(Baik dan Buruk, Hak dan Kewajiban tentang taubat dan ikhlas)
Dosen Pengampu:
Penyusun:
1
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), hlm.30
Poedjawijatna mengemukakan bahwa aliran ini berpandangan bahwa sesuatu
yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kodrat kemanusiaannya
yang cenderung kepada kebaikan. Ketetapan terhadap baik dan buruknya suatu
tindakan yang nyata adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati atau hati nurani
orang yang berbuat.2
d. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini melihat suatu perbuatan yang baik bila perbuatan itu bermanfaat. Jadi
tolok ukur perbuatan itu terletak pada kegunaannya. Jika tolok ukur berlaku pada
perorangan, maka disebut individual, dan jika berlaku pada masyarakat di sebut
sosial.
Pada masa sekarang ini, aliran utilitarianisme cukup mendapat perhatian.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengacu kepada konsep
kemanfaatan sebagaimana paham utilitarianisme. Namun demikian, paham ini lebih
melihat kegunaan sesuatu itu dari segi materialistik. Faktor-faktor non materi
diabaikan. Sebagai contoh, orang tua jompo semakin kurang dihargai, karena secara
material tidak lagi memberi manfaat. Padahal orang tua jompo masih berguna
dimintai nasihat-nasihatnya, dorongan moril oleh karena pengalaman-pengalaman
yang dimilikinya. Selain itu paham ini juga dapat melakukan atau menggunakan apa
saja yang dianggap berguna sepanjang memberikan manfaat. Misalkan untuk
memperjuangkan kepentingan politik, perbuatan fitnah, kebohongan, pemaksaan dan
lain-lain bisa dilakukan kalau itu dapat berguna.
e. Aliran Vitalisme
Aliran ini memahami kebaikan itu sebagai suatu kekuatan dalam diri manusia.
Aliran ini berpendapat bahwa baik itu adalah kekuatan untuk menaklukkan orang
lain yang lemah. Nampaknya bahwa paham ini lebih menyerupai hukum rimba, siapa
yang kuat maka dialah yang menang, dan yang menang itulah dianggap baik.
Aliran ini banyak dipraktekkan oleh para penguasa feodalitik zaman dahulu.
Sehingga muncullah kekuatan-kekuatan politik yang dikenal seperti feodalisme,
kolonialisme, diktator dan tiranik.3 Kekuatan-kekuatan tersebut menjadi simbol
sosial kemasyarakatan yang memiliki pengeruh cukup kuat. Penguasa yang memiliki
2
Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku,(Jakarta : Bina Aksara, 1982), hlm.49
3
Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku,(Jakarta : Bina Aksara, 1982), hlm.46
kekuatan itu memiliki kewibawaan sehingga perbuatan dan perkataannya bisa
menjadi ketetapan dan pedoman bagi masyarakatnya.
Di zaman moderen ini faham dalam aliran ini sudah tidak mendapat tempat lagi.
Masyarakat sekarang ini sudah memiliki wawasan demokratis akibat dari
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
f. Aliran Evolusi
Aliran ini berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami
evolusi, yakni berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya.
Pendapat ini tidak hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, tetapi juga berlaku
juga pada benda-benda yang tidak dapat dilihat atau diraba oleh indera seperti akhlak
dan moral.
Awal mula munculnya aliran ini, ketika seorang ilmuan bernama Lamarck
mengajukan pandangannya bahwa jenis-jenis binatang itu merubah satu sama
lainnya. Ia menolak pandangan bahwa jenis-jenis itu berbeda dan tidak dapat
berubah. Menurutnya jenis-jenis itu tidak terjadi pada satu masa, tetapi bermula dari
binatang rendah, meningkat dan berabak satu dari lainnya dan berganti dari jenis ke
jenis lain.
Kemudian, seorang ilmuan berbangsa Inggris, Darwin menjelaskan teorinya
dalam bukunya yang berjudul The Origin of Species. Dia mengatakan bahwa
perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan alam (selection of nature),
perjuangan hidup (struggle for life), dan kekal bagi yang lebih pantas (survival for
the fittest). Ketentuan alam berarti bahwa alam ini menyaring segala yang berwujud,
mana yang pantas untuk hidup terus dan mana yang tidak. Perjuangan hidup berarti
suatu usaha dalam mempertahankan hidupnya dengan melawan segala yang menjadi
musuhnya. Kekal bagi yang lebih pantas yaitu segala sesuatu yang berhak hidup
setelah mengalami perjuangan-perjuangan dalam berkompetisi dengan jenis-jenis
lainnya.
Ilmuan lainnya yang bernama Alexander, mencoba membawa teroi Darwin
tersebut ke dalam bidang akhlak. Menurutnya, nilai moral juga mengalami kompetisi
dengan nilai-nilai lainnya. Bahkan dengan segala yang ada di jagad raya ini. Nilai
moral yang dapat bertahan itulah nilai yang baik, sedangkan nilai moral yang tidak
dapat bertahan akan musnah dan dianggap buruk.
Herbert Spncer seorang filosof Inggris, juga berpandangan perekembangan akhlak
juga mengalami evolusi. Ia mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara
sederhana dan mulai berangsur-angsur meningkat sedikit demi sedikit, dan berjalan
menuju ke arah ”cita-cita” yang dianggap sebagai tujuan. Maka perbuatan itu
dikatakan baik bila dekat dari cita-cita itu dan buruk bila jauh dari cita-cita itu.
Pendapat bahwa nilai moral harus ikut berkembang sesuai perkembangan sosial
dan budaya dapat menyesatkan orang, karena adanya pendapat (nilai) baru yang
menjadi panutan pada masa itu, kadang-kadang merupakan nilai yang dipaksakan
oleh para penguasa di masa itu, karenanya tidak merupakan nilai yang universal dan
hanya dipandang baik oleh seseorang ata sekelompok orang.4
2. Hak dan kewajiban (pengertian konsep taubat dan ikhlas)
a. Pengertian Taubat
Taubat adalah (al-taubah) suatu upaya yang dilakukan seorang sufi untuk
membersihkan dirinya dari segala macam dosa yang menjadi penyebab manusia
jauh dari Tuhan. Menurut al-Junaid, taubat adalah melupkan dosa. Al-Nuri merumus-
kan bahwa taubat adalah tidak mengingat sesuatu selain Allah. Sementara Dzu al-
Nun al-Mishri mengemukakan dua macam taubat, yaitu taubat orang awam, yakni
taubat dari segala macam dosa lahir dan batin serta taubat orang khawash, yaitu
taubat dari kelalaian atau kealfaan mengingat Allah.
Adapun kata taubat berasal dari bahasa arab taba, yatubu, taubatan, yang artinya
kembali. Menurut kaum sufi taubat yang dimaksud adalah memohon ampun atas
segala dosa dan kesalahn yang telah diperbuat selam ini, disertai dengan janji yang
sunggu-sunggu tidak akan meng-ulangi perbuatan dosa tersebut yang disertai dengan
melakukan amal ke-bajikan.5
Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan:
1) Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada ke-baikan
karena takut kepada perintah Allah.
4
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992), hlm.33
5
Iqbal Irham, Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. (Ciputat: Pustaka Al-Ihsan, 2012), h. 133
2) Berpindah dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi.
Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut dengan “inabah”.
3) Penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada
Allah, hal ini disebut “aubah”.6
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa taubat adalah amalan
seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang
kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan
oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangan-nya) dengan penyesalan
telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi, kondisi ini
dilaksana-kan berkesinambungan secara terus menerus sepanjang hayatnya, berjanji
tidak akan mengulanginya lagi dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Taubat merupakan hal yang wajib dilaksanakan dari setiap dosa-dosa, maka jika
maksiat (dosa) itu hanya antara ia dengan Allah, tidak ada hubungan dengan
manusia.7Allah berfirman dalam Al-qur’an:
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak menerus-kan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.” (QS. Ali-Imran: 135).
Ada beberapa persyaratan agar sah atau diterimanya taubat yang dilakukan
seseorang, yaitu :
1) Harus menghentikan perbuatan yang bernilai maksiat.
2) Harus merasa menyesal dengan penyesalan yang amat dalam atas perbuatan
dosa/kesalahan yang telah terlanjur dilakukannya.
6
Iqbal Irham, Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. (Ciputat: Pustaka Al-Ihsan, 2012), h. 58
7
Muhammad Fadholi. Keutamaan Budi Dalam Islam. (Surabaya : Al-Ikhlas, tt), h. 386,
3) Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kembali,
apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya
ditambah dengan syarat keempat, yaitu:
4) Menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas
kesalahannya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya, sehingga
kondisinya persis sama dengan situasi sebelum perbuatan itu dilakukan.
Terlepas dari mengenai tingkatan taubat, perlu diketahui bahwa taubat yang
diperintahkan kepada orang-orang muk-min adalah taubat an-nasuha, seperti yang
disebutkan dalam firman Allah yang artinya: “ Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-
murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada
hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama
dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka,
sambil mereka mengata-kan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya
kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu".
(QS. At-Tahrim ayat: 8 )
Taubatan Nasuha artinya taubat yang sebenar-benarnya dan pasti, yang mampu
menghapus dosa-dosa sebelum-nya, menguraikan kekusutan orang yang bertaubat,
menghimpun hatinya dan mengenyahkan kehinaan yang dilakukan-nya.
Muhammad bin Ka’ab al-Qurthuby berkata: “Taubatan nasuha menghimpun
empat perkara: memohon ampun dengan lisan, membebaskan diri dari dosa dengan
badan, tekat untuk kembali melakukannya lagi dengan sepenuh perasaan dan
menghindari teman-teman yang buruk.”8
Macam-macam Taubat:
1) Taubat yang diterima (Nasuha)
Taubatan Nasuha adalah kembali-nya seseorang dari perilaku dosa keperi-
laku yang baik yang dianjurkan Allah. Taubat nasuha adalah taubat yang betul-
betul dilakukan dengan serius atas dosa-dosa besar yang pernah dilakukan di
masa lalu. Pelaku taubat nasuha betul-betul menyesali dosa yang telah
8
Yusuf Qardawi, Taubat, Terjemahan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 36-37.
dilakukannya, tidak lagi ada keinginan untuk mengulangi apalagi berbuat lagi,
serta menggantinya dengan amal perbuatan yang baik dalma bentuk ibadah
kepada Allah dan amal kebaikan kepada sesama manusia. Dosa ada 2 macam:
dosa pada Allah saja dan dosa kepada Allah dan manusia (haqqul adami).
Siapa yang bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha dan
menghimpun semua syarat-syarat taubat sesuai dengan haknya, maka bias
dipastikan bahwa taubatnya diterima oleh Allah. Namun diantara ulama ada yang
mengatakan, di-terimanya taubat itu belum bisa dipasti-kan, tapi hanya sebatas
harapan. Orang yang bertaubat ada di bawah kehendak Allah sekalipun ia sudah
bertaubat. Mereka berhujjah dengan firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48).
Pendapat lain mengatakan bahwa, seseorang yang telah melakukan taubat
hakiki jika dia benar-benar telah berpaling dan kembali dari dosa-dosa menuju
kebajikan dan petunjuk. Apabila berpaling dari dosa dilakukan dengan
kesungguhan dan bukan semata-mata karena menyaksi-kan hukuman, dengan
kekuasaan dan rahmat-Nya Allah Swt akan menerima taubatnya. 9Hal ini ditilik
dari janji dan Sunnatullah yang berlaku pada makhluk-nya.
2) Taubat yang tidak diterima
Ada dua macam taubat yang tidak akan diterima, yaitu :
Taubat atas kesalahan yang dilakukan di dunia tatkala hukuman telah
mengenai dirinya. Sesungguhnya dalam keadaan ini tampak seolah-olah dia
bertaubat, padahal tidak demikian.
9
Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak Rohani. Terjemahan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 50.
Taubat yang dilakukan seorang hamba di akhirat kelak. Ketika seorang
hamba telah sampai ke alam akhirat, maka taubat dan penyesalannya tidak
ber-guna lagi. Taubat itu tidak diterima lagi bukan hanya karena ketika itu
hukuman balasan telah tampak jelas di hadapannya, akan tetapi karena di
alam akhirat amal perbuatan dan aktivitas menuju kesempurnaan sudah
tidak mempunyai arti.10
Yusuf Al-Qardhawi menyebutkan dosa-dosa yang meminta taubat adalah
sebagai berikut:
a) Dosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan.
Kedurhakaan yang pertama ke-hadapan Allah adalah meninggalkan apa
yang diperintahkan. Ini merupa-kan kedurhakaan iblis. Sebagaimana di
dalam surah Al-Baqarah ayat 34, Kedurhakaan yang kedua adalah
mengerjakan apa yang dilarang Allah swt, yaitu merupakan kedurhakaan
Adam. Dan pada surah Al-Baqarah ayat 35, bahwa Adam dikalahkan oleh
kelemahannya sebagai manusia, se-hingga diapun lalai dan tekadnya
menjadi lemah karena mendapat bujukan iblis.
b) Dosa anggota tubuh dan dosa hati
Banyak orang yang tidak tahu macam-macam kedurhakaan dan dosa
selain dari apa yang ditangkap indra-nya atau yang berkaitan dengan ang-
gota tubuh zhahir, seperti kedur-hakaan yang lahir dari tangan, kaki, mata,
telinga, lidah hidung dan lain-lainnya yang berhubungan dengan syahwat
perut, kemaluan, birahi dan naluri keduniaan yang ada pada diri manusia.
Kedurhakaan mata adalah memandang apa yang diharamkan Allah.
Kedurhakaan telinga adalah mendengar apa yang diharamkan oleh Allah,
seperti kata-kata yang menyim-pang yang diucapkan lisan. Kedurhaka-an
lisan adalah mengucapkan per-kataan yang diharamkan oleh Allah, yang
menurut Imam al-Ghazali ada dua puluh ma cam, seperti, dusta, ghibah, adu
domba, olok-olok, sumpah palsu, janji dusta, kata-kata batil, omong kosong,
tuduhan terhadap wanita-wanita muslimah yang lalai, ratap tangis, kutukan,
caci maki dan sebagainya.
10
Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak Rohani. Terjemahan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 51.
c) Yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba.
Cukup banyak contoh dosa, kedurhakaan dan pelanggaran terhadap hak-
hak Allah, seperti meninggalkan sebagian perintah, mengerjakan sebagian
yang dilarang, seperti minum khamar, mendengarkan hal-hal yang tidak
pantas, menyiksa binatang, menyiksa diri sendiri, mem-boroskan harta dan
sebagainya.11
Sedangkan dosa yang berkaitan dengan hak hamba, terutama hak material,
maka taubat darinya, tetapi harus mengembalikan hak itu kepada pemilik-
nya atau meminta pembebasan darinya atau minta maaf dan memohon pem-
bebasan dari pemenuhan hak karena Allah semata. Jika tidak hak itu sama
dengan hutang yang harus dilunasinya, hingga kedua belah pihak harus
membuat per-hitungan tersendiri pada hari kiamat. Jika kebaikannya tidak
mencukupi, maka keburukan-keburukan orang yang me-miliki hak itu
dialihkan kepadanya, sampai akhirnya hak itu terpenuhi.
b. Pengertian Ikhlas
Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: خلص خخلصاصوخالخااصوyang
artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih.9 Ikhlas adalah suci dalam niat, bersih
batin dalam beramal, tidak berpurapura, lurus hati dalam bertindak, jauh dari riya‟
dan kemegahan dalam berlaku berbuat, mengharapkan ridha Allah semata-mata.10
Ikhlas merupakan amalan hati yang paling utama dan paling tinggi dan paling pokok,
Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak dahulu kala. Menurut
Erbe Sentanu “Ikhlas merupakan Defaul Factory Setting manu-sia, yakni manusia
sudah dilahirkan dengan fitrah yang murni dari Ilahi, hanya saja manusia itu
sendirilah yang senang mendiskonnya sehingga kesempurnaan-nya menjadi
berkurang, ini akibat ber-bagai pengala-man hidup dan ketidak tepatan dalam berfikir
atau berprasangka, sehingga hidupnya pun menjadi penuh kesulitan.”12
Ikhlas yaitu suatu sikap yang dilaku-kan dalam melaksanakan perintah Allah
dengan pasrah tanpa mengharapkan se-suatu, kecuali keridhaan Allah. Ikhlas adalah
menyaring sesuatu sampai tidak lagi ter-campuri dengan yang lainnya. Kalimat
11
Yusuf Qardawi, Taubat, Terjemahan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 51.
12
Erbe Sentanu. Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), h.
33.
ikhlas adalah kalimat tauhid yaitu la ila ha illallah. Surat ikhlas adalah surat qul
huwallahu ahad, yaitu surat tauhid. Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui
bahwa makna ikhlas secara bahasa adalah suci (al-safa’), bersih (al- naqi), dan
tauhid. Pada ajaran sufi keikhlasan adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah sama ada dari sudut niat maupun tindakan. 13 Jadi ikhlas merupakan
sesuatu hal yang bersifat batiniyah dan teruji kemurnian-nya dengan amalan saleh, ia
merupakan perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan
adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu
adalah rahasia yaitu keikhlasan.14
c. Komponen-komponen ikhlas
Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sebagai
penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas dan sekaligus sebagai
quality control bagi keikhlasan itu sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Tawakal
Tawakal ( ) تص@@كصbahasa arab tawakkul dari kata wakala, artinya
menyerah kepada-Nya. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri
sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu
pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Tawakal adalah suatu sikap
mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada
Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang
menciptakan segala-galanya, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta
ini, keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala
persoalannya kepada Allah, hatinya tenang dan ten-teram serta tidak ada rasa
curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.15
Tawakal tidak didapati kecuali se-sudah mengimani empat hal yang
merupakan rukun-rukun tawakal, yaitu:
13
M. Khatib Quzwain. Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-
Palimbani. Terjemahan. (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1985), h. 16
14
M. Khatib Quzwain. Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-
Palimbani. Terjemahan. (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1985), h. 19
15
Labib, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Me-mahami Ajaran Thariqot dan Tasawuf. (Surabaya: Bintang Usaha
Jaya, 1999), h. 55.
a. Beriman bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang dibutuhkan
oleh si muwakil.
b. Beriman bahwa Allah Maha Kuasa dalam memenuhi kebutuhan
muwakil.
c. Beriman bahwa Allah tidak kikir.
d. Beriman bahwa Allah memiliki cinta dan rahmat kepada muwakil.16
Sebagai tanda tawakal kita kepada Allah, kita yakin bahwa segala sesuatu
yang datang pada diri kita, adalah yang terbaik bagi kita, tiada keraguan sedikit
pun di dalam hati, apabila mempunyai perasaan untuk menghindarinya, segala
sesuatu yang menimpa kita, meskipun hal itu terasa pahit dan pedih bagi kita,
kalau hal itu datang dari-Nya, tentulah hal itu yang terbaik bagi kita, inilah
bentuk tawakal sesungguhnya.17 Barang siapa bertawakal kepada Allah maka
Allah akan mencukupinya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga-
duga. Allah Maha Kuasa untuk mengirimkan bantuan kepada hamba-hamba-
Nya dengan ber-bagai cara, ter-masuk cara yang bagi manusia tidak masuk
akal Allah adalah satu-satunya tempat mengadu saat kita susah. Allah
senantiasa mendengar pengaduan hamba-hamba-Nya. Dalam banyak hal,
peristiwa-peristiwa di alam ini masih dalam koridor sunnatulah, artinya masih
dapat diurai sebab musababnya, hal ini mengajarkan kepada kita agar kita
kreatif dan inovatif dalam kehidupan ini.
2. Sabar
Sabar ( ) اصصصصmerupakan bentuk pengendalian diri atau kemampuan
meng-hadapi rintangan, kesulitan menerima musibah dengan ikhlas dan dapat
me-nahan marah, titik berat nurani (hati). Sabar adalah pilar kebahagiaan
seorang hamba, dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari
kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan.18
Sikap sabar adalah sikap yang paling berat diantara sekian banyak sikap
terpuji, sebab hal ini adalah urusan yang paling sulit meneapkannya dalam
16
Imam Khomeini, Insan Ilahiah; Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan: Puncak
Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi. Terjemahan, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2014), h. 210.
17
Supriyanto. Tawakal Bukan Pasrah. (Jakarta: Qultum Media, 2010), h. 98.
18
Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah, Al-Fawa‟id. Terjemahan. (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998), h. 58
kehidupan sehari-hari. Tidak jarang orang bisa mengungkapkan kata sabar
dengan gamblang namun pada giliran dia diuji dengan sesuatu yang harus
membuat ia sabar ternyata ia tidak kuat untuk bersabar menghadapi cobaan
tersebut. Misalnya seorang suami mendapatkan seorang isteri yang sangat
meyebalkan permintaannya banyak yang harus di-penuhi, sementara kewajiban
yang harus ia laksanakan selalu diabaikannya, bila kondisi ini berlangsung
terus menerus maka pasangannnya pasti sulit sekali ber-sabar menghadapinya,
sehingga pan-taslah Allah menjanjikan pahala yang tidak terbatas kepadaorang
yang sabar dalam menghadapi cobaan hidup yang dialami-nya.
3. Syukur
Kata Syukur ( ) شصوصdiambil dari kata syakara, syukuran, yang berarti
berterima kasih kepada-Nya. Menurut Kamus Arab-Indonesia, kata syukur
diambil dari kata syakara, yaskuru, syukran yang berarti mensyukuri-Nya,
memuji-Nya.19 Berdasar-kan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
syukur menurut istilah adalah bersyukur dan berterima kasih kepada Allah swt,
lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepada-nya dimana rasa
senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan, ber-terima kasih
kepada Allah swt. tanpa batas dengan sungguh-sungguh atas segala nikmat dan
karunianya dengan ikhlas serta mentaati apa yang diperintahkannya. Ia selalu
melantuntak zikrullah atas semua karunia yang didapatnya dengan ungkapan
alhamdulillah, apapun yang dia peroleh ia merasa bahwa itu semua adalah
anugerah Ilahi yang diberikan kepadanya, bukan karena upaya yang ia lakukan
melainkan semata-mata karena kasih sayang Allah kepadanya.
4. Zuhud
Zuhud ( ) زهصصadalah meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan
berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik daripadanya,
karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia karena
mengigihkan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud. Pengertian
zuhud ini ada tiga macam, yaitu: (a) Meninggalkan sesuatu karena
mengigihkan sesuatu yang lebih baik daripadanya, (b) Meninggalkan
19
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1972), h. 21.
keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan (c)
Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya.
5. Wara’
Wara‟ ( ) ال عdalam tradisi sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang
tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat), hal ini berlaku pada segala
hal atau aktivitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun
perilaku, seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk,
berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain. Di sam-ping meninggalkan segala
sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi wara’ juga berarti
meninggalkan segala halal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun
perilaku, lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat
atau tidak jelas manfaatnya disebut wara’, dalam dunia sufi. Wara’ berarti
meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak
berarti, dan apapun yang berlebihan.20 orang yang mempunyai sifat ini tidak
pernah melakukan hal-hal yang sia-sia atau tidak bermanfaat, baik bagi dirinya
maupun bagi orang lain, dia tidak mau membuang-buang waktunya percuma,
tetapi ia selalu memaksimalkan pemanfaatan waktu dan mengefisienkannya,
sehingga waktu itu benar-benar berharga baginya dalam setiap detiknya.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbuatan manusia selalu terkait dengan nilai atau norma. Perbuatan itu dapat
dinilai baik atau buruk. Namun demikian, baik buruknya perbuatan itu bukan tergantung
dari perbuatan itu sendiri, melainkan suatu penilaian yang sematkan oleh manusia kepada
sebuah perbuatan itu. Karena itu, predikat baik buruknya perbuatan sifatnya relatif, tidak
mutlak. Hal itu disebabkan adanya perbedaan tolok ukur atau indikator yang digunakan
untuk penilaian tersebut. Perbedaan tolak ukur disebabkan oleh adanya perbedaan latar
belakang konteks pemikiran yang bersumber dari perbedaan-perbedaan kepercayaan,
agama, ideologis, tradisi, budaya, lingkungan, dan lainnya. Dalam Islam, baik buruk tidak
ditentukan oleh akal atau pertimbangan lain, tetapi berdasarkan apa yang ditetapkan
Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Umat
Islam wajib terikat kepada kedua sumber tersebut dalam memberi penialaian suatu
perbuatan dikatan baik atau buruk.
Taubat dan ikhlas adalah dua serangkai yang saling isi mengisi, sebab taubat
dilakukan tanpa keikhlasan maka akan sia-sia, ikhlas dan tulus adalah sikap yang
dilakukan tanpa terbebani dengan apapun, sehingga sikap dan perilaku orang ikhlas
itu berjalan dengan apa adanya tidak harus ada syarat tertentu baru terlaksananya
sesuatu kegiatan, melain-kan mengalir begitu saja seperti air me-nuju tempat
yanglebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : Rajawali Pers, 1992)
Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku,(Jakarta : Bina Aksara, 1982)
Iqbal Irham, Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf. (Ciputat: Pustaka Al-Ihsan,
2012)
Muhammad Fadholi. Keutamaan Budi Dalam Islam. (Surabaya : Al-Ikhlas, tt)
Yusuf Qardawi, Taubat, Terjemahan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998)
Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak Rohani. Terjemahan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
Erbe Sentanu. Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2008)
M. Khatib Quzwain. Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul
Samad Al-Palimbani. Terjemahan. (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1985)
Labib, Rahasia Kehidupan Orang Sufi, Me-mahami Ajaran Thariqot dan Tasawuf. (Surabaya:
Bintang Usaha Jaya, 1999)
Imam Khomeini, Insan Ilahiah; Menjadi Manusia Sempurna dengan Sifat-sifat Ketuhanan:
Puncak Penyingkapan Hijab-hijab Duniawi. Terjemahan, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2014).
Supriyanto. Tawakal Bukan Pasrah. (Jakarta: Qultum Media, 2010)
Ibnu Qayyim Al-Zaujiyyah, Al-Fawa‟id. Terjemahan. (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1998)
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1972)