Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

MATA KULIAH TASAWUF

TENTANG

UKURAN BAIK DAN BURUK BERDASARKAN AJARAN ISLAM

OLEH
SITI ZAINAB
2020120007

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )


YAPATA AL-JAWAMI BANDUNG

2020
Ukuran Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam
Dapat dipastikan, bahwa sampai kapan pun tidak dicapai kebulatan pendapat tentang apa
sebenarnya pengertian baik dan buruk itu, sebab seperti dikemukakan di atas perbedaan kedua
pengertian tersebut sangat relatif dan elastis, bahkan yang baik menurut pandangan seseorang bisa
jadi buruk menurut pandangan orang lain. Sebaliknya buruk menurut pandangan seseorang bisa
jadi baik menurut pandangan orang lain. Jelasnya, baik dan buruk itu sifatnya individual akan
kembali kepada orang yang menilainya, kesimpulan ini dikemukakan disebabkan baik dan buruk
itu terikat pada ruang dan waktu, sehingga dia tidak berlaku secara universal. Dalam hal ini timbul
suatu pertanyaan; Dengan apakah suatu perbuatan itu dapat dinilai baik atau buruk? Untuk
menjawab pertanyaan ini dapat dikemukakan dari berbagai sudut pandang, antara lain :

• Menurut Ajaran Islam


• Menurut Adat Kebiasaan
• Menurut Kebahagiaan (Hedonisme)
• Menurut Aliran Hedonisme Individualistis.
• Menurut Kebahagiaan Rasional (Rasionalistik Hedonism).
• Menurut Kebahagiaan Universal (Universalistic Hedonism).
• Menurut Bisikan Hati (anstuisi)
• Menurut Evolusi
• Menurut Utilitarisme

Menurut Ajaran Islam


Standar baik dan buruk menurut ajaran dienul Islam berbeda dengan ukuran-ukuran lainnya,
untuk melihat apakah sesuatu perbuatan itu apakah baik atau buruk dapat dipegangi sebuah
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang mengemukakan sebagai berikut:

“sesungguhnya sesuatu perilaku/perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan


perilaku/perbuatan itu dinilai berdasarkan niatnya,’’

Berdasarkan Hadis di atas dapat dikemukakan bahwa untuk menilai apakah sesuatu
perbuatan itu baik bukanlah tergantung kepada akibat/hasil perbuatan, akan tetapi
dipulangkan/berdasarkan niat dari orang yang melakukan perbuatan tersebut. Selain
disandarkan kepada niat, untuk menilai apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, juga
harus diperhatikan kriteria “bagaimana cara melakukan perbuatan itu”. Sebab, andai kata pun
niat seseorang melakukan perbuatan itu baik, akan tetapi cara melaksanakan perbuatan itu
salah, maka perbuatan itu tetap juga digolongkan kepada buruk, karena salah dalam
mengaplikasikan niat baik tersebut. Penggunaan kriteria “cara melakukan perbuatan” itu dapat
dirujuk kepada ketentuan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 263 yang artinya:

“Perkataan yangbaik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu (baik berupa perkataan maupun perilaku) yang menyakitkan perasaan hati si
penerima”.

Dari atas dapatlah disimpulkan, bahwa untuk mengukur apakah sesuatu itu dikategorikan
kepada perbuatan baik atau perbuatan buruk adalah didasarkan kepada:

1. Niat, yaitu sesuatu yang melatar belakangi (mendorong) lahirnyasesuatu perbuatan yang
sering juga diistilahkan dengan kehendak.
2. Dalam hal merealisasi kehendak tersebut harus dilaksanakan dengan cara yang baik.

Sebagai alat ukur untuk menilai apakah niat dan cara melaksanakan niat tersebut baik atau
tidak, digunakanlah ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi
Muhammad SAW, hal ini sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya berbunyi
sebagai berikut: “Aku (Muhammad SAW) tinggalkan untuk kamu sebagai pusaka ada dua
perkara, tidaklah kamu akan tersesat selamanya, andainya kamu tetap bertegang teguh
kepada keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah SAW) ”.

Menurut Adat Kebiasaan

Setiap suku atau bangsa di dunia mempunyai adat diwariskan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Barangsiapa patuh dan taat kepada adat istiadat tersebut maka orang yang
bersangkutan dapat dipandang baik, dan sebaliknya bagi siapa yang melanggar adat istiadat
tersebut, maka yang bersangkutan dipandang telah berbuat buruk. Jadi dapatlah dikatakan
bahwa ukuran baik dan buruk itu tergantung kepada kesetiaan dan ketaatan seseorang (oya)
terhadap ketentuan adat istiadat. Namun demikian dalam lapangan hukum hal ini tidaklah
dapat diperpegangi sepenuhnya, sebab banyak di antara ketentuan-ketentuan. Hukum adat
(yang berasal dari adat istiadat) perintah dan larangannya itu irasional (tidak dapat diterima
oleh akal sehat).
Menurut Kebahagiaan (Hedonisme)
Yang menjadi ukuran baik dan buruk menurut paham ini adalah :
“Apakah tingkah laku dan perbuatan tersebut melahirkan kebahagiaan dan
kenikmatan/kelezatan”. Timbul persoalan, apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan itu
sifatnya individual atau universal? Untuk menjawab persoalan ini dapat dilihat dari tiga sudut
pandang .
Menurut Aliran Hedonisme Individualistis.
Aliran ini melihat kebahagiaan yang dimaksudkan di sini adalah kebahagiaan yang
bersifat individualis (egoistik hedonism) bahwa manusia itu hendaknya harus selalu mencari
kebahagiaan diri sepuas-puasnya, dan mengorientasikan seluruh sikap dan perilakunya untuk
mencapai kebahagiaan itu. Andainya seseorang bimbang untuk memastikan suatu pilihan
dalam melakukan sesuatu perbuatan, maka hendaklah ia dalam mengambil keputusan
mendasarkannya kepada “perbuatan manakah yang lebih menimbulkan kenikmatan baginya”.
Aliran ini berpendapat, jika suatu keputusan baik bagi pribadinya, maka disebutlah baik, dan
sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya, maka itulah yang buruk.

Menurut Kebahagiaan Rasional (Rasionalistik Hedonism).


Aliran ini berpendapat, bahwa kebahagiaan atau kelezatan individu itu haruslah
berdasarkan pertimbangan yang sehat.

Menurut Kebahagiaan Universal (Universalistic Hedonism).


Menurut orang yang menganut paham ini bahwa yang menjadi tolok ukur apakah sesuatu
perbuatan itu baik dan buruk, adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan
kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk. Yang menjadi patokan di sini
bukanlah kebahagiaan diri sendiri (individual) akan tetapi kebahagiaan setiap orang
(universal).

Menurut Bisikan Hati (anstuisi)


Yang disebut dengan bisikan hati (Instuisi) adalah kekuatan batin yang dapat
mengidentifikasi apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat
akibat yang ditimbulkan perbuatan itu. Pada dasarnya terlihat bahwa aliran ini merupakan
bantahan terhadap aliran hedonism (menilai dasar akibat yang ditimbulkan perbuatan
kebahagiaan), dan yang menjadi tujuan hidup manusia menurut aliran ini bukanlah kelezatan
atau kenikmatan akan tetapi keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan
sebagai kebaikan budi pekerti”.
Menurut Evolusi
Paham ini berpendapat bahwa segala sesuatunya yang ada di alam ini selalu (secara
berangsur-angsur) mengalami perubahan, yaitu berkembang menuju ke arah kesempurnaan.
Filsuf Herbert Spencer (1820-190ay salah seorang ahli filsuf Inggris mengemukakan bahwa
perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian dengan berlakunya (evolusi) akan
menuju ke arah cita-cita, dan cita-cita inilah yang dianggap sebagai tujuan. Yang menjadi
pokok utama cita-cita manusia adalah untuk meraih kesenangan dan kebahagiaan”, sedangkan
kebahagiaan itu akan selalu berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi sosial, dan karena
itulah tidak ada standar baku yang dapat dijadikan untuk menilai apakah sesuatu perbuatan itu
baik atau buruk, sebab kriteria kesenangan dan kebahagiaan itu pun akan berkembang
mengikuti perkembangan masyarakat. Darwin (809-1882) seorang pakar yang pernah
mengajukan teori evolusi ini, dalam bukunya The Origin of Species mengemukakan ada
beberapa patokan di dalam terjadinya suatu evolusi, yaitu:

1. Adanya seleksi alam (selection of nature): yaitu alam selalu mengadakan penyeleksian
terhadap segala sesuatu yang berwujud, yaitu mana yang tetap bertahan Chidup) dan
mana yang akan musnah (mati).
2. Adanya perjuangan hidup (streggle for life): yaitu merupakan usaha untuk
memperjuangkan hidup, dan berupaya mengenyahkan segala tantangan yang
menghadang.
3. Kekal bagi yang lebih pantas (survival for the fittest. Dan selanjutnya yang berhak
untuk hidup adalah bagi yang telah lolos dari perjuangan hidup.
Alexander mengadopsi teori Darwin ini ke dalam lapangan moral, yang mana beliau
mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi dengan nilai yang lainnya,
bahkan dengan segala yang ada di alam ini, dan nilai moral yang bertahanlah (tetap) yang
dikatakan dengan baik, dan nilai-nilai yang tidak bertahan (kalah dengan perjuangan antar
nilai) dipandang sebagai buruk.
Menurut Utilitarisme
Utilitis dapat diartikan sebagai hal yang berguna/bermanfaat. Dalam aliran atau paham ini
ukuran baik atau buruk didasarkan kepada “apakah perbuatan tersebut berguna atau
bermanfaat. Apabila perbuatan tersebut bermanfaat atau berguna, maka perbuatan tersebutlah
yang dipandang sebagai perbuatan baik. Sebaliknya apabila perbuatan tersebut tidak
bermanfaat atau tidak berguna maka perbuatan tersebut dipandang sebagai perbuatan yang
buruk. Penganut paham ini yang terbesar adalah Stuarmill (806-1973) berkebangsaan Inggris,
dia menegaskan bahwa yang terbaik adalah “The desire to be in unity with our fellowmen”,
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “Keinginan untuk bersatu dengan sesame manusia”.

Referensi :

Dian Dame Tinambunan,Filsafat pendidikan . Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


Lubis, Suhrawardi. (2012). Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai