(Disusun untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Sejarah Peradilan dan Hukum Acara Islam)
Disusun :
Kelompok 6
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan kepada kami dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul”Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda”.Shalawat beserta
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
2.1. Setting Historis Kondisi Sosial, Religius, Politik pada Masa Penjajahan Hindia
Belanda......................................................................................................................3
3.1. Kesimpulan.......................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................17
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
Maka dari sejarah tersebut kami tertarik untuk mengangkat judul “Peradilan
Agama Pada Masa Penjajahan Hindia Belanda” guna mempelajari peradilan agama
pada masa tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Setting Historis Kondisi Sosial, Religius, Politik pada Masa
Penjajahan Hindia Belanda?
2. Bagaimanakah Kondisi Peradilan Agama Pada Masa Penjajahan Hindia
Belanda?
3. Bagaimana .Karakteristik Pengadilan Agama Pada Masa Penjajahan
Hindia Belanda?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat Memahami Setting Historis Kondisi Sosial, Religius,
Politik pada Masa Penjajahan Hindia Belanda.
2. Mahasiswa dapat Memahami Kondisi Peradilan Agama Pada Masa
Penjajahan Hindia Belanda
3. Mahasiswa dapat Memahami Karakteristik Pengadilan Agama Pada
Masa Penjajahan Hindia Belanda
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Setting Historis Kondisi Sosial, Religius, Politik pada Masa Penjajahan
Hindia Belanda
1. Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama
Islam.
1
Repository.uph.edu
3
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Kehadiran hukum barat pertama kali muncul saat berdirinya VOC di Indonesia
di mana gubernur saat itu Jenderal Pieter Both diberikan wewenang untuk
membentuk peraturan dalam menjalankan tugas dan menyelesaikan permasalahan
yang mungkin muncul. Pada tahun 1642, dibentuk Statuta Batavia dan Statuta Bara
pada 1766 yang berisi kumpulan peraturan yang telah dibentuk. Setelah runtuhnya
VOC, Masa penjajahan belanda dilanjutkan oleh kepemimpinan Daendels yang
memperbolehkan penduduk pribumi untuk menggunakan hukum adat, asalkan
hukum tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan dasar keadilan
dan kepatutan yang dikoridori oleh hukum Barat.
5
Pada tahun 1816, Hindia Belanda mengeluarkan suatu peraturan yang
berbentuk lembaran, peraturan yang diterbitkan itu disebut Staatsblad dan Bijblad.
Inti dari tata hukum tersebut dibagi atas tiga yakni peraturan tertulis yang
dikodifikasikan, peraturan tertulis yang tidak dikodifikasikan dan hukum adat yang
berlaku bagi golongan Eropa. Seiring berjalannya waktu, hukum adat semakin lama
semakin tergeser oleh hukum barat, di mana sejak tahun 1848, Kitab UU Hukum
dagang, Kita UU Hukum Perdata, Kitab UU hukum Acara Perdata dan Acara Pidana
yang didasarkan oleh Belanda sudah diterapkan di Indonesia bagi penduduk Belanda.
Pada Masa Regerings Reglement (RR) yaitu pada kurun waktu tahun 1855
sampai dengan tahun 1926 Berhasil diundangkan Kitab Hukum pidana untuk
golongan Eropa melalui S.1866:55., Algemene Politie Strafreglement sebagai
tambahan Kitab Hukum Pidana untuk Golongan Eropa., Kitab Hukum Pidana orang
bukan Eropa melalui S.1872:85., Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa dan
Wetboek Van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui
S.1915:732 mulai berlaku 1 Januari 1918.3 Menurut Pasal 163 Indische
Staatsregeling, Rakyat Indonesia dibagi atas tiga golongan:
(1) golongan Eropa, yang terdiri dari: (a) semua orang Belanda, (b) semua orang
Eropa selain Belanda, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari
tempat lain selain ( a, b, dan c, tersebut), (e) anak sah atau yang diakui menurut
Undang-Undang dan keturunan selanjutnya dari orang yang termasuk b, c, dan d
yang lahir di Belanda,
(2) golongan Bumiputera adalah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli
Hindia Belanda dan yang tidak masuk beralih ke golongan lain, dan mereka yang
3
Repository.uph.edu
6
mula-mula termasuk golongan rakyat lain tetapi telah berasimilasi dengan rakyat
Indonesia asli sedangkan yang,
(3) golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang yang termasuk
golongan Eropa, ataupun golongan Bumiputera.11 Dengan demikian semua
ketentuan yang ditetapkan dalam RR dan IS menjadi ketentuan dasar operasional
mengenai hukum yang mengikat bagi setiap golongan atau penduduk Hindia
Belanda, karena itu dapat dikatakan keduanya sebagai Konstitusi atau Undang-
Undang Dasar dalam wilayah Hindia Belanda. Kemudian atas upaya-upaya
pembatasan pemberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda dapat
disimpulkan, secara kronologis sebagai berikut:
7
terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di
wilayah Indonesia pada tahun 1942.
4
Jimly Asshiddiqie, Makalah Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Amandemen Keempet UUD
1945, (Denpasar: disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan
Hukum dalam Era Pembangunan Keberlanjutan, 2003), hlm. 3
8
masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara
berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Masyarakat pada masa kerajaan sampai
awal kolonial belanda berkuasa dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran-
ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian
menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi
tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.
Peradilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu,
yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang-sidang pengadilan agama
pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama
sering pula disebut “pengadilan serambi”. Kelembagaan Peradilan Agama sebagai
wadah, dan hukum Islam sebagai muatan isi pokok pegangan dalam menyelesaikan
dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam
lembaga peradilan agama termasuk bagian tak terpisahkan dengan pemerintahan
umum, para ulama yang memegang kekuasaan dalam Peradilan Agama merupakan
penghulu kraton yang mengurus keagamaan islam dalam semua aspek kehidupan.
Kewenangan Peradilan Agama yang diselenggarakan oleh pihak keraton tersebut
sangat luas mencakup perbagai permasalahan kemasyarakatan dan kerajaan.
Eksistensi Peradilan Agama yang di praktekkan tersebut merupakan bukti
bahwa hukum Islam telah mampu melebur dengan hukum adat Indonesia, dan justru
lebih bisa di terima oleh masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas dari keadaan sosial
masyarakat saat itu yang mayoritasnya sudah memeluk agama Islam, selain itu
kekuasaan pemerintahan kerajaan juga sangat mendukung aktifnya Peradilan Agama.
Setelah datangnya Belanda dengan organisasi dagangnya yaitu VOC
(vereenigde Oost-Indish Compagnie) tahun 1596 di banten. VOC yang pada saat itu
berperan sebagai organisasi dagan dan juga bada pemerintahan berupaya menerapkan
hukum dan peraturan perundang-undangan belanda. Ini diterapkan pada daerah yang
9
satu-persatu dikuasai oleh VOC. Namun hal ini tak selancar yang diinginkan dan
mendapat hambatan dari masyarakat pribumi. Atas dasar berbagai pertimbangan,
VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan
sebagamanai sebelumnya. Langkah ini diambil mempunyai tujuan untuk menghindari
atau meminimalisir perlawanan oleh rakyat dalam kehiduan sehari hari. Hukum yang
berlaku tetap diakaui oleh belanda seperti, hukum perkawinan, wakaf, waris dan
hukum keluarga Islam.Oleh kaena itu, VOC melakukan beberapa kompromi antara
lain :
1. dalam ststus batavia yang ditetapkan pada 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa
hukum kewarisan islam berlaku bagi para pemeluk agama islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum keluarga islam yang telah berlaku di tenga
masyarakat, yang dikeal sebagai Compendium Freije.
3. Adanya kompilasi serupa di berbagai daerah wilayah lain, seperti di
Semarang, Gowa, Cirebon, Bone. Di Semarang, hasil kompilasi ini dikenal
kitab hukum Mogharraer (dari al-muharrar), kompilasi ini lebih unggul dari
yang lain karena ini mencakup Hukum Pidan Islam.5
Meskipun belanda teah mencampuri urusan hukum islam yang tlah diterapkan
oleh masyarakat ataupun kerajaan ada masa itu. Hukum islam tetap belaku dan
berjalan sebagaimana mestinya, seolah-seolah tidak ada pengaruh dengan apa yang
telah diterapkan oleh belanda, hal ini menunjukan bahwa islam telah mendrah daging
dalam tubuh rakyat nusantara, dan menjadi identitas dari penerapan hukum Islam di
nusantara.
Pada tanggal 25 Mei 1760 berlakunya Hukum Islam di akui oleh VOC melalui
Resolutie der Indische Regeling, yaitu berupa kumpulan aturan Hukum Perkawinan
5
Alaiddin Koto, sejarah peradilan Islam (PT Raja Grafindo Persada. Jakarta,2011), hlm. 214-215.
10
dan Hukum Kewarisan mebnurut Hukum Islam. Hal ini mungkin disebabkan karena
sistem pemerintahan Belanda belum kuat kekuasaannya, dan juga idealisme serta
fanatisme keberagamaan masyarakat Indonesia pada saat itu yang sangat kuat sekali,
sehingga upaya pemerintah Belanda untuk menekan Peradilan Agama dan
memasukkan hukum Eropa kurang berjalan lancar.6 Pada tahun 1830 pemerintahan
belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan “landraad”
(Pengadilan Negeri). Hanya lembaga Landraad yang berkuasa untuk memerintahkan
pelaksanaan putusan Pengadilan Agama dalam bentuk “excecutoire verklaring”
(pelaksanaan putusan), Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang
dan uang.7
Dapat disimpulkan bahwa potret Peradilan Agama pada awal penjajahan
Belanda sudah beroperasi secara maksimal, diakui dan diterapkan oleh kerajaan-
kerajaan di Indonesia, walaupun belum diakui sebagai lembaga resmi yang
independen oleh Belanda. hal ini bisa terjadi karena memang pengaruh Islam kuat
sekali, kemudian pengakuan dan legitimasi yang diberikan oleh penguasa juga sangat
mendorong berdirinya Peradilan Agama dan diakui keberadaannya serta
aktualisasinya. Ini sesuai dengan Teori Living Law dan teori hukum ketatanegaraan.
Peradilan Agama pada mulanya masih eksis dan memiliki peran penting pada masa
awal penjajahan Belanda, ini karena sesuai dengan Teori Living Law hukum yang
hidup di masyarakat dan yang mempengaruhi pola pikir mereka adalah hukum Islam,
namun ketika belanda berkuasa dan melancarkan politik hukumnya, peradilan agama
dengan hukum Islam yang diusungnya bersinggungan dengan hukum Eropa dan
hukum adat, ketika terjadi gap semacam ini maka kebijakan penguasalah yang paling
menentukan, pemerintah belanda dalam hal ini ingin menyingkirkan peradilan agama
walaupun masyarakat mayoritas muslim, ini tentunya tidak lepas dari pertimbangan
6
Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, cet-3(Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 48
7
Ibid., hlm. 52.
11
politik dari mereka, seperti terancamnya kekuasaan, ketakutan akan fanatisme yang
berlebihan dari rakyat jajahan.8
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882
Nomor 24, yang dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 telah mengubah
susunan dan status Peradilan Agama. serta pengakuan dan pengukuhan akan
keberadaan Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, ini adalah merupakan
tonggak sejarah yang sangat penting bagi Peradilan Agama, dengan adanya Staatblad
1882 no.152 yang di keluarkan pada tanggal 1 Agustus 1882 ini, maka secara yuridis
formal Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dengan sistem
kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia.Adapun wewenang Pengadilan
Agama yang disebut dengan “preisterraacf'”, ialah mengenai perkara-perkara itu
umumnya meliputi: pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan
anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal, yang semuanya
erat dengan agama Islam.9
Selain Peradilan Agama pada saat itu terdapat 5 buah tatanan peradilan, yaitu:
1. Peradilan Gubernemen, tersebar di seluruh daerah Hindia-Belanda
2. Peradilan Pribumi, tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di Karesidenan
Aceh, Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Timur, Manado dan Sulawesi,
Maluku, dan di pulau Lombok dari Karesidenan Bali dan Lombok.
3. Peradilan Swapraja, tersebar hamper di seluruh daerah swapraja, kecuali di
Pakualaman dan Pontianak.
4. Peradilan Agama, tersebar di daerah-daerah tempat Peradilan Gubernemen,
8
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002). Hlm.59-61.
9
Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda
HIngga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 7, No. 2,
(Desember 2016), Hlm. 5.
12
di daerah-daerah dan menjadi bagian dari Peradilan Pribumi, atau di daerah-
daerah swapraja dan menjadi bagian dari peradilan swapraja.
5. Peradilan Desa, tersebar di daerah- daerah tempat berkedudukan Peradilan
Gubernemen. Disamping itu ada juga Peradilan Desa yang merupakan
bagian dari Peradilan Pribumi atau Peradilan Swapraja.10
Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu
sangat dipengaruhi oleh pemikiran hukum sarjana barat L.W.C. Van De Berg, dia
sebagai penasehat kerajaan Belanda adalah konseptor Staatblad 1882 no.152. Dia
mengemukakan sebuah teori yang disebut teori “receptio in complexu”, Teori ini
digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikaitkan oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini, adalah “hukum mengikat
agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah
yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini menyebut bagi rakyat pribumi yang
berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya,walaupun terjadi penyimpangan-
penyimpangan dalam prakteknya”. Teori receptio bertujuan untuk mengetahui
peranan hukum Islam dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti
hukum Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat pemerintah
kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial dalam penyebaran agama
kristen di wilayah Hindia Belanda.11
Pada tahun 1937 munculah Staatsblad 1937 Nomor 116, dengan stanblaad ini
berarti telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam
bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris harus
diserahkan kepada pengadilan negeri, mereka (Pemerintah Kolonial Belanda)
berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak
10
Muhammad Sukri, ”Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol. 10, No.
2, (2010), Hlm. 33.
11
Faisal, “Histori Pemberlakuan Peradilan Agama Era Kerajaan Islam dan Penjajahan Di Indonesia,”
Jurnal Al-Qadha, Vol. 6, No. 1, (Januari 2019), Hlm. 28.
13
mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan
Madura serta di tempat-tempat lain diseluruh Indonesia.
Adapun wewenang pengadilan agama di Jawa dan Madura berdasarkan
ketentuan Staatblad 1937/116 dan 610 meliputi perkara-perkara sebagai berikut:
1. Perselisihan antar suami istri yang beragama Islam.
2. Perkara-perkara tentang Nikah, Talak, Rujuk, dan Perceraian antara orang-
orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama Islam.
3. Menyelenggarakan perceraian.
4. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta‟liq al
thalaq) telah ada.
5. Perkara mahar atau mas kawin.
6. Perkara tentang keperluan kehidupan isteri yang wajib diadakan oleh suami.
Dengan ini pemerintah Belanda melegislasi Peradilan Agama, namun
dengan terselubung bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara sedikit
demi sedikit mengurangi kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang sangat kental dengan tatanan politik, sosial
religius dan adatnya. Aturan-aturan hukum sudah berjalan pada mestinya baik aturan
hukum Islam, ataupun aturan hukum adatnya. Salah satu lembaga yang menjadi
tempat penegak keadilan pada masa itu ialah peradilan agama yang dapat mampu
mengkompromikan aturan hukum Islam dan adat untuk bersatu tanpa adanya sebuah
gesekan.
Kedatangan Belanda ke Indonesia mulai mempengaruhi tatanan politik, sosial
religius dan adat yang berada di Indoensia, salah satu yang nampak adalah ikut
campur nya pihak terhadap peradilan agama sebagai wadah atau tempat untuk
menegakan sebuah aturan Islam dan adat dalam permasalaha, keIslaman. Belanda
mulai mengikis kewenangan-kewenangan peradilan agama dengan mengeluarkan
stattsblad 1937 serta melakukan penggolongan masyarakat ke dalam tiga golongan.
Penggolongan disini guna memecah belah dan serta melemahkan peradilan agama di
Indonesia.
Peradilan agama yang pada saat itu mengatur terkait semua yang berkaitan
dengan hukum Islam karena adanya stattsblad 1937 maka kewenangannya pun
berubah menjadi tentang perselisihan antar suami istri yang beragama Islam,Perkara-
perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama
Islam yang memerlukan perantaraan hakim agama Islam, menyelenggarakan perceraian,
perkara mahar atau mas kawin.Perkara tentang nafkah terhadap istri. Dengan adanya
stattsblad 1937 Belanda bermaksud mematikan Peradilan Agama dengan cara sedikit
demi sedikit mengurangi kewenangan serta membiarkan tanpa pembinaan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Munir, Sirojul, Pengaruh Hukum Islam Terhadap Politik Hukum Indonesia, Jurnal
Istinbath, Vol.13, No 1, Desember 2014,
Faisal, Histori Pemberlakuan Peradilan Agama Era Kerajaan Islam dan Penjajahan
Di Indonesia, Jurnal Al-Qadha. Vol 6, No. 1, Januari 2019.
17