NIM : 121710045
Prodi : PPKn
Kelas : B pagi
Semester : VII
Makul : Hukum Islam
Dosen : Yuliananingsih M, SH, M.Pd
Hukum Kewarisan Islam (seperti telah disebut juga di muka) adalah hukum yang mengatur
segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum Kewarisan Islam disebut
juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang
berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbernya adalah Alquran, terutama surat An- Nisa'
(4) ayat 11, 12, 176 dan, Al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah yang kemudian
dikembangkan secara rinci oleh ahli hukum fiqih Islam melalui ijtihad orang yang memenuhi
syarat, sesuai dengan ruang dan waktu, situasi dan kondisi tempatnya berijtihad. Asas hukum
Kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Alquran dan Al-Hadis, menurut Amir Syarifuddin
(1984) adalah:
1) Asas Ijbari
Yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta
dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sen- dirinya
menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
Unsur “memaksa" (ijbari = compulsary) dalam hukum kewarisan Islam itu terlihat, terutama,
dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpin- dahan harta peninggalan pewaris
kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan Allah di luar kehendaknya sendiri.
Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika,
tidak perlu merencana- kan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena
dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan
perolehan yang sudah dipastikan.
Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yakni:
a) Dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia.
b) Jumlah harta yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris.
c) Penerima harta peninggalan sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang
mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang
dirinci dalam pengelompokan ahli waris
2) Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak atau bagian
warisan dari kedua belah pihak: dari kerabat keturunan laki- laki dan dari kerabat keturunan
perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat Al-Nisa1 (4) ayat-ayat 7, 11, 12 dan 176. Di
dalam (a) ayat 7 ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya
dan juga dari ibunya. Demikian juga halnya dengan perempuan. Ia berhak mendapat warisan
dari kedua orang tuanya.
Kekerabatan bilateral ini berlaku juga untuk kerabat garis ke samping. Ini dapat dilihat
pada surat Al-Nisa' (4) ayat 12 dan 176. Ayat 12 surat Al-Nisa1 (4) menetapkan kewarisan
saudara laki-laki dan saudara perempuan dengan pembagian yang berbeda dengan hak atau
bagian yang diperoleh saudara dalam ayat 176 surat yang sama. Perbedaan itu menunjukkan
adanya perbedaan dalam hal (orang) yang berhak menerima warisan.
3) Asas Individual
Dengan asas ini dimak- sudkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam harta warisan
dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam
pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian
dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-
masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat
kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan.
Asas individual hukum kewarisan Islam ini diperoleh dari kajian aturan Alquran
mengenai pembagian harta warisan. Bila pembagian menurut asas individual ini telah ter-
laksana, maka setiap ahli waris berhak untuk berbuat atau bertindak atas harta yang
diperolehnya kalau ia telah mempunyai kemampuan untuk bertindak. Bila belum, maka
untuk mereka yang tidak atau belum mampu bertindak itu, diangkat wali untuk mengurus
hartanya menurut ketentuan perwa- lian. Wali bertanggung jawab mengurus harta orang
yang belum dapat bertindak mengurus hartanya, memberikan pertanggungjawaban dan
mengembalikan harta itu bila pemiliknya telah mampu bertindak sepenuhnya mengurus
miliknya yang (selama ini) berada di bawah perwalian itu. Mencampuradukkan harta yang
di bawah perwalian dengan harta kekayaan orang yang mengurusnya (wali), sehingga sifat
individualnya berubah menjadi kolektif, adalah bertentangan dengan asas individual
kewarisan Islam. Oleh karena itu, pula bentuk kewarisan kolektif yang terdapat dalam
masyarakat adat tertentu, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebabnya adalah, karena dalam
pelaksanaan kewarisan kolektif itu, mungkin, sengaja atau tidak, termakan harta anak yatim
yang sangat dilarang oleh ajaran Islam.
2) Asas Bilateral
Dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibaca pada 'pengelompokan ahli waris' seperti
tercantum dalam Pasal 174 ayat (1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek (golongan laki-laki), serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek
(golongan perempuan) menurut hubungan darah. Dengan disebutkannya secara tegas
golongan laki-laki dan golongan perempuan serempak menjadi ahli waris dalam pasal
tersebut, jelas asas bilateralnya. Duda atau janda menjadi ahli waris berdasarkan hubungan
perkawinan adalah juga ciri kewarisan bilateral. Dalam hubungan ini, mungkin tidak ada
salahnya untuk dicatat bahwa asas bilateral dalam hukum kewarisan di Indonesia, untuk
pertama kali, dikemukakan oleh almarhum Profesor Hazairin mantan Gurubesar Hukum
Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Karena sistem kekeluargaan
dalam Alquran adalah bilateral, maka asas kewarisan yang merupakan bagian sistem
kekeluargaan bilateral itu, juga bilateral seperti yang telah diuraikan di muka, yang dianut
pula oleh Kompilasi Hukum Islam, ter- cermin dalam Pasal 174 ayat (1) di atas.
3) Asas Individual
Asas ini juga tercermin dalam pasal- pasal mengenai besarnya bagian ahli waris dalam
Kompilasi Hukum Islam, Bab III Pasal 176 sampai dengan Pasal 180 tersebut di atas. Dan,
khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan sebelum ia dewasa atau tidak mampu
bertindak melaksanakan hak dan kewajibannya atas harta yang diper- olehnya dari
kewarisan, baginya diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota keluarganya.
Ini diatur dalam Pasal 184 Kompilasi Hukum Islam.
Asas selanjutnya yakni asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau 'ada yang
meninggal dunia' tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli
waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab ketentuan umum. Hanya, agak berbeda
dengan kitab-kitab fiqih selama ini, seperti telah disinggung di muka, soal wasiat, dibicara-kan
dalam buku II Hukum Kewarisan Bab V.