Anda di halaman 1dari 17

FIKIH JINAYAH DAN FIKIH SIYASAH

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Fikih dan Ushul Fikih
Dosen pengampu: Dr. H. Muslihun, M.Ag.

Oleh:
Kelompok 10
1. Siti Nurlaili (230502101)
2. Haerunnisa (230502103)
3. Muhammad Subhan Hadi (230502108)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2023
1

A. Pendahuluan
Hukum telah menjadi bagian dari kehidupan manusia tentulah harus mampu
memiliki karakter yang adaptif, beragam mengikuti perkembangan zaman tanpa
menghilangkan nilai-nilai luhur yang dibangun oleh pencetus atau pembuat
hukum.1 Islam misalnya, dalam hakikat hukum yang dibangun adalah Tuhan (Allah
Swt.) adalah pembuat hukum sedangkan tugas manusia ialah menemukan hukum
bukan sebagai pembuat hukum. Temuan-temuan hukum tersebut kemudian
dirumuskan secara rasional oleh manusia sebagai perpanjangan tangan dari
pembuat hukum tersebut.2
Hukum itu ditemukan oleh manusia untuk menjamin kepentingan dan hak-
hak manusia sendiri. Dari manusia inilah berbagai macam hukum dan terapannya
akan menentukan apa yang dialami manusia dalam kehidupannya.3 Bagi manusia,
hukum mestilah memiliki sifat adaptif; berkembang, partikular, beragam sesuai
dengan tuntutan lokalitas dan tidak kadaluwarsa. Hal ini terutama karena gaya
legislasi sumber hukum sendiri memberikan kesempatan seperti itu. Dengan
ungkapan lain, mestilah disadari bahwa hukum Tuhan memang ada yang dirancang
menjadi baku, di mana segala perubahan dalam masyarakat manusia mesti tunduk
pada pembakuan itu dan ada pula yang dirancang untuk mengikuti perubahan-
perubahan yang terjadi.4 Hal tersebut juga berlaku di ranah fikih sebagai suatu
produk hukum dalam Islam. Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami akan
menjabarkan apakah itu fikih jinayah dan siyâsah yang merupkan bagian dari fikih
itu sendiri. Dalam makalah ini, kami menjabarkan apa itu fikih jinayah dan fikih
siyâsah secara umum guna memenuhi tugas kelompok kami di mata kuliah fikih
dan ushul fikih.

1
Rulyjanto Podungge, ‘Mengembangkan Hukum Tuhan: Otoritas Tuhan dan Peran Nalar Manusia
dalam Penemuan Hukum’, Al-Mizan 12, no. 1 (2016): 178–97.
2
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law (Islamabad: The Internasional Institute of
Islamic Thought, 1994), 52.
3
Soedjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali, 1983), 15.
4
Moh. Dahlan and Abdullah Ahmed An Na’im, Epistemologi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), 87–89.
2

B. Pengetian Fikih Jinayah


Fikih jinayah terdiri dari dua kata yaitu kata fikih dan jinayah. Secara
etimologi, fikih merupakan bentuk masdhar dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-
fikihan yang bermakna faham.5 Fikih berarti pemahaman yang mendalam dan
akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu. 6
Menurut ulama ushul, Fikih secara istilah adalah “Ilmu yang menerangkan hukum-
hukum syara’ amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.7
Sedangkan jinayah, berasal dari kata al- jinayat (pidana) merupakan bentuk jamak
dari kata jinayah. Kata itu berasal dari kata jana-yajni yang artinya mengambil.
Istilah jana ats-tsamrah (mengambil buah) digunakan jika seseorang memetik
langsung dari pohon. Istilah jana’ ala qumihi jinayatan digunakan jika seseorang
berbuat dosa terhadap kaumnya, jika ia membuat kesalahan atau dosa yang wajib
dikenakan sanksi. Al-Jinayat dalam definisi syar’i bermakna setiap pekerjaan yang
diharamkan. Maka setiap pekerjaan yang diharamkan adalah setiap pekerjaan yang
dilarang syar’i karena adanya dampak negatif karena bertentangan dengan agama,
membahayakan jiwa, akal, harga diri, ataupun harta.8
Menurut pendapat Wahbah Zuhailiy Jinayat/Jarimah secara bahasa artinya
dosa atau maksiat, atau setiap kejelekan yang dilakukan oleh sesorang. Sedangkan
menurut istilah syara’ jinayah memiliki dua pengertian atau terminologi yaitu
umum dan khusus. Pengertian umum jinayah adalah setiap tindakan yang
diharamkan secara syara’ baik itu baik itu terhadap jiwa, harta atau yang lainnya.
Jinayah menurut pakar hukum perundang-undangan yang dikutip oleh Wahbah
Zuhaili memiliki pengertian lain, yaitu kejahatan yang ancaman hukuman mati,
atau hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara, atau hukuman penjara
mulai dari tiga tahun hingga lima belas tahun. Sedangkan pengertian khusus
jinayah, yaitu pengertian khusus para fuqaha adalah setiap pelanggaran atau
penganiayaan terhadap jiwa manusia atau anggota tubuhnya, yaitu pembunuhan,
pelukaan atau pencederaan (Al-Jahr) dan pemukulan.9

5
Wahbah Al-Zuhaiiy, Ushul Al-Fikih Al-’Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), 18.
6
Arif Sugitanata, Suud Sarim Karimullah, and Rizal Al Hamid, ‘Hukum Positif dan Hukum Islam:
Analisis Tata Cara Menemukan Hukum dalam Kacamata Hukum Positif dan Hukum Islam’, Jurisy: Jurnal
Ilmiah Syariah 3, no. 1 (2023): 1–22, https://doi.org/10.37348/jurisy.c3i1.242.
7
Al-Zuhaiiy, Ushul Al-Fikih Al-’Islami, 19.
8
Luwis Ma’luf, Al-Munjid (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), 88.
9
Wahbah Az Zuhailiy, Fiqh Islam 7 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), 540.
3

Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuautan yang


berkaitan dengan jiwa atau anggota badan seperti membunuh, melukai,
menggugurkan kandungan dan lain sebagainya.10Pengertian jinayah dalam bahasa
Indonesia sering disebut dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fiqh jinayah merupakan
terjemahan dari kata hukum pidana Islam. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan
hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-
orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari
pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan hadis.
Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang
mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-
undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.11Tindak pidana dalam hukum
Islam dikenal dengan istilah jinayah/jarimah yang dalam bahasa Indonesia berarti:
delik, perbuatan pidana, tindak pidana, dan peristiwa pidana. Adapun
jarimah/jinayah adalah suatu perbuatan seseorang yang tidak sesuai dengan
syari’at, yang memberikan dampak negatif karena bertentangan dengan agama,
mambahayakan jiwa, akal, harga diri, ataupun harta.
C. Jenis-jenis Jinayah/Jarimah dalam Hukum Islam
Jarimah berdasarkan berat dan ringannya hukuman sebagaimana ditegaskan
dalam Al-Qur’an dan Hadis, atas dasar ini ulama membaginya menjadi tiga macam:
1. Jarimah Hudud
Kata Hudud adalah bentuk jamak dari kata Had. Pada dasarnya, had berarti
pemisah antara dua hal atau yang membedakan antara sesuatu dengan yang lain.
Menurut istilah syara’ had adalah pemberian hukuman yang merupakan hak Allah.
Menurut pendapat Fuad Thohari Jarimah Hudud merupakan hukuman yang tidak
bisa dihapuskan sebagai perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman
hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak Allah) yang jumlahnya
terbatas.12
Sedangkan menurut pendapat Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani.
Jarimah hudud merupakan hukuman yang tidak bisa dihapuskan sebagai perbuatan

10
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2009), 2.
11
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 1.
12
Fuad Thohari, Hadits Ahkam Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Yogyakarta: Deepublish,
2018), 48.
4

melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu
hukuman had (hak Allah) yang jumlahnya tidak terbatas. Hukuman had yang
dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan
oleh perseorangan (korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).
Hukuman had diperuntukan bagi setiap perbuatan kriminal yang hanya ada satu
macam hukuman untuk setiap jarimah, tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah ini.
Adapun yang termasuk dalam jarimah hudud ialah zina, qadzaf (menuduh berbuat
zina), minum-minuman keras (syurbul khamr), pencurian, hirabah (melakukan
kekacauan/perampasan harta), pemberontakan, dan riddah (kembali kepada kafir
setelah memeluk agama Islam/murtad).13
2. Jarimah Qishash dan Diat
Secara etimologi kata “qishash” merupakan kata mashdar dalam struktur
bahasa Arab yang berasal dari Fi’il madi yang berarti mengikuti, mencari jejak atau
memotong. Sedangkan secara terminologi, qishash berarti pelaku kejahatan dibalas
dengan perbuatan serupa. Menurut pendapat Wahbah Az-Zuhaili kata al-Qishash dan
al-Qashash secara bahasa artinya adalah mengikuti jejak. Kata ini juga berarti
mumaatsalah (kesepadanan, kesamaan). Pengertian qishash secara syara’ yaitu
membalas atau menghukum pelaku sama dengan apa yang telah ia lakukan, yaitu
dibunuh. Ancaman hukuman qishash diterapkan baik apakah pembunuhan yang
dilakukan disertai dengan perencanaan sebelumnya atau tidak. 14 Yang termasuk
jarimah Qishash ialah pembunuhan disengaja, pembunuhan semi sengaja,
pembunuhan tidak disengaja. Sedangkan Diat adalah kewajiban denda bagi
seseorang untuk mengeluarkan barang atau uang karena melakukan tindak pidana
atau membunuh seseorang dengan tidak sengaja atau pembunuhan karena kesalahan
dan mendapatkan pengampunan atau keringanan hukuman.15
3. Jarimah Ta’zir
Hukum ta’zir adalah hukuman terhadap pelanggaran yang tidak ditetapkan
dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Hukuman ini digunakan untuk seseorang yang
melakukan tindak pidana yang tidak memenuhi persyaratan untuk dihukum secara
had atau tidak memenuhi syarat untuk membayar diyat atau bisa juga disebut sebagai

13
Mustofa Hasan and Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah Dilengkapi dengan
Kajian Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 47.
14
Zuhailiy, Fiqh Islam 7, 589.
15
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), 11.
5

hukuman ringan untuk menebus perbuatannya. Pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan


sepenuhnya kepada hakim.16
Menurut pendapat Zainuddin Ali, Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman
atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan syara’. Kalimat ta’zir
secara harfiah bermakna memuliakan atau menolong. Namun pengertian dalam
hukum Islam, yaitu hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan
pelakunya dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diyat.17
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jarimah ta’zir merupakan
hukuman yang diberikan kepada pelaku jarimah, yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’. Hukuman ta’zir ditetapkan oleh keputusan penguasa (hakim)
artinya hakim yang berhak menentukan hukuman apakah yang pantas untuk pelaku
jarimah tersebut.
D. Tujuan Fikih Jinayah
Secara universal tujuan dari hukum pidana Islam (fikih jinayah) adalah:
1. Memelihara agama
2. Memelihara kehormatan
3. Melindungi akal
4. Memelihara harta manusia
5. Memelihara jiwa manusia, dan
6. Memelihara ketentraman umum.18
E. Asas-asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah)
Asas merupakan dasar dalam berfiikir dan berpendapat. Asas hukum berarti
kebenaran yang dipergunakan sebagai landasan berfikir dan alasan dalam memberikan
suatu argumentasi dalam penegakan dan dan pelaksanaan hukum. Asas-asas hukum yang
mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam atau asas-asas hukum pidana Islam
diantaranya:
1. Asas Legalitas
Asas legalitas adalah tidak dipidana atas kesalahan seorang selama hukum
tidak melarangnya. Asas ini merupakan landasan dasar untuk kebebasan individu
dengan menberi batas aktivitas apa yang dilarang agar melindungi dari

16
Hanafi, 12.
17
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), 129.
18
Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 258.
6

penyalahgunaan kekuasaan dengan menjamin kemanan. Setiap orang harus


disosialisasikan apa saja hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebelumnya
tentang perbuatan-perbuatan ilegal hukumnya. Asas legalitas adalah suatu asas
yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum
ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya
dengan hukuman.19
2. Asas Tidak Berlaku Surut
Asas ini mengandung arti bahwa setiap aturan pidana yang dibuat kemudian
tidak dapat menjerat perbuatan pidana yang dilakukan sebelum aturan itu dibuat.
Asas ini menjelaskan berlakunya hukum pidana kepada perbuatan yang sudah ada
aturannya. Hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggran terhadap asas ini
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Asas tidak berlaku surut
merupakan kelanjutan dari asas legalitas dalam hukum pidana Islam. 20 Hal
tersebut didasarkan atas firman Allah berikut: “dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan sebutuk-
buruk jalan (yang ditempuh).” (Al-Qur’an Surah An-Nisa’: 22).21
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah merupakan konsekuensi dari asas legalitas dan
tidak dapat dihindari (Principle of lawfulness). Menurut asas ini, semua perbuatan
dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. 22 Dalam
Q.S. Al-Hujurat ayat 12 disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian
kamu menggunjing sebahagian yang lain.”23
Ayat di atas menjelaskan bahwa ada tiga hal yang harus dijauhi oleh
manusia yaitu berperasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan

19
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
45.
20
Jaih Mubarok and Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004), 50.
21
Al-Qur’an An-Nisa’ ayat 22, Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Jumanatul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang
Maha Luhur (Bandung: Departemen Agama RI, CV Penerbit Jumanatul ‘Ali (J-ART), 2004), 81.
22
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Insani Press, 2003), 10.
23
Al-Hujurat ayat 12 Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Jumanatul ‘Ali Seuntai Mutiara
Yang Maha Luhur (Bandung: Departemen Agama RI, CV Penerbit Jumanatul ‘Ali (J-ART), 2014), 517.
7

menggunjing dengan satu yang lainnya. Berperasangka buruk atau suudzon dapat
diartikan sebagai tuduhan tanpa alasan yang merupakan bagian dari tindak pidana
yang sanksi moralnya diibaratkan memakan bangkai saudaranya sendiri.
4. Asas Tidak Sahnya Hukum Karena Keraguan
Asas tidak sahnya hukum karena adanya keraguan, dasarnya teks Nash
Hadis yang memjelaskan bahwa: “Hindarkanlah hudud dalam keraguan, lebih
baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum” menurut
ketentuan ini, putusan memberikan hukuman harus dilakukan dengan yakin tanpa
adanya keraguan. Dalam hukum Islam seseorang yang terkena pidana adalah
orang yang telah terbukti melakukan jarimah syar’i. Orang yang dihukum adalah
orang yang benarbenar memiliki kesalahan mempunyai bukti kuat sehingga tidak
ada lagi keraguan terhadap hakim atas kasus yang dihadapinya agar keputusannya
tidak salah dan tanpa ada keraguan.24
5. Asas Kesamaan di Hadapan Hukum
Prinsip/ asas persamaan tidak hanya terdapat dalam ranah teori dan fisiologi
hukum Islam, melainkan dilaksanakan secara praktis dilaksanakan oleh
Rasulullah dan para sahabat, para khilafah, dan penerus beliau. Syari’at Islam
telah menerapkan asas ini secara lengkap sejak lebih dari empat belas abad yang
lalu, sementara dalam hukum modern asas ini baru prinsip kesamaan di hadapan
hukum dalam hukum pidana Islam adalah tidak ada perbedaan dalam
penyelesaian sebuah kasus baik itu pidana maupun perdata. Semua harus
diputuskan dengan seadil-adilnya tanpa memandang status sosial maupun jenis
kelamin.25
F. Pengertian Fikih Siyâsah
Fikih Siyâsah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua
kata yaitu kata fikih dan al-siyâsî. Secara etimologi, fikih merupakan bentuk masdhar dari
tashrifan kata faqiha-yafqahu-fikihan yang bermakna faham.26 Fikih berarti pemahaman
yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan

24
Ali, Hukum Pidana Islam, 7.
25
Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, 17.
26
Al-Zuhaiiy, Ushul Al-Fikih Al-’Islami, 18.
8

tertentu.27 Menurut ulama ushul, Fikih secara istilah adalah “Ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.28
Siyâsah merupakan salah satu cabang ilmu dari fikih, yang asal ajarannya dari Al-
Qur’an dan Hadis kemudian diposisikan sebagai sumber doktrin yang aksiomatis atau yang
bisa diterima, di mana kebenaran-kebenarannya dapat diyakini. Hal tersebut melahirkan
berbagai penafsiran yang menjadi pengetahuan normatif dalam bentuk fikih. Dari ilmu
fikih, lahirlah fikih siyâsah. Secara spesifik, dari fikih siyâsah ini maka lahirlah berbagai
jenis siyâsah seperti;
1. Siyâsah Dusturiyah yang saling berkaitan dengan perundang-undangan
2. Siyâsah Maliyah yang berkaitan dengan ekonomi
3. Siyâsah Dauliyah yang berkaitan dengan hubungan internasional/kenegaraan.29
Adapun pengertian dari fikih siyâsah, Kata siyâsah berasal dari kata “sasa” yang
berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. 30 Siyâsah dapat juga diartikan sebagai
pemerintahan dan politik, sesuatu yang dapat membuat sebuah kebijakan. 31 Fikih siyâsah
atau siyâsah syar'iyah sebuah cabang ilmu yang mempelajari hal ihwal dan keterkaitan
pengaturan urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, peraturan dan
kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang searah dengan dasar-dasar
ajaran atau ruh syariat untuk mewujudkan kemaslahatan sebuah umat. Dengan kata lain,
fikih siyâsah adalah ilmu tata negara yang dalam ilmu agama Islam menyusut ke dalam
pranata sosial Islam.32
Terkait siyâsah syar’iyah, Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa “Fikih siyâsah
ialah sebuah keputusan dan suatu langkah kebijakan yang diambil oleh para pemimpin
dan ulil amri dalam permasalahan yang tidak diatur secara spesifik oleh syariat”.
Sedangkan Ibn Al-Qayim Jauziyyah menyebut bahwa “Siyâsah syar’iyah tidak harus
berarti sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam syariat. Setiap langkah yang secara
aktual membawa manusia dekat pada kebaikan dan jauh dari sebuah kejahatan
merupakan bagian dari siyâsah yang adil walaupun hal itu tidak disuruh langsung oleh
Nabi SAW dan tidak diatur wahyu. Siapa pun yang mengatakan bahwa tidak ada siyâsah

27
Sugitanata, Karimullah, and Hamid, ‘Hukum Positif dan Hukum Islam: Analisis Tata Cara
Menemukan Hukum dalam Kacamata Hukum Positif dan Hukum Islam’.
28
Al-Zuhaiiy, Ushul Al-Fikih Al-’Islami, 19.
29
Ija Suntana, Politik Ekonomi Islam: Siyasah Maliyah (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 15.
30
Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, 1968), 108.
31
Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat Al-Syar’iyat (Al-Qahirah: Dar Al-Anshar, 1977), 4–5.
32
J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Rajawali Pers, 1997),
26.
9

syar’iyah dalam perkara yang diatur secara tegas dan tidak berbelit-belit oleh syariat
adalah keliru dalam memahami para sahabat. Keterkaitan siyâsah dengan persoalan
kepemimpinan, Ibnu Khaldun memberi komentarnya dengan menyebut “Khalifah adalah
wakil dari pemilik syariah (Rasulullah SAW) dalam menjaga agama dan mengatur dunia
dengan agama. Kedudukan ini disebut dengan khilafah atau imamah dan orang yang
melaksanakannya adalah khalifah atau imam”.33
Siyâsah juga biasa diistilahkan politik. Politik berasal dari kata politic (Inggris)
yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. 34 Politik kemudian terserap ke dalam
bahasa Indonesia dengan pengertian segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan
sebagainya) mengenai kebijakan negara atau terhadap negara lain, kebijakan, cara
bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). 35 Jadi, politik adalah cara
dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk
menjadi kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. 36
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat diringkas menjadi sebuah
kesimpulan bahwa bahwa fikih siyâsah adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah
membahas hukum-hukum pemerintahan dan konsep menjalankan pemerintahan yang
berlandaskan syariat Islam dengan tujuan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya. Fikih
Siyâsah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan
pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi
manusia itu sendiri. Dalam fikih siyâsah, ulama mujtahid menggali sumber-sumber hukum
Islam yang terkandung didalamnya dalam hubungannya dengan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Sebagai hasil penalaran kreatif, pemikiran para mujtahid tersebut tidak
kebal terhadap perkembangan zaman dan sangat bersifat terbuka yaitu bisa menerima
perbedaan pendapat dan ada prinsipnya, definisi yang dikemukakan memiliki persamaan.
Siyâsah berkaitan dengan mengatur dan memelihara manusia dalam hidup bermasyarakat
dan bernegara dengan membimbing mereka menuju kemaslahatan dan menjauhinya dari
kemudharatan.

33
Abdullah bin Umar bin Sulaiman Al-Damiji, Al-Imamah Al-’Uzma’ ’inda Ahl as-Sunnah Wa Al-
Jama’ah (Riyadh, 1987), 34.
34
A.S. Hornby A.P. Cowic, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English (London:
Oxford University Press, 1974), 645.
35
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), 763.
36
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali, 1988), 11–12.
10

G. Kedudukan Fikih Siyâsah Dalam Sistematika Hukum Islam


Fikih siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan,
fikih siyâsah merupakan disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam menjalankan
hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan pemerintah yang Islami
(dalam hal ini pemerintah yang menjalankan konsep fikih siyâsah), maka sangat sulit
terjamin keberlakuan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.37
Fikih siyâsah yang tidak lain merupakan bagian dari siyâsah syar’iyah
berlandaskan Al-Qur’an dan hadis memiliki kedudukan yang sangat besar dan berperan
aktif dalam sistematika hukum Islam. Karena fikih siyâsah tidak lain memiliki ciri khas
yakni sangat memperhatikan segi kemanusiaan seseorang, baik mengenai diri, jiwa, akal
maupun akidahnya, atau selaku perorangan ataupun sebagai anggota masyarakat baik
berbangsa dan bernegara serta tujuan utama yang tidak jauh berbeda dengan hukum Islam
dalam mencapai suatu kemaslahatan umat baik di dunia atau di akhirat kelak. Buktinya,
tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fikih siyâsah, tidak mungkin akan
mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk rakyatnya yang
muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1947 telah berhasil melahirkan undang-undang
No. 29, tahun 1947 tentang minuman keras yang mengatur bahwa semua penduduk asli
Indonesia untuk mematuhi peraturan tersebut untuk menciptakan ketertiban dan
ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman
keras.
Kecenderungan dalam fikih siyâsah didalam pemerintahan adalah adanya
keutamaan mementingkan kemaslahatan untuk rakyat umum serta berusaha menolak
segala jenis kerusakan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fikih siyâsah
mempunyai kedudukan penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam dalam
memikirkan, merumuskan dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang
berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya.
Sebuah pemerintahan jelas memerlukan konsep yang ditawarkan dalam fikih
siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah yang berasaskan kemashlahatan, sangat boleh
jadi umat Islam akan sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki. Fikih siyâsah juga
dapat menjamin umat Islam dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fikih siyâsah dapat
diibaratkan sebagai akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan dan daun,

37
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Kencana, 2014),
11.
11

sehingga menghasilkan buah yang dapat dinikmati umat Islam secara khusus maupun umat
lainnya secara umum.
H. Ruang Lingkup Kajian Fikih Siyâsah
Beberapa ulama mengemukakan kajian fikih siyâsah dengan berbagai objek
pembahasannya. Ada yang membaginya dengan ringkas, ada pula yang membaginya
menjadi terperinci. Menurut Al-Mawardi, obyek kajian fikih siyâsah mencakup:
kebijaksanaan pemerintah tentang peraturan perundang-undangan (siyâsah dusturiyah),
ekonomi dan moneter (siyâsah maliyah), peradilan (siyâsah qadhaiyah), hukum perang
(siyâsah harbiyah) dan administrasi negara (siyâsah idariyah). Sedangkan Ibnu Taimiyah
membagi obyek kajian fikih siyâsah ada empat, yaitu: Peradilan, Administrasi Negara,
Moneter dan Hubungan Internasional.38
Hasbi As-Shiddieqy membagi obyek kajian fikih siyâsah terbagi pada delapan
bentuk, yaitu: Siyâsah dusturiyah syar’iyyah (politik perundang-undangan), siyâsah
tasyri’iyyah syar’iyyah (politik hukum), siyâsah qadhaiyah syar’iyyah (politik peradilan),
siyâsah maliyah syar’iyyah (politik ekonomi), siyâsah idariyah syar’iyyah (politik
administrasi), siyâsah dawliyah syar’iyyah (politik hubungan internasional), siyâsah
tanfiziyah syar’iyyah (politik pelaksanaan perundangundangan) dan siyâsah harbiyah
syar’iyyah (politik peperangan).39 Sedangkan Abdul Wahab Khallaf mempersempit obyek
kajian fikih siyâsah pada 3 hal, yaitu siyâsah dusturiyah (perundang-undangan), siyâsah
dawliyah (hubungan internasional) dan siyâsah maliyah (keuangan negara).40
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam kajian fikih siyâsah, berbagai bentuk
kelembagaan yang ada dalam sebuah negara, senantiasa dikaji dalam siyâsah dengan
mengikuti perkembangan dan kesesuaiannya berdasarkan syariat Islam. Setidaknya,
perkembangan kenegaraan dan politik yang terjadi di suatu negara, dapat dikaji dan
dianalisa agar mendapatkan proses kajian siyâsah yang lebih baik dan mendalam guna
mendukung perkembangan kajian fikih siyâsah itu sendiri sembari tetap berlandaskan
kepada Al-Qur’an dan hadis.

38
Fatmawati Hilal, Fikih Siyasah (Makasar: Pusaka Almaida, 2015), 10.
39
Hilal, 10.
40
Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah (Kairo: Dar Al-Anshar, 1977), 4.
12

I. Sumber Kajian Fikih Siyâsah


Fikih siyâsah adalah bagian dari fikih. Fikih siyâsah sebagai sebuah disiplin ilmu
mempunyai sumber dalam kajiannya. Sumber kajian fikih Siyâsah ada tiga bagian, yaitu:
1. Al-Qur’an dan Sunnah
2. Sumber-sumber tertulis selain Al-Qur’an dan Sunnah
3. Peninggalan kaum muslimin terdahulu.41
Selain itu, Ahmad Sukarja mengungkapkan bahwa sumber kajian fikih Siyâsah
dapat berasal dari manusia itu sendiri dan lingkungannya seperti pandangan para pakar
politik, ‘urf atau kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat setempat,
pengalaman masa lalu dan aturan-aturan yang pernah dibuat sebelumnya.42
J. Manfaat Mempelajari Fikih Siyâsah
Manfaat mempelajari fikih siyâsah menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu
agar orang yang mempelajari fikih siyâsah dapat memahami bagaimana
menciptakan sebuah sistem pengaturan negara yang Islami dan dapat menjelaskan
bahwa Islam menghendaki terciptanya sebuah sistem politik yang adil guna
merealisasikan kemashlahatan umat. Demikian pula, Abdurrahman Taj mengatakan
bahwa manfaat mempelajari fikih siyâsah adalah agar setiap orang yang
mempelajarinya dapat memperoleh pengetahuan yang memadai tentang politik
Islam, sehingga dapat memahami bagaimana menyikapi dinamika kehidupan dan
bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup sesuai tuntunan Islam serta mampu
merealisasikan kemaslahatan bersama dalam kehidupan.43
Mempelajari Siyâsah tentu harus bersinggungan dengan persoalan-persoalan
kenegaraan. Maka membicarakan siyâsah kemanfaatannya akan dirasakan kala melihat
perkembangan sebuah negara yang bersinggungan dengan praktik dari siyâsah itu sendiri.
Keberadaan negara prinsipnya tidak bisa pula dipisahkan dari agama, dalam batas tertentu
harus terlibat dalam urusan kenegaraan, agama sebagai simbol tercermin dalam lembaga
Negara. Sebagaimana semangat Islamisme yang dibawa oleh Jamaluddin al-Afghani dan
sayid Rasyid Ridha.
Dalam pranata praktis memang bentuk dan sistem pemerintahan dalam
Islam sesungguhnya tidak harus berlambangkan Islam, namun secara substansi

41
Fathiyah Al-Nabrawi, Tarikh Al-Nuzhum Wa Al-Hadharah Al-Islamiyah (Kairo: al Mathba’ah al-
Jadidah, n.d.), 27.
42
Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan UUD 1945 (Jakarta: UI Press, 1995), 11.
43
Khallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah, 5.
13

berasaskan Islam, sebagaimana yang terdapat pada banyak Negara dewasa ini.
Landasan yang sangat subtansial dipakai dalam pengertian ini akan merujuk pada
sistem nilai. Bagi pendalaman materi ini maka ide sekularisme menjadi tidak
relevan, karenanya yang menjadi relevan menurut Nurcholis Madjid adalah
sekularisasi. Perhitungan ini tentunya lebih ditekankan oleh peran pemikiran dan
terlembagakan dalam konsep ijtihad.
Sejarah politik Islam di Indonesia yang dimulai sejak zaman penjajahan
kolonial Belanda. Setelah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang,
dengan demikian jepang mempunyai pengaruh terhadap nasib bangsa Indonesia
termasuk nasib politik Islam. Lintasan sejarah perkembangan dan pemikiran politik
Islam di Indonesia diwarnai dengan sejarah partai Masyumi. Setelah partai
Masyumi turut andil dalam perkembangan dan pemikiran politik Islam di
Indonesia, setelah memasuki pentas kemerdekaan maka yang menjadi problem
pelik adalah persoalan ideologi apa yang akan menjadi dasar negara Indonesia.
Perkembangan politik Islam dilihat dari dinamisnya Islam itu sendiri.
Politik Islam itu berkembang dan menimbulkan pro kontra bagi banyak kalangan,
Misalnya berkaitan dengan sistem pemerintahan yang digunakan oleh pemimpin-
pemimpin Islam. Rasulullah sendiri memimpin umat Islam yang berada di makkah
dan madinah bersumber dari al-Qur’an walaupun di dalam al-Qur’an sendiri tidak
termaktub sistem negara atau sistem pemerintahan. Akan tetapi gejolak perpolitikan
itu mulai pada masa khalifah ar-Rasyidin sampai khalifah-khalifah yang
menggunakan politik dinasti bani seperti bani umaiyah, bani abbasiyah dan lain-
lain.
K. Kesimpulan
Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Al-Qur’an dan hadis. Tindakan kriminal yang dimaksud adalah
tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan
melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.
Adapun jarimah terdiri dari 3 macam yakni, jarimah hudud, jarimah Qishash dan
Diat dan jarimah ta’zir.
14

Kemudian tujuan dari hukum pidana Islam (fikih jinayah) adalah


memelihara agama, memelihara kehormatan, melindungi akal, memelihara harta
manusia, memelihara jiwa manusia, dan memelihara ketentraman umum.
Selanjutnya asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam
atau asas-asas hukum pidana Islam diantaranya asas legalitas, asas tidak berlaku
surut, asas praduga tak bersalah, asas tidak sahnya hukum karena keraguan dan asas
kesamaan di hadapan hukum.
Fikih siyâsah adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah membahas
hukum-hukum pemerintahan dan konsep menjalankan pemerintahan yang
berlandaskan syariat Islam dengan tujuan memberi kemaslahatan bagi rakyatnya.
Fikih siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan,
fikih siyâsah merupakan disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam
menjalankan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan
pemerintah yang Islami (dalam hal ini pemerintah yang menjalankan konsep fikih
siyâsah), maka sangat sulit terjamin keberlakuan hukum Islam itu sendiri bagi
masyarakat muslimnya. Kemudian obyek kajian fikih siyâsah pada 3 hal, yaitu
siyâsah dusturiyah (perundang-undangan), siyâsah dawliyah (hubungan
internasional) dan siyâsah maliyah (keuangan negara).
Sumber kajian fikih Siyâsah ada tiga bagian, yaitu, Al-Qur’an dan Sunnah, sumber-
sumber tertulis selain Al-Qur’an dan Sunnah dan peninggalan kaum muslimin terdahulu.
Adapun manfaat mempelajari fikih siyâsah yaitu agar orang yang mempelajari fikih
siyâsah dapat memahami bagaimana menciptakan sebuah sistem pengaturan negara yang
Islami dan dapat menjelaskan bahwa Islam menghendaki terciptanya sebuah sistem politik
yang adil guna merealisasikan kemashlahatan umat. Demikian pula, bahwa manfaat
mempelajari fikih siyâsah adalah agar setiap orang yang mempelajarinya dapat
memperoleh pengetahuan yang memadai tentang politik Islam, sehingga dapat memahami
bagaimana menyikapi dinamika kehidupan dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan
hidup sesuai tuntunan Islam serta mampu merealisasikan kemaslahatan bersama dalam
kehidupan.
15

Daftar Pustaka
22, Al-Qur’an An-Nisa’ ayat. Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Jumanatul ‘Ali Seuntai
Mutiara Yang Maha Luhur. Bandung: Departemen Agama RI, CV Penerbit
Jumanatul ‘Ali (J-ART), 2004.
Al-Damiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman. Al-Imamah Al-’Uzma’ ’inda Ahl as-Sunnah
Wa Al-Jama’ah. Riyadh, 1987.
Al-Nabrawi, Fathiyah. Tarikh Al-Nuzhum Wa Al-Hadharah Al-Islamiyah. Kairo: al
Mathba’ah al-Jadidah, n.d.
Al-Qur’an, Al-Hujurat ayat 12. Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Jumanatul ‘Ali Seuntai
Mutiara Yang Maha Luhur. Bandung: Departemen Agama RI, CV Penerbit
Jumanatul ‘Ali (J-ART), 2014.
Al-Zuhaiiy, Wahbah. Ushul Al-Fikih Al-’Islami. Damaskus: Dar al-Fikr, 2001.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
———. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
———. Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Cowic, A.S. Hornby A.P. Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English.
London: Oxford University Press, 1974.
Dahlan, Moh., and Abdullah Ahmed An Na’im. Epistemologi Hukum Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Dirdjosisworo, Soedjono. Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali, 1983.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993.
Hasan, Mustofa, and Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah Dilengkapi
Dengan Kajian Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Hilal, Fatmawati. Fikih Siyasah. Makasar: Pusaka Almaida, 2015.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Kencana,
2014.
Khallaf, Abdul Wahab. Al-Siyasah Al-Syar’iyyah. Kairo: Dar Al-Anshar, 1977.
———. Al-Siyasat Al-Syar’iyat. Al-Qahirah: Dar Al-Anshar, 1977.
Ma’luf, Luwis. Al-Munjid. Beirut: Dar al-Fikr, 1954.
Manzhur, Ibnu. Lisan Al-Arab. Beirut: Dar al-Shadir, 1968.
Mubarok, Jaih, and Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqh Jinayah. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2004.
Munajat, Makhrus. Hukum Pidana Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Teras, 2009.
Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,
2004.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Jakarta: Rajawali, 1988.
Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories of Islamic Law. Islamabad: The Internasional
Institute of Islamic Thought, 1994.
16

Podungge, Rulyjanto. ‘Mengembangkan Hukum Tuhan': Otoritas Tuhan dan Peran Nalar
Manusia Dalam Penemuan Hukum’. Al-Mizan 12, no. 1 (2016): 178–97.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1983.
Pulungan, J. Suyuti. Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: Rajawali
Pers, 1997.
Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Insani Press, 2003.
Sugitanata, Arif, Suud Sarim Karimullah, and Rizal Al Hamid. ‘Hukum Positif dan Hukum
Islam: Analisis Tata Cara Menemukan Hukum dalam Kacamata Hukum Positif
dan Hukum Islam’. Jurisy: Jurnal Ilmiah Syariah 3, no. 1 (2023): 1–22.
https://doi.org/10.37348/jurisy.c3i1.242.
Sukarja, Ahmad. Piagam Madinah Dan UUD 1945. Jakarta: UI Press, 1995.
Suntana, Ija. Politik Ekonomi Islam: Siyasah Maliyah. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Thohari, Fuad. Hadits Ahkam Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam. Yogyakarta:
Deepublish, 2018.
Zuhailiy, Wahbah Az. Fiqh Islam 7. Damaskus: Dar al-Fikr, 2007.

Anda mungkin juga menyukai