MAHKAMAH KONSTITUSI
DAN
KEPASTIAN HUKUM PEMILU
Editor:
Luqman Hakim
Rian Adhivira Prabowo
Unu P. Herlambang
i
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
KATA PENGANTAR
Sebagai pribadi yang pernah menjabat sebagai Komisioner di Komisi Pemilihan Umum dan
seringkali harus menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan pelaksanaan
tugasnya sebagai penyelenggara Pemilu, dalam berbagai perkara penyelesaian sengketa
Pemilu ataupun pengujian terhadap Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah Pemilu,
maka pengetahuan Dr. Ida Budhiati tentang Mahkamah Konstitusi dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu beserta pengaturannya tidak perlu diragukan
lagi. Hal tersebut tertuang secara rinci dengan kalimat yang sederhana dan mudah dipahami
bagi mereka yang membaca buku ini.
Buku yang berjudul “Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu” ini dimulai
dengan Bab I mengenai “Menuju Cita Hukum yang Demokratis: Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945, Lahirnya Mahkamah Konstitusi dan Pembaharuan Pengaturan Pemilu”, yang
mengetengahkan mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian
melahirkan lembaga negara yang disebut Mahkamah Konstitusi, yang dimulai dengan
berkembangnya praktik pengujian undang-undang (yudicial review) di Supreme Court
Amerika Serikat, hingga sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia melalui
perdebatan yang dimulai sejak pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang
BPUPKI, sampai perdebatan di Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, pada
saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (1999-2002). Dalam Bab ini
dikemukakan juga hal-hal yang berkaitan dengan perubahan Sistem Pemilu, khususnya dalam
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang bersifat langsung.
Dalam Bab-Bab selanjutnya, buku ini mengemukakan juga secara berturut-turut pada Bab II:
Putusan MK tentang Kelembagaan Penyelenggara Pemilu, Bab III: Putusan MK tentang
Pemilu Lembaga Perwakilan, Bab IV: Putusan MK tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, Bab V: Putusan MK tentang Pilkada, dan diakhiri dengan Bab VI: Putusan MK
untuk Kepastian Hukum Pemilu. Dari pemaparan mengenai berbagai jenis Putusan
ii
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Mahkamah Konstitusi tersebut, sekali lagi saya harus mengajukan apresiasi saya yang
setinggi-tingginya kepada mbak Ida yang telah menuangkan Putusan-Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah Pemilu.
Apresiasi ini saya kemukakan, oleh karena sebagai orang yang pernah duduk dan ikut
mengambil bagian dalam pembentukan Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi, saya bahkan
tidak tahu berapa banyak pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan pernah
diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan berbagai jenis permasalahannya.
Sebagai pribadi yang pernah menduduki jabatan sebagai Komisioner di Komisi Pemilihan
Umum dan sekarang menjabat sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,
dapat dipastikan mbak Ida sebagai penyusun buku ini sangat memahami berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan Pemilu yang dapat menimbulkan berbagai macam
sengketa Pemilu yang memerlukan suatu penanganan. Selain itu, dengan adanya berbagai
macam pengujian Undang-Undang yang mengatur tentang Pemilu yang tentu akan berkaitan
dengan tugas dan kewajibannya, maka buku ini menjadi bukti keterikatan dan kesungguhan
Penyusun dalam melaksanakan amanah tersebut.
Ada 10 (sepuluh) klasifikasi Putusan MK yang dianggap penting oleh Penyusun, yaitu, (1)
Penyelenggara Pemilu mandiri, (2) Perlindungan hak pilih, (3) Syarat partai politik peserta
Pemilu, (4) Syarat calon anggota DPR dan DPRD, (5) Syarat calon anggota DPD, (6)
Pengumuman Penghitungan Cepat, (7) Metode penetapan calon terpilih Pilpres, (8) Calon
perseorangan Pilkada, (9) Pasangan calon tunggal Pilkada, dan (10) Desain Pemilu serentak 5
kotak suara. Menurut Penyusun, Putusan-putusan MK yang termuat dalam 10 (sepuluh)
klasifikasi tersebut dapat merupakan landasan pengaturan untuk penyelenggaraan Pemilu
selanjutnya. Oleh karena itu, di halaman-halaman akhir buku ini Penyusun menyatakan
bahwa, “Undang-Undang Pemilu sebagai produk politik menggambarkan karakter hukum
yang tidak terlepas dari pengaruh kekuatan sosial politik sehingga rumusan pengaturannya
berpotensi menimbulkan problem hukum Pemilu. Putusan-putusan MK memberikan
feedback kepada pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu untuk menjamin terwujudnya
kepastian hukum dan keadilan Pemilu.”
Sebagai akhir Kata Pengantar buku ini, perkenankanlah saya mengucapkan Selamat atas
terbitnya buku dengan judul “Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu” ini. Saya
merekomendasikan agar buku ini menjadi salah referensi bagi para mahasiswa, pengajar, dan
mereka yang ingin memahami hal-hal seputar Pemilu serta Pengaturan dan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan Pemilu. Semoga penerbitan buku ini akan
disusul dengan buku-buku lainnya dan akhirnya saya ucapkan kepada mbak Ida, “Selamat
menjalankan tugas negara di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan tugas-tugas
selanjutnya”. Semoga Tuhan selalu melindungi dan menyertai dalam pengabdian selanjutnya.
iii
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Daftar Isi
Sambutan Prof. Dr. Mahfud MD, SU
Kata Pengantar Prof. Dr. Jimly
Kata Pengantar Dr. Harjono, S.H., M.C.L.
Kata Pengantar Prof. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
Prakata Penulis
iv
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
v
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Daftar Pustaka
vi
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
1
MENUJU CITA HUKUM YANG DEMOKRATIS: PERUBAHAN UNDANG-
UNDANG DASAR 1945, LAHIRNYA MAHKAMAH KONSTITUSI, DAN
PEMBAHARUAN PENGATURAN PEMILU
Bab ini membahas konteks perubahan UUD 1945 yang diniatkan untuk mengatasi sejumlah
kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 pra-amandemen. Perubahan tersebut kemudian
disertai dengan kemunculan Mahkamah Konstitusi sebagai satu lemabaga tersendiri yang
memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review beserta dengan ragam
intrepretasinya. Bab ini juga membahas perubahan pengaturan sistem pemilu maupun
penyelenggaraan pemilu. Terakhir, bab ini menjelaskan klasifikasi atas putusan-putusan PUU
yang menjadi pokok bahasan dalam buku ini.
Arah kebijakan perubahan pertama naskah UUD 1945 melakukan penataan sistem pemilu
dan demokrasi, memperkuat sistem presidensial dan membangun check balance kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Bahkan mekanisme check dan balances juga dibangun dalam struktur
kekuasaan legislatif yaitu membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mekanisme check
dan balance kekasaan eksekutif dan legislatif antara lain dapat dilihat dalam Perubahan
pertama UUD 1945, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) mengatur Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan rakyat. Selanjutnya Pasal 20 ayat (1)
dan (2) mengatur DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untum mendapat persetujuan bersama.
Kebijakan mewujudkan sistem pemerintahan demokratis, dilanjutan pada perubahan ketiga
UUD 1945 yang berdasarkan hasil pembahasan dirumuskan Pasal 1 Ayat (2), kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sejalan dengan
paham kedaulatan rakyat, sistem Pemilihan Umum secara langsung tidak hanya untuk
memilih Anggota DPR, DPD dan DPRD, namun juga dalam Pemilu Presiden dan Wakil
1
Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku I, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan
UUD 1945. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 4-5
1
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Presiden. Selengkapnya Ketentuan Pasal 6A ayat (1) menyebutkan Presiden dan Wakil
Presiden dilipih secara langsung oleh rakyat.
Pada aspek kelembagaan, yang terpenting adalah mengenai hakikat kekuasaan yang
diorganisasikan dalam struktur ketatanegaraan. Apa dan siapakah yang memegang kekuasaan
tertinggi atau yang disebut sebagai pemegang kedaulatan dalam Negara.2 Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD.” Kedaulatan rakyat yang menjadi dasar pelaksanaan demokrasi, oleh UUD
NRI 1945 telah diatur cara pelaksanaannya dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Demokrasi langsung diejawantahkan dengan pelaksanaan pemilihan umum,
sedangkan demokrasi tidak langsung adalah pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh
UUD NRI 1945 kepada lembaga-lembaga negara yang implementasinya harus mendasarkan
pada ketentuan UUD NRI 1945.
Diketahui bahwa dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan
melalui dua pilihan cara, yaitu melalui pembagian kekuasaan (distribution atau division of
power) atau sistem pemisahan kekuasaan (separation of power).3 Dalam sistem pembagian
kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke
bawah kepada lembaga-lembaga tinggi Negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan
rakyat. Sistem ini pernah diterapkan pada era Orde Baru yang mendudukkan MPR sebagai
lembaga tertinggi Negara sekaligus sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat. Sedangkan
pada sistem pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan
ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan
saling mengimbangi (checks and balances).4 Dalam pemerintahan yang bersistem pemisahan
kekuasaan, harus terdapat mekanisme checks and balances dari sesama lembaga negara.
Sistem pemisahan kekuasaan dengan adanya prinsip checks and balances inilah yang kini
diterapkan pada era Reformasi pasca perubahan UUD 1945.
Terdapat beberapa materi strategis/pokok yang telah disempurnakan MPR pada saat
melakukan perubahan UUD 1945. Pertama, aturan dasar mengenai tatanan negara sesuai
dengan Pembukaan UUD 1945. Kedua, aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang disertai perluasan partisipasi rakyat sesuai dengan perkembangan
paham demokrasi. Ketiga, aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi
manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia
yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum. Keempat, aturan dasar mengenai
penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian
kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and
balances) yang lebih ketat dan transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara baru
untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman. Kelima,
aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan
kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan
2
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 (Yogyakarta:
FH UII Press, 2004), hal. 9.
3
Ibid., hal. 35.
4
Ibid., hal. 11
2
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan bangsa yang sejahtera. Keenam,
aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan
perjuangan mewujudkan demokrasi. Ketujuh, aturan dasar mengenai kehidupan bernegara
dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa
dan negara Indonesia sekaligus mengakomodasi kecenderungannya di masa yang akan
datang.5
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan pada SU MPR 1999 yang berlangsung pada 14-21
Oktober 1999. Proses pembahasan perubahan dilakukan oleh PAH III BP MPR yang diberi
tugas khusus membahas dan merumuskan rancangan perubahan UUD 1945. Perubahan
Pertama UUD 1945 terfokus pada tiga materi pokok terdiri atas 9 pasal dan 13 ayat. Tiga
materi pokok itu adalah: 1. Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; 2. Bab tentang
Kementerian Negara; 3. Bab tentang Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan Kedua UUD
1945 yang disahkan dalam ST MPR 2000 terdiri dari 25 pasal dan 51 ayat. Beberapa materi
baru dalam Perubahan Kedua UUD 1945 antara lain mengenai pemerintahan daerah, hak
asasi manusia (HAM), wilayah Negara, dan atribut negara. Perubahan tersebut terdiri dari 7
(tujuh) materi pokok, yaitu: 1. Bab tentang Pemerintahan Daerah; 2. Bab tentang Dewan
Perwakilan Rakyat; 3. Bab tentang Wilayah Negara; 4. Bab tentang Warga Negara dan
Penduduk; 5. Bab tentang Hak Asasi Manusia; 6. Bab tentang Pertahanan dan Keamanan
Negara; 7. Bab tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Perubahan Ketiga UUD 1945 terdiri dari 23 pasal dan 64 ayat. Dalam Perubahan Ketiga ini
terdapat beberapa materi atau hal baru, antara lain pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
pemilihan umum, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Cakupan materi
pokok dalam Perubahan Ketiga ini yaitu: 1. Bab tentang Bentuk dan Kedaulatan; 2. Bab
tentang Majelis Pemusyawaratan Rakyat; 3. Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; 4.
Bab tentang Dewan Perwakilan Daerah; 5. Bab tentang Pemilihan Umum; 6. Bab tentang Hal
Keuangan; 7. Bab tentang Badan Pemeriksa Keuangan; 8. Bab tentang Kekuasaan
Kehakiman. Perubahan keempat memuat materi pelaksanaan tugas kepresidenan,
pembentukan dewan pertimbangan presiden dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), perihal bank sentral, kewajiban warga negara mengikuti pendidikan dasar dan
kewajiban pemerintah membiayainya, serta sistem jaminan sosial. Terkait dengan pemilihan
umum presiden dan wakil presiden, dirumuskan dalam Pasal 6A ayat 4 yang pada pokoknya
mengatur metode penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih.
Secara garis besar, menurut Denny Indrayana, proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945
tersebut dapat dijelaskan sebagai upaya untuk mengatasi beberapa masalah yang terdapat
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kelemahan tersebut antara lain: kekuasaan yang terlalu
terpusat pada eksekutif, tidak jelasnya sistem check and balances, terlalu banyak pelimpahan
5
Sekretariat Jenderal MPR RI, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Sejarah, Realita, dan
Dinamika, (Jakarta: Setjen MPR RI, 2006), hal. 51-52.
3
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
kewenangan, pasal-pasal yang ambigu, ketergantungan pada “good will” aktor alih-alih pada
sistem, dan mengatasi kekosongan hukum.6
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar 1945
yang muncul dengan desakan reformasi untuk mengakhiri rezim Orde Baru untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Pergeseran rezim ini ditandai pula
dengan perubahan dalam hal struktru tata negara dengan munculnya lembaga-lembaga negara
baru dengan tugas dan wewenangnya. Setidaknya terdapat ada dua poin yang menjadi pokok
pembahasan dalam buku ini. Pertama adalah kemunculan Mahkamah Konstitusi [1.2.]
sebagai lembaga dengan kewenangan besar untuk “menafsirkan” Undang-Undang Dasar
1945 dalam pengujian undang-undang. Dalam perannya sebagai guardian of the constitution
itulah Mahkamah dihadapkan dengan permohonan pengujian undang-undang yang berkenaan
dengan aspek pertama. Demikian, buku ini memaparkan penafsiran-penafsiran Mahkamah
Konstitusi untuk menjaga kepastian hukum pemilu. Atas keperluan tersebut, maka buku ini
akan mengulas pula beberapa ragam intrepretasi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
yang dalam praktiknya memberikan penafsiran sosiologis, teleologis, dalam kapasitasnya
sebagai negative maupun positive legislator. Aspek kedua mengenai Pemilu yang bersih dan
penyelenggara yang independen. Aspek yang juga muncul dari desakan gerakan mahasiswa
ini membawa dampak berupa perubahan baik dari segi sistem maupun penyelenggaranya
yang masing-masing dibahas pada bagian [1.3.]. Untuk memberikan konteks, maka dalam
bagian tersebut akan dibahas pergeseran yang terjadi itu, bagaimana perubahan-perubahan
pengaturan baik terhadap sistem maupun penyelenggara ditujukan dalam cita pemilu dan
penyelenggara yang bersih dan demokratis.
Praktik judicial review kembali terjadi dan dipertegas oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat (The Supreme Court United States of America) ketika memutus perkara Marbury v.
Madison tahun 1803. Dalam putusannya John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung
(chief justice) menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar gugatan William
Marbury terhadap James Madison adalah bertentangan dengan Article III Section 2
6
Disamping juga beberapa permasalahan lain, diantaranya: alasan teoritis, alasan historis, dan alasan praktis,
yang pada pokoknya menunjukkan muatan “otoritarian” dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Lihat dalam
Denny Indrayana. Indonesian Constitutional Reform 1999-2002, An Evaluation of Constitution-Making in
Transition. Thesis Doktoral di University of Melbourne. 2005. Hlm 92-101.
4
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Konstitusi Amerika Serikat, sehingga dalam memeriksa perkara tersebut Mahkamah Agung
menggunakan pintu kewenangan yang ditafsirkan dari konstitusi, yang mana dengan
menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi,
John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang
bertentangan dengan konstitusi.. Peristiwa tersebut melatarbelakangi lahirnya gelar sebagai
lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), yang melekat pada Mahkamah
Agung. Kedudukan Mahkamah Agung berfungsi sebagai negative legislature, dan hakim-
hakimnya berkedudukan sebagai judge made law, karena mereka berwenang menemukan dan
menginterpretasikan suatu aturan hukum dengan sandaran konstitusi.
Secara teoritis, gagasan mengenai pelembagaan pengujian konstitusional atau judicial review
di Austria dilontarkan oleh Georg Jellinek (akhir abad ke 19). Ia menggagas pelembagaan
fungsi constitutional review ke dalam tubuh Mahkamah Agung Austria.7 Kemudian oleh
Hans Kelsen gagasan tersebut dikembangkan dan keberadaan Mahkamah Konstitusi baru
dikenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-
1973).8 Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk
menguji apakah suatu produk hukum konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya
jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusus yang
disebut Mahkamah Konstitusi (MK).
“...Tuan Ketua yang termulia, ...dst. agar Mahkamah Agung melakukan kekuasaan
kehakiman dan membanding UU supaya sesuai dengan hukum adat, hukum Islam
(Syariah) dan dengan UUD dan melakukan aturan pembatalan UU, pendapat Balai
Agung --maksudnya Mahkamah Agung-- disampaikan kepada Presiden, yang
mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan ..., dst.”
“... Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga
hendaklah menjadi badan yang membanding apakah UU yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan, tidak melanggar UUD republik atau bertentangan dengan hukum adat
yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam. Jadi, dalam
7
Jimly Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hal. 24.
8
Gagasan Hans Kelsen mengenai pembentukan sebuah lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung itu
kemudian menemui momentumnya manakala ia ditunjuk sebagai Chancelery (Anggota Tim Penasehat
Penyusun Konstitusi Austria pada tahun 1919). Konstitusi yang mulai disusun tahun 1919 itu sendiri kemudian
berhasil dirampungkan dan disahkan sebagai Konstitusi pertama Autria pasca berpisah dari Kekaisaran Austro-
Hongarian setelah Perang Dunia I pada tanggal 1 Oktober 1920 dengan nama resmi
Bundesverfassungsgesetz (Konstitusi Federal Austria). Lihat Herbert Hemauniger, The Austrian Legal System,
Manzsche Verlagsund Universitat Buchhandlung, Wien, 2003, hal. 139.
5
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Mahkamah Tinggi itu, hendaknya dibentuk badan sipil dan kriminil, tetapi juga
Mahkamah Adat dan Mahkamah Islam Tinggi, yang pekerjaannya tidak saja
menjalankan kehakiman tetapi juga membanding dan memberi laporan tentang
pendapatnya kepada Presiden Republik tentang segala hal yang melanggar hukum
dasar, hukum adat dan aturan syariah; Tentang usul-usul yang lain, yang berhubungan
dengan fasal-fasal, nanti saya laporkan kalau kita telah membicarakan pasal-pasal
satu-persatu. Saya harap Tuan Ketua yang terhormat, supaya pembicaraan saya ini
dapat diterima ..., dst.”9
Meskipun pada akhirnya ide dari Yamin tersebut ditolak oleh peserta sidang, terutama oleh
Soepomo, namun setidaknya sejarah telah mencatat bahwa para founding fathers bangsa ini
pernah menggagas konsep tentang peradilan konstitusional untuk menilai kebasahan suatu
undang-undang terhadap konstitusi.
Pada masa reformasi, ide mengenai kewenangan judicial review pada lembaga yudisial
muncul sejak 1999 yang diusulkan oleh Hamdan Zoelva dan Valina Singka Subekti.10
Pertanyaan yang muncul pada pembahasan tersebut adalah, apakah Mahkamah Agung perlu
untuk memiliki kewenangan judicial review. Fraksi Golkar dan perwakilan militer dan
kepolisian menolak usulan tersebut karena undang-undang adalah produk hasil dari
perwakilan. Sebaliknya, Fraksi PBB dan PKB mendukung usulan tersebut dengan penekanan
pada perimbangan kekuasaan.11
Pembahasan lebih lanjut baru muncul pada saat amandemen ketiga UUD NRI 1945 dengan
salah satunya dipengaruhi oleh pemakzulan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan
latar belakang demikian, Fraksi PDIP mendukung untuk dibuatnya satu lembaga tersendiri
yang salah satu kewenanganya adalah untuk melakukan judicial review.12 Usulan tersebut
juga mendapat dukungan dari YLBHI dan beberapa perguruan tinggi. Mahkamah Agung
menyatakan pendapatnya untuk apakah kewenangan tersebut diberikan kepada mereka atau
kepada lembaga baru berupa mahkamah konstitusi. Demikian juga usulan dari Tim Ahli PAH
1 BP MPR yang diketuai oleh Jimly Asshidiqie, yang mengusulkan pembentukan Mahkamah
Konstitusi yang setara namun terpisah dari Mahkamah Agung.13 Akhirnya, pada sidang
tahunan MPR tanggal 9 November 2001 diputuskan tentang amandemen ketiga terhadap
UUD NRI tahun 1945.14 Salah satu hasil dari amandemen ketiga tersebut adalah masuknya
pasal 24C tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga baru, Mahkamah Konstitusi
langsung diamanahi beberapa wewenang dan kewajiban penting untuk mengawal konstitusi
(the guardian of constitusion), yaitu: (1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
9
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang disusun kembali oleh Sekretariat Negara, Penyunting,
Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Jakarta, 1998, hal. 318-333.
10
Fritz Edward Siregar. Indonesian Constitutional Politics 2003-2013. Thesis Doktoral di Faculty of Law
UNSW, 2016. Hlm 53.
11
Ibid hlm 54.
12
Ibid hlm 55-6. Dengan terutama melihat pada model Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Lihat juga dalam
Op Cit. Denny Indrayana hlm 178.
13
I D.G. Palguna. Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara
Lain. Konpress. Jakarta. 2018. Hlm 80-1.
14
Jimly Ashiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok
Gramedia, 2009), hal. 304-305
6
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus
perselisihan hasil pemilihan umum. Dari sekian kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi, buku ini berfokus semata pada kewenangan untuk melakukan judicial review
yang secara lebih spesifik lagi, pengujian terhadap pengaturan yang berhubungan dengan
Pemilu sebagaimana dijelaskan dalam bagian [1.4] buku ini.
Selain itu, terdapat pula sarjana hukum yang melakukan pembagian tipologi putusan
berdasarkan pada metode penafsirannya. Safaat et al misalnya, membagi menjadi tiga pola
antara lain originalis, non-originalis, dan naturalis.19 Tipe yang pertama menitik beratkan
pada maksud dan tujuan awal pembuat konstitusi.20 Tipe yang kedua, non-originalis, melihat
15
Hans Kelsen. Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange, Ltd. Clark, New Jersey. 2005. Hlm. 268, 272,
277. Lihat juga; Hans. Kelsen. Judicial Review of Legislation: A Comparative Study of the Austrian and
American Constitution. The Journal of Politics, 4 (2), 1942.
16
Meskipun secara teoritik istilah ini masih dapat diperdebatkan, apakah Mahkamah Konstitusi melalui
putusanya melakukan “penemuan hukum” (rechtsvinding) atau “membuat hukum” (judge made law).
17
Martitah. Mahkamah Konstitusi, dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Konpress. Jakarta. 2013.
Hlm 175-6.
18
Op Cit. Fritz Edward Siregar. Hlm 208-9.
19
Muchammad Ali Safaat, Aan Eko Widiarto, Fajar Laksono Suroso. Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2009-2013. Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 2, Juni 2017.
20
ibid hlm 240.Yang dapat dibagi lagi menjadi tiga; tekstual yaitu berdasarkan kepada pernyataan-pernyataan
yang dituliskan, historikal yaitu melalui analisa sejarah penyusunan konstitusi, dan yang melihat sebagai suatu
sistem yang harmonis atau fungsional.struktural.
7
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
konstitusi dalam konteks modern.21 Terakhir, naturalis melihat pada secara kodratiah.22
Tipologi yang lain lagi juga dibuat oleh Bisariyadi et al yang dalam studinya, berdasarkan
pada tipe pengujian norma adalah dengan (i) mengutip pasal Undang-Undang Dasar tanpa
menjelaskan makna lebih lanjut, (ii) menyebutkan prinsip atau nilai konstitusi sebagai dasar
pengujian tanpa menyebut secara spesifik pasal dalam Undang-Undang Dasar yang menjadi
batu uji, dan (iii) tidak menyebutkan dasar pengujian norma dan langsung menyimpulkan
konstitusionalitas suatu norma.23 Selanjutnya, tipologi putusan berdasarkan pada penelitian
dari Saldi Isra et al yang membagi kontur putusan Mahkamah Konstitusi dalam dua bagian:
(i) yang bercorak positivistik baik yang sosiologis maupun yuridis, dan (ii), yang bersifat
progresif.24
Tipologi sebagaimana disebutkan diatas dapat dijumpai dalam putusan-putusan yang terdapat
dalam buku ini. Dalam hal putusan yang bersifat positive legislature misalnya, dapat
dijumpai dalam pengujian norma perihal pencalonan mantan terpidana tindak pidana dengan
ancaman pidana lima tahun atau lebih sebagaimana terdapat dalam Putusan Nomor 14-
17/PUU-V/2007, 4/PUU-VII/2009, dan 43/PUU-XIII/2015. Dalam tiga putusan tersebut
Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran “konstitusional bersyarat” dengan memberikan
penafsiran “baru” mengenai syarat pencalonan mantan terpidana. Bahkan apabila dilihat dari
jenis amarnya, terlihat pula pola pencantuman “konstitusional bersyarat” tersebut dimana
pada putusan pertama,25 penafsiran norma baru hanya muncul pada bagian pertimbangan
sedangkan pada putusan yang lain masuk dalam bagian amar putusan.
Dalam perkembanganya nampak pula bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah selalu
bersifat statis. Dalam beberapa putusan, terlihat dinamika Mahkamah Konstitusi yang
memberikan penafiran berbeda dari putusan sebelumnya dalam pengujian norma yang sama.
Salah satunya adalah soal putusan tentang hak mencalonkan diri bagi mantan terpidana
sebagaimana terdapat dalam paragraf diatas. Selain itu, perubahan sikap Mahkamah
Konstitusi juga muncul dalam norma lain seperti pengujian norma kewenangan penyelesaian
perselisihan hasil Pilkada sebagaimana terdapat dalam Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004
dan 97/PUU-XI/2013. Tapi tentu tidak dapat juga dikatakan Mahkamah Konstitusi terus
melakukan judicial activism. Dalam topik lain seperti pengujian norma syarat calon DPD
21
Ibid hlm 241. Yang dapat dibagi lagi menjadi tiga: doktrinal yang berdasarkan pada praktik yang telah terjadi,
prudential atau berdasarkan pada kepentingan dan faktor eksternal, dan etikal atau berdasarkan pada
keseimbangan antar kepentingan.
22
Loc cit
23
Bisariyadi, Intan Permata Putri, Ananthia Ayu Devitasari, Titis Anindyajati, Alia Harumdani Widjaja,
Mohammad Mahrus Ali, Meyrinda Rahmawaty Hilipito. Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2016. Hlm 89.
24
Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, Edita Elda. Hasil Penelitian
Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (dari Berpikir Hukum Tekstual ke
Hukum Progresif). Mahkamah Konstitusi & PUSaKO FH Universitas Andalas. 2010.
25
Dinyatakan secara terang dalam pertimbangan bahwa “Mahkamah terikat oleh ketentuan Pasal 56 UU MK
yang menentukan hanya ada 3 (tiga) kemungkinan amar putusan […] amar putusan tidak dapat dimasukkan ke
dalam salah satu dari tiga kemungkinan bunyi amar putusan tersebut. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan adalah
dengan menyatakan dalam Pertimbangan Hukum putusan ini […]” lihat dalam Putusan 14-17/PUU-V/2007 hlm.
133.
8
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dan 30/PUU-XVI/2018 dimana dalam dua putusan
tersebut Mahkamah Konstitusi konsisten dalam melakukan penafsiran.
Dalam tipologi yang lain dapat pula dikatakan bahwa terdapat putusan progresif yang atas
nama keadilan substantif mengesampingkan asas hukum sebagaimana terdapat dalam
Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang mengesampingkan asas non-
retroaktif. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menitikberatkan pada kemanfaatan
dimana apabila putusan a quo diterapkan secara prospektif justru tidak akan menghasilkan
kemanfaatan sebagaimana diharapkan. Terhadap pemaknaan teksnya, Mahkamah Konstitusi
juga tidak terpaku pada satu metode tafsir tertentu. Salah satunya ada pada Putusan Nomor
97/PUU-XI/2013 yang dalam pertimbanganya menyatakan menggunakan penafsiran original
intent. Terhadap putusan tersebut terdapat dissenting opinion oleh Arief Hidayat
menyebutkan bahwa seharusnya penafsiran original intent tersebut tidaklah bersifat absolut.
Pandangan tersebut muncul dalam Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang secara terang
menyatakan bahwa tinjauan historis tidak dimaksudkan untuk “[…] mengabsolutkan
penafsiran sejarah […]”.26
Singkatnya, Mahkamah Konstitusi tidaklah terpaku dalam satu metode penafsiran tertentu
melainkan bersifat kasuistik dengan melihat pada berbagai pertimbangan. Dari sekian ragam
penafsiran tersebut setidaknya satu pola yang berulang muncul dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi, yaitu kesetiaanya untuk menjelaskan relevansi pertimbanganya
dengan nilai HAM dan demokrasi yang berdampak pada kepastian hukum. Demikian, setiap
putusan sebagaimana dipaparkan dalam buku ini juga diletakkan dalam konteks itu, dinamika
Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya untuk kepastian hukum Pemilu.
UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengatur pengisian jabatan lembaga negara melalui
mekanisme pemilihan umum. Namun, dalam praktiknya, anggota DPR/MPR dan anggota
DPRD sebelum perubahan UUD 1945 dipilih melalui pemilihan umum.27 Sementara itu,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Kedudukan Presiden sebelum amandemen
UUD 1945 adalah sebagai mandataris MPR yang berkewajiban melaksanakan putusan-
putusan serta memberikan laporan pertanggungjawaban terkait putusan-putusan tersebut.
26
Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 hlm 38.
27
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 - BUKU 5, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010.
9
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Dalam kedudukannya, MPR merupakan penjelmaan dari rakyat, maka ketentuan Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945 pra-amandemen berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung telah bergulir dan menjadi
topik perdebatan di masyarakat. Perdebatan itu, terutama seputar apakah pasangan Presiden
dan Wakil Presiden tetap dipilih oleh MPR sebagaimana Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 ataukah
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum. Demikian halnya dalam
Rapat BP MPR ke-2 pada 6 Oktober 1999, wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung sempat mengemuka. Salah satunya Hamdan Zoelva yang pada saat itu
sebagai juru bicara F-PBB, yang mengusulkan untuk meninjau kembali keberlakuan
Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.28 Usulan tersebut selanjutnya disambut oleh Vincent Radja dari F-KKI, yang
mengatakan:
“Tata cara pemilihan Presiden perlu adanya pemikiran baru tentang TAP MPR No.
II/MPR/1973 yang intinya tata cara pemilihan Presiden yang menghasilkan legitimasi
yang luas. Tata cara pemilihan Presiden yang memberikan gambaran hasil Pemilu
dengan hasil pemilihan Presiden. Perlu dipikirkan Presiden dan Wakil Presiden dibuat
satu paket untuk menggambarkan kesatuan politik dalam menyongsong pemerintahan
yang baru. Untuk masa depan dan menciptakan checks and balances maka presiden
dapat dipilih langsung dalam pemilu sehingga kepala-kepala daerah dapat dipilih
langsung juga oleh rakyatnya di daerah masing-masing.”29
Sedangkan Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyinggung soal perlunya perubahan tata
cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menjadi lebih terbuka dan demokratis.30
Sementara dari F-UG, Valina Singka Subekti menyampaikan usulan terkait pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dalam agenda perubahan UUD 1945, yaitu:
Pembatasan kekuasaan Presiden dan lembaga eksekutif.
Perluasan peran Dewan Perwakilan Rakyat
Otonomi badan kehakiman atau yudikatif dan pemberian Hak Judicial Review kepada
Mahkamah Agung.
Penegasan mengenai otonomi daerah seluas-luasnya.
Penegasan adanya pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Utusan Daerah dan
Presiden sebagai mekanisme konstitusional
Perluasan hak-hak warga negara melalui penegakan HAM dengan menghormati prinsip-
prinsip anti diskriminasi politik, agama, dan gender, hak beroposisi dan hak berpartai politik
serta satu pengaturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan pengaturan adanya
Komisi Nasional Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.31
Usulan yang sama terkait wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat, disampaikan oleh F-PDIP Aberson Marle Shalohon yang menyatakan,
28
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun
1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008, hal. 21
29
Risalah Rapat ke-2 Badan Pekerja MPR RI, 6 Oktober 1999, hal. 8-19.
30
Ibid. hal. 26
31
Ibid. hal. 29
10
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Namun di sisi lain, F-PDKB Gregorius Seto Harianto menyampaikan pendapat yang berbeda.
Bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dipilih melalui MPR dengan suara
terbanyak berdasarkan pemilihan umum. Seto Harianto berpandangan, jika pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka akan berdampak
pada mekanisme pertanggung jawaban Presiden.33
Bahwa selama perdebatan tersebut, rancang bangun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung sebenarnya telah mengerucut dan telah menemui titik kesepakatan, bahwa
keinginan untuk tidak adanya pengingkaran atas kedaulatan rakyat menjadi tujuan utama.
Namun demikian persoalan teknis kepada siapa Presiden harus bertanggung jawab masih
menjadi topik pembahasan. Dalam Rapat PAH I BP MPR ke-4, F-PDKB Gregorius Seto
Harianto menyampaikan redaksional perubahan Pasal 6 ayat (2):
Rumusan yang diusulkan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung melalui
pemilihan umum dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.34
Pembahasan terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masih berlanjut hingga Rapat
PAH I BP MPR ke-19, 23 Februari 2000. Dalam rapat tersebut Anton Reinhart akademisi
dari UKI mengusulkan Pasal 6 ayat (2) berbunyi,
“Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum
dengan suara terbanyak. Reasoning-nya adalah sebagai berikut, untuk mendapatkan
legitimasi politik yang kuat dari mayoritas rakyat maka sebaiknya Presiden dan Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.”35
32
Ibid. hal. 61
33
Opcit. hal. 243
34
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun
1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hal. 126
35
Ibid. hal. 380
36
John Pieris mengatakan, “Karena dipilih langsung oleh rakyat, maka dia harus bertanggung jawab kepada
rakyat, bukan kepada MPR konsekuensinya begitu. Mereka itu tidak bertanggug jawab kepada kongres, tetapi
bertanggung jawab kepada rakyat. Apa wujud pertanggungjawaban kepada rakyat itu, sederhana saja. Kalau
rakyat sudah tidak suka dia lagi dia tidak akan terpilih pada proses keduanya, itu wujudnya. Ataukah jika dia
melakukan defian-defian behaviour dia akan di impeach itu wujud pertanggung jawabannya pada rakyat. Dan
kami kira itu lebih baik waktu yang akan datang…”, Ibid. hal. 406
11
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
menyusun GBHN, karena program kerja Presiden merupakan kontrak politik antara Presiden
dengan rakyat yang disampaikan pada masa kampanye.
Setelah mengalami perdebatan yang begitu panjang terkait rumusan pasal tentang pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dalam Rapat Paripurna ST MPR 2001 ke-7
pada 9 November 2001 hasil rumusan Pasal 6A yang disepakati dan disahkan sebagai berikut
:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di
setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) (masih dalam perdebatan)37
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang.
Ketentuan Pasal 6A Ayat (4) mengatur mengenai putaran kedua pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden baru disepakati dalam Dalam Rapat Komisi A ST MPR 2002 ke-4, 8 Agustus
2002 dengan memilih alternative 2,38 yaitu: ”Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Hasil inilah
yang disahkan dalam Rapat Paripurna ST MPR 2002 pada 10 Agustus 2002 sebagai bagian
dari Perubahan Keempat UUD 1945.
Sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dilaksanakan dengan
berdasarkan prinsip popular vote. Mekanisme penetapan pemenang selain dengan popular
vote juga berdasarkan prinsip penyebaran dukungan dari provinsi-provinsi di Indonesia. Hal
ini membuka peluang dilakukannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden putaran dua.
Ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (3) mengatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam
pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden”. Ketentuan ini dimaksudkan agar Presiden terpilih mempunyai legitimasi kuat
karena didukung oleh rakyat di mayoritas provinsi-provinsi di Indonesia.
37
Pasal 6A UUD 1945 tidak bisa diselesaikan pada ST MPR 2001. Proses perubahan akan dilanjutkan dalam
pembahasan masa Perubahan Keempat pada 2002.
38
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun
1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2002 Buku Lima (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hal. 605
12
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
stempel legitimasi kekuasaan.39 Pada masa Orde Baru, pemilu diselenggarakan oleh LPU
yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dengan Sekjen Departemen Dalam Negeri sebagai
Sekretariat. Selanjutnya, pada masa transisi B.J. Habibie, dibentuklah KPU untuk Pemilu
2009 yang beranggotakan perwakilan partai politik peserta pemilu ditambah lima orang
perwakilan dari pemerintah. Setelah amandemen ketiga pada tahun 2002, seiring dengan
perubahan ketentuan Pasal 22E ayat (5), dinyatakan bahwa “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri” dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000.
Selanjutnya, pengaturan mengenai kelembagaan pemilu secara berkala menjadi semakin
demokratis yang ditandai dengan seleksi anggota yang menjadi semakin terbuka, dan sistem
check and balance dalam kelembagaan penyelenggara. Sifat independen yang bebas dari
intervensi ini sejalan pula dengan IDEA40 sehingga perlu untuk dijaminkan dalam kerangka
hukum. Perubahan secara evolutif dari kelembagaan penyelenggara pemilu dijelaskan sebagai
berikut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa proses pembentukan hukum dan implementasinya tidak
akan lepas dari pengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan sosial dan personal, terutama
pengaruh atau asupan kekuatan sosial politik. Pengaruh ini menyebabkan kualitas dan
karakter hukum tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-kekuatan sosial dan personal
tersebut, terutama kekuatan-kekuatan politik pada saat hukum itu dibentuk.43 Dengan
demikian karakteristik penyelenggara Pemilu sangat ditentukan oleh seperangkat regulasi-
regulasi ketika dibentuk oleh kekuatan-kekuatan politik yang melahirkan penyelenggara
Pemilu tersebut.
13
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
KPU, dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2003, mekanisme rekrutmen anggota KPU yaitu
melalui usulan Presiden yang kemudian akan mendapat persetujuan dari DPR untuk
ditetapkan. Presiden dalam mengusulkan calon anggota KPU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2003, melakukan penjaringan dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat. Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai syarat untuk menjadi anggota
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, yaitu warga negara Republik Indonesia; setia
kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; mempunyai integritas pribadi yang
kuat, jujur, dan adil; mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu,
tegaknya demokrasi dan keadilan; memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem
kepartaian, sistem dan proses pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki
kemampuan kepemimpinan; berhak memilih dan dipilih; berdomisili dalam wilayah Republik
Indonesia yang dibuktikan dengan KTP; sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit; tidak menjadi anggota atau pengurus
partai politik; tidak pernah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau lebih; tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan
struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri; bersedia bekerja sepenuh waktu.44
Syarat di atas sangat berbeda dengan pola rekrutmen anggota KPU pada periode
penyelenggaraan pemilu tahun 1999. Jika penyelenggara pemilu tahun 1999 terdiri dari unsur
partai politik dan pemerintah, maka pada periode 2001-2007 seorang calon anggota KPU
harus tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik dan tidak sedang menduduki jabatan
politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri. Pada tingkatan KPU
Provinsi, keanggotaan KPU Provinsi ditempuh melalui mekanisme pengusulan dari Gubernur
untuk mendapat persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai anggota KPU Provinsi.
Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota, calon anggota KPU Kabupaten/Kota diusulkan oleh
bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU Provinsi untuk ditetapkan sebagai anggota
KPU Kabupaten/Kota.
Selanjutnya pola rekrutmen anggota KPU, KPU Provinsi, dan Kabupaten/Kota menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengalami perubahan, yaitu keterlibatan
Tim Seleksi yang mengubah metode penunjukan dalam pengaturan sebelumnya. Tim Seleksi
di sini bertugas untuk membantu Presiden dalam menentukan calon anggota KPU yang akan
diajukan ke Komisi II DPR RI. Pada tingkatan KPU Provinsi, proses rekrutmen calon
anggota KPU Provinsi juga melalui Tim Seleksi yang dibentuk oleh KPU.Keanggotaan Tim
Seleksi diusulkan oleh Gubernur dan DPRD Provinsi dengan memperhatikan syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Tim Seleksi bertugas melakukan
seleksi calon anggota KPU Provinsi, terhadap calon anggota KPU Provinsi yang lulus atas
serangkaian tes tersebut, oleh Tim Seleksi akan diajukan 10 nama untuk selanjutnya
dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh KPU. Oleh KPU, kemudian ditetapkan lima
daftar anggota KPU terpilih peringkat teratas berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan.
Demikian juga dengan proses seleksi anggota KPU Kabupaten/Kota yang secara mekanisme
44
Pasal 18 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003
14
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
sama dengan perekrutan anggota KPU dan KPU Provinsi. Berdasarkan ketentuan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2007, KPU Provinsi membentuk Tim Seleksi calon anggota KPU
Kabupaten/ Kota pada setiap kabupaten/kota. Proses pemilihan dan penetapan anggota Tim
Seleksi oleh KPU Provinsi, bupati/walikota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota. Tim Seleksi mengajukan 10 nama calon anggota KPU Kabupaten/Kota
hasil seleksi kepada KPU Provinsi.KPU Provinsi melakukan uji kelayakan dan kepatutan
terhadap calon anggota KPU Kabupaten/Kota. KPU Provinsi menetapkan lima Anggota KPU
Kabupaten/Kota terpilih melalui keputusan KPU Provinsi.
Semula ketentuan UU No. 22 Tahun 2007 menyebutkan syarat untuk menjadi calon anggota
penyelenggara Pemilu baik dari jajaran KPU dan Bawaslu yakni tidak pernah menjadi
anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-
kurangnya dalam jangka waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang
dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan. Namun
dalam pembahasan rancangan perubahan UU No. 22 Tahun 2007, ketentuan tersebut
mengalami perubahan, yakni mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik, jabatan
politik, jabatan di pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
pada saat mendaftar sebagai calon.
Apabila dicermati, dalam proses rekrutmen anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/ Kota terdapat pola yang dilakukan secara terstruktur dan hirarkis lembaga-
lembaga tersebut merupakan suatu kesatuan penyelenggara pemilu. Hal demikian tentunya
berbeda dengan cara pandang terhadap kelembagaan KPU periode 2001-2007 yang terbagi
menjadi dua, yaitu KPU sebagai penyelenggara Pemilu skala nasional, dan KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara Pemilu kepala daerah.
Periode pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini memisahkan pengawas
pemilu yang tadinya berada dibawah KPU menjadi lembaga tersendiri yang bersifat tetap.
Hanya saja, mekanisme seleksi anggota Bawaslu masih melalui tim seleksi yang dibentuk
oleh KPU, dan secara kelembagaan hanya bersifat tetap pada tingkat nasional saja sedangkan
untuk jajaran dibawahnya baik Panwaslu Provinsi maupun Panwaslu Kabupaten/Kota masih
bersifat ad hoc dengan keanggotaan diusulkan oleh jajaran KPU sesuai tingkatanya.
Mekanisme rekrutmen anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota menurut
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 sebenarnya sama dengan mekanisme rekrutmen
anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang diatur oleh UU No. 22 Tahun
2007. Bahwa yang menarik dalam undang-undang ini yaitu syarat calon anggota KPU yang
cukup mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik saat mendaftar dan keanggotaan
Tim Seleksi yang memperhatikan kuota keterwakilan perempuan. Sedangkan untuk Bawaslu,
terdapat penguatan Bawaslu yang bersifat tetap pada tingkat provinsi, dan mekanisme
rekrutmennya menggunakan tim seleksi yang sama untuk rekrutmen KPU, dan membentuk
tim seleksi sendiri untuk rekrutmen Bawaslu Provinsi. Patut disebutkan pula bahwa pada
masa pengaturan UU Nomor 15 Tahun 2011 dibentuk satu lagi lembaga penegak kode etik
penyelenggara pemilu untuk menjaga profesionalitas, integritas, dan akuntabilitas
penyelenggara, DKPP. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 kembali memuat pengaturan
yang sama, dengan penguatan kelembagaan Bawaslu.
15
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa baik model rekrutmen, kemunculan Bawaslu
yang disusul dengan DKPP, adalah satu ikhtiar untuk memantapkan pemilu yang jujur,
bersih, dan adil, atau dengan kata lain, pemilu yang berintegritas. Baik perubahan sistem
pemilu maupun bentuk kelembagaan berjalan beriringan menuju cita hukum yang demokratis
sebagaimana diniatkan pada masa pasca-Orde Baru. Hanya saja, sebagaimana telah
disinggung dalam awal bagian ini, perubahan-perubahan pengaturan itu juga tidak dapat
dilepaskan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus permohonan
judicial review berkenaan baik dengan sistem maupun kelembagaan dari penyelenggara
pemilu.
45
Saldi Isra. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Konstitusi,
Vol. 11, No. 3, September 2014.
46
Janedjri M. Gaffar. Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait
Penyelenggaraan Pemilu. Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 1, Maret 2013. Hlm 13.
16
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
2
PUTUSAN MK TENTANG KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PEMILU
17
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
18
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
20
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
21
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
22
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
23
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Pasal 93
Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan
keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai
anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94
1. (1) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3
(tiga) orang sebagai anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan
dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan
Bawaslu.
2. (2) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga)
orang sebagai anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan
dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan
Bawaslu.
Pasal 95
Anggota Panwaslu Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga)
orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan
ditetapkan dengan keputusan Panwaslu
Kabupaten/Kota.
Menyatakan kata, “Calon”, dan frasa, “...
diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu
sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....”
dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “...
diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada
Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang
untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan
24
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
26
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
27
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
28
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
29
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
30
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
32
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
33
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
34
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
36
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
37
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
38
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
39
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
40
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
41
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
42
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
43
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
44
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
45
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
46
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
47
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
49
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
50
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
51
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
52
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
53
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
54
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
55
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
56
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
3
PUTUSAN MK TENTANG LEMBAGA PERWAKILAN
57
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
58
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
59
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
60
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
61
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
62
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
63
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
65
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
66
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
68
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
69
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
70
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
71
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
1. Pemohon : DPD RI; Anggota DPD RI: Dra. Hj. Mediati Hafni
Hanum, S.H.; Lundu Panjaitan, S.H.; Dr. Mochtar Naim;
Drs. H. Soemardhi Thaher; Muhammad Nasir; Ir. Ruslan;
Muspani, S.H.; Hariyanti Syafrin, S.H.; Fajar Fairy S.H.;
Benny Horas Panjaitan; . Biem Triani Benjamin; KH.
Sofyan Yahya M.A.; . Drs. Sudharto, M.A; Drs. Ali
Warsito; KH. A. Mujib Imron S.H.; R. Renny Pudjiati; I
Wayan Sudirta, S.H.; H. Lalu Abd. Muhyi Abidin, S.Ag.;
Joseph Bona Manggo; Sri Kadarwati; . Prof. KMA. M.
Usop, M.A.; . Drs. H. Muhamad Ramli; Drs. Nursyamsa
Hadis; Marhany Victor Poly Pua; Drs. Roger Tobigo; Ir.
Abdul Aziz Qahar M.; Drs. Pariama Mbyo, S.H.; Prof.
Dr. H. Nani Tuloli,; Midin B. L., S.H; Ishak Pamumbu
Lambe; Anthony Charles Sunarjo,; Tonny Tesar; Drs.
Wahidin Ismail; Perorangan: Hadar Nafis Gumay; Dr.
Saafroedin Bahar; Sulastio; Sebastianus KM Salang;
Hariyono S.P.; Drs. Welky Karauwan M.Si.; Hartono;
Ahmad Wali S.H.; TB. A. Oman Jahid Sulman, SC;
Abdul Salim Ali Siregar; Musriadi,; Zulfikar; Karno Miko
Sergye Rumondor; . Marhendi WH.; Fauzan Azima SH.;
H.A. Syafei; Natanael Mok
2. Pokok Permohonan : Pengujian materiil Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
UUD 1945
3. Pertimbangan : Pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai
Putusan konstitusionalitas Pasal 12 UU 10/2008 yang tidak
mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon
anggota DPD, serta Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat ketentuan perlunya Kartu Tanda Penduduk
(KTP) di provinsi yang akan diwakilinya dan bukti
keterangan non-Parpol bagi kelengkapan syarat calon
anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan
pengujian oleh para Pemohon adalah ketiadaan norma
syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal
72
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
73
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
74
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
75
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
76
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
77
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
diwakili;
Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk
selebihnya.
Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
79
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
80
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
81
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
82
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
83
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
84
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
85
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
86
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
87
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
88
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
90
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
91
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
92
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
93
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
94
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
95
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
96
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
97
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
98
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
99
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
100
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
10/2008;
Bahwa Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004, baik yang
memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008
maupun yang tidak memenuhi, sejatinya mempunyai
kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol Peserta
Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold,
sebagaimana dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU
12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU 10/2008;
Bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 merupakan
ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama
dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal
uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama
Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi
ketentuan Pasal 315 UU 10/2008;
4. Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan;
101
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
102
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
103
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
104
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
105
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
106
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
107
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
108
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
109
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
110
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
112
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
113
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
114
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Menyatakan Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta
Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta
Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
115
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
116
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
norma dalam Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang telah dinyatakan oleh Mahkamah
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sehingga Mahkamah cukup
merujuk pada pendapat Mahkamah dalam perkara Nomor
32/PUU-VI/2008 tanggal 24 Februari 2009 yang pada
pokoknya sebagai berikut:
1. “Pada dasarnya ada perbedaan yang mendasar
antara lembaga penyiaran yang diatur oleh UU
32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU
40/1999, yaitu bahwa media yang berbentuk
lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum
udara yang terbatas memerlukan perizinan yang
melibatkan Menkominfo dan KPI, sedangkan bagi
media massa cetak sudah tidak lagi memerlukan
perizinan dari instansi manapun. Oleh karena itu,
pengaturan dalam suatu Undang-Undang yang
cenderung menggeneralisasi kedua institusi pers
itu tentulah tidak atau kurang tepat dan dapat
menimbulkan berbagai kerancuan dalam tafsir dan
penerapannya, sebagaimana yang terjadi dengan
pengaturan dalam UU 10/2008 yang berkaitan
dengan UU Penyiaran (Undang-Undang Nomor
32/2002) dan UU Pers (Undang-Undang Nomor
40/1999);
2. Pertentangan antara Undang-Undang yang satu
dengan Undang- Undang yang lain tidak serta
merta dapat dikategorikan atau dinilai sebagai
perbenturan antara lex specialis dan legi generali,
sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah yang
menganggap UU 10/2008 sebagai lex specialis,
sedangkan yang merupakan legi generali adalah
UU 40/1999 dan UU 32/2002, sehingga prinsip
kebebasan pers yang tanpa membutuhkan
perizinan yang tercantum dalam UU 40/1999
dapat dinegasi atau ditiadakan oleh UU 42/2008
dengan alasan UU Nomor 42/2008 sebagai lex
specialis. Pandangan yang demikian merupakan
penyederhanaan masalah yang justru dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan yang bertentangan dengan
Konstitusi/UUD 1945 yaitu Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28F. Ketidakkonsistenan dalam pengaturan
hukum akan merusak sendisendi negara hukum
atau rule of law yang juga mensyaratkan bahwa
“law must be fairly and consistently applied” (vide
Barry M. Hager, The Rule of Law: A Lexicon for
117
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
118
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
119
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
120
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
121
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
122
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
(2), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
3. Pertimbangan : Terhadap pengujian formil UU 8/2015, menurut
Putusan Mahkamah alasan yang dijadikan dasar pengujian formil
oleh para Pemohon tidak sesuai dengan alasan pengujian
formil sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a
UU MK. Mencermati dengan saksama alasan pengujian
formil UU 8/2015 oleh para Pemohon sebagaimana telah
diuraikan di atas, menurut Mahkamah alasan para
Pemohon a quo bukan merupakan alasan pembentukan
Undang-Undang yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan, melainkan alasan yang berkaitan
dengan materi atau isi pasal-pasal dalam UU 8/2015.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
permohonan pengujian formil UU 8/2015 yang
dimohonkan para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum;
Mencermati dengan saksama dalil para Pemohon,
Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk
merumuskan bunyi pasal dalam suatu Undang-Undang,
khususnya Pasal 47 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (5) UU
8/2015 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a
quo karena Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi
antara lain mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berdasarkan
ketentuan dalam UUD 1945 tersebut menjadi sangat jelas
bahwa kewenangan merumuskan materi muatan untuk
membentuk Undang-Undang adalah merupakan
kewenangan dari DPR bersama Presiden, sedangkan
Mahkamah Konstitusi hanya mempunyai kewenangan
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar yang telah disetujui bersama antara DPR dan
Presiden;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 58
ayat (7) UU 8/2015 saling bertentangan dengan Pasal 20
huruf h UU 8/2015, menurut Mahkamah para Pemohon
dalam memahami Pasal 58 ayat (7) UU 8/2015 hanya
sepotong- sepotong (parsial) dan tidak memahaminya
secara keseluruhan pasal demi pasal dalam Undang-
Undang a quo. Pemahaman demikian telah menyebabkan
kekeliruan dalam memahami maksud dari Pasal 58
ayat (7) Undang-Undang a quo. Menurut Mahkamah,
Pasal 58 UU 8/2015 mengatur mengenai proses
penyusunan daftar pemilih untuk pemilihan, yang dimulai
dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4)
sampai dengan pengumuman DPT oleh PPS. Ketentuan
Pasal 58 ayat (7) tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 58
ayat (6) UU 8/2015 “Daftar Pemilih Sementara yang
telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
123
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
124
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
125
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
126
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
127
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
128
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
129
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
130
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
131
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
132
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
133
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
134
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
135
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
136
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
137
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
139
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
140
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
141
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
142
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
143
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
yang retroaktif (ex post facto law) sementara itu Pasal 28I
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menentukan bahwa
adalah merupakan hak asasi manusia untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak asasi
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meski
larangan pemberlakuan Undang-Undang yang bersifat
retroaktif tersebut di bidang hukum pidana merupakan
asas universal dan menjadi hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun, asas tersebut
mengenal pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (2) KUHP yang juga berlaku secara universal, di
mana jikalau terjadi perubahan perundangundangan, maka
kepada terdakwa diperlakukan yang paling
menguntungkan terdakwa.
Larangan bagi putusan Pengadilan untuk berlaku surut
tidak diatur secara tegas dan ditemukan sebagai hal yang
umum dalam putusan pengadilan biasa. Di Peradilan Tata
Usaha Negara, Pidana, dan Perdata dikenal luas putusan
pengadilan yang mempunyai daya laku surut (ex tunc)
karena pada umumnya pemidanaan atau pembebasan
terdakwa, pengabulan suatu gugatan dalam perbuatan
melanggar hukum, ataupun wanprestasi, maka putusan
yang menyangkut status atau kedudukan pegawai negeri,
utang piutang dan perbuatan melanggar hukum, berlaku
surut sejak dilakukannya perbuatan melawan hukum, atau
sejak terjadinya wanprestasi ataupun tindak pidana yang
dilakukan, dan bukan setelah tanggal pengumuman
putusan dalam sidang terbuka untuk umum. Suatu putusan
yang tidak diperlakukan secara surut, dalam beberapa
keadaan dapat menyebabkan tujuan perlindungan yang
disediakan oleh mekanisme hukum tidak tercapai. 4.
Tujuan yang diberikan pada penegakan konstitusi melalui
judicial review sebagai kewenangan Mahkamah adalah
untuk tidak membiarkan suatu Undang-Undang yang
berlaku bertentangan dengan Konstitusi atau UUD 1945,
sehingga jika putusannya hanya berlaku secara prospektif
dan tidak dimungkinkan adanya diskresi bagi hakim
memberlakukannya secara retroaktif, menjadi persoalan
yang harus selalu dijawab apakah tujuan perlindungan
konstitusi dapat tercapai atau tidak. Dalam bidang hukum
tata negara, dengan muatan dan bidang Undang-Undang
yang beragam, dapat dipastikan adanya kepentingan
hukum tertentu yang dilindungi oleh UUD 1945,
menyangkut status atau kedudukan yang lahir dari
keterpilihan melalui proses pemilihan umum, baik yang
diputuskan oleh Mahkamah melalui pengujian Undang-
Undang yang terkait erat dengan keterpilihan calon
melalui metode penghitungan suara dan penentuan kursi,
maupun melalui sengketa atau perselisihan hasil
pemilihan umum. Akibat hukum putusan demikian
144
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
145
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
146
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
147
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
148
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
149
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
150
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
151
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
152
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
153
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
154
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
156
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
157
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
4
PUTUSAN MK TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
158
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
159
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
161
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
162
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
163
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
164
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
165
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
166
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
167
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
168
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
5
PUTUSAN MK TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH
5.1. Putusan MK tentang Syarat Calon Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
169
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
170
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
59 ayat (1);
Menimbang bahwa selain itu pelaksanaan Pasal 59 ayat
(1) telah jelas dirumuskan pula dalam ayat (2)-nya yang
cukup menjamin makna pemilihan kepala daerah yang
demokratis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945. Namun makna demokratis tersebut
menjadi tereduksi karena adanya Penjelasan Pasal 59 ayat
(1). Dengan demikian, Penjelasan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1) dan (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon;
Menyatakan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
171
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
172
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
173
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
174
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
175
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
176
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
177
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
178
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
179
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
180
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
181
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
182
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
183
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
184
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
185
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
186
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
187
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
188
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
189
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
190
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
191
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
192
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
193
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
194
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
195
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
196
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
5.2. Putusan MK tentang Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
197
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
198
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
199
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
200
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
201
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
202
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
203
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
204
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
205
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
206
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
207
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
208
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
209
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
211
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
5.4. Putusan MK tentang Syarat bagi calon berstatus Petahana mengundurkan diri dari
jabatan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah
213
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
6
PUTUSAN MK UNTUK KEPASTIAN HUKUM PEMILU
Pemilu demokratis mensyaratkan adanya kepastian hukum yang menjadi pedoman bagi
seluruh pemangku kepentingan utama Pemilu dalam menjalankan peran dan fungsi sesuai
mandat konstitusi. Berdasarkan penelusuran sejarah penyelenggaraan Pemilu pasca
perubahan keempat UUD 1945, baik UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Pemerintahan Daerah, UU Penyelenggara Pemilu
dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai rujukan penyelenggaraan Pemilu
tidak luput dari pengujian UU terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi.
214
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
215
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
216
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Sesuai konsep rule of law, Pemilu dilaksanakan berdasarkan hukum (baca: peraturan
perundang-undangan) dan dikontrol oleh lembaga peradilan yang memiliki kewenangan
megoreksi regulasi yang tidak sesuai asas Pemilu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur
dan Adil sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Regulasi Pemilu yang
berpotensi melanggar pelaksanaan hak konstitusional warga negara meliputi hak pilih, hak
berpartisipasi dalam pemerintahan serta kedudukan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan telah diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menjamin
penyelenggaraan pemilu yang berkepastian hukum, adil dan setara.
Undang-Undang Pemilu sebagai produk politik menggambarkan karakter hukum yang tidak
terlepas dari pengaruh kekuatan sosial politik sehingga rumusan pengaturannya berpotensi
menimbulkan problem hukum Pemilu. Putusan-putusan MK memberikan feedback kepada
47
Robert B. Seidman & William J. Chambles, Law, Order and Power, Printed in United States of America,
Pubhlised Stimulant Costly in Canada Library of Congress Catalog Card No. 78-111948
48
Ann Seidman, Robert B. Seidman Nalin Abeysekere 1, Legislative Drafting for Social Change (London:
Kluwer Law International, 2001).
217
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
pembentuk UU dan penyelenggara pemilu untuk menjamin terwujudnya kepatian hukum dan
keadilan Pemilu. Putusan penting yang telah diterbitkan MK terkait hukum Pemilu dapat
diklasifikasi menjadi (1) Penyelenggara Pemilu Mandiri, (2) perlindungan hak pilih, (3)
syarat partai politik peserta Pemilu, (4) syarat calon anggota DPR dan DPRD, (5) syarat calon
anggota DPD, (6) Pegumuman Penghitungan Cepat, (7) metode penetapan calon terpilih
Pilpres , (8) calon perseorangan Pilkada, (9) pasangan calon tunggal Pilkada, (10) desain
Pemilu serentak 5 kotak suara.
Dalam putusan No. 11/PUU-VIII/2010 pengujian terhadap Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 95, Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 112 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, MK memberikan penafsiran terkadap frasa “…suatu
komisi pemilihan umum..” dalam Pasal 22E UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama
institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi
termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU
22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan
pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu
dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan
unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus
diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan
umum. Dalam putusan ini, MK juga menegaskan untuk menjaga kemandirian Bawaslu
melaksanakan pengawasan dan menghindari terganggunya penyelenggaraan Pemilu, maka
pencalonan dan pengangkatan anggota yang semula mekanismenya harus diusulkan oleh
218
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
KPU untuk Panwas Provinsi serta KPU Provinsi untuk Panwas Kabupaten/Kota bertentangan
dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh krena itu
menurut Mahkamah Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panwaslu.
Selanjutnya melalui putusan No. 92/PUU-XIV/2016 pengujian terhadap Pasal 9 huruf a dan
Pasal 22B huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, MK kembali menegaskan
kemandirian KPU dalam menetapkan peraturan teknis Pemilu. Mahkamah berpendapat
kemandirian KPU merupakan pengejawantahan dari kedudukan KPU yang secara konseptual
dikategorikan sebagai lembaga independen. Frasa “mandiri” dalam Pasal 22E ayat (5) UUD
1945 menunjuk pada kedudukan KPU sebagai lembaga yang berada di luar kekuasaan
pemerintah maupun kekuasaan DPR. Sehingga dalam menjalankan fungsi membentuk
peraturan pelaksana maupun dalam melaksanakan tahapan penyelenggaraan Pemilu, KPU
bebas dari tekanan maupun pengaruh pihak manapun. Namun secara faktual, hanya peraturan
KPU dan peraturan Bawaslu saja yang proses pembentukannya mensyaratkan mekanisme
konsultasi yang putusannya bersifat mengikat. Sementara peraturan yang diterbitkan oleh
lembaga independen lainnya sama sekali tidak ada keharusan melalui proses konsultasi
dengan Pemerintah dan DPR. Perlakuan berbeda terhadap proses pembentukan peraturan
oleh lembaga yang bersifat mandiri secara langsung akan membedakan derajat kemandirian
lembaga tersebut. Proses pembentukan peraturan diharuskan berkonsultasi yang
keputusannya bersifat mengikat, akan mendegradasi tingkat kemandiriannya dibanding
lembaga serupa lainnya. Hasil konsultasi dikategorikan sebagai sesuatu yang mengikat dan
wajib dilaksanakan KPU, maka sifat memaksa dan mengikat dari hasil konsultasi
sebagaimana frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” dalam Pasal 9 huruf a UU
10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
1. Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang
belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu
219
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga
Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
2. Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu
Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih
berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di
RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; 20
5. Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor
dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar
Negeri setempat.
Hambatan pelaksanaan hak pilih karena faktor administrasi juga mengemuka dalam
penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019, dengan pertimbangan serupa Mahkamah menerbitkan
putusan No. 20/PUU-XVII/2019 yang intinya menyatakan frasa “kartu tanda penduduk
elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai “termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik
yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang
sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu”. Melalui putusan ini Mahkamah memberi
kepastian hukum pelaksanaan hak pilih warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai
pemilih namun belum mendapatkan KTP elektronik.
Terkait isu ini, MK juga memberikan kepastian terhadap jaminan pelaksanaan hak pilih bagi
warganegara pengidap gangguang jiwa non permanen. Dalam putusan No. 135/PUU-
XIII/2015, Mahkamah berpendapat gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua kategori
yang beririsan namun tidak selalu dapat dipersamakan begitu saja. Gangguan ingatan
(memori) adalah masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau penurunan kualitas fisik
yaitu otak sebagai wahana penyimpan dan pemroses memori, sedangkan gangguan jiwa tidak
selalu disebabkan oleh masalah penurunan kualitas fisik manusia belaka. Masing-masing
jenis gangguan, baik gangguan jiwa maupun gangguan ingatan, memiliki turunan yang
beragam. Sehingga menurut Mahkamah frasa “gangguan jiwa/ingatan” yang tercantum pada
Pasal 57 ayat (3) huruf a harus ditegaskan bukan dalam konteks menyamakan antara
gangguan jiwa dengan gangguan ingatan, melainkan adalah pengelompokan dua kategori
berupa gangguan jiwa dan gangguan ingatan sebagai satu himpunan yang dikecualikan dari
warga negara yang berhak untuk didaftar dalam daftar pemilih. Ketentuan dalam peraturan
KPU tidak dapat difungsikan sebagai penjelasan atas UU 8/2015 in casu Pasal 57 ayat (3)
huruf a. Seadainya ketentuan demikian merupakan bagian dari norma Pasal 57 ayat (3) huruf
a, tidak dijelaskan pula secara tegas siapa pihak yang dibebani kewajiban untuk menyediakan
surat keterangan dokter sebagai bukti dan bagaimana cara menentukan calon pemilih mana
220
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
yang harus menunjukkan bukti berupa surat keterangan dokter dimaksud. Ketentuan tersebut
secara logika sulit diterima ketika orang dengan gangguan jiwa justru diberi beban tambahan
untuk menunjukkan atau membuktikan bahwa dia tidak berhak didaftar. Oleh karena itu
Mahkamah berpendapat Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015 bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami
gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang
kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan
umum”.
Terdapat dua Putusan MK No. 52/PUU-X/2012 dan No. 53/PUU-XV/2017 yang mengoreksi
ketentuan UU Pemilu karena menimbulkan perlakuan tidak sama terhadap partai politik calon
peserta Pemilu atas dasar partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional dengan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas
dan partai politik baru. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir
yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”, Ketentuan
tersebut menurut Mahkamah, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena
pada saat verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan
administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009,
sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah
dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan
memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai politik bersangkutan tidak
memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai
politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Ketentuan yang demikian, menurut
Mahkamah, tidak memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda
bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama.
Demikian pula dengan ketentuan Pasal 173 ayat (3) UU No.7 Tahun 2017, pada pokoknya
memuat norma bahwa untuk partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan
sebagai Partai Politik Peserta Pemilu. Hal ini mengandung makna bahwa ada partai politik
peserta Pemilu yang dikategorikan telah lulus verifikasi dengan syarat yang telah ditentukan
dan ada partai politik calon peserta Pemilu yang belum lulus verifikasi. Berdasarkan
ketentuan tersebut, terdapat dua kelompok partai politik calon peserta Pemilu tersebut diatur
atau diterapkan perlakuan berbeda. Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 Mahkamah menyatakan verifikasi dilakukan terhadap
seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Untuk menghindari adanya perlakuan
berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu 2019, pertimbangan Mahkamah tersebut
relevan dan harus diberlakukan untuk setiap partai politik calon peserta Pemilu 2019.
Bahkan, tidak hanya untuk Pemilu 2019, melainkan juga untuk Pemilu anggota DPR dan
DPRD dalam Pemilu periode-periode selanjutnya.
221
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Terkait isu pembatasan hak konstitusional warganegara untuk dipilih, terdapat lima putusan
MK yaitu No.011-017/PUU-I/2003, No.14-17/PUU-V/2007, No.22-24/PUU-VI/2008,
No.4/PUU-VII/2009 dan putusan No.20/PUU-XI/2013. Putusan tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori pertama, pengujian atas ketentuan Pasal 60 huruf g
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi "bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang
terlibat langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia atau organisasi terlarang lainnya",tersebut justru karena hanya menggunakan
pertimbangan yang bersifat politis dan merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga
negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik. Oleh karena itu, bertentangan dengan
hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat
(2).
Selain itu, ketentuan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”, sebagaimana diatur Pasal 12
huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008
dinyatakan oleh Mahkamah sebagai norma hukum yang inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut inkonstitusional apabila tidak
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
222
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana
selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan
terpidana;
Syarat calon tidak pernah dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap
ancaman lima tahun atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya No.56/PUU-XVII/2019,
Mahkamah berpendapat perlu untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah
yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan
penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat. Pemberian waktu ini berguna juga bagi
masyarakat untuk dapat lebih menilai yang bersangkutan. Sedangkan mengenai masa tunggu,
MK kembali merujuk pada Putusan No.4/PUU-VII/2009.
Ketiga, kebijakan afirmasi untuk menjamin kesetaraan dan keadilan perampuan. Dalam
pengujian Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, yang mengatur setiap tiga orang bakal calon
terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan merupakan kebijakan untuk
memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sesuai
Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional
yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik.
Perlakuan khusus tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Terkait isu ini, Mahkamah juga telah menguji ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 yang
mengatur “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga)
orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”
Terhadap ketentuan tersebut berdasarkan frasa “sekurang-kurangnya” dapat dimaknai bahwa
223
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
dalam setiap tiga orang bakal calon dapat diisi sekurang-kurangnya satu orang perempuan
atau dapat diisi dengan dua orang perempuan atau tiga orang perempuan sekaligus. Bahkan,
dimungkinkan juga mulai dari nomor urut 1 dan seterusnya, semuanya diisi bakal calon
perempuan, apabila dikehendaki demikian oleh partai politik yang bersangkutan.
Selanjutnya terkait penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 menyatakan, “Dalam setiap 3
(tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan
demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.” menurut
Mahkamah, terhadap frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 haruslah
dimaknai kumulatif-alternatif menjadi “dan/atau” dan menghapus keberlakuan frasa “tidak
hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya” Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 tersebut
justru memperkuat makna bahwa hanya boleh ada satu perempuan dalam setiap tiga bakal
calon yang telah kehilangan relevansinya dengan adanya frasa “dan/atau” tersebut, sehingga
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 yang awalnya menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga)
bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan
demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.” berubah menjadi
“Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1,
dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya,” Untuk memberikan kepastian hukum
terhadap keabsahan proses Pemilu yang sedang berjalan, khususnya yang terkait dengan
penetapan daftar calon anggota lembaga perwakilan, Mahkamah menegaskan bahwa
berdasarkan Pasal 47 UU MK bahwa, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, sehingga
putusan ini berlaku ke depan dan tidak berlaku untuk susunan daftar calon anggota lembaga
perwakilan dalam Pemilu Tahun 2014; Berdasarkan putusan ini seharusnya dalam
penyelenaggaraan Pemilu Tahun 2019, dapat merumuskan regulasi Pemilu yang lebih
menjamin penempatan perempuan dalam daftar calon di momor urut 1 atau 2 atau 3
sebagaimana putusan MK No. 20/PUU-XI/2013.
224
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Sedangkan untuk pengujian Pasal 182 huruf l UU Pemilu yang memuat Frasa “pekerjaan
lain” yang diikuti dengan frasa “dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”, Mahkamah berpendapat DPD didesain sebagai kekuatan penyeimbang terhadap
DPR sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945 diberi kekuasaan membentuk undang-
undang bersama Presiden [vide Pasal 20 juncto Pasal 5 ayat (1)c UUD 1945]. Artinya,
kebijakan legislasi dalam wujud pembentukan undang- undang yang berkait langsung dengan
kepentingan daerah tidak boleh semata-mata lahir sebagai produk akomodasi dan kompromi
politik yang merupakan perwujudan representasi politik, yaitu DPR dan Presiden yang
meskipun sama-sama dipilih oleh rakyat namun pengusulan dalam pengisian jabatannya
dilakukan melalui sarana partai politik. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi kekuatan
penyeimbang di DPR, maka pengisian jabatan anggota DPD haruslah berasal dari luar partai
politik. Apabila keanggotaan DPD juga dimungkinkan berasal dari pengurus partai politik,
maka keadaan demikian akan makin meneguhkan fenomena di mana keputusan politik yang
berkait langsung dengan kepentingan daerah, khususnya dalam kebijakan legislasi, secara
faktual menjadi berada di tangan pihak yang semata-mata merupakan representasi politik. Hal
ini tidak sesuai dengan semangat Pasal 22D UUD 1945. Untuk menjamin kepastian hukum
Pemilu 2019, karena proses pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai, Mahkamah
menyatakan dalam hal terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan
pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan ini, KPU dapat memberikan kesempatan
kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah
menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan
pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri dimaksud. Dengan
demikian untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya
yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Pengujian terhadap Pasal 245 UU Nomor 10 Tahun 2008, dalam putusan No. 9/PUU-
VII/2009 MK menyatakan ketentuan Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 tidak
sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa UUD 1945, karena ruang akademik memberikan
kebebasan untuk melakukan penelitian atau kegiatan ilmiah sesuai dengan prinsip-prinsip dan
metode ilmiah. Demikian pula mimbar akademik memberi kebebasan untuk mengolah dan
mengumumkan temuan atau informasi ilmiah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa
boleh dihalangi oleh siapa pun, kecuali dengan tujuan yang jelas-jelas melanggar hukum.
Meskipun tidak dilakukan oleh akademisi atau sivitas akademika perguruan tinggi, kegiatan
survei atau perhitungan cepat (quick count) tentang hasil Pemilu merupakan kegiatan berbasis
ilmiah yang juga harus dilindungi dengan jiwa dan prinsip kebebasan akademik-ilmiah dan
kebebasan mimbar akademik-ilmiah karena hal tersebut dijamin bukan saja oleh Pasal 31
ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) UUD 1945 tetapi juga oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945
yang memuat jaminan kebebasan untuk menggali, mengolah, dan mengumumkan informasi,
termasuk informasi ilmiah. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat ketentuan restriktif yang
diatur di dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 tidak sejalan dengan jiwa Pasal
31 dan Pasal 28F UUD 1945;
225
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Persoalan dengan substansi yang sama mengemuka kembali dalam penyelenggaraan Pemilu
Tahun 2014. Ketentuan larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang
Pemilu yang dilakukan pada masa tenang dan ketentuan hitungan cepat (quick count) hanya
dapat diumumkan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah
Indonesia bagian barat sebagaimana diatur Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal
291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 diuji lagi ke
MK. Dalam putusannya No. 24/PUU-XII/2014, MK menyatakan Meskipun tidak persis sama
redaksinya dengan Pasal 245 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, menurut
Mahkamah putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tersebut mutatis mutandis berlaku pula dalam
perkara ini.
Dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2014 terdapat kondisi KPU menetapkan dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengatur metode penetapan
pasangan calon terpilih apabila memperoleh suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi
yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih berdasarkan syarat tersebut, dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dipilih langsung oleh rakyat dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan
oleh gabungan beberapa partai politik, menurut Mahkamah pada tahap pencalonan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh
daerah di Indonesia karena calon Presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik
nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian,
tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan daerah di
Indonesia sudah terpenuhi. Untuk itu menurut Mahkamah Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008,
harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh
226
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945,
sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.
227
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Menurut Mahkamah, ketentuan UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan semangat UUD
1945 jika Pemilihan Kepala Daerah tidak dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan
berikutnya sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk
dipilih dan memilih, hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua
pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah meskipun sudah diusahakan
dengan sungguh-sungguh. Demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara,
pemilihan Kepala Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan
calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah walaupun sebelumnya telah diusahakan
dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon.
Dalam putusan ini, MK juga berpendapat metode pemungutan suara Pemilihan Kepala
Daerah dengan satu pasangan calon, lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang
meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju”
dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong. Mekanisme
demikian, menurut Mahkamah, lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan “menang
secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud
ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila
ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian
pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Penundaan
demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah
memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6A Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 22E Ayat (2) UUD
NRI 1945, jadwal penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap yaitu
pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden setelah pelaksanaan Pemilu legislatif dinilai tidak sejalan dengan ketentuan
Pasal 22E Ayat (2). Melalui pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden, MK menerbitkan putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menjadi pijakan hukum
penataan jadwal pemilu penyelenggaraan Pemilu legislatif dilaksanaan bersamaan dengan
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
228
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, Presiden terpilih terpaksa harus melakukan negosiasi
dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang
mempengaruhi jalannya roda pemerintahan. Menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres
harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar- menawar (bargaining) politik yang
bersifat taktis demi kepentingan sesaat.
Praktik ketatanegaraan hingga saat ini, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan ternyata tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang
dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi.
Ditinjau dari sisi original intent dan penafsiran sistematik, makna asli yang dikehendaki oleh
para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pilpres
adalah dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan.Oleh karena itu,
norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
tidak sesuai dengan semangat dan makna pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E
ayat (1) UUD 1945. Mengingat tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah
dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan, untuk memberi kepastian hukum Pemilu,
MK menyatakan pelaksanaan putusan a quo setelah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2014.
229
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Daftar Pustaka
Asshidiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945. FH UII Press. Yogyakarta. 2004.
Asshidiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. PT Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia. Jakarta. 2009.
Asshidiqie, Jimly. Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua. Sinar Grafika.
Jakarta. 2010.
Bisariyadi., Putri, Intan Permata., Devitasari, Ananthia Ayu., Anindyajati, Titis., Widjaja,
Alia Harumdani., Ali, Mohammad Mahrus., Hilipito, Meyrinda Rahmawaty. Laporan
Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap
Undang-Undang Dasar. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. 2016.
Catt, Helena., et. al., The Electoral Management Design: Revised Edition (Stockholm,
Sweden: Office International IDEA, 2014)
Gaffar, Janedjri M. Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi
Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu. Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 1, Maret
2013.
Hemauniger, Herbert. The Austrian Legal System. Manzsche Verlagsund Universitat
Buchhandlung. Wien. 2003.
Indrayana, Denny. Indonesian Constitutional Reform 1999-2002, An Evaluation of
Constitution-Making in Transition. Thesis Doktoral di University of Melbourne.
2005.
Isra, Saldi. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 3, September 2014.
Isra, Saldi., Yuliandri., Amsari, Feri., Simabura, Charles., Medina, Dayu., Elda, Edita. Hasil
Penelitian Perkembangan Pengujian Nnstitusi & PUSaKO FH Universitas Andalas.
2010.
Kelsen, Hans. Judicial Review of Legislation: A Comparative Study of the Austrian and
American Constitution. The Journal of Politics, 4 (2), 1942.
Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange, Ltd. Clark, New Jersey. 2005.
Martitah. Mahkamah Konstitusi, dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Konpress.
Jakarta. 2013
Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku I, Latar
230
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan UUD 1945. Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 - BUKU 5, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Palguna, I D.G. Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan
dengan Negara Lain. Konpress. Jakarta. 2018.
Safaat, Muchammad Ali., Widiarto, Aan Eko., Suroso, Fajar Laksono. Pola Penafsiran
Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2009-2013.
Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 2, Juni 2017.
Seidman, Ann., Seidman, Robert., Abeysekere, Nalin. Legislative Drafting for Social Change
(London: Kluwer Law International, 2001).
Seidman, Robert B., Chambles, William J. Law, Order and Power. Printed in United States of
America, Pubhlised Stimulant Costly in Canada Library of Congress Catalog Card
No. 78-111948.
Sekretariat Jenderal MPR RI, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Sejarah,
Realita, dan Dinamika. Jakarta. 2006.
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2002 Buku Lima (Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008)
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999. Jakarta. 2008.
Siregar, Fritz Edward. Indonesian Constitutional Politics 2003-2013. Thesis Doktoral di
Faculty of Law UNSW, 2016.
Sulistyo, Hermawan. Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy dalam A.
Croissant (ed). Electoral Politics in Southeast and East Asia. Friedrich Ebert Stiftung,
Singapore. 2002.
Wahyono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II. Ghalia Indonesia.
Jakarta. 1986.
231