Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERADILAN AGAMA PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA

(Disusun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Sejarah Peradilan dan Hukum Acara Islam)

Disusun :

Kelompok 6

Qawwim Arfi’atus Salisa : 18103050062- 089679046794


Dekky Alfarabi : 18103050063-082340823433
Nandang Nashir Rasifi : 18103050064-081387517387
Muhammad Rizki Gunawan : 18103050069-081238139974

Dosen Pengampu : Dr. Malik Ibrahim, M.Ag

Prodi/Kelas : Hukum Keluarga Islam(Ahwal Syakhsiyyah)/B

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan kepada kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul”Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda”.Shalawat beserta
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan makalah ini kami upayakan semaksimal mungkin dengan


bantuan dukungan dari berbagai pihak dan sumber sehingga dapat memperlancar
dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Proses penyelesaian makalah ini tak luput dari kesalahan dan


ketidaksempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, untuk itu kami
selaku penyusun mohon maaf sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang bersifat
membangun akan senantiasa kami terima untuk menjadi batu loncatan agar kami
lebih baik lagi di kesempatan yang akan datang.

Penyusun berharap semoga dari penyusunan makalah sederhana ini dapat


diambil manfaatnya dan semoga dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan hukum lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.

Yogyakarta, 23 November 2020

Penyusun
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1. Latar Belakang....................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................1

1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3

2.1. Setting Historis Kondisi Sosial, Religius, Politik pada Masa Penjajahan Hindia
Belanda......................................................................................................................3

2.2. Kondisi Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda....................8

2.3. Karakteristik Pengadilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda.......15

BAB III PENUTUP....................................................................................................16

3.1. Kesimpulan.......................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peradilan agama merupakan salah satu lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman yang berada di Ibu Kota, Kabupaten atau kota yang tugas atau wewenang
untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-
orang yang beragama Islam.
Secara historis peradilan agama tentu berkaitan dengan masyarakat Islam
yang ada di Indonesia. Dalam sejarahnya masyarakat Islam di Indonesia sudah sejak
lama ada bahkan sebelum para penjajah datang ke Indonesia dengan ditandai nya
kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Indonesia. Praktik peradilan agama pada
masa kerajaan Islam itu dilakukan melalui proses tahkim, dengan berjalannya waktu
peradilan agama terus menerus berkembang di Indonesia guna menjadi lembaga
penegak hukum yang berada dikalangan masyarakat Islam di Indonesia.
Pada saat penjajah Hindia Belanda datang ke Indonesia, peradilan agama
masih berjalan dengan aman, meski pada praktiknya pihak belanda mulai membagi
kalangan masyarakat untuk bisa beracara di peradikan agama. ketika pihak Belanda
yaitu VOC memegang kekuasaan sebagai lembaga negara, kewenangan dan tugas
dari peradilan agama mulai dikikis. Tetapi karena masyarakat Indonesia yang
memegang erat agama Islam pihak belanda tidak bisa langsung menghilangkan
kewenangan dari peradilan agama. Pada tahun 1937 pihak belanda mengeluarkan
peraturan, dari peraturan tersebut salah satu kewenangan peradilan agama yaitu
wakaf dan waris dipindah alihkan ke peradilan negeri. Guna untuk melemahkan
peradilan agama pada masa Hindia Belanda berkuasa.

1
Maka dari sejarah tersebut kami tertarik untuk mengangkat judul “Peradilan
Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda” guna mempelajari peradilan agama
pada masa tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Setting Historis Kondisi Sosial, Religius, Politik pada Masa
Penjajahan Hindia Belanda?
2. Bagaimanakah Kondisi Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia
Belanda?
3. Bagaimana .Karakteristik Pengadilan Agama Pada Masa Penjajahan
Hindia Belanda?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat Memahami Setting Historis Kondisi Sosial, Religius,
Politik pada Masa Penjajahan Hindia Belanda.
2. Mahasiswa dapat Memahami Kondisi Peradilan Agama Pada Masa
Penjajahan Hindia Belanda
3. Mahasiswa dapat Memahami Karakteristik Pengadilan Agama Pada
Masa Penjajahan Hindia Belanda

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Setting Historis Kondisi Sosial, Religius, Politik pada Masa Penjajahan
Hindia Belanda

Masa kolonialisme Belanda di Indonesia merupakan salah satu masa


penjajahan yang paling lama dalam sejarah, yang mana Belanda menduduki
Indonesia selama 350 tahun. Awal mula penjajahan Belanda terhadap kawasan
nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Dagang Belanda di Hindia Timur,
atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oostindische Companie).
VOC melakukan monopoli dalam perdagangan rempah – rempah di Indonesia yang
merugikan penduduk lokal dengan sistem perbudakan bagi para penduduk lokal yang
memproduksi rempah – rempah tersebut.1 VOC mewakili Kerajaan Belanda dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dengan menggunakan hukum Belanda yang
mereka bawa. Akan tetapi kenyataannya, dalam penggunaan hukum Belanda
mengalami banyak kesulitan, hal itu disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya VOC pun
membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah
mereka jalankan. Sehubungan dengan hukum Islam yang telah lama berlaku bagi
masyarakat pribumi, terdapat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak
VOC, antara lain:

1. Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama
Islam.

1
Repository.uph.edu
3
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

Di Semarang misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab


Hukum Mogharraer (dari Al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
kelebihan dibanding Compendium Freijer, karena dia juga memuat kaidah-kaidah
hukum pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga


menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda
kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai Gubernur Jenderal
selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap
wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan
rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep “dar al-Islam” dan
“dar al-harb”. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan berbagai macam
cara untuk menyelesaikan masalah itu. Di antaranya dengan (1) menyebarkan Agama
Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya
pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.2

Sebelum dibentuknya UUD 1945, sistem hukum yang diterapkan di Indonesia


(Hindia Belanda) adalah hukum barat (civil law) dan hukum asli (hukum adat).
Sejatinya jauh sebelum terjadinya penjajahan di Indonesia, masyarakat Indonesia
sudah menerapkan hukum adat dan hukum tersebut diberlakukan di seluruh lapisan
2
Sirojul Munir, “Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia”, Jurnal Istinbath,
Vol.13, No 1, (Desember 2014), hal. 8-10
4
masyarakat Indonesia dan berkedudukan sebagai suatu hukum positif pada masanya.
Tiap daerah memiliki interpretasinya masing-masing terhadap hukum adat sehingga
aturannya pun berbeda-beda. Hukum adat diterima oleh masyarakat karena banyak
mengandung nilai kesusilaan dan agama serta kebudayaan.

Kehadiran hukum barat pertama kali muncul saat berdirinya VOC di Indonesia
di mana gubernur saat itu Jenderal Pieter Both diberikan wewenang untuk
membentuk peraturan dalam menjalankan tugas dan menyelesaikan permasalahan
yang mungkin muncul. Pada tahun 1642, dibentuk Statuta Batavia dan Statuta Bara
pada 1766 yang berisi kumpulan peraturan yang telah dibentuk. Setelah runtuhnya
VOC, Masa penjajahan belanda dilanjutkan oleh kepemimpinan Daendels yang
memperbolehkan penduduk pribumi untuk menggunakan hukum adat, asalkan
hukum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan dasar keadilan
dan kepatutan yang dikoridori oleh hukum Barat.

Setelah Daendels selesai masa kepemimpinannya, Raffles pun menjadi


pemimpin pengganti Daendels, yakni pada tahun 1811 sampai 1816 masehi. Cara
berpolitik Raffles kepada golongan pribumi adalah dengan bermurah hati dan sabar,
di mana hal ini dimaksudkan untuk menarik simpati dan menyetarakan sikap politik
Inggris yang lebih humanis. Setelah periode Raffles selesai, yaitu dari tahun1816
sampai 1848 masehi, masyarakat hukum adat pun semakin terancam dikarenakan
mulai diberlakukannya unifikasi hukum oleh para penguasa Hindia belanda terhadap
wilayah jajahannya, yang tentunya berimbas kepada pengecualian pemberlakuan
hukum adat oleh bumiputera. Sehingga oleh karena hal tersebut, hukum adat semakin
terdesak dan semakin kurang memiliki kekuatan hukum meskipun dalam praktiknya,
hukum adat masih dianut beserta dengan adanya hukum barat.

5
Pada tahun 1816, Hindia Belanda mengeluarkan suatu peraturan yang
berbentuk lembaran, peraturan yang diterbitkan itu disebut Staatsblad dan Bijblad.
Inti dari tata hukum tersebut dibagi atas tiga yakni peraturan tertulis yang
dikodifikasikan, peraturan tertulis yang tidak dikodifikasikan dan hukum adat yang
berlaku bagi golongan Eropa. Seiring berjalannya waktu, hukum adat semakin lama
semakin tergeser oleh hukum barat, di mana sejak tahun 1848, Kitab UU Hukum
dagang, Kita UU Hukum Perdata, Kitab UU hukum Acara Perdata dan Acara Pidana
yang didasarkan oleh Belanda sudah diterapkan di Indonesia bagi penduduk Belanda.

Pada Masa Regerings Reglement (RR) yaitu pada kurun waktu tahun 1855
sampai dengan tahun 1926 Berhasil diundangkan Kitab Hukum pidana untuk
golongan Eropa melalui S.1866:55., Algemene Politie Strafreglement sebagai
tambahan Kitab Hukum Pidana untuk Golongan Eropa., Kitab Hukum Pidana orang
bukan Eropa melalui S.1872:85., Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa dan
Wetboek Van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui
S.1915:732 mulai berlaku 1 Januari 1918.3 Menurut Pasal 163 Indische
Staatsregeling, Rakyat Indonesia dibagi atas tiga golongan:

(1) golongan Eropa, yang terdiri dari: (a) semua orang Belanda, (b) semua orang
Eropa selain Belanda, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari
tempat lain selain ( a, b, dan c, tersebut), (e) anak sah atau yang diakui menurut
Undang-Undang dan keturunan selanjutnya dari orang yang termasuk b, c, dan d
yang lahir di Belanda,

(2) golongan Bumiputera adalah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli
Hindia Belanda dan yang tidak masuk beralih ke golongan lain, dan mereka yang

3
Repository.uph.edu
6
mula-mula termasuk golongan rakyat lain tetapi telah berasimilasi dengan rakyat
Indonesia asli sedangkan yang,

(3) golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang yang termasuk
golongan Eropa, ataupun golongan Bumiputera.11 Dengan demikian semua
ketentuan yang ditetapkan dalam RR dan IS menjadi ketentuan dasar operasional
mengenai hukum yang mengikat bagi setiap golongan atau penduduk Hindia
Belanda, karena itu dapat dikatakan keduanya sebagai Konstitusi atau Undang-
Undang Dasar dalam wilayah Hindia Belanda. Kemudian atas upaya-upaya
pembatasan pemberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda dapat
disimpulkan, secara kronologis sebagai berikut:

1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik


Hukum yang sadar, yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali
dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
2. Atas dasar nota yang disampaikan oleh Mr. Scholten Van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang
terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan
dan keadilan yang diakui umum. Klausul terakhir ini kemudian menempatkan
hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk
meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa
kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat
setempat).
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim
agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan selama tidak
ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.12 Lemahnya posisi hukum Islam ini

7
terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di
wilayah Indonesia pada tahun 1942.

Dari sejarah Negara Indonesia sendiri terlihat bahwa Indonesia sudah


memiliki hukum sejak zaman penjajahan, walaupun saat itu hukum tidak memihak
kepada warga Negara Indonesia namun hukum telah ada. Istilah Negara hukum
secara resmi lahir setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang tercantum di
dalam Pasal 1 ayat (3). Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
disebutkan bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum yang demokrasi
(democratische rechtstaat) dan merupakan negara demokrasi yang didasari oleh
hukum.4

2.2. Kondisi Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda

Dalam memahami potret perjalanan peradilan agama di Indonesia pada masa


penjajahan, dapat di klasifikasi menjadi beberapa periode, yaitu era sebelum tahun
1882 pada masa kerajaan-kerajaan dan awal pendudukan belanda dan masa setelah
belanda melancarkan politik hukum, setelah tahun 1882 sampai sekitar tahun 1937,
dari sekitar tahun 1937 sampai pendudukan jepang, dan era setelah pendudukan
jepang sampai Indonesia merdeka. Berikut ini akan dipaparkan secara detail
perjalanan peradilan agama dalam periode-periode tersebut.
Sebelum belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam
sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di
masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan negara. Kerajaan-
kerajaan islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum islam dalam
wilayah kekuasaannya masing- masing, dengan timbulnya komunitas komunitas

4
Jimly Asshiddiqie, Makalah Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Amandemen Keempet UUD
1945, (Denpasar: disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan
Hukum dalam Era Pembangunan Keberlanjutan, 2003), hlm. 3
8
masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara
berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Masyarakat pada masa kerajaan sampai
awal kolonial belanda berkuasa dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran-
ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian
menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi
tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.
Peradilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu,
yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama
pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama
sering pula disebut “pengadilan serambi”. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai
wadah, dan hukum Islam sebagai muatan isi pokok pegangan dalam menyelesaikan
dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam
lembaga peradilan agama termasuk bagian tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum, para ulama yang memegang kekuasaan dalam Peradilan Agama merupakan
penghulu kraton yang mengurus keagamaan islam dalam semua aspek kehidupan.
Kewenangan Peradilan Agama yang diselenggarakan oleh pihak keraton tersebut
sangat luas mencakup perbagai permasalahan kemasyarakatan dan kerajaan.
Eksistensi Peradilan Agama yang di praktekkan tersebut merupakan bukti
bahwa hukum Islam telah mampu melebur dengan hukum adat Indonesia, dan justru
lebih bisa di terima oleh masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari keadaan sosial
masyarakat saat itu yang mayoritasnya sudah memeluk agama Islam, selain itu
kekuasaan pemerintahan kerajaan juga sangat mendukung aktifnya Peradilan Agama.
Setelah datangnya Belanda dengan organisasi dagangnya yaitu VOC
(vereenigde Oost-Indish Compagnie) tahun 1596 di banten. VOC yang pada saat itu
berperan sebagai organisasi dagan dan juga bada pemerintahan berupaya menerapkan
hukum dan peraturan perundang-undangan belanda. Ini diterapkan pada daerah yang

9
satu-persatu dikuasai oleh VOC. Namun hal ini tak selancar yang diinginkan dan
mendapat hambatan dari masyarakat pribumi. Atas dasar berbagai pertimbangan,
VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan
sebagamanai sebelumnya. Langkah ini diambil mempunyai tujuan untuk menghindari
atau meminimalisir perlawanan oleh rakyat dalam kehiduan sehari hari. Hukum yang
berlaku tetap diakaui oleh belanda seperti, hukum perkawinan, wakaf, waris dan
hukum keluarga Islam.Oleh kaena itu, VOC melakukan beberapa kompromi antara
lain :
1. dalam ststus batavia yang ditetapkan pada 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa
hukum kewarisan islam berlaku bagi para pemeluk agama islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum keluarga islam yang telah berlaku di tenga
masyarakat, yang dikeal sebagai Compendium Freije.
3. Adanya kompilasi serupa di berbagai daerah wilayah lain, seperti di
Semarang, Gowa, Cirebon, Bone. Di Semarang, hasil kompilasi ini dikenal
kitab hukum Mogharraer (dari al-muharrar), kompilasi ini lebih unggul dari
yang lain karena ini mencakup Hukum Pidan Islam.5

Meskipun belanda teah mencampuri urusan hukum islam yang tlah diterapkan
oleh masyarakat ataupun kerajaan ada masa itu. Hukum islam tetap belaku dan
berjalan sebagaimana mestinya, seolah-seolah tidak ada pengaruh dengan apa yang
telah diterapkan oleh belanda, hal ini menunjukan bahwa islam telah mendrah daging
dalam tubuh rakyat nusantara, dan menjadi identitas dari penerapan hukum Islam di
nusantara.

Pada tanggal 25 Mei 1760 berlakunya Hukum Islam di akui oleh VOC melalui
Resolutie der Indische Regeling, yaitu berupa kumpulan aturan Hukum Perkawinan

5
Alaiddin Koto, sejarah peradilan Islam (PT Raja Grafindo Persada. Jakarta,2011), hlm. 214-215.
10
dan Hukum Kewarisan mebnurut Hukum Islam. Hal ini mungkin disebabkan karena
sistem pemerintahan Belanda belum kuat kekuasaannya, dan juga idealisme serta
fanatisme keberagamaan masyarakat Indonesia pada saat itu yang sangat kuat sekali,
sehingga upaya pemerintah Belanda untuk menekan Peradilan Agama dan
memasukkan hukum Eropa kurang berjalan lancar.6 Pada tahun 1830 pemerintahan
belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan “landraad”
(Pengadilan Negeri). Hanya lembaga Landraad yang berkuasa untuk memerintahkan
pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dalam bentuk “excecutoire verklaring”
(pelaksanaan putusan), Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang
dan uang.7
Dapat disimpulkan bahwa potret Peradilan Agama pada awal penjajahan
Belanda sudah beroperasi secara maksimal, diakui dan diterapkan oleh kerajaan-
kerajaan di Indonesia, walaupun belum diakui sebagai lembaga resmi yang
independen oleh Belanda. hal ini bisa terjadi karena memang pengaruh Islam kuat
sekali, kemudian pengakuan dan legitimasi yang diberikan oleh penguasa juga sangat
mendorong berdirinya Peradilan Agama dan diakui keberadaannya serta
aktualisasinya. Ini sesuai dengan Teori Living Law dan teori hukum ketatanegaraan.
Peradilan Agama pada mulanya masih eksis dan memiliki peran penting pada masa
awal penjajahan Belanda, ini karena sesuai dengan Teori Living Law hukum yang
hidup di masyarakat dan yang mempengaruhi pola pikir mereka adalah hukum Islam,
namun ketika belanda berkuasa dan melancarkan politik hukumnya, peradilan agama
dengan hukum Islam yang diusungnya bersinggungan dengan hukum Eropa dan
hukum adat, ketika terjadi gap semacam ini maka kebijakan penguasalah yang paling
menentukan, pemerintah belanda dalam hal ini ingin menyingkirkan peradilan agama
walaupun masyarakat mayoritas muslim, ini tentunya tidak lepas dari pertimbangan
6
Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, cet-3(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 48
7
Ibid., hlm. 52.
11
politik dari mereka, seperti terancamnya kekuasaan, ketakutan akan fanatisme yang
berlebihan dari rakyat jajahan.8
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882
Nomor 24, yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 telah mengubah
susunan dan status Peradilan Agama. serta pengakuan dan pengukuhan akan
keberadaan Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, ini adalah merupakan
tonggak sejarah yang sangat penting bagi Peradilan Agama, dengan adanya Staatblad
1882 no.152 yang di keluarkan pada tanggal 1 Agustus 1882 ini, maka secara yuridis
formal Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dengan sistem
kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia.Adapun wewenang Pengadilan
Agama yang disebut dengan “preisterraacf'”, ialah mengenai perkara-perkara itu
umumnya meliputi: pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan
anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya
erat dengan agama Islam.9
Selain Peradilan Agama pada saat itu terdapat 5 buah tatanan peradilan, yaitu:
1. Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda
2. Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di Karesidenan
Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Timur, Manado dan Sulawesi,
Maluku, dan di pulau Lombok dari Karesidenan Bali dan Lombok.
3. Peradilan Swapraja, tersebar hamper di seluruh daerah swapraja, kecuali di
Pakualaman dan Pontianak.
4. Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat Peradilan Gubernemen,

8
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002). Hlm.59-61.
9
Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda
HIngga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 7, No. 2,
(Desember 2016), Hlm. 5.
12
di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-
daerah swapraja dan menjadi bagian dari peradilan swapraja.
5. Peradilan Desa, tersebar di daerah- daerah tempat berkedudukan Peradilan
Gubernemen. Disamping itu ada juga Peradilan Desa yang merupakan
bagian dari Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.10
Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu
sangat dipengaruhi oleh pemikiran hukum sarjana barat L.W.C. Van De Berg, dia
sebagai penasehat kerajaan Belanda adalah konseptor Staatblad 1882 no.152. Dia
mengemukakan sebuah teori yang disebut teori “receptio in complexu”, Teori ini
digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikaitkan oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini, adalah “hukum mengikat
agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah
yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini menyebut bagi rakyat pribumi yang
berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya,walaupun terjadi penyimpangan-
penyimpangan dalam prakteknya”. Teori receptio bertujuan untuk mengetahui
peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti
hukum Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat pemerintah
kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial dalam penyebaran agama
kristen di wilayah Hindia Belanda.11
Pada tahun 1937 munculah Staatsblad 1937 Nomor 116, dengan stanblaad ini
berarti telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam
bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris harus
diserahkan kepada pengadilan negeri, mereka (Pemerintah Kolonial Belanda)
berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak
10
Muhammad Sukri, ”Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 10, No.
2, (2010), Hlm. 33.
11
Faisal, “Histori Pemberlakuan Peradilan Agama Era Kerajaan Islam dan Penjajahan Di Indonesia,”
Jurnal Al-Qadha, Vol. 6, No. 1, (Januari 2019), Hlm. 28.
13
mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan
Madura serta di tempat-tempat lain diseluruh Indonesia.
Adapun wewenang pengadilan agama di Jawa dan Madura berdasarkan
ketentuan Staatblad 1937/116 dan 610 meliputi perkara-perkara sebagai berikut:
1. Perselisihan antar suami istri yang beragama Islam.
2. Perkara-perkara tentang Nikah, Talak, Rujuk, dan Perceraian antara orang-
orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama Islam.
3. Menyelenggarakan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta‟liq al
thalaq) telah ada.
5. Perkara mahar atau mas kawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan ini pemerintah Belanda melegislasi Peradilan Agama, namun
dengan terselubung bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara sedikit
demi sedikit mengurangi kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.

2.3. Karakteristik Pengadilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda


Peradilan agama di Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda selain
peraturan hukum Islam didalamnya juga dimasukin oleh hukum adat serta hukum
barat yang dibawa dan diterapkan oleh bangsa Belanda. Akibat hal tersebut peradilan
agama di Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda memiliki banyak sekali
karakteristik. Adapun karakteristik dari peradilan agama pada masa penjajahan
Hindia Belanda ialah :
1. Hukum yang dijalankan atau yang digunakan di peradilan agama terdiri
dari tiga hukum, yaitu hukum Islam, hukum adat serta hukum barat.
14
2. Peraturan hukum di peradilan agama dibagi kepada tiga golongan
masyarakat.
3. Aturan-aturan yang terdapat di dalam peradilan agama ada yang
bersifat sistematis dan ada pula yang bersifat dinamis hal ini dikarena
percampuran hukum hukum Islam, hukum adat serta hukum barat.
4. Aturan hukum peradilan agama terdapat di stattsblad 1937 yang dibuat
oleh pihak Belanda dan sebagai bentuk legistimasi atau pengakuan dari
pihak Belanda.

15
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Indonesia merupakan negara yang sangat kental dengan tatanan politik, sosial
religius dan adatnya. Aturan-aturan hukum sudah berjalan pada mestinya baik aturan
hukum Islam, ataupun aturan hukum adatnya. Salah satu lembaga yang menjadi
tempat penegak keadilan pada masa itu ialah peradilan agama yang dapat mampu
mengkompromikan aturan hukum Islam dan adat untuk bersatu tanpa adanya sebuah
gesekan.
Kedatangan Belanda ke Indonesia mulai mempengaruhi tatanan politik, sosial
religius dan adat yang berada di Indoensia, salah satu yang nampak adalah ikut
campur nya pihak terhadap peradilan agama sebagai wadah atau tempat untuk
menegakan sebuah aturan Islam dan adat dalam permasalaha, keIslaman. Belanda
mulai mengikis kewenangan-kewenangan peradilan agama dengan mengeluarkan
stattsblad 1937 serta melakukan penggolongan masyarakat ke dalam tiga golongan.
Penggolongan disini guna memecah belah dan serta melemahkan peradilan agama di
Indonesia.
Peradilan agama yang pada saat itu mengatur terkait semua yang berkaitan
dengan hukum Islam karena adanya stattsblad 1937 maka kewenangannya pun
berubah menjadi tentang perselisihan antar suami istri yang beragama Islam,Perkara-
perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama
Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama Islam, menyelenggarakan perceraian,
perkara mahar atau mas kawin.Perkara tentang nafkah terhadap istri. Dengan adanya
stattsblad 1937 Belanda bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara sedikit
demi sedikit mengurangi kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.
16
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.

Asshiddiqie, Jimly, Makalah Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah


Amandemen Keempet UUD 1945, Denpasar: disampaikan dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum dalam Era
Pembangunan Keberlanjutan, 2003.

Munir, Sirojul, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia, Jurnal
Istinbath, Vol.13, No 1, Desember 2014,

Faisal, Histori Pemberlakuan Peradilan Agama Era Kerajaan Islam dan Penjajahan
Di Indonesia, Jurnal Al-Qadha. Vol 6, No. 1, Januari 2019.

Halim, Abdul , Peradilan Agama dalam Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 2002.

Sukri, Muhammad, Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Al-


Syir’ah, Vol. 10, No. 2, 2012.

Tri Wahyudin, Abdullah, Kewenangan Absolut Peradilan Agama Di Indonesia Pada


Masa Kolonial Belanda Hingga Pasca Reformasi, Yudisia, Jurnal Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam, Vol. 7, No. 2 Desember 2016.

17

Anda mungkin juga menyukai