Anda di halaman 1dari 238

Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

MAHKAMAH KONSTITUSI
DAN
KEPASTIAN HUKUM PEMILU

Tafsir Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang 1945 untuk Kepastian


Hukum Pemilu

Dr. Ida Budhiati, S.H., M.H.

Editor:

Luqman Hakim
Rian Adhivira Prabowo
Unu P. Herlambang

i
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

KATA PENGANTAR

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H


Guru Besar Ilmu hukum Tata Negara Universitas Indonesia
Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2008-2018)
Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk dapat memberikan kata pengantar dari buku
yang disusun oleh Dr. Ida Budhiati, S.H., M.H. yang saat ini memegang jabatan sebagai
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang berjudul “Mahkamah Konstitusi
dan Kepastian Hukum Pemilu”. Kehormatan itu tidak saja karena buku ini disusun oleh salah
seorang pejabat dari suatu lembaga yang bertugas menyelesaikan masalah kehormatan bagi
para penyelenggara Pemilu, namun karena penyusun buku ini adalah seorang pribadi yang
selama ini menjadi idola saya. Dalam pengamatan saya, mbak Ida adalah sosok yang santun,
sederhana, dan lemah lembut dalam bertutur kata, tetapi tugas dan kewajibannya menuntut
suatu ketegasan dan keseriusan dalam menghadapi berbagai persoalan yang menyangkut
Pemilu. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika pengabdiannya kepada negara yang sebelum ini
dilakukan di lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) berlanjut ke Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Sebagai pribadi yang pernah menjabat sebagai Komisioner di Komisi Pemilihan Umum dan
seringkali harus menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan pelaksanaan
tugasnya sebagai penyelenggara Pemilu, dalam berbagai perkara penyelesaian sengketa
Pemilu ataupun pengujian terhadap Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah Pemilu,
maka pengetahuan Dr. Ida Budhiati tentang Mahkamah Konstitusi dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu beserta pengaturannya tidak perlu diragukan
lagi. Hal tersebut tertuang secara rinci dengan kalimat yang sederhana dan mudah dipahami
bagi mereka yang membaca buku ini.

Buku yang berjudul “Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu” ini dimulai
dengan Bab I mengenai “Menuju Cita Hukum yang Demokratis: Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945, Lahirnya Mahkamah Konstitusi dan Pembaharuan Pengaturan Pemilu”, yang
mengetengahkan mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian
melahirkan lembaga negara yang disebut Mahkamah Konstitusi, yang dimulai dengan
berkembangnya praktik pengujian undang-undang (yudicial review) di Supreme Court
Amerika Serikat, hingga sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia melalui
perdebatan yang dimulai sejak pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang
BPUPKI, sampai perdebatan di Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, pada
saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (1999-2002). Dalam Bab ini
dikemukakan juga hal-hal yang berkaitan dengan perubahan Sistem Pemilu, khususnya dalam
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang bersifat langsung.

Dalam Bab-Bab selanjutnya, buku ini mengemukakan juga secara berturut-turut pada Bab II:
Putusan MK tentang Kelembagaan Penyelenggara Pemilu, Bab III: Putusan MK tentang
Pemilu Lembaga Perwakilan, Bab IV: Putusan MK tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, Bab V: Putusan MK tentang Pilkada, dan diakhiri dengan Bab VI: Putusan MK
untuk Kepastian Hukum Pemilu. Dari pemaparan mengenai berbagai jenis Putusan

ii
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Mahkamah Konstitusi tersebut, sekali lagi saya harus mengajukan apresiasi saya yang
setinggi-tingginya kepada mbak Ida yang telah menuangkan Putusan-Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan masalah Pemilu.
Apresiasi ini saya kemukakan, oleh karena sebagai orang yang pernah duduk dan ikut
mengambil bagian dalam pembentukan Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi, saya bahkan
tidak tahu berapa banyak pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan pernah
diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan berbagai jenis permasalahannya.

Sebagai pribadi yang pernah menduduki jabatan sebagai Komisioner di Komisi Pemilihan
Umum dan sekarang menjabat sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,
dapat dipastikan mbak Ida sebagai penyusun buku ini sangat memahami berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan Pemilu yang dapat menimbulkan berbagai macam
sengketa Pemilu yang memerlukan suatu penanganan. Selain itu, dengan adanya berbagai
macam pengujian Undang-Undang yang mengatur tentang Pemilu yang tentu akan berkaitan
dengan tugas dan kewajibannya, maka buku ini menjadi bukti keterikatan dan kesungguhan
Penyusun dalam melaksanakan amanah tersebut.

Ada 10 (sepuluh) klasifikasi Putusan MK yang dianggap penting oleh Penyusun, yaitu, (1)
Penyelenggara Pemilu mandiri, (2) Perlindungan hak pilih, (3) Syarat partai politik peserta
Pemilu, (4) Syarat calon anggota DPR dan DPRD, (5) Syarat calon anggota DPD, (6)
Pengumuman Penghitungan Cepat, (7) Metode penetapan calon terpilih Pilpres, (8) Calon
perseorangan Pilkada, (9) Pasangan calon tunggal Pilkada, dan (10) Desain Pemilu serentak 5
kotak suara. Menurut Penyusun, Putusan-putusan MK yang termuat dalam 10 (sepuluh)
klasifikasi tersebut dapat merupakan landasan pengaturan untuk penyelenggaraan Pemilu
selanjutnya. Oleh karena itu, di halaman-halaman akhir buku ini Penyusun menyatakan
bahwa, “Undang-Undang Pemilu sebagai produk politik menggambarkan karakter hukum
yang tidak terlepas dari pengaruh kekuatan sosial politik sehingga rumusan pengaturannya
berpotensi menimbulkan problem hukum Pemilu. Putusan-putusan MK memberikan
feedback kepada pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu untuk menjamin terwujudnya
kepastian hukum dan keadilan Pemilu.”

Sebagai akhir Kata Pengantar buku ini, perkenankanlah saya mengucapkan Selamat atas
terbitnya buku dengan judul “Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu” ini. Saya
merekomendasikan agar buku ini menjadi salah referensi bagi para mahasiswa, pengajar, dan
mereka yang ingin memahami hal-hal seputar Pemilu serta Pengaturan dan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan Pemilu. Semoga penerbitan buku ini akan
disusul dengan buku-buku lainnya dan akhirnya saya ucapkan kepada mbak Ida, “Selamat
menjalankan tugas negara di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan tugas-tugas
selanjutnya”. Semoga Tuhan selalu melindungi dan menyertai dalam pengabdian selanjutnya.

Teriring salam dan doa,

Maria Farida Indrati.

iii
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Daftar Isi
Sambutan Prof. Dr. Mahfud MD, SU
Kata Pengantar Prof. Dr. Jimly
Kata Pengantar Dr. Harjono, S.H., M.C.L.
Kata Pengantar Prof. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.
Prakata Penulis

1. Menuju Cita Hukum yang Demokratis: Lahirnya Mahkamah Konstitusi dan


Pengaturan Pemilu
1.1. Perubahan UUD 1945 … 1
1.2. Sejarah Mahkamah Konstitusi
1.2.1. Sejarah Judicial Review … 4
1.2.2. Mahkamah Konstitusi di Indonesia … 5
1.2.3. Tipologi Penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam Perkara PUU … 7
1.3. Perubahan Sistem Pemilu
1.3.1. Sistem Pemilihan Umum Langsung … 9
1.3.2. Independensi Penyelenggara Pemilu … 12
1.4. Klasifikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Buku Ini … 16

2. Putusan MK Tentang Kelembagaan Penyelenggara Pemilu


Putusan No. 72-73/PUU-II/2004 … 17
Putusan No. 11/PUU-VIII/2010 … 19
Putusan No. 81/PUU-IX/2011 … 25
Putusan No. 3/SKLN-X/2012 … 31
Putusan No. 31/PUU-XI/2013 … 35
Putusan No. 92/PUU-XIV/2016 … 39
Putusan No. 20/PUU-XVII/2019 … 44
Putusan No. 31/PUU-XVI/2018 … 48

3. Putusan MK Tentang Pemilu Lembaga Perwakilan


3.1. Putusan MK tentang tentang Pemilih
Putusan No. 102/PUU-VII/2009 … 57
Putusan No. 135/PUU-XIII/2015 … 60
3.2. Putusan MK tentang Syarat Calon DPR, DPD, dan DPRD
Putusan No. 011-017/PUU-I/2003 … 64
Putusan No. 14-17/PUU-V/2007 … 67
Putusan No. 10/PUU-VI/2008 … 72
Putusan No. 20/PUU-XI/2013 … 78
Putusan No. 4/PUU-VII/2009 … 85
Putusan No. 30/PUU-XVI/2018 … 89
3.3. Putusan MK Syarat Parpol Peserta Pemilu
Putusan No. 12/PUU-V/2008 … 100
Putusan No. 16/PUU-V/2007 … 101
3.4. Putusan MK tentang Verifikasi Parpol
Putusan No. 52/PUU-X/2012 … 105
3.5. Putusan MK tentang Kampanye
Putusan No. 32/PUU-VI/2008 … 111
Putusan No. 99/PUU-VII/2009 … 116
Putusan No. 51/PUU-XIII/2015 … 122

iv
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3.6. Putusan MK tentang Lembaga Survey Penghitungan Suara


Putusan No. 9/PUU-VII/2009 … 131
Putusan No. 98/PUU-VII/2009 … 133
Putusan No. 24/PUU-XII/2014 … 135
3.7. Putusan MK tentang Metode Penetapan Kursi
Putusan No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 … 138
3.8. Putusan MK tentang Penetapan Calon Terpilih
Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008 … 148
3.9. Putusan MK tentang Penggantian Calon Terpilih
Putusan No. 27/PUU-VIII/2010 … 155

4. Putusan MK Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden


4.1. Putusan MK tentang Konstitusionalitas Pilpres
Putusan No. 14/PUU-XI/2013 … 158
4.2. Putusan MK tentang Pemilih
Putusan No. 22/PUU-XII/2014 … 160
4.3. Putusan MK tentang Persyaratan Capres dan Cawapres
Putusan No. 50/PUU-XII/2014 … 162
4.4. Putusan MK tentang Verifikasi Partai Politik
Putusan No. 53/PUU-XV/2017 … 164

5. Putusan MK Tentang Pilkada


5.1. Putusan MK tentang Syarat Calon Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
Putusan No. 005/PUU-III/2005 … 169
Putusan No.006/PUU-III/2005 … 171
Putusan No. 5/PUU-V/2007 … 173
Putusan No. 22/PUU-VII/2009 … 175
Putusan No. 35/PUU-VIII/2010 … 177
Putusan No. 33/PUU-XIII/2015 … 179
Putusan No. 42/PUU-XIII/2015 … 183
Putusan No. 46/PUU-XIII/2015 … 187
Putusan No. 60/PUU-XIII/2015 … 190
Putusan No. 51/PUU-XIV/2016 … 196
5.2. Putusan MK tentang Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Putusan No. 100/PUU-XIII/2015 … 197
Putusan No. 105/PUU-XIII/2015 … 204
5.3. Putusan MK tentang Kewenangan MK dalam Penyelesaian Hasil Pilkada
Putusan No. 97/PUU-XI/2013 … 210
5.4. Putusan MK tentang Syarat bagi calon berstatus Petahana mengundurkan diri dari
jabatan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah
Putusan No. 17/PUU-VI/2008 … 212

6. Putusan MK untuk Kepastian Hukum Pemilu


6.1. Penyelenggara Pemilu Mandiri … 218
6.2. Perlindungan Hak Pilih … 219
6.3. Syarat Partai Politik Peserta Pemilu … 221
6.4. Syarat Calon Anggota DPR dan DPRD … 222
6.5. Syarat Calon Anggota DPD … 224
6.6. Pengumuman Penghitungan Cepat … 225
6.7. Metode Penetapan Pasangan Calon Terpilih Pilpres … 226

v
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

6.8. Calon Perseorangan Pilkada … 226


6.9. Pasangan Calon Tunggal Pilkada … 227
6.10. Desain Pemilu Serentak Lima Kotak Suara … 228

Daftar Pustaka

vi
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

1
MENUJU CITA HUKUM YANG DEMOKRATIS: PERUBAHAN UNDANG-
UNDANG DASAR 1945, LAHIRNYA MAHKAMAH KONSTITUSI, DAN
PEMBAHARUAN PENGATURAN PEMILU
Bab ini membahas konteks perubahan UUD 1945 yang diniatkan untuk mengatasi sejumlah
kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 pra-amandemen. Perubahan tersebut kemudian
disertai dengan kemunculan Mahkamah Konstitusi sebagai satu lemabaga tersendiri yang
memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review beserta dengan ragam
intrepretasinya. Bab ini juga membahas perubahan pengaturan sistem pemilu maupun
penyelenggaraan pemilu. Terakhir, bab ini menjelaskan klasifikasi atas putusan-putusan PUU
yang menjadi pokok bahasan dalam buku ini.

1.1. Perubahan UUD NRI 1945


Agenda perubahan konstitusi dilatarbelakangi peristiwa gerakan reformasi 1998 yang
menuntut adanya perubahan UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum
dan pemberantasan KKN, penegakan hak asasi manusia dan demokrasi, penegakan
kebebasan pers, serta pemberian hak otonomi kepada daerah. Keinginan untuk melakukan
perombakan mendasar baik dalam sistem hukum maupun struktur ketatanegaraan menjadi
agenda terpenting pada masa itu. Perubahan UUD yang dilakukan sejak perubahan pertama
tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002 mengalami pembaharuan pada muatan
materi hukumnya. Naskah UUD 1945 semula terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 49 ayat, dan 4
pasal Aturan Peralihan serta 2 ayat Aturan Tambahan. Setelah perubahan, UUD 1945 terdiri
atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan serta 2 pasal Aturan Tambahan.1

Arah kebijakan perubahan pertama naskah UUD 1945 melakukan penataan sistem pemilu
dan demokrasi, memperkuat sistem presidensial dan membangun check balance kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Bahkan mekanisme check dan balances juga dibangun dalam struktur
kekuasaan legislatif yaitu membentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mekanisme check
dan balance kekasaan eksekutif dan legislatif antara lain dapat dilihat dalam Perubahan
pertama UUD 1945, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) mengatur Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan rakyat. Selanjutnya Pasal 20 ayat (1)
dan (2) mengatur DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untum mendapat persetujuan bersama.
Kebijakan mewujudkan sistem pemerintahan demokratis, dilanjutan pada perubahan ketiga
UUD 1945 yang berdasarkan hasil pembahasan dirumuskan Pasal 1 Ayat (2), kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sejalan dengan
paham kedaulatan rakyat, sistem Pemilihan Umum secara langsung tidak hanya untuk
memilih Anggota DPR, DPD dan DPRD, namun juga dalam Pemilu Presiden dan Wakil

1
Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar
Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku I, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan
UUD 1945. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 4-5

1
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Presiden. Selengkapnya Ketentuan Pasal 6A ayat (1) menyebutkan Presiden dan Wakil
Presiden dilipih secara langsung oleh rakyat.

Pada aspek kelembagaan, yang terpenting adalah mengenai hakikat kekuasaan yang
diorganisasikan dalam struktur ketatanegaraan. Apa dan siapakah yang memegang kekuasaan
tertinggi atau yang disebut sebagai pemegang kedaulatan dalam Negara.2 Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD.” Kedaulatan rakyat yang menjadi dasar pelaksanaan demokrasi, oleh UUD
NRI 1945 telah diatur cara pelaksanaannya dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Demokrasi langsung diejawantahkan dengan pelaksanaan pemilihan umum,
sedangkan demokrasi tidak langsung adalah pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh
UUD NRI 1945 kepada lembaga-lembaga negara yang implementasinya harus mendasarkan
pada ketentuan UUD NRI 1945.

Diketahui bahwa dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan
melalui dua pilihan cara, yaitu melalui pembagian kekuasaan (distribution atau division of
power) atau sistem pemisahan kekuasaan (separation of power).3 Dalam sistem pembagian
kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke
bawah kepada lembaga-lembaga tinggi Negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan
rakyat. Sistem ini pernah diterapkan pada era Orde Baru yang mendudukkan MPR sebagai
lembaga tertinggi Negara sekaligus sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat. Sedangkan
pada sistem pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan
ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan
saling mengimbangi (checks and balances).4 Dalam pemerintahan yang bersistem pemisahan
kekuasaan, harus terdapat mekanisme checks and balances dari sesama lembaga negara.
Sistem pemisahan kekuasaan dengan adanya prinsip checks and balances inilah yang kini
diterapkan pada era Reformasi pasca perubahan UUD 1945.

Terdapat beberapa materi strategis/pokok yang telah disempurnakan MPR pada saat
melakukan perubahan UUD 1945. Pertama, aturan dasar mengenai tatanan negara sesuai
dengan Pembukaan UUD 1945. Kedua, aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang disertai perluasan partisipasi rakyat sesuai dengan perkembangan
paham demokrasi. Ketiga, aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi
manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia
yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum. Keempat, aturan dasar mengenai
penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian
kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and
balances) yang lebih ketat dan transparan, serta pembentukan lembaga-lembaga negara baru
untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman. Kelima,
aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan
kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan

2
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 (Yogyakarta:
FH UII Press, 2004), hal. 9.
3
Ibid., hal. 35.
4
Ibid., hal. 11

2
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan bangsa yang sejahtera. Keenam,
aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan
perjuangan mewujudkan demokrasi. Ketujuh, aturan dasar mengenai kehidupan bernegara
dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa
dan negara Indonesia sekaligus mengakomodasi kecenderungannya di masa yang akan
datang.5

Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan pada SU MPR 1999 yang berlangsung pada 14-21
Oktober 1999. Proses pembahasan perubahan dilakukan oleh PAH III BP MPR yang diberi
tugas khusus membahas dan merumuskan rancangan perubahan UUD 1945. Perubahan
Pertama UUD 1945 terfokus pada tiga materi pokok terdiri atas 9 pasal dan 13 ayat. Tiga
materi pokok itu adalah: 1. Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; 2. Bab tentang
Kementerian Negara; 3. Bab tentang Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan Kedua UUD
1945 yang disahkan dalam ST MPR 2000 terdiri dari 25 pasal dan 51 ayat. Beberapa materi
baru dalam Perubahan Kedua UUD 1945 antara lain mengenai pemerintahan daerah, hak
asasi manusia (HAM), wilayah Negara, dan atribut negara. Perubahan tersebut terdiri dari 7
(tujuh) materi pokok, yaitu: 1. Bab tentang Pemerintahan Daerah; 2. Bab tentang Dewan
Perwakilan Rakyat; 3. Bab tentang Wilayah Negara; 4. Bab tentang Warga Negara dan
Penduduk; 5. Bab tentang Hak Asasi Manusia; 6. Bab tentang Pertahanan dan Keamanan
Negara; 7. Bab tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Perubahan Ketiga UUD 1945 terdiri dari 23 pasal dan 64 ayat. Dalam Perubahan Ketiga ini
terdapat beberapa materi atau hal baru, antara lain pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
pemilihan umum, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Cakupan materi
pokok dalam Perubahan Ketiga ini yaitu: 1. Bab tentang Bentuk dan Kedaulatan; 2. Bab
tentang Majelis Pemusyawaratan Rakyat; 3. Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara; 4.
Bab tentang Dewan Perwakilan Daerah; 5. Bab tentang Pemilihan Umum; 6. Bab tentang Hal
Keuangan; 7. Bab tentang Badan Pemeriksa Keuangan; 8. Bab tentang Kekuasaan
Kehakiman. Perubahan keempat memuat materi pelaksanaan tugas kepresidenan,
pembentukan dewan pertimbangan presiden dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA), perihal bank sentral, kewajiban warga negara mengikuti pendidikan dasar dan
kewajiban pemerintah membiayainya, serta sistem jaminan sosial. Terkait dengan pemilihan
umum presiden dan wakil presiden, dirumuskan dalam Pasal 6A ayat 4 yang pada pokoknya
mengatur metode penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih.
Secara garis besar, menurut Denny Indrayana, proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945
tersebut dapat dijelaskan sebagai upaya untuk mengatasi beberapa masalah yang terdapat
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kelemahan tersebut antara lain: kekuasaan yang terlalu
terpusat pada eksekutif, tidak jelasnya sistem check and balances, terlalu banyak pelimpahan

5
Sekretariat Jenderal MPR RI, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Sejarah, Realita, dan
Dinamika, (Jakarta: Setjen MPR RI, 2006), hal. 51-52.

3
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

kewenangan, pasal-pasal yang ambigu, ketergantungan pada “good will” aktor alih-alih pada
sistem, dan mengatasi kekosongan hukum.6

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar 1945
yang muncul dengan desakan reformasi untuk mengakhiri rezim Orde Baru untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Pergeseran rezim ini ditandai pula
dengan perubahan dalam hal struktru tata negara dengan munculnya lembaga-lembaga negara
baru dengan tugas dan wewenangnya. Setidaknya terdapat ada dua poin yang menjadi pokok
pembahasan dalam buku ini. Pertama adalah kemunculan Mahkamah Konstitusi [1.2.]
sebagai lembaga dengan kewenangan besar untuk “menafsirkan” Undang-Undang Dasar
1945 dalam pengujian undang-undang. Dalam perannya sebagai guardian of the constitution
itulah Mahkamah dihadapkan dengan permohonan pengujian undang-undang yang berkenaan
dengan aspek pertama. Demikian, buku ini memaparkan penafsiran-penafsiran Mahkamah
Konstitusi untuk menjaga kepastian hukum pemilu. Atas keperluan tersebut, maka buku ini
akan mengulas pula beberapa ragam intrepretasi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
yang dalam praktiknya memberikan penafsiran sosiologis, teleologis, dalam kapasitasnya
sebagai negative maupun positive legislator. Aspek kedua mengenai Pemilu yang bersih dan
penyelenggara yang independen. Aspek yang juga muncul dari desakan gerakan mahasiswa
ini membawa dampak berupa perubahan baik dari segi sistem maupun penyelenggaranya
yang masing-masing dibahas pada bagian [1.3.]. Untuk memberikan konteks, maka dalam
bagian tersebut akan dibahas pergeseran yang terjadi itu, bagaimana perubahan-perubahan
pengaturan baik terhadap sistem maupun penyelenggara ditujukan dalam cita pemilu dan
penyelenggara yang bersih dan demokratis.

1.2. Sejarah Mahkamah Konstitusi


1.2.1. Sejarah Judicial Review
Lembaran awal sejarah praktik pengujian undang-undang (judicial review) bermula di
Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat saat dipimpin William Paterson dalam kasus Danil
Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat tahun 1796. Dalam kasus ini, MA
menolak permohonan pengujian Undang-Undang Pajak atas Gerbong Kertera Api 1794 yang
diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak bertentangan
dengan konstitusi, sehingga tindakan kongres dipandang konstitusional. Itu berarti bahwa
MA telah melakukan pengujian undang-undang secara nyata meskipun putusannya tidak
membatalkan undang-undang tersebut.

Praktik judicial review kembali terjadi dan dipertegas oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat (The Supreme Court United States of America) ketika memutus perkara Marbury v.
Madison tahun 1803. Dalam putusannya John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung
(chief justice) menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar gugatan William
Marbury terhadap James Madison adalah bertentangan dengan Article III Section 2

6
Disamping juga beberapa permasalahan lain, diantaranya: alasan teoritis, alasan historis, dan alasan praktis,
yang pada pokoknya menunjukkan muatan “otoritarian” dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Lihat dalam
Denny Indrayana. Indonesian Constitutional Reform 1999-2002, An Evaluation of Constitution-Making in
Transition. Thesis Doktoral di University of Melbourne. 2005. Hlm 92-101.

4
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Konstitusi Amerika Serikat, sehingga dalam memeriksa perkara tersebut Mahkamah Agung
menggunakan pintu kewenangan yang ditafsirkan dari konstitusi, yang mana dengan
menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi,
John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu undang-undang
bertentangan dengan konstitusi.. Peristiwa tersebut melatarbelakangi lahirnya gelar sebagai
lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), yang melekat pada Mahkamah
Agung. Kedudukan Mahkamah Agung berfungsi sebagai negative legislature, dan hakim-
hakimnya berkedudukan sebagai judge made law, karena mereka berwenang menemukan dan
menginterpretasikan suatu aturan hukum dengan sandaran konstitusi.

Secara teoritis, gagasan mengenai pelembagaan pengujian konstitusional atau judicial review
di Austria dilontarkan oleh Georg Jellinek (akhir abad ke 19). Ia menggagas pelembagaan
fungsi constitutional review ke dalam tubuh Mahkamah Agung Austria.7 Kemudian oleh
Hans Kelsen gagasan tersebut dikembangkan dan keberadaan Mahkamah Konstitusi baru
dikenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-
1973).8 Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk
menguji apakah suatu produk hukum konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya
jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusus yang
disebut Mahkamah Konstitusi (MK).

1.2.2. Mahkamah Konstitusi di Indonesia


Ide mengenai adanya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian
undang-undang sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru. Pada saat rapat sidang
BPUPKI, Yamin pada tanggal 15 Juli 1945 telah menyampaikan perlunya kewenangan untuk
melakukan pengujian undang-undang yang dibuat oleh dewan perwakilan telah sesuai dengan
Undang-Undang Dasar ataukah tidak, sebagaimana dikutip sebagai berikut:

“...Tuan Ketua yang termulia, ...dst. agar Mahkamah Agung melakukan kekuasaan
kehakiman dan membanding UU supaya sesuai dengan hukum adat, hukum Islam
(Syariah) dan dengan UUD dan melakukan aturan pembatalan UU, pendapat Balai
Agung --maksudnya Mahkamah Agung-- disampaikan kepada Presiden, yang
mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan ..., dst.”
“... Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga
hendaklah menjadi badan yang membanding apakah UU yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan, tidak melanggar UUD republik atau bertentangan dengan hukum adat
yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam. Jadi, dalam

7
Jimly Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hal. 24.
8
Gagasan Hans Kelsen mengenai pembentukan sebuah lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung itu
kemudian menemui momentumnya manakala ia ditunjuk sebagai Chancelery (Anggota Tim Penasehat
Penyusun Konstitusi Austria pada tahun 1919). Konstitusi yang mulai disusun tahun 1919 itu sendiri kemudian
berhasil dirampungkan dan disahkan sebagai Konstitusi pertama Autria pasca berpisah dari Kekaisaran Austro-
Hongarian setelah Perang Dunia I pada tanggal 1 Oktober 1920 dengan nama resmi
Bundesverfassungsgesetz (Konstitusi Federal Austria). Lihat Herbert Hemauniger, The Austrian Legal System,
Manzsche Verlagsund Universitat Buchhandlung, Wien, 2003, hal. 139.

5
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Mahkamah Tinggi itu, hendaknya dibentuk badan sipil dan kriminil, tetapi juga
Mahkamah Adat dan Mahkamah Islam Tinggi, yang pekerjaannya tidak saja
menjalankan kehakiman tetapi juga membanding dan memberi laporan tentang
pendapatnya kepada Presiden Republik tentang segala hal yang melanggar hukum
dasar, hukum adat dan aturan syariah; Tentang usul-usul yang lain, yang berhubungan
dengan fasal-fasal, nanti saya laporkan kalau kita telah membicarakan pasal-pasal
satu-persatu. Saya harap Tuan Ketua yang terhormat, supaya pembicaraan saya ini
dapat diterima ..., dst.”9

Meskipun pada akhirnya ide dari Yamin tersebut ditolak oleh peserta sidang, terutama oleh
Soepomo, namun setidaknya sejarah telah mencatat bahwa para founding fathers bangsa ini
pernah menggagas konsep tentang peradilan konstitusional untuk menilai kebasahan suatu
undang-undang terhadap konstitusi.

Pada masa reformasi, ide mengenai kewenangan judicial review pada lembaga yudisial
muncul sejak 1999 yang diusulkan oleh Hamdan Zoelva dan Valina Singka Subekti.10
Pertanyaan yang muncul pada pembahasan tersebut adalah, apakah Mahkamah Agung perlu
untuk memiliki kewenangan judicial review. Fraksi Golkar dan perwakilan militer dan
kepolisian menolak usulan tersebut karena undang-undang adalah produk hasil dari
perwakilan. Sebaliknya, Fraksi PBB dan PKB mendukung usulan tersebut dengan penekanan
pada perimbangan kekuasaan.11

Pembahasan lebih lanjut baru muncul pada saat amandemen ketiga UUD NRI 1945 dengan
salah satunya dipengaruhi oleh pemakzulan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan
latar belakang demikian, Fraksi PDIP mendukung untuk dibuatnya satu lembaga tersendiri
yang salah satu kewenanganya adalah untuk melakukan judicial review.12 Usulan tersebut
juga mendapat dukungan dari YLBHI dan beberapa perguruan tinggi. Mahkamah Agung
menyatakan pendapatnya untuk apakah kewenangan tersebut diberikan kepada mereka atau
kepada lembaga baru berupa mahkamah konstitusi. Demikian juga usulan dari Tim Ahli PAH
1 BP MPR yang diketuai oleh Jimly Asshidiqie, yang mengusulkan pembentukan Mahkamah
Konstitusi yang setara namun terpisah dari Mahkamah Agung.13 Akhirnya, pada sidang
tahunan MPR tanggal 9 November 2001 diputuskan tentang amandemen ketiga terhadap
UUD NRI tahun 1945.14 Salah satu hasil dari amandemen ketiga tersebut adalah masuknya
pasal 24C tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga baru, Mahkamah Konstitusi
langsung diamanahi beberapa wewenang dan kewajiban penting untuk mengawal konstitusi
(the guardian of constitusion), yaitu: (1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
9
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang disusun kembali oleh Sekretariat Negara, Penyunting,
Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Jakarta, 1998, hal. 318-333.
10
Fritz Edward Siregar. Indonesian Constitutional Politics 2003-2013. Thesis Doktoral di Faculty of Law
UNSW, 2016. Hlm 53.
11
Ibid hlm 54.
12
Ibid hlm 55-6. Dengan terutama melihat pada model Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Lihat juga dalam
Op Cit. Denny Indrayana hlm 178.
13
I D.G. Palguna. Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan dengan Negara
Lain. Konpress. Jakarta. 2018. Hlm 80-1.
14
Jimly Ashiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok
Gramedia, 2009), hal. 304-305

6
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus
perselisihan hasil pemilihan umum. Dari sekian kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi, buku ini berfokus semata pada kewenangan untuk melakukan judicial review
yang secara lebih spesifik lagi, pengujian terhadap pengaturan yang berhubungan dengan
Pemilu sebagaimana dijelaskan dalam bagian [1.4] buku ini.

1.2.3. Tipologi penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam perkara PUU


Bagian ini ditulis semata untuk memudahkan pembaca dalam memahami langgam penafsiran
dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam buku ini. Apabila dicermati, tiap
tipologi yang disuguhkan oleh para sarjana hukum berikut tidaklah dapat dipisahkan secara
absolut karena masing-masing terdapat irisan atau singgungan antar satu sama lain. Sebagai
semacam “papan penunjuk jalan”, buku ini tidak hendak melakukan elaborasi atas tipologi itu
sendiri selain untuk memaparkan adanya ragam penafsiran tersebut.

Secara filosofis, Mahkamah Konstitusi dalam desain konstitusional dimaksudkan sebagai


bagian dari perimbangan kekuasaan dengan kewenangan terbatas untuk menafsirkan
konstitusionalitas suatu norma.15 Dalam perkembanganya, muncul kebutuhan untuk
mengeluarkan putusan-putusan yang bersifat ultra petita dalam melakukan penemuan
hukum.16 Dengan kata lain, terdapat pergeseran penafsiran yang tadinya sebagai negative
legislature ke positive legislature. Menurut beberapa pendapat pergeseran tersebut adalah
bagian dari judicial discretion17 maupun judicial activism18 melalui putusan-putusan
conditionally constitutional untuk menggapai apa yang disebut sebagai “keadilan substantif”.
Jadi dalam menyatakan konstitusionalitas suatu norma, putusan Mahkamah Konstitusi dapat
dikategorikan dalam dua tipologi apakah suatu norma telah sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945 (negative legislature), atau dengan memberikan “rumusan baru” terhadap suatu
norma (positive legislature).

Selain itu, terdapat pula sarjana hukum yang melakukan pembagian tipologi putusan
berdasarkan pada metode penafsirannya. Safaat et al misalnya, membagi menjadi tiga pola
antara lain originalis, non-originalis, dan naturalis.19 Tipe yang pertama menitik beratkan
pada maksud dan tujuan awal pembuat konstitusi.20 Tipe yang kedua, non-originalis, melihat

15
Hans Kelsen. Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange, Ltd. Clark, New Jersey. 2005. Hlm. 268, 272,
277. Lihat juga; Hans. Kelsen. Judicial Review of Legislation: A Comparative Study of the Austrian and
American Constitution. The Journal of Politics, 4 (2), 1942.
16
Meskipun secara teoritik istilah ini masih dapat diperdebatkan, apakah Mahkamah Konstitusi melalui
putusanya melakukan “penemuan hukum” (rechtsvinding) atau “membuat hukum” (judge made law).
17
Martitah. Mahkamah Konstitusi, dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Konpress. Jakarta. 2013.
Hlm 175-6.
18
Op Cit. Fritz Edward Siregar. Hlm 208-9.
19
Muchammad Ali Safaat, Aan Eko Widiarto, Fajar Laksono Suroso. Pola Penafsiran Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2009-2013. Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 2, Juni 2017.
20
ibid hlm 240.Yang dapat dibagi lagi menjadi tiga; tekstual yaitu berdasarkan kepada pernyataan-pernyataan
yang dituliskan, historikal yaitu melalui analisa sejarah penyusunan konstitusi, dan yang melihat sebagai suatu
sistem yang harmonis atau fungsional.struktural.

7
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

konstitusi dalam konteks modern.21 Terakhir, naturalis melihat pada secara kodratiah.22
Tipologi yang lain lagi juga dibuat oleh Bisariyadi et al yang dalam studinya, berdasarkan
pada tipe pengujian norma adalah dengan (i) mengutip pasal Undang-Undang Dasar tanpa
menjelaskan makna lebih lanjut, (ii) menyebutkan prinsip atau nilai konstitusi sebagai dasar
pengujian tanpa menyebut secara spesifik pasal dalam Undang-Undang Dasar yang menjadi
batu uji, dan (iii) tidak menyebutkan dasar pengujian norma dan langsung menyimpulkan
konstitusionalitas suatu norma.23 Selanjutnya, tipologi putusan berdasarkan pada penelitian
dari Saldi Isra et al yang membagi kontur putusan Mahkamah Konstitusi dalam dua bagian:
(i) yang bercorak positivistik baik yang sosiologis maupun yuridis, dan (ii), yang bersifat
progresif.24

Tipologi sebagaimana disebutkan diatas dapat dijumpai dalam putusan-putusan yang terdapat
dalam buku ini. Dalam hal putusan yang bersifat positive legislature misalnya, dapat
dijumpai dalam pengujian norma perihal pencalonan mantan terpidana tindak pidana dengan
ancaman pidana lima tahun atau lebih sebagaimana terdapat dalam Putusan Nomor 14-
17/PUU-V/2007, 4/PUU-VII/2009, dan 43/PUU-XIII/2015. Dalam tiga putusan tersebut
Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran “konstitusional bersyarat” dengan memberikan
penafsiran “baru” mengenai syarat pencalonan mantan terpidana. Bahkan apabila dilihat dari
jenis amarnya, terlihat pula pola pencantuman “konstitusional bersyarat” tersebut dimana
pada putusan pertama,25 penafsiran norma baru hanya muncul pada bagian pertimbangan
sedangkan pada putusan yang lain masuk dalam bagian amar putusan.

Dalam perkembanganya nampak pula bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah selalu
bersifat statis. Dalam beberapa putusan, terlihat dinamika Mahkamah Konstitusi yang
memberikan penafiran berbeda dari putusan sebelumnya dalam pengujian norma yang sama.
Salah satunya adalah soal putusan tentang hak mencalonkan diri bagi mantan terpidana
sebagaimana terdapat dalam paragraf diatas. Selain itu, perubahan sikap Mahkamah
Konstitusi juga muncul dalam norma lain seperti pengujian norma kewenangan penyelesaian
perselisihan hasil Pilkada sebagaimana terdapat dalam Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004
dan 97/PUU-XI/2013. Tapi tentu tidak dapat juga dikatakan Mahkamah Konstitusi terus
melakukan judicial activism. Dalam topik lain seperti pengujian norma syarat calon DPD

21
Ibid hlm 241. Yang dapat dibagi lagi menjadi tiga: doktrinal yang berdasarkan pada praktik yang telah terjadi,
prudential atau berdasarkan pada kepentingan dan faktor eksternal, dan etikal atau berdasarkan pada
keseimbangan antar kepentingan.
22
Loc cit
23
Bisariyadi, Intan Permata Putri, Ananthia Ayu Devitasari, Titis Anindyajati, Alia Harumdani Widjaja,
Mohammad Mahrus Ali, Meyrinda Rahmawaty Hilipito. Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2016. Hlm 89.
24
Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, Edita Elda. Hasil Penelitian
Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (dari Berpikir Hukum Tekstual ke
Hukum Progresif). Mahkamah Konstitusi & PUSaKO FH Universitas Andalas. 2010.
25
Dinyatakan secara terang dalam pertimbangan bahwa “Mahkamah terikat oleh ketentuan Pasal 56 UU MK
yang menentukan hanya ada 3 (tiga) kemungkinan amar putusan […] amar putusan tidak dapat dimasukkan ke
dalam salah satu dari tiga kemungkinan bunyi amar putusan tersebut. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan adalah
dengan menyatakan dalam Pertimbangan Hukum putusan ini […]” lihat dalam Putusan 14-17/PUU-V/2007 hlm.
133.

8
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 dan 30/PUU-XVI/2018 dimana dalam dua putusan
tersebut Mahkamah Konstitusi konsisten dalam melakukan penafsiran.

Dalam tipologi yang lain dapat pula dikatakan bahwa terdapat putusan progresif yang atas
nama keadilan substantif mengesampingkan asas hukum sebagaimana terdapat dalam
Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 yang mengesampingkan asas non-
retroaktif. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menitikberatkan pada kemanfaatan
dimana apabila putusan a quo diterapkan secara prospektif justru tidak akan menghasilkan
kemanfaatan sebagaimana diharapkan. Terhadap pemaknaan teksnya, Mahkamah Konstitusi
juga tidak terpaku pada satu metode tafsir tertentu. Salah satunya ada pada Putusan Nomor
97/PUU-XI/2013 yang dalam pertimbanganya menyatakan menggunakan penafsiran original
intent. Terhadap putusan tersebut terdapat dissenting opinion oleh Arief Hidayat
menyebutkan bahwa seharusnya penafsiran original intent tersebut tidaklah bersifat absolut.
Pandangan tersebut muncul dalam Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang secara terang
menyatakan bahwa tinjauan historis tidak dimaksudkan untuk “[…] mengabsolutkan
penafsiran sejarah […]”.26

Singkatnya, Mahkamah Konstitusi tidaklah terpaku dalam satu metode penafsiran tertentu
melainkan bersifat kasuistik dengan melihat pada berbagai pertimbangan. Dari sekian ragam
penafsiran tersebut setidaknya satu pola yang berulang muncul dalam pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi, yaitu kesetiaanya untuk menjelaskan relevansi pertimbanganya
dengan nilai HAM dan demokrasi yang berdampak pada kepastian hukum. Demikian, setiap
putusan sebagaimana dipaparkan dalam buku ini juga diletakkan dalam konteks itu, dinamika
Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya untuk kepastian hukum Pemilu.

1.3. Perubahan Sistem Pemilu


1.3.1. Sistem Pemilihan Umum Langsung
Indonesia adalah negara demokratis sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
NRI 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Sebagai konsekuensinya, dua cabang kekuasaan terpenting dalam negara
modern, yakni lembaga eksekutif dan legislatif, baik pada tingkat nasional maupun daerah,
dipilih melalui suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Model demokrasi representatif ini mensyaratkan
adanya sistem partisipasi politik yang memungkinkan warga negaranya berpartisipasi secara
efektif dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan politik.

UUD 1945 sebelum perubahan tidak mengatur pengisian jabatan lembaga negara melalui
mekanisme pemilihan umum. Namun, dalam praktiknya, anggota DPR/MPR dan anggota
DPRD sebelum perubahan UUD 1945 dipilih melalui pemilihan umum.27 Sementara itu,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Kedudukan Presiden sebelum amandemen
UUD 1945 adalah sebagai mandataris MPR yang berkewajiban melaksanakan putusan-
putusan serta memberikan laporan pertanggungjawaban terkait putusan-putusan tersebut.
26
Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 hlm 38.
27
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 - BUKU 5, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2010.

9
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Dalam kedudukannya, MPR merupakan penjelmaan dari rakyat, maka ketentuan Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945 pra-amandemen berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung telah bergulir dan menjadi
topik perdebatan di masyarakat. Perdebatan itu, terutama seputar apakah pasangan Presiden
dan Wakil Presiden tetap dipilih oleh MPR sebagaimana Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 ataukah
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum. Demikian halnya dalam
Rapat BP MPR ke-2 pada 6 Oktober 1999, wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung sempat mengemuka. Salah satunya Hamdan Zoelva yang pada saat itu
sebagai juru bicara F-PBB, yang mengusulkan untuk meninjau kembali keberlakuan
Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.28 Usulan tersebut selanjutnya disambut oleh Vincent Radja dari F-KKI, yang
mengatakan:
“Tata cara pemilihan Presiden perlu adanya pemikiran baru tentang TAP MPR No.
II/MPR/1973 yang intinya tata cara pemilihan Presiden yang menghasilkan legitimasi
yang luas. Tata cara pemilihan Presiden yang memberikan gambaran hasil Pemilu
dengan hasil pemilihan Presiden. Perlu dipikirkan Presiden dan Wakil Presiden dibuat
satu paket untuk menggambarkan kesatuan politik dalam menyongsong pemerintahan
yang baru. Untuk masa depan dan menciptakan checks and balances maka presiden
dapat dipilih langsung dalam pemilu sehingga kepala-kepala daerah dapat dipilih
langsung juga oleh rakyatnya di daerah masing-masing.”29

Sedangkan Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyinggung soal perlunya perubahan tata
cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menjadi lebih terbuka dan demokratis.30
Sementara dari F-UG, Valina Singka Subekti menyampaikan usulan terkait pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dalam agenda perubahan UUD 1945, yaitu:
 Pembatasan kekuasaan Presiden dan lembaga eksekutif.
 Perluasan peran Dewan Perwakilan Rakyat
 Otonomi badan kehakiman atau yudikatif dan pemberian Hak Judicial Review kepada
Mahkamah Agung.
 Penegasan mengenai otonomi daerah seluas-luasnya.
 Penegasan adanya pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Utusan Daerah dan
Presiden sebagai mekanisme konstitusional
 Perluasan hak-hak warga negara melalui penegakan HAM dengan menghormati prinsip-
prinsip anti diskriminasi politik, agama, dan gender, hak beroposisi dan hak berpartai politik
serta satu pengaturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan pengaturan adanya
Komisi Nasional Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.31
Usulan yang sama terkait wacana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat, disampaikan oleh F-PDIP Aberson Marle Shalohon yang menyatakan,

28
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun
1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008, hal. 21
29
Risalah Rapat ke-2 Badan Pekerja MPR RI, 6 Oktober 1999, hal. 8-19.
30
Ibid. hal. 26
31
Ibid. hal. 29

10
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

“Jadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan myudikatif, kekuasaan


pemeriksaan keuangan negara, inilah kekuasaan-kekuasaan negara yang harus
dibentuk oleh rakyat. Mekanisme pembentukannya ada yang langsung dan ada yang
tidak langsung. Yang langsung dibentuk adalah pertama legislatif, yaitu MPR/DPR
dan DPRD harus langsung dibentuk oleh rakyat yaitu dengan memilih orang, bukan
partai politik. Baru kemudian untuk membentuk kekuasaan eksekutif yaitu Presiden,
yang disebut eksekutif atau pemerintah di dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu
hanya Presiden. Jadi, Presiden dan Wakil Presiden harus langsung orangnya dipilih
oleh rakyat melalui pemilu.”32

Namun di sisi lain, F-PDKB Gregorius Seto Harianto menyampaikan pendapat yang berbeda.
Bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dipilih melalui MPR dengan suara
terbanyak berdasarkan pemilihan umum. Seto Harianto berpandangan, jika pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka akan berdampak
pada mekanisme pertanggung jawaban Presiden.33

Bahwa selama perdebatan tersebut, rancang bangun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung sebenarnya telah mengerucut dan telah menemui titik kesepakatan, bahwa
keinginan untuk tidak adanya pengingkaran atas kedaulatan rakyat menjadi tujuan utama.
Namun demikian persoalan teknis kepada siapa Presiden harus bertanggung jawab masih
menjadi topik pembahasan. Dalam Rapat PAH I BP MPR ke-4, F-PDKB Gregorius Seto
Harianto menyampaikan redaksional perubahan Pasal 6 ayat (2):

Rumusan yang diusulkan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung melalui
pemilihan umum dan ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.34

Pembahasan terkait pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masih berlanjut hingga Rapat
PAH I BP MPR ke-19, 23 Februari 2000. Dalam rapat tersebut Anton Reinhart akademisi
dari UKI mengusulkan Pasal 6 ayat (2) berbunyi,

“Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum
dengan suara terbanyak. Reasoning-nya adalah sebagai berikut, untuk mendapatkan
legitimasi politik yang kuat dari mayoritas rakyat maka sebaiknya Presiden dan Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.”35

Berkaitan dengan mekanisme pertanggung jawaban Presiden dalam pelaksanaan tugasnya,


menurut John Pieris, sebagai konsekuensi Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka
Presiden harus bertanggung jawab kepada rakyat.36 Dengan demikian, MPR tidak perlu lagi

32
Ibid. hal. 61
33
Opcit. hal. 243
34
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun
1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hal. 126
35
Ibid. hal. 380
36
John Pieris mengatakan, “Karena dipilih langsung oleh rakyat, maka dia harus bertanggung jawab kepada
rakyat, bukan kepada MPR konsekuensinya begitu. Mereka itu tidak bertanggug jawab kepada kongres, tetapi
bertanggung jawab kepada rakyat. Apa wujud pertanggungjawaban kepada rakyat itu, sederhana saja. Kalau
rakyat sudah tidak suka dia lagi dia tidak akan terpilih pada proses keduanya, itu wujudnya. Ataukah jika dia
melakukan defian-defian behaviour dia akan di impeach itu wujud pertanggung jawabannya pada rakyat. Dan
kami kira itu lebih baik waktu yang akan datang…”, Ibid. hal. 406

11
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

menyusun GBHN, karena program kerja Presiden merupakan kontrak politik antara Presiden
dengan rakyat yang disampaikan pada masa kampanye.

Setelah mengalami perdebatan yang begitu panjang terkait rumusan pasal tentang pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dalam Rapat Paripurna ST MPR 2001 ke-7
pada 9 November 2001 hasil rumusan Pasal 6A yang disepakati dan disahkan sebagai berikut
:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di
setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik
menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) (masih dalam perdebatan)37
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang.
Ketentuan Pasal 6A Ayat (4) mengatur mengenai putaran kedua pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden baru disepakati dalam Dalam Rapat Komisi A ST MPR 2002 ke-4, 8 Agustus
2002 dengan memilih alternative 2,38 yaitu: ”Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Hasil inilah
yang disahkan dalam Rapat Paripurna ST MPR 2002 pada 10 Agustus 2002 sebagai bagian
dari Perubahan Keempat UUD 1945.
Sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dilaksanakan dengan
berdasarkan prinsip popular vote. Mekanisme penetapan pemenang selain dengan popular
vote juga berdasarkan prinsip penyebaran dukungan dari provinsi-provinsi di Indonesia. Hal
ini membuka peluang dilakukannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden putaran dua.
Ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (3) mengatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam
pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden”. Ketentuan ini dimaksudkan agar Presiden terpilih mempunyai legitimasi kuat
karena didukung oleh rakyat di mayoritas provinsi-provinsi di Indonesia.

1.3.2. Independensi Penyelenggara Pemilu


Bersamaan dengan perubahan sistem pemilu, perubahan lain yang terjadi Pasca-Orde Baru
adalah pembentukan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat independen. Hal tersebut
juga tidak dapat dilepaskan dari adanya kehendak agar pemilu tidak lagi menjadi sekedar alat

37
Pasal 6A UUD 1945 tidak bisa diselesaikan pada ST MPR 2001. Proses perubahan akan dilanjutkan dalam
pembahasan masa Perubahan Keempat pada 2002.
38
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun
1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2002 Buku Lima (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hal. 605

12
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

stempel legitimasi kekuasaan.39 Pada masa Orde Baru, pemilu diselenggarakan oleh LPU
yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dengan Sekjen Departemen Dalam Negeri sebagai
Sekretariat. Selanjutnya, pada masa transisi B.J. Habibie, dibentuklah KPU untuk Pemilu
2009 yang beranggotakan perwakilan partai politik peserta pemilu ditambah lima orang
perwakilan dari pemerintah. Setelah amandemen ketiga pada tahun 2002, seiring dengan
perubahan ketentuan Pasal 22E ayat (5), dinyatakan bahwa “Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri” dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000.
Selanjutnya, pengaturan mengenai kelembagaan pemilu secara berkala menjadi semakin
demokratis yang ditandai dengan seleksi anggota yang menjadi semakin terbuka, dan sistem
check and balance dalam kelembagaan penyelenggara. Sifat independen yang bebas dari
intervensi ini sejalan pula dengan IDEA40 sehingga perlu untuk dijaminkan dalam kerangka
hukum. Perubahan secara evolutif dari kelembagaan penyelenggara pemilu dijelaskan sebagai
berikut.

Pasca perubahan UUD 1945 yang keempat, konstitusi mengamanatkan penyelenggara


pemilihan umum dilakukan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.41 Bersifat nasional yaitu mencerminkan bahwa wilayah kerja komisi pemilihan
umum sebagai penyelenggara pemilihan umum mencakup seluruh negara Republik
Indonesia. Sifat tetap menunjukkan komisi pemilihan umum sebagai lembaga yang
menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu.
Sifat mandiri menegaskan kelembagaan penyelenggara Pemilu dalam menyelenggarakan dan
melaksanakan pemilihan umum adalah bebas dari pengaruh pihak manapun. Ketentuan Pasal
22E ayat (5) UUD 1945 menjadi kebijakan dasar yang menentukan arah atau tujuan, bentuk,
maupun isi dari undang-undang yang akan dibentuk.42 Undang-Undang harus mampu
menjaga penyelenggara Pemilu dari pengaruh luar yang dapat mengganggu independensi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa proses pembentukan hukum dan implementasinya tidak
akan lepas dari pengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan sosial dan personal, terutama
pengaruh atau asupan kekuatan sosial politik. Pengaruh ini menyebabkan kualitas dan
karakter hukum tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-kekuatan sosial dan personal
tersebut, terutama kekuatan-kekuatan politik pada saat hukum itu dibentuk.43 Dengan
demikian karakteristik penyelenggara Pemilu sangat ditentukan oleh seperangkat regulasi-
regulasi ketika dibentuk oleh kekuatan-kekuatan politik yang melahirkan penyelenggara
Pemilu tersebut.

Perubahan karakter kelembagaan penyelenggara Pemilu selalu mengalami perubahan


ditentukan berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Sebagai contoh di kelembagaan
39
Hermawan Sulistyo. Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy dalam A. Croissant (ed).
Electoral Politics in Southeast and East Asia. Friedrich Ebert Stiftung, Singapore. 2002. Hlm. 77
40
Helena Catt et. al., The Electoral Management Design: Revised Edition (Stockholm, Sweden: Office
International IDEA, 2014), hal 21
41
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
42
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal.
160.
43
Robert B. Seidman & William J. Chambles, Law, Order and Power, Printed in United States of America,
Pubhlised Stimulant Costly in Canada Library of Congress Catalog Card No. 78-111948

13
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

KPU, dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2003, mekanisme rekrutmen anggota KPU yaitu
melalui usulan Presiden yang kemudian akan mendapat persetujuan dari DPR untuk
ditetapkan. Presiden dalam mengusulkan calon anggota KPU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2003, melakukan penjaringan dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat. Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai syarat untuk menjadi anggota
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, yaitu warga negara Republik Indonesia; setia
kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; mempunyai integritas pribadi yang
kuat, jujur, dan adil; mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu,
tegaknya demokrasi dan keadilan; memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem
kepartaian, sistem dan proses pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki
kemampuan kepemimpinan; berhak memilih dan dipilih; berdomisili dalam wilayah Republik
Indonesia yang dibuktikan dengan KTP; sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit; tidak menjadi anggota atau pengurus
partai politik; tidak pernah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau lebih; tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan
struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri; bersedia bekerja sepenuh waktu.44

Syarat di atas sangat berbeda dengan pola rekrutmen anggota KPU pada periode
penyelenggaraan pemilu tahun 1999. Jika penyelenggara pemilu tahun 1999 terdiri dari unsur
partai politik dan pemerintah, maka pada periode 2001-2007 seorang calon anggota KPU
harus tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik dan tidak sedang menduduki jabatan
politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri. Pada tingkatan KPU
Provinsi, keanggotaan KPU Provinsi ditempuh melalui mekanisme pengusulan dari Gubernur
untuk mendapat persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai anggota KPU Provinsi.
Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota, calon anggota KPU Kabupaten/Kota diusulkan oleh
bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU Provinsi untuk ditetapkan sebagai anggota
KPU Kabupaten/Kota.

Selanjutnya pola rekrutmen anggota KPU, KPU Provinsi, dan Kabupaten/Kota menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengalami perubahan, yaitu keterlibatan
Tim Seleksi yang mengubah metode penunjukan dalam pengaturan sebelumnya. Tim Seleksi
di sini bertugas untuk membantu Presiden dalam menentukan calon anggota KPU yang akan
diajukan ke Komisi II DPR RI. Pada tingkatan KPU Provinsi, proses rekrutmen calon
anggota KPU Provinsi juga melalui Tim Seleksi yang dibentuk oleh KPU.Keanggotaan Tim
Seleksi diusulkan oleh Gubernur dan DPRD Provinsi dengan memperhatikan syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Tim Seleksi bertugas melakukan
seleksi calon anggota KPU Provinsi, terhadap calon anggota KPU Provinsi yang lulus atas
serangkaian tes tersebut, oleh Tim Seleksi akan diajukan 10 nama untuk selanjutnya
dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh KPU. Oleh KPU, kemudian ditetapkan lima
daftar anggota KPU terpilih peringkat teratas berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan.
Demikian juga dengan proses seleksi anggota KPU Kabupaten/Kota yang secara mekanisme

44
Pasal 18 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003

14
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

sama dengan perekrutan anggota KPU dan KPU Provinsi. Berdasarkan ketentuan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2007, KPU Provinsi membentuk Tim Seleksi calon anggota KPU
Kabupaten/ Kota pada setiap kabupaten/kota. Proses pemilihan dan penetapan anggota Tim
Seleksi oleh KPU Provinsi, bupati/walikota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota. Tim Seleksi mengajukan 10 nama calon anggota KPU Kabupaten/Kota
hasil seleksi kepada KPU Provinsi.KPU Provinsi melakukan uji kelayakan dan kepatutan
terhadap calon anggota KPU Kabupaten/Kota. KPU Provinsi menetapkan lima Anggota KPU
Kabupaten/Kota terpilih melalui keputusan KPU Provinsi.

Semula ketentuan UU No. 22 Tahun 2007 menyebutkan syarat untuk menjadi calon anggota
penyelenggara Pemilu baik dari jajaran KPU dan Bawaslu yakni tidak pernah menjadi
anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-
kurangnya dalam jangka waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang
dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan. Namun
dalam pembahasan rancangan perubahan UU No. 22 Tahun 2007, ketentuan tersebut
mengalami perubahan, yakni mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik, jabatan
politik, jabatan di pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
pada saat mendaftar sebagai calon.

Apabila dicermati, dalam proses rekrutmen anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/ Kota terdapat pola yang dilakukan secara terstruktur dan hirarkis lembaga-
lembaga tersebut merupakan suatu kesatuan penyelenggara pemilu. Hal demikian tentunya
berbeda dengan cara pandang terhadap kelembagaan KPU periode 2001-2007 yang terbagi
menjadi dua, yaitu KPU sebagai penyelenggara Pemilu skala nasional, dan KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara Pemilu kepala daerah.
Periode pengaturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini memisahkan pengawas
pemilu yang tadinya berada dibawah KPU menjadi lembaga tersendiri yang bersifat tetap.
Hanya saja, mekanisme seleksi anggota Bawaslu masih melalui tim seleksi yang dibentuk
oleh KPU, dan secara kelembagaan hanya bersifat tetap pada tingkat nasional saja sedangkan
untuk jajaran dibawahnya baik Panwaslu Provinsi maupun Panwaslu Kabupaten/Kota masih
bersifat ad hoc dengan keanggotaan diusulkan oleh jajaran KPU sesuai tingkatanya.

Mekanisme rekrutmen anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota menurut
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 sebenarnya sama dengan mekanisme rekrutmen
anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang diatur oleh UU No. 22 Tahun
2007. Bahwa yang menarik dalam undang-undang ini yaitu syarat calon anggota KPU yang
cukup mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik saat mendaftar dan keanggotaan
Tim Seleksi yang memperhatikan kuota keterwakilan perempuan. Sedangkan untuk Bawaslu,
terdapat penguatan Bawaslu yang bersifat tetap pada tingkat provinsi, dan mekanisme
rekrutmennya menggunakan tim seleksi yang sama untuk rekrutmen KPU, dan membentuk
tim seleksi sendiri untuk rekrutmen Bawaslu Provinsi. Patut disebutkan pula bahwa pada
masa pengaturan UU Nomor 15 Tahun 2011 dibentuk satu lagi lembaga penegak kode etik
penyelenggara pemilu untuk menjaga profesionalitas, integritas, dan akuntabilitas
penyelenggara, DKPP. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 kembali memuat pengaturan
yang sama, dengan penguatan kelembagaan Bawaslu.
15
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa baik model rekrutmen, kemunculan Bawaslu
yang disusul dengan DKPP, adalah satu ikhtiar untuk memantapkan pemilu yang jujur,
bersih, dan adil, atau dengan kata lain, pemilu yang berintegritas. Baik perubahan sistem
pemilu maupun bentuk kelembagaan berjalan beriringan menuju cita hukum yang demokratis
sebagaimana diniatkan pada masa pasca-Orde Baru. Hanya saja, sebagaimana telah
disinggung dalam awal bagian ini, perubahan-perubahan pengaturan itu juga tidak dapat
dilepaskan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus permohonan
judicial review berkenaan baik dengan sistem maupun kelembagaan dari penyelenggara
pemilu.

1.4. Klasifikasi Putusan dalam Buku Ini


Sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian [1.2.] dan [1.3.] dalam bab ini, terdapat dua aras
yang menjadi pokok pembahasan dalam buku ini, yaitu bagaimana Mahkamah Konstitusi
melalui putusan-putusan terhadap permohonan judicial review berperan dalam menjaga
kepastian hukum pemilu. Dua aras tersebut muncul dengan adanya tuntutan menuju sistem
kenegaraan yang lebih demokratis melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian
buku ini terfokus pada dua aras sebagaimana dimaksudkan. Pertama, kemunculan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga yang salah satu kewenanganya adalah melakukan judicial review,
dan kedua, perubahan sistem pemilu baik dalam hal kelembagaan maupun sistemnya. Buku
ini membidik bagaimana perspektif Mahkamah Konstitusi dalam hal kepastian hukum pemilu
melalui pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan Pemilu. Perspektif kepastian
hukum pemilu sebagaimana disebutkan haruslah kiranya ditempatkan dalam konteks hukum
yang lebih luas dan tidak hanya semata berkenaan dengan pemilu secara kelembagaan
maupun sistem teknisnya saja, melainkan juga selalu bertalian pula dengan hak asasi warga
negara.45 Jadi Mahkamah Konstitusi selain memegang peran sebagai guardian of the
constituion, juga menjadi penjaga demokrasi, pelindung hak konstitusional warga negara, dan
pelindung HAM.46

Tanpa bermaksud mengurangi pentingnya peran Mahkamah Konstitusi dalam perkara


penyelesaian PHPU, buku ini memiliki keterbatasan untuk tidak membahas putusan-putusan
PHPU. Selain alasan ruang, buku ini memang hendak fokus dalam melihat bagaimana
Mahkamah Konstitusi menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam permohonan judicial
review. Karena yang menjadi obyek studi adalah pengujian norma terhadap norma Undang-
Undang Dasar 1945, maka PHPU tidak disertakan disini. Untuk keperluan tersebut, buku ini
terbagi dalam putusan-putusan berkenaan dengan kepastian hukum pemilu yang terbagi
dalam empat bagian; Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden, dan Putusan-putusan tentang kelembagaan penyelenggara. Pengelompokan
tersebut bertujuan untuk memudahkan pembaca sembari memberikan penekanan-penekanan
khusus yang selanjutnya akan dielaborasi lebih jauh dalam Bab 6 buku ini.

45
Saldi Isra. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Konstitusi,
Vol. 11, No. 3, September 2014.
46
Janedjri M. Gaffar. Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait
Penyelenggaraan Pemilu. Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 1, Maret 2013. Hlm 13.

16
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

2
PUTUSAN MK TENTANG KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PEMILU

1) Putusan No. 72-73/PUU-II/2004


1. Pemohon : Pemohon Dalam Perkara No.072/PUU-II/2004
1. Yayasan Pusat Reformasi Pemilu (Cetro)
2. Yayasan Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu
Indonesia (Jamppi)
3. Yayasan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat
(JPPR)
4. Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan
Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika)
5. Indonesian Corruption Watch (ICW)
Pemohon Dalam perkara No.073/PUU-II/2004
1. Muhamad Taufik
2. Drs. Setia Permana
3. Indra Abidin
4. Hasyim Asy’ari, SH., Msi
5. Drs. Wahyudi Purnomo, M.Phil
6. Suparman Marzuki,
7. Irham Buana Nasution, SH
8. Pattimura
9. Prof. Dr. H. Jassin H. Tuloli
10. Prof. H. Razali Abdullah, SH
11. Ahmad Syah Mirzan, Msi
12. Dr. Hj. Yulida Ariyanti, SH
13. Dr. Ardiyan Saptawan, Msi
14. HM. Zainawi Yazid, SH,
15. Prof. DR. H.M. Jafar Haruna Msi
DR. Ricard. A.D. Siwu,Ph.D
2. Pokok Permohonan : Uji materil Pasal 56 hingga Pasal 119 UU No. 32 Tahun
2004 (UU Pemda) terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Dalam menjabarkan maksud “dipilih secara demokratis”
Putusan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pembuat undang-
undang telah memilih cara Pilkada secara langsung,
maka menurut Mahkamah sebagai konsekuensi logisnya,
asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum harus
tercermin dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-
jurdil) yang diselenggarakan oleh lembaga yang
independen. Terhadap pendapat apakah Pilkada langsung
termasuk kategori pemilu yang secara formal terkait
dengan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 dan segala
peraturan penjabaran dari pasal a quo, Mahkamah

17
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk


dalam kategori pemilihan umum sebagaimana
dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945. Namun demikian
Pilkada langsung adalah pemilihan umum secara materiil
untuk mengimplementasikan Pasal 18 UUD 1945. Oleh
karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda
dengan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E
UUD 1945, misalnya dalam hal regulator,
penyelenggara, dan badan yang menyelesaikan
perselisihan hasil Pilkada, meskipun harus tetap
didasarkan atas asas-asas pemilihan umum yang berlaku;
Menimbang bahwa pembuat undang-undang telah
menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada
langsung, yang mana Mahkamah berpendapat hal
tersebut menjadi wewenang dari pembuat undang-
undang. Walaupun demikian KPUD harus dijamin
independensinya dalam menyelenggarakan Pilkada
langsung, dan apabila independensi KPUD tidak dijamin,
hal ini akan mengganggu pelaksanaan hak rakyat sebagai
pemegang kedaulatan yang ditentukan dalam Pasal 1
ayat (2) UUD 1945, bertentangan dengan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dimuat
dalam Pasal 28D UUD 1945. Atas dasar pertimbangan
demikian, Mahkamah berpendapat bahwa pembuat
undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa
yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana
dimaksud Pasal 22E UUD 1945 sebagai penyelenggara
pilkada langsung mengingat KPU, selain memang
merupakan lembaga yang sengaja dibentuk oleh UUD
1945 sebagai penyelenggara Pemilu, KPU juga telah
membuktikan kemampuan dan independensinya dalam
penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPRD, DPD,
dan Presiden/Wakil Presiden pada tahun 2004, serta demi
pertimbangan efisiensi penyelenggaraan Pemilu dan
penciptaan sebuah kelembagaan dan kesisteman yang
kuat dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Untuk
masa yang akan datang diperlukan lembaga
penyelenggara pemilu yang independen, profesional, dan
mempunyai akuntabilitas untuk menyelenggarakan
Pemilu di Indonesia yang fungsi tersebut seharusnya
diberikan kepada komisi pemilihan umum sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 22E UUD 1945 dengan segala
perangkat kelembagaan dan pranatanya;
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian; Menyatakan:
Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat “… yang
bertanggung jawab kepada DPRD”;
Pasal 66 ayat (3) huruf e “meminta pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas KPUD”;

18
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat “…


kepada DPRD”;
Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat “… oleh
DPRD” Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Menyatakan:
Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat “… yang
bertanggung jawab kepada DPRD”;
Pasal 66 ayat (3) huruf e “meminta pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas KPUD”;
Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat “…
kepada DPRD”;
Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat “… oleh
DPRD” Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2) Putusan No. 11/PUU-VIII/2010


1. Pemohon : Nur Hidayat Sardini,S.Sos, M.Si.; Wahidah Suaib, S.Ag,
M.Si.; SF. Agustiani Tio Fridelina Sitorus, S.E.; Bambang
Eka Cahya Widodo,S.IP, M.Si.l; dan Wirdyaningsih, SH,
M.H.
2. Pokok Permohonan : pengujian materiil terhadap Pasal 93, Pasal 94 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 95, Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3), dan
Pasal 112 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan
Putusan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil terhadap
Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 95, Pasal
111 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 112 ayat (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum;

Bahwa pemilihan umum adalah bentuk atau mekanisme


sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat. Salah satu pilar
demokrasi adalah adanya prinsip kesetaraan dan
independensi tiap-tiap cabang kekuasaan negara agar
masing-masing cabang kekuasaan tersebut dapat saling
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).
Dalam pengisian jabatan kepala pemerintahan dan
anggota lembaga perwakilan, UUD 1945 menentukan
19
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

melalui pemilihan umum yang di dalamnya terdapat


prinsip saling mengawasi dan mengimbangi
antarpenyelenggara, peserta, dan pengawas pemilihan
umum;

Pemilukada adalah subsistem dari sistem Pemilu yang


demokratis, meski pemilihan yang dilakukan
rakyat/masyarakat daerah mempunyai arti tersendiri bagi
demokratisasi di daerah. Peletakan dasar penyelenggaraan
Pemilukada pertama-tama ditegaskan dalam Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”. Selanjutnya melalui UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 24 ayat
(5) ditentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan”. Demikian pula Pasal 56 UU a
quo menentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil”. Dengan demikian,
Pemilukada haruslah dilaksanakan dengan prinsip pemilu
yang dijamin dalam UUD 1945 yang selanjutnya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, UndangUndang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagai satu kesatuan sistem pemilu yang
demokratis;

Bahwa UUD 1945 menentukan Gubernur, Bupati, dan


Walikota sebagai kepala pemerintah daerah dipilih secara
demokratis [vide Pasal 18 ayat (4) UUD 1945].
Berdasarkan UU 22/2007, pemilihan kepala daerah secara
demokratis dimasukkan dalam pengertian pemilihan
umum yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, dengan
prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil,
setiap lima tahun sekali yang diselenggarakan oleh suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Oleh karena pemilihan umum kepala pemerintah
daerah telah masuk rezim hukum Pemilu, maka dengan
demikian pemilihan kepala pemerintah daerah secara
demokratis harus diartikan sebagai pemilihan yang

20
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

memenuhi prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur


dan adil, serta dilaksanakan secara periodik lima tahun
sekali. Pemilihan kepala pemerintah daerah secara
demokratis juga merupakan mekanisme pelaksanaan hak-
hak konstitusional warga negara sebagai pengejawantahan
prinsip kedaulatan rakyat yang dianut UUD 1945;

Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan


umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD
1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu
komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk
kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada
fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut
Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum
tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas
pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi
ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya
penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri
untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang
memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil.
Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh
lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip
luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena
itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal
70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan
sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas
melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum,
sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh
unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan
Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan,
Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku
penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai
lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian,
jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi
nyata dan jelas;
Menimbang bahwa ketentuan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1)
dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007, calon anggota
pengawas Pemilu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan
oleh Bawaslu. Menurut Mahkamah, mekanisme
rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan

21
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu


menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya
terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling
menghambat dalam penentuan anggota pengawas Pemilu
antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU
Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal ini
mengakibatkan terjadinya calon yang diusulkan oleh
KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak
ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya
KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak
mengajukan calon Panwas sehingga tidak ada anggota
Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas.
Ketentuan yang demikian menimbulkan ketidakpastian
hukum serta mengganggu terselenggaranya pemilihan
umum secara periodik yang luber dan jurdil sebagai
bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan
oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang demikian tidak
memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan
oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi
justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi;

Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, menurut


Mahkamah ketentuan mengenai rekrutmen anggota
Panwas yang harus diusulkan oleh KPU Provinsi untuk
Panwas Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota untuk
Panwas Kabupaten/Kota bertentangan dengan Pasal 22E
ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum yang
adil dan menghindari terganggunya penyelenggaraan
Pemilu, maka pencalonan dan pengangkatan anggota
Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau
Panwaslu;

Menimbang bahwa meskipun Pasal 93, Pasal 94 ayat (1)


dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007 dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, namun Mahkamah tidak
serta merta menyatakan pasal-pasal a quo tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena apabila
pasal-pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, hal itu akan menimbulkan kekosongan
hukum (rechtsvacuum). Oleh karena itu, berdasarkan
UUD 1945 serta bukti di persidangan dan keyakinan
hakim sebagaimana ditentukan Pasal 45 ayat (1) UU MK,
Mahkamah menyatakan yang bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
hanya kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan oleh KPU
Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk
selanjutnya ....” dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa
“... diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada

22
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk


selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2); kata,
“Calon” dan frasa, “... diusulkan oleh KPU
Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota
sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam
Pasal 95 UU 22/2007, sehingga menjadi:
Pasal 93 Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan
keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai
anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan. Pasal 94 (1) Anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3 (tiga) orang
sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah
melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan
dengan keputusan Bawaslu. (2) Anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga)
orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah
melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan
dengan keputusan Bawaslu. Pasal 95 Anggota Panwaslu
Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai
anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan dengan
keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota.

Bahwa dengan adanya perselisihan antara KPU dan


Bawaslu tersebut, menyebabkan pelaksanaan tugas dan
fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan
Umum, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu
Kabupaten/Kota tidak dapat berjalan secara maksimal.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, demi kemanfaatan
dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun 2010
yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi
yang kondusif di daerah-daerah yang akan
menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian
hukum yang adil serta terciptanya prinsip saling
mengawasi dan mengimbangi agar Pemilukada berjalan
sesuai dengan asas luber dan jurdil sesuai Pasal 22E ayat
(1) UUD 1945, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7
Panwaslu Provinsi dan 185 Panwaslu Kabupaten/Kota
harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas,
fungsi, dan wewenang masingmasing sesuai Undang-
Undang;
4. Amar Putusan :  Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
 Menyatakan kata, “Calon”, dan frasa, “... diusulkan
oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6
(enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 93;
kata, “Calon” serta frasa “... diusulkan oleh KPU

23
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Provinsi sebanyak


6 (enam) orang untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94
ayat (1) dan ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “...
diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada
Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang
untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 95 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi:

Pasal 93
Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan
keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai
anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji
kelayakan dan kepatutan.

Pasal 94
1. (1) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Provinsi dipilih sebanyak 3
(tiga) orang sebagai anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan
dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan
Bawaslu.
2. (2) Anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten/Kota dipilih sebanyak 3 (tiga)
orang sebagai anggota Panwaslu
Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan
dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan
Bawaslu.

Pasal 95
Anggota Panwaslu Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga)
orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan
ditetapkan dengan keputusan Panwaslu
Kabupaten/Kota.
 Menyatakan kata, “Calon”, dan frasa, “...
diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu
sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ....”
dalam Pasal 93; kata, “Calon” serta frasa “...
diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada
Panwaslu Provinsi sebanyak 6 (enam) orang
untuk selanjutnya ....” dalam Pasal 94 ayat (1) dan

24
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

ayat (2); kata, “Calon” dan frasa, “... diusulkan


oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu
Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk
selanjutnya ....” dalam Pasal 95 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4721) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
 Menyatakan 192 Panitia Pengawas Pemilu yang
sudah dibentuk adalah sah dan dapat
melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang
masing-masing sesuai dengan Undang-Undang;
 Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya;

3) Putusan No. 81/PUU-IX/2011


1. Pemohon : Indonesian Parliamentary Center (IPC); Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi; Yayasan Soegeng Sarjadi;
Center for Electoral Reform; Jaringan Pendidikan Pemilih
untuk Rakyat; Konsorsium Reformasi Hukum Nasional;
Lembaga Pendidikan Gerakan Rakyat; Komite Pemantau
Legislatif Sulawesi; Kebijakan dan Reformasi Hukum
Makassar; Yayasan Manikaya Kauci; Yayasan Lembaga
Studi Kebijakan Publik; Centre of Society Development
for Democracy; Lembaga Partisipasi Perempuan; Aceh
Judicial Monitoring Institute; Masyarakat Transparansi
Aceh; Trade Union Care Center; Gerakan Anti Korupsi
(GERAK) Aceh; The Aceh Institute; Achehnese Civil
Society Task Force (ACSTF); Forum Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Aceh; Mitra Sejati Perempuan
Indonesia (MISPI) Aceh; Forum Komunikasi Laki-Laki
dan Perempuan; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) Aceh; Sukardi Rinakit; Muhammad Dahlan;
Ridho Imawan Hanafi; August Mellaz; Wahyu Dinata;
Erik Kurniawan; Desiana Samosir; Danardono Siradjudin;
Ratri Suspandriarsih; Desi Anggraeni; Ahmad Hanafi;
Arbain; Nur Asiah Jamil; Josep Kristiadi; Reza Syawawi;
Risfa Neltasia; Teguh Setiono; Vidya Dyasanti; Heni
Yulianto; Rivan Prahasya, S.Hut; Iis Yuni Lestari;
Soraya; Suci Ayuningtyas; Wawan Heru Suyatmiko;
Agus Sarwono; Dwipoto Kusumo; Frenky Simanjuntak;
Lia Toriana; Putut Aryo Saputro; Syefrianti Aulia E; Ir.
Utami Nurul Hayati; Abdullah STP; Ade Irawan; Adnan
Topan Husodo; Dra. Ani Soetjipto, MA; Lolly Suhenty;
Topo Santoso; Yuda Kusumaningsih; Refly Harun;
Thomas A. Legowo; Drs. Syamsuddin Haris; Moch.
Fadjroel Rachman, S.E.; Didik Supriyanto; Teten
25
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Masduki; Purnomo Satrio P; Said Salahudin; Efriza, S.IP;


Dra. Evie Ariadne Shinta Dewi; Hendi Tri Wahyano;
Nengah Sukardika; Heru Gutomo; Jatmiko Wiwoho; Sri
Wahyu Ananingsih, S.H., M.Hum.; Turunan Gulo, SP,
MSP; Pipit Apriani; Charles Simabura; Feri Amsari, S.H.,
M.H.; Miko Kamal; Nurul Firmansyah; Muhammad
Fauzan Azim; Ardizal, S.H.; Rianda Seprasia, S.H.;
Wahono, S.Sos.; Jamin; Maskuri, S.H.; Setyono; Endang
Sri Rahayu; Siti Saptarini Kusumaningsih; Mamik
Indarwati; Harun Prasetyo; Mustadjab; Hadi Setyanto;
Abdul Hari; Lasmo; Mochtar MN, S.P.; Edy Susanto; Eko
Sulono, S.T.; Siti Apuah; Sutar; Safi'an; Ali Mustofa;
Suyatno, S.E.; M. Nurrosyidin, S.Ag.; Sugiyo; Dr. H.
Mahfudz Ali, S.H., M.Si.; Ferry Sataryanto, S.H.; Eko
Haryanto, S.H.; Windy Setyawan Putra, S.H.; Khandori,
S.H.; Dwi Saputra, S.H.; Wiwit Aprilia; Ronny Maryanto;
Qonik Hajah Masfuah; Bayu Samodra; Galih Hartanto
Putro; Rahardan Fajar Nugroho; Olyviana Agustine; Gita
Santika Ramadhani; Edi Pranoto, S.H., M.Hum.; Agus
Suprihanto, SH, MSI; Arif Hidayat, S.H., M.H.;
Putrawan; Yance Arizona; Antonius Benny Susetyo;
Ngatoilah; Willi Sumarlin; Yulianto; Yuristinus Oloan;
Yoes Irwan Batubara; Rahmi Sosiawaty; Lia Wulandari;
Y. Ari Nurcahyo dan Cecep Effendi, Ph.D.
2. Pokok Permohonan : menguji Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk
Putusan menguji Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, yaitu:
Pasal 11 huruf i sepanjang frasa, “mengundurkan diri dari
keanggotaan partai politik, … pada saat mendaftar
sebagai calon”;
Pasal 85 huruf i sepanjang frasa, “mengundurkan diri dari
keanggotaan partai politik, … pada saat mendaftar
sebagai calon”;
Pasal 109 ayat (4) huruf c yang menyatakan, “1 (satu)
orang utusan masingmasing partai politik yang ada di
DPR”;
Pasal 109 ayat (4) huruf d yang menyatakan, “1 (satu)
orang utusan Pemerintah”;
Pasal 109 ayat (4) huruf e sepanjang frasa “4 (empat)
orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai
politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam
hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR
berjumlah genap”; Pasal 109 ayat (5) yang menyatakan,
“Dalam hal anggota DKPP yang berasal dari tokoh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d
berjumlah 4 (empat) orang, Presiden dan DPR masing-
masing mengusulkan 2 (dua) orang”;
Pasal 109 ayat (11) yang menyatakan, “Setiap anggota

26
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu


berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan masingmasing
unsur sesuai dengan ketentuan yang berlaku”;

Untuk menjamin kemandirian komisi pemilihan umum,


terutama dari sisi rekrutmen, setidaknya terdapat dua hal
yang harus diperhatikan, yaitu penguatan proses seleksi
dan penguatan sistem yang mendukung seleksi. Bertolak
dari pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Undang-
Undang harus membangun sistem rekrutmen yang menuju
pada upaya memandirikan komisi pemilihan umum.
Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi
keanggotaan dalam komisi pemilihan umum yang
memiliki potensi keberpihakan;

Menurut Mahkamah, pandangan tentang adanya


pemisahan antara kemandirian institusi dan kemandirian
anggota merupakan pandangan yang kurang tepat, sebab
keduanya akan saling mempengaruhi. Artinya,
kemandirian anggota akan mempengaruhi kemandirian
institusi, dan sebaliknya, kemandirian institusi akan
mempengaruhi kemandirian anggota;

UU 15/2011 telah membangun sistem rekrutmen yang


dimaksudkan untuk menjaga agar komisi pemilihan
umum dapat mandiri dan steril dari kepentingan partai
politik peserta pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU 15/2011,
sepanjang frasa “mengundurkan diri dari keanggotaan
partai politik … pada saat mendaftar sebagai calon”.
Namun, dalam ketentuan pengunduran diri dari
keanggotaan partai politik yang tidak ditentukan jangka
waktunya tersebut, menurut Mahkamah dapat
dipergunakan sebagai celah oleh partai politik untuk
masuknya kader partai politik ke dalam komisi pemilihan
umum. Hal ini justru bertentangan dengan sifat “mandiri”
dari komisi pemilihan umum yang dinyatakan dalam
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;

Kemandirian lembaga atau dewan kehormatan yang


menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu,
salah satunya ditentukan oleh komposisi keanggotaan
dewan kehormatan bersangkutan. Dewan kehormatan
memiliki tugas untuk menilai ada atau tidak adanya
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dalam
kaitannya dengan tugas-tugasnya menyelenggarakan
Pemilu, yaitu tugas menyelenggarakan dan mengawasi
peserta pemilihan umum;

Jika keanggotaan dewan kehormatan diisi oleh peserta

27
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pemilihan umum, hal demikian berpotensi menyandera


atau mengancam kemandirian penyelenggara pemilihan
umum, karena pihak yang seharusnya diawasi (yaitu
partai politik peserta pemilihan umum) dapat berganti
peran menjadi pihak yang mengawasi penyelenggara
pemilihan umum (yaitu KPU dan Bawaslu), yang
tentunya menimbulkan ketidakleluasaan bagi
penyelenggara pemilihan umum dalam melaksanakan
tugasnya. Selain itu, unsur pemerintah dalam keanggotaan
dewan kehormatan seharusnya ditiadakan mengingat
keberadaan pemerintah (eksekutif) dalam sistem politik
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan partai
politik pemenang pemilu. Dengan dianulirnya unsur
pemerintah dari keanggotaan DKPP, Mahkamah menilai
hal tersebut lebih menjamin kemandirian DKPP sebagai
lembaga yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu,
serta meningkatkan kepercayaan masyarakat yang
merupakan faktor penting dalam penyelenggaraan
pemilihan umum yang demokratis dan berkualitas, yang
pada akhirnya memberikan akuntabilitas yang kuat bagi
pemenang pemilihan umum. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, serta pertimbangan Mahkamah dalam Putusan
Nomor 11/PUU-VIII/2010 bertanggal 18 Maret 2010,
terutama paragraf [3.23], Mahkamah menyatakan Pasal
109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan huruf e UU 15/2011
sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh
masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang
ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal jumlah
utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap”
bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.
Dengan demikian Pasal 109 ayat (4) selengkapnya dibaca,
“DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur
Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.”

Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 109 ayat (4)


huruf e UU 15/2011 sepanjang bagian kalimat “4 (empat)
orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai
politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam
hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR
berjumlah genap” telah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945, sehingga Pasal 109 ayat (4) huruf e UU
15/2011 selengkapnya dibaca, “DKPP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: e. 5 (lima) orang
tokoh masyarakat.” Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (5) UU
15/2011 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Di samping hal tersebut, dalam naskah UU 15/2011 yang
diunduh dari laman www.setneg.go.id, Pasal 109 ayat (5)
UU 15/2011 secara redaksional tertulis, “Dalam hal

28
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

anggota DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat


sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d berjumlah 4
(empat) orang, Presiden dan DPR masing-masing
mengusulkan 2 (dua) orang”, dan Pasal 109 ayat (6) UU
15/2011 secara redaksional tertulis, “Dalam hal anggota
DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf d berjumlah 5 (lima) orang,
Presiden mengusulkan 2 (dua) orang dan DPR
mengusulkan 3 (tiga) orang”. Setelah mencermati isi
ketentuan dimaksud, Mahkamah tidak melihatnya sebagai
cacat konstitusional, melainkan kesalahan redaksional
semata. Namun demikian, Mahkamah melakukan koreksi,
yaitu bahwa “ayat (4) huruf d” yang dirujuk oleh Pasal
109 ayat (5) dan ayat (6) a quo, seharusnya tertulis atau
merujuk kepada “ayat (4) huruf e”;

Keberadaan DKPP yang terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu


dari unsur KPU, Bawaslu, dan tokoh masyarakat,
ditujukan agar DKPP mampu bertindak dan bersikap
mandiri. Dengan mempertimbangkan unsur dari partai
politik dan pemerintah tidak ada lagi dalam keanggotaan
atau komposisi DKPP, menurut Mahkamah, permohonan
para Pemohon agar Pasal 109 ayat (11) UU 15/2011
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan
ayat (5) UUD 1945 adalah tidak beralasan. Mekanisme
penggantian antarwaktu tetap diperlukan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekosongan
keanggotaan DKPP, yang jika tidak dilakukan
penggantian antarwaktu justru akan menghambat
pelaksanaan tugas-tugas DKPP. Namun demikian,
penggantian antarwaktu yang didasarkan pada “kebutuhan
dan pertimbangan masing-masing unsur”, membuka
kemungkinan bagi unsur-unsur yang ada untuk
melakukan penarikan dan penggantian wakilnya di DKPP
sedemikian rupa tanpa alasan yang jelas. Hal demikian,
meskipun peluangnya kecil, namun tetap dapat
menghambat pelaksanaan tugas-tugas DKPP;
Mahkamah berpendapat, Pasal 109 ayat (11) UU 15/2011
dalam kaitannya dengan sifat mandiri sebagaimana
tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, harus
memberikan kepastian bahwa penggantian antarwaktu
dilakukan atas pertimbangan dan permintaan DKPP, dan
bukan semata-mata atas “kebutuhan dan pertimbangan
masing-masing unsur”; Berdasarkan pertimbangan
tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 109 ayat (11) UU
15/2011 sepanjang frasa, “berdasarkan kebutuhan dan
pertimbangan masingmasing unsur” dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dan
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian, Pasal 109 ayat (11) UU 15/2011

29
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

selengkapnya menyatakan, “Setiap anggota DKPP dari


setiap unsur dapat diganti antar waktu sesuai dengan
ketentuan yang berlaku”;
4. Amar Putusan :  Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
 Menyatakan Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5246), sepanjang frasa, “mengundurkan diri
dari keanggotaan partai politik ... pada saat mendaftar
sebagai calon” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri
dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar
sebagai calon”;
 Menyatakan Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5246), sepanjang frasa, “mengundurkan diri
dari keanggotaan partai politik ... pada saat mendaftar
sebagai calon” tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “sekurang-
kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah
mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik
pada saat mendaftar sebagai calon”;
 Menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan
ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5246) bertentangan dengan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 Menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan
ayat (5) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
 Menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf e Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5246)
sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh

30
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik


yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal
jumlah utusan partai politik yang ada di DPR
berjumlah genap” bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
 Menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf e Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5246)
sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh
masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik
yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal
jumlah utusan partai politik yang ada di DPR
berjumlah genap” tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga Pasal 109 ayat (4) tersebut
selengkapnya harus dibaca:
“DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari:
a. 1 (satu) orang unsur KPU;
b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu;
c. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.”
 Menyatakan Pasal 109 ayat (11) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5246)
sepanjang frasa “berdasarkan kebutuhan dan
pertimbangan masing-masing unsur” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
 Menyatakan Pasal 109 ayat (11) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5246)
sepanjang frasa “berdasarkan kebutuhan dan
pertimbangan masing-masing unsur” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
Pasal 109 ayat (11) tersebut selengkapnya harus
dibaca, ”Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat
diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”;

4) Putusan No. 3/SKLN-X/2012


1. Pemohon : KPU RI
2. Termohon : Pemerintahan Daerah Provinsi Papua: Dewan Perwakilan
Rakyat Papua dan Gubernur Papua
31
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3. Pokok Permohonan : memohon putusan mengenai sengketa kewenangan antara


Pemohon dan para Termohon tentang adanya
pengambilalihan kewenangan dalam menyusun dan
menetapkan pedoman teknis tentang tahapan Pemilihan
Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua melalui
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun
2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur, dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Papua Nomor 064/Pimp DPRP-5/2012 tentang Penetapan
Jadwal Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Umum Gubernur
dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Periode 2012-2017,
bertanggal 27 April 2012
4. Pertimbangan : Pemohon pada pokoknya mempersoalkan para Termohon
Putusan telah mengambil alih kewenangan dalam menyusun dan
menetapkan pedoman teknis tentang tahapan Pemilihan
Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dengan
menerbitkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua
Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur
dan Wakil Gubernur dan Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Papua Nomor 064/Pimp DPRP-5/2012 tentang
Penetapan Jadwal Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Umum
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Periode
2012-2017, bertanggal 27 April 2012. Kewenangan
Pemohon tersebut dimiliki secara konstitusional sesuai
dengan ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang
menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri”;

Menimbang bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor


81/PUU-VIII/2010, bertanggal 2 Maret 2011, telah
menyatakan, pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh
DPRP, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a
UU 21/2001, tidak memenuhi kriteria atau tidak termasuk
kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah
yang bersangkutan, baik karena hak asal-usul yang
melekat pada Provinsi Papua yang telah diakui dan tetap
hidup, maupun karena latar belakang pembentukan dan
kebutuhan nyata diperlukannya kekhususan atau
keistimewaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian tindakan
para Termohon yang menyusun dan menetapkan pedoman
teknis tentang tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan
Wakil Gubernur Papua dengan menerbitkan Peraturan
Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2011
tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur
dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Nomor
064/Pimp DPRP-5/2012 tentang Penetapan Jadwal
Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Umum Gubernur dan
Wakil Gubernur Provinsi Papua Periode 2012-2017,

32
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bertanggal 27 April 2012, termasuk dalam


menyelenggarakan proses pendaftaran dan verifikasi
bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Papua juga tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari
kekhususan Provinsi Papua. Kekhususan Provinsi Papua
berkaitan dengan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil
Gubernur yang berbeda dengan provinsi lainnya adalah
hanya mengenai pasangan calon Gubernur dan Wakil
Gubernur yang harus orang asli Papua dan telah mendapat
pertimbangan dan persetujuan MRP, sedangkan
persyaratan dan mekanisme lainnya sama dengan yang
berlaku di daerah lainnya di Indonesia;

Menimbang bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum


Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Pemilihan
Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua tetap harus
berdasarkan asas-asas pemilihan umum, yakni langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta
diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen
(mandiri). Maksud UUD 1945 sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 tersebut,
tidak mungkin dicapai apabila penyusunan dan penetapan
pedoman teknis tentang tahapan Pemilihan Umum
Gubernur dan Wakil Gubernur Papua didasarkan atas
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua yang
disusun bersama antara DPRP dan Gubernur dengan
pertimbangan dan persetujuan MRP, serta
penyelenggaraan proses pendaftaran dan verifikasi bakal
Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua
dilakukan oleh DPRP. Sebab, DPRP sebagai lembaga
perwakilan rakyat Papua dan Gubernur Papua terdiri atas
unsur partai politik dan perorangan yang dapat menjadi
pendukung atau pelaku dan memiliki kepentingan
langsung dalam kompetisi Pemilihan Umum Gubernur
dan Wakil Gubernur Papua tersebut. Sekiranya DPRP dan
Gubernur, serta MRP akan mengatur hal-hal yang terkait
dengan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur
Papua, maka materinya terbatas mengenai persyaratan dan
proses penentuan orang asli Papua sebagaimana
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Menimbang, meskipun berdasar pendapat Mahkamah
permohonan Pemohon cukup beralasan hukum dalam arti
bahwa semua tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan
Wakil Gubernur Papua menjadi kewenangan dan harus
ditangani oleh KPU (Pemohon), namun oleh karena
Termohon I melaksanakan kewenangan berdasarkan
Perdasus yang dibuat bersama oleh Termohon I dan
Termohon II (para Termohon), serta telah memulai proses
penjaringan yaitu pendaftaran, verifikasi, dan penetapan

33
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bakal pasangan calon berdasarkan Perdasus yang


dianggap sesuai dengan UU 21/2001, maka demi
kemanfaatan hukum, Mahkamah perlu menetapkan posisi
hukum atas hasil penjaringan bakal pasangan calon yang
dihasilkan berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi
Papua Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum
Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut. Menurut
Mahkamah, apa yang telah dilakukan oleh Termohon I
dan Termohon II dapat diterima sebagai bagian dari
proses yang sah khusus untuk Pemilihan Umum Gubernur
dan Wakil Gubernur Papua saat ini dan sekali ini
(einmalig). Oleh karena itu, semua bakal pasangan calon
yang telah ditetapkan oleh DPRP dapat diterima sebagai
hasil awal dari proses verifikasi di tingkat DPRP. Akan
tetapi, Pemohon tetap masih berwenang untuk membuka
kembali pendaftaran bakal pasangan calon guna memberi
kesempatan kepada bakal pasangan calon dari partai
politik-partai politik atau calon perseorangan yang selama
ini belum mendaftar karena menunggu pembukaan
pendaftaran oleh KPU Provinsi Papua. Menurut
Mahkamah, hal demikian akan lebih memberi kepastian
hukum yang bertumpu pada kemanfaatan hukum demi
stabilitas politik dan pemerintahan di Provinsi Papua.
Dengan demikian, permohonan Pemohon dapat
dikabulkan untuk sebagian;

Menimbang, oleh karena Pemilihan Umum Gubernur dan


Wakil Gubernur Papua harus segera dilaksanakan dan
KPU Provinsi Papua masih harus membuka pendaftaran
kembali tanpa membatalkan bakal pasangan calon yang
sudah ditetapkan oleh DPRP, maka Mahkamah
menganggap perlu memberi batas waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak diucapkannya putusan ini
kepada Pemohon untuk melakukan penjaringan bakal
pasangan calon baru yang lain. Setelah batas waktu
tersebut habis, maka Pemohon melanjutkan tahapan
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Papua
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
5. Amar Putusan : • Mengabulkan permohonan Pemohon:
1. Menyatakan Pemohon berwenang melaksanakan
semua tahapan Pemilihan Umum Gubernur dan
Wakil Gubernur di Papua, termasuk meminta
kepada Majelis Rakyat Papua untuk memberikan
pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Papua;
2. Menyatakan sah semua bakal pasangan calon yang
sudah diverifikasi dan ditetapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Papua, yaitu 1. Drs. Menase

34
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Robert Kambu, M.Si dan Drs. Blasius Adolf


Pakage; 2. Drs. Welington Wenda, M.Si. dan Ir.
Weynand Watory; 3. Habel Melkias Suwae, S.Sos,
M.M. dan Ev. Yop Kogoya, Dip. Th, S.E., M.Si;
4. Lukas Enembe, S.I.P., M.H. dan Klemen Tinal,
S.E., M.M.; 5. Dr. Noakh Nawipa, Ed.D dan
Johanes Wob, Ph.B., M.Si.; 6. DR. John Janes
Karubaba, M.Sc dan Willy Bradus Magay, S.Sos;
dan 7. Alex Hesegem, S.E. dan Ir. Marthen Kayoi,
M.M. masing-masing sebagai bakal pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang
dapat mengikuti tahapan berikutnya;
3. Memerintahkan Pemohon untuk menerima bakal
pasangan calon yang sudah diverifikasi dan
ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua
untuk mengikuti tahapan di Majelis Rakyat Papua;

5) Putusan No. 31/PUU-XI/2013


1. Pemohon : Ramdansyah, S.S., S.Sos.,S.H., MKM.
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3)
sepanjang frasa “Dalam hal rapat pleno DKPP
memutuskan pemberhentian anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 28 ayat (4) sepanjang
frasa “pengambilan putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) oleh DKPP diatur lebih lanjut dengan
Peraturan DKPP”, Pasal 100 ayat (4) sepanjang frasa
“Dalam hal rapat pleno DKPP memutuskan
pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2)”, Pasal 101 ayat (1) sepanjang
frasa “pengambilan putusan oleh DKPP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 100 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan DKPP”, Pasal 112 ayat (9) sepanjang frasa
“DKPP menetapkan putusan”, Pasal 112 ayat (10)
sepanjang frasa “Putusan DKPP”, Pasal 112 ayat (12),
Pasal 112 ayat (13) sepanjang frasa “wajib
melaksanakan putusan DKPP”, dan Pasal 113 ayat (2)
sepanjang frasa “Pengambilan putusan” Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E
ayat (1), Pasal 22E ayat (5), dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945.
3. Pertimbangan : Pokok permohonan Pemohon adalah pengujian
Putusan konstitusionalitas norma UU 15/2011 dengan alasan
bahwa Putusan DKPP yang bersifat final dan
mengikat menimbulkan ketidakpastian hukum karena
menegasikan kewenangan pembinaan dan supervisi
yang dimiliki oleh KPU dan Bawaslu;

DKPP adalah organ yang merupakan bagian dan satu


35
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu yang


dimaksud Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yaitu yang
mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu;

Menimbang bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945


menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Selanjutnya Pasal 24A ayat (5) UUD 1945
menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan,
dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
peradilan di bawahnya diatur dengan undang-
undang”. Pengertian frasa “diatur dengan undang-
undang” dalam Pasal 24A ayat
(5) UUD 1945 tersebut bermakna bahwa pembentukan
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus
dilakukan dengan Undang-Undang. Pasal 27 UU
48/2009 menyatakan:
Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25.
Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
undang-undang.
Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan,
“Yang dimaksud dengan ‘pengadilan khusus’ antara
lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak
pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan
pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada
di lingkungan peradilan tata usaha negara”.

Berdasarkan ketentuan di atas maka penyelenggara


peradilan di Indonesia terdiri dari Mahkamah Agung
(MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi
(MK). DKPP tidak termasuk dalam pengadilan khusus
yang masuk dalam salah satu lingkungan peradilan di
bawah MA sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 serta
tidak termasuk pula sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (2) UUD
1945. Hal tersebut telah ditegaskan pula dalam salah satu

36
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pertimbangan dalam Putusan Mahkamah mengenai


sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU)
yaitu dalam paragraf [3.18.1] Putusan Nomor
115/PHPU.D-XII/2013, tanggal 1 Oktober 2013
(Pemilukada Kota Tangerang) yang menyatakan, “DKPP
adalah organ tata usaha negara yang bukan merupakan
lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
UUD 1945 yang memiliki kekuasaan yang merdeka untuk
menegakkan hukum dan keadilan”;

Menurut Mahkamah, DKPP memiliki wewenang untuk


memberikan putusan atas ada atau tidak adanya
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara
Pemilu beserta sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
penyelenggara Pemilu tanpa dapat dipengaruhi oleh
lembaga manapun, termasuk Presiden, KPU, maupun
Bawaslu. Hal tersebut merupakan wujud dari
independensi dan kemandirian DKPP sebagai salah satu
lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan
Pemilu

Bahwa UU 15/2011 memberikan kewenangan kepada


DKPP untuk memutuskan pemberian sanksi kepada
penyelenggara Pemilu jika dalam proses pemeriksaan
oleh DKPP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,
penyelenggara Pemilu dimaksud memang terbukti telah
melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. Sanksi
tersebut dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian
sementara, atau pemberhentian tetap. Menurut
Mahkamah, sanksi yang diputuskan oleh DKPP adalah
sanksi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pejabat
atau perseorangan penyelenggara Pemilu. Putusan DKPP
bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu. Tindak
lanjut keputusan DKPP yang dilakukan oleh Presiden,
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun
Bawaslu adalah keputusan pejabat tata usaha negara
(TUN) yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat
individual, konkrit, dan final. Oleh karena itu hanya
keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu tersebut yang dapat
menjadi objek gugatan di peradilan TUN;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut


di atas, bahwa Putusan DKPP yang bersifat final dan
mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat
(12) UU 15/2011 dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam
Undang-Undang tersebut adalah sama dengan final dan

37
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

mengikatnya putusan lembaga peradilan. Untuk


menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan
tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa putusan
final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan
putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada
umumnya oleh karena DKPP adalah perangkat internal
penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang. Sifat final dan mengikat dari putusan
DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi
Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota,
maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.
Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan
keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual,
dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan
TUN. Apakah peradilan TUN akan memeriksa dan
menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar
keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah
merupakan kewenangan peradilan TUN. Dengan
demikian putusan final dan mengikat yang dimaksud
dalam Undang-Undang a quo haruslah dimaknai final dan
mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu yang melaksanakan
Putusan DKPP.
4. Amar Putusan : Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian,
yaitu:
1.1 Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal
112 ayat (12) Undang- Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai,
“Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10)
bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU,
KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan
Bawaslu”;
1.2 Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal
112 ayat (12) Undang- Undang Nomor 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5246) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi
Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;

38
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

6) Putusan No. 92/PUU-XIV/2016


1. Pemohon : KPU RI
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang in
casu Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E,
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3. Pertimbangan : Permohonan Pemohon “... setelah berkonsultasi dengan
Putusan DPR dan Pemerintah dalam forum rapat dengar
pendapat yang keputusannya bersifat mengikat”.

Bahwa dalam menilai dan memahami kemandirian KPU


sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
tidak cukup hanya dilakukan secara tekstual tatkala
perihal kemandirian yang dimaksud dalam UUD 1945
dituangkan lebih lanjut ke dalam suatu norma undang-
undang melainkan harus dikaitkan konteksnya dengan
kaidah yang berlaku dalam penafsiran konstitusi yang
menuntut pemahaman terhadap Konstitusi sebagai satu
kesatuan (the unity of the constitution), koherensinya
secara praktis (practical coherence), dan keberlakuannya
yang tepat (the appropriate working) dari pengertian yang
hendak diberikan oleh Konstitusi (in casu UUD 1945)
terhadap istilah “mandiri” dimaksud. Sebab, memberi
tafsir konstitusional terhadap suatu norma Undang-
Undang yang diturunkan atau sebagai pelaksanaan dari
norma Konstitusi sejatinya adalah upaya untuk menjawab
pertanyaan: bagaimana kita memandang Konstitusi
beserta tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan atau
dicapainya. Oleh karena itu, konteks latar belakang
sejarah (historical background), aspek teleologis
(teleological aspect), dan antisipasi terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada
masa yang akan datang karenanya harus dipertimbangkan
dengan cermat;
Bahwa dilihat dari sudut pandang konstitusi sebagai satu
kesatuan, perihal kemandirian KPU tidak dapat
dilepaskan dari tujuan mewujudkan bekerjanya
kaidah, lembaga, dan praktik demokrasi dalam rangka
mengimplementasikan gagasan negara demokrasi yang
berdasar atas hukum yang merupakan ruh dari UUD 1945
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945. Karena alasan itulah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara sengaja
memasukkan atau menambahkan ketentuan tentang

39
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pemilihan umum pada saat dilakukan perubahan UUD


1945. Sebab, disadari betul bahwa negara demokrasi yang
berdasar atas hukum tersebut tidak mungkin tercapai
tanpa ada pemilihan umum yang demokratis. Sementara
itu, kebutuhan akan pemilihan umum yang demokratis
menuntut diadakannya institusi yang kredibel sebagai
penyelenggara di mana kemandirian merupakan salah satu
penanda vital kredibilitas institusi penyelenggara
pemilihan umum itu. Untuk maksud dan tujuan itulah
institusi KPU diadopsi oleh UUD 1945. Meskipun KPU
sendiri oleh UUD 1945 tidak dimaksudkan sebagai nama
diri, sifat mandirinya (selain sifat nasional dan tetapnya)
merupakan unsur inheren yang tidak dapat ditiadakan;

Kemandirian KPU merupakan pengejawantahan dari


kedudukan KPU yang secara konseptual dikategorikan
sebagai lembaga independen. Frasa “mandiri” dalam
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menunjuk pada kedudukan
KPU sebagai lembaga yang berada di luar kekuasaan
pemerintah maupun kekuasaan DPR. Sebagai lembaga
mandiri, KPU memiliki kewenangan untuk menjalankan
sebagian fungsi negara yang diberikan kepadanya oleh
UUD 1945 dan Undang-Undang. Secara teoritik, lembaga
yang dikategorikan sebagai lembaga independen adalah
lembaga yang memiliki dan memenuhi prasyarat dan ciri
tertentu, yaitu: (1) dasar hukum yang membentuknya
menyatakan secara tegas kemandirian atau independensi
lembaga tersebut; (2) lembaga dimaksud bebas dari
pengaruh/kontrol cabang kekuasaan eksekutif; (3) proses
pengisian pimpinan lembaga tersebut melibatkan
eksekutif dan legislatif; (4) kepemimpinan lembaga
tersebut bersifat kolektif- kolegial. KPU yang dibentuk
sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tersebut
termasuk lembaga yang mesti memenuhi persyaratan
dimaksud.

Sifat mandiri yang dilekatkan kepada KPU mencakup


kemandirian institusional, fungsional, dan personal.
Mandiri secara institusional berarti, secara kelembagaan
KPU berdiri sendiri dan terbebas dari ketergantungan
pada lembaga atau infrastruktur politik lainnya.
Sementara mandiri secara fungsional bermakna bahwa
dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan Pemilu, KPU
bebas dari intervensi pihak dan kelompok manapun.
Dalam menjalankan fungsi membentuk peraturan
pelaksana maupun dalam melaksanakan tahap demi tahap
penyelenggaraan Pemilu, KPU bebas dari tekanan
maupun pengaruh pihak manapun. Sementara mandiri
secara personal bermakna bahwa setiap anggota lembaga
penyelenggara Pemilu haruslah orang-orang yang bebas

40
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dari keanggotaan yang bersifat partisan. Kemandirian


secara institusional, fungsional maupun personal
merupakan satu kesatuan makna dari sifat mandiri yang
dilekatkan pada KPU sesuai dengan Pasal 22E ayat (5)
UUD 1945.
Bahwa, lebih jauh, norma Undang-Undang yang
mengatur kemandirian KPU juga harus dinilai
berdasarkan aspek keberlakuan yang tepat (appropriate
working) sekaligus aspek antisipasi terhadap segala
kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang.
Dalam hubungan ini, rumusan norma Undang- Undang
dimaksud tidak boleh dibuat berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang bersifat ad hoc, kasuistis, dan
pragmatis yang menyebabkan norma undang- undang itu
segera akan kehilangan relevansi maupun koherensinya
sebagai aturan yang bersifat dan berlaku umum yang
sekaligus antisipatif;

Sementara itu, dengan mengikuti kaidah penafsiran


Konstitusi yang memandang hukum dasar sebagai satu
keutuhan, koherensi, serta keberlakuannya yang tepat,
terselenggaranya Pemilu yang demokratis, termasuk
pemilihan kepala daerah, merupakan prasyarat bagi
terwujudnya budaya demokrasi yang sehat dalam rangka
mewujudkan gagasan negara demokrasi yang berdasar
atas hukum;

Bahwa pengertian mandiri adalah identik dengan


independen. Suatu lembaga dikatakan mandiri atau
independen setidak-tidaknya harus memenuhi dua
kondisi: pertama, dalam melaksanakan fungsinya sesuai
dengan kedudukannya yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar atau Undang-Undang, secara prinsip
lembaga itu tidak bergantung pada pelaksanaan fungsi
lembaga lain di luar dirinya; kedua, dalam melaksanakan
fungsinya sesuai dengan kedudukannya yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang,
lembaga itu bebas dari campur tangan atau pengaruh
lembaga lainnya. Namun demikian, kedua kondisi
dimaksud tidaklah serta-merta menghilangkan atau
meniadakan kebutuhan untuk berkoordinasi atau bekerja
sama dengan lembaga lain bilamana kebutuhan demikian
merupakan tuntutan yang wajar guna mencapai tujuan
pembentukan lembaga dimaksud

Bahwa kemandirian KPU sesuai dengan penalaran di atas,


harus tercermin dalam rumusan norma Undang-Undang
yang diturunkan dari semangat UUD 1945 terutama
dalam hal kedudukannya maupun dalam hal pelaksanaan
kewenangannya. Oleh karena itu, KPU memiliki

41
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

kewenangan untuk secara mandiri atau independen


merumuskan peraturan dalam melaksanakan fungsinya
yang berpusat pada tujuan mencapai terselenggaranya
Pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah yang
demokratis. Pelaksanaan tersebut tanpa menghilangkan
pentingnya koordinasi dan kerja sama dengan lembaga
lain yang terkait dengan
fungsi penyelenggaraan Pemilu.

Bahwa sebagai lembaga yang bersifat mandiri, KPU


diberi kewenangan untuk membentuk peraturan
dalam rangka mengatur lebih lanjut
delegasi pengaturan dari Undang-Undang.
Kewenangan tersebut dimuat dalam Pasal 119 ayat (1)
UU 15/2011 yang menyatakan, “Untuk penyelenggaraan
Pemilu, KPU membentuk peraturan KPU dan keputusan
KPU”. Peraturan KPU yang dibentuk sesuai mandat
Pasal 119 UU 15/2011 merupakan jenis peraturan
perundang- undangan sebagaimana diakui atau dimaksud
dalam Pasal 8 UU 12/2011. Tidak hanya menjalankan
delegasi, menurut Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011, KPU
dapat membentuk Peraturan KPU yang diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat
apabila dibentuk berdasarkan kewenangan. Sejalan
dengan itu, dalam pembentukan peraturan KPU,
kedudukan dan fungsi lembaga KPU yang mandiri harus
tercermin dari proses terbentuknya peraturan KPU
dimaksud. Pembentukan peraturan KPU mesti sesuai dan
sejalan dengan sifat kemandirian yang dimiliki
pembentuknya. Dalam hal peraturan KPU dibuat secara
tidak sejalan dengan sifat kelembagaan KPU yang
dimandatkan UUD 1945, secara linear hal demikian pun
bertentangan dengan basis pembentukan peraturan,
khususnya syarat “dibentuk berdasarkan kewenangan”
yang diamanatkan UU 12/2011. Sebab, kata
“kewenangan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) UU 12/2011 tersebut berkaitan dengan eksistensi
lembaga

Bahwa secara faktual, hanya peraturan KPU dan


peraturan Bawaslu saja yang proses pembentukannya
mensyaratkan mekanisme konsultasi yang putusannya
bersifat mengikat. Sementara peraturan yang diterbitkan
oleh lembaga independen lainnya sama sekali tidak ada
keharusan melalui proses konsultasi dengan Pemerintah
dan DPR. Perlakuan berbeda terhadap proses
pembentukan peraturan oleh lembaga yang bersifat
mandiri secara langsung akan membedakan derajat
kemandirian lembaga tersebut. Di mana, lembaga yang
dalam proses pembentukan peraturan diharuskan

42
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

berkonsultasi yang keputusannya bersifat mengikat, akan


mendegradasi tingkat kemandiriannya dibanding lembaga
serupa lainnya. Padahal, penyelenggaraan Pemilu
merupakan ranah yang paling rentan untuk diintervensi.
Walaupun demikian, sejauh pembedaan dalam proses
pembentukan peraturan yang dikeluarkan lembaga
independen tidak mengganggu kemandiriannya,
pembedaan perlakuan terhadap proses pembentukan
peraturan dimaksud dapat ditoleransi dan tidak harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu
contoh pembedaan perlakuan dimaksud adalah adanya
mekanisme konsultasi dalam rapat dengar pendapat
dengan DPR dan Pemerintah dalam pembentukan
peraturan KPU. Langkah tersebut sama sekali tidak diatur
sebagai prosedur pembentukan peraturan yang dibentuk
oleh lembaga independen lainnya. Sekalipun terdapat
perlakuan berbeda, namun proses konsultasi dalam
pembentukan peraturan KPU merupakan sebuah
mekanisme biasa dalam rangka menampung masukan
sekaligus konfirmasi terhadap norma yang akan diatur
lebih lanjut dalam peraturan KPU. Sepanjang hasil
konsultasi tersebut tidak dipaksakan kepada KPU sebagai
institusi yang berwenang membentuk peraturan, norma
yang mengatur keberadaan konsultasi sebagai salah satu
tahapan pembentukan peraturan KPU tidak dapat
dikategorikan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5)
UUD 1945. Namun ketika hasil konsultasi dikategorikan
sebagai sesuatu yang wajib dan mengikat bagi KPU, maka
sifat memaksa dan mengikat dari hasil konsultasi itulah
yang mesti dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” dalam Pasal


9 huruf a UU 10/2016 tersebut membawa implikasi
teoretik maupun praktik yang dapat bermuara pada
tereduksinya kemandirian KPU dan sekaligus tidak
memberi kepastian hukum. Ada beberapa alasan dalam
hubungan ini. Pertama, bukan tidak mungkin bahwa
dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai
keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan
sama sekali. Hal itu dapat terjadi, misalnya, karena di satu
pihak tidak terdapat kesepakatan di antara fraksi-fraksi
yang ada di DPR atau antara DPR dan Pemerintah atau
antara DPR dan KPU atau antara KPU dan Pemerintah.
Dalam keadaan demikian, frasa “yang keputusannya
bersifat mengikat” telah menyandera KPU dalam
melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan
peraturan KPU dan pedoman teknis sehingga kewenangan
itu menjadi tidak dapat dilaksanakan sebab menjadi tidak
jelas keputusan mana atau apa yang harus dilaksanakan
oleh KPU padahal peraturan KPU dan pedoman teknis

43
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

demikian mutlak ada agar Pemilu dan pemilihan kepala


daerah dapat terselenggara. Kebuntuan demikian dapat
mengancam agenda ketatanegaraan yang
keberlanjutannya bergantung pada peraturan KPU dan
pedoman teknis KPU. Kedua, adanya frasa “yang
keputusannya bersifat mengikat” secara teknis
perundang-undangan juga menjadi berlebihan sebab tanpa
frasa itu pun apabila konsultasi dalam forum dengar
pendapat tercapai kesepakatan maka dengan
sendirinya KPU akan melaksanakannya. Ketiga,
adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah
menghilangkan, atau setidak-tidaknya mengaburkan,
makna “konsultasi” dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016
tersebut. Sebagai forum konsultasi, dalam hal tidak
terdapat kesepakatan maka KPU sebagai lembaga yang
dijamin kemandiriannya oleh UUD 1945 tidak boleh
tersandera dalam melaksanakan kewenangannya dalam
membuat peraturan KPU dan pedoman teknis sebab
lembaga inilah yang bertanggung jawab untuk menjamin
bahwa Pemilu dan pemilihan kepala daerah terlaksana
secara demokratis
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota menjadi Undang- Undang
sepanjang frasa “...yang keputusannya bersifat
mengikat” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya;

7) Putusan No. 20/PUU-XVII/2019

1. Pemohon : Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),


yang dalam hal ini diwakili oleh Titi Anggraini; 2. Hadar
Nafis Gumay; 3. Feri Amsari; 4. Augus Hendy; 5. A.
Murogi Bin Sabar; 6. Muhamad Nurul Huda; dan 7.
Sutrisno.
2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Mahkamah telah menegaskan bahwa KPU dapat
Putusan membentuk TPS tambahan sebagai konsekuensi
dibukanya kesempatan pindah memilih bagi warga negara
melalui UU Pemilu, namun pembentukan TPS tambahan
tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan

44
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

mempertimbangkan kebutuhan nyata pemenuhan dan


pelayanan hak memilih warga negara dan
mempertimbangkan jumlah pemilih dalam DPTb.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para
Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “menjamin setiap
Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung,
bebas, dan rahasia” agar dimaknai menjadi “dalam hal
jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah
maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU,
dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb” adalah tidak
beralasan menurut hukum.

Bahwa perihal batas waktu penghitungan suara pada hari


pemungutan suara, Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu
menyatakan: Penghitungan suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN
yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.

Bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama


karena untuk pertama kalinya, pemilu presiden dan wakil
presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota
legislatif (yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Salah
satu konsekuensi keserentakan pemilu dimaksud adalah
bertambahnya jenis surat dan kotak suara. Jika pada
Pemilu 2014, in casu pemilu anggota legislatif, terdapat
empat kotak suara maka pada Pemilu 2019, yang
menggabungkan penyelenggaraan pemilu presiden dan
wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu
anggota legislatif, terdapat lima kotak suara.
Penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang
wajar, akan menimbulkan beban tambahan dalam
penyelenggaraan termasuk memerlukan waktu lebih lama.
Apalagi, jumlah partai politik peserta Pemilu 2019 lebih
banyak dari Pemilu 2014. Terkait dengan hal itu, Pasal
350 ayat (1) UU Pemilu mengantisipasi dengan cara
membatasi bahwa pemilih untuk setiap TPS paling
banyak 500 orang. Bahkan, setelah melalui simulasi,
sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 3
Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara
dalam Pemilihan Umum, KPU mengatur bahwa jumlah
pemilih untuk setiap TPS paling banyak 300 orang.

Bahwa sekalipun jumlah pemilih untuk setiap TPS telah


ditetapkan paling banyak 300 orang, namun dengan
banyaknya jumlah peserta pemilu, yang terdiri dari dua
pasangan calon presiden, 16 (enam belas) partai politik
nasional dan khusus Aceh ditambah dengan 4 (empat)
partai politik local peserta pemilu dengan tiga tingkat
pemilihan, dan perorangan calon anggota DPD, serta

45
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

kompleksnya formulir-formulir yang harus diisi dalam


penyelesaian proses penghitungan suara, potensi tidak
selesainya proses penghitungan suara pada hari
pemungutan suara sangat terbuka. Belum lagi jika faktor
kapasitas dan kapabilitas aparat penyelenggara pemilu,
khususnya di tingkat TPS, turut dipertimbangkan.

Bahwa untuk mengatasi potensi masalah tersebut maka


ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara
sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu
harus dibuka namun dengan tetap memerhatikan potensi
kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan
mana akan terbuka jika proses penghitungan suara yang
tidak selesai pada hari pemungutan suara lalu dilanjutkan
pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu. Oleh
karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka
waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan
sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak
terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari
pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga
paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan
suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 waktu setempat,
merupakan waktu yang masuk akal, jika waktu tersebut
diperpanjang lebih lama lagi justru akan dapat
menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS. Bahwa
berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah
berpendapat, sebagian dalil para Pemohon sepanjang
menyangkut pembatasan waktu penghitungan suara di
TPS/TPSLN sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2)
UU Pemilu cukup beralasan. Hanya saja, untuk
mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko
kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan
suara cukup diberikan paling lama 12 (dua belas) jam.
Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang
wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan
potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di
TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara. Sehubungan
dengan itu, maka Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
tidak dimaknai, “Penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di
TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan
suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai
dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) jam sejak
berakhirnya hari pemungutan suara.”

Dengan dimaknainya Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu


sebagaimana dinyatakan di atas maka semua norma yang
memuat batas waktu yang terkait atau terdampak dengan
penambahan waktu 12 (dua belas) jam tersebut harus pula

46
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

disesuaikan dengan penambahan waktu dimaksud.


4. Amar Putusan : Dalam Provisi: Mengabulkan permohonan provisi
Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, dan
Pemohon VII.
Dalam Pokok Permohonan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon IV,
Pemohon V, Pemohon VI, dan Pemohon VII untuk
sebagian;
2. Menyatakan frasa “kartu tanda penduduk elektronik”
dalam Pasal 348 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula
surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk
elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan
dan catatan sipil atau instansi lain yang sejenisnya
yang memiliki kewenangan untuk itu”.
3. Menyatakan frasa “paling lambat 30 (tiga puluh) hari”
dalam Pasal 210 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai “paling lambat 30
(tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara
kecuali bagi pemilih karena kondisi tidak terduga di
luar kemampuan dan kemauan pemilih karena sakit,
tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena
menjalankan tugas pada saat pemungutan suara
ditentukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari
pemungutan suara”.
4. Menyatakan frasa “hanya dilakukan dan selesai di
TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan
suara” dalam Pasal 383 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai “hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN
yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan
dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat

47
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 (dua belas)


jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara”.
5. Menyatakan permohonan Pemohon II dan Pemohon
III tidak dapat diterima.
Menolak permohonan Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon
V, Pemohon VI, dan Pemohon VII untuk selain dan
selebihnya.

8) Putusan No. 31/PUU-XVI/2018


1. Pemohon : Erik Fitriadi;
Miftah Farid;
A.Wahab Sunet, dkk
Kuasa Pemohon:
Dr. Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk
2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Apakah pengurangan jumlah anggota KPU
Putusan kabupaten/kota dan jumlah anggota PPK yang dalam
Undang-Undang sebelumnya ditetapkan berjumlah 5
(lima) orang menjadi 3 (tiga) atau 5 (lima) orang dalam
UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu


dijelaskan terlebih dahulu bagaimana kehendak
sesungguhnya konstitusi (UUD 1945) terhadap institusi
penyelenggara Pemilu. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945
menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap dan mandiri. Sesuai sifat mandiri yang ditegaskan
dalam ketentuan tersebut, lembaga penyelenggara Pemilu
haruslah sebuah institusi yang bebas dari intervensi
kepentingan politik. Pada saat yang sama, orang-orang
yang bertindak sebagai penyelenggara bukan bagian dari
kontestan pemilihan umum serta dapat melaksanakan
tugas secara independen.

Bahwa kemandirian atau independensi penyelenggara


Pemilu juga ditopang oleh aspek imparsialitas dan
profesionalitas orang-orang yang diangkat sebagai
penyelenggara Pemilu. Dua aspek tersebut akan sangat
menentukan bagaimana kemandirian lembaga
penyelenggara pemilu dijaga dan ditegakkan. Pada saat
yang sama, keduanya juga sangat menentukan bagaimana
Pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan

Bahwa secara konseptual, profesionalitas merupakan


salah satu dari 11 prinsip Pemilu berkeadilan yang
dirumuskan oleh The United Nations Democracy Fund
48
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

(UNDEF), di mana prinsip profesionalitas diartikan


bahwa penyelenggaraan Pemilu mensyaratkan
pengetahuan teknis bagi penyelenggara Pemilu yang
mumpuni dan memiliki kompetensi untuk menjelaskan
proses atau tahapan Pemilu. Artinya, untuk menjadi
penyelenggara, seseorang haruslah memiliki pengetahuan
dan kompetensi yang memadai. Selain itu, beban kerja
yang seimbang juga menjadi bagian penting agar kerja-
kerja profesional penyelenggara dapat dilakukan secara
optimal terutama untuk mewujudkan Pemilu yang jujur
dan adil. Dalam pengertian demikian, betapapun
bagusnya pengetahuan dan kompetensi dari
penyelenggara Pemilu namun bilamana dibebani dengan
pekerjaan secara tidak seimbang atau beban yang
berlebihan (overload), penyelenggara Pemilu akan sulit
untuk bekerja secara profesional. Bagaimanapun, sesuatu
yang dapat mengurangi profesionalitas penyelenggara
secara langsung
juga akan berpengaruh terhadap terwujud atau tidaknya
Pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki
ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Bahwa dari tiga kelompok besar beban KPU, yaitu


membentuk regulasi teknis penyelenggaraan,
melaksanakan tahapan Pemilu, serta menjaga dan
mensupervisi penyelenggara Pemilu yang bersifat
nasional mulai dari tingkat pusat hingga tingkat TPS
diperlukan keseimbangan beban kerja. Dari ketiga
kelompok besar tersebut, dua fokus kerja yang disebut
terakhir membutuhkan jumlah sumber daya manusia yang
seimbang dan rasional. Sebab, untuk melaksanakan
tahapan dan mengendalikan penyelenggara (termasuk
panitia ad-hoc di level kecamatan sampai ke tingkat TPS)
tidak hanya membutuhkan penyelenggara yang mumpuni
secara pemahaman, melainkan juga secara kuantitatif
diperlukan jumlah yang mencukupi untuk melaksanakan
dan memastikan semua tahapan Pemilu berjalan secara
baik sesuai ketentuan yang berlaku. Andaipun kapasitas
penyelenggaranya baik, namun memiliki keterbatasan
untuk menjangkau semua aspek penting, mulai dari
memastikan jumlah pemilih yang memiliki hak pilih
sampai memastikan suara pemilih dihitung dan direkap
dengan baik, disebabkan oleh keterbatasan jumlah
penyelenggara tentunya akan mempengaruhi pencapaian
standar kejujuran dan keadilan Pemilu dalam
mewujudkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu,
meskipun jumlah penyelenggara Pemilu pada masing-
masing tingkatan merupakan kebijakan pembentuk
undang-undang, namun ketika keputusan pembentuk
undang-undang berpotensi menyebabkan terjadinya

49
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

ancaman kerentanan terhadap pencapaian kehendak UUD


1945, maka pertanyaannya kemudian apakah hal
demikian dapat dikualifikasi sebagai kebijakan yang
bertentangan dengan UUD 1945.

Bahwa untuk pertama kali, KPU sebagai lembaga yang


mandiri sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut
UU 12/2003). Dalam UU 12/2003 tersebut diatur bahwa
jumlah anggota KPU sebanyak 11 (sebelas) orang,
anggota KPU Provinsi 5 (lima) orang, dan jumlah anggota
KPU kabupaten/kota 5 (lima) orang. Jumlah tersebut
ditetapkan setelah sebelumnya dalam draft RUU 12/2003
yang diusulkan oleh pemerintah jumlah anggota KPU
Provinsi dan KPU kabupaten/kota adalah sebanyak 5
(lima) sampai 9 (sembilan) orang. Seperti terpapar di
dalam Persandingan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
fraksi- fraksi DPR terhadap RUU 12/2003, pemerintah
mengusulkan anggota KPU terdiri atas 11 anggota [Pasal
66], anggota Panitia Pemilu Provinsi sekurang- kurangnya
lima orang dan sebanyak-banyaknya tujuh orang [Pasal
75], anggota Panitia Pemilu kabupaten/kota sekurang-
kurangnya tujuh orang dan sebanyak-banyaknya sembilan
orang [Pasal 78];

Bahwa berdasarkan fakta di atas, untuk mewujudkan


pelaksanaan Pemilu secara langsung, umum, bebas, jujur,
dan adil sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945, jumlah yang tertera dalam draf Persandingan
DIM RUU Pemilu pertama setelah perubahan UUD 1945
tersebut dapat dipahami, pertama, pembentuk undang-
undang awalnya menginginkan anggota KPU provinsi dan
kabupaten/kota dalam jumlah tertentu, yaitu antara lima
sampai dengan tujuh orang untuk anggota KPU provinsi
dan tujuh sampai sembilan orang untuk kabupaten/kota;
kedua, jumlah anggota KPU kabupaten/kota jauh lebih
banyak dibandingkan jumlah anggota KPU Provinsi.
Dalam batas penalaran yang wajar, jumlah tersebut
diusulkan sesuai dengan beban kerja penyelenggaraan
Pemilu pada setiap tingkatan, di mana KPU lebih banyak
berperan pada aspek regulasi dan pengendalian, KPU
Provinsi lebih pada aspek koordinasi dan supervisi, dan
posisi KPU kabupaten/kota sebagai pelaksana sekaligus
pengendali terhadap penyelenggaraan tahapan Pemilu di
kabupaten/kota termasuk pengendali
panitia/penyelenggara ad hoc yang berada di level di
bawah kabupaten/kota. Dengan demikian, dari aspek

50
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

tanggung jawab, KPU dan KPU Provinsi tentu lebih


besar, namun dari aspek beban kerja penyelenggaraan,
KPU kabupaten/kota jauh lebih berat. Oleh karena itu,
menjadi logis apabila pemerintah dalam draft yang
diajukan mengusulkan bahwa jumlah anggota KPU
kabupaten/kota lebih banyak dibandingkan jumlah
anggota KPU Provinsi;

Bahwa apabila pada akhirnya pembentuk undang-undang


menyepakati anggota KPU Provinsi dan kabupaten/kota
dalam UU 12/2003 masing-masing berjumlah lima orang,
kesepakatan tersebut didasarkan atas pertimbangan beban
anggaran yang ditimbulkan jikalau jumlah anggota KPU
provinsi ditetapkan tujuh orang dan anggota KPU
kabupaten/kota tujuh sampai sembilan orang.
Pertimbangan tersebut juga menjadi dasar pemikiran
pembentuk undang-undang sehingga UU 12/2003
mengadopsi bahwa KPU berjumlah 11 orang, KPU
Provinsi berjumlah lima orang, dan KPU kabupaten/kota
berjumlah lima orang.

Bahwa berdasarkan pada pengalaman penyelenggaraan


tiga pemilu (Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu
2014), yaitu ketika anggota KPU kabupaten/kota
berjumlah 5 (lima) orang, pemilu dilaksanakan dengan
baik dan tidak terkendala oleh masalah tidak memadainya
jumlah anggota KPU di kabupaten/kota. Artinya, dengan
jumlah penyelenggara pemilu di masing- masing
tingkatan yang telah ditetapkan sebelumnya, jumlah
penyelenggara pemilu di setiap tingkatan yang diatur oleh
undang-undang dinilai cukup mampu menopang
berjalannya pemilu yang jujur dan adil. Dengan jumlah
tersebut, potensi malpraktik yang disebabkan oleh
penyelenggara dapat diminimalisir, karenanya kebijakan
mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota yang
ada dalam UU Pemilu saat ini menjadi pertanyaan karena
dapat mengancam prinsip penyelenggaraan Pemilu
sebagaimana dikehendaki Pasal 22E UUD 1945.
Bagaimanapun, mengurangi jumlah penyelenggara,
terutama di kabupaten/kota, potensial untuk menimbulkan
kerentanan terselenggaranya pemilu secara jujur dan adil.
Bahkan bila dikaitkan dengan bertambahnya beban
penyelenggara Pemilu khususnya di kabupaten/kota ke
bawah yaitu dengan perubahan desain penyelenggaraan
pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden yang
dilaksanakan serentak tentu saja memberikan beban lebih
besar bagi penyelenggara di kabupaten/kota ke bawah.
Dalam batas penalaran yang wajar maka menjadi
pertanyaan mengapa ketika desain pelaksanaan Pemilu
dilaksanakan secara serentak yang konsekuensinya akan

51
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

menimbulkan beban kerja yang lebih besar justru jumlah


penyelenggara Pemilu di kabupaten/kota dikurangi.

Bahwa lebih jauh, KPU merupakan lembaga negara


mandiri yang tunduk pada prinsip profesional sehingga
penentuan komposisi keanggotaannya pun harusnya
didasarkan pada ukuran-ukuran profesionalitas, baik dari
aspek kualitas maupun kuantitas. Artinya, hanya alasan
untuk bekerja dan berjalan secara profesional yang
mestinya jadi landasan utama untuk menentukan jumlah
keanggotaan lembaga tersebut. Dalam konteks itu, meski
aspek ketersediaan anggaran juga harus dipertimbangkan,
namun pertimbangan tersebut hanya dapat dibenarkan dan
dapat diterima nalar konstitusionalnya selama
pertimbangan anggaran tidak berpotensi mengancam asas-
asas Pemilu yang ditentukan dalam konstitusi, in casu
asas jujur dan adil dalam Pasal 22E UUD 1945;

Bahwa meskipun soal penentuan jumlah personal


penyelenggara Pemilu merupakan legal policy pembentuk
Undang-Undang di mana Mahkamah pada dasarnya
berpendapat bahwa terhadap persoalan demikian tidak
dapat dinilai konstitusionalitasnya, namun sejak awal
Mahkamah telah menegaskan dan ditekankan kembali
dalam setiap putusannya yang menyangkut legal policy
bahwa sesuatu yang sifatnya legal policy hanya dapat
dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas,
rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sehingga
dalam masalah a quo, kebijakan pembentuk undang-
undang mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/ kota
di beberapa kabupaten dan kota menjadi 3 (tiga) orang
sebagaimana dipertimbangkan sebelumnya nyata- nyata
melanggar salah satu prinsip yang membenarkan adanya
legal policy, yaitu prinsip rasionalitas. Oleh karena itu,
tidak ada keraguan sedikitpun bagi Mahkamah untuk
menyatakan bahwa mengurangi jumlah anggota KPU
kabupaten/kota di beberapa kabupaten dan kota menjadi
berjumlah 3 (tiga) orang di tengah pertambahan beban
penyelenggara pemilu, lebih-lebih dengan
penyelenggaraan pemilu legisatif dan pemilu presiden dan
wakil presiden serentak tahun 2019, adalah sesuatu yang
irasional.

Bahwa berdasarkan atas pertimbangan tersebut,


Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang
menjelaskan dasar perhitungan jumlah anggota KPU
Kabupaten/Kota 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang secara
bersyarat hanya dapat dinilai konstitusional sepanjang
dimaknai 5 (lima) orang. Dengan demikian, dalil para
Pemohon bahwa Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU

52
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal


28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut
hukum.

Bahwa apabila dikaji lebih jauh, berdasarkan


penghitungan dalam Berita Acara KPU Nomor
112/PL.02.1BA/01/KPU/VII/2018 tentang Rekapitulasi
Daftar Pemilih Sementara (DPS) Dalam Negeri,
bertanggal 12 Juli 2018, terdapat
7.201 kecamatan, 83.370 desa/kelurahan, dan 801.838
tempat pemungutan suara (TPS) untuk pelaksanaan
Pemilu Serentak Tahun 2019. Dengan melihat jumlah
kecamatan, desa/kelurahan dan jumlah TPS untuk
pelaksanaan Pemilu 2019, pelaksanaan Pemilu Legislatif
dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden yang
diselenggarakan secara bersamaan, jelas menambah bobot
tugas dan kerja penyelenggara Pemilu di tingkat
kecamatan. Dengan bentangan fakta tersebut,
pengurangan jumlah PPK dari Pemilu 2014 berjumlah
lima orang menjadi tiga orang dalam Undang-Undang a
quo dapat dikualifikasi sebagai rumusan yang tidak
rasional dan tidak terukur. Perumusan norma yang tidak
rasional dan tidak terukur ini jelas akan berdampak
terhadap pemenuhan asas Pemilu yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil yang wajib untuk
dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu, termasuk
penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan;

Bahwa selain alasan hukum di atas, pengurangan jumlah


anggota PPK dalam UU Pemilu juga menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam hubungannya dengan
ketentuan jumlah anggota PPK yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(UU 10/2016). Di mana, dalam Pasal 16 ayat (1) UU
10/2016 diatur bahwa anggota PPK sebanyak 5 (lima)
orang. Sekalipun rezim hukum Pemilu dan Pilkada
dianggap berbeda, namun penyelenggara Pilkada yang
diberi tugas oleh UU 10/2016 untuk melaksanakan
Pilkada adalah penyelenggara Pemilu yang dibentuk
sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Oleh karena
itu, struktur penyelenggara Pemilu dan Pilkada
seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat
dari dua undang-undang yang berbeda. Selain perbedaan
pengaturan mengenai komposisi anggota PPK antara UU
Pemilu dan UU 10/2016 dapat menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan tugas-tugas

53
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

PPK, rasionalitas apakah yang dapat membenarkan bahwa


pemilihan kepala daerah yang lebih sederhana
diselenggarakan oleh PPK dengan jumlah anggota adalah
5 (lima) orang, sementara untuk Pemilu serentak tahun
2019 yang jauh lebih kompleks jumlah anggota PPK
hanya 3 (tiga) orang.

Bahwa atas dasar pertimbangan profesionalitas


penyelenggaraan Pemilu di tingkat kecamatan dan
rasionalitas manajemen Pemilu serta dihubungkan dengan
kepastian hukum komposisi keanggotaan PPK, maka
pengurangan jumlah anggota PPK menjadi 3 (tiga) dalam
UU Pemilu merupakan kebijakan yang bertentangan
dengan semangat penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan
adil sebagaimana dimandatkan Pasal 22E ayat (1) UUD
1945;

Bahwa isu konstitusionalitas Pasal 468 ayat (2) UU


Pemilu yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah
adanya frasa “hari” yang menurut para Pemohon tanpa
memiliki penjelasan lebih lanjut dapat membuka peluang
frasa tersebut menjadi multitafsir dan jauh dari nilai
kepastian. Hal tersebut berdampak pada terganggunya
proses mediasi dan adjudikasi yang secara substansi
prosesnya diawali dengan menerima dan melakukan
pengkajian terhadap permohonan penyelesaian sengketa
yang kemudian dilakukan mediasi/musyawarah mufakat
dengan mempertemukan pihak yang bersengketa dan
apabila tidak berhasil untuk dilakukan perdamaian, maka
dilanjutkan dengan proses adjudikasi, sehingga dengan
tenggang waktu yang lebih terbatas apabila hanya
dimaknai sebagai hari kalender dibandingkan apabila
dimaknai sebagai hari kerja, maka hal tersebut jelas
mempengaruhi optimalisasi penyelesaian sengketa oleh
Bawaslu

Bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka


untuk memberikan kepastian hukum dan dengan
memahami secara substansial bahwa proses penyelesaian
sengketa proses Pemilu pada Bawaslu memerlukan
tahapan menerima permohonan dan melakukan
pengkajian, kemudian tahapan selanjutnya adalah
mempertemukan para pihak untuk dilakukan proses
mediasi untuk diperoleh musyawarah mufakat
(perdamaian) dan tahapan selanjutnya adalah dilakukan
proses adjudikasi apabila perdamaian tidak tercapai, di
mana keseluruhan proses tahapan tersebut memerlukan
waktu yang dipandang cukup agar diperoleh hasil
keputusan yang optimal dan dengan pertimbangan yang
utama adalah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan

54
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pemilu yang berkualitas, oleh karena itu Mahkamah dapat


menerima dalil para Pemohon bahwa makna frasa “hari”
dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu harus dimaknai
sebagai hari kerja dan terhadap hal a quo
menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan
menurut hukum.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
2. Frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10
ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109),
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai “5 (lima) orang”;
3. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109),
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
5. Frasa “3 (tiga) orang” dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “5
(lima) orang”;
6. Kata “hari” dalam Pasal 468 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6109, bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
7. Menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal
21 ayat (1) huruf k, Pasal 117 ayat (1) huruf b
sepanjang frasa “30 (tiga puluh) tahun”, Pasal 117 ayat
(1) huruf m, Pasal 117 ayat (1) huruf o, dan Pasal 557
ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik

55
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)
tidak dapat diterima;

56
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3
PUTUSAN MK TENTANG LEMBAGA PERWAKILAN

3.1 PUU tentang Pemilih

1) Putusan No. 102/PUU-VII/2009


1. Pemohon : Refly Harun dan Maheswara Prabandono
2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap
UUD 1945
3. Pertimbangan : Hak pilih sebagaimana ditegaskan Mahkamah dalam
Putusan Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 merupakan hak
konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih
(rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang
dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi
internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan,
peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga
negara

UUD 1945 yang secara tegas menentukan, “Segala warga


negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” [vide
Pasal 27 ayat (1)]. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
menentukan, “Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa, 14 dan
negaranya”. UUD 1945 juga menegaskan, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum” [vide Pasal 28D ayat (1)]. Selanjutnya
ditentukan pula, “Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”
[vide Pasal 28D ayat (3)] dan Pasal 28I ayat (2) yang
menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu”.
Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang berbunyi: (1) “Setiap orang berhak turut
serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan
langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang
dipilih dengan bebas; (2) Setiap orang berhak atas

57
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan


pemerintahan negerinya; (3) Kemauan rakyat harus
menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus
dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur
dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat
umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara
yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga
menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”

Ketentuan tersebut juga sejalan dengan Pasal 25 Kovenan


Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang
telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) sebagaimana termuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4558, yang berbunyi: “Setiap warga
negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa
pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan: a) Ikut dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung
maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b)
Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang
jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta
dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk
menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari
para pemilih; c) Memperoleh akses pada pelayanan umum
di negaranya atas dasar persamaan.”

Menimbang bahwa Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39


Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan: (1)
“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak
melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan. (2) Setiap warga negara berhak turut
serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan
perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut
cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan. (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam
setiap jabatan pemerintahan”. (vide putusan MK halaman
13-15)

Mahkamah memandang bahwa penggunaan KTP atau


Paspor yang masih berlaku untuk memilih tidak dapat
diberlakukan melalui keputusan atau peraturan KPU;
sedangkan bentuk hukum Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) juga beresiko menimbulkan
masalah jika ternyata nantinya dibatalkan melalui

58
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

legislative review pada saat pembahasan dalam masa


sidang DPR berikutnya ;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka demi keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, Mahkamah
memutuskan dalam Putusan yang bersifat self executing
yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa
memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) guna melindungi, menjamin, dan
memenuhi hak konstitusional warga negara untuk
menggunakan hak pilihnya (vide pertimbangan [3.21],
halaman 16).

Mengingat urgensi dari perkara ini telah mendekati


pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden, maka keperluan untuk diputus secara cepat pada
hari yang sama sejak perkara a quo diperiksa
dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 45 ayat (9) UU MK,
yang berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi dapat
dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain
yang harus diberitahukan kepada para pihak.” (Vide :
pertimbangan putusan [3.24], halaman 18).
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4924) adalah
konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga
negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan
cara sebagai berikut:
1. Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam
DPT, Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar
dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan
menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi
Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
2. Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP
harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau
nama sejenisnya;
3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia
yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya
dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS)
yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai
dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; 20
4. Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan
dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak
pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada
KPPS setempat;
5. Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak
pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1

59
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

(satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di


TPS atau TPS Luar Negeri setempat.
Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya;

2) Putusan No. 135/PUU-XIII/2015


1. Pemohon : 1. Perhimpunan Jiwa Sehat; 2. Pusat Pemilihan Umum
Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA); 3.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem),dkk Kuasa Hukum: Veri Junaidi, S.H., M.H.,
dkk
2. Pokok Permohonan : Menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in
casu Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Pendaftaran calon pemilih dan hak pilih adalah dua hal
Putusan yang secara prinsip berbeda. Hak pilih adalah hak warga
negara untuk mengikuti pemilihan umum sebagai pemilih.
Adapun pendaftaran pemilih menurut Mahkamah adalah
sebuah upaya/kegiatan administratif yang dilakukan untuk
memperoleh data mengenai jumlah warga negara yang
memiliki hak pilih. Pendaftaran pemilih merupakan
sebuah upaya administratif untuk memastikan bahwa
warga negara yang memiliki hak pilih telah dapat
mempergunakan haknya pada saat pemilihan umum nanti.
pendaftaran pemilih meliputi dua konteks, yaitu:
a. sebagai syarat bagi pemilih untuk
mengikuti/menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan
umum; dan b. sebagai kegiatan administratif yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum;

Ketika pendaftaran pemilih diposisikan sebagai syarat


bagi pemilih untuk dapat mempergunakan hak pilihnya
dalam pemilihan umum, menurut Mahkamah harus
dirujuk ketentuan Pasal 57 ayat (4) UU 8/2015 yang pada
pokoknya mengatur bahwa syarat berupa terdaftar sebagai
pemilih bukanlah satu-satunya syarat untuk mengikuti
pemilihan umum. Syarat terdaftar dalam daftar pemilih
demikian adalah syarat alternatif atau pilihan. Andai
pemilih tidak memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih,
yang bersangkutan masih dapat menggunakan hak
pilihnya dalam pemilihan umum dengan cara
menunjukkan “Kartu Tanda Penduduk Elektronik”,
sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2) UU 8/2015
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

60
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang.

Dalam kaitannya dengan Pasal 57 ayat (3) huruf a,


Mahkamah berpendapat gangguan jiwa dan gangguan
ingatan adalah dua hal yang memiliki karakteristik
berbeda. Gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua
kategori yang beririsan namun tidak selalu dapat
dipersamakan begitu saja. Gangguan ingatan (memori)
adalah masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau
penurunan kualitas fisik yaitu otak sebagai wahana
penyimpan dan pemroses memori, sedangkan gangguan
jiwa tidak selalu disebabkan oleh masalah penurunan
kualitas fisik manusia belaka. Masing-masing jenis
gangguan, baik gangguan jiwa maupun gangguan ingatan,
memiliki turunan yang beragam. Dengan demikian
menurut Mahkamah penggunaan tanda baca “/” (garis
miring) dalam frasa “gangguan jiwa/ingatan” yang
tercantum pada Pasal 57 ayat (3) huruf a harus ditegaskan
bukan dalam konteks menyamakan antara gangguan jiwa
dengan gangguan ingatan, melainkan adalah
pengelompokan dua kategori berupa gangguan jiwa dan
gangguan ingatan sebagai satu himpunan yang
dikecualikan dari warga negara yang berhak untuk
didaftar dalam daftar pemilih.

Seandainya yang dimaksud oleh pembentuk Undang-


Undang bahwa orang yang dikecualikan dari pencatatan
pemilih adalah orang dengan psikosis (gila), yang
memiliki ciri antara lain hidup menggelandang, makan
sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari
keberadaan dirinya sendiri, hal demikian menurut
Mahkamah tidak perlu diatur secara khusus karena orang
dengan psikosis demikian telah pasti, dengan penalaran
yang wajar, tidak akan didaftar oleh petugas pencatat
pemilih karena orang dengan psikosis demikian memang
tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pemungutan
suara.
Tidak perlu diaturnya larangan didaftar sebagai pemilih
bagi orang dengan psikosis, menurut Mahkamah, adalah
setara dengan tidak perlu diaturnya larangan didaftar bagi
orang yang sedang menghadapi kematian (sakaratul
maut), sedang mengalami koma, dan lain sebagainya.
Ketika orang dengan psikosis diatur secara khusus dalam
Undang-Undang a quo, khususnya dalam ketentuan
mengenai pencatatan pemilih, bahkan diletakkan dalam
kategori gangguan jiwa/ingatan, hal demikian akan
membawa akibat hukum pula kepada orang dengan

61
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

gangguan jiwa/ingatan yang bukan psikosis.

Ketentuan dalam peraturan KPU tidak dapat difungsikan


sebagai penjelasan atas UU 8/2015 in casu Pasal 57 ayat
(3) huruf a. Seadainya pun ketentuan demikian
merupakan bagian dari norma Pasal 57 ayat (3) huruf a,
quod non, tidak dijelaskan dengan tegas siapa pihak yang
dibebani kewajiban untuk menyediakan surat keterangan
dokter sebagai bukti dan bagaimana cara menentukan
calon pemilih mana yang harus menunjukkan bukti
berupa surat keterangan dokter dimaksud. Bukankah
ketentuan demikian secara logika sulit untuk diterima
ketika orang dengan gangguan jiwa justru diberi beban
tambahan untuk menunjukkan atau membuktikan kepada
penyelenggara pemilihan umum bahwa dia tidak berhak
didaftar. Dengan kata lain, tidaklah mungkin seseorang
yang ingin didaftar justru diminta menunjukkan bukti
bahwa dia tidak memenuhi syarat untuk didaftar.

Menimbang bahwa rumusan Pasal 57 ayat (3) huruf a


menurut Mahkamah telah menyamakan konsekuensi bagi
semua kategori penderita gangguan jiwa dan/atau
penderita gangguan ingatan. Jika ketentuan Pasal 57 ayat
(3) huruf a adalah ketentuan yang berdiri sendiri dan
karenanya mengandung norma hukum yang juga berdiri
sendiri, Mahkamah berpendapat ketentuan demikian
menunjukkan indikasi pelanggaran atas hak konstitusional
para Pemohon untuk memilih [vide Pasal 22E ayat (1)]
dan hak untuk mendapatkan pengakuan hukum [vide
Pasal 28D ayat (1)]. Apalagi ketika Pasal 57 ayat (3)
huruf a dibaca dalam kaitannya dengan ayat (4) yang
kemudian mengatur bahwa pemilih yang kebetulan
sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya pada saat
pendaftaran pemilih akan kehilangan haknya untuk
memilih dalam pemilihan umum periode saat itu, yang
mana waktu pelaksanaan pemilihan umum berbeda
dengan waktu pendaftaran pemilih.
Namun karena ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a adalah
ketentuan yang harus dibaca dalam kaitannya dengan ayat
(4) juncto ayat (2), maka sifat inkonstitusional ayat (3)
huruf a telah dihilangkan oleh ayat (4) juncto ayat (2).
Norma hukum dalam Pasal 57 ayat (4) juncto ayat (2)
telah menutup atau menghilangkan potensi
inkonstitusionalitas ayat (3) huruf a sehingga ayat (3)
huruf a tersebut dapat tetap ada tanpa mengandung
potensi gangguan atas hak konstitusional para Pemohon,
khusus hak untuk memilih dalam pemilihan umum.
Meskipun kemudian muncul pertanyaan sebagaimana
telah dinyatakan pada paragraf [3.13] di atas, yaitu apa
signifikansi keberadaan Pasal 57 ayat (3) huruf a. Jika

62
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

demikian bukankah sebenarnya ketentuan Pasal 57 ayat


(3) boleh tidak ada, karena esensi norma dalam ketentuan
ayat (3) telah dinegasikan oleh ketentuan ayat (4) juncto
ayat (2) dan karenanya tidak lagi siginifikan
mempengaruhi hak para Pemohon untuk mempergunakan
hak pilihnya.
karena Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015 menimbulkan
tafsir yang dapat menghilangkan hak para Pemohon untuk
didaftar dalam daftar pemilih, yang mana hak demikian
dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka
Mahkamah berpendapat Pasal 57 ayat (3) huruf a UU
8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa
“terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai
“mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan
permanen yang menurut profesional bidang kesehatan
jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk
memilih dalam pemilihan umum”.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian:
1.1 Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak
dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa
dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut
profesional bidang kesehatan jiwa telah
menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih
dalam pemilihan umum”;
1.2 Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang frasa “terganggu
jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami
gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen
yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah
menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih
dalam pemilihan umum”;

63
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3.2. PUU Syarat Calon DPR, DPD dan DPRD

1) Putusan No. 011-017/PUU-I/2003 (Pemilu-Pileg, 24 Februari 2004)

1. Pemohon : 1. Prof. Dr. Deliar Noer


2. H. Ali Sadikin
3. Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas
4. Ny. Sri Husadhati
5. Robert Soepomo D.P.
6. Dr. Mohamad Toyibi
7. Buntaran Sanusi, S.E, M.M.
8. Moch. Sifa Amin Widigdo
9. Ir. Krisno Pudjonggo
10. dr. Judilherry Justam
11. Soenardi, S.H.
12. Ir. Urgik Kurniadi
13. Syamsul Hilal
14. Syafinuddin
15. Sunaryo, SH.
16. Affanulhakim Umar
17. Bagus Satriyanto
18. Christianus Siner Key Timu
19. Ny. Hariati
20. Ny. Rustiah
21. Bambang Subono
22. Ny. Sri Rejeki Suninto
23. Payung Salenda
24. Gorma Hutajulu
25. Rhein Robby Sumolang
26. Ir. Sri Panuju.
27. Suyud Sukma Sendjaja
28. Margondo Hardono
(Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Pusat
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
(PBHI))
1. SUMAUN UTOMO
2. ACHMAD SOEBARTO
3. MULYONO, SH.
(Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-
LPRKROB))
2. Pokok Permohonan : Pengujian Undang-undang Pasal 60 huruf g Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
3. Pertimbangan : Permohonan pengujian Pasal 60 huruf g Undang-undang
Putusan Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D
64
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

ayat (1), Pasal 28 I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan


dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah
hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang
maupun konvensi internasional, maka pembatasan
penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak
dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
dari warga negara;

Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan
dimungkinkannya pembatasan hak dan kebebasan
seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan
terhadap hak-hak tersebut haruslah di dasarkan atas
alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional
serta tidak berkelebihan. Pembatasan tersebut hanya
dapat dilakukan dengan maksud "semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis"; tetapi pembatasan hak dipilih seperti
ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum tersebut justru
karena hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat
politis. Di samping itu dalam persoalan pembatasan hak
pilih (baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum
lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan
ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit
jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya
karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada
umumnya bersifat individual dan tidak kolektif;
Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan
terhadap kelompok tertentu warga negara untuk
mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas
mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok
sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap
pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak
dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap; Menimbang bahwa Ketetapan MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di
Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia 13agi Partai
Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk

65
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran


Komunisme/Marxisme-Leninisme juncto Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan
Ketetapan MPR tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
yang dijadikan alasan hukum Pasal 60 huruf g Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah berkaitan dengan pembubaran Partai
Komunis Indonesia dan larangan penyebarluasan ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme
yang sama sekali tidak berkaitan dengan pencabutan atau
pembatasan hak pilih baik aktif maupun pasif warga
negara, termasuk bekas anggota Partai) Komunis
Indonesia; Menimbang bahwa suatu tanggung jawab
pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabkan
kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader)
atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu
tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa
keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara
hukum apabila tanggung jawab tersebut dibebankan
kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan pula
keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
serta alat-alat bukti tertulis, saksi, dan ahli maka
ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 yang berbunyi "bukan bekas anggota
organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk
organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat
langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia atau organisasi
terlarang lainnya", merupakan pengingkaran terhadap
hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar
keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan
dengan hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D
ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2); Menimbang
bahwa oleh karena itu cukup beralasan untuk
menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan pengujian undang-undang
yang diajukan oleh sebagian Pemohon I, yakni: 1)
Payung Salenda. 2) Gorma HutajuIu. 3) Rhein Robby
Sumolang. 4) Ir. Sri Panudju. 5) Suyud Sukma Sendjaja.

66
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dan 6) Margondo Hardono; dan seluruh Pemohon II,


yakni: 1) Sumaun Utomo. 2) Achmad Soebarto. 3)
Mulyono. 4) Said Pradono Bin Djaja. 5) Ngadiso Yahya
Bin Somoredjo. 6) Tjasman Bin Setyo Prawiro. 7)
Makmuri Bin Zahzuri. Menyatakan Pasal 60 huruf g
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Menyatakan Pasal 60 huruf g
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dissenting Opinioin Hakim Konstitusi H. Achmad


Roestandi:
permohonan Para Pemohon I nomor 23 sampai dengan
28 dalam Perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan seluruh
Para Pemohon II dalam Perkara Nomor 017/PUUI/2003
harus ditolak

2) Putusan No. 14-17/PUU-V/2007

1. Pemohon : H. Muhlis Matu; Henry Yosodiningrat, S.H.; Budiman


Sudjatmiko, M.Sc., M.Phil.; Ahmad Taufik
2. Pokok Permohonan : Pemohon I:
pengujian Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pemohon II:
pengujian Pasal 6 huruf t Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, Pasal 16 Ayat (1) huruf d Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Pasal 7 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 58 huruf f
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 13 huruf g Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan
3. Pertimbangan : Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 58 huruf f
Putusan UU Pemda, Pasal 6 huruf f UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1)
huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal
13 huruf g UU BPK. Ketentuan pada pasal-pasal tersebut
pada dasarnya mengatur hal yang sama yaitu bahwa untuk
67
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

memangku suatu jabatan publik (in casu Kepala Daerah


dan Wakil Kepala Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
Hakim Konstitusi, Hakim Agung, dan Anggota Badan
Pemeriksa Keuangan) dipersyaratkan “tidak pernah
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”.
Mahkamah berpendapat bahwa setiap jabatan publik atau
jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas, baik yang
pengisiannya dilakukan melalui pemilihan maupun
melalui cara lain, menuntut syarat kepercayaan
masyarakat. Dengan kata lain, jabatan publik adalah
jabatan kepercayaan (vertrouwenlijk-ambt). Oleh karena
itu, setiap calon pejabat publik harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu sehingga nantinya
didapatkan pejabat yang benar-benar bersih, berwibawa,
jujur, dan mempunyai integritas moral yang tinggi.
Persyaratan demikian, kecuali yang ditentukan sendiri
dalam UUD 1945, adalah kewenangan pembentuk
undang-undang (DPR dan Presiden) untuk
menentukannya sesuai dengan kebutuhan yang menjadi
tuntutan bagi jabatan publik yang bersangkutan serta
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28J Ayat (2)
UUD 1945.
Sementara itu, terhadap jabatan publik yang pengisiannya
dilakukan dengan cara pemilihan oleh rakyat, Mahkamah
berpendapat, hal tersebut tidaklah dapat sepenuhnya
diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali
dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang
akan memikul sendiri risiko pilihannya. Sebab, jabatan
demikian haruslah dipangku oleh orang yang kualitas dan
integritas tinggi. Pencalonan seseorang untuk mengisi
suatu jabatan publik dengan tanpa membeda-bedakan
orang sebagaimana dimaksud Pasal 27 Ayat (1) UUD
1945 tidaklah berarti bahwa negara tidak boleh mengatur
atau menentukan persyaratannya, sepanjang pengaturan
dan/atau persyaratan itu merupakan tuntutan objektif yang
dibutuhkan oleh suatu jabatan atau aktivitas pemerintahan
tertentu dan sepanjang pengaturan dan/atau persyaratan
tersebut tidak bersifat diskriminatif dalam pengertian
tidak membeda-bedakan orang atas dasar agama, ras,
suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status
sosial tertentu lainnya. Jadi, haruslah dipahami bahwa
pengaturan dan/atau penentuan persyaratan demikian
adalah sebagai mekanisme yang akan memungkinkan
pemilihan itu berlangsung secara wajar dan terpercaya.
Hal mana dapat dibenarkan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD
1945 yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

68
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang


dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, setiap jabatan publik
menuntut adanya kepercayaan masyarakat, yang salah
satu ukurannya ialah adanya suatu standar moral tertentu
yang dijadikan persyaratan. Benar bahwa menurut salah
satu ajaran pemidanaan dikatakan, seseorang yang telah
menjalani pidananya, orang yang bersangkutan telah
kembali menjadi manusia bebas. Namun harus pula diakui
bahwa, secara umum ukuran paling nyata untuk menilai
kualitas moral seseorang adalah berdasarkan pernah-
tidaknya orang itu melakukan suatu tindak pidana
sebagaimana terbukti dari adanya putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap, meskipun benar
bahwa tidak semua tindak pidana dapat dikatakan sebagai
suatu perbuatan tercela, sebagaimana dialami Bung Karno
(Presiden pertama Republik Indonesia) atau A.M. Fatwa
(kini Wakil Ketua MPR).
bahwa pengaturan dan pemberian persyaratan oleh negara
melalui undang-undang terhadap pemenuhan hak warga
negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan tidaklah serta-merta berarti bertentangan
dengan UUD 1945 jika pengaturan dan/atau persyaratan
itu merupakan tuntutan objektif yang dibutuhkan oleh
suatu aktivitas dalam pemerintahan (vide Putusan Nomor
19/PUU-V/2007) dan dilakukan dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Setiap jabatan publik menuntut syarat kepercayaan
masyarakat. Oleh karena itu, telah merupakan praktik
yang diterima umum bahwa ada suatu standar moral
tertentu yang dipersyaratkan bagi setiap orang yang akan
memangku jabatan dalam pemerintahan. Telah diuraikan
pula bahwa, secara umum, salah satu dari standar moral
tersebut adalah bahwa seseorang tidak pernah dipidana.
Namun, seseorang dapat dipidana bukan semata-mata
karena melakukan tindak pidana yang mengandung unsur
kesengajaan (dolus), baik dalam hal kejahatan maupun
pelanggaran, melainkan juga karena kealpaan (culpa),
dalam hal ini kealpaan ringan (culpa levis). Dalam
kealpaan demikian sesungguhnya tidak terkandung unsur
niat jahat (mens rea). Oleh karena itu, orang yang
dipidana karena kealpaannya pada hakikatnya bukanlah
orang yang jahat, sehingga syarat “tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling

69
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

lama 5 (lima) tahun atau lebih”, sebagaimana tersurat


dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf
d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58
huruf f UU Pemda, dan Pasal 13 huruf g UU BPK
tersebut, jika diartikan mencakup pula tindak pidana yang
lahir karena kealpaan, maka penafsiran demikian
sesungguhnya tidak sepenuhnya sejalan dengan tujuan
dibuatnya syarat itu yaitu menentukan suatu standar moral
yang bersifat umum bagi seseorang yang hendak
menduduki suatu jabatan publik. Sebab, pemidanaan
terhadap seseorang karena suatu perbuatan kealpaan
sesungguhnya tidaklah menggambarkan adanya moralitas
kriminal pada diri orang itu melainkan semata-mata
karena kekuranghati-hatiannya, dalam hal ini
kekuranghati-hatian yang berakibat timbulnya perbuatan
yang dapat dipidana. Dengan kata lain, jika syarat “tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”
dijadikan sebagai standar moral bagi seseorang yang
hendak memangku suatu jabatan publik, maka syarat
tersebut hanya dapat diterima apabila yang dimaksud
adalah seseorang yang pernah dipidana karena terbukti
sengaja melakukan perbuatan padahal diketahuinya
perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dipidana
dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih.
Bahwa, selanjutnya, jika dibaca secara tekstual
persyaratan yang tersurat dalam Pasal 6 huruf t UU
Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat
(2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13
huruf g UU BPK, maka persyaratan yang berbunyi, “tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”
akan mencakup pula tindak pidana atau kejahatan karena
alasan politik. Yang dimaksud kejahatan karena alasan
politik dalam hubungan ini terbatas pada perbuatan yang
sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap
politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam sebuah
negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif
yang berlaku pada saat itu dirumuskan sebagai tindak
pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan
politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa.
Padahal, telah menjadi pandangan yang diterima secara
universal bahwa kejahatan politik dalam pengertian
sebagaimana diuraikan di atas bukanlah termasuk
pengertian kejahatan pada umumnya.
Oleh sebab itu, jika rumusan Pasal 6 huruf t UU Pilpres,

70
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf


d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g
UU BPK tersebut diartikan juga mencakup kejahatan
politik dalam pengertian di atas, maka rumusan demikian
jelas mengandung unsur diskriminasi dalam pengertian
sebagaimana yang telah menjadi pendirian Mahkamah
selama ini. Sebab, jika demikian halnya maka ketentuan
tersebut berarti telah membuat perbedaan perlakuan yang
didasarkan atas pandangan politik yang dianut seseorang,
sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU
MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f
UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU BPK dapat dipandang
memenuhi tuntutan objektif bagi penentuan persyaratan
untuk menduduki suatu jabatan publik dan karenanya
konstitusional hanya jika:
a. Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16
Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU
MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU
BPK tersebut tidak mencakup tindak pidana yang timbul
karena kealpaan ringan (culpa levis), meskipun ancaman
pidananya 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16
Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU
MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 13 huruf g UU
BPK tersebut tidak mencakup kejahatan politik
Mahkamah berpendapat pentingnya pembentuk undang-
undang memperhatikan dengan sungguh-sungguh
keharmonisan suatu undangundang baik secara internal
maupun eksternal, dan juga secara horizontal antar
berbagai undang-undang yang berisikan persyaratan untuk
jabatan publik tertentu. Dalam hubungan ini, mengingat
kekhususan-kekhususan karakter dalam jabatan-jabatan
publik tertentu menyebabkan tidak semua jabatan publik
dapat demikian saja ditentukan persyaratannya dengan
menggunakan rumusan norma yang bersifat umum. Oleh
karena itu perlu dilakukan pembedaan persyaratan antara:
a. Jabatan publik yang dipilih (elected officials) dengan
yang diangkat (appointed officials).
b. Jabatan publik di bidang eksekutif yang lebih bersifat
melayani dengan jabatan publik di bidang legislatif yang
bersifat menyalurkan aspirasi rakyat.
c. Jabatan publik yang karena tugasnya membutuhkan
tingkat kepercayaan yang sangat tinggi, seperti hakim dan
aparat penegak hukum lainnya serta pejabat yang
mengelola keuangan negara dengan jabatan-jabatan
lainnya.
Kecermatan dalam merumuskan persyaratan-persyaratan
tertentu bagi suatu jabatan publik juga diperlukan untuk
menghindari timbulnya keadaan di mana terhadap

71
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

jabatan-jabatan publik yang pada pokoknya memiliki


kesamaan karakter ditentukan persyaratan yang berbeda.
Keadaan demikian dapat melahirkan ketiadaan
perlindungan hukum (rechtsonbescherming) bagi
golongan atau kelompok masyarakat tertentu yang pada
gilirannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) yang dapat merugikan hak
konstitusional golongan atau kelompok masyarakat
tersebut.
4. Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II
ditolak;

3) Putusan No. 10/PUU-VI/2008

1. Pemohon : DPD RI; Anggota DPD RI: Dra. Hj. Mediati Hafni
Hanum, S.H.; Lundu Panjaitan, S.H.; Dr. Mochtar Naim;
Drs. H. Soemardhi Thaher; Muhammad Nasir; Ir. Ruslan;
Muspani, S.H.; Hariyanti Syafrin, S.H.; Fajar Fairy S.H.;
Benny Horas Panjaitan; . Biem Triani Benjamin; KH.
Sofyan Yahya M.A.; . Drs. Sudharto, M.A; Drs. Ali
Warsito; KH. A. Mujib Imron S.H.; R. Renny Pudjiati; I
Wayan Sudirta, S.H.; H. Lalu Abd. Muhyi Abidin, S.Ag.;
Joseph Bona Manggo; Sri Kadarwati; . Prof. KMA. M.
Usop, M.A.; . Drs. H. Muhamad Ramli; Drs. Nursyamsa
Hadis; Marhany Victor Poly Pua; Drs. Roger Tobigo; Ir.
Abdul Aziz Qahar M.; Drs. Pariama Mbyo, S.H.; Prof.
Dr. H. Nani Tuloli,; Midin B. L., S.H; Ishak Pamumbu
Lambe; Anthony Charles Sunarjo,; Tonny Tesar; Drs.
Wahidin Ismail; Perorangan: Hadar Nafis Gumay; Dr.
Saafroedin Bahar; Sulastio; Sebastianus KM Salang;
Hariyono S.P.; Drs. Welky Karauwan M.Si.; Hartono;
Ahmad Wali S.H.; TB. A. Oman Jahid Sulman, SC;
Abdul Salim Ali Siregar; Musriadi,; Zulfikar; Karno Miko
Sergye Rumondor; . Marhendi WH.; Fauzan Azima SH.;
H.A. Syafei; Natanael Mok
2. Pokok Permohonan : Pengujian materiil Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
UUD 1945
3. Pertimbangan : Pokok permohonan para Pemohon adalah mengenai
Putusan konstitusionalitas Pasal 12 UU 10/2008 yang tidak
mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon
anggota DPD, serta Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat ketentuan perlunya Kartu Tanda Penduduk
(KTP) di provinsi yang akan diwakilinya dan bukti
keterangan non-Parpol bagi kelengkapan syarat calon
anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan
pengujian oleh para Pemohon adalah ketiadaan norma
syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal
72
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

67 UU 10/2008, bukan norma yang dirumuskan secara


eksplisit dalam pasal, ayat, atau bagian dari suatu undang-
undang;
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b
UU MK, pemohon dalam permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 harus menguraikan dengan
jelas “a. ...; b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Sehingga, terkait dengan permohonan a quo,
masalahnya adalah apakah ketiadaan suatu norma yang
menurut Pemohon seharusnya ada dalam suatu undang-
undang, in casu ketiadaan norma syarat domisili dan non-
Parpol yang seharusnya dimuat dalam UU 10/2008 dapat
dimaknai sebagai materi muatan dalam ayat, pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang bersangkutan,
sehingga dapat dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya;
Menimbang bahwa menurut Mahkamah ada tiga hal yang
harus dipertimbangkan mengenai pokok permohonan para
Pemohon, yaitu:
• Pertama, apakah syarat domisili bagi calon anggota DPD
merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada
Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, sehingga menjadi
syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008,
hanya karena norma yang demikian pernah tercantum
dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu
2008 versi Pemerintah;
• Kedua, apakah syarat non-Parpol bagi calon anggota
DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat
pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga menjadi
syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008,
hanya karena norma yang demikian pernah tercantum
dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu
2008 versi Pemerintah;
• Ketiga, seandainya jawaban atas masalah Pertama dan
Kedua ya dan benar, apakah ketiadaan suatu norma
konstitusi yang seharusnya dimuat dalam UU 10/2008
dapat dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Pertama,
berdasarkan perspektif desain konstitusional DPD dalam
UUD 1945 Mahkamah berpendapat bahwa syarat
berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon
anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit
melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi,
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22C ayat (2)
yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari

73
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh


anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”
Sehingga, seharusnya norma konstitusi yang bersifat
implisit tersebut dicantumkan sebagai norma yang secara
eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai
akibatnya, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat secara eksplisit ketentuan yang demikian, harus
dipandang inkonstitusional;
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Kedua,
Mahkamah berdasarkan perspektif desain konstitusional
DPD dalam UUD 1945 berpendapat bahwa syarat non-
Parpol bagi calon anggota DPD bukan merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan.” Kandungan norma yang tercantum dalam
Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 adalah bahwa untuk
mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD,
perseorangan harus ‘mencalonkan’ dirinya sendiri sebagai
peserta Pemilu, bukan dicalonkan oleh Parpol. Hal itu
berbeda dengan calon anggota DPR, perseorangan yang
ingin menjadi anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol
yang merupakan peserta Pemilu [vide Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945]. Dalam UU 12/2003 dan draf RUU Pemilu
versi Pemerintah yang dijadikan rujukan oleh para
Pemohon, juga tidak ada istilah non-Parpol, melainkan
hanya bukan pengurus Parpol. Demikian pula, baik dalam
pengalaman sejarah praktik di Indonesia pada era
Konstitusi RIS 1949 dan era berlakunya kembali UUD
1945 tidak pernah ada syarat non-Parpol bagi
keanggotaan Senat RIS dan Utusan Daerah. Sedangkan di
berbagai negara lain, sebagai perbandingan, penerapan
syarat non-Parpol tersebut juga berbeda-beda dan tidak
mutlak harus ada. Terlebih lagi, dalam perkembangannya,
Parpol-parpol di Indonesia juga telah membuka diri
dengan merekrut perseoranganperseorangan yang bukan
anggota atau kader Parpol untuk dicalonkan menjadi
anggota DPR dan DPRD. Dengan demikian, syarat non-
Parpol bagi calon anggota DPD bukanlah norma
konstitusi yang bersifat implisit melekat pada istilah
“perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945,
sehingga juga tidaklah mutlak harus tercantum dalam
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sebagaimana pernah
dicantumkan dalam UU 12/2003, atau berarti bersifat
fakultatif;
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Ketiga, yaitu
ketiadaan norma konstitusi yang bersifat implisit melekat
dalam suatu pasal konstitusi, in casu syarat domisili di

74
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD,


implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD
1945, Mahkamah berpendapat bahwa apabila mengacu
kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, memang tidak
mungkin untuk diajukan permohonan pengujian. Karena,
permohonan yang demikian akan dianggap kabur
(obscuur libel), tidak jelas, yang berakibat permohonan
tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal
56 ayat (1) UU MK. Namun demikian, Mahkamah dapat
juga menyatakan bahwa suatu pasal, ayat, dan/atau bagian
undang-undang yang tidak memuat suatu norma
konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal
konstitusi yang seharusnya diderivasi secara eksplisit
dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-
undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan sebagai
“konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional)
atau “inkonstitusional bersyarat” (conditionally
unconstitutional);
Menimbang bahwa menurut Mahkamah ada tiga hal yang
harus dipertimbangkan mengenai pokok permohonan para
Pemohon, yaitu: • Pertama, apakah syarat domisili bagi
calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang
implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD
1945, sehingga menjadi syarat mutlak bagi calon anggota
DPD dan seharusnya tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal
67 UU 10/2008, hanya karena norma yang demikian
pernah tercantum dalam UU 12/2003 dan juga dimuat
dalam RUU Pemilu 2008 versi Pemerintah;
• Kedua, apakah syarat non-Parpol bagi calon anggota
DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat
pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga menjadi
syarat mutlak bagi calon anggota DPD dan seharusnya
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008,
hanya karena norma yang demikian pernah tercantum
dalam UU 12/2003 dan juga dimuat dalam RUU Pemilu
2008 versi Pemerintah;
• Ketiga, seandainya jawaban atas masalah Pertama dan
Kedua ya dan benar, apakah ketiadaan suatu norma
konstitusi yang seharusnya dimuat dalam UU 10/2008
dapat dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya;
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Pertama,
berdasarkan perspektif desain konstitusional DPD dalam
UUD 1945 Mahkamah berpendapat bahwa syarat
berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon
anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit
melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi,
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22C ayat (2)
yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari
setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh

75
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari


sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”
Sehingga, seharusnya norma konstitusi yang bersifat
implisit tersebut dicantumkan sebagai norma yang secara
eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU
10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai
akibatnya, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak
memuat secara eksplisit ketentuan yang demikian, harus
dipandang inkonstitusional;
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Kedua,
Mahkamah berpendapat bahwa syarat non-Parpol bagi
calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi
yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945
yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.”
Kandungan norma yang tercantum dalam Pasal 22E ayat
(4) UUD 1945 adalah bahwa untuk mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPD, perseorangan harus
‘mencalonkan’ dirinya sendiri sebagai peserta Pemilu,
bukan dicalonkan oleh Parpol. Hal itu berbeda dengan
calon anggota DPR, perseorangan yang ingin menjadi
anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol yang
merupakan peserta Pemilu [vide Pasal 22E ayat (3) UUD
1945]. Dalam UU 12/2003 dan draf RUU Pemilu versi
Pemerintah yang dijadikan rujukan oleh para Pemohon,
juga tidak ada istilah non-Parpol, melainkan hanya bukan
pengurus Parpol. Demikian pula, baik dalam pengalaman
sejarah praktik di Indonesia pada era Konstitusi RIS 1949
dan era berlakunya kembali UUD 1945 tidak pernah ada
syarat non-Parpol bagi keanggotaan Senat RIS dan Utusan
Daerah. Sedangkan di berbagai negara lain, sebagai
perbandingan, penerapan syarat non-Parpol tersebut juga
berbeda-beda dan tidak mutlak harus ada. Terlebih lagi,
dalam perkembangannya, Parpol-parpol di Indonesia juga
telah membuka diri dengan merekrut perseorangan
perseorangan yang bukan anggota atau kader Parpol untuk
dicalonkan menjadi anggota DPR dan DPRD. Dengan
demikian, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD
bukanlah norma konstitusi yang bersifat implisit melekat
pada istilah “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945, sehingga juga tidaklah mutlak harus
tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008,
sebagaimana pernah dicantumkan dalam UU 12/2003,
atau berarti bersifat fakultatif;
Menimbang bahwa terhadap masalah yang Ketiga, yaitu
ketiadaan norma konstitusi yang bersifat implisit melekat
dalam suatu pasal konstitusi, in casu syarat domisili di
provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD,
implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD
1945, Mahkamah berpendapat bahwa apabila mengacu

76
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, memang tidak


mungkin untuk diajukan permohonan pengujian. Karena,
permohonan yang demikian akan dianggap kabur
(obscuur libel), tidak jelas, yang berakibat permohonan
tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal
56 ayat (1) UU MK. Namun demikian, Mahkamah dapat
juga menyatakan bahwa suatu pasal, ayat, dan/atau bagian
undang-undang yang tidak memuat suatu norma
konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal
konstitusi yang seharusnya diderivasi secara eksplisit
dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-
undang, oleh Mahkamah dapat dinyatakan sebagai
“konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional)
atau “inkonstitusional bersyarat” (conditionally
unconstitutional);
Syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD
merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada
Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga seharusnya
dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal
12 dan Pasal 67 UU 10/2008;
Syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik”
untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945, sehingga tidak merupakan syarat untuk
menjadi calon anggota DPD yang harus dicantumkan
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008;
Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 “konstitusional
bersyarat” (conditionally constitutional), maka pasal-pasal
a quo harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan
syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon
anggota DPD;
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon I (DPD) dan
Pemohon II (Anggota DPD) untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap
konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang dimaknai
memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili;
Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan

77
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

diwakili;
Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk
selebihnya.
Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)

4) Putusan No. 20/PUU-XI/2013

1. Pemohon : Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik; Koalisi


Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi
(KPI); Yayasan LBH APIK Jakarta; Lembaga Partisipasi
Perempuan; Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan
Masyarakat (PPKM); Wanita Katolik Republik Indonesia
(WKRI); Yayasan Institute Pengkajian Kebijakan dan
Pengembangan Masyarakat (Institute for Policy and
Community Development Studies - IPCOS); Women
Research Institute (WRI); Yayasan MELATI ‘83’; Prof.
Dr. Siti Musdah Mulia; Suhartini Hadad; Nursyahbani
Katjasungkana, S.H.; Soelistijowati Soegondo, SH.;
Atashendartini Habsjah; Titi Anggraini; Kentjana
Indrishwari S; Magdalena Helmina M.S.; Dr. Marwah M
Yunus Bandie, MM.; Rotua Valentina, S.E., S.H., M.H.;
Gusti Kanjeng Ratu Hemas; Eni Khairani; Hj. Hairiah,
SH, MH.; Hana Hasanah Fadel Muhammad; Hj. Noorhari
Astuti, S. Sos.; Nurmawati Dewi Bantilan; Poppy
Maipauw; Poppy Susanti Dharsono; Vivi Effendy; Dra.
Siti Nia Nurhasanah; Wahidah Suaib
2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Pasal 28H
ayat (2) UUD 1945
3. Pertimbangan : Pengujian Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 adalah sama
Putusan dengan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan, “Di
dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal
calon.”;
Penjelasan Pasal 55 UU 10/2008 tersebut menyatakan,
“Cukup jelas.”, sedangkan Penjelasan Pasal 56 ayat (2)
UU 8/2012 menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal
calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada
urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak
hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.”;
terhadap Pasal 55 UU 10/2008 tersebut, Mahkamah telah
memutus dalam Perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008
tentang pengujian UU 10/2008, bertanggal 23 Desember
78
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

2008, yang mendasarkan pada dasar pengujian Pasal 27


ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”; Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”; Pasal 28D ayat (3): “Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.”; dan Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”;
Para Pemohon dalam perkara a quo mengajukan
permohonan pengujian khususnya terhadap frasa “atau”
dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 dengan
dasar pengujian Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.” Terhadap perkara a quo Pertimbangan Hukum
Mahkamah dalam Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008
tersebut sangat relevan, yaitu sebagai berikut:
“Diberlakukannya ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU
10/2008, yakni setiap tiga orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan adalah
dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan
sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana
yang telah dilakukan oleh berbagai negara dengan
menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk
menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan. Hal
ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-
Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi
internasional yang telah diratifikasi [Undang-Undang
Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum Convention on
The Elimination of All Forms of Discrimination Against
Woman (CEDAW)];
Affirmative action juga disebut sebagai reverse
discrimination, yang memberi kesempatan kepada
perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam
lapangan peran yang sama (level playing-field) antara
perempuan dan laki-laki, sekalipun dalam dinamika
perkembangan sejarah terdapat perbedaan, karena alasan
kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan
keputusan dalam kebijaksanaan nasional, baik di bidang
hukum maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial
politik, peran perempuan relatif masih kecil. Kini,
disadari melalui sensus kependudukan ternyata jumlah

79
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan,


maka seharusnyalah aspek kepentingan gender
dipertimbangkan dengan adil dalam keputusan-keputusan
di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan kultural;
Bahwa kalau sistem kuota bagi perempuan dipandang
mengurangi hak konstitusional calon legislatif laki-laki
sebagai pembatasan, hal itu tidak berarti bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembatasan
tersebut dibenarkan oleh konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”. Bahkan di dalam Pasal 28H ayat
(2) UUD 1945, perlakuan khusus tersebut
diperbolehkan. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 berbunyi,
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dewasa
ini, komitmen Indonesia terhadap instrumen- instrumen
hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan
penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta
komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik
telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai
kebijakan pemerintah;
Bahwa sepanjang ambang batas kuota 30% (tiga puluh
per seratus) dan keharusan satu perempuan dari setiap tiga
calon anggota legislatif bagi perempuan dan laki-laki
dinilai cukup memadai sebagai langkah awal untuk
memberi peluang kepada perempuan di satu pihak,
sementara di pihak lain, menawarkan kepada
publik/pemilih untuk menilai sekaligus menguji
akseptabilitas perempuan memasuki ranah politik yang
bukan semata-mata karena statusnya sebagai perempuan,
tetapi juga dari sisi kapasitas dan kapabilitasnya sebagai
legislator, serta tempatnya menurut kultur Indonesia.
Pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) dan
keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon
merupakan diskriminasi positif dalam rangka
menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan
laki-laki untuk menjadi legislator di Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) bagi calon
perempuan ditegaskan oleh Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008
agar jaminan yang memberi peluang keterpilihan

80
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

perempuan lebih besar dalam pemilihan umum;


Bahwa untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam
bidang politik tidak semata-mata tergantung pada faktor
hukum, melainkan juga faktor budaya, kemampuan,
kedekatan dengan rakyat, agama, dan derajat kepercayaan
masyarakat atas calon legislatif perempuan, serta
kesadaran yang semakin meningkat atas peranan
perempuan dalam bidang politik. Terkait dengan asas
Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat yang majemuk
seperti Indonesia, maka setiap pilihan masing-masing
orang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan harus
tetap dihargai sekalipun terdapat perbedaan satu dengan
yang lain;
Berdasarkan pandangan dan penilaian hukum di atas,
Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU
10/2008 tidak bertentangan dengan konstitusi, karena
perlakuan hak-hak konstitusional gender untuk tidak
dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk
meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata tidak
memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil”;
Bahwa Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 menyatakan, “Di
dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal
calon.” Terhadap ketentuan di atas, berdasarkan frasa
“sekurang-kurangnya” dapat dimaknai bahwa dalam
setiap tiga orang bakal calon dapat diisi sekurang-
kurangnya satu orang perempuan atau dapat diisi dengan
dua orang perempuan atau tiga orang perempuan
sekaligus. Bahkan, dimungkinkan juga mulai dari nomor
urut 1 dan seterusnya, semuanya diisi bakal calon
perempuan, apabila dikehendaki demikian oleh partai
politik yang bersangkutan;
6. Bahwa Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012
menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal
calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2,
atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor
urut 3, 6, dan seterusnya.” Terhadap ketentuan ini,
berdasarkan frasa “atau” dapat dimaknai bahwa dalam
setiap tiga orang bakal calon, hanya terdapat 1 (satu)
perempuan, namun tidak memungkinkan adanya dua atau
bahkan tiga perempuan sekaligus secara berurutan dalam
setiap tiga orang bakal calon. Terlebih lagi, dengan
adanya frasa “...tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan
seterusnya” semakin memperjelas maksud bahwa
pembentuk undang-undang berpesan kepada partai politik
peserta pemilihan umum untuk tidak menempatkan satu
orang perempuan tersebut pada urutan “terakhir” dalam
setiap tiga bakal calon, namun juga dimungkinkan satu
perempuan tersebut ditempatkan pada urutan “pertama”

81
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dalam setiap tiga bakal calon atau urutan “kedua” dalam


setiap tiga bakal calon;
12. Bahwa untuk menjamin peluang keterwakilan
perempuan di lembaga perwakilan sebagai implementasi
dari kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan [vide Pasal 28H ayat (2) UUD
1945] dan untuk menjamin kepastian hukum yang adil
supaya tidak ada lagi pemaknaan atau penormaan baru di
luar norma yang telah dinyatakan dalam Pasal 56 ayat (2)
UU 8/2012, menurut Mahkamah, terhadap frasa “atau”
dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 haruslah
dimaknai kumulatif- alternatif menjadi “dan/atau” dan
menghapus keberlakuan frasa “tidak hanya pada nomor
urut 3, 6, dan seterusnya” Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU
8/2012 karena adanya frasa tersebut justru memperkuat
makna bahwa hanya boleh ada satu perempuan dalam
setiap tiga bakal calon yang telah kehilangan relevansinya
dengan adanya frasa “dan/atau” tersebut, sehingga
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 yang awalnya
menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal
calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2,
atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor
urut 3, 6, dan seterusnya.” berubah menjadi “Dalam setiap
3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan
demikian seterusnya,”;
Bahwa supaya tidak menimbulkan keragu-raguan
mengenai keabsahan proses Pemilu yang sedang berjalan,
khususnya yang terkait dengan penetapan daftar calon
anggota lembaga perwakilan, Mahkamah perlu
menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 47 UU MK yang
menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum”, sehingga putusan ini
berlaku ke depan dan tidak berlaku untuk susunan daftar
calon anggota lembaga perwakilan dalam Pemilu Tahun
2014;
Bahwa terhadap frasa “mempertimbangkan” tersebut,
terlebih dahulu perlu diperoleh suatu pengertian mengenai
apa yang dimaksud dengan frasa “persebaran perolehan
suara calon pada daerah pemilihan” dalam Pasal 215
huruf b UU 8/2012 apabila terdapat perolehan suara yang
sama, khususnya antara calon anggota lembaga
perwakilan laki-laki dan calon anggota lembaga
perwakilan perempuan pada suatu daerah pemilihan yang
sama. Terhadap hal tersebut dan dengan mengacu pada
petitum para Pemohon yang pada pokoknya memohon
kepada Mahkamah untuk memberi tafsir konstitusional
terhadap frasa “mempertimbangkan” diartikan sebagai

82
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

“mengutamakan”, maka terlebih dahulu harus dijawab


tiga hal, sebagai berikut:
1.Jika persebaran perolehan suara seorang laki-laki calon
anggota lembaga perwakilan lebih luas daripada seorang
perempuan calon anggota lembaga perwakilan, apakah
seorang perempuan calon anggota lembaga perwakilan
tersebut harus diutamakan terlebih dahulu untuk
dinyatakan terpilih sebagai anggota lembaga perwakilan?
2.Jika persebaran perolehan suara seorang perempuan
calon anggota lembaga perwakilan lebih luas daripada
seorang laki-laki calon anggota lembaga perwakilan,
apakah seorang perempuan calon anggota lembaga
perwakilan harus diutamakan terlebih dahulu untuk
dinyatakan terpilih sebagai anggota lembaga perwakilan
3.Jika persebaran perolehan suara seorang laki-laki calon
anggota lembaga perwakilan dan seorang perempuan
calon anggota lembaga perwakilan tersebut memiliki luas
yang sama, apakah seorang perempuan calon anggota
lembaga perwakilan tersebut harus diutamakan terlebih
dahulu untuk dinyatakan terpilih sebagai anggota lembaga
perwakilan?
Bahwa terhadap pertanyaan pertama dan kedua, dengan
mendasarkan pada perolehan suara terbanyak dan
legitimasi keterwakilan dalam bentuk keluasan persebaran
perolehan suara, maka sudah menjadi hak bagi siapa pun
calon anggota lembaga perwakilan tersebut, baik laki-laki
maupun perempuan, apabila persebaran perolehan
suaranya lebih luas daripada calon anggota lembaga
perwakilan yang lain, harus diutamakan terlebih dahulu
untuk menjadi anggota lembaga perwakilan;
Bahwa terhadap pertanyaan ketiga, menurut Mahkamah,
dalam rangka menjamin pelaksanaan affirmative action
dan wujud dari pelaksanaan Pasal 28H ayat (2) UUD
1945, khususnya mengenai perlakuan khusus terhadap
kaum perempuan, maka jika terjadi keadaan sebagaimana
pertanyaan ketiga tersebut, maka frasa
“mempertimbangkan” tersebut haruslah dimaknai
“mengutamakan” calon perempuan jika persebaran
perolehan suara seorang laki-laki calon anggota lembaga
perwakilan dan seorang perempuan calon anggota
lembaga perwakilan tersebut memiliki luas yang sama;
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
1.1 Frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

83
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Nomor 5316) bertentangan dengan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang tidak dimaknai “dan/atau”;
1.2 Frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “dan/atau”;
1.3 Frasa “tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan
seterusnya” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5316) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.4 Frasa “tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan
seterusnya” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
1.5 Penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5316) selengkapnya menjadi, “Dalam setiap 3
(tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau
3 dan demikian seterusnya,”;
1.6 Frasa “mempertimbangkan” dalam Pasal 215
huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor

84
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

117, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan
Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
“mengutamakan”;
1.7 Frasa “mempertimbangkan” dalam Pasal 215
huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “mengutamakan”;
1.8 Pasal 215 huruf b Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5316) selengkapnya
menjadi, “Dalam hal terdapat dua calon atau
lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara
yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan
berdasarkan persebaran perolehan suara calon
pada daerah pemilihan dengan mengutamakan
keterwakilan perempuan”;

5) Putusan No. 4/PUU-VII/2009

1. Pemohon : Robertus memberikan kuasa kepada: . Zairin Harahap,


S.H., M.Si. 2. Ari Yusuf Amir, S.H., M.H. 3. Sugito, S.H.
4. Ahmad Khairun. H., S.H., M. Hum.
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 12 huruf g dan Pasal 50
ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 12 huruf g
Putusan dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Pasal 58 huruf f
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
selanjutnya disebut UUD 1945;

85
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Dalam Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11


Desember 2007, Mahkamah dalam amar putusannya telah
menolak permohonan pengujian Pasal 58 huruf f UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
32/2004), Pasal 6 huruf t UU Nomor 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
(UU 23/2003), Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7
ayat (2) huruf d UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (disingkat UU MA), dan Pasal
13 huruf g UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang kesemuanya
memuat norma hukum mengenai syarat “tidak pernah
dijatuhi pidana dengan pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”,
meskipun formulasinya tidak persis sama. Akan tetapi,
yang harus diperhatikan adalah pertimbangan hukum
Mahkamah dalam putusan a quo, yaitu:
a. Norma hukum yang terkandung dalam pasal-pasal
berbagai UndangUndang yang dimohonkan pengujian
dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional), yakni dikecualikan untuk tindak pidana
yang bersifat kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak
pidana karena alasan perbedaan pandangan politik (vide
Putusan Nomor 14-17/PUU-V/ 2007 paragraf [3.14] dan
paragraf [4.1]);
b. Mengingat kekhususan-kekhususan karakter jabatan-
jabatan publik tertentu menyebabkan tidak semua jabatan
publik dapat demikian saja ditentukan persyaratan dengan
menggunakan rumusan norma yang bersifat umum,
sehingga perlu pembedaan persyaratan antara: (1) jabatan
publik yang dipilih (elected officials) dan jabatan publik
yang diangkat (appointed officials); (2) jabatan publik di
bidang eksekutif yang lebih bersifat melayani dan jabatan
publik di bidang legislatif yang bersifat menyalurkan
aspirasi rakyat; dan (3) jabatan publik yang karena
tugasnya membutuhkan tingkat kepercayaan yang sangat
tinggi, seperti hakim dan aparat penegak hukum lainnya,
dan pejabat yang mengelola keuangan negara. Selain itu
dalam merumuskan persyaratan bagi jabatan publik yang
sama karakternya juga harus dengan persyaratan yang
sama agar jangan sampai menimbulkan ketidakpastian
hukum (ibid. butir 5 dan 6);
Bahwa dari perspektif moralitas hukum, yaitu keadilan,
rumusan norma yang demikian meskipun telah memenuhi
persyaratan prosedural, tidak serta merta dapat
dikategorikan sebagai legal policy yang tidak dapat diuji
konstitusionalitasnya sebagaimana keterangan

86
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pemerintah, karena norma hukum a quo jelas tidak


memenuhi rasa keadilan. Terlebih lagi jika dibandingkan
dengan kebijakan hukum berupa amnesti terhadap para
anggota PRRI/Permesta dan GAM yang pada waktu itu
juga telah melakukan tindak pidana yang cukup berat
ancaman hukumannya menurut hukum positif Indonesia.
Demikian pula jika dibandingkan dengan tindak pidana
yang dilakukan oleh mereka yang terlibat pemberontakan
G.30.S/PKI yang persyaratan tidak terlibat secara
langsung atau tidak langsung agar dapat menjadi calon
anggota DPR, DPD, dan DPRD telah dinyatakan tidak
konstitusional oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor
11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004;
Bahwa namun demikian, Mahkamah juga perlu
mempertimbangkan Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007
tentang peniadaan norma hukum yang memuat
persyaratan a quo tidak dapat digeneralisasi untuk semua
jabatan publik, melainkan hanya untuk jabatan publik
yang dipilih (elected officials), karena terkait dengan
pemilihan umum (Pemilu) dalam hal mana secara
universal dianut prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu
hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya
karena faktor usia (masih di bawah usia yang dibolehkan
oleh Undang-Undang Pemilu) dan keadaan sakit jiwa,
serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena
telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Putusan Nomor
11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004). Dalam hal
ini, Pemohon tidak pernah mendapatkan pidana tambahan
berupa pencabutan hak pilihnya baik hak pilih aktif
maupun hak pilih pasif (hak untuk dipilih);
Bahwa untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected
officials), Mahkamah dalam Pertimbangan Hukum
Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 menyatakan, “hal
tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat
tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar
alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko
pilihannya”. Oleh karena itu, agar rakyat dapat secara
kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada
ketentuan bahwa bagi calon yang pernah menjadi
terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan
secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang
demikian dan tidak menutup-nutupi atau
menyembunyikan latar belakang dirinya. Selain itu, agar
tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-
V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang
bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang
berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali

87
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

ke masyarakat sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun


setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Dipilihnya jangka waktu 5 (lima)
tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima
tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia,
baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi
frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih”;
Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang
berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”
yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat
(1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU
12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum
tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang
dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang
jati dirinya sebagai mantan terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Menimbang bahwa Mahkamah memandang perlu untuk
menegaskan kembali Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007
agar pembuat Undang-Undang segera meninjau kembali
semua Undang-Undang sepanjang yang berkaitan dengan
hak pilih mantan terpidana sebagai hak konstitusional
dalam pemilihan pejabat publik. Namun sampai saat ini
hal tersebut belum direspons, bahkan pembentuk Undang-
Undang membuat pembatasan dan/atau pelanggaran yang
lebih berat dengan mengganti frasa “tidak sedang”
menjadi “tidak pernah”. Oleh sebab itu, Mahkamah
berpendapat bahwa perlu dilakukan dorongan yang lebih
maju dengan menyatakan pasal-pasal dalam perkara a quo
adalah inkonstitusional bersyarat. Dengan pendirian yang
demikian maka Mahkamah mendorong agar pembentuk
Undang-Undang menjadi lebih bersungguhsungguh untuk
meninjau kembali semua peraturan perundang-undangan
sepanjang yang berkaitan dengan hak pilih mantan

88
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

terpidana agar disesuaikan dengan Putusan ini;


4. Amar Putusan :  Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian;
 Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)
huruf g Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional);
 Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1)
huruf g Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi
syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik
yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas
jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak
terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii)
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv)
bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
 Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk
selain dan selebihnya;

6) Putusan No. 30/PUU-XVI/2018

1. Pemohon : Muhammad Hafidz


2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum terhadap UUD 1945
89
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3. Pertimbangan : Pokok Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas frasa


Putusan “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu.
Frasa “pekerjaan lain” yang diikuti dengan frasa “yang
dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal
182 huruf l UU Pemilu haruslah dinyatakan
inkonstitusional bersyarat terhadap Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Pemohon kemudian memohon agar
Mahkamah menyatakan Pasal 182 huruf l UU Pemilu
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu
sepanjang frasa “pekerjaan lain” dalam norma Undang-
Undang a quo tidak dimaknai termasuk sebagai pengurus
(fungsionaris) partai politik.
Menimbang persoalan konstitusional yang harus
dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah: apakah yang
dimaksud dengan frasa “pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD” dalam Pasal
182 huruf l UU Pemilu a quo. Persoalan konstitusional
dimaksud tidak mungkin dipahami secara tepat jika tidak
dihubungkan secara kontekstual dengan keberadaan DPD.
Oleh karena itu, sebelum mempertimbangkan lebih jauh
dalil-dalil Pemohon, menjadi keniscayaan bagi
Mahkamah untuk terlebih dahulu menelaah secara ringkas
latar belakang historis lahirnya DPD. Tinjauan historis
demikian bukanlah dimaksudkan untuk mengabsolutkan
penafsiran sejarah dalam memahami suatu persoalan
konstitusional dengan berpegang teguh pada maksud asli
(original intent) perumus Undang-Undang Dasar dengan
mengabaikan perkembangan masyarakat tempat Undang-
Undang Dasar itu berlaku, melainkan semata-mata untuk
memahami dasar pemikiran pembentukan lembaga negara
ini (DPD) sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan
Indonesia setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD
1945. Pemahaman dasar pemikiran atau latar belakang
demikian diperlukan untuk menilai relevansinya dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam
kehidupan bernegara sehingga UUD 1945 senantiasa
menjadi konstitusi yang hidup (living constitution).
Menimbang bahwa kehadiran DPD merupakan bagian tak
terpisahkan dari perubahan UUD 1945 yang telah
mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan
Indonesia dari sistem ketatanegaraan yang
memberlakukan prinsip supremasi MPR menjadi sistem
ketatanegaraan yang memberlakukan prinsip supremasi
Konstitusi. MPR, selaku lembaga negara yang berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar,
mendasarkan alasan dilakukannya perubahan itu pada
hakikat Pembukaan UUD 1945. Karena itu, seluruh fraksi

90
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

yang ada di MPR pada saat awal dilakukannya perubahan


UUD 1945 secara aklamasi bersepakat untuk tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya, justru
menjadikan Pembukaan UUD 1945 tersebut sebagai titik
tolak dan landasan perubahan itu. Dalam kaitan ini, MPR
menjelaskan antara lain: Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normatif
yang mendasari seluruh pasal dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) negara, serta
dasar negara yang harus tetap dipertahankan [vide Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2003,
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Perubahan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, h. 23-24).
Pandangan dan pendirian MPR terhadap Pembukaan
UUD 1945 tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak
melakukan perubahan terhadap UUD 1945 bukan hanya
memiliki legitimasi politik tetapi juga legitimasi
akademik. Secara doktriner, pembukaan suatu undang-
undang dasar (konstitusi tertulis) mencerminkan karakter
ideologis undang-undang dasar yang bersangkutan (dan
negara yang hendak dibentuk berdasarkan undang-undang
dasar itu) yang memuat gagasan-gagasan religius, moral,
dan politik yang hendak dikedepankan atau dibangun.
Dari rumusan yang tertuang dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 terdapat sejumlah hal mendasar
yang dapat diidentifikasi yang secara holistik dan sebagai
satu kebulatan menggambarkan jiwa UUD 1945.
Dengan demikian, dari Pembukaan UUD 1945 tersebut,
khususnya alinea keempat, dapat diidentifikasi bukan
hanya gagasan religius, moral, dan politik yang hendak
dikedepankan tetapi juga sekaligus suasana atau arah yang
hendak dituju oleh UUD 1945 tersebut yaitu sebagai
Undang-Undang Dasar yang merupakan perwujudan
kehendak rakyat (the will of the people), bukan kehendak
sekelompok orang atau elite; yang dengan kata lain berarti
hendak mewujudkan kehidupan bernegara dan berbangsa
yang demokratis, serta dasar negara yang sekaligus
menggambarkan tujuan didirikannya Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dengan menjadikan Pembukaan UUD 1945 sebagai
landasan perubahan terhadap UUD 1945, MPR hendak
mewujudkan semangat yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 tersebut ke dalam pasal-pasal
UUD 1945 yang dalam pandangan MPR saat itu (ketika
dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945) tidak
terimplementasikan secara tepat dalam sistem

91
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

ketatanegaraan yang lama (sebelum dilakukan perubahan


terhadap UUD 1945).
setelah mengetahui hal-hal mendasar berkenaan dengan
dasar pemikiran yang melandasi dilakukannya perubahan
terhadap UUD 1945 tersebut, pertanyaan konstitusional
yang muncul dalam konteks permohonan a quo adalah:
apa hakikat keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan
yang baru tersebut? Secara historis, pembentukan DPD
dilandasi oleh pemikiran untuk lebih mengakomodasi
aspirasi daerah dan mengikutsertakannya dalam
pengambilan keputusan-keputusan politik di tingkat
nasional terutama yang langsung berkait dengan
kepentingan daerah. Hal itu dipandang penting karena
dalam sistem ketatanegaraan yang lama (sebelum
dilakukan perubahan UUD 1945), aspirasi daerah dapat
dikatakan hampir tidak terakomodasi. Aspirasi daerah saat
itu hanya diwadahi oleh Utusan Daerah sebagai bagian
dari keanggotaan MPR yang hanya bersidang sekali
dalam lima tahun [vide Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 sebelum perubahan]. Peran Utusan Daerah inilah
yang hendak ditingkatkan sehingga aspirasi daerah lebih
terwadahi dan terakomodasi. Oleh karena itu, sebelum
disepakati bernama DPD, nama lembaga negara ini
sempat diusulkan bernama Dewan Utusan Daerah.
Pentingnya mendengar aspirasi daerah dan melibatkannya
dalam pengambilan keputusan politik untuk hal-hal
tertentu juga dimaksudkan sebagai bagian dari
constitutional engineering untuk mengatasi dan mencegah
timbulnya ketidakpuasan daerah yang disebabkan oleh
pengambilan keputusan politik yang bersifat sentralistik
yang diberlakukan berdasarkan sistem ketatanegaraan
yang lama (sebelum dilakukan perubahan UUD 1945).
Karena itulah, ketika dilakukan penambahan satu ayat
dalam Pasal 33 UUD 1945 dimasukkan frasa “serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional”, sebagaimana terbaca saat ini dalam
rumusan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian,
kehadiran DPD adalah bagian tak terpisahkan dari desain
konstitusional untuk memperkuat keberadaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Itulah sebab ditolaknya
gagasan membentuk sistem perwakilan berkamar dua
(bikameral) yang sempat muncul pada saat
berlangsungnya proses perubahan UUD 1945 di Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menghendaki adanya
kedudukan sejajar dan kewenangan yang setara antara
DPR dan DPD karena dianggap tidak sesuai dengan
keberadaan Indonesia sebagai negara kesatuan, terlepas
dari soal benar atau tidaknya anggapan demikian jika
ditinjau secara akademik.
Selain itu, alasan penolakan terhadap gagasan membentuk

92
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

lembaga perwakilan bikameral tersebut juga didasari oleh


argumentasi bahwa jika gagasan itu diterima maka hal itu
akan bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
yang telah disetujui sebelumnya dalam perubahan tahap
pertama UUD 1945 dan telah berlaku yang secara tegas
menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-
undang ada di tangan DPR. Maka, jalan keluar yang
disepakati saat itu adalah kesepakatan yang wujudnya saat
ini tertuang dalam rumusan Pasal 22D UUD 1945.
Dengan rumusan demikian maka dua kebutuhan terpenuhi
sekaligus, yaitu diakomodasinya aspirasi daerah dan tidak
terjadinya pertentangan atau kontradiksi antarpasal dalam
UUD 1945 [vide lebih jauh Risalah Rapat-Rapat Panitia
Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, khususnya pembahasan
pada Perubahan Kedua dan Ketiga UUD 1945].
Menimbang bahwa gagasan untuk lebih meningkatkan
akomodasi terhadap aspirasi daerah yang diejawantahkan
dengan pembentukan DPD tersebut akan terwujud apabila
aspirasi daerah itu tercermin dalam keputusan politik yang
diambil di tingkat nasional, khususnya dalam kebijakan
legislasi, in casu pembentukan undang-undang sebagai
penjabaran lebih jauh dari gagasan yang tertuang dalam
UUD 1945 yang berkait langsung dengan kepentingan
daerah. Dalam konteks demikian DPD didesain sebagai
kekuatan pengimbang terhadap DPR sebagai lembaga
negara yang oleh UUD 1945 diberi kekuasaan
membentuk undang-undang bersama Presiden [vide Pasal
20 juncto Pasal 5 ayat (1)UUD 1945]. Artinya, kebijakan
legislasi dalam wujud pembentukan undang- undang yang
berkait langsung dengan kepentingan daerah tidak boleh
semata- mata lahir sebagai produk akomodasi dan
kompromi politik kekuatan-kekuatan yang merupakan
perwujudan representasi politik, yaitu DPR dan Presiden
yang meskipun sama-sama dipilih oleh rakyat namun
pengusulan dalam pengisian jabatannya dilakukan melalui
sarana partai politik. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi
kekuatan pengimbang dimaksud maka pengisian jabatan
anggota DPD haruslah berasal dari luar partai politik.
Anggota DPD didesain berasal dari tokoh- tokoh daerah
yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan daerahnya
dan memiliki kemampuan untuk (bersama-sama dengan
tokoh-tokoh dari daerah lain) menyuarakan dan
memperjuangkan kebutuhan itu dalam pengambilan
keputusan politik nasional yang berkait langsung dengan
kepentingan daerah, khususnya dalam proses
pembentukan undang-undang. Gambaran itulah yang
dapat disarikan dari proses pembahasan yang terjadi di
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan
pelembagaan DPD [vide lebih jauh Risalah rapat-rapat
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, khususnya

93
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pembahasan pada Perubahan Kedua dan Ketiga UUD


1945].
Lebih jauh, setelah mempertimbangkan dasar-dasar
pemikiran dan perdebatan yang terjadi selama
berlangsungnya proses perubahan UUD 1945 di MPR,
pada bagian lain pertimbangan hukumnya dalam Putusan
di atas, Mahkamah menegaskan hakikat keberadaan DPD
dalam desain konstitusional UUD 1945:
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain
konstitusional DPD sebagai organ konstitusi adalah:
1). DPD merupakan representasi daerah (territorial
representation) yang membawa dan memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka
kepentingan nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip
“checks and balances” terhadap DPR yang merupakan
representasi politik (political representation) dari aspirasi
dan kepentingan politik partai-partai politik dalam
kerangka kepentingan nasional;
2). Keberadaan DPD dan DPR dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang seluruh anggotanya
menjadi anggota MPR bukanlah berarti bahwa sistem
perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan
bikameral, melainkan sebagai gambaran tentang sistem
perwakilan yang khas Indonesia;
3). Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas,
namun dari seluruh kewenangannya di bidang legislasi,
anggaran, pengawasan, dan pertimbangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kesemuanya terkait
dan berorientasi kepada kepentingan daerah yang harus
diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat
keseimbangan antara kepentingan nasional dan
kepentingan daerah;
4). Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap
provinsi, anggota DPD dipilih melalui Pemilu dari setiap
provinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan
pencalonan secara perseorangan, bukan melalui Partai,
sebagai peserta Pemilu.
Secara analitis, original intent pembentukan DPD maupun
pertimbangan Mahkamah dalam putusan di atas memiliki
landasan rasional-faktual maupun konsepsional yang kuat.
Pertama, dilihat dari perspektif fungsi-fungsi ideal partai
politik, original intent pembentukan DPD maupun
Putusan Mahkamah di atas tidak dapat dinilai menafikan
fungsi-fungsi ideal partai politik, khususnya dalam hal ini
fungsi komunikasi dan agregasi politik. Sebab, di negara-
negara yang kehidupan demokrasinya telah matang pun,
partai politik tidak dapat secara absolut dianggap telah
merepresentasikan aspirasi seluruh rakyat. Itulah yang
secara rasional- faktual menjelaskan munculnya
fenomena, antara lain, hadirnya calon-calon presiden

94
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

independen di Amerika Serikat (yang sistem


ketatanegaraannya memang memungkinkan hadirnya
calon presiden demikian) ataupun calon-calon
independen/perseorangan dalam pemilihan kepala daerah
di Indonesia yang beberapa di antaranya berhasil
mengalahkan calon-calon yang diajukan oleh partai
politik. Pemikiran yang bertolak dari ketidakabsolutan
fungsi komunikasi dan agregasi partai politik itu pula
yang melahirkan wacana (discourse) tentang deliberative
democracy di kalangan cerdik pandai, yang mulai
berkembang sejak akhir abad ke-20, yang memandang
pentingnya warga negara biasa (lay citizens) sebanyak
mungkin terlibat dalam pengambilan keputusan politik,
bukan sekadar oleh sekelompok elite yang
direpresentasikan oleh partai-partai politik.
Kedua, persyaratan anggota DPD tidak boleh menjadi
pengurus atau berasal dari pengurus partai politik
mencegah terjadinya distorsi politik berupa lahirnya
perwakilan ganda (double representation) partai politik
dalam pengambilan keputusan, lebih-lebih keputusan
politik penting seperti perubahan Undang-Undang Dasar.
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MPR
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu,
menurut Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR memiliki
kewenangan mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar. Dengan demikian, jika anggota DPD
dimungkinkan berasal dari pengurus partai politik, berarti
akan terjadi perwakilan ganda dalam keanggotaan MPR di
mana partai politik yang sudah terwakili dalam
keanggotaan DPR juga terwakili dalam keanggotaan
DPD. Hal ini secara tidak langsung telah mengubah
desain ketatanegaraan perihal keanggotaan MPR yang
hendak diwujudkan oleh UUD 1945 yang memaksudkan
MPR sebagai wujud atau pencerminan perwakilan politik
dan perwakilan wilayah. Desain demikian merupakan hal
mendasar karena secara filosofis diturunkan dari gagasan
Kebangsaan Indonesia yang bukan sekadar ikatan
persatuan politik yang lahir karena adanya persamaan
nasib dari segenap suku bangsa yang mendiami wilayah
yang bernama Indonesia tetapi juga mencakup gagasan
persatuan segenap suku bangsa dimaksud dengan wilayah
yang didiaminya itu. Inilah salah satu hikmat
kebijaksanaan mendasar yang harus tercermin dalam
lembaga permusyawaratan/perwakilan yang bernama
MPR tersebut sehingga keputusan politik penting yang
diambil oleh lembaga ini senantiasa mencerminkan
keputusan Bangsa Indonesia.
Ketiga, sebagai catatan tambahan dan sekaligus
mengingatkan kembali, pada saat berlangsungnya

95
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

perdebatan di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR saat


membahas keanggotaan MPR, alasan mencegah
terjadinya double representation inilah, bersama-sama
dengan alasan untuk menerapkan prinsip perwakilan atas
dasar pemilihan (representation by election), yang
dijadikan dasar argumentasi menolak adanya anggota
MPR yang pengisiannya dilakukan melalui pengangkatan,
dalam hal ini terkait dengan keberadaan Utusan
Golongan. Sebagian besar fraksi yang ada di MPR saat itu
berpandangan bahwa jika ada anggota MPR yang
diangkat, yaitu mereka yang dianggap sebagai tokoh yang
merepresentasi golongan-golongan yang ada dalam
masyarakat, maka besar kemungkinan akan terjadi
perwakilan ganda di MPR karena hadirnya anggota-
anggota yang diangkat sebagai representasi golongan,
yang sangat mungkin berasal dari daerah, sementara pada
saat yang sama daerah telah pula memiliki wakil yang
dipilih melalui Pemilu, yaitu anggota DPD. Oleh karena
itu, sesuai dengan prinsip representation by election para
tokoh yang dianggap merepresentasikan golongan itu
tidak cocok lagi diangkat melainkan diikutkan dalam
kompetisi pemilihan anggota DPD, sehingga dalam
keanggotaan DPD tersebut keberadaan golongan-
golongan dalam masyarakat sesungguhnya telah dengan
sendirinya tercermin melalui keterpilihan tokoh-tokoh
daerah dalam kelembagaan DPD. Dengan cara demikian
maka kemungkinan munculnya perwakilan ganda akan
tercegah dan pada saat yang sama prinsip perwakilan
melalui pemilihan juga terpenuhi. Namun, saat itu, wakil
Utusan Golongan yang ada di MPR tidak dapat
menyetujui pandangan ini sehingga pasal yang mengatur
keanggotaan MPR, sebagaimana saat ini tertuang dalam
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, tercatat sebagai satu-satunya
pasal dalam UUD 1945 yang keputusannya diambil
melalui pemungutan suara.
Dengan pertimbangan yang menekankan pada hakikat
keberadaan DPD serta perbedaan antara anggota DPD dan
anggota DPR demikian tampak jelas bahwa Mahkamah
tidak mengubah pendiriannya sebagaimana ditegaskan
dalam putusan sebelumnya, in casu Putusan Mahkamah
Konsitusi Nomor 10/PUU- VI/2008, bahwa anggota DPD
bukan berasal dari partai politik. Pendirian Mahkamah
tersebut koheren dengan pendirian Mahkamah berkenaan
dengan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 yang pada intinya
menegaskan bahwa DPD harus secara maksimal
dilibatkan dalam proses pembentukan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

96
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi


lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
[vide lebih jauh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
79/PUU- XII/2014].
Dikatakan koheren sebab jika DPD tidak dilibatkan secara
maksimal dalam proses penyusunan undang-undang yang
berkait dengan soal-soal tersebut maka hakikat
representasi daerah yang melekat dalam eksistensi DPD
(yang anggota-anggotanya bukan berasal dari partai
politik) akan terdegradasi karena keputusan politik yang
diambil dalam soal-soal yang langsung berkait dengan
kepentingan daerah tersebut akan lebih banyak ditentukan
oleh lembaga yang merupakan representasi politik, yakni
DPR (yang anggotanya berasal dari partai politik).
Apalagi, Anggota DPR yang berasal dari daerah provinsi
tidaklah selalu sepenuhnya dapat dikatakan mewakili
provinsi yang bersangkutan sebagaimana halnya anggota
DPD karena basis pencalonan Anggota DPR adalah
berdasarkan daerah pemilihan (Dapil) di suatu provinsi
meskipun untuk provinsi tertentu, provinsi sekaligus
menjadi Dapil karena jumlah Dapil-nya berjumlah tidak
lebih dari satu. Dengan demikian, dalam analisis
selanjutnya, apabila keanggotaan DPD juga
dimungkinkan berasal dari partai politik, in casu pengurus
partai politik, maka keadaan demikian akan makin
meneguhkan fenomena di mana keputusan politik yang
berkait langsung dengan kepentingan daerah, khususnya
dalam kebijakan legislasi, secara faktual menjadi berada
di tangan pihak yang semata-mata merupakan representasi
politik. Hal ini jelas tidak bersesuaian dengan semangat
yang terkandung dalam Pasal 22D UUD 1945.
Setelah mempertimbangkan konteks historis perihal latar
belakang atau dasar pemikiran pembentukan DPD dan
kaitannya dengaperubahan sistem ketatanegaraan setelah
dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 serta pendirian
Mahkamah berkenaan dengan keberadaan DPD yang
dituangkan dalam sejumlah putusannya, khususnya yang
berkenaan dengan cara pengisian keanggotaannya maka
pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah dasar
pemikiran tersebut masih relevan dengan perkembangan
masyarakat saat ini atau sebaliknya dasar pemikiran
tersebut sudah tidak relevan lagi sehingga menuntut
Mahkamah untuk mengubah pendiriannya yang telah
dituangkan dalam putusan-putusan Mahkamah terdahulu.
Pertanyaan ini berkait langsung dengan dalil-dalil
Pemohon yang pada hakikatnya berpegang pada dasar
pemikiran dibentuknya DPD dan fungsi-fungsi DPD
sebagaimana tercermin dalam kewenangan-kewenangan
yang dimilikinya berdasarkan UUD 1945 beserta hak- hak
yang diberikan kepada anggota-anggotanya dalam

97
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

melaksanakan kewenangan tersebut.


Terhadap persoalan tersebut Mahkamah berpendapat tidak
terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk
mengubah pendiriannya. Sebaliknya, justru terdapat
kebutuhan bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali
pendiriannya yang berkait dengan keanggotaan DPD
tersebut. Sebab, Pasal 182 UU Pemilu yang mengatur
persyaratan perseorangan untuk menjadi calon anggota
DPD tidak secara tegas menyebutkan adanya larangan
bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri
sebagai anggota DPD. Sebagai lembaga yang didirikan
dengan fungsi mengawal Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan yang menganut prinsip supremasi
konstitusi, Mahkamah berkewajiban untuk menjamin
terealisasinya semangat yang terkandung dalam Pasal
22D UUD 1945, sehingga gagasan bahwa DPD
merupakan representasi daerah benar-benar terealisasi dan
tidak terdistorsi dalam praktik kehidupan bernegara yang
disebabkan tidak adanya pembatasan berkenaan dengan
persyaratan pencalonan terutama yang terkait dengan
pengurus partai politik.
Dengan tidak adanya penjelasan terhadap frasa “pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai
dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 182
huruf l UU Pemilu, timbul ketidakpastian hukum apakah
perseorangan warga negara Indonesia yang sekaligus
pengurus partai politik dapat atau boleh menjadi calon
anggota DPD, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Jika ditafsirkan dapat atau boleh
maka hal itu akan bertentangan dengan hakikat DPD
sebagai wujud representasi daerah dan sekaligus
berpotensi lahirnya perwakilan ganda (double
representation) sebab, jika calon anggota DPD yang
berasal dari pengurus partai politik tersebut terpilih, maka
partai politik dari mana anggota DPD itu berasal secara
faktual akan memiliki wakil baik di DPR maupun di DPD
sekalipun yang bersangkutan menyatakan sebagai
perseorangan tatkala mendaftarkan diri sebagai calon
anggota DPD. Hal ini berarti bertentangan dengan
semangat Pasal 22D UUD 1945. Sebaliknya, jika
ditafsirkan tidak dapat atau tidak boleh, larangan
demikian tidak secara ekplisit disebutkan dalam UU
Pemilu, khususnya Pasal 182 huruf l. Oleh karena itu
Mahkamah penting menegaskan bahwa perseorangan
warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai
anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus
partai politik sehingga Pasal 182 huruf l UU Pemilu harus
dimaknai sebagaimana tertuang dalam amar Putusan ini.
Menimbang bahwa oleh karena UU Pemilu, khususnya

98
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pasal 182 tidak secara tegas melarang pengurus partai


politik untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota
DPD maka secara a contrario pendirian Mahkamah
sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan sebelumnya
yang pada intinya menyatakan bahwa calon anggota DPD
tidak boleh berasal dari partai politik sesungguhnya tetap
berlaku. Sebab, putusan Mahkamah memiliki kekuatan
hukum mengikat sederajat dengan undang-undang,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 UU MK yang
menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum.”
Pertanyaan yang timbul kemudian, bagaimana dengan
adanya fakta bahwa saat ini terdapat anggota DPD yang
juga pengurus partai politik? Dalam kaitan ini Pasal 58
UU MK menyatakan, “Undang-udang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan
yang menyatakan bahwa undang- undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.” Norma yang termuat
dalam Pasal 58 UU MK tersebut mengandung dua
pengertian. Pertama, bahwa dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang berlaku prinsip
presumption of contitutionality, artinya suatu
undang-undang harus dianggap tidak bertentangan dengan
Konstitusi selama belum ada putusan pengadilan, in casu
putusan Mahkamah Konstitusi, yang berkekuatan hukum
tetap yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Konstitusi. Kedua, bahwa
sebagaimana prinsip umum yang berlaku dalam
pengundangan suatu undang-undang, suatu undang-
undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang
(positive legislature) berlaku prospektif atau ke depan,
tidak boleh berlaku surut (retroactive). Hal itu juga
berlaku terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (selaku
negative legislator), sehingga putusan Mahkamah pun
keberlakuannya adalah prospektif, terlepas dari adanya
praktik di negara lain yang memungkinkan disimpanginya
prinsip ini dalam hal-hal tertentu. Dengan demikian,
terhadap pertanyaan di atas, oleh karena anggota DPD
yang juga pengurus partai politik tersebut terpilih menjadi
anggota DPD sebelum adanya Putusan ini maka sesuai
dengan prinsip presumption of constitutionality
keanggotaan yang bersangkutan di lembaga tersebut
(DPD) harus dianggap didasarkan atas undang-undang
yang konstitusional. Artinya, sejalan dengan sifat
prospektif putusan Mahkamah maka Putusan ini tidak
berlaku terhadap yang bersangkutan kecuali yang
bersangkutan mencalonkan diri kembali sebagai anggota
DPD setelah Putusan ini berlaku sesuai dengan Pasal 47

99
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

UU MK. Mahkamah penting menegaskan bahwa yang


dimaksud dengan “pengurus Partai Politik” dalam putusan
ini adalah pengurus mulai dari tingkat pusat sampai
tingkat paling rendah sesuai dengan struktur organisasi
partai politik yang bersangkutan.
Menimbang bahwa untuk Pemilu 2019, karena proses
pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai, dalam hal
terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan
merupakan pengurus partai politik terkena dampak oleh
putusan ini, KPU dapat memberikan kesempatan kepada
yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota
DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari
kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan
pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal
pengunduran diri dimaksud. Dengan demikian untuk
selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-
Pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik
adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon
mengenai inkonstitusionalitas Pasal 182 huruf l UU
Pemilu adalah beralasan menurut hukum sepanjang frasa
“pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu
dimaksud tidak dimaknai mencakup pula pengurus partai
politik.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai
mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik;

3.3. Putusan MK Syarat Parpol Peserta Pemilu

1) Putusan No. 12/PUU-VI/2008

1. Pemohon : Partai Persatuan Daerah; Partai Perhimpunan Indonesia


Baru; Partai Nasional Banteng Kemerdekaan; Partai
Patriot Pancasila; Partai Buruh Sosial Demokrat; Partai
Sarikat Indonesia; Partai Merdeka
2. Pokok Permohonan : Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008
Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1),
28I ayat (2), UUD 1945
3. Pertimbangan : Bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tidak jelas ratio
Putusan legis dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi
dari prinsip electoral threshold ke prinsip parliamentary
threshold yang ingin diwujudkan melalui Pasal 202 UU

100
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

10/2008;
Bahwa Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004, baik yang
memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008
maupun yang tidak memenuhi, sejatinya mempunyai
kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol Peserta
Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold,
sebagaimana dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU
12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU 10/2008;
Bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 merupakan
ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama
dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal
uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama
Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi
ketentuan Pasal 315 UU 10/2008;
4. Amar Putusan : Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan;

Menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor


10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor


10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2) Putusan No. 16/PUU-V/2007


1. Pemohon : Partai Persatuan Daerah (PPD); Partai Perhimpunan
Indonesia Baru (PPIB); Partai Bintang Reformasi (PBR);
Partai Damai Sejahtera (PDS); Partai Bulan Bintang
(PBB); Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI);
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK); Partai
Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); Partai Pelopor
(PP); Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI); Partai
Buruh Sosial Demokrat (PBSD); Partai Serikat Indonesia
(PSI); Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB);
2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2)
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (LNRI Tahun 2003 Nomor 37, TLNRI
Nomor 4277 terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah

101
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Putusan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1) dan ayat


(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerahterhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Karena telah menegasi
hak para Pemohon sebagai badan hukum atas kesamaan
kedudukan di dalam hukum, in casu hak untuk turut serta
dalam pemilu, padahal para Pemohon telah diakui
keberadaannya oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik.
Mahkamah menyatakan pendiriannya sebagai berikut:
a. Bahwa memang benar apa yang didalilkan para
Pemohon bahwasanya partai politik menempati posisi
strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang
ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.
Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam
atau dengan undang-undang, seperti dinyatakan dalam
Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata cara pelaksanaan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6),
“Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal
yang berkenaan dengan pemilihan umum dan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-undang
yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan
dengan UUD 1945;
b. Bahwa undang-undang yang diamanatkan oleh Pasal
22E ayat (6) UUD 1945 adalah UU Pemilu yang
dimohonkan pengujian oleh para Pemohon yang antara
lain memuat ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) yang
intinya berkaitan dengan persyaratan bagi partai politik
agar dapat mengikuti pemilu berikutnya, yakni partai
politik harus:
1) memenuhi ketentuan electoral threshold (ET) yang
tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu;
2) bergabung dengan partai politik lainnya apabila
ketentuan ET tidak terpenuhi [Pasal 9 ayat (2) UU
Pemilu]; c. Bahwa menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 9
ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan
dengan pasal-pasal UUD 1945, sebagaimana didalilkan
oleh para Pemohon, yakni:

102
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

1) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak


bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang
persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
karena pasal a quo hanya memuat persyaratan objektif
bagi semua parpol tanpa kecuali apabila ingin mengikuti
pemilu berikutnya dan tidak mengurangi kedudukan
warga negara dalam hukum dan pemerintahan, bahkan
seharusnya para Pemohon sebagai warga negara
Indonesia wajib menjunjung ketentuan tersebut;
2) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak
bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 tentang hak
untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, karena
ketentuan mengenai hak hidup yang tercantum dalam
Pasal 28A UUD 1945 adalah diperuntukkan bagi orang
dalam arti manusia (natuurlijke persoon), bukan orang
dalam arti badan hukum (rechtspersoon). Dengan
demikian, mengkaitkan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU
Pemilu dengan Pasal 28A UUD 1945 tidaklah tepat;
3) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945
tentang hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif dalam
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, karena
pasal a quo tidak menghalangi para Pemohon untuk
berjuang secara kolektif membangun masyarakat, bangsa
dan negara, termasuk ikut pemilu berikutnya, asal
memenuhi ketentuan yang tercantum dalam pasal a quo.
Bahkan apabila ditempuh cara yang ditentukan oleh Pasal
9 ayat (2) UU Pemilu ada kemungkinan perjuangan
kolektif tersebut akan lebih dahsyat;
4) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak
bertentangan dengan Pasal 28G ayat (2) UUD 1945,
karena ketentuan yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1)
dan ayat (2) tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
para Pemohon, serta tidak mengurangi rasa aman dan
tidak menimbulkan ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang terkait dengan eksistensi para
Pemohon sebagai partai politik;
5) Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti
pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik
setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui
pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET
yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya
tergantung partai politik yang bersangkutan dan dukungan
dari pemilih, bukan kesalahan undang-undangnya. Hal
yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang

103
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia


sebagaimana dimaksud UU HAM dan International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
d. Bahwa tambahan pula, berdasarkan UU Pemilu
memang partai politik yang telah berstatus sebagai badan
hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta
(otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu,
seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh
Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu),
sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan
partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal
yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan.
Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan
hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan
kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan
UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan
mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk
mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat
mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET;
e. Bahwa ketentuan tentang ET sudah dikenal sejak
Pemilu 1999 yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang
kemudian diadopsi lagi dalam UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu, yang menaikkan ET dari 2% (dua persen)
menjadi 3% (tiga persen), sehingga para Pemohon
seharusnya sudah sangat memahami sejak dini bahwa
ketentuan tentang ET tersebut memang merupakan pilihan
kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam rangka
membangun suatu sistem multipartai sederhana di
Indonesia. Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal
policy) di bidang kepartaian dan pemilu tersebut bersifat
objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan
demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai
yang hidup kembali di Indonesia di era reformasi, setelah
dianutnya sistem tiga partai pada era Orde Baru melalui
penggabungan partai yang dipaksakan. Dalam hal ini, di
antara para Pemohon bahkan ada yang ikut menentukan
besaran ET tersebut, dan secara keseluruhan para
Pemohon dengan mengikuti Pemilu 2004 berarti secara
sadar sudah menerima adanya ketentuan tentang ET
dalam UU Pemilu. f. Bahwa memang di banyak negara
pada umumnya yang dianut bukan ET sebagai syarat
untuk ikut pemilu berikutnya, melainkan parliamentary
threshold (PT) yang membatasi suatu partai politik untuk
dapat mendudukkan wakilnya di parlemen dengan syarat
perolehan jumlah persentasi tertentu (misal 5% di
Jerman). Akan tetapi, apakah akan memilih model ET
ataukah PT, hal itu adalah masalah pilihankebijakan
dalam rangka membangun sistem kepartaian dan sistem

104
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

perwakilan yang kuat dalam kehidupan ketatanegaraan


dan politik melalui cara-cara yang demokratis dan
konstitusional;
g. Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan keharusan
untuk bergabung bagi partai politik yang tidak memenuhi
ET sangat sulit misalnya bagi Partai Bulan Bintang (PBB)
yang memperjuangkan syariat Islam secara demokratis
dan konstitusional dan bagi Partai Damai Sejahtera (PDS)
yang aspirasinya Kristiani, menurut Mahkamah hal itu
tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas Pasal 9 ayat
(1) dan ayat (2) UU Pemilu. Lagi pula, berdasarkan Pasal
10 ayat (2) UU Parpol setiap partai politik harus bersifat
terbuka bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi; h.
Bahwa dari perspektif HAM sebagaimana didalilkan oleh
para Pemohon, ketentuan yang tercantum dalam Pasal 9
ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak mempengaruhi hak
untuk berserikat dan berkumpul, termasuk hak untuk
mendirikan partai politik, serta tidak ada unsur yang
bersifat diskriminatif, sehingga ketentuan dalam pasal a
quo tidak bertentangan dengan hak asasi manusia;
4. Amar Putusan : Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(LNRI Tahun 2003 Nomor 98, TLNRI Nomor 4316)

3.4. Putusan MK tentang Verifikasi Parpol

Putusan No. 52/PUU-X/2012 (2019)

1. Pemohon : Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU); Partai


Bulan Bintang (PBB); Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI); Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB);
Partai Persatuan Nasional (PPN); Partai Merdeka; Partai
Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK
Indonesia); Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK); Partai
Sarikat Indonesia (PSI); Partai Kedaulatan; Partai
Indonesia Sejahtera (PIS); Partai Kesatuan Demokrasi
Indonesia (PKDI); Partai Pengusaha dan Pekerja
Indonesia (PPPI); Partai Damai Sejahtera (PDS); Partai
Demokrasi Pembaruan (PDP); Partai Republika
Nusantara; dan Partai Pemuda Indonesia (PPI)
2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut
Putusan Mahkamah, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai
politik lama karena pada saat verifikasi untuk menjadi
peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan
administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik
peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, sehingga tidak

105
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum


Tahun 2009 telah dinyatakan memenuhi persyaratan,
namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan
memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika
partai politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas,
diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan
partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009.
Ketentuan yang demikian, menurut Mahkamah, tidak
memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan
syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti
suatu kontestasi yang sama;

Menurut Mahkamah, dipenuhinya ambang batas


perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 tidak
dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai
syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama
sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014. Karena
ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU
10/2008
berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria
dalam UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan
Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian,
meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya
frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional” yang terdapat dalam
Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah
ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan
Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Ketidakadilan juga terdapat
pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Hal yang
terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak
ada penjelasan dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri,
sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 harus
mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya;

Syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk


mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2009 ternyata
berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum
legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta
pemilihan umum bagi partai politik tahun 2014 justru
lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan
umum legislatif tahun 2009. Dengan demikian adalah
tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi
peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu
diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum
pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru,
sementara partai
politik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti
verifikasi dengan syarat yang lebih berat. PT sejak awal
tidak dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk

106
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

menjadi peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1 angka


27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008],
tetapi adalah ambang batas bagi sebuah partai poltik
peserta Pemilu untuk mendudukkan anggotanya di DPR;

Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk Undang-


Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai
politik, namun penyederhanaan tidak dapat dilakukan
dengan memberlakukan syarat-syarat yang berlainan
kepada masing-masing partai politik. Penyederhanaan
partai politik dapat dilakukan dengan menentukan syarat-
syarat administratif tertentu untuk mengikuti pemilihan
umum, namun syarat-syarat tersebut harus diberlakukan
sama untuk semua partai politik yang akan menjadi
peserta pemilihan umum tanpa pengecualian.
Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu
kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan
perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda
(unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua
partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama
untuk satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang
sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014;

Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai


politik ada dua solusi yang dapat ditempuh yaitu, pertama,
menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara
partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik
peserta Pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan
seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun
2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam
Undang-Undang a quo. Dalam hal ini, demi kepastian
hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa untuk
mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai
politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti
verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud
pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai
politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi peserta
pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU
8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik
yang akan mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa
kecuali;

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 dan


Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan
kepartaian secara alamiah. Namun demikian, dari sudut
substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi
semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan
tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di

107
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya


partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional
sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di
daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau
kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara
signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di
lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut.
Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai
politik yang secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%,
namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal demikian
akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya
duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang
seharusnya jika merunut pada perolehan suaranya, atau
dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya
menjadi anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan
suara pemilih di daerahnya. Politik hukum sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan
Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan
kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam
di setiap daerah;

Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan


secara bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat
menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai
politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau
kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak
ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki
kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan
partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik
dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiap-tiap partai
politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3%
suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu
daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT
3,5% sehingga hanya ada satu partai politik yang
menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-
kurangnya banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru
bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang
menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan
DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak
terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik
yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan
dengan konstitusi.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
1.1 Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara

108
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117


Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5316) bertentangan dengan UUD 1945;
1.2 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
117 Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”
dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
5316) sepanjang frasa ”yang dimaksud dengan
”partai politik baru” adalah partai politik yang
belum pernah mengikuti Pemilu” bertentangan
dengan UUD 1945;
1.3 Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5316) bertentangan dengan UUD 1945;
1.4 Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
117 Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”
bertentangan dengan UUD 1945;
1.5 Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan
UUD 1945;

109
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

1.6 Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1)


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
1.7 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
117 Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”
dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
5316) sepanjang frasa ”yang dimaksud dengan
”partai politik baru” adalah partai politik yang
belum pernah mengikuti Pemilu” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.8 Pasal 17 ayat (1) serta Penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia
Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
1.9 Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
117 Tambahan Lembaran Negara Repulik
Indonesia Nomor 5316) sepanjang frasa ”DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.10 Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

110
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 Tambahan
Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
5316) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota” tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan
selebihnya;

3.5. Putusan MK tentang Kampanye

1) Putusan No. 32/PUU-VI/2008


1. Pemohon : H. Tarman Azzam (Pimpinan Redaksi Harian Terbit);
Kristanto Hartadi (Pimpinan Redaksi Harian Umum Sinar
Harapan); Sasongko Tedjo (Pimpinan Redaksi Harian
Umum Suara Merdeka); Ratna Susilowati (Pimpinan
Redaksi Harian Umum Rakyat Merdeka); H. Badiri
Siahaan, S.H (Pimpinan Redaksi Media Bangsa); Marthen
Selamet Susanto (Pimpinan Redaksi Harian Koran
Jakarta); H. Dedy Pristiwanto (Pimpinan
Redaksi/Pimpinan Perusahaan Harian Warta Kota); H.
Llham Bintang (Pimpinan Redaksi Tabloid Cek & Ricek).
2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
UUD 1945
3. Pertimbangan : Menurut para Pemohon Pasal 98 ayat (2) UU 10/2008
Putusan yang berbunyi, “Dalam hal terdapat pelanggaran atas
ketentuan dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi
Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal
98 ayat (3) UU 10/2008 yang berbunyi, “Penjatuhan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan
kepada KPU dan KPU provinsi”.
Pasal 98 ayat (4) UU 10/2008 yang berbunyi, “Dalam hal
Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers tidak
menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak ditemukan bukti
pelanggaran kampanye, KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana
kampanye”. Pasal 99 ayat (1) UU 10/2008 yang berbunyi,
“Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)
dapat berupa: a. Teguran tertulis; b. penghentian
sementara mata acara yang bermasalah; c. pengurangan
durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan
kampanye Pemilu; d. denda; e. pembekuan kegiatan
111
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu


untuk waktu tertentu; atau pencabutan izin penerbitan
media massa cetak” dan Pasal 99 ayat (2) UU 10/2008
yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
dan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud ayat (1)
ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan
Pers bersama KPU” bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28H ayat (2), dan
Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Argumentasinya adalah
bahwa Pasal 99 UU 10/2008 tergolong penyensoran,
pembredelan, dan pelarangan penyiaran yang berdasarkan
UU 40/1999 hal tersebut sudah tidak dikenal lagi dalam
pers nasional dan merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi para Pemohon yang dijamin oleh pasal-pasal UUD
1945.
Mahkamah memberikan pendapatnya dengan terlebih
dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa pada dasarnya ada perbedaan yang mendasar
antara lembaga penyiaran yang diatur oleh UU 32/2002
dan media cetak yang diatur dalam UU 40/1999, yaitu
bahwa media yang berupa lembaga penyiaran yang
menggunakan spektrum udara yang terbatas memerlukan
perizinan yang melibatkan Menkominfo dan KPI,
sedangkan bagi media massa cetak sudah tidak lagi
memerlukan perizinan dari instansi manapun. Oleh karena
itu, pengaturan dalam suatu Undang-Undang yang
cenderung menggeneralisasi kedua institusi pers itu
tentulah tidak atau kurang tepat dan dapat menimbulkan
berbagai kerancuan dalam tafsir dan penerapannya,
sebagaimana yang terjadi dengan pengaturan dalam UU
10/2008 yang berkaitan dengan UU Penyiaran Nomor
32/2002 dan UU Pers Nomor 40/1999;
2. Bahwa pertentangan antara Undang-Undang yang satu
dengan UndangUndang yang lain tidak serta merta dapat
dikategorikan atau dinilai sebagai perbenturan antara lex
specialis dan legi generali, sebagaimana dikemukakan
oleh Pemerintah yang menganggap UU 10/2008 sebagai
lex specialis, sedangkan yang merupakan legi generali
adalah UU 40/1999 dan UU 32/2002, sehingga prinsip
kebebasan pers yang tanpa membutuhkan perizinan yang
tercantum dalam UU 40/1999 dapat dinegasi atau
ditiadakan oleh UU 10/2008. Pandangan yang demikian
merupakan penyederhanaan masalah yang justru dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
yang bertentangan dengan Konstitusi/UUD 1945.
Ketidakkonsistenan dalam pengaturan hukum akan
merusak sendi-sendi negara hukum atau rule of law yang
juga mensyaratkan bahwa “law must be fairly and
consistently applied” (vide Barry M. Hager, The Rule of
Law: A Lexicon for Policy Makers, 2000);

112
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3. Menimbang bahwa Mahkamah tidak sependapat


dengan Pemerintah dan DPR yang mendalilkan bahwa
pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo tidak dapat
diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah karena berisi
pertentangan antara satu UU dengan UU lainnya, yaitu
antara UU 40/1999 dan UU 32/2002 dengan UU 10/2008.
Menurut Mahkamah, pasal-pasal yang dimohonkan
pengujian bukan hanya bertentangan dengan kedua UU
sebelumnya, melainkan juga bertentangan secara
langsung dengan beberapa pasal dari UUD 1945.
Lagipula, menurut Mahkamah ketentuan pasal-pasal yang
dimohonkan pengujian mengandung kontradiksi dalam
dirinya sendiri (contradictio in terminis) sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana diatur
pelarangannya di dalam UUD 1945.
4. Bahwa sejalan dengan pendapat ahli dari Pemerintah
yang menyatakan tidak semua institusi dapat mengklaim
sebagai penegak hukum, maka Mahkamah dalam Putusan
Nomor 005/PUU-I/2003 tanggal 28 Juli 2004 dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa penjatuhan
sanksi, terlebih lagi sanksi yang mematikan seperti
pencabutan surat izin penyiaran, harus mengindahkan asas
“due process of law”;
Menimbang bahwa berdasarkan empat hal tersebut di
atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
konstitusionalitas pasal-pasal UU 10/2008 yang
dimohonkan pengujian sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 98 ayat (2) UU 10/2008 yang berbunyi,
“Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan
dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Komisi Penyiaran
Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Dari
rumusan ini yang menggunakan kata “atau” dapat
menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat
menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau
Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang
dijatuhkan juga berbeda, sehingga justru akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
Lagi pula, sesuai dengan kedudukan dan fungsinya,
Dewan Pers menurut UU 40/1999 tidak berwenang untuk
menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.
Oleh karena itu, dalil para Pemohon bahwa Pasal 98 ayat
(2) UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 adalah cukup beralasan;
2. Bahwa Pasal 98 ayat (3) UU 10/2008 yang berbunyi,
“Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberitahukan kepada KPU dan KPU provinsi” oleh para
Pemohon juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah dengan merujuk
pertimbangan butir 1, pasal a quo tidak lagi relevan

113
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

keberadaannya dan mutatis mutandis dalil-dalil para


Pemohon juga cukup beralasan; 3. Bahwa Pasal 98 ayat
(4) UU 10/2008 yang berbunyi, “Dalam hal Komisi
Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers tidak menjatuhkan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari sejak ditemukan bukti pelanggaran
kampanye, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye” oleh
para Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Rumusan
ketentuan tersebut yang mencampuradukkan kedudukan
dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan
kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada
pelaksana kampanye Pemilu, menurut Mahkamah dapat
menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum,
sehingga dalil para Pemohon cukup beralasan dan mutatis
mutandis pertimbangan pada butir 1 dan butir 2 juga
berlaku untuk butir 3 ini; 4. Bahwa Pasal 99 ayat (1) UU
10/2008 yang intinya berisi jenis-jenis sanksi yang dapat
dijatuhkan oleh KPI atau Dewan Pers [vide Pasal 98 ayat
(2)] menurut Mahkamah Pasal 99 ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf e seolah-olah hanya relevan untuk lembaga
penyiaran, karena hanya merupakan copy paste dari
ketentuan dalam UU 32/2002 dan tidak relevan untuk
media massa cetak. Sedangkan untuk Pasal 99 ayat (1)
huruf f bagi lembaga penyiaran berdasarkan UU 32/2002
memang dimungkinkan, namun bukan oleh KPI
melainkan oleh Pemerintah (Menkominfo) setelah
memenuhi due process of law (vide Putusan Nomor
005/PUU-I/2003, tanggal 28 Juli 2004). Adapun terhadap
media massa cetak, sanksi sebagaimana tersebut Pasal 99
ayat (1) tidak mungkin dilaksanakan karena UU 40/1999
tidak lagi mengenal lembaga perizinan penerbitan media
massa cetak, sehingga merupakan norma yang tidak
diperlukan karena kehilangan kekuatan hukum dan raison
d’être-nya, sehingga harus dihapuskan. Lagi pula hal itu
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni
menimbulkan ketidakpastian hukum dan juga melanggar
prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD
1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon cukup
beralasan; 5. Pasal 99 ayat (2) UU 10/2008 berbunyi,
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers
bersama KPU”. Oleh karena semua dalil mengenai Pasal
98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1)
UU 10/2008 oleh Mahkamah telah dinilai cukup
beralasan, maka mutatis mutandis hal tersebut juga
berlaku untuk Pasal 99 ayat (2) UU 10/2008.
Menimbang bahwa sejak era reformasi negara telah

114
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

memberikan jaminan yang sangat tegas atas perlindungan


kebebasan untuk menyatakan pendapat baik dengan lisan
maupun dengan tulisan sebagai hak konstitusional warga
negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Jaminan
tersebut semula dilakukan dengan pencabutan ketentuan
tentang keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP) dan segala bentuknya sebagaimana dimuat
di dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers yang kemudian diperkuat posisinya melalui
ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan
yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Oleh
sebab itu, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 98 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat
(2) UU 10/2008 bertentangan dengan kebebasan
berekspresi (freedom of expression) sebagaimana diatur
di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kedua pasal a
quo juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28F UUD
1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
Menimbang bahwa karena Mahkamah telah menilai
semua dalil para Pemohon dalam permohonan a quo
beralasan, namun tidak berarti bahwa jika permohonan a
quo dikabulkan akan terjadi kekosongan hukum bagi
perlindungan publik apabila lembaga penyiaran dan
media cetak melakukan pelanggaran iklan kampanye
Pemilu yang tercantum dalam Pasal 93, Pasal 94, dan
Pasal 95 UU 10/2008, karena jika hal itu terjadi masih
dapat diterapkan UU 40/1999 dan UU 32/2002 yang
memuat penjatuhan sanksi;
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;

Menyatakan Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta
Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta
Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

115
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2) Putusan No. 99/PUU-VII/2009


1. Pemohon : Karaniya Dharmasaputra; Heru Hendratmoko; Fx. Rudi
Gunawan; Endi M. Bayuni; Sri Malela Mahargasari;
Ramadhan Pohan; Toriq Hadad
2. Pokok Permohonan : pengujian materiil Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata
“berita”, Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta
Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Menurut para Pemohon, ada perbedaan yang sangat
Putusan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran dan media cetak yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu bahwa
media yang berbentuk lembaga penyiaran yang
menggunakan spektrum udara yang terbatas memerlukan
perizinan dari Menkominfo dan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) sedangkan bagi media massa cetak sudah
tidak lagi memerlukan perizinan dari instansi mana pun.
Oleh karena itu, pengaturan dalam suatu undang-undang
yang cenderung menggeneralisasi kedua institusi pers
tersebut sangat tidak tepat karena akan menimbulkan
berbagai kerancuan, penafsiran dan penerapannya hal
mana dapat terjadi karena pasal-pasal a quo mengandung
kontradiksi dalam dirinya sendiri (contradictio in
terminis) yang pada akhirnya akan menimbulkan
ketidakpastian hukum;
Menurut para Pemohon, pertentangan antara undang-
undang yang satu dan undang-undang yang lain tidak
serta merta dapat dikategorikan atau dinilai sebagai
perbenturan antara asas lex specialis dan legi generali.
Prinsip kebebasan pers yang tanpa membutuhkan
perizinan yang tercantum dalam Undang-Undang Pers
tidak dapat dinegasikan begitu saja oleh Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden karena ketidakkonsistenan dalam
pengaturan hukum akan merusak sendi-sendi negara
hukum. Menurut para Pemohon,Pasal 47 ayat (5)
sepanjang kata “berita”, Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) melanggar
hak-hak konstitusional para Pemohon.
Mahkamah perlu menegaskan bahwa norma dalam pasal-
pasal yang dimohonkan pengujian adalah sama dengan

116
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

norma dalam Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang telah dinyatakan oleh Mahkamah
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sehingga Mahkamah cukup
merujuk pada pendapat Mahkamah dalam perkara Nomor
32/PUU-VI/2008 tanggal 24 Februari 2009 yang pada
pokoknya sebagai berikut:
1. “Pada dasarnya ada perbedaan yang mendasar
antara lembaga penyiaran yang diatur oleh UU
32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU
40/1999, yaitu bahwa media yang berbentuk
lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum
udara yang terbatas memerlukan perizinan yang
melibatkan Menkominfo dan KPI, sedangkan bagi
media massa cetak sudah tidak lagi memerlukan
perizinan dari instansi manapun. Oleh karena itu,
pengaturan dalam suatu Undang-Undang yang
cenderung menggeneralisasi kedua institusi pers
itu tentulah tidak atau kurang tepat dan dapat
menimbulkan berbagai kerancuan dalam tafsir dan
penerapannya, sebagaimana yang terjadi dengan
pengaturan dalam UU 10/2008 yang berkaitan
dengan UU Penyiaran (Undang-Undang Nomor
32/2002) dan UU Pers (Undang-Undang Nomor
40/1999);
2. Pertentangan antara Undang-Undang yang satu
dengan Undang- Undang yang lain tidak serta
merta dapat dikategorikan atau dinilai sebagai
perbenturan antara lex specialis dan legi generali,
sebagaimana dikemukakan oleh Pemerintah yang
menganggap UU 10/2008 sebagai lex specialis,
sedangkan yang merupakan legi generali adalah
UU 40/1999 dan UU 32/2002, sehingga prinsip
kebebasan pers yang tanpa membutuhkan
perizinan yang tercantum dalam UU 40/1999
dapat dinegasi atau ditiadakan oleh UU 42/2008
dengan alasan UU Nomor 42/2008 sebagai lex
specialis. Pandangan yang demikian merupakan
penyederhanaan masalah yang justru dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan yang bertentangan dengan
Konstitusi/UUD 1945 yaitu Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28F. Ketidakkonsistenan dalam pengaturan
hukum akan merusak sendisendi negara hukum
atau rule of law yang juga mensyaratkan bahwa
“law must be fairly and consistently applied” (vide
Barry M. Hager, The Rule of Law: A Lexicon for

117
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Policy Makers, 2000)”.


3. Oleh karena isu hukum yang diajukan para
Pemohon sama dengan isu hukum dalam Perkara
Nomor 32/PUU-VI/2008 dan Mahkamah
memandang tidak perlu mendengar keterangan
Pemerintah dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat
karenanya mutatis mutandis pendapat Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk
Undang-Undang yang diberikan dalam Perkara
Nomor 32/PUU-VI/2008 adalah juga harus
dianggap sama dalam perkara a quo. Mahkamah
perlu menegaskan kembali “ …tidak sependapat
dengan Pemerintah dan DPR yang menerangkan
bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a
quo tidak dapat diuji konstitusionalitasnya ke
Mahkamah karena berisi pertentangan antara satu
Undang-Undang dan Undang-Undang lainnya,
yaitu antara UU 40/1999 dan UU 32/2002 dengan
UU 10/2008. Menurut Mahkamah, pasal-pasal
yang dimohonkan pengujian bukan hanya
bertentangan dengan kedua Undang-Undang
sebelumnya, melainkan juga bertentangan secara
langsung dengan beberapa pasal dari UUD 1945.
Lagipula, menurut Mahkamah ketentuan pasal-
pasal yang dimohonkan pengujian mengandung
kontradiksi dalam dirinya sendiri (contradictio in
terminis) sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum sebagaimana diatur pelarangannya di
dalam UUD 1945.
4. Sejalan dengan pendapat Ahli dari Pemerintah
dalam Perkara Nomor 32/PUUVI/2008 yang
menyatakan tidak semua institusi dapat
mengklaim sebagai penegak hukum, Mahkamah
dalam Putusan Nomor 005/PUU-I/2003 tanggal 28
Juli 2004 dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan bahwa penjatuhan sanksi, terlebih lagi
sanksi yang mematikan seperti pencabutan surat
izin penyiaran, harus mengindahkan asas “due
process of law.”
Menimbang bahwa berdasarkan empat hal tersebut di
atas, selanjutnya Mahkamah akan memberikan pendapat
sebagai berikut:
1. Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata ‘‘berita” yang
lengkapnya berbunyi, “Media massa cetak dan
lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan
berita, iklan, rekam jejak Pasangan Calon, atau
bentuk lainnya yang mengarah kepada
kepentingan kampanye yang menguntungkan atau
merugikan Pasangan Calon.” Para Pemohon

118
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

mendalilkan bahwa tidak mungkin dapat dibuat


suatu pemberitaan yang secara terukur bersifat
netral, tidak menguntungkan atau tidak merugikan
pasangan calon tertentu sebab sifat
menguntungkan atau merugikan tidak memiliki
parameter yang jelas dan bersifat subjektif. Jika
berita harus netral, dalam artian tidak boleh
menguntungkan atau merugikan semua pihak,
dapat dipastikan para Pemohon tidak dapat
menerbitkan pemberitaan dimaksud. Hal ini
karena siapa pun dapat merasa diuntungkan
ataupun dirugikan atas adanya berita tergantung
pada subjektifitas penilaiannya. Menurut
Mahkamah, menyiarkan berita adalah bagian dari
hak asasi setiap orang untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia
yang dilindungi oleh konstitusi. Penyiaran berita
mengenai pasangan calon Presiden/Wakil Presiden
justru akan membantu memberikan informasi
seluas-luasnya kepada calon pemilih mengenai
rekam jejak dan kualitas dari pasangan calon
Presiden/Wakil Presiden yang semuanya terpulang
pada penilaian subjektifitas dari pendengar atau
pembaca berita yang pada gilirannya akan
meningkatkan kualitas dari pesta demokrasi yang
merupakan hak dari rakyat. Dengan kata lain,
berita mengenai pasangan calon Presiden/Wakil
Presiden adalah hak setiap orang atau warga
negara untuk memperoleh dan menyampaikan
informasi. Oleh karena itu, dalil-dalil para
Pemohon bahwa Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata
“berita” bertentangan dengan Pasal 28F UUD
1945 adalah cukup beralasan.
2. Bahwa Pasal 56 ayat (2) yang berbunyi, “Dalam
hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan
dalam Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53 Komisi
Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers,
menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini”, Mahkamah tetap
berpendapat “ …kata ‘atau’ dalam rumusan pasal
a quo dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga
yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif,
yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan
jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda,
sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan. Lagi pula, sesuai
dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers
menurut UU 40/1999 tidak berwenang untuk

119
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media


cetak”. Oleh karena itu, dalil para Pemohon bahwa
Pasal 56 ayat (2) UU 42/2008 bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah
cukup beralasan;
3. Bahwa Pasal 56 ayat (3) yang berbunyi,
“Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberitahukan kepada KPU dan KPU
Provinsi,” oleh para Pemohon juga dianggap
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Menurut Mahkamah dengan merujuk
pertimbangan angka 2 di atas, pasal a quo tidak
lagi relevan keberadaannya dan mutatis mutandis
dalil-dalil para Pemohon juga cukup berdasar dan
beralasan hukum.
4. Pasal 56 ayat (4) yang berbunyi, “Dalam hal
Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers
tidak menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
sejak ditemukan bukti pelanggaran kampanye,
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye”,
oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD
1945. Menurut Mahkamah rumusan ketentuan
tersebut telah mencampuradukkan kedudukan dan
kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan
kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi
kepada pelaksana kampanye Pemilu sehingga
dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian
hukum. Oleh karena itu, dalil para Pemohon cukup
beralasan dan mutatis mutandis pertimbangan
pada angka 2 dan angka 3 juga berlaku untuk
angka 4 ini;
5. Bahwa Pasal 57 ayat (1) berisi jenis-jenis sanksi
yang dapat dijatuhkan oleh KPI atau Dewan Pers
[vide Pasal 56 ayat (2)]. Menurut Mahkamah,
Pasal 57 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e
seolah-olah hanya relevan untuk lembaga
penyiaran, karena hanya merupakan penyalinan
secara keseluruhan dari ketentuan dalam UU
32/2002 dan tidak relevan untuk media massa
cetak sedangkan untuk Pasal 57 ayat (1) huruf f
bagi lembaga penyiaran berdasarkan UU 32/2002
memang dimungkinkan untuk dijatuhi sanksi,
tetapi bukan oleh KPI melainkan oleh Pemerintah
(Menkominfo) setelah memenuhi due process of
law (vide Putusan Nomor 005/PUU-I/2003
bertanggal 28 Juli 2004). Adapun terhadap media
massa cetak, sanksi sebagaimana tersebut Pasal 57

120
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

ayat (1) tidak mungkin dijatuhkan karena UU


40/1999 tidak lagi mengenal lembaga perizinan
penerbitan media massa cetak, sehingga pasal a
quo merupakan norma yang tidak diperlukan
karena telah kehilangan kekuatan hukum dan
raison d’être-nya. Lagi pula hal itu bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni telah
menimbulkan ketidakpastian hukum serta
melanggar prinsip kebebasan berekspresi
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD
1945, sehingga oleh karenanya dalil para Pemohon
cukup beralasan;
6. Bahwa Pasal 57 ayat (2) berbunyi, “Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau
Dewan Pers bersama KPU.” Oleh karena semua
dalil para Pemohon mengenai Pasal 56 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) UU
42/2008 oleh Mahkamah telah dinilai cukup
beralasan, maka mutatis mutandis hal tersebut juga
berlaku untuk Pasal 57 ayat (2) UU 42/2008.
Menimbang bahwa sejak era reformasi, utamanya sejak
perubahan UUD 1945, negara telah memberikan jaminan
yang sangat kuat atas perlindungan kebebasan untuk
menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun dengan
tulisan sebagai hak konstitusional warga negara dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Jaminan tersebut
semula dilakukan dengan pencabutan ketentuan tentang
keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) dan segala bentuknya sebagaimana dimuat di
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers yang kemudian diperkuat posisinya melalui
ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan
yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Oleh
sebab itu, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 47 ayat
(5), Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57
ayat (1) dan ayat (2) UU 42/2008 bertentangan dengan
kebebasan berekspresi (freedom of expression)
sebagaimana diatur di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD
1945. Ketiga pasal a quo juga bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”;
Menimbang bahwa penilaian Mahkamah terhadap semua

121
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dalil para Pemohon dalam permohonan a quo beralasan,


namun hal demikian tidak berarti bahwa apabila
permohonan a quo dikabulkan akan terjadi kekosongan
hukum bagi perlindungan publik apabila lembaga
penyiaran dan media cetak melakukan 36 pelanggaran
iklan kampanye Pemilu yang tercantum dalam Pasal 56
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) dan
ayat (2) UU 42/2008, sebab jika hal itu terjadi masih
dapat diterapkan UU 40/1999 dan UU 32/2002 yang
memuat penjatuhan sanksi.
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;

Menyatakan Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata “berita”,


Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 57
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran 37 Negara
Republik Indonesia Nomor 4924,) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

Menyatakan Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata “berita”,


Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924), tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;

3) Putusan No. 51/PUU-XIII/2015


1. Pemohon : 1. Yanda Zaihifni Ishak, Ph.D. Praktisi Hukum Tata
Negara/Dosen Ilmu Hukum dan Ilmu Politik Universitas
Jambi. sebagai Pemohon I; 2. Herinyanto, S.H.,
M.H.Peneliti Pemilu. sebagai Pemohon II; 3.Ramdansyah,
S.H. Wiraswata. sebagai Pemohon III.
2. Pokok Permohonan : pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang, yakni Pasal 7 huruf r, Pasal
22B huruf d, Pasal 40 ayat (3), Pasal 47 ayat (2) dan ayat
(5), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (4), Pasal 58 ayat (7),
Pasal 63 ayat (2), Pasal 70 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 98
ayat (11), Pasal 138, Pasal 158, dan Pasal 193 ayat (2)
terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 20 ayat

122
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

(2), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
3. Pertimbangan : Terhadap pengujian formil UU 8/2015, menurut
Putusan Mahkamah alasan yang dijadikan dasar pengujian formil
oleh para Pemohon tidak sesuai dengan alasan pengujian
formil sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a
UU MK. Mencermati dengan saksama alasan pengujian
formil UU 8/2015 oleh para Pemohon sebagaimana telah
diuraikan di atas, menurut Mahkamah alasan para
Pemohon a quo bukan merupakan alasan pembentukan
Undang-Undang yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan, melainkan alasan yang berkaitan
dengan materi atau isi pasal-pasal dalam UU 8/2015.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
permohonan pengujian formil UU 8/2015 yang
dimohonkan para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum;
Mencermati dengan saksama dalil para Pemohon,
Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk
merumuskan bunyi pasal dalam suatu Undang-Undang,
khususnya Pasal 47 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (5) UU
8/2015 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a
quo karena Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi
antara lain mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berdasarkan
ketentuan dalam UUD 1945 tersebut menjadi sangat jelas
bahwa kewenangan merumuskan materi muatan untuk
membentuk Undang-Undang adalah merupakan
kewenangan dari DPR bersama Presiden, sedangkan
Mahkamah Konstitusi hanya mempunyai kewenangan
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar yang telah disetujui bersama antara DPR dan
Presiden;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 58
ayat (7) UU 8/2015 saling bertentangan dengan Pasal 20
huruf h UU 8/2015, menurut Mahkamah para Pemohon
dalam memahami Pasal 58 ayat (7) UU 8/2015 hanya
sepotong- sepotong (parsial) dan tidak memahaminya
secara keseluruhan pasal demi pasal dalam Undang-
Undang a quo. Pemahaman demikian telah menyebabkan
kekeliruan dalam memahami maksud dari Pasal 58
ayat (7) Undang-Undang a quo. Menurut Mahkamah,
Pasal 58 UU 8/2015 mengatur mengenai proses
penyusunan daftar pemilih untuk pemilihan, yang dimulai
dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4)
sampai dengan pengumuman DPT oleh PPS. Ketentuan
Pasal 58 ayat (7) tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 58
ayat (6) UU 8/2015 “Daftar Pemilih Sementara yang
telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

123
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk


ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan
oleh PPS paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak jangka
waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir”.
Apabila Pasal 58 tersebut dibaca secara satu kesatuan
dengan Pasal 20 huruf h dan Pasal 1 angka 13 UU 8/2015
yang menyatakan, “Panitia Pemungutan Suara yang
selanjutnya disingkat PPS adalah panitia yang dibentuk
oleh KPU Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan
Pemilihan di tingkat Desa atau sebutan lain/Kelurahan”
maka tidak ada tumpang tindih kewenangan antara PPS
dan KPU Kabupaten/ Kota. Berdasarkan ketentuan Pasal
1 angka 13, Pasal 20 huruf h, dan Pasal 58 ayat (6) dan
ayat (7) UU 8/2015 sebagaimana tersebut di atas, menurut
Mahkamah ketentuan a quo mengandung arti bahwa PPS
sebagai penyelenggara pemilihan di tingkat
desa/kelurahan atau sebutan lainnya mempunyai tugas
dan kewajiban menetapkan hasil perbaikan Daftar Pemilih
Sementara (DPSP) yang DPSP tersebut selanjutnya
diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan
sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan oleh PPS
kepada masyarakat di wilayahnya masing-masing (desa,
kelurahan atau sebutan lainnya);
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 58 ayat (7)
UU 8/2015 tidak beralasan menurut hukum;
Mengenai dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal
98 ayat (11) UU 8/2015 bertentangan dengan Pasal 193
ayat (2) UU 8/2015 karena berdasarkan Pasal 98 ayat (11)
UU 8/2015 membolehkan KPPS untuk tidak
menandatangani Berita Acara dan Sertifikat Pemungutan
dan Penghitungan suara, namun berdasarkan Pasal 193
ayat (2) dan Pasal 196 UU 8/2015, KPPS dapat dikenakan
sanksi pidana apabila tidak menandatangani Berita Acara
dan Sertifikat Pemungutan dan Penghitungan suara.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah, Pasal 98 ayat (11) UU 8/2015 mengatur
mengenai berita acara dan sertifikat hasil penghitungan
suara pasangan calon ditandatangani oleh anggota KPPS
dan saksi yang bersedia menandatangani. Adapun Pasal
193 ayat (2) dan Pasal 196 UU 8/2015 mengatur
mengenai pengenaan sanksi pidana terhadap ketua dan
anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat
dan/atau tidak menandatangani berita acara perolehan
suara pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota. Berdasarkan ketentuan di atas, menurut
Mahkamah para Pemohon telah salah dalam memahami
pasal a quo sebab apabila dicermati dengan saksama

124
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

antara Pasal 98 ayat (11) dengan Pasal 193 ayat (2) UU


8/2015 tidak terjadi pertentangan. Materi yang diatur
dalam Pasal 98 ayat (11) jelas berbeda dengan materi
yang diatur dalam Pasal 193 ayat (2) UU 8/2015. Menurut
Mahkamah, pengaturan Pasal 98 ayat (11) UU 8/2015
dimaksudkan untuk menegaskan keabsahan berita acara
dan sertifikat hasil penghitungan suara yang tidak
ditandatangani oleh semua KPPS (ketua dan anggotanya).
Berbeda halnya dengan materi yang diatur dalam Pasal
193 ayat (2) UU 8/2015 ancaman/ pengenaan sanksi bagi
KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau
menandatangani berita acara perolehan suara pasangan;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahmamah
dalil para Pemohon sepanjang mengenai sanksi pidana
yang diatur dalam Pasal 98 ayat (11) dan Pasal 193 ayat
(2) UU 8/2015 tidak beralasan menurut hukum;
Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan norma sanksi
pidana yang diatur dalam Pasal 193 ayat (2) UU 8/2015
tumpang tindih dengan norma sanksi pidana yang diatur
dalam Pasal 196 UU 8/2015. ditemukan fakta bahwa
memang benar ada kesamaan norma dan sanksi pidana
yang diatur dalam dua pasal a quo, sehingga an
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi penegak hukum
dalam menerapkan sanksi dan/atau menunjuk pasal
terhadap ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja
tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara
perolehan suara pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota. Oleh karena itu, demi kepastian hukum
Mahkamah harus menyatakan salah satu pasal di
antaranya, yakni Pasal 196 UU 8/2015 tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sebab menurut Mahkamah,
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Pasal 193
ayat (2) UU 8/2015 adalah konstitusional. Di samping itu,
Pasal 196 UU 8/2015 merupakan norma yang berdiri
sendiri, dalam pengertian tidak terdapat ayat lain yang
secara kontekstual terkait dengannya dalam pasal yang
sama.
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 63
ayat (2) UU 8/2015 menimbulkan ketidakpastian hukum
dan saling bertentangan antar pasal dalam pengaturan
kampanye, yakni Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2). Menurut
para Pemohon, kampanye pemilihan yang dilaksanakan
oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berpeluang
mengganggu independensi dan kemandirian KPU
Provinsi dan KPU Kabupate/Kota dalam penyelenggaraan
pemilihan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka tugas
KPU tidak hanya sebagai penyelenggara Pemilu,
melainkan juga sebagai pelaksana dan pelaku kampanye

125
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

sehingga ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 22E


ayat (5) UUD 1945;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah terdapat tiga permasalahan hukum yang
dipersoalkan oleh Pemohon, yakni:
1) apakah KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi
sebagai penyelenggara Pemilu mempunyai
kewenangan sebagai pelaksana dan pelaku
kampanye. Apabila mencermati dengan saksama
Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Ketentuan demikian berbeda dengan
penyelenggaraan kampanye menurut UU 8/2015
yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi dan/atau
KPU Kabupaten/Kota [vide Pasal 63 ayat (2) UU
8/2015]. Menurut Mahkamah sekalipun benar
terdapat perbedaan mengenai pihak yang
menyelenggarakan kampanye, namun perbedaan
demikian tidak dapat dipertentangkan dengan
Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 sebab Pasal 22E
ayat (5) UUD 1945 merupakan ketentuan yang
bersifat umum yang sama sekali tidak menunjuk
atau tidak menyebutkan, siapa pihak yang
mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan
kampanye. Jika dalam perkembangannya,
pembentuk Undang-Undang menetapkan atau
menunjuk Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/ Kota
sebagai pelaksana kampanye untuk Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati, hal tersebut merupakan
kebijakan hukum terbuka dari pembentuk Undang-
Undang yang tidak dapat dipertentangkan dengan
konstitusi. Selain itu, menurut Mahkamah
kampanye merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dengan kegiatan
penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana
diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945;
2) Bagaimana KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota melaksanakan kampanye
pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog, serta
kegiatan lain yang tidak didanai oleh APBD; dan
3) Bagaimana mekanisme pemberian dana
kampanye oleh pasangan calon kepada KPU
Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi untuk
melaksanakan kampanye pertemuan terbatas, tatap
muka dan dialog, serta kegiatan lain tersebut.
Terhadap permasalahan hukum kedua dan ketiga,
menurut Mahkamah dalil Pemohon demikian tidak

126
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

terkait dengan konstitusionalitas norma Undang-


Undang terhadap UUD 1945, melainkan lebih
kepada dalil yang berkaitan pelaksanaan norma
dan aturan teknis dalam penyelenggaraan
kampanye yang diatur lebih lanjut dalam peraturan
yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-
Undang;
Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 63 ayat (2)
UU 8/2015 tidak beralasan menurut hukum;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 40
ayat (3) UU 8/2015 telah menghilangkan hak partai
politik yang tidak mempunyai kursi di DPRD untuk
mengusung pasangan calon;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah pembentuk Undang-Undang pernah
merumuskan norma yang serupa mengenai penentuan
syarat partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengusulkan pasangan calon yang diatur dalam Pasal 40
ayat (3) UU 8/2015. Ketentuan mengenai norma yang
serupa tersebut dapat dibaca dalam Pasal 59 ayat (2) UU
Pemda. Menurut Mahkamah, ketentuan syarat bagi partai
politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan
pasangan calon sangat penting supaya pasangan yang
diusulkan partai politik atau gabungan partai politik
tersebut apabila kelak terpilih menjadi kepala daerah
didukung oleh masyarakat sebab perolehan kursi partai
politik atau gabungan partai politik identik dengan
dukungan masyarakat terhadap partai tersebut. Oleh
karena itu, menurut Mahkamah syarat bagi partai politik
atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan
calon sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UU
8/2015 merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk
Undang-Undang;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 40 ayat (3)
UU 8/2015 tidak beralasan menurut hukum;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 49
ayat (4) UU 8/2015 tidak mengakomodir salah satu Calon
atau Pasangan Calon yang tidak memenuhi syarat
pencalonan dan tidak dapat melengkapi dan/atau
memperbaiki persyaratan pencalonan;
Selanjutnya para Pemohon dalam petitumnya memohon
kepada Mahkamah untuk memberikan putusan
konstitusional bersyarat terhadap Pasal 49 ayat (4) dan
Pasal 50 ayat (4) UU 8/2015. Terhadap dalil para
Pemohon tersebut, menurut Mahkamah bahwa terkait
permohonan Pemohon yang memohon merumuskan pasal
dalam Undang-Undang a quo, Mahkamah telah menilai
dan mempertimbangkannya pada dalil pemohon untuk

127
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pasal 47 ayat (2) UU 8/2015 tersebut. Oleh karena itu,


pendapat Mahkamah a quo merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan untuk pendapat Mahkamah ini. Dengan
demikian permohonan para Pemohon sepanjang mengenai
Pasal 49 ayat (4) dan Pasal 50 ayat (4) UU 8/2015 tidak
beralasan menurut hukum;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 70
ayat (2) UU 8/2015 tidak tegas ruang lingkup pejabat
negara lainnya yang dilarang untuk melakukan kampanye.
Pengaturan mengenai larangan pejabat negara lainnya
untuk berkampanye merupakan suatu kemunduran.
Pejabat negara lainnya yang perlu dilarang berkampanye
adalah hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi, hakim
di lingkungan Mahkamah Agung dan/atau pimpinan
lembaga/komisi negara/pejabat negara lain sebab jabatan
seperti hakim dan pimpinan lembaga/komisi
negara/pejabat negara lainnya perlu dijaga
independensinya;
Selanjutnya para Pemohon dalam petitumnya memohon
putusan bersyarat yakni konstitusional sepanjang diartikan
pejabat negara lainnya yang dilarang berkampanye adalah
hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi, hakim di
lingkungan Mahkamah Agung; dan/atau pimpinan
lembaga/komisi negara/pejabat negara lain;
Menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut menjadi
kabur sebab yang sesungguhnya dikehendaki oleh para
Pemohon adalah dilarangnya pejabat- pejabat negara
tertentu untuk ikut berkampanye. Sementara pasal yang
dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya adalah
mengatur tentang dibolehkannya pejabat negara tertentu
untuk berkampanye sepanjang mengajukan izin cuti
kampanye. Dengan demikian, apabila tafsir pejabat
negara sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon
dikabulkan maka pasal tersebut justru akan melahirkan
putusan yang bertentangan dengan maksud para
Pemohon.
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 7
huruf r UU 8/2015 berpotensi merugikan anggota
keluarga petahana yang akan mencalonkan diri dalam
suatu pemilihan;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah telah
menyatakan pendiriannya terhadap Pasal 7 huruf r UU
8/2015 sebagaimana telah tertuang dalam pertimbangan
Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015, bertanggal 8 Juli
2015 yang amarnya menyatakan mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian sehingga putusan
Mahkamah tersebut mutatis mutandis berlaku juga untuk
pertimbangan dalam permohonan ini;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 70
ayat (5) UU 8/2015 tidak memberikan kewajiban kepada

128
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota yang


hendak berkampanye untuk memberitahukan izin cuti
kampanye kepada KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota sehingga bertentangan dengan asas
equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah terdapat pertentangan antara posita dan
petitum para Pemohon, yakni para Pemohon dalam
positanya mengajukan pengujian Pasal 70 ayat (5) UU
8/2015, namun dalam petitumnya para Pemohon
memohon putusan bersyarat Pasal 75 ayat (5) UU 8/2015.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah
berpendapat permohonan para Pemohon mengenai
pengujian Pasal 70 ayat (5) UU 8/2015 adalah tidak jelas
atau kabur;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 138
UU 8/2015 justru membuat definisi pelanggaran
administrasi yang tidak tepat sebab sebuah pelanggaran
administrasi dapat saja di dalamnya mengandung
pelanggaran pidana dan pelanggaran kode etik;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah, pasal a quo mengatur mengenai pendefinisian
pelanggaran administrasi pemilihan. Pembentuk Undang-
Undang membuat definisi pelanggaran admininistratif
tersebut dimaksudkan untuk memperjelas mengenai
batasan, kriteria pelanggaran apa saja yang termasuk atau
dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi.
Jikapun pelanggaran administrasi di dalamnya
mengandung pelanggaran pidana dan pelanggaran kode
etik sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon,
menurut Mahkamah hal demikian tidak perlu dimasukkan
di dalam definisi pelanggaran administratif sebab
jenis/kategori mengenai pelanggaran pidana atau kode
etik diatur tersendiri dalam Undang-Undang lain yang
bersifat umum;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
dalil para Pemohon sepanjang mengenai Pasal 138 UU
8/2015 tidak beralasan menurut hukum;
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 22B
huruf d UU 8/2015 tidak tepat sebab pengawas Pemilu di
tingkat Kabupaten/Kota adalah Panwaslu
Kabupaten/Kota. Penyebutan Bawaslu untuk Pengawas
Pemilu yang bersifat permanen, sedangkan seharusnya
Panwaslu Kabupaten/Kota yang bersifat Ad Hoc;
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut
Mahkamah telah terjadi kesalahan redaksional dalam
penyebutan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pasal 22B
huruf d UU 8/2015, frasa “Bawaslu Kabupaten/Kota”
yang benar adalah “Panwaslu Kabupaten/Kota".

129
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Ketentuan demikian sangat jelas dan tegas dinyatakan


dalam Pasal 1 angka 17 UU 8/2015 yang menyatakan,
“Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang
selanjutnya disebut Panwas Kabupaten/Kota adalah
panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang
bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di
wilayah Kabupaten/Kota”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah
permohonan para Pemohon sepanjang mengenai frasa
“Bawaslu Kabupaten/Kota” dalam Pasal 22B huruf d UU
8/2015 beralasan menurut hukum.
4. Amar Putusan : Dalam Pengujian Formil:
Menolak permohonan pengujian formil para Pemohon;
Dalam Pengujian Materiil:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
1.1 Frasa “Bawaslu Kabupaten/Kota” dalam Pasal 22B
huruf d Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai “Panwaslu Kabupaten/Kota”;
1.2 Frasa “Bawaslu Kabupaten/Kota” dalam Pasal 22B
huruf d Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “Panwaslu
Kabupaten/Kota”;
1.3 Pasal 196 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;

130
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

1.4 Pasal 196 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Permohonan para Pemohon sepanjang mengenai
pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf r, Pasal 70
ayat (2), dan Pasal 75 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) tidak dapat
diterima;

3.6. Lembaga Hasil Survey Penghitungan Suara

1) Putusan No. 9/PUU-VII/2009


1. Pemohon : Denny Yanuar Ali, Ph.D. (Ketua Umum Asosiasi Riset
Opini Publik Indonesia dan Direktur Eksekutif PT
Lingkar Survei Indonesia dan Drs. Umar S. Bakry, M.A
(Sekretaris Jenderal Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia
dan Direktur Yayasan Lembaga Survei Nasional)
2. Pokok Permohonan : Uji materil Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal
282 dan Pasal 307 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Bahwa terhadap Pasal 245 ayat (2) UU 10/2008 yang
Putusan berbunyi, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat
tidak boleh dilakukan pada masa tenang”, Mahkamah
menilai bahwa hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F
UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan oleh ketentuan a
quo, dan oleh karena itu 65 dalil Pemohon beralasan.
Artinya, pengumuman hasil survei tersebut tidak
inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam
jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau
merugikan salah satu peserta Pemilu yang sudah diatur
dalam Pasal 89 ayat (5) UU 10/2008;

Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 245 ayat


(3) UU 10/2008 yang berbunyi, “Pengumuman hasil

131
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat


pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara”,
Mahkamah sependapat dengan dalil Pemohon bahwa
ketentuan a quo tidak sesuai dengan hakikat suatu
penghitungan cepat (quick count) dan menghambat hasrat
serta hak seseorang untuk tahu (rights to know), sehingga
bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu,
hasil penghitungan cepat sudah tidak akan memengaruhi
kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Sebab,
pemungutan suara sudah selesai dan suatu penghitungan
cepat tidak mungkin dilakukan sebelum selesainya
pemungutan suara;

Bahwa mengenai Pasal 245 ayat (5) UU 10/2008 yang


berbunyi, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu”,
menurut Mahkamah tidak lagi relevan terhadap ketentuan
ayat (2) dan ayat (3) karena dalil Pemohon untuk ayat (2)
dan ayat (3) oleh Mahkamah sudah dinilai beralasan.
Sehingga, ketentuan ayat (5) UU 10/2008 hanya relevan
untuk Pasal 245 ayat (4) UU 10/2008 yang nota bene
tidak dimohonkan pengujian atau Pemohon menganggap
ketentuan tersebut konstitusional;

Bahwa mengenai ketentuan Pasal 282 UU 10/2008 yang


berbunyi, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei
atau jajak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”, menurut
Mahkamah karena dalil Pemohon atas Pasal 245 ayat (2)
UU 10/2008 sudah dinyatakan beralasan maka sanksi
pidana yang tercantum dalam Pasal 282 UU 10/2008 tidak
lagi relevan keberadaannya dan harus dinyatakan
inkonstitusional;

Bahwa mengenai ketentuan Pasal 307 UU 10/2008 yang


berbunyi, “Setiap orang atau lembaga yang melakukan
penghitungan cepat dan mengumumkan hasil
penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara,
dipidana 66 dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan
dan denda paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 18.000.000,00 (delapan
belas juta rupiah)”, mengingat bahwa pasal a quo
merupakan sanksi pidana atas Pasal 245 ayat (3) UU
10/2008 yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bahwa
dalil Pemohon atas Pasal 245 ayat (3) beralasan, maka
keberadaan Pasal 307 UU 10/2008 tidak lagi relevan,

132
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

sehingga juga harus dinyatakan inkonstitusional.


4. Amar Putusan : Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian;
Menyatakan Pasal 245 ayat (2), Pasal 245 ayat (3), Pasal
282, dan Pasal 307 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota 67 Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 245 ayat (5) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4836) sepanjang frasa “ayat
(2), ayat (3), dan” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 245 ayat (2), Pasal 245 ayat (3), Pasal
282, dan Pasal 307 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836), tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 245 ayat (5) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836)
sepanjang frasa “ayat (2), ayat (3), dan” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;

2) Putusan No. 98/PUU-VII/2009


1. Pemohon : Denny Yanuar Ali, Ph.D. (Ketua Umum Asosiasi Riset
Opini Publik Indonesia dan Direktur Eksekutif PT
Lingkar Survei Indonesia dan Drs. Umar S. Bakry, M.A
(Sekretaris Jenderal Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia
dan Direktur Yayasan Lembaga Survei Nasional)
2. Pokok Permohonan : Uji materil Pasal 188 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) serta
Pasal 228 dan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Bahwa terhadap Pasal 188 ayat (2) UU 42/2008 yang
Putusan berbunyi, “Hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh

133
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

diumumkan dan/atau disebarluaskan pada masa tenang”,


Mahkamah menilai bahwa hak-hak dasar yang diatur
dalam Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan
oleh ketentuan a quo, dan oleh karena itu dalil Pemohon
beralasan. Artinya, pengumuman hasil survei tersebut
tidak inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan
rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan
atau merugikan salah satu peserta Pemilu yang sudah
diatur dalam Pasal 47 ayat (5) UU 42/2008;

Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 188 ayat


(3) UU 42/2008 yang berbunyi, “Hasil penghitungan
cepat dapat diumumkan dan/atau disebarluaskan paling
cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan
31 suara”, Mahkamah sependapat dengan dalil Pemohon
bahwa ketentuan a quo tidak sesuai dengan hakikat suatu
penghitungan cepat (quick count) dan menghambat hasrat
serta hak seseorang untuk tahu (rights to know), sehingga
bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu,
hasil penghitungan cepat sudah tidak akan memengaruhi
kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Sebab,
pemungutan suara sudah selesai dan suatu penghitungan
cepat tidak mungkin dilakukan sebelum selesainya
pemungutan suara;
Bahwa mengenai Pasal 188 ayat (5) UU 42/2008 yang
berbunyi, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden”, menurut Mahkamah tidak
lagi relevan terhadap ketentuan ayat (2) dan ayat (3)
karena dalil Pemohon untuk ayat (2) dan ayat (3) oleh
Mahkamah sudah dinilai beralasan. Sehingga, ketentuan
ayat (5) UU 42/2008 hanya relevan untuk Pasal 188 ayat
(4) UU 42/2008 yang nota bene tidak dimohonkan
pengujian atau Pemohon menganggap ketentuan tersebut
konstitusional;
Bahwa mengenai ketentuan Pasal 228 UU 42/2008 yang
berbunyi, “Setiap orang yang mengumumkan dan/atau
menyebarluaskan hasil survei atau hasil jajak pendapat
dalam masa tenang yang dapat atau bertujuan
memengaruhi Pemilih, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12
(duabelas) bulan dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp
12.000.000.00 (dua belas juta rupiah)”, menurut
Mahkamah karena dalil Pemohon atas Pasal 188 ayat (2)
UU 42/2008 sudah dinyatakan beralasan maka sanksi
pidana yang tercantum dalam Pasal 228 UU 42/2008 tidak
lagi relevan keberadaannya dan harus dinyatakan
inkonstitusional;

134
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Bahwa mengenai ketentuan Pasal 255 UU 42/2008 yang


berbunyi, “Setiap orang atau lembaga yang
mengumumkan hasil penghitungan cepat pada
hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18
(delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp
6.000.000.00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp
18.000.000.00 (delapan belas juta rupiah)”.

mengingat bahwa pasal a quo merupakan sanksi pidana


atas Pasal 188 ayat (3) UU 42/2008 yang oleh Mahkamah
telah dinyatakan bahwa dalil Pemohon atas Pasal 188 ayat
(3) beralasan, maka keberadaan Pasal 188 ayat (2), ayat
32 (3) dan ayat (5) serta Pasal 228 dan Pasal 255 UU
42/2008 tidak lagi relevan, sehingga juga harus
dinyatakan inkonstitusional
4. Amar Putusan : Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian;
Menyatakan Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal
228 dan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 188 ayat (5) Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) sepanjang frasa “ayat
(2), ayat (3), dan” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal
228 dan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924), tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 188 ayat (5) Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) sepanjang frasa “ayat
(2), ayat (3), dan” tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;

3) Putusan No. 24/PUU-XII/2014


1. Pemohon : 1. PT Indikator Politik Indonesia

135
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

2. PT Saiful Mujani [Saiful Mujani Research &


Consulting (SMRC)
3. PT Pedoman Global Utama
4. PT Indonesian Consultant Mandiri
5. Yayasan Populi Indonesia
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 247 ayat (2), ayat (5),
dan ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Bahwa terhadap Pasal 245 ayat (2) UU 10/2008 yang
Putusan berbunyi, “Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat
tidak boleh dilakukan pada masa tenang”, Mahkamah
menilai bahwa hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F
UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan oleh ketentuan a
quo, dan oleh karena itu 65 dalil Pemohon beralasan.
Artinya, pengumuman hasil survei tersebut tidak
inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam
jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau
merugikan salah satu peserta Pemilu yang sudah diatur
dalam Pasal 89 ayat (5) UU 10/2008;

Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 245 ayat


(3) UU 10/2008 yang berbunyi, “Pengumuman hasil
penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat
pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara”,
Mahkamah sependapat dengan dalil Pemohon bahwa
ketentuan a quo tidak sesuai dengan hakikat suatu
penghitungan cepat (quick count) dan menghambat hasrat
serta hak seseorang untuk tahu (rights to know), sehingga
bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu,
hasil penghitungan cepat sudah tidak akan memengaruhi
kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Sebab,
pemungutan suara sudah selesai dan suatu penghitungan
cepat tidak mungkin dilakukan sebelum selesainya
pemungutan suara;

Bahwa mengenai Pasal 245 ayat (5) UU 10/2008 yang


berbunyi, “Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana Pemilu”,
menurut Mahkamah tidak lagi relevan terhadap ketentuan
ayat (2) dan ayat (3) karena dalil Pemohon untuk ayat (2)
dan ayat (3) oleh Mahkamah sudah dinilai beralasan.
Sehingga, ketentuan ayat (5) UU 10/2008 hanya relevan
untuk Pasal 245 ayat (4) UU 10/2008 yang nota bene
tidak dimohonkan pengujian atau Pemohon menganggap
ketentuan tersebut konstitusional;

Bahwa mengenai ketentuan Pasal 282 UU 10/2008 yang

136
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

berbunyi, “Setiap orang yang mengumumkan hasil survei


atau jajak pendapat dalam masa tenang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”, menurut
Mahkamah karena dalil Pemohon atas Pasal 245 ayat (2)
UU 10/2008 sudah dinyatakan beralasan maka sanksi
pidana yang tercantum dalam Pasal 282 UU 10/2008 tidak
lagi relevan keberadaannya dan harus dinyatakan
inkonstitusional;

Bahwa mengenai ketentuan Pasal 307 UU 10/2008 yang


berbunyi, “Setiap orang atau lembaga yang melakukan
penghitungan cepat dan mengumumkan hasil
penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara,
dipidana 66 dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan
dan denda paling sedikit Rp. 6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 18.000.000,00 (delapan
belas juta rupiah)”, mengingat bahwa pasal a quo
merupakan sanksi pidana atas Pasal 245 ayat (3) UU
10/2008 yang oleh Mahkamah telah dinyatakan bahwa
dalil Pemohon atas Pasal 245 ayat (3) beralasan, maka
keberadaan Pasal 307 UU 10/2008 tidak lagi relevan,
sehingga juga harus dinyatakan inkonstitusional.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
1.1. Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan
Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
1.2. Menyatakan Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan
ayat (6), Pasal 291, serta Pasal 317 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat

137
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3.7. Putusan MK tentang Metode Penetapan Kursi

Putusan No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009

1. Pemohon : H. Wiranto, S.H dan Yus Usman Sumanegara


2. Pokok Permohonan : Uji materil dan Pasal 212 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD
1945
3. Pertimbangan : Masalah utama Permohonan Pemohon adalah
Putusan menyangkut konstitusionalitas dan penafsiran dari Pasal
205 ayat (4) serta Penjelasan Pasal 205 ayat (4), Pasal 211
ayat (3), dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 yang
menurut para Pemohon rumusan pasal-pasal tersebut
bersifat multitafsir karena ketidakjelasan frasa “suara”
dalam Pasal 205 ayat (4) dan frasa “sisa suara” dalam
Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008,
terutama dalam kaitan untuk mengimplementasikan
sistem Pemilu yang dianut oleh Undang-Undang a quo,
sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian
hukum;
Menimbang bahwa frasa “suara” dalam Pasal 205 ayat (4)
UU 10/2008 menimbulkan multitafsir yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga penafsiran: Pertama, yang
dimaksud dengan suara adalah termasuk suara yang
diperoleh partai politik yang telah diperhitungkan pada
tahap pertama secara keseluruhan; Kedua, suara yang
dimaksud dalam frasa tersebut adalah sebagai sisa suara
dari seluruh suara yang diperoleh partai politik setelah
dikurangi dengan BPP atau kelipatannya yang telah
dikonversi menjadi kursi; Ketiga, suara dari partai yang
tidak mencapai BPP tetapi perolehan suaranya sama atau
melebihi 50% BPP sebagai dasar penghitungan tahap
kedua;
Menimbang bahwa menurut UUD 1945 dan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU
10/2004) maupun berdasar asas umum dalam
pembentukan UndangUndang haruslah dipastikan bahwa
isi dan bunyi setiap Undang-Undang itu jelas dan tidak
berpotensi menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.
Menurut Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.” Selanjutnya Pasal 6 huruf i UU 10/2004
menyebutkan bahwa salah satu asas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah asas ketertiban dan
kepastian hukum yang di dalam Penjelasannya
ditegaskan, “Yang dimaksud dengan ‘asas ketertiban dan
kepastian hukum’ adalah bahwa setiap materi muatan
138
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan


ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastian hukum.” Begitu pula di dalam teori tentang asas
pembentukan Undang-Undang dikenal adanya asas
kejelasan isi (lex certa) dan kejelasan rumusan (lex
scripta) yang harus dijadikan dasar dalam pembentukan
Undang-Undang agar tidak ditafsirkan secara berbeda-
beda dan agar menjamin kepastian hukum;
Menimbang bahwa menurut Mahkamah hak untuk
memperoleh atau mendapat jaminan kepastian hukum itu
bukan hanya tertuang atau berdasar dari perbuatan
Pemerintah dan putusan pengadilan tetapi pertama-tama
haruslah bersumber dari Undang-Undang yang isinya
harus menjamin kepastian hukum dan tidak menimbulkan
multitafsir yang dapat disengketakan;
Menimbang bahwa dalam menafsirkan frasa “suara” pada
penghitungan perolehan kursi tahap kedua haruslah
memperhatikan konsep demokrasi sebagai: a delicate
balance between majority will, on one hand and
fundamental values and human rights on the other.
Subjective purpose reflects majority will, objective
purpose reflects fundamental values and human rights
(Aharon Barak, Purposive Interpretation in Law, 2005,
hal. XIX). Dengan demikian, kedudukan dan suara
minoritas tetap dihargai, sehingga perolehan suara partai-
partai tetap diperhitungkan untuk memperoleh kursi pada
tahap kedua dengan merujuk pada sistem Pemilu yang
dianut. Hal tersebut terkandung pada original intent
keberadaan Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 sebagaimana
dinyatakan oleh Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU
10/2008, Ferry Mursyidan Baldan, dalam persidangan
yang menyatakan bahwa yang dimaksud frase “suara”
dalam Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 adalah:
1. Sisa suara yang diperoleh Parpol yang melebihi BPP;
2. Suara yang yang belum dipergunakan untuk
penghitungan kursi;
Menimbang bahwa Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3),
dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 telah menimbulkan
tafsir yang berbeda-beda (multitafsir), seperti perbedaan
antara penafsiran yang termuat dalam Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang
Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil
Pemilihan Umum, Tata Cara Penetapatan Perolehan
Kursi, Penetepan Calon Terpilih, dan Penggantian Calon
Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota Tahun 2009, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2009 dan
penafsiran yang termuat dalam Putusan Mahkamah

139
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Agung (MA) Nomor 012 P/HUM/2009, Nomor 015


P/HUM/2009, dan Nomor 016 P/HUM/2009. Multitafsir
tersebut telah menimbulkan kontroversi yang tajam di
tengahtengah masyarakat.
Menimbang bahwa Pasal 5 ayat (1) UU 10/2008 pada
dasarnya menganut asas proporsional terbuka. Sistem
proporsional dalam Pemilu yang dianut di Indonesia
menghendaki adanya proporsionalitas atau kedekatan
antara persentase perolehan suara dan persentase
perolehan kursi dengan deviasi yang sedapat mungkin
dihindari. Sebagai sebuah sistem proporsional tentu juga
mempunyai kelemahan dan kelebihan, sebagaimana
halnya dengan sistem distrik. Terhadap kelemahan-
kelemahan tersebut dalam suatu sistem yang dipilih
haruslah diterima sebagai resiko pemilihan sistem.
Mahkamah berpendapat apabila Pasal 205 ayat (4) UU
10/2008 yang berkaitan dengan frasa “suara sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR”
ditafsirkan untuk memperhitungkan kembali perolehan
suara secara utuh partai politik yang telah mendapatkan
kursi berdasarkan tahap pertama dengan dasar BPP akan
menyebabkan terjadinya penghitungan lebih dari satu kali.
Cara yang demikian akan menimbulkan
ketidakkonsistenan dengan sistem yang dipilih yaitu
sistem proporsional karena menyebabkan terjadinya
deviasi yang terlalu besar antara perolehan suara dengan
perolehan kursi bagi partai politik peserta Pemilu. Selain
itu, apabila dipergunakan penafsiran seperti di atas maka
perolehan suara partai politik yang telah dikonversi
perolehan suaranya menjadi kursi akan diperhitungkan
lebih dari satu kali, sementara perolehan suara partai
politik yang tidak mencapai 100% BPP tetapi lebih dari
50% BPP hanya diperhitungkan satu kali, itu pun kalau
masih ada sisa kursi. Oleh karena itu, Mahkamah
berpendapat penafsiran terhadap perolehan “suara
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari
BPP DPR” yang di dalamnya memperhitungkan secara
utuh perolehan suara partai politik yang telah
mendapatkan kursi berdasarkan BPP tidak sesuai dengan
sistem proporsional yang menjadi sistem yang dipilih oleh
UU 10/2008;
Menimbang bahwa terhadap Pasal 211 ayat (3) dan Pasal
212 ayat (3) UU 10/2008, Mahkamah berpendapat bahwa
maksud frasa “sisa suara” bukan hanya sisa suara dari
perolehan suara partai politik setelah dikonversikan
menjadi kursi berdasarkan BPP, tetapi juga mencakup
perolehan suara partai politik yang tidak memenuhi BPP
dan belum digunakan dalam penghitungan kursi tahap
sebelumnya;
Menimbang bahwa dalam sistem proporsional, cara yang

140
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dipilih dalam penetapan perolehan kursi untuk partai


politik peserta pemilu adalah cara yang menimbulkan
deviasi paling kecil sebagaimana penghitungan yang telah
diterapkan dalam pemilu sistem proporsional yang
berlaku pada pemilu sebelum tahun 2009. Agar deviasi
yang ditimbulkan oleh cara penetapan perolehan kursi
untuk partai politik peserta pemilu menjadi kecil, sesuai
dengan tujuan sistem proporsional, maka frasa “suara”
pada Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 harus dimaknai
sebagai:
1. Sisa suara yang diperoleh partai politik setelah
dipergunakan untuk memenuhi BPP;
2. Suara yang belum dipergunakan untuk penghitungan
kursi sepanjang mencapai 50% dari BPP. Sementara itu,
frasa “sisa suara” pada Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212
ayat (3) UU 10/2008 harus dimaknai sebagai:
1. Sisa suara yang diperoleh partai politik setelah
dipergunakan untuk memenuhi BPP;
2. Sisa suara yang belum dipergunakan untuk dikonversi
menjadi kursi berdasarkan peringkat suara terbanyak
secara satu-persatu sampai habis.
Mahkamah berpendapat Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008
adalah konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang
dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk
penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik peserta
Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus)
suara sah dari angka BPP, yaitu 50% (lima puluh
perseratus) dari angka BPP di setiap daerah pemilihan
Anggota DPR;
2. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan
Anggota DPR kepada partai politik peserta Pemilu
Anggota DPR, dengan ketentuan:
a. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta
Pemilu Anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50%
(lima puluh perseratus) dari angka BPP, maka partai
politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi.
b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta
Pemilu Anggota DPR tidak mencapai sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP
dan masih terdapat sisa kursi, maka:
1) Suara sah partai politik yang bersangkutan
dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan
dalam penghitungan kursi tahap ketiga; dan
2) Sisa suara partai politik yang bersangkutan
diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga.
Mahkamah berpendapat Pasal 211 ayat (3) UU 10/2008
adalah konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang

141
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:


1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi,
yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di
daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi tersebut
dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan
penghitungan tahap pertama.
2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta
pemilu Anggota DPRD Provinsi tersebut, dengan cara:
a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada
penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah partai
politik tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah
kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama
dengan angka BPP.
b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada
penghitungan tahap pertama, suara sah yang diperoleh
Partai Politik tersebut dikategorikan sebagai sisa suara.
3. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta
pemilu Anggota DPRD Provinsi, dengan cara
membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta
Pemilu Anggota DPRD Provinsi satu demi satu berturut-
turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan
sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh Partai Politik
Mahkamah berpendapat Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008
adalah konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang
dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi,
yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di
daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota
tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi
berdasarkan penghitungan tahap pertama.
2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta
pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut, dengan
cara: a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada
penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah partai
politik tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah
kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama
dengan angka BPP. b. Bagi partai politik yang tidak
memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama,
suara sah yang diperoleh partai politik tersebut
dikategorikan sebagai sisa suara.
3. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta
pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota, dengan cara
membagikan sisa kursi kepada Partai Politik peserta
Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota satu demi satu
berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi
berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh Partai
Politik.
Menimbang bahwa untuk menghindari ketidakpastian
yang dapat timbul tentang kekuatan mengikat putusan

142
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

MK a quo berkenaan dengan pemahaman terhadap Pasal


58 UU MK tentang daya laku Putusan Mahkamah, maka
Mahkamah memandang perlu memberi pertimbangan
secara khusus sebagai berikut: 1. Pengaturan kekuatan
hukum mengikat putusan Mahkamah secara eksplisit
tidak ditemukan baik dalam UUD 1945 maupun dalam
UU MK, akan tetapi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal
10 ayat (1), Pasal 47, dan Pasal 58 UU MK menentukan
bahwa putusan Mahkamah merupakan putusan pengadilan
tingkat pertama dan terakhir, yang bersifat final dan
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Jikalau putusan Mahkamah menyatakan satu Undang-
Undang bertentangan dengan UUD 1945, maka Undang-
Undang demikian masih berlaku sampai dengan
dinyatakannya Undang-Undang bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sejak pengumuman putusan disidang terbuka
untuk umum. Dari ketiga pengaturan di atas dapat
disimpulkan bahwa putusan Mahkamah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat yang berlaku surut (non-
retroaktif). Sebagai akibat putusan yang demikian, maka
pasal atau Undang-Undang yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat berlaku sejak hari
pengumuman putusan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum (ex nunc). Hal itu berarti bahwa pernyataan tidak
mempunyai kekuatan mengikat suatu Undang-Undang,
tidak menimbulkan akibat terhadap hubungan hukum
yang telah terjadi sebelum pengumuman putusan
Mahkamah.
2. Doktrin non-retroaktif demikian diatur secara umum
dalam UU MK sebagai satu asas yang berlaku dengan
tidak menyebut kemungkinan dilakukan suatu
pengecualian dan tidak mengatur tentang adanya diskresi
hakim untuk menentukan daya laku surut yang justru
dalam keadaan tertentu diperlukan untuk dapat mencapai
tujuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang a quo.
Prinsip non-retroaktif dalam pemberlakuan suatu Undang-
Undang pada awalnya menyangkut pemberlakuan aturan
hukum pidana secara retroaktif dan merupakan prinsip
yang diterima secara universal. Larangan tersebut
bersangkut-paut dengan perlindungan hak asasi manusia,
untuk mencegah timbulnya korban ketidakadilan sebagai
akibat kesewenang-wenangan penguasa yang dapat
menciptakan hukum untuk melarang dan memidana suatu
perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan
pidana yang dikenal sebagai asas nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali. Secara khusus,
pengaturan Konstitusi Amerika menentukan bahwa
Kongres dilarang untuk mengundangkan undang-undang

143
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

yang retroaktif (ex post facto law) sementara itu Pasal 28I
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menentukan bahwa
adalah merupakan hak asasi manusia untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak asasi
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meski
larangan pemberlakuan Undang-Undang yang bersifat
retroaktif tersebut di bidang hukum pidana merupakan
asas universal dan menjadi hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun, asas tersebut
mengenal pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (2) KUHP yang juga berlaku secara universal, di
mana jikalau terjadi perubahan perundangundangan, maka
kepada terdakwa diperlakukan yang paling
menguntungkan terdakwa.
Larangan bagi putusan Pengadilan untuk berlaku surut
tidak diatur secara tegas dan ditemukan sebagai hal yang
umum dalam putusan pengadilan biasa. Di Peradilan Tata
Usaha Negara, Pidana, dan Perdata dikenal luas putusan
pengadilan yang mempunyai daya laku surut (ex tunc)
karena pada umumnya pemidanaan atau pembebasan
terdakwa, pengabulan suatu gugatan dalam perbuatan
melanggar hukum, ataupun wanprestasi, maka putusan
yang menyangkut status atau kedudukan pegawai negeri,
utang piutang dan perbuatan melanggar hukum, berlaku
surut sejak dilakukannya perbuatan melawan hukum, atau
sejak terjadinya wanprestasi ataupun tindak pidana yang
dilakukan, dan bukan setelah tanggal pengumuman
putusan dalam sidang terbuka untuk umum. Suatu putusan
yang tidak diperlakukan secara surut, dalam beberapa
keadaan dapat menyebabkan tujuan perlindungan yang
disediakan oleh mekanisme hukum tidak tercapai. 4.
Tujuan yang diberikan pada penegakan konstitusi melalui
judicial review sebagai kewenangan Mahkamah adalah
untuk tidak membiarkan suatu Undang-Undang yang
berlaku bertentangan dengan Konstitusi atau UUD 1945,
sehingga jika putusannya hanya berlaku secara prospektif
dan tidak dimungkinkan adanya diskresi bagi hakim
memberlakukannya secara retroaktif, menjadi persoalan
yang harus selalu dijawab apakah tujuan perlindungan
konstitusi dapat tercapai atau tidak. Dalam bidang hukum
tata negara, dengan muatan dan bidang Undang-Undang
yang beragam, dapat dipastikan adanya kepentingan
hukum tertentu yang dilindungi oleh UUD 1945,
menyangkut status atau kedudukan yang lahir dari
keterpilihan melalui proses pemilihan umum, baik yang
diputuskan oleh Mahkamah melalui pengujian Undang-
Undang yang terkait erat dengan keterpilihan calon
melalui metode penghitungan suara dan penentuan kursi,
maupun melalui sengketa atau perselisihan hasil
pemilihan umum. Akibat hukum putusan demikian

144
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dipastikan harus mengikat secara surut pada keterpilihan


dan perolehan suara tersebut, baik dengan putusan yang
mengukuhkan maupun membatalkan penetapan suara dan
perolehan kursi yang ditentukan oleh Komisi Pemilihan
Umum. Tanpa keberlakuan surut demikian maka tujuan
perlindungan konstitusional yang secara rasional
diletakkan pada penyelesaian sengketa hasil pemilihan
umum dan pengujian Undang-Undang yang berdampak
pada status atau kedudukan hukum seseorang tidak akan
tercapai, sebagaimana menjadi maksud konstitusi dan
hukum yang berlaku. 5. Pasal 58 UU MK yang
menentukan asas presumption of constitutionality dalam
keberlakuan Undang-Undang hanya sampai adanya
putusan yang menyatakan Undang-Undang tersebut
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, memang tersirat
larangan untuk memberlakukan secara surut putusan
Mahkamah. Praktik Mahkamah dalam beberapa putusan
telah menyatakan suatu Undang-Undang tetap
konstitusional dengan syarat-syarat tertentu
(condititionally constitutional), baik dengan cara
penafsiran tertentu, pemenuhan alokasi dana minimum
tertentu, dan setelah melewati tenggang waktu tertentu
maupun putusan yang menyatakan UndangUndang
inkonstitusional tetapi tetap berlaku sampai tenggang
waktu tertentu. Praktik tersebut tidak diatur dalam UU
MK, baik tentang diskresi hakim maupun pengaturan
secara khusus dalam UU MK untuk menentukan akibat
hukum putusan secara terbatas atau untuk menyatakan
putusan tersebut mempunyai akibat hukum di masa
depan. Oleh karenanya prinsip non-retroaktif akibat
hukum satu putusan Mahkamah bukanlah sesuatu yang
bersifat mutlak, sebagaimana juga secara tegas dimuat
dalam UU MK berbagai negara yang memiliki MK.
Untuk bidang Undang-Undang tertentu, pengecualian dan
diskresi yang dikenal dan diakui secara universal
dibutuhkan karena adanya tujuan perlindungan hukum
tertentu yang hendak dicapai yang bersifat ketertiban
umum (public order). Terlebih lagi dalam putusan yang
bersifat memberi tafsiran tertentu sebagai syarat
konstitusionalitas satu norma (interpretative decisions),
putusan demikian secara alamiah harus selalu berlaku
surut terhitung sejak diciptakannya peraturan perundang-
undangan yang ditafsirkan tersebut, karena memang
dimaksudkan merupakan makna yang diberikan dan
melekat pada norma yang ditafsirkan. Oleh sebab itu
meskipun UU MK menentukan putusan Mahkamah
bersifat prospektif akan tetapi untuk perkara a quo, karena
sifatnya yang khusus, maka putusan a quo harus
dilaksanakan berlaku surut untuk pembagian kusi DPR,

145
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilu


Legislatif Tahun 2009 tanpa ada kompensasi atau ganti
rugi atas akibat-akibat yang terlanjur ada dari peraturan-
peraturan yang ada sebelumnya.
Menimbang bahwa dalam putusan a quo Mahkamah tidak
menilai atau menguji baik Putusan Mahkamah Agung
maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Mahkamah
Agung yang telah melakukan pengujian terhadap
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun
2009 telah melakukan tindakan menurut kewenangannya;
begitu pula Komisi Pemilihan Umum telah melakukan
regulasi menurut kewenangannya. Meskipun demikian,
karena Pasal 205 ayat (4), Pasal 211 ayat (3), dan Pasal
212 ayat (3) UU 10/2008 telah dinilai oleh Mahkamah
sebagai konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional), maka dengan sendirinya semua isi
peraturan atau putusan pengadilan yang tidak sesuai
dengan putusan ini menjadi tidak berlaku karena
kehilangan dasar pijakannya.
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional). Artinya, konstitusional
sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua
untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta
Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus)
suara sah dari angka BPP, yaitu 50% (lima puluh
perseratus) dari angka BPP di setiap daerah pemilihan
Anggota DPR;
2. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan
Anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu
Anggota DPR, dengan ketentuan:
a. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik
peserta Pemilu Anggota DPR mencapai sekurang-
kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka
BPP, maka Partai Politik tersebut memperoleh 1
(satu) kursi.
b. Apabila suara sah atau sisa suara partai politik
peserta Pemilu Anggota DPR tidak mencapai
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus)
dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi,
maka:
1) Suara sah partai politik yang bersangkutan
dikategorikan sebagai sisa suara yang
diperhitungkan dalam penghitungan kursi
tahap ketiga; dan
2) Sisa suara partai politik yang bersangkutan
diperhitungkan dalam penghitungan kursi
tahap ketiga.

146
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Menyatakan Pasal 211 ayat (3) Undang-Undang Nomor


10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional). Artinya, konstitusional
sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi,
yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di
daerah pemilihan Anggota DPRD Provinsi tersebut
dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan
penghitungan tahap pertama.
2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik
peserta pemilu Anggota DPRD Provinsi tersebut,
dengan cara:
a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada
penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah
partai politik tersebut dikurangi dengan hasil
perkalian jumlah kursi yang diperoleh partai
politik pada tahap pertama dengan angka BPP.
b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi
pada penghitungan tahap pertama, suara sah yang
diperoleh Partai Politik tersebut dikategorikan
sebagai sisa suara.
3. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta
pemilu Anggota DPRD Provinsi, dengan cara
membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta
Pemilu Anggota DPRD Provinsi satu demi satu
berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi
berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh
Partai Politik.
Menyatakan Pasal 212 ayat (3) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional). Artinya, konstitusional
sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi,
yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di
daerah pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota
tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi
berdasarkan penghitungan tahap pertama.
2. Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik
peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota
tersebut, dengan cara:
a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada
penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah
partai politik tersebut dikurangi dengan hasil
perkalian jumlah kursi yang diperoleh partai
politik pada tahap pertama dengan angka BPP.
b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi
pada penghitungan tahap pertama, suara sah yang
diperoleh partai politik tersebut dikategorikan
sebagai sisa suara.
3. Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta

147
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota, dengan cara


membagikan sisa kursi kepada Partai Politik peserta
Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota satu demi
satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis
terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki
oleh Partai Politik.
Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melaksanakan
penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua hasil pemilihan
umum tahun 2009 berdasarkan Putusan Mahkamah ini;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan
selebihnya.

3.8. Putusan MK tentang Penetapan Calon Terpilih

Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008

1. Pemohon : Muhammad Sholeh, S.H; Sutjipto, S.H., M.Kn; Septi


Notariana, S.H., M.Kn; Jose Dima Satria, S.H., M.Kn
2. Pokok Permohonan : pengujian materiil Pasal 55 ayat (2), ) Pasal 205 ayat (4),
ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), dan Pasal 214 huruf a,
huruf b, huruf c huruf d, dan huruf e, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD
1945
3. Pertimbangan : Pemohonan Para Pemohon masing-masing adalah sebagai
Putusan berikut:
• Bahwa menurut Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.),
Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 yang berbunyi, “Di dalam
daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap 3 (tiga) orang bakan calon terdapat sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
• Bahwa menurut Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H,)
dan Pemohon II (Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana,
S.H., M.Kn, dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn) Pasal 214
huruf a, b, c, d dan e UU 10/2008 bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 dan menurut Pemohon II
(Sutjipto, S.H., M.Kn, Septi Notariana, S.H., M.Kn., dan
Jose Dima Satria, S.H., M.Kn) bertentangan dengan Pasal
6A ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon I (Muhammad Sholeh) tersebut,
Mahkamah berpendapat: Diberlakukannya ketentuan
Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, yakni setiap tiga orang

148
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon


perempuan adalah dalam rangka memenuhi affirmative
action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang
politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai
negara dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai
politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi
perempuan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi
Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai
konvensi internasional yang telah diratifikasi [Undang-
Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum
Convention on The Elimination of All Forms of
Discrimination Against Woman (CEDAW)];
• Affirmative action juga disebut sebagai reverse
discrimination, yang memberi kesempatan kepada
perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam
lapangan peran yang sama (level playing-field) antara
perempuan dan laki-laki, sekalipun dalam dinamika
perkembangan sejarah terdapat perbedaan, karena alasan
kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan
keputusan dalam kebijaksanaan nasional, baik di bidang
hukum maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial
politik, peran perempuan relatif masih kecil. Kini,
disadari melalui sensus kependudukan ternyata jumlah
penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan,
maka seharusnyalah aspek kepentingan gender
dipertimbangkan dengan adil dalam keputusan-keputusan
di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan kultural;
Bahwa kalau sistem kuota bagi perempuan dipandang
mengurangi hak konstitusional calon legislatif laki-laki
sebagai pembatasan, hal itu tidak berarti bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembatasan
tersebut dibenarkan oleh konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”. Bahkan di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD
1945, perlakuan khusus tersebut diperbolehkan. Pasal
28H ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.” Dewasa ini,
komitmen Indonesia terhadap instrumeninstrumen hak
asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan

149
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta


komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik
telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai
kebijakan pemerintah;
Bahwa sepanjang ambang batas kuota 30% (tiga puluh
per seratus) dan keharusan satu perempuan dari setiap tiga
calon anggota legislatif bagi perempuan dan laki-laki
dinilai cukup memadai sebagai langkah awal untuk
memberi peluang kepada perempuan di satu pihak,
sementara di pihak lain, menawarkan kepada
publik/pemilih untuk menilai sekaligus menguji
akseptabilitas perempuan memasuki ranah politik yang
bukan semata-mata karena statusnya sebagai perempuan,
tetapi juga dari sisi kapasitas dan kapabilitasnya sebagai
legislator, serta tempatnya menurut kultur Indonesia.
Pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) dan
keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon
merupakan diskriminasi positif dalam rangka
menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan
laki-laki untuk menjadi legislator di Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) bagi calon
perempuan ditegaskan oleh Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008
agar jaminan yang memberi peluang keterpilihan p Bahwa
untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam bidang
politik tidak semata-mata tergantung pada faktor hukum,
melainkan juga faktor budaya, kemampuan, kedekatan
dengan rakyat, agama, dan derajat kepercayaan
masyarakat atas calon legislatif perempuan, serta
kesadaran yang semakin meningkat atas peranan
perempuan dalam bidang politik. Terkait dengan asas
Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat yang majemuk
seperti Indonesia, maka setiap pilihan masing-masing
orang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan harus
tetap dihargai sekalipun terdapat perbedaan satu dengan
yang lain; erempuan lebih besar dalam pemilihan umum;
Berdasarkan pandangan dan penilaian hukum di atas,
Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU
10/2008 tidak bertentangan dengan konstitusi, karena
perlakuan hak-hak konstitusional gender untuk tidak
dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk
meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata tidak
memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil;
Terhadap dalil Pemohon II tersebut di atas, menurut
Mahkamah, ketentuan Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat
(6), dan ayat (7) UU 10/2008 adalah berkaitan dengan
perolehan kursi partai politik dan tidak berhubungan
dengan terpilihnya calon. Sejauh menyangkut sisa suara
yang dikumpulkan dari setiap daerah pemilihan (Dapil) ke

150
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

tingkat provinsi hanyalah untuk menentukan Bilangan


Pembagi Pemilih (BPP) baru yang juga berhubungan
dengan perolehan kursi partai politik. Dengan demikian,
dalil tersebut tidak berkenaan dengan konstitusionalitas
karena tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Mahkamah berpendapat bahwa untuk menentukan partai
politik yang memperoleh kursi berdasarkan BPP baru
sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (7) UU 10/2008
dan penentuan calon terpilih berdasarkan BPP baru
tersebut, harus didasarkan atas suara terbanyak sesuai
dengan keterangan Komisi Pemilihan Umum di
persidangan sebagaimana telah termuat dalam Duduk
Perkara a quo;
Terhadap dalil Pemohon I (Muhammad Sholeh, S.H.) dan
Pemohon II (Sutjipto, S.H.,M.M.Kn, Septi Notariana,
S.H.,M.M.Kn, dan Jose Dima Satria, S.H.,M.M.Kn,)
sepanjang berkaitan dengan konstitusionalitas Pasal 214
huruf a, b, c, d dan e UU 10/2008, Mahkamah
memberikan satu penilaian dan pendapat hukum, sebagai
berikut:
• Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan
bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat,
sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum,
rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya.
Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya
legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif
maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara
juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon
yang bersangkutan;
• Bahwa prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip
konstitusi yang sangat mendasar yang bukan saja
memberi warna dan semangat pada konstitusi yang
menentukan bentuk pemerintahan, akan tetapi juga dapat
dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi
warna dan sifat pada keseluruhan undangundang di
bidang politik. Meskipun harus diakui perlunya dipelihara
satu sistem rekrutmen pimpinan politik yang terutama
diperankan oleh partai politik yang sehat, maka sebagai
satu metode dan prosedur rekrutmen dalam sistem politik
dan perwakilan yang dianut, harus diberi batas yang jelas
bahwa partai politik tersebut tidak boleh sampai
melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang dapat
dipandang sebagai prinsip konstitusi yang sangat
mendasar dan tidak dapat dikesampingkan, karena bukan
hanya merupakan basic norm melainkan lebih dari itu
merupakan moralitas konstitusi bagi semua kehidupan
negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi,

151
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dan hukum. Prinsip tersebut harus berdampingan, tidak


boleh menafikan tetapi justru harus menjunjung tinggi hak
asasi manusia yang bersangkutan;
• Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan
agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan
partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, harus
menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemilu,
untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh
undang-undang mengenai Pemilu secara singkat dan
sederhana, yang dipergunakan untuk memberi landasan
bagi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu agar dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, rakyat
sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat,
tidak hanya membentuk dan menjadi dasar harkat dan
martabat manusia (the dignity of man);
• Bahwa tujuan utama peletakan kedaulatan rakyat
sebagai prinsip dasar konstitusi adalah menempatkannya
sedemikian rupa sehingga penghargaan dan penilaian hak
suara pemilih yang membentuk wujud kedaulatan rakyat,
tidak merupakan masalah yang tunduk pada perubahan-
perubahan yang timbul dari kontroversi politik di
parlemen, in casu dengan jalan menempatkan kekuasaan
partai politik untuk mengubah pilihan rakyat menjadi
pilihan pengurus partai melalui nomor urut. Peran partai
dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya
caloncalon yang cakap untuk kepentingan rakyat, karena
rakyat tidak mungkin secara keseluruhan
mengartikulasikan syarat-syarat calon pemimpin yang
dipandang sesuai dengan keinginan rakyat kecuali melalui
organisasi politik yang memperjuangkan hak-hak dan
kepentingan politik dari kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Karena itu, keterpilihan calon anggota
legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang
berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik,
sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.”... “Kemudian dari pada itu
untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,

152
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik


Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”;
• Bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan
agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan
partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi,
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, harus
menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemilu,
untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh
undang-undang mengenai Pemilu secara singkat dan
sederhana, yang dipergunakan untuk memberi landasan
bagi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu agar dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, rakyat
sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat,
tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta
Pemilu dalam mencapai kemenangan semata;
• Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan
sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya
keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan
oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak
dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil
yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan
kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa
aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional
terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan
calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih
sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak
terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau
dukungan rakyat paling banyak;
• Bahwa dengan diberikan hak kepada rakyat secara
langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya
terhadap calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dengan suara terbanyak, di samping
memberikan kemudahan kepada pemilih dalam
menentukan pilihannya, juga lebih adil tidak hanya bagi
calon anggota DPR/DPRD, tetapi juga untuk masyarakat
dalam menggunakan hak pilihnya, baik masyarakat yang
bergabung sebagai anggota partai politik maupun
masyarakat yang tidak bergabung sebagai anggota partai
politik peserta Pemilu, karena kemenangan seseorang
calon untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada partai
politik peserta Pemilu, tetapi sampai sejauh mana
besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan kepada
calon tersebut. Dengan demikian, konflik internal partai
politik peserta Pemilu yang dapat berimbas kepada
masyarakat dapat dikurangi, yang semuanya sesuai
dengan prinsipprinsip Pemilu yang adil, jujur, dan
bertanggung jawab;
• Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang

153
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang


mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP,
atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada
yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP,
atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang
memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih
dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai
politik peserta Pemilu adalah inkonstitusional.
Inkonstitusional karena bertentangan dengan makna
substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan
di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip
keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas
kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar
dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan
anggota legislatif akan benar-benar melanggar kedaulatan
rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang
mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem
terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan
oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang
mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil;
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II
untuk sebagian;

Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,


dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4836) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,


dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4836) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk


selain dan selebihnya;

154
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3.9. Putusan MK Tentang Penggantian Calon Terpilih

Putusan No. 27/PUU-VIII/2010

1. Pemohon : Sefriths E. D. Nau


2. Pokok Permohonan : menguji konstitusionalitas Pasal 218 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sepanjang
frasa “Daftar Calon Tetap” terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Menimbang bahwa Pemohon sejak tahun 2004 telah
Putusan menjadi Anggota Partai Politik PPDI (Partai Penegak
Demokrasi Indonesia), dan Pengurus Cabang Partai
Politik PPDI (DPC-Partai Penegak Demokrasi Indonesia)
Kabupaten Timor Tengah Selatan di bawah
kepemimpinan DPP PPDI Ketua Umum H. Mentik
Budiwiyono dan Sekjen Joseph Williem Lea Wea dan
legalitas keabsahan kepengurusan DPP-PPDI dibuktikan
dengan keputusan Kemenkumham Nomor M.HH-
76.AH.11.01 Tahun 2008;
Bahwa pada tahap persiapan pelaksanaan Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD periode 2009-
2014 terjadi sengketa antara Pengurus DPP- PPDI di
bawah kepemimpinan Ketua Umum Drs. Endung
Sutrisno, M.BA dan Sekjen Drs V. Joes Prananto (sebagai
Penggugat) melawan Menteri Kemenkumham di tingkat
PN Jaksel. Sengketa dimenangkan oleh Penggugat dimana
pokok aduan yang diajukan adalah mengajukan Daftar
Calon Tetap, namun nama Pemohon a quo tidak termasuk
dalam daftar nama calon dalam Daftar Calon Tetap;
Tergugat mengajukan kasasi di MA dan menang sehingga
pengurus DPP-PPDI Ketua Umum Drs. Endung Sutrisno,
M.BA dan Sekjen Drs V. Joes Prananto tidak sah menurut
hukum, sedangkan pengurus yang sah adalah pengurus di
bawah Ketua Umum H. Mentik Budiwiyono dan Sekjen
Joseph Williem Lea Wea;
DPP PPDI mengajukan Surat Keputusan Nomor
152/KPTS/DPP/PPDI/III/2009 tanggal 3 Maret 2009
tentang Penggantian Calon Terpilih Anggota DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari PPDI yang
sudah tidak memenuhi syarat menjadi anggota DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota karena sudah
diberhentikan dari keanggotaan PPDI dimana diajukan
Pemohon calon pengganti untuk menduduki kursi DPRD
Kabupaten Timor Tengah Selatan periode 2009-2014.
DPD-PPDI Provinsi Nusa Tenggara Timur berdasarkan
Surat Nomor 057/DPD-PPDI/IN/VII/2009 tanggal 31 Juli
2009 kemudian menyetujui Calon Pengganti;
KPU Kabupaten Timor Tengah Selatan, dengan
berpedoman pada frasa “daftar calon tetap" sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 218 ayat (3) UU 10/2008 sampai
155
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dengan permohonan ini diajukan kepada Mahkamah,


tidak menetapkan Pemohon sebagai Anggota DPRD
Kabupaten Timor Tengah Selatan dari PPDI, sehingga
menimbulkan adanya ketidakpastian hukum mengenai
siapa wakil PPDI di DPRD Kabupaten Timor Tengah
Selatan, demikian pula halnya dengan KPU
kabupaten/kota tidak memberikan kepastian hukum;
Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 218 ayat (3) UU
10/2008 terkait dengan frasa “Daftar Calon Tetap”
menimbulkan kekosongan hukum yang berakibat
terjadinya ketidakpastian hukum ketika terjadi
permasalahan sebagaimana kasus a quo;
ketentuan pasal a quo tidak dapat menjadi dasar untuk
menyelesaikannya dalam rangka melindungi hak-hak
konstitusional Pemohon;
mengosongkan kursi PPDI dalam keanggotaan DPRD
Kabupaten Timor Tengah Selatan yang telah diperoleh
melalui mekanisme yang sah merupakan problem
konstitusional, yaitu persoalan hak asasi manusia warga
negara untuk memilih wakilnya sebagai wujud
partisipasinya dalam kehidupan kenegaraan demokratis
dan hak warga negara yang partainya telah memperoleh
kursi melalui pemilihan umum yang sah untuk menduduki
jabatan dalam lembaga perwakilan. Hal demikian tidak
boleh terjadi;
dengan berpedoman kepada prinsip supremasi hukum dan
due process of la, menurut Mahkamah putusan yang telah
dijatuhkan oleh Hakim melalui peradilan dan telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde, res
judicata), tidak dapat diganggu gugat lagi, siapapun tidak
ada yang dapat mengubahnya, dan putusan harus
dilaksanakan walaupun hal itu kejam dan tidak
menyenangkan. Dengan demikian, maka demi hukum,
putusan kasasi a quo harus dilaksanakan;
menurut Mahkamah Pasal 218 ayat (3) UU 10/2008
sepanjang frasa “Daftar Calon Tetap” harus dinyatakan
inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional), yakni sepanjang pengertiannya tidak
mencakup calon pengganti yang diajukan oleh partai
politik, yang memiliki kursi di DPR, DPRD provinsi,
DPRD kabupaten/kota dalam hal tidak terdapat lagi calon
yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
4. Amar Putusan :  Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian;
 Menyatakan Pasal 218 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara

156
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Republik Indonesia Nomor 4836) sepanjang frasa


“Daftar Calon Tetap” bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional),
yakni sepanjang pengertiannya tidak mencakup calon
pengganti yang diajukan oleh partai politik yang
memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam hal
tidak terdapat lagi calon yang terdaftar dalam Daftar
Calon Tetap (DCT);
 Menyatakan Pasal 218 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4836) sepanjang frasa
“Daftar Calon Tetap” tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat (conditionally),
yakni sepanjang pengertiannya tidak mencakup calon
pengganti yang diajukan oleh partai politik yang
memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam hal
tidak terdapat lagi calon yang terdaftar dalam Daftar
Calon Tetap (DCT);
 Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk
selain dan selebihnya;

157
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

4
PUTUSAN MK TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

4.1. Putusan MK tentang Konstitusionalitas Pilpres

Putusan No. 14/PUU-XI/2013


1. Pemohon : Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.I.D., M. Si.
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9,
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap
UUD 1945
3. Pertimbangan : Bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum
Putusan tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu
pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan
umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan
sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan
teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk
persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh
masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir,
sehingga apabila Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan
ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata
cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan
diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera
setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini
telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau
terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukum.
Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan
pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami
kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum
yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan
dengan UUD 1945;
Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU
42/2008 dan ketentuan- ketentuan lain yang berkaitan
dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres
maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum
untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan
Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum haruslah diatur dengan
Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan
untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan
Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
secara serentak pada tahun 2014, maka menurut

158
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak


memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup
memadai untuk membentuk peraturan perundang-
undangan yang baik dan komprehensif;
Langkah membatasi akibat hukum yang timbul dari
pernyataan inkonstitusionalitas atau bertentangan
dengan UUD 1945 suatu Undang- Undang pernah
dilakukan Mahkamah dalam Putusan Nomor 012-016-
019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006.
Menurut putusan Mahkamah tersebut, Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus dibentuk dengan
Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun
sejak dikeluarkannya putusan MK tersebut; dan juga
dalam Putusan Nomor 026/PUU-III/2005, bertanggal 22
Maret 2006 mengenai Pengujian Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2006, yang hanya
membatasi akibat hukum yang timbul dari putusan
Mahkamah sepanjang menyangkut batas tertinggi
Anggaran Pendidikan;
Merujuk pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-
IV/2006 dan Putusan Nomor 026/PUU-III/2005
tersebut, maka dalam perkara ini pembatasan akibat
hukum hanya dapat dilakukan dengan menangguhkan
pelaksanaan putusan a quo sedemikian rupa sampai
telah terlaksananya Pilpres dan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan tahun 2014. Selanjutnya,
penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan harus mendasarkan pada putusan
Mahkamah a quo dan tidak dapat lagi diselenggarakan
Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
secara terpisah. Selain itu, Mahkamah berpendapat
memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya
hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga
masyarakat, maupun bagi partai politik untuk
mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting
ketatanegaraan;
Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan mengenai
Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14
ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, namun menurut
Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2009 dan 2014
yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan
segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan
konstitusional.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

159
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4924)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas
berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum
tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya.
4.2. Putusan MK tentang Pemilih

Putusan No. 22/PUU-XII/2014


1. Pemohon : 1. Ifdhal Kasim; dan 2. Supriyadi Widodo Eddyono.
Kuasa Pemohon: Wahyudi Djafar, S.H., dkk
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 260 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden terhadap Pasal
1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
3. Pertimbangan : Menimbang bahwa hak warga negara untuk memilih
Putusan dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi,
Undang-Undang, maupun konvensi internasional.
Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945;
berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa setiap
warga negara pada dasarnya memiliki hak untuk memilih
dan dipilih berdasarkan konstitusi yang menjamin hak
memilih dan dipilih sebagai hak asasi, namun Pasal 260
UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya oleh para Pemohon justru
memberikan batasan atas hak anggota TNI dan anggota
Polri untuk ikut memilih dalam pemilihan umum.
Ketentuan pembatasan hak memilih dan dipilih ini juga
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia;
Berdasarkan putusan Mahkamah 29/PUU-V/2007,
bertanggal 30 April 2008, Pasal 28J ayat (2) dan Pasal
28I ayat (1) UUD 1945 tersebut maka pembatasan hak
asasi manusia itu tergantung pada substansi hak tersebut
dan penilaian pembentuk Undang-Undang mengenai
160
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

keadaan nyata yang terjadi pada suatu negara. Pembatasan


tersebut hanya dapat ditetapkan dengan Undang- Undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis,
sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945;
Pasal 260 UU 42/2008 yang melarang pengggunaan hak
pilih bagi anggota TNI dan anggota Polri sesungguhnya
adalah sebuah pembatasan hak yang mana bahwa setiap
hak asasi manusia dapat dibatasi, dan tidak bersifat
mutlak, termasuk hak untuk memilih dan dipilih.
Pembatasan yang diatur dalam konstitusi adalah
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD
1945;
UU Polri dan UU TNI yang mengatur mengenai
larangan untuk berpolitik praktis dan UU Pemilihan
Umum Lembaga Perwakilan serta UU Pemilihan Umum
Presiden yang mengatur bahwa anggota TNI dan anggota
Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih adalah
merupakan pilihan kebijakan pembentuk Undang-
Undang. Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Menurut
Mahkamah, oleh karena tugas TNI dan Polri yang sangat
strategis tersebut memerlukan sikap netral dalam politik
praktis maka Pasal 260 UU 42/2008 adalah kebijakan
politik pembentuk Undang-Undang yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945. sesungguhnya
merupakan pengakuan bahwa anggota TNI dan Polri pada
dasarnya memiliki hak untuk memilih sebagaimana warga
negara Indonesia lainnya, namun frasa “tidak
menggunakan haknya untuk memilih” justru menegaskan
sikap yang harus diambil oleh para anggota TNI dan Polri
untuk netral;
Menimbang bahwa Pasal 260 UU 42/2008 yang
menyebutkan, “Dalam Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2009 anggota Tentara Nasional
Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih”,
menurut Mahkamah justru tidak memberikan kepastian
hukum karena dengan demikian, dalam Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang akan berlangsung pada
tahun 2014 ketentuan a quo tidak berlaku, atau anggota
TNI dan anggota Polri dapat menggunakan hak pilihnya,
dan tidak perlu lagi menjaga netralitasnya. Hal tersebut
tidak sesuai dengan pertimbangan Mahkamah di atas,
sehingga menurut Mahkamah untuk menghindari
ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, frasa “tahun 2009” dalam
Pasal 260 UU 42/2008 harus dibaca sebagaimana amar

161
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dalam putusan ini. Dengan demikian permohonan para


Pemohon beralasan menurut hukum.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
1.1. Frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai
“tahun 2014”;
1.2. Frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4924) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sepanjang tidak dimaknai “tahun 2014”;

4.3. PUU tentang Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden

Putusan No. 50/PUU-XII/2014


1. Pemohon : 1. Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H.
2. Heru Widodo S.H., M.Hum.
3. Dr. Zainal Arifin Hoesein S.H., M.H
4. Vivi Ayunita Kusumandari, S.H.
5. Al Latifah Fardhiyah, S.H.
6. Samsul Huda, S.H., M.H.
7. Dorel Almir, S.H., M.Kn.
8. Daniel Tonapa Masiku, S.H.
9. Samsudin, S.H.
10. Dhimas Pradana, S.H.
11. Aan Sukirman, S.H.
12. Unoto Dwi Yulianto, S.H.
13. Duran P. Sianipar, S.H.
14. Arsi Divinubun, S.H.
15. Supriyadi, S.H.
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 159 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden terhadap Pasal 1 ayat (3),
Pasal 6A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal
28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945
3. Pertimbangan : menurut Mahkamah mekanisme pemilihan presiden
Putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD 1945
mengandung beberapa norma yang penting, yaitu:
pertama; pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden

162
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik


sebelum pelaksanaan pemilihan umum; kedua, pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh
rakyat; ketiga, pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang memperoleh suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang
tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden;
keempat, dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden terpilih berdasarkan syarat tersebut,
dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dipilih langsung oleh rakyat dan pasangan yang
memperoleh suara terbanyak dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden.
Menurut Mahkamah syarat keterpilihan dengan
persebaran perolehan suara sedikitnya dua puluh persen
setiap provinsi di lebih dari setengah provinsi di Indonesia
dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menunjukkan maksud
dan kehendak dari pembentuk UUD 1945 agar Presiden
dan Wakil Presiden terpilih merupakan Presiden dan
Wakil Presiden yang memperoleh dua legitimasi
sekaligus yaitu legitimasi suara terbanyak dari rakyat dan
legitimasi yang tersebar dari seluruh provinsi di
Indonesia. Kehendak yang demikian adalah sangat wajar
dalam rangka menjaga dan membangun keutuhan dan
kesatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia,
karena realitas kondisi geografis dan demografis
Indonesia yang timpang, yaitu di Pulau Jawa dan Bali
dengan wilayah terbatas tetapi penduduknya yang padat,
dan di luar Pulau Jawa dengan wilayah yang luas tetapi
penduduknya yang sedikit. Keterpilihan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh
kemenangan mutlak di seluruh provinsi di Pulau Jawa
ditambah satu atau dua provinsi di luar Pulau Jawa yang
padat penduduknya sangat mungkin akan memperoleh
lebih dari lima puluh persen suara rakyat. Dengan
kemungkinan yang demikian secara teoritik pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden cukup melakukan
kampanye di beberapa provinsi saja untuk meraih
kemenangan. Untuk menghindari keadaan yang demikian
syarat persebaran perolehan suara menjadi sangat penting
untuk menjaga kesatuan dan kebersamaan dalam negara
kesatuan Republik Indonesia. Syarat tersebut juga
dimaksudkan agar Calon Presiden dan Wakil Presiden
harus mengenal wilayah dan dikenal oleh penduduk di
seluruh wilayah Indonesia. Dalam kerangka itulah,
menurut Mahkamah makna yang dikehendaki Pasal 6A
ayat (3) UUD 1945.
Dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon Presiden

163
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dan Wakil Presiden yang diajukan oleh gabungan


beberapa partai politik yang bersifat nasional, menurut
Mahkamah pada tahap pencalonan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden telah memenuhi prinsip
representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia
karena calon Presiden sudah didukung oleh gabungan
partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk
di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, tujuan
kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh
rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi;
menurut Mahkamah Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008, harus
dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, jika hanya ada dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih
adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (4)
UUD 1945, sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan
langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
1.1 Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri
dari dua pasangan calon;
1.2 Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4924) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku
untuk pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan
calon;

4.4. Putusan MK tentang Verifikasi Parpol

Putusan No. 53/PUU-XV/2017


1. Pemohon : Partai Idaman Kuasa Pemohon: Mariyam Fatimah, S.H.,
M.H., dkk.
2. Pokok Permohonan : permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma
Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 7

164
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2017 terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu, pada pokoknya norma a
Putusan quo memuat norma bahwa untuk partai politik yang telah
lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 173 ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu. Hal ini
mengandung makna bahwa ada partai politik peserta
Pemilu yang dikategorikan telah lulus verifikasi dengan
syarat yang telah ditentukan dan ada partai politik calon
peserta Pemilu yang belum lulus verifikasi. Dengan
ketentuan tersebut, terhadap dua kelompok partai politik
calon peserta Pemilu tersebut diatur atau diterapkan
perlakuan berbeda.
Bahwa terkait pengaturan tentang pengelompokan
sekaligus perlakuan yang membedakan antarpartai
politik calon peserta Pemilu sebelumnya telah pula
pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(selanjutnya disebut UU 8/2012) yang menyatakan,
“Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir
yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai
Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu
berikutnya”. Dalam ketentuan a quo, perbedaan
perlakuan terhadap partai politik calon peserta Pemilu
dilakukan atas dasar partai politik yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah
secara nasional dengan partai politik yang tidak
memenuhi ambang batas dan partai politik baru.

Bahwa sekalipun dasar pembedaan antarpartai politik


calon peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang yang menjadi objek permohonan a quo
berbeda dengan apa yang diatur dalam UU 8/2012,
namun kedua-duanya sama-sama mengatur pembedaan
perlakuan antarpartai politik calon peserta Pemilu.
Bahwa terkait pembedaan perlakuan terhadap calon
peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat
(1) UU 8/2012, Mahkamah dalam putusan terdahulu,
yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-
X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012, telah menyatakan
norma Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang a quo
bertentangan dengan UUD 1945

Bahwa berdasarkan pertimbangan dalam pengujian


terhadap ketentuan UU 8/2012 yang pada pokoknya
mengandung perlakuan berbeda terhadap partai politik

165
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

calon peserta Pemilu, dapat ditarik benang merah yang


harusnya dipedomani pembentuk undang-undang dalam
menentukan syarat maupun untuk menerapkan syarat
kepada setiap calon peserta Pemilu. Benang merah
dimaksud adalah:
a. Norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma
yang pada pokoknya mengandung perlakuan
berbeda terhadap calon peserta Pemilu, sebab
perlakuan berbeda bertentangan dengan hak atas
kesempatan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan;
b. Perlakuan berbeda terhadap partai politik calon
peserta Pemilu dapat dihindari dengan cara
bahwa dalam pelaksanaan Pemilu, setiap partai
politik calon peserta Pemilu harus mengikuti
verifikasi.

Menurut Mahkamah, perlakuan berbeda terhadap calon


peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan
dengan Konstitusi. Hal mana bukan saja karena hal itu
bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan
yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD
1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda
menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan Pemilu.

Bahwa dalam perkembangannya, alternatif yang telah


ditentukan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 52/PUU-X/2012 sesungguhnya telah sesuai
dengan perkembangan sistem penyelenggaraan Pemilu
Indonesia yang periodik lima tahun sekali. Sebab,
sekalipun syarat kepesertaan Pemilu telah ditentukan
secara sama di dalam undang-undang, namun
perkembangan dan dinamika partai politik, penataan
wilayah negara ke dalam satuan-satuan pemerintahan
daerah dan juga perkembangan demografis sebagai
faktor penentu keterpenuhan syarat calon peserta
Pemilu merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Hal
demikian, bila dihubungkan dengan fakta bahwa dalam
setiap Pemilu selalu ada partai politik baru calon peserta
Pemilu, maka jalan untuk menghindari terjadinya
perlakuan berbeda adalah dengan memverifikasi seluruh
partai politik calon peserta Pemilu tanpa membeda-
bedakan partai politik yang telah mengikuti verifikasi
pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik yang
belum pernah mengikuti Pemilu maupun partai politik
yang sudah pernah mengikuti Pemilu namun tidak
memperoleh kursi di DPR.
Bahwa oleh karena itu, sekalipun dalam Putusan

166
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012


Mahkamah menyatakan verifikasi dilakukan terhadap
seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014, namun
guna menghindari adanya perlakuan berbeda terhadap
partai politik calon peserta Pemilu 2019, pertimbangan
dimaksud juga relevan dan harus diberlakukan untuk
setiap partai politik calon peserta Pemilu 2019.
Bahkan, tidak hanya untuk Pemilu
2019, melainkan juga untuk Pemilu anggota DPR dan
DPRD dalam Pemilu periode-periode selanjutnya.
Alasan mendasar lainnya mempertahankan verifikasi
adalah untuk menyederhanakan jumlah partai politik
peserta Pemilu. Dalam batas penalaran yang wajar,
bilamana dalam setiap penyelenggaraan Pemilu tidak
dilakukan verifikasi terhadap semua partai politik calon
peserta Pemilu, maka jumlah partai politik akan
cenderung terus bertambah. Misalnya dalam Pemilu
2019, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak
diverifikasi dan otomatis menjadi peserta pemilihan
umum, maka jumlah peserta Pemilu 2019 akan menjadi
semua partai politik yang memiliki kursi di DPR
ditambah partai politik baru yang lulus verifikasi.
Begitu pula di Pemilu 2024, seandainya pada Pemilu
2019 terdapat 12 partai politik yang memiliki kursi di
DPR maka peserta Pemilu 2024 akan menjadi 12 partai
politik ditambah dengan partai politik baru yang lulus
verifikasi, akhirnya jumlah partai politik peserta Pemilu
akan terus bertambah dan ide besar menyederhanakan
partai politik dengan memperketat persyaratan menjadi
peserta Pemilu, yang menjadi desain konstitusional
(constitutional design) UUD 1945, tidak akan pernah
terwujud. Hal ini tidak berarti Mahkamah menolak hak
konstitusional warga negara untuk mendirikan partai
politik sebagai bagian dari hak berserikat dan
berkumpul yang dijamin dalam Konstitusi untuk
menjadi peserta Pemilu sepanjang memenuhi semua
persyaratan dan telah dinyatakan lulus verifikasi.

4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;


2. Menyatakan frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173
ayat (1) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan Pasal 173 ayat (3) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182,

167
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

168
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

5
PUTUSAN MK TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH

5.1. Putusan MK tentang Syarat Calon Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah

1) Putusan No. 005/PUU-III/2005


1. Pemohon : Mayjen. Purn. Ferry Tinggogoy, Ketua DPW Partai
Kebangkitan Bangsa; Jack C. Parera, SE, MBA Ketua
DPD Partai Perhimpunan Indonesia Baru; Brigjen. Purn.
Anthon.T. Dotulong, Ketua DPD Partai Persatuan
Demokrasi Kebangsaan; Drs. E. Bulahari, Ketua DPD
Partai Sarikat Indonesia (PSI) Provinsi Sulawesi Utara;
Sonny Lela, Ketua DPD Partai Merdeka (PM) Provinsi
Sulawesi Utara; Liang Gun Wa, SE, selaku Ketua DPD
Parta Buruh Sosial Demokrat (PBSD) Provinsi Sulawesi
Utara; H. Achmad Buchari, SH, maupun selaku Ketua
DPW Partai Bintang Reformasi (PBR) Provinsi Sulawesi
Utara; Wilson H. Buyung, Bsc, Ketua DPD Partai
Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) Provinsi Sulawesi
Utara; Abdullah Satjawidjaja, Ketua DPW Partai
Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) Provinsi
Sulawesi Utara; Drs. Danny Watti, Ketua DPD Partai
Persatuan Daerah (PPD) Provinsi Sulawesi Utara; Firasat
Mokodompit, SE, Ketua DPD Partai Karya Peduli Bangsa
(PKPB) Prov. Sulut; . Brigjen.Purn.Ferdinand D.
Lengkey, Ketua DPD Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme (PNI-M) Provinsi Sulawesi Utara.
2. Pokok Permohonan : Penjelasan ketentuan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya ketentuan
Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, dan Pasal
28I
3. Pertimbangan : sesungguhnya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda
Putusan memang bertentangan dengan norma yang terkandung
dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2), dan bahkan telah
menegasikan norma yang ada itu. Pasal 59 ayat (1) dan
(2) tersebut telah dengan jelas mengatur bahwa yang
boleh mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah adalah partai politik atau gabungan partai
politik yang memperoleh 15% kursi di DPRD atau yang
memperoleh 15% akumulasi suara dalam pemilu anggota
DPRD di daerah yang bersangkutan.
Kata “atau” dalam Pasal 59 ayat (2) merujuk pada
alternatif di antara dua pilihan yang disebut, sesuai
dengan keterangan ahli, terhadap mana Mahkamah

169
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

sependapat sebagai sikap akomodatif terhadap semangat


demokrasi yang memungkinkan bagi calon dari partai
yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memiliki
akumulasi suara 15% atau pun calon independen
sepanjang diajukan oleh partai atau gabungan partai untuk
turut serta dalam Pilkada langsung;
Menimbang bahwa hal demikian juga merupakan
penghargaan terhadap mereka yang memberikan suara
terhadap partai politik tapi tidak memiliki wakil di DPRD,
yang karena persyaratan Bilangan Pembagi Pemilihan
(BPP) kadang-kadang suara pemilihnya lebih besar dari
pada partai yang memperoleh kursi di DPRD. Mahkamah
berpendapat aturan demikian dipandang sudah sesuai
dengan visi demokrasi yang dianut dalam UUD 1945
akan tetapi perlu juga diperhatikan keterangan Pemerintah
yang menyatakan bahwa membaca Penjelasan Pasal 59
ayat (1) harus bersama-sama dengan Pasal 59 ayat (1)
yang membatasi hanya partai politik yang memiliki kursi
di DPRD yang berhak mengusulkan pasangan calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, karena partai
politik tersebut berhasil memperoleh dukungan rakyat
secara signifikan, karenanya merekalah wakil rakyat dan
juga kepanjangan tangan partai politik yang secara sah
mewakili rakyat untuk melakukan proses rekrutmen
kepemimpinan. Terlepas dari perbedaan tafsir demokrasi
yang lebih konsisten dengan UUD 1945 sebagaimana
telah menjadi pendapat Mahkamah yang telah diutarakan
di atas, maka pendirian Pemerintah tentang substansi
Penjelasan Pasal 59 (1) UU a quo, telah melahirkan
norma baru yang menegasikan bunyi Pasal 59 ayat (1) dan
(2) yang sudah jelas, sehingga menimbulkan pertanyaan
apakah arti penjelasan tersebut terhadap Pasal 59 ayat (1)
dan bagaimana kedudukan penjelasan dalam satu undang-
undang;
Bahwa terjadinya pertentangan antara substansi pasal dari
suatu undang-undang dan penjelasanya yang nyata-nyata
mengandung inskonsistensi yang melahirkan interpretasi
ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam
pelaksanaanya. Adanya keraguraguan dalam
implementasi suatu undang-undang akan memunculkan
ketidakpastian hukum dalam praktik;
Menimbang pula bahwa adanya Penjelasan Pasal 59 ayat
(1) undang- undang a quo secara nyata telah
menghilangkan hak Para Pemohon untuk dipilih sebagai
kepala daerah yang telah dijamin secara tegas dalam
rumusan Pasal 59 ayat (2). Hak konstitusional Para
Pemohon untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang
dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan telah
dijabarkan dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) undang-
undang a quo ternyata dihilangkan oleh Penjelasan Pasal

170
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

59 ayat (1);
Menimbang bahwa selain itu pelaksanaan Pasal 59 ayat
(1) telah jelas dirumuskan pula dalam ayat (2)-nya yang
cukup menjamin makna pemilihan kepala daerah yang
demokratis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945. Namun makna demokratis tersebut
menjadi tereduksi karena adanya Penjelasan Pasal 59 ayat
(1). Dengan demikian, Penjelasan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal
18 ayat (4), Pasal 28D ayat (1) dan (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan para Pemohon;
Menyatakan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2) Putusan No. 006/PUU-III/2005


1. Pemohon : Biem Benjamin
2. Pokok Permohonan : Uji materiil Pasal 59 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terhadap Pasal
22E ayat (3) dan (4), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945
3. Pertimbangan : ratio decidendi putusan Mahkamah dalam perkara Nomor
Putusan 005/PUU-III/2005 tersebut relevan dengan perkara in
casu dan dipandang menjadi bagian dari putusan dalam
perkara ini;
Persamaan kedudukan dan kesempatan dalam
pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi
adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme
rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan
secara demokratis. Adalah benar bahwa hak setiap orang
untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan dilindungi oleh Konstitusi sepanjang orang
tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
undang-undang yang berkenaan dengan itu, antara lain
syarat usia, pendidikan, kesehatan jasmani dan rohani
serta syarat-syarat lainnya. Persyaratan tersebut akan
berlaku sama terhadap semua orang, tanpa membeda-
bedakan orang baik karena alasan agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa dan keyakinan politik. Sementara itu
pengertian diskriminasi yang dilarang dalam Pasal 27 ayat
(1) dan 28D ayat (3) tersebut telah dijabarkan lebih jauh

171
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun


1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Menimbang bahwa persyaratan pengusulan calon
pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah harus
melalui pengusulan partai politik, adalah merupakan
mekanisme atau tata cara bagaimana pemilihan kepala
daerah dimaksud dilaksanakan, dan sama sekali tidak
menghilangkan hak perseorangan untuk ikut dalam
pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan melalui partai
politik dilakukan, sehingga dengan rumusan diskriminasi
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Pasal 2
International Covenant on Civil and Political Rights,
yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak
didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui
partai politik demikian tidak dapat dipandang
bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem
yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang
tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-
wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat
undang-undang (detournement de pouvoir);
Menimbang bahwa pembatasan hak-hak politik seperti itu
dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sepanjang
pembatasan dimaksud dituangkan dalam undang-undang;
Menimbang bahwa lagi pula diberikannya hak
konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon kepala
daerah/wakil kepala daerah kepada partai politik, tidaklah
diartikan bahwa hal itu menghilangkan hak konstitusional
warga negara, in casu Pemohon untuk menjadi kepala
daerah, sepanjang Pemohon memenuhi syarat Pasal 58
dan dilakukan menurut tata cara yang disebut dalam Pasal
59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda, persyaratan mana
merupakan mekanisme atau prosedur mengikat setiap
orang yang akan menjadi calon kepala daerah/wakil
kepala daerah;
Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan
tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan
Pemohon sepanjang menyangkut pengujian atas Pasal 24
ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai
dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77,
Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan 86, Pasal 88, Pasal 91,
Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan 103, Pasal 106 sampai
dengan Pasal 112, Paragraf keenam, Pasal 115 sampai
dengan 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat diterima;
sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59
ayat (1) dan ayat (3) tidak cukup beralasan, sehingga
harus dinyatakan ditolak;

172
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

4. Amar Putusan : Menyatakan Permohonan Pemohon sepanjang


menyangkut pengujian Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat
(2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65, Pasal 70,
Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai
dengan 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai
dengan 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf
keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard);
Menolak permohon Pemohon mengenai pengujian Pasal
59 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437).

3) Putusan No. 5/PUU-V/2007

1. Pemohon : Lalu Ranggalawe (Anggota DPRD Kabupaten Lombok


Tengah
2. Pokok Permohonan : Pasal 56 Ayat (2), Pasal 59 Ayat (1), Ayat (3), Ayat (4),
Ayat (5) huruf a, Ayat (5) huruf c, Ayat (6) dan Pasal 60
Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon yang
dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 18 Ayat (4),
Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3), dan
Pasal 28I Ayat (2)
3. Pertimbangan : Pembentuk undang-undang baik dalam merumuskan Pasal
Putusan 56 Ayat (1) UU Pemda maupun Pasal 67 Ayat (2) UU
Pemerintahan Aceh tidak melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945;
Mahkamah berpendapat, antara Pasal 56 Ayat (2) juncto
Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemda dan Pasal 67
Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh keduanya bersumber
pada dasar hukum yang sama yaitu Pasal 18 Ayat (4)
UUD 1945. Hubungan antara pasal yang terdapat dalam
UU Pemerintahan Aceh dan yang terdapat dalam UU
Pemda tersebut tidaklah dapat diposisikan sebagai
hubungan antara hukum yang khusus di satu pihak, yaitu
Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh, dan hukum
yang umum di pihak lain, yaitu Pasal 56 Ayat (2), juncto
Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2), karena ketentuan Pasal 67
Ayat (2) bukan termasuk dalam keistimewaan
Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 UndangUndang
Nomor 44 Tahun 1999. Oleh karena tidak dalam posisi
hubungan antara hukum yang khusus dengan hukum yang
umum, adanya Pasal 67 Ayat (2) harus dimaknai sebagai
penafsiran baru oleh pembentuk undang-undang terhadap
55 ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945;
Bahwa agar calon perseorangan tanpa melalui parpol atau

173
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

gabungan parpol dimungkinkan dalam pemilihan kepala


daerah dan wakil kepala daerah, maka menurut
Mahkamah beberapa pasal UU Pemda yang dimohonkan
pengujian harus dikabulkan sebagian dengan cara
menghapuskan seluruh bunyi ayat atau bagian pasal
sebagai berikut:
a. Pasal 56 Ayat (2) dihapus seluruhnya, 58 karena
menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa
lewat parpol atau gabungan parpol
b. Pasal 59 Ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi,
”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik
atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi
penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat
parpol atau gabungan parpol.
c. Pasal 59 Ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi,
”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini
sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 Ayat
(1),
d. Pasal 59 Ayat (3) dihapuskan pada frasa yang
berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik
wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluas-luasnya”,
dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses
bakal calon dimaksud”,
4. Amar Putusan : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal-pasal
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125,
TLNRI Nomor 4437), yang hanya memberi kesempatan
kepada partai politik atau gabungan partai politik dan
menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam
Pilkada, yaitu:
• Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik”;
• Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik”.
• Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa
”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
• Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai
politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa
”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya
memproses bakal calon dimaksud”.
Menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor
125, TLNRI Nomor 4437), yaitu:
• Pasal 56 Ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh

174
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

partai politik atau gabungan partai politik”;


• Pasal 59 Ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik”;
• Pasal 59 Ayat (2) sepanjang mengenai frasa
”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; 62
• Pasal 59 Ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai
politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa
”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya
memproses bakal calon dimaksud”;
Menyatakan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LNRI Tahun
2004 Nomor 125, TLNRI Nomor 4437) yang dikabulkan
menjadi berbunyi sebagai berikut:
• Pasal 59 Ayat (1): ”Peserta pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;
• Pasal 59 Ayat (2): ”Partai politik atau gabungan partai
politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila
memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya
15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau
15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan
suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di
daerah yang bersangkutan”;
• Pasal 59 Ayat (3): ”Membuka kesempatan bagi bakal
calon perseorangan yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui
mekanisme yang demokratis dan transparan”.
Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;

4) Putusan No. 22/PUU-VII/2009

1. Pemohon : Prof. Dr. drg. I Gede Winasa (Bupati Jembrana, Provinsi


Bali) dan H. Nurdin Basirun, S.Sos. (Bupati Karimun,
Provinsi Kepulauan Riau)
2. Pokok Permohonan : menguji Pasal 58 huruf o dan Penjelasan Pasal 58 huruf o
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : Mahkamah pernah memutus Pengujian Pasal 58 huruf o
Putusan UU 32/2004 beserta Penjelasannya yang berkenaan
dengan masa jabatan Kepala Daerah yaitu Putusan
Mahkamah Nomor 8/PUU-VI/2008 dan telah memberikan
batasan jabatan kepala daerah. Pembatasan dimaksud
dapat diimplementasikan oleh Undang-Undang.
a. pembatasan dua kali berturut-turut dalam jabatan yang
sama; atau
b. b. pembatasan dua kali jabatan yang sama tidak
berturut-turut; atau
c. c. pembatasan dua kali dalam jabatan yang sama di
tempat yang berbeda;

175
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Pemohon dalam Perkara Nomor 8/PUU-VI/2008, yaitu


Drs. Said Saggaf, menjabat Bupati periode kedua 2003
sampai dengan 2008, berarti dia mengalami masa
berlakunya UU 22/1999 dan UU 32/2004, hal itu pun
dihitung satu kali masa jabatan. Sekalipun dalam masa
jabatan tersebut didasarkan pada dua Undang-Undang
yang berbeda (UU 22/1999 dan UU 32/2004) tetapi
hitungan satu kali periode jabatan tidak terhalang karena
perubahan Undang-Undang. Dengan demikian hitungan
dua kali masa jabatan juga tidak terhalang karena
perubahan Undang-Undang;
Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat
kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan
yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh
sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa
keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 oleh karena itu, Mahkamah berpendapat
bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali
masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat
Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah
selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang
bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa
jabatan;
Pemohon I dianggap telah menjabat dua kali masa jabatan
penuh pada daerah yang sama, sekalipun dengan cara
pemilihan yang berbeda (langsung dan tidak langsung).
Keberhasilan Pemohon I dalam memimpin daerah
Jembrana adalah sesuatu hal yang wajar dan diharapkan,
namun demikian keberhasilan tersebut bukan merupakan
alasan yang dapat menyimpangi pembatasan masa jabatan
kepala daerah sebagaimana yang ditentukan dalam
Undang-Undang.

Bahwa Pemohon II yang hanya 9 (sembilan) bulan


menjabat Bupati, berdasarkan asas proporsionalitas,
keseimbangan (balancing), dan asas kepatutan, tidak
dihitung sebagai satu kali masa jabatan karena kurang dari
2,5 (dua setengah) tahun atau kurang separuh dari satu
kali masa jabatan;

Bahwa ketidakjelasan Pasal 58 huruf o UU 32/2004 telah


menimbulkan ketakutan dan pertanyaan bagi Pemohon I
dan Pemohon II apakah masih dapat turut serta kembali
sebagai calon bupati/walikota yang akan datang, yang
oleh para Pemohon dianggap melanggar haknya yang
dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945
4. Amar Putusan : Menyatakan menolak permohonan Pemohon I dan Pihak
Terkait I untuk seluruhnya;
Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon II dan
Pihak Terkait II untuk sebagian;

176
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Menyatakan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 74
Menyatakan masa jabatan yang dihitung satu periode
adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau
lebih dari setengah masa jabatan;
Menyatakan menolak permohonan Pemohon II dan Pihak
Terkait II untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

5) Putusan No. 35/PUU-VIII/2010

1. Pemohon : Tami Anshar Mohd Nur; Faurizal; Zainuddin Salam;


Hasbi Baday
2. Pokok Permohonan : Menguji konstitusionalitas Pasal 256 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945

3. Pertimbangan : yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah


Putusan ketentuan mengenai pembatasan peserta Pemilukada di
Provinsi Aceh dari calon perseorangan yang diatur dalam
Pasal 256 UU 11/2006;
bahwa tidak memberikan kesempatan kepada calon
perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan
UUD 1945, padahal berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli
2007 calon perseorangan diakui dan diperbolehkan.
Dalam putusan a quo, Mahkamah memberi pertimbangan
bahwa Pasal 256 UU 11/2006 dapat menimbulkan
terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang justru dijamin
oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945;
bahwa berdasarkan putusan a quo, pembentuk Undang-
Undang kemudian mengakomodasi calon perseorangan
dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah (Pemilukada) dengan melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008).
Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada
secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik
Indonesia;

177
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bahwa apabila memperhatikan pertimbangan hukum


Mahkamah dalam putusan a quo dihubungkan dengan
adanya perubahan hukum yang berlaku secara nasional
mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada, maka
keberlakuan norma Pasal 256 Undang-Undang a quo
menjadi tidak relevan lagi. Apalagi jika pasal tersebut
tetap dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu KIP
Provinsi/Kabupaten/Kota maka justru akan menimbulkan
perlakuan yang tidak adil kepada setiap orang warga
negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang akan mencalonkan diri
melalui calon perseorangan, karena hak konstitusionalnya
yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD
1945 menjadi terlanggar;
bahwa Mahkamah tidak menafikan adanya otonomi
khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, namun
calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan
Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Apalagi antara UU 32/2004 dengan UU 11/2006 tidak
dapat diposisikan dalam hubungan hukum yang bersifat
umum dan khusus (vide Putusan Mahkamah Nomor
5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007). Fakta hukum
lainnya, Provinsi Papua yang merupakan daerah otonomi
khusus, juga memberlakukan calon perseorangan dalam
Pemilukada;
menurut Mahkamah, calon perseorangan dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh
dibatasi pemberlakuannya, karena jika hal demikian
diberlakukan maka akan mengakibatkan perlakuan yang
tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum
dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang
bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat
tinggal di wilayah Indonesia lainnya. Warga negara
indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan
menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat
perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4)
UUD 1945.
4. Amar Putusan :  Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
 Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

178
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Republik Indonesia Tahun 1945;


 Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

6) Putusan No. 33/PUU-XIII/2015

1. Pemohon : Adnan Purichta Ichsan, S.H. Anggota DPRD Provinsi


Sulawesi Selatan Periode 2014-2019 Kuasa Pemohon: 1.
Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk 2. Mappinawang, S.H.,
dkk
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf r dan huruf s
serta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UndangUndang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang terhadap terhadap Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945
3. Pertimbangan : Bahwa pembentuk Undang-Undang sesungguhnya telah
Putusan menyadari sejak semula kalau dengan rumusan
sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 huruf r dan Penjelasan
Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut berarti telah membuat
pembatasan yang bersifat menghalangi hak konstitusional
warga negara dari kelompok tertentu, in casu warga
negara yang terlahir dari atau mempunyai ikatan
kekerabatan dengan keluarga kepala daerah petahana
(incumbent) karena perkawinan. Meskipun pembatasan
terhadap hak konstitusional warga negara, atau hak asasi
manusia pada umumnya, dimungkinkan menurut UUD
1945, pembatasan demikian tunduk kepada persyaratan
yang ketat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945;
Berkait dengan dimungkinkannya pembatasan terhadap
hak atau kebebasan seseorang, Mahkamah bahkan sejak
awal masa keberadaannya telah menyatakan pendapatnya,
sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 011-
017/PUU-I/2003, bertanggal 24 Februari 2004, yang di
dalam pertimbangan hukumnya, antara lain, menyatakan:
“… memang Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat
ketentuan dimungkinkannya pembatasan terhadap hak dan
kebebasan seseorang dengan undangundang, tetapi
pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah
didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan
proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan

179
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

tersebut hanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-


mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis”..... Di samping itu
persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif)
dalam dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan
atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia
dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility)
misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada
umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.” Dengan
demikian, bahwa pembatasan tersebut diatur dengan
UndangUndang hanyalah salah satu persyaratan. Banyak
persyaratan lain yang harus dipenuhi, sebagaimana
ditegaskan dalam pertimbangan putusan Mahkamah di
atas. Dalam putusan yang lain, Mahkamah bahkan
menegaskan bahwa pada pembatasan-pembatasan
terhadap mereka yang menderita cacat sekalipun tidak
boleh dilakukan sedemikian rupa sehingga mereka
terhalang pemenuhan hak-hak konstitusionalnya,
sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hukum
Putusan Nomor 008/PUU-II/2004, bertanggal 23 April
2004. Dalam konteks ini, pembatasan demikian baru
dapat dibenarkan apabila memang nyata-nyata diperlukan
mengingat tingkat beratnya cacat orang tersebut (severity
of their handicap) sedemikian rupa sehingga tidak
memungkinkan baginya untuk melaksanakan hak-hak
secara berfaedah (in a meaningful way). Seraya menyitir
ketentuan yang tertuang dalam angka 4 Declaration on the
Rights of Disabled Persons (1975);
Dengan demikian telah jelas bahwa, sesuai dengan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, syarat untuk
dapat membatasi pelaksanaan hak asasi bukan semata-
mata bahwa pembatasan itu harus dilakukan dengan
Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan oleh pembentuk
Undang-Undang (DPR dan Presiden) dalam perkara a
quo. Seseorang yang karena kelahirannya atau karena
memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah
petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang
lain jika hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Demikian pula, dengan mencalonkan diri sebagai kepala
daerah, hal ini pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai
moral, agama, keamanan maupun ketertiban umum.
Dengan demikian, alasan bahwa larangan itu hanya
berlaku sementara, yaitu selama belum terlampauinya
jeda satu periode masa jabatan sebagaimana diterangkan
oleh DPR, tidaklah menghilangkan substansi pertentangan
ketentuan a quo dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

180
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Bahwa oleh karena pembatasan yang termuat dalam


rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r
UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan
sekaligus mengandung muatan diskriminasi, dan oleh
karena ketentuan a quo adalah bersangkut-paut dengan
hak bagi setiap warga negara atas perlakuan yang sama
dalam hukum dan pemerintahan maka ketentuan a quo
dengan sendirinya juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945. Secara lebih spesifik, oleh karena hak
konstitusional yang terhalangi secara tidak konstitusional
oleh ketentuan a quo adalah hak untuk mencalonkan diri
sebagai kepala daerah maka telah nyata pula ketentuan a
quo melanggar hak konstitusional warga negara untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,
sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
Menimbang bahwa bedasarkan keterangan dari Presiden
dan DPR menunjukkan bahwa di kalangan pembentuk
Undang-Undang sendiri (Presiden bersama DPR)
sesungguhnya belum terdapat kesatuan pandangan perihal
dibedakannya persyaratan bagi PNS, anggota TNI,
anggota Polri, pejabat BUMN/BUMD dengan anggota
DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD jika hendak
mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Selanjutnya
sepanjang menyangkut syarat pengunduran diri anggota
TNI, anggota Polri jika hendak mencalonkan diri sebagai
kepala daerah, termasuk juga jika hendak mencalonkan
diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD, an sich, hal
itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun,
sebagaimana halnya pertimbangan terhadap pengunduran
diri PNS, dalam kaitan dengan ketentuan lain dari UU
8/2015 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a
quo, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut;
Tegasnya, dalam konteks permohonan a quo, seorang
PNS atau anggota TNI, anggota Polri, atau
pejabat/pegawai BUMN/BUMD yang hendak
mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala
daerah wajib mengundurkan diri sebagai PNS (atau
anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai
BUMN/BUMD) setelah resmi ditetapkan sebagai calon
kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dasar
pertimbangan Mahkamah adalah tidaklah proporsional,
dan karenanya tidaklah adil, jika seorang PNS (atau
seorang anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai
BUMN/BUMD) diharuskan mengundurkan diri dari
kedudukan atau jabatannya sebagai PNS (atau sebagai
anggota TNI, anggota Polri, atau pejabat/pegawai
BUMN/BUMD) sejak mendaftarkan diri sebagai calon
kepala daerah atau wakil kepala daerah sementara yang
bersangkutan belum tentu lulus verifikasi untuk

181
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala


daerah yang resmi.
Setelah itu, kepada PNS, anggota TNI, anggota Polri,
pejabat/pegawai BUMN/BUMD, dipersyaratkan untuk
membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila
telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara
pemilihan sebagai calon dalam jabatan publik atau jabatan
politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan
itu maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan
pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu
pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan
secara resmi sebagai calon.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
1.1 Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5678) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
1.2 Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5678) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
1.3 Pasal 7 huruf s sepanjang frasa “memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur,
Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota
kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan
Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah” Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678)

182
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai, “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan
memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon
Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon
Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil
Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
1.4 Pasal 7 huruf s sepanjang frasa “memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur,
Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota
kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan
Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah” Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5678) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan
memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon
Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon
Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil
Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya;

7) Putusan No. 42/PUU-XIII/2015

1. Pemohon : 1. Jumanto 2. Fathor Rasyid Kuasa Pemohon: Prof. Dr.


Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf g dan Pasal 45
ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27
ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat
(3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

183
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

3. Pertimbangan : hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut


Putusan berdasarkan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dilakukan oleh
pembentuk Undang-Undang, sedangkan hak- hak dipilih
yang dicabut dari terpidana berdasarkan Pasal 35 ayat (1)
angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim. Dengan
demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat
dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman
tambahan. Undang-Undang tidak dapat mencabut hak
pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-
pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945,
yang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dinyatakan
bahwa pembatasan dapat dilakukan dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal
24 Maret 2009, yang memberi syarat lima tahun setelah
narapidana menjalani masa hukumannya kecuali mantan
narapidana tersebut dapat mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dengan memenuhi syarat tertentu antara
lain mengumumkan secara terbuka dihadap umum bahwa
yang bersangkutan pernah dihukum penjara sebagaimana
persyaratan ketiga dalam putusan Mahkamah tersebut, hal
ini diperlukan agar rakyat atau para pemilih mengetahui
keadaan yang bersangkutan. Apabila seseorang mantan
narapidana telah memenuhi syarat tertentu tersebut maka
seyogianya orang teresebut tidak boleh lagi dihukum
kecuali oleh hakim apabila yang bersangkutan
mengulangi perbuatannya. Apabila Undang-Undang
membatasi hak seorang mantan narapidana untuk tidak
dapat mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah maka
sama saja bermakna bahwa Undang-Undang telah
memberikan hukuman tambahan kepada yang
bersangkutan sedangkan UUD 1945 telah melarang
memberlakukan diskriminasi kepada seluruh warga
masyarakatnya.
Bahwa, Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-
VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, telah menentukan
syarat bagi seseorang yang akan mengisi jabatan publik
atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan,
yaitu:
1. tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih
(elected officials);
2. berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5
(lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani
hukumannya;
3. dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik

184
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;


4. bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Menurut Mahkamah, UU 8/2015 sebenarnya sudah
mengakomodir Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-
VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, akan tetapi hal itu
tidak diatur dalam norma Pasal 7 huruf g melainkan diatur
dalam Penjelasan Pasal 7 huruf g Undang-Undang a quo,
sehingga antara Pasal 7 huruf g dengan penjelasan Pasal 7
huruf g terdapat pertentangan, yaitu norma Pasal 7 huruf g
melarang mantan narapidana menjadi calon gubernur,
calon bupati, dan calon walikota, namun Penjelasan Pasal
7 huruf g membolehkan mantan narapidana menjadi calon
gubernur, calon bupati, dan calon walikota. Padahal,
berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-
III/2005, bertanggal 22 Maret 2005 juncto Putusan
Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005, bertanggal 19
Oktober 2005 antara lain menyatakan bahwa penjelasan
pasal dari satu Undang-Undang tidak boleh membuat
norma baru yang justru mengaburkan makna dari norma
yang terdapat dalam pasal tersebut. Oleh karena itu,
menurut Mahkamah terdapat pertentangan antara Pasal 7
huruf g UU 8/2015 dengan penjelasan pasalnya;
menurut Mahkamah Pasal 7 huruf g UU 8/2015 harus
ditafsir sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-
VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009 dan menjadikan
Penjelasan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menjadi bagian
dari norma Pasal 7 huruf g UU 8/2015, agar tidak terjadi
pertentangan antara norma dan penjelasannya;
Dengan demikian, seseorang mantan narapidana yang
sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan
hukuman lagi oleh Undang- Undang seperti yang
ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan
terpidana yang secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana;
1.2 Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

185
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan
bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana;
1.3 Penjelasan Pasal 7 huruf g Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1.4 Penjelasan Pasal 7 huruf g Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
1.5 Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

186
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,


Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;

8) Putusan No. 46/PUU-XIII/2015

1. Pemohon : Afdoli, AP., M.Si. Pegawai Negeri Sipil


2. Pokok Permohonan : pengujian formil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal
27 ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1) ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945
3. Pertimbangan : sejak Putusan Mahkamah Nomor 072-073/PUU-II/2004 t
Putusan kemudian ditegaskan pada putusan-putusan Mahkamah
selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa ketentuan
tentang tata cara pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah diatur dengan undang-undang, dengan
demikian menjadi pilihan kebijakan pembentuk undang-
undang untuk mengatur tata cara pemilihan kepala daerah.
Menimbang bahwa terhadap pengujian formil yang
Pemohon ajukan dengan dalil bahwa UU 8/2015 tidak
hanya merevisi UU 1/2015 tetapi mengubah substansi
pokok UU 1/2015, adanya ketidakkonsistenan materi
dalam UU 8/2015, perubahan UU 1/2015 yang tergesa-
gesa sehingga mengabaikan prosedur pengajuan
rancangan Undang-Undang, serta tidak adanya naskah
akademik dalam penyusunannya, sehingga UU 8/2015
didalilkan cacat formil;
adanya ketidakkonsistenan materi dalam UU 8/2015,
menurut Mahkamah hal ini memang tidak sesuai dengan
tata cara pembentukan peraturan perundangan
sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 (UU Pembentukan
Peraturan Perundang- Undangan), namun hal ini tidak
menyebabkan UU 8/2015 cacat formil, karena menurut
Mahkamah adanya kekurangan dalam suatu pembentukan
Undang- Undang karena tidak sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, tidak dengan serta merta
menyebabkan Undang-Undang tersebut batal.
Sebagaimana pendirian Mahkamah dalam putusan-
putusan sebelumnya, menurut Mahkamah, Undang-
Undang yang tidak baik proses pembentukannya mungkin
dapat menyebabkan materi pengaturannya kurang

187
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

sempurna atau dapat juga materinya bertentangan dengan


UUD 1945, quod non, namun dapat pula menghasilkan
suatu peraturan yang baik dari segi teori pembentukan
Undang-Undang. Dengan pertimbangan di atas,
Mahkamah tidak melakukan pengujian Undang-Undang
secara formil langsung berdasarkan setiap ketentuan yang
ada dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Dengan demikian, menurut Mahkamah terhadap
pengujian formil permohonan Pemohon tidak berlasan
menurut hukum;
Menimbang bahwa terhadap permasalahan hukum
mengenai peserta Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara
berpasangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka
1, angka 3, dan angka 4, dan Pasal 39 huruf a UU 8/2015
yang menurut Pemohon ketentuan demikian bertentangan
dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, karena UUD 1945 hanya menentukan
bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara
demokratis. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah
berpendapat bahwa Pemilihan Kepala Daerah secara
berpasangan atau tidak berpasangan menurut Mahkamah
bukan merupakan permasalahan konstitusional namun
merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal
policy) yang menjadi kewenangan pembentuk Undang-
Undang, yang sewaktu-waktu jika pembentuk Undang-
Undang berdasarkan kebutuhan masyarakat merasa
ketentuan tersebut perlu untuk diubah, maka pembentuk
Undang-Undang akan dapat menyesuaikan;
Bahwa oleh karena terhadap pengujian Pasal 7 huruf u
UU 8/2015 Mahkamah telah mempertimbangkannya
dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015, bertanggal 8
Juli 2015, paragraf [3.22], paragraf [3.23], dan paragraf
[3.24], sehingga pertimbangan tersebut mutatis mutandis
menjadi pertimbangan pula dalam permohonan a quo.
Dengan demikian permohonan Pemohon terkait Pasal 7
huruf u UU 8/2015 beralasan menurut hukum, sehingga
Pasal 7 huruf u UU 8/2015 harus dimaknai
“Mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi
persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur,
calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati,
calon Walikota, dan calon Wakil Walikota”;
Menimbang bahwa terhadap permasalahan hukum
mengenai meningkatnya prosentase syarat dukungan bagi
calon perseorangan yang ditentukan dalam Pasal 41 UU
8/2015 yang menurut Pemohon ketentuan a quo
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,
menurut mahkamah Adanya hak perseorangan untuk
mengajukan diri sebagai calon peserta pemilihan kepala
daerah merupakan sebuah kebijakan hukum yang dipilih

188
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

oleh pembentuk Undang-Undang sebagaimana


diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Pembentuk Undang-Undang membuka jalur perseorangan
tersebut pada Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Aceh,
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selanjutnya
Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUU-V/2007,
bertanggal 23 Juli 2007, memutuskan bahwa agar terdapat
persamaan hak warga negara maka jalur perseorangan
seharusnya juga dibuka pada Pemilihan Kepala Daerah di
luar Provinsi Aceh, dengan demikian sejak saat itu warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat yang ditentukan,
dapat mengajukan diri sebagai kepala daerah tanpa
dukungan partai politik atau gabungan partai politik, yaitu
melalui jalur perseorangan;
Dengan demikian, sejak putusan terdahulu, Mahkamah
telah berpendirian bahwa syarat dukungan minimal bagi
calon perseorangan sepenuhnya menjadi kewenangan
pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya,
sehingga permohonan Pemohon terkait syarat dukungan
bagi calon perseorangan tidak beralasan menurut hukum;
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan
hukum di atas, permohonan Pemohon sepanjang
mengenai pengujian formil UU 8/2015 tidak beralasan
menurut hukum, permohonan Pemohon sepanjang
mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf s UU
8/2015 tidak dapat diterima, permohonan Pemohon
sepanjang mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 7
huruf t dan huruf u UU 8/2015 beralasan menurut hukum,
dan permohonan Pemohon sepanjang mengenai pengujian
konstitusionalitas Pasal 1 angka 1, angka 3, dan angka 4,
Pasal 39 huruf a, dan Pasal 41 UU 8/2015 tidak beralasan
menurut hukum;
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Pasal 7 huruf t dan huruf u Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai “Mengundurkan diri
sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh
KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil
Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati,
calon Walikota, dan calon Wakil Walikota”;
1.2 Pasal 7 huruf t dan huruf u Undang-Undang

189
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sepanjang tidak dimaknai
“Mengundurkan diri sejak calon ditetapkan
memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai
calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon
Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan
calon Wakil Walikota”;
2. Permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 7
huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) tidak dapat diterima;

9) Putusan No. 60/PUU-XIII/2015

1. Pemohon : 1. M. Fadjroel Rachman; 2. Saut Mangatas Sinaga; 3.


Victor Santoso Tandiasa. Kuasa Pemohon: Drs.
Christoffel Malau, M.H., dkk
2. Pokok Permohonan : permohonan pengujian Undang-Undang, in casu Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945
3. Pertimbangan : telah terang bahwa substansi permohonan a quo berkait
Putusan langsung dengan persoalan yang jamak terjadi dalam
negara demokrasi yang berdasar atas hukum
(constitutional democratic state), dalam hal ini tarik-
menarik antara kebutuhan akan terlibatnya sebanyak
mungkin peran rakyat dalam pengambilan keputusan
politik yang merupakan tuntutan ideal demokrasi dan
kebutuhan untuk merumuskan pembatasan dalam norma
Undang-Undang yang bertujuan agar demokrasi yang
diidealkan itu tidak justru menjadi bersalah guna. Oleh
karena itu, menjadi penting bagi Mahkamah untuk
mengingatkan kembali pendapat Mahkamah yang secara

190
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

substansial telah berkali-kali disampaikan dalam putusan-


putusannya, salah satu di antaranya adalah Putusan
Nomor 33/PUU-XIII/2015, bertanggal 8 Juli 2015;
dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah perlu
menegaskan pendirian dimaksud sebagai berikut:
 Bahwa Konstitusi mengamanatkan pemilihan kepala
daerah (gubernur, bupati, walikota) dilaksanakan
secara demokratis. Dengan demikian, pemilihan
kepala daerah harus memenuhi kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip demokrasi. Kendatipun tidak ada
parameter yang berlaku universal perihal ukuran
demokratisnya suatu pemilihan, hakikat demokrasi
yang menghendaki terlibatnya sebanyak mungkin
peran-serta rakyat dalam pengambilan keputusan
politik haruslah dijadikan semangat dalam menyusun
norma hukum yang diabdikan untuk mengatur
penyelenggaraan pemilihan yang demokratis itu. Oleh
karena itu, pengaturan tentang calon perseorangan
dalam kontestasi pemilihan kepala daerah haruslah
ditempatkan dalam konteks yang demikian;
 Bahwa uraian paragfraf di atas sejalan dengan
penegasan UU 8/2015 yang dalam Pasal 1 angka 1
menyatakan bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
secara langsung dan demokratis. Dengan memberikan
tekanan utama pada hakikat pemilihan kepala daerah
sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat, UU 8/2015
sesungguhnya telah “menerjemahkan” makna
demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 itu
dalam konteks demokrasi deliberatif. Oleh karena itu,
dalam memahami seluruh ketentuan dalam UU 8/2015
tidak boleh dilepaskan dari gagasan demokrasi
deliberatif dimaksud;
 Bahwa uaraian pada paragraph-paragraf di atas sama
sekali tidak boleh diartikan sebagai pengesampingan,
pengurangan, lebih-lebih peniadaan, kedudukan dan
peran partai politik dalam demokrasi, termasuk dalam
konteks pemilihan kepala daerah. Dalam kehidupan
modern, tidak mungkin ada demokrasi tanpa partai
politik. Demokrasi tanpa partai politik hanya ada
dalam gagasan demokrasi langsung ala “negara kota”
(Polis) dalam alam pikiran Yunani Purba (Ancient
Greek) yang mustahil dilaksanakan dalam
kompleksitas kehidupan bernegara modern saat ini.
Kesadaran akan vitalnya kedudukan dan peran partai
politik itulah yang mendorong MPR, tatkala

191
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

melakukan perubahan UUD 1945, memasukkan


secara eksplisit partai politik ke dalam ketentuan yang
mengatur mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945. Ukuran yang secara umum diterima guna
menilai tingkat kematangan dan sehatnya partai
politik adalah terletak pada kemampuan partai politik
itu melaksanakan fungsi-fungsi minimumnya, antara
lain, fungsi representasi politik, fungsi komunikasi
politik, fungsi agregasi politik, fungsi pendidikan
politik, fungsi rekrutmen politik. Dalam kaitan dengan
pemenuhan fungsi-fungsi partai politik itulah
seharusnya keberadaan calon perseorangan, sebagai
bagian dari proses rekrutmen politik, harus dilihat dan
ditempatkan. Dengan demikian, dalam konteks
pemilihan kepala daerah, asumsi rasional yang
terbangun dari konstruksi pemikiran di atas adalah
bahwa makin baik partai politik melaksanakan fungsi-
fungsi minimumnya tersebut berarti makin matang
dan makin sehat partai politik yang bersangkutan yang
pada akhirnya akan bermuara pada makin
menurunnya kemunculan, sekaligus popularitas dan
elektabilitas, calon perseorangan.
Setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah menyatakan pendiriannya
terhadap permasalahan terkaot pokok permohonan
Pemohon:
 Bahwa dalam kaitan dengan penentuan persentase
dukungan bagi calon perseorangan dalam mekanisme
pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah
adalah kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-
Undang untuk menentukannya sesuai dengan
kebutuhan dengan memperhatikan perkembangan
masyarakat dan tingkat kematangan partai-partai
politik sebagai infrastruktur utama demokrasi. Namun,
kebijakan hukum demikian tidak boleh dirumuskan
sedemikian rupa sehingga menghalangi partisipasi
aktif rakyat dalam proses politik yang pada gilirannya
akan menghambat tumbuhnya demokrasi yang sehat
dan, dalam konteks permohonan a quo, tidak
memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama
di hadapan hukum; menghambat hak warga negara
untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan; serta memuat ketentuan yang bersifat
diskriminatif;
 Bahwa, sejalan dengan pertimbangan dalam sub-
paragraf di atas, Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU
8/2015 sekalipun memberikan kepastian hukum
namun mengabaikan keadilan sehingga dapat

192
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

menghambat pemenuhan prinsip persamaan di


hadapan hukum. Sebab, persentase dukungan yang
dipersyaratkan bagi warga negara yang hendak
mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau
calon wakil kepala daerah didasarkan atas jumlah
penduduk padahal tidak setiap penduduk serta-merta
memiliki hak pilih, sementara keterpilihan calon
kepala daerah dan calon wakil kepala daerah,
sebagaimana halnya keterpilihan seseorang menjadi
anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden atau Wakil
Presiden, bukanlah ditentukan oleh jumlah penduduk
secara keseluruhan melainkan oleh jumlah penduduk
yang telah memiliki hak pilih (eligible voters).
Sementara itu, untuk calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik,
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU 8/2015,
menggunakan perolehan suara partai dalam pemilihan
anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, yang
artinya menggunakan ukuran jumlah penduduk yang
telah mempunyai hak pilih. Dengan kata lain, terdapat
perbedaan basis dukungan suara yang digunakan
untuk menentukan persyaratan dukungan bagi calon
perseorangan dan calon yang diusulkan oleh partai
politik (atau gabungan partai politik) dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Perbedaan
demikian telah nyata menunjukkan perlakuan yang
tidak sama di hadapan hukum antara mereka yang
mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil
kepala daerah melalui jalur perseorangan dan mereka
yang melalui jalur partai politik;
 Bahwa dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan
pada sub-paragraf di atas, kendatipun tidak dapat
dikatakan sebagai ketentuan yang bersifat
diskriminatif sebagaimana didalilkan para Pemohon,
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 telah nyata
menghambat pemenuhan hak untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015
tidak dapat dikatakan bersifat diskriminatif sebab
pembedaan yang terdapat di dalamnya bukanlah
didasarkan atas pertimbangan ras, etnisitas, agama,
jenis kelamin, maupun status sosial sebagaimana yang
layaknya dijadikan acuan universal dalam menilai
kebijakan dan praktik yang bersifat diskriminatif;
 Bahwa berdasarkan pertimbangan pada sub-paragraf
sub-paragraf di atas, agar terdapat kepastian hukum
yang adil sekaligus memenuhi prinsip persamaan di
hadapan hukum dan tidak menghalangi hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan, Mahkamah berpendapat bahwa basis

193
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

perhitungan untuk menentukan persentase dukungan


bagi warga negara yang hendak mencalonkan diri
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah
haruslah menggunakan jumlah penduduk yang telah
mempunyai hak pilih yang dalam hal ini
direpresentasikan dalam daftar calon pemilih tetap di
masing-masing daerah yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan daftar calon pemilih tetap dalam
hubungan ini adalah daftar calon pemilih tetap pada
Pemilihan Umum sebelumnya;
 Bahwa dengan demikian Mahkamah berpendapat,
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 adalah
inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) sepanjang tidak diartikan bahwa
dasar perhitungan persentase dukungan bagi
perseorangan yang hendak mencalonkan diri sebagai
kepala daerah atau wakil kepala daerah (Gubernur,
Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota,
Wakil Walikota) adalah mengacu pada daftar calon
pemilih tetap pada Pemilihan Umum sebelumnya.
Dengan kata lain, agar menjadi konstitusional maka
ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015
yang mendasarkan persentase dukungan bagi
perseorangan yang hendak mencalonkan diri sebagai
kepala daerah atau wakil kepala daerah yang
menggunakan ukuran jumlah penduduk haruslah
dimaknai menggunakan ukuran jumlah penduduk
yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana
tertuang dalam daftar calon pemilih tetap di masing-
masing daerah yang bersangkutan pada Pemilihan
Umum sebelumnya;
 Bahwa mengingat tahapan-tahapan pemilihan kepala
daerah telah berjalan, sementara putusan Mahkamah
tidak berlaku surut (non-retroactive), agar tidak
menimbulkan kerancuan penafsiran maka Mahkamah
penting menegaskan bahwa putusan ini berlaku untuk
pemilihan kepala daerah serentak setelah pemilihan
kepala daerah serentak Tahun 2015.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian:
1.1 Menyatakan Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678)

194
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan
persentase dukungan bagi calon perseorangan
yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didasarkan
atas jumlah penduduk yang telah mempunyai
hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar
calon pemilih tetap di daerah yang
bersangkutan pada Pemilihan Umum
sebelumnya;
1.2 Menyatakan Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase
dukungan bagi calon perseorangan yang hendak
mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur didasarkan atas jumlah
penduduk yang telah mempunyai hak pilih
sebagaimana dimuat dalam daftar calon
pemilih tetap di daerah yang bersangkutan
pada Pemilihan Umum sebelumnya;
1.3 Menyatakan Pasal 41 ayat (2) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan
persentase dukungan bagi calon perseorangan
yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon
Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota didasarkan
atas jumlah penduduk yang telah mempunyai
hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar
calon pemilih tetap di daerah yang

195
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

bersangkutan pada Pemilihan Umum


sebelumnya;
1.4 Menyatakan Pasal 41 ayat (2) huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase
dukungan bagi calon perseorangan yang hendak
mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota didasarkan atas jumlah
penduduk yang telah mempunyai hak pilih
sebagaimana dimuat dalam daftar calon
pemilih tetap di daerah yang bersangkutan
pada Pemilihan Umum sebelumnya;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

10) Putusan No. 51/PUU-XIV/2016

1. Pemohon : Ir. H. Abdullah Puteh Kuasa Pemohon:; Supriyadi Adi,


S.H., dkk
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang in
casu Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terhadap Pasal 1
ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945
3. Pertimbangan : berkenaan dengan substansi permohonan a quo,
Putusan Mahkamah sesungguhnya telah menyatakan pendiriannya
sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor
42/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum
dalam Putusan Mahkamah Nomor 42/PUU-XIII/2015,
syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara untuk
mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang adalah sama dengan
syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara untuk

196
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sebagaimana


ditentukan dalam Pasal 67 ayat (2) huruf g UU 11/2006.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, meskipun
Undang-Undang yang diuji dalam Putusan Nomor
42/PUU-XIII/2015 berbeda dengan perkara a quo, namun
karena yang diuji substansinya sama, yakni mengenai
tidak pernah dijatuhi pidana penjara untuk mengajukan
diri sebagai calon kepala daerah, maka pertimbangan
hukum dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 menjadi
pertimbangan putusan ini.
Dengan ini, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon
mengenai Pasal 67 ayat (2) huruf g UU 11/2006
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat
(conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan adalah mantan terpidana, beralasan menurut
hukum.
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1 Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4633) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan
terpidana yang secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana;
1.2 Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4633) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan
bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana

5.2. Putusan MK tentang Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

1) Putusan No. 100/PUU-XIII/2015


1. Pemohon : Effendi Gazali, Ph.D., MPS ID, M.Si Kuasa Pemohon:
AH. Wakil Kamal, S.H., M.H
2. Pokok Permohonan : permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-
Undang, in casu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun

197
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang terhadap UUD 1945

3. Pertimbangan : Menimbang bahwa setelah memperhatikan secara


Putusan saksama rumusan norma UU 8/2015 yang dimohonkan
pengujian secara sistematis tampak nyata kalau
pembentuk Undang- Undang, di satu pihak, bermaksud
bahwa dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah
setidak-tidaknya harus ada dua pasangan calon, di lain
pihak, sama sekali tidak memberikan jalan keluar
seandainya syarat paling kurang dua pasangan calon
tersebut tidak terpenuhi. Dengan demikian, akan ada
kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua
pasangan calon tersebut tidak terpenuhi di mana
kekosongan hukum demikian akan berakibat pada tidak
dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah.
Padahal, sebagaimana diuraikan di atas, Pemilihan Kepala
Daerah merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat,
sehingga kekosongan hukum demikian mengancam hak
rakyat selaku pemegang kedaulatan, baik hak untuk
dipilih maupun hak untuk memilih, sebab rakyat menjadi
tidak dapat melaksanakan hak dimaksud;
Menimbang, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa
sebagai pengawal Konstitusi Mahkamah tidak boleh
membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak
konstitusional warga negara, sebagaimana salah satunya
tercermin dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor
1/PUU-VIII/2010, lebih-lebih apabila pelanggaran
demikian bersangkut-paut dengan pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang membawa akibat luas sebab berdampak pada
terganggunya pelaksanaan pemerintahan, dalam hal ini
pemerintahan daerah. Dalam keadaan demikian,
Mahkamah dituntut untuk memberikan jalan keluar dari
kebuntuan yang ditimbulkan oleh UU 8/2015 yang
dimohonkan pengujian ini;
Keadaan demikian telah menyebabkan KPU, yang dalam
pandangan Mahkamah karena terdorong oleh panggilan
tugas dan tanggung jawabnya, mengeluarkan Peraturan
KPU Nomor 12 Tahun 2015 guna mengatasi kebuntuan
dimaksud. Namun demikian, terlepas dari persoalan
bersesuaian atau tidaknya Peraturan KPU Nomor 12/2015
tersebut dengan Undang-Undang di atasnya, yang bukan
merupakan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa,
mengadili, dan memutusnya, juga terlepas dari maksud
baik yang melandasi tindakan KPU dengan menerbitkan
Peraturan itu, telah terang bahwa Peraturan KPU itu pun
tidak menyelesaikan persoalan tak terlaksananya hak
rakyat untuk dipilih dan memilih. Hal ini terjadi karena

198
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dua alasan Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak


berikutnya sesungguhnya telah menghilangkan hak rakyat
untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan serentak saat
itu. Kedua, andaikatapun penundaan demikian dapat
dibenarkan, quod non, tetap tidak ada jaminan bahwa
pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat untuk
dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Hal itu
dikarenakan penyebab tidak dapat dipenuhinya hak rakyat
untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan
yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua
Pasangan Calon dalam kontestasi Pemilihan Kepala
Daerah;
Untuk menindaklanjuti pelaksaan kedaultan rakyat itu,
dalam hal ini untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan
Kepala Daerah, merupakan alasan mengapa Mahkamah
Konstitusi dibentuk, yaitu menjamin pemenuhan hak
konstitusional warga negaranya;
Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan di
atas, menurut Mahkamah, adalah bertentangan dengan
semangat UUD 1945 jika Pemilihan Kepala Daerah tidak
dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan berikutnya
sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara,
dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, hanya karena
tak terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua
pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala
daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-
sungguh. Dengan kata lain, demi menjamin terpenuhinya
hak konstitusional warga negara, pemilihan Kepala
Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat
satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala
daerah walaupun sebelumnya telah diusahakan dengan
sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua
pasangan calon.
Bahwa Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh
satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah baru dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan
dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi syarat paling
sedikit dua pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Yang dimaksud dengan “telah diusahakan
dengan sungguh- sungguh” adalah telah dilaksanakan
ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) sampai dengan ayat (9)
UU 8/2015 (untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur)
dan ketentuan Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (9)
UU 8/2015 (untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota).
Bahwa Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh
satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada
rakyat (pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak
Setuju” dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa

199
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

sehingga memungkinkan rakyat (pemilih) untuk


menyatakan pilihan “Setuju” atau “Tidak Setuju”
dimaksud. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara
terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah
dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila
pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak maka
pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah
serentak berikutnya.
Bahwa agar proses sebagaimana dimaksud pada sub-
parafraf sub-paragraf di atas dapat dilaksanakan maka
ketentuan Pasal 49 ayat (9) UU 8/2015 harus dimaknai
mencakup pengertian “termasuk menetapkan satu
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga)
hari dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada
satu pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
satu pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota”.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Pasal 49 ayat (9)
UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai
mencakup pengertian “termasuk menetapkan satu
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3
(tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1
(satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur”;
Demikian pula Pasal 50 ayat (9) UU 8/2015 adalah
inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk
menetapkan satu pasangan Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka
waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap
hanya ada 1 (satu) pasangan pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota”.
Bahwa oleh karena Pasal 49 ayat (9) dan Pasal 50 ayat (9)
UU 8/2015 berkait langsung dengan Pasal 51 ayat (2) dan
Pasal 52 ayat (2) UU 8/2015, sementara Pasal 49 ayat (9)
dan Pasal 50 ayat (9) UU 8/2015 oleh Mahkamah telah
dimaknai sebagaimana disebutkan dalam sub-paragraf
[3.16.4] di atas maka Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 52 ayat
(2) UU 8/2015 dengan sendirinya juga menjadi
inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)
dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Pasal 51 ayat (2) UU 8/2015 yang menyatakan,
“Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi menetapkan

200
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Gubernur dan


Calon Wakil Gubernur dengan Keputusan KPU
Provinsi” adalah inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional) sepanjang tidak
dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu) pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dalam
hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”;
b) Pasal 52 ayat (2) UU 8/2015 yang menyatakan,
“Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), KPU Kabupaten/Kota
menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon
Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan
Keputusan KPU Kabupaten/Kota” adalah
inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup
“menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati serta1 (satu) pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam hal hanya
terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota
dan Calon Wakil Walikota”.
Menimbang oleh karena Mahkamah berpendapat bahwa
untuk dapat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah tidak lagi semata-mata digantungkan
pada keharusan paling sedikit adanya dua pasangan calon
kepala daerah dan calon wakil kepala daerah,
sebagaimana telah diuraikan khususnya dalam paragraf di
atas, maka dalil Pemohon selebihnya, yang semuanya
mengacu dan bergantung pada penafsiran terhadap syarat
paling sedikit adanya dua pasangan calon, menjadi tidak
relevan lagi untuk dipertimbangkan;
4. Amar Putusan : Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian:
1. Menyatakan Pasal 49 ayat (9) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai mencakup pengertian “termasuk menetapkan
1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka
waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap
hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan

201
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Calon Wakil Gubernur”;


2. Menyatakan Pasal 49 ayat (9) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk
menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal
setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui
namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”;
3. Menyatakan Pasal 50 ayat (9) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai mencakup pengertian “termasuk menetapkan
1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota peserta Pemilihan dalam hal
setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui
namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Bupati
dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota”;
4. Menyatakan Pasal 50 ayat (9) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai mencakup pengertian “termasuk
menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon Walikota
dan Calon Wakil Walikota peserta Pemilihan dalam hal
setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui
namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Bupati
dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan Calon

202
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Walikota dan Calon Wakil Walikota”;


5. Menyatakan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu) pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dalam hal
hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur”;
6. Menyatakan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu)
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”;
7. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu) pasangan
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu)
pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon
Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu) pasangan
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”;
8. Menyatakan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara

203
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu)
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1
(satu) pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta 1 (satu)
pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”;

2) Putusan No. 105/PUU-XIII/2015


1. Pemohon : Pemohon : Doni Istyanto Hari Mahdi Kuasa Pemohon:
Dwi Istiawan S.H. dan Muhammad Umar, S.H
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in
casu Pasal 7 huruf o, Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (4),
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 107 ayat (1),
Pasal 109 ayat (1), Pasal 121 ayat (1), Pasal 122 ayat (1),
Pasal 157 ayat (5),dan Pasal 157 ayat (8) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
terhadap Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945
3. Pertimbangan : Bahwa dalil Pemohon mengenai Pasal 7 huruf o UU
Putusan Pemilihan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan
Nomor 80/PUU-XIII/2015, bertanggal 22 September
2015, dan Putusan Nomor 83/PUU-XIII/2015, bertanggal
22 September 2015. Oleh karena itu, pertimbangan
Mahkamah dalam putusan tersebut mutatis mutandis
berlaku pula untuk perkara a quo. Dengan demikian,
seluruh pertimbangan hukum dalam putusan dimaksud
berlaku pula terhadap Pemohon, sehingga permohonan
Pemohon untuk Pasal 7 huruf o UU Pemilihan tidak
dipertimbangkan lebih lanjut;
Menimbang, Pemohon pada pokoknya mendalilkan
bahwa kata “dapat” dan frasa “jika telah” dalam
rumusan Pasal 40 ayat (1) UU Pemilihan menghilangkan
daya imperatif pasal a quo, sehingga memberi ruang
kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengajukan maupun tidak mengajukan pasangan calon.
Frasa “jika telah” tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “untuk”;
Pemohon juga mendalilkan bahwa frasa “gabungan

204
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”


dalam Pasal 40 ayat (4) UU Pemilihan bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “gabungan
partai politik yang jumlah kursinya diperhitungkan
maupun tidak diperhitungkan sebagai dukungan kepada
satu pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah paling banyak 60% (enam puluh persen) dari
jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Menurut Pemohon, pasangan calon Gubernur, Bupati, dan
Walikota memiliki hak konstitusional untuk mendapat
dukungan dari gabungan partai politik lebih dari setengah
atau lebih dari 50% (lima puluh persen) kursi seluruh
jumlah anggota DPRD, namun hak tersebut tidak boleh
menyebabkan salah satu pasangan calon dapat
memborong seluruh partai politik yang memiliki kursi di
DPRD, sehingga menutup kesempatan pasangan calon
lainnya mendapat dukungan dari partai politik yang
memiliki kursi di DPRD yang bersangkutan. Oleh karena
itu, dukungan dari partai politik kepada salah satu
pasangan calon tidak boleh melebihi 60% (enam puluh
persen) dari jumlah seluruh kursi DPRD yang
bersangkutan;
Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah,
untuk menentukan apakah partai politik atau gabungan
partai politik mengajukan dan mendaftarkan pasangan
calon Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota sepenuhnya
merupakan hak konstitusional partai politik yang
bersangkutan. Kebijakan persyaratan pendaftaran
pasangan calon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40
ayat (1) UU Pemilihan sama sekali tidak mengabaikan
prinsip-prinsip hak asasi manusia yang terkandung dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena setiap partai politik
diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama
untuk mengajukan dan mendaftarkan pasangan calon
Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota. Sejalan dengan
konteks tersebut, Mahkamah pun juga tidak dapat
membatasi agar pasangan calon Gubernur, Bupati,
dan/atau Walikota memperoleh dukungan partai politik
atau gabungan partai politik tidak melebihi 60% (enam
puluh persen) dari jumlah seluruh kursi DPRD yang
bersangkutan. Seandainya pun terdapat pembatasan
maksimal dukungan partai politik atau gabungan partai
politik terhadap pasangan Calon Gubernur, Bupati,
dan/atau Walikota maka pembatasan tersebut belum tentu
memengaruhi suara rakyat untuk memilih pasangan calon
Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota;
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 40 ayat (1) UU
Pemilihan tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang
diskriminatif karena berlaku secara objektif bagi seluruh
partai politik tanpa terkecuali, dan juga tidak ada faktor-

205
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

faktor pembedaan atas dasar ras, agama, jenis kelamin,


status sosial, dan lain-lain sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR). Dengan demikian, Mahkamah
menyimpulkan bahwa pembentuk Undang-Undang dapat
menentukan batas dukungan partai politik untuk
mendaftarkan pasangan Calon Gubernur, Bupati, dan/atau
Walikota sebagai legal policy sepanjang pembatasan
tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi;
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas,
menurut Mahkamah, dalil permohonan a quo tidak
beralasan menurut hukum;
Terkait dalil Pemohon mengenai KPU di daerah harus
menetapkan pasangan calon meskipun hanya terdapat satu
pasangan calon saja yang memenuhi persyaratan Undang-
Undang sebagaimana bunyi Pasal 51 ayat (2) UU
Pemilihan dan dalil Pemohon mengenai frasa “paling
sedikit 2 (dua) pasangan” dalam Pasal 52 ayat (2) UU
Pemilihan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang “kecuali pasangan calon Bupati dan calon
Wakil Bupati atau pasangan calon Walikota dan calon
Wakil Walikota yang telah memenuhi persyaratan
meskipun hanya terdapat satu pasangan calon saja maka
pasangan calon tersebut ditetapkan oleh Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten/Kota sebagai pasangan
calon Bupati dan calon Wakil Bupati atau pasangan
calon Walikota dan calon Wakil Walikota, Mahkamah
menilai inti persoalan Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat
(2) UU Pemilihan yang didalilkan oleh Pemohon adalah
agar Komisi Pemilihan Umum di daerah menetapkan
pasangan Calon Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota
meskipun hanya terdapat satu pasangan calon saja.
Substansi yang terkandung dalam dalil permohonan
tersebut telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan
Nomor 100/PUU-XIII/2015, bertanggal 29 September
2015. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah dalam
Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015 tersebut mutatis
mutandis berlaku pula untuk perkara a quo. Dengan
demikian, seluruh pertimbangan hukum dalam putusan
dimaksud berlaku pula terhadap Pemohon, sehingga
permohonan Pemohon untuk Pasal 51 ayat (2) dan Pasal
52 ayat (2) UU Pemilihan tidak dipertimbangkan lebih
lanjut;
Terkait dalil Pemohon yang menyatakan frasa “yang
memperoleh suara terbanyak” dalam Pasal 107 ayat (1)
dan frasa “yang memperoleh suara terbanyak” dalam
Pasal 109 ayat (1) UU Pemilihan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, Mahkamah menilai persoalan Pasal 107 ayat

206
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

(1) dan Pasal 109 ayat (1) UU Pemilihan yang didalilkan


oleh Pemohon adalah pasangan Calon Gubernur, Bupati,
dan/atau Walikota sebagai calon tunggal dapat ditetapkan
oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Kabupaten/Kota
sebagai pasangan Calon Gubernur, Bupati, dan/atau
Walikota yang memperoleh suara terbanyak. Terhadap
dalil permohonan a quo, menurut Mahkamah,
permasalahan konstitusionalitas calon tunggal telah
diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 100/PUU-
XIII/2015, bertanggal 29 September 2015. Sementara,
frasa “yang memperoleh suara terbanyak” merupakan
norma yang berlaku umum dan tidak hanya berlaku untuk
pasangan calon tunggal. Jika rumusan norma tersebut
dimaknai seperti yang didalilkan oleh Pemohon maka hal
tersebut justru menghilangkan kepastian hukum
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang
pesertanya lebih dari satu pasangan calon. Oleh karena
itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak
beralasan menurut hukum;
Terkait dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa
“gangguan lainnya” dalam Pasal 121 ayat (1) UU
Pemilihan tidak boleh diartikan selain daripada keadaan
yang sudah diatur dalam Pasal 122 ayat (1) UU
Pemilihan, termasuk proses dan tata cara pelaksanaannya
sebagai Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan. Menurut
Pemohon, tidak tepat jika penundaan penyelenggaraan
pemilihan disebabkan “gangguan lainnya” karena peserta
pemilihan kurang dari 2 (dua) pasangan calon. Hal ini
mengakibatkan Pemohon tidak dapat menggunakan hak
pilihnya untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Oleh karena itu, frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal
121 ayat (1) dan Pasal 122 ayat (1) UU Pemilihan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Mahkamah menilai, Pasal 121 ayat (1) dan Pasal 122 ayat
(1) UU Pemilihan tidak mengandung permasalahan
konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan UUD
1945. Mahkamah menilai ketentuan tersebut berlaku
umum, sehingga pemilihan lanjutan dan/atau pemilihan
susulan wajar dilaksanakan apabila terjadi bencana alam,
kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan
lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh
tahapan penyelenggaraan pemilihan. Ketentuan tersebut
berlaku untuk seluruh pasangan calon Gubernur, Bupati,
dan/atau Walikota, yang berlaku pula dalam pemilihan
kepala daerah yang diikuti oleh lebih dari satu pasangan
calon. Menyangkut permasalahan terjadinya gangguan
lain karena peserta pemilihan kurang dari 2 (dua)
pasangan calon, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon,
permasalahan hukum tersebut telah dijawab oleh

207
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Mahkamah dalam Putusan Nomor 100/PUU-XIII/2015,


bertanggal 29 September 2015. Dengan demikian, dalil
Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
terkait dengan permohonan Pemohon tentang batas waktu
pengajuan permohonan yang ditentukan tidak boleh
melampaui waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam,
Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa tidak semua
ibukota kabupaten di Indonesia memiliki jaringan
transportasi secara terjadwal. Terlebih lagi, ketersediaan
listrik 24 jam belum dinikmati di semua kabupaten/kota di
Indonesia. Oleh karenanya, batasan waktu 3 x 24 (tiga
kali dua puluh empat) jam sangat sempit. Dengan
demikian, menurut Pemohon, frasa “3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam” dalam Pasal 157 ayat (5) UU
Pemilihan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “6 x 24 (enam kali dua puluh empat)
jam”;
Dalam membuat pertimbangannya, Mahkamah melihat
Pertimbangan pada Putusan Nomor 114/PUU- VII/2009
dan disebutkan bahwa jangka waktu pengajuan keberatan
terhadap penetapan hasil pemilihan umum secara nasional
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 74 ayat (3) UU MK
adalah sama dengan jangka waktu waktu pengajuan
keberatan terhadap penetapan perolehan suara hasil
pemilihan pasangan calon Gubernur, Bupati, dan
Walikota paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam sebagaimana ditentukan dalam Pasal 157 ayat (5) UU
Pemilihan. Oleh karena itu, meskipun undang-undang
yang diuji dalam Putusan Nomor 114/PUU-VII/2009
berbeda dengan perkara a quo, namun oleh karena yang
diuji substansinya sama, yakni mengenai jangka waktu
pengajuan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan
maka pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor
114/PUU-VII/2009 tersebut mutatis mutandis menjadi
pertimbangan pula dalam putusan ini. Dengan demikian,
menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak dapat diterima;
Terkait dalil Pemohon mengenai jangka waktu 45 (empat
puluh lima) hari kalender sangat pendek karena efektif
hanya tersedia sekitar 32 (tiga puluh dua) hari kerja. Jika
perselisihan hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota terjadi di 269 daerah pemilihan maka
Mahkamah Konstitusi setiap hari harus memeriksa 15
perkara. Oleh karenanya, kata “hari” dalam Pasal 157
ayat (8) UU Pemilihan bertentangan dengan UUD 1945,
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
Dalam hal ini, Mahkamah sebagai lembaga yang
diberikan amanah oleh Undang-Undang untuk mengadili
perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati,

208
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dan Walikota perlu untuk mempertimbangkan antara


jumlah hakim serta perangkat peradilan dengan
banyaknya perkara yang memerlukan kecermatan dan
ketelitian agar penanganannya dapat berjalan dengan baik
sesuai dengan asas peradilan, yaitu sederhana, cepat dan
biaya ringan juga agar tidak terlanggarnya hak
konstitusional warga negara, khususnya Pemohon.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, waktu 45 (empat
puluh lima) hari kalender tidaklah cukup untuk
menangani perkara perselisihan hasil pemilihan tersebut.
Oleh karena itu, frasa “45 (empat puluh lima) hari sejak
diterimanya permohonan” dalam Pasal 157 ayat (8) UU
Pemilihan harus dimaknai 45 (empat puluh lima) hari
kerja sejak perkara diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Makna “sejak diterimanya permohonan” adalah sejak
dicatatnya perkara dalam buku registrasi perkara
konstitusi (BRPK);
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Kata “hari” dalam Pasal 157 ayat (8) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
1.2 Kata “hari” dalam Pasal 157 ayat (8) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5678) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga Pasal 157 ayat (8) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang selengkapnya menjadi
berbunyi, “Mahkamah Konstitusi memutuskan
perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan
paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja

209
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

sejak diterimanya permohonan”;


1.3 Makna frasa “sejak diterimanya permohonan”
dalam Pasal 157 ayat (8) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678) adalah
sejak dicatatnya perkara dalam buku registrasi
perkara konstitusi (BRPK);
1.4 Permohonan Pemohon mengenai Pasal 7 huruf o,
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 157
ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) tidak dapat
diterima;

5.3. Putusan MK tentang Kewenangan dalam penyelesaian Perselihan Hasil Pilkada

Putusan No. 97/PUU-XI/2013

1. Pemohon : Forum Kajian Hukum Dan Konstitusi (FKHK); Badan


Ekesekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa
Unggul (BEM FH UEU); Gerakan Mahasiswa Hukum
Jakarta (GMHJ).
2. Pokok Permohonan : pengujian konstitusionalitas Pasal 236C Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e
Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 terhadap Pasal 1 ayat
(3), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 24C ayat (1).
3. Pertimbangan : kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus
Putusan perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus
dikaitkan makna pemilihan umum dalam Pasal 22E UUD
1945 yang secara khusus dengan mengatur mengenai
pemilihan umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 22E UUD
1945, dengan menggunakan penafsiran sistematis dan
original intent, yang dimaksud pemilihan umum menurut
210
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

UUD 1945 adalah pemilihan yang dilaksanakan sekali


dalam setiap lima tahun untuk memilih anggota DPR,
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Oleh
karena itu, sudah tepat ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU
MK yang menegaskan bahwa perselisihan hasil pemilihan
umum yang menjadi kewenangan Mahkamah yaitu
perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR, DPRD,
DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 74 ayat (2) tersebut menentukan bahwa permohonan
penyelesaian hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan
terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan
secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang
mempengaruhi: a. Terpilihnya calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah; b. Penentuan pasangan calon yang
masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden; c. Perolehan kursi partai politik peserta
pemilihan umum di suatu daerah pemilihan;
Jika berdasarkan kewenangannya, pembentuk Undang-
Undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan
oleh DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah
Agung atau Mahkamah Konstitusi untuk mengadili
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu
membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala
daerah itu bukanlah pemilihan umum sebagaimana
dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya
walaupun pembentuk Undang-Undang menentukan
bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara
langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah harus
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
4. Amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
seluruhnya;
1.1 Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik

211
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah
selama belum ada Undang-Undang yang mengatur
mengenai hal tersebut;

5.4. Putusan MK tentang Syarat bagi calon berstatus Petahana mengundurkan diri dari
jabatan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah

Putusan No. 17/PUU-VI/2008

1. Pemohon : Drs. H. Sjachroedin Zp, S.H. (Gubernur Lampung Periode


2004-2009)
2. Pokok Permohonan : pengujian materiil Pasal 233 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
dan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
3. Pertimbangan : Bahwa Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 tidak relevan lagi
Putusan untuk menjadi objek permohonan oleh karena Pasal 233
ayat (2) tersebut telah diubah dengan Pasal 233 ayat (2)
UU 12/2008, sehingga permohonan Pemohon harus
dinyatakan tidak dapat diterima;
Bahwa syarat pengunduran diri bagi calon yang sedang
menjabat (incumbent) sebagaimana diatur Pasal 58 huruf
q UU 12/2008 menimbulkan ketidakpastian hukum (legal
uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala
daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU
32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama
(unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide
Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa selain itu, Pasal 58 huruf q UU 12/2008 juga
mengandung ketentuan yang tidak proporsional dan
rancu, baik dari segi formulasi maupun substansi, karena
menimbulkan perlakuan yang tidak sama antar-sesama
pejabat negara dan mengakibatkan ketidakpastian hukum
(legal uncertainty, rechtsonzekerheid) sehingga
permohonan Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas
Pasal 58 huruf q undang-undang a quo beralasan menurut
hukum untuk dikabulkan.
4. Amar Putusan : Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk
sebagian;
212
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Menyatakan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menyatakan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12


Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Menyatakan permohonan Pemohon
sepanjang menyangkut Pasal 233 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) tidak dapat diterima.

213
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

6
PUTUSAN MK UNTUK KEPASTIAN HUKUM PEMILU
Pemilu demokratis mensyaratkan adanya kepastian hukum yang menjadi pedoman bagi
seluruh pemangku kepentingan utama Pemilu dalam menjalankan peran dan fungsi sesuai
mandat konstitusi. Berdasarkan penelusuran sejarah penyelenggaraan Pemilu pasca
perubahan keempat UUD 1945, baik UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Pemerintahan Daerah, UU Penyelenggara Pemilu
dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai rujukan penyelenggaraan Pemilu
tidak luput dari pengujian UU terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi.

Tabel Pengujian Undang-Undang Pemilu

No. Undang-Undang Pasal yang diuji Putusan MK


yang diuji
1. UU No. 12 Tahun 1. Pasal 60 huruf g 1. 011-017/PUU-I/2003
2003 2. Pasal 6 huruf t 2. 14-17/PUU-V/2007
2. UU No. 32 Tahun 1. Pasal 56 hingga Pasal 119 1. 72-73/PUU-II/2004
2004 2. Pasal 59 ayat (1) 2. 005/PUU-III/2005
3. Pasal 56 Ayat (2), Pasal 59 3. 5/PUU-V/2007
Ayat (1), Ayat (3), Ayat
(4), Ayat (5) huruf a, Ayat
(5) huruf c, Ayat (6) dan
Pasal 60 Ayat (2), Ayat (3),
Ayat (4) dan Ayat (5)
4. Pasal 58 huruf f 4. 14-17/PUU-V/2007
5. Pasal 233 ayat (2) 5. 17/PUU-VI/2008
3. UU No. 5 Tahun 1. Pasal 7 Ayat (2) huruf d 1. 14-17/PUU-V/2007
2004
4. UU No. 11 Tahun 1. Pasal 256 1. 35/PUU-VIII/2010
2006 2. Pasal 67 ayat (2) huruf g 2. 51/PUU-XIV/2016
5. UU No. 15 Tahun 1. Pasal 13 huruf g 1. 14-17/PUU-V/2007
2006
6. UU No. 22 Tahun 1. Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) 1. 11/PUU-VIII/2010
2007 dan ayat (2), Pasal 95,
Pasal 111 ayat (2) dan ayat
(3), dan Pasal 112 ayat (2)
dan ayat (3)
7. UU No. 10 Tahun 1. Pasal 12 dan Pasal 67 1. 10/PUU-VI/2008
2008 2. Pasal 316 huruf d 2. 12/PUU-VI/2008
3. Pasal 55 ayat (2), ) Pasal 3. 22-24/PUU-VI/2008
205 ayat (4), ayat (5), ayat
(6), dan ayat (7), dan Pasal
214 huruf a, huruf b, huruf
c huruf d, dan huruf e
4. Pasal 98 ayat (2), ayat (3), 4. 32/PUU-VI/2008

214
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dan ayat (4) serta Pasal 99


ayat (1) dan ayat (2) 5. 4/PUU-VII/2009
5. Pasal 12 huruf g dan Pasal
50 ayat (1) huruf g 6. 9/PUU-VII/2009
6. Pasal 245 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (5), Pasal 282 dan
Pasal 307 7. 110-111-112-113/PUU-
7. Pasal 212 ayat (3 VII/2009
8. 27/PUU-VIII/2010
8. Pasal 218 ayat (3)
8. UU No. 12 Tahun 1. Pasal 236C 1. 97/PUU-XI/2013
2008
9. UU No. 42 Tahun 1. Pasal 188 ayat (2), ayat (3), 1. 98/PUU-VII/2009
2008 dan ayat (5) serta Pasal 228
dan Pasal 255
2. Pasal 47 ayat (5) sepanjang 2. 99/PUU-VII/2009
kata “berita”, Pasal 56 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4),
serta Pasal 57 ayat (1) dan
ayat (2)
3. Pasal 28 dan Pasal 111 ayat 3. 102/PUU-VII/2009
(1)
4. Pasal 58 huruf o dan
Penjelasan Pasal 58 huruf o 4. 22/PUU-VII/2009
5. Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, 5. 14/PUU-XI/2013
Pasal 12 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112
6. Pasal 260 6. 22/PUU-XII/2014
7. Pasal 159 ayat (1) 7. 50/PUU-XII/2014
10. UU No. 15 Tahun 1. Pasal 27 ayat (1) huruf b 1. 80/PUU-IX/2011
2011 dan ayat (3)
2. Pasal huruf I, Pasal 85 2. 81/PUU-IX/2011
huruf I, Pasal 109 ayat (4)
huruf c, Pasal 109 ayat (4)
d, Pasal 109 ayat (4) e,
Pasal 109 ayat (5), Pasal
109 ayat (11)
3. Pasal 28 ayat (3), Pasal 28 3. 31/PUU-XI/2013
ayat (4), Pasal 100 ayat (4),
Pasal 101 ayat (1), Pasal
112 ayat (9), Pasal 112 ayat
(10), Pasal 112 ayat (12),
Pasal 112 ayat (13), Pasal
113 ayat (2)
11. UU No. 8 Tahun 1. Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 1. 52/PUU-X/2012
2012 ayat (2), Pasal 208
2. Penjelasan Pasal 56 ayat 2. 20/PUU-XI/2013
(2) dan Pasal 215 huruf b
3. Pasal 247 ayat (2), ayat (5), 3. 24/PUU-XII/2014

215
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dan ayat (6), Pasal 291,


serta Pasal 317 ayat (1) dan
ayat (2)
12. UU No. 1 Tahun 1. Pasal 7 huruf o, Pasal 40 1. 105/PUU-XIII/2015
2015 ayat (1), Pasal 40 ayat (4),
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52
ayat (2), Pasal 107 ayat (1),
Pasal 109 ayat (1), Pasal
121 ayat (1), Pasal 122 ayat
(1), Pasal 157 ayat (5),dan
Pasal 157 ayat (8)
13. UU No. 8 Tahun 1. Pasal 7 huruf r dan huruf s 1. 33/PUU-XIII/2015
2015 serta Penjelasan Pasal 7
huruf r
2. Pasal 7 huruf g dan Pasal 2. 42/PUU-XIII/2015
45 ayat (2) huruf k
3. Pasal 1 angka 1, Pasal 1 3. 46/PUU-XIII/2015
angka 24, Pasal 1 angka 6
4. Pasal 7 huruf r, Pasal 22B 4. 51/PUU-XIII/2015
huruf d, Pasal 40 ayat (3),
Pasal 47 ayat (2) dan ayat
(5), Pasal 49 ayat (4), Pasal
50 ayat (4), Pasal 58 ayat
(7), Pasal 63 ayat (2), Pasal
70 ayat (2) dan ayat (5),
Pasal 98 ayat (11), Pasal
138, Pasal 158, dan Pasal
193 ayat (2)
5. Pasal 41 ayat (1) dan ayat 5. 60/PUU-XIII/2015
(2) 6. 100/PUU-XIII/2015
6. Pasal 49 ayat (8) dan
(9), Pasal 50 ayat (8) dan (9),
Pasal 51 ayat (2), Pasal 52
ayat (2), Pasal 54 ayat (4),
ayat (5) dan ayat (6), Pasal 9
ayat (8), Pasal49 ayat (9),
Pasal 50 ayat (8), Pasal 50
ayat (9), Pasal 51 ayat (2),
Pasal 52 ayat (2), Pasal 54
ayat (4), Pasal 54 ayat (6)
7. Pasal 7 huruf g dan Pasal 7. 42/PUU-XIII/2015
45 ayat (2) huruf k

14. UU No. 10 Tahun 1. Pasal 9 huruf a dan Pasal 1. 92/PUU-XIV/2016


2016 22B 2. 56/PUU-XVII/2019
2. Pasal 7 ayat (2) huruf g
15. UU No. 7 Tahun 1. Pasal 173 ayat (1), Pasal 1. 53/PUU-XV/2017
2017 173 ayat (3) dan Pasal 222
2. Pasal 10 ayat (1) huruf c 2. 31/PUU-XVI/2018
dan Penjelasan beserta

216
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

lampirannya, Pasal 21 ayat


(1) huruf k, Pasal 44 ayat
(1) huruf b, Pasal 44 ayat
(2) huruf b, Pasal 52 ayat
(1), Pasal 117 ayat (1)
huruf b, Pasal 117 ayat (1)
huruf m, Pasal 117 ayat (1)
huruf o, Pasal 286 ayat (2),
Pasal 468 ayat (2), dan
Pasal 557 ayat (1) huruf b
3. Pasal 182 huruf I 3. 30/PUU-XVI/2018
4. Pasal 348 ayat (9), Pasal 4. 20/PUU-XVII/2019
348 ayat (4), Pasal 210 ayat
(1), Pasal 350 ayat (2), dan
Pasal 383 ayat (2)
5. Pasal 7 ayat (2) huruf g 5. 71/PUU-XIV/2016

Sesuai konsep rule of law, Pemilu dilaksanakan berdasarkan hukum (baca: peraturan
perundang-undangan) dan dikontrol oleh lembaga peradilan yang memiliki kewenangan
megoreksi regulasi yang tidak sesuai asas Pemilu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur
dan Adil sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Regulasi Pemilu yang
berpotensi melanggar pelaksanaan hak konstitusional warga negara meliputi hak pilih, hak
berpartisipasi dalam pemerintahan serta kedudukan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan telah diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menjamin
penyelenggaraan pemilu yang berkepastian hukum, adil dan setara.

Memperhatikan tabel tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah


berperan menjaga kemandirian penyelenggara Pemilu, melindungi hak konstitusional warga
negara dan memberikan solusi atas kekosongan hukum serta kebuntuan aspek teknis Pemilu.
Dalam perpektif teori hukum, peran Mahkamah Konstitusi dalam merespon problem hukum
Pemilu dapat dijelaskan dengan teori Chamblis dan Seidman. Menurut teori ini, pembentukan
hukum dan implementasinya tidak akan lepas dari pengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan
sosial dan personal, terutama pengaruh atau asupan kekuatan sosial politik. Pengaruh ini
menyebabkan kualitas dan karakter hukum tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-
kekuatan sosial dan personal tersebut, terutama kekuatan-kekuatan politik pada saat hukum
itu dibentuk.47 Menurut Robert B. Seidman48 untuk melihat bekerjanya hukum dalam
masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu: 1) lembaga pembuat peraturan; 2) lembaga
pelaksana peraturan; dan 3) pemangku peran.

Undang-Undang Pemilu sebagai produk politik menggambarkan karakter hukum yang tidak
terlepas dari pengaruh kekuatan sosial politik sehingga rumusan pengaturannya berpotensi
menimbulkan problem hukum Pemilu. Putusan-putusan MK memberikan feedback kepada

47
Robert B. Seidman & William J. Chambles, Law, Order and Power, Printed in United States of America,
Pubhlised Stimulant Costly in Canada Library of Congress Catalog Card No. 78-111948
48
Ann Seidman, Robert B. Seidman Nalin Abeysekere 1, Legislative Drafting for Social Change (London:
Kluwer Law International, 2001).

217
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

pembentuk UU dan penyelenggara pemilu untuk menjamin terwujudnya kepatian hukum dan
keadilan Pemilu. Putusan penting yang telah diterbitkan MK terkait hukum Pemilu dapat
diklasifikasi menjadi (1) Penyelenggara Pemilu Mandiri, (2) perlindungan hak pilih, (3)
syarat partai politik peserta Pemilu, (4) syarat calon anggota DPR dan DPRD, (5) syarat calon
anggota DPD, (6) Pegumuman Penghitungan Cepat, (7) metode penetapan calon terpilih
Pilpres , (8) calon perseorangan Pilkada, (9) pasangan calon tunggal Pilkada, (10) desain
Pemilu serentak 5 kotak suara.

6.1. Penyelenggara Pemilu Mandiri

Terdapat sembilan putusan MK yang memperkuat kemandirian penyelenggara Pemilu.


Putusan pertama No. 72-73/PUU-II/2004 pengujian Pasal 56 hingga Pasal 119 UU No. 32
Tahun 2004 (UU Pemda) terhadap UUD 1945. MK berpendapat dalam menjabarkan maksud
“dipilih secara demokratis” sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, pembuat
undang-undang telah memilih cara Pilkada secara langsung, maka menurut Mahkamah
sebagai konsekuensi logisnya, asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum harus tercermin
dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-
jurdil) yang diselenggarakan oleh lembaga yang independen, profesional, dan mempunyai
akuntabilitas untuk menyelenggarakan Pemilu di Indonesia yang fungsi tersebut seharusnya
diberikan kepada komisi pemilihan umum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E UUD 1945
dengan segala perangkat kelembagaan dan pranatanya. Melalui putusan tersebut MK,
menegaskan Pilkada diselenggarakan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam
satu kesatuan kelembagaan yang bersifat hierarkhi sejalan ketentuan UUD 1945 yang
mengatur kelembagaan KPU bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Dalam putusan No. 11/PUU-VIII/2010 pengujian terhadap Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 95, Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 112 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, MK memberikan penafsiran terkadap frasa “…suatu
komisi pemilihan umum..” dalam Pasal 22E UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama
institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi
termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU
22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan
pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu
dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan
unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus
diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan
umum. Dalam putusan ini, MK juga menegaskan untuk menjaga kemandirian Bawaslu
melaksanakan pengawasan dan menghindari terganggunya penyelenggaraan Pemilu, maka
pencalonan dan pengangkatan anggota yang semula mekanismenya harus diusulkan oleh

218
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

KPU untuk Panwas Provinsi serta KPU Provinsi untuk Panwas Kabupaten/Kota bertentangan
dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh krena itu
menurut Mahkamah Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panwaslu.

Selanjutnya melalui putusan No. 92/PUU-XIV/2016 pengujian terhadap Pasal 9 huruf a dan
Pasal 22B huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, MK kembali menegaskan
kemandirian KPU dalam menetapkan peraturan teknis Pemilu. Mahkamah berpendapat
kemandirian KPU merupakan pengejawantahan dari kedudukan KPU yang secara konseptual
dikategorikan sebagai lembaga independen. Frasa “mandiri” dalam Pasal 22E ayat (5) UUD
1945 menunjuk pada kedudukan KPU sebagai lembaga yang berada di luar kekuasaan
pemerintah maupun kekuasaan DPR. Sehingga dalam menjalankan fungsi membentuk
peraturan pelaksana maupun dalam melaksanakan tahapan penyelenggaraan Pemilu, KPU
bebas dari tekanan maupun pengaruh pihak manapun. Namun secara faktual, hanya peraturan
KPU dan peraturan Bawaslu saja yang proses pembentukannya mensyaratkan mekanisme
konsultasi yang putusannya bersifat mengikat. Sementara peraturan yang diterbitkan oleh
lembaga independen lainnya sama sekali tidak ada keharusan melalui proses konsultasi
dengan Pemerintah dan DPR. Perlakuan berbeda terhadap proses pembentukan peraturan
oleh lembaga yang bersifat mandiri secara langsung akan membedakan derajat kemandirian
lembaga tersebut. Proses pembentukan peraturan diharuskan berkonsultasi yang
keputusannya bersifat mengikat, akan mendegradasi tingkat kemandiriannya dibanding
lembaga serupa lainnya. Hasil konsultasi dikategorikan sebagai sesuatu yang mengikat dan
wajib dilaksanakan KPU, maka sifat memaksa dan mengikat dari hasil konsultasi
sebagaimana frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” dalam Pasal 9 huruf a UU
10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

6.2. Perlindungan Hak Pilih

Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 terkait jaminan perlindungan hak konstitusional warga


negara menggunakan hak pilih sangat fenomenal dalam penyelenggaran Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2009. Daftar Pemilih Tetap Pilpres dinilai oleh peserta Pilpres tidak
akurat, mengancam kredibilitas dan intergritas hasil Pemilu. Melalui putusannya MK
berkontribusi memberikan solusi atas hambatan teknis adminitratif warga negara untuk
didaftar sebagai pemilih. Menurut Mahkamah hak pilih merupakan hak konstitusional warga
negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang
dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan,
penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi dari warga negara, Oleh karena itu Mahkamah menyatakan Pasal 28 dan
Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak
terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara sebagai berikut:

1. Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang
belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu

219
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga
Negara Indonesia yang berada di luar negeri;

2. Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu
Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;

3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih
berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di
RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; 20

4. Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum


menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;

5. Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor
dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar
Negeri setempat.

Hambatan pelaksanaan hak pilih karena faktor administrasi juga mengemuka dalam
penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019, dengan pertimbangan serupa Mahkamah menerbitkan
putusan No. 20/PUU-XVII/2019 yang intinya menyatakan frasa “kartu tanda penduduk
elektronik” dalam Pasal 348 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai “termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik
yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang
sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu”. Melalui putusan ini Mahkamah memberi
kepastian hukum pelaksanaan hak pilih warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai
pemilih namun belum mendapatkan KTP elektronik.

Terkait isu ini, MK juga memberikan kepastian terhadap jaminan pelaksanaan hak pilih bagi
warganegara pengidap gangguang jiwa non permanen. Dalam putusan No. 135/PUU-
XIII/2015, Mahkamah berpendapat gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah dua kategori
yang beririsan namun tidak selalu dapat dipersamakan begitu saja. Gangguan ingatan
(memori) adalah masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau penurunan kualitas fisik
yaitu otak sebagai wahana penyimpan dan pemroses memori, sedangkan gangguan jiwa tidak
selalu disebabkan oleh masalah penurunan kualitas fisik manusia belaka. Masing-masing
jenis gangguan, baik gangguan jiwa maupun gangguan ingatan, memiliki turunan yang
beragam. Sehingga menurut Mahkamah frasa “gangguan jiwa/ingatan” yang tercantum pada
Pasal 57 ayat (3) huruf a harus ditegaskan bukan dalam konteks menyamakan antara
gangguan jiwa dengan gangguan ingatan, melainkan adalah pengelompokan dua kategori
berupa gangguan jiwa dan gangguan ingatan sebagai satu himpunan yang dikecualikan dari
warga negara yang berhak untuk didaftar dalam daftar pemilih. Ketentuan dalam peraturan
KPU tidak dapat difungsikan sebagai penjelasan atas UU 8/2015 in casu Pasal 57 ayat (3)
huruf a. Seadainya ketentuan demikian merupakan bagian dari norma Pasal 57 ayat (3) huruf
a, tidak dijelaskan pula secara tegas siapa pihak yang dibebani kewajiban untuk menyediakan
surat keterangan dokter sebagai bukti dan bagaimana cara menentukan calon pemilih mana

220
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

yang harus menunjukkan bukti berupa surat keterangan dokter dimaksud. Ketentuan tersebut
secara logika sulit diterima ketika orang dengan gangguan jiwa justru diberi beban tambahan
untuk menunjukkan atau membuktikan bahwa dia tidak berhak didaftar. Oleh karena itu
Mahkamah berpendapat Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015 bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami
gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang
kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan
umum”.

6.3. Syarat Partai Politik Peserta Pemilu

Terdapat dua Putusan MK No. 52/PUU-X/2012 dan No. 53/PUU-XV/2017 yang mengoreksi
ketentuan UU Pemilu karena menimbulkan perlakuan tidak sama terhadap partai politik calon
peserta Pemilu atas dasar partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional dengan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas
dan partai politik baru. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir
yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”, Ketentuan
tersebut menurut Mahkamah, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena
pada saat verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan
administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009,
sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah
dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan
memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai politik bersangkutan tidak
memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai
politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Ketentuan yang demikian, menurut
Mahkamah, tidak memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda
bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama.

Demikian pula dengan ketentuan Pasal 173 ayat (3) UU No.7 Tahun 2017, pada pokoknya
memuat norma bahwa untuk partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan
sebagai Partai Politik Peserta Pemilu. Hal ini mengandung makna bahwa ada partai politik
peserta Pemilu yang dikategorikan telah lulus verifikasi dengan syarat yang telah ditentukan
dan ada partai politik calon peserta Pemilu yang belum lulus verifikasi. Berdasarkan
ketentuan tersebut, terdapat dua kelompok partai politik calon peserta Pemilu tersebut diatur
atau diterapkan perlakuan berbeda. Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 Mahkamah menyatakan verifikasi dilakukan terhadap
seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Untuk menghindari adanya perlakuan
berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu 2019, pertimbangan Mahkamah tersebut
relevan dan harus diberlakukan untuk setiap partai politik calon peserta Pemilu 2019.
Bahkan, tidak hanya untuk Pemilu 2019, melainkan juga untuk Pemilu anggota DPR dan
DPRD dalam Pemilu periode-periode selanjutnya.

221
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

6.4. Syarat Calon Anggota DPR dan DPRD

Terkait isu pembatasan hak konstitusional warganegara untuk dipilih, terdapat lima putusan
MK yaitu No.011-017/PUU-I/2003, No.14-17/PUU-V/2007, No.22-24/PUU-VI/2008,
No.4/PUU-VII/2009 dan putusan No.20/PUU-XI/2013. Putusan tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori pertama, pengujian atas ketentuan Pasal 60 huruf g
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi "bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang
terlibat langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia atau organisasi terlarang lainnya",tersebut justru karena hanya menggunakan
pertimbangan yang bersifat politis dan merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga
negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik. Oleh karena itu, bertentangan dengan
hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat
(2).

Kedua, pengujian konstitusionalitas Pasal 58 huruf f UU Pemda, 6 huruf t UU Pilpres serta


pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f
UU 12/2008 yang mengatur syarat calon antara lain “tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau lebih”. Mahkamah berpendapat rumusan dalam UU tersebut tidak mencakup tindak
pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis), karena orang yang dipidana karena
kealpaannya pada hakikatnya bukanlah orang yang jahat. Demikian pula kejahatan karena
alasan politik dalam hubungan ini terbatas pada perbuatan yang sesungguhnya merupakan
ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam sebuah
negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada saat itu
dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan politik
yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa. Padahal, telah menjadi pandangan yang
diterima secara universal bahwa kejahatan politik bukanlah termasuk pengertian kejahatan
pada umumnya. Oleh Karena itu ketentuan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih” tidak
mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis) atau kejahatan
politik.

Selain itu, ketentuan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”, sebagaimana diatur Pasal 12
huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008
dinyatakan oleh Mahkamah sebagai norma hukum yang inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut inkonstitusional apabila tidak
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

222
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials)


sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana
selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;

3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan
terpidana;

4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Pada putusan MK No.42/PUU-XIII/2015, kembali menguji konstitusionalitas syarat calon


mantan terpidana. Dalam putusan a quo MK melakukan penafsiran filosofi pemasyarakatan
bahwa mantan terpidana seyogyanya tidak boleh dihukum lagi kecuali oleh hakim dinyatakan
dicabut hak politiknya. Dengan demikian matan terpidana dapat menggunakan hak untuk
dipilih dengan memenuhi persyaratan jujur dan terbuka menyatakan belakang jati dirinya
sebagai mantan terpidana dan Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Syarat calon tidak pernah dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap
ancaman lima tahun atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya No.56/PUU-XVII/2019,
Mahkamah berpendapat perlu untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah
yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan
penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat. Pemberian waktu ini berguna juga bagi
masyarakat untuk dapat lebih menilai yang bersangkutan. Sedangkan mengenai masa tunggu,
MK kembali merujuk pada Putusan No.4/PUU-VII/2009.

Ketiga, kebijakan afirmasi untuk menjamin kesetaraan dan keadilan perampuan. Dalam
pengujian Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, yang mengatur setiap tiga orang bakal calon
terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan merupakan kebijakan untuk
memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sesuai
Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional
yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik.
Perlakuan khusus tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Terkait isu ini, Mahkamah juga telah menguji ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 yang
mengatur “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga)
orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”
Terhadap ketentuan tersebut berdasarkan frasa “sekurang-kurangnya” dapat dimaknai bahwa

223
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

dalam setiap tiga orang bakal calon dapat diisi sekurang-kurangnya satu orang perempuan
atau dapat diisi dengan dua orang perempuan atau tiga orang perempuan sekaligus. Bahkan,
dimungkinkan juga mulai dari nomor urut 1 dan seterusnya, semuanya diisi bakal calon
perempuan, apabila dikehendaki demikian oleh partai politik yang bersangkutan.

Selanjutnya terkait penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 menyatakan, “Dalam setiap 3
(tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan
demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.” menurut
Mahkamah, terhadap frasa “atau” dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 haruslah
dimaknai kumulatif-alternatif menjadi “dan/atau” dan menghapus keberlakuan frasa “tidak
hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya” Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 tersebut
justru memperkuat makna bahwa hanya boleh ada satu perempuan dalam setiap tiga bakal
calon yang telah kehilangan relevansinya dengan adanya frasa “dan/atau” tersebut, sehingga
Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU 8/2012 yang awalnya menyatakan, “Dalam setiap 3 (tiga)
bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan
demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.” berubah menjadi
“Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1,
dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya,” Untuk memberikan kepastian hukum
terhadap keabsahan proses Pemilu yang sedang berjalan, khususnya yang terkait dengan
penetapan daftar calon anggota lembaga perwakilan, Mahkamah menegaskan bahwa
berdasarkan Pasal 47 UU MK bahwa, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, sehingga
putusan ini berlaku ke depan dan tidak berlaku untuk susunan daftar calon anggota lembaga
perwakilan dalam Pemilu Tahun 2014; Berdasarkan putusan ini seharusnya dalam
penyelenaggaraan Pemilu Tahun 2019, dapat merumuskan regulasi Pemilu yang lebih
menjamin penempatan perempuan dalam daftar calon di momor urut 1 atau 2 atau 3
sebagaimana putusan MK No. 20/PUU-XI/2013.

6.5. Syarat Calon Anggota DPD

Berdasarkan putusan MK No.10/PUU-VI/2008 dan No. 30/PUU-XVI/2018, terdapat dua isu


utama terkait ketentuan syarat calon anggota DPD yaitu syarat domisili dan calon anggota
DPD berkedudukan sebagai anggota atau pengurus partai politik. Terhadap pengujian
konstitusionalitas Pasal 12 UU 10/2008 yang tidak mencantumkan syarat domisili,
berdasarkan perspektif desain konstitusional DPD dalam UUD 1945 Mahkamah berpendapat,
syarat berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD merupakan norma
konstitusi yang implisit melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi, “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal
22C ayat (2) yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.” Sehingga, seharusnya norma konstitusi
yang bersifat implisit tersebut dicantumkan sebagai norma yang secara eksplisit dirumuskan
dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai
akibatnya, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan
yang demikian, harus dinyatakan inkonstitusional.

224
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Sedangkan untuk pengujian Pasal 182 huruf l UU Pemilu yang memuat Frasa “pekerjaan
lain” yang diikuti dengan frasa “dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”, Mahkamah berpendapat DPD didesain sebagai kekuatan penyeimbang terhadap
DPR sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945 diberi kekuasaan membentuk undang-
undang bersama Presiden [vide Pasal 20 juncto Pasal 5 ayat (1)c UUD 1945]. Artinya,
kebijakan legislasi dalam wujud pembentukan undang- undang yang berkait langsung dengan
kepentingan daerah tidak boleh semata-mata lahir sebagai produk akomodasi dan kompromi
politik yang merupakan perwujudan representasi politik, yaitu DPR dan Presiden yang
meskipun sama-sama dipilih oleh rakyat namun pengusulan dalam pengisian jabatannya
dilakukan melalui sarana partai politik. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi kekuatan
penyeimbang di DPR, maka pengisian jabatan anggota DPD haruslah berasal dari luar partai
politik. Apabila keanggotaan DPD juga dimungkinkan berasal dari pengurus partai politik,
maka keadaan demikian akan makin meneguhkan fenomena di mana keputusan politik yang
berkait langsung dengan kepentingan daerah, khususnya dalam kebijakan legislasi, secara
faktual menjadi berada di tangan pihak yang semata-mata merupakan representasi politik. Hal
ini tidak sesuai dengan semangat Pasal 22D UUD 1945. Untuk menjamin kepastian hukum
Pemilu 2019, karena proses pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai, Mahkamah
menyatakan dalam hal terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan
pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan ini, KPU dapat memberikan kesempatan
kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah
menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan
pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri dimaksud. Dengan
demikian untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya
yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945.

6.6. Pengumuman Penghitungan Cepat

Pengujian terhadap Pasal 245 UU Nomor 10 Tahun 2008, dalam putusan No. 9/PUU-
VII/2009 MK menyatakan ketentuan Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 tidak
sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa UUD 1945, karena ruang akademik memberikan
kebebasan untuk melakukan penelitian atau kegiatan ilmiah sesuai dengan prinsip-prinsip dan
metode ilmiah. Demikian pula mimbar akademik memberi kebebasan untuk mengolah dan
mengumumkan temuan atau informasi ilmiah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa
boleh dihalangi oleh siapa pun, kecuali dengan tujuan yang jelas-jelas melanggar hukum.
Meskipun tidak dilakukan oleh akademisi atau sivitas akademika perguruan tinggi, kegiatan
survei atau perhitungan cepat (quick count) tentang hasil Pemilu merupakan kegiatan berbasis
ilmiah yang juga harus dilindungi dengan jiwa dan prinsip kebebasan akademik-ilmiah dan
kebebasan mimbar akademik-ilmiah karena hal tersebut dijamin bukan saja oleh Pasal 31
ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) UUD 1945 tetapi juga oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945
yang memuat jaminan kebebasan untuk menggali, mengolah, dan mengumumkan informasi,
termasuk informasi ilmiah. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat ketentuan restriktif yang
diatur di dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 tidak sejalan dengan jiwa Pasal
31 dan Pasal 28F UUD 1945;

225
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Persoalan dengan substansi yang sama mengemuka kembali dalam penyelenggaraan Pemilu
Tahun 2014. Ketentuan larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang
Pemilu yang dilakukan pada masa tenang dan ketentuan hitungan cepat (quick count) hanya
dapat diumumkan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah
Indonesia bagian barat sebagaimana diatur Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal
291, serta Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 diuji lagi ke
MK. Dalam putusannya No. 24/PUU-XII/2014, MK menyatakan Meskipun tidak persis sama
redaksinya dengan Pasal 245 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, menurut
Mahkamah putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tersebut mutatis mutandis berlaku pula dalam
perkara ini.

6.7. Metode Penetapan Pasangan Calon Terpilih Pilpres

Dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2014 terdapat kondisi KPU menetapkan dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengatur metode penetapan
pasangan calon terpilih apabila memperoleh suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi
yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih berdasarkan syarat tersebut, dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua dipilih langsung oleh rakyat dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Ketentuan UU Nomor 42 Tahun 2008 belum mengantisipasi bagaimana metode penetapan


pasangan calon terpilih dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden. Kekosongan hukum tersebut diisi oleh MK melalui putusan No. 50/PUU-XII/2014.
MK berpendapat keterpilihan dengan persebaran perolehan suara sedikitnya dua puluh persen
setiap provinsi di lebih dari setengah provinsi di Indonesia dalam Pasal 6A ayat (3) UUD
1945 menunjukkan maksud dan kehendak dari pembentuk UUD 1945 agar Presiden dan
Wakil Presiden terpilih merupakan Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dua
legitimasi sekaligus yaitu legitimasi suara terbanyak dari rakyat dan legitimasi yang tersebar
dari seluruh provinsi di Indonesia.

Dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan
oleh gabungan beberapa partai politik, menurut Mahkamah pada tahap pencalonan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh
daerah di Indonesia karena calon Presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik
nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian,
tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan daerah di
Indonesia sudah terpenuhi. Untuk itu menurut Mahkamah Pasal 159 ayat (1) UU 42/2008,
harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh

226
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945,
sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.

6.8. Calon Perseorangan Pilkada

Melalui Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, Nomor 5/PUU-V/2007, dan Nomor 35/PUU-


VIII/2010 MK membuka kesempatan kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri
sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 56
Ayat (2) juncto Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemda dan Pasal 67 Ayat (2) UU
Pemerintahan Aceh keduanya bersumber pada dasar hukum yang sama yaitu Pasal 18 Ayat
(4) UUD 1945. Hubungan antara pasal yang terdapat dalam UU Pemerintahan Aceh dan yang
terdapat dalam UU Pemda tersebut tidaklah dapat diposisikan sebagai hubungan antara
hukum yang khusus di satu pihak, yaitu Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh, dan
hukum yang umum di pihak lain, yaitu Pasal 56 Ayat (2), juncto Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat
(2), karena ketentuan Pasal 67 Ayat (2) bukan termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan
Aceh menurut Pasal 3 Undang- Undang Nomor 44 Tahun 1999. Agar terdapat persamaan hak
warga negara sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945, maka
pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi
Nanggroe Aceh Darusalam haruslah dibuka agar tidak terdapat adanya dualisme dalam
melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang dapat menimbulkan
terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD
1945. Berdasarkan putusan tersebut, pembentuk Undang-Undang kemudian mengakomodasi
calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah
(Pemilukada) dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut UU 12/2008). Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada
secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Selanjutnya dalam Putusan Nomor 60/PUU-XIII/2015, MK menentukan basis perhitungan


syarat dukungan bagi warga negara yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan
wakil kepala daerah dari jalur perseorangan haruslah menggunakan jumlah penduduk yang
telah mempunyai hak pilih yang dalam hal ini direpresentasikan dalam daftar calon pemilih
tetap di masing-masing daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya. Untuk
memberi kepastian hukum Pilkada Tahun 2015 yang tahapannya telah berjalan, MK
menegaskan sementara putusan Mahkamah tidak berlaku surut (non-retroactive), putusan ini
berlaku untuk pemilihan kepala daerah serentak setelah pemilihan kepala daerah serentak
Tahun 2015.

6.9. Pasangan Calon Tunggal Pilkada

Dalam penyelenggaraan Pilkada Tahun 2015, MK berkontribusi memberikan jalan keluar


dari kebuntuan atas ketentuan UU No. 8 Tahun 2015 yang mengatur syarat paling sedikit dua
Pasangan Calon dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah. Apabila jumlah pasangan calon
kurang dari 2 (dua) orang dilakukan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan

227
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya. Kerentuan demikian dinilai oleh


Mahkamah dapat menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan
serentak saat itu. Seandainya penundaan dapat dibenarkan, menurut Mahkamah tetap tidak
ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat untuk dipilih dan
memilih akan dapat dipenuhi.

Menurut Mahkamah, ketentuan UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan semangat UUD
1945 jika Pemilihan Kepala Daerah tidak dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan
berikutnya sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk
dipilih dan memilih, hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua
pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah meskipun sudah diusahakan
dengan sungguh-sungguh. Demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara,
pemilihan Kepala Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan
calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah walaupun sebelumnya telah diusahakan
dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon.

Dalam putusan ini, MK juga berpendapat metode pemungutan suara Pemilihan Kepala
Daerah dengan satu pasangan calon, lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang
meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju”
dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong. Mekanisme
demikian, menurut Mahkamah, lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan “menang
secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud
ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila
ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian
pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Penundaan
demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah
memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.

6.10. Desain Pemilu Serentak 5 Kotak Suara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6A Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 22E Ayat (2) UUD
NRI 1945, jadwal penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap yaitu
pelaksanaan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden setelah pelaksanaan Pemilu legislatif dinilai tidak sejalan dengan ketentuan
Pasal 22E Ayat (2). Melalui pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden, MK menerbitkan putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menjadi pijakan hukum
penataan jadwal pemilu penyelenggaraan Pemilu legislatif dilaksanaan bersamaan dengan
pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut MK penyelenggaraan Pilpres harus dikaitkan dengan rancang bangun sistem


pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu di
antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat yang melakukan
pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial.

228
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, Presiden terpilih terpaksa harus melakukan negosiasi
dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang
mempengaruhi jalannya roda pemerintahan. Menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres
harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar- menawar (bargaining) politik yang
bersifat taktis demi kepentingan sesaat.

Praktik ketatanegaraan hingga saat ini, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan ternyata tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang
dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi.
Ditinjau dari sisi original intent dan penafsiran sistematik, makna asli yang dikehendaki oleh
para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pilpres
adalah dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan.Oleh karena itu,
norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
tidak sesuai dengan semangat dan makna pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E
ayat (1) UUD 1945. Mengingat tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah
dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan, untuk memberi kepastian hukum Pemilu,
MK menyatakan pelaksanaan putusan a quo setelah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu
Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2014.

229
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Daftar Pustaka
Asshidiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945. FH UII Press. Yogyakarta. 2004.
Asshidiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. PT Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia. Jakarta. 2009.
Asshidiqie, Jimly. Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua. Sinar Grafika.
Jakarta. 2010.
Bisariyadi., Putri, Intan Permata., Devitasari, Ananthia Ayu., Anindyajati, Titis., Widjaja,
Alia Harumdani., Ali, Mohammad Mahrus., Hilipito, Meyrinda Rahmawaty. Laporan
Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap
Undang-Undang Dasar. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. 2016.
Catt, Helena., et. al., The Electoral Management Design: Revised Edition (Stockholm,
Sweden: Office International IDEA, 2014)
Gaffar, Janedjri M. Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi
Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu. Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 1, Maret
2013.
Hemauniger, Herbert. The Austrian Legal System. Manzsche Verlagsund Universitat
Buchhandlung. Wien. 2003.
Indrayana, Denny. Indonesian Constitutional Reform 1999-2002, An Evaluation of
Constitution-Making in Transition. Thesis Doktoral di University of Melbourne.
2005.
Isra, Saldi. Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 3, September 2014.
Isra, Saldi., Yuliandri., Amsari, Feri., Simabura, Charles., Medina, Dayu., Elda, Edita. Hasil
Penelitian Perkembangan Pengujian Nnstitusi & PUSaKO FH Universitas Andalas.
2010.
Kelsen, Hans. Judicial Review of Legislation: A Comparative Study of the Austrian and
American Constitution. The Journal of Politics, 4 (2), 1942.
Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange, Ltd. Clark, New Jersey. 2005.
Martitah. Mahkamah Konstitusi, dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Konpress.
Jakarta. 2013
Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku I, Latar
230
Mahkamah Konstitusi dan Kepastian Hukum Pemilu

Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan UUD 1945. Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 - BUKU 5, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Palguna, I D.G. Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan
dengan Negara Lain. Konpress. Jakarta. 2018.
Safaat, Muchammad Ali., Widiarto, Aan Eko., Suroso, Fajar Laksono. Pola Penafsiran
Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2009-2013.
Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 2, Juni 2017.
Seidman, Ann., Seidman, Robert., Abeysekere, Nalin. Legislative Drafting for Social Change
(London: Kluwer Law International, 2001).
Seidman, Robert B., Chambles, William J. Law, Order and Power. Printed in United States of
America, Pubhlised Stimulant Costly in Canada Library of Congress Catalog Card
No. 78-111948.
Sekretariat Jenderal MPR RI, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Sejarah,
Realita, dan Dinamika. Jakarta. 2006.
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2002 Buku Lima (Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008)
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999. Jakarta. 2008.
Siregar, Fritz Edward. Indonesian Constitutional Politics 2003-2013. Thesis Doktoral di
Faculty of Law UNSW, 2016.
Sulistyo, Hermawan. Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy dalam A.
Croissant (ed). Electoral Politics in Southeast and East Asia. Friedrich Ebert Stiftung,
Singapore. 2002.
Wahyono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II. Ghalia Indonesia.
Jakarta. 1986.

231

Anda mungkin juga menyukai