Anda di halaman 1dari 451

Editor :

Muchit A. Karim

Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer
di Indonesia

Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer
di Indonesia
Editor :
Muchit A. Karim

Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

problematika hukum kewarisan islam kontemporer di indonesia/


Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Ed. I. Cet. 1. ----
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012
xxiv + 430 hlm; 14,8 x 21 cm

ISBN 978-602-8739-07-8

Hak Cipta pada Penerbit

....................................................................................................................................................................
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa seizin sah dari penerbit
....................................................................................................................................................................
Cetakan Pertama, Oktober 2012
....................................................................................................................................................................

PROBLEMATIKA HUKUM KEWARISAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA


....................................................................................................................................................................
Editor :
Muchit A. Karim

Tata Letak :
Sugeng

Design Cover
Firdaus
....................................................................................................................................................................

Foto Ilustrasi Cover :


Tangan orangtua dan anak dengan latar ornamen Timur Tengah

Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421
Email: puslitbang1@kemenag.go.id
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kata Pengantar
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT.,


Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya Penerbitan Naskah Buku
Kehidupan Keagamaan. Penerbitan buku Tahun 2012 ini,
sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Kami
menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar dalam
menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai editor buku ini
yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian
menjadi buku, yang akhirnya dapat hadir di hadapan pembaca
yang budiman.
Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku
yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:
1. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan
Kontemporer di Indonesia.
2. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia.

iii
Kata Pengantar

3. Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi


Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.
4. Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia
5. Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat
Beragama
6. Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/
Perselisihan Rumah Ibadat.
7. Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik,
Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.
8. Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.
9. Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.
Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggi-
tingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program
penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga
penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak
menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai
bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang
pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang
terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara
simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk
memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang
amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan.
Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa
kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas

iv
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami


haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan
dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

Jakarta, Oktober 2012


Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan


NIP. 19691110 199403 1 005

v
Kata Pengantar

vi
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sambutan
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan


karunia-Nya, sehingga kita masih diberi kekuatan untuk bisa
mengabdi kepada bangsa dan negara yang kita cintai.
Mengawali sambutan ini, saya ingin mengucapkan selamat
atas terbitnya buku "Problematika Hukum Kewarisan Islam
Kontemporer di Indonesia" yang pada mulanya adalah naskah
workshop urgensitas legislasi undang-undang mengenai
kewarisan dan problematikanya. Buku ini dirasa sungguh penting
di tengah upaya Kementerian Agama untuk senantiasa
meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama umat
Islam, dimana salah satunya kebutuhan terhadap pengaturan
kewarisan dalam bentuk legislasi Undang-Undang Kewarisan.
Berkaitan dengan upaya legislasi hukum Islam di
Indonesia, memang masih menyimpan beberapa permasalahan,
diantaranya kontroversi termasuk dari kalangan umat Islam sendiri
yang mengasumsikan bahwa legislasi hukum Islam adalah
penghidupan kembali Piagam Jakarta.
Kekhawatiran semacam itu merupakan warisan dan
mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin merusak atau
menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya yang semula
sudah menerima secara menyeluruh (receipt in complete). Hingga
masa-masa Orde Baru sampai Era Reformasi mentalitas tersebut

vii
Sambutan

masih tumbuh subur di sebagian besar wilayah Indonesia,


termasuk mereka yang muslim sekalipun.
Di sisi lain, terdapat perkembangan yang cukup
menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya
adalah hukum Islam mendapat dukungan justru dari para
akademisi dan hakim. Alasan yang dikemukakan diantaranya
adalah nilai dari materi hukum Islam sudah semestinya
ditempatkan sebagai sumber hukum. Di samping itu, banyak pula
produk hukum Islam masuk dan diakui sebagai hukum positif.
Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum Kewarisan
Islam menjadi signifikan.
Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya legislasi Hukum
Kewarisan Islam adalah gagasan mulia, namun membutuhkan
perjuangan yang tidak kenal lelah untuk meyakinkan para politisi
di lembaga legislatif. Untuk itu, diperlukan upaya maksimal dari
Dirjen Bimas Islam terutama Direktorat Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah serta berbagai instansi terkait dalam merealisir
upaya tersebut.
Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada Puslitbang
Kehidupan Keagamaan atas diterbitkannya buku ini, dan semoga
banyak mendatangkan manfaat.

Jakarta, Oktober 2012


Pgs. Kepala
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI

Prof. Dr. H. Machasin, MA


NIP. 19561013 198103 1 003

viii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Prolog

Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH,MH


Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama
Mahkamah Agung RI

Puji syukur kehadirat Allah SWT, bahwa saat ini akan lahir
buku Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia. Buku ini sangat dinantikan kehadirannya, terutama
oleh warga Peradilan Agama yang benar-benar menghadapi
problem dalam menerapkan hukum kewarisan di Indonesia.
Betapa tidak, sebab dewasa ini kebanyakan umat Islam
membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri ketimbang ke
Pengadilan Agama. Hal ini terungkap, antara lain:
1. Pernyataan Ketua Pengadilan Tinggi Mataram (waktu itu)
didepan forum pertemuan para Ketua Pengadilan Tingkat
Banding 4 (empat) lingkungan di Mahkamah Agung, bahwa
sekarang harus dipertimbangkan kembali, sebab masyarakat
lebih cenderung membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri
dari pada ke Pengadilan Agama.
2. Seorang dosen yang mewakili Fakultas Hukum Universitas
Airlangga pada seminar KHI di Surabaya menyatakan bahwa
hasil penelitian Universitas Airlangga menunjukan bahwa
perkara kewarisan jauh lebih banyak yang ke Pengadilan
Negeri dari pada ke Pengadilan Agama.

ix
Prolog

3. Perkara kasasi di Mahkamah Agung yang berasal dari


Pengadilan Negeri lebih banyak dengan menggunakan alasan
PMH (perbuatan melawan hukum).
Hal ini merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan,
padahal Undang-undang No.3 Tahun 2006 yang telah dirubah
dengan Undang-undang No.50 Tahun 2009 secara tegas
menyatakan bahwa sengketa kewarisan di kalangan orang-orang
Islam menjadi kewenangan mutlak peradilan agama.
Kecendrungan orang Islam membawa perkaranya ke
Pengadilan Negeri mungkin menjadi salah satu penyebab
disamping perkembangan zaman, sehingga hakim mulai
melakukan inovasi terhadap hukum kewarisan Islam.
Hakim Agung Tim E yang menangani perkara-perkara
kewarisan di kalangan Umat Islam di Mahkamah Agung dan
Pengadilan Agama, telah melakukan inovasi, seperti:
Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak tiri
kalau tidak ada lagi ahli waris lainnya dan anak itu dipelihara
sejak kecil, dengan menggunakan lembaga wasiat wajibah.
Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak non
muslim sedangkan pewaris beragama Islam dengan alasan
wasiat wajibah.
Tidak membatalkan putusan tentang pusako tinggi di Padang
dengan alasan hukum adat yang sudah melembaga.
Pengadilan Agama menerapkan tradisi masyarakat Sulsel yang
membagi harta warisan menyisihkan rumah sebagai bagian
mutlak anak perempuan, terutama anak perempuan bungsu
melalui pembagian waris tanpa sengketa atau P3HP.

x
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan menerapkan kebiasaan


yang melembaga yang disebut ampikale dan diterima oleh
pencari keadilan, bahkan tidak banding dan kasasi.
Sudah ada Pengadilan Agama yang membagi warisan sama
bagian anak laki-laki dan anak perempuan dengan berbagai
pertimbangan.
Hakim Agung Tim E pernah menjatuhkan putusan anak
perempuan menghijab saudara pewaris.
Sudah banyak sekali putusan tentang ahli waris pengganti.
Demikian pula putusan wasiat wajibah untuk anak angkat. Dan
siapa yang menanggung nafkah anak angkat paska perceraian.
Buku II tentang Pedoman Teknis telah memberi petunjuk
tentang pembagian harta bersama secara serial, karena isteri
lebih dari seorang.
Sedang ditunggu putusan tentang nafkah dan kewarisan anak
hasil zina sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang
sangat terkenal.
Mafqud, menurut hasil diskusi Hakim Agung Tim E, ditetapkan
2 tahun kecuali kasus-kasus tertentu seperti kasus Adam Air,
tsunami dan lain-lain.
Hal-hal ini bisa melahirkan putusan yang berbeda-beda,
tergantung pandangan hukum seorang Hakim. Mengapa, sebab
persoalan-persoalan ini tidak diatur secara khusus. Karena itu
lahirnya buku ini sangat urgen untuk mendorong lahirnya
Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum
Waris. Syukur-syukur kalau kelak dapat menjadi hukum waris
nasional seperti Undang-undang Perkawinan.

xi
Prolog

Buku ini sangat baik dianjurkan untuk dibaca oleh segenap


warga peradilan agama. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan
melalui kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan
pihak Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama atau yang sering
disingkat Ditjen Badilag MARI.
Wassalam.

xii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Prakata Editor

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan


materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi pasal,
berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi hukum. Ketiga
materi hukum tersebut yaitu: a) hukum perkawinan sebanyak 170
pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c)
hukum perwakafan sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah
dengan satu pasal ketentuan penutup.
Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-
Undang Hukum Materil Peradilan Agama. Akan tetapi karena
kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya KHI disahkan
dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991.
Melalui Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada Menteri
Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan
oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang
membutuhkan.
Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri No
154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres No 1 Tahun 1991
dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji
untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri
tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing.
Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi
secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula Badan
Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini lembaga
tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi dalam
menangani perkara-perkara yang ada.

xiii
Prakata Editor

Sejak tahun 1998 tepatnya pasca reformasi, sistem


kenegaraan dan kepemerintahan mengalami dinamika yang
signifikan. Keinginan agar KHI menjadi Undang-Undang mulai
terbuka lebar, apalagi sejak lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 mengenai Perubahan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Berdasarkan UU ini, Peradilan Agama-lah yang berhak
menyelesaikan perkara umat Islam seperti hukum penyelesaian
perkawinan, perwakafan, hibah dan wasiat. Begitu pula
penyelesaian persoalan shadaqah, infaq, zakat dan ekonomi
syariah. Hal ini berarti penyelesaian perkara warisan umat Islam
tidak diperbolehkan ditangani Pengadilan Umum.
Akan tetapi sampai saat ini tingkat pengetahuan ulama
dan masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat
rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama yang diselenggarakan pada tahun 2009. Penelitian
tersebut berjudul: Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap
Fiqih Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
bahwa tingkat pengetahuan ulama dan tokoh masyarakat
terhadap Kompilasi Hukum Islam masih rendah.
Pandangan mereka dapat dikategorikan kepada: a) ulama
yang belum mengetahui Kompilasi Hukum Islam; b) ulama yang
mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara mendalam; c) ulama
dan hakim yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara
mendalam karena sering menyelesaikan persoalan masalah
kewarisan.
Hal tersebut berdampak pada perbedaan respon terhadap
keberadaan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Perbedaan terjadi pada isi materi Kompilasi Hukum Islam terkait
kewarisan sesuai dengan fiqih Islam seperti konsep harta bersama

xiv
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(gono gini), ahli waris pengganti dan wasiat wajibah untuk anak
dan bapak angkat. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa
Kompilasi Hukum Islam sebagian besar materinya bersumber dari
kitab-kitab fiqih Islam dan sebenarnya tidak perlu
mempertentangkan Kompilasi Hukum Islam dengan fiqih Islam
karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk fiqih khas
Indonesia.
Walau demikian pada kenyataannya para hakim dalam
menyelesaikan persoalan warisan, selain berpedoman kepada
Kompilasi Hukum Islam mereka umumnya masih menrujuk ke
literatur fiqih klasik serta menggali praktek hukum di masyarakat
(hukum adat).
Atas dasar hasil penelitian dimaksud, muncul dalam
seminar tersebut usulan yakni perlunya dilakukan penyusunan
Undang-Undang Materil Peradilan bidang Kewarisan dengan
melibatkan unsur ulama dan masyarakat yang masih pro dan
kontra.
Menindaklanjuti usulan tersebut Puslitbang Kehidupan
Keagamaan pada tahun 2011 menyelenggarakan Workshop
bertema: Urgensitas Legislasi Hukum Kewarisan Islam dan
Problematikanya. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menggali
gagasan dan pemikiran para pakar dari berbagai perguruan tinggi
menyangkut pengembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Juga merumuskan draf naskah akademik rancangan Undang-
Undang Hukum Materil Peradilan Agama bidang Kewarisan,
menggali pandangan, saran dan pendapat para pemangku
kebijakan (stake holder) terhadap poin-poin penting menyangkut
kebijakan dan materi naskah akamdemik bidang kewarisan. Juga
melakukan sosialisasi uji sahih rumusan draf naskah akademik RUU
Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.

xv
Prakata Editor

Pada penyelenggaraan Workshop tersebut mengundang


18 orang pemakalah dan 6 orang pembahas dari kalangan
akademisi dan praktisi hukum kewarisan di seluruh Indonesia. Dari
para pembahasan makalah tersebut diharapkan berkembangnya
ide-ide pemikiran dan gagasan cemerlang untuk merumuskan dan
menyusun draf naskah akademik hukum materil Peradilan Agama
bidang Kewarisan sebagai landasan bagi terwujudnya Undang-
Undang tentang Kewarisan Islam. Sebab, sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa upaya legislasi hukum Kewarisan
Islam dapat meningkatkan Kompilasi Hukum Islam menjadi
Undang-Undang yang merupakan keniscayaan untuk menjamin
kepastian hukum bagi masyarakat.
Para peserta workshop juga memiliki pandangan yang
sama bahwa dalam menyusun draf RUU Hukum Kewarisan Islam
perlu dipersiapkan penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam
sebagai bahan utama dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang
komprehensif, moderat dan adil, namun memiliki kepastian
hukum.
Atas dasar pemikiran di atas, selanjutnya Tim Perumus
menyusun draf naskah akadmik RUU Hukum Materil Peradilan
Agama Bidang Kewarisan yang pada akhirnya dilakukan sosialisasi
dan uji kesahihan naskah akademik tersebut pada tanggal 3-4
Desember 2011 dengan menghadirkan para stake holder untuk
menyampaikan pandangan, saran dan masukan konstruktif
terhadap draf naskah akademik tersebut. Berdasarkan masukan
itu, kemudian dilakukan penyempurnaan sehingga terwujudlah
draf final naskah akademik Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Kewarisan. Akan tetapi, draf naskah akadmik hukum
materil ini tidak akan memiliki makna apabila pemerintah tidak

xvi
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berinisiatif menindaklanjuti dengan menyusun rancangan


Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang
Kewarisan tersebut dan berupaya meyakinkan para politisi di
lembaga legislatif untuk membahas dan mengesahkan menjadi
Undang-Undang. Karena harus disadari bahwa gagasa ini
merupakan gagasan mulia, namun membutuhkan energi yang
tinggi dan perjuangan yang tidak kenal lelah.

Jakarta, Oktober 2012


Editor

Muchit A. Karim

xvii
Prakata Editor

xviii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan .. iii


Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat ............................... vii
Prolog ........................................................................................................ ix
Prakata Editor.......................................................................................... xiii
Daftar Isi .................................................................................................... xix
BAB I Pendahuluan ................................................................. 1
BAB II Legislasi, Signifikansi dan Paradigma Baru
Hukum Waris di Indonesia ........................................ 7
Legislasi Hukum Kewarisan: Suatu
Keniscayaan, oleh Ahmad Rofiq ................... 9
Signifikansi Penyusunan RUU Hukum
Kewarisan di Indonesia (Filosofis, Yuridis,
Sosiologis dan Historis) oleh Zaenuddin
Ali ............................................................................. 19
Paradigma Baru Hukum Waris Islam
Indonesia, oleh Edi Riadi .................................. 59
BAB III Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia dalam Perspektif Fiqh, Kompilasi
Hukum Islam dan Praktik di Pengadilan
Agama serta Masyarakat ........................................... 83
Azas-azas Hukum Kewarisan Islam, oleh
Jaih Mubarok ....................................................... 85
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dan
Pembagian Harta Waris..................................... 111

xix
Daftar Isi

Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,


oleh Ratu Haika ............................................. 111
Halangan Menerima Warisan, oleh
Moh. Adib ....................................................... 149
Harta Bersama, oleh Sukris Sarmadi ...... 173
Menuju Kesetaraan dalam Aturan
Kewarisan Islam Indonesia:
Kedudukan Anak Perempuan VS
Saudara Kandung, oleh Euis
Nurlailawati .................................................... 211
Ahli Waris Pengganti dalam Sistem
Hukum di Indonesia (Suatu Analisis
Filsafat), oleh Syahrizal Abbas ................. 231
Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat,
Anak diluar Perkawinan Sah, dan Anak
dari Orang Tua Beda Agama, oleh
Moh. Muhibbin ............................................. 263
Kedudukan Waris Anak di Luar Nikah,
oleh Sulhani Hermawan ............................ 289
Wasiat Pembagian Harta Waris
sebelum Pewaris Meninggal Dunia
dan Praktik Hibah Dihitung sebagai
Bagian Waris, oleh Zaenul Mahmudi .... 315
Gharrawain dan Musyarakah, oleh
Humaidi Hamid.............................................. 349
Kewarisan Khuntsa (kelamin ganda),
Mafqud (orang hilang), anak dalam
kandungan, oleh Sri Hidayati .................. 373

xx
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB IV Hukum Kewarisan tentang Hak-Hak


Kebendaan yang diatur Undang-Undang .......... 407
Keterkaitan Hukum Waris dengan Hak-
Hak Kebendaan yang Diatur dalam
Berbagai Peraturan Perundang-
undangan, Oleh Yeni Salma Barlinti ............ 409
BAB V Penutup .......................................................................... 421
Kesimpulan ........................................................... 423
Saran ....................................................................... 425

xxi
Daftar Isi

xxii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1
Bab I

2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan


materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229
pasal, terdiri dari tiga materi hukum, yaitu hukum perkawinan 170
pasal, hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibah 44 pasal, dan
hukum perwakafan 14 pasal ditambah satu pasal ketentuan
penutup.
Kebutuhan adanya kompilasi hukum Islam sebagai hukum
materiil di Peradilan Agama telah berlangsung sejak lama. Namun,
cita-cita tersebut mulai mendapatkan respon serius sejak
keluarnya SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama pada
tanggal 25 Maret 1985 yang berisi tentang Penunjukan
Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
yurisprudensi.
Atas dasar SKB tersebut dilakukan berbagai kegiatan
dalam rangka penyusun kompilasi hukum Islam. Kegiatan tersebut
antara lain penelitian melalui kitab kuning oleh beberapa
perguruan tinggi agama Islam se-Indonesia, penelitian
yurisprudensi putusan Peradilan agama dan Pengadilan Tinggi
Agama, wawancara dengan para alim ulama se-Indonesia, studi
banding ke beberapa Negara di Timur Tengah, dan diakhiri
dengan lokakarya tingkat nasional pada tanggal 2-5 Februari 1988
yang diikuti oleh para ulama, ahli hukum, kaum cendekiawan, dan
para tokoh masyarakat. Melalui lokakarya inilah kemudian
melahirkan draf kompilasi hukum Islam.
Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-
Undang Hukum materiil di Peradilan Agama. Akan tetapi karena
kondisi politik yang belum memungkinkan akhirnya KHI disahkan
dengan inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991.
Melalui Inpres ini presiden mengintruksikan kepada Menteri
Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan

3
Bab I

oleh instansi pemerintahan dan masyarakat luas yang


membutuhkan. Kemudian Menteri Agama melalui keputusan
Nomor 154 tahun 1991 menetapkan tentang pelaksanaan inpres
Nomor 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama
Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji untuk
mengkordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri ini dalam
bidang tugasnya masing-masing. Sejak saat itu, sosialisasi intens
dilakukan kedua lembaga tersebut. Di samping itu Badan
Pembinaan Peradilan Agama pun ikut mensosialisasikan bahkan
menjadikan KHI sebagai sumber rujukan dalam menangani
perkara-perkara yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Seiring dengan laju reformasi hukum di Indonesia pasca
reformasi sistem kenegaraan dan kepemerintahan sejak tahun
1998, peluang dan kesempatan mewujudkan cita-cita menjadikan
KHI sebagai UU mulai terbuka lebar. Sejak lahirnya UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Berdasarkan UU ini, bagi orang-orang yang beragama
Islam sudah tidak ada lagi pilihan hukum dalam menyelesaian
persoalan-persoalan perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat dan
kewarisan. Ditambah lagi sadaqah, infak, zakat dan ekonomi
syariah. Implikasinya persoalan warisan, umat Islam tidak lagi
diperbolehkan menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Umum.
Sebagai upaya penguatan institusi Peradilan Agama,
sebelum tahun 2006 Badan Pembinaan Peradilan Agama
Kementerian Agama telah menyiapkan Rancangan Undang-
Undang (RUU) Terapan Peradilan Agama khususnya di bidang
perkawinan. RUU ini telah masuk dalam daftar Rancangan
Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005 -2009 dengan
nomor urut 124. Hingga kini belum disiapkan secara matang RUU

4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang akan dijadikan sebagai Hukum Materiil Peradilan Agama di


Peradilan Agama.
Memang saat ini, untuk sementara waktu dasar hukum
materiil bidang kewarisan masih merujuk Kompilasi Hukum Islam
buku III tentang Kewarisan. Akan tetapi, selain status Kompilasi
Hukum Islam yang hanya merupakan instruksi Presiden masih
menjadi persoalan dalam kerangka hirarki perundang-undangan
di Indonesia, juga substansi hukum kewarisan yang ada dalam
kompilasi masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan
pengembangan seiring dengan berbagai temuan dan
perkembangan baru dalam praktik di pengadilan pada khususnya
dan di masyarakat pada umumnya yang meniscayakan adanya
adaptasi di sana sini.
Terkait dengan upaya perbaikan dan pengembangan
subtasi hukum waris yang ada di Kompilasi Hukum Islam,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama pada tahun 2009 telah melakukan penelitian
tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris
dalam kompilasi Hukum Islam di lima wilayah Indonesia yang
dijadikan sampel, yaitu Yogyakarta, Medan, Banjarmasin, Sulawesi
Selatan, dan Gorontalo.
Fokus penelitian meliputi respon ulama dan hakim agama
tentang: Harta Bersama, Ahli Waris Pengganti, Anak Perempuan
Menghijab Saudara Pewaris, Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat,
Waris Beda Agama, Halangan Menerima Warisan Karena
Perencanaan Pembunuhan dan Fitnah, 1/3 Bagian Untuk Ayah Bila
Pewaris Tidak Punya Anak, Porsi Perbandingan Bagian Anak Laki-
Laki dan Perempuan, Wasiat Pembagian Warisan Sebelum Pewaris
Meninggal, Praktik Hibah Dihitung Sebagai Bagian Waris, Praktik
Penyelesaian Warisan Yang Unik di beberapa wilayah penelitian,

5
Bab I

pembagian warisan berupa tanah kurang dari 2 hektar, dan


Kewarisan Anak Hasil Perzinaan. Hasil penelitian ini kemudian
diseminarkan pada bulan Oktober 2009 dengan menghadirkan
para narasumber dan peserta yang kompeten di bidang hukum
waris Islam.
Pada tahun 2012, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan kajian untuk
mempertajam berbagai persoalan yang telah dihasilkan dalam
kegiatan penelitian dan seminar sebelumnya hingga
dirumuskannya naskah akademik yang komprehensif untuk back
up paper draf RUU kewarisan yang akan dijadikan Hukum Materiil
Peradilan Agama di Pengadilan Agama.
Dalam buku ini, dihimpun gagasan dan fikiran para pakar
dan cendekia dari akademisi, peneliti, ulama/kyai, praktisi hukum
sampai pada pengamat hukum, terutama yang concern dengan
masalah kewarisan Islam di Indonesia. Diantara mereka yakni para
dosen perguruan tinggi Islam Negeri, dosen Universitas Negeri
dan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI).Dari
mereka diharapkan pandangan, saran, dan pendapat.
Selain itu juga untuk mencari solusi atas berbagai
problematika substantif materi kewarisan dalam perspektif fiqh,
perundang-undangan, dan praktik kewarisan di Pengadilan dan
Masyarakat serta memperbaiki Draf Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.
Keterlibatan para stake holder (penentu kebijakan) dari unsur
terkait sangat memberikan andil bagi penyusunan buku ini,
diantaranya Direktorat Jenderal Peradilan Agama pada Mahkamah
Agung, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah,
Biro Hukum dan KLN, serta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi
Agama.

6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB II
LEGISLASI SIGNIFIKANSI
DAN PARADIGMA
BARU HUKUM WARIS
DI INDONESIA

7
Bab II

8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

LEGISLASI HUKUM KEWARISAN:


SUATU KENISCAYAAN
Ahmad Rofiq

Latar Belakang
Sejak awal, dipilihnya nomenklatur Hukum Terapan
Peradilan Agama, saya sudah tidak setuju, meskipun saya sangat
mendukung substansinya. Karena term hukum terapan
membawa implikasi peran strategis hakim, di dalam berijtihad
dan menjawab atau memutuskan hukum, sudah dipasung oleh
nomenklatur tersebut.
Dalam perkembangannya, RUU Hukum Terapan PA
tersebut, tidak lahir sempurna, tetapi lahir dalam bentuk yang
belum/tidak sesuai dengan harapan, yakni lahirnya UU Nomor: 41
Tahun 2004 tentang Wakaf. Karena dengan lahirnya UU Wakaf,
menjadikan gagasan untuk melembagakan atau legislasi
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-undang menjadi
serpihan-serpihan yang memerlukan energi tambahan untuk
memperjuangkan kelahiran UU yang lengkap, baik Hukum
Perkawinan Islam, Pe(Ke)warisan Islam, dan Perwakafan.
Dalam soal legislasi hukum Islam di negeri ini, memang
menyimpan banyak keanehan, karena selalu saja muncul
kontroversi termasuk dari kalangan Muslim sendiri, yang
beranggapan, bahwa dengan legislasi hukum Islam, diidentikkan
dengan menghidupkan Piagam Jakarta.
Banyak faktor yang mempengaruhi di sini. Pertama,
kekhawatiran lahirnya kembali Piagam Jakarta adalah salah satu
alasan. Kedua, boleh jadi kekhawatiran tersebut, merupakan

9
Bab II

warisan dari mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin merusak


atau menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya, yang
semula sudah diterima secara menyeluruh (receptie in complexu).
Hingga masa-masa Orde Baru sampai dengan era reformasi,
mentalitas tersebut, masih subur tumbuh di sebagian besar
warga Indonesia yang muslim sekalipun.
Namun di sisi lain, ada perkembangan yang relatif cukup
menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya
yang substansinya adalah hukum Islam, mendapat dukungan
justru dari perkembangan kesadaran akademik para akademisi
dan teoritisi hukum, karena menempatkan bahwa nilai dan materi
hukum Islam sudah selayaknya ditempatkan sebagai sumber
hukum, dan setelah melalui proses legislasi yang terbuka, fair, dan
obyektif, banyak produk hukum Islam, masuk dan diakui sebagai
hukum positif.
Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum
Kewarisan Islam, yang cakupan berlakunya memang khusus untuk
orang yang beragama Islam, demi upaya mewujudkan tertib
hukum yang berkeadilan, merupakan suatu keniscayaan adanya.
Sama halnya dengan pewarisan halalah, juga merupakan
persoalan krusial, karena bagian istri yang tidak mempunyai anak
hanya memperoleh bagian, sedangkan saudara mendapat
bagian. Pembagian semacam itu tidak adil, sehingga istri
sebaiknya memperoleh bagian dari harta waris
Menurut Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, Kompilasi Hukum
Islam sebenarnya bukan undang-undang, tetapi hanyalah Inpres
yang bisa dijadikan landasan hukum bagi hakim Agama dalam
memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Sudah banyak
keputusan-keputusan hakim yang ditetapkan berdasarkan pada
Kompilasi Hukum Islam sehingga keputusan tersebut menjadi

10
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yurisprudensi. Keputusan-keputusan hakim itu mestinya perlu


dicermati kembali karena banyak menimbulkan kontroversi di
tengah masyarakat pencari keadilan. Seperti suami/istri yang telah
memperoleh bagian dari harta bersama masih pula memperoleh
bagian harta waris dari tirkah. Sistem kekerabatan patrilineal,
bilateral atau matrilineal masih menjadi acuan dalam pembagian
waris. Mengapa azas keadilan berimbang yang dipergunakan
dalam pembagian waris, bagaimana masalah aul, apakah sudah
menggunakan azas keadilan berimbang? Ini menjadi pertanyaan.
Problematika Legislasi
Problematika yang muncul dalam legislasi termasuk
Hukum Kewarisan Islam ini juga, masih soal mentalitas Snouck
Hurgronje-nian seperti disebut di atas. Sementara itu, ada kala-
ngan yang menilai legislasi hukum Islam, berarti menambah daftar
Fiqh Madzhab Negara, yang justru dianggap mendistorsi
keberadaan hukum Islam sebagai hukum yang universal dan
dilaksanakan oleh pemeluknya dengan sukarela, karena telah
mengejawantah ke dalam nilai yang hidup dalam masyarakat.
Karena formalisasi hukum Islam ke dalam Undang-undang
dan/atau perundang-undangan, maka terjadi proses
pendangkalan umat Islam terhadap referensi keagamannya. Dan
ironisnya, justru yang lantang dan vokal berpendapat demikian,
adalah kaum Muslimin itu sendiri. Soal hukum waris adalah soal
sensitive, setidaknya ini bisa dirunut dari masa-masa sebelum
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Staatblad 1937 Nomor 610 Pemerintah Kolonial Belanda sudah
mengambil kompetensi Pengadilan Agama Jawa dan Madura
dalam perkara kewarisan Islam, yang semula menjadi kompetensi
absolute, menjadi hanya kewenangan fatwa waris. Implikasinya,
karena hanya fatwa, maka pihak yang berperkara, tidak harus
mengikuti secara sukarela isi fatwa tersebut.

11
Bab II

Langkah berikutnya, sebagaimana diatur dalam pasal 63


UU Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah excecutoir
verklaring atau fiat eksekusi setiap keputusan Pengadilan Agama
oleh Pengadilan Negeri, yang meskipun bersifat administrative,
ternyata dalam prakteknya sering menilmbulkan masalah, akibat
dari over-acting pegawai atau pejabat di PN. Padahal UU
Perkawinan ini lahir empat tahun setelah UU Nomor: 14 Tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang pasal 10
sudah menegaskan bahwa kedudukan Peradilan Umum, Agama,
Militer, dan Tata Usaha Negara adalah sama atau sederajat. Tetapi
kenapa masih ada pengukuhan atau fiat eksekusi?
Tahun 1989 dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, sesungguhnya harus diakui merupakan
angin segar bagi insan Peradilan Agama, karena di dalamnya
diatur tentang jurusita, yang memiliki tugas untuk melakukan
eksekusi terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap. Akan tetapi anehnya, di dalamnya ternyata dimasukkan
dalam penjelasan umum angka 2, adanya hak opsi bagi pihak yang
berperkara. Orang Islam dapat mengajukan perkara penyelesaian
hukum kewarisan Islam yang dihadapinya ke pengadilan negeri.
Ini berdampak, kepada makin longgarnya umat Islam dalam
komitmen dan loyalitasnya menjalankan hukum agamanya, karena
dipengaruhi atau disuruh untuk nyebrang atau hijrah
mengikuti hukum perdata barat yang menjadi hukum materiil
Pengadilan Negeri.
Konon, Mahkamah Agung sudah pernah mengeluarkan
edaran, agar Pengadilan Negeri tidak menerima perkara waris
yang diajukan oleh orang yang beragama Islam, karena menurut
asas personalitas keislaman, orang Islam dalam berperkara,
mestinya diajukan ke Pengadilan Agama. Hasil penelitian Afdlol
waktu itu mahasiswa PDIH UNDIP, kebetulan saya ikut menjadi

12
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

salah satu penguji di empat kabupaten dan satu kota di Jawa


Timur, ditemukan data bahwa umat Islam di Jawa Timur lebih
cenderung memilih mengajukan perkara pembagian warisan ke
Pengadilan Negeri. Ironis?
Kelahiran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, juga menyisakan masalah, terkait dengan
apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan pihak bank,
karena di dalamnya selain ditangani oleh Bazarnas dan Pengadilan
Agama, namun masih muncul lagi Pengadilan Negeri. Bahkan
Mahkamah Agung memberikan contoh ketika ada perkara
sengketa perbankan syariah dengan nasabahnya, pada tingkat
pertama dan banding dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, ketika
sampai tingkat kasasi dialihkan kepada Peradilan Niaga.
Namun demikian, apapun yang ditulis oleh Prof Zaenuddin
Ali, prinsip bisa diterima, namun dengan beberapa penambahan.
Baik alasan filosofis, historis, yuridis, maupun sosiologis. Demikian
juga yang ditulis para narasumber, perlu diformulasi dengan
reasoning akademik dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
yang merupakan warga terbesar bangsa ini.
Penyempurnaan Materi: Beberapa Catatan
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa catatan yang penulis
rasakan urgent dan mendasar dalam rangka penyempurnaan
naskah akademik yang akan menjadi dasar, kerangka pemikiran,
dan dasar-dasar dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia:
1. Hal sangat mendasar, adalah soal paradigma dan substansi
hukum apa yang hendak dilakukan dalam mengkonstruksi
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Perdebatan yang
muncul, berangkat dari pluralisme hukum dalam masyarakat,
termasuk khazanah keragaman madzhab fiqh atau hukum

13
Bab II

yang ada, juga harus dikawal dengan paradigma dan nilai-


nilai yang jelas, hendak dibawa ke mana masyarakat subyek
hukum akan diarahkan.
Di tengah berkembangnya kecenderungan gerakan trans-
nasional yang lebih mengarah ke wahabisme di satu sisi,
dan makin menyeruaknya faham indifidualis-liberalis, maka
paradigma konstruksitifisme perlu dikedepankan. Apakah
akan dikawal dalam perspektif pemikiran fiqh Ulama Sunny,
atau harus campur-campur model takhayyur, talfiq, atau
eklektik, yang jelas menurut hemat saya, ikhtiar untuk
mendekatkan umat Islam kepada agama dan fiqh yang
selama ini sudah dianutnya, merupakan asas yang harus
dikedepankan.
2. Asas kewarisan dalam Islam adalah individual dan ijbari.
Sementara usulan Prof Jaih Mubarak tentang asas
musahamah, menurut hemat saya tidak cukup memenuhi
syarat dianggap sebagai asas. Namun demikian apabila
ternyata dalam kasus terjadi harta warisan yang ditinggalkan
pewaris, ternyata apabila langsung dibagi, justru akan
merusak nilai ekonomi harta tersebut. Dalam praktik adat,
ada harta yang disebut dengan harta pusaka, atau harta yang
dimiliki secara kolektif.
3. Soal komposisi pembagian warisan 2:1 antara laki-laki dan
perempuan, hemat saya sebagai ketentuan bagian warisan
dalam Al-Quran yang perlu dipertahankan. Secara rasional,
tanggung jawab laki-laki lebih besar di dalam kehidupan
sehari-hari dalam kehidupan yang normal. Kecuali apabila
secara kasuistik, seorang laki-laki tidak dapat menjalankan
fungsi utamanya sebagai laki-laki yang menjadi penanggung
jawab ekonomi keluarganya. Gagasan komposisi 1:1 yang
mengemuka dalam masyarakat, sebagai implikasi makin

14
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

maraknya faham individualisme, namun gagasan ini kurang


atau tidak mendapat tempat, karena dapat dimaknai sebagai
terjadinya degradasi komitmen orang Islam terhadap
agamanya.
4. Secara umum, apa yang sudah dituangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam sebagai bahan awal yang oleh para pihak
disebut memang belum sempurna untuk melangkah
kepada legislasi, sudah lumayan. Sebagai rancangan naskah
akademik, apa yang disampaikan para penulis bisa diterima
dengan tambahan, karena persoalan utamanya menurut
hemat saya, adalah persoalan politis.
Semaksimal apapun naskah akademik disiapkan,
apabila political-will para anggota Legislatif tidak ada atau
rendah, maka proses legislasi itu akan mengalami banyak
hambatan. Sudah banyak contoh, draft RUU sudah disiapkan
dan disosialisasikan sedemikian rupa, bahkan mungkin
menghabiskan biaya sosialisasi yang cukup besar, tetapi
mentah lagi dan mentah lagi. Karena itu, dibutuhkan
perjuangan dalam jalur dan versi yang lain, agar soal hukum
kewarisan Islam yang notabene menurut Prof Zaenudin Ali,
adalah pengejawantahan dari pengamalan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, mendapatkan legalitas yuridis formal dan
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
5. Soal Mawani al-Irts
Tentang penghalang mewarisi (mawani al-irts), soal
ikhtilaf al-din (perbedaan agama) harus tetap dipertahankan.
Karena perbedaan agama adalah bentuk pemutusan
hubungan keagamaan (shilah al-syariah). Bahwa di dalamnya
nantinya akan ditempuh kompromi atau pendekatan
kemanusiaan, karena di antara ahli waris ada yang berbeda

15
Bab II

agama, sementara secara faktual, hubungan kekerabatan itu


dibuktikan dengan hubungan saling menyayangi tetap
berjalan baik, dapat ditempuh misalnya dengan melalui
wasiyat wajibah. Sementara soal beda Negara sejalan dengan
berkembangnya information technology (IT), maka sepanjang
tidak ada halangan beda agama, tidak perlu dipermasalahkan.
Artinya, beda Negara tidak menjadi penghalang saling
mewarisi.
6. Ashabah (bagian sisa)
Dalam fiqh Sunny, dikenal adanya bagian ashabah,
baik ashabah bi al-nafs, bi al-ghair, atau maa al-ghair. Dasar
hukum tentang bagian ashabah ini, adalah riwayat Muttafaq
alaih, yang diyakini oleh Ulama Sunny cukup kuat dan menjadi
dasar hukum yang kuat. Memang di dalamnya diperlukan
pemikiran ijtihadi, yang terkait dengan keberadaan walad
(anak), apakah sama kedudukannya anak, apakah laki-laki saja
atau juga anak perempuan yang termasuk walad? Bagaimana
apabila ahli waris terdiri dari anak perempuan dan saudara-
saudara sekandung atau seayah?
Rasulullah saw memberikan bagian saudara
perempuan setengah dan anak perempuan setengah.
Sementara saudara-saudara jelas terhalang oleh anak laki-laki.
Demikian juga soal anak dari anak atau cucu. Jika cucu
dihubungkan dengan orang tuanya yang menghubungkannya
kepada pewaris adalah perempuan, yang memunculkan istilah
dzawi al-arham, atau sering disebut dengan ghairu warits,
dalam fiqh Sunny. Kompilasi Hukum Islam telah
mengakomodasi konsep wasiyat wajibah dari Fiqh Mesir
dengan penyesuaian, dan ahli waris pengganti dari Hazairin
untuk mengatasi ahli waris dzawi al-arham tersebut.

16
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

7. Gharrawin
Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah
Sukris Sarmadi dan Ratu, bagian Bapak 1/3 dalam kasus
Gharrawain ketika bersama Suami dan Ibu, atau bagian yang
lebih besar ketika bersama Istri dan Ibu, perlu dijelaskan,
supaya tidak mengganggu pemahaman masyarakat. Karena
Bapak, selain sebagai penerima ashabah binafsih, juga sebagai
ashhab al-furudl, yang menerima bagian 1/6 ketika pewaris
meninggalkan anak atau cucu laki-laki garis laki-laki. Bahkan
Bapak juga selain menerima 1/6 juga tambah ashabah, apabila
pewaris mempunyai anak perempuan saja.
8. Harta Bersama
Memang dalam hal ini, diperlukan penjelasan
akademik, mengapa harta bersama sebelum diwaris
separohnya menjadi hak yang masih hidup. Masalah ini, akan
lebih mencolok lagi ketidakadilan-nya, manakala pewaris
tidak mempunyai anak, dan harta warisan akan diterima oleh
ahli waris samping atau saudara-saudara yang selain sebagai
ashabah jika laki-laki, juga bisamenjadi muashshib ketika
bersama saudaranya yang perempuan.
Kesimpulan
Mengakhiri pembahasan ini, dari uraian yang dikemukakan
di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, upaya legislasi
hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI menjadi Undang-
Undang merupakan suatu keniscayaan. Meskipun harus
disadari, bahwa gagasan ini merupakan gagasan mulia, namun
membutuhkan energi tinggi dan perjuangan yang tidak kenal
lelah, untuk meyakinkan para politisi di lembaga legislative.

17
Bab II

Sisa-sisa Hurgronje-nian tampaknya di negeri ini masih sangat


kuat, dan sering mengusung wacana, bahwa legislasi hukum
Islam sama halnya menghidupkan Piagam Jakarta.
2. Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia,
perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan
bagaimana, yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk
meng-engine dan mengcreate masyarakat. Dalam perspektif
historis, pada awalnya masyarakat Islam di Indonesia telah
menerima secara menyeluruh, karena ini adalah indikator
keberagamaan masyarakat.
3. Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai
bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang
komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki kepastian
hukum. Terutama soal materi-materi sebagaimana yang sudah
dikemukakan di atas.
Penutup
Demikian sedikit kontribusi pemikiran yang saya bisa
kemukakan sebagai pembahasan namun materi yang dikirim via
email, hanya tiga makalah. Semoga sumbangsih pemikiran ini,
dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam menyiapkan draft
dan naskah akademik Hukum Waris Islam di Indonesia.

18
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM


KEWARISAN DI INDONESIA (FILOSOFIS,
YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)
Zainudin Ali

Latar Belakang
Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil
peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian
disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan
suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di
Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang
dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang
hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama
Islam di Indonesia dari masa ke masa.
Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum
kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur hukum
di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya hukum
sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.
a. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita
hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
b. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya
didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau
terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan
c. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah
tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah
dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun
tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);

19
Bab II

d. Kaidah hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan


sejarah hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesia-
an.1
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi
maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke empat unsur
kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku secara filosofis,
maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang
dicitacitakan (ius constituendum); (2) bila kaidah hukum hanya
berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu
merupakan kaidah mati; (3) Kalau hanya berlaku secara sosiologis
dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan
pemaksa; dan (4) apabila hanya berlaku secara historis, maka
kemungkinan kaidah itu tidak sesuai dengan legal cultuure ke
Indonesiaan.
Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyele-
saian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyele-
saian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala.2 Hal
dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan
Undang-undang bidang hukum kewarisan.
Permasalahan
1. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil
Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-nesia
secara Filosofis?
2. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil
Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara yuridis?

1
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.
75
2
Hasil Penelitian Penulis berkenaan penyusunan Disertasi yang berjudul
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala tahun 1995

20
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil


Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-nesia
secara sosiologis
4. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil
Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara historis
5. Bagaimana karakteristik penyelesaian pembagian harta
warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil
Membicarakan siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Mate-
ril Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara Filosofis, maka tidak ada salahnya membicarakan lebih
dahulu ummat Islam. Ummat Islam dimaksud, merupakan salah
satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman
secara hukum ketatanegaraan di Indonesia. Karena itu, ummat
Islam tidak dapat dicerai pisahkan dengan hukum Islam yang
sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia
bila dilihat dari aspek perumusan Dasar negara yang dilakukan
oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan
mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu.
Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia,
yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang
telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar
kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan
pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan
UUD 1945, kemudian diganti dengan kata Yang Maha Esa
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti
yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali)

21
Bab II

mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29


batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik Indonesia
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat
ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.
a. Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau
berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
hukum Islam bagi ummat Islam, atau yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang
Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama
Budha bagi orang Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara
Rapublik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan
hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum)
agama dan kesusilaan bangsa Indonesia;
b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam
bagi orang Islam, Syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan
syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan
syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.
Makna dari penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik
Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan
fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh
bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan
hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau
penyelenggara negara. Artinya, penyelenggara negara
berkewajiban menjalankan syariat yang dipeluk oleh bangsa
Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan.
Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut
syariat Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat,
puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum-hukum
dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan

22
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kekuasaan negara untuk menjalankannya secara sempurna.


Yang dimaksud adalah misalnya, hukum harta kekayaan,
hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan
hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum
pidana (Islam) seperti zina, pencurian, pembunuhan yang
memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus
(Peradilan Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat
diadakan oleh negara dalam pelaksanaan kewajibannya
menjalankan syariat yang berasal dari agama Islam untuk
kepentingan ummat Islam yang menjadi warga negara
Republik Indonesia.
c. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara
untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri
oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi
kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu
menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Ini
berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di
negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh
masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya
hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum
yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya
menurut kepercayaan agamanya masing-masing.3
Perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab
Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini:

3
H. Mohammad Daud Ali, . Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 8

23
Bab II

a. DR. Muhammad Hatta (alm) ketika menjelaskan arti perkataan


kepercayaan yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD
1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan
kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan
agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung
ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata itu menunjuk pada kata
agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut.
Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan
kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan
diletakkan di bawah Bab agama.4
Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan
keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953
bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945
itu, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu
bahwa dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah,
kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan
mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali
ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik
Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu
merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan;
(c) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan
landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan
dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-
undang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus
dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.5

4
H. Mohammad Daud Ali, Ibid, hal 9.
5
H. Mohammad Daud Ali, Ibid., hal 10.

24
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Berdasarkan uraian dan penjelsan di atas, maka dapat


diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya
secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah
Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 50 tahun
2009 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Demikian juga
beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan hukum
Islam Selain itu, juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang
menjadi Pedoman bagi para hakim di Peradilan khusus
(Peradilan Agama) di Indonesia. Hal dimaksud merupakan
pancaran dari norma-norma hukum yang tertuang dalam
Pasal 29 UUD 1945. Karena itu, keberlakuan dan kekuatan
hukum Islam secara ketata negaraan di negara Republik
Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Sosiologis
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di
Indonesia dikenal teori receptio a contrario. Teori receptio a
contrario dimaksud, dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan
dikembangkan secara sistematis dan diperaktekkan oleh
murid-muridnya (Sajuti Talib, H Mohammad Daud Ali, Bismar
Siregar, H.M. Tahir Azhary, dan sebagainya). Menurut mereka
hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam
masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan

25
Bab II

dengan hukum Islam.6 Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua)


buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan yang
menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum Islam tidak
dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan dimaksud
sebagai berikut.
a. Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam,
bila mereka membagi harta warisan maka ia mengguna-
kan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama
di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan panasnya
anak perempuan di dapur sehingga bagian warisan anak
laki-laki sama dengan bagian warisaan anak perempuan.
Namun sesudah mereka memeluk agama Islam maka
hukum adat kewarisan itu digantikan posisinya oleh
hukum Islam berdasarkan ungkapan langgai molemba
mobine manggala (anak laki-laki memikul dan anak
perempuan menggendong). Hal itu berarti bagian harta
warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua
orang anak perempuan.
b. Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan
pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki
dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan
berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu
bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan
bagian harta warisan seorang anak perempuan (sama wae
asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk
agama Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud,
berubah untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua

6
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke
3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 83

26
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

orang anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan


dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis
majjujung makkunraie mallempa oroane.
c. Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah: Adat
bersendi syara, syara bersendi kitabullah. Artinya: hukum
adat bersumber dari hukum Islam, hukum Islam
bersumber dari Alquran.
d. Suku Aceh di Sumatera Utara membuat pepatah: Adek
dan syara sanda menyanda, syara mengato adek mema-
kai. Artinya: hubungan hukum adat dengan hukum Islam
erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam
menentukan, hukum adat melaksanakan.7
Berdasarkan dua buah contoh dan dua buah ung-
kapan tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa sistem
hukum Islam di negara republik Indonesia berlaku, sehingga
dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia menganut
sistem hukum majemuk. Namun demikian, sistem-sistem
hukum dimaksud merupakan suatu mata rantai yang tak dapat
dipisahkan dalam proses pembentukan hukum nasional yang
berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi
pedoman dan bintang pemandu terhadap norma-norma
hukum lainnya termasuk Undang-undang Dasar 1945,
Undang-undang, dan peraturan-peraturan lainnya di satu
pihak dan pihak lainnya sebagai dasar negara republik
Indonesia.
Selain itu, menunjukkan bahwa Sistem Hukum Indo-
nesia adalah sistem hukum yang menjadikan Pancasila sebagai
recht idee di satu pihak dan recht staat dipihak lainnya atau

7
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, (Palu:
Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998), hal. ii

27
Bab II

sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang


pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai
dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa
Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-
undangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan
merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat
di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori receptio in
complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg
(1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam
Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara
menyeluruh. Sebagai bukti teori dimaksud, diuraikan sebagai
berikut.
a. Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642
menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang
pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai
oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer
menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat
hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku
dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu,
kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini
terkenal dengan sebutan Compendium Freijer.8
b. Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta
peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk
diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa,

8
H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal 71

28
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sulawesi Selatan. Karena itu, selama VOC berkuasa dua


abad (602-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti
semula, berlaku dan berkembang di kalangan ummat
Islam Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa
dari para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu.
Demikian juga jasa Naruddin al-Raniri yang menulis buku
Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab
dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan
ke seluruh Wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan
ummat Islam. Kitab ini dianalisis oleh Syekh Arsyad al-
Banjari kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab
yang diberi judul Sabil al-Mukhtadin (jalan orang yang
diberi petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam
menyelesaikan sengketa antar ummat Islam di daerah
Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah Kesultanan
Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum
Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum
keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh Kerajaan-kerajaan
Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
c. Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan
yang senada dimaksud, yang kemudian diberi nama
Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (1823-
1868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di
Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
Ada dua permasalahan pokok yang dijadikan kajian utama
pada penyusunan pokok bahasan makalah ini, yaitu (1) bagaimana
masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum
kewarisan Islam di luar dan di dalam Pengadilan Agama, dan (2)
bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum

29
Bab II

kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya di


luar dan di dalam Pengadilan Agama.
Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian
masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini,
yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala
melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli
waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala
melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah
Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten
Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui
Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan
Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6)
bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di
Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di
negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di
Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum
kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam
dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam
pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli waris; (8)
bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum
kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum
kewarisan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di
Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa yang menyebabkan
masyarakat muslim di Kabupaten Donggala untuk melaksa-nakan
hukum kewarisan Islam.
a. Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis
1) Kerangka Dalil
a) Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan Islam,
di antaranya:
(1) Qur`an Surah IV: 11

30
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Qur`an Surah IV: 11 mengandung beberapa garis hukum


kewarisan Islam, di antaranya, yaitu: (1) Allah mengatur tentang
perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan
seorang anak perempuan, yaitu: 2:1; (2) mengatur tentang
perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang,
mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan; (3)
mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu
seperdua dari harta peninggalan; (4) mengatur perolehan ibu
bapak, yang masing-masing seper enam dari harta peninggalan
kalau si pewaris mempunyai anak; (5) mengatur tentang besarnya
perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau
pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perolehan ibu
sepertiga dari harta peninggalan; (6) mengatur tentang besarnya
perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau
pewaris tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara, maka
perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) pelaksanaan
pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1
sampai 6 itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris.9
(2) Qur`an Surah IV: 12.
Qur`an Surah IV: 12 mengandung beberapa garis hukum
kewarisan Islam, di antaranya, yaitu (1) Duda karena kematian istri
mendapat pembagian seperdua dari harta peninggalan istrinya
kalau si istri tidak meninggalkan anak; (2) duda karena kematian
istri mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan

9
Lihat, Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,
1981), h. 21. Hazairin, op. cit.,h. 7. H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam. (Jakarta:
Ind-Hild-Co, 1992),h. 7. Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, (London: Delux Press,
1984), h.275. David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, (America:
International Microfilms University Press, 1986), h. 75-88. Husnain Muhammad Makhluf,
Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, (Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971), h. 43-45.
Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, (Beirut: Dar an-
Nadafat at-Tarbiyah, 1978), h. 120-128. Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah
wa al-Wasiyyat, (Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun), h. 37-41.

31
Bab II

istrinya kalau si istri meninggalkan anak; (3) janda karena kematian


suami mendapat pembagian seperempat dari harta suaminya
kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan pembagian
termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di atas itu
sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika ada
seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah)
sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang
saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka itu
memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang
perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya
ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka
mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta
peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan
termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah
dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian
wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh
mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris.10
(3) Qur`an Surah IV; 176.
Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis
hukum kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada
engkau Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah
memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika
seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau
mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu
mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara

10
Lihat, Sajuti Thalib op. cit., h. 24. Hazairin, opcit.,h. 8. H.M. Tahir Azhary Loc. cit.
Husnaian Muhammad Makhluf, op. cit., h.57-58. David Stephen Powers, op. cit., h. 46,47,98,
dan 105. Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, (Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj,
1977), 64. A. Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, (Myland: Amana
Corp Brentwood, 1983), h. 182. Abdur-Rahman Doi, op. cit., h. 296-298. Ahmad Kamil
KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, (Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966), h.36.
Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 37-46.

32
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perempuan itu mendapat pembagian 1/2 dari harta peninggalan


saudaranya; (3) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada
saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian harta
warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggala; (4) kalau orang
yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari
laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki
sama dengan bagian dua orang saudara perempuan; (5) Allah
menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak
keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan
apabila terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah itu
mengetahui segala sesuatunya.10
(4) Qur`an Surah IV: 33.
Qur`an surah IV: 33 mengandung empat garis hukum,
yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli
waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu
bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (2)
bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya
(yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (3) bagi setiap
orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari
(untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang
tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (4) atas alasan
termaksud dalam garis hukum nomor 1, 2, dan 3 di atas, maka
berikanlah kepada mereka (mawali) itu bagiannya masing-
masing.11

10
Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 29. Hazairin, op. cit., h. 9. H.M.Tahir Azhary, op. cit.,
h.8. David Stephen Powers, op. cit., h.98, 104, 106, dan 107. Husnain Muhammad Makhluf,
op. cit., h.79-83. Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit. Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 59
- 60.
11
Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 27. Hazairin, op. cit., h. 8. H.M. Tahir Azhary, loc. cit.
Muhammad Mustafa Salabi, op. cit., h. 142-157. Bandingkan dengan uraian H.Moh. Djafar,
op. cit., h. 144. Menurut H. Moh. Djafar, Kompilasi Hukum Islam mengenai ahli waris

33
Bab II

b) Hadits Rasulullah yang berhubungan dengan Hukum


Kewarisan Islam, di antaranya:
(1) Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud Dawud
dan at-Tirmizi.
Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah membawa
kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya
Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad
bin Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama
Anda. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka
dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya
tidak mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan
menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah
ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si
paman anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta
warisan untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu
mereka, dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12
(2) Hadits Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan
oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah.
Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan
muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari
seorang muslim.13

pengganti di Indonesia merupakan hasil ijtihad kollektif ala ahlis-Sunnah wal-jamaah.


Pendapat yang demikian menurut analisis penulis mempunyai unsur kebenaran. Namun
perlu diungkapkan di sini bahwa ide itu lahir dari Hazairin atau orang pertama
menggunakan istilah mawali di Indonesia. Ijtihad Hazairin akan diuraikan oleh penulis pada
kerangka teoretis yang bersumber dari ijtihad.
12
Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1952), h. 109. Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938),
h. 414. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa
tahun), h. 909.
13
Lihat, Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 8, (Qahirah: Dar al-Matba`us-Sya`bi, tanpa
tahun), h. 178. Sajuti Thalib, op. cit., h.35. Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat,
(Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962), h. 9.

34
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(3) Hadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang Diriwayatkan oleh


ibn Majah dan at-Tirmizi.
Seorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan
dari orang yang dibunuhnya.14
c) Ketentuan Hukum kewarisan Islam yang bersumber dari
Ijtihad, yaitu:
1) Kewarisan Cucu
Kewarisan cucu15 secara tegas tidak dijumpai di dalam
Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid (termasuk
Hazarin) menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan
perluasan pengertian kata walad (anak) yang terdapat di
dalam Qur`an surah IV: 11, yaitu bukan saja berarti anak yang
langsung dilahirkan, melainkan pengertian walad (anak) itu,
juga termasuk keturunannya ke bawah (cucu).16
2) Ketentuan Kewarisan Anak Saudara.
Ketentuan kewarisan anak saudara si pewaris
(kemanakan si pewaris) secara tegas tidak ditemukan di dalam
Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan
ketentuan warisan-nya berdasarkan perluasan pengertian kata
akhun (saudara) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 176,
yaitu bukan saja berarti saudara kandung atau se ayah,
melainkan pengertian akhun (saudara) itu, juga termasuk
keturunannya.

14
Lihat Ibn Majah, op. cit., h. 913. At-Tirmizi, op. cit., h.425. Syari-fuddin, Ibid., h. 8.
Husnain Muhammad Makhluf, op. cit., h. 34. Hazairin, op. cit., h. 9.
15
Hukum adat di Indonesia mengakui cucu sebagai ahli waris bila ayah atau
ibunya lebih dahulu meninggal dari pewarisnya. Lihat, B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan
Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poes-ponoto, (Jakarta: Pradnja Paramita,
1953), h. 210.
16
Lihat Hazairin, op. cit., h. 28.

35
Bab II

3) Ketentuan Kewarisan Paman.


Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara
orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam
Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan
ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata
kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadits Rasulullah dari
Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh Abu Dawud, Ibn
Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek dan nenek itu
dapat diartikan dengan memasukkan keturunannya ke
bawah yakni paman.17
2) Kerangka Teoretis
Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk
hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan
sengit antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam
dan hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai
hubungan hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori
receptio in complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a
contrario.20 Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu

17
Lihat, Abu Dawud, op. cit., h. 100. At-Tirmiziy, op. cit., h. 320. Ibn Majah, op.
cit., h.910. Hazairin, Ibid., h. 102.
18
Teori receptio in complexu dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927).
Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi
hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Lihat, H. Mohammad Daud Ali,
op. cit., h. 16.
19
Teori receptie dipelopori oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan
dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh C. van Vollenhoven dan B. ter Haar Bzn
serta dilaksanakan dalam praktek oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Menurut
mereka hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum kalau
telah diterima oleh hukum adat. Lihat, Ibid., h. 17.
20
Teori receptio a contrario dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan
dikembangkan secara sistematis dan dipraktekkan oleh murid-muridnya. Menurut mereka
hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum

36
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kerangka teoretis dalam penulisan disertasi ini berdasarkan


pertimbangan bahwa berlakunya hukum kewarisan Islam di
Indonesia bukan melalui teori receptio in complexu dan teori
receptie melainkan hukum kewarisan Islam berlaku di
Indonesia karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Selain
teori receptio a contrario yang disebutkan di atas, juga
digunakan rumusan-rumusan garis hukum di dalam
perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang
dijadikan kerangka teoretis.21
b. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di
Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala21a
1) Pendahuluan
Bila hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan di
Kabupaten Donggala diuraikan, maka perlu diungkapkan: (1)
bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di luar Pengadilan
Agama, yaitu: (1.1) musyawarah ahli waris, (1.2) musyawarah
Dewan Adat, dan (1.3) Pengadilan Negeri, (2) bentuk
pelaksanaan hukum kewarisan di Pengadilan Agama. Dalam
bab ini juga akan diuraikan persesuaian hukum kewarisan
Islam dengan hukum kewarisan adat dan perbedaan hukum
kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten
Donggala.

adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Lihat, Hazairin, op. cit., h. 4. Bandingkan
dengan uraian Sajuti Thalib, op. cit., h. 1 dan 2.
21
Pasal 29 UUD 1945 menjamin untuk pelaksanaan hukum kewarisan Islam di
Indonesia. Demikian juga Pasal 49 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 dan
Instruksi Presiden RI tanggal 10 Juni 1991 mengatur pelaksanaan hukum kewarisan Islam
bagi masyarakat muslim di Indonesia.
21a
Hasil Penelitian penulis pada tahun 1995 berkenaan Penyusunan Disertasi
yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan nIslam di Kabupaten Donggala

37
Bab II

2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama


Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang
dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di
luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3
(tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan
melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan
melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta
warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala.
Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan
masing-masing contohnya sebagai berikut.
a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris
Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui
musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem
kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli waris
berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta warisan
mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan (Palu),
pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo) maupun
wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan Tawaeli).
Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli waris yang
dituakan atau adanya kerukunan keluarga di antara para ahli
waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa bukti
pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris di
Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai tahun 1993 sebagai
berikut.
(1) Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia
meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri

22
Ahkam adalah nama samaran yang digunakan oleh penulis untuk kepentingan
ilmiah dalam penulisan buku ini. Nama sebenarnya ada dalam buku catatan penulis. Selain
itu, digunakan nama samaran dalam penampilan contoh-contoh penyelesaian kasus
kewarisan di Kabupaten Donggala kecuali penyelesaian kasus melalui Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Penggunaan nama samaran itu, berpedoman

38
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

atas 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak


perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat
tinggal, 2 (dua) areal kebun kelapa, tanah perumahan
seluas 946 M2, dan sebuah perhiasan kalung emas. Harta
warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah
berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta
warisan mereka.23 Musyawarah tersebut dilakukan oleh
ahli waris berdasarkan hukum Islam karena ada di antara
ahli waris yang mengetahui pentingnya hukum kewarisan
Islam untuk dilaksanakan dan disetujui oleh ahli waris
lainnya, yaitu anak perempuan mendapat sebuah rumah
tempat tinggal dan sebuah perhiasan kalung emas, 2 (dua)
orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing satu
areal kebun kelapa dan tanah perumahan 473 M2.
Musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan
oleh ahli waris Ahkam tersebut, dapat terlaksana karena
adanya kerukunan di antara para ahli waris dan adanya
ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya3

pada huruf awal nama seseorang, misalnya seseorang bernama Ahamad diganti dengan
nama Ahkam. Hal itu, dilakukan atas saran-saran dari para ahli waris yang diwawancarai.
23
Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu.
3
Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu. Abdul Hamid sebagai salah
seorang ahli waris (Ahkam) mengemukakan bahwa pembagian harta warisan melalui
musyawarah ahli waris mengenai status hak pemilikan individu terhadap harta peninggalan
pewarisnya adalah mencerminkan hukum kewarisan Islam yang menjadi hukum adat
kewarisan di Kabupaten Donggala. Sejalan dengan hal itu, Drs. Amrin Yodo (sekertaris
merangkap anggota Dewan Adat di kelurahan Besusu kecamatan Palu Timur) mengemuka-
kan bahwa "ungkapan istilah langgai molemba mobine manggala dijadikan rech ide atau cita
hukum dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah, baik musyawarah ahli waris
maupun musyawarah Dewan Adat, kecuali bila ada kesepakatan lain yang diinginkan oleh
ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, ahli waris perempuan diberikan
lebih banyak atau disamakan dengan bagian anak laki-laki atas persetujuan ahli waris
laki-laki berdasarkan pertimbangan bahwa kehidupannya sudah mapan bila dibandingkan
dengan kehidupan saudara perempuannya. Drs. Amrin Yodo, wawancara, 27 Maret 1994 di
Palu.

39
Bab II

(2) Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan


harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga)
orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan.
Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6
(enam) ekor kambing, dan tanah perumahan seluas 700
M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui
musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu
terhadap harta warisan mereka24
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris
berda-sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki
mendapat bagian masing-masing tanah perumahan seluas
200 M2, seorang anak perempuan mendapat bagian tanah
perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan
mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul
Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang
dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui
musyawarah karena orangtua mereka sudah
membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan
rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai
pedoman dalam kehidupan rumah tangganya"25.
Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima)
buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah
ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk
asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum
kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang
berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan
(4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak

24
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli
25
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya, wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli. Hasil
musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu sesuai
hukum Islam, yaitu 2: 1.

40
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

lain asas hukum kewarisan adat suku Kaili yang tidak


bertentangan dengan hukum Islam. Ke empat bentuk
asas-asas hukum kewarisan tersebut akan diuraikan
penyebabnya sebagai berikut.
(a) Asas hukum kewarisan Islam tampak dalam
pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli
waris karena ada di antara ahli waris yang dituakan
oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum
kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian
harta warisan dan/atau hukum kewarisan Islam itu
sudah menjadi budaya hukum secara turuntemurun
dalam keluarga pewaris. Selain itu, terjadi kerukunan
keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada
kasus nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21,
22, 23, 31, 32, 33, dan 34.
(b) Asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami
tampak dalam pembagian harta warisan melalui
musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris
yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui
pentingnya hukum kewarisan Islam untuk
dilaksanakan dalam pembagian harta warisan tetapi
harta warisan mereka relatip sedikit, baik harta
warisan yang terdiri atas kebun kelapa, kebun kapok,
tanah sawah, maupun harta warisan yang sifatnya
usaha. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara
para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 6, 8, 9, 12,
18, 20, 25, 27, dan 28.
(c) Asas hukum kewarisan adat lama tampak dalam
pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli
waris bila ada di antara ahli waris yang menginginkan
tidak dibedakan bagian harta warisan anak perempuan

41
Bab II

dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai


akibat kurang mengetahui pentingnya hukum
kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak
menghendaki terjadinya silang sengketa dalam
pembagian harta warisan, sehingga merelakan
sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara
perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga
di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor
15, 24, 26, dan 35.
(d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum
kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian
harta warisan bila ada di antara ahli waris yang
dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan
Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta
warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di
antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai
harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli
waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh
semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga pewaris.
Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30.
b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan
Adat
Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten
Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah
Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil)
membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara

26
Musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah penyelesaian suatu
permasalahan yang dilakukan oleh mereka yang terdiri atas pemuka adat dan pemuka
agama di satu pihak dan di lain pihak ada pemuka agama (baca: Islam) yang berfungsi
ganda, yaitu sebagai pemuka agama dan pemuka adat di suatu Desa, Khaerul Tahwila,
wawancara, tanggal 28 Juli 1994 di desa Baiya kecamatan Tawaeli.

42
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

mereka. Kegagalan itu ada yang disebabkan oleh kesalah


pahaman mengenai harta yang diperoleh salah seorang ahli
waris ketika orangtua mereka masih hidup, dan ada yang
disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan
pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya.27
Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat
tersebut, ditemukan oleh penulis 16 buah pembagian harta
warisan dan dua kasus diuraikan sebagai berikut.
(1) Abbas meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan
harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua)
orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Harta
warisan itu terdiri atas Rp.1.000.000. Harta warisan tersebut
dimusyawa-rahkan oleh ahli waris berkenaan dengan
status pembagiannya. Namun, musyawarah itu tidak
berhasil sehingga diajukan pembagian harta warisan
melalui musyawarah Dewan Adat di Desa Baiya28
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris
bersama Dewan Adat berdasarkan kerelaan para ahli waris
(as-sulhu, yaitu seorang anak laki-laki mendapat bagian
Rp. 400.000 dan 2 orang anak perempuan mendapat
bagian masing-masing Rp. 300.000). Kesepakatan itu
disetujui oleh para ahli waris. Pilihan hukum tersebut
dilakukan oleh ketua Dewan Adat karena anak perempuan
menghendaki bagian warisannya tidak dibedakan dengan

27
Abd. Hamid mengemukakan bahwa "munculnya masalah kewarisan adalah
adanya ahli waris di satu pihak berpendapat bahwa pemberian orangtua kepada anaknya
selagi orangtua masih hidup termasuk diperhitungkan sebagai pembagian harta warisan
bila terjadi pembagian harta warisan dikemudian hari, di lain pihak ada ahli waris
berpendapat bahwa harta yang diperoleh seorang anak dari orang-tuanya selagi orang-tua
masih hidup hanyalah pemberian bentuk hibah, sehingga ia menuntut hak yang sama
dengan ahli waris lainnya. Anggota Dewan Adat Kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994
di Palu.
28
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.

43
Bab II

bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama


memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum
kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak
perempuan tersebut rela bila bagian warisannya kurang
dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak laki-laki tidak
menghendaki terjadinya silang sengketa di antara mereka
sehingga rela menerima sesuai kehendak saudara
perempuannya.29
Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh
ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila
dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama maka
dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp
666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat
bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian harta
warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua orang anak
perempuan mendapat bagian Rp 500.000 dan seorang
anak laki-laki mendapat bagian Rp 500.000. Namun,
kedua sistem hukum itu tidak diterapkan karena mereka
menghendaki kerelaan menerima warisan yang telah
disebutkan.
(2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia
meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri
atas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak
perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat
tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas

29
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.
Kepala Desa Baiya mengemukakan bahwa "musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah
yang menghasilkan perdamaian di antara mereka yang bersengketa". Hasil musyawarah
Dewan Adat mencerminkan hukum kewarisan adat lama yang hampir tidak membedakan
bagian warisan anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal itu dilakukan oleh Dewan Adat
karena pihak perempuan tidak mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai
bagian dari ajaran agama Islam.

44
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berupa kalung, dan tanah perumahan seluas 1.312,50 M2.


Harta warisan tersebut dikuasai sebagian oleh anak yang
kedua laki-laki, sehingga ahli waris lainnya menuntut
haknya melalui Dewan Adat di Kelurahan Balaroa.30.
Musyawarah tersebut, Dewan Adat menerapkan
hukum Islam, yaitu anak terakhir laki-laki mendapat bagian
kebun kelapa, anak kedua laki-laki mendapat tanah
perumahan, anak pertama perempuan mendapat sebuah
rumah tempat tinggal, dan anak ketiga perempuan
mendapat tanah perumahan bersama perhiasan emas.
Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang
perempuan. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua
Dewan Adat atas persetujuan ahli waris ketika tokoh
agama sudah menyampaikan nasehat kepada ahli waris
mengenai keadilan yang dikandung oleh hukum
kewarisan Islam dan pentingnya hukum kewarisan Islam
untuk dilaksanakan.31
Pembagian harta warisan melalui musyawarah
Dewan Adat yang telah diuraikan 16 (enam belas) buah
kasus, tampak 15 (lima belas) buah kasus mencerminkan
asas hukum kewarisan Islam, yaitu kasus nomor 2 sampai
16. Hal itu menunjukkan peranan ketua dan anggota
Dewan Adat dalam menerapkan hukum kewarisan Islam
amat besar. Peranan ketua dan anggota Dewan Adat itu
tampak karena ada di antara ketua dan anggota Dewan
Adat yang berasal dari tokoh agama Islam yang

30
Abd. Hamid (ketua Dewan Adat di kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994
di Palu.
31
Abd. Hamid (Ketua Dewan Adat Kelurahan Balaroa), wawancara, 27 Juli 1994
di Palu. Ketua adat mengemukakan bahwa ketua dan anggota Dewan Adat merupakan
parner kerja kepala Desa atau kepala kelurahan disetiap tempat pelaksanaan
pemerintahan.

45
Bab II

menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya


hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta
warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang
beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh
agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di
Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota
Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam
yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan
pembagian harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain
mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian
harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut,
ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas
hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan
asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-
Qur`an surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan
tidak bertentangan hukum kewarisan Islam karena
masing-masing ahli waris rela menerima bagian warisan
yang disepakati melalui musyawarah Dewan Adat.
Kerelaan kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu.
c) Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di
Kab. Donggala.
Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten
Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh
hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala,
maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan
dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut.
(1) Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990.
Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak
ikut menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan
oleh Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia
menggugat Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten

46
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Gugatan


tersebut menyatakan bahwa Lawasi meninggal tahun
1987 di Tawaeli meninggalkan warisan kepada ahli waris
yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki bersama 5 (lima)
orang anak perempuan dan berupa harta yang terdiri atas
sebuah kebun kelapa 100 pohon. Harta tersebut dijual
oleh anak laki-laki yang pertama dan disetujui oleh 8
orang saudaranya.
Pada gugatan tersebut, penggugat mengemukakan
bahwa harta warisan yang menjadi obyek sengketa adalah
harta peninggalan Lawasi (ayah penggugat dan tergugat)
yang belum terbagi kepada ahli warisnya, sehingga
perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat cs
bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang
berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Donggala
karena tanpa sepengetahuan penggugat sebagai ahli
waris. Karena itu, penggugat memohon sita jaminan pada
harta yang menjadi obyek sengketa kepada ketua
Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Berdasarkan
gugatan penggugat, maka tergugat mengemukakan
jawaban bawa ia tidak memberitahukan kepada
penggugat karena tidak ada di Palu, melainkan ia berada
di Jakarta. Selain itu, tergugat mengemukakan bahwa akan
memberikan harta peninggalan lainnya bila tergugat
menuntut hak warisannya. Berdasarkan gugatan ini, hakim
memeriksa perkara tersebut dalam 12 kali sidang. Pada
sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha
mendamaikan kedua pihak dan akhirnya berhasil. Pada
sidang yang ke-12 pihak penggugat mencabut
gugatannya dengan dalil pihak tergugat menginginkan
pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris.

47
Bab II

Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan


kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat lama,
yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-masing
Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan oleh hakim
melalui putusan Akta Perdamaian.32
Putusan pengadilan tersebut mencerminkan
hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki
sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu
terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu
ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum
kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu
tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang
berlaku dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang
mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak.
(2) Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn.
Palu, 6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini
adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara
pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga,
sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan
hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten
Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada
gugatan itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di
Palu; meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri
atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang
anak perempuan dan harta terdiri atas tanah kebun
seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh saudara
pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian dengan harga
Rp.510.000.-

32
Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18
Juni 1990.

48
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pada gugatan tersebut, penggugat menyatakan


bahwa tergugat tidak berhak menjual harta
peninggalan Sunga tanpa sepengetahuan ahli warisnya
(para penggugat). Karena itu, perbuatan hukum yang
dilakukan oleh tergugat bertentangan dengan hukum
kewarisan adat yang berlaku di Kabupaten Donggala.
Berdasarkan gugatan penggugat, pihak tergugat
mengemukakan bahwa harta yang menjadi obek
sengketa adalah harta peninggalan ayahnya yang belum
dibagi waris kepada ahli warisnya sehingga ia berhak
menguasainya. Berdasarkan gugatan penggugat dan
jawaban tergugat, hakim memeriksa alasan-alasan, saksi-
saksi dan bukti-bukti penggugat dan tergugat dalam 7 kali
sidang dan ternyata tergugat tidak mempunyai alat
bukti. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu
berusaha mendamaikan ke dua pihak dan dibantu oleh
pihak keluarga Baiduri sehingga mereka mau berdamai.
Pada sidang terakhir penggugat mencabut gugatannya
dengan dalil pihak tergugat ingin melakukan
musyawarah di antara mereka. Karena itu, saudara
pewaris (Baiduri) mengembalikan tanah kebun dan harga
tanah kepada Moh. Kasim cs. Hasil perdamaian itu
disahkan oleh hakim melalui putusan Akta
33
Perdamaian.
Hasil kesepakatan tersebut, mencerminkan hukum
kewarisan adat suku Kaili di satu pihak, yakni tergugat
tidak berhak mewarisi harta peninggalan Sunga karena
pewaris meninggalkan anak sehingga ia mengembalikan

33
Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 21 tanggal 6 Juli 1992
mencerminkan hukum kewarisan Islam karena tidak memberikan warisan kepada saudara
pewaris.

49
Bab II

kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan


hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris
mengembalikan harta warisan kepada ahli waris Sunga
(penggugat) sebagai orang yang berhak mewaris.
Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian harta
warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala
yang telah telah diuraikan, ditemukan pencerminan
hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam sebanyak 7
(tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8, 11, 13, 17, 19,
dan 21. Demikian juga putusan pengadilan yang
mencerminkan hukum kewarisan adat yang berasaskan
musyawarah mufakat antara penggugat dan tergugat
dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam, yaitu
kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5.
Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan Islam
yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas hukum
kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus nomor 11. Sebalik-
nya, ditemukan juga putusan pengadilan yang tidak men-
cerminkan asas-asas hukum, baik asas hukum adat maupun
asas hukum Islam, melainkan hal itu hanya berpedoman
kepada formalitas beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor
6, 9, 10, 12, 14, 15, 18, dan 20.
d) Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan
Agama Kabupaten Donggala
Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai
dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah kasus
pembagian harta warisan dan dua kasus diantaranya
dikemukakan sebagai berikut.

50
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(1) H. Baharuddin dan Rabiah bin H. Baele v. Hj. Hajare binti


H. Baele cs, 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.
H. Baharuddin dan Rabiah H. Baele dalam perkara ini
adalah ahli waris anak laki-laki dan perempuan, sedang Hj.
Hadjare cs adalah ahli waris anak perempuan bersama
janda istri ke dua dan anaknya sebagai penguasa harta
peninggalan H. Baele yang belum terbagi kepada ahli
warisnya. Karena itu, H. Baharuddin dan Rabiah
menggugat Hj. Hajare cs berdasarkan hukum Islam ke
Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk
memperolah hak warisannya dengan cara menjual rumah.
Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa H. Baele
meninggal tahun 1988 di Palu. Ia meninggalkan warisan
kepada ahli waris yang terdiri atas 3 orang anak
perempuan bersama 2 orang anak laki-laki dari istri
pertama, seorang anak perempuan bersama seorang anak
laki-laki dari istri kedua, janda istri kedua; harta yang
ditinggalkannya terdiri atas dua buah rumah tempat
tinggal. Harta berupa sebuah rumah tempat tinggal
dikuasai oleh istri kedua dan sebuah rumah lainnya
dikuasai oleh anak kedua sampai anak kelima dari istri
pertama. Pihak tergugat mengemukakan bahwa harta
yang dikuasinya adalah harta peninggalan pewarisnya dan
ia adalah termasuk ahli waris sehingga ia berhak
menempati rumah yang menjadi obyek sengketa
warisan.34
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban
tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti,
ternyata bahwa penggugat dan tergugat belum

34
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.

51
Bab II

memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim memutuskan


bahwa gugatan penggugat diterima sebagian, yaitu 5
(lima) orang anak dari istri pertama mendapat sebuah
rumah tempat tinggal di Palu, sedangkan istri kedua
bersama dua orang anaknya mendapat sebuah rumah
tempat tinggal di Tawaili.35
Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan
hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan
hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta
warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga
memungkinkan muncul masalah baru kepada yang
berhak menerima warisan kollektip.
(2) Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23
Juli 1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak
laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai
penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan
Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak
warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut,
dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di
Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua)
orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama
seorang anak perempuan melalui anak perempuan
pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2
(dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak
perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih dahulu
meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak

35
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990 tampak tidak membedakan bagian seorang
anak laki-laki dengan bagian seorang anak perempuan, dan janda istri kedua. Selain itu,
tidak membedakan harta perkawinan istri pertama dengan istri kedua. Namun, kedua
pihak menerima putusan itu.

52
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui anak


laki-laki ketiga yang meninggal lebih dahulu dari
36
pewarisnya.
Harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas
kebun kelapa 764 pohon, tanah perumahan 1200 meter.
Harta tanah perumahan itu belum terbagi kepada ahli
warisnya dan dikuasai oleh anak laki-laki dan perempuan
melalui anak pertama perempuan yang meninggal lebih
dahulu dari pewarisnya berdasarkan wasiat pewaris.
Karena itu, penggugat menuntut warisannya berdasarkan
hukum Islam. Pihak penggugat mengemukakan bahwa
harta yang dikuasainya adalah pemberian pewaris melalui
surat wasiat.37
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban
tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti
dalam persidangan, terungkap bahwa wasiat pewaris tidak
disetujui oleh ahli waris lainnya. Karena itu, hakim
membatalkan wasiat pewaris dan harta peninggalan
dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan
hukum kewarisan Islam, yaitu anak laki-laki dan
perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya
digantikan kedudukannya oleh anaknya atau
keturunannya. Selain itu, bagian warisan seorang anak

36
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Juli 1991.
37
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA.Palu, 23 Juli 1991 mempunyai pertimbangan hukum bahwa wasiat
kepada ahli waris tertentu yang tidak disetujui oleh ahli waris lainnya adalah batal demi
hukum atau dibatalkan oleh hakim.

53
Bab II

laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak


perempuan38
Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan asas
hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an
surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang meninggal
lebih dahulu dari orangtuanya digantikan oleh
turunannya.
Kesimpulan
1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis
berdasarkan Sila Pertama Pancasila
2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis
berdasarkan Pasal 29 UUD 1945
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis
diterima oleh masyarakat muslim yang mendiami negara
republik Indonesia berdasarkan fakta hukum melalui putusan
Pengadilan Agama
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis
berdasarkan teori recepcie in complexu dan teori receptio a
contrario
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di
Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4

38
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Agustus 1991. Pertimbangan hukum putusan itu adalah Pasal
184, dan 185 Kompilasi hukum Islam, dan Pasal 49 ayat (3) Undang-undang nomor 7 Tahun
1989.

54
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(empat) bentuk, yaitu Melalui musyawarah ahli waris, melalui


musyawarah dewan adat, melalui Pengadilan Agama, dan
Melalui Pengadilan Umum (Negeri). Ke empat bentuk
penyelesaian pembagian harta warisan dimaksud,
mencerminkan asas-asas hukum kewarisan Islam, hukum
kewarisan adat yang menjiwai hukum kewarisan Islam, dan
asas hukum kewarisan adat lama sebagai akibat ketidak
tahuan filosofi hukum kewarisan Islam.
Daftar Pustaka
Abdrrahman, H., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992
Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press,
1984
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1952
Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, Qahirah: al-Majlis
a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966
Ali, Mohammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah, 1985.
---------. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991
Ali, Zainuddif, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten
Donggala, Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998
---------. Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
Cetakan ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938

55
Bab II

Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al. Sunan


Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1952.
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Jogyakarta:
Nurcahaya, 1983.
Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-Hild-
Co, 1992.
B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan
oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953
Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8,
Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun.
David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of
Inheritance, America: International Microfilms University
Press, 1986
Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para
Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbandingan". Disertasi
Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith.
Jakarta: Tintamas, 1990.
Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah,
Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-
Halabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2,
Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun
Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-
Qanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978

56
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-


Wasiyyat, Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa
tahun
Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal
Darya Ganj, 1977
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina
Aksara, 1981
Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr al-
Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962
Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary,
Myland: Amana Corp Brentwood, 1983

57
Bab II

58
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

PARADIGMA BARU HUKUM WARIS ISLAM DI


INDONESIA
Edi Riadi

Latar Belakang
Hukum Waris Islam yang dibangun sejak abad ke tujuh
masehi sampai saat ini, dalam tataran teoritis, tidak mengalami
perubahan dan senantiasa akan tetap dipertahankan seperti itu
karena hukum waris Islam dianggap hukum Tuhan yang berlaku
sepanjang masa dan tidak menerima perubahan. Para fuqaha (ahli
di bidang hukum Islam) berpendapat hukum waris Islam dan
begitu juga bidang hukum Islam lainnya dianggap merupakan
perintah Allah swt. yang harus dilaksanakan apa adanya tanpa
reserve sehingga hukum tersebut diistilahkan dengan hukum
taabbudi (wajib diikuti sebagai ibadah/kepatuhan kepada Allah
swt.), bukan hukum taaqulli yaitu hukum yang dapat dilakukan
perubahan sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya
masyarakatnya.
Persepsi para fuqaha mengenai hukum Islam, khususnya
hukum waris Islam, seperti itu berdampak stagnasi hukum Islam
itu sendiri, sehingga tertinggal dari sistem hukum lain yang
senantiasa mengalami perubahan. Sistem hukum waris Islam, pada
zamannya, dapat dikatakan sebagai hukum waris yang sangat
modern dibanding dengan sistem hukum waris lain. Ambil contoh
sebagai perbandingan, di beberapa negara bagian Amerika pada
abad ke 19 jika seorang meninggal dunia harta warisan khususnya
yang berbentuk properti diwariskan kepada anak laki-laki sulung.11

11
Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York, Simon and
Schuster, 2005, H.29.

59
Bab II

Pewarisan seperti demikian sudah lama dihapus oleh Islam sejak


saat penyebaran Islam di Madinah lima belas abad lalu dengan
menerapkan hukum waris yang berbasiskan keadilan tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan serta tanpa
membedakan dewasa atau belum dewasa. Walaupun porsi
perempuan hanya mendapat setengah bagian dari porsi laki-laki,
namun demikian porsi waris perempuan tersebut merupakan
terobosan paling kotroversial pada zaman itu, karena pada saat itu
wanita tidak memiliki hak untuk mewaris bahkan wanita dijadikan
objek warisan seperti benda.12
Hukum waris Islam yang lima belas abad lalu merupakan
hukum paling modern, pada masa kini menjadi hukum yang
kehilangan ruh kemodernan dan ruh keadilannya ditengah
perkembangan sosio-kultural masyarakat kini. Problem beda
agama dan anak angkat yang menjadi penghalang pewarisan,
bagian wanita separuh dari laki-laki dalam hukum waris Islam
mendapat kritikan tajam dari kalangan ahli hukum modern. Lebih
dari itu lembaga dzawil arham13 yang dibangun para fuqaha
merupakan problem hukum waris Islam lainnya yang sangat
kontroversial dan bias gender. Lembaga dzawil arham sebagai
model hukum waris Islam yang dibangun atas landasan pola
berfikir masyarakat Arab yang patrilineal sangat tidak relevan
dengan rasa keadilan masyarakat modern. Sistem hukum waris
Islam yang dibangun fuqaha lima belas abad yang lalu, pada masa

12
Muhammad Ahmad Ismail al-Muqarrim, al-Marah Baina Takrim al-Islami wa
Ihanati al-Jahiliyyati, Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005, h.57.
13
Dzawil arham kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris akan
tetapi tidak termasuk ahli waris seperti cucu dari anak perempuan, perempuan keturunan
dari saudara sekandung dan seayah, keturunan dari saudara seibu, bibi dar pihak ayah,
paman dan bibi dari pihak ibu, perempuan keturunan dari paman pihak ayah, kakek dari
pihak ibu. Lihat A. Hussain, The Islamic Law of Succession, Riyad, Darussalam, 2005, h.
164,181, 211, 218, 228,285; Lihat pula Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah al-
Muhtaj bi Syarhi al-Muhtaj, Kairo, Dar al-Fikr, tth. H. 393.

60
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sekarang sudah tidak berpihak pada keadilan, pluralisme, dan


kesetaraan gender sehingga sulit diterima oleh masyarakat
modern yang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan
pluralisme.14
Upaya pembaharuan hukum Islam banyak dilontarkan
para pemikir Muslim. Contoh sangat kontroversial diprakarsai
Abdullah Ahmed an-Naim dengan teori nasikh mansukh ayat-ayat
madaniyah yang dianggapnya bersifat sektoral dan temporal oleh
ayat-ayat makiyyah yang menurutnya bersifat universal,15 Syahrur
dengan teori limit memaknai al-Quran surah al-Nisa IV:11,12, 176
yang mengatur porsi waris anak wanita , saudara wanita, dan istri
mendapat separuh dari anak laki-laki, saudara laki dan suami
merupakan batas minimal sehingga porsi anak wanita, saudara
wanita, dan istri dapat berubah menjadi sama yang dengan porsi
anak laki-laki, saudara laki-laki, dan suami.16 Pembaruan pemikiran
hukum Islam yang dimunculkan oleh Abdullah Ahmed an-Naim
dan pemikir Islam lainnya sulit diterima oleh fuqaha yang
memahami hukum sebagai ketentuan taabbudi.
Di Indonesia, Hazairin sebagai pembaru hukum waris
Islam pertama melontarkan teori Waris Bilateral selanjutnya
diikuti oleh Munawir Sadzali dengan gagasan reaktualisasi hukum
Islam. Hazairin berpendapat ayat-ayat al-Quran yang mengatur
tentang hukum waris mencita-citakan bentuk masyarakat

14
Lihat Robert Spencer, Islam Unveiled, San Francisco, Encounter Books, 2002,
h.73-92.
15
Abdullah Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties,
Human Right and International Law, (Dekontruksi Syariah: Wacana Kebebasaan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan International, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani,
Yogyakarta, LKiS, 1994, h.110.
16
Muhammad Shahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqhi al-Islami, (terj. Sahiron
Syamsuddin dan Burhanudin), Yogyakarta, Elsaq press, 2004, h.317-424.

61
Bab II

bilateral.17 Sehingga dengan landasan berfikir semacam itu,


Hazairin memahami Hadits tentang kewarisan bukan merupakan
produk hukum yang berlaku umum dan abadi bagi semua ummat
Islam, akan tetapi harus dipahami sebagai produk peradilan yang
berlaku parsial dan temporal dalam menyelesaikan kasus-
perkasus.18 Sedangkan Munawir Sadzali melontarkan kritikan porsi
waris wanita setengah bagian dari laki-laki dengan memandang
hukum Islam secara kontekstual.19 Menurut Munawir Sazali hukum
Islam tidak sepenuhnya taabbudi melainkan mengadung sifat
taaquli, sehingga hukum Islam lentur untuk menerima perubahan-
perubahan sesuai perkembangan zaman dan budaya masyarakat.
1. Hukum ideal dan realistis.
Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan.
Sedangkan hukum realistis adalah hukum yang dihasilkan dengan
cara mensinergikan hukum ideal dan hukum berlaku ditengah
masyarakat. Hukum ideal bermuatan rasa keadilan universal,
sedangkan hukum realistis bermuatan keadilan lokal dan
temporal. Hukum ideal tidak mungkin diberlakukan ditengah
masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa
mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat tersebut pada
masanya. Oleh karena itu proses sinergi hukum ideal dengan
hukum yang berlaku dalam masyarakat menjadi hukum realistis
merupakan suatu keniscayaan agar hukum tersebut bermuatan
rasa keadilan masyarakat. Karakteristik hukum realistis hanya
berlaku dalam masyarakat pada masa tertentu, dan belum tentu
dapat diberlakukan dalam masyarakat lainnya dalam kurun waktu

17
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith, Jakarta,
Tintamas, 1981, h.13.
18
Ibid, h. 94.
19
Munawir Sjadzali, Dari Lembah kemiskinan, dalam Muhammad Wahyuni Navis
(ed.), Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta, Paramadina, 1995, h.87-96.

62
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang sama atau kurun waktu berbeda karena rasa keadilan


masyarakatnya berbeda. Hukum waris fikih adalah hukum realistis
untuk masyarakat Arab pada masa itu oleh karenanya mungkin
banyak kaidah hukum waris ala fikih yang sudah tidak relevan
untuk masyarakat Indonesia pada masaa kini. Dalam hal inilah
diperlukan tajdid hukum yang berkesinambungan paralel dengan
tuntutan keadilan lokal sebagai akibat perubahan sosio-kultural
masyarakat.
Al-Quran surah al-Nisa IV:7 diturunkan untuk merubah
realitas sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu yang
membedakan wanita dari laki-laki. Masyarakat Arab menempatkan
laki-laki sebagai subjek hukum sedangkan wanita sebagai objek
hukum. Bahkan wanita pada masa itu dapat diwarisi karena
dianggap sebagai objek hukum. Al-Quran surah al-Nisa IV:7
tersebut merupakan kaidah yang berfungsi sebagai tool of social
engineering mendudukkan wanita dan laki-laki setara didepan
hukum, keduanya menjadi subjek hukum, oleh karenanya ayat
tersebut merupakan hukum ideal, dimana laki-laki dan perempuan
sama-sama dapat mewaris baik dalam keluarga inti maupun
dalam keluarga besar. Ayat tersebut bermuatan keadilan universal,
sehingga bersifat qathi yang tidak akan mengalami perubahan.
Adapun Al-Quran surah al-Nisa 11, 12 dan 176 dan Hadits Nabi
Muhammad mengenai kewarisan merespon kultur masyarakat
yang mengkondisikan laki-laki berperan penuh dalam hampir
semua wilayah kehidupan, karena pada umumnya semua wilayah
kehidupan saat itu bergantung pada kekuatan fisik yang dimiliki
laki-laki. Ayat 11, 12, dan 176 dan Hadits Nabi Muhammad tentang
kewarisan yang mempertimbangkan peran besar laki-laki dan
peran domestik kaum wanita dalam kontek sosio kultural
masyarakat Arab pada masanya merupakan hukum realistik,
sehingga pada umumnya dalam tiga ayat dan Hadits Nabi

63
Bab II

Muhammad tentang kewarisan membedakan kedudukan dan


hak laki-laki dari wanita dalam hukum kewarisan. Oleh karena itu
ketiga ayat dan Hadits Nabi Muhammad tentang kewarisan
tersebut bermuatan keadilan lokal dan temporal sehingga bersifat
dzonni. Pemahaman qathi dan dzanni dalam ayat dan Hadits
hukum tidak mesti dilihat dari sisi linguistik maupun periwayatan
melainkan dapat dilihat dari sisi muatan keadilannya. Ayat dan
hadits yang bermuatan keadilan universal merupakan dalil qathi,
sedangkan ayat Al-Quran dan Hadits yang bermuatan keadilan
lokal dan temporal merupakan dalil dzanni.
2. Dialektik tafsir tekstual dan kontekstual.
Pada masa awal Islam, tingkat moderasi tafsir terhadap
teks Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad sangat tinggi. Para
sahabat berkreasi memahami teks Al-Quran dan Hadits sesuai
tingkat keluasan dan kedalaman pengetahuannya. Zaid bin Tsabit
yang dijuluki oleh Nabi Muhammad sebagai sahabat yang afqahu
shahabah fiilmi al-irst merupakan orang yang luas
pengetahuannya dibidang hukum kewarisan masyarakat Arab,
sehingga ia lebih mampu memahami teks Al-Quran dan Hadits
tentang kewarisan yang bersinergi dengan hukum yang berlaku
pada masyarakat Arab saat itu. Sedangkan Ibnu Abbas hanya
memiliki kemampuan memahami teks al-Quran dan Hadits
tentang kewarisan tanpa memiliki kemampuan mensinergikan
dengan hukum adat masyarakat Arab. Tafsir Zaid bin Tsabit
tentang waris merupakan mainstream sehingga banyak diikuti
para fuqaha, karena pendapat Zaid bin Tsabit sangat dirasakan
sesuai dengan keadilan masyarakat setempat saat itu. Aliran Ibnu
Abbas banyak ditinggalkan para fuqaha karena tidak bermuatan
keadilan lokal, sehingga tafsir Ibnu Abbas tidak sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat Arab pada masanya. Akan tetapi tafsir Ibnu
Abbas lebih dirasa bermuatan keadilan pada masa kini. Tafsir Ibnu

64
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Abbas mengenai kata walad dalam Al-Quran surah Al-nisa IV:176


mencakup anak laki-laki dan wanita selaras dengan pergeseran
keluarga moderen yang meninggalkan keluarga besar menjadi
keluarga inti, dimana saudara sebagai keluarga besar baru dapat
mewaris jika pewaris tidak meninggalkan keturunan. Demikian
halnya tafsiran Ibnu Abbas terhadap Al-Quran surah al-Nisa IV:11
dalam kalimat fain lam yakun lahu waladun wawaritsahu abawahu
fali ummihi altsuluts bahwa ibu mendapat dari sepertiga besar
mengindikasikan ibu setara dengan ayah, karena ibu dalam kasus
tertentu bisa memperoleh waris melebihi porsi ayah. Tafsir Ibnu
Abbas ini menghilangkan asas 2 : 1 antara porsi laki-laki dengan
porrsi perempuan.
Tafsir Zaid bin Tsabit merupakan tafsir kontekstual pada
masa itu, sehingga menciptakan hukum progresif yang
membentuk hukum realistis dan diterima masyarakat Arab,
sedangkan tafsir ibnu Abbas merupakan tafsir tekstual pada masa
itu bermuatan hukum ideal dan tidak realistis, sehingga
membentuk hukum yang tidak bermuatan keadilan lokal dan
temporal pada masanya, yang berakibat tereliminasi karena tidak
populer ditengah masyarakat Arab saat itu. Namun demikian tafsir
Ibnu Abbas mendekati hukum ideal sehingga relevan untuk
diterapkan pada masa kini.
3. Perkembangan hukum waris di Indonesia.
Reaktualilasi hukum waris Islam yang dilontarkan oleh
Hazairin dan Munawir Sadzali baru diterima dan diterapkan oleh
para hakim Pengadilan Agama setelah hukum waris, perkawinan,
dan wakaf dikodifikasikan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam
(KHI). KHI khususnya mengenai bab kewarisan merupakan hukum
yang realistis, karena banyak menyerap hukum adat yang berlaku
di Indonesia sehingga bermuatan rasa keadilan masyarakat.

65
Bab II

Pokok-pokok hukum waris KHI: Pertama, mengedepankan sistem


keluarga inti dimana keluarga menyamping tidak dapat mewaris
selama masih ada anak pewaris; ke dua, mendudukkan wanita
setara dengan laki-laki, sehingga KHI tidak mengenal lembaga
dzawil arham; dan ke tiga, menghormati anak angkat menjadi
bagian keluarga yang harus mendapat wasiat wajibah walaupun
bukan sebagai ahli waris. Namun demikian KHI masih menyisakan
bias gender dalam pasal-pasal mengenai porsi anak perempuan
dan saudara perempuan, istri dimana mereka hanya mendapat
(satu perdua) dari anak laki-laki, saudara laki-laki dan suami.
Penerapan Hukum kewarisan KHI dalam praktek peradilan
Agama, masih menyisakan multitafsir, sebagian hakim peradilan
Agama masih memaknai rumusan kewarisan KHI dengan sistem
waris mazhab empat, sebagian lainnya memaknai dengan teori
waris bilateral Hazairin. Mahkamah Agung sebagai pengadilan
negara tertinggi melakukan pembinaan hukum lewat
yurisprudensi. Dalam bidang hukum waris Islam, Mahkamah
Agung sudah banyak melakukan perubahan-perubahan kearah
hukum waris bilateral yang dilandasi filosofi keadilan, kesetaraan
gender, dan pluralisme. Yurisprudensi Mahkamah Agung lebih
progresif dibanding KHI, karena putusannya mengenai kewarisan
bukan saja melihat dari sisi kesetaraan gender bahkan juga melihat
sisi pluralisme yang tidak dimiliki KHI.
Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang progresif
antara lain:
1. Mengedepankan keluarga inti dengan menetapkan keluarga
horizontal dan diagonal terhijab oleh anak perempuan.
2. Mengedepankan kesetaraan gender dengan menghapuskan
lembaga dzawil arham melalui ahli waris pengganti.

66
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Menyerap rasa keadilan masyarakat dengan menetapkan anak


angkat wajib menerima wasiat wajibah.
4. Menghargai pluralisme, dengan mewajibkan keluarga
hubungan darah atau perkawinan yang beragama selain Islam
untuk mendapat wasiat wajibah.
Persoalannya, apakah yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits sebagai
sumber utama hukum Islam. Untuk mengukur Yurisprudensi
Mahkamah Agung tersebut apakah bertententangan degan Al-
Quran atau Hadits dapat dilakukan analisa dengan pendekatan
teori hukum ideal dan hukum realistis diatas. Dalam hal ini
Mahkamah Agung cenderung melakukan tafsir ulang terhadap
ayat Al-Quran yang bermuatan hukum ideal dengan
mensinergikan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Pendekatan lainnya penciptaan kaidah ushul:


Norma hukum dipahami dari kondisi umum masyarakat
yang melatar belakangi turunnya nash bukan dipahami dari sisi
teks dan kasus parsial yang melatar belakangi turunnya nash)
disamping kaidah ushul yang baku yakni:

Norma hukum dipahami dari teks nash bukan dari
peristiwa parsial yang melatar belakangi turunnya nash) dan
kaidah:

Norma hukum dipahami dari latar belakang partial yang
mempengaruhi turunnya nash bukan dipahami dari teks nash).

67
Bab II

Kaidah pertama dalam hukum modern dinamakan penafsiran


hermeneutik , kaidah ke dua dikenal dengan penafsiran gramatik,
dan kaidah ketiga dikenal dengan penafsiran historis.
Hukum waris Islam realistis
Pembangunan hukum waris Islam Indonesia kedepan
diharapkan dapat merespons rasa keadilan masyarakat. Akan
tetapi perumusan hukum waris Islam yang berbasis kesadaran
hukum masyarakat Indonesia yang majemuk tidak mudah
diwujudkan. BPHN sebagai pusat pembinaan dan pengembangan
hukum nasional sudah beberapa dasawarsa berupaya melakukan
pembaharuan hukum nasional, khususnya dibidang hukum waris
sampai saat ini belum terwujud. Kesulitan tersebut karena sangat
beragamnya hukum adat yang memiliki rasa keadilan lokal.
Demikian halnya pembangunan hukum Islam yang berwawasan
ke Indonesiaan akan mengalami hal yang sama. Namun demikian
pembangunan hukum Islam ini dapat dilakukan dengan dua
pendekatan, pendekatan melalui hukum abstrak dan hukum
konkrit. Pendekatan hukum abstrak melalui legislasi yang
dirumuskan dengan merespon nilai-nilai ideal. Nilai-nilai ideal ini
dapat digali dari Konvensi HAM. Sedangkan pendekatan hukum
konkrit melalui putusan pengadilan yang lebih merespon rasa
keadilan lokal. Oleh karenanya dalam merumuskan hukum abstrak
harus memberikan ruang bagi hakim untuk memutus kasus sesuai
dengan rasa keadilan lokal.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kajian hukum
waris Islam tidak terikat dengan fikih normatif melainkan
diperlukan telaah teks Al-Quran dan Hadits jauh kebelakang yakni
pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi Muhammad,
karena pada masa itu banyak hasil pemikiran sahabat yang sangat
relevan untuk diterapkan pada masa kini, walaupun pemikiran

68
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

tersebut pada masa lampau merupakan pendapat minoritas yang


tereliminasi yang dalam konteks fikih biasa disebut qila bukan
kategori qalu.
Sebagai gambaran beberapa contoh dibawah ini
merupakan pendekatan-pendekatan telaah historis terhadap
hukum kewarisan Islam.
1. Al-Quran surah Al-nisa IV:176 mengenai waris kalalah, sebagian
besar sahabat Nabi Muhammad bependapat waris kalalah
adalah jika pewaris tidak meninggalkan anak dan bapak karena
ayat tersebut dilatar belakangi peristiwa sahabat Nabi
Muhammad yang bernama Jabir bin Abdullah bin Amr ketika
sakit keras, bertanya kepada Nabi Muhammad tentang
pembagian harta kekayaannya sedangkan ia tidak mempunyai
keturunan dan ayahnya sudah meninggal dunia, maka saat itu
turun al-Quran surah Al-nisa IV:176. Sedangkan kelompok kecil
sahabat yakni Ibnu Abbas dan Umar bi Khattab berpendapat
bahwa kalalah adalah dimana orang yang meninggal dunia
tidak meninggalkan anak maka ahli warisnya saudara, mungkin
bersama ayah jika ayah masih ada atau hanya saudara jika ayah
sudah tidak ada. Pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khatthab,
pada saat itu, merupakan wacana yang asing bagi sahabat Nabi
Muhammad lainnya, sehingga dianggap pendapat yang lemah
dan tidak diikuti kebanyakan sahabat Nabi Muhammad saat itu
sehingga tidak berkembang dalam mazhab fiqih populer.
Untuk saat ini, pendapat itu lebih tepat diterapkan karena lebih
sesuai dengan hukum adat yang pada umumnya berlaku di
Indonesia maupun KUH Perdata dimana saudara dapat mewaris
bersama ayah.20

20
Lihat Pasal 854 dan 855 KUHPerdata, Ichtiar Baru, 2006, vol.1, h. 571-570;
Wirjono Prodjodikoro, Usaha Memperbaiki Hukum Warisan di Indonesia, dalam Wirjono

69
Bab II

2. Al-Quran surah al-Ahzab 33:4 melarang anak angkat


diposisikan sebagai anak kandung sendiri. Ayat Al-Quran
tersebut bukan berarti Islam melarang seorang muslim untuk
mengangkat anak, melainkan melarang mengangkat anak yang
berakibat memutuskan kekerabatan anak tersebut dengan
orang tua aslinya dan memposisikan anak tersebut sepenuhnya
secara hukum sama dengan anak sendiri, akibat hukumnya
anak tersebut tidak boleh menikah dengan anak asli bapak
angkatnya. Nabi Muhammad sendiri mengangkat Zaid sebagai
anak angkat tanpa mendudukkan sebagai anak kandung, akan
tetapi pengangkatan anak tersebut murni untuk kepentingan
kehidupan Zaid.
Anak angkat, dalam hukum Islam, tidak termasuk ahli waris
namun berhak mendapat bagian dari harta warisan ayah
angkatnya berdasarkan Al-Quran Surah al-Baqarah II:180.
Sebagian ulama ahli di bidang tafsir berpendapat pengertian
kaum kerabat dalam ayat tersebut tidak terbatas bagi orang
yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, sehingga
wasiat dapat dilakukan untuk kepentingan orang lain yang
memiliki hubungan khusus dengan pewaris atau orang-orang
papa yang membutuhkan bantuan dapat menerima wasiat.21
Dalam Al-Quran surah al-nisa IV:11,12, 176 hutang pewaris
kepada pihak debitur dan wasiat harus dilaksanakan lebih
dahulu sebelum pembagian harta warisan, hal ini menunjukkan
bahwa kedudukan lembaga wasiat sangat diutamakan dan

Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1974, h.95; Lihat pula
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung, 1988,
h.186-189; Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1989, h.98-
100
21
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam
al-Quran, Kairo, Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1967, Juz 2, h.264; Muhammad Rasyid Ridha,
Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Marifah, tth., vol.2, h.137.

70
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dilindungi keberadaannya untuk dilaksanakan disamping hak


ahli waris.22 KHI.Ps.209 mengatur tentang wasiat wajibah, yaitu
wasiat yang ditetapkan oleh hakim jika seorang meninggal
dunia dan meninggalkan anak angkat yang tidak diberi wasiat.
Pasal ini diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam berbagai
putusannya yang sudah menjadi Yurisprudensi.23 Berbeda
dengan hukum adat, Mahkamah Agung dan KHI tidak
memposisikan anak angkat sebagai ahli waris, sebagaimana
sebagian hukum adat yang berlaku di Indonesia, akan tetapi
anak angkat diberi porsi maksimal 1/3 harta warisan sebagai
wasiat wajibah dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
memiliki hubungan darah dengan pewaris.24
3. Hukum waris Islam konvensional menetapkan perbedaan
agama pewaris dengan kerabat yang memiliki hubungan darah
sebagai faktor penghalang untuk mewaris. Ketentuan ini tidak
diatur dalam Al-Quran melainkan dalam Hadits Nabi
Muhammad yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid. Bunyi
haditsnya ada dua macam:

Pertama,

22
Lihat al-Quran surah al-Nisa 4:11 dan 12; Lihat pula Abu Abdillah Muhammad
bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam al-Quran, Kairo, Dar al-Kutub al-
Arabiyyah, 1967, Juz 5, h.73-74; Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-
Marifah, tth., vol.4, h.421.
23
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 214 K/AG/1997 tanggal 31-8-1999;
Nomor 121 K/AG/2003 tanggal 27-9-2006; Nomor 370 K/AG/2000 tanggal 14-6-2006; Nomor
368 K/AG/1999 tanggal 17-4-2002.
24
Contoh, jika Pewaris meninggalkan satu orang anak kandung dan seorang atau
dua orang anak angkat maka anak kandung mendapat 2/3, satu/dua orang anak angkat 1/3.
Jika Pewaris meninggalkan tiga orang anak kandung dan satu/dua orang anak angkat maka
tiga orang anak kandung mendapat satu orang/dua orang anak angkat mendapat .

71
Bab II

Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang


beragama selain Islam dan orang yang beragama selain Islam
tidak boleh mewaris harta warisan pewaris muslim).25

Kedua, hadits berbunyi:


Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris
yang beragama selain Islam tanpa kalimat sebaliknya).26
Dilihat dari segi sanad (rangkaian orang yang meriwayatkan
hadits dari Nabi Muhammad kepada sahabat berlanjut kepada
generasi berikutnya sampai kepada ulama yang membukukan
hadits) hadits tersebut shahih (memenuhi standar untuk
dijadikan sumber hukum) akan tetapi dari segi matan
(substansinya) hadits tersebut diragukan ke-shahihan-nya.
Pertama, karena matan hadits tersebut khususnya bentuk yang
kedua menurut satu riwayat dalam Shahih Bukhari dan Sunan
Ibnu Majah adalah pendapat Umar bin Khatthab bukan
pendapat Nabi Muhammad sendiri.27 Kedua, daya mengikatnya
hadits tersebut diragukan karena Nabi Muhammad, menurut
riwayat Muadz bin Jabal, pernah memutus kasus sengketa harta
warisan dari pewaris bukan muslim dimana ahli warisnya terdiri
dari orang muslim dan orang yang memeluk agama selain
Islam, harta warisan dibagikan kepada keluarga yang beragama
selain Islam dan kepada keluarga yang beragama Islam.

25
Lihat Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.777; Tirmidzi, Sunan
Tirmidzi, Riyad, Maktabah al-Maarif, 1993, h.475; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar
Ihya al-Turats al-Arabi, 2000, h.464; Abu daud, Sunan Abu Daud, beirut, Dar al-Arqam, 1999,
h.677; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Libanon, Bait al-Afkar, 2004, h.1033; Imam Hakim,
Al-Mustadrak Ala Shahihain, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, 2002, h.1523;
26
Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut, Dar al-Maarif, 2004, h.1588; Imam Malik,
Muwattha, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, h.328.
27
Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:438; Ibnu majah, Sunan Ibnu majah,
2000:464.

72
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Keputusan Nabi Muhammad tersebut diikuti oleh Muadz bin


Jabal dan Yahya bin Yamar.28 Jika Hadits tersebut mengikat
tidak mungkin Nabi Muhammad memutus kasus yang
bertentangan dengan ketetapannya sendiri dimana orang
Muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang
beragama selain Islam. Berbeda dengan Nabi Muhammad dan
Muadz bin jabal, Umar bin Khatthab berpegang teguh pada
prinsip dimana orang Muslim tidak boleh mewaris harta
warisan pewaris kafir, Beliau dalam kapasitas sebagai qadhi
(hakim) pernah menolak tuntutan seorang muslim terhadap
harta warisan pewaris yang kafir dan harta warisan diberikan
kepada ahli waris yang kafir.29
KHI, Pasal 171 huruf (b) dan (c), mengatur tentang syarat
pewaris dan ahli waris harus beragama Islam, dengan demikian
beda agama merupakan penghalang bagi seseorang untuk
mewaris. Dalam hal wasiat, Pasal 171 huruf (f) KHI
menyebutkan: wasiat adalah pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia.
Pasal tersebut tidak mensyaratkan penerima wasiat harus orang
yang beragama Islam, sehingga sah-sah saja orang yang tidak
beragama Islam menerima wasiat dari seorang yang beragama
Islam. Akan tetapi pasal-pasal lainnya tentang wasiat tidak pula
terdapat pasal yang mengatur kewajiban seorang untuk
berwasiat kepada keturunannya atau kerabat yang mempunyai
hubungan darah yang tidak beragama Islam. Mahkamah
Agung dalam beberapa putusannya menetapkan anak pewaris
yang tidak beragama Islam mendapat wasiat wajibah (wasiat
28
Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud, 1999:677 dan 678; Imam Hakim, al-
Mustadrak Ala Shahihain, 2002:1523.
29
Imam Malik, Al-Muwattha, 2003:328.

73
Bab II

yang ditetapkan oleh pengadilan) maksimal 1/3 bagian dari


harta warisan, sebagaimana wasiat wajibah untuk anak angkat
ketika ayah angkat pada saat hidupnya tidak memberikaan
wasiat untuk anak angkatnya. Atas dasar lemahnya kedudukan
Hadits tentang beda agama sebagai penghalang untuk
mewaris, dan teori ushul fiqih ke tiga di atas bahwa Hadits tidak
dapat diberlakukan secara umum akan tetapi merupakan
hukum yang mengikat kasus tertentu.


Maka putusan Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah
kepada anak atau kerabat pewaris yang menganut agama
selain Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam.
4. Mahkamah Agung, dalam Yurisprudensinya, berpendapat anak
perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris
ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris
setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya)
tidak mendapat warisan.30
Hukum waris Islam konvensional menetapkan jika pewaris
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris satu orang anak
perempuan dan saudara laki-laki atau paman dari pihak ayah,
anak wanita hanya mendapat bagian sisanya diberikan
kepada saudara atau paman sebagai ashabah. Jika anak wanita
tersebut dua orang atau lebih mereka mendapat 2/3 berbagi
sama, sisanya 1/3 bagian untuk saudara atau paman sebagai
ashabah.31 Ketentuan tersebut merupakan pemahaman para

30
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;
Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.
31
Al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikri, 1977, vol.3, h.437.

74
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sahabat Nabi Muhammad atas Hadits yang diriwayatkan oleh


Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi:


Bagikan harta warisan kepada ahli waris yang sudah ditentukan
bagiannya sisanya diserahkan kepada laki-laki yang
kekerabatannya lebih utama dengan pewaris).32
Kedudukan ahli waris saudara tercantum dalam Al-Quran surah
al-Nisa 11, 12, dan 176. Dalam Al-Quran surah al-Nisa 11
dikatakan jika pewaris meninggalkan saudara berbilang maka
ibu pewaris hanya mendapat 1/6 bagian, dalam ayat ini ahli
waris saudara dalam keadaan tidak bergabung dengan ahli
waris anak.
Sedangkan dalam Al-Quran surah al-Nisa 12 dan 176 isinya, jika
pewaris tidak meninggalkan (walad terj.Ind. nya anak) maka
saudara mewarisi harta warisan pewaris. Kata (walad) dalam
literatur Arab meliputi anak perempuan dan anak laki-laki. Oleh
karena itu berdasarkan teks ayat 12 dan 176 saudara pewaris
hanya dapat mewaris jika pewaris tidak meninggalkan anak
baik laki-laki maupun perempuan.
Pemahaman ini dikembangkan oleh Abdullah Ibnu Abbas
seorang sahabat Nabi Muhammad, sedangkan sahabat Nabi
Muhammad lainnya yaitu Muadz bin Jabal berpendapat kata
(walad) tersebut maksudnya anak laki-laki sehingga jika pewaris
hanya meninggalkan anak perempuan maka saudara
memperoleh sisa bagian harta warisan setelah diambil bagian

32
Lihat Bukhari, Shahih Bukari, 2004:1644; Muslim, Shahih Muslim, 1999:777;
Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:473; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, 2000:466; Abu Daud,
Sunan Abu Daud, 199:675; Hakim, Al-Mustadrak Ala Shahihain, 2002:1518; Ibnu Hibban,
Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033.

75
Bab II

anak perempuan.33 Pendapat Abdullah Ibnu Abbas merupakan


pendapat kelompok kecil sahabat Nabi Muhammad sehingga
tidak berkembang, sedangkan pendapat Muadz bin Jabal
diikuti kelompok besar sahabat sehingga dijadikan rujukan oleh
kalangan fuqaha.
Untuk masyarakat Indonesia, yang pada umumnya tidak
membedakan anak perempuan dan laki-laki, penerapan
pendapat Abdullah Ibnu Abbas lebih memenuhi rasa keadilan
masyarakat daripada pendapat Muadz bin Jabal. Oleh
karenanya putusan Yurisprudensi yang menetapkan anak
perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris
ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris
setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya)
tidak mendapat warisan34 sangat memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut
menerapkan kaidah ushul fikih:


Dalam memahami al-Quran surah al-Niasa IV:176 dan
menerapkan kaidah ushul fikih :


Dalam memahami hadits Abdullah Ibnu Abbas.

33
Imam Hakim, al-Mustadrak ala Shahihain, 2002:1517-1518; Ibnu Hibban,
Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:472;
34
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;
Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.

76
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

5. Fiqih madzhab empat menganut lembaga dzawil arham.


Lembaga dzawil aarham tersebut dipahami dari Hadits yang
diriwayatkan Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi:


Pembagian harta warisan lebih dahulu diberikan kepada ahli
waris yang sudah ditentukan bagiannya, sisanya bagikan
kepada laki-laki yang lebih utama hubungan kerabatnya
dengan pewaris, yakni ashabah). Pemahaman Hadits tersebut
menimbulkan waris ashabah binafsih bagi laki-laki, karena
kultur masyarakat Arab sebagaimana dijelaskan sebelumnya
adalah masyarakat patrilineal yang mengutamakan laki-laki
karena fungsi dalam rumah tangga dan diluar rumah tangga
sangat besar dibanding dengan wanita. Tafsir hadits tersebut
realistik dan adil pada masyarakat Arab pada saat itu, tetapi
belum tentu relevan bagi masyarakat Indonesia masa kini.
Hukum adat masyarakat Indonesia lebih mengutamakan cucu
perempuan dari anak laki-laki dibandingkan saudara laki-laki.
Oleh karena itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung menghapus
lembaga dzawil arham melalui pemahaman ahli waris
pengganti yang di atur dalam pasal 185 KHI. Mahkamah Agung
memperluas makna ahli waris pengganti dalam pasal tersebut
bukan hanya terbatas pada keturunan anak, sehingga secara
tidak langsung Mahkamah Agung telah menghapuskan
lembaga dzawil arham.35 Kasus-kasus ahli waris pengganti
yang masuk ke Mahkamah Agung terbatas hanya kasus-kasus
keturunan dari anak dan keturunan dari saudara akan tetapi

35
Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 14 K/AG/1995; Nomor 243 K/AG/2005;
Nomor 245 K/AG/2005; Nomor 242 K/AG/2006; Nomor 467 K/AG/2007

77
Bab II

perluasan pengertian ahli waris pengganti dirumuskan oleh


Mahkamah Agung dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi
dan Teknis Peradilan Agama dimana ahli waris pengganti
meliputi keturunan paman, keturunan kakek, keturunan nenek
baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.36
Di Indonesia, lembaga ahli waris pengganti dalam hukum waris
Islam pertama kali dimunculkan oleh Hazairin dengan
memahami Al-Quran surah al-nisa 4:33.37 Di Mesir tidak dikenal
ahli waris pengganti akan tetapi keturunan derajat pertama dari
anak yang lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris
memperoleh wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian atau sama
dengan bagian orang tuanya yang telah meninggal dunia lebih
dahulu.38
Mesir menghapus dzawil arham hanya sebatas cucu
perempuan dari anak perempuan, demikian halnya aliran syiah
di Iran mengenal lembaga ahli waris pengganti dari anak yang
lebih dahulu meninggal dunia, akan tetapi terdapat sedikit
perbedaan dengan Mesir. Ahli waris pengganti dalam mazhab
Syiah bukan mendapat wasiat wajibah melainkan sebagai ahli
waris mendapat bagian orang tuanya yang lebih dahulu
meninggal dunia.
Dengan tanpa perlu melalui lembaga ahli waris pengganti, Al-
Quran sebetulnya tidak mengenal dzawil arham yang tidak
sejalan dengan arus kesetaraan gender. Al-Quran surah al-Nisa
IV:7 sangat jelas merupakan ayat yang sangat mendasar

36
Lihat Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama, Mahkamah
Agung RI, 2008, h.173.
37
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Quran Dan Hadith, 1981:27.
38
Muhammad Abu Zahra, Fatawa, Damsyiq, Dar al-Qalam, 2006, h.641.

78
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dimana Al-Quran memperkenalkan sistem hukum kewarisan


bilateral, akan tetapi oleh karena yang memahami Al-Quran
surah al-Nisa IV:7 adalah para sahabat Nabi Muhammad yang
pola berpikirnya sudah dipengaruhi oleh budaya Arab yang
patrilineal sehingga mereka menghasilkan tafsir Al-Quran yang
bernuansa patrilineal. Substansi Al-Quran surah al-Nisa 4:7
mengandung empat kaidah hukum pokok:

Pertama,
Anak laki-laki dapat mewaris dari kedua orang tuanya,
pengertian sebaliknya kedua orang tuanya dapat mewaris dari
anaknya);

Ke dua,
Keluarga laki-laki dapat mewaris dari kerabatnya);

Ke tiga;
Anak wanita dapat mewaris dari kedua orang tuanya,
pengertian sebaliknya kedua orang tua dapat mewaris dari
anak perempuannya);

Ke empat,
Kerabat wanita dapat mewaris dari kerabatnya).
Kaidah hukum pokok pertama menurunkan empat kaidah
hukum cabang: 1. Anak laki-laki mewaris dari ayahnya; 2. Anak
laki-laki dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat mewaris dari
anak laki-lakinya; 4. Ibu dapat mewaris dari anak laki-lakinya.
Kaidah hukum pokok ke dua menurunkan kaidah hukum
cabang: 1.Cucu laki-laki (baik dari anak laki maupun dari anak

79
Bab II

perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya (baik dari


pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Kakek (baik dari pihak ibu
maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari cucunya (baik
cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki); 3. Saudara laki-
laki (baik sekandung, seayah maupun seibu) dapat mewaris dari
saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah
maupun seibu); 6. Paman (dari pihak ayah maupun dari pihak
ibu) dapat mewaris dari keponakannya; 7. Keponakan laki-laki
dapat mewaris dari paman dan bibinya; 8. Saudara sepupu
laki-laki dapat mewaris dari saudara sepupu laki-laki dan
saudara sepupu perempuan;
Dalam kaidah hukum ketiga menurunkan empat kaidah hukum
cabang: 1. Anak perempuan dapat mewaris dari ayahnya; 2.
Anak perempuan dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat
mewaris dari anak perempuannya; 4. Ibu dapat mewaris dari
anak perempuannya.
Kaidah hukum pokok ke empat menurunkan kaidah hukum
cabang: 1. Cucu perempuan (baik dari anak laki-laki maupun
dari anak perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya
(baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Nenek (baik
dari pihak ibu maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari
cucunya (baik cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki);
3. Saudara perempuan (baik sekandung, seayah maupun seibu)
dapat mewaris dari saudara laki-laki atau perempuan (baik
sekandung, seayah maupun seibu); 6. Bibi (baik dari pihak ayah
maupun dari pihak ibu) dapat mewaris dari keponakannya;
7. Keponakan perempuan dapat mewaris dari paman dan
bibinya; 8. Saudara sepupu perempuan dapat mewaris dari
saudara sepupu laki-laki dan saudara sepupu perempuan;

80
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Al-Quran surah al-nisa IV:7 ini harus dipahami berlaku


umum sesuai kaidah ushul fiqih

Kandungan hukum ayat tersebut harus dipahami dari susunan
kalimatnya bukan dilihat dari latar belakang peristiwa hukum itu
muncul karena kaidah hukum tersebut kaidah hukum ideal.
Sedangkan hadits-hadits Nabi Muhammad yang tidak sejalan
dengan substansi yang terkandung dalam Al-Quran surah al-Nisa
IV:7 harus dipahami sebagai hukum realistik yang berlaku lokal
dan temporal sesuai kaidah ushul fiqh:

Kandungan hukum dalam putusan Nabi Muhammad harus
dipahami sesuai latar belakang yang partial yang mempengaruhi
terbentuknya putusan bukan dipahami dari rangkaian rumusan
kalimatnya, sehingga tidak berlaku umum). Dari uraian tersebut
Mahkamah Agung bukan saja sudah membuat terobosan
menghapus lembaga dzawil arham yang tidak berpihak pada arus
kesetaraan gender bahkan terobosan tersebut tidak bertentangan
dengan substansi hukum Islam.
Penutup
Bagaimanapun juga ditengah hiruk pikuknya suara negatif
terhadap Mahkamah Agung, sebagai lembaga peradilan tertinggi
Mahkamah Agung telah berbuat banyak dalam melakukan
pembaruan hukum khususnya dibidang waris Islam yang selama
ini sulit untuk dilakukan oleh lembaga Legislatif dalam rangka
pembaruan hukum nasional karena menyangkut sensitif
keagamaan dan kesukuan. Akan tetapi Mahkamah Agung mampu
meretas sensitifitas keagamaan dan kesukuan tanpa hambatan
dan diterima secara diam-diam oleh masyarakat tanpa gejolak.

81
Bab II

Sulit dibayangkan kalau upaya pembaharuan dibidang hukum


waris Islam dilakukan lewat legislasi badan Legislatif, kemungkinan
bisa terulang bagaimana terjadinya konflik horizontal masyarakat
seperti pada saat pembahasan RUU perkawinan di awal tahun
tujuh puluhan. Upaya Mahkamah Agung tersebut patut mendapat
support dalam rangka pembangunan hukum nasional yang
modern yang mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan
pluralisme yang semuanya merupakan substansi ajaran Islam
sebagai hukum ideal.

82
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB III
HUKUM KEWARISAN ISLAM
KONTEMPORER DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF
FIQH, KOMPILASI HUKUM
ISLAM, DAN PRAKTIK DI
PENGADILAN AGAMA SERTA
MASYARAKAT

83
Bab III

84
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM


Jaih Mubarok

Latar Belakang
Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya
mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik
menjalankan/ mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara
umum bersifat penyimpul (mirip dengan makna kaidah) dari
rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-
prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak
diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam
kerangka menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah
dijelaskan oleh pakarnya, serta tawaran yang mudah-mudahan
layak untuk dipertimbangkan oleh para penyusun naskah
akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.
Teori-Teori Pilihan Hukum
Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum;
yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1)
pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-aqlu, revelation
and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq
wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas
keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan

*) Dosen UIN Sunan Gunung Djati

antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism and


realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and morality);
dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan (stability and
change).

85
Bab III

Sedangkan Muhammad Imarah menjelaskan empat


pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara
kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktiml al-dn wa
tajdduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-
ijtihd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dn
wa al-dawlah); dan 4) pilihan antara musyawarah dan syariah (al-
syr al-basyariyyah wa al-syarah al-ilhiyyah).39
Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam
memiliki dua sisi. Di satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum
Islam adalah divine law (hukum yang diwahyukan Allah);
sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa hukum
Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of
jurists).40 Dua sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif
ketegangan) dan saling melengkapi (dalam perspektif harmoni).
Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat
terminologi dalam Hukum Islam yang menjadi pasangan untuk
melihat kesatuan dan keragaman. Al-ittifq digunakan untuk
menggambarkan proses ijtihad yang menghasilkan pendapat
yang sama (seragam); terminologi lain yang lebih popular adalah
ijm; dan terminologi al-ikhtilf digunakan untuk memperlihatkan
pendapat yang ragam.
Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme;
pembahasan mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan
Allah dan kitab suci layak untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al-
Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H.) dalam kitab Syarh
Tanqh al-Fushl f Ikhtishr al-Mahshl f al-Ushl, menjelaskan
tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh, al-

39
Muhammad Imarah, Maalim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).
40
Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago &
London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.

86
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

istiml, dan al-haml.41 Terminologi al-ijtihd (Mujtahid), al-ittib


(Muttabi), dan al-taqld (Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini.
Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran
dalam ilmu filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2)
kebenaran real (nyata, apa adanya). Metode untuk mencapai
kebenaran ideal adalah rasio (al-aql) dan metode untuk mencapai
kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho Mudzhar
secara implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk
domain pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa,
qanun, dan qadha merupakan domain realisme.
Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara
filosof membagi etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive
ethic), yaitu penyeledikan tingkah-laku manusia secara individu
atau pribadi-pribadi (personal morality), kelompok (social
morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan dan
perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic),
penyelidikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi
(personal morality) dan kelompok (social morality) yang
penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsip-prinsip yang harus
dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah penyelidikan
yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia;
sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah
membandingkan antara nilai yang dianut dengan perilaku para
penagnutnya; dan 3) etika kritis (metaethics), yaitu penyelidikan
yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah yang digunakan
dalam etika.42 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara
HUKUM dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai

41
Syihab al-Din Abu al-Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqh al-Fushl f Ikhtishr
al-Mahshl f al-Ushl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20.
42
Ibid., hlm. 141-142.

87
Bab III

benar secara HUKUM, tapi tidak/kurang relevan dengan moral


yang dianut suatu masyarakat yang bersangkutan.
Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme;
pilihan antara tradisionalisme (stability) dan modernisme (change;
modify) adalah pilihan yang sejak abad IV H. hingga sekarang terus
berlanjut. Istilah Kaum Muda dan Kaum Tua43 di Indonesia
merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara statis dan
dinamis.44
Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan
pembaharuan (iktiml al-dn wa tajdduhu). Kesempurnaan agama
Islam terletak pada nilai universal yang dikandungnya. Di samping
itu, kesempurnaan agama juga terletak pada kandungannya yang
mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan
intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan
agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya
(termasuk aturan-aturan teknis); akan tetapi, kesempurnaannya
terletak pada nilai universal yang dikandungnya dan peluang
mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah agama. Dengan
kerangka yang demikian, wajarlah bila Imarah menegaskan bahwa
salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara
kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya
sepadan dengan pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan
antara musyawarah dan syariah.
Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum
Negara; Salah satu topik penting dalam hal terjadi ikhtilaf antara
gagasan fukaha dalam kitab fikih dengan peraturan perundang-
undangan di sebuah Negara, adalah pilihan dalam taat hukum:
43
Tradisionalisme biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme
disebut aliran rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.
44
Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX
(Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61.

88
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara


ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh
ulama yang otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan
peraturan perundang-undangan, terdapat kaidah yang
menyatakan bahwa suatu perbuatan HUKUM dinilai sah secara
agama (shahha dn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara (wa
l yashihhu qadh[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa
ketaatan masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda
dan kaidah yang menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang
dibuat oleh pemimpin dapat menyelesaikan perbedaan pendapat
(hukm al-hkim yarfau al-khilf) belum sepenuhnya bisa diterima
oleh masyarakat Muslim di berbagai negara.
Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat
Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan hukum
Barat guna menjadi hukum nasional diperkaya dengan teori-teori
aplikasi hukum yang saling mendukung atau saling bertentangan.
Di antara nya adalah:
Pertama, teori Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb
mengemukakan bahwa umat Islam yang telah menerima Islam
sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum Islam atas
dirinya;45 umat Islam yang telah menyatakan diri memeluk agama
Islam berarti telah siap menjalankan ajaran Islam, termasuk
hukum-hukum yang dikandungnya.
Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang
dikemukakan oleh Gibb mendapat dukungan dari Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in
complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku penuh

45
H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia
dalam Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.

89
Bab III

hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun


dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.46
Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan
terhadap teori Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in
Complexu dari van den Berg. Adalah Christian Snouck Hurgronye
(1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter Haar. Menurut teori ini,
bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum
Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh
masyarakat sebagai hukum adat.47
Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini,
teori resepsi telah patah dan keluar dari Indonesia sejak
diberlakukannya UUD 45;48 karena UUD 45 dan Pancasila
memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum agama
(termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat
bahwa teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck
Hurgronye dan didukung oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar,
adalah teori Iblis.
Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib;
dalam teori ini ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku
adalah hukum Islam; hukum adat baru berlaku apabila tidak
bertentangan dengan hukum Islam.49 Teori resepsi a contrario
yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi
orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan
keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c)

46
Ibid., h. 120.
47
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar.
1959), hlm. 46.
48
Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.
49
Ibid., h. 132.

90
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak bertentangan


dengan hukum Islam.50
Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini, hukum
dapat tegak di masyarakat bergantung pada tiga hal: 1) materi
hukum, 2) penegak hukum, dan 3) kesadaran hukum masyarakat.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah menegaskan bahwa
kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat
dalam diri setiap manusia yang memiliki dua kemungkinan: timbul
dan tenggelam.
Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan
hukum terutama disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang
negatif, 2) pemeliharaan hubungan baik dengan teman-teman dan
pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi, dan/atau 4) cocok
(sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya. Pakar
sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum
terdapat empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman
hukum; 3) penilaian dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan
hukum. Soekanto menyebutkan bahwa kesadaran hukum
sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum
diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara.
Survei Literatur
Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam
telah dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat
normatif-rasional maupun analisis yang cenderung bersifat
sosiologis-aplikatif yang cenderung berakar pada nilai budaya
tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu menjelaskan
mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di
antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan

50
Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori, dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm.
102-114,117,122, dan 130-132.

91
Bab III

pengendalian diri, 2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas


kerukunan dan kekeluargaan, 4) asas musyawarah dan mufakat,
dan 5) asas keadilan.51
Dalam Tesis yang berjudul Hukum Islam Dipandang dari
Perspektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak) yang ditulis oleh Mintarno dalam
rangka menyelesaikan studinya di Program Magister Kenotariatan,
Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan bahwa di
antara asas HUKUM waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas
bilateral, 3) asas individual, dan 4) asas keadilan.52
H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda,
yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul Beberapa Asas
Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan Hukum
Adat. H. Hatpiadi menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan:
Pertama, asas kematian. Asas ini diatur berdasarkan pada
Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan
Hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar
(hakim dan ketua Pengadilan Agama Watampone yang
menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling
utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta seseorang
sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.
Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan.
Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH
Perdata. Asas hubungan darah merupakan salah satu asas yang
esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan, karena faktor
51
Riana Kesuma Ayu, Sistem Hukum Waris Adat, dalam websiteayu.com,
diakses tahun 2011.
52
Mintarno, Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan
Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak), Tesis Magister, Program
Pascasarjana, Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006).

92
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan


kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang
berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.
Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini
didasarkan pada prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh
karena itu, yang berhak menjadi ahli waris hanyalah keluarga yang
lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa
keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup
hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH
Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris
sebagaimana yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam
dan hukum adat. Dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Adat,
anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat
dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek, saudara-
saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa
penentuan kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya anak
lebih utama dari cucu, ayah lebih utama (lebih dekat) kepada anak
dari pada saudara: ayah lebih utama kepada anak dari pada kakek.
Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan Islam
menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya
saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se
ibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung
(dari ayah dan dari ibu), sedangkan saudara sebapak atau saudara
seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung yaitu dari
ayah atau dari ibu. Ketiga sistem Hukum Kewarisan sama-sama
menempatkan anak, suami/istri, dan orang tua (Bapak/ibu) sebagai
ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu anak
sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke
bawah, sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam
derajat keutamaan pertama dalam garis ke atas, melibihi derajat
ahli waris lainnya seperti nenek, paman/bibi dan saudara. Di dalam

93
Bab III

Hukum Kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat tidak demikian


halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi waris dengan
Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan
tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup
(menghijab) ahli waris tertentu.
Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling).
Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang
mengatakan bahwa yang berhak menerima warisan haruslah ahli
waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia
(Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi
ketentuan bahwa keluarga yang derajatnya lebih dekat akan
menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh, padahal
sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua
ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan
secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan
ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu
meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak
menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima
sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia
lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum
kewarisan Islam, menurut sebagian pendapat, seperti pendapat
Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari pakar hukum Islam,
antara lain menurut Mahmud Yunus menyebutkan bahwa
pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda dengan
pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan
Islam mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan
mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly)
didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa (IV) ayat 33, yang
artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan
pewaris-pewarisnya. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti
oleh Sajuti Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini

94
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

menjadi salah satu asas penting dalam Hukum Kewarisan menurut


Kompolasi Hukum Islam sebagaimana yang terdapat
ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris
pengganti tidak boleh melebih dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas individual; asas ini
menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individu-
individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan
kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung
pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan,
sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan
dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya
tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari
ketentuan ini adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan
atau dialihkan kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi
hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan dengan ketentuan pada
Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara memperoleh hak
milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular pula
dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan
adat. Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, Setiap
ahli waris secara individu berhak atas bagian yang didapatnya
tanpa terikat kepada ahli waris lainnya. Akan tetapi dalam hukum
kewarisan adat, selain dikenal sistem pewaris individual, juga
dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun dari ketiga
macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih
umum berlaku dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat
adat parental yang tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia.
Keenam, asas bilateral; yaitu seseorang tidak hanya mewarisi dari
garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris menurut garis ibu,

95
Bab III

demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.


Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-
laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas
bilateral ini menetapkan juga suami istri untuk saling mewaris.
Ketujuh, asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada
ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini
adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan.
Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa BW mengenal tiga
macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat
memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu: 1) menerima
seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan
kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutang-hutangnya;
dan 3) menolak menerima harta warisan. Menurut H. Muhammad
Daud Ali, dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus
ditunaikan.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan dan
ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan dan
ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan
asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris,
namun sifatnya terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang
bersifat aktiva secara otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli
waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang,
kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-hak
yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang
seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari
barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang.
Akan tetapi kalau ada ahli waris yang bersedia membayarkan
utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris, maka itu
tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin
dari akhlak yang baik.53

53
H. Hatpiadi, Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat, dalam www.badilag.net/ diakses tanggal

96
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta,


menulis Azas-Azas Hukum Waris dalam Islam, yang substansinya
menjelaskan bahwa asas-asas hukum waris Islam adalah:
Pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu ketulusan hati,
kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian bahwa
pelaksanaan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati
untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini
kebenarannya.
Kedua, asas ta'abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksana-
an pembagian waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah
kepada Allah SWT; ketiga, asas huquq al-maliyah/hak-hak
kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap
kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan
hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-
hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri,
jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak
dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap Muwaris diatur
dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1) mengurus dan
menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2)
menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban
menagih piutang, 3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4)
membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Keempat, asas hukukun thabiiyah/hak-hak dasar; yaitu
hak-hak dasar ahli waris sebagai manusia; meskipun ahli waris
merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang
sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup
ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang
belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka
dipandang cakap untuk mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1)

13 Pebruari 2011.

97
Bab III

hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3) wala, dan 4) seagama.


Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang
mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan
lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke
samping(saudara). Di samping itu, dalam hukum Islam dikenal
penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1) murtad, 2)
membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi
Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima
warisan, yaitu: 1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada muwaris; 2)
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia
(muwaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah
SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik
pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan
harta yang pasti terjadi setelah Muwaris meninggal dunia, 2)
jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3)
orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah
ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang mempunyai
hubungan darah dan perkawinan.
Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan
laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan; ketujuh, asas
individual/perorangan; yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada
masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam
pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai
tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang
berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

98
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kedelapan, asas keadilan yang berimbang; yaitu harus ada


keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta
warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang
harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya,
mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang
dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam
kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya
sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya. Tanggung jawab
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari
persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anak-anaknya
memerlukan bantuan atau tidak.
Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru muncul
bila Muwaris meninggal dunia. Dengan demikian, kewarisan
semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Peralihan
harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi
setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya
harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui
pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta
itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung
maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya,
tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum
Islam.
Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua
harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian
masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara:
1) menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya
masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta warisan
seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan

99
Bab III

pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan


Radd.54
Asas Kewarisan Islam
Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian
merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses
beralihnya harta mayit sebagai harta warisan (mauruts), di
samping itu, Haptiadi juga memperkenalkan asas hubungan darah
dan hubungan perkawinan, serta asas perderajatan dan asas
pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada dasarnya, asas
kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan perkawinan
menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebab-sebab
mewarisi adalah karena wafatnya muwaris, dan ahli waris yang
menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan
perkawinan (suami-istri).
Tiga asas ini (kematian, hubungan darah, dan hubungan
perkawinan) tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama. Akan
tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan
pengaruh dari Hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam
Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai
di pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam.
Azas Ijbari
Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan
proses intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi
milik ahli waris (terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih
dari dua orang). Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar
yang di antara artinya adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti
terminologinya adalah perpindahan pemilikan harta dari Muwaris

54
H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam, www.badilag.net/
diakses tanggal 13 Pebruari 2011.

100
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada ahli waris karena ketentuan yang terdapat dalam Quran-


sunah. Dengan demikian, dalam proses perpindahan kepemilikan
harta tersebut tidak terdapat unsure paksaan terhadap Muwaris,
bahkan tidak ada larangan secara eksplisit dalam Quran-sunah
bagi ahli waris untuk menolak menerima harta warisan yang
bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang).
Sedangkan apabila ahli waris menerima warisan berupa
utang, maka secara hukum yang bersangkutan berkewajiban
secara agama untuk membayarnya sesuai dengan
kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta yang pasti
terjadi setelah Muwaris meninggal dunia, jumlah harta sudah
ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang yang
akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti,
yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau
perkawinan. Dengan demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan
sebagai asas yang menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti
etimologi ijbari dengan arti terminologinya tidak terlalu relevan.
Asas huququn thabiiyah/hak-hak dasar menilai ahli waris
dari segi kemanusiaannya; meskipun ahli waris merupakan
seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit
menghadapi kematian tetapi masih hidup ketika Muwaris
meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai
walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap
untuk mewarisi.
Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesama
ahli waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai
ahli waris dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab
yang dapat membuat seseorang terhalang untuk menerima harta
warisan (mawani al-irtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh,
dan hamba sahaya. Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang
relatif krusial adalah isu perbedaan agama antara Muwaris dengan

101
Bab III

ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang
terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right
(UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan beragama,
menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama sebagai
penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang dinilai
diskriminatif.
Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan
penjelasan mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat
diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan
mengenai obyek yang dapat dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak
dan kewajiban dalam hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat diwariskan. Di samping
itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum
pembagian maurus, antara lain melunasi hutang-hutang muwaris
kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada
ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.
Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang
mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis
sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga
tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli
waris dengan bagiannya masing-masing, membersihkan/
memurnikan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai
dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga
dikenalkan konsep Aul dan Radd.
Asas Taabudi Versus Asas Taaquli
Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara
wahyu dan akal (al-wahyu wa al-aqlu, revelation and reason) dari
Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan
pembaharuan (iktiml al-dn wa tajdduhu) dari Imarah, dan teori
Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in

102
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas ketuhanan


yang dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks hukum
Adat di Indonesia, dan juga relevan dengan asas
ta'abbudi/penghambaan diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris
secara Islam diyakini sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan
pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat
pada) ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya,
asas ini memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks
Quran, sunah, dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci
yang terdapat dalam Quran-sunnah dipahami, diterima, dan
dijalankan apa adanya; penafsiran terhadap Quran-sunah ditolelir
dalam keadaan khusus atau tertentu.
Asas ilahiyah (taabudi) memberikan ruang yang terbatas
pada ijtihad karena para pembesar dan penganut madzhab/aliran
berpikir ini berpendapat bahwa pemahaman dan pengamalan
ajaran agama yang lebih dekat dengan makna teks secara tekstual
dianggap lebih shahih dan selamat, dari pada memahami dan
menjalankan ajaran agama berdasarkan nalar (tawil) yang jauh
dari makna tekstualnya.
Asas ketuhanan/Ilahiyah dengan asas basyariyah/nalar
harus diadopsi dan dipadankan secara seimbang. Metode yang
paling sederhana, asas ketuhanan diterapkan terhadap obyek
hukum yang sudah ditetapkan ketentuannya dalam Quran-sunah;
sedangkan asas basyariyah/nalar diterapkan terhadap obyek/hal
yang tidak ditentukan oleh Allah dan Rasul dalam Quran-sunah.
Akan tetapi, pandangan ini biasanya dianggap pandangan sempit
karena membatasi porsi ijtihad yang tidak sesuai dengan
semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh al-Jabiri dalam kitab
Bunyan al-Aql al-Arabi, termasuk para pengarusutamaan jender
yang menuntut pembagian sama antara laki-laki dan perempuan

103
Bab III

karena ketentuan waris dalam Quran-sunah dianggap bias jender,


tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-marah. H.
Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas
taabudi diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan
dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris)
selaras dengan asas integrity/ketulusan.
Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Kegunaan-
Musahamah
Pada kesempatan ini diajukan tiga asas yang berkaitan
dengan cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas
Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci
pada bagian berikut.
Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun
2000-an dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam
muamalah, yaitu tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab
mudharabah (bagian dari syirkah) dalam membagi keuntungan
antara shahib al-mal/pemilik dana dengan mudharib/pengelola.
Muhammad Abd al-Munim Abu Zaid menjelaskan bahwa
tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh
asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan
bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang
menyatakan bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan
akad mudharabah tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan
tandhidh terhadap modal usaha mudharabah; yaitu melakukan
tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai tertentu
(tahwiluhu min urudh ila nuqud).55

55
Muhammad Abd al-Munim Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi
al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Mahad al-Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159.
Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausuah
Fatawa al-Muamalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah
(Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.

104
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan


dalam pembagian harta warisan, terutama terhadap
mauruts/tirkah yang ragam dari segi bentuk dan nilai. Misalnya
Tuan Ahmad meninggal dunia dengan harta peninggalan berupa
sebuah bangunan ruko di Mangga Dua Jakarta, satu bangunan
ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10 hektar di
Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan
Avanza, dan tanah seluas 10 hektar di Pamengpeuk Garut. Maka
ahli waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus
menaksir terlebih dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk
rupiah (nuqud), pembagian harta warisan dilakukan setelah
dilakukan penaksiran sehingga sangat mungkin luas tanah atau
bangunan yang diterima oleh ahli waris berbeda-beda tapi relatif
sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan
porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan
derajat yang dimilikinya. Hal itu dilakukan karena harga ruko di
Mangga Dua dan di Jambu Dua berbeda, harga tanah di Jonggol
berbeda dengan harga tanah di pameungpeuk, dan harga mobil
yang diwariskan juga berbeda-beda karena perbedaan merk.
Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktikkan di
masyarakat meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh
ahlinya (misal pihak aprassial); sehingga ada yang memperoleh
harta warisan hanya 200 meter persegi karena terletak di pinggir
jalan utama, sementara saudaranya yang lain menerima harta
warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000 meter persegi
tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga tanah
yang disebabkan oleh letak tanah tersebut.
Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta
warisan merupakan perbuatan HUKUM Islam yang seharusnya
memiliki akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang

105
Bab III

agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang


terutama biasanya terjadi di kemudian hari (sunda: ngagugat).
Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan,
maka mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan
(Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian
warisan yang diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan
dengan sendirinya memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan.
Sedangkan bagi ahli waris yang membagi harta warisan secara
baik-baik (tidak berselisih) kadang-kadang tidak memiliki alat bukti
otentik mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan. Oleh
karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk membentuk institusi
yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai
pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan
terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari.
Ketiga, asas Kegunaan/Musahamah; dalam Kompilasi
Hukum Islam, pasal 189 (1) dijelaskan bahwa harta warisan yang
berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar,
supaya dipertahankan keutuhannya sebagaimana semula, dan
dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang
bersangkutan. Ketentuan ini dalam pandangan Oyo Sunaryo
Mukhlas disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan
kesatuan lahan.56
Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan keahlian
khusus, sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah;
yaitu harta peninggalan tersebut secara operasional tetap
dipelihara dan dikelola secara bisnis guna mendapatkan

56
Oyo Sunaryo Mukhlas, Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.

106
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

keuntungan yang dibagi bersama sesama ahli waris sesuai


kesepakatan.
Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang
lebih sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta
peninggalan dapat dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan
Tarfin meninggalkan harta warisan bertipa rumah makan yang
luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m) di Cikapundung Elektronik
Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang anak laki-laki dan anak
perempuan serta istrinya sebagai ahli waris, maka dengan
bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris diberi hak
untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan tersebut
pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan cara
demikian, keuntungan yang diterima keluarga masih bisa
diperoleh dalam jangka yang lebih lama bila dibandingkan
dengan cara penjualan rumah makan tersebut.
Penutup
Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu
sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatu
hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada
level peraturan perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai
asas hukum memerlukan proses ijma jamai yang sekarang ini
diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam
dengan pihak eksekutif dan legislatif sebuah negara.
Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas
Kegunaan/ Musahamah, merupakan tawaran yang diharapkan
dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-
pihak pemangku yang terlibat, disahkan sebagai asas dalam
pembagian harta warisan. Wallahu alam bi al-shawab.

107
Bab III

Daftar Pustaka
Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausuah Fatawa al-Muamalat
al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Muassasat al-Maliyah al-
Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.
E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Buku Ichtiar.
H. Hatpiadi. 2011. Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum
Adat, dalam www.badilag.net/.
H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,
www.badilag.net/.
Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam
Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mintarno. 2006. Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif
Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak), Tesis Magister, Program Pascasarjana,
Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro.
Muhammad Imarah. 1991. Maalim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar
al-Syuruq.
Muhammad Abd al-Munim Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham
al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Mahad
al-Alami li al-Fikrr al-Islami.
Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic
Jurisprudence. Chicago & London: The University of
Chicago Press.
Riana Kesuma Ayu. 2011. Sistem Hukum Waris Adat, dalam
websiteayu.

108
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Syihab al-Din Abu al-Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqh
al-Fushl f Ikhtishr al-Mahshl f al-Ushl. Kairo: Maktabah
al-Kuliyyah al-Azhariyyah.
Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia:
Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

109
Bab III

110
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA


DAN PEMBAGIAN HARTA WARIS

HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA


Ratu Haika

Latar Belakang
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk
seluruh umat Islam di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak
suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut
memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu.
Hal ini disebabkan karena:
Pertama: meskipun pada dasarnya Islam telah mengatur
dasar hukum kewarisan secara terperinci dalam al Qur'an, jika
terdapat suatu kemungkinan kemuskilan pengertian telah
dijelaskan oleh Nabi. Namun demikian, dalam hal pelaksanaan
praktis terdapat masalah yang secara jelas tidak terdapat
dalam al Qur'an dan belum sempat dijelaskan oleh Nabi,
sehingga hukum menjadi terbuka.
Sebab kedua, ialah bahwa ilmu hukum, termasuk hukum
Islam, dimana hukum waris ada di dalamnya, adalah tergolong
ilmu sosial dan bukan ilmu eksakta. Oleh karena itu, hukum waris
tempat kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat
diantara para ahli hukum itu sendiri, terutama mengenai ayat-
ayat yang memungkinkan adanya penafsiran lebih dari satu.57

57
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut KUH
Perdata Dan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 6

111
Bab III

Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa


perbedaan di kalangan para fuqaha yang pada garis besarnya
terbagi menjadi dua golongan, yaitu: pertama, yang lazim
disebut dengan madzhab Sunni (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i
dan Hambali) yang cenderung patrilineal dan kedua, ajaran
Hazairin yang cenderung Bilateral.
Dalam aturan kewarisan Sunny, ahli waris dibagi menjadi
tiga golongan, yaitu: dzawi al furudh, `ashahah, dan dzawi al
arham. Dalam dinamika hukum Islam di Indonesia selanjutnya,
muncul pemikiran yang agak berbeda dengan pemikiran di
atas, seperti dikemukakan oleh Hazairin. Pembagian ahli waris
menurut Hazairin adalah: dzawi as siham, dzawi al qarabah dan
mawali.58 Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya lahirlah
KHI, setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya
UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah
kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh,
serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA
dalam menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf.
Mengenai KHI ini, Prof Dr. Busthanul Arifin mengatakan
bahwa KHI Bukan hanya sekedar reaktualisasi hukum Islam, tapi
juga sudah mencerminkan reformasi hukum Islam.59 Di samping itu
perlu juga diperhatikan apa yang dikatakan oleh M. Yahya
Harahap bahwa KHI baru merupakan langkah awal. KHI belum
final dan belum sempurna.60 Selain status KHI yang hanya
sebagai inpres, dimana dalam hirarki perundang-undangan di
Indonesia masih dipersoalkan juga substansi hukum kewarisan
dalam KHI masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan
58
Lihat buku-buku beliau: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan
Hadits (a) (Jakarta: Tintamas,1982) ; Hendak Kemana Hukum Islam, (b) (Jakarta:
Tintamas,1976); Hukum keluarga Nasional (c) (Jakarta: Tintamas, l974).
59
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani, 1982) h.76
60
Yahya Harahap, Op. Cit., h.61

112
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

pengembangan seiring dengan berbagai temuan dan


perkembangan baru dalam praktek di Pangadilan pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Karena dalam
buku II KHI ini, banyak hal yang diatur, maka dalam tulisan ini
hanya dibatasi pada masalah rukun dan syarat pewarisan,
kelompok ahli waris dan bagiannya masing-masing.
Kewarisan Islam Perspektif Fiqh
Waris dalam bahasa Arab berasal dari akar kata waratsa,
yaritsu wa miratsan,61 secara bahasa berarti pindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain. Sesuatu itu lebih umum dari harta,
meliputi ilmu, kemulian dan sebagainya. Dalam al Quran ditemukan
beberapa lafadz waratsa yang antara lain diterjemahkan dengan
menggantikan kedudukan (Qs. An Naml: 16), menganugrahkan (Qs.
Az Zumar: 74), menerima warisan (Qs. Maryam: 6) Sedang menurut
istilah, kewarisan adalah pemindahan pemilikan harta dari
penguasaan orang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik berupa uang, barang-barang
kebutuhan hidup atau hak-hak syar 'iyyah.62
Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Pewarisan
Peralihan harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya
dengan nama peawarisan dapat terjadi jika terdapat tiga unsur
pewarisan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
Matinya pewaris
Dalam kewarisan Islam, kematian pewaris menyebab-
kan peralihan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya
dengan sendirinya, dalam artian peralihan berlaku secara ijbari.63

61
M. Ali Ash Shabuni, A1 Mawaris fi syariat al Islamiyyah `ala Dhau'i Kitabi wa as
Sunah, (Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979), h. 30
62
Ibid
63
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan

113
Bab III

Kematian pewaris merupakan faktor utama adanya pewarisan,


karena itu kematian harus diketahui secara jelas dan dapat
dibuktikan secara hukum. Dalam hal ini para Ulama membagi
kematian pewaris menjadi tiga macam, yaitu: mati hakiki, mati
hukmi dan mati takdiri.64
Hidupnya ahli waris saat kematian pewaris
Para ahli waris yang benar-benar hidup di saat kematian
pewaris, berhak mewarisi harta peninggalan. Untuk unsur dan
syarat kedua ini ada beberapa masalah antara lain, waris bagi
orang mafqud dan waris anak dalam kandungan.
Pewaris meninggalkan tirkah
Hal ini jika pewaris tidak meninggalkan tirkah,65 maka
tidak akan terjadi pewarisan. Menurut Ash Shabuni tirkah sama
artinya dengan mauruts, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia, baik berupa uang, atau hak-hak
materi lainnya.66 Dalam pengertian yang cukup populer di
kalangan Jumhur Ulama, tirkah mempunyai arti yang lebih luas
daripada mauruts. Tirkah yaitu apa yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia, yang mencakup harta benda
maupun hak-hak keuangan, termasuk hutang pewaris dan juga
peninggalan yang digunakan untuk biaya, pengurusan mayat
dan pelaksanaan wasiat. Sedangkan mauruts hanya terbatas
pada sisa harta yang setelah dikeluarkan untuk biaya
pengurusan mayat, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.67

Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 18


64
Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jilid III ( Semarang: Toha Putra: 1980), h. 426
65
Tirkah secara lughawi berarti harts peninggalan.
66
Ash Shabuni, Op. Cit., h. 37
67
M, Abu Zahrah, Al Tirkh wa a l Mirats, (Cairo'. Dar Al Filer, 1975), h. 150

114
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Tidak ada penghalang


Meskipun telah terpenuhi ketiga unsur dan syarat
pewarisan di atas, jika masih ada penghalang mewarisi maka
pewarisan tidak akan terjadi. Adapun penghalang-penghalang
pewarisan itu adalah perbudakan, pembunuhan dan berlainan
agama
Ahli Waris dan Bagiannya
Dalam uraian kelompok ahli waris dan bagiannya ini akan
disusun berdasarkan uraian ahli waris menurut sebab-sebab
mereka mendapatkan warisan. Sebab-sebab kewarisan dalam Islam
ada tiga,68 yaitu:
Ahli waris sababiyah (karena perkawinan)
Salah satu sebab kewarisan adalah karena perkawinan. Ahli
waris karena perkawinan ialah suami dan atau istri.
a. Bagian istri
Istri dalam menerima warisan dari suaminya mempunyai dua
fard, yaitu: seperempat bila si suami (pewaris) tidak
mempunyai fa r ' u w ar it s (anak laki-laki atau perempuan) dan
cucu-cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki.
Seperdelapan bila sipewaris mempunyai faru warits. Adapun
dasar hukumnya adalah QS. An-Nisa: 12
b. Bagian Suami
Dalam menerima warisan dari istrinya, suami mempunyai dua
fard, yaitu: pertama, seperdua () bila si istri (pewaris) tidak
mempunyai far'u waris. Kedua, seperempat () bila pewaris

68
Husnain Muhammad Mahluf, A1 Mawaris fi Syari'at al Islamiyyah, (Cairo:
Mathbah al Madam, 1976), h. 33

115
Bab III

meninggalkan far'u warits. Adapun dasar hukumnya adalah QS.


An-Nisa: 12
Ahli Waris Nasabiyah
Dalam aturan kewarisan sunni, ahli waris nasabiyah dibagi
menjadi tiga golongan yaitu : dzawi al fiurudh, `ashahah dan dzawi
al arham69 dzawi al furudh adalah ahli waris yang bagiannya
dalam warisan telah ditentukan secara pasti, misalnya
seperdua, sepertiga, seperenam dan sebagainya. 'Ashabah
adalah ahli waris yang mempunyai bagian terbuka dalam warisan.
Sedang dzawi al arham adalah orang-orang yang baru berhak
menerima warisan kalau golongan pertama dan kedua tidak ada.
Ini terjadi ikhtilaf diantara para ulama fiqh. Batas antara dzawi
al.furudh dan 'ashabah tidak dapat ditarik secara tegas, karena
ada beberapa ahli waris yang dalam suatu keadaan bertindak
sebagai dzawi al-furudh tetapi dalam keadaan lain beralih menjadi
'ashabah. Karenanya kedua bidang ini akan lebih jelas dan mudah
difahami jika dibahas secara bersamaan.
Berbeda dengan pemikiran di atas, madzhab Jafariah tidak
menerima penggolongan seperti di atas. Madzhab Ja'fariah me-
ngelompokkan ahli waris berdasarkan dua tinjauan, yaitu berda-
sarkan hubungan darah dan kepastian saham.70 Ahli waris
berdasarkan hubungan darah terdiri atas tiga kelompok keutama-
an, yaitu :
1) kelompok keutamaan pertama terdiri dari keturunan
dan orang tua

69
Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbadingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab (Jakarta : INIS, 1998), h. 1
70
Abu Zahrah, al Mirats 'Inda Ja fariah, (Kairo:Dar al Fikr,tt), h.10

116
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

2) kelompok keutamaan kedua terdari dari kakek dan saudara


(keturunan)
3) kelompok keutamaan ketiga terdiri dari leluhur di atas kakek
dan kerabat garis sisi yang bukan saudara.
Dalam hal ini selama kelompok keutamaan yang lebih tinggi
masih ada, maka kelompok yang lebih rendah tidak berhak mewa-
risi.
Adapun ahli waris berdasarkan kepastian saham
dibedakan menjadi dua, yaitu: dzawi as siham, orang yang
mendapat bagian pasti dan dzawi al qarabah, orang yang
mendapat sisa setelah dikeluarkan saham golongan dzawi as
siham. Dilihat dari pengelmpokan ahli waris berdasarkan
kepastian saham ini, tampaknya mempunyai kesamaan dengan
istilah dzawi al furudh dan `ashabah dalam kewarisan Sunni.
Perbedaannya terletak aturan tentang hijab menghijab, karena
di sini tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan
perempuan, demikian pula keturunannya tidak membedakan dari
jalur anak laki-laki atau perempuan. Namun walaupun
demikian tetap memegang perbandingan 2:1 antara laki-laki dan
perempuan. Selain itu dalam kewarisan madzhah Jafariah juga
mengenal kewarisan ahli waris karena penggantian.
Beralih ke Indonesia, menurut Hazairin ahli waris
dibagi menjadi tiga71, yaitu dzawi al faraidh, dzawi al qarabahal,
dan mawali (ahli waris pengganti). Dari pengelompokan ahli waris
ini tampaknya antara Hazairin dan madzhah Jafariah banyak
persamaan disamping juga ada perbedaan. Persamaannya
adalah keduanya tidak mengakuai adanya `ashabah dan
memperkenalkan istilah dzawi al qarahah. Selain itu keduanya juga

71
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran Dan Hadith (Jakarta:
Tintatnas,1982), h.18

117
Bab III

mengakui adanya ahli waris karena penggantian, walaupun ada


perbedaan dalam pelaksanaannya.
Untuk selanjutnya dalam menguraikan ahli waris nasabiyah
dan bagiannya akan disusun berdasarkan hubungan ahli waris
dengan si pewaris dalam kekerabatan yaitu :
Anak dan Keturunannya
1. Anak perempuan (keturunan perempuan derajat pertama)
Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak
perempuan mempunyai tiga macam fardh, yaitu : seperdua bila
hanya satu orang dan mendapat dua pertiga bila dua orang atau
lebih, menjadi 'ashabah bila didampingi oleh kerabat laki-laki
yang sederajat. Dasar hukumnya adalah Qs. An Nisa: 11
2. Anak laki-laki
Anak laki-laki adalah termasuk ahli waris `ashabah. Adapun
cara-cara dan ketentuan dalam kewarisannya adalah sebagai
berikut :
a) Mendapat seluruh harta warisan, bila ahli waris hanya
seorang atau beberapa orang anak laki-laki.
b) Mendapat seluruh sisa dari harta warisan, bila pewaris
meninggalkan ahli waris dzawi al furudh dan anak laki-laki.
c) Apabila diantara ahli waris itu ada anak perempuan dan
dzawi al furudh maka setelah diambil bagian dzawi al furudh,
dibagi antara anak laki-laki dan perempuan dengan
perbandingan 2: 1.
3. Cucu perempuan (keturunan perempuan derajat kedua dan
seterusnya)
Para ulama Sunni sepakat bahwa keturunan yang
berhak mewarisi hanyalah keturunan yang melalui garis laki-

118
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

laki. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan kemung-


kinan bahwa keturunan melalui garis perempuan mempunyai
hak yang sama, seperti yang diberikan kepada garis laki-laki.
Bagian untuk cucu perempuan ini adalah : pertama sama
seperti anak perempuan, yaitu setengah bila sendiri, sepertiga
bila dua orang atau lebih sekiranya keturunan derajat yang
lebih tinggi sudah tidak ada. Kedua, memperoleh seperenam
jika ia bersama anak perempuan tunggal. Ketiga, menjadi
'ashabah, bila mewaris bersama keturunan laki-laki yang
sederajat atau yang lebih rendah dan terhijab dua orang anak
perempuan dan faru warits laki-laki yang lebih tinggi
derajatnya.
Berbeda dengan ulama sunni, madzhab Ja'fariah
berpendapat bahwa kerabat dari keturunan laki-laki
mempunyai kedudukan yang sama dengan kerabat dari
keturunan perempuan, termasuk keturunan dari anak laki-laki
dan perempuan.72 Jadi mereka tidak membedakan antara
keturunan dari anak laki-laki dan perempuan. Anak
derajat dua dan seterusnya selalu menjadi ahli waris
pengganti terhadap orang tua mereka. Namun cucu-cucu ini
baru bisa mewaris bila anak (derajat pertama) baik laki-laki
maupun perempuan telah tidak ada semua.
4. Cucu laki-laki (keturunan laki-laki derajat kedua dan seterusnya)
Cucu laki-laki ini termasuk 'ashabah, bila tidak ada anak laki-laki
atau orang laki-laki yang lebih tinggi derajatnya. Jadi menurut
kewarisan Sunni la terhijab oleh anak laki-laki. Dan menurut
madzhab Ja'fariah la juga terhijab oleh anak perempuan.
Sedang menurut Hazairin yang mengakuai adanya ahli waris

72
Abu Zahrah, Op. cit, h.97

119
Bab III

pengganti berpendapat bahwa cucu baik laki-laki atau


perempuan hanya terhijab oleh orang tua mereka, sedang anak
pewaris yang lain tidak menjadikan mereka terhijab73
a. Orang tua dan keturunan ke atas
1) Ibu
Dalam mewarisi harta dari anak, ibu mempunyai
bagian :
a) Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan)
atau dua orang saudara atau lebih, Qs. An Nisa:11
b) Mendapat sepertiga bila tidak terdapat anak
(keturunan) atau dua orang saudara atau lebih
juga tidak ada suami atau istri pewaris, Qs. An Nisa:
11
c) Sepertiga sisa harta warisan bila bersama salah
seorang istri atau suami pewaris.
2) Ayah
Dalam kewarisan sunni, ayah mewarisi harta peniggalan
anaknya mendapat bagian :
a) Seperenam, jika pewaris mempunyai anak
(keturunan) laki-laki.
b) Seperenam dan sebagai `ashabah bila ia bersama
anak (keturunan) perempuan.
c) Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits.

73
Hazairin, Op. cit., h.27

120
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam hal ini baik Hazairin maupun madzhab Ja'fariah


berpendapat bahwa ayah hanya menjadi 'ashahah atau d-
zawi al qarabah bila pewaris tidak mempunyai anak atau
keturunan sama sekali. Jadi menurut mereka bagian ayah
adalah:
a. seperenam bila ada anak (keturunan) pewaris
b. menjadi 'ashabah bila tidak ada anak
3) Nenek
Yang dimaksud nenek dalam kewarisan sunni adalah
nenek shahihat. Nenek shahihat ialah nenek (keturunan
ke atas) yang dipertalikan pada si mati (pewaris) tanpa
memasukkan kakek ghairushahih, 74 yaitu pertaliannya
dengan si pewaris tanpa diselingi oleh kakek sama
sekali.
Adapun bagian nenek adalah seperenam, jika
tidak ada ibu dan terhijab dengan adanya ibu.
4) Kakek
Kakek dalam kewarisan sunni maksudnya adalah kakek
shahih, yaitu kakek yang hubungan nasabnya dengan si
pewaris tanpa diselingi oleh ibu75 Seperti bapaknya
bapak (abu al ab), bapak dari bapaknya bapak (abu ab al
ab) sampai seterusnya. Adapun bagian kakek adalah
sebagai berikut :
a) Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan) laki-
laki pewaris.
b) Seperenam dan sebagai `ashahah jika bersama anak
(keturunan) perempuan.

74
Husnain M. Makhluf, Op. Cit, h. 93
75
Ibid, h.80

121
Bab III

c) Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits.


d) Mempunyai kedudukan khusus jika bersama
saudara76
e) Terhijab oleh ayah
Dari keterangan di atas tampak bahwa kakek
menduduki kedudukan ayah bila ayah telah tidak ada. Dalam
kedudukan kakek dan nenek ini, madzhab Jafariah tidak
membedakan kakek dan nenek tersebut, baik dari jalur ayah
maupun ibu. Kakek dan nenek dari garis ayah akan
mengambil saham ayah. Demikian pula kakek dan nenek dari
ibu akan mengambil saham ibu. Namun tetap
memperhatiakan derajat yang dekat menghijab derajat yang
jauh dan laki-laki mendapat dua kali perempuan.
Saudara dan ahli waris penerusnya
1. Saudara perempuan kandung dan seayah
Bagian saudara perempuan kandung dan seayah adalah
sebagai berikut :
a) Mendapat seperdua bila hanya seorang
b) Mendapat dua pertiga jika terdiri dari dua orang atau lebih
c) Menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya atau
bersama dengan anak perempuan.
d) Terhijab oleh anak (keturunan) laki-laki dan ayah
Hubungan saudara kandung dan seayah ini seperti
kedudukan anak dan cucu, jadi selama ada saudara kandung,
saudara seayah terhijab.

76
Lihat Al-Yasa Abu Bakar, Op.cit, h. 161-170, Fathurralmian, Op.Cit, h. 272-279

122
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

2. Saudara seibu (laki-laki atau perempuan)


Saudara seibu akan mengambil seperenam kalau hanya
satu orang. Bila mereka terdiri atas dua orang atau lebih maka
bagiannya adalah 1/3. mereka akan berbagi rata walaupun antara
laki-laki dan perempuan. Adapun dasar yang dipakai adalah QS.
An-Nisa : 12
3. Saudara laki-laki kandung dan seayah
Hubungan saudara laki-laki kandung dan seayah
seperti hubungan anak dengan cucu, jadi selama masih ada
saudara laki-laki kandung, saudara seayah menjadi terhijab.
Saudara laki-laki menjadi 'ashabah jika tidak ada keturunan
laki-laki atau ayah atau kakek, berdasarkan An-Nisa: 176.
Karena itu menarik saudaranya yang perempuan menjadi
'ashabah bil ghair. Namun ketika mewarisi bersama dengan
anak perempuan terjadi perbedaan pendapat, apakah akan
menarik saudaranya yang perempuan menjadi 'ashabah bil
ghair atau tidak. Jumhur ulama menganggap saudara laki-
laki itu menarik saudara perempuannya dengan alasan
semua dzawi al furudh yang ada dalam Al-Qur'an dan
sederajat dengan 'ashabah bi an-nafsi akan ditarik menjadi
'ashabah bil ghair. Ibnu Abbas yang kemudian diikuti Oleh
Ibnu H a z m , menganggap saudara tersebut tidak akan menarik
saudara perempuannya menjadi 'ashabah. Menurutnya,
ketentuan yang dianut jumhur hanya berlaku terhadap saudara-
saudara yang mewarisi berdasarkan Al-Qur'an, yaitu ketika tidak
ada keturunan perempuan.77

77
Al-Yasa Abu Bakar, Op.Cit. h. 157

123
Bab III

4. Ahli waris penerus saudara


Para ulama sepakat bahwa lafadz al akh yang terdapat
dalam Al-Qur'an tidak mencakup kepada keturunannya. Namun
apabila saudara telah tidak ada, hak mewarisi tersebut beralih
pada keturunan mereka berdasarkan hadits Ibnu Abbas.78
Keturunan perempuan dari saudara laki-laki tidak terma-
suk dzawi al furudh dan karenanya tidak dapat ditarik menjadi
'ashabah bi al ghair. Begitu pula keturunan saudara seibu tidak
lagi diperhitungkan, sama seperti keturunan anak perempuan,
karena hubungan mereka melalui garis perempuan. Selanjutnya
apabila keturunan saudara laki-laki kandung tidak ada, maka hak
saudara tersebut dialihkan kepada saudara laki-laki seayah dan
keturunannya. Jadi ahli waris penerus dari saudara adalah :
a) Keturunan laki-laki garis laki-laki dari saudara laki-laki
kandung atau seayah.
b) Saudara laki-laki (kandung atau seayah) dari ayah dan
keturunan laki-laki garis laki-laki.
Dzawi al arham
Makna secara lughah dzawi al arham diambil dari pengertian
lafadz arham dalam QS. Al-Anfal : 75
Dari ayat ini arti arham ialah mencakup keluarga secara
umum baik ia termasuk ahli waris dzawi al- furudh atau 'ashabah
atau golongan lainnya79 Namun secara istilah ulama fiqh
mendefinisikannya sebagai anggota kerabat yang tidak menjadi
dzawi al furudh dan 'ashabah. Adapun yang termasuk dzawi al arham
adalah :

78
An-Nawawi, Shahih Muslim bi syarh an-Nawawi (Beirut : Dar al Fikr), h.52
79
Hassanain M. Makhluf, Op.cit, h. 131

124
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

1. Semua kerabat (laki-laki dan perempuan) yang dalam tali


perhubungannya dengan pewaris ada orang perempuan,
seperti cucu melalui anak perempuan. Namun ada pengecualian
yaitu saudara seibu dan nenek yang digolongkan sebagai
ahli waris dzawi al furudh.
2. Semua kerabat perempuan yang tidak tertarik menjadi
`ashabah bi a1 ghair oleh ahli waris laki-laki yang sederajat
dengan dia.
Mengenai kewarisan dzawi al arham ini terdapat dua
pendapat, yaitu pendapat pertama, mengatakan bahwa dzawi al
arham tidak berhak mendapat warisan sama sekali. Jika tidak ada
ahli waris lain kecuali dzawi al arham maka harta warisan
diserahkan pada bait al mal. Konsepsi ini merupakan pendapat
Imam Syafi'i dan Imam Malik yang bersandar pada pendapat
Zaid bin Tsabit dan Ibn Abbas.
Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa dzawi al
arham dapat mewaris bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris
dzawi al furudh dan `ashabah. Pendapat ini adalah pendapat Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal. Pendapat kedua Imam
tersebut disandarkan pada pendapat Ali bin Abi Thalib, Umar bin
Khathtab dan Ibnu Mas'ud,80 dan pendapat ini adalah pendapat
Jumhur.
Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada
pasal 171 ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

80
M. Ali Ash. Shabuni, op. cit, h. 178

125
Bab III

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak


menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."
Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI
mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris
c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan
d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta
peninggalan dari pewaris kepada ahli waris
e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.
Unsur dan Syarat Pewarisan
Dari definisi hukum kewarisan di atas tampak unsur-unsur
pewarisan, yaitu:
a. Pewaris
Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b):
"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan
beragama Islam, meniggalkan ahli waris dan harta
peninggalan."
Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya
pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal
dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Selain disyaratkan
telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama
Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-
syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh
mawaris.

126
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b. Ahli Waris
Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal
171 ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris"
Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini,
dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris
adalah:
1) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
2) Beragama Islam.
Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut
diatur dalam pasal 172 KHI:
"Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."
3) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya
pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak
dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu
ditegaskan.
Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu
adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan
redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli
waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian.
Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan
apakah ahli waris tersebut disyaratkan hidup atau tidak
seperti telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris

127
Bab III

bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah


hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki
maupun hukum.
Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut
adalah: "Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau
dinyatakan masih hidup oleh putusan pengadilan pada saat
meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."
4) Adanya Harta Peninggalan (Tirkah).
KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat
para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah,
yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan
adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya."
Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal
171 ayat (e) ;
"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."
Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum
harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah
berupa:
1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang,
termasuk piutang yang akan ditagih.
2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar
pada saat seseorang meninggal dunia

128
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan


masing-masing.
4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami
atau istri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa
sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali
pada asalnya, yaitu suku tersebut.81
Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang
merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara
induvidual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan
setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau istri, harta
bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan
pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
hutang si mati dan wasiat.
Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara
pengertian tirkah dan maurus .
Halangan Menjadi Ahli Waris
Salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah tidak adanya
halangan pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris
dalam KHI disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai
berikut:
"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap,
dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.

81
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dengan
Kewarisan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 102-103

129
Bab III

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan


bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat".
Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli
waris menurut KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris
tampak bahwa yang terkandung dalam pasal 173 ini hanya
pembunuhan. Adapun perbudakan dan berlainan agama tidak
ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima, karena di
Indonesia tidak ada perbudakan.
Adapun tentang berbeda agama walaupun tidak
dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang halangan
seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga
mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang
pewarisan juga. Hal ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan
ayat (c) tentang pewaris dan ahli waris yang harus beragama
Islam. Jadi dalam halangan mewarisi ini sebaiknya ditambah
dengan berbeda agama.
Kelompok Ahli Waris Dan Bagiannya
Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal
174, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,
anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan
perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

130
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat


warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan
pengelompokan berdasarkan sebab-sebab terjadinya pewarisan,
yaitu karena hubungan darah (nasabiyah), dan karena perkawinan
(sababiyah). Jika dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris
menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak mencantumkan ahli
waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena di
Indonesia tidak mengenal perbudakan.
Ahli waris sababiyah (karena perkawinan)
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 174 bahwa salah
satu sebab pewarisan adalah karena perkawinan. Mereka yang
termasuk dalam kelompok ini adalah suami atau istri (duda atau
janda). Adapun mengenai bagiannya diatur dalam pasal 179 dan
pasal 180.
a. Bagian Suami
Mengenai bagian suami ini, diatur dalam pasal 179, yang
berbunyi sebagai berikut :
"Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,
maka duda mendapat seperempat bagian".
b. Bagian Istri
Bagian istri ini diatur dalam pasal 180 KHI, yang berbunyi :
"Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka
janda mendapatkan seperempat bagian".

131
Bab III

Ahli waris nasabiyah (karena hubungan darah)


Masih merujuk pada pasal 174 tentang pengelompokan
ahli waris, disebutkan juga bahwa bentuk pengelompokan yang
lain selain karena perkawinan adalah karena hubungan darah.
Adapun bagian mereka masing-masing diatur dalam pasal-pasal :
176, 177, 178, 181, dan 182
Anak dan Penerusnya
a) Anak Perempuan
Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak
perempuan menurut KHI (pasal 176) sebagaimana juga dalam
hukum kewarisan dalam fiqh mawaris mempunyai tiga macam
bagian, yaitu:
1) Seperdua bila hanya sendirian
2) Dua pertiga bila dua orang atau lebih
3) Menjadi 'ashabah atau mendapat bagian 1:2 bila bersama
dengan anak laki-laki.
Dari pasal 176 ini, nampaknya KHI tetap berpegang teguh
pada norma QS. An-Nisa : 11 yang juga dijadikan dasar oleh para
ulama dalam fiqh mawaris dalam menetapkan bagian bagi anak,
yaitu bahwa bagian anak perempuan adalah 1/2 dari bagian laki-laki.
Dalam hal ini KHl tidak menerima usulan l:l untuk bagian anak laki-
laki dan perempuan sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh
Munawir Sadzali yang pada saat pembentukan KHI berkedudukan
sebagai Menteri Agama RI.
Untuk sekedar alternatif atas kemantapan surat an-Nisa : 11
dalam pasal 183 membuka kemungkinan untuk menyimpang
melalui jalur perdamaian.82 .

82
Pasal 183 berbunyi : " Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian

132
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b) Anak Laki-laki
Sebagaimana fiqh mawaris, tampaknya KHI juga
menempatkan anak laki-laki sebagai 'ashabah. Walaupun tidak
dinyatakan secara jelas dalam bentuk redaksi bahwa anak laki-laki
adalah 'ashabah, namun dari pasal-pasalnya KHI tidak
menentukan bagian tertentu bagi anak laki-laki. Selain seperti pasal
176 KHI, yaitu bahwa apabila anak perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan.
c) Cucu
Mengenai bagian cucu ini KHI tidak jelas mengaturnya.
Jika dilihat dari segi pengelompokan ahli waris seperti termuat
dalam pasal 174, maka cucu ini tidak disebutkan di dalamnya.
Dalam pasal 174 ini hanya disebutkan anak, baik laki-laki atau
perempuan. Mungkin bisa dipertanyakan apakah anak yang
dimaksud disini, termasuk keturunannya (cucu dan terus
kebawah) atau hanya terbatas pada anak saja.
Adapun mengenai bagian cucu yang orang tuanya telah
meninggal dunia mendahului pewaris, maka hal ini diatur dalam
pasal 185 yang biasa dikenal dengan ahli waris pengganti.
Orang Tua dan Ahli Waris Penerusnya
a) Ibu
Ketentuan besarnya bagian untuk ibu terdapat pada
pasal 178, yang berbunyi:

dalam pembagian warisan, setelah masingmasing menyadari bagiannya

133
Bab III

(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua
saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua saudara
atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil
oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
Berdasarkan pasal 178 ayat (1) KHI diatas bahwa ibu
mendapat bagian sepertiga dengan dua sebab, yaitu :
1. Karena tidak ada anak
2. Karena tidak berkumpul dua orang saudara atau lebih.
Sebab pertama menimbulkan dua kemungkinan,
pertama apakah anak yang dimaksud hanya terbatas pada anak
baik laki-laki atau perempuan. Kedua apakah termasuk juga
keturunan dari anak tersebut baik melalui jalur laki-laki atau
perempuan. Kemungkinan kedua ini bisa diterima karena KHI
mengakui adanya waris pengganti, sebagaimana terdapat
dalam pasal 185 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :
"Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka tersebut dalam pasal 173".
b) Ayah
Besarnya bagian ayah dalam KHI diatur pada pasal
177, yang berbunyi sebagai berikut : "Ayah mendapat
sepertiga bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1994
dijelaskan bahwa maksud dari pasal 177 Kompilasi Hukum Islam
adalah : "Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

134
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Menurut pasal 177 KHI ditambah dengan keterangan


dari Surat Edaran Mahkamah Agung di atas besarnya bagian
yang mungkin diterima oleh ayah dapat dirinci sebagai berikut :
(a) Mendapat sepertiga bagian, bila ahli waris terdiri dari
ayah, ibu dan duda.
(b) Mendapat seperenam bagian, bila ahli waris terdiri dari
ayah, ibu, duda dan anak
Dalam kompilasi hukum Islam seperti diterangkan di
atas, ditetapkan bahwa bagian ayah apabila pewaris tidak
meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu adalah
sepertiga bagian. Hal ini nampaknya tidak jelas dasar
hukumnya. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan
yang diatur dalam Q.S. An-Nisa: 11 dan kesepakatan para ulama
yang menentukan bagian ayah dengan cara ashabah bila si
pewaris tidak meninggalkan anak.
Ketentuan yang terdapat dalam penggalan ayat
tersebut bukan ketentuan untuk ayah, tetapi ketentuan untuk
ibu. Dalam hal ini ayah tidak ditentukan bagiannya, ini artinya
dalam keadaan tidak ada anak, ayah tidak termasuk dzawi al
furudh, melainkan ashabah, yang bagiannya seperti dijelaskan
oleh Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas:


Rasulullah SAW bersabda: Berikan bagian faraidh
kepada yang berhak, adapun sisanya untuk laki-laki yang paling
dekat dengan pewaris (HR. Muslim)

135
Bab III

Jika kita bandingkan dengan pendapat ulama jumhur


dalam fiqh mawaris maka kedudukan ayah mempunyai tiga
kemungkinan, ia mungkin sebagai dzawi al f'urudh atau
sebagai dzawi al furudh ditambah mendapat sisa bagian setelah
diambil dzawi al furudh lain, atau ia menjadi `ashabah. Hal ini
berbeda dengan pendapat madzhab ja'fariah, dimana ayah tetap
sebagai dzawi as siham (dzawi al furudh) ketika bersama-
sama anak perempuan, karena dalam madzhab ini
tidak mengenal kelompok ahli waris `ashabah, tetapi dzawi
al qarabah. Dimana ayah hanya akan menjadi dzawi al
qarabah jika tidak ada keturunan baik laki-laki maupun
perempuan.
Dari penjelasan di atas, mengenai bagian ayah, KHI perlu
ada penyempurnaan. Dari beberapa pendapat ulama di atas
yang mana yang dipilih, apakah pendapat jumhur atau madzhab
Ja fariah.
c) Kakek dan Nenek
Seperti bagian cucu, bagian kakek dan nenekpun dalam
KHI tidak diatur lebih lanjut. Kakek dan nenek hanya
disebutkan dalam pasal yang mengatur pengelompokan ahli
waris yaitu pasal 174.
Menurut penulis hal ini terjadi karena kedudukan kakek
dan nenek berada di bawah derajat ayah dan ibu, dimana
mereka mewaris apabila ayah dan ibu tidak ada. Jadi dalam hal
ini nampaknya menurut para penyusun KHI bagian untuk ayah
dan ibu telah mewakili untuk bagian kakek dan nenek.

136
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Saudara dan Ahli Waris Penerusnya


a) Saudara Seibu
Mengenai kewarisan saudara seibu ini diatur dalam pasal
181 Kompilasi Hukum Islam, yang selengkapnya berbunyi :
"Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan
ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua
orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 1/3
bagian".
Dari redaksi pasal 181 di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa :
1) Saudara seibu hanya bisa mendapat warisan dari
pewaris bila pewaris tidak meninggalkan anak dan
ayah. Jadi mereka terhijab oleh anak dan ayah.
2) Bagian saudara seibu ini adalah : seperenam bila
sendirian dan mendapat sepertiga bila terdiri dari dua
orang atau lebih.
3) Disini kedudukan mereka walaupun laki-laki hanyalah
sebagai dzawi al furudh.
b) Saudara kandung dan seayah
Bagian untuk saudara kandung dan seayah ini diatur dalam
pasal 182 KHI, yang selengkapnya berbunyi :
"Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan
anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan
kandung atau seayah, maka la mendapat separoh bagian.
Bila saudara perempuan kandung atau seayah dua orang
atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua

137
Bab III

pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-


sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka
bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
saudara perempuan".
Dari redaksi pasal 181 KHI tersebut dapat diketahui
ketentuan tentang bagian saudara kandung dan seayah adalah
sebagai berikut :
1) Mereka hanya dapat bagian bila tidak ada anak dan ayah
2) Saudara perempuan mendapat setengah bila sendiri, dua
pertiga bila terdiri dari dua orang atau lebih dan menjadi
'ashabah bi al ghair bila bersama saudara laki laki
sekandung atau seayah. Saudara laki-laki kandung atau
seayah adalah `ashabah.
Dari kedua pasal di atas (pasal 181 dan pasal 182)
nampaknya rumusan KHI mempedomani Qs, an Nisa ayat 12
dan ayat 176 sebagaimana penafsiran para ulama dalam fiqh
mawaris.
Tentang pengertian kalalah dalam ayat tersebut di
atas, KHI mengambil pengertian yang dipakai oleh jumhur
ulama yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa
meninggalkan ahli waris anak dan ayah. Hal ini berbeda dengan
pengertian yang dipakai oleh Hazairin yaitu orang yang
meninggal dunia tanpa meninggalkan anak. Jadi menurut
Hazairin ayah tidak menghijab saudara.
Dari kedua pasal tersebut di atas, juga dapat
diketahui bahwa KHI sama halnya dengan kesepakatan para
ulama membeda-bedakan saudara kepada yang kandung,
seayah dan seibu. Hal ini juga berbeda dengan Hazairin yang
menyamakan pengertian saudara untuk semua.

138
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Adapun yang menarik dikaji dari kedua pasal di atas


adalah pengertian tentang "anak". Apakah pengertian "anak"
yang diambil dari kata "walad" dari Qs. An Nisa : 176 tersebut ?
apakah walad terbatas hanya anak laki-laki saja atau
mengandung arti umum mencakup anak laki-laki dan anak
perempuan.
c) Ahli Waris Penerus Saudara
Tentang ahli waris penerus saudara inipun tidak diatur secara
jelas dalam KHI.
Praktek Hukum Waris Islam di Pengadilan
a. Ahli Waris Non Muslim
Sebagaimana telah diterangkan di atas, baik dalam
kewarisan perspektif fiqh atau kewarisan dalam KHI bahwa non
muslim adalah salah satu penghalang dalam mewarisi. Walaupun
dalam KHI tidak menyebutkannya sebagai penghalang mewarisi
tetapi disebutkan bahwa salah satu syarat ahli waris dan pewaris
adalah muslim, ini artinya apabila seorang tidak muslim ia tidak
bisa menjadi ahli waris dari seorang muslim.
Salah satu kasus yang diputuskan MA tentang ahli waris
non muslim ini adalah putusan No. 368 K/Ag/199583, dimana MA
memberikan hak waris dari pewaris muslim (kedua orang tua
kandung) kepada salah seorang ahli waris (anak) yang beragama
bukan Islam atau non muslim atau kafir, dengan bagian sama
dengan bagian anak perempuan lainnya, dengan cara wasiat
wajibah.

83
Dede Ibin, Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim dalam jurnal Mimbar
Hukum (Jakarta: Al Hikmah, 2004) No. 63, hal. 100

139
Bab III

Dari putusan MA tersebut tampaknya dalam putusannya


MA merujuk pada pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm
bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah kerabat yang
tidak menerima warisan, baik karena perbudakan atau berbeda
agama. Dalam putusan ini wasiat wajibah diberikan kepada ahli
waris yang terhalang mewarisi karena berbeda agama.
Contoh lain adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 51
K/AG/199984. Dalam putusan inipun tampaknya MA menerapkan
hukum dengan memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non
muslim.
Dari kedua contoh di atas, Mahkamah Agung sebagai
lembaga tertinggi peradilan di Indonesia memberikan putusan
yang berbeda dengan tingkat Pertama (PA) dan PTA. Pada kasus I
di tingkat pertama dinyatakan bahwa ahli waris non muslim tidak
mendapat warisan dari pewarisnya (muslim) karena terhalang oleh
agamanya yang berbeda dengan agama pewaris, ini sesuai
dengan KHI, yang menjadi hukum positif di PA. Pada tingkat PTA
diputuskan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan harta
peninggalan pewaris dengan cara wasiat wajibah, dengan bagian
dari bagian anak perempuan, putusan ini diambil berdasarkan
Qs. Al Baqarah: 180. Pada tingkat kasasi, MA membenarkan
pertimbangan hukum dari hakim PTA, Cuma diperbaiki dalam
bagian ahli waris non muslim yaitu sama dengan bagian anak
perempuan lainnya.
Pada kasus kedua Mahkamah Agung memiliki
pertimbangan tersendiri yang berbeda dengan pertimbangan
hakim di tingkat pertama (Pengadilan Agama) dan banding
(Pengadilan Timggi Agama). Pada pengadilan tingkat pertama dan
tingkat banding tidak mengakui adanya wasiat wajibah bagi ahli

84
Ibid. h. 102

140
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

waris non muslim. Hal ini karena peraturan di Indonesia khususnya


KHI, tidak ada pasal yang mengatur ketentuan tentang wasiat
wajibah bagi ahli waris non muslim. Dalam Kompilasi Hukum Islam
wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi orang tua angkat atau
anak angkat.
b. Anak bersama saudara
Berkenaan dengan kedudukan saudara apabila bersama
anak, dalam perjalanan pelaksanaan KHI, pernah terjadi
pemahaman yang berbeda antara Pengadilan Tinggi Agama
Mataram dengan Mahkamah Agung, dalam memahami kata
'walad' sebagaimana disebut dalam QS. An-Nisa : 176 . Pengadilan
Tinggi Agama Mataram mengartikan kata "Walad" dengan arti
anak laki-laki, sebagaimana pemahaman jumhur ulama. Sedang
Mahkamah Agung mengartikan walad dengan arti umum,
mencakup anak laki-laki dan perempuan, sebagaimana
pernahaman Ibnu Abbas85.
Konsekuensi dari pernahaman itu, dalam kasus ahli waris
terdiri dari anak perempuan (bint) bersama saudara laki-laki (akh
syaqiq), menurut putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No.
19/Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 bahwa anak
perempuan mendapat setengah sebagai dzawi al furudh dan
saudara laki-laki mendapat setengah sebagai 'ashabah. Sedang
menurut Mahkamah Agung dalam putusannya No. 86 K/AG/1994
tanggal 27 Juli 1994, saudara tersebut tidak mendapat bagian,
karena terhalang oleh anak perempuan.86

85
Lihat Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazirin Dan Penalaran F'iqh Madzhab (Jakarta: INIS,1988), h.84-91, 93-
97,119-120, h.132
86
Kasus pewarisan yang diselesaikan adalah, ahli waris terdiri dari : seorang anak
perempuan, bersama seorang saudara laki-laki kandung. Gugatan diajukan pada
Pengadilan Agama Mataram. PA Mataram menolak gugatan tersebut dengan

141
Bab III

Pelaksanaan Pembagian Waris di Masyarakat


Dalam masyarakat Indonesia dikenal 3 sistem kekerabatan
yang juga mempengaruhi dalam pembagian warisan, yaitu:
1. Patrilineal, anak laki-laki tertentu saja yang mewarisi seluruh
harta peninggalan, ini seperti terdapat di daerah Batak. Di sini
anak perempuan yang telah kawin, maka telah lepas dari ikatan
kekeluargaan dengan orang tuanya dan masuk dalam
lingkungan suaminya dan itu bukan ahli waris. Dalam prakteknya
ia diberi hibah oleh orang tuanya sebelum mereka meninggal
dunia.87
2. Matrilineal, seperti di Minangkabau, anak merupakan bagian dari
ibunya. Jika seorang laki-laki meninggal dunia, maka anak laki-
laki tidak mendapat warisan dari ayahnya. Karena pengaruh
sosial dan budaya, maka bergeserlah keadaan itu setelah melalui

putusan No. 85/Pdt. G/1992/V/PA. MTR, tanggal 5 November 1992. Penolakan PA


Mataram tersebut disebabkan karena objek gugatan tidak jelas begitu pula
identitas para penggugat tidak jelas, tanpa menyinggung siapa yang berhak
menjadi ahli waris.
Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya No.
191Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 menetapkan ahli waris yang berhak
menerima warisan adalah : anak perempuan mendapat setengah dan saudara laki-laki
kandung menjadi ashabah menerima setengah (sisanya). Dengan demikian berarti PTA
Mataram mengartikan anak dalam pasal 182 adalah terbatas kepada pengertian anak laki-
laki sebagaimana pemahaman jumhur ulama.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya No. 86/AG/1994 tanggal
27 Juli 1994, membatalkan putusan PTA Mataram. Menurut MA, yang berhak menerima
warisan hanya anak perempuan, saudara kandung terhijab tidak mendapat bagian. Dalam
pertimbangannya MA mengartikan walad dengan arti umum. _yang meliputi anak laki-laki
dan perempuan. Pendapat MA ini didasarkan pada pendapat lbnu Abbas. MA berpendapat
selama masih ada anak. baik anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris
orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua,
suami dan istri tertutup (terhijab).
Lihat Departement Agama RI, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Putusan Badan
Peradilan Agama dalam Perkara Kewarisan (Jakarta: Depag. RL. 1999/2000) h. 238-253
87
B. Ter Har, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ter. K. Ng. Soebakti Poesponoto
(Jakarta: Pradnyaparamitha, 1980) h. 231

142
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

waktu yang panjang. Pergeseran itu mula-mula melalui lembaga


hibah dengan ijin, lalu dengan memberi tahu, kemudian cukup
dengan pesan dari ayah dan tahap terakhir tanpa pesan, maka
hak penuh anak-anak atas harta hasil pencaharian ayahnya.88
3. Parental atau bilateral, ini berlaku bagi masyarakat Jawa, Sunda,
dan Kalimantan. Disini baik anak laki-laki atau perempun
mempunyai hak untuk mendapat harta peninggalan orang
tuanya.89
Berdasarkan sebuah penelitian Pembagian warisan di
kalangan ulama Banjar,90dari 41 kasus ditemukan 4 cara dalam
pembagian warisan, yaitu :
1. Dengan cara hibah
Adapun alasan mengggunakan cara ini adalah agar
sepeninggal pewaris, anak-anak dan ahli waris lainnya tetap
hidup dalam persaudaraan. Orang tua tidak menginginkan
anak-anaknya terpecah belah hanya karena persoalan harta
warisan.
2. Dengan cara musyawarah
Alasan digunakan cara musyawarah ini adalah untuk
kemasalahatan dan keutuhan sebuah keluarga, dan dianggap
lebih bijaksana karena berdasarkan musyawarah mufakat harta
warisan diberikan kepada ahli waris yang lebih memerlukan.

88
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan
Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h.193
89
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitah, 1984), h.
83
90
Ahmad Haries, Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kalangan Ulama Banjar,
(Bandung: Alfabeta, 2009), h. 75-96

143
Bab III

Hal ini dalam KHI diatur dalam pasal 193 : Para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya
3. Berdasarkan faraidh
Alasan yang menggunakan cara ini, adalah bahwa ketentuan
hukum waris Islam seperti yang telah tertera dalam al Quran
harus lebih diutamakan.
4. Pembagian harta perpantangan.
Yaitu pabila seorang suami/istri meninggal dunia, maka harta
itu terlebih dahulu di bagi dua satu untuk pasangan yang masih
hidup, dan yang dibagi sebagai waris hanyalah harta bagian
yang telah meninggal. Tentang ini dalam KHI disebutkan dalam
pasal 96 ayat 1: Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, separoh
sisanya baru dibagi dengan sistem pembagian warisan
Penutup
Dari paparan di atas tentang unsur dan syarat-syarat
kewarisan, kelompok ahli waris dan bagian masing-masing, baik
dari persfektif Fiqh, KHI atau praktek di Pengadilan dan masyarakat
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Unsur dan syarat-syarat kewarisan
Tentang syarat ahli waris disamping beragama Islam
perlu ditambahkan masih hidup baik secara hakiki atau hukum
ketika meninggalnya pewaris. Selain itu perlu ada perbaikan
redaksi tentang pengertian ahli waris, yaitu:
"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

144
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena


hukum untuk menjadi ahli waris".
Rekomendasinya yakni bagi ahli waris dan pewaris
perlu dipertegas lagi dalam halangan pewarisan, jadi halangan
pewarisan di samping pembunuhan perlu ditambah dengan
non-muslim.
2. Kelompok ahli waris dan bagiannya
Mengenai kelompok ahli waris di samping dibagi
berdasarkan sebab mewarisi juga perlu dikelompokkan
berdasarkan cara mereka mendapatkannya, apakah
menggunakan pengelompokan seperti madzhab sunni yang
terbagi atas dzawil furudh, ashabah dan dzawil arham atau
menurut madzhab Jafariah yang ada kemiripan dengan yang
dikenalkan oleh Hazairin, yaitu dzawi al faraidh (dzawi as
siham), dzawi al qarabah dan al mawali. Dalam hal ini menurut
penulis pendapat yang kedua bisa dipertimbangkan karena
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan jalur
dari laki-laki atau perempuan.
Adapun tentang bagian anak laki-laki dan perempuan
2:1 perlu dipertahankan karena hal ini sesuai dengan al
Quran, adapun untuk mengakomodir budaya atau
kemungkinan untuk memberi bagian yang sama atau lebih
kepada anak perempuan sudah pas dengan jalan perdamaian
seperti diatur dalam KHI pasal 193.
Selanjutnya adalah tentang pengertian walad (anak),
di sini perlu dijelaskan apakah dalam penjelasan, pengertian
mana yang akan dipakai apakah hanya anak laki-laki atau
juga termasuk anak perempuan. Menurut hemat penulis
pengertian anak ditetapkan adalah anak baik laki-laki atau
perempuan.

145
Bab III

Terakhir adalah tentang bagian bapak apabila tidak


ada anak dikembalikan saja bagiannya adalah sebagai
ashabah, karena kalau seperti dalam KHI mendapat 1/3 tidak
ada dasar hukumnya.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:
Akedemi Pressindo, 1992
Abu Bakar, Alyasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Fiqh
Madzhab, Jakarta : INIS, 1998
Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam at Tarikah wa al Mawaris,
Kairo: Dar al Fikr al Arabi, tt.
--------------, AlMirats `Inda Ja fariah, Cairo: Dar al Fikr, tt
Al Khudari, Ahmad Kamil, Al Mawaris al Islamiyyah, Mesir: al Majlis
al a'la li al Su'im al Islamiyyah, 1996
A. Rasyid, Raihan, " Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat wajibah"
dalam Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: Al Hikmah dan
Binperta Depag, 1995
Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar
Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani,
1982
Ash Shabuni, M. Ali, A1 Mawaris Fi Syari'at al Islamiyyah Ala Dhau'I
al Kitabi wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979
Aulawi, A. Wasit, " Sejarah Perkembangan Hukum Islam" dalam
Amrullah, et. al. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem hukum
Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. DR H. Busthanul Arifin,
SH, Jakarta: Gema Insani Press

146
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Departemen Agama RI, Al Qur'an Dan Terjemahannya, Jakarta:


Depag, 1991
---------, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1991
----------, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
1991
Dirjen Binbaga Islam, Tinjauan Figh Islam Terhadap Putusan Badan
Peradilan Agama Dalam Perkara Kewarisan,Jakarta: Depag,
1999/2000
Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung : Al Ma'arif , 1975
Harahap, M. Yahaya, " Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam,
Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam" dalam Mimbar
Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5, Jakarta: al Hikmah
dan Binperta Depag. RI, 1992
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Tintamas, 1974
----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976
----------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith,
Jakarta: Tintamas, 1982.
Ibn Hazm, A1 Muhalla, Kairo: Maktabah Alif, 1978
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam
Lingkungan Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
M. Mahluf, Husnain, Al Mawaris .f Syari'ah al Islamiyyah, Cairo:
Mathbah al Madaniy, 1976
Musa, Muhammad Yusuf, at Tirkah wa al Mirats fi al Islam, Kairo:
Dar a; Ma'rifah, 1960

147
Bab III

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan


Menurut KUH Perdata Dan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994
Rusyd, Ibn, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Juz II,
Beirut: Dar al Fikr, tt
Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Jilid Ill, Beirut : Dar al Kutub al
Arabiyah, 1971

148
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HALANGAN MENERIMA WARISAN


Muhammad Adib

Latar Belakang
Halangan menerima warisan (mawani al-irts) adalah salah
satu sub bahasan yang penting dalam wacana hukum waris Islam.
Ia bertali-temali erat dengan sub-sub bahasan lain yang
merupakan tahapan-tahapan seleksi penerima harta warisan
sebelum penghitungan dan pembagian dilakukan. Tahapan-
tahapan seleksi tersebut meliputi:
1. Seleksi tahap I, yakni seleksi berdasarkan hubungan kekeluarga-
an yang bertumpu kepada dua garis hubungan, yaitu: a)
hubungan darah (al-nasab) dan b) hubungan pernikahan yang
sah (al-zawaj al-shahih). Pada tahap ini, keluarga yang tidak
lolos seleksi, semisal saudara ipar dan menantu, tereliminasi
dengan sendirinya.
2. Seleksi Tahap II, yakni sekelsi berdasarkan kelayakan kerpibadi-
an calon penerima harta warisan. Tumpuannya adalah: a) status
sosial, b) hubungan baik dan c) kesamaan agama. Pada tahap
ini, calon penerima harta warisan yang tidak lolos sekeksi,
semisal menghilangkan nyawa atau berbeda agama dengan
orang yang akan mewariskan harta kepadanya (muwarrits)
menjadi tereliminasi dengan sendirinya.
Selain penting, sub bahasan tentang halangan menerima
harta warisan, utamanya dalam hal kesamaan agama, juga
terhitung sensitif. Sebab ia tidak hanya terkait dengan masalah
kepentingan individu mendapatkan harta warisan yang sudah

149
Bab III

menjadi haknya, melainkan juga berjalin berkelindan dengan pola


relasi antar agama.
Itulah sebabnya, mengkaji masalah halangan menerima
warisan harus dilakukan secara komprehensif dan bijak. Kompre-
hensif, dalam arti menjangkau kajian tekstual dan kontekstual
secara tuntas. Bijak, dalam arti mengakomodir kemajemukan
realitas sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja rentan
terhadap konflik horisontal bernuansa isu SARA.
Halangan Menerima Warisan
Berbicara tentang halangan menerima warisan tentu tidak
lepas dari empat perspektif, yaitu: fiqih, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (KHI), praktik di pengadilan, dan masyarakat. Empat
perspektif tersebut selanjutnya perlu ditelaah berdasarkan
perspektif yang lebih mendasar, yakni perspektif metodologis atau
wacana ushul fiqih. Dalam perspektif fiqih, utamanya hukum waris
Islam (ilm al-faraidh), ada tiga hal yang menjadi penghalang bagi
seorang ahli waris untuk menerima harta warisan (mawani al-irts),
yaitu:
a. Perbudakan (al-riqq)
Para ulama bersepakat bahwa budak tidak dapat
menerima harta warisan serta tidak dapat mewariskan hartanya.
Sebab, dalam statusnya sebagai budak, dia sama sekali tidak
memiliki kecakapan untuk memiliki dan mengelola harta benda.
Bahkan, lebih dari itu, dia sebagai harta dan hak milik tuannya
yang bisa diwariskan. Kalaupun budak tersebut memiliki harta
kekayaan, maka harta tersebut secara otomatis sepenuhnya
menjadi hak milik tuannya.91

91
Wahbah al-Zuhayl, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, ctk. II (Beirut: Dr al-Fikr,
1985), VIII: 258.

150
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Perbicangan para ulama sebenarnya tidak terhenti pada


titik kesepakatan itu saja terkait dengan perbudakan sebagai salah
satu penghalang menerima warisan. Dalam hal budak mubaadh
dan budak mukatab misalnya, pendapat mereka cukup beragam
sesuai dengan pijakan argumentasi masing-masing. Namun, oleh
karena secara de jure sudah dihapus sejak lama, maka perbudakan
sebagai penghalang menerima warisan sudah tidak relevan lagi
untuk diperbincangkan.
b. Pembunuhan (al-qatl)
Secara umum para ulama bersepakat bahwa ahli waris
yang membunuh orang yang akan mewariskan harta kepadanya
(muwarrits), terutama yang disengaja atau direncanakan (amdan)
baik secara langsung ataupun tidak, diberi sanksi tegas tidak dapat
menerima harta warisan. Selain berpijak kepada hadits di bawah
ini:


Seorang pembunuh (orang yang mewariskan harta
kepadanya) tidak berhak menerima harta warisan apapun.
(H.R. al-Nasai).
Kesepakatan ulama tersebut juga berpijak kepada
argumentasi bahwa sang ahli waris telah menempuh cara
kekerasan yang keji terhadap orang yang akan mewariskan harta
kepadanya. Akibatnya, dia patut diberi sanksi kehilangan hak
untuk mendapatkan harta tersebut.92
Di luar kesepakatan tersebut, para ulama berbeda
pendapat tentang jenis-jenis pembunuhan selain yang disengaja
atau direncanakan sebagai penghalang sang pelaku untuk

92
Ibid., hlm. 260.

151
Bab III

mendapatkan harta warisan. Perbedaan pendapat tersebut


dilatarbelakangi oleh perbedaan tolok ukur yang dipakai:
1) Tolok ukur adanya sanksi qishash atau tebusan (kaffarah);
dipakai oleh Hanafiyyah dan Hanabilah.
Berdasarkan tolok ukur tersebut, hanya pembunuhan yang
dijatuhi sanksi qishash atau kaffarah saja yang dianggap
sebagai penghalang menerima warisan, yakni pembunuhan
yang dilakukan secara disengaja atau direncanakan,
pembunuhan semi disengaja dan pembunuhan karena semata-
mata kekeliruan. Sementara pembunuhan yang tidak terkena
sanksi qishash ataupun kaffarah, yaitu pembunuhan karena ada
alasan yang bisa diterima secara syari, tidak dianggap sebagai
penghalang hak menerima warisan. Sebut saja, misalnya,
pembunuhan oleh algojo hukuman mati atau karena
mempertahankan nyawa. Pelaku pembunuhan tersebut
terakhir tetap bisa menerima warisan.93
2) Tolok ukur motivasi keji (al-udwan) sang pelaku; dipakai oleh
Malikiyyah.
Berpijak kepada tolok ukur tersebut, pembunuhan yang bisa
menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan
yang dilakukan atas dasar motivasi untuk menyakiti ataupun
menghilangkan nyawa korban. Motivasi seperti ini hanya
terdapat pada tindakan pembunuhan secara disengaja atau
direncanakan (al-qatl al-amd), baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Termasuk dalam jenis ini adalah persaksian
palsu yang menyebabkan korban disanksi hukuman mati.94

93
Ibid., hlm. 261.
94
Ibid., hlm. 262.

152
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3) Tolok ukur efek tindakan, yakni hilangnya nyawa orang lain;


dipakai oleh Syafiiyyah.
Mengacu kepada tolok ukur tersebut, semua tindakan yang
bisa menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, baik secara
disengaja ataupun tidak, baik yang dilakukan karena ada alasan
syari ataupun tidak, tetap dianggap sebagai penghalang hak
menerima warisan.95
Perbedaan agama (ikhtilaf al-din)
Sebagian besar para ulama ahli hukum Islam
berpandangan bahwa perbedaan agama menjadi halangan bagi
seorang ahli waris untuk bisa menerima harta warisan, baik
sebagai muslim maupun non muslim. Ahli waris muslim tidak bisa
menerima warisan dari orang non muslim. Begitu pula sebaliknya,
ahli waris non muslim tidak bisa menerima warisan dari orang
muslim. Pandangan ini berpijak kepada hadits berikut ini:


Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non
muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa
menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan
Muslim).96
Pandangan ini, secara turun-temurun, memang menjadi
pandangan mainstream dalam wacana hukum waris Islam. Pada
setiap literatur dan materi hukum waris Islam yang diajarkan baik
di lembaga pendidikan formal maupun non formal, pandangan
inilah yang menjadi menu dan acuan utama.

95
Ibid.
96
Ibid., hlm. 263.

153
Bab III

Namun, sebagaimana telah disebutkan pada bagian


pendahuluan di atas, masalah perbedaan agama sebagai salah
satu halangan menerima warisan terhitung sensitif. Ia tidak hanya
berkait dengan benturan antara kepentingan mendapatkan harta
warisan di satu sisi, tetapi juga dengan pola relasi antar umat
beragama yang sarat ketegangan di sisi yang lain.
Benturan yang sensitif terhadap ternyata sudah dirasakan
oleh para ahli hukum Islam pada masa awal. Terbukti, tokoh-tokoh
Sahabat sekaliber Muadz ibn Jabal dan Muawiyah ibn Abi Sufyan
pernah menghadapi kasus pelik terkait sengketa harta warisan.
Diceritakan, suatu saat, Muadz kedatangan dua orang tamu
bersaudara yang bersilang-sengketa memperebutkan harta
warisan.
Keduanya berlainan agama; muslim dan yahudi, sementara
ayah mereka yang baru saja meninggal kebetulan beragama
yahudi. Pasca kematian sang ayah, anak yang beragama yahudi
mengklaim semua harta warisan, dengan alasan saudaranya yang
muslim berbeda agama dengan sang ayah. Tentu saja, anak yang
muslim merasa berkeberatan dan menuntut bagian harta warisan.
Menghadapi kasus tersebut, Muadz dan Muawiyah
ternyata menyampaikan fatwa yang berbeda dengan landasan
tekstual (baca: hadits) yang berlaku ketika itu. Dia memutuskan
bahwa anak yang muslim sama dengan yang beragama yahudi,
yaitu sama-sama berhak menerima harta warisan. Argumentasi
tekstualnya adalah hadits berikut ini.


Islam akan selalu bertambah dan tidak akan pernah
berkurang. (H.R. Abu Dawud, dinilai shahih oleh al-Hakim).

154
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Uniknya, meskipun berpijak kepada landasan tekstual yang


cukup membuat kita mengernyitkan dahi, fatwa Muadz dan
putusan Muawiyah tersebut ternyata diamini oleh sejumlah tokoh
kalangan Tabiin, seperti Masruq, Said ibn al-Musayyab, Ibrahim al-
Nakhai dan Abd Allah ibn Maqil. Bahkan, tokoh tersebut terakhir
secara terang-terangan menyatakan kekagumannya terhadap
fatwa dan putusan yang dianggapnya brilian itu.



Belum pernah dijumpai putusan yang secerdas dan
sebrilian putusan Muawiyah. Orang Islam bisa menerima
warisan Ahl al-Kitab, sementara mereka tidak bisa menerima
warisan dari orang Islam. Sama dengan pernikahan; orang
Islam bisa menikahi perempuan kalangan mereka, tetapi
mereka tidak bisa menikai perempuan muslimah.97
Terlepas dari kontroversi seputar validitas transmisi
(sanad)-nya, riwayat di atas menyiratkan dua hal penting, yaitu:
1) Sengketa harta warisan, terlebih-lebih yang diwarnai oleh
nuansa ketegangan antar agama, adalah kasus sensitif yang
memerlukan penalaran yang komprehensif dan bijak. Di satu
sisi, berpijak hanya kepada acuan tekstual an sich hanya akan
berpotensi memperparah ketegangan. Sementara di sisi lain,
mengenyampingkan sama sekali pijakan tekstual tentu bukan
cara yang tepat, karena akan mendapatkan penolakan di mana-
mana.

97
Al-Hfizh Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br Syarh Shahh al-Bukhr (Ttp.: Dr al-
Rayyn li al-Turts, 1986), XII: 52.

155
Bab III

2) Inovasi hukum yang mengakomodir kebutuhan dan kondisi


aktual telah dilakukan semenjak masa awal Islam. Dalam ruang
lingkup hukum waris Islam, inovasi masalah warisa beda
agama, sebagaimana diceritakan oleh riwayat Muadz dan
Muawiyah di atas, hanyalah satu contoh saja dari sekian
banyak inovasi hukum waris yang dilakukan pada masa
Sahabat. Sebut saja, misalnya, masalah awl, radd, gharrawayn
dan musyarakah. Masalah-masalah kewarisan tersebut sarat
dengan inovasi, karena setelah jika diamati dengan cermat dan
kritis, semuanya telah mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua
ahli waris dari apa yang tertuang secara definitif dalam teks al-
Quran. Menariknya, semua inovasi tersebut ternyata tidaklah
selalu bergulir dengan mulus. Perlawanan dari sejumlah
Sahabat lain, utamanya yang berhaluan skriptualis, terhitung
cukup keras dan sengit. Sebagai contoh, pada kasus masalah
musyarakah, Umar ibn al-Khaththab, sang tokoh penggagas
yang saat itu sedang menjabat sebagai Khalifah, ditentang
habis-habisan oleh Abd Allah ibn Abbas dan Ubay ibn Kab.
Alasan mereka, gagasan Umar tersebut berlawanan dengan
ketentuan tekstual al-Quran.98
Perspektif KHI
Ketentuan tentang halangan mendapatkan warisan pada
KHI ternyata cukup tersebar di beberapa pasal sebagai berikut:
a. Pasal 171 item b dan c:
(b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

98
Muhammad Muhy al-Dn Abd al-Hamd, Ahkm al-Mawrts f al-Syarah al-
Islmiyyah al Madzhib al-Aimma al-Arbaa, ctk. I (ttp.: Dr al-Kitb al-Arab, 1984), hlm.
170; Ibn Qudmah Abd Allh ibn Qudmah, al-Mughn f Syarh Mukhtashar al-Kharaq (Kairo:
Dr al-Manr, 1987), VI: 181-182; Ibn Rusyd Muhammad ibn Ahmad al-Qurthub, Bidyah al-
Mujtahid wa Nihyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera, t.t.), II: 257.

156
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan


harta peninggalan.
(c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris.
b. Pasal 172:
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya
c. Pasal 173 item a dan b:
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dihukum karena:
1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
Apabila dicermati menurut pijakannya, ketentuan KHI
tentang halangan menerima waris bisa diklasifikasi menjadi tiga
bagian, yaitu:
a. Bagian yang diadaptasi dari literatur-literatur fiqih Islam.
Termasuk dalam bagian ini adalah:
1) Harus beragama Islam (Pasal 171 dan 172).

157
Bab III

2) Membunuh (Pasal 173 item a).


b. Bagian yang sepertinya diadopsi dari BW Pasal 838 item 1 dan
2. Termasuk dalam bagian ini adalah:
1) Mencoba membunuh (Pasal 173 item a).
2) Memfitnah pewaris bahwa dia pernah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima
tahun atau hukuman yang lebih berat lagi (Pasal 173 item b).
Perhatikan ketentuan BW Pasal 838 item 1 dan 2 di bawah ini:
Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris,
dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:
1) dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau
mencoba membunuh orang yang meninggal itu;
2) dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan
karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap
pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat lagi;99
Namun, meskipun sepertinya merupakan adaptasi dari
BW, dua ketentuan tersebut tidak tercerabut dari ketentuan-
ketentuan dalam hukum Islam waris Islam. Halangan karena
memfitnah pewaris, misalnya, senada dengan pendapat ulama
Malikiyyah bahwa memberikan kesaksian palsu (syahadah al-
zur) yang menyebabkan pewaris dihukum mati adalah bentuk
lain dari pembunuhan disengaja sebagai penghalang
menerima warisan.100

99
R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:
Pradaya Paramitha, 1982), hlm. 209.
100
Al-Zuhayl, al-Fiqh., hlm. 262.

158
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

c. Bagian yang merupakan inovasi ketentuan tentang halangan


menerima warisan, yaitu halangan menerima waris karena
menganiaya berat terhadap pewaris (Pasal 173 item a).
Klasifikasi di atas menyiratkan sebuah kenyataan
menarik, yaitu bahwa ketentuan KHI tentang halangan
menerima warisan (Pasal 171, 172 dan 173) merupakan bentuk
kompromistik dari hukum waris Islam di satu sisi dan BW di sisi
yang lain. Bentuk kompromistik seperti itu tentu memerlukan
kajian yang komprehensif, agar memiliki pijakan metodologis
yang bisa dipertanggungjawabkan.
Seperti ditegaskan oleh Busthanul Arifin, salah seorang
tokoh perumus KHI, Pasal 173 KHI adalah serapan dari materi
hukum BW yang tumbuh dari norma dan etika agama Kristen.
Meski demikian, perlu ditelusuri secara lebih jelas apakah
penyerapan aturan kewarisan BW tersebut bertentangan
dengan hukum Islam ataukah tidak.101
Praktik di Pengadilan
Dua putusan Mahkamah Agung (MA), yakni Nomor: 368
K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal
29 September 1999, adalah yang paling banyak disorot oleh
publik. Penyebabnya adalah karena melalui dua putusan tersebut,
MA memutuskan memberikan bagian warisan, tepatnya dengan
wasiat wajibah, kepada ahli waris non muslim. Bedanya, jika, pada
putusan pertama, ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai
ahli waris, maka, pada putusan kedua, ahli waris non muslim
dinyatakan sebagai ahli waris serta mendapatkan bagian yang
sama dengan ahli waris muslim.102

101
Dikutip dari: http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).
102
Moh. Muhibuddin, Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim di
Indonesia, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09 Juli 2011).

159
Bab III

Di satu sisi, dua putusan tersebut memang bisa dijadikan


sebagai contoh upaya inovasi yurisprudensial yang dilakukan oleh
hakim atau lembaga peradilan. Selain karena hakim memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang menyimpang
dari ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap
kontradiktif dengan cita rasadisebut dengan contra legem,
putusan MA di atas tentu didasari oleh banyak pertimbangan lain,
semisal menjaga keutuhan keluarga, mengakomodir realitas sosial
masyarakat Indonesia yang plural dan memenuhi rasa keadilan.
Putusan tersebut tentu memberikan warna baru dalam wacana
hukum waris Islam.103
Namun, di sisi lain, putusan MA tersebut masih menyisakan
beragam persoalan, baik yang terkait dengan pijakan metodologis
(ushul fiqih) maupun pijakan yuridis. Secara metodologis, masih
terjadi kesimpang-siuran di kalangan pemerhati hukum Islam
tentang ijtihad, fatwa ataupun putusan pengadilan yang
berlawanan dengan teks al-Quran dan hadits. Sementara secara
yuridis, putusan tersebut tidak memiliki acuan yang baku, karena
berlawanan dengan ketentuan dalam KHI yang tidak memberikan
harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris
non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Pengambilan
putusan seperti itu kurang sejalan dengan prinsip kepastian
hukum, terutama yang terkait dengan sumber hukum.
Fakta di Masyarakat
Secara umum, ketentuan halangan menerima warisan,
sebagaimana diatur dalam hukum waris Islam dan KHI, masih
dianggap sebagai ketentuan terbaik dan final di kalangan
masyarakat, utamanya yang berbasis keagamaan kuat. Terbukti,

103
Ibid.

160
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga saat ini, tetap
memakainya sebagai salah satu dasar hukum.
Hal yang sama juga dijumpai pada komunitas pesantren,
terutama dengan formulasi kurikulum dan kerangka pemikiran
yang berbasis kitab kuning yang masih tetap dipertahankan
hingga saat ini. Terbukti, hingga saat ini, belum dijumpai hasil
bahtsul masail dari komunitas pesantren yang menghasilkan
produk hukum yang berbeda.
Hanya di kalangan masyarakat yang hukum adatnya relatif
kuat, atau mungkin yang beragam pemeluk agamanya, saja yang
sedikit memiliki perbedaan. Sebut saja, misalnya, masyarakat desa
Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman Provinsi D.I.
Yogyakarta104 yang sudah tidak asing dengan pewarisan lintas
agama.
Refleksi
Dari uraian panjang-lebar tentang halangan menerima
warisan di atas, bisa dipahami bahwa hukum waris Islam berada di
antara dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, ia terikat dengan
seperangkat teks al-Quran dan hadits yang memuat ragam
ketentuan teknis kewarisan yang sudah dianggap baku. Piranti
metodologis (ushul fiqih) yang ada selama ini dibangun dalam
suatu konstruksi teoretik yang menguatkan teks-teks tersebut.
Namun, di sisi lain, hukum waris Islam berhadapan langsung
dengan realitas sosial yang dinamis serta berkembang sedemikian
rupa, sehingga menuntut berbagai inovasi dan adaptasi yang
acapkali berlawanan dengan muatan ajaran teks.

104
Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Warisan Beda
Agama di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09 Juli 2011).

161
Bab III

Itulah sebabnya, pada bagian refleksi kali ini, perlu


diangkat kembali dua hal yang sangat penting dalam kaitannya
dengan dua sisi berseberangan yang dihadapi oleh hukum waris
Islam di atas. Dua hal tersebut adalah: 1) tinjauan historis hukum
waris Islam, utamanya yang terkait dengan semangat inovatif yang
termuat di dalamnya, dan 2) pijakan metodologis (ushul fiqih)
yang bisa menopang semangat inovasi tersebut.
Tinjauan Historis
Sepanjang sejarah perjalanannya, mulai dari masa awal
Islam hingga saat ini, hukum waris Islam sebenarnya berjalin
berkelindan dengan inovasi hukum. Bahkan, lebih dari itu,
keberadaan hukum waris Islam sendiri sebenarnya merupakan
inovasi luar biasa yang merombak sistem pewarisan harta era Pra-
Islam. Diakui atau tidak, berbagai upaya inovasi tersebut
menyiratkan watak fleksibel hukum waris Islam dalam konteks
perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Tidak
berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa hukum waris merupakan
salah satu contoh terbaik dari evoluasi hukum Islam.
Sebagaimana diketahui, hukum waris Islam hadir di
tengah-tengah sebuah sistem sosial kesukuan (tribal society
system) bangsa Arab pra-Islam yang memiliki dua karakteristik
yang khas, yaitu:
1) Struktur sosialnya bersifat patrilineal (mujtama abawi), di mana
eksistensi kaum perempuan melebur ke dalam garis laki-laki.105
Hal ini tercermin dari sebuah syair Arab pra-Islam berikut ini:

105
Halimah Barakat, The Arab Family and Challenge of Social Transformation,
dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.), Women and Family in the Middle East (Texas:
University of Texas Press, 1995), hlm. 28.

162
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

o
Keturunan kita adalah anak-anak laki-laki kita beserta keterunan
mereka, dan juga anak-anak perempuan kita. Sementara
keturunan anak-anak perempuan kita tidak termasuk keturunan
kita, melainkan keturunan laki-laki nun jauh di sana.106
2) Sistem sosialnya bersifat patriarkal. Segalanya berpusat kepada
eksistensi dan peran laki-laki, baik dalam ranah publik ranah
domestik. Sebab hanya laki-lakilah yang saat itu mampu
memberikan kontribusi sosial bagi keberlanjutan kehidupan
suku.107
Implikasinya mudah ditebak. Sistem pembagian harta warisan
menjadi diskriminatif. Hanya kaum laki-laki dewasa saja yang
bisa mewarisi harta kekayaan, baik melalui jalur hubungan
keluarga (nasab), pengangkatan anak (tabanni) maupun
perjanjian (half wa ahd).108 Sementara kaum perempuan, anak-
anak, orang-orang jompo dan orang-orang cacat sama sekali
tidak memilliki hak apa-apa. Prinsip yang dipegang teguh
adalah senioritas (the principle of seniority) dan keikutsertaan
dalam aktivitas militer (the principle of comradship in arms).109

106
Muhammad Rasyd Ridh, Tafsr al-Qurn al-Hakm, ctk. II (Beirut: Dr al-
Marifah, 1973), IV: 405.
107
Hammdah Abd al-Ath, The Family Structure in Islam (Indiana: Islamic Book
Service, 1977), hlm. 8-9
108
Rasyd Ridh, Tafsr., hlm. 402; M. Musthafa Khan, Islamic Law of Inheritance: A
New Approach (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), hlm. 8.
109
Abd al-Ath, The Family., hlm. 250-251. Prinsip ini tercermin dalam penyataan
orang-orang Arab pra-Islam bahwa Kami tidak akan merwariskan harta kami kepada orang
yang tidak bisa menunggang kuda, menghunus pedang, menggunakan anak panah,
mengusir musuh dan menjaga keselamatan suku. Lihat: Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-
Thabar, Jmi al-Bayn f Tafsr al-Qurn, ctk. II (Beirut: Dr al-Marifah, 1972), IV: 176 dan
185.

163
Bab III

Saat itulah, hukum waris Islam hadir sebagai sistem


tandingan yang mengusung misi emansipasipatoris untuk
merombak secara radikal namun bertahap (tadrijiyyan) sistem
waris Arab pra-Islam, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1) Penyadaran persuasif tentang kesetaraan derajat manusia di
hadapan Allah swt.110 Hal ini tercermin dari ayat-ayat periode
Mekkah yang memang memuat prinsip-prinsip umum
agama.111
2) Pasca peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah, hubungan
persaudaraan yang tulus (wilayah) antara Sahabat Muhajirin
dan Sahabat Anshar dijadikan standar baru dalam pewarisan;
menggeser prinsip partisipasi militer, sehingga memberi
peluang bagi setiap orang, terlepas dari status sosial dan
kelaminnya, untuk mewariskan ataupun mewarisi harta.112
3) Setelah ikatan persaudaraan seiman semakin kuat, standar
untuk bisa mewariskan dan mewarisi harta dipersempit hanya
di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah (ulu al-
arham).113 Pewarisan melalui jalur pengangkatan anak (tabanni)
dilarang keras,114 sementara pewarisan melalui jalur perjanjian
masih dipertahankan,115 karena janji memang harus ditepati.
4) Penyadaran persuasif tentang hak-hak kaum perempuan. Selain
mengecam keras kebiasaan memperlakukan kaum perempuan

110
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in A World
Civilization (The Classical Age of Islam), ctk. I (Chicago: Chicago University Press, 1974), I: 163.
111
Misalnya: QS. al-Arf (7):85; al-Isr (17):23 dan 33, al-Kahf (18):110; al-Syuar
(26):130; al-Hujurt (49):13; al-Dzriyt (51):56.
112
Muhammad al-Khudar Bek, Trkh al-Tasyr al-Islm (Surabaya: Al-Hidyah,
t.t.), hlm. 91.
113
QS. al-Ahzb (33):6.
114
QS. al-Ahzb (33):4.
115
QS. al-Nis (4):33.

164
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sebagai barang warisan,116 al-Quran juga menjamin hak-hak


wajar mereka untuk mendapatkan bagian harta warisan117
namun prosentase bagian warisan (nashib) masih belum
dijelaskan secara terperinci.
5) Setelah prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan,
utamanya dalam hal pembagian harta warisan, telah tertanam
kuat dalam kesadaran sosial masyarakat, barulah al-Quran
memberikan ketentuan operasional tentang prosentase
pembagian warisan.118
Inovasi hukum waris Islam terus berlangsung hingga masa
Sahabat. Masalah awl, radd, gharrawayn dan musyarakah,
misalnya, yang digagas dan digulirkan oleh tokoh-tokoh
sekaliber Umar ibn al-Khaththab dan Ali ibn Abi Thalib,
misalnya, atau masalah waris beda agama yang difatwakan
oleh Muadz ibn Jabal dan dilegislasi oleh Muawiyah ibn Abi
Sufyan, sebagai contoh lain, adalah sekian ragam pemikiran
kewarisan yang sarat dengan inovasi. Disebut inovatif, karena
setelah jika diamati dengan cermat dan kritis, semuanya telah
mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua ahli waris dari apa
yang tertuang secara definitif dalam teks al-Quran.
Namun, berbagai upaya inovasi seperti yang sudah
dicontohkan oleh Sahabat, lambat-laun namun pasti,
menghilang dari wacana pemikiran hukum Islam, seiring
dengan stagnasi pemikiran (baca: taqlid) yang melanda umat
Islam secara keseluruhan. Ketentuan hukum waris menjelma
menjadi teks suci yang bersifat final, taken for granted dan
haram hukumnya jika diubah.

116
QS. al-Nis (4):19 dan 22.
117
QS. al-Nis (4):7.
118
QS. al-Nis (4):11-14 dan 176.

165
Bab III

Pijakan Metodologis
Selama ini, setiap inovasi dan pembaruan hukum Islam,
khususnya yang berkaitan dengan waris, selalu berbenturan
dengan sebuah konstruksi pemikiran yang, menurut hemat
penulis, terkristalisasi menjadi prinsip kemutlakan otoritas ujaran
verbal teks al-Quran dan hadits. Prinsip tersebut tercermin dari
beberapa teori ushul fiqih berikut:
a. Teori mufassar atau nash.
Menurut para ulama ushul fiqih, hal-hal rinci dalam teks
al-Quran dan hadits, semisal angka-angka 1/2 (nishf), 1/3
(tsuluts), 1/6 (sudus) dan 1/8 (tsumun) dalam bidang waris,
dinilai bersifat definitif (qathi) serta tidak memiliki makna
apapun lagi selain jumlah matematis yang dikandungnya. Hal-
hal rinci tersebut disebut dengan mufassar menurut ulama
Hanafiyyah atau nash menurut ulama Mutakallimun. Hal-hal
rinci yang bersifat definitif tersebut menutup peluang bagi
upaya tawil (penafsiran metaforis) ataupun takhshish serta
hanya menerima naskh. Oleh karena itu, ia harus diterapkan apa
adanya.119
b. Teori mashalahah gharibah.
Sebagai konsekuensi dari teori mufassar di atas, maka
pertimbangan kemaslahatan apapun, sekuat apapun ia, bila
bertentangan dengan ujaran nash yang kandungan maknanya
berstatus qathi al-dalalah, sama sekali tidak memiliki nilai
hukum. Dalam arti, ia tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam

119
Muhammad Adb Shlih, Tafsr al-Nushsh f al-Fiqh al-Islm: Dirsah
Muqranah li Manhij al-Ulam f Istinbth al-Ahkm min Nushsh al-Kitb wa al-Sunnah,
ctk. III (Beirut: Al-Maktab al-Islm, 1984), I:169.

166
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

penalaran hukum. Dalam ushul al-fiqh, kemaslahatan seperti ini


diistilahkan sebagai mashlahah gharibah atau munasib mulgha
(kemaslahatan yang asing serta tidak memiliki nilai hukum).120
c. Teori hadits ahad.
Mayoritas ulama, seperti dikutip oleh al-Nawawi,
menyatakan bahwa menerapkan hadits ahad (inklusif di
dalamnya hadits tentang waris beda agama di atas, pen.),
sepanjang garis transmisinya valid (shahih), adalah wajib
hukumnya, terlepas dari apakah muatan maknanya yang
bersifat definitif (qathi) masih spekulatif (zhanni). Keniscayaan
menerapkan hadits had bukan dipengaruhi oleh muatan
maknanya, melainkan karena diperintahkan oleh Allah swt. dan
Rasul-Nya.121
Terkait dengan semangat inovasi hukum tentang
halangan menerima warisan (mawani al-irts), di saat dihadapkan
dengan prinsip kemutlakan otoritas ujaran verbal teks al-Quran
dan hadits, perlu diingat dua hal berikut:
a. Tidak dijumpai satu ayat pun dalam al-Quran yang menyatakan
secara eksplisit tentang halangan menerima waris. Di antara
sekian ayat waris dalam al-Quran, utamanya surat al-Nisa,
sama sekali tidak dijumpai pernyataan tentang halangan
menerima warisan. Ayat al-Quran yang biasanya dijadikan
sebagai pijakan bagi halangan menerima waris, utamanya
dalam kasus perbedaan agama, adalah ayat berikut:

120
Adb Shlih, Tafsr al-Nushsh., I: 169.
121
Muhy al-Dn al-Nawaw al-Dimasyq, Syarh Shahh Muslim, ctk. I (Mesir: al-
Mathbaah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.

167
Bab III

... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada


orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman.122
Namun, ayat di atas sebenarnya tidak berbicara tentang
halangan menerima waris, melainkan tentang orang-orang
munafiq yang oportunis bermuka dua, sehingga tidak tepat jika
dijadikan sebagai landasan tekstual bagi perbedaan agama
sebagai halangan menerima warisan.
b. Pijakan tekstual ketentuan halangan menerima waris adalah
hadits Rasulullah saw., sebagaimana telah disebutkan pada
bagian lain dari makalah ini, yaitu:


Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non
muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa
menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan
Muslim).
Di satu sisi, hadits tersebut memang dinilai valid
(shahih), sehingga dinilai memenuhi syarat untuk digunakan
sebagai sumber hukum. Faktanya, hadits itulah terlepas dari
definitif atau spekulatif muatan maknanya yang dipakai sebagai
pijakan utama bagi ketentuan perbedaan agama sebagai salah
satu penghalang menerima warisan.
Pada kenyataannya, otoritas hadits tersebut memang begitu
kuat pengaruhnya terhadap ketentuan hukum waris Islam
tentang penghalang menerima warisan. Buktinya, seperti
tercermin dari Fatwa MUI pada tahun 2005, pemberian harta

122
QS. Al-Nis (4): 141.

168
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada orang yang berbeda agama melalui jalur waris


berkebalikan hukumnya dengan pemberian harta melalui jalur
hibah, wasiat dan hadiah.123
Oleh karena itu, perbincangan tentang pijakan metodologis
inovasi hukum waris Islam, utamanya yang berkenaan dengan
halangan menerima warisan, bisa didekati dengan beberapa
perspektif alternatif berikut:
a. Muhammad Mushthafa Syalabi mengkritik keras prinsip
taabbud (ketundukan mutlak kepada ujaran verbal teks)
pada ranah pranata sosial (adat, muamalat). Menurutnya,
prinsip tersebut merupakan persepsi yang rancu, karena
bertentangan dengan prinsip umum bahwa hukum Islam,
utamanya yang berada pada ranah pranata sosial, bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Jadi
terdapat konteks historis dan tujuan yang bisa dinalar.124
Sebagai tindak lanjut dari kritik kerasnya itu, Syalabi
kemudian mengklasifikasi hukum Islam, baik yang berasal
dari ujaran teks maupun dari ijtihad ulama, berdasarkan
illah yang dikandungnya. Salah satu yang penting di
antaranya adalah kelompok kedua, yaitu hukum yang lahir
pada zaman Nabi saw. yang dilatarbelakangi oleh illah
tertentu, tetapi pada era berikutnya, kondisi sosial sudah
berubah, sehingga illah tersebut sudah tidak relevan lagi.
Atas dasar itu, para ulama masa itu kemudian melakukan

123
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS
VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli
2011).
124
Muhammad Mushthaf Syalab, Tall al-Ahkm:Ardh wa Tahll li Tharqah al-
Tall wa Tathawwurih f Ushr al-Ijtihd wa al-Taqld, ctk. II (Beirut: Dr al-Nahdhah al-
Arabiyyah, 1981), hlm. 299.

169
Bab III

inovasi, sesuai dengan tingkat perubahan sosial tadi.


Contohnya adalah penghapusan zakat bagi kaum muallaf
dan sistem pembagian harta rampasan perang
(ghannimah).125
b. Menghadapi situasi dilematis antara ujaran verbal teks
hadits pada bidang pranata sosial di satu sisi dan realitas
sosial yang kompleks di sisi lain, Ali Hasb Allah
mengemukakan sebuah pernyataan yang menarik:




Di saat terjadi kontradiksi antara kepentingan umum
(mashlahah) dan ujaran verbal teks, maka mashlahah yang
diunggulkan manakala bersifat pasti dan primer (dharr).
Namun, jika mashlahah tersebut bersifat tersier (tahsi}n),
maka ujaran verbal tekslah yang diunggulkan. Sementara itu,
mashlahah yang bersifat sekunder (hj) lebih tepat jika
dipersamakan dengan mashlahah yang primer.
Penutup
Demikianlah makalah yang serba terbatas ini penulis susun
dan sampaikan. Segala kekurangan dan kesalahan yang sudah
pasti bisa dijumpai di dalamnya mudah-mudahan dipermaklumi
dan dikritik secara konstruktif. Bagaimanapun, segala keterbatan
yang dimiliki oleh penulis tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

125
Syalab, Tall al-Ahkm., hlm. 34-42.

170
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka
Al-Qurn al-Karm.
Abd al-Ath, Hammdah, The Family Structure in Islam (Indiana:
Islamic Book Service, 1977).
Adb Shlih, Muhammad, Tafsr al-Nushsh f al-Fiqh al-Islm:
Dirsah Muqranah li Manhij al-Ulam f Istinbth al-
Ahkm min Nushsh al-Kitb wa al-Sunnah, ctk. III (Beirut:
Al-Maktab al-Islm, 1984).
Barakat, Halimah, The Arab Family and Challenge of Social
Transformation, dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.),
Women and Family in the Middle East (Texas: University of
Texas Press, 1995).
Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian
Warisan Beda Agama di Desa Sumbersari Kecamatan
Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09
Juli 2011).
Http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).
Ibn Hajar al-Asqaln, Al-Hfizh, Fath al-Br Syarh Shahh al-
Bukhr (Ttp.: Dr al-Rayyn li al-Turts, 1986).
Ibn Jarr al-Thabar, Ab Jafar Muhammad, Jmi al-Bayn f Tafsr
al-Qurn, ctk. II (Beirut: Dr al-Marifah, 1972).
Ibn Qudmah, Abd Allh ibn Qudmah, al-Mughn f Syarh
Mukhtashar al-Kharaq (Kairo: Dr al-Manr, 1987);
Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad al-Qurthub, Bidyah al-
Mujtahid wa Nihyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera,
t.t.).

171
Bab III

Khudar Bek, al-, Marshall G. S., Trkh al-Tasyr al-Islm (Surabaya:


Al-Hidyah, t.t.).
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa Nomor: 5/MUNAS
VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama,
http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli 2011).
Muhammad Muhy al-Dn Abd al-Hamd, Ahkm al-Mawrts f al-
Syarah al-Islmiyyah al Madzhib al-Aimma al-Arbaa,
ctk. I (ttp.: Dr al-Kitb al-Arab, 1984)
Muhibuddin, Moh., Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim
di Indonesia, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09
Juli 2011).
Musthafa Khan, M., Islamic Law of Inheritance: A New Approach
(New Delhi: Kitab Bhavan, 1989).
Nawaw al-Dimasyq, al-, Muhy al-Dn, Syarh Shahh Muslim, ctk. I
(Mesir: al-Mathbaah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.
Rasyd Ridh, Muhammad, Tafsr al-Qurn al-Hakm, ctk. II (Beirut:
Dr al-Marifah, 1973).
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982)
Syalab, Muhammad Mushthaf, Tall al-Ahkm:Ardh wa Tahll li
Tharqah al-Tall wa Tathawwurih f Ushr al-Ijtihd wa al-
Taqld, ctk. II (Beirut: Dr al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1981),
hlm. 299.
Zuhayl, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, ctk. II (Beirut:
Dr al-Fikr, 1985).

172
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HARTA BERSAMA
H.A. Sukris Sarmadi

Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk
akan segala budaya. Dalam perkembangan hukum yang terjadi di
Indonesia, hukum Islam termasuk menjadi sumber hukum di
Indonesia.126 Terutama di bidang hukum keperdataan.127 Dalam
realitasnya, umat Islam di Indonesia merupakan jumlah mayoritas
di negeri ini. Harapan umat Islam pada umumnya menjadikan
hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal
ini didasarkan pada cara berpikir pandangan hidup dan karakter
suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.128
Kenyataan ini sesuai dengan sejarah panjang Islam di Indonesia
hingga interaksinya dengan hukum barat yang dibawa oleh
kolonial Belanda yang mengakui akan berlakunya hukum Islam
dalam lapangan keperdataan tertentu.
Kondisi sekarang umat Islam di Indonesia telah dapat
melaksanakan hukum Islam di dasarkan pada berbagai legalisasi
perundang-undangan seperti Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama kemudian disempurnakan dengan
Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

126
Suparman Usman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 122
127
Zainuddin Ali menterjemahkan keperdataan dengan fiqh al muamalat, hal ini
dikarenakan dalam fiqh bagian muamalat dalam arti luas mencakup hukum keperdataan.
lih. Zainuddin Ali, 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 68
128
R. Subekti, 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta : Pradnya
Paramita, hlm. 3

173
Bab III

Disempurnakan lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 50


tahun 2009. Bidang keperdataan lainnya adalah pemberlakuan
Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf .129 Tidak hanya
pada keperdataan umum saja namun berlanjut pada masalah
ibadah seperti Undang-Undang N0. 13 Tahun 2008 tentang Haji
hingga di bidang ekonomi yaitu pemberlakuan Undang-Undang
No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 130
Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dikarenakan
prinsip atau asas hukum perbankan syariah berbeda dengan
perbankan konvensional.131
Lapangan hukum materil keperdataan sebenarnya telah
diberlakukan Kompilasi Hukum Islam sebagai dokumen Yustisia
yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991.132 KHI sebagai
dokumen Yustisia berarti dijadikan pedoman bagi Hakim di
lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Pada saat ini, seluruh hakim lingkungan Peradilan Agama telah
menjadikan KHI sebagai rujukan yustisia sekalipun di temukan di
beberapa daerah ada pendapat hakim yang berbeda terhadapnya
menyangkut beberapa persoalan kewarisan dan perkawinan. Ini

129
Sebagai penyempurnaan dari PP No. 28 thn. 1977 tentang Perwakaan Tanah.
Vide, Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan Hukum
Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task.
130
Sebelum diberlakukan UU No. 19 tahun 2008 telah berlaku PP RI N0. 39 Tahun
2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan
BI N0. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
131
Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta :
Genta Press, hlm. 70.
132
Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama, hlm. 1-9.

174
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bukan berarti KHI tidak laik untuk dijadikan bahan rujukan


Nasional
KHI memang belum sempurna karena masih menyisakan
persoalan-persoalan hukum, untuk itu perlu disempurnakan. Hal
ini cukup dirasakan oleh A. Hamid S. Atamimi sehingga beliau
mengatakan, marilah kita terima KHI secara realistik sebagaimana
apa adanya. Ia banyak mengandung kelemahan. Karenanya ia
perlu disempurnakan.133 Di antara persoalan tersebut adalah
menyangkut persoalan harta benda dan kewarisan. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa bidang hukum waris
dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar
bidang-bidang yang bersifat netral seperti hukum perseroan,
hukum kontrak (perikatan) dan hukum lalu lintas (darat, air dan
udara).134 Bidang waris termasuk bidang hukum yang
mengandung terlalu banyak halangan, adanya komplikasi-
komplikasi kultural, keagamaan dan sosiologi.135
Adalah wajar jika Kompilasi Hukum Islam sendiri diakui
sangat besar manfaatnya sebagai dokumen materil hukum Islam
yang dulunya hanya berdasar kitab-kitab fiqh klasik. Dengan
Kompilasi Hukum Islam telah memberikan start awal
pengkodifikasian hukum Islam sehingga memudahkan penerapan
hukum Islam bidang keperdataan khusus. Jika ia dapat dijadikan
suatu UU, tentu akan lebih baik sembari memperbaiki bagian yang
hingga sekarang masih menyisakan persoalan. Atas kenyataan ini,
UU materil hukum Islam sangat penting di buat karena betapa

133
A. Hamid S. Atamimi, 1992. Compendium Freijer Upaya Mempositipkan
Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan Hukum tahun N0. hlm 137-138, 144.
134
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bandung : Bina Cipta, hlm. 14
135
Ibid, h. 12

175
Bab III

besar keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian


hukum bagi pencari keadilan.
Mahfud MD mengatakan bahwa dengan menerima
berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat
melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apapun, bahkan dapat
membuat fiqh sendiri yang khas Indonesia. Ada kaidah ushul fiqh
yang biasa dipakai dalam penerimaan atas hukum inklusif itu,
yakni ``maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu``. Jika tidak
dapat mengambil seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya. Jika
sudah memperjuangkan secara demokratis untuk memberlakukan
hukum Islam sebagai hukum formal nasional tetapi gagal,
berjuanglah melalui sisa peluang yang tersedia, yakni
melaksanakan hukum Islam secara inklusif sebagai produk
demokrasi.136
Progresif Harta Bersama; Objek Baru Dalam Faraid al Islam
Istilah harta bersama perkawinan tidak pernah dibahas
dalam kitab fiqh tradisional terlebih lagi mengenai pembagian dari
harta bersama apabila salah satu pihak meninggal dunia sehingga
menjadi bagian dari ijtihad masa kini di dunia Islam khususnya di
Indonesia. Sejauh ini persoalan harta bersama (syirkah) dalam
pengertian umum (muamalah), fiqh Islam membahasnya secara
khusus. Beberapa macam syirkah telah diperkenalkan dalam
hukum materil klasik seperti syirkah al Muwafadah.137 Syirkatu Al
Abdan, Syirkatu Al Inan,138 Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah,

136
Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga dalam
http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=32&
HPSESSID=b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0
137
Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J. III, Bairut-
Libanon, 1990, h. 67
138
Ibid, h. 76

176
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Syirkatu al Amlak.139 Sebagian berpendapat bahwa harta bersama


masuk dalam pengertian syirkah al amlaak yang dimaknakan
dengan kepemilikan bersama atas suatu benda (syarikah al-ain),
seperti kepemilikan bersama atas harta yang diwarisi oleh dua
orang, atau harta yang dibeli oleh dua orang, atau harta yang
dihibahkan orang lain kepada dua orang itu, dan yang
semacamnya.140Tetapi pendapat ini sangat berbeda dengan illat
maksud dari istilah harta bersama karena perkawinan dalam KHI.
Sebab dalam KHI, harta bersama perkawinan terjadi secara
otomatis karena sebab perkawinan. Sementara illat Syirkah al
Muwafadah Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan, Syirkatu Al Irts,
Syirkatu al Ghonimah, Syirkatu al Amlak terjadi sebab lain seperti
karena perjanjian, pemberian dan milik pribadi.
Harta bersama didefinisikan dalam KHI tersebut dalam
Pasal 1 huruf f bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau
syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun. Pengertiannya berarti secara
otomatis setiap peroleh suami atau istri selama dalam perkawinan
menjadi otomatis bermakna harta bersama kecuali karena
perolehan hibah, wasiat dan warisan (vide Pasal 1 huruf f dan Pasal
86, 87 KHI).141 Dalam konteks ini KHI meneguhkan apa yang ada
dalam Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang mendefinisikan bahwa Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, Pasal 88 s.d

139
Ibid, h. 69
140
Taqiyuddin An-Nabhani, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar al Fikr,
Cairo, h. 150
141
A. Sukris Sarmadi, 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008 Yogyakarta, h. 118

177
Bab III

Pasal 97 KHI merupakan lex special dari Pasal 35 ayat (1) UU


Perkawinan.
Harta bersama pada Pasal 85 s.d Pasal 97 KHI mengklasifi-
kasikannya dalam harta kekayaan perkawinan dan kemungkinan
adanya harta lain selama perkawinan. Setidaknya ada dua bagian
pokok hukum harta kekayaan dalam perkawinan, sebagai berikut :
1. harta bawaan; harta milik sendiri, perolehan sebelum perka-
winan (Pasal 87, 88 KHI), karena suatu pemberian, hibah,
wasiat, warisan sebelum dan sesudah perkawinan (Pasal 85, 86
KHI)
2. harta bersama perkawinan karena terjadi perkawinan dan
karena perjanjian (Pasal 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97
KHI).
Dari dua pokok harta tersebut, keduanya memungkinkan
menjadi objek harta warisan dikemudian hari. Ada kesepakatan
yang umum di kalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab
kewarisan yakni karena hubungan perkawinan, kekerabatan dan
perwalian. Hubungan perkawinan (Ashab al-Furudh al-Sababiah)
dimaksud adalah dapat saling waris-mewarisi antara suami istri
yang masih dalam ikatan perkawinan,142 yakni kematian salah satu
pihak. Perceraian antara mereka sewaktu mereka hidup
mengakibatkan tidak terjadinya kewarisan.143

142
A. Sukris Sarmadi, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam Tranformatif,
Rajawali Pers, Jakarta, h. 27
143
Perceraian di sini dalam arti talak bain, sedangkan perempuan yang masih
dalam iddah talak rajiyah masih berhak memperoleh kewarisan jika suaminya meninggal
pada masa itu. Selanjutnya, dalam fiqh klasik perceraian (talak bain) berakibat bagi istri tidak
lagi akan mendapatkan harta kecuali jika ia memiliki anak, maka biaya hadhanah tetp
menjadi tanggung jawab suami. Baik dalam UU No. 1/1974 maupun pada Komilasi Hukum
Islam, perceraian berakibat adanya pembagian harta bersama. Sebuah perkawinan
dianggap telah membentuk terjadinya harta bersama walaupun hanya suami saja yang

178
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sementara itu, akibat kematian salah satu pihak dari suami


istri berakibat adanya harta yang diwarisi oleh yang masih hidup
terhadap yang telah meninggal dunia, baik terhadap sisa harta
bersama maupun harta bawaan orang yang lebih dulu meninggal
dunia. Di sinilah konteks persoalan tentang harta waris (al-
Mauruts) adalah sejumlah harta milik orang yang meninggal dunia
(pewaris) setelah diambil sebagaian harta tersebut untuk biaya-
biaya perawatan jika ia menderita sakit sebelum meninggalnya,
penyelenggaraan jenazah, penunaian wasiat harta jika ia
berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika ia berutang
kepada orang lain sejumlah harta.144
Berdasar demikian, apa yang disebut dalam kitab-kitab
klasik terhadap persoalan objek harta kewarisan harta waris (al-
Mauruts) hanya berkaitan dengan apa yang dimiliki oleh orang
yang meninggal dunia. Bila ia adalah suami atau istri, maka apa
saja yang dimiliki mereka setelah dikurangi dengan kewajiban
mereka yaitu wasiat, hutang dan tahjiz. Maka jika suatu hukum
hasil ijtihad menyatakan adanya harta bersama perkawinan maka
harus dikurangi pula dengan harta bersama. Karena separoh harta
bersama menjadi milik suami atau istri yang masih hidup dan
merupakan paroan yang bukan kewarisan.
Konteks bahasa lain bisa dinyatakan bahwa objek harta
warisan telah memprogresif mengikuti akibat suatu ijtihadi adanya
harta bersama perkawinan. Suami atau istri yang masih hidup
beroleh dua hak, pertama separoh dari harta bersama. Kedua
adalah separohnya dari harta bersama menjadi harta warisan di

bekerja, pembagian sejumlah sama rata, dengan kata lain bila suami meninggal, istri berhak
separoh harta tersebut lihat KHI.Pasal .96 Bab XIII.
144
A. Sukris Sarmadi, Op. Cit. h. 33

179
Bab III

tambah harta bawaan pewaris suami atau istri berbagi (fard)


bersama ahli waris lain. Di sini ada pemaknaan baru tentang objek
harta waris (al-Mauruts). Ada hak baru dalam lingkaran kewarisan
terhadap pewaris, harta waris dan ahli waris yang oleh ulama
faradiyun dianggap sebagai lingkaran kesatuan yang tak dapat
dipisahkan dan menjadi asas yang fundamental (rukun) terjadinya
kewarisan.145
Harta Bersama : Menilai dan menformat KHI
Butir Pasal yang ada dalam KHI tentang harta bersama
(Pasal 85 s.d. Pasal 97) berjumlah 13 Pasal. Sebenarnya butir Pasal
terlalu banyak dan masih menyisakan ruang kosong pengertian
tentang harta bersama yang memungkinkan terjadinya ketidak-
pastian hukum terlebih dikaitkan dengan persoalan menjadi objek
kewarisan. Bagian ini dapat diketengahkan, sebagai berikut :
Pasal 1 huruf f
Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama
dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Seharusnya disinggung soal harta bawaan sehingga berbunyi :
Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama suami atau istri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung bukan karena harta bawaan
yang selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun.

145
Para ulama menegaskan sebagai rukun terjadinya suatu kewarisan yakni
adanya pewaris, harta waris dan ahli waris. Tidak ada salah satunya mengakibatkan tidak
berlakunya suatu kewarisan. Sayid Sabiq, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,
h. 426

180
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 85 :
Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
146

Pasal 86 :
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
harta istri karena perkawinan,
(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 :
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.147
(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, sadaqoh atau lainnya.
Pasal 88 :
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta
bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.

146
Pasal 119 Burgelijk Wetboek (BW) mengatur masalah harta bersama
perkawinan.bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki
suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri. Pasal 128 BW menetapkan
bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli
waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
147
Pasal 139-154 BW mengisaratkan bila pasangan suami istri sepakat untuk tidak
menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris
sebelum perkawinan.

181
Bab III

Pasal 89 :
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri
maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 :
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun
harta suaminya yang ada padanya.
Semua Pasal tersebut di atas sebenarnya telah dapat
relevan dengan penalaran keislaman modern selama ini, baik
sebagian adopsi fiqh klasik maupun ijtihadi terhadapnya. Harta
kekayaan sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 1
huruf (f) dalam perkawinan dianggap akan menjadi harta bersama
(syirkah) walaupun tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing suami istri (vide, psl.85 KHI). Apa yang
dimaksud dengan harta masing-masing tersebut adalah harta
bawaan dari masing-masing mereka, baik sebagai hadiah dari
orang lain atas dirinya atau warisan dari orang tuanya atau dari
pihak jurusan di mana ia berhak memperoleh warisan atau
pemberian lainnya (vide, psl 87 ayat 1). Mengenai harta bawaan
dan harta pemberian seseorang karena sebab tertentu ditegaskan
dalam al Quran, sebagai berikut :




Untuk laki-laki ada bagian perolehan harta dari
peninggalan (pemberian) ibu bapak dan karib kerabat yang
dekat (kepadanya) sebagaimana halnya bagi wanita ada
bagian perolehan harta dari peninggalan (pemberian) ibu

182
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bapak dan karib kerabat yang dekat, baik sedikit ataupun


banyak sebagai bagian yang telah ditetapkan kepadanya.
(Q.S(4) An Nisaa:7).
Ayat tersebut di atas bukan hanya memberi konsep sebab
terjadinya pemilikan harta bagi seseorang berupa harta warisan
ataupun harta pusaka yang ditinggalkan orang tua mereka tetapi
juga sebab lain seperti karena pemberian dari orang tua mereka
atau kerabat dekat yakni keluarganya sendiri. Bagi hukum Islam,
bagian harta tersebut tidak dapat diganggu gugat dan tetap akan
menjadi haknya untuk memiliki dan memfungsikannya. Oleh
karenanya hukum Islam melarang kepada pihak manapun untuk
mempergunakan, atau menjual atau mengambilnya untuk
kepentingannya sendiri terhadap harta tersebut, termasuk
terhadap istrinya sendiri atau terhadap suaminya sendiri
sebagaimana juga sesuai dengan pasal 92 yang menyatakan
bahwa suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Dengan kata lain harta bersama saja tidak dibenarkan untuk di jual
atau dipindahkan, terlebih lagi harta pribadi masing-masing dari
suami atau istri.



Janganlah sebagian dari kamu memakan harta orang lain
(mengambilnya) dengan cara yang batil (dilarang
agamamu) dan janganlah kamu bawa kepada hakim untuk
memperoleh legalisasi mengambil harta tersebut dengan
cara dosa (memutar balikkan bukti) sedangkan kamu
menyadarinya. (Q.S(2) Al Baqarah:188).

183
Bab III

Berdasar demikian, suami dan istri mempunyai hak penuh


untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah, sadaqah atau perbuatan lainnya (lihat psl 87
ayat 2). Apa yang dimaksud dengan melakukan perbuatan hukum
atas harta miliknya tersebut adalah memfungsikan dan atau
menjual atau memindahkan harta tersebut dari haknya kepada
orang lain.
Kehidupan keluarga, terkadang terjadi kesamaran dalam
membedakan antara harta pribadi dengan harta bersama. Dalam
hukum materil Islam, harta kekayaan pribadi suami istri dapat
menjadi harta bersama jika pihak-pihak yang bersangkutan
menghendakinya (lih. Psl.47 s/d 50).
Nabi saw mengatakan :





Bahwasanya Allah berfirman,``Sesungguhnya Aku (ALLAH)
yang ketiga dari orang yang bersyarikat (mencampur harta
dengan perjanjian) selama salah satu pihak tidak berkhianat
kepada yang lainnya. Apabila salah satu pihak ada yang
mengkhianatinya dari kawannya maka Aku keluar
daripadanya. (H.R. Abu Daud dan dikuatkan dengan hadits
lain oleh Hakim dengan menshohihkannya).

184
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Adanya persetujuan kedua belah pihak, harta tersebut


menjadi harta bersama yang mungkin berupa benda berujud
meliputi benda tak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga, mungkin pula harta bersama tersebut berupa benda tak
berujud yang dapat meliputi berupa hak dan kewajiban. Apa yang
dimaksud dengan berupa hak dan kewajiban adalah hak untuk
memfungsikan benda atau menguasai sesuatu dan ikut pula
bertanggung jawab untuk memlihara dan atau mengembang-
kannya. Dengan demikian, suami bertanggung jawab menjaga
harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri sebagaimana
halnya istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama
maupun harta suaminya yang ada padanya (vied, psl.89 dan 90).
Bertanggung jawab berarti memelihara atau menjaganya dan atau
melindunginya serta jika memungkinkan untuk mengembang-
kannya.
Kebanyakan masyarakat memahami butir Pasal harta
bersama dalam KHI secara runtut justru menjadikan mereka tidak
memahami harta bersama dan harta bawaan. Ini terjadi karena
terlalu banyak butir Pasal hanya untuk menjelaskan pengertian
harta bersama dan harta bawaan serta kedudukan harta tersebut
masing-masingnya.148 Enam butir Pasal di atas dapat diringkas
yaitu dari Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal 90 dapat dijadikan tiga
Pasal yang ringkas tetapi mengandung kepastian pengertian
hukum, kejelasan tentang harta bersama dan harta bawaan,
misalnya, sebagai berikut:

148
Penulis selama lebih dari 13 Tahun menjadi Advokat resmi dan secara khusus
menjadi konsultan persoalan harta bersama serta kewarisan, hingga sekarang sebagai
Ketua LKBHI Fak. Syariah IAIN Antasari sering menyodorkan butir-butir Pasal tersebut
kepada masyarakat yang berkonsultasi dan selalu mereka semakin menjadi tidak mengerti.

185
Bab III

Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau
istri yang diperolehnya karena harta bawaan.
Pasal 86
(1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perka-
winannya karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah,
wasiat dan warisan atau lainnya adalah bukan harta
bersama.
(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-
masing, menguasai dan memeliharanya.
(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta
istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertang-
gung jawab menjaga harta bersama maupun harta
suaminya yang ada padanya.
(4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya
perjanjian untuk menjadi harta bersama.
Pasal 87
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta
bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.
Pasal 88, 89, 90, 91 diganti (lih. Bagian penutup)
Pasal 88 s.d 90 dapat di isi dengan materi baru tambahan,
sebagai berikut

186
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

a. Dalam banyak kasus, pengadilan agama sering lambat untuk


melakukan penyitaan terhadap suatu barang harta bersama
atau suatu rekening bank yang di dalamnya berisi uang
tabungan. Akibatnya pihak wanita sering dirugikan ketika
penyitaan baru kemudian di jalankan, uang rekening di bank
telah dihabiskan oleh suami melewati ATM dan transfer.
b. Kasus kedua menyangkut persoalan pembuktian bagi wanita
sering kali tidak memiliki bukti asli, sebagian terkadang hanya
memiliki copy atau copy dari copy mengakibatkan tidak
diterima suatu gugatan.
c. Kasus royalti dan hak tentang gaji
d. Kasus pengalihan harta bawaan kepada harta lain saat telah
terjadi perkawinan
e. Kasus percampuran harta bawaan kepada harta bersama
tanpa dapat dibuktikan
Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas dan
tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum kecuali
Pasal 94 ada tambahan seperti sebagai berikut :
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di
atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud,
(2) Harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,
(3) Harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak
maupun kewajiban,
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan
oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

187
Bab III

Pasal 92
Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93 :
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri
dibebankan kepada hartanya masing-masing,
(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan
untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta
bersama,
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada
harta suami,
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi
dibebankan kepada harta istri.
Pasal 94 harusnya ada tambahan pasal sehingga berbunyi:
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri,
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya
akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan
menghitung secara proporsional serta mempertimbang-
kan jangka waktu perkawinan berlangsung
(3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,
perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di
perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.

188
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(4) Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya


berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam
hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang
berlangsung, hak atas royalti menjadi pendapatan yang
diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta
bersama;
Sebuah kasus dimana seorang PNS setelah perkawinan 30
tahun, istri pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut
kawin dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut
meninggal dunia. Istri kedua menuntut gaji dan taspen yang
dihitung telah bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS
meyakini gaji dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama)
selama 30 tahun. Maka pembagiannya dapat menggunakan
hitungan proporsional dengan indek persentasi tahun berdasar
Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (4).
Pasal 95 :
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2)
huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal
136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan
Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama
tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah
satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta berama seperti judi, mabuk, boros
dan sebagainya, (2) Selama masa sita dapat dilakukan
penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga
dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

189
Bab III

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri


yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau
matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan
Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.149
Terhadap pasal 93 KHI dalam hal ini sangatlah selektif
dalam mengatur persoalan harta, baik dalam arti harta kekayaan
pribadi maupun harta bersama, khususnya ketika terkait dengan
masalah hutang. Bagi setiap istri atau suami yang berutang
dibebankan pada harta masing-masing mereka, kecuali hutang
tersebut didasarkan karena kepentingan keluarga (suami istri)
maka akan dibebankan kepada harta bersama (vide, psl. 93 ayat 1
dan 2). Dan jikapun dalam pembayarannya juga tidak mencukupi
maka pembayaran harta diambil dari harta suami dan jika juga
tidak mencukupi maka akan diambil dari harta suami dan jika juga
tidak mencukupi maka akan diambil dari harta istri (lih. Psl.93 ayat
3 dan 4). Ada dua alasan penting mengapa hutang harus
dibayarkan bahkan diambil dari harta bersama hingga harta
masing-masing suami istri jika juga belum dalam dilunasi dengan
melewati proses harta suami kemudian harta istri, sebagai berikut :
1. Membayar hutang dalam hukum materil Islam adalah wajib.
Pelunasannya harus diupayakan secara maksimal. Nabi saw
mengatakan :

149
Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua
antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak
mana asal barang-barang itu.

190
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia






Akan diampuni orang yang mati syahid semua dari dosanya
kecuali hutangnya. (H.R. Muslim).



Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya:
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah bersabda:
Penangguhan membayar hutang oleh orang kaya adalah
perbuatan zalim. (H.R. Bukhari).
2. Proses secara bertahap menunjukkan komitmen kehidupan
keluarga yang selalu harus saling membantu lahir batin yang
terkadang diperlukan pengorbanan harta. Harta suami
didahulukan karena dialah sebagai punggung perekonomian
keluarga.
Apa yang dikemukakan dalam pasal 93 tersebut merupakan
jalan terakhir jika pada waktu itu keharusan untuk melunasi-
nya telah sampai pada batas waktu yang diperjanjikan kepada
orang lain sedang orang dimaksud telah sangat memerlukan-
nya.

191
Bab III

Dalam pasal 94 disebutkan bahwa harta bersama dari


perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri sedang
perhitungannya dimulai saat berlangsungnya akad nikah. Dalam
hal pelunasan segala hutang, jika demi alasan keluarga maka
penentuan untuk mengambil harta bersama dimaksud pasal 93
ayat (2, 3, 4) adalah dari hal mana suami dimaksud memfungsikan-
nya, apakah untuk istri yang pertama atau kedua, ketiga atau
keempat. Dan jika kepentingan dimaksud untuk kesemua istri,
maka pengambilannya secara berimbang.
Terhadap pasal 95 yang menyebut kemungkinan terjadi-
nya sita jaminan seperti bolehnya seorang istri mengajukan
kepada Pengadilan Agama agar menyita harta bersama perka-
winannya karena suaminya menjadi seorang penjudi atau
pemadat, boros yang berakibat dapat menghabiskan harta
bersama dalam perekonomian keluarga bagi hukum Islam
merupakan cara terbaik pemeliharaan harta.
Selanjutnya selama dalam sita jaminan tersebut, istri dapat
mengambil harta bersama, mengambil sebagiannya untuk dijual
demi kepentingan keluarga oleh hukum Islam dibenarkan
sebagaimana KHI dalam pasal 95 ayat (2) menyebutkannya, dan
cara pengambilan dimaksud adalah dengan izin Pengadilan
Agama. Sebagai dasar terhadap persoalan pasal ini, sebuah hadits
menyebutkan :

192
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia



Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya,
Wahai Rasullah, sesunggunya Abu Sufyan (suaminya)
adalah orang yang sangat kikir. Ia tidak memberikan nafkah
kepadaku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil
(harta belanja) darinya tanpa sepengetahuannya.
Mendengar demikian , Rasul Saw mengatakan, Ambillah
apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara
yang baik (H.R. Bukhari dan Muslim).
Adalah sangat jelas bagi istri untuk mengambil harta
suaminya demi kewajiban nafkah yang seharusnya telah
diberikannya sebagaimana hadits di atas dan jika suaminya tidak
memberikan nafkah keluarga, istri dapat mengambilnya dari harta
bersama, menjual barang tertentu dari harta bersama demi
kepentingan keluarga. Termasuk terhadap istri yang suaminya
ghaib/hilang (Mafqud) hingga sampai ada kepastian dari putusan
Pengadilan Agama (vide psl. 96 ayat 2).
Khusus terhadap pasal 96 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Apa yang diatur
dalam ketentuan pasal tersebut adalah konsekuensi logis dari
pengaturan adanya harta bersama berarti masing-masing pihak
memiliki haknya untuk memfungsikan, memindahkan harta
tersebut. Mempergunakan, memindahkan atau menjualnya tidak
boleh dilakukan salah. Dengan konteks demikian , kematian salah
satu pihak berarti terbukanya jalan pemisahan harta kedua belah
pihak. Dengan matinya salah satu pihak berakibat pembagian
harta tersebut dimana salah satu pihak yang hidup akan

193
Bab III

memperoleh separuh dari harta bersama. Sedang separohnya lagi


untuk ahli waris pihak yang meninggal dunia.
Dalam Fiqh Islam klasik tidak dibahas prihal harta bersama,
terlebih lagi mengenai pembagian dari harta bersama apabila
salah satu pihak meninggal dunia. Hanya untuk persoalan harta
bersama (syirkah) dalam pengertian umum (muamalah) dalam fiqh
Islam telah dibahas secara khusus. Beberapa macam syirkah telah
diperkenalkan dalam hukum materil klasik seperti syirkah al
muwafadah.150 Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan,151 Syirkatu Al
Irts, Syirkatu al Ghonimah.152 Sedang terhadap masalah harta
bersama perkawinan dianggap akan sulit terjadi karena dalam
realitas suamilah yang mencari nafkah sedang istri atau anak
hanya memperoleh nafkah untuk keperluan hidup mereka
bersama. Sejauh itu pula dalam tradisi masyarakat tidak pernah
terjadi persoalan dalam masalah harta keluarga, kepemilikan
terhadapnya hanya ada pada suami sehingga seperti seorang istri
tidak merasa sedikitpun ada harta miliknya. Dengan demikian
diperlukan adanya pengaturan hukum mengenai harta bersama
dalam perkawinan. Terhadap harta bawaan istri tetap menjadi
harta miliknya tanpa dapat diambil oleh suaminya, demikian pula
sebaliknya bagi suami tidak dapat memindah alihkan harta milik
istrinya.
Berkenaan dengan pasal 96 ayat (1) inilah dipahami bahwa
terjadi pemisahan harta bersama disebabkan terjadinya cerai mati
salah satu pihak, begitu pula terhadap cerai lainnya seperti cerai
karena putusan Pengadilan Agama dan akibat talak lain.
Pemisahan dimaksud berlaku sepanjang tidak ditentukan lain

150
Al Jaziri, J. III. Lok Cit, h. 67
151
Ibid, h. 76
152
Ibid, h. 69

194
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam perjanjian perkawinan (lih. Psl. 97). Dalam hal kejadian


khusus seperti hilangnya suami dalam tempo waktu tertentu dan
belum juga kembali maka bagi istri tidak diperkenankan secara
langsung dapat mengambil separoh haknya dari harta bersama.
Pemisahan harta dimaksud harus telah ditangguhkan sampai
adanya kepastian meninggalnya baik secara hakiki maupun hukmi
dengan putusan Pengadilan Agama. Jadi perkara dimaksud harus
telah diadukan kepada Pengadilan Agama dengan permohonan
pembagian harta bersama sekaligus permohonan penetapan
meninggalnya suami. Hal tersebut apabila dimungkinkan untuk
melakukannya kecuali jika pihak istri berkeinginan untuk
menunggu khabar pasti terhadapnya dengan konsekuensi ia
sudah harus dapat untuk tidak mengambil hak parohannya dari
harta bersama.
Apa yang dimaksud dengan meninggalnya seseorang
yang sebelumnya dikhabarkan hilang (mafqud) secara hakiki
adalah meninggalnya dapat dibuktikan dengan jelas, dan secara
langsung istri dapat melihat mayat suaminya dan atau orang
banyak telah dapat menyaksikan kematiannya. Sedangkan mati
secara hukmi adalah kematian berdasarkan putusan Pengadilan
Agama setelah memeriksa perkara pengajuan permohonan
penetapan mati atau tidaknya suaminya oleh istrinya kepada
Pengadilan Agama setempat yang mewilayahi tempat tinggal
pasangan suami istri tersebut. Bagaimana hukum formil yang
berlaku di Pengadilan Agama? dalam pemeriksaan dimaksud yang
paling pokok upaya hukum terhadapnya adalah memeriksa bukti
dan atau mendengarkan/meneliti kesaksian orang terhadap
kepergian orang mafqud dimaksud. Hukum materil Islam
sebagaimana yang berkembang dalam mazhab Syafiiyah dan
Hanafiyah menyatakan keharusan seorang hakim Agama untuk
memeriksa usia/umur ketika ia meninggalkan tempat kediaman-

195
Bab III

nya hingga perkara dimaksud diajukan kepadanya. Penelitian


hakim dapat membandingkan kepada kawan-kawannya dari
orang mafqud tersebut, apakah umur sebaya dengannya telah
banyak meninggal dunia atau belum. Dalam madzhab Hambali
harus diselidiki oleh hakim apakah kepergiannya untuk
menghadapi resiko besar dimana kemungkinan untuk mati lebih
cenderung terjadi atau sebaliknya atau terhadap pekerjaan yang
mempunyai resiko kematian sangat tinggi. Memperhatikan
pendapat yang berkembang, hal yang paling esensial bagi hukum
materil Islam adalah mampunyai seorang hakim Agama untuk
membuktikan mati atau tidaknya orang yang mafqud tersebut
sedang acara pembuktiannya diserahkan kepada apa yang lazim
dilakukan dan diatur atau diterima di Pengadilan, sepanjang tidak
menyalahi aturan yang umum diyakini nilai-nilai logika. Bahwa
keputusan tersebut adalah logis secara hukum. Dengan demikian
akan jelaslah satu putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama
mungkin memutuskan kematiannya secara hukmi atau menetap-
kannya orang yang bersangkutan masih hidup (vide, psl. 96 ayat
2).153
Persoalan Kerumitan Harta Bersama dan Solusi Atas Realitas
Pengadilan Agama Serta Keberagamaan Masyarakat Muslim
Pengadilan Agama termasuk Pengadilan yang paling sibuk
di Indonesia. Misalnya tahun 2009, ada 257,798 perkara yang
diajukan ke Pengadilan Agama berbanding dengan yang diajukan
ke Pengadilan Negeri hanya 202, 754 perkara. Artinya Pengadilan
Agama lebih banyak 27% dari perkara yang ada di Pengadilan

153
Masalah mafqud merupakan masalah hukum yang pernah terjadi pada masa
Rasulullah saw. Dalam riwayat Siwar Ibn Masab dari Muhammad Ibn Syurabi al Hamdany
dari Mughirah Ibn Syubah Nabi saw mengatakan :
Istri orang yang mafqud adalah istrinya sampai ada berita kepastiannya (H.R.
Daraquthni)

196
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Negeri. Belum lagi bila dibandingkan sangat luasnya yurisdiksi


Pengadilan Negeri yang menangani perkara perdata dan pidana
dibanding kecilnya yurisdiksi Pengadilan Agama154 yang hanya
menangani soal perdata tertentu saja. Atas kenyataan ini, UU
materil hukum Islam sangat penting di buat karena betapa besar
keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian hukum bagi
pencari keadilan.
Formalitas hukum tertulis modern di dunia termasuk di
Indonesia memiliki dua mata sisi. Bagian sisi yang pertama
merupakan manfaat terbesar darinya adalah adanya perlindungan
dan kepastian hukum terhadapnya. Mata sisi yang kedua adalah
bisa dijadikan pembunuh terhadap kebenaran substansif. Bagian
menurut hemat penulis masih kurang diperbincangkan dalam
studi ilmiah namun amat terasa bagi pencari keadilan di lapangan
bidang litigasi (Pengadilan).
Menurut Satjipto Raharjo, hukum modern tidak selamanya
dapat diterapkan pada berbagai situasi dan negara di dunia. Hal
tersebut dikarenakan dan disadari bila hukum itu bukan hanya
bangunan peraturan biasa. Hukum adalah juga bangunan ide,
kultur dan cita-cita. Keterpurukan hukum di Indonesia lebih dika-
renakan penyingkatan hukum sebagau rule of law tanpa melihat
sebagai rule of morality. Akibatnya hukum hanya dilihat sebagai
peraturan prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik
hukum juga sarat dengan nilai, gagasan sehingga ia menjadi
partikular.155 Hukum modern disadari tidak mungkin dihapuskan
namun ia perlu diberikan ruh kehidupan kultur Indonesia agar ia

154
Cate Sumner & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru, Pengadilan
Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF, hlm. 2
155
Satjipto Rahardjo, 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III, Jakarta : Buku
Kompas, hlm. 253-254

197
Bab III

menjadi hukum yang indonesia. Hukum yang sepadu hati nurani


masyarakat dan keagamaan mereka.
Selain persoalan warisan yang di dalamnya banyak
mengandung perbedaan dengan fiqh klasik, persoalan harta
bersama juga sangat sering diperselisihkan saat terjadi perceraian
di depan Pengadilan Agama. Demikian pula saat berbagi warisan
menyangkut ketidakjelasan harta bersama untuk menjadi objek
harta warisan (al mauruts). sebelum adanya Rakernas Mahkamah
Agung RI Tahun 2007 Bidang Peradilan Agama, perkara perceraian
dapat disatukan pengajuannya dengan harta bersama dalam satu
gugatan. Namun belakangan karena persoalan harta bersama
sering berlarut-larut penyelesaiannya karena masuk bidang yang
sangat rumit sehingga perceraian sering tertunda penyelesaiannya
maka MA dalam Rakernasnya mensarankan beberapa persoalan
hubungannya dengan harta bersama, sebagai berikut :
1. Untuk menghindari berlarut-larutnya proses penyelesaian
perkara perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu
diakumulasikan dengan harta bersama sebagaimana dimak-
sud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pada
harta bersama tersebut dapat diletakkan sita;
2. Penghitungan harta bersama seorang suami yang beristri lebih
dari seorang sesuai dengan ketentuan pasal 94 ayat (2) KHI,
dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan
jangka waktu perkawinan berlangsung;
3. Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya berda-
sarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam hal hak itu
diperoleh dalam perkawinan yang sedang berlangsung, hak
atas royalti menjadi pendapatan yang diperoleh dalam
perkawinan dan karena itu menjadi harta bersama;

198
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

4. Pengelolaan/penguasaan harta bawaan yang menghasilkan


tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan
menjadi harta bersama;
5. Dengan memperhatikan ketentuan hukum Islam, pembayaran
bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai sebagaimana
dimaksud dalam PP 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun 1990 dapat
dikompensasikan dengan lembaga mutah dalam perceraian
Islam;
Kerumitan pembagian harta bersama terletak pada tiga
bagian persoalan.
1. Pertama persoalan materi KHI yang masih belum lengkap.
Terhadap KHI, Bagian ini dapat diselesaikan dengan cara,
sebagai berikut :
a. Memperjelas butir Pasal tentang harta bersama agar
mengandung batir pasal yang efisien, mudah dipahami,
jelas dan berkekuatan melindungi dan kepastian hukum.
Hal ini dapat dilihat Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal 90
dapat dijadikan tiga Pasal yang ringkas tetapi mengan-
dung kepastian pengertian hukum, kejelasan tentang
harta bersama dan harta bawaan.
b. Melengkapi butir Pasal tentang harta bersama seperti
maksud petunjuk Rakernas MA yaitu terhadap ketentuan
Pasal 94 ayat (2) KHI, dilakukan secara proporsional
dengan mempertimbangkan jangka waktu perkawinan
berlangsung;
c. Menambah butir Pasal tentang harta bersama terhadap
kasus baru.

199
Bab III

2. Di muka sidang Pengadilan Agama, kebanyakan pihak suami


enggan mengakui sebagai harta bersama.
Bagian ini meliputi beberapa titik persoalan, sebagai berikut :
a. Enggannya suami dikarenakan masih banyaknya pendapat
guru agama di daerah yang menyatakan tidak adanya
harta bersama dengan mendasarkan pada fiqh klasik.
Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian
Agama RI Badan Litbang dan Diklat tahun 2010 di
Indonesia menunjukkan tingkat pengetahuan ulama,
tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam sangat
rendah dengan kategori tiga kelompok yaitu kelompok
ulama yang tidak mengetahui Kompilasi Hukum Islam,
kedua kelompok ulama yang mengetahui tetapi tidak
memperdalam Kompilasi Hukum Islam dan kelompok
ketiga yaitu yang mengetahui dan memperdalam
Kompilasi Hukum Islam. Ini menunjukkan Kompilasi
Hukum Islam belum benar-benar menjadi fiqh khas
Indonesia karena umumnya belum diketahui maupun
dipelajari.156
b. Harta kekayaan cenderung diminati dan dipertahankan
oleh pihak yang berkepentingan dan yang menguasai.
Dan yang biasanya menguasai adalah suami sehingga ia
menyembunyikannya, tak mengakuinya dan sulitnya kaum
wanita menunjukkan bukti-bukti yang kuat terhadap harta
bersama. Dan ini didukung dengan hukum formal di
Indonesia bahwa suatu tuduhan harus dapat membukti-
kan. Karena di bidang keperdataan maka hakim biasanya
meminta bukti berupa surat-surat resmi permbuktian.

156
Muchit A. Karim (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta :
Kementerian Agama RI, hlm. ii

200
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Rumitnya persoalan hukum di Indonesia menyangkut persoal-


an kepemilikan harta.
Bagian ini dapat ditinjau dari dua segi yaitu, sebagai berikut :
Pertama, hukum acara sebagai legalitas formal di
Pengadilan Agama yang masih mengadopsi hukum pening-
galan kolonial seperti HIR, Rbg sekalipun telah memberlakukan
hukum acara tersendiri tentang Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989 dan UU No.3 Tahun 2006). Sangat banyak sekali
persoalan dan tuntutan harta bersama tidak dapat diterima
oleh Pengadilan Agama hanya karena kesalahan prosedur
beracara di muka sidang, pihak Tergugat tidak mendaftarkan
hartanya secara resmi, persoalan yang berkait dengan
keagrariaan, pertanahan, fidusia, pertanggungan, perbankan,
perikatan, kebebasan berkontrak, dll.
Kedua adalah kemampuan para hakim agama dalam
menyelesaikan persoalan harta bersama. Baik segi
pemahaman tentang harta bersama maupun hubungannya
dengan kewarisan ketika terjadi kematian suami atau istri serta
kemampuan penyelesaiannya. Penelitian terakhir di Indonesia
tentang Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
tahun 2010 terhadap daerah yang dijadikan sampling
penelitian seperti Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Yogyakarta, Sumatera Barat dan Sumatera Utara
terhadap ulama dan hakim agama tentang isi Kompilasi
Hukum Islam perbandingan dengan fiqh Islam menyangkut
faraid. Seperti ahli waris pengganti, harta bersama, wasiat
wajibah. Kelompok pertama menerima Kompilasi Hukum Islam
selama memiliki rujukan dengan al Qur`an dan al Sunnah.
Kelompok kedua menerima jika memiliki rujukan dengan

201
Bab III

kitab-kitab fiqh Islam dengan menolak konsep ahli waris


pengganti, wasiat-wasiat wajibah untuk anak dan bapak
angkat, kewarisan kolektif tanah yang kurang dari 2 hektar. 157
Kelompok ketiga ialah yang menerima sepenuhnya Kompilasi
Hukum Islam tanpa mempertentangkan dengan fiqh klasik
dan memasukkannya sebagai fiqh khas hasil ijtihad ulama
Indonesia.
Penutup
Baik hukum materil tertulis ataupun prosedur hukum
formil belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum
secara baik kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong
ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan
hukum. Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya
agar wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi
hukum tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang tetapi
juga lebih luas memasuki keadilan yang pro-rakyat, masuk pada
ranah keadilan yang dibutuhkan oleh pencari keadilan.
Persoalan substansi hukum kadang sangat sulit dipahami.
Menganalisis hukum sebagai satu sistem, ada tiga aspek yang
dikaji yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum
(legal substansi) dan budaya hukum (legal cultur). Friedman
mengatakan, suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya
merupakan sebuah organisme kompleks di mana struktur,
substansi dan kultur berinteraksi.158 Satu sama lain menjadi
terhubung dan tak dapat dipisahkan. Struktur hukum adalah
menyangkut kedudukan dari peradilan, yudikatif, eksekutif. Ia
menjadi penting dalam pelaksanaan dan penegakan hukum. Hal

157
Ibid. hlm. iii
158
Lawrence M Friedman, 1975. The Legal Sistem, A Social Science Perspective,
New York : Russelll Sage Foundation. h. 17

202
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang penting adalah substansi hukum yaitu berupa norma,


peraturan-peraturan maupun Undang-Undang. Sedangkan kultur
hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Suatu sistem hukum
adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer dan peraturan-
peraturan skunder. Peraturan primer adalah norma-norma prilaku.
Peraturan skunder adalah norma-norma mengenai bagaimana
memutuskan, apakah semua itu valid dan bagaimana
memberlakukannya.159
Di bawah ini beberapa solusi agar butir Pasal KHI menjadi
mudah, efisien, jelas, melengkapi dan tidak multi tafsir, sebagai
berikut :
Pasal 1 huruf f harusnya berbunyi : Harta kekayaan dalam
perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
bukan karena harta bawaan yang selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Pasal 85 harusnya berbunyi : Adanya harta bersama dalam
perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau istri yang diperolehnya karena harta
bawaan.
Pasal 86 harusnya berbunyi :
(1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perkawinannya
karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah, wasiat dan warisan
atau lainnya adalah bukan harta bersama.
(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-masing,
menguasai dan memeliharanya.

159
Ibid, h. 16

203
Bab III

(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri


maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertanggung
jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang
ada padanya.
(4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya
perjanjian untuk menjadi harta bersama.
Pasal 87 harusnya berbunyi :
bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai dapat
dikompensasikan dengan lembaga mutah dalam perceraian Islam;
Pasal 88 harusnya berbunyi :
Pengelolaan atau penguasaan harta bawaan yang menghasilkan
tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan menjadi
harta bersama; Kasus misalnya suami bermodal atas modal harta
bawaan karena warisan. Kemudian usahanya berkembang maka
tambahan hasil perkembangan tersebut menjadi harta bersama
sedang harta bawaannya tetap seperti semula
Pasal 89 harusnya berbunyi :
Pengalihan harta bawaan suami atau istri kepada harta yang lain
hendaknya bersifat yang berwujud dan tidak tercampur dengan
harta bersama. Pasal ini untuk menghilangkan kemungkinan
terjadinya kekaburan kepemilikan harta seperti yang sering terjadi
di masyarakat. Kasus seorang istri telah memiliki sebidang
tanah/rumah sebelum perkawinan. Saat perkawinan telah
berlangsung, istri menjual tanah/rumah tersebut yang uangnya
untuk memperbaiki rumah milik harta bersama suami istri. Dalam
sengketa perceraian suami tak mengakui terjadi demikian
berakibat istri kesulitan membuktikan.

204
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 90 harusnya berbunyi :


Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta
bersama maka penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan
Agama. Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas dan
tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum, hanya
sedikit tambahan melengkapi yaitu Pasal 94 ayat (2) , (3) dan (4)
sebagai berikut :
Pasal 91 :
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di
atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud,
(2) harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,
(3) harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak
maupun kewajiban,
(4) harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan
oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92 :
Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93 :
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri
dibebankan kepada hartanya masing-masing,
(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan
untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta
bersama,
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada
harta suami,

205
Bab III

(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi


dibebankan kepada harta istri.
Pasal 94 dengan tambahan butir pasal (2), (3) dan (4) :
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri,
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya
akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan
menghitung secara proporsional serta mempertimbang-
kan jangka waktu perkawinan berlangsung
(3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,
perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di
perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.
(4) Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya
berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam
hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang
berlangsung, hak atas rolayti menjadi pendapatan yang
diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta
bersama;
Kasus, seorang PNS setelah perkawinan 30 tahun, istri
pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut kawin
dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut meninggal
dunia. Istri kedua menuntut gajih dan taspen yang dihitung telah
bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS meyakini gajih
dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama) selama 30 tahun.
Maka pembagiannya dapat menggunakan hitungan proporsional
dengan indek persentasi tahun berdasar Pasal 94 ayat (2) dan ayat
(3).

206
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 95 :
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf
c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat
(2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan
perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta
berama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya, (2)
Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta
bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin
Pengadilan Agama.
Pasal 96 :
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri
yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai
adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.160
Berdasar demikian, Harta bersama yang tersebut dalam
KHI sudah cukup lengkap hanya diperlukan sedikit
penyempurnaan, dan lebih bagus lagi adanya tambahan yang
melengkapi persoalan baru pada zaman ini.

160
Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua
antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak
mana asal barang-barang itu.

207
Bab III

Daftar Pustaka
Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J.
III, Bairut-Libanon, 1990.
Atamimi, A. Hamid S., 1992. Compendium Freijer Upaya
Mempositipkan Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan
Hukum tahun x
Ali, Zainuddin, , 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar
Grafika
Al Nabhani, Taqiyuddin, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar
al Fikr, Cairo
Al Fatni, Abdul Malik, 1949. Khulashah al Faraaid, Mesir : Mustafa al
Baby al Halaby
Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
Friedman, Lawrence M., 1975. The Legal Sistem, A Social Science
Perspective, New York : Russelll Sage Foundation
Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I,
Yogyakarta : Genta Press
Karim, Muchit A. (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Jakarta : Kementerian Agama RI
Kusumaatmadja, Mochtar., 1976, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Bina Cipta
Rahardjo, Satjipto., 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III,
Jakarta : Buku Kompas
Sabiq, Sayid, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,

208
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sarmadi, A. Sukris., 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum


Perdata Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008
Yogyakarta
------------------------, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam
Tranformatif, Rajawali Pers, Jakarta,
Subekti, R., 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta :
Pradnya Paramita
Sumner, Cate & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru,
Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi
Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF
Usman, Suparman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya
Media Pratama
Media Elektronik dan Internet
Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan
Hukum Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.
php?option=com_content&task
Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga
dalam
http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniL
engkap&id=32& HPSESS ID =b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0

209
Bab III

210
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

MENUJU KESETARAAN DALAM ATURAN


KEWARISAN ISLAM INDONESIA:
KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN
VS SAUDARA KANDUNG
Euis Nurlaelawati

Latar Belakang
Hukum keluarga merupakan satu-satunya area hukum
yang dipertahankan penerapannya dalam sebuah masayarakat
Muslim sejak Islam datang dan dipeluk oleh masyarakat tersebut.
Terdapat beberapa alasan kenapa, berbeda dengan area hukum
yang lain, hukum keluarga Islam terus diterapkan dan tidak
tergantikan oleh sistem hukum lain. Penerapan hukum keluarga
Islam sering dianggap sebagai identitas kemusliman seseorang
atau masyarakat tertentu. Namun, meskipun masalah keluarga
merupakan masalah pribadi, pada perkembangan selanjutnya
masalah keluarga membutuhkan intervensi pemerintah dalam
penyelesaiannya.
Sejalan dengan upaya intervensi pemerintah, usaha
pembaharuan kemudian muncul terhadap aturan-aturan hukum
keluarga yang selama itu diadopsi dari pandangan-pandangan
para ulama yang terdapat dalam buku-buku fiqh klasik. Usaha
tersebut dianggap penting untuk dilakukan demi memper-
tahankan kelangsungan pemberlakuan hukum keluarga Islam di
satu sisi, dan mengakomodir kepentingan dan tuntutan jaman dan
pihak-pihak tertentu yang selama itu dianggap selalu ditempatkan
pada posisi bawah atau marginal, seperti pihak perempuan dan
anak-anak, di sisi lain.

211
Bab III

Hukum kewarisan Islam tidak terkecuali dalam hal ini.


Beberapa negara melakukan pembaharuan terhadap aturan-
aturan kewarisan Islam. Wasiat wajiba, misalnya, merupakan salah
satu konsep yang dijadikan oleh banyak negara Muslim sebagai
solusi atas masalah cucu yatim yang menurut kewarisan Islam
terhijab oleh anak (laki-laki) mayat.
Yang menarik adalah bahwa konsep ini di Indonesia
digunakan sebagai solusi bagi masalah adopsi, yang dengan
konsep tersebut pihak-pihak yang terlibat dalam adopsi dapat
memperoleh bagian dari harta peninggalan masing-masing dari
mereka. Hal menarik lainnya adalah masalah cucu yang juga
mendapat perhatian ulama Indonesia diselesaikan lewat konsep
ahli waris pengganti.
Pemabaharuan dalam hukum kewarisan Islam dapat
dilihat juga dalam beberapa aturan yang lain. Aturan tentang
bagian saudara dan anak perempuan adalah salah satu aturan lain
yang menerima pembaharuan. Aturan yang sudah dibuat ini
nampak membingungkan dan menyebabkan penafsiaran yang
berbeda-beda, dan menimbulkan debat di kalangan para ulama
dan juga para penegak hukum di Indonesia. Makalah ini
mengupas tentang usaha pembaharuan dalam bidang kewarisan
yang dilakukan oleh Indonesia seperti terlihat dalam Kompilasi
Hukum Islam, terutama terkait dengan bagian anak perempuan
ketika bertemu saudara pewaris. Perdebatan dan alasan-alasan
perdebatan akan dikaji dalam makalah ini. Praktek dan pandangan
para hakim serta para ulama tentang aturan tersebut akan
didiskusiskan juga dalam makalah ini.
Aturan Kewarisan Anak dan Saudara: Antara Fiqh dan KHI
Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi
dengan adanya upaya pemerintah dalam negara-negara tertentu

212
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

untuk mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait dengan


masalah keluarga. Trend pembaharuan ini diawali oleh Turki
dengan dibuatnya sebuah qanun yang susuai dengan spirit
pembaharuan hukum di Turki. Upaya ini kemudian diikuti oleh
beberapa negara Muslim lainnya seperti Tunissia, Maroko, Mesir
dan lainnya. Di Asia Tenggara sendiri, upaya ini diawali oleh
pemerintah Malaysia dan kemudian Indonesia.161
Upaya pembaharuan ini dibarengi dengan apa yang
disebut dengan kodifikasi hukum. Mengapa upaya kodifikasi
hukum ini dilakukan? Ada beberapa tujuan yang terdapat dalam
upaya kodifikasi ini. Tujuan-tujuan tersebut mencakup;
1. Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum
bisa tercapai,
2. Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang
disebabkan oleh adanya perubahan kondisi jaman/ memnuhi
tuntutan jaman, dan,
3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita terkait
dengan status hukum mereka.162
Berkenaan dengan upaya pembaharuan lewat kodifikasi
ini, apa yang dikemuakan oleh Weber terkait dengan teori hukum
(Legal Theory) sangat relevan. Weber mengungkapkan bahwa
tradisi hukum lama adalah Qadi Justice, di mana para qadli secara
serampangan merujuk kepada beberapa aturan hukum yang
beragam sesuai dengan kesadaran subjektif mereka. Namun

161
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi
Hukum Islam and Legal Practices of Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2009, 19.
162
Lihat Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta:
INIS, 2002, 5.

213
Bab III

kemudian terjadi perubahan besar di mana system hukum


bergeser dari system qadi justice kepada system yang lebih
sistematis. Weber mngungkapkan bahwa, a radical change
occurred during the Enlightenment era, which stimulated a
transfer from the patrimonial tradition of law to a systematic,
rational, and abstract legal code.163
Jika dilihat dari karaker tradisi hukum lama dan baru, kita
bisa mengatakan bahwa hukum lama bersifat terbuka (open),
sementara tradisi hukum baru bersifat tertutup (close). Dengan
demikian, jika tradisi hukum lama lebih mengedepankan
interpretasi hukum secara pribadi (personal interpretation), tradisi
hukum lama membiasakan diberlakukannya interpretasi hukum
secara berjamaah (collective interpretation). Maka, dengan
demikian, sifat- legislasi hukum modern/ reformasi hukum adalah
adanya upaya penyeragaman hukum (unification), dan penulisan
hukum melalui sebuah aturan tertulis (undang-undang)
(codification), dan penulisan hukum secara sistematis dan lugas
dengan bahasa nasional negara masing-masing (systematically
written). Sifat lain adalah menimbulkan suatu kepastian dalam
transaksi hukum (the certainty within legal transaction).
Dan jika kita telusuri dengan seksama unsur-unsur yang
tercipta dari upaya kodifikasi hukum yang dilakukan oleh
beberapa negara Muslim di dunia ini, maka kita akan menemukan
beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang terkemukakan adalah: (1)
bahwa kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang
krusial, yaitu untuk memenuhi tantangan dan tuntutan legislasi
modern, (2) bahwa dalam upaya ini, negara-negara tersebut
menggunakan metode-metode yang beragam, yang kesemuanya

163
Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study, London: Routledge and
Kegan Paul, 1874, 108-109.

214
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bermuara pada tercapainya sebuah kemaslahatan umat dan


terealisasinya politik hukum, yaitu; tatbiq, takhayyur and tajdid, (3)
bahwa kodifikasi menyebabkan tergantikannya aturan-aturan
hukum terkait beberapa masalah keluarga yang tertera dalam fiqh
klasik dengan aturan-aturan baru yang sesuai dengan kondisi local
masing-masing negara.
Pemerintah Indonesia, seperti telah dikemukakan di atas,
tidak terkecuali, melakukan pembaharuan dan melegalisasi hukum
Islam sebagai hukum nasional yang harus diterapkan oleh
masyarakat Muslim Indonesia. Upaya pembaharuan yang paling
siginifikan, meski wadah hukumnya masih terus diperdebatkan
adalah dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam. Melalui kompilasi,
beberapa aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan Islam
diperbaharui, sambil beberapa aturan lainnya dipertahankan.
Mengenai kewarisan, Kompilasi secara umum mengambil
doktrin fikih tradisional dan merujuk pada nash-nash al-Quran
yang cocok, misalnya memberikan anak laki-laki bagian waris yang
sama besarnya dengan dua anak perempuan, dan
mempertahankan aturan ashabahbahwa saudara laki-laki yang
terdekat mendapatkan sisa. Namun, dipengaruhi adat dan norma-
norma setempat, kompilsi menerapkan aturan-aturan lain, seperti
sistem ahli waris pengganti dan wasiat wajib yang tidak ditemukan
di mana pun dalam kitab-kitab fikih. Sistem ahli waris pengganti
digunakan untuk memecahkan masalah cucu-cucu yatim, yang
orangtuanya telah mendahului wafat kakek mereka atau orangtua
dari ayah atau ibu mereka sendiri. Menurut sistem waris Islam
klasik, cucu-cucu yatim dinafikan atau terhijab dalam harta waris
kakek-kakek mereka.
Semua mazhab sepakat bahwa seorang cucu yatim tidak
memiliki hak terhadap bagian dari kakek atau neneknya jika ada
anak (laki-laki) dari si mayat (kakek) yang masih hidup. Mengikuti

215
Bab III

aturan ini, sebagian negara Muslim mengatur bahwa para ahli


waris yang meninggal lebih dulu dan ahli waris atau keturunan
mereka tidak menerima bagian waris selagi ada anak laki-laki yang
masih hidup. Namun, kemudian aturan ini diyakini menimbulkan
masalah bagi umat Islam.164 Apa yang dikemukakan oleh Lucy
Carroll dapat menjelaskan apa yang dilakukan oleh beberapa
negara tersebut. Lucy Carrol menyatakan:
Dalam sebuah masyarakat kesukuan di mana anak laki-laki
yang masih hidup mengambil tanggung jawab terhadap
anak-anak dari saudara laki-lakinya yang meninggal dalam
kelompok keluarga besar, aturan-aturan tradisional suksesi
atau kewarisan bisa menimbulkan kesulitan. Tetapi dalam
sebuah masyarakat di mana keluarga inti lebih umum,
maka penafikan sepenuhnya satu garis keturunan pihak
yang meninggal tampak tidak adil dan tidak sah.165
Beberapa ulama di beberapa negara menganggap bahwa
tidaklah adil untuk menafikan cucu yatim dari hak mereka
terhadap harta waris dari kakek mereka hanya karena orangtua
mereka meninggal lebih dulu dari kakek mereka. Oleh karena itu
beberapa negara berusaha memecahkan ketaksetaraan itu. Dua
pemecahan teridentifikasi dan diterapkan, yakni: wasiat wajib dan
sistem ahli waris melalui hak atau pergantiaan ahli waris (ahli waris
pengganti). Konsep yang pertama digunakan oleh negara-negara
Timur Tengah; sedang yang terakhir oleh Pakistan.166

164
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97.
165
Lucy Carroll, Orphaned Grandchildren in Islamic Law of Succession, Islamic
Law and Society, 5 (1998), 410.
166
Rubya Mehdi merekam bahwa pemecahan Pakistan, yakni waris dengan hak,
dipandang lebih radikal. Para ulama tradisional menentang sistem itu atas dasar bahwa
sistem itu membinasakan semangat dan struktur hukum waris Islam. Namun, mereka
sepakat dengan pendapat bahwa masalah cucu yatim harus dipecahkan, dan berpendapat
bahwa wasiat wajib memiliki dasar hukum yang lebih absah dalam kitab suci. Lihat Rubya
Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, 190.

216
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kompilasi jelas telah menerapkan dan mengadopsi kedua


aturan itu, dengan beberapa penyesuaian dengan sistem
masyarakat setempat. Terkait dengan konsep yang pertama, pasal
185 Kompilasi menyatakan bahwa kedudukan waris dari ahli waris
yang lebih dulu meninggal bisa digantikan oleh para ahli
warisnya.167 Pilihan ini selaras dengan praktik hukum yang berlaku
sejak lama dengan memberikan hak waris kepada cucu yatim,
yang dikenal dengan sistem plaatsvervulling. Praktik ini bahkan
telah menjadi sebuah hukum yang mapan di Medan.
Pengadilan Umum Banding Medan, misalnya, pernah
menetapkan dalam sebuah keputusan bahwa ketika seorang anak
dari pewaris itu meninggal, sebelum pewaris wafat, dan yang
pertama meninggalkan seorang atau beberapa orang anak, maka
anak-anak dari anak atau cucu dari orang yang wafat itu memiliki
hak terhadap harta waris orang yang wafat atas nama ayah
mereka.168 Ini berarti bahwa sistem pergantian ahli waris tidak
sepenuhnya baru di Indonesia. Meskipun sistem ini menjadi
masalah yang meluas di banyak negara Muslim, aturan ahli waris
pengganti yang ditetapkan dalam kompilasi memiliki landasan
lokal dalam praktik hukum di antara masyarakat Indonesia.
Aturan lain yang nampak diperbaharui dalam kompilasi
adalah aturan terkait dengan bagian saudara yang menurut fiqh
hanya dapat bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak. Dalam
pandangan para ulama anak yang dimaksud dalam al-Quran

167
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97. Lihat juga
Kompilasi, Pasal 185 (1).
168
Keputusan tersebut terekam sebagai keputusan Pengadilan Umum Banding
No. 195/1950. Keputusan yang sama juga dikeluarkan di masa-masa awal oleh Raad van
Justitie Batavia pada 12 Desember 1932. Hal ini direkam dalam Indisch Tijdschrift van het
Recht, 150 (1932): 239. Lebih rinci mengenai hal ini, lihat A.B. Loebis, Pengadilan Negeri
Jakarta in Action: Jurisprudensi Hukum Adat Warisan, (n.p, n.d) 63. Untuk informasi detail
tentang ini, lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, 98.

217
Bab III

adalah anak laki-laki. Efek dari pandangan ini adalah bahwa


saudara dapat memperoleh harta waris jika pewaris tidak
meninggalkan anak, yaitu anak laki-laki.
Pemahaman lainnya adalah bahwa jika pewaris mening-
galkan anak atau hanya anak perempuan, saudara dapat
memperoleh kewarisan. Jika pewaris meninggalkan anak laki-laki,
saudara tertutup dan tidak berhak atas harta waris. Kesimpulannya
adalah jika anak laki-laki mempunyai kedudukan menghijab
saudara, anak perempuan tidak, dan anak perempuan akibatnya
harus berbagi harta warisan dengan saudara, jika mereka bertemu
dalam sebuah kondisi waris mewaris.
Para ulama Indonesia rupanya melihat aturan dalam fiqh
ini agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun
kompilasi mengatur bahwa bagian saudara ditentukan oleh
keberadaan anak. Seperti dalam al-Quran, kompilasi menyatakan
bahwa saudara hanya akan memperoleh harta waris jika pewaris
tidak meninggalkan anak. Bedanya, jika anak yang disebutkan
dalam al-Quran dijelaskan lagi oleh pandangan para ulama
terutama sunni, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan walad adalah anak laki-laki, kompilasi tidak menjelaskan
siapa anak yang dimaksud. Apakah anak laki-laki saja atau anak
laki-laki dan juga anak perempuan.
Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak
yang dimaksud adalah anak baik laki-laki mapun perempuan.
Artinya adalah bahwa kompilasi melakukan terobosan dan
perubahan terhdap aturan yang dibuat oleh para ulama klasik.
Dikehendaki bahwa seorang perempuan mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak laki-laki dalam hal hijab menghijab
terutama ketika mereka berada bersama dengan saudara.
Penyetaraan kedudukan laki-laki dan permepuan ini memang slalu

218
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diupayakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia memberikan


perhatian terhadap kedudukan hukum perempuan di Indonesia.
Terkait dengan pembaharuan ini, kita teringat dengan apa
yang dikemukakan oleh Anderson tentang metode-metode
pembaharuan. Anderson mengemukakan bahwa terdapat dua
metode pembaharuan yang secara umum diterapkan oleh negara-
negara Muslim, yaitu intra dan extra doctrinal. Intra doctrinal
adalah metode pembaharuan yang diterapkan di mana para
pembaharu melakukan penafsiran terhadap hukum dan tidak
beranjak jauh dari teks hukum yang ada. Sementara extra doctrinal
adalah sebuah metode yang menyiratkan bahwa pembaharu
melakukan penafsiran terhadap teks dan beranjak jauh dari
maksud atau menyimpang dari teks yang ada.
Dengan melihat kedua metode tersebut, dalam melakukan
pembaharuan terkait dengan aturan kewarisan tentang bagian
saudara dan anak perempuan sangat jelas bahwa kompilasi
menerapkan metode extra doctrinal, di mana penyusun kompilasi
melakukan interpretasi terhadap teks Quran dan menentukan
aturan yang berbeda dari apa yang sudah diatur dalam fiqh.
Putusan Hakim Agama
Bagaimana pandangan dan praktek para hakim terkait
dengan aturan-aturan yang telah diterapkan dalam kompilasi?
Untuk melihat ini, beberapa putusan harus ditinjau dan dievaluasi.
Dalam kebanyakan kasus, para hakim di pengadilan agama
mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi dalam menen-
tukan kasus-kasus hukum yang diajukan kepada mereka. Hal ini
tampak pada keputusan-keputusan pengadilan agama di Jakarta
Selatan (No. 19/pdt.p/1997/PAJS), yang menolak permohonan
penetapan perkawinan (itsbt al-nikh) atas dasar kenyataan

219
Bab III

bahwa permohonan itu diminta hanya oleh satu pihak, sedangkan


pihak lainnya (suami) menolah bahwa pernah terjadi perkawinan.
Kompilasi mendesak bahwa penetapan perkawinan harus
diminta dan disetujui oleh pasangan demi kesejahteraan mereka.
Begitu juga, para hakim pengadilan Tasikmalaya, melalui keputu-
san No. 11/pdt.p/2001/PA.Tsm, mengizinkan seseorang untuk
melakukan perkawinan poligami hanya setelah pemohon (suami)
bisa membuktikan adanya salah satu alasan yang tertuang dalam
Kompilasi, yakni bahwa istrinya menderita penyakit yang tak
tersembuhkan, dan setelah dia membuat bukti kemampuannya
untuk menafkahi istri-istrinya ditambah persetujuan istri pertama-
nya.
Dalam kasus-kasus terdahulu, para hakim pengadilan
agama Nganjuk, Jawa Timur, menolak memberi izin keinginan
suami untuk mendapatkan istri kedua. Hal ini karena diketahui
bahwa istri pertama, meski tidak memiliki anak ketika permohonan
itu diajukan, salah satu alasan permohonannya untuk berpoligami,
terbukti secara medis bisa melahirkan anak.
Pengakuan suami bahwa dia telah berhubungan seksual
dengan calon istri kedua, yang kemudian juga diajukan sebagai
alasan permohonan, meyakinkan para hakim untuk menolak
permintaan itu. Mereka beralasan bahwa seorang laki-laki tidak
bisa kawin lagi untuk memenuhi hasrat seksualnya yang tinggi
karena ini tidak disebutkan dalam Kompilasi.169 Namun demikian,
ini tidak berarti bahwa semua ketentuan dalam Kompilasi
dibarengi dengan persetujuan para hakim. Sebagian keputusan
sebenarnya menunjukkan bahwa dalam sejumlah kasus mereka
menyimpang dari Kompilasi dan malah mengacu pada kitab-kitab

169
Lihat Keputusan No. 341/1976.

220
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

fikih. Mereka secara jelas tidak khawatir bahwa keputusan-


keputusan mereka akan dijatuhkan oleh pengadilan yang lebih
tinggi.170 Ada alasan-alasan pokok di balik keputusan mereka
untuk meninggalkan Kompilasi.
Selain niat mereka mempertahankan kepentingan umum
di mana banyak hakim berpendapat bahwa penyimpangan dari
aturan-aturan yang ditetapkan dalam Kompilasi kadang diperlukan
untuk menciptakan kemaslahatan umum atau untuk menjamin
kepuasan keadilan pihak-pihak atau salah satu pihak yang terlibat
dalam satu kasus, kenyataan bahwa mereka tidak sependapat
dengan aturan-aturan yang ada dalam kompilasi merupakan salah
satu alasan mengapa mereka, dalam kasus-kasus tertentu, tidak
sepenuhnya memenuhi sejumlah aturan dalam Kompilasi.
Khusus terkait aturan kewarisan, terdapat beberapa con-
toh putusan yang menarik untuk dicermati dan didiskusikan.
Contoh pertama yang menunjukan kecenderungan seperti
dimaksud di atas dapat dilihat dari aturan waris dari mayit yang
meninggalkan seorang anak perempuan dan jaminan (saudara
laki-laki) dan saudara perempuan, sebagaimana digambarkan
secara sangat baik oleh dua kasus berikut ini. Yang pertama
diidentifikasi sebagai No. 830/G/1991/PA.Pkl, dan kemudian No.
69/G/1992/PTA.Smrg, dan No.184/K/AG/1995/MA, dan yang kedua
diidentifikasi sebagai No. 85/pdt.6/1992/V/PA.Mtr, dan kemudian

170
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 142-144. Untuk
pandangan yang sama, lihat S. Pompe and J.M. Otto, Some Comments on Recent
Developments in the Indonesian Marriage Law with Particular Respect to the Rights of
Women, Verfassung und Rech Ubersee, 4 (1990), 415, dan bandingkan dengan Cammack
yang melaporkan bahwa sejak diterapkan UU Perkawinan beberapa hakim tampaknya
menyadari keputusan mereka dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada kasasi dan itu
merupakan alasan mereka condong kepada UU Perkawinan. Mark Cammack, Islamic Law in
Indonesias New Order, International and Comparative Law Quarterly, 38 (1989), 53.

221
Bab III

No.19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr, dan kemudian No. 86/K/AG/1994/


MA.171
Kasus yang pertama melibatkan seorang anak perempuan
dan beberapa saudara perempuan, semuanya adalah sesama ahli
waris dengan anak perempuan itu oleh pengadilan agama tingkat
pertama Pekalongan dan pengadilan banding Semarang. Kasus
yang kedua, yang menarik perhatian besar dari para analis hukum
dan sarjana, melibatkan seorang saudara laki-laki dan seorang
saudara perempuan.172 Tidak diketahui apakah para penggugat
memahami apa kata Kompilasi tentang kasus mereka. Namun para
ahli waris saudara laki-laki dari mayit dalam kasus kedua sampai ke
pengadilan agama tingkat pertama. Mereka mengklaim bagian
harta atas dasar bahwa, sebagai saudara laki-laki dari mayit (orang
yang meninggal), keturunan mereka berhak mendapat bagian
bersama saudara perempuannya mayitmeskipun saudara
perempuan itu masih hidup, saudara laki-laki telah meninggal
ketika kasus itu diperiksa di pengadilan, tetapi, tentu saja, masih
hidup ketika saudara laki-lakinya (praepositus) meninggal.
Pengadilan menyimpulkan bahwa kasus itu terlalu banyak
masalah, karena harta yang diperselisihkan tidak ditetapkan secara
jelas dan, karena permohonan itu dianggap tidak memenuhi
syarat prosedural. Oleh karena itu mereka menolak kasus itu.173
Tidak puas dengan keputusan itu, penggugat dan tergugat
membawa kasus itu ke pengadilan agama banding. Pengadilan

171
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 151-152. Teks kasus itu
dan keputusan-keputusannya bisa dilihat pula dalam Mimbar Hukum 30:7 (1997), 122-151.
172
Selain Euis Nurlaelawati, lihat juga Cammack, Inching towards Equality, 14-
15, dan Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, 197-198.
173
Euis Nurlaelawari, Modernization, Tradition and Identity, 152. Jadi pengadilan
tidak memutuskan kasus mengikuti doktrin tradisional dan tidak memberi saudara laki-laki
bagian bersama dengan anak perempuan dari mayit sebagaimana dipahami Cammack.
Lihat Cammack, Inching toward Equality, 15.

222
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

setuju agar saudara laki-laki diberi bagian. Dalam menetapkan


bahwa saudara laki-laki, dalam kasus kedua, sebagaimana saudara
perempuan dalam kasus pertama, harus berbagi dengan saudara
perempuan, jelas bahwa pengadilan banding Mataram dan
pengadilan rendah Semarang mengadopsi penafsiran hukum dari
ayat al-Quran terkait, yang menyatakan bahwa saudara kandung,
saudara perempuan dan saudara laki-laki, diberi hak waris jika
mayit tidak meninggalkan anak atau walad (QS. Al-Nisa [4]: 176).
Mayoritas ulama Sunni memahami dari ayat ini bahwa,
ketika mayit meninggalkan seorang anak atau walad, maka
saudara kandung tidak mendapatkan bagian dan bahwa, untuk
menyatukan praktik Nabi yang pernah memberi saudara
perempuan bagian yang sama dengan anak perempuan, mereka
menafsirkan kata walad dalam ayat ini merujuk pada anak laki-laki
saja,174 yang berarti bahwa ketika ada anak perempuan, maka
saudara kandung bisa diberi bagian. Atas dasar penafsiran Sunni
tradisional inilah kata walad merujuk pada laki-laki saja, sehingga
pengadilan agama tersebut memberikan bagian kepada saudara
laki-laki.
Dalam kedua kasus itu, saudara perempuan memohon
kepada Mahkamah Agung, dan para hakim di Mahkamah Agung
membalikkan keputusan dari kedua pengadilan banding itu.
Mereka sepakat bahwa anak-anak perempuan menghalangi
saudara laki-laki (dalam kasus kedua) dan saudara perempuan
(dalam kasus pertama) dari bagian. Mereka menyatakan bahwa
selagi mayit meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perem-
puan, maka hak waris dari hubungan darah dengan mayit itu,

174
Noel J. Coulson, History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1971), 66. Harus dicatat di sini bahwa penafsiran Sunni terhadap kata walad sebagai
merujuk hanya pada laki-laki hanya terjadi dalam ayat ini, karena mereka menafsirkan kata
walad yang muncul dalam ayat-ayat yang lain mencakup laki-laki dan perempuan.

223
Bab III

kecuali orangtua dan pasangan (istri atau suami) (bukan


hubungan darah), terhalangi. Menariknya, dalam hal ini mereka
merujuk pada pandangan Ibnu Abbas, salah seorang Sahabat
Nabi. Ibnu Abbas menafsirkan kata walad dalam ayat tersebut di
atas sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini menuai
kritik dari sejumlah sarjana dan hakim karena mereka
menganggap para hakim Mahkamah Agung ini, sebagaimana
akan dibahas di bawah, menyalahpahami Ibnu Abbas dan tidak,
sebagaimana tentunya kedua pengadilan banding, menyebut
Kompilasi sebagai dasar mereka sama sekali.
Lalu apa kata Kompilasi mengenai hal ini? Mengapa mere-
ka tidak merujuknya? Kompilasi, Pasal 181 dan 182, sebagaimana
telah dijelaskan di atas, menyatakan bahwa hak waris dari saudara
kandung hanya bisa diberikan jika tidak ada anak. Kata anak ini
adalah terjemahan sebenarnya dari walad.175 Jadi, Kompilasi
menetapkan menurut kata al-Quran. Pada dasarnya, kata anak
mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun,
tampaknya penggunaan kata ini masih membingungkan bagi
sebagian hakim yang mempertanyakan apakah kata ini, seperti
kata walad dalam al-Quran, mengacu hanya kepada laki-laki
sebagaimana dalam penafsiran Sunni, atau kepada laki-laki dan
perempuan sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas.
Perdebatan tersebut muncul dan dilakukan karena Kompi-
lasi bersifat mendua. Seperti kata walad dalam al-Quran
ditafsirkan secara berbeda dalam konteks ini, masih menggunakan
terjemahannya yang umum. Yang menjadi pertanyaan mengapa
Kompilasi (Pasal 182) tidak menggunakan kata-kata yang jelas dan
tertentu anak perempuan dan anak laki-laki sekaligus ketika

175
Maksud saya, kata walad sebagaimana umunya ditafsirkan dalam al-Quran
sebagai anak laki-laki dan perempuan dan bukan diterjemahkan dalam kamus Arab yang
merujuk hanya pada anak laki-laki.

224
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

memaksudkan bahwa keduanya mendahulukan saudara kandung,


dan menggunakan kata anak laki-laki saja ketika tujuannya adalah
untuk menyatakan bahwa anak laki-laki saja menghalangi saudara
kandung dari waris.
Persoalan ini telah memicu perdebatan sengit di antara
para hakim dan ahli dalam hukum Islam. Perdebatan ini bisa diikuti
dalam terbitan mingguan Direktorat Kehakiman Agama Departe-
men Agama, Mimbar Hukum. Dari sini bisa dipahami bahwa
kedudukan doktrin Sunni klasik di kalangan umat Islam Indonesia,
khususnya para ahli hukum Islam dan hakim, tetap mengakar kuat
sehingga banyak dari mereka berani melawan Kompilasi dan
bahkan melawan keputusan Mahkamah Agung. Meskipun
keputusan Mahkamah Agung mendapatkan dukungan dari
sejumlah hakim,176 perlawanan terhadapnya tidak bisa diabaikan.
Dalam salah satu terbitannya, majalah Mimbar Agama
memuat artikel Baidlawi dan Rahmat Syafei, yang menyuguhkan
penafsiran kata walad yang diberikan oleh para ahli hukum awal,
termasuk penafsiran Ibnu Abbas. Mereka mengaitkannya dengan
perdebatan yang dicuatkan oleh praktik peradilan, khususnya
dalam kaitannya dengan kasus yang kedua. Bermaksud melawan
pandangan Mahkamah Agung, dalam artikel mereka Baidlawi dan
Rahmat Syafei menulis bahwa benar Ibnu Abbas menafsirkan kata
walad mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun
salah jika dipahami bahwa Ibnu Abbas memasukkan anak
perempuan dalam kata walad dengan maksud untuk menafikan
saudara laki-laki. Oleh karena itu Mahkamah Agung keliru jika
mengambil pandangan Ibnu Abbas sebagai dasar hukum bagi
keputusannya. Ibnu Abbas, lanjut mereka, memaknai bahwa hanya

176
Lihat, misalnya, Alizar Jas, Pengertian Kata Walad dalam Surah al-Nisa Ayat
176, Mimbar Hukum, 40 (1998).

225
Bab III

saudara perempuan dan bukan saudara laki-laki yang didahului


oleh anak perempuan.
Dengan kata lain, mereka ingin menegaskan tanpa rancu
bahwa Ibnu Abbas berpendapat bahwa ketika mayit mening-
galkan anak laki-laki dan anak perempuan, atau hanya anak laki-
laki, maka hak saudara sekandung, baik saudara laki-laki maupun
saudara perempuan, digantikan. Namun jika mayit itu mening-
galkan hanya anak perempuan saja, maka hanya hak saudara
perempuan saja dan bukan hak saudara laki-laki yang digantikan.
Dengan demikian hanya jika anak perempuan itu dilawankan
dengan saudara perempuan itulah anak perempuan dipandang
sebagai walad.
Menjelaskan hal ini, kedua penulis itu ingin mengatakan
bahwa jika mayit meninggalkan anak perempuan saja seperti
dalam kasus (kedua) yang telah dibahas, maka hak saurada laki-laki
terhadap bagian itu memiliki dasar yang jelas dalam pandangan
para fukaha Sunni maupun Ibnu Abbas. Mereka berpendapat,
Mahkamah Agung keliru ketika mengutip dan merujuk pada
pandangan Ibnu Abbas untuk mendukung keputusannya
memberikan bagian penuh kepada anak perempuan dan pada
saat yang sama menafikan saudara laki-laki dari bagian waris,
karena Ibnu Abbas sendiri tidak memaksudkannya demikian.177

177
Lihat Baidlawi, Ketentuan Hak Waris Saudara dalam Konteks Hukum Islam,
dan Rahmat Syafei, Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Kewarisan
Saudara dengan Anak Perempuan, Mimbar Hukum, 44 (1999). Para penulis juga
menambahkan bahwa tidak ada yang menafsirkan kata walad dalam ayat 176 sebagai
hanya mencakup laki-laki saja. Mereka berpendapat bahwa kata walad dalam ayat 176
merujuk sepenuhnya pada laki-laki dan perempuan, tetapi ayat itu tidak ditafsirkan dengan
cara yang menyimpang (mukhlafah) yakni, ayat itu tidak ditafsirkan untuk mengatur
bahwa jika ada anak, maka saudara sekandung sepenuhnya dinafikan. Dengan kata lain,
ayat ini hanya memaparkan hak waris saudara sekandung ketika mayit tidak meninggalkan
anak (kallah). Jika mayit meninggalkan anak, maka hak waris saudara sekandung diatur
dalam sabda nabi yang menyatakan, berilah bagian tertentu kepada para ahli waris

226
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pemahaman mereka disimpulkan pada kenyataan bahwa


mengenai masalah ini Ibnu Abbas memberikan perhatian hanya
terhadap kasus di mana saudara perempuan (bibi) dan anak
perempuan terlibat dan tidak membahas satu kasus di mana anak
perempuan ditinggalkan bersama saudara laki-laki (pamannya).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, pandangan Ibnu Abbas tentang
masalah ini diuraikan sebagai berikut: Ibnu Jarir dan rekan-
rekannya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair
mengatakan bahwa jika mayit meninggalkan seorang anak
perempuan dan seorang adik perempuan, maka adik perempuan
tidak mendapatkan bagian (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks
no. 18).178 Dengan memahami pendapat Ibnu Abbas semacam ini,
mereka juga menunjukkan bahwa keputusan Mahkamah Agung
bahwa anak perempuan bisa menafikan saudara sekandung
adalah tepat dan memiliki dasar hukum, yakni pandangan Ibnu
Abbas, hanya dalam kasus Pekalongan di mana anak perempuan
berseteru dengan saudara perempuan.179
Atas dasar kedua kasus itu bisa ditarik beberapa
kesimpulan.
Pertama, benar, seperti kata Cammack, bahwa Mahkamah
Agung barangkali ingin memberi arah kepada perkembangan

tertentu dan sisanya adalah hak waris dari saudara sekandung (diriwayatkan dari Ibnu
Abbas) (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks no. 19), dan yang menyatakan untuk
anak perempuan adalah setengah dan untuk anak perempuannya anak laki-laki adalah
bagian yang membuat dua pertiga bagian dan sisanya untuk saudara perempuan
(diriwayatkan dari Ibnu Masud). Untuk pembahasan tentang hal ini, bandingkan Bowen,
Islam, Law and Equality in Indonesia, 197.
178
Lihat Ibnu Katsir, Tafsr Ibn Katsr (Beirut: Dr al-Fikr, 1986).
179
Meskipun para penulis itu juga menyatakan bahwa memberikan bagian
penuh kepada anak perempuan adalah juga penyelewengan, karena tidak ada teks yang
mengatakan demikian. Mereka menyatakan bahwa jika ada saudara perempuan tetapi
dinafikan, maka anak perempuan tidak diberi bagian penuh tetapi hanya separuh. Ibid.

227
Bab III

masa depan doktrin waris Islam dan berusaha konsisten dengan


premis yang dikembangkan bahwa sanak keluarga laki-laki dan
perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.180
Para hakim Mahkamah Agung tidak merujuk pada Kompilasi atau
pada teori-teori yang diajukan oleh sejumlah pakar hukum
Indonesia, misalnya teori bilateral Hazairin, tetapi pada pandangan
Ibnu Abbas. Hal ini membuktikan kurang yakinnya terhadap
Kompilasi dan kecenderungannya terhadap doktrin hukum dari
kitab fikih, seperti yang digunakan dalam pengadilan tingkat
pertama dan tingkat banding.
Kedua, meskipun Kementerian Agama tidak memiliki
wewenang untuk menilai produk hukum pengadilan agama, ia
merasa perlu menganalisis dan mempelajari keputusan-keputusan
yang dikeluarkan pada seluruh tingkat pengadilan agama,
termasuk Mahkamah Agung. Harus dicatat di sini, apa yang
dipraktikkan Mahkamah Agung menyiratkan perkembangan
model peradilan ketika tuntutan dibuat. Sedangkan apa yang
dilakukan Kementerian Agama, seperti tercermin dalam Mimbar
Hukum, merupakan refleksi hukum yang mempertegas bahwa ada
pendapat lain tentang satu kasus yang juga layak atau
sesungguhnya bahkan lebih layak diterapkan.
Selain itu, para sarjana Muslim Indonesia juga masih
berpendapat bahwa, karena mereka sering selalu menemukan
bahwa tidak ada dua kasus yang sama persis, seiring dengan
kenyataan bahwa orang tidak ada yang sama betul, para hakim
bisa secara sah mencapai keputusan yang berbeda selagi proses
penalarannya tetap konsisten.

180
Lihat Cammack, Inching toward Equality, 15.

228
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Penutup
Dari diskusi di atas, diperoleh beberapa kesimpulan.
Pertama, pembaharuan hukum merupakan hal yang tidak bisa
dihindari dan memiliki dasar atau rasional dalam Islam. Namun,
upaya pembaharuan tentunya tidak bisa secara mudah diterima
oleh seluruh kalangan yang menganggap bahwa aturan yang
sudha mapanlah yang benar dan sesuai untuk diterpakan. Kedua,
upaya pembaharuan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan
jelas, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang beragam.
Interpretasi terhadap hukum tentunya bisa diterima
dengan alasan adanya kemaslahatan di dalamnya, dan bukan
karena ketidakjelasan aturan. Ketiga, kecenderungan dan
kefanatikan terhadap sebuah aturan telah menyebabkan banyak
kelompok tidak merasa percaya diri untuk menerapkan aturan
yang baru yang sudah disepakati pemeberlakuannya. Untuk itu,
dasar hukum bagi pembaharuan harus kuat dan ditetapkan
setelah mengakomodir banyak pandangan hukum.

229
Bab III

230
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM


HUKUM DI INDONESIA
(SUATU ANALISIS FILSAFAT)
Syahrizal Abbas

Latar Belakang
Realitas hukum di Indonesia, termasuk hukum waris
berada dalam kutub pluralisme hukum.181 Pluralisme hukum
tidak dimaknai dalam arti sempit, di mana sistem hukum yang satu
berbeda dan saling berhadapan dengan sistem hukum yang
lain.182 Pluralisme hukum adalah suatu realitas hukum, di mana
suatu sistem hukum dengan kerangka filsafatnya, menawarkan
pola tersendiri kepada masyarakat. Masyarakat dapat menilai dan
mempertimbangkan kerangka filsafat suatu sistem hukum yang
cocok dan memenuhi rasa keadilan. Hukum pada dasarnya adalah
sarana dan perangkat untuk menemukan dan memberikan rasa
keadilan kepada masyarakat.183
Hukum waris di Indonesia bergumul dalam realitas plural-
isme hukum. Hukum waris Islam, hukum waris BW, hukum waris
adat, dan praktik hukum kewarisan di lingkungan pengadilan
membentuk warna tersendiri.184 Secara normatif, sub-sistem
hukum ini saling pengaruh mempengaruhi terhadap praktik
181
Ihromi, Pluralisme Sistem Hukum, Jakarta : UI Press, 1987, hlm. 16; Soepomo,
Sistem Hukum di Indonesia, Pradnya Paramita, 1972, hlm. 23.
182
Lili Rasyidi, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1988,
hlm. 123.
183
Hans Kelsen, Law and Justice, Oxford : Oxford University Press, 1990, hlm. 211.
184
Hukum Islam, Hukum Perdata Barat (BW) dan Hukum Adat adalah suatu sistem
hukum, sedangkan hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan BW dan hukum kewarisan
adat adalah suatu sub-sistem hukum.

231
Bab III

kewarisan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ketiga sub-


sistem hukum kewarisan telah bekerja dan memberikan tawaran-
tawaran etis terhadap sejumlah problema hukum kewarisan
mulai dari konsep waris, alasan mewarisi, ahli waris, bagian-bagian
ahli waris, dan cara pembagian serta pola penyelesaian sengketa
waris.
Ketiga sub-sistem hukum kewarisan di atas memiliki
hubungan dengan kerangka filsafat dari sistem hukum Islam,
sistem hukum Barat dan sistem hukum Adat.185 Pada satu sisi,
ketiga sistem hukum ini memiliki landasan filsafat yang berbeda
satu sama lain, namun pada sisi lain, ketiga sistem hukum ini juga
memiliki kesamaan-kesamaan. Studi mendalam terhadap landasan
filsafat ketiga sistem hukum ini sangat diperlukan, sehingga
mampu menghadirkan kerangka yang tepat bagi pembentukan
hukum kewarisan nasional. Studi fisafat terhadap hukum Islam,
hukum BW dan hukum adat ditujukan untuk menemukan nilai-
nilai etis universal yang dibawa oleh ketiga sistem hukum ini
dalam masalah kewarisan. Pendekatan filsafati dan sociological
jurisprudence di anggap mampu mempertemukan ketiga sistem
hukum ini dalam satu ikatan benang merah yaitu keadilan
universal.186
Harus diakui bahwa filsafat dan struktur ketiga sistem
hukum tersebut memang berbeda. Perbedaan ini sangat wajar
terjadi, karena filsafat dan struktur dari hukum Islam, hukum adat,
dan hukum Barat dibangun dari realitas dan filsafat masyarakat
yang berbeda satu sama lain. Filsafat dan struktur hukum ini
menjadi bagian substantif dari hukum kewarisan Islam, hukum
kewarisan adat dan hukum kewarisan Barat. Hukum kewarisan

185
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 14.
186
Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, Cambridge University, 1996, hlm. 437.

232
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Islam dibangun atas landasan doktrin ajaran al-Quran dan


Sunnah.187 Ajaran hukum kewarisan Islam memiliki landasan
normatif dalam sejumlah ayat al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.188
Meskipun demikian, harus pula dicermati sejarah lahirnya ajaran
hukum kewarisan yang tidak pernah lepas dari struktur masyarakat
Arab, tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab ketika itu. Struktur
masyarakat Arab yang bersuku-suku (qaba-il) ikut mewarnai
kontruksi hukum kewarisan Islam. Masyarakat Arab dikenal
sabagai masyarakat yang menempatkan suku sebagai institusi
penting sebagai pelindung dan lambang kehormatan.189 Suku
adalah perekat antar individu yang amat sulit dipisahkan, bahkan
anggota suku rela berkorban nyawa untuk membela kepentingan
sukunya. Keterikatan individu terhadap suku, didasarkan pada
garis keturunan dan hubungan darah.
Bagi masyarakat Arab, garis keturunan dan hubungan
darah merupakan kehormatan yang selalu dijaga dan dilindungi.
190
Oleh karenanya, keberadaan laki-laki menjadi amat penting
dalam kehidupan suku-suku Arab. Laki-laki adalah orang yang
mampu melindungi dan menjaga kehormatan sukunya. Laki-laki
adalah orang yang paling dihormati, karena ia menjadi lambang
pemersatu dan pelindung suku.191 Tradisi kesukuan ini sedikit
banyak mempengaruhi dan membawa warna tersendiri bagi
doktrin kewarisan Islam dalam al-Quran dan al-Hadits.
Realitas sosial masyarakat Arab adalah berpindah-pindah
dan hidup komunal dalam kesukuan. Komunalitas kesukuan

187
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut ; Dar al-Fikr, 2006, hlm. 594.
188
Di antara ayat al-Quran yang menjadi fondasi dasar hukum kewarisan Islam
adalah surah an-Nisa ayat 11.
189
Phillip K. Hitti, The History of Arab, McMillan, 1979, hlm. 131.
190
Syed Mahmuddunnasir, Sejarah Peradaban Islam, Malaysia : IIT, 1995, hlm. 56.
191
Phillip K. Hitti, op.cit., hlm. 351.

233
Bab III

menjadi salah satu pertimbangan dalam proses dan pembangian


harta warisan, bila salah satu dari anggota suku meninggal dunia.
Tradisi ini juga membawa pengaruh bagi kontsruksi hukum
kewarisan Islam, terutama dalam pertimbangan hubungan
kebersamaan dan kekeluargaan. Suku bertanggung jawab
terhadap setiap aggoata suku yang meninggal dunia dan kepala
suku memberikan proteksi dan jaminan kehidupan bagi ahli waris
yang ditinggalkan. Harta menjadi bagian penting untuk
melindungi anggota suku.192 Dengan demikian nilai filsafat
kebersamaan dan tolong menolong dalam tradisi kesukuan Arab
tercermin dalam hukum kewarisan Islam.
Dalam tradisi masyarakat Arab, keberadaan laki-laki
sebagai pewaris menjadi amat penting, karena ia sebagai tulang
punggung suku (qabilah). Bila salah seorang dari anggota suku
meninggal dunia, maka pemimpin suku akan berperan dan
bertanggung jawab menjamin harta peninggalan yang ditinggal-
kan oleh pewaris. Pengambil-alihan tanggung jawab kepala suku
terhadap ahli yang ditinggalkan oleh pewaris, menggambarkan
peran penting dan dominasi kepala suku dalam pengaturan harta
warisan dan jaminan perlindungan terhadap anggota suku.193
Muhammad Hamidullah, menyebutkan bahwa dalam
tradisi kewarisan masyarakat Arab, mengalihkan harta dari seorang
pewaris kepada ahli waris sangat ditentukan oleh tradisi kesukuan
termasuk memberikan harta kepada anak yang orang tuanya
terlebih dahulu meninggal dunia.194 Hamidullah menyebutkan hal
ini hanya berlaku kepada cuku laki-laki dari anak laki-laki, dan tidak

192
Oemar Abdul Aziz, The History of Islamic Law, Malaysia :UM, 2001, hlm. 13.
193
I b i d. Hlm. 14.
194
Muhammad Hamidullah, Islamologi, Montreal : McGill University Press, 1975,
hlm. 164.

234
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berlaku kepada cucu laki-laki dari anak perempuan. 195 Logika ini
sangat dipahami, karena dalam tradisi masyarakat Arab, dominasi
dan pengaruh laki-laki dalam penentuan kewarisan sangat
dominan. Al-Quran sebagai ajaran etis memberikan perimbangan
terhadap dominasi ini, walaupun tidak mengikis habis dominasi
laki-laki terhadap proses pewarisan.
Filsafat kebersamaan dan tanggung jawab yang tergambar
dalam tradisi masyarakat Arab, diakomodir oleh al-Quran dengan
sejumlah penyesuaian, sehingga filsafat yang mendasari
kewarisan Islam adalah filsafat tanggung jawab (responsiblity),
kebersamaan, kemaslahatan, pengakuan hak individual, jaminan
keberlangsungan hidup, dan menghindarkan konflik antar sesama
ahli waris.196
Dalam kewarisan Islam, harta yang ditinggalkan oleh
seorang pewaris memiliki hubungan erat dengan orang yang
menjadi ahli waris. Hubungan ini terwujud dalam bentuk
penentuan ahli waris dan pendistribusian harta warisan. Pendistri-
busian harta warisan kepada ahli waris dimaksudkan dalam rangka
perwujudan tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup ahli
waris. Kematian pewaris tidak boleh menyebabkan hilangnya
jaminan dan keselamatan hidup ahli waris. 197
Filsafat tanggung jawab ini bukan hanya berada pada satu
orang tetapi juga dari seluruh anggota keluarga. Oleh karenanya,
bila seseorang meninggal dunia, maka tanggung jawab terhadap
keberlangsungan hidup keluarga dapat dijalankan dengan

195
I b i d., hlm. 170.
196
Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, (Terj),
Diponegoro : Bandung, 1988, hlm. 17.
197
I b i d., hlm. 18. ; Mohammed Majmuri, Family Law, Canada : Concordia
University Press, 2008, hlm. 234.

235
Bab III

penerapan hukum kewarisan Islam. Filsafat kebersamaan,


dimaknai dengan ketentuan kewarisan yang ada dalam al-Quran
memberikan penegasan agar nilai kebersamaan harus tetap
dipertahanakan, walaupun salah seorang dari anggota keluarga
meninggal dunia.198
Distribusi harta warisan harus menjamin terwujudnya
kebersamaan. Pembagian dan pendistribusian harta warisan
berdasarkan hukum Islam tidak boleh menghilangkan ikatan
kekeluargaan dan semangat kebersamaan. Penerapan hukum
kewarisan Islam bersifat alternatif,199 yang mana kebersamaan dan
kesepakatan yang terjadi di kalangan ahli waris sangat
menentukan pemberlakuan tidaknya hukum kewarisan Islam.
Hukum kewarisan Islam memberikan kebebasan kepada ahli waris
untuk menggunakan atau memilih jalan lain yang terbaik dalam
penyelesaian pembagian dan pendistribusian harta warisan
kepada ahli waris. Kemaslahatan, kedamaian dan keadilan jauh
lebih penting dan diutamakan dalam pendistribusian dan
pembagian harta warisan.
Bila seluruh ahli waris yang berhak bersepakat untuk tidak
membagikan harta warisan berdasarkan ketentuan furudh al-
muqaddarah, dan itu dianggap lebih mengandung maslahat,
penuh nilai keadilan dan kebersamaan, maka hal itu jauh lebih
baik dan lebih mulia.200 Dengan demikian penerapan hukum
kewarisan Islam yang bersifat rigid dan memaksa, bila adanya
sengketa di antara ahli waris atau adanya kehendak yang ingin
membagikan harta pusaka berdasarkan ketentuan furudh al-

198
Sayyid Sabiq, op.cit. hlm. 598;
199
Hamid Khan, Islamic Law of Inheritance, Oxford-Pakistan : Oxford University
Press, 2007, hlm. 18.
200
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : Fak. Ekonomi UII, 1990,
hlm. 45.

236
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

muqaddarah. Penerapan ketentuan hukum kewarisan Islam yang


bersifat rigid dan memaksa dilaksanakan melalui proses penga-
dilan.
Filsafat pengakuan hak individual dalam hukum kewarisan
Islam, ditujukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum
mengenai hak milik terhadap harta yang diperoleh melalui
pewarisan. Hak milik ini melekat dan tidak dapat dihapuskan oleh
siapapun, kecuali terdapat alasan syara yang sah seperti
pembunuhan terhadp pewaris. 201 Filsafat keberlangsungan hidup
juga mendasari hukum kewarisan dalam Islam.
Distribusi harta kekayaan dalam hukum kewarisan Islam
ditujukan untuk memastikan keberlangsungan hidup (continuitas)
ahli waris. Hal ini amat penting ditekankan oleh Islam, karena
keberlangsungan hidup dan tanggung jawab orang-orang yang
ditinggalkan pewaris harus mendapat perlindungan dan jaminan
hidup.
Hukum kewarisan Islam, sangat menghindari terjadinya
ketidakpastian hidup baik dalam bidang ekonomi, pendidikan,
kesehatan dan lain-lain, setelah meninggal dunianya pewaris.202
Landasan filsafat ini amat penting dipahami dalam menganalisis
problema penggatian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan
Islam.
Konstruksi filfasat hukum kewarisan Barat, tentu agak
berbeda dengan hukum kewarisan Islam. Hal ini didasarkan pada
kehidupan masyarakat Barat yang menganut paham individual-

201
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Dar al-Fir al-Araby, Bairut,
2000, hlm. 478.
202
Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; From Classical and Contemporary,
Oxfor UK : Altamira Press, 2006, hlm. 56.

237
Bab III

istik.203 Dalam masyarakat Barat, setiap individu memiliki


kebebasan dan kemerdekaan, sehingga setiap hak milik bersifat
mutlak-indivual. Keberadaan hak milik yang dimiliki seseorang
semata-mata ditujukan pada kepentingan individual dan tidak ada
ruang bagi kepentingan sosial.204
Dalam pandangan masyarakat Barat, pemanfaatn hak
milik individual hanyalah semata-mata untuk kepentingan
individu, dan sangat terbatas hak milik seseorang memiki ruang
kepentingan dan tanggung jawab sosial (sosial space and
responsibility).205
Hak milik individual dalam pandangan filsafat masyarakat
Barat memiliki makna ; (1) hak milik yang diperoleh seseorang
adalah mutlak untuk kepentingan dirinya dan tidak ada sedikitpun
hak orang orang lain dari harta yang menjadi milik individu
tersebut, termasuk dalam hal harta warisan; (2) hak milik individu
adalah hak mutlak setiap pribadi, dan ia memiliki kebebasan untuk
menggunakan harta milik yang berasal dari harta warisan, untuk
dipergunakan sesuai dengan kehendak dan keinginannya, apakah
untuk kepentingan dirinya ataukah kepentingan sosial. Dengan
demikian, tanggung jawab sosial dari harta yang dimiliki
seseorang sangat tergantung pada kehendak dan keinginan orang
tersebut. Hukum tidak memberikan ruang social responsibility
pada harta seseoarang yang berupa hak milik individual, dan
fislafat inilah yang mendasari hukum kewarisan Barat. 206

203
Prances Burton, Family Law, UK : Cavendishpublishing, 2003, hlm. 14.
204
William P. Staatskey, Family Law, USA : Thomson Delma Learning, 2003, hlm.
123.
205
I b i d., hlm. 124.
206
Prances Burton, op.cit., hlm. 16.

238
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Filsafat masyarakat Barat yang lain yang perlu mendapat-


kan perhatian adalah rasionalitas independensi hak milik. Konsep
rasionalitas independen bermakna bahwa seseorang memiliki hak
milik melalui proses alamiah atau secara hukum, tidak dapat
dihalangi oleh pandangan dan kehendak sosial dan/atau struktur
sosial masyarakat tertentu. Masyarakat Barat memahami bahwa
hak milik seseorang harus diberikan atau diperjuangkan bila secara
alamiah dan hukum ia mendapatkan hak miliki, karena hak miliki
adalah salah satu hak asasi yang melekat pada individu yang
harus diberikan dalam kondisi apapun.
Oleh karenanya, dalam hukum kewarisan di Barat, seorang
cucu yang ayahnya meninggal dunia terlebih dahulu, berhak
mendapat harta warisan dari kakeknya, karena cucu memiliki hak
secara hukum menempati posisi ayahnya untuk mendapatka harta
warisan dari kakek.207 Tidak ada alasan bagi masyarakat Barat, tidak
memberikan hak kepada cucu yang ayah atau ibunya meninggal
dunia terlebih dahulu, karena itu sangat tidak rasional dan
menutup hak miliki indivual sang cucu.
Dalam tradisi dan hukum kewarisan Barat dikenal adanya
istilah penggantian tempat ahli waris (plaatsvervullling). 208
Dalam masyarakat Adat di Indonesia, filsafat yang menda-
sari hukum kewarisannya adalah filafat komunalitas dan

207
David S. Power, Islamic Family Law, Norwell : Kluwer Academic Publisher
Group, 1990, hlm. 271.
208
Pergantia tempat ahli waris (plaatspervulling) adalah penempatan cucu
menduduki posisi ayah yang telah terlebih dahulu meninggal dunia, untuk mendapatkan
harta warisan dari kakek. Perluasan makna terhadap plaatsvervulling juga diberikan oleh
Hilyatus Saadah, dengan keturunan ahli waris yang sudah meninggal dunia pada saat
terbukanya warisan/menggantikan tempat orang tuanya sebagai ahli waris. Hilyatus
Saadah, Penggantian Tempat Ahli Waris (Plaatsvervulling) pada Masyarakat Pesantren, Tesis
S2, Semarang :UNDIP, 210, hlm. i.

239
Bab III

tanggung jawab bersama.209 Masyarakat adat memiliki falsafat


hidup bersama dan nilai-nilai komunalitas dan nilai kebersamaan
menjadi nilai esensial dari kehidupan masyarakat adat. Dalam
kehidupan masyarakat adat, peran tokoh-tokoh adat dan nilai-
nilai luhur yang dianut menjadi pertimbangan peting dalam
hukum kewarisan adat. Hukum kewarisan pada suatu komunitas
masyarakat adat, berbeda dengan hukum kewarisan masyarakat
adat yang lain.
Hukum dan praktik kewarisan suatu masyarakat adat
sangat tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut. Dalam
masyarakat yang menganut kekerabatan patrilineal, maka
dominasi peran tanggung jawab pihak laki-laki lebih dominan
dibandingkan dengan perempuan dalam proses kewarisan,
sedangkan dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan
matrilineal, maka dominasi dan tanggung jawab pihak perempuan
teras lebih dominan dalam menjaga keutuhan keluarga dan
tanggung jawab terhadap ahli waris yang ditinggal oleh
pewaris.210 Sedangkan masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan bilateral atau parental, maka peran dan dominasi
pihak laki-laki dan perempuan dalam proses kewarisan memiliki
kesetaraan dan keseimbangan. 211 Oleh karenanya tanggung jawab
keluarga serta ahli waris yang ditinggalkan pewaris berada pada
pundak kedua belah pihak.
Filsafat tanggung jawab bersama dalam menjaga
keutuhan keluarga yang dianut oleh masyarakat adat telah

209
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita,
hlm. 25.
210
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, hlm.
18.
211
Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral, Jakarta : Tinta Mas, 1961, hlm. 26.

240
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

mendasari mereka, untuk menggunakan isntitusi pergantian ahli


waris dalam proses kewarisan.212 Dalam masyarakat adat, seorang
cucu akan mendapatkan hak waris dari kakeknya yang orang
tuanya telah meninggal terlebih dahulu. Pemberian hak kepada
cucu ini didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan cucu
merupakan tanggung jawab bersama dari keluarga.
Pola pikir dan kerangka filsafat yang dianut hukum
kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, hukum hukum kewarisan
Barat dapat menjadi ladasan untuk melihat dan menganlisis lebih
jauh kerangka filsafat yang digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan praktik
pergantian tempat ahli waris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah
menawarkan suatu terobosan hukum baru yang memadukan
prinsip hukum kewarisan Islam dan kewarisan adat, dengan
melahirkan sejumlah pasal-pasal pergantian tempat ahli waris.
Pasal 185 KHI adalah pergumulan nilai-nilai normatif
hukum kewarian Islam dengan praktik masyarakat adat. Dalam
penerapannya pasal-pasal ini masih memunculkan problematika,
sehingga beberapa substansi pasal ini memerlukan kajian dan re-
interpretasi ulang. Kajian ini amat perlu dilakukan, guna
menempatkan lembaga (institusi) pergantian tempat ahli waris,
sebagai instiusi kewarisan yang mampu mewujudkan keadilan,
sosial empati, tanggung jawab bersama dan tidak ada pihak yang
terdhalimi, dengan tetap memegang teguh nilai-nilai al-Quran
dan al-Hadits.
Realitas hukum yang terjadi selama ini mengharuskan
kajian komprehensif dan integral, terhadap lembaga pergantian

212
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung : Alumni, 1993, hlm. 45.

241
Bab III

tempat ahli waris, karena secara konseptual lembaga tidak dikenal


dalam konstruksi fiqh al-waris (al-faraidh), namun secara
subtansial, sebagian besar masyarakat mempraktikan konsep
pergantian tempat ahli waris. Realitas dan praktik hukum
masyarakat ini tidak dapat dibiarkan, karena praktik seperti itu
tidak dapat menjamin seorang cucu mendapat hak warisnya dari
kakek, dengan lasan ayahnya telah terlebih dahulu meninggal
dunia.
Pasal-pasal pergantian tempat ahli waris dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) harus mampu memenuhi rasa keadilan
masyarakat, dengan tidak melanggar prinsip dan nilai etis dari
hukum kewarisa Islam. Di sinilah urgensitas tulisan ini.
Analisis Fiqh
Al-Quran dan Sunnah adalah dalil dan sekaligus sebagai
sumber bagi fiqh. 213 Al-Quran dan Sunnah adalah landasan utama
perumusan hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan adalah
hukum yang berkaitan dengan pengalihan harta dari si mayit
kepada orang yang ditinggalkannya berdasarkan ketentuan
hukum syara.214 Subtansi hukum kewarisan meliputi pewaris, ahli
waris, harta warisan, dan bagian serta mekanisme distribusi harta
warisan kepada ahli waris yang berhak berdasarkan ketentuan al-
Quran dan al-Hadits.
Sebagian fuqaha terutama dari kalangan Malikiyah,
Syafiiyah dan Hanabilah memahami hukum kewarisan Islam
sebagai hukum yang sudah final, rigid dan pasti, sehingga tidak
mungkin diberikan tafsiran atau makna lain, selain yang tersebut
213
Ali Hasaballah, Ushul at-Tasyri al-Islamy, Cairo : Dar ibn Ashashah, 1995, hlm.
78.
214
Muhammad Yusuf Musa, Ahkam at-Tirkah fil Islam, Cairo : Dar al-Maarif, 1978,
hlm.12.

242
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

secara eksplisit dalam teks al-Quran dan al-Hadits.215 Pandangan


para fuqaha ini telah melahirkan postulat bahwa hukum
kewarisan Islam bersifat qathiiy. Pandangan ini telah mewarnai
sebagian besar pemikiran masyarakat muslim, sehingga tidak
menerima adanya lembaga pergantian tempat ahli waris dalam
hukum kewarisan Islam. Buku-buku fiqh klasik, tidak memberikan
ruang untuk konsep ini, sehingga tidak pernah ditemukan adanya
pengakuan terhadap lembaga pergantian tempat ahli waris,
denga alasan tidak ada teks al-Quran dan al-Hadits mengenai hal
ini. Ketentuan mengenai siapa ahli waris dan bagian dari masing-
masing dari harta warisan telah ditetapkan secara pasti oleh al-
Quran dan al-Hadits. Ketentuan siapa-siapa ahli waris dan furudh
al-muqaddarah ini, tidak mungkin dilakukan perubahan dan
interpretasi lain, karena ketentuan ini bersifat qathiiy.
Konstruksi fiqh waris yang tekstual ini ternyata
berbanding terbalik dengan realitas hukum sehari-hari yang
dipraktikan oleh masyarakat muslim, terutama masyarakat yang
sangat kental dengan hukum adat. Bila diteliti lebih jauh, banyak
masalah kewarisan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat yang memerlukan tafsiran baru dan ijtihad, sehingga
hukum kewarisan Islam mampu memenuhi kebutuhan hukum
masyarakat. Kehadiran para pemikir muslim seperti Ibn Katsir,
Imam Thabary, Imam Qurtuby, Abduh, Imam Maraghi, Ali As-
Shabuni, Sayyid Sabiq, Yusuf Musa, Fazlurrahma, Yusuf
Qaradhawy dan berbagai pemikir lain telah memberikan nuansa
baru terhadap pemikiran hukum kewarisan Islam. 216
Para pemikir ini memberikan tafsiran baru terhadap
beberapa ketentuan dalam hukum kewarisan termasuk di

215
Muhammad Ali as-Shabuni, op.cit., hlm. 15.
216
Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; op.cit., hlm. 186.

243
Bab III

antaranya mengenai pergantian tempat ahli waris. Para


pemikiran kontemporer cenderung memberikan hak waris kepada
cucu walaupun ayahnya telah terlebih dahulu meninggal dunia.
Persoalan pergantian tempat ahli waris adalah persoalan
ijtihadiyah, dan ternyata dalam fiqh kewarisan yang dibangun oleh
ulama klasik menyimpan problema yang harus diselesaikan dalam
konteks kekinian. Landasan utama hukum kewarisan adalah ayat
al-Quran terutama surah an-Nisa ayat 11 (yushikumullahu fi
awladikum lizzakari mitslu al-unsayaini). Imam al-Qurtuby
menjadikan ayat ini sebagai salah satu ayat al-Quran yang
memberikan indikasi bahwa cucu mendapatkan harta warisan dari
kakek, walaupun ayahnya telah meninggal dunia terlebih dahulu.
Imam Qurtuby memaknai kata awlad yang terdapat dalam surah
an-Nisa ayat 11 bukan hanya untuk anak laki-laki (awladun adalah
jamak dari kata waladun), akan tetapi juga kepada makna
217
keturunan ke bawah. Lebih jauh Imam al-Qurtuby memaknai
kata awlad bukan hanya anak laki-laki, tetapi juga termasuk anak
perempuan. Makna ini tersurat dari kandungan surah an-Nisa ayat
11 yang artinya ; Allah mewajibkan kamu tentang awlad (anak-
anak kamu), buat seorang anak laki-laki (adalah) seperti bahagian
dua anak perempua.218 Pandangan Imam Qurtuby ini
bersumber/berasal dari tafsir Ibn Abbas terhadap makna awlad di
dalam surah an-Nisa ayat 11.219
Al-Maraghi, Sayyid Sabiq dan Yusuf Qaradhawy juga tidak
menolak lembaga pergantian tempat ahli waris, karena mereka
juga cenderung memberikan tafsir terhadap makna awlad
dengan makna keturunan sampai ke bawah, yang mencakup tidak
hanya keturunan dari garis laki-laki, tetapi juga keturunan dari

217
Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, Beirut : Dar al-Fikr al-Araby, 2006, hlm. 412.
218
I b i d., hlm. 421-422.
219
I b i d.,

244
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

garis anak perempuan. 220 Para ahli fiqh ini memandang persoalan
pergantian tempat ahli waris sebagai suatu ijtihad, yang
menempatkan cucu pada posisi ayahnya yang meninggal dunia
terlebih dahulu dari kakeknya, dan ia berhak mendapatkan harta
warisan dari kakeknya dan bagian harta warisan untuknya sesuai
dengan hak pada posisi ayahnya. Riset para ulama Azhar ini,
menemukan bahwa cucu walaupun orang tuanya terlebih
dahulu meninggal dunia, namun peluang cucu untuk mendapat-
kan harta warisaan dari kakeknya tetap terbuka, apalagi cucunya
tersebut berada dalam keadaan miskin, sehingga ia mesti
mendapatkan bagian harta warisan dari kakeknya pada porsi dan
psoisi ayahnya yang terlebih dahulu meninggal dunia. Ini adalah
salah satu bentuk keadilan dalam hukum kewarisan Islam. 221
Di Indonesia, pemikiran tentang adanya lembaga
pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam
diperbincangkan oleh Hazairin. Hazairin menyatakan bahwa
dalam hukum kewarisan Islam sebenarnya ada ruang bagi
lembaga pergantian tempat ahli waris. Hazairin merujuk Surah an-
Nisa ayat 33 sebagai landasan adanya institusi pergantian tempat
ahli waris dalam hukum Islam. Dalam Surah an-Nisa ayat 33
disebutkan: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-
pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orang-orang yang kamu
sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks ayat 33
surah an-Nisa mengandung makna bahwa Allah mengadakan

220
Imam Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cairo ; Maktabah al-Islamiyah, 1982, hlm.
367; Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 599; Yusuf al-Qaradhawy, Kumpulan Ijtihad Kontemporer,
Jakarta : Firdaus, 1990, hlm. 213.
221
Yusuf al-Qaradhawy, I b i d., 214.

245
Bab III

mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orang tua dan


keluarga dekat serta pihak allazina aqadat aymanukum, dan
berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya.
Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata
walidain dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi
pewaris adalah orang tua (ayah-ibu), maka ahli waris adalah anak
dan atau mawali anak. Jika anak itu masih hidup, tentu merekalah
yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan ayat 11
surah an-Nisa. Sebaliknya jika anaknya tidak ada lagi maka cucu
merupakan mawali dari kakek, sehingga ia dapat menempatkan
posisi ayah untuk menerima harta warisan dari kakeknya yang
meninggal dunia.222
Pandangan Hazairin ini ditolak sebagian basar masyarakat
muslim di Indonesia, karena ayat 33 surah an-Nisa bukan
memberikan jalan untuk pergantian tempat ahli waris. Sebagian
Ulama di Aceh misalnya, masih tetap memahami bahwa surah an-
Nisa ayat 11 adalah pintu yang menutup adanya pergantian
tempat ahli waris. Kata awlad dipahami dengan makna hanya
anak laki-laki dan keturunannya yang masih hidup, sehingga harta
itu hanya diberikan kepada ahli waris yang secara fisik masih
hidup dan ada pada saat pewaris meninggal dunia.223 Pemahaman
ini yang melahirkan konsekuensi bahwa tidak ada pergantian
tempat ahli waris. Ayat-al-Quran dan al-Hadits tidak satu pun yang
memberikan penjelasan kongkrit tentang ada tidaknya konsep
pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam.
Mengingat hukum kewarisan Islam dinyatakan sebagai hukum
rigid, ketat dan tidak dapat diinterpreasikan, maka tidak adanya
hak bagi cucu yang orang tuanya meninggal dunia terlebih
dahulu. Seorang cucu tidak dapat menempat posisi ayah atau

222
Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral...,op.cit., hlm. 28.
223
Muhammad Amin al Asyi, Khulashah Ilmu Faraidh, (Naskah Klasik), hlm. 67.

246
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ibunya yang meninggal dunia terlebih dahulu dari kakeknya,


untuk memperoleh harta warisan dari kakeknya. Oleh karena itu,
para fuqaha ini menolak adanya pergantian tempat ahli waris bagi
cucu, karena ketentuan al-Quran dan al-Hadits sudah sangat jelas
dan kongkrit mengenai siapa-siapa ahli waris, ketentuan bagian
warisan, dan cara pembagiannya.
Bila ditelusuri secara seksama kitab-kitab fiqh mawaris
(faraidh) terutama dari kitab-kitab fiqh klasik, hampir tidak
ditemukan ketentuan ahli waris pengganti, kecuali hanya dalam
menentukan besarnya bagian ahli waris dzawil arham bagi
mazhab ahl tanzil, bila tidak dijumpai ahli waris dari golongan
zawil furudh dan ahli waris ashabah. Oleh karenanya dalam kitab-
kitab fiqh tidak akan ditemukan makna ahli waris pengganti.
Istilah penggantian tempat ahli waris hanya dikenal dalam hukum
Belanda dengan istilah plaatsvervulling., Makna pergantian tempat
dalam hukum waris yaitu meninggal dunianya seseorang dengan
meninggalkan cucu yang orang tuanya telah meinggal dunia
terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orang tua yang
telah meninggal dunia terlebih dahulu untuk mendapatkan
warisan dari kakek atau neneknya. Besar bagian yang diterima oleh
seorang cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima
oleh orang tuanya sekiranya mereka masih hidup.
Bila ditelusuri lebih jauh istilah dan praktek pergantian
tempat ahli waris juga dikenal dalam hukum adat, walaupun
praktek ini tidak sama dengan peluang yang ada dalam hukum
kewarisan Islam. Karena dalam praktek hukum adat hak bagi
pengganti tidak persis sama dengan orang yang diganti, dan
sangat tergatung kepada realitas dan kemampuan ekonomi yang
dimiliki oleh cucu, dan jumlah besaran dari harta peninggalan.
Ketidaksamaan bagian dapat dilihat dari subtansi pembahasan

247
Bab III

kitab Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Kitab Nihayat
al-Muhtaj karya Ar-Ramli.
Dalam kaitan pergantian tempat ahli waris patut dianalisis
pandangan Ar-Ramli, salah seorang ulama Syafiiyah, yang
menyatakan bahwa cucu laki-laki dapat menggantikan ayahnya
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari
anak perempuan tidak mungkin menggantikan posisi ayahnya.
Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orang tuanya,
apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih
hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki masih ada, maka cucu
tersebut tidak mendapatkan apa-apa.224 Pandangan Ar-Ramli
ternyata kemudian dielaborasi lebih jauh oleh ulama Azhar yang
memberikan peluang kepada cucu untuk menempati posisi
ayahnya, guna mendapatkan harta warisan dari kakeknya yang
meninggal dunia. Realitas ini yang menggugah para pengkaji
hukum kewarisan guna menemukan nilai-nilai keadilan melalui
adanya institusi pergantian tempat ahli waris.
Analisis KHI
Pada dasarnya, berbagai kitab fiqh waris klasik tidak
membahas secara eksplisit konsep pergantian ahli waris
sebagaimana dalam konsep hukum perdata Barat (BW) atau
hukum adat, namun fiqh telah mengenal ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pewaris yang digantikan
kedudukannya oleh anak dan keturunannya. Namun istilah yang
digunakan bukan ahli waris pengganti, akan tetapi istilah tanzil.
Meskipun istilah yang digunakan dalam fiqh adalah istilah tanzil,
namun pada hakikatnya tetap mengandung makna ahli waris
pengganti, namun tidak sempurna, karena yang dianggap berhak
dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris pengganti

224224
Ar-Ramly,Nihayat al-Muhtaj, Cairo : Dar al-Fikr al-Araby, t.t., hlm. 362.

248
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hanyalah keturunan dari anak laki-laki, yang meninggal lebih


dahulu dari pewaris. Dengan kata lain hanya cucu laki-laki dan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (ibnu-ibni dan bintu
ibni) yang dapat menerima warisan dari kakeknya, dan itu pun
bagian yang telah ditentukan secara pasti, baik ashabul furudh
maupun ashabah.
Konsep tanzil ini dapat dilihat pada contoh bintu ibn (anak
perempuan dari anak laki-laki), jika menerima harta warisan
bersama dengan seorang anak perempuan, maka ia mendapat
1/6 bagian, sedangkan cucu laki-laki maupun cucu perempuan
dari keturunan anak perempuan tidak dapat menerima bagian
warisan dari kakek/neneknya karena ia termasuk dalam golongan
dzawil arham. Alur pikir seperti ini yang menyebabkan Kompilasi
Hukum Islam mengakomodir adanya institusi pergantian tempat
ahli waris dengan beberapa perubahan dan pembaruan.
Pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia melalui
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah berupa pemberian hak
seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada
keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal
185 Kompilasi Hukum Islam yang lengkapnya adalah :
a. Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si
pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
b. Bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti.225
Ketentuan Pasal 185 KHI, dipertegas lagi dalam Buku
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tentang
asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti adalah :

225
Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah dan Ditbinbapera, 1998, hlm. 65.

249
Bab III

a. Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang


disebut dalam Pasal 174 KHI.
b. Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang
diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris
pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam
Pasal 147 KHI. Di antara keturunan dari anak laki-
laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek
dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya. (Paman walaupun
keturunan dari kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti,
karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut
dalam Pasal 174 KHI).
Dengan demikian, Pasal 185 KHI menegaskan adanya
pergantian tempat ahli waris, dalam makna keturunan yang dapat
menggantikan posisi yang meninggal terlebih dahulu adalah
anaknya. Pasal 185 juga menegaskan bahwa ahli waris yang dapat
menduduki posisi pengganti adalah ahli waris yang berdasarkan
hukum atau putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tidak
dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris; tidak dipersalahkan secara
menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI dapat dipahami bahwa
yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari
anak laki-laki dan keturunan anak perempuan. Hal ini bermakna
bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari
anak laki-laki dapat menjadi ahli waris pengganti, demikian pula
cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak
perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti. Ketentuan ini
sangat berbeda dengan konsepsi fiqh waris yang tidak
membenarkan keturunan anak perempuan menjadi ahli waris

250
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

pengganti (baca konsep tanzil), bahkan keturunan anak laki-laki


(cucu) tidak mendapat harta warisan, jika dalam ahli waris tersebut
terdapat anak laki-laki. Dengan demikian, cucu dari keturunan
anak laki-laki yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris
menjadi terhijab. Persoalannya adalah apa yang menjadi landasan
pikiran para perumus KHI terutama Pasal 185.
Yahya Harahap menjelaskan barangkali dasar pemikiran
yang dijadikan pertimbangan bagi perumus KHI dalam
merumuskan Pasal 185 adalah bertitik tolak pada alasan sosial
ekonomi. 226 Pada satu sisi, pasal ini mengaitkan dengan alasan
monopolistik atas harta warisan serta alasan kepatutan dan alasan
kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya, anak yatim
yang ditinggalkan oleh ayah atau ibunya jauh lebih lemah dan
lebih sengsara dibandingkan dengan saudara ayah atau saudara
ibunya. Pada saat kakek atau nenek meninggal dunia, saudara
ayah atau saudara ibu lebih mapan ekonominya, sedangkan
mereka sebagai anak yatim, hidup terlantar. Pantaskah dan
manusiawikah, menyingkirkan mereka untuk mewarisi harta
kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya. Bukankah
dalam hal seperti ini saudara-saudara mendiang ayah/ibunya
memonopoli harta warisan kakek/nenek, meskipun keadaan sosial
ekonomi mereka sudah mapan.227
Pasal 185 ayat (2) menyatakan bahwa ; bagian ahli waris
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan
yang diganti. Ketentuan pasal ini menyimpan sejumlah
problematika porsi ahli waris pengganti. Hal ini dapat dilihat dari
contoh berikut :

226
M. Yahya Harahap, Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan, Majalah
Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996, hlm. 24.
227
I b i d.

251
Bab III

Kasus Pertama
Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki, cucu dari anak
laki-laki dan seorang anak perempuan, serta saudara laki-laki
kandung, dan harta warisan Rp. 180 juta.
Ayah : 1/6
Anak laki-laki : asabah
Cucu dari anak laki-laki : asabah
Anak perempuan : asabah bil ghairi
Saudara laki-laki kandung : mahjub karena ada anak.
Pembagiannya :
Asal masalah :6
Ayah : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta
Anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta
Cucu dari anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta
Anak perempuam : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta +
: 18 jumlah = Rp.180 juta
Dari contoh ini, bila diterapkan secara tekstual
plaatsvervulling, maka ahli waris pengganti adalah termasuk
golongan asabah dan dalam suatu kewarisan, bisa jadi bagian ahli
waris pengganti (cucu) ternyata lebih besar dari bagian yang
diperoleh anak perempuan pewaris yang masih hidup akan
mendapat separoh dari cucu. Kalau ahli waris yang diganti itu anak
perempuan, maka ia akan mendapat bagian seperti anak
perempuan. Hal ini tentu tidak adil dan harus dicari jalan yang
terbaik.
Kasus Kedua
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, seorang
cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang cucu perempuan
dari anak perempuan dengan harta warisan 7 milyar, dengan

252
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

menerapkan cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6


karena ada nash, dan cucu perempuan sama dengan anak
perempuan, karena ia adalah ahli waris pengganti, maka
pembagiannya adalah :
Seorang anak perempuan : 2/6
Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6 sesuai dengan hadits takmil
Cucu pr dari anak pr : 2/6 karena posisi sebagai ahli
waris Pengganti.
Pembagiannya :
Asal masalah :6
Anak pr : 2/6 ; 3/7 x 7 M = Rp. 3 M
Cucu pr dari : 1/6 ; 1/7 x 7 M = Rp. 1M
anak laki-laki
Cucu pr dari : 2/6 ; 3/7 x 7 M = Rp. 3 M +
anak pr
: 7 (aul) = Rp.7 milyar
Dari contoh kasus ini terlihat posisi cucu perempuan dari
anak laki-laki rugi dan dirasa kurang adil, karena hanya
mendapatkan 1/6 bagian, hal ini terjadi berdasarkan nash hadits.
Sedangkan cucu perempuan dari anak perempuan aman dengan
mendapatkan sama bagian dengan anak perempuan, karena tidak
ada nash yang menetapkan bagian tertentu, padahal dalam
pembagian faraidh, posisi cucu perempuan dari anak perempuan
termasuk ke dalam golongan dzawil arham.
Kasus Ketiga
Kasus ahli waris terdiri atas seorang anak perempuan,
seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang cucu
perempuan dari anak perempuan. Harta warisannya 5 milyar,

253
Bab III

dengan menerapkan cucu perempuan mendapat 1/6, bagiannya


sesuai dengan nash hadits, maka pembangiannya sebagai berikut :
Seorang anak perempuan : 1/2
Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6
Cucu pr dari anak pr : 1/6
Pembagiannya:
Asal masalah :6
Anak pr : 2/6 ; 3/5 x 5 milyar = Rp. 3 milyar
Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar
anak laki-laki
Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar +
anak pr: 7 (rad) jumlah = Rp. 7 milyar
Dari contoh ini terlihat adanya perimbangan antara cucu
sama-sama mendapat 1/6 bagian dengan tanpa mengurangi
maksud Pasal 185 KHI yang tidak boleh melebihi ahli waris yang
sederajat. Contoh ini barangkali yang mendekati keadilan di antara
sesama ahli waris pengganti.
Contoh-contoh di atas digunkaan untuk menguji
ketentuan Pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Oleh
karena itu, seorang hakim harus mampu melakukan terobosan
baru dalam menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, sehingga nilai
keadilan dan kesetaraan akan terwujud. Alur pikiran KHI, terutama
dalam pergantian tempat ahli waris adalah ; harta benda dalam
keluarga memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan
keturunannya yang masih hidup, dan anak-anak orang yang
meninggal dunia tersebut, dapat menggantikan kedudukan
bapaknya sebagai ahli waris terhadap harta benda kakeknya. 228

228
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982, hlm.
43.

254
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Analisis Praktik Pengadilan


Pergantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) di Indonesia
berakar pada hukum adat, dan kemudian diperkuat lagi oleh
hukum perdata Belanda (BW) dan di praktikan pada sejumlah
pengadilan Hindia Belanda. Realitas ini memperkuat secara formal
dan non formal adanya lembaga pergantian tempat ahli waris.
Pergantian tempat ahli waris bermula dari adat-istiadat dan tradisi
rakyat ugeran, yang merupakan kebudayaan asli masyarakat
Indonesia. Lembaga ini menjadi dasar hukum bagi penyelesaian
sengketa kewarisan. Penerapan ahli waris pengganti hanya dapat
dilaksanakan dalam garis keturunan ke bawah, dan tertutup untuk
garis keturunan keatas.
Pada zaman Hindia Belanda, institusi pergantian tempat
ahli waris yang dikenal dengan istilah plaatsvervulling, didasarkan
pada Yurisprudensi Raad van Justitie (RvJ) Putusan Kamar III/Adat
Kamar Raad van Justitie Betawi, tanggal 16 Desember 1939 dalam
Indisch Tijdcgrift van Het Recht 140 halaman 239 yang berbunyi :
Apabila seseorang anak lebih dahulu meninggal dunia sipeninggal
warisan, dan anak tersebut meninggalkan anak-anak, maka cucu-
cucu dari peninggal warisan ini menggantikan orang tuannya,
mereka bersama-sama berhak atas bagian dari harta peninggalan
kakek-nenek mereka.
Pada zaman kemerdekaan, praktik pergantian tempat ahli
waris tetap dipertahankan pada lembaga peradilan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
tentang lembaga pergantian tempat ahli waris berupa Putusan
Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dan Putusan
Mahkamah Agung RI No. Reg. 141/K/Sip/1959. Dalam Putusan
Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dinyatakan bahwa ;
menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, hak

255
Bab III

menggantikan seseorang ahli waris yang meninggal dunia terlebih


dahulu daripada pewarisnya, ada pada keturunan garis menurun.
Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg.
141/K/Sip/1959 diputuskan ; penggantian waris dalam garis ke atas
pun mungkin pula berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang
hidup di kalangan masyarakat yang bersangkutan.
Dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai
pergantian tempat ahli waris dapat dtemukan paling tidak dua hal.
Pertama, yurisprudensi Mahkamah Agung hanya berlaku di
lingkup peradilan umum, karena substansi pergantian ahli waris
masih mengacu pada hukum adat. Mahkamah Agung, hanya
memperkuat hukum yang hidup (living law) terutama mengenai
ahli waris pengganti. Kedua, pergantian tempat ahli waris, bukan
hanya berlaku bagi keturunan di bawah baik dari garis keturunan
laki-laki maupun perempuan, tetapi juga berlaku untuk garis ke
atas berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Mahkamah Agung
tidak merinci tingkat keadilan dan kepatutan, penggunaan ahli
waris pengganti dari garis lurus ke atas, sehingga Mahkamah
Agung terkesan membiarkan masyarakat untuk menentukan
sendiri.
Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai penentuan
ahli waris pengganti dari garis ke atas sejalan dengan teori air
mengalir (kran) yang dikemukakan oleh Djojodigoeno. Dia
menyatakan bahwa air akan mengalir ke bawah bila kran dibuka,
dan akan mencari tempat ke atas bila krannya ditutup. 229 Teori ini
juga sejalan dengan teori hukum adat yang berlaku di kalangan
masyarakat Jawa.

229
Djojodigoeno dan Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middle Jawa, (terj),
1942, t.tp. hlm. 12.

256
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di lingkungan Peradilan Agama, penerapan ketentuan


hukum pergantian ahli baru dimulai dilaksanakan sejak lahirnya
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991. Sebelumnya,
lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal adanya pergantian
tempat ahli waris, karena hukum materil yang dipergunakan pada
Pengadilan Agama adalah kitab-kitab fiqh yang tidak memberikan
ruang bagi penerapan konsep pergantian ahli waris. Pada sisi lain,
keberanian hakim juga cuku terbatas untuk keluar kitab-kitab fiqh
standar yang menjadi hukum materiil pada Pengadilan Agama,
dan sangat terbatas kemampuan untuk menggali hukum-hukum
yang hidup di dalam masyarakat (living law).
Kompilasi Hukum Islam membawa perubahan yang agak
fundamnetal terutama dalam hal pergantian tempat ahli waris,
namun di dalam praktek pada Pangadilan Agama masih banyak
ditemukan kendala-kendala penafsiran Pasal 185 KHI,
sebagaimana disebutkan dalam contoh-contoh penyelesaian
perkara pergantian tempat ahli waris pada sub bab analisis KHI
dalam tulisan ini. Contoh kendala penerapan Pasal 185 KHI di
lingkungan Peradilan Agama terlihat dari putusan Pengadilan
Agama di Selong Kab. Lombok Timur No. 111/Pdt/G/1997/PA.SEL,
tanggal 26 Agustus 1997 M, bertepatan denga 22 Rabiul Akhir
1418 H.
Putusan tingkat pertama ini menerapkan ketentuan Pasal
158 KHI yang menetapkan ahli waris pengganti yang terdiri atas ;
cucu perempuan dari anak perempuan (1/18 bagian) dan cucu
laki-laki dari anak perempuan (2/18 bagian). Putusan PA Selong ini
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mataram dengan
nomor putusan No. 04/Pdt-G/1998/PTA.MTR, tanggal 28 Maret
1998 bertepatan dengan tangga 29 Dzul Qaidah 1418 H. PTA
Mataram beralasan bahwa ahli waris pengganti yang ditetapkan
oleh PA Selong termasuk dalam kategori zhawil arham, sehingga ia

257
Bab III

tidak berhak mendapatkan harta warisan melalui ahli waris


pengganti.
Keputusan PTA Mataram akhirnya juga dibatalkan oleh
Mahkamah Agung RI No. 354.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1999.
Mahkamah Agung dalam amar putusan putusannya menyatakan
bahwa putusan judex factie PTA telah salah menerapkan hukum,
sehingga harus dibatalkan dan mengadili sendiri perkara tersebut.
Mahkamah Agung menetapkan ahli waris pengganti sebagaimana
putusan PA Selong. Kaidah hukum yang dapat dipetik dari
putusan MA adalah ; (1) khusus harta warisan yang terjadi pada
tahun 1988, dapat diterapkan KHI, karena gugatan perdata
masalah harta warisan tersebut diajukan ke Pangadilan Agama
pada tahun 1997, setelah berlakunya KHI; (2) menurut KHI Pasal
185, ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris
dapat digantikan oleh anaknya yang disebut ahli waris pengganti,
yang bagiannya dari harta warisan tersebut tidak boleh melebihi
dari bagian ahli waris yang sederajat yang diganti dalam perkara
ini.
Gambaran di atas menunjukan bahwa penerapan Pasal
158 KHI, ternyata tidak mudah dan memerlukan keseriusan para
hakim untuk melaksanakan ijtihadnya, sehingga putusan yang
diberikan benar-benar terwujud rasa keadilan di tengah-tengah
masyarakat. Hal yang sama juga hampir dapat dipastikan terjadi
pada lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia.
Analisis Praktik Masyarakat
Di Indonesia, khususnya di Aceh, masalah pergantian
tempat ahli waris sampai hari ini masih terjadi perdebabatan
secara konseptual. Hal ini didasarkan pada realitas kehidupan

258
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

masyarakat Aceh yang kental dengan hukum Islam.230 Hukum adat


di Aceh merupakan penjelmaan substantif dari hukum Islam,
sehingga praktik-praktik adat di Aceh tidak dapat dilepaskan dari
prinsip-prinsip hukum Islam. Secara konseptual, sebagian ulama di
Aceh menolak konsep pergantian tempat ahli waris sebagaimana
tertuang dalam KHI, dengan alasan pergantian tempat ahli waris
tidak ditemukan ketentuannya secara tegas dalam ayat-ayat al-
Quran dan hadits Nabi SAW. 231 Meskipun demikian, ulama Aceh
tidak pernah menutup pintu terhadap adanya penafsiran dan
pembaruan terhadap hukum Islam. Ulama Aceh menerima tafsir
terhadap ketentuan-ketentuan waris dalam rangka perwujudan
nilai keadilan, kebersamaan, tanggung jawab dan menjunjung
tinggi hak-hak anak yatim. Atas dasar inilah masyarakat Aceh
mempraktikan substansi pergantian tempat ahli waris dalam
kehidupan masyarakat Aceh, walaupun secara konseptual tidak
menyebutkan secara eksplisit pergantian tempat ahli waris. Dalam
praktik kehidupan masyarakat Aceh, banyak ditemukan ahli waris
yang memberikan sedikit atau sebagaian harta untuk anak yatim
yang ditinggalkan orang tuanya.
Dalam hukum adat Aceh dikenal konsep patah titi atau
putoh tutu dalam hukum kewarisan.232 Konsep ini bermakna
bahwa seseorang cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal
dunia, maka ia tidak mendapatkan harta warisan dari kakeknya
bila kakek meninggal dunia, karena jembatannya sudah putus
yaitu ayah. Dalam hukum adat di Aceh disebutkan bahwa jika
seorang anak meninggal dunia, putuslah hubungan kewarisan

230
Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhokseumawe :
Nadiya Foundation, 2003, hlm. 78.
231
A. Halim Tosa, Praktek Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Banda Aceh :
Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996, hlm 25.
232
Mohammad Said, Adat Aceh, Banda Aceh : P &K, 1980, hlm. 19,

259
Bab III

yang dimiliki oleh orang tua si anak yang sudah meninggal tadi
dengan keberadaan cucu (dalam hal ini keberadaan hubungan
kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorag cucu ini akan terhijab
oleh keberadaan saudara laki-laki dan perempuan si anak yang
meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titih atau
putoh tutu. 233 Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi
atau jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang
ayah meninggal, maka terputuslah hubungan (khususnya
hubungan penyebab) kewarisan antara kakek dan cucu.
Meskipun demikian, Islam memandang kemuliaan dan
keadilan bagi cucu atau anak yatim yang ditinggalkan orang
tuannya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan
sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.
Selain itu dalam aturan adat Aceh, sang ulama yang menjadi saksi
dalam pembagian harta warisan tersebut, akan mendapat sedikit
bagian yang dikenal dengan istilah hak reheung (hak menanti dan
menyaksikan).234 Pemberian yang diberikan kepada anak yatim
tersebut (cucu) dan ulama ini tersebut, bukanlah disebut warisan,
akan tetapi hibah. Umumnya, jumlah yang diberikan kepada cucu
atau ulama tidak melebihi dari sepertiga (1/3) harta warisan dan
umumnya telah mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang
berhak.
Praktik hukum kewarisan adat Aceh, jelas terlihat
pandangan ganda dalam persolan pergantian tempat ahli waris
ini. Pada satu sisi para ulama Aceh menolak konsep pergantian
tempat ahli dengan memberlakukan konsep patah titi, namun
pada sisi lain praktik masyarakat cenderung memberikan sebagian
harta yang berasal dari harta warisan si kakek kepada sang cucu

233
I b i d.
234
Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 119.

260
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang bapaknya (orang tuanya) terlebih dahulu meninggal dunia.


Pandangan ganda ini memerlukan penjernihan, sehingga cucu
dapat memperoleh hak warisan dari kakek, dan adanya jaminan
dan perlindungan hukum terhadap cucu yang yatim tersebut.
Realitas hukum ini, perlu dipertegas agar tidak terjadi
penyembunyian hukum, dan pemberian hak kewarisan kepada
orang lain yang secara substantif tidak memiliki hubungan
hukum untuk mendapatkan harta warisan. Akibat dari dominasi
pandangan ulama yang menganut paham patah titi atau putoh
tutu, maka sedikit sekali sengketa kewarisan terkait pergantian
tempat ahli waris yang diselesaikan lewat jalur formal Mahkamah
Syariyah atau Pengadila Agama.
Praktik patah titi atau putoh tutu masih dipraktikan oleh
masyarakat Aceh. Penyelesaian kasus ini jarang ditempuh melalui
jalur formal ke Pengadilan, tetapi penyelesaiannya dilakukan
melalui adat dan agama dengan mengumpulkan orang tua
kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengan demikian nampak
sedikit sekali kasus pergantian ahli waris yang diajukan ke
Mahkamah Syariyah. Dalam kenyataannya tidak sedikit anak
yatim yang diasuh oleh kakek atau nenek, karena orang tua
mereka meninggal akibat musibah gempa dan tsunami yang
melanda Aceh tahun 2004 yang lalu.
Penyelesaian sengketa kewarisan melalui jalur adat dan
agama, memang jauh lebih baik, namun harus ada kepastian
bahwa cucu mendapat jaminan dan perlindungan serta hak yang
pasti dari hukum, dari harta warisan kakeknya. Oleh karena itu,
ketentuan mengenai pergantian tempat ahli waris harus
mendapat pengakuan dalam hukum tertulis yang lebih mengikat
dan menjadi hukum materil pada Pengadilan Agama. Penjelasan,
diskusi dan sosialisasi terhadap konsep pergantian tempat ahli
waris harus terus menerus dilakukan kepada masyarakat agar

261
Bab III

menumbuhkan kesadaran bahwa hukum kewarisan Islam


membawa keadilan, jaminan, dan perlindungan serta pemastian
keberlangsugan hidup generasi mendatang.
Penutup
Pergantian tempat ahli waris merupakan salah satu bentuk
pembaruan hukum Islam, melalui jalur KHI. Konstruksi pergantian
tempat ahli waris masih banyak menyisakan problematika, baik
secara konseptual maupun praktik masyarakat dan penerapannya
di lingkungan Peradilan Agama. Oleh karenanya, kajian secara
terus menerus, baik secara teoritis konseptual maupun realitas
aktual harus dilakukan, sehingga akan ditemukan jalan terbaik
(maslahat) bagi penyelesaian perkara kewarisan. Patut juga
dilakukan upaya serius berupa sosialisasi lembaga pergantian
tempat ahli waris kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak
lagi melakukan penyembunyian hukum, yang tidak mengakui
adanya institusi pergantian tempat ahli waris, akan tetapi dalam
praktiknya menjalankan lembaga pergantian tempat ahli waris.
Wallahu alam....Amin..

262
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

WASIAT WAJIBAH UNTUK ANAK ANGKAT,


ANAK DILUAR PERKAWINAN SAH, DAN ANAK
DARI ORANG TUA BEDA AGAMA
Moh. Muhibbin

Latar Belakang
Allah telah menetapkan aturan main (rule of game) bagi
kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan itu dituangkan dalam
bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang
tingkah laku manusia secara sederhana adalah syari'ah atau
hukum syara' yang sekarang ini disebut hukum Islam (Islamic Law).
Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di
dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun
di akhirat kelak. Diantara hukum tersebut ada yang tidak
mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan ada juga
yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan didunia layaknya
sanksi hukum pada umumnya. Ada pula sanksi yang tidak
dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhirat kelak dalam
bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut.
Segi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat
kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk
hidup, terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup
lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri
untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut,
Allah menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu, yaitu
nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk
memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena itu ia

263
Bab III

memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul


kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta.
Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melan-
jutkan kehidupan, sehingga manusia memerlukan lawan jenisnya
guna menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai makhluk yang
berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan
dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai makhluk beragama
manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan
menyempurnakan agamanya235
Dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan
syarat bagi kehidupan menusia, yaitu: agama, akal, jiwa, harta dan
keturunan. Kelima hal ini disebut dengan dlaruriyat al-khamsah
(lima kebutuhan dasar) pada diri manusia.236
Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatu-
llah, namun nafsu itu sendiri cenderung kearah keburukan. Nafsu
yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan
pertumpahan darah di muka bumi ini. Untuk itulah tujuan dari
berbagai aturan yang ditetapkan oleh Allah yang bernama hukum
adalah untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidup manusia.
Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat
dikelompokkan kepada dua kelompok.
Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir
manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut
dengan hukum ibadah. Tujuannya untuk menjaga hubungan Allah
dengan hamba-Nya, yang disebut dengan hablun min Allah.

235
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 2
236
Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 2002, hal.
92

264
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara


manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Aturan
tentang hal ini disebut dengan "hukum muamalat".
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama
manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang wasiat yang
aplikasinya dipakai untuk menyebutkan sesuatu hak yang
ketetapannya disandarkan atas waktu setelah kematian seseorang.
Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu
orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu,
bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap
komunitas memiliki pemahaman berbeda-beda tentang wasiat.
Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksa-
naannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing
bagaimana sah-nya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitupula di
Indonesia, mempunyai aturan sendiri tentang wasiat. Di antaranya
diatur dalam BW untuk non muslim atau masyarakat adat,
sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Harta dan pemilikan yang timbul dari wasiat memerlukan
pengaturan tentang: Pengertian wasiat, siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya, bagaimana cara mendapat-
kannya dan bagaimana perbandingan wasiat dalam Fiqh Islam,
KHI dan praktik di Pengadilan Agama dan Masyarakat.
Pembahasan ini berupaya untuk memahami wasiat wajibah bagi
umat Islam di Indonesia. Bagaimana pun juga, Kompilasi Hukum
Islam merupakan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. KHI
sebenarnya hasil ijtihad dari kitab-kitab Fiqh klasik yang kemudian
dikontekstualisasikan dengan keadaan di Indonesia.
Kontekstualisasi ini dilakukan karena pijakan hukum yang disusun
ulama dahulu itu ada dalam ruang, waktu dan tempat mereka
yang sampai saat ini dijadikan rujukan oleh para hakim di
lingkungan peradilan agama.

265
Bab III

Pengertian Wasiat
Secara etimologi, kata wasiat berasal dari bahasa Arab
(washiyyatu), yang mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan,
menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya. Secara terminologi wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
sesudah orang yang berwasiat meninggal. Secara garis besar
wasiat merupakan penghibaan harta dari seseorang kepada orang
lain, atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang
tersebut. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat
adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan
wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut
imbalan atau tabarru'. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa
pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para
ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan
wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya
kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan
kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang
pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang
yang menyatakan wasiat tersebut.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, wasiat diartikan sebagai
suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat. Menurut
asal hukumnya, wasiat merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apapun.
Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiat yang wajib
dilakukan dengan jalan putusan hakim. 237

237
Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2001, hal :273.

266
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir


dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan
tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat
terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta
peninggalan.238 Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian wasiat
dijelaskan pada Bab II tentang Hukum Kewarisan. Pasal 171 huruf f
menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f).
Istilah wasiat wajibah tidak dikemukakan dalam kitab-kitab
klasik, sehingga sewaktu istilah ini muncul diartikaan dengan
wasiat yang hukumnya wajib dilaksanakan. Istilah wasiat wajibah
merupakan istilah tersendiri yang pengertiannya hukum wasiat
yang wajib. Maka perlu dijelaskan pengertian wasiat wajibah
Wasiat wajibah
Ia merupakan kebijakan yang dilakukan penguasa atau
hakim sebagai aparat penegak hukum untuk memaksa atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal
dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu. 239 Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal
yaitu: Pertama, hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan
muncullah unsur kewajiban melalui sebuah perundangan atau
surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat
dan persetujuan si penerima wasiat. Kedua, ada kemiripannya
dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal
penerimaan laki- laki (dua) kali lipat bagian perempuan.

238
Anwar Sitompul, Faraid, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah Masalahnya,
Surabaya: Al ihlas. 1984, hal. 60
239
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 63

267
Bab III

Makna wasiat wajibah, seseorang dianggap menurut


hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara
nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu
hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak
ada wasiat dibuat, wasiat dianggap ada dengan sendirinya.240
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan
kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian
harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syara.241
Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum
Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat
yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung
kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.242
Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud
pelaksanaan tersebut ialah berupa cucu yang kedua orang tuanya
telah meninggal dunia. Dalam hal ini wasiat adalah pemberian
sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau ibunya jika
mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3 harta warisan,
sedangkan pelaksanaan tersebut harus di penuhi beberapa
persyaratan yaitu, cucu tersebut belum pernah menerima wasiat
atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan sebelum
pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian harta
warisan kepada ahli waris lain.243

240
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.71
241
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 2000, Jilid 6, hal.1930 ]
242
Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media
Pratama,1997, hal. 163]
243
A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Amrullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal.
65

268
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dasar Hukum Wasiat


Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan Islam, adalah
Al Quran surat Al Baqarah ayat 180.

Artinya;
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-
Baqarah: 180). Ma'ruf ialah adil dan baik dan wasiat itu tidak
melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal.
Kata wasiat dalam Al-Baqarah ayat 180 tersebut di atas
merupakan ayat yang paling lengkap berkaitan dengan wasiat, Al-
Baqarah ayat 180 tidak menjelaskan tentang kesaksian pada waktu
berwasiat, padahal jika tidak di lakukan di depan saksi akan
menimbulkan masalah di kemudian hari, untuk itu dalam Al-
Maidah ayat 106 mengatur tentang persaksian, baik saksi itu
beragama Islam ataupun nonmuslim,
Dalam surat Al-Maidah ayat 106 disebutkan:

269
Bab III

Artinya;
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau
dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu
tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu
mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-
ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini
harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia
karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian
Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-
orang yang berdosa".
Dalam diskursus, pengalihan harta melalui wasiat
merupakan kehendak Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
hidup bagi manusia baik terhadap individu maupun komunitas,
maka diaturlah wasiat yang isinya memberikan legalisasi terhadap
pemilikan atau pemberian manfaat terhadap harta benda yang
dikaitkan dengan waktu setelah kematian seseorang serta
dilakukan secara sukarela kepada orang lain supaya dapat ikut
memanfaatkan harta kekayaan itu.
Para Ulama berbeda pandangan terhadap makna surat Al-
Baqarah ayat 180. Perbedaan ini terletak pada penilain apakah ayat
tersebut muhkamat atau mutasyabihat, dengan adanya perbedaan
ini akan berdampak pada kandungan atau isi ayat tersebut.
Pendapat ibnu Abbas, Al- Hasan Al- Basri Taus Masruq Al- Dahhaq,
mereka berpendapat bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan
para kerabat yang memperoleh harta warisan telah dihapus,
sedangkan mereka yang tidak mendapatkan harta warisan tetap
memikul wasiat yang wajib. Hal ini karena ayat tersebut mencakup
keduanya, kemudian mereka yang mendapatkan warisan

270
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

terhapus. Sedangkan mereka yang tidak mendapatkan warisan


masih berlaku, dalam hal ini Ibnu jarir At-Tabari dalam tafsirnya
memilih pendapat ini. Akan tetapi ulama mutakhhirin
menyebutnya dengan istilah tahsis bukan nasakh.
Al-Qurtuby dalam tafsirnya menjelaskan pendapat ulama
tentang makna Al- Baqarah: 180. Dalam hal ini ada ulama yang
menjelaskan sebagai ayat yang muhkamat. Secara interpretatif
menunjukkan umum, akan tetapi maknanya khusus, yakni orang
tua yang tidak memperoleh warisan dan kerabat yang termasuk
ahli waris. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa ayat
tersebut terhapus dengan ayat muwaris atau faraid dan diperkuat
dengan hadits yang artinya: Allah telah memberikan orang yang
punya hak akan haknya, maka tidak boleh wasiat kepada ahli waris
Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa wasiat kepada
kedua orang tua dihapus dengan bagian tertentu yang pada
wasiat masih tetap berlaku bagi kerabat yang tidak dapat warisan.
Sebenarnya apabila diperhatikan ayat tersebut (Al Baqarah
180), maka tidak ada hal yang meniadakan antara ayat tentang
wasiat dan ayat tentang waris, artinya, ayat waris untuk kerabat
yang mendapat warisan, sedangkan ayat wasiat untuk kerabat
yang tidak dapat warisan karena ada penghalang seperti kafir dan
budak, terhijab atau tertutup ahli wari yang lebih dekat dan
tergolong dawi al- arham.
Kadar Wasiat
Para Ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli
waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 (sepertiga)
hartanya. 244 Hal ini sesuai dengan Hadits

244
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Jakarta: Pustaka Imami, 1990, hal.452.

271
Bab III

Hadits Nabi saw., yang berbunyi:


()
Artinya:
Diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah
menjenguk saya waktu haji wada karena sakit keras yang saya alami
sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata kepada
beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana
engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak
harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan
satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2/3 dari
harta saya? Beliau menjawab Tidak saya mengatakan lagi
bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau
menjawab Tidak sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan,
sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik
dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun
yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala
karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu.(HR. Muslim)

272
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa


wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa Surat Al-
Baqarah ayat 180 dan Surat An-Nisa ayat 11-12 mengandung
pengertian bahwa Allah mewajibkan hamba-Nya untuk
mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan mewajibkan
wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang.
Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena
mereka itu tidak menerima warisan.
Berdasarkan hadits tersebut dapat dipahami bahwa, untuk
melindungi ahli waris, supaya mereka tidak dalam keadaan miskin
setelah ditinggalkan pewaris, harta yang boleh diwasiatkan
(jumlah maksimal) tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh
harta yang ditinggalkan. Hal ini dalam hukum kewarisan Islam
adalah untuk melindungi ahliwaris.245
Wasiat Wajibah Dalam Fiqh Islam, KHI, Praktik di Pengadilan
dan Masyarakat
Pada dasarnya memberikan wasiat itu merupakan
tindakan ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas
dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun.
Dengan demikian, pada dasarnya seseorang itu bebas apakah
membuat atau tidak membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada
pendapat para Jumhurul Ulama (madzhab empat) yang
mengatakan bahwa, wasiat kepada kerabat itu disunnahkan. Akan
tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kebebasan untuk
membuat wasiat atau tidak itu hanya berlaku untuk orang-orang
yang bukan kerabat dekat. Mereka berpendapat bahwa untuk
kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seseorang wajib
membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada Al-Quran surat Al

245
Rahmad Budiono, 1999:24, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti

273
Bab III

Baqarah ayat 180. Sedangkan yang berpendapat seperti ini


misalnya ibnu Hazm Adh-Dhahiri, At-Thobari dan Abu Bakar bin
Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat bahwa wasiat
itu adalah kewajiban agama dan pembayaran kewajiban bagi kedua
orang tua dan para kerabat yang tidak dapat karena terhalang dari
mewarisi.246
Di dalam kitab, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, karangan
Wahbah Al Zuhaiyliy Juz.VIII, h.122 mengatakan bahwa, "Telah
dijelaskan bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunnatkan
menurut jumhur ulama'. Di antara mereka itu adalah para imam
madzhab empat. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali
sebab hak dari Allah atau bagi para para hamba Allah. Sebagian
ahli fiqh, seperti Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dan At-Thobari dan Abu
Bakar bin Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat
bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran
kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat
karena terhalang dari mewarisi sampai ucapan pengarang:
"Undang-undang Mesir dan Suriah telah mengambil pendapat
yang kedua
Berdasarkan nash tersebut di atas, maka Ibnu Hazm
memandang hukum wasiat adalah wajib atas setiap orang yang
meninggalkan harta. Ibnu Hazm berpendapat demikian, karena ia
mengacu pada nash secara tekstual (zhahir), yang menyatakan
kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat tersebut berlaku
bagi setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seseo-
rang meninggal dunia dan orang tersebut tidak berwasiat,
hartanya haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi
kewajiban wasiat tersebut.

246
Wahbah Al Zuhaiyliy, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al
Fikr.h,1989, hal.122

274
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum


muslimin adalah penguasa, dan urusan wasiat termasuk salah satu
urusan pada diri setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa
haruslah bertindak untuk memberikan sebagian harta pening-
galan sebagaimana tersebut diatas guna memenuhi kewajiban
wasiat. Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut, maka
muncullah istilah wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat
yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada
karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah,
karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan
dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah
merupakan lapangan kajian hukum yang bersifat ijtihadiyyah.
Di dalam ketentuan wajibnya wasiat wajibah ini tidak
membutuhkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam wasiat
biasa, karena wasiat wajibah ini tidak membutuhkan ijab kabul.
Wasiat wajibah dalam hal ini seperti warisan dan dijalankan
sebagaimana pembagian waris. Sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, hal. 123 mengatakan,Dan
karena wasiat ini tidak memenuhi ketentuan-ketentuan wasiat
yang dilakukan secara sukarela karena ketiadaan ijab dari orang
yang memberi wasiat dan tidak ada qabul dari orang yang
menerima wasiat, maka wasiat wajibah ini menyerupai pembagian
warisan; sehingga diperlakukan seperti perlakuan warisan, yaitu
bagi laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian perempuan
dan ahliwaris yang asal menutupi cabangnya. Dan setiap cabang
mengambil bagian dari asalnya saja.
Al Jashshash dalam bukunya Ahkamul Quran menegas-
kan bahwa Al Quran surat Al Baqarah ayat 180 tersebut jelas
menunjuk pada wajibnya berwasiat untuk keluarga yang tidak
mendapatkan warisan.

275
Bab III

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah


kewajiban berwasiat tersebut masih berlaku atau tidak. Perbedaan
pendapat ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pendapat
pula, yakni apakah ayat Al Quran tersebut dimansukh oleh ayat-
ayat Al Quran dalam bidang kewarisan atau tidak. Jumhur ulama
berpendapat bahwa kewajiban berwasiat untuk ibu, bapak, dan
keluarga dekat sudah mansukh, baik yang menerima warisan
maupun yang tidak. Mereka juga berpendapat bahwa Hadits
Rasulullah yang artinya Tidak ada wasiat untuk para ahli waris
merupakan peneguhan dari pemikiran mereka.247 Karena tak ada
pertentangan antara ayat-ayat yang mewajibkan wasiat dengan
ayat-ayat dalam bidang kewarisan, maka ayat-ayat yang
mewajibkan wasiat tidak mansukh oleh ayat-ayat kewarisan. Ini
pendapat para ulama yang tetap mewajibkan wasiat untuk
kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan. Dalam kaitan ini,
Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak diadakan wasiat
untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, maka
hakim harus bertindak sebagai pewaris, yakni memberikan
sebagian warisan kepada kerabat yang tidak mendapat warisan
sebagai suatu wasiat wajib untuk mereka. Berdasarkan keadaan di
atas, untuk cucu yang tidak mendapatkan warisan baik ia
merupakan anak dari anak perem-puan, atau anak dari anak laki-
laki, karena ada anak laki-laki yang masih hidup, maka wajiblah
dibuatkan wasiat. Contohnya, seseorang meninggal dunia dengan
meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki
dari anak laki-laki, bapak cucu tersebut telah meninggal dunia
lebih dulu daripada kakeknya. Dalam keadaan seperti ini, cucu
laki-laki tersebut tidak memperoleh warisan karena terhijab oleh
anak laki-laki.

247
ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth, Kifayatul
Ahyar,Bandung, Syirkatul Maarif. 35,

276
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Untuk menguasai keadaan seperti ini diberilah cucu terse-


but berdasarkan wasiat wajib. Besarnya bagian cucu maksimal
hanya sepertiga warisan, sebab besarnya wasiat wajibah tidak
boleh melebihi sepertiga warisan. Jadi, bagian cucu tidak sebesar
bagian yang seharusnya diterima oleh orang tuanya andaikata ia
masih hidup. Ini merupakan perbedaan yang cukup prinsip antara
wasiat wajibah dengan penggantian tempat. Akan tetapi, wasiat
wajibah tetapi merupakan obat kekecewaan karena keadaan yang
tak adil tersebut. 248
Pendapat Ibnu Hazm dan beberapa ulama mengenai wasiat
wajibah seperti tersebut diatas, diikuti oleh Undang-Undang
Wasiat Mesir, Nomor 71 Tahun 1946. Dalam Undang-undang
tersebut ditegaskan bahwa besarnya wasiat wajibah adalah
sebesar yang seharusnya diterima oleh orang tua seandainya ia
masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga
warisan. Disamping itu, harus dipenuhi pula dua syarat, yaitu :
1. Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima
warisan.
2. Si mati tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain
sebesar yang telah ditentukan padanya, sepeti hibah
umpamanya. 249
Undang-undang di atas sama sekali tidak menyinggung
soal kemenakan. Hal ini jelas merupakan petunjuk bahwa Undang-
undang tersebut berusaha mengatasi persoalan yang dirasakan
sangat mendesak, ilustrasi kebenaran pernyataan ini dapat
digambarkan dengan sebuah contoh, seseorang mempunyai dua
orang cucu laki-laki. Yang seorang berasal dari anak laki-laki, yang

248
Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.
Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 26
249
Hasbi Ash-Shiddiqy,Op. Cit., Hal. 277.

277
Bab III

lainnya berasal dari anak perempuan. Kedua orang tua cucu


tersebut sudah meninggal dunia, satu-satunya ahli waris adalah
cucu laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu laki-laki dari anak
perempuan terhijab. Mengatasi persoalan seperti ini para fuqaha
berpikir untuk memecahkan masalah tersebut. Sebab, baik Al
Quran maupun As Sunnah tidak mengaturnya secara rinci bagian
seorang cucu.
Pusat perhatian wasiat wajibah ini terfokus pada masalah
cucu, ijtihad yang muncul adalah seperti wasiat wajibah tersebut.
Dalam perkembangan pemikiran hukum kewarisan Islam, para
pemikir ahli hukum Islam (fuqaha) tidak hanya melihat pada cucu
saja, tetapi dengan memperluas cakrawala analisisnya, yakni
dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenai
penggantian tempat. Ahli pemikir hukum Islam yang disebut
terakhir ini, misalnya Profesor Hazairin. Namun demikian,
walaupun dalam lingkup yang sangat terbatas, wasiat wajibah
mempunyai kemiripan dengan penggantian tempat. Kemiripan
tersebut terletak pada ada orang meninggal lebih dulu daripada
orang yang meninggalkan harta kekayaan.
Meskipun pada suatu saat antara penggantian tempat dan
wasiat wajibah menunjukkan kesamaan, akan tetapi banyak sekali
perbedaan antara keduanya. Perbedaan itu mucul karena dasar
pokok pikiran yang tidak sama antara keduanya. Wasiat wajibah
merupakan pranata untuk mengatasi satu jenis persoalan,
sedangkan penggantian tempat merupakan pranata untuk
mengatasi persoalan yang bersifat menyeluruh. Yang dimaksud
dengan menyeluruh di sini adalah menyeluruh persoalan
kematian lebih dulu daripada pewaris, baik dalam garis lurus ke
bawah, garis lurus ke atas maupun garis ke samping.250

250
Rahmad Budiono, Op. cit., hal. 28.

278
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pada Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, masalah wasiat


wajibah tercantum dalam salah satu pasal pada Bab II yang
mengatur tentang warisan. Hal tersebut termuat pada pasal 209
Kompilasi Hukum Islam.
Oleh karenanya perlu dikaji bagimanakah konsep wasiat
wajibah menurut pemikiran Ibnu Hazm dan Kompilasi Hukurn
Islam. Adakah persamaan dan perbedaan wasiat wajibah menurut
Ibnu Hazm dan Kompilasi hukum Islam?. Hal inilah yang perlu
dikaji lebih lanjut.
Salah satu hukum materiil peradilan agama di Indonesia
yang dijadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum
Islam walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden
Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Salah satu materi KHI adalah pemberian wasiat wajibah kepada
anak angkat dan orang tua angkat yang disebutkan dalam pasal
209 KHI. Hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam
yang tidak di temukan dalam kitab-kitab klasik bahkan Undang-
undang Mesir, Syiria, Maroko dan Tunisiapun tidak menyatakan
wasiat wajibah kepada anak angkat dan orang tua angkat. Pasal
209 KHI tersebut menyebutkan:
ayat 1 : Harta peninggalan anak angkat di bagi berdasar-
kan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut
di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak
angkatnya.
Ayat 2 : Terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

279
Bab III

Berdasar pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 180 ini


memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
hukum wasiat tersebut. Sebagian ulama (Ulama Hanabilah)
berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu
untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak
menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak
dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu').
Beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat
wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya
meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau
neneknya. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat
wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada
anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan
mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang
majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka
wasiat wajibah juga diperuntukan bagi ahli waris non muslim
dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan.
Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang
kehilangan haknya karena perbedaan agama ini terjadi di di
Pengadilan Agama Yogyakarta. Dalam kasus tersebut Pengadilan
Agama telah memberikan keputusan tentang wasiat wajibah bagi
kerabat yang tidak mewaris karena terhalang (beda agama). Hal
yang menjadi pertimbangan hakim adalah pengunaan qiyas
(analogi) dengan ide hukumnya atau kausa yang melatar-
belakanginya adalah diperluasnya penafsiran pemberian wasiat
wajibah bagi kerabat yang tidak mewaris yaitu anak angkat atau
orang tua angkat diperluas kepada kerabat non muslim. Hal yang
sama juga terjadi pada putusan Mahkamah Agung yang
memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim
yang terhalang mewarisi.

280
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat


wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama
yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari
prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran
Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan
banyak hadits. Perasaan kasih yang terjalin dalam satu keluarga
dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat
sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada manusia
lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan, menghindari
konflik di dunia yang berdampak besar bagi terciptanya keruku-
nan dan ketentraman keluarga.
Sudah menjadi kesepakatan sebagian ulama (ijma) bahwa
perbedaan agama (muslim dan non Muslim) merupakan salah satu
faktor penghalang untuk dapat mewarisi. Begitu juga hubungan
nasab merupakan salah satu sebab untuk dapat mewarisi.
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang
mewariskan. Hal tersebut dapat dilihat dalam satu kitab fiqh yang
artinya: Telah sepakat para ulama (fuqoha) bahwa ada tiga hal
yang dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu: perbudakan,
pembunuhan, dan perbedaan agama.
Dan dalam hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dari Usamah Ibn Zaid yang artinya sebagai
berikut: Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan
orang kafirpun tidak dapat mewarisi harta orang muslim. Para ahli
hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non islam
(kafir) tidak dapat mewarisi hartanya orang islam lantaran status
orang non islam (kafir) lebih rendah.
Demikian juga orang murtad (orang yang meninggalkan/
keluar dari agama islam) mempunyai kedudukan yang sama, yaitu
tidak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Orang yang

281
Bab III

murtad tersebut berarti telah melakukan tindak kejahatan terbesar


dan telah memutuskan shilah syariah. Oleh karena itu para fuqaha
telah sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta
warisan dari kerabatnya.251
Di samping itu ada sebagian ulama lain yang juga
sependapat seperti Ibn Hazm, At-Thabari dan Muhammmad
Rasyid Ridla bahwa ahli waris non-Muslim akan mendapatkan
harta warisan pewaris Muslim dengan melalui wasiat wajibah,
diantara ketiga ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas
uraiannya adalah ulama Ibn Hazm sebagaimana tersebut dalam Al
Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz VIII hal. 122 sebagaimana alasan
hukum yang disampaikan di atas. Pendapat Ibn Hazm yang
lainnya, yang artinya sebagai berikut: Diwajibkan atas setiap
muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak mewarisi
disebabkan adanya perbudakan, adanya kekufuran (non-Muslim),
karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (karena bukan
ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya
(dalam hal ini tidak ada batasan tertentu). Apabila ia tidak
berwasiat (bagi mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau
wali yang mengurus wasiat untuk memberikan wasiat tersebut
kepada mereka (kerabat) menurut kepatutan.
Dari uraian Ibn Hazm tersebut tampak jelas bahwa kedua
orang tua yang tidak mewarisi, yang salah satunya disebabkan
tidak beragama Islam (non-Muslim), wajib diberi wasiat wajibah.
Apabila seorang Muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka
ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksakan
wasiat tersebut. Dengan demikian kewajiban berwasiat tidak
hanya bersifat tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang
dalam melaksanakan perintah agama (berwasiat) akan tetapi juga

251
Ibnu Rusyd, Op. cit. hal. 497.

282
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dapat dipaksakan apabila ia lalai melaksanakannya karena sudah


menyangkut kepentingan masyarakat.
Kewajiban berwasiat bagi setiap muslim, sebagaimana
diungkapkan Ibnu Hazm, didasarkan kepada dalil Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 180. Pemahaman Ibnu Hazm terhadap ayat-ayat
kewajiban di atas tentu saja agak berbeda dengan Jumhur Ulama
yang memahaminya bahwa ayat kewajiban berwasiat di atas telah
dimasuki oleh ayat kewarisan, yang telah menentukan bagian
warisan untuk kedua orang tua dan golongan kerabat lainnya.
Pemahaman Jumhur Ulama tersebut diperkuat dengan hadits
shahih yang melarang untuk berwasiat kepada ahli waris, yang
ungkapannya sebagai berikut :Allah telah memberikan kepada
setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat
kepada ahli waris. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dengan demikian, menurut Jumhur Ulama lafadz kutiba
dalam ayat kewajiban berwasiat tidak menunjukkan kepada wajib
lagi, tetapi beralih menjadi sunat, yang itupun bukan berwasiat
untuk ahli waris sebagaimaan hadits di atas. Selain itu, wasiat yang
berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba seperti zakat kafarat
dan utang yang belum dibayar tetap wajib hukumnya. Sedangkan
menurut Ibnu Hazm ayat kewajiban berwasiat tetap berlaku
(muhkam) yang dikhususkan bagi orang tua dan kerabat yang
tidak mewarisi karena berbagai hal di antaranya adanya
perbedaan agama (non-Muslim). Sekalipun antara jumhur Ulama
dan Ibnu Hazm ada perbedaan pendapat dalam menetapkan
hukum berwasiat, tetapi ulama dari kalangan Syafiiyah, Hanafiyah
dan Hanabilah telah membolehkan berwasiat untuk mereka yang
tidak beragama Islam (non-Muslim) dengan syarat yang diberikan
wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak demikian, maka
wasiatnya batal, tidak sah.

283
Bab III

Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat


mewarisi sebagaimana dikemukakan para ulama di atas,
nampaknya masih tetap mewarnai hukum kewarisan Islam dewasa
ini. Undang-Undang kewarisan Mesir dan Syiria, Maroko dan
Tunisia menyatakan secara tegas bahwa antara Muslim dan non-
Muslim tidak dapat saling mewarisi.
Adanya hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim,
sebagai mana dalam putusan Mahkamah Agung, dapat dikatakan
sebagai upaya rechtvinding bagi kewarisan Islam di Indonesia,
mungkin juga di dunia Islam, sebab di Negara-negara muslim
sendiri seperti Mesir, Syiria, Tunisia dan Maroko, wasiat wajibah
hanya diberikan kepada cucu yang orang tuanya meninggal
terlebih dahulu, bukan ahli waris non-Muslim. Hakim yang
memutus perkara ini, melakukan penemuan hukum (rechtvinding)
dengan mengunakan metode Juridis Sosiologis dengan
mengambil pendapat Hazairin, sedang Hazairin sendiri mengadop
pendapatnya dari Ibnu Hazm dengan mendasarkan pemikiran
bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, menjunjung
tinggi asas keadilan berimbang, asas kepastian (kemutlakan), asas
individual dan asas bilateral.
Sekalipun putusan Mahkamah Agung yang memberikan
hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim hanya sebagai
madzab minoritas (Zhahiri) dalam khazanah pemikiran hukum
Islam, namun patut kita hargai sebagai hasil penemuan hukum
dalam upaya mengaktualisasikan hukum Islam di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang pluralistik baik di bidang sosial,
budaya, hukum maupun agama agar hukum Islam tidak kehila-
ngan jati dirinya sebagi rahmatal lilalamin. Adapun pembaharuan
hukum yang dilakukan Mahkamah Agung, dalam kitannya dengan
memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim,

284
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

adalah pembaharuan yang sifatnya terbatas, yaitu dengan tetap


memposisikan ahliwaris non-Muslim sebagai orang yang terhalang
untuk mewarisi pewaris muslim sebagaimana yang telah menjadi
kesepakatan para ulama (ijma).
Tetapi di sisi lain, nampaknya bagi Mahkamah Agung
membiarkan ahli waris non-Muslim tidak mendapatkan sesuatu
apapun dari harta warisan pewaris Muslim kurang relevan dengan
nilai-nilai dan norma hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia, sehingga jalan keluarnya dengan
memberikan hak wasiat wajibah, yang pada dasarnya memiliki
perbedaan yang cukup signifikan dengan yang berkedudukan
sebagai ahli waris khususnya dalam penerimaan bagian warisan.
Hak wasiat wajibah bagiannya relatif hanya dibatasi dengan
batasan maksimal 1/3.
Dalam kontek ke-Indonesiaan wasiat wajibah bagi ahli
waris non-Muslim di pihak lain berkaitan dengan nilai dan
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang telah mengadakan
kontrak sosial untuk hidup rukun, damai, saling hormat
menghormati dan tidak saling merendahkan martabat
kemanusiaan atas dasar apapun juga, baik karena perbedaan suku,
budaya maupun agama.
Kontrak sosial tersebut telah dituangkan dalam konstitusi
negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 sebagai
penjabaran dari Pancasila, yang belakangan ini telah mengalami
perubahan (amandemen), dalam bagian pasal-pasalnya banyak
menguraikan tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia
(HAM), yang tidak hanya sebagai cerminan dari keinginan
masyarakat Indonesia, tetapi juga sudah menjadi keinginan
masyarakat global (dunia).

285
Bab III

Penutup
Wasiat wajibah merupakan tindakan ikhtiyariyyah yang
dilakukan penguasa atau hakim atau lemabaga yang mempunyai
hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia yang
diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena
adanya suatu halangan syara. Terhadap kerabat yang tidak
menerima harta waris karena terhalang syara, maka mereka diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
pewaris.
Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang
kehilangan haknya karena halangan syara, seperti anak angkat,
perbedaan agama dan anak zina tidak diketemukan sebuah
rujukan yang soreh dalam Al Quran dan hadits, tetapi menjadi
bagian dari maslah ijtihadiyyah.
Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat
wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama
yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari
prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran
Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan
banyak hadits. Perasaan kasih sayang yang terjalin dalam satu
keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui
wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada
manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,
menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi
terciptanya kerukunan dan ketentraman keluarga.

286
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka
Ali Ash-Shobuni, Fiqh Mawaris, Bairut: Daar Al Fikr, 1990
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 2000, Jilid 6.
Anwar Sitompul, Faraid, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah
Masalahnya, Surabaya: Al ihlas. 1984.
A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam
Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra,
2001.
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Surabaya: Pustaka Imami, 1990
ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth,
Kifayatul Ahyar,Bandung, Syirkatul Maarif, 1993
Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,1999
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikry, 1983
Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta:
Gaya Media Pratama,1997
Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul
Fikr, 2002
________ , Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al
Fikr.h,1989

287
Bab III

288
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KEDUDUKAN WARIS ANAK DI LUAR NIKAH


Sulhani Hermawan

Latar Belakang
Kewarisan secara bahasa merupakan perpindahan sesuatu
dari seseorang kepada seseorang lainnya. Sedangkan secara
terminologi syari, kewarisan adalah perpindahan kepemilikan dari
seseorang yang meninggal (mayit) kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang dimiliki tersebut berupa harta, atau hak-
hak kebendaan dan non-kebendaan lainnya.252 Secara garis besar,
kewarisan dilakukan karena beberapa sebab yaitu hubungan
kekerabatan nasab, hubungan pernikahan yang sah, dan hubu-
ngan kekerabatan hukmiyah (pembebasan budak).253
Mendiskusikan kedudukan waris anak di luar nikah tentu
dimulai dengan pembahasan tentang anak di luar nikah terlebih
dahulu, dan kemudian membicarakan status kewarisan yang
dimilikinya. Fiqh Islam dengan beberapa variannya dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) telah memunculkan ketentuan tentang anak di
luar nikah. Demikian pula, dalam praktiknya, pengadilan dan
masyarakat memiliki ketentuan tertentu untuk menyebut anak di
luar nikah. Setelah pembahasan ketentuan yang jelas dari Fiqh,
KHI, praktik di pengadilan dan masyarakat tentang anak di luar
nikah, baru kemudian dibicarakan ketentuan masing-masing
tentang kewarisan anak di luar nikah.

252
Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Mawaris fi asy-Syariah al-Islamiyyah fi dhau
al-KItab wa as-Sunnah, cet. III (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), hlm. 31-32.
253
Ibid., hlm. 6.

289
Bab III

Anak di Luar Nikah dalam Perspektif Fiqh


Hubungan anak dengan orang tua selain dibangun oleh
hubungan darah juga dikuatkan oleh adanya pengakuan syara.
Adanya kesatuan hubungan darah menunjukan bahwa hubungan
anak dengan orang tuanya merupakan hubungan yang sejati
untuk mengungkap silsilah nasab dan keturunan dalam keluarga.
Dan penguatan dari pengakuan syara menunjukkan bahwa
hubungan anak dengan orang tuanya tidak sekedar
menghubungkan nama seseorang anak dengan nama bapaknya
secara biologis, tetapi jauh dari itu adalah merupakan dasar bagi
hak dan kewajiban yang akan dipikulkan kepada masing masing
pihak, sebagai konsekuensinya.254
Sehubungan dengan itu Islam memiliki ketentuan khusus
untuk menetapkan sahnya nasab atau keturunan seseorang
dengan orang lain, yaitu dapat berdasarkan adanya perkawinan
maupun adanya pengakuan nasab (istilhaq/iqraru bin nasab).
Nasab seseorang berdasarkan perkawinan adalah menetapkan
adanya hubungan nasab seseorang dengan orang lain hanya
dengan syarat adanya perkawinan yang sah saja dan tidak
tergantung kepada bukti lainnya. 255
Dalam Fiqh ditentukan bahwa anak yang dilahirkan ibunya
dari jalan yang tidak syari atau buah hasil hubungan yang

254
Akhmad Junaedi, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun
Xxv No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-
majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4.
255
Ibid.

290
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diharamkan maka disebut dengan anak zina.256 Semua ulama dari


empat madzhab Fiqh (Madzhab Hanafiyah, Malikiyyah, Syafiiyyah
dan Hanabilah) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak
memiliki nasab dari pihak laki-laki (ayah biologisnya), dalam arti
dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang
menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa
dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak
tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja
baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.257
Anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayah (biologisnya),
tetapi dinasabkan kepada ibunya.258
Ketentuan tentang status anak sah didasarkan kepada
perkawinan yang sah tersebut didasarkan oleh para ulama Fiqh
pada sebuah hadits yang berbunyi:

259

256
Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984),
juz X, hlm. 532.
257
Lihat Al Mabsuth juz XVII hlm. 154, Asy-Syarh al-Kabir juz III, hlm. 412, Al-
Kharsyi juz VI, hlm. 101, Al-Qawanin hal: 338, dan Ar-Raudlah 6/44 yang dikutip dari Taisiril
Fiqh juz II, hlm. 828 dalam http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasil-
hubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl. 15.52.
258
Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin Syatha (Sayyid Bakri Syatha), Ianah
ath-Thalibin, Syarh Fath al-Muin, (Free software Maktaba Shameela), juz II, hlm. 128.
259
Hadits ini diriwayatkan oleh banyak rawi dan dimuat di dalam beberapa kitab
Hadits, antara lain Riwayat Aisyah di dalam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mausuah Hadits an-
Nabawi asy-Syarif, edisi II, Free Program oleh Islamspirit.com), No. Hadits 1948, 2105, 2289,
2396, 2594, 4052, 6368, 6384, 6431 dan 6760. As-sayid al-Imam Muhammad bin Ismail al-
Kahlani tsumma ash-Shanani mengutip Ibn Abd al-Barr bahwa hadits ini diriwayatkan oleh
sekitar 20 orang sahabat, lihat As-sayid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani tsumma
ash-Shanani, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-Maram (Semarang: Maktabah Toha Putera,
t.th), juz. III, hlm. 210.

291
Bab III

Hadits tersebut menjadi dalil atas ditetapkannya nasab seorang


anak kepada ayahnya didasarkan kepada hubungan pernikahan
yang sah, dan di luar itu disebut dengan anak hasil zina yang
pelakunya bisa mendapatkan sanksi rajam dengan batu.260
Dalam literatur-literatur fikih terdapat keterangan yang
menjelaskan agar pengakuan (istilhaq) seseorang dianggap sah
dan bisa menjadikan adanya hubungan nasab dengan orang yang
diakuinya itu harus dipenuhi empat syarat, yaitu:261
a. Bahwa anak yang diakui itu tidak diketahui orang tuanya,
sehingga ada kemungkinan untuk menetapkan bahwa anak
itu adalah anak dari bapak yang mengakuinya. Maka
pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui secara pasti
orang tuanya tidak diperbolehkan.
b. Dari segi umur pengakuan anak tersebut masuk akal, sehingga
apabila anak yang diakui ternyata lebih tua atau sebaya
ataupun lebih muda sedikit dari ayah yang mengakui, maka
pengakuan anak tersebut tidak dapat diterima atau ditolak.
c. Dari segi obyek pengakuan, jumhur ulama berpendapat
pengakuan anak tersebut tidak didasarkan atas keterangan
bahwa anak yang diakuinya itu adalah hasil hubungan di luar
nikah/zina dengan ibu dari anak itu. Di antara dalil hukumnya
adalah

260
As-sayid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani tsumma ash-Shanani,
Subul as-Salam, juz. III, hlm. 213.
261
Akhmad Junaedi, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun
XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-
majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4

292
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia


262



Jadi hubungan nasab tidak diakui berdasarkan zina sesuai


dengan hadits Dan bagi orang yang berzina itu batu (
) sebagaimana telah disebutkan di atas. Di samping itu as-
Sayid Sabiq menegaskan bahwa jumhur ulama seperti Malik,
al-Tsawriy, al-Lays dan asy-Syafii berpendapat bahwa anak
zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya
baik dalam hukum perkawinan maupun hukum kewarisan.
Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, Ibnu Taimiyah tetap
mengakui adanya hubungan nasab antara anak zina dengan
ayahnya, alasannya sanksi zina ditimpakan kepada pelaku
perbuatan zina baik di dunia maupun diakhirat, bukan kepada
anak yang dilahirkan.
d. Pengakuan anak tersebut dibenarkan oleh anak yang
diakuinya dengan syarat kalau anak tersebut sudah dewasa,
sebab dengan persetujuan anak yang sudah dewasa
pengakuan itu dianggap benar. Namun jika anak yang diakui
belum dewasa (belum baligh), maka hubungan nasab cukup
didasarkan pada pengakuan ayahnya saja.
As-Sayid Sabiq menyatakan bahwa apabila seseorang
perempuan menikah dan enam bulan sesudah pernikahan
tersebut melahirkan anak, maka anak tersebut dianggap sebagai

262
Al-Quran surat an-Nahl/16 ayat 72.

293
Bab III

anak yang sah. Mengutip Malik, diriwayatkan bahwa Ustman bin


Affan didatangi oleh seorang perempuan yang telah melahirkan
anak setelah enam bulan dari pernikahannya. Utsman bin affan
kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut dirajam.
Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib menolak adanya hukum rajam
terhadap perempuan tersebut dengan argumentasi bahwa anak
tersebut masih berada di dalam pernikahan yang sah, dan
kehamilan bisa terjadi hanya dalam waktu enam bulan saja. Ali bin
Abi Thalib berargumen dengan dalil ayat al-Quran tentang masa
kehamilan dan persusuan sebanyak 30 bulan dan tentang masa
persusuan yang sempurna sebanyak 2 tahun (24 bulan), sehingga
kehamilan terhitung 6 bulan.263
Surat al-Ahqaf ayat 15:

264

Surat al-Baqarah ayat 233:

265

1. Anak di Luar Nikah dalam Perspektif KHI dan Praktik


Pengadilan
Definisi anak yang sah dalam perspektif KHI diatur di
dalam Bab XIV tentang Pemeliharaan Anak. Pasal 99 KHI mengatur
bahwa anak yang sah menurut hukum adalah anak yang dilahirkan

263
As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.),
majlad II, hlm. 357-358.
264
Al-Quran surat al-Ahqaf/46 ayat 15
265
Al-Quran surat al-Baqarah/2 ayat 233

294
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam atau akibat perkawinan yang sah. Termasuk dihitung sebagi


anak yang sah ketika pembuahan dilakukan oleh suami istri yang
sah di luar rahim dan dilahirkan oleh suami istri tersebut.266
Oleh karenanya, anak yang tidak sah atau anak di luar
nikah adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat perkawinan
yang sah. Pasal 100 KHI mengatur bahwa anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Dalam pasal 101 KHI diatur bahwa seorang
suami yang mengingkari sahnya anak, sedangkan istri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan
lisan. Sementara itu dalam pasal 102 diatur bahwa suami yang
akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka
waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah
putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa
istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan
Agama.267
Dalam Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor:
408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang pengakuan
anak di luar perkawinan, di dalam salah satu pertimbangan
hukumnya menjelaskan: Dalam penalaran hukum, majelis hakim
berpendapat bahwa tidak ada ketentuan yang jelas dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut.
Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita
hamil. Menurut Majelis hakim, Pasal 53 KHI didasarkan pada Al-
Quran, Surah An-nur, ayat 3. Filsafat hukum Islam dari ayat

266
KHI pasal 99, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh
Humaniora Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
1991/1992, hlm. 46-47.
267
Kompilasi Hukum Islam, hlm. 47.

295
Bab III

tersebut adalah dalam rangka perlindungan dan kemaslahatan


anak yang telah terjadi proses pembuahannya di luar nikah sehingga
ada teori hukum: "hukum mengikuti kepentingan publik
(kemaslahatan) yang kuat (al-hukmu yattabi'u al-mashlahah ar -
rajihah)." Selain itu, fakta-fakta dalam proses persidangan telah
memenuhi Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23
tahun 2002) dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Pengadilan Agama. Oleh karena itu permohonan dapat
dikabulkan dan Majelis hakim memutuskan anak yang namanya
Fulan diakui sebagai anak sah Pemohon dan Termohon
berdasarkan pengakuan Pemohon.268
Akhmad Junaedi menanggapi keputusan PA Sleman
Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang
pengakuan anak di luar perkawinan dengan menyatakan bahwa
pendapat Pengadilan Agama Sleman tersebut tidak sejalan
dengan pendapat Jumhur Ulama, Undang Undang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam tetapi sejalan dengan pendapat Ibnu
Taimiyah dan Burgelijk Wetboek (BW). Kekeliruan majelis hakim PA
Sleman berawal dari dalam penalaran hukum terhadap kasus yang
dihadapi dengan menyimpulkan Tidak ada ketentuan yang jelas
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut.
Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita
hamil. 269

268
Akhmad Junaedi, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun
XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-
majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 1.
269
Ibid, hlm. 6-7.

296
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam hal mengatur kedudukan hukum anak tidak sah


atau anak di luar perkawinan baik Undang Undang Perkawinan
maupun KHI sepintas terkesan bias diskriminasi, seperti tanggapan
yang pernah disampaikan oleh Busthanul Arifin,
Bahwa ketentuan ini menimbulkan kesan, seakan akan
kedudukan ibu yang melahirkan anak di luar nikah tidak
seimbang dengan kedudukan bapak yang menghamilinya.
Bahkan kalau ditinjau dari segi anak menimbulkan kesan
tidak adil dan tidak manusiawi. Akan tetapi sekiranya anak
yang tidak sah (yang lahir di luar nikah) diberi juga status
hukum terhadap bapak alaminya, maka seluruh lembaga
perkawinan yang begitu luhur akan berantakan sama
sekali.270
Akhmad Junaedi menegaskan bahwa menurut BW
(Burgelijk Wetboek) anak di luar perkawinan (natuurlijk kind) adalah
anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan sah dan
tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. Menurut sistem yang
dianut BW pasal 272 adanya keturunan di luar perkawinan saja
belum terjadi suatu hubungan nasab antara anak dengan orang
tuanya, baik dengan bapak maupun ibunya. Barulah dengan
adanya pengakuan (erkening) lahir suatu pertalian kekeluargaan
dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak
dengan orang tua yang mengakuinya. Hal ini sejalan dengan pasal
280 BW yang menyatakan dengan pengakuan anak di luar
perkawinan, maka lahirlah hubungan perdata antara anak dengan
ayah-ibunya. Pengakuan anak menurut BW tidak dapat dilakukan
secara diam diam, tetapi harus dilakukan di muka pegawai Catatan
Sipil dengan pencatatan dalam akte kelahiran anak tersebut, atau
dalam akte perkawinan kedua orang tuanya atau dalam akta

270
Ibid, hlm. 5-6.

297
Bab III

tersendiri dari Catatan Sipil maupun akte yang dibuat Notaris.


Pengakuan anak yang tidak diikuti dengan perkawinan sah orang
tuanya mengakibatkan hubungan kekeluargaan antara anak
dengan keluarga dari ayah dan ibunya belum terwujud, sebab
hubungan tersebut didasarkan pada pengesahan anak (wettiging)
yakni perkawinan sah orang tuanya. Apabila ayah ibunya sudah
kawin secara sah namun belum melakukan pengakuan anak yang
lahir sebelum perkawinan, maka pengesahan anaknya dilakukan
dengan surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh Kepala
Negara. 271
Terkait dengan pembuktian asal-usul anak dengan akta
kelahiran atau alat bukti lainnya atau penetapan Pengadilan
Agama berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana diatur di
dalam pasal 103 KHI, anak yang lahir di dalam perkawinan di
bawah tangan (tidak dicatatkan dalam administrasi pencatatan
perkawinan), dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya,
anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum
terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100
KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai
anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang
melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah
dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat
mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.272
Anak di Luar Nikah Menurut Praktik di Masyarakat
Dalam hukum adat di Indonesia ditentukan bahwa anak
yang sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang

271
Ibid, hlm. 6.
272
Lihat http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses tanggal
23 juni 2011, pkl 21.09 wib, hlm. 1-3.

298
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

tuanya yang sah menurut ajaran agama. Hukum adat juga


menentukan bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh ibunya
yang mempunyai suami, maka anak itu adalah anak suaminya.273
Di dalam hukum adat tidak menjadi masalah berapa lama seorang
anak dilahirkan sesudah akad perkawinan.274
Dalam hukum adat, proses terjadinya anak luar nikah
dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori. Pertama, anak
dari hubungan ibu sebelum terjadinya perkawinan, kedua, anak
dari kandungan ibu setelah lama bercerai dari suaminya, ketiga,
anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain
yang bukan suaminya, keempat, anak dari kandungan ibu yang
tidak diketahui siapa ayahnya, kelima, anak dari kandungan ibu
tanpa melakukan perkawinan yang sah.275
Sikap hukum adat di Indonesia terhadap anak luar nikah
berbeda-beda. Di Minahasa, Ambon dan Mentawai, anak yang
lahir di luar perkawinan, beribu kepada perempuan yang
melahirkannya, dan dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak
cacat. Sementara, di beberapa tempat lainnya, ibu yang
melahirkan tanpa perkawinan dan anak yang dilahirkannya, secara
magis religious, dianggap membawa petaka, sial dan celaka. Oleh
karenanya, ibu dan anak tersebut harus diasingkan dari

273
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm. 68, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali, Tesis Magister pada Program Studi
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006, hlm. 17-18.
274
Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat ,
hlm. 16.
275
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , hlm. 100, yang dikutip oleh Sri
Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 20-23.

299
Bab III

masyarakat, atau harus dibunuh atau diserahkan kepada kepala


adat atau raja sebagai budak.276
Di beberapa daerah, ada lembaga yang bisa memaksa laki-
laki yang ditunjuk si perempuan sebagai orang yang menurunkan
anak di dalam kandungannya. Di Sumatera Selatan pemaksanya
bernama Rapat Marga, di Bali bernama Hakim, di Jawa bernama
Kepala Desa. Hal ini dilakukan agar anak yang berada di dalam
kandungan lahir dalam perkawinan yang sah.277 Di desa-desa di
Jawa, nikah paksaan tersebut disebut dengan nikah tambelan,
berfungsi mengesahkan anak, tetapi masyarakat tetap
memandangnya sebagai anak haram jadah, sebagaimana di desa
Agung Muyo, kecamatan Juwana Kabupaten Pati.278
Di Bali, anak yang dilahirkan di luar nikah adalah anak yang
sah, jika dibangkitkan di masa pertunangan. Di Minahasa, anak
yang lahir di luar pernikahan, berbapak pada laki-laki biologis yang
menurunkannya, dengan penguat berupa hadiah adat yang
bernama lilikur. Di beberapa tempat lainnya, anak yang dilahirkan
di luar perkawinan yang sah, menurut hukum adat di masyarakat,
dianggap tidak berbapak dan nasabnya dihubungkan dengan ibu
yang melahirkannya.279

276
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 14-15.
277
Ibid.
278
Soerojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 1983),
hlm. 127, dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat , hlm. 24.
279
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm, hlm. 15-16.

300
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kewarisan Anak di Luar Nikah


Ketentuan mengenai anak sah dan anak di luar nikah yang
ada di dalam Fiqh, KHI, praktik pengadilan dan pasyarakat memiliki
implikasi dan konsekuensi lanjutan dalam bidang kewarisan.
Penetapan hak dan hukum waris mewarisi yang terkait dengan
orang tua dan anak selalu berhubungan erat dengan status sah
dan tidaknya anak dalam ketentuan masing-masing.
1. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut Fiqh
Anak di luar nikah, di dalam fiqh disebut sebagai walad
az-zina. Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi
anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari
hubungan suami istri yang tidak sah. Hubungan suami istri
yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan
badan (senggama/wathi) antara dua orang yang tidak terikat
tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah
yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami istri yang
tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka
ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang
yang telah menikah ataupun belum menikah.280
Wahbah az-Zuhaili mencatat, bahwa menurut ulama
Malikiyah, zina adalah salah satu penghalang kewarisan di
dalam ketentuan Fiqh Islam. Oleh karenanya, seorang walad
az-zina tidak bisa saling waris mewarisi dengan ayahnya,
meskipun ayah tersebut mengakuinya sebagai anak

280
Hasanayn Muhammad Makluf, Al-Mawaris fi asy-Syariat al-Islamiyyah, (t.tp:
Matba al-Madaniy, 1996), yang dikutip oleh Chatib Rasyid, Menempatkan Anak Yang Lahir
Di Luar Nikah Secara Hukum Islam, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005 M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret
2009, dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl
15.35, hlm. 4.

301
Bab III

biologisnya.281 Anak zina memiliki posisi yang sama dengan


anak mulaanah,282 hanya bisa menerima dan memberi warisan
dari garis ibunya saja, karena hubungan nasabnya hanya
tersambung dengan garis ibunya.283
Anak zina bisa menerima dan meninggalkan warisan
dari ibunya, dan tidak bisa menerima dari jalur ayahnya, karena
dia dianggap tidak memiliki ayah dan keluarga/kerabat dari
jalur ayah284. Dalam ketentuan Umar bin Khattab, ashabah
anak zina (sama dengan anak mulaanah) hanya bisa
didapatkan dari jalur ibunya. Apabila anak zina berada dalam
posisi ahli waris yang memiliki bagian (dzu fardl), maka bagian
hartanya dikembalikan kepada ahli waris lainnya (radd).
Namun apabila anak zina, tidak dalam posisi menerima bagian
warisan tertentu (ashabah), maka bagian ashabahnya
dikaitkan dengan ashabah ibunya.285
Ketersambungan hubungan dan posisi kewarisan anak
zina kepada jalur ibunya dan tidak kepada ayah dan jalur
ayahnya merupakan sebuah ijma dan disepakati oleh ulama

281
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (free program Mahtabah
Syamilah 15 gb), juz X, hlm. 383.
282
Anak mulaanah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang diingkari
oleh suaminya dengan dikuatkan dengan sumpah lian, maka nasab dengan ayahnya
terputus, dan semua konsekuensi perdatanya hanya dihubungkan dengan garis ibunya,
lihat As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah , majlad II, hlm. 276-277 dan dan an-Nawawiy, Al-
Majmu Syarh al-Muhadzdzab(free program Mahtabah Syamilah 15 gb), Bab Mirats al-
Ashabah, juz XVI, hlm. 10.
283
Al-Bahr ar-Raiq (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Kitab al-Faraid, juz
VIII, hlm. 574.
284
Fatawa al-Baghdadi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Nasab al-
Walad, juz II hlm. 852.
285
Syarh az-Zarkasyi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Masailun
Syatta fi al-Faraid, Juz II, hlm. 278

302
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Fiqh madzhab empat serta Syiah Imamiyah.286 Hal ini


didasarkan kepada hadits sebagai berikut:
287


288

Senada dengan riwayat hadits tersebut, diriwayatkan juga dari
Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas bahwa anak zina tidak
diperkenankan memperoleh kewarisan menurut Islam dengan
pernyataan sebagai berikut:

289

Dengan demikian menjadi sebuah ijma dan kesepakatan di
kalangan ulama fiqh Islam bahwa posisi kewarisan anak di luar
nikah (anak zina dan anak mulaanah) hanya bisa dihubungkan
kepada ibunya dan keluarga ibunya.290
2. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut KHI
Seiring dengan ketentuan Fiqh dan sebagai
konsekuensi lanjutan dari pasal 100 KHI tentang anak di luar

286
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , juz X, hlm. 532.
287
Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari
kakeknya, di salah satu sanadnya terdapat nama Abu Muhammad Isa bin Musa al-Qursyi ad-
Dimasyqi yang dinilai tidak masyhur, lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66 yang dikutip
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , juz X, hlm. 533.
288
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, lihat lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66
yang dikutip Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , juz X, hlm. 533.
289
Nailul Authar (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Miratsul Ibn al-
Mulaanah wa az-Zaniyah min Huma, juz VI, hlm.127.
290
Ibid.

303
Bab III

perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya


dan keluarga ibunya, yang sejalan dengan ketentuan pasal 43
ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, maka anak yang lahir di luar
nikah hanya bisa memiliki hubungan dan posisi kewarisan
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam pasal 186 KHI
ditentukan, Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan
keluarga dari pihak ibunya.291
Chatib Rasyid menegaskan bahwa yang termasuk anak
yang lahir di luar pernikahan adalah292:
a. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai
ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang
menghamilinya.
b. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan
oleh satu orang pria atau lebih.
c. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dilian (diingkari)
oleh suaminya.
d. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya
akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata
bukan.
e. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya
akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah
dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan.
Anak yang lahir di luar nikah tersebut secara hukum tidak
mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan

291
Pasal 186 KHI, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 77.
292
Chatib Rasyid, Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum
Islam dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl
15.35, hlm. 5.

304
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ayah/bapak alami (genetiknya), ataupun suami ibunya.


Dengan demikian, secara tegas, KHI mengatur bahwa anak di
luar pernikahan yang sah dengan bukti-bukti perkawinan yang
sah secara hukum, hanya bisa memperoleh bagian warisan
dari ibunya dan keluarga ibunya dan hanya bisa meninggalkan
warisan kepada ibunya atau keluarganya dalam jalur ibu.
3. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Pengadilan
Putusan pengadilan oleh majelis hakim tentang
sengketa atau penetapan waris selalu didasarkan kepada
peraturan perundangan yang berlaku. Pengadilan Agama,
dengan landasan hukum Islam, khususnya berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam, tidak bisa memutuskan kewarisan
anak di luar nikah dari jalur ayahnya, baik ayah biologis
maupun suami ibunya. Namun demikian, ada beberapa
yurisprudensi Mahkamah Agung terkait dengan perkara-
perkara sengketa waris dengan pertimbangan hukum
tertentu, tidak memberikan warisan kepada anak di luar nikah
dan dengan pertimabngan tertentu pula, ada yang
memberikan warisan kepada anak di luar nikah.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI)
tanggal 18 Maret 1976 No. 889 K/SIP/1974 menegaskan
bahwa adanya perkawinan dibuktikan dengan adanya akte
perkawinan. Maka bahwa anak-anak yang lahir dalam hidup
bersama yang bukan dianggap sebagai ikatan perkawinan
secara hukum, adalah anak alam (natuurlijk kind) dan bukan
anak yang sah.293 Berdasarkan pertimbangan hukum adat,

293
Putusan Mahkamah Agung tgl. 18 - 3 - 1976 No. 889 K/Sip/1974. dalam
Perkara: Muchtar d/h Lo Mjuk Sen melawan Na Teng Lian, Na Teng Hin Na Teng Nie dan
kawan-kawan, dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH.; 2. R. Saldiman Wirjatmo
SH.; 3. Indroharto SH. Yang dikutip dalam http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm,
diakses tgl 23 Juni 2011, pkl 20.47 WIB.

305
Bab III

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 24 Mei 1958 No.


82/K/SIP/1957 menyatakan bahwa anak luar kawin tidak berhak
mewarisi barang-barang pusaka, barang ini kembali kepada
waris keturunan darah yang sah.294 Kemudian Putusan
Mahkamah Agung RI tanggal 18 Maret 1959 menyatakan
bahwa,
menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak luar
kawin hanya diperkenankan mewaris harta gono-gini dari
keluarga bapak biologisnya, sedangkan harta pusaka (barang
asal), anak luar kawin tidak berhak mewarisinya.295
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1960
tanggal 23 Oktober 1961 menyatakan:
Berdasarkan rasa kemanusiaan dan keadilan umum juga, atas
hakikat persamaan hak antara anak sah dan anak luar kawin,
dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan
menganggap sebagi hukum yang hidup di Indonesia, bahwa
anak-anak luar kawin adan anak-anak sah dari seorang
peninggal harta (pewaris), bersama-sama berhak atas harta
warisan, dengan kata lain bagian seorang anak-anak sah
adalah sama dengan bagian seorang anak-anak luar kawin.296

294
Hal ini menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 6 Oktober
1937 yang mengatakan bahwa anak luar kawin menurut hukum adat tetap berhak atas
harta warisan yang ditinggalkan oleh keluarga ibunya sendiri. Tetapi hak waris anak luar
kawin terbatas pada harta warisan keluarga bapak bioologisnya yang berasal dari harta
pencaharian bukan harta pusaka, lihat oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 52-53.
295
Wahyu Afandi, Aneka Putusan Pengadilan (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 289,
yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat
, hlm. 53.
296
Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat
(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 97, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar
Kawin Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 62.

306
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 415/K/SIP/1970 tanggal


30 Juni 1971 menyatakan:
Hukum adat di daerah Padang Sidempuan, Sumatera Utara,
tentang kedudukan anak (anak sah dan anak luar kawin)
terhadap warisan orang tua. DI daerah Tapanuli pemberian
dan penyerahan kepada seorang anak luar kawin merupakan
serah lepas dengan maksud memperlunak hukum adat
setempat yang pada mulanya tidak mengakui hak mewaris
bagi anak luar kawin. Jadi saat ini, hukum adat di Tapanuli
telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada
anak anak sah dan anak anak luar kawin.297
Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
1037/K/SIP/1971 tanggal 31 Juli 1973 menyatakan:
Hukum adat di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tentang
kedudukan anak anak luar kawin terhadap warisan orang
tuanya, dalam hal ini pewaris yang telah meninggal dengan
meninggalkan seorang anak luar kawin, maka anak anak luar
kawin inilah yang merupakan satu-satunya ahli warisnya dan
yang berhak atas harta yang ditinggalkannya.298
Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI
tersebut, anak luar nikah, dengan beberapa pertimbangan
hukum tertentu, memiliki peluang untuk memperoleh harta
warisan dari ayah dan ibu biologisnya dalam Praktik di
Pengadilan, terutama Pengadilan Negeri.
4. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Masyarakat
Pada masyarakat di Indonesia yang masih menerapkan
hukum adatnya, kewarisan adalah penerusan harta kekayaan
297
Ibid., hlm. 62-63.
298
Ibid., hlm. 63.

307
Bab III

dari suatau generasi kepada keturunannya.299 Hukum waris


adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang
bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan
peralihan/perpindahan garta kekayaan yang bersifat materiil
dan non-materiil dari generasi ke generasi.300 Pada umumnya,
menurut hukum adat, anak yang lahir dari perkawinan ayah
dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak sebagai ahli
waris dari orang tuanya. Anak yang tidak sah hanya mewaris
dari ibu atau kerabat ibunya.301
Selain beberapa praktik pemberian kewarisan di
masyarakat yang telah dikutip oleh beberapa yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, yaitu di Pematang Siantar dan Padang
Sidempuan, Sumatera Utara dan Jawa Tengah, yang telah
diterangkan sebelumnya, di Indonesia ada beberapa kelompok
masyarakat yang mayoritas Muslim menerapkan ketentuan
tentang posisi waris anak luar nikah dengan bahkan
memberikannya, meski dengan ketentuan adat yang khusus.
Namun demikian, anak luar kawin, secara adat tidak layak
menjadi ahli waris apabila membunuh pewaris, atau
mencegah paksa pewaris untuk membuat wasiat, atau

299
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm. 7 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat , hlm. 27.
300
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981),
hlm. 151, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum
Waris Adat , hlm. 27.
301
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987),
hlm. 79, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat , hlm. 30-31.

308
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

melenyapkan atau memalsu surat wasiat pewaris, atau


melanggar ketentuan adat yang berlaku bagi pewaris.302
Sri Wahyuni, dalam penelitiannya pada masyarakat
desa Winong kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa
Tengah yang memiliki penduduk 2243 orang beragama Islam,
20 orang beragama Kristen dan 27 orang beragama Katolik303
serta berpenduduk 1098 anak sah dan 1192 anak luar nikah304
menemukan beberapa hasil riset tentang pemberian warisan
kepada anak luar nikah dengan ketentuan dan prosedur
tertentu. Pertama, kedudukan anak luar kawin yang
berkelakuan baik terhadap keluarga bapak biologisnya, akan
mendapat warisan dari keluarga bapak biologisnya. Jika bapak
biologisnya mempunyai anak sah dan anak luar kawin, maka
anak luar kawin itu dapat mewaris dari bapak biologisnya
dengan bagian yang tidak sebanyak seperti yang didapatkan
oleh anak sah. Kedua, penyelesaian sengketa warisan dengan
melibatkan anak luar kawin, terlebih dahulu dilakukan dengan
cara musyawarah di antara anggota keluarga, dengan
dipimpin oleh anak sah yang sulung atau anak laki-laki yang
dituakan, atau kalau tidak ada anak sah, maka dipimpin oleh
saudara atau kerabat dari pihak ayah. Kalau musyawarah
keluarga tidak bisa menyelesaikannya, maka sengketa akan

302
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), hlm. 141, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut
Hukum Waris Adat , hlm. 31-32.
303
Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah
bulan Juni tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 44.
304
Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa
Tengah bulan Maret tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar
Kawin Menurut Hukum Waris Adat, hlm. 41.

309
Bab III

diselesaikan dalam musyawarah adat yang dipimpin oleh


Kepala Desa atau yang dituakan oleh masyarakat desa Winong.
Melihat adanya kenyataan tentang pemberian waris
kepada anak luar nikah di beberapa masyarakat di Indonesia,
bahkan masyarakat yang mayoritas beragama Islam,
berdasarkan hukum adatnya, menjadi sebuah catatan penting,
bahwa pada kasus tertentu, masyarakat bisa tidak menerapkan
hukum Islam (yang termuat di dalam fiqh) dan ketentuan KHI
yang melarang pewarisan anak di luar nikah dari jalur ayahnya.
Hukum adat di beberapa tempat, memberikan peluang
kepada anak luar nikah untuk bisa menerima warisan dari ayah
(biologisnya).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Anak yang tidak sah, baik anak zina maupun anak mulaanah
menurut fiqh adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang
tidak sah atau tidak diakui oleh suami ibunya yang dikuatkan
dengan sumpah lian. Mayoritas ulama fiqh menetapkan
bahwa anak di luar nikah yang sah tidak diperbolehkan
menerima atau meninggalkan warisan dari jalur ayah, baik
ayah biologisnya maupun suami ibunya, serta hanya saling
mewarisi dengan ibunya atau kerabat ibunya
2. Anak yang tidak sah, atau anak di luar nikah yang sah menurut
KHI adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat
pernikahan yang sah. Pembuktian asal-usul anak yang sah
dilakukan dengan alat bukti resmi yang disahkan oleh hukum
Negara, baik berupa sertifikat atau alat bukti lainnya atau
penetapan Pengadilan Agama dengan bukti-bukti yang sah

310
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dan meyakinkan. Anak yang tidak sah atau anak di luar nikah
yang sah, tidak berhak saling mewaris dengan ayah
biologisnya atau suami ibunya dan hanya berhak saling
mewaris dengan ibunya atau kerabat/keluarga ibunya.
3. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di pengadilan
adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut
hukum positif dan tidak bisa dibuktikan secara hukum.
Dengan pertimbangan hukum positif pula, anak di luar nikah
tidak bisa saling mewaris dengan ayah biologisnya atau suami
ibunya dan hanya bisa saling mewaris dengan ibunya atau
keluarga ibunya. Namun demikian, dalam kasus tertentu,
berdasarkan pertimbangan hukum adat tertentu, pengadilan
bisa menetapkan pemberian warisan kepada anak luar nikah
oleh ayah biologisnya.
4. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di masyarakat
adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut
hukum agama, hukum negara dan atau hukum adat yang
berlaku setempat. Secara umum, anak di luar nikah menurut
masyarakat hanya bisa saling mewarisi dengan ibunya atau
kerabat ibunya. Namun, dengan pertimbangan lokal,
berdasarkan musyawarah keluarga atau musyawarah adat,
anak di luar nikah bisa saling mewaris dengan ayah
biologisnya.
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim
al-Bukhari, Shahih Bukhari, Mausuah Hadits an-Nabawi asy-Syarif,
edisi II, Free Program oleh islamspirit.com.
al-Bahr ar-Raiq, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.
Fatawa al-Baghdadi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

311
Bab III

Nailul Authar, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.


an-Nawawiy, Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Free software
Maktaba Shameela 15 Gb.
Syarh az-Zarkasyi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.
Syatha, Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin (Sayyid Bakri
Syatha), Ianah ath-Thalibin, Syarh Fath al-Muin, Free
software Maktaba Shameela 15 Gb.
az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Free software
Maktaba Shameela 15 Gb.
Afandi, Wahyu, Aneka Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 1984.
ash-Shabuniy, Muhammad Ali, al-Mawaris fi asy-Syariah al-
Islamiyyah fi Dhau al-Kitab wa as-Sunnah, cet. III, Beirut:
Alam al-Kutub, 1985.
ash-Shanani, as-sayid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani
tsumma, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-
Maram,Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.
az-Zuhayliy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Beirut: Dar al-
Fikr, 1984.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1999.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh Humaniora
Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
1991/1992.
Makluf, Hasanayn Muhammad, Al-Mawaris fi asy-Syariat al-
Islamiyyah, t.tp: Matba al-Madaniy, 1996.

312
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar,


Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta, 1991
Sabiq, as-Sayid, Fiqh as-Sunnah, Semarang: Maktabah Toha Putera,
t.th..
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1987.
Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu
Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1981).
Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali, Tesis
Magister pada Program Studi Kenotariatan Universitas
Diponegoro Semarang tahun 2006.
Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Azas, Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1981.
Wignjodipuro, Soerojo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung
Agung, 1983.
Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten
Boyolali Jawa Tengah bulan Maret tahun 2006.
Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali
Jawa Tengah bulan Juni tahun 2006.
http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasil-
hubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl.
15.52.
http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm, diakses tgl 23 Juni
2011, pkl 20.47 WIB.

313
Bab III

http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses
tanggal 23 juni 2011, pkl 21.09 wib.
Junaedi, Akhmad, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar
Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna
Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Xxv No.
296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam
http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id =74:kajian-tentang-pengakuan-anak-di-luar-
perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-
wahyudi-di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-
296-juli-2010-hlm-92-95&catid=10:artikel&Itemid=110,
diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib.
Rasyid, Chatib, Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara
Hukum Islam, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005
M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009,
dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/
diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35.

314
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

WASIAT PEMBAGIAN HARTA WARIS SEBELUM PEWARIS


MENINGGAL DUNIA DAN PRAKTIK HIBAH DIHITUNG
SEBAGAI BAGIAN WARIS
Zaenul Mahmudi

Latar Belakang
Diskursus mengenai kewarisan merupakan wacana yang
senantiasa menarik dan menantang untuk dibicarakan, di samping
karena variasi sistem kewarisan yang relatif banyak, juga karena
prinsip keadilan menjadi taruhan dan pertentangan dalam
pembagiannya. Indonesia memiliki sistem kekeluargaan (family
kinship) yang terdiri dari: patrilineal, matrilineal, dan bilateral di
mana sistem kekeluargaan ini akan melahirkan berbagai macam
sistem kewarisan yang mengikut kepada sistem kekeluargaan
yang dianutnya.
Agama yang diakui di Indonesia juga menelorkan berbagai
sistem kewarisan, sementara Islam sendiri juga memiliki sistem
kewarisan yang berfariatif, sistem kewarisan Sunni, Syiah, dan
Kompilasi Hukum Islam, termasuk beberapa ketentuan kewarisan
Islam yang mengalami perubahan dan pergeseran melalui
keputusan Mahkamah Agung yang disebut yurisprudensi. Di
samping itu, juga ada perbedaan mengenai hukum materiil
kewarisan yang diterapkan antar Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama.
Tingkat variasi yang tinggi dalam sistem kewarisan yang
diberlakukan oleh masyarakat Indonesia ini, di samping
memberikan banyak alternatif bagi mereka dalam memilih sistem
kewarisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan
kewarisan, juga berimplikasi kepada keraguan dan kebingungan

315
Bab III

mengenai sistem kewarisan apa yang akan digunakan


memecahkan permasalahannya. Mengingat tingkat pengetahuan
masyarakat Indonesia mengenai sistem kewarisan yang ada yang
masih relatif rendah membuat mereka merasa khawatir apabila
sistem kewarisan yang diterapkan tidak memenuhi rasa keadilan
yang dipersepsikannya dalam pembagian warisan.
Memperhatikan kondisi tersebut, maka banyak orang tua
yang memiliki inisiatif untuk melakukan pembagian terlebih
dahulu terhadap harta kekayaan yang dimilikinya untuk anak-anak
mereka, baik melalui institusi hibah maupun wasiat. Pembagian ini
dilakukan dengan alasan: a) untuk menghindari perpecahan di
antara keluarganya berkenaan dengan pembagian harta warisan,
b) untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana yang
dipersepsikannya dalam pembagian harta kekayaan. Pengaturan
harta dalam pembagian harta melalui wasiat dan hibah ini
dilakukan terhadap keseluruhan atau sebagian besar harta
kekayaan, sehingga dengan adanya pembagian harta diawal, sisa
harta yang akan dibagi berdasarkan sistem kewarisan yang berlaku
di masyarakat tinggal sedikit saja.
Mengingat permasalahan wasiat dan hibah ini sering
dilakukan oleh masyarakat dalam pembagian harta yang akan
menjadi harta warisan sepeninggal pemilikinya, maka perlu dikaji
permasalahan wasiat dan hibah dalam kaitannya dengan
kewarisan dalam perspektif fiqh, praktik masyarakat dan peradilan
serta Kompilasi Hukum Islam.
Pengertian Hibah
Secara literal, hibbah merupakan kata benda (mashdar) dari
kata kerja wa-ha-ba yang berarti pemberian yang tidak ada
gantinya.305 Hibbah menurut istilah adalah akad yang berimplikasi

305
Ibn Mandhr, Lisn al-Arab (Kairo: Dr al-Marif, t.th.), 4929.

316
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada kepemilikan tanpa ada ganti pada waktu masih hidup


yang bersifat sukarela (tathawwu).306 Kata Hibbah ini meliputi
hadiyyah, shadaqah, dan pemberian (athiyyah) mengingat makna
dari istilah-istilah tersebut relatif berdekatan satu sama lainnya.
Suatu pemberian yang diberikan kepada orang yang
memerlukan dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
disebut dengan shadaqah, apabila pemberian itu diantarkan
kepada orang yang diberi sebagai suatu penghormatan atau kasih
sayang disebut hadiyyah, apabila tidak maka disebut dengan
hibbah. Sedangkan athiyyah adalah merupakan hibbah yang
pemberian hartanya dilakukan ketika pemilik harta tersebut dalam
kondisi sakit keras.307 Sedangkan menurut yang dikemukakan
dalam Mawsah al-Fiqhiyyah istilah yang menjadi payung adalah
athiyyah, dalam artian bahwa athiyyah meliputi hibbah, shadaqah,
dan hadiyyah.308
Dasar Hukum
Dasar dari pemberian (hibbah) ini adalah firman Allah:


Artinya:
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

306
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Vol. 5 ( Damaskus: Dr al-Fikr,
1985), 5.
307
Ibid, 5.
308
Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, al-Mausah al-Fiqhiyyah, Vol. 42
(Kuwait: Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, 2004), 120

317
Bab III

pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan


(memerdekakan) hamba sahaya. (QS. Al-Baqarah: 177)
Hibbah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:

309

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: Saling memberilah
hadiah (hibbah) kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.
Dan sabda Rasulullah:

310

Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah
seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah
dikeluarkannya
Selain itu, para ulama juga telah sepakat mengenai
dianjurkannya memberikan hibbah sebagai suatu
pengejawantahan dari perintah Allah untuk senantiasa tolong
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al-Midah: 2),311
karena hibbah ini memiliki implikasi yang bagus dalam pergaulan
antara sesama Muslim di mana bisa menebarkan rasa kasih sayang
dan cinta kasih di antara mereka, di samping hikmah-hikmah lain
yang timbul dari pemberian hibbah ini.

309
Ab Bakar ibn Ali al-Baihaq, al-Sunan al-Kubr, Vol. 6, (Beirut: Dr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2002), 280.
310
Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br bi Syarh Shahh al-Bukhr, Vol. 6, (Riydl: Dr
al-Thaibah, 2005), 444.
311
Lihat Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh, 7. Dan Wuzrah al-Auqf, al-Mausah
Vol. 42, 121

318
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengertian Wasiat
Kata washiyyah, secara literal merupakan bentuk kata
benda (mashdar) dari kata washa yang kemudian mendapatkan
tambahan alif di depannya menjadi ausha atau di-tadlif-kan
menjadi washsha yang berarti ahida atau mempercayakan,
memberikan perintah atau arahan, mendelegasikan, atau
memberikan kekuasaan. Bentuk mashdar dari ausha ini selain
washiyyah adalah washh, washyah, dan wishyah.312 Washiyyah
juga bisa berarti apa yang diwasiatkan dan disebut wasiat karena
berkaitan erat dengan permasalahan kematian.313
Sedangkan secara terminologis, washiyyah adalah akad
kepemilikan yang implementasinya disandarkan kepada setelah
kematian secara suka rela, baik terhadap harta benda atau
manfaat.314 Implementasi washiyyah yang dilakukan setelah
pewasiat (al-mshi) meninggal dunia ini merupakan poin
pembeda dengan bentuk-bentuk karitas yang lain, seperti hibbah,
athiyyah, shadaqah, dan hadiyyah.
Para ulama ada yang mendefinisikan secara lebih luas,
yaitu segala perbuatan yang diwasiatkan pewasiat yang
diimplementasikan setelah si pewaris meninggal dunia, seperti
wasiat kepada seseorang untuk menikahkan puterinya, wasiat
mengenai bagaimana dia dimandikan, atau wasiat kepada
seseorang untuk menjadi imam shalat dan lain sebagainya.315
Washiyyah juga bisa berkenaan dengan pembebasan dari

312
Ibn Mandhr, Lisn al-Arab (Kairo: Dr al-Marif, t.th.), 4853.
313
Ibid, 4854.
314
Lihat Wuzrah al-Auqf, al-Mausah, Vol. 43, 221. Dan Wahbah al-Zuhail, al-
Fiqh Vol., 8.
315
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh, Vol. 8, 9.

319
Bab III

kepemilikan harta, seperti wasiat mengenai pembebasan hutang,


pembebasan dari penanggung jawab terhadap harta benda,
demikian juga wasiat bisa berkenaan dengan hak untuk
melakukan sesuatu, seperti wasiat untuk segera melunasi hutang
dan menjual harta kekayaan kepada seorang tertentu.316
Dasar Hukum
Washiyyah ini didasarkan kepada ketentuan al-Quran,
hadits, ijma, dan rasionalitas. Menurut al-Quran, washiyyah
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang
merasa ajalnya sudah dekat, sebagaimana firman Allah:



Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
(QS. Al-Baqarah; 180).

Washiyyah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah saw.

316
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh. , Vol. 8, 9-10.

320
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia


317
Ali ibn Muhammad menceritakan kepada kami, Waki
menceritakan kepada kami dari Thalhah ibn Umar dari Atha dari
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
Sesungghnya Allah memerintahkan kamu untuk bersedekah pada
waktu kematianmu sepertiga hartamu sebagai tambahan kebaikan
bagi amal perbuatanmu.
Sedangkan berdasarkan ijmak, para ulama sepakat atas kebolehan
melakukan wasiat. Dan secara logika, wasiat penting dilakukan
oleh setiap orang untuk memperbanyak kebaikan dan perbuatan
yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.318
A. Hibah dan Wasiat Perspektif Fiqh
1. Hibah Perspektif Fiqh
Hibbah sebagaimana bentuk-bentuk karitas yang lain
merupakan perbuatah kebaikan yang ditujukan untuk
menguatkan kasih sayang dan rasa cinta kasih antara sesama
manusia, selain untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Dalam melakukan hibbah, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu: rukun hibbah dan syarat-syaratnya, hukum
hibbah dan hibbah kepada anak.
a. Rukun Hibbah dan syarat-syaratnya
Para ulama sepakat bahwa rukun hibah terdiri dari tiga
unsur, yaitu: 1) dua orang yang melakukan akad hibah, yaitu orang
yang menghibbahkan (al-whib) dan orang yang menerima hibah

317
Ab Abdullh Muhammad ibn Yazd al-Qazwn al-Syahr bi Ibn Mjah, Sunan
Ibn Mjah (Riydl: Maktabah al-Marif, 1417H.), 460.
318
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh ., Vol. 8, 11.

321
Bab III

(al-muhb lah), 2) benda yang dihibahkan (al-mauhb,), dan 3)


shghat yang terdiri dari jb dan qabl.
1) Syarat bagi Orang yang bertransaksi (al-whib dan al-mauhb
lah)
Berkenaan dengan dua orang yang melakukan akad (al-
whib dan al-mauhb), para ulama mempersyaratkan bahwa
keduanya harus berakal, baligh, dan bijaksana (rasyd). Dengan
demikian akad hibah tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-
anak, orang bodoh dan orang yang berada di bawah
pengampuan. Sedangkan orang yang sedang sakit, maka apabila
dia sakit keras (maradl al-maut), maka hibah yang dilakukan
disamakan dengan hukum wasiat, yaitu tidak boleh melebihi
sepertiga harta, kecuali atas persetujuan ahli waris.319
Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kewenangan menghibahkan harta (fudlli), menurut
mazhab Syafii, Maliki, dan Hanbali hibah tersebut adalah batal,
sementara menurut Mazhab Hanafi dan pendapat kedua mazhab
Syafii, hibah tersebut sah, namun tergantung kepada izin pemilik
barang tersebut. Apabila pemiliknya menyetujuinya, maka hibah
tersebut sah, namun apabila tidak menyetujuinya, maka hibah
tersebut batal.320
Sedangkan mengenai hibah yang dilakukan oleh orang
yang dalam kondisi mabuk, maka perlu diperhatikan penyebab

319
Mengenai orang yang dalam kondisi maradl al-maut ini, mazhab Hanbali
menganalogikannya dengan orang yang berada di medan pertempuran, seseorang yang
sedang berjuang melawan ombak besar, orang yang berada di daerah yang sedang dilanda
penyakit mematikan (al-than), perempuan hamil yang sedang proses melahirkan dan
orang yang sedang menghadapi hukuman mati (qishsh).Lihat Wuzrah al-Auqf wa al-
Syun al-Islmiyyah, al-Mausah al-Fiqhiyyah, Vol. 42 (Kuwait: Wuzrah al-Auqf wa al-
Syun al-Islmiyyah, 2004), 121-123.
320
Wuzrah al-Auqf, al-Mausah , Vol. 42, 123.

322
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

orang tersebut mabuk. Apabila dia mabuk karena sesuatu yang


diperbolehkan atau halal, seperti karena obat bius atau tumbuh-
tumbuhan yang membuatnya mabuk, maka segala tindakan yang
dilakukan adalah tidak sah, termasuk hibah yang dilakukannya.
Namun apabila dia mabuk karena sesuatu yang diharamkan
seperti meminum khamr atas kehendaknya sendiri, maka ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut mazhab Hanafi,
Syafii, dan Hanbali perbuatan yang dilakukan dan pengakuannya
adalah sah, termasuk hibah yang dilakukan. Pendapat ini
didasarkan kepada firman Allah:


43
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan321
Ayat ini menunjukkan bahwa perkataan yang diucapkan
oleh orang yang sedang mabuk adalah tidak menimbulkan
keraguan di dalamnya sebagaimana perkataan yang diucapkan
oleh orang yang sadar. Oleh karena itu, mengingat bahwa orang
yang mabuk juga terkena khithb syar, maka sifat mabuk tersebut
tidak menghilangkan kompetensinya sebagai mukallaf, sehingga
segala tindakannya adalah sah, demikian juga perkataannya.
Sesuatu yang hilang dari orang yang mabuk adalah kehendaknya,
namun perkataannya tetap dianggap sah.322

321
Departemen Agama RI, al-Quran., 85.
322
Wuzrah al-Auqf, al-Mausah al-Fiqhiyyah, Vol. 42, 124

323
Bab III

Menurut mazhab Maliki, orang yang mabuk karena sesuatu


yang diharamkan, maka dia bisa melakukan tindakan pidana,
membebaskan budak, dan menjatuhkan talak dan tindakan
tersebut sah, namun dalam masalah pengakuan, transaksi jual-
beli, sewa-menyewa, hibah, shadaqah dan wakaf dari orang
tersebut tidak sah dan tidak dapat diterima.
Sedangkan menurut pendapat kedua dari mazhab Syafii
dan Hanbali, transaksi dan pengakuan yang dilakukan oleh orang
yang dalam kondisi mabuk adalah tidak sah. Mereka beralasan
bahwa orang yang mabuk tidak memiliki kehendak, kondisinya
adalah seperti orang yang dipaksa (mukrah). Di sisi lain, berakal
adalah syarat adanya taklf, mengingat orang yang mabuk sama
dengan orang yang tidak berakal, maka perbuatan yang dilakukan
adalah tidak sah.323
Sedangkan syarat yang harus dimiliki oleh penerima hibah
(al-mauhb lah), para ulama fikih mepersyaratkan bahwa penerima
hibah harus orang yang memiliki kompetensi untuk memiliki (ahl li
al-milk). Apabila penerima barang tersebut baligh dan berakal,
maka dia sendiri bisa menerima hibah tersebut, namun apabila dia
tidak memiliki kompetensi, maka hibah tersebut tetap sah, namun
harus ada penanggung jawab terhadap harta hibah tersebut,
seperti wali anak atau orang tersebut.324
2) Ketentuan bagi barang yang dihibahkan (al-mauhb)
Ketentuan terhadap barang yang boleh dihibahkan adalah
mengikuti kaidah m shahha baiuhu shahhat hibbatuhu sesuatu
yang boleh diperjual-belikan, maka boleh dihibahkan. Syarat yang

323
Ibid, 124-125
324
Ibid, 125

324
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

harus dipenuhi bagi sesuatu yang dihibahkan adalah sebagai


berikut: a) sesuatu tersebut ada, b) sesuatu tersebut dimiliki oleh
pemberi hibah (whib) sendiri, c) berupa sesuatu yang memiliki
nilai (mutaqawwim), d) sesuatu yang terkontrol secara pribadi
(mahz) (bukan milik publik), e) sesuatu yang bisa diserah-
terimakan.325
3) Ketentuan mengenai sghat hibah
Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai sghat hibbah,
apakah terdiri dari jb dan qabl ataukah hanya cukup jb.
Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa sghat
hibah terdiri dari satu paket jb dan qabl, namun menurut
mazhab Hanafi sghat hibah cukup jb. Jumhur ulama beralasan
bahwa akad hibah merupakan akad syari yang tidak sah atau
tidak berimplikasi kepada pemindahan hak milik, apabila jb tidak
disertai dengan qabl, sebagaimana akad jual beli, sementara
mazhab Hanafi beralasan bahwa makna hibbah secara bahasa
adalah hanya ungkapan jb dari pemilik barang.326
b. Ketentuan Hibah
Pada prinsipnya hibah memindahkan hak kepemilikan
terhadap sesuatu yang dihibahkan kepada orang yang menerima
hibah tanpa adanya penggantian (iwadl), namun tidak demikian
menurut mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa perpindahan
kepemilikan tersebut tidak secara otomatis, karena orang yang
menghibahkan (whib) boleh menarik kembali atau membatalkan
hibah yang telah dilakukan.327 Pendapat ini didasarkan kepada
hadits Rasulullah:

325
Ibid, 125-126
326
Ibid, 134
327
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 5, 26

325
Bab III



328

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: orang


yang menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh terhadap sesuatu
tersebut selama belum diserahkan penggantinya
Hadits ini, selain menunjukkan bahwa pemilik benda
memiliki hak penuh terhadap benda yang dihibahkan ketika
belum ada penggantinya, juga menunjukkan bahwa hibah bisa
dilakukan dengan meminta ganti. Namun ketika ganti tersebut
telah diberikan, maka penghibah tidak boleh menarik benda yang
dihibahkan dan penerima hibah berhak menolak apabila benda
yang dihibahkan tersebut akan ditarik kembali. Benda tersebut
boleh ditarik kembali asalkan dilakukan suka sama suka atau
melalui keputusan hakim.329 Ketidakbolehan menarik benda yang
dihibahkan tersebut didasarkan kepada hadits Rasulullah:

330

Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah
seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah
dikeluarkannya
c. Hibah orang tua kepada anaknya
Para ulama sepakat bahwa hibah kepada anak dianjurkan
untuk tidak berat sebelah antara anak yang satu dengan anak

328
Ali ibn Umar al-Druquthn, Sunan al-Druqutn Vol. 3, (Beirut: Muassasah al-
Rislah, 2004), 461.
329
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 5, 26
330
Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br bi Syarh Shahh al-Bukhr, Vol. 6, (Riydl: Dr
al-Thaibah, 2005), 444.

326
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

lainnya, namun para ulama berbeda pendapat mengenai maksud


tidak berat sebelah atau menyamakan antara anak-anaknya.
Menurut Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan Syafii,
yang dimaksud tidak berat sebelah adalah mempersamakan
bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam
pemberian hibah sebagaimana sabda Rasulullah:

331

Dari Ibn Abbas berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
samakanlah pemberian di antara anak-anak kalian, jika lebih
mengutamakan seseorang, niscaya saya akan melebihkan
perempuan
Dan hadits Rasulullah:

332

331
Ab Bakar ibn Ali al-Baihaq, al-Sunan al-Kubr, Vol. 6, (Beirut: Dr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2002), 294.
332
Ab al-Husain Muslim ibn al-Hajjj al-Qusyair al-Naisbr, Shahh Muslim
(Riydl: Dr Thaibah, 2006), 763.

327
Bab III

Dari Numan ibn Basyir berkata: Ayah saya menyedekahkan


sebagian hartanya kepadaku, kemudian ibuku Amrah binti Rawahah
berkata: Saya tidak rela sebelum kamu meminta kesaksian dari
Rasulullah saw., kemudian ayahku berangkat menghadap Nabi saw.
untuk meminta kesaksian mengenai sedekah untukku, kemudian
Rasulullah saw. berkata kepada ayahku: Apakah engkau melakukan
hal ini kepada anakmu semuanya?, ayahku menjawab: Tidak,
kemudian Rasulullah bersabda: Takutlah kamu kepada Allah, dan
berbuat adillah kepada anak-anakmu, kemudian ayahku pulang dan
membatalkan sedekah tersebut.
Sementara menurut mazhab Hanbali dan Muhammad al-
Syaibani dari mazhab Hanafi yang dimaksud dengan adil dalam
memberikan hibah kepada anak-anaknya adalah sesuai dengan
ketentuan umum yang terdapat dalam pembagian warisan
sebagai ketentuan Allah, yaitu memberikan hibah kepada anak
laki-laki dua kali lipat bagian hibah untuk anak perempuan.
Menurut mereka, ketentuan Allah inilah yang perlu diikuti dalam
pembagian hibah kepada anak-anaknya.333
Sedangkan mengenai bagiamana hukumnya
menyamakan pembagian hibah kepada anak laki-laki dan anak
perempuan? Jumhur ulama berpendapat bahwa mempersamakan
bagian hibah tersebut tidak wajib, tetapi hanya merupakan
anjuran. Namun menurut sementara ulama, seperti Ahamad ibn
Hanbal, al-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan lain-lain berpendapat bahwa
pemberian hibah kepada anak-anak harus jumlahnya sama antara
anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka berpendapat, apabila
hibah tersebut tidak mempersamakan di antara mereka, maka
hibah tersebut tidak sah. Pendapat ini didasarkan kepada hadits di
atas yang menggunakan kalimat: dan , karena

333
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 5, 24-25

328
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang dimaksud dengan adil adalah mempersamakan bagian hibah


di antara anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan.334
d. Menarik Hibah
Menarik hibah atau membatalkan hibah yang telah
diberikan kepada penerima hibah (al-mauhb lah) merupakan
sesuatu yang tidak etis untuk dilakukan. Namun ada perbedaan
ulama mengenai masalah ini: Pendapat pertama, tidak boleh
menarik hibah terhadap barang yang telah diserah terimakan,
kecuali hibah orang tua kepada anaknya, sebagaimana pendapat
mazhab Maliki dan Hanbali. Orang tua di sini tidak hanya ayah,
tetapi juga ibu, sebagaimana mazhab Maliki. Pendapat ini
didasarkan kepada hadits Rasulullah:

335

Dari Thawus bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tidak boleh bagi
orang yang telah memberikan hibah menarik kembali apa yang telah
dihibahkan, kecuali hibah yang diberikan orang tua kepada
anaknya
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa menarik
hibah adalah diperbolehkan selama ada alasan yang bisa
dibenarkan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi dengan
mendasarkan pendapatnya kepada hadits:


336

334
Ibid), 25
335
al-Baihaq, al-Sunan , Vol. 6, 298
336
al-Druquthn, Sunan Vol. 3, 461.

329
Bab III

Orang yang telah menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh


terhadap sesuatu tersebut selama belum diserahkan penggantinya
Kedua pendapat tersebut bisa dikompromikan, karena
konteks pendapat pertama adalah berbeda dengan konteks
pendapat kedua. Jadi menarik hibah terhadap barang yang telah
diserahterimakan dan/atau telah diberikan penggantinya, ketika si
whib meminta penggantian, maka menarik kembali hibah
tersebut adalah boleh. Sementara apabila si whib meminta
penggantian atas hibah yang diberikan dan si mauhb lah belum
memberikannya, maka hibah tersebut bisa dibatalkan atau ditarik
kembali.
2. Wasiat Perspektif Fiqh
Wasiat merupakan institusi pengalihan harta yang biasa
dipraktikkan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam. Menurut hukum
Romawi, seorang pemilik harta memiliki kebebasan untuk
mewasiatkan hartanya tanpa ada batasnya, bahkan dengan tidak
memberikan sama sekali kepada anak-anaknya. Demikian juga
kondisi bangsa Arab sebelum Islam, mereka akan bangga dan
berlomba-lomba memberikan wasiat kepada orang lain dan
mengabaikan wasiat kepada para kerabatnya.337 Kondisi ini sangat
merugikan anak-anak mereka dan kerabatnya yang lebih berhak
untuk menerima harta milik orang tua atau kerabatnya.
Ketika Islam datang, tradisi pengalihan harta melalui
institusi wasiat ini diluruskan dengan lebih mengutamakan
pemberian wasiat kepada kedua orang tua dan para kerabatnya,
sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah:

337
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 8, 7

330
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia



180
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.338
Dengan adanya firman Allah ini, maka seorang pemilik harta
dibatasi untuk lebih mengutamakan pemberian wasiat kepada
orang tua dan kerabatnya. Dia boleh memberikan wasiat kepada
orang lain apabila, orang tua dan kerabatnya telah lebih dahulu
diberi wasiat.
Pengalihan harta melalui institusi wasiat ini merupakan
keniscayaan yang harus dilakukan sesorang yang memiliki harta,
sementara dia merasa ajalnya telah dekat, sementara di sisi lain
Allah belum menurunkan ayat-ayat al-Quran yang berisi
ketentuan-ketentuan mengenai warisan. Wasiat ini berfungsi
sebagai petunjuk bagi para kerabat yang ditinggalkannya dalam
melakukan pembagian terhadap harta yang ditinggalkannya.
Namun ketika ayat mengenai ketentuan warisan telah
turun, maka wilayah keberlakukan wasiat tersebut dibatasi dalam
dua hal.339 Pertama, wasiat tidak boleh lagi diberikan kepada para
ahli waris, sebagaimana sabda Rasulullah ketika menyampaikan
khutbah pada waktu haji wada:

338
Departemen Agama RI, al-Quran , 27.
339
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh, Vol. 8, 7-8.

331
Bab III



340
Dari Syurahbl ibn Muslim, saya mendengan Ab Ummah
berkata: saya pernah mendengar Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap
orang yang memiliki hak, maka dari itu tidak ada wasiat
untuk ahli waris.
Ketentuan ini diberlakukan untuk menghindari penumpukan harta
kepada orang tertentu saja (kai l yakna dlatan baina al-
aghniy) di mana apabila institusi waris dan wasiat sebagaimana
tetap diberlakukan secara bersamaan, maka orang tua; ayah dan
ibu akan memperoleh bagian dari dua jalur, yaitu wasiat dan
warisan. Penumpukan harta inilah yang tidak dikehendaki Islam
dalam permasalahan pembagian harta.
Kedua, adalah ketentuan mengenai pembatasan jumlah
wasiat yang diperbolehkan kepada orang selain ahli waris yang
mendapatkan bagian warisan, sebagaimana sabda Rasulullah
kepada Sad ibn Abi Waqsh ketika berada di Mekkah saat
menunaikan haji Wada:




340
Ab Dwud Sulaimn al-Sijistn al-Azd, Sunan Ab Dwud, Vol. 3 (Beirut: Dr
Ibn Hazm, 1997), 196.

332
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia



341
Dari Sad ibn Ab Waqsh ra. berkata: Nabi saw. pernah
menjenguk saya ketika saya tinggal di Mekkah. Dia
mengungkapkan ketidaksukaannya apabila meninggal
dunia di wilayah di mana dia berhijrah seraya berkata:
Semoga Engkau dirahmati oleh Allah, wahai Ibn Afr (Sad
ibn Ab Waqsh). Kemudian saya bertanya kepada
Rasulullah: Bolehkah saya mewasiatkan semua harta saya?
Rasulullah menjawab: Jangan. Saya bertanya lagi:
Bagaiamana apabila separuhnya? Dia menjawab: Jangan.
Saya bertanya kembali: bagiamana apabila sepertiganya?
Dia menjawab: Sepertiga! Sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan para ahli
warismu dalam kondisi kaya adalah lebih baik daripada
engkau meninggalkan mereka dalam kondisi papa yang
meminta-minta di hadapan orang-orang.
Berdasarkan kedua hadits di atas, maka institusi wasiat
yang telah ada sebelum ketentuan-ketentuan al-Quran yang
mengatur pembagian warisan (surat al-Nis ayat: 7-13 dan 176)
tidak dihapus secara total, namun ada pembatasan pemberlakuan
wasiat tersebut, yaitu: tidak boleh wasiat kepada ahli waris dan
wasiat kepada orang lain hanya diperbolehkan maksimal sepertiga
harta. Ketentuan ini diberlakukan dalam rangka lebih
mengutamakan kepentingan anak-anak terlebih dahulu daripada

341
Ab Abdullh Muhammad ibn Isml al-Bukhr, al-Jmi al-Shahh, Vol. 2
(Cairo: al-Mathbaah al-Salafiyyah, 1403H.), 287 dan lihat juga Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-
Br ,Vol. 6, 674.

333
Bab III

kepentingan orang lain, sebagaimana yang diungkapkan dalam


hadits di atas dan diperkuat firman Allah:


9
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.342
David S. Power melakukan periodesasi mengenai institusi
pengalihan harta warisan menjadi tiga fase, yaitu:
a. Periode Mekkah (610-622M.), pada periode ini pengalihan
harta antar generasi dilakukan dengan menggunakan institusi
wasiat, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para sahabat
seperti Bdil ibn Maryam, seorang pedagang Quraisy dari Bani
Sahm yang merasa akan meninggal ketika melakukan
perjalanan dagang di Syiria yang kemudian berwasiat kepada
dua orang mitra bisnisnya untuk menyerahkan hartanya
kepada keluarganya di Mekkah. Demikian juga yang dilakukan
oleh Aus ibn Tsbit al-Anshr sebelum terbunuh ketika Perang
Uhud di mana dia sempat berwasiat kepada dua orang
sepupunya (anak laki-laki dari paman) untuk menyerahkan
harta kepada keluarganya, namun kedua orang sepupu
tersebut menolak untuk menyerahkan kepada istrinya, Ummu
Kuhha dan anak-anak perempuannya.343

342
Departemen Agama RI, al-Quran., 78
343
David S. Powers, Studies in Quran and Hadith: The Formation of the Islamic Law
of Inheritance (London: University of California Press, 1986), 10-11.

334
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b. Periode Madinah Awal (622-630M.), pada periode ini institusi


yang digunakan untuk mengalihkan harta antargenerasi
menggunakan institusi waris. Periode ini berkaitan erat
dengan periode sebelumnya, khususnya mengenai perlakukan
dua orang sepupu suami Ummu Kuhha, Aus ibn Tsbit, yang
tidak memberikan harta peninggalan suaminya kepada dirinya
dan anak-anak perempuannya. Permasalahan ini diadukan
oleh Ummu Kuhha kepada Rasulullah saw. dan kemudian
turun ayat waris yang pertama:



7
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan344
Kemudian ayat ini diikuti dengan ayat-ayat yang mengatur
dan menentukan bagian warisan masing-masing ahli waris
sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Nis ayat 11-
12.345
c. Periode Setelah Fath Mekkah (630-632M). Pada periode ini
tidak ada ketentuan pengalihan harta yang baru, namun
periode ini mengatur keberlakukan dua institusi pengalihan
harta; wasiat dan waris, yaitu pembatasan subyek yang boleh

344
Departemen Agama RI, al-Quran , 78
345
David S. Powers, Studies, 12

335
Bab III

menerima wasiat dan pembatasan kuantitas wasiat yang


hanya dibatasi maksimal sepertiga harta.346
B. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Masyarakat
Masyarakat Indonesia memiliki tatacara sendiri dalam
pembagian harta peninggalan orang tua yang sesuai dengan
budaya mereka yang sudah hidup bertahun-tahun. Budaya
tersebut mengakar kuat dalam kesadaran individual dan kolektif
mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang
mereka hadapi, termasuk di dalamnya persoalan pengalihan harta
antargenerasi. Pada praktiknya, pengalihan harta tersebut,
masyarakat melakukannya dengan berbagai cara, seperti melalui
institusi hibah, wasiat, maupun waris. Hibah dan wasiat
dipraktikkan masyarakat dalam melakukan pembagian harta
kekayaan, memiliki berbagai tujuan: a) menghindari kekhawatiran
terjadinya percekcokan keluarga apabila pembagian harta
dilakukan berdasarkan ketentuan faridl, b) untuk
mengedepankan keadilan dalam pembagian harta, minimal
keadilan menurut persepsi orang yang membagi.
Praktik pembagian harta dengan menggunakan institusi
hibah dan wasiat jamak terjadi di masyarakat. Ketika penulis yang
juga dosen Fiqh Mawaris mempertanyakan kepada mahasiswa
yang mengambil matakuliah tersebut, kurang lebih 80%
mahasiswa mengatakan bahwa praktik pembagian harta tidak
dilakukan sesuai dengan ketentuan faridl, melainkan
menggunakan hibah atau wasiat, khususnya wasiat pembagian
harta warisan. Pada praktiknya, pemberian hibah dan wasiat juga
bermacam-macam. Ada yang membagi berdasarkan tingkat
perekonomian ahli waris, ada yang membagi dengan
melebihkan bagian untuk anak laki-laki daripada anak perempuan,

346
Ibid, 13-14.

336
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

namun tidak persis dua berbanding satu, dan ada juga yang
menghibahkan hampir semua hartanya secara sama antara laki-
laki dan perempuan dan menyisakan sedikit harta warisan yang
akan dibagi secara faridl, ada yang memberikan hibah lebih
banyak kepada anak perempuan dengan harapan ketika
pembagian warisan secara faridl nanti bagian anak laki-laki dan
anak perempuan sama atau tidak berbeda jauh.
Kondisi ini juga didukung oleh hasil penelitian disertasi di
Universitah Padjadjaran Bandung yang dilakukan oleh Otje Salman
pada tahun 1992 dengan judul Pelaksanaan Hukum Waris di
Daerah Cirebon Dilihat dari Hukum Waris Adat dan Hukum Waris
Islam.347 Responden yang diteliti dalam penelitian ini, dari sisi
agama: 98,62% beragama Islam, sementara sisanya beragama
non-Islam.348 Dari total responden, mereka yang melakukan
pembagian warisan secara faridl murni hanya berjumlah 26,5%
sementara yang lain menggunakan hukum adat, hukum barat,
atau percampuran antara berbagai hukum tersebut.349 Sementara
mengenai kapan pelaksanaan pembagian harta tersebut: 45,45%
dilakukan ketika pewaris masih hidup dan 54,55% ketika
pewaris telah meninggal.350 Pembagian harta ketika pemilik
harta masih hidup yang jumlahnya 45,45% tersebut berarti
pembagian hartanya dilakukan dengan cara hibah, sedangkan
pembagian harta ketika pemilik telah meninggal yang jumlahnya
54,55% berarti pembagiannya dilakukan dengan cara wasiat atau
waris.

347
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung:
Penerbit Alumni, 1993)
348
Ibid, 92
349
Ibid, 100
350
Ibid, 99

337
Bab III

Dari penelitian tersebut, Otje Salman berkesimpulan


bahwa ketaatan masyarakat Cirebon dalam melaksanakan hukum
waris Islam adalah lemah, mereka lebih memilih penyelesaian
dengan menggunakan hukum barat daripada hukum Islam
(faridl), sementara itu pelaksanaan pembagian harta melalui
intitusi waris lebih rendah daripada institusi hibah dan wasiat.
Kondisi rendahnya kesadaran hukum terhadap pelaksanaan
pembagian warisan secara Islam (faridl) ini timbul karena dua
kemungkinan, yaitu: a) rendahnya sosialisasi kepada masyarakat
mengenai hukum waris Islam dan b) rendahnya pemahaman
masyarakat terhadap hukum waris Islam.
Rendahnya tingkat ketaatan masyarakat dalam
menerapkan ketentuan yang terdapat dalam faridl ini, di samping
yang disimpulkan oleh Otje Salman tersebut, menurut Hazairin
disebabkan oleh perbedaan kultur dan sistem kekeluargaan antara
tempat diformulasikannya ketentuan waris Islam dengan
Indonesia. Hukum waris Islam didasarkan kepada kebudayaan
Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan Patrilineal,351
sementara sistem kekeluargaan yang dikehendaki dalam al-Quran
adalah sistem kekeluargaan parental atau bilateral. Tidak ada
sinkronisasi antara sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang
diformulasikan dalam sistem kewarisan Islam (faridl) yang
mengadopsi sistem kewarisan mazhab Sunni. Oleh karena itu,
terjadi banyak konflik dalam penerapan hukum waris Islam di
Indonesia, bahkan dalam keluarga yang menganut sistem
kekeluargaan Patrilineal sekalipun.
Konflik-konflik inilah yang barangkali memicu kepada
rendahnya ketaatan masyarakat dalam menerapkan hukum waris

351
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith (Jakarta:
Tintamas, 1976), 2

338
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Islam karena apabila hukum waris Islam (faridl) tersebut


diterapkan secara tekstual, maka akan menodai rasa keadilan yang
hidup di masyarakat. Oleh karena itu, banyak masyarakat beralih
kepada institusi hibah dan wasiat dalam melakukan pembagian
harta warisan sebagai jalan keluar dalam pembagian harta yang
memenuhi rasa keadilan keluarga dan masyarakat tersebut.
Pertanyaan kemudian, apakah pembagian harta warisan
dengan menggunakan institusi hibah dan wasiat itu bertentangan
atau setidak-tidaknya memiliki anggapan bahwa tidak mengakui
prinsip keadilan yang terdapat dalam hukum waris Islam (faridl)?.
Menurut Muhammad Syahrr ayat yang berbicara mengenai
wasiat sebanyak sepuluh kali, sementara ayat yang berbicara
mengenai warisan tiga kali. Bahkan dalam ayat waris diawali
dengan kata wasiat () dan dikahiri dengan kalimat
wasiat juga ().352 Kondisi ini menunjukkan bahwa
wasiat memiliki signifikansi yang besar dalam pembagian harta
warisan. Namun realitasnya, masyarakat Muslim sekarang ini:
1. Memberikan prioritas secara mutlak kepada waris dan
ketentuan-ketentuannya, bukan wasiat dan ketentuan-
ketentuannya.
2. Menekankan kepada penghapusan ayat wasiat khususnya
terhadap firman Allah: al-washiyyatu li al-wlidain wa al-
aqrabn dengan hadits ahad dan munqathi yang diriwayatkan
oleh ahl al-maghz l washiyyata li writs.
3. Mencampur aduk pemahaman terhadap kata al-hadl dan al-
nashb yang berimplikasi kepada pencampuran antara ayat

352
Muhammad Syahrr, Nahwa Ushl Jaddah li al-Fiqh al-Islm: Fiqh al-Marah
(al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwmah, al-Taadudiyyah, al-Libs) (Damaskus: al-Ahl, 2000), 222.

339
Bab III

waris dan ayat wasiat. Firman Allah: (


) dianggap sebagai ayat waris, padahal ayat tersebut
adalah ayat wasiat, karena nashb adalah bagian manusia
dalam wasiat, sementara hadl adalah apa yang diterimanya
dalam waris.
4. Tidak membedakan antara keadilan umum yang terdapat
dalam ayat waris dan keadilan khusus dalam ayat wasiat, di
mana yang umum tidak boleh menutupi yang khusus.353
Syahrr merasa tidak sependapat terhadap pendapat
mayoritas ulama yang menomor duakan posisi wasiat setelah
waris mengingat banyaknya penggunaan kata wasiat daripada
waris dalam al-Quran. Artinya wasiat harus lebih diutamakan
daripada waris, karena wasiat berisi keadilan khusus dalam
pembagian harta warisan yang harus diprioritaskan daripada
keadilan umum yang terdapat dalam ayat waris. Ketentuan wasiat
inilah yang lebih bisa merealisasikan keadilan dalam pembagian
warisan di masyarakat atau keluarga tertentu, mengingat setiap
keluarga atau masyarakat memiliki relasi dan tanggung jawab
dalam keluarga yang berbeda antara keluarga atau masyarakat
satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, perilaku masyarakat atau keluarga untuk
melakukan pembagian warisan dengan menggunakan institusi
hibah atau wasiat merupakan didorong oleh motif alamiah dalam
rangka menegakkan keadilan dalam pembagian harta warisan
yang disesuaikan dengan relasi dan tunggung jawab masing-
masing individu dalam keluarga dan masyarakat yang tentunya

353
Ibid, 222-223.

340
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

memiliki perbedaan antara keluarga atau masyarakat satu dengan


yang lainnya.
C. Hibah dan Wasiat Perspektif Putusan Pengadilan dan KHI
1. Hibah dan Wasiat Perspektif KHI
Hukum materiil yang digunakan Pengadilan dalam
memutuskan perkara yang menjadi kompetensi absolutnya adalah
Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI yang diberlakukan berdasarkan
Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 ini kedudukannya sangat lemah
dalam tata hukum Indonesia karena tidak termasuk sebagai
sumber hukum dan tidak ada dalam urutan perundang-undangan
di Indonesia. Faktor-faktor yang memperkuat pemberlakuan KHI di
Indonesia adalah: a) KHI merupakan kesepakatan ulama nusantara
yang disimpulkan dari 38 buku fikih.354 Dan b) Keputusan Menteri
Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang
memerintahkan kepada suluruh instansi Departemen Agama dan
instansi pemerintah terkait untuk menyebarluaskan KHI dan
menerapkannya.
Ketentuan wasiat diatur dalam KHI dalam Buku II, Hukum
Kewarisan Bab V Wasiat pasal 194-209. Dalam ketentuan wasiat ini
telah diatur beberapa rukun wasiat yang terdiri dari shghat (jb
dan qabl), pewasiat (mshin), penerima wasiat (msha lah), dan
barang yang diwasiatkan (msha bih),355 bagaimana melakukan
wasiat, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap masing-
masing rukun wasiat tersebut. Ketentuan-ketentuan ini tersebar
dalam berbagai pasal dan disesuaikan dengan kaidah-kaidah
hukum yang kredibel dalam rangka menjaga validitas wasiat.

354
Lihat Ahmad Imam Mawardi, Socio-Political Background of the Enacment of
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Tesis, McGill University, Montreal, 1998, 16
355
Wuzrah al-Auqf, al-Mausah, Vol. 43, 226

341
Bab III

Dalam makalah ini, penulis akan mengkritisi pasal-pasal


yang terdapat dalam KHI yang mengatur masalah wasiat.
a. Tentang cara berwasiat yang dalam pasal 195 (1) , pasal 196
dan pasal 199 di mana dalam ketiga pasal tersebut diatur
mengenai cara berwasiat dan pencabutan wasiat yang hanya
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lisan di hadapan dua
orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau
notaries. Ketentuan ini menurut penulis tidak mengakomodir
mereka yang tidak bisa bicara dan tidak bisa menulis sekaligus.
Oleh karena itu, perlu diatur mengenai cara berwasiat bagi
mereka yang memiliki kelemahan tersebut.
b. Tentang wasiat kepada ahli waris hanya berlaku apabila
disetujui oleh semua ahli waris yang diatur dalam pasal 195 (3).
Dalam masalah ini, menurut penulis ada beberapa
permasalahan, yaitu: a) pewaris sebagai pemilik harta
seharusnya memiliki kekuasaan penuh terhadap harta yang
dimilikinya, b) meminta persetujuan kepada semua ahli waris
merupakan sesuatu yang tidak mudah, khususnya dalam
keluarga yang tingkat ketaatan terhadap orang tua rendah,
dan c) keadilan dalam pembagian wasiat tidak ditentukan
dengan persamaan kuantitas, tetapi lebih ditentukan dengan
jasa, relasi, dan tanggung jawab yang dipikul seseorang.
Mereka yang memiliki jasa, relasi, dan tanggung jawab yang
lebih besar dalam keluarga, layak mendapatkan bagian yang
lebih banyak daripada yang lain dan hal ini hanya bisa
dilakukan melalui hibah atau wasiat. Oleh karena itu, penulis
mengusulkan untuk memilah-milah mengenai harta yang
diwasiatkan, apabila harta tersebut merupakan harta pusaka,
maka ketentuan pembagiannya berdasarkan hukum waris
Islam, namun apabila harta tersebut merupakan hasil
usahanya, maka pemilik harta tersebut memiliki kebebasan

342
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

penuh dalam men-tasharruf-kan hartanya, meskipun tanpa


persetujuan ahli waris.
c. Tentang wasiat pembagian harta kepada ahli waris. Wasiat
seperti ini sering dilakukan oleh masyarakat, sehingga perlu
ada pengaturan mengenai kebolehannya. Penulis
mengusulkan untuk memberikan kebolehan terhadap wasiat
seperti ini dengan syarat sebagian besar ahli waris setuju
dengan wasiat orang tuanya, khususnya wasiat terhadap harta
yang merupakan hasil usahanya.
Sedangkan ketentuan hibah diatur dalam buku II dan bab
V Wasiat pasal 210-214. Dalam pasal-pasal tersebut telah diatur
mengenai rukun hibah, yaitu pemberi hibah (whib), barang yang
dihibahkan (mauhb), dan penerima hibah (mauhb lah), namun
pembahasannya terlalu singkat. Ada beberapa hal yang diusulkan
penulis mengenai ketentuan hibah ini:
a. Tata cara hibah hendaknya disamakan dengan tata cara
melakukan wasiat dengan mengakomodir orang-orang yang
tidak bisa menulis dan tidak bisa berbicara.
b. Hibah kepada anak harus adil, artinya tidak membedakan
kuantitas barang yang dihibahkan antara anak laki-laki dan
anak perempuan.
c. Mengenai hibah yang dilakukan ketika sakit keras (pasal 213)
diperlakukan sebagai wasiat, artinya tidak perlu meminta
persetujuan ahli waris, kecuali hibah kepada orang lain yang
melebihi sepertiga.
2. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Peradilan Agama
Praktik peradilan agama dalam hal ini adalah bagaimana
hakim memutuskan perkara-perkara yang merupakan
kompetensinya, khususnya perkara hibah dan wasiat. Dalam

343
Bab III

memutuskan perkara hibah dan wasiat, hakim berpedoman


kepada hukum materiil peradilan agama, KHI dan apabila tidak ada
dengan menggali hukum yang hidup di masyarakat (living law)
mengenai perkara hibah dan wasiat.
Berdasarkan data jenis perkara yang masuk pada tahun
2009 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,
termasuk Mahkamah Syariyyah dan Mahkamah Syariyyah
Propinsi yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI
menyebutkan bahwa dari total jumlah perkara yang masuk,
257,798 perkara, jumlah perkara wasiat ada 4 perkara (0,002%) dan
jumlah perkara hibah 45 perkara (0,017%).356 Meskipun jumlah
perkara tersebut relatif sedikit dibandingkan dengan perkara
perceraian, bukan berarti masyarakat tidak mempraktikkan wasiat
dan hibah dalam pembagian harta warisan, hanya saja praktik
wasiat dan hibah yang mereka lakukan tidak sampai menimbulkan
sengketa di antara mereka yang perlu mengajukan gugatan di
Pengadilan Agama.
Berdasarkan pengamatan Satria Efendi terhadap perkara-
perkara wasiat dan hibah yang masuk di Pengadilan Agama dalam
bukunya Problematika Hukum Keluarga Kontemporer357,
berdasarkan analisisnya banyak para hakim pengadilan Agama
yang tidak memahami sepenuhnya perkara hibah dan wasiat dari
sisi fiqihnya, sehingga berimplikasi kepada tidak terpenuhinya rasa
keadilan yang diharapkan oleh para penggugat atau para tergugat
sebagai pencari keadilan. Di samping itu, hukum materiil yang
digunakan juga ada yang mencampuradukkan antara BW dan
Hukum Islam, dan bahkan lebih cenderung kepada BW.

356
http://www.badilag.net/index.php/statistik-perkara
357
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)

344
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di samping itu, menurut Satria ada kecenderungan hakim


dalam memutus perkara hanya berpedoman kepada teks-teks
hukum yang terdapat dalam pasal-pasal peraturan yang dijadikan
sumber hukum meteriil. Mereka kurang memperhatikan prinsip-
prinsip keadilan yang menjadi tujuan dalam proses beracara dan
penegakan hukum di pengadilan agama. Oleh karena itu, hakim
perlu lebih fokus kepada penegakan keadilan daripada hanya
fokus dan rigid kepada teks hukum karena teks hukum adalah
media untuk mencapai tujuan, yaitu menegakkan keadilan.
D. Penutup
Permasalahan pembagian harta warisan dengan
menggunakan institusi hibah dan wasiat sudah jamak terjadi di
masyarakat. Praktik pembagian ini tidak perlu dicegah, tetapi perlu
diatur sebaik mungkin agar praktik seperti itu tidak menimbulkan
efek-efek negatif dalam pelaksanaannya, sehingga pengaturannya
perlu disesuaikan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam
hukum Islam.
Dalam masalah pembagian harta warisan hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah: a) kebebasan pembuat wasiat dan
pemberi hibah dalam mendistribusikan harta yang dimilikinya, b)
harta warisan tersebut harus diperuntukkan untuk sebesar-besar
kemakmuran anak-anaknya, c) wasiat dan hibah merupakan
keadilan khusus yang harus didahulukan daripada keadilan umum
yang terdapat dalam hukum kewarisan (lex spesialis derogate lex
generalis), d) perlu ada pemilahan antara harta pusakan yang
diwariskan secara turun-temurun dengan harta hasil usaha, di
mana untuk harta pusaka para ahli waris yang berhak, sementara
harta hasil usaha, pemilik harta yang berkuasa penuh.

345
Bab III

Daftar Pustaka
Ab Dwud Sulaimn al-Sijistn al-Azd, Sunan Ab Dwud, Vol. 3
(Beirut: Dr Ibn Hazm, 1997)
al-Baihaq, Ab Bakar ibn Ali, al-Sunan al-Kubr, Vol. 6, (Beirut: Dr
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002)
al-Bukhr, Ab Abdullh Muhammad ibn Isml, al-Jmi al-
Shahh, Vol. 2 (Cairo: al-Mathbaah al-Salafiyyah, 1403H.)
al-Druquthn, Ali ibn Umar, Sunan al-Druqutn Vol. 3, (Beirut:
Muassasah al-Rislah, 2004)
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: CV.
Penerbit Jumanatul Ali Art, 2007)
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith
(Jakarta: Tintamas, 1976)
Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br bi Syarh Shahh al-Bukhr, Vol. 6,
(Riydl: Dr al-Thaibah, 2005)
Ibn Mjah, Ab Abdullh Muhammad ibn Yazd al-Qazwn al-
Syahr, Sunan Ibn Mjah (Riydl: Maktabah al-Marif,
1417H.)
Mandhr, Ibn, Lisn al-Arab (Kairo: Dr al-Marif, t.th.)
Mawardi, Ahmad Imam, Socio-Political Background of the
Enacment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Tesis,
McGill University, Montreal, 1998
Muslim, Ab al-Husain ibn al-Hajjj al-Qusyair al-Naisbr, Shahh
Muslim (Riydl: Dr Thaibah, 2006)
Powers, David S., Studies in Quran and Hadith: The Formation of the
Islamic Law of Inheritance (London: University of California
Press, 1986)

346
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris


(Bandung: Penerbit Alumni, 1993)
Syahrr, Muhammad, Nahwa Ushl Jaddah li al-Fiqh al-Islm: Fiqh
al-Marah (al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwmah, al-
Taadudiyyah, al-Libs) (Damaskus: al-Ahl, 2000)
Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, al-Mausah al-
Fiqhiyyah, (Kuwait: Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-
Islmiyyah, 2004)
www.badilag.net/index.php/statistik-perkara
al-Zuhail, Wahbah, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, ( Damaskus: Dr
al-Fikr, 1985)
Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan
Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)

347
Bab III

348
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

GHARRAWAIN DAN MUSYARAKAH


Humaidi Hamid

Latar Belakang
Topik gharrawain dan musyarrakah yang diberikan kepada
penulis merupakan dua topik di antara beberapa topik yang
disumbangkan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam bidang fiqh
mawaris. Kedua topik ini merupakan bentuk-bentuk ijtihad yang
ditawarkan oleh umar yang menyimpang dari dzahir nash
al-Qur'an sebagaimana dipegangi jumhur ulama. Kedua topik ini
nantinya akan menunjukkan kepada kita bagaimana aya-ayat
al-Qur'an yang tergolong mufassar (rinci), seharusnya tidak
menerima ijtihad, dalam penerapannya ternyata menerima
ijtihad. Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan
dipandang memenuhi rasa keadilan oleh mayoritas ulama.
Masalah Gharrawain
Masalah gharrawain adalah dua macam kasus kewarisan
yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan bapak dan (2)
istri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut gharrawain, bentuk
tatsniyah (ganda) dari kata gharra (cemerlang) karena dua
masalah ini sangat populer bagaikan bintang yang cemerlang.358
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa gharrawain berasal dari
mashdar garrar (tipuan). Karena dalam masalah tersebut terjadi
penipuan kepada ibu. Sekalipun ibu disebut mendapatkan
sepertiga, sebenarnya ibu hanya diberi bagian seperenam atau
seperempat.

358
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet IV (Damaskus: Dar al-
Fikkr, 2004), X: 7788.

349
Bab III

Penyebutan sepertiga hanya sebagai penghormatan


terhadap Al-Qur'an yang menyebutkan demikian. Kedua masalah
ini sering juga disebut umariyatain, karena yang mula-mula
memutuskan cara penyelesaian kedua kasus ini adalah Khalifah
Umar bin Khattab dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti
oleh jumhur ulama. 359
Kasus pertama terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami,
ibu, dan ayah. Berdasarkan petunjuk Al-Qur'ah Surah An-Nisa': 11-
12 yang sudah jelas, suami menerima 1/2 karena pewaris tidak
meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena pewaris tidak
meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam kasus ini ayah
sebagai ashabah karena pewaris tidak meninggalkan anak. Kasus
ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Suami : 1/2 x 6 = 3 ---3/6
Ibu : 1/3 x 6 = 2 ---2/6
Ayah :A = 1 ---1/6
Cara penyelesaian seperti di atas berdasarkan petunjuk Al-
Qur'an dan sunnah dan tidak ada masalah dalam penyelesaiannya.
Akan tetapi saat dilakukan perbandingan antara bagian yang
diterima ayah dan ibu, dirasakan adanya kejanggalan, yaitu ibu
menerima bagian dua kali lipat dari bagian yang diterima ayah.
Padahal ketika ahli warisnya hanya terdiri dari ibu dan ayah, ibu
mendapatkan 1/3 dan ayah sebagai ashabah mendapatkan
sisanya, yaitu 2/3, bagian ayah dua kali bagian ibu. Untuk
mengatasi masalah ini, Umar memahami bagian ibu yang 1/3
bukan dari dari keseluruhan harta, tetapi dari sisa harta setelah
diberikan kepada suami. Penyelesaian Umar ini dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

359
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 238.

350
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Suami : 1/2 x6 = 3---3/6


Ibu : 1/3 x (6-3) = 1---1/6
Ayah :A = 2---2/6
Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri
dari ayah dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya
saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 1/6. Alasan yang
dikemukan untuk mentakwil 1/3 bagian ibu menjadi 1/3 sisa
adalah untuk menghindari lebih besarnya hak ibu ketimbang hak
ayah. Ibnu Qudamah menyatakan tidak diperbolehkannya hak ibu
melebihi hak ayah. Di samping itu mereka memperkuat alasan ini
dengan pernyataan Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Sofyan
ats-Tsauri: "Allah tidak memperlihatkan kepada saya kelebihan ibu
daripada ayah.360
Kasus kedua terdiri dari istri, ibu, dan ayah. Berdasarkan
petunjuk Al-Qur'an dan sunnah, maka istri menerima 1/4 karena
pewaris tidak meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena
pewaris tidak meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam
kasus ini ayah sebagai ashabah karena pewaris tidak
meninggalkan anak. Kasus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Istri : 1/4 x 12 = 3 ---3/12
Ibu : 1/3 x 12 = 4 ---4/12
Ayah :A = 5 ---5/12
Kasus kedua, ini sebenarnya berbeda dengan kasus
pertama sebab bagian ayah sebagai ashabah 5/12 lebih besar dari
bagian ibu 4/12. Sungguhpun demikian, hal ini masih dianggap
ganjil oleh beberapa sahabat karena seharusnya bagian ibu
setengah dari bagian ayah sebagaimana ketika hanya mereka

360
Ali ibnu Hazm az-Zahiri, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.), IX: 260.

351
Bab III

berdua yang mewarisi. Karenanya Umar juga menyelesaikan kasus


ini sebagaimana kasus pertama, ibu diberi bagian 1/3 sisa harta
warisan setelah diberikan kepada istri. Penyelesaian Umar yang
kedua ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Istri : 1/4 x 12 = 3 ---3/12
Ibu : 1/3 x (12-3) = 3 ---3/12
Ayah :A = 6 ---6/12
Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari ayah
dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya saja bagian
ibu berubah dari 1/3 menjadi 3/12 atau 1/4.
Penyelasaian dua kasus yang dikemukakan oleh Umar ini
didukung oleh para sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Usman bin
Affan, Ibnu Mas'ud, dan juga menurut suatu riwayat juga didukung
oleh Ali bin Abu Thalib. Jumhur ulama, antara lain mazhab
Hanafi,361 mazhab Maliki,362 mazhab Syafii363 dan mazhab
Hanbali364 juga mengikutinya. Jumhur ulama mentakwil lafal Al-
Qur'an:


Dalam arti ibu mendapatkan 1/3 harta warisan yang
berhak diwarisi oleh kedua orang tua pewaris, bukan 1/3 semua
harta.

361
Muhammad as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Marifah, 1406 H), XXIX:
144.
362
Ahmad ad-Dardiri, asy-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 461.
363
Muhyiddin, al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), XVI: 72
364
Abdullah ibnu Qudamah, al-Mughni ((Beirut: Dar al-Fikr, 1405), VI: 171-2.

352
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sebab kalau dimaknai 1/3 harta, kalimat:


Menjadi tidak berguna. Dengan demikian, perbandingan
bagian yang diterima ayah dan ibu konsisten, 2 : 1, sesuai dengan
prinsip:

.
Bagian laki-laki sama dengan dua orang perempuan.365
Ibnu Abbas merupakan salah seorang sahabat yang tidak
menyetujui dua keputusan Umar tersebut. Menurutnya, ibu dalam
dua kasus tetap mendapatkan 1/3 dari keseluruhan harta warisan.
Argumentasi yang beliau kemukakan sebagai berikut:
1. Kalimat di-athaf-kan kepada sebagaimana
juga diathafkan kepadanya, sehingga berarti .
Dengan demikian kalimat berarti .

2. Seluruh macam bagian yang disebutkan di dalam al-Qur'an itu


semuanya disandarkan pada pokok harta peninggalan yang
siap dibagi. Misalnya bagian 1/2 artinya 1/2 harta peninggalan,
bagian 1/4 artinya 1/4 harta peninggalan dan seterusnya
setelah dilakasanakan wasiat dan dilunansi hutang si mayit.
Karena bagian ibu 1/3 sisa peninggalan tidak ditunjuk oleh
nash, maka harus diartikan dengan 1/3 seluruh harta
peninggalan yang siap dibagi.

365
Wahbah, al-Fiqh al-Islami, X: 7788.

353
Bab III

3. Ibu itu ahli waris dzawil furudl sedangkan ayah ahli waris
ashabah (dalam masalah tersebut. Maka sesuai petunjuk Nabi
Muhammad SAW:


Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Sisanya
untuk laki-laki yang paling utama. (al-Bukhari:6351366; Muslim:
1615367)
Hendaknya ibu diberi bagiannya secara sempurna,
kemudian sisanya, sedikit atau banyak, diberikan kepada ayah.368
Ibnu Abbas tidak sendirian di kalangan sahabat. Ali bin Abi
Thalib menurut riwayat yang shahih yang diterima oleh Ibnu
Hazm, juga sependapat dengan Ibnu Abbas. Riwayat yang
menyatakan Ali setuju dengan pendapat Umar, menurut Ibnu
Hazm tidak shahih.
Di kalangan ulama mazhab sunni yang mendukung
pendapat Ibnu Abbas adalah Mazhab az-Zahiri. Mazhab az-Zahiri
beralasan karena Allah telah menetapkan bagian ibu 1/3 dan tidak
menurunkannya menjadi 1/6 kecuali kalau bersama dengan anak
atau saudara-saudara si mayit. Karena itu tidak boleh merubah
ketentuan tersebut kecuali ada sunnah yang diyakini
kevalidannya, padahal tidak ada sunnah maupun ijmak yang
merubahnya. Bagi az-Zahiri, ketika ibu bersama ayah dan
suami/istri, ia berhak mendapatkan 1/3 harta warisan, bukan 1/3
harta sisa suami/istri.

Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet III, (Beirut: Dar ibn
366

Katsir al-Yamamah, 1987), VI: 2476.


367
Muslim ibn al-Hajjaj an-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-
Arabi, t.t.), III: 1233.
368
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 240.

354
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad ibn Sirin berpendapat bahwa ketika ahli waris


terdiri dari suami, ibu, dan ayah, maka bagian suami 1/2, ibu 1/3
sisa suami, dan sisanya untuk ayah. Sedangkan ketika ahli warisnya
terdiri dari istri, ibu, dan ayah maka bagian istri 1/4, ibu 1/3 seluruh
harta warisan, dan ayah sisanya. Pada kasus pertama Ibnu Sirin
mengikuti pendapat Jumhur karena dia tidak rela kalau ibu
mendapatkan bagian yang lebih besar daripada bagian ayah.
Pada kasus kedua, Ibnu Sirin berbeda dengan Jumhur,
sama dengan Ibnu Abbas karena bagian ibu lebih rendah dari
bagian dari suami, maka tak perlu mentakwil ayat. Baginya bagian
ibu tidak harus setengah bagian ayah, yang penting tidak melebihi
bagian ayah. Menurut Ibnu Hazm, pendapat Ibnu Sirin yang
pertama salah, sedangkan pendapat yang kedua benar. Sebab
Ibnu Sirin membedakan dua kasus padahal ayat yang
menetapkannhya satu.
Ibnu Hazm menolak argumen yang berdasarkan
pernyataan Ibnu Mas'ud: "Allah tidak memperlihatkan kepada saya
kelebihan ibu daripada ayah." Pertama pernyataan Ibnu Mas'ud
bukan sunnah sehingga bukan hujjah. Di sisi lain terdapat sunnah
yang shahih menunjukkan keutamaan ibu daripada ayah. Hadits
tersebut yaitu tentang seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW:
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan
kebaikan pengkhidmatan (shuhbah)nya? Rasulullah menjawab
sampai 3x: "ibumu." Pada kali keempat beliau baru menjawab:
"ayahmu." Hadits ini menunjukkan keutamaan ibu dari ayah.
Di sisi lain Allah telah menyamakan bagian ibu dengan
bagian ayah ketika si pewaris meninggalkan anak sehinngga
bagian ibu dan ayah masing-masing 1/6. Ibnu Hazm juga
mengkritik argumen bahwa bagian laki-laki harus lebih besar dari
bagian perempuan. Sebab yang berpendapat demikian tidak
konsisten. Misalnya ketika ibu mewarisi bersama dengan kakek

355
Bab III

dan suami, mereka menetapkan bagian ibu 1/3 harta warisan,


suami 1/2, dan kakek sisanya, yakni 1/6.
Ketika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 saudara kandung,
dan 1 saudari seibu mereka menetapkan bagian saudari seibu 1/6
dan dua saudara kandung mendapatkan 1/6 yang berarti masing-
masing mendapatkan bagian 1/12. Ketika ahli waris terdiri dari
suami, 1 saudari kandung, dan 1 saudara seayah, mereka
menetapkan suami mendapatkan 1/2, 1 saudari kandung
mendapatkan 1/2, dan 1 saudara seayah tidak mendapatkan apa-
apa. Tetapi ketika posisi saudara seayah diduduki saudari seayah,
maka saudari seayah diberi 1/6 sehingga kasusnya di'aul-kan. Ibnu
Hazm heran, mereka tidak mengingkari keutamaan perempuan
terhadap laki-laki dalam kasus-kasus tersebut kemudian menolak
keutamaan ibu terhadap ayah dalam kasus yang telah ditetapkan
Allah.369
Menurut Amir Syarifuddin, penetapan bagian ibu 1/3 sisa
ketika bersama-sama dengan ayah dan suami/istri menunjukkan
adanya pengaruh adat Jahiliyah dalam diri sebagian besar
mujtahid yang disebutkan di atas. Ibnu Abbas yang diikuti oleh
ulama Zahiri yang bersikukuh untuk memahami ayat-ayat Al-
Qur'an menurut zahirnya tidak menghiraukan pengaruh adat lama
yang mungkin masih ada. Menurut Amir Syarifuddin, kedua kasus
sebenarnya bukan masalah dalam arti sebenarnya. Yang terjadi
sebenarnya benturan antara tuntutan menjalankan ketentuan Al-
Qur'an menurut zahirnya dengan prinsip yang diwarnai adat
jahiliyah dalam menempatkan hak perempuan. Ibnu Abbas
mengambil yang pertama dan Jumhur ulama mengambil yang
kedua.370

369
Ibnu Hazm, al-Muhalla, IX: 260-262.
370
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 112-
3.

356
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pendapat senada dinyatakan oleh Sajuti Thalib.


Menurutnya pemberian bagian 1/3 sisa kepada ibu merupakan
pembagian warisan patrinial. Menurut kewarisan bilateral, bagian
1/3 untuk ibu dalam Q.S. An-Nisa' : 12 adalah 1/3 harta
peninggalan. Hal ini didasarkan atas alasan dengan menggunakan
ilmu statistik.
Q.S. An-Nisa' : 11 menetapkan bagian: 2/3, 1/2, 1/6, 1/3, dan
1/6.
Q.S. An-Nisa' : 12 menetapkan bagian: 1/2, 1/4, 1/4, 1/8, 1/6,
dan 1/3.
Q.S. An-Nisa' : 176 menetapkan bagian: 1/2 dan 1/3.
Di sana terlihat 13 angka pecahan penunjuk perolehan
masing-masing ahli waris, 12 di antaranya disepakati angka
perolehan itu diambil dari harta peninggalan. Jadi, 2/3 HP, 1/2 HP,
1/6 HP, dan seterusnya. Dengan demikian, tentunya 1/3 pada Q.S.
An-Nisa' : 12 juga berarti 1/3 HP. Jika Allah menghendaki lain
tentunya akan dirumuskan lain pengecualian itu. Maha benar Allah
dengan segala firman-Nya.371
Penulis sendiri setuju dengan pendapat Ibnu Abbas.
Penulis memiki alasan lain, disamping penulis setuju dengan
alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan para
pendudukungnya. Ibu adalah ahli waris dzawil furudh saja. Ibu
tidak berubah menjadi ashabah bil gair ketika bersama dengan
ayah. Kalaupun ibu mendapatkan setengah dari bagian ayah
ketika hanya mereka yang menjadi ahli waris, yakni ibu 1/3 dan
ayah sisanya 2/3, bukan karena perbandingan bagian laki-laki dan
bagian perempuan 2:1, tapi karena kebetulan. Ibu mendapatkan

371
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia,cet. iv (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), 138.

357
Bab III

1/3 sebagai dzawil furudl, dan ayah sebagai ashabah, kebetulan


sisanya 2/3. Seandainya prinsip 2:1 antara laki-laki dan perepuan
berlaku bagi ayah dan ibu, seharusnya berlaku pada semua
kondisi. Kenyataannya ketika ahli warisnya terdiri dari ibu, ayah,
dan anak prinsip 2:1 tidak berlaku terhadap ayah dan ibu. Prinsip
2:1 ditetapkan Al-Qur'an hanya kepada anak laki-laki bersama
dengan anak perempuan dan saudara bersama dengan saudari.
Oleh Jumhur ulama ditafsirkan saudara kandung bersama dengan
saudari kandung atau saudara seayah bersama dengan saudari
seayah.
Prinsip 2:1 berlaku konsisten terhadap anak laki-laki
bersama dengan anak perempuan, baik mereka sendiri ahli
warisnya atau bersama dengan ahli waris lain. Hal yang sama juga
berlaku terhadap saudara bersama dengan saudari selama mereka
tidak mahjub. Jika prinsip 2:1 ini diberlakukan secara konsisten
pada ayah dan ibu ketika bersama dengan suami/istri berarti telah
menempatkan ibu sebagai ashabah bil gair ketika bersama dengan
ayah. Ini menurut penulis menempatkan ibu bukan pada
tempatnya.
Pendapat Umar yang diikuti jumhur ulama ini sampai kini
masih pendapat mayoritas. Pendapat jumhur ini pula yang
akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawaris (Kitab Undang-
Undang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada Pasal
14, serta UU Kewarisan Suriah pasal 14,372 dan juga ke dalam Buku
Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 178
ayat (2).
Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Waris Mesir
menetapkan: .....Hanya saja bila ia (ibu) berkumpul dengan salah

372
Wahbah, al-Fiqh al-Islami , X: 7789.

358
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

seorang suami istri dan ayah saja, baginya sepertiga sisa setelah
fardh suami (istri)....
Pasal 178 (2) KHI menetapkan: Ibu mendapatkan sepertiga
bagian sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-
sama dengan ayah.
Penulis juga menemukan putusan Pengadilan Tinggi
Agama Palembang Nomor 03/Pdt,G/2008/PTA.Plg yang mengikuti
pendapat Umar. Dalam pertimbangannya majelis hakim
menyatakan, bahwa dikalangan Faradhiyun atau Fuqaha Sunni
yang disepakati oleh Imam empat, kelompok Sunni menetapkan
hak bagian ibu adalah dari sisa bukan dari saham bila ibu
bersama dengan suami atau istri beserta bapak, masalah ini
disebut Gharrawain atau Al- Umariyatain, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 174 ayat (2) Kompilasi Hukum islam, sebab secara
teoritis dalam kasus diatas bila ibu diberi hak bagian saham/
fard, maka bagian ayah sebagai Ashobah bagiannya sangat kecil
hampir sama dengan bagian ibu atau lebih kecil.
Padahal seharusnya (yang adil) bagian ayah lebih besar
dari bagian ibu, sesuai prioritas keadilan bagi kedudukan ayah
yang dianggap lebih tinggi dari ibu. Kemudian dalam salah satu
keputusannya majelis hakim menetapkan hak bagian ahli waris
setelah dikeluarkan untruk anak angkat dengan Wasiat wajibah
sebagai berikut: Janda mendapat = 3/12 ; ibu mendapatkan
sepertiga sisa x = 3/12; Ayah mendapat ushubah 6/12.
Penyelesain Umar dalam kasus garrawain ini juga banyak
diajarkan di masyarakat. Buku-buku fiqh mawaris yang diajarkan di
Indonesia umumnya mendukung pendapat Umar yang diikuti
jumhur ulama dalam kasus garrawain. Sungguhpun demikian,
penulis menyarankan untuk memilih pendapat Ibnu Abbas dalam
masalah ini. Sebab pendapat Ibnu Abbas lebih sesuai dengan zahir
ayat dan masyarakat bilateral yang mayoritas di Indonesia.

359
Bab III

Penyelesaian Umar cocok untuk masyarakat patrilinial seperti di


Timur Tengah.
Masalah Musyarrakah
Menurut ketentuan, ahli waris ashabah tidak diberi warisan
sebelum ahli waris dzawil furudl mendapatkan bagiannya masing-
masing, berdasarkan hadits tentang ashabah di atas. Akan tetapi
terkadang saudara kandung sebagai ashabah digabung dengan
saudara/i seibu sebagai dzawil furudl dalam kasus tertentu.
Masalah seperti ini disebut masalah musayarrakah.
Masalah musyarrakah terjadi ketika saudara kandung yang
diposisikan sebagai ashabah tidak mendapatkan warisan karena
harta warisan telah habis dibagikan kepada semua ahli waris
dzawil furudl, di antaranya terdapat saudara/i seibu. Musyarrakah
tidak akan terjadi jika masih ada sisa harta yang dapat diberikan
pada ashabah.
Masalah musyarrakah dapat terjadi jika ahli warisnya terdiri
dari suami yang mendapatkan ketika pewaris tidak
meninggalkan anak atau cucu, pemilik bagian 1/6 yaitu ibu atau
nenek, dua saudara/i seibu atau lebih yang mendapatkan 1/3, dan
saudara kandung saja atau bersama saudari kandung kandung.
Jika sandara/i seibu hanya seorang tidak terjadi musyarrakah
karena masih tersisa 1/6 harta warisan. Jika saudari kandung
sendirian atau lebih tanpa saudara kandung maka akan
mendapatkan bagian tertentu yaitu atau 2/3 sehingga
masalahnya akan diaul-kan. Demikan pula jika kedudukan suami
digantikan istri tidak akan terjadi musyarrakah karena masih ada
sisa harta.373

373
Muhammad Mustafa Syalabi, Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-Qanun,
(Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978), h. 168.

360
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Masalah ini dapat diilustarasikan misalnya ahli waris terdiri


dari suami, ibu (atau nenek), 2 saudara seibu, dan 2 saudara
kandung. Sesuai ketentuan, suami mendapatkan 1/2 karena
pewaris tidak meninggalkan anak, ibu mendapatkan 1/6 karena
bersama beberapa saudara, 2 saudara seibu mendapatkan 1/3
karena lebih dari satu, 2 saudara kandung sebagai ashabah.
Penyelesaiannya sebagai berikut:
Suami : 1/2 x 6 =3
Ibu : 1/6 x 6 =1
2 sdr seibu : 1/3 x 6 =2
2 sdr kandung :A =0
Dari segi pembagian warisan sebenarnya tidak ada
masalah. Masalahnya di sini terdapat keganjilan. Keganjilannya, 2
saudara seibu yang diikat dengan pewaris hanya melalui satu jalur
ibu mendapatkan warisan sementara saudara kandung yang
diikat dengan dua jalur, yakni jalur ayah dan ibu, tidak
mendapatkan warisan. Kasus seperti ini nampaknya tidak terjadi
pada masa Nabi SAW dan Khalifah Abu Bakar, baru terjadi pada
masa Khalifah Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab mendapatkan laporan kasus ini dua kali.
Pada kasus pertama Umar menyelesaikan apa adanya seperti
ilustrasi di atas. Kemudian masalah itu diajukan kepadanya sekali
lagi. Di antara mereka ada yang pintar berdebat dan berkata:
"Amirul Mukminin, anggaplah ayah kami itu keledai (himar),
bukankah kami dengan saudara seibu berasal dari satu ibu?"
Argumen ini diterima oleh Umar kemudian beliau memutuskan
agas semua saudara/i bersekutu mendapatkan 1/3 itu, bagi rata
tanpa mempertimbangkan jenis kelamin. Keputusan Umar ini

361
Bab III

didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat. Pendapat


ini diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah.374
Kasus ini dinamakan musyarrakah karena saudara
kandung dipersekutukan dengan saudara-saudara seibu dalam
mendapatkan 1/3 warisan. Kasus ini juga diberi nama musytarakah
dalam arti 1/3 yang dipersekutukan. Kasus ini juga diberi nama
hajariyah karena sebagian saudara kandung mengatakan:
"Anggaplah ayah kami hajar (batu)"; dan himariyah karena
sebagian saudara mengatakan: "Anggaplah ayah kami himar
(keledai)."
Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu
Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi,
Mazhab Hanbali, tidak menggunakan teori musyarrakah. Mereka
memberi suami 1/2, ibu 1/6, saudara-saudara seibu 1/3, dan 2
saudara kandung tidak diberi warisan karena harta warisan telah
habis diberikan kepada dzawil furudl. Jika saudara kandung
diikutkah dengan saudara seibu berarti manafikan kekerabatannya
malalui jalur ayah. Penafian kekerabatan melalui jalur syariah tidak
sesuai dengan realitas syari. Perubahan saudara kandung dari
ashabah menjadi dzawil furudl berarti perubahan dari status yang
kuat ke status yang lemah. Ini tidak baik secara syari. Karena itu
maka saudara seayah tidak digabung ketika tidak mendapatkan
sisa sedangkan saudara seibu mendapatkan bagian padahal
saudara sebapak lebih kuat dari saudara seibu. Saudara kandung
juga demikian.375 Mereka berhujjah dengan ayat 2 ayat kalalah:376

374
Ibid. h. 169;
375
Muhammad Abu Zahrah, Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris (Kairo: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1963), h. 119.
376
Kalalah adalah pewaris yang mewariskan harta kepada garis menyamping,
bukan pada orang tua atau anak keturunannya atau ahli yang mewarisi harta dari garis
menyamping, bukan dari orang tua atau anak keturunannya. Dia, menurut tafsir Abu Bakar

362
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia



Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaaan kalalah, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki
atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari
keduanya 1/6. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka
berserikat mendapat 1/3.
Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini, menurut kesepakatan
ulama klasik adalah saudara/i seibu.377


Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak . Tetapi jika saudara perempuan itu dua

yang diikuti sahabat-sahabat dan para ulama mazhab, adalah orang yang tidak punya anak
dan ayah. Lihat Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir att-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405
H), IV: 283; Ismail ibn Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), I: 461.
377
Tafsir ini berdasarkan qiraah syadzdzah Saad ibn Waqash dan juga tafsir Abu
Bakar. Lihat Tafsir Ibn Katsir, ibid.

363
Bab III

orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika
mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk
yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan...........
Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini menurut
kesepakatan ulama klasik adalah saudara kandung atau
sebapak.378 Saudara kandung/sebapak berdasarkan ayat ini
berkedudukan sebagai ashabah. Jika mereka digabung dengan
saudara seibu mendapatkan 1/3 maka kedudukannya akan
berubah menjadi dwawil furudl dan bertentangan dengan dzahir
ayat.
Seandainya kedudukan saudara kandung diisi oleh
saudara-saudara seayah, ulama klasik mengatakan bahwa mereka
sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa karena telah habis
diberikan kepada dzawil furudl dan tidak ada alasan untuk
digabungkan dengan saudara seibu karena mereka berasal dari
ibu yang berbeda.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, pendapat Umar dan
lain-lain lebih kuat dalilnya dan menyerupai dalil istihsan.
Sedangkan pendapat Ali dan kawan-kawan menyerupai qiyas.
Karena menurut qiyas zhahir anak-anak bapak tidak mendapatkan
apa-apa. Ini merupakan kesimpulan yang tidak baik dalam
pandangan manusia, juga dalam logika syari. Karena itu
diamalkan qiyas khafi, yaitu sifat yang dimiliki bersama oleh
saudara kandung dan saudara seibu dan mereka mewarisi sebagai
saudara seibu. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa saudara
kandung memiliki sifat sebagai saudara seibu.379

378
Ibid.
379
Ibid

364
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Penyelesaian senada dalam kasus musyarrakah dinyatakan


oleh Hazairin dengan alasan berbeda. Pertama, menurut Hazairin,
saudara dapat mewarisi jika dalam keadaan kalalah, yaitu pewaris
tidak meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan yang
diperluas pada tidak meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan
dari garis laki-laki maupun perempuan dengan kata lain pewaris
tidak meninggalkan keturunan sama sekali. Kedua, Hazairin tidak
membeda-bedakan saudara-saudara yang dimaksud dalam Q.S.
An-Nisa ayat 12 dan ayat 176. Menurut Hazairin, arti akhun,
ukhtun, dan ikhwatun adalah sama mencakup semua saudara,
kandung, seayah, dan seibu karena Al-Quran memang tidak
membeda-bedakan saudara berdasarkan pertalian ayah atau
ibu.380 Perbedaan bagian yang berhak diterima saudara pada
kedua ayat karena sebab lain.
Q.S. An-Nisa ayat 176 menurut Hazairin mengatur
kewarisan seseorang yang meninggal tidak berketurunan,
meninggalkan saudara, ayahnya telah meninggal terlebih dahulu,
ibu mungkin masih hidup atau telah meninggal juga.381 Dalam hal
ini maka bagian saudara/i:

380
Sajuti Thalib, pendukung Hazairin, menyatakan bahwa paham Sunni yang
memahami ayat 12 berlaku untuk saudara/I seibu dan ayat 176 berlaku untuk saudara/I
sekandung dan seayah sebagai paham yang ganjil. Sebab ayat 11 dan 12 turun pada tahun
IV H, sedangkan ayat 176 sebagai ayat terakhir tentang waris turun pada tahun V H, bahkan
ada yang mengatakan turun pada tahun V H. Menurutnya tidak wajar pengaturan hak
kewarisan saudara/I seibu setahun (bahkan ada yang mengatakan dua tahun) lebih dahulu
dari pengaturan hak kewarisan saudara kandung dan saudara seayah. Padahal masyarakat
Arab saat itu patrilinial, banyak poligami, sehingga saudara yang banyak tentunya saudara
sekandung atau seayah. Saudara seibu tentu jarang. Menurutnya iman sulit untuk
menerima kalau Allah yang maha bijaksana mengatur yang hampir tidak ada, saudara seibu,
jauh lebih dahulu dari hal yang umumnya terdapat dalam masyarakat, yaitu saudara
kandung dan saudara seayah. 380Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan, 146.
381
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith, cet VI
(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), h. 55-6.

365
Bab III

a. Seorang saudara perempuan mendapatkan dari harta


warisan.
b. Seorang atau lebih saudara laki-laki mewarisi harta
saudaranya yang meninggal (seluruh atau sisa dzawul faraidl),
sebagai dzawul-qarabah.382
c. Dua orang saudara perempuan atau lebih mewarisi 2/3 harta
warisan.
d. Jika saudara terdiri dari laki-laki dan perempuan maka
pembagiannya seorang saudara laki-laki mendapatkan bagian
dua kali bagian saudara perempuan.383
Q.S. An-Nisa ayat 12 menurut Hazairin antara lain
mengatur kewarisan seseorang yang meninggal tidak
berketurunan, tetapi meninggalkan saudara bersama ayah (jadi
mungkin ibu masih hidup atau sudah meninggl juga). Maka
saudara kedudukannya sebagai dzawul faraidl, ayah sebagai
dzawul-qarabah.384 Dalam hal ini bagian saudara sebagai berikut:
a. Seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan
masing-masing mendapatkan 1/6 harta warisan.
b. Beberapa saudara, laki-laki semua, perempuan semua, atau
campuran laki-laki dan perempuan, semuanya berbagi sama
rata terhadap 1/3 harta warisan.385

382
Dzawul-qarabahdalam istilah Hazairin adalah orang yang menerima sisa harta
dalam keadaan tertentu. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam:
Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 178.
383
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 8-9.
384
Ibid. 56
385
Ibid. 7.

366
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kasus musyarrakah di atas, jika mengacu pada teori


Hazairin di atas, bukan masalah. Penyelesaian kasus tersebut
menurut teori Hazairin, suami mendapatkan karena pewaris
tidak meninggalkan keturunan, ibu mendapatkan 1/6 karena
terdapat saudara, dan 4 saudara sebagai dzawul-qarabah.
Suami : 1/2 x 6 = 3 x 4 = 12
Ibu : 1/6 x 6 = 1 x 4 = 4
4 sdr : dz-q = 2 x 4 = 8 +
6 24
Jadi suami mendapatkan 3/6 atau 12/24, ibu mendapatkan
1/6 atau 4/24, dan masing-masing saudara kandung/seibu
mendapatkan 2/24. Penyelesaian kasus musyarrakah akan sama
dengan teori Hazairin jika semua saudara berjenis kelamin laki-laki.
Jika saudara seibu semuanya atau salah satunya perempuan atau
saudara-saudara kandung terdiri dari laki-laki dan perempuan,
hasilnya akan berbeda. Menurut pendapat Umar dengan teori
musyarrakah, bagian laki-laki dan perempuan sama. Sedangkan
menurut Hazairin, jika saudara-saudara terdiri dari laki-laki dan
perempuan, jika pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah
telah meninggal terlebih dahulu, maka pembagiannya 2:1.
Jika kedudukan saudara kandung diganti oleh saudara
seayah, menurut ulama klasik tidak terjadi musyarrakah. Saudara-
saudara seayah sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa
sedangkan saudara-saudara seibu mendapatkan warisan sebagai
dzawil furudl. Menurut teori Hazairin, saudara-saudara seayah tetap
mendapatkan warisan sebagai dzawil qarabah bersama-sama
dengan saudara-saudara seibu. Dalam hal ini teori Hazairin lebih
memenuhi rasa keadilan.

367
Bab III

Teori musyarrakah Umar diadopsi dalam Undang-undang


Kewarisan di Mesir dan Suriah.386 Kitab Undang-Undang Hukum
Waris Mesir Nomor 77 Tahun 1943 mencantumkan teori
musyarrakah dalam Pasal 10, yaitu:
Bagi anak-anak ibu fardhnya seperenam untuk seorang diri
dan sepertiga untuk dua orang atau lebih. Kelaki-lakian dan
keperempuanan mereka dalam pembagian adalah sama. Dalam
keadaan yang kedua (mendapat sepertiga), bila fardh-fardh dari
ashhabul-furudh telah menghabiskan harta peninggalan, anak-
anak ibu berserikat dengan saudara kandung dan saudara-saudara
kandung dengan menyendiri atau beserta seorang saudari
kandung atau lebih, dan sepertiga tersebut dibagi antar mereka
menurut ketentuan yang telah lalu.
KHI mengatur bagian yang berhak diterima saudara dalam
dua pasal. Pasal 181 mengatur bagian yang berhak diterima
saudara/i seibu. Saudara/i seibu berhak mendapatkan warisan jika
pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, yaitu seperenam jika
sendirian, sepertiga jika berdua atau lebih, laki-laki atau
perempuan sama saja bagi rata.
Pasal 182 mengatur bagian yang berhak diterima saudara/i
kandung atau seayah. Saudara kandung atau seayah berhak
mendapatkan warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan
ayah, jika sendirian dan 2/3 jika berdua atau lebih. Jika saudari
tersebut bersama dengan saudara kandung atau seayah, maka
bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Dari dua pasal di atas dapat dipahami bahwa KHI belum
mengatur kasus musyarrakah, beda dengan Kitab Undang-

386
Wahbah, al-Fiqh al-Islam , X: 7772.

368
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Undang Hukum Waris Mesir yang mengaturnya dalam pasal


tersendiri. A. Sukris Mawardi memahami penyelesaian kasus
musyarakah KHI dengan dua kemungkinan yakni menerima
konsep musyarrakah atau percampuran antara mereka dalam
segala jurusan tetapi membedakan antara laki-laki dan perempuan
2:1 di samping berlakunyua fard yang semestinya bagi masing-
masing mereka tanpa selalu harus berbagi sama. 387 Dengan kata
lain ika terjadi kasus musyarrakah penyelesaian kasusnya
diserahkan kepada hakim atau masyarakat yang akan
menyelesaikan apakah akan mengikuti teori musyarrakah Umar
yang didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat yang
kemudian diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah atau
mengikuti Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu
Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi,
Mazhab Hanbali, yang tidak menggunakan teori musyarrakah.
Penulis belum menemukan data lapangan apakah kasus
musyarrakah ini pernah terjadi di pengadilan atau masyarakat, dan
seandainya terjadi bagaimana pemecahannya, penulis lebih belum
menemukan data. Akan tetapi mengingat Muslim Indonesia
umumnya bermazhab syafii, kemungkinan teori musyarrakah
diikuti jika kasusnya terjadi, baik di pengadilan atau di masyarakat.
Pendapat Hazairin yang tidak membeda-bedakan saudara
apakah kandung, seayah, atau seibu, tapi hanya membedakan
apakah saudara bersama dengan ayah atau tidak seperti dijelaskan
di atas, layak dipertimbangkan dalam perumusan RUU Kewarisan
Islam Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Amir
Syarifuddin, sekalipun pendapat Hazairin tampak ganjil dalam

387
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 213.

369
Bab III

pandangan ulama terdahulu, tetap layak diperhatikan. Apalagi


kasus ini bersifat ijtihadi (boleh di-ijtihad-kan) dan masih berada
dalam tataran wacana.388 Jika teori Hazairin yang diikuti, maka
kasus musyarrakah tidak lagi menjadi masalah khusus, tapi
merupakan kasus biasa yang bisa dipecahkan secara menyeluruh
tanpa melanggar makna teks. Jika mengikuti pendapat Umar,
penyelesaian kasus sesuai dengan rasa keadilan, tetapi masih
dianggap melanggar dzahir teks sebagaimana faham ulama klasik
dan juga parsial.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalama
masalah gharrawain, peneliti memandang bahwa pendapat Ibnu
Abbas yang memberi ibu 1/3 harta warisan ketika ahli waris terdiri
dari ibu, ayah, dan suami/istri lebih sesuai dengan dzahir teks dan
lebih sesuai pula dengan kultur masyarakat Indonesia yang
mayoritas bilateral atau parental. Karena itu pendapat ini layak
dimasukkan dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Kewarisan.389
Sedangkan dalam kasus musyarrakah, penulis
memandang bahwa teori yang dikemukakan oleh Umar bin
Khattab lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kultur
masyarakat Indonesia. Lebih dari itu teori Hazairin yang tidak
membeda-bedakan saudara kandung, seayah, dan seibu juga
layak dipertimbangkan. Karena konsep tersebut sangat sesuai
dengan kultur mayoritas masyarakat Indonesia.

388
Amir. Hukum Kewarisan, 61.
389

370
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media,
2004.
Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep
Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Bukhari, Muhammad ibn Isma'il . Shahih al-Bukhari, cet III. Beirut:
Dar ibn Katsir al-Yamamah, 1987.
Dardiri,Ahmad . asy-Syarh al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t..
Dimasyqi, Ismail ibn Katsir. Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar al-Fikr, 1401
H
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal
Bimbingn Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama. Kompilasi Hukum Islam. 2002.
Fatchur Rahman. Ilmu Waris. cet. X. Bandung: Al-Ma'arif, t.t.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith.
cet VI. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982.
Muhammad Abu Zahrah. Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris. Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1963.
Muhyiddin. al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr,
1996.1 Qudamah, Abdullah ibnu. al-Mughni. Beirut: Dar al-
Fikr, 1405.
Nisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj . Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya at-
Turats al-Arabi, t.t.
Sarakhsi, Muhammad. al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Marifah, 1406 H.
Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

371
Bab III

Syalabi,Muhammad Mustafa. Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-


Qanun. Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978.
Thabari, Muhammad ibn Jarir. Tafsir att-Thabari. Beirut: Dar al-Fikr,
1405 H.
Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Indonesia. cet. Iv. Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
Zahiri, Ali ibnu Hazm . al-Muhalla. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.
Zuhaili , Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. cet IV. Damaskus:
Dar al-Fikkr, 2004.

372
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KEWARISAN KHUNTSA (KELAMIN GANDA),


MAFQUD (ORANG HILANG), ANAK DALAM
KANDUNGAN
Sri Hidayati

Latar Belakang
Aturan tentang kewarisan telah ditetapkan Allah melalui
firmanNya yang terdapat dalam al-Quran. Pada dasarnya
ketentuan Allah yang berkaitan dengan kewarisan tersebut jelas
maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan
penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun yang bersifat
merinci, disampaikan Rasulullah saw melalui haditsnya. Walaupun
demikian, penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran
dan pembahasan dikalangan para pakar hukum Islam yang
kemudian dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat
normative. Aturan tersebut kemudian ditulis dan diabadikan
dalam bentuk kitab fikih serta menjadi pedoman bagi umat
muslim dalam menyelesaikan permasalahannya yang berkenaan
dengan warisan.
Di Indonesia, aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi
hukum positif yang dipergunakan di Pengadilan Agama dalam
memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan
berkenaan dengan harta waris tersebut yang dituangkan dalam
Buku II Kompilasi Hukum Islam. Hanya saja materi hukum
kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut
masih perlu dilengkapi, diperbaiki, dan dikembangkan seiring
dengan temuan dan perkembangan baru dalam praktek di
pengadilan pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya.

373
Bab III

Masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda), mafqud


(orang hilang), anak dalam kandungan merupakan sebagian dari
banyak permasalahan lain yang belum diatur dalam KHI. Dalam
kitab-kitab fikih ketiga masalah tersebut termasuk dalam bahasan
miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai
dengan cara/jalan perkiraan. Untuk itu makalah ini berupaya
membahasnya dari perspektif fiqh, praktik di pengadilan dan di
masyarakat sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan
Kompilasi Hukum Islam tersebut.
Kewarisan Khuntsa
Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan manusia hanya
dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.390 Kedua alat
kelamin tersebut mempunyai urgensia yang tidak dapat diragukan
lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-
laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat
digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.
Dalam hal-hal tertentu hukum membedakan ketentuan
antara laki-laki dan perempuan, antara lain dalam hal pusaka
mempusakai dimana Allah SWT telah menjelaskan pusaka laki-laki
dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat mawarist, tetapi tidak
menjelaskan pusaka khuntsa.
Istilah khuntsa berasal dari bahasa Arab khanatsa yang
berarti lunak atau melunak.391 Dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan istilah banci, wadam (wanita-adam) atau waria
(wanita-pria). Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, khuntsa adalah
seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki
atau perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan

390
QS. 4:1 dan QS.49:13
391
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal 382.

374
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin
laki-laki atau perempuan.392
Sehubungan dengan tidak dijelaskannya pusaka khuntsa
dalam al-Quran, para pakar hukum Islam berusaha dan berijtihad
untuk menghindari kevacuman hukum dalam penyelesaian
pusaka khuntsa ini.
Perspektif Fiqh
Masalah khuntsa ini banyak dibicarakan dalam kitab-kitab
fikih, karena meskipun khunsa mempunyai dua alat kelamin,
namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu, yaitu laki-
laki atau perempuan. Untuk itu, harus dipastikan kedudukan jenis
kelamin seorang khuntsa.
Jenis Kelamin Khuntsa
Dalam menetapkan seorang khuntsa itu sebagai laki-laki
atau perempuan, ulama klasik menempuh dengan dua cara:393
Pertama, yaitu dengan cara meneliti tempat keluarnya air
kencing; Cara ini merupakan cara yang disepakati para ulama
dalam menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin
khuntsa tersebut.394 Apabila khuntsa kencing melalui zakar maka ia
dianggap sebagai laki-laki dan karenanya dapat mewarisi
sebagaimana orang laki-laki. Dan apabila khuntsa kencing melalui
farj maka ia dianggap sebagai perempuan dan karenanya ia dapat
mewarisi sebagaimana orang perempuan. Riwayat seperti ini juga

392
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
hoeve, 1996), hal. 934
393
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif), cet. Ke-4, hal. 482
394
Ibid, hal. 140

375
Bab III

didapat dari Ali, Muawiyah, Said bin al-Musayyab, Jabir bin Zaid,
ahli Kufah dan lainnya.395
Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau
perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda
Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah
ditanya tentang kewarisan seorang anak yang mempunyai qubul
dan zakar. Ketika itu beliau sedang menimang anak khuntsa
Anshar. Sabdanya:
Berikanlah warisan anak khuntsa ini (seperti bagian anak
laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama keluar
kencingnya.
Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang
ditetapkan oleh Nabi SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena
hal tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada
anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti
tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara
pada perempuan baru akan diketahui setelah dewasa.
Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat
kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang
lebih dulu keluar air seninya. Pendapat ini diriwayatkan dari Said
ibn Musayyab dan diikuti oleh Ahmad dan jumhur ulama. Apabila
keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya adalah dari
alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak. Pendapat
ini diriwayatkan dari al-Awzai, dua sahabat Abu Hanifah.396
Dalam hal ini Abu Hanifah tidak sependapat karena
banyaknya air seni yang keluar dari salah satu kelamin bisa

395
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.
140
396
Ibid

376
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

disebabkan luasnya jalan keluar dan hal itu tidak menunjukkan


keasliannya.397 Sedangkan dari Syafii tidak dikenal ada pendapat
tentang ini.398
Kedua, dengan cara melihat tanda-tanda
kedewasaannya.399 Apabila dengan melihat alat kelamin yang
dipergunakan dalam membuang air kecil tidak berhasil, maka
dapat ditempuh dengan melihat ciri-ciri atau tanda-tanda
kedewasaan bagi si khuntsa. Ciri-ciri spesifik bagi laki-laki antara
lain: tumbuh kumis dan janggut, suaranya berubah menjadi besar,
keluarnya sperma lewat zakar, timbul jakun di lehernya, dan ada
kecenderungan mendekati perempuan. Sedangkan ciri-ciri spesifik
bagi perempuan antara lain: membesarnya payudara, keluar haid
dari farjnya, dan ada kecenderungan mendekati laki-laki.
Khuntsa yang dapat ditentukan statusnya berdasarkan
tanda-tanda atau cara-cara tersebut diatas dinamakan Khuntsa
ghair musykil. Sedangkan khuntsa yang sulit ditetapkan jenisnya
baik dengan cara meneliti alat kelamin yang dipergunakan
kencing, ciri-ciri khusus, keterangan dokter, maupun pengakuan
sendiri, dinamakan Khuntsa musykil. Kesulitan dalam menentukan
jenisnya berakibat pada kesulitan dalam menetapkan pembagian
warisannya.
Bagian Pusaka Khuntsa
Dalam menghitung kadar bagian khuntsa musykil para
ulama sepakat, yaitu dengan memperkirakan dan menghitungnya
sebagai laki-laki dan sebagai perempuan. Tetapi kemudian mereka

397
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, terjemah
dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal.
393
398
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, hal. 140
399
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif), cet. Ke-4, hal. 482-484

377
Bab III

berbeda pendapat dalam menetapkan pembagian warisan


khuntsa musykil setelah diketahui hasil dari penghitungan kedua
perkiraan tersebut. Pendapat-pendapat tersebut secara garis besar
terbagi tiga.400
Pertama, Memberikan bagian terkecil dan terburuk dari
dua perkiraan bagian laki-laki dan bagian perempuan kepada
khuntsa musykil, dan memberikan bagian yang terbesar dan
terbaik dari dua perkiraan kepada ahli waris yang lain. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan
Imam Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya. 401
Contoh: bapak yang mewarisi bersama anak khuntsa.
Perkiraan khuntsa laki-laki
Ahli waris Bagian penerimaannya
bapak 1/6 x 6 =1
khuntsa (laki-laki) Ashabah =5
Perkiraan khuntsa perempuan
Ahli waris Bagian penerimaannya
Bapak 1/6 + sisa 1/6 x 6 =1+2=3
Khuntsa (prp) 1/2 x 6 =3

Jika khuntsa diperkirakan laki-laki maka akan memperoleh


saham 5, dan jika khuntsa diperkirakan perempuan maka akan
memperoleh saham 3. Berdasarkan pendapat ini, maka khuntsa

400
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala al-
Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240
401
Ibid, hal. 486; Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, hal. 395

378
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diberikan saham terkecil, yaitu 3 saham (sebagai perempuan),


sedangkan ahli waris yang lain yaitu bapak diberikan bagian yang
terbesar, yaitu 3 saham.
Pembagian seperti ini didasarkan pada suatu ketentuan
bahwa untuk memiliki harta benda itu tidak dibenarkan selama
tidak ada sebab-sebab yang meyakinkan. Dalam masalah ini
terdapat keraguan antara bagian yang terkecil dengan bagian
yang terbesar. Untuk memperoleh keyakinan dan menghilangkan
keraguan, maka ditetapkan bagian yang terkecil.402
Ketentuan tersebut bagi khuntsa musykil. Jika khuntsa
masih diharapkan menjadi jelas statusnya, maka didalam
menunggu status khuntsa apakah laki-laki atau perempuan
setelah menginjak usia dewasa, menurut ulama Hanafiyah ada dua
pendapat: a) menetapkan bahwa pembagian seluruh harta
peninggalan hendaknya ditahan dulu sampai status khuntsa jelas;
b) menetapkan bahwa setiap ahli waris, termasuk khuntsa
diberikan bagian yang meyakinkan, kemudian sisanya yang masih
diragukan ditahan sampai status khuntsa jelas.
Penerimaan seluruh ahli waris disempurnakan dengan
menambah bagian mereka yang kurang sesuai dengan yang
seharusnya mereka terima. Namun apabila waktu tunggu telah
berlalu dan persoalan khuntsa yang diharapkan jelas tidak menjadi
jelas, maka ia ditetapkan sebagai khuntsa musykil dan pembagian
warisannya seperti ketentuan semula.403
Kedua, Memberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan
dari dua perkiraan kepada khuntsa dan para ahli waris yang lain,
kemudian sisanya ditahan sampai persoalan status khuntsa jelas

402
Fatchur Rahman, Ilmu waris, hal. 487
403
Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, hal. 353

379
Bab III

atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk
saling hibah-menghibahkan sisa yang diragukan itu.404 Pendapat
ini dikemukakan oleh ulama-ulama Syafiiyah, Imam Abu Dawud,
Imam Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir. Jika bagian khuntsa
tersebut pasang surut atau berlebih-kurang sekiranya diperkirakan
laki-laki dan perempuan, atau khuntsa hanya mewarisi menurut
salah satu perkiraan saja, sedangkan menurut perkiraan yang lain
ia tidak mendapat warisan, maka bagi khuntsa dan ahli waris yang
lain diberikan bagian yang telah meyakinkan, yaitu bagian yang
terkecil dari dua perkiraan atau tidak menerima sama sekali.
Menurut ketentuan ini, setelah semua ahli waris termasuk
khuntsa menerima bagian yang terkecil atau bagian yang telah
meyakinkan, maka sisanya ditahan dulu sampai status khuntsa
jelas. Tetapi jika status khuntsa tidak menjadi jelas, maka para ahli
waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah
menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqqufkan tersebut.
Sebab jika tidak ada perundingan untuk saling hibah
menghibahkan, sisa yang ditawaqqufkan tersebut tidak dapat
dimiliki mereka. Perundingan saling hibah menghibahkan ini
adalah sah walaupun menurut syarat-syarat hibah itu harus
diketahui secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan
sesuatu keadaan darurat.
Contoh: Perkiraan khuntsa laki-laki
Ahli waris Bagian penerimaannya
bapak 1/6 x 6 =1
anak khuntsa (laki-laki) Ashabah = 5

404
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 488

380
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Perkiraan khuntsa perempuan


Ahli waris Bagian penerimaannya
Bapak 1/6 + sisa 1/6 x 6 =1+2=3
Anak khuntsa (perempuan) 1/2 x 6 =3

Berdasarkan pendapat ini maka pembagiannya sebagai


berikut:
Bapak = 1 saham
Anak khuntsa = 3 saham
Sisa = 2 saham disimpan sampai status khunsa jelas.
Atau dibagi berdasarkan kesepakatan.
Ulama-ulama Hanabilah dalam hal khuntsa masih dapat
diharapkan menjadi jelas statusnya mengikuti pendapat ulama-
ulama Syafiiyah, yaitu sisa yang masih diragukan ditahan terlebih
dahulu. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan
menjadi jelas, mereka sependapat dengan ulama Malikiyah pada
point c) dibawah ini.
Ketiga, memberi separoh dari dua perkiraan laki-laki dan
perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yang lain. Pendapat ini
dikemukakan oleh ulama-ulama Malikiyah, ylama Hanabilah dalam
satu pendapatnya disaat si khuntsa tidak dapat diharapkan
menjadi jelas persoalannya,405 ulama Syiah Zaidiyah, dan Syiah
Imamiyah dalam salah satu pendapatnya yang masyhur.

405
Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al Mirats, hal. 352

381
Bab III

Pembagian ahli waris:


Bapak =1+3 =2
2
Anak khuntsa = 5 +3 = 4
2
Alasan yang dikemukakan ulama-ulama tersebut
sebagaimana diriwayatkan as-Syaby yang mengutip dari riwayat
Ibnu Abbas r.a yang mengatakan bahwa bagian khuntsa itu ialah
separoh dari dua bagian laki-laki dan perempuan, dikarenakan
statusnya masih diperselisihkan oleh para ahli waris.406 Fatwa Ibnu
Abbas ini menurut Ibnu Qudamah tidak ada seorang sahabatpun
yang mengingkarinya. 407
Tidak dapat ditarjihkan kepada salah satu jenis kelamin
karena adanya kemungkinan yang sama untuk ditetapkan sebagai
laki-laki atau perempuan, untuk itu harus dipersamakan ketentuan
hukumnya bagi keduanya.
Jumlah Ahli Waris Khuntsa Musykil
Para faradhiyun menetapkan bahwa para ahli waris
khuntsa musykil hanya berjumlah tujuh (7) orang yang tercakup
dalam empat jihat sebagai berikut:408
a. Jihat bunuwwah (jalur anak), yaitu anak dan cucu;
b. Jihat ukhuwwah (jalur saudara), yaitu saudara dan anak saudara
(keponakan);

406
Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syariat al-Islamiyyah, hal. 196
407
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 490
408
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 484

382
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

c. Jihat umumah (jalur paman), yaitu paman dan anak paman


(saudara sepupu);
d. Jihat wala (perwalian budak), yaitu tuan yang memerdekakan
budaknya (maulal mutiq).
Praktek di masyarakat
Di masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah banci,
wadam (wanita-adam) atau waria (wanita-pria). Istilah-istilah
tersebut berbeda pengertian dengan khuntsa yang dimaksud
dalam kitab-kitab fikih. Banci adalah tidak berjenis laki-laki dan
juga tidak berjenis perempuan; 2 n laki-laki yang bertingkah laku
dan berpakaian sebagai perempuan; wadam; waria.409
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau
yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun
transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang
karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan
kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan
alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk
dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai
kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment
Surgery).410
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM,
antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah
satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup
dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus
menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya
ketika datang stress; adanya penampilan fisik interseks atau

409
Kamus Besar Bahasa Indonesia
410
http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-fenomena-
transgender-dan-hukum-operasi-kelamin, makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).

383
Bab III

genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan


mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam
Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan
di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada
kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.411
Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan
gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya
pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak
laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa
pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma
pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan
penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan.
Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon
yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal
guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa
dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki
kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki
kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk
memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu
yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.412
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus
diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia
kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1)
Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap
orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi
perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap
orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis)
atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3)

411
Ibid
412
Ibid

384
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang


dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua
organ/jenis kelamin (penis dan vagina).413
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi
normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi
laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan
rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat
Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini
sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi
Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini
sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan
hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula
sebelum diubah.
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil
(perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis
kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat.
Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi
untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina,
maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya
dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang
normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang
harus diobati.
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu
mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan
memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat
kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk mematikan dan
menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika
seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian

413
Ibid

385
Bab III

dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang


menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka
ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya
dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita.
Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar)
yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa
mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum
agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah
dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi
kehidupan sosialnya.414
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan
kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin
orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda,
juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada
seminar Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin
pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul
Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah
sebagai berikut:415
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang
dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah),
maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak
berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi
waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian
kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria
(dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.

414
Ibid
415
Ibid

386
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang


yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda)
dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau
penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat
identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut
Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa
jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang
berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau
kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan
kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya
menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan
penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat
dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.
Kewarisan Mafqud
Mafqud (orang hilang) beberapa kasus disebabkan
berbagai hal, diantaranya musibah bencana alam, penculikan,
kerusuhan atau sebagai TKI illegal di negeri orang atau sebab
lainnya akhir-akhir ini menjadi sorotan media cetak maupun
elektronik. Keberadaan orang hilang tersebut banyak yang tidak
terungkap di masyarakat, apakah ia masih hidup atau sudah wafat.
Penentuan status orang hilang apakah ia masih hidup atau telah
wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan
kewajiban orang yang hilang tersebut serta hak dan kewajiban
keluarganya sendiri.
Pembahasan orang hilang (mafqud) dalam kewarisan ini
menyangkut dua hal, yaitu dalam posisinya sebagai pewaris dan
kaitannya dengan peralihan hartanya kepada ahli waris, serta
posisinya sebagai ahli waris dan kaitannya dengan peralihan harta
pewaris kepadanya.

387
Bab III

Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar


faqada yang berarti hilang.416 Menurut para Faradhiyun mafqud
itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan
tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui
tentang hidup dan matinya.417 Selain itu, ada yang mengartikan
mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak
diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.418
Perspektif Fiqh
Dalam menetapkan status mafqud apakah ia masih hidup
atau tidak, para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi
positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih
hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah
wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah
istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula,
sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.
Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan batas waktu berapa lama mafqud dianggap masih
hidup, baik posisinya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris.
Mafqud sebagai Pewaris
Dalam posisinya sebagai pewaris, ulama sepakat bahwa
mafqud tetap dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan
karena itu harta miliknya tidak dapat dibagikan kepada ahli waris

416
Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh,
diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Mashum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI,
1994), hal. 146
417
Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.
418
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala al-
Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 244

388
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

serta istrinya juga tetap berstatus sebagai istri.419 Mereka


mengemukakan dua alasan sebagai berikut:420
a. Salah satu syarat mewarisi adalah adanya kematian pewaris,
baik mati hakiki maupun mati hukmi (mati berdasarkan vonis
hakim). Sementara status kematian mafqud masih diragukan.
b. Membagi-bagikan harta milik mafqud kepada ahli warisnya
hanya berdasarkan hilangnya padahal ada kemungkinan ia
masih hidup merupakan hal yang merugikannya. Berdasarkan
kaidah istishhabul hal (hukum sesuatu berdasarkan keadaan
semula), maksudnya mafqud pada saat kepergiannya dalam
keadaan hidup. Keadaan inilah yang dijadikan dasar
menentukan hukum hidupnya, selama tidak ada petunjuk yang
mengarah pada kematiannya. Oleh sebab itu ia masih
mempunyai hak milik penuh terhadap harta bendanya.
Mengenai kapan hakim dapat memutuskan atau memberi
vonis tentang kematian mafqud, terdapat beberapa pendapat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa untuk dapat
menyatakan kematian mafqud, harus ditunggu sampai batas
waktu tertentu yang ia tidak mungkin hidup lebih dari masa itu.
Kepastian waktunya diserahkan kepada ijtihad hakim. Pendapat ini
diikuti oleh Imam SyafiI, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Abu
Yusuf.421 Alasan mereka adalah status asalnya adalah hidup dan
kepastian kematiannya sangat tergantung pada realitas dan berita
tentang hal tersebut tidak ada.
Pendapat lain yakni beberapa ulama memberi batas waktu
tertentu. Abdul Malik bin Majisyun menetapkan batas waktu

419
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 133
420
Fatchur Rahman, hal. 504-505
421
Amir Syarifuddin, hal. 133

389
Bab III

sampai mafqud mencapai umur 90 tahun dihitung dari tahun


kelahirannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan
mencapai umur 90 tahun.422 Ibnu Abdul Hakam menetapkan
supaya mafqud ditunggu sampai berusia genap 70 tahun. Beliau
menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang
berbunyi Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun.423
Hasan bin Ziyad berpendapat harus ditunggu secara sempurna
120 tahun. Pembatasan ini rupanya hanya sekedar perkiraan dan
tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.424 Imam Malik dalam
salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang membolehkan
hakim memberikan vonis kematian mafqud ialah empat (4) tahun
sejak kepergiannya. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan
Sayyidina Umar ra. yang mengatakan:425
Setiap perempuan yang ditinggal pergi suaminya yang ia
tiada mengetahui dimana suaminya, maka ia diminta
menunggu 4 (empat) tahun. Kemudian setelah itu ia
beriddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal.
(Riwayat Bukhari dan Syafii).
Imam Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa di dalam
menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat
situasi hilangnya si mafqud tersebut. Menurut beliau situasi
hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
a. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan
membawa malapetaka. Misalnya dalam situasi naik kapal
tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpangnya
telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah

422
Amir Syarifuddin, hal. 132; Fathur Rahman, hal. 508
423
Ibid
424
Amir Syarifuddi, hal. 133 dikutip dari Ibnu Qudamah, hal. 386.
425
Fathur Rahman, hal. 507

390
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim


dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun
lamanya.
b. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai
membawa malapetaka. Misalnya pergi untuk menurut ilmu,
ibadah haji, dan sebagainya, tetapi kemudian ia tidak kembali
dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana
domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada
hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut
ijtihad-nya.
Mafqud sebagai ahli waris
Apabila dalam hal posisi mafqud sebagai pewaris jumhur
ulama sepakat ia dianggap masih hidup sampai batas waktu yang
telah disebutkan di atas, maka para ulama berbeda pendapat
dalam hal posisi mafqud sebagai ahli waris.
Mayoritas ulama, termasuk ulama Syafiiyah berpendapat
bahwa orang hilang yang posisinya sebagai ahli waris juga
dinyatakan hidup dan haknya atas harta warisan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku disisihkan dan ditangguhkan sampai ada
kepastian tentang kematiannya. Sedangkan ahli waris yang lain
menerima haknya secara penuh dengan memperhitungkan
mafqud dalam status hidup.426
Sebagian besar ulama Hanafiyah dan beberapa pengikut
Syafiiyah berpendapat bahwa harta warisan dibagikan kepada ahli
waris yang ada karena mereka adalah ahli waris yang sudah pasti
adanya. Sedangkan orang hilang itu diragukan status hidupnya
dan karenanya ia tidak mewaris.427

426
Amir Syarifuddin, hal. 134
427
Ibid

391
Bab III

Ahmad dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa


orang hilang itu ditangguhkan haknya sampai ada berita
kematiannya, sedangkan ahli waris yang lain diberikan haknya
yang sudah meyakinkan. Cara penentuan mengenai bagian yang
meyakinkannya itu yaitu dengan cara memperhitungkan dua
perkirakan antara mafqud mati dan hidup.
Contoh: Suami mewarisi bersama anak laki-laki maufqud
dan anak perempuan. Harta peninggalan Rp. 300 juta.
Perkiraan mafqud hidup

Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli


waris
suami 1/4 x 4 = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.
75 juta
Anak laki-laki ashabah = 2/4 saham x Rp 300 juta = Rp.
mafqud 150 juta
Anak perempuan ashabah = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.
75 juta
Perkiraan mafqud mati
Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli
waris
suami 1/4 x 4 = 1/3 saham x Rp. 300 juta = Rp
100 juta
Anak perempuan x 4 = 2/3 saham x Rp. 300 juta = Rp.
200 juta
Jumlah saham 3 (diradkan untuk suami
dan anak perempuan)

392
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Ahli waris yang ada diberikan haknya yang meyakinkan, yaitu :


Suami = Rp. 75 juta, dan anak perempuan = Rp. 75 juta. Sedangkan
bagian mafqud = Rp. 150 juta ditangguhkan.
Selanjutnya adalah menunggu berita tentang keadaan
mafqud tersebut. Ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu428 :
a. Mafqud kembali dalam keadaan hidup. Bagi yang
berpendapat mafqud tidak diperhitungkan sebagai ahli waris
dan harta sudah dibagikan kepada ahli waris yang ada, maka
penyelesaiannya adalah para ahli waris yang telah menerima
harus mengembalikan apa yang menjadi hak mafqud
seberapapun yang tersisa. Kekurangan tidak menjadi hutang
karena mereka mengambil secara hukum. Bagi yang
berpendapat mafqud masih dinyatakan hidup dan haknya
harus disisihkan, tidak ada masalah karena haknya memang
sudah disediakan untuk mafqud. Bagi yang berpendapat ahli
waris yang ada diberikan bagikan yang terkecil (meyakinkan),
jika mafqud kembali dan hidup, maka mafqud diberikan
haknya yang disisihkan, sedangkan ahli waris lain yang baru
menerima sebagian disempurnakan haknya.
b. Ada berita yang meyakinkan tentang kematian mafqud yang
ternyata mendahului kematian pewaris, maka dengan
demikian mafqud bukan ahli waris. Untuk itu harta yang
ditangguhkan dibagikan kembali kepada ahli waris sesuai
bagian yang seharusnya mereka terima.
c. Ada berita kematian yang menyatakan bahwa mafqud mati
setelah kematian pewaris, maka mafqud termasuk ahli waris.
Apabila batas waktu menunggu sebagaimana yang
diperdebatkan sudah berlalu dan mafqud belum kembali dan

428
Ibid, hal. 135

393
Bab III

tidak ada juga berita tentang kematiannya tersebut, maka para


ulama berbeda kembali tentang untuk siapa harta yang
ditangguhkan tersebut.
Menurut pendapat Abu Yusuf, harta yang ditangguhkan
dikembalikan kepada ahli waris yang telah ada dan bukan kepada
ahli waris si mafqud. Sementara itu al-Khabari meriwayatkan dari
al-Lului yang mengatakan bahwa harta yang ditangguhkan untuk
mafqud diserahkan untuk ahli waris si mafqud. Inilah pendapat
yang sahih menurutnya.429
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
mafqud dalam posisi sebagai pewaris ditetapkan masih hidup dan
oleh karena itu hartanya tidak boleh dibagikan kepada ahli
warisnya. Sementara bila mafqud dalam posisi sebagai ahli waris
para ulama berbeda pendapat antara yang menganggap mafqud
masih hidup dan yang menganggap mafqud telah mati.
Perbedaan pendapat tersebut menurut Amir Syarifuddin
adalah berawal dari perbedaan pendapat mengenai istishab sifat
(istishabu al-haal), yaitu memberlakukan berlanjutnya suatu sifat
yang sebelumnya telah ada.430 Jumhur ulama berpendapat bahwa
istishabu al-haal dapat digunakan untuk mengukuhkan hak yang
ada padanya dan untuk mendapatkan hak baru. Sedangkan
kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa istishabu al-haal itu
hanya dapat mengukuhkan hak yang ada padanya dan tidak dapat
digunakan untuk mendapat hak yang baru.
Memposisikan mafqud masih hidup ketika ia sebagai
pewaris berarti mempertahankan/mengukuhkan hak yang ada
padanya. Dalam hal ini kedua golongan tersebut sepakat. Adapun

429
Amir Syarifuddin, hal 136-137 mengutip dari Ibnu Qudamah hal. 390.
430
Ibid, hal. 137

394
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam hal mafqud sebagai ahli waris, jumhur memposisikannya


masih hidup, dan Hanafiyah memposisikannya sudah mati.
Mafqud dalam praktek di Pengadilan
Mengenai masalah kewarisan orang hilang dalam praktek
di pengadilan, setelah ditelusuri melalui internet, pemakah
menemukan skripsi yang ditulis oleh Jauhar Faradis, mahasiswa
UIN Yogyakarta tentang Hak Waris Orang Hilang (Studi Putusan
Pengadilan Agama Sleman No: 20/Pdt.P/2003/Pa.Smn).431
Dalam abstraksinya disebutkan bahwa penyelesaian
perkara hak waris mafqud, dilakukan dengan tahapan berikut;
Pertama, hakim menilai benar tidaknya fakta yang diajukan oleh
Pemohon (mengkonstatir). Kedua, hakim menciptakan hukum
baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena belum ada
kepastian hukumnya (mengkualifisir), dan Ketiga, hakim
menetapkan si mafqud tersebut dalam keadaan meninggal dunia
secara hukmi dan hak warisnya dibagikan kepada ahli warisnya
(mengkonstituir). Dengan berdasarkan pada aspek maslahah,
maka apa yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Sleman
sudah sesuai dengan apa yang ada dalam ketentuan hukum Islam,
karena tujuan dari penetapan hak waris mafqud tersebut adalah
untuk memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari
keadilan.432
Sayangnya dalam abstraksi tersebut tidak dicantumkan
berapa lama mafqud hilang sehingga hakim menetapkan
kematian si mafqud, sehingga tidak dapat dianalisa apakah hakim

431
Pemakalah tidak berhasil membaca keseluruhan isi skripsi dan mendapatkan
putusan PA Sleman tersebut.
432
Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08 11:48:31By :
JAUHAR FARADIS NIM. 04350063, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated :
2008-07-08.

395
Bab III

dalam menetapkan tersebut mengikuti pendapat salah satu ulama


fikih atau murni berijtihad berdasarkan aspek maslahah.
Kewarisan anak dalam kandungan
Para ulama telah sepakat dalam menetapkan syarat-syarat
seorang ahli waris yang berhak mendapatkan warisan adalah yang
pada saat kematian pewaris jelas nyata ada dan hidupnya. Para
ulama juga sepakat bahwa janin yang masih dalam kandungan
ibunya termasuk ahli waris yang berhak diperhitungkan sebagai
ahli waris dengan syarat sudah berwujud di dalam rahim ibunya
pada saat pewaris meninggal, dan hidup pada saat dilahirkan.433
Ditetapkannya janin/bayi dalam kandungan sebagai orang yang
berhak menjadi ahli waris karena janin/bayi termasuk dalam
kategori ahliyatul wujub, yaitu orang yang pantas menerima hak,
tapi belum mampu melakukan kewajiban.
Dalam pembahasan kitab-kitab fikih, permasalahan
mengenai kewarisan anak dalam kandungan ini terletak pada
ketidak pastian yang terdapat pada dirinya. Sedangkan warisan
diselesaikan secara hukum bila kepastian tersebut sudah ada.
Ketidak pastian itu terletak pada : apakah janin tersebut lahir
dalam keadaan hidup atau mati. Jika lahir dalam keadaan mati
jelas ia bukan ahli waris. Jika ia lahir dalam keadaan hidup, apakah
ia berhak mewarisi atau tidak. Selanjutnya yang lahir hidup itu
apakah laki-laki atau perempuan, satu orang atau berbilang.
Ketidak pastian itu bukan saja untuk bayi yang masih dalam
kandungan, tetapi juga berlaku bagi ahli waris yang telah ada,
apakah ia terhijab oleh yang akan lahir itu atau tidak, dan
beberapa ketidak pastian lainnya.

433
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala al-
Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 230

396
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di zaman modern sekarang ini melalui ilmu pengetahuan


dan kedokteran yang canggih permasalahan-permasalahan
tersebut dapat terjawab dengan mudah, kecuali mengenai hidup
atau matinya bayi pada saat dilahirkan. Selain itu, apabila seluruh
ahli waris bisa bersabar sampai lahirnya bayi permasalahan ini
tidak akan terjadi. Permasalahan ini terjadi apabila salah seorang
menuntut segera pembagian harta warisan.
Perspektif fikih
Dalam hal menetapkan apakah bayi pada waktu lahir
dalam keadaan hidup menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Perbincangan itu berkisar pada apa yang menjadi tanda atau
ukuran untuk menyatakan bahwa bayi itu hidup. Apakah dilihat
setelah bayi lahir secara sempurna atau setelah diketahui tandanya
saja meskipun belum lahir secara sempurna.434
Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat sebuah hadits
Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
Bila telah berteriak anak yang dilahirkan, maka ia berhak
mewarisi.
Berdasarkan zahir hadits tersebut, sebagian ulama yang
terdiri dari Ibnu Abbas, Said bin Musayyab, Atha, Syuraih al-
Hasan dan Ibnu Sirrin dari kalangan sahabat, kemudian diikuti oleh
Al-NakhaI, Malik dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur
berpendapat bahwa bukti atau tanda lahir bayi hidup adalah
istihlal atau teriakan. Selain dari teriakan tidak dapat dijadikan
tanda bahwa bayi lahir dalam keadaan hidup.435

434
Amir Syarifuddin, Hukum waris, hal. 126
435
Amir Syarifuddin, hal. 126

397
Bab III

Golongan kedua yang terdiri dari al-Tsauri, al-AuzaI, Abu


Hanifah dan sahabat-sahabatnya, al-SyafiI, Ahmad dalam riwayat
yang lain dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan pada
bayi yang baru lahir selain dengan teriakan juga dengan cara lain
seperti gerakan tubuh, menyusu dan petunjuk lain yang
meyakinkan.436
Dalam menetapkan waktu terjadinya istihlal atau teriakan
terdapat juga perbedaan pendapat. Imam al-SyafiI berpendapat
bahwa istihlal atau teriakan dilihat pada waktu bayi telah lahir
secara sempurna. Dengan demikian jika bayi berteriak pada saat
bayi tersebut baru keluar separoh dari perut ibunya dan kemudian
meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Alasannya ialah bahwa
kata-kata maulud dalam hadits tersebut dalam arti lahir secara
keseluruhan.
Berbeda dengan pendapat SyafiI tersebut, menurut Abu
Hanifah seandainya sebagian besar tubuh bayi sudah keluar dan
berteriak, maka ia sudah berhak mewarisi meskipun meninggal
setelah bayi keluar dengan sempurna.
Perbedaan antara pendapat Syafii dan Abu Hanifah ini
berdampak kepada kepastian timbulnya hak secara hukum.
Dampak-dampak tersebut antara lain:
a. Kemungkinan terhijab hirman atau tidaknya ahli waris yang
lain. Seperti saudara seibu dari pewaris, sedangkan yang hamil
adalah istri pewaris. Menurut pendapat SyafiI, saudara seibu
tersebut berhak mewarisi, karena bayi yang meninggal setelah
keluar secara sempurna walaupun berteriak. Sementara
menurut pendapat Abu Hanifah, saudara seibu tersebut
terhijab hirman.

436
Ibid, hal 126-127

398
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b. Kemungkinan terhijab nuqshannya ahli waris yang lain. Seperti


ibu dari pewaris, sedangkan yang hamil istri pewaris. Menurut
pendapat SyafiI, bagian ibu tidak terhijab hirman (menerima
1/3). Sementara menurut Abu Hanifah ibu terhijab hirman
(menerima 1/6).
Diantara ahli waris ada yang kepastian haknya ditentukan
oleh jenis kelamin bayi yang akan lahir. Seperti saudara sekandung
atau seayah dari pewaris dan yang hamil adalah istri pewaris.
Saudara sekandung atau seayah akan menjadi ahli waris jika yang
lahir adalah perempuan.
Ketidak pastian mereka yang kedudukannya sudah jelas
sebagai ahli waris dapat dikelompokkan kepada tiga
kemungkinan:
Pertama, pasti kedudukannya sebagai ahli waris dan pasti
pula haknya yang akan diterima. Contoh, ibu dalam kasus yang
hamil adalah istri pewaris yang telah punya anak. Dalam hal ini
apapun bentuk yang lahir, mati atau hidup, ibu tetap mendapat
warisan dan hak ibu tetap 1/6.
Kedua, pasti kedudukannya sebagai ahli waris namun tidak
pasti hak yang akan diterimanya. Contoh, ibu pewaris yang sedang
hamil dan sebelumnya telah mempunyai seorang anak. Apapun
keadaan bayi yang akan lahir pasti ibu akan menerima hak waris.
Ketidakpastiannya terletak apakah ia akan menerima 1/6 atau 1/3.
Kalau bayi lahir dalam keadaan mati maka ibu mendapat 1/3
karena pewaris tidak adala anak dan saudara hanya seorang. Kalau
seandainya bayi lahir dalam keadaan hidup, apakah laki-laki atau
perempuan, hak ibu menjadi berkurang yaitu 1/6 karena saudara
pewaris menjadi dua orang dengan kelahiran itu.
Ketiga, belum tentu kedudukannya sebagai ahli waris dan
otomatis haknya pun menjadi tidak pasti. Contoh, saudara dalam

399
Bab III

kasus ahli waris adalah istri pewaris yang sedang hamil.


Seandainya bayi yang lahir itu laki-laki maka saudara tidak berhak
menjadi ahli waris karena terhijab oleh anak laki-laki. Tetapi
seandainya bayi yang lahir tersebut dalam keadaan mati atau
hidup tetapi berjenis kelamin perempuan, maka saudara berhak
mewarisi karena anak perempuan tidak menghijab saudara.
Dalam ketidak pastian tersebut, dapatkah harta warisan
dibagikan kepada ahli waris yang telah jelas ada tersebut? Cara
yang paling aman dan tidak menimbulkan masalah adalah bila
masing-masing ahli waris yang ada itu bersabar menunggu sampai
janin tersebut dilahirkan untuk mencari kepastian. Namun kalau
ada yang tidak sabar dan menuntut haknya sebelum ada
kepastian, solusinya adalah dengan menerapkan cara-cara sebagai
berikut:437
a. Bila ahli waris adalah orang-orang yang sudah pasti menjadi
ahli waris dan haknya tidak akan berubah seperti dalam
kelompok pertama, maka hak warisannya dapat diberikan
secara penuh. Karena apapun yang terjadi haknya tidak akan
berubah.
b. Bila ahli waris adalah orang-orang yang akan terhijab hirman
oleh bayi yang akan lahir, maka haknya tidak dapat diberikan.
c. Bila ahli waris adalah orang-orang yang dengan furudh tertentu
ada kemungkinan berkurang haknya oleh bayi yang akan lahir,
maka haknya dapat diberikan lebih dahulu dalam furudh yang
terkecil dari kemungkinan furudh yang dimiliki.
Dengan demikian para ulama sepakat bahwa bagian yang
disisihkan untuk anak dalam kandungan adalah bagian yang
terbesar diantara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.

437
Amir Syarifuddin, Hukum Waris, hal. 130-131.

400
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang berapa


orangkah yang dijadikan pedoman untuk diperkirakan, apaka
seorang, dua orang atau empat orang laki-laki dan perempuan?
a. Menurut Abu Hanifah, bagian yang ditahan untuk bayi dalam
kandungan tersebut adalah sebesar bagian yang terbanyak dari
dua perkiraan 4 orang anak laki-laki dan 4 orang anak
perempuan.438
b. Menurut Imam Malik dan SyafiI, bagian yang ditahan untuk
bayi dalam kandungan adalah sebesar bagian yang terbanyak
dari dua perkiraan 1 orang anak laki-laki dan 1 orang anak
perempuan. Karena menurut kebiasaan seorang melahirkan
satu anak.439
c. Menurut Imam Ahmad, Muhammad bin al-Hasan dan Luluy,
bagian yang ditahan untuknya adalah sebesar bagian yang
terbanyak dari dua perkiraan 2 orang anak laki-laki dan 2 orang
anak perempuan.440
Praktek di pengadilan dan di masyarakat
Permasalahan pembagian warisan anak dalam kandungan
yang terjadi di pengadilan maupun di masyarakat sepanjang
pemakalah ketahui belum pernah terjadi. Apalagi menurut
kebiasaan yang ada proses pembagian warisan baru dilaksanakan
setelah bertahun-tahun atau berbulan-bulan sejak kematian
pewaris. Sehingga kalaupun terdapat ahli waris yang masih di
dalam kandungan ibunya pada saat pewaris meninggal, pada saat
pembagian warisan anak dalam kandungan tersebut sudah lahir.

438
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala al-
Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal 230
439
Ibid.
440
Fathur Rahman, hal. 212

401
Bab III

Sehingga proses pembagian warisan tidak terdapat masalah


sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan
sebagai berikut:
A. Masalah kewarisan khuntsa:
1. Khunsa adalah orang yang mempunyai kelamin ganda atau
yang tidak mempunyai kelamin sama sekali. Dalam
menentukan status jenis kelaminnya ditentukan
berdasarkan fungsi alat kelamin yang dominan.
2. Penghitungan kewarisan khuntsa dengan cara
memperkirakan kuntsa sebagai laki-laki dan khuntsa sebagai
perempuan.
3. Dalam praktek yang terjadi di masyarakat banyak yang
mengubah kelamin dari laki-laki ke perempuan dan dari
perempuan ke laki-laki. Hukumnya adalah dilarang karena
berbeda dengan pengertian khuntsa yang dimaksud dalam
syariat Islam. Untuk kewarisannya berdasarkan jenis kelamin
asli sebelum terjadinya perubahan kelamin.
B. Kewarisan Mafqud
1. Yang dimaksud mafqud adalah orang hilang yang tidak
diketahui keberadaannya, hidup dan matinya.
2. Harta peninggalan mafqud tidak boleh dibagikan kepada
ahli warisnya sampai ada kepastian tentang kematian
mafqud.
3. Hakim dapat menentukan atau memvonis mati mafqud
berdasarkan ijtihadnya setelah mencari bukti-bukti kuat.

402
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

4. Penyelesaian kewarisan mafqud dengan dua perkiraan,


yaitu perkiraan mafqud hidup, dan perkiraan mafqud mati.
Bagian yang meyakinkan atau terkecil dari dua perkiraan
diberikan kepada ahli waris yang hadir. Sedangkan sisanya
di simpan sampai mafqud kembali atau ada vonis hakim
yang menetapkan kematiannya.
5. Perkara mafqud yang pernah diputuskan di Pengadilan
Agama Sleman memutuskan mafqud meninggal demi
kemaslahatan ahli waris yang ada.
C. Kewarisan anak dalam kandungan
1. Anak atau janin yang masih berada dalam kandungan
ibunya sudah terhitung sebagai ahli waris.
2. Penghitungan warisan anak dalam kandungan dengan cara
menghitung dua perkiraan, perkiraan bayi lahir laki-laki dan
perkiraan bayi lahir perempuan. Bagian yang terkecil dari
dua perkiraan diberikan kepada ahli waris yang sudah ada,
dan bagian yang terbesar disisihkan untuk bayi.
3. Pembagian harta warisan yang melibatkan anak dalam
kandungan sebaiknya menunggu hingga bayi dalam
kandungan lahir.
Masalah-masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda),
mafqud (orang hilang) dan anak dalam kandungan merupakan
masalah-masalah ijtihadiyah yang tergolong masalah taqdiri
(perkiraan).

403
Bab III

Daftar Pustaka
Al-Quran dan Terjemah
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984)
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru van hoeve, 1996),
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif), cet. Ke-4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2004),
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,
terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy,
(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist
ala al-Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240
Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Marifah,
1960)
Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syariat al-
Islamiyyah, (Mathbaah al-Madany, 1976)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-
fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-kelamin,
makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).
Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul
Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad
Mashum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994)

404
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08


11:48:31By : JAUHAR FARADIS NIM. 04350063,
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated :
2008-07-08.

405
Bab III

406
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB IV
HUKUM KEWARISAN
TENTANG HAK-HAK
KEBENDAAAN YANG DIATUR
UNDANG-UNDANG

407
Bab IV

408
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KETERKAITAN HUKUM WARIS DENGAN HAK-HAK KEBENDAAN


YANG DIATUR DALAM BERBAGAI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Yeni Salma Barlinti

Latar Belakang
Pembahasan kewarisan dalam Islam di saat ini tidak tuntas
jika berhenti pada bahasan bagian-bagian warisan untuk ahli
waris. Perkembangan muamalah dalam masyarakat semakin besar
dan cukup rumit, mengingat semakin luas dan beragamnya
kegiatan ekonomi yang dilakukan. Sebagai contoh, jual beli tidak
hanya terhadap objek jual beli berupa benda berwujud, tetapi
juga benda tidak berwujud seperti saham.
Bentuk muamalah lainnya yang beraneka ragam, perlu
mendapat perhatian khusus untuk dikaji lebih lanjut dan lebih
dalam terkait dengan hukum kewarisan, dengan tetap
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Pengkajian ini mengenai kebendaan yang timbul
dari kegiatan muamalah dikaitkan dengan hukum kewarisan yaitu
dalam penentuan benda-benda yang menjadi harta warisan atau
tidak untuk kemudian dibagikan kepada para ahli waris.
Tulisan ini mengkaji kebendaan dan hak atas kebendaan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
untuk kemudian dihubungkan dengan kewarisan, khususnya harta
warisan. Kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan
pemikiran untuk penyusunan Naskah Akademik RUU Hukum
Materiil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan.

409
Bab IV

Pengertian Kebendaan
Dalam Pasal 499 KUHPerdata, disebutkan definisi
kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik. Definisi ini memberi pemahaman bahwa
konsep kebendaan adalah tidak hanya benda itu sendiri, tetapi
juga hak. Dengan berdasar para ketentuan tersebut Abdulkadir
Muhammad mengemukakan bahwa:
Benda adalah objek milik. Hak juga dapat menjadi objek
milik. Oleh sebab itu, benda dan hak adalah objek milik.
Secara yuridis (menurut konsep hukum) yang dimaksud
dengan benda adalah segala sesuatu yang menjadi objek
milik. Semua benda dalam arti hukum dapat
diperdagangkan, dapat dialihkan kepada pihak lain, dan
dapat diwariskan.441
Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai,
diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak
berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak
yang mempunyai nilai ekonomis (Pasal 1 angka 9 KHES)
Klasifikasi Jenis Benda
KUHPerdata membagi benda dalam bentuk:
1. Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPer)
2. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPer)

441
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet. Revisi, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2010), hlm. 128.

410
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KHES membagi benda dalam bentuk:


1. Benda berwujud dan tidak berwujud. Benda berwujud adalah
segala sesuatu yang dapat diindera (Pasal 1 angka 10 KHES).
Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat
diindera (Pasal 1 angka 11 KHES).
2. Benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak adalah
segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke
tempat lain (Pasal 1 angka 12 KHES). Benda tidak bergerak
adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari
suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya
ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1 angka 13 KHES).
3. Benda terdaftar dan tidak terdaftar. Benda terdaftar adalah
segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan
warkat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (Pasal
1 angka 14 KHES). Benda tidak terdaftar adalah segala sesuau
yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti
pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (pasal 1
angka 15 KHES).
Hak Kebendaan
Hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan
langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap
siapapun.442
Hak Kebendaan Atas Tanah
Dalam kaitannya dengan agraria, Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 16
ayat (1) mengatur hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut.

442
Abdulkadir Muhammad, hlm. 136.

411
Bab IV

a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di
atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-
hak yang sifatnya sementasi sebagai yang disebutkan dalam
Pasal 53.
Pengertian dan ketentuan dari masing-masing hak
sebagaimana dipaparkan berikut.
Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UU PA). Ketentuan
hak milik atas tanah adalah hanya dapat dimiliki oleh WNI. Menjadi
permasalahan apabila ahli waris dari pewaris adalah WNA. Hal ini
menjadi tidak terlindungi.
Hak milik menjadi hapus (Pasal 27 UUPA) apabila tanahnya
jatuh kepada Negara karena pencabutan hak untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, dengan mendapatkan ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang telah diatur. (Pasal 27
ayat (1) jo Pasal 18 UUPA); karena penyerahan dengan sukarela
oleh pemiliknya; karena diterlantarkan; karena pengalihan hak
kepada WNA; dan tanahnya musnah.

412
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Hak Guna Usaha


Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling
lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan (Pasal 28 jo Pasal 29 UUPA). HGU diberikan atas tanah
yang luasnya paling sedikit 5 ha. HGU dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat (3) UUPA).
Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35). HGB dapat terjadi
karena perjanjian yang berbentukan otentik antara pemilik tanah
yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu,
yang bermaksud menimbulkan hak tersebut (Pasal 37).
Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UU ini (Pasal
41).
Hak pakai ini dapat diberikan selama jangka waktu yang
tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan
yang tertentu; atau dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran
atau pemberian jasa berupa apapun.

413
Bab IV

Hak Sewa
Hak sewa untuk bangunan dapat dimiliki oleh seseorang
yang mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak
mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1)). Pembayaran uang sewa dapat
dilakukan dengan cara satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan (Pasal 44 ayat (2)).
Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan
adalah hak-hak adat yang menyangkut tanah.
Hak Lain Bersifat Sementara
Hak-hak lain yang sifatnya sementara adalah hak gadai,
hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian.
Terkait dengan kewarisan, menurut penulis, hak-hak
kebendaan yang dapat diwariskan dapat terbagi sebagai berikut.
Hak Penuh dan Tidak Penuh
Hak penuh adalah hak ini adalah absolute milik dari
pewaris dan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Sedangkan
hak tidak penuh adalah hak pewaris hanya untuk jangka waktu
tertentu. Jika tiba pada akhir masa haknya, maka hak tersebut
berakhir. Hak ini dapat diperpanjang dengan cara mendaftarkan
kembali. Tetapi dapat beralih menjadi hak Negara apabila tidak
didaftarkan kembali.

414
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Hak Kekayaan Intelektual


Bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang diatur di
Indonesia adalah:
a. Hak Cipta
b. Merek
c. Paten
d. Desain Industri
e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
f. Rahasia Dagang
g. Varietas Tanaman
Regulasi tentang Kewarisan
Beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya
dalam bentuk UU ada beberapa pasal dalam UU yang mengatur
tentang kewarisan. Perundang-undangan dimaksud seperti:
1. UU No. 19 Th. 2002 Tentang Hak Cipta; dalam pasal: 3, 4, 19, 20,
24, 58 dan 55.
2. UU No. 14 Th. 2001 Tentang Paten, dalam pasal: 40, 66, 67 dan
Pasal 86
3. UU No. 15 Th. 2001 Tentang Merek; dalam Pasal 40
4. UU No. 30 Th. 2000 Tentang Rahasia Dagang; dalam pasal 5.
5. UU No. 31 Th. 2000 Tentang Desain Industri; dalam pasal 9, 22
dan 31.
6. UU No. 32 Th. 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
dalam Pasal 8, 18 dan 23.

415
Bab IV

7. UU No. 29 Th. 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman;


dalam pasal asal 12, 22, 40 dan pasal 54.
8. UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf; dalam pasal Pasal 6, 25, 27,
67, dan pasal 40.
9. UU No. 40 Th. 2007 Tentang Perseroan Terbatas; dalam pasal
56 dan 57.
10. UU No. 4 Th. 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; seperti
dalam pasal 16.
11. UU No. 21 Th. 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang; dalam pasal 48, 49 dan pasal 50.
12. UU No. 31 Th. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi; dalam pasal 34 dan pasal 33.
13. UU No. 15 Th. 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Menjadi UU jo. Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme; dalam pasal Pasal 36, 40 dan 41.
Mengenai ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
kewarisan, juga dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, sebagai peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi
syariah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
Ketentuan-ketentuan dalam KHES merupakan ketentuan
terkait dengan perikatan sebagai kegiatan muamalah yang
didasarkan pada Hukum Islam. Didalamnya juga diatur mengenai
keterkaitannya dengan kewarisan, yaitu pada saat salah satu pihak
yang melakukan perikatan meninggal dunia. Hak apa saja yang

416
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diperoleh para ahli waris dan apa saja yang tidak dapat diwariskan.
Berikut isi ketentuan KHES berdasarkan buku Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah yang diterbitkan oleh MARI tahun 2010 sebagai
Edisi Revisi. Pasal dan kandungannya dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
No Pasal Tentang
1 88, 109, 110, Bai (jual beli)
2 115 Bai Wafa
3 202, 203 dan 204 Syirkah Milk
4 263 dan 264 Muzaraah
5 273 Khiyar Syarth
6 289 dan 294 Khiyar Ghabn dan Taghrib
7 351 dan 358 Kafalah
8 372 Hawalah
9 390, 392, 393 dan 394 Rahn
10 425, 428 dan 429 Wadiah
11 Pasal 517 Wakalah
12 536 Shulh
13 639, 640, 641, 643 dan Dana Pensiun Syariah
659

Kewarisan dalam Kaitannya Dengan Wakaf


UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menentukan bahwa
wakaf dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Adanya
kebolehan untuk melakukan wakaf dalam jangka waktu tertentu,
dapat menimbulkan permasalahan terkait dengan kewarisan.
Permasalahan tersebut adalah jika mauquf alaih dari wakaf
tersebut meninggal dunia (dalam hal wakaf ahli atau wakaf untuk
kerabat tertentu). Apakah dalam jangka waktu keberlakuan wakaf
tersebut beralih kepada ahli waris atau wakaf tersebut berakhir.

417
Bab IV

Begitu pula untuk wakaf khairi (wakaf umum), permasalahan dapat


muncul di saat mauquf alaih meninggal dunia, di saat wakif tidak
menyebutkan secara khusus mengenai hal tersebut.
G. Kebendaan Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan dalam Pasal 189 KHI berisi bahwa
(1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang
luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan
kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak
dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan
tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang
dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang
berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Ketentuan Pasal 189 KHI tentang tanah pertanian yang
luasnya kurang dari 2 ha adalah terkait dengan ketentuan UU No.
56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Dalam Pasal 8nya ditentukan bahwa
Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap
petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2
hektar.
Tujuan penetapan luas minimum adalah supaya tiap
keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk
dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Untuk hal tersebut,
UU ini berupaya untuk mencegah dilakukannya pemecahan-
pemecahan pemilikan tanah yang bertentangan dengan tujuan
tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU ini ditentukan bahwa:

418
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian


warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu
mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan
tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan
termaksud tidak berlaku kalau si penjual hanya memiliki
bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan
tanah itu dijual sekaligus.
Hal-hal Lain yang Terkait dengan Kewarisan
Terkait dengan kebendaan, saat ini perlu mendapat
perhatian atas hak kebendaan yang muncul kemudian, yaitu hak-
hak yang bendanya diperoleh di kemudian hari. Penulis pernah
memberikan pendapat kepada sebuah Perusahaan Asuransi di
Jakarta yang mempertanyakan mengenai penerima santunan atas
keluarga (ayah, ibu, dan anak) meninggal semua dalam suatu
kecelakaan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa santunan
tersebut merupakan bagian dari harta warisan yang menjadi hak
para ahli waris. Begitu pula terhadap restitusi yang diterima oleh
ahli waris dari korban suatu tindak pidana. Dalam hal ini, menjadi
suatu permasalahan baru terhadap bentuk harta warisan yang
muncul kemudian.
Santunan asuransi jiwa ataupun santunan dari pihak
manapun (perusahaan tempat pewaris bekerja misalnya) dan
restitusi, uang yang diperoleh hanya satu kali. Sehingga uang ini
dapat lebih mudah untuk dibagikan kepada ahli waris apabila
santunan ini dinilai sebagai harta warisan. Berkenaan dengan harta
yang muncul kemudian, perlu suatu kajian terhadap HaKI atas
seseorang yang meninggal dunia. Utamanya adalah bagaimana
penentuan hak waris para ahli waris terhadap HaKI. HaKI dapat

419
Bab IV

diperoleh secara terus menerus sepanjang terus didaftarkan,


diproduksi, dijual, dan terdapat harta yang dihasilkannya.
Penutup
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan telah
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Dari
peraturan-peraturan tersebut telah menimbulkan hak-hak
kebendaan yang tidak hanya berupa hak-hak kebendaan yang ada
pada saat seseorang (pewaris) meninggal dunia, tetapi juga
berupa hak-hak kebendaan yang muncul kemudian, seperti hak
atas kekayaan intelektual, restitusi, santunan, asuransi (jiwa). Perlu
ditentukan (1) apakah hak-hak kebendaan yang muncul kemudian
merupakan harta warisan atau tidak? (2) Bagaimana dengan hak-
hak kebendaan yang dapat berlangsung terus menerus muncul di
kemudian hari tanpa batas? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu
diketahui jawabannya karena akan berpengaruh terhadap
pembagian harta warisan bagi ahli waris. Ketentuan-ketentuan ini
perlu diperhatikan dan dikaji dalam penyusunan NA RUU Hukum
Materiil PA Bidang Kewarisan.
Ketentuan yang diatur dalam KHES juga penting untuk
dikaji mengingat terdapat ketentuan-ketentuan mengenai
kewarisan terkait dengan perikatan yang dilakukan oleh Pewaris
semasa hidupnya. Hak-hak kewarisan tidak hanya mengenai
piutang yang ada pada pihak lain, tetapi juga hak untuk
melakukan sesuatu ataupun batasan akad yang tidak bisa
diwariskan terhadap ahli waris.
Selain itu, terhadap peraturan-peraturan yang tidak sesuai
dengan hukum kewarisan Islam harus diperbaiki untuk tidak
menimbulkan permasalahan hukum dan menghilangkan hak-hak
waris seseorang.

420
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB V
PENUTUP

421
Bab V

422
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Setelah dilakukan kajian, penelusuran dari berbagai


sumber pemaparan makalah dan diskusi dalam workshop
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Kesimpulan
1. Dilihat dari perspektif sosiologis, filosofis, yuridis, maupun
historis, maka dalam rangka mewujudkan kepastian hukum,
upaya legislasi hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI
menjadi Undang-Undang merupakan suatu keniscayaan.
Meskipun harus disadari bahwa gagasan ini merupakan
pemikiran mulia, namun membutuhkan energi tinggi dan
perjuangan yang tidak mengenal lelah, untuk meyakinkan
para politisi di lembaga legislatif. Karena sisa-sisa Hurgronje
nian tampaknya di negeri ini masih sangat kuat, dan sering
mengusung wacana, bahwa legislasi hukum Islam sama halnya
dengan menghidupkan Piagam Jakarta.
2. Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia
perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan
bagaimana yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk
mengengine dan mengcreate masyarakat. Dalam perspektif
historis pada awalnya masyarakat Islam Indonesia telah
menerima secara menyeluruh, karena ini adalah indikator
keberagamaan masyarakat.
3. Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai
bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang
komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki kepastian
hukum terutama soal materi-materi sebagaimana yang
disepakati di atas.

423
Bab V

4. Undang-Undang hukum material Peradilan Agama


dibutuhkan untuk menunjang tugas dan fungsi Peradilan
Agama sebagai diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2006
tentang Pendidikan Agama juga UU No. 50 Tahun 2009
tentang Perubahan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pendidikan
Agama.
5. Keberadaan hukum material Peradilan Agama sangat erat
hubungannya serta merupakan konskwensi logis dari
keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan begitu materi dan isi kandungannya diharapkan dapat
mendukung efektifitas pelaksanaan UU Perkawinan.
6. Secara formal peraturan yang bisa menjadi pegangan dan
rujukan hakim agama dalam menyelesaikan perkara di
Pengadilan Agama terutama penyelesaian perkara kewarisan
adalah Kompilasi Hukum Islam yang hanya berbentuk Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991. Padahal Inpres jika dilihat dari segi
kekuatan hukumnya tidak lagi bisa diposisikan dan diakui
sebagai salah satu bentuk perundang-undangan. (UU No. 10
Tahun 2004 yang telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat
eksistensi Kompilasi Hukum Islam.
7. Secara umum muatan materi Kompilasi Hukum Islam bidang
kewarisan masih relevan untuk mengatur dan menyelesaikan
perkara kewarisan di Indonesia, oleh karena itu muatan materi
KHI bidang kewarisan tersebut harus tetap dipertahankan.
Adapun hal-hal yang belum diatur perlu dimasukkan dalam
RUU, umpamanya ketentuan mengenai ahli waris ashobah,
soal musyarokah, hak waris anak dalam kandungan, mafqud
(orang hilang) uhuntsa (kelamin ganda), anak zina dan lian,
dua orang atau lebih bersama-sama meninggal. Selain itu

424
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perlu ada pengembangan dan penyempurnaan muatan


materi KHI misalnya masalah ahli waris pengganti, wasiat
wajibah yang dulu hanya untuk anak angkat dan orang tua
angkat diperluas peruntukannya bagi ahli waris yang
terhalang menerima warisan dari pihak ayah biologis, non
muslim, murtad, anak lian, dan anak hasil perkosaan terhadap
laki-laki pemerkosa ibunya dan lain-lain.
Saran
1. Untuk menindaklanjuti hasil penyusunan makalah akademik
ini Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah
Kementerian Agama diharapkan melakukan upaya
penyusunan rancangan undang-undang hukum material
Peradilan Agama bidang kewarisan. Untuk mengawal jalannya
rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang
diperlukan dukungan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri
guna memperoleh agenda pembahasan di lembaga legislatif.
2. Bagi kalangan akademisi diharapkan melakukan kajian lebih
intens melalui penelitian terhadap beberapa persoalan
substantif hukum waris Islam di Indonesia, terutama terhadap
hal-hal yang masih banyak mengundang polemik atau
perbedaan seperti konsep ahli waris pengganti, wasiat
wajibah, ahli waris beda agama, hak waris anak diluar
perkawinan yang sah, harta bersama.

425
Editor :
Muchit A. Karim

Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan
di Indonesia materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi
pasal, berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi
hukum. Ketiga materi hukum tersebut yaitu: a) hukum
perkawinan sebanyak 170 pasal; b) hukum kewarisan
(wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c) hukum perwakafan
sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah dengan satu
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
pasal ketentuan penutup.
Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-
Undang Hukum Materiil Peradilan Agama. Akan tetapi
karena kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya
KHI disahkan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada
tanggal 10 Juni 1991. Melalui Inpres ini, Presiden
menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan
oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang
membutuhkan.
Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri
No 154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres
No 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan
Agama Islam dan Urusan Haji untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dalam bidang
tugasnya masing-masing.
Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi
secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula
Badan Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai
kini lembaga tersebut menjadikan KHI sebagai sumber
referensi dalam menangani perkara-perkara yang ada.

ISBN 978-602-8739-07-8

Anda mungkin juga menyukai