Anda di halaman 1dari 5

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/363857004

INDEPENDENSI DAN IMPARSIALITAS MAHKAMAH KONSTITUSI YANG PERLU


DIPERTANYAKAN

Article · September 2022

CITATIONS READS

0 80

1 author:

Britney Nathania Lielien Putrajaya


Universitas Surabaya
1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

INDEPENDENSI DAN IMPARSIALITAS MAHKAMAH KONSTITUSI YANG PERLU DIPERTANYAKAN View project

All content following this page was uploaded by Britney Nathania Lielien Putrajaya on 27 September 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


INDEPENDENSI DAN IMPARSIALITAS MAHKAMAH KONSTITUSI YANG
PERLU DIPERTANYAKAN
Oleh: Britney Nathania Lielien Putrajaya / KP-D/ 120120032
Indonesia merupakan negara hukum, sehingga wajib ada kekuasaan kehakiman.
Konsep kekuasaan kehakiman yang dimaksud disini ialah yang independen dan
imparsial. Oleh karena itu, salah satu prinsip Indonesia sebagai negara hukum ialah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Berlandaskan pada Pasal 24 Ayat (1) Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) berbunyi “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”1. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman). Di dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945, menjelaskan
bahwa yang menjalankan kekuasaan kehakiman salah satunya adalah Mahkamah
Konstitusi atau biasa dikenal dengan MK. Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi
“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”2
Terdapat 3 parameter yang dapat digunakan untuk menilai kemandirian suatu lembaga
kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah MK, yaitu lembaga, proses peradilan, serta
hakim.
Pertama, parameter kemandirian lembaga yaitu dilihat dari ketergantungannya
serta tidak ada hubungan hirarkis dengan lembaga negara lainnya. Hal ini tercermin di
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.”3 Terminologi “merdeka” ini menunjukkan
bahwa MK tidak ada ketergantungan dan tidak ada hubungan hirarkis dengan lembaga
negara lainnya, termasuk lembaga legislatif, eksekutif maupun lembaga negara lainnya,
sehingga bersifat independen dan tidak menjalankan tugasnya atas perintah dari pihak
manapun. Dengan kata lain, adanya independensi pada kelembagaannya. Mengingat juga
adanya separation of power,
Kedua, parameter kemandirian proses peradilannya yaitu ada atau tidaknya
intervensi, dan pengaruh intervensi tersebut pada proses peradilan. Dalam pelaksanaan
tugas dan wewenanganya yaitu memeriksa dan mengadili suatu perkara sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

1
Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
3
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi
Konstitusi, proses peradilannya tidak dapat diintervensi oleh lembaga atau pihak
manapun yang sarat akan konflik kepentingan (conflict of interest). Contohnya adanya
suatu perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pemilu), maka disini ketika memeriksa
dan mengadili sengketa tersebut dalam proses peradilannya itu tidak boleh ada pengaruh
intervensi dari pihak manapun. Terutama terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh
MK terkait perselisihan yang diadilinya. Pada intinya, adanya kemandirian peradilan
dalam proses peradilan di MK. Hal ini dapat didukung dengan Penjelasan Pasal 3 Ayat
(1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Yang dimaksud dengan
“kemandirian peradilan” adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari
segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.”4 Sebab pada dasarnya, di dalam Pasal
3 Ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya melarang segala
campur tangan dari pihak lain di luar kekuasaan kehakiman berkaitan dengan urusan
peradilan, termasuk proses peradilan di MK.
Ketiga, parameter kemandirian hakim yaitu jujur dan adil, serta mengawasi
seluruh tindakan dari pemerintah. Berkaitan dengan parameter kemandirian proses
peradilan juga, hakim disini memiliki kewajiban untuk menjaga kemandirian peradilan
tersebut. Hal ini ditegaskan pada Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”5 Bahkan di dalam PMK Nomor
09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi, telah diatur juga bahwa hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan fungsi
judisial maka harus independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak
pengaruh dari luar berupa bujukan, imimg-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan
dari pihak manapun dengan alasan kepentingan apapun. Putusan yang diberikan oleh
hakim konstitusi hendaknya dengan pertimbangan-pertimbangan secara objektif, bukan
subjektif. Hal ini agar rasa keadilan benar-benar dirasakan oleh seluruh pihak yang
bersengketa dalam suatu perkara tersebut. Dengan kata lain, bersifat imparsial. Oleh
karena itu, hakim konstitusi di dalam menghadapi suatu perkara tidak diperbolehkan
cenderung memihak salah satu pihak yang sedang diadilinya. Artinya hakim disini tidak
memihak pada kepentingan-kepentingan salah 1 pencari keadilan, melainkan harus
berdasarkan pada kebenaran dan fakta hukum yang ada dalam persidangan. Contohnya,
dalam suatu sengketa perselisihan antara pemerintah dengan masyarakat. Maka tidak bisa
hanya karena salah satu pihaknya adalah pemerintah sehingga kemudian hakim MK
menjadi “berat sebelah” (memihak satu sisi), dan pihak itu dimenangkan dalam
perkaranya.
Akan tetapi, pada faktanya saat ini kualitas daripada MK masih perlu
dipertanyakan. Sudah menjadi hal yang umum diketahui oleh masyarakah bahwa hakim
MK rentan disuap dalam sengketa pilkada. Salah satu kasus yang pernah

4
Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
5
Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
mengguncangkan masyarakat di seluruh Indonesia yaitu mengenai disuapnya Ketua
Hakim MK Akil Mochtar. Ketua Hakim MK yaitu Akil Mochtar menerima suap ketika
sedang mengadili perkara sengketa pilkada. Hal ini agar pihak yang bersangkutan (yang
memberikan suap) dapat dimenangkan dalam sengketa pilkada itu melalui putusan yang
dikeluarkan oleh Akil Mochtar. Padahal bercermin kembali jika pemilu ini merupakan
salah satu pilar daripada demokrasi. Hal ini didukung dengan kutipan “A regular election
process is one of the pillars of democracy. It ensures the people to have political right to
vote and to be elected since the basic concept of democracy means government from, by,
and for the people. Therefore, to exemplify a democratic government, a general election
is necessary.” 6 Ini menunjukkan bahwa adanya intervensi politik serta pihak diluar
kekuasaan kehakiman yang memiliki kepentingan, yang mempengaruhi proses peradilan
di MK serta hakim konstitusi menjadi tidak jujur dan adil. Tentu ini berdampak pada
kemandirian lembaga MK itu sendiri, yang seharusnya bersifat independen dan imparsial.
Di lain sisi, juga pernah terjadi kasus Hakim MK Patrialis Akbar yang terbukti
menerima suap dari seorang penguasa impor daging yaitu Basuki Hariman dan stafnya
Ng Fenny. Uang suap itu diperuntukkan agar Patrialis Akbar dapat memenangkan Basuki
dan Fenny dalam putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang
diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa adanya
pengaruh dari pihak luar terhadap putusan uji materi itu.
Dari kedua kasus yang pernah terjadi di Indonesia, maka dapat disimpulkan
bahwa baik dari segi kelembagaan, proses peradilan, serta hakim di MK perlu dilakukan
perbaikan-perbaikan. Hal ini agar kualitas daripada MK itu sendiri, jangan sampai
reputasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga MK menurun. Sebab pada dasarnya
agar kualitas MK itu tetap terjaga dengan baik, maka harus dimulai dari hakim konstitusi
itu sendiri. Kualitas daripada hakim akan mempengaruhi proses peradilan serta lembaga
MK. Hal ini terbukti dari kasus penetapan Patrialis Akbar sebagai Hakim MK yang
pernah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena prosesnya dianggap
tidak transparan dan penuh unsur politik (barter politik). Padahal perlu diketahui pula jika
proses seleksi penerimaan calon-calon hakim MK itu merupakan cara untuk mencari
orang yang berkualitas. Ini dikarenakan, mereka lah yang akan menjalankan amanat
daripada Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.

6
Rofi Aulia Rahman et al., “Constructing Responsible Artificial Intelligence Principles as Norms: Efforts
to Strengthen Democratic Norms in Indonesia and European Union”, Padjadjaran Journal of Law 9, no.2
(2022): 233, https://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/39867
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
PMK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi
Rahman, Aulia Rofi dkk. (2022). Constructing Responsible Artificial Intelligence
Principles as Norms: Efforts to Strengthen Democratic Norms in Indonesia and
European Union, Padjadjaran Journal of Law, Vol. 9 No.2, 233,
https://doi.org/10.22304/pjih.v9n2.a5

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai