Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HUKUM PEMILU

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA

DAERAH OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI

DISUSUN OLEH

FERDY ICHSAN RAMADHAN

201000474201010

DOSEN PENGAMPU: DR. AERMADEPA, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MAHAPUTRA MUHAMMAD YAMIN

SOLOK

2023
KATA PENGANTAR

Segala ungkapan puji dan syukur penulis ucapkan hanyalah berhak

ditujukan kepada Allah SWT, pengatur dan penguasa alam semesta. Karena berkat

rahmat, hidayah dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan

judul “Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Oleh

Mahkamah Konstitusi”. Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas dari Ibu

Dr. Aermadepa, SH., MH. selaku Dosen Mata Kuliah Hukum Pemilu pada

perkuliahan semester ini di Fakultas Hukum Universitas Mahaputra Muhammad

Yamin. Selanjutnya shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan kepada

Nabiyullah Muhammad SAW yang telah berhasil megeluarkan umatnya dari zaman

jahiliyah kezaman kebenaran yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Dalam sebuah tulisan tentu tidak terlepas dari kesalahan baik segi bahasa,

bentuk maupun sistematika penulisan yang sangat jauh dari kesempurnaan. Hal ini

disebabkan oleh kurangnya pengalaman, keterbatasan ilmu pengetahuan dan

kemampuan yang penulis miliki. Olehnya itu besar harapan penulis dengan senang

hati untuk menerima berbagai saran dan kritikan yang cermat guna untuk perbaikan

dan kesempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya semoga dengan adanya makalah ini dapat dimanfaatkan sesuai

dengan harapan.

Solok, 8 Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................

KATA PENGANTAR ..........................................................................................i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5

C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 6

A. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah ... 6

B. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah

Konstitusi ...............................................................................................10

BAB III PENUTUP ...........................................................................................17

A. Kesimpulan .......................................................................................17

B. Saran .................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara kesatuan berbentuk Republik yaitu sebuah

Negara yang berdaulat dan merdeka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal

1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945(UUD NRI

1945) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk

Republik”. Sebagai sebuah Negara kesatuan, daerah diberikan kesempatan serta

kuasa untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asas desentralisasi. 1

Mengenai pemilihan kepala daerah diatur pasal 18 ayat 4 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Walikota

masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota

dipilih secara demokratis”. Dalam rangkat melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat

(4) UUD NRI 1945, pemaknaan kata demokratis terdapat beberapa Undang-

Undang yang mengaturnya. Berawal dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2015 tentag perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang

Pemerintah Daerah, yang mana kata demokratis disini dimaknai dengan cara

langsung dipilih oleh rakyat. Jimly Asshiddiqie angkat bicara soal kata “dipilih

secara demokratis” yang terdapat pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah bersifat

luwes, oleh karena itu dapat diartikan pemilihan dilakukan secara langsung.2

Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ini selanjutnya sebagai dasar dalam

1
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, BumiAksara, Jakarta,
2008, hlm. 3
2
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2002, hlm. 18

1
menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah langsung pemimpin tingkat daerah

Provinsi hingga tingkat Kabupaten/kota.

Pemilu merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan

politik yang demokratis. Fungsinya sebagai alat menyehatkan dan

menyempurnakan demokrasi, bukan sebagai tujuan demokrasi. 3 Pemilu merupakan

pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat dan sekaligus

merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya

untuk menjalankan pemerintahan.4

Pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh

rakyat pertama sekali dilaksanakan pada tahun 2004. Sedangkan untuk pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah tingkat kabupaten/kota untuk pertama

kalinya dilaksanakan pada 1 Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan

Timur. Kemudian disusul, Kota Cilegon, Banten, Kota Pekalongan dan Kabupaten

Kebumen Jawa Tengah pada 5 Juni 2005 dan Kabupaten Indragiri Hulu, pada 11

Juni 2005. Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

tingkat provinsi pertama kalinya dilaksanakan di Sulawesi Utara pada 20 Juni

2005.5

Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 adalah sebagai bukti bahwa

Pemilukada memang seharusnya masuk dalam rezim pemilihan umum. Dalam

pertimbangan hukumnya, para hakim konstitusi menjelaskan bahwa memang

3
M. Rusli Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1991,
hlm. 1.
4
Ibid, hlm. 2
5
Hamdan Zoelva, Vol. 10, No. 3, September 2013, Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil
Pemilukada oleh Mahkamah Konstitus, Jurnal Konstitusi, hlm. 379 Diakses pada 8 Januari 2023
pukul 9.45 WIB

2
secara formal pemilukada bukanlah Pemilu seperti halnya yang disebut dalam

Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, akan tetapi pemilukada

langsung adalah pemilihan umum secara materiil untuk mengimplementasikan

Pasal 18. Para hakim konstitusi juga merekomendasikan kepada pembuat undang-

undang untuk menetepkan KPU sebagai penyelenggara pemilukada langsung

sesuai Pasal 22E.

Selanjutnya, pemilukada dikategorikan oleh pembuat undang-undang

sebagai Rezim Pemilu yang harus diselenggarakan oleh KPU berdasarkan Pasal 1

angka 4 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah oleh

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

yang berbunyi “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu

untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam

NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Masuknya pengertian pemilukada

sebagai Pemilu berakibat pemilukada masuk dalam rezim Pemilu dan harus

diselenggarakan secara langsung oleh Penyelenggara Pemilihan Umum, dalam hal

ini adalah Komisi Pemilihan Umum, demikian juga dalam hal penyelesaian

sengketa Pemilihan Kepala Daerah maka diselesaikan dengan cara yang sama

dengan penyelesaian pemilu, yaitu diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Pada awalnya kekuasaan mengadili perselisihan hasil pemilukada

merupakankewenangan Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1)

Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan

disahkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

3
Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah pada 28 April 2008 dan kemudian ditandatanganinya berita acara

pengalihan wewenang mengadili dari Ketua Mahkamah Agung kepada Ketua

Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008, maka secara resmi Mahkamah

Konstitusi kewenangannya menjadi lebih luas dalam menyelesaikan PHPU, baik

PHPU anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, presiden dan wakil presiden

serta ditambah PHPU Kepala Daerah.6

Perluasan kewenangan itu menandakan dua hal. Pertama, penegasan bahwa

selain menjadi pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), Mahkamah

Konstitusi juga menjalankan fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of

democracy). Dalam mengawal demokrasi, Mahkamah Konstitusi menjadi pemutus

paling akhir atas sengketa Pemilukada. Peran yang demikian membuat Mahkamah

Konstitusi menyadari bahwa putusan tidak hanya menyangkut para kandidat yang

sedang berkompetisi tetapi menentukan nasib rakyat dan demokrasi terutama di

daerah di mana Pemilukada digelar. Kedua, Pemilihan kepala daerah menjadi

berada dalam lingkup pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD

1945 karena hanya sengketa pemilu-lah yang menjadi kewenangan Mahkamah

Konstitusi. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi harus dapat menunjukkan

performa yang lebih baik dalam proses penanganannya. 7

Sejak kewenangan untuk menyelesaikan PHPU Kepala Daerah

dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi dari tahun 2008 sampai sekarang ini,

6
Hamdan Zoelva, Ibid, hlm. 382
7
Ibid

4
Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan 636 dan telah memutus

sebanyak 606 perkara. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terdiri sebanyak dari

putusan yang dikabul sebanyak 64, ditolak sebanyak 388, tidak dapat diterima 130,

ditarik kembali sebanyak 17, dan gugur sebanyak 2. Dalam pemeriksaan atas

sejumlah perkara tersebut banyak ditemukan permasalahan yang cukup serius yang

bukan hanya melanggar hukum, secara substantif juga bisa mengancam

kelangsungan demokrasi di Indonesia. 8

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik membuat suatu

makalah yang berjudul “Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Kepala Daerah oleh Mahkamah Konstitusi”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Kepala Daerah Di Indonesia?

2. Apasaja perkara perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah Umum yang

diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan

Kepala Daerah Umum Di Indonesia

2. Untuk mengetahui perkara perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah

Umum yang diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi

8
Ibid, hlm. 384

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah

Pemilukada merupakan sejarah bagi Indonesia. Pada setiap pelaksanaan

pemilihan kepala daerah, munculnya suatu sengketa tidak dapat dihindari. Sengketa

yang dimaksud dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antar

peserta Pemilukada. Selain itu, sengketa juga mungkin muncul pada berbagai

tahapan Pemilukada seperti pada pencalonan maupun hasil Pemilukada itu sendiri.

Namun, kemunculan sengketa atau permasalahan itu janganlah dipandang sebagai

kelemahan dari suatu sistem Pemilukada melainkan semestinya dipandang sebagai

elemen penting yang harus ada. Keberadaan suatu mekanisme penyelesaian

sengketa yang efektif sangat diperlukan untuk menjaga legitimasi dan integritas

suatu Pemilukada.

Jika dikaitkan lebih jauh dengan prinsip-prinsip Negara hukum, urgensi

keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu erat kaitannya dengan

konsep due of law. Konsep itu menekankan pada adanya suatu perlindungan dan

penegakan hak asasi warga Negara. Secara prosedural, konsep due process of law

menghendaki adanya suatu proses yang adil dan layak (fair and proper) sebelum

pengambilan suatu keputusan yang dapat merugikan individu.9Thomas Fleiner

menyatakan secara prosedural, tujuan utama dari due process of law adalah untuk

memberikan jaminan terbaik bahwa proses penemuan fakta dalam penyelesaian

9
Reki Wahyudi, Skripsi, Lembaga Negara Penyelesai Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah Di
Indonesia, Pekanbaru, 2022, hlm. 54. Diakses pada 8 januari 2023 pukul 10.00 WIB

6
sengketa juga mengakomodir kepentingan yang saling bertentangan diantara para

pihak. 10

Pelaksanaan pemilukada secara langsung selain tersedianya perangkat aturan

yang menjadi payung hukum pelaksanaannya, mekansime dan prosedur yang rinci

serta sanksi dan penegakan hukum yang baik (aspek normatif), juga secara

bersamaan perlu kesiapan dan kesadaran politik yang baik dari masyarakat pemilih

(aspek kultur). Kedua aspek ini, yaitu aspek normatif dan aspek kultur menjadi

sangat penting dipenuhi agar tujuan pemilukada dapat mencapai sasaran yang

diidealkan. Dari aspek kultur, secara universal, paling tidak ada 3 prasyarat yang

harus dipenuhi untuk melakukan pemilihan langsung, yaitu: tingkat kesejahteraan,

tingkat pendidikan yang baik dari pemilih dan institusi penegakkan hukum yang

dipercaya. Sebaik apa pun regulasi pemilu tanpa didukung ketiga prasyarat ini,

tetaplah pemilukada demokratis itu menghadapi masalah. Namun demikian, karena

tidak mungkin menunggu setelah terpenuhinya aspek kultural, pemilihan langsung

baru dapat dilaksanakan, maka regulasi, proses serta penegakan hukum pemilu

harus ditata dan dilaksanakan secara baik dan konsisten11

Selain itu, untuk menjamin terwujudnya Pemilukada yang benar-benar

sesuai dengan kaidah demokrasi, pelaksanaannya harus dilakukan dengan sistem

yang baik, yaitu adanya bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder

(subsystems) seperti electoral regulation, electoral process, dan electoral law

enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai

10
Fritz Edward Siregar, Menuju Peradilan Pemilu,Themis Publishing, Jakarta, 2018, hlm. 67
11
Hamdan Zoelva, Op.Cit, hlm. 381

7
Pemilukada yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi

penyelenggara, calon, dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-

masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait langsung dengan

pelaksanaan pemilukada merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang

bersifat legal maupun bersifat teknikal. Electoral law enforcement merupakan

penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilukada baik politis Mahkamah

Konstitusi, administratif, atau pidana. 12 Aturan ini tidak akan berjalan apabila tidak

ada kepatuhan hukum dalam masyarakat.

Mengenai kepatuhan terhadap aturan dan penegakkan hukum, terdapat

sejumlah persyaratan yang menjadi dasar bagi pembangunan sistem penegakan

hukum pemilu yang baik. Persyaratan itu adalah:13

1. adanya mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif,

2. adanya aturan mengenai sanksi yang jelas atas pelanggaran pemilu,

3. adanya ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih,

4. adanya hak bagi pemilih, kandidat, partai politik untuk mengadu kepada

lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan,

5. adanya kewenangan untuk mencegah hilangnya hak pilih yang diputuskan

oleh lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan,

6. adanya hak untuk banding, adanya keputusan yang sesegera mungkin,

7. adanya aturan main mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan

gugatan, adanya kejelasan mengenai implikasi bagi pelanggaran aturan

12
Ibid.
13
Ibid, hlm.391

8
pemilu terhadap hasil pemilu, dan

8. adanya proses, prosedur, dan penuntutan yang menghargai hak asasi

manusia.

Dalam konteks penegakkan hukum Pemilukada tentu tidak hanya berbicara

mengenai hukum dan norma yang mendasari penegakkan hukum tersebut tetapi

juga hal-hal yang melatarbelakangi efektifitas aparat penegak hukum Pemilukada

itu sendiri. Penegak hukum Pemilukada yang dimaksud meliputi: 14

1. Komisi Pemilihan Umum Daerah selaku penyelenggara Pemilukada yang

mempunyai wewenang memberikan sanksi terhadap para pelaku

pelanggaran administrasi pemilu,

2. Panitia Pengawas Pemilu selaku pengawas yang diberi wewenang untuk

memastikan ada-tidaknya pelanggaran pemilu dan menyelesaikaan sengketa

non- hasil Pemilukada,

3. jajaran kepolisian,

4. kejaksaan, dan

5. lembaga peradilan yang masing-masing berwenang menyidik, mendakwa,

dan menjatuhkan vonis terhadap pelaku penyelenggaran Pemilukada, serta

6. Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang diberi amanat oleh Konstitusi

untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu

Melihat historis perkembangan penegakan hukum pemilu terdapat empat

periodisasi peradilan yang diberi wewenang untuk mengadili sengketa hasil

pemilihan kepala daerah secara langsung, yakni: periode di Mahkamah Agung

14
Ibid, hlm.392

9
(2005–2008), periode di Mahkamah Konstitusi (2008–2014), periode di

Pengadilan Tinggi dan kasasi ke Mahkamah Agung (2014–2015), periode di

MahkamahKonstitusi (2015) sampai dengan terbentuknya peradilan khusus. 15.

Namun berdasarkan Putusan MK nomor 85/PUU-XX/2022 tanggal 29

September 2022 menegaskan bahwa Penyelesaian Perselisihan Hasil pemilihan

Umum Kepala Daerah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi secara

permanen. Dalam putusan tersebut menyatakan bahwa frasa “sampai dengan

terbentuknya peradilan khusus” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan

konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi secara konstitusional diatur dalam Undang–

Undang Dasar Negara 1945 Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2), serta diatur dalam

Undang–undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10

ayat (1) dan ayat (2). Hal tersebut berarti bahwa Mahkamah Konstitusi terikat

pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Prinsip-prinsip

tersebut adalah merdeka, bebas daripengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam

menegakkan hukum dan keadilan.

15
Heru Widodo, Hukum Acara Sengketa Pemilukada Dinamika Di Mahkamah Konstitusi, KonPres,
Jakarta, 2018, hlm. 304

10
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa,

mengadili, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan berlakunya

Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, maka

pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada) yang

sebelumnya disebut pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada)

dimasukkan dalam rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud oleh UUD

1945. Definisi pemilukada dalam pasal 1 angka 2 Undang–undang Nomor 22

Tahun 2007 adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil

kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

Pada sisi lain, Kewenangan tambahan memutus perselisihan hasil

pemilihan kepala daerah mengakibatkan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat

sibuk oleh masalah konstitusional yang bersifat hilir, yaitu mengadili sengketa

konkret. Sebagian besar pelanggaran administrasi dan pidana yang terjadi dalam

proses pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah diajukan ke Mahkamah

KonstitusI. Dianggap Mahkamah Konstitusi seolah-olah merupakan “Mahkamah

Pemilihan,” dimana hampir semua masalah yang muncul dalam penyelenggaraan

pemilihan dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Anggapan bahwa Mahkamah

Konstitusi dapat memutuskan “segala hal” yang berkait dengan pemilihan tetap

tertanam, meskipun Mahkamah sendiri sejak awal keberadaannya telah

menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang mengadili

11
perselisihan hasil pemilu. 16

Sebagaimana terungkap dalam berbagai persidangan sengketa Pemilukada

yang diperiksa di Mahkamah Konstitusi, berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi

dalam pelaksanaan Pemilukada antara lain berupa manipulasi suara, praktik politik

uang (membayar pemilih/membeli suara), intimidasi fisik dan non fisik, politisasi

birokrasi (mobilisasi pejabat birokrasi dan PNS), keberpihakan dan kelalaian

penyelenggara, dan lain-lain. Jika mengikuti perkembangan putusan Mahkamah

Konstitusi, selain pelanggaran dalam bentuk penggelembungan suara, setidaknya

ada empat bentuk pelanggaran dalam proses Pemilukada yang dapat membatalkan

hasil Pemilukada, yaitu sebagai berikut:17

Pertama, mobilisasi aparat birokasi pemerintahan. Pelanggaran Pemilukada

dalam bentuk seperti ini pada umumnya dilakukan oleh calon petahanan

(incumbent) atau calon yang didukung oleh petahana. Bentuk pelanggaran

tersebut, antara lain berupa adanya perintah atasan baik secara terbuka

maupun secara tertutup atau pemufakatan diantara aparat birokasi, misalnya

para camat atau kepala dinas, untuk memenangkan pasangan calon tertentu

dan aktif melakukan sosialisasi serta mengarahkan aparat birokrasi dan

para pemilih untuk memilih pasangan serta tertentu. Alasan pelanggaran

atas dasar mobilisasi aparat birokrasi hanya dapat membatalkan hasil

Pemilukada, apabila pelanggaran tersebut bersifat sistematis, terstruktur, dan

16
I D.G. Palguna, Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan Perbandingan
Dengan Negara Lain, KonPress, Jakarta, 2018, hal 207.
17
Hamdan Zoelva, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menegakkan Negara Hukum dan Demokrasi,
dalam Bagir Manan, Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan Pikiran dalam Rangka
Purnabakti, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2011, hlm. 642
Diakses pada 8 januari 2023 pukul 11.00 WIB

12
masif dan mempengaruhi hasil Pemilukada.

Kedua, keberpihakan dan kelalaian penyelenggara Pemilukada terkait

syarat calon kepala daerah. Dalam beberapa perkara di Mahkamah

Konstitusi, ditemukan adanya keberpihakan dan kelalaian penyelenggara

Pemilukada terkait syarat calon kepala daerah, yang umumnya terjadi dalam

dua bentuk, yaitu, meluluskan calon yang seharusnya menurut undang-

undang tidak memenuhi syarat dan/atau mendiskualifikasi calon kepala

daerah yang menurut undang-undang seharusnya memenuhi syarat.

Ketiga, pelanggaran politik uang (money politics). pelanggaran money

politic yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi

hasil perolehan suara yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon.

Pelanggaran yang dilakukan adalah dengan cara membentuk tim

pemenangan pasangan calon secara tidak wajar, atau dengan cara-cara

intimidasi oleh tim sukses untuk mempengaruhi pemilih dan melumpuhkan

kewenangan Panitia Pengawas Pemilukada sehingga tidak bisa menjalankan

tugas fungsinya dengan baik.

Keempat, gabungan pelanggaran mobilisasi birokrasi, money politic, dan

keberpihakan penyelenggara. pelanggaran tersebut dikualifikasi oleh

Mahkamah Konstitusi sebagai pelanggaran yang bersifat terstuktur,

sistematis, dan masif yang mempunyai akibat langsung terhadap Pemilukada

dan dengan sendirinya mempengaruhi hasil akhir perolehan suara bagi

masing-masing pasangan calon. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak

dapat membiarkan aturan-aturan keadilan prosedur (procedural justice)

13
memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice).

Di samping, pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas, terdapat juga kasus

penggelembungan suara dan manipulasi suara dalam penghitungan ditingkat

kecamatan (PPK) yang mengubah komposisi perolehan suara secara keseluruhan

(perkara Pemilukada Kabupaten Morotai provinsi Maluku Utara) serta pelanggaran

teknis pencoblosan dan pengitungan yang merugikan kandidat tertentu. Oleh karena

sangat merugikan kandidat yang lain dan menghormati hak pilih dari pemilih,

Mahkamah membatalkan hasil Pemilukada yang demikian. 18

Dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang telah diuraikan tersebut diatas,

perlu digarisbawahi bahwa disamping adanya pelanggaran-pelanggaran yang

bersifat sistematis, terstruktur dan masif, juga terdapat kesalahan penghitungan

suara dan teknis pemilu. Bentuk pelanggaran yang demikian merupakan

pelanggaran terhadap konstitusi khususnya Pasal 22E ayat (1) ayat (4) UUD 1945

yang mengharuskan Pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur

dan adil. 19

Peran Mahkamah Konstitusi dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul

dalam pelaksanaan Pemilukada pada tahap tertentu mendapat tanggapan yang

positif. Melalui putusan-putusannya, Mahkamah Konstitusi telah merespon

permasalahan-permasalahan Pemilukada melampui rigiditas hukum acara dengan

cara penafsiran ekstensif. Dalam hal ini, sebagai pengawal demokrasi, Mahkamah

Konstitusi berkewajiban untuk tetap memastikan bahwa pelaksanaan Pemilukada

18
Hamdan Zoelva, Loc.Cit
19
Ibid.

14
tidak melanggar prinsip konstitusi, yaitu pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’. Namun

bukan berarti, langkah hukum Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mendapat

respon yang negatif, karena dinilai telah mengeyampingkan undang-undang,

bahkan memperluas kewenanganya sendiri. 20

Memperhatikan proses Pemilukada yang telah berlangsung, untuk beberapa

tahun ke depan, masalah penegakan hukum, diperkirakan masih mendapatkan

banyak hambatan. Hal itu disebabkan, karena tingkat kesadaran hukum dan kultur

politik yang belum mendukung dengan baik. Namun, pilihan untuk menempuh

proses pengadilan seperti di Mahkamah Konstitusi, dan menghindarkan jalan

kekerasan atas sejumlah sengketa Pemilukada serta kepatuhan terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi, walaupun terdapat perlawanan untuk beberapa kasus

Pemilukada, menunjukkan adanya kesadaran hukum yang baik di kalangan pelaku

politik.

Penyelesaian secara hukum atas sengketa Pemilukada diharapkan menjadi

preseden baik bagi penegakan hukum di Indonesia mengingat sengketa Pemilukada

merupakan sengketa yang sensitif dan menyangkut keterlibatan publik yang luas,

sehingga berdampak pada kehidupan demokrasi secara keseluruhan. Keberhasilan

dalam menangani sengketa serupa di masa datang akan menentukan proses

konsolidasi demokrasi di Indonesia, sehingga semua elemen menyakini rule of law

sebagai prinsip demokrasi yang menjadi satu-satunya aturan yang ditaati dan tidak

tergoda untuk menempuh jalan kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai

20
Ibid, hlm.393

15
demokrasi. 21

Sejak 2008 hingga 2018, Mahkamah Konstitusi telah menangani sebanyak

982 perkara perselisihan hasil Pemilukada. Tahun 2008 Mahkamah Konstitusi

menerima sejumlah 27 perkara, selanjutnya pada tahun 2009 sebanyak 3

perkara, pada tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebanyak 230 perkara dan 132

perkara. Sementara pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi menangani sejumlah

105 perkara, dan pada tahun 2013 sebanyak 192 perkara telah diselesaikan oleh

MK. Sedangkan pada tahun 2014, perkara Pemilukada yang ditangani Mahkamah

Konstitusi hanya sebanyak 9 perkara mengingat pada tahun tersebut juga

dilaksanakan pemilihan umum. Pada tahun 2016, perkara Pemilukada yang

diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi sejumlah 152 dan untuk tahun 2017

sebanyak 60 perkara, sedangkan untuk tahun 2018 sebanyak 72 perkara.22

Putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa perselisihan hasil pemilihan

serentak bersifat final dan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno

yang terbuka untuk umum. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut selanjutnya

disampaikan kepada Presiden, DPR, pemohon, termohon, dan pihak terkait.

21
Ibid, hlm.394
22
Reki Wahyudi, Op.Cit, hlm. 87

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemilukada merupakan sejarah bagi Indonesia. Pada setiap pelaksanaan

pemilihan kepala daerah, munculnya suatu sengketa tidak dapat dihindari.

Sengketa yang dimaksud dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara

maupun antar peserta Pemilukada. Selain itu, sengketa juga mungkin

muncul pada berbagai tahapan Pemilukada seperti pada pencalonan maupun

hasil Pemilukada itu sendiri. Namun, kemunculan sengketa atau

permasalahan itu janganlah dipandang sebagai kelemahan dari suatu sistem

Pemilukada melainkan semestinya dipandang sebagai elemen penting yang

harus ada. Keberadaan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif

sangat diperlukan untuk menjaga legitimasi dan integritas suatu

Pemilukada. konteks penegakkan hukum Pemilukada tentu tidak hanya

berbicara mengenai hukum dan norma yang mendasari penegakkan hukum

tersebut tetapi juga hal-hal yang melatarbelakangi efektifitas aparat penegak

hukum Pemilukada itu sendiri. Penegak hukum Pemilukada yang dimaksud

meliputi: 23

a. Komisi Pemilihan Umum Daerah selaku penyelenggara Pemilukada

yang mempunyai wewenang memberikan sanksi terhadap para

pelaku pelanggaran administrasi pemilu,

23
Ibid, hlm.392

17
b. Panitia Pengawas Pemilu selaku pengawas yang diberi wewenang

untuk memastikan ada-tidaknya pelanggaran pemilu dan

menyelesaikaan sengketa non- hasil Pemilukada,

c. jajaran kepolisian,

d. kejaksaan, dan

e. lembaga peradilan yang masing-masing berwenang menyidik,

mendakwa, dan menjatuhkan vonis terhadap pelaku penyelenggaran

Pemilukada, serta

f. Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang diberi amanat oleh

Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu

2. Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan

konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai dengan tugas dan

wewenangnya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi secara konstitusional

diatur dalam Undang–Undang Dasar Negara 1945 Pasal 24C ayat (1) dan

ayat (2), serta diatur dalam Undang–undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Hal tersebut berarti

bahwa Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman. Prinsip-prinsip tersebut adalah merdeka, bebas dari

pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan

keadilan. Sebagaimana terungkap dalam berbagai persidangan sengketa

Pemilukada yang diperiksa di Mahkamah Konstitusi, berbagai bentuk

pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilukada antara lain berupa

18
manipulasi suara, praktik politik uang (membayar pemilih/membeli suara),

intimidasi fisik dan non fisik, politisasi birokrasi (mobilisasi pejabat

birokrasi dan PNS), keberpihakan dan kelalaian penyelenggara, dan lain-lain.

Jika mengikuti perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi, selain

pelanggaran dalam bentuk penggelembungan suara, setidaknya ada empat

bentuk pelanggaran dalam proses Pemilukada yang dapat membatalkan hasil

Pemilukada.

B. Saran

Dari penulisan makalah ini ada saran yang akan di sampaikan penulis yaitu

mengenai pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah harus dilaksanakan secara

demokratis yang berpedoman pada asas-asas pemilu sehingga dapat meminimalisir

jumlah pelanggaran dan sengketa perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala

Daerah demi terwujudnya Pemilukada yang Demokratis

Semoga dengan penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber baik

belajar untuk mata kuliah Hukum Pemilu maupun sebagai bacaan yang dapat

menambah wawasan pembaca tentunya dan penulis sangat mengharapkan kritkan

dan saran yang membangun dari para pembaca makalah ini demi kesempurnaan

dalam penulisan kedepannya

19
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi
Aksara, Jakarta, 2008,

Fritz Edward Siregar, Menuju Peradilan Pemilu,Themis Publishing, Jakarta, 2018

Heru Widodo, Hukum Acara Sengketa Pemilukada Dinamika Di Mahkamah


Konstitusi, KonPres, Jakarta, 2018

I D.G. Palguna, Mahkamah Konstitusi: Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan


Perbandingan Dengan Negara Lain, KonPress, Jakarta, 2018

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,


Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2002.

M. Rusli Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, PT. Tiara Wacana Yogya,


Yogyakarta, 1991

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004

Putusan MK nomor 85/PUU-XX/2022

C. Sumber Lain

Hamdan Zoelva, Vol. 10, No. 3, September 2013, Problematika Penyelesaian


Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitus, Jurnal Konstitusi.

Hamdan Zoelva, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menegakkan Negara Hukum


dan Demokrasi, dalam Bagir Manan, Negara Hukum yang Berkeadilan Kumpulan
Pikiran dalam Rangka Purnabakti, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum
Unpad, Bandung, 2011

Reki Wahyudi, Skripsi, Lembaga Negara Penyelesai Sengketa Hasil Pemilihan


Kepala Daerah Di Indonesia, Pekanbaru, 2022

Anda mungkin juga menyukai