Moral adalah merupakan pengaturan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi
baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia
berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak pernah dapat dipaksakan,
karena moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahan diri secara mutlak. Moral tidak
mengenal tawar menawar, moral menuntut ketaatan secara mutlak, sehingga moral
tidak mengenal aparat atau sarana untuk menuntut kita supaya melaksanakan apa
yang diminta oleh moral. Disamping itu moral menuntut bukan hanya perbuatan
lahiriah manusia melainkan juga sikap bathin manusia, sehingga manusia secara
totalitas sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial tunduk kepada norma moral.
Keputusan moral merupakan tindakan otonom/teonom adalah hukum abadi, yakni
kehendak Tuhan yang mengarahkan segala ciptaannya kearah tujuan mereka, sebagai
landasan yang terdalam dari segala hukum dan peraturan. Dalam moral juga dikenal
sanksi, tetapi tidak bersifat lahiriah, melainkan bersifat batiniah, seperti rasa malu,
menyesal, dan oleh karena orang yang melanggar moral merasakan dirinya tidak
tenang dan tidak tenteram. Disinilah essensi tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup
manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pandang suku, agama, dan tidak
mengenal rasial. Mengenai daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu tertentu
dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.
Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan
pandangan aliran hukum alam , yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara
(masyarakat), karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Lebih
tegas lagi seperti dikatakan sebelumnya bahwa konstitusi sebagai landasan
fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka yang menjadi pertanyaan yaitu apa yang
menjadi dasar hukum bahwa moral mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada
konstitusi, mengingat konstitusi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal
dari etika moral ?
Seorang sarjana yaitu K.C Wheare memberikan pertimbangan sebagai berikut : bahwa
moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat
memerintah suatu komunitasuntuk mentaatinya. Adapun teori moral yang digunakan
untuk mendefinisikanketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi
secara constitusional phylosophy , jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika
moral, ia dapat disimpangi.
Sebagai contoh dapat dikemukakan pandangan beliau yang menyatakan : konstitusi
yang yang dalam ketentuannya mengesahkan masalah perbudakan.
Sebaliknya, seharusnya aturan konstitusi itu justru dapat menopang etika mora, maka
demikian konstitusi mempunyai daya berlakunya ditengah-tengah masyarakat.