Anda di halaman 1dari 7

RUANG LINGKUP DAN PERKEMBANGAN HUKUM PAJAK

Dosen: Dr. Sitti Uswatun Hasanah, M.H.

Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, hal ini N tercermin
dalam Penjelasan UUD 1945 di mana ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechts staat) tidak berdasarkan kekuasaan (mahcts staat). Sebagai
negara yang berlandaskan hukum, negara menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Artinya, segala tindakan dan kebijakan alat-alat perlengkapan negara harus berdasarkan
hukum. Hukum menjadi landasan pokok untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan
makmur secara merata.
Keadilan adalah syarat tercapainya kebahagiaan hidup. Keadilan merupakan
cerminan dari cita-cita rakyat yang tertuang dalam konstitusi negara. Ukuran keadilan
menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan dari negara hukum. Untuk mencapai negara
hukum yang berkeadilan diperlukan biaya yang salah satunya diperoleh dari pungutan pajak,
yang aturan dasarnya dicantumkan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
Pungutan pajak merupakan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik. Setiap
kebijakan publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan berlaku mengikat
kehidupan bersama maka pada saat itu pula kebijakan publik menjadi hukum. Dengan
demikian, hukum merupakan salah satu bentuk atau wujud dari kebijakan publik atau dengan
istilah lain, hukum merupakan bagian dari kebijakan publik. Namun demikian, tidak
selamanya bahwa kebijakan publik merupakan hukum publik, apabila tidak didokumenkan
secara formal.
Hukum pajak yang disebut juga hukum fiskal merupakan kebijakan publik yang
ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal, yaitu dalam konstitusi UUD negara Republik
Indonesia 1945 dan di dalam konstitusi tersebut mengamanatkan bahwa regulasi pungutan
pajak harus ditetapkan dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu, kebijakan pungutan
pajak masuk bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dan orang-
orang atau badan (hukum) yang mempunyai kewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut
wajib pajak). Dengan demikian, kedudukan hukum pajak ditinjau dari substansinya termasuk
dalam kategori hukum publik (hukum negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
negara dengan perseorangan (warga negara), bukan hukum privat (hukum sipil), yaitu hukum
yang mengatur antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitikberatkan
kepada kepentingan perseorangan.
Penggolongan hukum pajak sebagai hukum publik, sebagian besar pakar berpendapat
bahwa pajak adalah merupakan bagian dari hukum administrasi negara karena permasalahan
yang diatur dalam hukum pajak berkaitan dengan administrasi negara. Sementara itu, penulis
berpendapat walaupun hukum pajak adalah sebagai disiplin ilmu tersendiri yang terlepas dari
hukum administrasi negara, namun tetap kelompok dari hukum publik. Akan tetapi,
merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri dengan alasan sebagai berikut:
1. jangkauan pengaturan hukum pajak sangat luas, meliputi pemerintah daerah
kabupaten/kota (pajak daerah kabupaten/kota), pemerintah daerah provinsi (pajak
daerah provinsi), pemerintah pusat (pajak pusat), pajak bilateral (tax treaty), dan
pajak regional dan pajak internasional;
2. bahkan pengertian pajak dalam postur APBN adalah penerimaan perpajakan yang
meliputi penerimaan pajak pusat, penerimaan bea dan cukai, serta Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP);
3. hukum pajak secara langsung dapat digunakan sebagai instrumen politik
perekonomian suatu negara;
4. hukum pajak tidak saja bersifat administrasi, tetapi juga bersifat pengaturan (regulasi)
dan hitung-hitungan (akuntansi);
5. hukum pajak memiliki aturan dan istilah yang khusus;
6. hukum pajak mengatur sanksi lebih luas baik dalam jenis maupun objeknya.

A. JANGKAUAN PENGATURAN HUKUM PAJAK


Hukum pajak memiliki lingkup jangkauan pengaturan dan kewenangan yang berbeda,
yang meliputi pajak daerah, pajak pusat, pajak bilateral, dan pajak internasional.
1. Pajak daerah adalah pajak yang pungutannya ditetapkan berdasarkan Peraturan
daerah (Perda), namun jenis, subjek, objek, dan tarifnya tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana ditetapkan
dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pajak daerah dibedakan pajak daerah provinsi, di
mana wilayah berlakunya hanya dalam provinsi yang bersangkutan dan pajak daerah
kabupaten/kota yang wilayah berlakunya hanya sebatas kabupaten/kota yang
bersangkutan saja. Terhadap penerimaan pajak provinsi akan dibagi hasilkan kepada
daerah kabupaten/kota di mana pajak tersebut dipungut.
2. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat guna membiayai
kelangsungan pemerintahan negara Republik Indonesia, melalui APBN. Berkenaan
dengan perubahan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia menjadi otonomi
daerah sejak ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 maka penerimaan pajak pusat
dari Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25 dan Pasal 29) dan Pajak
Penghasilan Karyawan (PPh Pasal 21) dibagihasilkan kepada daerah.
3. Pajak bilateral adalah dalam pemberlakuan hukum pajak atas dasar kesepakatan antar
dua negara berdasarkan perjanjian bilateral yang dikenal dengan tax treaty di mana
diperjanjikan di antara dua negara mengenai subjek, objek, tarif pajak maupun hal-hal
lain yang disepakati mengenai pengenaan pajak antarnegara.
4. Pajak regional adalah kesepakatan dasar dan lingkup pengenaan pajak di antara
negara-negara dalam masing-masing regional, misalnya negara-negara ASEAN,
Schengen, dan lain-lain.
5. Pajak internasional adalah kesepakatan dasar dan lingkup pengenaan pajak atas dasar
keputusan internasional.

B. PENGERTIAN PAJAK DALAM POSTUR APBN


Pengertian pajak dalam APBN adalah perpajakan yang mempunyai makna lebih luas.
Secara garis besar dalam postur APBN dibagi dalam tiga kelompok, yaitu pendapatan
negara, belanja negara, dan pembiayaan. Pendapatan negara, meliputi pendapatan
perpajakan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan pendapatan hibah. Pendapatan
perpajakan, meliputi penerimaan pajak pusat, penerimaan bea dan cukai. Dengan demikian,
dalam lingkup APBN perpajakan, meliputi segala pungutan negara (pemerintah pusat) selain
Penerimaan Negara Bukan Pajak.

C. SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK PEREKONOMIAN SUATU NEGARA


Pajak merupakan instrumen politik perekonomian suatu negara karena penerimaan
pajak sangat dominan sebagai penerimaan negara guna membiayai roda pemerintahan negara
Indonesia. Karena itu, hukum pajak mempunyai daya paksa yang kuat, ketetapannya
langsung dapat dilaksanakan walaupun pembayar pajak sedang mengajukan upaya hukum
(ketetapan pajak bersifat executorial beslag yang mempunyai kekuatan hukum tetap). Dalam
rangka meningkatkan penerimaan dalam pemerintahan, Bapak Presiden Joko Widodo
melakukan pengawasan yang ketat terhadap kewajiban perpajakan sebagai instrumen politik
perekonomian nasional guna mewujudkan cita-cita kemakmuran rakyat. Dengan demikian,
pajak dapat dijadikan sebagai instrumen politik perekonomian suatu negara, namun
pelaksanaannya harus berpijak pada undang-undang sebagaimana tercantum konstitusi dasar
NKRI 1945 Pasal 23A.

D. TIDAK HANYA BERSIFAT ADMINISTRASI


Keputusan atau ketetapan tentang pajak (dalam Hukum Tata Usaha Negara lazim
disebut dengan beschikking) tidak saja hanya berkaitan dengan administrasi, tetapi juga
meliputi regulasi dan akuntansi (hitung-hitungan). Bersifat administrasi karena penetapan
dan ketetapan pajak sangat berkaitan dengan kompetensi yang menetapkan berdasarkan
jabatan dan wilayah administrasi. Selain itu, penetapan dan ketetapan pajak ditetapkan harus
diatur dengan undang-undang. Konsekuensinya bahwa untuk regulasi yang mengikat publik
tidak boleh diatur selain dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pajak meliputi
hitung-hitungan yang bersifat akuntansi, walaupun dalam hal-hal khusus ketentuan akuntansi
tidak dapat sepenuhnya diberlakukan dalam pengenaan pajak.

E. MEMILIKI ATURAN DAN ISTILAH KHUSUS


Pajak memiliki aturan dan istilah khusus yang tidak lazim digunakan dalam ketentuan
lain. Misalnya, pajak dikenakan terhadap penghasilan tanpa membedakan dari sebab yang
dibenarkan maupun bertentangan dengan undang-undang (dari sebab yang halal maupun
yang haram), hal tersebut tentu saja bertentangan dengan segala ketentuan perundang-
undangan dari berbagai lembaga.

F. SANKSINYA LUAS
Sanksi pajak selain dikenakan terhadap pembayar pajak (wajib pajak) juga dikenakan
kepada aparatur pajak dan pihak ketiga berkaitan dengan kewajiban dalam bidang
perpajakan. Khusus terhadap wajib pajak, terdapat sanksi administrasi berupa denda, bunga,
dan kenaikan serta sanksi pidana. Sanksi pidana walaupun dinyatakan dengan tegas dalam
perundang-undangan, namun penerapannya merupakan upaya akhir (mutatis mutandis)
manakala sanksi administrasi kurang dapat menimbulkan efek jera.
Undang-Undang Dasar 1945 mensyaratkan bahwa pajak harus diatur dengan undang-
undang. Oleh karena itu, pajak termasuk sebagai hukum tertulis (statute law = writen law),
yaitu hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, tidak mungkin pajak dikenakan karena adat kebiasaan dari hukum tidak tertulis
(unstatute law = unwriten law), kalau terjadi namanya bukan pajak, tetapi upeti.
Rochmat Soemitro, salah seorang pakar hukum pajak di Indonesia, menggambarkan
kedudukan dan hubungan hukum pajak dengan hukum-hukum lainnya sebagai berikut:

Gambar 1.1
Kedudukan dan Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum-hukum Lainnya
Di Indonesia, pajak merupakan sumber penerimaan utama negara, penerimaan pajak
terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun
menunjukkan peranan yang terus meningkat terhadap seluruh pendapatan negara. Salah satu
ciri dari pajak adalah pungutannya dilakukan negara bersifat memaksa. Agar pungutan pajak
tidak mencederai rasa keadilan masyarakat maka upaya pemaksaan tersebut bersifat legal.
Legalitas dimaksud adalah dengan menyandarkan pungutan pajak melalui undang-undang.
Tanpa undang-undang, pemungutan pajak tidak mengikat masyarakat dan menjadi tidak sah.
Oleh karena itu, walaupun pemungutan pajak itu digunakan untuk keperluan rakyat, namun
pemungutan pajak harus terlebih dahulu disetujui oleh rakyat sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur dasar pemungutan pajak di Indonesia. Ketentuan tersebut
merupakan manifestasi dari negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
berfalsafah Pancasila serta menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara.
Seiring dengan perkembangan politik ketatanegaraan dan perekonomian Indonesia,
dasar pungutan pajak dalam UUD telah berubah di mana semula tercantum dalam Pasal 23
ayat (2) yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”
Setelah amandemen ketiga UUD NKRI 1945 tanggal 9 November 2001 dinyatakan di dalam
Pasal 23A yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.”
Terdapat perbedaan prinsip perubahan pengaturan pajak dalam UUD NKRI 1945,
yaitu semula “berdasarkan undang-undang” setelah amandemen ketiga berubah menjadi
“diatur dengan undang-undang”. Para pakar hukum yang menganut aliran hukum positif,
secara ekstrim menyatakan bahwa dengan berubahnya aturan dasar pungutan pajak menjadi
“diatur dengan undang-undang”, sesuai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945
sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia maka segala pengaturan pajak
yang mengikat publik tidak boleh diatur selain dengan undang-undang.
Penulis berpendapat bahwa “diatur dengan undang-undang” harus dimaknai sebagai
diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian perundang-undangan, diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dalam Pasal 7 ayat (1) Nomor 12 Tahun 2011 mengatur mengenai jenis dan hierarki
perundang-undangan, yaitu terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 (UUD 1945);
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR);
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU);
4. Peraturan Pemerintah (PP);
5. Peraturan Presiden (Perpres);
6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi;
7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, konsekuensi dari perubahan aturan dasar pungutan pajak dalam
UUD 1945 tersebut, berakibat bahwa pengaturan pajak yang mengikat publik tidak
dibolehkan diatur selain dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan dengan
ditetapkannya hierarki peraturan perundang-undangan tersebut maka peraturan pelaksanaan
dari undang-undang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Sementara itu, pemahaman sesuai bunyi gramatika pasal 23A UUD 1945, pajak harus
diatur dengan undang-undang, apabila dilaksanakan akan berakibat pengaturan pajak akan
out of date ketinggalan dengan perkembangan dunia usaha yang berkembang begitu cepat
dan dinamis. Hal tersebut disebabkan karena untuk melahirkan sebuah undang-undang akan
melalui proses yang lama, baik dari tata cara mengajukan Rancangan Undang-Undang
(RUU) yang melalui proses tata urutan prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasional),
serta pembahasannya RUU di DPR sebagai badan legislatif.
Lingkup pembahasan pajak dalam kajian ini juga memperhatikan kewenangan
pemerintah daerah dalam memungut pajak karena berkaitan dengan tata kelola pemerintahan
Indonesia yang telah berubah menjadi desentralistik (otonomi daerah). Satu dan lain hal
disebabkan karena pajak baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, memiliki
peranan yang dominan terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional
(APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Pentingnya pajak bagi negara (pemerintah pusat maupun daerah) sangat disadari
karena peranan pajak dalam menunjang APBN sebagai penerimaan negara maupun APBD
sebagai penerimaan daerah sangat dominan. Penerimaan tersebut semata dalam rangka untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Mukadimah UUD 1945
alinea keempat, yaitu:
“……untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat………dst”

Begitu besarnya peranan dan kewajiban pajak untuk penerimaan negara hingga ketetapan
pajak mempunyai sifat daya paksa setara dengan putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Atas dasar alasan tersebut maka pemerintah
mengatur pungutan pajak di dalam Undang-Undang Dasar yang implementasinya harus tertib
dan disahkan wakil rakyat di DPR sebagai undang-undang.
Menurut Teresa Ter-Minassian dalam buku “Fiscal Federalism in Theory and Practise”
menyatakan bahwa untuk menjaga ketertiban dalam pemungutan pajak, perlu dipenuhi
persyaratan administratif sebagai berikut:
1. Jumlah pajak yang dipungut dari masing-masing wajib pajak harus jelas dan pasti.
2. Wajib pajak harus dimungkinkan untuk menghitung sendiri jumlah pajak terutang,
kapan serta di mana harus membayar, dan melaporkannya kepada institusi yang
berwenang.
3. Pemerintah harus memberikan fasilitas yang sebaik-baiknya supaya wajib pajak dapat
dengan mudah, tanpa tambahan pengorbanan untuk memenuhi kewajiban perpajakan
kepada negara.
4. Biaya administrasi pajak harus diusahakan seminimal mungkin karena yang
diharapkan sebagai dana untuk membiayai pengeluaran negara adalah dari hasil
bersih.
5. Pemerintah harus diberi kekuasaan untuk memungut tunggakan pajak dengan paksa,
apabila diperlukan.
6. Demikian pula wajib pajak harus dijamin haknya untuk mengajukan upaya hukum
apabila dirasakan tidak adil terhadap beban pajak yang dipikul.
Rochmat Sumitro dalam buku “Asas dan Dasar Perpajakan I” mengutip pendapat Adam
Smith dalam bukunya “Wealth of Nations” yang terkenal di seluruh dunia yang memberikan
pedoman bahwa supaya peraturan pajak itu adil harus memenuhi empat syarat. Keempat
syarat tersebut disebut dengan “The Four Canons of Adam Smith” sering juga disebut dengan
“The Four Maxims”, yaitu:
1. Equalty and equity
Orang berada dalam keadaan sama harus dikenakan pajak yang sama.
2. Certainty
Dalam membuat undang-undang perpajakan, peraturannya harus jelas, tegas dan
tidak mengandung arti ganda yang memberikan peluang penafsiran,
3. Convenience of payment
Pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu saat wajib pajak mempunyai uang.
4. Economics of collection
Harus dipertimbangkan bahwa biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dari uang
pajak yang masuk.

Dalam meneliti lebih dalam mengenai hukum pajak, terdapat hal penting yang
menjadi pokok bahasan, yaitu bahwa pungutan pajak harus memenuhi rasa keadilan baik
bagi pemerintah sebagai pemungut pajak, maupun pembayar pajak (wajib pajak). Keadilan
berkenaan dengan pajak (tax justice), mengandung pemahaman yang luas dan pelik. John
Rawls mengemukakan terdapat dua prinsip keadilan, pertama, yaitu hak perlakuan yang
sama yang dimiliki setiap orang tanpa membedakan status dan jabatan. Kemudian yang
kedua adalah bagaimana mengatur ketimpangan sosial dan ekonomi sehingga dapat
memberikan harapan dan keuntungan bagi semua orang.
Keadilan adalah kebajikan utama dalam pemerintahan dan institusi sosial, apalagi
pungutan pajak yang mempunyai daya paksa, walaupun penerimaannya akan digunakan
untuk pembangunan negara, akan tetapi harus dirasakan adil bagi masyarakat yang dipungut
sebagai pembayar pajak. Untuk itulah, UUD 1945 sebagai konstitusi dasar negara Republik
Indonesia mewajibkan bahwa segala pungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-
undang. Undang-undang merupakan manifestasi keadilan karena mekanisme pembuatan
undang-undang adalah melalui proses yang harus diwakili perwakilan rakyat melalui
persetujuan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat.Berkaitan dengan
kebijakan fiskal dalam jangka menengah Pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana
dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2004-2010
diarahkan untuk menjaga ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) melalui
optimalisasi sumber-sumber pendapatan negara, peningkatan efisensi dan efektifitas belanja
negara, serta pengelolaan pembiayaan secara berhati-hati. Dengan kebijakan tersebut, defisit
anggaran dapat terjaga dan terkelola sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB terus
menurun. Di tahun 2014, kebijakan fiskal diarahkan untuk (1) menyediakan stimulasi fiskal
secara terukur dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal; (2) memperkuat kapasitas fiskal
(fiscal capasity); (3) memperlebar ruang fiskal (fiscal space); (4) meningkatkan kualitas
belanja (quality spending); (5) memperkuat pengelolaan keuangan daerah dalam kerangka
desentralisasi fiskal; dan (6) memantapkan pengelolaan pembiayaan anggaran.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan negara, utamanya dalam mendukung
penerimaan perpajakan, sepanjang tahun 2004-2013, pemerintah telah melakukan berbagai
kebijakan di bidang perpajakan. Secara garis besar dapat digolongkan menjadi: (1) kebijakan
yang bersifat umum; (2) kebijakan di bidang PPh; dan (3) kebijakan di bidang PPN.
Kebijakan umum perpajakan yang dilakukan, meliputi (1) perluasan basis pengenaan
pajak (tax base); (2) optimalisasi teknologi informasi dalam rangka penggalian potensi dan
pengawasan Wajib Pajak (WP) melalui pemanfaatan aplikasi profil berbasis web (Approweb)
dan aplikasi dashboard penerimaan pajak; (3) Sensus Pajak Nasional (SPN); dan (4)
penguatan infrastruktur penerimaan pajak dengan memanfaatkan sinkronisasi Sistem Kliring
Nasional (SKN) antara Bank Indonesia dan Modul Penerimaan Negara (MPN). Sementara
itu, kebijakan di bidang PPh yang telah dilakukan antara lain: (1) pembenahan kebijakan
pengenaan PPh final; dan (2) kebijakan penyesuaian batas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) untuk memberikan stimulus fiskal bagi perekonomian. Untuk bidang PPN, kebijakan
difokuskan pada pembenahan administrasi dalam sistem PPN untuk mengurangi
penyalahgunaan faktur pajak bermasalah melalui: (1) penyederhanaan pengenaan PPN
melalui mekanisme Ideemed Tax; (2) pemberlakuan sistem E-invoice; dan (3) pemberlakuan
sistem barcode sebagai identitas transaksi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dari sisi belanja, dalam upaya meningkatkan kualitas belanja negara, kebijakan lebih
ditekankan pada pentingnya langkah efisiensi dan efektivitas dalam mendorong produktivitas
pada setiap jenis belanja untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan peningkatan daya saing
perekonomian domestik.
Dari sisi pembiayaan, untuk dapat mengimbangi perkiraan defisit besar, pemerintah
berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan menerapkan prinsip kehati-
hatian dan mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya biaya dan risiko utang,
perkembangan kondisi pasar keuangan, kapasitas daya serap pasar Surat Berharga Negara
(SBN), country ceilling/ single county limit masing-masing lender, dan kebutuhan kas
negara.
Pembiayaan defisit anggaran diprioritaskan melalui optimalisasi sumber-sumber
pembayaran utang dari dalam negeri yang dilaksanakan bersamaan dengan upaya untuk
mengoptimalkan peran serta dari masyarakat (financial inclusion), mengembangkan pasar
keuangan domestik (financial deepening), dan meningkatkan pengaruh pengganda (multipier
effect) perekonomian nasional. Sementara itu, pembiayaan yang bersumber dari luar negeri
selalu diupayakan dengan menjaga negatif net flow untuk mengurangi ketergantungan
terhadap pinjaman luar negeri.
Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa pungutan pajak harus ada ketentuan undang-
undang yang mengaturnya terlebih dahulu, seperti halnya jenis-jenis pajak pusat diatur
dengan undang-undang. Namun, untuk pajak daerah seiring dengan otonomi daerah yang
memberikan kewenangan pungutan pajak dan retribusi kepada daerah, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah melimpahkan kewenangannya
pengaturan pemungutannya kepada daerah dengan Peraturan daerah (Perda), tetapi tetap
harus berpedoman dan tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan UU (UU Nomor
28 Tahun 2009). Karena, berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7
dari UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa
peraturan daerah adalah kedudukannya di bawah undang-undang. Sesuai asas dan teori
hukum murni yang juga dianut dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa “Peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya.” Tegasnya, peraturan daerah tentang pajak daerah tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai