Anda di halaman 1dari 736

Editor :

Muchit A. Karim

Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer
di Indonesia

Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Jakarta 2012
Problem
atika
Hukum
Kewarisan
Islam
Kontempor
er
di
Indonesi
a
Editor :
Muchit A. Karim

Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

problematika hukum kewarisan islam kontemporer di


indonesia/ Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Ed. I. Cet. 1. ----
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2012 xxiv + 430 hlm; 14,8 x 21 cm

ISBN 978-602-8739-07-8

Hak Cipta pada Penerbit

....................................................................................................................................................................

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa seizin sah dari penerbit
....................................................................................................................................................................
Cetakan Pertama, Oktober 2012
....................................................................................................................................................................

PROBLEMATIKA HUKUM KEWARISAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA


....................................................................................................................................................................

Editor :
Muchit A. Karim

Tata Letak :
Sugeng

Design Cover
Firdaus
....................................................................................................................................................................

Foto Ilustrasi Cover :


Tangan orangtua dan anak dengan latar ornamen Timur Tengah

Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421
Email: puslitbang1@kemenag.go.id
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kata Pengantar
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT.,


Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya Penerbitan Naskah
Buku Kehidupan Keagamaan. Penerbitan buku Tahun 2012
ini, sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011.
Kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar
dalam menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai
editor buku ini yang secara tekun telah menyelaraskan
laporan hasil penelitian menjadi buku, yang akhirnya dapat
hadir di hadapan pembaca yang budiman.

Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku


yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:

Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan


Kontemporer di Indonesia.

Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di


Indonesia.

iii
Kata Pengantar

0 Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi


Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.
1 Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia

2 Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan


Umat Beragama

3 Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/


Perselisihan Rumah Ibadat.

4 Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik,


Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.
5 Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.

6 Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.

Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggi-


tingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program
penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga
penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak
menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai
bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas
tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan
yang terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan
secara simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk
memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang
amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan.

Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa kekurangan,


baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas

iv
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami


haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan
dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

Jakarta, Oktober 2012


Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan


NIP. 19691110 199403 1 005

v
Kata Pengantar

vi
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sambutan
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat


dan karunia-Nya, sehingga kita masih diberi kekuatan untuk
bisa mengabdi kepada bangsa dan negara yang kita cintai.

Mengawali sambutan ini, saya ingin mengucapkan


selamat atas terbitnya buku "Problematika Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer di Indonesia" yang pada mulanya adalah
naskah workshop urgensitas legislasi undang-undang mengenai
kewarisan dan problematikanya. Buku ini dirasa sungguh penting
di tengah upaya Kementerian Agama untuk senantiasa
meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama umat
Islam, dimana salah satunya kebutuhan terhadap pengaturan
kewarisan dalam bentuk legislasi Undang-Undang Kewarisan.

Berkaitan dengan upaya legislasi hukum Islam di


Indonesia, memang masih menyimpan beberapa permasalahan,
diantaranya kontroversi termasuk dari kalangan umat Islam
sendiri yang mengasumsikan bahwa legislasi hukum Islam
adalah penghidupan kembali Piagam Jakarta.

Kekhawatiran semacam itu merupakan warisan dan


mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin merusak atau menjauhkan
masyarakat Islam dari ajaran agamanya yang semula sudah
menerima secara menyeluruh (receipt in complete). Hingga masa-
masa Orde Baru sampai Era Reformasi mentalitas tersebut

vii
Sambutan

masih tumbuh subur di sebagian besar wilayah Indonesia,


termasuk mereka yang muslim sekalipun.

Di sisi lain, terdapat perkembangan yang cukup


menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di
dalamnya adalah hukum Islam mendapat dukungan justru dari
para akademisi dan hakim. Alasan yang dikemukakan
diantaranya adalah nilai dari materi hukum Islam sudah
semestinya ditempatkan sebagai sumber hukum. Di samping
itu, banyak pula produk hukum Islam masuk dan diakui
sebagai hukum positif. Karena itulah, legislasi hukum materiil
tentang Hukum Kewarisan Islam menjadi signifikan.

Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya legislasi Hukum


Kewarisan Islam adalah gagasan mulia, namun membutuhkan
perjuangan yang tidak kenal lelah untuk meyakinkan para
politisi di lembaga legislatif. Untuk itu, diperlukan upaya
maksimal dari Dirjen Bimas Islam terutama Direktorat Urusan
Agama Islam dan Pembinaan Syariah serta berbagai instansi
terkait dalam merealisir upaya tersebut.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada


Puslitbang Kehidupan Keagamaan atas diterbitkannya buku
ini, dan semoga banyak mendatangkan manfaat.

Jakarta, Oktober 2012


Pgs. Kepala
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI

Prof. Dr. H. Machasin, MA


NIP. 19561013 198103 1 003

viii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Prolog

Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH,MH


Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama
Mahkamah Agung RI

Puji syukur kehadirat Allah SWT, bahwa saat ini akan


lahir buku Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia. Buku ini sangat dinantikan kehadirannya, terutama
oleh warga Peradilan Agama yang benar-benar menghadapi
problem dalam menerapkan hukum kewarisan di Indonesia.

Betapa tidak, sebab dewasa ini kebanyakan umat Islam


membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri ketimbang ke
Pengadilan Agama. Hal ini terungkap, antara lain:

5888 Pernyataan Ketua Pengadilan Tinggi Mataram (waktu


itu) didepan forum pertemuan para Ketua Pengadilan
Tingkat Banding 4 (empat) lingkungan di Mahkamah
Agung, bahwa sekarang harus dipertimbangkan kembali,
sebab masyarakat lebih cenderung membawa
sengketanya ke Pengadilan Negeri dari pada ke
Pengadilan Agama.

5889 Seorang dosen yang mewakili Fakultas Hukum


Universitas Airlangga pada seminar KHI di Surabaya
menyatakan bahwa hasil penelitian Universitas Airlangga
menunjukan bahwa perkara kewarisan jauh lebih banyak
yang ke Pengadilan Negeri dari pada ke Pengadilan
Agama.
ix
Prolog

23 Perkara kasasi di Mahkamah Agung yang berasal dari


Pengadilan Negeri lebih banyak dengan menggunakan
alasan PMH (perbuatan melawan hukum).

Hal ini merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan,


padahal Undang-undang No.3 Tahun 2006 yang telah dirubah
dengan Undang-undang No.50 Tahun 2009 secara tegas
menyatakan bahwa sengketa kewarisan di kalangan orang-
orang Islam menjadi kewenangan mutlak peradilan agama.

Kecendrungan orang Islam membawa perkaranya ke


Pengadilan Negeri mungkin menjadi salah satu penyebab
disamping perkembangan zaman, sehingga hakim mulai
melakukan inovasi terhadap hukum kewarisan Islam.

Hakim Agung Tim E yang menangani perkara-perkara


kewarisan di kalangan Umat Islam di Mahkamah Agung dan
Pengadilan Agama, telah melakukan inovasi, seperti:

5888 Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak tiri


kalau tidak ada lagi ahli waris lainnya dan anak itu dipelihara
sejak kecil, dengan menggunakan lembaga wasiat wajibah.

5889 Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak


non muslim sedangkan pewaris beragama Islam dengan
alasan wasiat wajibah.

5890 Tidak membatalkan putusan tentang pusako tinggi di


Padang dengan alasan hukum adat yang sudah melembaga.

5891 Pengadilan Agama menerapkan tradisi masyarakat Sulsel


yang membagi harta warisan menyisihkan rumah sebagai
bagian mutlak anak perempuan, terutama anak perempuan
bungsu melalui pembagian waris tanpa sengketa atau P3HP.

x
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

23 Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan menerapkan kebiasaan


yang melembaga yang disebut ampikale dan diterima oleh
pencari keadilan, bahkan tidak banding dan kasasi.

24 Sudah ada Pengadilan Agama yang membagi warisan


sama bagian anak laki-laki dan anak perempuan dengan
berbagai pertimbangan.

25 Hakim Agung Tim E pernah menjatuhkan putusan anak


perempuan menghijab saudara pewaris.
26 Sudah banyak sekali putusan tentang ahli waris pengganti.

27 Demikian pula putusan wasiat wajibah untuk anak angkat. Dan


siapa yang menanggung nafkah anak angkat paska perceraian.

28 Buku II tentang Pedoman Teknis telah memberi petunjuk


tentang pembagian harta bersama secara serial, karena
isteri lebih dari seorang.

29 Sedang ditunggu putusan tentang nafkah dan kewarisan


anak hasil zina sebagai akibat putusan Mahkamah
Konstitusi yang sangat terkenal.

30 Mafqud, menurut hasil diskusi Hakim Agung Tim E,


ditetapkan 2 tahun kecuali kasus-kasus tertentu seperti
kasus Adam Air, tsunami dan lain-lain.

Hal-hal ini bisa melahirkan putusan yang berbeda-beda,


tergantung pandangan hukum seorang Hakim. Mengapa, sebab
persoalan-persoalan ini tidak diatur secara khusus. Karena itu
lahirnya buku ini sangat urgen untuk mendorong lahirnya
Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum
Waris. Syukur-syukur kalau kelak dapat menjadi hukum waris
nasional seperti Undang-undang Perkawinan.

xi
Prolog

Buku ini sangat baik dianjurkan untuk dibaca oleh


segenap warga peradilan agama. Hal ini dengan mudah dapat
dilakukan melalui kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan
dengan pihak Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama atau
yang sering disingkat Ditjen Badilag MARI.
Wassalam.

xii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Prakata Editor

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan


materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi pasal,
berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi hukum.
Ketiga materi hukum tersebut yaitu: a) hukum perkawinan
sebanyak 170 pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah)
sebanyak 44 pasal; c) hukum perwakafan sebanyak 14 pasal.
Kemudian ditambah dengan satu pasal ketentuan penutup.

Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi


Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama. Akan tetapi
karena kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya KHI
disahkan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10
Juni 1991. Melalui Inpres ini, Presiden menginstruksikan
kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut
untuk dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat
luas yang membutuhkan.

Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri No


154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres No 1 Tahun
1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan
Urusan Haji untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan
Menteri tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing.

Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan


sosialisasi secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula
Badan Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini
lembaga tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi
dalam menangani perkara-perkara yang ada.

xiii
Prakata Editor

Sejak tahun 1998 tepatnya pasca reformasi, sistem


kenegaraan dan kepemerintahan mengalami dinamika yang
signifikan. Keinginan agar KHI menjadi Undang-Undang mulai
terbuka lebar, apalagi sejak lahirnya Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 mengenai Perubahan UU No 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Berdasarkan UU ini, Peradilan Agama-lah
yang berhak menyelesaikan perkara umat Islam seperti hukum
penyelesaian perkawinan, perwakafan, hibah dan wasiat. Begitu
pula penyelesaian persoalan shadaqah, infaq, zakat dan ekonomi
syariah. Hal ini berarti penyelesaian perkara warisan umat Islam
tidak diperbolehkan ditangani Pengadilan Umum.

Akan tetapi sampai saat ini tingkat pengetahuan ulama


dan masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat
rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama yang diselenggarakan pada tahun 2009. Penelitian
tersebut berjudul: Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap
Fiqih Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
bahwa tingkat pengetahuan ulama dan tokoh masyarakat
terhadap Kompilasi Hukum Islam masih rendah.

Pandangan mereka dapat dikategorikan kepada: a)


ulama yang belum mengetahui Kompilasi Hukum Islam; b)
ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara
mendalam; c) ulama dan hakim yang mengetahui Kompilasi
Hukum Islam secara mendalam karena sering menyelesaikan
persoalan masalah kewarisan.
Hal tersebut berdampak pada perbedaan respon terhadap
keberadaan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Perbedaan terjadi pada isi materi Kompilasi Hukum Islam terkait
kewarisan sesuai dengan fiqih Islam seperti konsep harta bersama

xiv
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(gono gini), ahli waris pengganti dan wasiat wajibah untuk


anak dan bapak angkat. Selanjutnya, mereka menyatakan
bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagian besar materinya
bersumber dari kitab-kitab fiqih Islam dan sebenarnya tidak
perlu mempertentangkan Kompilasi Hukum Islam dengan fiqih
Islam karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk
fiqih khas Indonesia.

Walau demikian pada kenyataannya para hakim dalam


menyelesaikan persoalan warisan, selain berpedoman kepada
Kompilasi Hukum Islam mereka umumnya masih menrujuk ke
literatur fiqih klasik serta menggali praktek hukum di
masyarakat (hukum adat).

Atas dasar hasil penelitian dimaksud, muncul dalam


seminar tersebut usulan yakni perlunya dilakukan penyusunan
Undang-Undang Materil Peradilan bidang Kewarisan dengan
melibatkan unsur ulama dan masyarakat yang masih pro dan
kontra.
Menindaklanjuti usulan tersebut Puslitbang Kehidupan
Keagamaan pada tahun 2011 menyelenggarakan Workshop
bertema: Urgensitas Legislasi Hukum Kewarisan Islam dan
Problematikanya. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menggali
gagasan dan pemikiran para pakar dari berbagai perguruan tinggi
menyangkut pengembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Juga merumuskan draf naskah akademik rancangan Undang-
Undang Hukum Materil Peradilan Agama bidang Kewarisan,
menggali pandangan, saran dan pendapat para pemangku kebijakan
(stake holder) terhadap poin-poin penting menyangkut kebijakan dan
materi naskah akamdemik bidang kewarisan. Juga melakukan
sosialisasi uji sahih rumusan draf naskah akademik RUU Hukum
Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.

xv
Prakata Editor

Pada penyelenggaraan Workshop tersebut mengundang


18 orang pemakalah dan 6 orang pembahas dari kalangan
akademisi dan praktisi hukum kewarisan di seluruh Indonesia.
Dari para pembahasan makalah tersebut diharapkan
berkembangnya ide-ide pemikiran dan gagasan cemerlang untuk
merumuskan dan menyusun draf naskah akademik hukum
materil Peradilan Agama bidang Kewarisan sebagai landasan
bagi terwujudnya Undang-Undang tentang Kewarisan Islam.
Sebab, sebagaimana dikemukakan di atas bahwa upaya legislasi
hukum Kewarisan Islam dapat meningkatkan Kompilasi Hukum
Islam menjadi Undang-Undang yang merupakan keniscayaan
untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.

Para peserta workshop juga memiliki pandangan yang


sama bahwa dalam menyusun draf RUU Hukum Kewarisan
Islam perlu dipersiapkan penyempurnaan Kompilasi Hukum
Islam sebagai bahan utama dalam upaya legislasi menjadi UU
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah
akademik yang komprehensif, moderat dan adil, namun
memiliki kepastian hukum.

Atas dasar pemikiran di atas, selanjutnya Tim Perumus


menyusun draf naskah akadmik RUU Hukum Materil Peradilan
Agama Bidang Kewarisan yang pada akhirnya dilakukan sosialisasi
dan uji kesahihan naskah akademik tersebut pada tanggal 3-4
Desember 2011 dengan menghadirkan para stake holder untuk
menyampaikan pandangan, saran dan masukan konstruktif terhadap
draf naskah akademik tersebut. Berdasarkan masukan itu, kemudian
dilakukan penyempurnaan sehingga terwujudlah draf final naskah
akademik Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan. Akan
tetapi, draf naskah akadmik hukum materil ini tidak akan memiliki
makna apabila pemerintah tidak

xvi
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berinisiatif menindaklanjuti dengan menyusun rancangan


Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang
Kewarisan tersebut dan berupaya meyakinkan para politisi di
lembaga legislatif untuk membahas dan mengesahkan
menjadi Undang-Undang. Karena harus disadari bahwa
gagasa ini merupakan gagasan mulia, namun membutuhkan
energi yang tinggi dan perjuangan yang tidak kenal lelah.

Jakarta, Oktober 2012


Editor

Muchit A. Karim

xvii
Prakata Editor

xviii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ..


iii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat..............................vii
Prolog......................................................................................................ix
Prakata Editor.......................................................................................xiii
Daftar Isi..................................................................................................xix
BAB I Pendahuluan...................................................................1
BAB II Legislasi, Signifikansi dan Paradigma Baru
Hukum Waris di Indonesia..........................................7
Legislasi Hukum Kewarisan: Suatu
Keniscayaan, oleh Ahmad Rofiq......................9
Signifikansi Penyusunan RUU Hukum
Kewarisan di Indonesia (Filosofis, Yuridis,
Sosiologis dan Historis) oleh Zaenuddin
Ali...............................................................................19
Paradigma Baru Hukum Waris Islam
Indonesia, oleh Edi Riadi...................................59
BAB III Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia dalam Perspektif Fiqh, Kompilasi
Hukum Islam dan Praktik di Pengadilan
Agama serta Masyarakat............................................83
Azas-azas Hukum Kewarisan Islam, oleh
Jaih Mubarok.........................................................85
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dan
Pembagian Harta Waris 111
xix
Daftar Isi

5888 Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,


oleh Ratu Haika 111
23 Halangan Menerima Warisan, oleh
Moh. Adib 149
..Harta Bersama, oleh Sukris Sarmadi 173

5888 Menuju Kesetaraan dalam


Aturan Kewarisan Islam Indonesia:
Kedudukan Anak Perempuan VS
Saudara Kandung, oleh Euis
Nurlailawati 211
Ahli Waris Pengganti dalam Sistem
Hukum di Indonesia (Suatu Analisis
Filsafat), oleh Syahrizal Abbas 231
Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat,
Anak diluar Perkawinan Sah, dan Anak
dari Orang Tua Beda Agama, oleh
Moh. Muhibbin 263
0 Kedudukan Waris Anak di Luar Nikah,
oleh Sulhani Hermawan 289

Wasiat Pembagian Harta Waris


sebelum Pewaris Meninggal Dunia
dan Praktik Hibah Dihitung sebagai
Bagian Waris, oleh Zaenul Mahmudi 315
Gharrawain dan Musyarakah, oleh
Humaidi Hamid 349
23 Kewarisan Khuntsa (kelamin ganda),
Mafqud (orang hilang), anak dalam
kandungan, oleh Sri Hidayati 373

xx
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB IV Hukum Kewarisan tentang Hak-Hak


Kebendaan yang diatur Undang-Undang..............407
Keterkaitan Hukum Waris dengan Hak-
Hak Kebendaan yang Diatur dalam
Berbagai Peraturan Perundang-
undangan, Oleh Yeni Salma Barlinti 409
BAB V Penutup.............................................................................421
Kesimpulan.............................................................423
Saran.........................................................................425

xxi
Daftar Isi

xxii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1
Bab
I

2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan


materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah
229 pasal, terdiri dari tiga materi hukum, yaitu hukum
perkawinan 170 pasal, hukum kewarisan termasuk wasiat dan
hibah 44 pasal, dan hukum perwakafan 14 pasal ditambah
satu pasal ketentuan penutup.

Kebutuhan adanya kompilasi hukum Islam sebagai


hukum materiil di Peradilan Agama telah berlangsung sejak
lama. Namun, cita-cita tersebut mulai mendapatkan respon
serius sejak keluarnya SKB Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama pada tanggal 25 Maret 1985 yang berisi
tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan
Hukum Islam melalui yurisprudensi.

Atas dasar SKB tersebut dilakukan berbagai kegiatan


dalam rangka penyusun kompilasi hukum Islam. Kegiatan
tersebut antara lain penelitian melalui kitab kuning oleh beberapa
perguruan tinggi agama Islam se-Indonesia, penelitian
yurisprudensi putusan Peradilan agama dan Pengadilan Tinggi
Agama, wawancara dengan para alim ulama se-Indonesia, studi
banding ke beberapa Negara di Timur Tengah, dan diakhiri
dengan lokakarya tingkat nasional pada tanggal 2-5 Februari
1988 yang diikuti oleh para ulama, ahli hukum, kaum
cendekiawan, dan para tokoh masyarakat. Melalui lokakarya
inilah kemudian melahirkan draf kompilasi hukum Islam.

Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-


Undang Hukum materiil di Peradilan Agama. Akan tetapi karena
kondisi politik yang belum memungkinkan akhirnya KHI disahkan
dengan inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991.
Melalui Inpres ini presiden mengintruksikan kepada Menteri
Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan

3
Bab I

oleh instansi pemerintahan dan masyarakat luas yang


membutuhkan. Kemudian Menteri Agama melalui keputusan
Nomor 154 tahun 1991 menetapkan tentang pelaksanaan inpres
Nomor 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama
Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji untuk
mengkordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri ini dalam
bidang tugasnya masing-masing. Sejak saat itu, sosialisasi intens
dilakukan kedua lembaga tersebut. Di samping itu Badan
Pembinaan Peradilan Agama pun ikut mensosialisasikan bahkan
menjadikan KHI sebagai sumber rujukan dalam menangani
perkara-perkara yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Seiring dengan laju reformasi hukum di Indonesia pasca


reformasi sistem kenegaraan dan kepemerintahan sejak tahun 1998,
peluang dan kesempatan mewujudkan cita-cita menjadikan KHI
sebagai UU mulai terbuka lebar. Sejak lahirnya UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Berdasarkan UU ini, bagi orang-orang yang beragama Islam
sudah tidak ada lagi pilihan hukum dalam menyelesaian persoalan-
persoalan perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat dan kewarisan.
Ditambah lagi sadaqah, infak, zakat dan ekonomi syariah.
Implikasinya persoalan warisan, umat Islam tidak lagi diperbolehkan
menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Umum.

Sebagai upaya penguatan institusi Peradilan Agama,


sebelum tahun 2006 Badan Pembinaan Peradilan Agama
Kementerian Agama telah menyiapkan Rancangan Undang-
Undang (RUU) Terapan Peradilan Agama khususnya di bidang
perkawinan. RUU ini telah masuk dalam daftar Rancangan
Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005 -2009 dengan
nomor urut 124. Hingga kini belum disiapkan secara matang
RUU
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang akan dijadikan sebagai Hukum Materiil Peradilan Agama


di Peradilan Agama.

Memang saat ini, untuk sementara waktu dasar hukum


materiil bidang kewarisan masih merujuk Kompilasi Hukum
Islam buku III tentang Kewarisan. Akan tetapi, selain status
Kompilasi Hukum Islam yang hanya merupakan instruksi
Presiden masih menjadi persoalan dalam kerangka hirarki
perundang-undangan di Indonesia, juga substansi hukum
kewarisan yang ada dalam kompilasi masih banyak yang perlu
dilakukan perbaikan dan pengembangan seiring dengan
berbagai temuan dan perkembangan baru dalam praktik di
pengadilan pada khususnya dan di masyarakat pada
umumnya yang meniscayakan adanya adaptasi di sana sini.

Terkait dengan upaya perbaikan dan pengembangan


subtasi hukum waris yang ada di Kompilasi Hukum Islam,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama pada tahun 2009 telah melakukan
penelitian tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap
Fiqh Waris dalam kompilasi Hukum Islam di lima wilayah
Indonesia yang dijadikan sampel, yaitu Yogyakarta, Medan,
Banjarmasin, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

Fokus penelitian meliputi respon ulama dan hakim agama


tentang: Harta Bersama, Ahli Waris Pengganti, Anak Perempuan
Menghijab Saudara Pewaris, Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat,
Waris Beda Agama, Halangan Menerima Warisan Karena
Perencanaan Pembunuhan dan Fitnah, 1/3 Bagian Untuk Ayah Bila
Pewaris Tidak Punya Anak, Porsi Perbandingan Bagian Anak Laki-
Laki dan Perempuan, Wasiat Pembagian Warisan Sebelum Pewaris
Meninggal, Praktik Hibah Dihitung Sebagai Bagian Waris, Praktik
Penyelesaian Warisan Yang Unik di beberapa wilayah penelitian,

5
Bab I

pembagian warisan berupa tanah kurang dari 2 hektar, dan


Kewarisan Anak Hasil Perzinaan. Hasil penelitian ini kemudian
diseminarkan pada bulan Oktober 2009 dengan menghadirkan
para narasumber dan peserta yang kompeten di bidang
hukum waris Islam.

Pada tahun 2012, Puslitbang Kehidupan Keagamaan


Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan
kajian untuk mempertajam berbagai persoalan yang telah
dihasilkan dalam kegiatan penelitian dan seminar sebelumnya
hingga dirumuskannya naskah akademik yang komprehensif
untuk back up paper draf RUU kewarisan yang akan dijadikan
Hukum Materiil Peradilan Agama di Pengadilan Agama.

Dalam buku ini, dihimpun gagasan dan fikiran para pakar


dan cendekia dari akademisi, peneliti, ulama/kyai, praktisi hukum
sampai pada pengamat hukum, terutama yang concern dengan
masalah kewarisan Islam di Indonesia. Diantara mereka yakni para
dosen perguruan tinggi Islam Negeri, dosen Universitas Negeri dan
Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI).Dari
mereka diharapkan pandangan, saran, dan pendapat.

Selain itu juga untuk mencari solusi atas berbagai


problematika substantif materi kewarisan dalam perspektif
fiqh, perundang-undangan, dan praktik kewarisan di
Pengadilan dan Masyarakat serta memperbaiki Draf Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Materiil Peradilan
Agama Bidang Kewarisan. Keterlibatan para stake holder
(penentu kebijakan) dari unsur terkait sangat memberikan
andil bagi penyusunan buku ini, diantaranya Direktorat
Jenderal Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Biro Hukum
dan KLN, serta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama.

6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB II
LEGISLASI SIGNIFIKANSI
DAN PARADIGMA
BARU HUKUM WARIS
DI INDONESIA

7
Bab II

8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

LEGISLASI HUKUM KEWARISAN:


SUATU KENISCAYAAN
Ahmad Rofiq

Latar Belakang

Sejak awal, dipilihnya nomenklatur Hukum Terapan


Peradilan Agama, saya sudah tidak setuju, meskipun saya
sangat mendukung substansinya. Karena term hukum
terapan membawa implikasi peran strategis hakim, di dalam
berijtihad dan menjawab atau memutuskan hukum, sudah
dipasung oleh nomenklatur tersebut.

Dalam perkembangannya, RUU Hukum Terapan PA


tersebut, tidak lahir sempurna, tetapi lahir dalam bentuk yang
belum/tidak sesuai dengan harapan, yakni lahirnya UU Nomor:
41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Karena dengan lahirnya UU
Wakaf, menjadikan gagasan untuk melembagakan atau legislasi
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-undang menjadi
serpihan-serpihan yang memerlukan energi tambahan untuk
memperjuangkan kelahiran UU yang lengkap, baik Hukum
Perkawinan Islam, Pe(Ke)warisan Islam, dan Perwakafan.

Dalam soal legislasi hukum Islam di negeri ini,


memang menyimpan banyak keanehan, karena selalu saja
muncul kontroversi termasuk dari kalangan Muslim sendiri,
yang beranggapan, bahwa dengan legislasi hukum Islam,
diidentikkan dengan menghidupkan Piagam Jakarta.

Banyak faktor yang mempengaruhi di sini. Pertama,


kekhawatiran lahirnya kembali Piagam Jakarta adalah salah satu
alasan. Kedua, boleh jadi kekhawatiran tersebut, merupakan

9
Bab II

warisan dari mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin merusak


atau menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya, yang
semula sudah diterima secara menyeluruh (receptie in
complexu). Hingga masa-masa Orde Baru sampai dengan era
reformasi, mentalitas tersebut, masih subur tumbuh di
sebagian besar warga Indonesia yang muslim sekalipun.

Namun di sisi lain, ada perkembangan yang relatif


cukup menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di
dalamnya yang substansinya adalah hukum Islam, mendapat
dukungan justru dari perkembangan kesadaran akademik
para akademisi dan teoritisi hukum, karena menempatkan
bahwa nilai dan materi hukum Islam sudah selayaknya
ditempatkan sebagai sumber hukum, dan setelah melalui
proses legislasi yang terbuka, fair, dan obyektif, banyak
produk hukum Islam, masuk dan diakui sebagai hukum positif.

Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum


Kewarisan Islam, yang cakupan berlakunya memang khusus untuk
orang yang beragama Islam, demi upaya mewujudkan tertib hukum
yang berkeadilan, merupakan suatu keniscayaan adanya.

Sama halnya dengan pewarisan halalah, juga merupakan


persoalan krusial, karena bagian istri yang tidak mempunyai anak
hanya memperoleh bagian, sedangkan saudara mendapat
bagian. Pembagian semacam itu tidak adil, sehingga istri
sebaiknya memperoleh bagian dari harta waris

Menurut Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, Kompilasi Hukum


Islam sebenarnya bukan undang-undang, tetapi hanyalah Inpres
yang bisa dijadikan landasan hukum bagi hakim Agama dalam
memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Sudah banyak
keputusan-keputusan hakim yang ditetapkan berdasarkan pada
Kompilasi Hukum Islam sehingga keputusan tersebut menjadi
1
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yurisprudensi. Keputusan-keputusan hakim itu mestinya perlu


dicermati kembali karena banyak menimbulkan kontroversi di tengah
masyarakat pencari keadilan. Seperti suami/istri yang telah
memperoleh bagian dari harta bersama masih pula memperoleh
bagian harta waris dari tirkah. Sistem kekerabatan patrilineal,
bilateral atau matrilineal masih menjadi acuan dalam pembagian
waris. Mengapa azas keadilan berimbang yang dipergunakan dalam
pembagian waris, bagaimana masalah aul, apakah sudah
menggunakan azas keadilan berimbang? Ini menjadi pertanyaan.

Problematika Legislasi

Problematika yang muncul dalam legislasi termasuk


Hukum Kewarisan Islam ini juga, masih soal mentalitas
Snouck Hurgronje-nian seperti disebut di atas. Sementara itu,
ada kala-ngan yang menilai legislasi hukum Islam, berarti
menambah daftar Fiqh Madzhab Negara, yang justru dianggap
mendistorsi keberadaan hukum Islam sebagai hukum yang
universal dan dilaksanakan oleh pemeluknya dengan sukarela,
karena telah mengejawantah ke dalam nilai yang hidup dalam
masyarakat. Karena formalisasi hukum Islam ke dalam Undang-
undang dan/atau perundang-undangan, maka terjadi proses
pendangkalan umat Islam terhadap referensi keagamannya.
Dan ironisnya, justru yang lantang dan vokal berpendapat
demikian, adalah kaum Muslimin itu sendiri. Soal hukum waris
adalah soal sensitive, setidaknya ini bisa dirunut dari masa-
masa sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Staatblad 1937 Nomor 610 Pemerintah
Kolonial Belanda sudah mengambil kompetensi Pengadilan
Agama Jawa dan Madura dalam perkara kewarisan Islam, yang
semula menjadi kompetensi absolute, menjadi hanya
kewenangan fatwa waris. Implikasinya, karena hanya fatwa,
maka pihak yang berperkara, tidak harus mengikuti secara
sukarela isi fatwa tersebut.
11
Bab II

Langkah berikutnya, sebagaimana diatur dalam pasal 63


UU Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah excecutoir
verklaring atau fiat eksekusi setiap keputusan Pengadilan Agama
oleh Pengadilan Negeri, yang meskipun bersifat administrative,
ternyata dalam prakteknya sering menilmbulkan masalah, akibat
dari over-acting pegawai atau pejabat di PN. Padahal UU
Perkawinan ini lahir empat tahun setelah UU Nomor: 14 Tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang pasal 10
sudah menegaskan bahwa kedudukan Peradilan Umum, Agama,
Militer, dan Tata Usaha Negara adalah sama atau sederajat.
Tetapi kenapa masih ada pengukuhan atau fiat eksekusi?

Tahun 1989 dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989


tentang Peradilan Agama, sesungguhnya harus diakui
merupakan angin segar bagi insan Peradilan Agama, karena di
dalamnya diatur tentang jurusita, yang memiliki tugas untuk
melakukan eksekusi terhadap putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Akan tetapi anehnya, di dalamnya
ternyata dimasukkan dalam penjelasan umum angka 2, adanya
hak opsi bagi pihak yang berperkara. Orang Islam dapat
mengajukan perkara penyelesaian hukum kewarisan Islam yang
dihadapinya ke pengadilan negeri. Ini berdampak, kepada makin
longgarnya umat Islam dalam komitmen dan loyalitasnya
menjalankan hukum agamanya, karena dipengaruhi atau
disuruh untuk nyebrang atau hijrah mengikuti hukum perdata
barat yang menjadi hukum materiil Pengadilan Negeri.

Konon, Mahkamah Agung sudah pernah mengeluarkan


edaran, agar Pengadilan Negeri tidak menerima perkara waris
yang diajukan oleh orang yang beragama Islam, karena menurut
asas personalitas keislaman, orang Islam dalam berperkara,
mestinya diajukan ke Pengadilan Agama. Hasil penelitian Afdlol
waktu itu mahasiswa PDIH UNDIP, kebetulan saya ikut menjadi
1
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

salah satu penguji di empat kabupaten dan satu kota di


Jawa Timur, ditemukan data bahwa umat Islam di Jawa Timur
lebih cenderung memilih mengajukan perkara pembagian
warisan ke Pengadilan Negeri. Ironis?
Kelahiran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, juga menyisakan masalah, terkait dengan
apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan pihak bank, karena
di dalamnya selain ditangani oleh Bazarnas dan Pengadilan Agama,
namun masih muncul lagi Pengadilan Negeri. Bahkan Mahkamah
Agung memberikan contoh ketika ada perkara sengketa perbankan
syariah dengan nasabahnya, pada tingkat pertama dan banding
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, ketika sampai tingkat kasasi
dialihkan kepada Peradilan Niaga.

Namun demikian, apapun yang ditulis oleh Prof


Zaenuddin Ali, prinsip bisa diterima, namun dengan beberapa
penambahan. Baik alasan filosofis, historis, yuridis, maupun
sosiologis. Demikian juga yang ditulis para narasumber, perlu
diformulasi dengan reasoning akademik dan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, yang merupakan warga terbesar bangsa ini.
Penyempurnaan Materi: Beberapa Catatan

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa catatan yang


penulis rasakan urgent dan mendasar dalam rangka
penyempurnaan naskah akademik yang akan menjadi dasar,
kerangka pemikiran, dan dasar-dasar dalam menyusun draft
RUU Hukum Kewarisan Islam di Indonesia:

23 Hal sangat mendasar, adalah soal paradigma dan substansi


hukum apa yang hendak dilakukan dalam mengkonstruksi
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Perdebatan yang
muncul, berangkat dari pluralisme hukum dalam masyarakat,
termasuk khazanah keragaman madzhab fiqh atau hukum
1
3
Bab II

yang ada, juga harus dikawal dengan paradigma dan


nilai-nilai yang jelas, hendak dibawa ke mana masyarakat
subyek hukum akan diarahkan.

Di tengah berkembangnya kecenderungan gerakan trans-


nasional yang lebih mengarah ke wahabisme di satu
sisi, dan makin menyeruaknya faham indifidualis-liberalis,
maka paradigma konstruksitifisme perlu dikedepankan.
Apakah akan dikawal dalam perspektif pemikiran fiqh
Ulama Sunny, atau harus campur-campur model
takhayyur, talfiq, atau eklektik, yang jelas menurut hemat
saya, ikhtiar untuk mendekatkan umat Islam kepada
agama dan fiqh yang selama ini sudah dianutnya,
merupakan asas yang harus dikedepankan.

5888 Asas kewarisan dalam Islam adalah individual dan


ijbari. Sementara usulan Prof Jaih Mubarak tentang asas
musahamah, menurut hemat saya tidak cukup memenuhi
syarat dianggap sebagai asas. Namun demikian apabila
ternyata dalam kasus terjadi harta warisan yang
ditinggalkan pewaris, ternyata apabila langsung dibagi,
justru akan merusak nilai ekonomi harta tersebut. Dalam
praktik adat, ada harta yang disebut dengan harta pusaka,
atau harta yang dimiliki secara kolektif.

5889 Soal komposisi pembagian warisan 2:1 antara laki-laki


dan perempuan, hemat saya sebagai ketentuan bagian
warisan dalam Al-Quran yang perlu dipertahankan. Secara
rasional, tanggung jawab laki-laki lebih besar di dalam
kehidupan sehari-hari dalam kehidupan yang normal.
Kecuali apabila secara kasuistik, seorang laki-laki tidak
dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai laki-laki yang
menjadi penanggung jawab ekonomi keluarganya. Gagasan
komposisi 1:1 yang mengemuka dalam masyarakat, sebagai
implikasi makin
1
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

maraknya faham individualisme, namun gagasan ini


kurang atau tidak mendapat tempat, karena dapat
dimaknai sebagai terjadinya degradasi komitmen orang
Islam terhadap agamanya.

0 Secara umum, apa yang sudah dituangkan dalam Kompilasi


Hukum Islam sebagai bahan awal yang oleh para pihak
disebut memang belum sempurna untuk melangkah
kepada legislasi, sudah lumayan. Sebagai rancangan
naskah akademik, apa yang disampaikan para penulis bisa
diterima dengan tambahan, karena persoalan utamanya
menurut hemat saya, adalah persoalan politis.

Semaksimal apapun naskah akademik disiapkan,


apabila political-will para anggota Legislatif tidak ada atau
rendah, maka proses legislasi itu akan mengalami banyak
hambatan. Sudah banyak contoh, draft RUU sudah
disiapkan dan disosialisasikan sedemikian rupa, bahkan
mungkin menghabiskan biaya sosialisasi yang cukup besar,
tetapi mentah lagi dan mentah lagi. Karena itu, dibutuhkan
perjuangan dalam jalur dan versi yang lain, agar soal
hukum kewarisan Islam yang notabene menurut Prof
Zaenudin Ali, adalah pengejawantahan dari pengamalan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, mendapatkan legalitas yuridis
formal dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
5. Soal Mawani al-Irts

Tentang penghalang mewarisi (mawani al-irts), soal


ikhtilaf al-din (perbedaan agama) harus tetap dipertahankan.
Karena perbedaan agama adalah bentuk pemutusan hubungan
keagamaan (shilah al-syariah). Bahwa di dalamnya nantinya
akan ditempuh kompromi atau pendekatan kemanusiaan,
karena di antara ahli waris ada yang berbeda
1
5
Bab II

agama, sementara secara faktual, hubungan kekerabatan


itu dibuktikan dengan hubungan saling menyayangi tetap
berjalan baik, dapat ditempuh misalnya dengan melalui
wasiyat wajibah. Sementara soal beda Negara sejalan
dengan berkembangnya information technology (IT), maka
sepanjang tidak ada halangan beda agama, tidak perlu
dipermasalahkan. Artinya, beda Negara tidak menjadi
penghalang saling mewarisi.
6. Ashabah (bagian sisa)

Dalam fiqh Sunny, dikenal adanya bagian ashabah,


baik ashabah bi al-nafs, bi al-ghair, atau maa al-ghair. Dasar
hukum tentang bagian ashabah ini, adalah riwayat Muttafaq
alaih, yang diyakini oleh Ulama Sunny cukup kuat dan
menjadi dasar hukum yang kuat. Memang di dalamnya
diperlukan pemikiran ijtihadi, yang terkait dengan keberadaan
walad (anak), apakah sama kedudukannya anak, apakah
laki-laki saja atau juga anak perempuan yang termasuk
walad? Bagaimana apabila ahli waris terdiri dari anak
perempuan dan saudara-saudara sekandung atau seayah?

Rasulullah saw memberikan bagian saudara


perempuan setengah dan anak perempuan setengah.
Sementara saudara-saudara jelas terhalang oleh anak laki-
laki. Demikian juga soal anak dari anak atau cucu. Jika cucu
dihubungkan dengan orang tuanya yang menghubungkannya
kepada pewaris adalah perempuan, yang memunculkan
istilah dzawi al-arham, atau sering disebut dengan ghairu
warits, dalam fiqh Sunny. Kompilasi Hukum Islam telah
mengakomodasi konsep wasiyat wajibah dari Fiqh Mesir
dengan penyesuaian, dan ahli waris pengganti dari Hazairin
untuk mengatasi ahli waris dzawi al-arham tersebut.
1
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

7. Gharrawin
Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah Sukris
Sarmadi dan Ratu, bagian Bapak 1/3 dalam kasus Gharrawain
ketika bersama Suami dan Ibu, atau bagian yang lebih besar
ketika bersama Istri dan Ibu, perlu dijelaskan, supaya tidak
mengganggu pemahaman masyarakat. Karena Bapak, selain
sebagai penerima ashabah binafsih, juga sebagai ashhab al-
furudl, yang menerima bagian 1/6 ketika pewaris meninggalkan
anak atau cucu laki-laki garis laki-laki. Bahkan Bapak juga selain
menerima 1/6 juga tambah ashabah, apabila pewaris
mempunyai anak perempuan saja.

8. Harta Bersama

Memang dalam hal ini, diperlukan penjelasan


akademik, mengapa harta bersama sebelum diwaris
separohnya menjadi hak yang masih hidup. Masalah ini, akan
lebih mencolok lagi ketidakadilan-nya, manakala pewaris
tidak mempunyai anak, dan harta warisan akan diterima oleh
ahli waris samping atau saudara-saudara yang selain
sebagai ashabah jika laki-laki, juga bisamenjadi muashshib
ketika bersama saudaranya yang perempuan.
Kesimpulan

Mengakhiri pembahasan ini, dari uraian yang


dikemukakan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
0 Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, upaya legislasi
hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI menjadi Undang-
Undang merupakan suatu keniscayaan. Meskipun harus disadari,
bahwa gagasan ini merupakan gagasan mulia, namun
membutuhkan energi tinggi dan perjuangan yang tidak kenal
lelah, untuk meyakinkan para politisi di lembaga legislative.
1
7
Bab II

Sisa-sisa Hurgronje-nian tampaknya di negeri ini masih sangat


kuat, dan sering mengusung wacana, bahwa legislasi hukum
Islam sama halnya menghidupkan Piagam Jakarta.

0 Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di


Indonesia, perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa
dan bagaimana, yang hendak ditawarkan atau digunakan
untuk meng-engine dan mengcreate masyarakat. Dalam
perspektif historis, pada awalnya masyarakat Islam di
Indonesia telah menerima secara menyeluruh, karena ini
adalah indikator keberagamaan masyarakat.

1 Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di


Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai
bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik
yang komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki
kepastian hukum. Terutama soal materi-materi
sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas.
Penutup

Demikian sedikit kontribusi pemikiran yang saya bisa


kemukakan sebagai pembahasan namun materi yang dikirim
via email, hanya tiga makalah. Semoga sumbangsih pemikiran
ini, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam menyiapkan
draft dan naskah akademik Hukum Waris Islam di Indonesia.
1
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM


KEWARISAN DI INDONESIA (FILOSOFIS,
YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)
Zainudin Ali

Latar Belakang

Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil


peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian
disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan
suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di
Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang
dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang
hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama
Islam di Indonesia dari masa ke masa.

Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum


kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur
hukum di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya
hukum sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.

0 Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan


cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi

1 Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya


didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau
terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan

2 Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah


tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah
dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun
tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);
1
9
Bab II


0 Kaidah
hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan sejarah
hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesia-an.1
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu
berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke
empat unsur kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku
secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya
merupakan hukum yang dicitacitakan (ius constituendum); (2)
bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada
kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (3) Kalau
hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan,
maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (4) apabila
hanya berlaku secara historis, maka kemungkinan kaidah itu
tidak sesuai dengan legal cultuure ke Indonesiaan.

Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyele-


saian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyele-
saian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala. 2 Hal
dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan
Undang-undang bidang hukum kewarisan.

Permasalahan

0 Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil


Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-
nesia secara Filosofis?

1 Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil


Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia secara yuridis?

1
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.
75
2
Hasil Penelitian Penulis berkenaan penyusunan Disertasi yang berjudul
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala tahun 1995
2
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

0 Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil


Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-
nesia secara sosiologis

1 Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil


Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia secara historis

2 Bagaimana karakteristik penyelesaian pembagian harta


warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil

Membicarakan siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Mate-


ril Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara Filosofis, maka tidak ada salahnya membicarakan lebih
dahulu ummat Islam. Ummat Islam dimaksud, merupakan salah satu
kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara
hukum ketatanegaraan di Indonesia. Karena itu, ummat Islam tidak
dapat dicerai pisahkan dengan hukum Islam yang sesuai
keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia bila
dilihat dari aspek perumusan Dasar negara yang dilakukan oleh
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan
mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu.
Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia,
yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah
disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada
ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak
Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945,
kemudian diganti dengan kata Yang Maha Esa

Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti


yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali)
2
1
Bab II

mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal


29 batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik
Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal
itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.
23 Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam
bagi ummat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
agama Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang
bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang
Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara Rapublik Indonesia
ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang
bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan
kesusilaan bangsa Indonesia;

24 Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi


orang Islam, Syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat
Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syariat
tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Makna dari
penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik Indonesia wajib
menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hukum
yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia
dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu
memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara
negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban
menjalankan syariat yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk
kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Syariat yang berasal
dari agama Islam misalnya, yang disebut syariat Islam, tidak
hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat, puasa, dan haji,
melainkan juga mengandung hukum-hukum dunia baik
keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan
2
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kekuasaan negara untuk menjalankannya secara


sempurna. Yang dimaksud adalah misalnya, hukum harta
kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji,
penyelenggaraan hukum perkawinan dan kewarisan,
penyelenggaraan hukum pidana (Islam) seperti zina,
pencurian, pembunuhan yang memerlukan kekuasaan
kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan Agama) untuk
menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara
dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat
yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan ummat
Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia.

0 Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara


untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri
oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi
kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu
menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui
di negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri
oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya
hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum
yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya
menurut kepercayaan agamanya masing-masing. 3

Perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha


Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak
dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini:

3
H. Mohammad Daud Ali, . Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 8
2
3
Bab II

DR. Muhammad Hatta (alm) ketika menjelaskan arti perkataan


kepercayaan yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD
1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan
kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan
agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di
ujung ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata itu menunjuk
pada kata agama yang terletak di depan kata
kepercayaan tersebut. Penjelasan ini sangat logis karena
kata-kata agama dan kepercayaan ini digandengkan
dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab agama.4
Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan
keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953
bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945 itu,
tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu bahwa
dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah,
kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan
mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali
ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik
Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu
merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan;
Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan
landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan
dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4
Undang-undang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia
harus dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.5

4
H. Mohammad Daud Ali, Ibid, hal 9.
5
H. Mohammad Daud Ali, Ibid., hal 10.
2
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Berdasarkan uraian dan penjelsan di atas, maka dapat


diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya
secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah
Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang
perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah. Demikian juga beberapa instruksi
Pemerintah yang berkaitan dengan hukum Islam Selain itu, juga
munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Pedoman
bagi para hakim di Peradilan khusus (Peradilan Agama) di
Indonesia. Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma-
norma hukum yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Karena
itu, keberlakuan dan kekuatan hukum Islam secara ketata
negaraan di negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan
Pasal 29 UUD 1945.

0 Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama


Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Sosiologis

Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di


Indonesia dikenal teori receptio a contrario. Teori receptio a
contrario dimaksud, dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan
dikembangkan secara sistematis dan diperaktekkan oleh murid-
muridnya (Sajuti Talib, H Mohammad Daud Ali, Bismar Siregar,
H.M. Tahir Azhary, dan sebagainya). Menurut mereka hukum
adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat
muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan
2
5
Bab II

dengan hukum Islam.6 Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua)


buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan
yang menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum
Islam tidak dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan
dimaksud sebagai berikut.

0 Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam,


bila mereka membagi harta warisan maka ia mengguna-
kan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-
sama di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan
panasnya anak perempuan di dapur sehingga bagian
warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisaan
anak perempuan. Namun sesudah mereka memeluk
agama Islam maka hukum adat kewarisan itu digantikan
posisinya oleh hukum Islam berdasarkan ungkapan
langgai molemba mobine manggala (anak laki-laki
memikul dan anak perempuan menggendong). Hal itu
berarti bagian harta warisan anak laki-laki sama dengan
bagian warisan dua orang anak perempuan.

1 Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan


pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki
dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan
berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian
harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian
harta warisan seorang anak perempuan (sama wae asanna
manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama
Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud, berubah
untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua

6
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
Cetakan ke 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 83
2
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

orang anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan


dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis
majjujung makkunraie mallempa oroane.

0 Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah:


Adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah.
Artinya: hukum adat bersumber dari hukum Islam,
hukum Islam bersumber dari Alquran.

1 Suku Aceh di Sumatera Utara membuat pepatah: Adek


dan syara sanda menyanda, syara mengato adek mema-
kai. Artinya: hubungan hukum adat dengan hukum Islam
erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam
menentukan, hukum adat melaksanakan.7

Berdasarkan dua buah contoh dan dua buah


ung-kapan tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa
sistem hukum Islam di negara republik Indonesia berlaku,
sehingga dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia
menganut sistem hukum majemuk. Namun demikian,
sistem-sistem hukum dimaksud merupakan suatu mata
rantai yang tak dapat dipisahkan dalam proses
pembentukan hukum nasional yang berasaskan pancasila.
Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan
bintang pemandu terhadap norma-norma hukum lainnya
termasuk Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang,
dan peraturan-peraturan lainnya di satu pihak dan pihak
lainnya sebagai dasar negara republik Indonesia.

Selain itu, menunjukkan bahwa Sistem Hukum Indo-


nesia adalah sistem hukum yang menjadikan Pancasila sebagai
recht idee di satu pihak dan recht staat dipihak lainnya atau

7
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten
Donggala, (Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998), hal. ii
2
7
Bab II

sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang


pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai
dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa
Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-
undangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan
merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.

0 Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama


Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis

Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum


adat di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori
receptio in complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van
den Berg (1845-1927). Van den Berg mengemukakan
bahwa orang Islam Indonesia telah menerima (meresepsi)
hukum Islam secara menyeluruh. Sebagai bukti teori
dimaksud, diuraikan sebagai berikut.

0 Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642


menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang
pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai
oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer
menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku dimaksud
direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu,
kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini
terkenal dengan sebutan Compendium Freijer.8

1 Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon


serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk
diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa,

8
H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal 71
2
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sulawesi Selatan. Karena itu, selama VOC berkuasa dua


abad (602-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti
semula, berlaku dan berkembang di kalangan ummat Islam
Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa dari
para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu.
Demikian juga jasa Naruddin al-Raniri yang menulis buku
Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab
dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke
seluruh Wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan ummat
Islam. Kitab ini dianalisis oleh Syekh Arsyad al-Banjari
kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab yang diberi
judul Sabil al-Mukhtadin (jalan orang yang diberi petunjuk).
Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa
antar ummat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Demikian
juga di daerah Kesultanan Palembang dan Banten
diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan
pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan.
Juga diikuti oleh Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban,
Gresik dan Ngampel.

23 Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan


yang senada dimaksud, yang kemudian diberi nama
Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (1823-
1868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.

0 Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di


Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
Ada dua permasalahan pokok yang dijadikan kajian utama
pada penyusunan pokok bahasan makalah ini, yaitu (1) bagaimana
masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum
kewarisan Islam di luar dan di dalam Pengadilan Agama, dan (2)
bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum
2
9
Bab II

kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya


di luar dan di dalam Pengadilan Agama.

Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian


masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini,
yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala
melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli
waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala
melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah
Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten
Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui
Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan
Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6)
bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di
Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di
negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di
Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum
kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan
Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala
dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli
waris; (8) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan
hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam
pelaksanaan hukum kewarisan melalui Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa
yang menyebabkan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala
untuk melaksa-nakan hukum kewarisan Islam.

0 Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis


23 Kerangka Dalil

23 Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan


Islam, di antaranya:
(1) Qur`an Surah IV: 11
3
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Qur`an Surah IV: 11 mengandung beberapa garis hukum


kewarisan Islam, di antaranya, yaitu: (1) Allah mengatur tentang
perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan
seorang anak perempuan, yaitu: 2:1; (2) mengatur tentang
perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang,
mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan; (3) mengatur
tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari
harta peninggalan; (4) mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-
masing seper enam dari harta peninggalan kalau si pewaris
mempunyai anak; (5) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila
pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai
anak dan saudara, maka perolehan ibu sepertiga dari harta
peninggalan; (6) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila
pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai
anak tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam
dari harta peninggalan; (7) pelaksanaan pembagian harta warisan
termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 6 itu sesudah
dibayarkan wasiat dan hutang pewaris.9
(2) Qur`an Surah IV: 12.
Qur`an Surah IV: 12 mengandung beberapa garis hukum
kewarisan Islam, di antaranya, yaitu (1) Duda karena kematian istri
mendapat pembagian seperdua dari harta peninggalan istrinya kalau
si istri tidak meninggalkan anak; (2) duda karena kematian istri
mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan

9
Lihat, Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,
1981), h. 21. Hazairin, op. cit.,h. 7. H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam. (Jakarta: Ind-
Hild-Co, 1992),h. 7. Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, (London: Delux Press, 1984),
h.275. David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, (America:
International Microfilms University Press, 1986), h. 75-88. Husnain Muhammad Makhluf,
Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, (Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971), h. 43-45.
Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, (Beirut: Dar an-Nadafat
at-Tarbiyah, 1978), h. 120-128. Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-
Wasiyyat, (Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun), h. 37-41.
3
1
Bab II

istrinya kalau si istri meninggalkan anak; (3) janda karena


kematian suami mendapat pembagian seperempat dari harta
suaminya kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan
pembagian termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di
atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika
ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah
(kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau
seorang saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka
itu memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang
perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya
ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka
mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta
peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan
termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah
dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian
wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh
mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris.10
(3) Qur`an Surah IV; 176.

Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis hukum


kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada engkau
Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah
memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika
seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau
mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu
mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara

10
Lihat, Sajuti Thalib op. cit., h. 24. Hazairin, opcit.,h. 8. H.M. Tahir Azhary Loc. cit.
Husnaian Muhammad Makhluf, op. cit., h.57-58. David Stephen Powers, op. cit., h. 46,47,98, dan
105. Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, (Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977), 64.
A. Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, (Myland: Amana Corp
Brentwood, 1983), h. 182. Abdur-Rahman Doi, op. cit., h. 296-298. Ahmad Kamil KHudary, Al-
Mawaris al Islamiyah, (Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966), h.36. Muhammad
Mustafa Salabi, loc. cit Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 37-46.
3
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perempuan itu mendapat pembagian 1/2 dari harta peninggalan


saudaranya; (3) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada
saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian
harta warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggala; (4) kalau
orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang
terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara
perempuan; (5) Allah menerangkan ketentuan tersebut kepada
kamu agar kamu tidak keliru mengenai pengertian kalalah dan
pembagian harta warisan apabila terjadi pewarisan dalam hal
kalalah dan Allah itu mengetahui segala sesuatunya. 10
(4) Qur`an Surah IV: 33.

Qur`an surah IV: 33 mengandung empat garis hukum,


yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli
waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu
bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu);
(2) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli
waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan
aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan
itu); (3) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli
waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan tolan
seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta
peninggalan itu); (4) atas alasan termaksud dalam garis
hukum nomor 1, 2, dan 3 di atas, maka berikanlah kepada
mereka (mawali) itu bagiannya masing-masing.11

23 Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 29. Hazairin, op. cit., h. 9. H.M.Tahir Azhary,
op. cit., h.8. David Stephen Powers, op. cit., h.98, 104, 106, dan 107. Husnain Muhammad
Makhluf, op. cit., h.79-83. Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit. Muhammad Kamal Hamidi, op. cit.,
h. 59
1 60.
5888
Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 27. Hazairin, op. cit., h. 8. H.M. Tahir
Azhary, loc. cit. Muhammad Mustafa Salabi, op. cit., h. 142-157. Bandingkan dengan uraian
H.Moh. Djafar, op. cit., h. 144. Menurut H. Moh. Djafar, Kompilasi Hukum Islam mengenai
ahli waris
3
3
Bab II

0 Hadits Rasulullah yang berhubungan dengan Hukum


Kewarisan Islam, di antaranya:
0 Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud
Dawud dan at-Tirmizi.
Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah membawa
kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya
Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad bin
Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama Anda.
Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan
tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya tidak
mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan
menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah
ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si paman
anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta warisan
untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu mereka,
dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12

0 Hadits Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan


oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah.

Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang


bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima
warisan dari seorang muslim.13

pengganti di Indonesia merupakan hasil ijtihad kollektif ala ahlis-Sunnah wal-jamaah.


Pendapat yang demikian menurut analisis penulis mempunyai unsur kebenaran.
Namun perlu diungkapkan di sini bahwa ide itu lahir dari Hazairin atau orang pertama
menggunakan istilah mawali di Indonesia. Ijtihad Hazairin akan diuraikan oleh penulis
pada kerangka teoretis yang bersumber dari ijtihad.
0
Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1952), h. 109. Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938),
h. 414. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi,
tanpa tahun), h. 909.
1
Lihat, Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 8, (Qahirah: Dar al-Matba`us-Sya`bi,
tanpa tahun), h. 178. Sajuti Thalib, op. cit., h.35. Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-
Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962), h. 9.
3
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Hadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang Diriwayatkan oleh


ibn Majah dan at-Tirmizi.

Seorang yang membunuh tidak berhak menerima


warisan dari orang yang dibunuhnya.14
Ketentuan Hukum kewarisan Islam yang bersumber dari
Ijtihad, yaitu:
0
Kewarisan Cucu

Kewarisan cucu15 secara tegas tidak dijumpai di dalam


Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid (termasuk
Hazarin) menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan
perluasan pengertian kata walad (anak) yang terdapat di
dalam Qur`an surah IV: 11, yaitu bukan saja berarti anak
yang langsung dilahirkan, melainkan pengertian walad (anak)
itu, juga termasuk keturunannya ke bawah (cucu). 16
2) Ketentuan Kewarisan Anak Saudara.

Ketentuan kewarisan anak saudara si pewaris


(kemanakan si pewaris) secara tegas tidak ditemukan di
dalam Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid
menetapkan ketentuan warisan-nya berdasarkan
perluasan pengertian kata akhun (saudara) yang terdapat
di dalam Qur`an surah IV: 176, yaitu bukan saja berarti
saudara kandung atau se ayah, melainkan pengertian
akhun (saudara) itu, juga termasuk keturunannya.

Lihat Ibn Majah, op. cit., h. 913. At-Tirmizi, op. cit., h.425. Syari-fuddin, Ibid.,
h. 8. Husnain Muhammad Makhluf, op. cit., h. 34. Hazairin, op. cit., h. 9.
Hukum adat di Indonesia mengakui cucu sebagai ahli waris bila ayah atau ibunya
lebih dahulu meninggal dari pewarisnya. Lihat, B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan
Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poes-ponoto, (Jakarta: Pradnja
Paramita, 1953), h. 210.
Lihat Hazairin, op. cit., h. 28.
3
5
Bab II

3) Ketentuan Kewarisan Paman.

Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara


orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam
Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan
ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian
kata kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadits
Rasulullah dari Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh
Abu Dawud, Ibn Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek
dan nenek itu dapat diartikan dengan memasukkan
keturunannya ke bawah yakni paman. 17
2) Kerangka Teoretis

Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk


hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan sengit
antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam dan
hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai hubungan
hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori receptio in
complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a contrario.20
Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu

17
Lihat, Abu Dawud, op. cit., h. 100. At-Tirmiziy, op. cit., h. 320. Ibn Majah,
op. cit., h.910. Hazairin, Ibid., h. 102.
Teori receptio in complexu dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927). Van
den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi
hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Lihat, H. Mohammad
Daud Ali, op. cit., h. 16.
Teori receptie dipelopori oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan
dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh C. van Vollenhoven dan B. ter Haar Bzn
serta dilaksanakan dalam praktek oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Menurut
mereka hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum
kalau telah diterima oleh hukum adat. Lihat, Ibid., h. 17.
20
Teori receptio a contrario dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan
dikembangkan secara sistematis dan dipraktekkan oleh murid-muridnya. Menurut mereka
hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum
3
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kerangka teoretis dalam penulisan disertasi ini berdasarkan


pertimbangan bahwa berlakunya hukum kewarisan Islam di
Indonesia bukan melalui teori receptio in complexu dan teori
receptie melainkan hukum kewarisan Islam berlaku di
Indonesia karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Selain
teori receptio a contrario yang disebutkan di atas, juga
digunakan rumusan-rumusan garis hukum di dalam
perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang
dijadikan kerangka teoretis.21

Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di


Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala21a
1) Pendahuluan

Bila hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan di


Kabupaten Donggala diuraikan, maka perlu diungkapkan:
(1) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di luar
Pengadilan Agama, yaitu: (1.1) musyawarah ahli waris,
(1.2) musyawarah Dewan Adat, dan (1.3) Pengadilan
Negeri, (2) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di
Pengadilan Agama. Dalam bab ini juga akan diuraikan
persesuaian hukum kewarisan Islam dengan hukum
kewarisan adat dan perbedaan hukum kewarisan Islam
dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala.

adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Lihat, Hazairin, op. cit., h. 4.
Bandingkan dengan uraian Sajuti Thalib, op. cit., h. 1 dan 2.
21
Pasal 29 UUD 1945 menjamin untuk pelaksanaan hukum kewarisan
Islam di Indonesia. Demikian juga Pasal 49 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun
1989 dan Instruksi Presiden RI tanggal 10 Juni 1991 mengatur pelaksanaan hukum
kewarisan Islam bagi masyarakat muslim di Indonesia.
21a
Hasil Penelitian penulis pada tahun 1995 berkenaan Penyusunan Disertasi
yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan nIslam di Kabupaten Donggala
3
7
Bab II

2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama


Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang
dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di
luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3
(tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan
melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan
melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta
warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala.
Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan
masing-masing contohnya sebagai berikut.

a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris

Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui


musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem
kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli
waris berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta
warisan mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan
(Palu), pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo)
maupun wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan
Tawaeli). Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli
waris yang dituakan atau adanya kerukunan keluarga di
antara para ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan
beberapa bukti pembagian harta warisan melalui
musyawarah ahli waris di Kabupaten Donggala tahun 1990
sampai tahun 1993 sebagai berikut.

Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan


harta warisan kepada ahli waris yang terdiri

22
Ahkam adalah nama samaran yang digunakan oleh penulis untuk kepentingan
ilmiah dalam penulisan buku ini. Nama sebenarnya ada dalam buku catatan penulis. Selain
itu, digunakan nama samaran dalam penampilan contoh-contoh penyelesaian kasus
kewarisan di Kabupaten Donggala kecuali penyelesaian kasus melalui Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Penggunaan nama samaran itu, berpedoman
3
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

atas 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak


perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat
tinggal, 2 (dua) areal kebun kelapa, tanah perumahan seluas
946 M2, dan sebuah perhiasan kalung emas. Harta warisan
dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan
status hak pemilikan individu terhadap harta warisan
mereka.23 Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris
berdasarkan hukum Islam karena ada di antara ahli waris
yang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk
dilaksanakan dan disetujui oleh ahli waris lainnya, yaitu anak
perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal dan
sebuah perhiasan kalung emas, 2 (dua) orang anak laki-laki
mendapat bagian masing-masing satu areal kebun kelapa
dan tanah perumahan 473 M 2. Musyawarah pembagian
harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Ahkam
tersebut, dapat terlaksana karena adanya kerukunan di
antara para ahli waris dan adanya ahli waris yang dituakan
oleh ahli waris lainnya3

pada huruf awal nama seseorang, misalnya seseorang bernama Ahamad diganti dengan
nama Ahkam. Hal itu, dilakukan atas saran-saran dari para ahli waris yang diwawancarai.
23
Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu.
3
Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu. Abdul Hamid sebagai salah
seorang ahli waris (Ahkam) mengemukakan bahwa pembagian harta warisan melalui
musyawarah ahli waris mengenai status hak pemilikan individu terhadap harta peninggalan
pewarisnya adalah mencerminkan hukum kewarisan Islam yang menjadi hukum adat
kewarisan di Kabupaten Donggala. Sejalan dengan hal itu, Drs. Amrin Yodo (sekertaris
merangkap anggota Dewan Adat di kelurahan Besusu kecamatan Palu Timur) mengemuka-
kan bahwa "ungkapan istilah langgai molemba mobine manggala dijadikan rech ide atau
cita hukum dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah, baik musyawarah ahli
waris maupun musyawarah Dewan Adat, kecuali bila ada kesepakatan lain yang diinginkan
oleh ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, ahli waris perempuan
diberikan lebih banyak atau disamakan dengan bagian anak laki-laki atas persetujuan ahli
waris laki-laki berdasarkan pertimbangan bahwa kehidupannya sudah mapan bila
dibandingkan dengan kehidupan saudara perempuannya. Drs. Amrin Yodo, wawancara, 27
Maret 1994 di Palu.
3
9
Bab II

Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan harta


warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga) orang
anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan. Harta itu
terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6 (enam) ekor
kambing, dan tanah perumahan seluas 700
M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui
musyawarah berdasarkan status hak pemilikan
individu terhadap harta warisan mereka24
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berda-
sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki mendapat
bagian masing-masing tanah perumahan seluas 200 M 2,
seorang anak perempuan mendapat bagian tanah
perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan
mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul
Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang
dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui
musyawarah karena orangtua mereka sudah
membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan
rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai
pedoman dalam kehidupan rumah tangganya" 25.

Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima)


buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah
ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk
asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum
kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang
berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan
(4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak

Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli


Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya, wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli. Hasil
musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu sesuai
hukum Islam, yaitu 2: 1.
4
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

lain asas hukum kewarisan adat suku Kaili yang tidak


bertentangan dengan hukum Islam. Ke empat bentuk
asas-asas hukum kewarisan tersebut akan diuraikan
penyebabnya sebagai berikut.
Asas hukum kewarisan Islam tampak dalam pembagian
harta warisan melalui musyawarah ahli waris karena
ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris
lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan
Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta
warisan dan/atau hukum kewarisan Islam itu sudah
menjadi budaya hukum secara turuntemurun dalam
keluarga pewaris. Selain itu, terjadi kerukunan
keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada
kasus nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 13, 14, 16, 17,
19, 21, 22, 23, 31, 32, 33, dan 34.

Asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami


tampak dalam pembagian harta warisan melalui
musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris
yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui
pentingnya hukum kewarisan Islam untuk
dilaksanakan dalam pembagian harta warisan
tetapi harta warisan mereka relatip sedikit, baik
harta warisan yang terdiri atas kebun kelapa,
kebun kapok, tanah sawah, maupun harta warisan
yang sifatnya usaha. Selain itu, terjadi kerukunan
keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada
kasus nomor 6, 8, 9, 12, 18, 20, 25, 27, dan 28.
Asas hukum kewarisan adat lama tampak dalam pembagian
harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di
antara ahli waris yang menginginkan tidak dibedakan
bagian harta warisan anak perempuan
4
1
Bab II

dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai


akibat kurang mengetahui pentingnya hukum
kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak
menghendaki terjadinya silang sengketa dalam
pembagian harta warisan, sehingga merelakan
sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara
perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan
keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada
kasus nomor 15, 24, 26, dan 35.
(d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum
kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian
harta warisan bila ada di antara ahli waris yang
dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan
Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta
warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di
antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai
harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli
waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh
semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga
pewaris. Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30.

b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan


Adat

Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten


Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah
Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil)
membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara

26
Musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah penyelesaian suatu
permasalahan yang dilakukan oleh mereka yang terdiri atas pemuka adat dan
pemuka agama di satu pihak dan di lain pihak ada pemuka agama (baca: Islam) yang
berfungsi ganda, yaitu sebagai pemuka agama dan pemuka adat di suatu Desa,
Khaerul Tahwila, wawancara, tanggal 28 Juli 1994 di desa Baiya kecamatan Tawaeli.
4
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

mereka. Kegagalan itu ada yang disebabkan oleh kesalah


pahaman mengenai harta yang diperoleh salah seorang
ahli waris ketika orangtua mereka masih hidup, dan ada
yang disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan
pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya. 27
Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan
Adat tersebut, ditemukan oleh penulis 16 buah pembagian
harta warisan dan dua kasus diuraikan sebagai berikut.

Abbas meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta


warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang
anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Harta warisan
itu terdiri atas Rp.1.000.000. Harta warisan tersebut
dimusyawa-rahkan oleh ahli waris berkenaan dengan status
pembagiannya. Namun, musyawarah itu tidak berhasil
sehingga diajukan pembagian harta warisan melalui
musyawarah Dewan Adat di Desa Baiya28

Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris


bersama Dewan Adat berdasarkan kerelaan para ahli waris
(as-sulhu, yaitu seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp.
400.000 dan 2 orang anak perempuan mendapat bagian
masing-masing Rp. 300.000). Kesepakatan itu disetujui oleh
para ahli waris. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua
Dewan Adat karena anak perempuan menghendaki bagian
warisannya tidak dibedakan dengan

27
Abd. Hamid mengemukakan bahwa "munculnya masalah kewarisan
adalah adanya ahli waris di satu pihak berpendapat bahwa pemberian orangtua
kepada anaknya selagi orangtua masih hidup termasuk diperhitungkan sebagai
pembagian harta warisan bila terjadi pembagian harta warisan dikemudian hari, di lain
pihak ada ahli waris berpendapat bahwa harta yang diperoleh seorang anak dari
orang-tuanya selagi orang-tua masih hidup hanyalah pemberian bentuk hibah,
sehingga ia menuntut hak yang sama dengan ahli waris lainnya. Anggota Dewan Adat
Kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994 di Palu.
28
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.
4
3
Bab II

bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama


memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum
kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak
perempuan tersebut rela bila bagian warisannya
kurang dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak
laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa
di antara mereka sehingga rela menerima sesuai
kehendak saudara perempuannya.29
Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh
ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila
dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama
maka dua orang anak perempuan mendapat bagian
Rp 666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat
bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian
harta warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua
orang anak perempuan mendapat bagian Rp 500.000
dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp
500.000. Namun, kedua sistem hukum itu tidak
diterapkan karena mereka menghendaki kerelaan
menerima warisan yang telah disebutkan.

(2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia


meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri
atas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak
perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat
tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas

29
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.
Kepala Desa Baiya mengemukakan bahwa "musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah
yang menghasilkan perdamaian di antara mereka yang bersengketa". Hasil musyawarah
Dewan Adat mencerminkan hukum kewarisan adat lama yang hampir tidak membedakan
bagian warisan anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal itu dilakukan oleh Dewan Adat
karena pihak perempuan tidak mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai
bagian dari ajaran agama Islam.
4
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berupa kalung, dan tanah perumahan seluas 1.312,50 M2.


Harta warisan tersebut dikuasai sebagian oleh anak yang
kedua laki-laki, sehingga ahli waris lainnya menuntut haknya
melalui Dewan Adat di Kelurahan Balaroa.30.

Musyawarah tersebut, Dewan Adat menerapkan


hukum Islam, yaitu anak terakhir laki-laki mendapat
bagian kebun kelapa, anak kedua laki-laki mendapat
tanah perumahan, anak pertama perempuan mendapat
sebuah rumah tempat tinggal, dan anak ketiga
perempuan mendapat tanah perumahan bersama
perhiasan emas. Bagian seorang laki-laki sama dengan
bagian dua orang perempuan. Pilihan hukum tersebut
dilakukan oleh ketua Dewan Adat atas persetujuan ahli
waris ketika tokoh agama sudah menyampaikan nasehat
kepada ahli waris mengenai keadilan yang dikandung
oleh hukum kewarisan Islam dan pentingnya hukum
kewarisan Islam untuk dilaksanakan. 31
Pembagian harta warisan melalui musyawarah
Dewan Adat yang telah diuraikan 16 (enam belas) buah
kasus, tampak 15 (lima belas) buah kasus mencerminkan
asas hukum kewarisan Islam, yaitu kasus nomor 2 sampai
16. Hal itu menunjukkan peranan ketua dan anggota Dewan
Adat dalam menerapkan hukum kewarisan Islam amat
besar. Peranan ketua dan anggota Dewan Adat itu tampak
karena ada di antara ketua dan anggota Dewan Adat yang
berasal dari tokoh agama Islam yang

30
Abd. Hamid (ketua Dewan Adat di kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994
di Palu.
31
Abd. Hamid (Ketua Dewan Adat Kelurahan Balaroa), wawancara, 27 Juli
1994 di Palu. Ketua adat mengemukakan bahwa ketua dan anggota Dewan Adat
merupakan parner kerja kepala Desa atau kepala kelurahan disetiap tempat
pelaksanaan pemerintahan.
4
5
Bab II

menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya


hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta
warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang
beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh
agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di
Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota
Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam
yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan pembagian
harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain
mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian
harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut,
ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas
hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan asas
hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an
surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan tidak
bertentangan hukum kewarisan Islam karena masing-
masing ahli waris rela menerima bagian warisan yang
disepakati melalui musyawarah Dewan Adat. Kerelaan
kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu.

Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di


Kab. Donggala.

Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten


Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh
hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala,
maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan
dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut.

Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990.


Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak ikut
menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan oleh
Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia menggugat
Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten
4
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Gugatan


tersebut menyatakan bahwa Lawasi meninggal tahun
1987 di Tawaeli meninggalkan warisan kepada ahli
waris yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki bersama 5
(lima) orang anak perempuan dan berupa harta yang
terdiri atas sebuah kebun kelapa 100 pohon. Harta
tersebut dijual oleh anak laki-laki yang pertama dan
disetujui oleh 8 orang saudaranya.

Pada gugatan tersebut, penggugat mengemukakan


bahwa harta warisan yang menjadi obyek sengketa
adalah harta peninggalan Lawasi (ayah penggugat dan
tergugat) yang belum terbagi kepada ahli warisnya,
sehingga perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat
cs bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang
berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Donggala
karena tanpa sepengetahuan penggugat sebagai ahli
waris. Karena itu, penggugat memohon sita jaminan pada
harta yang menjadi obyek sengketa kepada ketua
Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Berdasarkan
gugatan penggugat, maka tergugat mengemukakan
jawaban bawa ia tidak memberitahukan kepada
penggugat karena tidak ada di Palu, melainkan ia berada
di Jakarta. Selain itu, tergugat mengemukakan bahwa
akan memberikan harta peninggalan lainnya bila tergugat
menuntut hak warisannya. Berdasarkan gugatan ini,
hakim memeriksa perkara tersebut dalam 12 kali sidang.
Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha
mendamaikan kedua pihak dan akhirnya berhasil. Pada
sidang yang ke-12 pihak penggugat mencabut
gugatannya dengan dalil pihak tergugat menginginkan
pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris.
4
7
Bab II

Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan


kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat
lama, yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-
masing Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan
oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.32
Putusan pengadilan tersebut mencerminkan
hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki
sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu
terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu
ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum
kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu
tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang berlaku
dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang
mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak.

Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn. Palu,


6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini
adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara
pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga,
sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan
hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten
Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada gugatan
itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di Palu;
meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri
atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua)
orang anak perempuan dan harta terdiri atas tanah
kebun seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh
saudara pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian
dengan harga Rp.510.000.-

32
Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18
Juni 1990.
4
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pada gugatan tersebut, penggugat menyatakan


bahwa tergugat tidak berhak menjual harta peninggalan
Sunga tanpa sepengetahuan ahli warisnya (para
penggugat). Karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan
oleh tergugat bertentangan dengan hukum kewarisan
adat yang berlaku di Kabupaten Donggala. Berdasarkan
gugatan penggugat, pihak tergugat
mengemukakan bahwa harta yang menjadi obek
sengketa adalah harta peninggalan ayahnya yang belum
dibagi waris kepada ahli warisnya sehingga ia berhak
menguasainya. Berdasarkan gugatan penggugat dan
jawaban tergugat, hakim memeriksa alasan-alasan, saksi-
saksi dan bukti-bukti penggugat dan tergugat dalam 7 kali
sidang dan ternyata tergugat tidak mempunyai alat
bukti. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu
berusaha mendamaikan ke dua pihak dan dibantu oleh
pihak keluarga Baiduri sehingga mereka mau berdamai.
Pada sidang terakhir penggugat mencabut gugatannya
dengan dalil pihak tergugat ingin melakukan
musyawarah di antara mereka. Karena itu, saudara
pewaris (Baiduri) mengembalikan tanah kebun dan
harga tanah kepada Moh. Kasim cs. Hasil perdamaian
itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta
Perdamaian.33
Hasil kesepakatan tersebut, mencerminkan hukum
kewarisan adat suku Kaili di satu pihak, yakni tergugat
tidak berhak mewarisi harta peninggalan Sunga karena
pewaris meninggalkan anak sehingga ia mengembalikan

33
Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 21 tanggal 6 Juli 1992
mencerminkan hukum kewarisan Islam karena tidak memberikan warisan kepada
saudara pewaris.
4
9
Bab II

kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan


hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris
mengembalikan harta warisan kepada ahli waris
Sunga (penggugat) sebagai orang yang berhak
mewaris.

Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian


harta warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten
Donggala yang telah telah diuraikan, ditemukan
pencerminan hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam
sebanyak 7 (tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8,
11, 13, 17, 19, dan 21. Demikian juga putusan pengadilan
yang mencerminkan hukum kewarisan adat yang
berasaskan musyawarah mufakat antara penggugat dan
tergugat dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam,
yaitu kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5.

Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan


Islam yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas
hukum kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus
nomor 11. Sebalik-nya, ditemukan juga putusan
pengadilan yang tidak men-cerminkan asas-asas hukum,
baik asas hukum adat maupun asas hukum Islam,
melainkan hal itu hanya berpedoman kepada formalitas
beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor 6, 9, 10, 12, 14,
15, 18, dan 20.

Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan


Agama Kabupaten Donggala

Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan


oleh Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990
sampai dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah
kasus pembagian harta warisan dan dua kasus
diantaranya dikemukakan sebagai berikut.
5
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(1) H. Baharuddin dan Rabiah bin H. Baele v. Hj. Hajare binti


H. Baele cs, 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.
H. Baharuddin dan Rabiah H. Baele dalam perkara ini
adalah ahli waris anak laki-laki dan perempuan, sedang Hj.
Hadjare cs adalah ahli waris anak perempuan bersama
janda istri ke dua dan anaknya sebagai penguasa harta
peninggalan H. Baele yang belum terbagi kepada ahli
warisnya. Karena itu, H. Baharuddin dan Rabiah
menggugat Hj. Hajare cs berdasarkan hukum Islam ke
Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk
memperolah hak warisannya dengan cara menjual rumah.
Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa H. Baele
meninggal tahun 1988 di Palu. Ia meninggalkan warisan
kepada ahli waris yang terdiri atas 3 orang anak
perempuan bersama 2 orang anak laki-laki dari istri
pertama, seorang anak perempuan bersama seorang anak
laki-laki dari istri kedua, janda istri kedua; harta yang
ditinggalkannya terdiri atas dua buah rumah tempat
tinggal. Harta berupa sebuah rumah tempat tinggal
dikuasai oleh istri kedua dan sebuah rumah lainnya
dikuasai oleh anak kedua sampai anak kelima dari istri
pertama. Pihak tergugat mengemukakan bahwa harta
yang dikuasinya adalah harta peninggalan pewarisnya dan
ia adalah termasuk ahli waris sehingga ia berhak
menempati rumah yang menjadi obyek sengketa
warisan.34
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban
tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti,
ternyata bahwa penggugat dan tergugat belum

34
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.
5
1
Bab II

memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim


memutuskan bahwa gugatan penggugat diterima
sebagian, yaitu 5 (lima) orang anak dari istri pertama
mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Palu,
sedangkan istri kedua bersama dua orang anaknya
mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Tawaili.35
Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan
hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan
hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta
warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga
memungkinkan muncul masalah baru kepada yang
berhak menerima warisan kollektip.

Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23 Juli


1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak
laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai
penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan
Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak
warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut,
dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di
Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua)
orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama
seorang anak perempuan melalui anak perempuan
pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2
(dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak
perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih
dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak

35
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990 tampak tidak membedakan bagian
seorang anak laki-laki dengan bagian seorang anak perempuan, dan janda istri
kedua. Selain itu, tidak membedakan harta perkawinan istri pertama dengan istri
kedua. Namun, kedua pihak menerima putusan itu.
5
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui


anak laki-laki ketiga yang meninggal lebih dahulu dari
pewarisnya.36
Harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas
kebun kelapa 764 pohon, tanah perumahan 1200 meter.
Harta tanah perumahan itu belum terbagi kepada ahli
warisnya dan dikuasai oleh anak laki-laki dan perempuan
melalui anak pertama perempuan yang meninggal lebih
dahulu dari pewarisnya berdasarkan wasiat pewaris.
Karena itu, penggugat menuntut warisannya berdasarkan
hukum Islam. Pihak penggugat mengemukakan bahwa
harta yang dikuasainya adalah pemberian pewaris
melalui surat wasiat.37
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban
tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti
dalam persidangan, terungkap bahwa wasiat pewaris
tidak disetujui oleh ahli waris lainnya. Karena itu, hakim
membatalkan wasiat pewaris dan harta peninggalan
dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan
hukum kewarisan Islam, yaitu anak laki-laki dan
perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya
digantikan kedudukannya oleh anaknya atau
keturunannya. Selain itu, bagian warisan seorang anak

36
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Juli 1991.
37
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA.Palu, 23 Juli 1991 mempunyai pertimbangan hukum bahwa
wasiat kepada ahli waris tertentu yang tidak disetujui oleh ahli waris lainnya adalah
batal demi hukum atau dibatalkan oleh hakim.
5
3
Bab II

laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak


perempuan38
Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan
asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-
Qur`an surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari orangtuanya digantikan
oleh turunannya.
Kesimpulan

Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan


Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara Filosofis berdasarkan Sila Pertama Pancasila

Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan


Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara yuridis berdasarkan Pasal 29 UUD 1945

Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan


Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara sosiologis diterima oleh masyarakat muslim yang
mendiami negara republik Indonesia berdasarkan fakta
hukum melalui putusan Pengadilan Agama

Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan


Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
secara historis berdasarkan teori recepcie in complexu dan
teori receptio a contrario
Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di
Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4

38
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Agustus 1991. Pertimbangan hukum putusan itu adalah
Pasal 184, dan 185 Kompilasi hukum Islam, dan Pasal 49 ayat (3) Undang-undang
nomor 7 Tahun 1989.
5
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(empat) bentuk, yaitu Melalui musyawarah ahli waris,


melalui musyawarah dewan adat, melalui Pengadilan
Agama, dan Melalui Pengadilan Umum (Negeri). Ke empat
bentuk penyelesaian pembagian harta warisan dimaksud,
mencerminkan asas-asas hukum kewarisan Islam, hukum
kewarisan adat yang menjiwai hukum kewarisan Islam,
dan asas hukum kewarisan adat lama sebagai akibat
ketidak tahuan filosofi hukum kewarisan Islam.
Daftar Pustaka
Abdrrahman, H., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992
Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press,
1984

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, Qahirah: Mustafa al-


Babi al-Halabi, 1952

Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, Qahirah: al-


Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966

Ali, Mohammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem


Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah, 1985.
---------. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991

Ali, Zainuddif, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten


Donggala, Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998

---------. Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta: Sinar Grafika,


2010

---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di


Indonesia, Cetakan ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938
5
5
Bab II

Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al.


Sunan Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1952.

Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam.


Jogyakarta: Nurcahaya, 1983.

Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-


Hild-Co, 1992.

B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan


oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953

Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8,


Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun.

David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of


Inheritance, America: International Microfilms
University Press, 1986
Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para
Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbandingan". Disertasi
Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith.


Jakarta: Tintamas, 1990.

Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-


Islamiyah, Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi


al-Halabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun

Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi


wa al-Qanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978
5
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-


Wasiyyat, Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah,
tanpa tahun

Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, Delhi: Kalam


Mahal Darya Ganj, 1977

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:


Bina Aksara, 1981

Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-


Fikr al-Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962

Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary,


Myland: Amana Corp Brentwood, 1983
5
7
Bab II

5
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

PARADIGMA BARU HUKUM WARIS ISLAM DI


INDONESIA
Edi Riadi

Latar Belakang

Hukum Waris Islam yang dibangun sejak abad ke tujuh


masehi sampai saat ini, dalam tataran teoritis, tidak mengalami
perubahan dan senantiasa akan tetap dipertahankan seperti itu
karena hukum waris Islam dianggap hukum Tuhan yang berlaku
sepanjang masa dan tidak menerima perubahan. Para fuqaha
(ahli di bidang hukum Islam) berpendapat hukum waris Islam dan
begitu juga bidang hukum Islam lainnya dianggap merupakan
perintah Allah swt. yang harus dilaksanakan apa adanya tanpa
reserve sehingga hukum tersebut diistilahkan dengan hukum
taabbudi (wajib diikuti sebagai ibadah/kepatuhan kepada Allah
swt.), bukan hukum taaqulli yaitu hukum yang dapat dilakukan
perubahan sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya
masyarakatnya.

Persepsi para fuqaha mengenai hukum Islam, khususnya


hukum waris Islam, seperti itu berdampak stagnasi hukum Islam itu
sendiri, sehingga tertinggal dari sistem hukum lain yang senantiasa
mengalami perubahan. Sistem hukum waris Islam, pada zamannya,
dapat dikatakan sebagai hukum waris yang sangat modern
dibanding dengan sistem hukum waris lain. Ambil contoh sebagai
perbandingan, di beberapa negara bagian Amerika pada abad ke 19
jika seorang meninggal dunia harta warisan khususnya yang
berbentuk properti diwariskan kepada anak laki-laki sulung. 11

11
Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York, Simon and
Schuster, 2005, H.29.
5
9
Bab II

Pewarisan seperti demikian sudah lama dihapus oleh Islam


sejak saat penyebaran Islam di Madinah lima belas abad lalu
dengan menerapkan hukum waris yang berbasiskan keadilan
tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan serta
tanpa membedakan dewasa atau belum dewasa. Walaupun
porsi perempuan hanya mendapat setengah bagian dari porsi
laki-laki, namun demikian porsi waris perempuan tersebut
merupakan terobosan paling kotroversial pada zaman itu,
karena pada saat itu wanita tidak memiliki hak untuk mewaris
bahkan wanita dijadikan objek warisan seperti benda.12
Hukum waris Islam yang lima belas abad lalu merupakan
hukum paling modern, pada masa kini menjadi hukum yang
kehilangan ruh kemodernan dan ruh keadilannya ditengah
perkembangan sosio-kultural masyarakat kini. Problem beda agama
dan anak angkat yang menjadi penghalang pewarisan, bagian
wanita separuh dari laki-laki dalam hukum waris Islam mendapat
kritikan tajam dari kalangan ahli hukum modern. Lebih dari itu
lembaga dzawil arham13 yang dibangun para fuqaha merupakan
problem hukum waris Islam lainnya yang sangat kontroversial dan
bias gender. Lembaga dzawil arham sebagai model hukum waris
Islam yang dibangun atas landasan pola berfikir masyarakat Arab
yang patrilineal sangat tidak relevan dengan rasa keadilan
masyarakat modern. Sistem hukum waris Islam yang dibangun
fuqaha lima belas abad yang lalu, pada masa

12
Muhammad Ahmad Ismail al-Muqarrim, al-Marah Baina Takrim al-Islami
wa Ihanati al-Jahiliyyati, Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005, h.57.
13
Dzawil arham kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris
akan tetapi tidak termasuk ahli waris seperti cucu dari anak perempuan, perempuan
keturunan dari saudara sekandung dan seayah, keturunan dari saudara seibu, bibi
dar pihak ayah, paman dan bibi dari pihak ibu, perempuan keturunan dari paman
pihak ayah, kakek dari pihak ibu. Lihat A. Hussain, The Islamic Law of Succession,
Riyad, Darussalam, 2005, h. 164,181, 211, 218, 228,285; Lihat pula Syihabuddin
Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarhi al-Muhtaj, Kairo, Dar al-Fikr,
tth. H. 393.
6
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sekarang sudah tidak berpihak pada keadilan, pluralisme, dan


kesetaraan gender sehingga sulit diterima oleh masyarakat
modern yang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan
pluralisme.14
Upaya pembaharuan hukum Islam banyak dilontarkan para
pemikir Muslim. Contoh sangat kontroversial diprakarsai Abdullah
Ahmed an-Naim dengan teori nasikh mansukh ayat-ayat madaniyah
yang dianggapnya bersifat sektoral dan temporal oleh ayat-ayat
makiyyah yang menurutnya bersifat universal, 15 Syahrur dengan
teori limit memaknai al-Quran surah al-Nisa IV:11,12, 176 yang
mengatur porsi waris anak wanita , saudara wanita, dan istri
mendapat separuh dari anak laki-laki, saudara laki dan suami
merupakan batas minimal sehingga porsi anak wanita, saudara
wanita, dan istri dapat berubah menjadi sama yang dengan porsi
anak laki-laki, saudara laki-laki, dan suami. 16 Pembaruan pemikiran
hukum Islam yang dimunculkan oleh Abdullah Ahmed an-Naim dan
pemikir Islam lainnya sulit diterima oleh fuqaha yang memahami
hukum sebagai ketentuan taabbudi.

Di Indonesia, Hazairin sebagai pembaru hukum waris Islam


pertama melontarkan teori Waris Bilateral selanjutnya diikuti oleh
Munawir Sadzali dengan gagasan reaktualisasi hukum Islam.
Hazairin berpendapat ayat-ayat al-Quran yang mengatur tentang
hukum waris mencita-citakan bentuk masyarakat

14
Lihat Robert Spencer, Islam Unveiled, San Francisco, Encounter Books, 2002,
h.73-92.
15
Abdullah Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties,
Human Right and International Law, (Dekontruksi Syariah: Wacana Kebebasaan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International, terj. Ahmad Suaedy dan
Amiruddin Arrani, Yogyakarta, LKiS, 1994, h.110.
16
Muhammad Shahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqhi al-Islami, (terj.
Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin), Yogyakarta, Elsaq press, 2004, h.317-424.
6
1
Bab II

bilateral.17 Sehingga dengan landasan berfikir semacam itu, Hazairin


memahami Hadits tentang kewarisan bukan merupakan produk
hukum yang berlaku umum dan abadi bagi semua ummat Islam,
akan tetapi harus dipahami sebagai produk peradilan yang berlaku
parsial dan temporal dalam menyelesaikan kasus-perkasus. 18
Sedangkan Munawir Sadzali melontarkan kritikan porsi waris wanita
setengah bagian dari laki-laki dengan memandang hukum Islam
secara kontekstual.19 Menurut Munawir Sazali hukum Islam tidak
sepenuhnya taabbudi melainkan mengadung sifat taaquli, sehingga
hukum Islam lentur untuk menerima perubahan-perubahan sesuai
perkembangan zaman dan budaya masyarakat.

1. Hukum ideal dan realistis.

Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan.


Sedangkan hukum realistis adalah hukum yang dihasilkan
dengan cara mensinergikan hukum ideal dan hukum berlaku
ditengah masyarakat. Hukum ideal bermuatan rasa keadilan
universal, sedangkan hukum realistis bermuatan keadilan lokal
dan temporal. Hukum ideal tidak mungkin diberlakukan ditengah
masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa
mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat tersebut pada
masanya. Oleh karena itu proses sinergi hukum ideal dengan
hukum yang berlaku dalam masyarakat menjadi hukum realistis
merupakan suatu keniscayaan agar hukum tersebut bermuatan
rasa keadilan masyarakat. Karakteristik hukum realistis hanya
berlaku dalam masyarakat pada masa tertentu, dan belum tentu
dapat diberlakukan dalam masyarakat lainnya dalam kurun waktu

17
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith,
Jakarta, Tintamas, 1981, h.13.
Ibid, h. 94.
Munawir Sjadzali, Dari Lembah kemiskinan, dalam Muhammad Wahyuni
Navis (ed.), Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta, Paramadina, 1995, h.87-96.
6
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang sama atau kurun waktu berbeda karena rasa keadilan


masyarakatnya berbeda. Hukum waris fikih adalah hukum
realistis untuk masyarakat Arab pada masa itu oleh karenanya
mungkin banyak kaidah hukum waris ala fikih yang sudah
tidak relevan untuk masyarakat Indonesia pada masaa kini.
Dalam hal inilah diperlukan tajdid hukum yang
berkesinambungan paralel dengan tuntutan keadilan lokal
sebagai akibat perubahan sosio-kultural masyarakat.

Al-Quran surah al-Nisa IV:7 diturunkan untuk merubah


realitas sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu yang
membedakan wanita dari laki-laki. Masyarakat Arab menempatkan
laki-laki sebagai subjek hukum sedangkan wanita sebagai objek
hukum. Bahkan wanita pada masa itu dapat diwarisi karena
dianggap sebagai objek hukum. Al-Quran surah al-Nisa IV:7
tersebut merupakan kaidah yang berfungsi sebagai tool of social
engineering mendudukkan wanita dan laki-laki setara didepan
hukum, keduanya menjadi subjek hukum, oleh karenanya ayat
tersebut merupakan hukum ideal, dimana laki-laki dan perempuan
sama-sama dapat mewaris baik dalam keluarga inti maupun dalam
keluarga besar. Ayat tersebut bermuatan keadilan universal,
sehingga bersifat qathi yang tidak akan mengalami perubahan.
Adapun Al-Quran surah al-Nisa 11, 12 dan 176 dan Hadits Nabi
Muhammad mengenai kewarisan merespon kultur masyarakat yang
mengkondisikan laki-laki berperan penuh dalam hampir semua
wilayah kehidupan, karena pada umumnya semua wilayah
kehidupan saat itu bergantung pada kekuatan fisik yang dimiliki laki-
laki. Ayat 11, 12, dan 176 dan Hadits Nabi Muhammad tentang
kewarisan yang mempertimbangkan peran besar laki-laki dan peran
domestik kaum wanita dalam kontek sosio kultural masyarakat Arab
pada masanya merupakan hukum realistik, sehingga pada
umumnya dalam tiga ayat dan Hadits Nabi
6
3
Bab II

Muhammad tentang kewarisan membedakan kedudukan dan hak


laki-laki dari wanita dalam hukum kewarisan. Oleh karena itu
ketiga ayat dan Hadits Nabi Muhammad tentang kewarisan
tersebut bermuatan keadilan lokal dan temporal sehingga bersifat
dzonni. Pemahaman qathi dan dzanni dalam ayat dan Hadits
hukum tidak mesti dilihat dari sisi linguistik maupun periwayatan
melainkan dapat dilihat dari sisi muatan keadilannya. Ayat dan
hadits yang bermuatan keadilan universal merupakan dalil qathi,
sedangkan ayat Al-Quran dan Hadits yang bermuatan keadilan
lokal dan temporal merupakan dalil dzanni.
2. Dialektik tafsir tekstual dan kontekstual.
Pada masa awal Islam, tingkat moderasi tafsir terhadap teks
Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad sangat tinggi. Para sahabat
berkreasi memahami teks Al-Quran dan Hadits sesuai tingkat
keluasan dan kedalaman pengetahuannya. Zaid bin Tsabit yang
dijuluki oleh Nabi Muhammad sebagai sahabat yang afqahu
shahabah fiilmi al-irst merupakan orang yang luas pengetahuannya
dibidang hukum kewarisan masyarakat Arab, sehingga ia lebih
mampu memahami teks Al-Quran dan Hadits tentang kewarisan
yang bersinergi dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Arab
saat itu. Sedangkan Ibnu Abbas hanya memiliki kemampuan
memahami teks al-Quran dan Hadits tentang kewarisan tanpa
memiliki kemampuan mensinergikan dengan hukum adat
masyarakat Arab. Tafsir Zaid bin Tsabit tentang waris merupakan
mainstream sehingga banyak diikuti para fuqaha, karena pendapat
Zaid bin Tsabit sangat dirasakan sesuai dengan keadilan masyarakat
setempat saat itu. Aliran Ibnu Abbas banyak ditinggalkan para
fuqaha karena tidak bermuatan keadilan lokal, sehingga tafsir Ibnu
Abbas tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Arab pada
masanya. Akan tetapi tafsir Ibnu Abbas lebih dirasa bermuatan
keadilan pada masa kini. Tafsir Ibnu
6
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Abbas mengenai kata walad dalam Al-Quran surah Al-nisa


IV:176 mencakup anak laki-laki dan wanita selaras dengan
pergeseran keluarga moderen yang meninggalkan keluarga
besar menjadi keluarga inti, dimana saudara sebagai keluarga
besar baru dapat mewaris jika pewaris tidak meninggalkan
keturunan. Demikian halnya tafsiran Ibnu Abbas terhadap Al-
Quran surah al-Nisa IV:11 dalam kalimat fain lam yakun lahu
waladun wawaritsahu abawahu fali ummihi altsuluts bahwa ibu
mendapat dari sepertiga besar mengindikasikan ibu setara
dengan ayah, karena ibu dalam kasus tertentu bisa memperoleh
waris melebihi porsi ayah. Tafsir Ibnu Abbas ini menghilangkan
asas 2 : 1 antara porsi laki-laki dengan porrsi perempuan.

Tafsir Zaid bin Tsabit merupakan tafsir kontekstual


pada masa itu, sehingga menciptakan hukum progresif yang
membentuk hukum realistis dan diterima masyarakat Arab,
sedangkan tafsir ibnu Abbas merupakan tafsir tekstual pada
masa itu bermuatan hukum ideal dan tidak realistis, sehingga
membentuk hukum yang tidak bermuatan keadilan lokal dan
temporal pada masanya, yang berakibat tereliminasi karena
tidak populer ditengah masyarakat Arab saat itu. Namun
demikian tafsir Ibnu Abbas mendekati hukum ideal sehingga
relevan untuk diterapkan pada masa kini.
3. Perkembangan hukum waris di Indonesia.
Reaktualilasi hukum waris Islam yang dilontarkan oleh
Hazairin dan Munawir Sadzali baru diterima dan diterapkan oleh
para hakim Pengadilan Agama setelah hukum waris, perkawinan,
dan wakaf dikodifikasikan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam
(KHI). KHI khususnya mengenai bab kewarisan merupakan hukum
yang realistis, karena banyak menyerap hukum adat yang berlaku di
Indonesia sehingga bermuatan rasa keadilan masyarakat.
6
5
Bab II

Pokok-pokok hukum waris KHI: Pertama, mengedepankan sistem


keluarga inti dimana keluarga menyamping tidak dapat mewaris
selama masih ada anak pewaris; ke dua, mendudukkan wanita
setara dengan laki-laki, sehingga KHI tidak mengenal lembaga
dzawil arham; dan ke tiga, menghormati anak angkat menjadi
bagian keluarga yang harus mendapat wasiat wajibah walaupun
bukan sebagai ahli waris. Namun demikian KHI masih menyisakan
bias gender dalam pasal-pasal mengenai porsi anak perempuan dan
saudara perempuan, istri dimana mereka hanya mendapat (satu
perdua) dari anak laki-laki, saudara laki-laki dan suami.

Penerapan Hukum kewarisan KHI dalam praktek


peradilan Agama, masih menyisakan multitafsir, sebagian hakim
peradilan Agama masih memaknai rumusan kewarisan KHI
dengan sistem waris mazhab empat, sebagian lainnya memaknai
dengan teori waris bilateral Hazairin. Mahkamah Agung sebagai
pengadilan negara tertinggi melakukan pembinaan hukum lewat
yurisprudensi. Dalam bidang hukum waris Islam, Mahkamah
Agung sudah banyak melakukan perubahan-perubahan kearah
hukum waris bilateral yang dilandasi filosofi keadilan, kesetaraan
gender, dan pluralisme. Yurisprudensi Mahkamah Agung lebih
progresif dibanding KHI, karena putusannya mengenai kewarisan
bukan saja melihat dari sisi kesetaraan gender bahkan juga
melihat sisi pluralisme yang tidak dimiliki KHI.

Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang


progresif antara lain:

Mengedepankan keluarga inti dengan menetapkan keluarga


horizontal dan diagonal terhijab oleh anak perempuan.

Mengedepankan kesetaraan gender dengan menghapuskan


lembaga dzawil arham melalui ahli waris pengganti.
6
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Menyerap rasa keadilan masyarakat dengan menetapkan


anak angkat wajib menerima wasiat wajibah.

Menghargai pluralisme, dengan mewajibkan keluarga


hubungan darah atau perkawinan yang beragama selain
Islam untuk mendapat wasiat wajibah.

Persoalannya, apakah yurisprudensi Mahkamah Agung


tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits
sebagai sumber utama hukum Islam. Untuk mengukur
Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut apakah
bertententangan degan Al-Quran atau Hadits dapat dilakukan
analisa dengan pendekatan teori hukum ideal dan hukum realistis
diatas. Dalam hal ini Mahkamah Agung cenderung melakukan
tafsir ulang terhadap ayat Al-Quran yang bermuatan hukum ideal
dengan mensinergikan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
Pendekatan lainnya penciptaan kaidah ushul:



Norma hukum dipahami dari kondisi umum masyarakat
yang melatar belakangi turunnya nash bukan dipahami dari
sisi teks dan kasus parsial yang melatar belakangi turunnya
nash) disamping kaidah ushul yang baku yakni:



Norma hukum dipahami dari teks nash bukan dari
peristiwa parsial yang melatar belakangi turunnya nash) dan
kaidah:



Norma hukum dipahami dari latar belakang partial yang
mempengaruhi turunnya nash bukan dipahami dari teks nash).

6
7
Bab II

Kaidah pertama dalam hukum modern dinamakan penafsiran


hermeneutik , kaidah ke dua dikenal dengan penafsiran gramatik,
dan kaidah ketiga dikenal dengan penafsiran historis.
Hukum waris Islam realistis

Pembangunan hukum waris Islam Indonesia kedepan


diharapkan dapat merespons rasa keadilan masyarakat. Akan
tetapi perumusan hukum waris Islam yang berbasis kesadaran
hukum masyarakat Indonesia yang majemuk tidak mudah
diwujudkan. BPHN sebagai pusat pembinaan dan
pengembangan hukum nasional sudah beberapa dasawarsa
berupaya melakukan pembaharuan hukum nasional, khususnya
dibidang hukum waris sampai saat ini belum terwujud. Kesulitan
tersebut karena sangat beragamnya hukum adat yang memiliki
rasa keadilan lokal. Demikian halnya pembangunan hukum Islam
yang berwawasan ke Indonesiaan akan mengalami hal yang
sama. Namun demikian pembangunan hukum Islam ini dapat
dilakukan dengan dua pendekatan, pendekatan melalui hukum
abstrak dan hukum konkrit. Pendekatan hukum abstrak melalui
legislasi yang dirumuskan dengan merespon nilai-nilai ideal.
Nilai-nilai ideal ini dapat digali dari Konvensi HAM. Sedangkan
pendekatan hukum konkrit melalui putusan pengadilan yang lebih
merespon rasa keadilan lokal. Oleh karenanya dalam
merumuskan hukum abstrak harus memberikan ruang bagi
hakim untuk memutus kasus sesuai dengan rasa keadilan lokal.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kajian hukum


waris Islam tidak terikat dengan fikih normatif melainkan diperlukan
telaah teks Al-Quran dan Hadits jauh kebelakang yakni pada masa
Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi Muhammad, karena pada
masa itu banyak hasil pemikiran sahabat yang sangat relevan untuk
diterapkan pada masa kini, walaupun pemikiran
6
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

tersebut pada masa lampau merupakan pendapat minoritas


yang tereliminasi yang dalam konteks fikih biasa disebut qila
bukan kategori qalu.

Sebagai gambaran beberapa contoh dibawah ini


merupakan pendekatan-pendekatan telaah historis terhadap
hukum kewarisan Islam.
Al-Quran surah Al-nisa IV:176 mengenai waris kalalah, sebagian
besar sahabat Nabi Muhammad bependapat waris kalalah adalah
jika pewaris tidak meninggalkan anak dan bapak karena ayat
tersebut dilatar belakangi peristiwa sahabat Nabi Muhammad
yang bernama Jabir bin Abdullah bin Amr ketika sakit keras,
bertanya kepada Nabi Muhammad tentang pembagian harta
kekayaannya sedangkan ia tidak mempunyai keturunan dan
ayahnya sudah meninggal dunia, maka saat itu turun al-Quran
surah Al-nisa IV:176. Sedangkan kelompok kecil sahabat yakni
Ibnu Abbas dan Umar bi Khattab berpendapat bahwa kalalah
adalah dimana orang yang meninggal dunia tidak meninggalkan
anak maka ahli warisnya saudara, mungkin bersama ayah jika
ayah masih ada atau hanya saudara jika ayah sudah tidak ada.
Pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khatthab, pada saat itu,
merupakan wacana yang asing bagi sahabat Nabi Muhammad
lainnya, sehingga dianggap pendapat yang lemah dan tidak
diikuti kebanyakan sahabat Nabi Muhammad saat itu sehingga
tidak berkembang dalam mazhab fiqih populer. Untuk saat ini,
pendapat itu lebih tepat diterapkan karena lebih sesuai dengan
hukum adat yang pada umumnya berlaku di Indonesia maupun
KUH Perdata dimana saudara dapat mewaris bersama ayah. 20

20
Lihat Pasal 854 dan 855 KUHPerdata, Ichtiar Baru, 2006, vol.1, h. 571-570;
Wirjono Prodjodikoro, Usaha Memperbaiki Hukum Warisan di Indonesia, dalam Wirjono
6
9
Bab II

Al-Quran surah al-Ahzab 33:4 melarang anak angkat diposisikan


sebagai anak kandung sendiri. Ayat Al-Quran tersebut bukan
berarti Islam melarang seorang muslim untuk mengangkat
anak, melainkan melarang mengangkat anak yang berakibat
memutuskan kekerabatan anak tersebut dengan orang tua
aslinya dan memposisikan anak tersebut sepenuhnya secara
hukum sama dengan anak sendiri, akibat hukumnya anak
tersebut tidak boleh menikah dengan anak asli bapak
angkatnya. Nabi Muhammad sendiri mengangkat Zaid
sebagai anak angkat tanpa mendudukkan sebagai anak
kandung, akan tetapi pengangkatan anak tersebut murni untuk
kepentingan kehidupan Zaid.

Anak angkat, dalam hukum Islam, tidak termasuk ahli waris


namun berhak mendapat bagian dari harta warisan ayah
angkatnya berdasarkan Al-Quran Surah al-Baqarah II:180.
Sebagian ulama ahli di bidang tafsir berpendapat pengertian
kaum kerabat dalam ayat tersebut tidak terbatas bagi orang
yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, sehingga
wasiat dapat dilakukan untuk kepentingan orang lain yang
memiliki hubungan khusus dengan pewaris atau orang-orang
papa yang membutuhkan bantuan dapat menerima wasiat. 21
Dalam Al-Quran surah al-nisa IV:11,12, 176 hutang pewaris
kepada pihak debitur dan wasiat harus dilaksanakan lebih dahulu
sebelum pembagian harta warisan, hal ini menunjukkan bahwa
kedudukan lembaga wasiat sangat diutamakan dan

Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1974, h.95;
Lihat pula Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta,
Haji Masagung, 1988, h.186-189; Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta,
Pradnya Paramita, 1989, h.98-100
21
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-
Ahkam al-Quran, Kairo, Dar al-Kutub al-Arabiyyah, 1967, Juz 2, h.264; Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Marifah, tth., vol.2, h.137.
7
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dilindungi keberadaannya untuk dilaksanakan disamping hak ahli


waris.22 KHI.Ps.209 mengatur tentang wasiat wajibah, yaitu
wasiat yang ditetapkan oleh hakim jika seorang meninggal dunia
dan meninggalkan anak angkat yang tidak diberi wasiat. Pasal ini
diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya
yang sudah menjadi Yurisprudensi.23 Berbeda dengan hukum
adat, Mahkamah Agung dan KHI tidak memposisikan anak
angkat sebagai ahli waris, sebagaimana sebagian hukum adat
yang berlaku di Indonesia, akan tetapi anak angkat diberi porsi
maksimal 1/3 harta warisan sebagai wasiat wajibah dan tidak
boleh melebihi bagian ahli waris yang memiliki hubungan darah
dengan pewaris.24

Hukum waris Islam konvensional menetapkan perbedaan


agama pewaris dengan kerabat yang memiliki hubungan
darah sebagai faktor penghalang untuk mewaris. Ketentuan
ini tidak diatur dalam Al-Quran melainkan dalam Hadits
Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid.
Bunyi haditsnya ada dua macam:

Pertama,

Lihat al-Quran surah al-Nisa 4:11 dan 12; Lihat pula Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam al-Quran, Kairo, Dar
al-Kutub al-Arabiyyah, 1967, Juz 5, h.73-74; Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-
Manar, Beirut, Dar al-Marifah, tth., vol.4, h.421.
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 214 K/AG/1997 tanggal 31-8-
1999; Nomor 121 K/AG/2003 tanggal 27-9-2006; Nomor 370 K/AG/2000 tanggal 14-6-
2006; Nomor 368 K/AG/1999 tanggal 17-4-2002.
Contoh, jika Pewaris meninggalkan satu orang anak kandung dan seorang atau dua
orang anak angkat maka anak kandung mendapat 2/3, satu/dua orang anak angkat 1/3. Jika
Pewaris meninggalkan tiga orang anak kandung dan satu/dua orang anak angkat maka tiga orang
anak kandung mendapat satu orang/dua orang anak angkat mendapat .
7
1
Bab II

Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris


yang beragama selain Islam dan orang yang beragama selain
Islam tidak boleh mewaris harta warisan pewaris muslim).25

Kedua, hadits berbunyi:


Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang
beragama selain Islam tanpa kalimat sebaliknya). 26 Dilihat dari
segi sanad (rangkaian orang yang meriwayatkan hadits dari Nabi
Muhammad kepada sahabat berlanjut kepada generasi
berikutnya sampai kepada ulama yang membukukan hadits)
hadits tersebut shahih (memenuhi standar untuk dijadikan
sumber hukum) akan tetapi dari segi matan (substansinya) hadits
tersebut diragukan ke-shahihan-nya. Pertama, karena matan
hadits tersebut khususnya bentuk yang kedua menurut satu
riwayat dalam Shahih Bukhari dan Sunan Ibnu Majah adalah
pendapat Umar bin Khatthab bukan pendapat Nabi Muhammad
sendiri.27 Kedua, daya mengikatnya hadits tersebut diragukan
karena Nabi Muhammad, menurut riwayat Muadz bin Jabal,
pernah memutus kasus sengketa harta warisan dari pewaris
bukan muslim dimana ahli warisnya terdiri dari orang muslim dan
orang yang memeluk agama selain Islam, harta warisan
dibagikan kepada keluarga yang beragama selain Islam dan
kepada keluarga yang beragama Islam.

Lihat Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.777; Tirmidzi, Sunan
Tirmidzi, Riyad, Maktabah al-Maarif, 1993, h.475; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar Ihya
al-Turats al-Arabi, 2000, h.464; Abu daud, Sunan Abu Daud, beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.677;
Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Libanon, Bait al-Afkar, 2004, h.1033; Imam Hakim, Al-
Mustadrak Ala Shahihain, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, 2002, h.1523;

Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut, Dar al-Maarif, 2004, h.1588; Imam
Malik, Muwattha, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, h.328.
Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:438; Ibnu majah, Sunan Ibnu majah,
2000:464.
7
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Keputusan Nabi Muhammad tersebut diikuti oleh Muadz bin


Jabal dan Yahya bin Yamar.28 Jika Hadits tersebut
mengikat tidak mungkin Nabi Muhammad memutus kasus
yang bertentangan dengan ketetapannya sendiri dimana
orang Muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris
yang beragama selain Islam. Berbeda dengan Nabi
Muhammad dan Muadz bin jabal, Umar bin Khatthab
berpegang teguh pada prinsip dimana orang Muslim tidak
boleh mewaris harta warisan pewaris kafir, Beliau dalam
kapasitas sebagai qadhi (hakim) pernah menolak tuntutan
seorang muslim terhadap harta warisan pewaris yang kafir
dan harta warisan diberikan kepada ahli waris yang kafir.29
KHI, Pasal 171 huruf (b) dan (c), mengatur tentang syarat
pewaris dan ahli waris harus beragama Islam, dengan
demikian beda agama merupakan penghalang bagi
seseorang untuk mewaris. Dalam hal wasiat, Pasal 171
huruf (f) KHI menyebutkan: wasiat adalah pemberian suatu
benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Pasal tersebut tidak mensyaratkan penerima wasiat harus orang
yang beragama Islam, sehingga sah-sah saja orang yang tidak
beragama Islam menerima wasiat dari seorang yang beragama
Islam. Akan tetapi pasal-pasal lainnya tentang wasiat tidak pula
terdapat pasal yang mengatur kewajiban seorang untuk
berwasiat kepada keturunannya atau kerabat yang mempunyai
hubungan darah yang tidak beragama Islam. Mahkamah Agung
dalam beberapa putusannya menetapkan anak pewaris yang
tidak beragama Islam mendapat wasiat wajibah (wasiat

28
Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud, 1999:677 dan 678; Imam Hakim, al-
Mustadrak Ala Shahihain, 2002:1523.
29
Imam Malik, Al-Muwattha, 2003:328.
7
3
Bab II

yang ditetapkan oleh pengadilan) maksimal 1/3 bagian dari


harta warisan, sebagaimana wasiat wajibah untuk anak
angkat ketika ayah angkat pada saat hidupnya tidak
memberikaan wasiat untuk anak angkatnya. Atas dasar
lemahnya kedudukan Hadits tentang beda agama sebagai
penghalang untuk mewaris, dan teori ushul fiqih ke tiga di atas
bahwa Hadits tidak dapat diberlakukan secara umum akan
tetapi merupakan hukum yang mengikat kasus tertentu.



Maka putusan Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah
kepada anak atau kerabat pewaris yang menganut agama
selain Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Mahkamah Agung, dalam Yurisprudensinya, berpendapat


anak perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga
ahli waris ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi
sisa harta waris setelah dikurangi bagian ahli waris yang
ditentukan bagiannya) tidak mendapat warisan.30
Hukum waris Islam konvensional menetapkan jika pewaris
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris satu orang anak
perempuan dan saudara laki-laki atau paman dari pihak ayah,
anak wanita hanya mendapat bagian sisanya diberikan kepada
saudara atau paman sebagai ashabah. Jika anak wanita tersebut
dua orang atau lebih mereka mendapat 2/3 berbagi sama,
sisanya 1/3 bagian untuk saudara atau paman sebagai
ashabah.31 Ketentuan tersebut merupakan pemahaman para

Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-


1996; Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.
Al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikri, 1977, vol.3, h.437.
7
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sahabat Nabi Muhammad atas Hadits yang diriwayatkan


oleh Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi:



Bagikan harta warisan kepada ahli waris yang sudah
ditentukan bagiannya sisanya diserahkan kepada laki-laki
yang kekerabatannya lebih utama dengan pewaris).32
Kedudukan ahli waris saudara tercantum dalam Al-Quran
surah al-Nisa 11, 12, dan 176. Dalam Al-Quran surah al-
Nisa 11 dikatakan jika pewaris meninggalkan saudara
berbilang maka ibu pewaris hanya mendapat 1/6 bagian,
dalam ayat ini ahli waris saudara dalam keadaan tidak
bergabung dengan ahli waris anak.

Sedangkan dalam Al-Quran surah al-Nisa 12 dan 176


isinya, jika pewaris tidak meninggalkan (walad terj.Ind. nya
anak) maka saudara mewarisi harta warisan pewaris. Kata
(walad) dalam literatur Arab meliputi anak perempuan dan
anak laki-laki. Oleh karena itu berdasarkan teks ayat 12
dan 176 saudara pewaris hanya dapat mewaris jika
pewaris tidak meninggalkan anak baik laki-laki maupun
perempuan.

Pemahaman ini dikembangkan oleh Abdullah Ibnu Abbas


seorang sahabat Nabi Muhammad, sedangkan sahabat Nabi
Muhammad lainnya yaitu Muadz bin Jabal berpendapat kata
(walad) tersebut maksudnya anak laki-laki sehingga jika
pewaris hanya meninggalkan anak perempuan maka saudara
memperoleh sisa bagian harta warisan setelah diambil bagian

32
Lihat Bukhari, Shahih Bukari, 2004:1644; Muslim, Shahih Muslim, 1999:777;
Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:473; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, 2000:466; Abu Daud,
Sunan Abu Daud, 199:675; Hakim, Al-Mustadrak Ala Shahihain, 2002:1518; Ibnu
Hibban, Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033.
7
5
Bab II

anak perempuan.33 Pendapat Abdullah Ibnu Abbas


merupakan pendapat kelompok kecil sahabat Nabi
Muhammad sehingga tidak berkembang, sedangkan
pendapat Muadz bin Jabal diikuti kelompok besar sahabat
sehingga dijadikan rujukan oleh kalangan fuqaha.

Untuk masyarakat Indonesia, yang pada umumnya tidak


membedakan anak perempuan dan laki-laki, penerapan
pendapat Abdullah Ibnu Abbas lebih memenuhi rasa
keadilan masyarakat daripada pendapat Muadz bin Jabal.
Oleh karenanya putusan Yurisprudensi yang menetapkan
anak perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga
ahli waris ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi
sisa harta waris setelah dikurangi bagian ahli waris yang
ditentukan bagiannya) tidak mendapat warisan34 sangat
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Yurisprudensi
Mahkamah Agung tersebut menerapkan kaidah ushul fikih:



Dalam memahami al-Quran surah al-Niasa IV:176 dan
menerapkan kaidah ushul fikih :



Dalam memahami hadits Abdullah Ibnu Abbas.

33
Imam Hakim, al-Mustadrak ala Shahihain, 2002:1517-1518; Ibnu
Hibban,
Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:472;
34
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-
1996; Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.

7
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

5. Fiqih madzhab empat menganut lembaga dzawil arham.


Lembaga dzawil aarham tersebut dipahami dari Hadits
yang diriwayatkan Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi:



Pembagian harta warisan lebih dahulu diberikan kepada ahli
waris yang sudah ditentukan bagiannya, sisanya bagikan kepada
laki-laki yang lebih utama hubungan kerabatnya dengan pewaris,
yakni ashabah). Pemahaman Hadits tersebut menimbulkan waris
ashabah binafsih bagi laki-laki, karena kultur masyarakat Arab
sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah masyarakat
patrilineal yang mengutamakan laki-laki karena fungsi dalam
rumah tangga dan diluar rumah tangga sangat besar dibanding
dengan wanita. Tafsir hadits tersebut realistik dan adil pada
masyarakat Arab pada saat itu, tetapi belum tentu relevan bagi
masyarakat Indonesia masa kini.

Hukum adat masyarakat Indonesia lebih mengutamakan cucu


perempuan dari anak laki-laki dibandingkan saudara laki-laki.
Oleh karena itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung menghapus
lembaga dzawil arham melalui pemahaman ahli waris pengganti
yang di atur dalam pasal 185 KHI. Mahkamah Agung
memperluas makna ahli waris pengganti dalam pasal tersebut
bukan hanya terbatas pada keturunan anak, sehingga secara
tidak langsung Mahkamah Agung telah menghapuskan lembaga
dzawil arham.35 Kasus-kasus ahli waris pengganti yang masuk ke
Mahkamah Agung terbatas hanya kasus-kasus keturunan dari
anak dan keturunan dari saudara akan tetapi

35
Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 14 K/AG/1995; Nomor 243
K/AG/2005; Nomor 245 K/AG/2005; Nomor 242 K/AG/2006; Nomor 467 K/AG/2007
7
7
Bab II

perluasan pengertian ahli waris pengganti dirumuskan oleh


Mahkamah Agung dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi
dan Teknis Peradilan Agama dimana ahli waris pengganti meliputi
keturunan paman, keturunan kakek, keturunan nenek baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu.36

Di Indonesia, lembaga ahli waris pengganti dalam hukum


waris Islam pertama kali dimunculkan oleh Hazairin dengan
memahami Al-Quran surah al-nisa 4:33.37 Di Mesir tidak
dikenal ahli waris pengganti akan tetapi keturunan derajat
pertama dari anak yang lebih dahulu meninggal dunia dari
pewaris memperoleh wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian
atau sama dengan bagian orang tuanya yang telah
meninggal dunia lebih dahulu.38

Mesir menghapus dzawil arham hanya sebatas cucu


perempuan dari anak perempuan, demikian halnya aliran
syiah di Iran mengenal lembaga ahli waris pengganti dari
anak yang lebih dahulu meninggal dunia, akan tetapi
terdapat sedikit perbedaan dengan Mesir. Ahli waris
pengganti dalam mazhab Syiah bukan mendapat wasiat
wajibah melainkan sebagai ahli waris mendapat bagian
orang tuanya yang lebih dahulu meninggal dunia.

Dengan tanpa perlu melalui lembaga ahli waris pengganti, Al-


Quran sebetulnya tidak mengenal dzawil arham yang tidak
sejalan dengan arus kesetaraan gender. Al-Quran surah al-
Nisa IV:7 sangat jelas merupakan ayat yang sangat mendasar

Lihat Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama,


Mahkamah Agung RI, 2008, h.173.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Quran Dan Hadith, 1981:27.
Muhammad Abu Zahra, Fatawa, Damsyiq, Dar al-Qalam, 2006, h.641.
7
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dimana Al-Quran memperkenalkan sistem hukum kewarisan


bilateral, akan tetapi oleh karena yang memahami Al-Quran
surah al-Nisa IV:7 adalah para sahabat Nabi Muhammad yang
pola berpikirnya sudah dipengaruhi oleh budaya Arab yang
patrilineal sehingga mereka menghasilkan tafsir Al-Quran
yang bernuansa patrilineal. Substansi Al-Quran surah al-Nisa
4:7 mengandung empat kaidah hukum pokok:

Pertama,
Anak laki-laki dapat mewaris dari kedua orang tuanya,
pengertian sebaliknya kedua orang tuanya dapat mewaris
dari anaknya);

Ke dua,
Keluarga laki-laki dapat mewaris dari kerabatnya);

Ke tiga;
Anak wanita dapat mewaris dari kedua orang tuanya,
pengertian sebaliknya kedua orang tua dapat mewaris dari
anak perempuannya);

Ke empat,
Kerabat wanita dapat mewaris dari kerabatnya).

Kaidah hukum pokok pertama menurunkan empat kaidah hukum


cabang: 1. Anak laki-laki mewaris dari ayahnya; 2. Anak laki-laki
dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat mewaris dari anak laki-
lakinya; 4. Ibu dapat mewaris dari anak laki-lakinya.

Kaidah hukum pokok ke dua menurunkan kaidah hukum


cabang: 1.Cucu laki-laki (baik dari anak laki maupun dari anak
7
9
Bab II

perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya (baik


dari pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Kakek (baik dari
pihak ibu maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari
cucunya (baik cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki); 3.
Saudara laki-laki (baik sekandung, seayah maupun seibu)
dapat mewaris dari saudara laki-laki atau perempuan (baik
sekandung, seayah maupun seibu); 6. Paman (dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu) dapat mewaris dari
keponakannya; 7. Keponakan laki-laki dapat mewaris dari
paman dan bibinya; 8. Saudara sepupu laki-laki dapat
mewaris dari saudara sepupu laki-laki dan saudara sepupu
perempuan;

Dalam kaidah hukum ketiga menurunkan empat kaidah


hukum cabang: 1. Anak perempuan dapat mewaris dari
ayahnya; 2. Anak perempuan dapat mewaris dari ibunya; 3.
Ayah dapat mewaris dari anak perempuannya; 4. Ibu dapat
mewaris dari anak perempuannya.

Kaidah hukum pokok ke empat menurunkan kaidah hukum


cabang: 1. Cucu perempuan (baik dari anak laki-laki maupun dari
anak perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya (baik
dari pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Nenek (baik dari pihak
ibu maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari cucunya (baik
cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki); 3. Saudara
perempuan (baik sekandung, seayah maupun seibu) dapat
mewaris dari saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung,
seayah maupun seibu); 6. Bibi (baik dari pihak ayah maupun dari
pihak ibu) dapat mewaris dari keponakannya; 7. Keponakan
perempuan dapat mewaris dari paman dan bibinya; 8. Saudara
sepupu perempuan dapat mewaris dari saudara sepupu laki-laki
dan saudara sepupu perempuan;
8
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Al-Quran surah al-nisa IV:7 ini harus dipahami berlaku


umum sesuai kaidah ushul fiqih



Kandungan hukum ayat tersebut harus dipahami dari susunan
kalimatnya bukan dilihat dari latar belakang peristiwa hukum
itu muncul karena kaidah hukum tersebut kaidah hukum ideal.
Sedangkan hadits-hadits Nabi Muhammad yang tidak sejalan
dengan substansi yang terkandung dalam Al-Quran surah al-
Nisa IV:7 harus dipahami sebagai hukum realistik yang
berlaku lokal dan temporal sesuai kaidah ushul fiqh:



Kandungan hukum dalam putusan Nabi Muhammad harus
dipahami sesuai latar belakang yang partial yang mempengaruhi
terbentuknya putusan bukan dipahami dari rangkaian rumusan
kalimatnya, sehingga tidak berlaku umum). Dari uraian tersebut
Mahkamah Agung bukan saja sudah membuat terobosan
menghapus lembaga dzawil arham yang tidak berpihak pada
arus kesetaraan gender bahkan terobosan tersebut tidak
bertentangan dengan substansi hukum Islam.
Penutup

Bagaimanapun juga ditengah hiruk pikuknya suara negatif terhadap


Mahkamah Agung, sebagai lembaga peradilan tertinggi Mahkamah
Agung telah berbuat banyak dalam melakukan pembaruan hukum
khususnya dibidang waris Islam yang selama ini sulit untuk
dilakukan oleh lembaga Legislatif dalam rangka pembaruan hukum
nasional karena menyangkut sensitif keagamaan dan kesukuan.
Akan tetapi Mahkamah Agung mampu meretas sensitifitas
keagamaan dan kesukuan tanpa hambatan dan diterima secara
diam-diam oleh masyarakat tanpa gejolak.

8
1
Bab II

Sulit dibayangkan kalau upaya pembaharuan dibidang hukum waris


Islam dilakukan lewat legislasi badan Legislatif, kemungkinan bisa
terulang bagaimana terjadinya konflik horizontal masyarakat seperti
pada saat pembahasan RUU perkawinan di awal tahun tujuh
puluhan. Upaya Mahkamah Agung tersebut patut mendapat support
dalam rangka pembangunan hukum nasional yang modern yang
mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan pluralisme yang
semuanya merupakan substansi ajaran Islam sebagai hukum ideal.
8
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB III
HUKUM KEWARISAN
ISLAM
KONTEMPORER DI
INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF
FIQH, KOMPILASI HUKUM
ISLAM, DAN PRAKTIK DI
PENGADILAN AGAMA
SERTA
MASYARAKAT
8
3
Bab
III
8
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM


Jaih Mubarok

Latar Belakang

Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya


mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik
menjalankan/ mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara
umum bersifat penyimpul (mirip dengan makna kaidah) dari
rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-
prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak
diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun
dalam kerangka menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang
telah dijelaskan oleh pakarnya, serta tawaran yang mudah-
mudahan layak untuk dipertimbangkan oleh para penyusun
naskah akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.

Teori-Teori Pilihan Hukum

Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum;


yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1)
pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-aqlu, revelation
and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-
ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas
keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan

*) Dosen UIN Sunan Gunung Djati

antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism


and realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and
morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan
(stability and change).
8
5
Bab III

Sedangkan Muhammad Imarah menjelaskan empat


pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara
kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktiml al-dn wa
tajdduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa
al-ijtihd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara
(al-dn wa al-dawlah); dan 4) pilihan antara musyawarah dan
syariah (al-syr al-basyariyyah wa al-syarah al-ilhiyyah). 39
Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam
memiliki dua sisi. Di satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum
Islam adalah divine law (hukum yang diwahyukan Allah);
sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa
hukum Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning
of jurists).40 Dua sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif
ketegangan) dan saling melengkapi (dalam perspektif harmoni).

Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman;


terdapat terminologi dalam Hukum Islam yang menjadi
pasangan untuk melihat kesatuan dan keragaman. Al-ittifq
digunakan untuk menggambarkan proses ijtihad yang
menghasilkan pendapat yang sama (seragam); terminologi
lain yang lebih popular adalah ijm; dan terminologi al-ikhtilf
digunakan untuk memperlihatkan pendapat yang ragam.
Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme;
pembahasan mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan
Allah dan kitab suci layak untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu
al-Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H.) dalam kitab Syarh
Tanqh al-Fushl f Ikhtishr al-Mahshl f al-Ushl, menjelaskan tiga
istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh, al-

Muhammad Imarah, Maalim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).


Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago
& London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.
8
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

istiml, dan al-haml.41 Terminologi al-ijtihd (Mujtahid), al-ittib


(Muttabi), dan al-taqld (Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini.

Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran


dalam ilmu filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2)
kebenaran real (nyata, apa adanya). Metode untuk mencapai
kebenaran ideal adalah rasio (al-aql) dan metode untuk mencapai
kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho Mudzhar secara
implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk domain
pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa, qanun, dan
qadha merupakan domain realisme.

Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara


filosof membagi etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive
ethic), yaitu penyeledikan tingkah-laku manusia secara individu
atau pribadi-pribadi (personal morality), kelompok (social
morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan dan
perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic),
penyelidikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi
(personal morality) dan kelompok (social morality) yang
penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsip-prinsip yang harus
dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah penyelidikan
yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia;
sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah
membandingkan antara nilai yang dianut dengan perilaku para
penagnutnya; dan 3) etika kritis (metaethics), yaitu penyelidikan
yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah yang digunakan
dalam etika.42 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara
HUKUM dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai

41
Syihab al-Din Abu al-Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqh al-Fushl f
Ikhtishr al-Mahshl f al-Ushl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20.
42
Ibid., hlm. 141-142.
8
7
Bab III

benar secara HUKUM, tapi tidak/kurang relevan dengan moral


yang dianut suatu masyarakat yang bersangkutan.

Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan


Modernisme; pilihan antara tradisionalisme (stability) dan
modernisme (change; modify) adalah pilihan yang sejak abad
IV H. hingga sekarang terus berlanjut. Istilah Kaum Muda
dan Kaum Tua43 di Indonesia merupakan kenyataan sejarah
dari pilihan antara statis dan dinamis.44
Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan
pembaharuan (iktiml al-dn wa tajdduhu). Kesempurnaan agama
Islam terletak pada nilai universal yang dikandungnya. Di samping
itu, kesempurnaan agama juga terletak pada kandungannya yang
mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan
intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan
agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya
(termasuk aturan-aturan teknis); akan tetapi, kesempurnaannya
terletak pada nilai universal yang dikandungnya dan peluang
mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah agama. Dengan
kerangka yang demikian, wajarlah bila Imarah menegaskan bahwa
salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara
kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya
sepadan dengan pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan antara
musyawarah dan syariah.

Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum


Negara; Salah satu topik penting dalam hal terjadi ikhtilaf antara
gagasan fukaha dalam kitab fikih dengan peraturan perundang-
undangan di sebuah Negara, adalah pilihan dalam taat hukum:

Tradisionalisme biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme disebut


aliran rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.
Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX
(Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61.
8
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara


ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh
ulama yang otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan
peraturan perundang-undangan, terdapat kaidah yang
menyatakan bahwa suatu perbuatan HUKUM dinilai sah secara
agama (shahha dn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara
(wa l yashihhu qadh[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa
ketaatan masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda
dan kaidah yang menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang
dibuat oleh pemimpin dapat menyelesaikan perbedaan pendapat
(hukm al-hkim yarfau al-khilf) belum sepenuhnya bisa diterima
oleh masyarakat Muslim di berbagai negara.
Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat

Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan


hukum Barat guna menjadi hukum nasional diperkaya
dengan teori-teori aplikasi hukum yang saling mendukung
atau saling bertentangan. Di antara nya adalah:

Pertama, teori Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb


mengemukakan bahwa umat Islam yang telah menerima
Islam sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum
Islam atas dirinya;45 umat Islam yang telah menyatakan diri
memeluk agama Islam berarti telah siap menjalankan ajaran
Islam, termasuk hukum-hukum yang dikandungnya.

Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang


dikemukakan oleh Gibb mendapat dukungan dari Lodewijk
Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie
in complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku penuh

45
H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia
dalam Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.
8
9
Bab III

hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun


dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. 46

Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan


terhadap teori Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in
Complexu dari van den Berg. Adalah Christian Snouck
Hurgronye (1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter Haar.
Menurut teori ini, bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku
hukum adat; hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam
itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.47
Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut
teori ini, teori resepsi telah patah dan keluar dari Indonesia
sejak diberlakukannya UUD 45;48 karena UUD 45 dan
Pancasila memberikan tempat yang luas bagi berlakunya
hukum agama (termasuk agama Islam). Oleh karena itu,
Hazairin berpendapat bahwa teori resepsi yang dikemukan
oleh Christian Snouck Hurgronye dan didukung oleh C. van
Vollenhoven dan Ter Haar, adalah teori Iblis.

Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib; dalam


teori ini ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku adalah
hukum Islam; hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan
dengan hukum Islam.49 Teori resepsi a contrario yang dikemukakan
Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi orang Islam berlaku
hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita
hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c)

Ibid., h. 120.
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku Ichtiar.
1959), hlm. 46.
Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.
Ibid., h. 132.
9
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak


bertentangan dengan hukum Islam.50
Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini,
hukum dapat tegak di masyarakat bergantung pada tiga hal:
1) materi hukum, 2) penegak hukum, dan 3) kesadaran hukum
masyarakat. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah
menegaskan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu
proses psikis yang terdapat dalam diri setiap manusia yang
memiliki dua kemungkinan: timbul dan tenggelam.

Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan


hukum terutama disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang
negatif, 2) pemeliharaan hubungan baik dengan teman-teman
dan pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi, dan/atau 4) cocok
(sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya. Pakar
sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum
terdapat empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman
hukum; 3) penilaian dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan
hukum. Soekanto menyebutkan bahwa kesadaran hukum
sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum
diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara.

Survei Literatur

Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam


telah dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat
normatif-rasional maupun analisis yang cenderung bersifat
sosiologis-aplikatif yang cenderung berakar pada nilai budaya
tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu menjelaskan
mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di
antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan

50
Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori, dalam Sumarjan (ed.), Hukum
Islam, hlm. 102-114,117,122, dan 130-132.
9
1
Bab III

pengendalian diri, 2) asas kesamaan dan kebersamaan hak,


3) asas kerukunan dan kekeluargaan, 4) asas musyawarah
dan mufakat, dan 5) asas keadilan.51
Dalam Tesis yang berjudul Hukum Islam Dipandang dari
Perspektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak) yang ditulis oleh Mintarno dalam
rangka menyelesaikan studinya di Program Magister Kenotariatan,
Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan bahwa di
antara asas HUKUM waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas
bilateral, 3) asas individual, dan 4) asas keadilan.52

H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda,


yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul Beberapa Asas
Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan Hukum
Adat. H. Hatpiadi menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan:

Pertama, asas kematian. Asas ini diatur berdasarkan pada


Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan
Hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar
(hakim dan ketua Pengadilan Agama Watampone yang menjelaskan
bahwa asas kematian merupakan asas yang paling utama dan dasar
di dalam proses beralihnya harta seseorang sebagai harta warisan,
dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.

Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan.


Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH
Perdata. Asas hubungan darah merupakan salah satu asas yang
esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan, karena faktor

51
Riana Kesuma Ayu, Sistem Hukum Waris Adat, dalam websiteayu.com,
diakses tahun 2011.
52
Mintarno, Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan
Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak), Tesis Magister, Program
Pascasarjana, Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006).
9
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan


kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang
berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.

Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini


didasarkan pada prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh
karena itu, yang berhak menjadi ahli waris hanyalah keluarga yang
lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa
keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup hak
mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH Perdata
mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris sebagaimana
yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan hukum
adat. Dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Adat, anak,
Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat dari
pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek, saudara-saudara
pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa penentuan
kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya anak lebih utama dari
cucu, ayah lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada
saudara: ayah lebih utama kepada anak dari pada kakek. Bahkan
kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan Islam menentukan
juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara kandung
lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab saudara
kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu),
sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya
dihubungkan oleh satu garis penghubung yaitu dari ayah atau dari
ibu. Ketiga sistem Hukum Kewarisan sama-sama menempatkan
anak, suami/istri, dan orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang
memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu anak sebagai ahli waris
derajat keutamaan pertama dalam garis ke bawah, sedang orang
tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan pertama
dalam garis ke atas, melibihi derajat ahli waris lainnya seperti nenek,
paman/bibi dan saudara. Di dalam
9
3
Bab III

Hukum Kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat tidak


demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi
waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem
hukum kewarisan tersebut mengenal juga golongan ahli waris
yang dapat menutup (menghijab) ahli waris tertentu.

Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling).


Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang
mengatakan bahwa yang berhak menerima warisan haruslah ahli
waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia
(Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi
ketentuan bahwa keluarga yang derajatnya lebih dekat akan
menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh, padahal
sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua
ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan
secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan
ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu
meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima
harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli
waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu.
Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam,
menurut sebagian pendapat, seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro
dan pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut Mahmud
Yunus menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak
dikenal. Berbeda dengan pendapat Hazairin yang mengatakan
bahwa hukum kewarisan Islam mengenal asas pergantian tempat
yang disebut dengan mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris
pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa
(IV) ayat 33, yang artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah)
jadikan pewaris-pewarisnya. Pendapat Hazairin di atas, kemudian
diikuti oleh Sajuti Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini
9
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

menjadi salah satu asas penting dalam Hukum Kewarisan menurut


Kompolasi Hukum Islam sebagaimana yang terdapat ketentuannya
dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak
boleh melebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang
diganti. Kelima, asas individual; asas ini menentukan tampilnya ahli
waris untuk mewarisi secara individu-individu (perseorangan) bukan
kelompok ahli waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga.
Asas ini mengandung pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-
bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan
dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar
begiannya tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya.
Konsekwensi dari ketentuan ini adalah, harta warisan yang sudah
dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli waris secara
perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan
dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu
cara memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. Asas individual
sangat popular pula dalam sistem hukum kewarisan Islam dan
sistem hukum kewarisan adat. Asas individual dalam hukum
kewarisan Islam berarti, Setiap ahli waris secara individu berhak
atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris
lainnya. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal
sistem pewaris individual, juga dikenal adanya sistem kolektif, dan
mayorat namun dari ketiga macam sistem pewaris tersebut, maka
sistem individual yang lebih umum berlaku dalam masyarakat,
terutama dalam masyarakat adat parental yang tersebar hampir
diseluruh daerah di Indonesia. Keenam, asas bilateral; yaitu
seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi
juga mewaris menurut garis ibu,
9
5
Bab III

demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.


Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-
laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas
bilateral ini menetapkan juga suami istri untuk saling mewaris.
Ketujuh, asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli
waris; yaitu segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah
hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Wirjono
Prodjodikoro menjelaskan bahwa BW mengenal tiga macam sikap
dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu
dari tiga sikap itu, yaitu: 1) menerima seluruhnya menurut hakikat
yang tersebut dalam BW (hak dan kewajiban); 2) menerima dengan
syarat, yaitu hutang-hutangnya; dan 3) menolak menerima harta
warisan. Menurut H. Muhammad Daud Ali, dalam diri seseorang
harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban
yang harus ditunaikan.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan
dan ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan
dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan
asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris,
namun sifatnya terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang
bersifat aktiva secara otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli
waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang,
kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-hak yang
diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang
seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari
barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang.
Akan tetapi kalau ada ahli waris yang bersedia membayarkan utang-
utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris, maka itu tidak
dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin dari
akhlak yang baik.53

53
H. Hatpiadi, Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat, dalam www.badilag.net/ diakses tanggal
9
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta,


menulis Azas-Azas Hukum Waris dalam Islam, yang substansinya
menjelaskan bahwa asas-asas hukum waris Islam adalah:

Pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu ketulusan hati,


kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian
bahwa pelaksanaan hukum kewarisan Islam diperlukan
ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan
yang diyakini kebenarannya.
Kedua, asas ta'abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksana-
an pembagian waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah
kepada Allah SWT; ketiga, asas huquq al-maliyah/hak-hak
kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap
kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak
dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak
dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan,
keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat
diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap Muwaris diatur dalam
pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1) mengurus dan
menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2)
menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban
menagih piutang, 3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4)
membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Keempat, asas hukukun thabiiyah/hak-hak dasar; yaitu hak-


hak dasar ahli waris sebagai manusia; meskipun ahli waris
merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah
sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika
Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum
bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang
cakap untuk mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1)

13 Pebruari 2011.
9
7
Bab III

hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3) wala, dan 4) seagama.


Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang mempunyai
hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke
bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping(saudara).
Di samping itu, dalam hukum Islam dikenal penghalang untuk
menerima warisan, yaitu: 1) murtad, 2) membunuh, dan 3) hamba
sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi Hukurn Islam dijelaskan juga
penghalang-penghalang menerima warisan, yaitu: 1) dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
pada muwaris; 2) dipersalahkan secara memfitnah telah
mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.

Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya


peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia
(muwaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah
SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik
pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan
harta yang pasti terjadi setelah Muwaris meninggal dunia, 2)
jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3)
orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah
ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang mempunyai
hubungan darah dan perkawinan.

Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima


hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan
laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan; ketujuh, asas
individual/perorangan; yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada
masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam
pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai
tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang
berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
9
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kedelapan, asas keadilan yang berimbang; yaitu harus


ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari
harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan
yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya,
mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang
dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab
dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak
dan istrinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu
atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak.

Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru


muncul bila Muwaris meninggal dunia. Dengan demikian,
kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian
seseorang. Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang
disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai
harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat
beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan)
selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan
segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih
hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan
dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk
ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.

Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua


harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-
masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara: 1)
menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya
masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta warisan
seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan
9
9
Bab III

pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul


dan Radd.54
Asas Kewarisan Islam

Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian


merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses
beralihnya harta mayit sebagai harta warisan (mauruts), di
samping itu, Haptiadi juga memperkenalkan asas hubungan
darah dan hubungan perkawinan, serta asas perderajatan dan
asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada dasarnya, asas
kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan perkawinan
menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebab-
sebab mewarisi adalah karena wafatnya muwaris, dan ahli waris
yang menerima tirkah karena hubungan darah atau karena
hubungan perkawinan (suami-istri).

Tiga asas ini (kematian, hubungan darah, dan hubungan


perkawinan) tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama. Akan
tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan
pengaruh dari Hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam
Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai
di pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam.

Azas Ijbari

Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan


proses intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi milik
ahli waris (terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih dari
dua orang). Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar yang di
antara artinya adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti
terminologinya adalah perpindahan pemilikan harta dari Muwaris

54
H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,
www.badilag.net/ diakses tanggal 13 Pebruari 2011.
10
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada ahli waris karena ketentuan yang terdapat dalam Quran-


sunah. Dengan demikian, dalam proses perpindahan kepemilikan
harta tersebut tidak terdapat unsure paksaan terhadap Muwaris,
bahkan tidak ada larangan secara eksplisit dalam Quran-sunah
bagi ahli waris untuk menolak menerima harta warisan yang
bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang).

Sedangkan apabila ahli waris menerima warisan berupa


utang, maka secara hukum yang bersangkutan berkewajiban
secara agama untuk membayarnya sesuai dengan
kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta yang
pasti terjadi setelah Muwaris meninggal dunia, jumlah harta
sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang
yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan
pasti, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau
perkawinan. Dengan demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan
sebagai asas yang menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti
etimologi ijbari dengan arti terminologinya tidak terlalu relevan.

Asas huququn thabiiyah/hak-hak dasar menilai ahli


waris dari segi kemanusiaannya; meskipun ahli waris
merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang
sudah sakit menghadapi kematian tetapi masih hidup ketika
Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum
bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka
dipandang cakap untuk mewarisi.
Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesama
ahli waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai
ahli waris dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab
yang dapat membuat seseorang terhalang untuk menerima harta
warisan (mawani al-irtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh,
dan hamba sahaya. Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang
relatif krusial adalah isu perbedaan agama antara Muwaris dengan

101
Bab III

ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang
terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right
(UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan
beragama, menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama
sebagai penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan
yang dinilai diskriminatif.
Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan
penjelasan mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat
diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan
mengenai obyek yang dapat dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak
dan kewajiban dalam hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat diwariskan. Di samping
itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum
pembagian maurus, antara lain melunasi hutang-hutang muwaris
kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli
waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.

Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang


mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi
habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris
sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa
yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing,
membersihkan/ memurnikan harta warisan seperti hutang dan
wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga
tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd.
Asas Taabudi Versus Asas Taaquli
Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara
wahyu dan akal (al-wahyu wa al-aqlu, revelation and reason) dari
Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan
pembaharuan (iktiml al-dn wa tajdduhu) dari Imarah, dan teori
Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in
10
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas ketuhanan yang


dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks hukum Adat di
Indonesia, dan juga relevan dengan asas ta'abbudi/penghambaan
diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris secara Islam diyakini
sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan


pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat
pada) ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya,
asas ini memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks
Quran, sunah, dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci yang
terdapat dalam Quran-sunnah dipahami, diterima, dan dijalankan
apa adanya; penafsiran terhadap Quran-sunah ditolelir dalam
keadaan khusus atau tertentu.

Asas ilahiyah (taabudi) memberikan ruang yang


terbatas pada ijtihad karena para pembesar dan penganut
madzhab/aliran berpikir ini berpendapat bahwa pemahaman
dan pengamalan ajaran agama yang lebih dekat dengan
makna teks secara tekstual dianggap lebih shahih dan
selamat, dari pada memahami dan menjalankan ajaran agama
berdasarkan nalar (tawil) yang jauh dari makna tekstualnya.
Asas ketuhanan/Ilahiyah dengan asas basyariyah/nalar
harus diadopsi dan dipadankan secara seimbang. Metode yang
paling sederhana, asas ketuhanan diterapkan terhadap obyek
hukum yang sudah ditetapkan ketentuannya dalam Quran-sunah;
sedangkan asas basyariyah/nalar diterapkan terhadap obyek/hal
yang tidak ditentukan oleh Allah dan Rasul dalam Quran-sunah.
Akan tetapi, pandangan ini biasanya dianggap pandangan sempit
karena membatasi porsi ijtihad yang tidak sesuai dengan semangat
nalar Islami seperti ditawarkan oleh al-Jabiri dalam kitab Bunyan
al-Aql al-Arabi, termasuk para pengarusutamaan jender yang
menuntut pembagian sama antara laki-laki dan perempuan

103
Bab III

karena ketentuan waris dalam Quran-sunah dianggap bias


jender, tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-
marah. H. Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan
dan asas taabudi diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran,
keutuhan dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam (baca:
waris) selaras dengan asas integrity/ketulusan.

Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas


Kegunaan-Musahamah

Pada kesempatan ini diajukan tiga asas yang berkaitan


dengan cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh,
asas Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah
yang dirinci pada bagian berikut.

Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun


2000-an dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam
muamalah, yaitu tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab
mudharabah (bagian dari syirkah) dalam membagi keuntungan
antara shahib al-mal/pemilik dana dengan mudharib/pengelola.
Muhammad Abd al-Munim Abu Zaid menjelaskan bahwa
tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh
asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan
bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang
menyatakan bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan
akad mudharabah tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan
tandhidh terhadap modal usaha mudharabah; yaitu melakukan
tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai tertentu
(tahwiluhu min urudh ila nuqud).55

55
Muhammad Abd al-Munim Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi
al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Mahad al-Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159.
Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausuah
Fatawa al-Muamalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah
(Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.
10
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan


dalam pembagian harta warisan, terutama terhadap mauruts/tirkah
yang ragam dari segi bentuk dan nilai. Misalnya Tuan Ahmad
meninggal dunia dengan harta peninggalan berupa sebuah
bangunan ruko di Mangga Dua Jakarta, satu bangunan ruko di
Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10 hektar di Jonggol, tiga
buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan Avanza, dan tanah
seluas 10 hektar di Pamengpeuk Garut. Maka ahli waris Tuan
Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus menaksir terlebih dahulu
seluruh harta warisan ke dalam bentuk rupiah (nuqud), pembagian
harta warisan dilakukan setelah dilakukan penaksiran sehingga
sangat mungkin luas tanah atau bangunan yang diterima oleh ahli
waris berbeda-beda tapi relatif sama dari segi nilai/harga setelah
dilakukan perhitungan porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris
sesuai dengan derajat yang dimilikinya. Hal itu dilakukan karena
harga ruko di Mangga Dua dan di Jambu Dua berbeda, harga tanah
di Jonggol berbeda dengan harga tanah di pameungpeuk, dan harga
mobil yang diwariskan juga berbeda-beda karena perbedaan merk.

Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktikkan di


masyarakat meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh
ahlinya (misal pihak aprassial); sehingga ada yang memperoleh
harta warisan hanya 200 meter persegi karena terletak di pinggir
jalan utama, sementara saudaranya yang lain menerima harta
warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000 meter
persegi tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga
tanah yang disebabkan oleh letak tanah tersebut.

Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta


warisan merupakan perbuatan HUKUM Islam yang seharusnya
memiliki akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang

105
Bab III

agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan


yang terutama biasanya terjadi di kemudian hari (sunda:
ngagugat).

Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan,


maka mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan
(Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian
warisan yang diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan dengan
sendirinya memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan.
Sedangkan bagi ahli waris yang membagi harta warisan secara baik-
baik (tidak berselisih) kadang-kadang tidak memiliki alat bukti otentik
mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan. Oleh karena itu,
layak kiranya dipikirkan untuk membentuk institusi yang berwenang
untuk membuat akta otentik mengenai pembagian harta warisan
agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang
terjadi di kemudian hari.

Ketiga, asas Kegunaan/Musahamah; dalam Kompilasi


Hukum Islam, pasal 189 (1) dijelaskan bahwa harta warisan
yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua
hektar, supaya dipertahankan keutuhannya sebagaimana
semula, dan dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para
ahli waris yang bersangkutan. Ketentuan ini dalam pandangan
Oyo Sunaryo Mukhlas disebut sebagai asas pemeliharaan
keutuhan dan kesatuan lahan.56
Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan
keahlian khusus, sebaiknya pembagiannya dilakukan secara
musahamah; yaitu harta peninggalan tersebut secara operasional
tetap dipelihara dan dikelola secara bisnis guna mendapatkan

56
Oyo Sunaryo Mukhlas, Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.
10
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

keuntungan yang dibagi bersama sesama ahli waris sesuai


kesepakatan.

Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang


lebih sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta
peninggalan dapat dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan
Tarfin meninggalkan harta warisan bertipa rumah makan yang
luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m) di Cikapundung
Elektronik Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang anak laki-
laki dan anak perempuan serta istrinya sebagai ahli waris, maka
dengan bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris
diberi hak untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan
tersebut pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan
cara demikian, keuntungan yang diterima keluarga masih bisa
diperoleh dalam jangka yang lebih lama bila dibandingkan
dengan cara penjualan rumah makan tersebut.

Penutup

Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu


sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatu hukum
dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level
peraturan perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas
hukum memerlukan proses ijma jamai yang sekarang ini diartikan
sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam dengan pihak
eksekutif dan legislatif sebuah negara.

Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas


Kegunaan/ Musahamah, merupakan tawaran yang diharapkan
dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh
pihak-pihak pemangku yang terlibat, disahkan sebagai asas
dalam pembagian harta warisan. Wallahu alam bi al-shawab.

107
Bab III

Daftar Pustaka

Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausuah Fatawa al-


Muamalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Muassasat
al-Maliyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.

E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta:


Balai Buku Ichtiar.

H. Hatpiadi. 2011. Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam,
dan Hukum Adat, dalam www.badilag.net/.

H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam


Islam, www.badilag.net/.
Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam
Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mintarno. 2006. Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif
Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak), Tesis Magister, Program Pascasarjana,
Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Muhammad Imarah. 1991. Maalim al-Manhaj al-Islami. Kairo:


Dar al-Syuruq.

Muhammad Abd al-Munim Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir


Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah.
Kairo: al-Mahad al-Alami li al-Fikrr al-Islami.

Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic


Jurisprudence. Chicago & London: The University of
Chicago Press.

Riana Kesuma Ayu. 2011. Sistem Hukum Waris Adat, dalam


websiteayu.
10
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Syihab al-Din Abu al-Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh


Tanqh al-Fushl f Ikhtishr al-Mahshl f al-Ushl.
Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah.

Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia:


Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

109
Bab
III

110
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA


DAN PEMBAGIAN HARTA WARIS

HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA


Ratu Haika

Latar Belakang
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk
seluruh umat Islam di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak
suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah
tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu.
Hal ini disebabkan karena:

Pertama: meskipun pada dasarnya Islam telah


mengatur dasar hukum kewarisan secara terperinci dalam al
Qur'an, jika terdapat suatu kemungkinan kemuskilan
pengertian telah dijelaskan oleh Nabi. Namun demikian, dalam
hal pelaksanaan praktis terdapat masalah yang secara jelas
tidak terdapat dalam al Qur'an dan belum sempat dijelaskan
oleh Nabi, sehingga hukum menjadi terbuka.
Sebab kedua, ialah bahwa ilmu hukum, termasuk hukum
Islam, dimana hukum waris ada di dalamnya, adalah tergolong
ilmu sosial dan bukan ilmu eksakta. Oleh karena itu, hukum waris
tempat kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat
diantara para ahli hukum itu sendiri, terutama mengenai ayat-
ayat yang memungkinkan adanya penafsiran lebih dari satu. 57

57
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Menurut KUH Perdata Dan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 6

111
Bab III

Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa


perbedaan di kalangan para fuqaha yang pada garis besarnya
terbagi menjadi dua golongan, yaitu: pertama, yang lazim
disebut dengan madzhab Sunni (Madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hambali) yang cenderung patrilineal dan kedua,
ajaran Hazairin yang cenderung Bilateral.
Dalam aturan kewarisan Sunny, ahli waris dibagi menjadi
tiga golongan, yaitu: dzawi al furudh, `ashahah, dan dzawi al
arham. Dalam dinamika hukum Islam di Indonesia selanjutnya,
muncul pemikiran yang agak berbeda dengan pemikiran di atas,
seperti dikemukakan oleh Hazairin. Pembagian ahli waris
menurut Hazairin adalah: dzawi as siham, dzawi al qarabah dan
mawali.58 Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya lahirlah
KHI, setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya
UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah kitab
yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta
bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA dalam
menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf.

Mengenai KHI ini, Prof Dr. Busthanul Arifin mengatakan


bahwa KHI Bukan hanya sekedar reaktualisasi hukum Islam, tapi
juga sudah mencerminkan reformasi hukum Islam. 59 Di samping
itu perlu juga diperhatikan apa yang dikatakan oleh M. Yahya
Harahap bahwa KHI baru merupakan langkah awal. KHI belum
final dan belum sempurna.60 Selain status KHI yang hanya
sebagai inpres, dimana dalam hirarki perundang-undangan di
Indonesia masih dipersoalkan juga substansi hukum kewarisan
dalam KHI masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan

Lihat buku-buku beliau: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan


Hadits (a) (Jakarta: Tintamas,1982) ; Hendak Kemana Hukum Islam, (b) (Jakarta:
Tintamas,1976); Hukum keluarga Nasional (c) (Jakarta: Tintamas, l974).
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani, 1982) h.76
Yahya Harahap, Op. Cit., h.61

112
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

pengembangan seiring dengan berbagai temuan dan


perkembangan baru dalam praktek di Pangadilan pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Karena dalam
buku II KHI ini, banyak hal yang diatur, maka dalam tulisan ini
hanya dibatasi pada masalah rukun dan syarat pewarisan,
kelompok ahli waris dan bagiannya masing-masing.
Kewarisan Islam Perspektif Fiqh
Waris dalam bahasa Arab berasal dari akar kata waratsa,
yaritsu wa miratsan,61 secara bahasa berarti pindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain. Sesuatu itu lebih umum dari harta,
meliputi ilmu, kemulian dan sebagainya. Dalam al Quran ditemukan
beberapa lafadz waratsa yang antara lain diterjemahkan dengan
menggantikan kedudukan (Qs. An Naml: 16), menganugrahkan (Qs.
Az Zumar: 74), menerima warisan (Qs. Maryam: 6) Sedang menurut
istilah, kewarisan adalah pemindahan pemilikan harta dari
penguasaan orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik berupa uang, barang-barang kebutuhan
hidup atau hak-hak syar 'iyyah.62
Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Pewarisan

Peralihan harta kekayaan seseorang kepada ahli


warisnya dengan nama peawarisan dapat terjadi jika terdapat
tiga unsur pewarisan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
Matinya pewaris

Dalam kewarisan Islam, kematian pewaris menyebab-kan


peralihan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya dengan
sendirinya, dalam artian peralihan berlaku secara ijbari.63

61
M. Ali Ash Shabuni, A1 Mawaris fi syariat al Islamiyyah `ala Dhau'i Kitabi
wa as Sunah, (Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979), h. 30
62
Ibid
63
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan

113
Bab III

Kematian pewaris merupakan faktor utama adanya pewarisan,


karena itu kematian harus diketahui secara jelas dan dapat
dibuktikan secara hukum. Dalam hal ini para Ulama membagi
kematian pewaris menjadi tiga macam, yaitu: mati hakiki, mati
hukmi dan mati takdiri.64
Hidupnya ahli waris saat kematian pewaris

Para ahli waris yang benar-benar hidup di saat


kematian pewaris, berhak mewarisi harta peninggalan. Untuk
unsur dan syarat kedua ini ada beberapa masalah antara lain,
waris bagi orang mafqud dan waris anak dalam kandungan.
Pewaris meninggalkan tirkah

Hal ini jika pewaris tidak meninggalkan tirkah,65 maka


tidak akan terjadi pewarisan. Menurut Ash Shabuni tirkah sama
artinya dengan mauruts, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia, baik berupa uang, atau hak-hak
materi lainnya.66 Dalam pengertian yang cukup populer di
kalangan Jumhur Ulama, tirkah mempunyai arti yang lebih luas
daripada mauruts. Tirkah yaitu apa yang ditinggalkan oleh orang
yang meninggal dunia, yang mencakup harta benda maupun
hak-hak keuangan, termasuk hutang pewaris dan juga
peninggalan yang digunakan untuk biaya, pengurusan mayat dan
pelaksanaan wasiat. Sedangkan mauruts hanya terbatas pada
sisa harta yang setelah dikeluarkan untuk biaya pengurusan
mayat, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. 67

Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 18


Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jilid III ( Semarang: Toha Putra: 1980), h. 426
Tirkah secara lughawi berarti harts peninggalan.
Ash Shabuni, Op. Cit., h. 37
M, Abu Zahrah, Al Tirkh wa al Mirats, (Cairo'. Dar Al Filer, 1975), h. 150

114
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Tidak ada penghalang

Meskipun telah terpenuhi ketiga unsur dan syarat


pewarisan di atas, jika masih ada penghalang mewarisi maka
pewarisan tidak akan terjadi. Adapun penghalang-penghalang
pewarisan itu adalah perbudakan, pembunuhan dan berlainan
agama

Ahli Waris dan Bagiannya

Dalam uraian kelompok ahli waris dan bagiannya ini


akan disusun berdasarkan uraian ahli waris menurut sebab-
sebab mereka mendapatkan warisan. Sebab-sebab kewarisan
dalam Islam ada tiga,68 yaitu:
Ahli waris sababiyah (karena perkawinan)

Salah satu sebab kewarisan adalah karena perkawinan.


Ahli waris karena perkawinan ialah suami dan atau istri.
Bagian istri

Istri dalam menerima warisan dari suaminya mempunyai dua


fard, yaitu: seperempat bila si suami (pewaris) tidak
mempunyai fa r'u w arit s (anak laki-laki atau perempuan) dan
cucu-cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki.
Seperdelapan bila sipewaris mempunyai faru warits.
Adapun dasar hukumnya adalah QS. An-Nisa: 12
Bagian Suami

Dalam menerima warisan dari istrinya, suami mempunyai dua


fard, yaitu: pertama, seperdua () bila si istri (pewaris) tidak
mempunyai far'u waris. Kedua, seperempat () bila pewaris

68
Husnain Muhammad Mahluf, A1 Mawaris fi Syari'at al Islamiyyah, (Cairo:
Mathbah al Madam, 1976), h. 33

115
Bab III

meninggalkan far'u warits. Adapun dasar hukumnya adalah


QS. An-Nisa: 12
Ahli Waris Nasabiyah

Dalam aturan kewarisan sunni, ahli waris nasabiyah


dibagi menjadi tiga golongan yaitu : dzawi al fiurudh, `ashahah
dan dzawi al arham69 dzawi al furudh adalah ahli waris yang
bagiannya dalam warisan telah ditentukan secara pasti, misalnya
seperdua, sepertiga, seperenam dan sebagainya. 'Ashabah
adalah ahli waris yang mempunyai bagian terbuka dalam
warisan. Sedang dzawi al arham adalah orang-orang yang baru
berhak menerima warisan kalau golongan pertama dan kedua
tidak ada. Ini terjadi ikhtilaf diantara para ulama fiqh. Batas antara
dzawi al.furudh dan 'ashabah tidak dapat ditarik secara tegas,
karena ada beberapa ahli waris yang dalam suatu keadaan
bertindak sebagai dzawi al-furudh tetapi dalam keadaan lain
beralih menjadi 'ashabah. Karenanya kedua bidang ini akan lebih
jelas dan mudah difahami jika dibahas secara bersamaan.

Berbeda dengan pemikiran di atas, madzhab Jafariah


tidak menerima penggolongan seperti di atas. Madzhab
Ja'fariah me-ngelompokkan ahli waris berdasarkan dua
tinjauan, yaitu berda-sarkan hubungan darah dan kepastian
saham.70 Ahli waris berdasarkan hubungan darah terdiri atas
tiga kelompok keutama-an, yaitu :

kelompok keutamaan pertama terdiri dari keturunan dan orang


tua

69
Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbadingan
Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab (Jakarta : INIS, 1998), h. 1
70
Abu Zahrah, al Mirats 'Inda Ja fariah, (Kairo:Dar al Fikr,tt), h.10

116
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kelompok keutamaan kedua terdari dari kakek dan saudara


(keturunan)

kelompok keutamaan ketiga terdiri dari leluhur di atas kakek


dan kerabat garis sisi yang bukan saudara.

Dalam hal ini selama kelompok keutamaan yang lebih


tinggi masih ada, maka kelompok yang lebih rendah tidak
berhak mewa-risi.

Adapun ahli waris berdasarkan kepastian saham


dibedakan menjadi dua, yaitu: dzawi as siham, orang yang
mendapat bagian pasti dan dzawi al qarabah, orang yang
mendapat sisa setelah dikeluarkan saham golongan dzawi as
siham. Dilihat dari pengelmpokan ahli waris berdasarkan
kepastian saham ini, tampaknya mempunyai kesamaan dengan
istilah dzawi al furudh dan `ashabah dalam kewarisan Sunni.
Perbedaannya terletak aturan tentang hijab menghijab, karena di
sini tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan,
demikian pula keturunannya tidak membedakan dari jalur anak
laki-laki atau perempuan. Namun walaupun demikian tetap
memegang perbandingan 2:1 antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu dalam kewarisan madzhah Jafariah juga mengenal
kewarisan ahli waris karena penggantian.

Beralih ke Indonesia, menurut Hazairin ahli waris dibagi


menjadi tiga71, yaitu dzawi al faraidh, dzawi al qarabahal, dan
mawali (ahli waris pengganti). Dari pengelompokan ahli waris ini
tampaknya antara Hazairin dan madzhah Jafariah banyak
persamaan disamping juga ada perbedaan. Persamaannya adalah
keduanya tidak mengakuai adanya `ashabah dan memperkenalkan
istilah dzawi al qarahah. Selain itu keduanya juga

71
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran Dan Hadith
(Jakarta:
Tintatnas,1982), h.18
117
Bab III

mengakui adanya ahli waris karena penggantian, walaupun


ada perbedaan dalam pelaksanaannya.

Untuk selanjutnya dalam menguraikan ahli waris


nasabiyah dan bagiannya akan disusun berdasarkan hubungan
ahli waris dengan si pewaris dalam kekerabatan yaitu :
Anak dan Keturunannya
Anak perempuan (keturunan perempuan derajat pertama)
Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak
perempuan mempunyai tiga macam fardh, yaitu : seperdua bila
hanya satu orang dan mendapat dua pertiga bila dua orang atau
lebih, menjadi 'ashabah bila didampingi oleh kerabat laki-laki
yang sederajat. Dasar hukumnya adalah Qs. An Nisa: 11

Anak laki-laki

Anak laki-laki adalah termasuk ahli waris `ashabah. Adapun


cara-cara dan ketentuan dalam kewarisannya adalah
sebagai berikut :
0
Mendapat seluruh harta warisan, bila ahli waris hanya
seorang atau beberapa orang anak laki-laki.
1
Mendapat seluruh sisa dari harta warisan, bila pewaris
meninggalkan ahli waris dzawi al furudh dan anak laki-laki.
2
Apabila diantara ahli waris itu ada anak perempuan dan
dzawi al furudh maka setelah diambil bagian dzawi al
furudh, dibagi antara anak laki-laki dan perempuan
dengan perbandingan 2: 1.

Cucu perempuan (keturunan perempuan derajat kedua dan


seterusnya)
Para ulama Sunni sepakat bahwa keturunan yang
berhak mewarisi hanyalah keturunan yang melalui garis laki-

118
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

laki. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan kemung-


kinan bahwa keturunan melalui garis perempuan mempunyai
hak yang sama, seperti yang diberikan kepada garis laki-laki.

Bagian untuk cucu perempuan ini adalah : pertama


sama seperti anak perempuan, yaitu setengah bila sendiri,
sepertiga bila dua orang atau lebih sekiranya keturunan
derajat yang lebih tinggi sudah tidak ada. Kedua,
memperoleh seperenam jika ia bersama anak perempuan
tunggal. Ketiga, menjadi 'ashabah, bila mewaris bersama
keturunan laki-laki yang sederajat atau yang lebih rendah
dan terhijab dua orang anak perempuan dan faru warits
laki-laki yang lebih tinggi derajatnya.

Berbeda dengan ulama sunni, madzhab Ja'fariah


berpendapat bahwa kerabat dari keturunan laki-laki
mempunyai kedudukan yang sama dengan kerabat dari
keturunan perempuan, termasuk keturunan dari anak laki-
laki dan perempuan.72 Jadi mereka tidak membedakan
antara keturunan dari anak laki-laki dan perempuan. Anak
derajat dua dan seterusnya selalu menjadi ahli waris
pengganti terhadap orang tua mereka. Namun cucu-cucu
ini baru bisa mewaris bila anak (derajat pertama) baik laki-
laki maupun perempuan telah tidak ada semua.
Cucu laki-laki (keturunan laki-laki derajat kedua dan seterusnya)

Cucu laki-laki ini termasuk 'ashabah, bila tidak ada anak laki-laki
atau orang laki-laki yang lebih tinggi derajatnya. Jadi menurut
kewarisan Sunni la terhijab oleh anak laki-laki. Dan menurut
madzhab Ja'fariah la juga terhijab oleh anak perempuan. Sedang
menurut Hazairin yang mengakuai adanya ahli waris

72
Abu Zahrah, Op. cit, h.97

119
Bab III

pengganti berpendapat bahwa cucu baik laki-laki atau


perempuan hanya terhijab oleh orang tua mereka, sedang
anak pewaris yang lain tidak menjadikan mereka terhijab73
Orang tua dan keturunan ke atas
0
Ibu

Dalam mewarisi harta dari anak, ibu mempunyai


bagian :

0 Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan)


atau dua orang saudara atau lebih, Qs. An Nisa:11

1 Mendapat sepertiga bila tidak terdapat anak


(keturunan) atau dua orang saudara atau lebih
juga tidak ada suami atau istri pewaris, Qs. An
Nisa: 11

2 Sepertiga sisa harta warisan bila bersama salah


seorang istri atau suami pewaris.
1
Ayah

Dalam kewarisan sunni, ayah mewarisi harta


peniggalan anaknya mendapat bagian :

Seperenam, jika pewaris mempunyai anak


(keturunan) laki-laki.

Seperenam dan sebagai `ashabah bila ia bersama


anak (keturunan) perempuan.
Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits.

73
Hazairin, Op. cit., h.27
12
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam hal ini baik Hazairin maupun madzhab


Ja'fariah berpendapat bahwa ayah hanya menjadi
'ashahah atau d-zawi al qarabah bila pewaris tidak
mempunyai anak atau keturunan sama sekali. Jadi
menurut mereka bagian ayah adalah:
0
seperenam bila ada anak (keturunan) pewaris
1
menjadi 'ashabah bila tidak ada anak
Nenek
Yang dimaksud nenek dalam kewarisan sunni
adalah nenek shahihat. Nenek shahihat ialah nenek
(keturunan ke atas) yang dipertalikan pada si mati
(pewaris) tanpa memasukkan kakek ghairushahih,74
yaitu pertaliannya dengan si pewaris tanpa diselingi
oleh kakek sama sekali.
Adapun bagian nenek adalah seperenam, jika
tidak ada ibu dan terhijab dengan adanya ibu.
Kakek
Kakek dalam kewarisan sunni maksudnya adalah kakek
shahih, yaitu kakek yang hubungan nasabnya dengan si
pewaris tanpa diselingi oleh ibu75 Seperti bapaknya
bapak (abu al ab), bapak dari bapaknya bapak (abu
ab al ab) sampai seterusnya. Adapun bagian kakek
adalah sebagai berikut :
0
Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan)
laki-laki pewaris.
1
Seperenam dan sebagai `ashahah jika bersama
anak (keturunan) perempuan.

Husnain M. Makhluf, Op. Cit, h. 93


Ibid, h.80

121
Bab III

Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits.


Mempunyai kedudukan khusus jika bersama
saudara76
Terhijab oleh ayah
Dari keterangan di atas tampak bahwa kakek
menduduki kedudukan ayah bila ayah telah tidak ada.
Dalam kedudukan kakek dan nenek ini, madzhab Jafariah
tidak membedakan kakek dan nenek tersebut, baik dari
jalur ayah maupun ibu. Kakek dan nenek dari garis ayah
akan mengambil saham ayah. Demikian pula kakek dan
nenek dari ibu akan mengambil saham ibu. Namun tetap
memperhatiakan derajat yang dekat menghijab derajat
yang jauh dan laki-laki mendapat dua kali perempuan.

Saudara dan ahli waris penerusnya


1. Saudara perempuan kandung dan seayah
Bagian saudara perempuan kandung dan seayah
adalah sebagai berikut :
Mendapat seperdua bila hanya seorang
Mendapat dua pertiga jika terdiri dari dua orang atau lebih
Menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya atau
bersama dengan anak perempuan.
Terhijab oleh anak (keturunan) laki-laki dan ayah
Hubungan saudara kandung dan seayah ini seperti
kedudukan anak dan cucu, jadi selama ada saudara
kandung, saudara seayah terhijab.

76
Lihat Al-Yasa Abu Bakar, Op.cit, h. 161-170, Fathurralmian, Op.Cit, h. 272-279
12
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

2. Saudara seibu (laki-laki atau perempuan)


Saudara seibu akan mengambil seperenam kalau
hanya satu orang. Bila mereka terdiri atas dua orang atau
lebih maka bagiannya adalah 1/3. mereka akan berbagi
rata walaupun antara laki-laki dan perempuan. Adapun
dasar yang dipakai adalah QS. An-Nisa : 12
3. Saudara laki-laki kandung dan seayah

Hubungan saudara laki-laki kandung dan seayah


seperti hubungan anak dengan cucu, jadi selama masih ada
saudara laki-laki kandung, saudara seayah menjadi terhijab.
Saudara laki-laki menjadi 'ashabah jika tidak ada keturunan
laki-laki atau ayah atau kakek, berdasarkan An-Nisa: 176.
Karena itu menarik saudaranya yang perempuan menjadi
'ashabah bil ghair. Namun ketika mewarisi bersama dengan
anak perempuan terjadi perbedaan pendapat, apakah akan
menarik saudaranya yang perempuan menjadi 'ashabah bil
ghair atau tidak. Jumhur ulama menganggap saudara laki-laki
itu menarik saudara perempuannya dengan alasan semua
dzawi al furudh yang ada dalam Al-Qur'an dan sederajat
dengan 'ashabah bi an-nafsi akan ditarik menjadi 'ashabah bil
ghair. Ibnu Abbas yang kemudian diikuti Oleh Ibnu H a z m ,
menganggap saudara tersebut tidak akan menarik saudara
perempuannya menjadi 'ashabah. Menurutnya, ketentuan
yang dianut jumhur hanya berlaku terhadap saudara-saudara
yang mewarisi berdasarkan Al-Qur'an, yaitu ketika tidak ada
keturunan perempuan.77

77
Al-Yasa Abu Bakar, Op.Cit. h. 157

123
Bab III

4. Ahli waris penerus saudara


Para ulama sepakat bahwa lafadz al akh yang terdapat
dalam Al-Qur'an tidak mencakup kepada keturunannya. Namun
apabila saudara telah tidak ada, hak mewarisi tersebut beralih
pada keturunan mereka berdasarkan hadits Ibnu Abbas. 78

Keturunan perempuan dari saudara laki-laki tidak terma-


suk dzawi al furudh dan karenanya tidak dapat ditarik menjadi
'ashabah bi al ghair. Begitu pula keturunan saudara seibu tidak
lagi diperhitungkan, sama seperti keturunan anak perempuan,
karena hubungan mereka melalui garis perempuan. Selanjutnya
apabila keturunan saudara laki-laki kandung tidak ada, maka hak
saudara tersebut dialihkan kepada saudara laki-laki seayah dan
keturunannya. Jadi ahli waris penerus dari saudara adalah :

Keturunan laki-laki garis laki-laki dari saudara laki-laki


kandung atau seayah.

Saudara laki-laki (kandung atau seayah) dari ayah dan


keturunan laki-laki garis laki-laki.
Dzawi al arham

Makna secara lughah dzawi al arham diambil dari


pengertian lafadz arham dalam QS. Al-Anfal : 75

Dari ayat ini arti arham ialah mencakup keluarga


secara umum baik ia termasuk ahli waris dzawi al- furudh atau
'ashabah atau golongan lainnya79 Namun secara istilah ulama
fiqh mendefinisikannya sebagai anggota kerabat yang tidak
menjadi dzawi al furudh dan 'ashabah. Adapun yang termasuk
dzawi al arham adalah :

An-Nawawi, Shahih Muslim bi syarh an-Nawawi (Beirut : Dar al Fikr), h.52


Hassanain M. Makhluf, Op.cit, h. 131
12
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Semua kerabat (laki-laki dan perempuan) yang dalam tali


perhubungannya dengan pewaris ada orang perempuan,
seperti cucu melalui anak perempuan. Namun ada
pengecualian yaitu saudara seibu dan nenek yang
digolongkan sebagai ahli waris dzawi al furudh.

Semua kerabat perempuan yang tidak tertarik menjadi


`ashabah bi a1 ghair oleh ahli waris laki-laki yang sederajat
dengan dia.

Mengenai kewarisan dzawi al arham ini terdapat dua


pendapat, yaitu pendapat pertama, mengatakan bahwa dzawi
al arham tidak berhak mendapat warisan sama sekali. Jika
tidak ada ahli waris lain kecuali dzawi al arham maka harta
warisan diserahkan pada bait al mal. Konsepsi ini merupakan
pendapat Imam Syafi'i dan Imam Malik yang bersandar pada
pendapat Zaid bin Tsabit dan Ibn Abbas.

Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa dzawi al


arham dapat mewaris bila pewaris tidak meninggalkan ahli
waris dzawi al furudh dan `ashabah. Pendapat ini adalah
pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal.
Pendapat kedua Imam tersebut disandarkan pada pendapat
Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khathtab dan Ibnu Mas'ud, 80 dan
pendapat ini adalah pendapat Jumhur.
Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada


pasal 171 ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

80
M. Ali Ash. Shabuni, op. cit, h. 178

125
Bab III

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak


menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."

Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut


KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Ketentuan yang mengatur siapa pewaris
Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris
Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta


peninggalan dari pewaris kepada ahli waris
Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.
Unsur dan Syarat Pewarisan

Dari definisi hukum kewarisan di atas tampak unsur-


unsur pewarisan, yaitu:
a. Pewaris
Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b):

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya


atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
pengadilan beragama Islam, meniggalkan ahli waris dan
harta peninggalan."

Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya


pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah
meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Selain
disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga
disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan
harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang
telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.
12
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b. Ahli Waris

Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam


pasal 171 ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada
saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris"
Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini,
dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris
adalah:
Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
Beragama Islam.
Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut
diatur dalam pasal 172 KHI:
"Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum
dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."
Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat
meninggalnya pewaris, seperti disyaratkan oleh para
fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan menurut
penulis hal ini perlu ditegaskan.
Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu
adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan
redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli
waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian.
Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan
apakah ahli waris tersebut disyaratkan hidup atau tidak seperti
telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris
127
Bab III

bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah


hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara
hakiki maupun hukum.
Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut
adalah: "Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau
dinyatakan masih hidup oleh putusan pengadilan pada saat
meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris."

4) Adanya Harta Peninggalan (Tirkah).


KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat
para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah,
yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan
adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya."

Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada


pasal 171 ayat (e) ;
"Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat."

Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara


umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal
dunia adalah berupa:

Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang,


termasuk piutang yang akan ditagih.

Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus


dibayar pada saat seseorang meninggal dunia
12
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan


masing-masing.

Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami


atau istri, misal harta pusaka dari suku mereka yang
dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang
harus kembali pada asalnya, yaitu suku tersebut.81
Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang
merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara
induvidual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan
keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami
atau istri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya
untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat.

Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan


antara pengertian tirkah dan maurus .
Halangan Menjadi Ahli Waris

Salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah tidak


adanya halangan pewarisan. Terhalangnya seseorang
menjadi ahli waris dalam KHI disebutkan pada pasal 173,
yang berbunyi sebagai berikut:

"Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan


putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang
tetap, dihukum karena:

Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh


atau menganiaya berat pada pewaris.

81
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dengan
Kewarisan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 102-103

129
Bab III

Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan


pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat".

Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi


ahli waris menurut KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh
mawaris tampak bahwa yang terkandung dalam pasal 173 ini
hanya pembunuhan. Adapun perbudakan dan berlainan
agama tidak ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima,
karena di Indonesia tidak ada perbudakan.

Adapun tentang berbeda agama walaupun tidak


dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang
halangan seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya
KHI juga mengakui bahwa perbedaan agama menjadi
penghalang pewarisan juga. Hal ini seperti diatur dalam pasal
171 ayat (b) dan ayat (c) tentang pewaris dan ahli waris yang
harus beragama Islam. Jadi dalam halangan mewarisi ini
sebaiknya ditambah dengan berbeda agama.
Kelompok Ahli Waris Dan Bagiannya

Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada


pasal 174, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
0
Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari:
ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dan nenek.
1
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
13
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat


warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan
pengelompokan berdasarkan sebab-sebab terjadinya pewarisan,
yaitu karena hubungan darah (nasabiyah), dan karena
perkawinan (sababiyah). Jika dibandingkan dengan
pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI
tidak mencantumkan ahli waris karena hubungan wala atau
perbudakan, ini karena di Indonesia tidak mengenal perbudakan.

Ahli waris sababiyah (karena perkawinan)

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 174 bahwa


salah satu sebab pewarisan adalah karena perkawinan.
Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah suami atau
istri (duda atau janda). Adapun mengenai bagiannya diatur
dalam pasal 179 dan pasal 180.
Bagian Suami

Mengenai bagian suami ini, diatur dalam pasal 179, yang


berbunyi sebagai berikut :

"Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak


meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,
maka duda mendapat seperempat bagian".
Bagian Istri

Bagian istri ini diatur dalam pasal 180 KHI, yang berbunyi :

"Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak


meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak
maka janda mendapatkan seperempat bagian".

131
Bab III

Ahli waris nasabiyah (karena hubungan darah)

Masih merujuk pada pasal 174 tentang


pengelompokan ahli waris, disebutkan juga bahwa bentuk
pengelompokan yang lain selain karena perkawinan adalah
karena hubungan darah. Adapun bagian mereka masing-
masing diatur dalam pasal-pasal : 176, 177, 178, 181, dan 182
Anak dan Penerusnya

a) Anak Perempuan

Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak


perempuan menurut KHI (pasal 176) sebagaimana juga dalam
hukum kewarisan dalam fiqh mawaris mempunyai tiga macam
bagian, yaitu:
Seperdua bila hanya sendirian
Dua pertiga bila dua orang atau lebih

Menjadi 'ashabah atau mendapat bagian 1:2 bila bersama


dengan anak laki-laki.
Dari pasal 176 ini, nampaknya KHI tetap berpegang
teguh pada norma QS. An-Nisa : 11 yang juga dijadikan dasar
oleh para ulama dalam fiqh mawaris dalam menetapkan bagian
bagi anak, yaitu bahwa bagian anak perempuan adalah 1/2 dari
bagian laki-laki. Dalam hal ini KHl tidak menerima usulan l:l untuk
bagian anak laki-laki dan perempuan sebagaimana yang pernah
dilontarkan oleh Munawir Sadzali yang pada saat pembentukan
KHI berkedudukan sebagai Menteri Agama RI.

Untuk sekedar alternatif atas kemantapan surat an-


Nisa : 11 dalam pasal 183 membuka kemungkinan untuk
menyimpang melalui jalur perdamaian.82 .

82
Pasal 183 berbunyi : " Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
13
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b) Anak Laki-laki

Sebagaimana fiqh mawaris, tampaknya KHI juga


menempatkan anak laki-laki sebagai 'ashabah. Walaupun tidak
dinyatakan secara jelas dalam bentuk redaksi bahwa anak laki-
laki adalah 'ashabah, namun dari pasal-pasalnya KHI tidak
menentukan bagian tertentu bagi anak laki-laki. Selain seperti
pasal 176 KHI, yaitu bahwa apabila anak perempuan bersama-
sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah
dua berbanding satu dengan anak perempuan.

c) Cucu

Mengenai bagian cucu ini KHI tidak jelas mengaturnya.


Jika dilihat dari segi pengelompokan ahli waris seperti termuat
dalam pasal 174, maka cucu ini tidak disebutkan di dalamnya.
Dalam pasal 174 ini hanya disebutkan anak, baik laki-laki atau
perempuan. Mungkin bisa dipertanyakan apakah anak yang
dimaksud disini, termasuk keturunannya (cucu dan terus
kebawah) atau hanya terbatas pada anak saja.

Adapun mengenai bagian cucu yang orang tuanya telah


meninggal dunia mendahului pewaris, maka hal ini diatur dalam
pasal 185 yang biasa dikenal dengan ahli waris pengganti.

Orang Tua dan Ahli Waris Penerusnya


a) Ibu

Ketentuan besarnya bagian untuk ibu terdapat pada


pasal 178, yang berbunyi:

dalam pembagian warisan, setelah masingmasing menyadari bagiannya

133
Bab III

Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua


saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua
saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh


janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Berdasarkan pasal 178 ayat (1) KHI diatas bahwa


ibu mendapat bagian sepertiga dengan dua sebab, yaitu :
Karena tidak ada anak
Karena tidak berkumpul dua orang saudara atau lebih.

Sebab pertama menimbulkan dua kemungkinan,


pertama apakah anak yang dimaksud hanya terbatas pada
anak baik laki-laki atau perempuan. Kedua apakah termasuk
juga keturunan dari anak tersebut baik melalui jalur laki-laki
atau perempuan. Kemungkinan kedua ini bisa diterima karena
KHI mengakui adanya waris pengganti, sebagaimana terdapat
dalam pasal 185 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

"Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada


pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka tersebut dalam pasal 173".
b) Ayah

Besarnya bagian ayah dalam KHI diatur pada pasal


177, yang berbunyi sebagai berikut : "Ayah mendapat
sepertiga bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun


1994 dijelaskan bahwa maksud dari pasal 177 Kompilasi
Hukum Islam adalah : "Ayah mendapat sepertiga bagian bila
pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami
dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".
13
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Menurut pasal 177 KHI ditambah dengan keterangan dari


Surat Edaran Mahkamah Agung di atas besarnya bagian yang
mungkin diterima oleh ayah dapat dirinci sebagai berikut :

Mendapat sepertiga bagian, bila ahli waris terdiri dari ayah,


ibu dan duda.

Mendapat seperenam bagian, bila ahli waris terdiri dari


ayah, ibu, duda dan anak

Dalam kompilasi hukum Islam seperti diterangkan di


atas, ditetapkan bahwa bagian ayah apabila pewaris tidak
meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu
adalah sepertiga bagian. Hal ini nampaknya tidak jelas dasar
hukumnya. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan
yang diatur dalam Q.S. An-Nisa: 11 dan kesepakatan para
ulama yang menentukan bagian ayah dengan cara ashabah
bila si pewaris tidak meninggalkan anak.

Ketentuan yang terdapat dalam penggalan ayat


tersebut bukan ketentuan untuk ayah, tetapi ketentuan untuk
ibu. Dalam hal ini ayah tidak ditentukan bagiannya, ini artinya
dalam keadaan tidak ada anak, ayah tidak termasuk dzawi al
furudh, melainkan ashabah, yang bagiannya seperti
dijelaskan oleh Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas:




Rasulullah SAW bersabda: Berikan bagian faraidh
kepada yang berhak, adapun sisanya untuk laki-laki yang
paling dekat dengan pewaris (HR. Muslim)
135
Bab III

Jika kita bandingkan dengan pendapat ulama


jumhur dalam fiqh mawaris maka kedudukan ayah
mempunyai tiga kemungkinan, ia mungkin sebagai dzawi al
f'urudh atau sebagai dzawi al furudh ditambah mendapat
sisa bagian setelah diambil dzawi al furudh lain, atau ia
menjadi `ashabah. Hal ini berbeda dengan pendapat
madzhab ja'fariah, dimana ayah tetap sebagai dzawi as
siham (dzawi al furudh) ketika bersama-sama anak
perempuan, karena dalam madzhab ini tidak mengenal
kelompok ahli waris `ashabah, tetapi dzawi al qarabah.
Dimana ayah hanya akan menjadi dzawi al qarabah jika
tidak ada keturunan baik laki-laki maupun perempuan.

Dari penjelasan di atas, mengenai bagian ayah, KHI


perlu ada penyempurnaan. Dari beberapa pendapat ulama
di atas yang mana yang dipilih, apakah pendapat jumhur
atau madzhab Ja fariah.
c) Kakek dan Nenek

Seperti bagian cucu, bagian kakek dan nenekpun


dalam KHI tidak diatur lebih lanjut. Kakek dan nenek hanya
disebutkan dalam pasal yang mengatur pengelompokan
ahli waris yaitu pasal 174.

Menurut penulis hal ini terjadi karena kedudukan


kakek dan nenek berada di bawah derajat ayah dan ibu,
dimana mereka mewaris apabila ayah dan ibu tidak ada. Jadi
dalam hal ini nampaknya menurut para penyusun KHI bagian
untuk ayah dan ibu telah mewakili untuk bagian kakek dan
nenek.
13
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Saudara dan Ahli Waris Penerusnya


Saudara Seibu

Mengenai kewarisan saudara seibu ini diatur dalam pasal


181 Kompilasi Hukum Islam, yang selengkapnya berbunyi :

"Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak


dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan
seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila
mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-
sama mendapat 1/3 bagian".

Dari redaksi pasal 181 di atas dapat diambil kesimpulan


bahwa :
0
Saudara seibu hanya bisa mendapat warisan dari
pewaris bila pewaris tidak meninggalkan anak dan
ayah. Jadi mereka terhijab oleh anak dan ayah.
1
Bagian saudara seibu ini adalah : seperenam bila
sendirian dan mendapat sepertiga bila terdiri dari dua
orang atau lebih.
2
Disini kedudukan mereka walaupun laki-laki hanyalah
sebagai dzawi al furudh.
Saudara kandung dan seayah

Bagian untuk saudara kandung dan seayah ini diatur dalam


pasal 182 KHI, yang selengkapnya berbunyi :

"Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah


dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan
kandung atau seayah, maka la mendapat separoh bagian.
Bila saudara perempuan kandung atau seayah dua orang
atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua

137
Bab III

pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-


sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka
bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan saudara perempuan".

Dari redaksi pasal 181 KHI tersebut dapat


diketahui ketentuan tentang bagian saudara kandung dan
seayah adalah sebagai berikut :
Mereka hanya dapat bagian bila tidak ada anak dan ayah

Saudara perempuan mendapat setengah bila sendiri, dua


pertiga bila terdiri dari dua orang atau lebih dan
menjadi 'ashabah bi al ghair bila bersama saudara laki
laki sekandung atau seayah. Saudara laki-laki kandung
atau seayah adalah `ashabah.

Dari kedua pasal di atas (pasal 181 dan pasal 182)


nampaknya rumusan KHI mempedomani Qs, an Nisa ayat
12 dan ayat 176 sebagaimana penafsiran para ulama
dalam fiqh mawaris.

Tentang pengertian kalalah dalam ayat tersebut di


atas, KHI mengambil pengertian yang dipakai oleh jumhur
ulama yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa
meninggalkan ahli waris anak dan ayah. Hal ini berbeda
dengan pengertian yang dipakai oleh Hazairin yaitu orang
yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak. Jadi
menurut Hazairin ayah tidak menghijab saudara.

Dari kedua pasal tersebut di atas, juga dapat diketahui


bahwa KHI sama halnya dengan kesepakatan para ulama
membeda-bedakan saudara kepada yang kandung, seayah
dan seibu. Hal ini juga berbeda dengan Hazairin yang
menyamakan pengertian saudara untuk semua.
13
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Adapun yang menarik dikaji dari kedua pasal di atas


adalah pengertian tentang "anak". Apakah pengertian
"anak" yang diambil dari kata "walad" dari Qs. An Nisa : 176
tersebut ? apakah walad terbatas hanya anak laki-laki saja
atau mengandung arti umum mencakup anak laki-laki dan
anak perempuan.
Ahli Waris Penerus Saudara

Tentang ahli waris penerus saudara inipun tidak diatur


secara jelas dalam KHI.
Praktek Hukum Waris Islam di Pengadilan
a. Ahli Waris Non Muslim

Sebagaimana telah diterangkan di atas, baik dalam


kewarisan perspektif fiqh atau kewarisan dalam KHI bahwa non
muslim adalah salah satu penghalang dalam mewarisi. Walaupun
dalam KHI tidak menyebutkannya sebagai penghalang mewarisi
tetapi disebutkan bahwa salah satu syarat ahli waris dan pewaris
adalah muslim, ini artinya apabila seorang tidak muslim ia tidak
bisa menjadi ahli waris dari seorang muslim.

Salah satu kasus yang diputuskan MA tentang ahli


waris non muslim ini adalah putusan No. 368 K/Ag/1995 83,
dimana MA memberikan hak waris dari pewaris muslim (kedua
orang tua kandung) kepada salah seorang ahli waris (anak)
yang beragama bukan Islam atau non muslim atau kafir,
dengan bagian sama dengan bagian anak perempuan lainnya,
dengan cara wasiat wajibah.

83
Dede Ibin, Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim dalam jurnal
Mimbar Hukum (Jakarta: Al Hikmah, 2004) No. 63, hal. 100

139
Bab III

Dari putusan MA tersebut tampaknya dalam putusannya MA


merujuk pada pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm bahwa
yang berhak menerima wasiat wajibah adalah kerabat yang tidak
menerima warisan, baik karena perbudakan atau berbeda agama.
Dalam putusan ini wasiat wajibah diberikan kepada ahli waris yang
terhalang mewarisi karena berbeda agama.

Contoh lain adalah putusan Mahkamah Agung Nomor


51 K/AG/199984. Dalam putusan inipun tampaknya MA
menerapkan hukum dengan memberikan wasiat wajibah
kepada ahli waris non muslim.

Dari kedua contoh di atas, Mahkamah Agung sebagai


lembaga tertinggi peradilan di Indonesia memberikan putusan
yang berbeda dengan tingkat Pertama (PA) dan PTA. Pada kasus
I di tingkat pertama dinyatakan bahwa ahli waris non muslim tidak
mendapat warisan dari pewarisnya (muslim) karena terhalang
oleh agamanya yang berbeda dengan agama pewaris, ini sesuai
dengan KHI, yang menjadi hukum positif di PA. Pada tingkat PTA
diputuskan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan harta
peninggalan pewaris dengan cara wasiat wajibah, dengan bagian
dari bagian anak perempuan, putusan ini diambil berdasarkan
Qs. Al Baqarah: 180. Pada tingkat kasasi, MA membenarkan
pertimbangan hukum dari hakim PTA, Cuma diperbaiki dalam
bagian ahli waris non muslim yaitu sama dengan bagian anak
perempuan lainnya.

Pada kasus kedua Mahkamah Agung memiliki pertimbangan


tersendiri yang berbeda dengan pertimbangan hakim di tingkat
pertama (Pengadilan Agama) dan banding (Pengadilan Timggi
Agama). Pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding tidak
mengakui adanya wasiat wajibah bagi ahli

84
Ibid. h. 102
14
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

waris non muslim. Hal ini karena peraturan di Indonesia


khususnya KHI, tidak ada pasal yang mengatur ketentuan
tentang wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim. Dalam
Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah hanya diperuntukkan
bagi orang tua angkat atau anak angkat.
b. Anak bersama saudara

Berkenaan dengan kedudukan saudara apabila


bersama anak, dalam perjalanan pelaksanaan KHI, pernah
terjadi pemahaman yang berbeda antara Pengadilan Tinggi
Agama Mataram dengan Mahkamah Agung, dalam
memahami kata 'walad' sebagaimana disebut dalam QS. An-
Nisa : 176 . Pengadilan Tinggi Agama Mataram mengartikan
kata "Walad" dengan arti anak laki-laki, sebagaimana
pemahaman jumhur ulama. Sedang Mahkamah Agung
mengartikan walad dengan arti umum, mencakup anak laki-
laki dan perempuan, sebagaimana pernahaman Ibnu Abbas85.
Konsekuensi dari pernahaman itu, dalam kasus ahli waris
terdiri dari anak perempuan (bint) bersama saudara laki-laki (akh
syaqiq), menurut putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No.
19/Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 bahwa
anak perempuan mendapat setengah sebagai dzawi al furudh
dan saudara laki-laki mendapat setengah sebagai 'ashabah.
Sedang menurut Mahkamah Agung dalam putusannya No. 86
K/AG/1994 tanggal 27 Juli 1994, saudara tersebut tidak
mendapat bagian, karena terhalang oleh anak perempuan. 86

85
Lihat Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazirin Dan Penalaran F'iqh Madzhab (Jakarta:
INIS,1988), h.84-91, 93-97,119-120, h.132
86
Kasus pewarisan yang diselesaikan adalah, ahli waris terdiri dari : seorang
anak perempuan, bersama seorang saudara laki-laki kandung. Gugatan diajukan pada
Pengadilan Agama Mataram. PA Mataram menolak gugatan tersebut dengan

141
Bab III

Pelaksanaan Pembagian Waris di Masyarakat


Dalam masyarakat Indonesia dikenal 3 sistem kekerabatan
yang juga mempengaruhi dalam pembagian warisan, yaitu:

Patrilineal, anak laki-laki tertentu saja yang mewarisi seluruh


harta peninggalan, ini seperti terdapat di daerah Batak. Di
sini anak perempuan yang telah kawin, maka telah lepas
dari ikatan kekeluargaan dengan orang tuanya dan masuk
dalam lingkungan suaminya dan itu bukan ahli waris.
Dalam prakteknya ia diberi hibah oleh orang tuanya
sebelum mereka meninggal dunia.87
Matrilineal, seperti di Minangkabau, anak merupakan bagian dari
ibunya. Jika seorang laki-laki meninggal dunia, maka anak laki-
laki tidak mendapat warisan dari ayahnya. Karena pengaruh
sosial dan budaya, maka bergeserlah keadaan itu setelah melalui

putusan No. 85/Pdt. G/1992/V/PA. MTR, tanggal 5 November 1992. Penolakan PA


Mataram tersebut disebabkan karena objek gugatan tidak jelas begitu pula identitas
para penggugat tidak jelas, tanpa menyinggung siapa yang berhak menjadi ahli waris.

Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya


No. 191Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 menetapkan ahli waris yang
berhak menerima warisan adalah : anak perempuan mendapat setengah dan saudara laki-
laki kandung menjadi ashabah menerima setengah (sisanya). Dengan demikian berarti PTA
Mataram mengartikan anak dalam pasal 182 adalah terbatas kepada pengertian anak laki-
laki sebagaimana pemahaman jumhur ulama.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya No. 86/AG/1994
tanggal 27 Juli 1994, membatalkan putusan PTA Mataram. Menurut MA, yang berhak
menerima warisan hanya anak perempuan, saudara kandung terhijab tidak mendapat
bagian. Dalam pertimbangannya MA mengartikan walad dengan arti umum. _yang
meliputi anak laki-laki dan perempuan. Pendapat MA ini didasarkan pada pendapat
lbnu Abbas. MA berpendapat selama masih ada anak. baik anak laki-laki maupun
anak perempuan maka hak waris orang-orang yang mempunyai hubungan darah
dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan istri tertutup (terhijab).
Lihat Departement Agama RI, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Putusan Badan
Peradilan Agama dalam Perkara Kewarisan (Jakarta: Depag. RL. 1999/2000) h. 238-253
87
B. Ter Har, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ter. K. Ng. Soebakti
Poesponoto (Jakarta: Pradnyaparamitha, 1980) h. 231
14
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

waktu yang panjang. Pergeseran itu mula-mula melalui lembaga


hibah dengan ijin, lalu dengan memberi tahu, kemudian cukup
dengan pesan dari ayah dan tahap terakhir tanpa pesan, maka
hak penuh anak-anak atas harta hasil pencaharian ayahnya. 88

3. Parental atau bilateral, ini berlaku bagi masyarakat Jawa,


Sunda, dan Kalimantan. Disini baik anak laki-laki atau
perempun mempunyai hak untuk mendapat harta
peninggalan orang tuanya.89
Berdasarkan sebuah penelitian Pembagian warisan di
kalangan ulama Banjar,90dari 41 kasus ditemukan 4 cara
dalam pembagian warisan, yaitu :
Dengan cara hibah

Adapun alasan mengggunakan cara ini adalah agar


sepeninggal pewaris, anak-anak dan ahli waris lainnya
tetap hidup dalam persaudaraan. Orang tua tidak
menginginkan anak-anaknya terpecah belah hanya karena
persoalan harta warisan.
Dengan cara musyawarah

Alasan digunakan cara musyawarah ini adalah untuk


kemasalahatan dan keutuhan sebuah keluarga, dan dianggap
lebih bijaksana karena berdasarkan musyawarah mufakat harta
warisan diberikan kepada ahli waris yang lebih memerlukan.

88
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam
Lingkungan Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h.193
89
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitah, 1984), h.
83
90
Ahmad Haries, Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kalangan Ulama
Banjar, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 75-96

143
Bab III

Hal ini dalam KHI diatur dalam pasal 193 : Para ahli waris
dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya

Berdasarkan faraidh

Alasan yang menggunakan cara ini, adalah bahwa


ketentuan hukum waris Islam seperti yang telah tertera
dalam al Quran harus lebih diutamakan.
Pembagian harta perpantangan.

Yaitu pabila seorang suami/istri meninggal dunia, maka harta itu


terlebih dahulu di bagi dua satu untuk pasangan yang masih
hidup, dan yang dibagi sebagai waris hanyalah harta bagian yang
telah meninggal. Tentang ini dalam KHI disebutkan dalam pasal
96 ayat 1: Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, separoh
sisanya baru dibagi dengan sistem pembagian warisan

Penutup

Dari paparan di atas tentang unsur dan syarat-syarat


kewarisan, kelompok ahli waris dan bagian masing-masing,
baik dari persfektif Fiqh, KHI atau praktek di Pengadilan dan
masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Unsur dan syarat-syarat kewarisan

Tentang syarat ahli waris disamping beragama


Islam perlu ditambahkan masih hidup baik secara hakiki
atau hukum ketika meninggalnya pewaris. Selain itu perlu
ada perbaikan redaksi tentang pengertian ahli waris, yaitu:

"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal


dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan
14
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang


karena hukum untuk menjadi ahli waris".

Rekomendasinya yakni bagi ahli waris dan pewaris


perlu dipertegas lagi dalam halangan pewarisan, jadi
halangan pewarisan di samping pembunuhan perlu
ditambah dengan non-muslim.
2. Kelompok ahli waris dan bagiannya

Mengenai kelompok ahli waris di samping dibagi


berdasarkan sebab mewarisi juga perlu dikelompokkan
berdasarkan cara mereka mendapatkannya, apakah
menggunakan pengelompokan seperti madzhab sunni
yang terbagi atas dzawil furudh, ashabah dan dzawil arham
atau menurut madzhab Jafariah yang ada kemiripan
dengan yang dikenalkan oleh Hazairin, yaitu dzawi al
faraidh (dzawi as siham), dzawi al qarabah dan al mawali.
Dalam hal ini menurut penulis pendapat yang kedua bisa
dipertimbangkan karena tidak membedakan antara laki-laki
dan perempuan, dan jalur dari laki-laki atau perempuan.

Adapun tentang bagian anak laki-laki dan


perempuan 2:1 perlu dipertahankan karena hal ini sesuai
dengan al Quran, adapun untuk mengakomodir budaya
atau kemungkinan untuk memberi bagian yang sama atau
lebih kepada anak perempuan sudah pas dengan jalan
perdamaian seperti diatur dalam KHI pasal 193.

Selanjutnya adalah tentang pengertian walad


(anak), di sini perlu dijelaskan apakah dalam penjelasan,
pengertian mana yang akan dipakai apakah hanya anak
laki-laki atau juga termasuk anak perempuan. Menurut
hemat penulis pengertian anak ditetapkan adalah anak baik
laki-laki atau perempuan.

145
Bab III

Terakhir adalah tentang bagian bapak apabila tidak


ada anak dikembalikan saja bagiannya adalah sebagai
ashabah, karena kalau seperti dalam KHI mendapat 1/3
tidak ada dasar hukumnya.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:
Akedemi Pressindo, 1992

Abu Bakar, Alyasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian


Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Fiqh
Madzhab, Jakarta : INIS, 1998
Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam at Tarikah wa al Mawaris,
Kairo: Dar al Fikr al Arabi, tt.
--------------, AlMirats `Inda Ja fariah, Cairo: Dar al Fikr, tt

Al Khudari, Ahmad Kamil, Al Mawaris al Islamiyyah, Mesir: al


Majlis al a'la li al Su'im al Islamiyyah, 1996

A. Rasyid, Raihan, " Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat wajibah"


dalam Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: Al Hikmah dan
Binperta Depag, 1995

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia,


Akar Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya, Jakarta:
Gema Insani, 1982

Ash Shabuni, M. Ali, A1 Mawaris Fi Syari'at al Islamiyyah Ala Dhau'I


al Kitabi wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979

Aulawi, A. Wasit, " Sejarah Perkembangan Hukum Islam" dalam


Amrullah, et. al. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
hukum Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. DR H.
Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema Insani Press
14
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Departemen Agama RI, Al Qur'an Dan Terjemahannya, Jakarta:


Depag, 1991
---------, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1991
----------, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
1991

Dirjen Binbaga Islam, Tinjauan Figh Islam Terhadap Putusan


Badan Peradilan Agama Dalam Perkara
Kewarisan,Jakarta: Depag, 1999/2000
Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung : Al Ma'arif , 1975

Harahap, M. Yahaya, " Informasi Materi Kompilasi Hukum


Islam, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam" dalam
Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5,
Jakarta: al Hikmah dan Binperta Depag. RI, 1992
Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Tintamas, 1974
----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976

----------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith,


Jakarta: Tintamas, 1982.
Ibn Hazm, A1 Muhalla, Kairo: Maktabah Alif, 1978

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam


Lingkungan Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

M. Mahluf, Husnain, Al Mawaris .f Syari'ah al Islamiyyah,


Cairo: Mathbah al Madaniy, 1976

Musa, Muhammad Yusuf, at Tirkah wa al Mirats fi al Islam,


Kairo: Dar a; Ma'rifah, 1960

147
Bab III

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan


Menurut KUH Perdata Dan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994

Rusyd, Ibn, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Juz II,


Beirut: Dar al Fikr, tt

Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Jilid Ill, Beirut : Dar al Kutub al


Arabiyah, 1971
14
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HALANGAN MENERIMA WARISAN


Muhammad Adib

Latar Belakang

Halangan menerima warisan (mawani al-irts) adalah


salah satu sub bahasan yang penting dalam wacana hukum
waris Islam. Ia bertali-temali erat dengan sub-sub bahasan
lain yang merupakan tahapan-tahapan seleksi penerima harta
warisan sebelum penghitungan dan pembagian dilakukan.
Tahapan-tahapan seleksi tersebut meliputi:

Seleksi tahap I, yakni seleksi berdasarkan hubungan


kekeluarga-an yang bertumpu kepada dua garis hubungan,
yaitu: a) hubungan darah (al-nasab) dan b) hubungan
pernikahan yang sah (al-zawaj al-shahih). Pada tahap ini,
keluarga yang tidak lolos seleksi, semisal saudara ipar dan
menantu, tereliminasi dengan sendirinya.
Seleksi Tahap II, yakni sekelsi berdasarkan kelayakan kerpibadi-an
calon penerima harta warisan. Tumpuannya adalah: a) status
sosial, b) hubungan baik dan c) kesamaan agama. Pada tahap
ini, calon penerima harta warisan yang tidak lolos sekeksi,
semisal menghilangkan nyawa atau berbeda agama dengan
orang yang akan mewariskan harta kepadanya (muwarrits)
menjadi tereliminasi dengan sendirinya.

Selain penting, sub bahasan tentang halangan menerima


harta warisan, utamanya dalam hal kesamaan agama, juga
terhitung sensitif. Sebab ia tidak hanya terkait dengan masalah
kepentingan individu mendapatkan harta warisan yang sudah

149
Bab III

menjadi haknya, melainkan juga berjalin berkelindan dengan


pola relasi antar agama.

Itulah sebabnya, mengkaji masalah halangan menerima


warisan harus dilakukan secara komprehensif dan bijak. Kompre-
hensif, dalam arti menjangkau kajian tekstual dan kontekstual
secara tuntas. Bijak, dalam arti mengakomodir kemajemukan
realitas sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja rentan
terhadap konflik horisontal bernuansa isu SARA.
Halangan Menerima Warisan

Berbicara tentang halangan menerima warisan tentu


tidak lepas dari empat perspektif, yaitu: fiqih, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia (KHI), praktik di pengadilan, dan
masyarakat. Empat perspektif tersebut selanjutnya perlu
ditelaah berdasarkan perspektif yang lebih mendasar, yakni
perspektif metodologis atau wacana ushul fiqih. Dalam
perspektif fiqih, utamanya hukum waris Islam (ilm al-faraidh),
ada tiga hal yang menjadi penghalang bagi seorang ahli waris
untuk menerima harta warisan (mawani al-irts), yaitu:
a. Perbudakan (al-riqq)

Para ulama bersepakat bahwa budak tidak dapat


menerima harta warisan serta tidak dapat mewariskan
hartanya. Sebab, dalam statusnya sebagai budak, dia sama
sekali tidak memiliki kecakapan untuk memiliki dan mengelola
harta benda. Bahkan, lebih dari itu, dia sebagai harta dan hak
milik tuannya yang bisa diwariskan. Kalaupun budak tersebut
memiliki harta kekayaan, maka harta tersebut secara otomatis
sepenuhnya menjadi hak milik tuannya.91

91
Wahbah al-Zuhayl, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, ctk. II (Beirut: Dr al-
Fikr, 1985), VIII: 258.
15
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Perbicangan para ulama sebenarnya tidak terhenti pada


titik kesepakatan itu saja terkait dengan perbudakan sebagai
salah satu penghalang menerima warisan. Dalam hal budak
mubaadh dan budak mukatab misalnya, pendapat mereka cukup
beragam sesuai dengan pijakan argumentasi masing-masing.
Namun, oleh karena secara de jure sudah dihapus sejak lama,
maka perbudakan sebagai penghalang menerima warisan sudah
tidak relevan lagi untuk diperbincangkan.
b. Pembunuhan (al-qatl)

Secara umum para ulama bersepakat bahwa ahli waris


yang membunuh orang yang akan mewariskan harta
kepadanya (muwarrits), terutama yang disengaja atau
direncanakan (amdan) baik secara langsung ataupun tidak,
diberi sanksi tegas tidak dapat menerima harta warisan.
Selain berpijak kepada hadits di bawah ini:

Seorang pembunuh (orang yang mewariskan harta


kepadanya) tidak berhak menerima harta warisan
apapun. (H.R. al-Nasai).
Kesepakatan ulama tersebut juga berpijak kepada
argumentasi bahwa sang ahli waris telah menempuh cara
kekerasan yang keji terhadap orang yang akan mewariskan
harta kepadanya. Akibatnya, dia patut diberi sanksi kehilangan
hak untuk mendapatkan harta tersebut.92
Di luar kesepakatan tersebut, para ulama berbeda
pendapat tentang jenis-jenis pembunuhan selain yang disengaja
atau direncanakan sebagai penghalang sang pelaku untuk

92
Ibid., hlm. 260.
151
Bab III

mendapatkan harta warisan. Perbedaan pendapat tersebut


dilatarbelakangi oleh perbedaan tolok ukur yang dipakai:

Tolok ukur adanya sanksi qishash atau tebusan (kaffarah);


dipakai oleh Hanafiyyah dan Hanabilah.

Berdasarkan tolok ukur tersebut, hanya pembunuhan yang


dijatuhi sanksi qishash atau kaffarah saja yang dianggap
sebagai penghalang menerima warisan, yakni pembunuhan
yang dilakukan secara disengaja atau direncanakan,
pembunuhan semi disengaja dan pembunuhan karena
semata-mata kekeliruan. Sementara pembunuhan yang tidak
terkena sanksi qishash ataupun kaffarah, yaitu pembunuhan
karena ada alasan yang bisa diterima secara syari, tidak
dianggap sebagai penghalang hak menerima warisan. Sebut
saja, misalnya, pembunuhan oleh algojo hukuman mati atau
karena mempertahankan nyawa. Pelaku pembunuhan
tersebut terakhir tetap bisa menerima warisan.93

Tolok ukur motivasi keji (al-udwan) sang pelaku; dipakai oleh


Malikiyyah.

Berpijak kepada tolok ukur tersebut, pembunuhan yang bisa


menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan
yang dilakukan atas dasar motivasi untuk menyakiti ataupun
menghilangkan nyawa korban. Motivasi seperti ini hanya
terdapat pada tindakan pembunuhan secara disengaja atau
direncanakan (al-qatl al-amd), baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Termasuk dalam jenis ini adalah persaksian
palsu yang menyebabkan korban disanksi hukuman mati. 94

Ibid., hlm. 261.


Ibid., hlm. 262.
15
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Tolok ukur efek tindakan, yakni hilangnya nyawa orang lain;


dipakai oleh Syafiiyyah.

Mengacu kepada tolok ukur tersebut, semua tindakan yang


bisa menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, baik secara
disengaja ataupun tidak, baik yang dilakukan karena ada
alasan syari ataupun tidak, tetap dianggap sebagai
penghalang hak menerima warisan.95
Perbedaan agama (ikhtilaf al-din)

Sebagian besar para ulama ahli hukum Islam berpandangan


bahwa perbedaan agama menjadi halangan bagi seorang ahli waris
untuk bisa menerima harta warisan, baik sebagai muslim maupun
non muslim. Ahli waris muslim tidak bisa menerima warisan dari
orang non muslim. Begitu pula sebaliknya, ahli waris non muslim
tidak bisa menerima warisan dari orang muslim. Pandangan ini
berpijak kepada hadits berikut ini:

Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang


non muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim
tidak bisa menerima warisan dari orang muslim. (H.R.
al-Bukhari dan Muslim).96
Pandangan ini, secara turun-temurun, memang menjadi
pandangan mainstream dalam wacana hukum waris Islam. Pada
setiap literatur dan materi hukum waris Islam yang diajarkan baik
di lembaga pendidikan formal maupun non formal, pandangan
inilah yang menjadi menu dan acuan utama.

Ibid.
Ibid., hlm. 263.
153
Bab III

Namun, sebagaimana telah disebutkan pada bagian


pendahuluan di atas, masalah perbedaan agama sebagai salah
satu halangan menerima warisan terhitung sensitif. Ia tidak hanya
berkait dengan benturan antara kepentingan mendapatkan harta
warisan di satu sisi, tetapi juga dengan pola relasi antar umat
beragama yang sarat ketegangan di sisi yang lain.

Benturan yang sensitif terhadap ternyata sudah


dirasakan oleh para ahli hukum Islam pada masa awal.
Terbukti, tokoh-tokoh Sahabat sekaliber Muadz ibn Jabal dan
Muawiyah ibn Abi Sufyan pernah menghadapi kasus pelik
terkait sengketa harta warisan. Diceritakan, suatu saat,
Muadz kedatangan dua orang tamu bersaudara yang
bersilang-sengketa memperebutkan harta warisan.
Keduanya berlainan agama; muslim dan yahudi, sementara
ayah mereka yang baru saja meninggal kebetulan beragama yahudi.
Pasca kematian sang ayah, anak yang beragama yahudi mengklaim
semua harta warisan, dengan alasan saudaranya yang muslim
berbeda agama dengan sang ayah. Tentu saja, anak yang muslim
merasa berkeberatan dan menuntut bagian harta warisan.

Menghadapi kasus tersebut, Muadz dan Muawiyah


ternyata menyampaikan fatwa yang berbeda dengan landasan
tekstual (baca: hadits) yang berlaku ketika itu. Dia
memutuskan bahwa anak yang muslim sama dengan yang
beragama yahudi, yaitu sama-sama berhak menerima harta
warisan. Argumentasi tekstualnya adalah hadits berikut ini.



Islam akan selalu bertambah dan tidak akan pernah
berkurang. (H.R. Abu Dawud, dinilai shahih oleh al-Hakim).
15
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Uniknya, meskipun berpijak kepada landasan tekstual


yang cukup membuat kita mengernyitkan dahi, fatwa Muadz dan
putusan Muawiyah tersebut ternyata diamini oleh sejumlah tokoh
kalangan Tabiin, seperti Masruq, Said ibn al-Musayyab, Ibrahim
al-Nakhai dan Abd Allah ibn Maqil. Bahkan, tokoh tersebut
terakhir secara terang-terangan menyatakan kekagumannya
terhadap fatwa dan putusan yang dianggapnya brilian itu.




Belum pernah dijumpai putusan yang secerdas dan
sebrilian putusan Muawiyah. Orang Islam bisa menerima
warisan Ahl al-Kitab, sementara mereka tidak bisa
menerima warisan dari orang Islam. Sama dengan
pernikahan; orang Islam bisa menikahi perempuan
kalangan mereka, tetapi mereka tidak bisa menikai
perempuan muslimah.97
Terlepas dari kontroversi seputar validitas transmisi
(sanad)-nya, riwayat di atas menyiratkan dua hal penting, yaitu:

Sengketa harta warisan, terlebih-lebih yang diwarnai oleh


nuansa ketegangan antar agama, adalah kasus sensitif
yang memerlukan penalaran yang komprehensif dan bijak.
Di satu sisi, berpijak hanya kepada acuan tekstual an sich
hanya akan berpotensi memperparah ketegangan.
Sementara di sisi lain, mengenyampingkan sama sekali
pijakan tekstual tentu bukan cara yang tepat, karena akan
mendapatkan penolakan di mana-mana.

97
Al-Hfizh Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br Syarh Shahh al-Bukhr
(Ttp.: Dr al-Rayyn li al-Turts, 1986), XII: 52.
155
Bab III

Inovasi hukum yang mengakomodir kebutuhan dan kondisi aktual


telah dilakukan semenjak masa awal Islam. Dalam ruang lingkup
hukum waris Islam, inovasi masalah warisa beda agama,
sebagaimana diceritakan oleh riwayat Muadz dan Muawiyah di
atas, hanyalah satu contoh saja dari sekian banyak inovasi
hukum waris yang dilakukan pada masa Sahabat. Sebut saja,
misalnya, masalah awl, radd, gharrawayn dan musyarakah.
Masalah-masalah kewarisan tersebut sarat dengan inovasi,
karena setelah jika diamati dengan cermat dan kritis, semuanya
telah mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua ahli waris dari apa
yang tertuang secara definitif dalam teks al-Quran. Menariknya,
semua inovasi tersebut ternyata tidaklah selalu bergulir dengan
mulus. Perlawanan dari sejumlah Sahabat lain, utamanya yang
berhaluan skriptualis, terhitung cukup keras dan sengit. Sebagai
contoh, pada kasus masalah musyarakah, Umar ibn al-
Khaththab, sang tokoh penggagas yang saat itu sedang menjabat
sebagai Khalifah, ditentang habis-habisan oleh Abd Allah ibn
Abbas dan Ubay ibn Kab. Alasan mereka, gagasan Umar
tersebut berlawanan dengan ketentuan tekstual al-Quran. 98

Perspektif KHI

Ketentuan tentang halangan mendapatkan warisan pada


KHI ternyata cukup tersebar di beberapa pasal sebagai berikut:
a. Pasal 171 item b dan c:

(b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya


atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

98
Muhammad Muhy al-Dn Abd al-Hamd, Ahkm al-Mawrts f al-Syarah al-
Islmiyyah al Madzhib al-Aimma al-Arbaa, ctk. I (ttp.: Dr al-Kitb al-Arab, 1984), hlm.
170; Ibn Qudmah Abd Allh ibn Qudmah, al-Mughn f Syarh Mukhtashar al-Kharaq
(Kairo: Dr al-Manr, 1987), VI: 181-182; Ibn Rusyd Muhammad ibn Ahmad al-Qurthub,
Bidyah al-Mujtahid wa Nihyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera, t.t.), II: 257.
15
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris


dan harta peninggalan.
0
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Pasal 172:

Ahli waris dipandang beragama Islam apabila


diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan
atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau
anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya
atau lingkungannya
Pasal 173 item a dan b:

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan


putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dihukum karena:
0
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
1
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.

Apabila dicermati menurut pijakannya, ketentuan KHI


tentang halangan menerima waris bisa diklasifikasi menjadi
tiga bagian, yaitu:

Bagian yang diadaptasi dari literatur-literatur fiqih Islam.


Termasuk dalam bagian ini adalah:
0
Harus beragama Islam (Pasal 171 dan 172).

157
Bab III

1
Membunuh (Pasal 173 item a).

Bagian yang sepertinya diadopsi dari BW Pasal 838 item 1


dan 2. Termasuk dalam bagian ini adalah:
0
Mencoba membunuh (Pasal 173 item a).
1
Memfitnah pewaris bahwa dia pernah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun
atau hukuman yang lebih berat lagi (Pasal 173 item b).

Perhatikan ketentuan BW Pasal 838 item 1 dan 2 di bawah ini:

Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris,


dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:

dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau


mencoba membunuh orang yang meninggal itu;

dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan


karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan
terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara
lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;99
Namun, meskipun sepertinya merupakan adaptasi
dari BW, dua ketentuan tersebut tidak tercerabut dari
ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam waris Islam.
Halangan karena memfitnah pewaris, misalnya, senada
dengan pendapat ulama Malikiyyah bahwa memberikan
kesaksian palsu (syahadah al-zur) yang menyebabkan
pewaris dihukum mati adalah bentuk lain dari pembunuhan
disengaja sebagai penghalang menerima warisan.100

R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982), hlm. 209.
Al-Zuhayl, al-Fiqh., hlm. 262.
15
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Bagian yang merupakan inovasi ketentuan tentang halangan


menerima warisan, yaitu halangan menerima waris karena
menganiaya berat terhadap pewaris (Pasal 173 item a).

Klasifikasi di atas menyiratkan sebuah kenyataan


menarik, yaitu bahwa ketentuan KHI tentang halangan
menerima warisan (Pasal 171, 172 dan 173) merupakan
bentuk kompromistik dari hukum waris Islam di satu sisi
dan BW di sisi yang lain. Bentuk kompromistik seperti itu
tentu memerlukan kajian yang komprehensif, agar memiliki
pijakan metodologis yang bisa dipertanggungjawabkan.

Seperti ditegaskan oleh Busthanul Arifin, salah


seorang tokoh perumus KHI, Pasal 173 KHI adalah serapan
dari materi hukum BW yang tumbuh dari norma dan etika
agama Kristen. Meski demikian, perlu ditelusuri secara lebih
jelas apakah penyerapan aturan kewarisan BW tersebut
bertentangan dengan hukum Islam ataukah tidak.101
Praktik di Pengadilan

Dua putusan Mahkamah Agung (MA), yakni Nomor: 368


K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999
tanggal 29 September 1999, adalah yang paling banyak disorot
oleh publik. Penyebabnya adalah karena melalui dua putusan
tersebut, MA memutuskan memberikan bagian warisan, tepatnya
dengan wasiat wajibah, kepada ahli waris non muslim. Bedanya,
jika, pada putusan pertama, ahli waris non muslim tidak
dinyatakan sebagai ahli waris, maka, pada putusan kedua, ahli
waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris serta
mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim. 102

Dikutip dari: http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).

Moh. Muhibuddin, Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim di


Indonesia, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09 Juli 2011).

159
Bab III

Di satu sisi, dua putusan tersebut memang bisa dijadikan


sebagai contoh upaya inovasi yurisprudensial yang dilakukan
oleh hakim atau lembaga peradilan. Selain karena hakim memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang menyimpang
dari ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap
kontradiktif dengan cita rasadisebut dengan contra legem,
putusan MA di atas tentu didasari oleh banyak pertimbangan lain,
semisal menjaga keutuhan keluarga, mengakomodir realitas
sosial masyarakat Indonesia yang plural dan memenuhi rasa
keadilan. Putusan tersebut tentu memberikan warna baru dalam
wacana hukum waris Islam.103

Namun, di sisi lain, putusan MA tersebut masih menyisakan


beragam persoalan, baik yang terkait dengan pijakan metodologis
(ushul fiqih) maupun pijakan yuridis. Secara metodologis, masih
terjadi kesimpang-siuran di kalangan pemerhati hukum Islam
tentang ijtihad, fatwa ataupun putusan pengadilan yang berlawanan
dengan teks al-Quran dan hadits. Sementara secara yuridis,
putusan tersebut tidak memiliki acuan yang baku, karena
berlawanan dengan ketentuan dalam KHI yang tidak memberikan
harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non
muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Pengambilan
putusan seperti itu kurang sejalan dengan prinsip kepastian hukum,
terutama yang terkait dengan sumber hukum.

Fakta di Masyarakat

Secara umum, ketentuan halangan menerima warisan,


sebagaimana diatur dalam hukum waris Islam dan KHI, masih
dianggap sebagai ketentuan terbaik dan final di kalangan
masyarakat, utamanya yang berbasis keagamaan kuat. Terbukti,

103
Ibid.
16
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga saat ini,


tetap memakainya sebagai salah satu dasar hukum.

Hal yang sama juga dijumpai pada komunitas


pesantren, terutama dengan formulasi kurikulum dan
kerangka pemikiran yang berbasis kitab kuning yang masih
tetap dipertahankan hingga saat ini. Terbukti, hingga saat ini,
belum dijumpai hasil bahtsul masail dari komunitas pesantren
yang menghasilkan produk hukum yang berbeda.

Hanya di kalangan masyarakat yang hukum adatnya


relatif kuat, atau mungkin yang beragam pemeluk agamanya,
saja yang sedikit memiliki perbedaan. Sebut saja, misalnya,
masyarakat desa Sumbersari Kecamatan Moyudan
104
Kabupaten Sleman Provinsi D.I. Yogyakarta yang sudah
tidak asing dengan pewarisan lintas agama.
Refleksi

Dari uraian panjang-lebar tentang halangan menerima


warisan di atas, bisa dipahami bahwa hukum waris Islam berada
di antara dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, ia terikat dengan
seperangkat teks al-Quran dan hadits yang memuat ragam
ketentuan teknis kewarisan yang sudah dianggap baku. Piranti
metodologis (ushul fiqih) yang ada selama ini dibangun dalam
suatu konstruksi teoretik yang menguatkan teks-teks tersebut.
Namun, di sisi lain, hukum waris Islam berhadapan langsung
dengan realitas sosial yang dinamis serta berkembang
sedemikian rupa, sehingga menuntut berbagai inovasi dan
adaptasi yang acapkali berlawanan dengan muatan ajaran teks.

104
Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Warisan Beda
Agama di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09 Juli 2011).

161
Bab III

Itulah sebabnya, pada bagian refleksi kali ini, perlu


diangkat kembali dua hal yang sangat penting dalam kaitannya
dengan dua sisi berseberangan yang dihadapi oleh hukum waris
Islam di atas. Dua hal tersebut adalah: 1) tinjauan historis hukum
waris Islam, utamanya yang terkait dengan semangat inovatif
yang termuat di dalamnya, dan 2) pijakan metodologis (ushul
fiqih) yang bisa menopang semangat inovasi tersebut.

Tinjauan Historis

Sepanjang sejarah perjalanannya, mulai dari masa awal


Islam hingga saat ini, hukum waris Islam sebenarnya berjalin
berkelindan dengan inovasi hukum. Bahkan, lebih dari itu,
keberadaan hukum waris Islam sendiri sebenarnya merupakan
inovasi luar biasa yang merombak sistem pewarisan harta era
Pra-Islam. Diakui atau tidak, berbagai upaya inovasi tersebut
menyiratkan watak fleksibel hukum waris Islam dalam konteks
perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Tidak
berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa hukum waris
merupakan salah satu contoh terbaik dari evoluasi hukum Islam.

Sebagaimana diketahui, hukum waris Islam hadir di


tengah-tengah sebuah sistem sosial kesukuan (tribal society
system) bangsa Arab pra-Islam yang memiliki dua karakteristik
yang khas, yaitu:
Struktur sosialnya bersifat patrilineal (mujtama abawi), di mana
eksistensi kaum perempuan melebur ke dalam garis laki-laki. 105
Hal ini tercermin dari sebuah syair Arab pra-Islam berikut ini:

105
Halimah Barakat, The Arab Family and Challenge of Social
Transformation, dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.), Women and Family in the
Middle East (Texas: University of Texas Press, 1995), hlm. 28.
16
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Keturunan kita adalah anak-anak laki-laki kita beserta keterunan


mereka, dan juga anak-anak perempuan kita. Sementara
keturunan anak-anak perempuan kita tidak termasuk keturunan
kita, melainkan keturunan laki-laki nun jauh di sana. 106
Sistem sosialnya bersifat patriarkal. Segalanya berpusat
kepada eksistensi dan peran laki-laki, baik dalam ranah
publik ranah domestik. Sebab hanya laki-lakilah yang saat
itu mampu memberikan kontribusi sosial bagi keberlanjutan
kehidupan suku.107
Implikasinya mudah ditebak. Sistem pembagian harta warisan
menjadi diskriminatif. Hanya kaum laki-laki dewasa saja yang
bisa mewarisi harta kekayaan, baik melalui jalur hubungan
keluarga (nasab), pengangkatan anak (tabanni) maupun
perjanjian (half wa ahd).108 Sementara kaum perempuan, anak-
anak, orang-orang jompo dan orang-orang cacat sama sekali
tidak memilliki hak apa-apa. Prinsip yang dipegang teguh adalah
senioritas (the principle of seniority) dan keikutsertaan dalam
aktivitas militer (the principle of comradship in arms).109

Muhammad Rasyd Ridh, Tafsr al-Qurn al-Hakm, ctk. II (Beirut: Dr al-


Marifah, 1973), IV: 405.
Hammdah Abd al-Ath, The Family Structure in Islam (Indiana: Islamic Book
Service, 1977), hlm. 8-9
Rasyd Ridh, Tafsr., hlm. 402; M. Musthafa Khan, Islamic Law of Inheritance: A
New Approach (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), hlm. 8.
109
Abd al-Ath, The Family., hlm. 250-251. Prinsip ini tercermin dalam
penyataan orang-orang Arab pra-Islam bahwa Kami tidak akan merwariskan harta
kami kepada orang yang tidak bisa menunggang kuda, menghunus pedang,
menggunakan anak panah, mengusir musuh dan menjaga keselamatan suku. Lihat:
Ab Jafar Muhammad ibn Jarr al-Thabar, Jmi al-Bayn f Tafsr al-Qurn, ctk. II
(Beirut: Dr al-Marifah, 1972), IV: 176 dan 185.
163
Bab III

Saat itulah, hukum waris Islam hadir sebagai sistem


tandingan yang mengusung misi emansipasipatoris untuk
merombak secara radikal namun bertahap (tadrijiyyan) sistem
waris Arab pra-Islam, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Penyadaran persuasif tentang kesetaraan derajat manusia di
hadapan Allah swt.110 Hal ini tercermin dari ayat-ayat
periode Mekkah yang memang memuat prinsip-prinsip
umum agama.111
Pasca peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah, hubungan
persaudaraan yang tulus (wilayah) antara Sahabat Muhajirin
dan Sahabat Anshar dijadikan standar baru dalam pewarisan;
menggeser prinsip partisipasi militer, sehingga memberi
peluang bagi setiap orang, terlepas dari status sosial dan
kelaminnya, untuk mewariskan ataupun mewarisi harta. 112
Setelah ikatan persaudaraan seiman semakin kuat, standar untuk
bisa mewariskan dan mewarisi harta dipersempit hanya di
antara orang-orang yang memiliki hubungan darah (ulu al-
arham).113 Pewarisan melalui jalur pengangkatan anak (tabanni)
dilarang keras,114 sementara pewarisan melalui jalur perjanjian
masih dipertahankan,115 karena janji memang harus ditepati.
Penyadaran persuasif tentang hak-hak kaum perempuan. Selain
mengecam keras kebiasaan memperlakukan kaum perempuan

110
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in A World
Civilization (The Classical Age of Islam), ctk. I (Chicago: Chicago University Press, 1974), I: 163.
Misalnya: QS. al-Arf (7):85; al-Isr (17):23 dan 33, al-Kahf (18):110; al-Syuar
(26):130; al-Hujurt (49):13; al-Dzriyt (51):56.
Muhammad al-Khudar Bek, Trkh al-Tasyr al-Islm (Surabaya: Al-Hidyah,
t.t.), hlm. 91.
QS. al-Ahzb (33):6.
QS. al-Ahzb (33):4.
QS. al-Nis (4):33.

16
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sebagai barang warisan,116 al-Quran juga menjamin hak-


hak wajar mereka untuk mendapatkan bagian harta
warisan117 namun prosentase bagian warisan (nashib)
masih belum dijelaskan secara terperinci.

Setelah prinsip persamaan hak antara laki-laki dan


perempuan, utamanya dalam hal pembagian harta warisan,
telah tertanam kuat dalam kesadaran sosial masyarakat,
barulah al-Quran memberikan ketentuan operasional
tentang prosentase pembagian warisan.118
Inovasi hukum waris Islam terus berlangsung hingga masa
Sahabat. Masalah awl, radd, gharrawayn dan musyarakah,
misalnya, yang digagas dan digulirkan oleh tokoh-tokoh
sekaliber Umar ibn al-Khaththab dan Ali ibn Abi Thalib,
misalnya, atau masalah waris beda agama yang difatwakan
oleh Muadz ibn Jabal dan dilegislasi oleh Muawiyah ibn Abi
Sufyan, sebagai contoh lain, adalah sekian ragam pemikiran
kewarisan yang sarat dengan inovasi. Disebut inovatif, karena
setelah jika diamati dengan cermat dan kritis, semuanya telah
mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua ahli waris dari apa
yang tertuang secara definitif dalam teks al-Quran.

Namun, berbagai upaya inovasi seperti yang sudah


dicontohkan oleh Sahabat, lambat-laun namun pasti,
menghilang dari wacana pemikiran hukum Islam, seiring
dengan stagnasi pemikiran (baca: taqlid) yang melanda
umat Islam secara keseluruhan. Ketentuan hukum waris
menjelma menjadi teks suci yang bersifat final, taken for
granted dan haram hukumnya jika diubah.

QS. al-Nis (4):19 dan 22.


QS. al-Nis (4):7.
QS. al-Nis (4):11-14 dan 176.

165
Bab III

Pijakan Metodologis

Selama ini, setiap inovasi dan pembaruan hukum Islam,


khususnya yang berkaitan dengan waris, selalu berbenturan
dengan sebuah konstruksi pemikiran yang, menurut hemat
penulis, terkristalisasi menjadi prinsip kemutlakan otoritas ujaran
verbal teks al-Quran dan hadits. Prinsip tersebut tercermin dari
beberapa teori ushul fiqih berikut:

a. Teori mufassar atau nash.

Menurut para ulama ushul fiqih, hal-hal rinci dalam


teks al-Quran dan hadits, semisal angka-angka 1/2 (nishf),
1/3 (tsuluts), 1/6 (sudus) dan 1/8 (tsumun) dalam bidang
waris, dinilai bersifat definitif (qathi) serta tidak memiliki
makna apapun lagi selain jumlah matematis yang
dikandungnya. Hal-hal rinci tersebut disebut dengan
mufassar menurut ulama Hanafiyyah atau nash menurut
ulama Mutakallimun. Hal-hal rinci yang bersifat definitif
tersebut menutup peluang bagi upaya tawil (penafsiran
metaforis) ataupun takhshish serta hanya menerima naskh.
Oleh karena itu, ia harus diterapkan apa adanya.119
b. Teori mashalahah gharibah.

Sebagai konsekuensi dari teori mufassar di atas, maka


pertimbangan kemaslahatan apapun, sekuat apapun ia, bila
bertentangan dengan ujaran nash yang kandungan maknanya
berstatus qathi al-dalalah, sama sekali tidak memiliki nilai hukum.
Dalam arti, ia tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam

119
Muhammad Adb Shlih, Tafsr al-Nushsh f al-Fiqh al-Islm: Dirsah
Muqranah li Manhij al-Ulam f Istinbth al-Ahkm min Nushsh al-Kitb wa al-
Sunnah, ctk. III (Beirut: Al-Maktab al-Islm, 1984), I:169.
16
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

penalaran hukum. Dalam ushul al-fiqh, kemaslahatan seperti ini


diistilahkan sebagai mashlahah gharibah atau munasib mulgha
(kemaslahatan yang asing serta tidak memiliki nilai hukum). 120
c. Teori hadits ahad.

Mayoritas ulama, seperti dikutip oleh al-Nawawi,


menyatakan bahwa menerapkan hadits ahad (inklusif di
dalamnya hadits tentang waris beda agama di atas, pen.),
sepanjang garis transmisinya valid (shahih), adalah wajib
hukumnya, terlepas dari apakah muatan maknanya yang
bersifat definitif (qathi) masih spekulatif (zhanni).
Keniscayaan menerapkan hadits had bukan dipengaruhi
oleh muatan maknanya, melainkan karena diperintahkan
oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.121
Terkait dengan semangat inovasi hukum tentang
halangan menerima warisan (mawani al-irts), di saat
dihadapkan dengan prinsip kemutlakan otoritas ujaran verbal
teks al-Quran dan hadits, perlu diingat dua hal berikut:
Tidak dijumpai satu ayat pun dalam al-Quran yang menyatakan
secara eksplisit tentang halangan menerima waris. Di antara
sekian ayat waris dalam al-Quran, utamanya surat al-Nisa, sama
sekali tidak dijumpai pernyataan tentang halangan menerima
warisan. Ayat al-Quran yang biasanya dijadikan sebagai pijakan
bagi halangan menerima waris, utamanya dalam kasus
perbedaan agama, adalah ayat berikut:

Adb Shlih, Tafsr al-Nushsh., I: 169.

Muhy al-Dn al-Nawaw al-Dimasyq, Syarh Shahh Muslim, ctk. I (Mesir: al-
Mathbaah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.
167
Bab III

... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan


kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-
orang yang beriman.122
Namun, ayat di atas sebenarnya tidak berbicara tentang
halangan menerima waris, melainkan tentang orang-orang
munafiq yang oportunis bermuka dua, sehingga tidak tepat
jika dijadikan sebagai landasan tekstual bagi perbedaan
agama sebagai halangan menerima warisan.

Pijakan tekstual ketentuan halangan menerima waris adalah


hadits Rasulullah saw., sebagaimana telah disebutkan
pada bagian lain dari makalah ini, yaitu:



Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang
non muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim
tidak bisa menerima warisan dari orang muslim. (H.R.
al-Bukhari dan Muslim).
Di satu sisi, hadits tersebut memang dinilai valid
(shahih), sehingga dinilai memenuhi syarat untuk digunakan
sebagai sumber hukum. Faktanya, hadits itulah terlepas dari
definitif atau spekulatif muatan maknanya yang dipakai
sebagai pijakan utama bagi ketentuan perbedaan agama
sebagai salah satu penghalang menerima warisan.

Pada kenyataannya, otoritas hadits tersebut memang begitu


kuat pengaruhnya terhadap ketentuan hukum waris Islam
tentang penghalang menerima warisan. Buktinya, seperti
tercermin dari Fatwa MUI pada tahun 2005, pemberian harta

122
QS. Al-Nis (4): 141.
16
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada orang yang berbeda agama melalui jalur waris


berkebalikan hukumnya dengan pemberian harta melalui
jalur hibah, wasiat dan hadiah.123
Oleh karena itu, perbincangan tentang pijakan metodologis
inovasi hukum waris Islam, utamanya yang berkenaan
dengan halangan menerima warisan, bisa didekati dengan
beberapa perspektif alternatif berikut:

Muhammad Mushthafa Syalabi mengkritik keras prinsip


taabbud (ketundukan mutlak kepada ujaran verbal teks)
pada ranah pranata sosial (adat, muamalat). Menurutnya,
prinsip tersebut merupakan persepsi yang rancu, karena
bertentangan dengan prinsip umum bahwa hukum Islam,
utamanya yang berada pada ranah pranata sosial, bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Jadi
terdapat konteks historis dan tujuan yang bisa dinalar.124

Sebagai tindak lanjut dari kritik kerasnya itu, Syalabi


kemudian mengklasifikasi hukum Islam, baik yang berasal
dari ujaran teks maupun dari ijtihad ulama, berdasarkan
illah yang dikandungnya. Salah satu yang penting di
antaranya adalah kelompok kedua, yaitu hukum yang lahir
pada zaman Nabi saw. yang dilatarbelakangi oleh illah
tertentu, tetapi pada era berikutnya, kondisi sosial sudah
berubah, sehingga illah tersebut sudah tidak relevan lagi.
Atas dasar itu, para ulama masa itu kemudian melakukan

123
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS
VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, http://www.mui.or.id (akses tanggal
09 Juli 2011).
124
Muhammad Mushthaf Syalab, Tall al-Ahkm:Ardh wa Tahll li
Tharqah al-Tall wa Tathawwurih f Ushr al-Ijtihd wa al-Taqld, ctk. II (Beirut: Dr
al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1981), hlm. 299.

169
Bab III

inovasi, sesuai dengan tingkat perubahan sosial tadi.


Contohnya adalah penghapusan zakat bagi kaum
muallaf dan sistem pembagian harta rampasan perang
(ghannimah).125
Menghadapi situasi dilematis antara ujaran verbal teks
hadits pada bidang pranata sosial di satu sisi dan
realitas sosial yang kompleks di sisi lain, Ali Hasb Allah
mengemukakan sebuah pernyataan yang menarik:





Di saat terjadi kontradiksi antara kepentingan umum
(mashlahah) dan ujaran verbal teks, maka mashlahah
yang diunggulkan manakala bersifat pasti dan primer
(dharr). Namun, jika mashlahah tersebut bersifat tersier
(tahsi}n), maka ujaran verbal tekslah yang diunggulkan.
Sementara itu, mashlahah yang bersifat sekunder (hj) lebih
tepat jika dipersamakan dengan mashlahah yang primer.
Penutup

Demikianlah makalah yang serba terbatas ini penulis susun


dan sampaikan. Segala kekurangan dan kesalahan yang sudah
pasti bisa dijumpai di dalamnya mudah-mudahan dipermaklumi dan
dikritik secara konstruktif. Bagaimanapun, segala keterbatan yang
dimiliki oleh penulis tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

125
Syalab, Tall al-Ahkm., hlm. 34-42.
17
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka
Al-Qurn al-Karm.
Abd al-Ath, Hammdah, The Family Structure in Islam
(Indiana: Islamic Book Service, 1977).
Adb Shlih, Muhammad, Tafsr al-Nushsh f al-Fiqh al-Islm:
Dirsah Muqranah li Manhij al-Ulam f Istinbth al-
Ahkm min Nushsh al-Kitb wa al-Sunnah, ctk. III
(Beirut: Al-Maktab al-Islm, 1984).
Barakat, Halimah, The Arab Family and Challenge of Social
Transformation, dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.),
Women and Family in the Middle East (Texas:
University of Texas Press, 1995).
Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian
Warisan Beda Agama di Desa Sumbersari Kecamatan
Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses
tanggal 09 Juli 2011).
Http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).
Ibn Hajar al-Asqaln, Al-Hfizh, Fath al-Br Syarh Shahh al-
Bukhr (Ttp.: Dr al-Rayyn li al-Turts, 1986).
Ibn Jarr al-Thabar, Ab Jafar Muhammad, Jmi al-Bayn f
Tafsr al-Qurn, ctk. II (Beirut: Dr al-Marifah, 1972).
Ibn Qudmah, Abd Allh ibn Qudmah, al-Mughn f Syarh
Mukhtashar al-Kharaq (Kairo: Dr al-Manr, 1987);

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad al-Qurthub, Bidyah al-


Mujtahid wa Nihyah al-Muqtashid (Semarang: Toha
Putera, t.t.).

171
Bab III

Khudar Bek, al-, Marshall G. S., Trkh al-Tasyr al-Islm


(Surabaya: Al-Hidyah, t.t.).

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa Nomor:


5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda
Agama, http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli 2011).

Muhammad Muhy al-Dn Abd al-Hamd, Ahkm al-Mawrts f


al-Syarah al-Islmiyyah al Madzhib al-Aimma al-
Arbaa, ctk. I (ttp.: Dr al-Kitb al-Arab, 1984)

Muhibuddin, Moh., Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh


Hakim di Indonesia, http://www.pa-natuna.net (Akses
tanggal 09 Juli 2011).
Musthafa Khan, M., Islamic Law of Inheritance: A New Approach
(New Delhi: Kitab Bhavan, 1989).
Nawaw al-Dimasyq, al-, Muhy al-Dn, Syarh Shahh Muslim, ctk. I
(Mesir: al-Mathbaah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.

Rasyd Ridh, Muhammad, Tafsr al-Qurn al-Hakm, ctk. II


(Beirut: Dr al-Marifah, 1973).

Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata (Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982)

Syalab, Muhammad Mushthaf, Tall al-Ahkm:Ardh wa


Tahll li Tharqah al-Tall wa Tathawwurih f Ushr al-
Ijtihd wa al-Taqld, ctk. II (Beirut: Dr al-Nahdhah
al-Arabiyyah, 1981), hlm. 299.

Zuhayl, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, ctk. II


(Beirut: Dr al-Fikr, 1985).
17
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HARTA BERSAMA
H.A. Sukris Sarmadi

Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk


akan segala budaya. Dalam perkembangan hukum yang terjadi
di Indonesia, hukum Islam termasuk menjadi sumber hukum di
Indonesia.126 Terutama di bidang hukum keperdataan. 127 Dalam
realitasnya, umat Islam di Indonesia merupakan jumlah mayoritas
di negeri ini. Harapan umat Islam pada umumnya menjadikan
hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia.
Hal ini didasarkan pada cara berpikir pandangan hidup dan
karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan
hukumnya.128 Kenyataan ini sesuai dengan sejarah panjang
Islam di Indonesia hingga interaksinya dengan hukum barat yang
dibawa oleh kolonial Belanda yang mengakui akan berlakunya
hukum Islam dalam lapangan keperdataan tertentu.

Kondisi sekarang umat Islam di Indonesia telah dapat


melaksanakan hukum Islam di dasarkan pada berbagai legalisasi
perundang-undangan seperti Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama kemudian disempurnakan dengan
Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Suparman Usman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum


Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 122
Zainuddin Ali menterjemahkan keperdataan dengan fiqh al muamalat, hal ini
dikarenakan dalam fiqh bagian muamalat dalam arti luas mencakup hukum keperdataan.
lih. Zainuddin Ali, 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 68
R. Subekti, 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta : Pradnya
Paramita, hlm. 3

173
Bab III

Disempurnakan lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 50


tahun 2009. Bidang keperdataan lainnya adalah pemberlakuan
Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf . 129 Tidak
hanya pada keperdataan umum saja namun berlanjut pada
masalah ibadah seperti Undang-Undang N0. 13 Tahun 2008
tentang Haji hingga di bidang ekonomi yaitu pemberlakuan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. 130 Pemberlakuan Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 dikarenakan prinsip atau asas hukum perbankan
syariah berbeda dengan perbankan konvensional. 131
Lapangan hukum materil keperdataan sebenarnya telah
diberlakukan Kompilasi Hukum Islam sebagai dokumen Yustisia
yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991. 132 KHI sebagai
dokumen Yustisia berarti dijadikan pedoman bagi Hakim di
lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Pada
saat ini, seluruh hakim lingkungan Peradilan Agama telah
menjadikan KHI sebagai rujukan yustisia sekalipun di temukan di
beberapa daerah ada pendapat hakim yang berbeda terhadapnya
menyangkut beberapa persoalan kewarisan dan perkawinan. Ini

129
Sebagai penyempurnaan dari PP No. 28 thn. 1977 tentang Perwakaan Tanah.
Vide, Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan
Hukum Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task.
Sebelum diberlakukan UU No. 19 tahun 2008 telah berlaku PP RI N0. 39 Tahun
2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah,
Peraturan BI N0. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta :
Genta Press, hlm. 70.
Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, hlm. 1-9.
17
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

udara).134

bukan berarti KHI tidak laik untuk dijadikan bahan rujukan


Nasional
KHI memang belum sempurna karena masih menyisakan
persoalan-persoalan hukum, untuk itu perlu disempurnakan. Hal ini
cukup dirasakan oleh A. Hamid S. Atamimi sehingga beliau
mengatakan, marilah kita terima KHI secara realistik sebagaimana
apa adanya. Ia banyak mengandung kelemahan. Karenanya ia perlu
disempurnakan.133 Di antara persoalan tersebut adalah menyangkut
persoalan harta benda dan kewarisan. Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan bahwa bidang hukum waris dianggap sebagai salah
satu bidang hukum yang berada di luar bidang-bidang yang bersifat
netral seperti hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan) dan
hukum lalu lintas (darat, air dan
Bidang waris termasuk bidang hukum yang
mengandung terlalu banyak halangan, adanya komplikasi-
komplikasi kultural, keagamaan dan sosiologi.135
Adalah wajar jika Kompilasi Hukum Islam sendiri diakui
sangat besar manfaatnya sebagai dokumen materil hukum Islam
yang dulunya hanya berdasar kitab-kitab fiqh klasik. Dengan
Kompilasi Hukum Islam telah memberikan start awal
pengkodifikasian hukum Islam sehingga memudahkan penerapan
hukum Islam bidang keperdataan khusus. Jika ia dapat dijadikan
suatu UU, tentu akan lebih baik sembari memperbaiki bagian yang
hingga sekarang masih menyisakan persoalan. Atas kenyataan ini,
UU materil hukum Islam sangat penting di buat karena betapa

133
A. Hamid S. Atamimi, 1992. Compendium Freijer Upaya Mempositipkan
Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan Hukum tahun N0. hlm 137-138, 144.
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bandung : Bina Cipta, hlm. 14
Ibid, h. 12

175
Bab III

besar keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian


hukum bagi pencari keadilan.

Mahfud MD mengatakan bahwa dengan menerima


berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat
melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apapun, bahkan
dapat membuat fiqh sendiri yang khas Indonesia. Ada kaidah
ushul fiqh yang biasa dipakai dalam penerimaan atas hukum
inklusif itu, yakni ``maa laa yudraku kulluhu laa yutraku
kulluhu``. Jika tidak dapat mengambil seluruhnya, jangan
tinggalkan seluruhnya. Jika sudah memperjuangkan secara
demokratis untuk memberlakukan hukum Islam sebagai
hukum formal nasional tetapi gagal, berjuanglah melalui sisa
peluang yang tersedia, yakni melaksanakan hukum Islam
secara inklusif sebagai produk demokrasi.136
Progresif Harta Bersama; Objek Baru Dalam Faraid al Islam

Istilah harta bersama perkawinan tidak pernah dibahas


dalam kitab fiqh tradisional terlebih lagi mengenai pembagian dari
harta bersama apabila salah satu pihak meninggal dunia sehingga
menjadi bagian dari ijtihad masa kini di dunia Islam khususnya di
Indonesia. Sejauh ini persoalan harta bersama (syirkah) dalam
pengertian umum (muamalah), fiqh Islam membahasnya secara
khusus. Beberapa macam syirkah telah diperkenalkan dalam hukum
materil klasik seperti syirkah al Muwafadah.137 Syirkatu Al Abdan,
Syirkatu Al Inan,138 Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah,

Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga dalam
http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=32&
HPSESSID=b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0
Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J. III, Bairut-
Libanon, 1990, h. 67
Ibid, h. 76
17
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Syirkatu al Amlak.139 Sebagian berpendapat bahwa harta


bersama masuk dalam pengertian syirkah al amlaak yang
dimaknakan dengan kepemilikan bersama atas suatu benda
(syarikah al-ain), seperti kepemilikan bersama atas harta yang
diwarisi oleh dua orang, atau harta yang dibeli oleh dua orang,
atau harta yang dihibahkan orang lain kepada dua orang itu, dan
yang semacamnya.140Tetapi pendapat ini sangat berbeda dengan
illat maksud dari istilah harta bersama karena perkawinan dalam
KHI. Sebab dalam KHI, harta bersama perkawinan terjadi secara
otomatis karena sebab perkawinan. Sementara illat Syirkah al
Muwafadah Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan, Syirkatu Al Irts,
Syirkatu al Ghonimah, Syirkatu al Amlak terjadi sebab lain seperti
karena perjanjian, pemberian dan milik pribadi.

Harta bersama didefinisikan dalam KHI tersebut dalam


Pasal 1 huruf f bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau
syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapapun. Pengertiannya berarti secara otomatis setiap
peroleh suami atau istri selama dalam perkawinan menjadi otomatis
bermakna harta bersama kecuali karena perolehan hibah, wasiat
dan warisan (vide Pasal 1 huruf f dan Pasal 86, 87 KHI). 141 Dalam
konteks ini KHI meneguhkan apa yang ada dalam Pasal 35 ayat (1)
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mendefinisikan
bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Dengan demikian, Pasal 88 s.d

Ibid, h. 69
Taqiyuddin An-Nabhani, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar al Fikr,
Cairo, h. 150
A. Sukris Sarmadi, 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008 Yogyakarta, h. 118

177
Bab III

Pasal 97 KHI merupakan lex special dari Pasal 35 ayat (1) UU


Perkawinan.
Harta bersama pada Pasal 85 s.d Pasal 97 KHI mengklasifi-
kasikannya dalam harta kekayaan perkawinan dan kemungkinan
adanya harta lain selama perkawinan. Setidaknya ada dua bagian
pokok hukum harta kekayaan dalam perkawinan, sebagai berikut :

harta bawaan; harta milik sendiri, perolehan sebelum perka-


winan (Pasal 87, 88 KHI), karena suatu pemberian, hibah,
wasiat, warisan sebelum dan sesudah perkawinan (Pasal
85, 86 KHI)

harta bersama perkawinan karena terjadi perkawinan dan


karena perjanjian (Pasal 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96,
97 KHI).

Dari dua pokok harta tersebut, keduanya memungkinkan


menjadi objek harta warisan dikemudian hari. Ada kesepakatan
yang umum di kalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab
kewarisan yakni karena hubungan perkawinan, kekerabatan dan
perwalian. Hubungan perkawinan (Ashab al-Furudh al-Sababiah)
dimaksud adalah dapat saling waris-mewarisi antara suami istri
yang masih dalam ikatan perkawinan, 142 yakni kematian salah
satu pihak. Perceraian antara mereka sewaktu mereka hidup
mengakibatkan tidak terjadinya kewarisan. 143

142
A. Sukris Sarmadi, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam
Tranformatif, Rajawali Pers, Jakarta, h. 27
143
Perceraian di sini dalam arti talak bain, sedangkan perempuan yang masih
dalam iddah talak rajiyah masih berhak memperoleh kewarisan jika suaminya meninggal
pada masa itu. Selanjutnya, dalam fiqh klasik perceraian (talak bain) berakibat bagi istri
tidak lagi akan mendapatkan harta kecuali jika ia memiliki anak, maka biaya hadhanah tetp
menjadi tanggung jawab suami. Baik dalam UU No. 1/1974 maupun pada Komilasi Hukum
Islam, perceraian berakibat adanya pembagian harta bersama. Sebuah perkawinan
dianggap telah membentuk terjadinya harta bersama walaupun hanya suami saja yang
17
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sementara itu, akibat kematian salah satu pihak dari


suami istri berakibat adanya harta yang diwarisi oleh yang masih
hidup terhadap yang telah meninggal dunia, baik terhadap sisa
harta bersama maupun harta bawaan orang yang lebih dulu
meninggal dunia. Di sinilah konteks persoalan tentang harta
waris (al-Mauruts) adalah sejumlah harta milik orang yang
meninggal dunia (pewaris) setelah diambil sebagaian harta
tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia menderita sakit
sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian
wasiat harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala utang-
utangnya jika ia berutang kepada orang lain sejumlah harta. 144

Berdasar demikian, apa yang disebut dalam kitab-kitab


klasik terhadap persoalan objek harta kewarisan harta waris (al-
Mauruts) hanya berkaitan dengan apa yang dimiliki oleh orang
yang meninggal dunia. Bila ia adalah suami atau istri, maka apa
saja yang dimiliki mereka setelah dikurangi dengan kewajiban
mereka yaitu wasiat, hutang dan tahjiz. Maka jika suatu hukum
hasil ijtihad menyatakan adanya harta bersama perkawinan maka
harus dikurangi pula dengan harta bersama. Karena separoh
harta bersama menjadi milik suami atau istri yang masih hidup
dan merupakan paroan yang bukan kewarisan.

Konteks bahasa lain bisa dinyatakan bahwa objek harta


warisan telah memprogresif mengikuti akibat suatu ijtihadi adanya
harta bersama perkawinan. Suami atau istri yang masih hidup
beroleh dua hak, pertama separoh dari harta bersama. Kedua
adalah separohnya dari harta bersama menjadi harta warisan di

bekerja, pembagian sejumlah sama rata, dengan kata lain bila suami meninggal, istri
berhak separoh harta tersebut lihat KHI.Pasal .96 Bab XIII.
144
A. Sukris Sarmadi, Op. Cit. h. 33

179
Bab III

tambah harta bawaan pewaris suami atau istri berbagi (fard)


bersama ahli waris lain. Di sini ada pemaknaan baru tentang
objek harta waris (al-Mauruts). Ada hak baru dalam lingkaran
kewarisan terhadap pewaris, harta waris dan ahli waris yang
oleh ulama faradiyun dianggap sebagai lingkaran kesatuan
yang tak dapat dipisahkan dan menjadi asas yang
fundamental (rukun) terjadinya kewarisan.145
Harta Bersama : Menilai dan menformat KHI

Butir Pasal yang ada dalam KHI tentang harta bersama


(Pasal 85 s.d. Pasal 97) berjumlah 13 Pasal. Sebenarnya butir Pasal
terlalu banyak dan masih menyisakan ruang kosong pengertian
tentang harta bersama yang memungkinkan terjadinya ketidak-
pastian hukum terlebih dikaitkan dengan persoalan menjadi objek
kewarisan. Bagian ini dapat diketengahkan, sebagai berikut :

Pasal 1 huruf f

Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta


yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri
selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya
disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapapun. Seharusnya disinggung soal harta bawaan
sehingga berbunyi : Harta kekayaan dalam perkawinan adalah
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami
atau istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung bukan
karena harta bawaan yang selanjutnya disebut harta bersama,
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

145
Para ulama menegaskan sebagai rukun terjadinya suatu kewarisan
yakni adanya pewaris, harta waris dan ahli waris. Tidak ada salah satunya
mengakibatkan tidak berlakunya suatu kewarisan. Sayid Sabiq, 1983. Fiqh al Sunnah,
Bairut-Libanon : Daar al Fikri, h. 426
18
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 85 :

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup


kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
146

Pasal 86 :

Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami


dan harta istri karena perkawinan,

Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 :

Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 147
Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, sadaqoh atau lainnya.
Pasal 88 :

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta


bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.

146
Pasal 119 Burgelijk Wetboek (BW) mengatur masalah harta bersama
perkawinan.bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki
suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri. Pasal 128 BW menetapkan
bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli
waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
147
Pasal 139-154 BW mengisaratkan bila pasangan suami istri sepakat
untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di
depan notaris sebelum perkawinan.

181
Bab III

Pasal 89 :

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri


maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 :

Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun


harta suaminya yang ada padanya.

Semua Pasal tersebut di atas sebenarnya telah dapat


relevan dengan penalaran keislaman modern selama ini, baik
sebagian adopsi fiqh klasik maupun ijtihadi terhadapnya. Harta
kekayaan sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 1
huruf (f) dalam perkawinan dianggap akan menjadi harta
bersama (syirkah) walaupun tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri (vide, psl.85 KHI). Apa yang
dimaksud dengan harta masing-masing tersebut adalah harta
bawaan dari masing-masing mereka, baik sebagai hadiah dari
orang lain atas dirinya atau warisan dari orang tuanya atau dari
pihak jurusan di mana ia berhak memperoleh warisan atau
pemberian lainnya (vide, psl 87 ayat 1). Mengenai harta bawaan
dan harta pemberian seseorang karena sebab tertentu
ditegaskan dalam al Quran, sebagai berikut :






Untuk laki-laki ada bagian perolehan harta dari peninggalan
(pemberian) ibu bapak dan karib kerabat yang dekat
(kepadanya) sebagaimana halnya bagi wanita ada bagian
perolehan harta dari peninggalan (pemberian) ibu

18
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bapak dan karib kerabat yang dekat, baik sedikit


ataupun banyak sebagai bagian yang telah ditetapkan
kepadanya. (Q.S(4) An Nisaa:7).
Ayat tersebut di atas bukan hanya memberi konsep
sebab terjadinya pemilikan harta bagi seseorang berupa harta
warisan ataupun harta pusaka yang ditinggalkan orang tua
mereka tetapi juga sebab lain seperti karena pemberian dari
orang tua mereka atau kerabat dekat yakni keluarganya
sendiri. Bagi hukum Islam, bagian harta tersebut tidak dapat
diganggu gugat dan tetap akan menjadi haknya untuk memiliki
dan memfungsikannya. Oleh karenanya hukum Islam
melarang kepada pihak manapun untuk mempergunakan,
atau menjual atau mengambilnya untuk kepentingannya
sendiri terhadap harta tersebut, termasuk terhadap istrinya
sendiri atau terhadap suaminya sendiri sebagaimana juga
sesuai dengan pasal 92 yang menyatakan bahwa suami istri
tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama. Dengan kata lain harta
bersama saja tidak dibenarkan untuk di jual atau dipindahkan,
terlebih lagi harta pribadi masing-masing dari suami atau istri.

Janganlah sebagian dari kamu memakan harta orang


lain (mengambilnya) dengan cara yang batil (dilarang
agamamu) dan janganlah kamu bawa kepada hakim
untuk memperoleh legalisasi mengambil harta tersebut
dengan cara dosa (memutar balikkan bukti)
sedangkan kamu menyadarinya. (Q.S(2) Al
Baqarah:188).
183
Bab III

Berdasar demikian, suami dan istri mempunyai hak


penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-
masing berupa hibah, hadiah, sadaqah atau perbuatan lainnya
(lihat psl 87 ayat 2). Apa yang dimaksud dengan melakukan
perbuatan hukum atas harta miliknya tersebut adalah
memfungsikan dan atau menjual atau memindahkan harta
tersebut dari haknya kepada orang lain.

Kehidupan keluarga, terkadang terjadi kesamaran


dalam membedakan antara harta pribadi dengan harta
bersama. Dalam hukum materil Islam, harta kekayaan pribadi
suami istri dapat menjadi harta bersama jika pihak-pihak yang
bersangkutan menghendakinya (lih. Psl.47 s/d 50).
Nabi saw mengatakan :







Bahwasanya Allah berfirman,``Sesungguhnya Aku (ALLAH)
yang ketiga dari orang yang bersyarikat (mencampur harta
dengan perjanjian) selama salah satu pihak tidak berkhianat
kepada yang lainnya. Apabila salah satu pihak ada yang
mengkhianatinya dari kawannya maka Aku keluar
daripadanya. (H.R. Abu Daud dan dikuatkan dengan hadits
lain oleh Hakim dengan menshohihkannya).
18
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Adanya persetujuan kedua belah pihak, harta tersebut


menjadi harta bersama yang mungkin berupa benda berujud
meliputi benda tak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga, mungkin pula harta bersama tersebut berupa benda
tak berujud yang dapat meliputi berupa hak dan kewajiban.
Apa yang dimaksud dengan berupa hak dan kewajiban adalah
hak untuk memfungsikan benda atau menguasai sesuatu dan
ikut pula bertanggung jawab untuk memlihara dan atau
mengembang-kannya. Dengan demikian, suami bertanggung
jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya
sendiri sebagaimana halnya istri turut bertanggung jawab
menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada
padanya (vied, psl.89 dan 90). Bertanggung jawab berarti
memelihara atau menjaganya dan atau melindunginya serta
jika memungkinkan untuk mengembang-kannya.

Kebanyakan masyarakat memahami butir Pasal harta


bersama dalam KHI secara runtut justru menjadikan mereka
tidak memahami harta bersama dan harta bawaan. Ini terjadi
karena terlalu banyak butir Pasal hanya untuk menjelaskan
pengertian harta bersama dan harta bawaan serta kedudukan
harta tersebut masing-masingnya. 148 Enam butir Pasal di atas
dapat diringkas yaitu dari Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal
90 dapat dijadikan tiga Pasal yang ringkas tetapi mengandung
kepastian pengertian hukum, kejelasan tentang harta bersama
dan harta bawaan, misalnya, sebagai berikut:

148
Penulis selama lebih dari 13 Tahun menjadi Advokat resmi dan secara khusus
menjadi konsultan persoalan harta bersama serta kewarisan, hingga sekarang sebagai Ketua
LKBHI Fak. Syariah IAIN Antasari sering menyodorkan butir-butir Pasal tersebut kepada
masyarakat yang berkonsultasi dan selalu mereka semakin menjadi tidak mengerti.

185
Bab III

Pasal 85

Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup


kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
atau istri yang diperolehnya karena harta bawaan.
Pasal 86

Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perka-


winannya karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah,
wasiat dan warisan atau lainnya adalah bukan harta
bersama.

Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan


perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-
masing, menguasai dan memeliharanya.

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta


istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertang-
gung jawab menjaga harta bersama maupun harta
suaminya yang ada padanya.

Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya


perjanjian untuk menjadi harta bersama.
Pasal 87

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta


bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan
kepada Pengadilan Agama.
Pasal 88, 89, 90, 91 diganti (lih. Bagian penutup)

Pasal 88 s.d 90 dapat di isi dengan materi baru


tambahan, sebagai berikut
18
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam banyak kasus, pengadilan agama sering lambat untuk


melakukan penyitaan terhadap suatu barang harta bersama
atau suatu rekening bank yang di dalamnya berisi uang
tabungan. Akibatnya pihak wanita sering dirugikan ketika
penyitaan baru kemudian di jalankan, uang rekening di bank
telah dihabiskan oleh suami melewati ATM dan transfer.

Kasus kedua menyangkut persoalan pembuktian bagi wanita


sering kali tidak memiliki bukti asli, sebagian terkadang
hanya memiliki copy atau copy dari copy mengakibatkan
tidak diterima suatu gugatan.
Kasus royalti dan hak tentang gaji

Kasus pengalihan harta bawaan kepada harta lain saat telah


terjadi perkawinan

Kasus percampuran harta bawaan kepada harta bersama


tanpa dapat dibuktikan

Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas


dan tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum
kecuali Pasal 94 ada tambahan seperti sebagai berikut :
Pasal 91

Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di


atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud,

Harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak


bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,

Harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak


maupun kewajiban,

Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan


oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

187
Bab III

Pasal 92

Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak


diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93 :

Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri


dibebankan kepada hartanya masing-masing,

Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan


untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta
bersama,

Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada


harta suami,

Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi


dibebankan kepada harta istri.
Pasal 94 harusnya ada tambahan pasal sehingga berbunyi:

Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang


mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri,
Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut
pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad
perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan
menghitung secara proporsional serta mempertimbang-kan
jangka waktu perkawinan berlangsung

Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,


perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di
perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.
18
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya


berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Dalam hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang
sedang berlangsung, hak atas royalti menjadi
pendapatan yang diperoleh dalam perkawinan dan
karena itu menjadi harta bersama;

Sebuah kasus dimana seorang PNS setelah perkawinan


30 tahun, istri pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS
tersebut kawin dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS
tersebut meninggal dunia. Istri kedua menuntut gaji dan taspen
yang dihitung telah bekerja selama 35 tahun sementara anak-
anak PNS meyakini gaji dan taspen mengandung hak ibu (istri
pertama) selama 30 tahun. Maka pembagiannya dapat
menggunakan hitungan proporsional dengan indek persentasi
tahun berdasar Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (4).

Pasal 95 :

Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c


Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136
ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan
Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta
bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai,
apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan
dan membahayakan harta berama seperti judi, mabuk,
boros dan sebagainya, (2) Selama masa sita dapat
dilakukan penjualan atas harta bersama untuk
kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96

Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama


menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

189
Bab III

Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri


yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau
matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan
Agama.
Pasal 97

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak


seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.149
Terhadap pasal 93 KHI dalam hal ini sangatlah selektif
dalam mengatur persoalan harta, baik dalam arti harta kekayaan
pribadi maupun harta bersama, khususnya ketika terkait dengan
masalah hutang. Bagi setiap istri atau suami yang berutang
dibebankan pada harta masing-masing mereka, kecuali hutang
tersebut didasarkan karena kepentingan keluarga (suami istri) maka
akan dibebankan kepada harta bersama (vide, psl. 93 ayat 1 dan 2).
Dan jikapun dalam pembayarannya juga tidak mencukupi maka
pembayaran harta diambil dari harta suami dan jika juga tidak
mencukupi maka akan diambil dari harta suami dan jika juga tidak
mencukupi maka akan diambil dari harta istri (lih. Psl.93 ayat 3 dan
4). Ada dua alasan penting mengapa hutang harus dibayarkan
bahkan diambil dari harta bersama hingga harta masing-masing
suami istri jika juga belum dalam dilunasi dengan melewati proses
harta suami kemudian harta istri, sebagai berikut :

Membayar hutang dalam hukum materil Islam adalah wajib.


Pelunasannya harus diupayakan secara maksimal. Nabi
saw mengatakan :

149
Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi
dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan
dari pihak mana asal barang-barang itu.
19
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia






Akan diampuni orang yang mati syahid semua dari
dosanya kecuali hutangnya. (H.R. Muslim).

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya:


Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah bersabda:
Penangguhan membayar hutang oleh orang kaya
adalah perbuatan zalim. (H.R. Bukhari).
Proses secara bertahap menunjukkan komitmen kehidupan
keluarga yang selalu harus saling membantu lahir batin
yang terkadang diperlukan pengorbanan harta. Harta
suami didahulukan karena dialah sebagai punggung
perekonomian keluarga.
Apa yang dikemukakan dalam pasal 93 tersebut
merupakan jalan terakhir jika pada waktu itu keharusan
untuk melunasi-nya telah sampai pada batas waktu yang
diperjanjikan kepada orang lain sedang orang dimaksud
telah sangat memerlukan-nya.

191
Bab III

Dalam pasal 94 disebutkan bahwa harta bersama dari


perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari
seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri sedang
perhitungannya dimulai saat berlangsungnya akad nikah.
Dalam hal pelunasan segala hutang, jika demi alasan
keluarga maka penentuan untuk mengambil harta bersama
dimaksud pasal 93 ayat (2, 3, 4) adalah dari hal mana suami
dimaksud memfungsikan-nya, apakah untuk istri yang
pertama atau kedua, ketiga atau keempat. Dan jika
kepentingan dimaksud untuk kesemua istri, maka
pengambilannya secara berimbang.

Terhadap pasal 95 yang menyebut kemungkinan


terjadi-nya sita jaminan seperti bolehnya seorang istri
mengajukan kepada Pengadilan Agama agar menyita harta
bersama perka-winannya karena suaminya menjadi seorang
penjudi atau pemadat, boros yang berakibat dapat
menghabiskan harta bersama dalam perekonomian keluarga
bagi hukum Islam merupakan cara terbaik pemeliharaan
harta.

Selanjutnya selama dalam sita jaminan tersebut, istri


dapat mengambil harta bersama, mengambil sebagiannya
untuk dijual demi kepentingan keluarga oleh hukum Islam
dibenarkan sebagaimana KHI dalam pasal 95 ayat (2)
menyebutkannya, dan cara pengambilan dimaksud adalah
dengan izin Pengadilan Agama. Sebagai dasar terhadap
persoalan pasal ini, sebuah hadits menyebutkan :

19
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya,


Wahai Rasullah, sesunggunya Abu Sufyan (suaminya)
adalah orang yang sangat kikir. Ia tidak memberikan nafkah
kepadaku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil
(harta belanja) darinya tanpa sepengetahuannya.
Mendengar demikian , Rasul Saw mengatakan, Ambillah
apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara
yang baik (H.R. Bukhari dan Muslim).

Adalah sangat jelas bagi istri untuk mengambil harta


suaminya demi kewajiban nafkah yang seharusnya telah
diberikannya sebagaimana hadits di atas dan jika suaminya tidak
memberikan nafkah keluarga, istri dapat mengambilnya dari harta
bersama, menjual barang tertentu dari harta bersama demi
kepentingan keluarga. Termasuk terhadap istri yang suaminya
ghaib/hilang (Mafqud) hingga sampai ada kepastian dari putusan
Pengadilan Agama (vide psl. 96 ayat 2).

Khusus terhadap pasal 96 ayat (1) yang menyebutkan


bahwa apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Apa yang diatur
dalam ketentuan pasal tersebut adalah konsekuensi logis dari
pengaturan adanya harta bersama berarti masing-masing pihak
memiliki haknya untuk memfungsikan, memindahkan harta tersebut.
Mempergunakan, memindahkan atau menjualnya tidak boleh
dilakukan salah. Dengan konteks demikian , kematian salah satu
pihak berarti terbukanya jalan pemisahan harta kedua belah pihak.
Dengan matinya salah satu pihak berakibat pembagian harta
tersebut dimana salah satu pihak yang hidup akan
193
Bab III

memperoleh separuh dari harta bersama. Sedang separohnya


lagi untuk ahli waris pihak yang meninggal dunia.

Dalam Fiqh Islam klasik tidak dibahas prihal harta


bersama, terlebih lagi mengenai pembagian dari harta bersama
apabila salah satu pihak meninggal dunia. Hanya untuk
persoalan harta bersama (syirkah) dalam pengertian umum
(muamalah) dalam fiqh Islam telah dibahas secara khusus.
Beberapa macam syirkah telah diperkenalkan dalam hukum
materil klasik seperti syirkah al muwafadah. 150 Syirkatu Al Abdan,
Syirkatu Al Inan,151 Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah. 152
Sedang terhadap masalah harta bersama perkawinan dianggap
akan sulit terjadi karena dalam realitas suamilah yang mencari
nafkah sedang istri atau anak hanya memperoleh nafkah untuk
keperluan hidup mereka bersama. Sejauh itu pula dalam tradisi
masyarakat tidak pernah terjadi persoalan dalam masalah harta
keluarga, kepemilikan terhadapnya hanya ada pada suami
sehingga seperti seorang istri tidak merasa sedikitpun ada harta
miliknya. Dengan demikian diperlukan adanya pengaturan hukum
mengenai harta bersama dalam perkawinan. Terhadap harta
bawaan istri tetap menjadi harta miliknya tanpa dapat diambil
oleh suaminya, demikian pula sebaliknya bagi suami tidak dapat
memindah alihkan harta milik istrinya.

Berkenaan dengan pasal 96 ayat (1) inilah dipahami bahwa


terjadi pemisahan harta bersama disebabkan terjadinya cerai mati
salah satu pihak, begitu pula terhadap cerai lainnya seperti cerai
karena putusan Pengadilan Agama dan akibat talak lain. Pemisahan
dimaksud berlaku sepanjang tidak ditentukan lain

Al Jaziri, J. III. Lok Cit, h. 67


Ibid, h. 76
Ibid, h. 69
19
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam perjanjian perkawinan (lih. Psl. 97). Dalam hal kejadian


khusus seperti hilangnya suami dalam tempo waktu tertentu dan
belum juga kembali maka bagi istri tidak diperkenankan secara
langsung dapat mengambil separoh haknya dari harta bersama.
Pemisahan harta dimaksud harus telah ditangguhkan sampai
adanya kepastian meninggalnya baik secara hakiki maupun
hukmi dengan putusan Pengadilan Agama. Jadi perkara
dimaksud harus telah diadukan kepada Pengadilan Agama
dengan permohonan pembagian harta bersama sekaligus
permohonan penetapan meninggalnya suami. Hal tersebut
apabila dimungkinkan untuk melakukannya kecuali jika pihak istri
berkeinginan untuk menunggu khabar pasti terhadapnya dengan
konsekuensi ia sudah harus dapat untuk tidak mengambil hak
parohannya dari harta bersama.

Apa yang dimaksud dengan meninggalnya seseorang


yang sebelumnya dikhabarkan hilang (mafqud) secara hakiki
adalah meninggalnya dapat dibuktikan dengan jelas, dan secara
langsung istri dapat melihat mayat suaminya dan atau orang
banyak telah dapat menyaksikan kematiannya. Sedangkan mati
secara hukmi adalah kematian berdasarkan putusan Pengadilan
Agama setelah memeriksa perkara pengajuan permohonan
penetapan mati atau tidaknya suaminya oleh istrinya kepada
Pengadilan Agama setempat yang mewilayahi tempat tinggal
pasangan suami istri tersebut. Bagaimana hukum formil yang
berlaku di Pengadilan Agama? dalam pemeriksaan dimaksud
yang paling pokok upaya hukum terhadapnya adalah memeriksa
bukti dan atau mendengarkan/meneliti kesaksian orang terhadap
kepergian orang mafqud dimaksud. Hukum materil Islam
sebagaimana yang berkembang dalam mazhab Syafiiyah dan
Hanafiyah menyatakan keharusan seorang hakim Agama untuk
memeriksa usia/umur ketika ia meninggalkan tempat kediaman-

195
Bab III

nya hingga perkara dimaksud diajukan kepadanya. Penelitian


hakim dapat membandingkan kepada kawan-kawannya dari
orang mafqud tersebut, apakah umur sebaya dengannya telah
banyak meninggal dunia atau belum. Dalam madzhab Hambali
harus diselidiki oleh hakim apakah kepergiannya untuk
menghadapi resiko besar dimana kemungkinan untuk mati lebih
cenderung terjadi atau sebaliknya atau terhadap pekerjaan yang
mempunyai resiko kematian sangat tinggi. Memperhatikan
pendapat yang berkembang, hal yang paling esensial bagi
hukum materil Islam adalah mampunyai seorang hakim Agama
untuk membuktikan mati atau tidaknya orang yang mafqud
tersebut sedang acara pembuktiannya diserahkan kepada apa
yang lazim dilakukan dan diatur atau diterima di Pengadilan,
sepanjang tidak menyalahi aturan yang umum diyakini nilai-nilai
logika. Bahwa keputusan tersebut adalah logis secara hukum.
Dengan demikian akan jelaslah satu putusan yang dikeluarkan
Pengadilan Agama mungkin memutuskan kematiannya secara
hukmi atau menetap-kannya orang yang bersangkutan masih
hidup (vide, psl. 96 ayat 2).153
Persoalan Kerumitan Harta Bersama dan Solusi Atas Realitas
Pengadilan Agama Serta Keberagamaan Masyarakat Muslim

Pengadilan Agama termasuk Pengadilan yang paling sibuk


di Indonesia. Misalnya tahun 2009, ada 257,798 perkara yang
diajukan ke Pengadilan Agama berbanding dengan yang diajukan ke
Pengadilan Negeri hanya 202, 754 perkara. Artinya Pengadilan
Agama lebih banyak 27% dari perkara yang ada di Pengadilan

153
Masalah mafqud merupakan masalah hukum yang pernah terjadi pada masa
Rasulullah saw. Dalam riwayat Siwar Ibn Masab dari Muhammad Ibn Syurabi al Hamdany
dari Mughirah Ibn Syubah Nabi saw mengatakan :
Istri orang yang mafqud adalah istrinya sampai ada berita kepastiannya
(H.R. Daraquthni)
19
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Negeri. Belum lagi bila dibandingkan sangat luasnya yurisdiksi


Pengadilan Negeri yang menangani perkara perdata dan
pidana dibanding kecilnya yurisdiksi Pengadilan Agama154
yang hanya menangani soal perdata tertentu saja. Atas
kenyataan ini, UU materil hukum Islam sangat penting di buat
karena betapa besar keperluan terhadapnya untuk
menciptakan kepastian hukum bagi pencari keadilan.

Formalitas hukum tertulis modern di dunia termasuk di


Indonesia memiliki dua mata sisi. Bagian sisi yang pertama
merupakan manfaat terbesar darinya adalah adanya
perlindungan dan kepastian hukum terhadapnya. Mata sisi yang
kedua adalah bisa dijadikan pembunuh terhadap kebenaran
substansif. Bagian menurut hemat penulis masih kurang
diperbincangkan dalam studi ilmiah namun amat terasa bagi
pencari keadilan di lapangan bidang litigasi (Pengadilan).

Menurut Satjipto Raharjo, hukum modern tidak selamanya


dapat diterapkan pada berbagai situasi dan negara di dunia. Hal
tersebut dikarenakan dan disadari bila hukum itu bukan hanya
bangunan peraturan biasa. Hukum adalah juga bangunan ide, kultur
dan cita-cita. Keterpurukan hukum di Indonesia lebih dika-renakan
penyingkatan hukum sebagau rule of law tanpa melihat sebagai rule
of morality. Akibatnya hukum hanya dilihat sebagai peraturan
prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik hukum
juga sarat dengan nilai, gagasan sehingga ia menjadi partikular.155
Hukum modern disadari tidak mungkin dihapuskan namun ia perlu
diberikan ruh kehidupan kultur Indonesia agar ia

Cate Sumner & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru, Pengadilan
Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF, hlm. 2
Satjipto Rahardjo, 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III, Jakarta : Buku
Kompas, hlm. 253-254

197
Bab III

menjadi hukum yang indonesia. Hukum yang sepadu hati


nurani masyarakat dan keagamaan mereka.
Selain persoalan warisan yang di dalamnya banyak
mengandung perbedaan dengan fiqh klasik, persoalan harta
bersama juga sangat sering diperselisihkan saat terjadi perceraian di
depan Pengadilan Agama. Demikian pula saat berbagi warisan
menyangkut ketidakjelasan harta bersama untuk menjadi objek harta
warisan (al mauruts). sebelum adanya Rakernas Mahkamah Agung
RI Tahun 2007 Bidang Peradilan Agama, perkara perceraian dapat
disatukan pengajuannya dengan harta bersama dalam satu gugatan.
Namun belakangan karena persoalan harta bersama sering berlarut-
larut penyelesaiannya karena masuk bidang yang sangat rumit
sehingga perceraian sering tertunda penyelesaiannya maka MA
dalam Rakernasnya mensarankan beberapa persoalan
hubungannya dengan harta bersama, sebagai berikut :

Untuk menghindari berlarut-larutnya proses penyelesaian perkara


perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu
diakumulasikan dengan harta bersama sebagaimana dimak-
sud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama. Pada harta bersama tersebut dapat diletakkan sita;

Penghitungan harta bersama seorang suami yang beristri lebih


dari seorang sesuai dengan ketentuan pasal 94 ayat (2) KHI,
dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan
jangka waktu perkawinan berlangsung;

Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya berda-


sarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam hal hak
itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang berlangsung,
hak atas royalti menjadi pendapatan yang diperoleh dalam
perkawinan dan karena itu menjadi harta bersama;
19
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengelolaan/penguasaan harta bawaan yang menghasilkan


tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan
menjadi harta bersama;

Dengan memperhatikan ketentuan hukum Islam, pembayaran


bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai
sebagaimana dimaksud dalam PP 10 Tahun 1983 jo PP 45
Tahun 1990 dapat dikompensasikan dengan lembaga
mutah dalam perceraian Islam;

Kerumitan pembagian harta bersama terletak pada tiga


bagian persoalan.
Pertama persoalan materi KHI yang masih belum lengkap.

Terhadap KHI, Bagian ini dapat diselesaikan dengan cara,


sebagai berikut :
0
Memperjelas butir Pasal tentang harta bersama agar
mengandung batir pasal yang efisien, mudah dipahami,
jelas dan berkekuatan melindungi dan kepastian hukum.
Hal ini dapat dilihat Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal 90
dapat dijadikan tiga Pasal yang ringkas tetapi mengan-
dung kepastian pengertian hukum, kejelasan tentang
harta bersama dan harta bawaan.
1
Melengkapi butir Pasal tentang harta bersama seperti
maksud petunjuk Rakernas MA yaitu terhadap
ketentuan Pasal 94 ayat (2) KHI, dilakukan secara
proporsional dengan mempertimbangkan jangka waktu
perkawinan berlangsung;
2
Menambah butir Pasal tentang harta bersama
terhadap kasus baru.

199
Bab III

Di muka sidang Pengadilan Agama, kebanyakan pihak suami


enggan mengakui sebagai harta bersama.
Bagian ini meliputi beberapa titik persoalan, sebagai berikut :
0
Enggannya suami dikarenakan masih banyaknya pendapat
guru agama di daerah yang menyatakan tidak adanya harta
bersama dengan mendasarkan pada fiqh klasik.

Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan


Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat tahun
2010 di Indonesia menunjukkan tingkat pengetahuan
ulama, tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum
Islam sangat rendah dengan kategori tiga kelompok yaitu
kelompok ulama yang tidak mengetahui Kompilasi
Hukum Islam, kedua kelompok ulama yang mengetahui
tetapi tidak memperdalam Kompilasi Hukum Islam dan
kelompok ketiga yaitu yang mengetahui dan
memperdalam Kompilasi Hukum Islam. Ini menunjukkan
Kompilasi Hukum Islam belum benar-benar menjadi fiqh
khas Indonesia karena umumnya belum diketahui
maupun dipelajari.156
1
Harta kekayaan cenderung diminati dan dipertahankan
oleh pihak yang berkepentingan dan yang menguasai.
Dan yang biasanya menguasai adalah suami sehingga ia
menyembunyikannya, tak mengakuinya dan sulitnya
kaum wanita menunjukkan bukti-bukti yang kuat terhadap
harta bersama. Dan ini didukung dengan hukum formal di
Indonesia bahwa suatu tuduhan harus dapat membukti-
kan. Karena di bidang keperdataan maka hakim biasanya
meminta bukti berupa surat-surat resmi permbuktian.

156
Muchit A. Karim (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
Jakarta : Kementerian Agama RI, hlm. ii
20
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Rumitnya persoalan hukum di Indonesia menyangkut persoal-


an kepemilikan harta.
Bagian ini dapat ditinjau dari dua segi yaitu, sebagai berikut :

Pertama, hukum acara sebagai legalitas formal di


Pengadilan Agama yang masih mengadopsi hukum pening-
galan kolonial seperti HIR, Rbg sekalipun telah memberlakukan
hukum acara tersendiri tentang Peradilan Agama (UU No. 7
Tahun 1989 dan UU No.3 Tahun 2006). Sangat banyak sekali
persoalan dan tuntutan harta bersama tidak dapat diterima oleh
Pengadilan Agama hanya karena kesalahan prosedur beracara
di muka sidang, pihak Tergugat tidak mendaftarkan hartanya
secara resmi, persoalan yang berkait dengan keagrariaan,
pertanahan, fidusia, pertanggungan, perbankan, perikatan,
kebebasan berkontrak, dll.

Kedua adalah kemampuan para hakim agama dalam


menyelesaikan persoalan harta bersama. Baik segi pemahaman
tentang harta bersama maupun hubungannya dengan kewarisan
ketika terjadi kematian suami atau istri serta kemampuan
penyelesaiannya. Penelitian terakhir di Indonesia tentang
Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia
yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tahun 2010 terhadap
daerah yang dijadikan sampling penelitian seperti Gorontalo,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Sumatera
Barat dan Sumatera Utara terhadap ulama dan hakim agama
tentang isi Kompilasi Hukum Islam perbandingan dengan fiqh
Islam menyangkut faraid. Seperti ahli waris pengganti, harta
bersama, wasiat wajibah. Kelompok pertama menerima
Kompilasi Hukum Islam selama memiliki rujukan dengan al
Qur`an dan al Sunnah. Kelompok kedua menerima jika memiliki
rujukan dengan

201
Bab III

kitab-kitab fiqh Islam dengan menolak konsep ahli waris


pengganti, wasiat-wasiat wajibah untuk anak dan bapak
angkat, kewarisan kolektif tanah yang kurang dari 2 hektar.
157
Kelompok ketiga ialah yang menerima sepenuhnya
Kompilasi Hukum Islam tanpa mempertentangkan dengan
fiqh klasik dan memasukkannya sebagai fiqh khas hasil
ijtihad ulama Indonesia.
Penutup

Baik hukum materil tertulis ataupun prosedur hukum formil


belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum secara
baik kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong
ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum.
Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya agar
wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi hukum
tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang tetapi juga lebih
luas memasuki keadilan yang pro-rakyat, masuk pada ranah
keadilan yang dibutuhkan oleh pencari keadilan.

Persoalan substansi hukum kadang sangat sulit dipahami.


Menganalisis hukum sebagai satu sistem, ada tiga aspek yang dikaji
yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal
substansi) dan budaya hukum (legal cultur). Friedman mengatakan,
suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah
organisme kompleks di mana struktur, substansi dan kultur
berinteraksi.158 Satu sama lain menjadi terhubung dan tak dapat
dipisahkan. Struktur hukum adalah menyangkut kedudukan dari
peradilan, yudikatif, eksekutif. Ia menjadi penting dalam pelaksanaan
dan penegakan hukum. Hal

Ibid. hlm. iii


Lawrence M Friedman, 1975. The Legal Sistem, A Social Science Perspective,
New York : Russelll Sage Foundation. h. 17
20
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang penting adalah substansi hukum yaitu berupa norma,


peraturan-peraturan maupun Undang-Undang. Sedangkan
kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Suatu
sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan
primer dan peraturan-peraturan skunder. Peraturan primer
adalah norma-norma prilaku. Peraturan skunder adalah
norma-norma mengenai bagaimana memutuskan, apakah
semua itu valid dan bagaimana memberlakukannya.159
Di bawah ini beberapa solusi agar butir Pasal KHI
menjadi mudah, efisien, jelas, melengkapi dan tidak multi
tafsir, sebagai berikut :

Pasal 1 huruf f harusnya berbunyi : Harta kekayaan dalam


perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
bukan karena harta bawaan yang selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Pasal 85 harusnya berbunyi : Adanya harta bersama dalam


perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau istri yang diperolehnya karena
harta bawaan.
Pasal 86 harusnya berbunyi :

Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perkawinannya


karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah, wasiat dan warisan
atau lainnya adalah bukan harta bersama.

Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan


perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-
masing, menguasai dan memeliharanya.

159
Ibid, h. 16

203
Bab III

0
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta
istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut
bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta
suaminya yang ada padanya.

Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya


perjanjian untuk menjadi harta bersama.
Pasal 87 harusnya berbunyi :

bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai dapat


dikompensasikan dengan lembaga mutah dalam perceraian Islam;

Pasal 88 harusnya berbunyi :

Pengelolaan atau penguasaan harta bawaan yang menghasilkan


tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan menjadi
harta bersama; Kasus misalnya suami bermodal atas modal harta
bawaan karena warisan. Kemudian usahanya berkembang maka
tambahan hasil perkembangan tersebut menjadi harta bersama
sedang harta bawaannya tetap seperti semula

Pasal 89 harusnya berbunyi :

Pengalihan harta bawaan suami atau istri kepada harta yang lain
hendaknya bersifat yang berwujud dan tidak tercampur dengan
harta bersama. Pasal ini untuk menghilangkan kemungkinan
terjadinya kekaburan kepemilikan harta seperti yang sering
terjadi di masyarakat. Kasus seorang istri telah memiliki sebidang
tanah/rumah sebelum perkawinan. Saat perkawinan telah
berlangsung, istri menjual tanah/rumah tersebut yang uangnya
untuk memperbaiki rumah milik harta bersama suami istri. Dalam
sengketa perceraian suami tak mengakui terjadi demikian
berakibat istri kesulitan membuktikan.
20
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 90 harusnya berbunyi :

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta


bersama maka penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan
Agama. Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas
dan tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum,
hanya sedikit tambahan melengkapi yaitu Pasal 94 ayat (2) ,
(3) dan (4) sebagai berikut :
Pasal 91 :

Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di


atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud,

harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak


bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,

harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak


maupun kewajiban,

harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan


oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92 :

Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak


diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93 :

Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri


dibebankan kepada hartanya masing-masing,

Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan


untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta
bersama,

Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada


harta suami,

205
Bab III

Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi


dibebankan kepada harta istri.
Pasal 94 dengan tambahan butir pasal (2), (3) dan (4) :
Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri,
Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut
pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad
perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan
menghitung secara proporsional serta mempertimbang-kan
jangka waktu perkawinan berlangsung

Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,


perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di
perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.
Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya
berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Dalam hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang
sedang berlangsung, hak atas rolayti menjadi
pendapatan yang diperoleh dalam perkawinan dan
karena itu menjadi harta bersama;
Kasus, seorang PNS setelah perkawinan 30 tahun, istri
pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut kawin
dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut meninggal
dunia. Istri kedua menuntut gajih dan taspen yang dihitung telah
bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS meyakini gajih
dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama) selama 30 tahun.
Maka pembagiannya dapat menggunakan hitungan proporsional
dengan indek persentasi tahun berdasar Pasal 94 ayat (2) dan ayat
(3).
20
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 95 :

Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf


c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136
ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan
Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta
bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai,
apabila salah satu melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta berama seperti
judi, mabuk, boros dan sebagainya, (2) Selama masa
sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk
kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96 :

Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama


menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang


istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai
adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 :

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak


seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.160
Berdasar demikian, Harta bersama yang tersebut
dalam KHI sudah cukup lengkap hanya diperlukan sedikit
penyempurnaan, dan lebih bagus lagi adanya tambahan yang
melengkapi persoalan baru pada zaman ini.

160
Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi
dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan
dari pihak mana asal barang-barang itu.

207
Bab III

Daftar Pustaka

Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al


arba`ah, J. III, Bairut-Libanon, 1990.
Atamimi, A. Hamid S., 1992. Compendium Freijer Upaya
Mempositipkan Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan
Hukum tahun x
Ali, Zainuddin, , 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar
Grafika

Al Nabhani, Taqiyuddin, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-


Islam., Dar al Fikr, Cairo
Al Fatni, Abdul Malik, 1949. Khulashah al Faraaid, Mesir :
Mustafa al Baby al Halaby
Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama

Friedman, Lawrence M., 1975. The Legal Sistem, A Social Science


Perspective, New York : Russelll Sage Foundation

Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,


Cet. I, Yogyakarta : Genta Press
Karim, Muchit A. (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Jakarta : Kementerian Agama RI

Kusumaatmadja, Mochtar., 1976, Hukum, Masyarakat dan


Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Bina Cipta
Rahardjo, Satjipto., 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III,
Jakarta : Buku Kompas
Sabiq, Sayid, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,
20
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sarmadi, A. Sukris., 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam


Hukum Perdata Islam di Indonesia, Pustaka Prisma,
Cet.II, 2008 Yogyakarta
------------------------, 1997., Transendensi Hukum Waris
Islam
Tranformatif, Rajawali Pers, Jakarta,

Subekti, R., 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII,


Jakarta : Pradnya Paramita
Sumner, Cate & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-
Orde Baru, Pengadilan Agama di Indonesia dan
Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF

Usman, Suparman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar


Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta : Gaya Media Pratama
Media Elektronik dan Internet
Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan
Hukum Nasional, dalam http://www.badilag.net/index. php?
option=com_content&task

Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga


dalam http://www.mahfudmd.com/index.php?
page=web.OpiniL engkap&id=32& HPSESS ID
=b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0
209
Bab
III
21
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

MENUJU KESETARAAN DALAM ATURAN


KEWARISAN ISLAM INDONESIA:
KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN
VS SAUDARA KANDUNG
Euis Nurlaelawati

Latar Belakang

Hukum keluarga merupakan satu-satunya area hukum


yang dipertahankan penerapannya dalam sebuah
masayarakat Muslim sejak Islam datang dan dipeluk oleh
masyarakat tersebut. Terdapat beberapa alasan kenapa,
berbeda dengan area hukum yang lain, hukum keluarga Islam
terus diterapkan dan tidak tergantikan oleh sistem hukum lain.
Penerapan hukum keluarga Islam sering dianggap sebagai
identitas kemusliman seseorang atau masyarakat tertentu.
Namun, meskipun masalah keluarga merupakan masalah
pribadi, pada perkembangan selanjutnya masalah keluarga
membutuhkan intervensi pemerintah dalam penyelesaiannya.

Sejalan dengan upaya intervensi pemerintah, usaha


pembaharuan kemudian muncul terhadap aturan-aturan
hukum keluarga yang selama itu diadopsi dari pandangan-
pandangan para ulama yang terdapat dalam buku-buku fiqh
klasik. Usaha tersebut dianggap penting untuk dilakukan demi
memper-tahankan kelangsungan pemberlakuan hukum
keluarga Islam di satu sisi, dan mengakomodir kepentingan
dan tuntutan jaman dan pihak-pihak tertentu yang selama itu
dianggap selalu ditempatkan pada posisi bawah atau
marginal, seperti pihak perempuan dan anak-anak, di sisi lain.

211
Bab III

Hukum kewarisan Islam tidak terkecuali dalam hal ini.


Beberapa negara melakukan pembaharuan terhadap aturan-
aturan kewarisan Islam. Wasiat wajiba, misalnya, merupakan
salah satu konsep yang dijadikan oleh banyak negara Muslim
sebagai solusi atas masalah cucu yatim yang menurut
kewarisan Islam terhijab oleh anak (laki-laki) mayat.

Yang menarik adalah bahwa konsep ini di Indonesia


digunakan sebagai solusi bagi masalah adopsi, yang dengan
konsep tersebut pihak-pihak yang terlibat dalam adopsi dapat
memperoleh bagian dari harta peninggalan masing-masing
dari mereka. Hal menarik lainnya adalah masalah cucu yang
juga mendapat perhatian ulama Indonesia diselesaikan lewat
konsep ahli waris pengganti.

Pemabaharuan dalam hukum kewarisan Islam dapat


dilihat juga dalam beberapa aturan yang lain. Aturan tentang
bagian saudara dan anak perempuan adalah salah satu aturan
lain yang menerima pembaharuan. Aturan yang sudah dibuat ini
nampak membingungkan dan menyebabkan penafsiaran yang
berbeda-beda, dan menimbulkan debat di kalangan para ulama
dan juga para penegak hukum di Indonesia. Makalah ini
mengupas tentang usaha pembaharuan dalam bidang kewarisan
yang dilakukan oleh Indonesia seperti terlihat dalam Kompilasi
Hukum Islam, terutama terkait dengan bagian anak perempuan
ketika bertemu saudara pewaris. Perdebatan dan alasan-alasan
perdebatan akan dikaji dalam makalah ini. Praktek dan
pandangan para hakim serta para ulama tentang aturan tersebut
akan didiskusiskan juga dalam makalah ini.

Aturan Kewarisan Anak dan Saudara: Antara Fiqh dan KHI

Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi


dengan adanya upaya pemerintah dalam negara-negara tertentu
21
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

untuk mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait dengan


masalah keluarga. Trend pembaharuan ini diawali oleh Turki
dengan dibuatnya sebuah qanun yang susuai dengan spirit
pembaharuan hukum di Turki. Upaya ini kemudian diikuti oleh
beberapa negara Muslim lainnya seperti Tunissia, Maroko,
Mesir dan lainnya. Di Asia Tenggara sendiri, upaya ini diawali
oleh pemerintah Malaysia dan kemudian Indonesia.161
Upaya pembaharuan ini dibarengi dengan apa yang
disebut dengan kodifikasi hukum. Mengapa upaya kodifikasi
hukum ini dilakukan? Ada beberapa tujuan yang terdapat
dalam upaya kodifikasi ini. Tujuan-tujuan tersebut mencakup;

Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum


bisa tercapai,

Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang


disebabkan oleh adanya perubahan kondisi jaman/
memnuhi tuntutan jaman, dan,

Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita terkait


dengan status hukum mereka.162
Berkenaan dengan upaya pembaharuan lewat kodifikasi ini,
apa yang dikemuakan oleh Weber terkait dengan teori hukum (Legal
Theory) sangat relevan. Weber mengungkapkan bahwa tradisi
hukum lama adalah Qadi Justice, di mana para qadli secara
serampangan merujuk kepada beberapa aturan hukum yang
beragam sesuai dengan kesadaran subjektif mereka. Namun

Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The


Kompilasi Hukum Islam and Legal Practices of Indonesian Religious Courts,
Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009, 19.
Lihat Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Jakarta: INIS, 2002, 5.

213
Bab III

kemudian terjadi perubahan besar di mana system hukum


bergeser dari system qadi justice kepada system yang lebih
sistematis. Weber mngungkapkan bahwa, a radical change
occurred during the Enlightenment era, which stimulated a
transfer from the patrimonial tradition of law to a systematic,
rational, and abstract legal code.163
Jika dilihat dari karaker tradisi hukum lama dan baru, kita
bisa mengatakan bahwa hukum lama bersifat terbuka (open),
sementara tradisi hukum baru bersifat tertutup (close). Dengan
demikian, jika tradisi hukum lama lebih mengedepankan
interpretasi hukum secara pribadi (personal interpretation), tradisi
hukum lama membiasakan diberlakukannya interpretasi hukum
secara berjamaah (collective interpretation). Maka, dengan
demikian, sifat- legislasi hukum modern/ reformasi hukum adalah
adanya upaya penyeragaman hukum (unification), dan penulisan
hukum melalui sebuah aturan tertulis (undang-undang)
(codification), dan penulisan hukum secara sistematis dan lugas
dengan bahasa nasional negara masing-masing (systematically
written). Sifat lain adalah menimbulkan suatu kepastian dalam
transaksi hukum (the certainty within legal transaction).

Dan jika kita telusuri dengan seksama unsur-unsur yang


tercipta dari upaya kodifikasi hukum yang dilakukan oleh beberapa
negara Muslim di dunia ini, maka kita akan menemukan beberapa
kesimpulan. Kesimpulan yang terkemukakan adalah: (1) bahwa
kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang krusial,
yaitu untuk memenuhi tantangan dan tuntutan legislasi modern, (2)
bahwa dalam upaya ini, negara-negara tersebut menggunakan
metode-metode yang beragam, yang kesemuanya

163
Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study, London:
Routledge and Kegan Paul, 1874, 108-109.
21
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bermuara pada tercapainya sebuah kemaslahatan umat dan


terealisasinya politik hukum, yaitu; tatbiq, takhayyur and tajdid,
(3) bahwa kodifikasi menyebabkan tergantikannya aturan-
aturan hukum terkait beberapa masalah keluarga yang tertera
dalam fiqh klasik dengan aturan-aturan baru yang sesuai
dengan kondisi local masing-masing negara.

Pemerintah Indonesia, seperti telah dikemukakan di atas,


tidak terkecuali, melakukan pembaharuan dan melegalisasi hukum
Islam sebagai hukum nasional yang harus diterapkan oleh
masyarakat Muslim Indonesia. Upaya pembaharuan yang paling
siginifikan, meski wadah hukumnya masih terus diperdebatkan
adalah dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam. Melalui kompilasi,
beberapa aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan Islam
diperbaharui, sambil beberapa aturan lainnya dipertahankan.

Mengenai kewarisan, Kompilasi secara umum mengambil


doktrin fikih tradisional dan merujuk pada nash-nash al-Quran
yang cocok, misalnya memberikan anak laki-laki bagian waris
yang sama besarnya dengan dua anak perempuan, dan
mempertahankan aturan ashabahbahwa saudara laki-laki
yang terdekat mendapatkan sisa. Namun, dipengaruhi adat dan
norma-norma setempat, kompilsi menerapkan aturan-aturan lain,
seperti sistem ahli waris pengganti dan wasiat wajib yang tidak
ditemukan di mana pun dalam kitab-kitab fikih. Sistem ahli waris
pengganti digunakan untuk memecahkan masalah cucu-cucu
yatim, yang orangtuanya telah mendahului wafat kakek mereka
atau orangtua dari ayah atau ibu mereka sendiri. Menurut sistem
waris Islam klasik, cucu-cucu yatim dinafikan atau terhijab dalam
harta waris kakek-kakek mereka.

Semua mazhab sepakat bahwa seorang cucu yatim tidak


memiliki hak terhadap bagian dari kakek atau neneknya jika ada
anak (laki-laki) dari si mayat (kakek) yang masih hidup. Mengikuti

215
Bab III

aturan ini, sebagian negara Muslim mengatur bahwa para ahli waris
yang meninggal lebih dulu dan ahli waris atau keturunan mereka
tidak menerima bagian waris selagi ada anak laki-laki yang masih
hidup. Namun, kemudian aturan ini diyakini menimbulkan masalah
bagi umat Islam.164 Apa yang dikemukakan oleh Lucy Carroll dapat
menjelaskan apa yang dilakukan oleh beberapa negara tersebut.
Lucy Carrol menyatakan:

Dalam sebuah masyarakat kesukuan di mana anak laki-laki


yang masih hidup mengambil tanggung jawab terhadap
anak-anak dari saudara laki-lakinya yang meninggal dalam
kelompok keluarga besar, aturan-aturan tradisional suksesi
atau kewarisan bisa menimbulkan kesulitan. Tetapi dalam
sebuah masyarakat di mana keluarga inti lebih umum, maka
penafikan sepenuhnya satu garis keturunan pihak yang
meninggal tampak tidak adil dan tidak sah.165
Beberapa ulama di beberapa negara menganggap
bahwa tidaklah adil untuk menafikan cucu yatim dari hak mereka
terhadap harta waris dari kakek mereka hanya karena orangtua
mereka meninggal lebih dulu dari kakek mereka. Oleh karena itu
beberapa negara berusaha memecahkan ketaksetaraan itu. Dua
pemecahan teridentifikasi dan diterapkan, yakni: wasiat wajib dan
sistem ahli waris melalui hak atau pergantiaan ahli waris (ahli
waris pengganti). Konsep yang pertama digunakan oleh negara-
negara Timur Tengah; sedang yang terakhir oleh Pakistan. 166

Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97.


Lucy Carroll, Orphaned Grandchildren in Islamic Law of Succession, Islamic
Law and Society, 5 (1998), 410.
166
Rubya Mehdi merekam bahwa pemecahan Pakistan, yakni waris dengan hak,
dipandang lebih radikal. Para ulama tradisional menentang sistem itu atas dasar bahwa
sistem itu membinasakan semangat dan struktur hukum waris Islam. Namun, mereka
sepakat dengan pendapat bahwa masalah cucu yatim harus dipecahkan, dan berpendapat
bahwa wasiat wajib memiliki dasar hukum yang lebih absah dalam kitab suci. Lihat Rubya
Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, 190.
21
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kompilasi jelas telah menerapkan dan mengadopsi kedua


aturan itu, dengan beberapa penyesuaian dengan sistem
masyarakat setempat. Terkait dengan konsep yang pertama,
pasal 185 Kompilasi menyatakan bahwa kedudukan waris dari
ahli waris yang lebih dulu meninggal bisa digantikan oleh para
ahli warisnya.167 Pilihan ini selaras dengan praktik hukum yang
berlaku sejak lama dengan memberikan hak waris kepada cucu
yatim, yang dikenal dengan sistem plaatsvervulling. Praktik ini
bahkan telah menjadi sebuah hukum yang mapan di Medan.

Pengadilan Umum Banding Medan, misalnya, pernah


menetapkan dalam sebuah keputusan bahwa ketika seorang
anak dari pewaris itu meninggal, sebelum pewaris wafat, dan
yang pertama meninggalkan seorang atau beberapa orang anak,
maka anak-anak dari anak atau cucu dari orang yang wafat itu
memiliki hak terhadap harta waris orang yang wafat atas nama
ayah mereka.168 Ini berarti bahwa sistem pergantian ahli waris
tidak sepenuhnya baru di Indonesia. Meskipun sistem ini menjadi
masalah yang meluas di banyak negara Muslim, aturan ahli waris
pengganti yang ditetapkan dalam kompilasi memiliki landasan
lokal dalam praktik hukum di antara masyarakat Indonesia.

Aturan lain yang nampak diperbaharui dalam kompilasi


adalah aturan terkait dengan bagian saudara yang menurut fiqh
hanya dapat bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak. Dalam
pandangan para ulama anak yang dimaksud dalam al-Quran

Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97. Lihat juga
Kompilasi, Pasal 185 (1).
Keputusan tersebut terekam sebagai keputusan Pengadilan Umum Banding No.
195/1950. Keputusan yang sama juga dikeluarkan di masa-masa awal oleh Raad van
Justitie Batavia pada 12 Desember 1932. Hal ini direkam dalam Indisch Tijdschrift van het
Recht, 150 (1932): 239. Lebih rinci mengenai hal ini, lihat A.B. Loebis, Pengadilan Negeri
Jakarta in Action: Jurisprudensi Hukum Adat Warisan, (n.p, n.d) 63. Untuk informasi detail
tentang ini, lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, 98.

217
Bab III

adalah anak laki-laki. Efek dari pandangan ini adalah bahwa


saudara dapat memperoleh harta waris jika pewaris tidak
meninggalkan anak, yaitu anak laki-laki.

Pemahaman lainnya adalah bahwa jika pewaris mening-


galkan anak atau hanya anak perempuan, saudara dapat
memperoleh kewarisan. Jika pewaris meninggalkan anak laki-
laki, saudara tertutup dan tidak berhak atas harta waris.
Kesimpulannya adalah jika anak laki-laki mempunyai kedudukan
menghijab saudara, anak perempuan tidak, dan anak perempuan
akibatnya harus berbagi harta warisan dengan saudara, jika
mereka bertemu dalam sebuah kondisi waris mewaris.

Para ulama Indonesia rupanya melihat aturan dalam fiqh


ini agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun
kompilasi mengatur bahwa bagian saudara ditentukan oleh
keberadaan anak. Seperti dalam al-Quran, kompilasi
menyatakan bahwa saudara hanya akan memperoleh harta waris
jika pewaris tidak meninggalkan anak. Bedanya, jika anak yang
disebutkan dalam al-Quran dijelaskan lagi oleh pandangan para
ulama terutama sunni, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan walad adalah anak laki-laki, kompilasi tidak menjelaskan
siapa anak yang dimaksud. Apakah anak laki-laki saja atau anak
laki-laki dan juga anak perempuan.

Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak


yang dimaksud adalah anak baik laki-laki mapun perempuan. Artinya
adalah bahwa kompilasi melakukan terobosan dan perubahan
terhdap aturan yang dibuat oleh para ulama klasik. Dikehendaki
bahwa seorang perempuan mempunyai kedudukan yang sama
dengan anak laki-laki dalam hal hijab menghijab terutama ketika
mereka berada bersama dengan saudara. Penyetaraan kedudukan
laki-laki dan permepuan ini memang slalu
21
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diupayakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia memberikan


perhatian terhadap kedudukan hukum perempuan di Indonesia.

Terkait dengan pembaharuan ini, kita teringat dengan apa


yang dikemukakan oleh Anderson tentang metode-metode
pembaharuan. Anderson mengemukakan bahwa terdapat dua
metode pembaharuan yang secara umum diterapkan oleh
negara-negara Muslim, yaitu intra dan extra doctrinal. Intra
doctrinal adalah metode pembaharuan yang diterapkan di mana
para pembaharu melakukan penafsiran terhadap hukum dan
tidak beranjak jauh dari teks hukum yang ada. Sementara extra
doctrinal adalah sebuah metode yang menyiratkan bahwa
pembaharu melakukan penafsiran terhadap teks dan beranjak
jauh dari maksud atau menyimpang dari teks yang ada.

Dengan melihat kedua metode tersebut, dalam melakukan


pembaharuan terkait dengan aturan kewarisan tentang bagian
saudara dan anak perempuan sangat jelas bahwa kompilasi
menerapkan metode extra doctrinal, di mana penyusun kompilasi
melakukan interpretasi terhadap teks Quran dan menentukan aturan
yang berbeda dari apa yang sudah diatur dalam fiqh.

Putusan Hakim Agama

Bagaimana pandangan dan praktek para hakim terkait


dengan aturan-aturan yang telah diterapkan dalam kompilasi? Untuk
melihat ini, beberapa putusan harus ditinjau dan dievaluasi.

Dalam kebanyakan kasus, para hakim di pengadilan agama


mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi dalam menen-tukan
kasus-kasus hukum yang diajukan kepada mereka. Hal ini tampak
pada keputusan-keputusan pengadilan agama di Jakarta Selatan
(No. 19/pdt.p/1997/PAJS), yang menolak permohonan penetapan
perkawinan (itsbt al-nikh) atas dasar kenyataan

219
Bab III

bahwa permohonan itu diminta hanya oleh satu pihak,


sedangkan pihak lainnya (suami) menolah bahwa pernah terjadi
perkawinan.

Kompilasi mendesak bahwa penetapan perkawinan


harus diminta dan disetujui oleh pasangan demi kesejahteraan
mereka. Begitu juga, para hakim pengadilan Tasikmalaya,
melalui keputu-san No. 11/pdt.p/2001/PA.Tsm, mengizinkan
seseorang untuk melakukan perkawinan poligami hanya
setelah pemohon (suami) bisa membuktikan adanya salah
satu alasan yang tertuang dalam Kompilasi, yakni bahwa
istrinya menderita penyakit yang tak tersembuhkan, dan
setelah dia membuat bukti kemampuannya untuk menafkahi
istri-istrinya ditambah persetujuan istri pertama-nya.

Dalam kasus-kasus terdahulu, para hakim pengadilan


agama Nganjuk, Jawa Timur, menolak memberi izin keinginan
suami untuk mendapatkan istri kedua. Hal ini karena diketahui
bahwa istri pertama, meski tidak memiliki anak ketika
permohonan itu diajukan, salah satu alasan permohonannya
untuk berpoligami, terbukti secara medis bisa melahirkan anak.

Pengakuan suami bahwa dia telah berhubungan seksual


dengan calon istri kedua, yang kemudian juga diajukan sebagai
alasan permohonan, meyakinkan para hakim untuk menolak
permintaan itu. Mereka beralasan bahwa seorang laki-laki tidak
bisa kawin lagi untuk memenuhi hasrat seksualnya yang tinggi
karena ini tidak disebutkan dalam Kompilasi.169 Namun demikian,
ini tidak berarti bahwa semua ketentuan dalam Kompilasi
dibarengi dengan persetujuan para hakim. Sebagian keputusan
sebenarnya menunjukkan bahwa dalam sejumlah kasus mereka
menyimpang dari Kompilasi dan malah mengacu pada kitab-kitab

169
Lihat Keputusan No. 341/1976.
22
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

fikih. Mereka secara jelas tidak khawatir bahwa keputusan-


keputusan mereka akan dijatuhkan oleh pengadilan yang lebih
tinggi.170 Ada alasan-alasan pokok di balik keputusan mereka
untuk meninggalkan Kompilasi.

Selain niat mereka mempertahankan kepentingan umum di


mana banyak hakim berpendapat bahwa penyimpangan dari aturan-
aturan yang ditetapkan dalam Kompilasi kadang diperlukan untuk
menciptakan kemaslahatan umum atau untuk menjamin kepuasan
keadilan pihak-pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam satu
kasus, kenyataan bahwa mereka tidak sependapat dengan aturan-
aturan yang ada dalam kompilasi merupakan salah satu alasan
mengapa mereka, dalam kasus-kasus tertentu, tidak sepenuhnya
memenuhi sejumlah aturan dalam Kompilasi.

Khusus terkait aturan kewarisan, terdapat beberapa con-toh


putusan yang menarik untuk dicermati dan didiskusikan. Contoh
pertama yang menunjukan kecenderungan seperti dimaksud di atas
dapat dilihat dari aturan waris dari mayit yang meninggalkan seorang
anak perempuan dan jaminan (saudara laki-laki) dan saudara
perempuan, sebagaimana digambarkan secara sangat baik oleh dua
kasus berikut ini. Yang pertama diidentifikasi sebagai No.
830/G/1991/PA.Pkl, dan kemudian No. 69/G/1992/PTA.Smrg, dan
No.184/K/AG/1995/MA, dan yang kedua diidentifikasi sebagai No.
85/pdt.6/1992/V/PA.Mtr, dan kemudian

170
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 142-144. Untuk
pandangan yang sama, lihat S. Pompe and J.M. Otto, Some Comments on Recent
Developments in the Indonesian Marriage Law with Particular Respect to the Rights of
Women, Verfassung und Rech Ubersee, 4 (1990), 415, dan bandingkan dengan Cammack
yang melaporkan bahwa sejak diterapkan UU Perkawinan beberapa hakim tampaknya
menyadari keputusan mereka dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada kasasi dan itu
merupakan alasan mereka condong kepada UU Perkawinan. Mark Cammack, Islamic Law
in Indonesias New Order, International and Comparative Law Quarterly, 38 (1989), 53.

221
Bab III

No.19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr, dan kemudian No. 86/K/AG/1994/


MA.171
Kasus yang pertama melibatkan seorang anak perempuan
dan beberapa saudara perempuan, semuanya adalah sesama ahli
waris dengan anak perempuan itu oleh pengadilan agama tingkat
pertama Pekalongan dan pengadilan banding Semarang. Kasus
yang kedua, yang menarik perhatian besar dari para analis hukum
dan sarjana, melibatkan seorang saudara laki-laki dan seorang
saudara perempuan.172 Tidak diketahui apakah para penggugat
memahami apa kata Kompilasi tentang kasus mereka. Namun para
ahli waris saudara laki-laki dari mayit dalam kasus kedua sampai ke
pengadilan agama tingkat pertama. Mereka mengklaim bagian harta
atas dasar bahwa, sebagai saudara laki-laki dari mayit (orang yang
meninggal), keturunan mereka berhak mendapat bagian bersama
saudara perempuannya mayitmeskipun saudara perempuan itu
masih hidup, saudara laki-laki telah meninggal ketika kasus itu
diperiksa di pengadilan, tetapi, tentu saja, masih hidup ketika
saudara laki-lakinya (praepositus) meninggal.

Pengadilan menyimpulkan bahwa kasus itu terlalu banyak


masalah, karena harta yang diperselisihkan tidak ditetapkan secara
jelas dan, karena permohonan itu dianggap tidak memenuhi syarat
prosedural. Oleh karena itu mereka menolak kasus itu. 173 Tidak puas
dengan keputusan itu, penggugat dan tergugat membawa kasus itu
ke pengadilan agama banding. Pengadilan

Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 151-152. Teks kasus itu dan
keputusan-keputusannya bisa dilihat pula dalam Mimbar Hukum 30:7 (1997), 122-151.
Selain Euis Nurlaelawati, lihat juga Cammack, Inching towards Equality, 14-15,
dan Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, 197-198.
Euis Nurlaelawari, Modernization, Tradition and Identity, 152. Jadi pengadilan
tidak memutuskan kasus mengikuti doktrin tradisional dan tidak memberi saudara laki-laki
bagian bersama dengan anak perempuan dari mayit sebagaimana dipahami Cammack.
Lihat Cammack, Inching toward Equality, 15.
22
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

setuju agar saudara laki-laki diberi bagian. Dalam menetapkan


bahwa saudara laki-laki, dalam kasus kedua, sebagaimana saudara
perempuan dalam kasus pertama, harus berbagi dengan saudara
perempuan, jelas bahwa pengadilan banding Mataram dan
pengadilan rendah Semarang mengadopsi penafsiran hukum dari
ayat al-Quran terkait, yang menyatakan bahwa saudara kandung,
saudara perempuan dan saudara laki-laki, diberi hak waris jika mayit
tidak meninggalkan anak atau walad (QS. Al-Nisa [4]: 176).

Mayoritas ulama Sunni memahami dari ayat ini bahwa,


ketika mayit meninggalkan seorang anak atau walad, maka
saudara kandung tidak mendapatkan bagian dan bahwa,
untuk menyatukan praktik Nabi yang pernah memberi saudara
perempuan bagian yang sama dengan anak perempuan,
mereka menafsirkan kata walad dalam ayat ini merujuk pada
anak laki-laki saja,174 yang berarti bahwa ketika ada anak
perempuan, maka saudara kandung bisa diberi bagian. Atas
dasar penafsiran Sunni tradisional inilah kata walad merujuk
pada laki-laki saja, sehingga pengadilan agama tersebut
memberikan bagian kepada saudara laki-laki.

Dalam kedua kasus itu, saudara perempuan memohon


kepada Mahkamah Agung, dan para hakim di Mahkamah Agung
membalikkan keputusan dari kedua pengadilan banding itu.
Mereka sepakat bahwa anak-anak perempuan menghalangi
saudara laki-laki (dalam kasus kedua) dan saudara perempuan
(dalam kasus pertama) dari bagian. Mereka menyatakan bahwa
selagi mayit meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perem-
puan, maka hak waris dari hubungan darah dengan mayit itu,

174
Noel J. Coulson, History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1971), 66. Harus dicatat di sini bahwa penafsiran Sunni terhadap kata walad sebagai
merujuk hanya pada laki-laki hanya terjadi dalam ayat ini, karena mereka menafsirkan kata
walad yang muncul dalam ayat-ayat yang lain mencakup laki-laki dan perempuan.

223
Bab III

kecuali orangtua dan pasangan (istri atau suami) (bukan


hubungan darah), terhalangi. Menariknya, dalam hal ini mereka
merujuk pada pandangan Ibnu Abbas, salah seorang Sahabat
Nabi. Ibnu Abbas menafsirkan kata walad dalam ayat tersebut di
atas sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini menuai
kritik dari sejumlah sarjana dan hakim karena mereka
menganggap para hakim Mahkamah Agung ini, sebagaimana
akan dibahas di bawah, menyalahpahami Ibnu Abbas dan tidak,
sebagaimana tentunya kedua pengadilan banding, menyebut
Kompilasi sebagai dasar mereka sama sekali.

Lalu apa kata Kompilasi mengenai hal ini? Mengapa mere-


ka tidak merujuknya? Kompilasi, Pasal 181 dan 182, sebagaimana
telah dijelaskan di atas, menyatakan bahwa hak waris dari saudara
kandung hanya bisa diberikan jika tidak ada anak. Kata anak ini
adalah terjemahan sebenarnya dari walad.175 Jadi, Kompilasi
menetapkan menurut kata al-Quran. Pada dasarnya, kata anak
mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun,
tampaknya penggunaan kata ini masih membingungkan bagi
sebagian hakim yang mempertanyakan apakah kata ini, seperti kata
walad dalam al-Quran, mengacu hanya kepada laki-laki
sebagaimana dalam penafsiran Sunni, atau kepada laki-laki dan
perempuan sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas.

Perdebatan tersebut muncul dan dilakukan karena Kompi-


lasi bersifat mendua. Seperti kata walad dalam al-Quran ditafsirkan
secara berbeda dalam konteks ini, masih menggunakan
terjemahannya yang umum. Yang menjadi pertanyaan mengapa
Kompilasi (Pasal 182) tidak menggunakan kata-kata yang jelas dan
tertentu anak perempuan dan anak laki-laki sekaligus ketika

175
Maksud saya, kata walad sebagaimana umunya ditafsirkan dalam al-
Quran sebagai anak laki-laki dan perempuan dan bukan diterjemahkan dalam kamus
Arab yang merujuk hanya pada anak laki-laki.
22
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

memaksudkan bahwa keduanya mendahulukan saudara


kandung, dan menggunakan kata anak laki-laki saja ketika
tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa anak laki-laki saja
menghalangi saudara kandung dari waris.

Persoalan ini telah memicu perdebatan sengit di antara para


hakim dan ahli dalam hukum Islam. Perdebatan ini bisa diikuti dalam
terbitan mingguan Direktorat Kehakiman Agama Departe-men
Agama, Mimbar Hukum. Dari sini bisa dipahami bahwa kedudukan
doktrin Sunni klasik di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya
para ahli hukum Islam dan hakim, tetap mengakar kuat sehingga
banyak dari mereka berani melawan Kompilasi dan bahkan melawan
keputusan Mahkamah Agung. Meskipun keputusan Mahkamah
Agung mendapatkan dukungan dari sejumlah hakim, 176 perlawanan
terhadapnya tidak bisa diabaikan.
Dalam salah satu terbitannya, majalah Mimbar Agama
memuat artikel Baidlawi dan Rahmat Syafei, yang menyuguhkan
penafsiran kata walad yang diberikan oleh para ahli hukum awal,
termasuk penafsiran Ibnu Abbas. Mereka mengaitkannya dengan
perdebatan yang dicuatkan oleh praktik peradilan, khususnya dalam
kaitannya dengan kasus yang kedua. Bermaksud melawan
pandangan Mahkamah Agung, dalam artikel mereka Baidlawi dan
Rahmat Syafei menulis bahwa benar Ibnu Abbas menafsirkan kata
walad mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun
salah jika dipahami bahwa Ibnu Abbas memasukkan anak
perempuan dalam kata walad dengan maksud untuk menafikan
saudara laki-laki. Oleh karena itu Mahkamah Agung keliru jika
mengambil pandangan Ibnu Abbas sebagai dasar hukum bagi
keputusannya. Ibnu Abbas, lanjut mereka, memaknai bahwa hanya

176
Lihat, misalnya, Alizar Jas, Pengertian Kata Walad dalam Surah al-Nisa
Ayat 176, Mimbar Hukum, 40 (1998).

225
Bab III

saudara perempuan dan bukan saudara laki-laki yang


didahului oleh anak perempuan.

Dengan kata lain, mereka ingin menegaskan tanpa


rancu bahwa Ibnu Abbas berpendapat bahwa ketika mayit
mening-galkan anak laki-laki dan anak perempuan, atau
hanya anak laki-laki, maka hak saudara sekandung, baik
saudara laki-laki maupun saudara perempuan, digantikan.
Namun jika mayit itu mening-galkan hanya anak perempuan
saja, maka hanya hak saudara perempuan saja dan bukan
hak saudara laki-laki yang digantikan. Dengan demikian hanya
jika anak perempuan itu dilawankan dengan saudara
perempuan itulah anak perempuan dipandang sebagai walad.

Menjelaskan hal ini, kedua penulis itu ingin mengatakan


bahwa jika mayit meninggalkan anak perempuan saja seperti dalam
kasus (kedua) yang telah dibahas, maka hak saurada laki-laki
terhadap bagian itu memiliki dasar yang jelas dalam pandangan
para fukaha Sunni maupun Ibnu Abbas. Mereka berpendapat,
Mahkamah Agung keliru ketika mengutip dan merujuk pada
pandangan Ibnu Abbas untuk mendukung keputusannya
memberikan bagian penuh kepada anak perempuan dan pada saat
yang sama menafikan saudara laki-laki dari bagian waris, karena
Ibnu Abbas sendiri tidak memaksudkannya demikian.177

177
Lihat Baidlawi, Ketentuan Hak Waris Saudara dalam Konteks Hukum Islam,
dan Rahmat Syafei, Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Kewarisan
Saudara dengan Anak Perempuan, Mimbar Hukum, 44 (1999). Para penulis juga
menambahkan bahwa tidak ada yang menafsirkan kata walad dalam ayat 176 sebagai
hanya mencakup laki-laki saja. Mereka berpendapat bahwa kata walad dalam ayat 176
merujuk sepenuhnya pada laki-laki dan perempuan, tetapi ayat itu tidak ditafsirkan dengan
cara yang menyimpang (mukhlafah) yakni, ayat itu tidak ditafsirkan untuk mengatur bahwa
jika ada anak, maka saudara sekandung sepenuhnya dinafikan. Dengan kata lain, ayat ini
hanya memaparkan hak waris saudara sekandung ketika mayit tidak meninggalkan anak
(kallah). Jika mayit meninggalkan anak, maka hak waris saudara sekandung diatur dalam
sabda nabi yang menyatakan, berilah bagian tertentu kepada para ahli waris
22
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pemahaman mereka disimpulkan pada kenyataan bahwa mengenai


masalah ini Ibnu Abbas memberikan perhatian hanya terhadap
kasus di mana saudara perempuan (bibi) dan anak perempuan
terlibat dan tidak membahas satu kasus di mana anak perempuan
ditinggalkan bersama saudara laki-laki (pamannya).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, pandangan Ibnu Abbas tentang


masalah ini diuraikan sebagai berikut: Ibnu Jarir dan rekan-
rekannya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair
mengatakan bahwa jika mayit meninggalkan seorang anak
perempuan dan seorang adik perempuan, maka adik perempuan
tidak mendapatkan bagian (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks
no. 18).178 Dengan memahami pendapat Ibnu Abbas semacam
ini, mereka juga menunjukkan bahwa keputusan Mahkamah
Agung bahwa anak perempuan bisa menafikan saudara
sekandung adalah tepat dan memiliki dasar hukum, yakni
pandangan Ibnu Abbas, hanya dalam kasus Pekalongan di mana
anak perempuan berseteru dengan saudara perempuan. 179

Atas dasar kedua kasus itu bisa ditarik beberapa


kesimpulan.

Pertama, benar, seperti kata Cammack, bahwa Mahkamah


Agung barangkali ingin memberi arah kepada perkembangan

tertentu dan sisanya adalah hak waris dari saudara sekandung (diriwayatkan dari Ibnu
Abbas) (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks no. 19), dan yang menyatakan untuk anak
perempuan adalah setengah dan untuk anak perempuannya anak laki-laki adalah bagian
yang membuat dua pertiga bagian dan sisanya untuk saudara perempuan (diriwayatkan
dari Ibnu Masud). Untuk pembahasan tentang hal ini, bandingkan Bowen,
Islam, Law and Equality in Indonesia, 197.
Lihat Ibnu Katsir, Tafsr Ibn Katsr (Beirut: Dr al-Fikr, 1986).
Meskipun para penulis itu juga menyatakan bahwa memberikan bagian penuh
kepada anak perempuan adalah juga penyelewengan, karena tidak ada teks yang
mengatakan demikian. Mereka menyatakan bahwa jika ada saudara perempuan tetapi
dinafikan, maka anak perempuan tidak diberi bagian penuh tetapi hanya separuh. Ibid.

227
Bab III

masa depan doktrin waris Islam dan berusaha konsisten dengan


premis yang dikembangkan bahwa sanak keluarga laki-laki dan
perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. 180
Para hakim Mahkamah Agung tidak merujuk pada Kompilasi atau
pada teori-teori yang diajukan oleh sejumlah pakar hukum
Indonesia, misalnya teori bilateral Hazairin, tetapi pada
pandangan Ibnu Abbas. Hal ini membuktikan kurang yakinnya
terhadap Kompilasi dan kecenderungannya terhadap doktrin
hukum dari kitab fikih, seperti yang digunakan dalam pengadilan
tingkat pertama dan tingkat banding.

Kedua, meskipun Kementerian Agama tidak memiliki


wewenang untuk menilai produk hukum pengadilan agama, ia
merasa perlu menganalisis dan mempelajari keputusan-
keputusan yang dikeluarkan pada seluruh tingkat pengadilan
agama, termasuk Mahkamah Agung. Harus dicatat di sini, apa
yang dipraktikkan Mahkamah Agung menyiratkan perkembangan
model peradilan ketika tuntutan dibuat. Sedangkan apa yang
dilakukan Kementerian Agama, seperti tercermin dalam Mimbar
Hukum, merupakan refleksi hukum yang mempertegas bahwa
ada pendapat lain tentang satu kasus yang juga layak atau
sesungguhnya bahkan lebih layak diterapkan.

Selain itu, para sarjana Muslim Indonesia juga masih


berpendapat bahwa, karena mereka sering selalu menemukan
bahwa tidak ada dua kasus yang sama persis, seiring dengan
kenyataan bahwa orang tidak ada yang sama betul, para
hakim bisa secara sah mencapai keputusan yang berbeda
selagi proses penalarannya tetap konsisten.

180
Lihat Cammack, Inching toward Equality, 15.
22
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Penutup
Dari diskusi di atas, diperoleh beberapa kesimpulan.
Pertama, pembaharuan hukum merupakan hal yang tidak bisa
dihindari dan memiliki dasar atau rasional dalam Islam. Namun,
upaya pembaharuan tentunya tidak bisa secara mudah diterima oleh
seluruh kalangan yang menganggap bahwa aturan yang sudha
mapanlah yang benar dan sesuai untuk diterpakan. Kedua, upaya
pembaharuan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan jelas,
sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang beragam.

Interpretasi terhadap hukum tentunya bisa diterima


dengan alasan adanya kemaslahatan di dalamnya, dan bukan
karena ketidakjelasan aturan. Ketiga, kecenderungan dan
kefanatikan terhadap sebuah aturan telah menyebabkan
banyak kelompok tidak merasa percaya diri untuk
menerapkan aturan yang baru yang sudah disepakati
pemeberlakuannya. Untuk itu, dasar hukum bagi
pembaharuan harus kuat dan ditetapkan setelah
mengakomodir banyak pandangan hukum.
229
Bab
III
23
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM


HUKUM DI INDONESIA
(SUATU ANALISIS FILSAFAT)
Syahrizal Abbas

Latar Belakang

Realitas hukum di Indonesia, termasuk hukum waris


berada dalam kutub pluralisme hukum. 181 Pluralisme hukum
tidak dimaknai dalam arti sempit, di mana sistem hukum yang
satu berbeda dan saling berhadapan dengan sistem hukum yang
lain.182 Pluralisme hukum adalah suatu realitas hukum, di mana
suatu sistem hukum dengan kerangka filsafatnya, menawarkan
pola tersendiri kepada masyarakat. Masyarakat dapat menilai
dan mempertimbangkan kerangka filsafat suatu sistem hukum
yang cocok dan memenuhi rasa keadilan. Hukum pada dasarnya
adalah sarana dan perangkat untuk menemukan dan
memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.183

Hukum waris di Indonesia bergumul dalam realitas plural-


isme hukum. Hukum waris Islam, hukum waris BW, hukum waris
adat, dan praktik hukum kewarisan di lingkungan pengadilan
membentuk warna tersendiri. 184 Secara normatif, sub-sistem
hukum ini saling pengaruh mempengaruhi terhadap praktik

181
Ihromi, Pluralisme Sistem Hukum, Jakarta : UI Press, 1987, hlm. 16;
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Pradnya Paramita, 1972, hlm. 23.
182
Lili Rasyidi, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1988,
hlm. 123.
Hans Kelsen, Law and Justice, Oxford : Oxford University Press, 1990, hlm. 211.
Hukum Islam, Hukum Perdata Barat (BW) dan Hukum Adat adalah suatu sistem
hukum, sedangkan hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan BW dan hukum
kewarisan adat adalah suatu sub-sistem hukum.

231
Bab III

kewarisan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ketiga


sub-sistem hukum kewarisan telah bekerja dan memberikan
tawaran-tawaran etis terhadap sejumlah problema hukum
kewarisan mulai dari konsep waris, alasan mewarisi, ahli
waris, bagian-bagian ahli waris, dan cara pembagian serta
pola penyelesaian sengketa waris.

Ketiga sub-sistem hukum kewarisan di atas memiliki


hubungan dengan kerangka filsafat dari sistem hukum Islam,
sistem hukum Barat dan sistem hukum Adat.185 Pada satu sisi,
ketiga sistem hukum ini memiliki landasan filsafat yang
berbeda satu sama lain, namun pada sisi lain, ketiga sistem
hukum ini juga memiliki kesamaan-kesamaan. Studi
mendalam terhadap landasan filsafat ketiga sistem hukum ini
sangat diperlukan, sehingga mampu menghadirkan kerangka
yang tepat bagi pembentukan hukum kewarisan nasional.
Studi fisafat terhadap hukum Islam, hukum BW dan hukum
adat ditujukan untuk menemukan nilai-nilai etis universal yang
dibawa oleh ketiga sistem hukum ini dalam masalah
kewarisan. Pendekatan filsafati dan sociological jurisprudence
di anggap mampu mempertemukan ketiga sistem hukum ini
dalam satu ikatan benang merah yaitu keadilan universal.186
Harus diakui bahwa filsafat dan struktur ketiga sistem
hukum tersebut memang berbeda. Perbedaan ini sangat wajar
terjadi, karena filsafat dan struktur dari hukum Islam, hukum adat,
dan hukum Barat dibangun dari realitas dan filsafat masyarakat
yang berbeda satu sama lain. Filsafat dan struktur hukum ini
menjadi bagian substantif dari hukum kewarisan Islam, hukum
kewarisan adat dan hukum kewarisan Barat. Hukum kewarisan

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 14.
Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, Cambridge University, 1996, hlm. 437.
23
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Islam dibangun atas landasan doktrin ajaran al-Quran dan


Sunnah.187 Ajaran hukum kewarisan Islam memiliki landasan
normatif dalam sejumlah ayat al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.188
Meskipun demikian, harus pula dicermati sejarah lahirnya ajaran
hukum kewarisan yang tidak pernah lepas dari struktur masyarakat
Arab, tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab ketika itu. Struktur
masyarakat Arab yang bersuku-suku (qaba-il) ikut mewarnai
kontruksi hukum kewarisan Islam. Masyarakat Arab dikenal sabagai
masyarakat yang menempatkan suku sebagai institusi penting
sebagai pelindung dan lambang kehormatan.189 Suku adalah
perekat antar individu yang amat sulit dipisahkan, bahkan anggota
suku rela berkorban nyawa untuk membela kepentingan sukunya.
Keterikatan individu terhadap suku, didasarkan pada garis keturunan
dan hubungan darah.

Bagi masyarakat Arab, garis keturunan dan hubungan


darah merupakan kehormatan yang selalu dijaga dan dilindungi.
190
Oleh karenanya, keberadaan laki-laki menjadi amat penting
dalam kehidupan suku-suku Arab. Laki-laki adalah orang yang
mampu melindungi dan menjaga kehormatan sukunya. Laki-laki
adalah orang yang paling dihormati, karena ia menjadi lambang
pemersatu dan pelindung suku.191 Tradisi kesukuan ini sedikit
banyak mempengaruhi dan membawa warna tersendiri bagi
doktrin kewarisan Islam dalam al-Quran dan al-Hadits.

Realitas sosial masyarakat Arab adalah berpindah-pindah


dan hidup komunal dalam kesukuan. Komunalitas kesukuan

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut ; Dar al-Fikr, 2006, hlm. 594.
Di antara ayat al-Quran yang menjadi fondasi dasar hukum kewarisan Islam
adalah surah an-Nisa ayat 11.
Phillip K. Hitti, The History of Arab, McMillan, 1979, hlm. 131.
Syed Mahmuddunnasir, Sejarah Peradaban Islam, Malaysia : IIT, 1995, hlm. 56.
Phillip K. Hitti, op.cit., hlm. 351.

233
Bab III

menjadi salah satu pertimbangan dalam proses dan pembangian


harta warisan, bila salah satu dari anggota suku meninggal dunia.
Tradisi ini juga membawa pengaruh bagi kontsruksi hukum
kewarisan Islam, terutama dalam pertimbangan hubungan
kebersamaan dan kekeluargaan. Suku bertanggung jawab
terhadap setiap aggoata suku yang meninggal dunia dan kepala
suku memberikan proteksi dan jaminan kehidupan bagi ahli waris
yang ditinggalkan. Harta menjadi bagian penting untuk
melindungi anggota suku.192 Dengan demikian nilai filsafat
kebersamaan dan tolong menolong dalam tradisi kesukuan Arab
tercermin dalam hukum kewarisan Islam.

Dalam tradisi masyarakat Arab, keberadaan laki-laki


sebagai pewaris menjadi amat penting, karena ia sebagai tulang
punggung suku (qabilah). Bila salah seorang dari anggota suku
meninggal dunia, maka pemimpin suku akan berperan dan
bertanggung jawab menjamin harta peninggalan yang ditinggal-
kan oleh pewaris. Pengambil-alihan tanggung jawab kepala suku
terhadap ahli yang ditinggalkan oleh pewaris, menggambarkan
peran penting dan dominasi kepala suku dalam pengaturan harta
warisan dan jaminan perlindungan terhadap anggota suku.193

Muhammad Hamidullah, menyebutkan bahwa dalam tradisi


kewarisan masyarakat Arab, mengalihkan harta dari seorang
pewaris kepada ahli waris sangat ditentukan oleh tradisi kesukuan
termasuk memberikan harta kepada anak yang orang tuanya
terlebih dahulu meninggal dunia. 194 Hamidullah menyebutkan hal ini
hanya berlaku kepada cuku laki-laki dari anak laki-laki, dan tidak

Oemar Abdul Aziz, The History of Islamic Law, Malaysia :UM, 2001, hlm. 13.
I b i d. Hlm. 14.
Muhammad Hamidullah, Islamologi, Montreal : McGill University Press, 1975,
hlm. 164.
23
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berlaku kepada cucu laki-laki dari anak perempuan. 195 Logika


ini sangat dipahami, karena dalam tradisi masyarakat Arab,
dominasi dan pengaruh laki-laki dalam penentuan kewarisan
sangat dominan. Al-Quran sebagai ajaran etis memberikan
perimbangan terhadap dominasi ini, walaupun tidak mengikis
habis dominasi laki-laki terhadap proses pewarisan.

Filsafat kebersamaan dan tanggung jawab yang


tergambar dalam tradisi masyarakat Arab, diakomodir oleh al-
Quran dengan sejumlah penyesuaian, sehingga filsafat yang
mendasari kewarisan Islam adalah filsafat tanggung jawab
(responsiblity), kebersamaan, kemaslahatan, pengakuan hak
individual, jaminan keberlangsungan hidup, dan
196
menghindarkan konflik antar sesama ahli waris.
Dalam kewarisan Islam, harta yang ditinggalkan oleh
seorang pewaris memiliki hubungan erat dengan orang yang
menjadi ahli waris. Hubungan ini terwujud dalam bentuk
penentuan ahli waris dan pendistribusian harta warisan.
Pendistri-busian harta warisan kepada ahli waris dimaksudkan
dalam rangka perwujudan tanggung jawab bagi keberlangsungan
hidup ahli waris. Kematian pewaris tidak boleh menyebabkan
197
hilangnya jaminan dan keselamatan hidup ahli waris.
Filsafat tanggung jawab ini bukan hanya berada pada satu
orang tetapi juga dari seluruh anggota keluarga. Oleh karenanya,
bila seseorang meninggal dunia, maka tanggung jawab terhadap
keberlangsungan hidup keluarga dapat dijalankan dengan

I b i d., hlm. 170.

Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, (Terj),


Diponegoro : Bandung, 1988, hlm. 17.
I b i d., hlm. 18. ; Mohammed Majmuri, Family Law, Canada : Concordia
University Press, 2008, hlm. 234.

235
Bab III

penerapan hukum kewarisan Islam. Filsafat kebersamaan,


dimaknai dengan ketentuan kewarisan yang ada dalam al-
Quran memberikan penegasan agar nilai kebersamaan harus
tetap dipertahanakan, walaupun salah seorang dari anggota
keluarga meninggal dunia.198
Distribusi harta warisan harus menjamin terwujudnya
kebersamaan. Pembagian dan pendistribusian harta warisan
berdasarkan hukum Islam tidak boleh menghilangkan ikatan
kekeluargaan dan semangat kebersamaan. Penerapan hukum
kewarisan Islam bersifat alternatif, 199 yang mana kebersamaan
dan kesepakatan yang terjadi di kalangan ahli waris sangat
menentukan pemberlakuan tidaknya hukum kewarisan Islam.
Hukum kewarisan Islam memberikan kebebasan kepada ahli
waris untuk menggunakan atau memilih jalan lain yang terbaik
dalam penyelesaian pembagian dan pendistribusian harta
warisan kepada ahli waris. Kemaslahatan, kedamaian dan
keadilan jauh lebih penting dan diutamakan dalam
pendistribusian dan pembagian harta warisan.

Bila seluruh ahli waris yang berhak bersepakat untuk


tidak membagikan harta warisan berdasarkan ketentuan furudh
al-muqaddarah, dan itu dianggap lebih mengandung maslahat,
penuh nilai keadilan dan kebersamaan, maka hal itu jauh lebih
baik dan lebih mulia.200 Dengan demikian penerapan hukum
kewarisan Islam yang bersifat rigid dan memaksa, bila adanya
sengketa di antara ahli waris atau adanya kehendak yang ingin
membagikan harta pusaka berdasarkan ketentuan furudh al-

Sayyid Sabiq, op.cit. hlm. 598;

Hamid Khan, Islamic Law of Inheritance, Oxford-Pakistan : Oxford


University Press, 2007, hlm. 18.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : Fak. Ekonomi UII, 1990,
hlm. 45.
23
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

muqaddarah. Penerapan ketentuan hukum kewarisan Islam


yang bersifat rigid dan memaksa dilaksanakan melalui proses
penga-dilan.
Filsafat pengakuan hak individual dalam hukum kewarisan
Islam, ditujukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum
mengenai hak milik terhadap harta yang diperoleh melalui
pewarisan. Hak milik ini melekat dan tidak dapat dihapuskan oleh
siapapun, kecuali terdapat alasan syara yang sah seperti
pembunuhan terhadp pewaris. 201 Filsafat keberlangsungan hidup
juga mendasari hukum kewarisan dalam Islam.

Distribusi harta kekayaan dalam hukum kewarisan


Islam ditujukan untuk memastikan keberlangsungan hidup
(continuitas) ahli waris. Hal ini amat penting ditekankan oleh
Islam, karena keberlangsungan hidup dan tanggung jawab
orang-orang yang ditinggalkan pewaris harus mendapat
perlindungan dan jaminan hidup.

Hukum kewarisan Islam, sangat menghindari


terjadinya ketidakpastian hidup baik dalam bidang ekonomi,
pendidikan, kesehatan dan lain-lain, setelah meninggal
dunianya pewaris.202 Landasan filsafat ini amat penting
dipahami dalam menganalisis problema penggatian tempat
ahli waris dalam hukum kewarisan Islam.

Konstruksi filfasat hukum kewarisan Barat, tentu agak


berbeda dengan hukum kewarisan Islam. Hal ini didasarkan pada
kehidupan masyarakat Barat yang menganut paham individual-

Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Dar al-Fir al-Araby, Bairut,


2000, hlm. 478.
Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; From Classical and Contemporary,
Oxfor UK : Altamira Press, 2006, hlm. 56.

237
Bab III

istik.203 Dalam masyarakat Barat, setiap individu memiliki


kebebasan dan kemerdekaan, sehingga setiap hak milik
bersifat mutlak-indivual. Keberadaan hak milik yang dimiliki
seseorang semata-mata ditujukan pada kepentingan individual
dan tidak ada ruang bagi kepentingan sosial.204
Dalam pandangan masyarakat Barat, pemanfaatn hak
milik individual hanyalah semata-mata untuk kepentingan
individu, dan sangat terbatas hak milik seseorang memiki
ruang kepentingan dan tanggung jawab sosial (sosial space
and responsibility).205
Hak milik individual dalam pandangan filsafat masyarakat
Barat memiliki makna ; (1) hak milik yang diperoleh seseorang
adalah mutlak untuk kepentingan dirinya dan tidak ada sedikitpun
hak orang orang lain dari harta yang menjadi milik individu tersebut,
termasuk dalam hal harta warisan; (2) hak milik individu adalah hak
mutlak setiap pribadi, dan ia memiliki kebebasan untuk
menggunakan harta milik yang berasal dari harta warisan, untuk
dipergunakan sesuai dengan kehendak dan keinginannya, apakah
untuk kepentingan dirinya ataukah kepentingan sosial. Dengan
demikian, tanggung jawab sosial dari harta yang dimiliki seseorang
sangat tergantung pada kehendak dan keinginan orang tersebut.
Hukum tidak memberikan ruang social responsibility pada harta
seseoarang yang berupa hak milik individual, dan fislafat inilah yang
mendasari hukum kewarisan Barat. 206

Prances Burton, Family Law, UK : Cavendishpublishing, 2003, hlm. 14.


William P. Staatskey, Family Law, USA : Thomson Delma Learning, 2003, hlm.
123.
I b i d., hlm. 124.
Prances Burton, op.cit., hlm. 16.
23
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Filsafat masyarakat Barat yang lain yang perlu mendapat-


kan perhatian adalah rasionalitas independensi hak milik. Konsep
rasionalitas independen bermakna bahwa seseorang memiliki
hak milik melalui proses alamiah atau secara hukum, tidak dapat
dihalangi oleh pandangan dan kehendak sosial dan/atau struktur
sosial masyarakat tertentu. Masyarakat Barat memahami bahwa
hak milik seseorang harus diberikan atau diperjuangkan bila
secara alamiah dan hukum ia mendapatkan hak miliki, karena
hak miliki adalah salah satu hak asasi yang melekat pada
individu yang harus diberikan dalam kondisi apapun.

Oleh karenanya, dalam hukum kewarisan di Barat,


seorang cucu yang ayahnya meninggal dunia terlebih dahulu,
berhak mendapat harta warisan dari kakeknya, karena cucu
memiliki hak secara hukum menempati posisi ayahnya untuk
mendapatka harta warisan dari kakek.207 Tidak ada alasan bagi
masyarakat Barat, tidak memberikan hak kepada cucu yang ayah
atau ibunya meninggal dunia terlebih dahulu, karena itu sangat
tidak rasional dan menutup hak miliki indivual sang cucu.

Dalam tradisi dan hukum kewarisan Barat dikenal adanya


istilah penggantian tempat ahli waris (plaatsvervullling). 208
Dalam masyarakat Adat di Indonesia, filsafat yang
menda-sari hukum kewarisannya adalah filafat komunalitas dan

David S. Power, Islamic Family Law, Norwell : Kluwer Academic Publisher


Group, 1990, hlm. 271.
Pergantia tempat ahli waris (plaatspervulling) adalah penempatan cucu
menduduki posisi ayah yang telah terlebih dahulu meninggal dunia, untuk mendapatkan
harta warisan dari kakek. Perluasan makna terhadap plaatsvervulling juga diberikan oleh
Hilyatus Saadah, dengan keturunan ahli waris yang sudah meninggal dunia pada saat
terbukanya warisan/menggantikan tempat orang tuanya sebagai ahli waris. Hilyatus
Saadah, Penggantian Tempat Ahli Waris (Plaatsvervulling) pada Masyarakat Pesantren,
Tesis S2, Semarang :UNDIP, 210, hlm. i.

239
Bab III

tanggung jawab bersama.209 Masyarakat adat memiliki falsafat


hidup bersama dan nilai-nilai komunalitas dan nilai
kebersamaan menjadi nilai esensial dari kehidupan
masyarakat adat. Dalam kehidupan masyarakat adat, peran
tokoh-tokoh adat dan nilai-nilai luhur yang dianut menjadi
pertimbangan peting dalam hukum kewarisan adat. Hukum
kewarisan pada suatu komunitas masyarakat adat, berbeda
dengan hukum kewarisan masyarakat adat yang lain.

Hukum dan praktik kewarisan suatu masyarakat adat


sangat tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut. Dalam
masyarakat yang menganut kekerabatan patrilineal, maka
dominasi peran tanggung jawab pihak laki-laki lebih dominan
dibandingkan dengan perempuan dalam proses kewarisan,
sedangkan dalam masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan matrilineal, maka dominasi dan tanggung jawab
pihak perempuan teras lebih dominan dalam menjaga keutuhan
keluarga dan tanggung jawab terhadap ahli waris yang ditinggal
oleh pewaris.210 Sedangkan masyarakat yang menganut sistem
kekerabatan bilateral atau parental, maka peran dan dominasi
pihak laki-laki dan perempuan dalam proses kewarisan memiliki
kesetaraan dan keseimbangan. 211 Oleh karenanya tanggung
jawab keluarga serta ahli waris yang ditinggalkan pewaris berada
pada pundak kedua belah pihak.

Filsafat tanggung jawab bersama dalam menjaga


keutuhan keluarga yang dianut oleh masyarakat adat telah

209
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita,
hlm. 25.
210
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, hlm.
18.
211
Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral, Jakarta : Tinta Mas, 1961, hlm. 26.
24
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

mendasari mereka, untuk menggunakan isntitusi pergantian ahli


waris dalam proses kewarisan.212 Dalam masyarakat adat, seorang
cucu akan mendapatkan hak waris dari kakeknya yang orang tuanya
telah meninggal terlebih dahulu. Pemberian hak kepada cucu ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan cucu merupakan
tanggung jawab bersama dari keluarga.

Pola pikir dan kerangka filsafat yang dianut hukum


kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, hukum hukum kewarisan
Barat dapat menjadi ladasan untuk melihat dan menganlisis lebih
jauh kerangka filsafat yang digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan praktik
pergantian tempat ahli waris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah
menawarkan suatu terobosan hukum baru yang memadukan prinsip
hukum kewarisan Islam dan kewarisan adat, dengan melahirkan
sejumlah pasal-pasal pergantian tempat ahli waris.

Pasal 185 KHI adalah pergumulan nilai-nilai normatif


hukum kewarian Islam dengan praktik masyarakat adat.
Dalam penerapannya pasal-pasal ini masih memunculkan
problematika, sehingga beberapa substansi pasal ini
memerlukan kajian dan re-interpretasi ulang. Kajian ini amat
perlu dilakukan, guna menempatkan lembaga (institusi)
pergantian tempat ahli waris, sebagai instiusi kewarisan yang
mampu mewujudkan keadilan, sosial empati, tanggung jawab
bersama dan tidak ada pihak yang terdhalimi, dengan tetap
memegang teguh nilai-nilai al-Quran dan al-Hadits.

Realitas hukum yang terjadi selama ini mengharuskan


kajian komprehensif dan integral, terhadap lembaga pergantian

212
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung : Alumni, 1993, hlm. 45.

241
Bab III

tempat ahli waris, karena secara konseptual lembaga tidak


dikenal dalam konstruksi fiqh al-waris (al-faraidh), namun
secara subtansial, sebagian besar masyarakat mempraktikan
konsep pergantian tempat ahli waris. Realitas dan praktik
hukum masyarakat ini tidak dapat dibiarkan, karena praktik
seperti itu tidak dapat menjamin seorang cucu mendapat hak
warisnya dari kakek, dengan lasan ayahnya telah terlebih
dahulu meninggal dunia.

Pasal-pasal pergantian tempat ahli waris dalam Kompilasi


Hukum Islam (KHI) harus mampu memenuhi rasa keadilan
masyarakat, dengan tidak melanggar prinsip dan nilai etis dari
hukum kewarisa Islam. Di sinilah urgensitas tulisan ini.

Analisis Fiqh

Al-Quran dan Sunnah adalah dalil dan sekaligus sebagai


sumber bagi fiqh. 213 Al-Quran dan Sunnah adalah landasan
utama perumusan hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan
adalah hukum yang berkaitan dengan pengalihan harta dari si
mayit kepada orang yang ditinggalkannya berdasarkan ketentuan
hukum syara.214 Subtansi hukum kewarisan meliputi pewaris,
ahli waris, harta warisan, dan bagian serta mekanisme distribusi
harta warisan kepada ahli waris yang berhak berdasarkan
ketentuan al-Quran dan al-Hadits.

Sebagian fuqaha terutama dari kalangan Malikiyah,


Syafiiyah dan Hanabilah memahami hukum kewarisan Islam
sebagai hukum yang sudah final, rigid dan pasti, sehingga tidak
mungkin diberikan tafsiran atau makna lain, selain yang tersebut

213
Ali Hasaballah, Ushul at-Tasyri al-Islamy, Cairo : Dar ibn Ashashah, 1995, hlm.
78.
214
Muhammad Yusuf Musa, Ahkam at-Tirkah fil Islam, Cairo : Dar al-Maarif, 1978,
hlm.12.
24
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

secara eksplisit dalam teks al-Quran dan al-Hadits. 215 Pandangan


para fuqaha ini telah melahirkan postulat bahwa hukum kewarisan
Islam bersifat qathiiy. Pandangan ini telah mewarnai sebagian besar
pemikiran masyarakat muslim, sehingga tidak menerima adanya
lembaga pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan
Islam. Buku-buku fiqh klasik, tidak memberikan ruang untuk konsep
ini, sehingga tidak pernah ditemukan adanya pengakuan terhadap
lembaga pergantian tempat ahli waris, denga alasan tidak ada teks
al-Quran dan al-Hadits mengenai hal ini. Ketentuan mengenai siapa
ahli waris dan bagian dari masing-masing dari harta warisan telah
ditetapkan secara pasti oleh al-Quran dan al-Hadits. Ketentuan
siapa-siapa ahli waris dan furudh al-muqaddarah ini, tidak mungkin
dilakukan perubahan dan interpretasi lain, karena ketentuan ini
bersifat qathiiy.

Konstruksi fiqh waris yang tekstual ini ternyata


berbanding terbalik dengan realitas hukum sehari-hari yang
dipraktikan oleh masyarakat muslim, terutama masyarakat yang
sangat kental dengan hukum adat. Bila diteliti lebih jauh, banyak
masalah kewarisan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat yang memerlukan tafsiran baru dan ijtihad, sehingga
hukum kewarisan Islam mampu memenuhi kebutuhan hukum
masyarakat. Kehadiran para pemikir muslim seperti Ibn Katsir,
Imam Thabary, Imam Qurtuby, Abduh, Imam Maraghi, Ali As-
Shabuni, Sayyid Sabiq, Yusuf Musa, Fazlurrahma, Yusuf
Qaradhawy dan berbagai pemikir lain telah memberikan nuansa
216
baru terhadap pemikiran hukum kewarisan Islam.

Para pemikir ini memberikan tafsiran baru terhadap


beberapa ketentuan dalam hukum kewarisan termasuk di

Muhammad Ali as-Shabuni, op.cit., hlm. 15.


Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; op.cit., hlm. 186.

243
Bab III

antaranya mengenai pergantian tempat ahli waris. Para pemikiran


kontemporer cenderung memberikan hak waris kepada cucu
walaupun ayahnya telah terlebih dahulu meninggal dunia. Persoalan
pergantian tempat ahli waris adalah persoalan ijtihadiyah, dan
ternyata dalam fiqh kewarisan yang dibangun oleh ulama klasik
menyimpan problema yang harus diselesaikan dalam konteks
kekinian. Landasan utama hukum kewarisan adalah ayat al-Quran
terutama surah an-Nisa ayat 11 (yushikumullahu fi awladikum
lizzakari mitslu al-unsayaini). Imam al-Qurtuby menjadikan ayat ini
sebagai salah satu ayat al-Quran yang memberikan indikasi bahwa
cucu mendapatkan harta warisan dari kakek, walaupun ayahnya
telah meninggal dunia terlebih dahulu. Imam Qurtuby memaknai
kata awlad yang terdapat dalam surah an-Nisa ayat 11 bukan
hanya untuk anak laki-laki (awladun adalah jamak dari kata
waladun), akan tetapi juga kepada makna keturunan ke bawah. 217
Lebih jauh Imam al-Qurtuby memaknai kata awlad bukan hanya
anak laki-laki, tetapi juga termasuk anak perempuan. Makna ini
tersurat dari kandungan surah an-Nisa ayat 11 yang artinya ; Allah
mewajibkan kamu tentang awlad (anak-anak kamu), buat seorang
anak laki-laki (adalah) seperti bahagian dua anak perempua. 218
Pandangan Imam Qurtuby ini bersumber/berasal dari tafsir Ibn
Abbas terhadap makna awlad di dalam surah an-Nisa ayat 11.219

Al-Maraghi, Sayyid Sabiq dan Yusuf Qaradhawy juga tidak


menolak lembaga pergantian tempat ahli waris, karena mereka juga
cenderung memberikan tafsir terhadap makna awlad dengan
makna keturunan sampai ke bawah, yang mencakup tidak hanya
keturunan dari garis laki-laki, tetapi juga keturunan dari

Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, Beirut : Dar al-Fikr al-Araby, 2006, hlm. 412.
I b i d., hlm. 421-422.
I b i d.,
24
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

garis anak perempuan. 220 Para ahli fiqh ini memandang


persoalan pergantian tempat ahli waris sebagai suatu ijtihad,
yang menempatkan cucu pada posisi ayahnya yang meninggal
dunia terlebih dahulu dari kakeknya, dan ia berhak mendapatkan
harta warisan dari kakeknya dan bagian harta warisan untuknya
sesuai dengan hak pada posisi ayahnya. Riset para ulama Azhar
ini, menemukan bahwa cucu walaupun orang tuanya terlebih
dahulu meninggal dunia, namun peluang cucu untuk mendapat-
kan harta warisaan dari kakeknya tetap terbuka, apalagi cucunya
tersebut berada dalam keadaan miskin, sehingga ia mesti
mendapatkan bagian harta warisan dari kakeknya pada porsi dan
psoisi ayahnya yang terlebih dahulu meninggal dunia. Ini adalah
221
salah satu bentuk keadilan dalam hukum kewarisan Islam.
Di Indonesia, pemikiran tentang adanya lembaga
pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam
diperbincangkan oleh Hazairin. Hazairin menyatakan bahwa
dalam hukum kewarisan Islam sebenarnya ada ruang bagi
lembaga pergantian tempat ahli waris. Hazairin merujuk Surah
an-Nisa ayat 33 sebagai landasan adanya institusi pergantian
tempat ahli waris dalam hukum Islam. Dalam Surah an-Nisa ayat
33 disebutkan: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-
pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orang-orang yang kamu
sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks ayat 33


surah an-Nisa mengandung makna bahwa Allah mengadakan

Imam Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cairo ; Maktabah al-Islamiyah, 1982, hlm.


367; Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 599; Yusuf al-Qaradhawy, Kumpulan Ijtihad Kontemporer,
Jakarta : Firdaus, 1990, hlm. 213.
Yusuf al-Qaradhawy, I b i d., 214.

245
Bab III

mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orang tua dan


keluarga dekat serta pihak allazina aqadat aymanukum, dan
berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya.
Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata
walidain dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang
menjadi pewaris adalah orang tua (ayah-ibu), maka ahli waris
adalah anak dan atau mawali anak. Jika anak itu masih hidup,
tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan
berdasarkan ayat 11 surah an-Nisa. Sebaliknya jika anaknya
tidak ada lagi maka cucu merupakan mawali dari kakek,
sehingga ia dapat menempatkan posisi ayah untuk menerima
harta warisan dari kakeknya yang meninggal dunia. 222
Pandangan Hazairin ini ditolak sebagian basar masyarakat
muslim di Indonesia, karena ayat 33 surah an-Nisa bukan
memberikan jalan untuk pergantian tempat ahli waris. Sebagian
Ulama di Aceh misalnya, masih tetap memahami bahwa surah an-
Nisa ayat 11 adalah pintu yang menutup adanya pergantian tempat
ahli waris. Kata awlad dipahami dengan makna hanya anak laki-laki
dan keturunannya yang masih hidup, sehingga harta itu hanya
diberikan kepada ahli waris yang secara fisik masih hidup dan ada
pada saat pewaris meninggal dunia. 223 Pemahaman ini yang
melahirkan konsekuensi bahwa tidak ada pergantian tempat ahli
waris. Ayat-al-Quran dan al-Hadits tidak satu pun yang memberikan
penjelasan kongkrit tentang ada tidaknya konsep pergantian tempat
ahli waris dalam hukum kewarisan Islam. Mengingat hukum
kewarisan Islam dinyatakan sebagai hukum rigid, ketat dan tidak
dapat diinterpreasikan, maka tidak adanya hak bagi cucu yang orang
tuanya meninggal dunia terlebih dahulu. Seorang cucu tidak dapat
menempat posisi ayah atau

Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral...,op.cit., hlm. 28.


Muhammad Amin al Asyi, Khulashah Ilmu Faraidh, (Naskah Klasik), hlm. 67.
24
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ibunya yang meninggal dunia terlebih dahulu dari kakeknya,


untuk memperoleh harta warisan dari kakeknya. Oleh karena
itu, para fuqaha ini menolak adanya pergantian tempat ahli
waris bagi cucu, karena ketentuan al-Quran dan al-Hadits
sudah sangat jelas dan kongkrit mengenai siapa-siapa ahli
waris, ketentuan bagian warisan, dan cara pembagiannya.

Bila ditelusuri secara seksama kitab-kitab fiqh mawaris


(faraidh) terutama dari kitab-kitab fiqh klasik, hampir tidak
ditemukan ketentuan ahli waris pengganti, kecuali hanya dalam
menentukan besarnya bagian ahli waris dzawil arham bagi
mazhab ahl tanzil, bila tidak dijumpai ahli waris dari golongan
zawil furudh dan ahli waris ashabah. Oleh karenanya dalam
kitab-kitab fiqh tidak akan ditemukan makna ahli waris pengganti.
Istilah penggantian tempat ahli waris hanya dikenal dalam hukum
Belanda dengan istilah plaatsvervulling., Makna pergantian
tempat dalam hukum waris yaitu meninggal dunianya seseorang
dengan meninggalkan cucu yang orang tuanya telah meinggal
dunia terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orang tua
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu untuk mendapatkan
warisan dari kakek atau neneknya. Besar bagian yang diterima
oleh seorang cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya
diterima oleh orang tuanya sekiranya mereka masih hidup.

Bila ditelusuri lebih jauh istilah dan praktek pergantian


tempat ahli waris juga dikenal dalam hukum adat, walaupun
praktek ini tidak sama dengan peluang yang ada dalam hukum
kewarisan Islam. Karena dalam praktek hukum adat hak bagi
pengganti tidak persis sama dengan orang yang diganti, dan
sangat tergatung kepada realitas dan kemampuan ekonomi yang
dimiliki oleh cucu, dan jumlah besaran dari harta peninggalan.
Ketidaksamaan bagian dapat dilihat dari subtansi pembahasan

247
Bab III

kitab Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Kitab


Nihayat al-Muhtaj karya Ar-Ramli.

Dalam kaitan pergantian tempat ahli waris patut dianalisis


pandangan Ar-Ramli, salah seorang ulama Syafiiyah, yang
menyatakan bahwa cucu laki-laki dapat menggantikan ayahnya
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari
anak perempuan tidak mungkin menggantikan posisi ayahnya.
Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orang tuanya,
apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih
hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki masih ada, maka cucu
tersebut tidak mendapatkan apa-apa. 224 Pandangan Ar-Ramli
ternyata kemudian dielaborasi lebih jauh oleh ulama Azhar yang
memberikan peluang kepada cucu untuk menempati posisi
ayahnya, guna mendapatkan harta warisan dari kakeknya yang
meninggal dunia. Realitas ini yang menggugah para pengkaji
hukum kewarisan guna menemukan nilai-nilai keadilan melalui
adanya institusi pergantian tempat ahli waris.

Analisis KHI

Pada dasarnya, berbagai kitab fiqh waris klasik tidak


membahas secara eksplisit konsep pergantian ahli waris
sebagaimana dalam konsep hukum perdata Barat (BW) atau
hukum adat, namun fiqh telah mengenal ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pewaris yang digantikan
kedudukannya oleh anak dan keturunannya. Namun istilah yang
digunakan bukan ahli waris pengganti, akan tetapi istilah tanzil.
Meskipun istilah yang digunakan dalam fiqh adalah istilah tanzil,
namun pada hakikatnya tetap mengandung makna ahli waris
pengganti, namun tidak sempurna, karena yang dianggap berhak
dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris pengganti

224224
Ar-Ramly,Nihayat al-Muhtaj, Cairo : Dar al-Fikr al-Araby, t.t., hlm. 362.
24
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hanyalah keturunan dari anak laki-laki, yang meninggal lebih


dahulu dari pewaris. Dengan kata lain hanya cucu laki-laki dan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (ibnu-ibni dan
bintu ibni) yang dapat menerima warisan dari kakeknya, dan
itu pun bagian yang telah ditentukan secara pasti, baik
ashabul furudh maupun ashabah.

Konsep tanzil ini dapat dilihat pada contoh bintu ibn


(anak perempuan dari anak laki-laki), jika menerima harta
warisan bersama dengan seorang anak perempuan, maka ia
mendapat 1/6 bagian, sedangkan cucu laki-laki maupun cucu
perempuan dari keturunan anak perempuan tidak dapat
menerima bagian warisan dari kakek/neneknya karena ia
termasuk dalam golongan dzawil arham. Alur pikir seperti ini
yang menyebabkan Kompilasi Hukum Islam mengakomodir
adanya institusi pergantian tempat ahli waris dengan beberapa
perubahan dan pembaruan.

Pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia melalui


Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah berupa pemberian hak
seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada
keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam
Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang lengkapnya adalah :

Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si


pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

Bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti.225
Ketentuan Pasal 185 KHI, dipertegas lagi dalam Buku
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tentang
asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti adalah :

225
Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah dan Ditbinbapera, 1998, hlm. 65.
249
Bab III

Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang


disebut dalam Pasal 174 KHI.

Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang


diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris
pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan
dalam Pasal 147 KHI. Di antara keturunan dari anak laki-
laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari
kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya. (Paman
walaupun keturunan dari kakek dan nenek bukan ahli
waris pengganti, karena paman sebagai ahli waris
langsung yang disebut dalam Pasal 174 KHI).

Dengan demikian, Pasal 185 KHI menegaskan adanya


pergantian tempat ahli waris, dalam makna keturunan yang dapat
menggantikan posisi yang meninggal terlebih dahulu adalah
anaknya. Pasal 185 juga menegaskan bahwa ahli waris yang
dapat menduduki posisi pengganti adalah ahli waris yang
berdasarkan hukum atau putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap tidak dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat para pewaris; tidak
dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI dapat dipahami bahwa


yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari
anak laki-laki dan keturunan anak perempuan. Hal ini bermakna
bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari
anak laki-laki dapat menjadi ahli waris pengganti, demikian pula
cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari
anak perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti. Ketentuan
ini sangat berbeda dengan konsepsi fiqh waris yang tidak
membenarkan keturunan anak perempuan menjadi ahli waris
25
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

pengganti (baca konsep tanzil), bahkan keturunan anak laki-laki


(cucu) tidak mendapat harta warisan, jika dalam ahli waris
tersebut terdapat anak laki-laki. Dengan demikian, cucu dari
keturunan anak laki-laki yang meninggal terlebih dahulu dari
pewaris menjadi terhijab. Persoalannya adalah apa yang menjadi
landasan pikiran para perumus KHI terutama Pasal 185.

Yahya Harahap menjelaskan barangkali dasar pemikiran


yang dijadikan pertimbangan bagi perumus KHI dalam
merumuskan Pasal 185 adalah bertitik tolak pada alasan sosial
ekonomi. 226 Pada satu sisi, pasal ini mengaitkan dengan alasan
monopolistik atas harta warisan serta alasan kepatutan dan
alasan kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya,
anak yatim yang ditinggalkan oleh ayah atau ibunya jauh lebih
lemah dan lebih sengsara dibandingkan dengan saudara ayah
atau saudara ibunya. Pada saat kakek atau nenek meninggal
dunia, saudara ayah atau saudara ibu lebih mapan ekonominya,
sedangkan mereka sebagai anak yatim, hidup terlantar.
Pantaskah dan manusiawikah, menyingkirkan mereka untuk
mewarisi harta kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya.
Bukankah dalam hal seperti ini saudara-saudara mendiang
ayah/ibunya memonopoli harta warisan kakek/nenek, meskipun
keadaan sosial ekonomi mereka sudah mapan. 227

Pasal 185 ayat (2) menyatakan bahwa ; bagian ahli


waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti. Ketentuan pasal ini
menyimpan sejumlah problematika porsi ahli waris pengganti.
Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut :

226
M. Yahya Harahap, Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan,
Majalah Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996, hlm. 24.
227
I b i d.

251
Bab III

Kasus Pertama

Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki, cucu dari


anak laki-laki dan seorang anak perempuan, serta saudara
laki-laki kandung, dan harta warisan Rp. 180 juta.
Ayah : 1/6
Anak laki-laki : asabah
Cucu dari anak laki-laki : asabah
Anak perempuan : asabah bil ghairi
Saudara laki-laki kandung : mahjub karena ada anak.
Pembagiannya :
Asal masalah :6
Ayah : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta
Anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta
Cucu dari anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta
Anak perempuam : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta +
: 18 jumlah = Rp.180 juta

Dari contoh ini, bila diterapkan secara tekstual


plaatsvervulling, maka ahli waris pengganti adalah termasuk
golongan asabah dan dalam suatu kewarisan, bisa jadi bagian
ahli waris pengganti (cucu) ternyata lebih besar dari bagian
yang diperoleh anak perempuan pewaris yang masih hidup
akan mendapat separoh dari cucu. Kalau ahli waris yang
diganti itu anak perempuan, maka ia akan mendapat bagian
seperti anak perempuan. Hal ini tentu tidak adil dan harus
dicari jalan yang terbaik.
Kasus Kedua

Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, seorang


cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang cucu perempuan
dari anak perempuan dengan harta warisan 7 milyar, dengan
25
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

menerapkan cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6


karena ada nash, dan cucu perempuan sama dengan anak
perempuan, karena ia adalah ahli waris pengganti, maka
pembagiannya adalah :
Seorang anak perempuan : 2/6
Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6 sesuai dengan hadits takmil
Cucu pr dari anak pr : 2/6 karena posisi sebagai ahli
waris Pengganti.
Pembagiannya :
Asal masalah :6
Anak pr : 2/6 ; 3/7 x 7 M = Rp. 3 M
Cucu pr dari : 1/6 ; 1/7 x 7 M = Rp. 1M
anak laki-laki
Cucu pr dari : 2/6 ; 3/7 x 7 M = Rp. 3 M +
anak pr
: 7 (aul) = Rp.7 milyar

Dari contoh kasus ini terlihat posisi cucu perempuan dari


anak laki-laki rugi dan dirasa kurang adil, karena hanya
mendapatkan 1/6 bagian, hal ini terjadi berdasarkan nash hadits.
Sedangkan cucu perempuan dari anak perempuan aman dengan
mendapatkan sama bagian dengan anak perempuan, karena
tidak ada nash yang menetapkan bagian tertentu, padahal dalam
pembagian faraidh, posisi cucu perempuan dari anak perempuan
termasuk ke dalam golongan dzawil arham.
Kasus Ketiga

Kasus ahli waris terdiri atas seorang anak perempuan,


seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang cucu
perempuan dari anak perempuan. Harta warisannya 5 milyar,

253
Bab III

dengan menerapkan cucu perempuan mendapat 1/6, bagiannya


sesuai dengan nash hadits, maka pembangiannya sebagai berikut :

Seorang anak perempuan : 1/2


Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6
Cucu pr dari anak pr : 1/6
Pembagiannya:
Asal masalah :6
Anak pr : 2/6 ; 3/5 x 5 milyar = Rp. 3 milyar
Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar
anak laki-laki
Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar = Rp. 1 milyar +
anak pr: 7 (rad) jumlah = Rp. 7 milyar

Dari contoh ini terlihat adanya perimbangan antara


cucu sama-sama mendapat 1/6 bagian dengan tanpa
mengurangi maksud Pasal 185 KHI yang tidak boleh melebihi
ahli waris yang sederajat. Contoh ini barangkali yang
mendekati keadilan di antara sesama ahli waris pengganti.
Contoh-contoh di atas digunkaan untuk menguji ketentuan
Pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Oleh karena itu,
seorang hakim harus mampu melakukan terobosan baru dalam
menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, sehingga nilai keadilan dan
kesetaraan akan terwujud. Alur pikiran KHI, terutama dalam
pergantian tempat ahli waris adalah ; harta benda dalam keluarga
memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan
keturunannya yang masih hidup, dan anak-anak orang yang
meninggal dunia tersebut, dapat menggantikan kedudukan
228
bapaknya sebagai ahli waris terhadap harta benda kakeknya.

228
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982, hlm.
43.
25
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Analisis Praktik Pengadilan

Pergantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) di


Indonesia berakar pada hukum adat, dan kemudian diperkuat lagi
oleh hukum perdata Belanda (BW) dan di praktikan pada
sejumlah pengadilan Hindia Belanda. Realitas ini memperkuat
secara formal dan non formal adanya lembaga pergantian tempat
ahli waris. Pergantian tempat ahli waris bermula dari adat-istiadat
dan tradisi rakyat ugeran, yang merupakan kebudayaan asli
masyarakat Indonesia. Lembaga ini menjadi dasar hukum bagi
penyelesaian sengketa kewarisan. Penerapan ahli waris
pengganti hanya dapat dilaksanakan dalam garis keturunan ke
bawah, dan tertutup untuk garis keturunan keatas.

Pada zaman Hindia Belanda, institusi pergantian tempat ahli


waris yang dikenal dengan istilah plaatsvervulling, didasarkan pada
Yurisprudensi Raad van Justitie (RvJ) Putusan Kamar III/Adat Kamar
Raad van Justitie Betawi, tanggal 16 Desember 1939 dalam
Indisch Tijdcgrift van Het Recht 140 halaman 239 yang
berbunyi : Apabila seseorang anak lebih dahulu meninggal
dunia sipeninggal warisan, dan anak tersebut meninggalkan
anak-anak, maka cucu-cucu dari peninggal warisan ini
menggantikan orang tuannya, mereka bersama-sama berhak
atas bagian dari harta peninggalan kakek-nenek mereka.

Pada zaman kemerdekaan, praktik pergantian tempat ahli


waris tetap dipertahankan pada lembaga peradilan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
tentang lembaga pergantian tempat ahli waris berupa Putusan
Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dan Putusan
Mahkamah Agung RI No. Reg. 141/K/Sip/1959. Dalam Putusan
Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dinyatakan bahwa
; menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, hak

255
Bab III

menggantikan seseorang ahli waris yang meninggal dunia terlebih


dahulu daripada pewarisnya, ada pada keturunan garis menurun.
Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg.
141/K/Sip/1959 diputuskan ; penggantian waris dalam garis ke
atas pun mungkin pula berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan
yang hidup di kalangan masyarakat yang bersangkutan.

Dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai


pergantian tempat ahli waris dapat dtemukan paling tidak dua
hal. Pertama, yurisprudensi Mahkamah Agung hanya berlaku
di lingkup peradilan umum, karena substansi pergantian ahli
waris masih mengacu pada hukum adat. Mahkamah Agung,
hanya memperkuat hukum yang hidup (living law) terutama
mengenai ahli waris pengganti. Kedua, pergantian tempat ahli
waris, bukan hanya berlaku bagi keturunan di bawah baik dari
garis keturunan laki-laki maupun perempuan, tetapi juga
berlaku untuk garis ke atas berdasarkan rasa keadilan dan
kepatutan. Mahkamah Agung tidak merinci tingkat keadilan
dan kepatutan, penggunaan ahli waris pengganti dari garis
lurus ke atas, sehingga Mahkamah Agung terkesan
membiarkan masyarakat untuk menentukan sendiri.

Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai penentuan


ahli waris pengganti dari garis ke atas sejalan dengan teori air
mengalir (kran) yang dikemukakan oleh Djojodigoeno. Dia
menyatakan bahwa air akan mengalir ke bawah bila kran
dibuka, dan akan mencari tempat ke atas bila krannya ditutup.
229
Teori ini juga sejalan dengan teori hukum adat yang berlaku
di kalangan masyarakat Jawa.

229
Djojodigoeno dan Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middle Jawa,
(terj), 1942, t.tp. hlm. 12.
25
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di lingkungan Peradilan Agama, penerapan ketentuan


hukum pergantian ahli baru dimulai dilaksanakan sejak lahirnya
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991. Sebelumnya,
lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal adanya pergantian
tempat ahli waris, karena hukum materil yang dipergunakan pada
Pengadilan Agama adalah kitab-kitab fiqh yang tidak memberikan
ruang bagi penerapan konsep pergantian ahli waris. Pada sisi
lain, keberanian hakim juga cuku terbatas untuk keluar kitab-kitab
fiqh standar yang menjadi hukum materiil pada Pengadilan
Agama, dan sangat terbatas kemampuan untuk menggali hukum-
hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law).

Kompilasi Hukum Islam membawa perubahan yang


agak fundamnetal terutama dalam hal pergantian tempat ahli
waris, namun di dalam praktek pada Pangadilan Agama masih
banyak ditemukan kendala-kendala penafsiran Pasal 185 KHI,
sebagaimana disebutkan dalam contoh-contoh penyelesaian
perkara pergantian tempat ahli waris pada sub bab analisis
KHI dalam tulisan ini. Contoh kendala penerapan Pasal 185
KHI di lingkungan Peradilan Agama terlihat dari putusan
Pengadilan Agama di Selong Kab. Lombok Timur No.
111/Pdt/G/1997/PA.SEL, tanggal 26 Agustus 1997 M,
bertepatan denga 22 Rabiul Akhir 1418 H.

Putusan tingkat pertama ini menerapkan ketentuan Pasal


158 KHI yang menetapkan ahli waris pengganti yang terdiri atas ;
cucu perempuan dari anak perempuan (1/18 bagian) dan cucu laki-
laki dari anak perempuan (2/18 bagian). Putusan PA Selong ini
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mataram dengan
nomor putusan No. 04/Pdt-G/1998/PTA.MTR, tanggal 28 Maret 1998
bertepatan dengan tangga 29 Dzul Qaidah 1418 H. PTA Mataram
beralasan bahwa ahli waris pengganti yang ditetapkan oleh PA
Selong termasuk dalam kategori zhawil arham, sehingga ia

257
Bab III

tidak berhak mendapatkan harta warisan melalui ahli waris


pengganti.

Keputusan PTA Mataram akhirnya juga dibatalkan oleh


Mahkamah Agung RI No. 354.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober
1999. Mahkamah Agung dalam amar putusan putusannya
menyatakan bahwa putusan judex factie PTA telah salah
menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan dan mengadili
sendiri perkara tersebut. Mahkamah Agung menetapkan ahli
waris pengganti sebagaimana putusan PA Selong. Kaidah hukum
yang dapat dipetik dari putusan MA adalah ; (1) khusus harta
warisan yang terjadi pada tahun 1988, dapat diterapkan KHI,
karena gugatan perdata masalah harta warisan tersebut diajukan
ke Pangadilan Agama pada tahun 1997, setelah berlakunya KHI;
(2) menurut KHI Pasal 185, ahli waris yang meninggal dunia
terlebih dahulu dari pewaris dapat digantikan oleh anaknya yang
disebut ahli waris pengganti, yang bagiannya dari harta warisan
tersebut tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat yang diganti dalam perkara ini.

Gambaran di atas menunjukan bahwa penerapan Pasal


158 KHI, ternyata tidak mudah dan memerlukan keseriusan para
hakim untuk melaksanakan ijtihadnya, sehingga putusan yang
diberikan benar-benar terwujud rasa keadilan di tengah-tengah
masyarakat. Hal yang sama juga hampir dapat dipastikan terjadi
pada lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia.

Analisis Praktik Masyarakat

Di Indonesia, khususnya di Aceh, masalah pergantian


tempat ahli waris sampai hari ini masih terjadi perdebabatan
secara konseptual. Hal ini didasarkan pada realitas kehidupan
25
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

masyarakat Aceh yang kental dengan hukum Islam. 230 Hukum


adat di Aceh merupakan penjelmaan substantif dari hukum Islam,
sehingga praktik-praktik adat di Aceh tidak dapat dilepaskan dari
prinsip-prinsip hukum Islam. Secara konseptual, sebagian ulama
di Aceh menolak konsep pergantian tempat ahli waris
sebagaimana tertuang dalam KHI, dengan alasan pergantian
tempat ahli waris tidak ditemukan ketentuannya secara tegas
dalam ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi SAW. 231 Meskipun
demikian, ulama Aceh tidak pernah menutup pintu terhadap
adanya penafsiran dan pembaruan terhadap hukum Islam.
Ulama Aceh menerima tafsir terhadap ketentuan-ketentuan waris
dalam rangka perwujudan nilai keadilan, kebersamaan, tanggung
jawab dan menjunjung tinggi hak-hak anak yatim. Atas dasar
inilah masyarakat Aceh mempraktikan substansi pergantian
tempat ahli waris dalam kehidupan masyarakat Aceh, walaupun
secara konseptual tidak menyebutkan secara eksplisit pergantian
tempat ahli waris. Dalam praktik kehidupan masyarakat Aceh,
banyak ditemukan ahli waris yang memberikan sedikit atau
sebagaian harta untuk anak yatim yang ditinggalkan orang
tuanya.

Dalam hukum adat Aceh dikenal konsep patah titi atau


putoh tutu dalam hukum kewarisan.232 Konsep ini bermakna
bahwa seseorang cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal
dunia, maka ia tidak mendapatkan harta warisan dari kakeknya
bila kakek meninggal dunia, karena jembatannya sudah putus
yaitu ayah. Dalam hukum adat di Aceh disebutkan bahwa jika
seorang anak meninggal dunia, putuslah hubungan kewarisan

Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia,


Lhokseumawe : Nadiya Foundation, 2003, hlm. 78.
A. Halim Tosa, Praktek Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Banda
Aceh : Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996, hlm 25.
Mohammad Said, Adat Aceh, Banda Aceh : P &K, 1980, hlm. 19,
259
Bab III

yang dimiliki oleh orang tua si anak yang sudah meninggal tadi
dengan keberadaan cucu (dalam hal ini keberadaan hubungan
kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorag cucu ini akan terhijab
oleh keberadaan saudara laki-laki dan perempuan si anak yang
meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titih atau
putoh tutu. 233 Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi atau
jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang ayah
meninggal, maka terputuslah hubungan (khususnya hubungan
penyebab) kewarisan antara kakek dan cucu.

Meskipun demikian, Islam memandang kemuliaan dan


keadilan bagi cucu atau anak yatim yang ditinggalkan orang
tuannya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan
sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak
yatim. Selain itu dalam aturan adat Aceh, sang ulama yang
menjadi saksi dalam pembagian harta warisan tersebut, akan
mendapat sedikit bagian yang dikenal dengan istilah hak
reheung (hak menanti dan menyaksikan).234 Pemberian yang
diberikan kepada anak yatim tersebut (cucu) dan ulama ini
tersebut, bukanlah disebut warisan, akan tetapi hibah. Umumnya,
jumlah yang diberikan kepada cucu atau ulama tidak melebihi
dari sepertiga (1/3) harta warisan dan umumnya telah mendapat
persetujuan dari ahli waris lain yang berhak.

Praktik hukum kewarisan adat Aceh, jelas terlihat


pandangan ganda dalam persolan pergantian tempat ahli waris ini.
Pada satu sisi para ulama Aceh menolak konsep pergantian tempat
ahli dengan memberlakukan konsep patah titi, namun pada sisi lain
praktik masyarakat cenderung memberikan sebagian harta yang
berasal dari harta warisan si kakek kepada sang cucu

I b i d.
Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 119.
26
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang bapaknya (orang tuanya) terlebih dahulu meninggal dunia.


Pandangan ganda ini memerlukan penjernihan, sehingga cucu
dapat memperoleh hak warisan dari kakek, dan adanya jaminan
dan perlindungan hukum terhadap cucu yang yatim tersebut.
Realitas hukum ini, perlu dipertegas agar tidak terjadi
penyembunyian hukum, dan pemberian hak kewarisan kepada
orang lain yang secara substantif tidak memiliki hubungan
hukum untuk mendapatkan harta warisan. Akibat dari dominasi
pandangan ulama yang menganut paham patah titi atau putoh
tutu, maka sedikit sekali sengketa kewarisan terkait pergantian
tempat ahli waris yang diselesaikan lewat jalur formal Mahkamah
Syariyah atau Pengadila Agama.

Praktik patah titi atau putoh tutu masih dipraktikan oleh


masyarakat Aceh. Penyelesaian kasus ini jarang ditempuh
melalui jalur formal ke Pengadilan, tetapi penyelesaiannya
dilakukan melalui adat dan agama dengan mengumpulkan
orang tua kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengan
demikian nampak sedikit sekali kasus pergantian ahli waris
yang diajukan ke Mahkamah Syariyah. Dalam kenyataannya
tidak sedikit anak yatim yang diasuh oleh kakek atau nenek,
karena orang tua mereka meninggal akibat musibah gempa
dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 yang lalu.

Penyelesaian sengketa kewarisan melalui jalur adat dan


agama, memang jauh lebih baik, namun harus ada kepastian
bahwa cucu mendapat jaminan dan perlindungan serta hak yang
pasti dari hukum, dari harta warisan kakeknya. Oleh karena itu,
ketentuan mengenai pergantian tempat ahli waris harus
mendapat pengakuan dalam hukum tertulis yang lebih mengikat
dan menjadi hukum materil pada Pengadilan Agama. Penjelasan,
diskusi dan sosialisasi terhadap konsep pergantian tempat ahli
waris harus terus menerus dilakukan kepada masyarakat agar

261
Bab III

menumbuhkan kesadaran bahwa hukum kewarisan Islam


membawa keadilan, jaminan, dan perlindungan serta
pemastian keberlangsugan hidup generasi mendatang.
Penutup

Pergantian tempat ahli waris merupakan salah satu bentuk


pembaruan hukum Islam, melalui jalur KHI. Konstruksi pergantian
tempat ahli waris masih banyak menyisakan problematika, baik
secara konseptual maupun praktik masyarakat dan penerapannya di
lingkungan Peradilan Agama. Oleh karenanya, kajian secara terus
menerus, baik secara teoritis konseptual maupun realitas aktual
harus dilakukan, sehingga akan ditemukan jalan terbaik (maslahat)
bagi penyelesaian perkara kewarisan. Patut juga dilakukan upaya
serius berupa sosialisasi lembaga pergantian tempat ahli waris
kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi melakukan
penyembunyian hukum, yang tidak mengakui adanya institusi
pergantian tempat ahli waris, akan tetapi dalam praktiknya
menjalankan lembaga pergantian tempat ahli waris. Wallahu
alam....Amin..
26
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

WASIAT WAJIBAH UNTUK ANAK ANGKAT,


ANAK DILUAR PERKAWINAN SAH, DAN ANAK
DARI ORANG TUA BEDA AGAMA
Moh. Muhibbin

Latar Belakang

Allah telah menetapkan aturan main (rule of game) bagi


kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan itu dituangkan dalam
bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang
tingkah laku manusia secara sederhana adalah syari'ah atau
hukum syara' yang sekarang ini disebut hukum Islam (Islamic
Law). Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia
di dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia
maupun di akhirat kelak. Diantara hukum tersebut ada yang tidak
mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan ada juga
yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan didunia layaknya
sanksi hukum pada umumnya. Ada pula sanksi yang tidak
dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhirat kelak dalam
bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut.

Segi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat


kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk
hidup, terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup
lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk
melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut, Allah
menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu, yaitu nafsu
makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk
memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena itu ia

263
Bab III

memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul


kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta.

Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri


melan-jutkan kehidupan, sehingga manusia memerlukan
lawan jenisnya guna menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai
makhluk yang berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk
mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai
makhluk beragama manusia membutuhkan sesuatu untuk
mempertahankan dan menyempurnakan agamanya235
Dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan
syarat bagi kehidupan menusia, yaitu: agama, akal, jiwa, harta
dan keturunan. Kelima hal ini disebut dengan dlaruriyat al-
khamsah (lima kebutuhan dasar) pada diri manusia.236
Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatu-
llah, namun nafsu itu sendiri cenderung kearah keburukan. Nafsu
yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan
pertumpahan darah di muka bumi ini. Untuk itulah tujuan dari
berbagai aturan yang ditetapkan oleh Allah yang bernama hukum
adalah untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidup manusia.

Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat


dikelompokkan kepada dua kelompok.
Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir
manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut
dengan hukum ibadah. Tujuannya untuk menjaga hubungan Allah
dengan hamba-Nya, yang disebut dengan hablun min Allah.

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 2


Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 2002, hal.
92
26
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara


manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya.
Aturan tentang hal ini disebut dengan "hukum muamalat".

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia


yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang wasiat yang aplikasinya
dipakai untuk menyebutkan sesuatu hak yang ketetapannya
disandarkan atas waktu setelah kematian seseorang. Wasiat
merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke
orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan
hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap komunitas
memiliki pemahaman berbeda-beda tentang wasiat. Sistem-sistem
wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksa-naannya.
Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sah-nya
pelaksanaan wasiat tersebut. Begitupula di Indonesia, mempunyai
aturan sendiri tentang wasiat. Di antaranya diatur dalam BW untuk
non muslim atau masyarakat adat, sedangkan untuk umat Islam
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

Harta dan pemilikan yang timbul dari wasiat memerlukan


pengaturan tentang: Pengertian wasiat, siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya, bagaimana cara mendapat-
kannya dan bagaimana perbandingan wasiat dalam Fiqh Islam,
KHI dan praktik di Pengadilan Agama dan Masyarakat.
Pembahasan ini berupaya untuk memahami wasiat wajibah bagi
umat Islam di Indonesia. Bagaimana pun juga, Kompilasi Hukum
Islam merupakan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. KHI
sebenarnya hasil ijtihad dari kitab-kitab Fiqh klasik yang
kemudian dikontekstualisasikan dengan keadaan di Indonesia.
Kontekstualisasi ini dilakukan karena pijakan hukum yang
disusun ulama dahulu itu ada dalam ruang, waktu dan tempat
mereka yang sampai saat ini dijadikan rujukan oleh para hakim di
lingkungan peradilan agama.

265
Bab III

Pengertian Wasiat
Secara etimologi, kata wasiat berasal dari bahasa Arab
(washiyyatu), yang mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan,
menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya. Secara terminologi wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
sesudah orang yang berwasiat meninggal. Secara garis besar
wasiat merupakan penghibaan harta dari seseorang kepada orang
lain, atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang
tersebut. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat
adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan
wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut
imbalan atau tabarru'. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa
pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para
ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan
wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada
orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan
maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang
pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang
menyatakan wasiat tersebut.

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, wasiat diartikan sebagai


suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat. Menurut
asal hukumnya, wasiat merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan dengan kemauanhati dalam keadaan apapun.
Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiat yang
wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim. 237

237
Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2001, hal :273.
26
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir


dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa
pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima
wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar
harta peninggalan.238 Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian
wasiat dijelaskan pada Bab II tentang Hukum Kewarisan. Pasal
171 huruf f menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda
dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f).

Istilah wasiat wajibah tidak dikemukakan dalam kitab-kitab


klasik, sehingga sewaktu istilah ini muncul diartikaan dengan wasiat
yang hukumnya wajib dilaksanakan. Istilah wasiat wajibah
merupakan istilah tersendiri yang pengertiannya hukum wasiat yang
wajib. Maka perlu dijelaskan pengertian wasiat wajibah

Wasiat wajibah

Ia merupakan kebijakan yang dilakukan penguasa atau


hakim sebagai aparat penegak hukum untuk memaksa atau
memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal
dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu. 239 Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal
yaitu: Pertama, hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat
dan muncullah unsur kewajiban melalui sebuah perundangan
atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang
berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat. Kedua, ada
kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam
hal penerimaan laki- laki (dua) kali lipat bagian perempuan.

Anwar Sitompul, Faraid, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah Masalahnya,
Surabaya: Al ihlas. 1984, hal. 60
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 63

267
Bab III

Makna wasiat wajibah, seseorang dianggap menurut hukum


telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata,
anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal
hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak ada
wasiat dibuat, wasiat dianggap ada dengan sendirinya. 240

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan


kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian
harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syara.241
Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum
Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat
yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung
kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. 242
Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud
pelaksanaan tersebut ialah berupa cucu yang kedua orang
tuanya telah meninggal dunia. Dalam hal ini wasiat adalah
pemberian sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau
ibunya jika mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3
harta warisan, sedangkan pelaksanaan tersebut harus di penuhi
beberapa persyaratan yaitu, cucu tersebut belum pernah
menerima wasiat atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan
sebelum pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian
harta warisan kepada ahli waris lain.243

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam
Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.71
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 2000, Jilid 6, hal.1930 ]
Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media
Pratama,1997, hal. 163]
A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Amrullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press,
1996, hal. 65

26
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dasar Hukum Wasiat

Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan Islam,


adalah Al Quran surat Al Baqarah ayat 180.

Artinya;
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-
Baqarah: 180). Ma'ruf ialah adil dan baik dan wasiat itu tidak
melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal.

Kata wasiat dalam Al-Baqarah ayat 180 tersebut di atas


merupakan ayat yang paling lengkap berkaitan dengan wasiat,
Al-Baqarah ayat 180 tidak menjelaskan tentang kesaksian pada
waktu berwasiat, padahal jika tidak di lakukan di depan saksi
akan menimbulkan masalah di kemudian hari, untuk itu dalam Al-
Maidah ayat 106 mengatur tentang persaksian, baik saksi itu
beragama Islam ataupun nonmuslim,
Dalam surat Al-Maidah ayat 106 disebutkan:

269
Bab III

Artinya;
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau
dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu
tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu
mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-
ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini
harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia
karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian
Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk
orang-orang yang berdosa".

Dalam diskursus, pengalihan harta melalui wasiat


merupakan kehendak Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
hidup bagi manusia baik terhadap individu maupun komunitas,
maka diaturlah wasiat yang isinya memberikan legalisasi
terhadap pemilikan atau pemberian manfaat terhadap harta
benda yang dikaitkan dengan waktu setelah kematian
seseorang serta dilakukan secara sukarela kepada orang lain
supaya dapat ikut memanfaatkan harta kekayaan itu.

Para Ulama berbeda pandangan terhadap makna surat Al-


Baqarah ayat 180. Perbedaan ini terletak pada penilain apakah ayat
tersebut muhkamat atau mutasyabihat, dengan adanya perbedaan
ini akan berdampak pada kandungan atau isi ayat tersebut.
Pendapat ibnu Abbas, Al- Hasan Al- Basri Taus Masruq Al- Dahhaq,
mereka berpendapat bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan
para kerabat yang memperoleh harta warisan telah dihapus,
sedangkan mereka yang tidak mendapatkan harta warisan tetap
memikul wasiat yang wajib. Hal ini karena ayat tersebut mencakup
keduanya, kemudian mereka yang mendapatkan warisan
27
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

terhapus. Sedangkan mereka yang tidak mendapatkan


warisan masih berlaku, dalam hal ini Ibnu jarir At-Tabari dalam
tafsirnya memilih pendapat ini. Akan tetapi ulama mutakhhirin
menyebutnya dengan istilah tahsis bukan nasakh.

Al-Qurtuby dalam tafsirnya menjelaskan pendapat ulama


tentang makna Al- Baqarah: 180. Dalam hal ini ada ulama yang
menjelaskan sebagai ayat yang muhkamat. Secara interpretatif
menunjukkan umum, akan tetapi maknanya khusus, yakni orang tua
yang tidak memperoleh warisan dan kerabat yang termasuk ahli
waris. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa ayat tersebut
terhapus dengan ayat muwaris atau faraid dan diperkuat dengan
hadits yang artinya: Allah telah memberikan orang yang punya hak
akan haknya, maka tidak boleh wasiat kepada ahli waris
Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa wasiat kepada kedua
orang tua dihapus dengan bagian tertentu yang pada wasiat masih
tetap berlaku bagi kerabat yang tidak dapat warisan.

Sebenarnya apabila diperhatikan ayat tersebut (Al


Baqarah 180), maka tidak ada hal yang meniadakan antara
ayat tentang wasiat dan ayat tentang waris, artinya, ayat waris
untuk kerabat yang mendapat warisan, sedangkan ayat wasiat
untuk kerabat yang tidak dapat warisan karena ada
penghalang seperti kafir dan budak, terhijab atau tertutup ahli
wari yang lebih dekat dan tergolong dawi al- arham.
Kadar Wasiat

Para Ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan


ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3
(sepertiga) hartanya. 244 Hal ini sesuai dengan Hadits

244
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Jakarta: Pustaka Imami, 1990, hal.452.

271
Bab III

Hadits Nabi saw., yang berbunyi:


( )

Artinya:
Diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah
menjenguk saya waktu haji wada karena sakit keras yang saya
alami sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata
kepada beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai
mana engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai
banyak harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak
perempuan satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak
2/3 dari harta saya? Beliau menjawab Tidak saya mengatakan lagi
bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau
menjawab Tidak sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan,
sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik
dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun
yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala
karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu.(HR. Muslim)

27
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat


bahwa wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa
Surat Al-Baqarah ayat 180 dan Surat An-Nisa ayat 11-12
mengandung pengertian bahwa Allah mewajibkan hamba-
Nya untuk mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris
dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada
pelunasan utang. Adapun maksud kepada orang tua dan
kerabat dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan.

Berdasarkan hadits tersebut dapat dipahami bahwa,


untuk melindungi ahli waris, supaya mereka tidak dalam
keadaan miskin setelah ditinggalkan pewaris, harta yang
boleh diwasiatkan (jumlah maksimal) tidak boleh melebihi dari
sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan. Hal ini dalam
hukum kewarisan Islam adalah untuk melindungi ahliwaris.245
Wasiat Wajibah Dalam Fiqh Islam, KHI, Praktik di
Pengadilan dan Masyarakat

Pada dasarnya memberikan wasiat itu merupakan


tindakan ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas
dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun.
Dengan demikian, pada dasarnya seseorang itu bebas apakah
membuat atau tidak membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada
pendapat para Jumhurul Ulama (madzhab empat) yang
mengatakan bahwa, wasiat kepada kerabat itu disunnahkan.
Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kebebasan
untuk membuat wasiat atau tidak itu hanya berlaku untuk orang-
orang yang bukan kerabat dekat. Mereka berpendapat bahwa
untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seseorang
wajib membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada Al-Quran surat Al

245
Rahmad Budiono, 1999:24, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti

273
Bab III

Baqarah ayat 180. Sedangkan yang berpendapat seperti ini


misalnya ibnu Hazm Adh-Dhahiri, At-Thobari dan Abu Bakar
bin Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat
bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran
kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak
dapat karena terhalang dari mewarisi.246
Di dalam kitab, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, karangan
Wahbah Al Zuhaiyliy Juz.VIII, h.122 mengatakan bahwa, "Telah
dijelaskan bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunnatkan
menurut jumhur ulama'. Di antara mereka itu adalah para imam
madzhab empat. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali
sebab hak dari Allah atau bagi para para hamba Allah. Sebagian
ahli fiqh, seperti Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dan At-Thobari dan Abu
Bakar bin Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat
bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran
kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak
dapat karena terhalang dari mewarisi sampai ucapan
pengarang: "Undang-undang Mesir dan Suriah telah mengambil
pendapat yang kedua

Berdasarkan nash tersebut di atas, maka Ibnu Hazm


memandang hukum wasiat adalah wajib atas setiap orang
yang meninggalkan harta. Ibnu Hazm berpendapat demikian,
karena ia mengacu pada nash secara tekstual (zhahir), yang
menyatakan kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat
tersebut berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan harta,
maka apabila seseo-rang meninggal dunia dan orang tersebut
tidak berwasiat, hartanya haruslah disedekahkan sebagian
untuk memenuhi kewajiban wasiat tersebut.

246
Wahbah Al Zuhaiyliy, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar
Al Fikr.h,1989, hal.122
27
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum


muslimin adalah penguasa, dan urusan wasiat termasuk salah satu
urusan pada diri setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa
haruslah bertindak untuk memberikan sebagian harta pening-galan
sebagaimana tersebut diatas guna memenuhi kewajiban wasiat.
Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut, maka muncullah istilah
wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat yang dianggap ada
walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan.
Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang
shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan
batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum yang
bersifat ijtihadiyyah.

Di dalam ketentuan wajibnya wasiat wajibah ini tidak


membutuhkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam wasiat
biasa, karena wasiat wajibah ini tidak membutuhkan ijab kabul.
Wasiat wajibah dalam hal ini seperti warisan dan dijalankan
sebagaimana pembagian waris. Sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, hal. 123 mengatakan,Dan
karena wasiat ini tidak memenuhi ketentuan-ketentuan wasiat
yang dilakukan secara sukarela karena ketiadaan ijab dari orang
yang memberi wasiat dan tidak ada qabul dari orang yang
menerima wasiat, maka wasiat wajibah ini menyerupai
pembagian warisan; sehingga diperlakukan seperti perlakuan
warisan, yaitu bagi laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian
perempuan dan ahliwaris yang asal menutupi cabangnya. Dan
setiap cabang mengambil bagian dari asalnya saja.

Al Jashshash dalam bukunya Ahkamul Quran


menegas-kan bahwa Al Quran surat Al Baqarah ayat 180
tersebut jelas menunjuk pada wajibnya berwasiat untuk
keluarga yang tidak mendapatkan warisan.

275
Bab III

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan


apakah kewajiban berwasiat tersebut masih berlaku atau tidak.
Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan
pendapat pula, yakni apakah ayat Al Quran tersebut dimansukh
oleh ayat-ayat Al Quran dalam bidang kewarisan atau tidak.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban berwasiat untuk
ibu, bapak, dan keluarga dekat sudah mansukh, baik yang
menerima warisan maupun yang tidak. Mereka juga berpendapat
bahwa Hadits Rasulullah yang artinya Tidak ada wasiat untuk
para ahli waris merupakan peneguhan dari pemikiran mereka. 247
Karena tak ada pertentangan antara ayat-ayat yang mewajibkan
wasiat dengan ayat-ayat dalam bidang kewarisan, maka ayat-
ayat yang mewajibkan wasiat tidak mansukh oleh ayat-ayat
kewarisan. Ini pendapat para ulama yang tetap mewajibkan
wasiat untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan.
Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak
diadakan wasiat untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan
warisan, maka hakim harus bertindak sebagai pewaris, yakni
memberikan sebagian warisan kepada kerabat yang tidak
mendapat warisan sebagai suatu wasiat wajib untuk mereka.
Berdasarkan keadaan di atas, untuk cucu yang tidak
mendapatkan warisan baik ia merupakan anak dari anak perem-
puan, atau anak dari anak laki-laki, karena ada anak laki-laki
yang masih hidup, maka wajiblah dibuatkan wasiat. Contohnya,
seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak
laki-laki dan seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak cucu
tersebut telah meninggal dunia lebih dulu daripada kakeknya.
Dalam keadaan seperti ini, cucu laki-laki tersebut tidak
memperoleh warisan karena terhijab oleh anak laki-laki.

247
ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth, Kifayatul
Ahyar,Bandung, Syirkatul Maarif. 35,
27
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Untuk menguasai keadaan seperti ini diberilah cucu


terse-but berdasarkan wasiat wajib. Besarnya bagian cucu
maksimal hanya sepertiga warisan, sebab besarnya wasiat
wajibah tidak boleh melebihi sepertiga warisan. Jadi, bagian cucu
tidak sebesar bagian yang seharusnya diterima oleh orang
tuanya andaikata ia masih hidup. Ini merupakan perbedaan yang
cukup prinsip antara wasiat wajibah dengan penggantian tempat.
Akan tetapi, wasiat wajibah tetapi merupakan obat kekecewaan
248
karena keadaan yang tak adil tersebut.

Pendapat Ibnu Hazm dan beberapa ulama mengenai wasiat


wajibah seperti tersebut diatas, diikuti oleh Undang-Undang
Wasiat Mesir, Nomor 71 Tahun 1946. Dalam Undang-undang
tersebut ditegaskan bahwa besarnya wasiat wajibah adalah
sebesar yang seharusnya diterima oleh orang tua seandainya ia
masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga
warisan. Disamping itu, harus dipenuhi pula dua syarat, yaitu :

Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima


warisan.

Si mati tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain


sebesar yang telah ditentukan padanya, sepeti hibah
umpamanya. 249
Undang-undang di atas sama sekali tidak menyinggung soal
kemenakan. Hal ini jelas merupakan petunjuk bahwa Undang-
undang tersebut berusaha mengatasi persoalan yang dirasakan
sangat mendesak, ilustrasi kebenaran pernyataan ini dapat
digambarkan dengan sebuah contoh, seseorang mempunyai dua
orang cucu laki-laki. Yang seorang berasal dari anak laki-laki, yang

Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta:


PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 26
Hasbi Ash-Shiddiqy,Op. Cit., Hal. 277.

277
Bab III

lainnya berasal dari anak perempuan. Kedua orang tua cucu


tersebut sudah meninggal dunia, satu-satunya ahli waris
adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu laki-
laki dari anak perempuan terhijab. Mengatasi persoalan
seperti ini para fuqaha berpikir untuk memecahkan masalah
tersebut. Sebab, baik Al Quran maupun As Sunnah tidak
mengaturnya secara rinci bagian seorang cucu.

Pusat perhatian wasiat wajibah ini terfokus pada masalah


cucu, ijtihad yang muncul adalah seperti wasiat wajibah tersebut.
Dalam perkembangan pemikiran hukum kewarisan Islam, para
pemikir ahli hukum Islam (fuqaha) tidak hanya melihat pada cucu
saja, tetapi dengan memperluas cakrawala analisisnya, yakni
dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam
mengenai penggantian tempat. Ahli pemikir hukum Islam yang
disebut terakhir ini, misalnya Profesor Hazairin. Namun demikian,
walaupun dalam lingkup yang sangat terbatas, wasiat wajibah
mempunyai kemiripan dengan penggantian tempat. Kemiripan
tersebut terletak pada ada orang meninggal lebih dulu daripada
orang yang meninggalkan harta kekayaan.

Meskipun pada suatu saat antara penggantian tempat


dan wasiat wajibah menunjukkan kesamaan, akan tetapi banyak
sekali perbedaan antara keduanya. Perbedaan itu mucul karena
dasar pokok pikiran yang tidak sama antara keduanya. Wasiat
wajibah merupakan pranata untuk mengatasi satu jenis
persoalan, sedangkan penggantian tempat merupakan pranata
untuk mengatasi persoalan yang bersifat menyeluruh. Yang
dimaksud dengan menyeluruh di sini adalah menyeluruh
persoalan kematian lebih dulu daripada pewaris, baik dalam garis
lurus ke bawah, garis lurus ke atas maupun garis ke samping. 250

250
Rahmad Budiono, Op. cit., hal. 28.
27
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pada Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, masalah


wasiat wajibah tercantum dalam salah satu pasal pada Bab II
yang mengatur tentang warisan. Hal tersebut termuat pada
pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.

Oleh karenanya perlu dikaji bagimanakah konsep


wasiat wajibah menurut pemikiran Ibnu Hazm dan Kompilasi
Hukurn Islam. Adakah persamaan dan perbedaan wasiat
wajibah menurut Ibnu Hazm dan Kompilasi hukum Islam?. Hal
inilah yang perlu dikaji lebih lanjut.

Salah satu hukum materiil peradilan agama di Indonesia


yang dijadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum
Islam walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden
Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Salah satu materi KHI adalah pemberian wasiat wajibah kepada
anak angkat dan orang tua angkat yang disebutkan dalam pasal
209 KHI. Hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam
yang tidak di temukan dalam kitab-kitab klasik bahkan Undang-
undang Mesir, Syiria, Maroko dan Tunisiapun tidak menyatakan
wasiat wajibah kepada anak angkat dan orang tua angkat. Pasal
209 KHI tersebut menyebutkan:

ayat 1 : Harta peninggalan anak angkat di bagi berdasar-


kan pasal 176 sampai dengan pasal 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang
tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta wasiat anak angkatnya.

Ayat 2 : Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat


diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya.

279
Bab III

Berdasar pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 180 ini


memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
hukum wasiat tersebut. Sebagian ulama (Ulama Hanabilah)
berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu
untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak
menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak
dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu').

Beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat


wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya
meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau
neneknya. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat
wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada
anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan
mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang
majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka
wasiat wajibah juga diperuntukan bagi ahli waris non muslim
dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang


kehilangan haknya karena perbedaan agama ini terjadi di di
Pengadilan Agama Yogyakarta. Dalam kasus tersebut
Pengadilan Agama telah memberikan keputusan tentang wasiat
wajibah bagi kerabat yang tidak mewaris karena terhalang (beda
agama). Hal yang menjadi pertimbangan hakim adalah
pengunaan qiyas (analogi) dengan ide hukumnya atau kausa
yang melatar-belakanginya adalah diperluasnya penafsiran
pemberian wasiat wajibah bagi kerabat yang tidak mewaris yaitu
anak angkat atau orang tua angkat diperluas kepada kerabat non
muslim. Hal yang sama juga terjadi pada putusan Mahkamah
Agung yang memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris
non muslim yang terhalang mewarisi.
28
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat


wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama
yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari
prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran
Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan
banyak hadits. Perasaan kasih yang terjalin dalam satu keluarga
dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat
sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada
manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,
menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi
terciptanya keruku-nan dan ketentraman keluarga.

Sudah menjadi kesepakatan sebagian ulama (ijma)


bahwa perbedaan agama (muslim dan non Muslim) merupakan
salah satu faktor penghalang untuk dapat mewarisi. Begitu juga
hubungan nasab merupakan salah satu sebab untuk dapat
mewarisi. Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama
yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan
orang yang mewariskan. Hal tersebut dapat dilihat dalam satu
kitab fiqh yang artinya: Telah sepakat para ulama (fuqoha)
bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk mewarisi,
yaitu: perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama.

Dan dalam hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh


Bukhori dan Muslim dari Usamah Ibn Zaid yang artinya sebagai
berikut: Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan
orang kafirpun tidak dapat mewarisi harta orang muslim. Para
ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang non
islam (kafir) tidak dapat mewarisi hartanya orang islam lantaran
status orang non islam (kafir) lebih rendah.

Demikian juga orang murtad (orang yang meninggalkan/


keluar dari agama islam) mempunyai kedudukan yang sama,
yaitu tidak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Orang yang

281
Bab III

murtad tersebut berarti telah melakukan tindak kejahatan


terbesar dan telah memutuskan shilah syariah. Oleh karena
itu para fuqaha telah sepakat bahwa orang murtad tidak
berhak menerima harta warisan dari kerabatnya.251
Di samping itu ada sebagian ulama lain yang juga
sependapat seperti Ibn Hazm, At-Thabari dan Muhammmad Rasyid
Ridla bahwa ahli waris non-Muslim akan mendapatkan harta warisan
pewaris Muslim dengan melalui wasiat wajibah, diantara ketiga
ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas uraiannya adalah ulama
Ibn Hazm sebagaimana tersebut dalam Al Fiqhul Islami wa
Adillatuhu Juz VIII hal. 122 sebagaimana alasan hukum yang
disampaikan di atas. Pendapat Ibn Hazm yang lainnya, yang artinya
sebagai berikut: Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi
kerabatnya yang tidak mewarisi disebabkan adanya perbudakan,
adanya kekufuran (non-Muslim), karena terhijab atau karena tidak
mendapat warisan (karena bukan ahli waris), maka hendaknya ia
berwasiat untuk mereka serelanya (dalam hal ini tidak ada batasan
tertentu). Apabila ia tidak berwasiat (bagi mereka), maka tidak boleh
tidak ahli waris atau wali yang mengurus wasiat untuk memberikan
wasiat tersebut kepada mereka (kerabat) menurut kepatutan.

Dari uraian Ibn Hazm tersebut tampak jelas bahwa kedua


orang tua yang tidak mewarisi, yang salah satunya disebabkan tidak
beragama Islam (non-Muslim), wajib diberi wasiat wajibah. Apabila
seorang Muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka ahli waris
atau wali yang mengurus wasiat harus melaksakan wasiat tersebut.
Dengan demikian kewajiban berwasiat tidak hanya bersifat tidak
hanya sebagai tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan
perintah agama (berwasiat) akan tetapi juga

251
Ibnu Rusyd, Op. cit. hal. 497.
28
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dapat dipaksakan apabila ia lalai melaksanakannya karena


sudah menyangkut kepentingan masyarakat.
Kewajiban berwasiat bagi setiap muslim, sebagaimana
diungkapkan Ibnu Hazm, didasarkan kepada dalil Al-Quran surat Al-
Baqarah ayat 180. Pemahaman Ibnu Hazm terhadap ayat-ayat
kewajiban di atas tentu saja agak berbeda dengan Jumhur Ulama
yang memahaminya bahwa ayat kewajiban berwasiat di atas telah
dimasuki oleh ayat kewarisan, yang telah menentukan bagian
warisan untuk kedua orang tua dan golongan kerabat lainnya.
Pemahaman Jumhur Ulama tersebut diperkuat dengan hadits shahih
yang melarang untuk berwasiat kepada ahli waris, yang
ungkapannya sebagai berikut :Allah telah memberikan kepada
setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat
kepada ahli waris. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dengan demikian, menurut Jumhur Ulama lafadz kutiba


dalam ayat kewajiban berwasiat tidak menunjukkan kepada wajib
lagi, tetapi beralih menjadi sunat, yang itupun bukan berwasiat
untuk ahli waris sebagaimaan hadits di atas. Selain itu, wasiat
yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba seperti zakat
kafarat dan utang yang belum dibayar tetap wajib hukumnya.
Sedangkan menurut Ibnu Hazm ayat kewajiban berwasiat tetap
berlaku (muhkam) yang dikhususkan bagi orang tua dan kerabat
yang tidak mewarisi karena berbagai hal di antaranya adanya
perbedaan agama (non-Muslim). Sekalipun antara jumhur Ulama
dan Ibnu Hazm ada perbedaan pendapat dalam menetapkan
hukum berwasiat, tetapi ulama dari kalangan Syafiiyah,
Hanafiyah dan Hanabilah telah membolehkan berwasiat untuk
mereka yang tidak beragama Islam (non-Muslim) dengan syarat
yang diberikan wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak
demikian, maka wasiatnya batal, tidak sah.

283
Bab III

Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat


mewarisi sebagaimana dikemukakan para ulama di atas,
nampaknya masih tetap mewarnai hukum kewarisan Islam
dewasa ini. Undang-Undang kewarisan Mesir dan Syiria,
Maroko dan Tunisia menyatakan secara tegas bahwa antara
Muslim dan non-Muslim tidak dapat saling mewarisi.

Adanya hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim,


sebagai mana dalam putusan Mahkamah Agung, dapat dikatakan
sebagai upaya rechtvinding bagi kewarisan Islam di Indonesia,
mungkin juga di dunia Islam, sebab di Negara-negara muslim
sendiri seperti Mesir, Syiria, Tunisia dan Maroko, wasiat wajibah
hanya diberikan kepada cucu yang orang tuanya meninggal
terlebih dahulu, bukan ahli waris non-Muslim. Hakim yang
memutus perkara ini, melakukan penemuan hukum
(rechtvinding) dengan mengunakan metode Juridis Sosiologis
dengan mengambil pendapat Hazairin, sedang Hazairin sendiri
mengadop pendapatnya dari Ibnu Hazm dengan mendasarkan
pemikiran bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin,
menjunjung tinggi asas keadilan berimbang, asas kepastian
(kemutlakan), asas individual dan asas bilateral.

Sekalipun putusan Mahkamah Agung yang memberikan hak


wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim hanya sebagai madzab
minoritas (Zhahiri) dalam khazanah pemikiran hukum Islam, namun
patut kita hargai sebagai hasil penemuan hukum dalam upaya
mengaktualisasikan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang pluralistik baik di bidang sosial, budaya, hukum
maupun agama agar hukum Islam tidak kehila-ngan jati dirinya
sebagi rahmatal lilalamin. Adapun pembaharuan hukum yang
dilakukan Mahkamah Agung, dalam kitannya dengan memberikan
hak wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim,
28
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

adalah pembaharuan yang sifatnya terbatas, yaitu dengan


tetap memposisikan ahliwaris non-Muslim sebagai orang yang
terhalang untuk mewarisi pewaris muslim sebagaimana yang
telah menjadi kesepakatan para ulama (ijma).

Tetapi di sisi lain, nampaknya bagi Mahkamah Agung


membiarkan ahli waris non-Muslim tidak mendapatkan
sesuatu apapun dari harta warisan pewaris Muslim kurang
relevan dengan nilai-nilai dan norma hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia, sehingga jalan
keluarnya dengan memberikan hak wasiat wajibah, yang pada
dasarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan
yang berkedudukan sebagai ahli waris khususnya dalam
penerimaan bagian warisan. Hak wasiat wajibah bagiannya
relatif hanya dibatasi dengan batasan maksimal 1/3.

Dalam kontek ke-Indonesiaan wasiat wajibah bagi ahli


waris non-Muslim di pihak lain berkaitan dengan nilai dan
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang telah
mengadakan kontrak sosial untuk hidup rukun, damai, saling
hormat menghormati dan tidak saling merendahkan martabat
kemanusiaan atas dasar apapun juga, baik karena perbedaan
suku, budaya maupun agama.

Kontrak sosial tersebut telah dituangkan dalam


konstitusi negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945
sebagai penjabaran dari Pancasila, yang belakangan ini telah
mengalami perubahan (amandemen), dalam bagian pasal-
pasalnya banyak menguraikan tentang perlindungan terhadap
hak asasi manusia (HAM), yang tidak hanya sebagai cerminan
dari keinginan masyarakat Indonesia, tetapi juga sudah
menjadi keinginan masyarakat global (dunia).

285
Bab III

Penutup

Wasiat wajibah merupakan tindakan ikhtiyariyyah yang


dilakukan penguasa atau hakim atau lemabaga yang
mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal
dunia yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang
tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat,
karena adanya suatu halangan syara. Terhadap kerabat yang
tidak menerima harta waris karena terhalang syara, maka
mereka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan pewaris.

Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang


kehilangan haknya karena halangan syara, seperti anak
angkat, perbedaan agama dan anak zina tidak diketemukan
sebuah rujukan yang soreh dalam Al Quran dan hadits, tetapi
menjadi bagian dari maslah ijtihadiyyah.

Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat


wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama
yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari
prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran
Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan
banyak hadits. Perasaan kasih sayang yang terjalin dalam satu
keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui
wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada
manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,
menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi
terciptanya kerukunan dan ketentraman keluarga.
28
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka
Ali Ash-Shobuni, Fiqh Mawaris, Bairut: Daar Al Fikr, 1990
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004

Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT


Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000, Jilid 6.
Anwar Sitompul, Faraid, Hukum Waris Dalam Islam dan
Maslah Masalahnya, Surabaya: Al ihlas. 1984.
A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam
Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra,


2001.
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Surabaya: Pustaka Imami, 1990

ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth,


Kifayatul Ahyar,Bandung, Syirkatul Maarif, 1993
Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,1999
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikry, 1983

Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),


Jakarta: Gaya Media Pratama,1997
Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus:
Darul Fikr, 2002
________ , Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar
Al Fikr.h,1989

287
Bab
III
28
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KEDUDUKAN WARIS ANAK DI LUAR NIKAH


Sulhani Hermawan

Latar Belakang

Kewarisan secara bahasa merupakan perpindahan sesuatu


dari seseorang kepada seseorang lainnya. Sedangkan secara
terminologi syari, kewarisan adalah perpindahan kepemilikan dari
seseorang yang meninggal (mayit) kepada ahli warisnya yang masih
hidup, baik yang dimiliki tersebut berupa harta, atau hak-hak
kebendaan dan non-kebendaan lainnya. 252 Secara garis besar,
kewarisan dilakukan karena beberapa sebab yaitu hubungan
kekerabatan nasab, hubungan pernikahan yang sah, dan hubu-ngan
kekerabatan hukmiyah (pembebasan budak).253

Mendiskusikan kedudukan waris anak di luar nikah tentu


dimulai dengan pembahasan tentang anak di luar nikah terlebih
dahulu, dan kemudian membicarakan status kewarisan yang
dimilikinya. Fiqh Islam dengan beberapa variannya dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) telah memunculkan ketentuan tentang anak
di luar nikah. Demikian pula, dalam praktiknya, pengadilan dan
masyarakat memiliki ketentuan tertentu untuk menyebut anak di
luar nikah. Setelah pembahasan ketentuan yang jelas dari Fiqh,
KHI, praktik di pengadilan dan masyarakat tentang anak di luar
nikah, baru kemudian dibicarakan ketentuan masing-masing
tentang kewarisan anak di luar nikah.

252
Muhammad Ali ash-Shabuniy, al-Mawaris fi asy-Syariah al-Islamiyyah fi
dhau al-KItab wa as-Sunnah, cet. III (Beirut: Alam al-Kutub, 1985), hlm. 31-32.
253
Ibid., hlm. 6.

289
Bab III

Anak di Luar Nikah dalam Perspektif Fiqh

Hubungan anak dengan orang tua selain dibangun oleh


hubungan darah juga dikuatkan oleh adanya pengakuan syara.
Adanya kesatuan hubungan darah menunjukan bahwa hubungan
anak dengan orang tuanya merupakan hubungan yang sejati
untuk mengungkap silsilah nasab dan keturunan dalam keluarga.
Dan penguatan dari pengakuan syara menunjukkan bahwa
hubungan anak dengan orang tuanya tidak sekedar
menghubungkan nama seseorang anak dengan nama bapaknya
secara biologis, tetapi jauh dari itu adalah merupakan dasar bagi
hak dan kewajiban yang akan dipikulkan kepada masing masing
pihak, sebagai konsekuensinya. 254

Sehubungan dengan itu Islam memiliki ketentuan


khusus untuk menetapkan sahnya nasab atau keturunan
seseorang dengan orang lain, yaitu dapat berdasarkan
adanya perkawinan maupun adanya pengakuan nasab
(istilhaq/iqraru bin nasab). Nasab seseorang berdasarkan
perkawinan adalah menetapkan adanya hubungan nasab
seseorang dengan orang lain hanya dengan syarat adanya
perkawinan yang sah saja dan tidak tergantung kepada bukti
lainnya. 255
Dalam Fiqh ditentukan bahwa anak yang dilahirkan
ibunya dari jalan yang tidak syari atau buah hasil hubungan yang

254
Akhmad Junaedi, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan,
Tahun Xxv No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-
di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4.
255
Ibid.
29
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diharamkan maka disebut dengan anak zina.256 Semua ulama dari


empat madzhab Fiqh (Madzhab Hanafiyah, Malikiyyah,
Syafiiyyah dan Hanabilah) telah sepakat bahwa anak hasil zina
itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki (ayah biologisnya),
dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang
menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa
dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak
tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja
baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak
bersuami.257 Anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayah
(biologisnya), tetapi dinasabkan kepada ibunya. 258

Ketentuan tentang status anak sah didasarkan kepada


perkawinan yang sah tersebut didasarkan oleh para ulama
Fiqh pada sebuah hadits yang berbunyi:

259

Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), juz
X, hlm. 532.
Lihat Al Mabsuth juz XVII hlm. 154, Asy-Syarh al-Kabir juz III, hlm. 412, Al-
Kharsyi juz VI, hlm. 101, Al-Qawanin hal: 338, dan Ar-Raudlah 6/44 yang dikutip dari Taisiril
Fiqh juz II, hlm. 828 dalam http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasil-
hubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl. 15.52.
Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin Syatha (Sayyid Bakri Syatha), Ianah ath-
Thalibin, Syarh Fath al-Muin, (Free software Maktaba Shameela), juz II, hlm. 128.
Hadits ini diriwayatkan oleh banyak rawi dan dimuat di dalam beberapa kitab
Hadits, antara lain Riwayat Aisyah di dalam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mausuah Hadits
an-Nabawi asy-Syarif, edisi II, Free Program oleh Islamspirit.com), No. Hadits 1948, 2105,
2289, 2396, 2594, 4052, 6368, 6384, 6431 dan 6760. As-sayid al-Imam Muhammad bin
Ismail al-Kahlani tsumma ash-Shanani mengutip Ibn Abd al-Barr bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh sekitar 20 orang sahabat, lihat As-sayid al-Imam Muhammad bin Ismail
al-Kahlani tsumma ash-Shanani, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-Maram (Semarang:
Maktabah Toha Putera, t.th), juz. III, hlm. 210.
291
Bab III

Hadits tersebut menjadi dalil atas ditetapkannya nasab seorang


anak kepada ayahnya didasarkan kepada hubungan pernikahan
yang sah, dan di luar itu disebut dengan anak hasil zina yang
pelakunya bisa mendapatkan sanksi rajam dengan batu. 260

Dalam literatur-literatur fikih terdapat keterangan yang


menjelaskan agar pengakuan (istilhaq) seseorang dianggap sah
dan bisa menjadikan adanya hubungan nasab dengan orang
yang diakuinya itu harus dipenuhi empat syarat, yaitu: 261

Bahwa anak yang diakui itu tidak diketahui orang tuanya,


sehingga ada kemungkinan untuk menetapkan bahwa
anak itu adalah anak dari bapak yang mengakuinya. Maka
pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui secara
pasti orang tuanya tidak diperbolehkan.

Dari segi umur pengakuan anak tersebut masuk akal, sehingga


apabila anak yang diakui ternyata lebih tua atau sebaya ataupun
lebih muda sedikit dari ayah yang mengakui, maka pengakuan
anak tersebut tidak dapat diterima atau ditolak.

Dari segi obyek pengakuan, jumhur ulama berpendapat


pengakuan anak tersebut tidak didasarkan atas
keterangan bahwa anak yang diakuinya itu adalah hasil
hubungan di luar nikah/zina dengan ibu dari anak itu. Di
antara dalil hukumnya adalah

As-sayid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani tsumma ash-Shanani,


Subul as-Salam, juz. III, hlm. 213.
Akhmad Junaedi, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan,
Tahun XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-
di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4
29
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

262

Jadi hubungan nasab tidak diakui berdasarkan zina sesuai


dengan hadits Dan bagi orang yang berzina itu batu (
) sebagaimana telah disebutkan di atas. Di samping itu as-

Sayid Sabiq menegaskan bahwa jumhur ulama seperti Malik,


al-Tsawriy, al-Lays dan asy-Syafii berpendapat bahwa anak
zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya
baik dalam hukum perkawinan maupun hukum kewarisan.
Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, Ibnu Taimiyah
tetap mengakui adanya hubungan nasab antara anak zina
dengan ayahnya, alasannya sanksi zina ditimpakan kepada
pelaku perbuatan zina baik di dunia maupun diakhirat, bukan
kepada anak yang dilahirkan.

Pengakuan anak tersebut dibenarkan oleh anak yang


diakuinya dengan syarat kalau anak tersebut sudah
dewasa, sebab dengan persetujuan anak yang sudah
dewasa pengakuan itu dianggap benar. Namun jika anak
yang diakui belum dewasa (belum baligh), maka hubungan
nasab cukup didasarkan pada pengakuan ayahnya saja.

As-Sayid Sabiq menyatakan bahwa apabila seseorang


perempuan menikah dan enam bulan sesudah pernikahan
tersebut melahirkan anak, maka anak tersebut dianggap sebagai

262
Al-Quran surat an-Nahl/16 ayat 72.
293
Bab III

anak yang sah. Mengutip Malik, diriwayatkan bahwa Ustman bin


Affan didatangi oleh seorang perempuan yang telah melahirkan
anak setelah enam bulan dari pernikahannya. Utsman bin affan
kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut dirajam.
Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib menolak adanya hukum rajam
terhadap perempuan tersebut dengan argumentasi bahwa anak
tersebut masih berada di dalam pernikahan yang sah, dan
kehamilan bisa terjadi hanya dalam waktu enam bulan saja. Ali
bin Abi Thalib berargumen dengan dalil ayat al-Quran tentang
masa kehamilan dan persusuan sebanyak 30 bulan dan tentang
masa persusuan yang sempurna sebanyak 2 tahun (24 bulan),
sehingga kehamilan terhitung 6 bulan.263
Surat al-Ahqaf ayat 15:

264

Surat al-Baqarah ayat 233:



265

Anak di Luar Nikah dalam Perspektif KHI dan Praktik


Pengadilan
Definisi anak yang sah dalam perspektif KHI diatur di dalam
Bab XIV tentang Pemeliharaan Anak. Pasal 99 KHI mengatur bahwa
anak yang sah menurut hukum adalah anak yang dilahirkan

263
As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Semarang: Maktabah Toha Putera,
t.th.), majlad II, hlm. 357-358.
Al-Quran surat al-Ahqaf/46 ayat 15
Al-Quran surat al-Baqarah/2 ayat 233
29
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam atau akibat perkawinan yang sah. Termasuk dihitung sebagi


anak yang sah ketika pembuahan dilakukan oleh suami istri yang
sah di luar rahim dan dilahirkan oleh suami istri tersebut. 266

Oleh karenanya, anak yang tidak sah atau anak di luar


nikah adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat
perkawinan yang sah. Pasal 100 KHI mengatur bahwa anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam pasal 101
KHI diatur bahwa seorang suami yang mengingkari sahnya
anak, sedangkan istri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan lisan. Sementara itu
dalam pasal 102 diatur bahwa suami yang akan mengingkari
seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya
perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya
melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan
dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.267
Dalam Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor:
408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang pengakuan
anak di luar perkawinan, di dalam salah satu pertimbangan
hukumnya menjelaskan: Dalam penalaran hukum, majelis hakim
berpendapat bahwa tidak ada ketentuan yang jelas dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut. Dalam KHI
hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita hamil.
Menurut Majelis hakim, Pasal 53 KHI didasarkan pada Al-Quran,
Surah An-nur, ayat 3. Filsafat hukum Islam dari ayat

266
KHI pasal 99, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan
oleh Humaniora Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, 1991/1992, hlm. 46-47.
267
Kompilasi Hukum Islam, hlm. 47.

295
Bab III

tersebut adalah dalam rangka perlindungan dan kemaslahatan


anak yang telah terjadi proses pembuahannya di luar nikah
sehingga ada teori hukum: "hukum mengikuti kepentingan publik
(kemaslahatan) yang kuat (al-hukmu yattabi'u al-mashlahah ar -
rajihah)." Selain itu, fakta-fakta dalam proses persidangan telah
memenuhi Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No.
23 tahun 2002) dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Pengadilan Agama. Oleh karena itu permohonan
dapat dikabulkan dan Majelis hakim memutuskan anak yang
namanya Fulan diakui sebagai anak sah Pemohon dan
Termohon berdasarkan pengakuan Pemohon. 268
Akhmad Junaedi menanggapi keputusan PA Sleman
Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang
pengakuan anak di luar perkawinan dengan menyatakan bahwa
pendapat Pengadilan Agama Sleman tersebut tidak sejalan
dengan pendapat Jumhur Ulama, Undang Undang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam tetapi sejalan dengan pendapat Ibnu
Taimiyah dan Burgelijk Wetboek (BW). Kekeliruan majelis hakim
PA Sleman berawal dari dalam penalaran hukum terhadap kasus
yang dihadapi dengan menyimpulkan Tidak ada ketentuan yang
jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus
tersebut. Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur
pernikahan wanita hamil. 269

268
Akhmad Junaedi, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan,
Tahun XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-
di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 1.
269
Ibid, hlm. 6-7.
29
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam hal mengatur kedudukan hukum anak tidak sah


atau anak di luar perkawinan baik Undang Undang Perkawinan
maupun KHI sepintas terkesan bias diskriminasi, seperti
tanggapan yang pernah disampaikan oleh Busthanul Arifin,

Bahwa ketentuan ini menimbulkan kesan, seakan


akan kedudukan ibu yang melahirkan anak di luar
nikah tidak seimbang dengan kedudukan bapak yang
menghamilinya. Bahkan kalau ditinjau dari segi anak
menimbulkan kesan tidak adil dan tidak manusiawi.
Akan tetapi sekiranya anak yang tidak sah (yang lahir
di luar nikah) diberi juga status hukum terhadap bapak
alaminya, maka seluruh lembaga perkawinan yang
begitu luhur akan berantakan sama sekali.270
Akhmad Junaedi menegaskan bahwa menurut BW
(Burgelijk Wetboek) anak di luar perkawinan (natuurlijk kind) adalah
anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan sah dan
tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. Menurut sistem yang
dianut BW pasal 272 adanya keturunan di luar perkawinan saja
belum terjadi suatu hubungan nasab antara anak dengan orang
tuanya, baik dengan bapak maupun ibunya. Barulah dengan
adanya pengakuan (erkening) lahir suatu pertalian kekeluargaan
dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak
dengan orang tua yang mengakuinya. Hal ini sejalan dengan pasal
280 BW yang menyatakan dengan pengakuan anak di luar
perkawinan, maka lahirlah hubungan perdata antara anak dengan
ayah-ibunya. Pengakuan anak menurut BW tidak dapat dilakukan
secara diam diam, tetapi harus dilakukan di muka pegawai Catatan
Sipil dengan pencatatan dalam akte kelahiran anak tersebut, atau
dalam akte perkawinan kedua orang tuanya atau dalam akta

270
Ibid, hlm. 5-6.

297
Bab III

tersendiri dari Catatan Sipil maupun akte yang dibuat Notaris.


Pengakuan anak yang tidak diikuti dengan perkawinan sah
orang tuanya mengakibatkan hubungan kekeluargaan antara
anak dengan keluarga dari ayah dan ibunya belum terwujud,
sebab hubungan tersebut didasarkan pada pengesahan anak
(wettiging) yakni perkawinan sah orang tuanya. Apabila ayah
ibunya sudah kawin secara sah namun belum melakukan
pengakuan anak yang lahir sebelum perkawinan, maka
pengesahan anaknya dilakukan dengan surat pengesahan
(brieven van wettiging) oleh Kepala Negara. 271
Terkait dengan pembuktian asal-usul anak dengan akta
kelahiran atau alat bukti lainnya atau penetapan Pengadilan Agama
berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana diatur di dalam pasal
103 KHI, anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah tangan
(tidak dicatatkan dalam administrasi pencatatan perkawinan),
dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya,
si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal
42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte
kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah,
sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak
tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam
secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. 272

Anak di Luar Nikah Menurut Praktik di Masyarakat


Dalam hukum adat di Indonesia ditentukan bahwa anak
yang sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang

Ibid, hlm. 6.

Lihat http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses tanggal


23 juni 2011, pkl 21.09 wib, hlm. 1-3.
29
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

tuanya yang sah menurut ajaran agama. Hukum adat juga


menentukan bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh ibunya yang
mempunyai suami, maka anak itu adalah anak suaminya. 273 Di
dalam hukum adat tidak menjadi masalah berapa lama seorang
anak dilahirkan sesudah akad perkawinan.274

Dalam hukum adat, proses terjadinya anak luar nikah


dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori. Pertama, anak
dari hubungan ibu sebelum terjadinya perkawinan, kedua, anak
dari kandungan ibu setelah lama bercerai dari suaminya, ketiga,
anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain
yang bukan suaminya, keempat, anak dari kandungan ibu yang
tidak diketahui siapa ayahnya, kelima, anak dari kandungan ibu
tanpa melakukan perkawinan yang sah.275

Sikap hukum adat di Indonesia terhadap anak luar nikah


berbeda-beda. Di Minahasa, Ambon dan Mentawai, anak yang lahir
di luar perkawinan, beribu kepada perempuan yang melahirkannya,
dan dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak cacat. Sementara, di
beberapa tempat lainnya, ibu yang melahirkan tanpa perkawinan
dan anak yang dilahirkannya, secara magis religious, dianggap
membawa petaka, sial dan celaka. Oleh karenanya, ibu dan anak
tersebut harus diasingkan dari

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm. 68, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum
Waris Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali, Tesis Magister pada Program Studi
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006, hlm. 17-18.
Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat ,
hlm. 16.
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat , hlm. 100, yang dikutip oleh Sri
Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 20-23.

299
Bab III

masyarakat, atau harus dibunuh atau diserahkan kepada


kepala adat atau raja sebagai budak.276
Di beberapa daerah, ada lembaga yang bisa memaksa
laki-laki yang ditunjuk si perempuan sebagai orang yang
menurunkan anak di dalam kandungannya. Di Sumatera Selatan
pemaksanya bernama Rapat Marga, di Bali bernama Hakim, di
Jawa bernama Kepala Desa. Hal ini dilakukan agar anak yang
berada di dalam kandungan lahir dalam perkawinan yang sah. 277
Di desa-desa di Jawa, nikah paksaan tersebut disebut dengan
nikah tambelan, berfungsi mengesahkan anak, tetapi masyarakat
tetap memandangnya sebagai anak haram jadah, sebagaimana
di desa Agung Muyo, kecamatan Juwana Kabupaten Pati. 278

Di Bali, anak yang dilahirkan di luar nikah adalah anak


yang sah, jika dibangkitkan di masa pertunangan. Di Minahasa,
anak yang lahir di luar pernikahan, berbapak pada laki-laki
biologis yang menurunkannya, dengan penguat berupa hadiah
adat yang bernama lilikur. Di beberapa tempat lainnya, anak
yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut hukum
adat di masyarakat, dianggap tidak berbapak dan nasabnya
dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. 279

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya


Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 14-15.
Ibid.
Soerojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 1983),
hlm. 127, dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat , hlm. 24.
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm, hlm. 15-16.
30
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kewarisan Anak di Luar Nikah


Ketentuan mengenai anak sah dan anak di luar nikah yang
ada di dalam Fiqh, KHI, praktik pengadilan dan pasyarakat memiliki
implikasi dan konsekuensi lanjutan dalam bidang kewarisan.
Penetapan hak dan hukum waris mewarisi yang terkait dengan
orang tua dan anak selalu berhubungan erat dengan status sah dan
tidaknya anak dalam ketentuan masing-masing.

1. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut Fiqh


Anak di luar nikah, di dalam fiqh disebut sebagai walad
az-zina. Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi
anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari
hubungan suami istri yang tidak sah. Hubungan suami istri yang
tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan
(senggama/wathi) antara dua orang yang tidak terikat tali
pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang
telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami istri yang tidak sah
tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun
karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah
menikah ataupun belum menikah.280

Wahbah az-Zuhaili mencatat, bahwa menurut ulama


Malikiyah, zina adalah salah satu penghalang kewarisan di
dalam ketentuan Fiqh Islam. Oleh karenanya, seorang walad
az-zina tidak bisa saling waris mewarisi dengan ayahnya,
meskipun ayah tersebut mengakuinya sebagai anak

280
Hasanayn Muhammad Makluf, Al-Mawaris fi asy-Syariat al-Islamiyyah,
(t.tp: Matba al-Madaniy, 1996), yang dikutip oleh Chatib Rasyid, Menempatkan Anak
Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum Islam, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005 M/1426 H dan
diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009, dalam situs http://belibis-
a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35, hlm. 4.

301
Bab III

biologisnya.281 Anak zina memiliki posisi yang sama


dengan anak mulaanah,282 hanya bisa menerima dan
memberi warisan dari garis ibunya saja, karena hubungan
nasabnya hanya tersambung dengan garis ibunya.283
Anak zina bisa menerima dan meninggalkan warisan
dari ibunya, dan tidak bisa menerima dari jalur ayahnya, karena
dia dianggap tidak memiliki ayah dan keluarga/kerabat dari jalur
ayah284. Dalam ketentuan Umar bin Khattab, ashabah anak zina
(sama dengan anak mulaanah) hanya bisa didapatkan dari jalur
ibunya. Apabila anak zina berada dalam posisi ahli waris yang
memiliki bagian (dzu fardl), maka bagian hartanya dikembalikan
kepada ahli waris lainnya (radd). Namun apabila anak zina, tidak
dalam posisi menerima bagian warisan tertentu (ashabah), maka
bagian ashabahnya dikaitkan dengan ashabah ibunya.285

Ketersambungan hubungan dan posisi kewarisan anak


zina kepada jalur ibunya dan tidak kepada ayah dan jalur
ayahnya merupakan sebuah ijma dan disepakati oleh ulama

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (free program Mahtabah


Syamilah 15 gb), juz X, hlm. 383.
Anak mulaanah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang diingkari
oleh suaminya dengan dikuatkan dengan sumpah lian, maka nasab dengan ayahnya
terputus, dan semua konsekuensi perdatanya hanya dihubungkan dengan garis ibunya,
lihat As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah , majlad II, hlm. 276-277 dan dan an-Nawawiy, Al-
Majmu Syarh al-Muhadzdzab(free program Mahtabah Syamilah 15 gb), Bab Mirats
al-Ashabah, juz XVI, hlm. 10.
Al-Bahr ar-Raiq (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Kitab al-Faraid, juz
VIII, hlm. 574.
Fatawa al-Baghdadi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Nasab al-
Walad, juz II hlm. 852.
Syarh az-Zarkasyi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Masailun
Syatta fi al-Faraid, Juz II, hlm. 278

30
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Fiqh madzhab empat serta Syiah Imamiyah.286 Hal ini


didasarkan kepada hadits sebagai berikut:
287


288


Senada dengan riwayat hadits tersebut, diriwayatkan juga
dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas bahwa anak zina
tidak diperkenankan memperoleh kewarisan menurut
Islam dengan pernyataan sebagai berikut:

289

Dengan demikian menjadi sebuah ijma dan kesepakatan
di kalangan ulama fiqh Islam bahwa posisi kewarisan anak
di luar nikah (anak zina dan anak mulaanah) hanya bisa
dihubungkan kepada ibunya dan keluarga ibunya.290
2. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut KHI

Seiring dengan ketentuan Fiqh dan sebagai


konsekuensi lanjutan dari pasal 100 KHI tentang anak di luar

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , juz X, hlm. 532.

Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari
kakeknya, di salah satu sanadnya terdapat nama Abu Muhammad Isa bin Musa al-
Qursyi ad-Dimasyqi yang dinilai tidak masyhur, lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66
yang dikutip Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , juz X, hlm. 533.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, lihat lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66
yang dikutip Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , juz X, hlm. 533.
Nailul Authar (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Miratsul Ibn al-
Mulaanah wa az-Zaniyah min Huma, juz VI, hlm.127.
Ibid.
303
Bab III

perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya


dan keluarga ibunya, yang sejalan dengan ketentuan pasal
43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, maka anak yang lahir di
luar nikah hanya bisa memiliki hubungan dan posisi
kewarisan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam pasal
186 KHI ditentukan, Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya
dan keluarga dari pihak ibunya.291

Chatib Rasyid menegaskan bahwa yang termasuk


anak yang lahir di luar pernikahan adalah292:
Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai
ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang
menghamilinya.

Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan


oleh satu orang pria atau lebih.

Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dilian (diingkari)


oleh suaminya.

Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya


akibat salah orang (salah sangka), disangka suami
ternyata bukan.

Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya


akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah
dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan.

Anak yang lahir di luar nikah tersebut secara hukum tidak


mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan

Pasal 186 KHI, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 77.
Chatib Rasyid, Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum
Islam dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl
15.35, hlm. 5.
30
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ayah/bapak alami (genetiknya), ataupun suami ibunya. Dengan


demikian, secara tegas, KHI mengatur bahwa anak di luar
pernikahan yang sah dengan bukti-bukti perkawinan yang sah
secara hukum, hanya bisa memperoleh bagian warisan dari
ibunya dan keluarga ibunya dan hanya bisa meninggalkan
warisan kepada ibunya atau keluarganya dalam jalur ibu.

3. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Pengadilan

Putusan pengadilan oleh majelis hakim tentang


sengketa atau penetapan waris selalu didasarkan kepada
peraturan perundangan yang berlaku. Pengadilan Agama,
dengan landasan hukum Islam, khususnya berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam, tidak bisa memutuskan kewarisan
anak di luar nikah dari jalur ayahnya, baik ayah biologis
maupun suami ibunya. Namun demikian, ada beberapa
yurisprudensi Mahkamah Agung terkait dengan perkara-
perkara sengketa waris dengan pertimbangan hukum
tertentu, tidak memberikan warisan kepada anak di luar
nikah dan dengan pertimabngan tertentu pula, ada yang
memberikan warisan kepada anak di luar nikah.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI)


tanggal 18 Maret 1976 No. 889 K/SIP/1974 menegaskan
bahwa adanya perkawinan dibuktikan dengan adanya akte
perkawinan. Maka bahwa anak-anak yang lahir dalam hidup
bersama yang bukan dianggap sebagai ikatan perkawinan
secara hukum, adalah anak alam (natuurlijk kind) dan bukan
anak yang sah.293 Berdasarkan pertimbangan hukum adat,

293
Putusan Mahkamah Agung tgl. 18 - 3 - 1976 No. 889 K/Sip/1974. dalam
Perkara: Muchtar d/h Lo Mjuk Sen melawan Na Teng Lian, Na Teng Hin Na Teng Nie
dan kawan-kawan, dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH.; 2. R.
Saldiman Wirjatmo SH.; 3. Indroharto SH. Yang dikutip dalam
http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm, diakses tgl 23 Juni 2011, pkl 20.47 WIB.

305
Bab III

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 24 Mei 1958 No.


82/K/SIP/1957 menyatakan bahwa anak luar kawin tidak
berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang ini
kembali kepada waris keturunan darah yang sah.294
Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 18 Maret
1959 menyatakan bahwa,

menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak


luar kawin hanya diperkenankan mewaris harta gono-gini dari
keluarga bapak biologisnya, sedangkan harta pusaka (barang
asal), anak luar kawin tidak berhak mewarisinya. 295

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.


179/K/SIP/1960 tanggal 23 Oktober 1961 menyatakan:
Berdasarkan rasa kemanusiaan dan keadilan umum juga, atas
hakikat persamaan hak antara anak sah dan anak luar kawin,
dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap
sebagi hukum yang hidup di Indonesia, bahwa anak-anak luar
kawin adan anak-anak sah dari seorang peninggal harta
(pewaris), bersama-sama berhak atas harta warisan, dengan
kata lain bagian seorang anak-anak sah adalah sama dengan
bagian seorang anak-anak luar kawin.296

Hal ini menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 6 Oktober


1937 yang mengatakan bahwa anak luar kawin menurut hukum adat tetap berhak atas
harta warisan yang ditinggalkan oleh keluarga ibunya sendiri. Tetapi hak waris anak luar
kawin terbatas pada harta warisan keluarga bapak bioologisnya yang berasal dari harta
pencaharian bukan harta pusaka, lihat oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 52-53.
Wahyu Afandi, Aneka Putusan Pengadilan (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 289,
yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat
, hlm. 53.
Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat
(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 97, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak
Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 62.
30
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 415/K/SIP/1970


tanggal 30 Juni 1971 menyatakan:

Hukum adat di daerah Padang Sidempuan, Sumatera Utara,


tentang kedudukan anak (anak sah dan anak luar kawin)
terhadap warisan orang tua. DI daerah Tapanuli pemberian
dan penyerahan kepada seorang anak luar kawin merupakan
serah lepas dengan maksud memperlunak hukum adat
setempat yang pada mulanya tidak mengakui hak mewaris
bagi anak luar kawin. Jadi saat ini, hukum adat di Tapanuli
telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada
anak anak sah dan anak anak luar kawin. 297

Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.


1037/K/SIP/1971 tanggal 31 Juli 1973 menyatakan:

Hukum adat di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tentang


kedudukan anak anak luar kawin terhadap warisan orang
tuanya, dalam hal ini pewaris yang telah meninggal dengan
meninggalkan seorang anak luar kawin, maka anak anak luar
kawin inilah yang merupakan satu-satunya ahli warisnya dan
yang berhak atas harta yang ditinggalkannya. 298

Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI


tersebut, anak luar nikah, dengan beberapa pertimbangan
hukum tertentu, memiliki peluang untuk memperoleh harta
warisan dari ayah dan ibu biologisnya dalam Praktik di
Pengadilan, terutama Pengadilan Negeri.
4. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Masyarakat
Pada masyarakat di Indonesia yang masih menerapkan
hukum adatnya, kewarisan adalah penerusan harta kekayaan

Ibid., hlm. 62-63.


Ibid., hlm. 63.

307
Bab III

dari suatau generasi kepada keturunannya. 299 Hukum waris


adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang
bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan
peralihan/perpindahan garta kekayaan yang bersifat materiil
dan non-materiil dari generasi ke generasi. 300 Pada
umumnya, menurut hukum adat, anak yang lahir dari
perkawinan ayah dan ibunya yang tidak sah, maka tidak
berhak sebagai ahli waris dari orang tuanya. Anak yang tidak
sah hanya mewaris dari ibu atau kerabat ibunya. 301

Selain beberapa praktik pemberian kewarisan di


masyarakat yang telah dikutip oleh beberapa yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, yaitu di Pematang Siantar dan Padang
Sidempuan, Sumatera Utara dan Jawa Tengah, yang telah
diterangkan sebelumnya, di Indonesia ada beberapa
kelompok masyarakat yang mayoritas Muslim menerapkan
ketentuan tentang posisi waris anak luar nikah dengan
bahkan memberikannya, meski dengan ketentuan adat yang
khusus. Namun demikian, anak luar kawin, secara adat tidak
layak menjadi ahli waris apabila membunuh pewaris, atau
mencegah paksa pewaris untuk membuat wasiat, atau

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm. 7 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat , hlm. 27.
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1981), hlm. 151, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 27.
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita,
1987), hlm. 79, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut
Hukum Waris Adat , hlm. 30-31.
30
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

melenyapkan atau memalsu surat wasiat pewaris, atau


melanggar ketentuan adat yang berlaku bagi pewaris.302
Sri Wahyuni, dalam penelitiannya pada masyarakat
desa Winong kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa
Tengah yang memiliki penduduk 2243 orang beragama Islam, 20
orang beragama Kristen dan 27 orang beragama Katolik 303 serta
berpenduduk 1098 anak sah dan 1192 anak luar nikah 304
menemukan beberapa hasil riset tentang pemberian warisan
kepada anak luar nikah dengan ketentuan dan prosedur tertentu.
Pertama, kedudukan anak luar kawin yang berkelakuan baik
terhadap keluarga bapak biologisnya, akan mendapat warisan
dari keluarga bapak biologisnya. Jika bapak biologisnya
mempunyai anak sah dan anak luar kawin, maka anak luar
kawin itu dapat mewaris dari bapak biologisnya dengan bagian
yang tidak sebanyak seperti yang didapatkan oleh anak sah.
Kedua, penyelesaian sengketa warisan dengan melibatkan anak
luar kawin, terlebih dahulu dilakukan dengan cara musyawarah
di antara anggota keluarga, dengan dipimpin oleh anak sah yang
sulung atau anak laki-laki yang dituakan, atau kalau tidak ada
anak sah, maka dipimpin oleh saudara atau kerabat dari pihak
ayah. Kalau musyawarah keluarga tidak bisa menyelesaikannya,
maka sengketa akan

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Rineka


Cipta, 1991), hlm. 141, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 31-32.
Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah
bulan Juni tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat , hlm. 44.
Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa
Tengah bulan Maret tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, Kedudukan Anak
Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat, hlm. 41.

309
Bab III

diselesaikan dalam musyawarah adat yang dipimpin oleh Kepala


Desa atau yang dituakan oleh masyarakat desa Winong.

Melihat adanya kenyataan tentang pemberian waris


kepada anak luar nikah di beberapa masyarakat di Indonesia,
bahkan masyarakat yang mayoritas beragama Islam,
berdasarkan hukum adatnya, menjadi sebuah catatan
penting, bahwa pada kasus tertentu, masyarakat bisa tidak
menerapkan hukum Islam (yang termuat di dalam fiqh) dan
ketentuan KHI yang melarang pewarisan anak di luar nikah
dari jalur ayahnya. Hukum adat di beberapa tempat,
memberikan peluang kepada anak luar nikah untuk bisa
menerima warisan dari ayah (biologisnya).

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:

Anak yang tidak sah, baik anak zina maupun anak mulaanah
menurut fiqh adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang
tidak sah atau tidak diakui oleh suami ibunya yang dikuatkan
dengan sumpah lian. Mayoritas ulama fiqh menetapkan
bahwa anak di luar nikah yang sah tidak diperbolehkan
menerima atau meninggalkan warisan dari jalur ayah, baik
ayah biologisnya maupun suami ibunya, serta hanya saling
mewarisi dengan ibunya atau kerabat ibunya

Anak yang tidak sah, atau anak di luar nikah yang sah menurut
KHI adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat
pernikahan yang sah. Pembuktian asal-usul anak yang sah
dilakukan dengan alat bukti resmi yang disahkan oleh hukum
Negara, baik berupa sertifikat atau alat bukti lainnya atau
penetapan Pengadilan Agama dengan bukti-bukti yang sah
31
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dan meyakinkan. Anak yang tidak sah atau anak di luar


nikah yang sah, tidak berhak saling mewaris dengan ayah
biologisnya atau suami ibunya dan hanya berhak saling
mewaris dengan ibunya atau kerabat/keluarga ibunya.

Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di pengadilan


adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut
hukum positif dan tidak bisa dibuktikan secara hukum.
Dengan pertimbangan hukum positif pula, anak di luar nikah
tidak bisa saling mewaris dengan ayah biologisnya atau
suami ibunya dan hanya bisa saling mewaris dengan ibunya
atau keluarga ibunya. Namun demikian, dalam kasus
tertentu, berdasarkan pertimbangan hukum adat tertentu,
pengadilan bisa menetapkan pemberian warisan kepada
anak luar nikah oleh ayah biologisnya.

Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di masyarakat


adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah
menurut hukum agama, hukum negara dan atau hukum
adat yang berlaku setempat. Secara umum, anak di luar
nikah menurut masyarakat hanya bisa saling mewarisi
dengan ibunya atau kerabat ibunya. Namun, dengan
pertimbangan lokal, berdasarkan musyawarah keluarga
atau musyawarah adat, anak di luar nikah bisa saling
mewaris dengan ayah biologisnya.
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim

al-Bukhari, Shahih Bukhari, Mausuah Hadits an-Nabawi asy-


Syarif, edisi II, Free Program oleh islamspirit.com.
al-Bahr ar-Raiq, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.
Fatawa al-Baghdadi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

311
Bab III

Nailul Authar, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

an-Nawawiy, Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, Free software


Maktaba Shameela 15 Gb.
Syarh az-Zarkasyi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

Syatha, Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin (Sayyid


Bakri Syatha), Ianah ath-Thalibin, Syarh Fath al-Muin,
Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Free


software Maktaba Shameela 15 Gb.
Afandi, Wahyu, Aneka Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 1984.

ash-Shabuniy, Muhammad Ali, al-Mawaris fi asy-Syariah al-


Islamiyyah fi Dhau al-Kitab wa as-Sunnah, cet. III,
Beirut: Alam al-Kutub, 1985.

ash-Shanani, as-sayid al-Imam Muhammad bin Ismail al-


Kahlani tsumma, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-
Maram,Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.

az-Zuhayliy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Beirut:


Dar al-Fikr, 1984.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1999.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh


Humaniora Utama Press, Bandung) dari sumber
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama, 1991/1992.

Makluf, Hasanayn Muhammad, Al-Mawaris fi asy-Syariat al-


Islamiyyah, t.tp: Matba al-Madaniy, 1996.
31
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat Suatu


Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta:


Rineka Cipta, 1991
Sabiq, as-Sayid, Fiqh as-Sunnah, Semarang: Maktabah Toha Putera,
t.th..
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1987.

Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu


Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1981).

Sri Wahyuni, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum


Waris Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali,
Tesis Magister pada Program Studi Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006.
Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Azas, Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1981.
Wignjodipuro, Soerojo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung
Agung, 1983.

Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten


Boyolali Jawa Tengah bulan Maret tahun 2006.

Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten


Boyolali Jawa Tengah bulan Juni tahun 2006.

http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasil-
hubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl.
15.52.

http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm, diakses tgl 23


Juni 2011, pkl 20.47 WIB.

313
Bab III

http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses
tanggal 23 juni 2011, pkl 21.09 wib.

Junaedi, Akhmad, Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar


Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna
Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Xxv
No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam
http://pa-kotabumi.go.id/index.php?
option=com_content&view=ar ticle&id =74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-
tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-majalah-hukum-varia-
peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni
2011, pkl 20.56 wib.

Rasyid, Chatib, Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah


Secara Hukum Islam, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus
2005 M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009,
dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses
pada 1 Juni 2011, pkl 15.35.
31
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

WASIAT PEMBAGIAN HARTA WARIS SEBELUM PEWARIS


MENINGGAL DUNIA DAN PRAKTIK HIBAH DIHITUNG
SEBAGAI BAGIAN WARIS
Zaenul Mahmudi

Latar Belakang

Diskursus mengenai kewarisan merupakan wacana


yang senantiasa menarik dan menantang untuk dibicarakan,
di samping karena variasi sistem kewarisan yang relatif
banyak, juga karena prinsip keadilan menjadi taruhan dan
pertentangan dalam pembagiannya. Indonesia memiliki sistem
kekeluargaan (family kinship) yang terdiri dari: patrilineal,
matrilineal, dan bilateral di mana sistem kekeluargaan ini akan
melahirkan berbagai macam sistem kewarisan yang mengikut
kepada sistem kekeluargaan yang dianutnya.

Agama yang diakui di Indonesia juga menelorkan


berbagai sistem kewarisan, sementara Islam sendiri juga
memiliki sistem kewarisan yang berfariatif, sistem kewarisan
Sunni, Syiah, dan Kompilasi Hukum Islam, termasuk
beberapa ketentuan kewarisan Islam yang mengalami
perubahan dan pergeseran melalui keputusan Mahkamah
Agung yang disebut yurisprudensi. Di samping itu, juga ada
perbedaan mengenai hukum materiil kewarisan yang
diterapkan antar Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.

Tingkat variasi yang tinggi dalam sistem kewarisan yang


diberlakukan oleh masyarakat Indonesia ini, di samping
memberikan banyak alternatif bagi mereka dalam memilih sistem
kewarisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan
kewarisan, juga berimplikasi kepada keraguan dan kebingungan

315
Bab III

mengenai sistem kewarisan apa yang akan digunakan


memecahkan permasalahannya. Mengingat tingkat pengetahuan
masyarakat Indonesia mengenai sistem kewarisan yang ada
yang masih relatif rendah membuat mereka merasa khawatir
apabila sistem kewarisan yang diterapkan tidak memenuhi rasa
keadilan yang dipersepsikannya dalam pembagian warisan.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka banyak orang tua


yang memiliki inisiatif untuk melakukan pembagian terlebih
dahulu terhadap harta kekayaan yang dimilikinya untuk anak-
anak mereka, baik melalui institusi hibah maupun wasiat.
Pembagian ini dilakukan dengan alasan: a) untuk menghindari
perpecahan di antara keluarganya berkenaan dengan pembagian
harta warisan, b) untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana
yang dipersepsikannya dalam pembagian harta kekayaan.
Pengaturan harta dalam pembagian harta melalui wasiat dan
hibah ini dilakukan terhadap keseluruhan atau sebagian besar
harta kekayaan, sehingga dengan adanya pembagian harta
diawal, sisa harta yang akan dibagi berdasarkan sistem
kewarisan yang berlaku di masyarakat tinggal sedikit saja.

Mengingat permasalahan wasiat dan hibah ini sering


dilakukan oleh masyarakat dalam pembagian harta yang akan
menjadi harta warisan sepeninggal pemilikinya, maka perlu
dikaji permasalahan wasiat dan hibah dalam kaitannya
dengan kewarisan dalam perspektif fiqh, praktik masyarakat
dan peradilan serta Kompilasi Hukum Islam.
Pengertian Hibah
Secara literal, hibbah merupakan kata benda (mashdar) dari
kata kerja wa-ha-ba yang berarti pemberian yang tidak ada
gantinya.305 Hibbah menurut istilah adalah akad yang berimplikasi

305
Ibn Mandhr, Lisn al-Arab (Kairo: Dr al-Marif, t.th.), 4929.
31
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada kepemilikan tanpa ada ganti pada waktu masih hidup yang
bersifat sukarela (tathawwu).306 Kata Hibbah ini meliputi hadiyyah,
shadaqah, dan pemberian (athiyyah) mengingat makna dari istilah-
istilah tersebut relatif berdekatan satu sama lainnya.

Suatu pemberian yang diberikan kepada orang yang


memerlukan dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
disebut dengan shadaqah, apabila pemberian itu diantarkan kepada
orang yang diberi sebagai suatu penghormatan atau kasih sayang
disebut hadiyyah, apabila tidak maka disebut dengan hibbah.
Sedangkan athiyyah adalah merupakan hibbah yang pemberian
hartanya dilakukan ketika pemilik harta tersebut dalam kondisi sakit
keras.307 Sedangkan menurut yang dikemukakan dalam Mawsah
al-Fiqhiyyah istilah yang menjadi payung adalah
athiyyah, dalam artian bahwa athiyyah meliputi hibbah,
shadaqah, dan hadiyyah.308
Dasar Hukum
Dasar dari pemberian (hibbah) ini adalah firman Allah:


Artinya:

dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,


anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan

306
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh, Vol. 5 ( Damaskus: Dr al-Fikr,
1985), 5.
Ibid, 5.
Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, al-Mausah al-Fiqhiyyah, Vol. 42
(Kuwait: Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, 2004), 120

317
Bab III

pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan


(memerdekakan) hamba sahaya. (QS. Al-Baqarah: 177)
Hibbah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:

309


Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: Saling memberilah
hadiah (hibbah) kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.
Dan sabda Rasulullah:
310

Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan


adalah seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang
telah dikeluarkannya

Selain itu, para ulama juga telah sepakat mengenai


dianjurkannya memberikan hibbah sebagai suatu
pengejawantahan dari perintah Allah untuk senantiasa tolong
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al-Midah: 2), 311
karena hibbah ini memiliki implikasi yang bagus dalam pergaulan
antara sesama Muslim di mana bisa menebarkan rasa kasih
sayang dan cinta kasih di antara mereka, di samping hikmah-
hikmah lain yang timbul dari pemberian hibbah ini.

Ab Bakar ibn Ali al-Baihaq, al-Sunan al-Kubr, Vol. 6, (Beirut: Dr al-Kutub


al-Ilmiyyah, 2002), 280.
Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br bi Syarh Shahh al-Bukhr, Vol. 6, (Riydl:
Dr al-Thaibah, 2005), 444.
311
Lihat Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh, 7. Dan Wuzrah al-Auqf, al-
Mausah Vol. 42, 121
31
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengertian Wasiat

Kata washiyyah, secara literal merupakan bentuk kata


benda (mashdar) dari kata washa yang kemudian mendapatkan
tambahan alif di depannya menjadi ausha atau di-tadlif-kan
menjadi washsha yang berarti ahida atau mempercayakan,
memberikan perintah atau arahan, mendelegasikan, atau
memberikan kekuasaan. Bentuk mashdar dari ausha ini selain
washiyyah adalah washh, washyah, dan wishyah.312
Washiyyah juga bisa berarti apa yang diwasiatkan dan disebut
wasiat karena berkaitan erat dengan permasalahan kematian. 313

Sedangkan secara terminologis, washiyyah adalah


akad kepemilikan yang implementasinya disandarkan kepada
setelah kematian secara suka rela, baik terhadap harta benda
atau manfaat.314 Implementasi washiyyah yang dilakukan
setelah pewasiat (al-mshi) meninggal dunia ini merupakan
poin pembeda dengan bentuk-bentuk karitas yang lain, seperti
hibbah, athiyyah, shadaqah, dan hadiyyah.

Para ulama ada yang mendefinisikan secara lebih


luas, yaitu segala perbuatan yang diwasiatkan pewasiat yang
diimplementasikan setelah si pewaris meninggal dunia, seperti
wasiat kepada seseorang untuk menikahkan puterinya, wasiat
mengenai bagaimana dia dimandikan, atau wasiat kepada
seseorang untuk menjadi imam shalat dan lain sebagainya. 315
Washiyyah juga bisa berkenaan dengan pembebasan dari

Ibn Mandhr, Lisn al-Arab (Kairo: Dr al-Marif, t.th.), 4853.


Ibid, 4854.
Lihat Wuzrah al-Auqf, al-Mausah, Vol. 43, 221. Dan Wahbah al-Zuhail, al-
Fiqh Vol., 8.
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh, Vol. 8, 9.

319
Bab III

kepemilikan harta, seperti wasiat mengenai pembebasan hutang,


pembebasan dari penanggung jawab terhadap harta benda,
demikian juga wasiat bisa berkenaan dengan hak untuk
melakukan sesuatu, seperti wasiat untuk segera melunasi hutang
dan menjual harta kekayaan kepada seorang tertentu. 316
Dasar Hukum

Washiyyah ini didasarkan kepada ketentuan al-Quran,


hadits, ijma, dan rasionalitas. Menurut al-Quran, washiyyah
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang
merasa ajalnya sudah dekat, sebagaimana firman Allah:




Artinya:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa. (QS. Al-Baqarah; 180).

Washiyyah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah saw.


316
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh. , Vol. 8, 9-10.

32
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia



317

Ali ibn Muhammad menceritakan kepada kami, Waki
menceritakan kepada kami dari Thalhah ibn Umar dari Atha
dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
Sesungghnya Allah memerintahkan kamu untuk bersedekah
pada waktu kematianmu sepertiga hartamu sebagai
tambahan kebaikan bagi amal perbuatanmu.
Sedangkan berdasarkan ijmak, para ulama sepakat atas
kebolehan melakukan wasiat. Dan secara logika, wasiat penting
dilakukan oleh setiap orang untuk memperbanyak kebaikan dan
perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. 318
A. Hibah dan Wasiat Perspektif Fiqh
1. Hibah Perspektif Fiqh

Hibbah sebagaimana bentuk-bentuk karitas yang lain


merupakan perbuatah kebaikan yang ditujukan untuk
menguatkan kasih sayang dan rasa cinta kasih antara sesama
manusia, selain untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Dalam melakukan hibbah, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu: rukun hibbah dan syarat-syaratnya, hukum
hibbah dan hibbah kepada anak.
a. Rukun Hibbah dan syarat-syaratnya
Para ulama sepakat bahwa rukun hibah terdiri dari tiga unsur,
yaitu: 1) dua orang yang melakukan akad hibah, yaitu orang yang
menghibbahkan (al-whib) dan orang yang menerima hibah

Ab Abdullh Muhammad ibn Yazd al-Qazwn al-Syahr bi Ibn Mjah, Sunan


Ibn Mjah (Riydl: Maktabah al-Marif, 1417H.), 460.
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh ., Vol. 8, 11.

321
Bab III

(al-muhb lah), 2) benda yang dihibahkan (al-mauhb,), dan


3) shghat yang terdiri dari jb dan qabl.

Syarat bagi Orang yang bertransaksi (al-whib dan al-mauhb


lah)

Berkenaan dengan dua orang yang melakukan akad (al-


whib dan al-mauhb), para ulama mempersyaratkan bahwa
keduanya harus berakal, baligh, dan bijaksana (rasyd). Dengan
demikian akad hibah tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-
anak, orang bodoh dan orang yang berada di bawah
pengampuan. Sedangkan orang yang sedang sakit, maka
apabila dia sakit keras (maradl al-maut), maka hibah yang
dilakukan disamakan dengan hukum wasiat, yaitu tidak boleh
melebihi sepertiga harta, kecuali atas persetujuan ahli waris. 319

Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang yang tidak


memiliki kewenangan menghibahkan harta (fudlli), menurut
mazhab Syafii, Maliki, dan Hanbali hibah tersebut adalah
batal, sementara menurut Mazhab Hanafi dan pendapat
kedua mazhab Syafii, hibah tersebut sah, namun tergantung
kepada izin pemilik barang tersebut. Apabila pemiliknya
menyetujuinya, maka hibah tersebut sah, namun apabila tidak
menyetujuinya, maka hibah tersebut batal.320
Sedangkan mengenai hibah yang dilakukan oleh orang
yang dalam kondisi mabuk, maka perlu diperhatikan penyebab

Mengenai orang yang dalam kondisi maradl al-maut ini, mazhab Hanbali
menganalogikannya dengan orang yang berada di medan pertempuran, seseorang
yang sedang berjuang melawan ombak besar, orang yang berada di daerah yang
sedang dilanda penyakit mematikan (al-than), perempuan hamil yang sedang
proses melahirkan dan orang yang sedang menghadapi hukuman mati (qishsh).Lihat
Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, al-Mausah al-Fiqhiyyah, Vol. 42
(Kuwait: Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, 2004), 121-123.
Wuzrah al-Auqf, al-Mausah , Vol. 42, 123.
32
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

orang tersebut mabuk. Apabila dia mabuk karena sesuatu


yang diperbolehkan atau halal, seperti karena obat bius atau
tumbuh-tumbuhan yang membuatnya mabuk, maka segala
tindakan yang dilakukan adalah tidak sah, termasuk hibah
yang dilakukannya. Namun apabila dia mabuk karena sesuatu
yang diharamkan seperti meminum khamr atas kehendaknya
sendiri, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali perbuatan yang
dilakukan dan pengakuannya adalah sah, termasuk hibah
yang dilakukan. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah:

43

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat,


sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan321
Ayat ini menunjukkan bahwa perkataan yang diucapkan oleh
orang yang sedang mabuk adalah tidak menimbulkan keraguan di
dalamnya sebagaimana perkataan yang diucapkan oleh orang yang
sadar. Oleh karena itu, mengingat bahwa orang yang mabuk juga
terkena khithb syar, maka sifat mabuk tersebut tidak
menghilangkan kompetensinya sebagai mukallaf, sehingga segala
tindakannya adalah sah, demikian juga perkataannya. Sesuatu yang
hilang dari orang yang mabuk adalah kehendaknya, namun
perkataannya tetap dianggap sah.322

Departemen Agama RI, al-Quran., 85.


Wuzrah al-Auqf, al-Mausah al-Fiqhiyyah, Vol. 42, 124
323
Bab III

Menurut mazhab Maliki, orang yang mabuk karena


sesuatu yang diharamkan, maka dia bisa melakukan tindakan
pidana, membebaskan budak, dan menjatuhkan talak dan
tindakan tersebut sah, namun dalam masalah pengakuan,
transaksi jual-beli, sewa-menyewa, hibah, shadaqah dan
wakaf dari orang tersebut tidak sah dan tidak dapat diterima.

Sedangkan menurut pendapat kedua dari mazhab


Syafii dan Hanbali, transaksi dan pengakuan yang dilakukan
oleh orang yang dalam kondisi mabuk adalah tidak sah.
Mereka beralasan bahwa orang yang mabuk tidak memiliki
kehendak, kondisinya adalah seperti orang yang dipaksa
(mukrah). Di sisi lain, berakal adalah syarat adanya taklf,
mengingat orang yang mabuk sama dengan orang yang tidak
berakal, maka perbuatan yang dilakukan adalah tidak sah.323
Sedangkan syarat yang harus dimiliki oleh penerima hibah
(al-mauhb lah), para ulama fikih mepersyaratkan bahwa penerima
hibah harus orang yang memiliki kompetensi untuk memiliki (ahl li al-
milk). Apabila penerima barang tersebut baligh dan berakal, maka
dia sendiri bisa menerima hibah tersebut, namun apabila dia tidak
memiliki kompetensi, maka hibah tersebut tetap sah, namun harus
ada penanggung jawab terhadap harta hibah tersebut, seperti wali
anak atau orang tersebut.324

2) Ketentuan bagi barang yang dihibahkan (al-mauhb)


Ketentuan terhadap barang yang boleh dihibahkan adalah
mengikuti kaidah m shahha baiuhu shahhat hibbatuhu sesuatu
yang boleh diperjual-belikan, maka boleh dihibahkan. Syarat yang

Ibid, 124-125
Ibid, 125
32
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

harus dipenuhi bagi sesuatu yang dihibahkan adalah sebagai


berikut: a) sesuatu tersebut ada, b) sesuatu tersebut dimiliki
oleh pemberi hibah (whib) sendiri, c) berupa sesuatu yang
memiliki nilai (mutaqawwim), d) sesuatu yang terkontrol
secara pribadi (mahz) (bukan milik publik), e) sesuatu yang
bisa diserah-terimakan.325
3) Ketentuan mengenai sghat hibah
Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai sghat hibbah,
apakah terdiri dari jb dan qabl ataukah hanya cukup jb. Mazhab
Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat bahwa sghat hibah terdiri
dari satu paket jb dan qabl, namun menurut mazhab Hanafi
sghat hibah cukup jb. Jumhur ulama beralasan bahwa akad hibah
merupakan akad syari yang tidak sah atau tidak berimplikasi
kepada pemindahan hak milik, apabila jb tidak disertai dengan
qabl, sebagaimana akad jual beli, sementara mazhab Hanafi
beralasan bahwa makna hibbah secara bahasa adalah hanya
ungkapan jb dari pemilik barang.326
b. Ketentuan Hibah

Pada prinsipnya hibah memindahkan hak kepemilikan


terhadap sesuatu yang dihibahkan kepada orang yang menerima
hibah tanpa adanya penggantian (iwadl), namun tidak demikian
menurut mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa perpindahan
kepemilikan tersebut tidak secara otomatis, karena orang yang
menghibahkan (whib) boleh menarik kembali atau membatalkan
hibah yang telah dilakukan. 327 Pendapat ini didasarkan kepada
hadits Rasulullah:

Ibid, 125-126
Ibid, 134
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 5, 26

325
Bab III

328


Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
orang yang menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh terhadap
sesuatu tersebut selama belum diserahkan penggantinya

Hadits ini, selain menunjukkan bahwa pemilik benda


memiliki hak penuh terhadap benda yang dihibahkan ketika
belum ada penggantinya, juga menunjukkan bahwa hibah bisa
dilakukan dengan meminta ganti. Namun ketika ganti tersebut
telah diberikan, maka penghibah tidak boleh menarik benda yang
dihibahkan dan penerima hibah berhak menolak apabila benda
yang dihibahkan tersebut akan ditarik kembali. Benda tersebut
boleh ditarik kembali asalkan dilakukan suka sama suka atau
melalui keputusan hakim.329 Ketidakbolehan menarik benda yang
dihibahkan tersebut didasarkan kepada hadits Rasulullah:
330

Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan


adalah seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang
telah dikeluarkannya
c. Hibah orang tua kepada anaknya
Para ulama sepakat bahwa hibah kepada anak dianjurkan
untuk tidak berat sebelah antara anak yang satu dengan anak

Ali ibn Umar al-Druquthn, Sunan al-Druqutn Vol. 3, (Beirut: Muassasah al-
Rislah, 2004), 461.
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 5, 26
Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br bi Syarh Shahh al-Bukhr, Vol. 6, (Riydl:
Dr al-Thaibah, 2005), 444.
32
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

lainnya, namun para ulama berbeda pendapat mengenai maksud


tidak berat sebelah atau menyamakan antara anak-anaknya.
Menurut Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan Syafii,
yang dimaksud tidak berat sebelah adalah mempersamakan bagian
antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam pemberian hibah
sebagaimana sabda Rasulullah:


331


Dari Ibn Abbas berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
samakanlah pemberian di antara anak-anak kalian, jika lebih
mengutamakan seseorang, niscaya saya akan melebihkan
perempuan
Dan hadits Rasulullah:


332

Ab Bakar ibn Ali al-Baihaq, al-Sunan al-Kubr, Vol. 6, (Beirut: Dr al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2002), 294.
Ab al-Husain Muslim ibn al-Hajjj al-Qusyair al-Naisbr, Shahh Muslim
(Riydl: Dr Thaibah, 2006), 763.

327
Bab III

Dari Numan ibn Basyir berkata: Ayah saya menyedekahkan


sebagian hartanya kepadaku, kemudian ibuku Amrah binti Rawahah
berkata: Saya tidak rela sebelum kamu meminta kesaksian dari
Rasulullah saw., kemudian ayahku berangkat menghadap Nabi saw.
untuk meminta kesaksian mengenai sedekah untukku, kemudian
Rasulullah saw. berkata kepada ayahku: Apakah engkau melakukan
hal ini kepada anakmu semuanya?, ayahku menjawab: Tidak,
kemudian Rasulullah bersabda: Takutlah kamu kepada Allah, dan
berbuat adillah kepada anak-anakmu, kemudian ayahku pulang dan
membatalkan sedekah tersebut.

Sementara menurut mazhab Hanbali dan Muhammad


al-Syaibani dari mazhab Hanafi yang dimaksud dengan adil
dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya adalah
sesuai dengan ketentuan umum yang terdapat dalam
pembagian warisan sebagai ketentuan Allah, yaitu
memberikan hibah kepada anak laki-laki dua kali lipat bagian
hibah untuk anak perempuan. Menurut mereka, ketentuan
Allah inilah yang perlu diikuti dalam pembagian hibah kepada
anak-anaknya.333
Sedangkan mengenai bagiamana hukumnya menyamakan
pembagian hibah kepada anak laki-laki dan anak perempuan?
Jumhur ulama berpendapat bahwa mempersamakan bagian hibah
tersebut tidak wajib, tetapi hanya merupakan anjuran. Namun
menurut sementara ulama, seperti Ahamad ibn Hanbal, al-Tsauri,
Thawus, Ishaq, dan lain-lain berpendapat bahwa pemberian hibah
kepada anak-anak harus jumlahnya sama antara anak laki-laki dan
anak perempuan. Mereka berpendapat, apabila hibah tersebut tidak
mempersamakan di antara mereka, maka
hibah tersebut tidak sah. Pendapat ini didasarkan kepada hadits di
atas yang menggunakan kalimat: dan ,
karena

333
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 5, 24-25
32
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang dimaksud dengan adil adalah mempersamakan bagian hibah di


antara anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan.334
d. Menarik Hibah

Menarik hibah atau membatalkan hibah yang telah


diberikan kepada penerima hibah (al-mauhb lah) merupakan
sesuatu yang tidak etis untuk dilakukan. Namun ada
perbedaan ulama mengenai masalah ini: Pendapat pertama,
tidak boleh menarik hibah terhadap barang yang telah diserah
terimakan, kecuali hibah orang tua kepada anaknya,
sebagaimana pendapat mazhab Maliki dan Hanbali. Orang tua
di sini tidak hanya ayah, tetapi juga ibu, sebagaimana mazhab
Maliki. Pendapat ini didasarkan kepada hadits Rasulullah:


335



Dari Thawus bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tidak boleh
bagi orang yang telah memberikan hibah menarik kembali apa
yang telah dihibahkan, kecuali hibah yang diberikan orang tua
kepada anaknya
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa
menarik hibah adalah diperbolehkan selama ada alasan yang
bisa dibenarkan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi
dengan mendasarkan pendapatnya kepada hadits:
336

Ibid), 25
al-Baihaq, al-Sunan , Vol. 6, 298
al-Druquthn, Sunan Vol. 3, 461.

329
Bab III

Orang yang telah menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh


terhadap sesuatu tersebut selama belum diserahkan penggantinya

Kedua pendapat tersebut bisa dikompromikan, karena


konteks pendapat pertama adalah berbeda dengan konteks
pendapat kedua. Jadi menarik hibah terhadap barang yang
telah diserahterimakan dan/atau telah diberikan penggantinya,
ketika si whib meminta penggantian, maka menarik kembali
hibah tersebut adalah boleh. Sementara apabila si whib
meminta penggantian atas hibah yang diberikan dan si
mauhb lah belum memberikannya, maka hibah tersebut bisa
dibatalkan atau ditarik kembali.
2. Wasiat Perspektif Fiqh

Wasiat merupakan institusi pengalihan harta yang biasa


dipraktikkan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam. Menurut hukum
Romawi, seorang pemilik harta memiliki kebebasan untuk
mewasiatkan hartanya tanpa ada batasnya, bahkan dengan tidak
memberikan sama sekali kepada anak-anaknya. Demikian juga
kondisi bangsa Arab sebelum Islam, mereka akan bangga dan
berlomba-lomba memberikan wasiat kepada orang lain dan
mengabaikan wasiat kepada para kerabatnya. 337 Kondisi ini
sangat merugikan anak-anak mereka dan kerabatnya yang lebih
berhak untuk menerima harta milik orang tua atau kerabatnya.

Ketika Islam datang, tradisi pengalihan harta melalui


institusi wasiat ini diluruskan dengan lebih mengutamakan
pemberian wasiat kepada kedua orang tua dan para
kerabatnya, sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah:

337
Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh , Vol. 8, 7
33
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia




180
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.338
Dengan adanya firman Allah ini, maka seorang pemilik harta
dibatasi untuk lebih mengutamakan pemberian wasiat kepada
orang tua dan kerabatnya. Dia boleh memberikan wasiat
kepada orang lain apabila, orang tua dan kerabatnya telah
lebih dahulu diberi wasiat.

Pengalihan harta melalui institusi wasiat ini merupakan


keniscayaan yang harus dilakukan sesorang yang memiliki harta,
sementara dia merasa ajalnya telah dekat, sementara di sisi lain
Allah belum menurunkan ayat-ayat al-Quran yang berisi
ketentuan-ketentuan mengenai warisan. Wasiat ini berfungsi
sebagai petunjuk bagi para kerabat yang ditinggalkannya dalam
melakukan pembagian terhadap harta yang ditinggalkannya.

Namun ketika ayat mengenai ketentuan warisan telah


turun, maka wilayah keberlakukan wasiat tersebut dibatasi
dalam dua hal.339 Pertama, wasiat tidak boleh lagi diberikan
kepada para ahli waris, sebagaimana sabda Rasulullah ketika
menyampaikan khutbah pada waktu haji wada:

Departemen Agama RI, al-Quran , 27.


Wahbah al-Zuhail, al-Fiqh, Vol. 8, 7-8.
331
Bab III




340
Dari Syurahbl ibn Muslim, saya mendengan Ab
Ummah berkata: saya pernah mendengar Rasulullah
bersabda: Sesungguhnya Allah telah memberikan hak
kepada setiap orang yang memiliki hak, maka dari itu
tidak ada wasiat untuk ahli waris.
Ketentuan ini diberlakukan untuk menghindari penumpukan harta
kepada orang tertentu saja (kai l yakna dlatan baina al-
aghniy) di mana apabila institusi waris dan wasiat sebagaimana
tetap diberlakukan secara bersamaan, maka orang tua; ayah dan
ibu akan memperoleh bagian dari dua jalur, yaitu wasiat dan
warisan. Penumpukan harta inilah yang tidak dikehendaki Islam
dalam permasalahan pembagian harta.

Kedua, adalah ketentuan mengenai pembatasan


jumlah wasiat yang diperbolehkan kepada orang selain ahli
waris yang mendapatkan bagian warisan, sebagaimana sabda
Rasulullah kepada Sad ibn Abi Waqsh ketika berada di
Mekkah saat menunaikan haji Wada:

340
Ab Dwud Sulaimn al-Sijistn al-Azd, Sunan Ab Dwud, Vol. 3
(Beirut: Dr Ibn Hazm, 1997), 196.

33
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

341

Dari Sad ibn Ab Waqsh ra. berkata: Nabi saw. pernah


menjenguk saya ketika saya tinggal di Mekkah. Dia
mengungkapkan ketidaksukaannya apabila meninggal
dunia di wilayah di mana dia berhijrah seraya berkata:
Semoga Engkau dirahmati oleh Allah, wahai Ibn Afr
(Sad ibn Ab Waqsh). Kemudian saya bertanya kepada
Rasulullah: Bolehkah saya mewasiatkan semua harta
saya? Rasulullah menjawab: Jangan. Saya bertanya lagi:
Bagaiamana apabila separuhnya? Dia menjawab:
Jangan. Saya bertanya kembali: bagiamana apabila
sepertiganya? Dia menjawab: Sepertiga! Sepertiga itu
banyak. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan
para ahli warismu dalam kondisi kaya adalah lebih baik
daripada engkau meninggalkan mereka dalam kondisi
papa yang meminta-minta di hadapan orang-orang.
Berdasarkan kedua hadits di atas, maka institusi wasiat yang
telah ada sebelum ketentuan-ketentuan al-Quran yang mengatur
pembagian warisan (surat al-Nis ayat: 7-13 dan 176) tidak dihapus
secara total, namun ada pembatasan pemberlakuan wasiat tersebut,
yaitu: tidak boleh wasiat kepada ahli waris dan wasiat kepada orang
lain hanya diperbolehkan maksimal sepertiga harta. Ketentuan ini
diberlakukan dalam rangka lebih mengutamakan kepentingan anak-
anak terlebih dahulu daripada

341
Ab Abdullh Muhammad ibn Isml al-Bukhr, al-Jmi al-Shahh, Vol.
2 (Cairo: al-Mathbaah al-Salafiyyah, 1403H.), 287 dan lihat juga Ibn Hajar
al-Asqaln, Fath al-Br ,Vol. 6, 674.
333
Bab III

kepentingan orang lain, sebagaimana yang diungkapkan


dalam hadits di atas dan diperkuat firman Allah:


Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. 342
David S. Power melakukan periodesasi mengenai
institusi pengalihan harta warisan menjadi tiga fase, yaitu:

Periode Mekkah (610-622M.), pada periode ini pengalihan harta


antar generasi dilakukan dengan menggunakan institusi
wasiat, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para sahabat
seperti Bdil ibn Maryam, seorang pedagang Quraisy dari
Bani Sahm yang merasa akan meninggal ketika melakukan
perjalanan dagang di Syiria yang kemudian berwasiat kepada
dua orang mitra bisnisnya untuk menyerahkan hartanya
kepada keluarganya di Mekkah. Demikian juga yang
dilakukan oleh Aus ibn Tsbit al-Anshr sebelum terbunuh
ketika Perang Uhud di mana dia sempat berwasiat kepada
dua orang sepupunya (anak laki-laki dari paman) untuk
menyerahkan harta kepada keluarganya, namun kedua orang
sepupu tersebut menolak untuk menyerahkan kepada
istrinya, Ummu Kuhha dan anak-anak perempuannya. 343

Departemen Agama RI, al-Quran., 78


David S. Powers, Studies in Quran and Hadith: The Formation of the Islamic
Law of Inheritance (London: University of California Press, 1986), 10-11.
33
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Periode Madinah Awal (622-630M.), pada periode ini institusi


yang digunakan untuk mengalihkan harta antargenerasi
menggunakan institusi waris. Periode ini berkaitan erat
dengan periode sebelumnya, khususnya mengenai
perlakukan dua orang sepupu suami Ummu Kuhha, Aus ibn
Tsbit, yang tidak memberikan harta peninggalan suaminya
kepada dirinya dan anak-anak perempuannya. Permasalahan
ini diadukan oleh Ummu Kuhha kepada Rasulullah saw. dan
kemudian turun ayat waris yang pertama:




7
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan344
Kemudian ayat ini diikuti dengan ayat-ayat yang mengatur
dan menentukan bagian warisan masing-masing ahli waris
sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Nis ayat 11-
12.345
Periode Setelah Fath Mekkah (630-632M). Pada periode ini tidak
ada ketentuan pengalihan harta yang baru, namun periode ini
mengatur keberlakukan dua institusi pengalihan harta; wasiat
dan waris, yaitu pembatasan subyek yang boleh

Departemen Agama RI, al-Quran , 78


David S. Powers, Studies, 12
335
Bab III

menerima wasiat dan pembatasan kuantitas wasiat yang


hanya dibatasi maksimal sepertiga harta.346
B. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Masyarakat

Masyarakat Indonesia memiliki tatacara sendiri dalam


pembagian harta peninggalan orang tua yang sesuai dengan
budaya mereka yang sudah hidup bertahun-tahun. Budaya
tersebut mengakar kuat dalam kesadaran individual dan kolektif
mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang
mereka hadapi, termasuk di dalamnya persoalan pengalihan
harta antargenerasi. Pada praktiknya, pengalihan harta tersebut,
masyarakat melakukannya dengan berbagai cara, seperti melalui
institusi hibah, wasiat, maupun waris. Hibah dan wasiat
dipraktikkan masyarakat dalam melakukan pembagian harta
kekayaan, memiliki berbagai tujuan: a) menghindari kekhawatiran
terjadinya percekcokan keluarga apabila pembagian harta
dilakukan berdasarkan ketentuan faridl, b) untuk
mengedepankan keadilan dalam pembagian harta, minimal
keadilan menurut persepsi orang yang membagi.

Praktik pembagian harta dengan menggunakan institusi


hibah dan wasiat jamak terjadi di masyarakat. Ketika penulis yang
juga dosen Fiqh Mawaris mempertanyakan kepada mahasiswa yang
mengambil matakuliah tersebut, kurang lebih 80% mahasiswa
mengatakan bahwa praktik pembagian harta tidak dilakukan sesuai
dengan ketentuan faridl, melainkan menggunakan hibah atau
wasiat, khususnya wasiat pembagian harta warisan. Pada
praktiknya, pemberian hibah dan wasiat juga bermacam-macam.
Ada yang membagi berdasarkan tingkat perekonomian ahli waris,
ada yang membagi dengan melebihkan bagian untuk anak laki-laki
daripada anak perempuan,

346
Ibid, 13-14.
33
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

namun tidak persis dua berbanding satu, dan ada juga yang
menghibahkan hampir semua hartanya secara sama antara
laki-laki dan perempuan dan menyisakan sedikit harta warisan
yang akan dibagi secara faridl, ada yang memberikan hibah
lebih banyak kepada anak perempuan dengan harapan ketika
pembagian warisan secara faridl nanti bagian anak laki-laki
dan anak perempuan sama atau tidak berbeda jauh.

Kondisi ini juga didukung oleh hasil penelitian disertasi di


Universitah Padjadjaran Bandung yang dilakukan oleh Otje
Salman pada tahun 1992 dengan judul Pelaksanaan Hukum
Waris di Daerah Cirebon Dilihat dari Hukum Waris Adat dan
Hukum Waris Islam.347 Responden yang diteliti dalam penelitian
ini, dari sisi agama: 98,62% beragama Islam, sementara sisanya
beragama non-Islam.348 Dari total responden, mereka yang
melakukan pembagian warisan secara faridl murni hanya
berjumlah 26,5% sementara yang lain menggunakan hukum
adat, hukum barat, atau percampuran antara berbagai hukum
tersebut.349 Sementara mengenai kapan pelaksanaan pembagian
harta tersebut: 45,45% dilakukan ketika pewaris masih hidup
dan 54,55% ketika pewaris telah meninggal. 350 Pembagian
harta ketika pemilik harta masih hidup yang jumlahnya 45,45%
tersebut berarti pembagian hartanya dilakukan dengan cara
hibah, sedangkan pembagian harta ketika pemilik telah
meninggal yang jumlahnya 54,55% berarti pembagiannya
dilakukan dengan cara wasiat atau waris.

Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung:


Penerbit Alumni, 1993)
Ibid, 92
Ibid, 100
Ibid, 99

337
Bab III

Dari penelitian tersebut, Otje Salman berkesimpulan


bahwa ketaatan masyarakat Cirebon dalam melaksanakan
hukum waris Islam adalah lemah, mereka lebih memilih
penyelesaian dengan menggunakan hukum barat daripada
hukum Islam (faridl), sementara itu pelaksanaan pembagian
harta melalui intitusi waris lebih rendah daripada institusi hibah
dan wasiat. Kondisi rendahnya kesadaran hukum terhadap
pelaksanaan pembagian warisan secara Islam (faridl) ini timbul
karena dua kemungkinan, yaitu: a) rendahnya sosialisasi kepada
masyarakat mengenai hukum waris Islam dan b) rendahnya
pemahaman masyarakat terhadap hukum waris Islam.

Rendahnya tingkat ketaatan masyarakat dalam


menerapkan ketentuan yang terdapat dalam faridl ini, di
samping yang disimpulkan oleh Otje Salman tersebut, menurut
Hazairin disebabkan oleh perbedaan kultur dan sistem
kekeluargaan antara tempat diformulasikannya ketentuan waris
Islam dengan Indonesia. Hukum waris Islam didasarkan kepada
kebudayaan Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan
Patrilineal,351 sementara sistem kekeluargaan yang dikehendaki
dalam al-Quran adalah sistem kekeluargaan parental atau
bilateral. Tidak ada sinkronisasi antara sistem kekeluargaan dan
sistem kewarisan yang diformulasikan dalam sistem kewarisan
Islam (faridl) yang mengadopsi sistem kewarisan mazhab
Sunni. Oleh karena itu, terjadi banyak konflik dalam penerapan
hukum waris Islam di Indonesia, bahkan dalam keluarga yang
menganut sistem kekeluargaan Patrilineal sekalipun.

Konflik-konflik inilah yang barangkali memicu kepada


rendahnya ketaatan masyarakat dalam menerapkan hukum waris

351
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith
(Jakarta: Tintamas, 1976), 2
33
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Islam karena apabila hukum waris Islam (faridl) tersebut diterapkan


secara tekstual, maka akan menodai rasa keadilan yang hidup di
masyarakat. Oleh karena itu, banyak masyarakat beralih kepada
institusi hibah dan wasiat dalam melakukan pembagian harta
warisan sebagai jalan keluar dalam pembagian harta yang
memenuhi rasa keadilan keluarga dan masyarakat tersebut.

Pertanyaan kemudian, apakah pembagian harta warisan


dengan menggunakan institusi hibah dan wasiat itu bertentangan
atau setidak-tidaknya memiliki anggapan bahwa tidak mengakui
prinsip keadilan yang terdapat dalam hukum waris Islam (faridl)?.
Menurut Muhammad Syahrr ayat yang berbicara mengenai wasiat
sebanyak sepuluh kali, sementara ayat yang berbicara
mengenai warisan tiga kali. Bahkan dalam ayat waris diawali
dengan kata wasiat ( ) dan dikahiri dengan
kalimat
wasiat juga ( ).352 Kondisi ini menunjukkan
bahwa

wasiat memiliki signifikansi yang besar dalam pembagian harta


warisan. Namun realitasnya, masyarakat Muslim sekarang ini:

Memberikan prioritas secara mutlak kepada waris dan


ketentuan-ketentuannya, bukan wasiat dan ketentuan-
ketentuannya.

Menekankan kepada penghapusan ayat wasiat khususnya


terhadap firman Allah: al-washiyyatu li al-wlidain wa al-
aqrabn dengan hadits ahad dan munqathi yang
diriwayatkan oleh ahl al-maghz l washiyyata li writs.

Mencampur aduk pemahaman terhadap kata al-hadl dan al-


nashb yang berimplikasi kepada pencampuran antara ayat

352
Muhammad Syahrr, Nahwa Ushl Jaddah li al-Fiqh al-Islm: Fiqh al-Marah (al-
Washiyyah, al-Irts, al-Qiwmah, al-Taadudiyyah, al-Libs) (Damaskus: al-Ahl, 2000), 222.
339
Bab III

waris dan ayat wasiat. Firman Allah: (



) dianggap sebagai ayat waris, padahal ayat tersebut

adalah ayat wasiat, karena nashb adalah bagian manusia


dalam wasiat, sementara hadl adalah apa yang
diterimanya dalam waris.

Tidak membedakan antara keadilan umum yang terdapat


dalam ayat waris dan keadilan khusus dalam ayat wasiat,
di mana yang umum tidak boleh menutupi yang khusus.353
Syahrr merasa tidak sependapat terhadap pendapat
mayoritas ulama yang menomor duakan posisi wasiat setelah
waris mengingat banyaknya penggunaan kata wasiat daripada
waris dalam al-Quran. Artinya wasiat harus lebih diutamakan
daripada waris, karena wasiat berisi keadilan khusus dalam
pembagian harta warisan yang harus diprioritaskan daripada
keadilan umum yang terdapat dalam ayat waris. Ketentuan
wasiat inilah yang lebih bisa merealisasikan keadilan dalam
pembagian warisan di masyarakat atau keluarga tertentu,
mengingat setiap keluarga atau masyarakat memiliki relasi
dan tanggung jawab dalam keluarga yang berbeda antara
keluarga atau masyarakat satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, perilaku masyarakat atau keluarga untuk


melakukan pembagian warisan dengan menggunakan institusi
hibah atau wasiat merupakan didorong oleh motif alamiah dalam
rangka menegakkan keadilan dalam pembagian harta warisan
yang disesuaikan dengan relasi dan tunggung jawab masing-
masing individu dalam keluarga dan masyarakat yang tentunya

353
Ibid, 222-223.
34
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

memiliki perbedaan antara keluarga atau masyarakat satu


dengan yang lainnya.
0
Hibah dan Wasiat Perspektif Putusan Pengadilan dan KHI
Hibah dan Wasiat Perspektif KHI

Hukum materiil yang digunakan Pengadilan dalam


memutuskan perkara yang menjadi kompetensi absolutnya
adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI yang diberlakukan
berdasarkan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 ini
kedudukannya sangat lemah dalam tata hukum Indonesia karena
tidak termasuk sebagai sumber hukum dan tidak ada dalam
urutan perundang-undangan di Indonesia. Faktor-faktor yang
memperkuat pemberlakuan KHI di Indonesia adalah: a) KHI
merupakan kesepakatan ulama nusantara yang disimpulkan dari
38 buku fikih.354 Dan b) Keputusan Menteri Agama RI No. 154
Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI No. 1
Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang memerintahkan kepada
suluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah
terkait untuk menyebarluaskan KHI dan menerapkannya.

Ketentuan wasiat diatur dalam KHI dalam Buku II, Hukum


Kewarisan Bab V Wasiat pasal 194-209. Dalam ketentuan wasiat ini
telah diatur beberapa rukun wasiat yang terdiri dari shghat (jb dan
qabl), pewasiat (mshin), penerima wasiat (msha lah), dan barang
yang diwasiatkan (msha bih),355 bagaimana melakukan wasiat,
serta syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap masing-masing
rukun wasiat tersebut. Ketentuan-ketentuan ini tersebar dalam
berbagai pasal dan disesuaikan dengan kaidah-kaidah hukum yang
kredibel dalam rangka menjaga validitas wasiat.

Lihat Ahmad Imam Mawardi, Socio-Political Background of the Enacment of


Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Tesis, McGill University, Montreal, 1998, 16
Wuzrah al-Auqf, al-Mausah, Vol. 43, 226

341
Bab III

Dalam makalah ini, penulis akan mengkritisi pasal-pasal


yang terdapat dalam KHI yang mengatur masalah wasiat.

Tentang cara berwasiat yang dalam pasal 195 (1) , pasal 196 dan
pasal 199 di mana dalam ketiga pasal tersebut diatur
mengenai cara berwasiat dan pencabutan wasiat yang hanya
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lisan di hadapan
dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau
notaries. Ketentuan ini menurut penulis tidak mengakomodir
mereka yang tidak bisa bicara dan tidak bisa menulis
sekaligus. Oleh karena itu, perlu diatur mengenai cara
berwasiat bagi mereka yang memiliki kelemahan tersebut.

Tentang wasiat kepada ahli waris hanya berlaku apabila disetujui


oleh semua ahli waris yang diatur dalam pasal 195 (3).
Dalam masalah ini, menurut penulis ada beberapa
permasalahan, yaitu: a) pewaris sebagai pemilik harta
seharusnya memiliki kekuasaan penuh terhadap harta yang
dimilikinya, b) meminta persetujuan kepada semua ahli waris
merupakan sesuatu yang tidak mudah, khususnya dalam
keluarga yang tingkat ketaatan terhadap orang tua rendah,
dan c) keadilan dalam pembagian wasiat tidak ditentukan
dengan persamaan kuantitas, tetapi lebih ditentukan dengan
jasa, relasi, dan tanggung jawab yang dipikul seseorang.
Mereka yang memiliki jasa, relasi, dan tanggung jawab yang
lebih besar dalam keluarga, layak mendapatkan bagian yang
lebih banyak daripada yang lain dan hal ini hanya bisa
dilakukan melalui hibah atau wasiat. Oleh karena itu, penulis
mengusulkan untuk memilah-milah mengenai harta yang
diwasiatkan, apabila harta tersebut merupakan harta pusaka,
maka ketentuan pembagiannya berdasarkan hukum waris
Islam, namun apabila harta tersebut merupakan hasil
usahanya, maka pemilik harta tersebut memiliki kebebasan
34
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

penuh dalam men-tasharruf-kan hartanya, meskipun tanpa


persetujuan ahli waris.

Tentang wasiat pembagian harta kepada ahli waris. Wasiat


seperti ini sering dilakukan oleh masyarakat, sehingga
perlu ada pengaturan mengenai kebolehannya. Penulis
mengusulkan untuk memberikan kebolehan terhadap
wasiat seperti ini dengan syarat sebagian besar ahli waris
setuju dengan wasiat orang tuanya, khususnya wasiat
terhadap harta yang merupakan hasil usahanya.

Sedangkan ketentuan hibah diatur dalam buku II dan bab


V Wasiat pasal 210-214. Dalam pasal-pasal tersebut telah diatur
mengenai rukun hibah, yaitu pemberi hibah (whib), barang yang
dihibahkan (mauhb), dan penerima hibah (mauhb lah), namun
pembahasannya terlalu singkat. Ada beberapa hal yang
diusulkan penulis mengenai ketentuan hibah ini:

Tata cara hibah hendaknya disamakan dengan tata cara


melakukan wasiat dengan mengakomodir orang-orang
yang tidak bisa menulis dan tidak bisa berbicara.

Hibah kepada anak harus adil, artinya tidak membedakan


kuantitas barang yang dihibahkan antara anak laki-laki dan
anak perempuan.

Mengenai hibah yang dilakukan ketika sakit keras (pasal 213)


diperlakukan sebagai wasiat, artinya tidak perlu meminta
persetujuan ahli waris, kecuali hibah kepada orang lain
yang melebihi sepertiga.
2. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Peradilan Agama

Praktik peradilan agama dalam hal ini adalah bagaimana


hakim memutuskan perkara-perkara yang merupakan
kompetensinya, khususnya perkara hibah dan wasiat. Dalam

343
Bab III

memutuskan perkara hibah dan wasiat, hakim berpedoman


kepada hukum materiil peradilan agama, KHI dan apabila
tidak ada dengan menggali hukum yang hidup di masyarakat
(living law) mengenai perkara hibah dan wasiat.

Berdasarkan data jenis perkara yang masuk pada tahun


2009 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama,
termasuk Mahkamah Syariyyah dan Mahkamah Syariyyah
Propinsi yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilag Mahkamah Agung
RI menyebutkan bahwa dari total jumlah perkara yang masuk,
257,798 perkara, jumlah perkara wasiat ada 4 perkara (0,002%)
dan jumlah perkara hibah 45 perkara (0,017%). 356 Meskipun
jumlah perkara tersebut relatif sedikit dibandingkan dengan
perkara perceraian, bukan berarti masyarakat tidak
mempraktikkan wasiat dan hibah dalam pembagian harta
warisan, hanya saja praktik wasiat dan hibah yang mereka
lakukan tidak sampai menimbulkan sengketa di antara mereka
yang perlu mengajukan gugatan di Pengadilan Agama.

Berdasarkan pengamatan Satria Efendi terhadap


perkara-perkara wasiat dan hibah yang masuk di Pengadilan
Agama dalam bukunya Problematika Hukum Keluarga
Kontemporer357, berdasarkan analisisnya banyak para hakim
pengadilan Agama yang tidak memahami sepenuhnya perkara
hibah dan wasiat dari sisi fiqihnya, sehingga berimplikasi kepada
tidak terpenuhinya rasa keadilan yang diharapkan oleh para
penggugat atau para tergugat sebagai pencari keadilan. Di
samping itu, hukum materiil yang digunakan juga ada yang
mencampuradukkan antara BW dan Hukum Islam, dan bahkan
lebih cenderung kepada BW.

http://www.badilag.net/index.php/statistik-perkara
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)
34
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di samping itu, menurut Satria ada kecenderungan hakim


dalam memutus perkara hanya berpedoman kepada teks-teks
hukum yang terdapat dalam pasal-pasal peraturan yang dijadikan
sumber hukum meteriil. Mereka kurang memperhatikan prinsip-
prinsip keadilan yang menjadi tujuan dalam proses beracara dan
penegakan hukum di pengadilan agama. Oleh karena itu, hakim
perlu lebih fokus kepada penegakan keadilan daripada hanya
fokus dan rigid kepada teks hukum karena teks hukum adalah
media untuk mencapai tujuan, yaitu menegakkan keadilan.

D. Penutup

Permasalahan pembagian harta warisan dengan


menggunakan institusi hibah dan wasiat sudah jamak terjadi di
masyarakat. Praktik pembagian ini tidak perlu dicegah, tetapi
perlu diatur sebaik mungkin agar praktik seperti itu tidak
menimbulkan efek-efek negatif dalam pelaksanaannya,
sehingga pengaturannya perlu disesuaikan dengan kaidah-
kaidah yang ditetapkan dalam hukum Islam.

Dalam masalah pembagian harta warisan hal-hal yang


perlu diperhatikan adalah: a) kebebasan pembuat wasiat dan
pemberi hibah dalam mendistribusikan harta yang dimilikinya, b)
harta warisan tersebut harus diperuntukkan untuk sebesar-besar
kemakmuran anak-anaknya, c) wasiat dan hibah merupakan
keadilan khusus yang harus didahulukan daripada keadilan umum
yang terdapat dalam hukum kewarisan (lex spesialis derogate lex
generalis), d) perlu ada pemilahan antara harta pusakan yang
diwariskan secara turun-temurun dengan harta hasil usaha, di mana
untuk harta pusaka para ahli waris yang berhak, sementara harta
hasil usaha, pemilik harta yang berkuasa penuh.

345
Bab III

Daftar Pustaka

Ab Dwud Sulaimn al-Sijistn al-Azd, Sunan Ab Dwud,


Vol. 3 (Beirut: Dr Ibn Hazm, 1997)

al-Baihaq, Ab Bakar ibn Ali, al-Sunan al-Kubr, Vol. 6,


(Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002)

al-Bukhr, Ab Abdullh Muhammad ibn Isml, al-Jmi al-


Shahh, Vol. 2 (Cairo: al-Mathbaah al-Salafiyyah, 1403H.)

al-Druquthn, Ali ibn Umar, Sunan al-Druqutn Vol. 3,


(Beirut: Muassasah al-Rislah, 2004)
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya (Bandung:
CV. Penerbit Jumanatul Ali Art, 2007)
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadith
(Jakarta: Tintamas, 1976)

Ibn Hajar al-Asqaln, Fath al-Br bi Syarh Shahh al-


Bukhr, Vol. 6, (Riydl: Dr al-Thaibah, 2005)

Ibn Mjah, Ab Abdullh Muhammad ibn Yazd al-Qazwn al-


Syahr, Sunan Ibn Mjah (Riydl: Maktabah al-Marif,
1417H.)
Mandhr, Ibn, Lisn al-Arab (Kairo: Dr al-Marif, t.th.)

Mawardi, Ahmad Imam, Socio-Political Background of the


Enacment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Tesis, McGill University, Montreal, 1998

Muslim, Ab al-Husain ibn al-Hajjj al-Qusyair al-Naisbr,


Shahh Muslim (Riydl: Dr Thaibah, 2006)

Powers, David S., Studies in Quran and Hadith: The


Formation of the Islamic Law of Inheritance (London:
University of California Press, 1986)
34
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum


Waris
(Bandung: Penerbit Alumni, 1993)

Syahrr, Muhammad, Nahwa Ushl Jaddah li al-Fiqh al-Islm:


Fiqh al-Marah (al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwmah, al-
Taadudiyyah, al-Libs) (Damaskus: al-Ahl, 2000)

Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-Islmiyyah, al-Mausah al-


Fiqhiyyah, (Kuwait: Wuzrah al-Auqf wa al-Syun al-
Islmiyyah, 2004)
www.badilag.net/index.php/statistik-perkara

al-Zuhail, Wahbah, al-Fiqh al-Islm wa Adillatuh,


( Damaskus: Dr al-Fikr, 1985)

Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam


Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan
Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)
347
Bab
III
34
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

GHARRAWAIN DAN MUSYARAKAH


Humaidi Hamid

Latar Belakang

Topik gharrawain dan musyarrakah yang diberikan


kepada penulis merupakan dua topik di antara beberapa topik
yang disumbangkan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam
bidang fiqh mawaris. Kedua topik ini merupakan bentuk-bentuk
ijtihad yang ditawarkan oleh umar yang menyimpang dari dzahir
nash al-Qur'an sebagaimana dipegangi jumhur ulama. Kedua
topik ini nantinya akan menunjukkan kepada kita bagaimana aya-
ayat al-Qur'an yang tergolong mufassar (rinci), seharusnya tidak
menerima ijtihad, dalam penerapannya ternyata menerima ijtihad.
Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan dipandang
memenuhi rasa keadilan oleh mayoritas ulama.

Masalah Gharrawain
Masalah gharrawain adalah dua macam kasus
kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan
bapak dan (2) istri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut
gharrawain, bentuk tatsniyah (ganda) dari kata gharra
(cemerlang) karena dua masalah ini sangat populer bagaikan
bintang yang cemerlang.358 Sebagian fuqaha berpendapat
bahwa gharrawain berasal dari mashdar garrar (tipuan).
Karena dalam masalah tersebut terjadi penipuan kepada ibu.
Sekalipun ibu disebut mendapatkan sepertiga, sebenarnya ibu
hanya diberi bagian seperenam atau seperempat.

358
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet IV (Damaskus:
Dar al-Fikkr, 2004), X: 7788.

349
Bab III

Penyebutan sepertiga hanya sebagai penghormatan


terhadap Al-Qur'an yang menyebutkan demikian. Kedua
masalah ini sering juga disebut umariyatain, karena yang
mula-mula memutuskan cara penyelesaian kedua kasus ini
adalah Khalifah Umar bin Khattab dan diterima oleh mayoritas
sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. 359
Kasus pertama terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami,
ibu, dan ayah. Berdasarkan petunjuk Al-Qur'ah Surah An-Nisa':
11-12 yang sudah jelas, suami menerima 1/2 karena pewaris
tidak meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena pewaris tidak
meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam kasus ini ayah
sebagai ashabah karena pewaris tidak meninggalkan anak.
Kasus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Suami : 1/2 x 6 = 3 ---3/6
Ibu : 1/3 x 6 = 2 ---2/6
Ayah :A = 1 --- 1/6

Cara penyelesaian seperti di atas berdasarkan


petunjuk Al-Qur'an dan sunnah dan tidak ada masalah dalam
penyelesaiannya. Akan tetapi saat dilakukan perbandingan
antara bagian yang diterima ayah dan ibu, dirasakan adanya
kejanggalan, yaitu ibu menerima bagian dua kali lipat dari
bagian yang diterima ayah. Padahal ketika ahli warisnya
hanya terdiri dari ibu dan ayah, ibu mendapatkan 1/3 dan ayah
sebagai ashabah mendapatkan sisanya, yaitu 2/3, bagian
ayah dua kali bagian ibu. Untuk mengatasi masalah ini, Umar
memahami bagian ibu yang 1/3 bukan dari dari keseluruhan
harta, tetapi dari sisa harta setelah diberikan kepada suami.
Penyelesaian Umar ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

359
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 238.
35
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Suami : 1/2 x 6 = 3--- 3/6


Ibu : 1/3 x (6-3) = 1--- 1/6
Ayah :A = 2--- 2/6

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya


terdiri dari ayah dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian
ibu. Hanya saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 1/6.
Alasan yang dikemukan untuk mentakwil 1/3 bagian ibu
menjadi 1/3 sisa adalah untuk menghindari lebih besarnya hak
ibu ketimbang hak ayah. Ibnu Qudamah menyatakan tidak
diperbolehkannya hak ibu melebihi hak ayah. Di samping itu
mereka memperkuat alasan ini dengan pernyataan Ibnu
Mas'ud yang diriwayatkan oleh Sofyan ats-Tsauri: "Allah tidak
memperlihatkan kepada saya kelebihan ibu daripada ayah.360
Kasus kedua terdiri dari istri, ibu, dan ayah. Berdasarkan
petunjuk Al-Qur'an dan sunnah, maka istri menerima 1/4 karena
pewaris tidak meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena pewaris
tidak meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam kasus ini
ayah sebagai ashabah karena pewaris tidak meninggalkan anak.
Kasus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Istri : 1/4 x 12 = 3 ---3/12


Ibu : 1/3 x 12 = 4 ---4/12
Ayah :A = 5 ---5/12
Kasus kedua, ini sebenarnya berbeda dengan kasus
pertama sebab bagian ayah sebagai ashabah 5/12 lebih besar dari
bagian ibu 4/12. Sungguhpun demikian, hal ini masih dianggap ganjil
oleh beberapa sahabat karena seharusnya bagian ibu setengah dari
bagian ayah sebagaimana ketika hanya mereka

360
Ali ibnu Hazm az-Zahiri, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.), IX: 260.

351
Bab III

berdua yang mewarisi. Karenanya Umar juga menyelesaikan


kasus ini sebagaimana kasus pertama, ibu diberi bagian 1/3 sisa
harta warisan setelah diberikan kepada istri. Penyelesaian Umar
yang kedua ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Istri : 1/4 x 12 = 3 ---3/12
Ibu : 1/3 x (12-3) = 3 ---3/12
Ayah :A = 6 ---6/12

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari
ayah dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya
saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 3/12 atau 1/4.

Penyelasaian dua kasus yang dikemukakan oleh Umar


ini didukung oleh para sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Usman
bin Affan, Ibnu Mas'ud, dan juga menurut suatu riwayat juga
didukung oleh Ali bin Abu Thalib. Jumhur ulama, antara lain
mazhab Hanafi,361 mazhab Maliki,362 mazhab Syafii363 dan
mazhab Hanbali364 juga mengikutinya. Jumhur ulama
mentakwil lafal Al-Qur'an:


Dalam arti ibu mendapatkan 1/3 harta warisan yang
berhak diwarisi oleh kedua orang tua pewaris, bukan 1/3
semua harta.

361
Muhammad as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Marifah, 1406 H), XXIX:
144.
362
Ahmad ad-Dardiri, asy-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 461.
363
Muhyiddin, al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), XVI: 72
364
Abdullah ibnu Qudamah, al-Mughni ((Beirut: Dar al-Fikr, 1405), VI: 171-2.
35
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sebab kalau dimaknai 1/3 harta, kalimat:

Menjadi tidak berguna. Dengan demikian,


perbandingan bagian yang diterima ayah dan ibu konsisten,
2 : 1, sesuai dengan prinsip:
.

Bagian laki-laki sama dengan dua orang perempuan. 365


Ibnu Abbas merupakan salah seorang sahabat yang tidak
menyetujui dua keputusan Umar tersebut. Menurutnya, ibu dalam
dua kasus tetap mendapatkan 1/3 dari keseluruhan harta
warisan. Argumentasi yang beliau kemukakan sebagai berikut:

Kalimat di-athaf-kan kepada


sebagaimana juga diathafkan kepadanya, sehingga berarti
. Dengan demikian kalimat berarti
.

Seluruh macam bagian yang disebutkan di dalam al-Qur'an itu


semuanya disandarkan pada pokok harta peninggalan
yang siap dibagi. Misalnya bagian 1/2 artinya 1/2 harta
peninggalan, bagian 1/4 artinya 1/4 harta peninggalan dan
seterusnya setelah dilakasanakan wasiat dan dilunansi
hutang si mayit. Karena bagian ibu 1/3 sisa peninggalan
tidak ditunjuk oleh nash, maka harus diartikan dengan 1/3
seluruh harta peninggalan yang siap dibagi.
365
Wahbah, al-Fiqh al-Islami, X: 7788.

353
Bab III

Ibu itu ahli waris dzawil furudl sedangkan ayah ahli waris
ashabah (dalam masalah tersebut. Maka sesuai petunjuk
Nabi Muhammad SAW:

Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak.


Sisanya untuk laki-laki yang paling utama. (al-
Bukhari:6351366; Muslim: 1615367)
Hendaknya ibu diberi bagiannya secara sempurna,
kemudian sisanya, sedikit atau banyak, diberikan kepada ayah. 368

Ibnu Abbas tidak sendirian di kalangan sahabat. Ali bin


Abi Thalib menurut riwayat yang shahih yang diterima oleh
Ibnu Hazm, juga sependapat dengan Ibnu Abbas. Riwayat
yang menyatakan Ali setuju dengan pendapat Umar, menurut
Ibnu Hazm tidak shahih.

Di kalangan ulama mazhab sunni yang mendukung


pendapat Ibnu Abbas adalah Mazhab az-Zahiri. Mazhab az-
Zahiri beralasan karena Allah telah menetapkan bagian ibu 1/3
dan tidak menurunkannya menjadi 1/6 kecuali kalau bersama
dengan anak atau saudara-saudara si mayit. Karena itu tidak
boleh merubah ketentuan tersebut kecuali ada sunnah yang
diyakini kevalidannya, padahal tidak ada sunnah maupun
ijmak yang merubahnya. Bagi az-Zahiri, ketika ibu bersama
ayah dan suami/istri, ia berhak mendapatkan 1/3 harta
warisan, bukan 1/3 harta sisa suami/istri.

366
Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet III, (Beirut:
Dar ibn Katsir al-Yamamah, 1987), VI: 2476.
367
Muslim ibn al-Hajjaj an-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-
Turats al-Arabi, t.t.), III: 1233.
368
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 240.
35
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad ibn Sirin berpendapat bahwa ketika ahli waris


terdiri dari suami, ibu, dan ayah, maka bagian suami 1/2, ibu 1/3 sisa
suami, dan sisanya untuk ayah. Sedangkan ketika ahli warisnya
terdiri dari istri, ibu, dan ayah maka bagian istri 1/4, ibu 1/3 seluruh
harta warisan, dan ayah sisanya. Pada kasus pertama Ibnu Sirin
mengikuti pendapat Jumhur karena dia tidak rela kalau ibu
mendapatkan bagian yang lebih besar daripada bagian ayah.

Pada kasus kedua, Ibnu Sirin berbeda dengan Jumhur,


sama dengan Ibnu Abbas karena bagian ibu lebih rendah dari
bagian dari suami, maka tak perlu mentakwil ayat. Baginya
bagian ibu tidak harus setengah bagian ayah, yang penting
tidak melebihi bagian ayah. Menurut Ibnu Hazm, pendapat
Ibnu Sirin yang pertama salah, sedangkan pendapat yang
kedua benar. Sebab Ibnu Sirin membedakan dua kasus
padahal ayat yang menetapkannhya satu.

Ibnu Hazm menolak argumen yang berdasarkan pernyataan


Ibnu Mas'ud: "Allah tidak memperlihatkan kepada saya kelebihan ibu
daripada ayah." Pertama pernyataan Ibnu Mas'ud bukan sunnah
sehingga bukan hujjah. Di sisi lain terdapat sunnah yang shahih
menunjukkan keutamaan ibu daripada ayah. Hadits tersebut yaitu
tentang seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW:
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan
kebaikan pengkhidmatan (shuhbah)nya? Rasulullah menjawab
sampai 3x: "ibumu." Pada kali keempat beliau baru menjawab:
"ayahmu." Hadits ini menunjukkan keutamaan ibu dari ayah.

Di sisi lain Allah telah menyamakan bagian ibu dengan


bagian ayah ketika si pewaris meninggalkan anak sehinngga
bagian ibu dan ayah masing-masing 1/6. Ibnu Hazm juga
mengkritik argumen bahwa bagian laki-laki harus lebih besar dari
bagian perempuan. Sebab yang berpendapat demikian tidak
konsisten. Misalnya ketika ibu mewarisi bersama dengan kakek

355
Bab III

dan suami, mereka menetapkan bagian ibu 1/3 harta warisan,


suami 1/2, dan kakek sisanya, yakni 1/6.

Ketika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 saudara


kandung, dan 1 saudari seibu mereka menetapkan bagian
saudari seibu 1/6 dan dua saudara kandung mendapatkan 1/6
yang berarti masing-masing mendapatkan bagian 1/12. Ketika
ahli waris terdiri dari suami, 1 saudari kandung, dan 1 saudara
seayah, mereka menetapkan suami mendapatkan 1/2, 1
saudari kandung mendapatkan 1/2, dan 1 saudara seayah
tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi ketika posisi saudara
seayah diduduki saudari seayah, maka saudari seayah diberi
1/6 sehingga kasusnya di'aul-kan. Ibnu Hazm heran, mereka
tidak mengingkari keutamaan perempuan terhadap laki-laki
dalam kasus-kasus tersebut kemudian menolak keutamaan
ibu terhadap ayah dalam kasus yang telah ditetapkan Allah.369
Menurut Amir Syarifuddin, penetapan bagian ibu 1/3
sisa ketika bersama-sama dengan ayah dan suami/istri
menunjukkan adanya pengaruh adat Jahiliyah dalam diri
sebagian besar mujtahid yang disebutkan di atas. Ibnu Abbas
yang diikuti oleh ulama Zahiri yang bersikukuh untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur'an menurut zahirnya tidak
menghiraukan pengaruh adat lama yang mungkin masih ada.
Menurut Amir Syarifuddin, kedua kasus sebenarnya bukan
masalah dalam arti sebenarnya. Yang terjadi sebenarnya
benturan antara tuntutan menjalankan ketentuan Al-Qur'an
menurut zahirnya dengan prinsip yang diwarnai adat jahiliyah
dalam menempatkan hak perempuan. Ibnu Abbas mengambil
yang pertama dan Jumhur ulama mengambil yang kedua.370

369
Ibnu Hazm, al-Muhalla, IX: 260-262.
370
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 112-
3.
35
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pendapat senada dinyatakan oleh Sajuti Thalib.


Menurutnya pemberian bagian 1/3 sisa kepada ibu merupakan
pembagian warisan patrinial. Menurut kewarisan bilateral,
bagian 1/3 untuk ibu dalam Q.S. An-Nisa' : 12 adalah 1/3 harta
peninggalan. Hal ini didasarkan atas alasan dengan
menggunakan ilmu statistik.

Q.S. An-Nisa' : 11 menetapkan bagian: 2/3, 1/2, 1/6, 1/3, dan


1/6.

Q.S. An-Nisa' : 12 menetapkan bagian: 1/2, 1/4, 1/4, 1/8, 1/6,


dan 1/3.
Q.S. An-Nisa' : 176 menetapkan bagian: 1/2 dan 1/3.

Di sana terlihat 13 angka pecahan penunjuk perolehan


masing-masing ahli waris, 12 di antaranya disepakati angka
perolehan itu diambil dari harta peninggalan. Jadi, 2/3 HP, 1/2
HP, 1/6 HP, dan seterusnya. Dengan demikian, tentunya 1/3 pada
Q.S. An-Nisa' : 12 juga berarti 1/3 HP. Jika Allah menghendaki
lain tentunya akan dirumuskan lain pengecualian itu. Maha benar
Allah dengan segala firman-Nya.371
Penulis sendiri setuju dengan pendapat Ibnu Abbas. Penulis
memiki alasan lain, disamping penulis setuju dengan alasan yang
dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan para pendudukungnya. Ibu
adalah ahli waris dzawil furudh saja. Ibu tidak berubah menjadi
ashabah bil gair ketika bersama dengan ayah. Kalaupun ibu
mendapatkan setengah dari bagian ayah ketika hanya mereka yang
menjadi ahli waris, yakni ibu 1/3 dan ayah sisanya 2/3, bukan karena
perbandingan bagian laki-laki dan bagian perempuan 2:1, tapi
karena kebetulan. Ibu mendapatkan

371
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia,cet. iv (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), 138.

357
Bab III

1/3 sebagai dzawil furudl, dan ayah sebagai ashabah,


kebetulan sisanya 2/3. Seandainya prinsip 2:1 antara laki-laki
dan perepuan berlaku bagi ayah dan ibu, seharusnya berlaku
pada semua kondisi. Kenyataannya ketika ahli warisnya terdiri
dari ibu, ayah, dan anak prinsip 2:1 tidak berlaku terhadap
ayah dan ibu. Prinsip 2:1 ditetapkan Al-Qur'an hanya kepada
anak laki-laki bersama dengan anak perempuan dan saudara
bersama dengan saudari. Oleh Jumhur ulama ditafsirkan
saudara kandung bersama dengan saudari kandung atau
saudara seayah bersama dengan saudari seayah.

Prinsip 2:1 berlaku konsisten terhadap anak laki-laki


bersama dengan anak perempuan, baik mereka sendiri ahli
warisnya atau bersama dengan ahli waris lain. Hal yang sama
juga berlaku terhadap saudara bersama dengan saudari
selama mereka tidak mahjub. Jika prinsip 2:1 ini diberlakukan
secara konsisten pada ayah dan ibu ketika bersama dengan
suami/istri berarti telah menempatkan ibu sebagai ashabah bil
gair ketika bersama dengan ayah. Ini menurut penulis
menempatkan ibu bukan pada tempatnya.

Pendapat Umar yang diikuti jumhur ulama ini sampai


kini masih pendapat mayoritas. Pendapat jumhur ini pula yang
akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawaris (Kitab Undang-
Undang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada
Pasal 14, serta UU Kewarisan Suriah pasal 14, 372 dan juga ke
dalam Buku Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
pada Pasal 178 ayat (2).

Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Waris Mesir


menetapkan: .....Hanya saja bila ia (ibu) berkumpul dengan salah

372
Wahbah, al-Fiqh al-Islami , X: 7789.
35
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

seorang suami istri dan ayah saja, baginya sepertiga sisa setelah
fardh suami (istri)....

Pasal 178 (2) KHI menetapkan: Ibu mendapatkan


sepertiga bagian sisa sesudah diambil oleh janda atau duda
bila bersama-sama dengan ayah.

Penulis juga menemukan putusan Pengadilan Tinggi Agama


Palembang Nomor 03/Pdt,G/2008/PTA.Plg yang mengikuti pendapat
Umar. Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan, bahwa
dikalangan Faradhiyun atau Fuqaha Sunni yang disepakati oleh
Imam empat, kelompok Sunni menetapkan hak bagian ibu adalah
dari sisa bukan dari saham bila ibu bersama dengan suami atau
istri beserta bapak, masalah ini disebut Gharrawain atau Al-
Umariyatain, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 174 ayat (2)
Kompilasi Hukum islam, sebab secara teoritis dalam kasus diatas
bila ibu diberi hak bagian saham/ fard, maka bagian ayah sebagai
Ashobah bagiannya sangat kecil hampir sama dengan bagian ibu
atau lebih kecil.

Padahal seharusnya (yang adil) bagian ayah lebih besar


dari bagian ibu, sesuai prioritas keadilan bagi kedudukan ayah
yang dianggap lebih tinggi dari ibu. Kemudian dalam salah satu
keputusannya majelis hakim menetapkan hak bagian ahli waris
setelah dikeluarkan untruk anak angkat dengan Wasiat wajibah
sebagai berikut: Janda mendapat = 3/12 ; ibu mendapatkan
sepertiga sisa x = 3/12; Ayah mendapat ushubah 6/12.

Penyelesain Umar dalam kasus garrawain ini juga


banyak diajarkan di masyarakat. Buku-buku fiqh mawaris yang
diajarkan di Indonesia umumnya mendukung pendapat Umar
yang diikuti jumhur ulama dalam kasus garrawain. Sungguhpun
demikian, penulis menyarankan untuk memilih pendapat Ibnu
Abbas dalam masalah ini. Sebab pendapat Ibnu Abbas lebih
sesuai dengan zahir ayat dan masyarakat bilateral yang
mayoritas di Indonesia.
359
Bab III

Penyelesaian Umar cocok untuk masyarakat patrilinial seperti


di Timur Tengah.
Masalah Musyarrakah
Menurut ketentuan, ahli waris ashabah tidak diberi warisan
sebelum ahli waris dzawil furudl mendapatkan bagiannya masing-
masing, berdasarkan hadits tentang ashabah di atas. Akan tetapi
terkadang saudara kandung sebagai ashabah digabung dengan
saudara/i seibu sebagai dzawil furudl dalam kasus tertentu. Masalah
seperti ini disebut masalah musayarrakah.

Masalah musyarrakah terjadi ketika saudara kandung


yang diposisikan sebagai ashabah tidak mendapatkan warisan
karena harta warisan telah habis dibagikan kepada semua ahli
waris dzawil furudl, di antaranya terdapat saudara/i seibu.
Musyarrakah tidak akan terjadi jika masih ada sisa harta yang
dapat diberikan pada ashabah.

Masalah musyarrakah dapat terjadi jika ahli warisnya


terdiri dari suami yang mendapatkan ketika pewaris tidak
meninggalkan anak atau cucu, pemilik bagian 1/6 yaitu ibu
atau nenek, dua saudara/i seibu atau lebih yang mendapatkan
1/3, dan saudara kandung saja atau bersama saudari
kandung kandung. Jika sandara/i seibu hanya seorang tidak
terjadi musyarrakah karena masih tersisa 1/6 harta warisan.
Jika saudari kandung sendirian atau lebih tanpa saudara
kandung maka akan mendapatkan bagian tertentu yaitu
atau 2/3 sehingga masalahnya akan diaul-kan. Demikan pula
jika kedudukan suami digantikan istri tidak akan terjadi
musyarrakah karena masih ada sisa harta.373

373
Muhammad Mustafa Syalabi, Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-Qanun,
(Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978), h. 168.
36
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Masalah ini dapat diilustarasikan misalnya ahli waris


terdiri dari suami, ibu (atau nenek), 2 saudara seibu, dan 2
saudara kandung. Sesuai ketentuan, suami mendapatkan 1/2
karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu mendapatkan
1/6 karena bersama beberapa saudara, 2 saudara seibu
mendapatkan 1/3 karena lebih dari satu, 2 saudara kandung
sebagai ashabah. Penyelesaiannya sebagai berikut:
Suami : 1/2 x 6 =3
Ibu : 1/6 x 6 =1
2 sdr seibu : 1/3 x 6 =2
2 sdr kandung :A =0

Dari segi pembagian warisan sebenarnya tidak ada


masalah. Masalahnya di sini terdapat keganjilan.
Keganjilannya, 2 saudara seibu yang diikat dengan pewaris
hanya melalui satu jalur ibu mendapatkan warisan sementara
saudara kandung yang diikat dengan dua jalur, yakni jalur
ayah dan ibu, tidak mendapatkan warisan. Kasus seperti ini
nampaknya tidak terjadi pada masa Nabi SAW dan Khalifah
Abu Bakar, baru terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab.

Umar bin Khattab mendapatkan laporan kasus ini dua kali.


Pada kasus pertama Umar menyelesaikan apa adanya seperti
ilustrasi di atas. Kemudian masalah itu diajukan kepadanya sekali
lagi. Di antara mereka ada yang pintar berdebat dan berkata:
"Amirul Mukminin, anggaplah ayah kami itu keledai (himar),
bukankah kami dengan saudara seibu berasal dari satu ibu?"
Argumen ini diterima oleh Umar kemudian beliau memutuskan agas
semua saudara/i bersekutu mendapatkan 1/3 itu, bagi rata tanpa
mempertimbangkan jenis kelamin. Keputusan Umar ini

361
Bab III

didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat.


Pendapat ini diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah. 374
Kasus ini dinamakan musyarrakah karena saudara
kandung dipersekutukan dengan saudara-saudara seibu
dalam mendapatkan 1/3 warisan. Kasus ini juga diberi nama
musytarakah dalam arti 1/3 yang dipersekutukan. Kasus ini
juga diberi nama hajariyah karena sebagian saudara kandung
mengatakan: "Anggaplah ayah kami hajar (batu)"; dan
himariyah karena sebagian saudara mengatakan: "Anggaplah
ayah kami himar (keledai)."

Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu Musa
di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi, Mazhab
Hanbali, tidak menggunakan teori musyarrakah. Mereka memberi
suami 1/2, ibu 1/6, saudara-saudara seibu 1/3, dan 2 saudara
kandung tidak diberi warisan karena harta warisan telah habis
diberikan kepada dzawil furudl. Jika saudara kandung diikutkah
dengan saudara seibu berarti manafikan kekerabatannya malalui
jalur ayah. Penafian kekerabatan melalui jalur syariah tidak sesuai
dengan realitas syari. Perubahan saudara kandung dari ashabah
menjadi dzawil furudl berarti perubahan dari status yang kuat ke
status yang lemah. Ini tidak baik secara syari. Karena itu maka
saudara seayah tidak digabung ketika tidak mendapatkan sisa
sedangkan saudara seibu mendapatkan bagian padahal saudara
sebapak lebih kuat dari saudara seibu. Saudara kandung juga
demikian.375 Mereka berhujjah dengan ayat 2 ayat kalalah:376

374
Ibid. h. 169;
375
Muhammad Abu Zahrah, Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris (Kairo: Dar al-
Fikr al-Arabi, 1963), h. 119.
376
Kalalah adalah pewaris yang mewariskan harta kepada garis menyamping,
bukan pada orang tua atau anak keturunannya atau ahli yang mewarisi harta dari garis
menyamping, bukan dari orang tua atau anak keturunannya. Dia, menurut tafsir Abu Bakar
36
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan


dalam keadaaan kalalah, dan ia mempunyai seorang
saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka
bagi masing-masing dari keduanya 1/6. Jika mereka lebih
dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3.

Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini, menurut


kesepakatan ulama klasik adalah saudara/i seibu.377


Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak . Tetapi jika saudara perempuan itu dua

yang diikuti sahabat-sahabat dan para ulama mazhab, adalah orang yang tidak punya anak dan
ayah. Lihat Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir att-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H), IV:
283; Ismail ibn Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), I: 461.
377
Tafsir ini berdasarkan qiraah syadzdzah Saad ibn Waqash dan juga
tafsir Abu Bakar. Lihat Tafsir Ibn Katsir, ibid.

363
Bab III

orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika
mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk yang
laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan...........

Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini menurut


kesepakatan ulama klasik adalah saudara kandung atau
sebapak.378 Saudara kandung/sebapak berdasarkan ayat ini
berkedudukan sebagai ashabah. Jika mereka digabung
dengan saudara seibu mendapatkan 1/3 maka kedudukannya
akan berubah menjadi dwawil furudl dan bertentangan dengan
dzahir ayat.

Seandainya kedudukan saudara kandung diisi oleh


saudara-saudara seayah, ulama klasik mengatakan bahwa
mereka sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa karena
telah habis diberikan kepada dzawil furudl dan tidak ada
alasan untuk digabungkan dengan saudara seibu karena
mereka berasal dari ibu yang berbeda.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, pendapat Umar dan


lain-lain lebih kuat dalilnya dan menyerupai dalil istihsan.
Sedangkan pendapat Ali dan kawan-kawan menyerupai qiyas.
Karena menurut qiyas zhahir anak-anak bapak tidak
mendapatkan apa-apa. Ini merupakan kesimpulan yang tidak
baik dalam pandangan manusia, juga dalam logika syari. Karena
itu diamalkan qiyas khafi, yaitu sifat yang dimiliki bersama oleh
saudara kandung dan saudara seibu dan mereka mewarisi
sebagai saudara seibu. Tak seorang pun dapat menyangkal
bahwa saudara kandung memiliki sifat sebagai saudara seibu. 379

378
Ibid.
379
Ibid
36
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Penyelesaian senada dalam kasus musyarrakah dinyatakan


oleh Hazairin dengan alasan berbeda. Pertama, menurut Hazairin,
saudara dapat mewarisi jika dalam keadaan kalalah, yaitu pewaris
tidak meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan yang
diperluas pada tidak meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan
dari garis laki-laki maupun perempuan dengan kata lain pewaris
tidak meninggalkan keturunan sama sekali. Kedua, Hazairin tidak
membeda-bedakan saudara-saudara yang dimaksud dalam Q.S. An-
Nisa ayat 12 dan ayat 176. Menurut Hazairin, arti akhun, ukhtun,
dan ikhwatun adalah sama mencakup semua saudara, kandung,
seayah, dan seibu karena Al-Quran memang tidak membeda-
bedakan saudara berdasarkan pertalian ayah atau ibu. 380 Perbedaan
bagian yang berhak diterima saudara pada kedua ayat karena sebab
lain.

Q.S. An-Nisa ayat 176 menurut Hazairin mengatur


kewarisan seseorang yang meninggal tidak berketurunan,
meninggalkan saudara, ayahnya telah meninggal terlebih
dahulu, ibu mungkin masih hidup atau telah meninggal juga.381
Dalam hal ini maka bagian saudara/i:

380
Sajuti Thalib, pendukung Hazairin, menyatakan bahwa paham Sunni yang
memahami ayat 12 berlaku untuk saudara/I seibu dan ayat 176 berlaku untuk saudara/I
sekandung dan seayah sebagai paham yang ganjil. Sebab ayat 11 dan 12 turun pada tahun
IV H, sedangkan ayat 176 sebagai ayat terakhir tentang waris turun pada tahun V H,
bahkan ada yang mengatakan turun pada tahun V H. Menurutnya tidak wajar pengaturan
hak kewarisan saudara/I seibu setahun (bahkan ada yang mengatakan dua tahun) lebih
dahulu dari pengaturan hak kewarisan saudara kandung dan saudara seayah. Padahal
masyarakat Arab saat itu patrilinial, banyak poligami, sehingga saudara yang banyak
tentunya saudara sekandung atau seayah. Saudara seibu tentu jarang. Menurutnya iman
sulit untuk menerima kalau Allah yang maha bijaksana mengatur yang hampir tidak ada,
saudara seibu, jauh lebih dahulu dari hal yang umumnya terdapat dalam masyarakat, yaitu
saudara kandung dan saudara seayah. 380Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan, 146.
381
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith,
cet VI (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), h. 55-6.

365
Bab III

Seorang saudara perempuan mendapatkan dari harta


warisan.

b. Seorang atau lebih saudara laki-laki mewarisi harta saudaranya


yang meninggal (seluruh atau sisa dzawul faraidl),
sebagai dzawul-qarabah.382
Dua orang saudara perempuan atau lebih mewarisi 2/3 harta
warisan.

Jika saudara terdiri dari laki-laki dan perempuan maka


pembagiannya seorang saudara laki-laki mendapatkan
bagian dua kali bagian saudara perempuan.383
Q.S. An-Nisa ayat 12 menurut Hazairin antara lain mengatur
kewarisan seseorang yang meninggal tidak berketurunan, tetapi
meninggalkan saudara bersama ayah (jadi mungkin ibu masih hidup
atau sudah meninggl juga). Maka saudara kedudukannya sebagai
dzawul faraidl, ayah sebagai dzawul-qarabah.384 Dalam hal ini
bagian saudara sebagai berikut:

Seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan


masing-masing mendapatkan 1/6 harta warisan.

Beberapa saudara, laki-laki semua, perempuan semua, atau


campuran laki-laki dan perempuan, semuanya berbagi
sama rata terhadap 1/3 harta warisan.385

382
Dzawul-qarabahdalam istilah Hazairin adalah orang yang menerima sisa
harta dalam keadaan tertentu. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan
Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 178.
383
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral,
h. 8-9. 384Ibid. 56
385
Ibid. 7.
36
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kasus musyarrakah di atas, jika mengacu pada teori


Hazairin di atas, bukan masalah. Penyelesaian kasus tersebut
menurut teori Hazairin, suami mendapatkan karena pewaris
tidak meninggalkan keturunan, ibu mendapatkan 1/6 karena
terdapat saudara, dan 4 saudara sebagai dzawul-qarabah.
Suami : 1/2 x 6 = 3 x 4 = 12
Ibu : 1/6 x 6 = 1 x 4 = 4
8
4 sdr : dz-q = 2 x 4 = +
6 24
Jadi suami mendapatkan 3/6 atau 12/24, ibu mendapatkan
1/6 atau 4/24, dan masing-masing saudara kandung/seibu
mendapatkan 2/24. Penyelesaian kasus musyarrakah akan sama
dengan teori Hazairin jika semua saudara berjenis kelamin laki-laki.
Jika saudara seibu semuanya atau salah satunya perempuan atau
saudara-saudara kandung terdiri dari laki-laki dan perempuan,
hasilnya akan berbeda. Menurut pendapat Umar dengan teori
musyarrakah, bagian laki-laki dan perempuan sama. Sedangkan
menurut Hazairin, jika saudara-saudara terdiri dari laki-laki dan
perempuan, jika pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah
telah meninggal terlebih dahulu, maka pembagiannya 2:1.

Jika kedudukan saudara kandung diganti oleh saudara


seayah, menurut ulama klasik tidak terjadi musyarrakah.
Saudara-saudara seayah sebagai ashabah tidak mendapatkan
apa-apa sedangkan saudara-saudara seibu mendapatkan
warisan sebagai dzawil furudl. Menurut teori Hazairin, saudara-
saudara seayah tetap mendapatkan warisan sebagai dzawil
qarabah bersama-sama dengan saudara-saudara seibu. Dalam
hal ini teori Hazairin lebih memenuhi rasa keadilan.
367
Bab III

Teori musyarrakah Umar diadopsi dalam Undang-


undang Kewarisan di Mesir dan Suriah.386 Kitab Undang-
Undang Hukum Waris Mesir Nomor 77 Tahun 1943
mencantumkan teori musyarrakah dalam Pasal 10, yaitu:

Bagi anak-anak ibu fardhnya seperenam untuk seorang


diri dan sepertiga untuk dua orang atau lebih. Kelaki-lakian dan
keperempuanan mereka dalam pembagian adalah sama. Dalam
keadaan yang kedua (mendapat sepertiga), bila fardh-fardh dari
ashhabul-furudh telah menghabiskan harta peninggalan, anak-
anak ibu berserikat dengan saudara kandung dan saudara-
saudara kandung dengan menyendiri atau beserta seorang
saudari kandung atau lebih, dan sepertiga tersebut dibagi antar
mereka menurut ketentuan yang telah lalu.

KHI mengatur bagian yang berhak diterima saudara


dalam dua pasal. Pasal 181 mengatur bagian yang berhak
diterima saudara/i seibu. Saudara/i seibu berhak
mendapatkan warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak
dan ayah, yaitu seperenam jika sendirian, sepertiga jika
berdua atau lebih, laki-laki atau perempuan sama saja bagi
rata.

Pasal 182 mengatur bagian yang berhak diterima


saudara/i kandung atau seayah. Saudara kandung atau seayah
berhak mendapatkan warisan jika pewaris tidak meninggalkan
anak dan ayah, jika sendirian dan 2/3 jika berdua atau lebih.
Jika saudari tersebut bersama dengan saudara kandung atau
seayah, maka bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

Dari dua pasal di atas dapat dipahami bahwa KHI belum


mengatur kasus musyarrakah, beda dengan Kitab Undang-

386
Wahbah, al-Fiqh al-Islam , X: 7772.
36
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Undang Hukum Waris Mesir yang mengaturnya dalam pasal


tersendiri. A. Sukris Mawardi memahami penyelesaian kasus
musyarakah KHI dengan dua kemungkinan yakni menerima
konsep musyarrakah atau percampuran antara mereka dalam
segala jurusan tetapi membedakan antara laki-laki dan
perempuan 2:1 di samping berlakunyua fard yang semestinya
bagi masing-masing mereka tanpa selalu harus berbagi sama. 387
Dengan kata lain ika terjadi kasus musyarrakah penyelesaian
kasusnya diserahkan kepada hakim atau masyarakat yang akan
menyelesaikan apakah akan mengikuti teori musyarrakah Umar
yang didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat
yang kemudian diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah atau
mengikuti Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu
Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi,
Mazhab Hanbali, yang tidak menggunakan teori musyarrakah.

Penulis belum menemukan data lapangan apakah kasus


musyarrakah ini pernah terjadi di pengadilan atau masyarakat, dan
seandainya terjadi bagaimana pemecahannya, penulis lebih belum
menemukan data. Akan tetapi mengingat Muslim Indonesia
umumnya bermazhab syafii, kemungkinan teori musyarrakah diikuti
jika kasusnya terjadi, baik di pengadilan atau di masyarakat.

Pendapat Hazairin yang tidak membeda-bedakan saudara


apakah kandung, seayah, atau seibu, tapi hanya membedakan
apakah saudara bersama dengan ayah atau tidak seperti dijelaskan
di atas, layak dipertimbangkan dalam perumusan RUU Kewarisan
Islam Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Amir Syarifuddin,
sekalipun pendapat Hazairin tampak ganjil dalam

387
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 213.
369
Bab III

pandangan ulama terdahulu, tetap layak diperhatikan. Apalagi


kasus ini bersifat ijtihadi (boleh di-ijtihad-kan) dan masih
berada dalam tataran wacana.388 Jika teori Hazairin yang
diikuti, maka kasus musyarrakah tidak lagi menjadi masalah
khusus, tapi merupakan kasus biasa yang bisa dipecahkan
secara menyeluruh tanpa melanggar makna teks. Jika
mengikuti pendapat Umar, penyelesaian kasus sesuai dengan
rasa keadilan, tetapi masih dianggap melanggar dzahir teks
sebagaimana faham ulama klasik dan juga parsial.
Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalama


masalah gharrawain, peneliti memandang bahwa pendapat
Ibnu Abbas yang memberi ibu 1/3 harta warisan ketika ahli
waris terdiri dari ibu, ayah, dan suami/istri lebih sesuai dengan
dzahir teks dan lebih sesuai pula dengan kultur masyarakat
Indonesia yang mayoritas bilateral atau parental. Karena itu
pendapat ini layak dimasukkan dalam RUU Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang Kewarisan.389

Sedangkan dalam kasus musyarrakah, penulis


memandang bahwa teori yang dikemukakan oleh Umar bin
Khattab lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kultur
masyarakat Indonesia. Lebih dari itu teori Hazairin yang tidak
membeda-bedakan saudara kandung, seayah, dan seibu juga
layak dipertimbangkan. Karena konsep tersebut sangat sesuai
dengan kultur mayoritas masyarakat Indonesia.

388
Amir. Hukum Kewarisan, 61.
389
37
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media,
2004.

Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep


Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press, 2005.

Bukhari, Muhammad ibn Isma'il . Shahih al-Bukhari, cet III.


Beirut: Dar ibn Katsir al-Yamamah, 1987.
Dardiri,Ahmad . asy-Syarh al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t..
Dimasyqi, Ismail ibn Katsir. Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar al-Fikr, 1401
H

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal


Bimbingn Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama. Kompilasi Hukum Islam. 2002.
Fatchur Rahman. Ilmu Waris. cet. X. Bandung: Al-Ma'arif, t.t.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan


Hadith. cet VI. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982.

Muhammad Abu Zahrah. Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris.


Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1963.

Muhyiddin. al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-


Fikr, 1996.1 Qudamah, Abdullah ibnu. al-Mughni.
Beirut: Dar al-Fikr, 1405.

Nisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj . Shahih Muslim. Beirut: Dar


Ihya at-Turats al-Arabi, t.t.
Sarakhsi, Muhammad. al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Marifah, 1406 H.

Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam


Transformatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

371
Bab III

Syalabi,Muhammad Mustafa. Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh


wa al-Qanun. Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978.

Thabari, Muhammad ibn Jarir. Tafsir att-Thabari. Beirut: Dar


al-Fikr, 1405 H.

Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Indonesia. cet. Iv.


Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Zahiri, Ali ibnu Hazm . al-Muhalla. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
t.t.

Zuhaili , Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. cet IV.


Damaskus: Dar al-Fikkr, 2004.
37
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KEWARISAN KHUNTSA (KELAMIN GANDA),


MAFQUD (ORANG HILANG), ANAK DALAM
KANDUNGAN
Sri Hidayati

Latar Belakang

Aturan tentang kewarisan telah ditetapkan Allah melalui


firmanNya yang terdapat dalam al-Quran. Pada dasarnya
ketentuan Allah yang berkaitan dengan kewarisan tersebut
jelas maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih
memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan
maupun yang bersifat merinci, disampaikan Rasulullah saw
melalui haditsnya. Walaupun demikian, penerapannya masih
menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan dikalangan
para pakar hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam
bentuk ajaran yang bersifat normative. Aturan tersebut
kemudian ditulis dan diabadikan dalam bentuk kitab fikih serta
menjadi pedoman bagi umat muslim dalam menyelesaikan
permasalahannya yang berkenaan dengan warisan.

Di Indonesia, aturan Allah tentang kewarisan telah


menjadi hukum positif yang dipergunakan di Pengadilan Agama
dalam memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan
berkenaan dengan harta waris tersebut yang dituangkan dalam
Buku II Kompilasi Hukum Islam. Hanya saja materi hukum
kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut
masih perlu dilengkapi, diperbaiki, dan dikembangkan seiring
dengan temuan dan perkembangan baru dalam praktek di
pengadilan pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya.

373
Bab III

Masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda), mafqud


(orang hilang), anak dalam kandungan merupakan sebagian dari
banyak permasalahan lain yang belum diatur dalam KHI. Dalam
kitab-kitab fikih ketiga masalah tersebut termasuk dalam bahasan
miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai
dengan cara/jalan perkiraan. Untuk itu makalah ini berupaya
membahasnya dari perspektif fiqh, praktik di pengadilan dan di
masyarakat sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan
Kompilasi Hukum Islam tersebut.

Kewarisan Khuntsa
Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan manusia hanya
dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. 390 Kedua alat
kelamin tersebut mempunyai urgensia yang tidak dapat diragukan
lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-
laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat
digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.

Dalam hal-hal tertentu hukum membedakan ketentuan


antara laki-laki dan perempuan, antara lain dalam hal pusaka
mempusakai dimana Allah SWT telah menjelaskan pusaka
laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat mawarist,
tetapi tidak menjelaskan pusaka khuntsa.

Istilah khuntsa berasal dari bahasa Arab khanatsa yang


berarti lunak atau melunak.391 Dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan istilah banci, wadam (wanita-adam) atau waria
(wanita-pria). Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, khuntsa adalah
seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau
perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan

QS. 4:1 dan QS.49:13


Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal 382.
37
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat


kelamin laki-laki atau perempuan.392
Sehubungan dengan tidak dijelaskannya pusaka
khuntsa dalam al-Quran, para pakar hukum Islam berusaha
dan berijtihad untuk menghindari kevacuman hukum dalam
penyelesaian pusaka khuntsa ini.
Perspektif Fiqh

Masalah khuntsa ini banyak dibicarakan dalam kitab-


kitab fikih, karena meskipun khunsa mempunyai dua alat
kelamin, namun hukum yang diberlakukan padanya hanya
satu, yaitu laki-laki atau perempuan. Untuk itu, harus
dipastikan kedudukan jenis kelamin seorang khuntsa.
Jenis Kelamin Khuntsa

Dalam menetapkan seorang khuntsa itu sebagai laki-laki


atau perempuan, ulama klasik menempuh dengan dua cara:393

Pertama, yaitu dengan cara meneliti tempat keluarnya air


kencing; Cara ini merupakan cara yang disepakati para ulama dalam
menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin khuntsa
tersebut.394 Apabila khuntsa kencing melalui zakar maka ia dianggap
sebagai laki-laki dan karenanya dapat mewarisi sebagaimana orang
laki-laki. Dan apabila khuntsa kencing melalui farj maka ia dianggap
sebagai perempuan dan karenanya ia dapat mewarisi sebagaimana
orang perempuan. Riwayat seperti ini juga

Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
hoeve, 1996), hal. 934
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif), cet. Ke-4, hal. 482
Ibid, hal. 140

375
Bab III

didapat dari Ali, Muawiyah, Said bin al-Musayyab, Jabir bin


Zaid, ahli Kufah dan lainnya.395

Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau


perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda
Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah
ditanya tentang kewarisan seorang anak yang mempunyai
qubul dan zakar. Ketika itu beliau sedang menimang anak
khuntsa Anshar. Sabdanya:

Berikanlah warisan anak khuntsa ini (seperti bagian


anak laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama
keluar kencingnya.
Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang
ditetapkan oleh Nabi SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena
hal tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada
anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti
tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara pada
perempuan baru akan diketahui setelah dewasa.

Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat


kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang
lebih dulu keluar air seninya. Pendapat ini diriwayatkan dari Said ibn
Musayyab dan diikuti oleh Ahmad dan jumhur ulama. Apabila
keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya adalah dari
alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak. Pendapat
ini diriwayatkan dari al-Awzai, dua sahabat Abu Hanifah. 396

Dalam hal ini Abu Hanifah tidak sependapat karena


banyaknya air seni yang keluar dari salah satu kelamin bisa

395
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.
140
396
Ibid
37
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

disebabkan luasnya jalan keluar dan hal itu tidak menunjukkan


keasliannya.397 Sedangkan dari Syafii tidak dikenal ada
pendapat tentang ini.398
Kedua, dengan cara melihat tanda-tanda
399
kedewasaannya. Apabila dengan melihat alat kelamin yang
dipergunakan dalam membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat
ditempuh dengan melihat ciri-ciri atau tanda-tanda kedewasaan bagi
si khuntsa. Ciri-ciri spesifik bagi laki-laki antara lain: tumbuh kumis
dan janggut, suaranya berubah menjadi besar, keluarnya sperma
lewat zakar, timbul jakun di lehernya, dan ada kecenderungan
mendekati perempuan. Sedangkan ciri-ciri spesifik bagi perempuan
antara lain: membesarnya payudara, keluar haid dari farjnya, dan
ada kecenderungan mendekati laki-laki.

Khuntsa yang dapat ditentukan statusnya berdasarkan


tanda-tanda atau cara-cara tersebut diatas dinamakan
Khuntsa ghair musykil. Sedangkan khuntsa yang sulit
ditetapkan jenisnya baik dengan cara meneliti alat kelamin
yang dipergunakan kencing, ciri-ciri khusus, keterangan
dokter, maupun pengakuan sendiri, dinamakan Khuntsa
musykil. Kesulitan dalam menentukan jenisnya berakibat pada
kesulitan dalam menetapkan pembagian warisannya.
Bagian Pusaka Khuntsa

Dalam menghitung kadar bagian khuntsa musykil para


ulama sepakat, yaitu dengan memperkirakan dan menghitungnya
sebagai laki-laki dan sebagai perempuan. Tetapi kemudian mereka

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,


terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), hal. 393
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, hal. 140
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif), cet. Ke-4, hal. 482-484

377
Bab III

berbeda pendapat dalam menetapkan pembagian warisan


khuntsa musykil setelah diketahui hasil dari penghitungan
kedua perkiraan tersebut. Pendapat-pendapat tersebut secara
garis besar terbagi tiga.400
Pertama, Memberikan bagian terkecil dan terburuk dari
dua perkiraan bagian laki-laki dan bagian perempuan kepada
khuntsa musykil, dan memberikan bagian yang terbesar dan
terbaik dari dua perkiraan kepada ahli waris yang lain. Pendapat
ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan
401
Imam Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya.
Contoh: bapak yang mewarisi bersama anak khuntsa.
Perkiraan khuntsa laki-laki
Ahli waris Bagian penerimaannya
bapak 1/6 x 6 =1
khuntsa (laki-laki) Ashabah =5
Perkiraan khuntsa perempuan
Ahli waris Bagian penerimaannya
Bapak 1/6 + sisa 1/6 x 6 =1+2=3
Khuntsa (prp) 1/2 x 6 =3

Jika khuntsa diperkirakan laki-laki maka akan memperoleh


saham 5, dan jika khuntsa diperkirakan perempuan maka akan
memperoleh saham 3. Berdasarkan pendapat ini, maka khuntsa

al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala al-


Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240
Ibid, hal. 486; Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, hal. 395
37
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diberikan saham terkecil, yaitu 3 saham (sebagai perempuan),


sedangkan ahli waris yang lain yaitu bapak diberikan bagian
yang terbesar, yaitu 3 saham.

Pembagian seperti ini didasarkan pada suatu ketentuan


bahwa untuk memiliki harta benda itu tidak dibenarkan selama
tidak ada sebab-sebab yang meyakinkan. Dalam masalah ini
terdapat keraguan antara bagian yang terkecil dengan bagian
yang terbesar. Untuk memperoleh keyakinan dan menghilangkan
keraguan, maka ditetapkan bagian yang terkecil.402
Ketentuan tersebut bagi khuntsa musykil. Jika khuntsa
masih diharapkan menjadi jelas statusnya, maka didalam
menunggu status khuntsa apakah laki-laki atau perempuan
setelah menginjak usia dewasa, menurut ulama Hanafiyah ada
dua pendapat: a) menetapkan bahwa pembagian seluruh harta
peninggalan hendaknya ditahan dulu sampai status khuntsa
jelas; b) menetapkan bahwa setiap ahli waris, termasuk khuntsa
diberikan bagian yang meyakinkan, kemudian sisanya yang
masih diragukan ditahan sampai status khuntsa jelas.

Penerimaan seluruh ahli waris disempurnakan dengan


menambah bagian mereka yang kurang sesuai dengan yang
seharusnya mereka terima. Namun apabila waktu tunggu
telah berlalu dan persoalan khuntsa yang diharapkan jelas
tidak menjadi jelas, maka ia ditetapkan sebagai khuntsa
musykil dan pembagian warisannya seperti ketentuan
semula.403
Kedua, Memberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan
dari dua perkiraan kepada khuntsa dan para ahli waris yang lain,
kemudian sisanya ditahan sampai persoalan status khuntsa jelas

Fatchur Rahman, Ilmu waris, hal. 487


Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, hal. 353
379
Bab III

atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk
saling hibah-menghibahkan sisa yang diragukan itu. 404 Pendapat ini
dikemukakan oleh ulama-ulama Syafiiyah, Imam Abu Dawud, Imam
Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir. Jika bagian khuntsa tersebut
pasang surut atau berlebih-kurang sekiranya diperkirakan laki-laki
dan perempuan, atau khuntsa hanya mewarisi menurut salah satu
perkiraan saja, sedangkan menurut perkiraan yang lain ia tidak
mendapat warisan, maka bagi khuntsa dan ahli waris yang lain
diberikan bagian yang telah meyakinkan, yaitu bagian yang terkecil
dari dua perkiraan atau tidak menerima sama sekali.

Menurut ketentuan ini, setelah semua ahli waris termasuk


khuntsa menerima bagian yang terkecil atau bagian yang telah
meyakinkan, maka sisanya ditahan dulu sampai status khuntsa
jelas. Tetapi jika status khuntsa tidak menjadi jelas, maka para
ahli waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah
menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqqufkan tersebut.

Sebab jika tidak ada perundingan untuk saling hibah


menghibahkan, sisa yang ditawaqqufkan tersebut tidak dapat
dimiliki mereka. Perundingan saling hibah menghibahkan ini
adalah sah walaupun menurut syarat-syarat hibah itu harus
diketahui secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan
sesuatu keadaan darurat.
Contoh: Perkiraan khuntsa laki-laki
Ahli waris Bagian penerimaannya
bapak 1/6 x 6 =1
anak khuntsa (laki-laki) Ashabah = 5

404
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 488
38
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Perkiraan khuntsa perempuan


Ahli waris Bagian penerimaannya
Bapak 1/6 + sisa 1/6 x 6 =1+2=3
Anak khuntsa (perempuan) 1/2 x 6 =3

Berdasarkan pendapat ini maka pembagiannya sebagai


berikut:
Bapak = 1 saham
Anak khuntsa = 3 saham
Sisa = 2 saham disimpan sampai status khunsa jelas.
Atau dibagi berdasarkan kesepakatan.

Ulama-ulama Hanabilah dalam hal khuntsa masih


dapat diharapkan menjadi jelas statusnya mengikuti pendapat
ulama-ulama Syafiiyah, yaitu sisa yang masih diragukan
ditahan terlebih dahulu. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak
dapat diharapkan menjadi jelas, mereka sependapat dengan
ulama Malikiyah pada point c) dibawah ini.

Ketiga, memberi separoh dari dua perkiraan laki-laki dan


perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yang lain. Pendapat
ini dikemukakan oleh ulama-ulama Malikiyah, ylama Hanabilah
dalam satu pendapatnya disaat si khuntsa tidak dapat diharapkan
menjadi jelas persoalannya,405 ulama Syiah Zaidiyah, dan Syiah
Imamiyah dalam salah satu pendapatnya yang masyhur.

405
Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al Mirats, hal. 352
38
1
Bab III

Pembagian ahli waris:


Bapak = 1+ 3 = 2
2
Anak khuntsa = 5 +3 = 4
2

Alasan yang dikemukakan ulama-ulama tersebut


sebagaimana diriwayatkan as-Syaby yang mengutip dari riwayat
Ibnu Abbas r.a yang mengatakan bahwa bagian khuntsa itu ialah
separoh dari dua bagian laki-laki dan perempuan, dikarenakan
statusnya masih diperselisihkan oleh para ahli waris. 406 Fatwa
Ibnu Abbas ini menurut Ibnu Qudamah tidak ada seorang
sahabatpun yang mengingkarinya. 407

Tidak dapat ditarjihkan kepada salah satu jenis kelamin


karena adanya kemungkinan yang sama untuk ditetapkan
sebagai laki-laki atau perempuan, untuk itu harus
dipersamakan ketentuan hukumnya bagi keduanya.
Jumlah Ahli Waris Khuntsa Musykil

Para faradhiyun menetapkan bahwa para ahli waris


khuntsa musykil hanya berjumlah tujuh (7) orang yang
tercakup dalam empat jihat sebagai berikut:408
Jihat bunuwwah (jalur anak), yaitu anak dan cucu;

Jihat ukhuwwah (jalur saudara), yaitu saudara dan anak


saudara (keponakan);

Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syariat al-Islamiyyah, hal. 196


Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 490
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 484
38
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Jihat umumah (jalur paman), yaitu paman dan anak paman


(saudara sepupu);

Jihat wala (perwalian budak), yaitu tuan yang memerdekakan


budaknya (maulal mutiq).
Praktek di masyarakat

Di masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah banci,


wadam (wanita-adam) atau waria (wanita-pria). Istilah-istilah
tersebut berbeda pengertian dengan khuntsa yang dimaksud
dalam kitab-kitab fikih. Banci adalah tidak berjenis laki-laki dan
juga tidak berjenis perempuan; 2 n laki-laki yang bertingkah laku
dan berpakaian sebagai perempuan; wadam; waria. 409

Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin


atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme
ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan
seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara
bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya
ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya.
Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan
tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian
kelamin (Sex Reassignment Surgery).410
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM,
antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah
satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup
dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus
menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya
ketika datang stress; adanya penampilan fisik interseks atau

Kamus Besar Bahasa Indonesia


http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-fenomena-transgender-
dan-hukum-operasi-kelamin, makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).

383
Bab III

genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental


semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of
Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya
dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan
emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme. 411

Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon


dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya
pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan
anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada
masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma,
trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu
dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan.

Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon


yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal
guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa
dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki
kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki
kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk
memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu
yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam. 412
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus
diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran
modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi
penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang
sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau
penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak
lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang
tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3)

Ibid
Ibid
38
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang


dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua
organ/jenis kelamin (penis dan vagina).413
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi
normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar)
bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi
dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan
oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin.
Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun
1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin.
Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang
semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama
dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.

Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau


takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan
penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan
secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki
lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani
baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki
atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan
sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan
seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.

Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu


mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan
memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat
kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk mematikan dan
menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika
seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian

413
Ibid

385
Bab III

dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang


menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka
ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan
dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita.

Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis


(dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya
bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi
hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan
apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari
segi kehidupan sosialnya.414
Dibolehkannya operasi perbaikan atau
penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi
bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan
kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan
Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar Tinjauan
Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin pada tanggal
26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid,
Probolinggo Jawa Timur.

Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin


adalah sebagai berikut:415
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang
dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah),
maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak
berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi
waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian
kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria
(dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.

Ibid
Ibid
38
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang


yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda)
dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau
penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat
identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut
Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa
jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang
berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau
kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah
perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status
hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan
penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat
dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.
Kewarisan Mafqud

Mafqud (orang hilang) beberapa kasus disebabkan


berbagai hal, diantaranya musibah bencana alam, penculikan,
kerusuhan atau sebagai TKI illegal di negeri orang atau sebab
lainnya akhir-akhir ini menjadi sorotan media cetak maupun
elektronik. Keberadaan orang hilang tersebut banyak yang
tidak terungkap di masyarakat, apakah ia masih hidup atau
sudah wafat. Penentuan status orang hilang apakah ia masih
hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut
beberapa hak dan kewajiban orang yang hilang tersebut serta
hak dan kewajiban keluarganya sendiri.

Pembahasan orang hilang (mafqud) dalam kewarisan


ini menyangkut dua hal, yaitu dalam posisinya sebagai
pewaris dan kaitannya dengan peralihan hartanya kepada ahli
waris, serta posisinya sebagai ahli waris dan kaitannya
dengan peralihan harta pewaris kepadanya.

387
Bab III

Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar


faqada yang berarti hilang.416 Menurut para Faradhiyun mafqud
itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan
tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui
tentang hidup dan matinya. 417 Selain itu, ada yang mengartikan
mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak
diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. 418
Perspektif Fiqh

Dalam menetapkan status mafqud apakah ia masih hidup


atau tidak, para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi
positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih
hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah
wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah
istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula,
sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.

Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam


menentukan batas waktu berapa lama mafqud dianggap masih
hidup, baik posisinya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris.

Mafqud sebagai Pewaris

Dalam posisinya sebagai pewaris, ulama sepakat bahwa


mafqud tetap dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan
karena itu harta miliknya tidak dapat dibagikan kepada ahli waris

416
Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh,
diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Mashum Zaini Al Hasyimy,
(Pasuruan: GBI, 1994), hal. 146
Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala al-
Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 244
38
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

serta istrinya juga tetap berstatus sebagai istri.419 Mereka


mengemukakan dua alasan sebagai berikut:420
Salah satu syarat mewarisi adalah adanya kematian pewaris,
baik mati hakiki maupun mati hukmi (mati berdasarkan vonis
hakim). Sementara status kematian mafqud masih diragukan.

Membagi-bagikan harta milik mafqud kepada ahli warisnya hanya


berdasarkan hilangnya padahal ada kemungkinan ia masih
hidup merupakan hal yang merugikannya. Berdasarkan
kaidah istishhabul hal (hukum sesuatu berdasarkan keadaan
semula), maksudnya mafqud pada saat kepergiannya dalam
keadaan hidup. Keadaan inilah yang dijadikan dasar
menentukan hukum hidupnya, selama tidak ada petunjuk yang
mengarah pada kematiannya. Oleh sebab itu ia masih
mempunyai hak milik penuh terhadap harta bendanya.

Mengenai kapan hakim dapat memutuskan atau memberi


vonis tentang kematian mafqud, terdapat beberapa pendapat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa untuk dapat


menyatakan kematian mafqud, harus ditunggu sampai batas
waktu tertentu yang ia tidak mungkin hidup lebih dari masa itu.
Kepastian waktunya diserahkan kepada ijtihad hakim. Pendapat
ini diikuti oleh Imam SyafiI, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan
Abu Yusuf.421 Alasan mereka adalah status asalnya adalah hidup
dan kepastian kematiannya sangat tergantung pada realitas dan
berita tentang hal tersebut tidak ada.

Pendapat lain yakni beberapa ulama memberi batas waktu


tertentu. Abdul Malik bin Majisyun menetapkan batas waktu

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 133


Fatchur Rahman, hal. 504-505
Amir Syarifuddin, hal. 133

389
Bab III

sampai mafqud mencapai umur 90 tahun dihitung dari tahun


kelahirannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan
mencapai umur 90 tahun.422 Ibnu Abdul Hakam menetapkan supaya
mafqud ditunggu sampai berusia genap 70 tahun. Beliau
menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang
berbunyi Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun. 423 Hasan
bin Ziyad berpendapat harus ditunggu secara sempurna 120 tahun.
Pembatasan ini rupanya hanya sekedar perkiraan dan tidak
mempunyai dasar hukum yang kuat.424 Imam Malik dalam salah satu
pendapatnya menetapkan waktu yang membolehkan hakim
memberikan vonis kematian mafqud ialah empat (4) tahun sejak
kepergiannya. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan
Sayyidina Umar ra. yang mengatakan:425

Setiap perempuan yang ditinggal pergi suaminya


yang ia tiada mengetahui dimana suaminya, maka ia
diminta menunggu 4 (empat) tahun. Kemudian setelah
itu ia beriddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia
menjadi halal. (Riwayat Bukhari dan Syafii).

Imam Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa di


dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus
melihat situasi hilangnya si mafqud tersebut. Menurut beliau
situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:

Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa


malapetaka. Misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang
kapalnya pecah dan sebagian penumpangnya telah tenggelam
atau dalam situasi peperangan, maka setelah

422
Amir Syarifuddin, hal. 132; Fathur Rahman, hal. 508
Ibid
Amir Syarifuddi, hal. 133 dikutip dari Ibnu Qudamah, hal. 386.
Fathur Rahman, hal. 507
39
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya,


hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat
tahun lamanya.

Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai


membawa malapetaka. Misalnya pergi untuk menurut ilmu,
ibadah haji, dan sebagainya, tetapi kemudian ia tidak
kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan
dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan
kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud
menurut ijtihad-nya.
Mafqud sebagai ahli waris

Apabila dalam hal posisi mafqud sebagai pewaris


jumhur ulama sepakat ia dianggap masih hidup sampai batas
waktu yang telah disebutkan di atas, maka para ulama
berbeda pendapat dalam hal posisi mafqud sebagai ahli waris.

Mayoritas ulama, termasuk ulama Syafiiyah berpendapat


bahwa orang hilang yang posisinya sebagai ahli waris juga
dinyatakan hidup dan haknya atas harta warisan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku disisihkan dan ditangguhkan sampai ada
kepastian tentang kematiannya. Sedangkan ahli waris yang lain
menerima haknya secara penuh dengan memperhitungkan
mafqud dalam status hidup.426
Sebagian besar ulama Hanafiyah dan beberapa pengikut
Syafiiyah berpendapat bahwa harta warisan dibagikan kepada
ahli waris yang ada karena mereka adalah ahli waris yang sudah
pasti adanya. Sedangkan orang hilang itu diragukan status
hidupnya dan karenanya ia tidak mewaris.427

Amir Syarifuddin, hal. 134


Ibid

391
Bab III

Ahmad dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa


orang hilang itu ditangguhkan haknya sampai ada berita
kematiannya, sedangkan ahli waris yang lain diberikan haknya
yang sudah meyakinkan. Cara penentuan mengenai bagian
yang meyakinkannya itu yaitu dengan cara memperhitungkan
dua perkirakan antara mafqud mati dan hidup.

Contoh: Suami mewarisi bersama anak laki-laki maufqud


dan anak perempuan. Harta peninggalan Rp. 300 juta.
Perkiraan mafqud hidup
Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli
waris
suami 1/4 x 4 = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.
75 juta
Anak laki-laki ashabah = 2/4 saham x Rp 300 juta = Rp.
mafqud 150 juta
Anak perempuan ashabah = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp.
75 juta
Perkiraan mafqud mati
Ahli waris Penerimaan/saham masing-masing ahli
waris
suami 1/4 x 4 = 1/3 saham x Rp. 300 juta = Rp
100 juta
Anak perempuan x 4 = 2/3 saham x Rp. 300 juta = Rp.
200 juta
Jumlah saham 3 (diradkan untuk suami
dan anak perempuan)
39
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Ahli waris yang ada diberikan haknya yang meyakinkan,


yaitu : Suami = Rp. 75 juta, dan anak perempuan = Rp. 75
juta. Sedangkan bagian mafqud = Rp. 150 juta ditangguhkan.

Selanjutnya adalah menunggu berita tentang keadaan


mafqud tersebut. Ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu428 :
Mafqud kembali dalam keadaan hidup. Bagi yang berpendapat
mafqud tidak diperhitungkan sebagai ahli waris dan harta sudah
dibagikan kepada ahli waris yang ada, maka penyelesaiannya
adalah para ahli waris yang telah menerima harus
mengembalikan apa yang menjadi hak mafqud seberapapun
yang tersisa. Kekurangan tidak menjadi hutang karena mereka
mengambil secara hukum. Bagi yang berpendapat mafqud
masih dinyatakan hidup dan haknya harus disisihkan, tidak ada
masalah karena haknya memang sudah disediakan untuk
mafqud. Bagi yang berpendapat ahli waris yang ada diberikan
bagikan yang terkecil (meyakinkan), jika mafqud kembali dan
hidup, maka mafqud diberikan haknya yang disisihkan,
sedangkan ahli waris lain yang baru menerima sebagian
disempurnakan haknya.

Ada berita yang meyakinkan tentang kematian mafqud yang


ternyata mendahului kematian pewaris, maka dengan
demikian mafqud bukan ahli waris. Untuk itu harta yang
ditangguhkan dibagikan kembali kepada ahli waris sesuai
bagian yang seharusnya mereka terima.

Ada berita kematian yang menyatakan bahwa mafqud mati


setelah kematian pewaris, maka mafqud termasuk ahli waris.

Apabila batas waktu menunggu sebagaimana yang


diperdebatkan sudah berlalu dan mafqud belum kembali dan

428
Ibid, hal. 135

393
Bab III

tidak ada juga berita tentang kematiannya tersebut, maka para


ulama berbeda kembali tentang untuk siapa harta yang
ditangguhkan tersebut.

Menurut pendapat Abu Yusuf, harta yang ditangguhkan


dikembalikan kepada ahli waris yang telah ada dan bukan
kepada ahli waris si mafqud. Sementara itu al-Khabari
meriwayatkan dari al-Lului yang mengatakan bahwa harta
yang ditangguhkan untuk mafqud diserahkan untuk ahli waris
si mafqud. Inilah pendapat yang sahih menurutnya.429
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
mafqud dalam posisi sebagai pewaris ditetapkan masih hidup
dan oleh karena itu hartanya tidak boleh dibagikan kepada ahli
warisnya. Sementara bila mafqud dalam posisi sebagai ahli waris
para ulama berbeda pendapat antara yang menganggap mafqud
masih hidup dan yang menganggap mafqud telah mati.
Perbedaan pendapat tersebut menurut Amir Syarifuddin
adalah berawal dari perbedaan pendapat mengenai istishab sifat
(istishabu al-haal), yaitu memberlakukan berlanjutnya suatu sifat
yang sebelumnya telah ada.430 Jumhur ulama berpendapat
bahwa istishabu al-haal dapat digunakan untuk mengukuhkan
hak yang ada padanya dan untuk mendapatkan hak baru.
Sedangkan kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa istishabu al-
haal itu hanya dapat mengukuhkan hak yang ada padanya dan
tidak dapat digunakan untuk mendapat hak yang baru.
Memposisikan mafqud masih hidup ketika ia sebagai
pewaris berarti mempertahankan/mengukuhkan hak yang ada
padanya. Dalam hal ini kedua golongan tersebut sepakat. Adapun

Amir Syarifuddin, hal 136-137 mengutip dari Ibnu Qudamah hal. 390.
Ibid, hal. 137
39
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam hal mafqud sebagai ahli waris, jumhur memposisikannya


masih hidup, dan Hanafiyah memposisikannya sudah mati.
Mafqud dalam praktek di Pengadilan
Mengenai masalah kewarisan orang hilang dalam praktek
di pengadilan, setelah ditelusuri melalui internet, pemakah
menemukan skripsi yang ditulis oleh Jauhar Faradis, mahasiswa
UIN Yogyakarta tentang Hak Waris Orang Hilang (Studi Putusan
Pengadilan Agama Sleman No: 20/Pdt.P/2003/Pa.Smn). 431
Dalam abstraksinya disebutkan bahwa penyelesaian
perkara hak waris mafqud, dilakukan dengan tahapan berikut;
Pertama, hakim menilai benar tidaknya fakta yang diajukan
oleh Pemohon (mengkonstatir). Kedua, hakim menciptakan
hukum baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena
belum ada kepastian hukumnya (mengkualifisir), dan Ketiga,
hakim menetapkan si mafqud tersebut dalam keadaan
meninggal dunia secara hukmi dan hak warisnya dibagikan
kepada ahli warisnya (mengkonstituir). Dengan berdasarkan
pada aspek maslahah, maka apa yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan Agama Sleman sudah sesuai dengan apa yang
ada dalam ketentuan hukum Islam, karena tujuan dari
penetapan hak waris mafqud tersebut adalah untuk memenuhi
kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari keadilan.432
Sayangnya dalam abstraksi tersebut tidak dicantumkan
berapa lama mafqud hilang sehingga hakim menetapkan kematian si
mafqud, sehingga tidak dapat dianalisa apakah hakim

Pemakalah tidak berhasil membaca keseluruhan isi skripsi dan mendapatkan


putusan PA Sleman tersebut.
Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08 11:48:31By :
JAUHAR FARADIS NIM. 04350063, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
YogyakartaCreated : 2008-07-08.

395
Bab III

dalam menetapkan tersebut mengikuti pendapat salah satu


ulama fikih atau murni berijtihad berdasarkan aspek
maslahah.
Kewarisan anak dalam kandungan

Para ulama telah sepakat dalam menetapkan syarat-syarat


seorang ahli waris yang berhak mendapatkan warisan adalah yang
pada saat kematian pewaris jelas nyata ada dan hidupnya. Para
ulama juga sepakat bahwa janin yang masih dalam kandungan
ibunya termasuk ahli waris yang berhak diperhitungkan sebagai ahli
waris dengan syarat sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada
saat pewaris meninggal, dan hidup pada saat dilahirkan. 433
Ditetapkannya janin/bayi dalam kandungan sebagai orang yang
berhak menjadi ahli waris karena janin/bayi termasuk dalam kategori
ahliyatul wujub, yaitu orang yang pantas menerima hak, tapi belum
mampu melakukan kewajiban.

Dalam pembahasan kitab-kitab fikih, permasalahan


mengenai kewarisan anak dalam kandungan ini terletak pada
ketidak pastian yang terdapat pada dirinya. Sedangkan warisan
diselesaikan secara hukum bila kepastian tersebut sudah ada.
Ketidak pastian itu terletak pada : apakah janin tersebut lahir
dalam keadaan hidup atau mati. Jika lahir dalam keadaan mati
jelas ia bukan ahli waris. Jika ia lahir dalam keadaan hidup,
apakah ia berhak mewarisi atau tidak. Selanjutnya yang lahir
hidup itu apakah laki-laki atau perempuan, satu orang atau
berbilang. Ketidak pastian itu bukan saja untuk bayi yang masih
dalam kandungan, tetapi juga berlaku bagi ahli waris yang telah
ada, apakah ia terhijab oleh yang akan lahir itu atau tidak, dan
beberapa ketidak pastian lainnya.

433
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala
al-Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 230
39
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di zaman modern sekarang ini melalui ilmu pengetahuan


dan kedokteran yang canggih permasalahan-permasalahan
tersebut dapat terjawab dengan mudah, kecuali mengenai hidup
atau matinya bayi pada saat dilahirkan. Selain itu, apabila seluruh
ahli waris bisa bersabar sampai lahirnya bayi permasalahan ini
tidak akan terjadi. Permasalahan ini terjadi apabila salah seorang
menuntut segera pembagian harta warisan.

Perspektif fikih

Dalam hal menetapkan apakah bayi pada waktu lahir


dalam keadaan hidup menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Perbincangan itu berkisar pada apa yang menjadi tanda atau
ukuran untuk menyatakan bahwa bayi itu hidup. Apakah dilihat
setelah bayi lahir secara sempurna atau setelah diketahui
tandanya saja meskipun belum lahir secara sempurna. 434

Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat sebuah


hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:

Bila telah berteriak anak yang dilahirkan, maka ia


berhak mewarisi.

Berdasarkan zahir hadits tersebut, sebagian ulama yang


terdiri dari Ibnu Abbas, Said bin Musayyab, Atha, Syuraih al-
Hasan dan Ibnu Sirrin dari kalangan sahabat, kemudian diikuti
oleh Al-NakhaI, Malik dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur
berpendapat bahwa bukti atau tanda lahir bayi hidup adalah
istihlal atau teriakan. Selain dari teriakan tidak dapat dijadikan
tanda bahwa bayi lahir dalam keadaan hidup.435

Amir Syarifuddin, Hukum waris, hal. 126


Amir Syarifuddin, hal. 126

397
Bab III

Golongan kedua yang terdiri dari al-Tsauri, al-AuzaI,


Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, al-SyafiI, Ahmad
dalam riwayat yang lain dan Daud berpendapat bahwa tanda
kehidupan pada bayi yang baru lahir selain dengan teriakan
juga dengan cara lain seperti gerakan tubuh, menyusu dan
petunjuk lain yang meyakinkan.436
Dalam menetapkan waktu terjadinya istihlal atau
teriakan terdapat juga perbedaan pendapat. Imam al-SyafiI
berpendapat bahwa istihlal atau teriakan dilihat pada waktu
bayi telah lahir secara sempurna. Dengan demikian jika bayi
berteriak pada saat bayi tersebut baru keluar separoh dari
perut ibunya dan kemudian meninggal, maka ia tidak berhak
mewarisi. Alasannya ialah bahwa kata-kata maulud dalam
hadits tersebut dalam arti lahir secara keseluruhan.

Berbeda dengan pendapat SyafiI tersebut, menurut


Abu Hanifah seandainya sebagian besar tubuh bayi sudah
keluar dan berteriak, maka ia sudah berhak mewarisi
meskipun meninggal setelah bayi keluar dengan sempurna.

Perbedaan antara pendapat Syafii dan Abu Hanifah ini


berdampak kepada kepastian timbulnya hak secara hukum.
Dampak-dampak tersebut antara lain:

Kemungkinan terhijab hirman atau tidaknya ahli waris yang


lain. Seperti saudara seibu dari pewaris, sedangkan yang
hamil adalah istri pewaris. Menurut pendapat SyafiI,
saudara seibu tersebut berhak mewarisi, karena bayi yang
meninggal setelah keluar secara sempurna walaupun
berteriak. Sementara menurut pendapat Abu Hanifah,
saudara seibu tersebut terhijab hirman.

436
Ibid, hal 126-127
39
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kemungkinan terhijab nuqshannya ahli waris yang lain.


Seperti ibu dari pewaris, sedangkan yang hamil istri
pewaris. Menurut pendapat SyafiI, bagian ibu tidak terhijab
hirman (menerima 1/3). Sementara menurut Abu Hanifah
ibu terhijab hirman (menerima 1/6).

Diantara ahli waris ada yang kepastian haknya


ditentukan oleh jenis kelamin bayi yang akan lahir. Seperti
saudara sekandung atau seayah dari pewaris dan yang hamil
adalah istri pewaris. Saudara sekandung atau seayah akan
menjadi ahli waris jika yang lahir adalah perempuan.

Ketidak pastian mereka yang kedudukannya sudah


jelas sebagai ahli waris dapat dikelompokkan kepada tiga
kemungkinan:

Pertama, pasti kedudukannya sebagai ahli waris dan


pasti pula haknya yang akan diterima. Contoh, ibu dalam
kasus yang hamil adalah istri pewaris yang telah punya anak.
Dalam hal ini apapun bentuk yang lahir, mati atau hidup, ibu
tetap mendapat warisan dan hak ibu tetap 1/6.
Kedua, pasti kedudukannya sebagai ahli waris namun tidak
pasti hak yang akan diterimanya. Contoh, ibu pewaris yang sedang
hamil dan sebelumnya telah mempunyai seorang anak. Apapun
keadaan bayi yang akan lahir pasti ibu akan menerima hak waris.
Ketidakpastiannya terletak apakah ia akan menerima 1/6 atau 1/3.
Kalau bayi lahir dalam keadaan mati maka ibu mendapat 1/3 karena
pewaris tidak adala anak dan saudara hanya seorang. Kalau
seandainya bayi lahir dalam keadaan hidup, apakah laki-laki atau
perempuan, hak ibu menjadi berkurang yaitu 1/6 karena saudara
pewaris menjadi dua orang dengan kelahiran itu.

Ketiga, belum tentu kedudukannya sebagai ahli waris dan


otomatis haknya pun menjadi tidak pasti. Contoh, saudara dalam

399
Bab III

kasus ahli waris adalah istri pewaris yang sedang hamil. Seandainya
bayi yang lahir itu laki-laki maka saudara tidak berhak menjadi ahli
waris karena terhijab oleh anak laki-laki. Tetapi seandainya bayi
yang lahir tersebut dalam keadaan mati atau hidup tetapi berjenis
kelamin perempuan, maka saudara berhak mewarisi karena anak
perempuan tidak menghijab saudara.

Dalam ketidak pastian tersebut, dapatkah harta


warisan dibagikan kepada ahli waris yang telah jelas ada
tersebut? Cara yang paling aman dan tidak menimbulkan
masalah adalah bila masing-masing ahli waris yang ada itu
bersabar menunggu sampai janin tersebut dilahirkan untuk
mencari kepastian. Namun kalau ada yang tidak sabar dan
menuntut haknya sebelum ada kepastian, solusinya adalah
dengan menerapkan cara-cara sebagai berikut:437
Bila ahli waris adalah orang-orang yang sudah pasti menjadi
ahli waris dan haknya tidak akan berubah seperti dalam
kelompok pertama, maka hak warisannya dapat diberikan
secara penuh. Karena apapun yang terjadi haknya tidak
akan berubah.

Bila ahli waris adalah orang-orang yang akan terhijab hirman oleh
bayi yang akan lahir, maka haknya tidak dapat diberikan.

Bila ahli waris adalah orang-orang yang dengan furudh tertentu


ada kemungkinan berkurang haknya oleh bayi yang akan lahir,
maka haknya dapat diberikan lebih dahulu dalam furudh yang
terkecil dari kemungkinan furudh yang dimiliki.

Dengan demikian para ulama sepakat bahwa bagian


yang disisihkan untuk anak dalam kandungan adalah bagian
yang terbesar diantara dua perkiraan laki-laki dan perempuan.

437
Amir Syarifuddin, Hukum Waris, hal. 130-131.
40
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang berapa


orangkah yang dijadikan pedoman untuk diperkirakan, apaka
seorang, dua orang atau empat orang laki-laki dan perempuan?

Menurut Abu Hanifah, bagian yang ditahan untuk bayi dalam


kandungan tersebut adalah sebesar bagian yang terbanyak
dari dua perkiraan 4 orang anak laki-laki dan 4 orang anak
perempuan.438
Menurut Imam Malik dan SyafiI, bagian yang ditahan untuk
bayi dalam kandungan adalah sebesar bagian yang
terbanyak dari dua perkiraan 1 orang anak laki-laki dan 1
orang anak perempuan. Karena menurut kebiasaan
seorang melahirkan satu anak.439
Menurut Imam Ahmad, Muhammad bin al-Hasan dan Luluy,
bagian yang ditahan untuknya adalah sebesar bagian yang
terbanyak dari dua perkiraan 2 orang anak laki-laki dan 2
orang anak perempuan.440
Praktek di pengadilan dan di masyarakat

Permasalahan pembagian warisan anak dalam kandungan


yang terjadi di pengadilan maupun di masyarakat sepanjang
pemakalah ketahui belum pernah terjadi. Apalagi menurut kebiasaan
yang ada proses pembagian warisan baru dilaksanakan setelah
bertahun-tahun atau berbulan-bulan sejak kematian pewaris.
Sehingga kalaupun terdapat ahli waris yang masih di dalam
kandungan ibunya pada saat pewaris meninggal, pada saat
pembagian warisan anak dalam kandungan tersebut sudah lahir.

438
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ala
al-Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal 230
Ibid.
Fathur Rahman, hal. 212

401
Bab III

Sehingga proses pembagian warisan tidak terdapat masalah


sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
Penutup

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan


sebagai berikut:
Masalah kewarisan khuntsa:
0
Khunsa adalah orang yang mempunyai kelamin ganda
atau yang tidak mempunyai kelamin sama sekali. Dalam
menentukan status jenis kelaminnya ditentukan
berdasarkan fungsi alat kelamin yang dominan.
1
Penghitungan kewarisan khuntsa dengan cara
memperkirakan kuntsa sebagai laki-laki dan khuntsa
sebagai perempuan.
2
Dalam praktek yang terjadi di masyarakat banyak yang
mengubah kelamin dari laki-laki ke perempuan dan dari
perempuan ke laki-laki. Hukumnya adalah dilarang karena
berbeda dengan pengertian khuntsa yang dimaksud dalam
syariat Islam. Untuk kewarisannya berdasarkan jenis
kelamin asli sebelum terjadinya perubahan kelamin.

Kewarisan Mafqud
0
Yang dimaksud mafqud adalah orang hilang yang tidak
diketahui keberadaannya, hidup dan matinya.
1
Harta peninggalan mafqud tidak boleh dibagikan
kepada ahli warisnya sampai ada kepastian tentang
kematian mafqud.
2
Hakim dapat menentukan atau memvonis mati mafqud
berdasarkan ijtihadnya setelah mencari bukti-bukti kuat.
40
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3
Penyelesaian kewarisan mafqud dengan dua perkiraan,
yaitu perkiraan mafqud hidup, dan perkiraan mafqud
mati. Bagian yang meyakinkan atau terkecil dari dua
perkiraan diberikan kepada ahli waris yang hadir.
Sedangkan sisanya di simpan sampai mafqud kembali
atau ada vonis hakim yang menetapkan kematiannya.
4
Perkara mafqud yang pernah diputuskan di Pengadilan
Agama Sleman memutuskan mafqud meninggal demi
kemaslahatan ahli waris yang ada.
Kewarisan anak dalam kandungan
0
Anak atau janin yang masih berada dalam kandungan
ibunya sudah terhitung sebagai ahli waris.
1
Penghitungan warisan anak dalam kandungan dengan cara
menghitung dua perkiraan, perkiraan bayi lahir laki-laki dan
perkiraan bayi lahir perempuan. Bagian yang terkecil dari dua
perkiraan diberikan kepada ahli waris yang sudah ada, dan
bagian yang terbesar disisihkan untuk bayi.
2
Pembagian harta warisan yang melibatkan anak dalam
kandungan sebaiknya menunggu hingga bayi dalam
kandungan lahir.

Masalah-masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda),


mafqud (orang hilang) dan anak dalam kandungan merupakan
masalah-masalah ijtihadiyah yang tergolong masalah taqdiri
(perkiraan).

403
Bab III

Daftar Pustaka
Al-Quran dan Terjemah

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia,


(Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984)

Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta:


Ichtiar Baru van hoeve, 1996),
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif), cet. Ke-4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2004),

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum


Waris, terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-
Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist
ala al-Mazahib al-Arbaah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240

Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Cairo: Dar al-


Marifah, 1960)

Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syariat al-


Islamiyyah, (Mathbaah al-Madany, 1976)
Kamus Besar Bahasa Indonesia

http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-
fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-
kelamin, makalah Dr. Setiawan Budi
Utomo(Dakwatuna).

Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul


Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad
Mashum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994)
40
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-


08 11:48:31By : JAUHAR FARADIS NIM. 04350063,
Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated :
2008-07-08.

405
Bab
III
40
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB IV
HUKUM KEWARISAN
TENTANG HAK-HAK
KEBENDAAAN YANG
DIATUR
UNDANG-UNDANG
407
Bab IV

40
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KETERKAITAN HUKUM WARIS DENGAN HAK-HAK KEBENDAAN


YANG DIATUR DALAM BERBAGAI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Yeni Salma Barlinti

Latar Belakang

Pembahasan kewarisan dalam Islam di saat ini tidak


tuntas jika berhenti pada bahasan bagian-bagian warisan untuk
ahli waris. Perkembangan muamalah dalam masyarakat semakin
besar dan cukup rumit, mengingat semakin luas dan beragamnya
kegiatan ekonomi yang dilakukan. Sebagai contoh, jual beli tidak
hanya terhadap objek jual beli berupa benda berwujud, tetapi
juga benda tidak berwujud seperti saham.

Bentuk muamalah lainnya yang beraneka ragam, perlu


mendapat perhatian khusus untuk dikaji lebih lanjut dan lebih
dalam terkait dengan hukum kewarisan, dengan tetap
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Pengkajian ini mengenai kebendaan yang timbul
dari kegiatan muamalah dikaitkan dengan hukum kewarisan yaitu
dalam penentuan benda-benda yang menjadi harta warisan atau
tidak untuk kemudian dibagikan kepada para ahli waris.

Tulisan ini mengkaji kebendaan dan hak atas kebendaan


yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
untuk kemudian dihubungkan dengan kewarisan, khususnya
harta warisan. Kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan
pemikiran untuk penyusunan Naskah Akademik RUU Hukum
Materiil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan.

409
Bab IV

Pengertian Kebendaan

Dalam Pasal 499 KUHPerdata, disebutkan definisi


kebendaan adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik. Definisi ini memberi pemahaman bahwa
konsep kebendaan adalah tidak hanya benda itu sendiri, tetapi
juga hak. Dengan berdasar para ketentuan tersebut Abdulkadir
Muhammad mengemukakan bahwa:

Benda adalah objek milik. Hak juga dapat menjadi


objek milik. Oleh sebab itu, benda dan hak adalah
objek milik. Secara yuridis (menurut konsep hukum)
yang dimaksud dengan benda adalah segala sesuatu
yang menjadi objek milik. Semua benda dalam arti
hukum dapat diperdagangkan, dapat dialihkan kepada
pihak lain, dan dapat diwariskan.441
Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai,
diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak
berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak
yang mempunyai nilai ekonomis (Pasal 1 angka 9 KHES)

Klasifikasi Jenis Benda


KUHPerdata membagi benda dalam bentuk:
Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPer)
Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPer)

441
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet. Revisi,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 128.
41
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KHES membagi benda dalam bentuk:

Benda berwujud dan tidak berwujud. Benda berwujud adalah


segala sesuatu yang dapat diindera (Pasal 1 angka 10
KHES). Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang
tidak dapat diindera (Pasal 1 angka 11 KHES).

Benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak adalah


segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke
tempat lain (Pasal 1 angka 12 KHES). Benda tidak bergerak
adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari
suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya
ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1 angka 13 KHES).

Benda terdaftar dan tidak terdaftar. Benda terdaftar adalah


segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan
warkat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang
(Pasal 1 angka 14 KHES). Benda tidak terdaftar adalah
segala sesuau yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan
alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak
(pasal 1 angka 15 KHES).
Hak Kebendaan

Hak kebendaan adalah hak yang memberikan


kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat
dipertahankan terhadap siapapun.442
Hak Kebendaan Atas Tanah

Dalam kaitannya dengan agraria, Undang-Undang No. 5


Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal
16 ayat (1) mengatur hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut.

442
Abdulkadir Muhammad, hlm. 136.

411
Bab IV

Hak milik
Hak guna usaha
Hak guna bangunan
Hak pakai
Hak sewa
Hak membuka tanah
Hak memungut hasil hutan

Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di


atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta
hak-hak yang sifatnya sementasi sebagai yang disebutkan
dalam Pasal 53.

Pengertian dan ketentuan dari masing-masing hak


sebagaimana dipaparkan berikut.
Hak Milik

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan


terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UU
PA). Ketentuan hak milik atas tanah adalah hanya dapat
dimiliki oleh WNI. Menjadi permasalahan apabila ahli waris
dari pewaris adalah WNA. Hal ini menjadi tidak terlindungi.

Hak milik menjadi hapus (Pasal 27 UUPA) apabila


tanahnya jatuh kepada Negara karena pencabutan hak untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan mendapatkan
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang telah diatur.
(Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 18 UUPA); karena penyerahan
dengan sukarela oleh pemiliknya; karena diterlantarkan; karena
pengalihan hak kepada WNA; dan tanahnya musnah.
41
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Hak Guna Usaha

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah


yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling
lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan (Pasal 28 jo Pasal 29 UUPA). HGU diberikan atas
tanah yang luasnya paling sedikit 5 ha. HGU dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat (3) UUPA).
Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan


mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35). HGB dapat terjadi
karena perjanjian yang berbentukan otentik antara pemilik tanah
yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB
itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut (Pasal 37).
Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau


memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan UU ini (Pasal 41).

Hak pakai ini dapat diberikan selama jangka waktu


yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan yang tertentu; atau dengan Cuma-Cuma, dengan
pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

413
Bab IV

Hak Sewa

Hak sewa untuk bangunan dapat dimiliki oleh seseorang


yang mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak
mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan,
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa
(Pasal 44 ayat (1)). Pembayaran uang sewa dapat dilakukan dengan
cara satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; sebelum atau
sesudah tanahnya dipergunakan (Pasal 44 ayat (2)).

Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan

Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan


adalah hak-hak adat yang menyangkut tanah.
Hak Lain Bersifat Sementara

Hak-hak lain yang sifatnya sementara adalah hak


gadai, hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa
tanah pertanian.

Terkait dengan kewarisan, menurut penulis, hak-hak


kebendaan yang dapat diwariskan dapat terbagi sebagai berikut.

Hak Penuh dan Tidak Penuh

Hak penuh adalah hak ini adalah absolute milik dari


pewaris dan dalam jangka waktu yang tidak terbatas.
Sedangkan hak tidak penuh adalah hak pewaris hanya untuk
jangka waktu tertentu. Jika tiba pada akhir masa haknya,
maka hak tersebut berakhir. Hak ini dapat diperpanjang
dengan cara mendaftarkan kembali. Tetapi dapat beralih
menjadi hak Negara apabila tidak didaftarkan kembali.
41
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Hak Kekayaan Intelektual

Bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang diatur di


Indonesia adalah:
Hak Cipta
Merek
Paten
Desain Industri
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Rahasia Dagang
Varietas Tanaman
Regulasi tentang Kewarisan

Beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya


dalam bentuk UU ada beberapa pasal dalam UU yang mengatur
tentang kewarisan. Perundang-undangan dimaksud seperti:

UU No. 19 Th. 2002 Tentang Hak Cipta; dalam pasal: 3, 4, 19,


20, 24, 58 dan 55.

UU No. 14 Th. 2001 Tentang Paten, dalam pasal: 40, 66, 67


dan Pasal 86
UU No. 15 Th. 2001 Tentang Merek; dalam Pasal 40
UU No. 30 Th. 2000 Tentang Rahasia Dagang; dalam pasal 5.

UU No. 31 Th. 2000 Tentang Desain Industri; dalam pasal 9,


22 dan 31.

UU No. 32 Th. 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit


Terpadu; dalam Pasal 8, 18 dan 23.

415
Bab IV

UU No. 29 Th. 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman;


dalam pasal asal 12, 22, 40 dan pasal 54.

UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf; dalam pasal Pasal 6, 25,


27, 67, dan pasal 40.

UU No. 40 Th. 2007 Tentang Perseroan Terbatas; dalam pasal


56 dan 57.

UU No. 4 Th. 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah


Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
seperti dalam pasal 16.

UU No. 21 Th. 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang; dalam pasal 48, 49 dan pasal 50.

UU No. 31 Th. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi; dalam pasal 34 dan pasal 33.
UU No. 15 Th. 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Menjadi UU jo. Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme; dalam pasal Pasal 36, 40 dan 41.

Mengenai ketentuan-ketentuan yang terkait dengan


kewarisan, juga dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, sebagai peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi
syariah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

Ketentuan-ketentuan dalam KHES merupakan ketentuan


terkait dengan perikatan sebagai kegiatan muamalah yang
didasarkan pada Hukum Islam. Didalamnya juga diatur mengenai
keterkaitannya dengan kewarisan, yaitu pada saat salah satu pihak
yang melakukan perikatan meninggal dunia. Hak apa saja yang
41
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diperoleh para ahli waris dan apa saja yang tidak dapat
diwariskan. Berikut isi ketentuan KHES berdasarkan buku
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang diterbitkan oleh
MARI tahun 2010 sebagai Edisi Revisi. Pasal dan
kandungannya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
No Pasal Tentang
1 88, 109, 110, Bai (jual beli)
2 115 Bai Wafa
3 202, 203 dan 204 Syirkah Milk
4 263 dan 264 Muzaraah
5 273 Khiyar Syarth
6 289 dan 294 Khiyar Ghabn dan Taghrib
7 351 dan 358 Kafalah
8 372 Hawalah
9 390, 392, 393 dan 394 Rahn
10 425, 428 dan 429 Wadiah
11 Pasal 517 Wakalah
12 536 Shulh
13 639, 640, 641, 643 dan Dana Pensiun Syariah
659

Kewarisan dalam Kaitannya Dengan Wakaf

UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menentukan bahwa


wakaf dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Adanya
kebolehan untuk melakukan wakaf dalam jangka waktu tertentu,
dapat menimbulkan permasalahan terkait dengan kewarisan.
Permasalahan tersebut adalah jika mauquf alaih dari wakaf tersebut
meninggal dunia (dalam hal wakaf ahli atau wakaf untuk kerabat
tertentu). Apakah dalam jangka waktu keberlakuan wakaf tersebut
beralih kepada ahli waris atau wakaf tersebut berakhir.

417
Bab IV

Begitu pula untuk wakaf khairi (wakaf umum), permasalahan


dapat muncul di saat mauquf alaih meninggal dunia, di saat
wakif tidak menyebutkan secara khusus mengenai hal tersebut.
G. Kebendaan Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan dalam Pasal 189 KHI berisi bahwa

Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang


luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan
kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.

Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak


dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang
bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan
tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris
yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris
yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Ketentuan Pasal 189 KHI tentang tanah pertanian yang


luasnya kurang dari 2 ha adalah terkait dengan ketentuan UU
No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian. Dalam Pasal 8nya ditentukan bahwa

Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya


setiap petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian
minimum 2 hektar.
Tujuan penetapan luas minimum adalah supaya tiap
keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat
mencapai taraf penghidupan yang layak. Untuk hal tersebut, UU ini
berupaya untuk mencegah dilakukannya pemecahan-pemecahan
pemilikan tanah yang bertentangan dengan tujuan tersebut. Dalam
Pasal 9 ayat (1) UU ini ditentukan bahwa:
41
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali


pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak
itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya
pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar.
Larangan termaksud tidak berlaku kalau si penjual
hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari
dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus.
Hal-hal Lain yang Terkait dengan Kewarisan

Terkait dengan kebendaan, saat ini perlu mendapat


perhatian atas hak kebendaan yang muncul kemudian, yaitu hak-
hak yang bendanya diperoleh di kemudian hari. Penulis pernah
memberikan pendapat kepada sebuah Perusahaan Asuransi di
Jakarta yang mempertanyakan mengenai penerima santunan
atas keluarga (ayah, ibu, dan anak) meninggal semua dalam
suatu kecelakaan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa
santunan tersebut merupakan bagian dari harta warisan yang
menjadi hak para ahli waris. Begitu pula terhadap restitusi yang
diterima oleh ahli waris dari korban suatu tindak pidana. Dalam
hal ini, menjadi suatu permasalahan baru terhadap bentuk harta
warisan yang muncul kemudian.

Santunan asuransi jiwa ataupun santunan dari pihak


manapun (perusahaan tempat pewaris bekerja misalnya) dan
restitusi, uang yang diperoleh hanya satu kali. Sehingga uang ini
dapat lebih mudah untuk dibagikan kepada ahli waris apabila
santunan ini dinilai sebagai harta warisan. Berkenaan dengan harta
yang muncul kemudian, perlu suatu kajian terhadap HaKI atas
seseorang yang meninggal dunia. Utamanya adalah bagaimana
penentuan hak waris para ahli waris terhadap HaKI. HaKI dapat

419
Bab IV

diperoleh secara terus menerus sepanjang terus didaftarkan,


diproduksi, dijual, dan terdapat harta yang dihasilkannya.
Penutup

Dalam beberapa peraturan perundang-undangan telah


mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Dari
peraturan-peraturan tersebut telah menimbulkan hak-hak
kebendaan yang tidak hanya berupa hak-hak kebendaan yang
ada pada saat seseorang (pewaris) meninggal dunia, tetapi juga
berupa hak-hak kebendaan yang muncul kemudian, seperti hak
atas kekayaan intelektual, restitusi, santunan, asuransi (jiwa).
Perlu ditentukan (1) apakah hak-hak kebendaan yang muncul
kemudian merupakan harta warisan atau tidak? (2) Bagaimana
dengan hak-hak kebendaan yang dapat berlangsung terus
menerus muncul di kemudian hari tanpa batas? Pertanyaan-
pertanyaan ini perlu diketahui jawabannya karena akan
berpengaruh terhadap pembagian harta warisan bagi ahli waris.
Ketentuan-ketentuan ini perlu diperhatikan dan dikaji dalam
penyusunan NA RUU Hukum Materiil PA Bidang Kewarisan.

Ketentuan yang diatur dalam KHES juga penting untuk


dikaji mengingat terdapat ketentuan-ketentuan mengenai
kewarisan terkait dengan perikatan yang dilakukan oleh
Pewaris semasa hidupnya. Hak-hak kewarisan tidak hanya
mengenai piutang yang ada pada pihak lain, tetapi juga hak
untuk melakukan sesuatu ataupun batasan akad yang tidak
bisa diwariskan terhadap ahli waris.

Selain itu, terhadap peraturan-peraturan yang tidak


sesuai dengan hukum kewarisan Islam harus diperbaiki untuk
tidak menimbulkan permasalahan hukum dan menghilangkan
hak-hak waris seseorang.
42
0
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB V
PENUTU
P
421
Bab V

42
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Setelah dilakukan kajian, penelusuran dari berbagai


sumber pemaparan makalah dan diskusi dalam workshop
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Kesimpulan
Dilihat dari perspektif sosiologis, filosofis, yuridis, maupun
historis, maka dalam rangka mewujudkan kepastian hukum,
upaya legislasi hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI
menjadi Undang-Undang merupakan suatu keniscayaan.
Meskipun harus disadari bahwa gagasan ini merupakan
pemikiran mulia, namun membutuhkan energi tinggi dan
perjuangan yang tidak mengenal lelah, untuk meyakinkan
para politisi di lembaga legislatif. Karena sisa-sisa
Hurgronje nian tampaknya di negeri ini masih sangat kuat,
dan sering mengusung wacana, bahwa legislasi hukum Islam
sama halnya dengan menghidupkan Piagam Jakarta.

Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia


perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan
bagaimana yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk
mengengine dan mengcreate masyarakat. Dalam
perspektif historis pada awalnya masyarakat Islam
Indonesia telah menerima secara menyeluruh, karena ini
adalah indikator keberagamaan masyarakat.

Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di


Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI
sebagai bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah
akademik yang komprehensif, moderat, dan adil, namun
memiliki kepastian hukum terutama soal materi-materi
sebagaimana yang disepakati di atas.

423
Bab V

Undang-Undang hukum material Peradilan Agama dibutuhkan


untuk menunjang tugas dan fungsi Peradilan Agama
sebagai diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Pendidikan Agama juga UU No. 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pendidikan
Agama.

Keberadaan hukum material Peradilan Agama sangat erat


hubungannya serta merupakan konskwensi logis dari
keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan begitu materi dan isi kandungannya diharapkan
dapat mendukung efektifitas pelaksanaan UU Perkawinan.
Secara formal peraturan yang bisa menjadi pegangan dan rujukan
hakim agama dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan
Agama terutama penyelesaian perkara kewarisan adalah
Kompilasi Hukum Islam yang hanya berbentuk Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991. Padahal Inpres jika dilihat dari segi
kekuatan hukumnya tidak lagi bisa diposisikan dan diakui
sebagai salah satu bentuk perundang-undangan. (UU No. 10
Tahun 2004 yang telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Kondisi
seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat eksistensi
Kompilasi Hukum Islam.

Secara umum muatan materi Kompilasi Hukum Islam bidang


kewarisan masih relevan untuk mengatur dan menyelesaikan
perkara kewarisan di Indonesia, oleh karena itu muatan materi
KHI bidang kewarisan tersebut harus tetap dipertahankan.
Adapun hal-hal yang belum diatur perlu dimasukkan dalam
RUU, umpamanya ketentuan mengenai ahli waris ashobah, soal
musyarokah, hak waris anak dalam kandungan, mafqud (orang
hilang) uhuntsa (kelamin ganda), anak zina dan lian, dua orang
atau lebih bersama-sama meninggal. Selain itu
42
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perlu ada pengembangan dan penyempurnaan muatan


materi KHI misalnya masalah ahli waris pengganti, wasiat
wajibah yang dulu hanya untuk anak angkat dan orang tua
angkat diperluas peruntukannya bagi ahli waris yang
terhalang menerima warisan dari pihak ayah biologis, non
muslim, murtad, anak lian, dan anak hasil perkosaan
terhadap laki-laki pemerkosa ibunya dan lain-lain.
Saran
1. Untuk menindaklanjuti hasil penyusunan makalah akademik ini
Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah Kementerian
Agama diharapkan melakukan upaya penyusunan rancangan
undang-undang hukum material Peradilan Agama bidang
kewarisan. Untuk mengawal jalannya rancangan undang-
undang tersebut menjadi undang-undang diperlukan dukungan
Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri guna memperoleh
agenda pembahasan di lembaga legislatif.

Bagi kalangan akademisi diharapkan melakukan kajian lebih


intens melalui penelitian terhadap beberapa persoalan
substantif hukum waris Islam di Indonesia, terutama terhadap
hal-hal yang masih banyak mengundang polemik atau
perbedaan seperti konsep ahli waris pengganti, wasiat
wajibah, ahli waris beda agama, hak waris anak diluar
perkawinan yang sah, harta bersama.

425
Editor :
Muchit A. Karim

Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan
di Indonesia sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis dalam
pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal yang terdiri
dari tiga materi hukum. Ketiga materi hukum
tersebut yaitu: a) hukum perkawinan sebanyak 170
pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah) sebanyak
44 pasal; c) hukum perwakafan sebanyak 14 pasal.
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
Kemudian ditambah dengan satu pasal ketentuan
penutup.
Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi
Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama.
Akan tetapi karena kondisi politik belum
memungkinkan, akhirnya KHI disahkan dengan Inpres
No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991. Melalui
Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada Menteri
Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk
dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat
luas yang membutuhkan.
Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri
No 154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres
No 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan
Agama Islam dan Urusan Haji untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri
tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing.
Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi
secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula Badan
Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini lembaga
tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi dalam
menangani perkara-perkara yang ada.

ISBN 978-602-8739-07-8

Anda mungkin juga menyukai