Anda di halaman 1dari 229

COVER

BOOK CHAPTER

SOSIOLOGI HUKUM
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral
dan hak ekonomi.
Pembatasan Pelindungan Pasal 26
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23,
Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:
i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau
produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual
yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan
informasi aktual;
ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan;
iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait
hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali
pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan
Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang
memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku
Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga
Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
SOSIOLOGI HUKUM
Muhammad Syahri Ramadhan
Faharudin
Fadillah Mursid
Muhammad Zainul Arifin
Anwar Sodik
Ahmad Fajar Herlani
Sulistyani Eka Lestari
Christina Bagenda
S. Andi Sutrasno
Muhamad Sadi Is
Reny Heronia Nendissa

Editor:
Dr. Sunarno SastroAtmodjo

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA


Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id

Anggota IKAPI
No. 370/JBA/2020
SOSIOLOGI HUKUM

Muhammad Syahri Ramadhan


Faharudin
Fadillah Mursid
Muhammad Zainul Arifin
Anwar Sodik
Ahmad Fajar Herlani
Sulistyani Eka Lestari
Christina Bagenda
S. Andi Sutrasno
Muhamad Sadi Is
Reny Heronia Nendissa

Editor :
Dr. Sunarno SastroAtmodjo
Tata Letak :
Mega Restiana Zendrato
Desain Cover :
Rintho R. Rerung
Ukuran :
A5 Unesco: 15,5 x 23 cm
Halaman :
v, 216
ISBN :
978-623-6290-80-4
Terbit Pada :
Juli 2021

Hak Cipta 2021 @ Media Sains Indonesia dan Penulis

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan,


memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA


(CV. MEDIA SAINS INDONESIA)
Melong Asih Regency B40 - Cijerah
Kota Bandung - Jawa Barat
www.penerbit.medsan.co.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga
buku kolaborasi dalam bentuk book chapter dapat
dipublikasikan dan dapat sampai di hadapan pembaca.
Book cahpter ini disusun oleh sejumlah akademisi dan
praktisi sesuai dengan kepakarannya masing-masing.
Buku ini diharapkan dapat hadir memberi kontribusi
positif dalam ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan
Sosiologi Hukum.
Sistematika buku “Sosiologi Hukum” ini mengacu pada
pendekatan konsep teoritis dan contoh penerapan. Buku
ini terdiri atas 11 Bab yang dibahas secara rinci dalam
pembahasan, diantaranya: Ruang Lingkup dan
Kedudukan Sosiologi Hukum; Perbandingan dan
Hubungan Sistem Hukum; Hukum Sebagai Kontrol Sosial
dan Alat Perubahan Sosial; Pencegahan dan Penegakkan
Hukum; Teori, Jenis Serta Kaitan Hukum Tindak
Kriminal; Tipologi Penelitian Hukum, Tujuan, dan
Manfaatnya; Tujuan dan Manfaat Penelitian Hukum;
Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Bahan Hukum;
Penentuan dan Perumusan Masalah Hukum; Hubungan
Hukum Dengan Sistem Sosial, Nilai Budaya dan
Kekuasaan; Hubungan Kaidah Sosial, Kelompok Sosial,
dan Lapisan Sosial dengan Hukum; Dimensi dan Kaitan
Hukum Struktur Sosial; serta Hubungan Norma Sosial,
Kelompok Sosial, dan Stratifikasi Sosial dengan Hukum.
Kami menyadari bahwa tulisan ini jauh dari
kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan,
sejatinya kesempurnaan itu hanya milik Yang Kuasa. Oleh
sebab itu, kami tentu menerima masukan dan saran dari
pembaca demi penyempurnaan lebih lanjut.

i
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam proses penyusunan dan penerbitan buku ini,
secara khusus kepada Penerbit Media Sains Indonesia
sebagai inisiator book chapter ini. Semoga buku ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Juli 2021
Editor

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................. iii
1 RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI
HUKUM ................................................................... 1
Ruang Lingkup Sosiologi Hukum ............................. 1
Aliran – Aliran yang Mempengaruhi Terbentuknya
Sosiologi Hukum...................................................... 8
Pandangan Sosiolog Terhadap Sosiologi Hukum ..... 13
2 PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM
HUKUM ................................................................. 19
Perbandingan Sistem Hukum ................................ 19
Hubungan Sistem Hukum ..................................... 26
3 HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT
PERUBAHAN SOSIAL ............................................. 37
Hukum Sebagai Kontrol Sosial ............................... 38
Hukum Sebagai Alat Perubahan Sosial .................. 42
4 PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM .......... 53
Dasar Aturan Hukum ............................................ 53
Pencegahan Hukum Sebagai Dasar Melindungi
Masyarakat ............................................................ 57
Penegakan Hukum dan Keadilan ........................... 64
Faktor-Faktor Penegakan Hukum Di Indonesia ...... 68
5 TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK
KRIMINAL .............................................................. 77
Objek Kajian Sosiologi Hukum ............................... 77
Jenis-Jenis Kasus Kajian Sosiologi Hukum ............ 79
Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum ........................ 80

iii
6 TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN
MANFAATNYA ........................................................ 93
Penelitian Hukum .................................................. 93
Tipologi Penelitian .................................................. 94
Penelitian Hukum Normatif/Doctrinal Legal
Research ................................................................ 96
Karakteristik........................................................ 100
Penelitian Hukum Empiris ................................... 101
Karakteristik........................................................ 102
Tujuan dan Manfaat Penelitian Hukum ................ 104
7 TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS
BAHAN HUKUM ................................................... 109
Teknik Pengumpulan Data ................................... 109
Teknik Analisis Bahan Hukum............................. 114
8 PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM
........................................................................... 125
Masalah/Isu Hukum Dalam Penelitiam Dogmatik
Hukum ................................................................ 125
Sumber Masalah/Isu Hukum .............................. 128
Rambu-Rambu dan Masalah Pokok Dalam
Penelitian Hukum ................................................ 129
Teknik Menyusun Rumusan Masalah .................. 132
9 HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL,
NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN ........................ 145
Pendahuluan ....................................................... 145
Hubungan Hukum Dengan Sistem Sosial ............. 147
Hubungan Hukum Dengan Nilai Budaya ............ 149
Hubungan Hukum Dengan Kekuasaan ................ 153
Kesimpulan ......................................................... 157

iv
10 HUBUNGAN KAIDAH SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL,
DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM ............. 161
Kaidah Sosial ....................................................... 161
Kelompok Sosial .................................................. 167
Lapisan Sosial ..................................................... 168
Hubungan Kaidah Sosial, Kelompok Sosial,
Lapisan Sosial Dengan Hukum ............................ 170
11 DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL
........................................................................... 177
Pendahuluan ....................................................... 177
Dimensi Hukum .................................................. 180
Struktur Sosial .................................................... 184
12 NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI
SOSIAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM . 201
Norma Sosial ....................................................... 201
Kelompok Sosial .................................................. 205
Stratifikasi Sosial ................................................. 210
Norma Sosial, Kelompok Sosial, Stratifikasi Sosial
dan Hubungannya Dengan Hukum ...................... 213

v
vi
1
Ruang Lingkup dan Kedudukan
Sosiologi Hukum

MUHAMMAD SYAHRI RAMADHAN


Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Ruang Lingkup Sosiologi Hukum


Sosiologi Hukum mempunyai peran penting dalam
menafsirkan hukum dari sudut pandang masyarakat.
Sosiologi hukum pertama kali dikenalkan oleh seorang
sarjana berkebangsaan Italia, yang bernama Dionisio
Anzilotti pada tahun 1882 Masehi. Ilmu ini lebih tepatnya
merupakan ilmu baru yang berkembang pada abad ke –
19 (Kusumah, 1981). Interaksi sosial yang dibangun
melalui hubungan manusia dengan manusia lainnya
(zoon politicon), menimbulkan adanya kesepakatan –
kesepakatan yang dibangun. Kesepakatan inilah
kemudian menjadi sebuah norma aturan yang berlaku
bagi masyarakat. Fenomena ini secara sederhana dapat
diartikan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala sosial di masyarakat (Budi
Pramono, 2020). Hubungan timbal balik antara hukum
dengan gejala sosial di masyarakat, pada prinsipnya dapat
diketahui dari fungsi hukum yang ada dalam masyarakat
itu sendiri, antara lain (Budi Pramono, 2020):

1
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

1. Fungsi hukum sebagai sosial kontrol


2. Fungsi hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat
3. Fungsi hukum sebagai simbol pengetahuan
4. Fungsi hukum sebagai instrumen politik
5. Fungsi hukum sebagai alat integrasi.
Sosiologi hukum merupakan salah satu ciri khas bidang
ilmu dibandingkan bidang ilmu lainnya. Beberapa pakar
hukum, maka dari itu menempatkan bidang sosiologi
hukum sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Kehidupan manusia yang diawali adanya interaksi sosial
hingga timbulnya kesepakatan sosial yang
bertransformasi menjadi kesepakatan hukum itulah, yang
menjadi spesialisasinya. Kehidupan sosial masyarakat itu
sendiri terjadi secara berulang – ulang, yang kemudian
menjadi kebiasaaan (folkways). Kebiasaan yang
dilaksanakan sudah pasti akan mencipatkan pola
perilaku tersendiri atau biasa disebut dengan norma. Jika
perilaku tersebut dianggap menyimpang atau
bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, maka akan
mendapatkan sebuah sanksi. Perilaku yang dilakukan
tersebut justru sesuai dan memerhatikan kebiasaan yang
hidup di masyarakat, maka akan mendapatkan
penghargaan. Hal inilah kemudian biasa dikenal dengan
norma hukum (Rianto Adi, 2012).
Sosiologi hukum menjadi wadah yang tepat dalam
menempatkan norma hukum dalam kehidupan
masyarakat. Keunikan lain sosiologi hukum sebagai
bidang ilmu hukum lainnya ialah sosiologi hukum dapat
ditemukan dalam hubungan timbal balik antara hukum
dengan masyarakat tradisional maupun modern.
Penerapan hukum bagi kalangan masyarakat tradisional,
selalu diorientasikan dengan hukum adat (Arliman, 2018).

2
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

Hal ini mengingat hukum adat dapat tercipta


berdasarkan dari kebiasaan turun – temurun yang sudah
terjadi. Hukum adat yang tercipta dari suatu kebiasaan
inilah yang kemudian membuat ciri hukum tersebut
bersifat tidak tertulis. Artinya hukum adat tidak
menekankan kepada kodifikasi hukum atau peraturan
hukum tertulis, hal ini dikarenakan sifat dari suatu
kebiasaan itu sendiri adalah suatu hal yang tidak perlu
dinarasikan tetapi dapat dirasakan atau dipahami dalam
kehidupan sehari – hari. Hukum adat tidak memerlukan
proses penetapan lembaga pemerintah yang mempunyai
kewenangan untuk membuatnya. Hal ini dikarenakan
hukum adat adalah himpunan dari jiwa kalangan
masyararakat itu sendiri. Adanya rasa kebersamaan
(komunal) baik didasarkan faktor geneologis, teritorial
atau geneologis teritorial itu sendiri, yang membuat
hukum adat tercipta dengan sendirinya (Hilman Syahrial
Haq, 2020).
Kebiasaan (the living law) tersebut apabila dilanggar,
maka sanksi yang diberikan bukanlah sanksi formal
seperti hukum positif, yaitu penghukuman kepada pelaku
dengan cara hukum penjara, kurungan, denda bahkan
hukuman mati. Sanksi yang biasa diberikan dapat berupa
sanksi sosial seperti pengucilan, dikeluarkan dari
kampung, tidak dilibatkan dalam kegiatan terkait adat
istiadat setempat. Di dalam hukum adat sendiri, ada
kalanya hukum tersebut tidak memfokuskan kepada
pemberian sanksi kepada pelaku. Dalam hukum adat
dapat diimplementasikan upaya mengembalikan
keseimbangan antara pihak pelaku maupun korban.
Dalam kasus tersebut, bukan mencari siapa yang menang
atau kalah di balik konflik antara kedua belah pihak,
tetapi mencari win – win solution (upaya terbaik) bagi
kedua belah pihak yang bersengketa (Albar Sentosa
Subari, 2004).

3
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

Dalam kalangan masyarakat modern, eksistensi sosiologi


hukum dapat mulai dipahami dari proses pembentukan
hukum itu sendiri. Hukum dapat diakui bagi kalangan
masyarakat modern jika hukum tersebut dibuat dalam
bentuk tertulis oleh lembaga atau badan pemerintah yang
mempunyai kewenangan atas hal tersebut. Hukum tidak
dapat diterapkan jika hanya mengandalkan dalam proses
kebiasaan yang sudah lama terbentuk di kalangan sosial
masyarakat saja selayaknya seperti hukum adat. Hal ini
mengingat masyarakat modern yang bersifat heterogen,
maka penerapan hukum terhadap mereka jika tidak
berdasarkan produk hukum tertulis yang dibuat oleh
lembaga berwenang, maka akan sukar untuk
menciptakan ketertiban di suatu masyarakat. Hukum
dapat terbentuk melalui proses kodifikasi yang
terstruktur dan tersistematis, dan jika proses kodifikasi
tersebut telah selesai dilakukan, maka produk hukum
tersebut dapat dikatakan siap untuk diterapkan bagi
masyarakat. Persoalan sanksi yang diatur dalam produk
hukum tertulis dibuat dengan rinci, mulai dari sanksi
berupa kurungan, penjara, denda, bahkan hukuman
mati. Dalam kalangan masyarakat modern, penegasan
terhadap pemberian sanksi kepada pelaku tidak
dikesampingkan. Tidak hanya untuk melindungi
kepentingan korban, akan tetapi demi menciptakan
keteraturan di dalam masyarakat modern yang heterogen
dan kompleks, maka penekanan terhadap sanksi harus
diutamakan (Munir Fuady, 2015).
Menurut pendapat Zainuddin Ali, sosiologi hukum
mempunyai 2 (dua) ruang lingkup, antara lain ialah
(Zainuddin Ali, 2008):
1. Dasar – dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari
hukum. Salah satu contohnya ialah hukum nasional
di Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila,

4
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

dengan ciri- cirinya; gotong royong, musyawarah, dan


kekeluargaan;
2. Efek – efek hukum terhadap gejala – gejala sosial
lainnya. Beberapa contoh dapat disebut ialah:
a. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap
gejala masyarakat yang memanfaatkan perankgat
elektronik seperti gawai dan laptop beserta
prasarananya yaitu intenet.
b. Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas terhadap gejala proses
pendirian organisasi atau perusahaan badan
hukum salah satunya ialah Perseroan Terbatas
(PT)
c. Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Keja terhadap gejala upaya pemerintah
dalam mengukseskan kebijakan investasi
nasional dan membuat lapangan kerja seluas –
luasnya bagi masyarakat
Gejala sosial merupakan fenomena atau penampakan
yang terjadi di realitas masyarakat. Dalam perspektif ilmu
hukum, manusia diposisikan sebagai subjek hukum yaitu
pendukung hak dan kewajiban. Manusia terikat terhadap
suatu hak maupun kewajiban atas suatu hal tertentu,
atau biasa disebut dengan objek hukum. Hal ini
berbanding terbalik jika ditinjau dari filsafat ilmu, yang
memposisikan manusia dapat dijadikan sebagai objek
formil dalam ilmu (Rahardjo, 2007). Ada beberapa aspek
dalam manusia sebagai objek formil tersebut, yaitu:
1. Susunan tubuh (materil), atau biasa disebut anatomi
2. Prosesnya, dikaji dalam ilmu fisiologi
3. Kesosialan, dikaji dalam ilmu sosiologi

5
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

4. Komunikasinya, dikaji dalam ilmu bahasa atau


linguistik.
Terkhusus dalam poin ke-3 (ketiga), manusia ditempat
sebagai objek materil dikarenakan fenomena timbal balik
antara hukum dan gejala sosial memerlukan suatu objek
penghubungnya, yaitu manusia atau masyarakat itu
sendiri (Hasnati, 2015). Adapun gejala sosial ini dapat
dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu struktur sosial dan
proses sosial. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Struktur Sosial merupakan upaya mengkaji susunan
yang ada dalam masyarakat. Struktur sosial
mempunyai sifat secara statis artinya setiap ada
dalam struktur masyarakat, bentuknya tetaplah
sama. Dalam struktur masyarakat terdiri dari,
masyarakat bersahaja, madya dan industri.
a. Kelompok –kelompok sosial
Kelompok berdasarkan keturunan, berdasarkan
tujuan tertentu, berdasarkan kepentingan seperti
organisasi profesi, politik, dan semacamnya.
b. Lembaga – lembaga sosial, dalam masyarakat
bersahaja, ada lembaga perguruan silat, agama
dan sebagainya. Dalam masyarakat industri ada
lembaga pendidikan formal, mulai dari anak usia
dini hingga pendidikan tinggi.
c. Lapisan atau stratifikasi sosial
Masyarakat masih menempatkan ada kalangan
orang biasa, penting dan sangat penting. Hal yang
menyebabkan ini terjadi jika ada orang yeng
bernilai tinggi (materil seperti dari miskin hingga
kaya), maka orang tersebut akan ditempatkan
kepada posisi yang tinggi.

6
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

d. Kekuasaan, kemampuan untuk mengontrol pihak


lain
e. Kebudayaan, hasil dari kekuatan akal manusia.
2. Proses sosial (bersifat dinamis)
Proses sosial terdiri dari :
a. Interaksi sosial
b. Perubahan sosial
c. Masalah sosial
Ketiga aspek di atas, baik dari segi struktur maupun
proses, semuanya mempunyai hubungan timbal balik
dengan hukum, mulai dari tahap perencanaan,
pembentukan hingga penerapan atau implementasinya.
Interaksi sosial, perubahan sosial, dan masalah sosial
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Perubahan sosial pasti dapat terjadi jika dimulainya
adanya interaksi sosial. Perubahan sosial sendiri dapat
dilalui melalui: (1) Revolusi; (2) Reformasi; (3) Evolusi
(proses ini paling lambat).
Konektivitas interaksi sosial, perubahan sosial dan
masalah sosial dapat dilihat dari fenomena omnibus law
yang baru – baru ini direalisasikan oleh pemerintah
Indonesia. Kebijakan investasi di Indonesia, masih
dianggap rumit atau kompleks serta berbelit – belit. Hal
ini dikarenakan adanya obesitas regulasi, yang menjadi
penyebab tumpang tindihnya dari berbagai peraturan
tersebut. Maka dari itu, Pemerintah secara tidak langsung
melakukan perubahan sosial melalui upaya yang
dilakukan ialah menderegulasi pasal – pasal dari berbagai
undang – undang tersebut, menjadi satu peraturan
hukum, yaitu Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja. Undang – Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja ini sendiri menimbulkan
masalah sosial yang baru, salah satunya ialah persoalan

7
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

hak – hak tenaga kerja yang dianggap banyak direduksi


setelah adanya undang – undang tersebut.
Contoh lainnya ialah dalam situasi pandemi virus Covid –
19, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang - Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi Undang-Undang. Undang – undang ini
merupakan respon dari pemerintah terhadap gejala sosial
masyarakat yang dimana virus corona mempunyai
dampak besar terhadap stabilitas politik, ekonomi dan
hukum di suatu negara. Urgensi adanya regulasi ini
dibuat sebagai payung hukum atas kebijakan lembaga
pemerintah yang secara khusus mengelola anggaran
terkait pandemi covid – 19 (Ramadhan, 2021).
Aliran – Aliran yang Mempengaruhi Terbentuknya
Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum selain tercipta dikarenakan
perkembangan masyarakat yang dinamis, adanya
beberapa pemikiran mulai dari kelompok ahli filsafat
hukum, para ahli ilmu hukum dan juga para sosiolog (ahli
sosiologi), turut berperan dalam dalam terciptanya
sosiologi hukum. Pemikiran – pemikiran yang dilahirkan
dari beberapa para ahli ilmu hukum maupun sosiolog
inilah yang membuat sosiologi hukum menjadi
multiperspektif. Sosiologi hukum yang tercipta dari
realitas sosial masyarakat yang dinamis, maka dapat
dimaklumi jika pemahaman yang diberikan oleh para ahli
tersebut menjadi beraneka ragam.

8
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

Secara garis besar, setidaknya terdapat 5 (lima) aliran


dari para ahli hukum dan filsafat serta terdapat 2 (dua)
pendapat dari sosiolog yang punya pengaruh besar
terhadap perkembangan sosiologi hukum. Antara lain
ialah (Soerjono Soekanto, 2017):
1. Mahzab formalistis
Tokoh dalam mahzab formalistis antara lain Jhon
Austin dan Hans Kelsen, inti dari ajaran formalistis
adalah bahwa hukum adalah perintah dari penguasa
yang berdaulat (law is command). Sifatnya kaku dan
tertutup sehingga hukum tidak dapat diubah. Namun
menurut beberapa pendapat ahli, hukum tidak
mungkin tertutup dari segala perubahan dan oleh
karenanya, sifat hukum yang tertutup ini dianggap
merupakan kelemahan dalam teori austin. Di dalam
hukum tersebut menurut mahzab, terdapat unsur
sanksi sebagai akibat apabila perintah tidak
dilaksanakan. Oleh karena itu, unsur dari hukum
menurut mahzab formalistis, adalah (Soerjono
Soekanto, 2017):
a. Harus ada perintah
b. Harus ada kewajiban (suruhan dan larangan),
artinya kewajiban untuk melalukan suruhan
maupun larangan.
c. Sanksi (apabila kewajiban dilanggar)
d. Kedaulatan (yang memerintah harus mempunyai
kedaulatan)
Hukum yang mempunyai unsur di atas, disebut
Austin sebagai hukum yang sebenarnya. Di samping
itu, ada juga hukum yang tidak sebenarnya yaitu
hukum yang sengaja dibentuk oleh suatu kelompok
atau organisasi tertentu untuk kepentingan internal
atau organisasi tersebut. Contohnya seperti kode etik

9
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

profesi (notaris, advokat dan semacamnya). Keempat


unsur di atas tersebut itulah yang membuat adanya
hukum positif. Hukum positif ada karena penepatan
dari penguasa yang berdaulat. Menurut Jhon Austin,
hukum haruslah bersfiat tertutup dan hanya sebatas
apa yang diperintahkan penguasa. Namun menurut
beberapa ahli, sifat hukum yang tertutup adalah hal
yang kurang dapat diterima karena hukum
seharusnya dapat dirubah sesuai dengan perubahan
masyarakat itu sendiri. Pandangan sistem hukum
tertutup ini merupakan kelemahan dari pandangan
Jhon Austin itu sendiri.
Di lain pihak, Hans Kelsen berpendapat bahwa
hukum adalah suatu sistem
pertanggapan/pelapisan/perjenjangan hierarki dari
kaedah – kaedah, dimana kaedah/norma yang lebih
rendah harus dapat dicari sumbernya pada kaedah
atau norma yang lebih tinggi. Puncak dari
pertanggapan norma tersebut, ada pada
norma/kaedah dasar atau biasa disebut grundnorm.
Grundnorm adalah sumber bagi norma yang lebih
rendah yaitu norma umum, norma umum menjadi
sumber pada norma hukum kongret. Inilah disebut
stufenbau theory. Dalam sistem hukum nasional,
grundnorm adalah konstituante. Nilai – nilai
konstituante ini membentuk undang – undang dasar.
Menurut Hans Kelsen, hukum harus dipisahkan dari
anasir – anasir di luar hukum. Antara lain moral dan
lain sebagainya. Sebab menurutnya, antara hukum
dengan moral, adalah dua konsep yang berbeda (law
and moral are two different concept). Teori murni
tentang hukum (the pure theory of law), maksudnya
hukum harus berisi perintah. Perintah apa saja tanpa
harus memikirkan adanya moral. Menurutnya moral
itu ialah isi dari perintah itu sendiri. Contohnya,

10
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

pancasila bukan hukum, tetapi perintah untuk


melaksanakan adalah hukum. Keadilan itu bukan
hukum, perintah untuk berlaku adil itu adalah
hukum. Salah satu kelemahan teori ini adalah, kelsen
tidak mampu menjelaskan darimana sumber
grundnorm atau norma dasar itu sendiri.
2. Mahzab Sejarah dan Kebudayaan
Menurut Friedrich Karl Von Savigny, hukum haruslah
penjelmaan dari jiwa bangsa (volkheist). Hukum harus
mengikuti kehendak masyarakat. Von savigny
merupakan salah seorang tokoh yang sangat
menentang kodifikasi hukum. Menurutnya, kodifikasi
hukum tidaklah mungkin dapat mengakomodir
kehendak seluruh rakyat. Kelemahan dari aliran ini
ialah, tidak ada tolak ukur baku mengenai kehendak
masyarakat. Mengingat masyarakat Indonesia bersifat
heterogen. Maka keadilan di dalam hukum akan
ditafsirkan sendiri oleh masing – masing masyarakat
tersebut. Sedangkan Sir Henry Maine,
menghubungkan antara perkembangan hukum
dengan perkembangan masyarakat. Dengan teorinya
yang terkenal, adalah perkembangan status menuju
kontrak. Dalam teorinya, maine mengatakan pada
mulanya hubungan antar anggota di dalam
masyarakat. Didasarkan pada status atau
kedudukan, tetapi seiring dengan perkembangan
masyarakat menuju masyarakat yang lebih
kompleks/modern. Maka hubungan antar anggota
masyarakat, tidak lagi didasarkan pada status
melainkan didasarkan pada kontrak atau
kesepakatan para pihak. Intinya hukum bukan lahir
dari kekuasaan tetapi berdasarkan perkembangan
hukum di masyarakat (Muhammad Zainal, 2019).

11
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

3. Sociological Jurisprudence
Eugene Ehrlich dan Roscue Pound, inti dari ajaran ini
bahwa suatu hukum positif (hukum yang ditetapkan
oleh penguasa) akan tercapai tujuannya apabila
diselaraskan atau disesuaikan dengan hukum yang
hidup di masyarakat (living law). Maksudnya, hukum
yang ditetapkan oleh penguasa tidak boleh
bertentangan dengan kebiasaan – kebiasaan
masyarakat. Namun, kebiasaan yang terlalu negatif
justru akan berimplikasi kepada produk hukum yang
negatif juga. Living law yang ditetapkan haruslah
merupakan standar umum di dalam masyarakat.
Roscoue pound memposisikan hukum sebagai alat
untuk merekayasa atau mengubah masyarakat (law
as a tool of social engineering). Hukum itu bukan
undang – undang, tetapi selalu putusan hakim. Jadi
putusan hakim haruslah dapat merekayasa pola pikir
masyarakat lebih baik lagi. Aliran ini tidak anti
dengan hukum yang dibuat oleh hakim, asalkan
hukum tersebut dapat mengikuti perkembangan di
masyarakat (Rahardjo, 2006).
4. Utilitarianisme
Ajaran ini antara lain dikembangan oleh Jeremy
Bentham dan Rudolph von Ihering. Inti ajaran ini
adalah bahwa hukum haruslah sebanyak mungkin,
mendatangkan manfaat. Oleh karena itu, terkait
dengan sanksi yang berupa punishment (sanksi yang
bersifat negatif), juga harus dipandang sebagai
kemanfaatannya. Namun demikian, menurut ajaran
ini, suatu sanksi agar dapat bermanfaat haruslah
diberikan sesuai dengan porsinya. Sanksi yang tidak
sesuai porsinya dapat menimbulkan rasa dendam,
main hakim sendiri, tidak ada efek jera (Hasnati,
2015).

12
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

5. Realisme Hukum
Aliran ini berkembang pesat di negara – negara
common law, antara lain seperti di Inggris dan
Amerika Serikat. Beberapa tokoh ini ialah Karl
Llewellyn (seorang hakim/praktisi hukum), Justice
Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank (seorang jaksa).
Inti ajaran ini adalah bahwa hukum itu adalah
putusan hakim (yurisprudensi). Oleh karena itu,
suatu perundang – undangan, belum disebut sebagai
hukum. Melainkan baru berupa prediksi – prediksi,
tentang suatu perbuatan serta akibat dari perbuatan
itu.
Pandangan Sosiolog Terhadap Sosiologi Hukum
1. Emile Durkheim
Kaidah hukum adalah berupa sanksi yang bersifat
represif maupun restitutif. Sanksi bersifat represif ini
lebih kepada aspek pidana, artinya ialah pemberian
hukuman kepada pelaku atau pelanggar aturan
hukum, baik berupa hukuman kurungan, penjara
bahkan hukuman mati harus dilaksanakan demi
menciptakan ketertiban di masyarakat. Norma aturan
sanksi dalam kaidah ini, secara leterlijk (tertulis)
dinarasikan dalam peraturan hukum tertulis, maka
dari itu penerapan sanksi dapat dilakukan
berdasarkan isi pasal di dalam aturan itu sendiri.
Sanksi represif dapat dikonotasikan kepada sanksi
yang diatur dalam aturan hukum publik (hukum
pidana). Pemerintah sebagai lembaga representasi
dari kehendak rakyat itu sendiri membuat aturan
beserta sanksinya agar dapat ditaati secara optimal
oleh masyarakat itu sendiri (Soerjono Soekanto,
2017).
Kaidah hukum lainnya ialah kaidah hukum yang
bersifat restitutif artinya menekankan kepada

13
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

pemulihan keadaan (sanksi perdata). Kaidah hukum


ini tidak berorientasi kepada penjatuhan sanksi
kepada pelaku atau pelanggarnya, justru diupayakan
sebelum adanya penjatuhan sanksi represif berupa
hukuman kurungan, penjara bahkan hukuman mati,
diutamakan terlebih dahulu adanya proses
musyawarah bagi pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketa hukumnya. Tidak seperti
dalam kaidah hukum represif, kaidah hukum
restitutif norma hukum tertulisnya hanya sebatas
kepada narasi tentang hak, kewajiban, dan penjelasan
dari suatu objek hukum salah satu contohnya ialah
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Aturan
sanksi tidak dibuat secara tegas dan tertulis di dalam
undang – undang, dikarenakan proses penyelesaian
hukumnya bersifat tentatif, jadi tergantung dari
konflik hukum yang ditimbulkan. Contoh misalnya di
Buku Ketiga Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
mengenai perikatan mengatur mengenai persoalan
perjanjian termasuk penjelasan perjanjian yang
dilanggar, akan tetapi bagaimana mekanisme proses
penyelesaian hukum atas perjanjian yang dilanggar
tersebut, tidak diatur secara tertulis dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Hal ini
dikarenakan tergantung dari kesepakatan yang dibuat
dari para pihak yang bersengketa tersebut.
Menurut darkheim hukum berkaitan dengan
solidaritas sosial. Yang dimana solidaritas sosial
terdiri dari solidaritas mekanis dan solidaritas
organis. Solidaritas mekanis ini biasanya
terimplementasi dalam masyarakat homogen.
Solidaritas organis artinya masyarakat yang sudah
terspesialisasi (Soerjono Soekanto, 2017).

14
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

2. Max Webber
Max webber menyatakan hukum tidak seharusnya
disertai alat pemaksa. Alat pemaksa yang
dimaksudkan disini ialah adanya lembaga atau badan
pemerintah yang memiliki kewenangan untuk
membuat peraturan dan peraturan tersebut harus
ditaati oleh setiap masyarakat. Kesadaran dalam
kehidupan bersama di suatu masyarakat merupakan
suatu alat pemaksa menentukan adanya hukum itu
sendiri. Adapun bentuk dari kesadaran bersama
masyarakat ini dapat berupa kebiasaan (usage) yaitu
suatu kebiasaan yang dapat dilihat dari suatu
perbuatan masyarakat itu sendiri. Bentuk lainnya
ialah adat istiadat (custom), artinya perbuatan yang
diulang – ulang, yang dimana harus ditaati dan
apabila dilanggar akan dikenakan sanksi (Muhammad
Zainal, 2019).
Pemikiran Max Webber ini diidentikan terhadap
hukum yang tidak tertulis, maka dari itu bagi dari
usage maupun custom, bersifat tidak memaksa akan
tetapi mayoritas masyarakat tetap akan menaatinya
dikarenakan hukum tersebut sudah hidup bersama
dalam kehidupan sosial masyarakat (Soerjono
Soekanto, 2017).

15
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

Daftar Pustaka
Albar Sentosa Subari. (2004). Pokok-Pokok Hukum Adat (I).
Universitas Sriwijaya.
Arliman, L. (2018). Hukum Adat Di Indonesia Dalam
Pandangan Para Ahli Dan Konsep Pemberlakuannya
di Indonesia. Jurnal Selat, 5(2).
https://doi.org/10.31629/selat.v5i2.320
Budi Pramono. (2020). Sosiologi Hukum (I). Scopindo
Media Pustaka.
Hasnati. (2015). Sosiologi Hukum: Bekerjanya Hukum di
Tengah Masyarakat (I). Absolute Media.
Hilman Syahrial Haq. (2020). Pengantar Hukum Adat
Indonesia (I). Lakeisha.
Kusumah, M. W. (1981). Perkembangan dan Ruang
Lingkup Sosiologi Hukum. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 11(1). https://doi.org/10.21143/
jhp.vol11.no1.838
Muhammad Zainal. (2019). Pengantar Sosiologi Hukum (I).
Deepublish.
Munir Fuady. (2015). Teori - Teori Dalam Sosiologi Hukum
(III). Prenada Media Group.
Rahardjo, S. (2006). Membedah Hukum Progresif. Kompas.
Rahardjo, S. (2007). Biarkan Hukum Mengalir catatan
Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (I).
Kompas.
Ramadhan, M. S. (2021, April). Sudah Saatnya Meregulasi
Digitalisasi Bisnis. Sriwijaya Post, 2.
https://palembang.tribunnews.com/2021/04/05/su
dah-saatnya-meregulasi-digitalisasi-bisnis?page=4
Rianto Adi. (2012). Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara
Sosiologis (I). Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soerjono Soekanto. (2017). Pokok - Pokok Sosiologi Hukum
(25th ed.). Rajawali Pers.
Zainuddin Ali. (2008). Sosiologi Hukum (IV). Sinar Grafika.

16
RUANG LINGKUP DAN KEDUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM

Profil Penulis
Muhammad Syahri Ramadhan. Ketertarikan
penulis terhadap ilmu hukum dimulai pada
tahun 2010 silam. Hal tersebut membuat penulis
memilih untuk masuk ke fakultas hukum
universitas sriwijaya dan berhasil lulus pada
tahun 2014. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan S-2
(Magister Hukum) di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015
dan berhasil lulus pada tahun 2017.
Minat penulis kepada dunia literasi telah dimulai pada semasa
kuliah S-1, menjadi Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Hal inilah yang
membuat penulis sudah banyak menulis puluhan opini di
media massa terutama di media lokal Sumatera Selatan Seperti
Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres dan Koran Tribunsumsel.
Penulis juga aktif menulis di berbagai artikel jurnal ilmiah yang
sudah terakreditasi. Penulis juga sudah menulis beberapa buku
maupun book chapter, salah satu contoh bukunya ialah Realita
Hukum Pertanahan Indonesia : Dilematis Kepentingan Hak
Privat dan Publik (Komojoyo Press, 2017).
Saat ini penulis menjadi Dosen Tetap Pegawai Negeri Sipil (PNS)
di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Penulis juga
merupakan anggota tim dari pengelola jurnal Repertorium:
Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (akreditasi SINTA 5).
Email Penulis: msyahriramadhan@fh.unsri.ac.id

17
18
2
Perbandingan dan Hubungan
Sistem Hukum

FAHARUDIN
Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau

Perbandingan Sistem Hukum


1. Pengertian Perbandingan Hukum
Istilah “perbandingan hukum” (bukan “hukum
perbandingan”) itu sendiri telah jelas kiranya bahwa
perbandingan hukum bukanlah hukum seperti
hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara
dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 1989: 131),
melainkan merupakan kegiatan memperbaindingkan
sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang
lain. Yang dimaksudkan dengan memperbandingkan
di sini ialah mencari dan mensinyalir perbedaan-
perbedaan serta persamaan-persamaan dengan
memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana
berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan
yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non-
hukum yang mana saja yang mempengaruhinya
(Sunarjati Hartono, 1988: 54). Penjelasannya hanya
dapat diketahui dalam sejarah hukumnya, sehingga
perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan
perbandingan sejarah hukum (Djaja S. Meliala, 1977:
89). Jadi memperbandingkan hukum bukanlah
sekedar untuk mengumpulkan peraturan perundang-

19
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

undangan saja dan mencari perbedaan serta


persamaannya saja.akan tetapi Perhatian yang
paling mendasar dalam perbandingan hukum
ditujukan kepada pertanyaan sampai seberapa jauh
peraturan perundang-undangan atau kaidah yang
tidak tertulis itu dilaksanakan di dalam masyarakat.
Untuk itu dicarilah perbedaan dan persamaan. Dari
perbandingan hukum ini dapat diketahui bahwa di
samping benyaknya perbedaan juga ada
kesamaannya.
2. Tujuan Perbandingan Hukum
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya
perbandingan hukum itu mempunyai tujuan meliputi:
a. Teoritis
Mengumpulkan pengetahuan baru
1) Peranan edukatif.
a) Fungsi membebaskan dari chauvinisme
hukum.
b) Fungsi inspiratif memperoleh gambaran
yang lebih baik tentang sistem hukum
sendiri, karena dengan
memperbandingkan kita melihat
masalah-masalah tertentu untuk
menyempurnakan pemecahan tertentu di
dalam hukum sendiri.
2) Merupakan alat bantu bagi disiplin-disiplin
lain terutama bagi sosiologi hukum,
antropoligi.
3) Merupakan instrumen untuk menentukan
perkembangan hokum.
4) Perkembangan asas-asas umum hukum.

20
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

5) Untuk meningkatkan saling pengertian di


antara bangsa-bangsa.
6) Membantu dalam pembagian sistem hukum
dalam kelompok-kelompok.
7) Sumbangan bagi doktrin.
b. Praktis
1) Untuk kepentingan pembentukan undang-
undang.
a) Membantu dalam membentuk undang-
undang baru.
b) Persiapan dalam menyusun undang-
undang yang uniform.
c) Penelitian pendahuluan pada receptie
perundang-undangan asing.
2) Untuk kepentingan peradilan; mempunyai
pengaruh terhadap peradilan pada
umumnya.
3) Penting dalam perjanjian internasional.
4) Penting untuk terjemahan yuridis.
3. Objek perbandingan hukum
Yang menjadi objek perbandingan hukum ialah
(sistem atau bidang) hukum di negara yang
mempunyai lebih dari satu sistem hukum (misalnya
hukum perdata dapat diperbandingkan dengan
hukum perdata tertulis) atau bidang-bidang hukum di
negara yang mempunyai satu sistem hukum (seperti
misalnya syarat causalitas dalam hukum pidana dan
perdata, konstruksi perwakilan dalam hukum
perdata dan pidana atau sistem (bidang) hukum
asing diperbandingkan dengan sistem (bidang) hukum

21
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

sendiri (misalnya law of contract dibandingkan dengan


hukum perjanjian) (Jenny Barmawi, 1989: 13).
Uraian tentang sistem hukum asing semata-mata
bukanlah merupakan perbandingan hukum,
meskipun dalam menguraikan itu pada hakekatnya
kita tidak dapat lepas dari pengaruh pandangan
tentang hukum sendiri.Rhein stein membedakan
antara uraian tentant system hokum asing yang
disebutnya “Auslandsrechtskunde” dengan
“Rechtsvergleichung”. Dikatakannya bahwa
Auslandsrechtskunde harus dikuasai kalau kita
hendak mengadakan perbandingan hukum, karena
kita baru dapatmemperbandingkan hukum asing
dengan hukum sendiri kalau menguasai juga hukum
asing itu. Dalam pandangan Rheinstein ini maka
Auslandsrechrtskunde ini harus dikuasai lebih dulu
sebelum kita mulai dengan perbandingan hukum
(René de Groot, Gerard, 1986: 31), yaitu lebih
konkritnya dalam memperbandingkan hukum yang
diteliti adalah hukum yang hidup (the law in action),
jadi bukan semata-mata hanya hukum yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan atau yang
diuraikan dalam buku-buku saja (the law in the
books), tetapi juga penafsiran undang-undang atau
penemuan hukum dalam peradilan dan dalam
kepustakaan. Jadi yang diperbandingkan adalah
hukum sebagaimana nyata-nyata berfungsi di dalam
masyarakat di tempat tertentu. Di sini perlu diteliti
fungsi pemecahan yuridis dalam prakteknya serta
adanya pengaruh faktor-faktor asing. Sara
pendekatan hukum semacam ini dengan mempelajari
hukum yang hidup, yang nyata-nyata berlaku
disebut “functional approach”, suatu pendekatan
hukum dengan memperhatikan berlakunya hukum
secara fungsional.

22
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

Dalam memperbandingkan hukum dikenal dua cara,


yaitu memperbandingkan secara makro dan secara
mikro. Perbandingan secara makro adalah suatu cara
memperbandingkan masalah-masalah hukum pada
umumnya. Perbandingan secara mikro adalah suatu
cara memperbandingkan masalah-masalah hukum
tertentu. Tidak ada batasan tajam antara
perbandingan secara makro dan mikro. Hukum yang
telah diketahui yang akan diperbandingkan disebut
“comparatum” (Sunarjati,perbandingan hukum, 1988:
121), sedangkan hukum yang akan diperbandingkan
dengan yang telah diketahui disebut “comparandum”.
Setalah diketahui dua hukum itu perlu ditetapkan
apa yang akan diperbandingakan itu, misalnya
mengenai perjanjian, perkawinan dan sebagainya. Ini
disebut “tertium comparatum”.
4. Sejarah perbandingan hukum
Perbandingan hukum mempunyai sejarahnya
sendiri yang mana dalam sejarahnya sudah di kenal
sejak zaman:
a. Plato (430-470 SM) dilakukan kegiatan
memperbandingkan hukum. Dalam karyanya
Politeia (Negara) Plato memperbandingkan
beberapa bentuk Negara
b. Aristoteles (384-322 SM) dalam Politiknya
memperbandingkan peraturan- peraturan dari
berbagai negara.
c. Theoprastos (372-287 SM) memperbandingkan
hukum yang berkaitan dengan jual beli di
perbagai negara.
d. Collatio (Mosaicarium et Romanium Legum
Collatio), suatu karya yang penulisnya tidak
dikenal, diperbandingkan antar undang-undang

23
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

Mozes (Pelateuch) dengan ketentuan-ketentuan


yang mirip dari hukum Romawi (Rene de
Groot,1988:24).
e. Studi perbandingan antara organisasi negara dari
Inggris dengan Perancis dilakukan oleh Fortescue
kira-kira pada tahun 1930.
f. Montesquie (1687-1755) dalam L’esprit delois
(1748) memperbandingkan oganisasi negara dari
Inggris dan Perancis.
g. Leibniz (1646-1716) menulis suatu uraian tentang
semua sistem hukum seluruh dunia. Ia yakin
dengan cara itu dapat menemukan dasar semua
hukum.
Jadi sudah sejak lama kegiatan perbandingkan
hukum dikenal, serta dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa kegiatan perbandingkan hukum diwaktu yang
lampau hanya terbatas pada hukum publik saja,
sehingga Perbandingan hukum perdata di waku yang
lampau jarang dilakukan.
5. Sistem Hukum
Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang
dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari
macam-macam bagian. Prof. Subekti, SH
menyebutkan sistem adalah suatu susunan atau
tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri
atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain,
tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil
dari suatu penulisan untul mencapai suatu tujuan”.
Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat
suatu pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu
juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih
diantara bagian-bagian itu. Suatu sistem mengandung

24
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

beberapa asas yang menjadi pedoman dalam


pembentukannya (Inu Kencana Syafiie, 2003: 2).
Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas
dari asas-asas yang mendukungnya. Untuk itu
hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan
atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup,
keseluruhannya terdiri bagian-bagian yang berkaitan
satu sama lain. Dapat disimpulkan bahwa sistem
hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan
yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur
yang satu sama lain saling berhubungan dan
berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu tujuan
kesatuan tersebut perlu kerja sma antara bagian-
bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana
dan pola tertentu (SF, Marbun dkk, 2001: 21).
Pembagian Hukum itu sendiri di golongkan dalam
beberapa jenis (Sunaryati Hartono, 1991: 32):
a. Berdasarkan Wujudnya
Hukum tertulis, yaitu hukum yang dapat kita
temui dalam bentuk tulisan dan dicantumkan
dalam berbagai peraturan negara, sifatnya kaku,
tegas lebih menjamin kepastian hukum sangsi
pasti karena jelas tertulis, Contoh:
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang,
Peraturan Daerah.
Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang masih
hidup dan tumbuh dalam keyakinan masyarakat
tertentu (hukum adat). Alam praktik
ketatanegaraan hukum tidak tertulis disebut
konvensi Contoh: pidato kenegaraan presiden
setiap tanggal 16 Agustus.

25
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

b. Berdasarkan Ruang atau Wilayah Berlakunya


Hukum lokal, yaitu hukum yang hanya berlaku di
daerah tertentu saja (hukum adat Manggarai-
Flores, hukum adat Ende Lio-Flores, Batak, Jawa
Minangkabau, dan sebagainya.
Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku di
negara tertentu (hukum Indonesia, Malaysia,
Mesir dan sebagainya).
Hukum internasional, yaiu hukum yang mengatur
hubungan antara dua negara atau lebih (hukum
perang, hukum perdata internasional, dan
sebagainya).
c. Berdasarkan Waktu yang Diaturnya
Hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum);
disebut juga hukum positif. Hukum yang berlaku
pada waktu yang akan datang (ius
constituendum). Hukum asasi (hukum alam).
Hubungan Sistem Hukum
1. Pendahuluan
Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang
dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari
macam-macam bagian. Prof. Subekti, SH
menyebutkan sistem adalah suatu susunan atau
tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri
atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain,
tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil
dari suatu penulisan untul mencapai suatu tujuan”.1
Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat
suatu pertentangan antara bagian-bagian. Selain itu
juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih
diantara bagian-bagian itu. Suatu sistem mengandung

26
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

beberapa asas yang menjadi pedoman dalam


pembentukannya.2
Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas
dari asas-asas yang mendukungnya. Untuk itu
hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan
atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup,
keseluruhannya terdiri bagian-bagian yang berkaitan
satu sama lain.3 Dapat disimpulkan bahwa sistem
hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan
yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur
yang satu sama lain saling berhubungan dan
berkaitan secara erat. Untuk mencapai suatu tujuan
kesatuan tersebut perlu kerja sma antara bagian-
bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana
dan pola tertentu.4
2. Sistem Hukum Eropa Kontinental (civil law system)
Sistem hukum ini berkembang di negara- negara
Eropa daratan dan sering disebut sebagai “Civil Law”
yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang
berlaku di kekaisaran romawi pada masa
pemerintahan Kaisar justinianus abad VI sebelum
masehi (Dedi Soemardi, 1997: 73).
Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu
adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada
presiden sehingga undang- undang menjadi sumber
hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat
inkuisitorial. Karakteristik utama yang menjadi
dasar sistem Hukum Civil Law adalah hukum
memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan
dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-
undang dan tersusun secara sistematik di dalam
kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat
bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum
adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya

27
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum


manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan
peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan
hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang
dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum.
Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan
peraturan-peraturan dalam batas-batas
wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu
perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara
saja (Doktrins Res Ajudicata).
Karakteristik kedua pada sistem Civil Law tidak dapat
dilepaskan dari ajaran pemisahan kekusaan yang
mengilhami terjadinya Revolusi Perancis. Menurut
Paul Scolten, bahwa maksud sesungguhnya
pengorganisasian organ-organ negara Belanda adalah
adanya pemisahan antara kekuasaan pembuatan
undang-undang, kekuasaan peradilan, dan sistem
kasasi adalah tidak dimungkinkannya kekuasaan
yang satu mencampuri urusan kekuasaan lainnya.
Penganut sistem Civil Law memberi keleluasaan yang
besar bagi hakim untuk memutus perkara tanpa perlu
meneladani putusan-putusan hakim terdahulu. Yang
menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat
oleh parlemen, yaitu undang-undang (Jeremias
Lemek, 2007: 45).
Karakteristik ketiga pada sistem hukum Civil Law
adalah apa yang oleh Lawrence Friedman disebut
sebagai digunakannya sistem Inkuisitorial dalam
peradilan. Di dalam sistem itu, hakim mempunyai
peranan yang besar dalam mengarahkan dan
memutuskan perkara; hakim aktif dalam menemukan
fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Menurut
pengamatan Friedman, hakim di dalam sistem hukum
Civil Law berusaha untuk mendapatkan gambaran

28
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal.


Sistem ini mengandalkan profesionalisme dan
kejujuran hakim.
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal
dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan
perundang-undangan, kebiasaan- kebiasaan, dan
yurisprudensi. Dalam rangka menemukan keadilan,
para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun
quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber
tersebut. Dari sumber-sumber itu, yang menjadi
rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Civil
Law adalah peraturan perundang-undangan. Negara-
negara penganut civil law menempatkan konstitusi
pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan
perundang-undangan. Semua negara penganut civil
law mempunyai konstitusi tertulis (Soerojo
Wignjodipoero, 1983: 27-31).
Dalam perkembangannya, sistem hukum ini
mengenal pembagian hukum publik dan hukum
privat. Hukum publik mencakup peraturan-peraturan
hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang
penguasa/negara serta hubungan-hubungan antara
masyarakat dan negara (sama dengan hukum publik
di sistem hukum Anglo-Saxon). Hukum Privat
mencakup peraturan-peraturan hukum yang
mengatur tentang hubungan antara individu-individu
dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya.
Sistem hukum ini memiliki segi positif dan negatif.
Segi positifnya adalah hampir semua aspek
kehidupan masyarakat serta sengketa-sengketa yang
terjadi telah tersedia undang-undang/hukum tertulis,
sehingga kasus-kasus yang timbul dapat diselesaikan
dengan mudah, disamping itu dengan telah
tersedianya berbagai jenis hukum tertulis akan lebih
menjamin adanya kepastian hukum dalam proses

29
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

penyelesaiannya. Sedang segi negatifnya, banyak


kasus yang timbul sebagai akibat dari kemajuan
zaman dan peradaban manusia, tidak tersedia
undang-undangnya. Sehingga kasus ini tidak dapat
diselesaikan di pengadilan. Hukum tertulis pada
suatu saat akan ketinggalan zaman karena sifat
statisnya. Oleh karena itu, sistem hukum ini tidak
menjadi dinamis dan penerapannya cenderung kaku
karena tugas hakim hanya sekedar sebagai alat
undang-undang. Hakim tak ubahnya sebagai abdi
undang-undang yang tidak memiliki kewenangan
melakukan penafsiran guna mendapatkan nilai
keadilan yang sesungguhnya.
3. Sistem Hukum Anglo Saxon (comman law system)
Nama lain dari sistem hukum Anglo-Saxon adalah
“Anglo Amerika” atau Common Law”. Merupakan
sistem hukum yang berasal dari Inggris yang
kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara-
negara bekas jajahannya. Kata “Anglo Saxon” berasal
dari nama bangsa yaitu bangsa Angel-Sakson yang
pernah menyerang sekaligus menjajah Inggris yang
kemudian ditaklukan oleh Hertog Normandia,
William. William mempertahankan hukum kebiasaan
masyarakat pribumi dengan memasukkannya juga
unsur-unsur hukum yang berasal dari sistem hukum
Eropa Kontinental (Sunaryati Hartono, 1991: 15).
Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai
untuk menyebut penduduk Britania Raya, yakni
bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia,
Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka
menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia
Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas
mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi.
Mereka dinasranikan antara 596-655 M (Handoyo,
Hestu Cipto, 2009: 58).

30
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

Sistem hukum anglo saxon merupakan suatu sistem


hukum yang didasarkan pada yurispudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang
kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim
selanjutnya. Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung
lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang
berjalan dinamis sejalan dengan dinamika
masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga
peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap
lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa
keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh
masyarakat secara nyata. Sistem hukum ini
diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia
Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi
Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara
bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini
bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental
Napoleon). Selain negara- negara tersebut, beberapa
negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-
Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan
Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem
hukum Anglo saxon, namun juga memberlakukan
hukum adat dan hukum agama.
Putusan hakim/pengadilan merupakan Sumber
hukum dalam sistem hukum Anglo saxon. Dalam
sistem hukum ini peranan yang diberikan kepada
seorang hakim sangat luas. Hakim berfungsi tidak
hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan
menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja.
Hakim juga berperan besar dalam membentuk
seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim
mempunyai wewenang yang sangat luas untuk
menafsirkan peraturan hukum yang berlaku. Selain
itu, bisa menciptakan hukum baru yang akan menjadi
pegangan bagi hakim-hakim lain untuk
menyelesaikan perkara sejenis. Sistem hukum ini
31
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

menganut doktrin yang dikenal dengan nama ”the


doctrine of precedent/Stare Decisis”. Doktrin ini pada
intinya menyatakan bahwa dalam memutuskan suatu
perkara, seorang hakim harus mendasarkan
putusannya pada prinsip hukum yang sudah ada
dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis
sebelumnya (preseden).
Dalam perkembangannya, sistem hukum ini
mengenal pembagian hukum publik dan hukum
privat. Hukum privat dalam sistem hukum ini lebih
ditujukan pada kaidah-kaidah hukum tentang hak
milik, hukum tentang orang, hukum perjanjian dan
tentang perbuatan melawan hukum. Hukum publik
mencakup peraturan- peraturan hukum yang
mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa/negara
serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan
negara. Sistem hukum ini mengandung kelebihan
dan kekurangan. Kelebihannya hukum anglo saxon
yang tidak tertulis ini lebih memiliki sifat yang
fleksibel dan sanggup menyesuaikan dengan
perkembangan zaman dan masyarakatnya karena
hukum-hukum yang diberlakukan adalah hukum
tidak tertulis (Common law). Kelemahannya, unsur
kepastian hukum kurang terjamin dengan baik,
karena dasar hukum untuk menyelesaikan
perkara/masalah diambil dari hukum kebiasaan
masyarakat/hukum adat yang tidak tertulis.
4. Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental Dengan
Sistem Hukum Anglo Saxon
Beberapa perbedaan antara sistem hukum Eropa
kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai
berikut :
a. Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem
peradilan administrasi, sedang sistem hukum

32
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

anglo saxon hanya mengenal satu peradilan


untuk semua jenis perkara.
b. Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern
karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan
tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon
dikembangkan melalui praktek prosedur hukum.
c. Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental
adalah suatu sollen bulan sein sedang menurut
sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang
berlaku dan ditaati oleh masyarakat.
d. Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam
pengambilan keputusan atau penyelesaian
sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak
menurut sistem hukum eropa kontinental sedang
penemuan kaidah secara kongkrit langsung
digunakan untuk penyelesaian perkara menurut
sistem hukum anglo saxon.
e. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak
dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah
sedang pada sistem hukum anglo saxon
dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi,
yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi
kemungkinan untuk melakukan elaborasi
terhadap kaidah-kaidah yang ada guna
mengurangi ketegaran.
f. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal
dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada
sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
g. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada
sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap
sebagai kaidah atau sumber hukum sedang pada
sistem hukum anglo saxon keputusan hakim

33
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

terdahulu terhadap jenis perkara yang sama


mutlak harus diikuti.
h. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan
hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis,
tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang
pada sistem hukum anglo saxon pandangan
hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus
tertentu.
i. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan
hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum
didasarkan pada hukum tentang kewajiban
sedang pada sistem hukum anglo saxon
kategorisasi fundamental tidak dikenal.Pada
sistem hukum eropa kontinental strukturnya
terbuka untuk perubahan sedang pada sistem
hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah
yang sangat kongrit.

34
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

Daftar Pustaka
Dedi Soemardi, 1997, Pengantar Hukum Indonesia,
Jakarta : Indhillco.
Djaja S. Meliala, 1977, Hukum di Amerika Serikat, suatu
studi perbandingan, Bandung: Tarsito.
Handoyo, Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negara
Indonesia. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya.
Inu Kencana Syafiie, 2003, Sistem Adminitrasi Negara
Republik Indonesia (SANRI), Jakarta : Bumi aksara.
Jenny Barmawi, 1989, Perbandingan hukum Belanda
dalam hukum kontinental dan hukum Inggris Amerika,
Yogyakarta : pusaka kartin.
Jeremias Lemek, 2007, Mencari Keadilan: Pandangan
Kritis Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia.
Jakarta : Galang Press.
René de Groot, Gerard, 1989, Doeleinden en techniek der
rechtsvergelijking, Rijksuniversiteit Limburg, Faculteit
der Rechtsgeleerdheid, Maastricht.
Soerojo Wignjodipoero, 1983, Pengantar dan Asas-asas
Hukum adat, Jakarta : Gunung Agung.
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional, Bandung : Alumni.
Soerjono Soekanto, 1989, Perbandingan hukum,
Bandung: Melati.
Sunarjati Hartono, 1988, Kapita selekta perbandingan
hukum, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
SF, Marbun dkk, 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran
Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press.
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional, Bandung : Alumni.

35
PERBANDINGAN DAN HUBUNGAN SISTEM HUKUM

Profil Penulis
Faharudin. Lahir di Jayapura 26 November 1980,
dosen pada Universitas Dayanu Ikhsanuddin.
Alumni S1 (2004) Universitas Dayanu Ikhsanuddin
Baubau, S2 (2014) Universitas Hasanuddin
Makssar dan saat ini (2019) menempuh
pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di
Universitas Hasanuddin Makassar.
2002-2003 Pengurus Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Kota
Baubau; 2002-2003 Pengurus Yayasan Masyarakat dan Cinta
Lingkungan Kota Baubau; 2002-2006 Sekretaris Jenderal
Forum Masyarakat Lokal Pengungsi Nasional (For-Malino)
Sulawesi Tenggara; 2005-2007 Direktur Lembaga Studi Islam
(LSI) Cakrawala Kota Baubau; 2007-2009 Pengurus Pusat
Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Kota Baubau; 2011-2012
Dewan Pembina Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Unidayan dan
lain sebagainya.
Karya yang telah dipublikasikan antara lain, Jurnal Ilmiah :
2017 Prinsip Checks and Balances ditinjau dari sisi teori dan
praktik; 2015 Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amendemen
Konstitusi (Tinjauan Hubungan Fungsional, Pelaporan, dan
Pengawasan); 2016 Prinsip Checks and Balances Ditinjau Dari
Sisi Teori dan Praktik. Buku : 2020: Perkembangan Filsafat
Hukum Kontemporer.
Email : faharudin@unidayan.ac.id

36
3
Hukum Sebagai Kontrol Sosial dan
Alat Perubahan Sosial

FADILLAH MURSID
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

H ukum merupakan suatu inter subsistem dalam


masyarakat yang semakin luas ruang lingkup,
maupun peranannya. Fungsi hukum dalam tatanan
kehidupan masyarakat merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari interaksi sosial yang menjadikan hukum
sebagai panglima. Menurut para ahli, hukum memiliki
Fungsi dan peranan yang beragam. Ronny Hanitijo
Soemantri menyitir pendapat Rudolf Von Ihering yang
menyatakan bahwa hukum hanya merupakan salah satu
cara untuk mencapai tujuan masyarakat yaitu melakukan
pengendalian sosial. Darji Darmodiharjo dan Sidarta
mengatakan, bahwa hukum mempunyai berbagai fungsi.
Pertama, Hukum berfungsi sebagai sistem kontrol sosial
(social control). Kedua, Sistem Hukum berfungsi sebagai
sarana penyelesaian konflik (dispute settlement). Ketiga,
sistem hukum berfungsi untuk memperbaharui/merubah
masyarakat (social engineering) (Dewa Gede Sudika
Mangku, 2020). Dari berbagai fungsi hukum yang
dikemukakan para ahli, pada tulisan ini akan
memfokuskan pada dua fungsi hukum, yaitu hukum
sebagai kontrol sosial dan hukum sebagai alat perubahan
sosial.

37
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

Hukum Sebagai Kontrol Sosial


Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial,
maka hukum merupakan salah satu alat pengendali
sosial. Hukum sebagai kontrol sosial tentu bukan hanya
satu-satunya, alat lain masih ada sebab masih saja diakui
keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan,
kesusilaan). Kontrol sosial merupakan aspek normatif
kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan
sebagai pemberi defenisi tingkah laku yang menyimpang
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai
larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi (Satjipto
Raharjo, 1983).
Hukum sebagai alat kontrol sosial memberikan arti bahwa
ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah
laku manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan
sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap aturan
hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan
sanksi atau tindakan terhadap si pelanggar. Karena itu,
hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh
pelakunya. Hal ini berarti bahwa hukum mengarahkan
agar masyarakat berbuat secara benar menurut aturan
sehingga ketentraman terwujud.
Fungsi hukum dalam arti sebagai kontrol sosial dapat
dipahami hukum sebagai sarana pengawasan dalam tertib
kehidupan sosial masyarakat. Pada tiap-tiap lingkungan
masyarakat tidak ada jaminan segenap unsur manusia
dalam masyarakat adalah baik, ada saja yang melakukan
tindakan penyimpangan yang bertentangan dengan tata
nilai yang dianut oleh masyarakatnya, seperti pelanggaran
hukum, sehingga diperlukan adanya pengawasan atau
kontrol hukum untuk memulihkan dan pencegahan
meluasnya perilaku menyimpang tersebut (Salle, 2020).
Hukum sebagai sarana kontrol sosial bertujuan untuk
memberikan suatu batasan tingkah laku masyarakat yang

38
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

menyimpang, dan akibat yang akan diterimanya karena


penyimpangan tersebut. Penggunaan hukum sebagai
sarana kontrol sosial dapat berarti bahwa hukum itu
mengontrol tingkah laku masyarakat, melihat mana yang
menyimpang dari ketentuan hukum dan menentukan
sanksi apa yang akan diberikan kepada masyarakat yang
melakukan penyimpangan tersebut (Dewa Gede Sudika
Mangku, 2020). Menurut Achmad Ali bahwa fungsi
hukum sebagai alat pengendalian sosial, tidaklah
sendirian dalam masyarakat, melainkan menjalankan
fungsi itu bersama-sama dengan pranata social lainnya
yang juga melakukan fungsi pengendalian sosial,
disamping itu juga merupakan fungsi pasif yaitu hukum
yang menyesuaikan diri dengan kenyataan dalam
masyarakat (Tuti Haryanti, 2014).
Contoh implementasi hukum sebagai kontrol sosial
sangat terlihat pada ranah hukum pidana, meskipun pada
ranah hukum lain seperti hukum perdana, hukum tata
negara, tetap memiliki fusngsi yang sama yakni sebgai
kontrol sosial. Misalnya dalam ranah hukum pidana,
dengan adanya Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya pasal 27-37
yang berisikan tentang perbuatan-perbuatan apa saja
yang dilarang, maka dinamika dan realitas masyarakat di
dunia maya dengan sendirinya akan terkontrol dengan
adanya sanksi hukum jika ada sebagian masyarakat yang
melanggar larangan tersebut. Bisa dibayangkan betapa
masifnya peredaran informasi palsu (hoax), konten yang
melanggar kesusilaan, pencemaran nama baik dan lain
sebagainya yang akan merugikan banyak pihak jika tidak
ada aturan hukum yang mengontrol perilaku masyarakat
di dunia maya.
Rescou Pound menyatakan bahwa kontrol sosial
diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat
manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang

39
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial.


Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan
fungsi utama dari negara dan bekerja melalui penerapan
kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan
teratur oleh agen (apparat penegak hukum) yang ditunjuk
untuk melakukan fungsi itu (Nazaruddin Lathif, 2017).
Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan
dengan baik bila terdapat hal-hal yang mendukungnya.
Pelaksanaan fungsi ini sangat berkaitan dengan materi
hukum yang baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana
sangat menentukan. Orang yang akan melaksanakan
hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau
hukum yang sudah memenuhi harapan suatu masyarakat
serta mendapat dukungan, belum tentu dapat berjalan
dengan baik bila tidak didukung oleh aparat pelaksana
yang komit terhadap pelaksanaan hukum. Hal yang
terakhir inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat
Indonesia. Aparat sepertinya dapat dipengaruhi oleh
unsur-unsur lain yang sepatutnya tidak menjadi faktor
penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta
kolusi. Citra penegak hukum masih rawan (Ali Aspandi,
2002).
Sebagai sarana kontrol sosial, hukum diartikan sebagai
suatu proses yang dilakukan untuk memengaruhi
termasuk mengubah atau mereformasi orang orang agar
bertindak dan bertingkahlaku sesuai dengan harapan
masyarakat. Dalam teori ini jelas mengisyaratkan posisi
Fungsional hukum yang bertindak sebagai kekuatan yang
mengawasi roda kehidupan bermasyarakat. Apa yang
diperbuat oleh anggota masyarakat harus berhadapan
dengan kekuatan hukum. Secara teori this perilaku
masyarakat harus sesuai dengan norma yang telah
diberlakukan jika bertentangan dengan norma yang telah
di gariskan maka aka nada Tindakan atau sanksi-sanksi
nya (Amran Suadi, 2018).

40
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

Dalam perspektif teori seperti itu, apa yang dilakukan


atau dikerjakan masyarakat bukanlah sebagai wujud
menentukan tindak kan sesuai dengan ke mauan dan
kebebasan sendiri, nama sebagai pihak yang ditentukan
dan diawasi cara bergaul, relasi atau ber organisasi nya.
Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan
berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan dari pada
kekuasaan negara sebagai suatu lembaga terorganisir.
Dalam terminologi ini, hukum kelihatan bersifat statis
yaitu sekedar sebagai sarana memecahkan masalah
secara kongkrit untuk mengatur interaksi sosial
masyarakat.
Hukum Sebagai alat untuk kontrol sosial tidak akan
pernah bisa berfungsi demikian jika hal-hal yang
mendukungnya (materi hukum dan aparat penegak
hukum) tidak dapat dilaksanakan. Salah satu contoh
nyata hukum tidak dapat berjalan dalam fungsinya
sebagai kontrol sosial adalah ketika terdapat ketidak
konsistenan pada materi hukum yang di atur. Misalnya
Ketika pemerintah melarang mudik lebaran selama masa
pandemi covod-19, namun kementerian pariwisata justru
menganjurkan untuk berwisata, sebagai upaya
menaikkan retribusi daerah. Adanya materi hukum yang
kontadiktif antar lembaga ini justru akan menjadikan
hukum sebagai alat untuk membuat kebingungan dalam
masyarakat. Hukum sebagai kontrol sosial juga tidak
dapat berjalan sebagaimana fungsinya jika para apparat
hukum dalam melakukan penindakan terhadap
pelanggaran/kejahatan secara tebang pilih.
Atas dasar uraian tersebut dapat di katakan, bahwa
hukum dalam fungsinya sebagai alat kontrol sosial tidak
bisa berjalan begitu saja. Ada banyak faktor yang dapat
mempengaruhi efektifitas berlakunya hukum dalam
fungsinya untuk kontrol sosial. Sebagai mana yang di
ungkapkan oleh Lawrence W. Friedman mengemukakan

41
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

bahwa efektif tidaknya penegakan hukum tergantung


pada sistem hukum yang mencakup tiga komponen atau
sub-sistem, yaitu komponen struktur hukum (structure of
law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya
hukum (legal culture) (Sudjana, 2019). Selain itu Soerjono
Soekanto menambahkan dua faktor mempengaruhi
tegaknya hukum dalam fungsinya sebagai kontrol sosial
selain dari yang di kemukakan Friedman di atas yaitu
faktor sarana atau fasilitas dan faktor masyarakat
(Soerjono Soekanto. 2011).
Hukum Sebagai Alat Perubahan Sosial
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial jelas
merupakan sebuah persoalan central sehingga dapat
dilihat seberapa jauh hukum dapat mempengaruhi
perubahan sosial secara independen atau sebaliknya
perubahan sosial membentuk hukum. Pada dasarnya,
kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada
dalam kondisi yang kurang seimbang. Ada yang terlalu
dominan, dan ada pula yang terpinggirkan. Untuk
menciptakan dunia yang beradab ketimpangan
ketimpangan structural itu perlu ditata ulang dalam
keseimbangan yang proporsional. Dalam konteks
keperluan tersebut, hukum yang bersifat logis analitis
(hukum murni) dan serba abstrak ataupun yang berisi
gambaran realitas apa adanya (sosilogis), tidak mungkin
diandalkan hukum dengan tipe tersebut hanya dapat
memberikan dampak pada pengukuhan apa yang ada
(social control), ia tidak merubah keadaan. Karena itu,
perlu Langkah Progresif yakni mengfungsikan hukum
untuk menata perubahan masyarakat (social). Dari
sinilah muncul teori Roscoe Pound tentang law is tool of
social engineering (Bernard l.t et.al, 2013).
Hukum sebagai alat untuk perubahan sosial (Law as a
tool of sosial engineering) merupakan teori yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum

42
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

sebagai alat pembaharuan/merekayasa dalam


masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat
berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya
daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya,
alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang-
undangan dalam proses pembaharuan hukum di
Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula)
dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi
tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil
yang sama daripada penerapan faham legisme yang
banyak ditentang di Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja,
2006).
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan
sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku
warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya . Fungsi hukum sebagai
sarana perekayasaan sosial atau mengubah masyarakat
adalah untuk menciptakan perubahan perubahan dalam
masyarakat untuk menuju masyarakat yang dicita
citakan. Artinya, untuk menata masyarakat agar tercapai
sesuai dengan apa yang diceritakan dalam pembangunan
suatu bangsa dan negara.
Kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan yang
sangat pesat sesuai dengan perkembangan sosial,
budaya, perekonomian, teknologi, dan segala sesuatu
yang dapat mempengaruhi perkembangan masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu, lembaga legislatif selaku
pembentuk hukum harus selalu mengikuti
perkembangan dan perubahan realitas masyarakat, agar
dapat menciptakan hukum yang tidak tertinggal dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri. Sebab, jika hukum
yang dibuat selalu tertinggal dengan realitas yang ada,

43
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

maka fungsi hukum sebagai pengubah atau merekayasa


masyarakat tidak lagi dapat berjalan sebagaimana fungsi
dan cita hukum itu dibentuk. Hukum yang selalu
tertinggal sejatinya hanya mampu mengontrol tingkah
laku masyarakat yang menyimpang dan mempertahankan
pada perilaku dan sarana penyelesaian konflik, tanpa
mampu menyelesaikan suatu peristiwa atau kejadian
yang seharusnya sudah diatur.
Fokus utama Roscoe Pound dengan konsep social
enginering adalah interes balancing, dan karenanya yang
terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang
diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat kea rah yang
lebih maju. Bagi Roscoe Pound antara hukum dan
masyarakat terdapat hubungan yang Fungsional. Dan
karena kehidupan hukum terletak pada karya yang
dihasilkannya bagi dunia social, maka tujuan utama
dalam social enginering adalah untuk mengarahkan
kehidupan sosial ke arah yang lebih baik dan maju.
Menurutnya, hukum tidaklah menciptakan kepuasan,
tapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia
untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan
(Bernard l.t et.al, 2013).
Hukum sebagai sarana social enginering, bermakna
penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib
masyarakat sebagaimana dicita citakan, atau untuk
melakukan perubahan yang diinginkan. Hukum tidak lagi
dilihat sekedar sebagai tatanan penjaga status quo, tetapi
juga diyakini sebagai system pengaturan untuk mencapai
tujuan tujuan tertentu secara terencana.
Sudah tentu, mekanisme perubahan sosial yang
dimaksud, merupakan suatu proses yang terencana
dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau
bahkan memaksa anggota anggota masyarakat agar
mengikuti norma norma hukum atau tata tertib hukum
yang ditetapkan sebagai norma baru. Dapat dikatakan,

44
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

hukum dalam konsep social enginering, sangatlah


instrumental sifatnya. Kehidupan social, menurut konsep
ini dapat dengan mudah dipengaruhi oleh hukum sebagai
system pengaturan terkendali dan koersif.
Atas dasar keyakinan yang demikian itulah, maka
dapatlah dimengerti jika penggunaan hukum modern
senantiasa diarahkan untuk menjadi sarana
menyalurkan kebijakan kebijakan demi menciptakan
keadaan keadaan yang baru, dan tidak lagi sekedar
merekam kembali pola-pola tingkah laku yang terdapat
dalam masyarakat. Roscoe Pound menegaskan bahwa
hukum sejatinya dapat digunakan sebagai alat atau
pelopor perubahan (agen of change). Satu perubahan
sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada
di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor
perubahan tersebut. Cara-cara untuk memengaruhi
masyarakat dengan system tertentu dan dirancang
terlebih dahulu dinamakan social enginering atau social
plening (Amran Suadi, 2018).
Yeheskel Dror mengatakan bahwa hukum memainkan
peranan penting dalam mendorong terjadinya perubahan
sosial dalam berbagai cara. Pertama, hukum dapat
membentuk institusi-institusi sosial yang akan membawa
pengaruh pada karakter perubahan sosial. Kedua, hukum
seringkali merupakan sebuah agensi yang mempercepat
terjadinya perubahan. Ketiga, hukum membentuk
kewajiban kewajiban hukum untuk mendorong terjadinya
perubahan (Rogger Cotterel, 2014).
Hukum mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh
yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya
perubahan sosial misalnya suatu peraturan yang
menentukan system Pendidikan tertentu bagi warga
negara mempunyai pengaruh secara tidak langsung yang
sangat penting bagi terjadinya perubahan perubahan
sosial di masa yang akan datang. Hukum dalam fungsinya

45
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

sebagai alat untuk perubahan sosial sangat terlihat dan


berpengaruh secara langsung adalah seperti yang terjadi
di era pandemi covid-19. Sejak Covid-19 mewabah di
Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan
mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kesehatan
Masyarakat tentang Penggunaan Masker Dan Penyediaan
Sarana Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Untuk Mencegah
Penularan Coronavirus Desease 19 (Covid-19) yang
ditujukan kepada seluruh kepala dinas kesehatan
provinsi untuk membuat kebijakan yang mewajibkan
penggunaan masker oleh semua orang ketika berada di
luar rumah dan himbauan menyediakan sarana CTPS.
Sejak kebijakan pemerintah dengan aturan hukum
tersebut, masyarakat Indonesia menjalani kehidupan
sehari-harinya dengan kehidupan normal baru (new
normal), dengan senantiasa menggunakan masker dika
bepergian keluar rumah dan di tempat-tempat fasilitas
umum selalu ditemukan tempat cuci tangan. Realitas new
normal tersebut adalah dampak langsung terhadap
kebijakan pemerintah dengan berbagai aturan hukum
yang ada.
Hakim sangat berperan dalam melakukan perubahan
hukum masyarakat sehingga putusan putusan
pengadilan juga dipandang sebagai alat untuk perubahan
sosial dalam melakukan pengembangan antara stabilitas
hukum dengan kepastian terhadap perkembangan
hukum sebagai alat revolusi sosial (Achmad Ali, 2015).
Peranan hakim dalam menggerakkan fungsi pembaru
hukum Terlaksana melalui putusan putusan yang
responsive terhadap perubahan dan ekspektasi sosial
terhadap hukum. Maka dengan putusan hakim yang
demikian dapat berfungsi sebagai yurisprudensi yang
merupakan salah satu sumber hukum, disamping sumber
hukum lainnya seperti: Undang-Undang Dasar, Undang-

46
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

Undang, Kebiasaan, Traktat atau Perjanjian dan Doktrin


atau pendapat para ahli hukum terkemuka.
Di Indonesia ada banyak sekali yuresprudensi yang
berdampak pada perubahan sosial. Seperti Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Pada
hari Jum’at 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi
menjatuhkan putusan yang bersifat revolusioner dalam
perkara permohonan Pengujian UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang diajukan oleh Hj. Aisyah
Mochtar alias Machica dan Muhammad Iqbal Ramadhan
(anak dari Machica). Dalam salah satu permohonannya,
disebutkan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah
menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan
hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat
diskriminatif. Pasal 43 ayat (1) dianggap bertentangan
dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya
mengabulkan untuk Sebagian permohonan yang diajukan
pemohon. Salah satu putusannya yaitu Pasal 43 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai
hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan

47
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

perdata dengan keluarga ayahnya”. Dengan putusan ini


maka anak hasil nikah siri ataupun di luar nikah berhak
mendapatkan hak-hak keperdataan dari ayah biologisnya,
antara lain biaya hidup, akte lahir, perwalian, hingga
warisan (Prianter Jaya Hairi, 2012). Dengan adanya
putusan ini pula seorang laki-laki akan berfikir dua kali
untuk lari dari tanggungjawab terhadap hak-hak
keperdataan anak biologisnya.
Sifat hukum sebagai produk by design intelektual-ilmiah
dalam konsep social enginering, terlihat jelas dalam
rincian persoalan yang menurut Pound wajib dilakukan
oleh seorang ahli hukum Sosiologis agar hukum dapat
benar benar efektif sebagai alat perubahan sosial. Secara
sistematis Pound mengemukakan enam langkah yang
harus dilakukan dalam mewujudkan hukum sebagai
sarana perubahan sosial yaitu (Satjipto Raharjo, 2009):
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari Lembaga
Lembaga serta ajaran ajaran hukum
2. Melakukan studi sosiologis dalam rangka
mempersiapkan perundang undangan untuk
mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta
efek yang ditimbulkan, untuk kemudian dijalankan
3. Melakukan studi tentang bagaimana peraturan aku
menjadi efektif
4. Memperhatikan secara hukum, artinya mempelajari
efek sosial yang ditimbulkan oleh ajaran ajaran
hukum pada masa yang lalu dan bagaimana cara
menimbulkan nya. Studi itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bagaimana hukum pada masa yang
lalu itu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi, dan
pisikolog is, dan bagaimana ia menyesuaikan diri
pada kesemuanya itu, dan seberapa jauh kita dapat
mendasarkan atau mengabaikan hukum itu guna
mencapai hasil yang kita inginkan.

48
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

5. Pentingnya melakukan penyelesaian individu wall


berdasarkan nalar, bukan berdasarkan peraturan
hukum semata. Artinya, hakim diberi keleluasaan
untuk memutuskan perkara berdasarkan nalar yang
umum untuk memenuhi tuntutan keadilan dari pihak
pihak yang bersengketa
6. Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan tujuan
hukum dapat tercapai
Enam persyaratan di atas merupakan rangkaian aktivitas
yang sedikit banyak bersifat intelektual dan terencana
dalam men design hukum sebagai alat perubahan sosial.
Menurut Raharjo, usaha yang sistematis tersebut tampak
diantaranya dalam teknik-teknik pengundang undangan
yang dipakai, dan yang sangat mirip dengan cara-cara
pemecahan masalah dalam menejemen yang ilmiah.
Kegiatan menyiapkan hukum dalam rangka social
enginering memang lebih merupakan suatu usaha ilmiah,
dan karenanya niscaya untuk dapat disempurnakan
melalui usaha amnesia yang dilakukan secara sistematis
dan dendikia. Permasalahan hukum sebagai alat
perubahan sosial, berkaitan dengan fungsi hukum dalam
pembangunan, dan bahkan merupakan hubungan antara
perubahan hukum dan perubahan masyarakat (Soerjono
Soekanto, 1983).

49
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

Daftar Pustaka
Ali, A. (2015). Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Kencana.
Bernard, L.T. et.al. (2013). Teori Hukum: Strategi tertib
Amnesia Lintas Generasi, Genta Publishing.
Cetterel, R. (2014). Sosiologi Hukum, Bandung: Nusa
Media.
Hairi, P.J. (2012). Status Keperdataan Anak Diluar Nikah
Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010. Info Singkat Hukum Vol. IV, No.
06/II/P3DI/Maret, 1-4.
Haryati, T. (2014). Hukum dan Masyarakat. Tahkim Vol.
X No. 2, Desember, 160-168.
Kusumaatmadja, M. (2006). Hukum, Masyarakat, dan
Pembangunan. Bandung: Binacipta.
Lathif, N. (2017). Teori Hukum Sebagai Sarana/Alat
Untuk Memperbaharui atau Merekayasa Masyarakat.
Pakuan Law Review Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni,
73-94.
Mangku, D.G.S. (2020). Pengantar Ilmu Hukum, Klaten:
Penerbit Lakeisha.
Raharjo, S. (1983). Hukum, Masyarakat dan
Pembangunan, Bandung :Alumni.
Raharjo, S. (2009). Hukum dan Perubahan Sosial,
Yogyakarta: Genta Publishing.
Salle. (2020). Sistem Hukum dan Penegakan Hukum,
Makasar: Penerbitsign.
Soekanto, S. (1983). Beberapa permasalahan hukum
dalam kerangka pembangunan di Indonesia, Jakarta:
UI Press.
Soerjono, S. (2009). Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: Rajawali Pers.

50
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

Soerjono, S. (2011). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Penegakan Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suadi, A. (2018), Sosiologi Hukum: Penegakan, Realitas
dan Nilai Moralitas Hukum, Jakarta: Kencana.
Sudjana. (2019). Penerapan Sistem Hukum Menurut
Lawrence W Friedman Terhadap Efektivitas
Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000.
Al Amwal: Vol. 2, No. 1, Agustus, 78-94.

51
HUKUM SEBAGAI KONTROL SOSIAL DAN ALAT PERUBAHAN SOSIAL

Profil Penulis
Fadillah Mursid. Penulis merupakan lulusan S-1
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 2010 dan lulus tahun
2014. Kemudian melanjutkan Studi S-2 (Magister)
pada dua kampus yang berbeda yakni Prodi S-2
(magister) Hukum Pidana di Universitas Islam
Indonesia lulus pada tahun 2016, dan Prodi S-2 (magister)
Hukum Bisnis Syariah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Saat ini penulis menjadi dosen tetap di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Raden Fatah Palembang dan saat ini penulis
sedang mendapat amanah untuk menjadi Sekretaris Prodi
Hukum Pidana Islam. Selain itu penulis juga aktif menulis
diberbagai jurnal, prosiding, book chapter dengan judul
Gagasan Negara Hukum yang Demokratis.
Selain itu penulis juga tergabung dalam beberapa pusat kajian,
seperti menjadi Wakil Ketua pada pusat kajian anti korupsi dan
menjadi wakil ketua pada Pusat Studi Pancasila, Konstitusi,
dan Undang-Undang di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Raden Fatah Palembang. Penulis juga aktif pada organisasi
kemasyarakatan seperti menjadi Sekretaris pada Forum Dai
Ekonomi Islam (FORDAIs).
Email Penulis:
fadillahmursid_uin@radenfatah.ac.id/fadhilah.mursid@gmail.c
om

52
4
Pencegahan dan Penegakkan
Hukum

MUHAMMAD ZAINUL ARIFIN


Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya Palembang

Dasar Aturan Hukum


Dalam banyak kajian hukum merupakan peraturan
berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan
mengatur tingkah laku manusia untuk menjaga
ketertiban, keadilan, dan mencegah terjadinya
kekacauan. Setiap negara mempunyai aturan-aturan
hukum tersendiri yang berbeda dengan negara lain,
termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara
hukum, sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945.
Yang berbunyi, Indonesia adalah negara hukum.
Hukum dan peraturan digunakan untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat, apabila warga negara tidak
mematuhi hukum yang ada maka secara langsung akan
dijatuhi sanksi berupa denda hingga penjara. Secara
langsung Ketaatan kepada peraturan dan hukum adalah
sebuah konsep yang harus diwujudkan dalam diri setiap
warga negara. Semakin seseorang itu taat hukum, maka
bisa disimpulkan kalau tingkat kesadaran hukumnya
juga tinggi.
Pelaksanaan penegakan hukum tidak selalu sesuai
dengan apa yang tertulis dalam Peraturan Perundang-

53
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

undangan. Lemahnya penegakan hukum menimbulkan


berbagai macam aksi kejahatan terjadi dalam kehidupan.
Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala
sosial yang selalu dihadapi oleh manusia, masyarakat,
dan Negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa
kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi tetapi sulit
diberantas secara tuntas.1
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait
dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga
berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari
perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu
dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau
‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma,
sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan
sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah
nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan
hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey,
hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang
berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule
of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap
sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan
orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The
Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu
sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari
zaman Yunani Kuno.2
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel
Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain

1
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta:Sinar Grafika, 2008,
hlm 1
2
Jimly Asshiddiqie, Konsep Negara Hukum, http://www.jimly.com

54
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.


Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara
hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl,
konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:3
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri
penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu :4
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh
Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri
Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh
“The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip
Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak (independence and impartiality
of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan
mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum

3
Jimly Ashidiqqie, Ibid
4
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta,
1962, hal. 9. Dikutip dalam Jimly Asshiddiqie, Konsep Negara Hukum,
http://www.jimly.com

55
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

menurut “The International Commission of Jurists” itu


adalah:5
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum
Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum
Materiel atau Negara Hukum Modern. Negara Hukum
Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat
formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-
undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara
Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang
Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’
membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu
dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam
arti materiel yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi
negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan
terwujud secara substantif, terutama karena pengertian
orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh
aliran pengertian hukum formil dan dapat pula
dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika
hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti
peraturan perundang-undangan semata, niscaya
pengertian negara hukum yang dikembangkan juga
bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantif.6
Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh
Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’
untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang

5
Jimly Asshiddiqie, Ibid
6
Jimly Asshiddiqie, Ibid

56
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih


esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah
yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang
bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah
‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi
tentang Negara Hukum di zaman sekarang.
Pencegahan Hukum Sebagai Dasar Melindungi
Masyarakat
Penegakan hukum yaitu, upaya untuk dilakukannya
proses penegakan atau fungsi dari norma-norma hukum
secara nyata untuk panduan perilaku di dalam
hubungan-hubungan hukum atau lalu lintas dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan
hukum yaitu, suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial
menjadi kenyataan. Penegakan hukum hakikatnya adalah
proses perwujudan ide-ide. Penegakan hukum bukan
merupakan suatu tindakan yang pasti, yaitu menerapkan
suatu tindakan yang pasti yaitu menerapkan hukum
terhadap suatu kejadian, yang dapat di ibaratkan menarik
garis lurus antara dua titik7
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum
adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang
mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara dan memepertahankan
kedamaian pergaulan hidup
Penegakan hukum secara konkret ialah berlakunya
hukum positif di dalam praktik yang harus ditaati. Jadi,

7
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode Dan Pilihan
Masalah, Sinar Grafika, Yogyakarta, Tahun 2002 hlm190

57
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

memberikan keadilan di dalam suatu perkara berarti


memutuskan hukum in concreto di dalam menjamin dan
mempertahankan di taatinya hukum materiil dengan
menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh
hukum formal.8 Penegakan hukum terdapat dua
perbedaan Penegakan hukum ditinjau dari subjeknya
adalah Penegakan hukum dalam arti luas melibatkan
semua subjek hukum pada setiap hubungan hukum.
Dijalankannya atau tidak dijalankannya aturan normatif
yaitu dengan mendasarkan pada norma aturan hukum
yang berlaku, berarti juga harus menjalankan atau
menegakkan aturan hukum tersebut.
Penegakan hukum dalam arti sempit yaitu sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin
dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dan Penegakan hukum
ditinjau dari objek hukumnya ialah Penegakan hukum
dalam arti luas mencakup pada nilai-nilai keadilan yang
berisi bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan
yang ada dalam masyarakat.Dan dalam penegakan
hukum dalam arti sempit yaitu hanya mengangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Penegakan hukum hakikatnya merupakan upaya
menyelaraskan nilai-nilai hukum dengan merefleksikan di
dalam bersikap dan bertindak di dalam pergaulan demi
terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan dengan menerapkan sanksi-sanksi. Dalam
menegakkan hukum ini, ada 3 hal yang harus
diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan
keadilan.

8
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Sinar Grafika, Yogyakarta,
Tahun 1988, Hlm 33

58
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

1. Kepastian hukum
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, setiap
orang menginginkan dapat ditegakkan hukum
terhadap peristiwa konkret yang terjadi, bagaimana
hukumnya, itulah yang harus diberlakukan pada
setiap peristiwa yang terjadi. Jadi pada dasarnya tidak
ada penyimpangan. Bagaimana pun juga hukum
harus ditegakkan, sampai-sampai timbul perumpaan
“meskipun besok hari kiamat, hukum harus tetap
ditegakkan”. Inilah yang diinginkan kepastian
hukum. Dengan adanya kepastian hukum, ketertiban
dalam masyarakat tercapai.
2. Kemanfaatan
Pelaksanaan dan penegakan hukum juga harus
memperhatikan kemanfaatannya dan kegunaannya
bagi masyarakat. Sebab hukum justru dibuat untuk
kepentingan masyarakat (manusia). Karenanya
pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi
manfaat dalam masyarakat. Jangan sampai terjadi
pelaksanaan dan penegakan hukum yang merugikan
masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan
keresahan.
3. Keadilan
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa keadilan pada
hakikatnya didasarkan pada 2 hal : pertama asas
kesamarataan, dimana setiap orang mendapat bagian
yang sama. Kedua, didasarkan pada kebutuhan.
Sehingga menghasilkan kesebandingan yang biasanya
diterapkan di bidang hukum.
Pelaksanaan dan penegakan hukum juga harus mencapai
keadilan. Peraturan hukum tidak identik dengan
keadilan. Selain itu juga ada penegakan hukum melalui
aliran Sosiologis dari Roscoe Pound yang memandang

59
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

hukum sebagai kenyataan sosial, hukum sebagai alat


pengendali sosial atau yang dikenal dengan istilah As a
Tool of Sosial Engineerning.9
Dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa
indonesia adalah negara hukum. Konsep negara hukum
merupakan langkah yang dilakukan oleh negara untuk
melindungi masyarakat sebagai tanggung jawab
pemerintah. Pada tatanan hukum, norma-norma yang
ada diciptakan secara sengaja untuk menegakkan suatu
jenis ketertiban tertentu dalam masyarakat dan hukum
menjadi cermin dari kehendak manusia tentang
bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke
mana harus diarahkan. Hukum dalam kontek sebagai alat
pengatur berfungsi sebagai pembagi dan pendistribusian
serta alat kontrol bagi usaha penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya-sumber daya yang ada dalam
masyarakat.10
Pada awalnya hukum dikonstruksikan sebagai alat
kontrol bagi masyarakatnya, terutama apabila
mekanisme-mekanisme kontrol sosial lainnya tidak dapat
berfungsi dengan baik. Hukum sebagai salah satu
perangkat kerja sistem sosial, harus mampu
mengakomodir kebutuhan dan kepentingan serta mampu
memberikan pelayanan yang berkeadilan bagi
masyarakatnya. Hukum harus mampu mengintegrasikan
semua kepentingan dan sumber daya yang ada dalam
masyarakat, sehingga dapat tercipta adanya ketertiban,
keamanan dan perdamaian (social order) dalam
kehidupan masyarakat.

9
Darji Darmodiharjo, Pokok – Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka
Umum, Tahun 2002, Jakarta , Hlm 7
10
Supriyadi. 1989. “Fungsi Hukum dalam Masyarakat yang Sedang
Membangun” dalam Buku Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya.
Bandung : Remaja Karya.

60
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

Hukum dalam fungsinya yang bersifat mengintegrasikan


kepentingan-kepentingan anggota masyarakat dilakukan
dengan jalan mengatur, hukum tidak hanya
memperhatikan hubungan tersebut dari aspek
ketertibannya saja, akan tetapi juga hukum harus mampu
menentukan ukuran-ukuran atau parameter-parameter
tertentu yang sering dalam ilmu hukum disebut dengan
nilai keadilan, bahkan ada orang yang berpandangan
bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dan harus
digabungkan dengan dengan keadilan supaya hukum
sungguh-sungguh mempunyai makna sebagai hukum.11
Dalam perkembangannya pada saat ini hukum tidak saja
dikunstruksikan sebagai alat kontrol sosial, akan tetapi
hukum juga dikunstruksikan sebagai alat perubahan
sosial (a tool of social enginering), konsepsi yang melihat
bahwa hukum sebagai sistem yang memiliki komponen
substantif (kaidah-kaidah) dan komponen struktural serta
kultural (peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan
atau tradisi) memberikan fungsi hukum secara langsung
dan aktif sebagai a tool of social engineering yang dapat
memaksakan perubahan masyarakat.12 Hukum
diharapkan memiliki peran yang optimal untuk
mendorong dan menjadi alat rekayasa terjadinya
perubahan-perubahan sosial sesuai yang diinginkan dan
dicita-citakan oleh masyarakatnya, dalam kontek ini tentu
hukum tidak dapat terpisah dan jauh dari kehidupan
masyarakatnya, sesuai dengan apa yang menjadi inti
pemikiran sociological jurisprudence, yaitu bahwa hukum
yang baik hendaknya harus sesuai dengan hukum yang

11
Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius
12
Erwin Arifin. 1989. “Konsep Mazhab Sociological Jurisprudence dalam
Hubungannya dengan Perkembangan Hukum di Indonesia” Dalam Buku
Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung : Remaja Karya.

61
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

hidup dalam masyarakat.13 Hukum berasal dari


masyarakat dan hidup serta berproses di dalam
masyarakat, maka pembaharuan hukum dalam kontek
untuk melakukan perubahan masyarakat tidak mungkin
dilepaskan secara mutlak dari masyarakatnya sebagai
satu kesatuan sistem sosial.14
Bicara mengenai penegakan hukum maka posisi hukum
sebagai sarana pencegahan konflik, artinya berbagai
kasus yang timbul antar warga negara dengan negara
dapat dijembatani oleh hukum untuk diselesaikan,
namun fungsi ini kemudian mengalami perkembangan
dan pergeseran (pembaharuan), yaitu bergeser pada
hukum sebagai alat kepentingan pembangunan atau yang
populer disebut “hukum sebagai alat untuk menjaga
kewibawaan negara”.15
Berbagai unsur sosial bukan tidak mungkin akan
dihadapkan dengan pro- kontra, antara unsur sosial yang
tetap mempertahankan pola dan teori-teori yang sudah
diakui kebenarannya dengan unsur sosial lain yang
menuntut adanya perubahan dan pemaknaan ulang
terhadap wacana lama yang telah diragukan
kebenarannya dan kemanfaatannya bagi kehidupan dan
perkembangan bangsa.
Negara selaku organisasi yang harus bertindak moderat
melalui badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya
tentu saja punya kewajiban untuk melahirkan, mengkaji
ulang, melakukan reposisi peran atau membuka tafsir
ulang terhadap teori-teori lama dan pemaknaan

13
Najmi. 1989.”Pengaruh Social Engineering dalam Perkembangan Hukum
di Indonesia” dalam Buku Filsafat Hukum Mazhab dan
Refleksinya.Bandung : Remaja Karya
14
Supriyadi, Op.Cit, Hlm 21
15
Kosmas Dohu, Peranan Hukum Sebagai Alat Untuk Merubah Masyarakat
Dalam Kehidupan Sehari-Hari, Jurnal Warta Edisi : 49 Juli tahun 2016

62
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

terhadapnya. Aspek kerja hukum dalam hubungannya


dengan perubahan sosial, yaitu :
1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial
2. Hukum sebagai sarana social engineering
Sebagai sarana kontrol sosial, hukum diartikan sebagai
suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi
(termasuk merubah/mereformasi) orang-orang agar
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat.
Dalam teori ini jelas mengisyaratkan posisi fungsional
hukum yang bertindak sebagai kekuatan yang mengawasi
roda kehidupan bermasyarakat.
Perilaku anggota masyarakat selalu dalam pantauan dan
pertanggungjawaban hukum. Apa yang diperbuat oleh
anggota masyarakat harus berhadapan dengan kekuatan
hukum. Secara teoritis, perilaku masyarakat harus sesuai
dengan norma yang telah diberlakukan. Jika
bertentangan dengan norma yang telah digariskan, maka
akan ada tindakan atau sanksi-sanksinya.
Dalam perspektif teori seperti itu, apa yang dilakukan
atau dikerjakan masyarakat bukanlah sebagai wujud
menentukan tindakan sesuai dengan kemauan dan
kebebasan sendiri, namun sebagai pihak yang ditentukan
dan diawasi cara bergaul, berelasi atau berorganisasinya.
Kontrol sosial (social control)16 tersebut dijalankan dengan
menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan daripada kekuasaan negara sebagai suatu
lembaga yang terorganisir. Dalam terminologi ini, hukum
kelihatan bersifat statis yaitu sekedar sebagai sarana

16
Social control adalah pengawasan dari kelompok atau individu lain yang
mengarahkan peran indiviidu atau kelompok sebagai bagian dari
masyarakat agar tercipta situasi kemasyarakatan sesuai dengan
harapan sosial, yaitu kehidupan sosial yang kompormis.

63
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

memecahkan masalah secara konkrit untuk mengatur


interaksi sosial masyarakat.
Demikian pula misalnya yang harus dihindari adalah agar
tindakan organ pemerintahan tidak
mengarah/melakukan perbuatan kesewenang-wenangan,
untuk itu diperlukan upaya pengawasan secara yuridis
terhadap tindakan organ pemerintahan yang
bersangkutan, disamping organ pemerintahan tersebut
harus mempertanggung jawabkan tindakannya secara
hukum dan moral.
Hukum sebagai kekuatan kontrol sosial itu menggunakan
pembenaran teori hukum yang condong bersifat
menempatkan negara sebagai organisasi yang paling
bertanggung jawab dalam pemberdayaan hukumnya.
Teori-teori hukum dipinjam untuk menghidupkan hukum
sebagai alat mengawasi perilaku anggota masyarakat dan
menyelesaikan sejumlah problem yang muncul ditengah
masyarakat.
Kepentingan interaksi sosial lebih dominan dilindungi dari
perilaku anggotanya yang kemungkinan merugikan atau
melanggar norma-norma. Hal ini biasanya dibebankan
lewat sejumlah alat-alat negara yang sudah ditunjuk
menjadi penegak hukumnya, sehingga teori-teori hukum
yang dibangun para pakar dapat terlihat implementasinya
secara empirik (das sein).
Penegakan Hukum dan Keadilan
Perkembangan penegakan hukum di Indonesia yang
masih belum berjalan baik, salah satunya karena
penegakan hukum yang masih diartikan sebagai
penegakan undang-undang semata sehingga keadilan
prosedural dijadikan acuan dalam proses penegakan
hukum. Jika dilihat dari pendekatan filsafat, maka pada
hakikatnya tujuan penegakan hukum adalah untuk
mewujudkan apa yang hendak dicapai oleh hukum.

64
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

Esensi dari tujuan hukum itu sendiri adalah terletak pada


keadilan.
Filsafat hukum sendiri merupakan bagian penelusuran
kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup filsafat.
Filsafat merupakan kegiatan berpikir secara sistematikal
yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang
timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak
membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal,
psikis atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya
mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-
gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu
yang lebih dalam, ciri-ciri khas, dan hakikat mereka. Ia
berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di
dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau
dipikirkan. 17

Membicarakan konsep penegakan hukum dari tinjauan


filsafat hukum dapat dikaji dari faktor penegak hukum
khususnya hakim sebagai manusia yang akan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim
dalam kaitannya dengan penegakan hukum adalah dua
hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-
pisahkan yaitu “hukum dan keadilan”, sebagaimana
seorang filsuf hukum terkemuka Gustav Radbruch
menjelaskan bahwa: “Hukum itu adalah hasrat kehendak
untuk/demi mengabdi pada keadilan.”18 Lebih lanjut,
pada dasarnya tugas hakim dalam penegakan hukum
akan sangat berkait erat dengan persoalan filsafat hukum

17
Arief Sidharta, “Pendekatan Hukum Progresif dalam Mencairkan Kebekuan
Produk Legislasi,” dalam Moh. Mahfud MD, Sidharta, Sunaryati
Hartono, dkk, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum
Progresif (Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro
Semarang), Yogyakarta: Thafa Media dikutip dalam Ucuk Agiyanto,
Penegakan Hukum Di Indonesia : Eksplorasi Konsep Keadilan
Berdimensi Ketuhanan
18
Otje Salman, Filsafat Hukum – Perkembangan dan Dinamika Masalah,
Bandung: PT Refika Aditama, Tahun 2012, Hlm. 58

65
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

sebagaimana dikatakan Roscoe Pound bahwa salah satu


objek filsafat hukum adalah: “The application of law.”19
Lewat penemuan hukum, hakim dituntut untuk
melakukan penafsiran terhadap realitas dalam
memberikan putusan yang adil berdasarkan kebenaran
dan mewujudkan rasa keadilan itu sendiri dengan
menggunakan hati nurani. Hati nurani ini penting sebagai
faktor yang dapat mencegah dan menjaga penemuan
hukum yang harus ditingkatkan dan diasah terus
sehingga mampu menerima hidayah dari Tuhan.
Kembali pada pada konsepsi keadilan, bahwa pada
dasarnya manusia menghendaki keadilan. Para filsuf
memberikan pengertian keadilan berbeda-beda sesuai
dengan pandangan dan tujuannya.20 Aristoteles
memberikan pengertian bahwa keadilan adalah kebajikan
yang berkaitan dengan hubungan antara manusia:
keadilan legalis, distributif, dan komutatif. Thomas
Aquinas, keadilan terbagi 2 (dua), yaitu keadilan umum
(justitia generalis) dan keadilan khusus (justitia specialis).
Sedangkan Roscoe Pound, membagi keadilan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu keadilan yang bersifat yudisial dan
keadilan administratif. Sementara Paul Scholten, bahwa
keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani,
hukum tanpa keadilan bagaikan badan tanpa jiwa.
Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan filsafat
hukum juga berkaitan erat dengan pemikiran John Rawls
yang mengungkapkan 3 (tiga) faktor utama yaitu: (1)
Perimbangan tentang keadilan (gerechtigheit); (2)

19
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, New Haven: Yale
University Press, Tahun 1953, Hlm. 48
20
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Tahun
2002, Hlm. 6

66
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

Kepastian hukum (rechtessichrheit); dan (3) Kemanfaatan


hukum (zweckmassigheit).21
Kajian mengenai keadilan akan selalu dihadapkan pada
antinomi hukum antara keadilan dan kepastian hukum.
Dikatakan sebagai antinomi karena keadilan dan
kepastian hukum tidak dapat diwujudkan sekaligus
dalam situasi yang bersamaan.22 Tidak jarang dalam
kenyataan di masyarakat, sebagaimana terlihat dalam
beberapa kasus yang diputus oleh hakim secara
kontroversial, di mana hukum yang dalam tataran
filsafatnya terkait erat dengan keadilan namun ketika
terejawantahkan dalam ranah praktis menjadi tidak
sebangun dengan nilai keadilan tersebut.
Sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik,
dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan
berdasarkan hukum (rechtsstaat), bukan berdasarkan
atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Penguasa hanya
merupakan pelaksana dari sesuatu hal yang telah
diputuskan atau dikehendaki oleh rakyat.23 Sudah
seharusnya, penegakan hukum di Indonesia juga harus
seperti yang dikehendaki rakyat. Konsepsi yang
menjunjung tinggi nilai keadilan sebenarnya sudah
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tertuang
dalam Pancasila yang dijumpai dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

21
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, Tahun
2008, Hlm. 161
22
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Tahun 1996, Hlm. 160
23
Muhammad Khambali, Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum
di Indonesia, Supremasi Hukum, Volume 3, No.1, (Juni, 2014), hlm. 11-
12

67
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

Faktor-Faktor Penegakan Hukum Di Indonesia


Pembentukan dan penegakan hukum yang mendasarkan
pada nilai-nilai keadilan dan ketertiban dan
keefektifannya di dalam masyarakat oleh penegak hukum
tidak terlepas dari pertautan tiga pengaruh yang merujuk
pada faktor-faktor keberlakuan hukum yang dijelaskan
oleh Friedman, yang meliputi struktur hukum, substansi
hukum, dan budaya hukum. Ketiganya saling tarik
menarik di masyarakat. Penegakkan hukum di Indonesia
memiliki faktor guna menunjang berjalannya tujuan dari
penegakan hukum tersebut. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia. 24

1. Faktor Hukum.
Yang dimaksud dengan hukum adalah segala sesuatu
yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila
dilanggar akan mendapatkan sanksi yang tegas dan
nyata.25 Sumber lain menyebutkan bahwa hukum
adalah seperangkat norma atau kaidah yang
berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan
tujuan untuk ketentraman masyarakat.26 Hukum
mempunyai jangkauan universal karena dengan
hukum bias menemukan beberapa teori yang berbeda
dari setiap individu.27 Contohnya ketika beberapa
hakim mendengar tentang kasus pembunuhan, dari
sekian banyak hakim pasti memiliki pemikiran yang
berbeda-beda (ditikam, dibakar, dibuang kesungai,
dll) sebelum melihat berkas tentang kasus
pembunuhan tersebut. Artinya, hukum memiliki

24
Yulies Tina Masriani, PengantarHukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2004, Hlm 13
25
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.
1999. Hlm 145
26
Yulies Tina Masriani, Op.Cit, Hlm 14
27
SatjiptoRaharjo, IlmuHukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, Hlm 8

68
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

jangakauan yang sangat luas untuk masing-masing


orang, tergantung bagaimana cara seseorang tersebut
menyikapi hukum yang dihadapinya.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa hukum adalah suatu peraturan tertulis yang
dibuat oleh yang berwenang yang bersifat memaksa
guna dapat mengatur kehidupan yang damai ditengah
masyarakat.
2. Faktor Masyarakat
Masyarakat dapat dibedakan menjadi dua tingkat
kedalaman yang berbeda. Pertama, masyarakat yang
langsung dan spontan sedangkan yang kedua adalah
masyarakat yang terorganisir dan direfleksikan.
Masyarakat dengan pola yang spontan dinilai lebih
kreatif baik secara pemikiran maupun pola tingkah
laku sedangkan masyarakat yang terorganisir
memiliki pola pikir yang baku dan banyak
perencanaan yang disengaja.28 Penegakan hukum
berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh
karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka
masyarakat dapat mempengaruhi kepatuhan
hukumnya. Masyarakat Indonesia pada khususnya
mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai
hukum.
Dari sekian banyak pengertian yang diberikan pada
hukum, terdapat kecendrungan yang besar pada
masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasinya dengan petugas (dalam hal ini
penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu
akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum
senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak

28
Alvin S Johnson, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Hlm 194

69
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

hukum tersebut yang menurut pendapatnya


merupakan pencerminan dari hukum sebagai
struktur maupun proses
Masyarakat sebagai warga Negara yang memerlukan
kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum dan
perundang-undangan. Undang-Undang yang bagus
tidak memberikan garansi terlaksananya hukum
apabila kesadaran dan kepatuhan hukum warga
Negara tidak mendukung pelaksanaan Undang-
Undang tersebut.29
Masalah kesadaran dan kepatuhan hukum
masyarakat bukanlah semata-mata objek sosiologi.
Kesadaran hukum masyarakat itu tidak hanya
ditemukan melalui penelitian sosiologi hukum
semata-mata yang hanya akan memperhatikan gejala-
gejala sosial belaka. Akan tetapi hasil penelitian
secara sosiologi hukum ini masih perlu pula diuji
terhadap falsafah politik kenegaraan yang merupakan
ide tentang keadilan dan kebenaran didalam
masyarakat hukum yang bersangkutan30
3. Faktor Kebudayaan.
Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi
masyarakat dan manusia. Masyarakat memiliki
kebutuahan dalam bidang materiil dan spiritual.
Untuk memenuhi kebutuhannya sebagian besar
dipenuhi kebudayaan yang bersumber pada
masyarakat itu sendiri. Tapi kemampuan manusia
sangat terbatas, dengan demikian kemampuan

29
Ramly Hutabarat, Persamaan Di Hadapan Hukum (Equality Before the
Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Tahun 1985, Hlm 78
30
C.F.G. Sunaryati Hartono, Peranan Kesadaran Hukum Masyarakat dalam
Pembangunan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1976, Hlm 8

70
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga


terbatas dalam memenuhi segala kebutuhan.31
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu
dengan factor masyarakat sengaja dibedakan, oleh
karena pembahasannya akan diketengahkan masalah
system nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau non material. Sebagai suatu sistem,
maka hukum mencakup struktur, substansi dan
kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun
bentuk dari system tersebut yang umpamanya
mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,
hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak
dan kewajiban dan seterusnya. Substansi mencakup
isi norma hukum beserta perumusannya maupun
acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi
pelaksana hukum maupun pencari keadilan.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai mana merupakan konsepsi-
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari).32
4. Faktor Sarana dan Fasilitas
Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung
dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara
lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan
dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.
Kalau hal-hal itu tidak tepenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Suatu
masalah yang erat hubunagnnya dengan sarana dan

31
Soerjono Soekanto, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar, Rajawali Persada,
Jakarta, 1990, Hlm 178
32
Soerjono Soekanto, Ibid

71
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

fasilitas adalah soal efektivitas dari sanksi negatif


yang diancamkan terhadap peristiwa-peristiwa pidana
tertentu. Tujuan dari adanya sanksi-sanksi tersebut
adalah agar dapat mempunyai efek yang menakutkan
terhadap pelanggar-pelanggar potensial maupun yang
pernah dijatuhi hukuman karena pernah melanggar.
Sanksi negatif yang relatif berat atau diperberat saja,
bukan merupakan sarana yang efektif untuk dapat
menegendalikan kejahatan maupun penyimpangan
lain. Tapi, sarana ekonomis ataupun biaya daripada
pelaksanaan sanksi-sanksi negative diperhitungkan,
dengan berpegang dengan cara yang lebih efektif dan
efisien sehingga biaya dapat ditekan di dalam
program-program pemberantasan kejahatan jangka
panjang.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa penegakan
hukum dan pencegahan hukum menjadi satu kesatuan
penting dan saling terkait.

72
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

Daftar Pustaka
Alvin S Johnson, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
2004.
Arief Sidharta, “Pendekatan Hukum Progresif dalam
Mencairkan Kebekuan Produk Legislasi,” dalam Moh.
Mahfud MD, Sidharta, Sunaryati Hartono, dkk, 2013,
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif
(Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro
Semarang), Yogyakarta: Thafa Media dikutip dalam
Ucuk Agiyanto, Penegakan Hukum Di Indonesia :
Eksplorasi Konsep Keadilan Berdimensi Ketuhanan
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta:Sinar
Grafika, 2008
Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Sinar Grafika,
Yogyakarta, Tahun 1988
C.F.G. Sunaryati Hartono, Peranan Kesadaran Hukum
Masyarakat dalam Pembangunan Hukum, Bina Cipta,
Jakarta, 1976
Darji Darmodiharjo, Pokok – Pokok Filsafat Hukum, PT
Gramedia Pustaka Umum, Tahun 2002, Jakarta.
Erwin Arifin, ”Konsep Mazhab Sociological Jurisprudence
dalam Hubungannya dengan Perkembangan Hukum di
Indonesia” Dalam Buku Filsafat Hukum Mazhab dan
Refleksinya.Bandung : Remaja Karya, Tahun 1989
Jimly Asshiddiqie, Konsep Negara Hukum,
http://www.jimly.com
Kosmas Dohu, Peranan Hukum Sebagai Alat Untuk
Merubah Masyarakat Dalam Kehidupan Sehari-Hari,
Jurnal Warta Edisi : 49 Juli tahun 2016
Muhammad Khambali, Fungsi Filsafat Hukum dalam
Pembentukan Hukum di Indonesia, Supremasi
Hukum, Volume 3, No.1, (Juni, 2014)
Najmi. 1989. “Pengaruh Social Engineering dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia” dalam Buku
Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung :
Remaja Karya

73
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

Otje Salman, Filsafat Hukum – Perkembangan dan


Dinamika Masalah, Bandung: PT Refika Aditama,
Tahun 2012
Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law,
New Haven: Yale University Press, Tahun 1953
Ramly Hutabarat, Persamaan Di Hadapan Hukum
(Equality Before the Law) di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, Tahun 1985
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode
Dan Pilihan Masalah, Sinar Grafika, Yogyakarta,
Tahun 2002
SatjiptoRaharjo, IlmuHukum, Penerbit Alumni, Bandung,
1986
Soerjono Soekanto, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar,
Rajawali Persada, Jakarta, 1990
Supriyadi. 1989. “Fungsi Hukum dalam Masyarakat yang
Sedang Membangun” dalam Buku Filsafat Hukum
Mazhab dan Refleksinya.Bandung : Remaja Karya.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode,
dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, Tahun 2002
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, Tahun 1996
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty
Yogyakarta. Yogyakarta. 1999.
Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta:
Kanisius
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
Kencana, Tahun 2008
Yulies Tina Masriani, PengantarHukum Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004

74
PENCEGAHAN DAN PENEGAKKAN HUKUM

Profil Penulis
Zainul Arifin saat ini tercatat sebagai Dosen
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Palembang dan memiliki minat yang besar pada
bidang Politik Hukum. Ia menyelesaikan
pendidikan SMP dan SMA Madrasah Muallimin
Yogyakarta, lalu menyelesaikan pendidikan S1
dan S2nya di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Memiliki
bidang keahlian spesifik di bidang Ketatanegaraan dan
Adminstrasi Negara khususnya Perancangan Peraturan
Perundang-Undangan.
Aktif sebagai kolomnis di Koran Lokal, baik Tribun Sumsel,
Sriwijaya Post, dan Sumatera Ekspress Palembang. Ia juga telah
menulis beberapa buku diantaranya “Hukum Keuangan Negara,
Pengembalian Aset Hasil Kejahatan Luar Negeri”, “Menggagas
Hukum Perburuhan Berkeadilan”, Corporate Social
Responsibility, Konsep dan Implementasi Pada Perusahaan
Tambang Batubara Di Indonesia” dan banyak artikel Jurnal
yang sudah ia Tulis sampai detik ini.
Penulis juga aktif melakukan penelitian dan pengabdian
masyarakat sebagai tanggung jawab sosial seorang Dosen.
Secara official penulis dapat dihubungi melalui email:
zainularifin@fh.unsri.ac.id

75
76
5
Teori, Jenis Serta Kaitan Hukum
Tindak Kriminal

ANWAR SODIK
UNISS Kendal

Objek Kajian Sosiologi Hukum


Dalam masyarakat terdapat konstruksi hukum yang
terjalin dari kebiasaan hingga terstruktur menjadi hukum
tertulis dengan kesepakatan bahwa konsensus menjadi
kekuatan kepercayaan antar individu. Hukum sendiri
berdiri pada tatanan struktural dimana hukum
diciptakan untuk sebuah keteraturan atau keharmonisan
dalam berkehidupan sosial masyarakat tanpa harus
menunggu konsesus bersama dari individu, maka sering
disebut hukum memiliki unsur pemaksa.
Ketika kedua disiplin ini dipertemukan, maka harus ada
persamaan wilayah bersama untuk saling mengisi,
Sosiologi tidak bisa memaksa Hukum untuk melepaskan
struktural dan mengikuti alur berpikir masyarakat begitu
pula Hukum yang sangat mengikat dan memaksa tidak
kemudian mereduksi Sosiologi untuk menciptakan pola
pendekatan masyarakat yang opportunitis.
Objek dalam kajian sosiologi hukum sendiri terbagi
menjadi beberapa, di antaranya:

77
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

1. Interaksi sosial terkait dengan hukum


Hukum yang diterapkan dalam suatu masyarakat
berfungsi untuk memperlancar syarat interaksi sosial.
Apabila interaksi sosial berjalan dengan baik, maka
kehidupan dalam sebuah masyarakat dapat
berlangsung dengan damai dan tenang.
2. Kelompok sosial dengan hukum
Dalam hal ini, pengertian kelompok sosial adalah
aktivitas yang terjadi antara dua orang atau lebih yang
diatur oleh suatu sistem bernama hukum. Misalnya
AD dan ART dalam suatu organisasi, atau UU yang
mengatur tentang berkehidupan negara.
3. Kebudayaan
Kehadiran hukum adalah bagian dari adanya unsur
kebudayaan. Kedua hal ini saling berkaitan dan
berfungsi untuk mengatur mayarakat yang
berkebudayaan dengan aturan-aturan dalam
kehidupan bermasyarakat.
4. Lembaga sosial
Keberadaan lembaga sosial dalam masyarakat
menggunakan aturan-aturan untuk mengontrol
interaksi dalam masyarakat.
5. Stratifikasi sosial
Stratifikasi sosial yang dimaksud yaitu pasal-pasal
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatakan bahwa hukum berlaku untuk
seluruh lapisan tanpa membeda-bedakan. Meskipun
pada kenyataannya, secara tidak langsung dalam
masyarakat terdapat lapisan sosial.

78
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

6. Kekuasaan dan wewenang


Kekuasaan dan wewenang yang dimaksud adalah
tugas yang telah diatur dalam peraturan berupa
undang-undang yang pelaksanaannya bersifat wajib.
7. Masalah sosial
Pengertian masalah sosial dalam konteks ini adalah
hal-hal yang berhubungan dengan perilaku yang
menyimpang dan melanggar keberadaan hukum.
Jenis-Jenis Kasus Kajian Sosiologi Hukum
Ada banyak contoh kasus yang masuk ke dalam kajian
sosiologi yang sering kita temukan dalam kehidupan
masyarakat. Berikut adalah contoh kasus nyata yang
pernah terjadi di Indonesia;
1. Kasus korupsi E-KTP yang dilakukan oleh oknum
pemerintah. Hukum yang berlaku dalam kasus ini
didasarkan pada Undang-Undang, sebab tindakan
yang dilakukan memberi dampak besar berupa
kerugian bagi masyarakat luas.
2. Pembunuhan berencana yang dilakukan seorang
individu kepada satu keluarga karena rasa dendam
akibat sering menerima ejekan dari satu keluarga
tersebut.
3. Kasus penyebaran berita hoax yang dilakukan oleh
beberapa oknum untuk mencoreng nama baik calon
gubernur, agar masyarakat tidak menjatuhkan
pilihan kepada calon tersebut saat pemilihan.
4. Kasus penyelewengan dana haji oleh perusahaan jasa
agen perjalanan yang melibatkan beberapa pihak.
5. Nenek berusia 60 tahun yang dituduh mencuri di
sebuah ladang dinilai tidak adil karena divonis 5
tahun penjara, tidak seimbang dengan penjatuhan

79
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

vonis kepada koruptor yang hanya diberi hukuman 3


tahun penjara.
6. Sindikat penjualan narkoba yang masih menjadi
ancaman bagi generasi muda Indonesia.
7. Pencurian uang di ATM yang dilakukan sekelompok
orang.
8. Pernikahan usia dini yang masih menjadi perdebatan
dalam masyarakat.
9. Pemalsuan uang yang dilakukan oleh sejumlah
oknum, dengan tujuan untuk mengelabui pedagang
kecil.
10. Perdagangan anak yang masih terus terjadi di negara
Indonesia.
11. Praktik prostitusi yang kini merambah dunia online.
12. Penerapan hukum yang saat ini dinilai tidak adil bagi
masyarakat kalangan bawah.
13. Penolakan Perpres mengenai reklamasi Teluk Benoa
yang dilakukan oleh masyarakat Bali, karena diyakini
akan merugikan masyarakat Bali dalam jangka waktu
yang lama.
14. Perbedaan fasilitas tahanan biasa dengan tahanan
koruptor; tahanan koruptor mendapatkan fasilitas
tempat tidur, AC, dan kamar mandi dalam di ruang
tahanan.
15. Pola perilaku masyarakat kota yang kerap melanggar
rambu-rambu lalu lintas.
Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum merupakan bagian dari kajian hukum
yang objeknya adalah fenomena hukum dengan
menggunakan optik ilmu sosial dan pendekatan teoretis-

80
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

sosiologis.33 Pendekatan teoretis-sosiologis


mengemukakan bahwa dalam upaya untuk melihat dan
mengamati hukum secara keseluruhan, maka dalam
memahami hukum perlu bantuan-bantuan ilmu lain yang
dalam upayanya untuk mengamati perilaku manusia
maka diperlukan pendekatan teori-teori ilmu sosial yang
melengkapi teori-teori yang terdapat dalam hukum itu
sendiri.
1. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan perkembangan dari
teori perlindungan hak asasi manusia yang
mengalami perkembangan pesat pasat abad ke 19.
Perlindungan hukum menurut Fitzgerald (dalam
Satjipto Rahardjo) yang menyatakan bahwa
perlindungan hukum merupakan upaya untuk dapat
mengorganisasikan kepentingan-kepentingan yang
ada dalam masyarakat supaya tidak terjadi gesekan
antar-kepentingan dan dapat menikmati hak-hak
yang diberikan oleh hukum.34 Senada dengan hal
tersebut, Mukhtie A. Fadjar menegaskan bahwa
perlindungan hukum berkaitan dengan upaya untuk
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.35
Karena, ketidakseimbangan antara hak dan
kewajiban dapat menimbulkan masalah hukum,
terlebih lagi ketika kewajiban dijadikan sebagai
primary role bagi warga negara yang justru dilain sisi
hak-hak nya justru dikebiri dan diabaikan

33
Ahmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap
Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, hlm. 5.
34
Luthvi Febryka Nola, “Upaya Perlindungan Hukum Secara Terpadu Bagi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)”, Jurnal NEGARA HUKUM Vol. 7 No.
1, Juni 2016, hlm. 40.
35
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi , “Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas”, Jurnal Pandecta Vol. 13 No.
1, Juni 2018, hlm. 54.

81
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

pemenuhannya yang justru bertentangan dengan


asas hukum, yaitu ubi ius ibi remidium.36
Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia
idealnya berdasarkan atas asas perlindungan hukum
bagi rakyat.37 Asas perlindungan hukum bagi rakyat
berdasarkan pada pandangan bahwa setiap warga
negara memiliki kedudukan yang sama dan sederajat
di hadapan hukum (equality before the law) sehingga
tidak diperbolehkannya adanya pembedaan, terlebih
lagi adanya diskriminasi atas dasar suku, agama, ras,
antar golongan, paham politik tertentu, status sosial,
dansentimen-sentimen sosial kemasyarakatan
lainnya. Oleh karena itu, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Paton bahwa pemberian hak dan
kedudukan yang sama dalam hukum terhadap warga
negara tidak hanya mengandung unsur perlindungan
terhadap kepentingan, tetapi juga berkaitan dengan
kehendak.38 Sehingga, teori perlindungan hukum di
sini juga menekankan pentingnya negara untuk hadir
dalam upayanya untuk menjaga dan melindungi
warga negaranya dari produk-produk hukum yang
justru bersifat represif dan diskriminatif supaya
amanat pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat

36
Dalam terjemahan secara leksikal dalam Bahasa Inggris yaitu where there is
a right, there is a remedy. Lebih lanjut dalam Davis Mosmeyer, “Ubi Jus
Ibi Remidium: The Gap In Texas Court’s Protection of Mineral Owners
Against Unpermitted Seismic Exploration Without Physycal Entry”,
Baylor Law Review Vol. 68 No. 3, Desember 2016, hlm. 799. Dalam
Bahasa Indonesia istilah ini berarti “Di mana ada hukum, di situ ada
kewenangan untuk menuntut”. Lebih lanjut dalam Titon Slamet Kurnia,
“Mahkamah Konstitusi sebagai Human Right Court”, Jurnal Konstitusi
Vol. 11 No. 1, Maret 2014, hlm. 161.
37
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: PT Bina Ilmu, hlm. 19-20.
38
Malahayati, Amrizal, dan Muhammad Nasir. “Konsep Perlindungan Hukum
dan Hak Asasi Manusia Terhadap Penata Laksana Rumah Tangga
Indonesia”. Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE Vol. 4 No. 1. April
2015. hlm. 5.

82
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

yang berbunyi “…….melindungi segenap bangsa


Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia……”
dapat terlaksana secara maksimal.39
Perlindungan hukum yang dilakukan dan dijalankan
di Indonesia, pada praktiknya tidak secara mutlak
menerapkan asas persamaan di dalam hukum
(equality before the law). Hal ini terjadi karena dalam
kondisi-kondisi tertentu perlindungan hukum justru
harus dilakukan dengan pembedaan khusus yang
bertujuan untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan warga negara yang dalam istilah hukum
sering disebut sebagai affirmative action.40 Hal ini
dilandasi oleh sebuah prinsip yang menekankan
bahwa “diskriminasi adalah memperlakukan secara
berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan
diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda
terhadap hal yang memang berbeda”.41 Salah satu
contoh penerapan affirmative action adalah
perlindungan hukum bagi hak politik perempuan
yang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017
tentang Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa

39
Lebih lanjut dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea keempat.
40
Affirmative action atau diskriminasi positif adalah kemudahan dan perlakuan
khusus dalam konteks pemenuhan hak-hak warga negara. Lebih lanjut
dalam Jazim Hamidi, “Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam
Memenuhi Hak Mendapat Pendidikan dan Pekerjaan”, Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM Vol. 4 No. 23, Oktober 2016, hlm. 663.
41
Prinsip ini pernah termuat dalam Putusan MK No. 27/PUU-V/2007, hlm.
102. Prinsip ini lebih jauh dikemukakan oleh Aristoteles dalam teorinya
mengenai keadilan pembagian jabatan dan harta benda publik yang
menyatakan bahwa, “kepada yang sama penting diberikan yang sama,
kepada yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama”. Lebih lanjut
dalam Theo Huijbers. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah.
Bandung: Kanisius. hlm. 30.

83
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

perempuan memiliki hak politik berupa keterwakilan


di parlemen paling sedikit 30%.42
2. Penegakan Hukum
Penegakan hukum selalu melibatkan manusia
didalamnya dan melibatkan juga tingkah laku
manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan
sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan
sendiri janj-janjiserta kehendak-kehendak yang
tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji
dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan
hak kepada seseorang, memberikan perlindungan
kepada seseorang mengenakan pidana terhadap
seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan
sebagainya.43
Penegakan hukum sudah dimulai pada saat
peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan.
Penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
diputuskan dalam peraturan-peraturan hukum.
proses penegakan hukum sampai pula sampai kepada
pembuatan hukum. perumusan pikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum
akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu dijalanka. dalam kenyataan, proses
penegakan hukum memun cak pada pelaksanaanya
oleh para pejabat penegak hukum.44

42
Pasal 245 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lebih lanjut dapat
dilihat dalam Isyrofah Amaliyah Achmad. “Penguatan Keterwakilan
Perempuan dalam Kepengurusan Partai Politik”. Jurnal Jurist-Diction
Vol. 1 No. 1. September 2018. hlm. 178.
43
Satjipto Raharjo. 2009. Penegakan Hukum suatu tinjauan sosiologis.
Yogyakarta: Genta Publishing. hlm.7
44
ibid, hlm.24

84
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

Peran peratutan hukum cukup besar dalam


hubungannya dengan pelaksanaan peraturan yang
dilakukan oleh para penegak hukum. Dapat
dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para
penegak hukum dalam melaksanakantugasnya
sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum
yang harus dijalankan tersebut dibuat. Misalnya,
badan legeslatifmembuat peraturan yang sulit
dilaksanakan dalammasyarakat, maka sejak saat itu
sebetulnyabadan tersebut telah menjadi arsitek dalam
kegagalan para penegak hukum yang menerapkan
peraturan tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi
karena peraturan tersebut memerintahkan
dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh
Saran yang mencukupi. Akibatnya, tentu saja
peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak
hukum. Dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-
undangmengeluarkan peraturan yang mewajibkan
rakyetnya untuk melakukan sesuatu, katakanlah
untuk menanam jenis makanan tertentu perintah
peraturan tersebut ternyata mendapatkan
perlawanan dari rakyat. Apa yang dilakukan oleh
penegak hukum tergantung daritanggapan yang
diberikan tantangan pada waktu itu. Penegak hukum
dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan
serta perintah yang terkandung dalam peraturan.
Bertindak demikian berarti penegak hukum harus
menggunakan kekuatan untuk memaksa.45
3. Efektivitas Hukum
Efektivitas hukum sebagaimana yang disampaikan
oleh Donald Black merupakan suatu strategi
perumusan masalah yang bersifat umum yang
berupaya membandingkan antara realitas hukum

45
Ibid. hlm.25

85
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

dengan idealitas hukum.46 Secara umum, studi


mengenai efektivitas hukum selalu berkaitan dan
berkelindan dengan terjadinya jenjang antara hukum
dalam tindakan (law in action) dan hukum dalam teori
(law in book/theory).47 Tema pokok dari pembahasan
mengenai efektivitas hukum adalah untuk menelaah
apakah hukum itu berlaku, dan untuk mengetahui
berlakunya hukum.
4. Budaya Hukum
Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan
hitam diatas putih saja sebagaimana dalam berbagai
peraturan perudangan tetapi hendaknya hukum
dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam
kehidupan masyarakat yang hal ini berarti hukum
banyak dipengaruhi oleh faktor non hukum seperti
nilai, sikap dan pandangan hidup masyarakat yang
biasa disebut dengan budaya hukum. Adanya budaya
hukum inilah yang membuat perbedaan bekerjanya
hukum dalam masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain.48
5. Teori Bekerjanya Hukum
Bekerjanya hukum dalam masyarakat melibatkan
beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki
keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek
tersebut yaitu Lembaga Pembuat Hukum (Law Making
Institution), Lembaga Penerap Sanksi, Pemegang

46
Istilah yang sering dipakai antara lain pertentangan antara das sein dan das
sollen. Lebih lanjut dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, 1988,
Hukum, Politik, dan Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, hlm. 28.
47
Soleman B. Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 48.
48
Daniel S.Lev, Lembaga peradilan dan budaya hukum di Indonesia, dalam
PetersKoesriani Siswosoebroto, hukum dan perkembangan sosial buku
teks sosiologi hukum buku II, pustaka sinar harapan, Jakarta, 1988. Hlm.
247

86
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

peran (Rule Occupant) serta Kekuatan Sosietal


Personal (Societal Personal Force), Budaya Hukum
serta Unsur - Unsur umpan balik (Feed Back) dari
proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.49
6. Pemberdayaan Hukum
Menurut Hulme dan Tuner pemberdayaan mendorong
terjadinya suatu proses perubahan sosial yang
memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak
berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih
secara lokal maupun nasional. Pemberdayaan juga
merupakan suatu proses yang menyangkut
hubunganhubungan kekuasaan (kekuatan) yang
berubah antara individu, kelompok dan lembaga-
lembaga sosial. Maka dapat disimoulkan bahwa
pemberdayaan adalah suatau upaya membuat
sesuatu yang tidak berdaya menjadi berdaya dalam
menghadapi atau melaksanakan suatu hal tertentu.50
Demikianlah penjelasan terkait sosiologi hukum beserta
contoh kajiannya secara umum yang dapat kita temukan
dalam masyarakat, khususnya di Indonesia.

49
Muladi, Demokratisasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Reformasi
Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, 2002. hlm. 27.
50
Arba, Sahman, Dkk. Pemberdayaan Hukum Dan Kebijakan Pertanahan
Sebagai Upaya Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Mimbar
Hukum Volume 22, Nomor 1, Februari 2010. Hlm 25-26.

87
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

Daftar Pustaka
Buku
Ali, Ahmad, Heryani, Wiwie, 2013, Menjelajahi Kajian
Empiris Terhadap Hukum, Kencana Prenadamedia
Group, Jakarta.
S.Lev, Daniel, 1988, Lembaga peradilan dan budaya
hukum di Indonesia, dalam Peters-Koesriani
Siswosoebroto, hukum dan perkembangan sosial
buku teks sosiologi hukum buku II, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Rahayu, Derita Prapti, 2014, Budaya Hukum Pancasila,
Thafa Media, Yogyakarta.
Warassih, Esmi, 1981, Hukum dalam Prespektif Sosial,
Alumni, Bandung.
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah
Sosiologis, Pranata Hukum Suatu Telaah Sosiologis,
Suryandaru Utama, Semarang.
Muladi, 2002, Demokratisasi, Hukum dan Hak Asasi
Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Centre, Jakarta.
Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, 1988, Hukum,
Politik, dan Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat Indonesia, PT Bina Ilmu, Surabaya.
Rahardjo, Satjipto, 1983, Masalah Penegakan Hukum;
Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Sisi Lain Hukum di Indonesia,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Satjipto Raharjo. 2009. Penegakan Hukum suatu tinjauan
sosiologis, Genta Publishing Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta.

88
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

Taneko, Soleman B., 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum


dalam Masyarakat, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suteki, 2013, “Desain Hukum di Ruang Sosial”, Penerbit
Thafa Media, Yogyakarta.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan
Sejarah, Kanisius, Bandung.
Jurnal
Ari Atu Dewi, Anak Agung Istri, “Aspek Yuridis
Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas”, Jurnal Pandecta, Vol. 13 No.
1, Juni 2018.
Arba, Sahman, Dkk. Pemberdayaan Hukum Dan
Kebijakan Pertanahan Sebagai Upaya Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar. Jurnal Mimbar
Hukum Volume 22, Nomor 1, Februari 2010.
Triyulianto, Hendro Eko, Abisar, Madiasa, Sunarmi,
Mulyadi, Mahmud, “Penerbitan Pemberitahuan
Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Online
Sebagai Upaya Transparansi Polri dalam Penyidikan
Tindak Pidana (Studi di Polrestabes Medan)”, USU Law
Journal Vol. 6, No. 3, April 2018.
Achmad, Isyrofah Amaliyah, “Penguatan Keterwakilan
Perempuan dalam Kepengurusan Partai Politik”.
Jurnal Jurist-Diction Vol. 1 No. 1. September 2018.
Hamidi, Jazim, “Perlindungan Hukum terhadap
Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapat
Pendidikan dan Pekerjaan”, Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM Vol. 4 No. 23, Oktober 2016.
Maruapey, M. Husein, “Penegakan Hukum dan
Perlindungan Negara”, Jurnal Ilmu Politik dan
komunikasi, Volume 7, No. 1, Juni 2017.
Malahayati, Amrizal, dan Nasir, Muhammad, “Konsep
Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Terhadap Penata Laksana Rumah Tangga Indonesia”,
Jurnal Hukum Tata Negara NANGGROE, Vol. 4, No. 1,
April 2015.

89
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

Muzaqqi, Fahrul, “Diskursus Demokrasi Deliberatif di


Indonesia”, Jurnal Review Politik, Vol. 03 No. 1, Juni
2013.
Nola, Luthvi Febryka, “Upaya Perlindungan Hukum
Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)”,
Jurnal NEGARA HUKUM Vol. 7 No. 1, Juni 2016.
Novita, Ria Ayu, Prasetio, Agung Basuki, dan Suparno,
“Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2
tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
TanahPertanian (Tanah Kering) di Desa Bringin,
Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo”, Diponegoro
Law Journal, Vol. 6, No. 2, Tahun 2017.

90
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

Profil Penulis
Anwar Sodik. Berprofesi sebagai anggota
Polisi, berpangkat ajun inspektur dua bintara
yang berdinas di Polsek Kangkung sebagai
kasium Polsek Kangkung Polres Kendal.
Memperoleh gelar Sarjana S1 ilmu hukum
UNTAG Semarang, S2 ilmu Administrasi
UNTAG Semarang, S2 ilmu Hukum UNISSULA
Semarang serta gelar Doktor bidang hukum di UNISSULA
Semarang, prestasi Polisi muda kelahiran 1983 ini luar biasa
mencengangkan di masyarakat, tercatat sejak tahun 2012 polisi
inilah yang menggagas berdirinya Universitas Terbuka (UT) di
Kabupaten Kendal untuk program non pendidikan dasar dan
pendidikan dasar hingga membuka Cabang Kelompok
Kerja/Pokjar di Pekalongan kota yang mahasiswanya mencapai
ratusan orang, sebuah prestasi yang perlu di apresiasi.selain itu
saat ini tercatat sebagai dosen tidak tetap/ dosen luar biasa di
Universitas Selamat Sri Kendal ( UNISS KENDAL ) sampai saat
ini.
Piagam penghargaan yang pernah diperoleh penulis 5 tahun
terakhir, yaitu : sertifikat penghargaan dari Kapolres Kendal
atas dedikasinya dan kerja kerasnya dalam Pembangunan Zona
Integritas (ZI) sehingga mendapat predikat Wilayah Bebas dari
Korupsi (WBK) Kemenpan RB RI (2019), sertifikat piagam
Kapolda Jateng atas partisipasinya sebagai peserta lomba polisi
teladan tingkat Polda Jateng (2019), sertifikat piagam
penghargaan Kapolda Jateng atas partisipasinya dalam
mendukung pelaksanaan tes Psikologi tahap II (wawancara
psikologi) seleksi penerimaan terpadu calon anggota Polri
(2019), sertifikat piagam penghargaan dari Kapolda Jateng atas
dedikasinya loyalitas yang melebihi panggilan tugas sebagai
Konselor Psikologi di Polda Jateng (2020).

Workshop/Pelatihan/seminar yang di ikuti 5 tahun terakhir,


yaitu : Pelatihan Konselor Psikologi jajaran Polda Jateng (2016),
Penataran Dosen dan Praktisi Hukum Pidana tingkat Nasional
(2017), pelatihan peningkatan Kemampuan pendampingan

91
TEORI, JENIS SERTA KAITAN HUKUM TINDAK KRIMINAL

psikologi terhadap Konselor Polda Jateng (Konselor lanjutan)


(2018), Pelatihan tehnik dan taktik menghadapi Praperadilan
(2020), dan berbagai seminar bidang hukum telah diikuti baik
offline dan online (daring).
Karya ilmiah/jurnal ilmiah/buku yang telah ditulisnya 5 tahun
terakhir : Tinjauan yuridis tugas - tugas Polri di Polres Kendal,
Peran Polri dalam penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum di Kabupaten Kendal, jurnal internasional dengan judul
Reconstruction on the Legal Policy for Handeling Eradicating
Deforestration based on the Dignified Justice Perspective. dan
buku yang pernah ditulisnya berjudul Rekonstruksi Kebijakan
Hukum dalam Penanganan Pemberantasan Perusakan Hutan
berbasis nilai Keadilan.

92
6
Tipologi Penelitian Hukum,
Tujuan, dan Manfaatnya

AHMAD FAJAR HERLANI


Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh-Yusuf

Penelitian Hukum
Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum ialah suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang mempunyai
tujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala
hukum tertentu (Soekanto, 2007). Soetandyo
Wignosoebroto berpendapat bahwa penelitian hukum
adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan
jawaban yang benar (right answer) dan/atau jawaban
yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu
permasalahan, untuk menjawab segala macam
permasalahan hukum diperlukan hasil penelitian yang
cermat dan sahih untuk menjelaskan dan menjawab
permasalahan yang ada. (Ali, 2011)
Dalam pandangan kritis Peter Mahmud Marzuki,
“penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know how
dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai
kegiatan know how, penelitian hukum dilakukan untuk
memecahkan isu hukum yang dihadapi” (Marzuki, 2014).
Problematika pokok dari ilmu hukum adalah “menjawab
pertanyaan atau memberikan penyelesaian masalah yang
ditimbulkan oleh keraguan yang berkenaan dengan

93
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

berlakunya hukum positif. Pertanyaan pokoknya adalah


mengacu dan dalam kerangka tatanan hukum yang
berlaku, apa hukumnya yang paling tepat atau yang
paling dapat diterima bagi situasi konkrit tertentu”
(Amiruddin & Asikin, 2006).
Ahli hukum dalam memecahkan masalah hukum dapat
berwujud menghimpun dan mensistematisasi bahan
hukum berupa teks otoritatif yang terdiri atas perundang-
undangan, putusan hakim, hukum tidak tertulis dan
doktrin pakar hukum yang berwibawa (Marzuki, 2014).
Selain bahan hukum berupa teks otoritatif, juga dapat
menghimpun dan mensistematisasi satu atau beberapa
realitas, tindakan, dan perilaku hukum yang terjadi di
dalam masyarakat.
Penelitian hukum itu sendiri pada dasarnya menyangkut
dua hal, pertama, kegiatan itu sendiri yang harus teratur
dan dalam prosedur tertentu dan kedua, hasil atau
produk yang diharapkan dari kegiatan itu, yaitu sebuah
kebenaran keilmuan hukum” (Syamsudin, 2007).
Dalam penelitian hukum mengharuskan hubungan yang
jelas antara metode penelitian dengan hasil penelitian.
Kebenaran hukum yang hendak ditemukan dalam suatu
penelitian harus dilakukan menurut metode yang objektif.
Kemudian hasil yang diperoleh dari penelitian bisa
memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah hukum
yang ada dan berorientasikan bagi pengembangan
keilmuan hukum misalnya memberikan suatu teori baru.
Tipologi Penelitian
Filsafat hukum merupakan cabang dari ilmu filsafat,
sedangkan teori hukum merupakan disiplin mandiri
(autonomous discipline) dari ilmu hukum. Pembagian jenis
penelitian hukum, antara normatif dan empiris yang
dikenal oleh para peneliti hukum ternyata juga
dipengaruhi oleh perkembangan hasil pemikiran tentang

94
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

hukum oleh para filsuf hukum (legal philosopher) yang


biasa dipelajari di dalam kajian filsafat hukum maupun
teori hukum (Jurisprudence). Sebagaimana diketahui
bahwa perkembangan pemikiran tentang konsep-konsep
hukum dan dinamikanya diawali oleh aliran/mazhab
hukum alam (natural law), positivisme hukum (legal
positivism), realisme hukum (legal realism), dan lain-lain.
hingga sampai kepada pemikiran-pemikiran hukum post
mederenism dan law and economic atau economic analysis
of law (Sonata, 2014)
Namun, dua kelompok aliran besar yang sangat
mempengaruhi perkembangan penelitian hukum,
sehingga melahirkan dua jenis penelitian hukum
(normatif dan empiris) yaitu: pertama, aliran/mazhab
(school of thought) yang pokok-pokok pemikirannya
berlandaskan pada ide-ide positivisme hukum (legal
positivism, legal realism, pure theory of law, dan lain-lain.)
dan kedua, aliran/mazhab yang pokok-pokok
pemikirannya berlandaskan pada ide-ide hukum yang
bersifat sosiologis (sociological jurisprudence, sociology of
law, critical legal studies, dan lain-lain) (Sonata, 2014).
Dengan demikian disinilah yang menjadikan penelitian
hukum sering dikatakan memiliki ciri yang khas
dibandingkan dengan penelitian dalam bidang ilmu alam
bahkan penelitian dalam bidang ilmu sosial yang bahkan
memiliki kesamaan dengan salah satu jenis penelitian
hukum yaitu penelitian hukum empiris/sosiologis/socio-
legal (Sonata, 2014).
Metode penelitian hukum dalam konteks keilmuan
hukum dan metode penelitian hukum dalam konteks
penemuan dan penerapan hukum, dalam konteksnya
yang pertama, pada umumnya dilakukan oleh peneliti
hukum akademis ini, memiliki dua jenis penelitian hukum
yaitu: penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
sosiologis. Penelitian hukum normatif dipengaruhi oleh

95
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

doktrin hukum murni dan positivisme, sedangkan


penelitian hukum sosiologis dipengaruhi oleh doktrin
sosiologi hukum (sosiologi of law) maupun ilmu hukum
sosiologis (sociological jurisprudence) (Sonata, 2014).
Ilmu hukum termasuk ke dalam kategori ilmu humaniora,
seni, bahkan memiliki keterkaitan dengan filsafat dan
sastra, dengan demikian dapat dibedakan dengan bidang-
bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Namun demikian,
pengaruh ilmu sosial terhadap disiplin hukum harus tetap
diakui oleh para penstudi hukum telah memberikan
kontribusi sekaligus telah sedikit banyak mengintervensi
perkembangan pemikiran maupun metode penelitian
hukum. Mengingat perkembangan pemikiran tentang
hukum yang sosiologis telah membuka peluang baru
untuk para peneliti hukum dalam meneliti hukum dengan
tidak hanya melihat hukum secara dogmatis dan ekslusif
dari sentuhan disiplin ilmu-ilmu lain, melainkan
membuka peluang untuk melakukan penelitian hukum
secara multidisiplin, sehingga memungkinkan melihat
hukum pada alam empiris yang tidak lain berada di
tengah masyarakat, tempat di mana hukum itu dianggap
sebagai fenomena sosial yang dinamis dan saling
berinteraksi dengan fenomena sosial lainnya seperti
ekonomi, politik, dan lain-lain. (Sonata, 2014)
Penelitian Hukum Normatif/Doctrinal Legal Research
Menurut Soerjono Soekanto dalam pembahasannya
mengenai penelitian hukum normatif adalah dari sifat dan
ruang lingkup disiplin hukum, dimana disiplin diartikan
sebagai suatu sistem ajaran tentang kenyataan, yang
biasanya mencakup disiplin analitis dan disiplin
preskriptif, dan disiplin hukum lazimnya termasuk ke
dalam disiplin preskriptif jika hukum dipandang hanya
mencakup segi normatifnya saja. Namun demikian, masih
di dalam tulisannya yang sama tersebut, Soerjono
Soekanto tetapi ingin membuktikan dan menegaskan

96
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

bahwa disiplin hukum lazimnya juga dapat diartikan


sebagai suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai
norma dan kenyataan (perilaku) atau sebagai sesuatu
yang dicita-citakan dan sebagai realitas/hukum yang
hidup, bahkan disiplin hukum tersebut memiliki segi
umum dan khusus (Soekanto, 2007).
Menurut Sunaryati Hartono, “sebenarnya penelitian
hukum normatif merupakan kegiatan sehari-hari seorang
mahasiswa/sarjana hukum. Bahkan penelitian hukum
yang bersifat normatif hanya mampu dilakukan oleh
seorang mahasiswa atau sarjana hukum, sebagai seorang
yang sengaja dididik untuk memahami dan menguasai
disiplin hukum” (Hartono, 1994).
Sunaryati menjelaskan pula bahwa “karena sudah
bertahun-tahun terjadi salah paham, maka seakan-akan
penelitian hukum yang bersifat ilmiah harus bersifat
socio-juridis atau socio legal. Oleh karena itu, kini perlu
disadari kembali betapa pentingnya metode penelitian
normatif itu karena sebagai mahasiswa/sarjana hukum,
merupakan kewajiban dan keharusan para
mahasiswa/sarjana hukum yang pertama menguasai
metode penelitian hukum (Hartono, 1994).
Menurut Philipus M. Hadjon, penelitian hukum normatif
adalah “penelitian yang ditujukan untuk menemukan dan
merumuskan argumentasi hukum melalui analisis
terhadap pokok permasalahan” (Djamiati & Djamiati,
2005). Penelitian hukum normatif Roni Hanitijo Soemitro
diartikan sebagai “penelitian yang digunakan untuk
mengkaji kaidah-kaidah dan asas-asas hukum”
(Soemitro, 1994).
Selanjutnya dipaparkan juga bahwa sifat dari dogmatik
hukum (ilmu tentang kaidah hukum dan ilmu tentang
pengertian pokok dalam hukum) bersifat teoritis-rasional
dan model penalaran yang digunakan adalah logika-

97
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

deduktif, sedangkan ilmu tentang kenyataan hukum


(sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum) bersifat
teoritis-empiris dan model penalaran yang digunakan
adalah logika induktif. Filsafat hukum bersifat etis-
spekulatif dan politik hukum bersifat praktis fungsional.
Berbeda dengan jenis penelitian hukum empiris,
penelitian hukum normatif memiliki kecenderungan
dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di
mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-
normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif.
Dimana tema-tema penelitiannya mencakup (Soemitro,
1994):
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
Penelitian hukum ini merupakan “suatu penelitian
hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan
asas atau doktrin hukum positif yang berlaku”
(Sunggono, 2015). Penelitian terhadap asas hukum
dapat juga disebut “penelitian menarik asas hukum
atau mencari asas-asas hukum yang dapat dilakukan
terhadap hukum positif tertulis maupun tidak
tertulis, baik yang dirumuskan secara tersirat
maupun tersurat” (Sri Mamudji, 2005).
2. Penelitian terhadap sistematika hukum;
Penelitian terhadap sistematika hukum dapat
dilakukan pada peraturan perundang-undangan
tertentu atau hukum tertulis. Menurut Amiruddin
dan Asikin “bukan pada peraturan perundang-
undangan dari sudut teknis penyusunannya,
melainkan pengertian-pengertian dasar dari sistem
hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan yang akan diteliti” (Amiruddin & Asikin,
2006).

98
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan


horizontal;
Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti keserasian
hukum positif agar tidak bertentangan berdasarkan
hierarki peraturan perundang- undangan. Jadi di sini
yang diteliti adalah “sampai sejauh mana hukum
positif tertulis atau peraturan perundang-undangan
yang ada itu sinkron atau serasi satu sama lain”
(Sunggono, 2015).
4. Perbandingan hukum;
Menurut Sunggono adalah “metode perbandingan
hukum mungkin diterapkan dengan memakai unsur-
unsur sistem hukum sebagai titik tolak
perbandingan, dimana sistem hukum itu sendiri
mencakup tiga unsur pokok, yaitu: (i) struktur
hukum yang mencakup lembaga-lembaga hukum; (ii)
substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah
atau perilaku teratur; dan (iii) budaya hukum yang
mencakup perangkat nilai-nilai yang dianut. Ketiga
unsur tersebut dapat dibandingkan masing-masing
satu sama lainnya, ataupun secara komulatif”
(Sunggono, 2015).
5. Sejarah hukum.
Penelitian terhadap sejarah hukum adalah penelitian
yang meneliti perkembangan hukum positif dalam
kurun waktu tertentu. Penelitian ini menurut Sri
Mamudji, “menganalisis peristiwa hukum secara
kronologis dan melihat hubungannya dengan gejala
sosial yang ada” (Sri Mamudji, 2005). Menurut
Bambang Sunggono, “sebagai metode, sejarah hukum
berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap
tahap-tahap perkembangan hukum, yang dapat
dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah
peraturan perundang-undangan” (Sunggono, 2015).

99
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

Disamping itu, “penelitian ini juga diadakan


identifikasi terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan lembaga-lembaga
hukum (seperti masalah perkawinan, waris, dan
sebagainya) tertentu maupun peraturan perundang-
undangan tertentu” (Sunggono, 2015). Dengan
demikian, “yang paling penting adalah dilakukannya
aktivitas ilmiah untuk menyusun pentahapan
perkembangan hukum atau perkembangan peraturan
perundang-undangan” (Sunggono, 2015).
Di lihat dari segi jenisnya yang sangat doktrinal atau
normatif, penelitian hukum normatif yang ada di
Indonesia mirip dengan penelitian hukum common law,
dimana penelitian hukum di dalam sistem hukum
common law lebih berorientasi kepada aspek praktis,
yaitu biasanya untuk menyelesaikan masalah hukum
konkret (perkara hukum tertentu) dan dilakukan oleh
para praktisi hukum (legal practitioners) baik bentuknya
sengketa maupun hanya ingin mencari bagaimana dan di
mana suatu permasalahan hukum tersebut diatur oleh
hukum yang dilakukan melalui penelitian fakta-fakta
hukum, peraturan hukum yang relevan bahkan juga
melihat kasus-kasus yang relevan dengan pertanyaan
yang ingin dipecahkan.
Karakteristik
Sesuai dengan kekhasan ilmu hukum yang bersifat
normatif, maka metode penelitian yang digunakan untuk
menemukan pengetahuan yang benar tentang hukum
yang normatif itu disebut dengan penelitian hukum
normatif. Dikatakan normatif, karena hukum itu
diasumsikan sebagai sesuatu yang otonom sehingga
keberlakuannya ditentukan oleh hukum itu sendiri bukan
oleh faktor-faktor di luar hukum. Pemikiran yang
demikian dikemukakan Johnny Ibrahim bahwa
“penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur ilmiah

100
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika


keilmuan hukum dari sisi normatifnya” (Ibrahim, 2006).
Menurutnya, “logika keilmua yang ajeg dalam penelitian
hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah
dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu
hukum yang objeknya hukum itu sendiri” (Ibrahim, 2006).
Penelitian Hukum Empiris
Secara etimologi, “istilah penelitian hukum empiris
berasal dari bahasa Inggris, yaitu empirical legal research,
dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah empirisch
juridisch onderzoek, sedangkan dalam bahasa Jerman
disebut dengan istilah empirische juristische recherche”
(Nurbani & Nurbani, 2014). Berbagai istilah tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah
penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris itu
diartikan sebagai “penelitian yang mengkaji dan
menganalisis tentang perilaku hukum individu atau
masyarakat dalam kaitannya dengan hukum dan sumber
data yang digunakannya berasal dari data primer, yang
diperoleh langsung dari dalam masyarakat” (Nurbani &
Nurbani, 2014).
Dengan demikian, titik fokus dalam penelitian hukum
empiris adalah perilaku hukum individu atau masyarakat.
Di sini, hukum dikaji bukan sebagai norma sosial,
melainkan sebagai suatu gejala sosial, yaitu hukum dalam
kenyataan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Tujuannya adalah untuk menemukan konsep-konsep
mengenai proses terjadinya hukum dan mengenai proses
bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Menurut
Zainuddin Ali, “penelitian hukum empiris bertujuan
untuk mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat
yang tampak aspek hukumnya” (Ali Z. , 2007). Dalam
konteks ini, “sosiologi hukum dan ilmu empiris lainnya
akan menempatkan kembali konstruksi hukum yang

101
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

abstrak ke dalam struktur sosial yang ada sehingga


menjadi lembaga yang utuh dan realistis” (Ali Z. , 2007).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian
hukum empiris merupakan penelitian hukum yang
bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis bekerjanya
hukum di dalam masyarakat, yang termanifestasi ke
dalam perilaku hukum masyarakat. Penelitian hukum
empiris berupaya untuk melihat hukum dalam kondisi
yang nyata dan meneliti bagaimana perilaku hukum
masyarakat dan penerapan hukum di dalam lingkungan
masyarakat. Ada dua kajian dalam penelitian empiris,
yaitu : (i) subjek yang diteliti, dan (ii) sumber data yang
digunakan. Subjek yang diteliti dalam penelitian hukum
empiris, yaitu perilaku hukum (legal behavior), yaitu
perilaku nyata dari individu atau masyarakat yang
bertolak ukur kepada kaidah hukum yang berlaku
(hukum positi). Penelitian hukum empiris sumber data
yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang
berasal dari masyarakat atau orang-orang yang terkait
secara langsung terhadap objek penelitian.
Karakteristik
Penelitian hukum empiris merupakan salah satu
penelitian hukum yang dapat digunakan penggiat hukum
untuk menemukan solusi hukum atas berbagai masalah
hukum yang terjadi secara nyata di dalam masyarakat.
Menurut Wignjosoebroto, “digunakannya penelitian
hukum empiris sebagai salah satu metode penelitian
dalam ilmu hukum, karena hukum tidak lagi
dikonsepsikan secara filosofis-moral sebagai norma ius
constituendum atau law as what ought to be dan tidak
pula secara positivis sebagai norma ius constitutum atau
law as what it is in the books, melainkan secara empiris
yang teramati di alam pengalaman. Hukum tidak lagi
dimaknakan sebagai norma-norma yang eksis secara

102
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

eksklusif di dalam suatu legitimasi yang formal”


(Wignjosoebroto, 2013).
Pada penelitian hukum empiris atau disebut juga
penelitian hukum sosiologis, “hukum dikonsepkan
sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan
variabel-variabel sosial yang lain. Apabila hukum sebagai
gejala sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel
bebas/sebab (independent variabel) yang menimbulkan
pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan
sosial, kajian itu merupakan kajian hukum yang
sosiologis (socio-legal research). Namun, jika hukum dikaji
sebagai variabel tergantung/akibat (dependent variable)
yang timbul sebagai hasil dari berbagai kekuatan dalam
proses sosial, kajian itu merupakan kajian sosiologi
hukum (sociology of law)” (Amiruddin & Asikin, 2006).
Berdasarkan pada uraian di atas bahwa penelitian hukum
empiris memiliki karakteristik yang pertama, titik fokus
penelitian hukum empiris adalah perilaku hukum dari
individu atau masyarakat hukum. Jadi hukum dilihat
sebagai suatu gejala sosial, yaitu hukum dalam kenyataan
di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena
itu, keabsahan temuannya sangat dipengaruhi dunia
empiris. Kedua, karena bersandar pada kenyataan
masyarakat, maka sumber data utamanya adalah data
primer yang diperoleh melalui studi lapangan (field
research), dan didukung data sekunder sebagai data
awalnya yang diperoleh melalui studi kepustakaan, dan
dilengkapi dengan bahan hukum primer, sekunder, dan
tertier.
Penelitian hukum empiris tetap bertumpu pada premis
normatif, sebab hukum dikaji sebagai dependent variable.
Ketiga, penelitian hukum empiris lebih mengutamakan
data primer, maka teknik pengumpulan data dalam
penelitian hukum empiris dilakukan melalui pengamatan
(observasi) dan wawancara (interview). Untuk kepentingan

103
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

tersebut, dibutuhkan adanya penetapan sampling,


terutama jika hendak meneliti perilaku hukum warga
masyarakat. Keempat, penelitian hukum empiris
menggunakan kajian yang bersifat a posteriori dengan
pendekatan penalaran induksi untuk menjelaskan suatu
gejala hukum. Kelima, penelitian hukum empiris dalam
situasi tertentu membutuhkan hipotesis, terutama dalam
penelitian yang bersifat korelatif yaitu mencari korelasi
berbagai gejala hukum sebagai variabelnya. Keenam, dari
sudut kebenaran yang dituju, penelitian hukum empiris
hendak menemukan kebenaran korespendensi yaitu
kesesuaian hipotesis atau asumsi yang dibangun dalam
suatu penelitian dengan fakta yang berupa data.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Hukum
Bagi para peneliti maupun mahasiswa yang melakukan
penelitian pastinya mempunyai tujuan yang dicapai yaitu
sebagai berikut:
1. Mendapatkan pengetahuan tentang fenomena, gejala
hukum sehingga menjadi rumusan masalah dalam
penelitian;
2. Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam
mengenai suatu gejala hukum, sehingga dapat
dirumuskan hipotesa ;
3. Menggambarkan secara lengkap aspek-aspek hukum
dari suatu keadaan, perilaku individu atau perilaku
masyarakat, kasus, tanpa didahului hipotesa ;
4. Mendapatkan keterangan tentang frekuensi peristiwa
hukum yang terjadi ;
5. Memperoleh data mengenai hubungan antara satu
gejala hukum dengan gejala yang lain dan peristiwa
hukum;

104
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

Selain dari uraian tujuan penelitian hukum diatas,


kegiatan penelitian hukum mempunyai manfaat yang
berbeda dengan penelitian sosial lainnya yaitu :
1. Mengetahui dan mengenal terkait penerapan aturan
hukum suatu masalah;
2. Dapat menyusun dokumen-dokumen hukum (seperti
gugatan, tuduhan, pembelaan, putusan pengadilan,
akta notaris, sertifikat, kontrak, dan sebagainya) yang
diperlukan oleh masyarakat. Hal ini menyangkut
pekerjaan notaries, pengacara, jaksa, hakim dan para
pejabat pemerintah ;
3. Dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang
lain apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai
peristiwa atau masalah yang tertentu. Hal ini
merupakan tugas utama para dosen, mahasiswa dan
penyuluh ;
4. Untuk menulis ceramah, makalah, atau buku-buku
hukum ;
5. Untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di
bidang hukum, khususnya dalam mencari asas
hukum, teori hukum, dan sistem hukum, terutama
dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas
hukum baru, pendekatan hukum yang baru, dan
sistim nasional yang baru ;
6. Untuk menyusun rancangan undang-undang, atau
peraturan perundang-undangan lainnya (legislative
drafting) ;
7. Untuk menyusun rancangan pembangunan hukum,
baik rencana jangka pendek dan jangka menengah,
terlebih untuk jangka panjang ;

105
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

Daftar Pustaka
Ali, Z. (2007). Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Ali, Z. (2011). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.
Amiruddin, & Asikin, Z. (2006). Pengantar Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djamiati, P. M., & Djamiati, T. S. (2005). Argumentasi
Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Hartono, S. (1994). Penelitian Hukum di Indonesia pada
Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni.
Ibrahim, J. (2006). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
Marzuki, P. M. (2014). Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana.
Nurbani, S. H., & Nurbani, E. S. (2014). Penerapan Teori
Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta:
Raja Grafindo.
Soekanto, S. (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:
UI Press.
Soemitro, R. H. (1994). Metode Penelitian Hukum dan
Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sonata, D. L. (2014). Metode Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti
Hukum. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 23-24.
Sri Mamudji, d. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan
Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Sunggono, B. (2015). Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers.
Syamsudin, M. (2007). Operasionalisasi Penelitian Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wignjosoebroto, S. (2013). Metode Sosial/Non Doktrinal
untuk Mengkaji Hukum Dalam Konsepnya Sebagai
Realitas Sosia. Digest Epsitema, 13.

106
TIPOLOGI PENELITIAN HUKUM, TUJUAN, DAN MANFAATNYA

Profil Penulis

Ahmad Fajar Herlani


Penulis lahir di Jakarta, 27 April 1987. Mengawali
karir sebagai dosen pada tahun 2014 silam.
Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di LPI At-
Taufiq Jakarta, kemudian melanjutkan ke SMPN
77 Jakarta, dan SMAN 77 Jakarta. Penulis
melanjutkan ke perguruan tinggi dan menyelesaikan S1 di Prodi
Ilmu Hukum, konsentrasi Hukum Perdata di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. Pada saat S1 penulis aktif sebagai pengurus
diorganisai mahasiswa seperti Permahi DPC Banten dan HMI.
Setelah lulus pada jenjang S1 penulis melanjutkan ke S2 di
Universitas Indonesia prodi Ilmu Hukum konsentrasi Hukum
Ekonomi. Di S2 penulis menduduki jabatan organisasi sebagai
Wakil Ketua Umum IMMH UI periode 2011-2012. Saat ini
penulis menduduki jabatan diorganisasi Masika ICMI Provinsi
Banten sebagai Sekretaris Umum periode 2020-2024. Penulis
juga merupakan alumni Lemhanas ToT Taplai Angkatan 4
tahun 2020. Penulis memiliki fokus dalam bidang perdata dan
saat ini penulis sebagai dosen tetap di Universitas Islam Syekh-
Yusuf. Dalam mengembangkan kompetensinya penulis juga
mengajar di berbagai Universitas di wilayah Jabodetabek.
Penulis aktif menulis jurnal dan juga melakukan penelitian
yang didanai internal kampus serta Kemenristek Dikti pada
Tahun 2019-2020. Penulis berharap agar seluruh karyanya
dapat memberikan manfaat dalam dunia pendidikan di
Indonesia.

107
108
7
Teknik Pengumpulan Data dan
Analisis Bahan Hukum

SULISTYANI EKA LESTARI


Universitas Sunan Bonang Tuban

Teknik Pengumpulan Data


Setelah mengetahui serta memahami tentang berbagai
tipe penelitian yang relevan dengan sosiologi hukum,
selanjutnya perlu untuk memahami tentang berbagai cara
pengumpulan data yang meliputi beberapa metode antara
lain: Obesrvasi, Wawancara, Kuisioner, serta
Dokumentasi.
1. Metode Obeservasi
Satu cara di antara sejumlah cara pengumpulan data
adalah : Metode Obesrvasi, yaitu suatu cara yang
dilakukan dengan menggunakan indera mata.
Mengapa demikian, kerena kata observasi
sebagaimana dimaksudkan itu, berasal dari kata to
observe, yang artinya mengamati. Dengan demikian
maksud dari observasi di sini adalah suatu kegiatan
pengumpulan data yang dilakukan dengan metode
observasi atau pengamatan.
Mungkin kita pernah melihat peristiwa kecelakaan
lalu-lintas dan ketika melihat peristiwa tersebut
kadangkala disadari ataupun tidak, kita bertanya di
dalam hati: apa yang mengalami kecelakaan?

109
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

Mengapa terjadi kecelakaan? Siapa yang salah? Ada


korban yang meninggal atau tidak? Sudah ada polis
lalu lintas yang mengurus atau belum?
Berbagai pertanyaan tersebut kadang-kadanga
terjawab melalui orang lain dengan jalan bertanya,
akan tetapi seringkali orang lainpun belum tahu
kronologinya apalagi jika yang mengalami kecelakaan
itu pingsan semua atau bahkan meninggal dunia,
sehingga belum atau bahkan tidak dapat ditanyai.
Bila terjadi hal seperti ini biasanya orang kemudian
berusaha mencari jawabanya dengan melihat posisi
kendaraan, posisi korban dan berbagai hal lain yang
berkaitan dengan peristiwa kecelakaan itu yang dapat
diamati tanpa harus bertanya kepada siapapun,
sampai akhirnya sesorang dapat merumuskan
kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pertanyaan
– pertanyaan diatas.
Metode seperti itulah yang disebut dengan observasi
jadi sekali lagi, suatu cara pengumpulan data dapat
disebut obeservasi, jika proses pengumpulannya
dilakukan dengan cara melakukan, tanpa melakukan
wawancara maupun penyebaran kuesioner.
Metode observasi dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
a. Simple observation (observasi sederhana)
b. Sistematic Observation (observasi bersistem)
Simple observasi sendiri dapat dibedakan
menjadi:
1) Participant observation (observasi
berpartisipasi)
2) Non Participant Observation (observasi
tanpa berpartisipasi)

110
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

2. Metode Wawancara
Acapkali teknik pengumpulan data dengan metode
observasi seperti yang diterangkan sebelumnya, sulit
dilakukan. Hal tersebut dikarenakan sesuatu yang
akan diamatinya kadang-kadang sudah tidak nampak
lagi atau telah berubah atau bahkan selalu berubah.
Oleh sebab itu biasanya seorang peneliti akan
berusaha menggunakan cara lain yang memberi
kemungkinan padanya untuk memperoleh sesuatu
yang diinginkannya.
Metode lain yang dapat ditempuh dalam proses
pengumpulan data adalah: wawancara, yaitu suatu
cara pengumpulan data atau keterangan dengan jalan
mewawancarai seseorang atau sejumlah orang yang
diperkirakan dapat memberi jawaban mengenai
sesuatu yang kita inginkan. Atas dasar jumlah pelaku
dan sasarannya dapat dibedakan menjadi :
a. Wawancara tunggal (mono interview), yaitu jika
sesorang pewawancara berhadapan dengan
seorang sasaran;
b. Wawancara ganda (multiple interview), yaitu suatu
kegiatan wawancara yang dilakukan dengan cara
lebih dari satu orang, baik pewawancaranya
maupun yang di wawancarai, dan ini dapat dipilih
lagi menjadi beberapa jenis, misalnya:
1) Apabila seorang pewawancara berhadapan
dengan sejumlah orang yang di wawancarai,
disebut Group Interview (wawancara
berkelompok);
2) Apabila seorang pewawancara memiliki
sejumlah asisten dan masing – masing asisten
melakukan wawacara terhadap sejumlah

111
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

orang, disebut mass Interview (wawancara


massa);
3) Apabila seorang pewawancara berhadapan
dengan dua orang sasaran, disebut double
interview (wawancara berdua);
Bagi berbagai metode wawancara, tentu saja
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-
masing, sehingga kadang-kadang seorang peneliti
tidak cukup hanya menggunakan satu jenis
wawancara saja akan tetapi melakukan
kombinasi berbagai metode wawancara, dan
bahkan mengkombinasikannya dengan
pengumpulan data yang lain, seperti observasi
dan kuesioner. Kesulitan yang sering terjadi
adalah : penentuan waktu luang sasaran, serta
penyamaan bahasa maupun persepsi antara
peneliti dan sasaran.
3. Metode Kuesioner
Metode kuesioner merupkan suatu kegiatan
penelitian yang dilakukan dengan cara menyebarkan
daftar pertanyaan secara tertulis kepada kalayak
sasaran atau responden. Hal ini dilakukan dengan
harapan, responden dapat memahami pertanyaan
secara cermat dan teliti, dengan cara mengulang
membacanya. Sehingga dapat memberikan jawaban
kepada peniliti secara leluasa serta memuaskan.
Metode kuesioner dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu:
a. Atas dasar jenis dan sifat data yang dapat
dikumpulkan; metode kuesioner dapat dibedakan
menjadi:
1) Kuesioner factual (factual questions);

112
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

Jenis kuesioner ini merupakan pertanyaan


yang berupaya untuk menggali data mengenai
kenyataan-kenyataan yang ada, serta yang
berkaitan dengan dirinya.
2) Pertanyaan pendapat (opinion and attitude
qustions);
Jenis kuesioner ini merupakan pertanyaan
yang berupaya untuk menggali data mengenai
pendapat dan sikap seseorang yang terkait
dengan sesuatu di luar dirinya.
b. Atas dasar cara menjawabnya dan jawaban yang
tersedia;
Atas dasar cara menjawabnya dan jawaban yang
tersedia, metode kuesioner dapat dibedakan
menjadi:
1) Kuesioner terbuka;
Jenis kuesioner ini merupakan pertanyaan
yang berupaya memberi kebebasan untuk
menjawab dalam bentuk uraian.
2) Memlih alternatif jawaban;
Jenis kuesioner ini merupakan pertanyaan
yang berupaya memberi atau menyediakan
pilihan jawaban.
Metode Kuesioner memang merupakan cara yang
banyak digunakan oleh para peneliti, karena peneliti
tidak harus ketemu langsung dengan sasaran, apabila
sasaran penelitiannya tidak memungkinkan untuk
ketemu langsung. Sehingga dapat melakukan
pemberian jawaban secara leluasa. Namun memiliki
kelemahan, yaitu sasaran tidak memahami maksud
dari suatu pertanyaan yang diajukan. Selain itu

113
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

mungkin juga sasaran memberikan jawaban


semaunya secara tidak jujur.
4. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu suatu pengumpulan data
yang dilakukan dengan melihat atau mencatat arsip-
arsip monograf, surat-surat buku dan dokumentasi
lain yang diperkirakan mempunyai hubungan atau
dapat mendukung data yang telah ada. Di samping itu
dapat juga diartikan sebagai pengambilan data atau
situasi lapangan, dengan menggunakan sarana
dokumentasi seperti: pita kaset, camera dan lain
sebagainya (Soeprapto, 2001).
Teknik Analisis Bahan Hukum
1. Penalaran Hukum
Suatu metode analisis bahan hukum dengan
menggunakan penalaran hukum, yaitu metode
berpikir yuridik untuk mengindentifikasi masalah
hukum berdasarkan tatanan hukum yang berlaku,
hak-hak dan kewajiban kewajiban yuridik spesifik
dari para pihak terkait (Bernard Arief Sidharta, 2009;
Hartiwiningsih, Hego Karjoko Soeprapto, 2019).
a. Acuan dasar penalaran hukum:
Proses penalaran hukum baik dengan logika
deduktif maupun logika induktif, berlangsung
dengan kerangka tiga acuan dasar dari Visser t
Hooft. Kerangka tiga acuan dasar tersebut yakni
hukum sebagai putusan yang memiliki otoritas
(positivitas), hukum sebagai tatanan (koherensi),
dan hukum sebagai pengaturan hubungan antar
manusia yang tepat (keadilan) (Bernard Arief
Sidharta, 2009; Hartiwiningsih, Hego Karjoko,
Soeprapto, 2019).

114
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

1) Acuan dasar pertama, Positivitas;


Demi terjaminnya kepastian hukum dan
prediktabilitas, maka proses penalaran
hukum harus selalu berlangsung
berdasarkan dan dalam kerangka tata hukum
yang berlaku. Ini berarti kegiatan menalar dan
menetapkan legalitas kebijakan relokasi
harus bertumpu atau menautkan diri pada
kompleks perangkat aturan-aturan hukum.
2) Acuan dasar kedua, Koherensi;
Koherensi merupakan kesatuan dan
kebersisteman di dalam tata hukum
sedemikian sehingga tata hukum kompleks
itu secara rasional tetap dapat “ditangani”
atau “handteerbaar”, atau dapat dipahami,
dikuasai dan digunakan secara efektif
bertujuan (Bernard Arief Sidharta, 2009;
Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto,
2019).
3) Acuan dasar ketiga, Keadilan Hukum;
Keadilan hukum yang dimaksud adalah
untuk mewujudkan pengaturan hubungan
antar manusia yang tepat, artinya yang dapat
diterima atau akseptabel oleh para pihak dan
juga oleh masyarakat. Namun keadilan adalah
masalah yang sulit untuk dirumuskan dalam
satu ketentuan. Karena itu hanya secara
umum saja dapat dikatakan bahwa putusan
hukum yang dihasilkan itu harus “make sense
in the context of the system” dan juga “make
sense in the world” (Neil Mac Cormick;
Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto,
2019).

115
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

b. Metode penalalaran hukum:


Dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan
dalam penalaran hukum, mencakup:
1) Metode induksi; yang digunakan untuk
merumuskan fakta hukum.
2) Metode deduksi; yang maliputi hal-hal sebagai
berikut.
a) Premis mayor: asas-asas/aturan hukum
b) Premis minor: fakta hukum
c) Konklusi (Hartiwiningsih, Hego Karjoko,
Soeprapto, 2019).
2. Langkah-langkah Analisis Hukum
Menurut Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati,
langkah-langkah analisis hukum adalah sebagai
berikut (Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati,
2008; Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto,
2019).
a. Pengumpulan fakta
Fakta hukum dapat berupa perbuatan, peristiwa
atau keadaan. Sebagai contoh: pembunuhan
merupakan perbuatan hukum; kelahiran
merupakan peristiwa hukum; di bawah umur
merupakan suatu keadaan. Fakta hukum
berdasar atas ketentuan-ketentuan serta asas-
asas hukum yang relevan.
b. Klasifikasi permasalahan hukum
Klasifiksi hakekat permasalahan hukum, hal yang
utama terkait dengan pembagian hukum positif.
Hulum positif dibedakan menjadi hokum public
dan hokum privat, yang masing-masing memiliki
disiplin sendiri-sendiri. Hukum Publik mencakup

116
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

Hukum Tata Negara, Hukum Adminstrasi, serta


Internasional Publik. Hukum Privat nencakup
Hukum Dagang dan Hukum Perdata. Hukum
didiplin fungsional, yang memiliki karakter
campuran, misalnya Hukum Perburuhan.
c. Identifikasi dan pemilihan isu hukum
Isu hukum berupa pertanyaan tentang fakta dan
pertanyaan tentang hukum. Dalam sistem Civil
Low, isu hokum diawali dengan statute approach,
setelah itu diikuti oleh conceptual approach.
Dengan demikian isu hokum selalu bertautan
dengan konsep hukum. Konsep hukum yang
menjadi dasar, dapat dipilah-pilah menjadi
elemen-elemen pokok.
d. Penemuan hukum terkait isu hukum
Dalam pola civil law hukum utamanya adalah
legislasi. Oleh karena itu langkah dasar pola nalar
yang dikenal sebagai reasoning based on rules
adalah penelusuran peraturan perundang-
undangan. Langkah ini merupakan langkah
pertama yang dikenal sebagai statute approach.
Langkah berikutnya (langkah kedua) adalah
mengidentifikasi norma. Rumusan norma
merupakan suatu proposisi.
1) Konsep perbuatan;
Apabila konsep ini tidak dijelaskan akan
menimbulkan kesulitan. Misalnya apakah
kerugian yang ditimbulkan oleh gempa bumi
dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal
1365 BW.
Pertanyaan hukum yang muncul adalah
apakah gempa bumi termasuk konsep
perbuatan. Pertanyaan menyusul adalah itu

117
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

perbuatan siapa dan pada akhirnya


pertanyaan tentang siapa yang bertanggung
jawab.
2) Konsep melanggar;
Konsep ini perlu dimaknai secara jelas unsur-
unsur melanggar hukum. Dalam bidang
hukum perdata orang berpaling kepada
yusrisprudensi. Berdasarkan yurisprudensi
melanggar hukum terjadi dalam hal :
a) Melanggar hak orang lain
b) Bertentangan dengan kewajiban
hukumnya
c) Melanggar kepatutan
d) Melanggar kesusilaan
3) Konsep kerugian;
Konsep ini terdiri dari unsur-unsur kerugian
seperti berikut:
a) Schade : kerusakan yang diterima
b) Winst : keuntungan yang diharapkan
c) Koeten : biaya yang dikeluarkan
e. Penerapan Hukum
Setelah menemukan norma konkrit langkah
berikutnya adalah penerapan pada fakta hukum.
Seperti contoh di atas setelah menemukan norma
konkrit dari perbuatan dalam konteks Pasal 1365
BW dapat dijadikan parameter untuk menjawab
pertanyaan hukum apakah gempa bumi
merupakan perbuatan? Agar memberikan
pemahaman mengenai analisis bahan hukum di
bawah ini dikemukakan dua model analisis bahan
hukum dari Peter Mahmud Marzuki sebagai

118
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

berikut (Peter Mahmud Marzuki, 2008;


Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto, 2019).
1) Masalah/isu hukum :
a) Apakah di dalam perjanjian jual beli
anatar penjual water treatment dengan
klien dituangkan klausul mengenai
garansi (warranty) dan jika ya, apakah
bentuk garansi itu?;
b) Mengingat menurut salesman tidak ada
kerusakan melainkan salah pemasangan
apakah hal itu masuk kedalam garansi?;
c) Apakah bentuk hubungan hukum antara
Riswanto dan penjual water treatment?;
d) Apakah penjual water treatment
bertanggung gugat atas kerugian yang
diderita oleh klien?
Analisis bahan hukum:
Dalam kerangka menjawab isu hukum,
peneliti perlu merujuk kepada ketentuan-
ketentuan Hukum Perjanjian Indonesia.
2) Isu hukum outsourching:
a) Pada level dogmatik hukum: (a) apakah
yang disebut kegiatan utama?; (b) apakah
akibat hukum apabila perusahaan
pemberi pekerjaan tidak bersedia
mengalihkan status hubungan antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan?
b) Pada level teori hukum: apakah secara
teoretis ilmu hukum dibenarkan negara
mencampuri suatu wilayah yang masuk
ke dalam pengaturan hukum privat?

119
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

c) Pada level filsafat hukum: outsourching


yang berangkat dari pandangan efisiensi
dan pragmatik berhadapan dengan
fairness and justice.
Dalam menjawab isu hukum mengenai
outsourching, apakah dalam level dogmatik,
teori atau filosofis, yang pertama kali yang
ditelaah adalah dasar ontologis dan ratio legis
Undang-undang Nomor: 13 Tahun 2003. Hal
itu dapat diperoleh dari penjelasan umum
yang pada awalnya sebenarnya merupakan
Naskah Akademik. Di dalam Naskah
Akademik itulah ditemukan filosofis dan teori-
teori yang melatarbelakangi lahirnya undang-
undang Naskah Akademik merupakan dasar
Ontologism undang-undang Nomor 13 tahun
2003. Selanjutnya secara spesifik dapat
dilacak mengapa terdapat ketentuan Pasal 64,
65, dan 66. Tentu saja untuk yang berlevel
dogmatik hukum, tidak perlu teori yang lebih
mendalam apalagi bersifat filosofis.

120
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

Daftar Pustaka
Budirahyu, T., E.H. Pryhantoro & N. Susan (2009);
Sosiologi Korupsi. Penerbit Universitas Terbuka,
Jakarta.
Daryono, Triyono & SB Gumbira (2019); Interprestasi dan
Penalaran Hukum. Penerbit Universitas Terbuka,
Jakarta.
Delianoor, N.A., (2017); Tindak Pidana Khusus. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.
Hartiwiningsih dkk, (2019); Metode Penelitian Hukum.
Penerbit Universitas Terbuka. Jakarta.
Indrati S, MF., dkk (2017); Ilmu Perundang-udangan.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Kadir, Gau (2004); Pembangunan Politik. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.
Malo, M., (2009); Sosiologi Ekonomi. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.
Maria Farida Indrawati S. dkk, (2016); Ilmu Perundang-
undangan. Penerbit Universitas Terbuka. Jakarta.
Martini, Rina, dkk (2005); Sosiologi Pemerintahan.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Pujiyono (2019); Tindak Pidana Korupsi. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.
Setianingsih, S. & Wahyuningsih (2017); Hukum
Internasional. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Simbolon, M.R., & J.M. Henny W., (2016); Hukum Adat.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Soeprapto, (2001); Sosiologi Hukum. Penerbit Universitas
Terbuka. Jakarta.
Soeprapto & Sri Rahayu S., (2005); Metode Penelitian
Kualitatif. Universitas Terbuka, Jakarta.
Soesilo, Arie S, dkk (2005); Sosiologi Politik. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.

121
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

Soetami, AS., (1986); Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit


Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, Jakarta.
Sulastriyono, DA Widowati & Rimawati (2016); Bahasa
dan Terminologi Hukum. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.
Suriakusumah, dkk (2007); PKN dan Kemasyarakatan.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Suryani, N., Rai Mantili & Anita Afriana (2015); Hukum
Perusahaan. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Syarifah, N., & R. Perdana (2016); Hukum Perjanjian.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Tangdilinting, P., (2005); Masalah-masalah Sosial.
Universitas Terbuka, Jakarta.
Umam, K., Rimawati & Suryana Y., (2017); Filsafat
Hukum dan Etika Profesi. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.

122
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

Profil Penulis
Sulistyani Eka Lestari. Tempat/Tanggal
Lahir: Tuban, 22 April 1962, Nama: Islam; NIP:
1962 0422 1987 03 2002; NIDN: 0022 04
6201; Unit Organisasi: Dosen Fakultas
Hukum Universitas Sunan Bonang Tuban;
Alamat Kampus: Jl. Dr Wahidin Sudirohusodo
No. 798 Tuban; Alamat Rumah: Jl. Sunan Ampel No. 7 Tuban;
Nomor HP: 0823 3354 7054.
Pendidikan: Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, lulus 9 Maret 2019; Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya, lulus 25 Februari
2002; Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya, lulus 18 November 1986; SMA Negeri 1 Tuban,
lulus 7 Mei 1980; SMP Negeri 1 Tuban, lulus 22 November 1976;
SD 1 Rengel, Tuban, lulus 22 Desember 1973.
Pekerjaan: Dosen Kopertis Wil 7 Jatim DPK. Fakultah Hukum
Universitas Sunan Bonang, 1987; Kepala Biro Administrasdan
Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Sunan Bonang
Tuban, 2002; Ketua Pokja III TP PKK Kabupaten Magetan, 2000-
2012; Pembantu Rektor I, 2005-2010; Anggota Senat PT/Univ.
Sunan Bonang, 2005-Sekarang; Koordinator Acara Diseminasi
dan Penanganan HAM di Pendopo Kabupaten Tuban, 2013;
Pembantu Rektor III, 2014; Narasumber Dialog Interaktif
Konsultasi Keluarga di Radio Pradya Suara FM, 2015; Tim Pos
Pemberdayaan Keluarga yang merupakan kerjasama
Univeristas Surabaya dengan Universitas Sunan Bonang, 2015-
2017; Anggota AP-HTN Jatim, Koordinator Wil. Lamongan –
Tuban, 2016; Pembantu Rektor I, 2018-Sekarang; Anggota
Forum Pembantu Rektor Bidang Akademik Sejatim, 2018-
Sekarang; Tim pewawancara Seleksi Beasiswa Pertamina
Foundation, 20 Mei 2020.
Pelatihan: Workshop untuk Pelatihan Pendataan dan Pemetaan
Keluarga Indonesia Tingkat Nasional (Yayasan Damandiri
Jakarta), 2015; Pelatihan Perancangan Per-Undang-Undnagan
di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2019;
Penanya Akademik pada Ujian Terbuka di Program S3 Ilmu
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2017; Penanya

123
TEKNIK PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS BAHAN HUKUM

Akademik pada Ujian Terbuka di Program S3 Ilmu Hukum


Universitas Airlangga, 2018.
Penelitian: Implemantation of Goverment Ragulation Number 21
of 2020 Conceruing Large Scale Social Limitation in Covid 19
Prevention in Indonesia (Preseanter in Iilomate Internasional
Conference), 2019; Consumer Prtection Low For Bank
Customers, 2018; The Implementation of Indonesia as a Rule of
Low Bassed on 1945 Constitution after Avandements, 2020;
Maintaining The Construction of the Legal State Through Politics
of Legal Renewal Based on Deuocrazy, 2020; Reading the
Probalitic Roots of Non Complionce with Contitunional Count
Dacisons, 2020; Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Mengatasi
Dampak Covid (Presenter pada Webinar I.C Unimal), 2020;.
Jurnal:
Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
Oleh Mahkamah Konstitusi (DIH, Jurnal Ilmu Hukum Pebruari
2014, Vo. 01, No. 19, Hal. 38-47), 2014;
Kajian Hukum dan tindakan Bagi penyelenggaraan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Mimbar Yustitia Jurnal
Hukum dan Hak Asasi Manusia Volume 1, Nomor 1, Juni
2017), 2017;
Urgensi Hukum Perizinan dan penegakannya Sebagai
Sarana Pencegahan Pencemaran Lingkungan Hidup
(Masalah-masalah Hukum Jilid 48 No. 2, April 2019), 2019;
Optimalisasi WhatsApp dalam Pembelajaran Daring pada Mata
Kuliah Tata Negara di EraCovid-19 (Penguatan Tridharma
Dosen Era Pandemi Covid-19 Dan New Normal Tendensi dan
Tradisi), 2020.

124
8
Penentuan dan Perumusan
Masalah Hukum

SULISTYANI EKA LESTARI


Universitas Sunan Bonang Tuban

Masalah/Isu Hukum Dalam Penelitiam Dogmatik


Hukum
1. Pengertian Dogmatik Hukum
Agar dapat merumuskan isu hukum dengan tepat
diperlukan pemahaman yang baik mengenai
pengertian ilmu hukum. Dengan memahami ilmu
hukum akan memudahkan kita dalam Memilah-milah
mana yang termasuk isu hukum dan mana yang tidak
termasuk isu hukum. Di samping itu juga dapat
membedakan antara isu hukum pada ranah dogmatik
hukum, teori hukum, filsafat hukum. Gijssels dan
Van Hoecke membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan,
yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat
hukum. Perkembangan ilmu hukum diawali oleh
filsafat hukum, yang sangat spekulatif dan disusul
dogmatik hukum (ilmu hukum positif), yang sangat
teknis. Untuk menjembatani perbedaan yang tajam
dari dua disiplin tersebut dibutuhkan disiplin tengah,
yaitu teori hukum. Dogmatik hukum, teori hukum,
filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan
kepada praktik hukum, yaitu pembentukan hukum
dan penerapan hukum. Permasalahan penerapan

125
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

hukum antara lain mengenai interpretasi hukum,


kekosongan hukum, antinomi, dan norma yang
kabur.
Ahli hukum Meuwissen mendefinisikan dogmatik
hukum sebagai memaparkan, menganalisis,
mensistimatisasi dan menginterpretasi hukum yang
berlaku atau hukum positif. Selanjutnya menurut M
Van Hoecke, dogmatik hukum adalah cabang ilmu
hukum (dalam arti sempit) yang memaparkan dan
mengistematisasi hukum positif yang berlaku dalam
suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu
tertentu dari sudut pandang normatif. Menurut
Bruggink ada dua jenis teori hukum, yaitu teori
hukum yang lebih awal keberadaannya disebut teori
hukum empirik dan kontemplatif. Teori hukum
empirik berasal dari lingkungan positivistik. Cabang
tertua Teori hukum ini muncul di Jerman dengan
nama “Allgemeine Rechtslehre” atau Ajaran Hukum
Umum. Teori hukum Kontemplatif objeknya
mencakup kegiatan-kegiatan yuridik seperti
pengembanan dogmatik hukum, pembentukan
hukum, dan penemuan hukum. Dalam bidang ini,
berbagai bagian dari jenis teori hukum ini diberi nama
sesuai dengan jenis kegiatan yuridik yang disebutkan
tadi.
2. Masalah/Isu Hukum Dalam Dogmatik Hukum
Suatu orientasi dogmatik hukum adalah hukum
positif peraturan yang berlaku, yang sifatnya tertentu
secara ratione loci. Misalnya hukum positif Indonesia,
hukum positif Belanda, dan sebagainya. Sementara
teori hukum merupakan meta teori dogmatik hukum.
Untuk dapat menganalisis, menginterpretasi dan
menerapkan norma/kaidah hukum positif maka hal
itu sangat bergantung pada penguasaan konsep-
konsep yang digunakan didalamnya. Dalam kaitan ini

126
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

teori hukum sebagai meta teori dogmatik hukum


berfungsi memberikan penjelasan atau analisis atas
konsep-konsep hukum (legal concept) yang
diperlukan dalam pengembanan dogmatik hukum.
Konsep – konsep hukum tersebur dapat ditemukan
dalam norma-norma atau kaidah hukum yang
berlaku karena pada hakikatnya norma/kaidah itu
sendiri merupakan rangkaian proposisi normatif yang
terdiri dari konsep-konsep hukum.
Terdapat empat tugas teori hukum versi Giijsels &
Mark Van Hoecke, antara lain seperti berikut :
a. Sebagai analisis, yang merupakan bidang tugas
teori hukum terutama tentang konsep-konsep
yang juga dapat ditemukan dalam dogmatik
hukum. Namun kekhasan analisis hukum sebagai
bidang tugas teori hukum dalam rangka analisis
konsep-konsep hukum dibanding dengan
dogmatik hukum ialah penekanannya pada
pendekatan interdisipliner dan irrelevansi relatif
isi konkret dari suatu sistem hukum tertentu yang
di dalamnya konsep yang dianalisis digunakan.
b. Sebagai metode-metode dogmatik hukum, yang
meliputi pembentukan hukum, penerapan hukum
dan kemudian berkembang menjadi metode
penemuan hukum oleh hakim. Kegunaan
langsungnya untuk kepentingan praktik hukum,
yaitu memberikan suatu metodologi minimum
dalam interpretasi undang-undang sehingga
karena itu sering disebut sebagai salah satu tugas
pokok teori hukum.
c. Sebagai ajaran ilmu hokum, yang berkenaan
dengan epistemologi dari dogmatik hukum. Ada
dua hal yang dipermasalahkan oleh teori hukum
sebagai ajaran ilmu dari dogmatik hukum; apakah

127
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

untuk ilmu hukum harus dikembangkan suatu


pengertian ilmu tertentu secara penuh? Apa isi
yang harus dimiliki oleh suatu pengertian ilmu
seperti itu?
d. Sebagai kritik ideology, yang membatasi diri dari
pada suatu analisis atas hukum dan atas
kontruksi – kontruksi dan pandangan –
pandangan dalam dogmatik hukum, teori hukum
maupun filsapat hukum untuk menunjukan
unsur-unsur yang didalamnya bermuatan nilai
dan /atau bermuatan normatif dan dengan
demikian memperlihatkan suatu keterikatan
ideological (Hartiwiningsih, Hego Karjoko,
Soeprapto, 2019).
Sumber Masalah/Isu Hukum
Pada kehidupan sehari-hari banyak sekali masalah-
masalah hukum yang muncul dan dapat diteliti, baik
untuk kepentingan pengembangan ilmu hukum maupun
untuk kebutuhan praktek hukum.
1. Pengalaman Pribadi Peneliti
Pengalaman pribadi peneliti, pada masa-masa
lampau merupakan suatu sumber yang sangat luas
untuk dapat menentukan masalah-masalah hukum
yang dipilih untuk kelak diteliti. Pertama tama
adalah pengalamannya di bidang penelitian hukum,
dimana biasanya seorang peneliti akan mencatat hal
– hal yang belum pernah diteliti, yang baru sedikit
diteliti, pernah diteliti akan tetapi belum lengkap,
dan seterusnya. Pengalaman-pengalaman selama
mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, juga sangat
bermanfaat, oleh karena biasanya di dalam
pertemuan pertemuan ilmiah tersebut, diadakan
pertukaran informasi dan pengalaman dari berbagai
kalangan hukum maupun kalangan non hukum.

128
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

2. Bahan Kepustakaan
Bahan kepustakaan dapat berupa bahan-bahan
hukum primer, sekunder, maupun terseir. Bahan
kepustakaan merupakan sumber-sumber yang kaya
akan masalah-masalah hukum yang dapat diteliti.
Barangkali berupa kesan, bahwa di dalam bahan-
bahan tersebut hanyalah terdapat masalah-masalah
dari sudut teoritis, ataupun masalah praktis
menurut ukuran teori.
3. Diskusi Kalangan Ahli Hukum
Diskusi (pembahasan) atau perbincangan dari
kalangan hukum tertentu, merupakan sumber yang
sangat penting di dalam memilih masalah hukum
yang akan diteliti. Tidak jarang bahwa timbul
keengganan untuk berdiskusi dengan pihak-pihak
yang mempunyai wibawa tertentu, misalnya dengan
guru besar - guru besar terkemuka di bidang
hukum.
4. Politik Hukum Pemerintah
Dari aspek politik hukum pemerintah Republik
Indonesia, secara garis besar tercantum di dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah
(RPJP/RPJM). RPJP/RPJM tersebut juga merupakan
suatu sumber yang penting, untuk dapat memilih
masalah-masalah hukum yang akan diteliti
Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto, 2019).
Rambu-Rambu dan Masalah Pokok Dalam Penelitian
Hukum
1. Rambu-Rambu Dalam Memilih Masalah Hukum
Oleh sebab itu, maka didalam memilih masalah,
hendaknya seorang peneliti berpegang pada rambu-
rambu, sebagai berikut :

129
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

a. Manfaat masalah tersebut baik bagi kepentingan


pengembangan ilmu hukum maupun untuk
kebutuhan praktik hukum.
b. Keseuaian masalah yang telah dipilih dengan
kerangka penelitian yang akan diterapkan.
c. Kemampuan-kemampuan khusus untuk
memecahkan masalah hukum yang hendak
diteliti.
d. Metodologi dan teknik yang ada, dapat membantu
pemecahan masalah yang hendak diteliti
(Soerjono Soekanto, 1986; Hartiwiningsih, Hego
Karjoko, Soeprapto, 2019).
2. Beberapa Masalah Pokok Penelitian Hukum
Untuk dapat merumuskan masalah-masalah pokok
dalam penelitian hukum, maka peneliti dapat
bertiktik tolak pada permasalahan-permasalahan dari
sistem hukum sebagai berikut (Soerjono Soekanto,
1986; Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto,
2019).
a. Elemen atau unsur sistem hukum;
Sistem hukum merupakan satu rangkain unsur
yang terdiri dari aturan-aturan hidup yang terjadi
karena perundang-undangan, keputusan-
keputusan hakim dan kebiasaan.
b. Bidang bidang dari suatu sistem hukum;
Pada umumnya terdapat kriteria tertentu, untuk
menyusun pembidangan tersebut (Purnadi
Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1980;
Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto, 2019).
Pembedaan antara bidang – bidang tersebut
menghasilkan beberapa dikotomi, sebagai berikut:

130
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

1) Ius Constitutum dan Ius Constituendum.


Pembidangan ini merupakan suatu abtraksi
dari fakta, bahwa sesungguhnya segala
sesuatu proses perkembangan. Menurut
Sudiman Kartohadiprodjo, maka “Hukum
positif dengan nama asing disebut juga Ius
Constitutum sebagai lawan dari pada Ius
Constituendum, yakni kesemuanya kaidah
hukum yang kita cita – citakan supaya
memberi akibat peristiwa-peristiwa dalam
suatu pergaulan hidup tertentu”.
2) Hukum alam dan Hukum Positif.
Menurut JHA Logemann hukum positif
merupakan kenyataan hukum sebagai lawan
dari hukum keagamaan atau hukum alam,
yang merupakan kaidah – kaidah yang secara
kritis berhadapan dengan kenyataan.
3) Hukum Imperatif dan hukum fakulatif.
Yang dinamakan hukum imperatif yaitu
kaedah-kaedah hukum yang secara a priori
harus ditaati, sedangkan hukum fakulatif
merupakan kaedah hukum yang secara a
priori tidak mengikat atau tidak wajib untuk
dipatuhi (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto, 1979; Hartiwiningsih, Hego Karjoko
Soeprapto, 2019).
4) Hukum substantif dan hukum ajektif.
Hukum dapat tertulis, atau sebagai hukum
tercatat, serta hukum dapat juga tidak
tertulis. Hukum tertulis mencakup
perundang-undangan dan traktat. Hukum
tidak tertulis merupakan sinonim dari hukum
kebiasaan yang di Indonesia disebut juga

131
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

hukum adat. Perihal hukum tercatat, dapat


dikemukakan hal-hal sebagai berikut
(Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
1980; Hartiwiningsih, Hego Karjoko
Soeprapto, 2019).
Masalah hukum tercatat senantiasa harus
dikaitkan dengan hukum tidak tertulis.
Hukum tercatat mencakup:
a) Hukum tercatat yang fungsional atau
hukum yang didokumentasikan, yang
merupakan hasil pencatatan para pejabat,
misalnya pamong praja, hakim, kepala
adat, dan seterusnya.
b) Hukum tercatat yang ilmiah (sebagai hasil
karya ilmuan), adalah hasil-hasil para
sarjana, terhadap hukum tidak tertulis
yang berlaku dalam masyarakat atau
bagian-bagian tertentu dari masyarakat
(Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto,
2019).
Teknik Menyusun Rumusan Masalah
Agar dapat merumuskan masalah hukum yang akan di
teliti, peneliti harus dapat mengidentifikasi fakta hukum
dan mereduksi atau menyingkirkan hal-hal yang tidak
relevan. Rumusan masalah dapat berupa pertanyaan atau
berbentuk pernyataan, harus menyatakan hubungan
antara dua proposisi hukum yang dinyatakan secara tegas
serta tidak mengandung keraguan. Kata tanya
“bagaimana” harus dihindari dalam merumuskan
masalah hukum, karena menjawab pertanyaan tentang
keadaan atau cara yang bersifat deskriptif, sedangkan
ilmu hukum bersifat preskriptif (Peter Mahmud Marzuki,
2008; Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto, 2019).

132
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

1. Penyusunan Rumusan Masalah Hukum Dalam Hal


Perjanjian Jual Beli.
Dari fakta yang ada, peneliti akan dapat memilah-
milah lagi mana yang merupakan fakta hukum dan
mana yang bukan fakta hukum. Fakta hukum yang
ada pada kasus tersebut adalah (a) adanya jual beli
antara perusahaan tahu dan perusahaan yang
memproduksi water treatment ;(b) adanya pekerjaan
pemasangan water treatment oleh orang yang bukan
dari perusahaan water treatment tetapi diajukan oleh
orang yang dari perusahaan water treatment; (c)
adanya wanprestasi; (d) adanya kerugian karena
wanprestasi.
Berdasarkan fakta hukum, isu hukum yang timbul
dapat berupa (1) apakah dalam perjanjian jual beli
antara penjual water treatment dengan klien
dituangkan klausul mengenai garansi (warranty) jika
ya, apakah bentuk garansi itu?; (2) mengingat
menurut salesman tidak ada kerusakan melainkan
salah pemasangan apakah hal itu masuk kedalam
garansi?; (3) apakah bentuk hubungan hukum antara
Riswanto dan penjual water treatment?; (4) apakah
penjual water treatment bertanggung gugat atas
kerugian yang diderita oleh klien? (Peter Mahmud
Marzuki, 2008; Hartiwiningsih, Hego Karjoko,
Soeprapto, 2019).
2. Penyusunan Rumusan Masalah Hukum Dalam
Ketenagakerjaan.
Apabila masalah outsourcing yang di jadikan isu
dalam penelitian yaitu karya akademis baik untuk
skripsi, tesis maupun disertasis, peneliti harus mulai
menyisir isu itu supaya yang diangkat benar-benar
isu hukum. Tak dapat disangkal, di dalam masalah
outsourching terlibat faktor-faktor politik, ekonomi

133
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

dan sosial. Tidak jarang sengketa perburuhan berhulu


pada kepentingan ekonomi memicu konflik sosial dan
bermuara di laut politik. Peneliti harus mampu
mereduksi faktor-faktor yang tidak relevan tersebut.
Lalu, apakah mungkin hal itu dilakukan mengingat
masalah perburuhan memang tidak dapat dilepaskan
dari faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial.
Tanpa perlu bicara masalah ekonomi, politik dan
sosial, isu tersebut tentu saja masuk kedalam
perbindangan ilmu hukum, yaitu masalah hukum
publik dan hukum privat. Masalah ikutannya
memasuki bidang hukum administrasi dan hukum
tata negara dan kaitannya dengan fungsi negara.
Sudah barang tentu untuk tataran dogmatik hukum
yang menghasilkan karya akademis berupa skripsi isu
hukum demikian terlalu berat. Untuk karya akademis
tersebut isu hukum yang dapat dikemukakan adalah,
(a) apakah yang disebut kegiatan utama? (b) apakah
akibat hukum apabila perusahaan pemberi pekerjaan
tidak bersedia mengalihkan status hubungan antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan?.
Berkaitan dengan filosofi dari ketentuan tersebut.
Masalah untuk karya disertai dengan topik
outsourching tersebut dapat dirumuskan : (a) apakah
ketentuan pasal 65 ayat (8) dan (9) dan pasal 66
undang-undang nomor 13 tahun 2003 merupakan
refleksi dari konsep negara kesejahteraan? Dan (b)
apakah ketentuan pasal 65 ayat (8) dan (9) dan pasal
66 undang-undang nomor 13 tahun 2003 sesuai
dengan prinsip hukum pemburuhan? (Peter Mahmud
Marzuki, 2008; Hartiwiningsih, Hego Karjoko,
Soeprapto, 2019).

134
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

3. Penyusunan Rumusan Masalah Hukum Dalam Hal


Perjanjian Kerja
Negara Indonesia adalah negara hukum, segala
sesuatunya diatur di dalam ketentuan peraturan
perundang-udangan. Demikian juga mengenai perihal
bidang ketenagakerjaan guna memberikan kepastian
hukum mengenai hak dan kewajiban pihak
pengusahan maupun pihak pekerja. Hukum
ketenagakerjaan memiliki tujuan untuk mencapai
keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan
sekaligus melindungi tenaga kerja terhadap
kekuasaan tidak terbatas dari pengusaha dengan
menciptakan peraturan-peraturan yang sifatnya
memaksa agar pengusaha tidak bertindang sewenang
– wenang terhadap tenaga kerja sebagai pihak yang
lemah.
Dari uraian tersebut yang merupakan fakta hukum
yaitu (a) perjanjian kerja antara guru dengan yayasan
pengelola sekolah islam terpadu, (b) larangan bagi
guru mengikuti tes seleksi CPNS, (c) hubungan antara
Pasal 1320 KUPH perdata yang mengatur syarat
sahnya perjanjian dengan pasal 52 ayat (1) Undang –
Undang nomor 13 tahun 2003 yang mengatur syarat
sahnya perjanjian kerja.
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas dapat
dirumuskan masalah hukum sebagai berikut. Apa
implikasi hukum klausula perjanjian kerja waktu
tertentu yang menyatakan larangan bagi guru
mengikuti tes seleksi CPNS terhadap keabsahan
perjanjian kerja tersebut? apabila perjanjian kerja
tersebut sah, upaya hukum apa yang dapat dilakukan
guru terhadap yayasan pengelola sekolah islam
terpadu?.

135
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

4. Penyusuanan Rumusan Masalah Hukum Dalam Hal


Perkawinan
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan tuhan
yang maha esa agar kehidupan di alam dunia
berkembang biak. Budaya perkawinan dan aturannya
yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu
bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada serta
pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, seperti
halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan
saja dipengaruhi oleh adat budaya masyarakat
setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama
hindu, Budha, Islam, Kristen, Katholik bahkan
dipengaruhi oleh budaya perkawinan barat.
Walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki
hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok,
namun adalah kenyataan bahwa di kalangan
masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan
tata upacara yang berbeda-beda.
Suatu kebahagiaan bagi bangsa Indonesia yang telah
memiliki Undang-undang Perkawinan Nasional, yang
sifatnya dikatakan telah menampung sendi – sendi
dan memberikan landasan hukum perkawinan yang
selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi
berbagai golongan masyarakat Indonesia yang
berbeda – beda. Jadi bangsa Indonesia telah memiliki
hukum perkawinan yang telah berdasarkan pada
Pancasila dan tetap berpijak pada Bhineka Tunggal
Ika. Hal mana berarti walaupun pada pokoknya kita
sudah mempunyai hukum perkawinan yang
berlandaskan kesatuan namun kebinekaannya tetap
masih berlaku.

136
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

Manusia adalah makhluk yang berakal, maka


perkawinan merupakan salah satu budaya yang
beraturan yang mengikuti perkembangan budaya
manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam
masyarakat sederhana budaya perkawinan
sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat
yang maju (modern) budanya perkawinannya maju,
luas dan terbuka (b) budaya perkawinan dan
aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau
pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh
budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu
berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia
dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan, dan keagamaan yang dianut oleh
masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya
aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja
dipengaruhi oleh adat budaya masyarakat setempat,
tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama Hindhu,
Budha, Islam, Kristen, Katholik bahkan dipengaruhi
oleh budaya barat.
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas
dirumuskan masalah: (a) apa implikasi yuridis
Undang-undang administrasi Kependudukan
terhadap legalitas perkawinan beda agama? (b)
apakah anak yang lahir dari perkawinan beda agama
yang dicatatkan mempunyai hubungan keperdataan
dengan ayahnya?
5. Penyusunan Rumusan Masalah Hukum Dalam Hal
Pertanahan
Tanah adalah tempat bermukim bagi umat manusia,
disamping sebagai sumber kehidupan bagi mereka
yang mencari nafkah melalui usaha tani. Tanah dapat
dinilai pula sebagai suatu harta yang mempunyai sifat
permanen, kerena memberikan suatu kemantapan
untuk dicadangkan bagi kehidupan dimasa

137
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

mendatang. Sebagai social aset tanah merupakan


sarana peningkat kesatuan sosial di kalangan
masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan,
sedangkan sebagai capital aset tanah telah tumbuh
sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus
sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi. Di
satu sisi tanah harus dipergunakan dan
dimanfaatkan untuk sebesar – besarnya
kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan
merata, sedangkan di sisi lain juga harus di jaga
kelestariannya (Achmad Rubaie, 2007:1-2).
Indonesia merupakan negara agraris, yang
menjadikan tanah sebagai faktor produksi yang
utama terutama dari segi pertanian. Namun sebagai
akibat dari industrialisasi dilihat dari proses dinamika
produksi industri yang berbasis perkotaan,
pentingnya tanah sebagai faktor produksi menurun.
Tanah adalah aset bangsa indonesia yang merupakan
modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil
dan makmur. Oleh karena itu pemanfaatannya
haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia.
Pada kenyataannya pemberian hak guna bangunan di
atas tanah milik belum sepenuhnya mencerminkan
rasa keadilan. Hal tersebut dapat dilihat dari alasan
penyewa atau pemegang hak guna bangunan yang
ingin melindungi kepentingannya supaya pemegang
hak guna bangunan yang ingin melakukan
pembebanan hak tanggungan atas tanah yang sedang
disewa oleh pemegang hak bangunan.
Dari uraian tersebut di atas yang merupakan fakta
hukum yaitu (a) perjanjian sewa menyewa lahan, (b)
pemberian Hak Guna usaha di atas Hak milik (c)
Kompensasi ataupun biaya sewa yang diberikan pada

138
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

penyewa atau pemegang hak milik tidak sesuai


dengan keuntungan yang didapat oleh penyewa atau
pemegang hak guna bangunan. Berdasarkan fakta
hukum ini dapat dirumuskan masalah hukum: (a)
apakah sudah ada kesimbangan hak dan kewajiban
antara pemegang hak milik dan pemegang hak guna
usaha dalam perjanjian sewa-menyewa lahan? (b)
dapatkah kontruksi hukum perjanjian bagi hasil
diterapkan dalam perjanjian sewa menyewa lahan
dalam rangka pemberian hak milik di atas hak guna
usaha?.
Dalam konsep negara hukum, setiap tindakan
pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka
merealisir tujuan negara harus memiliki dasar hukum
atau dasar kewenangan. Setiap aktifitas pemerintah
harus berdasarkan hukum dengan istilah asas
legalitas (legaliteitsbeginsel atau wetmatigheid van
bestuur), artinya setiap aktivitas pemerintah harus
memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tanpa adanya dasar wewenang yang
diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku tersebut maka aparat pemerintah tidak
memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau
mengubah keadaan atau posisi hukum warga
masyarakatnya (Indriharto, 1993; Hartiwiningsih,
Hego Karjoko, Soeprapto, 2019).
Karakteristik negara hukum pancasila sebagaimana
dalam unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia,
yaitu sebagai berikut :
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan
rakyat berdasarkan asas kerukunan;
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara
kekuasaan-kekuasaan negara;

139
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara


musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir;
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
(Hartiwiningsih, Hego Karjoko, Soeprapto, 2019).

140
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

Daftar Pustaka
Budirahyu, T., E.H. Pryhantoro & N. Susan (2009);
Sosiologi Korupsi. Penerbit Universitas Terbuka,
Jakarta.
Daryono, Triyono & SB Gumbira (2019); Interprestasi dan
Penalaran Hukum. Penerbit Universitas Terbuka,
Jakarta.
Delianoor, N.A., (2017); Tindak Pidana Khusus. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.
Hartiwiningsih dkk, (2019); Metode Penelitian Hukum.
Penerbit Universitas Terbuka. Jakarta.
Indrati S, MF., dkk (2017); Ilmu Perundang-udangan.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Kadir, Gau (2004); Pembangunan Politik. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.
Malo, M., (2009); Sosiologi Ekonomi. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.
Maria Farida Indrawati S. dkk, (2016); Ilmu Perundang-
undangan. Penerbit Universitas Terbuka. Jakarta.
Martini, Rina, dkk (2005); Sosiologi Pemerintahan.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Pujiyono (2019); Tindak Pidana Korupsi. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.
Setianingsih, S. & Wahyuningsih (2017); Hukum
Internasional. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Simbolon, M.R., & J.M. Henny W., (2016); Hukum Adat.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Soeprapto, (2001); Sosiologi Hukum. Penerbit Universitas
Terbuka. Jakarta.
Soeprapto & Sri Rahayu S., (2005); Metode Penelitian
Kualitatif. Universitas Terbuka, Jakarta.
Soesilo, Arie S, dkk (2005); Sosiologi Politik. Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta.

141
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

Soetami, AS., (1986); Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit


Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, Jakarta.
Sulastriyono, DA Widowati & Rimawati (2016); Bahasa
dan Terminologi Hukum. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.
Suriakusumah, dkk (2007); PKN dan Kemasyarakatan.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Suryani, N., Rai Mantili & Anita Afriana (2015); Hukum
Perusahaan. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Syarifah, N., & R. Perdana (2016); Hukum Perjanjian.
Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
Tangdilinting, P., (2005); Masalah-masalah Sosial.
Universitas Terbuka, Jakarta.
Umam, K., Rimawati & Suryana Y., (2017); Filsafat
Hukum dan Etika Profesi. Penerbit Universitas
Terbuka, Jakarta.

142
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

Profil Penulis
Sulistyani Eka Lestari. Tempat/Tanggal
Lahir: Tuban, 22 April 1962, Nama: Islam; NIP:
1962 0422 1987 03 2002; NIDN: 0022 04
6201; Unit Organisasi: Dosen Fakultas
Hukum Universitas Sunan Bonang Tuban;
Alamat Kampus: Jl. Dr Wahidin Sudirohusodo
No. 798 Tuban; Alamat Rumah: Jl. Sunan Ampel No. 7 Tuban;
Nomor HP: 0823 3354 7054.
Pendidikan: Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, lulus 9 Maret 2019; Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya, lulus 25 Februari
2002; Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya, lulus 18 November 1986; SMA Negeri 1 Tuban,
lulus 7 Mei 1980; SMP Negeri 1 Tuban, lulus 22 November 1976;
SD 1 Rengel, Tuban, lulus 22 Desember 1973.
Pekerjaan: Dosen Kopertis Wil 7 Jatim DPK. Fakultah Hukum
Universitas Sunan Bonang, 1987; Kepala Biro Administrasdan
Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Sunan Bonang
Tuban, 2002; Ketua Pokja III TP PKK Kabupaten Magetan, 2000-
2012; Pembantu Rektor I, 2005-2010; Anggota Senat PT/Univ.
Sunan Bonang, 2005-Sekarang; Koordinator Acara Diseminasi
dan Penanganan HAM di Pendopo Kabupaten Tuban, 2013;
Pembantu Rektor III, 2014; Narasumber Dialog Interaktif
Konsultasi Keluarga di Radio Pradya Suara FM, 2015; Tim Pos
Pemberdayaan Keluarga yang merupakan kerjasama
Univeristas Surabaya dengan Universitas Sunan Bonang, 2015-
2017; Anggota AP-HTN Jatim, Koordinator Wil. Lamongan –
Tuban, 2016; Pembantu Rektor I, 2018-Sekarang; Anggota
Forum Pembantu Rektor Bidang Akademik Sejatim, 2018-
Sekarang; Tim pewawancara Seleksi Beasiswa Pertamina
Foundation, 20 Mei 2020.
Pelatihan: Workshop untuk Pelatihan Pendataan dan Pemetaan
Keluarga Indonesia Tingkat Nasional (Yayasan Damandiri
Jakarta), 2015; Pelatihan Perancangan Per-Undang-Undnagan
di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2019;
Penanya Akademik pada Ujian Terbuka di Program S3 Ilmu
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2017; Penanya

143
PENENTUAN DAN PERUMUSAN MASALAH HUKUM

Akademik pada Ujian Terbuka di Program S3 Ilmu Hukum


Universitas Airlangga, 2018.
Penelitian: Implemantation of Goverment Ragulation Number 21
of 2020 Conceruing Large Scale Social Limitation in Covid 19
Prevention in Indonesia (Preseanter in Iilomate Internasional
Conference), 2019; Consumer Prtection Low For Bank
Customers, 2018; The Implementation of Indonesia as a Rule of
Low Bassed on 1945 Constitution after Avandements, 2020;
Maintaining The Construction of the Legal State Through Politics
of Legal Renewal Based on Deuocrazy, 2020; Reading the
Probalitic Roots of Non Complionce with Contitunional Count
Dacisons, 2020; Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Mengatasi
Dampak Covid (Presenter pada Webinar I.C Unimal), 2020;.
Jurnal:
Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
Oleh Mahkamah Konstitusi (DIH, Jurnal Ilmu Hukum Pebruari
2014, Vo. 01, No. 19, Hal. 38-47), 2014;
Kajian Hukum dan tindakan Bagi penyelenggaraan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Mimbar Yustitia Jurnal
Hukum dan Hak Asasi Manusia Volume 1, Nomor 1, Juni
2017), 2017;
Urgensi Hukum Perizinan dan penegakannya Sebagai
Sarana Pencegahan Pencemaran Lingkungan Hidup
(Masalah-masalah Hukum Jilid 48 No. 2, April 2019), 2019;
Optimalisasi WhatsApp dalam Pembelajaran Daring pada Mata
Kuliah Tata Negara di EraCovid-19 (Penguatan Tridharma
Dosen Era Pandemi Covid-19 Dan New Normal Tendensi dan
Tradisi), 2020.

144
9
Hubungan Hukum Dengan Sistem
Sosial, Nilai Budaya dan
Kekuasaan

CHRISTINA BAGENDA
Universitas Flores Ende – Flores - NTT

Pendahuluan
Masalah-masalah yang disoroti dalam sosiologi hukum itu
beragam; seperti masalah: hukum, sistem sosial dan
masyarakat, persamaan dan perbedaan sistem-sistem
hukum, sifat hukum yang dualistis, hukum dan
kekuasaan, hukum dan nilai-nilai sosial budaya,
kepastian hukum dan kesebandingan, dan peranan
hukum sebaai alat untuk mengubah masyarakat.
Namun dalam Bab ini yang akan dibahas fokus pada
hubungan hukum dengan sistem sosial, nilai budaya dan
kekuasaan. Dalam hukum dan sistem sosial, sistem
hukum merupakan penceminan dari sistem sosial dimana
sistem hukum itu merupakan bagiaannya. Proses saling
mempengaruhi antara sistem hukum dan sistem sosial
dalam subsistemnya adalah saling timbal balik.
Selanjutnya sifat dari sistem hukum tesebut bersifat
dualistis, dimana hukum merupakan suatu kaidah yang
berisi tentang ketentuan-ketentuan tentang hak dan
kewajiban manusia dalam kehidupan bemasyarakat.
Namun disisi lain hukum merupakan suatu yang ampuh
untuk mempertahankan kedudukan sosial ekonomi dari

145
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

sebaian kecil dari anggota masyarakat (penguasa).


Ditinjau dari segi ilmu politik, maka hukum merupakan
sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit
banyaknya dipergunakan sebaai alat untuk
mempertahankan kekuasaan, atau untuk menambah
serta mengembangkannya.
Bebicara tentang hukum dan nilai-nilai sosial budaya,
hukum disini sebagai kaidah atau norma sosial tidak
terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Hukum merupakan pencerminan dan
konkritisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku
dalam masyarakat. Selain dari ketiga hal tersebut diatas,
hukum juga mempunyai tugas pokok yaitu kepastian
hukum dan kesebandingan; namun keduanya sering
tidak dapat ditetapkan secara bersama.
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian
upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik,
material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi
universal, rasional, dan fungsionalSalah satu penyebab
adanya Perubahan Sosial sekarang ini, penyebany adalah
adanya perkembangan kemajuan teknologi yang
mengarah kepada kehidupan modern. Dengan adanya
kemajuan teknologi ini, berdampak pada masyarakat
tradisional di pedesaan. Karena modernisasi sekarang ini
bukan hanya menjadi monopoli masyarakat perkotaan.
Kebiasaannya yang selalu dipertentangkan dengan nilai-
nilai budaya. Pembahasan mengenai hubungan antara
perubahan sosial dan perubahan hukum dapat diuraikan
secara lebih terbuka sifatnya. Namun terlebih dahulu
perlu ditemukan padanan mengenai hukum yang
mengandung petunjuk tentang kepekaan hukum
terhadap perubahan sosial. Padanan mengenai hukum
yang memberikan kemungkinan kearah itu adalah yang
menyatakan, hukum itu melakukan pekerjaan-pekerjaan
sebagai berikut : (1) merumuskan hubungan-hubungan

146
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

di antara anggota-anggota masyarakat dengan


menunjukan perbuatanperbuatan apa saja yang dilarang
dan mana yang boleh dilakukan; (2) mengalokasikan dan
menegaskan siapa-siapa yang boleh menggunakan
kekuasaan atas siapa, berikut prosedurnya; (3)
penyelesaian sengketa-sengketa; (4) mempertahankan
kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur
kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat apabila
keadaan berubah (Hoebel, 1967:275)
Sekarang ini tujuan dari filsafat hukum bukan saja
mengenai tentang masalah-masalah hukum sebagai
kelengkapan filsafatnya, akan tetapi dengan
berkembangnya zaman yang paling mendasar dari filsafat
hukum dan muncul di dalam masyarakat yang
memerlukan analisis yang bisa di amati dengan filsafat
hukum.sekarang ini, filsafat hukum tidak hanya filsafat
hukumnya para ahli filsafat seperti pada zaman dahulu,
akan tetapi adalah sesuatu pemikiran para ahki hukum
baik praktisi maupun teoritisi yang dalam pekerjaannya
banyak menghadapi kendala yang menyangkut keadilan
sosial di dalam masyarakat (Kusdarini Eny, 2010:15)
Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, menyatakan bahwa masalah-
maslah hukum yang dapat dijadikan objek pembahasan
filsafat hukum tersebut diantaranya:
1. Hubungan hukum dengan kekuasaan;
2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai budaya (2001:
12 – 13)
Hubungan Hukum Dengan Sistem Sosial
Sistem sosial budaya adalah sebagai teori bagi mengkaji
taksiran dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian
arti pendapat sistem sosial budaya merupakan hal yang
penting sebab bukan saja untuk menerangkan pengertian
yang dimaksud dengan sistem sosial budaya itu sendiri

147
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

melainkan memberikan uraianya berdasarkan kenyataan


didalam kehidupan masyarakat (Demartoto, Argyo,
2008:1).
Sistem Sosial Budaya adalah bentuk-bentuk keteraturan;
kesatuan yang terdiri dari anasir atau bagian yang saling
berhubungan. Budaya tidak dapat terpisahkan dengan
masyarakat. Semua yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri (Demartoto, Argyo, 2008:1).
Selanjtnya dalam makalah Demartoto, Argyo
menyebutkan unsur utama dalam Kebudayaan adalah: (1)
Kebudayaan Material merujuk pada semua ciptaan
manusia yang nyata; (2) Kebudayaan non material
Ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi Jadi, konsep dalam sistem sosial budaya dapat
dideskripsikan sebagai suatu pemikiran dan ide yang
berisikan mengenai komponen-komponen pembentuk
kebudayaan suatu masyarakat (2008: 2).
Pengertian Sistem Sosial Budaya menurut Tatang M.
Amirin dalam Demartoto, Argyio adalah “Sistem berasal
dari bahasa Yunani yang berarti (1) Suatu hubungan yang
tersusun atas sebagian bagian; (2) Hubungan yang
berlangsung diantara satuan-satuan atau
komponenkomponen secara teratur, selanjtnya sosial
berarti segala sesuatu yang beralian dengan sistem hidup
bersama atau hidup bermasyaakat dari orang atau
sekelompok orang yang didalamnya sudah tercakup
struktur, organisasi, nila-nilai sosial, dan aspirasi hidup
serta cara mencapainya, dan budaya berarti cara atau
sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal
balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang
didalamnya tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa,
karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang
psikologis, idiil, dan spiritual, selanjtnya dalam
kehidupan masyarakat sebagai sistem sosial dan budaya,

148
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

kehidupan masyarakat dipandang sebagai suatu sistem


atau sistem sosial, yaitu suatu keseluruhan bagian atau
unsur-unsur yang saling berhubungan dalam suatu
kesatuan (2008:2)
Teori sibenertika Talcott Parson : sistem sosial merupakan
suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang
saling mengalami ketergantuangan dan keterkaitan.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan
saling ketergantungan. Hukum dalam kehidupan sistem
sosial seharusnya hukum menjadi sus sistem yang
menentukan. Salah satu sistem yang dominan akan
diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika
terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain
mengikuti (www.jamalwiwoho.com: 2)

Hubungan Hukum Dengan Nilai Budaya


Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam
,asyarakat terjadi karena bermacam-macam sebab,
sebab-sebab itu yaitu dapat berasal dari masyarakat itu
sendiri, ini merupakan sebab-sebab intern, yang berasal
dari luar .asyarakat ini merupakan sebab-sebab ekstern.
Yang merupakan sebab-sebab intern contohnya adalah
pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk;
penemuan-penemuan baru; konflik atau bisa juga karena
terjadinya revolusi. Sedangkan sebab-sebab ekstern dapat
mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan
alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain,
peperangan ( Soekanto, Soerjono, 2004: 112).
Selanjutnya Soerjono, Soekanto menjelaskan bahwa
suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suaty
masyarakat sering mengadakan kontak dengan
masyarakat lain atau telah memiliki sistem pendidikan
yang maju. Selanjutnya dalam sistem lapisan sosial yang
terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan
masyarakat terhadap bidang kehidupan yang tertentu,

149
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

dapat pula memperlancar terjadinya perubahan-


perubahan sosial, disamping faktor-faktor yang dapat
memperlancar proses perubahan-perubahan sosial, dapat
juga diketemukan faktor-faktor yang menghambat, seperti
sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa
lampau (tradisionalisme), adanya kepentingan-
kepentingan yang tertanam dengan kuat, prasangka
terhadap hal-hal yang baru, hambatan-hambatan yang
bersifat ideologis, dan seterusnya (2004: 113)
Berbicara tentang hukum dan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat Indonesia, tidak bisa lepas dari suatu
kenyataan bahwa masyarakat hukum Indonesia
merupakan suatu bangsa yang negaranya didasarkan
atas hukum yang berbentuk Republik, dan sistem
pemerintahannya berbentuk demokrasi. Rasyidi Lili dan
Putra wiyasa IB mengemukakan bahwa masyarakat
hukum Indonesia ini merupakan satu kesatuan
masyarakat hukum yang besar, yang terdiri dari
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil,
yang dikenal dengan masyarakat hukum adat. Kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil ini
merupakan suatu bentuk masyarakat tradisional yang
memiliki kebiasaan-kebiasaan hukum tersendiri yang
diakui daerah kekuasaannya. Sistem masyarakat hukum
dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini memiliki
unsur-unsur sistem tersendiri, adapula struktur sosial,
sistem filsafat, sistem budaya, sistem pendidikan, sistem
kobsep hukum, sistem pembentukan dan sistem
penerapan hukum yang mrmiliki karakteristik. Didalam
masyarakat hukum ini terdapat nilai-nilai sosial budaya
sebagai tradisi yang sudah dimiliki dan dianut oleh
masyarakat Indonesia (1993:132)
Pengertian Budaya hukum adalah suatu keseluruhan
sistem nilai serta sikap yang mempengaruhi hukum.
Pembagian sistem hukum untuk menganalisis bekerjanya

150
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

suatu sistem hukum atau sistem hukum yang sedang


beroperasi dalam studi tentang hukum dan masyarakat.
Berbicara mengenai sistem hukum, berarti hukum
merupakan satu mata rantai yang memiliki perannya
masing-masing, yang pengertiannya bahwa dalam sistem
terdapat sub sistem yang saling mendukung dan tidak
terpisahkan antara satu sub sistem dengan sub sistem
lainnya. Dengan demikian dalam sistem hukumpun tetap
terdapat hubungan dengan sistem di luar lingkungan
hukum. Budaya hukum masyarakat setempat merupakan
bahan informasi yang penting, artinya untuk lebih
mengenal susunan masyarakat setempat, sistem hukum,
konsepsi hukum, norma-norma hukum dan perilaku
manusia. Budaya hukum bukan merupakan budaya
pribadi melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat
tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh
karenanya dalam membicarakan budaya hukum tidak
terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan
masyarakat yang mengandung budaya hukum tersebut.
Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat
penerimaan-penerimaan atau penolakan terhadap suatu
peristiwa hukum. yang menunjukkan sikap perilaku
manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum
yang terbawa ke dalam masyarakat. Tipe budaya hukum
dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia
dalam kehidupan masyarakat yaitu: 1) Budaya parokial
(parochial culture), 2) Budaya subjek (subject culture), 3)
Budaya participant (participant culture). Pada masyarakat
parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya
masih terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya
terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat yang
demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri,
kaidah-kaidah hukum yang telah digariskan leluhur
merupakan sesuatu hal yang pantang diubah. Jika ada
yang berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan.
Masyarakat tipe ini memiliki ketergantungan yang tinggi

151
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

pada pemimpin. Hukum tradisional bersifat individual,


yang penjelasannya hukum itu hanya berlaku terhadap
kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu
Negara masing-masing, kelompok masyarakat memiliki
hukum (hukum adat dan living law) sendiri-sendiri.
Sebaliknya hukum modern, yang diartikan sebagai
hukum Negara yang bersifat universal. Dengan kata lain
hukum tersebut berlaku secara umum bagi seluruh
kelompok masyarakat yang terdapat dalam suatu negara.
Suatu kelompok masyarakat akan senantiasa berusaha
untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum warganya
dengan menggunakan hukum adat melalui lembaga
peradilan adat pula. Sebagai contoh, perkara batas-batas
kepemilikan tanah (perdata adat). Perselisihan tersebut
diupayakan penyelesaiannya dengan cara pertemuan
antar tokoh-tokoh adat. Para tokoh-tokoh adat inilah yang
berunding dan bermusyawarah sehingga menghasilkan
suatu keputusan. Namun, apabila perkara tersebut tidak
bisa diputuskan oleh kedua belah pihak, maka
penyelesaian perkara itu akan dibawa oleh salah satu
atau kedua belah pihak ke lembaga pengadilan negara.
Lembaga pengadilan negara mutlak untuk
memutuskannya. Di lembaga pengadilan negara ini
berlaku hukum modern atau hukum negara. Pada sisi
pemerintah, dalam pembuatan atau penyusunan suatu
peraturan hukum negara, biasanya dan wajib
mempedomani hukum adat yang berlaku dalam
kehidupan sosial suatu kelompok masyarakat, dengan
kata lain, hukum adat merupakan masukan bagi para ahli
untuk menyusun dan membuat hukum nasioanal.,
bahwa hukum nasional tidak dapat mengabaikan begitu
saja kenyataan-kenyataan yang tumbuh sejalan dengan
kehidupan hukum adat itu sendiri Rahardjo Satjipto
(1977:197)

152
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

Hubungan Hukum Dengan Kekuasaan


Di dalam masyarakat, kekuasaan memiliki pengertian
yang dominan bagi sebuah aturan/hukum. Dimana
kekuasaan tidak hanya salah satu unsur pembentukan
suatu aturan (law making), melainkan juga sebagai unsur
dari penegakan hukum (law enforcement) (Luthan
Salman,2007:166). Penataan aturan/hukum, khususnya
aturan-aturan (Undang-Undang), dilaksanakan melalui
prosedur otoritas politik dalam badan /lembaga legislatif,
yang mana beberapa kepentingan kelompok-kelompok
dalam masyarakat yang saling betentangan dijadikan satu
untuk mendapatkan satu dalil norma-norma hukum yang
bisa diberlakukan oleh semua pihak ( Luthan Salman,
2007:166). Hukumpun memiliki arti yang penting bagi
kekuasaan, dikarenakan hukum mempunyai peran
sebagai alat pembuat undang-undang untuk kekuasaan
formal badan-badan negara, unit pemerintahan, pejabat
negara dan pemerintahan. Sebagai pembuat undang-
undang itu berlandaskan pada penetapan landasan
hukum bagi kekuasaan melalui aturan aturan hukum.
Kemudian, hukum juga dapat berperan sebagai alat
kontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya bisa
dipertanggungjawabkan secara sah dan resmi (Luthan
Salman, 2007:166).
Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat, negara, dan umat
manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan
personal diantara yang saling berinteraksi, hubungan
konstitusional yang bersifat hierarkis serta hubungan
subjek dan objek yang dikuasainya. Sebab kekuasaan
mempunyai banyak ukuran, oleh sebab itu tidak ada
kesepahaman diantara para ahli politik, sosiologi, hukum
dan kenegaraan mengenai pengertian dari kekuasaan
(Luthan Salma, 2007: 168).

153
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

Dalam bukunya Miriam Budiardjo; Max Weber


mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah kemempuan
untuk dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan
kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan
apa pun dasar kemampuan ini” pengertian kekuasaan
menurut Max Weber dijadikan sebagai dasar pengertian
kekuasaan dari berbagai ahli seperti misalnya, Strausz-
Hupe yang mmeberikan pengertian kekuasaan sebagai
“kemampuan untuk memaksakan kemauan pada orang
lain” (Budiardjo Miriam, 1991: 1-16).
Begitu pula pengertian yang dikemukakan oleh C. Wright
Mills, “kekuasaan adalah dominasi, yaitu kemampuan
untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain
menentang, artinya kekuasan memiliki sifat yang
memaksa” (Soemardi Soelaeman: 12). Disamping
pengertian kekuasan sebagai kemampuan untuk
memaksakan kehendak atau kemauan kepada [ihak lain,
ada pakar-pakar yang mengemukakan pengertian
kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi
tingkah laku pihak lain; seperti Harold D. Laswell dan
Abraham Kaplan yang menjelaskan bahwa “kekuasaan
adalah suatu hubungan dimana seseorang, atau
kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang,
atau kelompok lain agar sesuai tujuan dari pihak
pertama” (Budiardjo, Miriam, 1991: 20).
Uraian mengenai hubungan hukum dan kekuasaan,
antara lain ditemukan dalam tulisan Prof.Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., L.L.M., Dr. E. Utrecht, S.H., Prof.
Mr. Dr. van Apeldoorn, dan lain-lain. Dalam uraian ini
akan dikemukakan pendapat dari ketiga pakar tersebut.
Prof. Mochtar dalam tulisannya yang berjudul : “Fungsi
dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, antara lain mengulas tentang hubungan hukum
dengan kekuasan ini. Pertama-tama beliau mengajukan
pertanyaan : “samakah kekuasaan (power) dengan

154
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

kekuatan (force) . Menurut beliau orang yang memiliki


kekuatan (fisik) sering juga berkuasa, sehingga ada
kecenderungan setengah orang untuk menyamakan saja
kekuasaan (power) itu dengan kekuatan (force), namun
adakalanya bahkan sering tidak demikian. Sering kita
melihat seseorang yang berkekuatan dikuasai oleh
seorang yang fisik lemah. Cukup kita ingat pada “kaum
yang lemah” untuk berkesimpulan bahwa kekuasaan itu
tidak tidak selalu menyertai kekuatan dan sebaliknya. Ini
disebabkan karena kekuasaan tidak selalu, bahkan sering
tidak bersumber pada kekuatan fisik. Kekuasaan sering
bersumber pada wewenang formil (formal authority) yang
memberikan wewenang atau kekuasaan kepada
seseorang atau suatu fihak dalam suatu bidang tertentu.
Dalam hal demikian dapat dikatakan, bahwa kekuasaan
itu bersumber pada hukum, yang ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur pemeberian wewenang di,
Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi
pentaatan ketentuan-ketentuannya, maka dapat
dikatakan bahwa hukum memerlukan
kekuasankekuasaan bagi penegaknya. Tanpa kekuasaan,
hukum itu tak lain akan merupakan kaidah social yang
berisikan anjuran belaka. Sebaliknya, hukum berbeda
dari kaidah social lainnya, yang juga mengenal bentuk-
bentuk paksaan, dalam hal bahwa kekuasaan memaksa
itu sendiri diatur, baik mengenai cara, mupun ruang
gerak atau pelaksanannya oleh hukum. Kita mengenal
polisi, kejaksaan dan pengadilan, sebagai pemaksaan
atau penegak hukum Negara yang masing-masing
ditentukan batas-batas wewenangnya. Dalam
penerapannya, hukum memerlukan kekuasaan.
Kekuasaan memberikan kekuatan pada penegak hukum
untuk menjalankan fungsi hukum (Rahardjo Satjipto,
1984:160).

155
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

Inilah ciri utama yang membedakan antara hukum


dengan norma-norma sosial lainnya. Kekuasaan
diperlukan karena hukum bersifat memaksa. Tanpa
adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum akan mengalami
banyak hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu
masyarakat, makin berkurang kebutuhan dukungan
kekuasaan. Masyarakat tipe ini disebut telah memiliki
kesadaran hukum yang tinggi (Rasjidi, 1990:55)
Disamping memerlukan kekuasaan, hukum juga
merupakan sumber kekuasaan. Hukum menyalurkan dan
memberikan kekuasaan pada orang orang. Rahardjo
Soetjipto (1982:161). menyatakan bahwa pada
masyarakat yang organisasinya semata-mata didasarkan
pada struktur kekuasaan, orang memang tidak
membutuhkan hukum, kekuasaan yang ada pada
orangorang itu hanya bisa diberikan melalui hukum.
Dengan demikian, hukum merupakan sumber
kekuasaan, sebab melalui hukumlah kekuasaan itu
dibagi-bagi dalam masyarakat. Sebaliknya, hukum juga
berfungsi sebagai pembatas kekuasaan. Suatu kekuasaan
harus ada pembatasnya, jika tidak ia akan liar dan tidak
akan memihak pada kepentingan warga masyarakat.
Menurut Soekanto Soerjhono (2004:80), para pembentuk,
penegak maupun pelaksana hukum adalah para warga
masyarakat yang mempunyai kedudukan yang
mengandung unsur kekuasaan, tetapi mereka tidak dapat
menggunakan kekuasaannya sewenang-wenang karena
ada pembatas tentang peranannya, yang ditentukan oleh
cita-cita keadilan masyarakat. efektivitas pelaksanaan
hukum sedikit banyaknya ditentukan oleh sah nya
hukum. Artinya apakah badan hukum itu dibentuk dan
dilaksanakan oleh orang atau badan-badan yang benar-
benar mempunyai wewenang yakni kekuasaan yang
diakui oleh masyarakat. Kekuasaan dan hukum
mempunyai hubungan timbal balik. Disatu pihak hukum

156
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

memberi batas-batas pada kekuasaan, dan dilain pihak


kekuasaan merupakan jaminan bagi berlakunya hukum.
Meskipun hukum meiliki hubungan yang sangat erat
dengan kekuasaan, namun pada dasarnya kekuasaan
dalam perspektif hukum masih terbatas sehingga konsep-
konsep kekuasaan didalam ilmu tidak begitu
berkembang; dibandingkan dalam ilmu politik terhadap
kekuasaan, dimana hukum terhadap kekuasaan jauh
tertinggal, sehingga konsep-konsep kekuasaan yang
berkembang lebih didominasi oleh para ahli politik dan
sosiologi (Luthan Salman, 2000: 64).
Kesimpulan
Dalam bermasyarakat, manusia sudah dibekali untuk
bertindak dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
tertenyu. Jadi nilai-nilai budaya yang ada di dalam
masyarakat harus di terappkan, belum tentu dianggap hal
yang paling penting oleh warga masyarakat lainnya, nilai-
nilai budaya tercakup secara lebih konkrit dalam norma-
norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga
masyarakat supaya dapat menjadi pedoman untuk
berlaku pada waktu melakukan bebagai situasi sosial.
Sistem hukum merupakan penceminan dari sistem sosial
dimana sistem hukum itu menjadi baiannya. Proses yang
saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang
lainnya, yang mana sistem sosial dan sistem hukum
subsistemnya bersifat timbal balik. Agar dapat
diketahuinya konsep-konsep hukum yang universal,
dengan mencari persamaan maupun pebedaan dari
sistem hukum yang belaku diberbaai masyarakat yang
berlainan.
Hukum merupakan suatu kaidah yang berisi tentang
ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban manusia
dalam kehidupan bemasyarakat, namun disisi lain
hukum juga merupakan sisi yang dominan untuk

157
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

mempertahankan kedudukan sosial ekonomi dari sebaian


kecil anggota masyarakat.selanjutnya hukum sebagai
kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai
yang belaku di dalam masyarakat.
Sedangkan kekuasaan memiliki pengertian yang penting
untuk hukum sebab kekuasaan bukan hanya merupakan
instrumen pembentukan hukum (Law making) akan tetapi
juga sebagai instrumen penegakan hukum (Law
Enforcement) di dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembentukan hukum khususnya undang-undang
dilakukan melalui mekanisme kekuasaan politik dalam
lembaga legislatif dimana kepentingan-kepentingan
kelompok masyarakat yang saling bertentangan
diupayakan untuk disatukan untuk membentuk suatu
norma hukum yang dapat diterima dalam suatu
masyarakat.
Hukum juga memiliki arti yang penting bagi kekuasaan
sebab hukum dapat bertindak sebagai alat legislasi bagi
kekuasaan. Dengan demikian dapat terlihat hubungan
antara kekuasaan dan hukum, hubungan yang sangat
erat, hubungan itu bisa diartikan sebagai suatu yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sebab di satu
sisi hukum adalah kekuasaan atau wewenang legal,
sedangkan satu sisi lainnya hukum itu adalah noema-
norma untuk mengatur tingkah laku manusia dalam
kehidupan bermasyarakat.

158
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

Daftar Pustaka

Budiarjo, Miriam. (1991). Aneka Pemikiran Tentang Kuasa


dan Wibawa: Jakarta: Sinar Harapan
Dermatoto, Argyo. (2008). Sistem Sosial Budaya: ssbi1,
makalah, diakses tanggal 28 Mei 2021
Kusdarini, Eny.(2010). Kajian Filsafat Hukum Tentang:
Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Di
Era Otonomi Daerah. No., 1, XXXVI Tahun 2010
Luthan Salman. (2000). Dialektika Hukum Dan
Kekuasaan: Jurnal Hukum No. 14 Vol.7 Agustus
2000
Luthan Salman . (2007). Hubungan Hukum dan
Kekuasaan: Jurnal Ilmu Hukum . No. 2, Vol: 2 14
April 2007 .
Rasydi, Lili dan Rasyidi, Ira.(2001). Dasar-dasar Filsafat
dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti
Rasydi Lili dan Ptra Wiyasa IB. (1993). Hukum sebagai
Suatu Sistem. Bandung:remaja Rosdakarya
Rahardjo, Sutjipto. (1984).Masalah Penegakan
Hukum:Jakarta: Sinar Baru
Soekanto, Soerjono. (2004). Pokok-pokok Sosiologi Hukum:
Jakarta: Rajawali Pers
Soemardi, Soelaeman. ( 1995). Pendekatan Terhadap
Kejahatan Sebagai Suatu Fenomena Sosial: power of
comunity
www.jamalwiwoho.com Sistem Sosial dan Hukum

159
HUBUNGAN HUKUM DENGAN SISTEM SOSIAL, NILAI BUDAYA DAN KEKUASAAN

PROFIL PENULIS

Christina Bagenda, S.H.,M.H


Penulis kelahiran Bandung berdarah Toraja, ini
adalah dosen tetap (faculty member) program
studi Ilmu Hukum (Faculty of Law) di
Universitas Flores, Kampus Ende Flores NTT
sejak tahun 2003. Katolik yang gemar membaca
dan film kartun ini menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
(SD) Letjen S.Prapto Magelang, Sekolah Menengah Pertama
(SMPN) I Palopo, Sekolah Menengah Atas Negeri 234 Pinrang,
dan melanjutkan kejenjang Perguruan Tinggi S1 (Keperdataan)
di Universitas Kristen Indonesia Paulus Ujung Pandang dan
Magister Hukum (Keperdataan) di Universitas Hasanuddin
Makassar.
Sekarang ini penulis dipercayakan sebagai Ketua Program
Studi Ilmu Hukum (2020 – 2024) Fakultas Hukum Universitas
Flores. Mata kuliah yang diampu adalah Hukum Perdata,
Hukum Dagang, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Hukum
Perikatan. Selain mengajar penulis juga aktif di organisasi
Pemberdayaan Perempuan dan Anak Daerah Kabupaten Ende
(2016 – 2018), pernah menulis juga di surat kabar daerah Flores
Pos, Buku Antologi Suara Uniflor, kolaborasi menulis buku
IDRI, dan dibeberapa jurnal terakreditasi.
Email Penulis: bagendatitin@gmail.com

160
10
Hubungan Kaidah Sosial,
Kelompok Sosial, dan Lapisan
Sosial dengan Hukum

S. ANDI SUTRASNO
Universitas Soerjo Ngawi

Kaidah Sosial
Kebudayaan adalah hasil dari hubungan yang terpolakan
yaitu teknologi, kepercayaan, nilai, dan aturan yang
berfungsi sebagai pedoman, sekaligus sebagai hasil dari
hubungan yang terpolakan tersebut. Kebudayaan
manusia terus berkembang dengan proses sosialisasi,
yaitu proses manusia menyerap isi kebudayaan yang
berkembang di tempat kelahirannya. Menurut William A.
Haviland, definisi kebudayaan menekankan totalitas
kompleks yang memuat tiga rangkaian gejala yang saling
berhubungan, yaitu: (Saebeni, 2017, p. 99)
1. Peralatan dan teknik ringkasnya teknologi yang telah
ditemukan manusia untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
2. Pola perilaku yang diikuti para individu sebagai
anggota masyarakat.
3. Berbagai kepercayaan, nilai, dan aturan yang
diciptakan manusia sebagai alat untuk

161
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

mendefinisikan hubungan mereka satu dan lainnya


dan dengan lingkungan alamnya.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu, atau lazim disebut Cultural
Determinism. Herkovits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang turun temurun dari satu generasi kepada
generasi yang lain, yang disebut super organic. Sedangkan
Bronislaw Malinowski menyebutkan empat unsur pokok,
yaitu: (Saebeni, 2017, pp. 100 - 101)
1. Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama
antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan
diri dengan alam sekelilingnya.
2. Organisasi ekonomi.
3. Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas
untuk pendidikan.
4. Organisasi kekuatan (politik).
Dalam sistem sosio kultural masyarakat yang sangat
kompleks, penting untuk mengakui sifat pola-pola budaya
yang beragam, yang ada dalam masyarakat tersebut.
Subkultur adalah budaya yang lebih kecil yang terdapat
dalam kerangka kebudayaan yang lebih besar. Anggota
subkultur mengikuti pola budaya khas, yang dalam
beberapa hal berbeda dengan budaya yang ada dalam
kerangka budayanya yang lebih besar. Tetapi, dalam yang
sama umumnya menerima dan mengikuti pola budaya
yang lebih besar (Saebeni, 2017, p. 104). Tidak ada suatu
sistem pola perilaku manusia yang seragam, oleh
karenanya tidak ada pula sistem pola kepribadian
(personality) manusia yang sama (Hadikusuma, 2013, pp.
5 - 6).

162
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

Manusia pada dasarnya ingin kehidupannya penuh


dengan kedamaian dan ketenteraman, namun
kebudayaan yang diakibatkan oleh perbedaan sosial
ekonomi tidak menimbulkan ketenteraman, tetapi
ketakutan. Oleh karena itu, manusia memerlukan hukum
untuk mewujudkan hubungan antar individu dalam
masyarakat yang penuh keamanan dan ketenteraman.
Kebudayaan dalam arti taat atas hukum adalah
kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang menjadi
peraturan hidup pada masyarakat yang bersifat
mengendalikan, mencegah, mengikat, dan memaksa
(Saebeni, 2017, pp. 104 - 105). Kebudayaan hukum
diartikan sebagai menetapkan sesuatu atas sesuatu yang
lain, yaitu menetapkan sesuatu yang boleh dikerjakan,
harus dikerjakan, dan terlarang untuk dikerjakan
sehingga karakteristik nilai-nilai kehidupan bermakna
positif.
Perilaku manusia yang terbentuk oleh norma-norma
masyarakat tidak berarti bahwa potensi dirinya secara
kultural dinafikan begitu saja. Potensi kultural individu
diadaptasikan dan diintegrasikan secara sosialistik
sehingga menjadi sistem sosial yang muatan simboliknya
diterima dan menjadi citra khas masyarakat tertentu.
Teori Billiard Ball adalah pandangan yang menegaskan
bahwa perilaku interaktif dapat menentukan
terbentuknya norma sosial yang lebih luas. Lippitt dan
Westley mengatakan bahwa dinamika perilaku
masyarakat yang membentuk kebudayaan khas saling
memantulkan adalah karena kebutuhan yang sama akan
tujuan yang hendak dicapai yang dikukuhkan oleh
hubungan fungsional dan pilihan sosial yang teruji serta
generalisasi kepentingan yang lebih transformatif dan
stabil untuk dijadikan norma-norma kehidupan dalam
masyarakat (Saebeni, 2017, p. 106).

163
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

Perilaku yang berbeda dengan kesepakatan social


normative kemungkinan dapat menimbulkan konflik dan
berakhir dengan penolakan atas sistem sosial yang telah
lebih dulu ada. Perilaku baru dapat memberikan implikasi
positif dan menguntungkan, tetapi karena budaya sosial
yang berlaku telah dirasakan manfaatnya, maka proses
penerimaan terhadap budaya baru atau asing
memerlukan waktu yang lama dan panjang. Kaidah sosial
normatif melalui proses pemolaan yang sistematis
internalistik. Dalam pemolaannya, perilaku sosial
normatif memasuki hati nurani manusia, sehingga akal
pikiran utama mencari makna hidup belum sempurna
apabila substansi norma yang berlaku tidak dijadikan
rujukan terpenting secara epistemologis ataupun
aksiologisnya. Perilaku sosial normatif itu menjadi
kolektivistik dengan homogenitas perilaku yang dominan
(Saebeni, 2017, p. 107).
Setiap masyarakat selalu menghadapi persoalan dalam
meneruskan peranan sosial yang telah dibangun dan
diwariskan kepada generasi berikutnya, inilah yang
disebut dengan sosialisasi. Diperlukan legitimasi kognitif,
yaitu legitimasi yang menjelaskan realitas sosial normatif
yang bertujuan memberikan pedoman tentang tata cara
seseorang berperilaku yang berlaku atau diterima secara
institusional, atau menurut Fred Luthan, share culture.
Menurut Emile Durkheim, norma sosial dipandang
sebagai sistem interpretasi diri kolektif atau dengan kata
lain sebagai sistem simbol yang dengannya masyarakat
menjadi sadar akan dirinya. Ia adalah cara berpikir
eksistensi kolektif. Simbol-simbol yang diciptakan
masyarakat dapat menyatukan kesadaran kolektifnya
sehingga norma sosial menjadi alat utama untuk
menyatukan kepentingan masyarakat (Saebeni, 2017, pp.
108 - 112). Norma adalah sarana yang dipakai oleh
masyarakatnya untuk menertibkan, menuntut dan

164
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam


hubungannya satu sama lain (Rahardjo, Ilmu Hukum,
2006, p. 27).
Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut
manusia adalah berbeda-beda, oleh karena itu diperlukan
patokan-patokan yang berupa kaidah-kaidah. Kaidah
merupakan patokan atau pedoman perihal tingkah laku
atau perikelakuan yang diharapkan. Kaidah-kaidah
terdiri dari kaidah yang mengatur pribadi manusia, dan
kaidah yang mengatur kehidupan antar manusia atau
antar pribadi. Kaidah yang mengatur pribadi manusia
terdiri dari kaidah kepercayaan, dan kaidah kesusilaan.
Kaidah kepercayaan bertujuan untuk mencapai
kehidupan yang beriman. Kaidah kesusilaan bertujuan
agar manusia hidup berakhlak atau mempunyai hati
nurani bersih. Kaidah yang mengatur kehidupan antar
manusia terdiri dari kaidah kesopanan, dan kaidah
hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar pergaulan
hidup berlangsung dengan menyenangkan. Sedangkan
kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian
dalam pergaulan antar manusia. Kedamaian dapat
tercapai dengan menciptakan suatu keserasian antar
ketertiban (bersifat lahiriah) dengan ketenteraman
(bersifat batiniah). Kedamaian melalui keserasian antara
ketertiban dengan ketenteraman merupakan suatu ciri
yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial
lainnya. (Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, 2006,
p. 68).
Norma sosial yang merupakan bagian dari sistem dan
kehidupan sosial sudah seharusnya dipisahkan dari
dunia nilai-nilai. Dunia sosial harus minta bantuan dari
dunia nilai-nilai atau bidang kebudayaan. Kebudayaan
memberikan isi nilai kepada norma-norma sosial, yang
dapat memberikan arah-arah tentang hal-hal apa yang
harus dikerjakan oleh bidang sosial secara teknik

165
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

(Rahardjo, Ilmu Hukum, 2006, p. 134). Norma-norma


kemasyarakatan adalah aplikasi dari nilai-nilai
fundamental pada kondisi-kondisi khusus dari kelompok-
kelompok yang terdiferensiasi secara fungsional atau sub-
sistem di dalam masyarakat (Cotterrell, 2012, p. 115).
Hukum yang dibentuk, mengandung nilai-nilai sosial
yang tumbuh di dalam masyarakat. Menurut R.M.
Williams Jr, nilai-nilai sosial mencakup faktor-faktor
sebagai berikut : (Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum
Bagi Kalangan Hukum, 1986, pp. 62 - 63).
1. Nilai-nilai merupakan abstraksi dari pengalaman-
pengalaman pribadi, sebagai akibat dari proses
interaksi sosial yang kontinu;
2. Nilai-nilai harus senantiasa diisi dan bersifat dinamis,
karena didasarkan pada interaksi sosial yang dinamis
pula;
3. Nilai-nilai merupakan suatu kriteria untuk memilih
tujuan di dalam kehidupan sosial;
4. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang menjadi
penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat
hidupnya.
Menurut Koentjaraningrat, nilai-nilai merupakan suatu
rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup
dalam alam pikiran bagian terbesar atau golongan-
golongan tertentu dalam masyarakat tentang apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk atau apa
yang diinginkan dan apa yang dicela. Nilai-nilai sosial
yang biasanya terhimpun di dalam suatu sistem berperan
sebagai pedoman dan pendorong bagi perikelakuan
manusia di dalam proses interaksi sosial, sehingga dalam
konkretisasinya berfungsi sebagai suatu sistem kaidah-
kaidah atau suatu sistem tata kelakuan. (Soekanto,
Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, 1986,
p. 63).

166
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

Kelompok Sosial
Manusia yang dilahirkan seorang diri mempunyai naluri
untuk selalu hidup dengan orang lain, yang disebut
sebagai gregariousness (Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi
Hukum, 2006, p. 83). Hubungan antar manusia
menimbulkan reaksi yang menyebabkan tindakan
seseorang menjadi luas, karena didorong oleh keinginan
untuk menjadi satu dengan manusia di sekelilingnya,
yakni masyarakat. Manusia merupakan makhluk
monodualistik, selain sebagai makhluk individu yang
mempunyai kehidupan menyendiri, juga sebagai makhluk
sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politicon,
makhluk yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan
sesama manusia lainnya, sebagai makhluk yang suka
bermasyarakat. Masyarakat adalah pola tingkah laku
yang khas mengenai semua faktor kehidupan manusia
yang membentuk suatu ikatan dalam suatu kesatuan
(Koentjaraningrat, 2009, p. 117).
Jauh sebelum datangnya inovasi kehidupan bernegara,
jutaan warga di bumi ini hidupnya tersebar dalam
komunitas-komunitas yang kecil. Manusia terhimpun,
berspesialisasi, dan berkomunikasi, yang disosialisasikan
dan dikembangkan kepribadiannya oleh generasi
pendahulunya untuk dilatih dan didudukkan pada
berbagai peran berikut status dan posisi kelas masing-
masing (Wignjosoebroto, 2008)
Hubungan yang dibangun dalam suatu masyarakat akan
menimbulkan kelompok-kelompok sosial atau social
groups, yang merupakan kesatuan manusia yang hidup
bersama yang mempunyai hubungan timbal balik. Suatu
kelompok sosial mempunyai syarat-syarat sebagai

167
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

berikut: (Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, 2006,


pp. 83 - 84)
1. Setiap warga kelompok harus sadar bahwa ia
merupakan sebagian dari kelompok yang
bersangkutan;
2. Ada hubungan timbal balik antar warga (interaksi);
3. Terdapat faktor yang dimiliki bersama oleh warga
kelompok, sehingga hubungan menjadi erat;
4. Ada struktur;
5. Ada perangkat kaidah-kaidah;
6. Menghasilkan sistem tertentu.
Lapisan Sosial
Secara umum manusia menginginkan agar tidak ada
perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat.
Namun, setiap masyarakat harus menempatkan
warganya pada tempat-tempat tertentu di dalam struktur
sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan
kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut.
Menurut Parsons, tindakan individu pada tempatnya yang
pertama tidaklah dilihat sebagai suatu kelakuan biologis,
melainkan sebagai suatu kelakuan yang bermakna.
Tindakan seseorang itu senantiasa ditempatkan dalam
suatu kaitan (sosial) tertentu atau dengan perkataan lain,
merupakan tindakan yang berstruktur. Tindakan
seseorang itu ditempatkan dalam kerangka suatu sistem
yang besar dan terbagi ke dalam sub sistem-sub sistem
(Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan
Teoretis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia,
2009, pp. 22 - 23).
Pada dasarnya, struktur merujuk ke fakta adanya
rancang bangun organisasi kehidupan bermasyarakat
yang apabila dicermati secara lebih analitis-anatomis

168
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

akan terlihat adanya komponen-komponen terdiferensiasi


dalam struktur itu. Diferensiasi terjadi karena masing-
masing komponen merupakan representasi suatu satuan
aktivitas hidup yang mempunyai fungsi bagi kelestarian
eksistensi struktur atau disebut ‘peran’ (Wignjosoebroto,
2008, p. 176). Tingkah laku anggota masyarakat tidak
sekedar merupakan suatu pergerakan badaniah (Parsons
menyebut sebagai organisme kelakuan), melainkan
tindakan yang memenuhi harapan tertentu yang disebut
peranan. Peranan dapat disebut sebagai tingkah laku
yang didisipliner oleh harapan-harapan dalam
masyarakat (Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial
Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman-Pengalaman di
Indonesia, 2009, p. 36). Menurut Soerjono Soekanto,
struktur sosial merupakan jaringan unsur-unsur sosial
yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur pokok
tersebut meliputi: (Ali, 2014, p. 102)
1. Kelompok sosial;
2. Kebudayaan;
3. Lembaga sosial;
4. Stratifikasi sosial;
5. Kekuasaan dan wewenang.
Struktur sosial adalah sistem lapisan sosial dalam
masyarakat atau disebut social stratification, yaitu
pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
2006, p. 89). Stratifikasi tidak hanya terjadi di masyarakat
agraris yang tradisional dan patrimonial atau feodal,
tetapi juga terdapat di masyarakat-masyarakat yang
modern dan industrial-kapitalis yang berideologi
demokratis (Wignjosoebroto, 2008, p. 181). Dalam kajian
sosiologi, terdapat tiga perspektif stratifikasi sosial, yakni
struktural fungsional, konflik, dan interaksionisme

169
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

simbolik. Perspektif struktural fungsional memandang


masyarakat sebagai seperangkat bagian yang saling
berhubungan dan bekerja bersama membentuk satu
keutuhan. Menurut Talcott Parsons, stratifikasi sosial
bersifat fungsional karena ia mengintegrasikan berbagai
kelompok dalam masyarakat. Davis dan Moore
menjelaskan bahwa tidak ada masyarakat yang tidak
terstratifikasi atau tanpa kelas sama sekali, bahkan
stratifikasi merupakan suatu keharusan fungsional
(Pattinasarany, 2016, p. 25).
Dalam perspektif konflik, stratifikasi sosial menciptakan
sistem ketimpangan dan ketidakadilan dalam
masyarakat, yang memberikan keuntungan bagi individu-
individu yang berada pada posisi tinggi. Menurut Melvin
Tumin, stratifikasi tidak diperlukan, karena melahirkan
kondisi kesenjangan (inequality) di antara anggota
masyarakat. Sedangkan dalam perspektif interaksionisme
simbolik, menjelaskan bahwa kekuasaan merupakan
sesuatu yang dinegosiasikan dan dinegosiasikan kembali
antar aktor yang memiliki kemampuan-kemampuan dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda. (Pattinasarany,
2016, pp. 27 - 30).
Hubungan Kaidah Sosial, Kelompok Sosial, Lapisan
Sosial Dengan Hukum
Norma, kaidah sosial, dan hukum merupakan produk
budaya yang ditimbulkan oleh interaksi setiap tindakan
yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat.
Hubungan yang dibangun dalam interaksi dapat
merupakan hubungan fungsional pragmatis dan
hubungan fungsional kompetitif. Hubungan tersebut
membutuhkan aturan main yang mampu mengendalikan
peran dan fungsi sosial, norma, ajaran agama, yang
merupakan hukum sosial. Disini, hukum terlihat sebagai
adanya hubungan sosial adaptif atau yang konfrontatif
(Saebeni, 2017, p. 121). Nilai budaya sebagai pedoman

170
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

yang memberi arah dan orientasi terhadap hidup, bersifat


umum. Sedangkan norma yang berupa aturan-aturan
untuk bertindak bersifat khusus, perumusannya bersifat
amat trperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan
(Koentjaraningrat, 2009, p. 158). Teks-teks hukum yang
sudah kuat dan jelas, akan tumpul untuk direfleksikan
dalam kehidupan sosial, apabila tidak dilakukan proses
institusionalisasi dan pembagian peran-peran individual
yang jelas. Institusi adalah pelembagaan peran dan fungsi
dari tindakan yang menyatu dalam satuan sistem sosial.
Internalisasi adalah proses mendarahdagingnya orientasi
nilai budaya dan harapan dari semua tindakan kolektif
menyatu dengan sistem kepribadian. Internalisasi nilai-
nilai akan melembagakan perilaku karena integritasnya
sempurna dengan motivasi yang murni dikolektifkan
dalam struktur sosial yang ada, sehingga semua motivasi
dan orientasi diperankan dan difungsikan sesuai dengan
harapan. Itulah sebabnya internalisasi menciptakan
institusionalisasi. Internalisai menunjuk pada sistem
kepribadian dan sistem sosial (Saebeni, 2017, p. 123).
Walaupun sistem nilai-nilai timbul dari proses interaksi
sosial, apabila sistem tersebut telah melembaga dan
mendarah daging (institusional dan internalized), maka
sistem nilai-nilai tersebut dianggap sebagai seolah-olah
benda di luar dan di atas para warga masyarakat yang
bersangkutan (Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi
Kalangan Hukum, 1986, p. 63).
Hukum dan norma sosial merupakan perilaku yang telah
melembaga jika dari aspek orientasi nilai dan standar
personalitasnya telah ada penyesuaian. Kesesuaian
antara internalisasi dan institusionalitas suatu tindakan,
telah ada keteraturan pada setiap elemen, saling terkait,
menyatu, dan ada dalam keseimbangan. Perilaku
institusional akan melahirkan teori kemunculan norma
(emergent norm) yang menyatakan bahwa dalam situasi

171
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

yang memungkinkan timbulnya perilaku kolektif,


terintegrasikan orientasi nilai dan terlembagakannya
sistem sosial, lahirlah norma tertentu yang ikut
mengendalikan perilaku secara lebih komprehensif
(Saebeni, 2017, pp. 124 - 125).
Kebutuhan terhadap hukum menentukan berlaku
tidaknya hukum dalam kehidupan sosial. Apabila
masyarakat tidak peduli dan kurang perhatian terhadap
hukum dengan berbagai sebab tertentu, keberadaan
hukum akan sia-sia, karena hukum tidak dipedulikan
apalagi tidak dibutuhkan, tidak akan membentuk
adaptasi sosial apalagi menjadi norma sosial. Faktor-
faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi
hukum terdiri dari: (Soekanto, Kegunaan Sosiologi
Hukum Bagi Kalangan Hukum, 1986, pp. 49 - 50).
1. Compliance;
2. Identification;
3. Internalization;
4. Kepentingan-kepentingan para warga masyarakat
terjamin oleh wadah hukum yang ada.
Hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan
fungsional yang berhubungan dan saling mempengaruhi
dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. Hukum dalam
keadaan tertentu menyesuaikan diri dengan struktur
sosial, tetapi dalam keadaan yang berbeda, berbeda pula
yang terjadi. Gejala ini merupakan bagian dari proses
sosial yang terjadi secara menyeluruh. Hubungan antara
struktur sosial dengan hukum memberikan pengertian
yang lebih mendalam tentang lingkungan sosial budaya di
mana hukum itu berlaku. Dapat ditelaah dalam keadaan
apakah hukum itu merupakan dependent variable, dan
bilamana hukum itu independent variable (Soekanto,
Pokok-pokok Sosiologi Hukum, 2006, p. 95).

172
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

Ditemukan sedikitnya dua hipotesis untuk menjelaskan


lapisan sosial dalam masyarakat, yakni: (Soekanto,
Pokok-pokok Sosiologi Hukum, 2006, p. 94).
1. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam
stratifikasi, semakin sedikit hukum yang
mengaturnya;
2. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam
stratifikasi, semakin banyak hukum yang
mengaturnya.
Dengan mempelajari struktur sosial, dapat diketahui
bahwa di samping hukum terdapat alat-alat pengendali
sosial lainnya yang dalam keadaan-keadaan tertentu lebih
efektif daripada hukum.
Dalam hubungan dengan pranata yang dipakai oleh suatu
masyarakat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di
antara para anggotanya, Chambliss menyebut adanya 2
(dua) unsur yang merupakan faktor yang turut
menentukan, yaitu: (Rahardjo, Hukum dan Masyarakat,
1980, pp. 52 - 53)
1. Tujuan yang hendak dicapai dengan penyelesaian
sengketa itu. Apabila tujuan yang hendak dicapai
adalah untuk merukunkan para pihak, maka tekanan
akan lebih diletakkan kepada cara-cara mediasi dan
kompromi. Sebaliknya, jika tujuan pranata itu adalah
untuk melakukan penerapan peraturan, maka cara-
cra penyelesaian yang bersifat birokratis akan lebih
banyak dipakai.
2. Tingkat perlapisan yang terdapat di dalam
masyarakat. Semakin tinggi tingkat perlapisan yang
terdapat di dalam masyarakat, semakin besar pula
perbedaan kepentingan dan nilai-nilai yang terdapat
di situ.

173
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

Sosiologi hukum melihat hukum tidak pernah bekerja


dalam lingkungan yang hampa. Berbagai struktur,
kelembagaan dan proses dalam masyarakat berada dan
bekerja berdampingan dengan hukum (Rahardjo,
Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah, 2010, p. 130). Marc Galanter menjelaskan,
prinsip hukum bahwa everybody is equal before the law
adalah sesuatu yang realitasnya tidak selalu terwujud.
Dalam kenyataannya kesenjangan sosial-ekonomi telah
menyebabkan kerja hukum menjadi senjang dan berat
sebelah. Donald Black menyebutkan bahwa “downward
law is greater than upward law”, artinya tuntutan-
tuntutan atau gugatan seseorang dari kelas atas terhadap
mereka yang berstatus rendah akan cederung dinilai
serius sehingga akan memperoleh reaksi cepat
(Wignjosoebroto, 2008, pp. 184 - 187).
Terjadinya pelapisan sosial, membuat hukum sulit untuk
mempertahankan netralitas atau kedudukannya yang
tidak memihak. Menurut Frietman, pelapisan sosial ini
merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu
diskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri,
maupun melalui penegakannya (Rahardjo, Ilmu Hukum,
2006, p. 151).

174
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

Daftar Pustaka
Ali, Ahmad dan Heryani, Wiwie. (2014). Sosiologi Hukum
Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta:
Kencana.
Cotterrell, Roger. (2012). Sosiologi Hukum The Sociology of
Law. Bandung: Nusa Media.
Hadikusuma, Hilman. (2013). Antropologi Hukum
Indonesia. Bandung: Alumni.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pattinasarany, Indera Ratna Irawati. (2016). Stratifikasi
dan Mobilitas Sosial. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Rahardjo, Satjipto. (1980). Hukum dan Masyarakat.
Bandung: Angkasa.
Rahardjo, Satjipto. (2006). Ilmu Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Rahardjo, Satjipto. (2009). Hukum dan Perubahan Sosial
Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman-
Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Rahardjo, Satjipto. (2010). Sosiologi Hukum
Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Saebeni, Beni Ahmad dan Encup Supriatna. (2017).
Antropologi Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Soekanto, Soerjono. (1986). Kegunaan Sosiologi Hukum
Bagi Kalangan Hukum. Bandung: Alumni.
Soekanto, Soerjono. (2006). Pokok-Pokok Sosiologi Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wignjosoebroto, Soetandyo. (2008). Hukum dalam
Masyarakat, Perkembangan dan Masalah. Malang:
Bayumedia Publishing.

175
HUBUNGAN KAIDAH, KELOMPOK, DAN LAPISAN SOSIAL DENGAN HUKUM

Profil Penulis
Dr. S. Andi Sutrasno, S.H., M.H. lahir di
Karanganyar, 3 Mei 1974. Memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta pada Tahun
1997. Gelar Magister Hukum diperoleh pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta pada Tahun 2009 dengan predikat cum laude.
Kemudian gelar Doktor diperoleh melalui Program Beasiswa
BPPDN dari Kemenristekdikti pada Program Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(UNISSULA) Semarang lulus pada Tahun 2019 dengan predikat
cum laude. Penulis sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Soerjo Ngawi dan menduduki jabatan sebagai
Kepala Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum. Di
samping itu penulis juga sebagai dosen tidak tetap pada
Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNSA) pada Program
Studi Ilmu Hukum (S1) maupun Program Studi Magister Ilmu
Hukum (S2).
Email : andi.sutrasno@gmail.com

176
11
Dimensi dan Kaitan Hukum
Struktur Sosial

MUHAMAD SADI IS
UIN Raden Fatah Palembang

Pendahuluan
Sosiologi adalah suatu bidang ilmiah yang berusaha
menemukan pengetahuan sistematis tentangnya.
Sedangkan hukum adalah hasil karya praktis dari kontrol
sistematis terhadap hubungan-hubungan dan institusi-
institusi sosial. Keduanya memiliki banyak perbedaan
radikal dalam metode dan pandangan, tetapi hukum dan
sosiologi sama-sama memiliki pokok permasalahan dasar
yang sama. Sosilogi berkaitan dengan masalah nilai,
evaluasi, dan ideologi yang mendasari penataan-penataan
struktur dasar di dalam sebuah masyarakat, yang banyak
di antaranya terkandung di dalam hukum sebagai
kumpulan peraturan subtantif, serta di dalam prinsip-
prinsip prosedural yang mempedomaninya. Sedangkan
hukum juga menawarkan banyak kesempatan untuk
mempelajari mekanisme sosial yang muncul di luar
institusi hukum. Oleh karena itu, baik sosiologis maupun
hukum berkaitan dengan hakikat otoritas yang sah dan
mekanisme kontrol hubungan sosial, dasar sosial dan

177
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

konstitusionalisme, kemunculan hak-hak sipil, dan


hubungan antara ruang lingkup publik dan privat51.
Kemudian perubahan-perubahan sosial dan perubahan-
perubahan hukum atau sebaliknya, tidak selalu
berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-
keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin
tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari
masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal yang
sebaliknya terjadi. Apabila terjadi hal demikian, maka
terjadilah suatu social lag yaitu suatu keadaan di mana
terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan
terjadinya kepincangan-kepincangan yang terjadi di
dalam masyarakat52.
Berdasarkan penjelasan di atas maka Satjipto Rahardjo
menjelaskan bahwa sosiologi hukum melihat, menerima,
dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan
manusia bermasyarakat, tidak di luar itu. Karena bagi
sosiologi hukum, kehidupan hukum tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan bermasyarakat manusia sehari-hari. Sifat
tersebut mempengaruhi penggarapannya terhadap
hukum. Oleh karena itu, apabila berbicara mengenai
dimensi dan kaitan hukum struktur sosial maka ini
berhubungan dengan hukum yang berlaku di dalam
masyarakat. Sosiologi hukum memperhatikan verifikasi
empiris dan validitas empiris dari hukum yang berlaku53.
Pendapat Satjipto Rahardjo di atas sejalan dengan
penjelasan yang dikemukan oleh Zainuddin Ali yang
menjelaskan bahwa karakteristik kajian sosiologi hukum

51
Roger Cotterrell, (2012), Sosiologi Hukum (The Sociology of Law), Bandung:
Nusamedia, hlm. 6-7.
52
Amran Suadi, (2019), Sosiologi Hukum Penegakan, Realitas & Nilai
Moralitas Hukum, Jakarta: Kencana, hlm. 146.
53
Satjipto Rahardjo, (2010), Sosiologi Hukum Esai-Esai Terpilih, Yogyakarta:
Genta Publishing, hlm. 1-2.

178
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

sebagai berikut: pertama; sisologi hukum berusaha


untuk memberikan deskripsi terhadap praktik-praktik
hukum; kedua; sosiologi hukum bertujuan untuk
menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum di
dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-
sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar
belakangnya dan sebagainya; ketiga; sosiologi hukum
senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu
peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu
memprediksi sesuatu hukum yang sesuai dan/atau tidak
sesuai dengan masyarakat tertentu; dan keempat;
sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap
hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama
merupakan objek pengamatan yang setaraf. Ia tidak
menilai yang satu kebih dari yang lain. Perhatiannya yang
utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap
objek yang dipelajarinya. Sosiologi hukum mendekati
hukum dari segi objektivitas semata yang bertujuan
untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena
hukum yang nyata54.
Sosiologi hukum, menyelidiki adakah dan sampai
dimanakah kaidah-kaidah tersebut dengan sungguh
dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat, dengan
perkataan lain hingga mana hidup mengikutinya atau
menyimpang dari padanya, dengan maksud mencapai
pencatatan tentang aturan-aturan hukum yang sebagai
kenyataan diikuti dalam pergaulan masyarakat,
selanjutnya dari sangkut paut sosiologi antara hukum
dan gejala-gejala lainnya, ia mencoba menerangkan, pada
suatu pihak, mengapa terdapat sesuatu peraturan hukum
yang konkrit sebagai kini terdapat. Pada lain pihak
pengaruh apa yang diadakan oleh peraturan hukum
tersebut atas gejala-gejala masyarakat lainnya. Jadi
misalnya sosiologi hukum akan mencoba menyelidiki

54
Zainuddin Ali, (2005), Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 8-9.

179
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

hubungan yang terdapat antara susunan hukum sesuatu


masyarakat dengan bentuk ekonominya, atau pengaruh
apa yang dilakukan oleh perundang-undangan dan
pandangan agama yang berlaku dalam masyarakat itu
terhadap hukum dan sebagainya55.
Dimensi Hukum
Hukum memiliki banyak dimensi dan segi, sehingga tidak
mungkin memberikan definisi hukum yang sungguh-
sungguh dapat memadai pengertian hukum itu sendiri.
Meskipun demikian akan tetapi negara Indonesia
merupakan negara hukum sebagaimana dijelaskan di
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia: “Indonesia adalah negara hukum”.
Artinya semua kegiatan dan tindakan masyarakat di
Indonesia diatur oleh hukum. Oleh karena itu masyarakat
di Indonesia dikenal dengan masyarakat hukum
merupakan masyarakat yang seringkali menggunakan
hukum sebagai penyelesaian suatu masalah. Mereka
mencari pembenaran atas apa yang mereka lakukan
dengan menggunakan dasar-dasar hukum untuk
menyerang lawan. Dengan kata lain mereka saling
menyalahkan atas sesuatu sengketa yang terjadi. Dalam
masyarakat ini, hukum dijunjung tinggi dalam sistem
bermasyarakat mereka, sehingga keteraturan
berdasarkan hukum yang berlakupun bisa diperoleh.
Dengan demikian maka Achmad Ali dan Wiwie Heryani
menjelaskan bahwa fungsi hukum adalah untuk
melindungi kepentingan warga masyarakat. Hukum
berfungsi mengatasi konflik kepentingan yang mungkin
timbul diantara warga masyarakat. Terutama hukum
tertulis atau perundang-undangan. Perubahan hukum
senantiasa perlu dimulai sejak adanya kesenjangan

55
Munawir, (2010), Sosiologi Hukum, Ponorogo: Lembaga Penerbitan Dan
Pengembangan Ilmiah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, hlm. 1-2.

180
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

antara keadaan, peristiwa, serta hubungan dalam


masyarakat, dengan hukum yang mengaturnya56. Lebih
lanjut Achmad Ali menjelaskan fungsi hukum sebagai alat
pengendalian sosial, tidaklah sendirian dalam
masyarakat, melainkan menjalankan fungsi itu bersama-
sama dengan pranata sosial lainnya yang juga melakukan
fungsi pengendalian sosial, di samping itu juga
merupakan fungsi pasif yaitu hukum yang menyesuaikan
diri dengan kenyataan dalam masyarakat.
Fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam,
tergantung kepada berbagai faktor dalam masyarakat. Di
samping itu, fungsi hukum dalam masyarakat yang belum
maju juga akan berbeda dengan yang terdapat dalam
masyarakat maju. Dalam setiap masyarakat, hukum lebih
berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat
dan penjaminan struktur sosial yang diharapkan oleh
masyarakat. Namun demikian, dalam masyarakat yang
sudah maju, hukum menjadi lebih umum, abstrak, dan
lebih berjarak dengan konteksnya57.
Berdasarkan penjelasan mengenai fungsi hukum dan
perubahan sosial maka Munir Fuady menjelaskan bahwa
perubahan sosial dalam hubungannya dengan sektor
hukum merupakan salah satu kajian penting dari disiplin
sosiologi hukum. Hubungan antara perubahan sosial dan
sektor hukum tersebut merupakan hubungan interaksi,
dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap
perubahan sektor hukum sementara di lain pihak
perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu
perubahan sosial. Perubahan hukum yang dapat
memengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah satu

56
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, (2012), Menjelajahi Kajian Empiris
Terhadap Hukum, Jakarta: Kencana, hlm. 203-205.
57
Nazaruddin Lathif, Teori Hukum Sebagai Sarana/Alat Untuk
Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat, Jurnal Pakuan Law
Review Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2017, hlm. 73-94.

181
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana


perubahan sosial atau sarana rekayasa masyarakat (social
engineering)58.
Teori tentang perubahan sosial dalam hubungannya
dengan sektor hukum merupakan salah satu teori besar
dalam ilmu hukum. Hubungan antara perubahan sosial
dengan sektor hukum tersebut merupakan hubungan
interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial
terhadap perubahan sektor hukum, sementara dipihak
lain, perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu
perubahan sosial. Perubahan hukum yang dapat
mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salah
satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana
perubahan sosial, atau sarana merekayasa masyarakat
(social engineering). Jadi, hukum merupakan sarana
rekayasa masyarakat (a tool of social engineering), suatu
istilah yang pertama dicetuskan oleh ahli hukum Amerika
yang terkenal yaitu Roscou Pound59. Konsep social
engineering Roscoe Pound dapat diibaratkan bahwa
hukum dianggap sebagai insinyur dalam mengungkapkan
dasar-dasar pembaruan dalam masyarakat dan
menggerakkan kemana masyarakat akan diarahkan serta
bagaimana masyarakat seyogianya diatur. Jadi, hukum
berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan mengelola
masyarakat. Mengatur dan mengelola masyarakat akan
membawa kepada pembaharuan-pembaharuan,
perubahan-perubahan struktur masyarakat dan
penentuan-penentuan pola berpikir menurut hukum yang
menuju ke arah pembangunan. Hal ini akan
menghasilkan kemajuan hukum, sehingga akan tercapai

58
Munir Fuady, (2011), Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum,
Kekuasaan, dan Masyarakat, Jakarta: Kencana, hlm. 61.
59
Munir Fuady, (2013), Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum,
Jakarta: Kencana, hlm. 248.

182
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

suatu suasana yang dapat dikategorikan sebagai


masyarakat yang beradab.
Hukum harus mengikuti perubahan sosial yang terjadi di
dalam masyarakat sehingga perlu dilakukan
pembaharuan dan pembangunan hukum yang
menyesuaikan perubahan sosial tersebut. Dalam rangka
pembaharuan dan pembangunan hukum Nasional, ada 3
(tiga) dimensi yang harus dilaksanakan, sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Manan: pertama; dimensi
pemeliharaan, yaitu dimensi untuk memelihara tatanan
hukum yang ada, walaupun sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan sekarang dengan tetap
dan harus berpijak pada situasi dan kondisi yang sudah
berubah serta berorientasi kepada kemaslahatan
bersama. Dimensi ini bertujuan untuk mencegah
timbulnya kekosongan hukum dan sesungguhnya
merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Aturan
Peralihan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945).
Kedua; dimensi pembaruan, yaitu dimensi yang
merupakan usaha untuk lebih meningkatkan dan
menyempurnakan pembangunan Nasional. Selain
pembentukan peraturan perundangan yang baru, juga
dilakukan pula usaha penyempurnaan peraturan
perundangan yang telah ada, sehingga sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan yang terus berkembang. Ketiga;
dimensi penciptaan, yakni dimensi kreativitas,
maksudnya adalah penciptaan suatu perangkat
peraturan baru yang sebelumnya memang belum pernah
ada, tetapi diperlukan untuk kesejahteraan bangsa60.

60
Abdul Manan, (2006), Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana,
hlm. 7.

183
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

Struktur Sosial
Istilah struktur berasal bahasa Latin structum yang berarti
menyusun. Dengan demikian, struktur sosial memiliki
arti susunan masyarakat. Adapun penggunaan konsep
struktur sosial tampaknya beragam. Walaupun demikian,
kita dapat memberikan batasan-batasan melalui
beberapa definisi struktur sosial menurut para ahli, yaitu
sebagai berikut.
1. Menurut Radclife-Brown, struktur sosial adalah suatu
rangkaian kompleks dari relasi-relasi sosial yang
berwujud dalam suatu masyarakat. Dengan demikian,
struktur sosial meliputi relasi sosial di antara para
individu dan perbedaan individu dan kelas sosial
menurut peranan sosial mereka. Oleh karena itu,
struktur sosial merupakan aspek non prosedural dari
sistem sosial, isinya adalah keadaan statis dari sistem
sosial yang bersangkutan61.
2. Menurut Evans-Pritchard, struktur sosial ialah relasi-
relasi yang tetap dan menyatukan kelompok-
kelompok sosial pada satuan yang lebih luas.
3. Menurut Beattie, struktur sosial adalah bagian-
bagian atau unsur-unsur dalam masyarakat itu yang
tersusun secara teratur guna membentuk suatu
kesatuan yang sistematik.
4. Menurut Raymond Firth, konsep struktur sosial
merupakan analytical tool atau alat analisis yang
diwujudkan untuk membantu pemahaman tentang
tingkah laku manusia dalam kehidupan sosial62.
5. George Simmel, struktur sosial adalah sebagai
kumpulan individu serta pola perilakunya.
6. George C. Homans struktur sosial adalah merupakan
hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku
sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari.

61
Radclife-Brown dalam Achmad Ali dan Wiwie Heryani, (2012), Sosiologi
Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Jakarta: Kencana, hlm. 102.
62
Bagja Waluya, (2009), Sosiologi Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat,
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 2.

184
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

7. William Kornblum, struktur sosial adalah susunan


yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola
perilaku individu63.
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian struktur
sosial yang dikemukakan oleh para ahli di atas maka Max
Weber memandang manusia individual sebagai suatu
susunan berbagai karakteristik umum yang berasal dari
bermacam-macam institusi sosial; individu sebagai
seorang aktor yang memainkan peran-peran sosial64. Oleh
karena di dalam teori struktur menjelaskan bahwa
struktur sosial di dalam masyarakat harus
memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: setiap
masyarakat adalah relatif konsisten, yang merupakan
struktur elemen-elemen yang stabil; setiap masyarakat
merupakan struktur elemen-elemen yang terintegrasikan
dengan baik; setiap elemen dalam masyarakat
mempunyai fungsi sendiri yaitu memberikan
sumbangannya dalam rangka mempertahankan
bangunan sistem yang ada; dan setiap struktur sosial
berkerja atas dasar konsensus nilai oleh anggotanya65.
Struktur sosial dalam fenomena kehidupan manusia
dapat diklasifikasikan atas lima jenis sebagai berikut:
pertama; struktur kaku dan luwes, atau struktur kaku
bersifat tidak mungkin diubah atau sulit untuk diubah.
Struktur luwes adalah struktur yang pola susunannya
memungkinkan untuk diubah. Kedua; struktur formal
dan informal. Struktur formal atau resmi adalah struktur
yang diakui pihak berwenang berdasarkan hukum yang
berlaku. Adapun struktur informal atau tidak resmi

63
Muhammad Yusran, Dinamika Sosial Kehidupan Pengusaha Warung Makan,
Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume III No. 2 November 2016,
hlm. 136-146.
64
Max Weber, (2009), Sosiologi, Penerjemah Noorkholish, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm. 85.
65
Satjipto Rahardjo, Op, Cit, hlm. 6.

185
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

adalah struktur yang nyata atau benar-benar ada serta


berfungsi bagi masyarakat, tetapi tidak diakui oleh pihak
berwenang dan tidak berketetapan hukum. Ketiga;
struktur homogen dan heterogen. Struktur homogen
adalah suatu struktur sosial yang unsur-unsurnya
mempunyai pengaruh yang sama terhadap dunia luar.
Struktur heterogen adalah suatu struktur yang unsur-
unsurnya mempunyai kedudukan yang berbeda-beda dan
kesempatan setiap unsur pun berbeda pula, baik
terhadap kelompok sendiri maupun terhadap kelompok
lain. Keempat; struktur mekanis dan statistik. Struktur
mekanis adalah suatu struktur yang menuntut
persamaan posisi dari anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Struktur statistik
adalah struktur yang dapat berfungsi dengan baik apabila
persyaratan jumlah anggotanya terpenuhi; dan kelima;
struktur atas dan bawah. Struktur atas atau
suprastruktur umumnya diduduki oleh golongan orang
yang memegang kekuasaan dalam bidang politik,
ekonomi, dan sosial budaya. Struktur bawah atau
infrastruktur adalah tempat bagi golongan masyarakat
bawah atau mereka yang taraf kehidupannya relatif
rendah66.
Abdulsyani menjelaskan ciri-ciri struktur sosial meliputi:
pertama; struktur sosial dapat diartikan hubungan sosial
yang nantinya akan memberikan bentuk pada kehidupan
sosial sehingga memberikan batasan terhadap aksi-aksi
yang dilakukan dalam bentuk organisatoris. Kedua;
struktur sosial dapat dilihat melalui hubungan antar
individu pada periode tertentu. Ketiga; struktur sosial
apabila dipandang dari sudut teoritis merupakan
kebudayaan masyarakat. Keempat; struktur sosial
bersifat statis akibat dari realitas sosial. Kelima; struktur

66
Bagja Waluya, Op, Cit, hlm. 3-4.

186
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

sosial merupakan transformasi masyarakat yang terdiri


dari perubahan dan perkembangan.
Setiadi dan Kolip menjelaskan, unsur-unsur struktur
sosial sebagai berikut: pertama; lembaga sosial
merupakan bagian dari masyarakat yang di dalamnya
terkait dengan norma maupun aturan yang mereka
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman
tersebut sangat berhubungan dengan pola jaringan antar
manusia dan kelompok yang didasarkan pada norma dan
aturan yang berfungsi untuk memelihara kepentingan
manusia dan kelompoknya. Kedua; kelompok sosial
merupakan kumpulan orang-orang yang di dalamnya
terdapat hubungan dan interaksi sehingga tumbuh
perasaan bersama. Kelompok sosial ini biasanya
terbentuk karena memiliki sebuah kesamaan dalam hal
tertentu. Ketiga; kekuasaan dan wewenang merupakan
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kekuasaan
merupakan kemampuan dalam menggunakan sumber
pengaruh yang dimiliki seseorang maupun kelompok
dalam rangka mempengaruhi pihak lain. Sedangkan
kewenangan merupakan hak moral yang dimiliki
seseorang dengan memperhatikan nilai dan norma
masyarakat dalam membuat dan melaksanakan
keputusan publik. Keduanya memiliki perbedaan pada
legalitas dan hak moral yang dimiliki. Keempat;
stratifikasi sosial merupakan pengelompokan orang
dalam suatu tingkatan secara vertikal baik antar orang
maupun kelompok yang tidak sederajat, selain itu dapat
dikatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan persoalan
kesenjangan atau polarisasi sosial. Kelima; kebudayaan
merupakan suatu cara hidup yang di dalamnya
terkandung nilai dan norma-norma sosial. Kebudayaan
ini dikembangkan secara terus menerus sehingga nilai
dan norma melekat di dalamnya. Keenam; dinamika
sosial merupakan telaah yang terkait dengan perubahan-

187
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Unsur-


unsur perubahan sosial meliputi pengendalian sosial,
penyimpangan sosial, mobilitas sosial, dan perubahan
sosial67.
Sedangkan Charles P.Loomis menjelaskan unsur-unsur
struktur sosial sebagi berikut: pertama; adanya
pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki oleh para
anggota masyarakat yang berfungsi sebagai alat analisis
dari anggota masyarakat; kedua; adanya perasaan
solidaritas dari anggota-anggota masyarakat; ketiga;
adanya tujuan dan cita-cita yang sama dari warga
masyarakat; keempat; adanya nilai-nilai dan norma-
norma sosial yang dijadikan sebagai patokan dan
pedoman bagi anggota masyarakat dalam bertingkah
laku; kelima; adanya kedudukan dan peranan sosial yang
mengarahkan pola-pola tindakan atau perilaku warga
masyarakat; keenam; adanya kekuasaan, berupa
kemampuan memerintah dari anggota masyarakat yang
memegang kekuasaan, sehingga sistem sosial dapat
berlanjut; ketujuh; adanya tingkatan dalam sistem sosial
yang ditentukan oleh status dan peranan anggota
masyarakat; kedelapan; adanya sistem sanksi yang
berisikan ganjaran dan hukuman dalam sistem sosial,
sehingga norma tetap terpelihara; kesembilan; adanya
saran atau alat-alat perlengkapan sistem sosial, seperti
pranata sosial dan lembaga; dan kesepuluh; adanya
sistem ketegangan, konflik, dan penyimpangan yang

67
Abdulsyani, Setiadi dan Kolip, dalam Yanuar Kusuma Wardani, Yori
Herwangi, Ahmad Sarwadi, Peran Struktur Sosial Dalam Pembangunan
Sarana Prasarana Permukiman Perkotaan (Studi Kasus: PLPBK Kelurahan
Karangwaru Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta), Jurnal Ilmu
Pemerintahan Widya Praja, Vol. 44, No. 1, Oktober 2018, hlm. 1-20.

188
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

menyertai adanya perbedaan kemampuan dan persepsi


warga masyarakat68.
Berdasarkan penjelasan di atas maka Soerjono Soekanto
dan Budi Sulistyowati membagi empat kriteria untuk
menggolongkan anggota masyarakat dalam suatu lapisan
atau dalam struktur sosial yaitu sebagai berikut:
pertama; kekayaan; orang yang memiliki materi
kebendaan atau kekayaan yang paling banyak, mereka
akan berada pada lapisan atas atau tinggi, contohnya
bentuk rumah modern, bahan dan cara berpakaian,
pemilikan sarana transpormasi dan komunikasi, serta
kebiasaan mengonsumsi barang-barang mewah; kedua;
kekuasaan atau wewenang; kedudukan status atau
jabatan seseorang akan berhubungan dengan wewenang
dan kekuasaan. Oleh karena itu, orang yang mempunyai
wewenang atau kekuasaan akan berada pada lapisan
sosial atas dalam kelompoknya; ketiga; kehormatan;
orang yang disegani oleh kelompoknya masuk dalam
lapisan atas di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
ukuran kehormatan tidak sama dengan ukuran kekayaan
dan kekuasaan. Contohnya, di masyarakat tradisional,
mereka sangat menghormati orang yang memiliki jasa
atau perilaku yang dapat dijadikan teladan. Misal pemuka
agama, pemimpin adat, kepala suku; dan keempat; ilmu
pengetahuan dan teknologi; seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi akan menempati lapisan sosial
atas. Adapun mereka yang memiliki tingkat pendidikan
rendah akan ada pada lapisan sosial bawah. Contohnya
mereka yang memiliki gelar sarjana, magister, dan doktor
atau profesor akan menempati posisi lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak bersekolah69.

68
Charles P.Loomis dalam Hamzarief Santaria, (2019), Konsep Dasar Sosiologi
Hukum, Malang: Setara Press, hlm. 73.
69
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, (2015), Sosiologi Hukum Suatu
Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 206.

189
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

Berdasarkan kriteria struktur sosial di atas maka dapat


dinyatakan bahwa struktur sosial merupakan gejala
umum yang dapat ditemukan pada setiap masyarakat,
oleh karena itu betapapun sederhananya maupun
kompleksnya suatu masyarakat struktur sosial pasti
dapat di jumpai di situ. Pada zaman kuno dulu, salah satu
dari filosof adalah Aristoteles menyatakan bahwa di dalam
tiap Negara terdapat tiga unsur yaitu mereka yang kaya
sekali, mereka yang bearada di tengah-tengah dan mereka
yang berada pada posisi yang melarat, pernyataan ini
sedikit banyak telah memberikan bukti bahwa di zaman
itu orang-orang telah mengakui dengan adanya suatu
lapisan-lapisan atau strata di dalam masyarakat yaitu
susunan dan golongan yang telah tersusun secara segita
piramida bertingkat dengan membentuk kelas-kelas sosial
yang saling berhubungan antara lapisan sosial satu
dengan lapisan sosial lainnya70. Artinya struktur sosial
merupakan suatu gejala sosial yang tidak mungkin dapat
dihindari yang artinya bahwa akan terdapat pada setiap
masyarakat. Lapisan tersebut merupakan hal yang
niscaya dalam masyarakat, karena adanya aspek yang
berharga sebagai pembeda antara masyarakat yang satu
dengan yang lainnya. Masyarakat yang terdiri dari segala
aspek yang mencakup didalamnya merupakan suatu
objek kajian yang menarik untuk diketahui. Begitu pula
dengan suatu hal yang dihargai oleh msyarakat tersebut.
Dengan kata lain, sesuatu yang dihargai dalam sebuah
kelompok masyarakat akan melahirkan sebuah
pemisahan-pemisahan lapisan atau kedudukan
seseorang tersebut dalam masyarakat71. Oleh karena itu,

70
Soleman B. Taneko, (1984), Struktur Dan Proses Sosial Suatu Pengantar
Sosiologi Pembangunan, Jakarta: Rajawali, hlm, 94.
71
Muhammad Tobar, M. Tahir Kasnawi, dan M. Ramli AT, Hubungan Antar
Strata Sosial dalam Masyarakat Modern (Kasus Rampanan Kapa’ dalam
Masyarakat Tana Toraja), dalam Hasanuddin Journal of Sociology (HJS),
Volume 2, Issue 1, 2020, hlm. 18-34.

190
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

Pritim A. Sorikin menjelaskan bahwa yang menjadi dasar


dan inti dari lapisan sosial adalah tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-
kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab, nilai-nilai
sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota
masyarakat72.
Kelas sosial tidak ditentukan secara tegas sebagai
pengelompokan status seperti halnya sistem kepangkatan
dalam angkatan bersenjata, status sosial bervariasi dalam
suatu kontinum, suatu garis kemiringan yang bertahap
dari puncak ke bawah, bukannya sejumlah tangga.
Sebagaimana halnya “usia tua” merupakan fase-fase
dalam kontinum “usia muda” setengah baya” maka sama
sebenarnya bahwa kelas sosial pun dapat dilihat dari
sebagai beberapa fase sepanjang kontinum status
seseorang. Oleh karena itu, dari beberapa jumlah kelas
sosial, tidaklah pasti dan tidak terdapat pula suatu batas
atau jarak status yang tegas dan jelas73.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt mengatakan bahwa
terbentuknya struktur sosial di dalamnya sesungguhnya
tidak hanya berkaitan dengan uang. Struktur sosial
adalah strata atau pelapisan orang-orang yang
berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan status
sosial di dalam masyarakat, namun lebih penting dari itu,
mereka memiliki sikap, nilai-nilai dan gaya hidup yang
sama, semakin rendah kedudukan seseorang di dalam
pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula
perkumpulan dan kedudukan sosialnya74.
Sehingga terjadinya perubahan sosial dalam struktur
sosial, yang mana perubahan sosial tersebut mengandung

72
Pritim A.Sorikin dalam C. Dewi Wulansari, (2009), Sosiologi Konsep Dan
Teori, Bandung: Refika Aditama, hlm 101.
73
Paul B.Horton Chester L.Hunt, (1984), Sosiologi, Surabaya: Gelora Aksara
Pratama, hlm 5
74
Ibid, hlm. 7.

191
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

beberapa tipe perubahan sosial yaitu pertama;


perubahan dalam personal, hal tersebut berhubungan
dengan perubahan peran dan individu-individu baru
dalam sejarah kehidupan manusia yang berkaitan dengan
keberadaan struktur. Perubahan personal dapat dilihat
pada perubahan terhadap peran dan fungsi individu
dalam masyarakat. Misalnya, peran dan fungsi
perempuan dalam masyarakat, yang pada masa dulu
perempuan bertugas melakukan tugas domestik akan
tetapi, perempuan sekarang atau pada masa modern telah
bertugas pada sektor publik atau melakukan peran kerja
ganda. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat untuk
membedakan suatu fungsi dan peran ketika seseorang
menjalankan tugas sebagai individu yang kreatif. Kedua;
perubahan bagian-bagian struktur sosial yang
berhubungan, perubahan tersebut berkaitan denganalur
kerja masyarakat terhadap perubahan pada masa
kemajuan. Misalnya, ketika masyarakat bekerja
menggunakan alat-alat manual akan tetapi, telah
mengalami perubahan kepada alat-alat tersebut yaitu
menggunakan tenaga mesin. Ketiga; perubahan dalam
fungsi struktur, ketika membahas masalah fungsi, hal
tersebut berkaitan dengan fungsi seseorang dalam
kehidupan sosial. Misalnya, ibu berfungsi merawat anak,
akan tetapi perawatan anak tersebut bisa berpindah
kepada pembantu rumah tangga atau lembaga-lembaga
sekolah. Keempat; perubahan dalam hubungan struktur
yang berbeda. Ketika dunia pendidikan menyiapkan
tenaga kerja industri oleh sebab itu, ada keterkaitan
antara dunia pendidikan dengan dunia usaha. Kelima;
kemunculan struktur baru dengan adanya perubahan
masyarakat. Misalnya, dengan adanya perilaku

192
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

masyarakat yang mengalami perubahan maka muncul


sebuah lembaga yang mengatasi masalah tersebut75.
Terhadap struktur sosial dan perubahan sosial tersebut di
atas maka hukum sebagaimana fungsinya yang bersifat
mengintegrasikan kepentingan-kepentingan di dalam
struktur sosial dilakukan dengan jalan mengatur, hukum
tidak hanya memperhatikan hubungan tersebut dari
aspek ketertibannya saja, akan tetapi juga hukum harus
mampu menentukan ukuran-ukuran atau parameter-
parameter tertentu yang sering dalam ilmu hukum
disebut dengan nilai keadilan, bahkan ada orang yang
berpandangan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dan
harus digabungkan dengan dengan keadilan supaya
hukum sungguh-sungguh mempunyai makna sebagai
hukum. Dalam perkembangannya pada saat ini hukum
tidak saja dikunstruksikan sebagai alat kontrol sosial,
akan tetapi hukum juga dikunstruksikan sebagai alat
perubahan sosial (a tool of social enginering), konsepsi
yang melihat bahwa hukum sebagai sistem yang memiliki
komponen substantif (kaidah-kaidah) dan komponen
struktural serta kultural (peraturan-peraturan dan
kebiasaan-kebiasaan atau tradisi) memberikan fungsi
hukum secara langsung dan aktif sebagai a tool of social
engineering yang dapat memaksakan perubahan
masyarakat. Oleh karena itu, perubahan hukum (legal
change) dan perubahan sosial (social change) merupakan
dua hal yang selalu menjadi perhatian dan kajian para
ahli hukum maupun ahli ilmu-ilmu sosial lainnya,
bagaimana keterkaitan antara hukum dan perubahan
sosial. Krena perubahan sosial sebagai sebuah
restrukturisasi pola-pola dasar di mana orang dalam
tatanan masyarakat tertentu terlibat satu dengan lainnya
dalam bidang pemerintahan, politik, hukum, ekonomi,

75
Indraddin, dan Irwan, (2016), Strategi dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:
Deepublish, hlm. 4-5.

193
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

pendidikan, agama, kehidupan keluarga, dan aktivitas-


aktivitas lainnya76.
Penggunaan hukum sebagai suatu alat untuk
mengarahkan perubahan sosial sehingga terjadinya
struktur sosial merupakan sesuatu yang terbentang lebar
di dalam seluruh masyarakat kontemporer baik
masyarakat yang masih belum berkembang maupun
masyarakat industri, baik masyarakat demokratis
maupun masyarakat totaliter77. Meskipun perubahan
sosial atau masyarakat yang dapat menyebabkan
perubahan hukum yang mana perubahan hukum
tersebut merupakan perubahan dalam bentuk perubahan
undang-undang yang ada78. Perubahan hukum tersebut
harus sesuai dengan dimensi dan kaitan hukum struktur
sosial karena karena keduanya diibaratkan sebagai
sebuah bangunan tubuh manusia, maka hukum formal
yang berupa peraturan perundang-undangan hanyalah
merupakan tulang-tulang yang menjadi kerangka saja
bagi bangunan hukum itu sedangkan struktur sosial atau
masyarakat diibaratkan dagingnya. Jadi ada kerangka
dan ada dagingnya. Para ahli sosiologi lebih menggumuli
daging-daging suatu bangunan hukum, yaitu proses-
proses yang menyangkut peri kelakuan manusia yang
menjalankan hukum di dalam strukrur sosial.

76
Suryadi, Fungsi Hukum Sebagai Alat Dan Cermin Perubahan Masyarakat,
Journal of Rural and Development, Volume I No. 2 Agustus 2010, hlm.
169-176.
77
Achmad Ali, dan Wiwie Heryani, (2012), Resep Hukum Sebuah Bunga
Rampai, Jakarta: Kencana, hlm. 181.
78
Munir Fuady, (2011), Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, Jakarta; Kencana,
hlm. 55.

194
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

195
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

Daftar Pustaka
Buku
Abdul Manan, (2006), Aspek-Aspek Pengubah Hukum,
Jakarta: Kencana.
Achmad Ali, dan Wiwie Heryani, (2012), Resep Hukum
Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Kencana.
-----------, (2012), Sosiologi Hukum Kajian Empiris
Terhadap Pengadilan, Jakarta: Kencana.
-----------, (2012), Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap
Hukum, Jakarta: Kencana.
Amran Suadi, (2019), Sosiologi Hukum Penegakan,
Realitas & Nilai Moralitas Hukum, Jakarta: Kencana.
Bagja Waluya, (2009), Sosiologi Menyelami Fenomena
Sosial di Masyarakat, Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
C. Dewi Wulansari, (2009), Sosiologi Konsep Dan Teori,
Bandung: Refika Aditama.
Charles P.Loomis dalam Hamzarief Santaria, (2019),
Konsep Dasar Sosiologi Hukum, Malang: Setara Press.
Indraddin, dan Irwan, (2016), Strategi dan Perubahan
Sosial, Yogyakarta: Deepublish.
Max Weber, (2009), Sosiologi, Penerjemah Noorkholish,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawir, (2010), Sosiologi Hukum, Ponorogo: Lembaga
Penerbitan Dan Pengembangan Ilmiah Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri.
Munir Fuady, (2011), Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum,
Jakarta; Kencana.
------------, (2011), Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi
Hukum, Kekuasaan, dan Masyarakat, Jakarta:
Kencana.
------------, (2013), Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam
Hukum, Jakarta: Kencana.

196
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

Paul B.Horton Chester L.Hunt, (1984), Sosiologi,


Surabaya: Gelora Aksara Pratama.
Roger Cotterrell, (2012), Sosiologi Hukum (The Sociology of
Law), Bandung: Nusamedia.
Satjipto Rahardjo, (2010), Sosiologi Hukum Esai-Esai
Terpilih, Yogyakarta: Genta Publishing.
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, (2015), Sosiologi
Hukum Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Soleman B. Taneko, (1984), Struktur Dan Proses Sosial
Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, Jakarta:
Rajawali.
Zainuddin Ali, (2005), Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika.
Jurnal
Abdulsyani, Setiadi dan Kolip, dalam Yanuar Kusuma
Wardani, Yori Herwangi, Ahmad Sarwadi, Peran
Struktur Sosial Dalam Pembangunan Sarana
Prasarana Permukiman Perkotaan (Studi Kasus:
PLPBK Kelurahan Karangwaru Kecamatan Tegalrejo
Kota Yogyakarta), Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya
Praja, Vol. 44, No. 1, Oktober 2018.
Muhammad Tobar, M. Tahir Kasnawi, dan M. Ramli AT,
Hubungan Antar Strata Sosial dalam Masyarakat
Modern (Kasus Rampanan Kapa’ dalam Masyarakat
Tana Toraja), dalam Hasanuddin Journal of Sociology
(HJS), Volume 2, Issue 1, 2020.
Muhammad Yusran, Dinamika Sosial Kehidupan
Pengusaha Warung Makan, Jurnal Equilibrium
Pendidikan Sosiologi Volume III No. 2 November 2016.
Nazaruddin Lathif, Teori Hukum Sebagai Sarana/Alat
Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat,
Jurnal Pakuan Law Review Volume 3, Nomor 1,
Januari-Juni 2017.

197
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

Suryadi, Fungsi Hukum Sebagai Alat Dan Cermin


Perubahan Masyarakat, Journal of Rural and
Development, Volume I No. 2 Agustus 2010.

198
DIMENSI DAN KAITAN HUKUM STRUKTUR SOSIAL

Profil Penulis
Muhamad Sadi Is. Lahir di Desa Mandi
Aur Kecamatan Muara Kelingi
Kabupaten Musi Rawas pada tanggal 27
September 1985, putra pertama dari
pasangan Bapak Kimin dan Ibu Asiah.
Penulis menyelesaikan pendidikan S1
di Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah
Palembang selesai tahun 2009, S2 pada Program
Pascasarjana Universitas Sriwijaya dengan Bidang Kajian
Utama Hukum Bisnis selesai tahun 2012, sedangkan
S3/Doktor di Pascasarjana Universitas Sriwijaya dengan
konsentrasi Hukum Binis selesai tahun 2018. Sekarang
penulis sebagai dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Raden Fatah Palembang. Sedangkan buku-buku yang
telah dituliskan ialah: Etika dan Hukum Kesehatan Teori
dan Aplikasinya di Indonesia (Jakarta: Kencana, Tahun
2014), Hukum Perusahaan di Indonesia (Jakarta:
Kencana, Tahun 2015), Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta:
Kencana 2015), Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
(Malang: Setara Press 2016), Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia (Malang: Setara Press 2017), Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: Kencana, Tahun
2019), Hukum Kesehatan di Indonesia edisi kedua,
(Jakarta: Kencana, Tahun 2019). Hukum Administrasi
Negara (Jakarta: Kencana, tahun 2021), Aspek Hukum
Informasi di Indonesia (Jakarta: Kencana, tahun 2021),
Hukum Pemerintahan dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif (Jakarta: Kencana, 2021).

199
200
12
Norma Sosial, Kelompok Sosial,
Stratifikasi Sosial dan
Hubungannya Dengan Hukum

RENY HERONIA NENDISSA


Fakultas Hukum Universitas Pattimura

Norma Sosial
Setiap individu akan berinteraksi dengan individu lainnya
atau bahkan dengan kelompok lainnya. Dalam
membangun interaksi setiap individu atau kelompok
membutuhkan rasa aman, tentram damai dan tanpa
gangguan bahkan agar kepentingan masing – masing
dapat terjaga dengan baik. Setiap individu memahami apa
hak dan kewajiban dan itu dijalankan secara baik dan
bertanggungjawab. Menurut Zainal Asikin, tata itu lazim
disebut kaidah (berasal dari bahasa Arab) atau norma
(berasal dari bahasa latin) atau ukuran – ukuran.79
Kaidah atau norma adalah peraturan atau petunjuk hidup
yang menjelaskan perbuatan yang boleh dijalankan dan
perbuatan yang harus dihindari. Kaidah/Norma

79 Zainal Asikin, (2018), Pengantar Ilmu Hukum, Depok,


Rajawali Pers,hal.29
201
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam


masyarakat. 80

Norma sosial menurut Soerjono Soekanto adalah


peraturan yang berlaku di dalam masyarakat yang disertai
dengan sanksi baik individu atau kelompok apabila
melanggar aturan tersebut. Sanksi dapat berupa teguran,
denda, pengucilan, atau hukuman fisik. Untuk itu
individu wajib mematuhi norma yang telah dirumuskan.81
Norma sosial berfungsi untuk mengatur tingkah laku
masyarakat agar sesuai dengan nilai yang berlaku;
menciptakan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat;
membantu mencapai tujuan bersama masyarakat,
menjadi dasar untuk memberikan sanksi tehadap warga
masyarakat yang melanggar norma.
Klasifikasi Norma Sosial dapat dibedakan berdasarkan: 82
1. Sanksinya
Tata cara, kebiasaaan, tata kelakuan, adat adalah
bagian – bagian norma – norma sosial
2. Sumbernya :
a. Norma agama, yaitu ketentuan hidup yang
bersumber dari ajaran agama (wahyu dan
revelansi)
b. Norma kesopanan, ketentuan hidup yang berlaku
dalam interaksi social masyarakat;

80 Wiyono Hadi dan Iswono, (2007), Kewarganegaraan,


Jakarta,Ganeca Exact, hal.23
81 Soerjono Soekanto (2013), Suatu Pengantar, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, hal.174
82 Herabudin, (2015), Pengantar Sosiologi, Bandung, Pustana
Setia, hal.86

202
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

c. Norma kesusilaan, yaitu ketentuan yang


bersumber pada hati nurani, moral, atau filsafat
hidup
d. Norma kezaliman, yaitu aturan perilaku atau adat
kebiasaan melakukan sesuatu yang didasarkan
pada tradisi budaya
e. Norma hukum, yaitu ketentuan tertulis yang
belaku dari kitab undang – undang suatu Negara.
Menurut Zainal Asikin macam – macam kaidah social
dikenal luas ada 4 (empat), yaitu Norma (Kaidah) Agama,
Norma (kaidah) Kesusilaan), Norma (kaidah) Kesopanan,
Norma (Kaidah) Hukum.83
Pengaturan manusia sebagai makhluk sosial serta aspek
lahiriahnya adalah merupakan inti dari Hukum.
Hubungan hukum dan kaidah sosial lainnya dapat
dibedakan dari berbagai segi, yaitu segi tujuan adanya
kaidah itu, wilayah pengaturannya, asal kekuatan
mengikatnya, dan isi kaidah-kaidah tersebut.84 Perbedaan
dari hubungan tersebut dapatlah diuraikan sebagai
berikut :85
1. Dari segi tujuannya, norma hukum diadakan dalam
rangka mempertahankan bentuk kehidupan
bermasyarakat sebagai modus survival. Meskipun
hukum adakalanya mengatur kehidupan manusia
sebagai pribadi, pengaturan tersebut dimaksudkan
dalam rangka individu itu berinteraksi dengan
individu lainnya atau antara individu dengan
kelompok lainnya.

83 Zainal Asikin,Op.Cit,hal.29-31.
84 Peter Mahmud Marzuki, (2009), Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta, Kencana, hal.86.
85 Ibid

203
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

2. Dari segi wilayah yang diaturnya, hukum mengatur


tingkah laku lahiriah manusia. Sasaran pengaturan
hukum adalah tingkah laku lahiriah manusia, hukum
tidak akan bertindak manakala tindakan seseorang
tersebut tidak melanggar aturan hukum meskipun
batin orang tersebut sebenarnya ingin melakukan
tindakan yang melanggar hukum.
3. Dari segi asal kekuatan mengikatnya karena
ditetapkan oleh penguasa atau berkembang dari
praktik – praktik yang telah diterima oleh masyarakat.
Hal ini dapat dinyatakan bahwa kekuatan mengikat
hukum bukan tercipta secara
Menurut R Soeroso, hukum adalah himpunan peraturan
yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk
mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hukuman bagi yang melanggarnya.86
Unsur – unsur hukum meliputi :87
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam
bermasyarakat;
2. Peraturan tersebut dibuat oleh badan yang
berwenang;
3. Peraturan itu secara umum bersifat memaksa, dan
4. Sanksi dapat dikenakan bila melanggarnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

86 Zainal Asikin,Op.Cit,hal.14
87 Ibid,hal.28

204
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

Kelompok Sosial
Menurut Mayor Polak88 kelompok sosial adalah sejumlah
orang yang saling berinteraksi dalam sebuah struktur.
Selanjutnya menurut Abdulsyani membatasi kelompok
pada sejumlah sistem yang dapat menyebabkan kelompok
dapat dikatakan berstruktur, yaitu sebagai berikut :89
1. Sistem dari status para anggotanya, seperti sebuah
organisasi pemuda yang memiliki susunan pengurus
yang sifatnya hierarkhi;
2. Nilai dan norma yang berlaku dalam
mempertahankan kehidupan kelompoknya;
3. Peranan sosial (social role) yang merupakan aspek
dinamis dari struktur.
Menurut Robert K Merton, kelompok sosial merupakan
himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama,
bersifat mempengaruhi, dan saling menolong. Jadi
kelompok sosial diartikan sebagai kumpulan individu
yang saling memiliki hubungan dan saling berinteraksi
sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa kebersamaan
dan memiliki.90
Sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat
atau keinginan pokok, yaitu :91
1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain
di sekelilingnya (yaitu masyarakat);
2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya.

88 Abdulsyani, (2012), Sosiologi Kelompok Masalah Sosial,


Jakarta, Fajar Agung, hal.98
89 Ibid
90 Kamanto Sunarto, (2004), Pengantar Sosiologi, Jakarta,
Lembaga Penerbit Ekonomi Universitas Indonesia, hal.126.
91 Soerjono Soekanto, Op.Cit , hal.100.

205
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

Berdasarkan hal ini, maka semuanya itu menimbulkan


kelompok – kelompok sosial atau social group di dalam
kehidupan manusia, dan hal ini membutuhkan beberapa
persyaratan sebagai berikut :92
1. Adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok
bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang
bersangkutan;
2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu
dengan anggota yang lainnya;
3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga
hubungan antar mereka bertambah erat yang dapat
merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama,
tujuan yang sama, tujuannya yang sama, ideologi
politik yang sama dan lain-lain. Tentunya faktor
mempunyai musuh bersama dapat pula menjadi
faktor pengikat/pemersatu.
4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku;
5. Bersistem dan berproses.
Ciri – ciri kelompok sosial menurut D. A. Wila Huky 93

adalah sebagai berikut :


1. Terdiri atas paling sedikit dua orang dan dapat terus
bertambah jumlahnya;
2. Tidak selalu terbentuk karena memenuhi persyaratan
jumlah anggotanya yang terpenting diantara mereka
terdapat saling inteaksi dan komunikasi.
3. Komunikasi dan inteaksi yang merupakan unsur
pokok suatu kelompok harus bersifat timbal balik.

92 Ibid.
93 Herabudin, Loc.Cit, hal.161

206
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

4. Kelompok – kelompok tersebut dapat berlaku


sepanjang hidup atau jangka panjang, tetapi dapat
pula bersifat sementara atau jangka pendek;
5. Minat dan kepentingan bersama merupakan warna
utama pembentukan kelompok, namun
pembentukannya juga tanpa adanya persamaan
minat dan kepentingan.
6. Pembentukan kelompok berdasarkan situasi yang
beragam, yang dalam situasi itu manusia ditunutut
untuk bersatu.
7. Merupakan satu kesatuan dalam dirinya. Ia memiliki
warna dan ciri sendiri yang berbeda dari lainnya,
bahkan berbeda dengan anggotanya secara pribadi.
Sorjono Soekanto membatasi tipe kelompok sosial dalam
8 (delapan) tipe-tipe kelompok. Tipe-tipe kelompok sosial
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :94
1. Kelompok sosial dipandang dari sudut individu
Kelompok sosial biasanya didasarkan pada
kekerabatan, usia, seks, pekerjaan atau kedudukan.
Keanggotaan masing-masing kelompok sosial
memberikan kedudukan atau prestise tertentu yang
sesuai dengan adat istiadat dan lembaga
kemasyarakatan di dalam masyarakat.
2. In Group dan Out Group
Istilah In group dikemukakan oleh W. G. Sumer
sebagai lawan out group.95 Kelompok sosial
merupakan tempat individu mengidentifikasikan
dirinya sebagai in-group. Out Group diartikan sebagai
kelompok yang menjadi lawan dari in-group-nya. Sikap

94 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.104-132


95 Yusron Razak, (2008), Sosiologi Sebuah Pengantar,
Jakarta,Mitra Sejahtera, hal.96

207
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

out group selalu ditandai dengan suatu kelainan yang


selalu berwujud antagonis atau antipasti.
3. Kelompok Primer (Primary Group) dan Kelompok
Sekunder (Secondary Group).
Menurut Charles Horton Cooley,96 kelompok primer
adalah kelompok – kelompok yang ditandai ciri-ciri
mengenal antar anggotanya serta kerjasama erat yang
bersifat pribadi. Peleburan tujuan individu menjadi
tujuan kelompok adalah salah satu hasil hubungan
yang besifat erat dan pribadi. Kelompok sekunder
adalah kelompok – kelompok besar yang tediri atas
banyak orang yang sifat hubungannya tidak
berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga
4. Paguyuban (Gemeinschaft) dan Patembayan
(Geseelschaft)
Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama yang
anggota – anggotanya diikat oleh hubungan bathin
yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Contoh:
keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga, dan
sebagainya. Patembayan ikatan lahir yang bersifat
pokok untuk jangka waktu tertentu yang pendek.
Contoh : ikatan perjanjian kerja, birokrasi, perjanjian
dagang.
5. Formal Group dan Informal Group
Formal Group adalah kelompok yang mempunyai
peraturan yang tegas dan engaja diciptakan oleh
anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan antar
sesamanya. Contoh : Struktur di kantor, Sekolah,dll.
Informal Group adalah kjelompok yang tidak
mempunyai struktur organisasi yang pasti. Kelompok

96 Ibid,hal.110

208
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

– kelompok tersebut terbentuk karena pertemuan


yang berulang-ulang.
6. Membership Group dan Reference Group
Robert K Merton menyatakan bahwa membership
group adalah kelompok sosial yang setiap orang
secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut.
Reference Group adalah kelompok sosial yang menjadi
acuan seseorang (bukan anggota kelompok) untuk
membentuk pribadi dan perilakunya.
7. Kelompok Okupasional dan Volunteer
Kelompok Okupasional ini merupakan kelompok yang
tediri atas orang-orang yang melakukan pekerjaan
sejenis. Kelompok semacam ini sangat besar
peranannya dalam mengarahkan kepribadian
seseorang terutama para anggotanya. Kelompok
Volunteer ini mencakup orang – orang yang
mempunyai kepentingan yang sama tetapi tidsk
mendapatkan perhatian masyarakat yang semakin
luas jangkauannya.
8. Kelompok – kelompok Sosial yang tidak teratur
a. Kerumunan (Crowd)
Kerumunan merupakan kelompok sosial yang
bersifat sementara dan tidak terorganisasi.
Kerumunan dapat saja memiliki pemimpin tetapi
tidak mempunyai sistem pembagian kerja
ataupun sistem pelapisan sosial. Interaksinya
bersifat spontan dan tidak terduga.
b. Publik
Berbeda dengn kerumunan, public lebih
merupakan kelompok yang tidak merupakan
kesatuan. Inteaksi tejadi secara tidak langsung
melalui alat-alat komunikasi seperti pembicaraan

209
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

pribadi yang berantai, desas desus, surat kabar,


radio, televisi, dan sebagainya.
Stratifikasi Sosial
Seiring proses pertumbuhan masyarakat dapat
ditemukan terbentuknya lapisan masyarakat, baik
terbentuk dengan sendirinya atau bahkan sengaja
dibentuk.
Dalam sosiologi, pengelompokan masyarakat berdasarkan
tingkatan tertentu disebut dengan stratifikasi sosial.
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial secara umum
dapat diartikan sebagai pembedaan atau pengelompokan
anggota masyarakat secara vertikal. Stratifikasi sosial
merupakan gejala sosial yang sifatnya umum pada setiap
masyarakat.97
Menurut Astrid S Susanto, stratifikasi sosial merupakan
pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang
dimilikinya. Stratifikasi sosial merupakan hasil kebiasaan
hubungan antar manusia secara teratur dan tersusun
sehingga setiap orang mempunyai situasi yang
menentukan hubungannya dengan orang secara vertikal
ataupun horizontal dalam masyarakatnya.98
Bentuk – bentuk stratifikasi sosial dalam masyarakat, hal
ini disebabkan karena semakin kompleksnya kehidupan
masyarakat semakin kompleks pula bentuk – bentuk
stratifikasi yang ada. Adapun bentuk – bentuk stratifikasi
sosial adalah sebaai berikut :99

97
Soerjono Soekanto,Op.Cit.hal.197
98
Herabudin, (2015), Pengantar Sosiologi, Bandung,Pustaka Setia,hal.140
99
Ibid, hal.143-145

210
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

1. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Ekonomi


Stratifikasi ini dikenal dengan sebutan kelas sosial.
Kelas sosial dalam ekonomi didasarkan pada jumlah
pemilikan kekayaan atau penghasilan.
2. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Sosial
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria sosial adalah
pembedaan masyarakat dalam kelompok tingkatan
sosial berdasarkan status sosialnya. Anggota
masyarakat yang memiliki kedudukansosial yang
tehormat menempati kelompok lapisan tetinggi,
sebaliknya anggota masyarakat yang tidak memiliki
kedudukan sosial yang tehormat menempati
kelompok lapisan tetinggi.
3. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Politik
Pada stratifikasi bedasarkan kriteria ini menjadikan
masyarakat tebagi menjadi dua kelompok besar.
Kelompok lapisan atas, yaitu elite kekuasaan disebut
juga kelompok dominan (menguasai) dan kelompok
lapisan bawah, yaitu orang atau kelompok lapisan
bawah, yaitu orang atau kelompok masyarakat yang
dikuasai yang disebut massa atau kelompok
terdominasi.
4. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Sistem Nilai
Yang Belaku dan Berkembang.
Jenis pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang dapat
dijadikan sebagai dasar pembedaan dalam
masyarakat. Penggolongan masyarakat didasarkan
pada mata pencaharian atau pekerjaan adalah elite,
professional, semiprofessional, tenaga terampil,
tenaga tidak terdidik.

211
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

5. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Pendidikan


Kelas sosial dan pendidikan saling mempengaruhi.
Hal ini dikarenakan untuk mencapai pendidikan
tinggi diperlukan uang yang cukup banyak, selain
motivasi, kecerdasan, dan ketekunan. Oleh karena
itu, tinggi rendahnya pendidikan berpengaruh
terhadap jenjang sosial.
6. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Budaya Suku
Bangsa
Setiap bangsa pada dasarnya memiliki stratifikasi
social yang berbeda-beda. Misalnya di suku Jawa
terdapat stratifikasi social berdasarkan kepemilikan
tanah.
Faktor-faktor pembentuk terjadinya Stratifikasi Sosial,
yaitu :
1. Terjadi dengan sendirinya
2. Sengaja disusun untuk megejar tujuan bersama
3. Ada sesuatu yang dibanggakan
Stratifikasi Sosial dapat diukur berdasarkan beberapa hal
berikut ini, yaitu :
1. Kekayaan
2. Kehormatan
3. Kekuasaan
4. Keturunan
5. Kepandaian atau ilmu Pengetahuan
Dampak stratifikasi sosial dapat dijelaskan melalui cara
menyapa, bahasa, dan gaya bicara begitu juga
penyebutan gelar, pangkat atau jabatan dapat
memberikan petunjuk mengenai status seseorang dalam
masyarakat selain itu juga cara berpakaian adalah hal –

212
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

hal yang dapat dipahami sebagai dampak dari stratifikasi


sosial. Bentuk stratifikasi sosial itu menimbulkan dampak
berupa timbulnya kelas sosial yakni menggolongkan
masyarakat dalam kelompok sosial yang berbeda,
terjadinya kesenjangan sosial yang menunjukan
perbedaan jarak antara kelompok atas dan kelompok
bawah dan polarisasi power yang dapat diterjemahkan
sebagai pembagian kekuatan.
Hubungan Norma Sosial, Kelompok Sosial, Stratifikasi
Sosial dan Hubungannya Dengan Hukum
Hubungan norma/kaidah sosial, kelompok sosial dan
stratifikasi/lapisan sosial dengan hukum dapatlah
diuraikan bahwa dalam kehidupan sebagai individu,
manusia akan membangun interaksi dengan individu
lainnya dalam kehidupan bermasyarakat sebagai
makhluk sosial. Interaksi yang tejadi akan menimbulkan
tumbuhnya perasaan bersama, keinginan yang sama,
bekerja bersama, sehingga terbentuklah kelompok –
kelompok.
Kelompok- kelompok yang berinteraksi inilah yang
disebut dengan kelompok sosial karena merupakan
kumpulan atau himpunan manusia atau kesatuan
manusia yang memiliki hubungan dan saling
mempengaruhi. Kelompok ini dapat dipandang dari
berbagai sudut pandang pengelompokan baik yang dapat
dikelompokan secara teratur maupun kelompok –
kelompok yang terbentuk secara tidak teratur.
Pembentukan kelompok – kelompok ini dimulai dengan
beberapa hal yakni persepsi, perasaan, motivasi dan
tujuan yang sama dalam memenuhi kebutuhannya.
Keberadaan kelompok – kelompok sosial inipun
menimbulkan apa yang disebut dengan lapisan atau
strata sosial yang dikenal dengan startifikasi sosial. Hal

213
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

inipun dapat didasarkan pada unsur-unsur kedudukan


(status) dan peranan (role).
Terhadap ketiga hal ini yaitu kaidah sosial, kelompok
sosial dan lapisan sosial, kehadiran hukum adalah
memberikan peran penting dalam hubungan kesemuanya
itu. Hal ini karena sebagai kelompok yang selalu
melakukan interaksi maka kemungkinan munculnya
permasalahan sebagai akibat antara yang ideal dan yang
aktual.
Sebagaimana telah dijelaskan diawal bahwa kaidah atau
norma adalah peraturan atau petunjuk hidup yang
menjelaskan perbuatan yang boleh dijalankan dan
perbuatan yang harus dihindari. Kaidah/Norma
bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat.
Hukum bersifat mengatur dalam kehidupan kelompok
sosial dengan lapisan – lapisan sosial yang ada sebagai
acuan dalam melakukan hubungan bagi para pihak.
Hukum akan menjadi pemaksa apabila para pihak
menentukan dan melakukan hal lain diluar yang
disepakati. Hal inipun sebagai bagian dari mencapai
tujuan hukum yang bersifat universal adalah ketertiban,
ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan serta
kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.

214
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

Daftar Pustaka
Abdulsyani, (2012), Sosiologi Kelompok Masalah Sosial,
Jakarta, Fajar Agung.
Asikin, Zainal, (2018), Pengantar Ilmu Hukum, Depok,
Rajawali Pers
Hadi, Wiyono dan Iswono, (2007), Kewarganegaraan,
Jakarta, Ganeca Exact.
Herabudin, (2015), Pengantar Sosiologi, Bandung,
Pustana Setia.
Marzuki, Peter Mahmud, (2009), Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta, Kencana.
Razak, Yusron, (2008), Sosiologi Sebuah Pengantar,
Jakarta, Mitra Sejahtera.
Soekanto, Soerjono, (2013), Suatu Pengantar, Jakarta,
RajaGrafindo Persada.
Sunarto, Kamanto, (2004), Pengantar Sosiologi, Jakarta,
Lembaga Penerbit Ekonomi Universitas Indonesia.

215
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

Profil Penulis

Reny Heronia Nendissa. Ketertarikan penulis


terhadap ilmu hukum dimulai pada tahun 1994
silam. Hal tersebut membuat penulis memilih
untuk masuk ke Fakultas Hukum Universitas
Pattimura pada Bagian Hukum Tata
Negara/Hukum Administrasi Negara dan
berhasil menyelesaikan studi S1 pada tahun
1999. Tahun 2001 diterima sebagai Dosen Tetap pada Fakultas
Hukum Universitas Pattimura, dan pada tahun 2005 Penulis
melanjutkan pendidikan ke Program Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar
–Bali dan berhasil menyelesaikan studi S2 pada Tahun 2009.
Setelah berhasil menyelesaikan studi S2, maka Tahun
berikutnya yaitu Tahun 2010 penulis melanjutkan Program
Studi Ilmu Hukum S3 pada Program Doktor Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Surabaya, dan berhasil menyelesaikan
studinya pada tahun 2015. Penulis sekarang menjabat sebagai
Ketua Bagian Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Pattimura. Selain itu menjabat
sebagai Ketua Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi Fakultas
Hukum Universitas Pattimura.
Penulis memiliki kepakaran dibidang ilmu hukum khususnya
Hukum Tata Negara /Hukum Administrasi Negara dan untuk
mewujudkan karir sebagai dosen profesional, penulis pun aktif
sebagai peneliti dibidang kepakarannya tersebut. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan didanai oleh internal perguruan
tinggi dan juga Kemenristek DIKTI.
Email Penulis: yreenn@yahoo.com

216
NORMA SOSIAL, KELOMPOK SOSIAL, STRATIFIKASI SOSIAL
DAN HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM

217

Anda mungkin juga menyukai