Anda di halaman 1dari 14

makalah baik dan buruk ahlak tasawuf

Rabu, 14 Desember 2016

makalah baik dan buruk ahlak tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perbuatan manusia ada yang baik dan ada yang tidak baik atau buruk. Baik dan
buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Kadang-kadang di suatu tempat, perbuatan
itu dianggap salah atau buruk. Hati manusia memiliki perasaan dan dapat mengenal,
perbuatan itu baik atau buruk dan benar atau salah.
Penilaian terhadap suatu perbuatan adalah relatif, hal ini disebabkan adanya
perbedaan tolok ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut. Perbuatan tolok
ukur tersebut disebabkan karena adanya perbedaan agama, kepercayaan, cara
berfikir, ideologi, lingkungan hidup, dan sebagainya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan
insting. Hal ini berfungsi bagi manusia untuk dapat membedakan mana yang baik
dan buruk, karena pengaruh kondisi dan situasi lingkungan. Dan seandainya dalam
satu lingkungan pun belum tentu mempunyai kesamaan insting. Kemudian pada diri
manusia juga mempunyai ilham yang dapat mengenal nilai sesuatu itu baik atau
buruk. Di dalam Ilmu Akhlak kita berjumpa dengan istilah baik dan buruk. Apakah
kebiasaan-kebiasaan yang kita perbuat itu baik atau buruk.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari baik dan buruk?
2. Bagaimana menentukan ukuran untuk menilai baik dan buruk?
3. Apa saja aliran tentang baik dan buruk?
4. Apakah sifat dari baik dan buruk?
5. Bagaimana baik dan buruk menurut ajaran islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian baik dan buruk.
2. Untuk mengetahui penentuan ukuran baik dan buruk.
3. Untuk mengetahui sifat dari baik dan buruk.
4. Untuk mengetahui baik dan buruk menurut ajaran islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Baik Dan Buruk


Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab,
atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan
bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan.
Sementara itu, dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dikatakan bahwa
yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan,
kesenangan, persesuaian, dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga adalah
sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang
memberikan kepuasan. Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang sesuai dengan
keinginan. Dan yang disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan
rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa secara umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu
yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku
manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia.
Kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan
yang konkret. Sedangkan pengertian buruk merupakan sesuatu yang tidak berharga,
tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak
tercapainya tujuan adalah “buruk”.
Pengertian baik dan buruk juga ada yang subyektif dan relatif, baik bagi
seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik bagi seseorang apabila
hal ini sesuai dan berguna untuk tujuannya. Hal yang sama adalah mungkin buruk
bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan berguna bagi tujuannya. Masing-
masing orang mempunyai tujuannya yang berbeda-beda, bahkan ada yang
bertentangan, sehingga yang berharga untuk seseorang atau untuk sesuatu golongan
berbeda dengan yang berharga untuk orang atau golongan lainnya.
Akan tetapi secara obyektif, walaupun tujuan orang atau golongan di dunia ini
berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuanya mempunyai tujuan yang
sama, sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu, bukan saja manusia bahkan binatang
pun mempunyai tujuan. Dan tujuan akhir dari semuanya itu sama, yaitu bahwa
semuanya ingin bahagia. Tak ada seorangpun dan sesuatupun yang tidak ingin
bahagia..
B. Penentuan Ukur an Baik Dan Buruk
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan
yang digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut
Poedjawijatna berhubungan rapat dengan pandangan filsafat tentang manusia
(antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya.
Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang
digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu hedonisme, utilitarianisme, vitalisme,
sosialisme, religiousisme, dan humanisme. Sementara itu Asmaran As,
menyebutkannya sebanyak empat aliran filsafat, yaitu adat kebiasaan, hedonisme,
intuisi dan evolusi. Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan
dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang memengaruhi
penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu adat-istiadat, hedonisme,
utilitarianisme dan evolusi.
Beberapa kutipan tersebut di atas tampak saling melengkapi dan dapat
disimpulkan bahwa di antara aliran-aliran filsafat yang memengaruhi dalam
penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat-istiadat (sosialisme), hedonisme,
intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evolusisme.
Dengan merujuk kepada berbagai kutipan tersebut di atas beberapa aliran
filsafat yang memengaruhi pemikiran akhlak tersebut dapat dikemukakan secara
ringkas sebagai berikut:
1. Baik dan Buruk Menurut Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme)
Menurut aliran ini baik atau buruk ditentukan berdasarkan adat-istiadat
yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan
dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh
pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat-
istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.
Adat-istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum. Ahmad
Amin mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai adat-istiadat yang
tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya, mendidik anak-anaknya
sesuai dengan adat-istiadat itu, dan menanamkan perasaan kepada mereka,
bahwa adat-istiadat itu akan membawa kepada kesucian, sehingga apabila
seseorang menyalahi adat-istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari
golongan bangsanya.

Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan cara


berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap, bertandang dan sebagainya. Orang
yang mengikuti cara-cara yang demikian itulah yang dianggap orang yang baik,
dan orang yang menyalahinya adalah orang yang buruk.
Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat ini dalam
tinjauan filsafat dikenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya paham ini
bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka ada
yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik buruknya
tindakan manusia yang menjadi anggotanya. Lebih jelas lagi apa yang lazim
dianggap baik oleh masyarakat tertentu, itulah yang baik. Inilah yang kami sebut
ukuran sosialistis dalam etika.
2. Baik dan Buruk Menurut Aliran Hedonisme
Aliran hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua, karena berakar
pada pemikiran filsafat Yunani, khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270
SM), yang selanjutnya dikembangkan oleh Cyrenics dan belakangan
ditumbuhkembangkan oleh Freud.
Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah
perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan
nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan
mengandung kelezatan, melainkan ada pula yang mendatangkan kepedihan,
dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan,
maka yang dilakukan adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus sebagai
peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu
adalah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan
tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tak lain dan tak bukan
adalah berbuat untuk menghasilkan kelezatan dan kebahagiaan serta
keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri, tetapi nilainya
terletak pada kelezatan yang menyertainya. .
Pada tahap selanjutnya paham hedonisme ini ada yang bercorak individual
dan universal. Corak pertama berpendapat bahwa yang dipentingkan terlebih
dahulu adalah mencari sebesar-besarnya kelezatan dan kepuasan untuk diri
sendiri, dan segenap daya upaya harus diarahkan pada upaya mencari
kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak individualistik itu. Selanjutnya corak
kedua (Universalistis Hedonisme) memandang bahwa perbuatan yang baik itu
adalah yang mengutamakan mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk
sesama manusia, bahkan segala makhluk yang berperasaan. Karena kesenangan
yang dikehendaki oleh pengikut paham ini bukan kenikmatan bagi orang per
orang saja, tetapi untuk semua orang, maka bagi setiap yang melakukan
perbuatan perlu mempertimbangkan jangan sampai berat sebelah kepada
dirinya, tetapi sedapat mungkin ia harus menjadikan sama antara kenikmatan
yang dirasakan dirinya dan dirasakan orang lain.
Hedonisme model pertama yang individualistik lebih banyak mewarnai
masyarakat barat yang bercorak liberal dan kapitalistik, sementara hedonisme
model kedua yang sosialistik banyak mewarnai masyarakat Eropa yang bercorak
komunis.
3. Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme (Humanisme)
Intuisi merupakan kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai
baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya. Kekuatan
batin atau disebut juga sebagai kata hati adalah potensi rohaniah yang secara
fitrah telah ada pada diri setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa pada
setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan
baik dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan batin ini terkadang berbeda
refleksinya, karena pengaruh masa dan lingkungannya, akan tetapi dasarnya ia
tetap sama dan berakar pada tubuh manusia. Apabila ia melihat sesuatu
perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai
perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. Oleh karena itu,
kebanyakan manusia sepakat mengenai keutamaan seperti benar, dermawan,
berani, dan mereka juga sepakat menilai buruk terhadap perbuatan yang salah,
kikir, dan pengecut.
Menurut paham ini perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai
dengan penilaian yang diberikan oleh hati nurani atau kekuatan batin yang ada
dalam dirinya. Dan sebaliknya perbuatan buruk adalah perbuatan yang
menurut hati nurani atau kekuatan batin dipandang buruk. Paham ini
selanjutnya dikenal dengan paham humanisme. Poedjawijatna mengatakan
bahwa menurut aliran ini yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia,
yaitu kemanusiaannya yang cenderung kepada kebaikan. Penentuan terhadap
baik-buruknya tindakan yang konkret adalah perbuatan yang sesuai dengan
kata hati orang yang bertindak. Dengan demikian ukuran baik-buruk suatu
perbuatan menurut paham ini adalah tindakan yang sesuai dengan derajat
manusia, dan tidak menentang atau mengurangi keputusan hati. Secara batin
setiap orang pasti tidak akan dapat membohongi kata hatinya. Jika suatu ketika
seseorang mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya, hal yang demikian
hanya dapat dilakukan atau diterima oleh ucapannya, tetapi kata hatinya tetap
tidak mengakui kebohongan itu.
Penentuan baik-buruk perbuatan melalui kata hati yang dibimbing oleh
ilham atau intuisi ini banyak dianut dan dikembangkan oleh para pemikir
akhlak dari kalangan Islam. Murthada Muthahhari misalnya dapat dimasukkan
ke dalam kelompok ini. Dalam bukunya berjudul, falsafah Akhlak ia mengatakan
bahwa etika adalah tidak emosionalistik seperti dalam falsafah etika Hindu dan
Kristen. Juga bukan rasional dan berdasarkan kehendak sebagaimana yang
dikatakan filosof. Tetapi etika adalah ilham-ilham intuisi. Menurut kekuatan itu
tidak berupa emosi dan rasio. Kekuatan itulah yang menginstruksikan pada
manusia agar melakukan berbagai kewajiban dalam hidupnya. Kekuatan itu
terletak dalam diri dan batin manusia. Ia mengilhami manusia untuk melakukan
suatu perkara ini dan meninggalkan perkara itu. Kekuatan itu tak ada kaitannya
dengan akal. Akal adalah hasil perolehan (iktisaby), sedangkan intuisi adalah
fitri dan intrinsik pada batin manusia. Semua manusia memilikinya secara
primordial. Intuisi menjadi ilham manusia pada banyak hal, dan tindakan
akhlaki selalu diilhami oleh intuisi.
4. Baik dan Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik
adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut
individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial.
Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan
perhatian di masa sekarang. Dalam abad sekarang ini kemajuan di bidang teknik
cukup meningkat, dan kegunaanlah yang menentukan segala-galanya. Namun
demikian, paham ini terkadang cenderung ekstrem dan melihat kegunaan hanya
dari sudut pandang materialistik. Orang tua yang sudah jompo misalnya
semakin kurang dihargai, karena secara material tidak ada lagi kegunaannya.
Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk dimintakan nasihat dan doanya
serta kerelaannya. Selain itu paham ini juga dapat menggunakan apa saja yang
dianggap ada gunanya. Untuk memperjuangkan kepentingan politik misalnya
tidak segan-segan menggunakan fitnah, khianat, bohong, tipu muslihat,
kekerasan, paksaan, dan lain sebagainya, sepanjang semua yang disebutkan itu
ada gunanya.
Namun demikian, kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya
berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bisa
diterima. Dan kegunaan bisa juga diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang
tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Nabi misalnya menilai bahwa
orang yang baik adalah orang yang memberi manfaat pada yang lainnya.
5. Baik dan Buruk Menurut Paham Vitalisme
Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam
hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang
lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap
binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
Paham vitalisme ini pernah dipraktikkan para penguasa di zaman
feodalisme terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan
kekuasaan yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup feodalisme,
kolonialisme, diktator dan tiranik. Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang
dan status sosial untuk dihormati. Ucapan, perbuatan dan ketetapan yang
dikeluarkannya menjadi pegangan bagi masyarakat. Hal ini bisa berlaku,
mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh selalu mengharapkan
pertolongan dan bantuannya.
6. Baik dan Buruk Menurut Paham Religiosisme
Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai
dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang
tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan teologis,
yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, karena tidak
mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan, jika yang
bersangkutan tidak beriman kepada-Nya. Menurut Poedjawijatna aliran ini
dianggap yang paling baik dalam praktik. Namun, terdapat pula keberatan
terhadap aliran ini, yaitu karena ketidakumuman dari ukuran baik dan buruk
yang digunakannya.
Diketahui bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam agama, dan
masing-masing agama menentukan baik buruk menurut ukurannya masing-
masing. Agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam, misalnya, masing-
masing memiliki pandangan dan tolok ukur tentang baik dan buruk yang satu
dan lainnya berbeda-beda. Poedjawijatna mengatakan bahwa pedoman itu tidak
sama, malahan di sana-sini tampak bertentangan: misalnya poligami, talak dan
rujuk, aturan makan dan minum, hubungan suami-istri dan sebagainya.
Di atas ialah berbagai aliran dalam Etika dan itu belumlah semuanya.
Untuk menyatakan dengan jelas, bahwa soal baik-buruknya dalam tingkah laku
manusia itu telah lama menjadi bahan renungan para ahli pikir dan bahwa
penyelesaiannya berhubungan erat dengan pandangan tentang manusia. Betapa
tidak, sebab yang menjadi objek penelaahan itu tidak lain daripada tindakan
manusia. Syarat yang dituntut untuk aliran di atas yaitu umum dan objektif.
7. Baik dan Buruk Menurut Paham Evolusi (Evolution)
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang
ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju
kesempurnaan. Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda
yang tampak seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga
berlaku pada benda yang tidak dapat dilihat atau diraba oleh indera seperti
akhlak dan moral.
Herbert Spencer (1820-1903) salah seorang ahli filsafat Inggris yang
berpendapat evolusi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara
sederhana, kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah
cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-
cita itu dan buruk bila jauh daripadanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup
ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.
Dalam sejarah paham evolusi, Darwin (1809-1882) adalah seorang ahli
pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan
penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species. Dikatakan
bahwa perkembangan alam ini di dasari oleh ketentuan-ketentuan berikut:
a. Ketentuan alam (Selection of Nature)
b. Perjuangan hidup (Struggle for life)
c. Kekal bagi yang lebih pantas (Survival for the fit test)
C. Sifat Dari Baik Dan Buruk
Sifat dan corak baik buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat
sebagaimana disebutkan di atas adalah sesuai dengan sifat dari filsafat itu sendiri,
yakni berubah, relatif nisbi, dan tidak universal. Dengan demikian sifat baik atau
buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan
nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang
dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya objektif, lokal, dan temporal.
Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.
Untuk itu perlu ada suatu ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada nilai-
nilai yang universal. Uraian tersebut diatas sebagian ada yang menunjukkan
keuniversalan, yaitu penentuan baik dan buruk yang didasarkan pada pandangan
intuisisme sebagaimana telah diuraikan diatas. Namun demikian, bagaimanapun
intuisi itu tetap saja tidak semutlak wahyu yang datang dari Allah SWT.

D. Baik Dan Buruk Menurut Ajar an Islam


Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT, Al-Qur’an
yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadist Nabi Muhammad SAW. Masalah
akhlak dan ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar
sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.
Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada
petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadist. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun hadist
dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang
mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik
misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah, dan al-birr.
Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib al-Asfahani adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang
baik. Al-hasanah selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama hasanah dari
segi akal, kedua dari segi hawa nafsu atau keinginan dan hasanah dari segi
pancaindera. Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah
misalnya keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan. Sedangkan yang
termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan.
Pemakaian kata al-hasanah yang demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat yang
berbunyi:

ْ
‫ﺑﺎﻟﺤﻜﻤ ِﺔ واﻟﻤﻮﻋﻈ ِﺔ اﻟﺤﺴ َﻨ ِﺔ‬ ‫ا ِﻟﻰ ﺳ ِﺒﻴﻞ ر “ﺑﻚ‬
‫ادع‬
“Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS
Al-Nahl [16]: 125).

‫ﻣ ْﻨ َﻬﺎ‬
‫ْﻴﺮ ﺧ‬ ‫َ‬
‫ﻓﻠ‬ ‫ﺑﺎﻟ ﺤ‬ ‫ﻣ‬
‫ﺴ ﻪ‬ ‫ﻦ‬
‫َﻨ‬
‫ِﺔ‬ ‫ﺟ‬
‫ﺎ‬
‫ء‬
“Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan, maka baginya kebaikan.” (QS Al-
Qashash [28]: 84).
Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu
yang memberikan kelezatan kepada pancaindra dan jiwa, seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal, dan sebagainya. Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini
misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:
ُ ْ )َ ْ
‫ْﻧﺰ ﻟ َﻨﺎ ﻋﻠ ْﻴﻜُ)ﻢ اﻟﻤﻦ واﻟﺴ ﻠﻮى ۖ ُﻛ) ﻠﻮا ﻣﻦ ﻃ “ﻴ َﺒﺎت ﻣﺎ‬
*
‫رزﻗ َﻨﺎﻛُ)ﻢ و ا‬
“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 57).
Selanjutnya kata al-khair digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh
seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang
bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang
berbunyi.

‫ﺎن اﻪﻠﻟ ﺷﺎﻛﺮ ﻋ‬, ‫وﻣﻦ ﺗﻄﻮع ﺧ ْﻴﺮا ﻓ‬


‫ِﻠﻴﻢ‬
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-
Baqarah [2]: 158).
Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama
sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. Dengan
demikian kata al-mahmudah lebih menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin
dan spiritual. Hal ini misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
َ َ
‫اوﻣﻦ اﻟﻠ ْﻴﻞ ﻓ َﺘ َﻬﺠﺪ ﺑ ِﻪ ﻧﺎﻓﻠﺔ ﻟﻚ ﻋﺴﻰ ان ﻳ ْﺒﻌ َﺜﻚ ر ﺑﻚ ﻣﻘﺎﻣﺎ ﻣﺤﻤﻮد‬
“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah
akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra’ [17]: 79).
Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan
dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Selanjutnya kata al-karimah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan
terpuji yang skalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik
pada kedua orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman:

‫ﺗ ُﻘﻞ ﻟ ُﻬﻤﺎ اف وﻻَ ﺗ ْﻨ َﻬ ْﺮﻫﻤﺎ وﻗﻞ ﻟ ُﻬﻤﺎ ﻗﻮﻻً َﻛﺮﻳﻤﺎ‬


‫ﻓﻼ‬
“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan
janganlah membentaknya dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia.” (QS Al-
Isra’ [17]: 23).
Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau
memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang digunakan
sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut
digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan
balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka yang dimaksud
adalah ketaatannya. Misalnya terlihat pada ayat yang berbunyi:

‫ﻮ ِم‬ ٰ َ
‫ﻦ اﻟ ِﺒ ”ﺮ ﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠ ِﻪ واﻟ‬ ْ
‫ﻗ َﺒ ﻞ وا ﻐﺮ‬ ُ‫ﻟَ ْﻴ اﻟ ِﺒ ”ﺮ ان ﺗﻮ ﻟﻮا وﺟﻮﻫﻜ‬
‫َﻴ‬ ‫آﻣﻦ‬ ‫اﻟﻤﺸﺮق) ﻟ ب ﻤ ﻟَﻜ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺲ‬

‫و‬
‫واﻟ َﻴ‬ ‫ذوي اﻟ ُﻘ ْﺮ‬ َ َ
‫اﻵﺧﺮ وا ﻤ ﻼ ِﺋﻜَ ِﺔ واﻟﻨ ِﺒ “ﻴﻴﻦ ﻜ وآﺗﻰ اﻟ ﻤﺎ ﻋﻠ ِ ﻪ‬
‫َﺘﺎﻣﻰ‬ ‫َﺑﻰ‬ ‫ل ﻰ “ﺒ‬ ‫َﺘﺎب‬ ‫ﻟ‬
‫واﻟ‬
‫ﺣ‬
‫ﻗﺎم اﻟﺼ وآﺗﻰ اﻟﺰ ﻛَﺎ‬ *‫واﻟﺴﺎﺋ و ِﻓﻲ ﻗﺎا‬
‫واﻟﻤ ﺴﺎﻛﻴ وا اﻟﺴ ِﺒﻴﻞ‬
‫ﻼة‬ َ ‫ﻦ‬
ْ
‫ة‬ ” ‫اﻟﺮ بْ و‬ ‫ِﻠﻴﻦ‬ َ ‫ُ ﻦ ﺑ‬
‫واﻟﻤﻮﻓﻮن ﺑﻌ ْﻬﺪﻫﻢ اذا ﻋﺎﻫﺪوا ۖ واﻟﺼﺎﺑﺮﻳﻦ ﻓﻲ اﻟ َﺒﺎﺳﺎء واﻟﻀ ”ﺮاء وﺣﻴﻦ اﻟ‬
‫َﺒﺎس‬
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian,
akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah kebaikan orang yang beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.” (QS Al-Baqarah [2]: 177).
Kata al-birr dihubungkan dengan ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dan
merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa al-birr dekat artinya dengan
akhlak yang mulia, atau al-sbirr ini termasuk salah satu akhlak yang mulia. Berbagai
istilah yang mengacu kepada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam
pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa,
kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat serta akhlak yang mulia.

Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan tolok ukur
yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukkan untuk
mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas.
Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang
dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar
ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan ikhlas sangat penting. Allah berfirman:
َ ” ۟
‫اﻣ ُﺮو ا ا ﻻ ﻟ َﻴ ْﻌ ُﺒﺪوا ٱﻪﻠﻟ ﻣﺨ ِﻠﺼﻴﻦ ﻟﻪ ٱﻟﺪﻳﻦ ﺣ‬
‫َﻨﻔﺂء وﻣﺂ‬
“padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-
Bayyinah [98]: 5).
Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan buruk dalam Islam
tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi
lebih dari itu adalah niatnya. Hal yang dinyatakan oleh Ahmad Amin dengan
mengatakan bahwa hukum akhlak ialah memberi nilai suatu perbuatan bahwa ia
baik atau buruk menurut niatnya.
Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam
memerhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu.
Seseorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah,
maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Allah berfirman:

‫ﺣ‬ ‫وٱ ِﻨ‬ ‫اذ‬‫وﻣ ْﻐ ْ ﺮ ﺻﺪﻗ ﻳ ْﺘ َﺒ ُﻌ‬ ‫ﻣ ْﻌ‬ ‫ﻗﻮل‬


‫ِﻠﻴﻢ‬ ‫ﻪﻠﻟ ﻰ‬ ‫َﻬﺂ ى‬ ‫ٍﺔ‬ ‫ِﻔﺮة ﻴ ﻣﻦ‬ ‫ُﺮوف‬
‫ﻏ‬ ‫ﺧ‬
“perbuatan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya Lagi Maha
Penyantun.” (QS Al-Baqarah [2]: 263).
Dengan demikian, ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam etika dan
moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik
dan buruk menurut ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab,
atau good dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal
dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak
seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah standar,
kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak
menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela,
lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
masyarakat yang berlaku.
2. Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang
digunakan dalam menilai baik dan buruk adalah aliran adat-istiadat
(sosialisme), hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme,
religiousisme, dan evolusisme.
3. Sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut
menjadi relatif dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah.
Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya
objektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu
sifatnya relatif.
4. Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada
petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadist. Perbuatan yang dianggap baik dalam Islam
adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan
perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan Al-Sunnah itu.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca mengetahui Baik dan Buruk
dalam Pembelajaran Akhlak Tasawuf. Kami menyadari bahwa makalah yang disusun
ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik, saran, dan masukan
yang sifatnya membangun sangatlah kami harapkan untuk baiknya makalah ini
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

ad. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung: Karisma.


1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. Nata, Abidin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

semoga bermanfaat.
by: juple #kiw

di

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lihat versi web

Mengenai Saya
Unknown
Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai