Anda di halaman 1dari 26

DOMINASI HUKUM DAN POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI TENTANG BATAS USIA CALON PRESIDEN DAN WAKIL


PRESIDEN

(Analisis terhadap Muatan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-


XXI/2023)

JURNAL

Siti Aminah
Lega Rahayu Febriana
Annisa Dwi Lestari

Kelas Hukum Kenegaraan


Dosen : Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM MAGISTER
2023
DOMINASI HUKUM DAN POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TENTANG BATAS USIA CALON PRESIDEN DAN WAKIL
PRESIDEN
(ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.
90/PUU-XXI/2023)

Annisa Dwi Lestari


Lega Rahayu Febriana
Siti Aminah
Dr. Wicipto Setiadi
UPN Veteran Jakarta, Indonesia

Abstrak

Salah satu hak asasi yang dijamin di hampir setiap hukum dan
konstitusi di dunia adalah hak untuk memilih dan dipilih. Begitupun di
dalam konstitusi Indonesia bahwa ada jaminan kebebasan bagi warga negara
untuk ikut terlibat dalam kontestasi politik. Sebagai negara demokrasi,
Indonesia menjunjung tinggi kebebasan dalam menentukan siapa yang akan
dipilih di dalam kontestasi pemilihan dalam pesta demokrasi yakni
pemilihan umum. Pemilu Indonesia adalah perwujudan dari kebebasan
berpendapat, berpolitik, serta memilih dan dipilih. Hal ini menjadi
perwujudan hak asasi manusia terutama yang berkaitan dengan hak memilih
dan dipilih dan menjadi hal yang penting untuk dapat dijamin kepastian
hukumnya terhadap kemungkinan akan adanya kecurangan di dalam
prosesnya. Namun, baru-baru ini masyarakat cukup dikejutkan dengan hasil
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang mana telah
membuat putusan yang “berani” dalam hal batas usia calon presiden dan
calon wakil presiden.
Kata kunci : Kontestasi Politik, Mahkamah Konstitusi, Kepastian Hukum

A. Pendahuluan
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki badan peradilan yang
merdeka dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan
hukum dan keadilan. Amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2)
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung sebagai puncak dari badan-badan peradilan di empat
lingkungan peradilan yang terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama,

2
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Dari segi kewenangannya, kewenangan lembaga kekuasaan
kehakiman di samping sebagai badan peradilan, juga diberi kewenangan
sebagai badan pengujian peraturan perundang-undangan, baik peraturan di
bawah undang-undang pada undang-undang, maupun undang-undang
terhadap UUD 1945. Pengujian peraturan perundang-undangan terhadap
undang-undang kewenangannya dilekatkan pada Mahkamah Agung,
sedangkan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dilekatkan pada
Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, pada
prinsipnya dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar
konstitusionalisme sebuah perundang-undangan, artinya Mahkamah
Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang diberikan otoritas untuk
menafsirkan sebuah konstitusi dan untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul antar lembaga negara. Hal ini merupakan upaya untuk mendorong
dan menciptakan sistem ketatanegaraan yang demokratis.
Pada tanggal 17 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi melakukan uji
materiil atas suatu permohonan oleh warga negara terhadap batas usia calon
presiden dan calon wakil presiden sebagai bentuk kebebasan dan hak yang
sama di dalam hukum. Persamaan di dalam hukum tersebut diwujudkan
pada suatu uji materiil oleh para pemohon hak uji materiil yang merasa
dirugian kepentingannya atas suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku yakni tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden
yang termaktub dalam Pasal 169 Undang-Undang No. 17 Tahun 2017
tentang Pemilu. Permohonan tersebut diputus dalam putusan Mahkamah
Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut kemudian menjadi kontroversi bukan karena
banyaknya kepentingan politik yang bisa diamati pada momentum tersebut,
tetapi karena banyaknya kejanggalan dalam proses perumusan putusannya.
Fakta bahwa permohonan yang diusung pada saat itu adalah berkenaan

3
dengan suatu keinginan untuk diusungnya anak dari presiden Joko Widodo
sebagai calon wakil presiden Indonesia juga menjadi isu sentris yang
banyak menimbulkan banyak kecurigaan berkenaan dengan kepentingan
politik penguasa saat ini. Fakta lain bahwa adanya satu orang hakim
pemutus yang mana adalah ketua Mahkamah Konstitusi sendiri yang
memiliki kekerabatan dengan presiden Joko Widodo menjadikan isu
tersebut menjadi lebih kuat lagi. Terlebih dengan dikabulkannya
permohonan hak uji materiil dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor
90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023 dengan ditolaknya 5 (lima)
permohonan serupa di hari yang sama menjadikan politik kepentingan lebih
kuat lagi diyakini. Dengan fakta yang demikian bahkan kecurigaan akan
adanya politik dinasti tersebar luas di masyarakat.
Realitas yang terjadi di atas menunjukkan bahwa negara memiliki
otoritas yang kuat untuk menggerakkan perubahan melalui instrumen
hukum. Hukum bekerja di tengah perubahan drastis dan konflik yang sengit
antara kekuatan-kekuatan politik. Dalam situasi seperti ini sulit diperoleh
adanya otoritas yang kuat dan legitimatif bagi penggunaan hukum sebagai
instrumen perubahan sosial. Bukan saja otoritas pemerintahan menjadi
lemah, tetapi juga tidak memiliki legitimasi yang kuat di hadapan
masyarakat, baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial mengalami
proses delegitimasi di hadapan masyarakat.

B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penelitian yaitu metode
deskriptif kualitatif yang memberikan suatu gambaran yang diuraikan
dengan kata-kata secara cermat dan seteliti mungkin. Adapun teknik atau
pendekatan yang dilakukan adalah dengan cara teknik pengumpulan data
dengan dokumen dimana penulis mengumpulan bahan-bahan seperti
undang-undang, buku literasi, dan jurnal ilmiah sebagai bahan utama yang
memudahkan penulis dalam melakukan analisis.

4
Tipe penelitan yang diterapkan adalah penelitian hukum normatif
dengan berbagai pendekatan yang mana dilakukan dengan pendekatan
melalui aturan-aturan hukum atau perundang-undangan, pendekatan
konseptual dengan teori-teori, maupun pendekatan historis. Seringkali
penelitiain ini dikenal dengan penelitian library research (kepustakaan)
yang mana bahan-bahan penelitian lebih banyak berupa dokumen literatur.
Tahapan penelitian dilaksanakan dengan menghimpun sumber kepustakaan
dilanjutkan dengan pengolahan data atau pengutipan referensi untuk
ditampilkan sebagai temuan penelitian, diabstraksikan untuk mendapatkan
informasi yang utuh, dan diinterpretasi hingga menghasilkan pengetahuan
untuk penarikan kesimpulan.

C. Hasil dan Pembahasan


1. Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman dalam Konstitusi
Kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman merupakan dua hal
yang memiliki keterkaitan satu dengan lainnya karena fungsi kekuasaan itu
dapat dijalankan jika lembaga memiliki kedudukan tertentu dalam
kekuasaan (negara), sehingga ia memiliki kewenangan dan dapat
mengimplementasikan kewenangannya secara bertanggung jawab.
Kedudukan kekuasaan kehakiman juga akan berkaitan dengan kekuasaan
negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan merupakan bagian dari
susunan ketatanegaraan yang masing-masing memiliki kedudukan,
susunan, tugas, dan wewenang sebagai lembaga negara.
Diaturnya kekuasaan kehakiman dalam bab tersendiri dalam UUD
1945 dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
negara yang mandiri (otonom) dan tidak ada keharusan baginya untuk
diperintah maupun memerintah, membantu ataupun mendampingi
kekuasaan pemerintahan.
Dalam menafsirkan ketentuan tentang kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam bab tersendiri pada UUD 1945, Moh. Koesnoe menyatakan
bahwa: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.

5
Pemerintah oleh UUD 1945 dilarang untuk memengaruhi kekuasaan itu.
Tentang kekuasaan pemerintahan, negara harus jelas menyatakan
kesanggupannya untuk tidak memengaruhi kekuasaan kehakiman di dalam
wujud yang tertulis yaitu dalam bentuk undang-undang. Isi undang-
undang adalah ketentuan-ketentuan yang melarang lembaga-lembaga
pemerintahan dalam segala bentuk dan cara bagaimanapun memengaruhi
bekerjanya kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh para hakim yaitu
pelaksana kekuasaan kehakiman. Di dalam berbagai tata hukum nasional
dimana ketentuan undang-undang semacam itu ada. Para hakim harus
dibebaskan dari segala keadaan yang secara langsung atau tidak langsung
memberikan tekanan baik lahir maupun batinnya dan dihindarkan dari
campur tangan dan pengaruh baik dari atasannya sendiri, dari kekuasaan
lain-lain yang berada di luar kekuasaan kehakiman serta dari lingkungan
lain.”1
Lanjut, Moh. Koesnoe juga memberikan penjelasan bahwa fungsi
kekuasaan kehakiman bukan sekadar menegakkan undang-undang,
melainkan sebagai satu-satunya kekuasaan yang menentukan hukum
dalam kasus konkret; sehingga dengan kata lain dapat menetapkan
keputusan dengan mengesampingkan undang-undang atau peraturan
lainnya maka dinilainya sebagai berlawanan dengan hukum.
Sistem peradilan yang bebas sebagaimana yang dikehendaki oleh
UUD 1945 dapat diasumsikan sebagai paham yang dianut dalam asas
yuridisme legalistis yang idealistis yang menempatkan hukum sebagai
supreme. Faktor-faktor yang memengaruhinya antara lain faktor kualitas,
profesionalisme hakim, integritas hakim, dan budaya hukum masyarakat
terutama kalangan penguasa. Dalam hubungan itu, konfigurasi politik
yang dapat mendukung suasana yang kondusif untuk terciptanya
supremasi hukum adalah konfigurasi politik yang demokratis. Kondisi ini
memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat dalam setiap

1
Zainal Arifin H., Kekuasaan Kehakiman di Indonesia: Kedudukan, Fungsi, dan Pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Konstitusi, Yogyakarta: Imperium, 2013, h. 146

6
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara, sehingga para penyelenggara tetap dalam bingkai
norma hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD
1945 ada 2 (dua) lembaga negara yang diberi wewenang oleh UUD 1945
untuk melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung berserta
badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi di bidang yudikatif adalah sebagai
lembaga negara yang berdiri sendiri, terpisah dari Mahkamah Agung.
Jimly Asshidique menjelaskan bahwa pembentukan Mahkamah
Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam,
namun secara umum adalah berawal dari suatu proses perubahan politik
kekuasaan yang otoriter menuju demokratis, sedangkan keberadaan
Mahkamah Konstitusi lebih untuk menyelesaikan konflik antarlembaga
negara karena dalam proses perubahan menuju negara yang demokratis
tidak bisa dihindari munculnya pertentangan antarlembaga negara. Selain
itu, adanya kekosongan pengaturan pengujian terhadap undang-undang
secara tidak langsung telah menguntungkan kekuasaan karena produk
perundang-undangan tidak akan ada yang mengganggu gugat, dan
karenanya untuk menjamin bahwa penyusunan peraturan perundang-
undangan akan selaras dengan konstitusi harus ditentukan mekanisme
untuk mengawasinya melalui hak menguji.2
Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman dalam sistem kekuasaan negara dimaksudkan sebagai lembaga
yang mandiri untuk menyelenggarakan peradilan terhadap perkara-perkara
ketatanegaraan tertentu yang diatur dalam Pasal 7A jo Pasal 7B jo Pasal
24C Perubahan Ketiga UUDA 1945. Akan tetapi sebagaimana di dalam
rumusan Pasal 16 jo Pasal 17 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang
mengatur tetnang persyaratan dan larangan hakim konstitusi, pembentuk

2
Ikhsan Rosyada, Mahkamah Konstitusi: Memahami Keberadaannya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006, h.19

7
undang-undang tampaknya mengedepankan pendekatan politik dalam
proses pengisian jabatan hakim konstitusi sehingga dapat memengaruhi
independensi kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan
yang terbebas dari berbagai cara dan bentuk konsesi atau pengaruh
kepentingan politik.
Apabila melihat aturan pada Pasal 18, 19, dan 20 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, maka yang menentukan pengisian jabatan hakim
konstitusi merupakan kewenangan internal dari Mahkamah Agung, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Dari rumusan tersebut disinyalir bahwa
intervensi kepentingan politik akan masuk dan kemudian dapat
memengaruhi independensi Mahkamah Konstitusi dalam memutus
perkara-perkara yang termasuk kompetensinya dalam menerapkan hukum
yang tepat berdasarkan kebenaran dan keadilan.

2. Kewenangan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang


Dasar 1945
Kekuasaan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang
yang bertentangan dengan UUD 1945 merupakan cerminan diterapkannya
mekanisme check and balances terhadap produk hukum dari badan
legislatif selaku pembuat undang-undang. Tolok ukur yang menjadi
pedoman bagi Mahkamah Konstitusi dalam penggunaan wewenangnya
menyelesaikan sengketa tata negara, selain menggunakan tolok ukur yang
tersurat dalam UUD 1945, juga menggunakan tolok ukur yang tersirat
dalam nilai-nilai demokrasi, prinsip negara hukum, perlindungan hak asasi
manusia, dan nilai-nilai integrasi yang terumus dalam Pembukaan UUD
1945 dan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan melakukan pengujian undang-undang yang dilakukan
Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya bersifat pasif, dalam artian
Mahkamah Konstitusi baru melakukan pengujian apabila terdapat
permohonan yang diajukan oleh pemohon. Pemohon yang dapat
melakukan permohonan untuk melakukan pengujian undang-undang

8
terhadap UUD 1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-
undang. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pihak
yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dapat berbentuk, antara
lain Perorangan warga negara Indonesia, Kesatuan masyarakat hukum
adat, Badan hukum publik atau privat, maupun Lembaga negara.
Sedangkan alasan untuk mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah
Konstitusi, antara lain :
a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
UUD 1945; dan
b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan atau bagian di dalam undang-
undang bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
bilamana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan untuk
menguji konstitusionalitas undang-undang dari pemohon beralasan, maka
amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan dikabulkan. 3
Sedangkan apabila tidak beralasan maka amar putusan Mahkamah
Konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima. 4 Terhadap
permohonan yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi melakukan
pemeriksaan untuk kemudian memutuskan bertentangan atau tidaknya
suatu undang-undang, baik karena pembentukan undang-undang yang
tidak sesuai atau tidak berdasarkan UUD 1945 maupun mengenai materi
ayat, pasal, dan/atau bagian suatu undang-undang.
Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-
undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan
UUD 1945. Begitupun terhadap suatu undang-undang, Mahkamah
Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan

3
Lihat Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
4
Lihat Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003

9
tidak berdasarkan UUD 1945. Melalui penafsiran atau interpretasi
terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan
yang secara positif mengoreksi undang-undang yang dihasilkan oleh DPR
bersama-sama dengan Presiden.5
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki dasar untuk
membentuk norma baru karena hal tersebut merupakan kewenangan dari
lembaga legislatif. Bila dicermati pada putusan Mahkamah Konstitusi No.
90/PUU-XII/2023 menghasilkan amar putusan dengan mengubah klausul
batas usia calon presiden dan calon wakil presiden pada Pasal 169 huruf q
Undang-Undang Pemilu menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh)
tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui
pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Apa yang dilakukan
Mahkamah Konstitusi tersebut telah keluar jalur kewenangan lembaga
yudikatif yang sejatinya hanya mengoreksi undang-undang, namun malah
melampaui kewenangan lembaga legislatif selaku pembuat undang-
undang.

3. Ekaminasi Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 :Antara Kepastian


Hukum dan Kepentingan Politik
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi yang menempatkan
kepentingan rakyat sebagai tujuan utama negara maka negara
bertanggungjawab untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
kepada warga negaranya. Kebebasan di sini adalah kebebasaan dalam
batas Undang-Undang, karena Undang-Undang sendiri merupakan
penjelmaan dari kemauan yang menjadi kehendak rakyat. Jadi, rakyatlah
yang mewakili kekuasaan tertinggi atau berdaulat dalam negara. Indonesia
sendiri merupakan negara yang menganut paham demokrasi. Paham
tersebut tergambar jelas secara konstitusional dan fundamental dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alenia IV yang antara lain

5
Ikhsan Rosyada, Mahkamah Konstitusi: Memahami Keberadaannya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006, h.31

10
menegaskan salah satu dasar negara yang berbunyi:”Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Konsep kedaulatan rakyat yang berarti rakyat mempunyai kedaulatan
atau kekuasaan, yang berarti konsep kekuasaan rakyat atau kedaulatan
yang demikian tidak bersifat mutlak. Kedaulatan sebagai konsep
kekuasaan (Sovereignity) untuk mengatur kehidupan ada yang bersifat
terbatas, relatif, dan ada pula yang tidak terbatas atau mutlak (absolut).
Kedaulatan yang bersifat absolut itu adalah kedaulatan atas semua
kedaulatan yang tidak dibatasi oleh kedaulatan pihak lain. Kedaulatan
absolut hanya dimiliki oleh Allah SWT. untuk mengatur alam semesta
melalui hukum alam-Nya dan mengatur kehidupan manusia melalui
sinyal-sinyal hukum moral yang diilhamkan kepada setiap nurani (qalb)
manusia atau diwahyukan melalui para nabi dan rasul-Nya, sedangkan
dalam negara sebagai bangunan sosial dan proyek peradaban yang
direkayasa oleh manusia dalam wilayah tertentu yang berdaulat adalah
manusia secara kolektif sebagai khalifah-Nya (Sodikin, 2014: 107).
Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandaikan
bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian
yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep
kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu
pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang
sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem
penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi
seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan
melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.6
Dalam BAB XI pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

6
Jimmly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2011,
hal 293

11
telah mengatur mengenai partisipasi masyarakat sebagai berikut:
“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Sebagai negara yang berdasarkan hukum sudah sepatutnya
negara mengatur segala sektor kehidupan Masyarakat terlebih lagi
untuk bidang kehidupan penyelenggaraan kenegaraan seperti dengan
adanya Mahkamah Konstitusi yang memberikan pintu keluar terhadap
adanya ketidakpuasan Masyarakat terkait peraturan perundang-
undangan yang telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang
tersebut. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di sini menjadi solusi
sekaligus sebagai bentuk check and balances bagi cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Meski demikian tentu
ada peraturan yang jelas bagi Masyarakat serta Mahkamah Konstitusi
dalam melakukan proses judisial review terhadap undang-undang
khususnya Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum yaitu sebgaimana tertuang dalam putusan nomor
90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023.
Berikut ini adalah beberapa bentuk partisipasi Masyarakat
terhadap putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023
yang dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Akademisi
Respon akademisi terhadap putusan nomor 90/PUU-XXI/2023
tanggal 17 Oktober 2023 salah satunya adalah lahirnya eksminasi yang
berjudul “Skandal Mahkamah Keluarga: Eksaminasi Publik Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 mengenai Batas Usia
Calon Presiden dan Wakil Presiden.”
Dalam eksaminasi tersebut membuktikan suatu Tindakan yang konkrit
oleh para akademisi yang merupakan para guru besar hukum tata
negara antara lain yaitu yang tergabung dalam Majelis Eksaminasi Dr.
Yance Arizona, S.H., M.H., M.A. (Ketua Majelis/Dosen Departemen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM), Prof. Susi Dwi Harijanti,

12
S.H., LL.M., Ph.D (Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran), Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum
(Mantan Hakim Konstitusi), Bivitri Susanti, S.H., LL.M. (Dosen
STHI Jentera), Titi Angraini, S.H., M.H. (Pembina Perludem dan
Dosen Bidang Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), Tria Noviantika, S.H., Mochamad Adli Wafi.
Didalam eksaminasi tersebut setidaknya membahas tiga hal krusial
yaitu :
a. The Purcell Principle
Menyatakan bahwa dalam proses pemilu ketika pengadilan punya
kewenangan untuk menyelesaikan dan menangani perkara
persoalan pemilu secara langsung, seharusnya pengadilan tidak
mengubah aturan yang ada dalam periode proses dan tahapan
Pemilu yang sedang berlangsung. Hal demikian krusial untuk
diperhatikan agar putusan pengadilan tidak menjadi problematika
baru yang kemudian timbul pada para penyelenggara pemilu
maupun pemilih. Apalagi akan menjadi semakin berbahaya bila
pengadilan menjadi bagian dari strategi politik dari kelompok
tertentu untuk memenangkan pemilu. Dalam putusan ini kita
mengalami kebingungan dan kebimbangan akan persoalan
tersebut, misalkan tentang keabsahan dalam tahapan-tahapan
pemilu.7
b. Nebis in Idem
Asas Nebis in Idem ini diatur jelas pada Pasal 60 Ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi yang berbunyi: (1) Terhadap materi muatan
ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji,
tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, meskipun pada ayat
selanjutnya memberi pengecualian apabila batu uji

7
Prinsip ini bermuasal dari kasus Pengadilan Tertinggi Amerika Serikat yang menetapkan Prinsip
Purcell dalam Purcell vs. Gonzalez (2006), kasus yang melibatkan Mahkamah Agung
membatalkan keputusan Pengadilan Banding AS untuk Kesembilan Sirkuit yang telah
membatalkan undang-undang identifikasi pemilih Arizona selama pemilu tengah berlangsung.

13
konstitusionalitas berbeda dari pengujian sebelumnya: yang
lengkapanya berbunyi sebagai berikut :ayat (2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika
materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Ketidaksesuaian Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentunya
dapat dilihat dari kesamaan ketentuan pasal yang diuji kepada MK,
yakni Pasal 169 huruf q UU Pemilu dengan tiga permohonan
sebelumnya yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi di hari
yang sama. Kendatipun, Pasal 60 ayat (2) UU MK telah
memberikan pengecualian yakni tidak termasuk nebis in idem
apabila terdapat perbedaan batu uji yang berbeda terhadap pasal
yang sudah pernah diuji, pengecualian tersebut pun sejatinya telah
dilanggar oleh Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 sebab Putusan
MK No. 29/PUU-XXI/2023 telah menggunakan batu uji yang
sama persis pula terhadap pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu,
sebagai berikut:
 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: "Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya."
 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum."
 Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan"
c. Legal Standing pemohon8
8
Dalam hal ini, klasifikasi yang memiliki legal standing ialah sebagai berikut: a. perorangan warga
negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam

14
Sebagaimana dimaksud Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa kerugian
hak dan/atau wewenang konstitusional harus memenuhi lima
unsur, yakni: a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945; b. Hak dan/atau kewenangan
konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. Kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d.
Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang
Yang dimohonkan pengujian; e. Adanya kemungkinan bahwa
dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak lagi terjadi.
2. Politisi
a. Megawati Soekarno Putri
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato
dalam rangka menyikapi situasi politik yang makin panas jelang
Pilpres 2024. Megawati secara khusus menyoroti perkara yang
terjadi di Mahkamah Konstitusi. MK menuai kecaman imbas
putusan 90 yang menjadi karpet merah bagi putra sulung Presiden
Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju jadi bacawapres Prabowo
Subianto.
Dalam pidatonya tersebut Megawati menceritakan proses awal
terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang merupakan amanat dari
perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 24 (2)
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat, atau; d. lembaga negara

15
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Megawati meyampaikan tujuan dibentuknya Mahkamah Konstusi
adalah untuk kepentingan seluruh rakyat, bangsa dan Negara
Indonesia bukan hanya untuk kepentingan seseorang semata, lebih
lanjut megawati juga meyampaikan keprihatinannya atas adanya
kekuasaan yang telah memanfaatkan keberadaan Mahkamah
konstitusi sehingga Mahkamah Konstitusi atelah menjadi alat bagi
pemegang kekuasaan.9
b. TKN Ganjar Mahfud
Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Andi
Widjajanto menyampaikan bahwa bahwa Tim Knadidat Nomor
urut 3 akan memanfaatkan putusan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai pemberi harapan dalam
menjaga dan menegakkan demokrasi berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut TKN juga menyampaiakn bahwa mereka akan
mengikuti arahan ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan
sebagaimana di sampaikan oleh ketua umumnya di video sebagai
tanggapan atas Keputusan Mahkamah Konstitui“Kami akan
mengikuti arahan sesuai pidato Ketua Umum (Ketum) PDI
Perjuangan Megawati Soekarnoputri yakni bagaimana
menggunakan secercah cahaya dari putusan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjadi jalan untuk menjaga dan
menegakkan demokrasi berbangsa dan bernegara,”
Andi mengatakan, apa yang terjadi pada Pilpres dan Pemilu 2024
saat ini bisa dianalogikan seperti pertandingan sepakbola.
"Pada saat kita bersiap-siap menanti pertandingan sepakbola untuk
melihat kesebelasan yang terbaik tampil tapi ternyata timbul
keraguan karena ada kejanggalan dalam praktik di lapangan soal

9
https://kumparan.com/kumparanvideo/21Z3qs24hOV?
utm_source=Mobile&utm_medium=wa&shareID=F9FUDivNfp3o

16
pemain yang boleh turun bermain," ungkapnya. Menurut dia, ketika
berkaca dari pidato Megawati tersirat keinginan agar keputusan
MKMK menjadi titik awal dalam menghentikan upaya rekayasa
hukum dan rekayasa konstitusi yang kasat mata mengandung
nepotisme. Andi menyampaikan, dalam putusan MKMK
disebutkan bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman
yang merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo diduga
melakukan pelanggaran etik berat dengan "meloloskan" Gibran
Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden.
Ia mengatakan bahwa ketika peserta pemilu kehilangan konstitusi
yang adil, maka dapat dipastikan pemilu dan pilpres tidak akan
berjalan dengan baik. Andi menambahkan bahwa dalam pidatonya,
Presiden ke-5 Indonesia itu ingin menyampaikan pesan nurani yang
idealis tentang apa yang dulu pernah dilakukan tahun 1997 - 1998
hingga sekarang.10
c. Lukman Hakim Saefuddin
Eks Menag Lukman Hakim Sebut Indonesia Alami Krisis Nilai
Jelang Pemilu 2024, sebagaimana dilnasir dalam Bisnis.com,
Sejumlah tokoh kebudayaan dan lintas agama bangsa
Indonesia mendatangi kediaman KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus
Mus) di Kelurahan Leteh, Rembang, Jawa Tengah pada Minggu
(12/11/2023) untuk membahas situasi politik bangsa menjelang
Pilpres 2024. Salah satu tokoh yang hadir yaitu eks Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa usai diskusinya
dengan Gus Mus, pihaknya sepakat bahwa bangsa Indonesia
sedang mengalami krisis nilai menjelang berlangsungnya pemilu.
“Beliau [Gus Mus] menekankan bahwa kita harus kembali kepada
nilai. Beliau mengatakan saat ini kita sedang mengalami krisis
nilai, dan ini tidak hanya dialami oleh sebagian penyelenggara

10
https://www.antaranews.com/berita/3819696/tpn-ganjar-mahfud-gunakan-putusan-mkmk-untuk-
tegakkan-demokrasi?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

17
negara, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan,” katanya dalam
konferensi pers sebagaimana dikutip dari YouTube KompasTV,
Minggu (12/11/2023).
Gus Mus secara khusus mengatakan kepada dirinya, bahwa
penyelenggara negara yang tidak berperilaku sebagaimana yang
diharapkan itu juga karena sebagian masyarakat Indonesia juga
mengalami krisis nilai yang sama.11
3. Tokoh Masyarakat
Pada tanggal 12 November tepatnya pada hari Minggu siang sejumlah
tokoh bangsa mengunjungi rumah KH Ahmad Mustofa Bisri di
Kelurahan Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Para tokoh dengan berbagai
latar belakang yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan
Rembang menyampaikan kekhawatiran ihwal ancaman pemilu 2024
yang berpotensi berlangsung tidak sesuai asas jujur dan adil. Tokoh
Masyarakat tersebuet yang setidaknya tampak saat memberikan
keterangan pers antara lain yaitu Budayawan Goenawan Mohamad,
Pegiat Anti-Korupsi Erry Riyana, Istri Mendiang Cak Nur Omi
Komariah Madjid, Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin,
dan Romo Benny Susetyo. Selain itu jug asih ada beberapa tokoh
Masyarakat yang lainnya yang disebut juga menyampaikan
keprihatinan serupa namun berhalangan hadir pada pertemuan
tersebuta seperti Frans Magnis-Suseno, Nasaruddin Umar, Sinta
Nuriyah Wahid, Goenawan Mohamad, Natalia Soebagjo, Clara
Juwono, Karlina Supelli Andreas Anangguru Yewangoe Rhenald
Kasali, Riris Sarumpaet disebut menyampaikan keprihatinan serupa,
namun berhalangan untuk hadir.
Sebagaimana disampaikan oleh koordinator pertemuan tersebut bahwa
para tokoh Masyarakat ini menyampaikan dua poin penting kepada
kepada KH Ahmad Mustofa Bisri yaitu Pertama, mengenai putusan
11
https://kabar24.bisnis.com/read/20231112/15/1713514/eks-menag-lukman-hakim-sebut-
indonesia-alami-krisis-nilai-jelang-pemilu-2024?
utm_source=Whatsapp&utm_medium=Referral&utm_campaign=Mobile

18
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Kedua, netralitas aparat
dan peran penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mewujudkan
pemilu yang jujur dan adil.
Atas dua keprihatinan yang disampaikan, Alif mengatakan Gus Mus
menganjurkan perlu ada urun rembug terus menerus dari tokoh bangsa,
dengan catatan dua hal. Pertama “Memberikan nasihat kepada
kekuasaan, elite politik bahwa apa yang berlangsung melukai perasaan
kita semua. Itu lah yang perlu dilakukan budayawan, tokoh lintas
agama, iman dan keyakinan – pembela demokrasi pejuang HAM,
ruang anti korupsi,” Kedua, KH Ahmad Mustofa Bisri menganjurkan
pertemuan itu juga menyerukan warga masyarakat untuk memahami
situasi sekarang yang tidak enak. Oleh sebab itu warga penting
diingatkan supaya adem, sehingga penguasa juga eling,” menurut Alif
dalam pernyataan yang sama.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan
Hakim Konstitusi Anwar Usman telah melakukan pelanggaran etik
berat atas dugaan intervensi dalam putusan norma aturan pemilu
mengenai batas usia pendaftaran capres-cawapres. Sebagai
konsekuensinya, Anwar dicopot dari jabatan hakim Ketua Mahkamah
Konstitusi. Anwar merupakan ipar Joko Widodo. Putusan batas usia
capres-cawapres itu melanggengkan putra presiden Jokowi, Gibran
Rakabuming Raka, maju ke kontestasi pilpres 2024. Keadaan ini
menimbulkan keraguan publik soal netralitas aparat negara dalam
penyelenggaraan pemilu. Jokowi sendiri irit berbicara tentang putusan
MKMK yang menghendaki Anwar Usman dicopot dari jabatan Hakim
Ketua.

4. AnalisiS Kritis Moral Kehakiman


Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 diuji dalam
sidang Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi tanggal 7

19
November 2023. Putusan tersebut di register dengan Putusan MKMK
Nomor 2-5/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023. Putusan
tersebut memberikan pembenaran tentang adanya pelanggaran etik
yang dilakukan oleh anwar usman selaku ketua mahkamah konstitusi
yang juga sekaligus sebagai hakim konstitusi yang menjabat pada
waktu tersebut.
Terdapat beberapa putusan yang dibuat berdasarkan adanya
permohonan untuk diselenggarakannya sidang etik atas putusan
mahkamah konstitusi terkait batas usia calon presiden dan wakil
presiden. Dalam salah satu putusannya anwar usman dinyatakan
bersalah dan melanggar ketentuan etik hakim konstitusi. 12 Pelanggaran
etik yang terbukti ternyata tidak serta merta menjadikan putusan
mahkamah konstitusi menjadi inkonstitusional dan berimbas pada
pencopotan jabatan sebagai ketua mahkamah konstitusi. Dalam
putusan yang kedua, para hakim terlapor yang disebut dalam laporan
pelanggar etik juga juga terbukti melakukan pelanggaran, hanya saja
dalam putusannya, majelis kehormatan mahkamah konstitusi juga
menyatakan tidak memiliki kompetensi untuk memberikan penilaian
terhadap putusan dari mahkamah konstitusi. Maka, walaupun dalam
prosesnya dinyatakan secara tegas tentang adanya pelanggaran etik,
putusan mahkamah konstitusi tetap berlaku.13
Berkenaan dengan hal tersebut, yaitu dengan jalannya sidang
mahkamah konstitusi terkait dengan batas usia calon presiden dan
wakil presiden, sudah memiliki kesalahan dalam prosedur teknisnya di
awal penentuan hakim yang mengadili. Walaupun hakim konstitusi
yang berjumlah 9 (Sembilan) orang adalah hakim-hakim yang sifatnya
permanen, dituntut keterlibatan dari seluruh hakim untuk dapat
diputusnya suatu perkara MK, namun ada satu alasan pembenar
dimana hakim seharusnya tidak diikutsertakan keterlibatannya di

12
Lihat, Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023
13
Lihat , Putusan MKMK 5/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023

20
dalam proses pertimbangan putusan. Hakim memiliki kode etiknya
sendiri dan kode etik hakim14 tunduk pada undang-undang kekuasaan
kehakiman. Berkenaan dengan keikutsertaan anwar usman dalam
proses pembuataan pertimbangan dan putusan pada sidang mahkamah
konstitusi tersebut pada dasarnya tidak bisa dibenarkan berdasarkan
pasal 17 undang-undang kekuasaan kehakiman.15
Undang-undang kekuasaan kehakiman menentukan dalam Pasal 5
bahwa: (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.; (2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum; (3) Hakim dan hakim konstitusi
wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 16 Hakim dan
hakim konstitusi harus tetap berpedoman kepada undang-undang
kekuasaan kehakiman sehingga tidak bisa dilepaskan pula dari aturan
etik yang dimaksud di dalam pasal 17 UU tersebut. Pasal 17 UU
Kehakiman menyebutkan:

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim


yang mengadili perkaranya.
(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang
disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili
perkaranya.
(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri
meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim
anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau

14
Lihat, kode etik hakim konstitusi
15
Lihat, pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman.
16
Lihat, pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman.

21
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan
pihak yang diadili atau advokat.
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik
atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak
yang berperkara.
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan
tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang
berbeda.17

Ayat 1 dan 2 pasal diatas sebenarnya membuka peluang untuk


diajukannya keberatan atas hakim konstitusi yang akan memutus
persidangan melalui suatu hak ingkar. Sayangnya hak ini tidak
digunakan oleh para pemohon dikarenakan (barangkali) penggunaan
hak ingkar ini akan merugikan kepentingan pemohon (dalam hal ini
pemohon tidak lagi berfokus pada nilai keadilan dari putusan, tetapi
lebih berfokus pada kemenangan). Dengan fenomena yang terjadi,
jelas bukan lagi putusan seadil-adilnya yang diharapkan, tapi cara
untuk menang lebih diutamakan.
Terlewatnya 2 ayat pasal tersebut tadi tidak menjadikan serta merta
terhapuskan kemungkinan dikuranginya hakim pemutus dalam perkara
MK. Ayat 3 menentukan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terikat hubungan sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga. Jika ayat 1 dan 2 bersifat eksternal, ayat 3 lebih
bersifat internal, karena sebelum adanya hak ingkar, hakim dapat
mengundurkan diri karena sadar akan keterlibatannya dalam hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pihak hak memiliki
kempentingan.

17
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.

22
Walaupun tidak secara langsung memiliki hubungan dengan pemohon,
Anwar usman harusnya menyadari bahwa kepentingan yang diusung
oleh para pemohon adalah kepentingan yang ditujukan untuk
keponakannya sendiri. Dengan suasana politis dan kekuasaan yang
sangat kental, dimana orang-orang yang terlibat pun bukanlah orang
sembarangan, makna dari pasal 17 ayat 3 UU kekuasaan kehakiman
sepatutnya diperluas ke dalam dalam kategori pihak yang
berkepentingan. Karena hubungan dengan pemohon yang menjadi
dasar dalam undang-undang pun pada dasarnya didasarkan kepada
intensitas kepentingan.
Menurut nonet dan selznick18 menjelaskan tentang tiga keadaan dasar
hukum dalam masyarakat, yaitu:
1. Hukum represif, yaitu hukum yang merupakan alat kekuasaan
represif. Hukum represif banyak mengandalkan paksaan tanpa
memikirkan kepentingan yanga ada di pihak rakyat. Perhatian
paling utama hukum represifa adalah dengan terpelihatanya dan
diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas
dan penyelesaian pertikaian.
2. Hukum otonom, yaitu huum sebagai pranata yang mampu
menjinakkan represi dna melindungi integritasnya sendiri. Karakter
khas dari hukum otonom dapat diringkas sebagai berikut: 1.
Hukum terpisah dari politik, 2. Tertib hukum mendukung model
peraturan, 3. Prosedur adalah jantung hukim, 4. Ketaatan pada
hukum dipahami sebagai kepatuhan kepada hukum positif.
3. Hukum responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana respon atas
kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Adapun
karakteristik utama dari hukum responsif yaitu: 1. Dinamika
perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan dalam
pertimbangan, 2. Tujuan membuat kewajiban hukum semakin

18
Sirajuddin, Fatkhurohman, Zulkarnain, Legislative Drafting, Malang: Setara Press,
2015. Hal. 27-29

23
problematik, 3. Karena hukum memiliki keterbukaan dan
fleksibilitas, hukum dapat dokoreksi dan institusi hukum dapat
dirubah, 4. Otoritas akan tergantung pada institusi yang lebih
kompeten.
Pendekatan teori ini terhadap pembentukan pembentuk hukum
Indonesia akan memperlihatkan sejauh mana pengaruh politik
dan/atau hukum kental mempengaruhi sistem hukum di Indonesia.
Suasana demikian digambarkan jelas dalam kategorisasi hukum
menurut Nonet dan Selznick. Ketika politik lebih kental daripada
hukum maka kepentingan penguasa yang akan dimunculkan bukan
kepentingan Masyarakat yang mana adalah kepentingan hukum. Maka
kepentingan akan merusak nilai keadilan. Karena keadilan yang
merupakan suatu nilai tadi dalam pandangan sosiologis adalah suatu
rasa yang tolok ukurnya ada di dalam Masyarakat suatu negara. Nonet
dan Selznick menjadikan tipe hukum responsif yang memiliki
kepekaan terbaik bagi masyarakat. Sementara dalam keadaan ini
hukum yang berlaku bukan lagi hukum otonom sebagaimana oleh
para positivis dikatakan sebagai tipe hukum yang paling ideal, tapi
malah bersifat represif dan sarat kepentingan dan pemaksaan.
D. Kesimpulan
Kekuasaan kehakiman diidealkan sebagai lembaga yang mandiri dan
bebas sehingga mampu menjalankan fungsi sejatinya dalam menegakkan
hukum dan keadilan serta menemukan hukum dalam rangka mendekatkan
peristiwa-peristiwa konkrit dengan norma hukum ideal dan ditemukan
hukum baru yang menjamin keadilan, kepastian hukum, dan memiliki
kemanfaatan bagi kemajuan kesejahteraan masyarakat.
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutuskan makna atau
arti konstitusi melalui pengujian (adjudication). Namun jika upaya-upaya
yang dilakukannya untuk menafsir atau menginterpretasikan konstitusi
secara komprehensif dan pervasif dilakukan secara berlebihan, maka
Mahkamah Konstitusi akan cenderung secara berlebihan membatasi

24
kekuasaan legislatif. Akibatnya, terjadi ketidakharmonisan di dalam
pelaksanaan check and balances yang ada dalam prinsip pemisahan
kekuasaan.
Inilah yang terjadi pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-
XXI/2023 bahwa tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi telah keluar
dari rambu-rambunya karena bukan berarti pengadilan dapat membuat,
mengubah, mengurangi, atau menambah undang-undang. Seharusnya
putusan Mahkamah Konstitusi cukup dengan mengatakan bertentangan
atau tidak bertentangan dengan UUD 1945 atas permohonan yang
diajukan. Apabila Mahkamah Konstitusi menemukan bahwa suatu pasal
maupun muatan di dalam peraturan perundang-undangan ternyata
bertentangan dengan UUD 1945, hendaknya Mahkamah Konstitusi
menggunakan prinsip demokrasi dan asas pemisahan kekuasaan dengan
cara memberi kesempatan pada kekuasaan legislatif untuk memperbaiki
undang-undang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal :


Zainal Arifin H., Kekuasaan Kehakiman di Indonesia: Kedudukan, Fungsi, dan
Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Konstitusi,
Yogyakarta: Imperium, 2013
Ikhsan Rosyada, Mahkamah Konstitusi: Memahami Keberadaannya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006
Jimmly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Sinar
Grafika, 2011
Sirajuddin, Fatkhurohman, Zulkarnain, Legislative Drafting, Malang: Setara
Press, 2015
Peraturan Undang-Undang :
Undang-Undang Dasar 1945

25
Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023


Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023
Putusan MKMK Nomor 5/MKMK/L/11/2023 tertanggal 7 November 2023

Artikel :

https://kabar24.bisnis.com/read/20231112/15/1713514/eks-menag-lukman-hakim-
sebut-indonesia-alami-krisis-nilai-jelang-pemilu-2024?
utm_source=Whatsapp&utm_medium=Referral&utm_campaign=Mobile

https://www.antaranews.com/berita/3819696/tpn-ganjar-mahfud-gunakan-
putusan-mkmk-untuk-tegakkan demokrasi?
utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

26

Anda mungkin juga menyukai