Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAMPU :

SUPARMAN, S.Ag, M.H.I

Oleh :

1. AMELIA ROSALNDA (170210101003)

2. PUTRI DZIQRIYA (170210101012)


3. ANNISA NURUL P (170210101021)
4. NURHAYATI DIARNA N (170210101024)
5. VINDI DWI TURSELI D (170210101033)
6. SITI SHOFIYAH (170210101091)

Program Studi Pendidikan Agama Islam


Universitas Jember
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum adalah komponen yang sangat erat hubungannya
dengan masyarakat, dan pada dasarnya hukum itu adalah
masyarakat itu sendiri. Setiap tingkah laku masyarakat selalu di
monitor oleh hukum, baik hukum yang tertulis maupun hukum
yang tidak tertulis. Negara Indonesia adalah Negara hukum yang
memiliki penduduk mayoritas beragama islam, secara sengaja
maupun tidak sengaja hal tersebut mempengaruhi terbentuknya
suatu aturan hukum yang berlandaskan atas agama Islam.
Walaupun  merupakan  bagian  integral  syari’ah  Islam  da
n  memiliki  peran
signifikan,  kompetensi dasar  yang  dimiliki  hukum  Islam.
Tidak  banyak  dipahami
secara  benar  dan  mendalam  oleh  masyarakat, bahkan  oleh  kala
ngan  ahli  hokum itu sendiri.
Sebagian  besar  kalangan  beranggapan,  tidak  kurang dian
taranya kalangan muslim,  menancapkan  kesan  kejam,
incompatible  dan  off  to  date dalam  konsep hukum Islam.
Ketakutan  ini  akan  semakin  jelas  adanya  apabila  merek
a membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong
tangan, rajam, salab dan qisas telah off to date dan sangat
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.
Sedikit kita tilik, pada hakikatnya hukum islam sangat adil
(terutama hukum pidana) dan hukumannya pun dapat
menimbulkan efek jera bagi pelaku dan dapat menjadi
pelajaran  bagi yang lain. Tetapi untuk pelaksanaan hukuman untuk
si pelaku cukup sulit, semisal pidana potong tangan bagi yang
mencuri, eksekusi tidak bisa dilaksanakan sebelum mendatangkan
4 saksi, 4 saksi harus disumpah untuk membuktikan kebenarannya.
Jadi salah apabila ada orang yang mengatakan bahwasanya hukum
islam itu sangat kejam dan tidak pantas diterapkan karena tidak
manusiawi. Hal ini disebabkan  ia belum memahami benar hukum
islam secara menyeluruh. Bila kita memahami benar prinsip
hukum islam, kita akan mengetahui betapa adil dan membawa
kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat, karena tidak
memandang jabatan atau pangkat sekalipun itu raja apabila
bersalah wajib menerima hukuman sesuai ketentuan yang berlaku

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian Hukum Islam ?
1.2.2 Apa saja ruang lingkup Hukup Islam ?
1.2.3 Apa tujuan Hukum Islam ?
1.2.4 Apa saja sumber-sumber Hukum Islam?
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Islam


Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian
dari agama islam. Dalam konsepsi hukum Islam , dasar dan kerangka
hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT. yang diatur tidak hanya hubungan
manusia dengan manusia lain dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri
dan benda serta alam semesta,tetapi juga hubungan manusia dengan
Tuhan. Dalam sistem hukum Islam terdapat lima kaidah yang
dipergunakan untuk mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah
maupun di bidang mu’amalah. Kelima jenis kaidah tersebut dinamakan al-
ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima yakni jaiz atau
mubah atau ibahah, sunnah, makruh, wajib, dan haram. Dalam
pembahasan kerangka dasar agama islam disebutkan bahwa komponen
kedua agama Islam adalah syari’at yang terdiri dari dua bagian yakni
ibadah dan mu’amalah. Adapun ilmu yang membahas tentang syari’at
disebut dengan ilmu fikih.

B. Ruang Lingkup Hukum Islam


Dalam hukum Islam di bidang mu’amalah tidak dibedakan antara
hukum privat(hukum Perdata) dengan hukum publik, hal ini disebabkan
karena menurut sistem hukum islam pada hukum perdata terdapat segi-
segi publik dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdatanya
Dalam hukum Islam yang disebutkan hanyalah bagian-bagiannya
saja, yakni sebagai berikut :
1. Munakahat : mengatur segala sesuatu yang
berhubungan
dengan perkawinan, perceraian serta
akibat-akibatnya
2. Wirasah : mengatur segala masalah yang
berhubungan
dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan serta pembagian
warisan. Hukum kewarisan ini
sering disebut juga hukum Faraid
3. mu’amalah dalam arti khusus : mengatur masalah kebendaan dan
hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia
dalam soal jula beli, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam,
perserikatan dan sebagainya.
4. jinayat atau ‘ukubah : memuat aturan-aturan mengenai
perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan
hukuman baik dalam jarimah
hudud(perbuatan pidana yang telah
ditentukan bentuk dan batas
hukumnya dalam al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW.
dimana hudud merupakan jamak
dari had yang berarti batas) maupun
jarimah ta’zir(perbuatan pidana
yang bentuk dan ancaman
hukumannya ditentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya sedangkan ta’zir berarti
ajaran atau pengajaran). Yang
dimaksud dengan jarimah adalah
perbuatan pidana.
5. al-ahkam al-Sultaniyah(khilafah): membicarakan soal-soal yang
berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan
baik pemerintah pusat maupun
daerah, tentara, pajak dan
sebagainya.
6. Siyar : mengatur urusan perang dan damai,
tata
hubungan dengan pemeluk agama
dan negara lain
7. Mukhassamat : mengatur soal peradilan, kehakiman
dan
hukum acara
Sedangkan Fathi Osman mengemukakan sitematika hukum Islam
sebagai berikut :
8. Al-Ahkam al- Ahwal Al-Syakhsiyah(hukum Perorangan)
9. Al-Ahkam al-Madaniyah(hukum Kebendaan)
10. Al-Ahkam Al-Jinaiyah(hukum Pidana)
11. Al-Ahkam al-Murafaat(hukum Acara Perdata, Pidana dan Peradilan
Tata Usaha Negara)
12. Al-Ahkam al-Dusturiyah(hukum Tata Negara)
13. Al-Ahkam al-Dawliyah(hukum Internasional)
14. Al-Ahkam al-Ightisadiyah al-Maliyah(hukum Ekonomi dan
Keuangan)

C. Tujuan Hukum Islam


Tujuan hukum Islam sebenarnya sudah nampak pada ayat-ayat
yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. secara
umum para ahli merumuskan tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan segala sesuatu
yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang
tidak berguna bagi hidup kehidupan. Menurut Abu Ishak al-Shatibi, tujuan
hukum Islam adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta yang
kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan
itu kemudian disebut dengan al-Magasid al-Khamsah.
Menurut Juhaya S. Praja, tujuan hukum Islam yang dirumuskan
oleh Abu Ishak al-Shatibi tersebut dapat dilihat dari dua segi, yakni dari
segi pembuat hukum Islam(Allah SWT. dan Rasul-Nya), dan dari segi
manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat
dari segi pembuat hukum Islam, tujuan hukum Islam adalah : pertama,
untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder,
dan tertier yang dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah
daruriyyat, hajjihyat dan tahnissiyat. Kedua, untuk ditaati dan
dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, supaya
dapat ditaati dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya memahami hukum Islam dengan mempelajari usul al-figh
yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai
metodologinya. Disamping itu dari segi pelaku hukum yakni manusianya
sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang
bahagia dan mempertahankan kehidupan itu. Adapun caranya dengan
mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat
bagi kehidupan. Dengan demikian tujuan hakikat hukum Islam adalah
tercapainya keridaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia dan di
akhirat kelak.

D. Sumber Hukum Islam


1. Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang
melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang
bersifat mengikat, yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum Islam dalam Ushul Fiqh diistilahkan dengan
Mashadiru al-Ahkam(Sumber-sumber Hukum), Adillah al-
Ahkam(Dalil-dalil Hukum), dan Ushul al-Ahkam(Dasar-dasar
Hukum).
Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan
pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an
dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SWA). Sebagian
besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya
sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Dalil-dalil di luar al-qur’an adalah sunnah, ijma’ dan qiyas
yang kesemuanya sebenarnya terbit juga dari al-qur’an. Ketiganya
merupakan sumber dari hukum Islam sebagaimana disebutkan dalam
surat an-Nisa’ ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah swt. dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah(al-qur’an) dan Rasul(sunnahnya) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perkataan “taatilah Allah dan taatilah Rasul” pada ayat tersebut
menunjuk pada al-qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum Islam.
Perkataan “Ulil Amri diantara kamu” menunjuk kepada ijma’ sebagai
sumber hukum Islam. Sedangkan kata-kata “kembalikanlah ia kepada
Allah(al-qur’an) dan Rasul(sunnahnya)” menunjuk kepada qiyas
sebagai sumber hukum Islam.
Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing sumber
hukum Islam.

a. Al-Qur’an atau Al-Kitab


1) Pengertian
Al-qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama,
semua ketetapan hukum harus ditetapkan berdasarkan pada
al-qur’an, sebagaimana telah diterangkan dalam al-qur’an
sendiri:
َ‫اس بِ َمآَأ َرىك آهللُ َواَل تَ ُك ْن لِّ ْلخَآِئنِ ْين‬ ِّ ‫َب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ آلن‬ َ ‫ك ْآل ِكت‬
َ ‫ِإنَّآ َأ ْن َز ْلنَآ ِإلَ ْي‬
)105(‫ص ْي ًما‬ ِ ‫َخ‬
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penantang(orang yang tidak
bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.(an-
Nisa:4(105))
Al-qur’an adalah firman Allah swt. yang memiliki
kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang
terakhir(Nabi Muhammad saw.), melalui al-Amin(Malaikat
Jibril) yang ditulis pada mushaf, diriwayatkan kepada kita
secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, dimulai
dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
2) Tahap diturunkannya Al-Qur’an
Turunnya al-qur’an melalui beberapa tahapan. Pertama,
dari Allah swt. ke lauh mahfudh(suatu tempat yang
merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian
Allah swt.) secara sekaligus. Kedua, dari lauh mahfudh ke
baitul izzah(tempat yang berada di langit dunia) secara
sekaligus, tahapan kedua ini yang dinamakan dengan lailah
al-qadr. Ketiga, dari baitul izzah ke dalam hati Nabi melalui
malaikat jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan
kebutuhan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari di dua kota(13
tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah) yaitu mulai dari
malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi,
bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M sampai 9 Dzulhijjah haji
wada’ tahun ke 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijriyah,
adakalanya satu ayat, dua ayat, bahkan kadang-kadang satu
surat.
3) Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
Beberapa hukum yang diatur dalam al-qur’an sebagai
berikut :
a) Hukum Ibadah
Yang termasuk dalam hukum Ibadah adalah shalat,
puasa, zakat, haji, nadzar dan sumpah. Contoh ayat
dalam al-qur’an yang mengatur tentang ibadah adalah
surat al-Imron ayat 97 di bawah ini.
... ‫اع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياَل‬ ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
ِ َ‫ت َم ِن ا ْستَط‬ ِ َّ‫ َوهلِل ِ َعلَى الن‬...
( 97)
Artinya :
... dan karena Allah(wajib) atas manusia berhaji ke
Baitullah bagi mereka yang sanggup pergi atau berjalan
kesana...
b) Hukum Mu’amalah
Yang termasuk dalam hukum Mu’amalah adalah
berbagai transaksi jual beli, sewa menyewa dan pinjam
meminjam. Contoh ayat dalam al-qur’an yang mengatur
tentang mu’amalah adalah surat al-baqarah ayat 188 di
bawah ini.
ْ ُ‫واْأ ْم َولَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْآلبَ ِط ِل َوتُ ْدلُوأبِهَآِإلَى ْآل ُح َّك ِام لِتَْأ ُكل‬
‫وافَ ِر ْيقًا ِّم ْن َأ ْم َو ِل‬ ْ ُ‫َواَل تَْأ ُكل‬
)188( َ‫اس بِآِإْل ْث ِم َوَأ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬ ِ َّ‫آلن‬
Artinya :
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian
yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.
c) Hukum Peradilan
Secara umum dapat dilihat pada surat an-Nahl ayat 90
mengenai kewajiban untuk berlaku adil dalam peradilan.
‫ِإ َّن آهللَ يأمربِ ْآل َع ْد ِل َوآِإْل حْ َس ِن َوِإ ْيتَآِئ ِذى ْآلقُرْ بَى َويَ ْنهَى َع ِن ْآلفَحْ َشآ ِء َو ْآل ُم ْن َك ِر‬
)90( َ‫َو ْآلبَ ْغ ِى يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pengajaran.
d) Hukum Tatanegara
Yaitu hukum yang berkaitan dengan sistem
pemerintahan yang salah satunya terdapat pada surat an-
Nisa’ ayat 83.
‫ف َأ َذا ُعوْ ابِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى آل َّرسُوْ ُل وَِإلَى‬ ِ ْ‫اجآ َءهُ ْم َأ ْم ٌر ِّمنَ آَأْل ْم ِن َأ ِو ْآل َخو‬ َ ‫َوِإ َذ‬
‫ ِم ْنهُ ْم َولَوْ اَل فَضْ ُل آهللِ َعلَ ْي ُك ْم‬,ُ‫ُأوْ لِى آَأْل ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ آلَّ ِذ ْينَ يَ ْستَ ْنبِطُوْ نَه‬
)83( ‫آَل تَّبَ ْعتُ ُم آل َّش ْيطَنَ ِإاَل قَلِ ْياًل‬,ُ‫َو َرحْ َمتُه‬
Artinya :
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya(akan
dapat) mengetahuinya dri mereka(Rasul dan Ulil Amri).
Kalau tidaklah karena karunia dan berkah Allah kepada
kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan kecuali sebagia
kecil saja(diantaramu).
b. Al-Hadits atau As-Sunnah
1) Pengertian
Al-hadits yang sering juga disebut as-sunnah adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik
perkataan, perbuatan maupun pengakuannya.
Diantara beberapa hadits Rasulullah yang memerintahkan
kepada kaum muslimin agar selalu berpegang kepada
sunnahnya adalah riwayat Imam Ahmad dan lainnya dari Abi
Najih al-Irbadh bin Sariyah ra. yang menceritakan bahwa
Rasulullah memberikan nasihat kepad kita dengan suatu
nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata.
Maka kami bertanya kepada beliau : “Hai Rasulullah,
tampaknya nasihat itu nasihat (pamitan) terakhir.” Lalu
beliau menasehati kita, sabdanya :
‫ْش ِم ْن ُك ْم‬َ ‫ َوِإنَّهُ َم ْن يَ ِعي‬،‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َوآل َّس ْم ِع َوآلطَّا َع ِة َواِ ْن تََأ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم َع ْب ٌد‬ ِ ْ‫اُو‬
‫فَ َسيَ َرى ِإ ْختِاَل فًا َكثِ ْيرًافَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِى َو ُسنَّةَ ُخلَفَا ِءآلرَّا ِش ِد ْينَ ْآل ُم ْه ِديِّي َ¨ْن عَضُّوْ ا َعلَ ْيهَا‬
ُّ‫ضاَل لَةٌ َو ُكل‬
َ ‫ات آالُ ُموْ ِر فَِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُكلُّ بِ ْد َع ٍة‬ ُ َ‫بِالنَّ َوا ِج ِذ َوِإيَّا ُك ْم ُمحْ َدث‬
ِ َّ‫ضاَل لَ ٍة فِى الن‬
‫ار‬ َ .
Artinya :
Aku menasehatkan kepadamu agar kamu taqwa kepada
Allah, taat dan patuh, biarpun seorang hamba sahaya
memerintah kamu. Sungguh orang hidup lama(berumur
panjang) diantara kamu nanti, bakal mengetahui adanya
pertentangan-pertentangan yang hebat. Oleh karena itu
hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku, sunnah
khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah
sunnahku dengan taringmu! Jauhilah mengada-adakan
perkara, sebab perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah.
Padahal setiap bid’ah itu tersesat dan setiap tersesat itu di
neraka.
Al-qur’an tidak menjelaskan secara rinci baik mengenai
cara-cara melaksanakan maupun syarat dari beberapa
perintah yang dibebankannya kepada umat. Penjelasan yang
lebih rinci disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya. Hal
ini karena beliau telah diberikan kewenangan untuk itu oleh
Allah swt., dengan firman-Nya pada ayat 44 surat an-Nahl:
...)44(. َ‫اس َمانُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َوَأ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َرلِتُبَي َ¨ِّن لِلن‬
Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu al-qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
2) Pembagian Al-Hadits atau As-Sunnah
a) Berdasarkan dari Pengertiannya
 Sunnah qouliyah
Hadits yang diriwayatkan tentang ucapan(kata-kata)
Nabi saw.
ِ ‫ِإنَّ َما أَأْل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ت‬
Artinya:
Segala amalan itu mengikuti niat(orang yang
meniatkan).(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
 Sunnah fi’liyah atau amaliyah
Hadits yang diriwayatkan tentang perbuatan wudhu’
Nabi saw., shalatnya, hajinya, keputusannya
terhadap suatu perkara dengan seorang saksi dan
sumpah yang terdakwa, dipotongnya tangan kanan
pencuri dan sebagainya.
َ ‫صلُّوْ ا َك َما َرَأ ْيتُ ُموْ نِ ْي ُأ‬
‫صلِّ ْي‬ َ
Artinya:
Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
bershalat.(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Malik
Ibn Hawairits).
 Sunnah taqririyah
Hadits yang diriwayatkan tentang pengakuan atau
pembenaran Nabi saw. terhadap perkataan atau
perbuatan yang bersumber dari sahabatnya, baik
dengan diamnya maupun dengan tidak diingkarinya
ataupun dengan menyatakan persetujuannya, baik
perbuatan atau perkataan sahabat itu dilakukan di
depannya ataupun di belakangnya.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim
bahwa sahabat Khalid bin Walid memakan
dabh(semacam biawak) yang kemudian
dihidangkan kepada Nabi saw., akan tetapi Nabi
saw. enggan untuk memakannya. Lalu, sebagian
sahabat(Khalid) bertanya: “Apakah kita diharamkan
makan dabh, wahai Rasulullah?” Nabi saw.
menjawab:
‫ ُكلُوْ ا فَِإنَّهُ َحاَل ٌل‬،‫ض قَوْ ِم ْي‬ ِ ْ‫ْس فِ ْي َأر‬ َ ‫ َولَ ِكنَّهُ لَي‬، ‫اَل‬
Artinya:
Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di
negeriku(oleh karena itu aku tidak suka
memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia(dabh)
halal.(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
b) Menurut Sanadnya
 Sunnah Mutawatirah(Hadits Mutawattir)
Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul, sejak masa
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, oleh orang banyak
sehingga mustahil mereka sepakat berdusta menurut
adat karena banyak jumlahnya dan perbedaan
pandangan serta budayanya.
Contoh: Hadits tentang pelaksanaan shalat, puasa,
haji, adzan.
َّ ‫ْال َع ْه ُد الَّ ِذى بَ ْينَنَا َوبَ ْينَهُ ْم ال‬
‫صاَل ةُ فَ َم ْن تَ َر َكهَا فَقَ ْد َكفَ َر‬
Artinya:
Perjanjian antara kami dan mereka(orang kafir)
adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka
dia telah kafir.(HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i,
Ibnu Majah)
 Sunnah Masyhurah(Hadits Masyhur)
Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh
beberapa orang sahabat kemudian di masa tabi’in
dan tabi’ tabi’in oleh orang banyak seperti dalam
sunnah mutawatirah.
‫اجبٌ ع ََل ُك ِّل ُمحْ تَلِ ٍم‬ِ ‫ْأل ُغ ْس ُل يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة َو‬
Artinya:
Mandi jum’at wajib atas setiap orang yang telah
ihtilam(mimpi basah).
 Sunnah Ahaad(Hadits Ahad)
Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh
sejumlah orang(dalam generasi sahabat, tabi’in dan
tabi’ tabi’in) yang tak mencapai batas dalam sunnah
mutawatir.
‫ِإ َّن ال ِّد ْينَ يُ ْس ٌر‬
Artinya:
Sesungguhnya agama itu mudah.(Hadits no.9 dari
Abu Hurairah ra.)
3) Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an
a) Menetapkan dan Menguatkan Hukum yang dibawa Al-
Qur’an
Materi hukum sunnah sesuai dengan materi hukum al-
qur’an, seperti hadits-hadits yang menunjukkan kewajiban
shalat, puasa, zakat dan haji.
b) Menjelaskan dan memerinci hukum-hukum al-qur’an yang
masih global atau umum.
c) Membentuk hukum yang tidak dibentuk oleh al-qur’an.
c. Al-Ijma’
1) Pengertian
Ijma’ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu:
 Ittifaq(kesepakatan), seperti dikatakan: “suatu kaum
ialah berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila
mereka menyepakatinya.
 ‘azzam(cita-cita, hasrat) dan tasmin
Seperti dalam firman Allah:
)71( .‫فََأجْ ِمعُوْ ا َأ ْم َر ُك ْم َو ُش َر َكا َء ُك ْم‬
Artinya:
Maka ijma’kanlah urusanmu dan sekutumu.(surat Yunus
ayat 71)
Maksudnya, cita-citakanlah apa urusanmu.
Demikian juga terdapat dalam hadits Nabi saw.:
‫صيَ ِام لِ َم ْن لَ ْم يَجْ َم ِع الصَّوْ ِم لَ ْياًل‬
ِ ‫اَل‬.
Artinya:
Tidak sah puasa seseorang yang tidak mengijma’kan
puasa itu di malam hari.
Maksudnya, tidak mencita-citakannya.
Ijma’ menurut syara’(dalam pandangan jumhur) adalah
kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan
dengan masa setelah wafatnya Nabi saw. tentang suatu
hukum syara’ yang amali.
2) Unsur-unsur Al-Ijma’
Menurut Jumhur Ulama, Ijma’ hanya terwujud apabila
dipenuhi persyaratan atau unsur-unsur sebagai berikut.
a) Bersepakatnya para Mujtahid
Kesepakatan bukan mujtahid(orang awam) tidak
diakui sebagai ijma’. Demikian juga kesepakatan ulama
yang belum mencapai martabat ijtihad fiqhy,
sekalipunmereka tergolong Ulama besar dalam disiplin
ilmu lain, karena mereka ini tidak mampu mengadakan
mazhar atau istidlal tentang urusan penetapan hukum
syara’. Imam Fakhrurazy mengatakan bahwa seorang
pembicara yang tidak mengetahui cara Istinbath hukum
dari nash, tidak diakui perintah dan larangannya.
Berdasarkan prinsip ini,maka apabila pada suatu
masa tidak terdapat para mujtahid, tidaklah terwujud
ijma’ syar’i. Sekurang-kurangnya jumlah mujtahid yang
diperlukan untuk mewujudkan ijma’ itu adalah tiga orang
karena itulah sekurang-kurangnya jumlah jama’ah. Oleh
karena itu, ijma’ tidak terwujud ijma’ tidak akan
terwujud jika terdapat seorang mujtahid saja atau dua
orang. Sebagian ulama mensyaratkan jumlah itu harus
mencapai batas tawatur sehingga aman dari terjadinya
kesalahan.
b) Semua Mujtahid Bersepakat
Tidak ada seorang dari para mujtahid yang
berpendapat lain mengenai suatu permasalahan. Kalau
satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak
tersimpul.
Beberapa kesepakatan yang tidak diakui sebagai
ijma’ oleh sebagian jumhur ulama, yaitu:
 Kesepakatan berdasarkan jumlah suara terbanyak
 Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari
golongan salaf
 Kesepakatan ulama salaf kota Madinah saja
 Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari kota
Basrah dan Kuffah, atau salah satunya saja
 Kesepakatan ahli bait Nabi saja
 Kesepakatan Khulafaurrasyidin saja
 Kesepakatan dua orang syekh: Abu Bakar dan Umar
karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain,
membuat kesepakatan mereka tidak qath’y(diyakini)
keabsahan dan kebenarannya.
c) Bahwa kesepakatan itu, diantara mujtahid yang ada
ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan
dan dibahas, tidak selalu disepakati pula oleh mujtahid
generasi berikutnya, karena jika demikian, maka ijma’
takkan terjadi sampai kiamat.
Tersimpulnya ijma’ tidak disyaratkan bahwa para
mujtahid yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
Tetapi, sebagian ulama mensyaratkan harus seluruh
ulama yang berijma’ itu meninggal barulah
dilaksanakan(berlakunya), karena selama mereka masih
hidup, bisa terjadi penarikan pendapat mereka.
d) Kesepakatan Mujtahid itu terjadi setelah wafatnya Nabi
saw.
Jika dikala Nabi saw. masih hidup para sahabat
bersepakat tentang suatu masalah hukum, maka bukan
termasuk ijma’ syar’i melainkan merupakan pengakuan
Rasul(Sunnah Taqqririyah).
e) Para Mujtahid Mengeluarkan Masing-masing
Pendapatnya
Masing-masing mujtahid memulai penyampaian
pendapatnya dengan jelas pada satu waktu,baik
pernyataan pendapat itu secara perorangan tanpa
berkumpul bersama kemudian semuanya dikumpulkan
dan ternyata sama,maupun masing-masing mereka
mengeluarkan pendapatnya di ruangan yang sama dalam
suatu mu’tamar yang berakhir dengan kebulatan
pendapat dimana masing-masingnya menyatakan
pemufakatan dan persetujuan.
3) Macam-macam Ijma’
 Ijma’ sharih atau Ijma’ Bayaniy, yaitu masing-masing
mujtahid menyatakan dan menegaskan pendapatnya,
baik berupa ucapan ataupun tulisan.
 Ijma’ Sukuty, yaitu seorang mujtahid mengungkapkan
pendapatnya sedangkan mujtahid lain diam saja dan tak
seorangpun yang mengingkarinya.
4) Contoh-contoh Ijma’
 Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah Rasul
Wafat
 Pengkodifikasian al-qur’an pada masa pemerintahan Abu
Bakar dengan usulan khalifah Umar, sehingga Abu
Bakar mengumpulkan para ulama’ untuk bersepakat
dalam pembukuan al-qur’an.
 Penetapan tanggal 1 syawal atau 1 ramadhan, maka harus
disepakati oleh ulama’ di negerinya masing-masing.
d. Qiyas
1) Pengertian
 Manurut bahasa adalah mempersamakan
 Menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah
mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak
ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa
hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan
hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
 Al Baidhawy di dalam Kitabnya Al Minhaj
mendefinisikan qiyas dengan:
‫ت ُم َساواَ ِة ُح ْك ِم ْال ُم ْعلُوْ ِم فِ ْي َم ْعلُوْ ٍم آخَ َرلِ ُم َشا َر ِكتَ ِه لَهُ فِ ْي ِعلَّ ِة ْال ُح ْك ِم َعلَى‬ِ ‫اِ ْثبَا‬
َ‫ال ُم ْثبِت‬.
ْ
Artinya:
Menetapkan samanya hukum yang sudah dimaklumi
dengan sesuatu peristiwa lain yang dimaklumi karena
samanya ‘illat hukumnya menurut pihak penetap.
2) Unsur-unsur Qiyas
a) Peristiwa hukum yang disebutkan hukumnya oleh nash,
disebut asal atau maqis ‘alaih
b) Peristiwa hukum baru yang tidak disebutkan hukumnya
oleh nash dan untuk mencari hukum tersebutlah sasaran
qiyas, disebut furu’ atau cabang dan maqis
c) Hukum asal, yaitu hukum yang dibawa oleh nash
terhadap peristiwanya.
d) ‘illat hukum, yaitu yang dijadikan syar’i sebagai
landasan hukum terhadap peristiwa hukum yang disebut
nash.
3) Macam-macam Qiyas
a) Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan
adanya hukum dan yang disamakan(mulhaq) mempunyai
hukum yang lebih utama daripada tempat
menyamakannya(mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan
memukul kedua orang tua dengan mengatakan
“ah”(cih,hus) kepadanya yang terdapat pada surat Al-Isra’
ayat 23.
...)23(... ٍّ‫فَاَل تَقُلْ لَهُ َما ُأف‬
Artinya:
...Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah”...
b) Qiyas Musawi, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya
mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdapat
dalam mulhaq-nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang
terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, haramnya membakar
harta anak yatim disamakan dengan memakan harta anak
yatim(surat An-Nisa’ ayat 10).
َ‫ِإ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ َأ ْم َوا َل ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا َو َسيَصْ لَوْ ن‬
‫ َس ِع ْيرًا‬.
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api
yang menyala-nyala(neraka).
c) Qiyas Dilalah, yaitu suatu qiyas dimana ‘illat yang ada
pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak
mewajibkan hukum padanya seperti mengqiyaskan harta
milik anak kecil kepada harta orang dewasa dalam
kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan ‘illat bahwa
seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat
bertambah.
d) Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat
diqiyaskan dengan dua mulhaq bih yang mengandung
banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang
budak yang dapat diqiyaskan dengan orang merdeka
karena sama-sama keturunan Nabi Adam as. dan dapat
diqiyaskan dengan harta benda karena sama-sama dapat
dimiliki. Tapi, budak tersebut diqiyaskan dengan harta
benda karena dapat diperjual belikan, dihadiahkan,
diwariskan dan lain sebagainya.
4) Contoh-contoh Qiyas
a) Minum khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan
kepadanya meminum perasan lain yang menjadi khamar
dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar,
karena samanya dalam ‘illat keharamannya yaitu
memabukkan.
b) Jual beli waktu akan shalat Jum’at dilarang dengan nash.
Diqiyaskan kepadanya segala bentuk transaksi dan
transfer dalam waktu itu, karena sama-sama menghalangi
ingat kepada Allah.
c) Surat yang dibubuhi tanda tangan merupakan bukti
terhadap yang membubuhinya. Diqiyaskan kepadanya,
surat yang dicap jari, karena sama-sama menunjukkan
identitas pelakunya.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi


bagian dari agama islam.

 Ruang lingkup Hukum Islam diantaranya adalah


munakahat, wirasah, mu’amalah, jinayat atau ‘ukubah, al-
ahkam al-Sultaniyah(khilafah), Siyar, Mukhassamat

 Tujuan Hukum Islam adalah pertama, untuk memenuhi


keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder,
dan tertier yang dalam kepustakaan hukum Islam disebut
dengan istilah daruriyyat, hajjihyat dan tahnissiyat. Kedua,
untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Ketiga, supaya dapat ditaati dengan
baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya memahami hukum Islam dengan
mempelajari usul al-figh yakni dasar pembentukan dan
pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya.

 Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan


pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah
Rasulullah SWA). Sebagian besar pendapat ulama ilmu
fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum
islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman.1995.Sumber Hukum Islam Permasalahan dan


Fleksibilitasnya.Jakarta:Sinar Grafika

Ali, M.Daud.1988.Islam untuk Disipln Ilmu Hukum, Sosial, dan


Politik.Jakarta:Bulan Bintang

Wailers, Erick.2015.Kumpulan Hadits Nabi Tentang Sholat,online,


(https://www.fiqihmuslim.com/2015/09/kumpulan-hadits-nabi-tentang-
sholat.html?=1) (diakses pada tanggal 2 Maret 2018)

Wikipedia.Sumber-sumber Hukum Islam, online,


(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam#Dasar_hukum)
(diakses pada tanggal 5 Maret 2018)

Anda mungkin juga menyukai