Anda di halaman 1dari 16

HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILU

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

DAMIELLY SALSABILA DHARA MEUTUAH : 210510081


JUWITA RAMAINI : 210510304
MUHAMMAD AKBAR FAUZAN : 210510316
MUHAMMAD SHOFWAN : 210510301
RAISHA USWANA : 210510174

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
T.A 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan nikmat kesehatan
serta karunianya sehingga tugas makalah yang berjudul “Hukum Acara Perselisihan Hasil
Pemilu” dapat diselesaikan dengan baik.shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad
Saw. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti
sekarang ini.

Terima kasih kepada Bapak Thasyakur S.H., M.H., selaku dosen mata kuliah Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Terima kasih juga
kepada para penyusun yang telah mencurahkan waktu serta pikirannya untuk menyelesaikan
makalah ini. Kami sada bahwa makalah yang kami susun ini mungkin masih jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami selaku penyusun meminta kepada pembaca sekalian untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Lhokseumawe, 27 Mei 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perselisihan Pemilu sebagai Salah Satu Bentuk Sengketa Pemilu ............... 3
2.2 Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Politik .......................................... 5
2.3 Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Mengadili Perkara Perselisihan
Hasil Pemilihan ............................................................................................... 6
2.4 Analisis Kasus Sengketa Hasil Pemilu ........................................................... 8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 11


3.2 Saran ............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak lahirnya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya mengadili perselisihan


hasil pemilihan umum (PHPU) mengundang banyak masyarakat untuk menguji hak politik
masing-masing kepentingan peserta pemilu dan pemilih dengan tujuan mencari keadilan atas
kekalahan dirinya dan/atau kekalahan pemilih atas terlaksananya pemilihan umum. Dasar
kewenangan tersebut diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 24C ayat (1) memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Pemilu memiliki posisi yang strategis dalam membangun
demokrasi agar Pemilu dapat membangun kultur demokrasi yang bermartabat yang
penyelenggaraannya harus berdasarkan prinsip mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib
penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas;
akuntabilitas; efisiensi; dan efektifitas. Melihat pentingnya Pemilihan Umum sebagai
kontestasi politik penentu arah kebijakan umum yang akan dijalankan oleh para pemimpin
pemerintahan maka penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum ini harus melalui proses
persidangan sebagaimana prinsip Negara hukum yang menghendaki keadilan harus dibuktikan
dimuka persidangan. Besarnya harapan kepada MK juga didasari pada sentralitas peran MK
yang berimbas pada putusan-putusan yang diputuskan oleh MK sering membuat publik
terhentak. Tidak jarang pula putusan-putusan yang diambil oleh MK dianggap telah keluar dari
aturan prosedural yang membatasinya. 1

Langkah yang dapat dijalankan untuk mengatasi permasalahan pemilu di Indonesia


mengenai sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu diserahkan penyelesaiannya
kepada Bawaslu dan Panwaslu. Permasalahan hukum tersebut satu-satunya yang diserahkan
kepada Bawaslu dan Panwaslu untuk menyelesaikannya. Namun lembaga Bawaslu dan
Panwalu bukanlah lembaga peradilan. Akibatnya, kontroversi terhadap pelbagai putusan yang
fundamental kerap menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat.

1
Ilham Kurniawan Ardi, Zico Junius Fernando : DESAIN PERADILAN PENYELESAIAN SENGKETA
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI MAHKAMAH
KONSTITUSI. AL-IMARAH: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam Vol. 7, No. 2, 2022

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang diangkat
dalam penulisan ini adalah :

1. Apakah Mahkamah Konstitusi berwenang dalam mengadili perkara perselisihan hasil


pemilihan kepala daerah berdasarakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta Peraturan Perundang-undangan?
2. Apakah putusan MK hanya melahirkan kepastian hukum terhadap putusan politik?

Tentu saja mewujudkan putusan hakim yang didasarkan pada kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan bukanlah perkara yang mudah, apalagi tuntutannya keadilan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis ingin melakukan penelitian berkaitan dengan
efektifitas penyelesaian sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perselisihan Pemilu sebagai Salah Satu Bentuk Sengketa Pemilu

Menurut Refly Harun, tujuan diadakan pemilu, antara lain adalah memilih wakil rakyat
yang akan duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Wakil rakyat ini diharapkan
dapat membela kepentingan rakyat, bukan sebaliknya, mengejar kepentingan pribadi atau
kelompok dengan merugikan kepentingan rakyat banyak yang memilihnya. Inilah yang
merupakan salah satu dilema dalam demokrasi: sejauhmana wakil-wakil rakyat dapat mewakili
kepentingan rakyat dengan menomorduakan kepentingan pribadi atau kelompok. Wakil-wakil
dalam memperoleh jabatan dan kedudukannya, dengan segala usaha dan upaya memberikan
keyakinan kepada rakyat untuk memilih mereka yang akan mewakili kepentingan rakyat.
Proses untuk memperoleh jabatan tersebut dilaksanakan dengan pemilihan secara langsung
yang dilakukan oleh rakyat. Dalam proses pelaksanaan pemilihan tersebut pada umumnya tidak
jauh dari sengketa. Menurut UU 7/2017, permasalahan hukum pemilu di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Pelanggaran pemilu, yaitu berasal dari temuan pelanggaran pemilu dan laporan
pelanggaran pemilu, yang merupakan hasil pengawasan aktif pengawas pemilu, antara
lain: (1) pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yang diselesaikan oleh DKPP;
(2) pelanggaran administratif pemilu, yang diselesaikan oleh pengawas pemilu yaitu
Bawaslu secara berjenjang.
2. Sengketa proses pemilu, meliputi sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan
sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan KPU, yang diselesaikan oleh Bawaslu, dan apabila putusan Bawaslu tidak
diterima oleh para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha
negara dengan membentuk majelis khusus di lingkungan pengadilan tata usaha negara.
3. Perselisihan hasil pemilu meliputi perselisihan antar KPU dan peserta pemilu mengenai
penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional, yang diselesaikan oleh MK. 2

2
Safi : SISTEM PEMBUKTIAN DALAM PENANGANAN PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN
UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) DI MAHKAMAH
KONSTITUSI. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 3 September 2011

3
Menurut Kemitraan, perselisihan hasil pemilu (sengketa pemilu) adalah perselisihan
antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara
nasional perolehan suara hasil pemilu oleh KPU. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali”. Karenanya, MK harus dapat memastikan bahwa pemilu berlangsung
luber dan jurdil dalam setiap tahapannya. Jika MK hanya dibatasi menghitung perolehan suara
secara matematis dan kalkulatif saja, jelas MK tidak akan dapat memainkan peran sebagai
pengawal konstitusi dan demokrasi secara optimal. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 75/PUUVIII/2010 menyatakan bahwa, pelanggaran yang dapat membatalkan pemilu
yakni:

(a) pelanggaran dalam proses pemilu yang berpengaruh pada hasil pemilu karena terjadi
secara terstruktur, sistematis, dan massif;
(b) pelanggaran tentang persyaratan calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur, yang
dapat dijadikan dasar membatalkan hasil pemilu karena ada peserta yang tidak
memenuhi syarat; dan
(c) pelanggaran yang tidak dapat digunakan sebagai dasar membatalkan keputusan KPU
adalah pelanggaran yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya pada
perolehan suara seperti misalnya pembuatan baliho yang tidak sesuai ketentuan dan
lain-lain. 3

Pelanggaran ini merupakan kewenangan PTUN, sehingga MK tidak dapat


menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara. Atas dasar hal tersebut di
atas, dalam praktik mengadili perkara PHPU, MK tidak hanya membedah permohonan dengan
melihat hasil perolehan suara, melainkan juga memeriksa secara saksama mengenai ada
tidaknya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif yang dapat memengaruhi
hasil perolehan suara dan perolehan kursi atau pemenang pemilu. Hal ini dilakukan karena
kewenangan MK memutus sengketa hasil pemilu haruslah selalu dikaitkan dengan kedudukan
MK sebagai peradilan konstitusi untuk mengawal dan menjaga konstitusi.

3
Wilma Silalahi : KONSTITUSIONALITAS PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HASIL
PEMILIHAN UMUM SERENTAK TAHUN 2019. Call For Paper Evaluasi Pemilu Serentak 2019 Bidang
Evaluasi Aspek Hukum Pemilu

4
2.2 Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Politik

Dalam kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pemilu memang tidak


dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya MK itu sendiri, karena memang sejak awal terlihat
bahwa pertimbangan dibentuknya MK kental dengan muatan politis. Hal itu dapat kita lihat,
dimana ketika pembahasan amandemen UUD 1945 berlangsung, dalam pembahasan mengenai
MK oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR 2000 dan 2001 terdapat tiga pendapat mengenai
kedudukan MK, yaitu: Pertama, MK merupakan bagian dari MPR. Kedua, MK melekat atau
menjadi bagian dari MA. Ketiga, MK didudukan sebagai lembaga negara tersendiri. Usulan
agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut didasari oleh alasan bahwa nantinya MK akan
menangani perkaraperkara yang sifatnya politis sehingga harus diletakan sebagai bagian dari
MPR, karena saat itu MPR merupakan lembaga tertinggi yang berfungsi untuk memutus hal-
hal yang bersifat mendasar seperti menetapkan dan merubah UUD 1945, serta memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun akhirnya usulan agar MK menjadi bagian dari MPR tersebut ditolak, akan
tetapi hal itu membuktikan bahwa memang sejak awal tujuan dibentuknya MK adalah untuk
mengadili perkara-perkara yang bersifat politis. Bahkan dapat kita telusuri dari salah satu
pendapat anggota MPR ketika melakukan pembahasan Amandemen UUD 1945 tentang
pembentukan MK yaitu Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan yang menyatakan secara tegas
bahwa MK memang dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah politik: “Jadi bisa saja
memang kalau rekrutmennya Mahkamah atau Hakim Konstitusi itu sembilan, tiga oleh DPR,
tiga oleh DPD, dan tiga oleh Presiden. Karena perkara-perkara nanti memang berkisar masalah
ketatanegaraan sengketa antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antar pemerintah
daerah-pemerintah daerah dan juga masalah mengenai konstitusi dan juga masalah politik
karena dari DPR.” Salah satu alasan mengapa begitu politisnya tujuan dibentuknya MK tidak
dapat dilepaskan dari konigurasi politik yang ada ketika dibentuknya MK. Ketika dibentuknya
Indonesia baru saja lepas dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era reformasi, dimana
pada saat itu banyak muncul partai-partai politik baru, dan tidak terdapat satu kekuatan politik
yang benar-benar menguasai MPR sebagai lembaga yang mengubah UUD 1945.4

4
Abdurrachman Satrio : Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk
Judicialization 0f Politics. Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 1, Maret 2015

5
Sebagaimana dikemukakan Tom Ginsburg pembentukan Mahkamah Konstitusi sangat
dipengaruhi oleh konigurasi politik yang ada ketika dibentuknya, apabila semakin terbaginya
lingkungan politik dimana terdapat banyak partai yang saling bersaing untuk mendapatkan
kekuasaan, akan membuat semakin kuatnya peran pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya
apabila terdapat satu partai politik yang kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik,
maka peran pengadilan akan semakin lemah. Maka dari itu dengan terdapatnya banyak partai
dan tidak terdapatnya kekuatan politik yang sangat dominan ketika dibentuknya MK, tak heran
apabila saat ini MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-masalah politik,
sebagaimana hal itu tercermin dimana begitu banyaknya perkara perselisihan hasil pemilu yang
diputus oleh MK.

2.3 Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Mengadili Perkara Perselisihan Hasil


Pemilihan

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga peradilan yang melaksanakan


kekuasaan – kehakiman, di samping Mahkamah Agung, yang dibentuk melalui Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
dijtahun 2001. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang terdapat dalam
sistembketatanegaraan Indonesia yang diberikan kewenangan dan kewajiban secara
konstitusionaladalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945, yang meliputi:

1) Kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945,


2) Kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannnya diberikan oleh UUD NRI 1945,
3) Kewenangan untuk memutus pembubaran partai politik,
4) Kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
5) Kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
NRI 1945.5

5
Janedjri M. Gaffar : HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI. Penerbit: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jakarta, 2010. Cetakan Pertama, Agustus 2010. ISBN:
978-602-8308-26-7

6
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa kewenangan yang dipegang oleh
Mahkamah Konstitusi telah diatur secara limitatif dalam konstitusi negara Indonesia. Dalam
Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa pemilihan umum (yang selanjutnya
disebut dengan Pemilu) dilaksanakan dalam rangka memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karenanya, di dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004) pun
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemilu dalam hal kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam mengadili perkara perselisihan hasil pemilu adalah pemilu legislatif dan pemilu
presiden. Hal ini terlihat dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam pengajuan permohonan
perkara perselisihan hasil pemilu, adalah Perorangan Warga Negara Indonesia calon anggota
Dewan Daerah Peserta Pemilu,.Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilu,
dan Partai Politik Peserta Pemilu. Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa pemilu yang
dimaksud dalam kewenangan yang dipegang oleh Mahkamah Konstitusi adalah pemilu
untukkmemilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun dalam
perkembangannya, kewenangan Mahkamah Konstitusi mengalami perkembangan atau
perubahan yang terjadi secara cepat.

Perkembangan tersebut terlihat dari adanya penambahan kewenangan yang dipegang


oleh Mahkamah Konstitusi dalam hal menyelesaikan perkara mengenai persrlisihan tentang
hasil pemilihan kepala daerah (yang selanjutnya disebut dengan Pemilukada) di luar dari
kewenangan pokok yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Lebih
lanjut pembentuk undang-undang juga membentuk Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana dalam Pasal 29 ayat (1) menegaskan bahwa
Mahkamah Konstitusi dapat memegang kewenangan lain yang diatur dalam undang-undang.
Makna kewenangan lain disini berdasarkan penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 adalah kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilukada
berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam hal ini,
pembentuk undang-undang menegaskan diperbolehkannya penambahan kewenangan yang
dipegang oleh Mahkamah Konstitusi yang telah diatur sebelumnya di dalam Pasal 236C

7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20086. Menganggapi ketentuan Pasal 236C Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut, Ketua Mahkamah Agung berserta Ketua Mahkamah
Konstitusi melakukan pengalihan kewenangan untuk memutus sengketa perselisihan hasil
pemilukada secara resmi pada tanggal 29 Oktober 2008 dengan menandatangani Nota
Kesepahaman antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sejak saat itulah, untuk
pertama kalinya kewenangan tambahan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilukada
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.

2.4 Analisis Kasus Sengketa Hasil Pemilu

Sebuah kasus pelanggaran pemilu telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri Semarang
atas nama terdakwa bernama Dra. Siti Fatimah. Terdakwa ini didakwa melakukan tindakan
kecurangan dengan cara menyesatkan pemilih yang akan memberikan dukungan kepadanya
untuk dapat ikut sebagai kandidat di dalam pemilihan anggota DPD Jawa Tengah. Ia didakwa
oleh Jaksa Penuntut Umum dengan pasal 137 ayat (6) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.
Dalam rangka memuluskan pencalonannya untuk memenuhi peryasaratan sebagai calon
kandidat DPD Jawa Tengah, Dra. Siti Fatimah telah mencoba meraih dukungan suara sebanyak
mungkin. Pencarian dukungan dilakukan melalui organisasi dimana ia aktif berorganisasi dan
juga mencari dukungan melalui teman-temanya, saudara-saudaranya maupun teman
saudaranya. Ada sekitar delapan ribu tanda tangan telah berhasil dikumpulkannya agar bisa
lolos menjadi kandidat DPD. Di dalam proses pencarian dukungan tersebut, Dra. Siti Fatimah
melakukan berbagai cara untuk menarik dukungan terhadapnya. Ada beberapa dukungan telah
disampaikan oleh simpatisannya, namun diantara mereka ternyata terdapat beberapa orang
yang tidak atau merasa tidak pernah mengirimkan dukungan kepada Siti Fatimah. Fakta adanya
beberapa orang yang tidak pernah merasa memberikan dukungan kepada Dra. Siti Fatimah itu
diketahui setelah Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam) melakuakan verifikasi
data Dra. Siti Fatimah. Panwascam melakukan verifikasi data itu ke lapangan dn menemukan
3 (tiga) orang yaitu: M. Irfan, Andi Surya dan Anton Sudjarwo yang mengaku tidak mengenal
dan tidak pernah memberikan dukungan kepada Siti Fatimah. Selain itu, ada juga beberapa
nama lainnya yang setelah dicek ternyata tidak berada di tempat sebagaimana tercantum dalam

6
Hardy Salim : KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGADILI PERKARA
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH (SUATU KAJIAN TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XI/2013 JO. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 072-073/PUU-II/2004). Jurnal Hukum Adigama

8
KTP yang dikirimkan kepada Dra. Siti Fatimah. Atas hasil klarifikasi ini, KPU Daerah
melakukan proses pemeriksaan dan melimpahkan kasus itu ke Kejaksaan Negeri. Lebih lanjut,
kemudian, Kejaksaan mendakwa Dra. Siti Fatimah melakukan kecurangan dalam proses
pencalonan dirinya sebagai anggota DPD Jawa Tengah. Ia didakwa telah melakukan
kecurangan dalam memenuhi persyaratan pencalonannya untuk bisa maju sebagai kandidat
DPD dari daerah pemilihan Jawa Tengah. 7

Analisis Atas Kasus Posisi

Di dalam ketentuan peserta pemilihan umum dan perseorangan disebutkan bahwa untuk
dapat menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), peserta pemilu perseorangan
harus memenuhi syarat dukungan. Di dalam syarat dukungan itu, provinsi yang berpenduduk
lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya 5000 (lima
ribu) orang pemilih. Berpijak pada ketentuan diatas, diasumsikan bahwa Dra. Siti Fatimah
adalah calon anggota DPD pada wilayah provinsi yang penduduknya diatas lima belas juta
sehingga syarat dukungan yang diperlukannya berupa lima ribu pemilih. Pengumpulan
dukungan yang dilakukan oleh Dra. Siti Fatimah sebanyak delapan ribu jauh diatas jumlah
yang dipersyaratkan. Tidak jelas betul, apa motif dibalik pengumpulan tanda tangan yang jauh
diatas ketentuan persyaratan yang ditentukan. Di dalam berbagai kasus lainnya, ada sejumnlah
calon anggota DPD yang mempunyai tindakan yang sama dengan Dra. Siti Fatimah yaitu
mengumpulkan dukungan jauh melebihi dari yang dipersyaratkan.

Setidaknya ada beberapa alasan yang diduga menjadi pendorong para calon tersebut
untuk mengumpulkan dukungan jauh melebihi yang dipersyaratkan, yaitu : kesatu, para calon
tengah memperlihatkan bahwa mereka adalah calon yang memang layak di dukung karena
dukungan awalnya jauh melebihi calon yang lainnya. Pendeknya, mereka tengah melakukan
kampanye kendati tahapan pemilu baru sampai pada tahap pemenuhan persyaratan; kedua, para
calon tidak mampu mengelola dan mengkoordinasi Tim Suksesnya sehingga mereka terlalu
“bersemangat” mengumpulkan dukungan tanpa strategi yang cukup jelas; ketiga, sedari awal
para calon telah secara sadar mengumpulkan jumlah yang melebihi persyaratan karena

7
Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana Putri Rachmatika, Alia Harumdani Widjaja : Studi Efektifitas
Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi. Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara,
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2012.

9
disebagiannya, mereka tidak cukup konsisten mengikuti ketentuan yang dipersyaratkan
sehingga para calon berusaha memenuhi jumlah dukungan yang harus melebihi ketentuan yang
ada untuk menutupi tindak pelanggaran yang dilakukannya. Di dalam bagian lain ketentuan
dikemukakan bahwa para pemilih yang mendukung pencalonan anggota DPD harus
membuktikan dukungannya dengan tanda tangan atau cap jempol dan foto copy Kartu Tanda
Penduduk atau identitas lain yang sah [pasal 11 ayat (3) 27 UU No. 13 Tahun 2003]. Ketentuan
diatas memperlihatkan adanya 3 (tiga) syarat yang harus disertai oleh setiap pemilih yang akan
memberikan dukungannya pada calon anggota DPD yaitu : kesatu, dukungan itu harus
dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan identitas lain yang sah. Fakta menunjukan,
ada beberapa soal disini, seperti misalnya : ada cukup banyak pemilih yang tidak begitu
memperhatikan validitas identitas yang dimilikinya sehingga sudah tak berlaku karena sudah
kadaluarsa atau identitas itu tidak sesuai seperti yang seharusnya.

Fakta ini akan menjadi salah satu problem yang akan menyulitkan calon anggota DPD.
Di dalam persyaratan ini bisa juga terjadi beberapa hal lainnya seperti : tanda tangan yang
berada di dalam daftar dukungan berbeda dengan tanda tangan yang berada di dalam foto copy
identitas yang diajukan, ada potensi yang cukup besar untuk memanipulasi foto copy sehingga
apa yang tersebut di dalam foto copy itu tidak sesuai dengan identitas asli para pendukung atau
bahkan identitas itu berupa identitas fiktif karena memang tidak ada pendukung aslinya. kedua,
Berdasarkan berbagai uraian diatas, ada sejumlah potensi yang memungkinkan terjadinya
pelanggaran ketentuan yang ada. Tindakan itu terjadi karena sebagian para kandidat “mau”
melakukan apa saja untuk menjadi anggota DPD. Sementara disi lainnya, para pimilih masa 28
belum sepenuhnya memhami prosedur yang ada sehingga mudah sekali ditempatkan sebagai
obyek dari kepentingan kandidat itu. Hal lainnya, masih ada penilaian yang merendahkan
kemampuan penyelenggara pemilu untuk melakukan verifikasi atas berbagai persyaratan yang
para calon anggota DPD serta kemampuan aparatur hukum untuk secara konsisten
mempersoalkan dan menindak para pelanggar hukum itu.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sejak awal keberadaan
MK memang dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-perkara politik dan ketatanegaraan
yang salah satunya adalah mengenai perselisihan hasil pemilu, dengan begitu diharapkan
permasalahan mengenai pemilu dapat diselesaikan secara hukum sesuai prinsip-prinsip yang
terdapat dalam konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai hukum
yang mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi. Wewenang Hukum acara Mahkamah Konstitusi terkait dengan, Menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945, memuutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus pembubaran Partai
politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam hukum acara MK memutus
perselisihan hasil pemilhan umum terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa Pemilu
yang dimaksud dalam ketentuan adalah pemilihan DPD, DPR, DPRD, Presiden dan
Pemilukada yang semuanya mempunyai ketentuan hukum acaranya.

3.2 Saran

Konsep ideal penyelesaian perselisihan hasil pemilu serentak adalah dengan cara
mendorong penerimaan hasil pemilu secara bermartabat atau tanpa sengketa dengan
berintegritas. Pemilu yang berintegritas dapat berhasil apabila seluruh tahapan pemilu
dilaksanakan dengan mekanisme yang transparan dan setiap tahapan dilakukan secara terbuka
dengan men-disclosure proses dan penetapannya, sehingga pelaksanaan pemilu yang benar-
benar berintegritas tercipta.

11
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Janedjri M. Gaffar : HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI. Penerbit: Sekretariat


Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jakarta, 2010.
Cetakan Pertama, Agustus 2010. ISBN: 978-602-8308-26-7

Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana Putri Rachmatika, Alia Harumdani Widjaja : Studi
Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi. Pusat
Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012.

Jurnal

Abdurrachman Satrio : Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil


Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization 0f Politics. Jurnal Konstitusi, Volume 12,
Nomor 1, Maret 2015

Hardy Salim : KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGADILI


PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH (SUATU
KAJIAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-
XI/2013 JO. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 072-073/PUU-
II/2004). Jurnal Hukum Adigama

Ilham Kurniawan Ardi, Zico Junius Fernando : DESAIN PERADILAN PENYELESAIAN


SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN
WAKIL PRESIDEN DI MAHKAMAH KONSTITUSI. AL-IMARAH: Jurnal
Pemerintahan dan Politik Islam Vol. 7, No. 2, 2022

12
Safi : SISTEM PEMBUKTIAN DALAM PENANGANAN PERKARA PERSELISIHAN
HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA
DAERAH (PEMILUKADA) DI MAHKAMAH KONSTITUSI. Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 11 No. 3 September 2011

Wilma Silalahi : KONSTITUSIONALITAS PENYELESAIAN SENGKETA


PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM SERENTAK TAHUN 2019. Call For
Paper Evaluasi Pemilu Serentak 2019 Bidang Evaluasi Aspek Hukum Pemilu

13

Anda mungkin juga menyukai