Anda di halaman 1dari 18

RATIO LEGIS HAK IMUNITAS DPR PERSPEKTIF

YURIDIS DAN MASLAHAH.


Moh Hamzah Hisbulloh
Fakultas Megister Ilmu Syariah
Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Email: hamzahhisbulloh95@gmail.com

Abstrak: Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem trias politica


dalam tatanan demokrasi, yang menghimpun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai lembaga legislatif,dengan mengemban tugas sebagai pembuat undang-
undang. Anggota DPR diberikan hak imunitas oleh konstitusi sebagai bentuk
perlindungan untuk menjalankan tugasnya,, yakni diatur dalam Pasal 20 A Ayat
(3) UUD 1945. Namun dalam pImplementasinya, pro dan kontra mewarnai
pelaksanaan hak imunitas DPR, baik dalam lingkup masyarakat maupun
lembaga kekuasan negara. Pemicu pro dan kontra dikarenakan disahkannya
Ayat (1) Pasal 245 yang mengatur terkait hak imunitas DPR. Dikarenakan
sebagai lembaga yang mempunyai wewenang pembuat undang-undang, DPR
menganggap pengaturan hak imunitas dalam pasal 245 tidaklah bertentangan
dan sesuai amanat UUD 1945, sedangkan dalam sejarahnya pasal tersebut sudah
pernah ditolak oleh MK dalam putusannya dan mengubah isi muatan dalam
agar sejalan dengan prinsip UUD 1945. Hal tersebut membuat masyarakat
mengajukan uji materiel terhadap pasal 24 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 kepada
MK karena diangap tidak sesuai dengan konstitusi. Dalam putusannya MK
mengabulkan permohonan untuk mengajukan uji materiel dan mengembalikan
Pasal 24 Ayat (1) menjadi yang semestinya. Problem yang muncul yakni
terjadinya perbedaan pemahaman dan penafsiran antara DPR dan MK mengenai
hak imunitas, yang dimana hal seperti ini tidak hanya sekali terjadi namun
sudah berulangkali.
Kata Kunci: Legislatif, Hak imunitas DPR, Putusan Mahkamah Konstitusi.

Abstract: Indonesia is a democracy that applies asystem trias political. It contains


Legislative powers, namely the House of Representatives (DPR) which is the law-
making body. In carrying out their duties, members of the DPR are given
immunity rights by the Constitution, which is stipulated in Article 20 A
Paragraph (3) of the 1945 Constitution. However, in its application, the DPR's
immunity rights reap pros and cons, both within the scope of state power
institutions and in society. This is done by the promulgation of Article 245
paragraph (1) which regulates the immunity rights of the DPR. Because the DPR
as the legislators considers this article appropriate and does not violate the 1945
Constitution, while in its history this article has been rejected by the
Constitutional Court in its decision and changed the contents of the article so that
it does not conflict with the 1945 Constitution. Article 24 Paragraph (1) of Law
No.2 of 2018 to the Constitutional Court because they are deemed not in
accordance with the constitution. In its decision, the Constitutional Court granted
the request to file a material test and returned Article 24 Paragraph (1) to its
proper. The problem that arises is that there is a difference in understanding and
interpretation between the DPR and the Constitutional Court regarding the right
to immunity, in which things like this have not only happened once but have
happened repeatedly.

Keywords: Legislature, Immunity Rights of DPR, Constitutional Court Decision.

PENDAHULUAN.
Negara Indonesai menganut beberapa asas dalam sistem
ketatanegaraannya, yakni: asas negara hukum, asas negara pancasila, asas
negara kesatuan, asas kedaulatan dan demokrasi, asas pemisahan
kekuasaan. Indonesia merupakan negara hukum dimana ketatanegaraan
Indonesia berdasarkan Konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaats) yang tertuang dalam
Pasal 3 UUD 1945 yang mengatur terkait adanya pengakuan atas prinsip
supermasi hukum dan konstitusi, menganut prinsip pembatasan
kekuasaan dan pemisahan kekuasaan yang sejalan dengan sistem
konstitusi yang tertuang dalam UUD, penjaminan persamaan hak setiap
warganegara terkait peradilan yang bebas dan tidak memihak,
penjaminan keadilan termasuk adanya penyalahgunaan wewenang oleh
pihak yang berkuasa.1
Hukum menjadi komando tertinggi dalam penyelenggaraan
Negara sesuai dengan prinsip “The Rule Of Law” yang merupakan ciri dari
negara hukum. Pengakuan Indonesia sebagai negara Hukum berdampak
setiap warga negara harus taat dan tunduk pada hukum sebagai sarana
“problem solving” setiap warga negara. Dengan demikian, hukum di
Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam menjamin hak-hak dan
ketertiban setiap warganya. Indonesai menjadikan Konstitusi sebagai
hukum dasar yang utama dan hasil dari cerminan seluruh aspirasi atau
kehendak masyarakat Indonesia, sehingga dijadikan pijakan utama dalam
setiap sendi kehidupan berbangsa dan negara yang dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh. Engan kata lain, setiap perbuatan, tindakan dan aturan
harus sesuai dengan amanat dan cita hukum konstitusi.2
Sistem pemisahan Kekuasaandianut oleh Negara Indonesia, seperti
dalam teori Trias Politica, Montesquieu menjelasakan terkait konsep
pemisahan kekuasaan dalam bukunya “L’Esprisit des Lois”. Montesquieu
membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu: kekuasaan legislatif

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika,2005),hlm.55
2
Beni Ahmad Saebani dan Ai Wati, Perbandingan Hukum Tata Negara (Bandung:
Pustaka Setia,2016),hlm.207
sebagai pembuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutf yang
melaksanakan, dan kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.3
Di Indonesia teori tersebut diterapkan dan membagi kekuasaan
dalam ketatanegaraannya menjadi eksekutif, yang terdiri dari Presiden
dan Wakil Presiden; kekuasaan legislatif yang terdiri dari MPR (Majelis
Pemusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan DPD
(Dewan Perwakilan Daerah); kekuasaan yudikatif terdiri dari MA
( Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), dan KY (Komisi
Yudisial).4
Dalam konstitusi negara Indonesia diatur bahwa anggota DPR
mempunyai berbagai hak salah satunya yaitu hak imunitas. Hak Imunitas
hadir sebagai bentuk perlindungan bagi para anggota DPR dari jeratan
hukum. Dalam pasal 20 A ayat 3 UUD 1945 disebutkan “Selain hak-hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, setiap anggota DPR
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan
pendapat serta hak imunitas."Hak imunitas DPR ini juga diatur dalam
Undang-Undang No.2 Tahun 2018 yang merupakan perubahan kedua
Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MD3.
Di dalam UU No 2 Tahun 2018 hak imunitas DPR tertuang dalam
pasal 245 yang berbunyi “Pemanggilan dan permintaan keterangan
kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana
yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehrmatan Dewan.”
Melihat isi pasal ini dan sejarahnya, pasal ini dalam UU No 17 Tahun
2014 sudah pernah diajukan uji materil oleh DPD kepada Mahkamah
Konstitusi. Dalam putusannya MK membatalkan pasal tersebut karena
bertentangan dengan Konstitusi. Putusan MK bersifat final dan harus
dijalankan sesuai putusan. Namun di dalam UU No 2 Tahun 2018 tentang
MD3, pasal ini kembali dimasukkan DPR dalam Revisi UU MD3. DPR
mengagap pasal ini tidak bertentangan dengan konstitusi dan berbeda
dengan apa yang sudah diputusakan MK dalam putusannya. Adanya
perbedaan pandangan terkait pemahaman hak imunitas antara DPR dan
MK, yang menyebabkan timbulnya konflik diantara kedua lembaga ini.
METODE PENELITIAN.
Penelitian ini menggunakan penelitian (Library research).Penelitian pustaka
adalah salah satu cara mengumpulkan data pustaka yang diperoleh dari
buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan hal-hal yang diteliti.

3
Ibid.,hlm.58
4
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (Jakarta: Sekertariat
Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006),hlm.32
Sedangkan sifat penelitian ini adalah Deskriptif-Preskriptif, penyusun
mengkaji dan memaparkan data perundang-undangan dan bahan hukum
primer lainnya terkait hak imunitas DPR, kemudian menarik kesimpulan
yang bersifat prespektif. Penelitian ini dilihat dari judul dan rumusan
masalah maka termasuk kedalam kategori penelitian Yuridis, guna
menganalisis tinjaun hukum yang terkait dengan permasalahan hak
imunitas DPR dalam pasal 245 Undang-Undang No.2 Tahun 2018.
Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu sember data primer
dan sumber data skunder. Sumber Data Primer, yaitu literature bahan
hukum atau bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber
data primer diantaranya: Arsip dan dokumen putusan Mahakamah
Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014; Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah; Arsip dan Dokumen Putusan MK No.16/PUU-XVI/2018. Sumber
Data Skunder, yaitu literature bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, yakni: Buku-Buku literatur yang
berhubungan dengan hak imunitas DPR; Makalah-makalah, jurnal,
skripsi, tesis, dan disertasi yang khususnya berhubungan dengan hak
imunitas DPR.
PEMBAHASAN
Tinjuan pembentukan Hak Imunitas
Demokrasi modern dianggap sebagai atribut utama dalm negara
modern menyebabkan sistem keterwakilan sebagai mekanisme untuk
merealisasikan kehendak rakyat, sehinggan pemerintah harus dijalankan
sesuai kehendak rakyat. Otoritas sebuah pemerintah, akan bergantung
kepada kemampuannya untuk mentransformasikan kehendak rakyat ini
sebagai nilai yang tertinggi diatas kehendak negara. Dengan kata lain
sesuai dengan konsep demokrasi dengan sistem perwakilan, maka rakyat
tidaklah secara langsung menjalankan kedaulatannya, akan tetapi
dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Badan Perwakilan
Rakyat sebagai penentu jalannya pemerintahan sesuai kehendak rakyat.5
Pemberian hak imunitas DPR RI, tidak bisa dilepaskan dari
pradigma ketatanegaraan Indonesia. Dalam hal ini, hak imunitas tercover
dalam bingkai kedaulatan rakyat. Hak imunitas lahir dari konsep negara
demokrasi, yang menyatakan kekuasaan dari rakyat dan untuk rakyat,
Sehingga kedaulatan negara sepenuhnya ada ditangan rakyat. Rakyat
mengamanatkan kedaulatannya tersebut kepada wakil rakyat atau

5
Mashudi, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan
Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Bandung: Mandar Maju, 1993) hlm.9
anggota DPR yang dipilihnya melalui pemilihan umum. Dengan
pradigma kedaulatan rakyat, bahwa warga negara dapat berpartisipasi
secara efektif dalam urusan negara. Dengan itu, hak imunitas adalah
instrumen yang efektif dan penting, yang memungkinkan anggota
parlemen untuk melaksanakan tugasnya tanpa adanya halangan.
Hak imunitas tunduk pada kualifikasi yang dalam hal ini bertujuan
untuk memastikan bahwa adanya keseimbangan yang adil anatra anggota
parlemen sebagai wakil dari rakyat dan hak warga negara biasa yang
menginginkan keadilan. Hak imunitas hanya sebatas pernyataan atau
pendapat anggota parlemen yang memang dilaksanakan atas kepentingan
umum. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa alasan
diberikannya hak imunitas kepada anggota DPR, pada dasarnya memang
berkaitan dengan asas kedaulatan rakyat. Dimana anggota DPR dalam
pelaksanaannya merupakan representatif rakyat dalam menyuarakan
aspirasi rakyat yang tertuang dalam fungsi, wewenang serta tugas
anggota DPR.6
Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya perlu memperhatikan atau berpedoman pada dua hal
pokok, yakni mandat dan perwakilan. Mandat menyatakan kehendak dan
keinginan rakyat adalah tolak ukur dalam melaksanakan kekuasaan
negara. Jadi, tiap tindakan dalam melaksanakan kekuasaan negara tidak
boleh bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa
sedapat mungkin berusaha memenuhi segala keinginan rakyat. 7
Sedangkan perwakilan menyatakan bahwa hubungan penguasa (wakil)
dan rakyat (terwakil) harus harmonis serta harus memiliki tanggungjawab
penuh kepada seluruh masyarakat dalam menjalankan roda
pemerintahan, guna terciptanya keseimbangan dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya.8
Ratio Legis Pembentukan UU No 2 Tahun 2018 dan Putusan MK
16/PUU-XVI/2018
DPR sebagai lembaga legislatif, mempunyai fungsi yakni fungsi
legislasi, yang bertugas untuk membuat UU, terkait dengan Pasal 245
Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018, DPR menganggap bahwa tidak ada hukum
yang dilanggar dalam pasal tersebut, sehingga pasal tersebut layak untuk
diundangkan dan berlaku secara konstitusional. Beberapa hal yang
dijadikan alasan DPR yakni sebagai berikut: 9 Pertama, Hak imunitas
6
Daniel Dhakidae, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kemampuan Mengolah Kuasa
Wicara,(Jakarta: Kompas, 2000),hlm.25

7
C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2,(Jakarta: Rineka
Cipta,2003),hlm.112
8
R. Kantaparwira, Perihal Ilmu Politik,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2007),hlm.97
9
Putusan MK No 16/PUU-XVI/2018, hlm.107-120
merupakan sebuah objek yang ditekankan, dalam pasal tersebut artinya
hak imunitas yang diatur tidak dibatasi. Kedua, Jabatan sebagai anggota
DPR RI selalu melekat pada diri anggota DPR RI dimanapun dan
kapanpun, maka dari itu tugas MKD adalah untuk melakukan
penyaringan dan/atau penilaian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
anggota DPR RI. Ketiga, ada kesamaan antara Pasal 245 Undang-Undang
No 2 Tahun 2018 dengan Pasal 7 A Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan bahwa Dalam hal ini terdapat pasal yang sama,
dikarenakan DPR maupun Presiden dan Wakil Presiden merupakan
sama-sama lembaga negara. Dalam konteks ini, ada hukum acara khusus
bagi Presiden apabila melakukan pelanggaran hukum yang
pembuktiannya tidak dilakukan melalui proses penegakan hukum
melalui hukum acara biasa. Sehingga proses penegakkan hukum terhadap
Presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang
sama-sama dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum dapat
diberlakukan sama. Keempat, Pasal 245 muncul juga karena adanya usulan
pemerintah yang dikemukakan oleh Dirjen PP. Kelima, Dalam kajian
Hukum Pidana megenal asas praduga tak bersalah dan persamaan
kedudukan hukum, dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang MD3
justru merupakan bagian dari pelaksanaan asas praduga tak bersalah dan
persamaan kedudukan hukum.10
Dari beberapa hal yang menjadi pertimbangan DPR, dalam
merumuskan Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018, yang dianggap
sudah sesuai dengan aturan dan tidak melanggar hukum. Namun beda
dengan apa yang dikemukakan MK dalam putusannya, menganggap
pasal tersebut bertentangan dengan hukum dan konstitusi. Sehingga MK
memutus menghapuskan frasa “ Setelah mendapat pertimbangan MKD”
dalam pasal tersebut. MK menganggap frasa tersebut perlu dhapuskan
karena beberapa hal, sebagai berikut:11
Pertama, Pasal 245 ayat (1) secara tekstual mengandung pengertian
bahwa anggota DPR tidak bisa untuk dapat dipanggil dan dimintai
keterangan sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana, sebelum ada
persetujuan MKD. Kedua, Bertentangan dengan Pasal 121 A UU MD3.
Ketiga, Bahwa tanpa adanya pertimbangan MKD terlebih dahulu maka
persetujuan tertulis Presiden tidak mungkin diterbitkan meskipun
pemanggilan dan permintaaan keterangan terhadap seorang anggota DPR
dimaksud bukan sebagai keterangan dan bukan dalam rangka proses
penyidikan sepanjang hal itu berkenaan degan suatu tindak pidana yang
tidak terkait dengan pelaksanaan tugas DPR sebagaimana dimaksud
dalam pasal 224 Undang-Undang MD3. Keempat, bertentangan dengan
10
Penjelasan lebih lanjut menganai alasan MK bisa dilihat dalam Putusan MK No
16/PUU-XVI/2018, hlm.107-120
11
Ibid,hlm.205-212
prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum dan pemerintah.
Kelima, Bahwa Mahamah Kehormatan Dewan merupakan alat
kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki
hubungan langsung dalam peradilan pidana. Keenam, Pasal 245 ayat (1)
UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 karena kontradiktif dengan
filosofi dan hakekat pemberian hak imunitas anggota DPR.12
Uruain tersebut, menunjukkan bahwa adanya perbedan
pemahaman mengenai hak imunitas yang tertuang dalam Pasal 245 Ayat
(1) UU No 2 Tahun 2018. Adanya perbedaan pemahaman antara DPR dan
MK menyebabkan konflik internal yang ada dalam kedua lembaga negara
ini, untuk itulah pentingnya adanya penafsiran dan pengaturan lebih
mendalam mengenai hak imunitas, adanya ketentuan dan keberlakuan
yang disepakati bersama. Dikarenakan sudah dua kali DPR merumuskan
mengenai penambahan kewenangan MKD dalam pasal tersebut yang
berkaitan dengan hak imunitas tidak hanya sebatas kode etik, namun
selalu diajukan uji materil dan MK memutus membatalkan penambahan
kewenangan MKD, karena MKD merupakan lembaga internal yang tidak
ada kaitannya dengan ranah hukum pidana.
Penafsiran Hak Imunitas DPR

Rapat Paripurna DPR pada 14 Februari 2018 telah mengesahkan


Undang-Undang No 2 Tahun 2018 tentang MD3 yang merupakan
perubahan kedua terhadap Undang-Undang No 17 Tahun 2018. Didalam
Undang-Undang No 2 Tahun 2018 di pasalnya memuat hak imunitas DPR
yang tertuang dalam Pasal 245 Ayat (1), pasal tersebut menyebutkan
bahwa ketika ada anggota DPR yang terlibat dalam hal yang kaitannya
dengan hukum maka harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
Presiden setelah mendapat pertimbangan tertulis dari MKD.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode
penafsiran hukum untuk memahami Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun
2018. Beberapa metode penafsiran tersebut yakni penafsiran tekstual 13,
penafsiran gramatikal, penafsiran historis, dan penafsiran komperatif.
Hal tersebut akan dibahas secara komperhensif dalam uraian berikut.
Pertama, Interpretasi Menurut bahasa atau interpretasi gramatikal
ini penekanan di berikan pada peran penting kedudukan bahasa dalam
hal membrikan makna terhadap suato objek. Menurut Bruggink, Hukum
sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran

12
Penjelasan lebih lanjut menganai alasan MK bisa dilihat dalam Putusan MK No
16/PUU-XVI/2018, hlm.107-120
13
Penafsiran ini sudah digunakan dalam menguraikan Rumusan Hak Imunitas dalam
Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 dan Putusan MK, pada pembahasan sebelumnya diatas.
manusia adalah karena bahasa yang digunakan untuk berbicara.14 Ayat
(1) pasal 245 UU no 2 Tahun 2018, berbunyi “Pemanggilan dan permintaan
keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana
yang tidak sehubungan dengan melaksanakan tugas sebagaimana diaksud dalam
pasal 224 haru mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”
Dalam Pasal 245 Ayat (1) terlihat bahwasannya terdapat kata
“tidak” dan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan”, pasal tersebut bertentang dengan prinsip negara
hukum yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menjamin
persamaan dihadapan hukum sebagaimana tertuang di Pasal 27 Ayat (1)
UUD 1945. Sehingga kata “tidak” dalam Pasal 245 Ayat (1) UU MD3
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuaatan hukum
yang mengikat.
Munculnya kata “tidak” dalam Pasal 245 Ayat (1) UU MD3
menimbulkan penafsiran bahwa persetujuan tertulis Presiden hanya
berlaku jika tindak pidana yang tidak berhubungan dengan tugas dari
anggota DPR sedangkan persetujuan tertulis Presiden tidak dibuthkan
jika terkait tugas dari anggota DPR, Seharusnya persetujuan tertulis tetap
diberikan meskipun berkaitan dengan tugas dari anggota DPR. Kata
“tidak” dalam pasal tersebut juga dapat ditafsirkan semua tindak pidana
dapat dimaknai sebagai bagian dari hak imunitas, sehingga hak imunitas
menjadi diperluas tanpa batas mencangkup seluruh tindak pidana, bukan
hanya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR.
Kata “setelah” dalam frasa “setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam pasal 245 ayat (1) UU MD3
membuat “persetujuan tertulis Presiden” tidak dapat dikeluarkan jika
tidak mendapatkan pertimbangan dari MKD, sehingga mengakibatkan
pemanggilan atau permintaan keterangan kepada anggota DPR
sehubungan dengan terjadinya tindak pidana tidak dapat dilakukan.
Substansi pertimbangan MKD jika ada frasa “setelah” maka bersifat
keharusan.
Kedua, adalah penafsiran historis ialah makna dan ketentuan dalam
suatu peraturan perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara
meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri. Penfsiran ini dikenal
dengan penafsiran historis. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-
undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang
dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu
pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode penafsiran ini ialah
bahwa undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang
14
Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi (Jakarta:
Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI,2010),hlm.70
yang tercantum dalam teks undang-undang. Penafsiran menurut sejarah
undang-undang ini disebut juga penafsiran subjektif, karena penafsiran
menempatkan diri pada pandangan subjek pembentuk undang-undang,
sebagai lawan penafsiran menurut bahasa yang disebut penafsiran
objektif. Sedangkan, metode penafsiran yang hendak memahami undang-
undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut dengan penafsiran
menurut sejarah hukum.15
Dalam Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018, memuat ketentuan
mengenai hak imunitas DPR, jika dilihat dari frasa yang termuat dalam
Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 hak imunitas yang tertuang merupakan
perluasan dari hak imunitas. Dalam ketentuannya hak imunitas
merupakan hak yang diberikan konstitusi hanya sebatas pelaksanaan
tugas dan kewenangannya, diluar pelaksanaan tugas dan kewenangan
hak imunitas DPR tidak berlaku. Dalam sejarahnya sendiri hak imunitas
yang merupakan penerapan dari konsep kedaulatan rakyat.16 Hak
imunitas bukan dimaksud untuk melindungi DPR dari jeratan hukum,
melainkan untuk menjaga kedaulatan rakyat dengan bertindak yang
sesuai dengan amanah yang diembannya sebagai anggota DPR yang
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Pembentukan undang-undang tidak bisa terlepas dari adanya
naskah akademik,17 karena merupakan persyaratan untuk menyusun
peraturan perundang-undangan. Naskah Akademik merupakan
sekumpulan konsepsi yang memuat latar belakang, tujuan penyusunan,
sasaran yang ingin dijangkau, arah atu objek pengaturan undang-undang
yang akan dibuat, selain itu naskah akademik juga memuat bebrapa
aspek, yakni: aspek sosiologis, filosofis dan Yuridis ketiga aspek tersebut
dijadikan landasan pembuatan RUU. Naskah akademik RUU No 2 Tahun
2018 memuat landasan yuridis yakni salah satunya putusan MK 76/PUU-
XII/2014, yang memuat tentang hasil dari uji materil Pasal 245 UU No 17
Tahun 2014.18 Dalam pasal tersebut memuat pengaturan yang sama

15
Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi (Jakarta:
Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI,2010),hlm.73
16
Ketentuan mengenai hak imunitas DPR tertuang didalam Pasal 20 A Ayat 3 UUD
1945. Dengan bunyi sebagai berikut “ Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
UndangUndang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”
17
Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang
Undang No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
18
Pasal 245 ayat 1 UU No 17 Tahun 2014 yang berbunyi “ Pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus
mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”, kemudian diajukan uji materil
ke MK dan MK mengeluarkan putusan 76/PUU-XII/2014 yang memuat penghapusan frasa
“persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan, diubah menjadi persetujuan tertulis dari
dengan pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018, yakni dengan adanya
konsep hak imunitas DPR dengan perluasan kewenangan MKD dan
perluasas jangkauan hak imunitas.
Hak imunitas yang tertuang dalam Pasal 245 Ayat (1) UU No 2
Tahun 2018 tidak sesuai dengan jati diri atau konsep hak imunitas, karena
hak imunitas hanya sebatas dalam pelaksanan tugas dan kewenangannya
dengan memastikan bahwa adanya keseimbangan yang adil antara
anggota parlemen sebagai wakil dari rakyat dan hak warga negara biasa
yang menginginkan keadilan.19 Hak imunitas hanya sebatas pernyataan
atau pendapat anggota parlemen yang memang dilaksanakan atas
kepentingan umum. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa
alasan diberikannya hak imunitas kepada anggota DPR, pada dasarnya
memang berkaitan dengan asas kedaulatan rakyat.
Ketiga, penafsiran komperatif Merupakan metode penafsiran yang
dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan
hukum. Guna mencari kejelasan terkait makna dari suatu ketentuan
undang-undang maka hakim melakukan perbandingan antara beberapa
aturan hukum.20 Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018, selalu ada
keterkaitan dengan pasal-pasal lain dan tidak berdiri sendiri, dengan
melakukan penafsiran komperatif Pasal 245 Ayat (1) memuat tentang
kewenangan MKD,21 yang memberikan pertimbangan jika ada anggota
yang terlibat dalam kasus pidana. Itulah yang kemudian dijadikan
kekebalan hukum (imunitas) DPR, karena dengan adanya pasal tersebut,
maka hak imunitas tidak lagi hanya sebatas tugas dan kewenangannya,
melainkan hak imunitas berlaku bagi semua tindakan yang dilakukan
anggota DPR. MKD memiliki peran penting dalam pasal tersebut
sehingga DPR menggunakan hak imunitas dengan berlindung dari
kewenangan MKD.
Kewenangan MKD dalam Pasal 245 Ayat (1) , merupakan suatu
bentuk intervensi yang dilakukan MKD sebagai lembaga etik. MKD
sebaga lembaga internal DPR tidak mempunyai kewenangan memberikan
pertimbangan terhadap anggota DPR yang terlibat dalam kasus hukum
pidana seperti yang tertuang dalam pasal 121 A, 122 A UU No 2 Tahun
2018, sehingga pasal 245 ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 bertentangan

Presiden”
19
Alqadri Nur,”Hak Imunitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia,” Tesis Megister Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya,2016

20
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet I (Yogyakarta: UII press, 2005),hlm.53
21
Tugas dan kewenangan MKD diatur dalam pasal 121 A UU No 2 Tahun 2018, yang
dilanjut dibahas lebih terperinci mengenai tugasnya dalam pasal 122 A UU No 2 Tahun 2018.
dengan tugas dan kewenangan yang di miliki MKD. 22 Terkait dengan
ranah kewenangan lembaga etik dan lembaga yuridis, di dalam
kehidupan bermasyarakat mengenal 4 jenis norma, yakni norma agama,
kesusilaan, kesopanan, hukum. Norma hukum mempunyai lembaga
penegakannya sendiri hal ini terkait posisi norma hukum yang
kedudukan ebih tinggi dari norma yang lain, yakni para penegak hukum.
Sedangkan norma yang tingkatannya berada dibawah norma hukum dan
belum menjadi hukum inilah yang disebut etika atau disiplin yang
menjadi ranah lembaga etik. Sehingga dalam pengaturan kewenangan
MKD dalam Pasal 245 Ayat (1) telah keluar dari konsep MKD sebagai
lembaga etik dan adanya pencampur adukan kewenangan.
Pasal 245 ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 juga dianggap
inkonstitusional karena bertentangan dengan putusan MK No 76/ PUU-
XII/ 2014, seperti dijelaskan diatas. Perkembangan MKD dinilai rawan
terjadinya konfilk kepentingan. Karena mengingat yang menjadi MKD
yakni anggota DPR, sehingga MKD sangat mudah untuk mendapat
intervensi dari pihak luar ataupun dari pihak DPR sendiri. Maka dalam
penafsiran komperatif ini, penulis setuju dengan apa yang dipaparkan
MK dalam putusannya, bahwasannya Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun
2018, bertentangan dengan pasal 121 A, 122 A UU No 2 Tahun 2018 yang
membahas mengenai tugas dan kewenangan MKD.
UUD NRI merupakan yang memberikan hak imunitas kepada
anggota DPR, seperti yang tertuang dalam Pasal 20 A ayat (3),
memberikan hak imunitas hanya sebatas pelaksanaan tugas dan
kewenangannya, jika dibandingkan dengan Pasal 245 ayat (1) UU No 2
Tahun 2018, maka hak imunitas yang termuat dalam pasal 245 ayat (1)
bertolak belakang dari jati diri pemberian hak imunitas yang diberikan
konstitusi.
Dalam hukum pidana juga dikenal adanya asas persamaan dalam
hukum , maka ketika Pasal 245 ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 berlaku,
maka DPR mempunyai hak imunitas dimanapun dan kapanpun tanpa
terkecuali meskipun diluar tugas dan kewenangannya, sehingga ada
perlindungan yang berlebihan. Hal tersebut bertentangan dengan asas
hukum pidana, ketika anggota DPR diluar pelaksanaan tugas dan
kewenangannya maka DPR dianggap sebagai warga negara biasa, yang
mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum tanpa terkecuali.
Sehingga melalui metode penafsiran gramatikal, historis dan
komperatif, dapat disimpulkan bahwa secara hukum, hak imuntas dan
kewenangan MKD yang diberian dalam Pasal 245 Ayat (1) UU No 2
22
Pasal 121 A memuat : “Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi
pencegahan dan pengawasan; dan penindakan” ketentuan lebih lanjut diatur dalam pasal 122, 122
A, 122 B.
Tahun 2018 tidak sesuai dengan jati diri pembentukan MKD, yang
seharusnya MKD hanya sebatas dalam rana kode etik. Dengan
berlakuknya pasal tersebut maka akan memberikan imunitas yang
berlebihan kepada DPR, yakni dengan begitu maka anggota DPR tidak
dapat dijerat hukum dan dapat berlindung dari kasus hukum yang
menjeratnya dengan pertimbangan MKD. Sejalan dengan putusan MK
bahwasannya Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 ini bertentangan
dengan UUD 1945, karena keluar dari filosif dan hakikat pemberian hak
imunitas dan juga keluar dari kewenangan MKD.
Sehingga Pasal 245 ayat (1) UU MD3 hanya dapat dinilai
kentitusionalnya jika ditafsirkan sesuai dengan konteks filosofi dan
hakikat pemberian hak imunitas kepada anggota DPR sehingga frasa
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada aggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari Presiden” Dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tidak akan
mempunyai kekuata hukum tetap dan bertentangan dengan UUD 1945,
selama tidak dihapunya ketentuan MKD sebagai pemberi pertimbangan,
karena keluar dari konteks tugas dan fungsi MKD itu sendiri, frasa
“setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hak Imunitas Dalam Islam.
Hak imunitas tidak diatur secara terperinci dalam Undang-Undang
Dasar 1945, karena itu dalam pasal 20 A ayat 4 disebutkan “Ketentuan
lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang”. Dengan dasar
dalam pasal ini, DPR memperluas cakupan dan pengertian mengenai hak
imunitas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3,
salah satu hak imunitasnya tertuang di Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang
No 2 Tahun 2018, yang kemudian Undang-Undang ini disahkan dan
berlaku secara konstitusi.
Dalam HTN Islam (Siayasah) tidak ada pembahasan terkait hak
imunitas DPR. Namun, Al-Quran membahas secara eksplisit terkait
kebebasan bicara dan bertindak yang hal tersebut merupakan ciri dari hak
imunitas, seperti yang terdapat dalam QS.Ali Imron ayat (104).
‫ ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون‬23
Ayat diatas membahasn terkait perintah melakukan kebaikan
dalam hal perbuatan maupun tindakan serta berbicara dengan lemah

23
Ali Imron (3): 104.
lembut, sehingga tidak memberikan dampak negatif terhadap orang lain
disekitarnya.
Kebebasan berbicara bukan berarti bisa berbicara seenaknya,
namun tetap dalam berpendapat mengutamakan etika dan menggunakan
akal pikirannya secara bertanggungjawab. Berkaitan degan hal ini, Al-
Qur’an memerintahkan agar setiap manusia senantiasa menggunakan
akal pikirannya untukk menyatakan pendapat. Menurut Hasyim Kamali,
salah satu cara untuk mempertahankan suatu kebenaran adalah
pengakuan akan hak kebebasan berbicara. Kebebasan berpendapat
melengkapi martabat manusia.24
Hal inilah yang kemudian menjadi prinsip mengenai hak imunitas,
karena ciri utama dari hak imunitas yakni kebebasan bertindak,
berpendapat dan berbicara. Dapat dipahami bahwa kebebasan hal
tersebut yang dijamin di Al-Qur’an seperti dijelaskan diatas,kebebasan
diberikan dengan syarat hak tersebut digunakan untuk menyebarkan
kebaikan dan bukan untuk menyebar keburukan. Hal tersebut sejalan
dengan prinsip hak imunitas yang diberikan konstitusi kepada Anggota
DPR, hak tersebut diberikan untuk menjaga kehormatan Dewan dan
bukan melindungi anggota DPR dari permasalahan hukum, yang dimana
hak imunitas tersebut dibatasai dengan peraturan tata tertib dan juga
kode etik lembaga. Selain itu dalam hal mengajukan pertanyaan dan
pernyataan harus dilakukan dengan tata cara mengindahkan etika politik
dan pemerintahan, senantiasa menggunakan tata krama, sopan santun,
norma serta adat budaya bangsa. Sehingga pelaksanaan hak imunitas
tidak keluar dari prinsip pemberian hak tersebut.
Namun, dengan berlakunya Undang-Undang No 2 Tahun 2018
terkhusus Pasal 245 ayat (1) yang memuat mengenai hak imunitas,
menimbulkan banyak kontroversi yang terjadi di masyarakat yang ingin
melakukan penolakan terhadap pasal 245 ayat (1). Sebuah peraturan
undang-undang seharusnya tidak memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat dan mencerminkan adanya maslahah. Adapun dalil
mengenai maslahah yakni:
‫والمراد با لمصلحة المحا فضاة على مقصود الشرع بذ فع المفا سد عن الحلق‬
Dalil tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan maslahah adalah
memelihara tujuan hukum islam dengan menolak bencana atau kerusakan
hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia). Dengan begitu lahirnya
sebuah undang-undang seharusnya tidak merugikan masyarakat agar
terciptanya sebuah kemaslahatan.

24
Muhammad Hasyim Kamali, Kebebasan dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996),hlm.24
untuk mengetahui makna suatu perundang-undangan yang ada di
Indonesia, salah satu mekanisme yang mungkin dugunakan yakni al-
maslahah, yakni dengan pertimbangan kepentingan masyarakat. Hal ini
sesuai dengan kaidah fikih mengenai kebijakan harus memperhatikan
kemaslahatan, kaidahnya sebagai berikut:25
‫تصر ف اال ما م عل عية منو ط بالمصلحة‬
Kaidah tersebut menjelaskan, bahwa kemaslahatan rakyat menjadi
hal yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan yang dilakukan
oleh pemimpin, tidak diperkenankan hanya atas dasar kepentingan
pribadi ataupun kelompoknya. Dengan mengacu pada kaidah tersebut
bahwa Pasal 245 ayat (1) tidak memberikan kemaslahatan kepada
masyarakat karena dengan berlakunya Pasal 245 ayat (1) masyarakat
melakukan penolakan dan mengajukan uji materi kepada MK, agar pasal
245 ayat (1) dibatalkan. Maka dalam penelitian ini dapat diidentifikasi
mengenai permasalahan yang ada di Pasal 245 Ayat (1) adalah adanya
pelanggaran yang dilakukan DPR, yakni dengan memperluas cakupan
dari hak imunitas dan menambah kewenangan MKD yang tidak
sebagaimana mestinya, dimana undang-undang tersebut dianggap
melanggar hak rakyat, karena rakyat tidak bisa mengontrol kinerja DPR,
jika pasal tersebut berlaku DPR akan sangat sulit untuk dijerat hukum.
Dengan mengetahui permasalahn seperti yang dijelaskan diatas,
selanjutnya dapat diidentifikasi bahwa untuk dinilai sebagai
kemaslahatan, harus sesuai dengan prinspi-prinsip atau persyaratan al-
maslahah dapat diterapkan. Seperti yang dijelaskan oleh Abdul Wahab
Khalaf yang memberikan beberapa persyaratan agar Al-maslahah dapat
diterapkan, yakni:26
a. Al-maslahah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan.
Maksudnya ialah dengan kaitannya dengan pembentukan hukum
terhadap suatu kejadian atau masalah dapat melahirkan
kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia dan Al-maslahah
harus benar-benar membuat kemaslahatan, sehingga dapat
mewujudkan pembentukan aturan yang atas kehendak rakyat,
dan memberikan manfaat bagi kehidupan masayarakt bukan
maah merugikan.
Jika dikaitkan dengan hak imunitas, maka hak imunitas
lebih mementingkan kepentingan DPR dan mengenyampingkan
kepentingan rakyat, karena hak imunitas yang tertuang di Pasal
245 Ayat (1) UU No.2 Tahun 2018 tidak menjamin hak-hak rakyat
25
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,2017),hlm.147
26
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj.Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet ke 8, 2002, hlm.123
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara. Dengan
berlakunya hak imunitas tersebut, frasa pertimbangan MKD yang
tertuang di Pasal 245 Ayat (1) hanya akan memberikan
keuntungan kepada anggota DPR, karena akan sangat sulit dijerat
hukum, bahkan untuk dimintai keterangan/saksi harus atas
pertimbangan MKD. Hal tersebut membuat masyarakat
mengajukan uji materil Pasal 245 Ayat (1) kepada Mahkamah
Konstitusi. MK mengembalikan lagi hak imunitas DPR seperti
semula, jika ada anggota DPR melakukan tindak pidana maka
hanya perlu izin tertulis dari Presiden. Dengan begitu putusan
MK lebih memberikan kemaslahatan karena lebih memperhatikan
hak-hak rakyat dan kebaikan bersama, tanpa menghilangkan hak
imunitas namun tetap menjamin hak-hak rakyat untuk memantau
DPR jika terjadi ketidak tepatan dalam menjalankan tugas.
Dengan menghapus frasa “ atas pertimbangan MKD” maka DPR
tidak lagi dapat berlindung dari jeratan hukum. Hal ini tentu
memberikan kemaslahatan bagi semua orang, tidak hanya atas
dasar kepentingan DPR namun juga atas kepentingan masyarakat
Indonesia.
b. Kemaslahatan sebagai tujuan pembentukan hukum namun tidak
boleh bertentangan dengan tata hukum atau dasar ketetapan ijma’
dan nash. Dalam pembentukan undang-undang, harus
didasarkan oleh UUD 1945, karena merupakan dasar negara
Indonesia yang dijadikan pijakan utama dalam pembentukan
undang-undang. Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018
dijelaskan bahwa hak imunitas DPR yang tertuang dalam pasal
245 ayat (1) Undang-Undang No 2 Tahun 2018 dengan
menggunakan frasa “pertimbangan MKD” bertentangan dengan
UUD dan kontra terhadap filosofi dan hakekat dalam
memberikan hak imunitas DPR.
Melalui perspektif Al-Maslahah ini dapat diidentifikasi bahwa kehadiran
Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 tidak mewujudkan kemaslahatan
dikarenakan dalam pasal tersebut hak imunitas yang terkandung
merupakan hanya dasar kepentingan DPR, yang tidak ingin dijerat
hukum, dengan memperluas cakupan hak imunitas dan menambah
kewenangan MKD. Namun dengan adanya putusan MK No 16/PUU-
XVI/2018 yang menguji Pasal 245 ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 dengan
UUD 1945, memberikan putusan yang mencerminkan wujud dari
Maslahah al-Hajiyah yaitu penyempurnaan dari kemaslahatan pokok
(mendasar). Karena jika MK tidak membatalkan frasa “setelah mendapat
persetujuan dari MKD” maka akan berimbas kepada adanya tindakan
kesewenang-wenangan dari anggota DPR, karena tidak bisa dijerat
hukum. Sehingga akan berakibat kepada tidak terjaminnya memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan kata lain putusan MK
dihadirkan untuk menghapus kesulitan warga negara dalam
mempertahankan hak untuk mengontrol DPR, yang sejatinya merupakan
sebuah penerapan dari proses demokrasi.
Pasal 245 Ayat (1) UU MD3tidak mencerminkan maslahah karena
hanya atas dasar kepentingan individu dan mengesampingkan
kepentingan umum. Pasal 245 ayat (1) UU MD3 hanya dapat dinilai
memberikan maslahah jika ditafsirkan sesuai dengan konteks filosofi dan
hakikat pemberian hak imunitas kepada anggota DPR sehingga frasa
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada aggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari Presiden” sementara itu, fasa “setelah mendapat pertimbangan
dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3
dihapuskan. Dengan begitu masyarakat merasa adanya keadilan dan
tidak ada hukum yang diciderai dalam Pasal 245 Ayat (1) UU No 2 Tahun
2018 dan kebijakan DPR yang dituangkan dalam Pasal 245 ayat (1) lebih
mementingkan kemaslahatan dan tidak atas dasar kepentingan anggota
DPR sendiri.
KESIMPULAN.
Dari Penjelasan dalam pembahasan sebelumnya maka penulis
simpulkan menurut Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan putusan MK Nomor
16/PUU-XVI/2018, bahwasannya Hak imunitas yang tertuang dalam
pasal 245 ayat (1) mengenai pertimbangan MKD itu menjadi obyek
perbedaan pendapat anatar DPR dan MK.
Pertama, DPR kurang tepat dalam melakukan penafsiran terhadap
hak imunitas yang tertuang di Pasal 245 ayat (1) UU No.2 Tahun 2018
dengan menghidupkan kembali MKD di pasal tersebut, keputusan MK
lebih tepat dalam menafsirkan hak imunitas DPR yang tertuang di pasal
245 ayat (1) UU No 2 Tahun 2018 dengan menghapuskan frasa “ Setelah
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”, dengan
dihapuskannya frasa tersebut maka hak imunitas tidak bisa dijadikan
sarana untuk mencari perlindungan dari jeratan hukum dan hak imunitas
DPR tidak melanggar UUD 1945.
Kedua, Setelah adanya putusan MK mengenai Pasal 245 ayat (1) UU
No. 2 Tahun 2018, memberikan kemaslahatan kepada masyarakat, karena
UU lebih berdasarkan kepentingan bersama, terjaminnya hak-hak rakyat
untuk bisa mengontrol kinerja DPR dan tidak mempersulit dalam
penindakan jika anggota DPR melakukan tindakan pidana .
Daftar Pustaka.
Asshiddiqie Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta:
Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006.

Asshiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia , Jakarta: Sinar


Grafika,2005.

Dhakidae Daniel, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kemampuan Mengolah Kuasa


Wicara, Jakarta: Kompas, 2000.

Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih , Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,2017.

Hamidi Jazim, Hermeneutika Hukum, cet I , Yogyakarta: UII press, 2005.

Kamali Muhammad Hasyim, Kebebasan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1996.

Kansil C.S.T, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2,Jakarta: Rineka


Cipta,2003.

Kantaparwira R, Perihal Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu,2007.

Khallaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, terj.Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-
Kaidah Hukum Islam, Cet ke 8, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Mashudi, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan


Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Bandung:
Mandar Maju, 1993.

Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Ketiga Atas


Undang Undang No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Nur Alqadri, Hak Imunitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Tesis Megister Hukum Pemerintahan Fakultas
Hukum Universitas Airlangga Surabaya,2016

Putusan MK No 16/PUU-XVI/2018.
Saebani Beni Ahmad dan Ai Wati, Perbandingan Hukum Tata Negara, Bandung:
Pustaka Setia,2016.

Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara Mahkamah Kontitusi, Jakarta:
Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI,2010.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,


Dewan Perwakilan Rakyat, dewan Perwakilan Daerah, dan dewan
Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang No 2 Tahun 2018 Tentang Perbuhan Kedua Atas UU No 17


Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dewan Perwakilan Daerah, dan dewan Perwakilan
Rakyat Daerah

Anda mungkin juga menyukai