Anda di halaman 1dari 5

Faktor-Faktor Daya Ikat Konstitusi

Pembahasan ini, berawal dariadanya satu permasalahan yang memerlukan


alternative jawaban konkrit yakni berangkat dari pertanyaan sederhana, factor-faktor
apa sajakah yang mempengaruhi warga negara mentaati suatu konstitusi ?
Ada 3 (tiga) cara pendekatan yang dapat dikemukaan yaitu :
1) Pendekatan dari aspek hukum;
2) Pendekatan dari aspek politik; dan
3) Pendekatan dari aspek moral.
Sebelum membahas pendekatan-pendekatan ini, maka perlu diketahui terlebih dahulu
tentang warga negara dan negara.
Siapa warga negara? Warga negara adalah penduduk suatu
negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan dan atau bangsa lain (orang-orang
lain) yang dasahkan dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai
kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara dalam suatu negara tertentu.
Sedangkan pengertian negara itu memiliki pengertian yang beragam. Diantaranya,
negara didefinisikan sebagai suatu organisasi suatu kelas (kekuasaan) yang terdiri dari
atas kelas-kelas lain. Definisi lain ialah satu-satunya organisasiyang dapat mengatasi
semua kelas yang ada dan mewakili masyarakat sebagai suatu keutuhan.
Berdasarkan pada rumusan diatas, maka yang dapat digolongkan sebagai warga negara
ialah penduduk asli dan atau orang asing yang dinyatakan secara sah oleh undang-
undang sebagai warga negara baik yang menduduki jabatan sebagai alat kelengkapan
negara maupun rakyat biasa. Setelah pembahasan warga negara dan negara ini, maka
selanjutnya kita membahas factor-faktor yang mempengaruhiketaatan warga negara
terhadap konstitusi.

1. Pendekatan dari aspek hukum

Hukum sebagai himpunan peraturan manusia oleh yang bertujuan mengatur


perbuatan-perbuatan masyarakat oleh kekuasaan, dikatakan sah bukan hanya dalam
keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan), melainkan juga dalam
pelaksanaannya sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain menurut A. Gunawan
Setiardja, dalam bukunya yang berjudul “Dialektika Hukum Dan Moral Dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia”, Yogyakarta,1990 hal. 113, menyatakan : hukum
harus sesuai dengan ideology bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat.
Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara
untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia
hukum menuntut manusia-manusia supaya manusia melakukan perbuatan yang sesuai
dengan aturan-aturan yang telah diputuskan, sehingga manusia terikat pada norma-
norma hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat negara. Kendatipun hukum
dalam bentuk hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.
Adapun titik taut antara pembahasan hukum tersebut dengan konstitusi. Menurut K.C
Wheare menyatakan : kalau berangkat dari aliran positivism hukum, maka konstitusi itu
mengikat, karena konstitusi itu ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk
hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas nama rakyat (yang didalamnya sarat
dengan ketentuan sanksiyang diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik).
Kemudian kalau dilihat dilihat dari prinsi-prinsip wawasan negara berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat), maka konstitusi merupakan alat untuk membatasikekuasaan
negara. Prinsip-prinsip ini mengandung jaminan terhadap tegaknya hak-hak asasi,
adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan negara (pemerintahan)
didasarkan pada undang-undang, serta adanya pengawasan yudisial terhadap
penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Prinsip wawasan negara hukum yang
dikemukakan sebelumnya pada dasarnya sama dengan ketentuan yang ada pada
materi muatan konstitusi seperti yang terdapat pada pembahasan sebelumnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka berbicara tentang essensi hukum positif dalam
wawasan bernegara berdasarkan atas hukum berarti inklusif didalamnya berbicara
tentang pemahaman konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagakan oleh alat-
alat kelengkapan negaradan sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi. Bila
demikian halnya, maka konstitusi akan selalu mengikat seluruh masyarakat (warga
negara).

2. Pendekatan dari aspek politik.

Penyataan yang menarik dalam pendekatan aspek politik yakni pernyataan


hukum sebagai produk politik dan hubungan hukum dengan kekuasaan, yaitu :
Adanya pernyataan yang menyebutkan hukum sebagai produk politik; berkenaan
dengan hal ini, banyak diantara para sarjana ilmu politikmengatakan bahwa
hukum adalah produk politik, artinya setiap produk hukum pasti merupakan
kristalisasi dari pemikiran dan atau proses politik. Oleh sebab itu kegiatan
legeslatifsebagai pembentuk undang-undang lebih banyak memuat keputusan-
keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan-pekerjaan hukum
yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pembentukan aturan hukum
tersebutdikaitkan dengan masalah prosedur. Dengan demikian lembaga legeslatif
lebih dekat dengan lembaga politik dari[pada dengan hukum. Seperti apa yang
dinyatakan oleh Mulyana W Kusuma dalam bukunya yang berjudul “Perspektif
Teori dan Kebijaksanaan Hukum”, 1986, hal 19, menyatakan bahwa : hukum
sebagai sarana kekuasaan politik menempati posisi yang lebih dominan
dibandingkan dengan fungsi lain. Adapun salah satu indikatornya adalah negara
sebagai suatu organisasi kekuasaan/kewibawaan mempunyai kompetensi untuk
mencipatakan keadaan dimana masyarakatnya (rakyatnya) dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya secara maksimal. dalam kerangka pelaksanaan
kekuasaan inilah tindakan-tindakan tindakan pemegang kekuasaan (pemerintah)
dalam suatu negara perlu dibatasidengan konstitusi, walaupun dalam praktek
ketatanegaraannya kadang-kadang hukum sering disimpangi dengan dalih
politik.
Berdasarkan hal tersebut, maka banyak orang (dalam praktek) mengikuti
pendapat yang yang menyatakan bahwa hukum itu identik dengan kekuasaan.
Padahal kalau kita, sebenarnya tidak semua kekuasaan adalah hukum, karena
keduanya tidak mempunyai arti yang sama (satu arti). Memang hukum
mendekati pengertian kekuasaan, dikarenakan negara sebagai organisasi
kekuasaan, harus diberi kekuasaan untuk menegakkan hukum. Sebab tanpa
kekuasaan, hukum hanya akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran
dan sebaliknya kekuasaan sendiri akan ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut diatas, maka dalam kepustakaan
mencatat beberapa pengikut paham hukum adalah kekuasaan, yakni sebagai
berikut :
1) Kaum Shopis di Yunani menyatakan bahwa : keadilan aalah apa yang
berfaedah bagi orang yang lebih kuat:
2) Lassalie mengatakan bahwa konstitusisuatu negara bukanlah Undang
Undang Dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas,
melainkan merupakan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam
suatu negara. Hanya sebagai perkecualian dan dalam hal yang luar biasa
(yakni pada waktu revolusi) para pejuang dan rakyat merupakan bagian
dari konstitusi.
3) Gumplowics menyatakan bahwa : hukum merupakan penaklukan yang
lemah oleh yang kuat, karena hukum itu suatu susunan definisi yang
dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya;
4) Aliran positivisme (pengikutnya) berpendapat bahwa kepatuhan kepada
hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak
yang lebih kuat, sehingga hukum merupakan hak orang yang terkuat.
Berangkat dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa dengan
pendekatan politis, maka hukum adalah produk politik yang telah menjadikan
badan konstituante (lembaga lain yang ditunjuk) sebagai badan perumus dan
pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu dilanjutkan oleh lembaga
legeslatif sebagai pembentuk undang-undang. Proses yang dilakukan oleh kedua
badan ini merupakan kristalisasi dan atau proses politik. Sehingga produk politik
yang berupa konstitusi atau segala macam peraturan perundang-undangan
mempunyai kekuatan daya ikat terhadap pemberlakuannya bagi warga negara.
Kemudian hubungan hukum dan kekuasaan telah terimplementasikan kedalam
konstitusi baik dalam pengertian hukum dasar tertulis maupun dalam hukum
dasar tidak tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi tindakan dari para
penguasa yang mempunyai kewenangan memaksa warga negara untuk
mentaatinya.

3. Pendekatan dari aspek moral

Moral adalah merupakan pengaturan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi
baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia
berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak pernah dapat dipaksakan,
karena moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahan diri secara mutlak. Moral tidak
mengenal tawar menawar, moral menuntut ketaatan secara mutlak, sehingga moral
tidak mengenal aparat atau sarana untuk menuntut kita supaya melaksanakan apa
yang diminta oleh moral. Disamping itu moral menuntut bukan hanya perbuatan
lahiriah manusia melainkan juga sikap bathin manusia, sehingga manusia secara
totalitas sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial tunduk kepada norma moral.
Keputusan moral merupakan tindakan otonom/teonom adalah hukum abadi, yakni
kehendak Tuhan yang mengarahkan segala ciptaannya kearah tujuan mereka, sebagai
landasan yang terdalam dari segala hukum dan peraturan. Dalam moral juga dikenal
sanksi, tetapi tidak bersifat lahiriah, melainkan bersifat batiniah, seperti rasa malu,
menyesal, dan oleh karena orang yang melanggar moral merasakan dirinya tidak
tenang dan tidak tenteram. Disinilah essensi tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup
manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pandang suku, agama, dan tidak
mengenal rasial. Mengenai daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu tertentu
dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.

Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan
pandangan aliran hukum alam , yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara
(masyarakat), karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Lebih
tegas lagi seperti dikatakan sebelumnya bahwa konstitusi sebagai landasan
fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka yang menjadi pertanyaan yaitu apa yang
menjadi dasar hukum bahwa moral mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada
konstitusi, mengingat konstitusi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal
dari etika moral ?
Seorang sarjana yaitu K.C Wheare memberikan pertimbangan sebagai berikut : bahwa
moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat
memerintah suatu komunitasuntuk mentaatinya. Adapun teori moral yang digunakan
untuk mendefinisikanketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi
secara constitusional phylosophy , jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika
moral, ia dapat disimpangi.
Sebagai contoh dapat dikemukakan pandangan beliau yang menyatakan : konstitusi
yang yang dalam ketentuannya mengesahkan masalah perbudakan.
Sebaliknya, seharusnya aturan konstitusi itu justru dapat menopang etika mora, maka
demikian konstitusi mempunyai daya berlakunya ditengah-tengah masyarakat.

Dalam kaitannya dengan sikap patuhnya masyarakat terhadap konstitusi,


Baharuddin Lopa menyatakan bahwa : kepatuhan masyarakat pada hukum (konstitusi),
bisa disebabkan karena adanya faktor “keteladan dan resiko”. Pola keteladanan itu bisa
dipakai bahkan efektif berlakunya, apabila lapisan atas (supra struktur) mempunyai
loyalitas yang tinggiterhadap hukum dan berakhlak mulia, sebab bila tidak akan
berbahaya. Sementara arus bawah (infra struktur) dapat terbawa-bawa mengikuti apa
saja yang dilihat dari perilaku atasannya. Atau justru sebaliknya menjadi sikap berontak
akibat pemasungan struktural yang dikondisikannya.

Anda mungkin juga menyukai