2012 mensyaratkan bahwa
pembentukan peraturan perundangan juga mesti melaksanakan asas-
asas pembentukannya, sebagaimana diatur dalam Fasal 5 dan fasal 6
sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya.

V. Rumusan dan Rekomendasi Pancasila sebagai Sumber Hukum Pidana


Indonesia.
Dari pembahasan karakteristik hukum pidana nasional dan Pancasila
sebagai sumber hukum pidana nasional, maka sekurangnya diperlukan
dua standard yang menunjukkan bahwa Pancasila digunakan sebagai
rujukan utama. Pertama perlunya penegasan mengenai rumusan tujuan
hukum pidana nasional. Dan kedua, adalah nilai-nilai apa yang harus
diimplementasikan dari rumusan ketentuan hukum pidana nasional.

V.1. Tujuan Hukum Pidana Nasional;


Kalau kita menilik kembali sejarah pembentukan negara, maka kita
akan temukan kesepakatan nasional, bahwa UUD 1945 perlu mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi
pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral
rakyat yang luhur dan akhak yang tinggi33. Salah satu fungsi hukum pidana
32
Gagasan ini dikemukakan oleh Sultan Hamid II yang menciptakan lambang Geruda Pancasila.
Dalam Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967 pada halaman 7, dikemukakan bahwa ” ... Falsafah
“thawaf” mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun
negara, karena ber”thawaf” atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-
membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan
makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden
Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi
tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat
bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan
“djatidiri” bangsa/adanja pembangunan “nation character building” demikian pendjelasan Paduka
Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja”.
33
Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena

207
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

adalah menjaga dan memelihara tingkah laku warga negara agak tidak
berbuat jahat dan amoral. Dalam bagian ini penulis ingin memberikan
uraian tentang bagaimana rumusan tujuan hukum pidana nasional itu
dibentuk, sebagai upaya untuk mengimplementasikan Pancasila sebagai
sumber hukum; Bahwa tujuan hukum pidana nasional mesti merangkumi
beberapa tujuan berikut ini;
1. Hukum pidana nasional bertujuan untuk melindungi prinsip Ketuhanan dan
Agama yang hidup di Indoensia. Jadi semua tata nilai yang bersumber dari
ajaran agama dan yang dipercaya oleh masyarakat Indoensia mendapat
tempat dalam hukum pidana; Dengan demikian maka norma-norma
yang diatur dalam hukum pidana harus mengatur perintah atau
larangan yang tidak boleh bertentangan dengan sistem kepercayaan/
Agama yang diakui di Indonesia. Seperti mendahulukan asas manfaat
daripada kemudaratan., Mendahulukan keadilan daripada kepastian
hukum, dan semacamnya.
2. Hukum pidana nasional bertujuan untuk melindungi jiwa dan raga manusia
Indoensia. Bahwa tujuan pengaturan norma-norma hukum dalam
hukum pidana nasional harus memperhatikan jiwa dan raga manusia.
Dalam sila kedua Pancasila, melahirkan prinsip-prinsip kemanusianan.
Maka perumusan norma perbutan yang dilarang dan atau diperintah
oleh hukum pidana untuk melindungi jiwa dan raga manusia.
Termasuk di dalamnya adalah norma mengenai penghukuman, juga
memperhatikan prinsip kemanusiaan. Prinsip perlindungan ini bukan
bermaksud juga membiarkan manusia menjalankan hak hidupnya
dengan sebebas-bebasnya.
3. Hukum Pidana Nasional bertujuan untuk melindungi akal manusia Indoensia.
Bahwa pembentukan hukum pidana, mesti dapat melindungi daya
kreatifitas, daya nalar/fikir. Meskipun hukum pidana tidak boleh
menjamin manusia dapat bertindak dengan sebebas-bebasnya juga,
bukan pula bermaksud hukum pidana menyekat kemerdekaan
kretaifitas manusia. Maka norma-norma yang berkaitan dengan
perlindungan kretaifitas manusia, harus tetap bersandar pada nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila itu.
4. Hukum Pidana nasional juga bertujuan untuk melindungi keturunan
(regenerasi manusia/bangsa Indonesia); bahwa dalam merumuskan
perbuatan sebagai tindak pidana (straafmaat), merumuskan bentuk
hukuman, harus dapat memastikan bahwa aspek perlindungan
kehormatan regenerasi bangsa Indonesia mematuhi tata nilai agama.
Seperti, hukum pidana nasional harus menjamin perlindungan
terhadap lembaga perkahwinan, lembaga keluarga, tata pergaulan
itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.

208
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

antar orang-perorang. Bahwa hukum pidana tidak membiarkan


kebebasan pergaulan yang menjadikan tidak jelas hubungan hukum
antar generasi. Tata nilai ajaran bolehan, larangan dalam ajaran agama
mesti diterima dan diikuti.
5. Hukum Pidana nasional bertujuan untuk melindungi harta benda manusia
Indoensia. Norma-norma perbuatan yang merusak harta benda,
merusak lingkungan alam sekitar, penyalahgunaan kekuasaan/
kewenangan, KKN mesti menjadi pusat perhatian. Bahwa norma yang
dibentuk hukum pidana, menjadikan manusia tidak menjadi serakah
terhadap kebendaan, dan keduniaan semata (hedonisme). Namun
juga sebaliknya manusia tidak boleh kesukaran dan kekuarangan
terhadap harta benda, maka larangan monopoli harta benda, larangan
menyembunyikan aset/kekayaan, pencucian wang dan sebagainya
harus menjadi rumusan yang lebih jelas lagi.

V.2. Nilai-nilai Pancasuila yang Diimplementasikan dalam Undang-


Undang Hukum Pidana;
1. Nilai Ketuhanan; bahwa dalam sistim Ketuhanan itu melahirkan
banyak norma dan sistem ajaran yang dipercayai membawa kebaikan
dan kemaslahatan bagi manusia. Seperti norma-norma perbuatan yang
dilarang dalam agama atau bersumber dari ajaran agama, perlu menjadi
norma dalam hukum pidana. Agama mengajarkan tidak boleh berbuat
zina, mabuk, mencuri, korupsi, membunuh, menipu, merampok, suap,
tindakan yang merugikan orang lain, dilarang merusak alam sekitar/
lingkungan dan semacamnya. Rumusan norma perbuatan pidana
dalam hukum pidana sekurangnya memenuhi sistem ajaran agama
tersebut, termasuk norma pemberian sanksinya.
2. Nilai Kemanusiaan; bahwa hukum pidana dibentuk adalah untuk
manusia bukan sebaliknya manusia untuk hukum pidana. Oleh
itu, norma-norma hukum pidana juga perlu mendahulukan
bertanggungjawaban yang adil, kualifikasi perbuatan yang beradab, juga
penentukan hukuman yang adil dan beradab. Hukum pidana nasional
tidak boleh menghancurkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan HAM.
Hukum pidana diberlakukan, dan ditegakkan dengan memperhatikan
kebutuhan manusia dalam komunitasnya dan lingkunga sekitarnya.
Dalam konteks pemidanaan/penghukuman maka wajib
dipertimbangkan a. kualitas kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin
pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan
berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan
pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup dan

209
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh


pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. pemberian
maaf dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Kemudian dari
segi aspek pemeratan atau ringannya perbuatan, keadaan pribadi
pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau
yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk
tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan34
3. Nilai Persatuan dan kesatuan, bahwa norma hukum pidana
mengandung ketentuan yang menjadikan masyarakat Indenesia dapat
mewujudkan nilai-nilai nasionalisme. Penerimaan norma-norma
agama, adat, hukum yang hidup di masyarakat, menjadikan norma
hukum pidana menjadi mudah dilaksanakan dan tujuan hukum
pidana mudah untuk diwujudkan. Pelaksanaan norma hukum pidana
tidak menimbulkan permusuhan antara korban dan pelaku, tidak
menimbulkan persengketaan antar lembaga penegak hukum dan
semacamnya. Konsep “restorative justice” adalah sejalan dengan nilai-
nilai persatuan.
4. Nilai Kerakyatan/Demokrasi dan Permusyawaratan Perwakilan
Pembentukan norma hukum pidana menggunakan prosedur yang
demokratis, terbuka, adil, partisipatif. Seperti faham “Legalitas” juga
perlu mempertimbangkan “Living Law”. Seperti dalam RUU KUHP
Pasal 1 ayat (3) menegaskan keberpihakan pada “living Law” nilai-
nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Ketentuan ini tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Diberikannya ruang/peluang untuk menyelesaikan lewat mekansime
mediasi, dalam penyelesaian tindak pidana (mediasi penal), dalam
tindak pidana tertentu, adalah model yang perlu difikirkan dalam
pembentukan hukum pidana baru.
5. Nilai keadilan Sosial, aspek kesejahteraan, keamanan, perlindungan;
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost benefit principle). Penggunaan hukum pidana
harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan
34
Lihat Bambang Wijoyanto. “Politik Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Nasional”. (Tt);
tersedia di http://www.bphn.go.id/data/documents/politik_hukum_pidana_dalam_sistem_hukum_
nasional_revisi.ppt [diakses, 7 Nopember 2013].

210
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

beban tugas (overbelasting).


Nilai-nilai yang berkembang di dalam Masyarakat perlu
mendapatkan respon yang katif dalam pembentukan undang-
undang pidana.. Hukum pidana baru perlu mempertimbangkan
berbagai-bagai dinamika masyarakat, seperti Adanya kebutuhan
Transitional Justice yang berorientasi melindungi kepentingan
korban;. Adanya berdebatan pemikirana “pergulatan” antara
Kantianisme vs Utilitarianisme;. Adanya “pergulatan” antara
sistem civil law dan common law; Juga adanya nilai “masyarakat
adat” berhadapan dengan realitas “masyarakat digital”, Adanya
pemahaman yg bersifat sekulerisme berhadapan dengan masyarakat
yang religious.35
Dengan demikian maka diperlukan parameter hukum yang tepat agar
dapat mudah dicapai penegakannya (Enforceability) dengan memadai, oleh
karena itu ketentuan yang dibentuk harus memenuhi pembentukan norma
hukum pidana juga secara ideal perlu mempertimbangkan kriteria berikut
ini36 :
1. Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan sesuai dengan kebutuhan
sistematis dan terencana;
2. Adequacy, bahwa rumusan norma-norma hukum harus memiliki tingkat
dan kadar kepastian yang tinggi,
3. Legal Certainty, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah
dengan jelas dan nyata, tidak samar-samar dan tidak menimbulkan
penafsiran;,
4. Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa mengabaikan kepastian
hukum;
5. Feasibility, bahwa hukum harus memiliki kelayakan yang dapat
dipertanggungjawabkan terutama berkenaan dengan tingkat
penataannya;
6. Verifiability, bahwa hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi
yang siap uji secara objektif;
7. Enforceability, bahwa pada hakikatnya terus memiliki daya paksa agar
diaati dan dihormati; dan
8. Provability, bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar mudah
dalam pembuktian.
Dari pembahasan di atas, pada prinsipnya penulis ingin mengemukakan
bahwa penerimaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
Bambang Wijoyanto, (tt) Ibid.
35

Kusuma, Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif ”Terapi Paradikmatik Bagi


36

Lemahnya Hukum di Indonesia”, Antonylib, Yoyakarta, 2009. Hlm. 1-5.

211
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dalam menyusun hukum pidana, harus berbasis utama pada Pancasila


sebagai ideologi bangsa. Dengan demikian, norma-norma yang perlu
dirumuskan dalam ketentuan hukum pidana nasional, harus berbasis pada
tata nilai yang hidup dalam ideologi Pancasila, yang menjadikan prinsip
“ketuhanan yang maha esa” adalah pusat dan yang menjadi cahaya bagi
semua sistem tata nilai.
1. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai jiwa komunalisme
yang kuat, dan mengurangi jiwa individualisme-nya. Sebab itu,
perhatian hukum pidana harus mendahulukan kepentingan bersama,
sebab hukum pidana adalah hukum publik. (adrresat norma)
2. Norma-norma yang dilarang dari ajaran agama harus menjadi bagian
dari perbuatan ‘tindak pidana’ (strafbaar). Hukum pidana nasional
dibentuk tidak lagi membedakan apakah ini perbuatan wilayah publik
atau privat, sebab sistem tata nilai Pancasila tidak ada sekat masalah
individu (privasi) atau masalah publik (komunal),
3. Prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh sistem tata nilai universal/
internasional, harus ditapis dan dinilai oleh standard Pancasila sebelum
diterima sebagai sistem norma dalam hukum pidana Indoensia. Bahwa
tidak semua sistem yang disepakati dunia Internasioal itu sesuai dengan
kebutuhan pembentukan tata nilai Indeonsia.
4. Tujuan penghukuaman, (straaf maat) bagi Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum, maka tujuan pemidanaan dan penghukuman
mesti memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan. Tujuan hukum
pidana dan pemidanaan yang memberikan keseimbangan antara
perbuatan pidana, pelaku pidana, korban tindak pidana dan sistem
nilai masyarakat. Sehingga hukuman mati masih tetap relevan untuk
diterapkan dalam tindak pidana tertentu.
5. Perumusan unsur-unsur tindak pidana lebih sederhana dan mudah
dibuktikan, dengan menggunakan standard bahasa Indoensia yang
baik dan benar. Oleh karena itu perumusan mengenai subyek hukum-
nya (adrresat norm), perbuatan pidana (straafbaar), bentuk ancaman
hukuman/sanksi (straaf maat). Termasuk implikasi yang berkenaan
dengan hukum acaranya (hukum pidana formiil) dan sistem
penyelenggaraan peradilan pidana (criminal justice system)-nya.

VI. Penutup.
Artikel singkat ini, masih bersifat eksploratif, sehingga masih perlu
pendalaman dan kajian lebih lanjut, pada aspek penggalain sistem nilai
yang secara teknis dapat disandingkan dengan sistem norma yang hendak
dibentuk dalam hukum pidana materiil mahupun formil. Pada bagian akhir
artikel ini, penulis ingin mengakhiri dengan mengemukakan beberapa
pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tema ini; Apakah
212
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Pancasila dapat dijadikan batu uji terhadap setiap produk peraturan-


perundangan. Siapakah yang berwenang menentukan sebuah peraturan-
perundangan itu bertentangan dengan Pancasila atau sekurangnya tidak
memuat nilai-nilai normatif yang terkadung dalam Pancasila. Bagaimana
menjabarkan nilai-nilai normatif Pancasila itu sehingga dengan mudah
dapat digunakan sebagai tolak ukur atau standar dalam menilai sebuah
peraturan-perundangan tidak “Pancasilais”?. Sehingga dalam suatu
kesempatan masyarakat Indoensia juga dapat menguji secara materiil
mahupun formail suatu undang-undang, bertentangan tidak dengan
Pancasila sumber dari segala sumber hukum.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa usaha untuk menjadikan Pancasila
sebagai sumber tata nilai tidak hanya berhenti pada ‘penetapan’ dalam
Pasal 2 UU No. 11/2012. bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber
hukum. Tetapi masih diperlukan perumusan konkrit untuk dijadikan
panduan dalam merumuskan muatan semua peraturan-perundangan
yang sehingga kini masih belum mendapatkan perhatian nyata. Kenyataan
Pancasila sebagai dasar negara menjadikan Pancasila sebagai inspirasi
sentral dalam membentuk dan membangun watak hukum secara nasional
memerlukan pemahaman dan perhatian serius. Tulisan sederhana ini,
merupakan refleksi pemikiran yang masih sangat premature, masih perlu
kajian yang lebih matang. Adalah sebuah kehormatan jika para pembaca
berkenan memberikan masukan atau kritik yang membangun terhadap
idea sentral tulisan ini, sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut. Semoga
bermanfaat.

Sumber Rujukan.
Ahmad Bahiej: Selamat Datang KUHP Baru Indonesia! (Telaah atas RUU
KUHP Tahun 2004) dalam SOSIO-RELIGIA, Vol. 6 No. 1, November
2006, halaman 1-22
Al Marsudi Subandi H. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi.
Jakarta : Rajawali Pers. 2003.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana “Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru”, Prenada Media Group, Jakarta,
2011
Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia “ Makna, Kedudukan dan Implikasi
Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan
RI”, Konstitusi Press, Jakarta dan Citra Media, Yogyakarta, 2006.
Kelsen, Hans “General Theory of Law and State” Terjemah oleh Anderes
Wedberg, Russell, New York, 1973
K. Wantjik Saleh, Seminar Hukum Nasional 1963-1979, Ghalia Indonesia,
Jakarta. 1980.
Kusnardi Moh, Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
213
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum


Universitas Indonesia. 1981
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan
Pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif ”Terapi Paradikmatik
Bagi Lemahnya Hukum di Indonesia”, Antonylib, Yoyakarta, 2009.
Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. 1992.
____________, Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. Jakarta : Gramedia. 1994.
____________. Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Gramedia.1994
Muh. Mahfud MD. Politik Hukum Indoensia. LP3ES, Jakarta, 2008
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
______________, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas Media
Nusantara, Jakarta, 2009.
Soehino, Politik Hukum di Indonesia ”Edisi Pertama”, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung.1981
______, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1997
Jimly Asshiddiqie. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945. Yogyakarta. FH UII PRESS.2004.

Huntington, Samuel P. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta :


Rajawali. 1994
Inu Kencana Syafi’ie. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung :
Refika Aditama.2003
Soeroso. R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika 2002
Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Amandemennya.
MPR RI, Jakarta, (cetakan ke-11), 2011.

Bahan Internet :
http://www.bphn.go.id/data/documents/politik_hukum_pidana_
dalam_sistem_hukum_nasional_revisi.ppt.
http://www.isomwebs.net/2011/10/makalah-pancasila-sebagai-
sumber-hukum-indonesia/
http://www:journal.undiksha.ac.id/index.php/MKFIS/article/
view/467.
http://mastergocapricorn.blogspot.com/2011/12/pancasila-sebagai-
sumber-dari-segala.html#CKDvxi3VoWHk1oIM.99.
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2013/06/pancasila-
sebagai-sumber-segala-sumber_23.html.

214
SINKRONISASI PEMIDANAAN
DI INDONESIA MENUJU HUKUM
PELAKSANAAN PIDANA
BERDASARKAN PANCASILA

Oleh:
Dr. Mompang Lycurgus Panggabean, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia – DKI Jakarta)

I. Pendahuluan.
Masalah pidana dan pemidanaan terus menerus dibahas di berbagai
belahan dunia pada jamannya masing-masing, sebab sama halnya dengan
pemahaman secara sosiologis tentang kejahatan yang merupakan akibat
dari suatu pelanggaran hukum yang dirasakan memiliki dampak hukum
berupa pemidanaan, pemahaman mengenai pidana dan pemidanaan pun
berkembang sesuai dengan tempat dan waktu (locus dan tempus).
Perkembangan pidana dan pemidanaan dalam dunia hukum tak
dapat dipisahkan dari hakikat pidana sebagai penderitaan yang dikenakan
oleh negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, yang dalam
penerapannya dapat bersinggungan dengan hak asasi manusia. Namun
bukan hanya menyangkut kriteria pengancaman dan penjatuhan suatu
jenis sanksi pidana dalam rangka pembalasan, dan perlindungan serta
pengayoman masyarakat, tetapi pemikiran tentang pidana dan pemidanaan
juga berkembang ke arah pencapaian berbagai tujuan pemidanaan modern.
Jika pada mulanya, pidana dikenakan demi pembalasan semata, maka
sejalan dengan perkembangan jaman, terjadi perubahan ke arah perbaikan
pelanggar hukum melalui berbagai sanksi pidana.
Pesatnya kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan akibat
globalisasi turut mewarnai corak pidana dan pemidanaan di suatu negara,
hal mana ditandai oleh adanya pengaruh interaksi antarnegara dan antara
suatu negara dengan organisasi-organisasi dunia sebagai bagian dari
pergaulan dunia. Semua itu semakin menguatkan pendapat bahwa hukum
pidana suatu bangsa merupakan cermin peradaban suatu bangsa tersebut
atau indikasi dari peradaban bangsa itu (a mirror of civilization of a nation).
Masalah pengancaman dan penjatuhan pidana tidak dapat dilihat
hanya sekadar persoalan pembuatan dan penerapan aturan hukum, tetapi

Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 108.

215
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

juga bagaimanakah efektivitas suatu aturan dikemudian hari, baik bagi


si pelaku yang dikenai sanksi pidana (dan tindakan) maupun terhadap
masyarakat luas, terlebih dalam era sekarang, di mana hak asasi manusia
begitu sering diperbincangkan. Dalam kaitan itu, tak dapat dimungkiri
bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai hukum positif
di Indonesia yang ada saat ini merupakan peninggalan Belanda, yakni
terjemahan dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia atas Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Stb. 1915 No. 732) dan dinyatakan
berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo.
Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 dan berbagai undang-undang khusus
di luar KUHP. Meskipun KUHP warisan pemerintah Hindia Belanda itu
telah mengalami banyak perubahan, tetapi sampai saat ini perkembangan
aturan umum dalam Buku I KUHP sejak UU No. 1 Tahun 1946 tidak
mengalami perubahan yang mendasar, sebab asas-asas/prinsip-prinsip
umum (general principle) hukum pidana dan pemidanaan yang ada di
dalam KUHP masih seperti WvS Hindia Belanda. Meskipun terdapat
perubahan/penambahan/pencabutan beberapa pasal di dalam aturan
umum Buku I, namun hal itu hanya perubahan parsial yang tidak mendasar
dan tidak mengubah keseluruhan sistem pemidanaan. Bertalian dengan
watak KUHP warisan pemerintah Hindia Belanda yang bukan merupakan
produk hukum asli buatan Indonesia, tetapi sesuai praktik yang terjadi di
dalam masyarakat, KUHP tidak lagi dapat dipandang sebagai ketentuan
payung atau induk dari berbagai peraturan perundang-undangan pidana
di Indonesia.
Dalam menegakkan hukum pidana materiel melalui hukum pidana
formal, telah ada upaya melakukan unifikasi hukum acara pidana melalui
Undang-Undang No. 1 Drt 1951, juga Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
dan kemudian lahirlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kelahiran KUHAP
buatan ini membawa perubahan fundamental dalam sistem peradilan
pidana, sebab mengatur berbagai hal seperti: hak-hak tersangka/tertuduh
atau terdakwa, bantuan hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan, dasar
hukum bagi penangkapan/penahanan dan pembatasan jangka waktu
yang ditetapkan, ganti kerugian dan rehabilitasi, penggabungan gugatan
ganti kerugian dalam perkara pidana, upaya hukum, koneksitas, dan
pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan. Patut dicatat bahwa
jaminan terhadap kepentingan masyarakat, antara lain bertalian dengan
hak-hak korban tindak pidana, belum jelas diatur di dalam KUHAP,

Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia. Semarang: Pustaka Magister, 2008, hlm. 4.

Vide: Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Kajian terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 99.

Ibid.

Aloysius Wisnubroto dan Gregorius Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 9.

Vide: Arif Gosita, Viktimologi dan KUHAP yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban.

216
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

meskipun diakui bahwa lahirnya KUHAP dalam rangka mewujudkan


cita-cita hukum nasional yakni memiliki Undang-Undang Hukum Acara
Pidana baru yang memiliki ciri kodifikatif dan unifikatif berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Bertolak dari kondisi yang terjadi pada hukum pidana materiel
dan hukum pidana formal sejalan dengan pengaruh perkembangan
masyarakat dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat, Sudarto
mengingatkan bahwa tidak cukup mengadakan perubahan hanya dalam
hukum pidana yang ada dalam arti hukum pidana materiel belaka, tetapi
juga hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana, beserta segala
lembaga yang kerapkali disebut alat atau aparatur penegak hukum, yang
mendukung bekerjanya sistem itu. Jadi perubahan dalam peraturan pidana
harus dilihat dalam bekerjanya keseluruhan sistem hukum pidana itu.
Menurut pendapatnya, pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh
harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiel (substantif), hukum
pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana
(Strafvollstreckungsrecht). Ketiga-tiga bidang hukum pidana itu harus
bersama-sama dibaharui. Kalau hanya salah satu bidang yang dibaharui
dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya
dan tujuan dari pembaharuan itu tidak akan tercapai sepenuhnya. Adapun
tujuan utama dari pembaharuan itu ialah penanggulangan kejahatan.
Ketiga bidang hukum itu erat sekali hubungannya. Pernyataan Sudarto
sangatlah beralasan sebab kebijakan legislatif yang dituangkan berupa
undang-undang tentang hukum pelaksanaan pidana yang ada hingga
kini masih bertebaran dalam berbagai produk peraturan perundang-
undangan.
Kondisi peraturan perundang-undangan yang demikian, tidak
mustahil akan mengganggu sistem penegakan hukum, khususnya dalam
pelaksanaan putusan pidana atau tindakan, sehingga memunculkan
Jakarta: Akademika Pressindo, 1987, hlm. 38. Conf. Emilio C. Viano (ed.), Victims and Society,
Visage Press Inc., Washington D.C, USA, 1976. Dalam konteks Indonesia, pemikiran viktimologis
telah banyak diulas sejak tahun 1980-an oleh Sudarto, B. Mardjono Reksodiputro, Muladi, Barda
Nawawi Arief, J.E. Sahetapy, Arif Gosita, I.S. Susanto, dan sebagainya.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 96-97. Pada bagian
lain, Sudarto menyatakan bahwa Indonesia belum punya Undang-undang pelaksanaan pidana
(Strafvollzuggesetz). Meskipun ketika pernyataan tersebut diungkapkan, telah ada Konsep Rencana
Undang-Undang Pokok Pemasyarakatan, tetapi menurutnya tidak cukup, karena hanya mengenai
pidana pemasyarakatan saja dan tidak mengatur pelaksanaan jenis-jenis pidana yang lain. Menurut
Sudarto, pembaruan yang dilakukan takkan memadai apabila hanya meliputi aspek substansi
hukum pelaksanaan pidana, tetapi juga aspek struktur hukum pelaksanaan pidana. Cf. Lawrence
M. Friedman, Sistem Hukum. Perspektif Ilmu-ilmu Sosial (diterjemahkan dari: The Legal System. A
Social Science Perspective, oleh: M. Khozim), Bandung: Nusa Media, 2011.

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat....., Op.cit., hlm. 60. Mengutip
pendapat A.A.G. Peters, Sudarto menegaskan bahwa fungsi primer dari hukum pidana adalah
menanggulangi kejahatan, sedangkan fungsi sekundernya adalah menjaga agar penguasa dalam
menanggulangi kejahatan itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang digariskan oleh
hukum pidana itu. Pada bagian lain tulisannya, Sudarto menegaskan bahwa pembaharuan hukum
pidana mempunyai aspek yang luas sekali. Dilihat dari peraturan-peraturan yang harus dibaharui
adalah hukum pidana materiel (substantif), hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana.

217
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

permasalahan perlukah sinkronisasi pemidanaan dalam hukum


pelaksanaan pidana di Indonesia.

II. Perlukah Sinkronisasi Hukum Pelaksanaan Pidana?


Berdasarkan uraian di atas, hukum pelaksanaan pidana (execution
of penal law/ execution of criminal sanction) di Indonesia belum dibuat
secara terpadu dan masih tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Berkaitan dengan pidana pokok yang terberat,
yakni pidana mati, semula diatur pada Pasal 11 KUHP dengan cara
digantung di tiang gantungan oleh algojo, ketentuan ini kemudian diganti
oleh UU No. 2 Pnps 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang
Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Dengan keluarnya undang-undang ini, ketentuan Pasal 11 KUHP sudah
tidak berlaku, meskipun secara eksplisit tidak pernah dihapus. Pidana
penjara yang disebutkan dalam Pasal 12-17, 20, 22, 24-29, dan 32-34 KUHP
diatur secara rinci dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
sebagai pengganti Gestichten Reglement (Stb. 1917-708 sebagaimana diubah
dengan Stb. 1927-99). Pidana tutupan, yang sebelumnya tidak diatur dalam
KUHP, ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946, dan baru satu
kali dijatuhkan dalam praktik pengadilan di Indonesia terhadap kudeta
3 Juli 1946. Pidana kurungan diatur dalam Pasal 18-34, 41, 42 KUHP; dan
pidana denda diatur dalam Pasal 30, 31, 33 dan 42 KUHP. Selain pidana
pokok, Pasal 10 menyebutkan tentang pidana tambahan berupa pencabutan
hak-hak tertentu (Pasal 35-38 KUHP), perampasan barang-barang tertentu
(Pasal 39-41); dan pengumuman putusan hakim (Pasal 43 KUHP).
Di samping pidana pokok dan pidana tambahan, secara tersebar
di KUHP diatur tindakan tata tertib berupa penempatan pelaku tindak
pidana yang mengalami gangguan jiwa di rumah sakit jiwa (Pasal 44
KUHP) dan terhadap anak yang melakukan tindak pidana hakim dapat
mengembalikan si anak kepada orang tuanya tanpa pidana apapun atau
menjatuhkan pendidikan paksa bagi si anak (ingat Pasal 45-47 KUHP,
yang sudah dihapus berdasarkan Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak). Apabila diperhatikan berbagai pengaturan di atas,
tampaklah bahwa hukum pelaksanaan pidana [dan tindakan] di Indonesia
masih dibuat secara parsial, belum terdapat unifikasi hukum dan tidak
disusun dalam bentuk kodifikasi, tidak dibentuk dalam suatu sistem yang
terpadu, sebab ada yang diatur di dalam KUHP, KUHAP, undang-undang
lain di luar KUHP.
Sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan hukum pidana,
politik hukum pidana merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

Lihat: Bachrudin, Pidana Tutupan: Latar Belakang Pembentukan, Penerapan dan Prospeksinya
dalam KUHP Baru, tesis. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992.

218
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

upaya menegakkan hak asasi manusia dalam pembentukan masyarakat


demokratis. Tanpa kejelasan mengenai politik hukum pidana, niscaya
berbagai norma dan sanksi yang ditentukan dalam hukum positif hanyalah
akan merupakan aturan-aturan mati yang tak lebih dari perwujudan
keinginan penguasa dalam menciptakan hukum. Dengan politik hukum
pidana akan diperoleh kejelasan mengenai arah dan tujuan pengaturan
berbagai peraturan pidana dan peraturan lain yang mengandung sanksi
pidana berikut aspek penegakannya secara konkrit. Memang tak dapat
disangkal bahwa pengakuan terhadap efektivitas suatu sistem hukum
tidak semata-mata dibentuk oleh peraturan yang sempurna atau hukum
yang baik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Namun politik
hukum pidana yang baik akan mendorong keberadaan sistem hukum yang
lebih menjamin kemanfaatannya dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Pada dasarnya tujuan utama politik kriminal ialah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Politik kriminal
pada hakikatnya merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu
kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial). Politik kriminal
turut memberikan sumbangan terhadap upaya pencapaian kesejahteraan
sosial melalui penanggulangan kejahatan sebagai bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat.10 Berkaitan dengan hal di atas, ada tiga arti mengenai kebijakan
kriminal, yaitu:11
1. dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. dalam arti luas ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
3. dalam arti paling luas (sesuai pendapat Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-
badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral
dari masyarakat.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam membahas ilmu
pengetahuan tentang kejahatan secara modern (modern criminal science),
tidak dapat dihindarkan tinjauan terhadap kebijakan pidana (penal policy),
di samping kriminologi yang mempelajari fenomena kejahatan dengan
segala aspeknya dan hukum pidana yang menjelaskan dan menerapkan
hukum positif yang pada hakikatnya merupakan reaksi masyarakat
terhadap fenomena kejahatan.12 Hal ini sejalan dengan pendapat Marc
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hlm. 2,3.
11
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986, hlm. 113-114
12
Muladi, “Sistem Pemidanaan di Indonesia dan Prospeknya,” makalah pada diskusi
hukum yang diadakan oleh FH Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 25 Mei 1988, hlm. 5. Dalam
perkembangan kriminologi modern, bukan hanya kejahatan, penjahat dan reaksi masyarakat yang
menjadi perhatian utama, tetapi juga masalah korban kejahatan yang pada masa-masa sebelumnya

219
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Ancel yang menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari tiga
komponen, yaitu criminology, criminal law, dan penal policy. Penal policy
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan. Pada hakikatnya, masalah kebijakan hukum pidana bukanlah
semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan
secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan
yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan
yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis, dan
komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari
berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan
sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.13
Melihat maknanya yang demikian, maka menjalankan politik
hukum pidana juga berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan dayaguna.14 Oleh karena itu, melaksanakan politik
hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa yang akan datang.15 Sejalan dengan itu, maka
pemikiran tentang politik hukum pelaksanaan pidana juga penting untuk
dikemukakan dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan
pelaksanaan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi mendatang
dalam dinamika perkembangan masyarakat khususnya dalam menunjang
hukum pidana materiel dan hukum pidana formal sebagai salah satu
sarana penanggulangan kejahatan.
Sudarto mengatakan bahwa undang-undang pidana tidak dapat
beroperasi dengan sendirinya. Hukum hanya dapat beroperasi melalui
orang. Untuk ini dibutuhkan peraturan-peraturan yang memungkinkan
undang-undang pidana itu dilaksanakan. Ini bukan hal baru. Memang bukan,
akan tetapi bagaimanakah keadaan dalam hukum positif Indonesia? Yang
dimaksud tidak hanya mengenai hukum acara pidana (Strafverfahrensrecht)
saja, tetapi juga apa yang disebut “hukum pelaksanaan pidana” (Strafvol

dilupakan ketika membahas upaya penanggulangan kejahatan pada umumnya.


13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan….., op.cit., hlm. 23, 24. Marc Ancel menyatakan
bahwa di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik
perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati
dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan
praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerjasama tidak sebagai pihak yang saling
berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama,
yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran
maju (progresif) lagi sehat (garis bawah dari penulis).
14
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op. Cit., hlm. 161.
15
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat…., op.cit., hlm. 93, 109.

220
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

lstreckungsrecht).16 Dikatakan oleh Beliau, bahwa Indonesia belum punya


undang-undang pelaksanaan pidana (Strafvollzuggesetz). Yang ada ialah
Gestichtenreglement (Stb. 1917-708) yang telah mendapat perubahan.
Dwangopvoeding-regeling (Stb. 1917-741) dan Voorzieningen Betreffende
Landswerkinrichtingen (Stb. 1936-160). Aturan-aturan ini mengatur tentang
pelaksanaan pidana penjara, kurungan, tindakan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana dibawah umur 16 tahun dan tindakan terhadap
tuna karya yang malas bekerja dan tanpa penghasilan, yang mengganggu
ketertiban umum dengan minta-minta dan bergelandangan atau tindak-
laku yang asosial. Di dalam Konsep Rencana KUHP 1972 terdapat berbagai
jenis pidana, misalnya: pidana pemasyarakatan istimewa, – khusus dan
– biasa, pidana pengawasan, pidana penentuan tempat tinggal, pidana
latihan kerja, pidana kerja bakti, dan ada pula pidana tambahan yang
berupa kewajiban adat, kewajiban agama, kewajiban ganti rugi. Kalau
jenis-jenis pidana ini nanti memang disetujui dengan ditetapkannya
Rencana Undang-Undang itu menjadi Undang-Undang, maka apabila pada
saat itu tidak sekaligus ada Undang-Undang Pelaksanaan Pidana, maka akan
timbul kekisruhan dalam pelaksanaannya dan efek yang dikehendaki dengan
terbentuknya Undang-Undang nasional tersebut akan sama sekali tidak
ada, bahkan mungkin akan berefek buruk. Yang sudah ada sekarang ialah
Konsep Rencana Undang-Undang Pokok Pemasyarakatan, akan tetapi ini
tidak cukup, karena ini hanya mengenai pidana pemasyarakatan saja dan
tidak mengatur pelaksanaan jenis-jenis pidana yang lain.17
Kegelisahan Sudarto dapat dipahami tatkala mengamati berbagai
sanksi pidana yang terdapat di dalam KUHP yang berlaku sekarang.
Penentuan jenis sanksi pidana oleh suatu masyarakat atau bangsa di dalam
sistem hukum pidananya, tergantung dari pandangan dan peradaban
masyarakat itu sendiri.18 Dalam sanksi pidana yang ada di Indonesia masih
terdapat pidana mati, yang pelaksanaannya dengan ditembak, namun di
negara yang juga masih mengakuinya, pelaksanaannya diterapkan dengan
cara digantung, ditembak, stroom/aliran listrik; ada pula bentuk pidana
badan berupa dirantai kakinya untuk waktu tertentu, dirajam, dibuang dari
16
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op.cit., hlm. 55, 56.
17
Ibid., hlm. 59, 60. Apabila dibandingkan dengan RUU KUHP Tahun 2012, maka sanksi
pidana yang disebutkan Sudarto, kini meliputi pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan,
pidana denda, pidana kerja sosial sebagai pidana pokok, dan sebagai pidana tambahan berupa
pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan/atau tagihan, pengumuman putusan
hakim, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Pidana mati sudah dikeluarkan dari stelsel pidana
pokok, walaupun disebutkan bahwa pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan
selalu diancamkan secara alternatif.
18
Andi Hamzah, “Hukum Pidana adalah Salah Satu Cermin yang paling Terpercaya mengenai
Peradaban Suatu Bangsa,” dalam Indroharto, dkk (editor), Kapita Selekta Hukum, Mengenang
Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji, S.H. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, hlm. 221. Andi Hamzah
menyitir pandangan Herman Mannheim dalam bukunya Criminal Justice and Social Reconstruction,
tahun 1946 yang menyatakan, “Criminal Law is one ot the most faithful mirrors of a given civilization,
reflecting the fundamental values on which latter rests.”

221
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

daerah asalnya ke tempat yang terpencil sehingga jauh dari keluarganya,


dan yang lebih lazim dilakukan adalah pidana dengan menghilangkan
kebebasan seseorang dengan cara dimasukkan dalam ruangan tertentu
dalam waktu tertentu yang lebih dikenal dengan pidana penjara. Itulah
sebabnya mengapa kemudian muncul ungkapan bahwa sanksi pidana
merupakan peninggalan kebiadaban masa lampau,19 sebab formulasi dan
penerapan suatu sanksi pidana di negara itu akan memberikan gambaran
tentang bagaimana cara pandang bangsa tersebut dalam merefleksikan
keinginannya untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang berisikan hukum
pelaksanaan pidana (ada yang sudah tidak berlaku), antara lain: di KUHP,
UU No. 2 Pnps 1964: Pelaksanaan Pidana Mati, UU No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, UU No. 20 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan,
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Ketentuan pelaksanaan
pidana dalam KUHAP: antara lain Pasal 271 tentang pelaksanaan putusan
pidana mati; Pasal 272 tentang pelaksanaan putusan pidana penjara/
kurungan; Pasal 273 tentang pelaksanaan putusan pidana denda; Pasal
274 tentang putusan ganti kerugian dalam hal penggabungan perkara;
Pasal 276 tentang pelaksanaan putusan pidana bersyarat, dalam berbagai
PP sebagai pelaksanaan UU, dan bahkan dalam keputusan Menteri.20
Menurut Barda Nawawi Arief, kondisi peraturan perundang-undangan
yang demikian, tidak mustahil akan mengganggu sistem penegakan
hukum, khususnya dalam pelaksanaan putusan pidana/tindakan. Setidak-
tidaknya menyulitkan aparat penegak hukum (terlebih masyarakat pada
umumnya, termasuk masyarakat akademis) untuk secara cepat menemukan
peraturan yang terkait. Oleh karena itu, mungkin perlu dilakukan upaya
untuk menyusun suatu kodifikasi atau himpunan peraturan perundang-
undangan tentang pelaksanaan pidana.21
Pengaturan tentang pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang
atau diharuskan dan diancam dengan pidana22 menjadi tanggung jawab
hukum pidana materiel; namun untuk menegakkannya dibutuhkan hukum
acara pidana yang merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat
cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara

19
Herbert L. Packer menyatakan bahwa “Some people argue that we ought never subject
lawbreakres to criminal punishment. Such punishment, they say, is a vestige of our savage past
that we ought to abandon in favor of more benign measures of social control, measures that do not
involve us in cruelty to our fellow man.” Vide: Herbert L. Packer. The Limits of the Criminal Sanction.
California: Stanford University Press, 1988, p. 3.
20
Barda Nawawi Arief, “Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia,”
dalam Komisi Yudisial Republik Indonesia, Potret Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Komisi
Yudisial Republik Indonesia, 2009, hlm. 194, 195.
21
Ibid.
22
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Yogyakarta:
Yayasan Penerbit Gadjah Mada, 1970, hlm. 17.

222
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dengan mengadakan hukum pidana.23 Keberadaan hukum acara pidana


yang berfungsi menegakkan ketentuan hukum materiel apabila terjadi
pelanggaran terhadapnya, ditujukan untuk mengatur bagaimana negara
melalui alat-alatnya melaksanakan wewenangnya untuk memidana
dan menjatuhkan pidana guna mencegah timbulnya perbuatan main
hakim sendiri (eigenrichting) yang dapat meluas menjadi kekacauan.24
Namun penegakan hukum lewat hukum acara pidana tersebut ternyata
masih memerlukan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana cara
melaksanakan sanksi pidana dan tindakan terhadap si pelaku meskipun ia
tidak setuju atau tidak terhadap sanksi yang ia terima. Hal yang terakhir ini
disebut sebagai hukum pelaksanaan pidana atau hukum eksekusi pidana,
yang seringkali tidak disinggung oleh para penulis hukum acara pidana.25
Sudarto mengatakan bahwa peraturan tentang sanksi yang ditetapkan
oleh pembentuk undang-undang memerlukan perwujudan lebih lanjut.
Dengan hanya ditetapkan dalam peraturan saja, sanksi itu tidak terwujud
dengan sendirinya; harus ada badan atau instansi yang terdiri atas orang-
orang dan alat-alat, yang secara nyata merealisasikan aturan pidana itu.
Infrastruktur penitensier ini diperlukan untuk mewujudkan pidana itu
ialah misalnya Direktorat Pemasyarakatan dengan Lembaga-lembaga
Pemasyarakatannya, atau umumnya Direktorat Jenderal Bina Tuna
Warga Departemen Kehakiman. Apabila secara hukum dan organisatoris
infrastruktur sudah siap, maka badan-badan yang mendukung stelsel
sanksi pidana dapat menetapkan pidana dengan menunjuk kepala berbagai
bagian dari infrastruktur penitensier itu. Di sinilah dijumpai masalah pemberian
pidana dalam arti konkrit.26 Menurut Suryono Sutarto, perlu dibedakan
antara pengertian pelaksanaan putusan pengadilan dengan pelaksanaan
pidana. Hal ini berkaitan dengan ruang lingkup dari hukum pidana, di
mana hukum pidana itu sendiri terdiri dari hukum pidana materiel atau
hukum pidana substantif, hukum pidana formal atau hukum acara pidana;
dan hukum pelaksanaan pidana atau hukum penitensier.27
Apabila ingin melihat sistem penegakan hukum sebagai satu kesatuan
berbagai subsistem (komponen) yang terdiri dari komponen ”substansi
hukum” (legal substance), ”stuktur hukum” (legal structure), dan ”budaya
hukum” (legal culture) aspek/komponen substansi hukum (legal substance),
23
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung, 1977,
hlm. 13.
24
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm.
107-108.
25
R. Achmad S. Soema di Pradja, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung:
Alumni, 1978.
26
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op.cit., hlm. 43.
27
Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid II. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2004, hlm. 127. Apabila mengamati pemaparan Suryono Sutarto, tampak bahwa ia
mengidentikkan hukum pelaksanaan pidana dengan hukum pelaksanaan pidana. Demikian juga
beberapa pakar lain sependapat dengan pandangan tersebut. Namun sejatinya kedua terminologi
tersebut tidaklah serupa.

223
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

maka hal yang amat penting diperhatikan adalah substansi, struktur


dan budaya hukum tentang hukum pelaksanaan/eksekusi (execution
law). Apabila Hulsman melihat the sentencing system is the statutory rules
relating to penal sanctions and punishment, dan Andi Hamzah memberikan
arti sistem pidana dan pemidanaan itu sebagai susunan (pidana) dan cara
(pemidanaan), maka jelaslah bahwa semua aturan perundang-undangan
mengenai hukum pidana substansial, hukum pidana prosedural dan
hukum pelaksanaan pidana dapat dikatakan sebagai satu kesatuan sistem.
Dengan kata lain, hukum pidana materiel dan hukum pidana formal harus
dijadikan acuan dalam membicarakan masalah perkembangan sistem
pemidanaan dan sistem sanksi.28
Membangun/memperbaharui/mengembangkan ilmu hukum, pada
dasarnya membangun atau mengembangkan “konsep/ide-dasar/pokok-
pemikiran/paradigma.” Jadi, pada hakikatnya, membangun Ilmu Hukum
Nasional adalah membangun ilmu/konsep hukum yang berorientasi pada
nilai/paradigma Pancasila. Ilmu Hukum Nasional pada dasarnya adalah
ilmu tentang substansi hukum nasional, struktur hukum nasional, dan
budaya hukum nasional. Kritik di atas, lebih dipertegas lagi oleh Barda
Nawawi Arief, dengan menyatakan bahwa selama ini kajian ilmu hukum di
Indonesia masih terfokus pada hukum positif (positive law oriented), kurang
berorientasi pada kajian/pengembangan hukum (law reform/development
oriented), yang memerlukan juga comparative law and global trend oriented.29
Membangun ilmu hukum Indonesia tidak hanya sebatas memformulasi
ketentuan perundang-undangan ke dalam bentuk hukum positif, tetapi
juga membangun konsep/wawasan. Problematika pembangunan hukum
ini berkaitan erat bukan hanya dengan pembuatan hukum, tetapi juga
penegakan hukum dan pendidikan hukum, dan kondisi pembangunan
hukum nasional serta kondisi sosial budaya.
Salah satu keprihatinan besar dalam dunia hukum dewasa ini
adalah kelemahan pada tahap kebijakan legislasi/formulasi hukum,
yang pada gilirannya turut menghambat upaya penegakan hukum.
Dalam memformulasi hukum yang bercirikan Indonesia, sejatinya
tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan tentang sosiologi Indonesia,
antropologi Indonesia, psikologi Indonesia, bahkan apabila ada, biologi
dan fisika ala Indonesia, dan seterusnya. Dengan demikian, tatkala suatu
produk hukum akan dibuat, telah dibuat berbagai kajian mendalam dari
berbagai aspek, tidak semata-mata menyangkut apa yang diatur dalam
[rancangan] undang-undang tersebut. Hal ini sejatinya telah menjadi
pedoman ketika lahir UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang digantikan oleh UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana
28
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 55, 56.
29
Ibid., hlm. 19, 20.

224
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

pada Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa dalam membentuk


Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1. kejelasan tujuan;
2. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4. dapat dilaksanakan;
5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. kejelasan rumusan; dan
7. keterbukaan.
Sehubungan dengan itu, dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut
disebutkan bahwa dalam rangka pembentukan peraturan perundang-
undangan harus dilandasi pada 3 (tiga) landasan, yaitu landasan filosofis,
landasan sosiologis dan yuridis, sebagai berikut:
1. Landasan Filosofis: Landasan filosofis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis: Landasan sosiologis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan Yuridis: Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau
alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum
yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga
perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan,
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan
yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya
lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada.
Dalam hukum pelaksanaan pidana yang ada sekarang ketiga
landasan tersebut dapat dipertanyakan apakah benar-benar telah dimiliki

225
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan tentang hukum


pelaksanaan pidana yang notabene sebagian masih berasal dari warisan
pemerintah kolonial Belanda. Dari sudut filosofis, apakah hukum
pelaksanaan pidana yang ada di Indonesia telah sungguh-sungguh
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber
dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dari aspek sosiologis dapat dipertanyakan apakah
fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan negara telah diakomodasi dalam seluruh hukum pelaksanaan pidana
yang ada di Indonesia sekarang ini? Bertalian dengan landasan yuridis,
apakah hukum pelaksanaan pidana di Indonesia telah menampung
berbagai persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat, peraturan yang
tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah
dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya
sudah ada tetapi tidak memadai (misalnya pelaksanaan pidana mati).
Masalah besar yang dihadapi Indonesia bukan terletak pada
bagaimana menerapkan hukum positif (ius constitutum), tetapi bagaimana
membuat hukum positif dan bagaimana membuat/merancang ius
constituendum, maka dengan memusatkan perhatian pada ilmu hukum
positif warisan zaman Belanda, akan merupakan kelemahan/kekurangan
paling strategis. Seharusnya kajian ilmu hukum positif dilengkapi pula
dengan ilmu tentang pembaharuan hukum yang lebih berorientasi pada
ilmu/kebijakan membuat hukum positif dan hukum yang dicita-citakan
(ius constituendum), yang dilengkapi dengan ilmu perbandingan hukum
yang berorientasi pada sistem hukum adat/hukum yang hidup dan
hukum agama.
Patut dicatat, bahwa ilmu membuat hukum bukan sekadar ilmu
merumuskan/memformulasikan norma, tetapi pada hakikatnya ilmu
tentang menggali/merancang dan mengimplementasikan ide-dasar/
konsep/nilai/gagasan/ paradigma ke dalam formulasi hukum.30 Oleh
karena itu, dalam rangka membentuk suatu hukum pelaksanaan pidana
di samping hukum pidana materiel dan hukum pidana formal, perlu
dilakukan penggalian dan penerapan terhadap ide-dasar/konsep/nilai/
gagasan/paradigma tentang hukum pelaksanaan pidana yang berwawasan
Pancasila, tidak bercampur-aduk dengan falsafah Barat yang terkandung di
dalam KUHP yang notabene adalah warisan kolonial Belanda berkelindan
dengan berbagai produk peraturan perundang-undangan yang merupakan
buatan legislatif dan eksekutif di Indonesia. Pekerjaan mengkodifikasi
telah mempertentangkan kebanyakan orang yang menyusun kodifikasi itu
dengan pertanyaan, apakah di samping undang-undang masih ada sumber-
sumber hukum lainnya yang juga merupakan pernyataan dari keinginan
30
Barda Nawawi Arief, “Pembangunan Ilmu Hukum,” bahan Matrikulasi PDIH Undip, Semarang,
2005, hlm. 11.

226
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

bangsa. “Kebiasaan” menurut sebagian orang dapat merupakan hasil dari


permainan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Oleh karenanya, dalam
pandangan ini, undang-undanglah satu-satunya sumber hukum dan
“kebiasaan” itu hanya dapat berfungsi sebagai suatu sumber kedua yang
berasal dari undang-undang, dan dalam hal-hal yang diizinkan pula oleh
undang-undang.31
Dari penelitian yang pernah penulis lakukan, dapat dilihat negara-
negara yang membuat secara khusus undang-undang pelaksanaan
pidananya di dalam suatu kodifikasi dengan memuat berbagai hal
bertalian dengan pelaksanaan pidana, yang dapat dilihat secara ringkas
dalam daftar berikut.32

Tabel: Perbandingan Hukum Pelaksanaan Pidana


di Beberapa Negara

Nama Negara
B o s n i a -
Harzegovina

Montenegro
Macedonia

Norwegia
No Hal-hal yang diatur

Tajikistan
Sarajevo

Islandia
Kosovo

Latvia
Serbia

1 Aturan umum yang


antara lain berisi:
prinsip-prinsip p p p p p p p p p p
pelaksanaan sanksi
2 Struktur organisasi
pelaksana sanksi p p p p p p p p p p
dan kewenangannya
3 Hakim pelaksana
sanksi p
4 Pelaksanaan pidana
mati p p
5 Institusi pelaksana
pemasyarakatan p p p p p p p p p p
6 Hubungan kerja dan
kerja sama p p p p p p p p p p
7 Pendanaan p p p p p p p p p p
8 Organisasi dan kerja
unit ekonomi p p p p p p p p p p

31
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional. Jakarta: CV Karya
Dunia Fikir, 1996, hlm. 67-69.
32
Mompang L. Panggabean, Kebijakan Legislatif dalam Hukum Pelaksanaan di Indonesia.
Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm. 439, 440.

227
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

9 Pengawasan dalam
lembaga kerja p p p p p p p p p p
10 Pelaksanaan pidana
penjara p p p p p p p p p p
11 Bantuan setelah
selesai menjalani p p p p p p p p p
pidana
12 Hal-hal yang
dilaku-kan apabila
narapidana p p p p
meninggal dunia
13 Pelaksanaan pidana
denda p p p p p p p p p
14 Tindakan alternatif p p p p p p p p p
15 Tindakan keamanan:
pengobatan
kejiwaan, p p p p p p p p p
pengobatan alkohol
16 Sanksi pidana dan
tindakan edukatif
terhadap anak/ p p p p p p p p p
remaja
17 Pelaksanaan
tindakan disipliner p p p p p p p p p
18 Pengawasan oleh
orang tua p p p p p
19 Sanksi pidana bagi
korporasi p
20 Sanksi terhadap
pelanggaran ringan p p p p p p p
21 Kerja sama
internasional p p p p p p p p

Melihat uraian di atas, tampaklah bahwa ternyata ada negara-negara


yang membuat hukum pelaksanaan pidananya terpisah dari KUHP
dan KUHAP-nya, sehingga timbul pemikiran apakah hal serupa tidak
sebaiknya juga ditetapkan di Indonesia yang belum melakukan kodifikasi
hukum pelaksanaan pidananya sehingga masih tersebar dalam berbagai
produk peraturan perundang-undangan? Namun apabila ide demikian
sulit dilakukan, bagaimana seyogyanya upaya melakukan unifikasi hukum
demi tercapainya tujuan pemidanaan berdasarkan falsafah pemidanaan
yang dilandasi pada Empat Pilar Kebangsaan?

228
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Hukum pelaksanaan pidana yang ada hingga kini bukan hanya produk
legislatif dalam arti sempit, yakni DPR dan pemerintah, tetapi ada yang
merupakan warisan kolonial Belanda yaitu yang diatur dalam KUHP, juga
legislatif pada masa Orde Lama, dan bahkan hingga lembaga eksekutif,
dalam hal ini Menteri Kehakiman (atau Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia). Namun mencari makna yang tersimpan di balik rumusan suatu
peraturan perundang-undangan tidaklah mudah, sebab aparat penegak
hukum (baca: aparat pelaksana hukum pelaksanaan pidana) akan membuat
penilaian berdasarkan logika yang dimilikinya dalam menerapkan suatu
ketentuan yang ada. Padahal harus juga dipahami bahwa perkembangan
masyarakat sekarang demikian pesatnya sehingga timbul reaksi terhadap
sistem hukum yang berlaku pada masing-masing jamannya.
Hukum nasional33 adalah hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan,
asas, dan cita hukum suatu negara. Dalam hal ini sistem hukum nasional
Indonesia adalah kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibangun untuk mencapai tujuan negara yang bersumber dari
Pembukaan dan pasal-pasal yang terdapat di dalam UUD 1945, sebab di
dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 itulah terkandung tujuan
negara, dasar negara dan cita hukum negara Indonesia.34 Dengan demikian
maka Sistem Hukum Nasional Indonesia adalah sistem hukum yang
berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum, seperti
substansi, struktur dan budaya, sarana, peraturan perundang-undangan,
dan semua subunsur yang saling bergantung satu sama lain, bersumber
dari Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945.

III. Epilog.
Pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana mengandung makna:
suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana
yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan
sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Pembaharuan hukum pidana ini harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus

33
Soetandyo Wignyosoebroto, mendefinisikan Hukum Nasional sebagai hukum yang
kesahihan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara.
Nasionalisasi hukum kadang ditempuh dengan cara unifikasi dan kodifikasi hukum yang acapkali
amat berkesan mengingkari eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional. Vide: Soetandyo
Wignyosoebroto dalam Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam dan
Huma, 2002, hlm. 301-302.
34
Mahfud M.D., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional,” Makalah pada
Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: BPHN, 29-31
Mei 2006, hlm. 6.

229
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).35 Sejalan


dengan itu, dalam kerangka pembaruan hukum pelaksanaan pidana perlu
mencermati bagaimana melakukan reorientasi dan reformasi hukum
pelaksanaan pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik,
sosio-filosofik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum
di Indonesia. Terlebih jika mengamati hukum pelaksanaan pidana yang
ada saat ini masih tersebar dalam berbagai produk peraturan perundang-
undangan dan kurun waktu pembuatan yang berbeda-beda, maka tidak
mustahil penerapannya pun mengalami kendala di sana-sini sebagai
fungsinya dalam menunjang hukum pidana substansial dan hukum
pidana formal. Pertanyaan yang perlu direnungkan ialah apakah perlu
melakukan kodifikasi hukum pelaksanaan pidana di Indonesia atau cukup
dengan melakukan unifikasi hukum pelaksanaan pidana?
Dengan demikian dalam rangka mengefektifkan penerapan tindakan
tata tertib ini di samping sanksi pidana sebagai bagian dari double track
system, maka aturan pelaksanaan tindakan tata tertib ini pun memerlukan
pengaturan yang rinci dan menyeluruh agar dapat memenuhi falsafah dan
tujuan pemidanaan sebagaimana diharapkan.

Kepustakaan.
Bachrudin, Pidana Tutupan: Latar Belakang Pembentukan, Penerapan dan
Prospeksinya dalam KUHP Baru, tesis. Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1992.
Friedman, Lawrence M., Sistem Hukum. Perspektif Ilmu-ilmu Sosial
(diterjemahkan dari: The Legal System. A Social Science Perspective,
oleh: M. Khozim), Bandung: Nusa Media, 2011.
Gosita, Arif, Viktimologi dan KUHAP yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak
Korban. Jakarta: Akademika Pressindo, 1987.
Hamzah, Andi, Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1995
-----, “Hukum Pidana adalah Salah Satu Cermin yang paling Terpercaya
mengenai Peradaban Suatu Bangsa,” dalam Indroharto, dkk (editor),
Kapita Selekta Hukum, Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji,
S.H. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995

35
Barda Nawawie Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op.cit., hlm. 30-32. Ditegaskan
oleh beliau bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana melalui kedua pendekatan
tersebut adalah sebagai berikut. Dari sudut pendekatan kebijakan, maka ia merupakan bagian
dari kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum pidana. Sedangkan dari
sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan kembali dan penilaian kembali (re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-
filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif
hukum pidana yang dicita-citakan.

230
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Mahfud M.D., “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum


Nasional,” Makalah pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut
UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: BPHN, 29-31 Mei 2006
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty, 1988
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana.
Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gadjah Mada, 1970
Muladi, “Sistem Pemidanaan di Indonesia dan Prospeknya,” makalah pada
diskusi hukum yang diadakan oleh FH Universitas Krisnadwipayana,
Jakarta, 25 Mei 1988
Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996
-----, “Pembangunan Ilmu Hukum,” bahan Matrikulasi PDIH Undip,
Semarang, 2005
-----, RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum
Pidana Indonesia. Semarang: Pustaka Magister, 2008
-----, “Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia,”
dalam Komisi Yudisial Republik Indonesia, Potret Penegakan Hukum
di Indonesia. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2009
Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford
University Press, 1988
Panggabean, Mompang L., Kebijakan Legislatif dalam Hukum Pelaksanaan
di Indonesia. Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 2012
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur
Bandung, 1977
Saleh, Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional.
Jakarta: CV Karya Dunia Fikir, 1996
Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003
Soema di Pradja, R. Achmad S., Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia.
Bandung: Alumni, 1978.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Kajian terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru, 1983
-----, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986
-----, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986

231
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana Jilid II. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2004
Viano, Emilio C. (ed.), Victims and Society, Visage Press Inc., Washington
D.C, USA, 1976.
Wignyosoebroto, Soetandyo, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma, 2002
Wisnubroto, Aloysius dan Gregorius Widiartana, Pembaharuan Hukum
Acara Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005

232
HARMONISASI
KETENTUAN SANKSI PIDANA
DALAM PERANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
SEBAGAI UPAYA PEMBENAHAN PROBLEM
“HULU” PEMIDANAAN DI INDONESIA

Oleh:
Muh. Risnain, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram – Nusa Tenggara Barat)

I. Pendahuluan.
Pencantuman sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia dalam perkembangannya dihadapkan pada dua permasalahan
besar : di satu sisi tuntutan untuk mengambil kebijakan pidana dalam
rangka pengendelaian tindak pidana, namun di sisi lain dihadapkan
gejala over-criminalization yang sudah mengkhawatirkan. Pencantuman
sanksi pidana dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah tidak saja
menimbulkan permaslahan keterbatasan kemampuan penegak hukum
untuk menegakan norma hukum karena keterbatasan SDM, dampak yang
lebih luas adalah pada daya tampung lembaga pemasyarakatan yang
sudah over-capacity. Namun jika tidak diatur dengan sanksi pidana maka
norma hukum kelihatan tidak “bergigi”.
Pada tataran praktik ada satu gejala umum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan nasional yaitu keinginan pembentuk
undang-undang untuk mengatur sanksi pidana dalam setiap peraturan
perundang-undangan.Kecenderungan ini dapat kita lihat ketika
penyusunan perundang-undangan baik pada tingkat Undang-undang
maupun Peraturan Daerah yang selalu memasukan sanksi pidana dalam
setiap Rancangan UU dan Perda. Padahal dampak yang ditimbulkan dari
kebijakan itu adalah selain over criminalization yang berujung pada tidak
efektifnya sistem pemidanaan.
Persoalan demikian harus diselesaikan dengan melakukan per-
baikan di “hulu”nya yaitu ketika penyusunan peraturan perundang-
undangan dilakukan oleh DPR dan Presiden maunpun ketika Gubernur/
bupati/walikota ketika penyusunan Peraturan daerah. Untuk itu setiap
pembentukan UU dan Perda diperlukan kajian mendalam tentang

233
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pancantuman sanksi pidana. Kajian demikian akan mengukur apakah


pencatuman sanksi pidana efektif dan dapat dilaksanakan atau justru
akan menambah beban lembaga pemasyarakan atau hanya sekedar Pasal
“mandul” yang tidak dapat dilaksanakan.
Tulisan ini akan mengkaji problematika pencantuman sanksi
pidana pembentukan perundang-undangan, upaya harmonisasi dan
sinkronisasi dan memberikan tawaran solusi bagaimana konsep dan
praktek penyusunan sanksi pidana yang efektif dan mendukung sistem
pemidanaan efektif pula.

II. Prinsip-Prinsip Pengaturan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Rambu-rambu kebijakan pemidanaan secara umum dalam
penyusunan undang-undang dan Perda sebenarnya telah diatur dalam
lampiran Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Ketentuan pemidanaan dalam
UU PPP merupakan pengaturan yang meletakan prinsip-prinsip umum
pemidanaan disamping aspek teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan (legistalative drafting). Beberapa prinsip umum tersebut adalah:
1. Prinsip Ketentuan Pidana Bersifat Ultimum Remedium.
Prinsip dasar pengaturan ketentuan pidana dalam UU PPP adalah
bersifat pilihan tergantung pada kepentingan dan relevansi dengan ruang
lingkup pengaturan.Lampiran tersebut menyatakan bahwa ketentuan
pidana dalam UU dan Perda sesungguhnya merupakan ketentuan yang
dapat diadakan jika diperlukan. Artinya jika pembentuk UU dan Perda
menurut pertimbangan kebijakan hukum dapat mengambil sikap untuk
memasukan atau tidak memasukkan ketentuan pidana dalam UU dan
Perda. Namun dalam kenyataanya, pembentuk UU dan Perda selalu
mengambil kebijakan yang mengharuskan ketentuan pidana selalu
ada dalam setiap UU dan Perda. Padahal sudah menjadi prinsip umum
bahwa sanksi pidana merupakan ultimum remedium, bukan primum
remedium.
2. Ketentuan Pidana Memuat penjatuhan pidana atas pelanggaran
norma larangan/perintah.
Sudah menjadi adagium umum bahwa timbulnya sanksi pidana
manakala seseorang atau badan hukum melakukan perbuatan yang
melanggar norma perintah atau larangan dalam undang-undang atau
Jilmy Assidiqie, Perihal undang-undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2007, hlm. 87.


Bandingkan dengan Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:


Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 27-33.

234
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

perda. Norma hukum pidana hadir agar perbuatan yang oleh hukum
dianggap sebagai pelanggaran adalah perbuatan yang dapat dihukum dan
ditegakan melalui istitusi negara. Ketentuan ini terdapat dalam lampiran
No.13 UU PPP yang menyatakan bahwa “Ketentuan pidana memuat
rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap
ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah”.
3. Merujuk Pada Buku I KUHP.
Dalam perkembangan kebijakan pidana dewasa ini, rumusan pidana
dalam KUHP tidak dapat menampung lagi perkembangan jenis,sifat,
dan modus tindak pidana, oleh karena itu UU dan Perda diperbolehkan
untuk mengatur secara spesifik jenis tindak pidana. Walaupun demikian
dalam pembentukan norma hukum pidana atau sanksi pidana dalam UU
dan Perda harus tetap memperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana
yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Asas hukum pidana seperti : asas legalitas, pertanggung jawaban
pidana, penghapusan tuntutan, penyertaan dll harus diperhatikan ketika
membuat ketentuan pidana dalam UU dan Perda.
4. Lamanya Pidana dan Banyaknya Pidana Sepadan dengan dampak
dan Kesalahan Pelaku.
Prinsip penting dalam pengaturan sanksi pidana adalah bahwa harus
ada kesepadanan antara lamanya pidana dan banyaknya dengan dampak
yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur
kesalahan pelaku. Jadi persyaratan bagi lama atau sedikitnya pidana atau
banyak atau sedikitnya denda dalam sebuah undang-undang didasarkan
pada dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran pidana dan kesalahan
pelaku. Standar ini masih sangat umum penilaiannya ditentukan pada
penafsiran pembentuk Undang-undang dan Perda berapa lamanya sanksi
pidana dan besarnya denda dalam UU dan perda. Tidak ada standar umum
yang ditentukan Undang-undang untuk menjadi rujukan bagi pembentuk
UU dalam mengatur sanksi pidana.
5. Ketentuan Pidana Hanya diatur dalam Undang-undang dan Peraturan
Daerah.
Undang-undang ini membatasi ketentuan pidana hanya boleh
diatur dalam materi muatan dua produk hukum yaitu Undang-undang
dan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daera Kabupaten/Kota.
Pembatasan ini merupakan pembatasan yang bersifat ketatanegaraan
yang hanya memberikan kewenangan untuk mengatur sanksi pidana
pada Undang-undang dan Perda. Hal ini dapat dipahami karena sanksi
pidana merupakan ketentuan yang membatasi hak kemerdekaan warga
negara maka harus mendapatkan legitimasi dan pengesahan dari wakil

Marwan Effendi, Kapita Selekta Hukum Pidana : Perkembangan dan Isu-Isu Aktual dalam
Kejahatan Finansial dan Korupsi, Cetakan Ke-1, (Jakarta : Referensi, 2012), hlm.128

235
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

mereka yaitu DPR dan DPRD. Produk hukum yang lain yang berada di
bawah Undang-undang atau dibawah perda tidak diperbolehkan untuk
mengatur aspek pidana.

III. Ketentuan Undang-Undang dan Perda yang Di Anggap “Over-


Criminalization”.
Kebijakan kriminalisasi melalui ketentuan pidana dalam UU dan Perda
yang dianggap sebagai kebijakan yang over-criminalization sesungguhnya
telah banyak lahir dari Undang-undang yang sudah berlaku maupun RUU
yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah, juga perda di beberapa
daerah. Penulis mengidentifikasi beberapa Undang-undang dan RUU yang
potensi atau dianggap mengandung “over-criminalization” diantaranya :
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA), RUU Mahkamah Agung dan RUU Kejaksaan yang
kini telah menjadi RUU inisiatif DPR yang akan dibahas DPR bersama
pemerintah. Sedangkan di Tingkat Perda misalnya Perda Kabupaten
Tangerang yang melarang Perempuan keluar rumah di malam hari tanpa
muhrim.
Ketentuan Pasal Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, dan
Pasal 101, Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak merupakan ketentuan pidana bagi Polisi, Jaksa, Hakim, Pejabat
Pengadilan yang tidak melaksanakan kewajiban penanganan kasus pidana
anak tidak melalui mekanisme diversi maka hakim, penuntut umum dan
hakim dapat dihukum dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun tau
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Bila ditilik
lebih lanjut ketentuan pasal ini merupakan pelanggaran administrasi
pengadilan yang mekanisme hukumnya dapat ditempuh melalui
adminstrasi pengadilan yang selama ini dikenal seperti menggunakan
rezim pra-peradilan dalam KUHAP atau banding ke pengadilan yang
lebih tinggi (pengadilan tinggi). disamping itu kriminalisasi ini membawa
dampak pada pelanggaran terhadap prinsip judicial independence yang
diakui oleh konstitusi.
Terhadap kriminalisasi Hakim melalui Undang-undang SPPA
menimbulkan reaksi dari para hakim. Sembilan hakim, baik yang berasal
dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah agung,
mengajukan permohonan judicia review terhadap Pasal 96, ketentuan

Jimly Assidiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 80.

Para pemohon judicial review terdiri dari : Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H (hakim agung)
Dr. Drs. Habiburrahman, M.Hum ( Hakim Agung),Dr. Imam Subechi, S.H., M.H. (Hakim Agung), Imron
Anwari, S.H., Spn., M.H. (Hakim Agung), Suhadi, S.H.,M.H ( Hakim Agung H. Kadar Slamet, S.H.,
M.Hum.(Hakim Tinggi Pengawas) I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. (Hakim Tinggi) Nama : Drs.
Abdul Goni, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Agama) dan Mien Trisnawati, S.H., M.H. (Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Metro).

236
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Pasal 100, dan ketentuan Pasal 101 UU SPPA. Perjuangan para hakim
untuk keluar dari jeratan UU SPPA akhirnya pada tanggal 23 maret 2013
mahkamah konstitusi mengabulkan semua permohonan para pemohon dan
menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU SPPA bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan
demikian Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU SPPA tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum berlaku.
Begitu juga dengan kehadiran RUU MA merupakan jawaban untuk
merespon perkembangan dunia peradilan yang sudah tidak mampu
lagi dijawab dengan Undang-undang yang lama. Serupa dengan UU
SPPA, RUU ini lagi-lagi menjadikan hakim sebagai obyek kriminalisasi
ketika hakim mengeluarkan putusan. Dalam RUU tersebut terdapat dua
rancangan pasal kontroversial yaitu Pasal 95 dan Pasal 97. Rancangan Pasal
95 melarang hakim untuk menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain, atau keluarga, mempunyai
hubungan pekerjaan.partai/finansial atau mempunyai nilai ekonomis
secara langsung/tidak langsung; merekayasa fakta-fakta hukum dalam
penanganan perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya dalam
penanganan perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk
melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis; meminta dan/atau
meminta hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya
meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan dengan
jabatannya; dan bertindak diskriminatif.
Rancangan Pasal 97 RUU MA mengatur tentang larangan bagi hakim
ketika memutuskan perkara : 1) membuat putusan yang melanggar Undang-
undang, 2). Membuat keputusan yang mengakibatkan kerusuhan, huru-
hara, 3). Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan
karena bertentangan dengan realitas ditengah-tengah masyarakat, adat-
istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan
pertikaian dan keributan; dilarang merubah keputusan bersama ketua
Mahkamah Agung dan keputusan ketua Komisi Yudisial secara sepihak
dan/atau keputusan bersama kode etik dan pedoman perilaku hakim
secara sepihak.
Dalam RUU Kejaksaan yang diajukan DPR terdapat juga ketentuan
sanksi pidana bagi jaksa yaitu terdapat dalam 37 L-37 P.
Pasal 37L mengatur” Jaksa yang menggunakan jabatan dan/
atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf d dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 37M mengatur bahwa Jaksa yang merekayasa fakta-fakta hukum
dalam penanganan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1)

237
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 37N mengatur bahwa Jaksa yang menggunakan kapasitas dan
otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf f dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
Pasal 37O Jaksa yang meminta dan/atau menerima hadiah dan/
atau keuntungan serta menyuruh keluarganya untuk meminta dan/atau
menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37J ayat (1) huruf g dipidana dengan
pidana pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 37P Jaksa yang melakukan penyidikan, penangkapan,
penahanan, penuntutan, pengajuan kasasi atas putusan bebas dan/
atau melakukan peninjauan kembali tanpa alasan berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37K dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
Secara prosedural RUU ini telah menjadi RUU inisiatif DPR yang telah
disahkan dalam rapat paripurna DPR. Bila dikaji lebih dalam ketentuan
pidana yang ada dalam Pasal 37 L-37 P merupakan pelanggaran yang
bersifat etika dan administrasi yang hukuman dan penyelesaiaanya telah
diatur dalam Kode Etik Kejaksaan dan upaya hukum penyelesaian dapat
dilakukan melalui upaya banding, kasasi, dan peninjuan kembali yang
telah diatur dalam KUHAP.
Ketentuan ini jelas merupakan ketentuan pidana yang dipaksakan
untuk dimasukan dalam RUU dan terkesan emosional tanpa memperhatikan
kesalahan dan dampak yang akan ditimbukan dari ketentuan ini.
Ketentuan over-criminalization bagi penegak hukum tidak saja berdampak
bagi amburadulnya sistem penegakan hukum terpadu dan kemerdekaan
penegak hukum tetapi juga menimbulkan dampak psikologis bagi penegak
hukum. kriminalisasi demikian menimbukan dampak rasa ketakutan bagi
penegak hukum karena mereka selalu diselimuti perasaan takut akan

238
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dikenai sanksi pidana jika dalam menjalankan tugasnya terdapat kelalaian


berupa pelanggaran administrasi saja. Jikapun terjadi pelanggaran Pidana
yang dilakukan Jaksa maka instrument hukum pidana dalam Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Korupsi

IV. Harmonisasi dan Sinkronisasi Ketentuan Pidana dalam Penyusunan


Peraturan Perundang-Undangan.
Beberapa Undang-undang yang dianggap bermasalah di atas
merupakan contoh bagaimana kesalahan dalam penyusunan sanksi
pidana dalam Undang-undang berdampak bagi eksistensi negara
hukum dan kebebasan pengadilan. Dampak yang lebih parah lagi dari
over-criminalization adalah kesiapan lembaga pemasyarakatan untuk
menampung terpidana yang notabene penegak hukum yang dihukum
karena kesalahan administrasi. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
yang mengharmonisasi dan menksinkronisasi ketentuan pidana ketika
penyusunan Undang-undang dan Perda.
Prinsip-prinsip ketentuan pidana dalam UU PPP di atas merupakan
rambu-rambu bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam
menyusun ketentuan pidana dalam UU dan Perda. Prinsip-prinsip ini
menjadi “buku panduan” bagi pembentuk undang-undang dan perda
dalam mengatur sanksi pidana dalam UU dan Perda.
Pengaturan sanksi pidana memiliki korelasi dengan kebijakan
pidana secara umum. Kebijakan pidana merupakan kebijakan untuk
menanggulangi kejahatan dan merehabilitasi pelaku agar menjadi manusia
yang lebih baik dan tidak mengulangi perbuatan yang akan datang.
Oleh karena itu pengaturan sanksi pidana dalam Undang-undang dan
perda harus diharmonisasikan dan disinkronisasikan dengan kebijakan
hukum pidana secara umum. Terkait hal ini menarik untuk dikutip
pendapat Muladi yang menyatakan bahwa dalam konteks pembaharuan
(hukum pidana) di masa mendatang (ius constituendum), idealnya suatu
hukum hukum pidana materiel yang tertuang dalam Undangundang
dan Perda setidak-tidaknya harus memenuhi lima karakteristik sebagai
berikut:
Pertama, hukum pidana nasional dibentuk tidak sekedar alasan
sosiologis, politis dan praktis semata-mata, namun secara sadar harus
disusun dalam kerangka ideologi nasional Pancasila, kedua, hukum
pidana nasional di masa mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-
aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia,
ketiga, hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan
kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan

Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiel Indonesia Di Masa Mendatang, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990, Semarang.

239
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

masyarakat beradab, keempat, hukum pidana mendatang harus memikirkan


aspek-aspek yang bersifat preventif; kelima, hukum pidana mendatang
harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi guna meningkatkan efektifitas fungsinya dalam masyarakat.
Terkait harmonisasi dan sinkronisasi ketentuan pidana dalam
pembentukan Undang-undang dan Perda memiliki keterkaitan dengan
kebijakan krimininalisasi. Terdapat kesepakatan ilmiah bahwa politik
kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai
dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh
mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental
yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut
atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat. Kriteria politik kriminalisasi menurut hasil Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di
Semarang didasarkan pada kriteria-keriteria : pertama, Apakah perbuatan
itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau
dapat merugikan, mendatangkan Korban atau dapat mendatangkan korban
; kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang
akan dicapai, artinya biaya pembuatan Undang-Undang, pengawasan
dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku
kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang
akan dicapai, c). ketiga, Apakah akan makin menambah beban aparat
penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat
diemban oleh kemampuan yang dimilikinya, dan d). keempat, Apakah
perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa
Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Dengan demikian untuk mencegah terjadinya over-criminalization
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan sebuah
kebijakan yang mengharmonisisakan kebijakan pembentukan undang-
undang dengan kebijakan pidana secara umum.

V. Kesimpulan dan Saran.


Pengaturan Sanksi Pidana dalam Penyusunan Undang-undang dan
Perda merupakan salah satu instrument efektif untuk mengkotrol over-
criminalisation. Dengan mempertimbangan keterkaitan kebijakan pidana
dan politik pembentukan undang-undang dengan baik maka pembentuk
undang-undang dapat lebih awal mengambil kebijakan efektif untuk
mengharmonisasikan kebijakan pidana. Dengan kebijakan demikian ke
depan tidak dapat dihindari ketentuan-ketentuan pidana dalam sebuah
Undang-undang yang sesungguhnya tidak diperlukan dalam mengatur
kehidupan masyarakat.

Terkutip dalam materi gugatan Pemohon perkara Nomor 110/PUU-X/2012.

240
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Daftar Pustaka.
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media
Group, Jakarta, 2008.
Jilmy Assidiqie, Perihal undang-undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2007.
____________, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005.
Marwan Effendi, Kapita Selekta Hukum Pidana : Perkembangan dan Isu-Isu
Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi, Cetakan Ke-1, Jakarta,
Referensi, 2012.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiel Indonesia Di Masa Mendatang, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
1990, Semarang.

241
KONKRETISASI PENGATURAN
SANKSI PIDANA KERJA SOSIAL
SEBAGAI IMPLEMENTASI KONSEP
RESTORATIVE JUSTICE DALAM
KERANGKA PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL

Oleh:
Rahel Octora, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha – Bandung - Jawa
Barat)

I. Latar Belakang.
Pemidanaan merupakan salah satu sub sistem dalam sistem hukum
pidana. Pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana merupakan sub sistem
yang bekerja terakhir setelah serangkaian proses hukum acara pidana
dilalui. Pemidanaan juga merupakan konkretisasi adanya aturan pidana.
Suatu aturan pidana hanya menjadi rangkaian kata-kata belaka apabila
ketika dilanggar, tidak mendatangkan dampak atau konsekuensi apapun
bagi pelanggarnya.
Pandangan umum tentang pemidanaan senantiasa berubah seiring
dengan perkembangan zaman. Pada mulanya pemidanaan bersifat retributif.
Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif
terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat
sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan
terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya
masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang
(backward-looking).
Pandangan umum yang semula bersifat melihat ke belakang ini
kemudian bergeser. Selanjutnya, pandangan tentang pemidanaan dilandasi
oleh filsafat utilitarian. Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari
segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau

Setyo Utomo. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice, hlm. 15 (Makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang
“Politik Perumusan Ancaman Pidana dalam Undang-Undang Di Luar KUHP”, diselenggarakan oleh
Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010)

242
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu


pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah
laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk
mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang
serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking)
dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).
Pergeseran pandangan ini mempengaruhi sistem hukum pidana
Indonesia. KUHP yang berlaku sejak jaman kolonial Belanda menganut
sistem pemidanaan yang masih dilandasi oleh pandangan retributif.
Proses pembaharuan hukum pidana nasional, juga menyentuh bagian
pembaharuan sistem pemidanaan. Salah satu bentuk sanksi pidana baru
yang diperkenalkan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia (selanjutnya disebut RKUHP) adalah sanksi pidana kerja
sosial. Bentuk sanksi ini menunjukan bahwa pembentuk Undang-undang
di Indonesia telah mengadaptasi pandangan-pandangan modern tentang
pemidanaan yang tidak hanya dipahami sebagai pengekangan kebebasan
semata.
Terlepas dari segala ide positif yang berada di balik perumusan
jenis sanksi ini, terdapat pula potensi timbulnya masalah di dalam teknis
pelaksanaannya. Pasal 86 ayat (1) RKUHP menyatakan “ jika pidana
penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana
denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I, maka pidana penjara atau
pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.”
Rumusan di atas merupakan prasyarat umum, kapan sanksi pidana
kerja sosial dapat dijatuhkan. Selain itu, sanksi ini hanya merupakan
pidana pengganti yang penjatuhannya sangat tergantung pada vonis
hakim. RKUHP tidak secara eksplisit mengemukakan pidana kerja sosial
merupakan sanksi yang tepat bagi pelanggaran apa.
Pada sub-bagian berikutnya, akan dipaparkan teori-teori, asas-
asas dan prinsip-prinsip yang dapat memberikan pedoman bagaimana
seharusnya sanksi pidana kerja sosial diterapkan dalam sebuah peristiwa
konkrit, sehingga tujuan dari pengenaan sanksi ini dapat tercapai.

II. Pengaruh Filosofi Restorative Justice terhadap Sistem Pemidanaan di


Indonesia.
Keberlakuan sistem pemidanaan di suatu negara, dilandasi oleh
kebijakan hukum pidana (penal policy) yang dianut oleh negara tersebut.
Secara gradual dan fundamental, terminologi kebijakan berasal dari istilah
policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Pengertian dari terminologi policy
atau politiek adalah:

ibid.

243
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

“Prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah


(dalam aritan luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola,
mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah
masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-
undangan dan mengalokasikan hukum / peraturan dengan satu tujuan
(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau
kemakmuran masyarakat (warga negara)”
Kebijakan hukum pidana memiliki pengertian serupa dengan politik
kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk
menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari
politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Semuanya
merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yakni usaha dari
masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.
Sebagai usaha penanggulangan kejahatan, politik kriminal dapat
mengejawantah dalam pelbagai bentuk. Bentuk yang pertama adalah
bersifat represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut
sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam hal ini
secara luas sebenarnya mencakup pula proses kriminalisasi. Yang kedua
berupa usaha-usaha prevention without punishment (tanpa menggunakan
sarana penal), dan yang ketiga adalah mendayagunakan usaha-usaha
pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum
melalui mass media secara luas.
Bekerjanya sebuah sistem hukum pidana yang mengejawantah dalam
betuk represif (criminal justice system), berakhir pada bagaimana seorang
pelanggar hukum harus bertanggungjawab atas perbuatannya serta
sanksi apa yang dikenakan kepadanya. Sanksi pidana adalah sanksi yang
menderitakan. Demikian pandangan umum yang ditujukan pada hukum
pidana. Saat ide dasar pemidanaan masih berkisar pada pembalasan,
pernyataan tersebut menjadi benar adanya. Lain halnya apabila filosofi
pemidanaan didasari oleh filosofi restorative justice. Restorative justice
merupakan suatu filosofi, dapat pula dipandang sebagai teori keadilan
yang menekankan pada proses memulihkan kerugian yang ditimbulkan
oleh tindakan kejahatan.
Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative juctice theory dapat
diringkaskan dalam beberapa karakteristik :
a. “Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries
to victims, communities and the offenders themself; only secondary is it
lawbreaking.
b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile
parties while repairing the injuries caused by crimes.

Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana (Perspektif Teoritis dan Praktik). Bandung:
Alumni,2008, hlm. 389.

Muladi, et..al., Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:Alumni,2007, hlm.1.

244
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims,


offenders and their communities. It should not be dominated by goverment
to the exclusion of others.” 
Dari pandangan tersebut, nampak bahwa pelanggaran hukum pidana
tidak lagi secara mutlak dipandang sebagai pelanggaran hukum publik
yang mengakibatkan segala kewenangan korban diambil alih oleh negara
dan kepentingan korban dalam proses acara pidana diwakili oleh jaksa
penuntut umum. Dalam pandangan restorative justice, korban ikut berperan
aktif dalam menegakan haknya yang dirugikan akibat pelanggaran
hukum.
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam
keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk
untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk
memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki
kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat
komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk
menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama komunitas secara
aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan
nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama.
Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli
proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-
usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan
sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik
mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka.
Perbedaan pandangan antara Conventional Criminal Justice System
dengan Restorative Justice dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1. Perbandingan Criminal Justice dengan Restorative Justice

Criminal Justice Restorative Justice


Crime is a violation of the law Crime is a violation of people and
and the state obligation
Violations create guilt Violation create obligation


Dwidja Priyatno, Jenis-Jenis Sanksi (Pidana) dalam Konsep RUU KUHP Nasional ( Ditinjau
dari Filsafat Pemidanaan), Disampaikan Dalam Rangka Seminar Sehari “Meninjau Kembali Jenis-
Jenis Pemidanaan Dalam RUU KUHP” yang Diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa STHB,
Selasa,14 Maret 2006, hlm.9.

Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International Human Rights, Restorative Justice :
International Perspective, Edited by Burt Galaway and Joe Hudson, (Kugler Publications, Amsterdam,
The Netherland), hlm 24 dalam Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM
2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, hlm 11, 12.

Howard Zehr & Ali Gofar, The Little Book of Restorative Justice, Uni Graphics,2003, hlm.19

245
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Justice requires the state to Justice involves victims, offenders and


determine blame (guilt) and community members in an effort to put
impose pain (punishment) things right.
Central focus: offenders Central focus: victim needs and offender
getting what they deserve responsibility for repairing harm.

Filosofi restorative justice mempengaruhi substansi hukum materil


dalam RKUHP diantaranya dalam Pasal 54 ayat (1) butir c dinyatakan bahwa
tujuan pemidanaan adalah untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat.
Dalam Pasal 55 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam pemidanaan wajib
dipertimbangkan antara lain pengaruh pidana terhadap masa depan
pembuat tindak pidana, pengaruh tindak pidana terhadap korban atau
keluarga korban, pemaafan dari korban dan /atau keluarganya dan / atau
pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 60 ayat (1) menyatakan dalam hal suatu tindak pidana diancam
dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok
yang lebih ringan harus lebih diutamakan, jika hal itu dipandang telah
sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
Pasal 71 menyatakan:
Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55,pidana penjara
sejauhh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan
sebagai berikut:
dalam butir c: kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar
dalam butir d: terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada
korban
Substansi RKUHP semakin menegaskan bahwa hukum pidana pada
hakikatnya adalah ultimum remidium. Penerapan sanksi pidana harus
mempertimbangkan Pemidanaan yang menimbulkan kerugian lebih tinggi
daripada kerugian akibat tindak pidana itu sendiri seyogianya dihindari.

III. Sejarah Perkembangan Sanksi Pidana Kerja Sosial.


Pidana kerja sosial telah dikenal sejak tahun 1960 an. Inggris
memulainya dan diikuti oleh Amerika Serikat. Sejak itu, banyak negara
mulai menerapkannya sebagai bentuk pemidanaan alternatif selain pidana
kurungan atau penjara. Pengalihan pemidanaan tersebut sejalan dengan
perubahan paradigma penghukuman dari balas dendam (deterrence),
menjadi rehabilitasi atau pemulihan.

Patricia Rinwigati, Pidana Kerja Sosial dalam Praktek Negara-negara: Problem atau Solusi?,

246
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Dalam dunia internasional, sanksi yang bersifat non custodial


diperkenalkan dalam UN-Standard Minimum Rules for Non-Custodial
Measures (The Tokyo Rules), yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) dalam resolusi 45/110 tertanggal 14 Desember 1990
yang merupakan hasil kongres ke-8 PBB mengenai ” The prevention of
Crime and The Treatment of Offenders” yang diselenggarakan di Havana,
Cuba pada tanggal 27 Agustus sampai dengan 7 September 1990.
Menurut Dictionary of Law, Oxford University, pidana kerja sosial adalah:
”An order that requires an offender (who must consent and be aged at least
16), to perform unpaid work between 40-240 hours under the supervision of
a probation officer. Such an order replaces any other form of punishment (e.g:
imprisonment); it is usually based on a probation officer’s report and it’s carried
out withn 12 months (unless extended). Breach of the order may be dealt with
by fine or by revocation of the order and the imposition of any punishment that
could originally have been imposed for the offence.”10
Negara-negara di Eropa mulai menerapkan jenis sanksi pidana kerja
sosial ini, di antaranya Inggris sejak tahun 1972, Jerman sejak tahun 1969,
Perancis sejak tahun 1984, Denmark sejak 1982, Norwegia sejak tahun
1984, Belanda sejak tahun 1981, Finlandia sejak tahun 1985.11 Menurut
Muladi, secara teoritis pidana kerja sosial mengandung beberapa dimensi
sebagaimana yang terurai di bawah ini:12
1. Pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana kemerdekaan jangka
pendek, artinya pidana kerja sosial hanya akan dijatuhkan kepada
seorang terdakwa yang diancam dengan pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek.
2. Pidana kerja sosial sebagai alternatif sanksi apabila denda tidak
dibayar
3. Pidana kerja sosial dalam rangka grasi
Pidana kerja sosial hanya dapat diterapkan bagi kejahatan-kejahatan yang
tidak terlalu berat, dan dalam penerapannya harus memperhatikan riwayat
tindakan kejahatan yang pernah dilakukan oleh pelaku tersebut.

Makalah dibawakan dalam Seminar “ Pidana Kerja Sosial sebagai bentuk Baru Sanksi Alternatif
dalam RUU KUHP: Prospek dan Kendalanya. hlm.1

Eryana Ganda Nugraha, Kebijakan Legislatif tentang Pidana Kerja Sosial di Indonesia, Tesis
: Universitas Diponegoro- Semarang, (2004), hlm.4.
10
ibid., hlm.10.
11
ibid., hlm.11.
12
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Semarang, 1995, hlm.139.

247
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

IV. Pidana Kerja Sosial dalam RKUHP, Kendala dan Problematika.


Perumusan sanksi pidana di dalam RKUHP Indonesia mengalami
kemajuan, yakni diadaptasinya pola pikir bahwa sanksi pidana tidak harus
selalu bersifat menderitakan. Filosofi restorative justice mempengaruhi
jenis-jenis sanksi pidana di dalam RKUHP. Dalam pasal 65 ayat (1)
RKUHP dinyatakan salah satu jenis pidana pokok adalah pidana kerja
sosial. Penempatan pidana pokok jenis ini berada di urutan terakhir setelah
pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana denda.
Berdasarkan Pasal 65 ayat (2), urutan tersebut menentukan berat ringannya
pidana. Hal ini berarti pidana kerja sosial adalah jenis pidana yang dapat
dikenakan pada pelanggaran-pelanggaran hukum pidana yang tergolong
ringan. Selain itu, dalam pasal 86 ayat (1) dinyatakan bahwa pidana kerja
sosial merupakan pidana pengganti bagi vonis di bawah 6 bulan penjara
atau denda tidak lebih dari Kategori I.
Diperkenalkannya sanksi ini di dalam RKUHP menimbulkan
berbagai pertanyaan di kalangan para ahli dan pengamat hukum, di
antaranya berkenaan dengan efek jera yang ditimbulkan, dan bagaimana
teknis pelaksanaanya. Hal ini disebabkan penerapan sanksi ini akan
sangat tergantung pada vonis hakim. Pertimbangan dalam putusan hakim
didasari (salah satunya) oleh requisitoir dari Penuntut Umum. Kemudian,
hakim yang akan menentukan apakah sanksi ini akan diterapkan atau
tidak. Selain itu, di mana para narapidana akan dipekerjakan, menjadi
permasalahan tersendiri.
Berdasarkan uraian di atas, untuk menjatuhkan sanksi pidana kerja
sosial, Majelis Hakim akan diperhadapkan pada berbagai pertimbangan,
yaitu pertimbangan berdasarkan hukum (Pasal 86 ayat (2) RKUHP) dan
pertimbangan-pertimbangan sosial lainnya. Kemajuan yang dimiliki oleh
RKUHP harus diimbangi pula dengan kemajuan pola pikir para penegak
hukum, terutama hakim yang di dalam kenyataan akan menjadi penentu
arahan penegakan hukum tersebut. Apabila hakim masih berpikir dengan
pola lama yang sudah bertahun-tahun ia gunakan, maka kemungkinan
besar hakim akan memilih penjatuhan sanksi pidana penjara atau denda
sehingga rumusan adanya alternatif sanksi berupa pidana kerja sosial
hanya ada di atas kertas semata.
Menurut Lawrence Friedman, sebuah sistem hukum terdiri dari tiga
sub sistem utama yakni:
1. legal substance yaitu substansi peraturan yang terdapat dalam
perundang-undangan,
2. legal structure yaitu struktur kelembagaan yang berperan dalam proses
penegakan hukum
3. legal culture yaitu budaya hukum dalam masyarakat di mana hukum
tersebut diterapkan, termasuk di dalamnya tingkat kesadaran hukum

248
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

masyarakat.
Dikaitkan dengan penerapan sanksi kerja sosial, ketiga unsur
tersebut harus menjadi tiga subsistem yang saling terintegrasi untuk
mendukung tercapainya tujuan hukum yakni keadilan,kepastian hukum
dan kemanfaatan. Dari aspek legal substance, diperlukan aturan yang
bersifat teknis untuk mengatur pelaksanaan sanksi pidana kerja sosial ini.
Dari aspek legal structure, harus diatur dan ditentukan siapa pihak yang
bertanggungjawab atas pelaksanaannya.
Hal yang perlu dipersiapkan adalah sumber daya manusia yang akan
terlibat dalam proses penerapan dan pelaksanaan sanksi kerja sosial ini.
Dimulai dari jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan tuntutannya,
hakim di dalam proses memutus perkara, dan tidak kalah pentingnya
perlu ditetapkan siapa yang akan bertanggungjawab untuk mengawasi
pelaksanaan dari pidana kerja sosial ini. Berdasarkan pasal 30 ayat (1)
huruf b dan c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, dinyatakan bahwa :
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat.
Perlu ditentukan apakah pengawasan pelaksanaan pidana kerja sosial
ini akan menjadi wewenang dari lembaga kejaksaan ataukah diperlukan
adanya probation officer yang memiliki tugas khusus di bidang pengawasan
pidana kerja sosial ini.
Setelah membahas mengenai legal substance dan legal structure, perlu
dibahas pengaruh legal culture terhadap proses penegakan hukum. Faktor
budaya Indonesia mempengaruhi pandangan tersebut. Melakukan kerja
sosial bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat pedesaan
khususnya, sudah merupakan hal yang biasa, misalnya melakukan kerja
sosial dalam bentuk gotong royong atau kerja bakti. Berdasarkan fakta
tersebut terdapat pandangan bahwa istilah ”kerja sosial” tidak memiliki
sifat ”punishment”.13
Menanggapi pandangan tersebut, penulis berpendapat bahwa
dalam menerapkan sanksi pidana kerja sosial, target yang harus dicapai
bukan semata-mata apakah terpidana merasakan hukuman atau tidak. Di
samping itu, sanksi ini diharapkan dapat membangun relasi mutual antara
13
Dr. Mudzakkir, SH.,MH, Kebijakan Sanksi Pidana Kerjas Sosial dalam Pembaharuan Hukum
Pidana di Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Sanksi Pidana Kerja Sosial dengan
tema “Pidana Kerja Sosial sebagai Bentuk Baru Sanksi Alternatif dalam RUU KUHP, Prospek dan
Kendalanya”, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Bandung, 21
Oktober 2013.

249
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

terpidana dengan negara. Negara dapat mengambil manfaat dari terpidana


tersebut. Pemidanaan kemudian tidak menjadi beban bagi negara dengan
harus mengeluarkan dana untuk pelasksanaan pemidanaan.

V. Tindak Pidana yang Dapat Dikenai Sanksi Pidana Kerja Sosial.


Dalam bagian ini akan dipaparkan tindak pidana apa saja yang dapat
dikenai sanksi pidana kerja sosial, mengingat tidak ada pedoman yang
spesifik, terhadap tindak pidana apa saja sanksi sosial dapat dikenakan.
Dalam RKUHP hanya dinyatakan bahwa pidana kerja sosial merupakan
pidana pengganti bagi vonis di bawah 6 bulan penjara atau denda tidak
lebih dari Kategori I.
Penulis berpendapat di dalam RKUHP, banyak tindak pidana yang
pelakunya layak dikenai pidana kerja sosial, mengingat sifat dari tindak
pidana tersebut masuk dalam kategori mala prohibita, bukan mala in se.14
Kepada para pelanggar tersebut, tidak diperlukan penghukuman yang
berat berupa pidana penjara dan berdampak pada stigmatisasi oleh
masyarakat.
Sebagian besar tindak pidana dalam tabel di bawah ini diancam
dengan pidana lebih dari 6 bulan, dan ancaman denda lebih dari
Kategori I namun secara kasuistis hakim dapat memutuskan berapa lama
hukuman yang dikenakan dalam vonis yang dijatuhkan. Apabila dengan
kebijaksanaannya, hakim memutuskan sanksi pidana badan lebih ringan
atau sama dengan 6 bulan, maka penggunaan sanksi pidana kerja sosial,
menurut pendapat pribadi penulis, layak dijatuhkan.

Tabel 2. Rekomendasi Tindak Pidana yang Pelanggarnya dapat


Dijatuhi Sanksi Pidana Kerja Sosial

No. Pasal Tindak Pidana Ancaman Sanksi


1. 297 (1) Tidak memberitahukan maks. 1 tahun penjara atau
kepada pejabat yang denda maks. kategori II.
berwenang, adanya orang
yang berniat melakukan
kejahatan.
14
Tindakan yang dilakukan seseorang diduga melakukan kejahatan dapat diuji berdasarkan
kaidah hukum yang dilanggar apakah tindakan seseorang tersebut termasuk kategori tindakan yang
merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk
mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya
misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan
mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang
melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan administrasi internal suatu
lembaga. (Bismar Nasution. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya. (2009), pada situs
internet: http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi).

250
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

2. 299 Memasuki rumah / maks. 1 tahun penjara atau


pekarangan orang lain. denda maks. kategori II.
3. 300-303 Penyadapan maks. 1 tahun penjara atau
denda maks. kategori II.
4. 304 Memaksa masuk kantor maks. 1 tahun penjara atau
pemerintah denda maks. kategori II.
5. 307 (2) Penyiaran berita bohong maks. 1 tahun penjara atau
dan 308 denda maks. kategori II.
6. 309-311 Gangguan terhadap 309 : maks.denda kategori II
ketentraman lingkungan 310 : maks. 1 tahun penjara
dan rapat umum atau denda maks. kategori II.
311: maks.denda kategori II
7 312-315 Gangguan terhadap 312,313,315 : maks. 1 tahun
pemakaman dan jenazah penjara atau denda maks.
kategori II.
314: maks. 2 tahun penjara
atau denda maks. kategori
III.
8 318-319 Penyelenggaraan Pesta / 318 (1), 319 (1) : maks. denda
keramaian tanpa izin kategori I
318 (2), 319 (2) : maks. 1 tahun
penjara atau denda maks.
kategori II.
9 320-321 Menjalankan pekerjaan 320 : denda maks.kategori I
tanpa izin atau melampaui 321: maks. 1 tahun penjara
kewenangan atau denda maks. kategori II.

10 322 Penyerahan kepada maks. 1 tahun penjara atau


atau penerimaan dari denda maks. kategori II.
narapidana suatu barang
11 323-324 Gangguan terhadap benih denda maks. Kategori I.
dan tanaman
12 357-358 Perbuatan yang menim- denda maks. Kategori I.
bulkan bahaya umum:
357 : mabuk di tempat
umum dan membahayakan
orang lain.
358 : merintangi kebebasan
bergeraj orang lain di jalan
umum atau mengikuti
orang lain secara
mengganggu
13. 372 kenakalan terhadap orang maks. denda kategori I
atau barang yang dapat
menimbulkan bahaya

251
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

14. 380 penghasutan binatang dan maks. denda kategori I


kecerobohan pemeliharaan
binatang
15. 381-383 kecerobohan yang memba- 381,383 : maks.denda kategori
hayakan umum dan anak I
382: maks.denda kategori II
16. 411-418 Pengabaian terhadap kisaran ancaman pidana
perintah pejabat yang denda kategori I s/d.2,
berwenang dan pegawai ancaman pidana 1penjara 1
negeri s.d 2 tahun.
17. 422 Laporan atau pengaduan maks. 1 tahun penjara atau
palsu denda maks. kategori II.
18. 432 Tindak pidana irigasi maks.denda kategori I
19. 486 Bergelandangan di jalan maks.denda kategori I
dengan tujuan melacurkan
diri
20. 501 Penganiayaan hewan ayat (1): maks. 6 bulan penjara
atau denda maks.Kategori II
ayat (2): maks. 1 tahun penjara
atau denda maks.Kategori II
21. 537 (1) Pencemaran maks. 1 tahun penjara atau
denda maks.Kategori II
22. 591 (1) Penganiayaan ringan maks. 1 tahun penjara atau
denda maks.Kategori II
23. 600 (1) Kealpaan mengakibatkan maks. 2 tahun penjara atau
orang lain luka denda maks.Kategori III
24. 605 Pencurian ringan maks. 6 bulan penjara atau
denda maks.Kategori II
25. 614 Penggelapan ringan maks. 6 bulan penjara atau
denda maks.Kategori II
26. 621-622 Penipuan ringan maks. 6 bulan penjara atau
denda maks.Kategori II
27. 656 Perusakan barang karena maks. 1 tahun penjara atau
kealpaan denda maks.Kategori II
28. 738 Karena kealpaan mengaki- maks. 1 tahun penjara atau
batkan rusaknya bangunan denda maks.Kategori II
pengamanan lalu lintas
udara
29. 739 Karena kealpaan mengaki- maks. 1 tahun penjara atau
batkan rusaknya alat denda maks.Kategori II
pengamanan penerbangan

252
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Dari 29 jenis tindak pidana di atas, delik yang diancam dengan


pidana penjara 6 bulan dan / atau denda maksimum Kategori I, hanya
sedikit. Oleh sebab itu, adanya alternatif sanksi berupa pidana kerja sosial
tidak akan banyak berpengaruh bagi perubahan sistem pemidanaan di
Indonesia. Diharapkan tabel di atas dapat memberikan masukan bagi
penegak hukum, mengenai pelanggaran-pelanggaran seperti apa yang
dapat dikenakan sanksi pidana kerja sosial. Dalam hal terpidana mampu
membayar denda, menurut pendapat penulis, pembayaran denda tersebut
sebaiknya diutamakan. Negara tidak menanggung beban akibat pengenaan
pidana denda. Negara memperoleh pendapatan tambahan dari denda
yang dibayarkan oleh terpidana. Jika terpidana tidak mampu membayar
denda, barulah sanksi pidana kerja sosial ini dikenakan terhadapnya.
Walaupun negara tidak menanggung biaya pemidanaan sebagaimana
jika menjatuhkan pidana penjara, negara tetap harus menanggung biaya
pelaksanaan kerja sosial. Mengenai kerja sosial seperti apa yang layak
dikenakan terhadap terpidana, dan menyangkut teknis pelaksanaanya
diperlukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Informasi
berkenaan dengan sektor atau bidang apa saja yang membutuhkan tenaga
kerja dapat diperoleh misalnya dari Pemerintah Daerah Provinsi atau
Kota. Berdasarkan informasi tersebut, terpidana dapat didistribusikan
ke tempat-tempat yang membutuhkan tenaga kerja. Dengan demikian,
terciptalah hubungan mutual antara terpidana dengan negara.

Daftar Pustaka.

Buku.
Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana (Perspektif Teoritis dan Praktik).
Bandung: Alumni,2008.
Muladi, et..al., Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:Alumni, 2007.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang, 1995.

Makalah / Jurnal / Tesis.


Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International Human Rights,
Restorative Justice : International Perspective, Edited by Burt Galaway
and Joe Hudson, (Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland),
hlm 24 dalam Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan
KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3
Dwidja Priyatno, Jenis-Jenis Sanksi (Pidana) dalam Konsep RUU KUHP
Nasional (Ditinjau dari Filsafat Pemidanaan), Disampaikan Dalam
Rangka Seminar Sehari “Meninjau Kembali Jenis-Jenis Pemidanaan

253
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Dalam RUU KUHP” yang Diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa


STHB, Selasa,14 Maret 2006
Mudzakkir, SH.,MH, Kebijakan Sanksi Pidana Kerjas Sosial dalam
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Makalah disampaikan
pada Seminar Sanksi Pidana Kerja Sosial dengan tema “Pidana
Kerja Sosial sebagai Bentuk Baru Sanksi Alternatif dalam RUU
KUHP, Prospek dan Kendalanya”, diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum, Bandung, 21 Oktober 2013
Patricia Rinwigati, Pidana Kerja Sosial dalam Praktek Negara-negara:
Problem atau Solusi?, Makalah dibawakan dalam Seminar “ Pidana
Kerja Sosial sebagai bentuk Baru Sanksi Alternatif dalam RUU
KUHP: Prospek dan Kendalanya
Setyo Utomo. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Yang Berbasis
Restorative Justice, hlm.15 (Makalah disampaikan dalam kegiatan
Focus Group Discussion (FGD) tentang “Politik Perumusan
Ancaman Pidana dalam Undang-Undang Di Luar KUHP”,
diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen
Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010)
Eryana Ganda Nugraha, Kebijakan Legislatif tentang Pidana Kerja Sosial
di Indonesia, Tesis : Universitas Diponegoro- Semarang, 2004.

Sumber Internet:
Bismar Nasution. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya. (2009),
pada situs internet: http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/
kejahatan-korporasi)

254
SELUBUNG KEKUASAAN,
DAN PENGETAHUAN PADA PEMIDANAAN
- PERSPEKTIF TEORI DISKURSUS
MICHEL FOUCAULT

Oleh:
Ufran, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram– Nusa Tenggara Barat)

I. Pendahuluan
Makalah ini tidak hendak mencari pembenaran-pembenaran yang
berkaitan dengan adanya pemidanaan. Makalah ini hendak memfokuskan,
pemidanaan diletakkan sebagai sebuah objek studi. Pendekatan yang
dipakai untuk menelaah ‘pemidanaan’ ini tentunya dalam kacamata ilmu-
ilmu sosial atau lebih tepatnya dalam kacamata sosiologi hukum pidana.
Berangkat dari premis tersebut, analisis tentang pemidanaan akan dilihat
dari keterhubungannya dengan masyarakat. Ini bertujuan agar kita dapat
memahami pemidanaan sebagai sebuah fenomena dan perannya dalam
kehidupan sosial. Lebih jauh, cara pandang ini bisa kita gunakan untuk
melihat latarbelakang, settingan sosial seperti apa yang melahirkan dan
memunculkan suatu jenis ataupun bentuk pemidanaan. Puncaknya
pemahaman ini bertujuan untuk membuka struktur sosial dan jejaring
kultural seperti apa yang bekerja dibalik bekerjanya suatu pemidanaan.
Hasil dari analisis tersebut bertujuan untuk menyiapkan basis deskriptif
yang berkaitan dengan penilaian normatif tentang kebijakan kriminal
(criminal policy).
Persoalan untuk memahami pemidanaan haruslah dipahami sebagai
suatu kesatuan dari realitas sosial di mana intitusi pemidanaan itu lahir
dan berada. Wujudnya akan selalu unik, dan selalu berubah menurut
waktu dan tempat di mana ia dimunculkan (a peculiar form society). Artinya
pemidanaan tidak bisa direduksi dalam bentuk satu makna ataupun
mempunyai tujuan yang sama.. Untuk memahaminya pemidanaan tersebut
di dalam masyarakat harus dipahami dari beberapa titik pandang tentang
nilai-nilai, teori tentang perseorangan dan kebutuhan untuk berpikir secara
koheren tentang keberadaan fakta-fakta yang ada (these matters constitute

David Garland, Punishment and Modern Society: A Study in Social Theory, Chicago: The
University of Chicago Press, 1990, hlm. 10.

255
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

the facts).
Relasi antara pemidanaan dengan masyarakat ini memang cukup
banyak mendapat perhatian dari beberapa ahli. Mereka mencoba
memberikan rasionalisasi tentang eksistensi pemidanaan dalam
masyarakat. Katakanlah, Emile Durkheim yang melihat pemidanaan
dalam konstruk solidaritas sosial (social solidarity), Rusche dan Kirchheimer
yang melihat pemidanaan dalam perspektif ekonomi politik, ataupun
Pashukanis yang menyatakan pemidanaan sebagai ideologi dan kontrol
kelas. Namun dalam pembahasan makalah ini ingin memfokuskan
kepada salah satu tokoh yang membahas sosiologi pemidanaan yaitu
Michel Foucault. Foucault melihat pemidanaan sebagai bagian dari
praktek pengontrolan, regulasi dan normalisasi yang diterapkan dalam
masyarakat. Pemidanaan sebagai institusi pendisplin akan selalu terdapat
silang pengaruh kekuasaan dengan ilmu pengetahuan. Relasi kuasa
dibalik pemidanaan yang bertujuan membentuk tubuh-tubuh yang patuh
(docile body) yang berusaha dibongkar oleh Foucault. Dengan kata lain,
Foucault ingin membuka struktur kekuasaan dan penindasan yang berada
di belakang segala interaksi antarmanusia yaitu representasi kekuasaan
dan pengetahuan dalam pemidanaan.

II. Pembahasan.
II.1. Riwayat Intelektual Michel Foucault.
Paul-Michel Foucault adalah filsuf Prancis, sejarawan, intelektual,
kritikus, dan sosiolog. Ia lahir Lahir pada 15 Oktober 1926 di Poitiers, Paris.
Pada tahun 1945 Foucault menempuh studinya di Ecole Normale Superieure.
Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1948 memperoleh licence dalam
filsafat dan sesudah dua tahun lagi mendapatkan licence dalam psikologi
(1950). Foucault juga mendapatkan diploma dalam psikopatologi (1952).

W. A. Miller, A Theory of Punishment, http://www.jstor.org/page/info/about/policies/ terms.jsp,
p 315

Michel Foucault ditempatkan sebagai salah satu figur penting dalam membahas sosiologi
hukum pidana. Hal tersebut, bersesuaian dengan pernyatan Cohen yang menyebutkan, ‘membahas
sosiologi pemidanaan tanpa membahas Mitchel Foucault seperti membahas ketidaksadaran tanpa
membahas Freud. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila pernyataan dari Cohen tersebut
menjadi salah satu alasan kenapa makalah ini juga berusaha membahas sosiologi pemidanaan dari
perspektif teori diskursus. Cohen, Visions of Social Control: crime punishment and classification,
Cambridge, 1985. hlm. 10.

Oleh Magniz Suseno pemikiran Foucault digolongkan ke dalam versi filsafat penelanjangan
(philosophy of debunking). Filsafat penelanjangan tidak saja semua aliran reduktif tetapi juga aliran
yang mau membatasi pengetahuan pada salah satu bidang kecil saja dan menelanjangi segal filsafat
lain sebagai salah paham, tipu diri atau wahana kepentingan tersembunyi. Filsafat penelanjangan
ini akhirnya jatuh ke dalam kontradiksi. Mereka hanya dapat merumuskan penelanjangan mereka
dengan memakai kata ‘semua’, padahal menurut prinsip-prinsip mereka sendiri, kata semua harus
ditolak karena tidak empiris dan tidak dapat diverifikasikan, lihat Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar
Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, Dari Adam Muller...., Jogjakarta: Kanisius, ....hlm.
221.

256
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Tahun 1954, Foucault menerbitkan buku kecil berjudul maladie mentale


et personalité (penyakit Jiwa dan kepribadian). Sesudah itu, Foucault
menerima tawaran untuk mengajar di Universitas Uppsala, Swedia.
Pada tahun 1959, Foucault menulis disertasi untuk gelar doktoralnya
dan diterbitkan dengan judul “Histoire de la folie ά l’age classique, Antropologie
in pragmatischer Hinsicht” (Kegilaan dan Ketidakbernalaran: Sejarah pada
Masa Klasik), di bawah bimbingan Georges Canguilhem. Karya tersebut
kemudian diterbitkan pada tahun 1961.
Pada tahun 1962, ia diangkat menjadi profesor filsafat di Universitas
Clermont-Ferrand, lalu terpilih sebagai profesor di Universitas Paris pada
1967, dan setahun kemudian menjadi pimpinan di departemen filsafat
di Vincennes. Pada tahun 1970, ia diangkat sebagai dosen Sejarah Sistem
Pemikiran di Prancis, hingga saat meninggalnya pada 25 Juni 1984.
Karya-karya Foucault di antaranya adalah “Madness and Civilization”,
“The Birth of the Clinic”, “Death and The Labyrinth”, “The Order of Things”,
“The Archaeology of Knowledge”, dan “The History of Sexuality”. Bersama
Althusser, Foucault menjadi salah seorang tokoh filsafat Prancis yang
paling sering disebut-sebut dalam lingkungan agregation.

II.2. Dua Konsep Dasar: Metodologi Arkeologi Pengetahuan dan


Genealogi Kekuasaan.
Untuk menelaah pidana penjara dalam perspektif Foucault, maka
pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas pokok inti metodologi
pemikiran Foucault. Preposisi dasar tersebut menjadi penting dimengerti
karena berguna untuk memahami titik pijak pemikiran Foucault terhadap
pemidanaan. Apalagi dalam memahami pemikiran Foucault yang
terkadang sulit dipahami karena sang filsuf menggunakan beberapa
istilah-istilah yang mempunyai makna yang cukup spesifik. Ditambah
lagi, Foucault dalam mengerjakan proyek intelektualnya yang berkembang
pada tahap lanjut yang menunjukan ciri-ciri yang meninggalkan tradisi
pemikiran strukturalisme. Pada akhirnya Foucault menasbihkan dirinya
melalui karya-karyanya sebagai tokoh yang berada pada jajaran tokoh
post-strukturalisme.
Ada dua ide di inti metodologi Foucault yaitu arkeologi ilmu
pengetahuan dan genealogi kekuasaan. Arkeologi ilmu pengetahuan dari
Foucault tersebut oleh Dean dijelaskan sebagai upaya penelitian untuk
menemukan “seperangkat aturan yang menentukan kondisi kemungkinan

K Bertens, Filsafat barat Kontemporer Prancis, Cet. Ke 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006, hlm. 331.

John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, Jogjakarta:
Kanisisus, 2001. Hlm.66.

Lihat, Alant Hunt and Gary Wickham, Foucault and Law: Towards a Sociology of Law as
Governance, London: Pluto Press, 1994, hlm. 3-6.

257
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

keseluruhan yang dapat dikatakan dalam diskursus khusus pada waktu


tertentu” dengan kata lain arkeologi adalah pencarian sistem umum
dari formasi dan transformasi pertanyaan (ke dalam formasi diskursif).
Lebih lanjut Dean menjelaskan Arkeologi Foucault mengorganisasikan
dokumen, membaginya, mendistribusikannya, mengaturnya dalam
tingkatan-tingkatan, mengurutkan, membedakan antara yang relevan
dengan yang tidak, menemukan elemen-elemen, mendefenisikan kesatuan,
mendeskripsikan relasi. Diskursus dan dokumen yang dihasilkannya
akan dianalisa, dideskripsikan dan diorganisasikan. Mereka tidak
dapat direduksi dan tidak tunduk pada interpretasi yang mencari level
pemahaman yang lebih mendalam. Foucault mengesampingkan pencarian
asal usul (origins) yang penting adalah dokumen-dokumen itu sendiri,
bukan point dari originasi (origination).
Foucault secara khusus tertarik dengan diskursus-dikursus yang
coba merasionalisasikan atau mensistematisasikan dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan cara tertentu dari penyampaian kebenaran.
Arkeologi mampu menjaga jarak dan melepaskan diri dari norma dan
kriteria validitas ilmu dan disiplin yang mapan untuk kepentingan
pemahaman internal terhadap susunannya, kondisi kemunculannya,
eksistensi, dan transformasinya.
Perhatian terhadap penyampaian kebenaran akan terkait dengan
konsep genealogi kekuasaan. Foucault melihat pengetahuan dan
kekuasaan saling berkaitan. Genealogi adalah cara pengaitan pandangan
historis dengan trajectories yang teratur dan terorganisir yang tidak
mengungkapkan asal usulnya atau tidak selalu merupakan realisasi
tujuannya. Ini adalah cara menganalisa lintasan-lintasan (trajectories)
diskursus, praktik dan peristiwa yang jamak, heterogen dan terbuka, dan
cara pembentukan pola hubungan, tanpa jalan lain ke rezim kebenaran
yang mengklaim hukum pseudonaturalistik atau keniscayaan global. Dari
perspektif genealogi segala sesuatu adalah mungkin (cintingent). Genealogi
bersifat kritis, melibatkan “interogasi tak kenal lelah terhadap apa-apa yang
dianggap netral, alami, niscaya, atau tetap.10 Lebih spesifik lagi, genealogi
memperhatikan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam ilmu
kemanusiaan dan praktik-praktiknya yang berhubungan dengan regulasi,
pengaturan perilaku dan pembentukan diri.
Dari uraian di atas maka dapat ditarik beberapa garis besar inti
pemikiran Foucault khususnya yang berkaitan dengan arkeologi dan
genealogi. Jadi jika arkeologi sebelumnya membahas aturan-aturan
formasi diskursus, deskripsi genealogi yang baru dan kritis membahas

Dean dalam, Goerge Ritzer and Douglas J Goodman, Modern Sociological Theory
diterjemahkan oleh Alimandan, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Prenada Media
Kencana, 2004, Ibid, hlm. 611.

Ibid, hlm. 611.
10
Dean, Ibid, hlm. 612,

258
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

baik itu kelangkaan pernyataan (statement) dan kekuasaan dari pihak yang
afirmatif. Dari segi hubungan antara kedua metode Foucault tersebut,
arkeologi melakukan tugas yang diperlukan untuk melakukan tugas
genealogi. Secara spesifik, arkeologi melibatkan analisis empiris terhadap
diskursus sejarah, sedangkan genealogi menjalankan serangkaian analisis
kritis terhadap diskursus historis dan hubungannya dengan isu-isu yang
menjadi perhatian dunia kontemporer.
Dalam genealogi kekuasaan, Foucault melihat hubungan struktural
pengetahuan dan kekuasaan. Ia membahas bagaimana orang mengatur
diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Di antaranya
Foucault melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan
mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek
dengan pengetahuan. Setelah meneliti jalannya sejarah, Foucault tak
melihat kemajuan dari kebrutalan primitif ke arah ke kemanusiaan yang
lebih modern berdasarkan sistem pengetahuan yang lebih canggih.
Malahan Foucault melihat sejarah bergerak maju dengan tiba-tiba dari
satu sistem dominasi (sistem pengetahuan) ke sistem dominasi yang lain.11
Dengan latar belakang pemikiran tersebut di atas, Foucault melakukan
beberapa proyek ilmiah dalam disepanjang karir intelektualnya khususnya
berkaitan dengan pidana penjara`didalam buku karyanya yang berjudul
Discipline and Punish: The Birth of Prison.

II.3. Disiplin dan Pidana (Discipline and Punish).


Discipline and Punish: The Birth of Prison diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris pada tahun 1977, dari Surveiller et punir: Naissance de la prison, yang
diterbitkan pada tahun 1975. Buku ini dibuka dengan deskripsi grafis
dari eksekusi publik brutal di 1757 dari Robert-François Damiens, yang
mencoba untuk membunuh Louis XV.
Terhadap hal tersebut jadwal penjara berubah warna lebih dari
80 tahun kemudian. Foucault kemudian bertanya bagaimana suatu
perubahan dalam masyarakat Prancis khususnya berkaitan dengan
pemidanaan terhadap narapidana bisa berkembang dan berubah dalam
waktu singkat. Foucault juga memberikan gambaran ringkas tentang
dua jenis yang berbeda tentang teknologi penghukuman. Tipe pertama,
“Hukuman Monarki,” melibatkan penindasan rakyat melalui menampilkan
publik brutal eksekusi dan penyiksaan. Tipe kedua, “Hukuman Disiplin,”
yang dipraktekkan di era modern. Tipe teknologi penghukuman yang
kedua tersebut diserahkan kepada para kaum profesional.12
Foucault di dalam Discipline and Punish menjelaskan mengenai
konsep ‘genealogi institusional’, yaitu relasi konstruktif antara pengetahuan
11
Ibid, hlm. 613.
12
Lihat Mitchel Foucault, Discpline and Punish: The Birth of Prison, Edition. II. USA: Vintage
Books, 1995, hlm. 3-15.

259
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dan kekuasaan (power) di dalam berbagai institusi sosial termasuk negara.


Di dalamnya mekanisme disiplin (discipline) dan pidana (punishment)
merupakan mekanisme yang sangat sentral dalam proses normalisasi,
koreksi, perubahan dan kemajuan sebuah sistem sosial.13
Disiplin adalah metode pengendalian pada tubuh setiap orang yang
melibatkan proses total komunikasi, inspeksi, supervisi, pengawasan,
latihan, ujian, koreksi dan hukuman secara sistematis. Lewat berbagai
teknologi pendisplinan (surveillance technology) yang memaksakan relasi
kepatuhan sehingga mampu menghasilkan tubuh berdisiplin. Artinya,
setelah melewati pendisplinan oleh sebuah institusi seperti penjara
seseorang tetap melakukan kejahatan maka lembaga tersebut telah gagal
melakukan proses disiplin.14
Kurang dari satu abad sistem baru pemidanaan diberlakukan.
Penyiksaan lenyap sebagai tontonan masyarakat banyak. Penghukuman
tidak banyak mengarah pada fisik tetapi lebih halus. Tubuh berakhir
menjadi target umum penghukuman. Bukan menjatuhkan sensasi yang
tertahankan pada narapidana tetapi fokusnya adalah hal-hal seperti
mencabut hak-hak mereka. Penghukuman dirasionalisasikan dan
dibirokratisasikan.15 Penjara telah menggantikan panggung kematian
(Scaffold) sebagai simbol kekuasaan yang ditorehkan disetiap relung hati.
Mekanisme pendisplin memberlakukan serangkaian kerja yang dirancang
untuk melakukan kontrol dan dominasi yang ketat atas tubuh.
Foucault mendiskripsikan kekuasaan fisik mikro dengan titik
konfrontasi yang tak terhitung jumlahnya dan perlawanan. Foucault
memperkenalkan tiga instrumen kekuasaan untuk mendisplinkan. Pertama
adalah observasi berjenjang (hierarchical observation) atau kemampuan
pejabat untuk mengawasi seluruh yang mereka kontrol dengan tatapan
tunggal. Kedua, adalah kemampuan membuat pertimbangan normal
(normalizing judgment) dan menghukum orang yang melanggar norma.
Jadi, seorang pejabat mungkin membuat pertimbangan secara negatif dan
menghukum berdasarkan dimensi waktu (karena terlambat), membuat
pertimbangan perilaku (karena tak sopan). Ketiga adalah dengan
menggunakan pemeriksaan (examiniation) untuk mengamati subjek dan
membuat penilaian normal terhadap orang. Instrumen kekuasaan untuk
mendisplinkan yang ketiga ini meliputi kedua instrumen yang disebut
dahulu16.
Keberhasilan suatu sistem sosial atau negara dalam menciptakan
kepatuhan dan masyarakat berdisiplin akan sangat bergantung pada
13
Yasraf Amir Piliang, Hantu-Hantu Politik Dan Matinya Sosial, Solo: Tiga serangkai, 2003.
hlm. 235.
14
Ibid, hlm. 236.
15
George Ritzer, The Postmodern Social Theory, diterjemhkan oleh, Abdullah Sumrahadi, Teori
Sosial Postmodern, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2003, hlm. 95.
16
Goerge Ritzer and Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern,...Op.Cit., hlm. 618.

260
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

kemampuannya menggerakkan tiga sistem disiplin yang ada secara


sinergis, yaitu sistem komunikasi atau komando (command system), sistem
pengawasan (surveillance system) dan sistem hukuman (punishment system).
Bila satu di antaranya tidak berjalan, akan memacetkan totalitas sistem.17
Disini jelas tidak ada tempat bagi proses peradaban dalam uraian
Foucault tentang perubahan sosial. Satu-satunya yang berbeda adalah
tentang bentuk represi-represi fisik pada rezim lama, represi psikologi
pada rezim baru. Istilah pindah ke keadaan baru (displacement) yang
kebih dingin dan bernuansa klinis digunakan sebagai pengganti istilah
kemajuan.

II.4. Panopticon Sebagai Pilihan Model Penjara.


Foucault tampaknya menghantam teori modernisasi, dengan menulis
tentang kebangkitan disiplin tentang masyarakat birokrasi yang represif.18
Masyarakat birokrasi represif yaitu ‘masyarakat berdisiplin’, yang semakin
tampak jelas pada akhir abad ke 17 dan 18 di barak-barak, pabrik-pabrik,
sekolah-sekolah dan dipenjara-penjara. Sebagai gambaran yang hidup
tentang tipe masyarakat baru ini Foucault memilih proyek terkenal Jeremy
Bentham tentang Panopticon.
Panopticon, sebuah penjara ideal di mana sipir penjara dapat melihat
dan mengawasi semua narapidana tanpa sipengawas sendiri terlihat.
Panopticon terdiri dari menara pengawas yang dikelilingi bangunan
melingkar yang merupakan sel - sel napi dengan dua jendela terbuka yang
diperkuat dengan jeruji besi. Jendela yang lainnya diarahkan keluar supaya
sinar menerangi sel sehingga tak hanya siluit napi yang kelihatan. Seluruh
gerak - geriknya juga terpantau jelas. Sistem panoptikon ini menimbulkan
efek kesadaran pada diri napi bahwa dirinya selalu dikontrol secara
permanen meskipun pengawasan dilakukan secara tidak teratur. Si napi
menjadi pengawas atas tubuhnya sendiri.
Kekerasaan berlebihan terhadap tubuh memang dikurangi atau
bahkan dihilangkan, tetapi kekerasan digantikan oleh bentuk-bentuk
koreksi dan pelatihan yang lebih rumit dan halus. Hukuman badan yang
langsung digantikan oleh pengadilan jiwa penjahat. Peralihan itu dapat
dipahami apabila kita melihat kesamaan asal-usul dari berbagai teknik
hukuman baru dan ilmu-ilmu sosial, karena yang kedua ini merupakan
landasan dari yang pertama. Namun, baik penjara maupun sistem
hukum tidak bertujuan menghapus tindak kejahatan, “mungkin harus
diganti hipotesis yang menyatakan bahwa penjara sangat berhasil dalam
17
Yasraf Amir Piliang, Hantu-Hantu Politik Dan Matinya Sosial..., Op.Cit, hlm. 236.
18
Menurut O’Neill (1986) pandangan Michel Foucault tentang masyarakat birokrasi yang
represif mempunyai kemiripan dengan pandangan Max Weber tentang masyarakat birokrasi. dalam
Peter Burke, Sejarah Dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm.226.

261
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

memproduksi tindak kejahatan, jenis perilaku yang dianggap khas, bentuk


pelanggaran yang secara politis atau ekonomis tidak terlalu berbahaya”
daripada pelanggaran yang termasuk “dalam perjuangan sosial yang
mempertentangan orang dengan undang-undang dan kelas yang
menetapkannya”. Penerapan kekuasaan pada populasi dan penumpukan
pengetahuan yang menyangkut populasi merupakan dua sisi dari gejala
yang sama: kekuasaan-pengetahuan.19 Oleh Foucault konsep penjara
dengan mengusulkan panapticon tersebut bukan suatu konsep yang
abstrak tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang
berkaitan dengan bidang-bidang-bidang seperti psikiatri, ilmu kedokteran,
serta ilmu pengetahuan pada umumnya.20

II.5. Kontrol untuk Menghasilkan Tubuh-Tubuh yang Patuh.


Foucault salah satu dari beberapa pemikir yang membuyarkan
konsep-konsep dan menggugat kategori dasar yang umum dipakai dalam
memahami tubuh. Ada kekuasaan yang bekerja dalam tubuh. Ada kekuatan
mekanis dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah
laku, seksualitas; semua sektor dan arena dari kehidupan sosial telah
dimekanisasikan. Singkatnya Foucault memahami citra, perilaku, dan
pemahaman diri kebertubuhan dalam jaringan relasi sosialnya adalah efek
yang diproduksi oleh berbagai praktek, pranata, wacana, dan ideologi.21
Politik tubuh (bio-politics) dijalankan untuk mempertahankan bio-
power. Bio-power dipertahankan menggunakan dua metode: pendisiplinan
dan kontrol regulatif. Pendisiplinan, dianggap sebagai mesin yang harus
dioptimalkan kapabiltasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif
meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkat kesehatan.
Praktek-praktek pendisplinan biasanya bertaut erat dengan institusi
seperti sekolah, rumah sakit, barak militer atau penjara. Foucault, yang
banyak berkonsentrasi pada praktek pendisplinan di dalam institusi
modern, menyatakan praktek-praktek ini ditujukan untuk memompa
daya guna tubuh dan sekaligus menghasilkan tubuh yang jinak atau patuh
(the docile bodies).22 Docile bodies tersebut dipahami tubuh mereka sudah
dikendalikan oleh sistem yang dirancang sedemikian rupa dan dianggap
seperti sebuah mesin yang harus dioptimalkan dan dibuat patuh. Docile

19
Jean Louis Chevreau pengantar dalam Michel Foucault, La Volonte de Savoir (Histoire de
la Sexualite, tome I) diterjemahkahn Forum jakarta Paris, Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas, Jakarta:
yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan FIB Univ Indonesia dan Forum Jakrta Paris, 1976,
hlm 14.
20
George Junus Aditjondro, dalam Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media,
Jogjakarta: LKIS, 2001, hlm. 77.
21
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, Jogjakarta: Kanisius, 2011,
hlm. 302.
22
Kris Budiman, Feminis Laki-laki Dan Wacana Gender, Jakarta: yayasan Indonesia Tera,
2000, hlm. 47.

262
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

bodies akan kehilangan nuraninya dan meniru mesin.23


Politik untuk melahirkan docile bodies bisa dilihat pada kehidupan
keseharian narapidana dalam penjara. Mereka hidup dalam sistem yang
ketat. Semua kegiatan diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan yang
ada sesuai dengan pranata-pranatanya yang dijalankan oleh dan melalui
kekuasaan sipir. Dari cara berpakaian sampai makan, dari aktivitas bangun
tidur sampai tidur lagi. Mereka menjalani hukuman yang bertahun-tahun
dengan rutinitas yang sangat berbeda sekali dengan kehidupan di luar
penjara. Tak heran banyak narapidana yang membenci saat pertama kali
datang di penjara, kemudian terbiasa, dan seiring berjalannya waktu
narapidana akan tergantung padanya. Mereka diatur dan dijalankan
berdasarkan atas hirarki kekuasaan yang ketat. Tubuh mereka sudah
dikendalikan oleh penguasa. Tubuh narapidana menjadi artefak kontrol
sosial dan politik.
Para narapidana tersebut akan diasingkan dari masyarakat dalam
waktu tertentu. Keterasingan yang dirasakan oleh narapidana merupakan
konsekuensi logis dari sifat penjara. Penjara membatasi perilaku manusia
yang menyebabkan narapidana terisolasi secara fisik dari aktivitas normal
di sekitarnya. Narapidana diperlakukan sebagai subordinat yang sangat
tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Semua
kegiatan diatur dan dijalankan berdasarkan atas hirarki kekuasaan yang
ketat.
Terpidana akan menjalani hidup yang terkungkung di balik tembok
dan jeruji besi penjara. Mereka akan diawasi secara ketat apa yang yang
boleh dan tidak boleh dilakukan. Narapidana tidak bisa mereproduksi
normalitas tindakan menurut keinginan bebas mereka sebagai individu
yang bebas. Tafsir normalitas hanya ditentukan secara formal oleh birokrasi
kekuasaan yang melingkupi mereka. Karakter kehidupan seperti yang
dijelaskan di atas oleh Foucault dikonsepsikan sebagai institusi pendisplin
(disciplinary institutions).24

II.6. Kritik terhadap Intitusi Pendisplin Foucault .


Karya Foucault sering mendapat kritik dari para sejarawan secara
adil maupun tidak. Ahli sejarah sastra tidak senang dengan cara Foucault
menggunakan sejarah sebagai sumber untuk sejarah mentalitas, ahli sejarah
seni tidak suka dengan cara Foucault menggunakan seninya, sementara
para sejarawan tradisional tidak setuju dengan prinsip Foucault tentang
23
F Budi Hardiman, Memahami Negativitas: Diskursus Tentang Massa, Teror, dan Trauma,
Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005. hlm. 125.
24
Istilah institusi pendisplin juga sering disamakan dengan institusi total (total institutions)
dan asylum dari Erving Goffman (1961), konsep masyarakat tawanan (society of captive) dan total
power dari Gresham Sykes (1958), Greedy Institutions oleh Lewis Coser (1974) dan negotiated order
dari Jim Thomas (1984). Lihat lebih lanjut dalam, Sugeng Pujileksono, Runtuhnya Penjara Sebagai
Institusi Total, Artikel, Volume 13 Nomor 1 Januari - Juni 2010, hlm. 81.

263
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

sumber yang bukan dokumen resmi.25 Seperti tentang Disicpline and


Punish, kesimpulan-kesimpulannya dikatakan ‘tidak ada dasarnya dalam
metode penelitian arsip. Kritik lain terhadap Foucault oleh para sejarawan
mengaitkan pada ketidakpekaan Foucault pada perbedaan lokal, juga
kecenderungannya untuk mengilustrasikan generalisasi tentang Eropa
hanya dengan menggunakan contoh-contoh di Perancis seakan-akan
wilayah yang berbeda-beda sama saja skala waktunya.
Foucault tampaknya telah menciutkan pendekatannya dari bentuk
pengujian teori melalui pemeriksaan maksud-maksud para reformis
pidana. Foucault menunjukan sistem hukuman baru yang terbentuk
tidak ada sangkut pautnya dengan maksud-maksud mereka tersebut. Ia
mengungkapkan apa yang sesungguhnya mendorong terciptanya sistem
baru tersebut.
Selain itu juga, Foucault mencoba menjelaskan para terhukum
(narapidana) yang hidup dalam penjara bertahun-tahun akan menjadi
tubuh-tubuh yang patuh. Mereka akan mengalami alienasi dan mekanisasi
tubuh. Jiwanya akan tercerabut dari kebertubuhannya. Mereka akan
menjadi mesin-mesin kecil yang dipasang pada mesin otoritas dan
kekuasaan. Pandangan tersebut kemudian tidak sepenuhnya menjadi
benar karena manusia secara interirotasnya sangat berbeda dengan mesin.
Manusia dengan kebertubuhannya akan menyusaikan dirinya dengan
lingkungannya dengan begitu cepat.
Para terhukum yang berkumpul dan berinteraksi dalam waktu yang
cukup lama di penjara akan membentuk sebuah kelompok. Proses interaksi
yang cukup lama tersebut akan menyebabkan pembentukan identitas
kolektif. Oleh Sykes dan Mesinger kelompok terpidana yang terhimpun
dan terikat dalam suatu kerangka hubungan tertentu. Mereka akan
mempunyai sistem pemahaman bersama tentang solidaritas, loyalitas,
kasih sayang, dan rasa hormat. Sebuah himpunan peran sosial yang
terkait dengan hubungan antar mereka.26 Penjelasan tersebut menggugat
bahwa penjara akan membentuk tubuh-tubuh yang patuh tidak menjadi
sepenuhnya.

III. Simpulan.
Pemidanaan sebagai institusi pendisplin memperlakukan individu
sebagai sub-ordinat yang sangat tergantung. Narapidana akan terikat
kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Atas tubuh
mereka bekerja sebuah kekuasaan dan otoritas yang memaksa. Mereka
25
O’Neill (1986) dalam Peter Burke, Sejarah Dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
hlm.226.
26
Gresham M Sykes dan Sheldon L Messinger, Theoritical Studies in The Social Organization
of The Prison, New York: Science Research Council, 1960, hlm. 188.

264
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

akan menjadi tubuh-tubuh yang patuh. Tubuh yang telah mengalami


mekanisasi untuk terbiasa patuh dan taat terhadap tafsir normalitas ke
umuman. Menyiapakan warga penjara atau narapidana untuk kembali
melebur dalam masyarakat normal. Ternyata secara kodrati manusia
sangat berbeda interioritasnya dengan mesin. Manusia walaupun hidup
dalam penjara akan mampu melakukan adaptasi terhadap lingkungan
barunya. Mereka akan membentuk sebuah ikatan bahkan institusionalisasi
yang baru.

Daftar Pustaka.
Alant Hunt and Gary Wickham, Foucault and Law: Towards a Sociology of
Law as Governance, London: Pluto Press, 1994.
David Garland, Punishment and Modern Society: A Study in Social Theory,
Chicago: The University of Chicago Press, 1990.
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Jogjakarta: LKIS,
2001
F Budi Hardiman, Memahami Negativitas: Diskursus Tentang Massa, Teror,
dan Trauma, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005.
Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,
Jogjakarta: Kanisius, 1999.
Goerge Ritzer and Douglas J Goodman, Modern Sociological Theory
diterjemahkan oleh Alimandan, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam,
Jakarta: Prenada Media Kencana, 2004.
George Ritzer, The Postmodern Social Theory, diterjemhkan oleh, Abdullah
Sumrahadi, Teori Sosial Postmodern, Jogjakarta: Kreasi Wacana,
2003
Gresham M Sykes dan Sheldon L Messinger, Theoritical Studies in The Social
Organization of The Prison, New York: Science Research Council,
1960.
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Posmodernitas,
Jogjakarta: Kanisisus, 2001.
K Bertens, Filsafat barat Kontemporer Prancis, Cet. Ke 4. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006
Kris Budiman, Feminis Laki-laki Dan Wacana Gender, Jakarta: yayasan
Indonesia Tera, 2000
Mitchel Foucault, Discpline and Punish: The Birth of Prison, Edition. II. USA:
Vintage Books, 1995

265
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Michel Foucault, La Volonte de Savoir (Histoire de la Sexualite, tome I)


diterjemahkahn Forum jakarta Paris, Ingin Tahu: Sejarah Seksualitas,
Jakarta: yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan FIB Univ
Indonesia dan Forum Jakrta Paris, 1976
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, Jogjakarta:
Kanisius, 2011.
Peter Burke, Sejarah Dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999.
Sugeng Pujileksono, Runtuhnya Penjara Sebagai Institusi Total, Artikel,
Volume 13 Nomor 1 Januari - Juni 2010.
Yasraf Amir Piliang, Hantu-Hantu Politik Dan Matinya Sosial, Solo: Tiga
serangkai, 2003.
W. A. Miller, A Theory of Punishment, http://www.jstor.org/page/info/
about/policies/ terms.jsp.
Cohen, Visions Of Social Control: Crime Punishment And Classification,
Cambridge, 1985.

266
SPHN 2013:
PENGGUNAAN HUKUM ADAT
(TULISAN HASIL ”CALL FOR PAPERS”)
POLITIK PEMBARUAN
HUKUM PIDANA BERBASIS “LIVING LAW”

Oleh:
Prof. Dr. H. Bambang Satriya, S.H., M.H.
(Guru Besar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kertanegara Malang – Jawa
Timur)

I. Pendahuluan.
Seiring dengan perkembangan jaman, kehidupan masyarakat
Indonesia sudah semakin maju dan berkembang. Permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam hukum juga berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat Indonesia. Aturan-aturan yang telah ada
sejak dulu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepentingan-
kepentingan yang ada dalam masyarakat serta tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman. Meski demikian, kepentingan masing-masing
haruslah ditentukan batas-batasnya dan dilindungi. Membatasi dan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam pergaulan antar
manusia adalah tugas hukum. Hukum yang mendapatkan tugas berat
ini, dalam kenyataannya seringkali tidak disadari oleh pihak-pihak yang
mendapatkan kepercayaan dari negara, kalau secara substansial, hukum
dimaksud sudah saatnya diubah.
Mahatma Gandi pernah berpesan, “You may never know what results
come of your action, but if you do nothing there will be no, atau anda mungkin
tidak pernah tahu hasil dari usaha-usaha yang anda lakukan, tetapi jika
anda tidak melakukan sesuatu, Anda tidak mungkin mendapatkan hasil,”
yang sebenarnya mengingatkan pada setiap orang supaya dalam hidup ini,
manusia tidak suka menyerah dalam menjawab tantangan, dan sebaliknya
berusaha menunjukkan kemampuan dirinya untuk melahirkan sejarah,
baik bagi diri maupun masyarakat dan bangsanya. Salah satu bentuk
usaha yang belum terwujud hingga sekarang adalah memperbarhui
hukum pidana (KUHP).
Jimly Asshidiqie memberikan pendapat, bahwa perumusan ketentuan
dalam KUHP baru seyogyanya merupakan produk kesadaran hukum
masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak merupakan perumusan yang

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2005,
hlm.5.

Bambang Satriya, Hukum Indonesia masih di Simpang Jalan, Nirmana Media, Jakarta, 2012,
hlm. 34.

268
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dekat dengan kesadaran masyarakat hukum Indonesia. Artinya perumusan


ketentuan hukum baru itu jangan sampai semata-mata merupakan produk
kesadaran hukum barat sebagaimana tampil dalam kenyataan KUHP yang
merupakan warisan penjajahan Belanda di Indonesia.

II. Logika Pembaruan Hukum Pidana.


Setelah perang dunia kedua, banyak bermunculan Negara-negara
baru. Negara-negara ini mempelopori upaya untuk memperbaharui
hukum pidana atau KUHP-nya. Di Indonesia sendiri, masih menggunakan
KUHP peninggalan Belanda. Sudah beberapa kali KUHP warisan Belanda
ini diajukan ke DPR untuk dibahas atau diperbarui, namun hingga
sekarang belum juga kunjung usai. Upaya pembaharuan ini dipandang
perlu mengingat kini Indonesia sudah merdeka dan terdapat urgensi
untuk menyusun suatu KUHP nasional yang baru.
Menyusun suatu kitab undang-undang hukum pidana yang baru dan
bersumber dari jati diri bangsa tidaklah mudah. Ada banyak permasalahan
yang muncul didalam penyusunan KUHP nasional ini. Menurut Guru
besar hukum pidana, Soedarto ada 4 permasalahan yang muncul didalam
upaya pembaharuan hukum pidana ini. Keempat masalah itu adalah:
1. Kriminalisasi dan dekriminalisasi
2. Masalah pemberian pidana
3. Pelaksanaan hukum pidana
4. Sejauh mana urgensi dibentuknya KUHP nasional.
Pertama, kriminalisasi dan dekriminalisasi. Ditinjau dari pengertiannya,
kriminalisasi adalah proses mengangkat perbuatan yang semula bukan
perbuatan pidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Proses
kriminalisasi ini terdapat didalam tahap formulasi dari pembaharuan
hukum pidana. Sedangkan dekriminalisasi dapat diartikan sebagai
proses menghilangkan sifat dapat dipidananya perbuatan menjadi tidak
dapat dipidana. Selain itu masih ada istilah depenalisasi. Penghilangan
sifat dapat dipidana ini tidak mudah, karena harus mempertimbangkan
berbagai aspek yang berhubungan dengan jenis perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana, di samping aspek keadilan.
Masalah kriminalisasi ini erat kaitannya dengan criminal policy.
Criminal policy adalah usaha yang rasional baik dari masyarakat/

Jimly Asshidiqie,1997, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1997,
hlm. 3.

Asri Yusuf, Alasan Pembaharuan Hukum Pidana, http://asriyusuf.wordpress.com/2010/12/10/
alasan-pembaharuan-hukum-pidana/

Ibid.

Ahmad Fadli, Pertanggungjawaban Pidana, Lingkar Pena Anak Bangsa, Bandung, 2012, hlm.
15.

269
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana baik menggunakan


sarana penal maupun non penal. Menurut Soedarto ada 4 syarat yang
harus diperhatikan didalam melakukan kriminalisasi: 1) Tujuan. Tujuan
kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat didalam rangka
menciptakan negara kesejahteraan (welfare state), 2) Perbuatan yang
dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan
menimbulkan korban, 3) Harus mempertimbangkan factor biaya dan hasil,
berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang,
4) Harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan
sampai aparat penegak hukum melampaui bebannya atau melampaui
batas. Tujuan kriminalisasi ini berstandarkan pada keseimbangan antara
beban aparat dengan beban masyarakat. Beban masyarakat yang menjadi
korban kejahatan seringkali kurang diperhitungkan dengan nalar cerdas
dan obyektif.
Kedua, pemberian pidana (straafmating). Banyak orang mengatakan/
mengira bahwa masalah pemberian pidana ini semata-mata masalah hakim.
Hal ini dapat dipahami ketika pasal 10 KUHP dijatuhkan (pandangan
secara sempit). Padahal arti penting penentuan kualifikasi delik adalah
menentukan pemidanaan yang akan dijatuhkan. Pandangan Soedarto
mengenai masalah pemberian pidana ini adalah: 1) secara umum, tidak
semata-mata menyangkut masalah hakim akan tetapi juga menyangkut
pembuat UU. Karena hakim hanya melaksanakan UU yang diciptakan
oleh si pembuat. Hal ini disebut proses pemberian pidana In Abstracto
(secara umum), 2) secara khusus, masalah ini melibatkan seluruh aparat
penegak hukum (hakim,jaksa,polisi,pengacara,pembuat UU). Disebut juga
proses pemberian pidana In Concreto (secara khusus).
Ketiga, pelaksanaan pidana. Pedoman pelaksanaan pidana ini adalah
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebelumnya adalah HIR dan UU lain
(UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan UU MA). KUHAP hendak menyatukan
penyidikan (penyidik berada disatu tangan) berdasarkan pasal 284 ayat
(2) KUHAP. Di Indonesia saat ini pelaksanaan hukum pidana masih
fragmentaris dan instansi centris. Hal ini yang harus dirubah jika ingin
melaksanakan hukum pidana secara tepat sasaran dan berdaya guna.10
Keempat, Urgensi dibentuknya KUHP nasional Menurut Soedarto
ada 3 urgensi dibentuknya KUHP nasional, 1) pertimbangan politis, yaitu
kebanggaan yang dirasakan suatu bangsa jika memiliki KUHP nasional,
2) pertimbangan Sosiologis: KUHP suatu bangsa mencerminkan sistem
nilai suatu bangsa, 3) pertimbangan praktis, yaitu harus diciptakan KUHP
nasional yang berbahasa Indonesia sehingga didalam prakteknya tidak
terjadi kesalah pahaman. Selain ketiga pertimbangan diatas, Muladi

Asri Yusuf, Op.Cit.

Ahmad Fadli, Op.Cit

Asri Yusuf, Op.Cit.
10
Ibid.

270
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

menambahkan satu pertimbangan lagi, yaitu pertimbangan adaptif atau


sebisa mungkin mengadaptasi perkembangan yang terjadi di dunia
Internasional tanpa harus menghilangkan nilai-nilai nasional.11

III. Filosofi Living Law.


Filosof Cicero yang menyebut “ubi societas, Ibi ius”, dimana ada
masyarakat dan di situ ada hukum. Masyarakat memerlukan aturan
hukum, agar kehidupannya tertib dan tidak ada seorang pun yang
diperlakukan tidak adil.12 Hukum yang dibutuhkan itu ada yang tertulis
maupun tidak tertulis, berlaku secara nasional maupun kedaerahan, baik
dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat.
Hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam
penerapannya melahirkan hukum pidana adat yang tidak dapat
dipisahkan dari perwujudan kebudayaan bangsa Indonesia yang harus
mencerminkan nilai-nilai karakter atay kepribadian bangsa Indonesia yang
menjadi kekayaan dan kebanggaan nasional, sehingga ide pembentukan
hukum pidana nasional harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat
telah menimbulkan pergeseran nilai-nilai hukum dalam masyarakat yang
berpengaruh pada kehidupan hukum di Indonesia, akan tetapi dalam
masyarakat tertentu ada nilai-nilai hukum yang tetap hidup lestari dalam
masyarakat itu. Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan
diakui keberadaannya oleh masyarakat tertentu, sebagai suatu adat dan
kebiasaan.13
Hukum pidana adat, yang di dalamnya termasuk sanksi pidana
adat merupakan wujud “living law” di beberapa daerah di Indonesia.
Sanksi pidana adat lahir sebagai reaksi atas pelanggaran adat dan upaya
masyarakat hukum adat untuk mengatasai permasalahan kesusilaan dan
perbuatan tercela yang dihadapi berkenaan upaya penciptaan keteraturan
dalam masyarakat.
Konstruksi relasional hukum adat beserta masyarakat adatnya
mempunyai korelasi erat, integral dan bahkan tidak terpisahkan yang
lazim diungkapkan dalam bentuk petatah-petatih. Sebagai contoh,
dalam masyarakat Aceh dikenal dengan ungkapan “matee anek mepat
jerat matee adat phat tamita” yang diartikan kalau anak mati masih dapat
11
Ibid.
12
Chaidir, http:// drh.chaidir.net/kolom/167-Ubi-Societas- Ibi-Ius---Dimana-ada-masyarakat,-di-
situ-ada-hukum.html, akses 15 September 2013.
13
Hukum adat ialah hukum yang hidup dan diakui keberadaannya dalam masyarakat sebagian
besar terdiri dari hukum kebiasaan. Di samping itu juga meliputi hukum yang lahir dari keputusan-
keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum di mana suatu perkara terjadi dan diputuskan. R.
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1998, hlm. 11.

271
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dilihat pusaranya, akan tetapi kalau adat dihilangkan/mati, maka akan


sulit dicari. Ungkapan lainnya, berupa “murip i kanung edet, mate i kanung
bumi” yang berarti bahwa keharusan mengikuti aturan adat sama dengan
keharusan ketika mati harus masuk ke perut bumi.14
Di dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), dinyatakan dengan tegas bahwa:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Demikian pula
dalam Pasal 28 I ayat (3) dinyatakan bahwa, Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban.15
Di dalam lampiran Undang Undang No. 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025 huruf G, juga
menegaskan bahwa dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum
nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal: Pertama, pembangunan
substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah
mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih
baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat…
Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai
kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum
nasional yang dicita-citakan.16
Uraian tersebut menunjukkan, bahwa hukum tidak tertulis atau hukum
pidana adat mempunyai kedudukan yang mapan secara konstitusional.
eksistensi hukum tidak tertulis ini dapat dirarasionalisasikan ketika
kepentingan politik pembentukan sistem hukum nasional atau pembaruan
hukum menuntut hukum tidak tertulis menjadi bagian dari substansi
sakralitasnya.
Sosiolog Hukum Satjipto Raharjo menyebutkan, bahwa untuk
mewujudkan kepastian hukum bukan hanya berarti undang-undang,
sebab hukum lebih luas dari undang-undang; karena hukum itu meliputi
hukum tertulis (undang-undang) dan hukum tidak tertulis seperti
kebiasaan atau hukum adat. Negara Indonesia berdasarkan hukum,
bukan negara berdasarkan Undang-Undang.17 Dalam ranah ini, hukum
tidak tertulis justru bisa memberi lebih banyak terhadap keberlanjutan
hidup masyarakat dan bangsa, termasuk memberikan kontribusi terhadap
14
Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia, Makalah Penelitian
Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya
di Banda Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010, hlm.5.
15
Ibid, hlm.51.
16
Lihat Undang Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Tahun 2005-2025.
17
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Penerbit UKI Press, Jakarta, 2006, hlm.
135.

272
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

kepentingan pembaruan hukum pidana.


J. Van Kan juga menyebutkan, bahwa hukum merupakan cermin (een
weergave) dari masyarakat, sehingga selayaknya pembentukan hukum
pidana Indonesia harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai yang hidup
di masyarakat Indonesia atau berlandaskan pada living law.
Hal itu menunjukkan, bahwa hukum pidana selayaknya mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat agar bisa diterapkan dan diterima
serta memenuhi rasa keadilan masyarakat dimana hukum itu diberlakukan.
Living law merupakan cermin kehidupan keseharian masyarakat yang
dinamis dan diversifikatif,
Soepomo telah menguraikan bahwa nilai-nilai yang hidup dan
diakui keberadaannya itu oleh masyarakat disebut dengan istilah adat
kebiasaan, apabila kaidah-kaidah adat tersebut mempunyai sanksi maka
ia dinamakan hukum adat.18 Eugen Ehrlich, pendiri aliran sociological
jurisprudence menyebutkan, “Hukum positif yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan living law yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.19
Soerjono Soekanto juga menyatakan: living law, yang diterapkan
dalam pergaulan sehari-hari sebagai jalinan nilai-nilai dari konsep abstrak
dalam diri manusia tentang apa yang dianggap baik sehingga dianut atau
ditaati, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.20
Beberapa eksistensi nilai-nilai hukum yang telah dikemukakan oleh
para ahli tersebut, terdapat kesamaan pandangan mengenai pengertian
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yang pada intinya nilai-
nilai hukum itu merupakan anggapan dari masyarakat tentang hukum
yang baik dan ditaati serta dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Pengakuan eksistensi hukum tidak tertulis merupakan suatu tuntutan,
bahwa pembentukan hukum pidana nasional yang dilakukan oleh badan
legislatif harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat
Indonesia seperti pandangan hidup, tata susila dan moral keagamaan serta
kepentingan dari masyarakat yang bersangkutan.

IV. Belajar dari Beberapa Negara.


G. Scellen21 menyatakan bahwa, adat merupakan sumber hukum
pertama dalam sejarah peradaban manusia. Adat merupakan sumber
inspirasi dan memiliki peranan pertama dan mendasar dalam masyarakat
klasik, serta mendominasi kehidupan masyarakat adat dan tidak pernah
18
Ibid, hlm. 3.
19
Chidir Ali, Teori-Teori Hukum Dewasa Ini, (Jakarta: Chidir Ali Memory, 1976), hlm. 81.
20
Soerjono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 29.
21
G. Scelen, P. Esmein, L. J. De La Morandiere, Introduction atau L’etude du Droit Civil Francais,
Arthur Rousseau Perancis, Paris, Cet. 1, 1951, hlm. 14.

273
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

ditemukan bahwa masyarakat meminta agar pemerintah yang berkuasa


(negara) untuk ikut menentukan dasar-dasar hukum adatnya. Namun
ketika peradaban semakin maju dan berkembang menuju modern, adat lalu
dijadikan kaidah dan norma dasar untuk mengatur kehidupan, kemudian
tegaklah hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kondisi tersebut terjadi di berbagai negara, sebagaimana hukum di
Romawi yang menurut R. Foignet, dimulai dari kumpulan kaidah-kaidah
adat, yang kemudian ketika peradaban Romawi telah maju, maka kaidah-
kaidah tersebut, dikumpulkan di dalam 12 buku dan menjadi sumber
resmi, disamping tradisi bagi pengaturan adat yang dibantu oleh hukum
dan peradilan.22
Lahirnya undang-undang di Inggris, juga dimulai dari sekumpulan
adat dari berbagai suku Inggluskasunia. Menurut R. David bahwa dari
berbagai adat suku Inggluskasunia, kemudian digabungkan dengan
berbagai adat suku Nurmandia yang menaklukkan semenanjung Inggris
pada abad XI. Namun ketika peradaban Inggris berkembang, peradilanlah
yang menjadi sumber resmi hukum dalam peraturan perundang-undangan
Inggris hingga masa sekarang.23
Sebagaimana undang-undang di Perancis yang juga dimulai dari adat,
kemudian berbaur dengan undang-undang Romawi setelah penaklukan
bangsa Romawi, kemudian lahir hukum gereja. Setelah itu Perancis
terbagi dalam dua bagian, yakni bagian utara dan selatan. Bagian Utara
menerapkan hukum adat dan bagian Selatan menerapkan hukum yang
tertulis (undang-undang gereja). Ketika kemajuan semakin pesat di Perancis,
maka dikumpulkanlah kaidah-kaidah dan norma adat lalu disandingkan
dengan hukum gereja (undang-undang gereja), yang dijadikan sebagai
sumber resmi peraturan perundang-undangan yang semakin menguat
sampai masa kejayaan Napoleon. Pada saat itu, hukum yang terdiri dari
hukum adat dan hukum gereja sebagai peraturan perundang-undangan
menjadi sumber resmi bagi undang-undang Perancis.24
Relevan dengan dinamika dan ide tersebut, Soedarto25 menyebut,
bahwa suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai
kebudayaan dari suatu bangsa. W.v.S. yang hingga kini berlaku, tidak
mencerminkan nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa Indonesia secara
penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Hal ini terlihat apabila
diperhatikan pendapat-pendapat yang merupakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada tahun 1973
di 3 (tiga) daerah ialah Aceh, Bali dan Manado, perihal pengaruh agama
22
R. Foignet, Droit Roman, Arthur Rousseau Perancis, cet. 7, Paris, 1922, hlm. 5-6.
23
R. David, Le Grands Systemes de Droits Contemporains, Perancis, Dalloz, No. 349, Cet. 4,
197), hlm. 401-402.
24
A. Colin dan H. Capiten, Droit Civil Francais, Perancis, Dalloz, Cet. 3, 1920, hal. 11-13;
(Boston/Toronto, Little Brown and Company, 1975, hlm. 33.
25
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977, hlm. 71.

274
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

terhadap hukum pidana, sehingga tampak keinginan-keinginan sebagian


dari masyarakat yang belum tertampung di dalam W.v.S.

V. Reformasi Formulasi Produk Legislasi.


Urgensinya memperhatikan aspek nilai dan aspirasi hukum
masyarakat juga ditegaskan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa: sistem
hukum nasional di samping hendaknya dapat menunjang pembangunan
nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun juga harus
bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum yang
hidup di dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-
nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama.26 Menurut Muladi, bahwa
hukum pidana harus memperhatikan aspek yang berkaitan dengan kondisi
manusia, alam dan tradisi yang sudah mengakar dalam budaya bangsa
Indonesia.27
Salah satu konsep pokok bentuk pengakuan hukum (dalam bentuk
pembaruan) yang hidup di masyarakat adalah dengan diadopsinya
sistem sanksi pidana adat dalam sistem hukum nasional. Pengakuan dan
perlindungan atas penerapan sanksi pidana adat menjadi suatu yang
penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab dengan adanya sanksi
(reaksi) adat maka tercipta keseimbangan (evenwicht) dan harmonisasi
sosial.
Selain itu, pada dasarnya hukum itu dibuat dengan misi sakral
bertemakan “memberi” yang terbaik pada masyarakat. Apalah artinya
membuat atau membentuk hukum, kalau tidak memberikan yang terbaik
pada masyarakat. Hukum bukan sekedar bagaimana ia ada atau seleai
dibuat dan memenuhi target politik formalisasi legislasi, tetapi bagaimana
substansinya benar-benar memberikan perubahan besar terhadap
kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Supaya produk legislasi mampu memberikan yang terbaik pada
masyarakat, maka keinginan besar dan terbaik masyarakat atau keinginan-
keinginan masyarakat yang sedang berkembang. Kelompok strategis
seperti peneliti selayaknya dilibatkan secara aktif dalam politik pembaruan
hukum pidana, karena mereka ini adalah komunitas yang pernah terlibat
dalam penelusuran dan pengkompilasian aspirasi masyarakat.

26
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas
Diponegoro, Semarang, 1994, hlm. 13.
27
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Material Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang, 1993, hlm. 15.

275
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Daftar Pustaka.
A. Colin dan H. Capiten, Droit Civil Francais, Perancis, Dalloz, Cet. 3, 1920,
hal. 11-13; (Boston/Toronto, Little Brown and Company, 1975
Ahmad Fadli, Pertanggungjawaban Pidana, Lingkar Pena Anak Bangsa,
Bandung, 2012.
Asri Yusuf, Alasan Pembaharuan Hukum Pidana, http://asriyusuf.wordpress.
com/2010/12/10/alasan-pembaharuan-hukum-pidana/
Bambang Satriya, Hukum Indonesia masih di Simpang Jalan, Nirmana Media,
Jakarta, 2012.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang,
1994
Chaidir, http:// drh.chaidir.net/kolom/167-Ubi-Societas- Ibi-Ius--
-Dimana-ada-masyarakat,-di-situ-ada-hukum.html, akses 15
September 2013.
Chidir Ali, Teori-Teori Hukum Dewasa Ini, Chidir Ali Memory, Jakarta,
1976.
G. Scelen, P. Esmein, L. J. De La Morandiere, Introduction atau L’etude du
Droit Civil Francais, Arthur Rousseau Perancis, Paris, Cet. 1, 1951
Jimly Asshidiqie,1997, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa,
Bandung, 1997.
Mohd. Din, Aspek Hukum Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia,
Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia:
Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya di Banda
Aceh, tanggal 27-29 Juni 2010.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Material Indonesia di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang,
1993.
R. David, Le Grands Systemes de Droits Contemporains, Perancis, Dalloz, No.
349, Cet. 4, 197.
R. Foignet, Droit Roman, Arthur Rousseau Perancis, cet. 7, Paris, 192
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1998.
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Penerbit UKI Press,
Jakarta, 2006
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Gravindo Persada,
Jakarta, 2005.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977
Soerjono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1981.
Undang Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Tahun 2005-2025.
276
HUKUM ADAT
SEBAGAI ALAS PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA NASIONAL:
REFLEKSI DAN PROYEKSI

Oleh:
Dr. Deni Bram, S.H.,M.H.,
Budiyanto, S.H., M.H.,
Warih Anjari, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 – DKI Jakarta)

I.1. Pendahuluan.
Salah satu karakteristik khas Indonesia adalah sebuah negara yang
memiliki tingkat pluralisme yang sangat tinggi dalam sistem hukum baik
dalam konteks budaya, etnis, ekonomi, dalam dimensi hukum maupun
geografis merupakan suatu entitas yang sangat plural. Dalam konstelasi
sistem hukum nasional keberadaan dari hukum adat bukanlah suatu hal
yang baru. Bahkan dalam pengajaran hukum adat ditasbihkan Van Vallen
Hoven sebagai salah satu Bapak Hukum Adat karena kehadirannya
dengan melakukan pendokumentasian sistem hukum adat nasional yang
kemudian dituangkan dalam bukunya “Het Adat-Recht Van Nederlandsch”.
Cita – cita mulia dari perkembangan hukum adat nasional mencoba
untuk mendudukkan bahwa hukum yang ideal merupakan hukum yang
berasal, hidup dan berkembang di masyarakat. Bahkan salah satu pemikir

Cornelis van Vollenhoven (lahir di Dordrecht, Belanda, 8 Mei 1874 – meninggal di Leiden,
Belanda, 29 April 1933 pada umur 58 tahun) adalah seorang antropolog Belanda yang dikenal akan
karyanya “Hukum Adat” di Hindia-Belanda sehingga ia dijuluki “Bapak Hukum Adat”.Cornelis muda
masuk universitas Leiden pada usia 17 tahun. Ia kemudian memperoleh gelar magister di bidang
hukum pada 1895, sarjana dalam bahasa Semiotik pada 1896, dan magister dalam bidang ilmu politik
pada 1897, serta doktor dalam hukum dan ilmu politik pada 1898. Ia menerima predikat ‘dengan
pujian” untuk tesisnyaOmtrek en inhoud van het internationalerecht (“Cakupan dan kandungan hukum
internasional”).Pada usia 27 tahun, ia diangkat sebagai Guru Besar Hukum Konstitusi dan Administrasi
Daerah-daerah Seberang Lautan Belanda serta Hukum Adat Hindia Belanda di Universitas Leiden.
Setelah lulus, van Vollenhoven menjadi sekretaris pribadi Jacob Theodoor Cremer, seorang pejabat
kolonial “Kapten Perindustrian” dan menteri urusan kolonial. Tahun 1901 van Vollenhoven menjadi
profesor Hukum Adat Hindia-Belanda dari Universitas Leiden. Gelar doktor kehormatan kemudian
diperolehnya dari Universitas Amsterdam pada 1932.Kebanyakan masa hidupnya difokuskan
untuk mempelajari hukum adat Indonesia dan kemudian mengampanyekan pelestariannya.
Tulisan-tulisannya umumnya berkaitan dengan hukum adat, seperti Het Ontdekking van Adatrecht,
Orientatie in het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1913). Mahakaryanya adalah kumpulan tulisan
yang berjilid-jilid Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië (“Hukum Adat Hindia Belanda”) yang berisi
kajian dan kumpulan hukum adat dari 19 lingkungan adat di Hindia Belanda yang berbeda dari
tradisi adat kaum pendatang (VreemdeOosterlingw Kaum Timur Asing, seperti suku Arab, Tionghoa,
dan India). Yang mengagumkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar karyanya dikerjakan di
Leiden. Van Vollenhoven hanya dua kali mengunjungi Hindia-Belanda, yaitu pada 1907 dan 1923.
Lihat profil Cornelis van Vollenhoven dalam van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia
(terjemahan), Jambatan-LIPI 1981.

277
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

termasyhur EugenErlich yang mengatakan bahwa dengan model living


law hakikinya suatu tingkat ketaatan dapat diraih secara optimal dalam
sebuah sistem hukum.
Namun berada pada kondisi diametral, saat ini hukum nasional justru
didominasi oleh hukum positif yang kental muatan ideologi partai politik
dan cenderung mengabaikan beberapa kondisi asli masyarakat sekitar.
Terlebih dengan dikenalnya instrumen otonomi daerah justru memberikan
dampak yang sangat besar dalam pembangunan hukum beralas lokal saat
ini. Beberapa kondisi faktual secara nyata menunjukkan bahwa hukum
versi penguasa tidak mampu lagi memberikan fungsi hukum yang hakiki
baik sebagai alat kontrol sosial maupun sebagai pencipta kemanfaatan
bagi masyarakat.
Potret nyata penolakan untuk taat hasil dari hukum penguasa
memberikan suatu jarak semakin besar dengan hukum adat. Model
hukum positif seperti ini terlihat konkrit saat pelbagai tindak pidana
yang justru dalam ketentuan KUHP tidak dikenal atau bahkan dilarang
namun justru dapat menjadi penyelesaian efektif dan efisien dalam
perspektif masyarakat adat. Tengok saja tradisi penghukuman terhadap
mengampang di Suku Dayak yang telah memiliki kerangka dispute
settlement tersendiri, perselisihan yang terjadi di Suku Anak Dalam
yang dapat diselesaikan melalui hukum adat, serta masyarakat adat
minangkabau yang mengoptimalisasi keberadaan Lembaga Kerapatan

Titik pokok dalam pendekatan Ehrlich adalah bahwa ia meremehkan perbedaan-perbedaan
antara hukum dan norma-norma sosial lainnya yang bersifat memaksa. Perbedaan ini adalah nisbi
dan lebih kecil daripada yang biasanya dinyatakan, karena sifat memaksa yang pokok di bidang
hukum tidak berbeda dengan norma-norma sosial lainnya, adalah paksaan sosial bukan kekuasaan
negara. Kepatuhan suku dan keluarga pada agama memberikan alasan-alasan untuk mentaati
norma-norma sosial, termasuk sebagaian besar norma-norma hukum. Banyak norma-norma hukum
tidak pernah diungkapkana dalam ketentuan-ketentuan hukum, bahkan juga dalam sistem-sistem
yang berkembang.Dengan kata lain, hukum jauh lebih luas daripada peraturan hukum. Negara hanya
satu dari banyak asosiasi-asosiasi hukum, asosiasi lain seperti keluarga, hereja, atau badan-badan
korporasi dengan atau tanpa kepribadian hukum. Di lain pihak, ada norma-norma hukum tertentu
yang khas yang bersifat memaksa seperti hukuman atau pelaksanaan keputusan-keputusan perdata.
Cara-cara paksaan yang khas ini dikembanggkan oleh Negara pertama untuk menjamin tujuan-tujuan
pokok sejak semula, untuk menyusun organisasi militer, perpajakan dan administrasi kepolisian.
Negara sebagai sumber hukum yang pokok, bagi Ehrrlich secara histories adalah perkembangan
jauh kebelakang, dan Negara bagi dia selamanya adalah alat masyarakat, walaupun dalam kondisi-
kondisi modern makin berkuasa, dan berkuasa mutlak di negara sosialis. Bahkan dalam keadaan
demikian norma-norma hukum (negara) yang khusus mengenai paksaan, mempunyai fungsi khusus
yakni melindungi lembaga-lembaga Negara yang primer seperti konstitusi negara, militer, administrasi
Negara, organisasi keuangan. Lihat dalam David Nelken., “Eugen Ehrlich, Living Law, and Plural
Legalities”., Theoretical Inquiries in Law., Vol. 9:2008., hlm. 451.

Dalam perspektif Direktur Eksekutif WalhiAbetnegoTarigan di Jakarta mempertanyakan
adanya upaya kriminalisasi terhadap upaya- upaya masyarakat adat dalam menuntut hak ulayat yang
telah dirampas. Tindakan represif itu tidak konsisten terhadap putusan Mahkamah Agung. Menurut
Abetnego, penangkapan aktivis STN, Mawardi, meskipun kemudian ditangguhkan, merupakan
upaya kriminalisasi. Kriminalisasi itu mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat
sebagai pemilik ulayat atas tanah yang banyak digunakan sebagai tempat usaha perkebunan. Konflik
yang timbul merupakan sengketa keperdataan yang seharusnya diselesaikan secara keperdataan
dengan mengutamakan musyawarah, bukan secara pidana. Lihat dalam http://nasional.kompas.com/
read/2012/04/30/04511131/konflik.masyarakat.adat.tidak.ditangani.serius diakses pada 20 November
2013.

278
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Adat Alam Minangkabau (LKAAM) untuk tindak pidana tertentu.


Tulisan ini diharapkan pada akhirnya dapat memberikan potret terkait
dengan beberapa hal utama. Pertama, memberikan gambaran kekinian
hubungan antara hukum negara dan hukum adat dalam konstelasi hukum
nasional. Selanjutnya, Refleksi penaatan (compliance) dalam skema hukum
negara maupun hukum adat. Terakhir, merumuskan model yang dapat
diacu dalam penentuan alas rasionalitas dalam penggunaan hukum adat
sebagai dasar instrumen pembaharuan hukum pidana nasional.

II. Hukum Adat dan Hukum Negara : Melacak Hubungan.


Dalam diskursus hukum nasional secara sederhana terdapat dikotomi
antara hukum adat dan hukum barat. Pada pembahasan kali ini tim penulis
mencoba untuk melacak interaksi di antara keduanya. Apakah berada
dalam dimensi saling berkompetisi, melengkapi atau berada pada rezim
sendiri – sendiri. Bila kita lacak dari dasar konstitusi Undang Undang Dasar
1945, maka sesungguhnya dengan adanya hasil amandemen ke-4 telah
dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 18B bahwa (1) Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dari materi muatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut, secara
normatif dapat ditarik menjadi 4 (empat) unsur yang harus diperhatikan
sebagai prasyarat eksistensi dan validitas masyarakat hukum adat di

Pada fungsinya, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) bersama Polda
Sumbar hingga kini masih menyusun pedoman penerapan hukum adat Minangkabau dalam
pemeliharaan keamanan di Sumatera Barat. Ketua LKAAM Sumbar M. Sayuti Datuk RajoPangulu
mengatakan, penyusunan pedoman tersebut merupakan tindak lanjut setelah ditandatanganinya
kesepakatan LKAAM dan Polda pada 24 Maret 2012 lalu.

“Beberapa ahli adat dan perwira dari Polda masih menyusun pedoman penerapan Undang-
undang Nan 20 dalam Adat Minangkabau untuk mengaktualisasikan restorative justice atau
penyelesaian sengketa di luar peradilan,” katanya. Dalam kesepakatan yang ditandatangani Ketua
LKAAM dan Direktur Binmas Polda Sumbar Kombes ImronKorry tersebut, kedua pihak sepakat
mengoptimalkan pemberdayaan hukum adat dalam pemeliharaan keamanan, ketertiban dan
ketentraman di nagari (masyarakat). Sayuti memberi contoh, dalam Undang-Undang Nan 20, misalnya
ada aturan ‘dago dagi’ (memberi malu) atau membantahi adat yang sudah biasa. Bisa juga diartikan,
dago merupakan salah bawahan kepada atasan (kemenakan kepada mamak) sedangkan dagi salah
atasan kepada bawahan (mamak kepada kemenakan). “Dalam hukum pidana, seperti pasal perbuatan
tidak menyenangkan dan penghinaan. Hal-hal seperti ini, akan lebih baik diselesaikan menurut hukum
adat,” katanya. Bila hal itu diterapkan, menurut Sayuti, dubalang di nagari akan difungsikan, begitu
juga Kerapatan Adat Nagari (KAN). “Penyelesaian menurut hukum adat untuk pidana ringan seperti
itu, akan lebih menyelesaikan masalah dan meringankan kerja polisi,” ujar Sayuti. Lihat dalam http://
www.ranahberita.com/news.php?id_news=282/Berita/view/LKAAM-Gagas-Penyelesaian-Pidana-
Ringan-dengan-Hukum-Adat#.UpFSg-L91nY diakses pada tanggal 20 November 2013.

279
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Indonesia. Syarat Pertama adalah unsur “Sepanjang masih hidup”. Seperti


diuraikan di atas, ada di kalangan masyarakat adat yang tidak mampu
mempertahankan kehidupannya, sebagai akibat dari keterpurukan hidup,
yang mencari kehidupan di tempat-tempat/lingkungan daerah lain,
sehingga ia sebagai individu dengan yang lain tidak mempunyai pertalian
darah. Akibatnya, kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya
selama ini, lama kelamaan menjadi pudar, akhirnya hilang sema sekali.
Sedangkan daerah atau teritorial yang menjadi salah satu syarat adanya
“hukum adat” bagi suatu masyarakat, tidak mungkin mengikuti migrasi
anggotanya setiap kali dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik.
Kenyataan saat ini, masih banyak juga yang sanggup mempertahankan
eksistensi mereka sebagai suatu masyarakat yang hidup dalam persekutuan
hukum adat dalam satu wilayah tertentu, dimana para anggotanya tetap
diikat dengan pertalian darah yang kuat. Contohnya di daerah Banten,
adanya masyarakat hukum adat Badui (Badui dalam).
Unsur kedua dalam perumusan Pasal ini adalah “Sesuai dengan
perkembangan masyarakat”. Persyaratan ini, tentunya dapat diartikan
bahwa hal-hal yang menjadi ketentuan – ketentuan tradisionalnya, tidak
boleh bertentangan dengan kemajuan masyarakat dewasa ini yang tidak
dapat menghindarkan dirinya dari pengaruh global. Dalam konteks
ini masyarakat hukum adat yang mempunyai nilai – nilai yang bersifat
partikulir ditabrakkan dengan nilai – nilai perkembangan masyarakat
yang cenderung universal seperti nilai – nilai HAM maupun ketentuan lain
yang bersumber dari globalisasi yang cenderung tidak merata tergantung
lingkungan sosio kultural masing – masing masyarakat.
Unsur ketiga yang wajib dipenuhi dalam pemenuhan entitas
masyarakat hukum adat secara penuh adalah “Prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Syarat ini, sudah selayaknya dan harus dimiliki setiap
masyarakat hukum adat. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat
tersebut, benar-benar murni suatu perwujudan dari ketentuan – ketentuan
kebiasaan – kebiasaan tradisional yang telah secara turun – temurun
dilaksanakan. Prasyarat ini jika direfleksikan kembali dengan semangat
Sumpah Pemuda maka menjadi sangat relevan untuk digunakan. Oleh
karena itu Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu tujuan
utama yang hendak dicapai dalam rangka mendorong eksistensi hukum
adat serta masyarakat hukum adat.
Unsur terakhir dalam perumusan pasal konstitusi yang memberikan
alas bagi masyarakat hukum adat ini adalah terminologi “yang diatur oleh
Undang Undang” dalam perspektif tim penulis ini merupakan salah satu
kuncian yang sangat amat berbahaya dalam eksistensi masyarakat hukum
adat. Hal ini dikarenakan bahwa sejatinya masyarakat hukum adat bertitik
tolak dari hukum yang tidak tertulis melainkan dinamis yang hidup
berkembang di masyarakat. Dalam perumusan unsur – unsur di pasal ini

280
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

terkesan pemerintah hanya bertindak setengah hati untuk mengakomodasi


kepentingan masyarakat hukum adat.
Merupakan suatu keniscayaan bahwa tujuan akhir dari adanya
suatu aturan adalah penaatan dari subyek yang diatur. Hal ini tentu
menjadi tujuan hakiki dari setiap sistem hukum yang berlaku. Salah satu
bentuk awal pengikatan terhadap subyek hukum dalam dimensi hukum
positif adalah kehendak penguasa yang begitu kental di dalamnya.
Hukum dimanifestasikan sebagai bentuk kepentingan penguasa dalam
rangka melanggengkan kuasa dari penguasa tersebut. Salah satu ciri
khas dari model yang disebut Bottom Up Approach ini adalah peran dari
penguasa yang begitu besar baik mulai dari perumusan hingga penentuan
pelaksanaan. Memang model ini akan dianggap efektif dalam konteks
kepastian hukum, namun pada sisi lain model pendekatan berbasis Top
Down seperti ini mendapatkan kritik saat subyek hukum yang diatur
enggan untuk melakukan penaatan karena tidak sesuai dengan suasana
kebatinan serta nilai – nilai lokal yang mereka anut. Disinilah letak kritik
para penganut realisme pada pemikir positivism.
Dalam rangka menjawab kritik tersebut, hadirlah pendekatan berbasis
Bottom Up yang mengusung nilai penaatan yang relatif lebih tinggi. Hal ini
menjadi realistis karena semua sumber nilai dan prinsip yang diakomodasi
menjadi sangat ditaati karena memang bersumber pada nilai – nilai yang
dianut pada tingkatan lokal.

Dalam konteks umum misalnya, ini dapat dilihat saat terobosan besar
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mendudukkan konsep Hutan
Adat sebagai konsep penguasaan masyarakat adat. Terhitung mulai dari
tanggal 16 Mei 2013 maka Hutan Adat bukan lagi termasuk dalam wilayah
hutan negara. Bersamaan dengan keputusan ini pula, terminologi ‘negara’
dalam Pasal 1 angka 6 itu tidak memiliki kekuatan hukum dan berubah
menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat”. Putusan dari Mahkamah Konstitusi ini dapat dikatakan
sebagai sebuah kemenangan besar dari masyarakat adat dalam rangka
memperjuangkan hak – hak atributif yang dimiliki. Hal ini menjadi sangat
penting pada saat legislasi ini kerap menjadi dasar pelemah eksistensi dari
masyarakat adat dalam berbagai bentuk pengelolaan dan keikutsertaan
pada mekanisme pengambilan kebijakan terkait dengan sumber daya
hutan. Dalam konteks kekinian, eksistensi dari Hutan Adat terus menerus
menjadi perhatian penting terlebih saat masyarakat sekitar kawasan
hutan termasuk salah satu variabel yang cukup diperhitungkan dalam
pertimbangan skema REDD+. Berbagai implikasi yang merujuk pada
lemahnya pengakuan normatif eksistensi hutan adat tentu berpengaruh
pula pada saat membicarakan konsep – konsep yang mengikutinya. Salah
satu hal penting terkait peng-kooptasi-an Hutan Adat sebagai Hutan
Negara terkait dengan pembagian keuntungan dalam proyek REDD+ yang
281
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

melemahkan posisi tawar masyarakat sekitar hutan. Beberapa kegagalan


proyek REDD+ justru ditengarai karena lemahnya keikutsertaan dari
masyarakat sekitar hutan dalam menjaga serta mengelola kawasan hutan
adat. Bahkan konsep Free Prior Inform Consent yangdipersyaratkan dalam
skema REDD+ hanya terjadi pada tataran monolog satu arah semata tanpa
mengabsorpsi kepentingan masyarakat sekitar hutan dalam perumusan
kebijakan.
Kini dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi angin segar
telah berhembus dengan harapan mampu menaikkan posisi tawar
dari masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Namun kemenangan
masyarakat adat ini bukanlah tanpa pekerjaan rumah yang tertinggal dari
Mahkamah Konstitusi. Beberapa hal mendasar wajib dipertimbangkan
saat melakukan pembongkaran legislasi melalui jalur Judicial Review di
Mahkamah Konstitusi.
Pertama, pada saat warga negara menempuh jalur Mahkamah
Konstitusi guna mempertahankan Hak Konstitusional maka perlu
diingat hal ini menyentuh perubahan hukum pada tataran hilir. Hal ini
bermakna bahwa hadirnya Undang Undang yang sejatinya merupakan
produk Legislatif dan Eksekutif menjadi diubah secara mendasar
dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir atau
melakukan pemaknaan baru terhadap produk hukum yang diuji pada saat
inisiatifnya justru berada bukan pada lembaga legislatif dan eksekutif. Hal
ini berarti pula bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki keterbatasan untuk
melakukan penyesuaian regulasi internal pada tataran eksekutif terkait
dengan putusan mahkamah terkait dengan produk undang undang yang
diuji. Dalam mekanisme ini sangat mungkin pihak eksekutif dan legislatif
memiliki ketidaksinambungan cara fikir dalam konteks sebuah undang
– undang harus diubah. Kerberlakuan dari Undang Undang Kehutanan
yang telah ada semenjak tahun 1999 hingga 2013 tentu telah diturunkan
dalam berbagai bentuk regulasi terkait baik dalam bidang kehutanan
maupun bidang lain. Tentu putusan ini akan mempengaruhi pola pikir
dari pelaksana pemerintahan (eksekutif) pada saat seluruh regulasi
terkait merujuk pada Undang Undang Kehutanan dengan konsep hutan
adat yang merupakan hutan negara telah berubah. Hal ini berarti wajib
terjadi penyesuaian pula dengan sederetan produk pelaksana dari Undang
Undang Kehutanan mulai dari tingkat Peraturan Pemerintah hingga
Peraturan Menteri yang telah merujuk pada konsep hutan negara adalah
hutan adat.
Selanjutnya, secara instan memang kehadiran Mahkamah Konstitusi
memiliki daya tarik sendiri untuk dapat melakukan Judicial Review
terhadap produk undang – undang tanpa harus menjalani proses
panjang di lembaga legislatif dan eksekutif. Proses ini menjadi sangat
menguntungkan saat kita perlu sebuah gerakan yang berbasis filosofis dan

282
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

langkah progresif dari para negarawan yang menduduki posisi sebagai


hakim konstitusi. Namun pada saat tujuan yang hendak dicapai adalah
perubahan terkait kualitas para legislator dan pelaksana peraturan maka
mekanisme ini akan berjalan mundur. Hal ini menjadi sebuah awal dari
solusi jangka pendek semata dengan tidak mengindahkan peningkatan
kualitas pada perumus undang undang itu sendiri, sedangkan dalam
kaitannya dengan politik hukum substansi terpenting adalah perbaikan
pada tataran kualitas pemahaman dan kesadaran hukum sumber daya
manusia. Kondisi ini tentu seiring adanya perubahan Undang Undang
Kehutanan terkait dengan konsep Hutan Adat tentu perlu melakukan
diseminasi secara masif guna mengarahkan pola pikir dari para legislator
dan pihak eksekutif selaku pelaksana Undang Undang Kehutanan pada
akhirnya.
Terakhir, pada saat dilakukan pengujian terhadap hutan adat maka
sejatinya terjadi validasi secara yuridis terhadap salah satu obyek dari
masyarakat adat itu sendiri di bidang kehutanan. Hal ini patut diapresiasi
dengan tanpa harus melupakan banyaknya obyek pada bidang lain yang
perlu diakui pula penguasaan dan pemilikannya oleh masyarakat adat.
Bahkan secara sistematis penulis melihat adanya pembahasan dalam
rangka penguatan posisi tawar dari masyarakat adat sekarang ini begitu
ramai dibicarakan saat keberadaannya menjadi prasyarat dari pelaksanaan
REDD+. Pola penguatan seperti ini dengan mengusung Top Down Approach
akan berada pada posisi pengakuan secara prosedural semata guna
mendapatkan legitimasi masyarakat internasional semata. Hal ini menjadi
ironis dan terkukung pada kondisi paradoksikal pada saat pengakuan
masyarakat adat sendiri sebenarnya telah ada dari lahirnya Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok
Agraria. Hal ini lah yang seharusnya menjadi dasar penguatan dengan
model Bottom Up Approach sehingga pengakuan dari masyarakat adat
tidak semata – mata terjadi hanya karena adanya pemenuhan prasyarat
dari proyek REDD+ semata.
Langkah pembongkaran yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) kali ini perlu dikawal serta menyelesaikan misi
sucinya. Keberadaan dari AMAN selaku pihak yang melakukan inisiasi
sengketa Hutan Adat di Mahkamah Konstitusi perlu diteruskan dengan
melakukan konsep terima bongkar terima pasang. Tindakan lebih lanjut
yang patut dilakukan pasca hadirnya putusan dari Mahkamah Konstitusi
adalah menginventarisasi serangkaian legislasi dan regulasi yang terkait
dengan perubahan pemaknaan konsep Hutan Adat dalam putusan
Mahkamah Konstitusi. Hal ini untuk selanjutnya akan diderivasikan
dalam langkah sinkronisasi dan harmonisasi secara utuh dan menyeluruh
terhadap produk hukum yang telah dikumpulkan guna disuguhkan
kepada pihak legislatif dan eksekutif seiring dengan upaya perubahan

283
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

pola pikir dan cara pandang terhadap hutan adat. Hal ini menjadi mutlak
dan penting untuk dilakukan saat pihak eksekutif dan legislatif justru
memiliki cara pandang yang berbeda dan tersesat dalam konsep hutan
adat secara cacat logika dan cacat hukum. Jauh lebih penting lagi hal ini
merupakan bentuk pertanggungjawaban secara ideologis dan akademis
dari para pihak guna menghadirkan konsep pengelolaan hutan adat secara
berkelanjutan.
Khusus dalam model pembaharuan hukum pidana, eksistensi dari
pidana adat dan pidana konvensional (KUHP) sebenarnya berada pada
sisi yang berbeda di beberapa sisi. Hukum barat secara jelas memisahkan
antara hukum pidana dan hukum perdata, karena tidak setiap perbuatan
yang melanggar hukum adalah termasuk perbuatan pidana /delict. Hanya
pelanggaran /perbuatan yang diancam dengan pidana (straf /punishment)
saja yang termasuik dalam pengertian hukum pidana.
Hukum Adat tidak memisahkan antara perbuatan pelanggaran hukum
yang mewajibkan tuntutan pembalasan yang berupa pidana dengan
pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut dengan penggantian
kerugian dalam lapangan hukum perdata. Oleh karena itu dalam hukum
adat tidak ada perbedaan dalam acara penuntutan dimuka hakim antaa
penuntutan dimuka hakim antara penuntutan ganti kerugian dalam
lapangan perdata dan penuntutan kriminal.
Perbedaan sistem hukum barat dengan sistem hukum adat dalam
pemisahan atau pembedaan hukum perdata dengan hukum pidana ini
berpangkal pada perbedaan alam fikiran dari kedua masyarakat. Hukum
Barat yang menitikberatkan pada pola – pola individualistis, liberalistis
dan rasionalistis berada pada sisi diametral dengan Hukum Timur yang
menjunjung tinggi nilai – nilai komunal tradisional, kosmis yang meliputi
segala-galanya sebagai satu kesatuan/totaliter.
Menurut alam fikiran kosmis ini umat manusia merupakan bagian
dari alam semesta, tidak ada pemisahan dari berbagai macam lapangan
kehidupan dan tidak dikenal pembatasan antara dunia lahir dan dunia
ghaib. Segala sesuatu itu bercampur baur, bersangkut paut dan saling
pengaruh mempengaruhi satu sama lain.Yang penting bagi masyarakat
adalah adanya keseimbangan (evenwicht) dan keserasian (harmonie) antara
dunia lahir dan dunia ghaib, antara individu dengan masyarakat, antara
persekutuan dengan warganya. Oleh karena itu yang dimaksud dengan
delict adalah : “suatu perbuatan sefihak dari seseorang atau sekumpulan orang
yang mengancam atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan masyarakat,
baik yang bersifat materiil maupun immateriil, terhadap seseorang atau terhadap
masyarakat sebagai satu kesatuan”.
Perbuatan atau tindakan yang demikian ini akan mengakibatkan
suatu reaksi adat atau upaya adat yang dimaksudkan untuk memulihkan

284
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

keseimbangan dan keselaran yang terganggu tadi.Mengenai penentuan


perbuatan mana yang termasuk perbuatan pidana dan mana yang tidak,
sangat tergantung pada pandangan dan kepercayaan masyarakat setempat,
karena hukum adat itu timbul dan lenyapnya sangat tergantung pada
perasaan umum tentang baik buruk dan perasaankeadilan masyarakat
yang bersangkutan. Hukum adat tidak mempunyai sistem pelanggaran
tertutup, melainkan terbuka. Hukum adat tidak mengenal “prae exixtente
regels”, artinya tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan
lebih dahulu (lihat asas legalitas Pasal 1 KUHP).
Dalam ranah teori maupun praktek sebenarnya terdapat perbedaan
antara sistem hukum pidana dalam KUHP dan hukum pidana Adat:

TABEL
PERBANDINGAN SISTEM KUHP DAN PIDANA ADAT

Kitab Undang Undang Hukum


No. Hukum Pidana Adat
Pidana
1. Yang dapat dipidana hanyalah Persekutuan hukum adat/persekutuan
manusia yang berdasarkan hubungan darah
(keluarga, marga, paruik) dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana yang
dilakukan oleh warganya.
2. Seseorang hanya dapat dipidana Seseorang sudah dapat dihukum karena
kalau mempunyai kesalahan peristiwa yang menimpa dirinya tanpa
(schuld), baik karena disengaja disengaja atau tanpa adanya kelalaianya.
(opzet, dolus) atau karena
kekhilafannya (culpa).
3. Pada dasarnya setiap setiap delik Terdapat delik yang hanya menjadi
adalah menentang kepentingan persoalan person / hanya menjadi
negara / umum, sehingga setiap persoalan keluarga korban, ada pula
delik adalah persoalan negara, yang menjadi persoalan desanya.
bukan persoalan individu secara
pribadi yang terkena.
4. Orang hanya dapat Orang yang tidak dapat
dipidana kalau ia dapat mempertanggungjawabkan
mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi
perbuatan yang dilakukannya. hukuman, keadaan demikian
menentukan berat ringannya hukuman.
5. Tidak mengenal perbedaan Di daerah tertentu mengenal tingkatan
tingkat/kasta pada orang yang manusia. Semakin tinggi kedudukan
menjadi korban perbuatan atau kasta orang yang terkena perbuatan
pidana, sehingga pada dasarna pidana makin berat hukuman yang
perbuatan pidana yang ditujukan dapat dijatuhkan kepada orang yang
kepad setiap orang, hukumannya melakukan delik, dan lebih berat
sama. jika dibadingkan dengan delik yang
ditujukan kepada orang yang lebih
rendah derajatnya.

285
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

6. Orang dilarang main hakim Terdapat keadaan yang mengijinkan


sendiri (eigenrichting) orang yang terkena delik menjadi hakim
sendiri.
Terdapat perbedaan hukuman Siapa saja yang turut melanggar
antara orang yang melakukan peraturan hukum harus turut
delik dengan orang yang hanya memulihkan kembali keseimbangan
membantu, membujuk atau yang terganggu.Tidak ada orang
7. hanya turut serta melakukan yang dapat dipidana hanya karena
delik. melakukan percobaan saja, karena dalam
sistem hukum adat suatu adatreactie
hanya akan dilaksanaka kalau
keseimbangan hukum dalam masyarakat
terganggu.
8. Dikenal adanya percobaan yang Hakim dalam mengadili perbuatan
dapat dipidana, yaitu percoibaan pidana memperhatikan pula apakah si
melakukan kejahatan. pelanggar itu merasa menyesal.

Dalam kata akhir pada sub ini dapat dilihat bahwa hukum adat dan
hukum negara berada pada posisi yang berseberangan baik mulai dari
ranah nilai, asas hingga norma maupun pelaksanaan yang ada. Di sinilah
pentingnya untuk melihat peran dari hukum adat sebagai salah satu opsi
pembaharuan pidana nasional.

III. Unifikasi dalam Pluralisme : Apakah Mungkin?


Dalam perspektif Soetandyo Wignjosoebroto jelas bahwa suatu
dimensi hukum akan lebih menguntungkan jika tersusun secara sistematis.
Namun dalam kondisi hukum adat yang mempunyai keragaman tingkat
tinggi apakah mungkin untuk dapat disatukan (unifikasi). Kelompok kami
mencoba untuk mengusulkan konsep bahwa pada hakikatnya sebuah
mekanisme hukum adat tentu didasari pada nilai – nilai yang sama seperti
magis religius, harmoni dan terang serta tunai. Pola inilah yang sebenarnya
dapat dimungkinkan untuk dicari titik singgungnya antara satu dengan
yang lain sehingga untuk kemudian akan diadopsi oleh sistem hukum
yang lebih tinggi pada tingkat nasional.
Keberadaan hukum adat dengan coraknyamasing – masing tentu
akan berdampak pada kesulitan untuk melakukan kodifikasi yang
merupakan ciri hukum barat. Di sinilah letak tantangan dari hukum adat
untuk menyuguhkan sebuah konsep yang utuh tanpa harus mengeliminir
nilai – nilai yang berlaku pada tingkat lokal. Tentu dalam konteks ini tidak
dapat diadopsi nilai yang diakui secara universal dan obyektif namun
justru diakui secara inter subyektif. Model ini pada hakikatnya sejalan
dengan tujuan dan semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika
atau Unity in Diversity. Kelak diharapkan hukum adat dapat memainkan
peranan lebih dalam upaya optimalisasi dari Pembaharuan hukum pidana
nasional.

286
MENGINDONESIAKAN
HUKUM PIDANA ADAT
DALAM PEMBARUAN HUKUM PIDANA

Oleh:
Hairus, S.H.
(Dosen Politeknik Negeri Malang – Jawa Timur)

I. Pendahuluan.
Hampir tidak ada ahli hukum yang tidak menyepakati bahwa hukum
(selalu) memerlukan pembaruan. Hal ini terjadi karena masyarakat selalu
berubah, tidak statis. Meskipun demikian, biaya atau ongkos pembaruan
hukum di negeri ini ternyata tidak murah. Mengacau pada capaian (kinerja)
DPR perioode 2004-2009 yang dalam lima tahun menyelesaikan 193 RUU,
maka jika mengacu DPR perioode 2009-2014 menyelesaikan RUU dalam
jumlah sama, annggaran yang dihabiskan diprediksi mencapai lebih
dari Rp. 1. Trilyun dalam lima tahun.Menurur Ketua Ignatius Mulyono,
anggaran negara yang disediakan untuk membiayai pembahasan satu
rancangan undang-undang (RUU) di DPR semakin besar. Biayanya
mencapai Rp 5,8 miliar. Anggaran itu membengkak sepuluh kali lipat jika
dibandingkan dengan lima tahun lalu yang hanya Rp 560 juta.
Hal itu menunjukkan bahwa biaya (cost) untuk memproduk hukum
atau memperbarui norma yuridis ternyata tidak murah. Dana 1 trilyun
rupiah yang secara umum menjadi biaya akomodasi, transportasi, dan
lain-lain bagi elite politik kita yang menduduki jabatan sebagai elemen
badan legislatif, jelas sangatlah besar, apalagi jika dikaitkan dengan kondisi
perekonomian masyarakat dari lapis strata akar rumput (grassroot) yang
jelas-jelas berada dalam ketidakberdayaan.
Meski terlihat besar pengeluaran secara ekonomi untuk
memperbaharui hukum itu, namun menjadi tidak terasa besar, bilamana
target memperbaharui hukum benar-benar sejalan dengan apa yang
diinginkan oleh masyarakat. Kepentingan masyarakat Indonesia di
berbagai sektor fundamental ”harganya” jauh lebih besar dibandingkan
harga produk hukum, namun dana 1 trilyun dapat menjadi bagian dari
konsumerisme dan segmentasi program ”melukai” masyarakat, bilamana

Muchtar Zamzami, Pembaruan Hukum, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/
PEMBARUAN%20HUKUM-MZ.pdf

Firman Syah, Quo Vadis Pembaruan Hukum Indonesia, LKPES, Jakarta, 2012, hlm. 2.

287
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

badan legislatif gagal memproduk peraturan perundang-undangan yang


sebahasa (sejalan) dengan kepentingan obyektif masyarakat.
Selain rakyat mengidealisasikan semakin banyaknya aparat penegak
hukum yang berintegritas moral tinggi, mereja juga mendambakan produk
legislasi yang berbasis kepentingan riil masyarakat, dan bukan produk
legislasi yang mengikuti irama kepentingan segelintir orang.

II. Tidak Asal Melakukan pembaruan


Kata sosiolog hukum kenamaan asal Undip, Satjipto Rahardjo, di
negara berkembang seperti Indonesia ini memang karakteristiknya adalah
“banjir” produk hukum, gampang menyusun atau memperbaharui
norma hukum untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, namun ada
kecenderungan pembaharuan ini mengabaikan realitas kepentingan
yang berkembang di masyarakat. Akibatnya, hukum yang diperbaharui
menjadi sulit diterapkan. Produk yuridis yang sulit diterapkan atau
bahkan tergolong merugikan kepentingan masyarakat, bukanlah hal asing
di negara ini.
Ada yang menggunakan istilah-istilah pembangunan hukum,
perubahan hukum, pembinaan hukum, atau modernisasi hukum.
Terakhir banyak pula yang menggunakan istilah reformasi hukum yang
merupakan terjemahan dari legal reform. Walau bemacam-macam istilah
yang digunakan, Satjipto sepakat dengan Sudargo Gautama untuk
menggunakan istilah pembaruan hukum, karena istilah ini lebih dekat
untuk menggambarkan bagaimana menyusun suatu tata hukum yang
dapat menyesuaikan diri pada perubahan yang terjadi pada masyarakat.
Soetandyo Wignjosoebroto dalam artikel berjudul Pembaruan
Hukum Masyarakat Indonesia Baru membedakan pembaruan hukum
dalam arti legal reform dengan pembaruan hukum dalam arti law reform.
Pembaruan hukum dalam arti legal reform diperuntukkan bagi masyarakat
dimana hukum hanya sebagai subsistem dan berfungsi sebagai tool of social
enginering semata-mata. Hukum hanya menjadi bagian dar
i proses politik yang mungkin juga progresif dan reformatif.
Pembaruan hukum di sini kemudian hanya berarti sebagai pembaruan
undang-undang. Sebagai proses politik, Soetandyo gamblang menyatakan
pembaruan hukum hanya melibatkan pemikiran-pemikiran kaum
politisi atau juga sedikit kaum elite profesional yang memiliki akses lobi.

Maulana Ghaffar, Mendambakan Hukum Populis, Suara Kebangsaan-Mimbar Bebas,
Surabaya, 2011, hlm, 3.

Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009 dan lihat pula dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009.

Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, dalam : Donny
Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Ford Foundation & HuMa, Jakarta, 2007,
hlm. 94.

288
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Indonesia menurut Soeytandyo termasuk dalam kategori ini. Pembaruan


berkategori ini tergolong menakutkan dan potensial berakhir sia-sia. Sudah
terbukti, banyak produk UU yang diajukan uji materi (judicial review) ke
Mahkamah Konstitusi, yang antara lain berujung pada vonis yang berisi
penolakan terhadap sebagian ayat atau pasal dalam UU itu karena dinilai
bertentangan dengan konstitisi.
Hal ini beda dengan pembaruan hukum dalam arti law reform. Dalam
bentuk ini hukum bukanlah urusan para hakim dan penegak hukum
lainnya, tetapi juga urusan publik secara umum. Mungkin saja telah dibuat
dalam bentuk undang-undang, tetapi undang-undang itu tidak bersifat
sakral di atas segala-galanya. Dalam konsep ini hukum adalah produk
aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan
rakyat yang berdaulat yang mungkin saja diilhami oleh kebutuhan
ekonomi, norma sosial, atau nilai-nilai ideal kultur rakyat itu sendiri.
Menurut RPJP Nasional 2005-2025 pembangunan hukum dilaksanakan
melalui “Pembaruan materi hukum dengan tetap memperhatikan
kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi
sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum,
penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia, kesadaran hukum, serta
pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan
kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib,
teratur, lancar, serta berdaya saing global” Pada bagian lain pernyataan
seperti ini muncul lagi dengan perubahan sedikit kata seperti berikut ini:
“Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan
tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan
pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan
perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia,
kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan
kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan
negara yang makin tertib dan teratur, sehingga penyelenggaraan
pembangunan nasional akan makin lancar”.
Abdul Manan10 juga menyebutkan ada dua pandangan dominan
berkaitan dengan perubahan (tentu dalam arti pembaruan) hukum
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara, yaitu
pandangan tradisional dan pandangan modern. Dalam pandangan
tradisional ini, masyarakat harus berubah dahulu, baru kemudian hukum
datang mengaturnya. Secara a contrario dalam pandangan modern, agar
hukum dapat menampung segala dinamika baru, hukum harus selalu
berada bersamaan dengan peristiwa yang terjadi. Dalam bidang hukum

Muchtar Zamzami, Op.Cit.

Maulana Ghaffar, Op.Cit, hlm. 45.

Muchtar Zamzami, Op.Cit.

Ibid.
10
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 7.

289
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

yang netral perubahan harus ditujukan untuk melahirkan suatu kepastian


hukum, sebaliknya dalam bidang kehidupan pribadi hukum harus
berfungsi sebagai sarana sosial kontrol dalam kehidupan masyarakat. Fahmi
Maulana11 menyebut, bahwa pembaruan demikian ikut ditentukaan oleh
realitas perubahan atau perkembangan masyarakat. Semakin berkembang
masyarakat, maka semakin berat tantangan untuk melakukan pembaruan
hukum. Semakin pluralistik masyarakat, maka semakin pluralistik pula
norma yuridis atau norma-norma lain yang berkembanga di tengah
masyarakat.
Di dalam norma hukum itu terkandung rumusan kaedah yang dapat
diandalkan atau disajikan sebagai senjata ampuh guna menjawab problem
kemasyarakatan dan kenegararaan yang sedang terjadi atau akan terjadi
di masa mendatang. Hukum dinilai sebagai alternatif utama yang bisa
menuntaskan berbagai bentuk fenomena perilaku deviatif yang menguji
bangunan negara hukum. Hukum yang bagaimana yang bisa digunakan
untuk menjawabnya? Jelas hukum yang sesuai dengan perkembangan
hak-hak atau kepentingan masyarakat, sepanjang kepentingan atau hak-
hak ini tidak berlawanan dengan kaedah moral dan agama.
Kepentingan masyarakat itu merupakan bentuk realitas sosial
fenomenologis, yang berangkat dari kenyataan kehidupan masarakat
yang sedang mencari, merekayasa dan masih berusaha menemukan
bentuknya yang ideal. Kondisi masyarakatnya gampang menggeliat atau
menunjukkan daya responsi cukup tinggi ketika ada fenomena yang
dipandang merugikannya, sehingga diperlukan alternatif yuridis untuk
menjawabnya.
Pembaharuan substansi hukum yang sedang dan ke depan tetap
menjadi ”proyek” istimewa negeri ini, bisa bergeser menjadi kehilangan
kebermaknaannya ketika dalam ranah das sein atau penerapannya, tidak
didukung oleh elemen (aparat) penegak hukum yang punya integritas
moral tinggi untuk mengimplementasikannya. Komunitas elite ini lebih
memilih mendisain atau memproduk (memperbarui) ”hukum” menurut
ambisi politik, sektoral, dan kepentingan ekeklusifnya.
Akibat dominasi kepentingan sektoral, politik, dan eksklusif itu,
banyak produk legislasi yang tidak bisa diimplementasikan secara
efektif di masyarakat. Ada beragam kegagalan maupun kesulitan untuk
diterapkannya, di samping ada beberapa produk yang dinilai berlawanan
dengan konstitusi.
Selain itu, ada produk RUU seperti RUU KUHP yang terbukti sudah
lama dikarantina oleh DPR, yang hingga sekarang masih dalam ranah
diskursus politik pembaruan hukum di level elite politik. Dari pergatian
rezim ke rezim, tetap mengalami kesulitan menyelesaikan RUU KUHP.
11
Fahmi Maulana, Hukum Tanpa Suara Rakyat, makalah untuk FGD, Malang, 2012, hlm. 2.

290
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Rezim yang baru, kenyataannya dihadapkan dengan problem substatif,


sehingga mengakbatkan RUU KUHP belum bisa dituntaskan.
Eksistensi RUU KUHP yang masih ”mengambang” itu tidak perlu
dipaksakan berlaku, bilamana eksistensi hukum pidana adat tidak
diakomodasinya. Artinya, hukum pidana adat yang selama ini belum
meng-Indonesia dalam memasuki bangunan hukum pidana nasional
selayaknya tepat dijadikan alasan untuk memperbaharui hukum pidana
nasional.
Di berbagai daerah di Indonesia, terdapat berbagai realitas yuridis,
minimal sebagai produk kesepakatan antar elemen masyarakat yang belum
mendapatkan perhatian serius dari negara. Kesepakatan ini dijadikannya
sebagai norma yang mengikat para pembuatnya. Kesepakatan ini
berlangsung turun temurun yang kemudian disebutnya sebagai hukum
adat. Mereka yang tidak mematuhinya akan dikenakan sanksi sesuai
dengan jenis perbuatan yang yang dilakukannya. Diantara jenis perbuatan
melanggar ini dimasukkan dalam komponen hukum pidana adat.
Berpijak pada pemikiran itu, logis jika ”investasi” besar dan berharga
dalam pembaharuan hukum pidana nasional adalah hukum pidana adat.
Hukum pidana adat merupakan realitas wajah bangsa Indonesia, yang
belum meng-Indonesia akibat belum ditempatkan sebagai nafas dalam
pembaruan hukum pidana nasional.

III. Mengindonesiakan Hukum Pidana Adat.


Pengakuan terhadap eksistensi nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup itu diakui secara konstitusional sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyebutkan, bahwa
“negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Dalam konstitusi itu sudah jelas, bahwa negara mempunyai kewajiban
untuk mengakui dan sekaligus merespon perkembangan hukum adat.
Negara tidak boleh membiarkan masyarakat adat menjadi masyarakat kelas
dua atau masyarakat yang terpinggirkan. Hak-haknya sebagai bagian dari
wajah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib mendapatkan
pengakuan.
Hal itu berarti, bahwa salah satu konsep pokok bentuk pengakuan
hukum yang berkembang atau hidup di masyarakat adalah dengan
diadopsinya sistem sanksi pidana adat dalam sistem hukum nasional.
Pengakuan dan perlindungan atas penerapan sanksi pidana adat menjadi
suatu yang penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab dengan
291
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

adanya sanksi (reaksi) adat, maka dapat terkonstruksi atau tercipta


keseimbangan (evenwicht) dan harmonisasi sosial, kepentingan antara
golongan manusia dan perorangan, antara persekutuan (kelompok) dan
masyarakat luas yang merupakan dasar dari alam pikiran tradisional
bangsa Indonesia.
Dalam konsep Alasdair Mac Intyre disebutkan, bahwa ‘adat atau
tradition: A living tradition then is an historically extended, socially embodied
argument, and an argument precisely in part about the goods which constitute that
tradition. Within a tradition the pursuit of goods extenda through generations,
sometimes through many generations’.12
Kongres-kongres PBB mengenai “The Preventions of Crime and the
Treatment of Offenders” juga menggariskan, bahwa sistem hukum pidana
yang ada selama ini di beberapa negara, yang sering berasal (diimpor) dari
hukum asing semasa zaman kolonial pada umumnya telah usang dan tidak
adil (obsolete and unjust) serta sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai
dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar pada nilai-
nilai budaya dan bahkan ada ‘diskrepansi’ dengan aspirasi masyarakat
serta ‘tidak responsif’ terhadap kebutuhan sosial masa kini.13
Keinginan kuat untuk meng-Indonesiakan hukum pidana adat atau
hukum yang berkembang di tengah masyarakat, secara tidak langsung
dapat dipahami melalui laporan Kongres PBB ke VI atau Sixth UN
Congress on “The Preventions of Crime and the Treatment of Offenders” (New
York, Departement of Economic and Social Affairs, 1981), bahwa often, lack of
concistency between laws and reality was criminogenic; the farther the law was
remaved from the feeling and the values shared by the community, the greater
was the lack of confidence and trust in the efficacy of the legal system,14 atau
serngkali ketiadaan konsistensi antara undang-undang dengan kenyataan
merupakan fakor kriminogen, semakin jauh undang-undang bergeser dari
perasaan dan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, semakin besar
ketidak percayaan akan keefektifan sistem hukum itu.
Membahasakan realiitas perkembangan hukum pidana adat ke dalam
RUU KUHP atau ranah pembaharuan hukum pidana nasional memang
tidak mudah, karena hukum pidana adat bersifat pluralisme. Di masing-
masing daerah terdapat keragaman sanksi-sanksi pidana adat yang bisa
dijadikan sebagai bagian dari kearifan muatan lokal guna mewarnai
pembaharuan hukum pidana nasional.

12
Mary Ann Gledon, Michael Wallace Gordon, Christopher Osakwe, Comparative Legal
Traditions,Text, Materials and Cases on the Civil and Common Law Traditions, with Special Reference
to French, German, English and European Law, Second Edition, (St.Paul.Minn, West Publishing Co.,
1994), p. 17.
13
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), Hlm. 103.
14
Ibid., hlm 104.

292
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Memasukkan beberapa sanksi pidana yang berkembang di masyarakat


adat merupakan wujud pembaharuan hukum dengan model meng-
Indonesiakan hukum pidana adat dengan harapan, bahwa masyarakat
adat di seluruh Indonesia mempunyai payung untuk berperilaku dan
mempertanggungjawabkan berbagai bentuk perbuatan yang berkategori
pelanggaran atau kejahatan adat.

IV. Penutup.
Memasukkan hukum pidana adat yang jelas-jelas bersifat pluralistik
di Indonesia memang bukan hal mudah. Mermang tarik ulur kepentingan
masing-masing daerah bisa terjadi untuk memaksakan hukum pidana adat
yang berlaku di daerahnya ini menjadi bagian dari hukum nasional, akan
tetapi setidak-tidaknya jika dalam RUU KUHP yang nantinya ditetapkan
sebagai produk legislasi, menjadikan hukum adat sebagai bagian dari
hukum nasional, meskipun pada tataran prinsip atau asas-asasnya, maka
hal ini dapat dikategorikan sebagai proses pengindonesiaan hukum pidana
adat.
Sudah saatnya negara atau badan legislatif bekerja keras untuk
menformulasikan hukum pidana adat menjadi bagian dari hukum pidana
nasional. Riet-riset secara serius dan maksimal harus dilakukan sebagai
wujud usaha mereformasi kelemahan hukumpidana nasional. Politik
nasionalisasi pembaruan hukum berbasis kearifan lokal menjadi suatu
keharusan seiring dengan tuntutan masyarakat terhadap penegakan
keadilan yang benar-benar berbasis kemaslahatan rakyat.

Daftar Pustaka.
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta,
2005.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan
Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998.
Fahmi Maulana, Hukum tanpa Suara Rakyat, makalah untuk FGD, Malang,
2012.
Firman Syah, Quo Vadis Pembaruan Hukum Indonesia, LKPES, Jakarta, 2012.
Maulana Ghaffar, Mendambakan Hukum Populis, Suara Kebangsaan-Mimbar
Bebas, Surabaya, 2011.
Mary Ann Gledon, Michael Wallace Gordon, Christopher Osakwe,
Comparative Legal Traditions,Text, Materials and Cases on the Civil
and Common Law Traditions, with Special Reference to French, German,

293
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

English and European Law, Second Edition, St.Paul.Minn, West


Publishing Co., 1994).
Muchtar Zamzami, Pembaruan Hukum, http://www.badilag.net/data/
ARTIKEL/PEMBARUAN%20HUKUM-MZ.pdf
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009
______________, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta,
2009.
Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru,
dalam : Donny Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia,
Ford Foundation & HuMa, Jakarta, 2007.

294
KEDUDUKAN KALO SARA
(HUKUM ADAT) DALAM PENYELESAIAN
TINDAK PIDANA PERZINAHAN (UMOAPI)
PADA MASYARAKAT SUKU TOLAKI
DI KABUPATEN KONAWE PROPINSI
SULAWESI TENGGARA

Oleh:
Prof. Dr. H. Muntaha, S.H., M.H.
(Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo – Kendari - Sulawesi
Tenggara)

I. Latar Belakang Pemikiran.


Setelah runtuhnya orde baru, kemudian diganti dengan era reformasi
persoalan pembangunan hukum belum menampakan suatu hasil yang
mengembirakan bagi kalangan masyarakat Indonesia. Berbagai konsep
telah dirumuskan, bahkan telah ada yang menjadi acuan yang legitimate
untuk dipedomani dan dijadikan sebagai arah strategi di dalam melakukan
pembangunan hukum yang disebut dengan visi dan misi pembangunan
hukum nasional.
Dalam konsep visi pembangunan hukum nasional setelah Pasca
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa visi
pembanguan hukum nasional adalah “ terwujudnya negara yang adil
dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional yang
mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai
bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan| sosial
berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
Visi tersebut kemudian diimplementasikan ke dalam misi
pembangunan hukum nasional, yaitu :
1. mewujudkan materi hukum disegala bidang dalam rangka penggantian
terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat
yang mengandung kepastian, keadilan, dan kebenaran, dengan

295
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat;


2. mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum;
3. mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, profesional, bermoral,
dan berintegritas tinggi;
4. mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi, dan berwibawa.
Konsepsi visi dan misi pembangunan hukum nasional, tidak
hanya mengakomodir konsep hukum secara formal, dalam arti hanya
hukum positif, melainkan juga nilai-nilai hukum yang berkembang di
dalam masyarakat, seperti hukum adat. Pembangunan nasional tidak
bertujuan untuk menggilas rata heterogenitas dalam arti luas, tetapi untuk
mengembangkan, menumbuhkan lebih jauh potensi-potensi norma-norma
yang masih dianut dan terpelihara di dalam tata pergaulan masyarakat,
bahkan menjadi pedoman hidupnya, sebab nilai-nilai tersebut dianggap
lebih bermakna, lebih benar, dan lebih baik serta lebih memperkaya nilai-
nilai hukum pada suku-suku yang ada di Indonesia, tidak terkecuali pada
suku Tolaki di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dalam pembangunan hukum nasional, pengembangan nilai-nilai
hukum (hukum adat) sangat penting artinya, sehingga perlu adanya
tindakan mengaktualisasikan nilai-nilai hukum yang masih dianggap
relevan untuk mempeloporinya dan mempertahankannya, termasuk “Kalo
Sara” yang mengandung nilai-nilai hukum bagi masyarakat suku Tolaki di
Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pengembangan nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat,
secara umum relevan dengan konsep pembangunan di Kabupaten Konawe,
yaitu pendekatan kewilayahan, di mana pembangunan dilaksanakan
dengan memperhitungkan kondisi internal wilayah yang meliputi kondisi
sosial masyarakatnya, cirikhas budayanya, serta nilai-nilai hukum yang
dianutnya.
Pelaksanaan pembangunan di bidang hukum, dalam arti penegakan
hukum tanpa memperhatikan kondisi sosial masyarakat, cirikhas budaya,
serta nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam masyarakat, dalam
realitasnya ternyata hasilnya cenderung tidak efektif, bahkan banyak
membawa dampak negatif yang merugikan masyarakat. Kalo Sara sebagai
salah satu bentuk nilai-nilai hukum yang dianuti dan dipegang teguh oleh
masyarakat suku Tolaki merupakan perwujudan tatanan kepribadian yang
telah tumbuh dan berkembang sejak dari leluhurnya secara turun temurun
yang tertata dan tersusun melalui lembaga hukum adatnya.
Perkembangan ilmu dan teknologi membawa dampak bagi perubahan
paradigma pemikiran hukum yang positivisme formal, sehingga perhatian
pemerintah terhadap nilai-nilai hukum yang terangkum dalam hukum
adat kurang mendapat perhatian yang serius, bahkan dianggap sebagai

296
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

penghambat dan penghalang pembangunan, kondisi ini kemudian


melahirkan labilnya integritas sosial yang terjelma menjadi konflik. Keadaan
yang demikian pernah dikemukakan oleh Greets bahwa karena kesetiaan
terhadap nilai-nilai dan norma-norma tradisional belum hilang seluruhnya
dilain pihak, norma-noma modern belum terwujud sepenuhnya, sehingga
menyebabkan masyarakat menjadi samar pola di dalam bertingkah laku
dimasyarakat.
Indonesia adalah negara yang mempunyai nilai-nilai budaya yang
pluralisme, begitu pula dengan norma-norma yang hidup di dalam
masyarakat, dan nilai-nilai serta norma-norma tersebut tidak dapat
diabaikan begitu saja di dalam proses penegakan hukum. di mana
masyarakat diposisikan sebagai subyek hukum, bukan sebaliknya yang
selama ini dipraktekkan oleh hukum negara.
Keadaan ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia yang pernah
dijajah oleh bangsa Belanda sehingga hukum, yang berlaku di Indonesia
masih merupakan warisan kolonial Belanda, terutama hukum pidana, oleh
karenanya corak hukum yang individual dan liberal nampak masih terlihat,
sehingga dalam penerapannya nuansa kepastian hukum dan pendewaan
terhadap teks dijadikan sebagai barometer pertama dan utama, sehingga
hukum negara masih dianggap yang paling baik dan benar.
Pemikiran bahwa hukum negara mendominasi penyelesaian
sengketa hakekatnya dipengaruhi oleh paradigma positivisme hukum.
Paradigma ini menghendaki penegasan mana yang harus didefinisikan
dan dikategorikan sebagai hukum, dan mana yang harus didefinisikan
dan dikategorikan sebagai norma-norma sosial biasa, baik yang moral
maupun yang bukan moral, yang kepatuhan kepadanya dan pelanggaran
terhadapnya tidak akan menimbulkan akibat hukum apapun.
Dalam prakteknya, penyelesaian kasus-kasus hukum yang terjadi
di dalam masyarakat masih didominasi oleh hukum negara, karena hal
ini didukung oleh suatu teori yang menyebutkan bahwa negara dapat
memaksakan kehendaknya terhadap masyarakat, oleh karena itu, ruang-
ruang masyarakat untuk menyelesaikan kasus dan problema yang
berkembang di lingkungannya selalu dikalahkan oleh hukum negara yang
jelas-jelas gagal dalam menyelesaikan berbagai kasus-kasus hukum yang
terjadi dilingkungan masyarakat, tertutama yang berkaitan dengan kasus-
kasus pidana yang ada hubungannya dengan kehormatan dan kesusialan;
seperti dalam tindak pidana umoapi (perzinahan).


La Ode Abdul Rauf, Lembaga Adat dan Peranannya Dalam Menyuseskan Pembangunan
Di Sulawesi Tenggara, (Makalah) pada Sminar Nasional Peluang dan Tantangan Masyarakat Sultra
Menyongsong Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas, Kendari, 29-30 Mei 2000, hlm. 2.

Mahrus Ali, Melampaui Positivisme Hukum Negara, Cetakan I, Januari 2013, Aswaja
Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 1

Op. Cit.

297
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Dominasi hukum negara sering kali kontra–produktif dikalangan


masyarakat adat, sebagai contoh dalam penyelesaian tindak pidana
perzinahan (Umoapi) dikalangan masyarakat suku Tolaki di Kabupaten
Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara yang masih memegang teguh nilai-
nilai hukum adatnya, maka peranan Kalo Sara sebagai mediasi penal
dalam penyelesaian kasus Umoapi lebih memperlihatkan keefektivannya
dibandingkan dengan penerapan ketentuan KUHP sebagai hukum negara.
Hal ini disebabkan karena, bahwa pada masyarakat suku Tolaki yang masih
kental dengan nilai-nilai kekerabatan menganggap bahwa menyelesaikan
perbuatan aib di luar hukum adatnya, berarti telah memutuskan tali
persaudaraan di dalam suatu komunitasnya yang disebut suku Tolaki.
Bagi masyarakat suku Tolaki, pemberian sanksi bukan satu-satunya
penyelesaian masalah, terutama dalam perbuatan perzinahan (Umoapi),
tetapi yang lebih penting adalah menjaga keutuhan keluarga agar tidak
bercerai berai, agar tetap terikat pada suatu komunitas kesukuan.
Keadaan ini menggambarkan bahwa di Indonesia paradigma
sentralisme penerapan hukum negara tidak selamanya dapat dijadikan
sebagai satu-satunya sumber dalam penyelesaian berbagai sengketa yang
terjadi di masyarakat, apalagi pada kasus-kasus pidana yang berkaitan
dengan kehormatan dan harga diri; seperti dalam tindak pidana Umoapi
(perzinahan) di masyarakat suku Tolaki.
Oleh karena itu pengkajian hukum adat, terutama hukum pidana adat
masih langkah dan penting, sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi
Zainal Abidin Farid bahwa mempelajarai hukum adat adalah penting
sekali karena masih banyak orang-orang kampung yang berkesadaran
hukum adat demikian. Selain itu, hukum adat lama dapat dijadikan bahan
untuk menyusun undang-undang baru, terutama yang masih sesuai
dengan perkembangan zaman.

II. Permasalahan.
Latar belakang pemikiran di atas menunjukan bahwa penyelesaian
barbagai kasus di Indonesia, penggunaan hukum negara (hukum positif)
yang sentralistik tidak membuahkan hasil yang maksimal. Atas dasar
tersebut perlu dilakukan pengkajian untuk menemukan model alternatif
di dalam penyelesaian kasus-kasus hukum, terutama kasus pidana yang
berkaitan dengan kehormatan yang dalam hal ini kasus Umoapi (perzinahan)
yang terjadi dikalangan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-
nilai hukum adatnya. Dengan demikian sebagai fokus permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kedudukan Kalo Sara dalam masyarakat suku Tolaki di
Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara;

Andi Zainal Abidin Farid, Arti dan Fungsi Hukum Menurut Lontara, Majalah Ilmiah Hukum
Amana Gappa, No.2 Tahun 1 Juli-Agustus 1992, Ujung Pandang, 1992, hlm. 5.

298
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

2. Apakah penggunaan Kalo Sara dalam menyelesaikan berbagai kasusu


pidana efektif dibandingkan dengan hukum negara (hukum pidana).

III. Pembahasan dan Analisis.


III.1. Kedudukan Hukum Adat dalam Hukum Nasional.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai beraneka
ragam suku-suku bangsa, dan sudah tentu budaya serta norma-norma
yang danutnya akan berbeda-beda. Keanekaragaman ini akan melahirkan
tata nilai yang berlain-lainan dari berbagai suku-suku masyarakat
dalam memandang dan menyelesaikan berbagai pesoalan yang terjadi
dikalangannya, tidak terkecuali pada kasus-kasus yang berkaitan dengan
kehormatan dan kesusilaan, karena hal ini tidak saja para pihak yang
terlibat dalam kasus tersebut, melainkan juga melibatkan komunitas
masyarakat yang lebih luas.
Dalam ketentuan Pasal 284 KUHP ditegaskan bahwa penjatuhan
pidana kepada pelaku perzinahan dilakukan apabila ada aduan dari
salah satu yang merasa dirugikan dari perbuatan itu. Hal ini menandakan
bahwa peran komunitas dalam suatu masyarakat sangat penting untuk
dapat dilakukan proses peradilan selanjutnya. Lebih jelasnya ketentuan
Pasal 284 KUHP :
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan :
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku padanya;
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahak
diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
c. seorang pria yang turut serta melakukan perbuiatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
d. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan
perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah
telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.
2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri
yang tercemar, dan belamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau
pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73, dan 75.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
5. Jika bagi suami-isteri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan
selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum
putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
299
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Konteks ketentuan Pasal 284 KUHP mengindikasikan bahwa


dalam penyelesaian perzinahan (umoapi) dapat dilakukan penyelesaian
alternatif sepanjang kedua belah pihak sepakat dan tidak bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta hukum adat
dari masyarakat yang bersangkutan. Konteks pembelakuan hukum adat
di Indonesia memperlihatkan bahwa ketentuan hukum adat (pidana adat)
masih dipandang sebagai ketentuan yang berada pada tangga terkahir
sebagaimana yang dikatakan oleh Werner Zips :
“State agents and (quire few) academic lawyer tend to deny the validaty of”
traditional” law (folk law or customary law) by disputing its consideration of
the rule of law ... position “traditional law” at the bottom ladder”, (bahwa
agen negara beberapa praktisi hukum dan akademisi cenderung untuk
menolak keabsahan hukum “tradisional” (hukum rakyat atau hukum
adat) dengan memperselisihkan pertimbangannya mengenai aturan
hukum ... posisi “hukum adat” berada pada anak tangga di bawah).
Penempatan posisi hukum rakyat (hukum adat) ini dipengaruhi oleh
paradigma positivisme yang dianggap sebagai sistem hukum modern
yang diadopsi sistem hukum eropa kontinental yang di bawah oleh
kolonial Benlanda, padahal hukum adat sebagai hukum rakyat telah lama
dipergunakan dan meresap pada masyarakat Indonesia; seperti yang
dikatakan oleh Subekti bahwa bagi golongan bumi putra, maka hukum
yang berlaku adalah hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah
berlaku dikalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis
tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam
kehidupan masyarakat.
Konfigurasi pemikiran di atas tentu saja bertolak belakang dengan
keragaman budaya dan dianutnya lebih dari satu sistem hukum di
Indonesia. Kamajemukan budaya dan kemajemukan hukum (legal
pluralism) sering merupakan alasan mengapa hukum modern (hukum
positif) tidak begitu berhasil untuk mengatasi berbagai permasalahan
hukum di Indonesia.
Menurut Griffiths memberi makna bahwa : pluralisme sebagai
adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu area sosial. Lebih
lanjut dikatakan bahwa terdapat dua macam pluralisme, yaitu pertama,
disebut dengan weak legal pluralism yang memandang bahwa hukum
negara merupakan bentuk hukum yang superior, sedangkan hukum yang
lain disatukan dalam hirarki di bawah hukum negara. Kedua, diartikan
sebagai produk dari para ilmuan sosial berkaitan dengan pengamatan
ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang ada

Widodo Dwi Putro, Perselisihan Hukum Modern dan Hukum Adat dalam Kasus pencurian
Sisa Panen Randu, kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.Btg, Jurnal Yudisial, Volume IV/No-
02/Agustus 2011, Jakarta, 2011, hlm. 141,

R. Subekti, Pokok-Pokok hukum Perdata, Intermas, Jakarta, 1995 hlm. 10.

300
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hirarki


yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari sistem hukum
yang lain.
Adanya kemajemukan hukum sebagai fakta yang masih berlaku
dikalangan masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali pada masyarakat
suku Tolaki di Sulawesi Tenggara yang dijadikan sebagai aturan dalam
berperilaku, maka Van Vallenhoven menyatakan bahwa hukum adat
adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi
dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka
dikatakan hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan
adat).
Hukum adat sebagai hukum rakyat diterima sebagai norma di
dalam hidup bermasyarakat dan menjadikannya sebagai pedoman dalam
tata pergaulan yang tidak hanya antar komunitas, melainkan juga di
luar komunitas, sehingga keberlakuannya tidak statis. Konstruksi ini
sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Djojodiguno, meski
pandangan tersebut melihat hukum secara umum, bahwa :
sesungguhnya hukum itu bukanlah suatu phenomena yang tegar
(statis) seperti halnya rangkaian ajaran, melainkan karya manusia, suatu
hal yang hidup dalam arti berangkap dua; satu sisi dapat berkembang
(berevolusi), dan pada sisi lain dapat bervariasi (plastis), tegasnya
dapat menyelesaikan hal yang berbeda diantara hak dan kewajiban
dalam peristiwa yang serupa.
Itulah yang dimaksud “hukum yang hidup” (living law).Jadi hukum
adat sebagai hukum yang hidup yang pelaksanaannya tidak terikat
pada ajaran-ajaran hukum pepacak-pepacak perundangan dan
preseden yang telah ada. Konsepsi hukum adat tidak terlepas dari
konsepsi hukum pada umumnya yang menganut sifat kerakyatan
dalam arti diterima oleh semua lapisan masyarakat darimana hukum
itu diterapkan.
Moh Koesnoe mengatakan bahwa hukum dalam faham kerakyatan
menurut sifatnya hanya dapat diterima, kalau itu sesuai dengan kemauan
semuanya. Artinya pula, sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut
semua warga.10 Konsepsi ini berarti bahwa hukum yang berlaku di
Indonesia dituntut untuk dibentuk dan diperlakukan berdasarkan kepada
apa yang dewasa ini dinamakan sebagai keperibadian nasional, dan bukan
berdasarkan nilai-nilai hukum dari luar.

Mahrus Ali, Menggugat Dominasi Hukum Negara Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan
Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura, Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009, hlm. 6.

Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm.
13.

Ibid, hlm. 20.
10
Artidjo Alkostar, Nilai-Nilai Dasar Tata Hukum Nasional, (Editor), FH-UII Yogyakarta, 1997,
hlm. 51.

301
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Eksistensi keberadaan hukum adat, termasuk hukum pidana adat di


dalam hukum positif di Indonesia, hanya dipandang sebagai pelengkap,
tidak sedominan dengan hukum positif (hukum pidana), karena sanksi yang
dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan dalam hukum adat
tetap sanksi yang terdapat dalam KUHP, jika memang didalamnya terdapat
padanannya. Kehadiran hukum positif di tengah-tengah masyarakat tidak
selamanya menyelersaiakan masalah hukum, secara kasuistis di berbagai
daerah hukum positif banyak menyisahkan problema hukum. Ketidak
mampuan hukum negara (hukum positif) dalam menyelesaiakan berbagai
persoalan hukum di masyarakat karena hukum positif dirancang secara
sntral nasional ternyata merupakan produk konstruksi sosial dari dunia
yang berbeda serta memiliki logika dan keperihatinan dasar yang berbeda
dengan hukum rakyat, dalam hal ini hukum pidana adat, meskipun dalam
beberapa hal peran negara tidak dapat dihindari, tetapi harus disadari
pula bahwa hukum positif bukanlah satu-satunya fakta normatif karena di
dalam masyarakat masih banyak norma-norma sosial yang lain.
Paradoksal fakta antara kemajemukan hukum dan pemberlakuann
hukum positif yang sentarlistik di Indonesia telah dikonstatir oleh Satjipto
Rahardjo dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak mempunyai
pilihan hukum (richtkueze); selain dari hukum bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila yang diberi nama “Hukum Pancasila”. Lebih lanjut
dikatakan bahwa hendaknya hukum adat itu merupakan penjelmaan
Pancasila dalam hukum.11
Pengakuan hukum adat sebagai hukum yang masih diakui di
dalam masyarakat juga dikemukakan oleh Van Vallenhoven dengan
mengingatkan bahwa :
jika diadakan perubahan hukum adat, maka perlu sekali
dipertimbangkan sekian banyak hal, misalnya jika suatu ketentuan
hukum adat dicabut padahal dalam masyarakat ketentuan itu masih
dianut secara konsisten oleh masyarakatnya, maka ketentuan itu sia-sia
belaka dan juga jika pembaharuan suatu ketentuan adat diundangkan
pada masyarakat secara utuh mentaati ketentuan adat lama, maka
pembaharuan itu gagal.12

III.2. Konsep Penggunaan Hukum Adat dalam Pembaruan Hukum


Pidana Nasional.
Telah menjadi communis opinio bahwa di Indonesia sampai sekarang
belumlah terbentuk apa yang dinamakan kebudayaan nasional. Di bidang
hukum adat belum terdapat pengakuan secara legitimate oleh negara,
11
I Made Widnyana, Hukum Dasar Kita Hukum Tidak Tertulis, Eresco, Bandung, 1995, hlm.
196.
12
Widodo Dwi Putro, Perselisihan Hukum Modrn dan Hukum Adat Dalam Kasus Pencurian Sisa
Panen Randu, Jurnal Yudisial, Vol-IV No. 2. Agustus 2011, Jakarta, hlm, 34.

302
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

kendatipun harus diakui bahwa Indonesia dengan keanekagaraman suku,


agama, bahasa, yang sudah tentu akan melahirkan corak budaya dan niai-
nilai yang berbeda-berbeda.
Di Sulawesi Tenggara yang didiami berbagai etnis suku; seperti Buton,
Muna dan Tolaki, di samping terdapat persamaan budaya dan hukum
adatnya, namun disisi lain terdapat pula perbedaannya, terutama di dalam
penyelesaian kasus-kasus pidana yang berhubungan dengan kesusilaan.
Masyarakat suku Tolaki konsepsi hukum didasari pada falsafah hidup
yang disebut dengan istilah “Medulu” yang berarti hidup bersama secara
gotong royong, murni dan dinamis serta sejahtera.13
Abdurrauf Tarimana mengatakan nilai Medulu mempunyai arti lebih
luas dan penting; seperti: medulu mepekoaso yaitu persatuan kesatuan, ate
pute mbuu mbudi monapa mbuundawaro yaitu kemakmuran dan keadilan.
Falsafah hidup ini kemudian diabstrasikan ke dalam norma-norma
hidup dalam suatu tata pergaulan dan dijadikan sebagai pedoman dalam
berinteraksi, dipertahankan serta dijaga melalui suatu norma yang disebut
dengan “Kalo Sara”.14
Kalo Sara (Hukum Adat) bagi masyarakat suku Tolaki tidak hanya
sebagai pedoman hidup yang mengataur tata pergaulan, tetapi lebih
itu merupakan suatu hukum yang mempunyai fungsi untuk mengatur,
mengendalikan dan memberi sanksi kepada setiap yang melanggar aturan
yang telah ditetapkan di dalam kalo sara tersebut, baik yang menyangkut
ketentuan hukum positif maupun hukum adat. Dalam hukum positif
(hukum pidana) perbuatan pidana diartikan sebagai perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.15 Tindak pidana perzinahan (umoapi), di samping melanggar
hukum positif juga melanggar norma-norma hukum adat, karena telah
melukai perasaan dan mendatangkan aib, tidak hanya bagi keluarga
pelaku tindak pidana tersebut, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang
tergabung dalam satu komunitas.
Dalam penyelesaian tindak pidana perzinahan (umoapi) keterlibatan
antar komunitas sangat penting artinya, sebab pemberian sanksi berupa
hukuman penjara sebagaimana ketentuan pada hukum positif kelihatannya
tidak serta merta masalah tersebut selesai secara tuntas, dalam arti pihak
yang dirugikan menerima pemberian sanksi berupa hukuman yang
dijatuhkan oleh pengadilan. Pada masyarakat suku Tolaki yang terpenting
13
Ahmad Sarita, Lembaga Adat dan Peranannya Dalam Mensukseskan Pembangunan Daerah
Sulawesi Tenggara, (makalah) pada Seminar Nasional Peluang dan Tantangan Masyarakat Sultra
Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Era Perdagangan Bebas, Kendari, 2000, hlm. 3.
14
Ibid, hlm. 5.
15
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983,
hlm. 11.

303
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

mengembalikan keadaan sebagaimana sediakala sebelum terjadinya tindak


pidana, sehingga keutuhan komunitas menjadi tertib.
Penjatuhan sanksi bagi masyarakat suku Tolaki bukanlah suatu
tujuan yang utama, akan tetapi yang paling penting menjaga kehormatan
komunitas, bahkan pada kasus-kasus tertentu, menjaga kehormatan
komunitas, nyawapun rela dipertaruhkannya. Hal ini seperti Sirik yang
dipertahankan pada komunitas masyarakat Bugis-Makassar, sebagaimana
yang digambarkan oleh Shelly Errington bahwa :
untuk orang Bugis-Makassar tidak ada tujuan atau alasan hidup yang
lebih tinggi atau lebih penting dari pada menjaga “siriknya”, dan kalau
merasa tersinggung, atau ripaka sirik atau dipermalukan meraka lebih
senang mati dengan berkelahi untuk memulihkan siriknya dari pada
hidup tanpa sirik. Hal ini terkenal dengan ungkapan “mate rigollai, mate
risantangi’, artinya mati diberi gula dan santan untuk mempertahankan
sirik dengan kata lain mati yang berguna.16
Begitu pula dalam komunitas masyarakat suku Tolaki di Sulawesi
Tenggara, mempertahankan Kalo Sara merupakan suatu kehormatan
hidup, dan melanggar Kalo Sara merupakan suatu penghiatan terhadap
leluhur. Hal ini terlihat dalam ungkapan “inai kosara iye pinesara, inai lia sara
iyei pikasara”, maksudnya siapa yang menghormati hukum adat (kalosara)
akan dihormati, tetapi siapa yang melanggar hukum adat (kala sara), maka
akan diperlakukan secara kasar (dikenai sanksi), dan mempertahankan
kalo sara adalah merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji serta
terhormat, bahkan dalam mempertahankan kalo sara, mati pun dianggap
sebagai suatu yang bernilai.
Karena itu, dalam penyelesaian kasus-kasu pidana yang berkaitan
dengan kehormatan seperti kasus umoapi (perzinahan) pada masyarakat
suku Tolaki penerapan hukum pidana harus diimbangi dengan penerapan
kearifan lokal dalam bentuk hukum adat sebagai living law yang
dapat merupakan mediasi penal untuk memulihkan kembali keadaan
sebagaimana sediakala melalui hukum adat dari masing-masing komunitas
masyarakat.
Penggunaan hukum adat dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
merupakan suatu kebutuhan masyarakat pliralisme, sebab konstruksi
yang bersifat lokal dan sepesifik antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain. Menurut pandangan saya lokalisasi tidak selalu
dikonstruksikan bahwa dalam kasus-kasus pidana tertentu hanya berlaku
pada masyarakat tertentu, melainkan juga lokalisasi dapat diartikan bahwa
dalam batas-batas tertentu suatu kasus pidana dalam suatu masyarakat
dapat diterapkan pada masyarakat yang lain. Atas spesifikasi hukum adat,
sehingga dalam peneyelasaian kasus-kasus pidana tertentu dimasayarakat,
16
Andi Zainal Abidin Farid, (editor) Artidjo Alkostar, Sumbangsih Budaya Sulawesi Selatan
untuk Pembentukan Hukum Nasional, FH-UII, Yogyakarta, 1977, hlm. 105.

304
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

hukum negara gagal untuk menyelesaikannya.


Hukum adat dalam batas-batas dan syarat-syarat tertentu masih
mendapat legitimasi; seperti dalam Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt
Tahun 1951 dengan kriteria :
1. Dalam hal tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP
dianggap diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak Rp. 500;- (lima ratus rupiah);
2. Dapat dijatuhi pidana penjara paling lama sepuluh tahun apabila sanksi
adat sangat berat;
3. Apabila ada bandingannya dalam KUHP, selalu diterapkan sanksi
yang dalam KUHP.
Ketentuan di atas, meskipun eksistensi hukum adat hanya merupakan
sebagai pelengkap dalam sistem peradilan pidana, tapi setidak-tidaknya
ruang untuk menerapkan hukum adat mulai mendapat perhatian.
Eksistensi hukum adat mendapat perhatian dalam RUU KUHP seiring
dengan perkembangan dinamika masyarakat Indonesia. Perhatian
tersebut tercermin di dalam Pasal 2, di mana disebutkan bahwa ketentuan
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Ketentuan ini selaras dengan Ketentuan Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menyebutkan : Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan di atas memberi kedudukan hukum adat, meskipun tidak
setara dengan hukum formal untuk terlibat dalam sistem peradilan, tidak
terkecuali dalam sistem peradilan pidana.

IV. Kesimpulan.
Hukum adat mempunyai eksistensi, di sampaing sebagai mediasi
dalam penyelesaian berbagai kasus-kasus pidana di masyarakat, juga
sebagai pelengkap dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat
pluralisme terhadap nilai-nilai budaya dan norma-norma yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia semakin kompleks.
Penerapan hukum adat dalam sisten peradilan pidana lebih bersifat
kasuistis, dalam arti bahwa hukum adat akan diterapkan apabila
masyarakat tersebut memilih peneyelesaian melalui hukum adat
dibandingkan peneyelesaian melalui hukum formal, sepanjang hukum
adat tersebut masih diakui dan berlaku, serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

305
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Daftar Pustaka.
Alkostar, Artidjo, (Editor), 1997 : Sumbangsih Budaya Sulawesi Selatan Untuk
Pembentukan Hukum Nasional, FH-UII, Yogyakarta.
______________, (Editor), 1997 : Nilai-Nilai Tata Hukum Nasional, FH-UII,
Yogyakarta.
Ali, Mahrus, 2009 : Menggugat Dominasi Hukum Negara Penyelesaian Perkara
Carok Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya masyarakat Madura, Rengkang-
Indonesia, Jakarta.
___________, 2011 : Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
___________, 2013 : Melampaui Positivisme Hukum Negara, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta.
Dwi Putro, Widodo, 2011 : Perselisihan Hukum Modern dan Hukum Adat
dalam kasus Pencurian Sisa Panen Randu, Jurnal Yudisial, Vol-IV/
No.02- Agustus 2011, Jakarta.
Farid, Andi Zainal Abidin, 1992 : Arti dan Fungsi Hukum Menurut Lontara,
majalah Ilmiah Amanah Gappa, No. 2,1 Juli-Agustus, Tahun 1992,
Ujung Pandang.
Hadikusumah, Hilman, 1992 : Pengantar Ilmu hukum Adat, Mandar Maju,
Bandung.
Moeljatno, 1983 : Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina
Aksara, Jakarta.
Rauf, La Ode Abdul, 2000 : Lembaga Adat dan Peranannya Dalam Menyukseskan
Pembangunan Daerah di Sulawesi Tenggara, Maka-lah pada Seminar
Nasional Peluang dan Tantangan Masyarakat Sultra Menyongsong
Otonomi Daerah dan Era Perdagangan Bebas, Kendari.
Sarita, Ahmad, 2000 : Lembaga adat dan Peranannya Dalam Mensukseskan
Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara, Makalah pada Seminar Nsional
Peluang dan Tantangan Masyarakat Sultra Menyongsong Otonomi
Daerah dan Era perdagangan Bebas, Kendari.
Subekti, R, 1995 : Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta.
Widnyana, I Made, (Editor), 1995 : Hukum Dasar Kita dan Hukum Tak tertulis,
Eresco, Bandung.
________________, (Editor), 1995 : Peradilan Adat Masyarakat Sedang
Membangun, Eresco, Bandung.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 2006, WiPres, Jakarta.

306
PLURALISME HUKUM PIDANA
SEBAGAI SUATU KENISCAYAAN
(PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM)

Oleh:
Dr. Rini Fidiyani, S.H., M.Hum.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang – Jawa Tengah)

I. Pendahuluan.
Sebuah obsesi bagi negara yang merdeka yang tampaknya masih
menjadi beban dan terus diperjuangkan oleh Bangsa Indonesia untuk
terlepas dari bayang-bayang negeri penjajahnya adalah memiliki hukum
pidana buatan sendiri. Seperti yang tercatat oleh sejarah, hukum pidana
yang dikenal di Indonesia merupakan turunan dari Wetbook van Strafrecht
Belanda yang kemudian diberlakukan di Hindia Belanda menjadi Wetbook
van Strafrecht voor Nederlands Indie. Kemudian berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 dan UU No. 1 Tahun 1946 diberlakukan untuk
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Keberadaan dan masih
diberlakukannya hukum pidana warisan pemerintah Kolonial bukan
sekadar menjadi beban politis, akan tetapi juga beban sosiologis karena
ada keinginan agar hukum pidana yang nantinya dibentuk sebisa mungkin
dapat bersumber dan mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa
Indonesia.
Upaya untuk itu sesungguhnya telah dimulai sejak lama, tepatnya
1958 dengan dibentuknya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN)
yang kemudian berubah menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN). Melalui lembaga ini telah disusun berbagai versi Rancangan
Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang kenyataannya sampai
sekarang belum disetujui oleh DPR untuk menjadi Undang-undang.
Berdasar pada upaya tersebut di atas, sesungguhnya hukum pidana
yang hendak dibentuk merupakan cara untuk mengatur perilaku manusia
Indonesia. Apabila argumen ini ditelusuri lebih jauh, aturan perilaku orang
Indonesia sudah ada bahkan sebelum WvS diberlakukan di Indonesia.
Aturan perilaku orang Indonesia itu sekarang terangkum dalam Pancasila,
yang nilai-nilainya digali dari hukum adat, hukum asli Indonesia, sehingga
sudah seharusnya pengembangan hukum pidana berakar pada hukum
asli bangsa sendiri dengan memperhatikan pula perkembangan nilai-nilai

307
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

tersebut, ilmu pengetahuan, dan teknologi.


Ada beberapa persoalan besar yang menghadang berkaitan dengan
pembaharuan hukum pidana nasional. Pertama, berkaitan dengan tujuan
utama pembaharuan hukum pidana nasional adalah menciptakan suatu
kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum
pidana (WvS) yang merupakan warisan kolonial; kedua, berkaitan dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multicultural, terdiri dari
berbagai macam suku bangsa yang tersebar dan terbentang luas pada
di wilayah Indonesia, yang tentu saja memiliki aturan normatif perilaku
tersendiri terlepas dari pengaturan yang dilakukan oleh negara.
Sebenarnya kedua permasalahan itu bukan untuk dipertentangkan,
malah seharusnya menjadi sebuah kekuatan dan ciri khas dalam
pengembangan hukum pidana nasional. Akan tetapi untuk sampai kepada
keinginan tersebut, artikel ini bermaksud untuk melihat lebih jauh apakah
keinginan untuk melakukan kodifikasi dan/atau unifikasi hukum pidana
dapat tercapai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat plural
itu.

II. Keniscayaan Pluralisme Hukum di Indonesia.


Tujuan untuk mengembangkan hukum pidana berupa keinginan
memiliki suatu kitab hukum pidana yang tunggal (kodifikasi dan/
unifikasi) sesungguhnya merupakan suatu keinginan yang nampaknya
agak berlebihan apabila dihadapmukakan dengan kenyataan sosiologis
maupun historis masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah obsesi politis tentu
saja hal ini patut diapresiasi, akan tetapi dalam pandangan yang lebih
holistis, upaya tersebut tampak perlu dipikir ulang.
Adalah suatu kenyataan historis bahwa bangsa Indonesia terdiri dari
masyarakat yang multikultural. Melihat kenyataan ini dan dengan upaya
untuk menjadi negara demokratis yang ditunjukkan dalam proses politik
ketatanegaraannya, dan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat
sebagaimana tertuang dalam konstitusi, serta perkembangan penyelesaian
perkara pidana yang berkembang ke arah non litigasi, sudah seharusnya
memikirkan kembali arah dan perkembangan hukum pidana. Apabila
kodifikasi dan unifikasi tetap menjadi tujuan utama atau dengan kata lain
menempatkan ideologi sentralisme hukum sebagai arah pengembangan
hukum pidana, maka akan sangat sulit bagi warga negara yang plural untuk
menemukan kebenaran yang substansial. Roh keadilan yang diberikan
oleh negara tentu saja berbeda dengan roh keadilan yang ditemukan dalam
penyelesaian melalui jalur hukum lokal.

Lihat dan bandingkan dengan Nyoman Serikat Putera Jaya, 2002, Relevansi Hukum Pidana
Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana Adat Bali). Disertasi.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

308
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Dominasi sentralisme hukum ini menyebabkan sistem hukum lain


tergusur, diabaikan atau tersubordinasi oleh hukum negara atau dengan
kata lain sistem hukum lain itu tenggelam di tengah hegemoni hukum
negara. Kondisi ini menyebabkan timbulnya kesulitan-kesulitan secara
sosio kultural pada masyarakat adat dalam mengadaptasi regulasi negara
sehingga menimbulkan beban budaya pada masyarakat tersebut. Pada
kondisi yang demikian, oleh I Nyoman Nurjaya, hukum negara difungsikan
sebagai governmental social control atau sebagai the servant of repressive power,
atau sebagai the command of a sovereign backed by sanction.
Pemberlakuan satu hukum, satu sumber hukum pidana untuk seluruh
wilayah Indonesia dengan mengabaikan keberadaan pengaturan otonom
masyarakat yang beraneka ragam dalam kajian antropologi hukum disebut
sentralisme hukum (legal centralism), yang seringkali dipertentangkan
dengan pluralisme hukum, suatu ideologi yang mengakui keberadaan
berbagai pengaturan norma otonom dari masyarakat yang beragam.
Ideologi sentralisme hukum menganggap hukum yang berlaku untuk
semua orang dalam suatu negara adalah hukum negara (state law) dengan
unifikasi dan kodifikasi sebagai proyek besarnya. Ini berarti sistem hukum
lain selain hukum negara keberadaannya diabaikan atau tersubordinasikan.
Berkaitan dengan ideologi sentralisme hukum ini, Griffiths berpendapat
bahwa
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state,
uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single
set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings,
such as the church, the family, the voluntary association and the economic
organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate
to the law and institutions of the state
Ideologi sentralisme hukum hanya mungkin diterapkan dalam suatu
pemerintahan yang kuat, otoriter, di mana kekuatan negara begitu powerful
sehingga tak ada kekuatan lain dalam negara tersebut yang mampu
menyamainya. Sentralisme hukum yang didukung oleh kekuasaan itu
begitu menakutkan sehingga tertib hukum lain terabaikan, dan jika pun
muncul akan tergilas oleh besarnya kekuatan hukum negara. Sentralisme
hukum mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum
negara tetap dipandang sebagai superior (disebut pula sebagai municipal

Lihat mengenai beban budaya pada masyarakat Sabu menghadapi regulasi negara dalam
Bernard L. Tanya, 2000, Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara, Analisis Budaya Atas
Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara, Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum Undip Semarang.

I Nyoman Nurjaya, Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, artikel dalam Majalah Forum Keadilan, No. 51, 30 April 2006, hlm. 45.

Pada bagian lain, Griffiths mengatakan bahwa “… law is and should be the law of the state,
uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions”.
Lihat dalam John Griffiths, “What is Legal Pluralism”, Journal of Legal Pluralism and Unofficail Law,
No. 24, 1986, The Foundation of Journal of Legal Pluralism, hlm. 4 dan 12.

309
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

law sebagai sistem yang dominan), dan sementara itu sistem-sistem


hukum yang lain bersifat inferior (disebut pula sebagai servient law) dalam
hierarkhi sistem hukum negara. Inilah yang dalam kajian pluralisme
hukum dikatakan sebagai weak legal pluralism.
Berlawanan dengan weak legal pluralism adalah strong legal pluralism,
merupakan produk ilmuwan sosial, berupa pengamatan ilmiah mengenai
fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok
masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukanya
sehingga tiada hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih
tinggi dari yang lain. Griffiths memasukkan pandangan beberapa ahli ke
dalam pluralisme hukum yang kuat ini, antara lain adalah teori living law
dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan
normatif yang dikontraskan dengan hukum negara.
Pandangan yang dapat dikategorikan sebagai strong legal pluralism
adalah pandangan yang dikemukakan oleh Sally Falk Moore mengenai
semi-autonomous social field. Dalam hal ini, Griffiths mengadopsi pengertian
pluralisme hukum dari Moore, yaitu Legal pluralism refers to the normative
heterogenity attendant upon the fact that social action always takes place in a
context of multiple, overlapping “semi-autonomous social field”. Semi-autonomous
social field ini berkaitan dengan kapasitas kelompok-kelompok sosial (social
field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-
regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya.
Sementara itu Moore mengartikan hukum sebagai the self regulation of a
‘semi-autonomous social field.

Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah
konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem
hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan.
Ibid, hlm. 11; lihat pula Sulistiyowati Irianto, 2003, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme
Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya, artikel dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 4
Tahun XXXIII, Oktober-Desember, FH UI Jakarta, hlm. 491-492; K. von Benda-Beckmann, Pluralisme
Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam Tim HuMa (ed), 2005, Pluralisme
Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: HuMa, hlm. 29. Dalam perkembangannya,
interaksi itu lebih banyak dipelajari dalam kerangka hukum kolonial atau dalam era modernisasi
hukum di negara-negara berkembang sebagaimana dikatakan oleh Hooker, “The interaction is most
often studied now in the context of colonial law or in the law modernization programmed of developing
countries”. Lihat dalam B. Hooker, 1975, Legal Pluralism: Introduction to Colonial and Neo-Colonial
Law, London: Oxford University Press, hlm. 3 dan 6.

Istilah yang digunakan Griffiths untuk tipe pluralisme hukum ini adalah pluralisme ”kuat” atau
”deskriptif” atau dalam istilah Woodman disebut sebagai pluralisme ”dalam”, yang menunjuk pada
suatu situasi yang di dalamnya dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan, dengan masing-
masing dasar legitimasi dan keabsahannya. K. von Benda-Beckmann, Ibid.

Sulistiyowati Irianto, Sejarah …, op.cit, hlm. 492; I Nyoman Nurjaya, op.cit, hlm. 11.
 Sally Falk Moore, 1983, Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an
Appropriate Subject of Study, dalam Sally Falk Moore, Law as Process, An Anthropological Approach,
London: Routledge & Kegan Paul, hlm. 54-81; Brian Z. Tamanaha; 1993, The Folly of the “Social
Scientific” Concept of Legal Pluralism, makalah dalam The IXth International Congress of Commission
on Folk Law and Legal Pluralism, Law Faculty, Victoria University of Wellington, New Zealand, hlm.
24-25; Sulistiyowati Irianto, Sejarah …, op.cit, hal. 493; Valerina J.L. Kriekhoff, Tinjauan Antropologi
Mengenai Hak Masyarakat Adat dan Wewenang Negara, hlm. 177 dan Sulistyowati Irianto dalam

310
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Kritik terhadap tipe-tipe pluralisme hukum datang dari Tamanaha,


berupa penolakan terhadap kedua tipe itu. Pluralisme hukum yang kuat
dalam pandangannya menganjurkan suatu ideologi anti negara, yang
berarti bahwa hukum masyarakat “asli” pada dasarnya baik, namun ia
menganggapnya alasan ini tak mencukupi. Pluralisme hukum deskriptif
ini memberi ruang pada suatu kenyataan bahwa di beberapa tempat,
dan dalam banyak konteks, pluarlisme ini dominan. Hal yang menonjol
adalah bahwa pluralisme jenis ini mengusung sebuah pertanyaan empiris
“apakah, dalam kondisi apa, dan mengapa” aturan normatif lain selain
hukum negara dimungkinkan memainkan peranan dalam konteks dan
tempat tertentu bahkan lebih penting dibanding hukum negara.
Melihat kenyataan tersebut, maka sesungguhnya pluralisme hukum
di Indonesia merupakan suatu keniscayaan, termasuk dalam hukum
pidana. Upaya untuk menjadikan KUHP ataupun RUU KUHP sebagai
satu-satunya sumber huku pidana, akan selalu berhadapan dengan aturan
normatif pada masyarakat yang bersifat otonom. Tentu saja pluralisme ini
tidak untuk atau selalu harus dipertentangkan dengan sentralisme hukum,
akan tetapi perlu dipertemukan, diperbincangkan, agar tercipta harmoni
dalam kehidupan masyarakat dan khususnya hukum pidana Indonesia.

III. Pengembangan Hukum Pidana Indonesia.


Masyarakat terus berkembang, ilmu pengetahuan dan teknologi juga
semakin cepat berubah, dan KUHP dihadapkan pada tantangan untuk
menjawab persoalan yang timbul. Memang pada awalnya kodifikasi
– hukum pidana/KUHP – diharapkan dapat menjawab setiap tantangan
jaman sebagaimana anggapan pada kodifikasionis (codificasionism). Akan
tetapi kemudian segera terlihat bahwa KUHP ternyata tidak seperkasa
yang diperkirakan itu.
Anggapan bahwa kodifikasi akan mengatasi semua persoalan hukum
adalah merupakan suatu angan-angan yang berlebihan. Anggapan
itu hanya akan membuka jalan bagi terjadinya kesulitan-kesulitan di
belakang hari. Pembuat hukum tidak akan mampu mengatasi adanya
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dalam perundang-
undangan pada umumnya dan kodifikasi pada khususnya. Hukum proses
sosial menyatakan bahwa problem (baru) senantiasa akan timbul, maka
bagaimanapun sempurnanya pembuat hukum mengatasi kekurangan-
kekurangan tersebut, ia tidak dapat menolak timbulnya problem baru di
kemudian hari, dan apabila yang demikian itu timbul, maka yang sudah
E.K.M. Masinambow (ed), 2003, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta: Yayasan Obor, hlm. 68.
Lihat pula contoh semi-autonom social field dan self-regulation pada orang Rimbo di Kawasan Hutan
Bukit Dua Belas, Jambi dalam I Nyoman Nurjaya, Hukum Orang Rimbo Versus Hukum Negara: Kasus
Tetumbang Di Kawasan Hutan Bukit Dua Belas, Jambi, dalam E.K.M. Masinambow (ed), op.cit, hlm.
209-222.

K. von Benda-Beckmann, Pluralisme …, op.cit, hlm. 30

311
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

sempurnapun akan menjadi kurang.10


Sebagai akibat perkembangan masyarakat seperti disebutkan di atas,
ternyata KUHP tak dapat menampung semua permasalahan yang timbul
di masyarakat. Bukan hanya tidak dapat menampung perkembangan
jaman, sejak lahirnya para pembuat KUHP sudah tidak konsisten dengan
asas kodifikasi yang nampak dari pertama kalinya diberlakukannya
KUHP. KUHP yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan pada UU No. 1
Tahun 1946 kemudian disimpangi dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1951
tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. Undang-
undang ini lahir sebagai upaya untuk mengakomodasi hukum yang hidup
dalam masyarakat (hukum pidana adat). Setelah itu lahirnya berbagai
perundang-undangan yang menyimpang atau sebagian atau seluruhnya
dari KUHP. Dengan kata lain, terhadap kodifikasi hukum pidana (KUHP)
telah dilakukan berbagai modifikasi untuk menjawab tantangan jaman.
Berdasarkan sejarah pembuatan dan pemberlakuan hukum pidana
sampai saat ini, tampak bahwa negara masih menjadikan kodifikasi dan
unifikasi hukum pidana sebagai ujung tombak meski terbukti kegagalannya
dalam menjawab tantangan jaman. Modifikasi hanya merupakan varian
dari kodifikasi yang diberikan negara karena menganut kodifikasi terbuka.
Akan tetapi kofidikasi terbuka tetap menjadikan sentralisme hukum
sebagai ideologinya.
Pengembangan hukum pidana ke depan memang sudah nampak
untuk kembali menonjolkan kodifikasi sebagai salah satu ujung tombaknya.
Ini terbukti dengan telah dirampungkannya RUU KUHP, di mana meski
dikatakan menampung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, akan
tetapi tetap saja tak bisa menyelesaikan semua persoalan yang muncul di
kemudian hari kelak. Ini memang sifat khas hukum pidana yang selalu
memiliki keterbatasan. Orientasi pengembangan hukum pidana materiil
di masa mendatang, mau tidak mau harus memperhatikan tiga hal, yaitu:
1. Arah perkembangan bangsa Indonesia di masa lalu, masa kini dan
masa yang akan datang. Akan dibawa kemanakah pengembangan
hukum pidana materiil ini di masa mendatang dengan berpijak pada
kondisi masa lalu dan masa kini. Sebagaimana kondisi geografis, peta
hukum kita pun beada di antara dua kekuatan besar, yaitu sistem
hukum Common Law dan Civil Law. Apakah kita akan memihak
salah satu atau menggabungkan kedua sistem hukum itu sebagai basis
dalam pengembangan hukum pidana materiil. Tentu ini memerlukan
pemikiran yang tidak sekadar seketika.
2. Perkembangan budaya dari berbagai suku bangsa di tanah air. Tak
dapat dipungkiri bahwa negara kita terdiri dari beragam suku bangsa,
sehingga penetapan suatu aturan pidana yang berlaku untuk seluruh
10
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 92-93.

312
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

warga negara akan berdampak pada kehidupan berbagai suku bangsa


itu. Dapat terjadi aturan pidana yang dibuat akhirnya menjadi beban
bagi suku bangsa tertentu. Sebagai contoh dapat diambilkan dari UU
No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Bagi masyarakat Bali dan Papua,
undang-undang tersebut menjadi beban, dan jika sudah menjadi beban
maka jangan ditanyakan mengenai efektivitasnya.
3. Memperhatikan perkembangan internasional tentang hukum pidana
melalui berbagai konvensi baik yang diprakarsai oleh PBB maupun
lembaga-lembaga lain. Sebagai bagian dari warga dunia, Indonesia
tak lepas dari perkembangan itu, apalagi pada masa sekarang di mana
kejahatan yang bersifat transnasional semakin banyak terjadi.
Semua perkembangan itu membawa kita kepada arah pengembangan
hukum pidana di masa mendatang. Apakah aturan pidana yang terbentuk
akan beradaptasi atau menolak dengan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, akan dikembalikan lagi kepada kepekaan para pembuat
undang-undang.
Harapan untuk menjadikan hukum pidana kita bernyawa Indonesia
masih memerlukan perjuangan panjang, mengingat aturan hukum
peninggalan kolonial masih cukup banyak. Untuk itu dalam pengembangan
hukum pidana, Muladi mengemukakan harapan-harapan dibentuknya
suatu hukum pidana materiil di masa mendatang dengan lima karakteristik
operasional, yaitu:11
1. Hukum pidana nasional dibentuk tidak hanya sekadar alasan sosiologis,
politis dan praktis semata-mata namun secara sadar harus disusun
dalam kerangka ideologi nasional Pancasila;
2. Hukum pidana nasional di masa mendatang tidak boleh mengabaikan
aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi
Indonesia;
3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan
kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh di dalam
pergaulan masyarakat beradab;
4. Hukum pidana mendatang harus memikirkan aspek-aspek yang
bersifat preventif;
5. Hukum pidana nasional harus selalu tanggap terhadap perkembangan
ulmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitas
fungsinya dalam masyarakat.
Mendasarkan pada pendapat Muladi mengenai pengembangan
hukum pidana materril di masa mendatang, pendapat dari para ahli
antropologi hukum mengenai keadilan yang dapat ditemukan di banyak
ruang, kenyataan historis, sosiologi dan antropologi, serta perkembangan
11
Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Mendatang, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Undip, Semarang, hlm. 40-41.

313
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

penyelesaian perkara pidana yang rumit dan berbelit, perlu dikembangkan


upaya untuk memupus jalan buntu kerumitan birokrasi peradilan dan
penemuan keadilan substansi. Jalan lain adalah dengan memberi kebebasan
kepada pihak berperkara untuk menyelesaikan dan menemukan solusi
atas persoalan yang mereka hadapi, atau yang dikenal sekarang dengan
istilah restorative justice.
Apabila dilihat perkembangan pembaharuan hukum pidana dengan
mendasar pada pembahasan RUU KUHP, khususnya Pasal 2, terdapat
pengakuan akan eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa. Juga Pasal 756 ayat (1) berupa pengakuan
delik ada sebagai tindak pidana menurut RUU KUHP. Hal lain yang patut
diapresiasi adalah pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat.
Apa yang dirancang oleh penyusun RUU KUHP nampaknya memang
ingin menampung keberadaan hukum pidana adat, sekaligus pengakuan
bahwa tak mungkin mengatur secara tunggal masyarakat Indonesia
dalam ”hanya” sebuah kitab hukum. Bukan hanya itu, jika dipandang
dari sudut internasional, pencantuman pasal-pasal tersebut di atas telah
sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada The Seventh United Nation
Conggres on Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, point
15 huruf c yang menyatakan bahwa the respective traditions and customs
making maximum and effective use of human indigenous options.
Hukum adat atau hukum pidana adat bukanlah hukum yang
statis, tetapi dinamis, sehingga jika ada persoalan-persoalan yang tiada
bandingannya dalam hukum pidana (KUHP), sesungguhnya hukum pidana
adat bisa lebih cepat merespon daripada hukum pidana hasil kodifikasi.
Hukum negara (pidana) memiliki prosedur dan birokrasi apabila ingin
membuat aturan baru, baik amandemen maupun perundang-undangan
khusus yang memakan waktu cukup lama. Meskipun ada sarana berupa
penafsiran atau interpretasi hakim, akan tetapi ini pun memakan waktu
karena prosedur peradilan tak dapat serta merta memutuskan perkara
pidana yang tiada atau tidak jelas hukumnya.
Hukum adat tidak menerapkan birokrasi – baik dalam pembuatan
aturan maupun peradilan – sedemikian rumit seperti pada hukum negara
(pidana), demikian pula dalam hal kecepatan penyelesaian perkara pidana,
sehingga dalam hal kemudahan dan kecepatan, hukum pidana adat bisa
diandalkan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengembangan ataupun
pembaharuan hukum pidana Indonesia tak bisa dibatasi dengan sekat-
sekat kodifikasi, perlu ada upaya yang seimbang untuk mengembangkan
hukum pidana adat, agar hukum pidana adat yang merupakan warisan
budaya bangsa tidak berada pada posisi tersubordinasi dengan hukum
negara (pidana)

314
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

IV. Simpulan.
Pengembangan hukum pidana yang berorientasi pada terciptanya
hukum pidana yang tunggal melalui proyek kodifikasi dan unifikasi
hukum akan menghadapi sebuah dilema apabila dihadapmukakan dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural yang masing-
masing memiliki aturan normatif dan otonom tersendiri. Pengakuan akan
keberadaan aturan atau hukum tidak tertulis yang dipunyai oleh masyarakat
adat pada beberapa pasal pada RUU KUHP sesungguhnya merupakan
pengakuan sekaligus pemakluman bahwa kodifikasi dan unifikasi yang
bersifat ketat dan tunggal sebagaimana aslinya asas ini dikembangan di
Eropa, tak dapat diterapkan secara ketat di Indonesia. Dengan demikian
pluralisme hukum dalam hukum pidana merupakan suatu keniscayaan.
Tampaknya pandangan ini perlu diketahui dan dipahamkan bagi penegak
hukum agar tidak terlalu memaksakan berlakunya hukum negara pada
masyarakat tertentu, sekaligus menegaskan tugas konstitusional seorang
penegak hukum (terutama hakim) untuk menggali, mengikuti, memahami
dan melaksanakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pada
penegakan hukum.

Daftar Pustaka.
Benda-Beckmann, K. von. Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan
Perdebatan Teoritis, dalam Tim HuMa (ed), 2005, Pluralisme Hukum,
Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: HuMa;
Falk-Moore, Sally. 1978. Law as Process: An Anthropological Approach.
London: Routledge & Kegan;
-------. 1983. Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an
Appropriate Subject of Study, dalam Sally Falk Moore, Law as Process,
An Anthropological Approach, London: Routledge & Kegan Paul;
Griffiths, John. “What is Legal Pluralism”. Journal of Legal Pluralism and
Unofficail Law, No. 24, 1986. The Foundation of Journal of Legal
Pluralism;
Hooker, B. 1975. Legal Pluralism: Introduction to Colonial and Neo-Colonial
Law. London: Oxford University Press;
Irianto, Sulistiyowati. 2003. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran
Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya”. Majalah
Hukum dan Pembangunan No. 4 Tahun XXXIII, Oktober-Desember,
FH UI Jakarta;
Jaya, Nyoman Serikat Putera. 2002. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana
Adat Bali). Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas
315
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Indonesia;
Masinambow, E.K.M. (ed). 2003. Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta:
Yayasan Obor;
Muladi. 1990. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Mendatang.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Undip, Semarang;
Nurjaya, I Nyoman. ”Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Majalah Forum Keadilan, No.
51, 30 April 2006;
Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti;
Tamanaha, Brian Z. 1993. The Folly of the “Social Scientific” Concept of
Legal Pluralism, makalah dalam The IXth International Congress
of Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Law Faculty,
Victoria University of Wellington, New Zealand;
Tanya, Bernard L. 2000. Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara,
Analisis Budaya Atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi
Regulasi Negara. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Undip
Semarang.

316
SPHN 2013:
KEWENANGAN HAKIM
PEMERIKSA PENDAHULUAN
(TULISAN HASIL ”CALL FOR PAPERS”)
HAKIM KOMISARIS
DALAM “PATRONASE YUDISIAL”

Oleh:
Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang – Jawa Timur)

I. Pendahuluan.
“Äda resiko yang tidak bisa kita hindari jika kita melangkah, tetapi lebih
beresiko lagi kalau kita tidak melangkah kemanapun”, demikian ungkap Peter
Drucker menyikapi atau memaknai langkah yang dilakukan elemen
strategis negara (Abdul Wahid, 2010). Salah satu elemen strategis negara
yang sering menghadapi resiko saat mengonstruksi langkah adalah aparat
penegak hukum.
Langkah yang dikonstruksi aparat yudisial tentulah mengandung
resiko kecil dan besar, namun jika kinerjanya dijadikan sebagai tantangan
logisnya untuk mewujudkan profesionalisme, maka sosok penegak hukum
demikian potensial sukses membentuk kepribadiannya menjadi pilar
yudisial bermental pejuang, pembangun, atau pembaharu, dan militan.
Sampai sejauh ini, publik menilai dan bahkan mengeksaminasi
kalau jagad hukum merupakan jagad yang berwarna sengkarut, yang
salah satu akarnya berasal dari kesalahan aparat penegak hukum dalam
menunjukkan kinerjanya. Ketidakprofesionalan dan malapraktik profesi
dikonklusi publik sebagai akar penyebab buruknya indek prestasi aparat
penegak hukum itu.
Setidak-tidaknya sejak tahun 1981 (kelahiran Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana: UU Nomor 8 Tahun 1981) hingga sekarang, tidak
sedikit dijumpai adanya praktik-praktik bercorak dehumanisasi atau
“tiranisasi” aparat terhadap hak-hak asasi manusia (tersangka), padahal
idealisme historis kelahiran KUHAP itu sejatinya sebaga jawaban atas
kegagalan produk lama (kolonial) HIR dalam melindugi HAM.

II. Idealisme Versus Patronase Yudisial.


Dalam perspektif Mardjono Reksodiputro (1995), fungsi hukum
acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak
serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan
318
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum


dan pengadilan..
Selain itu, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada
negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan
yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga
merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum serta pihak
lain yang terlibat (penasihat hukum). Sayangnya kemudian, beragam
permasalahan terjadi, diantaranya adalah “penggunaan kewenangan yang
tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum”. (Mien Rukmini,
2003, dalam Muhtarom, 2010).
Faktanya, relasi antara aparat dengan tersangka masih menunjukkan
pola “patronase yudisial”, artinya saat tersangka berhadapan dengan
aparat (penyidik) dalam konstruksi implementasi sistem peradilan
pidana (criminal justice system), peran yang ditunjukkan aparat leboh
sering menunjukkan dirinya sebagai “tuan”, sementara tersangka masih
menempati status sebagai “obyek” yang ditempatkan dalam ranah
ketertindasan, keteraniayaan, dan banyak kehilangan hak fundamentalnya
(Abdul Wahid, dkk, 2011).
Model penyalahgunaan kewenangan atau disain “patronase yudisial”
dalam sistem peradilan pidana itu jelas bukan hanya mengakibatkan
terampasnya hak-hak asasi tersangka dan ternodanya idealisme produk
legislasi yang responsif-progresif, tetapi juga dapat berdampak pada
menguatnya konklusi kalau negara hukum sedang terjerumus dalam
kegagalan menjalankan misi fundamentalnya.
Negara hukum tidak bisa dilepaskan dari pengertian negara demokrasi.
Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang
demokratis. Dalam negara yang demokrasi, hukum diangkat, dan
merupakan respon dari aspirasi rakyat. Oleh sebab itu hukum dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (Adnan Buyung Nasution, 1983 &
Von Savigny dalam Purnadi Purbacaraka & M. Chaidir Ali,1986).
Ketika “patronase yidisial” masih sulit didekonstruksi, maka hal ini
layak dijadikan sebagai indikator kalau karakter negara hukum, setidaknya
yang terbaca dalam pemeriksaan pendahuluan, masih belum membumi.
Erman Radjagukguk mengingatkan, bahwa penegakan hukum
merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan. Penegakan
hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna.
Kelemahan utama bukan pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi
pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan
dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan
hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan
kebenaran.

319
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Sebagai sampel kasus yang membenarkan misalnya, apabila dalam


suatu pemeriksaan pada tingkat penyidikan terdapat adanya tindakan
kekerasan (violence) oleh pihak penyidik terhadap tersangka, maka perilaku
demikian dapat mempengaruhi proses pidana pada tahap berikutnya,
misalnya bagi Kejaksaan selaku penuntut umum serta bagi hakim pada
tahap pemeriksaan di pengadilan. Bagi pihak kejaksaan dapat menolak
suatu Berita Acara Penyidikan dengan alasan adanya pemeriksaan secara
kekerasan, sedangkan bagi Hakim dapat membatalkan suatu dakwaan
terhadap terdakwa karena keterangan yang diberikannya kepada penyidik
adalah berdasarkan tekanan baik secara phisik maupun psikis (kejiwaan)
(Jawak, dkk, 2011).
Dalam penelitian Jawak dkk disebutkan, bahwa adanya kewenangan
yang diberikan Undang-undang kepada penyidik, tidak jarang masih
terjadi penyimpangan, sehingga seringkali tindakan penyidik mengundang
kontroversi di masyarakat. Tindakan penyimpangan terhadap
kewenangan yang dilakukan POLRI dianggap sebagai pelanggaran hak-
hak asasi manusia. Dari beberapa data ditemukan adanya penyimpangan
kewenangan yang dilakukan penyidik dengan melakukan tindak kekerasan
(violence) dan (torture (penyiksaan) yang sangat mempengaruhi kondisi si
tersangka baik secara jasmani maupun mentalnya pada waktu penyidikan
terhadap tersangka.
Penyimpangan yang dilakukan itu mengindikasikan, bahwa dalam
UU Nomor 8 tahun 1981 menyimpan kelemahan secara substansial.
Kelemahan ini kemudian secara langsung atau tidak langsung membuka
ruang secara verbal, psikis maupun fisik pada penyidik untuk terdorong
melakukan berbagai jenis kekerasan terhadap tersangka. Kelemahan
demikian tidak ubahnya sebagai bentuk kelemahan terhadap bangunan
sistem peradilan pidana, karena UU ini menjadi “buku pintar” yang
menentukan kuat tidaknya konstruksi peradilan, khususnya di lini kinerja
setiap aparat penegak hukum.

III. Kerawanan dalam Criminal Justice System.


Membahas sistem peradilan pidana, perlu mengenal lebih awal
mengenai sistem. ”Sistem” mengandung arti terhimpun (antar) bagian
atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan
dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana”
merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan
untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan
pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini adalah pencapaian keadilan bagi
masyarakat (juctice for society) (dalam Idam Khalid, 2011). Adapunyang
menjadi pilar dalam sistem ini adalah komunitas aparat penegak hukum,
seperti polisi (penyidik), jaksa penuntut umum, hakim, dan penasihat

320
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

hokum. Mereka ini yang menentukan wajah dunia peradilan. (Muhtarom,


2010).
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) kini telah menjadi
suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan
kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Sistem
peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum
pidana dan ahli dalam criminal justice system di Amerika Serikat sejalan
dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak
hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari
meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.
Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum
adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan
hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law
enforcement”. (dalam Idam Khalid, 2011).
Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia
merupakan penjelmaan dari criminal justice system, yang merupakan
suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh
praktisi hukum (law enforcement officers).
Dalam Black Law Dictionary disebutkan, Criminal Justice System
diartikan sebagai ”the network of court and tribunals which deal with criminal
law and it’s enforcement”.
Remington dan Ohlin menyebut, bahwa criminal justice System
merupakan wujud pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme
administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pemahaman demikian ini
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara
rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan
segala keterbatasan (kekurangannya)
Mardjono Reksodipoetro, criminal justice system merupakan sistem
dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Sedangkan
Muladi, berpendapat, sistem peradilan pidana merupakan jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Akan tetapi, menurut
Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu
berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja
akan membawa bencana berupa ketidakadilan (Dalam Mustofa, 2011).
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses
penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali
dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif
maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu
pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang
321
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya


peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana,
karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada
pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang
diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan
dan memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan
dan menerapkan program kebijakan yang telah ditetapkan. Jadi, semua
merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi
dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan
pelaksanaan kewenangan dan kompetensi. Ketiga fungsi ini sama-sama
tidak mudahnya jika dikaitkan dengan problem hukum dan moral di
negara ini. (Jodi Santoso, 2011 dalam Mustofa, 2011, dan Yahya Harahap,
2003)
Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa asas utama yang harus
diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab
individu harus benar-benar merasa terjamin bahwa mekanisme sistem
peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum
tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping itu,
ada dasar yang dibenarkan oleh Undang-undang hukum acara pidana
mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang
berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan
sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar
ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas
perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban
sistem peradilan pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori
yang sama. Prioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis
pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana.
(Dalam Ilham, 2011). Dalam ranah inil, aparat penegak hukum mestilah
berelasi dengan eksaminasi profesinya, termasuk di antaranya hakim
komisaris, karena hakim komisaris juga mengisi “wilayah” peran strategis
dalam penentukan implementasi sistem peradilan pidana.
Konstruksi dalam criminal justice system itulah yang bermaksud
diperkuat oleh RUU KUHAP yang bermaksud menggantikan atau
mengamandemen UU Nomor 8 tahun 1981. Salah satu substansi
pembaruan istimewa yang digariskan dalam RUU KUHAP adalah soal
kehadiran hakim komisaris dalam pemeriksaan pendahuluan atau tahapan
pemeriksaan terhadap tersangka yang dilakukan oleh penyidik.
Oleh sebagian praktisi (lawyers), eksistensi hakim komisaris dalam
sistem peradilan pidana (criminal justice system), dinilainya sebagai salah
satu opsi strategis dalam ranah pemberian garansi advokasi HAM (hak
asasi manusia) kepada setiap orang yang sedang menjalani proses pidana,
yang diimulai dari tahap penangkapan, penahanan, penyitaan, atau
penggeledahan, yang semua tahapan ini dikenal dengan upaya paksa
(dwang middelen).
322
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Apabila dalam pelaksanaan upaya paksa tersebut diduga terjadi


pelanggaran terhadap rule of law atau apa yang dilakukan oleh aparat
penyidik atau jaksa mengandung unsur berlawanan dengan keabsahan
prosedur yuridis, maka tindaan demikian dikategorikan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia. Dalam ranah inilah kehadiran hakim
komisaris diyakini dapat mengawasi (examinating judge) realitas kinerja
dan kompetensi yang dilakukan oleh penyidik. Masalahnya, apalah
nantinya hakim komisaris bisa maksimal memainkan peran examinating
judge, padahal dalam ranah ini masih kuat pola “patronase yudisial”?

IV. RUU KUHAP dan Hakim Komisaris.


Sejatinya, hakim komisaris bukan istilah baru di Indonesia, pasalnya
pada saat diberlakukannya reglement op de Strafvoedering, eksistensi
normatif hakim komisaris ini sudah diatur dalam titel kedua tentang Van de
regter-commissaris. Dalam ranah pelaksanaan criminal justice system, hakim
komisaris mengisi akan “wilayah” pemerikasaan pendahuluan, yang sejak
peradilan pidana diberlakukan di negeri ini dikenal sebagai wilayah rawan
pelanggaran hak asasi manusia (tersangka).
Dalam tataran normatif itu, hakim komisaris berfungsi sebagai
pengawas (examinating judge) untuk mengawasi atau mengeksaminasi
apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen), yang meliputi
penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat,
benar-benar dilakukan sesuai kebenaran dan ketepatan prosedur ataukah
tidak.
Masuknya ide hakim komisaris ke dalam RUU KUHAP itu merupakan
adopsi dari sistem Eropa Kontinental seperti yang diberlakukan di Belanda.
Hakim Komisaris muncul dalam sistem hukum Belanda beridealisme
mengontrol atau mengawasi implementasi hukum acara pidana.
Perlu kita jadikan sebagai bahan refleksi, bahwa saat HIR diganti
dengan UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), saat itu aparat penegak hukum
dan pemerintah ramai-ramai menyambut dan menyebut KUHAP sebagai
karya agung. Mengapa KUHAP distigma karya adiluhung?
Stigma “karya agung” ternyata dikaitkan dengan substansi
dalam KUHAP yang dikaitkan dengan pasal-pasalnya yang dinilainya
mengandung perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (tersangka),
yang di produk yuridis sebelumnya (HIR) tidak memadai. Posisi tersangka
yang dalam HIR ditempatkan sebagai obyek, menjadi berubah secara
normatif dalam KUHAP.
Salah satu opsi perlindungan HAM tersangka adalah praperadilan,
yang boleh dibilang sebagai opsi istimewa yang diatur dalam KUHAP,
yang oleh HIR tidak diaturnya. Praperadilan diberikan oleh negara pada
323
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

masyarakat, pencari keadilan atau tersangka untuk melindungi dan


menegakkan hak-haknya, diantaranya hak mndapatkan kepastian hukum
atas suatu proses hukum yang benar dan obyektif, serta hak terbebas dari
kekerasan atau perlakuan yang tidak menyenangkan, tidak memartabatkan,
dan mendehumanisasikan.
Sejumlah pasal yang mengatur perlindugan HAM yang dititipkan
lewat praperadilan terdapat dalam KUHAP. Praperadilan diatur dalam
pasal 1 butir 10 KUHAP Jonto Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 KUHAP,
pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s/d 46, pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132
KUHAP.
Memang praperadilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan, atau tentang permintaan
ganti-rugi atau rehabilitasi, akan tetapi juga dilakukan terhadap adanya
kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang
yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan berdasarkan Undang-undang,
karena kekeliruan mengenai orangnya (error in persona) atau hukum yang
diterapkan (Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982), atau
akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat
pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut
hukum
Kata kunci praperadilan tersebut soal eksaminasi kebenaran
(ketepatan) dan kecermatan prosedur atau kinerja penyidik atau penuntut
umum. Eksaminasi ini untuk mengingatkan praktik kewenangan yang
dijalankan secara sewenang-wenang atau sistem peradilan pidana
yang diimplementasikan secara abnormal dan otoritarianisme, serta
dehumanisme.
Pihak yang berkompeten menguji kinerja tahap pendahuluan
(penyidikan/ prapenuntutan) itu adalah hakim (pengadilan). Hakim
misalnya berkompeten memutus sah tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan
yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan, sah tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan, permintaan
ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Dalam ranah yuridis tersebut, hakim praperadilan sangat menentukan
bobot kinierja penyidik atau penuntut umum. Hakim bisa menentukan
kinerja penyidik melanggar hak asasi manusia, tidak sejalan dengan rule
of game, atau berlawanan dengan hukum. Hakim juga bisa membenarkan
atau menguatkan langkah yuridis seperti soal keabsahan upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik Sikap hakim ini tidak mudah terbaca

324
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

oleh tersangka atau korban, pasalnya bukan tak mungkin hakim lebih
menjunjung tinggi hubungan kolegialismenya dengan sesama aparat
daripada dengan tersangka.
Kompetensi hakim tersebut memang sudah merambah berbagai sektor
strategis yang berhubnngan dengan pemeriksaan pendahuluan, namun
masih ada yang terlewat, yakni soal kekerasan dalam penyidikan yang
salama ini dialami tersangka. Pemaksaan yang dilakukan oleh penyidik
pada tersangka guna mendapatkan pengakuan atau testimoninya, seingkali
ditempuh oleh penyidik dengan cara-cara kekerasan atau melanggar
HAM.
Sayangnya, kompetensi hakim di era KUHAP ini tidak sampai pada
ranah eksaminasi substansi BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang diperoleh
dengan cara kekerasan. Hakim hanya menguji keabsahan prosedur atau
pengaplikasian sistem peradilan pidana (criminal justice system), dan
bukan pada kabsahan kinerja penyidik atau prisip etik-humanistik dalam
penyidikan.
Keberadaan lembaga prapedilan juga bertujuan untuk menegakkan hak
asasi manusia, berkaitan dengan sah tidaknya penangkapan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
(dalam hal ini penyidik). Namun demikian keberadaan praperadilan
mempunyai beberapa perbedaan mendasar dengan hakim komisaris.
Sekalipun tujuan keberadaan keduanya memang untuk penegakan/
perlindungan HAM, namun mempunyai perbedaan mendasar. Pertama,
dilihat dari konsep dasarnya, keduanya memiliki konsep yang berbeda.
Hakim komisaris sebagai lembaga yudikatif (kehakiman) mempunyai
hak mengendalikan terhadap jalannya pemeriksaan pendahuluan yang
dilakukan pihak eksekutif ((penyidik dan penuntut umum) berkaitan
dengan wewenangnya. Sedangkan lembaga praperadilan bersumber pada
habeas corpus yang memberikan dasar kepada seseorang yang dilanggar
haknya untuk melawan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan
terhadap dirinya. Artinya bahwa dalam praperadilan hak asasi manusia
diberikan sebagai seorang manusia yang merdeka dan dapat melakukan
perlawanan apabila dirasa upaya paksa yang dilakukan terhadap dirinya
tidak sah. Kedua, sistem pemeriksaan oleh hakim komisaris pada dasarnya
bersifat tertutup (internal) dan dilaksanakan oleh hakim terhadap penyidik,
penuntut umum, saksi-saksi atau terdakwa. Hal ini akan menghambat
transaparansi terhadap masyarakat yang berperan sebagai pengawas
terhadap jalannya persidangan artinya akan rawan dengan KKN (korupsi,
kolusi, nepotisme), sedangkan dalam sidang praperadilan dilaksanakan
secara terbuka untuk umum dan dapat disaksikan oleh publik (masyarakat).
Model persidangan demikian identik dengan pemberian kesempatan pada
publik untuk memberikan kontrol. (Jodi Santoso, 2003, dalam Mustofa,
2011).

325
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Sebagai perbandingan: Pada Negara-Negara Anglo Saxon, seperti


Amerika Serikat dan Inggris, ada aturan keras dan tegas yang menyebutkan
larangan penggunaan alat bukti yang diperoleh penyidik secara tidak sah
dan melanggar UU. Di Amerika Serikat, validitas atau tidaknya suatu
pembuktian yang diperoleh secara tidak sah itu dikembangkan oleh
US Supreme Court (Mahkamah Agung Amerika Serikat) dalam bentuk
Exclusionary Rules, agar warga negara atau siapapun yang terlibat perkara
hokum pidana terhindar dari tindakan-tindakan aparat penegak hukum
yang sewenang-wenang. Begitu pula dengan Miranda Case (Miranda vs
Arizona tahun 1966), sebagaimana diungkapkan oleh John Kloter dan Darl
L Meier dalam bukunya Criminal Evidence For Police. Miranda didakwa
melakukan tindak pidana di suatu tempat negara bagian Arizona, tetapi
pada saat polisi melakukan penanangkapan ternyata tidak memberitahukan
hak tersangka untuk diam (Have the right to remain silent) dan mendapat
bantuan hukum (right to have a counsel), sehingga kelalaian pejabat polisi/
penyidik itu membawa konsekuensi terhadap pembebasan terdakwa oleh
Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dikenal dengan case law system-
nya (Dalam Muhtarom, 2010), dalam Idham Khalid, 2011).
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU
KUHAP) hingga saat ini memang belum disahkan menjadi UU, akan
tetapi pengalaman KUHAP yang sudah mengarungi “rimba peradilan”
selama 29 tahnn atau nyaris tiga dasawarsa di bulan desember nanti, yang
tidak sepi dari berbagai bentuk pelanggaran HAM selama pemeriksaan
pendahuluan, mulai dari kesalahan tangkap orang hingga kekerasan
terhadap tersangka yang dilakukan penyidik, selayaknya dijadikan
“pekerjaan istimewa” ke depan bagi siapapun yang mendapatkan mandat
sebagai hakim komisaris.
Mandat menjadi hakim komisaris bukan sekedar peran formal yuridis
atau sebatas aksesorisme yuridis, tetapi menuntut peran empiris. Peran
yang dijalankan hakim komisaris akan menjadi pembuktian kalau dirinya
merupakan mesin yang bergerak maksimal dalam mewjudkan produk
yuridis yang benar-benar sebagai “karya agung”.

V. Penutup.
Kehadiran norma yang mengatur peran hakim komisaris dalam
pemeriksaan pendahuluan merupakan bagian dari upaya memprevensi
kemungkinan terjadinya kriminasasi terhadap criminal justice system
dengan modos pelanggaran hak-hak tersangka, yang perannya lebih
spesifik dan bernilai kepastian dibandingkan dengan peran hakim dalam
praperadilan seperti sekarang ini (era berlakunya UU Nomor 8 tahun 1981
tentang KUHAP).

326
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Pola “patronase yudisial” yang menempatkan aparat penegak hukum


sebagai tuan, sementara tersangka sebagai obyek, sosok yang tidak berdaya,
atau “budak” dalam penyelenggaran criminal justice system, menjadi
penyakit lama atau kondisi yang mereduksi kondusifitas dan progresifitas
peradilan pidana, yang oleh peran hakim komisaris, diidealisasikan bisa
disembuhkan.
Begitu pula relasi penuntut umum dengan polisi (penyidik), yang
menempatkan penyidik tidak dalam kesejatian posisi kesederajatan saat
pemeriksaan pendahuluan, juga bisa dimediasi oleh hakim komisaris,
sehingga integrasi kinerja terwujud dalam koridor kemitraan yang
demokratis, dan bukan atas dasar perintah.

Daftar Pustaka.
Abdul Wahid, dkk, Masihkah KUHAP sebagai Karya Agung, LPKI-Press,
Jakarta. 2011.
Adami Chazawi, Kemahiran Dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana,
Bayumedia, Malang, 2006.
Idam Khalid, KUHAP, Hak Asasi Manusia, dan Penegak Hukum, Visipres,
Suabaya, 2011.
Jodi Santoso, http://jodisantoso.blogspot.com/2008/02/praperadilan-
versus-hakim-komisaris.html, akses 15 September 2013.
Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982.
Mustofa, Perkembangan Hukum Acara Pidana Indonesia, Galaksi-Media,
Jakarta, 2011.
Muhtarom, Mencari Keadilan di Lorong Pemeriksaan Pendahuluan, makalah,
FGD-Indonesia Centre, Malang, 2010.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan
Kembali (Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Purnadi Purbacaraka & M. Chaidir Ali, Disiplin Hukum, Alumni, Bandung,
1986.
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(RUU KUHAP).
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.

327
ALAT BUKTI PENGAMATAN HAKIM
DALAM RUU KUHAP, SARANA
HAKIM DALAM MENEMUKAN HUKUM
(RECHTSVINDING)

Oleh:
Aries Budi, S.H.
[Advokat pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas
Muhammadiyah Malang – Jawa Timur]

Hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam


masyarakat, pendapat ini memiliki maksud, bahwa jika nilai-nilai dalam
masyarakat berubah, maka selayaknya hukum pun mengikuti perubahan
tersebut. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah, apakah hukum
yang senantiasa mengikuti perubahan tersebut dengan konsekuensi hukum
akan selalu tertinggal di belakang, ataukah hukum yang memprakarsai
perubahan tersebut.
Berbicara tentang perubahan hukum ini, kita mengingat kembali
pemeo yang sangat terkenal yaitu Ubi societas Ibi ius yang bermakna dimana
ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan
antara perubahan sosial dan penemuan hukum. Masyarakat ada dan
menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun berubah.
Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih
dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan
pasif) dan bentuk lain yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah
yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering).
Terlepas dari pandangan hukum berubah mengikuti perubahan
masyarakat atau hukum sebagai alat mengubah masyarakat, para ahli
hukum sepakat, bahwa hukum harus bersifat dinamis, tidak boleh statis
dan harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman dan pedoman
tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dijadikan
pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk
dengan berorientasi pada masa depan, hukum tidak boleh berorientasi
kepada masa lampau.
Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif
yang meliputi lembaga-lembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan
juga memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Peraturan-peraturan
328
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

yang ada saat ini kadangkala memiliki keterbatasan dalam pengaturan,


baik dalam substansi maupun dalam ruang lingkup berlakunya peraturan
tersebut. Jika penyusunan peraturan baru merupakan salah satu solusi
untuk menutupi keterbatasan peraturan yang ada, maka solusi yang lain
untuk menutupi keterbatasan peraturan tersebut yaitu dengan penemuan
hukum.
Apabila suatu perkara dibawa ke pengadilan dan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku tidak ada ketentuan yang dapat
diterapkan sekalipun ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan
sosiologis sedangkan di lain pihak hukum kebiasaan atau hukum adat
pun tidak ada peraturan yang dapat membawa hakim pada penyelesaian
perkara itu, berarti persoalan ini bersangkutan dengan kekosongan hukum
dalam sistem formil dari hukum.
Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha
mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem
materiil dari hukum. Berdasarkan beberapa ketentuan yang mengandung
persamaan, hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) dan
menurut pendapatnya, pengertian hukum itu adalah asas hukum yang
menjadi dasar lembaga yang bersangkutan. Cara kerja atau proses berpikir
hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum
yang terdiri dari konstruksi analogi, konstruksi penghalusan hukum dan
konstruksi argumentum a contrario (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008: 13).

II. Keterbatasan Alat Bukti dalam KUHAP.


Dalam sebuah persidangan keberadaan alat bukti sangatlah penting,
karena dengan adanya alat bukti akan terungkap dengan lebih jelas
dan terang kebenaran dari suatu peristiwa hukum. Menurut R. Atang
Ranomiharjo, alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan
suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim,
atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa.
Macam-macam alat bukti menurut Pasal 184 Undang-undang Nomor
8 tahun 1981 tentang KUHAP adalah:
a. Keterangan saksi.
Keterangan saksi sebagai alat bukti harus memenuhi dua syarat yaitu
syarat formil, dimana keterangan tersebut diberikan di bawah sumpah,
dan syarat materiil, bahwa isi atau materi kesaksian dari seorang saksi
harus mengenai hal-hal yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri.

329
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

b. Keterangan ahli.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Keterangan tersebut dinyatakan di depan sidang pengadilan dengan
bersumpah atau berjanji atau dinyatakan pada waktu diperiksa oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan
dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan atau
pekerjaan.
c. Surat.
Surat dalam hal ini adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-
tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksudkan untuk mengeluarkan
isi pikiran.
d. Alat bukti petunjuk.
Alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.
e. Keterangan terdakwa.
Keterangan terdakwa dalam hal ini adalah apa yang terdakwa nyatakan
di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
Permasalahan alat bukti seringkali membawa kesulitan baik lembaga
kepolisian selaku penyelidik dan/atau penyidik, lembaga kejaksaan selaku
penuntut maupun lembaga pengadilan dalam menerima, memeriksa dan
memutus perkara. Aturan mengenai alat bukti dalam KUHAP sangat
terbatas mengingat perubahan yang sangat pesat dalam masyarakat.
Adanya perubahan aturan mengenai alat bukti dalam RUU KUHAP
diharapkan memberi keleluasaan bagi hakim untuk menemukan hukum
(rechtsvinding) terhadap perkara yang dihadapinya.

III. Alat-alat Bukti dalam RUU KUHAP.


Salah satu perubahan mendasar dalam RUU KUHAP adalah aturan
mengenai alat bukti. Pasal 177 RUU KUHAP memformulasikan alat bukti
yang sah ke dalam beberapa jenis antara lain, yaitu:
a. Barang Bukti
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf a RUU KUHAP yang
dimaksud dengan barang bukti adalah barang atau alat yang secara

330
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana (real


evidence atau physical evidence) atau hasil tindak pidana
b. Surat-surat
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf b RUU KUHAP yang
dimaksud dengan surat adalah segala tanda baca dalam bentuk apapun
yang bermaksud menyatakan isi pikiran. Selanjutnya dalam pasal 178
RUU KUHAP dijelaskan secara lebih rinci, bahwa Surat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf b, dibuat berdasarkan sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni:
• Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat, atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang
tegas dan jelas tentang keterangannya;
• surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu
keadaan;
• surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta
secara resmi darinya;
• surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
c. Bukti Elektronik.
Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang
dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi
yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
d. Keterangan Ahli.
Menurut pasal 179 RUU KUHAP Keterangan ahli sebagaimana
dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf d adalah segala hal yang
dinyatakan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus, di sidang
pengadilan.

331
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

e. Keterangan Saksi.
Menurut pasal 180 ayat (1) RUU KUHAP, yang dimaksud dengan
keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf
e RUU KUHAP sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan
oleh saksi di sidang pengadilan. Sedangkan definisi saksi sendiri
menurut pasal 1 angka 25 RUU KUHAP adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana
yang dilihat sendiri, dialami sendiri atau didengar sendiri.
f. Keterangan Terdakwa.
Menurut pasal 181 ayat (1) RUU KUHAP keterangan terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf f adalah segala
hal yang dinyatakan oleh terdakwa di dalam sidang pengadilan tentang
perbuatan yang dilakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri.
g. Pengamatan Hakim
Pengamatan hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1)
RUU KUHAP adalah pengamatan yang dilakukan oleh hakim selama
sidang yang didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan atau barang
bukti yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Alat-alat bukti sebagaimana tercantum dalam pasal 177 RUU KUHAP
tersebut tidak semuanya baru, sebagaimana dimensi pembaharuan
yang disampaikan oleh Ismail Saleh, tidak perlu membongkar
keseluruhan peraturan perundang-undangan, akan tetapi yang tidak
sesuai dengan perkembangan itulah yang akan diganti. Diantaranya
yang ditambah dan diganti yaitu alat bukti berupa barang bukti, alat
bukti elektronik dan alat bukti pengamatan hakim. Sedangkan alat
bukti yang dihilangkan atau lebih tepatnya diganti yaitu alat bukti
petunjuk.

IV. Perbedaan Alat bukti Petunjuk dan Pengamatan Hakim.


Bahwa adanya penambahan ketentuan mengenai alat bukti
pengamatan hakim merupakan alat bukti yang paling potensial dalam
rangka penemuan hukum untuk perubahan hukum khususnya mengenai
hukum acara pidana. Oleh karenanya, akan kita dibahas beberapa
perbedaan antara alat bukti petunjuk dalam KUHAP dan alat bukti
pengamatan hakim dalam RUU KUHAP.
Bahwa alat bukti Petunjuk sebagaimana dalam ketentuan pasal 188
KUHAP disebutkan:
332
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Pasal 188 KUHAP:


(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari;
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Berdasarkan ketentuan diatas, dengan alat bukti petunjuk hakim bisa
mendapatkan keyakinan dengan menghubungkan keterangan saksi, surat
serta keterangan terdakwa untuk memperoleh persesuaian.
Menurut pendapat ahli pidana Wirjono Projodikoro, alat bukti
petunjuk merupakan alat bukti yang paling lemah. Penilaian atas penilaian
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah
merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil
kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat
bukti dengan alat bukti lanya dan memilih yang ada persesuaiannya satu
sama lain.
Sementara ketentuan mengenai alat bukti Pengamatan Hakim (RUU
KUHAP) disebutkan:
Pasal 182 RUU KUHAP
(1) Pengamatan hakim selama sidang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 175 ayat (1) huruf g adalah didasarkan pada perbuatan,
kejadian, keadaan, atau barang bukti yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri yang menandakan telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.
(2) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu pengamatan hakim
selama sidang dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana,
setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan
seksama berdasarkan hati nurani.
333
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Berdasarkan ketentuan diatas, dengan alat bukti pengamatan hakim,


dalam proses mencari kebenaran materiil dipersidangan, hakim diberikan
keleluasaan untuk mendapatkan persesuaian dari peristiwa pidana, alat
bukti dan pelaku melalui pengamatan langsung selama proses persidangan
berjalan. Hakim dapat menafsirkan segala keterangan yang diberikan oleh
masing-masing saksi, mengkonfrontasikan dengan keterangan terdakwa
serta menyesuaikan dengan alat bukti barang bukti dan alat bukti lainnya
yang ada.
Dahulu hakim dianggap sebagai bouche de la loi atau hakim sebagai
corong undang-undang. Hakim hanyalah pelaksana undang-undang.
Namun dalam perkembangannya hakim memiliki keleluasaan untuk
menafsirkan undang-undang. Dalam lapangan hukum pidana, hakim
diperbolehkan melakukan penafsiran ekstensif atau perluasan makna, dan
dilarang melakukan penafsiran analogi.
Keberadaan alat bukti pengamatan hakim dalam menggantikan alat
bukti petunjuk dengan segala keterbatasannya diharapkan membawa
banyak perubahan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Hakim
bukanlah corong undang-undang, melainkan sebuah lembaga independen
yang dapat membuat hukum melalui penafsiran danpenemuan hukum.
Kegiatan menafsirkan oleh hakim, terdapat unsur menciptakan,
dimana hakim menelanjangi apa yang terdapat dibelakang teks,
mengkonstantir apa yang ada dan mencipta, sebab tanpa kegiatan tersebut
tidak dapat ditemukan sebuah kebenaran materiil sebuah perkara pidana.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakim yang menemukan
hukum melalui penafsiran, maka ia telah melakukan penemuan hukum.
Penemuan hukumpun dapat dikatakan pula sebagai pembaharuan hukum
jika orientasi dari penemuan tersebut membawa perubahan.
Namun alat bukti pengamatan hakim tidak serta-merta memberikan
keleluasaan hakim untuk mendapatkan keyakinan tentang terjadinya
tindak pidana dan menentukan pelaku tindak pidana. Dalam melakukan
pengamatan, hakim dituntut untuk mengedepankan hati nuraninya
dalam menilai pemeriksaan secara cermat dengan arif dan bijaksana untuk
mendapatkan keyakinan tentang jalannya suatu perkara yang sedang
diperiksa.
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu mengalami perubahan dan
perkembangan, demikian juga dengan masyarakat dan hukum. Hukum
dibuat untuk melayani dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Perubahan atau perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi mengakibatkan juga perkembangan tindak pidana. Oleh karena
itu hukum harus mampu mengimbangi perkembangan tersebut sehingga
dapat mencegah dan menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam
masyarakat.
334
URGENSI KEBERADAAN
HAKIM KOMISARIS DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA

Oleh:
Endang Suparta, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau - Pekanbaru – Riau)

I. Pengantar.
Pembangunan sistem hukum Indonesia pasca kemerdekaan tidak
mulus dan tidak mudah, banyak produk hukum yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, salah satunya
adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), “aturan
main” dalam peradilan pidana ini sudah sejak lama dirasa perlu untuk
segera direvisi, atau bahkan bila memungkinkan sebaiknya diganti
demi perbaikan sistem penegakan hukum Indonesia. Karut marut
dalam penegakan hukum saat ini, salah satunya berkat sumbangsih dari
kekaburan (obscuur)/ ketidakjelasan batasan kewenangan yang diberikan
oleh KUHAP, sehingga dalam praktiknya sering disalahgunakan bahkan
disimpangi oleh penegak hukum demi kepentingan sesaat. Hal inilah
yang pada akhirnya menimbulkan penilaian negatif masyarakat terhadap
institusi yang tergabung dalam sistem peradilan pidana tersebut.
Sistem peradilan pidana merupakan sebuah sistem penang-gulangan
kejahatan, yang mempunyai perangkat struktur atau sub-sistem yang
seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif, dan integratif agar
dapat mencapai efisiensi dan efektifitas yang maksimal dalam penegakan
hukum. Sub-sistem tersebut terdiri dari kepolisian, kejaksaan, lembaga
peradilan, dan lembaga pemasyarakatan. Keterpaduan dan pola

Sistem peradilan pidana merupakan suatu lembaga khusus yang sengaja dibentuk guna
menjalankan upaya penegakan hukum, (khususnya hukum pidana) yang dalam pelaksanaannya
dibatasi oleh suatu mekanisme kerja tertentu dalam suatu aturan tentang prosedur hukum (yang
saat ini dikenal sebagai suatu Hukum Acara Pidana). Sistem peradilan pidana berjalan dengan
tujuan menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan jaminan atas
pelaksanaan hukum disuatu Negara. Marjono Reksodiputro memberika defenisi sistem peradilan
pidana sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti
mengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi masyarakat.Eva Achjani Zulfa, Pergeseran
Paradigma Pembinaan, PT. Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal. 19, lihat juga dalam Shinta Agustina,
Menuju Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu di Indonesia (Kajian
terhadap RUU dari Perspektif HAM), Makalah dalam Diskusi Publik tentang Membangun Dukungan
dari Masyarakat dalam Proses Advokasi RUU KUHAP, Padang, 2010, hlm. 1

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1998, hlm. 21.

Sedangkan posisi advokat dalam sistem peradilan pidana berada disekitar masing-masing
sub-sistem tersebut mengingat advokat berhak mendampingi tersangka atau terdakwa dalam setiap
tingkat pemeriksaan

335
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

kerjasama yang baik dari keempat sub-sistem tersebut sangat dibutuhkan


dalam penegakkan hukum dan keadilan. Namun sangat disayangkan, saat
ini banyak terjadi penyimpangan kewenangan pada beberapa sub sistem
tersebut yang berujung pada jual beli kewenangan dengan para pihak
yang terkait persoalan hukum, salah satunya seperti penggunaan upaya
paksa penahanan yang diserahkan sepenuhnya kepada penilaian subjektif
lembaga penegak hukum untuk menilai tingkat kekhawatirannya, akhirnya
kewenangan ini lazim disalahgunakan/ disimpangi, begitu juga dengan
kewenangan upaya paksa lainnya.
Persoalan mendasar terjadinya penyimpangan tersebut, bermula
dari sangat terbatasnya kewenangan lembaga Praperadilan, diperparah
dengan tidak efektif dan mumpuninya pelaksanaan kewenangan yang
terbatas tersebut, mengingat hanya dilaksanakan dengan hakim tunggal
dengan pola kerja yang bersifat pasif. Kewenangan yang diberikan
oleh KUHAP terhadap lembaga tersebut tidak mampu menyelesaikan
persoalan sesungguhnya yang terjadi dalam penegakan hukum. Pasal 77
KUHAP hanya memberikan kewenangan sebatas pengujian procedural/
formal atas beberapa kewenangan seperti sah atau tidaknya penangkapan,
panahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi
dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.
Akibat dari terbatasnya kewenangan Praperadilan tersebut,
dalam pelaksanaannya tidak mampu melindungi hak asasi seseorang
(tersangka atau terdakwa). Padahal konsep awalnya kehadiran lembaga
tersebut diharapkan mampu memproteksi tersangka atau terdakwa
dari penyimpangan upaya paksa dalam arti luas (dwang-middelen) yang
dilakukan oleh penegak hukum. Kegagalan inilah yang kemudian dibenahi
dengan mengganti Praperadilan dengan sebuah lembaga yang bernama
Hakim Komisaris (rechter commissaris). Keberadaan hakim komisaris dalam
hukum pidana Indonesia bukanlah hal baru mengingat saat berlakunya
Reglement op de strafvoordering, kedudukan hakim komisaris sudah diakui
keberadaannya sebagai sebuah lembaga pengawas ‘upaya paksa’ yang
dilakukan oleh penegak hukum, namun setelah diberlakukannya Herziene
Indische Reglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 tahun 1941, akhirnya
Indonesia tidak mengenal lagi yang namanya hakim komisaris, padahal
kewenangannya sangat diharapkan hadir dalam rangka melindungi hak
tersangka atau terdakwa dari kesewenangan penggunaan upaya paksa.
Beranjak dari hal tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas
Urgensi Keberadaan Hakim Komisaris Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013, dengan
tema “Arah Pembaruan Hukum Pidana Nasional” yang diselenggarakan

Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Hukum Pidana, Diadit Media Press, Jakarta, 2011, Hlm.
209.

336
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

oleh Komisi Hukum Nasional, semoga dapat memberikan sumbangsih


saran dan pemikiran ditengah karut marut hukum pidana Indonesia saat
ini.

II. Urgensi Hakim Komisaris.


Konsepsi Indonesia sebagai sebuah Negara Hukum sebagaimana
dimuat dalam UUD 1945 telah memberikan jaminan yang tegas akan
pentingnya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Perlindungan terhadap HAM dalam Konstitusi salah satunya tergambar
dari jaminan yang diberikan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
”setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Prinsip yang sama juga
ditemukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Adanya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam
Konstitusi semestinya diikuti dengan menjabarkannya ke dalam berbagai
peraturan perundang-undangan sebagai bentuk kesungguhan Negara
dalam memenuhi, menghormati, melindungi dan menegakkan hak asasi
manusia. Alternatif pilihan cara yang dapat ditempuh adalah dengan
mengganti atau merevisi peraturan perundang-undangan yang dirasa
sudah tidak sesuai lagi dengan perlindungan hak asasi manusia, khusus
dalam lingkup hukum pidana terdapat berbagai peraturan perundang-
undangan yang mendesak untuk segera diperbaharui dengan cara direvisi

Dalam sebuah Negara Hukum menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, terdiri dari beberapa
unsur, diantaranya: 1. Pengakuan dan perlindungan Hak-hak Asasi Manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, kultural, sosial dan pendidikan. 2. Peradilan
yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuasaan lain
apapun 3. Legalisasi dalam arti hukum dalam segala bentuk. Lihat Darmawan Triwibowo, Analisa
Terhadap Perkembangan & Prospek Bantuan Hukum Struktural di Indonesia, Lembaga Bantuan
Hukum Jakarta, Jakarta, 2007, hal. 27. Bandingkan juga dengan pendapat Sri Soemantri, menurutnya
dalam sebuah Negara hukum terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi, yakni; a. pemerintah
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-
undangan; b. adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; c. adanya pembagian kekuasaan dalam
Negara; d adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Lihat dalam Sri Sumantri, Bunga Rampai
Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 29, lihat juga dengan pendapat Philipus
M. Hadjon dalam bukunya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya,
1987, hlm. 76.

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat Hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Lihat dalam Ketentuan Umum Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hal penting dalam Negara hukum adalah adanya jaminan penghargaan dan komitment
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta jaminan semua warga Negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum (equality before the law). Prinsip demikian bukan hanya sekedar tertuang dalam
peraturan perundang-undangan, namun yang lebih utama adalah dalam pelaksanaan atau
implementasinya. Bambang Waluyo, Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi), Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, hlm. 1.

337
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

atau diganti karena yang dirasa sudah sangat ketinggalan jaman dan
perkembangan kebutuhan hukum.
Pembaharuan hukum pidana, khususnya hukum pidana formil
(KUHAP) merupakan masalah yang penting dan mendesak, disatu sisi
sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan,
tetapi disisi lain menjadi ancaman bagi hak asasi manusia yang semestinya
dilindungi oleh hukum pidana tersebut. Perlindungan adalah pemberian
jaminan atas keamanan, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas
segala bahaya yang mengancam pihak yang dilindungi. Dalam konteks
ini keberadaan hakim komisaris diharapkan dapat menjadi pelindung bagi
tersangka atau terdakwa atas segala penyalahgunaan kewenangan upaya
paksa yang dijalankan oleh aparat penegak hukum.
Keberadaan hakim komisaris dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, merupakan sebuah keharusan dalam rangka menjalankan fungsi
pengawasan10 kewenangan atas upaya paksa yang dilakukan oleh penegak
hukum agar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum11 dan selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Perlunya
menghidupkan kembali lembaga Hakim Komisaris dalam perubahan
KUHAP kedepan semata-mata dalam semangat untuk melindungi hak
asasi tersangka atau terdakwa atas segala tindakan kesewenangan yang
merugikannya.
Memang tidak mudah ‘menghidupkan kembali’ lembaga hakim
komisaris di dalam peradilan pidana Indonesia, dikarenakan apabila
ingin memunculkan kembali kelembagaan hakim komisaris dalam
hukum acara pidana maka juga harus dilakukan perombakan yang
mendasar terhadap undang-undang yang mengatur institusi-institusi
yang terlibat dalam sistem peradilan pidana seperti institusi kehakiman,

Menurut Barda Nawawi Arif, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat
dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Dapat
dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentra
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia. Lihat dalam Eman Sulaeman, Delik Perzinahan Dalam Pembaharuan hukum
Pidana Di Indonesia, Wali Songo Press, Jakarta, 2008, hlm. 22.

Perlindungan hukum adalah hal perbuatan melindungi menurut hukum. Lili Rasjidi dan I. B.
Wyasa Putra mengemukakan bahwa hukum dapat difungsikan tidak hanya mewujudkan kepastian,
tetapi juga jaminan perlindungan dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,
namun juga prediktif dan antisipatif. Abintoro Prakosa, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak,
Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 13.
10
Menurut Paulus Lotulung, fungsi pengawasan dalam perspektif hukum adalah untuk menilai
apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah dilakukan sesuai dengan norma hukum yang
berlaku dan apakah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma
hukum yang berlaku. Dalam konteks supremasi hukum, melihat pengawasan tiada lain untuk
melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutism kekuasaan kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan. Lihat dalam Idul Risham, Komisi Yudisial (suatu Upaya Mewujudkan Wibawa
Peradilan), Genta Press, Jogjakarta, 2013, hlm. 69.
11
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hlm. 4.

338
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

kejaksaan dan kepolisian, namun tidak ada salahnya, apabila mulai dari
sekarang dilakukan pembenahan menyeluruh dalam rangka sinkronisasi
kelembagaan penegak hukum di Indonesia sebagai salah satu negara yang
menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental, agar dapat memaksimalkan
kerja-kerja penegakan hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan,
serta dalam menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Pada dasarnya, keberadaan hakim komisaris dalam sebuah negara yang
menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental sudah jamak dipraktekkan,
seperti di Belanda Hakim Komisaris bertugas mengawasi jalannya proses
hukum acara pidana khususnya pelaksanaan wewenang pihak eksekutif
dalam hal ini penyidik dan penuntut umum, dalam rangka mencari bukti
pada pemeriksaan pendahuluan melakukan tindakan-tindakan upaya
paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pembukaan surat-surat. Dengan demikian pengawasan yang dilakukan
hakim komisaris menunjukkan dijalankannya fungsi control dari yudikatif,
terhadap pihak eksekutif12.
Konsep hakim komisaris yang ideal di Indonesia tidak sepenuhnya
meniru konsep yang digunakan oleh Belanda. Hakim Komisaris yang
dimaksud oleh penulis merupakan sebuah konsep yang memilik
kewangan yang lebih luas dari Praperadilan, sehingga kedepannya hakim
komisaris tidak hanya menguji secara administrative sebuah upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, tapi juga memiliki
kewenangan menguji secara materil upaya paksa tersebut, dan memiliki
beberapa kewenangan tambahan lainnya seperti ganti rugi atas tindakan
kriminalisasi, pengawasan putusan dan kewenangan lainnya, demi
memberikan perlindungan terhadap asasi manusia.

III. Pengawasan Kewenangan Upaya Paksa.


KUHAP saat ini dinilai sudah usang dan saatnya untuk revisi bahkan
sebaiknya diganti, demi perlindungan yang lebih komprehensif terhadap
hak-hak tersangka atau terdakwa. Saat ini tersangka atau terdakwa rentan
menjadi korban penyalahgunaan kewenangan dari penegak hukum,
dikarenakan lembaga pengawas kewenangan upaya paksa yang selama ini
ada (Praperadilan) tidak mampu membendung kesewenangan tersebut.
Kesewenangan umumnya terjadi karena ketidakjelasan ukuran ‘urgensi’
dari upaya paksa yang dilakukan oleh para penegak hukum, sebab tidak
jarang upaya paksa tersebut dilakukan hanya demi menggertak tersangka
atau terdakwa supaya mendekatinya dan melakukan lobi-lobi tertentu
agar kewenangan tersebut tidak jadi dipergunakan.

12
Adnan Buyung Nasution, Praperdilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN, April 2002.
Lihat dalam www.legalitas.org diakses 20 November 2013.

339
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Hal-hal yang seperti inilah yang tidak tersentuh oleh Kewenangan


Praperadilan, mengingat kewenangan yang dimiliki oleh lembaga tersebut
hanya sebatas melihat kepada formalitas dari sebuah upaya paksa yang
dilakukan, atau dalam artian dikenal bersifat administrative teknis formalitas
yuridis13. Yang menjadi perhatian dalam gugatan Praperadilan selama ini
adalah sah atau tidaknya tindakan tersebut dilakukan. Pengertian sah atau
tidaknya itu berkaitan dengan apakah tindakan yang dilakukan itu resmi
atau tidak, jika resmi harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang
berupa surat tugas yang menyangkut tugas penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan serta dilengkapi dengan surat perintah untuk
melakukan tindakan hukum tersebut,14 sedangkan terkait ukuran materil
dari sebuah upaya paksa tidak pernah dipersoalkan.
Berkaca dari berbagai macam kelemahan lembaga Praperadilan, maka
ada beberapa kewenangan yang harus ditambahkan sebagai kewenangan
hakim komisaris:
1. Upaya Paksa Penangkapan
Dalam hal penangkapan, Praperadilan hanya berwenang menentukan
sah atau tidaknya sebuah penangkapan yang dikaitkan pada sisi
formalitas dari pelaksanaan penangkapan, hal ini selalu dikaitkan
dengan surat menyurat (administrative) saat penangkapan tersebut
dilakukan. Sedangkan terkait ukuran ‘diduga keras’ dan bukti
permulaan yang ‘cukup’ sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17
KUHAP, tidak bisa di uji melalui Praperadilan mengingat terbatasnya
kewenangan Praperadilan, padahal sangat penting untuk menguji
upaya penangkapan yang dilakukan apakah memang betul ‘diduga
keras’ dan apakah memiliki ‘bukti permulaan yang cukup’, sebab
jangan sampai kewenangan ini diserahkan menurut subjektifitas
penyidik atau penuntut umum yang melakukannya, sehingga dirasa
perlu untuk diuji melalui hakim komisaris
2. Upaya Paksa Penahanan
Dalam hal penahanan, Praperadilan hanya diberikan kewenangan
untuk menguji sah atau tidaknya, sedangkan ukuran terkait frasa
‘kekhawatiran’ sebagai dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP
diserahkan sepenuhnya kepada penilaian penegak hukum yang
melaksanakannya, tanpa adanya batasan mengenai kekhawatiran
tersebut dan kapan penegak hukum boleh khawatir. Hal-hal semacam
inilah yang semestinya diuji, demi melindungi tersangka atau terdakwa
dari penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum. Selain itu
hal yang tidak kalah pentingnya adalah terkait perlu atau tidaknya
13
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor,
2009, hlm. 193.
14
Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 82.

340
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

perpanjangan penahanan, untuk hal ini perlu ada sebuah lembaga


Hakim Komisaris yang diberi kewenangan untuk menguji perlu atau
tidaknya perpanjangan penahanan.
3. Upaya Paksa Penggeledahan dan Penyitaan
Terkait kedua upaya paksa ini, KUHAP tidak memberikan kewenangan
yang tegas kepada Praperadilan untuk mengujinya. Padahal kedua
upaya paksa ini sangat terkait dengan hak asasi dan hak milik kebedaan
seseorang yang diambil ‘petugas’ guna pengungkapan sebuah kasus,
yang semestinya harus mendapatkan perlindungan dari kemungkinan
terjadinya kesewenangan dan penyalahgunaan terhadap upaya paksa
tersebut. Untuk itu perlu dimasukkan ke dalam salah satu kewenangan
Hakim Komisaris untuk menguji upaya paksa penggeledahan dan
penyitaan.
4. Kewenangan Penyadapan
Kewenangan Penyadapan terhadap seseorang yang diduga terkait
dengan sebuah tindak pidana memang tergolong baru di Indonesia,
kewenangan ini ada sejak semakin pesatnya perkembangan teknologi
yang kemudian menjadi sarana dalam melakukan kejahatan.
Semestinya kewenangan penyadapan ini juga harus diuji, mengingat
tindakan menyadap pembicaraan orang melalui telephon atau media
lain jelas terkait dengan privacy/ hak seseorang yang dilindungi,
sehingga tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan dan tanpa
prosedur yang dilindungi oleh hukum. Dalam konteks ini semestinya
harus diberikan ruang untuk menguji apakah penyadapan itu penting
dilakukan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana
tersebut, dan apa ukurannya pentingnya, hal semacam ini sama sekali
tidak pernah disinggung oleh Praperadilan yang kewenangannnya
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan dinamika
masyarakat, sehingga perlu kiranya kewenangan untuk menguji
penyadapan dimasukkan ke dalam salah satu kewenangan Hakim
Komisaris.
5. Kewenangan Membuka Surat
Kewenangan yang satu ini juga tidak pernah dipersoalkan oleh
lembaga Praperadilan, semestinya kewenangan ini juga bisa diuji guna
mengukur seberapa pentingnya nya tindakan tersebut dilakukan,
karena terkait hak seseorang atas rasa aman dan nyaman yang memang
harus dilindungi dalam sebuah Negara hukum yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Kewenangan ini dapat diuji oleh Hakim Komisaris.
6. Menentukan perlu atau tidaknya pencabutan penghentian penyidikan
atau penuntutan
Terkait penghentian penyidikan atau penuntutan, KUHAP dalam Pasal
80 hanya memberikan kewenangan untuk menentukan sah atau tidaknya
341
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

penghentian penyidikan atau penuntutan, padahal ada kewenangan


lain yang tidak kalah pentingnya terkait penghentian penyidikan
atau penuntutan, yakni kewenangan untuk menentukan perlu atau
tidaknya pencabutan penghentian penyidikan atau penuntutan yang
dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Selama ini kewenangan
yang demikian tidak pernah ada pada lembaga Praperadilan. Padahal
kewenangan tersebut sangat penting dan strategis dalam pengusutan
tindak pidana, sehingga dirasa perlu menghadirkan kewenangan
kepada sebuah lembaga Hakim Komisaris untuk menentukan perlu
atau tidaknya pencabutan penghentian penyidikan atau penuntutan.
7. Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Terkait ganti rugi dan rehabilitasi, Pasal 81 KUHAP hanya memberikan
kewenangan Praperadilan terhadap tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat tidak sahnya tindakan penyidikan ataupun
penuntutan, sedangkan terhadap ganti rugi dan rehabilitasi atas
tindakan/ proses hukum hasil rekayasa atau hasil kriminalisasi dari
aparat penegak hukum tidak pernah dipersoalkan. Banyak kasus terjadi
di tengah masyarakat, ketika seseorang dituduhkan telah melakukan
tindak pidana, selama proses hukum berlangsung mengalami
penangkapan dan penahanan, sesuai prosedur, namun ketika kasusnya
diadili hingga in kracht tidak satupun ada alat bukti yang mampu
menguatkan bahwa yang bersangkutan bersalah, dalam konteks
sepertinya ini semestinya disediakan sarana untuk menuntut ganti
rugi yang sesuai15 dan rehabilitasi, mengingat sangat nyata kerugian
yang telah diderita oleh seseorang akibat sebuah proses hukum yang
terjadi.
8. Pengawasan Pelaksanaan Putusan
Selama ini, kewenangan hakim pengawas dan pengamat16 dalam
mengawasi pelaksanaan putusan tidak berjalan dengan baik, hal
tersebut dibuktikan dengan tidak sedikitnya terjadi kasus di masyarakat,
seseorang terhukum menjalani masa pidananya melebihi dari yang
dijatuhkan, hal ini terjadi akibat minimnya pengawasan yang dilakukan
oleh hakim wasmat terhadap pelaksanaan putusan, akibatnya terjadi
pelanggaran serius terhadap hak asasi narapidana. Kondisi yang
seperti ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus menerus terjadi, harus
ada pembenahan kedepan agar tidak terulang lagi untuk kesekian
kalinya, oleh karena itu perlu ada sebuah lembaga baru yang salah satu
15
Ganti rugi yang sesuai menurut pendapat penulis adalah menurut ukuran hakim pemeriksaan
pendahuluan/ hakim komisaris, dan jumlahnya jangan dibatasi oleh undang-undang ataupu peraturan
pemerintahh, biarlah diberikan kewenangan sepenuhnya kepada hakim untuk menilai besaran
jumlahnya
16
lihat Pasal 277 KUHAP yang menyebutkan bahwa “Pada setiap pengadilan ada hakim yang
diberi tugas khusu untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan”

342
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

tugasnya adalah mengawasi pelaksanaan putusan perampasan pidana


hilang kemerdekaan.
Dari berbagai macam kelemahan lembaga Praperadilan sebagaimana
diuraikan diatas, sehingga sangat urgen keberadaan sebuah lembaga
pengawas yang bernama Hakim Komisaris sebagai sebuah jawaban atas
berbagai kekurangan tersebut yang memiliki serangkaian kewenangan
yang disebutkan diatas untuk menguji pelaksanaan kewenangan upaya
paksa dalam arti luas (dwang middelen) yang dilakukan oleh penegak
hukum.
Di samping itu, untuk dapat menjalankan perannya secara maksimal,
Hakim Komisaris harus berkantor terpisah dengan hakim lainnya, dan
tidak boleh dibebani dengan tugas-tugas rutin mengadili perkara layaknya
hakim lainnya. Mendesain sedikit ‘pengistimewaan’ terhadap hakim
komisaris adalah untuk menjaga independensinya dan untuk menjaga
agar kinerja hakim komisaris dapat berjalan maksimal tanpa dibebani
tugas-tugas tambahan. Disamping itu perlu ditentukan batasan waktu
pelaksanaan tugas hakim komisaris dalam menguji setiap kasus, agar
jangan sampai pelaksanaannya menjadi tidak efektif dan efisien akibat
lamanya putusan diberikan. Dengan adanya pengistimewaan tersebut
diharapkan dapat lebih menjamin perlindungan hak tersangka atau
terdakwa dari penyalahgunaan kewenangan dari aparat penegak hukum.

IV. Penutup.
Saat ini, KUHAP sudah usah dan tidak seiring dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat dan kebutuhan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, salah satunya adalah Lembaga Praperadilan yang diberikan
kewenangan oleh KUHAP tidak mampu untuk melindungi tersangka atau
terdakwa dari penyalahgunaan kewenangan upaya yang dilakukan oleh
penegak hukum, sehingga dirasa sangat urgen menghidupkan kembali
kelembagaan Hakim Komisaris di Indonesia. Untuk itu hal yang harus
segera dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah segera menormakan
keberadaan Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
sebagai jawaban atas kegagalan lembaga Praperadilan, dengan cara
mentasbihkan kewenangannya ke dalam revisi atau penggantian KUHAP
dan melakukan sinkronisasi kelembagaan penegak hukum lainnya guna
semakin memaksimalkan penegakan hukum dan keadilan.

343
PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA
DAN JABATAN HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN DALAM PERSPEKTIF
PANCASILA, ASAS-ASAS HUKUM
DAN POLITIK HUKUM NASIONAL

Oleh:
Dr. Hotma P. Sibuea,S. H. ,M. H.
Maman Suparman, S. H. , M. H.
KMS. Herman, S. H. , M. Si.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 – DKI Jakarta)

I. Pendahuluan.
Pembaharuan hukum nasional sesungguhnya sudah harus
dilaksanakan sejak proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Hal itu merupakan
konsekuensi logis dari Proklamasi Kemerdekaan karena Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia menuntut segenap tatanan hukum positif
yang berlaku di Indonesia harus berlandaskan Pancasila sebagai falsafah
negara dan cita hukum bangsa Indonesia.  Akan tetapi, cita-cita ideal
pembaharuan hukum tersebut tidak dapat direalisir karena situasi dan
kondisi pada masa itu. Oleh karena itu,untuk mencegah kemungkinan
kekacauan hukum perlu ditetapkan suatu politik hukum (kebijakan
hukum) yang bersifat sementara dalam masa peralihan pasca Proklamasi
Kemerdekaan.
Politik hukum (kebijakan hukum) yang bersifat sementara dan
yang bertujuan untuk menyikapi masa peralihan tersebut ditetapkan
Pemerintah dan kemudian dituangkan dalam Peraturan Peralihan UUD
1945. Politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan yang dituangkan
dalam Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut membawa konsekuensi
logis terhadap keberadaan segenap tatanan hukum positif produk hukum
kolonial. Berdasarkan politik hukum (kebijakan) hukum dalam Peraturan
Peralihan UUD 1945 tersebut, tatanan hukum produk kolonial Belanda
kemudian ditetapkan untuk tetap berlaku dalam wilayah Negara Republik

Hotma P. Sibuea, Konsekuensi Yuridis Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia
Dalam Kehidupan Berbangasa dan Bernegara, Jurnal Ilmiah, Law Review, Vol. XII No. 3. Maret 2013,
hlm. 322.

344
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Indonesia. Pemberlakuan tatanan hukum produk kolonial Belanda di


zaman kemerdekaan adalah suatu politik hukum (kebijakan hukum)
peralihan yang bertujuan untuk mencegah kevakuman hukum. Dengan
berdasarkan kebijakan hukum yang dikemukakan di atas, tatanan hukum
produk kolonial masih tetap diberlakukan pascaproklamasi kemerdekaan
dan sampai dengan sekarang meskipun dengan melakukan berbagai
penyesuaian.
Sisi positif dari politik hukum (kebijakan hukum) masa peralihan
tersebut adalah bahwa untuk sementara persoalan kemungkinan
kevakuman hukum dapat ditanggulangi. Namun, di sisi lain, ada segi
kekurangannya yaitu bahwa pembaharuan hukum secara menyeluruh
yang bersifat nasional tidak pernah dapat dilaksanakan sampai dengan
sekarang meskipun pembaharuan hukum nasional itu sesungguhnya
merupakan tuntutan dan konsekuensi logis dari Proklamasi Kemerdekaan
bangsa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu,
sampai dengan sekarang, tatanan hukum positif produk kolonial Belanda
masih tetap diberlakukanmeskipun hanya berkenaan dengan beberapa
undang-undang tertentu saja. Keberadaan berbagai produk hukum kolonial
tersebut sudah barang tentu harus segera diperbaharui supaya dapat
menyesuaikan diri dengan dan memenuhi perkembangan masyarakat.
Politik hukum yang bersifat sementara dan yang bertujuan untuk
menyikapi masa peralihan sebagaimana dikemukakan di atas juga
berdampak terhadap keberadaan tatanan hukum pidana positif. Situasi dan
kondisi yang sama dengan yang dikemukakan di atas juga terjadi dalam
bidang hukum pidana. Sampai dengan sekarang masih terdapat undang-
undang di bidang hukum pidana produk kolonial yang masih berlaku.
Meski demikian, niat untuk melakukan pembaharuan hukum pidana
yang bersifat menyeluruh sebenarnya sudah sejak lama diwacanakan para
akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Untuk hukum pidana materil,
alasan filosofis menjadi alasan utama (alasan mendasar) mengingat hukum
pidana materil yang berlaku sekarang sebagian masih merupakan produk
hukum zaman kolonial yang tentu saja berlatar belakang filosofis/ideologis
yang sesuai dengan kepentingan kolonial.
Dalam konteks hukum pidana formil (hukum acara pidana), sebenarnya
pembaharuan hukum sudah pernah dan berhasil dilakukan pada tahun
1981 dengan ditetapkannya KUHAP. KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981)
digadang-gadang sebagai karya agung bangsa Indonesia. Akan tetapi,
tanpa bermaksud untuk menyampingkan hasil pembaharuan hukum acara
pidana tersebut ternyata selang beberapa waktu, kelemahan-kelemahan
KUHAP semakin nyata. Oleh karena itu, gagasan untuk melakukan
pembaharuan hukum acara pidana juga mulai disuarakan oleh berbagai
pihak. Untuk konteks hukum acara pidana (hukum pidana formal), alasan
penyalahgunaan kewenangan dan dan pelanggaran/pengabaian hak-hak

345
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

asasi oleh penegak hukum seringkali menjadi alasan yang mendorong


perlu dilakukan pembaharuan hukum acara pidana. Dengan perkataan
lain, seperti dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution, hukum acara
pidana yang berlaku sekarang masih memiliki beberapa kekurangan
dalam praktik sehingga perlu dilakukan pembaharuan untuk mengikuti
dan mengantisipasi perkembangan masyarakat. 
Kelemahan KUHAP sebagaimana dikemukakan di atas akhirnya
melahirkan gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana
secara menyeluruh. Dalam konteks pembaharuan hukum acara pidana yang
sedang dilaksanakan sekarang, salah satu jabatan baru yang tidak terdapat
dalam KUHAP diintrodusir dalam Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana masa depan yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah suatu jabatan baru dalam sistem
KUHAP masa depan tersebut. Sebagai jabatan yang baru, jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan merupakan adopsi dari sistem hukum negara
lain. Sudah barang tentu,jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut
tidak dapat secara serta merta diadopsi begitu saja dari sistem hukum
acara pidana negara lain tanpa pengkajian yang mendalam. Kajian yang
mendalam terhadap keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagai jabatan baru dalam RUU-KUHAP yang baru perlu dilakukan
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Pengkajian terhadap eksistensi Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagai suatu jabatan baru dalam sistem hukum acara pidana dapat
dilakukan secara komprehensif dengan bertitik tolak dari berbagai cabang
disiplin hukum seperti Filsafat Hukum, Teori Hukum, Ilmu Hukum
(Dogmatika Hukum) maupun Politik Hukum. Di samping itu, berbagai
metode pendekatan juga dapat dilakukan untuk melakukan kajian seperti
metode pendekatan filosofis, komparatif, kesisteman dan lain-lain untuk
melengkapi metode pendekatan normatif.
Pada kesempatan ini, kehadiran makalah yang disusun oleh Tim
Penulis Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta adalah dalam
konteks dan latar belakang serta perspektif sebagaimana dikemukakan di
atas. Secara konkrit dapat dikemukakan bahwa kehadiran makalah Tim
Penulis Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ini adalah
dalam rangka menambah kajian mengenai jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Makalah ini
diharapkan dapat menawarkan kerangka berfikir yang bersifat sistematis
untuk menguji keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu
jabatan dalam RUU-KUHAP.


Adnan Buyung Nasution, Praperadilan Versus Hakim Komisaris, Newsletter KHN, April 2002,
hlm. 1.

346
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

II. Pancasila sebagai Cita Hukum Bangsa Indonesia dan Asas-Asas


Hukum Nasional.
Titik tolak untuk melakukan pembahasan terhadap jabatan baru
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan tersebut
harus dimulai dari perspektif filosofis. Pembahasan secara demikian
bertjuan untuk menguji landasan filosofis jabatan baru Hakim Pemeriksa
Pendahuluan tersebut secara mendalam. Dalam konteks ini, pertanyaan
pokok yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. Apakah Hakim
Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru dalam RUU-KUHAP
mempunyai landasan falsafah atau memiliki akarfilosofis yang kuat dalam
kehidupan hukum bangsa Indonesia? Dalam rangka menjawab pertanyaan
yang dikemukakan di atas, pembahasan tentang eksistensi jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut akan bertitik tolak dari landasan falsafah
bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Apa sebab demikian? Hal itu karena
landasan filosofis kehidupan hukum bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Namun, sudah barang tentu nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum yang
bersifat abstrak-umum tersebut tidak dapat dipakai secara langsung untuk
menguji kebasahan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ada
proses berfikir yang harus dilakukan untuk dapat menderivasi nilai-nilai
cita hukum Pancasila supaya menghasilkan seperangkat pokok-pokok
pendirian atau asas-asas hukum yang lebih konkrit.
Dalam perspektif doktrin, Pancasila ditempatkan sebagai cita hukum
(Rechtsidee) bangsa Indonesia.  Hal itu mengandung arti bahwa para
ahli dan atau akademisi umunya bersepakat bahwa Pancasila adalah
cita hukum bangsa Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai cita hukum
bangsa Indonesia juga sudah dilegitimasi secara politis dan yuridis.
Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (cita
hukum) sudah ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur tentang
tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Hal itu mengandung arti bahwa keberadaan dan fungsi Pancasila dalam
konteks kehidupan hukum di Indonesia yakni sebagai cita hukum bangsa
Indonesia sudah memiliki dasar pijakan yang kuat baik secara akademis
maupun secara sosiologis, politis dan yuridis,
Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber
hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam kedudukan sebagai sumber dari
segala sumber hukum, Pancasila menjadi sumber hukum yang terakhir
dan tertinggi.  Sebagai cita hukum, kedudukan Pancasila adalah di atas
segenap tatanan hukum positif yang berlaku dalam Negara Republik
Indonesia. Oleh karena itu, segenap tatanan hukum positif yang terdapat

Abdul Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PelitaI-IV, Disertasi, Depok, 1990, hlm. 307 dan
seterusnya.

5Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta, 1995, hlm. 191.

347
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dalam kehidupan hukum di Indonesia mengalir dari sumber yang satu


dan yang tertinggi yakni cita hukum Pancasila. Sebagai konsekuensinya,
norma-norma hukum positif tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam cita hukum Pancasila. Jika sekiranya terdapat
tatanan hukum positif yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam cita
hukum Pancasila dengan sendirinya tatanan hukum positif yang demikian
tidak memiliki landasan (pijakan) filosofis sehingga harus disingkirkan
dari tatanan hukum positif. Dalam konteks pembaharuan hukum acara
pidana, prinsip yang dikemukakan di atas sudah barang tentu juga
berlaku. Artinya, norma-norma hukum acara pidana yang akandibentuk
oleh badan pembentuk undang-undang harus bersumber dari dan selaras
dengan cita hukum Pancasila.
Dalam kedudukan sebagai cita hukum (sumber dari segala sumber
hukum), Pancasila melakukan peranan sebagai pemberi tuntunan
terhadap keberadaan tatanan hukum positif. Dalam istilah Abdul Hamid
S. Attamimi, fungsi Pancasila sebagai cita hukum adalah sebagai bintang
pemandu terhadap segenap tatanan hukum yang terdapat di Indonesia. 
Bintang pemandu dalam istilah Hamid S. Attamimi di atas mengandung
arti bahwa arah perkembangan hukum dan pembaharuan hukum nasional
termasuk pembaharuan hukum acara pidana juga harus dipandu oleh cita
hukum Pancasila. Fungsi pemandu dan penunjuk arah perkembangan
segenap tatanan hukum positif dilakukan oleh setiap cita hukum dengan
maksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Fungsi seperti itu juga
dilakukan oleh cita hukum Pancasila terhadap segenap tatanan hukum
positif yang berlaku di Indonesia termasuk tatanan norma hukum acara
pidana. Sebagai cita hukum, Pancasilaberfungsi untuk membimbing dan
memandu arah perkembangan tatanan hukum positif yang berlaku di
Indonesia supaya segenap tatanan hukum positif itu mengarah kepada
suatu tujuan ideal segenap bangsa Indonesia yaitu cita-cita “Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. ”
Arah perkembangan dan tuntunan terhadap tata hukum positif
dilakukan oleh cita hukum Pancasila dalam 2 (dua) sisi sekaligus. Sebagai
cita hukum, Pancasila adalah batu penguji tatanan hukum positif. Sekaligus
dengan fungsi sebagai batu penguji, cita hukumPancasila juga memberikan
tuntunan terhadap arah perkembangan tatanan hukum positif. Dalam
hubungan dengan kedua fungsi cita hukum tersebut, Abdul Hamid S.
Attamimi mengemukan bahwa fungsi yang dijalankan oleh cita hukum
termasuk cita hukum Pancasila dilakukan dari 2 (dua) sisi sekaligus yaitu
(a) menguji hukum positif yang berlaku dan (b) mengarahkan hukum
positif yang berlaku supaya hukum positif tersebut mengarah kepada
sesuatu tujuan. 


Abdul Hamid S. Attamimi, op. cit. , hlm. 319.

Ibid.

348
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Cita hukum Pancasila melakukan kedua macam fungsi yang disebut


di atas dengan bertitik tolak dari atau berdasarkan nilai-nilai yang
dikandungnya. Nilai-nilai cita hukum berfungsi sebagai kiblat (penunjuk
arah) dan sekaligus sebagai kriteria penilai (batu penguji) bagi tatanan
hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk hukum acara pindana
yang menjadi pokok pembicaraan pada saat sekarang. Akan tetapi,
nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum Pancasila masih bersifat
abstrak-umum. Nilai-nilai cita hukum Pancasila tersebut tentu saja tidak
dapat secara langsung memberikan pengarahan terhadap tatanan hukum
acara pidana positif yang berlaku maupun yang hendak dibentuk oleh
pembentuk undang-undang (hukum acara pidana yang dicita-citakan
atau ius constituendum). Hukum positif berkenaan dengan atau menyentuh
alam konkrit-individual yang berbeda dari alam nilai-nilai dalam
cita hukum yang bersifat metafisis. Untuk dapat memberikan arahan
terhadap perkembangan dan pembaharuan hukum positif termasuk
pemabahruan hukum acara pidana, nilai-nilai ideal dalam cita hukum
Pancasila yang bersifat abstrak-umum terlebih dahulu harus diolah. Dari
proses pengolahan tersebut kemudian dapat diderivasi (diturunkan atau
dihasilkan) seperangkat prinsip-prinsip hukum (pokok-pokok pendirian
hukum) atau asas-asas hukum yang sifatnya lebih konkrit.
Asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum apa saja yang dapat
diderivasi (diturunkan) dari cita hukum Pancasila? Cita hukum Pancasila
mengandung seperangkat nilai-nilai ideal yang menjadi tujuan yang
hendak dicapai oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dari perangkat nilai-nilai ideal yang terdapat dalam cita hukum
Pancasila dapat diderivasi berbagai macam prinsip-prinsip hukum atau
pokok-pokok pendirian hukum atau asas-asas hukum. Prinsip-prinsip
hukum atau asas-asas hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila
itu kemudian menjadi pedoman atau pegangan dalam menetapkan suatu
garis kebijakan hukum nasional (politik hukum nasional). 
Dalam konteks perbincangan tentang Pembaharuan Hukum Acara
Pidana dan keberadaan jabatan baru yang disebut Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan tidak perlu
semua asas-asas hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila harus
dibicarakan. Menurut pandangan Tim Penulis, ada 3 (tiga) prinsip-prinsip
hukum atau asas-asas hukum yang relevan untuk dibicarakan lebih
lanjut dalam hubungan dengan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan tersebut. Ketiga macam prinsip-prinsip hukum, pokok-
pokok pendirian hukum atau asas-asas hukum yang dimaksud adalah (a)
asas negara hukum, (b) asas demokrasi dan (c) asas pembatasan kekuasaan
(pembatasan kewenangan).


Hotma P. Sibuea, Politik Hukum, Krakataw Book, Jakarta, 2010, hlm. 194.

349
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

III. Asas-Asas Hukum dan Kebijakan Hukum Nasional.


Apa sebab ketiga prinsip hukum atau pokok-pokok pendirian hukum
atau asas hukum yang dikemukakan di atas harus menjadi perspektif
dalam memperbincangkan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagai suatu jabatan dalam sistem hukum acara pidana masa depan? Dari
perspektif Hukum Tata Negara, Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah
suatu jabatan ketatanegaraan dan merupakan bagian dari organisasi
jabatan dalam Negara Republik Indonesia. Setiap jabatan dalam organisasi
negara Republik Indonesia harus diuji sesuai atau tidak dengan asas-asas
hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika keberadaan jabatan
tersebut dapat lolos dari pengujian terhadap asas-asas hukum kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan sendirinya kehadiran jabatan tersebut
dapat diterima dalam tatanan organisasi jabatan. Namun, pengujian secara
langsung terhadap asas-asas hukum yang dikemukakan di atas tidak dapat
dilalukan karena asas-asas hukum tersebut masih bersifat abstrak-umum
meskipun sudah lebih konrkit dari nilai-nilai dalam cita hukum Pancasila.
Asas-asas hukum negara hukum, asas demokrasi dan asas pembatasan
kekuasaan (pembatasan kewenangan) sebagai asas-asas hukum dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara belum dapat secara langsung
dipakai sebagai patokan untuk menguji keberadaan jabatan baru Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Asas-asas hukum tersebut harus diproses atau
diolah lebih dahuluuntuk dapat memahami makna hakiki dari asas-
asas hukum tersebut supaya kemudian dapat dihasilkan gambaran
pemahaman dan atau pengertian yang lebih jelas tentang asas-asas hukum
tersebut. Pemahaman terhadap asas-asas hukum secara baik akan dapat
menghasilkan seperangkatprinsip atau pokok pendirian yang lebih
konkrit. Prinsip atau pokok pendirian itu kemudian dapat dipakai sebagai
pedoman dalam merumuskan kebijakan pembaharuan hukum acara
pidanasecara menyeluruh dan dalam melakukan pengaturan terhadap
jabatan-jabatan ketatanegaraan yang dibentuk dalam sistem hukum acara
pidana tersebut seperti halnya keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa
Pendahuluan sebagai suatu jabatan dalam lingkungan organisasi jabatan
dalam Negara Republik Indonesia.
Makna ketiga asas hukum yang dikemukakan di atas harus dielaborasi
lebih dahulu supaya dapat diungkap prinsip-prinsip hukum yang lebih
konkrit yang terkandung dalam ketiga asas hukum tersebut. Prinsip-
prinsip hukum yang diturunkan (diderivasi) dari ketiga asas hukum yang
disebut di atas akan menghasilkan seperangkat pokok pendirian yang
lebih konkrit yang dapat dijadikan sebagai pedoman (pegangan) dalam
merumuskan kebijakan hukum berkenaan dengan pembaharuan hukum
acara pidana dan menguji keberadaan jabatan baru dalam KUHAP masa
depan yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Jika ketiga asas hukum yang
dikemukakan di atas dielaborasi akan dapat diungkap makna-makna

350
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

sebagai berikut.
Asas negara hukum yang diderivasi dari cita hukum Pancasila
mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia
kekuasaan tunduk kepada hukum. Segenap kewenangan yang melekat
pada para penyelenggara negara harus dibatasi oleh hukum atau tunduk
kepada hukum.  Dengan perkataan lain, sekecil apapun kekuasaan
yang melekat pada suatu jabatan termasuk jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan, kekuasaan itu harus tunduk kepada hukum. Inilah makna
supremasi hukum sebagai salah satu prinsip hukum atau pokok pendirian
atau asas hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus
selalu diingat dan ditegakkan. Dalam konteks pembaharuan hukum acara
pidana dan keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, prinsip
ini juga berlaku. Penegasan bahwa kekuasaan para penyelenggara negara
harus tunduk kepada hukum sangat penting diingat dan ditegakkan
dengan maksud untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh para
penyelenggara negara khususnya jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam hal ini.
Asas demokrasi yang diderivasi dari cita hukum Pancasila
mengandung makna bahwa dalam organisasi Negara Republik Indonesia,
kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat adalah pemegang
kedaulatan (kekuasaan tertinggi) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, sumber dari segenap kewenangan yang melekat
kepada jabatan adalah berasal dari rakyat. Asas kedaulatan rakyat ini lebih
jauh mengandung konsekuensi bahwa tujuan pemberian kewenangan
kepada suatu jabatan seperti halnya Hakim Pemeriksa Pendahluan adalah
untuk dan dalam rangka melayani kepentingan rakyat. Jabatan-jabatan
dalam organisasi negara Republik Indonesia dibentuk semata-mata untuk
melayani dan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang
kekuasaan yang tertinggi (kedaulatan).
Asas pembatasan kekuasaan (pembatasan kewenangan) yang
diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam
organisasi Negara Republik Indonesia, kekuasaan yang melekat kepada
suatu jabatan tertentu bukanlah kekuasaan yang bersifat absolut (mutlak).
Dalam perspektis asas pembatasan kekuasaan atau kewenangan tidak
dikenal kekuasaan yang bersifat mutlak. Segenap kekuasaan harus dibatasi
supaya tidak membuka peluang terhadap kekuasaan yang sewenang-
wenang karena kekuasaan yang sewenang-wenang pada akhirnya
akanmelanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat. Padahal, rakyat itu
sendiri adalah pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam negara Republik
Indonesia.


Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 48 –dan seterusnya.

351
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

IV. Pokok-Pokok dalam Pendirian Politik Hukum Nasional Berkenaan


dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai Suatu Jabatan
Ketatanegaraan.
Makna dari asas-asas hukum yang dikemukakan di atas merupakan
pokok-pokok pendirian (prinsip) yang berfungsi sebagai pedoman dalam
merumuskan suatu kebijakan hukum nasional dalam rangka pembaharuan
hukum acara pidana pada umumnya dan pembentukan dan pengaturan
jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam KUHAP masa depan.
Dengan perkataan lain, pokok-pokok pendirian yang terkandung dalam
makna asas-asas hukum yang dikemukakan di atas seharusnya menjadi
pedoman atau penuntun dalam menetapkan suatu garis kebijakan
hukum nasional (politik hukum nasional) dalam rangka pembaharuan
hukum acara pidana nasional termasuk dalam hal melakukan pengaturan
terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan jabatan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan. Dengan demikian, pokok-pokok pendirian yang terkandung
dalam asas-asas hukum yang dikemukakan di atas menjadi dasar untuk
menetapkan suatu kebijakan pembaharuan hukum acara pidana nasional.
Dengan berdasarkan dan atau berpedoman pada garis kebijakan hukum
nasional (politik hukum nasional) yang ditetapkan berdasarkan asas-asas
hukum yang dikemukakan di atas dilakukanlah pengaturan terhadap
jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Oleh
karena itu, berarti bahwa keberadaan jabatan baru Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam KUHAP masa depan harus diuji terhadap prinsip-
prinsip yang melandasasi garis kebijakan hukum nasional (politik hukum
nasional) dalam rangka pembaharuan hukum acara pidana termasuk
pengaturan jabatan baru seperti Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut.
Sesuai dengan atau bertitik tolak dari pokok-pokok pendirian yang
dikemukakan di atas dapat dikemukakan pandangan dan sikap mengenai
kehadiran Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam rangka Pembaharuan
Hukum Acara Pidana sebagaimana dimaksud di atas. Pada prinsipnya,
Tim Penulis dapat menerima keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam KUHAP masa depan dengan catatan-catatan sebagai berikut.
Pertama, keberadan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai suatu
jabatan dalam sistem Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima
sepanjang keberadaan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut
dapat ditempatkan dalam perspektif Asas Negara Hukum yang intinya
adalah supremasi hukum. Dari perspektif asas negara hukum, kewenangan
yang dimiliki oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai jabatan baru
dalam KUHAP masa depan harus ditundukkan kepada hukum. Dengan
demikian, pengaturan kewenangan jabatan baru Hakim Pemeriksa
Pendahuluam tersebut harus secara sedemikian rupa dan dilakukan secara
ketat sehingga dapat memperkecil peluang penyalahgunaan kekuasaan
atau kesewenang-wenangan. Jangan sampai jabatan Hakim Pemeriksa

352
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Pendahuluan malah disalahgunakan untuk mencapai kepentingan-


kepentingan tertentu.
Kedua, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem
Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang keberadaan
jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut dapat ditempatkan dalam
perspektif Asas Demokrasi. Dari perspektif asas demokrasi tersebut, Hakim
Pemeriksa Pendahuluan harus menjadi pengayom hak-hak rakyat. Hakim
Pemeriksa Pendahuluan harus melindungi hak hak rakyat dan berupaya
mencegah jangan sampai hak-hak rakyat diabaikan atau dilanggar oleh
penegak hukum yang lain. Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan
kepada jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam sistem hukum acara pidana masa depan harus berpihak kepada
kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Dengan
demikian, kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus diatur
secara detail untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan yang
berpotensi melanggar atau mengabaikan hak-hak rakyat sebagai pemegang
kedaulatan politis. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa keberadaan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah dalam rangka mengawal hak-hak
rakyat sebagai pemegang kedaulatan politis.
Ketiga, keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem
Hukum Acara Pidana masa depan dapat diterima sepanjang diposisikan
dalam perspektif asas pembatasan kekuasaan atau pembatasan
kewenangan. Kewenangan jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus
diatur dan dibatasi secara baik. Pengaturan kewenangan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan harus secara detail dan rinci supaya tidak membuka peluang
menjadi jabatan yang sewenang-wenang. Pemberian kiewenangan diskresi
yang bersifat subjektif kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus
sedapat mungkin dihindari karena pengalaman menunjukkan bahwa para
penegak hukum yang memegang kewenangan diskresi subjektif sering
menyalahgunakan kewenangannya dengan akibat pelanggaran terhadap
hak-hak rakyart. Dengan perkataan lain, pemberian kewenangan diskresi
yang bersifat objektif kepada jabatan-jabatan termasuk Hakim Pemeriksa
Pendahuluan lebih tepat daripada diskresi subjektif untuk menutup
peluang kemungkinan penyalahgunaan kewenangan.

V. Penutup.
Demikian pandangan Tim Penulis dari Fakultas Hukum Universitas
17 Agustus 1945 Jakarta yang dapat disampaikan sebagai sumbangsih
pemikiran dalam rangka Pembaharuan Hukum Acara Pidana dalam
konteks jabatan baru yang disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Atas segala kekurangan dan kelemahannya mohon dimaafkan. Terima
kasih.

353
KEWENANGAN HAKIM KOMISARIS
UNTUK MENCAPAI KEPASTIAN,
KEADILAN DAN KEMANFAATAN HUKUM

Oleh:
Ida Keriahenta Silalahi, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo – Surabaya - Jawa
Timur)

I. Latar Belakang.
Ada perubahan penting dalam Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yaitu pembentukan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan (HPP) atau disebut Hakim Komisaris. Hakim Komisaris
adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan
penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang-Undang
ini. (Pasal 7 RUU HAP).
Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
b. pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti
e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap
atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak
milik yang disita secara tidak sah;
f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara;
g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;

354
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

i. layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke


pengadilan.
j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi
selama tahap penyidikan. (Pasal 111 ayat 1 RUU HAP).
Kewenangan Hakim Komisaris merupakan perkembangan dari Hakim
Praperadilan. Walaupun kewenangan yang besar ini akan bersinggungan
dengan lembaga hukum lainnya seperti Polisi, Jaksa sebagai Penuntut
Umum. Keberadaan Hakim Komisaris ditujukan agar hak-hak sipil dan
politik masyarakat lebih terakomodir . Indonesia juga sudah meratifikasi
Interational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

II. Permasalahan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah kewenangan
Hakim Komisaris dalam prespektif kepastian hukum, keadilan hukum
dan kemanfaatan hukum.

III. Metodologi.
Penelitian ini adalah penelitian hukum. Penelitian hukum adalah “suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. Hal
ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Hasil yang diharapkan
dalam penelitian hukum adalah “untuk menghasilakan argumentasi, teori,
atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi”. Ilmu hukum merupakan disiplin ilmu yang sui generis yang
tidak dapat diintegrasikan pada ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif, yang berkaitan dengan pendekatan undang-undang, pendekatan
konsep.
1. Pendekatan Undang-Undang
2. Pendekatan konsep

IV. Analisis.
Wewenang Hakim Komisaris sebagai Hakim yang memutuskan
tunututan pra peradilan berkembang sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 111 ayat 1 RUU HAP. Perkembangan keweangan Hakim Komisaris

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2009, hlm. 35

Ibid, hlm. 22 .

Peter Mahmud Marzuki. Kareteristik Ilmu Hukum. Yuridika. Vol. 23. No. 2 . Mei-Agustus. 2008,
hlm. 118.

355
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

diharapkan dapat melindungi hak-hak sipil dari tersangka. Hak-hak


tersangka sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Koevenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
(UU No 12 Tahun 2005)
Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa:
1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak
seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan
alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh
hukum.
2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberi tahu pada saat
penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberi tahu mengenai
tuduhan yang dikenakan terhadapnya.
3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana,
wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain
yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan
peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar,
atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa
orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan
dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang,
pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila
diputuskan demikian.
4. Siapa pun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan
atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang
bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan
keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya
apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan
yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus
dilaksanakan.
Ketentuan Pasal 9 UU No.12 Tahun 2005 ini mengatur tentang bahwa
walaupun seorang menjadi tahanan, namun hak-hak sebagai manusia harus
tetap dihargai. Hak sebagai manusia yang tersangkut kasus pidana berada
di tangan Hakim Komisaris. Hakim Komisaris mempunyai kewenangan
yang berhubungan dengan sah atau tidaknya tindakan hukum yang
diterapkan oleh penegak hukum, seperti polisi, dan jaksa sebagai penuntut
umum.
Penegasan hak-hak tersangka ditegaskan lagi di Pasal 10 UU No 12
Tahun 2005:
1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri

356
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

manusia.
2. Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus
dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara
berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana;
3. Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan
secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
4. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan
melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana
di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan
sesuai dengan usia dan status hukum mereka.
Bahkan dalam Pasal 11 UU No 12 Tahun 2005 ditegaskan, tidak
seorang pun dapat dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya
untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian. Kebebasan
sesorang tidak boleh dirampas dalam hal menyangkut hukum perdata.
Wewenang Hakim Komisaris ini bertindak sebagai penjaga hukum
agar hak-hak terdakwa dalam proses penyelidikan, penyidikan, yang
dilakukan oleh polisi tetap dalam koridor hukum. Pasal 14 (g) UU No
2 Tahun 2002 ayat (1) menyatakan, dalam melaksanakan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Pasal 13 Undang Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik (UU No. 2 Tahun 2002
menyebutkan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Begitupun ketika taat penuntutan yang dilakukan oleh jaksa sebagai
penuntut umum. Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004) ayat (1) menyatakan
dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;

357
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan


pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Ada beberapa asas yang mendasari keputusan hakim, termasuk
keputusan Hakim Komisaris, antara lain yaitu:
1. Asas kebebasan hakim. Hakim mempunyai kemerdekaaan untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan
(Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Walaupun kebebabasan itu tidak boleh
melanggar rambu-rambu yang dituang dalam UUD 1945, Pancasila,
Undang- Undang, dan ketertiban umum.
2. Asas objektivitas, artinya Hakim dalam member putusan tidak
memihak.
Hakim Komisaris dalam memberi putusan harus mempertim-bangkan
3 tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
1. dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatis,
tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya;
2. dari sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada
segi keadilannya;
3. dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan
pada segi kemanfaatan.
Hakim Komisaris harus berpatokan pada hukum formil, agar
kepastian hukum dapat diperoleh. Ketentuan dalam Hukum Acara Pidana
merupakan rambu-rambu agar dalam menjalankan tugasnya Hakim
Komisaris tidak menyimpang.
Namun melihat perkembangan masyarakat Hakim harus juga
mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Walaupun defenisi
keadilan itu sangat abstrak.
Rawls berpendapat “justice as fairness”, prinsip keadilan pertama,
yaitu each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty
compatible with a similar liberty for others. Namun menurut the different
principle tidak semua orang mendapat manfaat yang sama (equal benefits),
melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik.
Keputusan Hakim Komisaris tidak hanya bertujuan untuk kepastian
hukum yang menjamin keadilan terjadi tetapi juga harus bermanfaat.

Rimdan. Kekuasaan KeHakiman. Kencana Prenada Media Group. 2012, hlm. 50-51.

Ibid, hlm. 58

Ahmad Rifai, S.H, M.H. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif.
Sinar Grafika. 2011, hlm. 131-132.

John Rawls. A Theory Of Justice. President and Fellow of Harvard College. United Sated Of
America. 1971, hlm. 11.

Lord Lloyd of Hampstead & M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, London:
ELBS, 1985. hlm. 414, 42 9.

358
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Keputusan Hakim Komisaris harus bermanfaat agar terdakwa walaupun


diajukan ke pengadilan atas perbuatannya yang melakukan tindak pidana
harus diberi sanksi pidana, namun hak-haknya sebagai manusia tidak
dapat dihilangkan. Indonesia karena sudah meratifikasi konvenan hak-
hak sipil, maka politik hukum pidananya harus mengakomodir hak-hak
sipil warganya, termasuk warga yang melakukan tindak pidana.

V. Kesimpulan.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Hakim Komisaris merupakan
penjaga kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum
warga negara Indonesia yang sedang diselidiki, disidik, dan dituntut dalam
kasus tindak pidana agar hak-haknya sebgai manusia tidak dilanggar atau
diabaikan.

VI. Rekomendasi.
Berdasarkan besarnya wewenang yang diberikan hukum kepada
Hakim Komisaris maka harus ada beberapa point yang harus dilakukan
oleh pembuat undang-undang, yaitu
1. Hakim Komisaris harus merupakan hakim yang mempunyai intergritas
yang tinggi dan mempunyai pengetahuan hukum yang tinggi
sehingga tujuan hukum dapat terpenuhi, yaitu kepastian, keadilan,
kemanfaatan;
2. Penetapan Hakim Komisaris harus dilakukan dengan Standard
Operasional yang jelas dan terbuka, sehingga dapat diperoleh kriteria
hakim sebagaimana dipersyaratkan oleh rekomendasi pertama.

Daftar Bacaan.
John Rawls. A Theory Of Justice. President and Fellow of Harvard College.
United Sated Of America. 1971.
Lord Lloyd of Hampstead & M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to
Jurisprudence, London: ELBS, 1985.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2009.
-------. Kareteristik Ilmu Hukum. Yuridika. Vol. 23. No. 2 . Mei-Agustus.
2008.
Rimdan. Kekuasaan Kehakiman. Kencana Prenada Media Group. 2012.

359
UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM
ACARA PIDANA NASIONAL
MELALUI HAKIM PEMERIKSA
PENDAHULUAN SEBAGAI PENGGANTI
PRA PERADILAN

Oleh:
Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan – Bandung
– Jawa Barat)

I. Pendahuluan.
Undang Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)) memang
patut diapresiasi karena Kitab Undang Undang ini sudah merupakan
pembaharuan total dari kitab undang undang hukum acara pidana
kolonial, Herziene Indische Reglement (HIR), sehingga dibangga banggakan
sebagai salah satu “masterpiece” dalam hukum nasional. Namun, harus
diakui bahwa setelah berjalan lebih dari dua dekade, ternyata terdapat
banyak kekurangan dan kelemahan yang ditemukan dalam praktek,
sehingga timbul kebutuhan mendesak untuk memperbaiki Kitab Undang
Undang ini. Hal ini sangatlah wajar mengingat dinamika perkembangan
masyarakat demokratis yang menuntut adanya pembaharuan hukum
secara berkala melalui produk hukum yang responsif. Oleh karena itu,
upaya pembaharuan hukum acara pidana nasional melalui Rancangan
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang akan
menggantikan keberadaan KUHAP memang patut disambut gembira.
Salah satu ketentuan baru dalam RKUHAP adalah diusulkannya lembaga
Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk menggantikan keberadaan pra
peradilan dalam KUHAP.


Adnan Buyung Nasution, “Pra Peradilan versus Hakim Komisaris, Beberapa Pemikiran Tentang
Keduanya”, Newsletter KHN, April 2002. Dalam RKUHAP sebelumnya, tidak dikenal lembaga Hakim
Pemeriksaan Pendahuluan. Yang dikenal adalah Hakim Komisaris. Dikarenakan kekeliruan sebagian
kalangan yang berpikir bahwa Hakim Komisaris identik dengan Rechter Commissaris di Belanda yang
memimpin penyidikan (investigating judge), lembaga ini mengalami penolakan. Hakim Komisaris
kemudian berganti nama menjadi Hakim Pemeriksan Pendahuluan namun dengan kewenangan yang
persis sama, sehingga perdebatan yang muncul pada saat diintrodusirnya Hakim Komisaris dalam
RKUHAP sebelumnya tetap menjadi perdebatan hingga saat ini.

360
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Sekalipun berorientasi pada upaya pembaharuan hukum acara


pidana nasional, wacana penghapusan pra peradilan untuk kemudian
menggantikannya dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tampaknya
masih terus mengundang perdebatan. Pihak yang pro terhadap Hakim
Pemeriksa Pendahuluan berangkat dari pemikiran bahwa pra peradilan
seringkali dianggap sudah tidak memadai lagi untuk diberlakukan
sebagai lembaga pengawasan kewenangan penyidik dan penuntut umum
pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Persoalan tersebut kemudian
memunculkan wacana untuk menghapuskan lembaga tersebut dan
menggantikannya dengan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Namun demikian, Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini ternyata masih tetap
dianggap memiliki banyak kelemahan justru dengan alasan terlampau
luasnya kewenangan lembaga ini dalam melakukan intervensi terhadap
kewenangan penyidik dan penuntut umum pada tahap pemeriksaan
pendahuluan.

II. Dari Pra Peradilan ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


Pra peradilan memiliki beberapa kelemahan yang dalam hal ini
akan sangat merugikan para pencari keadilan. Pertama, tidak semua
upaya paksa dapat dimohonkan pra peradilan. Sejauh ini hanya sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan saja yang dapat dimohonkan pra
peradilan, sementara tidak demikian halnya dengan penyitaan maupun
penggeledahan. Kedua, dalam prakteknya, seringkali lembaga pra
peradilan tidak mampu menguji sah atau tidaknya penangkapan dan
penahanan secara materil. Ketiga, dalam hal suatu perkara sudah mulai
diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan terhadap
permohonan pra peradilan belum selesai, pemohonan pra peradilan
tersebut akan gugur secara otomatis. Keempat, apabila tidak ada
permohonan pra peradilan, sekalipun tindakan penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan secara nyata nyata
telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku, sidang pra peradilan
tidak dapat dilaksanakan karena inisiatif permohonan pra peradilan ini
terletak pada tersangka, terdakwa, maupun pihak yang merasa dirugikan.

Hakim Komisaris Masih Terus Diperdebatkan, http://www.hukumonline.com/berita/baca/
ho118142/hakimkomisaris-masih-terus-diperdebatkan, diakses tanggal 24 April 2011.

Adnan Buyung Nasution, “Beberapa Catatan Tentang Pra Peradilan versus Hakim Komisaris”,
disampaikan dalam Acara Diskusi Tematik Pembaruan Hukum Acara Pidana dengan Tema Pra
Peradilan Versus Hakim Komisaris yang diselenggarakan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan
(MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 24 Maret 2010, hlm. 8-9.

Lihat ketentuan pasal 77 jo. Pasal 1 ayat 10 KUHAP.

Penelitian KHN : Praperadilan Mengandung Banyak Kelemahan, http://www.hukumonline.
com/berita/baca/1t4b29bab9ef3a7/penelitian-khn-praperadilan-mengandung-banyak-kelemahan,
diakses tanggal 24 April 2011.

Lihat ketentuan pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP.

Lihat ketentuan pasal 79 dan pasal 80 KUHAP.

361
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Kelima, posisi yang tidak seimbang antara penegak hukum dan tersangka
atau terdakwa yang mengalami upaya paksa, sehingga dalam hal terjadi
intimidasi atau penyiksaan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum
selama masa penyidikan dan penuntutan, tersangka, terdakwa maupun
keluarganya tidak memiliki keberanian untuk mengajukan permohonan
pra peradilan.
Berbagai persoalan yang timbul tersebut pada prinsipnya berkenaan
dengan persoalan kewenangan, para pihak yang berhak mengajukan
permohonan, serta hukum acara pemeriksaan permohonan pra peradilan
yang kemudian memunculkan ide untuk mengganti pra peradilan dengan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Ide ini timbul tentunya dengan harapan
bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan mampu mengatasi berbagai
persoalan yang selama ini muncul dalam pra peradilan. Lembaga Hakim
Pemeriksa Pendahuluan memang memiliki kewenangan yang lebih luas
jika dibandingkan dengan pra peradilan. Namun demikian, terlampau
luasnya wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan inilah yang justru turut
menambah alasan ditentangnya lembaga baru ini, selain persoalan biaya
dan infrastuktur, rekrutmen, kondisi geografis Indonesia dan efisiensi
penanganan perkara.
Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan mencoba menjelaskan bahwa
pada prinsipnya akan terjadi pembaharuan hukum acara pidana nasional
melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai pengganti pra peradilan
dengan menitik beratkan pada konsep ideal lembaga pengawasan
kewenangan penyidik dan penuntut umum (mekanisme kontrol
horizontal) dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system). Indikator yang akan digunakan untuk
membandingkan pra peradilan dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah
: (1) kewenangan, (2) para pihak yang berhak mengajukan permohonan
dan (3) hukum acara pemeriksaan permohonan.

III. Pra Peradilan dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai Lembaga


Pengawasan Kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum pada
Tahap Pemeriksaan Pendahuluan.
Fungsi pengawasan yang dijalankan baik oleh pra peradilan maupun
Hakim Pemeriksa Pendahuluan pada prinsipnya merupakan mekanisme

Supriyadi, “Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Penyidikan Perkara Pidana”, Jurnal
Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Surat No. B/211/I/2010 tertanggal 21 Januari 2010 dari Kepolisian Negara Republik Indonesia
kepada Ketua Komisi III DPR RI tentang Saran dan masukan Polri atas RUU tentang HAP. Melalui
surat ini Polri menyatakan bahwa rencana pembentukan Hakim Komisaris merupakan konsep yang
sangat ideal untuk melindungi HAM dan kepastian hukum, tetpi juga harus diperhatikan konsepsi
tersebut apakah nantinya dapat dilaksanakan/diaplikasikan di lapangan karena implementasi konsep
Hakim Komisaris ini tentunya sangat tergantung kepada persoalan biaya dan infrastruktur, rekrutmen,
kondisi geografis Indonesia dan efisiensi penanganan perkara.

362
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

kontrol horizontal.10 Berbicara dalam konteks pengawasan, konsep due


process of law (proses hukum yang adil) menjadi relevan untuk dijadikan
semacam acuan untuk menjawab pertanyaan seputar konsep ideal lembaga
pengawasan. Dalam hal ini menarik untuk disimak apa yang disampaikan
oleh Marc Weber Tobias yang mengatakan bahwa “due process of law” is
the frame work upon which the system of ordered justice is build. Artinya adalah
bahwa “due process of law” pada prinsipnya merupakan suatu kerangka
kerja untuk memastikan bahwa keadilan akan tercapai dalam suatu sistem
peradilan pidana.11 Hal ini tentu dikarenakan due process of law12 meliputi
aspek pemberian kewenangan kepada kekuasaan negara (dalam hal
ini penyidik dan penuntut umum) untuk menegakkan hukum, jaminan
perlindungan terhadap hak asasi tersangka, sekaligus pengadilan yang
bebas dan merdeka (the independence of judiciary)13 sebagai kontrol terhadap
kekuasaan negara dalam melaksanakan berbagai kewenangan yang
dimilikinya agar tidak melanggar hak asasi tersebut.
Hakim Pemeriksa Pendahuluan pada prinsipnya merupakan lembaga
pengawasan yang lebih baik jika dibandingkan dengan pra peradilan. Hal
ini dikarenakan kewenangan yang dimiliki lembaga ini jauh lebih luas
dan lebih memberikan jaminan perlindungan terhadap hak hak tersangka.
Jika sebelumnya KUHAP mengatur bahwa upaya paksa yang dapat di pra
peradilan kan hanya terbatas pada penangkapan, penahanan dan penyitaan,
RKUHAP secara tegas menyatakan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
berwenang memeriksa keabsahan upaya paksa mulai dari penangkapan,
penahanan, penyitaan, penggeledahan, hingga penyadapan.14
Selain itu, berbicara dalam konteks pemeriksaan syarat materil
penangkapan atau penahanan yang menjadi salah satu persoalan dalam
pra peradilan, ketentuan baru dalam RKUHAP yang mewajibkan
penyidik menghadapkan tersangka yang ditahan kepada Hakim

10
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hlm. 9.
Dalam hal ini KUHAP telah menciptakan suatu mekanisme atau sistem checking dan korelasi antara
aparat penegak hukum yang sebagian perannya diserahkan kepada lembaga praperadilan yang
berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan maupun
tindakan lain yang dilakukan penyidik atau penuntut umum. Pengadilan melalui praperadilan ikut
memainkan peranan dalam membatasi kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
aparat penyidik dan penuntut umum sebagai mekanisme kontrol horizontal.
11
Marc Weber Tobias R. David Peterson, Pre-Trial Criminal Procedure, A Survey of Constitutional
Rights, Charles c Thomas, publisher, Springfield Illionis.
12
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, Cetakan Ketiga, Edisi Pertama, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia), 2007, hlm. 27-28.
13
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta : Erlangga, 1980, hlm. 20.
14
Lihat ketentuan pasal 111 ayat 1 RKUHAP.
Spesifik berbicara soal penyadapan, perlu dipikirkan mekanisme khusus yang menyimpang dari
ketentuan ketentuan dalam RKUHAP terkait tindak pidana khusus yang dikualifisir sebagai extra
ordinary crime sehingga membutuhkan extra ordinary tools untuk saat ini.

363
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Pemeriksa Pendahuluan dalam jangka waktu 5 (lima) hari penahanan15


diharapkan dapat mengatasi persoalan terkait tidak diperiksanya syarat
materil penangkapan dan penahanan. Dalam hal ini undang undang
mengatur bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan dilengkapi dengan
kewenangan untuk memeriksa salinan surat penangkapan dan penahanan
serta memanggil pihak pihak terkait mulai dari tersangka, kuasa
hukum, penyidik maupun penuntut umum untuk dimintai keterangan.
Pemeriksaaan ini pada dasarnya merupakan pemeriksaan syarat formil
maupun materil penangkapan atau penahanan yang dalam hal ini juga
dilakukan oleh hakim pra peradilan yang dalam prakteknya tidak berjalan
maksimal karena seringkali pemeriksaan hanya dilakukan terhadap syarat
formil saja. Dengan demikian perubahan ketentuan dalam RKUHAP ini
memang tidak secara serta merta mampu mengatasi persoalan yang timbul
dalam praktek pra peradilan terkait tidak diperiksanya syarat materil
penangkapan atau penahanan. Yang kini menjadi persoalan utama adalah
bagaimana Hakim Pemeriksa Pendahuluan ini sungguh sungguh dapat
menjalankan tanggung jawabnya untuk melakukan pemeriksaan secara
komprehensif terkait syarat materil penangkapan maupun penahanan dan
upaya paksa lainnya.
Berbicara mengenai mekanisme pemeriksaan, selain digantungkan
pada permohonan yang diajukan oleh pihak pihak yang dilanggar haknya
pada tahap pemeriksaan pendahuluan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan
juga dapat bertindak proaktif dan memutus berdasarkan inisiatifnya sendiri
dengan atau tanpa adanya permohonan.16 Inisiatif Hakim Pemeriksaan
Pendahuluan untuk melakukan pemeriksaan dan menyatakan ada
tidaknya pelanggaran melekat padanya pada saat tahanan dihadapkan
secara fisik dan selama proses 5 (lima) hari penahanan berlangsung.
Jika pelanggaran terjadi justru setelah lewatnya jangka waktu tersebut,
persoalan yang lebih penting untuk diperhatikan adalah bagaimana
agar pihak pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat dengan
leluasa mengajukan permohonan pemeriksaan atas pelanggaran hak
hak nya tanpa kemudian mendapatkan intimidasi, atau dengan kata lain
bagaimana menyeimbangkan posisi aparat penegak hukum dan tersangka
sehingga tidak terjadi lagi tindakan berupa penyiksaan pada tahap
pemeriksaan pendahuluan yang mengakibatkan tersangka semakin takut
memperjuangkan haknya.
RKUHAP juga tidak mengatur bahwa permohonan yang diajukan
kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan secara otomatis gugur dalam
hal berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
Dengan demikian, menurut hemat Penulis, dalam hal berkas perkara telah
dilimpahkan namun pemeriksaan permohonan kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan sedang berjalan, persidangan harus menunggu putusan
15
Lihat ketentuan pasal 58 ayat 2 RKUHAP.
16
Lihat ketentuan pasal 111 ayat 3 RKUHAP.

364
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Hakim Pemeriksa Pendahuluan sehingga dapat terlihat ada tidaknya


pelanggaran sebelum proses pemeriksaan atas perkara tersebut berlanjut
ke pengadilan. Dalam hal ini, setelah dilakukan pemeriksaan, Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dapat langsung memutuskan ada tidaknya
pelanggaran dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari, dan terhadap
putusan ini tidak dapat diajukan upaya hukum apapun lagi.17

IV. Prospek Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Mewujudkan Sistem


Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system)
Dibandingkan dengan Pra Peradilan.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai suatu konsep telah tertata dalam
perangkat unsur unsur yang tertuang dalam bentuk ketentuan ketentuan
KUHAP. Dilihat dari kerangka dasar kelembagaan dan proseduralnya
(procedural design), KUHAP membaginya dalam tiga fase yaitu18 : (1) Fase
pra adjudikasi, (2) Fase adjudikasi dan (3) Fase purna adjudikasi. Persoalan
mendasar yang timbul dalam praktek adalah bahwa sekalipun dikatakan
bahwa KUHAP dalam hal ini menganut konsep SPP terpadu, terminologi
“terpadu” dalam konsep tersebut tampaknya belum sungguh sungguh
terwujud karena masih setengah hati.19 Hal tersebut merupakan implikasi
dianutnya konsep diferensiasi fungsional dalam KUHAP dimana tahap
pemeriksaaan pendahuluan (pra ajudikasi) membagi fungsi masing masing
organ penegak hukum (penyidik dan penuntut umum) sebagai organ
yang bersifat independen satu dengan yang lain dan hanya terhubung
melalui jembatan kordinatif yang disebut pra penuntutan. Dengan konsep
ini pulalah hakim di satu sisi tidak berwenang atas pemeriksaaan perkara
sampai perkara dilimpahkan oleh penyidik melalui jaksa. Tetapi disisi lain
hakim akan mengawasi bagaimana pelaksanaan hukuman di lembaga
pemasyarakatan setelah perkara diputus. Dengan demikian, hakim tidak
mempunyai wewenang kebelakang terkait bagaimanakah penyidikan
17
Lihat ketentuan pasal 112 ayat 1 dan pasal 122 RKUHAP.
18
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit., hlm.
33.
19
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama, Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1-2 dan hlm. 8.
Terminologi “integrated” dalam konsep integrated criminal justice system sangat menarik
perhatian bilamana dikaitkan dengan istilah “system” dimana seharusnya sistem sudah merupakan
sebuah keterpaduan (integration and coordination). Namun demikian, penyebutan istilah tersebut
diarahkan untuk lebih memberikan tekanan agar integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan, sebab
fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya merupakan disturbing issue di pelbagai negara.
Demikian pula istilah “sinkronisasi” yang mengandung makna keserempakan dan keselarasan.
Sinkronisasi dalam hal ini, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat : (1) struktural
(structural synchronization) terkait mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration
of justice) dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum, (2) substansial (substansial
synchronization) terkait hukum positif yang berlaku dan (3) kultural (cultural synchronization) terkait
penghayatan perundang undangan, sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya
sistem peradilan pidana.

365
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

dilakukan, seperti penetapan bukti permulaan yang cukup. Namun karena


hakim tidak berhenti sampai dengan menjatuhkan putusan di pengadilan,
maka konsep ini disebut dengan peradilan pidana “terpadu” (integrated
criminal justice system).20 Padahal secara konseptual kekuasaan hakim selalu
sentral dalam proses peradilan pidana sejak awal sampai akhir proses
perkara pidana itu. Dalam hal ini Barda Nawawi Arief mengemukakan
bahwa kekuasaan hakim secara konseptual dimulai dari proses penyidikan
sampai dengan putusan pidana dijatuhkan dan dilaksanakan.21 Komisi
Hukum Nasional dalam penelitiannya yang bersifat evaluatif atas
pelaksanaan KUHAP juga menyimpulkan bahwa KUHAP perlu direvisi
terutama yang berkaitan dengan mekanisme saling mengawasi antara
penegak hukum dan lembaga dalam subsistem peradilan.22 Berkenaan
dengan hal tersebut, menarik untuk disimak pendapat yang dikemukakan
Mardjono Reksodiputro terkait desain prosedur (procedural design) SPP
nasional yang masih bermasalah sehingga perlu di rekonstruksi.23 RKUHAP
baru mencoba mulai mengubah kekeliruan tersebut dengan memberi
kewenangan kepada seorang Hakim Komisaris24 (yang kini berganti nama
menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan).
Spesifik berbicara mengenai fase pra ajudikasi, ketidakterpaduan ini
dikarenakan hakim sejauh ini hanya sebatas mengawasi fase ini melalui
pra peradilan yang dilengkapi kewenangan yang sangat terbatas sehingga
efektivitasnya dalam mengawasi kewenangan yang dimiliki aparat
penyidik dan penuntut umum pada tahap pemeriksaan pendahuluan
masih jauh dari memadai. Persoalan inilah yang kemudian menimbulkan
urgensi untuk dilakukannya upaya rekonstruksi terhadap SPP Indonesia
dengan cara melengkapi kekuasaan kehakiman dengan kewenangan yang
jauh lebih luas.
Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP
diharapkan mampu memperbaiki kelemahan dalam pra peradilan melalui
dominasi kekuasaan kehakiman yang terlihat dari kewenangannya yang
cukup luas untuk melakukan pengawasan atas tindakan penyidik dan
penuntut umum pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dapat memutus dengan atau tanpa adanya permohonan
pemeriksaan, dalam hal secara proaktif melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan upaya paksa berupa penyitaan, penggeledahan, dan
20
Luhut M P Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc : Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta : Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia dengan
Penerbit Papas Sinar Sinanti, Cetakan Pertama, 2009, hlm. 107.
21
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 33.
22
Komisi Hukum Nasional, “Menguak Misi Komisi Hukum Nasional dan Kinerjanya”, Kilas Balik
6 Tahun Komisi Hukum nasional Republik Indonesia, Jakarta, Komisi Hukum Nasional, 2006, hlm.
37.
23
Mardjono Reksodiputro, Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Op. Cit., hlm. 2.
24
Ibid., hlm. 12.

366
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

penyadapan melalui pemberian izin atau persetujuan dan berinisiatif


memutus bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hak tersangka pada
saat tersangka dihadapkan padanya berdasarkan pemeriksaan yang
dilakukan.25 Undang-undang juga mewajibkan penyidik bersama sama
dengan penuntut umum untuk menghadapkan tersangka yang ditahan
kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam jangka waktu 5 (lima) hari
saat dilakukannya penahanan oleh penyidik saat penyidikan berlangsung.
26
Selain itu Hakim Pemeriksa Pendahuluan juga berwenang menentukan
jangka waktu perpanjangan masa penahanan tersangka pada tahap
penyidikan, termasuk juga memutuskan penangguhan atau pembatalan
penahanan dimana sebelumnya kewenangan ini ada pada penyidik
dan penuntut umum sesuai tingkat pemeriksaan27, serta dilengkapi
kewenangan untuk memutuskan layak tidaknya dilakukan penuntutan
terhadap suatu perkara berdasarkan permohonan penuntut umum.
28
Seperangkat kewenangan ini akan berimplikasi pada kontribusi positif
lembaga baru ini dalam mewujudkan keterpaduan dalam SPP yang lebih
baik jika dibandingkan dengan pra peradilan.
Penulisan ini secara spesifik sebatas menyoroti keberadaan kekuasaan
kehakiman melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan dan kontribusi salah
satu subsistem dalam SPP ini dalam menciptakan SPP terpadu. Namun
demikian perlu dipahami bahwa persoalan ketidakterpaduan dalam SPP
memang tidak dapat seketika saja selesai dengan hadirnya lembaga baru
ini. Hal ini dikarenakan ketika berbicara dalam konteks SPP terpadu,
persoalan ini akan berkaitan dengan begitu banyak aspek, termasuk
didalamnya hubungan antara penyidik dan penuntut umum. Dalam hal
Hakim Pemeriksaan Pendahuluan diberlakukan, kekuasaan kehakiman
melalui Hakim Pemeriksaan Pendahuluan memang akan menjadi
25
Lihat ketentuan pasal 111 ayat 3 RKUHAP.
26
Lihat ketentuan pasal 58 ayat 2 RKUHAP. Lihat juga Andi Hamzah, Penjelasan Beberapa
Hal Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana, disampaikan pada
acara Sosialisai Naskah Akademik RUU Hukum Acara Pidana, Hotel Harris Jakarta, 1 November
2010 dan Andi Hamzah, Tanggapan atas Surat No. B/211/I/2010 tertanggal 21 Januari 2010 tentang
Saran Kapolri Kepada DPR Terhadap RKUHAP. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat 3
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan
diundangkan dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak Hak Sipil dan Politik. Sesuai dengan
Kovenan, jika penyidik melakukan penangkapan, maka promptly harus membawa tersangka (secara
fisik) ke hakim yang akan melakukan penahanan. Dengan alasan komunikasi di Indonesia sangat sulit
serta ribuan pulau pulau yang ada, penahanan yang dilakukan penyidik berdasarkan RKUHAP adalah
5 x 24 jam, jangka waktu paling lama bagi negara yang menandatangani Kovenan. Perlu dibentuk
hakim khusus untuk melakukan perpanjangan penahanan ini karena jika wewenang memperpanjang
penahanan dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri, betapa sibuknya hakim di Pengadilan Negeri
menerima dan memeriksa secara fisik tersangka, saksi, polisi, jaksa dan penasehat hukum setiap
hari. Dalam hal ini memang terjadi perubahan drastis, karena jika perpanjangan penahanan hanya
dilakukan dengan surat saja tanpa melihat tersangka secara fisik dan tanpa tanya jawab seperti
perpanjangan penahanan sekarang yang dilakukan oleh jaksa memang tidak perlu dibentuk hakim
khusus.
27
Lihat ketentuan pasal 67 ayat 1 RKUHAP.
28
Lihat ketentuan pasal 44 RKUHAP.

367
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

subsistem paling dominan jika dibandingkan dengan subsistem subsistem


lainnya (penyidik dan penuntut umum), dan ini merupakan satu hal
yang akan memberikan kontribusi positif dalam hal menciptakan sebuah
keterpaduan, dimana kekuasaan kehakiman akan dapat melaksanakan
fungsi pengawasan secara lebih baik mulai dari tahap pra adjudikasi,
adjudikasi, hingga tahap pasca adjudikasi. Namun demikian, selain
dominasi kekuasaan kehakiman pada tahap pemeriksaan pendahuluan,
apa yang perlu diperhatikan adalah bahwa keterpaduan ini baru dapat
tercapai dalam hal disintegrasi atau pengkotak kotakan yang selama ini
terjadi antara penyidik dan penuntut umum sebagaimana terlihat dalam
lembaga pra penuntutan yang diatur dalam Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diperbaiki melalui dibukanya
ruang komunikasi antara penyidik dan penuntut umum agar dapat
berkordinasi dengan lebih baik. Kedua hal ini merupakan persolan yang
saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh
karena itu, selain menyoroti keberadaan kekuasaan kehakiman melalui
Hakim Pemeriksaan Pendahuluan, upaya menciptakan hubungan yang
lebih koordinatif antara penyidik dan penuntut umum dalam RKUHAP
menjadi persolan yang sama pentingnya untuk diperhatikan.

V. Penutup.
Mengingat kewenangannya yang begitu luas, perlu perhatian ekstra
terhadap proses rekrutmen Hakim Pemeriksa Pendahuluan agar hakim
yang menjalankan tugasnya merupakan hakim hakim yang sungguh
kompeten dan berintegritas atau dengan kata lain memenuhi syarat
memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi sebagaimana
disyaratkan undang undang. Terkait hal tersebut Peraturan Pemerintah
yang mengatur lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan
dan pemberhentian Hakim Pemeriksa Pendahuluan perlu secara jelas
mengatur kriteria kapabilitas dan integritas moral yang tinggi tersebut.
Selain itu, persoalan yang menjadi sama pentingnya adalah pengawasan
terkait penilaian mengenai ketidakcakapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam menjalankan tugasnya yang dilakukan oleh Tim Pengawas
sebagaimana mekanisme pengawasan di Pengadilan Tinggi. Selain itu,
peran Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas eksternal dalam mengawasi
hakim terutama upaya pencegahan terjadinya pelanggaran terhadap Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) juga harus lebih ditingkatkan.
Perlu pula dipikirkan pola pengawasan yang melibatkan peran civil society
sehingga penilaian yang dilakukan terhadap kapabiltas dan integritas
moral hakim dapat lebih objektif.

368
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Daftar Pustaka.
Buku.
Adji, Oemar Seno. Hukum Hakim Pidana. Jakarta : Erlangga, Cetakan Kedua,
1984.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1998.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Marc Weber Tobias R. David Peterson, Pre-Trial Criminal Procedure, A Survey
of Constitutional Rights. Charles c Thomas, publisher, Springfield
Illionis
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Cetakan Pertama, 1995.
Pangaribuan, Luhut M P. Lay Judges & Hakim Ad Hoc : Suatu Studi Teoritis
Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jakarta : Fakultas Hukum
Pasca Sarjana Universitas Indonesia dengan Penerbit Papas Sinar
Sinanti, Cetakan Pertama, 2009.
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Edisi Pertama. Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia), Cetakan Ketiga, 2007.

Makalah.
Hamzah, Andi. Penjelasan Beberapa Hal Dalam Naskah Akademik Rancangan
Undang Undang Hukum Acara Pidana, disampaikan pada acara
Sosialisai Naskah Akademik RUU Hukum Acara Pidana, Hotel
Harris Jakarta, 1 November 2010.
_____________. Tanggapan atas Surat No. B/211/I/2010 tertanggal 21 Januari
2010 tentang Saran Kapolri Kepada DPR Terhadap RKUHAP.
Komisi Hukum Nasional, Menguak Misi Komisi Hukum Nasional dan
Kinerjanya, Kilas Balik 6 Tahun Komisi Hukum nasional Republik
Indonesia. Jakarta, Komisi Hukum Nasional, 2006.
Nasution, Adnan Buyung. Beberapa Catatan Tentang Pra Peradilan versus
Hakim Komisaris, disampaikan dalam Acara Diskusi Tematik
Pembaruan Hukum Acara Pidana dengan Tema Pra Peradilan
Versus Hakim Komisaris yang diselenggarakan oleh Masyarakat
Pemantau Peradilan (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 24 Maret 2010.

369
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

_____________________. Pra Peradilan versus Hakim Komisaris, Beberapa


Pemikiran Tentang Keduanya. Newsletter KHN, April 2002.
Reksodiputro, Mardjono. Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Makalah yang disempurnakan untuk Kuliah Umum di Universitas
Batanghari Jambi, pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi
Hukum Nasional 9 Desember 2009.
Supriyadi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Penyidikan Perkara Pidana.
Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Internet.
Hakim Komisaris Masih Terus Diperdebatkan, http://www.hukumonline.
com/berita/baca/ho118142/hakimkomisaris-masih-terus-
diperdebatkan, diakses tanggal 24 April 2011.
Penelitian KHN : Praperadilan Mengandung Banyak Kelemahan,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/1t4b29bab9ef3a7/
penelitian-khn-praperadilan-mengandung-banyak-kelemahan,
diakses tanggal 24 April 2011.

Lain-lain.
Surat No. B/211/I/2010 tertanggal 21 Januari 2010 dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia kepada Ketua Komisi III DPR RI tentang Saran
dan masukan Polri atas RUU tentang HAP.
Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana.

370
HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
SEBAGAI JALUR TERJAL
PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh:
Siti Marwiyah, S.H., M.H.
(Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo – Surabaya - Jawa
Timur)

I. Pendahuluan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan sejumlah
kewenangan, termasuk di antaranya menyita dan menyadap pembicaraan.
Karena dua kewenangan itu harus mendapat izin hakim pemeriksa
pendahuluan. Keharusan izin ini merujuk pada draf Revisi UU KUHAP
yang kini dibahas di Komisi III DPR RI.
Koordinator dan Divisi Hukum Peradilan Indonesia Corruption
Watch, Emerson Yunto, menerangkan, bahwa peran hakim pemeriksa
pendahuluan atau hakim komisaris berwenang menentukan apakah
penyitaan atau penyadapan atas pidana korupsi boleh dilakukan KPK,
karena dalam draf RUU KUHAP memberi kewenangan luar biasa (exstra
ordinary) bagi hakim komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) yang
dapat memutuskan dilanjutkan atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan
penyadapan sebuah perkara pidana secara final.
Setidaknya ada sembilan pasal dalam RUU KUHAP yang dinilai
ICW bermasalah dan mengekang kewenangan dan mengebiri eksistensi
KPK yang selama ini memakan banyak korban koroptor dari kalangan
eksekutif, yudikatif, legislatif dan swasta
Pasal 44 RUU KUHAP misalnya menyebutkan, bahwa penuntut
umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa
Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak dilakukan penuntutan
ke pengadilan. Hal ini menunjukkan, bahwa dampak dari Pasal 44 yaitu
penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh
Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Sedangkan Pasal 83 menjadi salah satu jalan terjal bagi KPK, karena
KPK baru bisa melakukan penyadapan bilamana mendapat izin dari Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Artinya penyadapan baru bisa dilakukan oleh
KPK bilamana KPK lebih dahulu mendapatkan rekomendasi penyidikan.
Selama hakim pemeriksa pendahuluan tidak memberikan ijin penyadapan,
maka KPK tidak berhak atau tidak boleh melakukannya.
371
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Hukum melindungi seseorang atau lembaga strategis dengan


cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya (seperti KPK) untuk
bertindak dalam rangka kepentingan orang tersebut. Pengalokasian
kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan
dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai
“hak”. Sedangkan menurut Paton, suatu kepentingan merupakan sasaran
dari hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, tetapi juga karena
adanya pengakuan terhadapnya. Hak itu ternyata tidak hanya mengandung
unsur perlindungan dan kepentingan, melainkan juga kehendak. Hak
melakukan penyadapan pun akan terus menjadi obyek diskursus jika terus
diusik oleh siapapun.

II. Mitra Pemberantasan Korupsi.


Tingkah laku manusia di dalam masyarakat itu dijalankan sesuai
dengan prinsip negara kita, yakni negara hukum berdasarkan Pancasila.
Tegaknya hukum merupakan suatu prasyarat bagi sebuah negara hukum.
Penegakan hukum selalu melibatkan manusia-manusia di dalamnya dan
dengan demikian melibatkan tingkah laku manusia juga. Manusia yang
masuk dalam ranah law enforcement ini diantaranya adalah KPK dan
hakim.
Baik KPK maupun hakim adalah sama-sama “penguasa” di wilayah
kerjanya. Penguasa ini menjadi sah dalam menjalankan aktifitasnya adalah
berpijak pada hukum yang berlaku. Tindakan dan diskresi yang diambil oleh
penguasa, rujukannya adalah hukum. Sandaran kepada hukum ini bukan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan penguasa dalam berperilaku,
tetapi menyangkut kepentingan secara luas kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa, khususnya kalangan pencari keadilan (justiabelen).
Norma yuridis itu menjadi patokan utama yang membuat seseorang
atau warga masyarakat tidak salah dalam berperilaku dan bergaul. Kalau
norma ini untuk institusi seperti hakim atau KPK, maka ini artinya ada rule
of game yang menggariskan atau menentukan jenis, orientasi, dan target
utama kinerjanya. Penyadapan hanya merupakan salah satu peran yang
selama ini dilakukan oleh KPK dengan pijakan yuridis.
Logis jika banyak pihak meggugat ketika tiba-tiba RUU KUHAP
mencoba menampilkan tata aturan yang berbeda. Misalnya mengapa ijin
penyadapan kepada hakim pemeriksa pendahuluan potensial melemahkan
kinerja KPK? tidakkah hakim pemeriksa pendahuluan dapat menjadi mitra
utama dalam bangunan pemberantasan korupsi?

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1991. “Hak” dalam pemahaman
ini merupakan substansi yang melekat dalam norma-norma hukum.

G.W Paton, A Text-book of Jurisprudence, Oxford University Press, London, 1964.

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing,
Yogyakarta, 1995. hlm. 55.

372
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

Kalau ijin penyadapan harus melalui hakim pemeriksa pendahuluan,


maka hal ini akan menjadi ancaman serius bagi strategi pemberantasan
korupsi, karena salah satu instrumen yang dinilai sangat tepat dan jitu
untuk membongkar atau setidak-tidaknya mengendus perkara korupsi
adalah penyadapan.
Jika penyadapan di berbagai titik-titik rawan korupsi harus
mendapatkan “restu” (ijin) lebih dahulu, maka logis jika ditakutkan akan
berdampak terjadinya reduksi atau bahkan degradasi terhadap upaya
pemberantasan korupsi.
Selama ini sudah banyak upaya pemberantasan korupsi yang
dilakukan oleh negara, akan tetapi seiring dengan itu koruptor pun
tampaknya tidak mau kalah. Terbukti meskipun negara sudah membentuk
KPK dengan kinerja yang istimewa (exstra ordinary), akan tetapi koruptor
pun terus marak terjadi dimana-mana.
Bukan tidak mungkin, saat pembentuk peraturan perundang-
undangan terlena dengan secara tidak langsung memberikan kesempatan
bagi koruptor untuk “bermain” di ranah pemeriksaan pendahuluan, baik
itu melalui penyidikan (dengan mengintervensi dan mengkriminalisasi
peran penyidik), maupun melalui hakim yang berperan melakukan
pemeriksaan pendahuluan.
Penyadapan itu idealnya harus dilakukan dengan sembunyi atau
diam-diam. Semakin banyak pihak yang mengetahui atau terlibat dalam
aplikasi penyadapan, ditakutkan akan banyak pihak pula yang kesulitan
menjaga kerahasian rencana pembongkaran dan menjadikan kerahasiaan
ini sebagai obyek informasi yang layak dijual mahal atau “dibarterkan”.
Hakim pemeriksa pendahuluan itu lazimnya hakim pada umumnya
di Indonesia yang gampang tidak tahan atau tidak mempunyai imunitas
moral, sehingga wajar ketika RUU KUHAP memasukkanya menjadi
pengawal di pintu gerbang peradilan, banyak pihak yang mempertanyakan
keteguhan atau sikap integritas moralnya. Godaan kekuatan lingkaran
koruptor yang bermaksud menciptakan strategi hegemonik terhadap
penjaga gawang hukum dan keadilan, bukan tidak mungkin akan terus
membara sampai ada diantaranya yang bisa dijatuhkan (dikuasai).
Selain itu, “wilayah” kinerja hakim pemeriksa pendahuluan juga
merupakan bagian dari titik rawan yang bisa djadikan obyek penyadapan,
sehingga rasanya mustahil akan mendapatkan izin pendapan dari
hakim pemeriksa pendahuluan, jika “wilayah” kinerjanya berpotensi
membahayakan dirinya.
Dunia peradilan, khususnya komunitas hakim, masihlah menjadi
“wilayah” yang rentan berelasi dengan korupsi. Sudah banyak hakim yang
tertangkap basah oleh KPK akibat menerima suap, grafitikasi, dan lainnya.

373
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Tidak sedikit para pemegang palu dan penentu timbangan keadilan ini
yang berurusan dengan malapraktik profesi hukum. Kalau demikian ini
yang terjadi, bagaimana mungkin mereka mengijinkan KPK melakukan
penyadapan.
Hakim pemeriksa pendahuluan mempunyai otoritas yang membuatnya
bisa terjerumus dalam penyalahgunaan wewenang atau peran. Prof
Klittgard mengingatkan, bahwa korupsi timbul karena adanya monopoli
kekuasaan ditambah diskresi (discretion) yang, tidak diimbangi dengan
pertanggungjawaban (accountability). Rumus C=M+D-A ini menunjukkan
bahwa discretion (otoritas) merupakan kewenangan yang melekat pada
setiap orang atau elite untuk mengambil pilihan dari beberapa alternatif,
yang dilakukan tanpa ada kendali akuntabilitas, sehingga menjadi sumber
korupsi.
Peran yang dimainkan oleh hakim pemeriksa pendahuluan pun bisa
terjerumus ke ranah korupsi, karena hakim ini mempunyai otoritas yang
bersifat eksklusif yang bisa menyeretnya ke tahapan penyalahgunaan
kekuasaan. Misalnya ketika KPK mengajukan permohonan melakukan
penyadapan, hakim pemeriksa ini menolaknya dengan alasan irasional dan
disobyektifitas, padahal dibalik alasan ini, hakim pemeriksa pendahuluan
sudah lebih dahulu dikuasai oleh kalangan mafioso atau pejabat-pejabat
korup.
Logika Klittgard di atas juga sejalan dengan pernyataan paling populer
dari Lord Acton yang menyebut power tend to corrupt, absolute power corrupt
absolutely atau kekuasaan itu cenderung melakukan korupsi dan semakin
absolut kekuasaan, maka korupsi juga semakin absolut. Akibat absolutnya
korupsi di negeri ini, kerugian besar dan berlapis sudah dirasakan oleh
rakyat. Kerugian demikian tidak lepas dari sepak terjang para hakim
bermental korup yang telah menjadikan norma yuridis sebagai instrumen
untuk membenarkannya.
Pada 2012 misalnya ada pemberitaan yang menyebutkan, bahwa
Indonesia kehilangan Rp 2.13 trillion (US$238.6 million) akibat korupsi
pada tahun 2011. Akibat besarnya kerugian negara dan dahsyatnya sepak
terjang koruptor, Corruption Perceptions Index 2012 menempatkan Indonesia
di peringkat 118.
Kondisi buram dan memalukan rezim Indonesia akibat korupsi itu
mengindikasikan kalau pelaku korupsi telah memperlakukan bangsa ini
sekedat obyek jarahan, dan bukan negara atau bangsa yang dimartabatkan.
Kekayaan yang dimiliki rakyat bukan dikembalikan untuk memanusiakan
atau menyejahterakn rakyat, tetapi menyejahterakan diri, keluarga, kroni,
dan partainya. Bahkan mereka terus berusaha jadikan kekuasaan di lini
apapun, termasuk kekuasaan yudisial diintervensi dan dihegemoni supaya

Muhtadi Anwar, Hakim dan Koruptor Kontemporer, Makalah, FGD-Malang Media Centre,
2012, hlm. 3-4.

374
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

kehilangan otoritas dan integritas moral, kecerdasan intelektualitas, dan


komitmen religiusitasnya.
Para koruptor itu bahkan sukses membentuk wajah Indonesia sebagai
negara yang “sekedar” berlandaskan hukum, dan bukan sebagai negara
yang benar-benar beridentitas negara hukum, karena dari sisi kenyataan
(das sein), mereka memproduksi berbagai perilaku yang mempertontonkan
kalau Indoneia layaknya diberi status sebagai “state without law” (negara
tanpa hukum). Sepak terjang hakim yang nekad mempermainkan hukum
dan kode etiknya, meskipun gaji dan tunjangannya sudah tergolong
istimewa, adalah mengindikasikan, bahwa daya serang dan kemampuan
koruptor untuk mempengaruhi dan menaklukkan aparat penegak hukum
(hakim) tetaplah besar.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 (1) juga menjelaskan bahwa
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kata
“menggali” biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan
perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam
perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha
mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut,
maka hakim harus mengikutinya dan memahaminya serta menjadikan
dasar dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering
dipergunakan oleh hakim, yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum
atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah
ini, istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh hakim,
sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh
lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam realitas dinamika imlementasi yuridis di tengah masyarakat,
penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur. Meski demikian
ketiga istilah itu berujung pada pemahaman bahwa bilamana aturan
hukum yang ada dalam rumusan peraturan perundang-undangan tidak
jelas, maka diperlukan suatu penemuan hukum atau pembentukan hukum
yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Hal ini bisa
dilakukannya degan jalan menafsirkan hukum atau menggali norma-
norma yang berlaku di tengah masyarakat.
Jazim Hamidi mengatakan bahwa penemuan hukum mempunyai
cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena penemuan hukum
itu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti

Syifaul Qulub, Asas Hukum, http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/05/asas-hukum.
html, akses 5 November 2013.

Muhtadi Anwar, Op.Cit, hlm. 5.

375
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat, dosen, notaris dan lain-lain.
Akan tetapi menurut Sudikno Mertokusumo profesi yang paling banyak
melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya
hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus
diselesaikan. Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang
mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil
penemuan hukum itu dituangkan dalam bentuk putusan.
Posisi dan peran fundamental dan sakralitas hakim itu menjadi
kehilangan fundamental dan sakralitasnya itu dapat terbaca ketika
putusan-putusannya “terbaca” membela koruptor. Publik selama ini
sudah demikian sering dikecewakan oleh putusan-putusan hakim yang
memberikan hukuman ringan dan bahkan membebaskan koruptor.
Sebagai sampel kasus, adalah sebagaimana kasus yang terjadi pada
Soedjiono Timan, konsultan dan juga mantan Direktur Utama PT Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia (Dirut PT BPUI) pada tahun 1995-1997. Dalam
kasus ini, putusan Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis Kasasi 15
tahun penjara terhadap Soedjiono Timan dan dibatalkannya ganti rugi Rp
1,2 triliun. Tidak hanya masyarakat dan tokoh bangsa dan lembaga anti
korupsi yang heran dengan putusan tersebut. Internal MA juga dibuat
terperanjat dengan vonis bebas yang penuh kontroversial tersebut. Mantan
hakim agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja berkomentar “Sedih,
putusan ini menyedihkan”.
V. Modrick. pernah menyatakan “saat di masyarakat atau kehidupan
bernegara banyak tumbuh subur penyakit penyimpangan jabatan, bisnis
kekuasaan, penyalahgunaan etik profesi, atau kriminal elite berlaku arogan
dan absolut, maka itu menandakan kalau karakter masyarakatnya toleran,
mudah acuh tak acuh, atau bergaya kompromistik terhadap kejahatan.
Kejahatan diberikannya tempat menyuburkan dan memeratakan dirinya,
sehingga sulit dikendalikan oleh kekuatan elitis negara. Salah satu pemberi
angin segar tumbulnya kejahatan elitis seperti korupsi ini adalah mereka
yang memegang palu sidang (hakim)”
Apa yang dinyatakan Sosiolog tersebut menunjukkan, bahwa
membaca dan memahami model penyimpangan kekuasaan, termasuk di
lingkungan institusi yudisial, yang berjaya, dan menggurita dalam suatu
negara, tidak akan sampai kehilangan obyek dan aktualitasnya, karena
institusi yudisial merupakan lembaga utama dalam bidang pemberantasan
korupsi. Ketika institusi peradilan seperti dunia kehakiman semakin
diragukan oleh publik akibat sering terjerat dalam perkara korupsi, dan

Said Haidar, Hakim dan Keadilan (Catatan Harian Para Pencari Keadilan), Inklusif-Pres,
Malang, 2012, hlm. 23.

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/08/27/26497/ironi-demokrasi-koruptor-12-
triliun-uang-bumn-dilepaskan-ma/, akses 8 November 2013.

Bambang Satriya, Hukum Indonesia Masih di Simpang Jalan, Nirmana Media, Jakarta, 2012.

376
Komisi Hukum Nasional RI – SPHN 2013

bukan karena sibuk menjerat koruptor dengan landasan etik, maka tidak
bisa disalahkan ketika publik memosisikannya sebagai ancaman atau jalur
terjal yang menghambat pemberantasan korupsi.

III. Militansi Hakim Pemeriksa Pendahuluan.


Tidak akan sampai terjadi dan marak kejahatan elitisme (korupsi),
kalau hakim benar-benar berkomitmen menunjukkan semangat
militansinya untuk mencegah dan memeranginya. Ketika sikap hakim
tetap tidak konsisten saat berperang melawan penjahat kelas elitis,
termasuk dari dunianya sendiri, maka inkonsistensi ini layak dibaca
sebagai wujud pengadakan ”bunker” bagi komunitas penjahat elitis.
Hakim pemeriksa pendahuluan pun bisa menjadi ”bunker” bagi koruptor,
jika saat melakukan pemeriksaan atau menjatuhkan putusan, ia berpihak
pada koruptor.
Dikisahkan dalam Film “Hakim Bao” tentang seorang hakim dan
negarawan terkenal pada jaman Dinasti Song Utara. Bao Zheng (999-1062)
adalah hakim yang adil serta tidak kompromi terhadap korupsi diantara
pejabat pemerintahan saat itu. Pengadilan dibawah kekuasaan Hakim Bao
sangatlah berwibawa dan dikagumi rakyat. Film Hakim Bao merupakan
kisah nyata, diangkat ke layar TV. Betapa lembaga peradilan sangatlah
dihormati. Pengadilan menjadi tempat mencari keadilan. Di tempat
ini, para pencari keadilan tidak dibedakan antara si kaya dan si miskin.
Status kedudukan seseorang pun tidak dipersoalkan. Keadilan betul-betul
ditegakkan tanpa pandang bulu oleh sang hakim.10
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal perilaku Hakim,
mencatat sebanyak 1724 laporan hakim nakal pada tahun 2011. Laporan
kemudian meningkat pada triwulan ketiga tahun 2012 berjumlah 1357.
Data ini memperlihatkan betapa bobroknya perilaku hakim dan menguatkan
dugaan praktik mafia pengadilan di tanah air.11
Praktik mafia pengadilan memang bukan barang baru. Mafioso-
mafioso peradilan sudah lama bercokol dibalik jubah penegak keadilan.
Keadilan menjadi “barang mahal” bagi pencari keadilan. Peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan sebatas teori belaka. Realitas di
pengadilan berkata lain. Hingga ada pepatah “kalau kehilangan seekor
kerbau jangan ke pengadilan, karena bisa kehilangan dua ekor kerbau”.
Pepatah ini mengilustrasikan adanya praktik kotor di kantor pengadilan.
Pemerasan, suap, calo perkara, penentuan hakim, hingga berat-ringan
putusan diperjualbelikan. Pengadilan bagaikan “rumah misteri” meminjam
istilah Almarhum Prof. Achmad Ali. Rumah yang putusannya tidak dapat
diterima oleh rasa keadilaan seluruh masyarakat.12
10
http://www.negarahukum.com/hukum/ironi-hakim-tipikor.html, akses 5 November 2013.
11
Ibid.
12
Ibid.

377
Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Penyakit kronis atau “kanker” mematikan seperti korupsi berelasi


dengan akar kriminogen yang tumbuh dan subur di masyarakat, termasuk
dari lingkaran kinerja elite yudisial (hakim) yang terjangkit penyakit
malapraktik profesi. Kalau di masyarakat tidak terdapat pola bersikap
dan berperilaku yang menoleransi dan memberikannya ruang liberalisasi
praktik-praktik deviasi, maka korupsi tidak sampai mengerucut dalam
piramida absolutismenya.
Pemeriksaan pendahuluan terhadap perkara korupsi, yang seharusnya
menjadi pintu gerbang dalam pemberantasan korupsi, akhirnya bergeser
menjadi pintu gerbang perluasan dan penguatan korupsi. Hal ini
terjadi akibat hakim yang bertindak sebagai penentu izin penyadapan,
menempatkan dirinya sebagai “pebisnis” yang memperjualbelikan
informasi atau kerahasiaan sebagian materi kinerja KPK. Bilamana kinerja
KPK dilemahkan demikian, tidak perlulah kita berharap banyak kalau
produk legislasi bernama RUU KUHAP yang kemudian nantinya disahkan
menjadi KUHAP dapat menjadi “karya agung” bangsa Indonesia. Jika pun
nantinya RUU KUHAP direvisi dengan menghilangkan ijin penyadapan
oleh KPK, maka posisi hakim pemeriksa pendahuluan tetaplah rawan
dieksaminasi oleh para koruptor yang menginginkan terbebas sejak dini
(tanpa proses hokum lebih lanjut).

Daftar Pustaka.
Bambang Satriya, Hukum Indonesia Masih di Simpang Jalan, Nirmana Media,
Jakarta, 2012.
G.W Paton, A Text-book of Jurisprudence, Oxford University Press, London,
1964.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/08/27/26497/
ironi-demokrasi-koruptor-12-triliun-uang-bumn-dilepaskan-ma/,
akses 8 November 2013.
http://www.negarahukum.com/hukum/ironi-hakim-tipikor.html, akses
5 November 2013.
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana,
Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995.
Muhtadi Anwar, Hakim dan Koruptor Kontemporer, Makalah, FGD-Malang
Media Centre, 2012
Said Haidar, Hakim dan Keadilan (Catatan Harian Para Pencari Keadilan),
Inklusif-Pres, Malang, 2012.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1991.
Syifaul Qulub, Asas Hukum, http://rangerwhite09-artikel.blogspot.
com/2010/05/asas-hukum.html, akses 5 November 2013.

378

Anda mungkin juga menyukai