PENERIMAAN NEGARA
Agus Surono
KATA PENGANTAR
Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil
penelitian dan kajian yang mendalam terhadap SistemPenagihan Pajak
Dalam Sengketa Pajak Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara.
Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya Ilmu Hukum Pajak.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh
pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian buku ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimakasih kepada
Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis
dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah
yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan
pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan
doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalamdalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak
dan Ibu upayakan dan ihtiarkan.
Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H.
Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa
hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa
kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya.
Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa
penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH.,
April 2013
Agus Surono
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
10
C.
11
D.
11
E.
12
F.
22
G.
24
25
B.
57
C.
D.
E.
B.
KETETAPAN PAJAK
A.
B.
C.
D.
E.
C.
D.
BAB VI PENUTUP
A.
DAFTAR PUSTAKA
Bab I
PENDAHULUAN
A.
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2006), hlm. 12.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Ibid.
IGN Mayun, Winangun, Reformasi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Tahun 2000, Makalah disampaikan pada Seminar Perpajakan di Jakarta, 2 Agustus Tahun 2000, hlm.4.
Marie Muhammad, Pembahasan RUU Perpajakan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Perpajakan, di Jakarta, 2006, hlm.2-4.
5
6
Ibid., hlm.10.
Syofrin Sofyan, Masalah Surat Tagihan Pajak Yang Berkaitan Dengan Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan, Jurnal Perpajakan, Jakarta: Salemba empat, 2006, hlm. 10-12., Pemberian Insentif dan Sanksi
Perpajakan, Kompas, Januari 2006.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Rochmat Soemitro H, Pajak dan Pembangunan, (Jakarta: PT.Eresco, 1983), hlm. 18.
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004-2009, Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan, bagian V bab 34.
Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara
dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila
kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam
bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. Tjeenk Willink Zwolle, 1990.
hlm. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanya perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Ibid
Baswir, Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 107.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
kembali sebagai pajak oleh suatu negara sekaligus sebagai salah satu
indikator seberapa efektif dan produktif suatu sistem pajak nasional
dalam melaksanakan fungsi utamanya mengumpulkan penerimaan.
Peningkatan Tax Ratio ini memerlukan kesadaran, semangat, bantuan
dan kerja sama dengan semua pihak yang terkait, dan juga adanya
kesadaran dan kerelaan (voluntary compliance) masyarakat Wajib Pajak
untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.12
Perubahan sistem pemungutan pajak dari Official Assesment
System menjadi Self Assesment System. Dalam Official Assesment System,
Wajib Pajak menunggu adanya ketetapan pajak dari fiskus baru
kemudian membayar besarnya pajak yang terutang. Sedangkan dalam
Self Assesment System, Wajib Pajak diberi kebebasan untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak
yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak.13
Dalam pelaksanaan Self Assesment System tersebut, petugas
pajak (fiskus) berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian
administrasi perpajakan yang meliputi penyuluhan, pembinaan,
penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi, sita,
lelang, cegah, sandra maupun sampai tingkat pemeriksaan Bukti
Permulaan dan penyidikan.
Khusus pengawasan dalam sistem Self Assessment dari sisi
Direktorat Jenderal Pajak tetap akan membuat terapi kejut yang
tujuannya adalah untuk memantau pelaksanaan kesadaran dan
kejujuran seluruh masyarakat Wajib Pajak secara sampling, sedang dari
sisi Wajib Pajak pada umumnya adalah untuk melihat apakah sikap
dan prilaku dari masyarakat Wajib Pajak setelah diberi kepercayaan
penuh oleh pemerintah telah dilaksanakan dengan baik dan dengan
penuh tanggung jawab.
Memang masih sering ditemukan Wajib Pajak yang telah diberi
kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang, namun tetap tidak
membayar atau melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh
tempo yang telah ditetapkan, sehingga akhirnya terjadi tunggakan
pajak.
12
13
IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang
tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem penagihan pajak dengan surat paksa
terhadap kepastian hukum dalam sistem perpajakan?
2. Bagaimanakah pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam
penagihan pajak terhadap penerimaan negara?
10
C.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian adalah:
D.
1.
2.
KEGUNAAN PENELITIAN
Temuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:
1.
2.
b.
c.
11
a.
b.
c.
D.
KERANGKA PEMIKIRAN
Upaya untuk melakukan penelitian masalah Penagihan Pajak
dengan Menggunakan Surat Paksa Dalam Meningkatkan Penerimaan
Negara menggunakan beberapa teori yang akan dipakai sebagai
alat analisis penelitian dalam 3 (tiga) tataran teori. Pada tataran grand
theory dipilih teori Negara Kesejahteraan (welfare state). Pada tataran
middle range theory dipilih Teori Kepastian Hukum, sedangkan
applied theory dipilih teori hukum pembangunan dari Mochtar
Kusumaatmadja.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk
dapat menjawab permasalahan 3 (tiga) rumusan masalah yang telah
ditetapkan. Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan
negara adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara
hukum yang semula merupakan liberal berubah ke negara hukum yang
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.14 Menurut konsep Negara
14
12
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 133.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
2.
3.
4.
CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta,
1997, hlm. 20.
Mustamin Dg. Matutu, Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, Pidato
Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang,
1972. hlm. 15.
W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm. 5.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
13
18
19
20
14
a.
b.
Jimly Asshiddiqie, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa
Depan, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998.
Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, Pemerintah tidak diperkenankan memaksakan berlakunya suatu ketentuan
yang mengikat rakyat, yang bersifat mengurangi arti kebebasan atau membebani rakyat dengan kewajiban
materiel tertentu yang mengurangi arti kebebasan hak milik, kecuali jika ketentuan tersebut disetujui
oleh rakyat sendiri melalui wakil-wakil mereka di parlemen sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan
(representative democracy).
Rochmat Sumitro H, Op. Cit., hlm. 16-17.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
15
1.
2.
3.
Ibid., hlm.77.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
17
18
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
b.
Kelembagaan hukum;
c.
24
25
26
27
28
Ibid, hlm. 7.
Ibid.
Ibid.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm.
89-90.
Ibid.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
19
b.
c.
29
30
31
32
33
34
35
36
20
a.
b.
The interest of the state as a guardian of social interest. (Kepentingankepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingankepentingan masyarakat).36
Ibid.
Ibid.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm.
65.
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.
31.
W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, Steven & Sons Limited, London, 1960, hlm. 293.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op. Cit, hlm. 20-23.
W. Friedmann, Op. Cit, hlm. 293.
Lili Rasydi dan Ira Thania Rasydi, Loc. Cit.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
21
E.
METODE PENELITIAN
Penelitian mengenai aspek hukum pajak dalam penagihan pajak
dengan menggunakan surat paksa dalam rangka meningkatkan
penerimaan negara di sektor pajak bersifat deskriptif analitis.
Penelitian ini akan menggambarkan secara lebih luas dan mendalam
dari berbagai segi atas data yang ditemukan, baik berupa penerapan
atas penagihan pajak dengan surat paksa, termasuk juga di dalamnya
sanksi administratif dan denda kenaikan, serta dan atau bunga atas
jumlah pajak terhutang dalam bentuk Surat Tagihan Pajak (STP)
maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang terbit sebagai produk
hukum dari perhitungan pajak hasil verifikasi kebenaran formal
material pemungutan pajak, sanksi perdata berupa sanksi penagihan
dengan surat paksa, sanksi penyitaan dan lelang.37
Pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif, karena titik
berat penelitian ini adalah melakukan penelitian yang mengutamakan
data sekunder yang berkenaan dengan aspek-aspek hukum (asasasas perpajakan), norma-norma hukum, yang dikaitkan dengan
konsep penghasilan, serta meneliti unsur-unsur atau faktor-faktor
kompleksitas yang berkaitan dengan penerapan penagihan pajak
dengan menggunakan surat paksa di bidang perpajakan di Indonesia.
Selain itu, digunakan metode perbandingan hukum serta metode
historis dengan membandingkan tentang sistem penagihan melalui
surat paksa di beberapa negara sebagai perbandingan. Pada penelitian
hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
penelitian (ilmu) hukum digolongkan sebagai data sekunder38
Metode pendekatan yuridis normatif juga ditujukan untuk
menemukan jawaban mengenai apakah ketentuan tentang penerapan
penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa telah memenuhi
asas-asas perpajakan dan juga asas-asas hukum pada umumnya.
Penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan terutama
bidang hukum yang berarti akan menelaah dan mengkaji bahan hukum
37
38
22
Valerie J. Janesick, The Dance of Qualitative Research Design, Metaphore, Methodolatry and Meaning.
Handbook of Qualitatif Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Sage Publication, Inc.,
California,1994, hlm. 212.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001, hlm. 24
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
yang
a.
b.
23
G.
SISTIMATIKA PENULISAN
Untuk memahami Penelitian ini, saya berusaha untuk menjelaskan
isi disertasi ini dengan sistimatika sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang
penelitian, identifikasi masalah,tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, dan metode penelitian.
BAB II. TINJAUAN ATAS SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA.
Berisi tentang sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia,
pengertian pajak dan fungsi pajak, dasar dan teori pemungutan pajak,
cara pemungutan pajak, proses pemungutan pajak.
BAB III. PROSES PEMERIKSAAN PAJAK. Pada bab ini berisi
tentang pemeriksaan pajak, pembahasan hasil akhir pemeriksaan
pajak, hasil pemeriksaan pajak.
BAB IV. SENGKETA PAJAK YANG DIAKIBATKAN ADANYA
PENETAPAN PAJAK. Pada bab ini akan menguraikan tentang surat
ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan, surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat ketetapan pajak
nihil.
BAB V. FUNGSI SURAT PAKSA DALAM PENAGIHAN PAJAK.
Pada bab ini akan menguraikan penerapan surat paksa, dasar hukum
penagihan pajak dengan surat paksa, dan tindakan aktif penagihan.
BAB VI. PENUTUP. Pada bab ini akan diuraikan tentang
kesimpulan yang merupakan jawaban atas identifikasi masalah dan
saran.
24
Bab II
SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA
A.
Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945, tentang Sistem Pemerintahan Negara angka 1 menegaskan
bahwa Indonesia ialah negara yang beradasar atas hukum (rechsstaat).
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
25
b.
c.
d.
e.
f.
2.
Landasan yuridis perpajakan pada saat berlakunya UndangUndang Dasar Sementara 1950 sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut di atas, juga diberlakukan peraturan
perundang-undangan warisan kolonial Belanda berdasarkan
ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara, yaitu:
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
27
28
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1959
tentang
9.
29
1.
b.
c.
d.
Donald Black., The Behavior Of Law., Academic Press., New York San Francisco London., 1976. hal. 107118.
Joseph S. Roucek., Social Control., D. van Nostrand Company. Inc. London.1951.hal. 3.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
31
4
5
6
32
a.
b.
Kelembagaan hukum;
c.
Ibid, hlm. 7.
Ibid.
Ibid.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Edisi I, PT. Alumni, Bandung,
2002, hlm. 89.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Edisi II, PT. Alumni, Bandung, 2004,
hlm. 65.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
33
3.
12
13
34
a.
b.
c.
d.
Ida R. Hoos., Systems Analysis in Public Policy., Unversity of California Press. Berkeley Los Angeles.
London. 1974. hal. 16.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
35
b.
c.
Kebijakan
b.
PeraturanPerundang-undangan
c.
d.
Wajib Pajak
36
Oran R. Young System of Political Science., Alih Bahasa Drs. Sahat Simamora., BinaAksara. Jakarta. Hal.
24.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
37
38
Hadi Poernomo, dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No 1490, Jakarta, hlm. 8-9.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Safri Narmantu, Kepatuhan Perpajakan Sebagai Objek Penelitian, artikel dalam Majalah Barometer, No. 4,
Yayasan Bina Pembangunan (YBP), Jakarta, 1987, hlm. 17.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
39
b.
c.
d.
40
Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 955.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Candra Pratama, Jakarta, 1996,
hlm. 315. Lihat juga: Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang,
artikel dalam Majalah Paradin, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 41.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
41
2.
3.
4.
42
3.
43
44
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, 1993, him. 33.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widia Sarana, Jakarta, 1992, hlm. 190.
Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Ketiga, Bandung, 1991, him. 352.
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 37-38.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 160.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Sudarto, Perkembangan llmu Hukum, artikel dalam majalah Hukum dan Keadilan, No. 5, PARADIN,
Jakarta, 1979, hlm. 15.
Teuku Moh. Radie, Politik Hukum.. artikel dalam majalah Prisma, No. 6, Jakarta, 1973, hlm. 4.
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 1-9.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
45
31
46
47
48
Syofrin Syofyan, Masalah Surat Tagihan Pajak (STP) Yang Berkaitan Dengan Pajak Penghasilan Dalam
Tahun Berjalan, artikel dalam Jurnal Perpajakan Indonesia (IPI), Vol. 2, No. 7, Salemba Empat, Jakarta,
hlm. 18-24.
Bagir Manan, Peranan Hukum Menuju dan Dalam Indonesia Baru, makalah disampaikan pada Musyawarah
Nasional KAHMI, Surabaya, 2000, hlm. 6.
Bagir Manan, Reorientasi..., Op.cit., hlm. 3.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
49
50
Sunaryati Hartono, Beberapa Pikiran Mengenai Suatu Peradilan Tata Usaha Negara, Kertas Kerja pada
Simposium Peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta, dibukukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm. 32.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Suharsono Hadikusumo, Reformasi Perpajakan, artikel dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No.
1421, Jakarta, 2000, hlm. 45.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
51
a.
b.
b.
Golongan Dua, yaitu official assessment system perindividual diberlakukan terhadap mereka yang berstatus
WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif
banyak. WP Golongan Dua itu diharuskan menghitung,
memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan berikut
lampirannya. Sedangkan audit oleh Kantor Akuntan
Publik tidak dipersyaratkan terhadap laporan keuangan
perusahan. Dirjen Pajak melakukan pengawasan dalam
bentuk melakukan pemeriksaan (pre audit) dalam rangka
menetapkan berapa besarnya pajak yang terhutang
berdasarkan SPT berikut lampirannya, kemudian
berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan
keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak
53
54
b)
3)
55
B.
39
Cita negara yang termaktub dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
57
58
Sjachran Basah,. Eksistensi Dengan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung:
Alumni, 1985, hlm.14.
H.A.K. Pringgodigdo, 1981. Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan. hlm. 127.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
42
43
44
E.Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Bandung: Cet. ke-4 FHPM Universitas Negeri
Padjadjaran. hlm. 21-22.
Ibid.
Kansil C.S.T & Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta. hlm. 20.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
59
45
46
47
60
a.
b.
c.
Rukmana Amanwinata, 1996. Pengaturan dan Batas implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul
datam Pasal 28 UUD 1945. Bandung: Disertasi Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
hlm. 109.
Mochtar Kusumaatmadja, 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta.
hlm. 15.
R. Sri Soemantri M, 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni, hlm.29.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
b.
c.
d.
48
Bagir Manan. 1994. Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Bandung:
Makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Angkatan 1994/1995 tanggal 3 September
1994. hlm. 19.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
61
49
62
R.Santoso Brotodihardjo.1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 27.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Rochmat Soemitro, 1979. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944. Jakarta - Bandung
Eresco.hlm.23.
Rochmat Soemitro, 1974. Pajak dan Pembangunan. Bandung: Eresco- hlm. 8.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
63
64
R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
65
66
R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2.
Soenarjati Hartono,CFG, Beberapa Masalah Transnational dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia.
Bandung; Binacipta. hlm-18.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
2.
3.
4.
5.
6.
Mochtar Kusumaatmadja, 1989. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasionat. Op.cit. hlm. 8-9.
Lihat juga,Lili Rasjidi, 1989. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 129.
R. Santoso Brotodihardjo, S.H. 1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 1.
Bohari, 1995.Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 25.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
67
Pencetakan uang58.
69
b.
c.
d.
Penyempumaan administrasiperpajakan60
60
70
Terdapat berbagai pengertian pajak antara lain yang dikemukakan oleh Rochmad Soemitro. Pajak adalah
iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang diguna-kan untuk
membayar pengeluaran umum. Demikian juga Pendapat M.J.H. Smeets pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra
prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. (Baca R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu
Hukum Pajak; PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1981. hal. 4 dan 5).
Rochmad Soemitro; Pajak dan Pembangunan.; Cet. Ke-2 PT.Eresco, Jakarta-Bandung, 1983. hal. 18.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
61
62
63
64
Periksa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 sebagaimana tertuang dalam lampiran Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) NomorII/MPR/1993.
Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara
dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila
kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam
bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. TjeenkWillinkZwolle, 1990.
hal. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanyan perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan.
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003),
hlm.346.
St. Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan perundang-Undangan tentang Perbiatan Melawan
Hukum, (Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994), hlm. 18.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
71
c.
65
72
a.
asas-asas perpajakan
b.
landasan perpajakan
c.
d.
e.
f.
R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajhak, (Bandung: Penerbit PT. Eresco, 1993), hlm.29-30.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pembentukan
undang-undang
perpajakan
yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas hukum sebagaimana
dimaksud di atas, akan berakibat melanggar hak-hak dasar warga
masyarakat, walaupun berdasarkan dengan undang-undang,
dan apabila hal demikian terjadi, maka pemungutan pajak dan
masyarakat merupakan perampokan yang dilakukan secara
legal. Atau dengan kata lain undang-undang perpajakan yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas-asas hukum akan
menjadikan undang-undang perpajakan melegalisir perampokan
hak-hak masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-undang
perpajakan, mengatur berbagai aspek, antara lain;
a.
Subjek pajak
b.
Objek pajak
c.
Tarif pajak
d.
e.
Hutang pajak
f.
Pelunasan pajak66
Salah satu aspek yang diatur dalam undang-undang
perpajakan adalah objek pajak. Objek pajak sebagai kajian
dalam penelitian ini diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat
dijadikan sasaran atau dikenakan pajak.67 Dalam perjalanan
sejarah perpajakan di Indonesia, sejak penjajahan Belanda hingga
saat ini, telah berlaku berbagai jenis undang-undang dibidang
perpajakan, demikian pula terdapat demikian banyak jenis objek
pajak yang diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan
tersebut.
Menyimak peraturan perundang-undangan tentang
perpajakan, yang mengatur objek pajak sebagaimana tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa:
66
67
Perhatikan undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Penambahan Nilai Barang dan
Penjualan Atas Barang Mewah, serta Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Bandingkan dengan Rochmad Soemitro. Op. Cit, hal. 101.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
73
1.
2.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang dasar.
69 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan ini mengalami
74
perubahan berdasarkan amandemen Pertama UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki kekuasaan membuat undang-undang bersama Presiden.
70 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Segala Pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang.
71 Menurut Pasal 1 huruf a-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983., Wajib pajak adalah orangatau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan kewajiban perpajakan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
75
72
76
1.
2.
3.
4.
Pembangunan nasional sebagai realisasi amanat UndangUndang Dasar 1945 dalam rangka mewujudkan masyarakat adil
dan makmur. Dalam hubungan inilah pajak diposisikan bukan
hanya sebagai sumber penerimaan negara, akan tetapi dijadikan
sebagai instrumen regulasi dalam mendukung dan menciptakan
kondisi pembangunan ekonomi nasional yang semakin kondusif,
serta sebagai instrumen redistnbusi terhadap sumber daya
ekonomi masyarakat.
Pajak dalam pembangunan ekonomi nasional mengemban
beberapa fungsi.
1.
Fungsi Budgeter.73
Pada pembahasan dalam sub topik pajak sebagai sumber
penerimaan negara, sudah dapat ditafsirkan bahwa pajak pada
hakekatnya memiliki fungsi bedgeter. Walaupun demikian
pada bagian ini, akan diuraikan lebih lanjut tentang fungsi
budgeter dari pajak.
Fungsi budgeter atas pajak menurut H. Rochmat
Soemitro74 di titikberatkan pada sektor publik, yang
mengandung makna bahwa:
73
74
a.
b.
Dana
yang
dihimpundigunakan
membiayaipengeluaran negara.
c.
untuk
77
75
76
77
78
78
Thomas R. Dye., Understanding Public Policy., Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. 1978. hal. 215.
Thomas R. Dye. Loc. Cit.
Ibid.
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak atau Wajib Pajak adalah orang atau badan yang karena suatu sebab
(baik berupa peristiwa, perbuatan, atau keadaan) dibebankan kewajiban untuk membayar pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
2.
Futngsi Regulasi.
Fungsi pajak sebagai alat regulasi, ditujukan kepada
sektor swasta, dengan demikian pajak dimaksudkan sebagai
instrumen pen-dorong dan perangsang investasi. Oleh
sebab itu pajak sebagai instrumen regulasi bersinggungan
dengan kebijakan pembangunan nasional dalam rangka
menata dan memantapkan struktur ekonomi. Dalam
pendekatan demikian, pajak diposisikan sebagai instrumen
untuk mendukung dan mendorong terciptanya kondisi
ekonomi yang kondusif, baik dalam rangka pengembangan
ekonomi dalam negeri, maupun dalam rangka menghimpun
investasi dari luar.
Aplikasi fungsi regulasi atas pajak di Indonesia, dapat
dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
yaitu:
Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (selanjutnya disingkat
Undang-Undang PMA). Menurut Undang-Undang ini,
pajak diposisikan sebagai instrumen regulasi dalam rangka
mendorong investasi yang berasal dari luar negeri (asing)
sebagaimana dapat disimak pada ketentuan:
Pasal 15
Kepada perusahaan-perusahaan modal asing diberi
kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan
lainnya sebagai berikut :
a.
Pembebasan Pajak:
(1) Pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka
waktu tertentu yang tidak melebihijangka waktu
5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha tersebut
dimulai.
(2) Pajak deviden atas bagian laba yang dibayar
kepada pemegang saham, sejauh laba tersebut
diperoleh dalam jangka waktu yang ddak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
79
Keringanan
(1) Atas pengenaan pajak perseroan dengan suatu
tarif yang proporsional setinggi-tingginya lima
puluh perseratus untuk jangka waktu yang tidak
melebihi 5 (lima) tahun sesudah jangka waktu
pembebasan sebagai yang dimaksud dalam ad a,
angka 1 tersebut di atas;
(2) Dengan cara memperhitungkan kerugian yang
diderita selama jangka waktu pembebasan
yang dimaksud pada huruf a angka l, dengan
keuntungan yang harus dikenakan pajak setelah
jangka waktu tersebut di atas;
(3) Dengan
mengizinkan
penyusutan
yang
dipercepat atas alat-alat perlengkapan tetap.
81
83
84
Periksa Pasal 31 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan dan Penambahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor: 60,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3567).
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
b.
c.
d.
atau
b.
c.
d.
81
Periksa Pasal 16B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan dan Penambahan Undang
-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3568).
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
85
2.
Fungsi Redistribusi.
Selain fungsi-fungsi yang telah diuraikan di atas,
pajak juga memiliki fungsi redistribusi. Yang dimaksudkan
dengan fungsi redistribusi adalah dana yang dihimpun dari
masyarakat, disalurkan kembali kepada masyarakat dalam
bentuk lain demi terwujudnya keadilan sosial.82 Menurut
Soenaryati Hartono83 keadilan sosial adalah pemenuhan
kebutuhan masyarakat (seluruh rakyat Indonesia) sesuai
dengan peran dan partisipasinya dalam aktivitas negara.
Kerangka pemikiran demikian melahirkan konsep
pembangunan fasilitas-fasilitas umum, sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat, dengan menggunakan
pajak yang bersumber dari anggota masyarakat yang
memiliki atau memperoleh pendapatan yang tinggi.
Sehubungan dengan pemikiran tersebut, maka kebijakan
perpajakan merekomendasikan atas anggota masyarakat
yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak dengan tarif
yang tinggi pula (berdasarkan tarif progressif), sebaliknya
anggota masyarakat yang memiliki atau men-dapatkan
penghasilan yang rendah dikenakan tarif pajak yang rendah
pula (berdasarkan tarif reggressif).
Berdasarkan kebijakan tarif perpajakan yang
diberlakukan di Indonesia, adalah tarif pajak progressif,
82
83
86
Yang dimaksud dengan kedilan sosial adalah terpenuhi kebutuhan masyarakat secara merata, yang
dilakukan oleh negara.
Soenaryati Hartono., Hukum Ekonomi Pembangunan., Bina Cipta. Bandung. 1982. hal. 15
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Perhatikan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Inonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848).
Perhatikan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
Perhatikan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
87
dapat
87
88
89
88
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan, dan pelaksanaan peraturan perundangundangan perpajakan di Indonesia, harus merujuk
kepada tumpuan atau landasan yangjelas.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan90, maka
dapat diidentifikasi landasan atau dasar perpajakan
di Indonesia menjadi 5 (lima) landasan utama yaitu,
(1) landasan filosofis; (2) landasan politik; (3) landasan
ekonomis; (4) landasan sosiologis, dan (5) landasan
yuridis, sebagaimana terurai berikut ini.
2.
Landasan Filosofis.
Perumusan suatu kebijakan, pembentukan
peraturan perundang-undangan, termasuk dalam
hal perumusan kebijakan dan peraturan perundangundangan perpajakan pada setiap negara termasuk di
Indonesia, senantiasa didasarkan pada falsafah yang
dianut oleh bangsa dan negara yang bersangkutan.
Bagi bangsa Indonesia falsafah yang dianut
adalah Pancasila91 sebagaimana termaktub dalam
Alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Pemusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
90
91
H. Rochmad Soemitro. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1. PT Eresco. Bandung. Tahun 1988 menyebutkan
6 (enam) landasan atas dasar perpajakan, yaitu (1) dasar filosofis, (2) dasar konstitusional, (3) dasar
keadilan, (4) dasar ekonomi, (5) dasar sosial, (6) dasar politik, sedangkan Hary Djatmiko., dalam Disertasinya
Pajak Penghasilan Final Dari Pengalihan HakAtas Tanah dan Bangunan menyebutkan 4 (empat) landasan
atau dasar perpajakan yaitu (1) landasan idiil, (2) landasan Politik, dan (3) landasan Konstitusional, dan (4)
landasan operasional.
Perhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Bab I Pendahuluan hurufD dinyatakan bahwa Garis-Garis Besar
Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila..., dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan pada Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945...
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
89
Landasan Politis.
Sehubungan dengan perumusan kebijakan
perpajakan dan pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan, hak-hak individu perlu
mendapat perhatian, dan oleh sebab itu harus
mendapat persetujuan rakyat, baik melalui lembaga/
partai politik, maupun melalui lembaga legislatif
(representatif).
92
90
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810) dinyatakan
bahwa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi
yang dijiwai oleh semangat Pancasila...
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Landasan Ekonomis.
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
terdahulu, bahwa pajak adalah pungutan (berupa
uang) yang dibebankan oleh negara kepada warga
masyarakat untuk mengisi kas negara, yang bersifat
paksaan. Hal tersebut mengandung makna bahwa
pajak menyebabkan terjadinya peralihan kekayaan
dari rakyat (warga masyarakat) kepada negara.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
91
pengecualian perpajakan,
b.
c.
Landasan Sosiologis.
Menurut Rochmat Soemitro93 pajak merupakan
gejala sosial, dan pajak hanya terdapat didalam
masyarakat. Masyarakat sebagai kumpulan orang,
dalam suatu ikatan yang sama, dengan sistem nilai
yang sama, dan dalam pergaulan hidupnya berusaha
untuk mewujudkan tujuan yang sama pula.
Bangsa Indonesia dalam pendekatan sosiologis
merupakan masyarakat sebagai kumpulan dari
individu (rakyat) Indonesia, memiliki nilai yang
sama yaitu Pancasila, dalam pergaulan hidupnya
(kehidupan berbangsa dan bernegara) berusaha
melalui pembangunan untuk mewujudkan tujuan
yang sama, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Dalam pandangan sosiologis, pajak merupakan
alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk
memenuhi kepentingan atau tujuan bersama.
Dengan demikian pajak merupakan aplikasi dari sifat
kegotong-royongan bangsa Indonesia. Sehubungan
dengan hal ter-sebut, maka secara sosiologi pajak
merupakan beban sosial seluruh rakyat Indonesia,
yang dimaksudkan untuk membiayai keperluan
negara atau keperluan pembangunan dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
(bangsa Indonesia).
Pajak sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
(masyarakat adil dan makmur) ddak terlepas dari
fungsi budgeter (fungsi anggaran) dalam arti siapa
93
Rochmat Soemitro. ,Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1., PT. Eresco Bandung.1988.hal. 47.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
93
94
The Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia., Jilid II GunungAgung.
Jakarta. 1968. hal. 159.
Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
95
97
b.
Pajak dapat dibebankan berdasarkan kriteriakriteria yang ditentukan sebelumnya. Ini berarti
bahwa pajak dapat ditentukan. dihitung dan
bahkan direncanakan besarannya.
c.
d.
99
2.
3.
4.
96
Sutan Remy Sjahdeni, Penerapan Gizeling Dalam Bidang Perpajakan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11, 2001,
hlm.24-25.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
101
Keadilan/Kesamaan
b.
c.
d.
e.
102
C.
Equality on taxation.
Prinsip mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah
adil, merata, dan tidak diskriminasi dalam menetapkan
objek pajak, dan pembebanan kepada masing-masing subyek
pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya. Dalam
perkembangannya prinsip keadilan dalam suatu sistem pajak
diukur berdasarkan prinsip manfaat yang diterima oleh
masuarakat Wajib Pajak. Berdasar kedua prinsip keadilan dalam
pembebanan pajak tersebut, keadilan dapat diperinci lebih lanjut
menjadi Kedailan Horizontal dan Keadilan Vertikal. Keadilan
horizontal menganjurkan bahwa terhadap objek pajak yang
sama dan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan
yang sama harus dibebani pajak yang sama pula. Sedangkan
keadilan vertikal memandang suatu pembebanan pajak yang adil
bilamana terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kekayaan dan
kemampuan lebih besar harus dibebani pajak yang lebih tinggi
dari pada Wajib Pajak pada umumnya.
2.
Certainty on Taxation
Asas ini memberikan kepastian hukum dalam perpajakan
sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum
lainnya. Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti
mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
103
Convenient of Payment
Prinsip ini menyarankan agar pembayaran pajak dipungut
pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat, yang paling
sesuai dan menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya.
Dalam perkembangan praktek administrasi perpajakan, baik
di negara maju maupun di negara sedang berkembang, prinsip
Convenient of Payment tersebut harus selalu sejalan dan
berimbang dengan aspek jaminan pengamanan penerimaan
keuangan negara.
4.
Efficient of Collection
Prinsip ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus
dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang
hemat bagi aparat pajak, dan biaya kepatuhan yang murah bagi
Wajib Pajak. Prinsip efisiensi ini juga berlaku umum untuk semua
kegiatan pemerintah untuk pelayanan publik, terlebih lagi untuk
para pelaku ekonomi di semua lapisan dan semua sektor. Prinsip
efisiensi dalam pemungutan pajak ini yang menjadi salah satu
pertimbangan dalam melakukan rasionalisasi dan reformasi
hukum pajak yang telah dilaksanakan di masa lalu, dan yang
sedang dipersiapkan saat ini maupun di masa yang akan datang.
104
D.
Teori Asuransi.
Menurut teori ini Negara Republik Indonesia sebagai
institusi sosial bertugas untuk98 melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial.99
Apabila kita merujuk kepada tugas negara sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka
dapat ditegaskan bahwa negara bertugas untuk melindungi jiwa
dan harta benda seluruh bangsa Indonesia. Dan dalam hubungan
inilah negara berhak untuk mendapatjasa dari warga masyarakat
dalam bentuk pajak.
Merujuk kepada pandangan terori asuransi, negara
dipandang sebagai perusahaan asuransi sedangkan warga
masyarakat dipandang sebagai pemegang polis, dan oleh
sebab itu wajib membayar premi dalam bentuk pajak. Sebagian
kalangan menolak teori asuransi dalam hal pemungutan pajak,
dengan alasan bahwa warga masyarakat yang mengalami
98
99
Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar llmu Politik., PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tahun 1992. hal. 39
menyatakan bahwa negara mempunyai 2 (dua) tugas utama, yaitu (1) mengendalikan dan mengatur gejalagejala kekuasaan yang a sosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme
yang membahayakan, (2) mengorganisir dan mengitegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan
ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan
asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Periksa Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
105
Teori Kepentingan.
Menurut teori ini, pajak yang dibebankan kepada setiap
orang atau badan harus disesuaikan dengan kepentingannya
masing-masing dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugastugas pemerintahan, atau dengan kata lain pajak yang dibebankan
kepada setiap orang didasarkan pada manfaat yang diperoleh
dari negara100. Sehubungan dengan hal tersebut dapat ditafsirkan
bahwa bagi mereka yang memperoleh manfaat atau memiliki
kepentingan yang lebih besar dari negara dibebankan pajak yang
lebih besar pula. Ukuran kepentingan yang digunakan dalam
teori ini adalah kekayaan dan harta benda. Oleh sebab itu, teori
ini secara faktual tidak dapat diterima dan diterapkan di Indo
nesia, karena tidak tertutup kemungkinan orang miskin lebih
banyak kepentingannya terhadap negara dibandingkan dengan
orang kaya, kalau demikian kepada mereka dibebankan pajak
yang lebih besar. Apabila teori ini diterapkan, itu berarti bahwa
landasan ekonomi perpajakan di abaikan, artinya beban pajak
menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan daya beli
masyakarat.
3.
100 R. Santoso Budihardjo., Pengantar Ilmu Hukum Pajak. PT. Eresco. Bandung, 1981. hal. 27.
106
5.
107
b.
c.
108
a.
b.
c.
d.
E.
Stelsel Pajak
Stelsel perpajakan yang dianut di Indonesia, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku terdiri
dari beberapa sistem.103.
a.
b.
c.
109
b.
111
d.
112
113
114
115
111
112
116
b.
c.
b.
c.
d.
113
114
R. Sri Soemantri M, 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Alumni, hlm.29.
Bagir Manan. 1994. Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut
UUD 1945 Bandung: Makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca
Angkatan 1994/1995 tanggal 3 September 1994. hlm. 19.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
117
118
119
120
121
122
2.
3.
4.
5.
6.
119 R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2.
120 Soenarjati Hartono,CFG, Beberapa Masalah Transnational dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia.
Bandung; Binacipta. hlm-18.
121 Mochtar Kusumaatmadja, 1989. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasionat. Op.cit. hlm. 8-9.
Lihat juga,Lili Rasjidi, 1989. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 129.
122 R. Santoso Brotodihardjo, S.H. 1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 1.
123 Bohari, 1995.Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 25.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
123
b.
c.
d.
e.
125
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Pencetakan uang124.
Diantara sumber-sumber penerimaan negara sebagai
telah di-sebutkan di atas, penerimaan dan sektor pajak yang
merupakan sumber penerimaan negara terbesar. Memperhatikan
data numerik terhadap penerimaan negara dari sektor pajak,
dapat dikatakan bahwa pajak merupakan andalan negara dalam
upaya mengisi kas negara. Pajak diartikan sebagai pengalihan
kekayaan dari masyarakat kepada negara berdasarkan undangundang, tanpa mendapat prestasi balik yang dapat ditunjuk.125
Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun
dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan
berbagai kebijakan, yaitu:
a.
b.
c.
d.
Penyempumaan administrasiperpajakan126
Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam
menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak,
sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal
124 Manuwir Perpajakan., Liberty Yogyakarta. 1990. hal. 6-7
125 Terdapat berbagai pengertian pajak antara lain yang dikemukakan oleh Rochmad Soemitro. Pajak adalah
iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang diguna-kan untuk
membayar pengeluaran umum. Demikian juga Pendapat M.J.H. Smeets pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra
prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. (Baca R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu
Hukum Pajak; PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1981. hal. 4 dan 5).
126 Rochmad Soemitro; Pajak dan Pembangunan.; Cet. Ke-2 PT.Eresco, Jakarta-Bandung, 1983. hal. 18.
126
127
b.
c.
129 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003),
hlm.346.
130 St. Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan perundang-Undangan tentang Perbiatan Melawan
Hukum, (Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994), hlm. 18.
128
asas-asas perpajakan
b.
landasan perpajakan
c.
d.
e.
f.
Pembentukan
undang-undang
perpajakan
yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas hukum sebagaimana
dimaksud di atas, akan berakibat melanggar hak-hak dasar warga
masyarakat, walaupun berdasarkan dengan undang-undang,
dan apabila hal demikian terjadi, maka pemungutan pajak dan
masyarakat merupakan perampokan yang dilakukan secara
legal. Atau dengan kata lain undang-undang perpajakan yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas-asas hukum akan
menjadikan undang-undang perpajakan melegalisir perampokan
hak-hak masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-undang
perpajakan, mengatur berbagai aspek, antara lain;
a.
Subjek pajak
b.
Objek pajak
c.
Tarif pajak
d.
e.
Hutang pajak
f.
Pelunasan pajak132
129
2.
130
131
Zwollw Tjeenk Willink. 1954. hal 83 memberikan pengertian asas hukum sebagai pikiran dasar
yang berkaitan dengan sistem hukum , sedangkan Karl Larenz memberikan pengertian asas
hukum sebagai gagasan yang membimbing dalam pengaturan hukum, atau nilai yang mendasari
kaidah hukum.
132
Apabila
peraturan
perundang-undangan
dibidang
perpajakan dibentuk berdasarkan asas-asas hukum sebagaimana
dimaksud di atas, maka peraturan perundang-undangan
perpajakan tersebut mampu untuk:
1.
2.
3.
4.
Pembangunan nasional sebagai realisasi amanat UndangUndang Dasar 1945 dalam rangka mewujudkan masyarakat adil
dan makmur. Dalam hubungan inilah pajak diposisikan bukan
hanya sebagai sumber penerimaan negara, akan tetapi dijadikan
sebagai instrumen regulasi dalam mendukung dan menciptakan
kondisi pembangunan ekonomi nasional yang semakin kondusif,
serta sebagai instrumen redistnbusi terhadap sumber daya
ekonomi masyarakat.
Landasan kebijakan penetapan pajak dapat dikemukakan
berdasarkan beberapa landasan.
1.
139 W.J.S. Poerwadarminta., Kamus Urnum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1985. hal. 560.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
133
Landasan Filosofis.
Perumusan suatu kebijakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan, termasuk dalam hal perumusan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan
pada setiap negara termasuk di Indonesia, senantiasa
didasarkan pada falsafah yang dianut oleh bangsa dan
negara yang bersangkutan.
Bagi bangsa Indonesia falsafah yang dianut adalah
Pancasila141 sebagaimana termaktub dalam Alinea ke IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Pemusyawaratan/ Perwakilan,
dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
140 H. Rochmad Soemitro. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1. PT Eresco. Bandung. Tahun 1988 menyebutkan
6 (enam) landasan atas dasar perpajakan, yaitu (1) dasar filosofis, (2) dasar konstitusional, (3) dasar keadilan,
(4) dasar ekonomi, (5) dasar sosial, (6) dasar politik, sedangkan Hary Djatmiko., dalam Disertasinya Pajak
Penghasilan Final Dari Pengalihan HakAtas Tanah dan Bangunan menyebutkan 4 (empat) landasan atau
dasar perpajakan yaitu (1) landasan idiil, (2) landasan Politik, dan (3) landasan Konstitusional, dan (4)
landasan operasional.
141 Perhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Bab I Pendahuluan hurufD dinyatakan bahwa Garis-Garis Besar
Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila..., dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan pada Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945...
134
Landasan Politis.
Sehubungan dengan perumusan kebijakan perpajakan
dan pembentukan peraturan perundang-undangan
perpajakan, hak-hak individu perlu mendapat perhatian,
dan oleh sebab itu harus mendapat persetujuan rakyat, baik
melalui lembaga/partai politik, maupun melalui lembaga
legislatif (representatif).
Aplikasi landasan politik dalam perumusan kebijakan
perpajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan
perpajakan adalah Pasal 23 ayat (2) segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang, dan Pasal
3 ayat (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
142 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810) dinyatakan
bahwa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi
yang dijiwai oleh semangat Pancasila...
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
135
Landasan Ekonomis.
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
terdahulu, bahwa pajak adalah pungutan (berupa uang) yang
dibebankan oleh negara kepada warga masyarakat untuk
mengisi kas negara, yang bersifat paksaan. Hal tersebut
mengandung makna bahwa pajak menyebabkan terjadinya
peralihan kekayaan dari rakyat (warga masyarakat) kepada
negara.
Peralihan kekayaan melalui pemungutan pajak
dapat berakibat terhadap kemampuan ekonomis warga
masyarakat yakni tingkat penghasilan berkurang dan
daya belinya menurun. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan, harus
136
pengecualian perpajakan,
b.
c.
Landasan Sosiologis.
Menurut Rochmat Soemitro143 pajak merupakan
gejala sosial, dan pajak hanya terdapat didalam masyarakat.
143 Rochmat Soemitro. ,Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1., PT. Eresco Bandung.1988.hal. 47.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
137
Jalan umum
b.
c.
d.
e.
f.
Sarana peribadatan
g.
h.
i.
j.
Sarana olahraga
k.
Stasiun penyiaran
l.
Kantor pemerintah
m. Fasilitas ABRI/TNI
Sebagai gejala sosial, perumusan kebijakan perpajakan
dalam peraturan perundangan-undangan tidak terlepas
dari kondisi sosial masyarakat Indonesia, baik dari tingkat
penghasilan, dngkat kesejahteraan, maupun tingkat
kebutuhannya. Hal tersebut harus jelas tertuang baik dalam
Program Pembangunan Nasional.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa pajak hanya
dapat dibenarkan pemungutannya, apabila dipenmtukkan
untuk membiayai keperluan pembangunan yang dapat
144 The Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia., Jilid II GunungAgung.
Jakarta. 1968. hal. 159.
145 Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
139
141
b.
c.
d.
143
145
146
Bab III
PROSES PEMERIKSAAN PAJAK
A.
Pemeriksaan Pajak
Ditjen Pajak melakukan proses menghitung penghasilan orang
pribadi, dan menghimbau kepada yang merasa belum sepenuhnya
melaporkan penghasilannya dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT),
agar segera diperbaiki. Apabila setelah dihimbau masih juga tidak
memperhatikan, maka langkah berikutnya Ditjen Pajak akan melakukan
pemeriksaan dan mungkin juga penyidikan sesuai kriteria menurut
peraturan perundang-udangan perpajakan (Berita Pajak, September,
2002). Himbauan Ditjen Pajak tersebut harus diartikan seluruh Wajib
Pajak termasuk yang berstatus Penyelenggara Negara (eksekutif,
yudikatif, legislatif), khususnya bagi mereka yang telah mengisi
Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) yangdiserahkan ke
KPKPN.
Untuk memudahkan kerja KPKPN, KPKPN telah menandatangani
surat kesepakatan bersama dengan jaksa Agung dan Markas
Besar (Mabes) POLRI dengan maksud untuk menegakkan wibawa
Penyelenggara Negara. Hal ini sangat penting (paling berharga) dalam
upaya memperbaiki atau menyempurnakan penyelenggaraan negara.
Kecuali itu, bagi WP yang berstatus penyelenggara negara, dapat pula
memberikan contoh kepada rakyat bahwa mereka juga mempunyai
kewajiban membayar pajak kepada negara. Hal ini merupakan syarat
penting dalam mewujudkan supremasi hukum, walaupun prakteknya
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
147
149
Pengertian Pemeriksaan
Sebelum menjelaskan tentang pengertian pemeriksaan,
maka terkait dengan masalah ini perlu dikemukakan tentang
sistem penetapan pajak. Self assessment system sebagai sistem
150
151
Hadi Poernomo, dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No 1490, Jakarta, hlm. 8-9.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
153
154
Safri Narmantu, Kepatuhan Perpajakan Sebagai Objek Penelitian, artikel dalam Majalah Barometer, No. 4,
Yayasan Bina Pembangunan (YBP), Jakarta, 1987, hlm. 17.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
155
3
4
5
156
Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 955.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Candra Pratama, Jakarta, 1996,
hlm. 315. Lihat juga: Subekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang,
artikel dalam Majalah Paradin, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 41.
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum ..., Loc.cit.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
2.
3.
4.
157
158
Sunaryati Hartono, Beberapa Pikiran Mengenai Suatu Peradilan Tata Usaha Negara, Kertas Kerja pada
Simposium Peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta, dibukukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm. 32.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Suharsono Hadikusumo, Reformasi Perpajakan, artikel dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No.
1421, Jakarta, 2000, hlm. 45.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
159
161
162
2)
3)
163
165
Ayat 3 :
apabila DJP mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang
terhutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak benar, maka DJP menetapkan jumlah pajak
terhutang yang semestinya
Memang maksud dari ayat 2 adalah bahwa Wajib Pajak
yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang
terhutang secara benar berdasarkan ketentuan, serta melaporkan
dalam SPT kepadanya tidak perlu diberikan Surat Ketetapan
Pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan,
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasannya. Namun
demikian, ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa
SPT yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak adalah benar atau
setidak-tidaknya dianggap benar, kecuali DJP mempunyai bukti
lain. Kecuali DJP mempunyai bukti lain adalah isi dari ayat 3.
Bagaimana bukti itu diperoleh? Penjelasannya mengatakan
bahwa apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil
pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain, bahwa pajak
yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang
bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata
melebihi sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan
besarnya pajak yang terhutang sebagaimana mestinya menurut
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
Pemeriksaan dengan demikian esensinya adalah mendapatkan
bukti, dan bukti itu bisa saja menyimpulkan bahwa SPT
disampaikan memang benar atau menyatakan sebaliknya bahwa
SPT nya tidak benar. Dari bukti itu selanjutnya DJP menerbitkan
ketetapan pajak. Dengan kata lain, sebagai konsekuensi sistem
self asessment, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran atas
SPT yang telah disampaikan Wajib Pajak berada pada sisi fiskus
(DJP). Fiskus dalam melakukan tindakan pemeriksaan haruslah
dengan asumsi bahwa SPT yang akan diperiksa adalah telah
benar sesuai dengan ketentuan.
166
Pengertian Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk
mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
b.
Tujuan Pemeriksaan
1). Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan,
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
167
168
c.
169
d.
170
8)
9)
171
7)
172
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
173
Tujuan Pemeriksaan
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan
berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
(dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan
dan pembinaan kepada Wajib Pajak KMK 545/00); dan
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undnagan perpajakan;
Pemeriksaan yang bertujuan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal :
a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran
pajak dan atau rugi;
b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan
tidak pada waktu yang telah ditetapkan;
c. Data dan atau keterangan dalam Surat pemberitahuan
menyimpang dari kewajaran dan kelaziman;
d. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban
tersebut pada huruf b tidak dipenuhi.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji
pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri
kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan,
pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang
dilakukan dengan:
174
a.
b.
175
Kriteria Pemeriksaan
Ruang lingkup pemeriksaan terdiri dari :
a. Pemeriksaan lapangan yang meliputi suatu jenis pajak atau
seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahuntahun sebelumnya dan untuk tujuan lain yang dilakukan di
tempat Wajib Pajak;
b. Pemeriksaan Kantor yang meliputi suatu jenis pajak tertentu
baik tahun berjalan dan atau tahun-tahaun sebelumnya
yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
176
177
e.
f.
g.
h.
i.
2.
178
c.
179
c.
d.
e.
f.
g.
h.
4.
180
e.
f.
g.
h.
i.
5.
181
182
B.
183
184
185
C.
186
187
3.
189
8)
b.
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan Ulang dapat dilaksanakan dalam hal :
1) terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak dapat diduga
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
2) terdapat data baru dan atau data yang semual belum
terungkap yang dapat mengakibatkan penambahan
pajak terutang atau mengurangi kerugian yang dapat
dikompensasi.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No.6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No.16 tahun 2000, yang dimaksud dengan data baru
adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang
diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang
terhutang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada
waktu penetapan semuala, baik dalam Surat Pemberitahuan
dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan data yang semula belum
terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai
segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya
jumlah pajak terhutang, yang :
1) Tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk
laporan keuangan); dan atau
2) Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semual
Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau
190
191
192
Bab IV
SENGKETA PAJAK DALAM KAITAN
BESARAN PIUTANG PAJAK ATAS
ADANYA SURAT KETETAPAN PAJAK
A.
Sengketa Pajak
1.
193
194
195
1)
2)
3)
3.
196
197
199
5.
201
202
203
bulan tidak sama, ada tanggal 30 atau 31, bahkan ada yang hanya
tanggal 28/29, maka tiga bulan kemudian jatuh pada tanggal
akhir bulan pula.
Suatu SKP diterbitkan oleh fiskus tanggal 2 April 1997,
maka tenggang waktu untuk memasukkan surat keberatan bagi
wajib pajak berakhir pada tanggal 2 Juli 1997. Artinya kalau
surat keberatan dimasukkan tanggal 2 Juli 1997 masi dibenarkan
karena belum terlambat, tetapi kalau dimasukkan tanggal 3 Juli
1997 sudah terlambat, sehingga tidak memenuhi syarat formal
(101 Putusan MPP, hal 49).
Mengingat ketentuan tenggang waktu dimulai sejak tanggal
surat ketetapan, bukan tanggal surat ketetapan diterima, maka
ada kalanya tenggang waktu tersebut menjadi kurang dari tiga
bulan. Hal ini misalnya karena keterlambatan pengiriman. Jika
hal ini terjadi dan waktu yang tersisa tidak cukup bagi wajib
pajak untuk menyusun dan menyampaikan surat keberatannya,
apakah keterlambatannya dapat diterima secara formal sebagai
surat keberatan? Hal ini akan menjadi konflik dilapangan
antara fiskus dengan wajib pajak apabila fiskus tidak dapat
menerimanya sebagai surat keberatan karena secara formil
sudah terlewati jangka waktu yang ditentukan. Tetapi, jika kasus
ini sampai ke tingkat banding, dalam beberapa kasus pengadilan
pajak menafsirannya sebagai sebab-sebab di luar kekuasaannya
(force mayeur).
Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
(1) Untuk keperluan pengajuan keberatan wajib pajak dapat
meminta penjelasan.keterangan tambahan dan kepala KPP
wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan;
(2) Wajib pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis sebelum surat keputusan keberatan diajukan.
Apabila persyaratan formal telah dipenuhi, maka Direktur
Jenderal Pajak akan memproses pengajuan keberatan wajib pajak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
205
206
207
209
211
menjadi :
Penghasilan Neto sebesar
Rugi menunut Putusan Banding
Penghasilan kena pajak
Rp 250.000.000,00
Rp 160.000.000,00
Rp 90.000.000,00
213
215
(2)
(3)
(4)
(5)
setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada buktibukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan
bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap
persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan
putusan yang berbeda, kecuali yang diputus berdasarkan
pasal 80 ayat (1) huruf b dan c UU Pengadilan Pajak (dengan
putusan berupa menambah pajak yang harus dibayar atau
putusan mengabulkan sebagian atau seluruhnya);
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari yang dituntut, kecuali yang diputus dengan amar
mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambah
pajak yang harus dibayar;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;atau
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c.
217
Penerbitan SKPKB
Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya
pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
219
b.
c.
d.
220
221
Sanksi Administrasi
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajka Kurang Bayar yang diterbitkan karena hasil
pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar (Pasal 13 ayat (1) huruf a) ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen)
sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung
222
223
c.
d.
(+)
Jumlah Pajak yang dikreditkan
Rp. 725.000,00
(-)
3.
a.
b.
c.
225
Daluwarsa Penetapan
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh
Wajib Pajak dalam Suarat Pemberitahuan menjadi pasti menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi
para Wajib Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan
pajak dengan sistem self assessment, maka apabila dalam
waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnaya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan ketetapan pajak,
maka jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat
Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada
hakekatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah
menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, Surat
Pemberitahuan Wajib Pajak yang bersangkutan telah merupakan
ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah.
Apabila jangka waktu sepuluh tahun telah lewat, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh
delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
bayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu sepuluh
tahun tersebut dipidana, karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan
226
Penerbitan SKPKBT
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan
data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat
Ketetapan Pajka Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan
lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak
seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat
Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan
koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak
Kurang bayar Tambahan baru diterbitkan apabila telah pernah
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
227
229
Sanksi Administrasi
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tesebut.
Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata
masih ditemukan data baru dan atau data yang belum terungkap
yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut,
maka atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari
pajak yang kurang dibayar.
230
Daluwarsa Penetapan
Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat
diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar
48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu
10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh
delapan pesen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,
meskipun jangka waktu sepuluh tahun dilampaui.
D.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Nihil
1.
231
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
2.
Syarat Penerbitan
Menurut ketentuan ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
diterbitkan, apabila:
a. untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar
dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih
besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila
terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan
jumlah yang terutang adalah jumlah Pajak Keluaran
setelah dikurangi pajak dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tersebut;
c. untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak
yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang
atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan
setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang
disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar,
nihil atau lebih bayar yang tidak disertai dengan pemotongan
232
233
235
a.
b.
c.
pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tetapi membuat Faktur Pajak;
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi
tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur
Pajak.
(Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e dan huruf f) masingmasing dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2 % (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
237
-
-
239
b.
c.
241
242
Bab V
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT
PAKSA
243
b.
c.
b.
c.
d.
b.
Pelajari berkas data dan data Wajib Pajak yang tersedia di KPP.
Tindakan ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum
WP. Dalam tahap ini termasuk juga mencari tahu dasar penetapan
pajak yang menimbulkan tunggakan pajak.
b.
c.
b.
Telusuri mutasi aktiva yang dimiliki penanggung pajak (jika ada) sejak
periode tunggakan pajak sampai dengan tahun berjalan.
c.
d.
e.
Telusuri dan periksa daftar piutang usaha dan piutang diluar usaha
yang dimiliki penanggung pajak. Buat daftar piutang.
f.
245
g.
Penugasan pemeriksaan;
b.
c.
d.
Jurusita Pajak
Jurusita pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang
meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat
paksa, penyitaan dan penyanderaan. Jurusita pajak diangkat dan
diberhentikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk penagihan pajak pusat dan pejabat yang ditunjuk Gubernur,
Bupati atau Walikota untuk penagihan pajak daerah.
246
b.
c.
d.
Melaksanaan penyanderaan
penyanderaan
berdasarkan
surat
perintah
247
b.
c.
d.
e.
b.
248
b.
c.
d.
249
JENIS TINDAKAN
ALASAN
Penerbitan
Surat
Teguran atau Surat
Peringatan atau surat
lain yang sejenis (Pasal
5 Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 561/
KMK.04/2000)
Penerbitan
Surat
Paksa (pasal 7 UU
PPSP dan pasal 9
Keputusan
Menteri
Keuangan Nomor 561/
KMK.04/2000)
Penanggung
Pajak
tidak melunasi hutang
pajaknya
sampai
dengan jatuh tempo
pembayaran
Penanggung
Pajak
tidak
melunasi
hutang
pajaknya
dan kepadanya telah
diterbitkan
Surat
Teguran atau Surat
Peringatan atau surat
lain yang sejenis.
WAKTU
PELAKSANAAN
Setelah 7 hari sejak
saat
jatuh
tempo
pembayaran
251
Penerbitan
Surat
Perintah Melaksanakan
Penyitaan (pasal 12 UU
PPSP)
Pengumuman Lelang
Penjualan/Pelelangan
Barang Sitaan (pasal 26
UU PPSP)
Penanggung
Pajak
tidak
melunasi
hutang
pajaknya
dan kepadanya telah
diberitahukan
Surat
Paksa.
Setelah
pelaksanaan
penyitaan
ternyata
Penanggung
Pajak
tidak melunasi hutang
pajaknya.
Setelah pengumuman
lelang
ternyata
Penanggung
Pajak
tidak melunasi hutang
pajaknya.
252
1.
Surat Teguran
b.
c.
253
2.
Surat Paksa
Hutang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran
tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh
Jurusita pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan
Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00. Hutang pajak harus dilunasi
dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan
oleh jurusita pajak.
Surat Paksa diterbitkan apabila :
1)
2)
3)
Dasar Hukum
254
a.
b.
c.
d.
b.
c.
255
256
1)
2)
3)
4)
b.
c.
1)
2)
d.
Keadaan Khusus
Apabila Surat Paksa tidak dapat diberitahukan kepada
Wajib Pajak orang pribadi atau badan sebagaimana butir
a dan b di atas, Surat Paksa disampaikan melalui aparat
Pemda sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan
atau Sekretaris Desa dimana Wajib Pajak bertempat tinggal
atau melakukan kegiatan usahanya. Apabila Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya,
atau tempat kedudukannya, pemberitahuan Surat Paksa
dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada
papan pengumuman KPP/KPPBB yang menerbitkannya
dan atau mengumumkan Surat Paksa tersebut melalui
media massa.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
257
e.
3.
258
2)
3)
Surat Sita
Hutang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah surat
paksa diberitahukan oleh jurusita pajak tidak dilunasi, jurusita
pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dibebani biaya
pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebsar Rp
75.000,00.
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang
penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi
hutang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan penyitaan :
1)
2)
3)
4)
a.
b.
memperlihatkan
penyitaan;
surat
c.
memberitahukan
penyitaan;
tentang
perintah
maksud
melaksanakan
dan
tujuan
259
6)
7)
8)
9)
260
2)
3)
pajak
yang
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Peralatan
penyandang
cacat
yang
digunakan
oleh
261
penanggung pajak
tanggungannya.
dan
keluarga
yang
menjadi
2)
3)
4)
2)
3)
2)
262
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
263
264
2)
b.
c.
2)
memperlihatkan SPMP;
3)
memberitahukan
penyitaan.
tentang
maksud
dan
tujuan
2)
265
266
d.
e.
f.
g.
h.
i.
267
268
a.
b.
c.
e.
BAPS yang telah ditandatangani oleh Jurusita dan saksisaksi dan segel sita yang telah ditandatangani Jurusita
ditempelkan pada tanah/ bangunan yang disita sedemikian
rupa agar Penanggung Pajak dan masyarakat umum
mengetahui status tanah/bangunan tersebut dalam
penyitaan oleh Negara c.q. Kepala KPP/KPPBB yang
bersangkutan.
f.
Penyampaian BAPS
2)
3)
4)
5)
6)
269
270
a.
b.
c.
Prosedur Pemblokiran:
1)
2)
menerima permintaan
KPPBB tersebut.
3)
d.
pemblokiran
KepalaKPP/
Prosedur Penyitaan:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Pejabat
mengajukan
permintaan
pencabutan
pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
7)
271
9)
a.
b.
2)
3)
4)
5)
6)
273
c.
i)
ii)
2)
3)
274
perintah
tertulis
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
BAPS
275
2)
Membuat BAPS.
3)
276
b.
b.
c.
d.
e.
pekerjaan
atau
jabatan
Ibid.,
Ibid., hlm. 124
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
277
b.
c.
278
Indonesia, Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Op. Cit., Pasal 19.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
uang tunai;
2)
surat-surat berharga:
3)
a)
b)
279
b.
280
Persiapan Lelang
1)
2)
b)
c)
Surat Teguran.
d)
Surat Paksa.
e)
f)
g)
h)
BAPS.
i)
j)
k)
l)
atau
bukti
transaksi
281
282
1)
2)
3)
4)
5)
b)
c)
2)
3)
4)
5)
6)
283
7)
8)
9)
284
1)
2)
3)
4)
mewakilinya
menghadiri
a)
b)
c)
5)
6)
7)
a)
b)
b)
c)
8)
9)
b)
285
mewakilinya
menghadiri
a)
b)
c)
b)
b)
c)
a)
b)
2)
3)
Penyitaan Tambahan
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakn apabila :
1)
2)
Kelebihan Pembayaran
1)
2)
287
2)
3)
5.
1)
2)
3)
288
Wajib Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu;
b.
c.
2)
Memindahtangankan usahanya;
3)
Menggabungkan usahanya;
4)
d.
e.
b.
c.
d.
b.
289
c.
d.
e.
b.
2)
290
3)
D.
b)
c)
Tindakan Lain
1.
Pencekalan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara
terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah
negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dasar Hukum
a.
b.
c.
291
292
2)
NPWP
3)
Alamat
4)
Jumlah Tunggakan
5)
6)
7)
(Pemilik/
8)
9)
c.
2)
NPWP
3)
Tanggal lahir
4)
Alamat rumah
5)
Alamat kantor
6)
Pekerjaan
7)
Jenis Kelamin
8)
Kewarganegaraan
9)
2)
3)
Ketentuan Pencegahan
1.
2.
293
3.
4.
Identitas penanggung
pencegahan
pajak
yang
b.
c.
dikenakan
Penyanderaan ( Gizjeling )
Dasar hukum pelaksanaan penyanderaan dalam rangka
penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia adalah Pasal
33 sampai dengan 36 UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 tentang
Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kemudian diperjelas lagi
dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Keuangan
dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia nomor: M-02.
UM.01 tahun 2003 dan nomor: 294/KMK.03/2003 tanggal 25
Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang
Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
294
295
dan Penagihan
297
10
11
298
299
300
Izin diberikan oleh Gubernur dan bukan olch Menteri Keuangan pada Pemerintah Daerah untuk melakukan
tindakan sandera badan (gijzeling) terhadap wajib pajak yang melakukan tunggakan pajak daerah. Lihat
Pemda Boleh Sandera Wajib Pajak, Media Indonesia, 19 Nopember2003: hal 2
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
301
19
20
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi nama Baik,
dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Nomor. 137 Tahun 2000.
L.N. Nomor. 249 Tahun 2000. TLN. Nomor. 4051. Pasal 3.
Tim Redaksi, Perlu LBH untuk Lindungi Wajib Pajak, Media Indonesia, 17 November 2003: hal. 5. Lihat
juga, Perlu Dibentuk LBH Pajak untuk Lindungi Hak-hak WP, Berita Pajak Nomor. 1505/TahunXXXV (15
Desember 2003): 8.
302
b.
c.
d.
303
b)
304
1)
2)
3)
4)
5)
6)
d)
b.
c.
d.
305
2)
3)
4)
5)
untuk kepentingan
kepentingan umum.
perekonomian
negara
dan
306
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
b.
c.
d.
e.
307
f.
g.
308
a.
Putusan Pengadilan;
b.
c.
Pemblokiran
Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB disertai
dengan Salinan SP dan SPMP. Pimpinan bank atau pejabat
bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran seketika
setelah menerima permintaan pemblokiran Kepala KPP/KPPBB.
Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita
acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kpd PP dan
Kepala KPP/KPPBB. Sebelum dilakukan penyitaan, PP dapat
mengajukan permohonan kepada Ka. KPP/KPPBB menggunakan
harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak.
Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka
penagihan pajak dengan Surat Paksa diatu dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 563/KMK.04/2000 tanggal 26
Desember 2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September 2001, yang mengatur halhal sebagai berikut:
a.
309
b.
c.
2)
3)
Pemblokiran sangat erat kaitannya dengan penyitaan, yang
prosedurnya sebagai berikut:
310
a.
b.
d.
e.
f.
g.
Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang
disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan permintaan
pencabutan pemblokiran oleh Kepala KPP/KPPBB kepada
bank.
h.
i.
j.
311
312
Bab VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
313
314
b.
c.
d.
2.
b.
c.
315
317
DAFTAR PUSTAKA
I.
318
Buku-Buku
_________________ ; Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2003.
_________________ ; Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2002.
Abdul Asri Harahap, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia, Perspektif
Ekonomi-Politik, Integrita Dinamika Press, Jakarta, 2004
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Cetakan Pertama, Penerbit
Alumni, Bandung, 1986.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Cetakan ke II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002
Apeldoorn L.J. van ; Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino,
cetakan ke 29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
Baswir, Revrisond. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 1997
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu
Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional,
CV. Mandir Maju, Cetakan II, Bandung, 2000
Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Rajawali Persada, Jakarta, 1995
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Penerbit PT Eresco, Bandung 1993
CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik
Indonesia (1), Rineka Cipta, Cetakan III, Jakarta, 1997
Dudu Duswara Machmudin ; Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama,
Bandung, Januari 2001.
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama,
Cetakan IV, Jakarta, 2000
Lili Rasjidi, H & Ira Thania Rasjidi ; Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Lili Rasjidi, H ; Peranan Hukum dalam Pembangunan Nasional Indonesia,
orasi ilmiah pada Dies Natalis ke V Sekolah Tinggi Hukum Yani,
Garut, 19 Nopember 1988.
Mahadi ; Falsafah Hukum, Suatu Pengantar, cetakan ke 3, Alumni,
Bandung, 2003.
Mas Soebagio & Slamet Supriatna, Dasar-Dasar Filsafat Suatu Pengantar Ke
Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, 1992
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
319
Teuku Moh Radie, Politik Hukum, dalam Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat,
Hukum Pajak dan Permasalahannya, Penerbit PT Refika Aditama,
Bandung, 2004.
Valerie J. Janesick, The Dance of Qualitative Research Design,
Metaphore, Methodolatry and Meaning. Handbook of Qualitatif
Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln. (California:
Sage Publication, Inc., 1994)
Wibowo. Dampak Pemeriksaan Pajak terhadap Laporan Keuangan Wajib
Pajak. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 1999
W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London, Steven & Sons
Limited, 1960
II. Makalah dan Jurnal
_____________________ ; Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum
Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas
Hukum UNPAD, diedarkan oleh Putra Bardin, Bandung,1976.
_____________________ ; Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2002.
Anonim. Tax Planning. Sebuah makalah dalam Seminar tentang Tax
Planning. Jakarta. 1996
Berita Pajak, Sudah Dua Wajib Pajak Disandera di LP Cipinang, No.1504/1
Desember 2003
Hamid Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan
Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Universitas Indonesia, Jakarta, 25 April 1992
Mochtar Kusumaatmadja; Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi, Fakultas Hukum UNPAD, diedarkan oleh Penerbit
Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun
Saefullah Wiradipradja, E ; Teori Hukum ( Legal Theory ), bahan kuliah
Program Pasca Sarjana UNPAD/ UNISBA, tanpa tahun.
Winangun, IGN Mayun. Reformasi Undang-undang tentang Ketentuan
Hukum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2000, Sebuah makalah
disampaikan pada seminar 2 Agustus 2000 di Jakarta
III. Tesis
Masdi. Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Memenuhi Kewajiban Perpajakan. Tesis pada Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. 1998.
320
321