Anda di halaman 1dari 136

ISSN 1978-6506

Terakreditasi LIPI
No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012

Vol. 7 No. 2 Agustus 2014 Hal. 103 - 212

DISPARITAS
YUDISIAL

jurnal agustus isi.indd 1 9/22/2014 9:41:11 AM


jurnal agustus isi.indd 2 9/22/2014 9:41:11 AM
ISSN 1978-6506

Vol. 7 No. 2 Agustus 2014 Hal. 103 - 212

J
urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan
pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit
berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.

Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.


Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI

Redaktur: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)


2. Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)

Penyunting: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)


2. Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Hukum Internasional)
4. Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)
5. Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)

Mitra Bestari: 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)
2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)
3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)
4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)
5. Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M. (Hukum Perdata)
6. Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya
Alam)
7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi
Hukum)

III

jurnal agustus isi.indd 3 9/22/2014 9:41:11 AM


8. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)
9. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)
10. Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H. (Hukum Acara, Sosiologi Hukum dan
Psikologi Hukum)
11. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum)
12. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum
Adat)
13. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu
Politik)

Sekretariat: 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si.


2. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
3. Yuni Yulianita, S.S.
4. Festy Rahma Hidayati, S.Sos.
5. Andhika Reza Pratama, S.Kom.
6. Eka Desmi Hayati, A.Md.
7. Andry Kurniadi, A.Md.

Desain Grafis
dan Fotografer: 1. Dinal Fedrian, S.IP.
2. Widya Eka Putra, A.Md.

Alamat:
Sekretariat Jurnal Yudisial
Komisi Yudisial Republik Indonesia
Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189
E-mail: jurnal@komisiyudisial.go.id
Website: www.komisiyudisial.go.id

IV

jurnal agustus isi.indd 4 9/22/2014 9:41:11 AM


DISPARITAS YUDISIAL

PENGANTAR
T
ermadisparitas secara popular muncul pada abad ke-16, yang awalnya
berakar pada kata Latin paritas atau parity. Istilah ini mengandung
makna ekuivalen, sehingga antoniminya, yakni disparitas, berarti perbedaan,
kesenjangan, atau inkonsistensi.

Pengadilan merupakan manifestasi drama kehidupan kemanusiaan yang berlangsung


dalam koridor kewenangan majelis hakim yang notabene terdiri dari manusia-
manusia biasa. Mereka bekerja bermodalkan rasio, intuisi, empiri, bahkan emosi, yang
dalam banyak segi tidak mudah terlacak di dalam putusan mereka. Masyarakat yang
menjadi pembaca putusan, pada gilirannya hanya mampu menyelami untuk kemudian
menginterpretasikan ulang hasil bacaan mereka atas teks putusan-putusan tersebut.
Dalam hal inilah akan terbuka kemungkinan ditemukannya disparitas putusan-putusan
tersebut, baik yang berdimensi horizontal (dalam arti satu level institusi pengadilan)
maupun vertikal (berbeda level institusi pengadilan).

Analisis aneka putusan yang diangkat dalam edisi Jurnal Yudisial kali ini menyajikan
dimensi disparitas yang sangat menarik. Para penulis menawarkan problematika
disparitas tadi di dalam arena hukum pembuktian (misalnya perbedaan penafsiran Pasal
2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; perbedaan penafsiran
kekuatan alat bukti testimonium de auditu), lalu juga hukum-hukum sektoral mencakup
hukum pertanahan, hukum ketenagakerjaan, dan hukum konstitusi.

Sebagai sebuah karya yudisial yang memiliki kekuatan kebenaran melalui asas res
judicata pro veritatehabetur, putusan-putusan yang diklaim memiliki derajat disparitas
tersebut tidak serta merta harus dilabel negatif. Disparitas dapat menjadi pertanda
munculnya pergulatan pemikiran di antara komunitas para hakim. Masyarakat pembaca
putusan terbuka untuk menilai mana di antara argumentasi para hakim ini yang layak
diamini atau membuka peluang lahirnya argumentasi berikutnya.

Jurnal Yudisial memberi ruang bagi para penulis yang menjadi pembaca kritis putusan-
putusan hakim untuk berkontemplasi dan menuangkan hasil renungan mereka ke dalam
tulisan-tulisan mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bagi para pembaca tulisan-tulisan
mereka akan menghadirkan pandangan berbeda lagi, yang boleh saja ditulis kembali
sebagai respons atas karya-karya tulis dalam jurnal ini. Bila itu terjadi, artinya misi
Jurnal Yudisial telah beringsut maju.

Terima kasih
Tertanda
Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

jurnal agustus isi.indd 5 9/22/2014 9:41:11 AM


jurnal agustus isi.indd 6 9/22/2014 9:41:11 AM
Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014 ISSN 1978-6505

DAFTAR ISI DISPARITAS PUTUSAN TERKAIT PENAFSIRAN


PASAL 2 DAN 3 UU PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI .............................................................. 103 - 116
Kajian terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2011-2012
Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

DUALISME PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG


MENGENAI STATUS HUKUM TENAGA KERJA ASING ........... 117 - 135
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 595K/PDT.SUS/2010
dan Nomor 29PK/PDT.SUS/2010
Vidya Prahassacitta, Fakultas Humaniora Jurusan Business Law
Universitas Bina Nusantara, Jakarta

KEKUATAN PEMBUKTIAN TESTIMONIUM DE AUDITU


DALAM PERKARA PERCERAIAN .................................................. 137 - 155
Kajian Putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw
dan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg
Ramdani Wahyu Sururie, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung

KEPAILITAN DALAM PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI


PERSPEKTIF HUKUM FORMIL DAN MATERIL ........................ 157 - 172
Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN.SMG dan Nomor 522K/Pdt.Sus/2012
Bambang Pratama, Ketua Umum Asosiasi Dosen Entrepreneurship
Indonesia (ADEI), Jakarta

DISPARITAS PUTUSAN PERKARA SENGKETA TANAH


TERKAIT PENERAPAN HUKUM FORMIL ....................................... 173 - 195
Kajian terhadap Lima Putusan Pengadilan Negeri dan Lima Putusan
Pengadilan Tinggi Tahun 2004-2011 di Yogyakarta
Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

reduksi Fungsi Anggaran DPR


dalam Kerangka Checks AND BalanceS .......................... 197 - 212
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013
Yutirsa Yunus & Reza Faraby
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta

VII

jurnal agustus isi.indd 7 9/22/2014 9:41:11 AM


jurnal agustus isi.indd 8 9/22/2014 9:41:11 AM
JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 2 Agustus 2014


Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

UDC 343.352 dengan payung hukum pidana karena menurut


Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak pidana dalam
Melani (Fakultas Hukum, Universitas Pasundan,
jabatan ditambah sepertiga.
Bandung)
(Melani)
Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kata kunci: penemuan hukum, korupsi,
penyalahgunaan wewenang.
Kajian terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor
Bandung Tahun 2011-2012

Jurnal Yudisial 2014 7(2), 103-116 UDC 347.991; 331.62

Penemuan hukum oleh hakim dalam putusan Prahassacitta V (Fakultas Humaniora Jurusan
pengadilan sangatlah penting. Namun apabila Business Law, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)
penemuan tersebut didasarkan pada penafsiran Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai
hukum yang keliru, maka langkah tersebut Status Hukum Tenaga Kerja Asing
tidaklah dapat dikatakan sebagai penemuan hukum
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 595K/
dan justru akan berimplikasi pada munculnya
PDT.SUS/2010 dan Nomor 29PK/PDT.SUS/2010
kekecewaan masyarakat. Hasil analisis terhadap
13 putusan pengadilan menunjukkan adanya Jurnal Yudisial 2014 7(2), 117-135
disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal Penggunaan tenaga kerja asing di pasar kerja
maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang- Indonesia hanyalah untuk jabatan dan waktu
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. tertentu. Hal tersebut diatur secara jelas dalam
Di antara penafsiran hukum yang paling menonjol Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
yang digunakan hakim adalah penafsiran restriktif, Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya.
sehingga unsur setiap orang dalam Pasal 2 Dalam praktiknya perjanjian kerja waktu tertentu
ditafsirkan sebagai orang yang bukan pegawai negeri antara pengusaha dengan tenaga kerja asing sering
atau pejabat negara, sedangkan unsur setiap orang dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan yang
dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai pegawai negeri berlaku. Perjanjian kerja tersebut sering dibuat tidak
atau pejabat negara. Penafsiran tersebut tidaklah tertulis dan tidak dalam bahasa Indonesia. Selain itu
masuk akal karena berakibat pegawai negeri atau jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu tersebut
pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal yang melebihi jangka waktu yang telah ditentukan
2 (perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dalam undang-undang. Hal ini menimbulkan
dijerat dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). permasalahan hukum ketika terjadi perselisihan
Ancaman hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih hubungan industrial terkait pemutusan hubungan
ringan daripada ancaman hukuman minimal Pasal 2, kerja terkait dengan status hubungan kerja dan
sehingga putusan yang didasarkan pada penafsiran kompensasi PHK. Memang peraturan perundang-
restriktif tersebut berimplikasi pada ketidakadilan undangan tidak mengatur secara khusus mengenai
dan ketidakpastian hukum. Di samping itu secara perjanjian kerja waktu tertentu bagi tenaga kerja
penafsiran sistematis hal demikian bertentangan asing sehingga pelanggaran atas perjanjian kerja

IX

jurnal agustus isi.indd 9 9/22/2014 9:41:11 AM


waktu tertentu tersebut mengakibatkan perjanjian pada kajian adanya disparitas di dalam penilaian
kerja tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja bukti saksi yang testimonium de auditu di dalam
waktu tidak tertentu. Hal tersebut tidaklah tepat pemeriksaan perkara perceraian antara pengadilan
karena seharusnya terhadap perjanjian kerja waktu agama tingkat pertama dan pengadilan tingkat
tertentu bagi tenaga kerja asing berlaku lex specialis. banding. Pada Pengadilan Agama Karawang, majelis
Dalam hal ini peran hakim menjadi penting dalam hakim mempertimbangkan bahwa saksi-saksi yang
melakukan penemuan hukum untuk mengisi diajukan dalam persidangan sudah memiliki nilai
kekosongan hukum yang ada. Faktanya Mahkamah pembuktian sekalipun keterangan yang diperoleh
Agung sendiri tidak satu suara atas hal tersebut saksi berdasarkan apa yang didengar dari penggugat
sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung sehingga gugatan penggugat patut dikabulkan
No. 595K/PDT.SUS/2010 dan No. 29PK/PDT. sedangkan dalam pertimbangan majelis hakim
SUS/2010. Hal ini menimbulkan dualisme dalam banding keterangan saksi yang diajukan dinilai
putusan-putusan Mahkamah Agung. sebagai saksi yang de auditu sehingga gugatan
penggugat tidak terbukti dan akhirnya Pengadilan
(Vidya Prahassacitta)
Tinggi Bandung membatalkan putusan Pengadilan
Kata kunci: perjanjian kerja, tenaga kerja asing, Agama Karawang.
PHK.
(Ramdani Wahyu Sururie)

Kata kunci: perceraian, saksi, perselisihan.


UDC 347.627.2

Sururie RW (Fakultas Hukum dan Syariah,


UDC 347.736
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati,
Bandung) Pratama B (Ketua Umum Asosiasi Dosen
Entrepreneurship Indonesia (ADEI), Jakarta)
Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam
Perkara Perceraian Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau Dari
Perspektif Hukum Formil dan Materil
Kajian Putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw
dan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN.SMG dan
Nomor 522K/Pdt.Sus/2012
Jurnal Yudisial 2014 7(2), 137-155
Jurnal Yudisial 2014 7(2), 157-172
Saksi merupakan salah satu alat bukti yang
digunakan untuk menyelesaikan suatu sengketa dan Ruh dari undang-undang kepailitan adalah asas
sangat menentukan untuk membuka tabir sejelas- kelangsungan usaha, di mana putusan pailit
jelasnya mengenai kebenaran pokok perkara yang merupakan ultimum remedium. Beberapa putusan
disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam pailit menjadi kontroversial karena keadaan keuangan
ketentuan hukum acara, saksi memiliki nilai debitor secara materil solven tetapi secara formil
kesaksian atau bernilai saksi sempurna apabila insolvensi. Isu kepailitan menarik untuk dibahas
memenuhi syarat formil dan materil tentang apa karena beban pembuktian dalam permohonan pailit
yang disaksikan. Saksi seperti itu dinamakan saksi di pengadilan menurut undang-undang kepailitan
yang auditu sedangkan saksi yang tidak memiliki menggunakan pembuktian sederhana. Tulisan ini
nilai kesaksian atau tidak memenuhi syarat formil akan mengulas masalah kepailitan yang diputus
dan materil kesaksian dinamakan saksi yang oleh Pengadilan Niaga Semarang dan Mahkamah
testimonium de auditu. Penelitian ini memfokuskan Agung ditinjau dari aspek hukum materil dan

jurnal agustus isi.indd 10 9/22/2014 9:41:11 AM


hukum formil. Dengan meneliti konsistensi dan Jurnal Yudisial 2014 7(2), 173-195
pertimbangan hukum putusan hakim pada kasus ini,
Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa
maka diharapkan memperoleh gambaran penerapan
ketentuan dan asas yang harus diperhatikan dan ditaati
undang-undang kepailitan secara das sollen-sein.
oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Tulisan
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode
ini merupakan bagian dari laporan penelitian yang
penelitian hukum doktrinal dengan tujuan mengkaji
berupa kajian terhadap putusan-putusan pengadilan
koherensi pertimbangan hukum antara judex factie
di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan judex juris pada kasus yang sama. Alasan
(DIY), yang meliputi putusan pengadilan negeri
pemilihan kasus kepailitan ini dibatasi pada bank
dan pengadilan tinggi dalam perkara sengketa tanah
sebagai pemohon pailit atas pertimbangan bahwa
yang mengandung gugatan monetary remedy dan
sudah memiliki sistem dan mekanisme utang-
equitable remedy. Sengketa tanah dapat disebut
piutang yang terpercaya. Atas asumsi tersebut maka
sengketa yang sangat sensitif dan sifatnya multi-isu
secara hipotetis dapat dikatakan permohonan pailit
karena merupakan sengketa sosial (social dispute)
oleh bank kepada debitornya merupakan keputusan
yang bersinggungan dengan persoalan budaya,
paling akhir. Penelitian ini setidaknya menemukan
sosio-struktural, strategis dan ekonomis. Banyaknya
empat hal menarik dalam penerapan undang-
hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaan putusan
undang kepailitan. Pertama, permohonan kepailitan
sengketa tanah merupakan latar belakang mengapa
yang diajukan ke pengadilan niaga tidak melewati
perlu dikaji penerapan hukum formil (acara) dalam
pengujian cash flow test dan balanced sheet test,
putusan pengadilan negeri (PN) dan pengadilan
sehingga pembuktiannya di pengadilan hanya
tinggi (PT) yang menjadi objek kajian. Dalam
mengandalkan pada pembuktian sederhana sesuai
kajian ini, akan diketahui persoalan-persoalan dalam
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Kedua,
penerapan hukum acara yang dapat ditemukan di
adanya iktikad buruk dari kreditor untuk menguasai
dalam putusan tersebut serta melihat apakah terdapat
aset debitor melalui permohonan pailit. Ketiga, tidak
disparitas (perbedaan) mengenai tingkat ketaatan
disertakannya Comanditaire Venotshcaap (CV)
dan kepatuhan hakim judex facti dalam menerapkan
sebagai subjek hukum pailit. Keempat, putusan pailit
ketentuan hukum formil.
oleh Pengadilan Niaga Semarang melewati batas
waktu ketentuan formil undang-undang kepailitan. (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya)

(Bambang Pratama) Kata kunci: disparitas, monetary remedy, equitable


remedy.
Kata kunci: debitor, kreditor, kepailitan, insolvensi.

UDC 328; 993


UDC 349.421
Yunus Y (Kementerian Perencanaan Pembangunan
Wijayanta T (Fakultas Hukum, Universitas Gadjah
Nasional/Bappenas, Jakarta)
Mada, Yogyakarta)
Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka
Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah Terkait
Checks and Balances
Penerapan Hukum Formil
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/
Kajian terhadap Lima Putusan Pengadilan Negeri
PUU-XI/2013
dan Lima Putusan Pengadilan Tinggi Tahun 2004-
2011 di Yogyakarta Jurnal Yudisial 2014 7(2), 197-212

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-

XI

jurnal agustus isi.indd 11 9/22/2014 9:41:11 AM


XI/2013 merupakan salah satu putusan penting.
Putusan ini telah merombak struktur ketatanegaraan
Indonesia yang menyimpang dari prinsip-prinsip
negara hukum demokratis, khususnya dalam
pelaksanaan fungsi anggaran oleh pemerintah dan
DPR. Kewenangan dua lembaga dalam melaksanakan
fungsi perencanaan dan penganggaran pada dasarnya
merupakan konsekuensi konsep negara hukum
yang menganut prinsip checks and balances, yang
bertujuan agar kekuasaan tidak hanya terletak pada
satu tangan dan menghasilkan sistem pemerintahan
yang korup dan otoriter. Namun, pelaksanaan fungsi
anggaran oleh kedua lembaga harus memerhatikan
batasan-batasan sesuai fungsi masing-masing agar
tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, konflik
horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-XI/2013 berhasil membatasi kewenangan
DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai
pada tingkat program. Pembatasan fungsi DPR ini
merupakan upaya tepat agar DPR tidak menjadi
sewenang-wenang dan justru mengacaukan sistem
perencanaan dan penganggaran Pemerintah RI.
Dengan demikian, putusan ini telah mereposisi
kembali fungsi checks and balances di mana
pemerintah mewujudkan fungsi perencanaan
pembangunan dan penganggaran, sementara DPR
mewujudkan fungsi politik anggaran yang sesuai
amanat UUD NRI 1945.

(Yutirsa Yunus & Reza Faraby)

Kata kunci: fungsi anggaran, APBN, checks and


balances.

XII

jurnal agustus isi.indd 12 9/22/2014 9:41:11 AM


JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 7 No. 2 Agustus 2014


The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC 343.352 (Melani)

Melani (Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Keywords: law making method (rechtsvinding),
Bandung) corruption, abuse of authority.

A Disparity in Judges Interpretation on Article 2


and 3 of the Law on Corruption Eradication
UDC 347.991; 331.62
An Analysis of Thirteen Decisions of Anti-
Prahassacitta V (Fakultas Humaniora Jurusan
Corruption Court of Bandung in 2011-2012 (Org.
Business Law, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)
Ind)
The Supreme Courts Dualism Interpretation on
Jurnal Yudisial 2014 7(2), 103-116
Foreign Workers Legal Status
Law making method (rechtsvinding), either by
An Analysis of Supreme Courts Decision Number
using interpretation or construction by the judge
595K/PDT.SUS/2010 and Number 29PK/PDT.
is of great importance. However, once it is based
SUS/2010 (Org. Ind)
on the incorrect law interpretation, it cannot be
regarded as law making since it will result in public Jurnal Yudisial 2014 7(2), 117-135
disappointment. The conclusion of the analysis of The employment of foreign workers in the
thirteen court decisions points to a red line of a Indonesian labor market is merely set for particular
disparity in law interpretation, either horizontally positions and a certain period of time as clearly
or vertically against article 2 and 3 of the law on stipulated in Law Number 13 of 2003 on Labor
corruption eradication. Among the most prominent and its implementation regulations. In practice,
law interpretation deployed by the judges is the temporary employment agreement between the
restrictive interpretation, which has made the element employer and the foreign workers habitually
of any person in article 2 interpreted as people does not meet the applicable regulations. The
who are not civil servants or state officials, whereas agreements are often unwritten and not set in
the element of everyone in article 3 interpreted Indonesian Language. Additionally, it has often
as civil servants or state officials. The unreasonable exceeded the period of time set out in the law. This
interpretation has caused the civil servants or state is a real issue that has resulted in legal problem,
officials cannot be trapped by article 2 (act against such as industrial disputes related to termination of
the law) and can only be trapped by article 3 (abuse employment concerning on employment status and
of authority). The minimum penalty set out in article compensation layoffs. Law and legislation do not
3 is lenient than that in article 2, and therefore, specifically regulate on this temporary employment
such decision based on restrictive interpretation, agreement for foreign workers, thus if there happens
could bring about injustice and legal uncertainty. to be violations of the agreement, it would be stated
Therefore that kind by systematical interpretation is as invalid agreement. This is not applicable, since
against the criminal law as affirmed on article 52 of the principle of lex specialis should have been
the criminal code stating the threat of criminal acts deployed in such agreement between the employer
in the department is enhanced by one-third. and the foreign workers. In this regard, the role

XIII

jurnal agustus isi.indd 13 9/22/2014 9:41:11 AM


of judge to conduct lawful discovery is crucial to claim should be granted. While in the Judges
overcome a legal vacuum that could arise. But the consideration of the Appeal Court of Bandung,
fact that the Supreme Court does not agree with the witnesses proposed is assessed as a witness de
the terms as stated in the Decision number 595K/ auditu, therefore the plaintiffs claim could not be
PDT.SUS/2010 and number 29PK/PDT.SUS/2010 proven, and Bandung High Court finally overturned
has led to dualism in the majority of the Supreme the decision of the Religious Court of Karawang.
Courts decisions.
(Ramdani Wahyu Sururie)
(Vidya Prahassacitta)
Keywords: divorce, witness, dispute.
Keywords: employment agreement, foreign
workers, termination of employment.
UDC 347.736

Pratama B (Ketua Umum Asosiasi Dosen


UDC 347.627.2
Entrepreneurship Indonesia (ADEI), Jakarta)
Sururie RW (Fakultas Hukum dan Syariah,
The Issue of Bankruptcy in Judges Decision
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati,
Through the Perspective of Procedural and
Bandung)
Substantive Law
Evidence Validity of Testimonium de Auditu in a
An Analysis of Decision Number 02/Pailit/2012/
Divorce Case
PN.SMG and Number 522K/Pdt.Sus/2012 (Org.
An Analysis of Decision Number 0141/Pdt.G/2011/ Ind)
PA.Krw and Number 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg
Jurnal Yudisial 2014 7(2), 157-172
(Org. Ind)
The spirit of Bankruptcy Law is business
Jurnal Yudisial 2014 7(2), 137-155
sustainability, which means that the decision of
Witness is a kind of evidence used to resolve a bankruptcy is ultimum remedium. Some bankruptcy
dispute and crucial in unveiling the factual truth of decisions are controversial because the debtors
the matter on the dispute by the two sides. In the financial condition is materially solvent but is
Code of Civil Procedure, a witness has testimony formally insolvent. Hence, this issue is interesting
value and is of the perfect witness if the formal and to discuss because the court only relies on formal
substantive requirements are satisfied. Such witness compliance through simple argumentation to
is called auditu witness. While if it has no testimony determine whether the subject is solvent or not. This
value or ineligible for the formal and substantive paper reviews a bankruptcy case of the Commercial
requirements, it is called testimonium de auditu. Court of Semarang and the Supreme Court within the
This analysis focuses on a disparity issue in the perspective of substantive and procedural law. By
assessment of proof of testimonium de auditu in observing the consistency of judges considerations
the review of a divorce case in two level courts: the on this case, it is expected to generate a description
Religious Court of First Instance of Karawang and of bankruptcy application in das sollen-sein. This
the Appeal Court of Bandung. In Religious Court of research deploys doctrinal method in a thorough
Karawang, the judges considered that the proposed study to demonstrate the coherency between judex
witnesses in the trial already have probative value factie and judex jurist of the same case. The study
of the information obtained even though it is built is partially to the bank as bankruptcy applicant on
on what is heard from the plaintiff, so that their consideration that the bank has a reliable system in

XIV

jurnal agustus isi.indd 14 9/22/2014 9:41:11 AM


debt mechanism. Hypothetically it can be argued Land dispute is a highly sensitive and multi-issue
that the bankruptcy application submitted by bank for it is a social dispute that may relate to socio-
towards its debtor is ultimum remedium. There are cultural and economic issues. The fact that many
four thought-provoking findings in the application obstacles and difficulties in the implementation
of Indonesian Bankruptcy Law. First, bankruptcy of the decision of the land dispute is the main
application submitted to the Commercial Court background of why it is necessary to study the
without passing cash flow test and balanced sheet application of the procedural law in court decisions
test. As the consequence, the court relies only on that become the object of the study. In this study, it
the straightforward argumentation as stated on will be elaborated the implementation issues of the
Article 8, paragraph (4) of the Bankruptcy Law. procedural law which is found in the decision, then
Second, there seems to be a bad intention of the inferred whether there is a disparity in the level
creditor to gain control over debtor assets through of adherence and compliance of the judex facti in
the bankruptcy application. Third, Comanditaire implementing the provisions of Procedural Law.
Venotschaap (CV) as a legal entity is ruled out as
(Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya)
the subject of bankruptcy law. Fourth, bankruptcy
decision by Commercial Court of Semarang has Keywords: disparity, monetary remedy, equitable
violated the procedural time limit as stipulated on remedy.
the Bankruptcy Law.

(Bambang Pratama) UDC 328; 993


Keywords: debtor, creditor, bankrupt, insolvency. Yunus Y (Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas, Jakarta)

UDC 349.421 Reduction of the Houses Budgeting Function in


Terms of Checks and Balances
Wijayanta T (Fakultas Hukum, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta) An Analysis of the Constitutional Courts Decision
Number 35/PUU-XI/2013 (Org. Ind)
Disparity in the Decision of Land Dispute Case
Pertaining to the Implementation of Procedural Jurnal Yudisial 2014 7(2), 197-212
Law The Constitutional Court Decision Number 35/
An Analysis of Five Decisions of District Court PUU-XI/2013 is one of the crucial decisions.
and Five Decisions of High Court of Yogyakarta in This decision has revolutionized the Indonesian
2004-2011 (Org. Ind) constitutional structure which seems to have
deviated from democratic principles and rule of
Jurnal Yudisial 2014 7(2), 173-195
law, especially in the implementation of budgeting
In the Code of Civil Procedure, there are some function by the government and the parliament.
rules and principles to which the judge adhere Those two agencies authorities in carrying out the
and observe and in making a decision. This paper function of planning and budgeting are basically a
is part of a research report studying the decisions consequence of checks and balances principle in
of several District Courts and High Court in the the rule of law, which aims to prevent corruption
Special Region of Yogyakarta Province regarding and authoritarian system resulted from an absolute
a case of land dispute which contains the lawsuit government power. However, the implementation
of the monetary remedy and equitable remedy. of the budgeting function by both agencies should

XV

jurnal agustus isi.indd 15 9/22/2014 9:41:11 AM


give attention to each agencys function limits
in order to avoid intervention of power, conflict
of interest, and abuse of power. In this case, the
Constitutional Court Decision No. 35/PUU-XI/2013
has affirmed the limitation to the Parliaments
authority to discuss the National Budget Plans only
in the scheme level. This limitation of the functions
of Parliament is made as an effort to prevent the
Parliaments authority being that could possibly
disrupt the governments planning and budgeting
system. Thus, this decision has repositioned the
function of checks and balances, in which the
government holds the function of development
planning and budgeting, while the House of
Representatives implements the budgeting policy as
mandated on the 1945 Constitution of the Republic
of Indonesia.

(Yutirsa Yunus & Reza Faraby)

Keywords: budgeting function, the National Budget


Plans, checks and balances.

XVI

jurnal agustus isi.indd 16 9/22/2014 9:41:12 AM


DISPARITAS PUTUSAN TERKAIT PENAFSIRAN PASAL 2 DAN 3
UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Kajian terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2011-2012

A DISPARITY IN JUDGES INTERPRETATION ON ARTICLE 2


AND 3 OF THE LAW ON CORRUPTION ERADICATION
An Analysis of Thirteen Decisions of Anti-Corruption Court of Bandung in 2011-2012

Melani
Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Jl. Lengkong Besar No. 68 Kota Bandung
E-mail: melglitter@yahoo.co.id

Naskah diterima: 3 Februari 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

ABSTRAK demikian bertentangan dengan payung hukum pidana


karena menurut Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak
Penemuan hukum oleh hakim dalam putusan pengadilan
pidana dalam jabatan ditambah sepertiga.
sangatlah penting. Namun apabila penemuan tersebut
didasarkan pada penafsiran hukum yang keliru, maka Kata kunci: penemuan hukum, korupsi, penyalahgunaan
langkah tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai wewenang.
penemuan hukum dan justru akan berimplikasi pada
munculnya kekecewaan masyarakat. Hasil analisis ABSTRACT
terhadap 13 putusan pengadilan menunjukkan adanya Law making method (rechtsvinding), either by using
disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal interpretation or construction by the judge is of great
maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang importance. However, once it is based on the incorrect
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara law interpretation, it cannot be regarded as law making
penafsiran hukum yang paling menonjol yang digunakan since it will result in public disappointment. The
hakim adalah penafsiran restriktif, sehingga unsur setiap conclusion of the analysis of thirteen court decisions
orang dalam Pasal 2 ditafsirkan sebagai orang yang points to a red line of a disparity in law interpretation,
bukan pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan either horizontally or vertically against Article 2 and 3
unsur setiap orang dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai of the Law on Corruption Eradication. Among the most
pegawai negeri atau pejabat negara. Penafsiran tersebut prominent law interpretation deployed by the judges is the
tidaklah masuk akal karena berakibat pegawai negeri restrictive interpretation, which has made the element of
atau pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 any person in Article 2 interpreted as people who are
(perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dijerat not civil servants or state officials, whereas the element
dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Ancaman of everyone in Article 3 interpreted as civil servants
hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih ringan daripada or state officials. The unreasonable interpretation
ancaman hukuman minimal Pasal 2, sehingga putusan has caused the civil servants or state officials cannot
yang didasarkan pada penafsiran restriktif tersebut be trapped by Article 2 (act against the law) and can
berimplikasi pada ketidakadilan dan ketidakpastian only be trapped by Article 3 (abuse of authority). The
hukum. Di samping itu secara penafsiran sistematis hal minimum penalty set out in article 3 is lenient than

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 103

jurnal agustus isi.indd 103 9/22/2014 9:41:12 AM


that in Article 2, and therefore, such decision based on of criminal acts in the department is enhanced by one-
restrictive interpretation, could bring about injustice and third.
legal uncertainty. Therefore that kind by systematical
Keywords: law making method (rechtsvinding),
interpretation is against the Criminal Law as affirmed
corruption, abuse of authority.
on Article 52 of the Criminal Code stating the threat

I. PENDAHULUAN Salah satu aspek yang penting dalam


pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
Tindak pidana korupsi (Tipikor) di
proses penegakan hukum. Proses penegakan
Indonesia telah mewabah ke berbagai segi
hukum dalam memberantas tindak pidana
kehidupan. Putusan pengadilan tipikor yang
korupsi harus dilakukan secara teliti, cermat,
diteliti ini pun terdakwanya terdiri dari berbagai
dan komprehensif dengan memperhatikan fakta
kalangan, yaitu mulai dari bidang pendidikan,
yuridis dan fakta empirik, sehingga putusan yang
kepala daerah (bupati dan walikota), ketua UKM
diberikan hakim dapat mencerminkan penegakan
(Usaha Kecil dan Menengah) sampai dengan
hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum,
pejabat perusahaan swasta rekanan BUMN.
dan bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Sejarah pemberantasan tindak pidana
Sebuah keputusan akan mendekati keadilan
korupsi di Indonesia memang merupakan sejarah
apabila diambil melalui proses interpretasi
panjang dengan sederetan perundang-undangan
hukum. Seorang hakim, misalnya pada setiap
yang dilengkapi dengan berbagai Tim atau
pembacaan yang menetapkan sesuatu mendekati
Komisi Khusus guna menunjang pemberantasan
keadilan apabila menjaga undang-undang
tindak pidana korupsi tersebut. Namun hingga
sekaligus menghancurkan atau menghapus
kini korupsi masih merajalela dan masif.
undang-undang, karena itu, setiap momen pada
Tindak pidana korupsi adalah extra hakikatnya unik. Interpretasi hukum (yang selalu
ordinary crime (kejahatan luar biasa), sehingga baru) harus dilakukan secara terus-menerus agar
pemberantasannyapun memerlukan proses luar sebuah keputusan yang mendekati keadilan dapat
biasa. Oleh karena itu bangsa-bangsa di dunia diambil, tanpa hal tersebut, sebuah keputusan
telah sepakat untuk secara bahu-membahu tidak dapat dianggap adil, meskipun keputusan
memberantas korupsi yang bersifat transnasional. ini sahih. Momen pengambilan keputusan adalah
Indonesia adalah termasuk negara yang ikut kontinum di mana orang mempertahankan
menandatangani UNCAC (United Nations rentetan waktu, tetapi sebuah keputusan yang
Convention Against Corruption) atau Konvensi adil harus merobek waktu dan membangkang
PBB Menentang Korupsi dan Indonesia telah terhadap berbagai dialektika (Susanto, 2010:
meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang 289).
Nomor 7 Tahun 2006, dengan demikian Indonesia
Dalam kenyataannya banyak pelaku tindak
telah terikat secara moral, politis, dan yuridis
pidana korupsi yang diberikan hukuman yang
untuk melaksanakan UNCAC.
relatif ringan, bahkan belakangan ini banyak

104 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

jurnal agustus isi.indd 104 9/22/2014 9:41:12 AM


kasus yang diputus bebas oleh pengadilan tindak Ke-13 putusan tersebut dalam tabel di
pidana korupsi (Tipikor) di daerah. Dengan atas dijatuhkan hakim atas dasar dakwaan jaksa
adanya kenyataan tersebut telah menimbulkan penuntut umum, yang pada umumnya mengacu
disparitas secara horizontal antara sesama putusan pada bentuk dakwaan subsidairitas, yaitu primair
pengadilan tipikor tingkat pertama, antara sesama Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo.
putusan pengadilan tingkat banding, dan antara Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
sesama putusan tingkat kasasi. Di samping itu Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
telah menimbulkan pula disparitas secara vertikal, PTPK) dan Subsidair Pasal 3 Undang-Undang
yaitu antara putusan pengadilan tipikor tingkat No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.
pertama dengan putusan pengadilan tingkat 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
selanjutnya. Pidana Korupsi, akan tetapi dalam pertimbangan
hukumnya terjadi disparitas penafsiran hakim
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
(Alwi et.al., 2002: 270), disparitas adalah,
No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.
perbedaan atau jarak. Menurut Blacks Law
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Dictionary (Garner, 1999: 482), disparity is
Pidana Korupsi, baik secara horizontal maupun
inequality or a difference in quantity or quality
vertikal dan anehnya penafsiran hakim dalam
between two or more things. Terjemahan
putusan-putusan tersebut pada umumnya malah
bebasnya, disparitas adalah ketidaksetaraan atau
menguntungkan terdakwa, sehingga ada terdakwa
perbedaan kuantitas atau kualitas antara dua atau
yang dibebaskan dan juga ada terdakwa yang
lebih dari sesuatu.
dihukum ringan berdasarkan dakwaan subsidair,
Adapun putusan yang akan diteliti yaitu Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
disparitasnya adalah, lima putusan pengadilan jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
tipikor tingkat pertama dan delapan putusan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
pengadilan tipikor tingkat berikutnya, yaitu dibebaskan dari dakwaan primair, yaitu Pasal 2
sebagaimana tabel di bawah ini: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Nomor Putusan Pengadilan Nomor Putusan Pengadilan


No. Nama Terdakwa (Inisial)
Tingkat Pertama Tingkat Berikutnya

1 HTS 03/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 29/TIPIKOR/2011/PT.Bdg


1874 K/PID.SUS/2011

2 MY dan HTD 10/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 31/TIPIKOR/2011/PT.Bdg


2104 K/ PID.SUS/2011

3 MM 22/PID.SUS/TPK/2011/PN.Bdg 2547 K/PID.SUS/2011

4 AS 36/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 41/TIPIKOR/2011/PT.Bdg
2637 K/PID/SUS/2011

5 ICHL 76/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg 21/TIPIKOR/2012/PT.Bdg

Tabel 1. Daftar Putusan yang Diteliti

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 105

jurnal agustus isi.indd 105 9/22/2014 9:41:12 AM


Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan amat mendalam sehingga upaya untuk mengganti
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). sistem pemerintahan, misalnya dari totaliter
ke demokrasi, seperti di Indonesia, tidak akan
II. RUMUSAN MASALAH cukup untuk menaklukkan korupsi sampai ke
akarnya. Justru sebaliknya negara-negara yang
Berdasarkan latar belakang yang terurai notabene berhasil melenyapkan korupsi, seperti
tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam Singapura dan Hongkong (Cina), bukanlah
tulisan ini adalah: negara demokratis (Wattimena, 2012: 9-10).
1. Bagaimana disparitas penafsiran hakim Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. (Alwi et.al., 2002: 597), korupsi adalah
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
tentang Pemberantasan Tindak Pidana (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau
Korupsi (UU PTPK)? orang lain. Menurut Blacks Law Dictionary
2. Bagaimana implikasi hukum yang terjadi (Garner, 1999: 348), corruption is depravity,
dengan adanya disparitas penafsiran hakim perversion, or taint: an impairment of integrity,
atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. virtue, or moral principle; esp the impairment of
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 a public officials duties by bribery. Terjemahan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana bebasnya, korupsi adalah kebejatan moral,
Korupsi (UU PTPK)? perbuatan tidak wajar, noda: perusakan integritas,
kebajikan, moral, khususnya perusakan oleh
pejabat publik dengan penyogokan.
III. STUDI PUSTAKA
A. Disparitas dalam Tindak Pidana Menurut Baharuddin Lopa (dalam Hartanti,
Korupsi 2005: 10) ada dua sifat korupsi, yaitu korupsi yang
bersifat terselubung dan korupsi yang bermotif
Menurut Cheang Molly (dalam Muladi &
ganda. Korupsi yang bersifat terselubung, yakni
Arief, 1998: 52), disparity of sentencing atau
korupsi secara sepintas bermotif politik, tetapi
disparitas pidana, adalah penerapan pidana yang
secara tersembunyi sesungguhnya bermotif
tidak sama terhadap tindak pidana yang sama
mendapatkan uang semata.
(same offence) atau terhadap tindak pidana yang
sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa Menurut Gunnar Myrdal (1977: 166), The
dasar pembenaran yang jelas. problem is of vital concern to the government
of South Asia, because the habitual practice of
Faktor-faktor yang mempengaruhi putusan
bribery and dishonesty pravers the way for the
hakim (Loqman, 2002: 100-101) terdiri dari;
authoritarian rezim which justifies it self by the
faktor intern, faktor pada undang-undang itu
disclosures of corruption has regularly been
sendiri, faktor penafsiran, faktor politik, dan
advance as a main justification for military
faktor sosial.
take overs. Terjemahan bebasnya, Masalah itu
Korupsi adalah penyakit universal negara, merupakan suatu hal yang penting bagi pemerintah
yang bisa ditemukan di mana pun. Penyebabnya di Asia Selatan karena kebiasaan menyuap dan

106 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

jurnal agustus isi.indd 106 9/22/2014 9:41:12 AM


tidak jujur membuka jalan membongkar korupsi guna menghapuskan sifat bertentangan dengan
dan menghukum pelanggar, pemberantasan hukum pada perbuatan-perbuatan terdakwa, yang
korupsi biasanya dijadikan alasan pembenar terbukti formil masuk dalam rumusan tindak
untuk kup militer. pidana (dalam Sapardjaja, 2002: 137).

B. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil C. Penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU


PTPK
Hukum pidana sering dikatakan hukum
undang-undang karena terikat dengan asas Sifat melawan hukum materil yang
legalitas. Dalam KUHP asas legalitas dimuat terdapat dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999
dalam Pasal 1 ayat (1). Adagium yang terkenal tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dari Ansellem Von Feurbach adalah nullum (UU PTPK), dapat ditelaah dari bunyi undang-
delictum noela poena sine praevia lege poenali. undangnya.

Sifat melawan hukum materil dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999,
yurisprudensi di Indonesia terdapat dalam menyatakan: Setiap orang yang secara melawan
Putusan Mahkamah Agung No. 42/K/Kr/1965, hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
dalam perkara Machroes Effendi yang didakwa sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
melakukan tindak pidana melanggar Pasal 372 yang dapat merugikan keuangan negara atau
jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan oleh Pengadilan perekonomian negara, dipidana dengan pidana
Negeri Singkawang dalam Putusan Perkara No. penjara seumur hidup atau pidana penjara
6/1964/Tolakan, tanggal 24 September 1964, paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
melanggar Pasal 372 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
serta dihukum 1 tahun 6 bulan, kemudian dalam banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
tingkat banding Pengadilan Tinggi Jakarta dalam
Wiyono (2006: 26) menyatakan: ketentuan
Putusan Perkara No. 146/1964 PT Pidana, tanggal
tindak pidana korupsi yang terdapat dalam
27 Januari 1965, dinyatakan melepaskan terdakwa
ketentuan Pasal 2 ayat (1) memang merupakan
dari segala tuntutan hukum, dan Mahkamah Agung
delik formil, juga ditegaskan dalam penjelasan
menyetujui pertimbangan Pengadilan Tinggi
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dengan
Jakarta. Dalam pertimbangannya pengadilan tinggi
dirumuskannya tindak pidana korupsi seperti
berpendapat, bahwa pengeluaran-pengeluaran
yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai delik
DO gula insentif padi yang dilakukan terdakwa
formil, maka adanya kerugian keuangan negara
sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan
atau kerugian perekonomian negara tidak harus
terdakwa yang menyimpang dari tujuan yang
sudah terjadi.
ditentukan, akan tetapi faktor kepentingan umum
dilayani, serta faktor tidak adanya keuntungan Pada tanggal 25 Juli 2006 Putusan Mahkamah
yang masuk ke dalam saku terdakwa dan faktor Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 menyatakan
tidak dideritanya kerugian oleh negara, merupakan pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam arti
faktor-faktor yang memiliki nilai lebih dari cukup materil tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 107

jurnal agustus isi.indd 107 9/22/2014 9:41:12 AM


mengingat pengertian dalam penjelasan Pasal 2 Dalam ketentuan ini kata dapat sebelum
ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ini frasa merugikan keuangan atau perekonomian
bertentangan dengan UUD 1945 karena selain negara menunjukkan bahwa tindak pidana
pengertian ini dapat menimbulkan ketidakpastian korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya
hukum, juga bertentangan dengan asas legalitas tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
yang diadopsi dalam Pasal 28D Undang-Undang unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan,
Nomor 31 Tahun 1999 dan prinsip nullum crimen bukan timbulnya akibat. Tenyata maksud dari
sine lege stricta. penjelasan Pasal 3 tersebut hanya menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
dimaksud dalam Pasal 3 juga merupakan delik
tersebut, Mahkamah Agung dalam beberapa
formil seperti halnya tindak pidana korupsi
putusan, seperti dalam perkara atas nama Rusadi
sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1).
Kantaprawira tetap menerapkan asas sifat
melawan hukum materil, dengan alasan hakim Dalam praktik kerap terjadi penafsiran yang
berdasarkan doktrin Sens-Clair, yaitu dalam keliru atas Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
harus menemukan hukum. dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Ada
hakim yang menafsirkan, bahwa ketentuan Pasal
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
2 hanya berlaku bagi mereka yang tergolong
menyatakan: Setiap orang yang dengan tujuan
bukan pegawai negeri, sedangkan Pasal 3 subjek
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
delik harus memenuhi kualitas sebagai pejabat.
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Terhadap kontroversi Pasal 2 dan Pasal 3
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
keuangan negara atau perekonomian negara, telah diubah dengan Undang-Undang No. 20
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup Tahun 2001 Mahkamah Agung telah membuat
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun rumusan, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 diperuntukan
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/ atau untuk setiap orang baik swasta maupun pegawai
denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh negeri. Jadi Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku bagi
juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri
(satu miliar rupiah). (MA RI, 2012: 21).

Wiyono (2006: 37) menyatakan, terhadap


ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, dalam D. Tindak Pidana dalam Jabatan Menurut
penjelasan Pasal 3 hanya disebutkan kata dapat KUHP
dalam ketentuan tersebut diartikan sama dengan Pemberatan karena jabatan diatur dalam
penjelasan Pasal 2. Dengan demikian, untuk Pasal 52 KUHP yang menyatakan:
mengetahui apa yang dimaksud oleh penjelasan
Pasal 3 tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu Bilamana seorang pejabat, karena
melakukan perbuatan pidana, melanggar
apa yang disebutkan dalam penjelasan Pasal suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau
2. Di dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan; pada waktu melakukan perbuatan pidana

108 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

jurnal agustus isi.indd 108 9/22/2014 9:41:12 AM


memakai kekuasaan, kesempatan atau sering disebut sebagai suatu mededadersschap.
sarana yang diberikan kepadanya karena Dengan demikian, maka medeplegen itu di
jabatannya, pidananya dapat ditambah
sepertiga. samping merupakan bentuk deelneming, maka ia
juga merupakan bentuk daderschap.
Contoh lainnya adalah Pasal 415 KUHP
yang menyatakan: Seorang pejabat atau orang lain
F. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette
yang ditugasi menjalankan suatu jabatan umum
Handeling)
terus menerus atau untuk sementara waktu yang
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat Pasal 64 KUHAP mengatur tentang
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau Perbuatan Berlanjut yang dalam bahasa Belanda
membiarkan uang atau surat berharga itu diambil disebut (Voortgezette Handeling). A.Z. Abidin
atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong dan Andi Hamzah (2002: 309) menyatakan,
sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan dalam hal perbuatan berlanjut, pertama-tama
tersebut, diancam dengan pidana penjara paling harus ada satu keputusan kehendak perbuatan
lama tujuh tahun. itu mempunyai jenis yang sama. Putusan hakim
menunjang arahan ini, yaitu:
Apabila penggelapan dalam jabatan (Pasal
415 KUHP) dibandingkan dengan penggelapan 1. Adanya kesatuan kehendak;
biasa (Pasal 372 KUHP), maka tampak
2. Perbuatan-perbuatan itu sejenis;
penggelapan dalam jabatan ancaman hukumannya
jauh lebih tinggi dari ancaman hukuman bagi 3. Faktor hubungan waktu (jarak waktu
penggelapan biasa yang hanya diancam dengan tidak lama).
pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun.

G. Dakwaan Subsidairitas
E. Ajaran Deelneming (Penyertaan)
Van Bemmelen dalam Andi Hamzah (1996:
Menurut Hooge Raad untuk dapat 190) menyatakan: Dalam dakwaan subsidair
mengatakan bahwa bentuk turut serta adalah turut pembuat dakwaan bermaksud agar hakim
melakukan, harus ada dua unsur, yaitu: memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair dan
jika ini tidak terbukti, barulah diperiksa dakwaan
a. Antara para peserta ada kerjasama yang
subsidair.
diinsafi (buweste samenwerking);
Terdakwa didakwa jaksa penuntut umum
b. Para peserta bersama telah melaksanakan
melakukan tindak pidana korupsi dengan bentuk
(gezamenlijke uitvoering).
dakwaan secara bersusun lapis (subsidairitas)
Menurut Lamintang (1984: 588) yaitu dalam dakwaan primair melanggar Pasal 2
menjelaskan bentuk medeplegen sebagai berikut: ayat (1) sub b jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b ayat
dalam bentuk deelneming itu terdapat seorang (2), (3) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64
melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh ayat (1) KUHP, kemudian subsidair melanggar
pelakunya, maka bentuk deelneming ini juga Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 109

jurnal agustus isi.indd 109 9/22/2014 9:41:12 AM


Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal itu sendiri;
64 ayat (1) KUHP. Pada aspek ini jaksa penuntut
2. Untuk membuat orang menjadi jera;
umum akan membuktikan dakwaan tersebut dari
mulai dakwaan primair. Apabila dakwaan primair 3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi
telah terbukti, dakwaan subsidair tidak perlu tidak mampu melakukan kejahatan yang
dibuktikan lagi. Akan tetapi sebaliknya, apabila lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara
dakwaan primair tidak terbukti, jaksa penuntut yang lain sudah tidak dapat diperbaiki
umum secara imperatif akan membuktikan lagi.
dakwaan subsidair (Mulyadi, 2013: 228).
M. Sholehuddin (dalam Marlina, 2011: 35-
36) menyebutkan tiga perspektif filsafat tentang
H. Penemuan Hukum
pemidanaan, yaitu:
Oleh karena undang-undangnya tidak
1. Perspektif eksistensialisme tentang
lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus
pemidanaan.
mencari hukumnya, harus menemukan
hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum 2. Perspektif sosialisme tentang pemidanaan.
(rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan
3. Pemidanaan ditinjau dari perspektif
hukum sering merupakan penemuan hukum dan
Pancasila.
tidak sekedar penerapan hukum (Mertokusumo
& Pitlo, 1993: 4).
IV. ANALISIS
Metode penemuan hukum oleh hakim dapat A. Posisi Kasus
dibedakan atas dua jenis, yaitu metode interpretasi
dan konstruksi (Ali, 2008: 122). Agar dapat Dalam seluruh putusan pengadilan yang
mencapai kehendak dari pembuat undang-undang diteliti pada dasarnya bentuk dakwaan yang
serta dapat menjalankan undang-undang sesuai disusun oleh jaksa penuntut umum/KPK adalah
dengan kenyataan sosial, hakim menggunakan dakwaan subsidairitas, kecuali pada Perkara No.
beberapa cara penafsiran (Ardhiwisastra, 2000: 9). 22/PID.SUS/TPK/2011/PN.BDG jo. Perkara
No. 2547K/PID.SUS/2011 bentuk dakwaannya
adalah kombinasi (kumulatif yang disubsidairkan
I. Filsafat Pemidanaan
dan dialternatifkan), akan tetapi dakwaan kesatu
Peradilan dan penemuan hukum oleh hakim berbentuk subsidairitas.
adalah sah (legitim), demikian bunyi sebuah
Pada dasarnya dakwaannya adalah:
pendirian, jika mereka menghasilkan putusan-
putusan yang adil (Pontier, 2008: 9). Primair:

Menurut P.A.F Lamintang dan Theo Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31
Lamintang (2012: 11), pada dasarnya terdapat Tahun 1999 jo. sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun
tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat

110 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

jurnal agustus isi.indd 110 9/22/2014 9:41:12 AM


Subsidair: 2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi;
Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun
1999 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang atau sarana yang ada padanya karena jabatan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. atau kedudukan;
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
4. Yang dapat merugikan keuangan negara
Dalam Perkara No. 76/Pid.Sus/TPK/2011/
atau perekonomian negara.
PN.Bdg jo. No. 21/TIPIKOR/2012/PT.Bdg
selain pasal-pasal tersebut, dakwaan primair dan Sedangkan Pasal 18 UU No. 31 Tahun
dakwaan subsidair dihubungkan pula dengan 1999 jo. PUU No. 20 Tahun 2001 tentang
perbuatan berlanjut, yaitu Pasal 64 ayat (1) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkaitan
KUHP. dengan pidana tambahan dan Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP berkaitan dengan penyertaan.
Unsur-unsur dari Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal
18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah Tentang penerapan Pasal 18 UU PTPK
diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dalam ke-13 putusan
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana yang diteliti tidak terlalu menimbulkan masalah,
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah: sehingga masalah yang akan diteliti disparitasnya
adalah pemahaman hakim terhadap Pasal 2 dan 3
1. Setiap orang;
UU PTPK. Oleh karena itu disparitas yang akan
2. Secara melawan hukum; dianalisis di sini adalah penafsiran hakim atas
Pasal 2 dan 3 UU PTPK.
3. Melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
B. Disparitas Penafsiran Hakim atas Pasal
4. Yang dapat merugikan keuangan negara 2 dan 3 UU PTPK
atau perekonomian negara.
Disparitas yang terjadi dalam ke-13
Sedangkan Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 putusan yang diteliti pada dasarnya terdiri dari
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan empat aspek, yaitu:
Tindak Pidana Korupsi adalah berkaitan dengan
a. Aspek hukum acara;
pidana tambahan dan Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP berkaitan dengan penyertaan. b. Aspek hukum material;

Unsur-unsur Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. c. Aspek filosofi penjatuhan pidana;


31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
d. Aspek penalaran hukum.
ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal Dari keempat aspek tersebut di atas aspek
55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah: hukum material, yaitu pemahaman hakim
terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun
1. Setiap orang;
1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (UU PTPK) yang

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 111

jurnal agustus isi.indd 111 9/22/2014 9:41:12 AM


berkaitan pula dengan aspek filosofi penjatuhan 4. Yang dapat merugikan keuangan
pidana dan aspek penalaran hukum, dirasakan negara atau perekonomian negara.
peneliti paling menonjol disparitasnya dan
c. Menimbang bahwa sekarang majelis hakim
paling besar implikasinya terhadap penjatuhan
akan mempertimbangkan satu-persatu
pidana oleh hakim, oleh karena itu selanjutnya
unsur-unsur tersebut dihubungkan dengan
peneliti akan fokus kepada aspek hukum material
fakta-fakta hukum yang terungkap di muka
khususnya penafsiran hakim terhadap Pasal 2
persidangan aquo, yaitu pada pokoknya
dan Pasal 3 UU PTPK tersebut.
sebagai berikut:
Dalam menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 3
Ad 1. Unsur Setiap Orang:
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 (UU PTPK) telah terjadi disparitas baik Menimbang bahwa unsur setiap orang
dalam tindak pidana korupsi telah diatur
secara horizontal (antara sesama putusan hakim dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang
setingkat) maupun secara vertikal (antara putusan Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan Tahun 2001, yaitu setiap orang adalah
perseorangan adalah orang perseorangan
tingkat selanjutnya). atau korporasi.
Dalam pertimbangan hukum Putusan Menimbang bahwa unsur setiap orang
Perkara No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/ PN.Bdg, dalam Pasal 1 butir 3 UU PTPK adalah
bersifat umum, demikian juga dalam Pasal
Putusan Perkara No. 10/Pid.Sus/TPK/2011 dan 2 ayat (1) UU PTPK, majelis berpendapat
Putusan Perkara No. 22/Pid.Sus/TPK/2011, pada bahwa setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1)
UU PTPK juga bersifat umum.
pokoknya dinyatakan:
d. Menimbang bahwa pengertian setiap orang
a. Oleh karena surat dakwaan disusun
yang termaktub dalam Pasal 3 UU PTPK,
secara subsidair, maka majelis akan
majelis memandang mempunyai pengertian
mempertimbangkan terlebih dahulu
yang lebih khusus jika dibanding dengan
dakwaan primair.
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yaitu adanya
b. Menimbang bahwa rumusan yang predikat unsur jabatan atau kedudukan
termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal yang melekat pada orang dimaksud.
18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan UU e. Menimbang sesuai dengan asas spesialitas,
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan apabila dalam waktu, tempat, dan objek yang
Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat sama saling diperhadapkan antara ketentuan
(1) ke-1 KUHP, yang unsurnya meliputi: yang bersifat umum dengan ketentuan yang
bersifat khusus, maka yang diterapkan
1. Setiap orang; adalah ketentuan yang bersifat khusus.
2. Secara melawan hukum; f. Menimbang dakwaan penuntut umum,
3. Melakukan perbuatan memperkaya yang mendakwa terdakwa melakukan
diri sendiri atau orang lain atau suatu tindak pidana korupsi yang secara
korporasi; langsung atau tidak langsung berkaitan

112 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

jurnal agustus isi.indd 112 9/22/2014 9:41:12 AM


dengan jabatan atau kedudukan terdakwa 2 UU PTPK (berupa perbuatan melawan hukum)
(dalam Perkara No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/ dan hanya bisa dijerat dengan Pasal 3 UU PTPK
PN.Bdg, sebagai Kepala Dinas Pendidikan (berupa penyalahgunaan wewenang).
Kabupaten Bekasi, dalam Perkara No.
Lain halnya dengan Putusan No. 36/Pid.Sus/
10/Pid.Sus/TPK/PN.Bdg, sebagai Bupati
TPK/2011 jo. Putusan No. 41/TIPIKOR/2011/
Subang, dan Perkara No. 22/Pid.Sus/TPK/
PT.Bdg dan Putusan No. 76/Pid.Sus/TPK/2011
PN.Bdg sebagai Walikota Bekasi).
jo. Putusan No. 21/TIPIKOR/2012/PT.BDG
g. Menimbang berdasarkan uraian tersebut dalam perkara-perkara tersebut terdakwanya
di atas majelis berpendapat bahwa unsur bukanlah PNS/pejabat negara, sehingga tidak
setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1) UU teridentifikasi tentang pemahaman hakim
PTPK tidaklah terbukti. terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK, karena
majelis hakim langsung menganggap dakwaan
h. Pada akhirnya majelis hakim menyimpulkan
primair telah terbukti (Pasal 2 ayat (1) UU
bahwa yang terbukti adalah seluruh unsur-
PTPK).
unsur dari Pasal 3 UU PTPK.
Dengan demikian tidak jelas apakah
Dari ketiga putusan pengadilan negeri
pengenaan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK terhadap
tersebut yang selanjutnya dua putusan, yaitu
terdakwa, dikarenakan terdakwa bukan PNS
Putusan Perkara No. 03/Pid.Sus/TPK/2011/
atau tidak. Sedangkan Putusan No. 2547 K/PID.
PN.Bdg dan Putusan Perkara No. 10/Pid.Sus/
SUS/2011 yang menyatakan terdakwa terbukti
TPK/2011 dikuatkan oleh pengadilan tinggi dan
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 2
Mahkamah Agung, sedangkan Putusan No. 22/
ayat (1) UU PTPK sudah tepat dan benar.
Pid.Sus/TPK/2011 dibatalkan oleh Mahkamah
Agung, dapat disimpulkan bahwa tiga putusan Dari uraian tersebut terhadap penafsiran
pengadilan negeri dan dua putusan pengadilan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK tampak telah
tinggi, ditambah dengan dua Putusan Mahkamah terjadi disparitas baik secara horizontal maupun
Agung, beranggapan bahwa Pasal 2 UU PTPK vertikal. Namun yang paling mencemaskan
diperuntukan bagi orang yang bukan PNS atau adalah penafsiran restriktif (terhadap Pasal 2
pejabat negara, sedangkan Pasal 3 diperuntukan dan Pasal 3 UU PTPK) justru banyak dilakukan
bagi orang yang bekerja sebagai PNS atau hakim sebagaimana uraian tersebut di atas.
pejabat negara. Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap
atau tidak jelas, maka hakim harus mencari
Berdasarkan Putusan No. 03/Pid.
hukumnya, harus menemukan hukumnya.
Sus/TPK/2011/PN.Bdg jo. Putusan No. 29/
Ia harus melakukan penemuan hukum
TIPIKOR/2011/PT.Bdg jo. Putusan No. 1874
(rechtsvinding).
K/PID.SUS/2011, Putusan No. 10/Pid.Sus/
TPK/2011 jo. Putusan No. 31/TIPIKOR/2011/ Penegakan dan pelaksanaan hukum sering
PT.Bdg jo. Putusan No. 2104 K/Pid.SUS/2011, merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar
dan Putusan No. 22/Pid.Sus/TPK/2011/ PN penerapan hukum (Mertokusumo & Pitlo, 1993:
Bandung, dapat ditarik kesimpulan bahwa PNS 4). Sebuah keputusan akan mendekati keadilan
atau pejabat negara tidak dapat dijerat oleh Pasal apabila diambil melalui proses interpretasi

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 113

jurnal agustus isi.indd 113 9/22/2014 9:41:12 AM


hukum (Susanto, 2010: 289). Dengan demikian C. Implikasi Penafsiran Hakim atas Pasal 2
penemuan hukum oleh hakim amatlah penting, dan 3 UU PTPK
akan tetapi penemuan hukum haruslah logis
Sebagaimana terurai dalam analisis butir
sebagai upaya mendekatkan hukum pada
1 di atas, penafsiran restriktif hakim terhadap
keadilan. Sebagaimana pendapat J.A. Pontier,
Pasal 2 dan 3 UU PTPK adalah sangat keliru dan
peradilan dan penemuan hukum oleh hakim
tidak masuk akal. Penafsiran yang keliru tersebut
adalah sah (legitim), demikian bunyi sebuah
akan berimplikasi pada penjatuhan pidana bagi
pendirian, jika mereka menghasilkan putusan-
terdakwa dan vonis pemidanaan yang rendah bagi
putusan yang adil (Pontier, 2008: 9).
terdakwa tindak pidana korupsi, akan berimplikasi
Penafsiran restriktif yang dilakukan hakim- bagi ketiadaan efek jera bagi narapidana juga
hakim tersebut di atas, yaitu mempersempit langkah para koruptor akan diikuti oleh yang
pengertian setiap orang dalam Pasal 2 dan 3 UU lainnya.
PTPK dengan mengartikan Pasal 2 diperuntukan
Apabila PNS/pejabat negara tidak dapat
bukan untuk PNS atau pejabat negara, sedangkan
dijerat dengan Pasal 2 UU PTPK, berarti PNS/
Pasal 3 diperuntukan bagi PNS atau pejabat
pejabat negara tidak dapat dipersalahkan
negara sangatlah keliru dan tidak masuk akal
melakukan perbuatan melawan hukum dan
karena bertentangan dengan payung hukum
hanya dapat dijerat dengan Pasal 3 UU PTPK
pidana yaitu KUHP.
(penyalahgunaan wewenang). Apabila penafsiran
Dalam KUHP tindak pidana dalam jabatan yang keliru tersebut terus menerus diterapkan
ancamannya justru ditambah satu pertiga dari hakim tipikor, maka akan berimplikasi, PNS/
ancaman tindak pidana biasa (Pasal 52 KUHP), pejabat negara tidak akan segan-segan mengikuti
bahkan penggelapan dalam jabatan Pasal 415 jejak para koruptor terdahulu untuk melakukan
KUHP ancaman hukumannya maksimal 7 (tujuh) tindak pidana korupsi karena ancaman pidana
tahun penjara, jauh lebih berat dari ancaman minimal dalam Pasal 3 UU PTPK ringan, yaitu
hukuman penggelapan biasa (Pasal 372 KUHP) 1 (satu) tahun penjara dan/atau denda minimal
yang hanya maksimal 4 (empat) tahun penjara. Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),
sedangkan Pasal 2 UU PTPK ancaman pidana
Menurut Rumusan Rapat Pleno
minimalnya adalah 4 (empat) tahun penjara
Mahkamah Agung RI 2012, Pasal 2 dan Pasal
dan denda minimal Rp.200.000.000,- dan
3 diperuntukan untuk setiap orang baik swasta
anehnya hakim pengadilan tingkat pertama kerap
maupun pegawai negeri. Jadi Pasal 2 dan Pasal
menjatuhkan pidana dengan ancaman minimal,
3 berlaku bagi pegawai negeri maupun bukan
seperti halnya dalam perkara No. 03/Pid.Sus/
pegawai negeri (MA RI, 2012: 21). Dengan
TPK/2011/PN.Bdg, perkara No. 10/Pid.Sus/
demikian putusan pengadilan tipikor yang
TPK/2011/PN.Bdg dan malahan dalam Perkara
didasarkan pada pertimbangan hukum berupa
No. 22/Pid.Sus/TPK/2011/PN Bdg, terdakwa
penafsiran restriktif terhadap Pasal 2 dan Pasal
dibebaskan dari segala dakwaan.
3 UU PTPK adalah keliru.
Putusan bebas pengadilan tipikor pada
Pengadilan Negeri Bandung tersebut sangat

114 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

jurnal agustus isi.indd 114 9/22/2014 9:41:12 AM


melukai rasa keadilan di dalam masyarakat dan 2. Implikasi hukum disparitas penafsiran
bertentangan dengan filsafat pemidanaan. atas Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK adalah
timbulnya penjatuhan hukuman yang
V. SIMPULAN berbeda-beda. Apabila putusan didasarkan
pada penafsiran restriktif hakim atas
Berdasarkan analisis yang terurai di atas Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK, maka
dapat ditarik simpulan sebagai berikut: tampak dalam Putusan No. 03/Pid.Sus/
1. Terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK yang TPK/2011/PN.Bdg, Putusan No. 10/
diteliti telah terjadi disparitas penafsiran Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg, pengadilan
hakim baik secara horizontal, yaitu antara menjatuhkan pidana penjara minimal
sesama putusan pengadilan tipikor tingkat berdasarkan Pasal 3 UU PTPK yang jauh
pertama dan juga antara sesama putusan lebih ringan dari ancaman pidana minimal
pengadilan tipikor tingkat tinggi, serta dalam Pasal 2 UU PTPK dan malahan
antara sesama putusan Mahkamah Agung. dalam Putusan No. 22/Pid.Sus/TPK/2011/
Di samping itu telah terjadi disparitas PN Bdg, terdakwa dibebaskan dari segala
secara vertikal antara pengadilan tipikor dakwaan. Putusan bebas pengadilan tipikor
tingkat pertama dengan pengadilan tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung tersebut
tingkat selanjutnya. Penafsiran restriktif, sangat melukai rasa keadilan dalam
yaitu mempersempit pengertian setiap masyarakat. Apabila dalam perkara tindak
orang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK pidana korupsi dihukum ringan, maka hal
ternyata banyak dilakukan oleh hakim itu bertentangan dengan filsafat pemidanaan
pengadilan tipikor tingkat pertama dan karena tidak akan menimbulkan efek jera
tingkat selanjutnya yang mengambil alih bagi pelaku yang malah akan diikuti oleh
semua pertimbangan hukum pengadilan pelaku lainnya dan akan membahayakan
tipikor tingkat pertama dan memperkuat bagi kredibilitas pengadilan tipikor, akibat
putusan pengadilan tipikor tingkat pertama. ketidakpercayaan masyarakat.
Penafsiran restriktif tersebut amatlah keliru
karena bertentangan dengan payung hukum
pidana yaitu KUHP. Dalam KUHP tindak
pidana dalam jabatan ancamannya justru
ditambah satu pertiga dari ancaman tindak
pidana biasa (Pasal 52 KUHP), sedangkan DAFTAR PUSTAKA
dengan penafsiran restriktif tersebut PNS/
Abidin, A.Z. & Andi Hamzah. 2002. Bentuk-
pejabat negara tidak dapat dijerat oleh Pasal
Bentuk Khusus Perwujudan Delik dan
2 UU PTPK (perbuatan melawan hukum)
Hukum Penitensier. Jakarta: Sumber Ilmu
dan hanya dapat dijerat oleh Pasal 3 UU
Jaya.
PTPK (penyalahgunaan wewenang) yang
ancaman hukuman minimalnya jauh lebih Ali, Achmad. 2008. Menguak Tabir Hukum.
rendah dari Pasal 2 UU PTPK. Bogor: Ghalia Indonesia.

Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Melani) | 115

jurnal agustus isi.indd 115 9/22/2014 9:41:12 AM


Alwi, Hasan et.al. 2002. Kamus Besar Bahasa Myrdal, Gunnar. 1977. Asian Drama an Inquiry
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. into the Poverty of Nation. Penguin Books
Australia Ltd.
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2000. Penafsiran
dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni. Pontier, J.A. Penerjemah B. Arief Sidharta. 2008.
Penemuan Hukum. Bandung: Jendela Mas
Garner, A Bryan. 1999. Blacks Law Dictionary.
Pustaka.
St Paul: Minn.
Sapardjaja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat
Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana
Melawan Hukum Materiel dalam Hukum
Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta:
Pidana di Indonesia. Bandung: Alumni.
Sapta Artha Jaya.
Susanto, Anthon F. 2010. Ilmu Hukum Non
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi.
Sistematik Fondasi Filsafat Pengembangan
Jakarta: Sinar Grafika.
Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang. 2012. Publishing.
Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta:
Wattimena, Reza A.A. 2012. Filsafat Anti-
Sinar Grafika.
Korupsi. Yogyakarta: Kanisius.
Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-dasar Untuk
Wiyono. 2006. Pembahasan Undang-Undang
Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
di Indonesia. Jakarta: Sinar Baru.
Jakarta: Sinar Grafika.
Loqman, Loebby. 2002. HAM dalam HAP.
Jakarta: Datacom.

Mahkamah Agung RI. 2012. Rumusan Hukum


Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah
Agung Repubik Indonesia. Jakarta:
Mahkamah Agung RI.

Marlina. 2011. Hukum Penitensier. Bandung:


Refika Aditama.

Mertokusumo, Sudikno & A. Pitlo. 1993. Bab-


Bab tentang Penemuan Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.

Muladi & Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori


dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2013. Pembalikan Beban


Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.
Bandung: Alumni.

116 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 103 - 116

jurnal agustus isi.indd 116 9/22/2014 9:41:12 AM


DUALISME PANDANGAN MAHKAMAH AGUNG
MENGENAI STATUS HUKUM TENAGA KERJA ASING
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 595K/PDT.SUS/2010 dan
Nomor 29PK/PDT.SUS/2010

THE SUPREME COURTS DUALISM INTERPRETATION


ON FOREIGN WORKERSLEGAL STATUS
An Analysis of Supreme Courts Decision Number 595K/PDT.SUS/2010 and Number
29PK/PDT.SUS/2010

Vidya Prahassacitta
Fakultas Humaniora Jurusan Business Law Universitas Bina Nusantara
Kampus Kijang Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45 Palmerah Jakarta 11480
E-mail: vidya.prahassacitta@binus.ac.id/prahassacitta@gmail.com

Naskah diterima: 10 April 2014; revisi: 7 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

ABSTRAK penemuan hukum untuk mengisi kekosongan hukum


yang ada. Faktanya Mahkamah Agung sendiri tidak
Penggunaan tenaga kerja asing di pasar kerja Indonesia
satu suara atas hal tersebut sebagaimana dalam Putusan
hanyalah untuk jabatan dan waktu tertentu. Hal tersebut
Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 dan No.
diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 13
29PK/PDT.SUS/2010. Hal ini menimbulkan dualisme
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan
dalam putusan-putusan Mahkamah Agung.
pelaksanaannya. Dalam praktiknya perjanjian kerja
waktu tertentu antara pengusaha dengan tenaga kerja Kata kunci: perjanjian kerja, tenaga kerja asing, PHK
asing sering dibuat dengan tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku. Perjanjian kerja tersebut sering dibuat ABSTRACT
tidak tertulis dan tidak dalam bahasa Indonesia. Selain The employment of foreign workers in the Indonesian
itu jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu tersebut labor market is merely set for particular positions and a
yang melebihi jangka waktu yang telah ditentukan dalam certain period of time as clearly stipulated in Law Number
undang-undang. Hal ini menimbulkan permasalahan 13 of 2003 on Labor and its implementation regulations.
hukum ketika terjadi perselisihan hubungan industrial In practice, temporary employment agreement between
terkait pemutusan hubungan kerja terkait dengan the employer and the foreign workers habitually does
status hubungan kerja dan kompensasi PHK. Memang not meet the applicable regulations. The agreements
peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara are often unwritten and not set in Indonesian Language.
khusus mengenai perjanjian kerja waktu tertentu bagi Additionally, it has often exceeded the period of time
tenaga kerja asing sehingga pelanggaran atas perjanjian set out in the law. This is a real issue that has resulted
kerja waktu tertentu tersebut mengakibatkan perjanjian in legal problem, such as industrial disputes related to
kerja tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja termination of employment concerning on employment
waktu tidak tertentu. Hal tersebut tidaklah tepat karena status and compensation layoffs. Law and legislation do
seharusnya terhadap perjanjian kerja waktu tertentu not specifically regulate on this temporary employment
bagi tenaga kerja asing berlaku lex specialis. Dalam agreement for foreign workers, thus if there happens
hal ini peran hakim menjadi penting dalam melakukan

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 117

jurnal agustus isi.indd 117 9/22/2014 9:41:12 AM


to be violations of the agreement, it would be stated does not agree with the terms as stated in the Decision
as invalid agreement. This is not applicable, since the number 595K/PDT.SUS/2010 and number 29PK/PDT.
principle of lex specialis should have been deployed in SUS/2010 has led to dualism in the majority of the
such agreement between the employer and the foreign Supreme Courts decisions.
workers. In this regard, the role of judge to conduct
Keywords: employment agreement, foreign workers,
lawful discovery is crucial to overcome a legal vacuum
termination of employment.
that could arise. But the fact that the Supreme Court

I. PENDAHULUAN jabatan atau kedudukan dan waktu tertentu.

Keberadaan tenaga kerja asing (TKA) Untuk mempekerjakan TKA, pengusaha


di pasar kerja Indonesia dewasa ini telah harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga
menjadi fenomena yang lumrah. Latar belakang Kerja Asing (RPTKA) dan TKA tersebut harus
keberadaan TKAdi Indonesia pun telah mengalami memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman Asing (IMTA) yang dikeluarkan oleh Menteri
(Agusmidah, 2010: 111). Jika dahulu keberadaan Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat
TKA di Indonesia untuk keperluan pembangunan lain yang ditunjuk. Dengan demikian hubungan
nasional dewasa ini keberadaan TKA merupakan kerja antara pengusaha dengan TKA didasarkan
bagian dari era pasar bebas atau era globalisasi. atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan secara tidak langsung pengaturan mengenai
mencatat selama tahun 2013 terdapat 68.957 TKA PKWT untuk TKA mengikuti aturan mengenai
yang bekerja di berbagai sektor di Indonesia. PKWT yang berlaku untuk tenaga kerja dalam
Keberadaan TKA tersebut akan terus bertambah negeri dengan pengecualian-pengecualiannya.
terutama setelah diberlakukannya ASEAN Free
Dalam praktiknya keberadaan PKWT bagi
Trade Area (AFTA) pada tahun 2015 mendatang
TKA tersebut sering timbul permasalahan. Salah
yang memungkinkan TKA dari negara-negara
satu permasalahannya adalah banyak PKWT yang
ASEAN untuk bersaing dalam pasar kerja dan
dibuat oleh pengusaha dengan TKA tidak dibuat
bekerja bebas di Indonesia.
dalam bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa
Terkait dengan keberadaan TKA tersebut, Inggris, sehingga menimbulkan pertanyaan
Indonesia telah memiliki payung hukum dengan bagaimana keabsahan dari PKWT tersebut?
diterbitkannya Undang-Undang No. 13 Tahun Padahal dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 13 Tahun 2003 secara tegas menyatakan bahwa
2003) dan peraturan pelaksanaannya. Peraturan PKWT harus dibuat secara tertulis dan dalam
perundang-undangan tersebut memberikan bahasa Indonesia atau setidak-tidaknya dalam
batasan mengenai penggunaan TKA di Indonesia. bilingual, apabila tidak maka PKWT tersebut
Secara filosofis penggunaan TKA di Indonesia dinyatakan sebagai Perjanjian Kerja Waktu
merupakan sarana untuk alih teknologi dan alih Tidak Tentu (PKWTT). Permasalahan lainnya
keahlian dari TKA kepada tenaga kerja dalam ialah mengenai jangka waktu penggunaan TKA
negeri. Penggunaan TKA pun hanya dibatasi untuk tersebut.

118 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 118 9/22/2014 9:41:13 AM


Dalam Pasal 13 jo. 24 ayat (3) Peraturan Dari putusan-putusan Mahkamah Agung terkait
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan perselisihan hubungan industrial terkait
No. PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata PHK atas TKA ditemukan fakta bahwa terdapat
Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dua pandangan dari para hakim agung mengenai
(Permenakertrans No. PER.02/MEN/III/2008) hal ini. Hal tersebut terlihat dari putusan
diatur bahwa RPTKA berlaku untuk jangka Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010
waktu selama lima tahun dan dapat diperpanjang, tanggal 29 Juli 2010 dan putusan Mahkamah
sedangkan IMTA berlaku untuk jangka waktu satu Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24
tahun dan dapat diperpanjang. Ketidakjelasan Agustus 2010.
jangka waktu ini berdampak pada ketidakjelasan
Putusan Mahkamah Agung No. 595K/
PKWT tersebut yang dapat diperpanjang terus dan
PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 merupakan
tidak diperbarui bahkan terkadang perpanjangan
putusan dalam perkara perselisihan hubungan
atau pembaruannya dibuat secara lisan yang
industrial terkait PHK antara PT. AKT dengan
tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal
KEK seorang TKA berkebangsaan Amerika
57 (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 sehingga
Serikat. Dalam perkara tersebut PKWT yang
PKWT tersebut secara hukum dinyatakan menjadi
dibuat pada tanggal 19 September 2008 antara
PKWTT.
PT. AKT dengan KEK dibuat hanya dalam
Dampak dari hal tersebut terlihat ketika bahasa Inggris. Perselisihan timbul ketika PT.
terjadi perselisihan hubungan industrial terkait AKT secara sepihak mengakhiri PKWT tersebut
pemutusan hubungan kerja (PHK) antara sebelum berakhirnya PKWT tersebut.
pengusaha dengan TKA tersebut. Dalam
Mahkamah Agung dalam putusannya
perselisihan tersebut terdapat dua hal yang
membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan
menarik. Pertama, mengenai status hukum dari
Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
TKA tersebut apakah merupakan pekerja tetap
24/PHI.G/2010/PHI.PN.JKT PST tanggal 30
atau pekerja tidak tetap. Kedua ialah mengenai
Maret 2010 dengan mengadili sendiri perkara
kompensasi PHK yang berhak diterima oleh TKA
tersebut dengan menghukum tergugat (dalam hal
tersebut. Permasalahan hukum tersebut terjadi
ini PT. AKT) untuk membayar ganti kerugian
karena UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan
sebagai pekerja tidak tetap sesuai dengan
pelaksanaannya tidak mengatur secara jelas dan
ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003.
khusus mengenai PKWT bagi TKA. Hal ini
menjadi daerah abu-abu (grey area) dan lubang Mahkamah Agung pada tahun yang sama
yang harus diisi dengan penemuan hukum oleh juga mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali
hakim melalui penafsiran hukum dalam putusan- No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus
putusan pengadilan. 2010 terkait perselisihan hubungan industrial
terkait pemutusan hubungan kerja antara PT. HMS
Terkait dengan permasalahan tersebut,
dengan NMF. PT. HMS yang mempekerjakan
menarik untuk melihat bagaimana penafsiran
NMF pada tanggal 23 Juni 1997 untuk jangka
Mahkamah Agung atas status hukum dan
waktu tiga tahun dengan PKWT yang dibuat
kompensasi PHK yang akan diterima oleh TKA
dalam bahasa Inggris.
akibat dari pelanggaran atas PKWTT tersebut.

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 119

jurnal agustus isi.indd 119 9/22/2014 9:41:13 AM


Setelah berakhirnya PKWT tersebut PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan
hubungan kerja antara PT. HMS dan NMF Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.
masih berlanjut tanpa adanya PKWT baru atau SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010?
perpanjangan PKWT tersebut sampai dengan
2. Bagaimana penafsiran hukum majelis
tahun 2006. Perselisihan timbul ketika PT. HMS
hakim agung atas status hukum TKA dalam
melakukan PHK secara sepihak dengan alasan
Putusan Mahkamah Agung No. 595K/
reorganisasi perusahaan. Mahkamah Agung
PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 dan
dalam putusan peninjauan kembali kemudian
Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.
memutuskan membatalkan putusan kasasi
SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010?
Mahkamah Agung No. 294K/Pdt.Sus/2007
dengan mengadili kembali perkara tersebut 3. Bagaimana penafsiran hukum Mahkamah
dengan menghukum tergugat (dalam hal ini PT. Agung mengenai kompensasi PHK bagi
HMS) untuk membayar kompensasi PHK sebagai TKA dalam Putusan Mahkamah Agung No.
pekerja tetap sesuai dengan ketentuan Pasal 156 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010
UU No. 13 Tahun 2003. dan Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/
PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010?
Dari kedua putusan Mahkamah Agung
tersebut, menarik untuk mengkaji mengenai
pandangan Mahkamah Agung mengenai status III. STUDI PUSTAKA
hukum dan kompensasi PHK dari TKA yang Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 15
PKWT-nya dibuat tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 hubungan kerja adalah
dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan peraturan hubungan antara pengusaha dengan pekerja
pelaksanaannya. Hal ini dalam praktiknya sering berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
terjadi pelanggaran baik pembuatan PKWT unsur pekerjaan, upah dan perintah. Lebih lanjut
maupun pembaruan dan perpanjangannya perjanjian kerja merupakan salah satu bentuk
bagi TKA sehingga menimbulkan perselisihan dari perjanjian yang harus memenuhi empat
hubungan industrial. syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
II. RUMUSAN MASALAH Hukum Perdata (KUHPer). Keempat syarat
tersebut ialah kesepakatan, kecakapan, suatu hal
Dari uraian di atas, tulisan ini akan
tertentu dan suatu sebab yang halal (Soebekti &
melakukan kajian analisis atas Putusan Mahkamah
Tjitrosudibio, 2008: 305).
Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli
2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 29PK/ Menurut Soebekti keempat syarat sahnya
PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 dengan perjanjian tersebut terdiri dari syarat subjektif dan
rumusan pertanyaan sebagai berikut: syarat objektif. Syarat subjektif meliputi adanya
kesepakatan dan kecakapan di antara para pihak,
1. Bagaimana keabsahan PKWT bagi
sedangkan syaraf objektif meliputi sebab dan
TKA yang tidak sesuai dengan Pasal 57
objek yang halal (Soebekti, 2008: 20). Perjanjian
ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 dalam
kerja merupakan bagian dari jenis perjanjian untuk
Putusan Mahkamah Agung No. 595K/

120 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 120 9/22/2014 9:41:13 AM


melakukan pekerjaan yang diatur dalam KUHPer Terkait dengan keberadaan TKA, harus
yang memiliki ciri adanya suatu upah atau gaji diakui bahwa keberadaan TKA tidak dapat
tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu dihindari baik untuk kepentingan pasar kerja
hubungan diperatas, hubungan berdasarkan mana bebas maupun kepentingan nasional. Dalam
pihak yang satu (pengusaha) berhak memberikan usaha pembangunan nasional salah satu yang
perintah yang harus ditaati oleh pihak lainnya diperlukan ialah TKA yang memiliki keahlian
(pekerja) (Soebekti, 2008: 57-58). yang berkualitas maupun berkuantitas. Hal
ini diperlukan mengingat fakta bahwa pasar
Menurut Rood suatu perjanjian kerja
dalam negeri belum mampu menyediakannya
harus memiliki empat unsur yaitu adanya
(Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
unsur pekerjaan, pelayanan, waktu tertentu
Republik Indonesia, 2003: 13). UU No. 13
dan upah (Salam, 2009: 63-66). UU No. 13
Tahun 2003 dan peraturan pelaksanaannya
Tahun 2003 secara khusus mengatur mengenai
mengakomodir kebutuhan tersebut dengan
ketenagakerjaan termasuk mengenai perjanjian
memberikan pembatasan di mana pengusaha
kerja sehingga merupakan lex specailis.
yang mempekerjakan TKA tersebut wajib untuk
Dalam UU No. 13 Tahun 2003, menurut menyediakan tenaga kerja dalam negeri sebagai
waktunya perjanjian kerja dibagi menjadi PKWT pendamping TKA untuk kepentingan alih
dan PKWTT. PKWT hanya dapat diperjanjikan teknologi dan alih keahlian.
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
Pengusaha yang hendak mempekerjakan
dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam kurun
TKA tersebut harus memiliki RPTKA yang
waktu tertentu. Pekerjaan tersebut mencakup
berlaku untuk jangka waktu lima tahun dan
pekerjaan yang sekali selesai atau yang bersifat
dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang
sementara, pekerjaan yang diperkirakan akan
sama dengan memperhatikan kondisi pasar kerja
selesai dalam jangka waktu paling lama tiga tahun,
dalam negeri. Dalam RPTKA tersebut sekurang-
pekerjaan yang bersifat musiman, pekerjaan
kurangnya harus memuat alasan penggunaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
TKA, jabatan atau kedudukan TKA dalam
baru atau produk tambahan yang masih dalam
struktur organisasi perusahaan di mana TKA
penjajakan (Agusmidah dkk, 2012: 18). Selain itu
akan bekerja, jangka waktu penggunaan TKA dan
PKWT juga diperuntukan untuk hubungan kerja
penunjukan tenaga kerja dalam negeri yang akan
bagi pengusaha dengan pekerja yang merupakan
mendampingi TKA tersebut. Setelah RPTKA
TKA. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal
tersebut disetujui oleh Menteri Tenaga Kerja dan
42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
Transmigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk,
Selanjutnya PKWT merupakan suatu TKA baru dapat dipekerjakan oleh pengusaha
perjanjian bersyarat di mana PKWT haruslah setelah memperoleh IMTA dari Menteri Tenaga
dibuat dalam bentuk tertulis dan dalam bahasa Kerja dan Transmigrasi atau pejabat lain yang
Indonesia dan apabila tidak maka PKWT tersebut ditunjuk. IMTA tersebut berlaku untuk satu tahun
dianggap sebagai PKWTT. Hal tersebut diatur dan dapat diperpanjang.
dalam Pasal 57 UU No. 13 Tahun 2003 (Syahrizal
Sebagai warga negara asing yang tinggal di
& Rukiyah, 2013: 33).
Indonesia, TKAyang dipekerjakan oleh pengusaha

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 121

jurnal agustus isi.indd 121 9/22/2014 9:41:13 AM


di Indonesia wajib memiliki izin tinggal yang terkait PHK diatur dalam UU No. 2 Tahun
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Imigrasi ada 2004 yang merupakan hukum formil di bidang
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau ketenagakerjaan.
pejabat lain yang ditunjuk. Izin tersebut berupa
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 25 UU
Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu
No. 13 Tahun 2013, PHK adalah pengakhiran
Izin Tinggal Tetap (KITAP) sebagaimana diatur
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1994
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian
antara pekerja/buruh dan pengusaha.
yang sebagaimana telah dirubah terakhir melalui
Perselisihan PHK berdasarkan ketentuan Pasal 1
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2005. Dalam
butir 4 UU No. 2 Tahun 2004 adalah perselisihan
pengurusan izin tersebut, pengusaha harus
yang ditimbulkan karena tidak adanya kesesuaian
bertindak sebagai sponsor bagi TKA selama TKA
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang bersangkutan bekerja di Indonesia. Sesuai
yang dilakukan oleh salah satu pihak. Demikian
dengan Permenakertrans No. PER.02/MEN/
pula dengan perselisihan hubungan industrial
III/2008, pengurusan KITAS dan KITAP baru
terkait PHK antara pengusaha dengan TKA dapat
dapat dilakukan apabila Menteri Tenaga Kerja
terjadi akibat terdapat ketidaksepakatan antara
dan Transmigrasi atau pejabat lain yang ditunjuk
pengusaha dan TKA mengenai sah atau tidaknya
telah mengeluarkan RPTKA dan IMTA.
alasan PHK maupun besarnya kompensasi atas
Meskipun UU No. 13 Tahun 2003 dan PHK tersebut (Ugo & Pujiyo, 2012: 39).
peraturan pelaksanaannya telah memberikan
Terkait dengan penyelesaian perselisihan
aturan mengenai keberadaan dan penggunaan
ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 136 ayat (1)
TKA, namun untuk ketentuan yang mengatur
UU No. 13 Tahun 2003 dan Pasal 3 ayat (1)
mengenai PKWT bagi TKAsama dengan ketentuan
UU No. 2 Tahun 2004 harus terlebih dahulu
PKWT untuk tenaga kerja dalam negeri. UU
diupayakan penyelesaian melalui perundingan
No. 13 Tahun 2003 tidak dibedakan antara PKWT
bipartit secara musyawarah untuk mencapai
untuk tenaga kerja dalam negeri dengan TKA.
mufakat. Kata antara pengusaha dan pekerja
Dengan demikian ketentuan mengenai PKWT
bisa diartikan sebagai dua pihak yang di dalam
yang berlaku bagi TKA sama dengan PKWT
UU No. 2 Tahun 2004 disebut sebagai bipartit
yang berlaku pada umumnya kecuali ditentukan
(Damanik, 2006: 38). Jika penyelesaian secara
lain dalam Peraturan Pemerintah yang merupakan
bipartit tersebut tidak berhasil maka salah satu
pelaksanaan dari UU No. 13 Tahun 2003.
pihak harus mencatatkan perselisihan tersebut ke
Ketentuan mengenai PHK secara jelas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di wilayah
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan Undang- pekerja bekerja untuk dilakukan penyelesaian
Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan dengan bantuan dari pihak ketiga
Perselisihan Hubungan Industrial (UU No. 2 atau tripartit. Khusus untuk penyelesaian
Tahun 2004). Ketentuan mengenai PHK secara perselisihan hubungan industrial terkait PHK
jelas diatur tersendiri di dalam Bab XII UU No. penyelesaian melalui forum tripartit hanya dapat
13 Tahun 2003, sedangkan mengenai proses dilakukan dengan forum konsiliasi dan mediasi
penyelesaian perselisihan hubungan industrial saja (Soeroso, 2010: 184 & 189).

122 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 122 9/22/2014 9:41:13 AM


Apabila tidak juga ada kesepakatan maka secara proporsional memperhatikan tiga faktor
sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU No. 2 yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Tahun 2004, salah satu pihak dapat mengajukan Suatu putusan harus adil dan mengandung
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang kepastian hukum serta memiliki manfaat bagi
merupakan pengadilan khusus di lingkungan para pihak yang bersengketa dan masyarakat.
peradilan umum (Sutiyoso, 2006: 12). Atas Suatu putusan tidak boleh hanya memperhatikan
putusan Pengadilan Hubungan Industrial tersebut salah satu faktor saja dan mengorbankan
dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah atau mengesampingkan faktor-faktor lainnya
Agung. Peninjauan kembali merupakan upaya (Mertokusumo, 2002: 194).
hukum luar biasa yang dapat diajukan untuk
perselisihan hubungan industrial terkait PHK. IV. Analisis
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus A. Dualisme Pandangan Mahkamah
peninjauan kembali untuk tingkat pertama dan Agung Mengenai Status Hukum dan
tingkat terakhir dengan alasan-alasan yang diatur Kompensasi PHK bagi TKA
dalam undang-undang (Mertokusumo, 2002:
40). Berdasarkan analisis terhadap putusan
Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010
Dalam pemeriksaan perselisihan hubungan tanggal 29 Juli 2010 dan putusan Mahkamah
industrial terkait PHK, baik di tingkat pengadilan Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24
tingkat pertama, kasasi maupun di tingkat Agustus 2010, ditemukan fakta bahwa terdapat
peninjauan kembali hakim dapat melakukan dualisme pandangan Mahkamah Agung mengenai
penemuan hukum untuk mengisi kekosongan status hukum dan kompensasi PHK yang berhak
hukum melalui penafsiran hukum. Penemuan diterima oleh TKA yang PKWT-nya dibuat tidak
hukum merupakan kegiatan yang berdiri sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU
sendiri namun berkesinambungan dengan No. 13 Tahun 2003. Pertama Mahkamah Agung
proses pembuktian (Mertokusumo, 2002: 193). berpendapat bahwa PKWT antara pengusaha
Berdasarkan doktrin Sens-Clair penemuan dengan TKA yang dibuat secara tertulis
hukum oleh hakim dibutuhkan jika peraturannya namun tidak dalam bahasa Indonesia sehingga
sudah ada tetapi belum jelas. Menurut Achmad bertentangan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU
Ali terdapat sembilan metode interpretasi yang No. 13 Tahun 2003 tidak secara mutis mutandis
lazim digunakan oleh para hakim. Kesembilan menjadikan PKWT tersebut dinyatakan menjadi
metode interpretasi tersebut yaitu: (1) metode PKWTT, sehingga status hukum TKA tersebut
subsumtif, (2) interpretasi gramatikal, (3) tetaplah pekerja tidak tetap dan kompensasi PHK
interpretasi historis, (4) interpretasi sistematis, yang diterima harus lah sesuai dengan ketentuan
(5) interpretasi sosiologis atau teologis, (6) Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003. Kedua,
interpretasi komparatif, (7) interpretasi futuristis, Mahkamah Agung berpendapat bahwa PKWT
(8) interpretasi restriktif dan (9) interpretasi yang dibuat oleh pengusaha dan TKA yang
ekstensif (Martitah, 2013: 68, 90-91). tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1)
UU No. 13 Tahun 2003 harus dianggap bahwa
Hakim dalam mengambil suatu keputusan
PKWT tersebut menjadi PKWTT sehingga TKA
yang didasarkan pada penemuan hukum harus

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 123

jurnal agustus isi.indd 123 9/22/2014 9:41:13 AM


tersebut merupakan pekerja tetap dan berhak MENGADILI
untuk menerima kompensasi PHK layaknya 1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk
pekerja tetap. sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara
1. Penafsiran Sistematis dan Teleogikal penggugat dengan tergugat putus dan
berakhir sejak putusan ini diucapkan;
dalam Putusan Mahkamah Agung No.
595K/PDT.SUS/2010 Tanggal 29 Juli 3. Menghukum tergugat untuk membayar
kepada penggugat, yaitu hak-hak
2010 penggugat yang timbul akibat pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tergugat
Pandangan pertama Mahkamah Agung kepada penggugat, yang terdiri dari
tersebut dapat dilihat dari putusan Mahkamah uang pesangon, uang penggantian hak
Agung No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 atas perumahan serta pengobatan dan
perawatan, biaya kepulangan penggugat
Juli 2010. Duduk perkara perselisihan hubungan beserta istri dan satu orang anaknya ke
industrial terkait PHK tersebut bermula dari Texas, USA, serta gaji bulan Agustus 2009
dan September 2009, yang keseluruhannya
adanya hubungan kerja antara PT. AKT dengan
berjumlah sebesar USD 47.500 (Empat
KEK didasarkan pada PKWT yang dibuat hanya puluh tujuh ribu lima ratus USD);
dalam bahasa Inggris pada tanggal 6 September
4. Menolak gugatan penggugat untuk selain
2008 yang berlaku mulai tanggal 6 Oktober dan selebihnya;
2008 untuk jangka waktu dua tahun. Sebagai
5. Menghukum tergugat untuk membayar
TKA yang dipekerjakan secara resmi, KEK biaya perkara yang keseluruhannya
memegang KITAS dan IMTA yang masing- berjumlah sebesar Rp.247.000,- (dua ratus
empat puluh tujuh ribu rupiah).
masing berakhir pada tanggal 17 Oktober 2009.
Namun sebelum jangka waktu tersebut berakhir Dari putusan Pengadilan Hubungan
PT. AKT mengakhiri hubungan kerja tersebut Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan alasan disharmonisasi pada tanggal 31 tersebut dapat disimpulkan bahwa majelis
Agustus 2009. Terhadap perselisihan ini sudah hakim tingkat pertama menyatakan bahwa tidak
diupayakan penyelesaian secara bipartit dan dipenuhinya syarat pembuatan PKWT dalam
tripartit melalui mediasi sebagaimana diwajibkan bahasa Indonesia menyebabkan TKA tersebut
dalam UU No. 2 Tahun 2004 namun tidak dianggap menjadi pekerja tetap. Hal tersebut
mencapai perdamaian. mengakibatkan KEK berhak untuk memperoleh
kompensasi PHK layaknya pekerja tetap dengan
Pengadilan Hubungan Industrial pada
memperoleh uang pesangon, uang penggantian
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian
hak serta pengobatan.
melalui Putusannya No. 24/PHI.G/2010/PHI.
PN.JKT PST tanggal 30 Maret 2010 telah memutus Kemudian atas Putusan Pengadilan
perkara perselisihan hubungan industrial terkait Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
pemutusan hubungan kerja antara PT. AKT Jakarta Pusat No. 24/PHI .G/2010/PHI .PN.JKT.
dengan KEK dengan putusan sebagai berikut: PST tersebut diajukan upaya hukum kasasi oleh
PT. AKT. Mahkamah Agung melalui putusannya
595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli 2010 telah

124 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 124 9/22/2014 9:41:13 AM


mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum Indonesia? PKWT sebagai suatu perjanjian
tetap. Majelis hakim agung pada MahkamahAgung kerja tentunya harus memenuhi syarat sahnya
kemudian mengeluarkan putusan sebagai berikut: suatu perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal
MENGADILI 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yaitu
kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau
Mengabulkan permohonan kasasi dari
pemohon kasasi: PT. AKT, tersebut; kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya
pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang
Membatalkan putusan Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan
Jakarta Pusat No. 24/PHI.G/2010/PHI.PN.JKT. ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan
PST tanggal 30 Maret 2010; peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MENGADILI SENDIRI Faktanya, PKWT yang dibuat oleh PT. AKT


1. Mengabulkan gugatan penggugat/pekerja dengan KEK telah memenuhi keempat syarat
dari pemohon kasasi untuk sebagian; tersebut sehingga PKWT tersebut telah sah dan
2. Menghukum tergugat/pengusaha membayar mengikat PT. AKT dengan KEK. Permasalahan
hak kompensasi PHK kepada penggugat/ timbul mengenai bentuk PKWT antara PT. AKT
pekerja sebesar USD 24.500;
dengan KEK yang tidak sesuai dengan ketentuan
3. Menolak gugatan selain dan selebihnya; Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 di mana
4. Menghukum biaya perkara dalam tingkat PKWT tersebut dibuat dalam bahasa Inggris,
kasasi ini kepada penggugat/pekerja sehingga menurut ketentuan pada ayat (2) Pasal
sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu
rupiah). 57 tersebut maka PKWT tersebut dinyatakan
sebagai PKWTT.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah
Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Terkait dengan hal ini ternyata majelis
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri hakim agung tidak secara kaku menerapkan
Jakarta Pusat yang memeriksa perselisihan ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13
hubungan industrial terkait PHK dan mengadili Tahun 2003. Dalam pertimbangan hukumnya
sendiri perkara tersebut. Putusan Mahkamah majelis hakim agung dalam perkara tersebut
Agung yang menerima permohonan kasasi tidak hanya mempertimbangkan adanya alat
dengan membatalkan putusan pengadilan di bukti surat PKWT yang dibuat dalam bahasa
bawahnya dan kemudian mengadili sendiri Inggris saja namun majelis hakim agung juga
perkara tersebut merupakan dengan mengabulkan mempertimbangkan alat bukti surat KITAS dan
sebagian gugatan penggugat merupakan variasi IMTA sebagai salah satu persyaratan izin kerja
dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang yang harus dimiliki oleh TKA sebagai alat bukti
sering terjadi dalam praktik (Saleh & Mulyadi, adanya hubungan kerja waktu tertentu antara PT.
2012: 258). AKT dengan KEK. KITAS dan IMTA tersebut
memiliki jangka waktu yang terbatas sampai
Hal menarik yang menjadi pembahasan dengan tanggal 17 Oktober 2009.
utama dalam perselisihan hubungan industrial
ini ialah bagaimana keabsahan PKWT antara PT. Keberadaan KITAS dan IMTA tersebut
AKT dan KEK yang dibuat tidak dalam bahasa secara tegas menunjukkan bahwa hubungan

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 125

jurnal agustus isi.indd 125 9/22/2014 9:41:13 AM


kerja antara KEK dengan PT. AKT dibuat dalam Selanjutnya dengan mendasarkan pada
hubungan kerja waktu tertentu. Dengan demikian alat bukti surat KITAS dan IMTA tersebut,
meskipun PKWT antara PT. AKT dengan KEK majelis hakim agung kemudian menentukan
dibuat dalam bahasa Inggris yang bertentangan besarnya ganti rugi kompensasi PHK yang
dengan ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 harus dibayarkan oleh PT. AKT kepada KEK.
Tahun 2003 namun tidak serta merta menjadikan Oleh karena TKA bukanlah pekerja tetap dan
PKWT tersebut menjadi PKWTT karena hanya dapat dipekerjakan dalam hubungan kerja
keberadaan alat-alat bukti surat lainnya yaitu tidak tetap, maka sesuai dengan ketentuan Pasal
KITAS dan IMTA mempertegas bahwa hubungan 62 UU No. 13 Tahun 2003, maka pihak yang
kerja antara PT. AKT dengan KEK merupakan mengakhiri hubungan kerja secara sepihak wajib
hubungan kerja waktu tertentu. untuk membayarkan ganti rugi yang besarnya
berupa sebesar upah pekerja sampai batas waktu
Dengan berdasarkan pada alat bukti
berakhirnya perjanjian kerja.
KITAS dan IMTA tersebut, majelis hakim agung
secara tegas berpendapat bahwa majelis hakim Majelis hakim agung menggunakan
pada pengadilan tingkat pertama telah salah jangka waktu berakhirnya perjanjian kerja yang
menerapkan hukum atas ketentuan Pasal 42 ayat tercantum pada KITAS dan IMTA yaitu pada
(4) UU No. 13 Tahun 2003 karena TKA hanya tanggal 17 Oktober 2009 untuk menghitung
berhak untuk dipekerjakan dalam hubungan besarnya ganti rugi dan bukan jangka waktu
kerja tidak tetap. KEK yang merupakan TKA berakhirnya perjanjian kerja pada PKWT yaitu
bukan merupakan pekerja tetap. Sesuai dengan pada tanggal 6 Oktober 2010. Dengan demikian
ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU No. 13 Tahun PT. AKT harus membayarkan ganti rugi berupa
2003 yang menyatakan bahwa TKA hanya dapat sisa gaji bulan September dan Oktober 2009
dipekerjakan untuk jabatan atau kedudukan dan kepada KEK. Selain itu karena KEK merupakan
waktu tertentu. TKA maka PT. AKT juga dibebankan kewajiban
untuk membayar biaya pengembalian pulang
Ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU No.
ke negara asal KEK beserta keluarganya sesuai
13 Tahun 2003 sesuai dengan salah satu asas
dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 13 Tahun
pembatasan penggunaan TKA yang berlaku yaitu
2003.
asas sementara waktu. Dengan demikian majelis
hakim agung dalam melakukan penemuan Dari pertimbangan hukum pada Putusan
hukum telah menggunakan penafsiran sistematis Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010
dan teleogikal dari ketentuan Pasal 57 ayat (1) tanggal 29 Juli 2010, majelis hakim agung tidak
dan (2) jo. Pasal 42 ayat (2) dan (4) UU No. 13 dengan kaku menerapkan ketentuan Pasal 57
Tahun 2003. Dalam penafsiran tersebut majelis ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003. Majelis
hakim agung menafsirkan tujuan pembentukan hakim agung tidak membatasi penafsiran
Pasal 42 UU No. 13 Tahun 2003 dan kemudian hukumnya atas adanya suatu hubungan kerja
mengaitkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan yang didasarkan hanya pada PKWT namun lebih
pelaksanaan dari UU No. 13 Tahun 2003 yaitu luas dengan melakukan penafsiran hukum atas
Permennakertras No. PER.02/MEN/III/2008. adanya suatu hubungan kerja melalui KITAS
dan IMTA.

126 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 126 9/22/2014 9:41:13 AM


Kedua dokumen tersebut merupakan syarat- kerja tanggal 23 Juni 1997 untuk jangka waktu
syarat yang harus dipenuhi agar hubungan kerja tiga tahun sampai dengan 23 Juni 2000. PKWT
antara pengusaha dan TKA secara formil berlaku tersebut dibuat tidak dalam bahasa Indonesia
dan sah. Baik KITAS dan IMTA dapat dijadikan melainkan dalam bahasa Inggris.
bukti adanya hubungan kerja waktu tertentu
Setelah jangka waktu perjanjian tersebut
karena pada KITAS dan IMTA tercantum nama
berakhir, faktanya PT. HMS tetap mempekerjakan
pengusaha, pekerja, jabatan pekerja dan jangka
NMF sampai dengan tanggal 30 Juni 2006
waktu pengusaha mempekerjakan TKA. Ketiga
dengan jabatan akhir sebagai Head of Marketing
unsur tersebut merupakan bagian dari empat
Intelligence. Hubungan kerja tersebut berjalan
unsur-unsur perjanjian kerja yang dikemukan
tanpa adanya perpanjangan maupun pembaruan
oleh Rood (Salam, 2009: 63-66).
PKWT secara tertulis. Pada tanggal 30 Juni 2006,
Sikap majelis hakim agung yang tidak PT. HMS secara sepihak melakukan PHK kepada
secara kaku menerapkan ketentuan Pasal 57 ayat NMF karena alasan restrukturisasi organisasi
(1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 baik dalam perusahaan dan PHK tersebut berlaku efektif
menentukan status hukum TKA tersebut juga pertanggal 7 Juni 2006. NMF tidak sependapat
dilakukan dalam menafsirkan ketentuan Pasal dengan kompensasi yang ditawarkan oleh PT.
62 UU No. 13 Tahun 2003 mengenai besarnya HMS sehingga memperselisihkan hal ini.
ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pengusaha
Terhadap perselisihan ini sudah diupayakan
kepada TKA sebagai kompensasi PHK yang
penyelesaian secara bipartit dan tripartit melalui
dilakukan secara sepihak.
mediasi sebagaimana diwajibkan dalam UU No.
Majelis hakim agung secara bebas 2 Tahun 2004 namun tidak mencapai perdamaian.
melakukan penafsiran sistematis yang sesuai Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
dengan landasan filosofis dan historis penggunaan Negeri Jakarta Pusat melalui putusannya No. 169/
TKA di Indonesia yang diperuntukan hanya PHl/G/2006/PHI.PN.JKT.PST. tanggal 4 Januari
sebagai tenaga ahli yang akan melakukan alih 2007 telah mengeluarkan putusan yang menolak
teknologi dan alih keahlian ke tenaga kerja gugatan NMF untuk seluruhnya.
dalam negeri.
Upaya hukum kasasi yang diajukan oleh
NMF pun telah ditolak oleh Mahkamah Agung
2. Penafsiran Gramatikal yang Kaku
dalam putusannya No. 294K/Pdt.Sus/2007
dalam Putusan Mahkamah Agung No.
tanggal 27 Maret 2008. NMF kemudian
29PK/PDT.SUS2010 Tanggal 24 Agustus
mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan
2010
kembali atas dasar ditemukannya bukti baru atau
Pandangan berbeda dapat dilihat dari novum berupa IMTA yang berlaku sejak tanggal
putusan peninjauan kembali yang dikeluarkan 29 Mei 2005 sampai dengan 28 Mei 2006.
oleh Mahkamah Agung dalam putusannya IMTA tersebut tidak pernah dijadikan bukti di
No. 29K/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus pengadilan karena baru diketemukan oleh NMF
2010. Perkara ini bermula dari PT. HMS yang pada tanggal 24 Mei 2009. Mahkamah Agung
mempekerjakan NMF berdasarkan perjanjian melalui putusan peninjauan kembalinya No.

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 127

jurnal agustus isi.indd 127 9/22/2014 9:41:13 AM


29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010 sejak para pihak sepakat untuk mengikatkan diri
telah memutus sebagai berikut: dalam suatu perjanjian (Suharnoko, 2008: 3).
MENGADILI
Berdasarkan asas konsensualime tersebut pada
prinsipnya hubungan kerja antara PT. HMS dan
Mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali dari: pemohon Peninjauan Kembali: NMF sebenarnya telah berlanjut meskipun tidak
NMF, tersebut; dibuat dalam bentuk tertulis.
Membatalkan putusan Mahkamah Agung Kesepakatan timbul pada saat PT. HMS
tanggal 27 Maret 2008 No. 294K/Pdt.Sus/2007.
dan NMF secara diam-diam setuju untuk
MENGADILI KEMBALI memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk di mana PT. HMS memberikan perintah kerja
sebagian. dan membayarkan upah kepada NMF, sementara
2. Menyatakan hubungan kerja antara NMF melaksanakan perintah kerja dan menerima
tergugat PT. HMS dengan penggugat NMF upah sebagai imbalan pekerjaan yang ia lakukan
putus terhitung sejak 30 Juni 2006.
dari PT. HMS.
3. Menghukum tergugat untuk membayar
penggugat sebagai berikut: Dengan demikian sesungguhnya terdapat
- Uang pesangon 2 x 9 x US$ 24.406 = perjanjian kerja antara PT. HMS dengan NMF
US$ 439.308 meskipun dibuat tidak dalam bentuk tertulis.
- Uang penghargaan masa kerja 1 x 4 Menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana
x USS 24.406 =US$ 97.624 perjanjian kerja yang seharusnya merupakan
PKWT tersebut dibuat dengan tidak memenuhi
- Uang penggantian perumahan dan
pengobatan 1 syarat formal pembuatan suatu PKWT di mana
harus dibuat dalam bentuk tertulis dan dalam
5% x (US$ 439.308 + US$ 97.624) =
US$ 80.539,8 bahasa Indonesia? Sesuai dengan ketentuan
Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003
Biaya kepulangan ke tempat asal
0,5% x US$ 24.406 = US$ 12.203 + maka PKWT tersebut tidak menjadi batal demi
hukum atau dapat dimintakan pembatalan namun
Jumlah = US$ 629.674,8
PKWT tersebut dinyatakan sebagai PKWTT.
4. Menolak gugatan penggugat selain dan
selebihnya. Dalam pertimbangan hukum majelis
Menghukum termohon kasasi membayar hakim agung peninjauan kembali dalam perkara
biaya perkara dalam semua tingkatan dan dalam perselisihan hubungan industrial ini, majelis
Peninjauan Kembali.
hakim agung menafsirkan ketentuan Pasal 57
Timbul pertanyaan, bagaimana keabsahan ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 secara
hubungan kerja antara PT. HMS dan NMF kaku dengan mengesampingkan ketentuan Pasal
mengingat PKWT dibuat dalam bahasa Inggris 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Dengan
dan tidak adanya perpanjangan atau pembaruan mendasarkan pada novum berupa IMTA yang
PKWT secara tertulis antara PT. HMS dengan berlaku sejak tanggal 29 Mei 2005 sampai
NMF. Pada prinsipnya suatu perjanjian lahir dengan 28 Mei 2006 dan slip gaji, majelis hakim
dan mengikat para pihak yang membuatnya berpendapat bahwa telah terjadi hubungan kerja

128 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 128 9/22/2014 9:41:13 AM


selama sembilan tahun secara terus menerus tanpa alat bukti surat IMTA tersebut merupakan bukti
putus antara PT. HMS dan NMF. Hal tersebut adanya pelanggaran jangka waktu kerja tertentu
merupakan pelanggaran atas ketentuan Pasal 42 di mana suatu PKWT hanya boleh dilangsungkan
ayat (4) jo.57 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 59 ayat untuk jangka waktu maksimal tiga tahun saja,
(4) UU No. 13 Tahun 2003 sehingga demi hukum sehingga melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4)
PKWT tersebut dinyatakan menjadi PKWTT. UU No. 13 Tahun 2003.

Lebih lanjut majelis hakim agung secara


2.1. Diabaikannya Aspek Historis
tidak langsung dalam pertimbangan hukumnya
Pembentukan Peraturan TKA dalam
tersebut telah menyatakan bahwa hubungan
Putusan Mahkamah Agung No. 29K/
hukum antara PT. HMS dengan NMF berubah
PDT.SUS/2010 Tanggal 24 Agustus 2010
dari hubungan kerja waktu tertentu menjadi
hubungan kerja waktu tidak tentu. Dengan Pertimbangan hukum majelis hakim
demikian NMF dianggap sebagai pekerja agung dalam Putusan No. 29K/PDT.SUS/2010
tetap sehingga berhak menerima kompensasi dipandang tidaklah tepat. Bahwa meskipun
PHK yang terdiri dari uang pesangon, uang ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dan
penghargaan masa kerja dan uang pergantian peraturan pelaksanaannya tidak secara khusus
hak serta biaya pengembalian ke negara asal. mengatur mengenai PKWT bagi TKA namun
Dari pertimbangan hukum tersebut tampak jika ditinjau dari historis pembentukan pasal-
bahwa majelis hakim agung telah menafsirkan pasal mengenai TKA dalam UU No. 13 Tahun
ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) dan Pasal 2003 seharusnya ketentuan mengenai PKWT
59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 secara bagi TKA merupakan lex specialis.
gramatikal yang kaku. Pertama, meskipun dalam Keberadaan TKA di Indonesia tidak lepas
pertimbangan hukumnya majelis hakim agung dari mulai masuknya modal asing. Keberadaan
menyinggung mengenai ketentuan mengenai modal asing memberikan andil dalam alih
TKA yang hanya dapat dipekerjakan dalam teknologi, alih keterampilan dan masuknya TKA
hubungan kerja waktu tertentu sebagaimana ke Indonesia. Sebelum UU No. 13 Tahun 2003,
diatur dalam Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 peraturan perundang-undangan mengenai TKA
Tahun 2003 namun dalam pertimbangan hukum secara berurutan ialah Undang-Undang No. 3
lainnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja
ketentuan mengenai PKWT bagi TKA dan tenaga Asing (UU No. 3 Tahun 1958), Keputusan
kerja dalam negeri sehingga bagi TKA dikenakan Presiden No. 23 Tahun 1974 tentang Pembatasan
ketentuan mengenai PKWT yang sama dengan Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
tenaga kerja dalam negeri. Kedua, seperti halnya Pendatang, Keputusan Presiden No. 75 Tahun
pertimbangan hukum majelis hakim agung dalam 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga
Putusan No. 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29 Juli Asing Pendatang dan Keputusan Menteri
2010 yang mempertimbangkan adanya hubungan Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.173/
kerja waktu tertentu berdasarkan alat bukti MEN/2000 tentang Waktu Izin Mempekerjakan
surat IMTA, namun majelis hakim agung dalam Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.
Putusan No. 29K/PDT.SUS/2010 menilai bahwa

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 129

jurnal agustus isi.indd 129 9/22/2014 9:41:13 AM


Dalam peraturan perundang-undangan bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa Inggris
tersebut secara tegas diatur bahwa penggunaan harus dipahami bukan merupakan iktikad buruk
TKA di Indonesia dibatasi. Pembatasan tersebut untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 maupun
Keberadaan TKA di Indonesia hanyalah untuk Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
keperluan alih teknologi dan alih keahlian No. KEP.100/MEN/VI/2004 namun semata-mata
selama tenaga kerja dalam negeri belum hanya untuk memudahkan kedua belah pihak baik
memiliki kemampuan untuk mengisi jabatan pengusaha maupun TKA.
tersebut sehingga jangka waktu penggunaan
Apabila terjadi pelanggaran atas bentuk
TKA dibatasi. Terkait dengan jangka waktu
PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia
penggunaan TKA di Indonesia pembatasannya
maka tidak dapat serta merta menjadikan PKWT
diberikan melalui RPTKA selama lima tahun
tersebut menjadi PKWTT. Kedua, mengenai jangka
yang dapat diperpanjang sesuai dengan
waktu PKWT bagi TKA dan perpanjangan atau
kebutuhan.
pembaruannya yang memiliki jangka waktu lebih
Setelah diberlakukannya UU No. 13 Tahun lama. Berdasarkan Permenakertrans No. PER.02/
2003, peraturan pelaksanaan tentang penggunaan MEN/III/2008, RPTKA diberlakukan untuk
TKA ialah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang
Transmigrasi No. 228/Men/2003 tentang Tata sesuai dengan kebutuhan penggunaan TKA
Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga tersebut. Dengan demikian tidak dapat disamakan
Kerja Asing yang terakhir kali diperbarui mengenai jangka waktu PKWT bagi TKA dan
melalui Permenakertrans No. PER.02/MEN/ perpanjangan maupun pembaruannya dengan
III/2008. Dengan diberlakukannya UU No. 13 PKWT bagi tenaga kerja dalam negeri.
Tahun 2003 maka UU No. 3 Tahun 1958 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku. 2.2. Novum sebagai Alasan Pengajuan
Seperti halnya UU No. 3 Tahun 1958 dan Peninjauan Kembali dalam Putusan
peraturan perundang-undangan mengenai TKA Mahkamah Agung No. 29PK/PDT.
lainnya yang berlaku sebelum UU No. 13 Tahun SUS/2010 Tanggal 24 Agustus 2010
2003, penggunaan TKA di Indonesia dibatasi Peninjauan kembali dapat diajukan dengan
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu dan alasan apabila setelah suatu perkara diputus
hanya sebagai sarana alih teknologi dan keahlian.
ditemukan adanya alat bukti surat yang bersifat
Ketentuan tersebut belum berubah meskipun menentukan yang sebelumnya pada saat perkara
dewasa ini keberadaan TKA di Indonesia bukan tersebut diperiksa alat bukti tersebut tidak
lagi untuk penanaman modal asing tetapi karenaditemukan. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat
era globalisasi. (1) huruf b UU No. 2 Tahun 2004 alat bukti surat
Berdasarkan tinjauan historis tersebut tersebut haruslah sangat menentukan sehingga
terdapat dua hal yang merupakan lex specialis apabila alat bukti tersebut tidak ada maka majelis
terkait PKWT bagi TKA. Pertama, pembuatan hakim akan mengambil keputusan yang keliru
PKWT bagi TKA yang tidak menggunakan (Saleh & Mulyadi, 2012: 262).

130 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 130 9/22/2014 9:41:13 AM


Faktanya permohonan peninjauan kembali adanya dissenting opinion dari salah satu hakim
yang diajukan oleh NMF didasarkan pada alasan anggota yang merupakan hakim ad hoc. Terdapat
adanya novum atau berupa IMTA yang berlaku dua poin penting mengenai pendapat hakim agung
sejak tanggal 29 Mei 2005 sampai dengan 28 Mei tersebut. Pertama, hubungan kerja antara PT. HMS
2006. IMTA tersebut tidak pernah dijadikan bukti
dengan NMF merupakan hubungan kerja waktu
di pengadilan karena baru diketemukan oleh tertentu karena sesuai dengan ketentuan Pasal
NMF pada tanggal 24 Mei 2009. 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 hubungan
kerja untuk TKA hanya dimungkinkan sebagai
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis
hubungan kerja tidak tetap dan hal ini sesuai
hakim agung peninjauan kembali menyatakan
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara
bahwa novum tersebut telah membuktikan fakta
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
bahwa PT. HMS telah mempekerjakan NMF
Kedua, sebagai pekerja tidak tetap maka NMF
selama sembilan tahun sehingga majelis hakim
hanya berhak untuk menerima kompensasi berupa
agung dapat mengesampingkan ketentuan Pasal
ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU
42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003. Pertimbangan
No. 13 Tahun 2003 jo. 1603 f KUHPer jo. 100 jo.
majelis hakim agung tersebut keliru, karena
190 UU No. 13 Tahun 2003 dengan pembayaran
novum berupa IMTA yang diajukan oleh NMF
ganti rugi maksimal satu tahun upah.
tersebut tidak merubah fakta hukum yang telah
terbukti di persidangan bahwa PT. HMS telah Sesuai dengan ketentuan Pasal 1603 f
mempekerjakan NMF selama sembilan tahun. KUHPer, hubungan kerja antara PT. HMS dengan
NMF dipandang diperpanjang secara diam-diam
Dalam persidangan di Pengadilan
selama satu tahun sampai dengan bulan Juni
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
2007 sehingga PHK efektif berakhir pada bulan
Jakarta Pusat, telah diajukan bukti-bukti surat
Juni 2007. Dengan demikian besarnya ganti rugi
berupa surat pemberitahuan PHK dari PT. HMS
yang harus dibayarkan oleh PT. HMS kepada
kepada NMF pertanggal 30 Juni 2006 dan slip
NMF ialah upah bulan Juni 2006 sampai dengan
gaji NMF. Dengan demikian meskipun IMTA
bulan Juni 2007. Selain itu PT. HMS juga harus
yang berlaku sejak tanggal 29 Mei 2005 sampai
membayarkan kewajibannya kepada NMF berupa
dengan 28 Mei 2006 merupakan novum karena
uang pengembalian NMF dan keluarganya ke
baru diketemukan setelah putusan diambil,
negara asal NMF atau biaya repatriasi.
namun novum tersebut bukanlah alat bukti surat
yang sangat menentukan sehingga apabila alat Dissenting opinion yang disampaikan
bukti tersebut tidak ada maka majelis hakim akan tersebut telah tepat. Pandangan hakim agung ad hoc
mengambil keputusan yang keliru. mengenai status hukum dari NMF didasarkan pada
penafsiran sistematis dan penafsiran teleogikal.
2.3. Dissenting Opinion dalam Putusan Hal ini berbeda dengan pandangan ketua majelis
Mahkamah Agung No. 29PK/PDT. dan hakim anggota lainnya yang menafsirkan
SUS/2010 Tanggal 24 Agustus 2010 gramatikal atas ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan
(2) serta Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003
Salah satu hal lain yang menarik dari Putusan secara kaku. Begitu pula dalam menentukan
Mahkamah Agung No. 29K/PDT.SUS/2010 ialah besarnya ganti rugi sebagai kompenasi PHK,

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 131

jurnal agustus isi.indd 131 9/22/2014 9:41:13 AM


hakim agung ad hoc menggunakan penafsiran mengakibatkan dianggapnya PKWT
sistematis. Dalam hal ini meskipun tidak ada tersebut menjadi PKWTT dengan segala
perpanjangan maupun pembaruan PKWT secara akibat hukumnya, akan tetapi khusus bagi
tertulis dan dalam bahasa Indonesia, namun telah PKWT bagi TKA berlaku lex specialis yang
terjadi kesepakatan dan secara diam-diam antara berbeda dengan PKWT bagi tenaga kerja
PT. HMS dan NMF untuk hak dan kewajiban dalam negeri sehingga PKWT tidak secara
masing-masing. serta merta dianggap sebagai PKWTT.
Lex specialis tersebut dikarenakan secara
Berdasarkan ketentuan Pasal 1603 f
historis dan tujuan pembentukan pasal-
KUHPer kesepakatan secara diam-diam tersebut
pasal mengenai TKA dalam UU No. 13
berlaku untuk jangka waktu satu tahun yang
Tahun 2003 yang berbeda dengan tenaga
mana dalam perkara ini satu tahun sejak IMTA
kerja dalam negeri.
terakhir berakhir yaitu akhir bulan Mei 2006,
sehingga kesepakatan secara diam-diam tersebut 2. Mahkamah Agung dalam menentukan
berlaku sejak bulan Juni 2006 sampai dengan status hubungan kerja seorang TKA dalam
bulan Juni 2007. Dengan demikian apabila PT. perselisihan hubungan industrial tidak
HMS mengakhiri hubungan kerja pada bulan Juni hanya terpaku pada alat bukti surat PKWT
2006 pada sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU saja tetapi juga mempertimbangkan alat
No. 13 Tahun 2003, PT. HMS harus membayar bukti surat lainnya berupa IMTA dan KITAS
ganti rugi kepada NMF sebagai kompensasi yang merupakan izin-izin yang diperlukan
PHK berupa selisih dari bulan Juni 2006 sampai untuk mempekerjakan TKA di Indonesia.
dengan bulan Juni 2007. Mengenai status hukum TKA yang PKWT-
nya dibuat tidak sesuai dengan ketentuan
V. SIMPULAN Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003,
Mahkamah Agung memiliki dua pendapat,
Berdasarkan analisis terhadap Putusan yaitu:
Mahkamah Agung No. 595K/PDT.SUS/2010
tanggal 29 Juli 2010 dan Putusan Mahkamah a. Dengan menggunakan penafsiran
Agung No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 sistematis dan teleogikal serta dengan
Agustus 2010, disimpulkan hal-hal sebagai berikut: melihat historis dari pembentukan
pasal-pasal mengenai TKA,
1. Suatu PKWT bagi TKA yang dibuat tidak Mahkamah Agung berpandangan
dalam bentuk tertulis dan tidak dalam bahasa bahwa PKWT bagi TKA yang tidak
Indonesia tetap sah dan berlaku mengikat sesuai dengan ketentuan Pasal 57
bagi pengusaha dan TKA, karena pada ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
prinsipnya PKWT tersebut telah memenuhi maka status hubungan kerjanya tetap
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian kerja merupakan hubungan kerja waktu
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat tertentu dan tidak serta merta menjadi
(1) UU No. 13 Tahun 2003. PKWT yang pekerja tetap. Hal ini dapat dilihat
tidak dibuat sesuai dengan ketentuan Pasal dari Putusan Mahkamah Agung No.
57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tersebut 595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29

132 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 132 9/22/2014 9:41:13 AM


Juli 2010 dan dissenting opinion dari hakim anggota ad hoc dalam perkara
hakim anggota ad hoc dalam perkara Putusan No. 29PK/PDT.SUS/2010
Putusan No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010.
tanggal 24 Agustus 2010.
b. Berbeda dengan pendapat Mahkamah
b. Selanjutnya dalam Putusan Agung lainnya, atas dasar pandangan
Mahkamah Agung No. 29PK/PDT. bahwa TKA dapat menjadi pekerja
SUS/2010 tanggal 24 Agustus 2010, tetap apabila terjadi pelanggaran
Mahkamah Agung menggunakan atas ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan
penafsiran gramatikal yang kaku atas Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun
ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) dan 2003 maka TKA berhak memperoleh
Pasal 59 ayat (4) UU No. 13 Tahun kompensasi PHK yang sama dengan
2003. Dengan demikian apabila TKA kompensasi PHK yang diterima oleh
yang PKWT-nya dibuat tidak sesuai pekerja tetap tenaga kerja dalam
dengan ketentuan tersebut maka negeri. Adapun kompensasi PHK
status hukum dari TKA tersebut tersebut terdiri dari uang pesangon,
secara serta merta berubah menjadi uang penghargaan masa kerja dan
pekerja tetap. uang pergantian hak sesuai dengan
ketentuan Pasal 156 UU No. 13
3. Mahkamah Agung dalam menentukan
Tahun 2003. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya kompensasi PHK bagi TKA yang
Putusan No. 29PK/PDT.SUS/2010
PKWT-nya tidak sesuai dengan ketentuan
tanggal 24 Agustus 2010.
Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003
disesuaikan dengan status hukum hubungan Selain ganti rugi atau kompensasi PHK
kerja TKA tersebut. Terjadi dualisme yang berhak diterima, salah satu komponen yang
pendapat Mahkamah Agung mengenai wajib diberikan oleh pengusaha kepada TKA
kompensasi PHK yang diterima bagi TKA ketika terjadi PHK ialah uang pengembalian
sebagai berikut: TKA dan keluarganya ke negara asalnya atau
biaya repatriasi sebagaimana diatur dalam Pasal
a. Atas dasar pandangan bahwa TKA
48 UU No. 13 Tahun 2003.
tidak bisa menjadi pekerja tetap maka
berdasarkan penafsiran sistematis Terhadap simpulan di atas, berikut saran
atas ketentuan dalam UU No. 13 yang dapat dijadikan sebagai solusi mengenai
Tahun 2003 dan KUHPer, TKA permasalahan penggunaan TKA di Indonesia:
hanya berhak memperoleh ganti rugi
1. Pemerintah melalui Departemen Tenaga
sebagai kompensasi PHK sesuai
Kerja dan Transmigrasi hendaknya dapat
dengan ketentuan Pasal 62 UU No.
membuat dan menerbitkan suatu peraturan
13 Tahun 2003. Hal ini dapat dilihat
baru yang secara khusus mengatur mengenai
dari Putusan Mahkamah Agung No.
PKTW bagi TKA yang merupakan lex
595K/PDT.SUS/2010 tanggal 29
specialis dari PKWT.
Juli 2010 dan dissenting opinion dari

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 133

jurnal agustus isi.indd 133 9/22/2014 9:41:13 AM


2. Hendaknya Putusan Mahkamah Agung Industrial Menurut UU No. 2 Tahun 2004
No. 29PK/PDT.SUS/2010 tanggal 24 Disertai Contoh Kasus. Jakarta: DSS
Agustus 2010 tidak dijadikan acuan dan Publisihng.
yurisprudensi dalam perkara-perkara
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
perselisihan hubungan industrial terkait
Republik Indonesia. 2003. Pemahaman
PHK terhadap TKA karena putusan tersebut
Pasal-Pasal Utama Undang-Undang
sangat janggal dan tidak sesuai dengan
Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003).
tujuan penggunaan TKA di Indonesia
Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan
sebagaimana yang diamanatkan dalam
Transmigrasi Republik Indonesia.
UUD 1945, UU No. 13 Tahun 2003 dan
peraturan pelaksanaannya. Martitah. 2013. Mahkamah Konstitusi dari
Negative Legislature ke Positive Legislature.
3. Untuk mencegah adanya dualisme
Jakarta: Konpress.
terkait status hubungan kerja TKA dan
kompensasi PHK dalam perkara-perkara Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara
perselisihan hubungan industrial terkait Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
PHK terhadap TKA, Mahkamah Agung
Salam, Moch. Faisal. 2009. Penyelesaian
hendaknya dapat merumuskan norma
Perselisihan Perburuhan Industrial di
hukum baru melalui suatu yurisprudensi
Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju.
untuk melengkapi kebolongan peraturan
mengenai penggunaan TKA di Indonesia Saleh, Mohammad & Lilik Mulyadi. 2012. Seraut
sehingga pada akhirnya dapat menjadi Wajah Peradilan Hubungan Industrial
acuan dan dapat diikuti oleh putusan hakim Indonesia (Perspektif, Teoritis, Praktik dan
lainnya. Permasalahannya) Dilengkapi UU Nomor
2 Tahun 2004 dan Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.

Soebekti, R & R. Tjitrosudibio. 2008. Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
DAFTAR PUSTAKA
Pradnya Paramita.
Agusmidah, dkk. 2012. Bab-Bab tentang Hukum
Soebekti. 2008. Aneka Perjanjian. Jakarta:
Perburuhan di Indonesia. Denpasar:
Intermasa.
Pustaka Larasan.
Soebekti. 2008. Hukum Perjanjian. Jakarta:
Agusmidah. 2010. Hukum Ketenagakerjaan
Intermasa.
Indonesia: Dinamika & Kajian Teori.
Bogor: Ghalia Indonesia. Soeroso, R. 2010. Hukum Acara Khusus
Kompilasi Ketentuan Hukum Acara
Damanik, Sehat. 2006. Hukum Acara Perburuhan
dalam Undang-Undang. Jakarta: PT Sinar
Menyelesaikan Perselisihan Hubungan
Grafika.

134 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 117 - 135

jurnal agustus isi.indd 134 9/22/2014 9:41:14 AM


Suharnoko. 2008. Hukum Perjanjian Teori dan
Analisa Kasus. Jakarta: Pernada Media
Group.

Sutiyoso, Bambang. 2006. Penyelesaian Sengketa


Bisnis. Yogyakarta: Citra Media.

Syahrizal, Darda & Rukiyah L. 2013. Undang-


Undang Ketenagakerjaan dan Aplikasinya.
Jakarta: Dunia Cerdas.

Ugo & Pujiyo. 2012. Hukum Acara Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial Tata
Cara dan Proses Penyelesaian Sengketa
Perburuhan. Jakarta: PT Sinar Grafika.

Dualisme Pandangan Mahkamah Agung Mengenai Status Hukum (Vidya Prahassacitta) | 135

jurnal agustus isi.indd 135 9/22/2014 9:41:14 AM


jurnal agustus isi.indd 136 9/22/2014 9:41:14 AM
KEKUATAN PEMBUKTIAN TESTIMONIUM DE AUDITU
DALAM PERKARA PERCERAIAN
Kajian Putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw dan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

EVIDENCE VALIDITY OF TESTIMONIUM DE AUDITU


IN A DIVORCE CASE
An Analysis of Decision Number 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw and
Number 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg

Ramdani Wahyu Sururie


Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. AH. Nasution No. 105 Cibiru, Bandung 40164
E-mail: 124md4ni@gmail.com

Naskah diterima: 24 Maret 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

ABSTRAK Kata kunci: perceraian, saksi, perselisihan.

Saksi merupakan salah satu alat bukti yang digunakan


ABSTRACT
untuk menyelesaikan suatu sengketa dan sangat
menentukan untuk membuka tabir sejelas-jelasnya Witness is a kind of evidence used to resolve a dispute
mengenai kebenaran pokok perkara yang disengketakan and crucial in unveiling the factual truth of the matter
oleh kedua belah pihak. Dalam ketentuan hukum acara, on the dispute by the two sides. In the Code of Civil
saksi memiliki nilai kesaksian atau bernilai saksi sempurna Procedure, a witness has testimony value and is of the
apabila memenuhi syarat formil dan materil tentang apa perfect witness if the formal and substantive requirements
yang disaksikan. Saksi seperti itu dinamakan saksi yang are satisfied. Such witness is called auditu witness. While
auditu sedangkan saksi yang tidak memiliki nilai kesaksian if it has no testimony value or ineligible for the formal
atau tidak memenuhi syarat formil dan materil kesaksian and substantive requirements, it is called testimonium
dinamakan saksi yang testimonium de auditu. Penelitian de auditu. This analysis focuses on a disparity issue in
ini memfokuskan pada kajian adanya disparitas di dalam the assessment of proof of testimonium de auditu in the
penilaian bukti saksi yang testimonium de auditu di review of a divorce case in two level courts: the Religious
dalam pemeriksaan perkara perceraian antara pengadilan Court of First Instance of Karawang and the Appeal
agama tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Court of Bandung. In Religious Court of Karawang,
Pada Pengadilan Agama Karawang, majelis hakim the judges considered that the proposed witnesses in the
mempertimbangkan bahwa saksi-saksi yang diajukan trial already have probative value of the information
dalam persidangan sudah memiliki nilai pembuktian obtained even though it is built on what is heard from
sekalipun keterangan yang diperoleh saksi berdasarkan apa the plaintiff, so that their claim should be granted.
yang didengar dari penggugat sehingga gugatan penggugat While in the Judges consideration of the Appeal Court
patut dikabulkan sedangkan dalam pertimbangan majelis of Bandung, the witnesses proposed is assessed as a
hakim banding keterangan saksi yang diajukan dinilai witness de auditu, therefore the plaintiffs claim could not
sebagai saksi yang de auditu sehingga gugatan penggugat be proven, and Bandung High Court finally overturned
tidak terbukti dan akhirnya Pengadilan Tinggi Bandung the decision of the Religious Court of Karawang.
membatalkan putusan Pengadilan Agama Karawang. Keywords: divorce, witness, dispute.

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 137

jurnal agustus isi.indd 137 9/22/2014 9:41:14 AM


I. PENDAHULUAN 1. Tergugat sering bersikap kasar kepada
penggugat dan anak-anak, baik dari
Perceraian merupakan salah satu bentuk
ucapannya maupun perbuatannya,
sengketa perkawinan di pengadilan agama. Jika
sehingga mengakibatkan ketika anak yang
angka-angka perceraian di pengadilan agama
ketiga marah kepada kakak-kakaknya,
disajikan, maka jumlahnya sangat mengagetkan.
ia menirukan hal tersebut, keadaan yang
Sepanjang tahun 2011, jumlah suami dan istri
demikian tidaklah dapat dibiarkan, karena
yang mengajukan perceraian sebanyak 314.615
atas perbuatan tergugat tersebut secara
perkara dengan rincian; cerai talak 99.599
psikis penggugat merasa tertekan dan juga
(27.40%) dan cerai gugat sebanyak 215.368
dapat merusak perkembangan anak-anak di
(59,25%) sedangkan untuk tahun 2012 sebanyak
kemudian hari.
346.478 perkara dengan rincian cerai talak
sebanyak 107.805 (26.63%) dan cerai gugat 2. Tergugat sering mengucapkan agar
sebanyak 238.673 (58.95%) (www.badilag.net). mempersilakan kepada penggugat untuk
mengurus perceraiannya, tetapi ketika
Dalam mengadili sengketa perceraian,
itu penggugat masih bisa bersabar,
tugas hakim dalam proses pemeriksaan perceraian
adapun tergugat pada tahun 2006 pernah
sebelum suatu perkara diputus harus benar-benar
mengajukan permohonan Cerai Talak
meyakini dengan pasti apakah saksi yang diperiksa
terhadap penggugat di Pengadilan Agama
dalam persidangan telah memahami dengan baik
Karawang dalam register perkara Nomor
apa yang disaksikannya sehinggga hakim dapat
303/Pdt.G/2006/PA.Krw, tetapi karena
dengan mudah memberi pertimbangan hukum di
tergugat dalam perkara tersebut tidak
dalam menjatuhkan putusan. Kedudukan saksi
membuktikan permohonannya, oleh
dalam perkara perceraian sangat penting bagi
pengadilan tersebut permohonannya
hakim dalam mempertimbangkan putusan yang
ditolak.
akan dijatuhkan. Keterangan saksi yang kurang
jelas, tidak tahu dengan pasti dapat dikatakan 3. Tanpa alasan yang jelas tergugat telah
sebagai keterangan yang lemah. mengurangi uang nafkah biaya keperluan
pendidikan dan kesehatan anak-anak,
Dalam perkara Nomor 0141/Pdt.G/2011/
padahal keperluan biaya tersebut sekarang
PA.Krw mengenai perceraian dengan alasan
semakin meningkat.
Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975, keterangan saksi dalam perkara Penggugat telah berusaha menghimbau
ini dipandang kurang sempurna namun hakim tergugat serta mengharapkan kehidupan berumah
mempertimbangkannya sebagai keterangan saksi tangga dengan tergugat kembali harmonis, akan
yang telah memenuhi unsur formil dan materil. tetapi usaha tersebut tidak membuahkan hasil,
Perkara perceraian Nomor 0141/Pdt.G/2011/ sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun
PA.Krw dilatarbelakangi oleh perselisihan dan kembali dalam berumah tangga, oleh karena sudah
percekcokan yang terus menerus antara suami tidak ada harapan hidup rukun kembali dalam
istri. Perselisihan dan pertengkaran tersebut berumah tangga dengan tergugat, maka penggugat
disebabkan antara lain karena: memilih jalan yang terbaik untuk menyelesaikan

138 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 138 9/22/2014 9:41:14 AM


permasalahan ini dengan mengajukan gugatan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg. di dalam
perceraian di Pengadilan Agama Karawang. amarnya menyebutkan bahwa putusan
pengadilan tingkat pertama dibatalkan. Di antara
Berdasarkan alasan-alasan tersebut,
pertimbangan majelis hakim pengadilan tingkat
penggugat meminta Pengadilan Agama Karawang
pertama menyebutkan bahwa gugatan penggugat
menjatuhkan putusan dalam perkara ini sebagai
didukung alat bukti saksi yang sempurna (auditu)
berikut:
sedangkan dalam pertimbangan majelis hakim
Primair: banding, gugatan penggugat didukung oleh saksi
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk yang de auditu yaitu saksi yang hanya mendengar
seluruhnya; sehingga gugatan penggugat tidak terbukti.
2. Menjatuhkan talak tergugat (tergugat asli)
terhadap penggugat (penggugat asli); Dalam perkara ini antara putusan pengadilan
tingkat pertama dan banding terjadi disparitas
3. Menetapkan pemeliharaan anak diserahkan
dalam menilai keterangan saksi. Dalam perkara
kepada penggugat untuk diasuh, dipelihara
dan dididik hingga dewasa atau mampu Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw keterangan
berdiri sendiri; saksi dipandang kurang sempurna karena
4. Menghukum tergugat membayar diperoleh dari mendengar dan curhat penggugat
nafkah anak kepada penggugat minimal dan tergugat namun hakim mempertimbang
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
setiap bulan, sejak putusan dalam perkara kannya sebagai keterangan saksi yang telah
ini mempunyai kekuatan hukum tetap memenuhi unsur formil dan materil sehingga
sampai anak tersebut dewasa atau mampu berimplikasi pada dikabulkannya permohonan
berdiri sendiri;
penggugat untuk bercerai dengan tergugat.
5. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan Sementara itu dalam tingkat banding, putusan
ketentuan yang berlaku.
Pengadilan Agama Karawang dibatalkan karena
Subsidair: Mohon putusan yang seadil-adilnya keterangan saksi dipandang tidak memenuhi
(ex aequo et bono). syarat materil kesaksian dalam arti saksi hanya
mendengar (de auditu).
Dalam perkara ini, penggugat sebenarnya
tidak mampu menghadirkan saksi yang memberi
kesaksian sempurna. Saksi tersebut memberikan II. RUMUSAN MASALAH
keterangan berdasarkan cerita dari penggugat
Sesuai latar belakang permasalahan di
sendiri. Dalam hukum acara, dikenal kesaksian
atas, telah terjadi disparitas dalam putusan
semacam ini sebagai testimonium de auditu yaitu
pengadilan agama mengenai perceraian di dalam
kesaksian atau keterangan karena mendengar dari
mempertimbangkan keterangan saksi. Dalam
orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung
putusan pengadilan agama tingkat pertama,
atau bukan saksi mata yang mengalami (Harahap,
keterangan saksi dipandang sempurna (auditu)
2010: 661).
sedangkan dalam pemeriksaan tingkat banding,
Di pengadilan tingkat pertama, gugatan majelis hakim menilainya sebagai saksi yang de
perceraian ini dikabulkan sedangkan di auditu, dengan demikian, rumusan masalah yang
pengadilan tingkat banding, melalui putusan diangkat dalam analisis ini adalah:

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 139

jurnal agustus isi.indd 139 9/22/2014 9:41:14 AM


1. Apakah keterangan saksi yang bernilai keluarga atau orang-orang yang dekat dengan
kurang sempurna (de auditu) dalam perkara suami istri; (2) Pengadilan setelah mendengar
perceraian ini memiliki nilai pembuktian? keterangan saksi tentang sifat persengketaan
antara suami istri dapat mengangkat seorang
2. Apakah landasan yuridis sehingga
atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
keterangan saksi yang kurang sempurna
ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
(de auditu) dalam perkara perceraian dapat
dijadikan pertimbangan sebagai saksi yang Berdasarkan pasal di atas, untuk dapat
memiliki kekuatan nilai pembuktian? dikabulkannya suatu gugatan perceraian
yang menggunakan alasan perselisihan dan
III. STUDI PUSTAKA pertengkaran yang terus menerus apabila majelis
hakim telah:
Dalam kajian putusan Pengadilan Agama
Karawang, fokus masalah atau perkara yang 1. Meneliti dan terbukti tentang ada
diperiksa dan diadili oleh hakim adalah perceraian tidaknya perselisihan dan pertengkaran,
dengan alasan perselisihan dan pertengkaran serta bagaimana bentuk perselisihan dan
yang terus menerus antara suami istri dan tidak pertengkaran itu.
ada harapan untuk rukun kembali.
2. Meneliti dan terbukti sebab-sebab
Pembuktian dalam perkara perceraian perselisihan dan pertengkaran.
yang disebabkan oleh terjadinya perselisihan dan
3. Mempertimbangkan sebab perselisihan
pertengkaran yang terus menerus antara suami istri
dan pertengkaran itu, apakah benar-benar
dalam lingkup kewenangan pengadilan agama,
berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan
mengikuti ketentuan pembuktian secara khusus
kehidupan suami istri.
dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 22 dan UU
Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 (Azizi, 2012: 242). 4. Mendengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang
Pasal 22 ayat (2) menyebutkan bahwa
yang dekat dengan suami istri. Sebagai
gugatan perceraian karena alasan sebagaimana
saksi, mereka harus disumpah.
tersebut dalam Pasal 19 huruf f Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu baru dapat 5. Mendengar keterangan saksi-saksi tentang
diterima oleh pengadilan, apabila telah cukup sifat persengketaan antara suami istri, dapat
jelas mengenai sebab-sebab perselisihan dan mengangkat seorang atau lebih dari keluarga
pertengkarannya itu dan setelah mendengar pihak masing-masing ataupun orang lain untuk
keluarga serta orang-orang yang dekat dengan menjadi hakam. Hakam dapat ditunjuk oleh
suami istri yang mengajukan perceraian itu. masing- masing pihak atau oleh hakim.

Dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 6. Membuktikan tidak adanya harapan akan


7 Tahun 1989 dinyatakan: (1) Apabila gugatan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka
Keyakinan hakim di atas harus pula didukung
untuk mendapatkan putusan perceraian harus
oleh keterangan para saksi. Keterangan saksi
didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari

140 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 140 9/22/2014 9:41:14 AM


yang ada dalam perkara pembuktian perceraian berbohong, sehingga bisa terjadi pertentangan
karena alasan perselisihan dan pertengkaran yang antara keterangan saksi dengan isi suatu akta dan
terus menerus memang berbeda dengan maksud jika dibiarkan maka nilai kekuatan pembuktian
Pasal 145 ayat (1) HIR dan Pasal 146 HIR, yang akta otentik bisa kehilangan tempat berpijak yang
justru melarang keluarga sedarah dan semenda berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat
untuk didengar sebagai saksi. terhadap akta otentik.

Saksi mempunyai peranan penting dalam Banyak penulis yang menggambarkan bahwa
memberikan masukan kepada majelis hakim keterangan saksi sebagai alat bukti cenderung
untuk mendukung dan menguatkan dalil-dalil tidak dapat dipercaya, dengan argumentasi
dari pihak yang berperkara dari adanya peristiwa bahwa saksi cenderung berbohong baik sengaja
perselisihan dan pertengkaran. Perselisihan dan atau tidak, saksi mendramatisir, menambah
pertengkaran dalam rumah tangga yang terjadi atau mengurangi dari kejadian yang sebenarnya
pada suami istri sifatnya berbeda sekali dengan dan ingatan manusia atas suatu peristiwa tidak
perselisihan dan pertengkaran yang terjadi dengan selamanya akurat sering dipengaruhi oleh emosi
hukum pidana. Perselisihan dan pertengkaran (Harahap, 2010: 625).
dalam rumah tangga, orang lain sangat sedikit atau
Terdapat beberapa persyaratan yang harus
bisa-bisa tidak sama sekali mengetahui kejadian,
dipenuhi terhadap alat bukti saksi meliputi
bentuk kejadian, dan permasalahan apa yang
persyaratan formil dan materil yang bersifat
terjadi. Orang lain yang mengetahui adanya tidak
kumulatif dan bukan alternatif. Artinya bila
kumpul atau pisah tempat tinggal antara suami
suatu kesaksian tidak memenuhi seluruh syarat
istri, hanya sebatas mengetahui tidak kumpulnya,
yang dimaksud maka kesaksian itu tidak dapat
tetapi kepastian mengapa sampai tidak kumpul
dipergunakan sebagai alat bukti. Adapun syarat
dalam rumah tangga dan kepastian sekian lamanya
formil itu adalah:
tidak kumpul, belum tentu tahu. Ada suami istri
yang pura-pura harmonis ketika bertemu orang 1. Saksi adalah orang yang tidak dilarang oleh
lain, akan tetapi sebenarnya sebaliknya. Dengan undang-undang untuk menjadi saksi (Pasal
mengatakan, yang penting permasalahan rumah 145 HIR, Pasal 172 R.Bg dan Pasal 1909
tangga hanya yang tahu kita (suami istri) sendiri. KUH Perdata).
Untuk membuktikan kondisi tersebut, diperlukan
2. Saksi memberikan keterangan di
kehadiran saksi (Hasim, 2013: 3).
persidangan (Pasal 144 HIR, Pasal 171
Saksi sebagai alat bukti dalam hukum R.Bg dan Pasal 1905 KUH Perdata).
perdata mempunyai jangkauan yang sangat luas
3. Saksi mengucapkan sumpah sebelum
sekali hampir meliputi segala bidang dan segala
memberikan keterangan (Pasal 147 HIR,
macam sengketa perdata, hanya dalam hal yang
Pasal 175 R.Bg dan Pasal 1911 KUH
sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak
Perdata).
diperbolehkan, seperti melarang pembuktian saksi
terhadap isi suatu akta otentik, rasio pelarangan 4. Ada penegasan dari saksi bahwa ia
adalah karena pada umumnya keterangan saksi menggunakan haknya sebagai saksi, jika
cenderung kurang dapat dipercaya, sering

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 141

jurnal agustus isi.indd 141 9/22/2014 9:41:14 AM


undang-undang memberikannya hak untuk saksi (Pasal 171 ayat (2) HIR, Pasal 308 ayat (2)
mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal R.Bg dan Pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata).
146 HIR dan Pasal 171 (1) R.Bg.).
Memperhatikan syarat materil alat bukti
5. Saksi diperiksa seorang demi seorang saksi tersebut maka keterangan yang diberikan
(Pasal 144 (1) HIR, Pasal 171 (1) R.Bg). harus bersumber dari pengalaman, penglihatan
atau pendengaran dari peristiwa atau kejadian
Syarat formil saksi dalam hukum acara
yang berhubungan dengan pokok perkara
perdata sesungguhnya dapat disederhanakan
yang disengketakan para pihak. Sementara itu
menjadi dua kategori: pertama terkait siapa yang
keterangan seorang saksi yang bersumber dari
cakap dan tidak cakap untuk menjadi saksi dan
cerita atau keterangan yang disampaikan orang
kedua terkait tata cara dan prosedur (ubo rampe)
lain kepadanya adalah berkualitas sebagai
pemberian kesaksian (Mujahidin, 2012: 190-
testimonium de auditu yaitu kesaksian atau
192).
keterangan karena mendengar dari orang lain,
Syarat materil saksi adalah: disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan
saksi mata yang mengalami (Harahap, 2010:
1. Keterangan saksi berdasarkan alasan dan
661).
pengetahuan, maksudnya keterangan
saksi harus berdasarkan alasan-alasan Ada juga yang mendefinisikan testimonium
yang mendukung pengetahuan saksi atas de auditu sebagai kesaksian yang diperoleh secara
peristiwa atau fakta yang diterangkannyatidak langsung dengan melihat, mendengar dan
mengalami sendiri melainkan melalui orang lain
(Pasal 171 (1) HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan
Pasal 1907 KUH Perdata). (Arto, 2010: 164). Tentang tata cara dan prosedur
pemberian kesaksian, ada tiga unsur yang
2. Fakta yang diterangkan bersumber dari
harus dipenuhi oleh saksi agar cakap didengar
penglihatan, pendengaran dan pengalaman
kesaksiannya: 1) Saksi harus memberikan
saksi itu mempunyai relevansi dengan
kesaksian di depan persidangan (Pasal 144 H.I.R.
perkara yang disengketakan (Pasal 171 (1)
dan 171 R.Bg.); 2) Saksi harus disumpah (Pasal
HIR, Pasal 308 (1) R.Bg dan Pasal 1907
147 H.I.R, 175 R.Bg. dan 1911 KUH Perdata);
KUH Perdata).
dan 3) Saksi harus diperiksa satu-persatu (seorang
3. Keterangan saksi saling bersesuaian dengan demi seorang) (Pasal 144 H.I.R. dan 171 R.Bg.)
keterangan saksi yang lain atau alat bukti (Bintania, 2012: 58-62).
lain (Pasal 172 HIR, Pasal 309 R.Bg dan
Saksi yang telah memenuhi syarat formil
Pasal 1908 KUH Perdata).
dan materil berarti ia mempunyai kekuatan
Tidak semua keterangan saksi bernilai nilai pembuktian bebas (vrijbewijs kracht).
sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian Artinya hakim bebas untuk menilai kesaksian
keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan itu sesuai dengan nuraninya, hakim tidak
dimasukkan sebagai alat bukti saksi yaitu pendapat terikat dengan keterangan saksi karena hakim
pribadi saksi, dugaan saksi, kesimpulan pendapat dapat saja menyingkirkan keterangan saksi asal
saksi, perasaan pribadi saksi dan kesan pribadi dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan

142 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 142 9/22/2014 9:41:14 AM


argumentasi yang kuat dan bahkan hakim dapat pokok dapat diadili dan diputus sedangkan
pula menerima keterangan saksi meskipun itu pertengkaran adalah percekcokan, perdebatan,
berkualitas testimonium de auditu asal ada dasar yang kedua kata tersebut adalah kumulatif, yang
eksepsional untuk menerimanya (Sukri, t.t: 2). menunjukkan bahwa perselisihan berbeda dengan
pertengkaran.
Selanjutnya, dalam menerapkan frasa
antara suami dan istri terus menerus terjadi Kehendak kalimat dalam pasal tersebut di
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada atas adalah terus menerus maka pengertian dan
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah pengembangan maknanya diserahkan kepada
tangga sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan hakim untuk menilainya, apakah perselisihan
Pasal 39 ayat (2) huruf f UU No. 1/1974 jo. Pasal dan pertengkaran suami istri dikategorikan terus
19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9/1975 jo. menerus atau tidak, apakah masih ada harapan
Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, dapat untuk hidup rukun lagi atau tidak, atau apakah
dijelaskan sebagai berikut: setelah terjadi perselisihan dan pertengkaran
suami istri masih hidup rukun lagi dalam rumah
1. Bahwa antara suami dan istri terjadi
tangganya atau tidak. Semua diserahkan kepada
perselisihan dan pertengkaran yang terus
penilaian hakim karena hakimlah yang punya
menerus sehingga tidak ada harapan lagi
otoritas untuk itu.
untuk dapat hidup rukun dalam rumah
tangga, dapat dijadikan alasan perceraian. Adanya ketentuan yang menyatakan
perselisihan dan pertengkaran dan ditambah
2. Bahwa antara suami dan istri terjadi
dengan kalimat terus menerus bukanlah harga mati
perselisihan dan pertengkaran yang terus
sebagai alasan perceraian akan tetapi hanyalah alat
menerus dan masih ada harapan bagi
bantu bagi hakim untuk menjatuhkan penilaian
suami istri untuk hidup rukun lagi dalam
apakah suami istri masih ada harapan untuk dapat
rumah tangga, tidak dapat dijadikan alasan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau tidak,
perceraian.
sehingga kesimpulannya kondisi tidak adanya
3. Bahwa antara suami dan istri terjadi harapan bagi suami istri untuk dapat hidup rukun
perselisihan dan pertengkaran yang tidak lagi dalam rumah tangga merupakan alasan
terus menerus baik masih ada harapan atau perceraian yang mendominasi ketentuan alasan
tidak ada harapan lagi bagi suami istri untuk perceraian pada pasal tersebut.
hidup rukun lagi dalam rumah tangga, tidak
Jika demikian, syarat terus menerus bukan
dapat dijadikan alasan perceraian (Sudono,
harga mati bagi alasan perceraian karena faktanya
2011: 12).
banyak kasus suami istri yang tidak pernah terjadi
Dipisahkannya kata perselisihan dan perselisihan dan pertengkaran terus menerus
pertengkaran dalam pasal tersebut di atas tentu akan tetapi mereka tidak pernah berkumpul
mempunyai maksud yang berbeda. Dalam sebagai suami istri, karena begitu selesai akad
Kamus Besar bahasa Indonesia (2009: 1174), nikah mereka langsung berpisah dan pulang ke
perselisihan adalah persengketaan yang harus rumah masing-masing. Mereka melangsungkan
diputuskan lebih dahulu sebelum perkara perkawinan karena ditangkap dan dipaksa untuk

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 143

jurnal agustus isi.indd 143 9/22/2014 9:41:14 AM


kawin, niatnya sama-sama hanya pacaran saja dan penguji UU Nomor 1 Tahun 1974 terhadap UUD
tidak menghendaki perkawinan, maka dalam hal 1945. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-
ini dengan melihat latar belakang masing-masing Undang Perkawinan yang kelak dijabarkan pula
pihak yang sebenarnya hakim dapat menjatuhkan di dalam Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum
penilaian bahwa mereka sama-sama menghendaki Islam memuat salah satu alasan perceraian,
perceraian dan sudah tidak ada harapan untuk antara suami dan istri terus-menerus terjadi
dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga, perselisihan dan pertengkaran tanpa mengatur
misalnya perkawinan baru seumur jagung, tidak secara hukum normatif bahwa manakala terjadi
pernah bertengkar apalagi terus menerus dan perselisihan dan pertengkaran suami istri,
nyatanya memang tidak ada harapan untuk hidup niscaya bukan tidak mungkin terdapat penyebab
rukun dalam rumah tangga, maka unsur tidak ada timbulnya perselisihan dan pertengkaran di rumah
harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga tangga. Kebanyakan pihak istri yang dikorbankan
itulah kuncinya, kalau memang hati nurani dalam perselisihan dan pertengkaran aquo, justru
mengatakan suami istri sudah tidak akan dapat di kala suami merupakan penyebab perselisihan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga lalu apa dan pertengkaran itu.
perlunya mereka menunggu dulu untuk menjalani
Misalnya dalam hal ini suami mempunyai
perselisihan dan pertengkaran dan syarat lainnya
hubungan gelap dengan perempuan lain lalu
yaitu terus menerus, kalau ini yang terjadi maka
meninggalkan tempat kediaman bersama,
secara tidak langsung menyiksa hati kedua belah
perselisihan dan pertengkaran antar keduanya
pihak dalam waktu yang berkepanjangan sehingga
niscaya tidak akan terhindarkan. Tetapi aturan
mudaratnya lebih banyak dari pada manfaatnya.
hukum tidak menjamin perlindungan kepastian
Untuk penerapan alasan perceraian pada huruf f
hukum, keadilan bagi istri yang dikorbankan yang
ini diserahkan kepada penilaian hakim apalagi
kelak diputus cerai atau talak pada perkawinannya
hakim dapat menerapkannya secara luwes dan
oleh badan pengadilan, dengan pertimbangan
fleksibel.
hukum tidak ada harapan atau rukun lagi di dalam
Ada pula perselisihan dan pertengkaran rumah tangga (Anonimous, 2011: 6).
yang orang lain tidak tahu, yaitu perselisihan
dan pertengkaran secara diam-diam, tidak IV. ANALISIS
diperlihatkan dalam pertengkaran mulut atau
kelihatan secara adu fisik tetapi suami istri Penelitian ini memfokuskan pada kajian
tidak tegur sapa, tidak mau melayani suami atau kedudukan saksi de auditu dalam pemeriksaan
istrinya dalam waktu yang lama, diam seribu perkara perceraian dalam putusan majelis hakim
bahasa atau hanya menangis ketika ditanyakan Pengadilan Agama Karawang Nomor 0141/
apa masalah yang sedang terjadi. Dengan Pdt.G/2011/PA.Krw.
demikian, begitu luasnya istilah perselisihan dan Sesuai dengan rumusan masalah dalam
pertengkaran sehingga alasan ini mendominasi penelitian ini, apakah saksi de auditu memiliki
alasan perceraian di Indonesia. nilai pembuktian dalam pemeriksaan perkara
Frasa perselisihan dan pertengkaran perceraian menunjukkan bahwa dalam
dalam Pasal 19 huruf f menjadi kritikan pemohon pemeriksaannya terjadi disparitas di antara

144 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 144 9/22/2014 9:41:14 AM


majelis hakim. Majelis hakim pada tingkat 1. Saksi I, umur 67 tahun, agama Islam,
pertama berkesimpulan bahwa keterangan saksi pekerjaan pensiunan PNS, bertempat
dalam perkara perceraian sekalipun bernilai de tinggal di Kabupaten Karawang:
auditu dapat dipertimbangkan sehingga gugatan
a. Bahwa saksi kenal dengan penggugat
penggugat dikabulkan tetapi pada tingkat banding
bernama penggugat asli, karena saksi
keterangan saksi yang de auditu dibatalkan karena
sebagai ibu kandungnya, penggugat
kesaksian yang diajukan saksi tidak sempurna.
adalah anak ke-6 dari tujuh bersaudara;
Dari sinilah letak masalah dalam penelitian ini
untuk dibahas berikutnya. b. Bahwa keadaan rumah tangga
penggugat dengan tergugat
Putusan hakim PengadilanAgama Karawang
kurang harmonis sejak penggugat
mengenai putusan cerai gugat didasarkan alasan
mengandung usia 1 bulan anak ke-3,
antara suami istri terjadi perselisihan dan
tergugat jarang di rumah, kalaupun ada
pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada
datang tidak mau menegur penggugat;
harapan untuk rukun kembali sebagai suami istri.
Alasan perceraian tersebut didasarkan pada Pasal c. Bahwa saksi sering ke Bandung dan
39 ayat (2) huruf f UU No. 1/1974 jo. Pasal 19 penggugat juga sering pulang ke
huruf f Peraturan Pemerintah No. 9/1975 jo. Pasal Karawang, kalau lagi ada masalah,
116 huruf f Kompilasi Hukum Islam. penggugat sering mengadu kepada
saksi bahwa tergugat kalau pulang
Pemeriksaan perkara perceraian dengan
suka marah-marah, sering melakukan
alasan Pasal 19 huruf f sebagaimana disebutkan di
kekerasan fisik, meludahi penggugat
atas harus didengar keterangan saksi-saksi dalam
dan bila tergugat memarahi penggugat
proses pembuktiannya yang berasal dari pihak
suka di depan anak-anak;
keluarga dari kedua belah pihak sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 22 PPNomor 9 Tahun 1975. d. Bahwa sebab yang lain yang saksi
tahu dari pengaduan penggugat, yaitu
Sebelum penggugat mengajukan alat bukti
masalah biaya, karena gaji dipegang
saksi, penggugat mengeluarkan alat bukti surat
oleh tergugat, penggugat diatur
berupa fotocopy kutipan Akta Nikah Nomor
mengenai keuangan rumah tangga;
332/24/SR/VIII/1976 yang diterbitkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Cirebon Utara/ e. Bahwa orang tua tergugat dan
Barat tanggal 11 Agustus 1976, telah bermeterai keluarganya dulu waktu ada kejadian
cukup, telah dinazeglen, telah dicocokkan dengan yang pertama pernah datang ke rumah
aslinya ternyata cocok, kemudian diberi tanda (P. saksi dan mereka sudah diusahakan
1). dirukunkan; Tapi kejadian yang
sekarang belum ada datang, namun
Selain alat bukti tertulis tersebut, penggugat
saksi pernah menanyakan kepada
telah mengajukan dua orang saksi di persidangan
orangtua tergugat, tapi tidak ada
yang secara ringkas pada intinya menerangkan
jawaban, dan terserah kepada tergugat
sebagai berikut:
saja;

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 145

jurnal agustus isi.indd 145 9/22/2014 9:41:14 AM


f. Bahwa penyebab lain tidak rukunnya komunikasi, namun masalah cekcok
penggugat dengan tergugat yaitu saksi belum pernah melihat sendiri,
tergugat pernah selingkuh dengan hanya pengaduan dari penggugat saja;
perempuan lain; Ceritanya tergugat
e. Bahwa penggugat sering telepon
pernah kecelakaan oleh mesin di
begitu juga ibunya penggugat, tapi
pabriknya, lalu dirawat di rumah sakit,
telepon oleh tergugat tidak pernah
waktu itu saksi dilarang oleh tergugat
diangkat dan sekalipun ada pulang,
menengok di atas jam 6 malam, dan
tergugat datang malam dan paginya
saksi tanda tanya, lalu saksi menengok
sudah berangkat lagi.
jam 9 malam datang ke rumah sakit,
ketuk pintu dan saksi masuk ternyata Demikian keterangan saksi yang diajukan
di dalam kamar itu ada seorang penggugat. Sedangkan keterangan saksi yang
perempuan bernama PEREMPUAN, diajukan tergugat sebagai berikut:
orang Telukjambe;
1. Saksi I, umur 72 tahun, agama Islam,
g. Penggugat cerita kepada saksi bahwa pekerjaan pegawai swasta, bertempat tinggal
memang tergugat setiap hari pulang di Kota Bandung:
tapi tidak pernah komunikasi, jadi
a. Bahwa saksi kenal dengan tergugat
rumah tangganya tidak normal.
bernama tergugat asli karena saksi
2. Saksi II, umur 46 tahun, agama Islam, sebagai ayah kandungnya, tergugat
pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal di anak ke-5 dari tujuh bersaudara; saksi
Kabupaten Karawang: juga kenal dengan penggugat bernama
penggugat asli, sebagai menantu;
a. Bahwa saksi kenal dengan penggugat
bernama penggugat asli karena saksi b. Bahwa tergugat menikah dengan
sebagai kakaknya, juga kenal dengan penggugat atas dasar suka sama suka,
tergugat bernama tergugat asli, tidak dijodohkan dan orang tua hanya
suaminya penggugat; merestui saja;

b. Bahwa pada waktu penggugat dengan c. Bahwa penggugat dengan tergugat


tergugat menikah saksi tahu dan hadir sudah mempunyai anak 3 orang yang
yang dilangsungkan di Karawang pada bernama: 1. Anak I; 2. Anak II; dan 3.
tahun 1996; Anak III dan sampai sekarang mereka
masih satu rumah;
c. Bahwa penggugat sering mengeluh
kepada saksi mengenai sikap tergugat, d. Bahwa keadaan rumah tangganya yang
waktu saksi ke Bandung juga dia saksi tahu mereka rukun-rukun saja,
pernah curhat sampai menangis; saksi tidak pernah melihat penggugat
dan tergugat bertengkar;
d. Bahwa yang dikeluhkan oleh penggugat
bahwa tergugat jarang pulang, jarang e. Bahwa setelah saksi mendengar

146 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 146 9/22/2014 9:41:14 AM


penggugat mengajukan gugatan cerai, Berdasarkan cuplikan keterangan saksi
saksi kaget, pas ditanya oleh saksi, dari penggugat dan tergugat di atas, nyatalah
penggugat ingin tergugat ngasih gaji bahwa saksi penggugat dan tergugat saling
kepada penggugat transparan; memberi keterangan bahwa antara penggugat dan
tergugat terjadi perselisihan dan pertengkaran.
f. Bahwa saksi selaku orang tua sudah
Namun demikian, jika ditelusuri keterangan
berusaha menasihati penggugat dan
para saksi nyatalah bahwa keterangan saksi itu
tergugat;
tidak diperoleh berdasarkan pengetahuan saksi
g. Bahwa tergugat dulu biasa pulangnya sendiri.
seminggu sekali, tapi sekarang tiap
Penulis tidak sependapat dengan putusan
hari pulang.
majelis hakim tingkat pertama dalam menilai
2. Saksi II, umur 57 tahun, agama Islam, alat bukti. Majelis hakim tingkat pertama menilai
pekerjaan karyawan swasta, bertempat bahwa keterangan saksi yang diberikan di dalam
tinggal di Kota Bandung: persidangan telah cukup bukti karena memenuhi
syarat formil dan materil kesaksian padahal
a. Bahwa saksi kenal dengan tergugat
berdasarkan atas berkas putusan, kedudukan
bernama tergugat asli, saksi sebagai
saksi hanya sebagai saksi testimonium de auditu
kakak iparnya; saksi dengan tergugat
yang tidak memiliki kekuatan pembuktian.
kenal sejak masih kecil, karena rumah
saksi terhalang satu rumah, sedangkan Kedua orang saksi tersebut di atas
dengan penggugat kenal sejak dia mengetahui adanya perselisihan antara penggugat
menikah dengan tergugat; dengan tergugat dan hanya mendengar dari
keluhan/curhat penggugat, bahkan saksi kedua
b. Bahwa saksi bertemu dengan tergugat
menyatakan tidak pernah melihat adanya
setiap hari Sabtu dan Minggu,
cekcok, yang demikian merupakan testimonium
kalau setiap harinya ketemu dengan
de auditu, menurut yurisprudensi, testimonium
penggugat dan anak-anaknya, karena
de auditu tidak dapat digunakan sebagai bukti
tergugat pada hari kerja, kerja di
langsung tetapi penggunaan kesaksian yang
Karawang berangkat pagi pulang
bersangkutan sebagai persangkaan yang dari
malam;
persangkaan itu dibuktikan sesuatu (Putusan
c. Bahwa selama ini saksi tidak pernah MARI No. 308 K/Sip./1973 tanggal 11 Nopember
melihat mereka bentrok/engga pernah 1959), sedangkan persangkaan saja yang tidak
bertengkar, kalau nengok anaknya didasarkan pada ketentuan undang-undang
yang sekolah di Cirebon juga biasa hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu
suka bareng; menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu
penting, seksama, tertentu, dan ada hubungannya
d. Bahwa saksi suka memberikan saran satu sama lain.
dan nasihat kadang dikala bercanda
kepada penggugat agar damai dengan Persoalannya, apakah dalam konteks
tergugat. hukum keluarga saksi yang tidak melihat dan

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 147

jurnal agustus isi.indd 147 9/22/2014 9:41:14 AM


menyaksikan sendiri tidak disebut kesaksian, lalu Saksi kedua AS bin AK (kakak ipar) antara lain
apakah ada saksi yang benar-benar menyaksikan menerangkan bahwa selama ini tidak pernah
perselisihan dan pertengkaran (seperti dalam melihat penggugat dan tergugat cekcok; kalau
kasus ini saksinya seorang ibu kandung, kakak menengok anaknya yang sekolah di Cirebon
ipar, ayah kandung) yang semuanya tidak biasanya penggugat dan tergugat suka bareng.
satu rumah, padahal para pihak secara materil
Dengan demikian, dapat disimpulkan
merasakan ada ketidakberesan di dalam rumah
bahwa dari keterangan dua orang saksi keluarga
tangganya. Atas perihal tersebut majelis hakim
tergugat/pembanding juga tidak nampak adanya
harus secermat mungkin menimbang fakta hukum
perselisihan yang serius antara penggugat/
yang tercantum juga dalam berita acara. Jika berita
terbanding dengan tergugat/pembanding, hanya
acara tidak lengkap atas keterangan saksi, maka
dapat diduga bahwa yang menjadi masalah adalah
majelis hakim pun akan tidak lengkap di dalam
penggugat/terbanding minta uang belanja total
memberikan penilaian terhadap para saksi.
sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
Perselisihan dan pertengkaran tidak dan minta dibelikan mobil. Dalam sebuah rumah
mungkin terjadi tanpa adanya sebab-sebab. tangga perselisihan semacam itu hal yang biasa
Penggugat yang dalam hal ini mendalilkan dan wajar-wajar saja. Karena itu tidak selayaknya
bahwa penyebab terjadinya perselisihan dan jika sampai terjadi perceraian.
pertengkaran karena tergugat bersikap kasar baik
Demikianlah, pembuktian terhadap saksi
ucapan maupun perbuatan, sering mengucapkan
yang diajukan kedua belah pihak dari sisi nilai
agar penggugat mengurus perceraiannya, dan
pembuktian. Sebuah alat bukti dapat dinilai
mengurangi uang belanja, ternyata tidak mampu
kekuatan pembuktiannya dalam beberapa
membuktikan dalil-dalilnya sehingga harus
kategori, yaitu bukti lemah,bukti sempurna, bukti
dinyatakan tidak terbukti. Dengan demikian apa
menentukan,bukti mengikat dan bukti permulaan
yang menjadi sebab-musabab perselisihan dan
(Syam, 2010: 2).
pertengkaran sesungguhnya tidak jelas.
Para saksi yang diajukan penggugat dan
Saksi-saksi keluarga dari pihak tergugat juga
tergugat sama-sama memiliki nilai bukti yang
telah didengar. Saksi pertama bernama Drs. DS
lemah karena kekurangsempurnaan para saksi
bin MP (ayah kandung) antara lain menerangkan
membuat argumen tentang telah terjadinya fakta
bahwa setahu saksi rumah tangga penggugat dan
hukum berupa perselisihan dan percekcokan di
tergugat rukun-rukun saja tak pernah melihat
antara suami istri, sehingga tidak ditemukan:
mereka bertengkar; tergugat memberi belanja
kepada penggugat sebesar Rp.5.000.000,- (lima 1. Bukti tentang adanya perselisihan dan
juta rupiah) setiap bulan selain untuk keperluan pertengkaran, serta bentuk perselisihan dan
dapur, tetapi penggugat minta uang berlanja pertengkaran itu.
setiap bulan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta
2. Bukti sebab-sebab perselisihan dan
rupiah) diserahkan kepada penggugat; tergugat
pertengkaran.
dulu pulang kerja setiap minggu sekali, sekarang
setiap hari; segala keperluan dipenuhi, kecuali 3. Bukti perselisihan dan pertengkaran itu
permintaan penggugat untuk dibelikan mobil.

148 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 148 9/22/2014 9:41:14 AM


benar-benar berpengaruh dan prinsipil bagi undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim
keutuhan kehidupan suami istri. pada waktu menjatuhkan putusannya apabila
persangkaan itu penting, seksama, tertentu, dan
4. Bukti keterangan yang memadai dari saksi-
ada hubungannya satu sama lain.
saksi yang berasal dari keluarga atau orang-
orang yang dekat dengan suami istri. Terlepas dari diskursus di kalangan
para akademisi dan para praktisi mengenai
5. Bukti adanya harapan akan hidup rukun
eksistensi testimonium de auditu dalam ranah
lagi dalam rumah tangga.
hukum perdata, satu hal yang harus diperhatikan
Dengan demikian, alat bukti saksi yang bahwasanya tujuan dan fungsi peradilan adalah
diajukan kedua belah pihak sah secara hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to
karena memenuhi unsur formil kesaksian, namun enforce the truht and justice), sedangkan hakim
penilaian majelis hakim terhadap keterangan dalam proses peradilan tidak boleh berperan
saksi yang tidak mampu memberikan kesaksian mengidentikkan kebenaran dan keadilan sama
secara materil atas apa yang dilihat mengenai dengan rumusan peraturan perundang-undangan
perselisihan dan percekcokan yang terus menerus dan hakim tidak berperan sekadar seperti makhluk
sebagai testimonium de auditu yang pantas jika tak berjiwa (antre anemimes). Oleh karenanya
tidak dipertimbangkan. Keterangan saksi dalam terhadap keterangan saksi de auditu sesungguhnya
perkara perceraian yang bernilai kurang sempurna tidak otomatis harus ditolak sebagai alat bukti,
tidak dapat dijadikan kekuatan bukti sempurna permasalahannya adalah bukan mengenai ditolak
bagi hakim sekalipun dalam sengketa keluarga atau diterimanya testimonium de auditu sebagai
sulit sekali melihat dengan jelas apakah suami alat bukti.
istri tersebut nyata-nyata terjadi perselisihan dan
Sikap yang tepat adalah diterima saja
percekcokan di antara keduanya. Dari sisi inilah,
dulu, baru kemudian dipertimbangkan dengan
kesimpulan hakim di dalam memeriksa fakta
menganalisis apakah ada dasar eksepsional untuk
hukum benar-benar diuji, apakah hakim meyakini
menerimanya, kalau ada baru dipertimbangkan
saksi tersebut melihat (auditu) atau saksi tidak
sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan
melihatnya (de auditu).
pembuktiannya yang melekat pada keterangan
Rumusan masalah kedua dalam penelitian saksi de auditu tersebut. Di dalam khazanah
ini mengenai landasan yuridis saksi de auditu. peradilan Islam telah dikenal dengan apa yang
Landasan yuridis tentang saksi testimonium disebut syahadah al istifadhah atau kesaksian
de auditu dapat dilacak dalam yurisprudensi bersifat muanan yakni kesaksian yang didapat
Mahkamah Agung. Menurut yurisprudensi, dari orang lain (Bastary, 2012: 1). Dalam hukum
testimonium de auditu tidak dapat digunakan acara perdata disebut dengan testimonium de
sebagai bukti langsung tetapi penggunaan auditu.
kesaksian yang bersangkutan sebagai persangkaan
Berkenaan dengan yurisprudensi mengenai
yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu
testimonium de auditu telah banyak para pakar
(Putusan MARI No. 308 K/Sip./1973 tanggal 11
hukum perdata yang memperkarakan apakah
Nopember 1959), sedangkan persangkaan saja
testimonium de auditu dapat dipertimbangkan
yang tidak didasarkan pada ketentuan undang-

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 149

jurnal agustus isi.indd 149 9/22/2014 9:41:14 AM


sebagai saksi atau tidak. Pemikiran pertama keterangan dan pengetahuan majelis hakim
adalah mereka yang menolak atau tidak menerima sendiri pesan-pesan seperti itu oleh masyarakat
kesaksian de auditu sebagai alat bukti, merupakan tertentu pada umumnya secara adat dianggap
aturan umum yang masih kuat dianut para praktisi berlaku dan benar.
sampai sekarang. Saksi yang tidak mendasarkan
Walaupun demikian hal itu harus
keterangannya dari sumber pengetahuan
diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut
sebagaimana yang digariskan Pasal 171 ayat
orang yang memberi keterangan harus orang yang
(1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata
menerima langsung pesan. Ternyata masalah
tidak diterima (inadmissable) sebagai alat bukti.
tersebut telah terpenuhi di mana orang yang
Demikian pula menurut Sudikno pada umumnya
menerangkan pesan di dalam majelis persidangan
kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena
pengadilan adalah orang yang langsung menerima
keterangan itu tidak berhubungan dengan
pesan.
peristiwa yang dialami sendiri sehingga saksi
de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak Kedua, testimonium de auditu tidak
perlu dipertimbangkan. digunakan sebagai alat bukti langsung tetapi
kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai
Bagi kalangan yang memperkenankan saksi
alat bukti persangkaan (vermoeden) dengan
testimonium de auditu, para praktisi sudah ada
pertimbangan yang objektif dan rasional dan
penerimaan bahwa saksi testimonium de auditu
persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk
dapat dipakai sebagai alat bukti dengan beragam
membuktikan sesuatu. Sebagaimana terlihat
bentuk penerapannya. Pertama testimonium de
pada putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/
auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri
Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Sesung
sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa
guhnya putusan ini tetap berpegang pada aturan
memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de
umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai
auditu itu terdiri dari beberapa orang. Dalam
alat bukti, namun untuk menghindari larangan
putusan itu Mahkamah Agung membenarkan
tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai
testimonium de auditu dapat digunakan sebagai
alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat
alat bukti yang memenuhi syarat materil.
bukti persangkaan (vermoeden).
Hal ini terdapat dalam putusan Mahkamah
Ketiga, membenarkan testimonium de
Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November
auditu sebagai alat bukti untuk melengkapi batas
1975, keterangan saksi pada umumnya adalah
minimal unus testis nullus testis yang diberikan
menurut pesan, namun harus dipertimbangkan
seorang saksi. Demikian putusan Mahkamah
dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum
Agung Nomor 818 K/ Sip/1983 tanggal 13 Agustus
yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai
1984. Dalam putusan tersebut menyebutkan
surat, tetapi berdasarkan pesan turun-temurun,
testimonium de auditu sebagai keterangan yang
sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi
dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan
perbuatan hukum itu pada masa lalu sudah tidak
saksi biasa.
ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan
demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat Dalam kasus ini saksi yang langsung
diharapkan sebagai keterangan dan menurut ikut dalam transaksi jual beli hanya saksi

150 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 150 9/22/2014 9:41:14 AM


pertama, sedangkan saksi kedua dan ketiga diuraikan oleh saksi de auditu. Keterangan saksi
hanya berkualitas sebagai de auditu, akan tetapi de auditu juga tetap harus disesuaikan dengan
meskipun demikian ternyata dalam persidangan batas minimum pembuktian, artinya keterangan
keterangan yang mereka sampaikan merupakan saksi de auditu harus didukung dengan keterangan
hasil pengetahuan yang langsung bersumber saksi yang lain, keterangan ahli, surat atau
dari tergugat sendiri. Berdasarkan fakta tersebut keterangan terdakwa, agar hakim dapat menarik
Mahkamah Agung berpendapat keterangan petunjuk untuk memperoleh keyakinan perihal
mereka itu dapat dijadikan sebagai alat bukti yang terbukti/tidaknya terdakwa.
menguatkan keterangan seorang saksi (Sukri,
Mengingat akan hal tersebut, yang
2012: 10).
perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan
Menurut Munir Fuady (2012: 54), saksi pembuktian dalam perkara perceraian dengan
de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti, alasan pertengkaran dan perselisihan yang
namun hal tersebut sangat bergantung pada kasus terjadi secara terus menerus, adalah hal-hal
per kasus. Apabila ada alasan yang kuat untuk sebagai berikut:
mempercayai kebenaran dari saksi de auditu,
1. Bahwa peristiwa pertengkaran dalam rumah
misalnya keterangan tersebut dapat dimasukkan
tangga hanya dimungkinkan dibuktikan
ke dalam kelompok yang dikecualikan, saksi de
dengan bukti saksi (peristiwa pertengkaran
auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti.
tidak dimungkinkan dibuktikan dengan
Fokus utama dari dipakainya saksi de bukti surat/akta), sementara pada bukti saksi
auditu adalah sejauh mana dapat dipercaya melekat syarat formil dan materil yang salah
ucapan saksi yang tidak ke pengadilan. Jika satu syaratnya adalah keterangan saksi hanya
menurut hakim yang menyidangkannya ternyata terbatas mengenai peristiwa-peristiwa yang
keterangan saksi pihak ketiga tersebut cukup dialami sendiri oleh saksi atau dilihat sendiri
reasonable (beralasan), keterangan saksi itu oleh saksi atau didengar sendiri oleh saksi.
dapat diakui sebagai alat bukti tidak langsung, Di sisi lain peristiwa pertengkaran yang
yakni lewat alat bukti petunjuk. Jadi pada akan dibuktikan bukanlah peristiwa yang
dasarnya walaupun kesaksian de auditu (saksi terjadi sekali saja dan terjadi di satu tempat,
yang mendapat keterangan yang diberitahukan/ melainkan pertengkaran yang terjadi secara
diperoleh dari orang lain) dikecualikan dari berkesinambungan/secara terus menerus
keterangan saksi, tapi setidaknya dapat menjadi dan terjadi tanpa proses perencanaan. Secara
alat bukti petunjuk. logika sangat sulit terjadi ada seseorang yang
dapat melihat langsung seluruh rangkaian
Jikalau demikian berarti kesaksian de auditu
peristiwa pertengkaran demi pertengkaran
yang ditafsirkan sebagai petunjuk, kekuatan
yang terjadi dalam rumah tangga orang lain,
pembuktiannya sama dengan yang ditentukan
sehingga sangat sulit untuk mendatangkan
dalam KUHAP yaitu kekuatan pembuktiannya
saksi untuk membuktikannya. Lain halnya
bebas, tidak terikat. Hakim bebas menilainya
dengan peristiwa perdata lainnya misalnya
untuk menarik kesimpulan perihal kesalahan
peristiwa jual beli. Terhadap yang terakhir
terdakwa yang didasarkan pada keterangan yang
ini mudah saja dibuktikan dengan bukti

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 151

jurnal agustus isi.indd 151 9/22/2014 9:41:14 AM


saksi, karena peristiwa yang didalilkan itu dan materil. Namun dengan memperhatikan
adalah peristiwa yang terjadinya dalam satu keterangan saksi de auditu dapat dinyatakan
ruang dan waktu dan telah direncanakan bahwa kesaksian mengenai yang ia lihat, yang
sebelumnya, terlebih lagi bahwa dalam jual ia tahu dan yang ia dengar tidak sempurna.
beli, para pihak yang terlibat di dalamnya Mereka hanya mendengar semua kesaksian
pada umumnya sengaja membuat surat/akta itu dari penggugat dan tergugat. Mereka
mengenai terjadinya peristiwa jual beli itu, tidak menyaksikan peristiwa perselisihan dan
baik itu berupa akta otentik maupun akta pertengkaran itu melalui mata dan telinganya
bawah tangan, sehingga bila terjadi sengketa, langsung. Dengan demikian mereka kurang
peristiwa tersebut sangat dimungkinkan sempurna memenuhi unsur materil kesaksian.
dibuktikan dengan bukti surat;
Walaupun tidak sempurna, adalah sulit
2. Sudah merupakan pengetahuan umum mencari seorang saksi yang bisa menyaksikan
bahwa sangat kecil kemungkinan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
sepasang suami istri mau bertengkar di antara suami istri secara langsung. Ia hanya
depan orang lain. Apabila pertengkaran mendengar dari keluhan atau curhat penggugat dan
antara suami istri disaksikan oleh orang tergugat. Oleh karena itu semua nilai keterangan
lain akan mengakibatkan malu (aib) bagi saksi diserahkan kepada majelis hakim, apakah
suami istri yang bertengkar itu, sehingga sempurna atau lemah. Penulis berkeyakinan
pada umumnya suami istri yang bertengkar bahwa secara objektif saksi tidak tahu yang
tersebut sengaja tidak menampakkan/ sebenarnya, tetapi secara subjektif mereka tahu
tidak mempertontonkan pertengkarannya dari keterangan penggugat atau sempurna.
dan bahkan berusaha menutup-nutupi
Putusan majelis hakim PA Karawang
pertengkaran yang terjadi dalam rumah
kemudian diajukan banding, majelis banding
tangganya agar tidak diketahui oleh
telah menilai bahwa oleh karena keterangan
orang lain. Peristiwa pertengkaran dalam
para saksi testimonium de auditu tidak perlu
rumah tangga sangat sulit diketahui secara
dipertimbangkan, maka majelis banding menilai
langsung oleh orang lain selain kedua belah
keterangan saksi itu lemah. Hal ini didasari oleh
pihak yang bersangkutan, sehingga untuk
ketentuan yang diatur dalam tata cara pemeriksaan
membuktikannya dengan saksi sangat
perkara perceraian dengan atas alasan Pasal 19
sulit. Lain halnya dengan peristiwa perdata
huruf f mengggunakan ketentuan yang tercantum
lainnya misalnya utang piutang di mana
dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 ayat (2)
kedua belah pihak sengaja memanggil atau
dan Pasal 134 KHI. Dalam pasal tersebut dinyata
mengundang orang lain untuk menyaksikan
kan:
perbuatan hukum yang dilakukannya itu.
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut
Atas keterangan saksi tersebut majelis
dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada
hakim telah menilai bahwa keterangan saksi dari
pengadilan di tempat kediaman tergugat.
pengugat dan tergugat cukup memenuhi kekuatan
pembuktian sempurna, artinya bahwa mereka 2. Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat
telah memenuhi unsur kesaksian secara formil diterima apabila telah cukup jelas bagi

152 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 152 9/22/2014 9:41:15 AM


pengadilan mengenai sebab-sebab Amar putusan yang dibuat oleh majelis
perselisihan dan pertengkaran itu dan hakim tingkat banding telah melalui proses
setelah mendengar pihak keluarga serta panjang mulai dari memeriksa administrasi
orang-orang yang dekat dengan suami istri perkara pada tingkat banding, memeriksa syarat-
itu. syarat formil permohonan banding, memeriksa
syarat formil perkara pada tingkat pertama,
Dalam penjelasan ayat (2) pasal tersebut
memeriksa dan merumuskan jenis dan pokok
dijelaskan sebab-sebab perselisihan dan
perkara, memeriksa upaya damai hakim tingkat
pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan
pertama (termasuk proses mediasi), memeriksa
oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan
eksepsi, memeriksa petitum, memeriksa posita,
prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri. Ruh
memeriksa alat-alat bukti, memeriksa fakta-
dari pasal tersebut dalam pemeriksaan perkara
fakta hukum, mempertimbangkan hubungan
perceraian oleh hakim harus dapat dibuktikan
pihak-pihak dalam perkara, posita, dan petitum,
dan diyakini bahwa telah ada perselisihan dan
mempertimbangkan hukum masing-masing
pertengkaran serta bentuknya di antara suami
petitum, mempertimbangkan ulang pertimbangan
istri, diketahui dan diyakini penyebab perselisihan
hakim tingkat pertama, mempertimbangkan
dan pertengkaran, siapa penyebabnya dan antara
ulang amar putusan hakim tingkat pertama,
suami istri tersebut benar-benar tidak ada harapan
membuat kesimpulan akhir hasil pemeriksaan
lagi akan hidup rukun kembali dalam rumah
ulang, mempertimbangkan biaya perkara dan
tangga.
mengambil keputusan (membuat putusan).
Semua keadaan itu harus pula diperkuat
Dalam amar putusannya majelis tingkat
dengan keterangan saksi untuk memberikan
banding akhirnya membatalkan putusan
pembuktian kepada hakim sebagaimana tuntutan
pengadilan tingkat pertama dan menolak gugatan
Pasal 22 ayat (2). Atas pertimbangan ini majelis
penggugat. Amar putusan hakim tersebut
hakim setelah memeriksa keterangan para saksi
telah sesuai dengan filosofi dasar hukum yang
tidak terbukti, maka majelis hakim akhirnya
digunakan majelis hakim.
memutuskan untuk membatalkan putusan
pengadilan tingkat pertama dan menolak gugatan Dengan lahirnya putusan tingkat banding
penggugat. yang membatalkan dan menolak gugatan
penggugat, putusan pengadilan tingkat banding
Majelis hakim tingkat banding
kemudian berfungsi menggantikan putusan
membuat amar putusan sesuai dengan apa
pengadilan tingkat pertama. Dengan adanya
yang telah dipertimbangkan, dalam hal ini
putusan banding, maka putusan tingkat pertama
mempertimbangkan kualitas kesaksian. Amar
tidak berlaku lagi. Putusan pengadilan agama
putusan pada tingkat banding terdiri atas
yang dibatalkan oleh pengadilan tinggi agama
tiga bagian, yaitu amar tentang diterimanya
karena salah satu alasannya adalah karena putusan
permohonan banding, amar tentang pokok
pengadilan tingkat pertama tidak berdasarkan
perkara sebagai wujud pengadilan ulang atas apa
fakta.
yang telah diputuskan oleh PA, dan amar tentang
biaya perkara.

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 153

jurnal agustus isi.indd 153 9/22/2014 9:41:15 AM


Dengan uraian di atas menunjukkan bahwa syarat formil dan materil kesaksian. Berbeda
penilaian hakim terhadap saksi dalam perkara halnya pada putusan Nomor 16/Pdt.G/2012/
perceraian apakah berkualitas auditu atau de PTA.Bdg, dalam pertimbangannya majelis hakim
auditu sangat mungkin terjadi bias dan subjektif banding menilai keterangan saksi yang diajukan
di antara para hakim. Oleh karena itu, perlu adalah de auditu sehingga gugatan penggugat
dicarikan rumusan dan kriteria yang mendekati tidak terbukti.
kepada nilai kebenaran informasi yang dibawa
Landasan yuridis mengenai keterangan
oleh saksi oleh majelis hakim, misalnya majelis
saksi de auditu dalam perkara perceraian yang
hakim perlu benar-benar meyakini bahwa
dapat dijadikan pertimbangan sebagai saksi
apakah telah bisa dibuktikan perselisihan dan
yang memiliki kekuatan nilai pembuktian
pertengkaran itu berdasarkan keterangan saksi
bersumber dari yurisprudensi Mahkamah Agung.
serta bentuknya di antara suami istri, sebab-sebab
Menurut yurisprudensi, testimonium de auditu
apa saja yang melatarbelakangi perselisihan
tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung
dan pertengkaran itu, apakah perselisihan dan
tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan
pertengkaran itu benar-benar berpengaruh secara
sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu
prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri,
dibuktikan sesuatu (Putusan MARI No. 308 K/
apakah keterangan dari saksi-saksi yang berasal
Sip./1973 tanggal 11 Nopember 1959).
dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan
suami istri telah sesuai dengan posita dan fakta
hukum yang diajukan oleh masing-masing pihak
dan apakah ada kemungkinan bagi suami istri
untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Berdasarkan patokan inilah nampaknya DAFTAR PUSTAKA


majelis hakim dapat mengambil kesimpulan atas
perkara yang diajukan oleh masing-masing pihak Anonymous. 2009. Kamus Besar Bahasa
mengenai perlu tidaknya suatu gugatan perceraian Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
dikabulkan atau ditolak. _________. 2011. Risalah Sidang Perkara Nomor
38 PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU
V. SIMPULAN Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terhadap UUD 1945. Jakarta: Mahkamah
Berdasarkan uraian di atas dapat
Konstusi.
dikemukakan beberapa kesimpulan untuk
menjawab uraian masalah tentang nilai _________. 2012. Statistik Perkara di Pengadiilan
pembuktian dan landasan yuridis saksi de auditu. Agama Tahun 2011-2012. www.badilag.net.
Keterangan saksi de auditu perkara perceraian
Arto, A. Mukti. 2010. Praktik Perkara Perkara
dalam putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw
Perdata Pada Pengadilan Agama.
memiliki nilai pembuktian karena majelis hakim
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
tingkat pertama menilai keterangan saksi yang
diberikan di dalam persidangan telah memenuhi Azizi, Wawan Nur. 2012. Pembuktian Perkara

154 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 137 - 155

jurnal agustus isi.indd 154 9/22/2014 9:41:15 AM


Cerai Gugat dengan Alasan Perselisihan dan Why Not? www.badilag.net.
Pertengkaran Terus Menerus di Pengadilan
Syam, Marjohan. 2010. Pembuktian dalam Proses
Agama Sukoharjo. Artikel dalam Jurnal
Perdata. www.pta-yogyakarta.go.id.
Fakultas Hukum UNS.

Bastary, M. Luqmanul Hakim. 2012. Sedikit


tentang Pembuktian dalam Hukum Acara
Perdata. http://www.pta-banten.go.id.

Bintania, Aris. 2012. Hukum Acara Peradilan


Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha.
Jakarta: Rajawali Pers.

Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian


(Pidana dan Perdata). Bandung: PT Citra
Aditya Bhakti.

Harahap, M. Yahya. 2010. Hukum Acara Perdata


tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan.
Jakarta: Sinar Grafika.

Hasim. 2013. Problematika Undang-Undang No.


7 Tahun 1989 (Sorotan atas Pasal 54 dan
Pasal 76). Akses 17 Januari 2014. www.
badilag.net.

Mujahidin, Ahmad. 2012. Pembaharuan Hukum


Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format
Formulir Berperkara. Bogor: Ghalia
Indonesia.

Sudono. 2011. Sensitivitas Hakim dalam


Menginterpretasikan Alasan Perceraian.
Akses 19 Mei 2013. http://www.pa-
lumajang.go.id.

Sukri, Muntasir. (t.t). Menimbang Ulang Saksi


De Auditu Sebagai Alat Bukti (Pendekatan
Praktik Yurisprudensi dalam Sistem Civil
Law). Akses 17 Mei 2013. www.badilag.
net.

Sukri, Muntasir. 2012. Testimonium de Auditu,

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu dalam Perkara Perceraian (Ramdani Wahyu Sururie) | 155

jurnal agustus isi.indd 155 9/22/2014 9:41:15 AM


jurnal agustus isi.indd 156 9/22/2014 9:41:15 AM
KEPAILITAN DALAM PUTUSAN HAKIM DITINJAU
DARI PERSPEKTIF HUKUM FORMIL DAN MATERIL
Kajian Putusan Nomor 02/Pailit/2012/PN.SMG dan Nomor 522K/Pdt.Sus/2012

THE ISSUE OF BANKRUPTCY IN JUDGES DECISION


THROUGH THE PERSPECTIVE OF PROCEDURAL
AND SUBSTANTIVE LAW
An Analysis of Decision Number 02/Pailit/2012/PN.SMG and Number 522K/Pdt.Sus/2012

Bambang Pratama
Ketua Umum Asosiasi Dosen Entrepreneurship Indonesia (ADEI)
Puri Botanical Residence Blok H9/9 Jl. Joglo Raya, Joglo, Kembangan, Jakarta Barat
E-mail: bptama@gmail.com

Naskah diterima: 21 Juni 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

ABSTRAK akhir. Penelitian ini setidaknya menemukan empat hal


menarik dalam penerapan undang-undang kepailitan.
Ruh dari undang-undang kepailitan adalah asas
Pertama, permohonan kepailitan yang diajukan ke
kelangsungan usaha, di mana putusan pailit merupakan
pengadilan niaga tidak melewati pengujian cash flow
ultimum remedium. Beberapa putusan pailit menjadi
test dan balanced sheet test, sehingga pembuktiannya
kontroversial karena keadaan keuangan debitor secara
di pengadilan hanya mengandalkan pada pembuktian
materil solven tetapi secara formil insolvensi. Isu kepailitan
sederhana sesuai Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang
menarik untuk dibahas karena beban pembuktian dalam
Kepailitan. Kedua, adanya iktikad buruk dari kreditor
prmohonan pailit di pengadilan menurut undang-undang
untuk menguasai aset debitor melalui permohonan pailit.
kepailitan menggunakan pembuktian sederhana. Tulisan
Ketiga, tidak disertakannya Comanditaire Venotshcaap
ini akan mengulas masalah kepailitan yang diputus
(CV) sebagai subjek hukum pailit. Keempat, putusan
oleh Pengadilan Niaga Semarang dan Mahkamah
pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang melewati batas
Agung ditinjau dari aspek hukum materil dan hukum
waktu ketentuan formil undang-undang kepailitan.
formil. Dengan meneliti konsistensi dan pertimbangan
hukum putusan hakim pada kasus ini, maka diharapkan Kata kunci: debitor, kreditor, kepailitan, insolvensi.
memperoleh gambaran penerapan undang-undang
kepailitan secara das sollen-sein. Metode penelitian ABSTRACT
yang digunakan yaitu metode penelitian hukum doktrinal The spirit of Bankruptcy Law is business sustainability,
dengan tujuan mengkaji koherensi pertimbangan hukum which means that the decision of bankruptcy is ultimum
antara judex factie dan judex juris pada kasus yang remedium. Some bankruptcy decisions are controversial
sama. Alasan pemilihan kasus kepailitan ini dibatasi because the debtors financial condition is materially
pada bank sebagai pemohon pailit atas pertimbangan solvent but is formally insolvent. Hence, this issue is
bahwa sudah memiliki sistem dan mekanisme utang- interesting to discuss because the court only relies on
piutang yang terpercaya. Atas asumsi tersebut maka formal compliance through simple argumentation to
secara hipotetis dapat dikatakan permohonan pailit oleh determine whether the subject is solvent or not. This
bank kepada debitornya merupakan keputusan paling paper reviews a bankruptcy case of the Commercial

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 157

jurnal agustus isi.indd 157 9/22/2014 9:41:15 AM


Court of Semarang and the Supreme Court within Law. First, bankruptcy application submitted to the
the perspective of substantive and procedural law. By Commercial Court without passing cash flow test and
observing the consistency of judges considerations balanced sheet test. As the consequence, the court relies
on this case, it is expected to generate a description only on the straightforward argumentation as stated on
of bankruptcy application in das sollen-sein. This Article 8, paragraph (4) of the Bankruptcy Law. Second,
research deploys doctrinal method in a thorough study there seems to be a bad intention of the creditor to
to demonstrate the coherency between judex factie and gain control over debtor assets through the bankruptcy
judex jurist of the same case. The study is partially to application. Third, Comanditaire Venotschaap (CV) as
the bank as bankruptcy applicant on consideration a legal entity is ruled out as the subject of bankruptcy
that the bank has a reliable system in debt mechanism. law. Fourth, bankruptcy decision by Commercial Court
Hypothetically it can be argued that the bankruptcy of Semarang has violated the procedural time limit as
application submitted by bank towards its debtor is stipulated on the Bankruptcy Law.
ultimum remedium. There are four thought-provoking
Keywords: debtor, creditor, bankrupt, insolvency.
findings in the application of Indonesian Bankruptcy

I. PENDAHULUAN Jika membandingkan unsur kepailitan dengan


negara-negara lain yang mencantumkan nominal
Penjatuhan putusan pailit oleh pengadilan
utang seperti di Singapura dan Hongkong yang
niaga sering kali diperdebatkan oleh kalangan
mencantumkan nilai minimal utang, agaknya
pakar hukum karena ada anggapan penerapan
menjadi jumlah nominal utang penting untuk
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
diatur agar tidak terjadi permohonan pailit
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
dengan nilai utang yang lebih kecil dari aset yang
Utang (selanjutnya disingkat menjadi UU-
dimiliki debitor. Pengaturan kepailitan di Amerika
KPKPU) mencederai asas kelangsungan usaha
Serikat selain pencantuman nilai minimal utang
yang menjadi ruh dari undang-undang kepailitan.
ketentuan jumlah kreditor juga disyaratkan, yaitu
Meski substansi kepailitan pada prinsipnya
minimal 12 atau lebih (Sunarmi, 2004: 9-11).
masih berputar-putar pada perbedaan pemaknaan
Dengan penentuan unsur-unsur kepailitan yang
atas sejumlah ketentuan (Zulaika, 2003: 49-
tidak sederhana maka filosofi kelangsungan usaha
84). Secara materil perbedaan pendapat yang
tercermin ke dalam uraian pasal-pasal di dalam
mencolok terletak pada unsur-unsur kepailitan
undang-undang kepailitan sehingga putusan
dalam Pasal 2 dan secara formil pada pembuktian
kepailitan menjadi ultimum remedium.
sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU-KPKPU.
Dalam hukum kepailitan konsep utang
Kelemahan undang-undang kepailitan
seringkali dipandang sebagai raison detre bagi
lainnya adalah tidak dicantumkannya jumlah
terjadinya kepailitan (Shubhan, 2008: 34-35)
kreditor minimal dan nilai minimal nominal
yang kemudian membawa pada klaim penagihan
utang. Bahkan asas kepatutan atas nilai minimal
atau right to payment (Syahdeni, 2002: 105).
nominal utang juga tidak diatur di dalam undang-
Unsur penting dalam hukum kepailitan yang
undang sehingga tidak mengherankan jika ada
harus diperhatikan adalah derajat insolvensi dan
putusan-putusan kepailitan menjadi kontroversial.
untuk menentukan pailit parameter pengujiannya

158 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 158 9/22/2014 9:41:15 AM


harus jelas. Oleh sebab itu permohonan pailit pemohon pailit. Beberapa isu kompleks yang
seharusnya melewati pengujian cash flow terlebih dapat diidentifikasikan dalam putusan ini antara
dahulu. Mengambil contoh pengaturan kepailitan lain: (1) surat konfirmasi dari Bank UOB yang
di Rusia misalnya, sebelum debitor dipailitkan menerangkan bahwa debitor memiliki utang,
ada tahapan yang harus dilalui, yaitu: supervision, tetapi tidak dijelaskan berapa nilai utangnya.
financial rehabilitation, external administration, Celakanya, kuasa hukum termohon pailit
liquidation, dan amicable arrengement (Lovells, berargumentasi bahwa surat konfirmasi tersebut
2011: 3) sehingga justifikasi insolvensi memiliki didapat dengan cara melawan hukum, (2) tidak
landasan bukti yang kuat. disertakannya CV. MPP sebagai subjek hukum
dalam permohonan pailit, dan (3) adanya
Sebelum UU-KPKPU tahun 2004 disahkan
perjanjian utang-piutang berupa hak tanggungan
diskursus kepailitan terletak pada penafsiran
dan fidusia yang diklaim dalam permohonan
konsep utang yang ditafsirkan secara restriktif
pailit. Padahal dalam ketentuan hak tanggungan
atau ekstentif. Pada saat ini (pasca tahun 2004)
dan fidusia pemegang objek hak tanggungan dapat
diskursus kepalitan pada umumnya lebih terfokus
menjual objek yang dikuasainya apabila debitor
pada pemenuhan unsur-unsur kepailitan. Putusan
tidak dapat membayar tanpa harus memohonkan
pailit PT. Telkomsel tahun 2012 yang diputus oleh
pailit, (4) adanya iktikad buruk dari kreditor untuk
pengadilan niaga Jakarta merupakan salah satu
menguasai harta debitor dengan menggunakan
putusan yang kontroversial karena nilai utang
sarana kepailitan.
PT. Telkomsel lebih kecil daripada nilai aset
yang dimilikinya. Perkara ini di tingkat banding Metode penelitian yang digunakan dalam
kemudian dibatalkan oleh Putusan Mahkamah penulisan ini adalah metode penelitian hukum
Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012. Pada kasus ini yuridis normatif atau metode penelitian doktrinal
disinyalir ada faktor lain yang menjadi celah dari (Wignjosoebroto, 2011: 121-122). Metode
undang-undang kepailitan (Brantingham, 1985: penelitian ini digunakan untuk memahami teori
281-305) yaitu besaran fee kurator yang nilainya di balik undang-undang kepailitan (Razak,
minimal 6% dari nilai aset debitor merujuk pada 2009:10). Bahan hukum yang digunakan
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1 Tahun (Soekanto, 1984: 47-48) adalah putusan
2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengadilan Niaga Semarang No. 02/Pailit/2012/
Pengurus. Ada kemungkinan kurator dalam kasus PN.SMG dan Putusan Mahkamah Agung No.
kepailitan PT. Telkomsel adalah para rent seeker 522 K/ Pdt.Sus/2012. Pendekatan penelitian
(pencari rente) yang bermain dalam rangkaian yang dilakukan adalah deskriptif analitis, yaitu
proses kepailitan (Roe & Tung, 2013: 1237). mengkaji koherensi pertimbangan hukum antara
judex factie dan judex jurist.
Tulisan ini mengulas putusan kepailitan
yang diputus oleh pengadilan niaga Semarang Teknik analisis data yang dilakukan
No. 02/Pailit/2012/PN.SMG dan putusan pertama; pemilihan sampel penelitian dilakukan
Mahkamah Agung No. 522 K/ Pdt.Sus/2012 dengan cara mengunduh dari internet putusan
antara CV. Mahkota Mas Pratama (selanjutnya pengadilan niaga dan putusan Mahkamah Agung
disingkat CV. MMP) dengan pemiliknya yang dengan menyeleksi pemohon pailitnya adalah
bernama JD dan LEB melawan Bank BII sebagai bank. Kedua; kedua putusan kemudian dianalisis

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 159

jurnal agustus isi.indd 159 9/22/2014 9:41:15 AM


dan diteliti koherensi pertimbangan hukum dan antara Pengadilan Niaga Semarang No. 02/
putusannya. Ketiga; bertolak pada keadaan Pailit/2012/PN.Niaga.Smg dan Mahkamah
insolvensi kemudian dilakukan korespondensi Agung No. 522K/Pdt.Sus/2012?
antara aturan di dalam undang-undang yang
2. Bagaimana aspek hukum formil dan
seharusnya (sollen) dengan fakta yang senyatanya
hukum materil dalam pertimbangan hukum
(sein). Keempat; tahap ini merupakan bagian
putusan pailit antara dua putusan di atas?
terakhir untuk pengambilan kesimpulan apakah
dalam kasus kepailitan ini putusannya divergen
atau konvergen antara putusan pengadilan III. STUDI PUSTAKA
niaga dan putusan Mahkamah Agung dalam Terminologi kepailitan (bankrupt)
pertimbangan hukum dan putusannya. berkorelasi dengan kata insolvency, arti kata
Penelitian ini membatasi pembahasan ini dalam Blacks Law Dictionary adalah the
tentang kepailitan dengan pemohon pailitnya condition of being unable to pay debts as they fall
adalah bank. Alasan pemilihan bank sebagai due or in the ussual course of business (Garner,
pemohon pailit didasarkan pada asumsi bahwa 2009: 867). Apabila diterjemahkan secara bebas
bank merupakan lembaga keuangan terpercaya berarti keadaan di mana seseorang atau badan
yang sistem keuangannya dijaga oleh pemerintah hukum tidak mampu membayar utang mereka
(Caprio Jr. & Klingebiel, 1996: 2-3) di antaranya pada saat jatuh tempo. Terminologi inilah yang
dengan sistem interest rate (Schwartz, 2005: digunakan dalam undang-undang kepailitan
1207) sehingga resiko kerugian pada bank sangat Amerika Serikat yang mengatur bahwa sebuah
kecil (Rahman, Et. All, 2009: 190). Keterbatasan claim dapat membawa konsekuensi:
penelitian ini hanya dilakukan pada satu kasus (5) The term claim means
sehingga perbedaan pendapat tentang kepailitan
a. right to payment, whether or not
tidak dapat mewakili asumsi umum dalam such right is reduced to judgment,
menerapkan undang-undang kepailitan. Tetapi liquidated, unliquidated, fixed,
contingent, matured, unmatured,
temuan dalam penelitian ini sekurang-kurangnya disputed, undisputed, legal, equitable,
mampu menggambarkan bahwa penerapan secured, or unsecured; or
undang-undang kepailitan sarat dengan potensi b. right to an equitable remedy for
silang pendapat yang terkadang seringkali terjadi breach of performance if such
tanpa dilandasi argumen yang kuat dan cenderung breach gives rise to a right to
payment, whether or not such right
positivistik dalam menafsirkan undang-undang to an equitable remedy is reduced to
kepailitan. judgment, fixed, contingent, matured,
unmatured, disputed, undisputed,
secured, or unsecured.
II. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari terminologi klaim insolvensi,
Dari uraian di atas maka rumusan masalah keadaan ini dapat berujung pada putusan pailit.
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa insolvensi
tidak niscaya pailit karena keadaan insolvensi
1. Apakah terdapat koherensi dalam
bersifat kasuistis dan dipengaruhi oleh keadaan
pertimbangan hukum putusan kepailitan

160 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 160 9/22/2014 9:41:15 AM


eksternal debitor/suatu perusahaan (Levratto, (c) the cash flow test, which requires
2013: 4). Oleh sebab itu untuk menjawab apakah showing that the company is unable
to pay its debts as they fall due for
keadaan insolvensi dapat dipailitkan maka harus payment; and
diuji terlebih dahulu melalui cash flow test atau
(d) the balance sheet test, which
balanced test (Anisah, 2009: 37). Pengujian depends on showing that the value
atas keadaan insolvensi juga dikenal dengan of the companysassets is insufficient
sebutan solvency test. Terminologi solvency to meet its liabilities, including (for
certain statutory purposes) contingent
test sebenarnya merupakan istilah pengujian and prospective liabilities.
keadaan insolvensi yang umum digunakan di
Amerika Serikat, berbeda di negara-negara Artinya dalam setiap kasus kepailitan
Eropa yang mengenalnya dengan istilah capital- perlu ada pengujian tentang kebenaran atas
maintenence yang diambil dari konsensus derajat insolvensi dari debitor, secara prinsip
negara-negara Uni Eropa, di mana ketentuan ini UU-KPKPU sebenarnya mensyaratkan hal ini.
tertuang dalam Pasal 43 Council of the European Meski pada kenyataannya keadaan insolvensi
Communities Tahun 1976 (Arminger, 2013: debitor bisa saja disebabkan karena kesialan (bad
1-2). luck), ketidakjujuran, ataupun karena perbuatan
melawan hukum (Jackson, 1986: 13) sehingga
Pengukuran keadaan insolvensi yang banyak undang-undang kepailitan harus berperan
digunakan oleh perusahaan-perusahaan adalah menyelesaikan keadaan ini. Undang-undang
dengan menggunakan pendekatan kualitatif kepailitan setidaknya harus memiliki empat
dan kuantitatif, dengan cakupan parameter atribut dasar (Skeel Jr., 2014: 2222-2223), yaitu;
pengujian sekurang-kurangnya: industry risk, (1) sebagai restrukturisasi kewajiban debitor,
management risk, financial flexibility, credibility, (2) penyelesaian utang-piutangnya difasilitasi
competitiveness, operating risk, common oleh pemerintah, (3) mengatur hubungan antar
business performance analysis parameter, firm kreditor, dan (4) menunjuk subjek hukum secara
default parameter, reorganisation parameter, spesifik. Dalam kaitannya jenis kreditor, undang-
pricing, differentiation parameter, marketing undang kepailitan di Amerika Serikat membagi
parameter, delivery parameters, productivity jenis kreditor menjadi 6 jenis, yaitu: (1) super-
(Martin. et.al., 2014: 36-38). Bahkan dalam priority creditors; (2) priority creditors; (3)
perkembangan dewasa ini pengukuran tentang pari passu creditors; (4) subordinated creditors;
keadaan insolvensi sudah dikomputasikan, (5) equity shareholders; and (6) expropriated
sehingga dapat diprediksi dan lebih objektif. creditors (Wood, 2013: 96).

Ketentuan tentang kewajiban pengujian Undang-undang kepailitan di Indonesia


insolvensi dalam hukum kepailitan juga mengandung prinsip pari passu pro rate parte
digunakan di Irlandia, ketentuan ini diatur dalam
yang berarti harta kekayaan (pari pasu) yaitu
the Companies Acts 1963-2001, the Rules of
jaminan bersama untuk para kreditor dan
the Superior Courts, Ord 74 (SI 15/1986), dan
hasilnya harus dibagikan secara proporsional
yurisprudensinya yang berisi: (pro rate parte) di antara mereka, kecuali bagi
(3) There are two tests for establishing kreditor yang menurut undang-undang harus
insolvency:

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 161

jurnal agustus isi.indd 161 9/22/2014 9:41:15 AM


didahulukan. Prinsip-prinsip ini diatur dalam permohonan pailit diajukan maka badan usaha
Pasal 176 dan Pasal 189 ayat (4) KUHPerdata. tersebut dalam keadaan stay atau diam (Turak,
Pembagian jenis-jenis kreditor tersebut menurut 2014: 2195). Keadaan diam di sini berarti
(Hoff, 2000: 27) sejalan dengan penjelasan Pasal pengurusan operasional tidak lagi dilakukan oleh
2 ayat (1) UU-KPKPU yaitu; kreditor separatis pemilik, tetapi dilakukan oleh kurator.
(secured creditors), kreditor preferen (preferred
Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam
creditors) dan kreditor konkuren (unsecured
kepailitan adalah iktikad buruk yang tidak hanya
creditors). Dengan pembagian jenis kreditor ini
datang dari kreditor tetapi juga dari debitor.
maka kedudukan kreditor dijamin oleh undang-
Undang-undang kepailitan di Indonesia tidak
undang. Tujuan pembagian jenis-jenis kreditor
mengatur mengenai iktikad buruk debitor dan
agar para kreditor yang terbukti memiliki piutang
kreditor, kecuali dalam penjelasan ketentuan
pada debitor yang sama terhindar dari perebutan
umum UU-KPKPU. Berbeda dengan undang-
harta debitor (Sgard, 2009: 15). Khusus bagi
undang kepailitan di Amerika Serikat yang
kreditor separatis dan kreditor preferen dalam
secara spesifik mengaturnya, yaitu: property
mengajukan hak kepailitan mereka tidak
transferred, concealed, or removed with intent to
kehilangan hak agunannya, karena telah dijamin
hinder, delay, or defraud such entitys creditors
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
(11 U.S.C. 101 Definitions).
tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Dalam hal teori tentang hukum kepailitan
dan diatur juga pada Pasal 1150 sampai Pasal dari berbagai literatur yang didapat ternyata dua
1160 KUHPerdata. teori yang melandasinya, yaitu: (1) incentive
theory, dan (2) disstress theory. Pada incentive
Di balik prinsip pembalasan pada
theory, debitor yang memohonkan pailit jika
undang-undang kepailitan (debt collection
diputuskan pailit oleh pengadilan maka akan
principle) terdapat prinsip kelangsungan usaha
diberikan insentif untuk tetap menjalankan
jika usaha debitor dianggap prospektif untuk
usahanya. Berbeda dengan disstress theory
dilanjutkan (Jackson, 1986: 7). Prinsip inilah
seperti yang dianut Indonesia bahwa debitor yang
yang sesungguhnya menjadi ruh dari undang-
memohonkan pailit maka dianggap menyerahkan
undang kepailitan di Indonesia. Dengan
diri atas hartanya secara penuh untuk dibagikan
berpegangan pada prinsip kelangsungan usaha
kepada para kreditornya dengan meminta
maka seharusnya permohonan pailit merupakan
pemerintah agar dibebaskan dari kewajiban
opsi ultimum remedium. Oleh sebab itu untuk
membayar seluruh utangnya dengan penjatuhan
menjalankan prinsip kelangsungan usaha maka
putusan pailit (Heynes, 2006: 607). Dari kedua
diperlukan penafsiran hakim yang mendalam
teori ini yang menjadi perdebatan di kalangan
agar penjatuhan putusan pailit tidak terkesan
jurist terletak pada kebijakan yang diambil oleh
spekulatif dan asal-asalan. Hal ini memang logis,
negara. Oleh sebab itu pemilihan salah satu teori
karena permohonan pailit memiliki 2 konsekuensi,
bergantung pada politik hukum undang-undang
pertama: permohonan pailit bagi badan hukum
kepailitan yang dianut oleh masing-masing
memiliki pemisahan harta antara pemilik badan
negara (Heynes, 2006: 609-619).
hukum dengan harta badan hukum, kedua: ketika

162 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 162 9/22/2014 9:41:15 AM


Negara Uni Eropa dan Inggris menyebut para kreditor (Ayotte, 2013: 1564) dan putusan
kebijakan dalam menjalankan undang-undang permohonan pailit oleh hakim harus mengandung
kepailitan adalah alasan pemaaf atau forgiving. kebijakan praktikal (phronesis) (Bruckner, 2013:
Alasan ini dikarenakan undang-undang kepailitan 255).
di negara-negara itu bertujuan untuk meningkatkan
jumlah pegusaha (Armour & Cumming, 2008: IV. ANALISIS
304). Berbeda dengan tujuan undang-undang
kepailitan di Indonesia saat ini yang tidak jelas Pemohon pailit dalam putusan Pengadilan
tujuannya, karena pembentukannya hanya untuk Niaga Semarang No. 02/Pailit/2012/PN.Niaga.
merespon krisis ekonomi tahun 1998. Selain itu Smg dan Putusan Mahkamah Agung No. 522K/
ada juga pandangan yang mengatakan bahwa Pdt.Sus/2012 pemohon pailitnya adalah Bank
hukum kepailitan yang ada saat ini berada BII dengan termohon pailit I JD dan termohon
dalam dua kutub yang berbeda, yaitu rescue pailit II LEB, kedua termohon pailit ini adalah
culture untuk penyelamatan atau rehabilitasi pasangan suami-istri yang bertindak sebagai
debitor dan limited liability sebagai bentuk pengurus CV. MMP. Secara singkat putusan pailit
pertanggungjawaban debitor (Quinn, 2003: 63). pada Pengadilan Niaga Semarang dapat dirinci
Meski demikian pada prinsipnya tujuan hukum sebagai berikut: (liat tabel)
kepailitan tetap sama menjaga kepentingan

Maks. Sanksi Menurut UU Dipailitkan dengan segala akibat hukumnya


Bank BII:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan pailit;
Tuntutan Pemohon Pailit 2. Menyatakan termohon pailit berada dalam keadaan pailit dengan segala
akibat hukumnya;
3. Mengangkat Hakim Pengawas;
4. Mengangkat Kurator Wenang Noto Buwono, S.H., M.H. dan Muhammad
Dipa Yustiapa, S.H., M.Kn.
Dasar Hukum Penuntutan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) sampai dengan (4) UU No. 37 Tahun 2004
tentang KPKPU
1. Mengabulkan permohonan pernyataan pailit untuk seluruhnya;
2. Menyatakan termohon pailit dalam keadaan pailit dengan segala akibat
Bunyi Amar hukumnya;
Putusan Putusan 3. Mengangkat Hakim Pengawas Noor Ediyono, S.H., M.H.
Pengadilan 4. Mengangkat Kurator Wenang Noto Buwono, S.H., M.H. dan Muhammad
Niaga Dipa Yustiapa, S.H., M.Kn.
5. Menghukum termohon pailit untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.2.061.000,-
Sanksi Putusan Penjatuhan pailit kepada termohon pailit
1. Pemohon dapat membuktikan dirinya sebagai kreditor termohon I dan II;
2. Termohon I, II, dan III adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih
Pokok-pokok Pertimbangan kreditor;
Hakim 3. Tidak dibayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih.

Tabel 1. Putusan No. 02/Pailit/2012/PN.Niaga.Smg pada Pengadilan Niaga Semarang

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 163

jurnal agustus isi.indd 163 9/22/2014 9:41:15 AM


Pada putusan Mahkamah Agung rinciannya sebagai berikut:

Maks. Sanksi Menurut UU Dipailitkan dengan segala akibat hukumnya


JD dan LEB:
1. Putusan PN Semarang tidak sah dan melanggar Pasal 11 ayat (2) UU-
Tuntutan Pemohon Kasasi KPKPU.
2. Majelis Hakim PN Semarang salah dan keliru dalam penerapan hukum
karena tidak memasukkan CV. MMP sebagai subjek hukum.
3. Alat bukti surat dari Bank UOB cacat secara formil.
4. Majelis Hakim PN Semarang tidak mempertimbangkan utang yang memiliki
objek tanggungan.
5. Hakim PN Semarang telah salah dan keliru dalam penerapan hukum dengan
menyatakan somasi sebagai syarat permohonan pailit, seharusnya dapat
ditagih.
6. Utang pokok debitor adalah sesuai dengan yang diajukan awal oleh kreditor.
Dasar Hukum Penuntutan Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) sampai dengan (4) dan Pasal 11 ayat (2) UU No.
37 Tahun 2004 tentang KPKPU.
Bunyi Amar 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi I: JD dan pemohon
Putusan kasasi II: LEB.
Putusan 2. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Semarang.
Pengadilan 1. Menolak permohonan pernyataan pailit dari pemohon pailit untuk
Niaga Sanksi Putusan seluruhnya.
2. Menghukum termohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi sebesar lima juta rupiah.
1. Pengabulan permohonan pailit merupakan ultimum remedium dalam
Pokok-pokok Pertimbangan penyelesaian utang debitor kepada kreditor;
Hakim 2. Cara penyelesaian suatu utang-piutang yang telah diatur dalam sertifikat hak
tanggungan adalah pelelangan objek hak tanggungan;
3. Tanpa upaya pelelangan objek hak tanggungan maka permohonan pailit
sangat prematur;
4. Pengajuan pailit yang demikian merupakan iktikad buruk dari kreditor
karena bertujuan kematian perdata bagi debitor.

Tabel 2. Putusan No. 522K/Pdt.Sus/2012 pada Mahkamah Agung

A. Aspek Hukum Materil sayangnya majelis hakim pengadilan niaga dalam


pertimbangan hukumnya tidak memperhatikan
Titik tumpu permohonan pailit perkara
hal ini sama sekali, sehingga menimbulkan
ini tidak terlepas dari ketentuan Pasal 2 dan
kesan mengesampingkan fakta yang ada dan
Pasal 8 UU-KPKPU. Kedua pasal ini memang
hanya mengedepankan pemenuhan unsur materil
disampaikan sebagai dasar argumentasi oleh
semata.
pemohon pailit Bank BII. Tetapi jika mencermati
naskah putusan tentang keterangan perjanjian Kedudukan perjanjian fidusia dan hak
kredit yang ada, perjanjian utang-piutang yang tanggungan menjadi penting untuk diperhatikan
ada tidak seluruhnya perjanjian utang-piutang karena di dalam naskah putusan Pengadilan
biasa tetapi di dalamnya terdapat perjanjian Niaga Semarang disebutkan 2 buah perjanjian
hak tanggungan dan perjanjian fidusia. Kedua fidusia, yaitu stok barang bahan pembuat plastik
bentuk perjanjian tersebut pada dasarnya sudah dengan nilai utang kurang lebih Rp. 2 Milyar dan
memiliki pengaturannya masing-masing. Tetapi 2 buah perjanjian hak tanggungan. Merujuk pada

164 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 164 9/22/2014 9:41:15 AM


ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun factie. Sebaliknya dalam putusan judex juris
1996 tentang Hak Tanggungan, pengaturan tentang yang memasukkan hal ini sebagai salah satu
debitor gagal janji (wanprestasi) sudah diatur pertimbangan hukumnya. Pertimbangan hukum
dan aturan yang sama juga terdapat dalam Pasal dari Mahkamah Agung yang menarik adalah
15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun pendapatnya yang menyatakan bahwa ada iktikad
1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu: Apabila buruk dari kreditor yang bertujuan untuk kematian
debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyaiperdata debitor agar tidak berdaya menjalankan
hak untuk menjual benda yang menjadi objek usahanya. Pendapat Mahkamah ini menjadi
jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. menarik karena ternyata ada jenis permohonan
Anehnya hakim Pengadilan Niaga Semarang pailit oleh kreditor yang dapat dikategorikan
sama sekali tidak mempertimbangkan objek hak beriktikad buruk. Terlepas dari kebenaran formal
tanggungan dalam pertimbangan hukumnya. Hal atas putusan pailit, pendapat Mahkamah Agung
ini menimbulkan kesan hakim mengesampingkan menjadi menarik karena permohonan pailit
fakta yang ada. diajukan oleh bank tanpa berlandaskan analisis
keuangan yang cermat dan beriktikad buruk,
Hukum kepailitan mengadaptasi konsep
sehingga permohonan pailit oleh bank kepada
wanprestasi menjadi penundaan pembayaran.
debitornya seharusnya dapat dikategorikan
Athreya (2010) mengingatkan bahwa di
sebagai anomali hukum.
dalam situasi insolvensi ada situasi di mana
debitor dalam keadaan deliquency selain Pendapat Mahkamah Agung tentang
bankruptcy. Pembedaan ini dikarenakan iktikad buruk kreditor sayangnya tidak dielaborasi
deliquency merupakan penundaan pembayaran lebih mendalam. Padahal jika dijelaskan secara
akibat gagal janji (Athreya, 2010: 8) dan bisa lebih terperinci dalam pertimbangan hukum,
saja dalam beberapa waktu ke depan keadaan pendapat Mahkamah Agung tentang iktikad buruk
keuangan debitor membaik sehingga kembali kreditor dapat dijadikan preseden bagi putusan
lagi pada keadaan mampu membayar. Jika pailit yang akan datang. Membandingkan putusan
konsep delinquency dikaitkan dengan putusan judex factie dan judex juris terlihat secara kontras
kasus kepailitan yang diputus Pengadilan Niaga perbedaan pandangan antara keduanya. Putusan
Semarang, maka seharusnya bentuk perjanjian Pengadilan Niaga Semarang hanya mendasarkan
hak tanggungan diperhatikan oleh hakim atau putusannya pada pemenuhan unsur-unsur
sekurang-kurangnya tidak dimasukkan ke kepailitan semata tanpa menggali fakta-fakta
dalam unsur kepailitan. Salah satu alasan yang secara mendalam. Majelis hakim Mahkamah
fundamental karena dalam perjanjian fidusia dan Agung terlihat lebih memahami konsep hukum
hak tanggungan mekanisme gagal janji sudah dagang khususnya dalam hal utang-piutang dan
diatur yaitu dengan memberi kewenangan kepada kepailitan sehingga mampu menilai permohonan
kreditor untuk menjual objek yang dijadikan pailit yang diajukan oleh kreditor memiliki
jaminan tanpa harus memohon pailit. iktikad buruk. Meski putusan Mahkamah Agung
jika dipandang dari sisi positivistik terkesan
Meskipun perjanjian hak tanggungan ini
menyimpangi ketentuan undang-undang, tetapi
dibantah dalam eksepsi debitor, tetapi sayangnya
secara filosofis putusannya berpegangan pada
tidak dijadikan pertimbangan hukum oleh judex

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 165

jurnal agustus isi.indd 165 9/22/2014 9:41:15 AM


asas kelangsungan usaha dengan berpendapat Majelis hakim Pengadilan Niaga Semarang
bahwa putusan pailit merupakan upaya terakhir. juga tidak memahami pengertian insolvensi dari
permohonan pailit yang diajukan kepadanya.
Dalam hal pemenuhan unsur Pasal 2 UU-
Pemaknaan terhadap kata-kata Pasal 2 tidak
KPKPU Pengadilan Niaga Semarang tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang
mendalami fakta dan bukti. Dalam hal bukti adanya
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, bermakna
kreditor lain hakim tidak mempermasalahkan
agar pengguna undang-undang ketika membaca
keberadaan surat konfirmasi dari Bank UOB
ketentuan tidak dapat membayar adalah keadaan
yang menyatakan bahwa JD pernah memiliki
insolvensi sehingga harus berkorespondensi
utang. Naskah putusan tidak menjelaskan secara
pada cash flow dan balanced sheet debitor.
rinci berapa nilai utang yang dimiliki. Seharusnya
Bahkan menurut (Bal et.al., 2013: 5-6) dalam
hakim dapat menggali bukti lebih dalam karena
hal insolvensi setidaknya ada 24 parameter rasio
ada hal penting terkait bukti ini yaitu hubungan
finansial yang harus diujikan sebelum sebuah
hukum antara debitor dengan kreditor yang
perusahaan dipailitkan sehingga penentuan klaim
menjadi salah satu unsur Pasal 2 UU-KPKPU.
insolvensi tidak sesederhana yang dibayangkan
Jika naskah putusan dicermati, hubungan hukum
oleh pembuat undang-undang kepailitan.
debitor-kreditor hanya mengikat pada JD dan
Meskipun secara filosofi undang-undang
Bank UOB (termohon pailit I), LEB sebagai
kepailitan mengandung asas kelangsungan usaha
termohon pailit II tidak terikat. Secara materil
tetapi dalam penerapannya tidak demikian. Hakim
unsur kepailitan tidak terpenuhi pada LEB tetapi
seringkali mengesampingkan pengujian keadaan
sayangnya hakim Pengadilan Niaga Semarang
insolvensi. Dengan demikian dapat dikatakan
tidak mempersoalkan hal ini padahal subjek
bahwa insolvensi tidak niscaya pailit, karena bisa
hukum sangat fundamental dalam hukum acara
saja berakhir penundaan pembayaran.
agar terhindar dari error in persona oleh sebab itu
hakim seharusnya menolak permohonan pailit. Permohonan pailit yang dilakukan oleh
bank kepada debitornya jika dikaitkan dengan
Menanggapi hal ini kuasa hukum debitor
sistem skim utang-piutang yang digunakan oleh
dalam eksepsinya mengatakan bahwa utang
bank sesungguhnya merupakan hal yang aneh.
dengan Bank UOB sudah dilunasi sehingga
Bank sebagai lembaga keuangan yang terpercaya
hubungan hukum debitor-kreditor antara JD dan
sudah memiliki sistem keuangan yang rigid
Bank UOB sudah tidak ada lagi. Menyikapi hal
dan pelaksanaannya dikontrol oleh pemerintah.
ini seharusnya hakim pengadilan niaga menggali
Selain memiliki sistem yang kuat, bank juga
fakta lebih dalam, tetapi dalam naskah putusan
menggunakan teori self-fulfilling atau panic
tidak terlihat sama sekali pertimbangan hakim
theory (Krugman, 1979: 319). Teori ini digunakan
tentang hal ini. Ada tiga kesan yang ditangkap
sebagai salah satu acuan untuk menilai keuangan
tentang hal ini: pertama; rasa acuh hakim dalam
nasabah bank sehingga pemegang saham pada
mencermati fakta-fakta yang disajikan, kedua;
bank tetap aman. Teori ini juga dapat digunakan
majelis hakim tidak mengerti hukum kepailitan
untuk mengukur tingkat resiko keuangan
khususnya pada bagian kualifikasi keadaan yang
investasi pemegang saham. Selain untuk menjaga
dapat dipailitkan, ketiga; adanya pat-gulipat
keamanan investasi pemegang saham teori self-
antara hakim dengan pemohon pailit.

166 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 166 9/22/2014 9:41:15 AM


fulfilling juga dapat digunakan untuk memprediksi kuasa hukum debitor berpegangan pada nilai
keadaan keuangan nasabah bank (Altman, 1968: utang yang lebih rendah tentunya dengan jumlah
589-591). Jika melihat penjelasan Krugman 300 juta sesuai ketentuan Pasal 174 HIR yang
(1979) maka menjadi aneh jika sebuah bank tidak menyatakan:
dapat melakukan analisis dan prediksi keuangan
Pengakuan yang diucapkan di hadapan
kepada nasabahnya dengan seksama sehingga hakim, cukup menjadi bukti untuk
harus memohonkan pailit nasabahnya. memberatkan orang yang mengaku itu,
entah pengakuan itu diucapkannya sendiri,
Jadi seharusnya permohonan pailit yang entah dengan perantaraan orang lain, yang
diberi kuasa kbusus. (KUHPerd. 1925; Rv.
diajukan oleh bank merupakan sebuah error
256 dst., 383; IR. 176, 307.).
kesalahan sistem, oleh sebab itu permohonan
pailit oleh bank seharusnya dapat dijelaskan Jika mercermati putusan secara seksama,
dengan argumentasi kuantitaif dan bersandar sepertinya terjadi kesalahan ketik dari pihak
pada analisis keuangan yang mendalam, tidak pemohon pailit atau ketidakcermatan kuasa
hanya pada pemenuhan unsur-unsur kepailitan. hukum kreditor. Meski demikian seharusnya ada
Jika bank tetap berkeinginan memailitkan verifikasi dari pihak kreditor dan tanggapan dari
debitornya, maka penjaga pintu terakhir adalah hakim, apakah kesalahan ini dimaknai secara
hakim pengadilan niaga dengan berpegangan pada tekstual atau kontekstual. Tetapi dalam naskah
undang-undang kepailitan. Jika merujuk pada putusan hakim tidak menanggapi hal ini sehingga
putusan Pengadilan Niaga Semarang atas kasus seolah-olah memberi kesan putusan hakim
kepailitan yang menimpa JD dan LEB, maka menabrak fakta yang terjadi.
sulit untuk berharap para hakim di pengadilan
Alat bukti yang digunakan untuk
niaga lainnya memiliki pengetahuan yang cukup
menerangkan adanya kreditor lainnya yang
tentang konsep insolvensi dalam undang-undang
diajukan oleh pemohon pailit adalah Bank UOB.
kepailitan. Hal ini dikarenakan undang-undang
Yang menarik dari alat bukti yang dikemukakan
kepailitan tidak mengatur secara tegas tentang
adalah surat keterangan berupa konfirmasi dari
keadaan insolvensi, tetapi hanya membebankan
Bank UOB yang menyatakan bahwa debitor
pada pembuktian utang dengan pembuktian
memiliki utang. Jika ditinjau dari aspek hukum
sederhana. Oleh sebab itu tidak mengherankan
formil argumentasi yang didalilkan oleh kuasa
jika ada putusan-putusan kepailitan yang terkesan
debitor menyatakan bahwa untuk mendapatkan
asal-asalan dan spekulatif.
surat keterangan tersebut Bank BII telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan
B. Aspek Hukum Formil cara meminta kepada Bank Indonesia. Dalam
Dalam lingkup hukum acara, temuan yang argumentasi kuasa hukum debitor menyatakan
menarik dalam kasus ini adalah tentang nilai bahwa alat bukti berupa surat konfirmasi adalah
utang yang dikemukakan di pengadilan niaga. cacat hukum. Dalil lainnya yang diajukan oleh
Berdasarkan naskah putusan terjadi perbedaan debitor dalam kaitannya utang dengan Bank UOB
nilai utang, yaitu nilai utang senilai 6 milyar adalah keterangan bahwa utang sudah dilunasi
rupiah dan 300 juta rupiah. Menanggapi hal ini oleh debitor sehingga tidak relevan jika dijadikan
sebagai salah satu alasan dalam permohonan pailit.

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 167

jurnal agustus isi.indd 167 9/22/2014 9:41:15 AM


Kedudukan Bank UOB sebagai kreditor memberi dalam disertasi doktoralnya yang menyatakan
kesan bahwa keberadaannya seperti dibuat- bahwa Commandetaire Venotschaap adalah
buat untuk memenuhi unsur kepailitan. Tetapi, badan hukum (Komalasari, 2011: 145-146).
dalam putusan judex factie dan judex jurist hal Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa badan
ini tidak ditanggapi dan tidak dijadikan sebagai hukum merupakan ciptaan hukum (Rahardjo,
pertimbangan hukum. Menangkap makna dari 2006: 69) dengan ciri adanya sekumpulan orang
putusan hakim, ada kesan hakim menutup mata yang berkumpul untuk tujuan yang sama. Untuk
akan kedudukan Bank UOB sebagai kreditor. dapat dikategorikan sebagai kenyataan yuridis
Seharusnya hakim dapat memberi pertimbangan seperti dikatakan oleh Meijers (Arrasjid, 2004:
hukum atas dalil kuasa hukum debitor sehingga 130) maka anggaran dasar CV harus mendapat
pemenuhan unsur formil dan materil dapat pengesahaan dari Menteri Kehakiman (Subekti,
dipertanggungjawabkan. 1984: 204) dengan cara diumumkan pada
lembaran negara. Cara pengumuman badan
Aspek fundamental lainnya yang ditemukan
hukum ini hanya digunakan oleh penganut sistem
dalam putusan ini adalah tentang subjek hukum
hukum civil law karena di dalam sistem hukum
kepailitan termohon pailit. Dalam perkara ini
common law tidak dikenal adanya pengumuman
debitor/subjek hukumnya adalah Commanditaire
melalui berita negara (Prasetya, 2011: 27).
Venotschaap (CV. MMP). Penentuan subjek CV
menjadi tricky apakah CV dapat dikategorikan Untuk dapat menentukan sebuah
sebagai subjek hukum atau tidak. Pada kasus ini, perkumpulan dapat dikatakan sebagai badan
CV. MMP dalam pelaksanaan aktivitas sehari- hukum atau tidak, maka ciri dari badan hukum yang
harinya dilakukan oleh suami-isteri (JD dan LEB) dapat dikenali adalah: (1) dalam pembuatannya
sebagai pengurus persekutuan. Dalam permohonan dilakukan oleh dua orang atau lebih, (2) pembuatan
pailit CV. MMP tidak disertakan sebagai termohon badan hukum yang dilakukan oleh para pihak
pailit yang tertulis sebagai termohon pailit hanya dilakukan dengan membuat tujuan bersama yang
JD dan LEB. Artinya, kuasa hukum pemohon ingin dicapai sebagai manifesasi dari perjanjian,
pailit beranggapan bahwa CV. MMP bukan badan (3) membuat anggaran dasar dan anggaran rumah
hukum/personrecht. Hakim juga beranggapan tangga, (4) mendapat pengesahan dari negara
CV bukan badan hukum. Menganggapi hal ini dengan cara diumumkan dalam lembaran negara
kuasa hukum debitor mendalilkan bahwa CV. yang dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
MMP seharusnya dimasukkan sebagai termohon
Dari pendapat para jurist di atas tentang
pailit atau dianggap sebagai subjek hukum. Dalil
konsepsi badan hukum maka untuk dapat
kuasa hukum debitor merujuk pada putusan MA
menentukan apakah CV dapat dikategorikan
No. 61ZK1SIP11975 yang menyatakan bahwa
sebagai badan hukum atau tidak maka dapat
Comanditaire Venotschaap dapat dikatakan
dijawab sebagai badan hukum jika CV tersebut
sebagai subjek hukum.
memiliki anggaran dasar yang diumumkan oleh
Jika kedudukan CV sebagai subjek hukum Menteri Hukum dan HAM. CV tidak berbadan
ditinjau dari perspektif akademisi hukum, maka hukum jika anggaran dasar dan anggaran rumah
CV dapat dikatakan sebagai subjek hukum. Hal tangganya (AD/ART) tidak diumumkan oleh
yang sama juga dikatakan oleh Yetty Komalasari Menteri Hukum dan HAM. Mengaitkan konsepsi

168 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 168 9/22/2014 9:41:16 AM


tentang badan hukum maka seharusnya CV tersebut jika dijumlahkan adalah 83 hari. Maka
disertakan sebagai subjek hukum oleh kreditor dengan demikian memang benar jika putusan
karena hal ini didukung oleh argumentasi dan Pengadilan Niaga Semarang melanggar ketentuan
pendapat jurist serta putusan Mahkamah Agung Pasal 8 ayat (5) tetapi masalahnya melanggar
tahun 1975. ketentuan ini tidak ada konsekuensi hukum
apapun.
Meski di dalam doktrin ilmu hukum di
Indonesia tidak mengenal CV sebagai subjek
V. SIMPULAN
hukum. Selama ini di dalam doktrin ilmu hukum
subjek hukum yang dikenal hanya tiga, yaitu: Putusan Pengadilan Niaga Semarang
perseroan, yayasan dan koperasi. Dalam praktik dengan Putusan Mahkamah Agung ternyata
di lapangan badan hukum memiliki perluasan tidak koheren, karena putusan Pengadilan Niaga
makna dan sesempit doktrin hukum. Beberapa Semarang cenderung hanya menekankan pada
contohnya antara lain: partai politik, organisasi pemenuhan unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1)
masyarakat (ormas), badan hukum pendidikan UU-KPKPU tanpa mengindahkan fakta-fakta
dan sebagainya. Mengenai subjek hukum ini yang diajukan oleh debitor. Meskipun keadaan
judex factie dan judex jurist tidak menyinggung keuangan debitor tidak nampak solven atau
sama sekali tentang hal ini dan tidak dijadikan insolvensi dalam putusan ini, tetapi yang terlihat
sebagai pertimbangan hukum sehingga tidak jelas jelas adalah penalaran hakim Pengadilan Niaga
apa pendapat hakim dalam menentukan subjek Semarang yang terkesan sangat positivistik.
hukum CV. Hakim seharusnya dapat melakukan Sebaliknya dalam putusan Mahkamah Agung
pertanyaan kepada debitor untuk memverifikasi lebih cenderung bersandar pada filosofi undang-
bukti apakah CV yang bersangkutan berbadan undang kepailitan yaitu asas kelangsungan
hukum atau tidak. usaha.

Temuan terakhir dalam aspek hukum Dalam aspek hukum materil ada tiga hal
acara adalah pernyataan kuasa hukum debitor yang dapat disimpulkan, pertama; Pengadilan
yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Niaga Semarang tidak mempertimbangkan
Niaga Semarang melebihi batas waktu yang perjanjian hak tanggungan dan fidusia tetapi
ditentukan dalam Pasal 8 ayat (5) UU-KPKPU hanya menekankan pada ketentuan normatif.
yang mengatur bahwa; putusan pengadilan Padahal kedua perjanjian utang tersebut sudah
atas permohonan pernyataan pailit harus memiliki lex specialist yang di dalamnya
diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari terdapat ketentuan yang mengatur jika debitor
setelah tanggal permohonan pernyataan pailit cedera janji maka kreditor dapat menjual objek
didaftarkan. Jika melihat tanggal yang tertera di hak tanggungan yang dipegangnya tanpa harus
dalam amar putusan Pengadilan Niaga Semarang memohonkan pailit. Kedua; keberadaan surat
tertulis bahwa permohonan pailit didaftarkan keterangan yang menyatakan bahwa Bank UOB
pada tanggal 19 Maret 2012 dan pada bagian sebagai kreditor lainnya selain Bank BII yang
akhir putusan, yaitu amar putusan tertulis tanggal diajukan di Pengadilan Niaga Semarang, bahkan
11 Juni 2012. Jika kedua tanggal tersebut di atas tidak dijelaskan secara rinci berapa nilai utangnya.
diperiksa secara seksama maka rentang waktu

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 169

jurnal agustus isi.indd 169 9/22/2014 9:41:16 AM


Ketiga; Pengadilan Niaga Semarang juga tidak Debitor dalam Hukum Kepailitan. Jurnal
menggali fakta keadaan insolvensi sehingga Hukum, Edisi Khusus, Vol. 16.
permohonan pailit tidak melalui pengujian cash
Arrasjid, Chainur. 2004. Dasar-Dasar Ilmu
flow test atau balaced sheet test.
Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: Sinar
Pada aspek hukum formil ada empat poin Grafika.
yang dapat disimpulkan, pertama; Pengadilan
Arminger, Josef. 2013. Solvency-Tests-An
Niaga Semarang tidak cermat dalam melihat
Alternative to The Rules for Capital-
nominal utang karena terdapat dua pernyataan
Maintenance Within The Balance Sheet
nominal nilai utang. Dengan tidak ada pendapat
in The European Union. ACRN Journal
hakim mengenai hal ini maka seolah-olah
of Finance and Risk Perspectives, Vol. 2.
hakim tidak peduli dengan nominal utang dan
Issue 1. p.1-8.
hanya mementingkan pemenuhan unsur materil.
Kedua; surat keterangan yang dari Bank UOB Armour, John & Douglas Cumming. 2008.
yang cacat hukum karena hanya menyatakan Bankruptcy Law and Entrepreneurship.
bahwa debitor memiliki utang kepada Bank UOB American Law and Economic Review. V.
tanpa ada penjelasan nilai utangnya dan cara 10 N2.
mendapatkannya menabrak kerahasian bank.
Athreya, Kartik, et.al. 2014. Bankruptcy and
Ketiga; subjek hukum termohon pailit dalam kasus
Delinquency in a Model of Unsecured
ini kurang lengkap karena tidak memasukkan
Debt. Working Paper Federal Reserve
CV sebagai subjek hukum padahal hubungan
Banks of St. Louis USA.
hukum utang piutang yang terjadi adalah antara
CV dengan Bank UOB. Karena hal ini tidak Ayotte, Kenneth & David A. Skeel Jr. 2013.
disinggung sama sekali oleh hakim maka tidak Bankruptcy Law as a Liquidity Provider.
terlihat seperti apa pandangan hakim mengenai The University of Chicago Law Review,
subjek hukum CV dalam kepailitan. Keempat; Volume 80. Fall 2013 Number 4.
putusan pailit Pengadilan Niaga Semarang telah
melanggar Pasal 8 ayat (5) yang mencantumkan Bal, Jay, et.al. 2013. Entropy for Business
jangka waktu putusan paling lambat 60 hari Failure Prediction: An Improved Prediction
sejak permohonan pailit, tetapi putusan pailit ini Model for The Construction Industry.
diputuskan dengan jangka waktu 83 hari. Advance in Decision Sciences. Hindawi
Publishing Corporation, Volume 2013.
Article ID 459751.

Brantingham, Patricia L. 1985. Sentencing


Disparity: An Analysis of Judicial
Consistency. Journal of Quantitative
DAFTAR PUSTAKA Criminology, Vol. 1. No. 3.

Anisah, Siti. 2009. Studi Komparasi terhadap Bruckner, Matthew. 2013. The Virtue in
Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Bankruptcy. Layola University Chicago

170 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 170 9/22/2014 9:41:16 AM


Law Journal, Vol. 45. and Application. Online Journal, Modern
Education and Computer Science Press.
Caprio Jr, Gerard & Daniela Klingebiel. 1997.
Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, Prasetya, Rudhi. 2011. Perseroan Terbatas Teori
or Bad Banking? Annual Wold Bank dan Praktik. Cetakan Pertama. Jakarta:
Conference on Development Economics. Sinar Grafika.

Altman, Edward. I. 1968. Financial Ratios, Wood, QC & R. Philip. 2013. The Bankruptcy
Discriminant Analysis and Prediction of Ladder of Priorities and The Inequalities
Corporate Bankruptcy. The Journal of of Life. Hofstra Law Review, Vol. 40:93.
Finance, Vol. 23, No. 4. New York.

Garner, A. Bryan. 2009. Blacks Law Dictionary Quinn, Michael. 2003. Introduction to Insolvency:
9th Edition. New York: Thomson West. Overview and Recent Developments.
Dalam Anne-Marie Mooney Cotter. Ed.
Jackson, Thomas H. 1986. The Logic and Limits
Insolvency Law. London: Cavendish
of Bankruptcy Law. Cambridge: Harvard
Publishing.
University Press.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Cetakan
Hoff, Jerry & Gregory J. Churcil. 2000. Indonesian
Keenam. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Bankruptcy Law. Jakarta: Tata Nusa.
Rahman, A. Aisyah, et.al. 2009. Lending
Komalasari, Dewi Yetty. 2011. Disertasi Doktor
Structure and Bank Insolvency Risk: A
Pemikiran Baru tentang Commanditaire
Comparative Study Between Islamic and
Vennootschap (CV) (Studi Perbandingan
Conventional Banks. Journal of Business
KUHD dan WvK Serta Putusan Pengadilan
& Policy Research, Vol.4 No. 2.
Indonesia dan Belanda). Jakarta: Badan
Penerbit FHUI. Razak, Adilah Abd. 2009. Understanding Legal
Research, Integration and Dissemination.
Krugman, Paul. 1979. A Model of Balance-of-
Selangor: Universiti Putra Malaysia.
Payments Crises. Journal of Money, Credit,
and Banking. Ohio State University. Heynes, Richard M. 2006. Bankruptcy and
State Collection: The Case of The Missing
Levratto, Nadine. 2013. From Failure to
Garnishments. Cornell Law Review, Vol.
Corporate Bankruptcy: a Review. Journal
91.
of Innovation and Entrepreneurship. a
Springer Open Journal. Roe, J. Mark & Frederick Tung. 2013. Breaking
Bankruptcy Priority: How Rent-Seeking
Lovells, Hogan. 2011. Russian Law Aspects of
Upends The Creditors Bargain. Virginia
Insolvency. New York: MOSLIBO.
Law Review, Vol. 99.
Martin, A., et.al. 2014. An Analysis on
Schwartz, Alan. 2005. A Normative Theory of
Qualitative Bankruptcy Prediction Rules
Business Bankruptcy. Faculty Scholarship
Using Ant-Miner. I.J. Intelligent System
Series. Paper 303. Yale Law School.

Kepailitan dalam Putusan Hakim Ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan Materil (Bambang Pratama) | 171

jurnal agustus isi.indd 171 9/22/2014 9:41:16 AM


Sgard, Jerome. 2009. Bankruptcy Law, Majority Zulaika, Fuji Kadriah. 2003. Pengertian Utang
Rule, and Privat Ordering in England and dalam Kasus Kepailitan: Suatu Analisa
France (Seventeenth - Nineteenth Century). Yuridis Berkaitan dengan Utang dalam
OXPO - Oxford Science PO Research Putusan Pailit Manulife Indonesia.
Group. Tesis Program Pascasarjana Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro,
Shubhan, M. Hadi. 2008. Hukum Kepailitan:
Semarang.
Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan.
Jakarta: Kencana.

Skeel Jr., David A. 2014. When Should


Bankruptcy Be an Option (for People,
Places, or Things)? William & Mary Law
Review, Volume 55. Issue 6.

Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian


Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta: UI-Press.

Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata.


Cetakan Kesembilan. Jakarta: Intermasa.

Sunarmi. 2004. Perbandingan Sistem Hukum


kepailitan Antara Indonesia (Civil Law
System) Dengan Amerika Serikat (Common
Law System). Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan:


Memahami Faillisementsverordening
Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Turak, J. Alisha. 2014. Why Wright Was Wrong:


How The Third Circuit Misinterpreted The
Bankruptcy Code . . . Again. Columbia
Law Review, Vol. 113:2129.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2011. Ragam-


Ragam Penelitian Hukum, dalam Metode
Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi.
Editor: Sulistyawati Irianto & Sidharta.
Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor.

172 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 157 - 172

jurnal agustus isi.indd 172 9/22/2014 9:41:16 AM


DISPARITAS PUTUSAN PERKARA SENGKETA TANAH
TERKAIT PENERAPAN HUKUM FORMIL
Kajian terhadap Lima Putusan Pengadilan Negeri dan Lima Putusan Pengadilan Tinggi
Tahun 2004-2011 di Yogyakarta

DISPARITY IN THE DECISION OF LAND DISPUTE CASE


PERTAINING TO THE IMPLEMENTATION
OF PROCEDURAL LAW
An Analysis of Five Decisions of District Court and Five Decisions of High Court
of Yogyakarta in 2004-2011

Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya


Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281
E-mail: tata_wijayanta@yahoo.com & sandradini@mail.ugm.ac.id

Naskah diterima: 24 Maret 2014; revisi: 6 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

ABSTRAK Kata kunci: disparitas, monetary remedy, equitable


remedy.
Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa ketentuan
dan asas yang harus diperhatikan dan ditaati oleh hakim
ABSTRACT
dalam menjatuhkan putusan. Tulisan ini merupakan
bagian dari laporan penelitian yang berupa kajian terhadap In the Code of Civil Procedure, there are some rules and
putusan-putusan pengadilan di wilayah provinsi Daerah principles to which the judge adhere and observe and
Istimewa Yogyakarta (DIY), yang meliputi putusan in making a decision. This paper is part of a research
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam perkara report studying the decisions of several District Courts
sengketa tanah yang mengandung gugatan monetary and High Court in the Special Region of Yogyakarta
remedy dan equitable remedy. Sengketa tanah dapat Province regarding a case of land dispute which contains
disebut sengketa yang sangat sensitif dan sifatnya the lawsuit of the monetary remedy and equitable
multi-isu karena merupakan sengketa sosial (social remedy. Land dispute is a highly sensitive and multi-
dispute) yang bersinggungan dengan persoalan budaya, issue for it is a social dispute that may relate to socio-
sosio-struktural, strategis dan ekonomis. Banyaknya cultural and economic issues. The fact that many obstacles
hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaan putusan and difficulties in the implementation of the decision
sengketa tanah merupakan latar belakang mengapa perlu of the land dispute is the main background of why it is
dikaji penerapan hukum formil (acara) dalam putusan necessary to study the application of the procedural law
pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) yang in court decisions that become the object of the study.
menjadi objek kajian. Dalam kajian ini, akan diketahui In this study, it will be elaborated the implementation
persoalan-persoalan dalam penerapan hukum acara issues of the procedural law which is found in the
yang dapat ditemukan di dalam putusan tersebut serta decision, then inferred whether there is a disparity in the
melihat apakah terdapat disparitas (perbedaan) mengenai level of adherence and compliance of the judex facti in
tingkat ketaatan dan kepatuhan hakim judex facti dalam implementing the provisions of Procedural Law.
menerapkan ketentuan hukum formil. Keywords: disparity, monetary remedy, equitable remedy.

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 173

jurnal agustus isi.indd 173 9/22/2014 9:41:16 AM


I. PENDAHULUAN hak kepemilikan (atas dasar eigendom maupun
bezit); karena masalah pewarisan/wasiat; karena
Berdasarkan statistik Kepaniteraan
persoalan hibah; karena perjanjian (jual beli/
Mahkamah Agung RI tahun 2010, jumlah perkara
sewa menyewa); karena adanya persoalan hak
terbanyak yang mendominasi perkara perdata
tanggungan (perjanjian kredit); atas dasar PMH
adalah yang berkaitan dengan sengketa tanah,
(perbuatan melawan hukum) dan sebagainya.
yaitu 1824 perkara atau sekitar 44,26% dari
seluruh jumlah perkara perdata yang ditangani Karakteristik sengketa yang multi-isu
oleh MA, diikuti oleh perkara perbuatan melawan semacam ini jarang ditemui dalam sengketa-
hukum (PMH) sebanyak 836 perkara atau sekitar sengketa lainnya. Bahkan dalam beberapa perkara
20,17% (Kepaniteraan Mahkamah Agung, 2010). sengketa tanah, berbagai konsep hukum yang
Banyaknya jumlah sengketa tanah yang diajukan kurang terdefinisikan secara jelas pun sering
ke pengadilan di berbagai wilayah menunjukkan muncul dan dihadapi oleh hakim dalam memeriksa
bahwa sengketa ini merupakan sengketa sosial dan mengadili perkara, misalnya terkait konsep
(social dispute) yang bersinggungan dengan iktikad baik yang sering didalilkan dalam
persoalan sosio-struktural dan ekonomis. Padahal sengketa terkait perjanjian jual beli tanah. Padahal
dalam kenyataannya, putusan pengadilan terkait konsep iktikad baik adalah suatu konsep hukum
sengketa tanah mengalami lebih banyak hambatan/ yang sangat luas pengertiannya dan cukup bias.
kesulitan terkait eksekusinya di lapangan.
Selain itu, yang menjadikan kajian terhadap
Terdapat beberapa alasan mengapa kajian putusan atas sengketa tanah ini menarik adalah
terhadap putusan pengadilan terkait sengketa jenis tuntutan hak yang diajukan penggugat. Dalam
tanah merupakan suatu kajian yang penting dan beberapa perkara sengketa tanah, terdapat gugatan
menarik. Pertama, sengketa tanah pada dasarnya yang bersifat monetary remedy dan equitable
merupakan sebuah sengketa yang adversarial remedy yang bisa diajukan oleh penggugat
in nature, di mana para pihak yang bersengketa secara bersamaan dalam gugatannya. Monetary
benar-benar mengambil posisi untuk menang- remedy merupakan suatu tuntutan penggugat agar
kalah dibanding kompromi (Daryono, 2004). Isu tergugat dihukum untuk membayar sejumlah
yang terkait dalam sengketa tanah biasanya sangat uang (misal tuntutan ganti rugi), sedangkan
multi-isu dan cenderung menimbulkan suasana equitable remedy adalah tuntutan penggugat yang
permusuhan yang tidak terkendali saat para pihak tidak berhubungan dengan pembayaran sejumlah
saling berhadapan. Kondisi ini dipersulit dengan uang, melainkan tuntutan untuk melakukan suatu
adanya keterlibatan banyak pihak yang masuk perbuatan/tidak melakukan perbuatan tertentu
dalam perkara, baik dari kalangan masyarakat (misal tuntutan pengosongan tanah dan bangunan
maupun kalangan pemerintah. di atasnya).

Selain itu, karakteristik sengketa tanah Aspek ini menjadi penting untuk dikaji
bersifat multi-isu dan ruang lingkupnya sangat mengingat dalam memeriksa dan mengadili
luas karena dasar timbulnya sengketa tanah tuntutan penggugat, terdapat beberapa aturan dan
dapat berasal dari berbagai hubungan hukum/ asas-asas yang harus diperhatikan oleh hakim,
peristiwa hukum, misalnya: karena persoalan atas misalnya, gugatan dwangsom atau uang paksa

174 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 174 9/22/2014 9:41:16 AM


tidak dapat diajukan jika gugatan dapat dieksekusi pengadilan tingkat banding (PT) terkait perkara
secara riil, atau norma bahwa gugatan dwangsom sengketa tanah di Yogyakarta? Dari pertanyaan
tidak dapat dituntut dan dikabulkan bersama- ini diharapkan kajian dapat berkembang hingga
sama dengan tuntutan pembayaran sejumlah uang mengetahui apakah terdapat perbedaan (disparity)
(Mulyadi, 2009: 76-77). mengadili baik secara horizontal maupun vertikal
atas perkara yang sejenis tersebut.
Di provinsi DIY, keistimewaan Yogyakarta
yang berada di bawah naungan kesultanan
menentukan bahwa hukum kesultanan merupakan III. STUDI PUSTAKA
hukum adat yang hidup dan berlaku di wilayah ini, Kajian ini menekankan analisis terhadap
termasuk meliputi sistem pengelolaan tanah-tanah aspek penerapan hukum formil dalam putusan
secara khusus yang dikenal dengan istilah sultan pengadilan, sehingga konsep hukum yang ditinjau
ground (tanah keraton). Diperkirakan hampir terutama terkait dengan norma dan asas-asas
60% tanah di Yogyakarta merupakan sultan dalam menjatuhkan putusan pengadilan. Setelah
ground. Dengan keberadaan sistem pengelolaan hakim menganggap peristiwa yang menjadi
tanah secara khusus tersebut, tentunya berpengaruh sengketa telah terbukti, maka tindakan hakim
terhadap penyelesaian perkara-perkara sengketa selanjutnya adalah menemukan hukumnya,
tanah yang muncul di wilayah Yogyakarta. dalam arti menentukan peraturan hukum apakah
Berdasarkan hal tersebut, sangat penting yang menguasai sengketa antara kedua belah
untuk menekankan konsistensi dari badan peradilan pihak. Kemudian setelah hukumnya ditemukan
agar memberi putusan yang adil dan bermanfaat selanjutnya diterapkan pada peristiwa hukumnya
serta menjamin kepastian hukum, dalam arti dan kemudian hakim harus menjatuhkan putusan.
hakim sebagai ajudikator wajib memperhatikan Idealnya di dalam setiap putusan hakim
dan menerapkan norma hukum dan asas-asas harus memuat dimensi kepastian hukum
hukum yang berlaku serta meminimalisir (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit)
bahkan meniadakan putusan-putusan yang saling dan keadilan (gerechtigkeit) secara proporsional,
bertentangan satu sama lain terhadap perkara sebagaimana Lilik Mulyadi dalam bukunya
yang sejenis, baik secara horizontal (terhadap mengutarakan bahwa putusan hakim yang baik
putusan pengadilan yang dihasilkan di tingkat adalah putusan yang dapat memenuhi kriteria dan
peradilan yang sama) maupun secara vertikal dimensi yang meramu antara keadilan hukum
(terhadap putusan pengadilan yang dihasilkan di (legal justice), keadilan sosial (social justice)
tingkat peradilan pertama dan peradilan tingkat dan keadilan moral (moral justice) (Mulyadi,
banding). 2009: 164). Meskipun di dalam praktik di
antara ketiganya sering terjadi ketegangan atau
II. RUMUSAN MASALAH pertentangan sehingga suatu putusan jarang
memuat ketiga unsur tersebut secara bersamaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
bagaimana penerapan hukum acara dalam bahwa tujuan akhir pemeriksaan perkara di
putusan pengadilan tingkat pertama (PN) dan pengadilan adalah diambilnya suatu putusan

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 175

jurnal agustus isi.indd 175 9/22/2014 9:41:16 AM


oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara konstitusi, dalam menjalankan kekuasaan
yang disengketakan karena berdasarkan putusan kehakiman maka badan peradilan diwajibkan
tersebut dapat ditentukan dengan pasti hak maupun untuk memutus suatu perkara berdasarkan hukum
hubungan hukum para pihak dengan objek yang dan rasa keadilan berdasarkan asas Pancasila
disengketakan. Agar tujuan tersebut dapat tercapai,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat
maka dalam memeriksa, mengadili dan memutus (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
perkara pada dasarnya terdapat beberapa norma Sehingga, dalam mengadili dan memutus suatu
dan asas-asas atau prinsip-prinsip hukum yang perkara, hakim tidak hanya wajib menegakkan
harus ditegakkan (Harahap, 2006: 797). aturan hukum yang sifatnya tertulis dan tidak
tertulis, melainkan juga mengadili menurut rasa
Asas-asas dan norma yang berwujud
keadilan masyarakat yang sesuai dengan kaidah
ketentuan hukum tersebut diatur secara normatif
luhur Pancasila.
dalam peraturan perundang-undangan mulai dari
UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang tentang Khusus terkait dengan putusan pengadilan,
Kekuasaan Kehakiman dan peraturan hukum menurut Yahya Harahap (2006: 797-807) terdapat
acara di mana dalam penelitian ini terkait dengan beberapa asas yang penting yang harus ditegakkan
hukum acara perdata, yaitu HIR. oleh hakim saat mengadili dan memutus perkara
yaitu:
Konstitusi mengatur suatu asas umum
yang sangat penting dan harus ditegakkan oleh a. Putusan harus memuat dasar alasan yang
hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus jelas dan rinci;
perkara, yaitu dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1)
b. Dalam putusan, semua dalil gugatan wajib
UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
diperiksa, dipertimbangkan, diadili dan
setiap orang sama kedudukannya di hadapan
diputus;
hukum. Ketentuan ini merujuk pada suatu
asas universal yang memuat dimensi hak asasi c. Putusan tidak boleh mengabulkan lebih dari
manusia dalam negara yang demokratis yaitu asas yang dituntut atau yang tidak dituntut;
equality before the law. Lebih lanjut, dalam
d. Putusan harus diucapkan di muka sidang
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang
terbuka untuk umum.
mengatur jalannya proses peradilan di Indonesia,
asas ini diimplementasikan dalam ketentuan- Dalam menjatuhkan putusan, hakim juga
ketentuan yang mengarah pada prinsip audi et harus memperhatikan sifat dan jenis putusan yang
alteram partem yaitu para pihak yang berperkara akan dijatuhkan karena terdapat beberapa aturan
di hadapan pengadilan harus diperlakukan sama, yang harus diperhatikan agar putusan tersebut
baik selama proses jawab menjawab, pembuktian dapat menyelesaikan suatu perkara secara tuntas
hingga penyusunan pertimbangan hukum dalam dan tidak menjadi non-executable.
rangka menjatuhkan putusan.
Menurut sifatnya putusan hakim dapat
Konstitusi juga mengatur bahwa Indonesia dibagi dalam tiga macam (Mulyadi, 2009: 155-
adalah negara hukum di mana kedaulatan berada 156), yaitu:
di tangan rakyat. Untuk mewujudkan amanat

176 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 176 9/22/2014 9:41:16 AM


a. Putusan hakim yang bersifat declaratoir, ketentuan seperti Pasal 183, 184, 187 HIR/Pasal
yaitu putusan hakim yang bersifat 194, 195, 198 RBg; Pasal 50 ayat (1) UUKK;
menyatakan ada tidaknya sesuatu keadaan Pasal 27 RO, dan; Pasal 61 Rv mengatur secara
hukum tertentu; implisit tentang apa yang harus dimuat dan
terdapat dalam putusan hakim. Suatu putusan
b. Putusan hakim yang bersifat condemnatoir,
hakim pada pokoknya terdiri dari empat bagian,
yaitu putusan yang sifatnya memberi atau
yaitu: (a) kepala putusan; (b) identitas para pihak;
menjatuhkan hukuman pada salah satu
(c) pertimbangan, dan (d) amar.
pihak; dan
Setiap putusan hakim/pengadilan harus
c. Putusan hakim yang bersifat constitutif,
dimulai dengan kata: Demi Keadilan Berdasarkan
yaitu putusan hakim dengan mana keadaan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan tersebut
hukum dihapuskan atau ditetapkan sesuatu
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun
keadaan hukum baru.
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal
Menurut Pasal 185 ayat (1) HIR/196 ayat 435 Rv. Dengan dicantumkan kepala putusan
(1) RBg, berdasarkan jenisnya putusan dibedakan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan
menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka putusan
hakim mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat
a. Putusan akhir, yaitu putusan yang
dilaksanakannya putusan). Pencantuman kepala
dijatuhkan oleh hakim sehubungan dengan
putusan ini dimaksudkan bahwa peradilan
pokok perkara, untuk mengakhiri suatu
dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan
sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan
Ketuhanan Yang Maha Esa agar para hakim
peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada
dalam menjalankan keadilan oleh undang-undang
yang bersifat menghukum (condemnatoir),
diletakkan suatu pertanggungjawaban, yang lebih
ada yang bersifat menciptakan (constitutif)
berat dan mendalam dalam menginsyafi kepada-
dan ada pula yang bersifat menerangkan
Nya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak
atau menyatakan (declaratoir). Namun
hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri
demikian pada hakikatnya semua putusan
sendiri dan rakyat namun juga bertanggung jawab
baik yang condemnatoir maupun yang
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
constitutif bersifat declaratoir; dan
Sebagaimana suatu gugatan yang
b. Putusan yang bukan akhir (putusan
mempunyai sekurang-kurangnya dua pihak, maka
sela), yaitu putusan yang dijatuhkan oleh
di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak.
hakim sebelum memutus pokok perkara
Pencantuman identitas ini meliputi: (1) Nama; (2)
dan dimaksudkan untuk mempermudah
Umur; (3) Pekerjaan; (4) Alamat; (5) Nama dan
kelanjutan pemeriksaan perkara.
alamat kantor/domisili kuasanya, dengan catatan
Dalam ketentuan perundang-undangan apabila perkara tersebut dimintakan kuasa pada
secara eksplisit tidak ditemukan tentang seorang/lebih kuasa.
bagaimanakah seharusnya susunan dan isi dari
Pertimbangan merupakan dasar dari
pada putusan hakim. Namun demikian beberapa
putusan. Pertimbangan sering juga disebut dengan

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 177

jurnal agustus isi.indd 177 9/22/2014 9:41:16 AM


considerans. Pertimbangan dalam putusan perdata diklasifikasikan sebagai sumber hukum formil,
dibagi menjadi dua, yaitu: (1) pertimbangan yaitu sumber di mana suatu peraturan memperoleh
tentang duduk perkaranya atau peristiwanya kekuatan hukum dilihat dari bentuk atau cara yang
(feitelijke gronden), dan (2) pertimbangan tentang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku
hukumnya (rechtsgronden). (Mertokusumo, 2006: 108). Dalam pengertian
ini, maka putusan pengadilan memiliki kekuatan
Amar atau putusan atau dictum ini merupakan
hukum untuk dijadikan landasan atau dasar bagi
aspek penting dan merupakan isi dari putusan itu
hakim dalam menyelesaikan suatu perkara di
sendiri dan dimulai dengan kata: Mengadili. Yang
pengadilan.
merupakan jawaban terhadap petitum atau gugatan
adalah amar. Ini berarti bahwa dictum merupakan Dalam ilmu hukum, setiap putusan
tanggapan terhadap petitum. Amar (dictum) dibagi pengadilan pada dasarnya disebut sebagai
menjadi apa yang disebut declaratif dan apa yang yurisprudensi. Yurisprudensi juga diartikan secara
disebut dispositif. Bagian yang disebut declaratif lebih luas sebagai ajaran hukum atau doktrin yang
merupakan penetapan daripada hubungan hukum dimuat dalam putusan (Mertokusumo, 2006: 146).
yang menjadi sengketa, sedangkan bagian Namun dalam perkembangannya, Mahkamah
yang dispositif ialah yang memberi hukum atau Agung RI menetapkan beberapa kriteria yang
hukumnya. menentukan apakah suatu putusan dapat
dikategorikan sebagai yurisprudensi (Mulyadi,
Putusan pengadilan merupakan salah
2009:164). Beberapa kriteria tersebut di antaranya
satu sumber hukum yang berlaku di Indonesia
sebagai berikut:
(Mertokusumo, 2006: 8). Sebagai sumber hukum,
putusan pengadilan merupakan tempat untuk a. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang
mencari dan menemukan hukum sebagai landasan belum jelas pengaturannya dalam peraturan
bagi hakim dalam menyelesaikan perkara perundang-undangan;
(Mertokusumo, 2006: 107). Putusan pengadilan
b. Putusan tersebut harus merupakan putusan
pada dasarnya merupakan produk yudikatif yang
hakim yang telah berkekuatan hukum
berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat
tetap;
pihak-pihak yang bersangkutan sehingga berbeda
dengan undang-undang yang mengikat secara c. Putusan tersebut harus dijadikan dasar untuk
umum bagi setiap orang (in abstracto), putusan memutus kasus yang sama secara berulang-
pengadilan mengikat secara khusus terhadap ulang;
orang-orang tertentu (in concreto) dalam hal
d. Putusan tersebut telah memenuhi rasa
ini orang-orang yang berperkara di pengadilan
keadilan masyarakat;
(Mertokusumo, 2006: 146). Putusan pengadilan
memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak e. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah
yang berperkara sejak putusan itu dijatuhkan dan Agung.
memiliki kekuatan berlaku untuk dilaksanakan
sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum Kriteria-kriteria tersebut menunjukkan
yang tetap (in kracht van gewijsde). Sebagai bahwa Mahkamah Agung menilai tidak semua
sumber hukum, putusan pengadilan dapat putusan pengadilan dapat dikategorikan sebagai

178 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 178 9/22/2014 9:41:16 AM


yurisprudensi. Padahal peranan yurisprudensi (rechtsvinding). Teori Sudikno menyatakan
dalam keilmuan dan implementasi hukum sangat bahwa tugas hakim ada tiga, yaitu: konstatir
penting berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut (menetapkan peristiwa yang terbukti); kualifisir
(Mulyadi, 2009:174): (melakukan kualifikasi peristiwa konkret menjadi
peristiwa hukum), serta konstruir (membentuk
a. Yurisprudensi merupakan kebutuhan
hukum) (Mertokusumo, 2006: 201). Pada
fundamental untuk melengkapi beberapa
tahap kualifisir inilah sesungguhnya hakim
peraturan perundang-undangan dalam
melakukan penemuan hukum, di mana hakim
penerapan hukum mengingat dalam sistem
harus menemukan atau mencari hukum atas suatu
hukum nasional yurisprudensi memegang
peristiwa yang telah terbukti. Itulah mengapa
peranan sebagai sumber hukum;
penemuan hukum merupakan kegiatan yang
b. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan runtut dan berkesinambungan dengan kegiatan
kewenangan badan peradilan sebagai pembuktian (Mertokusumo, 2006: 201).
pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat
Melakukan penemuan hukum bukan
menyebabkan stagnasi;
perkara mudah. Adakalanya suatu norma/aturan
c. Yurisprudensi bertujuan agar undang- hukum tidak jelas (multitafsir) atau bahkan
undang tetap aktual dan berlaku secara tidak lengkap. Oleh sebab itu, dalam kegiatan
efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa penemuan hukum terdapat beberapa metode yang
badan peradilan. umumnya dibedakan menjadi metode penafsiran
hukum (interpretasi) dan metode argumentasi
Mengingat sistem hukum di Indonesia
hukum (konstruksi). Pentingnya penemuan
tidak menganut asas the binding force of
hukum adalah untuk menjaga agar tidak terjadi
precedent (stare decisis) maka hakim-hakim
kekosongan hukum (Mertokusumo, 2006: 209)
di Indonesia pada dasarnya tidak terikat pada
dan agar hakim memiliki pemahaman hukum yang
yurisprudensi yang telah dijatuhkan sebelumnya
tidak hanya normatif, sosiologis tapi juga filosofis
terhadap perkara yang sejenis (Mulyadi, 2009:
artinya bahwa hukum tidak hanya dipandang
149). Secara teoritis dan praktis, yurisprudensi
sebagai kaidah dan asas yang mengatur hubungan
dinilai hanya memiliki kekuatan yang sifatnya
manusia dalam masyarakat. Hukum berfungsi
persuasive precedent (Mulyadi, 2010). Meskipun
untuk menciptakan kepastian, ketertiban, juga
demikian, dalam perkembangannya hakim di
mencerminkan nilai-nilai filosofis bangsa
Indonesia dalam menjatuhkan putusan pengadilan
yaitu Pancasila demi menunjang kepentingan
memiliki kecenderungan untuk mengikuti putusan
pembangunan nasional (Laporan Hasil Seminar
pengadilan di tingkat atasnya atau di tingkat yang
Hukum Nasional Ke-VI 1994, 1995).
setara terhadap suatu perkara yang sejenis dengan
pertimbangan psikologis, praktis dan alasan Selain itu, dalam sistem hukum di
adanya persesuaian pendapat (Mulyadi, 2010). Indonesia, praktik peradilan (yurisprudensi) dan
hukum kebiasaan merupakan sumber hukum
Dalam memeriksa, mengadili dan memutus
yang melengkapi dan memperkuat hukum tertulis
perkara, maka salah satu tugas hakim yang
sebagai sumber hukum yang utama. Dengan
paling fundamental adalah penemuan hukum
begitu, maka undang-undang akan tetap aktual,

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 179

jurnal agustus isi.indd 179 9/22/2014 9:41:16 AM


efektif, dan dapat meningkatkan wibawa badan- (Mertokusumo, 2006: 32). Terhadap permohonan
badan peradilan karena mampu memelihara banding, hakim pengadilan tinggi harus terlebih
kepastian hukum, keadilan sosial dan pengayoman dulu menilai dan menyatakan apakah permohonan
(Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke-VI banding diterima atau tidak dapat diterima.
1994, 1995).
Permohonan banding dinyatakan tidak dapat
Dalam sistem kekuasaan kehakiman di diterima jika terjadi pelanggaran tertib beracara
Indonesia, hakim diwajibkan untuk melakukan (hukum formil) dalam pengajuan banding,
penemuan hukum saat memeriksa, mengadili dan misalnya surat kuasa khusus untuk banding tidak
memutus perkara. Kewajiban hakim itu dilandasi memenuhi ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR dan
adanya asas ius curia novit (hakim dianggap tahu bertentangan dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1994
hukumnya) serta kewajiban normatif sebagaimana tanggal 14 Oktober 1994 tentang Surat Kuasa
tertuang dalam berbagai ketentuan di dalam Khusus. Contoh lain pelanggaran tata tertib acara
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman untuk banding antara lain: terhadap materi perkara
yaitu: tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum
banding atau pengajuan permohonan banding
a. Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan bahwa
melebihi tenggang waktu yang ditentukan oleh
hakim wajib menggali, mengikuti dan
undang-undang (Mulyadi, 2009: 331).
memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Amar putusan banding dapat berupa tiga
hal sebagaimana diuraikan berikut:
b. Pasal 10 ayat (1) yang mengatur bahwa hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan a. Menguatkan putusan pengadilan negeri,
mengadili perkara dengan dalih hukumnya artinya apa yang telah diperiksa dan diputus
tidak ada atau kurang jelas. pengadilan negeri dianggap benar dan tepat
menurut keadilan.
c. Pasal 50 ayat (1) yang menyatakan bahwa
putusan pengadilan harus memuat alasan b. Memperbaiki putusan pengadilan negeri,
dan dasar putusan, juga memuat pasal artinya apa yang telah diperiksa dan diputus
tertentu dari peraturan perundang- oleh pengadilan negeri kurang tepat menurut
undangan yang bersangkutan atau sumber rasa keadilan karenanya perlu diperbaiki.
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
c. Membatalkan putusan pengadilan negeri,
untuk mengadili.
artinya apa yang telah diperiksa dan diputus
Bagi para pihak yang tidak puas dengan pengadilan negeri dipandang tidak benar
putusan pengadilan di tingkat pertama terbuka dan tidak adil karenanya harus dibatalkan.
upaya hukum banding dalam upaya untuk Dalam hal ini pengadilan tinggi memberikan
mempersoalkan dan memeriksa kembali putusan putusan sendiri.
yang merugikannya. Pada asasnya pengadilan
Apabila putusan pengadilan tinggi
banding merupakan judex facti sehingga
menguatkan putusan pengadilan negeri, artinya
perkara diperiksa secara keseluruhan baik dari
pengadilan tinggi menilai bahwa putusan tersebut
segi peristiwanya maupun dari segi hukumnya

180 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 180 9/22/2014 9:41:16 AM


sudah tepat dan benar, baik mengenai hukum acara 4. Bahwa putusan pengadilan negeri
maupun hukum materilnya (Mulyadi, 2009: 332). mengabulkan gugatan di mana subjek
Apabila putusan pengadilan tinggi membatalkan tergugat tidak lengkap.
putusan pengadilan negeri, hal ini berarti hakim
b. Alasan-alasan bersifat materil:
banding menilai bahwa putusan pengadilan negeri
tersebut dinilai tidak benar ditinjau dari penerapan 1. Bahwa putusan pengadilan negeri
hukum acara dan hukum materil serta tidak sesuai harus dibatalkan karena didasarkan
dengan keadilan. Jika putusan pengadilan negeri pertimbangan yang kurang lengkap.
dibatalkan, pengadilan tinggi langsung mengadili
2. Bahwa putusan pengadilan negeri
sendiri perkara itu (Mulyadi, 2009: 332-333).
telah salah dalam menerapkan hukum
Jika putusan pengadilan tinggi memperbaiki pembuktian atau hukum acara pada
putusan pengadilan negeri diartikan bahwa umumnya.
pengadilan tinggi memandang putusan pengadilan
3. Bahwa pengadilan negeri telah
negeri tersebut kurang tepat menurut rasa keadilan.
memutus melebihi dari tuntutan atau
Dalam praktik, perubahan yang dilakukan hanya
memutus terhadap hal yang tidak
tertuju pada beberapa bagian tertentu dari amar
dituntut.
dan tidak mencakup perubahan pada bagian
pertimbangan karena pertimbangan tersebut dinilai Hakim adalah pejabat negara yang
sudah benar (Mulyadi, 2009: 333). Pemohon melaksanakan kekuasaan kehakiman sehingga
banding tidak wajib menyampaikan memori profesi ini dikenal sebagai officium nobile (profesi
banding (alasan-alasan pengajuan banding), dan yang mulia). Meskipun demikian, hakim adalah
pengadilan tinggi tidak wajib mempertimbangkan manusia yang tidak luput kesalahan, kelalaian,
memori banding karena pada dasarnya di tingkat kekeliruan atau kekhilafan. Kesalahan atau
banding yang masih merupakan judex facti kelalaian (rechterlijk dwaling) tersebut dapat
perkara akan diperiksa kembali. Jika pembanding terjadi dalam lingkup hukum acara perdata
mengajukan memori banding, alasan-alasan yang maupun hukum perdata materil (Mulyadi, 2009:
lazimnya diajukan sebagai alasan memori banding 174). Lilik Mulyadi mengidentifikasi beberapa
pada hakikatnya dapat dikualifikasikan ke dalam aspek yang kerap muncul dan kurang diperhatikan
dua alasan (Mulyadi, 2009: 320), yaitu: oleh hakim dalam membuat putusan, antara lain
(Mulyadi, 2009: 174-179):
a. Alasan-alasan bersifat formal:
a. Kelalaian, kekurang hati-hatian, dan
1. Surat kuasa khusus tidak memenuhi
kekeliruan/kekhilafan hakim dalam
syarat sebagaimana ditentukan oleh
menerapkan hukum acara yang
undang-undang.
mengakibatkan putusan batal demi hukum
2. Ketidakwenangan pengadilan atau dapat dibatalkan.
(kompetensi) mengadili perkara.
b. Kekeliruan/kekhilafan dan kesalahan hakim
3. Bahwa gugatan penggugat adalah dalam menerapkan hukum pada umumnya
obscuur libel. dan hukum pembuktian pada khususnya.

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 181

jurnal agustus isi.indd 181 9/22/2014 9:41:16 AM


c. Kelalaian, kekuranghati-hatian, dan (onvoldoende gemotiveerd), terjadi kesalahan
kekeliruan/kekhilafan hakim yang tidak penerapan hukum acara atau terjadi kesalahan
mengakibatkan putusan batal demi hukum dalam menilai alat bukti.
tetapi hanya sekedar diperbaiki oleh
pengadilan yang lebih tinggi (PT atau MA). IV. ANALISIS
Jika suatu putusan pengadilan negeri A. Posisi Kasus
dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, maka Dalam artikel ini, objek kajian terdiri dari
pengadilan yang lebih tinggi akan mengadili lima putusan PN dan lima putusan PT terkait
sendiri perkara tersebut. Dalam praktiknya, perkara sengketa tanah di Yogyakarta. Untuk
putusan pengadilan negeri dibatalkan oleh memudahkan pemahaman mengenai posisi kasus
pengadilan yang lebih tinggi antara lain karena dari masing-masing perkara, akan diuraikan dalam
putusan judex facti kurang cukup dipertimbangkan tabel berikut:

No. Tingkat Pertama Tingkat Banding Ringkasan Kasus Posisi


1. Putusan Nomor 88/ Putusan Nomor 48/ Dalam perkara ini penggugat mempermasalahkan
Pdt.G/2010/PN.Slmn PDT/2011/PTY penguasaan tanah oleh tergugat I yang dianggap tanpa
alas hak yang tidak sah dan secara melawan hukum,
dikarenakan peralihan hak atas tanah yang menjadi objek
sengketa dilakukan secara tidak sah yaitu adanya faktor
ketidakcakapan dari pihak penjual.
2. Putusan Nomor 105/ Putusan Nomor 57/ Perkara ini menyangkut sengketa tanah dalam perjanjian
Pdt.G/2010/PN.Slmn PDT/2011/PTY kredit dengan jaminan tanah di mana penggugat
mempermasalahkan dan menilai pelelangan tanah
jaminan kredit oleh pemberi kredit tersebut sebagai PMH.
3. Putusan Nomor 54/ Putusan Nomor 70/ Perkara ini muncul dari gugatan ahli waris D (penggugat)
Pdt.G/2004/PN.Slmn PDT/2005/PTY kepada ahli waris Dj berkaitan dengan tidak sahnya
peralihan hak (jual beli) tanah objek sengketa (Leter C
172 Persil 121) yang pada saat diajukan gugatan tanah
objek sengketa sudah dikonversi dan bersertifikat atas
nama Dj.
4. Putusan Nomor 43/ Putusan Nomor 81/ Perkara ini dimulai dengan adanya gugatan ahli waris
Pdt.G/2010/PN.Btl PDT/2011/PTY bernama Ny. S (penggugat) terhadap para tergugat.
Penggugat mengaku dirinya sebagai ahli waris dari Alm.
Ny. P dan bahwa ia adalah pemilik yang sah dari tanah
objek sengketa serta menganggap perbuatan para tergugat
sebagai PMH.
5. Putusan Nomor 122/ Putusan Nomor 60/ Dalam perkara ini, gugatan yang diajukan oleh para ahli
Pdt.G/2010/Pn.Slmn PDT/2011/PTY waris RSB kepada para tergugat di mana para tergugat
dianggap telah merugikan para penggugat karena
menguasai sebidang tanah dan bangunan rumah serta
melakukan berbagai tindakan melawan hukum terkait
beberapa hal.

Tabel 1. Daftar Putusan dan Ringkasan Kasus Posisi

182 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 182 9/22/2014 9:41:16 AM


B. Penerapan Ketentuan Hukum Acara dari para pihak. Meskipun ketentuan hukum acara
dalam Putusan PN dan Putusan PT menghendaki uraian tuntutan dan jawaban yang
berupa ringkasan saja, namun pada praktiknya
Sebagai titik tolak kajian mengenai
majelis hakim biasanya memuat seluruh uraian
penerapan ketentuan hukum acara dalam putusan
gugatan maupun jawaban yang disampaikan para
PN dan putusan PT terkait perkara sengketa
pihak dengan alasan agar tidak terjadi kesalahan
tanah di Yogyakarta, ruang lingkup kajian akan
maupun kekeliruan dalam menuangkan dalil-dalil
dibatasi dalam empat poin permasalahan, yaitu:
para pihak yang bersengketa di dalam putusan
(1) kesesuaian putusan dengan unsur yang
(FGD Hakim PN di Provinsi DIY, Oktober
dipersyaratkan dalam ketentuan hukum acara
2012).
(Pasal 184 HIR); (2) tidak adanya alasan yang
membatalkan putusan maupun alasan batal demi Dari sisi normatif, praktik yang demikian
hukum (null and void); (3) putusan hakim sudah ini pada dasarnya tidak keliru selama uraian
didukung oleh alat bukti yang memadai dan sah tersebut jelas dan merepresentasikan apa yang
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan hukum didalilkan oleh para pihak. Hal ini sesuai dengan
acara; (4) termuatnya sumber hukum formal pendapat Yahya Harahap, bahwa di dalam
selain undang-undang yang dijadikan dasar dalam praktiknya, di dalam putusan dimuat keseluruhan
pertimbangan hakim terkait pembuktian. isi dalil gugatan secara total seakan-akan sudah
menjadi teknis peradilan yang baku sehingga baik
1. Kesesuaian Putusan dengan Unsur PT maupun MA tidak mempersoalkannya lagi
yang Dipersyaratkan dalam Ketentuan (Harahap, 2006: 808).
Hukum Acara (Pasal 184 HIR)
Namun dari praktik tersebut sesungguhnya
Ketentuan Pasal 184 HIR/195 RBg secara terdapat akibat-akibat yang potensial terjadi, yaitu:
normatif mengatur sebagai berikut:
1. Dapat menimbulkan persoalan terkait
Dalam putusan hakim harus dicantumkan pemahaman hakim atas perkara yang
ringkasan yang jelas dari tuntutan dan disengketakan karena tidak terbiasa untuk
jawaban serta alasan dari keputusan itu, menarik inti sari dari fakta-fakta yang
begitu juga harus dicantumkan keterangan dipersengketakan.
tersebut pada ayat (14) Pasal 7,
keputusan pengadilan negeri tentang 2. Putusan tersebut bisa menjadi tidak jelas
pokok perkara dan besarnya biaya, serta
dan sulit dipahami oleh publik jika uraian
pemberitahuan tentang hadir tidaknya
kedua belah pihak itu pada waktu dijatuhkan dalil-dalil gugatan dan jawaban yang
keputusan itu. dimuat di dalam putusan sangat panjang,
berbelit-belit dan rumit untuk dipahami.
Dalam ketentuan tersebut, termuat bagian- Padahal konsep fair trial sebagai sumbu
bagian yang harus ada di dalam putusan pengadilan. utama proses peradilan yang bermartabat
Terkait unsur memuat ringkasan yang jelas dari menekankan salah satu prinsip utama yang
gugatan dan jawaban, di dalam putusan-putusan harus dijunjung yaitu public hearing (asas
yang menjadi objek kajian pada dasarnya telah sidang terbuka untuk umum), di mana
dimuat uraian dalil-dalil gugatan serta jawaban proses pemeriksaan perkara bersifat terbuka

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 183

jurnal agustus isi.indd 183 9/22/2014 9:41:17 AM


untuk umum begitu juga pembacaan pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan
putusan harus dilakukan dalam sidang putusan tersebut tidak diuraikan secara jelas dan
terbuka untuk umum sebagaimana diatur di tidak memuat ketentuan normatif atau pasal dari
dalam ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU No. suatu peraturan perundang-undangan yang dirujuk
48 Tahun 2009. sebagai sumber hukum. Padahal mencantumkan
dasar hukum dan ketentuan normatif dari peraturan
Terkait unsur adanya alasan-alasan putusan,
perundang-undangan maupun sumber hukum
dari sepuluh putusan yang menjadi objek kajian
tidak tertulis adalah suatu prinsip yang harus
dapat diketahui bahwa majelis hakim telah
diterapkan oleh hakim sebagaimana diatur dalam
menetapkan persoalan hukum yang dihadapi dan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009
harus dijawab di persidangan. Penetapan persoalan
yang menegaskan bahwa peradilan dilakukan
hukum tersebut merupakan langkah yang tepat
berdasarkan hukum dan keadilan.
dan sistematik sebagai langkah awal dalam
merumuskan dasar-dasar dalam menjatuhkan Selain itu terdapat kewajiban hakim untuk
putusan. mencantumkan ketentuan pasal dari peraturan
perundang-undangan berdasarkan Pasal 50 ayat
Secara formil alasan-alasan putusan telah
(1) UU No. 48 Tahun 2009. Menurut ketentuan
dimuat di dalam bagian pertimbangan, baik yang
Pasal 178 ayat (1) HIR hakim juga memiliki
memuat pertimbangan dan penilaian hakim atas
kewajiban untuk melengkapi dasar hukum yang
fakta-fakta yang terungkap di persidangan dalam
tidak diajukan/disampaikan oleh para pihak.
bagian pertimbangan tentang duduk perkaranya
Hal ini dipertegas dalam praktik peradilan
(feitelijke gronden/factual grounds) (Mulyadi,
sebagaimana ditunjukkan dalam Putusan MARI
2009: 200) maupun yang memuat dasar-dasar/
No. 1043 K/Sip/1971 tanggal 3 Desember 1974
alasan dalam menjatuhkan putusan yang diuraikan
dalam perkara: Ny. S cs. lawan VS yang kaidah
dalam bagian pertimbangan tentang hukumnya
hukumnya menyatakan bahwa menambahkan
(rechtsgronden/legal grounds) (Mulyadi, 2009:
alasan-alasan hukum yang tidak diajukan oleh
200).
pihak-pihak merupakan kewajiban hakim
Meskipun demikian, terdapat persoalan berdasarkan Pasal 178 HIR.
penerapan Pasal 184 HIR/195 RBg terkait
Tidak diterapkannya ketentuan hukum yang
keharusan mencantumkan alasan dari putusan
berupa asas dan bersifat imperatif ini, putusan
hakim. Sebagai contoh adalah kajian peneliti
pengadilan dapat dinilai cacat sehingga menjadi
terhadap Putusan No. 43/Pdt.G/2010/PN.Bantul.
alasan untuk dibatalkan di pengadilan yang lebih
Di dalam putusan ini dapat ditemukan alasan-
tinggi (Pasal 30 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985
alasan putusan di dalam bagian pertimbangan, baik
tentang MA). Hal ini senada dengan pendapat
yang memuat pertimbangan dan penilaian hakim
Yahya Harahap yang mengatakan bahwa kewajiban
atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan
normatif untuk menyebut pasal-pasal tertentu
maupun yang memuat dasar-dasar/alasan dalam
dari peraturan perundang-undangan atau sumber
menjatuhkan putusan yang diuraikan dalam
hukum tak tertulis yang menjadi landasan putusan
bagian pertimbangan tentang hukumnya.
pada masa sekarang ini tidak diindahkan, bahkan
Alasan-alasan yang dijadikan dasar seringkali putusan menjadi membingungkan

184 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 184 9/22/2014 9:41:17 AM


karena tidak jelas pasal peraturan perundang- b. Adanya kewajiban hakim untuk
undangan mana yang dijadikan rujukan atau mencantumkan ketentuan pasal
landasan pertimbangan (2006: 810). dari peraturan perundang-undangan
berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UU
Dalam Putusan No. 43/Pdt.G/2010/
No. 48 Tahun 2009.
PN.BANTUL tersebut, di dalam pertimbangannya
hakim menyatakan bahwa tergugat I terbukti c. Adanya kewajiban hakim untuk
melakukan perbuatan melawan hukum namun melengkapi dasar hukum yang tidak
tidak disertai dengan uraian tentang ketentuan diajukan/disampaikan oleh para
hukum materil yang ditetapkan atas peristiwa pihak berdasarkan ketentuan Pasal
hukum tersebut. 178 ayat (1) HIR.

Mencantumkan dasar hukum dan ketentuan Terkait unsur dimuatnya pokok perkara,
normatif dari peraturan perundang-undangan dalam perkara gugatan, pokok perkara tersimpul
maupun sumber hukum tidak tertulis adalah dalam amar atau diktum putusan yang merupakan
suatu prinsip yang harus diterapkan oleh hakim, pernyataan yang berkenaan dengan status dan
mengingat alasan-alasan berikut: hubungan hukum para pihak dengan objek
sengketa (Harahap, 2006: 811). Dengan kata lain,
1. Dasar hukum adalah hal yang sangat
amar putusan merupakan jawaban atas sengketa
fundamental yang harus menjadi sumber
yang diajukan di persidangan. Berdasarkan teori
bagi hakim dalam memutus perkaranya
dan praktiknya, ada beberapa ketentuan formil
sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UU No.
yang harus diperhatikan dalam menyusun amar
48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa
putusan, yaitu:
peradilan dilakukan berdasarkan hukum
dan keadilan. 1. Amar ditempatkan setelah bagian
pertimbangan fakta dan hukumnya.
2. Putusan pengadilan (yurisprudensi) adalah
sumber hukum. Putusan pengadilan 2. Amar disusun dengan bertitik tolak dari
menjadi rujukan/pedoman untuk mencari terbukti atau tidaknya gugatan.
dan menggali ketentuan hukum objektif
3. Memperhatikan sifat amar putusan, yaitu
dan subjektif. Putusan pengadilan adalah
hanya amar yang bersifat condemnatoir
rujukan karena sifatnya yang persuasive
(menghukum) yang bisa dieksekusi.
precedent (memberi keyakinan) (Mulyadi,
2010) bahkan dalam perkembangannya di 4. Amar putusan harus jelas (tidak kabur/
negara Belanda dan negara eropa kontinental umum).
lainnya, putusan pengadilan mulai memiliki
Mengingat asas kebebasan/kemerdekaan
kekuatan authoritative precedent (sumber
kehakiman (judicial independence), hakim
hukum yang utama) (FGD, Fernhout, 2012),
berwenang untuk mengabulkan maupun menolak
yaitu:
gugatan. Hakim wajib mengabulkan gugatan jika
a. Adanya asas ius curia novit (hakim terpenuhi beberapa kriteria berikut: alat bukti yang
tahu hukumnya). diajukan berhasil membuktikan dalil gugatan;

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 185

jurnal agustus isi.indd 185 9/22/2014 9:41:17 AM


dalil gugatan mempunyai dasar hukum yang kuat; RBg yaitu ketentuan yang mengatur bahwa hakim
pengabulan gugatan tidak bertentangan dengan wajib mengadili semua bagian yang dituntut
asas kepatutan (appropriateness) dan keadilan (Hamid, 1986: 132). Putusan hakim seharusnya
umum (general justice principle) (Harahap, 2006: menjawab permintaan atau tuntutan dari pihak
815). Sesuai dengan tata tertib beracara, jika penggugat dengan menyatakan mengabulkan atau
gugatan dikabulkan sebagian, maka amar dimulai menolak gugatan atau petitum tersebut. Di dalam
dengan memuat pernyataan Mengabulkan amar atau diktum, ditetapkanlah oleh hakim
gugatan untuk sebagian, kemudian amar putusan siapa yang berhak atau siapa yang benar atas
yang bersifat mengabulkan harus dideskripsi dan pokok perselisihan antara pihak yang berperkara
dirinci satu per satu lalu di bagian akhir amar (Makarao, 2004:128).
ditutup dengan pernyataan Menolak gugatan
Selain itu, dengan adanya ketidaksesuaian
untuk seluruhnya (Harahap, 2006: 815-816).
antara apa yang tertuang di dalam pertimbangan
Secara formil, dalam sepuluh putusan yang hakim (quod vide halaman 115 Putusan) dengan
menjadi objek kajian, amar atas pokok perkara apa yang tidak dituangkan dalam amar atau
telah disusun sesuai dengan tata tertib beracara diktum, maka majelis hakim dalam hal ini
sebagaimana diatur di dalam Pasal 184 HIR/195 menunjukkan ketidakcermatan. Pertimbangan
RBg. Terlepas dari ketaatan terhadap ketentuan hakim atau considerans merupakan dasar dari
Pasal 184 HIR/195 RBg tersebut, terdapat putusan yang meliputi pertimbangan tentang
persoalan terkait pencatuman amar sebagaimana duduk perkaranya dan pertimbangan tentang
dapat dilihat dalam Putusan No. 43/Pdt.G/2010/ hukumnya. Pertimbangan peristiwanya harus
PN.BANTUL. Di dalam putusan tersebut, ada diuraikan oleh para pihak yang berperkara
perbedaan antara bagian yang tercantum di bagian sedangkan pertimbangan hukumnya adalah
pertimbangan dengan bagian amar, yaitu di urusan hakim (Soeroso, 1996: 80).
bagian amar tidak ada putusan yang menyatakan
Pertimbangan hukum merupakan jiwa dan
bahwa tergugat II melakukan PMH namun di
intisari putusan. Setelah menganalisis alat bukti
bagian pertimbangan hakim menyatakan bahwa
yang diajukan para pihak dan mengkonstatir
perbuatan tergugat II yang menumpang adalah
peristiwa yang telah terbukti, hakim harus
PMH sehingga petitum 16 dapat dikabulkan.
menetapkan hukum apa yang diterapkan untuk
Hal ini merupakan kelalaian hakim karena menyelesaikan perkara tersebut. Di dalam
di dalam petitum poin 16, penggugat pun nyata- analisisnya, hakim memberikan pertimbangan
nyata meminta agar hakim menyatakan bahwa yang objektif dan rasional mengenai apa saja yang
penggugat yang tidak mau menyerahkan tanah terbukti dan tidak, untuk kemudian merumuskan
pekarangan Persil 104b Luas 2400 m2 dalam kesimpulan hukum sebagai dasar landasan
keadaan kosong dan bebas syarat maupun beban penyelesaian perkara yang akan dituangkan di
apapun dikualifikasikan sebagai Perbuatan dalam amar atau diktum putusan (Harahap, 2006:
Melawan Hukum (PMH). 809).

Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi Putusan hakim dapat dikualifikasikan
pelanggaran Pasal 178 ayat (2) HIR/189 ayat (2) sebagai onvoldoende gemotiveerd atau putusan

186 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 186 9/22/2014 9:41:17 AM


yang tidak cukup pertimbangan hukumnya jika bahwa suatu putusan pengadilan dapat dikasasi
putusan tersebut tidak dibuat secara lengkap dan jika hakim salah menerapkan atau karena
saksama (Harahap, 2006: 809). Hal ini ditegaskan melanggar hukum yang berlaku, sedangkan
di dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 3766 Pasal 30 huruf c mengatur bahwa putusan dapat
K/Pdt/1985 tanggal 28 Februari 1987, Putusan dikasasi jika hakim lalai dalam memenuhi
Mahkamah Agung RI No. 1854 K/Pdt/1984 syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
tanggal 30 Juli 1987 dan Putusan Mahkamah perundang-undangan yang mengancam kelalaian
Agung RI No. 1250 K/Pdt/1986 tanggal 20 Juli itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
1987 (Mulyadi, 2009: 193).
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
Oleh sebab itu, ketidakcermatan dalam suatu putusan pengadilan adalah batal jika tidak
menyusun putusan pada dasarnya merupakan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam
pelanggaran di dalam hukum acara karena peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, di
putusan pengadilan yang tidak konsisten atau dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
cermat mengakibatkan putusan tersebut tidak itu sendiri dibedakan konsep batal yang berupa
memiliki kepastian hukum. Putusan hakim batal demi hukum (nietig) dan dapat dibatalkan
merupakan produk hukum yang dikeluarkan (vernietigbaar). Batal demi hukum (nietig)
oleh pejabat yudisial yang berwenang untuk itu, berarti tidak sah oleh karenanya tidak mempunyai
sehingga putusan hakim yang diucapkan atau akibat hukum seperti apa yang dikehendaki.
dijatuhkan harus definitif, bulat, tuntas dan pasti Sesuatu yang dinyatakan batal demi hukum
serta tidak mengandung kontradiksi di dalamnya. dianggap menurut hukum tidak pernah ada atau
Putusan yang definitif, bulat dan tuntas memberi tidak pernah terjadi atau tidak pernah dilakukan
kepercayaan dan kepastian kepada para pihak (Prinst, 2002: 138). Dapat dibatalkan (vernietig
yang bersangkutan (Wijayanta & Firmansyah, baar) artinya sesuatu tetap dianggap sah apabila
2011: 27). tidak dimohonkan pembatalannya (Prinst, 2002:
142).
Ditinjau dari sisi praktis, pertimbangan
hukum (rechtsgronden) akan menentukan nilai Putusan batal demi hukum jika tidak
suatu putusan hakim sehingga aspek pertimbangan memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan
hukum oleh hakim harus disikapi secara teliti, perundang-undangan, misalnya hakim tidak
baik dan cermat (Mulyadi, 2009: 193). membacakan putusan di dalam sidang terbuka
untuk umum yang merupakan pelanggaran
2. Tidak Adanya Alasan yang Membatalkan terhadap Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang
Putusan Maupun Alasan Batal Demi Kekuasaan Kehakiman dan ancamannya adalah
Hukum (null and void) putusan tersebut batal demi hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 ayat (3).
Di dalam Pasal 30 huruf b dan c Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Putusan dapat dibatalkan karena putusan
Agung terdapat ketentuan yang bisa dijadikan tersebut melanggar atau bertentangan dengan
pedoman untuk menentukan sah tidaknya suatu hukum yang berlaku. Putusan yang bertentangan
putusan pengadilan. Pasal 30 huruf b mengatur dengan hukum adalah (Soeroso, 1996: 91):

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 187

jurnal agustus isi.indd 187 9/22/2014 9:41:17 AM


1. Apabila peraturan hukum tidak probata (Wijayanta, et.al., 2010: 573) atau
dilaksanakan atau terdapat kesalahan dalam juga dikenal dengan asas secundum allegat
pelaksanaannya; iudicare (Mertokusumo, 2006: 12). Asas ini
menggambarkan bahwa di dalam memeriksa
2. Apabila tidak dilaksanakan peradilan
dan mengadili suatu perkara perdata hakim
berdasarkan tata tertib beracara menurut
terikat pada ruang lingkup sengketa atau perkara
undang-undang.
yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa
Dari sepuluh putusan yang menjadi objek (Mertokusumo, 2006: 12).
kajian, menurut peneliti terdapat tiga putusan
Dengan kata lain hakim harus memutus
pengadilan yang memuat alasan yang dapat
berdasarkan apa yang digugat/dibantah dan
membatalkan putusan. Hal ini dapat terlihat
dibuktikan oleh para pihak (Anonymous, 1856:
dari kajian peneliti terhadap Putusan No. 54/
21). Kepentingan penggugat memegang peranan
Pdt.G/2004/PN.Slm. Peneliti menilai terdapat
krusial atas dimulainya suatu pemeriksaan
kelalaian hakim yang melanggar Pasal 178 HIR
perkara perdata di pengadilan (Mertokusumo,
ayat (2) yaitu dalam kewajibannya mengadili
2006: 224). Di dalam perkara perdata,
semua tuntutan penggugat di mana terhadap
kepentingan penggugat yang terurai di dalam
petitum ke-2 mengenai permohonan penggugat
gugatannya merupakan titik tolak dari hakim
untuk dinyatakannya sah dan berharga sita jaminan
untuk memulai pemeriksaan. Oleh sebab itu
(quo vide halaman 11 Putusan) namun tidak ada
dalam batasan tertentu hakim harus bersikap
satu pun pertimbangan majelis hakim tentang
tut wuri (Mertokusumo, 2006: 12) yaitu
dikabulkan atau ditolaknya permohonan tersebut.
hakim terikat pada gugatan yang diajukan oleh
Ketentuan Pasal 178 HIR ayat (2) bukan penggugat untuk kemudian menentukan apakah
sekadar norma prosedural tetapi merupakan asas hal-hal yang diajukan dan dibuktikan oleh
fundamental yang menurut doktrin asas tersebut penggugat relevan dengan apa yang dituntut
harus ditegakkan oleh hakim saat mengadili dan (van Apeldoorn, 2005: 250-251).
memutus perkara (Harahap, 2006: 797-807). Hal ini
diteguhkan dalam praktik peradilan sebagaimana 3. Putusan Hakim Sudah Didukung
nampak dari yurisprudensi MARI No. 312 K/ Oleh Alat Bukti yang Memadai dan
Sip/1974 tanggal 19 Agustus 1975 dalam perkara: Sah Sebagaimana Ditetapkan dalam
M. Achsan lawan M. Balandi Sutandipura dkk yang Ketentuan Hukum Acara
pada intinya menetapkan bahwa pertimbangan
pengadilan tinggi dibenarkan oleh Mahkamah Tahapan pembuktian merupakan tahapan
Agung yang menyatakan bahwa pendapat hakim prosedural yang sangat penting dalam rangka
pengadilan negeri tidak dapat dibenarkan karena memberikan kepastian atau keyakinan kepada
menurut Pasal 178 HIR hakim wajib memutuskan hakim tentang terjadi/tidaknya peristiwa-
semua bagian tuntutan. peristiwa tertentu (Mertokusumo, 2006: 136).

Kewajiban hakim untuk mengadili Dalam proses perdata, para pihaklah yang
dan memutus seluruh bagian tuntutan sesuai mengemukakan peristiwanya sehingga fakta-
dengan asas judicare secundum allegata et fakta yang diungkapkan di persidangan harus

188 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 188 9/22/2014 9:41:17 AM


dibuktikan oleh para pihak sendiri. Urusan 283 RBg/163 HIR yang menyatakan bahwa
hukumnya adalah tugas hakim (Hamid, 1986: 81).barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak
Oleh sebab itu peran hakim di dalam pembuktianatau mengemukakan suatu perbuatan untuk
sangat penting karena peraturan hukum hanyalahmeneguhkan haknya itu, atau untuk membantah
sebuah alat atau instrumen untuk memutus hak orang lain, haruslah membuktikan adanya
dan mengadili tetapi yang bersifat menentukan perbuatan itu. Pembuktian dilakukan oleh para
tetaplah peristiwanya (Soeroso, 1996: 79). pihak, dan bukan oleh hakim. Alat bukti yang
Hakim harus cermat dan objektif dalam menilai sah sebagaimana dikenal di dalam Pasal 164
fakta-fakta yang diuraikan para pihak menurut HIR dan Pasal 1866 KUHPerdata terdiri dari alat
hukum pembuktian yang berlaku. bukti tertulis, keterangan saksi, persangkaan-
persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar
Secara garis besar, tugas hakim terkait
itu ada pula alat bukti lain yang bisa digunakan
pembuktian meliputi tiga hal, yaitu:
berupa keterangan ahli dan pemeriksaan
1. Menentukan beban pembuktian (bewijslast). setempat.

2. Menyatakan alat bukti yang sah menurut Dari sepuluh putusan pengadilan yang
hukum (bewijs). menjadi objek kajian, hanya satu putusan
pengadilan yang mencerminkan persoalan dalam
3. Menilai kekuatan pembuktian dari alat
penerapan hukum pembuktian oleh hakim. Hal
bukti yang diajukan (bewijskracht).
ini terlihat dari kajian peneliti terhadap putusan
Membuktikan berarti berkaitan dengan No. 54/Pdt.G/2004/PN.Slm. Dalam putusan ini,
penyajian atau pengajuan fakta-fakta/fakta peneliti menilai bahwa majelis hakim membuat
hukum dengan alat-alat bukti yang sah menurut bukti persangkaan yang tidak sah karena ditarik
ketentuan hukum yang berlaku, baik dari dari fakta-fakta yang tidak jelas dan bertentangan
penggugat maupun dari tergugat. Penggugat meskipun fakta tersebut berasal dari alat bukti
harus dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya saksi dan alat bukti tertulis yang diajukan di
kecuali jika tergugat sudah mengakui kebenaran persidangan.
dalil penggugat (Halim, 2005: 85). Dalam tahap
Fakta yang bertentangan tersebut adalah
tanya jawab, pada prinsipnya penggugat harus
di satu sisi hakim menyatakan bahwa para pihak
membuktikan kebenaran dalil gugatannya jika:
tidak bisa menunjukkan putusan desa yang
1. Tergugat tidak mengakui/menyangkal dalil- menerangkan adanya proses jual beli, di sisi
dalil yang diajukan oleh penggugat, dan/atau; lain ada kuitansi pembayaran serta keterangan-
keterangan saksi yang membenarkan adanya jual
2. Tergugat mengajukan dalil-dalil baru yang beli namun oleh hakim dianggap tidak cukup
isinya juga menentang atau menyangkal sebagai alat bukti karena tidak memenuhi syarat
kebenaran dalil-dalil yang diajukan oleh terang dan tunai.
penggugat (Halim, 2005: 85).
Selain itu terdapat pertimbangan hakim
Beban pembuktian umum menurut hukum (quo vide halaman 61 alinea 4 Putusan) yang
acara perdata merujuk pada ketentuan Pasal mencantumkan kalimat ... setidak-tidaknya

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 189

jurnal agustus isi.indd 189 9/22/2014 9:41:17 AM


peralihan hak yang didasarkan atas jual beli fakta. Dengan kata lain, fakta itu tidak boleh
tersebut tidak dilakukan sesuai prosedur hukum hanya terdiri dari satu fakta saja, atau meskipun
yang sah,.... Di satu sisi majelis berkeyakinan terdiri dari banyak fakta namun jika secara
bahwa peristiwa jual beli tidak terbukti namun di kualitas tidak saling terkait dan berkaitan
sisi lain majelis menyatakan bahwa ada jual beli maka fakta tersebut tidak dapat ditarik menjadi
namun tidak sesuai dengan prosedur hukum yang persangkaan.
berlaku. Pertimbangan hukum ini mengandung
Bukti persangkaan dikenal dengan istilah
kontradiksi dan ketidakjelasan.
circumstantial evidence karena bukti ini lebih
Padahal ketentuan Pasal 173 HIR/310 berbentuk kesimpulan-kesimpulan dibanding
RBg telah mengatur bahwa persangkaan yang fakta yang nyata dan langsung. Hal ini sesuai
tidak berdasarkan undang-undang hanya boleh dengan pengertian dari perspektif negara
diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan penganut common law, yaitu Circumstantial
putusannya apabila persangkaan itu penting, evidence is an inference from the impressions
saksama, tertentu dan ada hubungannya satu or perceptions of the tribunal to the objective
sama lain. Mengenai bagaimana penerapan syarat existence of the thing perceived (Phipson, 1920:
penting, saksama, tertentu dan ada hubungannya 705-717).
satu sama lain dalam praktik peradilan, Elfi
Direct evidence (bukti berupa saksi),
Marzuni berpendapat demikian:
documentary evidence (bukti berupa dokumen)
Dalam perkara perdata, fakta itu penting maupun demonstrative evidence bisa digunakan
apabila fakta itu menjadi pokok sengketa untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang
antara penggugat dan tergugat. Penentuan
pokok sengketa oleh hakim diperoleh dari akhirnya membentuk bukti persangkaan (Aristya,
hasil tahapan jawab-jinnawab yang harus 2013: 30).
dilakukan dengan saksama menuju kepada
persoalan hukum tertentu yang sedang Hal ini sesuai dengan pendapat Retnowulan
disengketakan. Kesesuaian fakta dari
bukti-bukti yang diajukan para pihak akan Sutantio yang dikutip dari buku Lilik Mulyadi
membantu hakim untuk menemukan bukti menyatakan bahwa (Mulyadi, 2009: 129):
persangkaan hakim bilamana diperlukan.
Tanpa adanya bukti-bukti yang saling Pengertian persangkaan hakim
bersesuaian dan berkaitan satu sama sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa,
lain hakim tidak akan menemukan bukti keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang
persangkaan hakim (Wawancara, Elfi didapat dari pemeriksaan perkara tersebut,
Marzuni, 2013). kesemuanya itu dapat dijadikan bahan untuk
menyusun persangkaan hakim. Sikap salah
Pendapat Elfi Marzuni ini pada dasarnya satu pihak dalam perkara di persidangan,
misalnya pihak yang bersangkutan
menjelaskan bahwa dalam praktiknya hakim meskipun berkali-kali diperintahkan untuk
dapat menarik kesimpulan atau persangkaan menghaturkan pembukuan perusahaannya,
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di ia ini tidak memenuhi perintah tersebut,
dapat menelurkan persangkaan hakim
persidangan. Hanya fakta yang relevan dengan bahwa pembukuannya itu tidak beres dan
pokok sengketalah yang dapat ditarik sebagai bahwa yang bersangkutan belum memberi
pertanggungjawabannya. Juga, jawaban
persangkaan dan persangkaan itu harus dihasilkan
yang mengelak, jawaban yang tidak tegas,
berdasarkan kesesuaian dan keterkaitan fakta- sifat plin-plan, memberi persangkaan

190 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 190 9/22/2014 9:41:17 AM


bahwa dalil pihak lawan adalah benar, Meskipun demikian, persangkaan memiliki
setidak-tidaknya dapat dianggap sebagai peranan yang vital dalam mengantarkan atau
suatu hal yang negatif bagi pihak tersebut.
menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke
Ketentuan Pasal 1915 BW mengatur bahwa arah yang lebih konkret mendekati kepastian
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh (Harahap, 2006: 686).
undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu
Dalam menerapkan persangkaan hakim
peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu
yang memenuhi syarat mendekati kepastian yang
peristiwa yang tidak diketahui umum. Dalam
dibenarkan hukum, hakim harus memperhatikan
kamus hukum Belanda, persangkaan dikenal
hal-hal berikut (Harahap, 2006: 700):
dengan istilah vermoeden yang berarti dugaan
atau presumptie yang artinya kesimpulan yang 1. Hakim sesungguhnya memiliki kebebasan
ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim dari dan kewenangan menarik kesimpulan
suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada dalam bentuk persangkaan yang bernilai
hal atau tindakan yang belum diketahui. sebagai alat bukti;

Berdasarkan pengertian-pengertian 2. Namun Pasal 173 HIR dan Pasal 1922 BW


tersebut, Yahya Harahap menyimpulkan bahwa mengatur bahwa penggunaan kebebasan
untuk memperoleh persangkaan harus bertitik dan kewenangan itu harus diterapkan secara
tolak dari fakta-fakta yang diketahui, kemudian saksama dan hati-hati;
ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang
3. Sumber landasan fakta yang digunakan
konkret kepastiannya, yang sebelumnya fakta itu
untuk menarik persangkaan harus
tidak/belum diketahui (Harahap, 2006: 684).
berdasarkan fakta yang kuat dari alat bukti
Menurut Yahya Harahap, bukti persangkaan tulisan atau saksi maupun dari pengakuan,
merupakan alat bukti yang tidak termasuk sehingga persangkaan yang ditarik
dominan di dalam hukum acara perdata. Bahkan mendekati kepastian objektif.
Yahya Harahap mengatakan bahwa bukti
Oleh sebab itu, jika persangkaan ditarik dari
persangkaan tidak meliputi segala segi yang
fakta-fakta yang belum terbukti kebenarannya
esensial dari sisi pembuktian (2006: 683). Hal
dan bahkan saling bertentangan sebagaimana
ini disebabkan pengaturan tentang alat bukti
nampak dari putusan No. 54/Pdt.G/2004/
persangkaan hanya diatur dalam satu ketentuan
PN.Slm, persangkaan atau kesimpulan yang
pasal yaitu 173 HIR/310 Rbg. Itupun hanya
ditarik tersebut sangat lemah kualitasnya. Untuk
mengandung pengertian tentang persangkaan
memperoleh persangkaan yang benar-benar
yang sangat kabur dan tidak ada penjelasan
mendekati kepastian, maka fakta yang menjadi
mengenai bagaimana penerapannya di lapangan.
sumber landasannya harus kuat (Harahap, 2006:
Secara sistematis jika dihubungkan dengan
699), dengan kata lain, fakta-fakta yang masih
BW yang mengatur tentang pembuktian secara
mengandung kontradiksi atau pertentangan tidak
umum, justru terdapat lebih banyak pengaturan
dapat dijadikan bukti persangkaan.
tentang persangkaan, yaitu di Pasal 1915-1922
BW.

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 191

jurnal agustus isi.indd 191 9/22/2014 9:41:17 AM


4. Termuatnya Sumber Hukum Formal yang diketahui, kemudian ditarik kesimpulan
Selain Undang-Undang yang Dijadikan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya,
Dasar dalam Pertimbangan Hakim yang sebelumnya fakta itu tidak/belum diketahui
Terkait Pembuktian (Harahap, 2006: 684), sehingga langkah-langkah
menentukan persangkaan adalah: (1) menemukan
Dari sepuluh putusan yang menjadi objek
fakta atau bukti langsung dalam persidangan; dan
kajian, sembilan putusan tidak memuat sumber
(2) dari fakta atau bukti langsung itu kemudian
hukum formal selain undang-undang yang
ditarik kesimpulan yang paling mendekati
dijadikan dasar pertimbangan hakim terkait
kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang
pembuktian. Sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya tidak diketahui.
di atas, tugas hakim terkait pembuktian
meliputi tiga hal, yaitu: (1) menentukan beban Berdasarkan hal tersebut, yurisprudensi dan
pembuktian (bewijslast); (2) menyatakan doktrin sebagai sumber hukum formil sebenarnya
alat bukti yang sah menurut hukum (bewijs); dapat berguna bagi hakim sebagai rujukan dalam
serta (3) menilai kekuatan pembuktian dari menerapkan ketentuan hukum pembuktian yang
alat bukti yang diajukan (bewijskracht). diatur dalam peraturan perundang-undangan
sehingga hakim memiliki dasar yang kuat dalam
Terkait tiga aspek pembuktian tersebut,
menerapkan beban pembuktian yang menjunjung
sebenarnya terdapat sumber hukum formil di
asas audi et alteram partem (judges hear both
luar undang-undang yang mengatur hukum
sides) dan menilai alat bukti serta supaya hakim
pembuktian. Sebagai contoh, terkait beban
tidak keliru atau salah dalam menerapkan hukum
pembuktian. Selain diatur dalam Pasal 163 HIR,
pembuktian. Meskipun suatu ketentuan hukum
terdapat yurisprudensi yaitu Putusan MARI No.
acara telah diatur dalam undang-undang maupun
547/K/Sip/1971 tanggal 15 Maret 1972 yang
kodifikasi, sesungguhnya kekosongan hukum
memutuskan bahwa pembuktian yang diletakkan
masih sering terjadi.
kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu
yang negatif adalah lebih berat daripada beban Selain itu, pelaksanaan hukum yang
pembuktian pihak yang harus membuktikan terlalu berorientasi pada undang-undang
sesuatu yang positif di mana pihak yang terakhir maupun kodifikasi akan semakin menjauhkan
inilah yang lebih mampu untuk membuktikan. pelaksanaan hukum dari keadilan (Mulyadi,
Yurisprudensi ini sesuai dengan prinsip negative 2009: 298). Di satu sisi, hukum acara perdata
non sunt probanda (membuktikan sesuatu yang masuk ke dalam penggolongan tradisional
negatif adalah sulit) (Mertokusumo, 2006: 142). sebagai hukum publik (Sanusi, 2002: 105).
Pada umumnya hukum publik adalah hukum
Selain yurisprudensi, juga terdapat
yang sifatnya memaksa sehingga tidak
doktrin atau pendapat dari sarjana hukum yang
diperkenankan adanya penyimpangan terhadap
terkemuka dan ilmiah terkait penerapan alat bukti
hukum publik tersebut (Sanusi, 2002: 110).
yang sah menurut hukum. Sebagai contoh ajaran
Yahya Harahap mengenai bukti persangkaan Mengingat undang-undang dan kodifikasi
yang menyimpulkan bahwa untuk memperoleh bukanlah satu-satunya sumber hukum di
persangkaan harus bertitik tolak dari fakta-fakta Indonesia (Mertokusumo, 2006: 7-10), maka

192 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 192 9/22/2014 9:41:17 AM


keberadaan yurisprudensi dan doktrin sebagai berupa pelanggaran asas putusan yang penting
sumber hukum dalam hukum acara perdata tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 178 HIR dan
bisa ditiadakan sama sekali. Yurisprudensi dan pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-
doktrin sesungguhnya merupakan instrumen Undang Kekuasaan Kehakiman.
yang dapat membantu hakim dalam mewujudkan
Dari hasil kajian juga dapat ditarik
keadilan prosedural (procedural justice).
simpulan tentang adanya disparitas (perbedaan)
Keadilan prosedural sesungguhnya merupakan
hakim dalam menerapkan ketentuan hukum acara
implementasi dari due process yang terwujud ketika
dengan titik tolak yang meliputi 4 (empat) aspek
proses beracara telah dilakukan secara seimbang
yaitu: (1) kesesuaian putusan dengan unsur yang
dan adil (fair and equitable) (Aristya, 2012).
dipersyaratkan dalam ketentuan hukum acara
Di antara beberapa prinsip utama (leading (Pasal 184 HIR); (2) tidak adanya alasan yang
principles) dalam menyelesaikan perkara membatalkan putusan maupun alasan batal demi
perdata di pengadilan, terdapat dua prinsip yang hukum (null and void); (3) putusan hakim sudah
mendorong terwujudnya keadilan prosedural didukung oleh alat bukti yang memadai dan sah
yaitu: ensuring the fairness of the process sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan hukum
(jaminan atas proses yang adil) dan achieving acara; (4) termuatnya sumber hukum formal
just and effective outcome (berorientasi pada selain undang-undang yang dijadikan dasar
penyelesaian sengketa yang efektif dan adil) dalam pertimbangan hakim terkait pembuktian.
(Neils, 2012). Itulah mengapa, penggunaan
Dari kelima putusan pengadilan di tingkat
sumber hukum lain selain undang-undang di
pertama (PN), terdapat 100% dari total putusan
dalam hukum acara perdata khususnya dalam
yang telah memperhatikan aspek-aspek yang
penerapan hukum pembuktian merupakan sesuatu
penting dalam kesesuaian putusan dengan unsur
yang wajib dilakukan oleh hakim semata-mata
yang dipersyaratkan dalam ketentuan hukum
dalam rangka memberikan perlakuan yang lebih
acara, terutama menurut Pasal 184 HIR. Putusan
adil, tidak memihak dan berorientasi kepada
yang tidak mengandung persoalan yang menjadi
penyelesaian sengketa yang efektif.
alasan pembatalan di tingkat yang lebih tinggi
berjumlah 60%. Terdapat 80% dari total putusan
V. SIMPULAN
yang telah didukung dengan alat bukti yang
Berdasarkan tinjauan dan kajian tersebut, memadai dan sah berdasarkan ketentuan hukum
maka dapat ditarik simpulan bahwa di dalam acara dan hanya 20% dari total putusan yang
putusan-putusan pengadilan yang dikaji, menerapkan dasar hukum selain undang-undang
meskipun pada batasan tertentu pengadilan telah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim terkait
menerapkan ketentuan hukum formil (acara) pembuktian.
dalam mengadili dan memutus perkara, tetapi
Persoalan utama yang terjadi di pengadilan
masih terdapat persoalanpersoalan yang dapat
tingkat pertama adalah terkait aktivitas penemuan
menjadi alasan dibatalkannya putusan tersebut
hukum oleh hakim dalam mencari dasar hukum di
di tingkat yang lebih tinggi. Persoalan terkait
luar undang-undang yang memberikan landasan
penerapan hukum formil yang terjadi terutama
yang kuat dalam pertimbangan putusannya,

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 193

jurnal agustus isi.indd 193 9/22/2014 9:41:17 AM


sementara dari kelima putusan pengadilan di could be incorporated in the draft law of
tingkat banding (PT), terdapat 100% dari total Indonesia pada 28 Juni 2012.
putusan yang telah memperhatikan aspek-aspek
____________________. 2013. Penerapan Alat
yang penting dalam kesesuaian putusan dengan
Bukti Persangkaan Sebagai Circumstantial
unsur yang dipersyaratkan dalam ketentuan
Evidence dalam Perkara Kelalaian Medis
hukum acara terutama menurut Pasal 184 HIR.
Di Yogyakarta. Laporan hasil penelitian
Putusan yang tidak mengandung persoalan melalui Unit Penelitian dan Pengabdian
yang menjadi alasan pembatalan di tingkat yang Masyarakat Fakultas Hukum UGM periode
lebih tinggi berjumlah 80%. Terdapat 100% Mei-Agustus 2013.
dari total putusan yang telah didukung dengan
alat bukti yang memadai dan sah berdasarkan Daryono. 2004. The Alternative Dispute
ketentuan hukum acara. Meskipun begitu, Resolution and the Customary (Adat) Land
ternyata 0% dari total putusan yang menerapkan Dispute in Indonesia. Akses 11 April 2013.
dasar hukum selain undang-undang yang http://coombs.anu.edu.au/SpecialProj/
dijadikan dasar pertimbangan hakim terkait ASAA/biennial-conference/2004/Daryono-
pembuktian. Persoalan utama yang terjadi di ASAA2004.pdf .
pengadilan tingkat banding pun cenderung
FGD Hakim Pengadilan Negeri di Provinsi DIY.
sama dengan yang terjadi di pengadilan tingkat
Oktober 2012.
pertama yaitu terkait aktivitas penemuan hukum
oleh hakim dalam mencari dasar hukum di luar FGD. Fokke Fernhout. 2012 (University of
undang-undang yang memberikan landasan yang Maastricht).
kuat dalam pertimbangan putusannya.
Halim, A. Ridwan. 2005. Hukum Acara Perdata
(Dalam Tanya Jawab). Edisi Revisi Cetakan
Ketiga. Bogor: Ghalia-Indonesia.

Hamid, A.T. 1986. Hukum Acara Perdata Serta


DAFTAR PUSTAKA Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Anonymous. 1856. Maxims of Law from
Bouviers 1856 Law Dictionary. Akses Harahap, Yahya. 2006. Hukum Acara Perdata.
19 Mei 2014. http://www.rightsandwrong. Cetakan keempat. Jakarta: Sinar Grafika.
com.au/MAXIMS.pdf. Kepaniteraan Mahkamah Agung RI. Keadaan
Aristya, Sandra Dini F. 2012. Integrating Small Perkara yang Diregister Tahun 2010.
Claim Court Within Indonesian Civil Akses 4 April 2013. http://kepaniteraan.
Litigation (Comparative Perspectives in mahkamahagung.go.id/statistik-
Civil Law and Common Law Countries). perkara/125.html.
Paper dipresentasikan pada International Laporan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke-
Conference of the Draft of Civil Procedure VI 1994. Pembangunan Sistem Hukum
Law berjudul How Small Claim Court Nasional dalam PJPT Kedua (BPHN

194 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 173 - 195

jurnal agustus isi.indd 194 9/22/2014 9:41:17 AM


Departemen Kehakiman). Varia Peradilan, Phipson, Sydney L. 1920. Real Evidence. The
No. 115 Tahun X April 1995. Yale Law Journal, Vol. 29, No. 7.

Makarao, Moh. Taufik. 2004. Pokok-Pokok Prinst, Darwan. 2002. Strategi Menyusun dan
Hukum Acara Perdata. Cetakan Pertama. Menangani Gugatan Perdata. Cetakan
Jakarta: Rineka Cipta. Ketiga Revisi. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara
Perdata Indonesia. Edisi Ketujuh Cetakan Sanusi, Ahmad. 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan
Pertama. Yogyakarta: Liberty. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Cetakan
Kedua Edisi Keempat. Bandung: Tarsito.
___________________. 2009. Penemuan Hukum
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Soeroso, R. 1996. Praktik Hukum Acara Perdata
(Tata Cara dan Proses Persidangan).
Mulyadi, Lilik. 2009. Kompilasi Hukum Perdata
Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan
(Hukum Acara Perdata, Hukum Perdata Van Apeldoorn, L.J. 2005. Pengantar Ilmu Hukum.
Materil, Pengadilan Hubungan Industrial, Jakarta: Pradnya Paramita.
Pengadilan Perkara Perdata Niaga).
Wijayanta, Tata & Firmansyah, Herry. 2011.
Edisi Pertama Cetakan ke-1. Bandung: PT.
Perbedaan Pendapat dalam Putusan
Alumni.
Pengadilan. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
________________. 2009. Putusan Hakim Pustaka Yustisia.
dalam Hukum Acara Perdata Indonesia
Wijayanta, Tata, et.al. 2010. Penerapan Prinsip
(Teori,Praktik, Teknik Membuat dan
Hakim Pasif dan Aktif Serta Relevansinya
Permasalahannya). Cetakan ke-1. Bandung:
Terhadap Konsep Kebenaran Formal.
PT.Cipta Aditya Bakti.
Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3.
________________. 2010. Eksistensi
__________________. 2013. Kajian
Yurisprudensi Dikaji Dari Perspektif
Komprehensif terhadap Putusan-Putusan
Teoritis dan Praktik Peradilan. Akses 11
Pengadilan di Wilayah Provinsi Daerah
April 2013. http://pn-kepanjen.go.id/index.
Istimewa Yogyakarta Terkait Perkara
php?option=com_content&view=article&i
Sengketa Tanah yang Mengandung Gugatan
d=104:eksistensi yurisprudensi-dikaji-dari-
Monetary Remedy dan/atau Equitable
perspektif-teoretis-dan-praktik peradilan&c
Remedy. Laporan Hasil Penelitian yang
atid=23:artikel&Itemid=36.
disusun dalam rangka program Penelitian
Neils, Andrew. 2012. Fundamental Principles Putusan Hakim Tahun 2013 yang diadakan
of Civil Procedure: Order Out of Chaos. oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia.
di dalam Kramer, X.E., van Rhee, C.H.
Civil Litigation in a Globalising World. The
Hague: Asser Press.

Disparitas Putusan Perkara Sengketa Tanah (Tata Wijayanta & Sandra Dini Febri Aristya) | 195

jurnal agustus isi.indd 195 9/22/2014 9:41:17 AM


jurnal agustus isi.indd 196 9/22/2014 9:41:17 AM
reduksi Fungsi Anggaran DPR
dalam Kerangka Checks AND Balances
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013

REDUCTION OF THE HOUSES BUDGETING FUNCTION IN


TERMS OF CHECKS AND BALANCES
An Analysis of the Constitutional Courts Decision Number 35/PUU-XI/2013

Yutirsa Yunus & Reza Faraby


Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas
Jl. Taman Suropati No. 02, Jakarta Pusat 10310
E-mail: yutirsa.yunus@support.bappenas.go.id & rezafaraby@bappenas.go.id

Naskah diterima: 1 Juli 2014; revisi: 5 Agustus 2014; disetujui: 8 Agustus 2014

ABSTRAK pembangunan dan penganggaran, sementara DPR


mewujudkan fungsi politik anggaran yang sesuai amanat
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013
UUD NRI 1945.
merupakan salah satu putusan penting. Putusan ini
telah merombak struktur ketatanegaraan Indonesia Kata kunci: fungsi anggaran, APBN, checks and
yang menyimpang dari prinsip-prinsip negara hukum balances.
demokratis, khususnya dalam pelaksanaan fungsi
anggaran oleh pemerintah dan DPR. Kewenangan dua ABSTRACT
lembaga dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan The Constitutional Court Decision Number 35/PUU-
penganggaran pada dasarnya merupakan konsekuensi XI/2013 is one of the crucial decisions. This decision has
konsep negara hukum yang menganut prinsip checks revolutionized the Indonesian constitutional structure
and balances, yang bertujuan agar kekuasaan tidak which seems to have deviated from democratic principles
hanya terletak pada satu tangan dan menghasilkan and rule of law, especially in the implementation
sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. Namun, of budgeting function by the government and the
pelaksanaan fungsi anggaran oleh kedua lembaga harus parliament. Those two agencies authorities in carrying
memerhatikan batasan-batasan sesuai fungsi masing- out the function of planning and budgeting are basically
masing agar tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, a consequence of checks and balances principle in
konflik horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan. the rule of law, which aims to prevent corruption
Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor and authoritarian system resulted from an absolute
35/PUU-XI/2013 berhasil membatasi kewenangan government power. However, the implementation of
DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai pada the budgeting function by both agencies should give
tingkat program. Pembatasan fungsi DPR ini merupakan attention to each agencys function limits in order to avoid
upaya tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang intervention of power, conflict of interest, and abuse of
dan justru mengacaukan sistem perencanaan dan power. In this case, the Constitutional Court Decision
penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, putusan No. 35/PUU-XI/2013 has affirmed the limitation to the
ini telah mereposisi kembali fungsi checks and balances Parliaments authority to discuss the National Budget
di mana pemerintah mewujudkan fungsi perencanaan Plans only in the scheme level. This limitation of the

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 197

jurnal agustus isi.indd 197 9/22/2014 9:41:17 AM


functions of Parliament is made as an effort to prevent the of Representatives implements the budgeting policy as
Parliaments authority being that could possibly disrupt mandated on the 1945 Constitution of the Republic of
the governments planning and budgeting system. Thus, Indonesia.
this decision has repositioned the function of checks and
Keywords: budgeting function, the National Budget
balances, in which the government holds the function of
Plans, checks and balances.
development planning and budgeting, while the House

I. PENDAHULUAN menyetujui R-APBN, termasuk pengawasan atas


pelaksanaan Anggaran dan Pendapatan Belanja
Sebagai sebuah negara hukum demokratis,
Negara (APBN).
Indonesia berupaya menerapkan pemisahan
dan pembagian kekuasaan (separation and Pada asasnya, dalam sistem pemerintahan
distribution of power) guna mencegah terjadinya presidensial yang dianut Indonesia, pelaksanaan
penyalahgunaan kekuasaaan yang sewenang- fungsi anggaran merupakan fungsi utama
wenang, sebagaimana diungkapkan oleh pemerintah, namun secara teoretis maupun
Lord Acton bahwa, power tends to corrupt, praktis, peran DPR dibutuhkan untuk mewujudkan
absolute power corrupts absolutely. Pemisahan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel.
dan pembagian kekuasaan ini berkaitan erat Namun, diperlukan batasan agar tidak terjadi
dengan pemisahan fungsi (Lutz, 2011: 112), intervensi domain kekuasaan, konflik horizontal,
yang diejawantahkan dalam berbagai model maupun penyalahgunaan kekuasaan (abuse
di antaranya adalah konsep trias politica oleh of power). Pada praktiknya, DPR memiliki
Montesquieu yang memisahkan tiga fungsi kekuasaan berlebihan dalam menjalankan fungsi
kekuasaan negara yakni, eksekutif, legislatif, dan
anggaran, antara lain dalam membahas rancangan
yudikatif (Montesquieu, 1989: 169). anggaran yang terlalu detil dan memberikan tanda
bintang untuk menunda pencairan anggaran, yang
Pemisahan fungsi di atas merupakan
berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan
implementasi konsep negara hukum demokratis
kasus-kasus korupsi yang terkait penyalahgunaan
yang dibangun menurut prinsip checks and
anggaran.
balances, yang intinya menghendaki agar
kekuasaan tidak hanya terletak pada satu Hal ini yang mendasari permohonan
tangan, sebagaimana lazim terjadi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
sistem pemerintahan otoriter. Salah satu bentuk 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya
pemisahan dan pembagian fungsi berdasarkan disebut UU Keuangan Negara) dan Undang-
prinsip checks and balances adalah fungsi Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
anggaran (budgetary function). Di Indonesia, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU
fungsi anggaran dijalankan oleh pemerintah yang MD3) terkait fungsi anggaran DPR yang dianggap
bertugas menyusun Rancangan Anggaran dan bertentangan dengan konstitusi. Atas permohonan
Pendapatan Belanja Negara (R-APBN), bersama ini, Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan
dengan DPR yang bertugas ikut membahas dan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013,

198 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 198 9/22/2014 9:41:18 AM


memutus untuk memangkas kewenangan DPR Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa, Negara
agar tidak terlalu detil dalam membahas rancangan Indonesia merupakan negara hukum. Menurut
anggaran. Jimly Asshiddiqie (2010: 55), ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa:
Sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi
lazimnya, putusan ini merupakan putusan ..Adanya pengakuan terhadap prinsip
penting (landmark decision), yang merombak supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya
prinsip pemisahan dan pembatasan
kembali tatanan fungsi antar lembaga negara
kekuasaan menurut sistem konstitusional
dalam menjalankan fungsi anggaran. Mahkamah yang diatur dalam Undang-Undang Dasar,
Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU- adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia
XI/2013 menggunakan dasar pertimbangan yang dalam Undang-Undang Dasar, adanya
sangat kaya akan elaborasi dan kontemplasi prinsip peradilan yang bebas dan tidak
memihak yang menjamin persamaan setiap
akademis mengenai nilai-nilai dan konsep dasar
warga negara dalam hukum, serta menjamin
negara hukum, checks and balances, pemisahan keadilan bagi setiap orang termasuk
dan pembagian kekuasaan, maupun sistem terhadap penyalahgunaan wewenang oleh
pemerintahan presidensial yang dikaitkan dengan pihak yang berkuasa.
sistem dan praktik perencanaan penganggaran
Pandangan Jimly Asshiddiqie mengenai
yang ideal. Adapun hal paling krusial namun
konsep negara hukum dalam UUD NRI 1945
implisit dalam putusan ini merefleksikan bahwa
tidak terlepas dengan faktor historis Indonesia
reformasi sistem perencanaan dan penganggaran
sebagai negara bekas jajahan kolonial Belanda
pasca Orde Baru yang telah berlangsung 15 tahun,
yang turut mewarisi sistem hukum Eropa
ternyata masih membuka potensi korupsi akibat
Kontinental maupun konsep negara hukum Eropa
fungsi dan kewenangan yang berlebihan oleh
yakni, rechtstaat. Adapun unsur-unsur negara
suatu lembaga.
hukum rechtstaat menurut Julius Stahl, mencakup
(Budiardjo, 2001: 57-58):
II. RUMUSAN MASALAH
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, berikut ini dirumuskan b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan
permasalahan sebagai berikut: bagaimanakah untuk menjamin hak asasi manusia;
implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor c. Pemerintah berdasarkan peraturan
35/PUU-XI/2013 terhadap pelaksanaan fungsi perundang-undangan; dan
anggaran dan prinsip checks and balances di
Indonesia? d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Salah satu unsur esensial rechtstaat adalah


III. STUDI PUSTAKA adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan.
A. Konsep Negara Hukum Demokratis dan Konsep ini secara konkret dikembangkan oleh
Checks and Balances Montesquieu yang membagi kekuasaan negara
menjadi tiga cabang kekuasaan utama, yakni (i)
Konsep negara Indonesia sebagai negara
kekuasaan eksekutif, dijalankan oleh pemerintah;
hukum dinyatakan dengan tegas dalam ketentuan

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 199

jurnal agustus isi.indd 199 9/22/2014 9:41:18 AM


(ii) kekuasaan legislatif, dijalankan oleh parlemen; mekanisme interkasi yang harus dilakukan untuk
dan (iii) kekuasaan yudikatif, dijalankan oleh menjaga prinsip checks and balances berjalan
lembaga peradilan (Montesquieu, 1989: 169). baik (Dragu et.al., 2014: 2). Dalam hal inilah
Konsep pemisahan dan pembagian kekuasaan dibutuhkan batasan-batasan antar lembaga dalam
ini menjadi cikal bakal berkembangnya konsep menjalan fungsinya masing-masing.
negara hukum klasik menjadi negara hukum
demokratis, di mana parlemen telah memiliki B. Fungsi Anggaran Eksekutif dan Legislatif
kedudukan setara dengan pemerintah. Sehingga, dalam Penyusunan APBN
konsep negara hukum demokratis tidak lagi
menempatkan pemerintah sebagai pihak tunggal Penyelenggaraan negara sangat bertumpu
dan sentral yang potensial menghasilkan pada pengelolaan keuangan negara yang terstruktur
pemerintahan otoriter. melalui sistem perencanaan dan penganggaran.
Dalam konteks Indonesia, perencanaan dan
Konsep ini diterapkan Indonesia di mana (i) penganggaran keuangan negara dilaksanakan
kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Pemerintah oleh pihak eksekutif, yakni Pemerintah Republik
Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai Indonesia, yang dituangkan di dalam Anggaran
Kementerian/Lembaga dan dikepalai oleh Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai
Presiden; (ii) kekuasaan legislatif dijalankan oleh amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, bahwa:
MPR yang terdiri dari DPR dan DPD; dan (iii)
Anggaran pendapatan dan belanja negara
kekuasaan yudikatif dijalankan oleh lembaga
sebagai wujud dari pengelolaan keuangan
peradilan. Ketiga fungsi ini belum dijalankan negara ditetapkan setiap tahun dengan
di Indonesia sebelum amandemen UUD undang-undang dan dilaksanakan secara
terbuka dan bertanggung jawab untuk
1945. Sebelumnya, ketentuan UUD 1945 pra
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
amandemen menempatkan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara. Sementara Presiden sebagai Ketentuan di atas mengandung tiga unsur
kepala kekuasaan eksekutif, secara tekstual dan utama yang harus diperhatikan dalam penyusunan
praktikal, berada di bawah MPR. Namun, pasca APBN, yakni:
amandemen UUD NRI 1945, baik MPR, DPR,
1. Dilaksanakan secara terbuka dan
DPD, dan Presiden telah memiliki posisi setara
akuntabel, artinya proses perencanaan
sebagai lembaga tinggi negara.
dan penganggaran harus membuka akses
Lebih lanjut, prinsip pemisahan dan kepada seluruh pihak dan masyarakat
distribusi kewenangan dilengkapi dengan prinsip untuk memungkinkan penyerapan aspirasi
checks and balances. Prinsip ini bertujuan untuk masyarakat seluas-luasnya serta menutup
mewujudkan keselarasan pelaksanaan fungsi celah korupsi dan penyalahgunaan keuangan
maupun pengawasannya oleh masing-masing negara;
lembaga. Namun pada praktiknya, pelaksanaan
2. Ditujukan untuk sebesar-besarnya
prinsip checks and balances sangat kompleks.
kemakmuran rakyat, artinya penyusunan
Utamanya dalam hal terdapat dua lembaga negara
APBN tidak boleh dimaknai sebagai
yang menjalankan fungsi yang sama dalam
sarana untuk menampung seluruh program/
menetapkan kebijakan, terdapat banyak pola atau

200 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 200 9/22/2014 9:41:18 AM


kegiatan K/L yang hanya bersifat rutin dan masyarakat. Dikarenakan fungsi APBN yang
operasional, melainkan harus sungguh- sangat vital karena menyangkut kemaslahatan
sungguh disesuaikan antara program/ rakyat Indonesia, maka penyusunannya tidak
kegiatan fungsional K/L dengan kebutuhan hanya dilaksanakan oleh lembaga eksekutif,
masyarakat; dan namun dibutuhkan pula peran lembaga legislatif
untuk melakukan persetujuan atas rancangan
3. Penetapan APBN melalui undang-undang,
anggaran yang disusun oleh pemerintah. Logika
merupakan jaminan legalitas APBN sebagai
ini sesuai dengan berbagai praktik di setiap negara
produk eksekutif atas keuangan negara yang
demokrasi yang berfungsi dengan baik, di mana
perlu mendapat persetujuan oleh pemilik
pemeriksaan seksama atas rancangan anggaran
uang negara yakni, seluruh masyarakat
oleh parlemen merupakan hal esensial dalam
Indonesia sebagai pembayar pajak, yang
persetujuan anggaran (Juwono & Eckardt, 2008:
diwakili oleh DPR sebagai perwakilan
302).
rakyat.
Dalam siklus perencanaan dan penganggaran
Ketiga poin di atas mencerminkan bahwa
di Indonesia, DPR memiliki peran pada tahap
APBN bukan hanya sekedar kumpulan mata
akhir, yakni menyetujui rancangan anggaran
anggaran, melainkan juga merupakan sebuah
(R-APBN) yang diajukan dan mengesahkannya
kebijakan. Sebagai instrumen kebijakan, APBN
menjadi undang-undang (APBN). Secara rinci,
bersifat multi-fungsi yang digunakan sebagai
sebelum diajukan ke DPR, R-APBN telah disusun
alat untuk mencapai arah dan tujuan masyarakat
sedemikian rupa melalui proses perencanaan dan
(Soeriaatmadja et.al., 2010: 4). Hal yang sama
penganggaran di lingkup pemerintah dengan
dinyatakan dalam Penjelasan Umum poin 6
melibatkan seluruh unit eksekutif yang terdiri
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
atas puluhan Kementerian/Lembaga (selanjutnya
Keuangan Negara, bahwa:
disingkat K/L), yang terbagi lagi ke dalam
Anggaran adalah alat akuntabilitas, belasan ribu satuan kerja. Kompleksitas proses
manajemen, kebijakan ekonomi. Sebagai perencanaan dan penganggaran ini merupakan
instrumen kebijakan ekonomi anggaran
berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan mekanisme yang terdiri atas beberapa tahapan
dan stabilitas perekonomian serta pemerataan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab di
pendapatan dalam rangka mencapai tujuan
dalamnya yakni (Kementerian Keuangan, 2013:
bernegara.
60): (i) pembuatan perencanaan dan penganggaran
Dengan demikian, APBN memiliki peran berbasis kebijakan oleh Bappenas, Departemen
yang sangat vital sebagai kebijakan anggaran Keuangan dan departemen teknis; (ii) penyusunan
yang menentukan berjalannya program-program pagu anggaran indikatif dan rencana kerja masing-
dan kegiatan-kegiatan di Kementerian/Lembaga masing K/L (Renja-K/L), dengan merujuk
mulai dari pemenuhan hak dasar, pelayanan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang
publik yang baik dan berkualitas, pembangunan merupakan bagian dari Rencana Pembangunan
infrastruktur yang memadai, kepastian dan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); (iii)
penegakan hukum, dan berbagai program/ pembahasan di DPR yang terdiri atas pandangan
kegiatan yang bertujuan untuk menyejahterakan umum masing-masing fraksi terhadap R-APBN

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 201

jurnal agustus isi.indd 201 9/22/2014 9:41:18 AM


Gambar 1. Pemetaan Tanggung Jawab dalam Siklus Perencanaan dan Penganggaran
(Sumber: Bappenas, 2010)

hingga rapat kerja komisi dengan K/L, yang dapat pemeriksaan seksama, persetujuan, maupun
menghasilkan berbagai revisi anggaran sebelum pengawasan oleh lembaga legislatif. Dengan
mencapai keputusan penolakan atau penetapan demikian, proses perencanaan dan penganggaran
menjadi undang-undang (Bappenas, 2010: 108). dalam hal ini merupakan implementasi konsep
negara hukum demokratis yang bertumpu pada
Skema di atas menggambarkan kompleksitas
checks and balances.
proses perencanaan dan penganggaran yang paling
banyak melibatkan pihak pemerintah. Besarnya
IV. ANALISIS
peran pemerintah dalam proses ini merupakan
A. Putusan Nomor 35/PUU-XI/2013: Fungsi
domain fungsi, kewenangan, maupun diskresi
Anggaran dan Checks and Balances
lembaga eksekutif dalam merencanakan program/
kegiatan yang dapat dijalankan secara operasional Ketentuan mengenai penyusunan APBN
untuk kepentingan masyarakat umum. Namun, yang melibatkan dua lembaga tinggi negara yakni
untuk mencegah terjadinya pemerintahan yang pemerintah dan DPR dianggap telah bertentangan
otoriter, maka pelaksanaan fungsi, kewenangan, dengan prinsip-prinsip negara hukum maupun
maupun diskresi pemerintah membutuhkan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini terbukti

202 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 202 9/22/2014 9:41:19 AM


pada implementasinya yang kerap menimbulkan dan Pasal 156 butir c angka (2) UU MD3).
permasalahan dalam praktik perencanaan
Berdasarkan permohonan di atas, Mahkamah
penganggaran. Sebagai eksesnya, lembaga
Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon
swadaya masyarakat dan akademisi mengajukan
untuk sebagian yakni:
permohonan Nomor 35/PUU-XI/2013 diajukan
oleh mengenai pengujian beberapa pasal dalam 1. Terkait dengan keberadaan Badan Anggaran
UU Keuangan Negara dan UU MD3 yang terkait di DPR, Mahkamah Konstitusi memutus
dengan kewenangan DPR dalam melaksanakan bahwa hal tersebut sesuai dengan peraturan
hak anggaran. Ketentuan dalam kedua undang- perundang-undangan yang berlaku dan
undang tersebut dianggap telah mengatur fungsi tidak bertentangan dengan UUD 1945;
anggaran DPR yang begitu luas dalam proses
2. Terkait dengan kewenangan Badan
penyusunan APBN sehingga dapat menimbulkan
Anggaran DPR dan kewenangan DPR
ketidakpastian hukum, berpotensi menciptakan
untuk melakukan pembahasan APBN
penyalahgunaan kewenangan, menjadi akar
secara rinci hingga level kegiatan dan jenis
praktik korupsi, serta bertentangan dengan UUD
belanja (satuan tiga). Mahkamah Konstitusi
1945. Secara garis besar, poin permohonan yang
memutus bahwa kewenangan tersebut
diajukan terkait dengan lima isu, sebagai berikut:
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
1. Keberadaan Badan Anggaran di DPR yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
bersifat tetap (Pasal 104 dan 105 ayat (1) Sehingga, DPR hanya berwenang membahas
UU MD3); rincian alokasi pada unit organisasi, fungsi,
dan program;
2. Kewenangan Badan Anggaran DPR untuk
melakukan pembahasan R-APBN secara 3. Terkait ketentuan mengenai masih adanya
rinci mengenai alokasi anggaran untuk proses pembahasan setelah RUU APBN
fungsi, program, dan kegiatan K/L (Pasal diundangkan menjadi UU APBN, yang
107 ayat (1) UU MD3) dan kewenangan menjadi dasar praktik pemberian tanda
DPR untuk melakukan pembahasan alokasi bintang oleh DPR pada rencana anggaran,
anggaran hingga satuan tiga yakni mulai dari Mahkamah Konstitusi memutus bahwa
unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, ketentuan tersebut bertentangan dengan
hingga jenis belanja (Pasal 15 ayat (5) UU UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
Keuangan Negara, dan Pasal 157 ayat (1) hukum mengikat;
dan Pasal 159 ayat (5) UU MD3);
4. Terkait kewenangan DPR dalam lingkup
3. Kewenangan DPR untuk memberikan tanda pembahasan APBN-P, Mahkamah
bintang pada rencana anggaran sebagai Konstitusi memutus bahwa perubahan
bentuk penundaan/pemblokiran pencairan rancangan anggaran hanya menyangkut
anggaran (Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 pergeseran anggaran antar unit organisasi,
huruf a UU MD3); dan sehingga tidak mendetail hingga level antar
kegiatan dan antar jenis belanja.
4. Kewenangan DPR dalam proses dan ruang
lingkup pembahasan APBN-P (Pasal 161

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 203

jurnal agustus isi.indd 203 9/22/2014 9:41:19 AM


Putusan di atas mencerminkan bahwa dan belanja negara yang diusulkan oleh
permasalahan utama dalam proses penyusunan Presiden, Pemerintah menjalankan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBN adalah cakupan fungsi anggaran DPR tahun yang lalu.
yang terlalu rinci membahas perencanaan dan
penganggaran di Kementerian/Lembaga hingga Dalam pertimbangannya, Mahkamah
level kegiatan dan jenis belanja, sehingga Konstitusi menilai bahwa makna Pasal 23 ayat
Mahkamah Konstitusi membatasi cakupan fungsi (2) dan (3) UUD NRI 1945 ini menegaskan
anggaran DPR hanya sampai level program. Dasar pengakuan sistem presidensial yang memberikan
pertimbangan Mahkamah Konstitusi membatasi kewenangan kepada Presiden dalam menjalankan
fungsi anggaran DPR dilandaskan pada sistem kekuasaan anggaran, sebagai berikut:
penyelenggaraan kekuasaan penyusunan dan Makna Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), pada
penetapan anggaran negara menurut Pasal 23 ayat pokoknya berarti Presiden mengajukan
(2) UUD NRI 1945 berikut ini: anggaran dan DPR menyetujui anggaran
tersebut. Pasal 23 ini memberikan satu
Rancangan undang-undang anggaran deskripsi bahwa Presiden selaku pemegang
pendapatan dan belanja negara diajukan kekuasaan pemerintahan negara yang
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan bertanggung jawab atas pelaksanaan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pemerintahan sebagaimana diamanatkan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. oleh Pasal 4 UUD 1945 adalah yang paling
mengetahui hal ihwal program pembangunan
Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan yang hendak dilaksanakannya sehingga
oleh konstitusi diberikan kewenangan
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 di atas menegaskan
konstitusional yang bersifat eksklusif
adanya unsur sistem checks and balances kepada Presiden untuk mengajukan
sebagaimana dinyatakan berikut ini: RAPBN yang kemudian dibahas bersama
dan disetujui oleh DPR. Hal itu pulalah
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945... tersebut yang membedakan RUU lainnya yang dapat
menegaskan dua hal, yaitu: Pertama, dalam diajukan baik oleh DPR, Presiden, atau RUU
sistem checks and balances yang dianut tertentu oleh DPD dengan RUU APBN.
oleh UUD 1945, hanya Presiden sebagai Ketentuan tersebut sesuai dengan sistem
penyelenggara pemerintahan negara, pemerintahan negara yang dianut Indonesia,
yang dapat mengajukan RUU APBN. yaitu sistem presidensial. UUD 1945
Kedua, rancangan anggaran dalam bentuk memberikan kewenangan kepada Presiden
Rancangan Undang-Undang tersebut untuk menjalankan kekuasaan penggunaan
dibahas oleh DPR bersama Presiden. anggaran, termasuk merencanakan program
Kewenangan DPR membahas rancangan dan anggaran pemerintahan negara yang
APBN tersebut selain terkait dengan fungsi akan dilaksanakan setiap tahun. Anggaran
anggaran yaitu membahas rancangan tersebut diajukan oleh Presiden dalam
anggaran dalam bentuk Rancangan Undang- bentuk RUU.
Undang juga terkait dengan fungsi legislasi
yang dimiliki DPR. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi menilai
bahwa makna Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI
Adapun menurut Mahkamah Konstitusi,
1945 mengamanatkan bahwa kewenangan DPR
ketentuan di atas juga saling terkait dengan
hanya pada level persetujuan, sebagai berikut:
ketentuan Pasal 23 ayat (3) UUD NRI 1945 yang
dimaknai sebagai: Kewenangan DPR dalam hal ini adalah
untuk memberikan persetujuan terhadap
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak program maupun rencana anggaran yang
menyetujui rancangan anggaran pendapatan

204 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 204 9/22/2014 9:41:19 AM


diajukan Presiden tersebut, dalam hal ini legislatif dan partisipasi publik merupakan hal
memberikan persetujuan dan otorisasi yang penting dalam memastikan akuntabilitas
terhadap rancangan anggaran yang finansial. Namun akan menjadi sesuatu yang tidak
diajukan oleh Presiden. Selanjutnya DPR
tepat pula apabila penentuan anggaran hanya
selaku wakil rakyat melakukan kontrol dan
pengawasan atas penggunaan anggaran dititikberatkan kepada lembaga legislatif semata.
yang telah disetujui bersama. Norma inilah
yang pada hakikatnya menjelaskan makna Hal ini sesuai dengan pendapat Mahkamah
dari fungsi anggaran DPR yang dinyatakan Konstitusi, yang mengakui adanya pelaksanaan
dalam Pasal 20A UUD 1945. fungsi anggaran oleh dua lembaga dengan batasan-
batasan fungsi tertentu sebagai berikut:
Baik ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan (3)
UUD NRI 1945 maupun penafsiran Mahkamah Dengan memperhatikan pembagian
dan pembatasan kewenangan melalui
Konstitusi di atas memberikan distribusi dan
sistem checks and balances yang telah
pembatasan kekuasaan antara Presiden dan DPR, dipertimbangkan oleh Mahkamah di atas,
di mana Presiden berwenang menyusun rancangan pada pokoknya penetapan APBN dilakukan
oleh dua pemegang cabang kekuasaan yaitu
anggaran (R-APBN). Kewenangan Presiden untuk oleh Presiden dan DPR. Kedua lembaga
menyiapkan R-APBN merupakan fungsi Presiden tersebut memiliki peran dan batasan
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan kewenangan yang berbeda. Presiden
mengajukan RAPBN sebagai instrumen
negara yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang secara
pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh spesifik dilaksanakan oleh kementerian/
Pasal 4 UUD 1945. Sehingga, Presiden sebagai lembaga. Sementara itu, DPR menjalankan
fungsi anggaran, atau fungsi membahas
pihak yang paling mengetahui ihwal program dan menyetujui anggaran yang diajukan
pembangunan yang hendak dilaksanakan oleh Presiden dan melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran yang sudah
berbagai Kementerian/Lembaga, memiliki
disetujui bersama. Menurut Mahkamah,
kewenangan konstitusional yang bersifat berdasarkan prinsip pembatasan kekuasaan,
eksklusif untuk merencanakan program-program kewenangan DPR terkait APBN adalah:
1) Membahas dan menyetujui bersama
pembangunan yang akan dilaksanakan setiap Presiden atas RAPBN yang telah
tahun beserta kebutuhan anggarannya. diajukan Presiden;
2) Mengawasi pelaksanaan APBN yang
Kewenangan Presiden dalam menyusun sudah disetujui bersama tersebut.
rancangan anggaran merupakan konsekuensi dari
Pelaksanaan suatu fungsi anggaran oleh
sistem pemerintahan presidensial yang dianut
dua lembaga ini dibutuhkan untuk mencegah
Indonesia. Namun, meski sistem presidensial
terciptanya sistem pemerintahan otoriter. Sistem
memberi kewenangan ekslusif kepada Presiden
ini merupakan implementasi prinsip checks and
untuk menyusun rencana anggaran, hal ini tidak
balances yang merupakan prasyarat utama sebuah
berarti bahwa fungsi anggaran yang dimiliki
negara hukum yang demokratis. Hal ini sesuai
Presiden bersifat absolut. Melainkan tetap
dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang
dibutuhkan fungsi DPR dalam membahas dan
mengaitkan antara pelaksanaan fungsi anggaran
menyetujui/tidak menyetujui R-APBN yang
oleh Pemerintah dan DPR dengan prinsip checks
diajukan oleh Presiden. Sebagaimana dinyatakan
and balances, sebagai berikut:
oleh (Ma & Hou, 2009: 54), peran lembaga

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 205

jurnal agustus isi.indd 205 9/22/2014 9:41:19 AM


Fungsi Anggaran DPR yang diatur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi membatasi
norma a quo sangat berkaitan dengan prinsip kewenangan DPR ini didasari oleh pertimbangan
pembagian kekuasaan antar-lembaga negara
yang berdasarkan UUD 1945 menganut bahwa:
prinsip checks and balances antar-lembaga
negara yaitu bahwa hubungan satu lembaga Hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi
negara dengan lembaga negara yang lain dan kewenangan DPR sebagai lembaga
dilakukan berdasarkan prinsip kekuasaan perwakilan yang seharusnya tidak ikut
dibatasi kekuasaan (power limited by menentukan perencanaan yang sifatnya
power) dan bukan kekuasaan mengawasi sangat rinci sampai dengan tingkat kegiatan
kekuasaan lain (power supervises other dan jenis belanja. Adapun kegiatan dan jenis
powers), apalagi kekuasaan dikontrol belanja merupakan urusan penyelenggaraan
oleh kekuasaan lain (power controls pemerintahan negara yang dilaksanakan
other powers). Kekuasaan pemerintahan oleh Presiden sebagai perencana dan
dipandang sebagai kekuasaan yang sangat pelaksana APBN... Selain itu, pembahasan
besar yang harus dibatasi sehingga tidak terperinci sampai pada tingkat kegiatan dan
terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN
power). Checks and balances menjaga agar merupakan implementasi program atas
suatu cabang pemerintahan tidak terlalu perencanaan yang merupakan wilayah
kuat kekuasaannya. kewenangan Presiden, karena pelaksanaan
rincian anggaran sangat terkait dengan
situasi dan kondisi serta dinamika sosial
Namun demikian, fungsi anggaran DPR
ekonomi pada saat rencana tersebut
tidak serupa dengan fungsi anggaran yang diimplementasikan. Ketika DPR melalui
dimiliki Presiden. Hal ini didasarkan pada prinsip Badan Anggaran memiliki kewenangan
untuk membahas RAPBN secara terperinci
pembagian dan pembatasan kekuasaan maupun sampai dengan tingkat kegiatan dan
checks and balances yang menyebabkan fungsi jenis belanja maka pada saat itu DPR
dan kewenangan DPR dibatasi agar tidak sampai telah melewati kewenangannya dalam
melakukan fungsi anggaran dan telah terlalu
mengintervensi domain kekuasaan pemerintah. jauh memasuki pelaksanaan perencanaan
Sebab, fungsi perencanaan dan penganggaran anggaran yang merupakan ranah kekuasaan
merupakan fungsi eksekutif, yang bertugas eksekutif... Selain itu, proses perencanaan
anggaran adalah proses kerja yang sangat
merencanakan dan mengeksekusi jalannya spesifik dan teknis, sehingga hanya
program pemerintahan. Pelaksanaan fungsi dipahami secara mendetail dan terperinci
oleh masing-masing penyelenggara negara
anggaran oleh dua lembaga ini merupakan
tersebut.
bentuk checks and balances untuk memastikan
bahwa rencana program dan anggaran yang Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi
disusun benar-benar diarahkan untuk mencapai pada dasarnya sesuai dengan konsep parlemen
kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. dalam sistem presidensial, di mana parlemen
tidak perlu melakukan pembahasan rencana
Pada pokoknya, putusan Mahkamah
anggaran terlalu detil. Sebab, pembahasan detil
Konstitusi telah mereposisi dan merevitalisasi
oleh parlemen akan mengonsumsi waktu dan
prinsip checks and balances dalam pelaksanaan
sumber daya yang dapat melemahkan kualitas
fungsi anggaran Pemerintah dan DPR. Melalui
pelaksanaan fungsi parlemen lainnya, yakni
putusan ini telah menjadi jelas batas pelaksanaan
fungsi legislatif dan fungsi pengawasan. Hal ini
fungsi anggaran DPR dalam membahas R-APBN,
sesuai dengan hasil kajian Juwono & Eckardt
yang sebelumnya hingga level kegiatan dan jenis
(2008: 302) berikut ini:
belanja, kini hanya sampai level program. Adapun

206 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 206 9/22/2014 9:41:19 AM


The current budget deliberation process, constraint), dan keterbatasan pendidikan
and the resulting appropriations structure (educational constraint) (Suyanto, 2008: 1). Hal
embodied in the budget law and annexes,
allow for legislative involvement at a rather ini juga disertai oleh keterbatasan pengalaman
detailed level. The practice of submitting anggota DPR (inexperience of members) maupun
full ministerial work plans and budgets
kekurangan finansial, sumber daya manusia,
to the DPR for deliberation is one of the
reasons for this focus on details. Article 15 dan prosedural (financial, human resources, and
of Law 17/2003 on state finances stipulates procedural deficiencies) DPR sebagai sebuah
that budget appropriations of the DPR are
to be classified by organizational units, institusi (Sherlock, 2011: 3). Berbagai teori ini
functions, programs, activities, and types terbukti pada praktik di mana dalam konteks
of expenditure. There are currently about penyusunan APBN, tidak seluruh anggota DPR
130 programs, with 19,945 spending
units (satker) detailed by location, each memahami konsep dan praktik perencanaan dan
of which has a detailed line item budget. penganggaran yang sangat teknis. Di samping
Reportedly the DPR can, and routinely itu, waktu pembahasan R-APBN yang sangat
does, change the specific line items in
expenditure appropriations proposed singkat, yakni hanya sekitar dua bulan, sangat
in the executive budget proposals. This tidak memungkinkan DPR untuk membahas
detailed appropriations approach is not secara mendetil rancangan anggaran secara
atypical in presidential systems... These
detailed deliberations not only consume detil, sebagaimana data dilihat pada tabel berikut
considerable time and resources on the part (Sekjen DPR-RI, 2009: 9):
of both the executive and the legislature,
but they also presumably impair the quality Hal ini juga tercermin dengan adanya
of legislative engagement. Although the
parliament as an institution has a strong ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
interest in ensuring that overall spending menyatakan bahwa, Kedaulatan berada di
priorities are reflected in the budget and that tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
fiscal stability is maintained, the attention
of individual members to detailed line items Undang-Undang Dasar. Kedaulatan rakyat
may distract from the focus on those more dapat dimaknai sebagai kedaulatan parlemen,
aggregate variables in the budget. yang merupakan kumpulan entitas representasi
Hal ini sesuai dengan sistem pemerintahan rakyat. Di mana konsep kedaulatan parlemen itu
presidensial yang dianut Indonesia. Sehingga, sendiri sejak dahulu dipandang sebagai inti dari
kondisi ini berbeda dengan sistem pemerintahan adanya praktik demokrasi (Ginsburg, 2012: 1).
parlementer yang menganut prinsip supremasi Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
parlemen, yang dimaknai sebagai tidak satupun UUD 1945 yang pada dasarnya tidak menjadikan
yang dapat menghalangi parlemen dalam Indonesia sebagai negara yang menganut
membentuk undang-undang (Masterman, 2011: kedaulatan parlemen absolut. Melainkan
20). Model kekuasaan parlemen ini berlaku di kedaulatan parlemen sendiri dibatasi dengan
Inggris yang jauh berbeda dengan Indonesia. konstitusi sebagaimana dinyatakan bahwa, ...
Secara praktis, di Indonesia, pembahasan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
rancangan anggaran yang detil tidak akan Sehingga, dalam pelaksanaan kedaulatan dan
mungkin dilakukan oleh parlemen oleh karena kekuasaannya, DPR pun harus mematuhi batas-
adanya keterbatasan anggota DPR dari segi batas kewenangan yang telah ditentukan dalam
waktu (time constraint), kompetensi (competency ketentuan UUD 1945.

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 207

jurnal agustus isi.indd 207 9/22/2014 9:41:19 AM


No. Kegiatan Pelaksana Waktu
1. Penyiapan dokumen awal berupa rencana K/L Januari Mei tahun
kegiatan K/L untuk kemudian diserahkan sebelumnya
pada Departemen Keuangan
2. Pengolahan dokumen awal menjadi paket Kemenkeu / Bappenas Januari Mei tahun
pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka sebelumnya
ekonomi makro
3. Rapat kabinet dihadiri seluruh menteri yang Jajaran Kabinet Pertengahan Mei
melahirkan RAPBN usulan pemerintah tahun sebelumnya
untuk tahun depan
4. Penyerahan dan pembahasan pokok-pokok Panitia Anggaran, Menteri Pertengahan Mei
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi Keuangan, Menneg PPN/Kepala tahun sebelumnya
makro untuk dijadikan bahan penyusun Bappenas, Gubernur BI
RUU APBN dan Nota Keuangan
5. Penyampaian pidato pengantar RUU APBN Presiden/ Kepala Negara, 16 Agustus tahun
dan nota keuangan pemandangan umum dan Paripurna DPR, fraksi-fraksi DPR sebelumnya
jawaban pemerintah
6. Pembicaraan tingkat I RUU APBN dan nota Panitia anggaran dan jajaran September-Oktober
keuangan menteri/ Kepala Lembaga Negara tahun sebelumnya
7. Pembicaraan tingkat II dan pengambilan Panitia anggaran, fraksi-fraksi, Akhir Oktober tahun
keputusan atas RUU APBN jajaran pemerintah sebelumnya

8. Pelaksanaan APBN Pemerintah dan 1 Januari 31


DPR Desember tahun
berjalan
9. Laporan realisasi semester I dan prognosis Pemerintah, cq. Departemen Akhir Juli tahun
semester II Keuangan dan Panitia Anggaran berjalan
10. Penyampaian RUU Pertanggungjawaban Presiden dan Paripurna DPR Akhir juli tahun
Pelaksanaan APBN selanjutnya

11. Pengajuan, pembahasan, dan penetapan Pemerintah dan DPR Sewaktu-waktu pada
RUU APBN Perubahan tahun berjalan

Tabel 1. Timeline Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan APBN


(Sumber: Sekjen DPR-RI, 2009)

Sebagai sebuah lembaga politik, DPR sifat fungsi anggaran DPR seharusnya dimaknai
seharusnya tidak terlalu detail merinci kegiatan sebagai sifat yang makro-strategis, bukan mikro-
dan jenis belanja pemerintah yang bersifat mikro- teknis.
teknis. Melainkan DPR seharusnya berfokus
Hal ini pada dasarnya tersirat secara
pada politik anggaran negara yang bersifat
implisit dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) UU
makro-strategis. Hal ini pula yang dinyatakan
MD3, yang dapat ditafsirkan bahwa pembahasan
oleh saksi ahli Ahmad Erani Yustika bahwa,
APBN akan mengarah ke arah pembahasan
keterlibatan DPR dalam perumusan anggaran
kerangka ekonomi makro dan pokok kebijakan
merupakan wujud turut serta dalam menentukan
fiskal sebagaimana ditentukan bahwa:
politik anggaran yang kini sudah hilang pada saat
berbicara mengenai fungsi perumusan anggaran Pembicaraan pendahuluan dalam rangka
DPR di dalam pembahasan APBN. Sehingga, penyusunan rancangan APBN dilakukan

208 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 208 9/22/2014 9:41:19 AM


segera setelah Pemerintah menyampaikan Lagi-lagi, Mahkamah Konstitusi menggunakan
bahan kerangka ekonomi makro dan pokok- prinsip checks and balances sebagai dasar
pokok kebijakan fiskal pada pertengahan
bulan Mei, yang meliputi: pertimbangannya berikut ini:

Bahwa sesuai dengan pembagian


a. Kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok
kewenangan antara Presiden dan DPR
kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya; dalam penyelenggaraan APBN seperti yang
telah dipertimbangkan di atas, menurut
b. Kebijakan umum dan prioritas anggaran Mahkamah, kewenangan DPR dalam
untuk dijadikan acuan bagi setiap melaksanakan fungsi anggaran adalah
terbatas pada persetujuan dan pengawasan
kementerian/lembaga dalam penyusunan anggaran. Meskipun UU 27/2009 tidak
usulan anggaran; dan secara eksplisit mengatur mengenai proses
pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi
c. Rincian unit organisasi, fungsi, program, APBN di dalam Badan Anggaran maupun di
dalam rapat paripurna, pengaturan tentang
dan kegiatan. proses pembahasan dan penetapan RAPBN
menjadi APBN tidak dibenarkan untuk
Dapat dilihat bahwa ketentuan poin c di atas menyalahi prinsip pembatasan kewenangan
sangat bersifat teknis dan tidak relevan dengan DPR dalam prinsip checks and balances
kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok yang dianut oleh konstitusi. Hal ini penting
untuk menjamin adanya keseimbangan
kebijakan fiskal yang menjadi acuan dimulainya antara kekuasaan legislatif dan eksekutif
pembicaraan pendahuluan penyusunan APBN. sesuai dengan porsi masing-masing. Praktik
penundaan pencairan (pemberian tanda
Ketentuan poin c ini pula yang menjadi titik kritis
bintang) anggaran pada mata anggaran oleh
putusan Mahkamah Konstitusi sehingga yang DPR yang mengakibatkan mata anggaran
semula lingkup fungsi anggaran DPR merambah tersebut tidak mendapat otorisasi untuk
digunakan sudah masuk pada pelaksanaan
hingga level kegiatan, kini hanya sampai APBN yang telah ditetapkan sebelumnya,
level program. Putusan Mahkamah Konstitusi dan bukan termasuk pada salah satu fungsi
pada dasarnya telah berupaya merombak pengawasan oleh DPR yang dimaksud oleh
UUD 1945.
lingkup fungsi anggaran DPR yang telah jauh
bertentangan dengan konsep maupun praktik Di samping pertimbangan prinsip checks
perencanaan penganggaran yang ideal menurut and balances, Mahkamah Konstitusi juga
berbagai kerangka, baik menurut kerangka sistem berpendapat bahwa praktik pemberian tanda
pemerintahan presidensial, kerangka negara bintang oleh DPR berpotensi menimbulkan
hukum demokratis, maupun kerangka checks and penyalahgunaan kewenangan, sebagai berikut:
balances.
Bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut, untuk adanya kejelasan dan
Di samping pembatasan kewenangan
ketegasan mengenai kewenangan DPR
DPR untuk membahas R-APBN terlalu rinci, ketika menyelenggarakan fungsinya
Mahkamah Konstitusi juga memutus persoalan dalam penyusunan dan penetapan APBN
maka Undang-Undang, dalam hal ini UU
fundamental dalam praktik pembahasan R-APBN APBN, harus secara tegas menyetujui
di DPR, yakni terkait pemberian tanda bintang atau tidak menyetujui mata anggaran
oleh DPR yang berakibat pada penundaan tertentu dengan tanpa persyaratan seperti
dengan melakukan penundaan pencairan
pencairan APBN yang sangat berpotensi (pemberian tanda bintang). Dengan adanya
menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. persyaratan dalam pencairan APBN, sangat

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 209

jurnal agustus isi.indd 209 9/22/2014 9:41:19 AM


berpotensi menimbulkan penyalahgunaan DPR lebih diarahkan pada pembahasan rencana
kewenangan. program dan anggaran program prioritas yang
Berdasarkan dasar pertimbangan di telah ditentukan sebagai fokus prioritas dalam
atas, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa rencana pembangunan, yakni RKP maupun
ketentuan Pasal 71 huruf (g) UU 27/2009 yang RPJMN.
menyatakan, DPR mempunyai tugas dan Gejala kekinian menunjukkan
wewenang: g. Membahas bersama Presiden ketidakpahaman atau ketidakpedulian DPR
dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan terhadap program-program prioritas pembangunan
memberikan persetujuan atas rancangan undang- yang dicanangkan dalam RKP maupun RPJMN.
undang tentang APBN yang diajukan oleh Padahal, secara ideologis, RKP maupun RPJMN
Presiden dan Pasal 156 huruf a dan huruf b UU bukan merupakan produk Pemerintah semata,
27/2009 yang menyatakan, Dalam melaksanakan melainkan produk negara yang menjadi bagian
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang
dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan Nasional (RPJPN) yang disahkan melalui produk
kegiatan sebagai berikut: a. Pembicaraan legislatif, yakni Undang-Undang Nomor 17
pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Indonesia dalam rangka menyusun perancangan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
APBN; b. Pembahasan dan penetapan APBN Berbagai arah kebijakan pembangunan negara di
yang didahului dengan penyampaian rancangan segala bidang telah dicanangkan dalam berbagai
undang-undang tentang APBN beserta nota dokumen perencanaan, di mana secara formil
keuangannya oleh Presiden; bertentangan dan moril, DPR harus ikut serta dalam menjamin
dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai, masih terlaksananya berbagai program pembangunan
ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN prioritas tersebut melalui fungsi anggaran, fungsi
diundangkan menjadi UU APBN. pengawasan, maupun fungsi legislasinya. Berbagai
Meski demikian, masih banyak hal belum pelaksanaan fungsi DPR tidak lain dimaksudkan
terjawab melalui putusan Mahkamah Konstitusi untuk mendukung Pemerintah dalam mewujudkan
yang masih perlu diatur secara teknis melalui kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat.
revisi Peraturan Pemerintah dan Tata Tertib Kerangka hubungan DPR yang mendukung
DPR. Antara lain mengenai pembahasan APBN Pemerintah seperti inilah yang ideal namun belum
di tingkat DPR yang kini hanya mencakup level terbangun di Indonesia. Di mana esensi prinsip
program. Sekilas ini mengindikasikan adanya checks and balances bukanlah pada aspek saling
kemudahan dan keringanan dalam membahas mengawasi dan mengintervensi, melainkan saling
program pemerintah di DPR. Namun, secara mendukung melalui fungsi masing-masing.
faktual, jumlah program K/L pun masih cukup Dominannya peran Pemerintah dan
banyak dan akan menyita waktu dalam proses minimnya peran DPR dalam pelaksanan
pembahasan di tingkat DPR. Sehingga, perlu fungsi anggaran tidak dapat dimaknai sebagai
untuk merekonstruksi kembali mekanisme bentuk dominasi Pemerintah atas DPR ataupun
pembahasan APBN di tingkat DPR. Dalam hal Pemerintah merupakan pihak yang lebih superior
ini, seharusnya proses pembahasan R-APBN di dari DPR. Melainkan, pembagian fungsi ini semata

210 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 210 9/22/2014 9:41:19 AM


merupakan bentuk distribusi dan pemisahan V. SIMPULAN
kekuasaan berdasarkan fungsi masing-masing
Fungsi anggaran eksekutif dan legislatif
lembaga, yang harus diterapkan dalam suatu
dalam penyusunan APBN baik menurut UUD NRI
negara hukum demokratis. Lebih lanjut, guna
1945 maupun praktik perencanaan panganggaran
mengimbangi minimnya peran DPR dalam fungsi
di Indonesia sangatlah kompleks karena
anggaran, prinsip checks and balances dapat
melibatkan pihak Pemerintah dan DPR. Dalam
dilaksanakan oleh DPR melalui fungsi lainnya,
hal ini, Pemerintah memiliki peran paling besar
yakni fungsi pengawasan atas penggunaan
dalam proses perencanaan dan penganggaran yang
anggaran yang telah disetujui bersama, untuk
merupakan domain fungsi, kewenangan, maupun
memastikan kesesuaian peruntukannya dalam
diskresi lembaga eksekutif dalam merencanakan
mencapai kemakmuran rakyat.
program/kegiatan yang dapat dijalankan secara
Fungsi checks and balances tidak dapat operasional untuk kepentingan masyarakat umum.
dimaknai bahwa suatu lembaga berwenang untuk Namun, untuk mencegah terjadinya pemerintahan
melakukan pengawasan terlalu jauh ke dalam otoriter, maka pelaksanaan fungsi Pemerintah
domain kekuasaan lembaga lainnya. Sebab, hal membutuhkan pemeriksaan, persetujuan, maupun
ini justru akan bertentangan dengan konsep checks pengawasan oleh lembaga legislatif yakni,
and balances itu sendiri yang menghendaki DPR. Dengan demikian, proses perencanaan
adanya keseimbangan kekuasaan. Dalam hal dan penganggaran dalam hal ini merupakan
ini, DPR memang memiliki kewenangan untuk implementasi konsep negara hukum demokratis
melakukan pengawasan terhadap penggunaan yang bertumpu pada checks and balances.
anggaran negara yang dilaksanakan oleh
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Pemerintah RI mulai dari tahap perancangan
Nomor 35/PUU-XI/2013 terhadap pelaksanaan
hingga pertanggungjawabannya.
fungsi anggaran dan prinsip checks and balances
Namun, perlu diatur sampai batas-batas di Indonesia mengakibatkan terbatasnya fungsi
tertentu kewenangan tersebut dapat dilaksanakan anggaran DPR hanya pada tingkat pembahasan
agar tidak sampai merambah pada ranah teknis di level program dan hilangnya kewenangan DPR
yang justru mengacaukan sistem dan kewenangan memberi tanda bintang pada proses pembahasan
yang telah ditata sedemikian rupa. Dalam hal rancangan anggaran. Namun demikian, pembatasan
ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/ ini tidak berimplikasi pada pembatasan fungsi
PUU-XI/2013 yang pada intinya membatasi DPR sebagai wakil rakyat untuk mengawasi
kewenangan DPR dalam membahas R-APBN sejauhmana suatu rencana anggaran yang disusun
hanya sampai pada tingkat program, dan tidak Pemerintah telah sesuai dengan sebesar-besar
lagi sampai tingkat kegiatan, merupakan upaya kemakmuran rakyat. Mekanisme pembahasan
tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang R-APBN oleh DPR hanya sampai level program
dalam melakukan fungsi pengawasan yang sudah sangat sesuai dan ideal dengan konteks
justru mengacaukan sistem perencanaan dan Indonesia yang menerapkan RPJPN dan RPJMN.
penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, Adapun mekanisme yang dapat dijalankan
putusan ini telah mereposisi kembali fungsi check dalam pembahasan R-APBN di DPR adalah
and balances. pembahasan program-program prioritas yang

Reduksi Fungsi Anggaran DPR dalam Kerangka Checks and Balances (Yutirsa Yunus & Reza Faraby) | 211

jurnal agustus isi.indd 211 9/22/2014 9:41:19 AM


telah dicanangkan oleh Pemerintah dengan Kementerian Keuangan. 2013. Dasar-Dasar
mengacu pada sasaran-sasaran pembangunan Praktik Penyusunan APBN di Indonesia.
jangka panjang dan menengah dalam RPJPN Jakarta: Kementerian Keuangan.
dan RPJMN. Dengan demikian, diharapkan
Lutz, Donald S. 2011. Principles of Constitutional
DPR dapat mewujudkan fungsi politik anggaran
Design. Cambridge: Cambridge University
yang mengacu pada anggaran berbasis prioritas-
Press.
prioritas pembangunan dalam RPJMN maupun
RKP sesuai amanat UUD NRI 1945. Ma, Jun & Yilin Hou. Dec 2009. Budgeting for
Accountability, A Comparative Study of
BudgetReforms in the United States during
the Progressive Era and in Contemporary
China. Chicago: Public Administration
DAFTAR PUSTAKA
Review.
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan
Masterman, Roger. 2011. The Separation of
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Powers in the Contemporary Constitution.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Cambridge: Cambridge University Press.
dan Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Montesquieu. 1989. The Spirit of the Laws.
Cambridge: Cambridge University Press.
Bappenas. 2010. Kajian Pengeluaran Publik
Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru. Sekjen DPR-RI. 2009. Buku Panduan tentang
Jakarta: The World Bank. Anggaran dan Pengawasan Keuangan.
Jakarta: Sekjen DPR-RI.
Budiardjo, Miriam. 2001. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sherlock, Stephen. 2011. Parliamentary
Indicators: Indonesia. Washington: World
Dragu, Tiberiu et.al. 2014. Designing Checks and
Bank Institute.
Balances. New York: Quarterly Journal of
Political Science. Soeriaatmadja, Arifin et.al. 2010. Kompedium
Bidang Hukum Keuangan Negara. Jakarta:
Ginsburg, Tom. 2012. Judicial Review in New
Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Democracies: Constitutional Courts in
Asian Cases. Cambridge: Cambridge Suyanto, Siswo. 2008. Hak Budget dan
University Press. Keterbatasan Lembaga Legislatif.
Akses 13 Januari 2014. <http://www.
Juwono, Vishnu & Sebastian Eckardt. 2008.
keuanganpublik.com/2008/01/hak-budget-
Budget Accountability and Legislative
dan-keterbatasan-lembag a.html>.
Oversight in Transition: The Case of Post-
Suharto in Indonesia, dalam World Bank,
Legislative Oversight and Budgeting: A
World Perspective. Washington: The World
Bank.

212 | Jurnal Yudisial Vol. 7 No. 2 Agustus 2014: 197 - 212

jurnal agustus isi.indd 212 9/22/2014 9:41:19 AM


ISSN 1978-6506

Vol. 7 No. 2 Agustus 2014 Hal. 103 - 212

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI

S
egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas
sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial
Vol. 7 No. 2 Agustus 2014. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.

4. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H.

5. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S.

6. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.

7. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.

jurnal agustus isi.indd 213 9/22/2014 9:41:20 AM


jurnal agustus isi.indd 214 9/22/2014 9:41:20 AM
BIODATA PENULIS

Melani, lahir di Bandung, 24 Mei 1957, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Unpas)
Bandung. Selain itu juga advokat yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman
RI pada tanggal 20 Mei 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
(UNPAD) Bandung. Pengalaman berorganisasi, sebagai aktivis LBH Bandung (1981-1997), Direktur
LBH Bandung (1991-1997), Anggota Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) Bandung (1985).
Pengurus Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Bandung (1985-2002), Anggota Dewan Kehormatan
IKADIN Bandung, (2003-2005), Ketua Dewan Penasihat IKADIN Bandung (2006-2007). Wakil
Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) Jawa Barat (2008-2013). Anggota Dewan Kehormatan
KAI Jabar (2013-2018). Aktivitas lain di antaranya, Working Group Restorative Justice kerjasama
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar-UNICEF (2003-2004), Working Group dalam Program
Uji Coba Model Restorative Justice di Kota Bandung, Kerjasama LPA Jabar-UNICEF, (2005-
2007), Pengajar Pendidikan Praktisi & Konsultasi Hukum Angkatan ke-1 dan ke-3 LPM UNPAD
(2001/2003), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat Kerjasama FH-UNPAD dengan DPC
IKADIN Bandung (2005), Pengajar Pendidikan Khusus Profesi Advokat KAI Jabar (2009-2010),
(2011-2012), dan menulis di jurnal hukum, majalah, serta surat kabar baik nasional maupun daerah

Vidya Prahassacitta, lahir di Denpasar (1985), memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas
Indonesia tahun 2007 dan merupakan lulusan terbaik program Magister Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Indonesia 2010 dengan konsentrasi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana. Saat ini
merupakan dosen tetap pada Fakultas Humaniora Jurusan Business Law Universitas Bina Nusantara
Jakarta dan merupakan pengasuh beberapa mata kuliah antara lain hukum pidana, praktek pengadilan
niaga dan pengadilan hubungan industrial. Sebelumnya pemegang Kartu Advokat dari Peradi ini
merupakan asisten untuk mata kuliah hukum perburuhan pada Universitas Tarumanegara Jakarta dan
merupakan advokat yang telah magang dan bekerja pada beberapa firma hukum terkemuka di Jakarta
seperti Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Amir Syamsuddin & Partners, SRS dan NSMP Law Office
yang berafiliasi dengan firma hukum Wong Alliance LLP di Singapura, RRC dan Timor Leste serta
Jipyong & Jisung di Korea Selatan. Kontak 08161462458 dan 08119770576.

Ramdani Wahyu S, dilahirkan di Banjar, 30 Oktober 1972. Pendidikan S1 di IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung (1991-1996) jurusan Peradilan Agama, Program Pascasarjana (S2) IAIN SGD Bandung
prodi Hukum Islam dan Pranata Sosial (1998-2000), Program Pascasarjana (S2) Unpad Bidang kajian
Sosiologi-Antropologi (2000-2004) dan UIN SGD Bandung Program Pascasarjana (S3) prodi Hukum
Islam (2011). Sejak tahun 1997 sebagai dosen luar biasa di IAIN SGD Bandung. Tahun 2000 diangkat
sebagai dosen tetap (PNS) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung. Selain itu, menjadi
dosen luar biasa di STAI Siliwangi Bandung tahun 1999-2004, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unpad
tahun 2000 s.d. sekarang. Tahun 2003-2007 menjadi Sekpri Rektor UIN SGD, 2008-2012 sebagai

jurnal agustus isi.indd 215 9/22/2014 9:41:20 AM


Kepala Pusat Penelitian Kehidupan Beragama pada Lembaga Penelitian UIN SGD, tahun 2012-2015
sebagai Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu pada Lembaga Penjaminan Mutu UIN SGD
Bandung. Buku yang pernah ditulis antara lain Sosiologi Keluarga (Pustaka Setia-2000), Asuransi
Syariah (SGDPress-2001), Sosiologi Hukum Perspektif Baru Studi Hukum dalam Masyarakat
(SGDPress-2003), Ilmu Sosial Dasar (Pustaka Setia-2006), Ilmu Budaya Dasar (Pustaka Setia-2007)
dan Pendidikan Agama Islam (2007). Penelitian yang pernah dilakukan antara lain Politik Hukum
Islam pada Masa Orde Baru (1998), Kiai dan politik (2004), Politik Hukum Islam pada Masa Orde
Baru (1998), Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama (2011), dan Analisis Putusan Perceraian di
Ligkungan Peradilan Agama (2013). Kegiatan lainnya adalah Tim penulis modul Pusdiklat Tenaga
Teknis Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Ketua Bidang Pengembangan Alumni IKA Fak Syariah
dan Hukum, dan Anggota HISSI (Himpunan Sarjana Syariah Indonesia), Ketua Divisi Organisasi
dan Kelembagaan ICMI Orwil Jawa Barat, Ketua dan konsultan pada Biro Konsultasi dan Layanan
Hukum Keluarga (BKLHK).

Bambang Pratama, menyelesaikan studi strata satu di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya tahun
2002 dengan bidang studi Hukum Perdata. Strata dua diselesaikan di Universitas Muhammadiyah
Jakarta tahun 2006 dengan bidang studi hukum bisnis. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan
Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Riset hukum yang diminati
adalah Hukum Bisnis, Hak Kekayaan Intelektual dan Cyber Law. Penelitian yang pernah dilakukan
antara lain: Economic Sustainable Development (2008); Konfigurasi Pendidikan Entrepreneurship
Pada Pendidikan di Indonesia Sesuai dengan Kebutuhan Industri dalam Menciptakan Lulusan Berdaya
Saing Global (2011); Perlindungan Hukum Digital Property di Indonesia (2012); Kepemilikan Hak
Kekayaan Intelektual Bagi Pengguna Jejaring Sosial (2013); Merekonstruksi Bangunan Hukum Siber
di Indonesia (2014). Tulisan yang pernah dipublikasikan antara lain: Open Source Sebagai Salah Satu
Bentuk HKI (2010); Prevention of Hijacking and Dissemination of Intellectual Property Right (2010);
Intellectual Property Right in Cyber Space (2011); Implementation of Corporate Zakah Calculation
at Amil Zakah Institution in Indonesia (2011); Badan Hukum dan Kelembagaan Perguruan Tinggi
dalam Kerangka Hukum Pendidikan Indonesia (2012); ICT Law Framework in Indonesia Toward
ASEAN Economy Community (2013); A Quest for University Governance: an Institutional Approach
within Legal Framework (2014). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail: bptama@gmail.com

Tata Wijayanta, menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Program
S2 di Program Pascasarjana FH UGM Yogyakarta dan Program Doktor Falsafah di Fakulti Undang-
Undang Universiti Kebangsaan Malaysia. Menjadi dosen di FH UGM sejak tahun 1990 hingga
sekarang. Beberapa karya ilmiah yang telah dipublikasikan, di antaranya (1) Perbedaan Pendapat
Dalam Putusan Perkara di Pengadilan Negeri (Buku, 2011); (2) Penyelesaian Kes Kebankrapan
di Mahkamah Tinggi Malaysia dan Pengadilan Niaga di Indonesia (Buku, 2013); (3) Penerapan
Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Dalam Hukum Acara Perdata (jurnal, UGM, 2012); (4) Pelaksanaan
Pasal 302 ayat (3) UU RI Nomor 37 Tahun 2004 berkaitan dengan pelantikan hakim ad hoc dalam
perkara kepailitan (Jurnal UMM Malang, 2004); dan sejumlah karya ilmiah lainnya, seperti jurnal
yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung, Universitas Pasundan, Universitas

jurnal agustus isi.indd 216 9/22/2014 9:41:20 AM


Sebelas Maret, Universitas Islam Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman, dan lain-lain. Penulis
dapat dihubungi melalui email: tata_wijayanta@yahoo.com

Sandra Dini Febri Aristya, memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada tahun 2004, dan gelar Master on European and Internasional Regulation (Major:
Droit et Pratique de la Solidarit Internasionale) pada tahun 2008 dari Institut du Droit de la
Paix et du Developpement (IDPD), Universit de Nice-Sophia Antipolis. Penulis menekuni ilmu
Hukum Acara, dengan kekhususan Hukum Acara Perdata dan keminatan bidang hukum kedokteran.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan misalnya Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik
di Yogyakarta (2009) dan Penerapan Keterangan Ahli (Expert) Dalam Perkara Malpraktik Medis
(Perdata) Ditinjau Dari Prinsip Audi et Alteram Partem (2011). Beberapa tulisan yang didiseminasikan
di seminar internasional dan nasional adalah Enhancing the Security and Justice by Revitalizing
the Mechanism of Judicial Assistance and Service of Documents Within Various Law fields Under
ASEAN Framework (2nc CILS Conference, 21st -22nd November 2011) and Integrating Small
Claim Court within Indonesian Civil Litigation: Comparative Perspectives in Civil Law and Common
Law Countries (Conference on the Draft of Civil Procedural Law, 28th June, 2012). Penulis dapat
dihubungi di alamat e-mail: sandra_aristya@yahoo.fr

Yutirsa Yunus, lahir di Ujung Pandang, 29 Desember 1989. Saat ini bekerja sebagai Tenaga
Pendukung Substansi Perencanaan pada Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas. Penulis memiliki tugas pokok dalam menyusun
kajian pendahuluan (background study) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019 bidang hukum. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin dengan predikat cum laude dan penghargaan sebagai Wisudawan Terbaik Universitas.
Memiliki minat yang sangat besar dalam kegiatan kajian dan penelitian di bidang hukum. Berbagai
hasil kajiannya dimuat di jurnal ilmiah dan meraih penghargaan di tingkat nasional. Penulis dapat
dihubungi via yutirsa.yunus@support.bappenas.go.id atau yutirsa@ymail.com.

Reza Faraby, lahir di Depok, 26 Februari 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2008, dengan mengambil Program Kekhususan Hukum
Tata Negara. Penulis pernah bekerja sebagai staf Bagian Hukum dan Penanganan Pelanggaran pada
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia. Selanjutnya, penulis kini bekerja sebagai
Staf Perencana pada Direktorat Hukum dan HAM, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN) / Bappenas. Saat ini penulis tengah menempuh studi Master Hukum di University of Exeters
School of Law melalui Beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening the Reforming
Institutions). Penulis dapat dihubungi melalui rezafaraby@bappenas.go.id.

jurnal agustus isi.indd 217 9/22/2014 9:41:20 AM


jurnal agustus isi.indd 218 9/22/2014 9:41:20 AM
PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan Komisi Yudisial
pada bulan April, Agustus, dan Desember. Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian putusan
pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas
permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. Penerbitan jurnal ini
bertujuan mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. Isi tulisan dalam jurnal
sepenuhnya merupakan perspektif penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial.

FORMAT NASKAH

1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung
yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris,
maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi
terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata),
dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran
12 poin.
3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

Judul Naskah
Judul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis
di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital
seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak
judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan
menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PENERAPAN SANKSI PIDANA


BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK
Kajian Putusan Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg

IMPOSING PENAL SANCTIONS FOR CRIMES COMMITED BY KIDS


An Analysis of Decision Number 50/Pid.B/2009/PN.Btg

jurnal agustus isi.indd 219 9/22/2014 9:41:20 AM


Nama dan Identitas Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.
Nama penulis dilengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat
penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi
identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12
poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Jl. S. Parman No. 1 Jakarta 11440,
E-mail mohtarigan@yahoo.co.id.

Ilyasa Sitanggang & Ibrahim Pelupessy


Fakultas Hukum Universitas Yudisial
Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta 10450
E-mail: Ilyasa@yudisial.co.id & ibra@yudisial.co.id

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jumlah kata
masing-masing antara 150 s.d. 200 dalam satu paragraf dengan jarak satu spasi. Abstrak dilengkapi
dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms).

I. PENDAHULUAN

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum
(posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. Pertimbangan majelis terkait
permasalahan yang akan disorot wajib dijadikan bagian dari latar belakang. Namanama para pihak
dan majelis hakim yang dikutip dari putusan, ditulis dengan inisial. Pendahuluan harus memberi
pengantar yang cukup bagi masalah yang akan dirumuskan.

II. RUMUSAN MASALAH

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti
melalui analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan (maksimal
tiga pertanyaan).

jurnal agustus isi.indd 220 9/22/2014 9:41:20 AM


III. STUDI PUSTAKA

Subbab ini memuat tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti
perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku,
dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka
analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab.

IV. ANALISIS

Subbab ini memuat analisis yang harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di
dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi
terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

V. SIMPULAN

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka harus terdiri dari referensi yang digunakan sebagai acuan naskah, tidak termasuk
peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan berjumlah minimal
15 referensi. Untuk kemutakhiran, pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir
dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer (bukan mengutip dari sumber kedua). Pengacuan
pustaka harus dari situs ilmiah yang kredibel dan bukan berasal dari blog pribadi.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note)
dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya
adalah sebagai berikut:

1. Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...
2. Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52);
3. Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23);
4. Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata
cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York:
St. Martins Press.
Abdi, Mualimin. 2012. Kewajiban Verifikasi Parpol Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 52/PUU-X/2012. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 9 No. 4. Hlm. 535-546.

jurnal agustus isi.indd 221 9/22/2014 9:41:20 AM


Cornell University Library. 2009. Introduction to Research. Akses 20 Januari 2010. <http://
www.library.cornell.edu/resrch/intro>.
Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral
Problems. New Jersey: Prentice-Hall.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta: Sekretariat Jenderal
Komisi Yudisial.

Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari
sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah
yang kredibel.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting.
Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan
terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak
mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:


jurnal@komisiyudisial.go.id
dengan tembusan ke:
arnis@komisiyudisial.go.id dan ikhsan_azhar@komisiyudisial.go.id

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):


Ikhsan Azhar (085299618833); atau
Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:
Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57
Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.

jurnal agustus isi.indd 222 9/22/2014 9:41:20 AM

Anda mungkin juga menyukai