Pendidikan kewarganegaraan Indonesia zaman Orde Baru (1966-1998) kurang, bahkan tidak
merefleksikan cita sipil yang demokratis. Anggapan selama ini adalah bahwa kekeliruan itu
bersumber pada otoritas negara (state agents) melalui indoktrinisasi politik yang berlebihan,
misalnya melalui Penataran P4 yang banyak dilakukan untuk memaksakan visi dan misi
pemerintah kepada rakyat, juga pada pembungkaman masyarakat demi kesejahteraan semu
akan dukungan terhadap keputusan pemerintah. Setelah pelengseran rezim otoriter, yakni
ketika indoktrinisasi sudah tidak terdengar lagi, timbul harapan besar bahwa kehidupan
berbangsa akan semakin demokratis. Di era ‘reformasi’, wacana kewarganegaraan baru
meletakkan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai isu sentral dalam masyarakat
pluralis yang demokratis. Atau dengan kata lain, perjuangan dan pemerolehan hak sipil, hak
asasi manusia dan keadilan sosial dan politik diyakini akan lebih mudah dicapai. Upaya itu
diwujudkan, misalnya, melalui amendemen Undang Undang Dasar 1945 dan keinginan untuk
merevitalisasi Pancasila. Di era ‘transisi demokrasi’ bangsa Indonesia dihadapkan pada
pelbagai fenomena yang mempengaruhi kewarganegaraannya, seperti rasionalisme ekonomi,
etika sosial, pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme
demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan
tantangan berat dalam revitaslisasi cita sipil, khususnya melalui pendidikan
kewarganegaraan.
Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah
menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai berikut:
2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual
can contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu
konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat
berkontribusi dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)
3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and
wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam
suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas)
Pengertian Kewarganegaran
Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan “Civis”, selanjutnya dari kata “Civis” ini
dalam bahasa Inggris timbul kata ”Civic” artinya mengenai warga negara atau
kewarganegaraan. Dari kata “Civic” lahir kata “Civics”, ilmu kewarganegaraan dan Civic
Education, Pendidikan Kewarganegaraan.
Pelajaran Civics mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka
“mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of
Americanization”. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa
yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu
diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics
membicarakan masalah ”government”, hak dan kewajiban warga negara dan Civics
merupakan bagian dari ilmu politik.
Di dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
dipakai sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi pasal 39 ayat (2) menyebutkan
bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajin memuat a) Pendidikan
Pancasila, b) Pendidikan Agama, dan c) Pendidikan Kewarganegaraan yang mencakup
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).
Pendidikan Kewarganegaraan yang dijadikan salah satu mata kuliah inti sebagaimana
tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberi pengertian kepada mahasiswa tentang
pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga Negara dengan
nengara, serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagai bekal agar menjadi warga
negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (SK Dirjen DIKTI
no.267/DIKTI/Kep/2000 Pasal 3).
Melihat begitu pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan atau Civics Education ini bagi suatu
Negara maka hampir di semua Negara di dunia memasukkannya ke dalam kurikulum
pendidikan yang mereka selenggarakan. Bahkan Kongres Internasional Commission of Jurist
yang berlangsung di Bangkok pada tahun 1965, mensyaratkan bahwa pemerintahan suatu
negara baru dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis manakala ada jaminan
secara tegas terhadap hak-hak asasi manusia, yang salah satu di antaranya adalah Pendidikan
Kewarganegaraan atau ”Civic Education”. Hal ini dapat dimaklumi, karena dengan
dimasukkannnya ke dalam sistem pendidikan yang mereka selenggarakan, diharapkan warga
negaranya akan menjadi warga negara yang cerdas dan warga negara yang baik (smart and
good citizen), yang mengetahui dan menyadari sepenuhnya akan hak-haknya sebagai warga
negara, sekaligus tahu dan penuh tanggung jawab akan kewajiban dirinya terhadap
keselamatan bangsa dan negaranya. Dengan demikian diberikannya Pendidikan
Kewarganegaraan akan melahirkan warga negara yang memiliki jiwa dan semanagt
patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.
Pengertian
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur
dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara republik Indonesia yang terdidik dan
bertanggungjawab.
2. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa bangsa dan negara.
Pendidikan Kewarganegaraan Menurut Keputusan Dirjen Dikti no.267/Dikti/2000
Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan yang terdiri dari hak dan kewajiban warga negara,
Pendidikan Pendahuluan Bela Negara, Demokrasi Indonesia, Dan Hak Asasi Manusia.
Wawasan Nusantara, yang meliputi Ketahanan Nasional dan Politik Strategi Nasional.
Landasan Ilmiah
Dasar pemikiran Pendidikan Kewarganegaraan adalah bahwa warga negara dituntut untuk
hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya serta mampu mengantisipasi
perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk diperlukan pengetahuan, tekhnologi
dan seni yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, moral dan budaya bangsa sebagi panduan
dan pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Bahasan Pendidikan Kewarganegaraan meliputi hubungan antara warga negara dan negara,
serta pendidikan pendahuluan bela negara yang berpijak pada nilai-nilai budaya bangsa.
Indonesia
Sebutan Indonesia telah tercantum sejak dulu dalam berbagai tulisan dan peristiwa, antara
lain :
• J.R. Logan dalam “Journal of the Indian Archipelago dan East Asia” tahun 1850.
• Sir W.E. Maxwell dalam bukunya tentang rumpun Melayu yang dalam kata
pembukanya menggunakan istilah “Indonesia”.
• Adolf Bastian, seorang etnolog, dalam bukunya “Indonesien Order Die Inseln des
Malaysichen Archipels” tahun 1884.
• Tahun 1928 kata “Indonesia” dipakai sebagai sebutan tanah air dan bangsa
menggantikan sebutan “Nederlandsh Dost Indie”.
• Pada proklamasi 1945, Indonesia menjadi nama resmi negara dan bangsa ini sampai
sekarang.
Syarat-syarat berdirinya negara merdeka adalah adanya wilayah, rakyat dan pemerintah yang
berdaulat. Warga negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu
dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungannya antara warga negara dan negara,
warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warga negara
juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.
Hak dan kewajiban warga negara yang diatur dalam UUD’45 tercantum dalam pasal 27 – 31.
Asas-asas Kewarganegaraan
Asas ius-sanguinis adalah asas keturunan atau hubungan darah, artinya bahwa
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh orang tuanya. Asas ius-soli adalah asas daerah
kelahiran, artinya bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
Bipatride (dwi kewarganegaraan) timbul apabila menurut peratutan dari dua negara terkait,
seseorang diaggap sebagai warga negra dua negara tersebut. Apatride (tanpa
kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan kewarganegaraan seseorang tidak diakui
sebagai warga negara manapun.
Hak dan kewajiban Bela Negara
Pengertian
Bela negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu
dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa
dan bernegara.
Kesiapan dan kerelaan setiap warga negara untuk berkorban demi mempertahankan
kemerdekaan, kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan wilayah
Nusantara dan yuridiksi nasional serta nilai-nilai Pancasila dan UUD ’45.
Berdasarkan pasal 27 ayat (3) UUD ’45, bahwa usaha bela negara merupakan hak dan
kewajiban setiap warga negara. Hal ini menunjukkan asas demokrasi. Asas demokrasi dalam
pembelaan negara mencakup dua arti :
1. Bahwa setiap warga negara turut serta dalam menentukan kebijakan tentang
pembelaan negara melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai dengan UUD ’45 dan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Bahwa setiap warga negara harus turut serta dalam setiap usaha pembelaan negara,
sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing.
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kodratnya. Hak Asasi Manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak
milik, dan hak-hak dasar lain yang melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dapat
diganggu gugat oleh orang lain.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrat,
universal dan abadi sebagai Anugrah Tuhan YME.
Diperjuangkan pertama kali sekitar abad-13 di Inggris lewat Magna Charta (1215), Petition
of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689). Perkembangan demokrasi di Inggris tidak lepas
dari pemikiran para filsuf, antara lain :
• John Locke (1712-1778) yang memaparkan life, liberty and property yang
mempengaruhi Declaration of Independence Amerika Serikat 4 Juli 1776.
• JJ. Rousseau yang memaparkan Du Contrat Social di mana beliau beranggapan negara
dilahirkan bebas dan tidak dapat dibelenggu oleh manusia lain termasuk raja.
HAM di Indonesia
Sejak kemerdekaan sampai sekarang di Indonesia telah berlaku tiga UUD dalam 4 periode,
yaitu :
1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949. Berlaku UUD ’45 di mana butir-
butir HAM hanya tercantum beberapa saja.
3. Periode 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Berlaku UUDS 1950. Baik konstitusi
RIS maupun UUDS ’50 hampir bulat-bulat mencantumkan isi deklarasi HAM dari PBB.
4. Periode 17 Agustus 1950 sampai sekarang. Berlaku UUD ’45 secara yuridis formal,
HAM tidak lagi lengkap seperti deklarasi HAM PBB (pasal 27, 28, 29, 30, 31).
Awal orde baru panitia MPRS menyusun Rancangan Piagam HAM serta hak dan kewjiban
warga negara yang akhirnya mengalami kebuntuan dalam pembahasanya dalam sidang
MPRS 1968. MPR hasil Pemilu 1972 bahkan sama sekali tidak mengagendakan HAM dalam
pembahasan sidang-sidangnya. Awal reformasi, sidang istimewa MPR 1998 salah satu
ketetapannya berisi piagam HAM.
Wawasan Nusantara
Pengertian
• Setiap bangsa mempunyai wawasan nasional yang merupakan visi bangsa menuju
masa depan.
Istilah wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjaua atau penglihatan.
Wawasan berarti cara pandang, cara tinjau, atau cara melihat. Nusantara, asal katanya ‘nusa’
berarti pulau dan ‘antara’ yang berarti diapit di antara dua hal. Nusantara menggambarkan
kesatuan wilayah, perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang terletak di antara Benua
Asia dan Benua Australia.
Wawasan Nusantara berarti cara pandang Bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan
berdasarkan Pancasila dan UUD ’45 serta sesuai dengan geografi wilayah Nusantara yang
menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional.
• Res communis, laut milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat dimiliki masing-
masing negara.
• Mare clausum (the right and dominition of sea), laut sepanjang pantai yang dimiliki
suatu negara sejauh yang dapat dikuasai dari darat (lebih kurang 3 mil).
Geopolitik
Geopolitik diartikan oleh Frederich Ratzel (1844-1904) sebagai ilmu bumi politik (political
geography), kemudian dikembangkan oleh sarjana Swedia Rudolf Kjellen (1864-1922) dan
seorang ilmuan Jerman Karl Haushofer (1869-1964) yang akhirnya menjadi geographical
politic yang disingkat menjadi geopolitik. Perbedaan keduanya terletak pada titik perhatian
dan tekanannya apakah pada geografi ataukah politik. Ilmu bumi politik (political geography)
mempelajari fenomena geografi dari aspek politik sedangkan geopolitik mempelajari
fenomena politik dari aspek geografi. Geopolitik pengertiannya baru tumbuh sekitar abad XX
sebagai ilmu penyelenggara negara di mana setiap kebijakan dikaitkan dengan masalah-
masalah geografi wilayah yang menjadi tempat tinggal warga negara bersangkutan. Menurut
Rudolf Kjellen organisme harus memiliki intelektual, sistem politik harus meliputi geopolitik,
ekonomi, politik dan sosiopolitik. Ekspansionisme dilakukan untuk mempertahankan dan
mengembangkan negara. Negara harus diperkuat dengan meningkatkan kekuatan kontinental
dan maritim. Sementara di sisi lain Haushofer berpendapat ekspansionisme mengandung
ajaran rasialis.
Dalam menjalin hubungan internasional Bangsa Indonesia berpijak pada paham kebangsaan
(nasionalisme) yang membentuk suatu wawasan kebangsaan dengan menolah chauvinisme.
Bangsa Indonesia terbuka dalam menjalin hubungan kerjasama antar bangsa yang saling
menolong dan saling menguntungkan.
Geostrategi
Politik dapat dimaknai upaya bagaimana mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan sesuai
dengan tujuan dan keinginan yang bersangkutan.Geostrategi adalah politik dalam
pelaksanaan senia atau ilmu yang digunakan untuk membina atau mengelola sumber daya
yang dimiliki dalam rencana dan tindakan. Dapat di contohkan sebagai berikut :
Pertimbangan geostrategi Indonesia bahwa negara ini terletak pad posisi silang yang
mempengaruhi berbagai aspek demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosil-budaya dan
hankam.
• Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya adalah
ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara
• Tiap-tiap waraga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam
pertahanan dan keamanan negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.
Artikel Terkait
Study
• langkah-langkah SEM
• Varians
• Hakekat Statistik
•
Inggris misalnya sejak 1997 telah melakukan program pendidikan kewargaan yang mereka
namakan democratic citizenship yang diadakan oleh lembaga pendidikan warga negara
demokratis, the Education for Democratic Citizenship (EDC).
Program serupa dijumpai pula di Amerika, Kanada, Australia dan sejumlah negara Eropa
dengan nama yang berbeda namun memiliki kesamaan tujuan yakni bagaimana menjadikan
demokrasi sebagai kultur dan mekanisme bermasyarakat warganegara mereka. Civic
education bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah pendidikan ”demokrasi” Indonesia itu dirumuskan dalam bermacam model dan
nama.
Model pertama dikenal dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan
sejak 1975. Mata pelajaran ini kemudian pada 1994 diganti dengan pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan untuk jenjang perguruan tinggi
pendidikan kewargaan tersebut di kenal dengan nama mata kuliah pendidikan Kewiraan dan
Pancasila.
Sayangnya bila dikaitkan dengan realitas sosial-politik sekarang ini, agenda nasional
pendidikan kewarganegaraan itu lebih tepat dikatakan telah mengalami kegagalan. Tindakan
tidak demokratis dengan cara kekerasan masih banyak dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat.
Politik pengerahan massa akar rumput masih dominan dijadikan modus politik oleh sebagian
elit politik. Perilaku serupa terjadi pula di kalangan generasi muda dalam bentuk tawuran
sesama pelajar dan bentrokan fisik antara aparat keamanan dengan mahasiswa. Kenyataan
seperti ini merupakan salah satu indikator kegagalan dari pendidikan kewarganegaraan yang
selama ini dilakukan.
Bertolak dari kenyataan tersebut dan peluang memanfaatkan era transisi menuju demokrasi
seperti saat ini, reformasi pendidikan kewargaan nasional sudah mendesak dilakukan.
Sebagaimana banyak kalangan menilai, bahwa dalam konteks wacana global tentang
demokrasi dan trend civic education serta semangat reformasi di Indonesia, kedua model
pendidikan kewarganegaraan nasional di atas dianggap kurang sejalan lagi dengan dua
tuntutan refromasi yakni penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Azyumardi Azra (2001), setidaknya terdapat tiga faktor mengapa pendidikan
kewarganegaraan nasional dalam beragam bentuknya mengalami kegagalan. Pertama,
menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai
materi pendidikan demokrasi dan kewargaan. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata
pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif,
monologis dan tidak partisipatif.
Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis daripada praksis. Walhasil hasil
pembelajaran ketiga model pendidika kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat
dianalogikan dengan ungkapan klasik ”jauh panggang dari api” ; kurang menyentuh realitas
yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional.
Namun patut disayangkan, sekalipun keputusan ini lahir di era reformasi, tetapi secara
substansial belum menampakkan pergeseran paradigma hubungan antara negara dan
warganegara secara signifikan. Masih kuatnya semangat pendekatan keamanan (security
approach) dapat dicermati pada bunyi pasal 5 keputusan tersebut.
Menurut pasal tersebut materi pendidikan kewarganegaraan meliputi empat pokok bahasan
yaitu: pengantar pendidikan kewarganegaraan, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan
politik dan strategi nasional. Sekalipun materi demokrasi dan HAM dijadikan salah satu
unusr dari pokok bahasan yang pertama, nampaknya sampai saat ini pihak pemerintah belum
merealisasikannya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk kurikulum yang sejalan dengan
tuntutan reformasi dan penegakan HAM.
Kuatnya paradigma lama yang lebih mengedapankan kontrol negara (state) atas warga negara
dalam keputusan itu dapat pula dicermati pada pernyataan pasal 7 tentang evaluasi belajar
MKDU yang sudah diperbaharui itu. Menurut pasal tersebut, evaluasi belajar dinyatakan
dengan kalimat, ”dilakukan dengan cara yang memungkinkan terdeteksinya perkembangan
sikap tingkah laku mahasiswa”. Dari redaksi pasal ini nampaknya nuansa militeritsik masih
begitu kental bersembunyi dibalik kebijakan tersebut.
Usaha sosialisasi demokrasi di Indonesia melalui jalur pendidikan formal nampaknya masih
membutuhkan jalan panjang. Reformasi orientasi pendidikan kewarganegaran sudah
semestinya dilakukan baik peraturan, paradigma, materi maupun pelaksanannya di lapangan.
Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang bertujuan untuk mengembangkan sikap
demokratis dan daya kritis peserta didik selayaknya di jadikan common plat-form para
pengambil kebijakan pendidikan nasional. Kesamaan pandangan ini selanjutnya dapat
ditungkan kedalam penyusunan kurikulum yang sejalan dengan semangat dan tuntutan
demokrasi.
Dalam tataran reformasi metodologi pengajarannya, pendekatan belajar yang berpusat pada
mahasiswa (learner-centered) sudah waktunya di terapkan pada perkuliahan mata kuliah
pendidikan kewarganegaraan mendatang. Menurut Jhon Dewey, tokoh pendekatan belajar ini,
mazhab pendekatan ini memusatkan perhatian pada kemampuan analisis mahasiswa terhadap
pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki, dan (dosen) mengarahkannya untuk
belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari.
Pandangan selama ini bahwa dosen sebagai satu-satunya sumber pengetahuan sudah
waktunya ditinggalkan. Pemahaman kadaluarsa ini harus segera diubah melalui pembelajaran
yang demokratis dimana dosen berperan sebagai fasilitator dan pemacu atau motivator
dinamika kelas. Untuk mewujudkan ini semua, rasa empati terhadap beragam pandangan
mahasiswa merupakan sesuatu yang harus dimiliki dosen atau siapa saja yang peduli dengan
pendidikan demokrasi.
• Poskan Komentar