Anda di halaman 1dari 6

Nama : Umi Sholehatun Mubarokah

NIM : 121710045
Prodi : PPKn
Kelas : B pagi
Semester : VII
Makul : Hukum Islam
Dosen : Yuliananingsih M, SH, M.Pd

“TUGAS INDIVIDU MERESUME”

AL-AHKAM AL-KHAMSAH
Ahkam adalah jamak perkataan hukm. Khamsah artinya lima. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan al-ahkam al- khamsah (baca: ahkamul khamsah)
yang disebut juga hukum taklifi adalah lima macam kaidah atau lima kategori
penilaian mengenai benda dan tingkah-laku manusia dalam Islam.
Menurut sistem al-ahkam al-khamsah ada lima kemungkinan penilaian
mengenai benda atau perbuatan manusia. Penilaian itu, menurut Hazairin,
(Hazairin, 1982, 68) mulai dari ja'iz atau mubah di lapangan kehidupan pribadi,
muamalah atau kehidupan sosial. Ja'iz adalah ukuran penilaian bagi perbuatan
dalam kehidupan kesusilaan (akhlak atau moral) pribadi. Kalau mengenai benda,
misalnya makanan, disebut halal (bukan ja'iz); sunnat dan makruh adalah ukuran
penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak atau moral) masyarakat, wajib dan haram
adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi lingkungan hukum duniawi.
Kelima kaidah atau komponen penilaian ini berlaku di dalam ruang-
lingkup keagamaan yang meliputi semua lingkungan kehidupan itu. Pembagian ke
dalam ruang hidup kesusilaan, baik pribadi maupun masyarakat, ruang- lingkup
hukum duniawi dan ruang-lingkup keagamaan, adalah karena perbedaan pemberi
sanksi dan bentuk sanksinya. Ja'iz ialah ukuran penilaian dalam lingkup hidup
kesusilaan perseorangan. Ukuran penilaian tingkah-laku ini dikenakan bagi
perbuatan-perbuatan yang sifatnya pribadi yang semata-mata diserahkan kepada
pertimbangan dan kemauan orang itu sendiri untuk melakukannya. Ia bebas untuk
menentukan apakah ia akan atau tidak akan melakukan perbuatan itu.
Akibatnya mungkin akan mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan bagi
dirinya, mungkin juga kesedihan atau kekecewaan yang diper- olehnya, walaupun
ia yakin benar pada mulanya bahwa tindakannya itu akan membawa kebaikan
bagi dirinya. Dari sini manusia memperoleh pelajaran atau pengalaman bahwa ia
bebas berbuat, tetapi tidak bebas untuk menguasai hasil perbuatannya menurut
keinginan semula (Hazairin, 1974:31). Pengalaman pahit yang dirasakannya
menimbulkan kehendak untuk mencari sebab mengapa terjadi demikian. Jawaban
yang akan diperolehnya tergantung kepada tingkat kerohanian dan derajat
pemikirannya. Mungkin jawaban penye- bab itu akan dicarinya pada gejala-gejala
alam di sekitarnya, mungkin juga pada kekuatan-kekuatan gaib yang tidak atau
belum dikenalnya. Bagi yang mencari lebih jauh akan terbuka jendela keyakinan
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa yang mengendalikan pertimbangan dan
kemauannya. Dan ia mendapat pelajaran dari pengalaman yang dirasakannya
(Hazairin, 1974: 32).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa ja'iz mampu membukakan kalbu ke
alam gaib dan kekuasaan gaib, yang kemudian baru dikenalnya betul setelah
datang utusan-Nya (nabi atau rasul) menyampaikan kepada manusia pedoman
untuk mem- bedakan antara yang baik dan buruk dan cara-cara mencapai atau
menghindarinya dalam rangka usaha menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
hidupnya di dunia ini dan di akhirat kelak. Pengalaman hidup itu, biasanya,
disampaikan melalui berbagai cara pada generasi-generasi berikutnya. Himpunan
pengalaman-pengalaman pribadi itu menim- bulkan berbagai anjuran dan cegahan
atau celaan terhadap perbuatan orang lain dalam masyarakat. Melembagalah
ukuran- ukuran penilaian yang disebut sunnat dan makruh, yakni ukuran penilaian
bagi perbuatan yang dianjurkan, digemari, disukai dalam masyarakat karena baik
tujuannya (sunnat), sedangkan makruh adalah ukuran penilaian bagi perbuatan
yang tidak diingini, dibenci, dicela oleh masyarakat karena tujuannya adalah
buruk.
Akibatnya, orang yang melakukan perbuatan yang kaidahnya makruh,
mendapat celaan umum, yang mungkin bentuknya berupa perkataan atau mungkin
pula berupa sikap yang tidak menyenangkan, bahkan mungkin sampai pada sikap
pemboikotan dari pergaulan. Kalau dibandingkan dengan ja'iz, mengenai sunnat
atau makruh ini dapat dikemukakan bahwa walaupun perbuatan itu didasarkan
pada kemerdekaan pribadi, namun telah berada di bawahpengawasan masyarakat,
dengan padahan (sanksi) pujian bagi perbuatan sunnat atau celaan bagi perbuatan
yang kaidahnya makruh. Bila perbuatan yang ukurannya sunnat dirasakan
kebaikannya dalam kehidupan masyarakat, dan masyarakat ingin mengu-
kuhkannya menjadi perbuatan yang tidak boleh diabaikan, masyarakat akan
meningkatkannya menjadi wajib. Jika telah demikian, siapa yang
meninggalkannya akan mendapat hukuman berupa penderitaan atas harta, badan,
martabat, kehormatan diri, kemerdekaan bergerak bahkan sampai pada ancaman
hukuman mati.
Demikian juga halnya dengan perbuatan yang berkaidah makruh. Ia dapat
ditingkatkan menjadi haram, jika masyarakat memandang perbuatan tercela itu
demikian kejinya sehingga lebih baik menjadi perbuatan yang terlarang. Dan
barangsiapa melanggar larangan itu ia akan dikenakan ganjaran hukuman pula.
Kendatipun perbuatan yang berkaidah haram atau wajib masih juga ada
sangkut-pautnya dengan kemerdekaan seseorang untuk berbuat, namun
kemerdekaan itu kini bukan lagi hanya dikendalikan oleh masyarakat saja tetapi
telah dibendung oleh penguasa dalam satu kesatuan hidup kenegaraan (Hazairin,
1974:33).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa wajib adalah pening- katan sunnat
sedang haram adalah kelanjutan peningkatan makruh. Atau dengan perkataan lain
wajib berasal dari sunnat dan haram bersumber dari makruh. Dan karena sunnat
dan makruh bersumber dari ja'iz, maka wajib dan haram berpokok pangkal pada
ja’iz pula.
Di dalam sistem tata norma Islam, ajaran al-ahkam al- khamsah ini
meliputi seluruh kehidupan manusia, di dalam segala lingkungannya: kesusilaan
pribadi, masyarakat dan hukum duniawi. Lingkungan hukum duniawi adalah
masyarakat yang dibentuk dengan penguasa sebagai pengelolanya. Ketiga-tiganya
merupakan satu rangkaian kesatuan, dan bertautan satu dengan yang lain.
Pertautan antara kesusilaan dan hukum merupakan hal yang sangat penting dalam
ajaran lima kategori penilaian menurut ajaran Islam.
Mengenai hubungan antara kesusilaan dan hukum secara luas telah
diuraikan oleh Profesor Hazairin dalam pidato pelantikan beliau sebagai Guru
Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
13 September 1952. Dalam tulisan beliau yang lain mengenai kesusilaan
(Hazairin, 1973:69) beliau berkata antara lain sebagai berikut (dikutip dengan
penyesuaian di sana-sini): "Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara yang
berdiri atas keinsafan bahwa hukum dan kesusilaan (moral) tidak dapat dipisah-
pisahkan. Hukum tanpa kesusilaan (moral) adalah kezaliman. Moral tanpa hukum
adalah anarki dan utopi yang dapat menjurus kepada perikebinatangan. Hanya
hukum yang dipeluk oleh kesusilaan atau moral dan berakar kepada kesusilaan
atau moral dapat mendirikan perikemanusiaan. Kein- safan persenyawaan antara
hukum dan kesusilaan atau moral terpampang dalam UUD 1945 dalam Pasal 29
ayat 1 (yang berbunyi): Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat
ini mengandung arti bahwa negara, bangsa dan masyarakat mematuhi norma-
norma Ilahi, yang meliputi norma-norma hukum dan norma-norma kesusilaan
atau moral.
Oleh karena itu, maka dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh
dipediarkan (dibiarkan:MDA) ada hukum yang bertentangan dengan norma Ilahi
dan tidak boleh dibiar- kan ada kesusilaan atau moral yang berlawanan dengan
sesuatu norma Ilahi. Menambah garis-garis hukum dan menam- bah garis-garis
kesusilaan atau moral kepada norma Ilahi tetapi tidak bertentangan dengan norma-
norma Ilahi, adalah bebas leluasa. Dalam menilai manusia, kata beliau lebih
lanjut, orang hanya dapat memperhatikan perkataan, perbuatan dan laku perangai
manusia itu. Manusia yang tidak berkesesuaian perkataannya dengan perbuatan
dan tingkah lakunya, disebut munafik, sangat berbahaya bagi negara, bangsa dan
masyarakat. Orang yang demikian, kata beliau, tidak layak untuk dijadikan
pemimpin dalam urusan negara, bangsa dan masyarakat, walau- pun dia tidak
pernah melakukan pelanggaran hukum." "Siapakah yang berkewajiban
mengawasi kesusilaan (moral atau akhlak) dalam negara dan masyarakat?" tanya
beliau.
Pertanyaan itu beliau jawab sendiri dengan kata-kata berikut: "Pada
prinsipnya setiap orang. Tetapi yang 'resmi' berkewajiban (mengawasi kesusilaan
(moral atau akhlak) dalam negara dan masyarakat) ialah setiap petugas dalam
urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Mereka berkewajiban untuk menegur dan
memberi nasihat tentang kesusilaan (moral atau akhlak buruk) baik secara
preventif maupun repressif. Tentu saja petugas-petugas negara dan masyarakat
yang berkewajiban mengawasi kesusilaan (moral atau akhlak) itu wajib pula
berkesusilaan (bermoral atau berakhlak baik). Dan karena kesusilaan (moral)
dalam Negara Republik Indonesia ini harus bersesuaian dengan norma Ilahi, maka
semua petugas mesti pula terdiri dari orang-orang yang bukan saja beragama,
tetapi juga benar-benar hidup menurut norma-norma agamanya, yang di dalam
Islam disebut orang yang bertakwa" (Hazairin, 1973:70).
Norma-norma Ilahi dan norma-norma yang dimaksud oleh Profesor
Hazairin itu, selain norma syariah adalah juga norma akhlak mengenai sikap atau
perbuatan yang baik dan buruk. Dalam perkataan sehari-hari orang sering
menyebut kesusilaan, moral, dan akhlak secara bergantian, karena diang- gap
sepadan (sama). Namun perlu segera dicatat: antara ketiganya terdapat perbedaan.
Kesusilaan atau moral adalah hasil pemikiran manusia yang disepakati oleh suatu
masyarakat tertentu pada suatu masa mengenai buruk dan baik (budaya), sedang
akhlak adalah istilah agama dan bagian agama Islam yang ditetapkan Allah dan
ditentukan rasul-Nya sebagai ukuran bagi sikap dan perbuatan manusia yang baik
atau buruk. Kesusilaan atau moral dapat berubah dan dapat bertentangan dengan
norma Ilahi atau norma agama, sedang akhlak sifatnya tetap, senantiasa sejalan
dan tidak mungkin berten-tangan dengan norma Ilahi atau norma agama.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan berikut:
Al-ahkam al-khamsah adalah lima pernilaian yang disebut norma atau kaidah
dalam ajaran Islam. Al-ahkam al-khamsah meliputi:
1) Seluruh lingkungan hidup dan kehidupan.
2) Di dalam lingkungan hidup kesusilaan pribadi, berlaku satu kaidah (ja'iz). Di
lingkungan kesusilaan umum atau disebut juga dengan istilah moral sosial
terdapat dua kategori kaidah yakni sunnat dan makruh. Di lingkungan hukum
duniawi terdapat dua kaidah yang disebut dengan istilah wajib dan haram.
3) Kelima- limanya berlaku di ruang-lingkup keagamaan yang meliputi semua
lingkungan hidup di atas. Ia menjadi ukuran perbuatan manusia baik di bidang
ibadah maupun di lapangan muamalah.
4) Di lingkungan hidup kesusilaan dan hukum, ukuran itu dapat berubah-ubah.
Penguasa, misalnya, dapat mengubah ukuran perbuatan sunnat menjadi
(diindonesiakan) wajib, makruh menjadi haram.
5) Di ruang lingkup keagamaan dilarang mengubah yang halal menjadi haram,
haram menjadi halal. Perintah Allah baik suruhan maupun larangan-Nya, tidak
boleh digeser-geser. Yang haram tetap haram, yang wajib tetap wajib. Ia
berlaku abadi sepanjang masa, tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu.
6) Pengelompokan ke dalam lingkungan hidup kesusilaan, hukum dan keagamaan
di atas adalah untuk memudahkan pemahaman dipandang dari segi 'siapa' yang
memberi sanksi (padahan) jika norma-norma itu dilanggar. Dalam kesusilaan
(pribadi dan masyarakat) yang memberi sanksi adalah diri sendiri berupa
kepuasan atau kekecewaan, anggota masyarakat berupa pujian atau celaan.
Dalam lingkungan hukum duniawi yang memberi sanksi adalah penguasa
berupa ganti kerugian atau denda atau hu-kuman pidana. Dalam lingkup
keagamaan yang meliputi kesusilaan dan hukum duniawi yang memberi sanksi
adalah Tuhan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak berupa pahala dan
dosa (Hazairin, 1982: 73, 74, Kemal Faruki, 1966: 43).

Anda mungkin juga menyukai