Anda di halaman 1dari 12

FALSAFAH DAN HIKMAH JINAYAH

Ilham
10100120105/HKI C
Fakultas Syariah & Hukum Prodi Hukum Keluarga Islam
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Abstrak

Kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat sehingga
menimbulkan korban, yang pada akhirnya melahirkan reaksi sosial. Salah satu bentuk
reaksi sosial adalah adanya penal policy, yaitu strategi untuk menanggulangi kejahatan
dengan menggunakan sarana hukum pidana. Dalam penal policy inilah perlu dirumusaan
latar belakang atau alasan penggunaan pidana tersebut, atau yang biasa disebut dengan
perumusan tujuan pemidanaan, yang mempunyai fungsi untuk (1) menciptakan
sinkronisasi baik fisik maupun kultural; (2) fungsi kontrol,memberikan landasan filosofis,
dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan; (3) mengetahui tujuan akhir dari penggunaan
hukum pidana, dan (4) ditaatinya norma pidana. Tulisan ini memfokuskan pada
penelaahan/kajian “tujuan pemidanaan, dengan urutan pembahasan (1) pemaparan
berbagai teori tujuan pemidanaan, (2) tujuan pemidanaan dalam Hukum Pidana Nasional,
dan (3) tujuan pemidanaan dalam fikih jinayah.

Kata kunci: Falsafah Dan Hikmah Jinayah

Abstrac

Crime is a pattern of behavior that harms society, causing victims, which in turn creates
social reactions. One form of social reaction is the existence of a penal policy, namely a
strategy to deal with crime by using criminal law. It is in this penal policy that it is
necessary to formulate the background or reasons for using the punishment, or what is
commonly referred to as the formulation of the purpose of punishment, which has the
function of (1) creating synchronization both physically and culturally; (2) control
function, providing a philosophical foundation, rationality and motivation for punishment;
(3) knowing the ultimate goal of using criminal law, and (4) obeying criminal norms. This
paper focuses on the study/study of the "purpose of sentencing, in the order of discussion
(1) the presentation of various theories of sentencing purposes, (2) the objectives of
sentencing in the National Criminal Law, and (3) the objectives of sentencing in fiqh
jinayah.

Keywords: Philosophy and Jinayah Wisdom

A. Pendahuluan
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Secara kriminologi, kejahatan
merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat
korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat.
Reaksi ini baik berbentuk reaksi formal maupun reaksi informal.
Dalam reaksi yang formal akan menjadi bahan studi bagaimana bekerjanya hukum
pidana dalam masyarakat. Sedangkan dalam reaksi informal atau reaksi masyarakat umum
terhadap kejahatan adalah bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan
masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang
dipandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas, akan tetapi
undangundang belum mengaturnya. Berdasarkan studi ini bisa dihasilkan apa yang disebut
sebagai kriminalisasi, dekriminalisasi atau depenalisasi.
Krimininalisasi, dekriminalisasi atau depenalisasi merupakan upaya
penanggulangan masalah kejahatan dengan penal policy, atau dengan menggunakan sarana
hukum pidana. Penal policy tersebut merupakan salah satu strategi untuk menanggulangi
tindak pidana (kebijakan kriminal/criminal policy), selain kebijakan nonhukum pidana
(nonpenal policy). Perbedaanaya lebih pada bahwa pendekatan penal policy lebih bersifat
reaktif dan represif, sedangkan pendekatan nonpenal policy lebih bersifat antisipatif dan
preventif
Dasar penggunaan penal policy menurut Shagufta Begum, adalah “terdapat
beberapa faktor yang dapat merusak ketenangan masyarakat. Mereka terlihat seperti orang
waras, akan tetapi kadang-kadang mereka berperilaku sedemikian rupa yang menggangu
kedamaian masyarakat. Mereka ini harus ditangani dengan cara lain, berupa penjatuhan
pidana. Di sinilah akan terlihat fungsi hukum pidana menurut fikih jinayah, yaitu memiliki
fungsi strategis, berupa menjamin terwujudnya kemaslahatan manusia secara utuh. Apabila
hukum pidana tidak berfungsi secara maksimal, maka kehidupan manusia akan rusak
dengan cepat atau secara perlahan
Berkaitan dengan penal policy, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang
paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Sedangkan Herbert L. Packer
mengemukakan bahwa pengendalian perbuatan anti sosial dengan menggunakan pidana
pada seseorang yang bersalah merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi
hukum yang penting.1

B. Pengertian Jinayah
Fikih Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara
bahasa berasal dari “lafal faqiha, yafqahu fiqhan”, yang berarti mengerti, paham.
Pengertian fikih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul wahab Khallaf adalah
himpunan hukum-hukum syara’yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.
Adapun Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang
buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan menurut istilah jinayah yang dikemukakan
oleh Abdul Qadir Audah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’,
baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainnya. hukum pidana Islam sering
disebut dalam fikih dengan istilah jinayah atau jarimah. Pada dasarnya pengertian dari
istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut
terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti
perbuatan terlarang menurut syara’. Istilah yang sepadan dengan istilah jinayah adalah
jarimah yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau
ta’zir.
Berdasarkan uraian diatas dapat di jelaskan bahwa jinayah adalah semua perbuatan
yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang diharamkan atau

1
Nafi’ Mubarok, ‘Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Fiqh Jinayah’, Al-Qanun: Jurnal Pemikiran
Dan Pembaharuan Hukum Islam, 18.2 (2015), 296–323
<http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/qanun/article/view/233>.
dicegah oleh syara’ (hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai
konsenkuensi membahayakan agama jiwa, akal kehormatan dan harta benda.2

C. Sumber Hukum Jinayah


Syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual
saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan
manusia. Hukum Islam berasal dari Al Quran, sedangkan hukum di Indonesia berasal dari
Pancasila dan UUD 1945. Dalam hukum Islam, berzina dihukum rajam, sedangkan di
Indonesia berzina hukumannya adalah penjara, jadi dalam hukum Islam tidak mengenal
penjara, karena dalam penjara tidak ada penghapusan dosa sebagai ganti hukuman di
akhirat. Apabila di dunia orang yang bersalah telah dihukum sesuai syariat Islam, maka di
akhirat orang tersebut sudah tidak diproses lagi, karena telah diproses sesuai dengan
ketentuan yang ada dalam kitab-Nya, Al Qur'an

Di dalam Al- Quran surat Al- Maidah 5 :44

‫اليوم أحل لكم الطيبت وطعام الذين أوتوا الكتب ح ٌل لكم وطعامكم ح ٌل لهم والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من‬
‫الذين أوتو الكتب من قبلكم إذآ ٍن ومن يكفر ءاتيتموهن أجورهن محصنين غير مسحفين وال متخدى أخدا باإليمن فقد‬
5}‫ وهو فى األخرة من الخسرين‬،‫}حبط عمله‬

Artinya:“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hokum-hukum

2
B A B Ii, ‘Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hlm. 14’,
21–51.
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk oran-orang merugi”( Al
Maidah 5 :44).
Maksud ayat tersebut” barangsiapa yang memutuskan sesuatu tidak sesuai dengan
ketetapan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir. Demikian juga dalam
ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara
keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara
keseluruhan (kaffah).
Akan tetapi realita yang terjadi diNegara kita, KUHP dan KUHAP lebih tinggi
kedudukannya dari hukum yang telah di tetapkan Allah sendiri, salah satu hal yang kita
lihat sangat bertolak belakang sekali yaitu dalam hal zina, Dalam KUH Pidana
menganggap bahwa persetubuhan di luar perkawinan adalah zina, namun tidak semua
perbuatan zina dapat dihukum. Perbuatan zina yang memungkinkan untuk dihukum adalah
perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki maupun wanita yang telah menikah
sedangkan zina yang dilakukan laki-laki maupun wanita yang belum menikah tidak
termasuk dalam larangan tersebut. Pasal 284 ayat (1) ke , 1a dan b. Penuntutan pelaku zina
itu sendiri hanya dilakukan atas pengaduan dari salah satu pasangan yang terlibat dalam
kasus ini, atau mereka yang merasa tercemar akibat perbuatan tersebut. Oleh karena itu,
kalau mereka semua diam, tidak ada yang merasa dicemari atau tidak merasa dirugikan,
mereka dianggap melakukannya secara sukarela dan tentu tidak di hukum. Hukum positif
menganggap kasus perzinaan sebagai delik aduan, artinya hanya dilakukan penuntutan
manakala ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Pengaduan itupun masih bisa
ditarik selama belum disidangkan, dengan alasan untuk menjaga kesucian ikatan
perkawinan bagi orang yang telah menikah. Pendapat ini, kalau kita kaji dari pola fikir
manusia yang berakal sehat sangat bertolak belakang dengan kata hati, setiap orang tidak
menginginkan hal tersebut terjadi dalam kehidupannya.3
Corak Penalaran Filosofis dalam Hukum Islam Penalaran filosofis dalam hukum
Islam memiliki corak yang khas yangbertujuan menangkap nilai-nilai maslahat yang
terkandung dalam nas dengan mempertimbangkan realitas sosial yang berkembang dalam
masyarakat. Corak penalaran filosofis dalam Islam tumbuh pada masa awal lahirnya
hukum Islam kemudian mengalami perkembangan seiring perkembangan fikih. Corak

3
Iain Langsa, . ‘. Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam’, II.01, 74–94.
penalaran filosofis ini dibangun dari rasionalitas dengan tetap menjadikan nas sebagai
dasar dalam memahami maksud-maksud yang terkandung di dalamnya maupun makna lain
yang terdapat di balik nas tersebut. secara tegas dalam nas, baik Alquran maupun sunnah
serta masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan nas yang dalam istilah
Wahab Khallaf disebut ma la nassa fih. Mengacu kepada objek ijtihad tersebut, maka
terdapat dua corak penalaran filosofis dalam hukum Islam yang di dalamnya terdapat
metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan. Kedua corak penalaran filosofis tersebut
adalah corak penalaran ta’lili dan corak penalaran istislahi.4

D. Bentuk Bentuk Jarimah

Jarimah berasal dari bahasa Arab ‫ جريمــة‬yang berarti perbuatan dosa dan atau tindak
pidana. Dalam terminologi hukum Islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh menurut syara dan ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam
bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang
belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zir).
Jarimah menurut al mawardi adalah larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan
hukuman had dan ta’zir. Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya
dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Sedangkan hukum ta’zir adalah hukuman yang
tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukumam ta’zir
menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.
1. Jarimah hudud
Kata Hudud (berasal dari bahasa Arab) adalah jamak dari kata Had. Had secara harfiah
ada beberapa kemungkinan arti antara lain batasan atau definisi, siksaan, ketentuan,
atau hukum. Had dalam pembahasan Fiqh (hukum Islam) adalah ketentuan tentang
sanksi terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral; sedangkan menurut
syariat Islam, yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an, dan/ atau
kenyataan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Jarimah hudud adalah tindak
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih yang menjadikan pelakunya
dikenai sanksi had.

4
Achmad Musyahid Idrus, ‘Perkembangan Penalaran Filosofis Dalam Hukum Islam’, Syria Studies, 7.1 (2022), 37–
72 <http://repositori.uin-alauddin.ac.id/20632/1/BUKU PDF PENALARAN JADI.cetak.pdf>.
Jenis-jenis had yang terdapat dalam syariat Islam, yaitu rajam, jilid atau dera, potong
tangan, penjara/ kurungan seumur hidup, eksekusi bunuh, pengasingan/ deportasi, dan
salib. Adapun jarimah yang pelakunya diancam sanksi had, yaitu:
a. Zina (pelecehan seksual)
Dasar hukumnya, QS. An-Nur ayat 2:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
b. Qadzaf (tuduhan zina)
Dasar hukumnya, QS. An-Nur ayat 4:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

c. Sariqah (pencurian)
Dasar hukumnya, QS. Al-Maidah ayat 38:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
d. Harabah (penodongan, perampokan, teroris)
Dasar hukumnya, QS. Al-Maidah ayat 33:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik [Maksudnya
Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka
dipotong tangan kiri dan kaki kanan.], atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”
e. Bughah (pemberontakan atau subversi)
Dasar hukumnya, QS. Al-Maidah ayat 33 dan Al-Hujurat ayat 9:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. “(QS Al-Hujurat ayat 9)
f. Riddah/ murtad (beralih atau pindah agama)
Dasar hukumnya, QS. At-Taubah ayat 12:
“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu,
karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, agar supaya mereka berhenti.”

g. Khamar (minuman keras dan obat-obatan terlarang)


Dasar hukumnya, Hadits Nabi SAW:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. katanya: Sesungguhnya seorang lelaki yang
meminum arak telah dihadapkan kepada Nabi SAW kemudian baginda telah
memukulnya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali” (Shahih
Muslim)
2. Qishash – Diyat
Secara harfiah, qishash artinya memotong atau membelah. Qishash yang dimaksud
dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan setimpal yang dikenakan kepada pelaku
pidana sebagai sanksi atas perbuatannya. Jarimah Qisas, adalah jarimah yang
hukumannya sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah
pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan
terpotongnya atau terlukanya anggota badan. Ini adalah jarimah terhadap tubuh dan
jiwa manusia.
Lain halnya dengan diyat. Diyat berarti denda dalam bentuk benda atau harta
berdasarkan ketentuan yang harus dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban
sebagai sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya. Jarimah Diyat, adalah jarimah
yang hukumannya ganti rugi atas penderitaan yang dialami si korban atau keluarganya,
yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak disengaja yang mengakibatkan
terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
a. Dasar Hukum
1). Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan
cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang
sangat pedih.

2). Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 45:


“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
3. Tahzir
Jarimah ta’zir secara harfiah bermakna memuliakan atau menolong. Namun ta’zir
dalam pengertian istilah hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik yang
tidak mengharuskan pelakunya dikenai had dan tidak pula harus membayar kafarat atau
diyat. Tindak pidana yang menjadi objek pembahasan ta’zir adalah tindak pidana
ringan seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, pencurian yang nilainya
tidak sampai satu nisab harta, dan lain-lain.
Jarimah ta’zir, adalah jarimah yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-
Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi
macam hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan
hukuman tersebut.
Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Jarimah hudud atau qishash/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun
sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan
pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga, dll
b. Arimah yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadits namun tidak ditentukan
sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak amanah, dll.
c. Jarimah yang ditentukan oleh Ulil Amri demi kemaslahatan umum.

E. Hikma Dan Tujuan


a. Retribution (pembalasan) Teori retribution memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi
dalam hokum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan, sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan
tuntutan keadilan.
b. Deterrence (pencegahan) Teori deterrence memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan pelaku, akan tetapi merupakan sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan,
maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
c. Rehabilitation Tujuan asli dari hukuman adalah untuk mereformasi pelaku dan mengubah
dia menjadi anggota yang taat hukum dan masyarakat yang produktif. Perbedaan
rehabilitasi dengan gagasan idealis adalah bahwa individu pada dasarnya baik dan dapat
mengubah hidup mereka ketika didorong dan diberi dukungan.
d. Restoration (restorasi) menekankan kerugian yang disebabkan kepada korban kejahatan
dan membutuhkan pelaku untuk terlibat dalam restitusi keuangan dan pelayanan
masyarakat untuk mengkompensasi korban dan masyarakat dan untuk "membuat mereka
utuh kembali." Pendekatan keadilan restoratif mengakui bahwa kebutuhan korban sering
diabaikan dalam sistem peradilan pidana. Pendekatan ini juga dirancang untuk
mendorong pelaku untuk mengembangkan rasa tanggung jawab individu dan menjadi
anggota masyarakat yang bertanggung jawab.

F. Penutup
Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Ada beberapa pengertian Jinayah yaitu: pertama menurut fikih, Fikih Jinayah terdiri
dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa berasal dari “lafal
faqiha, yafqahu fiqhan”, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara istilah
yang dikemukakan oleh Abdul wahab Khallaf adalah himpunan hukum-hukum
syara’yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Selanjutnya
pengertian jinayah menurut Bahasa, Adapun Jinayah menurut bahasa adalah nama
bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan
menurut istilah jinayah yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah suatu
istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai
jiwa, harta dan lainnya. hukum pidana Islam sering disebut dalam fikih dengan istilah
jinayah atau jarimah.
2. Sumber hukum dari jinayah ada dua, yang pertama sumber hukum dalam islam yaitu
Al-Qur’an dan Sumber hukum dari Negara yaitu UUD 1945
3. Bentuk-bentuk jarimah dalam fiqih jihayat adalah jarimah hudud, Qishah-Diyat, dan
Tahzir
4. Hikmah dan Tujuan jarimah terdapat empat tujuan yaitu: Retribution (pembalasan),
Deterrence (pencegahan), Rehabilitation dan Restoration (restorasi)
DAFTAR PUSTAKA

/Idrus, Achmad Musyahid, ‘Perkembangan Penalaran Filosofis Dalam Hukum Islam’, Syria
Studies, 7.1 (2022), 37–72 <http://repositori.uin-alauddin.ac.id/20632/1/BUKU PDF
PENALARAN JADI.cetak.pdf>

Ii, B A B, ‘Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), Hlm. 14’, 21–51

Langsa, Iain, . ‘. Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam’, II.01, 74–94

Mubarok, Nafi’, ‘Tujuan Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Fiqh Jinayah’, Al-
Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam, 18.2 (2015), 296–323
<http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/qanun/article/view/233>

Anda mungkin juga menyukai