Muchit A. Karim
Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer
di Indonesia
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer
di Indonesia
Editor :
Muchit A. Karim
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 978-602-8739-07-8
....................................................................................................................................................................
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa seizin sah dari penerbit
....................................................................................................................................................................
Cetakan Pertama, Oktober 2012
....................................................................................................................................................................
Tata Letak :
Sugeng
Design Cover
Firdaus
....................................................................................................................................................................
Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421
Email: puslitbang1@kemenag.go.id
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Kata Pengantar
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
iii
Kata Pengantar
iv
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
v
Kata Pengantar
vi
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Sambutan
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
vii
Sambutan
viii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Prolog
Puji syukur kehadirat Allah SWT, bahwa saat ini akan lahir
buku “Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia”. Buku ini sangat dinantikan kehadirannya, terutama
oleh warga Peradilan Agama yang benar-benar menghadapi
problem dalam menerapkan hukum kewarisan di Indonesia.
Betapa tidak, sebab dewasa ini kebanyakan umat Islam
membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri ketimbang ke
Pengadilan Agama. Hal ini terungkap, antara lain:
1. Pernyataan Ketua Pengadilan Tinggi Mataram (waktu itu)
didepan forum pertemuan para Ketua Pengadilan Tingkat
Banding 4 (empat) lingkungan di Mahkamah Agung, bahwa
sekarang harus dipertimbangkan kembali, sebab masyarakat
lebih cenderung membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri
dari pada ke Pengadilan Agama.
2. Seorang dosen yang mewakili Fakultas Hukum Universitas
Airlangga pada seminar KHI di Surabaya menyatakan bahwa
hasil penelitian Universitas Airlangga menunjukan bahwa
perkara kewarisan jauh lebih banyak yang ke Pengadilan
Negeri dari pada ke Pengadilan Agama.
ix
Prolog
x
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
xi
Prolog
xii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Prakata Editor
xiii
Prakata Editor
xiv
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
(gono gini), ahli waris pengganti dan wasiat wajibah untuk anak
dan bapak angkat. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa
Kompilasi Hukum Islam sebagian besar materinya bersumber dari
kitab-kitab fiqih Islam dan sebenarnya tidak perlu
mempertentangkan Kompilasi Hukum Islam dengan fiqih Islam
karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk fiqih khas
Indonesia.
Walau demikian pada kenyataannya para hakim dalam
menyelesaikan persoalan warisan, selain berpedoman kepada
Kompilasi Hukum Islam mereka umumnya masih menrujuk ke
literatur fiqih klasik serta menggali praktek hukum di masyarakat
(hukum adat).
Atas dasar hasil penelitian dimaksud, muncul dalam
seminar tersebut usulan yakni perlunya dilakukan penyusunan
Undang-Undang Materil Peradilan bidang Kewarisan dengan
melibatkan unsur ulama dan masyarakat yang masih pro dan
kontra.
Menindaklanjuti usulan tersebut Puslitbang Kehidupan
Keagamaan pada tahun 2011 menyelenggarakan Workshop
bertema: “Urgensitas Legislasi Hukum Kewarisan Islam dan
Problematikanya”. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menggali
gagasan dan pemikiran para pakar dari berbagai perguruan tinggi
menyangkut pengembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Juga merumuskan draf naskah akademik rancangan Undang-
Undang Hukum Materil Peradilan Agama bidang Kewarisan,
menggali pandangan, saran dan pendapat para pemangku
kebijakan (stake holder) terhadap poin-poin penting menyangkut
kebijakan dan materi naskah akamdemik bidang kewarisan. Juga
melakukan sosialisasi uji sahih rumusan draf naskah akademik RUU
Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.
xv
Prakata Editor
xvi
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Muchit A. Karim
xvii
Prakata Editor
xviii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
DAFTAR ISI
xix
Daftar Isi
xx
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
xxi
Daftar Isi
xxii
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1
Bab I
2
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
3
Bab I
4
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
5
Bab I
6
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
BAB II
LEGISLASI SIGNIFIKANSI
DAN PARADIGMA
BARU HUKUM WARIS
DI INDONESIA
7
Bab II
8
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Sejak awal, dipilihnya nomenklatur “Hukum Terapan
Peradilan Agama”, saya sudah tidak setuju, meskipun saya sangat
mendukung substansinya. Karena term “hukum terapan”
membawa implikasi peran strategis hakim, di dalam “berijtihad”
dan menjawab atau memutuskan hukum, sudah “dipasung” oleh
nomenklatur tersebut.
Dalam perkembangannya, RUU Hukum Terapan PA
tersebut, tidak lahir sempurna, tetapi lahir dalam bentuk yang
belum/tidak sesuai dengan harapan, yakni lahirnya UU Nomor: 41
Tahun 2004 tentang Wakaf. Karena dengan lahirnya UU Wakaf,
menjadikan gagasan untuk melembagakan atau legislasi
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-undang menjadi
“serpihan-serpihan” yang memerlukan energi tambahan untuk
“memperjuangkan” kelahiran UU yang lengkap, baik Hukum
Perkawinan Islam, Pe(Ke)warisan Islam, dan Perwakafan.
Dalam soal legislasi hukum Islam di negeri ini, memang
“menyimpan” banyak keanehan, karena selalu saja muncul
kontroversi termasuk dari kalangan Muslim sendiri, yang
beranggapan, bahwa dengan legislasi hukum Islam, “diidentikkan”
dengan menghidupkan Piagam Jakarta.
Banyak faktor yang mempengaruhi di sini. Pertama,
kekhawatiran lahirnya kembali Piagam Jakarta adalah salah satu
alasan. Kedua, boleh jadi kekhawatiran tersebut, merupakan
9
Bab II
10
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
11
Bab II
12
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
13
Bab II
14
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
15
Bab II
16
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
7. Gharrawin
Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah
Sukris Sarmadi dan Ratu, bagian Bapak 1/3 dalam kasus
Gharrawain ketika bersama Suami dan Ibu, atau bagian yang
lebih besar ½ ketika bersama Istri dan Ibu, perlu dijelaskan,
supaya tidak “mengganggu” pemahaman masyarakat. Karena
Bapak, selain sebagai penerima ashabah binafsih, juga sebagai
ashhab al-furudl, yang menerima bagian 1/6 ketika pewaris
meninggalkan anak atau cucu laki-laki garis laki-laki. Bahkan
Bapak juga selain menerima 1/6 juga tambah ashabah, apabila
pewaris mempunyai anak perempuan saja.
8. Harta Bersama
Memang dalam hal ini, diperlukan penjelasan
akademik, mengapa harta bersama sebelum diwaris
separohnya menjadi hak yang masih hidup. Masalah ini, akan
lebih mencolok lagi “ketidakadilan”-nya, manakala pewaris
tidak mempunyai anak, dan harta warisan akan diterima oleh
ahli waris samping atau saudara-saudara yang selain sebagai
ashabah jika laki-laki, juga bisamenjadi muashshib ketika
bersama saudaranya yang perempuan.
Kesimpulan
Mengakhiri pembahasan ini, dari uraian yang dikemukakan
di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, upaya legislasi
hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI menjadi Undang-
Undang merupakan suatu keniscayaan. Meskipun harus
disadari, bahwa gagasan ini merupakan gagasan mulia, namun
membutuhkan energi tinggi dan perjuangan yang tidak kenal
lelah, untuk meyakinkan para “politisi” di lembaga legislative.
17
Bab II
18
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil
peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian
disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan
suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di
Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang
dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang
hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama
Islam di Indonesia dari masa ke masa.
Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum
kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur hukum
di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya hukum
sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.
a. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita
hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
b. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya
didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau
terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan
c. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah
tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah
dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun
tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);
19
Bab II
1
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.
75
2
Hasil Penelitian Penulis berkenaan penyusunan Disertasi yang berjudul
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala tahun 1995
20
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
21
Bab II
22
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
3
H. Mohammad Daud Ali, . Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 8
23
Bab II
4
H. Mohammad Daud Ali, Ibid, hal 9.
5
H. Mohammad Daud Ali, Ibid., hal 10.
24
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
25
Bab II
6
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke
3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 83
26
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
7
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, (Palu:
Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998), hal. ii
27
Bab II
8
H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal 71
28
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
29
Bab II
30
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
9
Lihat, Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,
1981), h. 21. Hazairin, op. cit.,h. 7. H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam. (Jakarta:
Ind-Hild-Co, 1992),h. 7. Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, (London: Delux Press,
1984), h.275. David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, (America:
International Microfilms University Press, 1986), h. 75-88. Husnain Muhammad Makhluf,
Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, (Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971), h. 43-45.
Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, (Beirut: Dar an-
Nadafat at-Tarbiyah, 1978), h. 120-128. Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah
wa al-Wasiyyat, (Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun), h. 37-41.
31
Bab II
10
Lihat, Sajuti Thalib op. cit., h. 24. Hazairin, opcit.,h. 8. H.M. Tahir Azhary Loc. cit.
Husnaian Muhammad Makhluf, op. cit., h.57-58. David Stephen Powers, op. cit., h. 46,47,98,
dan 105. Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, (Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj,
1977), 64. A. Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, (Myland: Amana
Corp Brentwood, 1983), h. 182. Abdur-Rahman Doi, op. cit., h. 296-298. Ahmad Kamil
KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, (Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966), h.36.
Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 37-46.
32
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
10
Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 29. Hazairin, op. cit., h. 9. H.M.Tahir Azhary, op. cit.,
h.8. David Stephen Powers, op. cit., h.98, 104, 106, dan 107. Husnain Muhammad Makhluf,
op. cit., h.79-83. Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit. Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 59
- 60.
11
Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 27. Hazairin, op. cit., h. 8. H.M. Tahir Azhary, loc. cit.
Muhammad Mustafa Salabi, op. cit., h. 142-157. Bandingkan dengan uraian H.Moh. Djafar,
op. cit., h. 144. Menurut H. Moh. Djafar, Kompilasi Hukum Islam mengenai ahli waris
33
Bab II
34
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
14
Lihat Ibn Majah, op. cit., h. 913. At-Tirmizi, op. cit., h.425. Syari-fuddin, Ibid., h. 8.
Husnain Muhammad Makhluf, op. cit., h. 34. Hazairin, op. cit., h. 9.
15
Hukum adat di Indonesia mengakui cucu sebagai ahli waris bila ayah atau
ibunya lebih dahulu meninggal dari pewarisnya. Lihat, B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan
Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poes-ponoto, (Jakarta: Pradnja Paramita,
1953), h. 210.
16
Lihat Hazairin, op. cit., h. 28.
35
Bab II
17
Lihat, Abu Dawud, op. cit., h. 100. At-Tirmiziy, op. cit., h. 320. Ibn Majah, op.
cit., h.910. Hazairin, Ibid., h. 102.
18
Teori receptio in complexu dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927).
Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi
hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Lihat, H. Mohammad Daud Ali,
op. cit., h. 16.
19
Teori receptie dipelopori oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan
dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh C. van Vollenhoven dan B. ter Haar Bzn
serta dilaksanakan dalam praktek oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Menurut
mereka hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum kalau
telah diterima oleh hukum adat. Lihat, Ibid., h. 17.
20
Teori receptio a contrario dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan
dikembangkan secara sistematis dan dipraktekkan oleh murid-muridnya. Menurut mereka
hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum
36
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Lihat, Hazairin, op. cit., h. 4. Bandingkan
dengan uraian Sajuti Thalib, op. cit., h. 1 dan 2.
21
Pasal 29 UUD 1945 menjamin untuk pelaksanaan hukum kewarisan Islam di
Indonesia. Demikian juga Pasal 49 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 dan
Instruksi Presiden RI tanggal 10 Juni 1991 mengatur pelaksanaan hukum kewarisan Islam
bagi masyarakat muslim di Indonesia.
21a
Hasil Penelitian penulis pada tahun 1995 berkenaan Penyusunan Disertasi
yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan nIslam di Kabupaten Donggala
37
Bab II
22
Ahkam adalah nama samaran yang digunakan oleh penulis untuk kepentingan
ilmiah dalam penulisan buku ini. Nama sebenarnya ada dalam buku catatan penulis. Selain
itu, digunakan nama samaran dalam penampilan contoh-contoh penyelesaian kasus
kewarisan di Kabupaten Donggala kecuali penyelesaian kasus melalui Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Penggunaan nama samaran itu, berpedoman
38
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
pada huruf awal nama seseorang, misalnya seseorang bernama Ahamad diganti dengan
nama Ahkam. Hal itu, dilakukan atas saran-saran dari para ahli waris yang diwawancarai.
23
Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu.
3
Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu. Abdul Hamid sebagai salah
seorang ahli waris (Ahkam) mengemukakan bahwa pembagian harta warisan melalui
musyawarah ahli waris mengenai status hak pemilikan individu terhadap harta peninggalan
pewarisnya adalah mencerminkan hukum kewarisan Islam yang menjadi hukum adat
kewarisan di Kabupaten Donggala. Sejalan dengan hal itu, Drs. Amrin Yodo (sekertaris
merangkap anggota Dewan Adat di kelurahan Besusu kecamatan Palu Timur) mengemuka-
kan bahwa "ungkapan istilah langgai molemba mobine manggala dijadikan rech ide atau cita
hukum dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah, baik musyawarah ahli waris
maupun musyawarah Dewan Adat, kecuali bila ada kesepakatan lain yang diinginkan oleh
ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, ahli waris perempuan diberikan
lebih banyak atau disamakan dengan bagian anak laki-laki atas persetujuan ahli waris
laki-laki berdasarkan pertimbangan bahwa kehidupannya sudah mapan bila dibandingkan
dengan kehidupan saudara perempuannya. Drs. Amrin Yodo, wawancara, 27 Maret 1994 di
Palu.
39
Bab II
24
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli
25
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya, wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli. Hasil
musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu sesuai
hukum Islam, yaitu 2: 1.
40
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
41
Bab II
26
Musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah penyelesaian suatu
permasalahan yang dilakukan oleh mereka yang terdiri atas pemuka adat dan pemuka
agama di satu pihak dan di lain pihak ada pemuka agama (baca: Islam) yang berfungsi
ganda, yaitu sebagai pemuka agama dan pemuka adat di suatu Desa, Khaerul Tahwila,
wawancara, tanggal 28 Juli 1994 di desa Baiya kecamatan Tawaeli.
42
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
27
Abd. Hamid mengemukakan bahwa "munculnya masalah kewarisan adalah
adanya ahli waris di satu pihak berpendapat bahwa pemberian orangtua kepada anaknya
selagi orangtua masih hidup termasuk diperhitungkan sebagai pembagian harta warisan
bila terjadi pembagian harta warisan dikemudian hari, di lain pihak ada ahli waris
berpendapat bahwa harta yang diperoleh seorang anak dari orang-tuanya selagi orang-tua
masih hidup hanyalah pemberian bentuk hibah, sehingga ia menuntut hak yang sama
dengan ahli waris lainnya. Anggota Dewan Adat Kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994
di Palu.
28
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.
43
Bab II
29
Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.
Kepala Desa Baiya mengemukakan bahwa "musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah
yang menghasilkan perdamaian di antara mereka yang bersengketa". Hasil musyawarah
Dewan Adat mencerminkan hukum kewarisan adat lama yang hampir tidak membedakan
bagian warisan anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal itu dilakukan oleh Dewan Adat
karena pihak perempuan tidak mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai
bagian dari ajaran agama Islam.
44
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
30
Abd. Hamid (ketua Dewan Adat di kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994
di Palu.
31
Abd. Hamid (Ketua Dewan Adat Kelurahan Balaroa), wawancara, 27 Juli 1994
di Palu. Ketua adat mengemukakan bahwa ketua dan anggota Dewan Adat merupakan
parner kerja kepala Desa atau kepala kelurahan disetiap tempat pelaksanaan
pemerintahan.
45
Bab II
46
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
47
Bab II
32
Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18
Juni 1990.
48
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
33
Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 21 tanggal 6 Juli 1992
mencerminkan hukum kewarisan Islam karena tidak memberikan warisan kepada saudara
pewaris.
49
Bab II
50
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
34
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.
51
Bab II
35
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990 tampak tidak membedakan bagian seorang
anak laki-laki dengan bagian seorang anak perempuan, dan janda istri kedua. Selain itu,
tidak membedakan harta perkawinan istri pertama dengan istri kedua. Namun, kedua
pihak menerima putusan itu.
52
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
36
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Juli 1991.
37
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA.Palu, 23 Juli 1991 mempunyai pertimbangan hukum bahwa wasiat
kepada ahli waris tertentu yang tidak disetujui oleh ahli waris lainnya adalah batal demi
hukum atau dibatalkan oleh hakim.
53
Bab II
38
Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor
122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Agustus 1991. Pertimbangan hukum putusan itu adalah Pasal
184, dan 185 Kompilasi hukum Islam, dan Pasal 49 ayat (3) Undang-undang nomor 7 Tahun
1989.
54
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
55
Bab II
56
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
57
Bab II
58
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Hukum Waris Islam yang dibangun sejak abad ke tujuh
masehi sampai saat ini, dalam tataran teoritis, tidak mengalami
perubahan dan senantiasa akan tetap dipertahankan seperti itu
karena hukum waris Islam dianggap hukum Tuhan yang berlaku
sepanjang masa dan tidak menerima perubahan. Para fuqaha (ahli
di bidang hukum Islam) berpendapat hukum waris Islam dan
begitu juga bidang hukum Islam lainnya dianggap merupakan
perintah Allah swt. yang harus dilaksanakan apa adanya tanpa
reserve sehingga hukum tersebut diistilahkan dengan hukum
ta’abbudi (wajib diikuti sebagai ibadah/kepatuhan kepada Allah
swt.), bukan hukum ta’aqulli yaitu hukum yang dapat dilakukan
perubahan sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya
masyarakatnya.
Persepsi para fuqaha mengenai hukum Islam, khususnya
hukum waris Islam, seperti itu berdampak stagnasi hukum Islam
itu sendiri, sehingga tertinggal dari sistem hukum lain yang
senantiasa mengalami perubahan. Sistem hukum waris Islam, pada
zamannya, dapat dikatakan sebagai hukum waris yang sangat
modern dibanding dengan sistem hukum waris lain. Ambil contoh
sebagai perbandingan, di beberapa negara bagian Amerika pada
abad ke 19 jika seorang meninggal dunia harta warisan khususnya
yang berbentuk properti diwariskan kepada anak laki-laki sulung.11
11
Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York, Simon and
Schuster, 2005, H.29.
59
Bab II
12
Muhammad Ahmad Ismail al-Muqarrim, al-Mar’ah Baina Takrim al-Islami wa
Ihanati al-Jahiliyyati, Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005, h.57.
13
Dzawil arham kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris akan
tetapi tidak termasuk ahli waris seperti cucu dari anak perempuan, perempuan keturunan
dari saudara sekandung dan seayah, keturunan dari saudara seibu, bibi dar pihak ayah,
paman dan bibi dari pihak ibu, perempuan keturunan dari paman pihak ayah, kakek dari
pihak ibu. Lihat A. Hussain, The Islamic Law of Succession, Riyad, Darussalam, 2005, h.
164,181, 211, 218, 228,285; Lihat pula Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah al-
Muhtaj bi Syarhi al-Muhtaj, Kairo, Dar al-Fikr, tth. H. 393.
60
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
14
Lihat Robert Spencer, Islam Unveiled, San Francisco, Encounter Books, 2002,
h.73-92.
15
Abdullah Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties,
Human Right and International Law, (Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasaan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan International, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani,
Yogyakarta, LKiS, 1994, h.110.
16
Muhammad Shahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqhi al-Islami, (terj. Sahiron
Syamsuddin dan Burhanudin), Yogyakarta, Elsaq press, 2004, h.317-424.
61
Bab II
17
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Jakarta,
Tintamas, 1981, h.13.
18
Ibid, h. 94.
19
Munawir Sjadzali, Dari Lembah kemiskinan, dalam Muhammad Wahyuni Navis
(ed.), Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta, Paramadina, 1995, h.87-96.
62
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
63
Bab II
64
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
65
Bab II
66
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Norma hukum dipahami dari kondisi umum masyarakat
yang melatar belakangi turunnya nash bukan dipahami dari sisi
teks dan kasus parsial yang melatar belakangi turunnya nash)
disamping kaidah ushul yang baku yakni:
Norma hukum dipahami dari teks nash bukan dari
peristiwa parsial yang melatar belakangi turunnya nash) dan
kaidah:
Norma hukum dipahami dari latar belakang partial yang
mempengaruhi turunnya nash bukan dipahami dari teks nash).
67
Bab II
68
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
20
Lihat Pasal 854 dan 855 KUHPerdata, Ichtiar Baru, 2006, vol.1, h. 571-570;
Wirjono Prodjodikoro, Usaha Memperbaiki Hukum Warisan di Indonesia, dalam Wirjono
69
Bab II
Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1974, h.95; Lihat pula
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung, 1988,
h.186-189; Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1989, h.98-
100
21
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam
al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1967, Juz 2, h.264; Muhammad Rasyid Ridha,
Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Ma’rifah, tth., vol.2, h.137.
70
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Pertama,
22
Lihat al-Qur’an surah al-Nisa 4:11 dan 12; Lihat pula Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kutub al-
‘Arabiyyah, 1967, Juz 5, h.73-74; Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-
Ma’rifah, tth., vol.4, h.421.
23
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 214 K/AG/1997 tanggal 31-8-1999;
Nomor 121 K/AG/2003 tanggal 27-9-2006; Nomor 370 K/AG/2000 tanggal 14-6-2006; Nomor
368 K/AG/1999 tanggal 17-4-2002.
24
Contoh, jika Pewaris meninggalkan satu orang anak kandung dan seorang atau
dua orang anak angkat maka anak kandung mendapat 2/3, satu/dua orang anak angkat 1/3.
Jika Pewaris meninggalkan tiga orang anak kandung dan satu/dua orang anak angkat maka
tiga orang anak kandung mendapat ¾ satu orang/dua orang anak angkat mendapat ¼.
71
Bab II
25
Lihat Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.777; Tirmidzi, Sunan
Tirmidzi, Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 1993, h.475; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar
Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2000, h.464; Abu daud, Sunan Abu Daud, beirut, Dar al-Arqam, 1999,
h.677; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Libanon, Bait al-Afkar, 2004, h.1033; Imam Hakim,
Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2002, h.1523;
26
Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut, Dar al-Ma’arif, 2004, h.1588; Imam Malik,
Muwattha, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, h.328.
27
Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:438; Ibnu majah, Sunan Ibnu majah,
2000:464.
72
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
73
Bab II
Maka putusan Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah
kepada anak atau kerabat pewaris yang menganut agama
selain Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam.
4. Mahkamah Agung, dalam Yurisprudensinya, berpendapat anak
perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris
‘ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris
setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya)
tidak mendapat warisan.30
Hukum waris Islam konvensional menetapkan jika pewaris
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris satu orang anak
perempuan dan saudara laki-laki atau paman dari pihak ayah,
anak wanita hanya mendapat ½ bagian sisanya diberikan
kepada saudara atau paman sebagai ‘ashabah. Jika anak wanita
tersebut dua orang atau lebih mereka mendapat 2/3 berbagi
sama, sisanya 1/3 bagian untuk saudara atau paman sebagai
‘ashabah.31 Ketentuan tersebut merupakan pemahaman para
30
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;
Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.
31
Al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikri, 1977, vol.3, h.437.
74
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Bagikan harta warisan kepada ahli waris yang sudah ditentukan
bagiannya sisanya diserahkan kepada laki-laki yang
kekerabatannya lebih utama dengan pewaris).32
Kedudukan ahli waris saudara tercantum dalam Al-Qur’an surah
al-Nisa 11, 12, dan 176. Dalam Al-Qur’an surah al-Nisa 11
dikatakan jika pewaris meninggalkan saudara berbilang maka
ibu pewaris hanya mendapat 1/6 bagian, dalam ayat ini ahli
waris saudara dalam keadaan tidak bergabung dengan ahli
waris anak.
Sedangkan dalam Al-Qur’an surah al-Nisa 12 dan 176 isinya, jika
pewaris tidak meninggalkan (walad terj.Ind. nya anak) maka
saudara mewarisi harta warisan pewaris. Kata (walad) dalam
literatur Arab meliputi anak perempuan dan anak laki-laki. Oleh
karena itu berdasarkan teks ayat 12 dan 176 saudara pewaris
hanya dapat mewaris jika pewaris tidak meninggalkan anak
baik laki-laki maupun perempuan.
Pemahaman ini dikembangkan oleh Abdullah Ibnu Abbas
seorang sahabat Nabi Muhammad, sedangkan sahabat Nabi
Muhammad lainnya yaitu Mu’adz bin Jabal berpendapat kata
(walad) tersebut maksudnya anak laki-laki sehingga jika pewaris
hanya meninggalkan anak perempuan maka saudara
memperoleh sisa bagian harta warisan setelah diambil bagian
32
Lihat Bukhari, Shahih Bukari, 2004:1644; Muslim, Shahih Muslim, 1999:777;
Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:473; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, 2000:466; Abu Daud,
Sunan Abu Daud, 199:675; Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, 2002:1518; Ibnu Hibban,
Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033.
75
Bab II
Dalam memahami al-Qur’an surah al-Niasa IV:176 dan
menerapkan kaidah ushul fikih :
Dalam memahami hadits Abdullah Ibnu Abbas.
33
Imam Hakim, al-Mustadrak ‘ala Shahihain, 2002:1517-1518; Ibnu Hibban,
Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:472;
34
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996;
Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.
76
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Pembagian harta warisan lebih dahulu diberikan kepada ahli
waris yang sudah ditentukan bagiannya, sisanya bagikan
kepada laki-laki yang lebih utama hubungan kerabatnya
dengan pewaris, yakni ‘ashabah). Pemahaman Hadits tersebut
menimbulkan waris ‘ashabah binafsih bagi laki-laki, karena
kultur masyarakat Arab sebagaimana dijelaskan sebelumnya
adalah masyarakat patrilineal yang mengutamakan laki-laki
karena fungsi dalam rumah tangga dan diluar rumah tangga
sangat besar dibanding dengan wanita. Tafsir hadits tersebut
realistik dan adil pada masyarakat Arab pada saat itu, tetapi
belum tentu relevan bagi masyarakat Indonesia masa kini.
Hukum adat masyarakat Indonesia lebih mengutamakan cucu
perempuan dari anak laki-laki dibandingkan saudara laki-laki.
Oleh karena itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung menghapus
lembaga dzawil arham melalui pemahaman ahli waris
pengganti yang di atur dalam pasal 185 KHI. Mahkamah Agung
memperluas makna ahli waris pengganti dalam pasal tersebut
bukan hanya terbatas pada keturunan anak, sehingga secara
tidak langsung Mahkamah Agung telah menghapuskan
lembaga dzawil arham.35 Kasus-kasus ahli waris pengganti
yang masuk ke Mahkamah Agung terbatas hanya kasus-kasus
keturunan dari anak dan keturunan dari saudara akan tetapi
35
Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 14 K/AG/1995; Nomor 243 K/AG/2005;
Nomor 245 K/AG/2005; Nomor 242 K/AG/2006; Nomor 467 K/AG/2007
77
Bab II
36
Lihat Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama, Mahkamah
Agung RI, 2008, h.173.
37
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an Dan Hadith, 1981:27.
38
Muhammad Abu Zahra, Fatawa, Damsyiq, Dar al-Qalam, 2006, h.641.
78
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Pertama,
Anak laki-laki dapat mewaris dari kedua orang tuanya,
pengertian sebaliknya kedua orang tuanya dapat mewaris dari
anaknya);
Ke dua,
Keluarga laki-laki dapat mewaris dari kerabatnya);
Ke tiga;
Anak wanita dapat mewaris dari kedua orang tuanya,
pengertian sebaliknya kedua orang tua dapat mewaris dari
anak perempuannya);
Ke empat,
Kerabat wanita dapat mewaris dari kerabatnya).
Kaidah hukum pokok pertama menurunkan empat kaidah
hukum cabang: 1. Anak laki-laki mewaris dari ayahnya; 2. Anak
laki-laki dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat mewaris dari
anak laki-lakinya; 4. Ibu dapat mewaris dari anak laki-lakinya.
Kaidah hukum pokok ke dua menurunkan kaidah hukum
cabang: 1.Cucu laki-laki (baik dari anak laki maupun dari anak
79
Bab II
80
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
81
Bab II
82
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
BAB III
HUKUM KEWARISAN ISLAM
KONTEMPORER DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF
FIQH, KOMPILASI HUKUM
ISLAM, DAN PRAKTIK DI
PENGADILAN AGAMA SERTA
MASYARAKAT
83
Bab III
84
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya
mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik
menjalankan/ mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara
umum bersifat penyimpul (mirip dengan makna kaidah) dari
rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-
prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak
diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam
kerangka menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah
dijelaskan oleh pakarnya, serta tawaran yang mudah-mudahan
layak untuk dipertimbangkan oleh para penyusun naskah
akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.
Teori-Teori Pilihan Hukum
Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum;
yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1)
pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation
and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq
wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas
keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan
85
Bab III
39
Muhammad ‘Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).
40
Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago &
London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.
86
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
41
Syihab al-Din Abu al-‘Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr
al-Mahshûl fî al-Ushûl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20.
42
Ibid., hlm. 141-142.
87
Bab III
88
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
45
H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”
dalam Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.
89
Bab III
46
Ibid., h. 120.
47
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.”
1959), hlm. 46.
48
Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.
49
Ibid., h. 132.
90
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
50
Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori,” dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm.
102-114,117,122, dan 130-132.
91
Bab III
92
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
93
Bab III
94
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
95
Bab III
53
H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal
96
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
13 Pebruari 2011.
97
Bab III
98
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
99
Bab III
54
H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/
diakses tanggal 13 Pebruari 2011.
100
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
101
Bab III
ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang
terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right
(UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan beragama,
menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama sebagai
penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang dinilai
diskriminatif.
Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan
penjelasan mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat
diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan
mengenai obyek yang dapat dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak
dan kewajiban dalam hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat diwariskan. Di samping
itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum
pembagian maurus, antara lain melunasi hutang-hutang muwaris
kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada
ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.
Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang
mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis
sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga
tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli
waris dengan bagiannya masing-masing, membersihkan/
memurnikan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai
dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga
dikenalkan konsep Aul dan Radd.
Asas Ta‘abudi Versus Asas Ta‘aquli
Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara
wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation and reason) dari
Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan
pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu) dari Imarah, dan teori
Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in
102
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
103
Bab III
55
Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi
al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159.
Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu‘ah
Fatawa al-Mu‘amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah al-Islamiyah
(Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.
104
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
105
Bab III
56
Oyo Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam
dalam Tata Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.
106
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
107
Bab III
Daftar Pustaka
Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu‘ah Fatawa al-Mu‘amalat
al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah al-
Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.
E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Buku “Ichtiar.”
H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum
Adat,” dalam www.badilag.net/.
H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,”
www.badilag.net/.
Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam
Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University
Press.
Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif
Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana,
Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro.
Muhammad ‘Imarah. 1991. Ma‘alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar
al-Syuruq.
Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham
al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma‘had
al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami.
Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic
Jurisprudence. Chicago & London: The University of
Chicago Press.
Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam
websiteayu.
108
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Syihab al-Din Abu al-‘Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh
al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah
al-Kuliyyah al-Azhariyyah.
Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia:
Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
109
Bab III
110
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk
seluruh umat Islam di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak
suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut
memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu.
Hal ini disebabkan karena:
Pertama: meskipun pada dasarnya Islam telah mengatur
dasar hukum kewarisan secara terperinci dalam al Qur'an, jika
terdapat suatu kemungkinan kemuskilan pengertian telah
dijelaskan oleh Nabi. Namun demikian, dalam hal pelaksanaan
praktis terdapat masalah yang secara jelas tidak terdapat
dalam al Qur'an dan belum sempat dijelaskan oleh Nabi,
sehingga hukum menjadi terbuka.
Sebab kedua, ialah bahwa ilmu hukum, termasuk hukum
Islam, dimana hukum waris ada di dalamnya, adalah tergolong
ilmu sosial dan bukan ilmu eksakta. Oleh karena itu, hukum waris
tempat kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat
diantara para ahli hukum itu sendiri, terutama mengenai ayat-
ayat yang memungkinkan adanya penafsiran lebih dari satu.57
57
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut KUH
Perdata Dan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 6
111
Bab III
112
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
61
M. Ali Ash Shabuni, A1 Mawaris fi syariat al Islamiyyah `ala Dhau'i Kitabi wa as
Sunah, (Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979), h. 30
62
Ibid
63
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan
113
Bab III
114
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
68
Husnain Muhammad Mahluf, A1 Mawaris fi Syari'at al Islamiyyah, (Cairo:
Mathbah al Madam, 1976), h. 33
115
Bab III
69
Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbadingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab (Jakarta : INIS, 1998), h. 1
70
Abu Zahrah, al Mirats 'Inda Ja fariah, (Kairo:Dar al Fikr,tt), h.10
116
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
71
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an Dan Hadith (Jakarta:
Tintatnas,1982), h.18
117
Bab III
118
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
72
Abu Zahrah, Op. cit, h.97
119
Bab III
73
Hazairin, Op. cit., h.27
120
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
74
Husnain M. Makhluf, Op. Cit, h. 93
75
Ibid, h.80
121
Bab III
76
Lihat Al-Yasa Abu Bakar, Op.cit, h. 161-170, Fathurralmian, Op.Cit, h. 272-279
122
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
77
Al-Yasa Abu Bakar, Op.Cit. h. 157
123
Bab III
78
An-Nawawi, Shahih Muslim bi syarh an-Nawawi (Beirut : Dar al Fikr), h.52
79
Hassanain M. Makhluf, Op.cit, h. 131
124
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
80
M. Ali Ash. Shabuni, op. cit, h. 178
125
Bab III
126
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
b. Ahli Waris
Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal
171 ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris"
Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini,
dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris
adalah:
1) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
2) Beragama Islam.
Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut
diatur dalam pasal 172 KHI:
"Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya."
3) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya
pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak
dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu
ditegaskan.
Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu
adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan
redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli
waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian.
Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan
apakah ahli waris tersebut disyaratkan hidup atau tidak
seperti telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris
127
Bab III
128
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
81
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dengan
Kewarisan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 102-103
129
Bab III
130
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
131
Bab III
82
Pasal 183 berbunyi : " Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
132
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
b) Anak Laki-laki
Sebagaimana fiqh mawaris, tampaknya KHI juga
menempatkan anak laki-laki sebagai 'ashabah. Walaupun tidak
dinyatakan secara jelas dalam bentuk redaksi bahwa anak laki-laki
adalah 'ashabah, namun dari pasal-pasalnya KHI tidak
menentukan bagian tertentu bagi anak laki-laki. Selain seperti pasal
176 KHI, yaitu bahwa apabila anak perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan.
c) Cucu
Mengenai bagian cucu ini KHI tidak jelas mengaturnya.
Jika dilihat dari segi pengelompokan ahli waris seperti termuat
dalam pasal 174, maka cucu ini tidak disebutkan di dalamnya.
Dalam pasal 174 ini hanya disebutkan anak, baik laki-laki atau
perempuan. Mungkin bisa dipertanyakan apakah anak yang
dimaksud disini, termasuk keturunannya (cucu dan terus
kebawah) atau hanya terbatas pada anak saja.
Adapun mengenai bagian cucu yang orang tuanya telah
meninggal dunia mendahului pewaris, maka hal ini diatur dalam
pasal 185 yang biasa dikenal dengan ahli waris pengganti.
Orang Tua dan Ahli Waris Penerusnya
a) Ibu
Ketentuan besarnya bagian untuk ibu terdapat pada
pasal 178, yang berbunyi:
133
Bab III
(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua
saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua saudara
atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil
oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
Berdasarkan pasal 178 ayat (1) KHI diatas bahwa ibu
mendapat bagian sepertiga dengan dua sebab, yaitu :
1. Karena tidak ada anak
2. Karena tidak berkumpul dua orang saudara atau lebih.
Sebab pertama menimbulkan dua kemungkinan,
pertama apakah anak yang dimaksud hanya terbatas pada anak
baik laki-laki atau perempuan. Kedua apakah termasuk juga
keturunan dari anak tersebut baik melalui jalur laki-laki atau
perempuan. Kemungkinan kedua ini bisa diterima karena KHI
mengakui adanya waris pengganti, sebagaimana terdapat
dalam pasal 185 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :
"Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka tersebut dalam pasal 173".
b) Ayah
Besarnya bagian ayah dalam KHI diatur pada pasal
177, yang berbunyi sebagai berikut : "Ayah mendapat
sepertiga bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1994
dijelaskan bahwa maksud dari pasal 177 Kompilasi Hukum Islam
adalah : "Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".
134
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Rasulullah SAW bersabda: “Berikan bagian faraidh
kepada yang berhak, adapun sisanya untuk laki-laki yang paling
dekat dengan pewaris” (HR. Muslim)
135
Bab III
136
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
137
Bab III
138
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
83
Dede Ibin, “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim” dalam jurnal Mimbar
Hukum (Jakarta: Al Hikmah, 2004) No. 63, hal. 100
139
Bab III
84
Ibid. h. 102
140
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
85
Lihat Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan
Terhadap Penalaran Hazirin Dan Penalaran F'iqh Madzhab (Jakarta: INIS,1988), h.84-91, 93-
97,119-120, h.132
86
Kasus pewarisan yang diselesaikan adalah, ahli waris terdiri dari : seorang anak
perempuan, bersama seorang saudara laki-laki kandung. Gugatan diajukan pada
Pengadilan Agama Mataram. PA Mataram menolak gugatan tersebut dengan
141
Bab III
142
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
88
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan
Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h.193
89
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitah, 1984), h.
83
90
Ahmad Haries, Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kalangan Ulama Banjar,
(Bandung: Alfabeta, 2009), h. 75-96
143
Bab III
Hal ini dalam KHI diatur dalam pasal 193 : “Para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”
3. Berdasarkan faraidh
Alasan yang menggunakan cara ini, adalah bahwa ketentuan
hukum waris Islam seperti yang telah tertera dalam al Qur’an
harus lebih diutamakan.
4. Pembagian harta perpantangan.
Yaitu pabila seorang suami/istri meninggal dunia, maka harta
itu terlebih dahulu di bagi dua satu untuk pasangan yang masih
hidup, dan yang dibagi sebagai waris hanyalah harta bagian
yang telah meninggal. Tentang ini dalam KHI disebutkan dalam
pasal 96 ayat 1: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta
bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, separoh
sisanya baru dibagi dengan sistem pembagian warisan”
Penutup
Dari paparan di atas tentang unsur dan syarat-syarat
kewarisan, kelompok ahli waris dan bagian masing-masing, baik
dari persfektif Fiqh, KHI atau praktek di Pengadilan dan masyarakat
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Unsur dan syarat-syarat kewarisan
Tentang syarat ahli waris disamping beragama Islam
perlu ditambahkan masih hidup baik secara hakiki atau hukum
ketika meninggalnya pewaris. Selain itu perlu ada perbaikan
redaksi tentang pengertian ahli waris, yaitu:
"Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
144
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
145
Bab III
146
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
147
Bab III
148
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Halangan menerima warisan (mawani‘ al-irts) adalah salah
satu sub bahasan yang penting dalam wacana hukum waris Islam.
Ia bertali-temali erat dengan sub-sub bahasan lain yang
merupakan tahapan-tahapan seleksi penerima harta warisan
sebelum penghitungan dan pembagian dilakukan. Tahapan-
tahapan seleksi tersebut meliputi:
1. Seleksi tahap I, yakni seleksi berdasarkan hubungan kekeluarga-
an yang bertumpu kepada dua garis hubungan, yaitu: a)
hubungan darah (al-nasab) dan b) hubungan pernikahan yang
sah (al-zawaj al-shahih). Pada tahap ini, keluarga yang tidak
lolos seleksi, semisal saudara ipar dan menantu, tereliminasi
dengan sendirinya.
2. Seleksi Tahap II, yakni sekelsi berdasarkan kelayakan kerpibadi-
an calon penerima harta warisan. Tumpuannya adalah: a) status
sosial, b) hubungan baik dan c) kesamaan agama. Pada tahap
ini, calon penerima harta warisan yang tidak lolos sekeksi,
semisal menghilangkan nyawa atau berbeda agama dengan
orang yang akan mewariskan harta kepadanya (muwarrits)
menjadi tereliminasi dengan sendirinya.
Selain penting, sub bahasan tentang halangan menerima
harta warisan, utamanya dalam hal kesamaan agama, juga
terhitung sensitif. Sebab ia tidak hanya terkait dengan masalah
kepentingan individu mendapatkan harta warisan yang sudah
149
Bab III
91
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ctk. II (Beirut: Dār al-Fikr,
1985), VIII: 258.
150
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Seorang pembunuh (orang yang mewariskan harta
kepadanya) tidak berhak menerima harta warisan apapun.
(H.R. al-Nasa’i).
Kesepakatan ulama tersebut juga berpijak kepada
argumentasi bahwa sang ahli waris telah menempuh cara
kekerasan yang keji terhadap orang yang akan mewariskan harta
kepadanya. Akibatnya, dia patut diberi sanksi kehilangan hak
untuk mendapatkan harta tersebut.92
Di luar kesepakatan tersebut, para ulama berbeda
pendapat tentang jenis-jenis pembunuhan selain yang disengaja
atau direncanakan sebagai penghalang sang pelaku untuk
92
Ibid., hlm. 260.
151
Bab III
93
Ibid., hlm. 261.
94
Ibid., hlm. 262.
152
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non
muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa
menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan
Muslim).96
Pandangan ini, secara turun-temurun, memang menjadi
pandangan mainstream dalam wacana hukum waris Islam. Pada
setiap literatur dan materi hukum waris Islam yang diajarkan baik
di lembaga pendidikan formal maupun non formal, pandangan
inilah yang menjadi menu dan acuan utama.
95
Ibid.
96
Ibid., hlm. 263.
153
Bab III
Islam akan selalu bertambah dan tidak akan pernah
berkurang. (H.R. Abu Dawud, dinilai shahih oleh al-Hakim).
154
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Belum pernah dijumpai putusan yang secerdas dan
sebrilian putusan Mu‘awiyah. Orang Islam bisa menerima
warisan Ahl al-Kitab, sementara mereka tidak bisa menerima
warisan dari orang Islam. Sama dengan pernikahan; orang
Islam bisa menikahi perempuan kalangan mereka, tetapi
mereka tidak bisa menikai perempuan muslimah.97
Terlepas dari kontroversi seputar validitas transmisi
(sanad)-nya, riwayat di atas menyiratkan dua hal penting, yaitu:
1) Sengketa harta warisan, terlebih-lebih yang diwarnai oleh
nuansa ketegangan antar agama, adalah kasus sensitif yang
memerlukan penalaran yang komprehensif dan bijak. Di satu
sisi, berpijak hanya kepada acuan tekstual an sich hanya akan
berpotensi memperparah ketegangan. Sementara di sisi lain,
mengenyampingkan sama sekali pijakan tekstual tentu bukan
cara yang tepat, karena akan mendapatkan penolakan di mana-
mana.
97
Al-Hāfizh Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fath al-Bārī Syarh Shahīh al-Bukhārī (Ttp.: Dār al-
Rayyān li al-Turāts, 1986), XII: 52.
155
Bab III
98
Muhammad Muhy al-Dīn ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al-Mawārīts fī al-Syarī‘ah al-
Islāmiyyah ‘alā Madzāhib al-A’imma al-Arba‘a, ctk. I (ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984), hlm.
170; Ibn Qudāmah ‘Abd Allāh ibn Qudāmah, al-Mughnī fī Syarh Mukhtashar al-Kharaqī (Kairo:
Dār al-Manār, 1987), VI: 181-182; Ibn Rusyd Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubī, Bidāyah al-
Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera, t.t.), II: 257.
156
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
157
Bab III
99
R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:
Pradaya Paramitha, 1982), hlm. 209.
100
Al-Zuhaylī, al-Fiqh., hlm. 262.
158
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
101
Dikutip dari: http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).
102
Moh. Muhibuddin, “Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim di
Indonesia”, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09 Juli 2011).
159
Bab III
103
Ibid.
160
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga saat ini, tetap
memakainya sebagai salah satu dasar hukum.
Hal yang sama juga dijumpai pada komunitas pesantren,
terutama dengan formulasi kurikulum dan kerangka pemikiran
yang berbasis kitab kuning yang masih tetap dipertahankan
hingga saat ini. Terbukti, hingga saat ini, belum dijumpai hasil
bahtsul masa’il dari komunitas pesantren yang menghasilkan
produk hukum yang berbeda.
Hanya di kalangan masyarakat yang hukum adatnya relatif
kuat, atau mungkin yang beragam pemeluk agamanya, saja yang
sedikit memiliki perbedaan. Sebut saja, misalnya, masyarakat desa
Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman Provinsi D.I.
Yogyakarta104 yang sudah tidak asing dengan pewarisan lintas
agama.
Refleksi
Dari uraian panjang-lebar tentang halangan menerima
warisan di atas, bisa dipahami bahwa hukum waris Islam berada di
antara dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, ia terikat dengan
seperangkat teks al-Qur’an dan hadits yang memuat ragam
ketentuan teknis kewarisan yang sudah dianggap baku. Piranti
metodologis (ushul fiqih) yang ada selama ini dibangun dalam
suatu konstruksi teoretik yang menguatkan teks-teks tersebut.
Namun, di sisi lain, hukum waris Islam berhadapan langsung
dengan realitas sosial yang dinamis serta berkembang sedemikian
rupa, sehingga menuntut berbagai inovasi dan adaptasi yang
acapkali berlawanan dengan muatan ajaran teks.
104
Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Warisan Beda
Agama di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09 Juli 2011).
161
Bab III
105
Halimah Barakat, “The Arab Family and Challenge of Social Transformation”,
dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.), Women and Family in the Middle East (Texas:
University of Texas Press, 1995), hlm. 28.
162
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
o
Keturunan kita adalah anak-anak laki-laki kita beserta keterunan
mereka, dan juga anak-anak perempuan kita. Sementara
keturunan anak-anak perempuan kita tidak termasuk keturunan
kita, melainkan keturunan laki-laki “nun jauh di sana”.106
2) Sistem sosialnya bersifat patriarkal. Segalanya berpusat kepada
eksistensi dan peran laki-laki, baik dalam ranah publik ranah
domestik. Sebab hanya laki-lakilah yang saat itu mampu
memberikan kontribusi sosial bagi keberlanjutan kehidupan
suku.107
Implikasinya mudah ditebak. Sistem pembagian harta warisan
menjadi diskriminatif. Hanya kaum laki-laki dewasa saja yang
bisa mewarisi harta kekayaan, baik melalui jalur hubungan
keluarga (nasab), pengangkatan anak (tabanni) maupun
perjanjian (half wa ‘ahd).108 Sementara kaum perempuan, anak-
anak, orang-orang jompo dan orang-orang cacat sama sekali
tidak memilliki hak apa-apa. Prinsip yang dipegang teguh
adalah “senioritas” (the principle of seniority) dan “keikutsertaan
dalam aktivitas militer” (the principle of comradship in arms).109
106
Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm, ctk. II (Beirut: Dār al-
Ma‘rifah, 1973), IV: 405.
107
Hammūdah ‘Abd al-‘Athī, The Family Structure in Islam (Indiana: Islamic Book
Service, 1977), hlm. 8-9
108
Rasyīd Ridhā, Tafsīr., hlm. 402; M. Musthafa Khan, Islamic Law of Inheritance: A
New Approach (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), hlm. 8.
109
‘Abd al-‘Athī, The Family., hlm. 250-251. Prinsip ini tercermin dalam penyataan
orang-orang Arab pra-Islam bahwa “Kami tidak akan merwariskan harta kami kepada orang
yang tidak bisa menunggang kuda, menghunus pedang, menggunakan anak panah,
mengusir musuh dan menjaga keselamatan suku”. Lihat: Abū Ja‘far Muhammad ibn Jarīr al-
Thabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, ctk. II (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972), IV: 176 dan
185.
163
Bab III
110
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in A World
Civilization (The Classical Age of Islam), ctk. I (Chicago: Chicago University Press, 1974), I: 163.
111
Misalnya: QS. al-A‘rāf (7):85; al-Isrā’ (17):23 dan 33, al-Kahf (18):110; al-Syu‘arā’
(26):130; al-Hujurāt (49):13; al-Dzāriyāt (51):56.
112
Muhammad al-Khudarī Bek, Tārīkh al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Surabaya: Al-Hidāyah,
t.t.), hlm. 91.
113
QS. al-Ahzāb (33):6.
114
QS. al-Ahzāb (33):4.
115
QS. al-Nisā’ (4):33.
164
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
116
QS. al-Nisā’ (4):19 dan 22.
117
QS. al-Nisā’ (4):7.
118
QS. al-Nisā’ (4):11-14 dan 176.
165
Bab III
Pijakan Metodologis
Selama ini, setiap inovasi dan pembaruan hukum Islam,
khususnya yang berkaitan dengan waris, selalu berbenturan
dengan sebuah konstruksi pemikiran yang, menurut hemat
penulis, terkristalisasi menjadi prinsip kemutlakan otoritas ujaran
verbal teks al-Qur’an dan hadits. Prinsip tersebut tercermin dari
beberapa teori ushul fiqih berikut:
a. Teori mufassar atau nash.
Menurut para ulama ushul fiqih, hal-hal rinci dalam teks
al-Qur’an dan hadits, semisal angka-angka 1/2 (nishf), 1/3
(tsuluts), 1/6 (sudus) dan 1/8 (tsumun) dalam bidang waris,
dinilai bersifat definitif (qath‘i) serta tidak memiliki makna
apapun lagi selain jumlah matematis yang dikandungnya. Hal-
hal rinci tersebut disebut dengan “mufassar” menurut ulama
Hanafiyyah atau “nash” menurut ulama Mutakallimun. Hal-hal
rinci yang bersifat definitif tersebut menutup peluang bagi
upaya ta’wil (penafsiran metaforis) ataupun takhshish serta
hanya menerima naskh. Oleh karena itu, ia harus diterapkan apa
adanya.119
b. Teori mashalahah gharibah.
Sebagai konsekuensi dari teori mufassar di atas, maka
pertimbangan kemaslahatan apapun, sekuat apapun ia, bila
bertentangan dengan ujaran nash yang kandungan maknanya
berstatus qath‘i al-dalalah, sama sekali tidak memiliki nilai
hukum. Dalam arti, ia tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam
119
Muhammad Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah
Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth al-Ahkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah,
ctk. III (Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1984), I:169.
166
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
120
Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh., I: 169.
121
Muhy al-Dīn al-Nawawī al-Dimasyqī, Syarh Shahīh Muslim, ctk. I (Mesir: al-
Mathba‘ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.
167
Bab III
Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non
muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa
menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan
Muslim).
Di satu sisi, hadits tersebut memang dinilai valid
(shahih), sehingga dinilai memenuhi syarat untuk digunakan
sebagai sumber hukum. Faktanya, hadits itulah terlepas dari
definitif atau spekulatif muatan maknanya yang dipakai sebagai
pijakan utama bagi ketentuan perbedaan agama sebagai salah
satu penghalang menerima warisan.
Pada kenyataannya, otoritas hadits tersebut memang begitu
kuat pengaruhnya terhadap ketentuan hukum waris Islam
tentang penghalang menerima warisan. Buktinya, seperti
tercermin dari Fatwa MUI pada tahun 2005, pemberian harta
122
QS. Al-Nisā’ (4): 141.
168
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
123
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS
VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli
2011).
124
Muhammad Mushthafā Syalabī, Ta‘līl al-Ahkām:‘Ardh wa Tahlīl li Tharīqah al-
Ta‘līl wa Tathawwurihā fī ‘Ushūr al-Ijtihād wa al-Taqlīd, ctk. II (Beirut: Dār al-Nahdhah al-
‘Arabiyyah, 1981), hlm. 299.
169
Bab III
Di saat terjadi kontradiksi antara kepentingan umum
(mashlahah) dan ujaran verbal teks, maka mashlahah yang
diunggulkan manakala bersifat pasti dan primer (dharr).
Namun, jika mashlahah tersebut bersifat tersier (tahsi}n),
maka ujaran verbal tekslah yang diunggulkan. Sementara itu,
mashlahah yang bersifat sekunder (hj) lebih tepat jika
dipersamakan dengan mashlahah yang primer.
Penutup
Demikianlah makalah yang serba terbatas ini penulis susun
dan sampaikan. Segala kekurangan dan kesalahan yang sudah
pasti bisa dijumpai di dalamnya mudah-mudahan dipermaklumi
dan dikritik secara konstruktif. Bagaimanapun, segala keterbatan
yang dimiliki oleh penulis tidak bisa ditutup-tutupi lagi.
125
Syalabī, Ta‘līl al-Ahkām., hlm. 34-42.
170
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Daftar Pustaka
Al-Qur’ān al-Karīm.
‘Abd al-‘Athī, Hammūdah, The Family Structure in Islam (Indiana:
Islamic Book Service, 1977).
Adīb Shālih, Muhammad, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī:
Dirāsah Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth al-
Ahkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah, ctk. III (Beirut:
Al-Maktab al-Islāmī, 1984).
Barakat, Halimah, “The Arab Family and Challenge of Social
Transformation”, dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.),
Women and Family in the Middle East (Texas: University of
Texas Press, 1995).
Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian
Warisan Beda Agama di Desa Sumbersari Kecamatan
Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09
Juli 2011).
Http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).
Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Al-Hāfizh, Fath al-Bārī Syarh Shahīh al-
Bukhārī (Ttp.: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1986).
Ibn Jarīr al-Thabarī, Abū Ja‘far Muhammad, Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr
al-Qur’ān, ctk. II (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972).
Ibn Qudāmah, ‘Abd Allāh ibn Qudāmah, al-Mughnī fī Syarh
Mukhtashar al-Kharaqī (Kairo: Dār al-Manār, 1987);
Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubī, Bidāyah al-
Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera,
t.t.).
171
Bab III
172
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
HARTA BERSAMA
H.A. Sukris Sarmadi
Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk
akan segala budaya. Dalam perkembangan hukum yang terjadi di
Indonesia, hukum Islam termasuk menjadi sumber hukum di
Indonesia.126 Terutama di bidang hukum keperdataan.127 Dalam
realitasnya, umat Islam di Indonesia merupakan jumlah mayoritas
di negeri ini. Harapan umat Islam pada umumnya menjadikan
hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal
ini didasarkan pada cara berpikir pandangan hidup dan karakter
suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.128
Kenyataan ini sesuai dengan sejarah panjang Islam di Indonesia
hingga interaksinya dengan hukum barat yang dibawa oleh
kolonial Belanda yang mengakui akan berlakunya hukum Islam
dalam lapangan keperdataan tertentu.
Kondisi sekarang umat Islam di Indonesia telah dapat
melaksanakan hukum Islam di dasarkan pada berbagai legalisasi
perundang-undangan seperti Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama kemudian disempurnakan dengan
Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
126
Suparman Usman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 122
127
Zainuddin Ali menterjemahkan keperdataan dengan fiqh al muamalat, hal ini
dikarenakan dalam fiqh bagian muamalat dalam arti luas mencakup hukum keperdataan.
lih. Zainuddin Ali, 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 68
128
R. Subekti, 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta : Pradnya
Paramita, hlm. 3
173
Bab III
129
Sebagai penyempurnaan dari PP No. 28 thn. 1977 tentang Perwakaan Tanah.
Vide, Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan Hukum
Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task.
130
Sebelum diberlakukan UU No. 19 tahun 2008 telah berlaku PP RI N0. 39 Tahun
2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan
BI N0. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
131
Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta :
Genta Press, hlm. 70.
132
Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama, hlm. 1-9.
174
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
133
A. Hamid S. Atamimi, 1992. Compendium Freijer Upaya Mempositipkan
Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan Hukum tahun N0. hlm 137-138, 144.
134
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bandung : Bina Cipta, hlm. 14
135
Ibid, h. 12
175
Bab III
136
Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga dalam
http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=32&
HPSESSID=b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0
137
Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J. III, Bairut-
Libanon, 1990, h. 67
138
Ibid, h. 76
176
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
139
Ibid, h. 69
140
Taqiyuddin An-Nabhani, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar al Fikr,
Cairo, h. 150
141
A. Sukris Sarmadi, 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008 Yogyakarta, h. 118
177
Bab III
142
A. Sukris Sarmadi, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam Tranformatif,
Rajawali Pers, Jakarta, h. 27
143
Perceraian di sini dalam arti talak bain, sedangkan perempuan yang masih
dalam iddah talak raj’iyah masih berhak memperoleh kewarisan jika suaminya meninggal
pada masa itu. Selanjutnya, dalam fiqh klasik perceraian (talak bain) berakibat bagi istri tidak
lagi akan mendapatkan harta kecuali jika ia memiliki anak, maka biaya hadhanah tetp
menjadi tanggung jawab suami. Baik dalam UU No. 1/1974 maupun pada Komilasi Hukum
Islam, perceraian berakibat adanya pembagian harta bersama. Sebuah perkawinan
dianggap telah membentuk terjadinya harta bersama walaupun hanya suami saja yang
178
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
bekerja, pembagian sejumlah sama rata, dengan kata lain bila suami meninggal, istri berhak
separoh harta tersebut lihat KHI.Pasal .96 Bab XIII.
144
A. Sukris Sarmadi, Op. Cit. h. 33
179
Bab III
145
Para ulama menegaskan sebagai rukun terjadinya suatu kewarisan yakni
adanya pewaris, harta waris dan ahli waris. Tidak ada salah satunya mengakibatkan tidak
berlakunya suatu kewarisan. Sayid Sabiq, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,
h. 426
180
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Pasal 85 :
Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
146
Pasal 86 :
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
harta istri karena perkawinan,
(2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 :
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.147
(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah,
hadiah, sadaqoh atau lainnya.
Pasal 88 :
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta
bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.
146
Pasal 119 Burgelijk Wetboek (BW) mengatur masalah harta bersama
perkawinan.bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki
suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri. Pasal 128 BW menetapkan
bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli
waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
147
Pasal 139-154 BW mengisaratkan bila pasangan suami istri sepakat untuk tidak
menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris
sebelum perkawinan.
181
Bab III
Pasal 89 :
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri
maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 :
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun
harta suaminya yang ada padanya.
Semua Pasal tersebut di atas sebenarnya telah dapat
relevan dengan penalaran keislaman modern selama ini, baik
sebagian adopsi fiqh klasik maupun ijtihadi terhadapnya. Harta
kekayaan sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 1
huruf (f) dalam perkawinan dianggap akan menjadi harta bersama
(syirkah) walaupun tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing suami istri (vide, psl.85 KHI). Apa yang
dimaksud dengan harta masing-masing tersebut adalah harta
bawaan dari masing-masing mereka, baik sebagai hadiah dari
orang lain atas dirinya atau warisan dari orang tuanya atau dari
pihak jurusan di mana ia berhak memperoleh warisan atau
pemberian lainnya (vide, psl 87 ayat 1). Mengenai harta bawaan
dan harta pemberian seseorang karena sebab tertentu ditegaskan
dalam al Qur’an, sebagai berikut :
182
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
183
Bab III
184
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
148
Penulis selama lebih dari 13 Tahun menjadi Advokat resmi dan secara khusus
menjadi konsultan persoalan harta bersama serta kewarisan, hingga sekarang sebagai
Ketua LKBHI Fak. Syariah IAIN Antasari sering menyodorkan butir-butir Pasal tersebut
kepada masyarakat yang berkonsultasi dan selalu mereka semakin menjadi tidak mengerti.
185
Bab III
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau
istri yang diperolehnya karena harta bawaan.
Pasal 86
(1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perka-
winannya karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah,
wasiat dan warisan atau lainnya adalah bukan harta
bersama.
(2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-
masing, menguasai dan memeliharanya.
(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta
istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertang-
gung jawab menjaga harta bersama maupun harta
suaminya yang ada padanya.
(4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya
perjanjian untuk menjadi harta bersama.
Pasal 87
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta
bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.
Pasal 88, 89, 90, 91 diganti (lih. Bagian penutup)
Pasal 88 s.d 90 dapat di isi dengan materi baru tambahan,
sebagai berikut
186
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
187
Bab III
Pasal 92
Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak
diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93 :
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri
dibebankan kepada hartanya masing-masing,
(2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan
untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta
bersama,
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada
harta suami,
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi
dibebankan kepada harta istri.
Pasal 94 harusnya ada tambahan pasal sehingga berbunyi:
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing
terpisah dan berdiri sendiri,
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya
akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan
menghitung secara proporsional serta mempertimbang-
kan jangka waktu perkawinan berlangsung
(3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih,
perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di
perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.
188
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
189
Bab III
149
Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua
antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak
mana asal barang-barang itu.
190
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dari dosanya
kecuali hutangnya. (H.R. Muslim).
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya:
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah bersabda:
Penangguhan membayar hutang oleh orang kaya adalah
perbuatan zalim. (H.R. Bukhari).
2. Proses secara bertahap menunjukkan komitmen kehidupan
keluarga yang selalu harus saling membantu lahir batin yang
terkadang diperlukan pengorbanan harta. Harta suami
didahulukan karena dialah sebagai punggung perekonomian
keluarga.
Apa yang dikemukakan dalam pasal 93 tersebut merupakan
jalan terakhir jika pada waktu itu keharusan untuk melunasi-
nya telah sampai pada batas waktu yang diperjanjikan kepada
orang lain sedang orang dimaksud telah sangat memerlukan-
nya.
191
Bab III
192
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya,
”Wahai Rasullah, sesunggunya Abu Sufyan (suaminya)
adalah orang yang sangat kikir. Ia tidak memberikan nafkah
kepadaku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil
(harta belanja) darinya tanpa sepengetahuannya.
Mendengar demikian , Rasul Saw mengatakan, “Ambillah
apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara
yang baik” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Adalah sangat jelas bagi istri untuk mengambil harta
suaminya demi kewajiban nafkah yang seharusnya telah
diberikannya sebagaimana hadits di atas dan jika suaminya tidak
memberikan nafkah keluarga, istri dapat mengambilnya dari harta
bersama, menjual barang tertentu dari harta bersama demi
kepentingan keluarga. Termasuk terhadap istri yang suaminya
ghaib/hilang (Mafqud) hingga sampai ada kepastian dari putusan
Pengadilan Agama (vide psl. 96 ayat 2).
Khusus terhadap pasal 96 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Apa yang diatur
dalam ketentuan pasal tersebut adalah konsekuensi logis dari
pengaturan adanya harta bersama berarti masing-masing pihak
memiliki haknya untuk memfungsikan, memindahkan harta
tersebut. Mempergunakan, memindahkan atau menjualnya tidak
boleh dilakukan salah. Dengan konteks demikian , kematian salah
satu pihak berarti terbukanya jalan pemisahan harta kedua belah
pihak. Dengan matinya salah satu pihak berakibat pembagian
harta tersebut dimana salah satu pihak yang hidup akan
193
Bab III
150
Al Jaziri, J. III. Lok Cit, h. 67
151
Ibid, h. 76
152
Ibid, h. 69
194
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
195
Bab III
153
Masalah mafqud merupakan masalah hukum yang pernah terjadi pada masa
Rasulullah saw. Dalam riwayat Siwar Ibn Mas’ab dari Muhammad Ibn Syurabi al Hamdany
dari Mughirah Ibn Syu’bah Nabi saw mengatakan :
“Istri orang yang mafqud adalah istrinya sampai ada berita kepastiannya (H.R.
Daraquthni)
196
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
154
Cate Sumner & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru, Pengadilan
Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF, hlm. 2
155
Satjipto Rahardjo, 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III, Jakarta : Buku
Kompas, hlm. 253-254
197
Bab III
198
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
199
Bab III
156
Muchit A. Karim (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta :
Kementerian Agama RI, hlm. ii
200
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
201
Bab III
157
Ibid. hlm. iii
158
Lawrence M Friedman, 1975. The Legal Sistem, A Social Science Perspective,
New York : Russelll Sage Foundation. h. 17
202
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
159
Ibid, h. 16
203
Bab III
204
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
205
Bab III
206
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Pasal 95 :
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf
c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat
(2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya
permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan
perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta
berama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya, (2)
Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta
bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin
Pengadilan Agama.
Pasal 96 :
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri
yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai
adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.160
Berdasar demikian, Harta bersama yang tersebut dalam
KHI sudah cukup lengkap hanya diperlukan sedikit
penyempurnaan, dan lebih bagus lagi adanya tambahan yang
melengkapi persoalan baru pada zaman ini.
160
Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua
antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak
mana asal barang-barang itu.
207
Bab III
Daftar Pustaka
Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J.
III, Bairut-Libanon, 1990.
Atamimi, A. Hamid S., 1992. Compendium Freijer Upaya
Mempositipkan Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan
Hukum tahun x
Ali, Zainuddin, , 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar
Grafika
Al Nabhani, Taqiyuddin, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar
al Fikr, Cairo
Al Fatni, Abdul Malik, 1949. Khulashah al Faraaid, Mesir : Mustafa al
Baby al Halaby
Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
Friedman, Lawrence M., 1975. The Legal Sistem, A Social Science
Perspective, New York : Russelll Sage Foundation
Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I,
Yogyakarta : Genta Press
Karim, Muchit A. (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Jakarta : Kementerian Agama RI
Kusumaatmadja, Mochtar., 1976, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Bina Cipta
Rahardjo, Satjipto., 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III,
Jakarta : Buku Kompas
Sabiq, Sayid, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,
208
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
209
Bab III
210
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Hukum keluarga merupakan satu-satunya area hukum
yang dipertahankan penerapannya dalam sebuah masayarakat
Muslim sejak Islam datang dan dipeluk oleh masyarakat tersebut.
Terdapat beberapa alasan kenapa, berbeda dengan area hukum
yang lain, hukum keluarga Islam terus diterapkan dan tidak
tergantikan oleh sistem hukum lain. Penerapan hukum keluarga
Islam sering dianggap sebagai identitas kemusliman seseorang
atau masyarakat tertentu. Namun, meskipun masalah keluarga
merupakan masalah pribadi, pada perkembangan selanjutnya
masalah keluarga membutuhkan intervensi pemerintah dalam
penyelesaiannya.
Sejalan dengan upaya intervensi pemerintah, usaha
pembaharuan kemudian muncul terhadap aturan-aturan hukum
keluarga yang selama itu diadopsi dari pandangan-pandangan
para ‘ulama yang terdapat dalam buku-buku fiqh klasik. Usaha
tersebut dianggap penting untuk dilakukan demi memper-
tahankan kelangsungan pemberlakuan hukum keluarga Islam di
satu sisi, dan mengakomodir kepentingan dan tuntutan jaman dan
pihak-pihak tertentu yang selama itu dianggap selalu ditempatkan
pada posisi bawah atau marginal, seperti pihak perempuan dan
anak-anak, di sisi lain.
211
Bab III
212
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
161
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi
Hukum Islam and Legal Practices of Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2009, 19.
162
Lihat Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta:
INIS, 2002, 5.
213
Bab III
163
Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study, London: Routledge and
Kegan Paul, 1874, 108-109.
214
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
215
Bab III
164
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97.
165
Lucy Carroll, “Orphaned Grandchildren in Islamic Law of Succession”, Islamic
Law and Society, 5 (1998), 410.
166
Rubya Mehdi merekam bahwa pemecahan Pakistan, yakni waris dengan hak,
dipandang lebih radikal. Para ulama tradisional menentang sistem itu atas dasar bahwa
sistem itu membinasakan semangat dan struktur hukum waris Islam. Namun, mereka
sepakat dengan pendapat bahwa masalah cucu yatim harus dipecahkan, dan berpendapat
bahwa wasiat wajib memiliki dasar hukum yang lebih absah dalam kitab suci. Lihat Rubya
Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, 190.
216
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
167
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97. Lihat juga
Kompilasi, Pasal 185 (1).
168
Keputusan tersebut terekam sebagai keputusan Pengadilan Umum Banding
No. 195/1950. Keputusan yang sama juga dikeluarkan di masa-masa awal oleh Raad van
Justitie Batavia pada 12 Desember 1932. Hal ini direkam dalam “Indisch Tijdschrift van het
Recht,” 150 (1932): 239. Lebih rinci mengenai hal ini, lihat A.B. Loebis, Pengadilan Negeri
Jakarta in Action: Jurisprudensi Hukum Adat Warisan, (n.p, n.d) 63. Untuk informasi detail
tentang ini, lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, 98.
217
Bab III
218
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
219
Bab III
169
Lihat Keputusan No. 341/1976.
220
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
170
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 142-144. Untuk
pandangan yang sama, lihat S. Pompe and J.M. Otto, “Some Comments on Recent
Developments in the Indonesian Marriage Law with Particular Respect to the Rights of
Women”, Verfassung und Rech Ubersee, 4 (1990), 415, dan bandingkan dengan Cammack
yang melaporkan bahwa sejak diterapkan UU Perkawinan beberapa hakim tampaknya
menyadari keputusan mereka dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada kasasi dan itu
merupakan alasan mereka condong kepada UU Perkawinan. Mark Cammack, “Islamic Law in
Indonesia’s New Order”, International and Comparative Law Quarterly, 38 (1989), 53.
221
Bab III
171
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 151-152. Teks kasus itu
dan keputusan-keputusannya bisa dilihat pula dalam Mimbar Hukum 30:7 (1997), 122-151.
172
Selain Euis Nurlaelawati, lihat juga Cammack, “Inching towards Equality”, 14-
15, dan Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, 197-198.
173
Euis Nurlaelawari, Modernization, Tradition and Identity, 152. Jadi pengadilan
tidak memutuskan kasus mengikuti doktrin tradisional dan tidak memberi saudara laki-laki
bagian bersama dengan anak perempuan dari mayit sebagaimana dipahami Cammack.
Lihat Cammack, “Inching toward Equality,” 15.
222
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
174
Noel J. Coulson, History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1971), 66. Harus dicatat di sini bahwa penafsiran Sunni terhadap kata walad sebagai
merujuk hanya pada laki-laki hanya terjadi dalam ayat ini, karena mereka menafsirkan kata
walad yang muncul dalam ayat-ayat yang lain mencakup laki-laki dan perempuan.
223
Bab III
175
Maksud saya, kata walad sebagaimana umunya ditafsirkan dalam al-Qur’an
sebagai anak laki-laki dan perempuan dan bukan diterjemahkan dalam kamus Arab yang
merujuk hanya pada anak laki-laki.
224
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
176
Lihat, misalnya, Alizar Jas, “Pengertian Kata Walad dalam Surah al-Nisa Ayat
176”, Mimbar Hukum, 40 (1998).
225
Bab III
177
Lihat Baidlawi, “Ketentuan Hak Waris Saudara dalam Konteks Hukum Islam”,
dan Rahmat Syafe’i, “Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Kewarisan
Saudara dengan Anak Perempuan”, Mimbar Hukum, 44 (1999). Para penulis juga
menambahkan bahwa tidak ada yang menafsirkan kata walad dalam ayat 176 sebagai
hanya mencakup laki-laki saja. Mereka berpendapat bahwa kata walad dalam ayat 176
merujuk sepenuhnya pada laki-laki dan perempuan, tetapi ayat itu tidak ditafsirkan dengan
cara yang menyimpang (mukhâlafah) yakni, ayat itu tidak ditafsirkan untuk mengatur
bahwa jika ada anak, maka saudara sekandung sepenuhnya dinafikan. Dengan kata lain,
ayat ini hanya memaparkan hak waris saudara sekandung ketika mayit tidak meninggalkan
anak (kalâlah). Jika mayit meninggalkan anak, maka hak waris saudara sekandung diatur
dalam sabda nabi yang menyatakan, “… berilah bagian tertentu kepada para ahli waris
226
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
tertentu dan sisanya adalah hak waris dari saudara sekandung (diriwayatkan dari Ibnu
Abbas) (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks no. 19), dan yang menyatakan “… untuk
anak perempuan adalah setengah dan untuk anak perempuannya anak laki-laki adalah
bagian yang membuat dua pertiga bagian dan sisanya untuk saudara perempuan
(diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud). Untuk pembahasan tentang hal ini, bandingkan Bowen,
Islam, Law and Equality in Indonesia, 197.
178
Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986).
179
Meskipun para penulis itu juga menyatakan bahwa memberikan bagian
penuh kepada anak perempuan adalah juga penyelewengan, karena tidak ada teks yang
mengatakan demikian. Mereka menyatakan bahwa jika ada saudara perempuan tetapi
dinafikan, maka anak perempuan tidak diberi bagian penuh tetapi hanya separuh. Ibid.
227
Bab III
180
Lihat Cammack, “Inching toward Equality”, 15.
228
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Penutup
Dari diskusi di atas, diperoleh beberapa kesimpulan.
Pertama, pembaharuan hukum merupakan hal yang tidak bisa
dihindari dan memiliki dasar atau rasional dalam Islam. Namun,
upaya pembaharuan tentunya tidak bisa secara mudah diterima
oleh seluruh kalangan yang menganggap bahwa aturan yang
sudha mapanlah yang benar dan sesuai untuk diterpakan. Kedua,
upaya pembaharuan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan
jelas, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang beragam.
Interpretasi terhadap hukum tentunya bisa diterima
dengan alasan adanya kemaslahatan di dalamnya, dan bukan
karena ketidakjelasan aturan. Ketiga, kecenderungan dan
kefanatikan terhadap sebuah aturan telah menyebabkan banyak
kelompok tidak merasa percaya diri untuk menerapkan aturan
yang baru yang sudah disepakati pemeberlakuannya. Untuk itu,
dasar hukum bagi pembaharuan harus kuat dan ditetapkan
setelah mengakomodir banyak pandangan hukum.
229
Bab III
230
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Realitas hukum di Indonesia, termasuk hukum waris
berada dalam kutub “pluralisme hukum”.181 Pluralisme hukum
tidak dimaknai dalam arti sempit, di mana sistem hukum yang satu
berbeda dan saling berhadapan dengan sistem hukum yang
lain.182 Pluralisme hukum adalah suatu realitas hukum, di mana
suatu sistem hukum dengan kerangka filsafatnya, menawarkan
pola tersendiri kepada masyarakat. Masyarakat dapat menilai dan
mempertimbangkan kerangka filsafat suatu sistem hukum yang
cocok dan memenuhi rasa keadilan. Hukum pada dasarnya adalah
sarana dan perangkat untuk menemukan dan memberikan rasa
keadilan kepada masyarakat.183
Hukum waris di Indonesia bergumul dalam realitas plural-
isme hukum. Hukum waris Islam, hukum waris BW, hukum waris
adat, dan praktik hukum kewarisan di lingkungan pengadilan
membentuk warna tersendiri.184 Secara normatif, sub-sistem
hukum ini saling pengaruh mempengaruhi terhadap praktik
181
Ihromi, Pluralisme Sistem Hukum, Jakarta : UI Press, 1987, hlm. 16; Soepomo,
Sistem Hukum di Indonesia, Pradnya Paramita, 1972, hlm. 23.
182
Lili Rasyidi, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1988,
hlm. 123.
183
Hans Kelsen, Law and Justice, Oxford : Oxford University Press, 1990, hlm. 211.
184
Hukum Islam, Hukum Perdata Barat (BW) dan Hukum Adat adalah suatu sistem
hukum, sedangkan hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan BW dan hukum kewarisan
adat adalah suatu sub-sistem hukum.
231
Bab III
185
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 14.
186
Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, Cambridge University, 1996, hlm. 437.
232
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
187
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut ; Dar al-Fikr, 2006, hlm. 594.
188
Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi fondasi dasar hukum kewarisan Islam
adalah surah an-Nisa’ ayat 11.
189
Phillip K. Hitti, The History of Arab, McMillan, 1979, hlm. 131.
190
Syed Mahmuddunnasir, Sejarah Peradaban Islam, Malaysia : IIT, 1995, hlm. 56.
191
Phillip K. Hitti, op.cit., hlm. 351.
233
Bab III
192
Oemar Abdul Aziz, The History of Islamic Law, Malaysia :UM, 2001, hlm. 13.
193
I b i d. Hlm. 14.
194
Muhammad Hamidullah, Islamologi, Montreal : McGill University Press, 1975,
hlm. 164.
234
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
berlaku kepada cucu laki-laki dari anak perempuan. 195 Logika ini
sangat dipahami, karena dalam tradisi masyarakat Arab, dominasi
dan pengaruh laki-laki dalam penentuan kewarisan sangat
dominan. Al-Qur’an sebagai ajaran etis memberikan perimbangan
terhadap dominasi ini, walaupun tidak mengikis habis dominasi
laki-laki terhadap proses pewarisan.
Filsafat kebersamaan dan tanggung jawab yang tergambar
dalam tradisi masyarakat Arab, diakomodir oleh al-Qur’an dengan
sejumlah penyesuaian, sehingga filsafat yang mendasari
kewarisan Islam adalah filsafat tanggung jawab (responsiblity),
kebersamaan, kemaslahatan, pengakuan hak individual, jaminan
keberlangsungan hidup, dan menghindarkan konflik antar sesama
ahli waris.196
Dalam kewarisan Islam, harta yang ditinggalkan oleh
seorang pewaris memiliki hubungan erat dengan orang yang
menjadi ahli waris. Hubungan ini terwujud dalam bentuk
penentuan ahli waris dan pendistribusian harta warisan. Pendistri-
busian harta warisan kepada ahli waris dimaksudkan dalam rangka
perwujudan tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup ahli
waris. Kematian pewaris tidak boleh menyebabkan hilangnya
jaminan dan keselamatan hidup ahli waris. 197
Filsafat tanggung jawab ini bukan hanya berada pada satu
orang tetapi juga dari seluruh anggota keluarga. Oleh karenanya,
bila seseorang meninggal dunia, maka tanggung jawab terhadap
keberlangsungan hidup keluarga dapat dijalankan dengan
195
I b i d., hlm. 170.
196
Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, (Terj),
Diponegoro : Bandung, 1988, hlm. 17.
197
I b i d., hlm. 18. ; Mohammed Majmuri, Family Law, Canada : Concordia
University Press, 2008, hlm. 234.
235
Bab III
198
Sayyid Sabiq, op.cit. hlm. 598;
199
Hamid Khan, Islamic Law of Inheritance, Oxford-Pakistan : Oxford University
Press, 2007, hlm. 18.
200
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : Fak. Ekonomi UII, 1990,
hlm. 45.
236
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
201
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Dar al-Fir al-Araby, Bairut,
2000, hlm. 478.
202
Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; From Classical and Contemporary,
Oxfor UK : Altamira Press, 2006, hlm. 56.
237
Bab III
203
Prances Burton, Family Law, UK : Cavendishpublishing, 2003, hlm. 14.
204
William P. Staatskey, Family Law, USA : Thomson Delma Learning, 2003, hlm.
123.
205
I b i d., hlm. 124.
206
Prances Burton, op.cit., hlm. 16.
238
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
207
David S. Power, Islamic Family Law, Norwell : Kluwer Academic Publisher
Group, 1990, hlm. 271.
208
Pergantia tempat ahli waris (plaatspervulling) adalah penempatan cucu
menduduki posisi ayah yang telah terlebih dahulu meninggal dunia, untuk mendapatkan
harta warisan dari kakek. Perluasan makna terhadap plaatsvervulling juga diberikan oleh
Hilyatus Sa’adah, dengan keturunan ahli waris yang sudah meninggal dunia pada saat
terbukanya warisan/menggantikan tempat orang tuanya sebagai ahli waris. Hilyatus
Sa’adah, Penggantian Tempat Ahli Waris (Plaatsvervulling) pada Masyarakat Pesantren, Tesis
S2, Semarang :UNDIP, 210, hlm. i.
239
Bab III
209
Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita,
hlm. 25.
210
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, hlm.
18.
211
Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral, Jakarta : Tinta Mas, 1961, hlm. 26.
240
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
212
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung : Alumni, 1993, hlm. 45.
241
Bab III
242
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
215
Muhammad Ali as-Shabuni, op.cit., hlm. 15.
216
Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; op.cit., hlm. 186.
243
Bab III
217
Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, Beirut : Dar al-Fikr al-‘Araby, 2006, hlm. 412.
218
I b i d., hlm. 421-422.
219
I b i d.,
244
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
garis anak perempuan. 220 Para ahli fiqh ini memandang persoalan
pergantian tempat ahli waris sebagai suatu ijtihad, yang
menempatkan cucu pada posisi ayahnya yang meninggal dunia
terlebih dahulu dari kakeknya, dan ia berhak mendapatkan harta
warisan dari kakeknya dan bagian harta warisan untuknya sesuai
dengan hak pada posisi ayahnya. Riset para ulama Azhar ini,
menemukan bahwa cucu walaupun orang tuanya terlebih
dahulu meninggal dunia, namun peluang cucu untuk mendapat-
kan harta warisaan dari kakeknya tetap terbuka, apalagi cucunya
tersebut berada dalam keadaan miskin, sehingga ia mesti
mendapatkan bagian harta warisan dari kakeknya pada porsi dan
psoisi ayahnya yang terlebih dahulu meninggal dunia. Ini adalah
salah satu bentuk keadilan dalam hukum kewarisan Islam. 221
Di Indonesia, pemikiran tentang adanya lembaga
pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam
diperbincangkan oleh Hazairin. Hazairin menyatakan bahwa
dalam hukum kewarisan Islam sebenarnya ada ruang bagi
lembaga pergantian tempat ahli waris. Hazairin merujuk Surah an-
Nisa’ ayat 33 sebagai landasan adanya institusi pergantian tempat
ahli waris dalam hukum Islam. Dalam Surah an-Nisa’ ayat 33
disebutkan: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-
pewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orang-orang yang kamu
sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks ayat 33
surah an-Nisa’ mengandung makna bahwa Allah mengadakan
220
Imam Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cairo ; Maktabah al-Islamiyah, 1982, hlm.
367; Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 599; Yusuf al-Qaradhawy, Kumpulan Ijtihad Kontemporer,
Jakarta : Firdaus, 1990, hlm. 213.
221
Yusuf al-Qaradhawy, I b i d., 214.
245
Bab III
222
Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral...,op.cit., hlm. 28.
223
Muhammad Amin al Asyi, Khulashah Ilmu Faraidh, (Naskah Klasik), hlm. 67.
246
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
247
Bab III
kitab Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Kitab Nihayat
al-Muhtaj karya Ar-Ramli.
Dalam kaitan pergantian tempat ahli waris patut dianalisis
pandangan Ar-Ramli, salah seorang ulama Syafi’iyah, yang
menyatakan bahwa cucu laki-laki dapat menggantikan ayahnya
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari
anak perempuan tidak mungkin menggantikan posisi ayahnya.
Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orang tuanya,
apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih
hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki masih ada, maka cucu
tersebut tidak mendapatkan apa-apa.224 Pandangan Ar-Ramli
ternyata kemudian dielaborasi lebih jauh oleh ulama Azhar yang
memberikan peluang kepada cucu untuk menempati posisi
ayahnya, guna mendapatkan harta warisan dari kakeknya yang
meninggal dunia. Realitas ini yang menggugah para pengkaji
hukum kewarisan guna menemukan nilai-nilai keadilan melalui
adanya institusi pergantian tempat ahli waris.
Analisis KHI
Pada dasarnya, berbagai kitab fiqh waris klasik tidak
membahas secara eksplisit konsep pergantian ahli waris
sebagaimana dalam konsep hukum perdata Barat (BW) atau
hukum adat, namun fiqh telah mengenal ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pewaris yang digantikan
kedudukannya oleh anak dan keturunannya. Namun istilah yang
digunakan bukan ahli waris pengganti, akan tetapi istilah “tanzil”.
Meskipun istilah yang digunakan dalam fiqh adalah istilah tanzil,
namun pada hakikatnya tetap mengandung makna ahli waris
pengganti, namun tidak sempurna, karena yang dianggap berhak
dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris pengganti
224224
Ar-Ramly,Nihayat al-Muhtaj, Cairo : Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t., hlm. 362.
248
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
225
Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah dan Ditbinbapera, 1998, hlm. 65.
249
Bab III
250
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
226
M. Yahya Harahap, “Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan”, Majalah
Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996, hlm. 24.
227
I b i d.
251
Bab III
Kasus Pertama
Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki, cucu dari anak
laki-laki dan seorang anak perempuan, serta saudara laki-laki
kandung, dan harta warisan Rp. 180 juta.
• Ayah : 1/6
• Anak laki-laki : asabah
• Cucu dari anak laki-laki : asabah
• Anak perempuan : asabah bil ghairi
• Saudara laki-laki kandung : mahjub karena ada anak.
Pembagiannya :
Asal masalah :6
• Ayah : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta
• Anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta
• Cucu dari anak laki-laki : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta
• Anak perempuam : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta +
: 18 jumlah = Rp.180 juta
Dari contoh ini, bila diterapkan secara tekstual
plaatsvervulling, maka ahli waris pengganti adalah termasuk
golongan asabah dan dalam suatu kewarisan, bisa jadi bagian ahli
waris pengganti (cucu) ternyata lebih besar dari bagian yang
diperoleh anak perempuan pewaris yang masih hidup akan
mendapat separoh dari cucu. Kalau ahli waris yang diganti itu anak
perempuan, maka ia akan mendapat bagian seperti anak
perempuan. Hal ini tentu tidak adil dan harus dicari jalan yang
terbaik.
Kasus Kedua
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, seorang
cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang cucu perempuan
dari anak perempuan dengan harta warisan 7 milyar, dengan
252
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
253
Bab III
228
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982, hlm.
43.
254
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
255
Bab III
229
Djojodigoeno dan Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middle Jawa, (terj),
1942, t.tp. hlm. 12.
256
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
257
Bab III
258
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
230
Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhokseumawe :
Nadiya Foundation, 2003, hlm. 78.
231
A. Halim Tosa, Praktek Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Banda Aceh :
Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996, hlm 25.
232
Mohammad Said, Adat Aceh, Banda Aceh : P &K, 1980, hlm. 19,
259
Bab III
yang dimiliki oleh orang tua si anak yang sudah meninggal tadi
dengan keberadaan cucu (dalam hal ini keberadaan hubungan
kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorag cucu ini akan terhijab
oleh keberadaan saudara laki-laki dan perempuan si anak yang
meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titih atau
putoh tutu. 233 Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi
atau jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang
ayah meninggal, maka terputuslah hubungan (khususnya
hubungan penyebab) kewarisan antara kakek dan cucu.
Meskipun demikian, Islam memandang kemuliaan dan
keadilan bagi cucu atau anak yatim yang ditinggalkan orang
tuannya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan
sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.
Selain itu dalam aturan adat Aceh, sang ulama yang menjadi saksi
dalam pembagian harta warisan tersebut, akan mendapat sedikit
bagian yang dikenal dengan istilah hak reheung (hak menanti dan
menyaksikan).234 Pemberian yang diberikan kepada anak yatim
tersebut (cucu) dan ulama ini tersebut, bukanlah disebut warisan,
akan tetapi hibah. Umumnya, jumlah yang diberikan kepada cucu
atau ulama tidak melebihi dari sepertiga (1/3) harta warisan dan
umumnya telah mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang
berhak.
Praktik hukum kewarisan adat Aceh, jelas terlihat
pandangan ganda dalam persolan pergantian tempat ahli waris
ini. Pada satu sisi para ulama Aceh menolak konsep pergantian
tempat ahli dengan memberlakukan konsep patah titi, namun
pada sisi lain praktik masyarakat cenderung memberikan sebagian
harta yang berasal dari harta warisan si kakek kepada sang cucu
233
I b i d.
234
Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 119.
260
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
261
Bab III
262
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Allah telah menetapkan aturan main (rule of game) bagi
kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan itu dituangkan dalam
bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang
tingkah laku manusia secara sederhana adalah syari'ah atau
hukum syara' yang sekarang ini disebut hukum Islam (Islamic Law).
Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di
dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun
di akhirat kelak. Diantara hukum tersebut ada yang tidak
mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan ada juga
yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan didunia layaknya
sanksi hukum pada umumnya. Ada pula sanksi yang tidak
dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhirat kelak dalam
bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut.
Segi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat
kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk
hidup, terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup
lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri
untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut,
Allah menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu, yaitu
nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk
memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena itu ia
263
Bab III
235
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 2
236
Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 2002, hal.
92
264
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
265
Bab III
Pengertian Wasiat
Secara etimologi, kata wasiat berasal dari bahasa Arab
(washiyyatu), yang mempunyai beberapa arti yaitu “menjadikan,
menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lainnya”. Secara terminologi wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat
sesudah orang yang berwasiat meninggal. Secara garis besar
wasiat merupakan penghibaan harta dari seseorang kepada orang
lain, atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang
tersebut. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat
adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan
wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut
imbalan atau tabarru'. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa
pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para
ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan
wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya
kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan
kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang
pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang
yang menyatakan wasiat tersebut.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, wasiat diartikan sebagai
suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat. Menurut
asal hukumnya, wasiat merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apapun.
Karenanya, tidak ada dalam syari’at Islam suatu wasiat yang wajib
dilakukan dengan jalan putusan hakim. 237
237
Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2001, hal :273.
266
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
238
Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah Masalahnya,
Surabaya: Al ihlas. 1984, hal. 60
239
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 63
267
Bab III
240
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.71
241
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 2000, Jilid 6, hal.1930 ]
242
Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media
Pratama,1997, hal. 163]
243
A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Amrullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal.
65
268
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Artinya;
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-
Baqarah: 180). Ma'ruf ialah adil dan baik dan wasiat itu tidak
melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal.
Kata wasiat dalam Al-Baqarah ayat 180 tersebut di atas
merupakan ayat yang paling lengkap berkaitan dengan wasiat, Al-
Baqarah ayat 180 tidak menjelaskan tentang kesaksian pada waktu
berwasiat, padahal jika tidak di lakukan di depan saksi akan
menimbulkan masalah di kemudian hari, untuk itu dalam Al-
Maidah ayat 106 mengatur tentang persaksian, baik saksi itu
beragama Islam ataupun nonmuslim,
Dalam surat Al-Maidah ayat 106 disebutkan:
269
Bab III
Artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau
dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu
tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu
mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-
ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini
harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia
karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian
Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-
orang yang berdosa".
Dalam diskursus, pengalihan harta melalui wasiat
merupakan kehendak Allah untuk mewujudkan kemaslahatan
hidup bagi manusia baik terhadap individu maupun komunitas,
maka diaturlah wasiat yang isinya memberikan legalisasi terhadap
pemilikan atau pemberian manfaat terhadap harta benda yang
dikaitkan dengan waktu setelah kematian seseorang serta
dilakukan secara sukarela kepada orang lain supaya dapat ikut
memanfaatkan harta kekayaan itu.
Para Ulama’ berbeda pandangan terhadap makna surat Al-
Baqarah ayat 180. Perbedaan ini terletak pada penilain apakah ayat
tersebut muhkamat atau mutasyabihat, dengan adanya perbedaan
ini akan berdampak pada kandungan atau isi ayat tersebut.
Pendapat ibnu Abbas, Al- Hasan Al- Basri Taus Masruq Al- Dahhaq,
mereka berpendapat bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan
para kerabat yang memperoleh harta warisan telah dihapus,
sedangkan mereka yang tidak mendapatkan harta warisan tetap
memikul wasiat yang wajib. Hal ini karena ayat tersebut mencakup
keduanya, kemudian mereka yang mendapatkan warisan
270
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
244
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Jakarta: Pustaka Imami, 1990, hal.452.
271
Bab III
()
Artinya:
“Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah
menjenguk saya waktu haji wada’ karena sakit keras yang saya alami
sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata kepada
beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana
engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak
harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan
satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2/3 dari
harta saya? Beliau menjawab “Tidak” saya mengatakan lagi
bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau
menjawab “Tidak” sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan,
sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik
dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun
yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala
karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu”.(HR. Muslim)
272
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
245
Rahmad Budiono, 1999:24, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti
273
Bab III
246
Wahbah Al Zuhaiyliy, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al
Fikr.h,1989, hal.122
274
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
275
Bab III
247
ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth, Kifayatul
Ahyar,Bandung, Syirkatul Ma’arif. 35,
276
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
248
Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.
Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 26
249
Hasbi Ash-Shiddiqy,Op. Cit., Hal. 277.
277
Bab III
250
Rahmad Budiono, Op. cit., hal. 28.
278
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
279
Bab III
280
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
281
Bab III
251
Ibnu Rusyd, Op. cit. hal. 497.
282
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
283
Bab III
284
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
285
Bab III
Penutup
Wasiat wajibah merupakan tindakan ikhtiyariyyah yang
dilakukan penguasa atau hakim atau lemabaga yang mempunyai
hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia yang
diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena
adanya suatu halangan syara’. Terhadap kerabat yang tidak
menerima harta waris karena terhalang syara’, maka mereka diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
pewaris.
Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang
kehilangan haknya karena halangan syara’, seperti anak angkat,
perbedaan agama dan anak zina tidak diketemukan sebuah
rujukan yang soreh dalam Al Qur’an dan hadits, tetapi menjadi
bagian dari maslah ijtihadiyyah.
Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat
wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama
yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari
prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran
Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan
banyak hadits. Perasaan kasih sayang yang terjalin dalam satu
keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui
wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada
manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan,
menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi
terciptanya kerukunan dan ketentraman keluarga.
286
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Daftar Pustaka
Ali Ash-Shobuni, Fiqh Mawaris, Bairut: Daar Al Fikr, 1990
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 2000, Jilid 6.
Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah
Masalahnya, Surabaya: Al ihlas. 1984.
A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam
Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra,
2001.
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Surabaya: Pustaka Imami, 1990
ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth,
Kifayatul Ahyar,Bandung, Syirkatul Ma’arif, 1993
Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,1999
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikry, 1983
Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta:
Gaya Media Pratama,1997
Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul
Fikr, 2002
________ , Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al
Fikr.h,1989
287
Bab III
288
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Kewarisan secara bahasa merupakan perpindahan sesuatu
dari seseorang kepada seseorang lainnya. Sedangkan secara
terminologi syar’i, kewarisan adalah perpindahan kepemilikan dari
seseorang yang meninggal (mayit) kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik yang dimiliki tersebut berupa harta, atau hak-
hak kebendaan dan non-kebendaan lainnya.252 Secara garis besar,
kewarisan dilakukan karena beberapa sebab yaitu hubungan
kekerabatan nasab, hubungan pernikahan yang sah, dan hubu-
ngan kekerabatan hukmiyah (pembebasan budak).253
Mendiskusikan kedudukan waris anak di luar nikah tentu
dimulai dengan pembahasan tentang anak di luar nikah terlebih
dahulu, dan kemudian membicarakan status kewarisan yang
dimilikinya. Fiqh Islam dengan beberapa variannya dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) telah memunculkan ketentuan tentang anak di
luar nikah. Demikian pula, dalam praktiknya, pengadilan dan
masyarakat memiliki ketentuan tertentu untuk menyebut anak di
luar nikah. Setelah pembahasan ketentuan yang jelas dari Fiqh,
KHI, praktik di pengadilan dan masyarakat tentang anak di luar
nikah, baru kemudian dibicarakan ketentuan masing-masing
tentang kewarisan anak di luar nikah.
252
Muhammad ‘Ali ash-Shabuniy, al-Mawaris fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah fi dhau’
al-KItab wa as-Sunnah, cet. III (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985), hlm. 31-32.
253
Ibid., hlm. 6.
289
Bab III
254
Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun
Xxv No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-
majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4.
255
Ibid.
290
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
259
256
Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984),
juz X, hlm. 532.
257
Lihat Al Mabsuth juz XVII hlm. 154, Asy-Syarh al-Kabir juz III, hlm. 412, Al-
Kharsyi juz VI, hlm. 101, Al-Qawanin hal: 338, dan Ar-Raudlah 6/44 yang dikutip dari Taisiril
Fiqh juz II, hlm. 828 dalam http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasil-
hubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl. 15.52.
258
Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin Syatha (Sayyid Bakri Syatha), I’anah
ath-Thalibin, Syarh Fath al-Mu’in, (Free software Maktaba Shameela), juz II, hlm. 128.
259
Hadits ini diriwayatkan oleh banyak rawi dan dimuat di dalam beberapa kitab
Hadits, antara lain Riwayat ‘Aisyah di dalam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mausu’ah Hadits an-
Nabawi asy-Syarif, edisi II, Free Program oleh Islamspirit.com), No. Hadits 1948, 2105, 2289,
2396, 2594, 4052, 6368, 6384, 6431 dan 6760. As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-
Kahlani tsumma ash-Shan’ani mengutip Ibn ‘Abd al-Barr bahwa hadits ini diriwayatkan oleh
sekitar 20 orang sahabat, lihat As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma
ash-Shan’ani, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-Maram (Semarang: Maktabah Toha Putera,
t.th), juz. III, hlm. 210.
291
Bab III
260
As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma ash-Shan’ani,
Subul as-Salam…, juz. III, hlm. 213.
261
Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun
XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-
majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4
292
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
262
262
Al-Qur’an surat an-Nahl/16 ayat 72.
293
Bab III
265
263
As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.),
majlad II, hlm. 357-358.
264
Al-Qur’an surat al-Ahqaf/46 ayat 15
265
Al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 233
294
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
266
KHI pasal 99, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh
Humaniora Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
1991/1992, hlm. 46-47.
267
Kompilasi Hukum Islam…, hlm. 47.
295
Bab III
268
Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan
(Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun
XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentang-
pengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-di-
majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-92-
95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 1.
269
Ibid, hlm. 6-7.
296
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
270
Ibid, hlm. 5-6.
297
Bab III
271
Ibid, hlm. 6.
272
Lihat http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses tanggal
23 juni 2011, pkl 21.09 wib, hlm. 1-3.
298
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
273
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm. 68, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali”, Tesis Magister pada Program Studi
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006, hlm. 17-18.
274
Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …,
hlm. 16.
275
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat …, hlm. 100, yang dikutip oleh Sri
Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 20-23.
299
Bab III
276
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 14-15.
277
Ibid.
278
Soerojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 1983),
hlm. 127, dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat …, hlm. 24.
279
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat …, hlm, hlm. 15-16.
300
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
280
Hasanayn Muhammad Makluf, Al-Mawaris fi asy-Syari’at al-Islamiyyah, (t.tp:
Matba’ al-Madaniy, 1996), yang dikutip oleh Chatib Rasyid, “Menempatkan Anak Yang Lahir
Di Luar Nikah Secara Hukum Islam”, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005 M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret
2009, dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl
15.35, hlm. 4.
301
Bab III
281
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (free program Mahtabah
Syamilah 15 gb), juz X, hlm. 383.
282
Anak mula’anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang diingkari
oleh suaminya dengan dikuatkan dengan sumpah li’an, maka nasab dengan ayahnya
terputus, dan semua konsekuensi perdatanya hanya dihubungkan dengan garis ibunya,
lihat As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah …, majlad II, hlm. 276-277 dan dan an-Nawawiy, Al-
Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(free program Mahtabah Syamilah 15 gb), Bab Mirats al-
‘Ashabah, juz XVI, hlm. 10.
283
Al-Bahr ar-Ra’iq (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Kitab al-Fara’id, juz
VIII, hlm. 574.
284
Fatawa al-Baghdadi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Nasab al-
Walad, juz II hlm. 852.
285
Syarh az-Zarkasyi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Masa’ilun
Syatta fi al-Fara’id, Juz II, hlm. 278
302
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
288
Senada dengan riwayat hadits tersebut, diriwayatkan juga dari
Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas bahwa anak zina tidak
diperkenankan memperoleh kewarisan menurut Islam dengan
pernyataan sebagai berikut:
289
Dengan demikian menjadi sebuah ijma’ dan kesepakatan di
kalangan ulama fiqh Islam bahwa posisi kewarisan anak di luar
nikah (anak zina dan anak mula’anah) hanya bisa dihubungkan
kepada ibunya dan keluarga ibunya.290
2. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut KHI
Seiring dengan ketentuan Fiqh dan sebagai
konsekuensi lanjutan dari pasal 100 KHI tentang anak di luar
286
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 532.
287
Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari
kakeknya, di salah satu sanadnya terdapat nama Abu Muhammad Isa bin Musa al-Qursyi ad-
Dimasyqi yang dinilai tidak masyhur, lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66 yang dikutip
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 533.
288
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, lihat lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66
yang dikutip Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 533.
289
Nailul Authar (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Miratsul Ibn al-
Mula’anah wa az-Zaniyah min Huma, juz VI, hlm.127.
290
Ibid.
303
Bab III
291
Pasal 186 KHI, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, hlm. 77.
292
Chatib Rasyid, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum
Islam… dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl
15.35, hlm. 5.
304
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
293
Putusan Mahkamah Agung tgl. 18 - 3 - 1976 No. 889 K/Sip/1974. dalam
Perkara: Muchtar d/h Lo Mjuk Sen melawan Na Teng Lian, Na Teng Hin Na Teng Nie dan
kawan-kawan, dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH.; 2. R. Saldiman Wirjatmo
SH.; 3. Indroharto SH. Yang dikutip dalam http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm,
diakses tgl 23 Juni 2011, pkl 20.47 WIB.
305
Bab III
294
Hal ini menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 6 Oktober
1937 yang mengatakan bahwa “anak luar kawin menurut hukum adat tetap berhak atas
harta warisan yang ditinggalkan oleh keluarga ibunya sendiri. Tetapi hak waris anak luar
kawin terbatas pada harta warisan keluarga bapak bioologisnya yang berasal dari harta
pencaharian bukan harta pusaka”, lihat oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 52-53.
295
Wahyu Afandi, Aneka Putusan Pengadilan (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 289,
yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat
…, hlm. 53.
296
Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat
(Bandung: Alumni, 1981), hlm. 97, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar
Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 62.
306
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
307
Bab III
299
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999),
hlm. 7 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat …, hlm. 27.
300
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981),
hlm. 151, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum
Waris Adat …, hlm. 27.
301
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987),
hlm. 79, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris
Adat …, hlm. 30-31.
308
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
302
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), hlm. 141, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut
Hukum Waris Adat …, hlm. 31-32.
303
Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah
bulan Juni tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin
Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 44.
304
Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa
Tengah bulan Maret tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar
Kawin Menurut Hukum Waris Adat…, hlm. 41.
309
Bab III
310
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
dan meyakinkan. Anak yang tidak sah atau anak di luar nikah
yang sah, tidak berhak saling mewaris dengan ayah
biologisnya atau suami ibunya dan hanya berhak saling
mewaris dengan ibunya atau kerabat/keluarga ibunya.
3. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di pengadilan
adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut
hukum positif dan tidak bisa dibuktikan secara hukum.
Dengan pertimbangan hukum positif pula, anak di luar nikah
tidak bisa saling mewaris dengan ayah biologisnya atau suami
ibunya dan hanya bisa saling mewaris dengan ibunya atau
keluarga ibunya. Namun demikian, dalam kasus tertentu,
berdasarkan pertimbangan hukum adat tertentu, pengadilan
bisa menetapkan pemberian warisan kepada anak luar nikah
oleh ayah biologisnya.
4. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di masyarakat
adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut
hukum agama, hukum negara dan atau hukum adat yang
berlaku setempat. Secara umum, anak di luar nikah menurut
masyarakat hanya bisa saling mewarisi dengan ibunya atau
kerabat ibunya. Namun, dengan pertimbangan lokal,
berdasarkan musyawarah keluarga atau musyawarah adat,
anak di luar nikah bisa saling mewaris dengan ayah
biologisnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
al-Bukhari, Shahih Bukhari, Mausu’ah Hadits an-Nabawi asy-Syarif,
edisi II, Free Program oleh islamspirit.com.
al-Bahr ar-Ra’iq, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.
Fatawa al-Baghdadi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.
311
Bab III
312
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
313
Bab III
http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses
tanggal 23 juni 2011, pkl 21.09 wib.
Junaedi, Akhmad, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar
Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna
Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Xxv No.
296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam
http://pa-
kotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=ar
ticle&id =74:kajian-tentang-pengakuan-anak-di-luar-
perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-
wahyudi-di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-
296-juli-2010-hlm-92-95&catid=10:artikel&Itemid=110,
diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib.
Rasyid, Chatib, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara
Hukum Islam”, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005
M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009,
dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/
diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35.
314
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Diskursus mengenai kewarisan merupakan wacana yang
senantiasa menarik dan menantang untuk dibicarakan, di samping
karena variasi sistem kewarisan yang relatif banyak, juga karena
prinsip keadilan menjadi “taruhan” dan pertentangan dalam
pembagiannya. Indonesia memiliki sistem kekeluargaan (family
kinship) yang terdiri dari: patrilineal, matrilineal, dan bilateral di
mana sistem kekeluargaan ini akan melahirkan berbagai macam
sistem kewarisan yang mengikut kepada sistem kekeluargaan
yang dianutnya.
Agama yang diakui di Indonesia juga menelorkan berbagai
sistem kewarisan, sementara Islam sendiri juga memiliki sistem
kewarisan yang berfariatif, sistem kewarisan Sunni, Syi’ah, dan
Kompilasi Hukum Islam, termasuk beberapa ketentuan kewarisan
Islam yang mengalami perubahan dan pergeseran melalui
keputusan Mahkamah Agung yang disebut yurisprudensi. Di
samping itu, juga ada perbedaan mengenai hukum materiil
kewarisan yang diterapkan antar Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama.
Tingkat variasi yang tinggi dalam sistem kewarisan yang
diberlakukan oleh masyarakat Indonesia ini, di samping
memberikan banyak alternatif bagi mereka dalam memilih sistem
kewarisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan
kewarisan, juga berimplikasi kepada keraguan dan kebingungan
315
Bab III
305
Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), 4929.
316
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Artinya:
“… dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
306
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Vol. 5 ( Damaskus: Dâr al-Fikr,
1985), 5.
307
Ibid, 5.
308
Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42
(Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004), 120
317
Bab III
309
“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Saling memberilah
hadiah (hibbah) kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”.
Dan sabda Rasulullah:
310
“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah
seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah
dikeluarkannya”
Selain itu, para ulama juga telah sepakat mengenai
dianjurkannya memberikan hibbah sebagai suatu
pengejawantahan dari perintah Allah untuk senantiasa tolong
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al-Mâ’idah: 2),311
karena hibbah ini memiliki implikasi yang bagus dalam pergaulan
antara sesama Muslim di mana bisa menebarkan rasa kasih sayang
dan cinta kasih di antara mereka, di samping hikmah-hikmah lain
yang timbul dari pemberian hibbah ini.
309
Abû Bakar ibn ‘Ali al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2002), 280.
310
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr
al-Thaibah, 2005), 444.
311
Lihat Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, 7. Dan Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah
…Vol. 42, 121
318
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Pengertian Wasiat
Kata washiyyah, secara literal merupakan bentuk kata
benda (mashdar) dari kata washa yang kemudian mendapatkan
tambahan alif di depannya menjadi ausha atau di-tadl‘if-kan
menjadi washsha yang berarti ‘ahida atau mempercayakan,
memberikan perintah atau arahan, mendelegasikan, atau
memberikan kekuasaan. Bentuk mashdar dari ausha ini selain
washiyyah adalah washâh, washâyah, dan wishâyah.312 Washiyyah
juga bisa berarti apa yang diwasiatkan dan disebut wasiat karena
berkaitan erat dengan permasalahan kematian.313
Sedangkan secara terminologis, washiyyah adalah akad
kepemilikan yang implementasinya disandarkan kepada setelah
kematian secara suka rela, baik terhadap harta benda atau
manfaat.314 Implementasi washiyyah yang dilakukan setelah
pewasiat (al-mûshi) meninggal dunia ini merupakan poin
pembeda dengan bentuk-bentuk karitas yang lain, seperti hibbah,
‘athiyyah, shadaqah, dan hadiyyah.
Para ulama ada yang mendefinisikan secara lebih luas,
yaitu segala perbuatan yang diwasiatkan pewasiat yang
diimplementasikan setelah si pewaris meninggal dunia, seperti
wasiat kepada seseorang untuk menikahkan puterinya, wasiat
mengenai bagaimana dia dimandikan, atau wasiat kepada
seseorang untuk menjadi imam shalat dan lain sebagainya.315
Washiyyah juga bisa berkenaan dengan pembebasan dari
312
Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), 4853.
313
Ibid, 4854.
314
Lihat Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah…, Vol. 43, 221. Dan Wahbah al-Zuhailî, al-
Fiqh… Vol., 8.
315
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, Vol. 8, 9.
319
Bab III
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
(QS. Al-Baqarah; 180).
316
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…. , Vol. 8, 9-10.
320
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
317
“Ali ibn Muhammad menceritakan kepada kami, Waki’
menceritakan kepada kami dari Thalhah ibn Umar dari Atha’ dari
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Sesungghnya Allah memerintahkan kamu untuk bersedekah pada
waktu kematianmu sepertiga hartamu sebagai tambahan kebaikan
bagi amal perbuatanmu”.
Sedangkan berdasarkan ijmak, para ulama sepakat atas kebolehan
melakukan wasiat. Dan secara logika, wasiat penting dilakukan
oleh setiap orang untuk memperbanyak kebaikan dan perbuatan
yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.318
A. Hibah dan Wasiat Perspektif Fiqh
1. Hibah Perspektif Fiqh
Hibbah sebagaimana bentuk-bentuk karitas yang lain
merupakan perbuatah kebaikan yang ditujukan untuk
menguatkan kasih sayang dan rasa cinta kasih antara sesama
manusia, selain untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Dalam melakukan hibbah, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu: rukun hibbah dan syarat-syaratnya, hukum
hibbah dan hibbah kepada anak.
a. Rukun Hibbah dan syarat-syaratnya
Para ulama sepakat bahwa rukun hibah terdiri dari tiga
unsur, yaitu: 1) dua orang yang melakukan akad hibah, yaitu orang
yang menghibbahkan (al-wâhib) dan orang yang menerima hibah
317
Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî al-Syahîr bi Ibn Mâjah, Sunan
Ibn Mâjah (Riyâdl: Maktabah al-Ma‘ârif, 1417H.), 460.
318
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …., Vol. 8, 11.
321
Bab III
319
Mengenai orang yang dalam kondisi maradl al-maut ini, mazhab Hanbali
menganalogikannya dengan orang yang berada di medan pertempuran, seseorang yang
sedang berjuang melawan ombak besar, orang yang berada di daerah yang sedang dilanda
penyakit mematikan (al-tha‘ûn), perempuan hamil yang sedang proses melahirkan dan
orang yang sedang menghadapi hukuman mati (qishâsh).Lihat Wuzârah al-Auqâf wa al-
Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42 (Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-
Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004), 121-123.
320
Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah …, Vol. 42, 123.
322
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
43
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan…”321
Ayat ini menunjukkan bahwa perkataan yang diucapkan
oleh orang yang sedang mabuk adalah tidak menimbulkan
keraguan di dalamnya sebagaimana perkataan yang diucapkan
oleh orang yang sadar. Oleh karena itu, mengingat bahwa orang
yang mabuk juga terkena khithâb syar‘î, maka sifat mabuk tersebut
tidak menghilangkan kompetensinya sebagai mukallaf, sehingga
segala tindakannya adalah sah, demikian juga perkataannya.
Sesuatu yang hilang dari orang yang mabuk adalah kehendaknya,
namun perkataannya tetap dianggap sah.322
321
Departemen Agama RI, al-Qur’an…., 85.
322
Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42, 124
323
Bab III
323
Ibid, 124-125
324
Ibid, 125
324
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
325
Ibid, 125-126
326
Ibid, 134
327
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 26
325
Bab III
328
330
“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah
seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah
dikeluarkannya”
c. Hibah orang tua kepada anaknya
Para ulama sepakat bahwa hibah kepada anak dianjurkan
untuk tidak berat sebelah antara anak yang satu dengan anak
328
Ali ibn ‘Umar al-Dâruquthnî, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut: Mu’assasah al-
Risâlah, 2004), 461.
329
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 26
330
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr
al-Thaibah, 2005), 444.
326
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
331
“Dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:
samakanlah pemberian di antara anak-anak kalian, jika lebih
mengutamakan seseorang, niscaya saya akan melebihkan
perempuan”
Dan hadits Rasulullah:
332
331
Abû Bakar ibn ‘Ali al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2002), 294.
332
Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim
(Riyâdl: Dâr Thaibah, 2006), 763.
327
Bab III
333
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 24-25
328
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
335
“Dari Thawus bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tidak boleh bagi
orang yang telah memberikan hibah menarik kembali apa yang telah
dihibahkan, kecuali hibah yang diberikan orang tua kepada
anaknya”
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa menarik
hibah adalah diperbolehkan selama ada alasan yang bisa
dibenarkan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi dengan
mendasarkan pendapatnya kepada hadits:
336
334
Ibid), 25
335
al-Baihaqî, al-Sunan …, Vol. 6, 298
336
al-Dâruquthnî, Sunan… Vol. 3, 461.
329
Bab III
337
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 8, 7
330
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
338
Departemen Agama RI, al-Qur’an …, 27.
339
Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, Vol. 8, 7-8.
331
Bab III
340
Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3 (Beirut: Dâr
Ibn Hazm, 1997), 196.
332
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
341
“Dari Sa’d ibn Abî Waqâsh ra. berkata: Nabi saw. pernah
menjenguk saya ketika saya tinggal di Mekkah. Dia
mengungkapkan ketidaksukaannya apabila meninggal
dunia di wilayah di mana dia berhijrah seraya berkata:
Semoga Engkau dirahmati oleh Allah, wahai Ibn ‘Afrâ’ (Sa’d
ibn Abî Waqâsh). Kemudian saya bertanya kepada
Rasulullah: Bolehkah saya mewasiatkan semua harta saya?
Rasulullah menjawab: Jangan. Saya bertanya lagi:
Bagaiamana apabila separuhnya? Dia menjawab: Jangan.
Saya bertanya kembali: bagiamana apabila sepertiganya?
Dia menjawab: Sepertiga! Sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan para ahli
warismu dalam kondisi kaya adalah lebih baik daripada
engkau meninggalkan mereka dalam kondisi papa yang
meminta-minta di hadapan orang-orang”.
Berdasarkan kedua hadits di atas, maka institusi wasiat
yang telah ada sebelum ketentuan-ketentuan al-Qur’an yang
mengatur pembagian warisan (surat al-Nisâ’ ayat: 7-13 dan 176)
tidak dihapus secara total, namun ada pembatasan pemberlakuan
wasiat tersebut, yaitu: tidak boleh wasiat kepada ahli waris dan
wasiat kepada orang lain hanya diperbolehkan maksimal sepertiga
harta. Ketentuan ini diberlakukan dalam rangka lebih
mengutamakan kepentingan anak-anak terlebih dahulu daripada
341
Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Shahîh, Vol. 2
(Cairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1403H.), 287 dan lihat juga Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-
Bârî …,Vol. 6, 674.
333
Bab III
342
Departemen Agama RI, al-Qur’an…., 78
343
David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law
of Inheritance (London: University of California Press, 1986), 10-11.
334
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
344
Departemen Agama RI, al-Qur’an …, 78
345
David S. Powers, Studies…, 12
335
Bab III
346
Ibid, 13-14.
336
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
namun tidak persis dua berbanding satu, dan ada juga yang
menghibahkan hampir semua hartanya secara sama antara laki-
laki dan perempuan dan menyisakan sedikit harta warisan yang
akan dibagi secara farâidl, ada yang memberikan hibah lebih
banyak kepada anak perempuan dengan harapan ketika
pembagian warisan secara farâidl nanti bagian anak laki-laki dan
anak perempuan sama atau tidak berbeda jauh.
Kondisi ini juga didukung oleh hasil penelitian disertasi di
Universitah Padjadjaran Bandung yang dilakukan oleh Otje Salman
pada tahun 1992 dengan judul “Pelaksanaan Hukum Waris di
Daerah Cirebon Dilihat dari Hukum Waris Adat dan Hukum Waris
Islam”.347 Responden yang diteliti dalam penelitian ini, dari sisi
agama: 98,62% beragama Islam, sementara sisanya beragama
non-Islam.348 Dari total responden, mereka yang melakukan
pembagian warisan secara farâidl murni hanya berjumlah 26,5%
sementara yang lain menggunakan hukum adat, hukum barat,
atau percampuran antara berbagai hukum tersebut.349 Sementara
mengenai kapan pelaksanaan pembagian harta tersebut: 45,45%
dilakukan ketika “pewaris” masih hidup dan 54,55% ketika
“pewaris telah meninggal”.350 Pembagian harta ketika pemilik
harta masih hidup yang jumlahnya 45,45% tersebut berarti
pembagian hartanya dilakukan dengan cara hibah, sedangkan
pembagian harta ketika pemilik telah meninggal yang jumlahnya
54,55% berarti pembagiannya dilakukan dengan cara wasiat atau
waris.
347
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung:
Penerbit Alumni, 1993)
348
Ibid, 92
349
Ibid, 100
350
Ibid, 99
337
Bab III
351
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta:
Tintamas, 1976), 2
338
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
352
Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah
(al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwâmah, al-Ta’adudiyyah, al-Libâs) (Damaskus: al-Ahâlî, 2000), 222.
339
Bab III
waris dan ayat wasiat. Firman Allah: (
) dianggap sebagai ayat waris, padahal ayat tersebut
adalah ayat wasiat, karena nashîb adalah bagian manusia
dalam wasiat, sementara hadl adalah apa yang diterimanya
dalam waris.
4. Tidak membedakan antara keadilan umum yang terdapat
dalam ayat waris dan keadilan khusus dalam ayat wasiat, di
mana yang umum tidak boleh menutupi yang khusus.353
Syahrûr merasa tidak sependapat terhadap pendapat
mayoritas ulama yang menomor duakan posisi wasiat setelah
waris mengingat banyaknya penggunaan kata wasiat daripada
waris dalam al-Qur’an. Artinya wasiat harus lebih diutamakan
daripada waris, karena wasiat berisi keadilan khusus dalam
pembagian harta “warisan” yang harus diprioritaskan daripada
keadilan umum yang terdapat dalam ayat waris. Ketentuan wasiat
inilah yang lebih bisa merealisasikan keadilan dalam pembagian
“warisan” di masyarakat atau keluarga tertentu, mengingat setiap
keluarga atau masyarakat memiliki relasi dan tanggung jawab
dalam keluarga yang berbeda antara keluarga atau masyarakat
satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, perilaku masyarakat atau keluarga untuk
melakukan pembagian “warisan” dengan menggunakan institusi
hibah atau wasiat merupakan didorong oleh motif alamiah dalam
rangka menegakkan keadilan dalam pembagian harta “warisan”
yang disesuaikan dengan relasi dan tunggung jawab masing-
masing individu dalam keluarga dan masyarakat yang tentunya
353
Ibid, 222-223.
340
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
354
Lihat Ahmad Imam Mawardi, “Socio-Political Background of the Enacment of
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Tesis, McGill University, Montreal, 1998, 16
355
Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah…, Vol. 43, 226
341
Bab III
342
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
343
Bab III
356
http://www.badilag.net/index.php/statistik-perkara
357
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)
344
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
345
Bab III
Daftar Pustaka
Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3
(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997)
al-Baihaqî, Abû Bakar ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002)
al-Bukhârî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl, al-Jâmi‘ al-
Shahîh, Vol. 2 (Cairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1403H.)
al-Dâruquthnî, Ali ibn ‘Umar, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut:
Mu’assasah al-Risâlah, 2004)
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV.
Penerbit Jumanatul Ali Art, 2007)
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith
(Jakarta: Tintamas, 1976)
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6,
(Riyâdl: Dâr al-Thaibah, 2005)
Ibn Mâjah, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî al-
Syahîr, Sunan Ibn Mâjah (Riyâdl: Maktabah al-Ma‘ârif,
1417H.)
Mandhûr, Ibn, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.)
Mawardi, Ahmad Imam, “Socio-Political Background of the
Enacment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Tesis,
McGill University, Montreal, 1998
Muslim, Abû al-Husain ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh
Muslim (Riyâdl: Dâr Thaibah, 2006)
Powers, David S., Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the
Islamic Law of Inheritance (London: University of California
Press, 1986)
346
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
347
Bab III
348
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Topik gharrawain dan musyarrakah yang diberikan kepada
penulis merupakan dua topik di antara beberapa topik yang
disumbangkan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam bidang fiqh
mawaris. Kedua topik ini merupakan bentuk-bentuk ijtihad yang
ditawarkan oleh umar yang menyimpang dari dzahir nash
al-Qur'an sebagaimana dipegangi jumhur ulama. Kedua topik ini
nantinya akan menunjukkan kepada kita bagaimana aya-ayat
al-Qur'an yang tergolong mufassar (rinci), seharusnya tidak
menerima ijtihad, dalam penerapannya ternyata menerima
ijtihad. Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan
dipandang memenuhi rasa keadilan oleh mayoritas ulama.
Masalah Gharrawain
Masalah gharrawain adalah dua macam kasus kewarisan
yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan bapak dan (2)
istri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut gharrawain, bentuk
tatsniyah (ganda) dari kata gharra’ (cemerlang) karena dua
masalah ini sangat populer bagaikan bintang yang cemerlang.358
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa gharrawain berasal dari
mashdar garrar (tipuan). Karena dalam masalah tersebut terjadi
penipuan kepada ibu. Sekalipun ibu disebut mendapatkan
sepertiga, sebenarnya ibu hanya diberi bagian seperenam atau
seperempat.
358
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet IV (Damaskus: Dar al-
Fikkr, 2004), X: 7788.
349
Bab III
359
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 238.
350
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
360
Ali ibnu Hazm az-Zahiri, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.), IX: 260.
351
Bab III
Dalam arti ibu mendapatkan 1/3 harta warisan yang
berhak diwarisi oleh kedua orang tua pewaris, bukan 1/3 semua
harta.
361
Muhammad as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H), XXIX:
144.
362
Ahmad ad-Dardiri, asy-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 461.
363
Muhyiddin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), XVI: 72
364
Abdullah ibnu Qudamah, al-Mughni ((Beirut: Dar al-Fikr, 1405), VI: 171-2.
352
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Menjadi tidak berguna. Dengan demikian, perbandingan
bagian yang diterima ayah dan ibu konsisten, 2 : 1, sesuai dengan
prinsip:
.
Bagian laki-laki sama dengan dua orang perempuan.365
Ibnu Abbas merupakan salah seorang sahabat yang tidak
menyetujui dua keputusan Umar tersebut. Menurutnya, ibu dalam
dua kasus tetap mendapatkan 1/3 dari keseluruhan harta warisan.
Argumentasi yang beliau kemukakan sebagai berikut:
1. Kalimat di-athaf-kan kepada sebagaimana
juga diathafkan kepadanya, sehingga berarti .
Dengan demikian kalimat berarti .
365
Wahbah, al-Fiqh al-Islami, X: 7788.
353
Bab III
3. Ibu itu ahli waris dzawil furudl sedangkan ayah ahli waris
ashabah (dalam masalah tersebut. Maka sesuai petunjuk Nabi
Muhammad SAW:
Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Sisanya
untuk laki-laki yang paling utama. (al-Bukhari:6351366; Muslim:
1615367)
Hendaknya ibu diberi bagiannya secara sempurna,
kemudian sisanya, sedikit atau banyak, diberikan kepada ayah.368
Ibnu Abbas tidak sendirian di kalangan sahabat. Ali bin Abi
Thalib menurut riwayat yang shahih yang diterima oleh Ibnu
Hazm, juga sependapat dengan Ibnu Abbas. Riwayat yang
menyatakan Ali setuju dengan pendapat Umar, menurut Ibnu
Hazm tidak shahih.
Di kalangan ulama mazhab sunni yang mendukung
pendapat Ibnu Abbas adalah Mazhab az-Zahiri. Mazhab az-Zahiri
beralasan karena Allah telah menetapkan bagian ibu 1/3 dan tidak
menurunkannya menjadi 1/6 kecuali kalau bersama dengan anak
atau saudara-saudara si mayit. Karena itu tidak boleh merubah
ketentuan tersebut kecuali ada sunnah yang diyakini
kevalidannya, padahal tidak ada sunnah maupun ijmak yang
merubahnya. Bagi az-Zahiri, ketika ibu bersama ayah dan
suami/istri, ia berhak mendapatkan 1/3 harta warisan, bukan 1/3
harta sisa suami/istri.
Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet III, (Beirut: Dar ibn
366
354
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
355
Bab III
369
Ibnu Hazm, al-Muhalla, IX: 260-262.
370
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 112-
3.
356
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
371
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia,cet. iv (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), 138.
357
Bab III
372
Wahbah, al-Fiqh al-Islami , X: 7789.
358
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
seorang suami istri dan ayah saja, baginya sepertiga sisa setelah
fardh suami (istri)....
Pasal 178 (2) KHI menetapkan: Ibu mendapatkan sepertiga
bagian sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-
sama dengan ayah.
Penulis juga menemukan putusan Pengadilan Tinggi
Agama Palembang Nomor 03/Pdt,G/2008/PTA.Plg yang mengikuti
pendapat Umar. Dalam pertimbangannya majelis hakim
menyatakan, bahwa dikalangan Faradhiyun atau Fuqaha Sunni
yang disepakati oleh Imam empat, kelompok Sunni menetapkan
hak bagian ibu adalah dari sisa bukan dari saham bila ibu
bersama dengan suami atau istri beserta bapak, masalah ini
disebut Gharrawain atau Al- Umariyatain, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 174 ayat (2) Kompilasi Hukum islam, sebab secara
teoritis dalam kasus diatas bila ibu diberi hak bagian saham/
fard, maka bagian ayah sebagai Ashobah bagiannya sangat kecil
hampir sama dengan bagian ibu atau lebih kecil.
Padahal seharusnya (yang adil) bagian ayah lebih besar
dari bagian ibu, sesuai prioritas keadilan bagi kedudukan ayah
yang dianggap lebih tinggi dari ibu. Kemudian dalam salah satu
keputusannya majelis hakim menetapkan hak bagian ahli waris
setelah dikeluarkan untruk anak angkat dengan Wasiat wajibah
sebagai berikut: Janda mendapat ¼ = 3/12 ; ibu mendapatkan
sepertiga sisa x ¾ = 3/12; Ayah mendapat ushubah 6/12.
Penyelesain Umar dalam kasus garrawain ini juga banyak
diajarkan di masyarakat. Buku-buku fiqh mawaris yang diajarkan di
Indonesia umumnya mendukung pendapat Umar yang diikuti
jumhur ulama dalam kasus garrawain. Sungguhpun demikian,
penulis menyarankan untuk memilih pendapat Ibnu Abbas dalam
masalah ini. Sebab pendapat Ibnu Abbas lebih sesuai dengan zahir
ayat dan masyarakat bilateral yang mayoritas di Indonesia.
359
Bab III
373
Muhammad Mustafa Syalabi, Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-Qanun,
(Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978), h. 168.
360
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
361
Bab III
374
Ibid. h. 169;
375
Muhammad Abu Zahrah, Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris (Kairo: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1963), h. 119.
376
Kalalah adalah pewaris yang mewariskan harta kepada garis menyamping,
bukan pada orang tua atau anak keturunannya atau ahli yang mewarisi harta dari garis
menyamping, bukan dari orang tua atau anak keturunannya. Dia, menurut tafsir Abu Bakar
362
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
“……Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaaan “kalalah”, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki
atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari
keduanya 1/6. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka
berserikat mendapat 1/3……”.
Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini, menurut kesepakatan
ulama klasik adalah saudara/i seibu.377
“ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak . Tetapi jika saudara perempuan itu dua
yang diikuti sahabat-sahabat dan para ulama mazhab, adalah orang yang tidak punya anak
dan ayah. Lihat Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir att-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405
H), IV: 283; Isma’il ibn Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), I: 461.
377
Tafsir ini berdasarkan qira’ah syadzdzah Sa’ad ibn Waqash dan juga tafsir Abu
Bakar. Lihat Tafsir Ibn Katsir, ibid.
363
Bab III
orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika
mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk
yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan..........”.
Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini menurut
kesepakatan ulama klasik adalah saudara kandung atau
sebapak.378 Saudara kandung/sebapak berdasarkan ayat ini
berkedudukan sebagai ashabah. Jika mereka digabung dengan
saudara seibu mendapatkan 1/3 maka kedudukannya akan
berubah menjadi dwawil furudl dan bertentangan dengan dzahir
ayat.
Seandainya kedudukan saudara kandung diisi oleh
saudara-saudara seayah, ulama klasik mengatakan bahwa mereka
sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa karena telah habis
diberikan kepada dzawil furudl dan tidak ada alasan untuk
digabungkan dengan saudara seibu karena mereka berasal dari
ibu yang berbeda.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, pendapat Umar dan
lain-lain lebih kuat dalilnya dan menyerupai dalil istihsan.
Sedangkan pendapat Ali dan kawan-kawan menyerupai qiyas.
Karena menurut qiyas zhahir anak-anak bapak tidak mendapatkan
apa-apa. Ini merupakan kesimpulan yang tidak baik dalam
pandangan manusia, juga dalam logika syar’i. Karena itu
diamalkan qiyas khafi, yaitu sifat yang dimiliki bersama oleh
saudara kandung dan saudara seibu dan mereka mewarisi sebagai
saudara seibu. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa saudara
kandung memiliki sifat sebagai saudara seibu.379
378
Ibid.
379
Ibid
364
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
380
Sajuti Thalib, pendukung Hazairin, menyatakan bahwa paham Sunni yang
memahami ayat 12 berlaku untuk saudara/I seibu dan ayat 176 berlaku untuk saudara/I
sekandung dan seayah sebagai paham yang ganjil. Sebab ayat 11 dan 12 turun pada tahun
IV H, sedangkan ayat 176 sebagai ayat terakhir tentang waris turun pada tahun V H, bahkan
ada yang mengatakan turun pada tahun V H. Menurutnya tidak wajar pengaturan hak
kewarisan saudara/I seibu setahun (bahkan ada yang mengatakan dua tahun) lebih dahulu
dari pengaturan hak kewarisan saudara kandung dan saudara seayah. Padahal masyarakat
Arab saat itu patrilinial, banyak poligami, sehingga saudara yang banyak tentunya saudara
sekandung atau seayah. Saudara seibu tentu jarang. Menurutnya iman sulit untuk
menerima kalau Allah yang maha bijaksana mengatur yang hampir tidak ada, saudara seibu,
jauh lebih dahulu dari hal yang umumnya terdapat dalam masyarakat, yaitu saudara
kandung dan saudara seayah. 380Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan, 146.
381
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith, cet VI
(Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), h. 55-6.
365
Bab III
382
Dzawul-qarabahdalam istilah Hazairin adalah orang yang menerima sisa harta
dalam keadaan tertentu. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam:
Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 178.
383
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 8-9.
384
Ibid. 56
385
Ibid. 7.
366
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
367
Bab III
386
Wahbah, al-Fiqh al-Islam , X: 7772.
368
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
387
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 213.
369
Bab III
388
Amir. Hukum Kewarisan, 61.
389
370
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media,
2004.
Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep
Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Bukhari, Muhammad ibn Isma'il . Shahih al-Bukhari, cet III. Beirut:
Dar ibn Katsir al-Yamamah, 1987.
Dardiri,Ahmad . asy-Syarh al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t..
Dimasyqi, Isma’il ibn Katsir. Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar al-Fikr, 1401
H
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal
Bimbingn Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama. Kompilasi Hukum Islam. 2002.
Fatchur Rahman. Ilmu Waris. cet. X. Bandung: Al-Ma'arif, t.t.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith.
cet VI. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982.
Muhammad Abu Zahrah. Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris. Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1963.
Muhyiddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr,
1996.1 Qudamah, Abdullah ibnu. al-Mughni. Beirut: Dar al-
Fikr, 1405.
Nisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj . Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ at-
Turats al-‘Arabi, t.t.
Sarakhsi, Muhammad. al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H.
Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
371
Bab III
372
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Aturan tentang kewarisan telah ditetapkan Allah melalui
firmanNya yang terdapat dalam al-Qur’an. Pada dasarnya
ketentuan Allah yang berkaitan dengan kewarisan tersebut jelas
maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan
penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun yang bersifat
merinci, disampaikan Rasulullah saw melalui haditsnya. Walaupun
demikian, penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran
dan pembahasan dikalangan para pakar hukum Islam yang
kemudian dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat
normative. Aturan tersebut kemudian ditulis dan diabadikan
dalam bentuk kitab fikih serta menjadi pedoman bagi umat
muslim dalam menyelesaikan permasalahannya yang berkenaan
dengan warisan.
Di Indonesia, aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi
hukum positif yang dipergunakan di Pengadilan Agama dalam
memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan
berkenaan dengan harta waris tersebut yang dituangkan dalam
Buku II Kompilasi Hukum Islam. Hanya saja materi hukum
kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut
masih perlu dilengkapi, diperbaiki, dan dikembangkan seiring
dengan temuan dan perkembangan baru dalam praktek di
pengadilan pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya.
373
Bab III
390
QS. 4:1 dan QS.49:13
391
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta:
Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal 382.
374
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin
laki-laki atau perempuan.392
Sehubungan dengan tidak dijelaskannya pusaka khuntsa
dalam al-Qur’an, para pakar hukum Islam berusaha dan berijtihad
untuk menghindari kevacuman hukum dalam penyelesaian
pusaka khuntsa ini.
Perspektif Fiqh
Masalah khuntsa ini banyak dibicarakan dalam kitab-kitab
fikih, karena meskipun khunsa mempunyai dua alat kelamin,
namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu, yaitu laki-
laki atau perempuan. Untuk itu, harus dipastikan kedudukan jenis
kelamin seorang khuntsa.
Jenis Kelamin Khuntsa
Dalam menetapkan seorang khuntsa itu sebagai laki-laki
atau perempuan, ulama klasik menempuh dengan dua cara:393
Pertama, yaitu dengan cara meneliti tempat keluarnya air
kencing; Cara ini merupakan cara yang disepakati para ulama
dalam menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin
khuntsa tersebut.394 Apabila khuntsa kencing melalui zakar maka ia
dianggap sebagai laki-laki dan karenanya dapat mewarisi
sebagaimana orang laki-laki. Dan apabila khuntsa kencing melalui
farj maka ia dianggap sebagai perempuan dan karenanya ia dapat
mewarisi sebagaimana orang perempuan. Riwayat seperti ini juga
392
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
hoeve, 1996), hal. 934
393
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482
394
Ibid, hal. 140
375
Bab III
didapat dari Ali, Mu’awiyah, Sa’id bin al-Musayyab, Jabir bin Zaid,
ahli Kufah dan lainnya.395
Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau
perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda
Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah
ditanya tentang kewarisan seorang anak yang mempunyai qubul
dan zakar. Ketika itu beliau sedang menimang anak khuntsa
Anshar. Sabdanya:
”Berikanlah warisan anak khuntsa ini (seperti bagian anak
laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama keluar
kencingnya.”
Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang
ditetapkan oleh Nabi SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena
hal tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada
anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti
tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara
pada perempuan baru akan diketahui setelah dewasa.
Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat
kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang
lebih dulu keluar air seninya. Pendapat ini diriwayatkan dari Said
ibn Musayyab dan diikuti oleh Ahmad dan jumhur ulama. Apabila
keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya adalah dari
alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak. Pendapat
ini diriwayatkan dari al-Awzai, dua sahabat Abu Hanifah.396
Dalam hal ini Abu Hanifah tidak sependapat karena
banyaknya air seni yang keluar dari salah satu kelamin bisa
395
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.
140
396
Ibid
376
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
397
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, terjemah
dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal.
393
398
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, hal. 140
399
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482-484
377
Bab III
400
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-
Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240
401
Ibid, hal. 486; Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, hal. 395
378
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
402
Fatchur Rahman, Ilmu waris, hal. 487
403
Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, hal. 353
379
Bab III
atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk
saling hibah-menghibahkan sisa yang diragukan itu.404 Pendapat
ini dikemukakan oleh ulama-ulama Syafi’iyah, Imam Abu Dawud,
Imam Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir. Jika bagian khuntsa
tersebut pasang surut atau berlebih-kurang sekiranya diperkirakan
laki-laki dan perempuan, atau khuntsa hanya mewarisi menurut
salah satu perkiraan saja, sedangkan menurut perkiraan yang lain
ia tidak mendapat warisan, maka bagi khuntsa dan ahli waris yang
lain diberikan bagian yang telah meyakinkan, yaitu bagian yang
terkecil dari dua perkiraan atau tidak menerima sama sekali.
Menurut ketentuan ini, setelah semua ahli waris termasuk
khuntsa menerima bagian yang terkecil atau bagian yang telah
meyakinkan, maka sisanya ditahan dulu sampai status khuntsa
jelas. Tetapi jika status khuntsa tidak menjadi jelas, maka para ahli
waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah
menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqqufkan tersebut.
Sebab jika tidak ada perundingan untuk saling hibah
menghibahkan, sisa yang ditawaqqufkan tersebut tidak dapat
dimiliki mereka. Perundingan saling hibah menghibahkan ini
adalah sah walaupun menurut syarat-syarat hibah itu harus
diketahui secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan
sesuatu keadaan darurat.
Contoh: Perkiraan khuntsa laki-laki
Ahli waris Bagian penerimaannya
bapak 1/6 x 6 =1
anak khuntsa (laki-laki) ’Ashabah = 5
404
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 488
380
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
405
Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al Mirats, hal. 352
381
Bab III
406
Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-Islamiyyah, hal. 196
407
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 490
408
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 484
382
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
409
Kamus Besar Bahasa Indonesia
410
http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-fenomena-
transgender-dan-hukum-operasi-kelamin, makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).
383
Bab III
411
Ibid
412
Ibid
384
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
413
Ibid
385
Bab III
414
Ibid
415
Ibid
386
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
387
Bab III
416
Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh,
diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI,
1994), hal. 146
417
Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.
418
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-
Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 244
388
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
419
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 133
420
Fatchur Rahman, hal. 504-505
421
Amir Syarifuddin, hal. 133
389
Bab III
422
Amir Syarifuddin, hal. 132; Fathur Rahman, hal. 508
423
Ibid
424
Amir Syarifuddi, hal. 133 dikutip dari Ibnu Qudamah, hal. 386.
425
Fathur Rahman, hal. 507
390
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
426
Amir Syarifuddin, hal. 134
427
Ibid
391
Bab III
392
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
428
Ibid, hal. 135
393
Bab III
429
Amir Syarifuddin, hal 136-137 mengutip dari Ibnu Qudamah hal. 390.
430
Ibid, hal. 137
394
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
431
Pemakalah tidak berhasil membaca keseluruhan isi skripsi dan mendapatkan
putusan PA Sleman tersebut.
432
Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08 11:48:31By :
JAUHAR FARADIS NIM. 04350063, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated :
2008-07-08.
395
Bab III
433
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-
Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 230
396
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
434
Amir Syarifuddin, Hukum waris, hal. 126
435
Amir Syarifuddin, hal. 126
397
Bab III
436
Ibid, hal 126-127
398
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
399
Bab III
437
Amir Syarifuddin, Hukum Waris, hal. 130-131.
400
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
438
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-
Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal 230
439
Ibid.
440
Fathur Rahman, hal. 212
401
Bab III
402
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
403
Bab III
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemah
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia,
(Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984)
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar
Baru van hoeve, 1996),
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2004),
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris,
terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy,
(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)
al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist
‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240
Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma’rifah,
1960)
Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-
Islamiyyah, (Mathba’ah al-Madany, 1976)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-
fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-kelamin,
makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).
Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul
Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad
Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994)
404
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
405
Bab III
406
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
BAB IV
HUKUM KEWARISAN
TENTANG HAK-HAK
KEBENDAAAN YANG DIATUR
UNDANG-UNDANG
407
Bab IV
408
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
Latar Belakang
Pembahasan kewarisan dalam Islam di saat ini tidak tuntas
jika berhenti pada bahasan bagian-bagian warisan untuk ahli
waris. Perkembangan muamalah dalam masyarakat semakin besar
dan cukup rumit, mengingat semakin luas dan beragamnya
kegiatan ekonomi yang dilakukan. Sebagai contoh, jual beli tidak
hanya terhadap objek jual beli berupa benda berwujud, tetapi
juga benda tidak berwujud seperti saham.
Bentuk muamalah lainnya yang beraneka ragam, perlu
mendapat perhatian khusus untuk dikaji lebih lanjut dan lebih
dalam terkait dengan hukum kewarisan, dengan tetap
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Pengkajian ini mengenai kebendaan yang timbul
dari kegiatan muamalah dikaitkan dengan hukum kewarisan yaitu
dalam penentuan benda-benda yang menjadi harta warisan atau
tidak untuk kemudian dibagikan kepada para ahli waris.
Tulisan ini mengkaji kebendaan dan hak atas kebendaan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
untuk kemudian dihubungkan dengan kewarisan, khususnya harta
warisan. Kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan
pemikiran untuk penyusunan Naskah Akademik RUU Hukum
Materiil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan.
409
Bab IV
Pengertian Kebendaan
Dalam Pasal 499 KUHPerdata, disebutkan definisi
kebendaan adalah “tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik”. Definisi ini memberi pemahaman bahwa
konsep kebendaan adalah tidak hanya benda itu sendiri, tetapi
juga hak. Dengan berdasar para ketentuan tersebut Abdulkadir
Muhammad mengemukakan bahwa:
Benda adalah objek milik. Hak juga dapat menjadi objek
milik. Oleh sebab itu, benda dan hak adalah objek milik.
Secara yuridis (menurut konsep hukum) yang dimaksud
dengan benda adalah segala sesuatu yang menjadi objek
milik. Semua benda dalam arti hukum dapat
diperdagangkan, dapat dialihkan kepada pihak lain, dan
dapat diwariskan.441
Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai,
diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak
berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak
yang mempunyai nilai ekonomis (Pasal 1 angka 9 KHES)
Klasifikasi Jenis Benda
KUHPerdata membagi benda dalam bentuk:
1. Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPer)
2. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPer)
441
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet. Revisi, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2010), hlm. 128.
410
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
442
Abdulkadir Muhammad, hlm. 136.
411
Bab IV
a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di
atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-
hak yang sifatnya sementasi sebagai yang disebutkan dalam
Pasal 53.
Pengertian dan ketentuan dari masing-masing hak
sebagaimana dipaparkan berikut.
Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UU PA). Ketentuan
hak milik atas tanah adalah hanya dapat dimiliki oleh WNI. Menjadi
permasalahan apabila ahli waris dari pewaris adalah WNA. Hal ini
menjadi tidak terlindungi.
Hak milik menjadi hapus (Pasal 27 UUPA) apabila tanahnya
jatuh kepada Negara karena pencabutan hak untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, dengan mendapatkan ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang telah diatur. (Pasal 27
ayat (1) jo Pasal 18 UUPA); karena penyerahan dengan sukarela
oleh pemiliknya; karena diterlantarkan; karena pengalihan hak
kepada WNA; dan tanahnya musnah.
412
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
413
Bab IV
Hak Sewa
Hak sewa untuk bangunan dapat dimiliki oleh seseorang
yang mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak
mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1)). Pembayaran uang sewa dapat
dilakukan dengan cara satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan (Pasal 44 ayat (2)).
Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan
adalah hak-hak adat yang menyangkut tanah.
Hak Lain Bersifat Sementara
Hak-hak lain yang sifatnya sementara adalah hak gadai,
hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian.
Terkait dengan kewarisan, menurut penulis, hak-hak
kebendaan yang dapat diwariskan dapat terbagi sebagai berikut.
Hak Penuh dan Tidak Penuh
Hak penuh adalah hak ini adalah absolute milik dari
pewaris dan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Sedangkan
hak tidak penuh adalah hak pewaris hanya untuk jangka waktu
tertentu. Jika tiba pada akhir masa haknya, maka hak tersebut
berakhir. Hak ini dapat diperpanjang dengan cara mendaftarkan
kembali. Tetapi dapat beralih menjadi hak Negara apabila tidak
didaftarkan kembali.
414
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
415
Bab IV
416
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
diperoleh para ahli waris dan apa saja yang tidak dapat diwariskan.
Berikut isi ketentuan KHES berdasarkan buku Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah yang diterbitkan oleh MARI tahun 2010 sebagai
Edisi Revisi. Pasal dan kandungannya dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
No Pasal Tentang
1 88, 109, 110, Bai’ (jual beli)
2 115 Bai’ Wafa
3 202, 203 dan 204 Syirkah Milk
4 263 dan 264 Muzara’ah
5 273 Khiyar Syarth
6 289 dan 294 Khiyar Ghabn dan Taghrib
7 351 dan 358 Kafalah
8 372 Hawalah
9 390, 392, 393 dan 394 Rahn
10 425, 428 dan 429 Wadi’ah
11 Pasal 517 Wakalah
12 536 Shulh
13 639, 640, 641, 643 dan Dana Pensiun Syariah
659
417
Bab IV
418
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
419
Bab IV
420
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
BAB V
PENUTUP
421
Bab V
422
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
423
Bab V
424
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia
425
Editor :
Muchit A. Karim
Problematika
Hukum Kewarisan
Islam Kontemporer Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan
di Indonesia materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi
pasal, berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi
hukum. Ketiga materi hukum tersebut yaitu: a) hukum
perkawinan sebanyak 170 pasal; b) hukum kewarisan
(wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c) hukum perwakafan
sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah dengan satu
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta 2012
pasal ketentuan penutup.
Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi Undang-
Undang Hukum Materiil Peradilan Agama. Akan tetapi
karena kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya
KHI disahkan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada
tanggal 10 Juni 1991. Melalui Inpres ini, Presiden
menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan
oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang
membutuhkan.
Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri
No 154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres
No 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan
Agama Islam dan Urusan Haji untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dalam bidang
tugasnya masing-masing.
Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi
secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula
Badan Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai
kini lembaga tersebut menjadikan KHI sebagai sumber
referensi dalam menangani perkara-perkara yang ada.
ISBN 978-602-8739-07-8