Anda di halaman 1dari 48

Nama : Rifqi Azhar Fadillah

NIM : 4115162130
Kelas : PPKn A 2016
Dosen : Dr. Achmad Husen, M.Pd

MATERI 1
A. Pengertian hukum dalam islam, syariat dan fiqih

Sebelum dikaji bagaimana pandangan hukum Islam tentang wanita, ada baiknya
terlebih dahulu dikaji secara singkat gambaran umum tentang hukum Islam. Untuk
memahami hukum Islam secara singkat, akan diuraikan pada bagian ini pengertian
beberapa istilah yang terkait dengan hukum Islam, seperti syariah, fikih, dan hukum Islam
sendiri, serta hubungan antar berbagai istilah tersebut. Di samping itu, pada bagian ini akan
diuraikan juga sumber-sumber hukum Islam dan ruang lingkupnya. Semua permasalahan
itu akan diuraikan satu persatu seperti di bawah ini.

a. Hukum

Kata hukum berasal dari bahasa Arab hakamayahkumu-hukmun yang berarti


memimpin, memerintah, menetapkan, atau memutuskan, sehingga kata hukmun berarti
putusan, ketetapan, pemerintahan, atau kekuasaan. Dalam KBBI kata ‘hukum’ diartikan
dengan: 1. peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; 2. undang-undang,
peraturan, dsb.; 3. patokan (kaidah, ketentuan); dan 4. keputusan (pertimbangan) yang
ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis..

b. Syariah atau syariat

Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab al-syarī’at yang
berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yan g harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok
bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syara’a berarti menandai atau menggambar jalan
yang jelas menuju sumber air. Dalam pemakaiannya yang bersifat religius, kata syariah
mempunyai arti jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara
fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan

manusia. Alquran menggunakan kata syir’at dan syarī’at (QS. al-Māidat (5): 48 dan QS. al-

Jāsiyat (45): 18) dalam arti dīn atau agama dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan
Tuhan bagi manusia atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia.
Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia
akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-
tumbuhan dan hewan sebagaimana menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa
manusia. Syariah adalah hukum amaliyah yang berbeda di kalangan umat manusia menurut
perbedaan Rasul yang membawanya. Syariah yang datang kemudian mengoreksi dan
membatalkan syariah yang lebih terdahulu, sedangkan dasar agama, yaitu aqidah (tauhid), tidak
berbeda di antara para rasul dan umatnya

c. Fiqih

Secara etimologis kata ‘fikih’ berasal dari kata be rbahasa Arab: al-fiqh (), yang
berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu.8 Dalam hal ini kata ‘ fiqh’ identik
dengan kata ‘ fahm’ () yang mempunyai makna sama. Kata fikih pada mulanya digunakan
orang-orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu
membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Dari
ungkapan ini fikih kemudian diartikan ‘pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
tentang sesuatu hal

Alquran menggunakan kata ‘ fiqh’ atau yang berakar kepada kata ‘ faqiha’ dalam 20
ayat. Dalam pengertian memahami, kata fiqh secara umum berada di lebih dari satu tempat
dalam Alquran. Ungkapan Alquran ‘ liyatafaqqahū fi al-dīn’(QS. al-Taubat (9): 122) yang
artinya ‘agar mereka melakukan pemahaman dalam agama’ menunjukkan bahwa di masa
Rasulullah istilah fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian hukum saja, tetapi juga
mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam, yaitu aspek teologis,
politis, ekonomis, dan hukum. Istilah lain yang searti dengan fiqh adalah ‘ilm. Jadi, kata fiqh
dan ‘ilm pada masa-masa awal digunakan dalam lingkup yang lebih luas.

Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan orang mukallaf.
Atau dengan kata lain, sasaran ilmu fikih adalah manusia serta dinamika dan
perkembangannya yang semuanya merupakan gambaran nyata dari perbuatan-perbuatan
orang mukallaf yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang baik. Studi komprehensif yang dilakukan oleh
para pakar ilmu fikih seperti al-Qādi Husein, Imām al-Subki, Imām Ibn ‘Abd al-Salām, dan
Imām al-Suyūthi merumuskan bahwa kerangka dasar dari fikih adalah zakerhijd atau
kepastian, kemudahan, dan kesepakatan bersama yang sudah mantap. Pola umum dari fikih
adalah kemaslahatan (i’tib ār al-mashālih).
MATERI 2

2. Asas dan prinsip hukum islam

a. Asas hukum islam

Tim pengkaji Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen


Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984 (laporan 1983/1984 :14-27) menyebut
beberapa asas Hukum Islam yang (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana,
dan (3) dalam lapangan hukum perdata:

1) Asas-asas umum : Asas-asas hukum islam yang meliputi semua bidang dan
segala lapangan hukum islam adalah

a. Asas keadilan
b. Asas kepastian hukum
c. Asas kemanfaatan
2) Asas-asas dalam lapangan hukum pidana: Asas-asas dalam lapangan hukum
pidana Islam antara lain adalah

a. Asas legalitas
b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
c. Asas praduga tidak bersalah
3) Asas-asas dalam lapangan hukum perdata

a. Asas kebolehan atau mubah


b. Asas kemaslahatan hidup
c. Asas kebabasan dan kesukarelaan
d. Asas menolak medarat
e. Mengambil manfaat
f. Asas kebijakan
g. Asas kekeluargaan
h. Asas adil dan berimbang
i. Asas mendahulukan kewajiban dari hak
j. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
k. Asas kemampuan berbuat
l. Asas kebebasan berusaha
m. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa
n. Asas perlindungan hak
o. Asas hak milik berfungsi social
p. Asas yang beritikad baik harus dilindungi
q. Asas resiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau
pekerja
r. Asas mengatur sebagai petunjuk
s. Asas perjanjian tertulis atau diucapkan didepan saksi
b. Prinsip Hukum Islam.
Tauhid

Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah ketetapan yang
sama, yaitu, ketetapan tauhid yang ditetapkan dalam kalimat là ilâha illa Allâh (Tiada
Tuhan selain Allah). Al-Quran memberikan ketentuan dengan jelas mengenai prinsip
persamaan tauhid antar semua umat-Nya.

Berdasarkan prinsip tauhid ini, pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah.


Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan diri kepada Allah sebagai
manifestasi pengakuan atas kemahaesaan-Nya dan menifestasi syukur kepada-Nya.
Prinsip tauhid memberikan penjelasan logis tentang manusia tidak boleh saling
menuhankan sesama manusia atau sesama makhluk lainnya.

Konsekuensi prinsip tauhid ini mengharuskan setiap manusia untuk menetapkan


hukum sesuai ketentuan dari Allah (al-Quran dan Sunah). Allah adalah pembuat hukum
(syåri), sehingga siapa pun yang tidak menetapkan hukum sesuai dengan ketetapan
Allah, maka seseorang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang mengingkari
kebenaran, serta zalim karena membuat hukum mengikuti kehendak pribadi dan hawa
nafsu.

Keadilan

Islam memerintahkan agar hidup bermasyarakat ditegakkan keadilan dan ihsan.


Keadilan yang harus ditegakkan meliputi keadilan terhadap diri sendiri, pribadi,
keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan dunia.
Keadilan dalam Hukum Islam meliputi berbagai aspek kehidupan; hubungan
manusia dengan Tuhan ; hubungan dengan diri sendiri; hubungan manusia dengan
sesama manusia (masyarakat); dan hubungan manusia dengan alam sekitar.

Amar Makruf Nahi Munkar

Dua prinsip sebelumnya melahirkan tindakan yang harus berdasarkan asas amar
makruf nahi munkar. Suatu tindakan di mana hukum Islam digerakkan untuk
merekayasa umat manusia menuju tujuan yang baik, benar, dan diridhai oleh Allah swt.
Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada kebaikan,
mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’ruf : kebaikan, nahyi: mencegah,
munkar: kejahatan. Abul A'la al-Maududi menjelaskan tujuan utama dari syariat ialah
membangun kehidupan manusia di atas dasar ma’rifat (manfaat-kebaikan) dan
membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan kejahatan.

Dalam bukunya, Maududi memberikan pemahaman tentang apa yang dimaksud


dengan ma'ruf dan munkar sebagai berikut: Istilah ma’rufat (jamak dari ma’ruf)
menunjukan semua kebaikan dan sifat-sifat yang baik sepanjang masa diterima oleh
hati nurani manusia sebagai suatu yag baik. Munkarât (jamak dari munkar)
menunjukkan semua dosa dan kejahatan sepanjang masa hukuman telah dikutuk oleh
watak manusia sebagai sesuatu yang jahat.

Dalam filsafat hukum Islam dikenal dengan istilah amar makruf sebagai fungsi
sosial engineering , sedangkan nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan
penegakan hukum. Berdasarkan prinsip inilah di dalam hukum Islam adanya istilah
perintah dan larangan; waajib dan haram; pilihan antara melakukan perbuatan yang
kemudian dengan sebutan al-ahkam al-khamsah atau hukum lima, yaitu : wajib haram,
sunah, makruh dan mubah.

Hukum Islam hadir dengan Prinsip nahi munkar untuk memerankan fungsi
social control, memberikan suatu batasan tingkah laku masyarakat yang menyimpang
dan akibat harus diterima dari penyimpangan itu. Sebagai sarana perekayasa sosial
(mengubah masyarakat) amar makruf bertujuan menciptakan perubahan-perubahan
dalam masyarakat menuju kemajuan yang terencana dan berlandaskan keimanan dan
rasa taqwa kepada Allah.
Kemerdekaaan atau Kebebasan (Al-Hurriyyah)

Kebebasan individual berupa penentuan sikap atas berbuat sesuatu atau tidak.
Namun demikian, Islam tetap memberian batasan nilai. Artinya kebebasan yang
diberikan oleh Islam tidaklah bebas Value (nilai) atau liberal apalagi sekuler. Setiap
individu berhak menentukan sendiri sikapnya, namun kebebasan atau kemerdekaan
seseorang tersebut tetaplah dibatasi oleh kebebasan dan kemerdekaan orang lain.

Persamaan atau Egaliter

Dihadapan Tuhan atau di hadapan penegak hukum, manusia baik yang mskin
atau kaya, pintar atau bodoh sekalipun semua berhak mendapat perlakuan yang sama
karena islam mengenal prinsip persamaan (egalite) tersebut.

Tolong-Menolong dan Toleransi

Taàwun yang berasal dari akar kata ta'awana-yata'àwanu atau biasa


diterjemahkan dengan pertolongan tolong-menolong ini merupakan salah satu prinsip
di dalam Hukum Islam. Bantu membantu ini ditujukan sesuai dengan prinsip tauhid,
terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah.

Toleransi yang dikehendaki islam adalah toleransi yang menjamin tidak


terlanggarnya hak-hak islam dan umatnya.
MATERI 3
3. Sumber Hukum Islam
a. Pengertian Sumber hukum

Kata ‘sumber’ dalam hukum fiqh adalah terjemah dari lafadz (‫) مصادر – مصدر‬, lafadz
tersebut terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan dalil ( ‫) الدليل‬
atau lengkapnya “ adillah syar’iyyah” ( ‫) األدلة الشرعية‬. (Sedangkan dalam literatur klasik,
biasanya yang digunakan adalah kata dalil atau adillah syar’iyyah, dan tidak pernah kata “
mashadir al-ahkam al-syar’iyyah” ( ‫ )مصادر األحكام الشرعية‬. Kata sumber ( ‫ مصادر‬,( atau dengan
jamaknya ‫ مصادر‬, dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau
ditimba norma hukum. Sedangkan ‘dalil hukum’ berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan
menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.Berikut 2 pembahasan sumber utama hukum,
yaitu:

1. Alquran.

Kata Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata Qara'a artinya ' membaca.
Bentuk mashdarnya artinya ' bacaan' dan 'apa yang tertulis padanya'. Seperti tertuang
dalam ayat Al-Qur'an : - Secara istilah Alqur'an adalah Kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada
kita dengan jalan mutawatir, bila membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas Al-Jurjani mendefinisikan
Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah tertulis
dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan tidak diragukan.
Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an, meliputi (a).Hukum-hukum
I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah swt,
kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada hari akhirat. (b).
Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. manusia
wajib berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk. (c).Hukum-hukum
Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum
amaliyah ini ada dua; mengenai Ibadah dan mengenai muamalah dalam arti yang luas.
Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal al-
Syakhsyiyah / ihwal perorangan atau keluarga. disebut lebih terperinci dibanding dengan
bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa manusia memerlukan
bimbingan lebih banyak dari Allah swt dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Banyak
manusia yang menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan dan teguran, sedang keluarga
merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan memberi warna terhadap yang lainnya.
Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum, memberi peluang
kepada manusia untuk berpikir, tentu ini sangat bermanfaat, karena dengan pengaturan yang
bersifat umum itu Alqur'an dapat digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat, dan berbagai
kasus dalam sepanjang jaman. Hukum Islam memberi peluang kepada masyarakat dan
manusia untuk berubah, maju dan dinamis. Namun kemajuan dan kedinamisannya harus
tetap dalam batas-batas perinsip umum Alqur'an. Perinsip umum itu adalah Tauhidullah,
persaudaraan, persatuan dan keadilan

2. As-Sunnah atau Al-Hadis As-Sunnah

Sunnah secara bahasa berarti ' cara yang dibiasakan' atau ' cara yang terpuji. Sunnah
lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti: = dekat, = baru, = berita. Dari arti-
arti di atas maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar, seperti
dalam firman Allah Secara Istilah menurut ulama ushul fiqh adalah semua yang bersumber dari
Nabi saw, selain Al-Qur'an baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. Adapun
Hubungan Al-Sunnah dengan Alqur'an dilihat dari sisi materi hukum yang terkandung di
dalamnya sebagai berikut : a. Muaqqid Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah
ditetapkan Al-Qur'an dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang Shalat,
zakat terdapat dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh Al-sunnah. b. Bayan Yaitu al-Sunnah
menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an yang belum jelas, dalam hal ini ada tiga hal :
(1).Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih mujmal, misalnya perintah
shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah. Demikian juga tentang zakat,
haji dan shaum. Dalam Shalat misalnya. (2).Membatasi kemutlakan ( taqyid al-muthlaq)
Misalnya: Al-Qur'an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya.
Kemudian Al-Sunnah membatasinya. (3). Mentakhshishkan keumuman, Misalnya: Al-Qur’an
mengharamkan tentang bangkai, darah dan daging babi, kemudian al-Sunnah mengkhususkan
dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa. (4)
menciptakan hukum baru. Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat,
dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur'an
MATERI 4

Hukum Islam sebagai hukum positif dalam sistem hukum nasional ( Hukum
perkawinan dan Hukum waris)

1. Pengertian Hukum Islam

Kata Hukum Islam tidak ditemukan sam sekali didalam Alquran dan literasi
hukum dalam Islam yang ada dalam alquran adalah kata Syari’ah, Fiqh, Hukum Allah
dan yang seakar dengannya. Kata-Kata hukum Iaslam adalah terjemahan dari term
“islamic law” dari Literatur Barat. Definis Hukum Islam adalh keseluruhan kitab Allah
yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspek atau Hukum islam adalah
Seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allahdan Sunnah Rasul tentang tingkah laku
manusia mukallah yang diakui dan dyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam.

Hukum nasionl adalah hukum yang dbangun oleh bangsa Indonesia, seteah
Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama bagi warga Negara
Republik Indoensia sebagai penggnati hukum kolonial.

Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yangterdiri atas
berbagai suku bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda,ditambah dengan
keanekaragaman hukum yang ditinggalkan olehpemerintah kolonial dahulu, bukan
pekerjaan mudah. Pembangunanhukum nasional akan berlaku bagi semua warga negara
tanpa memandangagama yang dipeluknya harus dilakukan dengan hati-hati, karena di
antaraagama yang dipeluk oleh warga negara Republik Indonesia ini ada agamayang
tidak dapat diceraipisahkan dari hukum. Agama Islam, misalnya,adalah agama yang
mengandung hukum yang mengatur hubunganmanusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat. Bahwa Islamadalah agama hukum dalam arti kata yang
sesungguhnya.

Oleh karenaitu, dalam pembangunan hukum nasional di negara yang


mayoritaspenduduknya beragama Islam seperti di Indonesia ini, unsur-unsur hukum
agama itu harus benar-benar diperhatikan. Untuk itu perluwawasan yang jelas dan
kebijakan yang arif.Karena hukum nasional harus mampu mengayomi dan
memayungiseluruh bangsa dan negara dalam segala aspek kehidupannya,
makamenurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh (1989) dalam merencanaka
pembangunan hukum nasional, kita wajib menggunakan wawasan nasional yang
merupakan tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, yaitu: wawasan
kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan bhineka tunggal ika. Dipandang dari
wawasan kebangsaan sistem hukum nasional harus berorientasi penuh pada aspirasi
serta kepentingan bangsa Indonesia.

Wawasan kebangsaan ini, menurut Menteri Kehakiman, bukanlah wawasan


kebangsaan yang tertutup, tetapi terbuka memperhatikan kepentingan generasi yang
akan datang dan mampu menyerap nilai-nilai hukum modern. Karena yang dianut
dalam pembangunan hukum nasional juga wawasan nusantara yang menginginkan
adanya satu hukum nasional, maka usaha unifikasi di bidang hokum harus sejauh
mungkin dilaksanakan. Ini berarti seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu
sistem hukum yaitu sistem hukum nasional. Akan tetapi, demi keadilan, kata Menteri
Kehakiman, hukum nasional yang akan diwujudkan berdasarkan kedua wawasan itu,
harus juga memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan kebutuhan
hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Oleh karena
itu, di samping kedua wawasan tersebut, pembangunan hukum nasional harus
mempergunakan wawasan bhinneka tunggal ika. Dengan mempergunakan wawasan
tersebut, unifikasi hukum yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus
menjamintertuangnya aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan hubungan masyarakat
kedalam sistem hukum nasional. Dengan wawasan Bhinneka Tunggal Ika ini,
keragaman suku bangsa, budaya dan agama sebagai aset pembangunan nasional harus
dihormati, sepanjang, tentu saja, tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
(Mardani, 2009)

b. Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional


Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional,hukum Islam
telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya.
Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen.

Pertama, UU No. I tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 Undang-


undang ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang
dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam.

Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh
mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam
masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam
kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan
pengembangannya.

Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islamdalam hukum


nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensimerumuskan keadaan
hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa
hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak
tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum. Teori
eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan
tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, yaitu: (1) Ada, dalam
arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; (2) Ada, dalam arti
kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan dan wibawanya, dan diberi status
sebagai hukum nasional; (3) Ada, dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam
yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia; (4) Ada,
dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama. Jadi, secara eksistensial, kedudukan
hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional.
Karenanya, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan
dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui
problema dan kendalanya yang belum pernah usai.

Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran


keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan
masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum, selalu sama-sama
menuntut ketaatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan antara keduanya sangat
erat. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat.
Keduanya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Keduanya tidak boleh
dibiarkan saling bertentangan.
MATERI 5

Pengertian tujuan, Prinsip diperhatikan sebelum perkawinan

A. Pengertian perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan
dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-
hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Hukum Islam
mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara
pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. Perkawinan
menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membemtuk keluarga
yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal
Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan
pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah.
Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal
1 Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) dan KHI maka
pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU
Perkawinan tidak terdapat perbedaan prinsipil (Hamid Sarong, 2010:33), sebab
pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan ialah: “ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Dalam bahasia Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh (Kamus Besar Bahas Indonesia, 1994:456).
Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin menyatakan
perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini
perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materil, yakni
membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila (Soedharyo Saimin,
2002:6). Ali Afandi menyatakan perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
Persetujuan kekeluargaan dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi
mempunyai ciri-ciri tertentu (Ali Afandi, 1984:94).
Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah
jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang ditentukan
oleh syariat islam dan hukum negara, maka ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah
putus untuk mengakhiri hubungan suami isteri. Tali ikatan pernikahan itu tidak dapat
diputuskan oleh pasangan suami isteri dengan alasan yang tidak kuat dan dibuat-buat.
Tali ikatan pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika mempunyai alasan
yang kuat dan sesuai dengan ketentuan hukum syariat serta hukum negara dan tidak ada
jalan lain untuk mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap kukuh selama-
lamanya.
Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan mempunyai 4 (empat)
unsur, yakni : 1) ikatan lahir batin, maksudnya dalam suatu perkawinan tidak hanya ada
ikatan lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali
menpelai perempuan dengan menpelai laki-laki yang disaksikan oleh 2 (dua) orang
saksi yang disertai penyerahan mas kawin, tetapi ikatan batin yang diwujudkan dalam
bentuk adanya persetujuan yang ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak
ada unsur paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang peranan
yang sangat penting untuk memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan keluara
bahagia dan kekal. 2) antara seorang pria dengan seorang wanita, maksudnya dalam
suatu ikatan perkawinan menurut UU perkawinanhanya boleh terjadi antara seorang
pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi isteri. Dengan demikian pasal 1 UU
perkawinan menganut azas monogami. 3) membentuk keluarga Bahagia dan kekal,
maksudnya perkawinan bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kesenangan,
kenyamanan, ketentraman lahir dan batin untuk selama-lamanya dalam kehidupan
berumah tangga. Dalam arti perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga
harusmampu membawa ketenangan dan ketentraman sampai akhir hayatnya. 4)
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya perkawinan harus berdasarkan
pada ketentuan agama, tidak boleh perkawinan dipisahkan dengan agama. Dalam arti
sahnya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan yang diatur dalam hukum agama.

B. Tujuan Pernikahan
Berbicara mengenai tujuan pernikahan atau tujuan perkawinan, kedua belah pihak antara laki-
laki dan perempuan melangsungkan pernikahan atau perkawinan bertujuan untuk memperoleh
keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai tujuan
pernikahan akan dibahas sebagai berikut.

1. Tujuan Pernikahan Sakinah (tenang)


Salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan adalah untuk memperoleh keluarga yang
sakinah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini seseorang yang melangsungkan pernikahan
berkeinginan memiliki keluarga yang tenang dan tentram. Dalam Tafsirnya Al-Alusi
mengatakan bahwa sakinah adalah merasa cenderung kepada pasangan. Kecenderungan ini
merupakan satu hal yang wajar karena seseorang pasti akan merasa cenderung terhadap
dirinya.Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai dengan aturan Islam maka yang tercapai
adalah ketenangan dan ketentraman, karena makna lain dari sakinah adalah ketenangan.
Ketenangan dan ketentraman ini yang menjadi salah satu dari tujuan pernikahan atau
perkawinan. Karena pernikahan adalah sarana efektif untuk menjaga kesucian hati agar
terhindar dari perzinahan.

2. Tujuan Pernikahan Mawadah dan Rahmah


Tujuan pernikahan yang selanjutnya adalah untuk memperoleh keluarga yang mawadah dan
rahmah. Tujuan pernikahan Mawadah yaitu untuk memiliki keluarga yang di dalamnya
terdapat rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Tujuan pernikahan
Rahmah yaitu untuk memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni
yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.Mengenai pengertian mawaddah
menurut Imam Ibnu Katsir ialah al mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar rahmah adalah ar-ra’fah
(kasih sayang). Mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima’ sebagai konsekuensi
dilangsungkannya pernikahan. Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah dari keturunan
yaitu terlahirnya keturunan dari hasil suatu pernikahan. Ada juga yang mengatakan bahwa
mawaddah hanya berlaku bagi orang yang masih muda sedangkan untuk ar-rahmah bagi orang
yang sudah tua.

C. Prinsip Perkawinan dalam Islam


Prinsip perkawinan dalam islam terdapat dalam Q.IV : 3
1. Apabila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim (yang kamu
berkewajiban memeliharanya)
2. Maka nikahilah wanita-wanita tertentu yang baik boleh dua, tiga atau empat
3. Tetapi apabila kamu takut tidak akan berlaku adil (terhadap istri-istri kamu
itu) maka nikahilah oleh kamu fawahidathan atau fawahidah atau satu
perempuan saja.
4. Bahwa nikah dengan satu orang perempuan itu saja adalah lebih baik agar
kamu terhindar dari perbuatan aniaya
Dari tafsir Q. IV : 3 ini dapat kita ikuti beberapa pendapat tentang prinsip
perkawinan menurut hukum islam pada umumnya hanya ada dua pendapat :

1. Bahwa prinsip perkawinan menurut hukum islam bertitik tolak dari Q IV: 3
ini da hadits fi’il dari Rasulullah maka prinsipnya perkawinan itu adalah
poligami, maka nikahilah oleh kamu dua dan seterusnya
2. Bertitik tolak juga dari Q IV: 3 ini maka pendapat kedua bahwa hukum islam
itu prinsipnya adalah monogamy tetapi poligami adalah pengecualian.
Pendapat pertama bahwa prinsip perkawinan menurut islam adalah
poligami,yaitu nikahilah oleh kamu wanita-wanita yang baik dua, tiga atau empat.
Bilamana dihubungkan dengan quran surah IV ayat 127, bahwa tambah dapat
dibenarkan bahwa prinsip perkawinan menurut hukum islamitu adalah poligami,
apabila ditanyakan kepada Nabi Muhammad SAW siapa-siapa wanita yang boleh
dikawini dua, tiga atau empat itu ialah wanita anak yatim yang berada dalam
pemeliharaan kamu atau ibu dari anak yatim itu. Jadi makin tampak dengan jelas
menurut tafsiran ini, boleh bebas beristri dua, tiga atau empat itu dengan wanita mana
pun asal dapat berlakuadil (Hazairin: 1974). Sedangkan menurut pendapat kedua dalam
tafsiran ini bahwa prinsipnya adalah monogami. Apabila kamu tidak dapat berlaku adil
terhadap anak yatim dalam pemeliharaan kamu maka nikahilah wanita-wanita ibu dari
anak yatim itu boleh dua tiga atau empat. Tetapi apabila kamu takut tidak akan berlaku
adil terhadap istri-istri kamu itu kelak, maka nikahilah oleh kamu wanta itu satu saja
(Ramulyo, 2004).

Prinsip perkawinan dalam islam yang terdapat pada sumber yaitu agar suatu
pernikahan dapat mencapai tujuannya yaitu duniawi menuju kebahagiaan akhirat, maka
Islam menggariskan sejumlah prinsip dasar, antara lain adalah :

1. Kebebasan dalam memilih jodoh Proses peminangan yang dilanjutkan dengan


ta’aruf terhadap perempuan yang diinginkan menunjukkan adanya prinsip
kebebasan laki-laki memilih jodoh. Meski Islam memberikan hak pilih dalam
memilih jodoh, namun tetap ada rambu-rambu agar tidak salah dalam memilih
jodoh, yaitu agama sebagai pertimbangan utama. Kebahagiaan keluarga dapat
terwujud jika suami isteri yang menjalankan agamanya dengan baik (taat).
2. Sakinah, mawaddah dan rahmah
Mawaddah secara bahasa bermakna cinta kasih, sedangkah rahmah berarti kasih
sayang. Mawaddah wa Rahmah terbentuk dari suasana hati yang ikhlas dan rela
berkurban demi kebahagiaan pasangannya. Pernikahan yang meskipun
mengandung tujuan melanjutkan keturunan, namun pada hakekatnya adalah
untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT.
3. Saling melengkapi dan melindungi
Posisi atau kedudukan suami dan isteri adalah sederajat, saling menutupi aib,
melindungi, membutuhkan dan melengkapi, karena masing-masing mempunyai
keunggulan dan kelemahan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi
kebutuhan pasangannya, menutupi aibnya ibarat pakaian yang menutupi tubuh.
4. Mu’asyarah bi al-Ma’ruf
Prinsip ini berdasar al Qur’an surat al-Nisa’ (3) Ayat tersebut menjelaskan
bahwa Islam memperhatikan kaum perempuan. Hal ini juga dikuatkan hadits
nabi pada peristiwa haji wada’ yang mewasiatkan kaum Muslimin bahwa isteri
adalah amanat dari Allah kepada para suami/laki-laki. Nabi adalah tauladan
dalam memperlakukan isterinya dengan lembut, sopan santun bahkan tidak
segan pula beliau mengambil alih mengerjakan tugastugas rumah tangga
(Ainiyah, 2018).

D. Sumber hukum perkawinan di Indonesia


1. Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup dan tujuannya antara lain adalah
untuk memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya
terdapat didalam QS. Al-Dzariyat:49, QS.Yasin:36, QS.al-Hujurat:13, QS.al-
Nahl:72.
b. Perkawinan adalah untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup
serta menumbuhkan rasa kasih sayang khususnya antara suami istri, kalangan
keluarga yang lebihluas, bahkan dalam kehidupan umat manusia umumnya. Hal
ini dapat dilihat didalam QS. Al-Rum:21, QS.An-nur:32.
c. Larangan-larangan Allah untuk dalam perkawinan dapat dilihat didalam
QS.al-Baqarah:235, QS.Al-Nisa:22-23, QS.an-Nur:3, QS.al-Baqarah:221,
QS.al-Maidah:5, QS.al-Mumtahanah:10.
d. Perintah berlaku adil dalam perkawinan dapat dilihat di dalam QS. An-
Nisa’:3 dan 34.
e. Adanya peraturan dalam melakukan hubungan suami istri terdapat di dalam
QS. Al-Baqarah:187, 222, dan 223.
f. Aturan-aturan tentang penyelesaian kemelut rumah tangga terdapat di dalam
QS.an-Nisa’:35, QS. Al-Thalaq:1, QS. Al-Baqarah:229-230.
g. Aturan tentang masa menunggu (‘iddah) terdapat di dalam QS.al-
Baqarah:226-228, 231-232, 234, 236-237, QS. Al- Thalaq:1-2, 4, 7, dan 66,
serta QS al-Ahzab;49.
h. Hak dan kewajiban dalam perkawinan terdapat di dalam QS. Al-Baqarah:
228-233, serta QS. An-Nisa’:4.
i. Peraturan tentang nusyuz dan zhihar terdapat di dalam QS. An-Nisa’:20 dan
128, QS. Al-Mujadalah:2-4, QS. An-Nur;6-9.

2. Al Hadist
Meskipun Al-Quran telah memberikan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan
dengan sangat terperinci sebagaimana disebutkan diatas, tetapi masih diperlukan
adanya penjelasan penjelasan dari sunnah, baik mengenai hal-hal yang tidak disinggung
maupun mengenai hal-hal yang telah disebutkan Al- Qur’an secara garis besar.
Beberapa contoh sunnah mengenai hal-hal yang tidak disinggung dalam Al-Quran
dapat disebutkan antara lain sebagai berikut:
a. Hal-hal yang berhubungan dengan walimah.
b. Tata cara peminangan.
c. Saksi dan wali dalam akad nikah.
d. Hak mengasuh anak apabila terjadi perceraian.
e. Syarat yang disertakan dalam akad nikah.

Beberapa contoh penjelasan sunnah tentang hal-hal yang disebutkan dalam Al-
Qur’an secara garis besar sebagai berikut:
a. Pengertian quru’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai masa ‘iddah
perempuan yang ditalak suaminya.
b. Bilangan susuan yang mengakibatkan hubungan mahram.
c. Besar kecilnya mahar.
d. Izin keluar rumah bagi perempuan yang mengalami ‘iddah talak raj’i.
e. Perceraian yang terjadi karena li’an merupakan talak yang tidak memungkinkan
bekas suami istri kembali nikah lagi.
MATERI 6

Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum perkawinan

6.. Persiapan Perkawinan


1. Memilih jodoh yang tepat
Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata,
bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa
agama. Karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah
Nabi. Oleh karena itu, Islam memberi pedoman memilih jodoh yang tepat. Sesuai
dengan hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah menjelaskan :
“perempuan dinikahi pada umumnya atas pertimbangan empat faktor, yaitu
kecantikannya, kekayaannya, pangkatnya (status sosialnya), dan agamanya. Maka
pilihlah perempuan yang kuat agamanya, kamu pasti beruntung”. Yang dimaksud
dengan memilih perempuan yang kuat agamanyaadalah komitmen keagamaannya atau
kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama
karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat lenyap dan kecantikan
suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan, suatuketika akan hilang
2. Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki
kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang
dipercayai. Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu
pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Menurut etimologi
meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi
diri sendiri atau orang lain). Sedangkan menurut terminologi peminangan ialah
kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dapat dijelaskan bahwa seorang laki-laki bebas
untuk meminang seorang wanita, baik perawan atau janda yang ingin dijadikan istrinya.
Kecuali wanita tersebut masih terdapat keterikatan dalam ikatan pinangannya dengan
pria lain. Selain itu seorang laki-laki tidak boleh meminang wanita yang sedang dalam
masa iddah karena dalam masa iddah itu, bekas suaminya masih mempunyai hak untuk
merujuk isteri, jika hal itu diinginkannya. Disamping itu, dalam masa iddah juga dapat
memperjelas status kandungan seorang janda, serta dapat mengetahui hamil atau tidak
hamil dari perkawinan sebelumnya.

3. Melihat perempuan yang dipinang


Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu
boleh saja. Hal ini didasarkan pada Hadits Rasullullah SAW. Dari Musa bin Abdullah
menurut riwayat Ahmad yang berbunyi : “…..berkata Rasul Allah SAW. Bila salah
seorang diantaramumeminang seseorang perempuan tidakada halangannya melihat
kepadanya bila melihat itu adalah untuk kepentingan peminangan, meskipun
perempuan itu tidak mengetahuinya”. (H.R.Ahmad). Adapula sebagian ulama yang
berpendapat bahwa melihatperempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Hal
inididasarkan kepada Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad danAbu Daud
dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya: “….apabila salah seorang diantara kamu
meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah
dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah”.
(H.R. Ahmad dan Abu Dawud) Meskipun hadits Nabi menetapkan boleh melihat
perempuanyang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Batasananggota
badan yang boleh dilihat adalah:
a) Jika yang melihatnya sama-sama perempuan, seluruh anggota badannya
boleh dilihat, dan perempuan yang diutus oleh pihak laki-laki harus mengatakan
sejujur-jujurnya tentang keadaan perempuan yang dimaksudkan, sehingga
jangan sampai pihak laki-laki tertipu.
b) Jika yang melihatnya pihak laki-laki, bagian yang diperbolehkan hanya muka
dan telapak tangan, karena selain itu merupakan aurat yang haram dilihat.
Larangan melihat anggota tubuh selain muka dan telapak tangan didasarkan
kepada dalil Al-Qur’an yang terdapat dalam surat An-Nur ayat 31: “dan
janganlah merekamenampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampakdarinya.” (Q.S. An-Nur:31). Hadits Nabi dari Khalid ibn Duraik dari
Aisyah menurut riwayat Abu Daud pun menegaskan bahwa batas umum aurat
seorang perempuan yang mungkin dapat dilihat hanya muka dan telapak tangan.
Hadits Nabi tersebut berbunyi:“Asma’ binti Abi Bakar masuk kerumah Nabi
sedangkan dia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan
berkata : hai Asma’ bila seorang perempuan telah haid tidak boleh terlihat
kecuali ini dan ini. Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tangannya.”
Alasan mengapa hanya muka dan telapak tangan saja yang bolehdilihat, karena
dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannyadan dengan melihat telapak
tangan dapat diketahui kesuburanbadannya (Amir Syarifuddin, 2006:57).
Adapun waktu melihat kepadaperempuan tersebut adalah saat menjelang
menyampaikan pinangan,bukan setelahnya, karena apabila laki-laki tersebut
tidak suka setelahmelihat maka laki-laki tersebut akan dapat meninggalkannya
tanpamenyakitinya

c. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berlangsungnya perkawinan


d. Hubungan suami istri (Seperti hak dan kewajiban suami istri, adab berhubungan
suami istri, membentuk rumah tangga samawa, dll)
e. Hubungan suami istri ( speerti hak dan kewajiban suami istri, adab berhubungan
suami istri, membentuk rumah tangga samawa, dll)
Materi 7

Hal-Hal yang Harus diperhatikan saat Berlangsungnya Perkawinan

A. Akad Nikah (Dasar Hukum dan Rukun Akad Nikah)

Seperti telah dibahas sebelumnya, berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat perkawinan,
salah satunya adalah bahwa dalam perkawinan harus ada akad yang jelas dalam bentuk ijab
kabul. Ijab diucapkan oleh wali dari pihak mempelai perempuan, sedangkan kabul adalah
pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, telah jelaslah bahwa akad
nikah sangat penting dalam perkawinan, sebab akad nikah merupakan hal yang paling pokok
dalam perkawinan. Akad nikah sebagai penentu sahnya perkawinan dalam hukum Islam
dijamin kelangsungannya, karena telah termuat didalam UU Perkawinan dan KHI. Menurut
hukum syara’, akad nikah sendiri mempunyai pengertian yaitu suatu yang membolehkan
seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadzh “menikahkan atau
mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab kabul antara wali dan calon mempelai
pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya

1. Dasar Hukum Akad Nikah


Pernikahan adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasullullah SAW. Dan
akadnya merupakan suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh dianggap main-main.
Oleh karena itu, akad nikah harus didasarkan pada landasan dan pondasi yang kuat.
Landasan akad nikah didasarkan pada tiga hal yaitu:
a. Keyakinan atau keimanan. Iman merupakan sesuatu yang sangat penting bagi
kehidupan seseorang. Imanlah yang menjadi syarat diterimanya amal perbuatan
manusia. Mengingat pentingnya iman bagi seseorang, sudah seharusnya bila akad
nikah menetapkan tauhid ini menjadi dasar atau asas pertamanya. Artinya, akad
nikah tidak boleh bertentangan dan harus menumbuhkan serta memupuk iman
seseorang. Suatu ikatan perkawinan diharapkan kokoh dan kuat sehingga apapun
ujian dan goncangan yang ada dikemudian hari tidak akan goyah dan sirna, karena
antara mempelai laki-laki dan perempuan melakukan akad nikahnya dengan
dilandasi oleh keimanan yang mapan.
b. Al-Islam. Maksudnya bahwa akad nikah merupakan suatu aktivitas ibadah yang
telah dicontohkan oleh Rasullullah SAW. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya
harus sesuai dengan ajaran-ajaran dan norma-norma Islam yang bersumber pada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul , serta ijtihad, terutama dalam bentuk Ijma’ dan Qiyas.
Dasar hukum akad nikah apabila ditinjau dari aspek kusus dan lebih spesifik
terdapat dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 21: “…bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.” (Q.S. An-Nisa : 21) Pada ayat ini, dengan tegas Allah
menyatakan bahwa nikah itu bukanlah suatu perjanjian yang biasa saja, tetapi suatu
perjanjian yang kuat, perjanjian yang kuat disini maksudnya adalah akad nikah.

2. Rukun Akad Nikah Perkawinan dalam Islam bukanlah semata-mata hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 KHI bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati
perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah. Dalam KHI, rukun nikah
terdapat dalam Bab IV bagian kesatu pasal 14 yang salah satu rukunnya yaitu ijab dan
kabul. Ijab dan kabul merupakan rukun yang paling pokok. Dikatakan rukun yang
paling pokok dalam perkawinan, karena ada perlambang yang tegas untuk
menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambang itu diutarakan
dengan kata-kata kedua belah pihak yang mengadakan akad. Para ulama telah sepakat
bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun akad nikah yaitu:
a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon penganti perempuan.
b. Calon pengantin itu kedua-duanya telah dewasa dan berakal.
c. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut.
d. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
e. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki.
f. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki yang adil.
g. Harus ada upacara ijab kabul.

B. Wali Nikah

Wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, karena tidak sah nikah
tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan. Hal tersebut telah ditegaskan oleh
madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah dan Madzhab Hanbaliyah. KHI pun telah
menegaskan dalam pasal 19 bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Syarat-syarat menjadi seorang wali adalah:
a. Beragama Islam
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Laki-laki
e. Adil.

Adil yang dimaksudkan disini adalah, wali taat beragama islam dan wali tidak
mendapat tekanan apapun, maka disamping keempat syarat tersebut di atas, maka
seseorang sudah cakap bertindak sebagai wali.

C. Saksi Nikah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peranan saksi dalam akad nikah
sangat penting, mengingat saksi merupakan salah satu rukun nikah dan menjadi syarat
sahnya suatu pernikahan. Suatu pernikahan tidak sah apabila tidak disaksikan oleh
minimal dua orang saksi. Seperti yang dijelaskan oleh Hadits Nabi SAW. Yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yaitu: “tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil…” Untuk dapat menjadi saksi dalam akad nikah diperlukan syaratsyarat
sebagai berikut:
a. Laki-laki muslim
b. Berakal sehat
c. Baligh
d. Adil (beragama dengan baik)
e. Mendengar dan memahami sighat akad (dalam Pasal 25 KHI disebut dengan istilah
tidak tuna rungu atau tuli). Pasal 26 KHI menyebutkan bahwa: “saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu
dan ditempat akad nikah dilangsungkan”.
Materi 8

Hubungan Suami Itsri (seperti hak dan kewajiban suami istri, adab berhubungan suami
istri, membentuk rumah tangga samara)

a. Hak dan kewajiban suami istri

Umum :

1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang
sakinanh, mawaddah dan warahman yang menjadi dasar dari susunan masyyarakat
2. Suami istri wajib saling mencintai, saling mengjormati, setia dan memberi bantuan lahir
batin yang satu kepada yang lain
3. Suami istri memikuk kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak merka,
baik mengenani pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan pendidikan
gamanya
4. Suami istri memelihara kehormatannya
5. Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan Agama
6. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
7. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri bersama

Kewajiban suami

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai
hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri secara
bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memeberikan sega;a sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
3. Suami istri memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatn dan biaya pengobatan bagi istri dan anak
c. Biaya pendidikan anak
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas
mulai berlaku sesudah ada tamkim sempurna dari istrinya
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf a dan b
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz

Kewajiban istri

1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan islam
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan
sebaik-baiknya
3. Istri dapat dianggap musyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
4. Selama istri dalam nusyu, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak
nusyuz
6. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti
yang sah

b. adab berhubungan suami istri

Ada beberapa adab yang telah diajarkan oleh Islam ketika suami istri ingin menyalurkan hasrat
bercintanya. Berikut adab-adab saat jima’, bercinta atau berhubungan intim di ranjang:

1. Ikhlaskan niat untuk cari pahala


2. Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu
3. Membaca doa sebelum hubungan intim
4. Menyetubuhi istri dari arah mana pun asalkan bukan di dubur
5. Tidak boleh sama sekali menyetubuhi istri di dubur, apa pun keadaannya
6. Jika ingin mengulangi hubungan intim, hendaklah berwudhu dahulu
7. Dilarang menyetubuhi wanita di waktu haidhnya
8. Boleh melakukan azl, menarik penisnya dari vagina si wanita sebelum terjadi ejakulasi
9. Tidak boleh menyebar rahasia hubungan ranjang
c. keluarga Samawa

Kehidupan rumah tangga yang bisa awet, langgeng, sakinah (tentram) dan bahagia
adalah apabila dinamika hidup sehari-hari dilalui dengan menyenangkan. Anjuran Nabi dan
kriteria Jabir dalam memilih calon istri terkesan berbeda namun memiliki tujuan yang sama
yakni bagaimana agar rumah tangga yang akan dijalani dapat menyenangkan. Umumnya,
seorang pemuda akan memilih seorang gadis karena hubungan suami-istri tak ubahnya dengan
pergaulan antar-teman yang umumnya memilih teman sebaya sebagai kawan akrab. Itulah
mengapa Nabi menganjurkan Jabir menikahi seorang gadis. Namun, Jabir adalah seorang
pemuda yang memiliki pandangan ke depan yang dewasa dan tidak egois. Ia tidak hanya
mementingkan dirinya sendiri, tapi juga kepentingan saudara-saudara perempuannya. Bagi
Jabir, istri yang menyenangkan adalah apabila selain dapat menyenangkan hatinya, ia juga
dapat menyenangkan dan membimbing adik-adiknya. Terlepas dari itu, poin yang ingin
disampaikan di sini adalah bahwa membuat suasana rumah tangga menyenangkan itu penting.
Poin-poin di bawah dapat dipakai sebagai titik awal untuk menjadikan suasana rumah tangga
lebih menyenangkan.

Pertama, canda. Setiap hal ada waktunya. Tegas itu perlu, bercanda juga tak kalah
penting. Humor yang segar dan sesuai momentum akan mengendirkan suasana yang tegang.
Kalau pasangan Anda kurang memiliki rasa humor yang baik, ajari dia dengan cara yang sesuai
dengan gaya Anda.

Kedua, saling mengagumi. Setiap orang pasti punya kelebihan. Kagumi kelebihannya,
dan lupakan dan tak perlu disebut kekurangannya.

Ketiga, saling menghormati. Jangan meremehkan pasangan Anda walaupun level


pendidikannya lebih rendah. Keunggulan dalam pendidikan bukan berarti unggul dalam hal
lain terutama dalam aspek kecerdasan sosial dan emosional.

Keempat, saling memberi hadiah. Biasanya kita sibuk memberi hadiah pada teman, dan
tetangga pada peristiwa tertentu. Mengapa tidak memberi hadiah pada pasangan sendiri?
Hadiah diberikan tidak harus bertepatan dengan hari tertentu, tapi bisa juga sebagai ungkapan
terima kasih atau permintaan maaf. Rasulullah menganjurkan agar manusia saling memberi
hadiah karena hadiah dapat melunakkan hati.
Kelima, memberi semangat. Kalau pasangan sedang down dan putus asa, beri dia
semangat dan harapan. Jangan ikut putus asa karena itu akan menambah bebannya.

Keenam, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengarkan dengan baik saat


pasangan Anda berbicara dan beri respons dengan benar dan tepat. Kalau sekiranya tidak dapat
memberi respons yang pas, lebih baik diam dan dengarkan dengan antusias. Itu jauh lebih baik
daripada respons yang tidak nyambung.

Ketujuh, jalan-jalan. Jalan-jalan ke suatu tempat wisata adalah salah satu cara
menghilangkan kejenuhan.Insyaallah, dengan tujuh poin di atas, maka hubungan suam-istri
akan terasa menyenangkan, akan saling membutuhkan dan saling merindukan satu sama lain
(QS Ar-Rum 30:21).
MATERI 9

Putusnya perkawinan dalam islam, idah dan rujuk

9. Putusnya perkawinan dalam islam, idah dan rujuk


a. Putusnya perkawinan

Putusnya perkawinan dalam ketentuan Pasal 38 UU Perkawinan terjadi karena:


a) Kematian, b) Perceraian, dan c) Atas Putusan Pengadilan. Hal-hal yang akan dibahas
secara lebih luas adalah terkait dengan perceraian dan putusan pengadilan sebagai sebab
putusnya perkawinan. Sedangkan akibat dari kematian yang menyebabkan putusnya
perkawinan tidak lagi dibahas. Karena dalam realitasnya, tidak terlihatadanya polemik
di dalam masyarakat terkait dengan penyebab putusnya perkawinan dikarenakan
kematian, jika dibandingkan dengan terjadinya perceraian maupun atas putusan
pengadilan. Kematian difahami sebagai bagian dari suratan takdir ilaahi rabbi.

Menurut hukum Islam istilah perceraian disebutkan dalam bahasa Arab, yaitu
talak,yang atinya melepaskan ikatan. Talak menurut istilah ialah melepaskan ikatan
pernikahan dengan kata-kata talak atau yang seumpamanya, misalnya “aku talak
engkau”. Dengan ucapan yang demikian maka putuslah ikatan pernikahan antara suami
istri tersebut. Menurut hukum perkawinan nasional bagi suami yang ingin menjatuhkan
talak untuk menceraikan istrinya, harus mengajukan permohonan ke pengadilan agama
bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU Perkawinan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Berdasarkan bunyi pasal di atas, perceraian dapat terjadi apabila dilakukan di


depan sidang pengadilan. Itu artinya, tidak ada perceraian dalam bentuk apapun yang
dapat dilakukan di luar sidang pengadilan. Karena perceraian yang dilakukan di luar
pengadilan, sama halnya denga perkawinan yang tidak dicatat. Perkawinan yang tidak
dicatat tidak diakui oleh hukum dan oleh sebab itu maka tidak dilindungi hukum. Lebih
tegas lagi dapat dikatakan bahwa perceraian yang dilakukan di luar pengadilan tidak
mempunyai kekuatan hukum tetap (no legal force). Suatu perceraian yang dilakukan
dil uar pengadilan akan menimbulkan kesulitan bagi si istri atau bahkan bagi si suami.
Hal ini tampaknya menjadi realitas umum yang terjadi di masyarakat, bahwa dalam
setiap talak yang dijatuhkan oleh seorang suami terhadap istrinya terjadinya di luar
pengadilan dan biasanya terucapkan di lingkungan rumah tangganya.

Dalam kondisi ini, suami tidak memperhitungkan hak-hak istrinya sebagai


akibat dari perceraian tersebut. Maka dari itu, ketentuan hukum perkawinan mengatur
pentingnya penyelesaian perkara perceraian untuk dilakukan di depan sidang
pengadilan, karena hal ini juga sejalan dengan tujuan adanya UU Perkawinan yang
terdapat dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang menjelaskan bahwa UU Perkawinan bertujuan antara lain untuk
melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya.Ketentuan
hukum Islam sendiri memandang bahwa perceraian merupakan keniscayaan yang tidak
mungkin terhindarkan, walaupun Rasullullah SAW., telah menetapkan bahwa
perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT meskipun hukumnya halal.

Karena pada dasarnya Alah Maha Bijaksana dalam menakdirkan pergaulan


antara suami istri, dalam hal mana dalam pergaulan rumah tangga antara suami dan istri
tersebut ada saat-saat terburuk dalam rumah tangga tersebut sehingga tidak ada jalan
lagi untuk memperbaikinya, maka dalam keadaan yang demikian diizinkanlah
perceraian karena tidak dapat lagi menegakkan lagi hukum-hukum yang telah
digariskan oleh Allah SWT.Perceraian atau talak di dalam hukum positif Indonesia
mendapatkan pengaturan pada UU perkawinan, sedangkan menurut hukum Islam dapat
dijumpai pada beberapa Ayat Al Qur’an,
diantaranya:

1. QS. Al Baqarah Ayat 226 – 227: “Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan jika mereka bertekad (sepenuh hati untuk) talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

2. QS. Al Ahzaab Ayat 49: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
wanita-wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka”.

QS. Ath-Thalaaq Ayat 1: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu”.
b. Iddah
Kata iddah berasal dari kata ‘adad’ dalam Bahasa arab yang berarti bilangan
atau hitungan. Dan dalam istilah fiqih berarti masa menunggu yang harus dijalani
seorang mantan istri yang di talak aatau ditinggal mati oleh suaminya sebelum dia
dibolehkan menikah kembali. Dasarnya, firman Allah Swt. Dalam surah Al-baqarah
{2} : 228. “perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu
sebelum kawin lagi) selama tiga kali quru’ ( yakni, tiga kali masahaid atau masa suci
sebagaimana akan dijelaskan kemudian).

 Macam-Macam ‘iddah” :

a. ‘Iddah istri yang haidnya masih aktif. Yaitu 3 kali suci menurut mażhab Syāfi’i
dan Māliki atau 3 kali ḥaiḍ menurut madhab Ḥanbali dan Ḥanafi. Sebagaiman
firman Allah Swt. ‫صنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِهنَّث َ ََلثَةَقُ ُروء‬ َ ‫" َو ْال ُم‬Wanita-wanita yang diṭalaq
ْ َّ‫طلَّقَاتُيَت ََرب‬
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru." (QS. Al-Baqarah : 228)

b. ‘Iddah istri yang sudah tidak ḥaiḍ lagi atau belum pernah ḥaiḍ. Yaitu 3 bulan,
sebagaiman firman Allah Swt:
َّ ‫ارت َ ْبت ُ ْمفَ ِعدَّتُ ُه َّنثَ ََلثَةُأ َ ْش ُهر َو‬
َ‫الَل ِئيلَ ْم َي ِحضْن‬ ْ ‫سا ِئ ُك ْمإِ ِن‬ ِ ‫الَل ِئي َي ِئ ْسن َِمن َْال َم ِح‬
َ ‫يض ِم ْن ِن‬ َّ ‫َو‬ "Dan perempuan-
perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), Maka masa
‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid." (QS. at Thalak : 4)

c. ‘Iddah istri yang di tinggal meninggal oleh suami yaitu 4 bulan 10 hari jika tidak
hamil baik sudah di kumpuli maupun belum. Dan sampai melahirkan jika dalam
keadaan hamil, sebagaimana firman Allah Swt.
‫صنَ ِبأ َ ْنفُسِ ِهنَّأ َ ْر َب َعةَأ َ ْش ُهر َو َع ْش ًرا‬
ْ َّ‫َوالَّذِينَيُت ََوفَّ ْون َِم ْن ُك ْم َو َيذَ ُرونَأ َ ْز َوا ًجا َيت ََرب‬ "Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber›‘iddah) empat bulan sepuluh hari." (QS.
Al-Baqarah : 234)

d. ‘Iddah istri yang hamil. Sampai melahirkan, sebagaimana firman Allah Swt:
َ ُ ‫" َوأ‬dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
َ َ‫وَلت ُ ْاْلَحْ َم ِاْل َ َجلُ ُهنَّأ َ ْني‬
‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن‬
‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS. Aṭ-
Ṭalaq : 4).
e. ‘Iddah istri yang ditinggal mati dalam keadaan hamil. Menurut sebagian ulama
sampai melahirkan walaupun kurang dari 4 bulan 10 hari.

f. ‘Iddah istri yang belum dicampuri yaitu tidak ada ‘iddah-nya.

 Kewajiban Suami Isteri Selama ‘Iddah :

Selama masa ‘iddah belum habis maka suami masih mempunyai beberapa
kewajiban terhadap istri yang dicerai, kewajiban tersebut adalah :

- Memberikan belanja, pakaian dan tempat tinggal jika si istri tidak durhaka.

- Memberikan nafkah dan tempat tinggal untuk isteri yang masih dalam ‘iddah ṭalāq
bain dalam keadaan hamil dan hanya member nafkah jika si isteri tidak hamil.

Adapun kewajiban istri selama masa ‘iddah adalah : Wajib tinggal dirumah yang
disediakan suami yang menceraikan, sebagaimana firman Allah Swt.
ِ َ‫ََلت ُ ْخ ِر ُجو ُه َّن ِم ْنبُيُو ِت ِه َّن َو ََل َي ْخ ُرجْ نَإِ ََّلأَ ْن َيأ ْ ِتينَ ِبف‬
‫احشَة ُم َب ِينَة‬ “Janganlah kamu keluarkan mereka
dari rumahnya, dan janganlah (di izinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan
perbuatan keji dan munkar yang terang” (QS. Aṭ-Ṭalaq : 1)

c. Rujuk
Ruju atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kataberarti “kembali”.
Orang yang rujuk kepada istrinnya berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan
definisinya dalam pengertian fiqih menurut al-Mahalli ialah “kembali ke dalam
hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah”Rujuk
yang berasal dai Bahasa arab telah menjadi Bahasa Indonesia terpaki yang artinya
menurut KBBI adalah : “Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak
satu atau talak dua, ketika istri masih di masa iddah”.
 Hukum Rujuk
a. Mubah, adalah asal hukum rujuk
b. Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita disbanding sebelum
rujuk.
c. Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat
d. Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat disbanding meneruskan perceraian
e. Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu
 Rukun dan Syarat Rujuk
a. Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj’I ( bukan talak tiga) dan masih
dalam masa iddah
b. Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa
c. Sghat ( lafaz rujul). Lafaz yang menunjukan maksud rujuk, misalnya kata suami
“ aku rujuk engkau” atau aku kembalikan engkau kepada nikahku.”
d. Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil
 Hikmah di balik kebolehan rujuk terdapat nilai-nilai positif baik bagi bekas
pasangan tersebut maupun bagi anak-anaknya. Diantaranya adalah :
1. Sarana memikir ulang substansi perceraian yang telah dilakukan; apakah karena
emosi, hawa nafsu atau karena kemaslahatan.
2. Sarana mempertanggung jawabkan anak secara bersama-sama.
3. Sarana menjalin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasangan
tersebut bisa lebih hati-hati, saling menghargai dan menghormati.
4. Saran perbaikan hubungan diantara 2 manusia atau lebih, sehingga muncul rasa
saling menyayangi yang lebih besar.
5. Rujuk akan menghina
MATERI 10

Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974

10. Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974

Lahirnya UU Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 yang berlaku bagi


semua warga negara Republik Indonesia sebagian besar telah memenuhi tuntutan
masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan
Indonesia pertama tahun 1928 dengan harapan dapat memperbaiki kedudukan wanita
dalam perkawinan. Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita
pada waktu itu adalah masalah perkawinan paksa, poligami, dan talak yang sewenang-
wenang. Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di
bidang hukum perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum
Nikah, Talak, dan Rujuk (disingkat NTR). Panitia NTR ini, dengan mengevaluasi
pengaturan perkawinan yang berlaku (warisan pemerintah kolonial Belanda), membuat
dua macam Rancangan Undang-Undang (RUU) perkawinan, yaitu RUU perkawinan
yang bersifat umum dan RUU perkawinan yang bersifat khusus untuk masing-masing
agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha)
Pada tahun 1958-1959, pemerintah Indonesia telah berusaha membuat
Rancangan Undang-Undang (RUU) sendiri. Tujuannya agar Indonesia tidak lagi
mengadopsi UU yang diwariskan oleh pemerintah kolonial belanda. RUU tersebut
kemudian dibahas dalam sidang DPR namun tidak berhasil berwujud undang-undang.
Kemudian pada tahun 1967-1971 DPR kembali membahas RUU Perkawinan yang
berisi tentang RUU Perkawinan umat Islam yang berasal dari Departemen Agama dan
RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman. Namun,
pembahasan kedua RUU ini pada akhirnya mengalami kemacetan karena Fraksi
Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama, karena
pada saat itu wakil golongan Katolik sangat kecil jumlahnya.
Pada tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU kepada DPR melalui
pembicaraan empat tingkat. Tingkat pertama merupakan penjelasan pemerintah atas
RUU tersebut. Tingkat kedua merupakan pandangan umum masing-masing fraksi atas
RUU tersebut dan tanggapan pemerintah atas pandangan umum itu. Tingkat ketiga
berupa rapat komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) untuk membahas RUU, yang
dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama Panitia Kerja RUU
Perkawinan. Tingkat keempat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU Perkawinan)
dengandidahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing fraksi.
Setelah melalui pembicaraan empat tingkat antara DPR dan Pemerintah, maka RUU
tersebut diteruskan kepada Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-
undang. Setelah semua fraksi termasuk Menteri Kehakiman diberi kesempatan untuk
menyampaikanpendapatnya, maka pada hari itu juga RUU Perkawinan disahkan
olehDPR RI menjadi undang-undang. Tepat pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan,
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara
Nomor 1 Tahun 1974, tambahan Lembaran Negara Nomor 3019/1974.

MATERI 11

Pengertian hukum waris menurut Islam dan Hal-hal yang harus dselesaikan sebelum
pembagian warisan:

11. Hukum Waris Islam


Hukum waris islam yaitu ketentuan yang mengatur perhitungan dan pembagian
serta pemindahan harta warisan secara adil dan merata kepada ahli warisnya dan atau
orang/badan lain yang berhak menerima, sebagai akibat matinya seseorang.

Pengertian adil dalam hukum waris islam hendaknya jangan dilihat secara
matematis, yaitu jumlah penerimaan yang sama setiap ahli waris. Namun maksudnya,
“meletakkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya”, menurut ketentuan hukum islam
yang didasarkan pada Al-Qur’an maupun Hadist.

a. Hal Hal yang Harus di Selesaikan Sebelum Pembagian Warisan


Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus diselesaikan
beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu. Hak-hak yang
harus diselesaikan dan dibayar, adalah:
1. Zakat; apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakatnya, maka
dikeluarkan untuk itu lebih dahulu.
2. Belanja; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan mayat,
seperti harga kafan, upah menggali kuburan dan sebagainya.
3. Hutang; Jika mayat itu ada meninggalkan hutang, maka hutangnya itu mesti dibayar
lebih dahulu.
4. Wasiat, jika mayat itu meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagian dari harta
peninggalannya diberikan kepada seseorang, maka wasiat ini pun harus dilaksanakan.

Setelah ahli waris menunaikan kewajibannya yaitu melaksanakan empat hal di


atas, barulah ahli waris dapat menerima haknya yaitu harta peninggalan tersebut.
Dengan demikian, wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam sangat
berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur dalam
KUH Perdata maupun menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan
menurut hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal
dunia dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para
ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang
diakibatkan oleh wafatnya si peninggal warisan. Keterangan ini sejalan dengan
penegasan Syekh Mahmud Syaltut, Islam menentukan bahwa harta peninggalan yang
akan dibagi-bagikan antara ahli waris menurut prinsip di atas, ialah sisa kekayaan
sesudah pembayaran utang dari orang yang meninggal.

Hak-hak yang terkait dengan peninggalan si mayit:


Yang terkait dengan peninggalan si mayit ada lima hak secara beurutan menurt
kadar kepentingan, yiatu sebagai berikut:
1. Beban persipan pemakaman si mayit:
2. Hak-hak yang terkait dengan dzat harta peninggalan
3. Hutang-hutang yang tidak terkait langsung dengan harta peninggalan 9 sebaliknya
hanya terkait dengan tanggungan si mayit):
4. Wasiat sepertiga (1/3) atau lebih sedkit untuk selain ahli waris
5. Warisan
Rukun warisan ada tiga, yaitu: yang mewariskan, ahli waris dan yang diwariskan.
1. Yang mewariskan adalah orang yang harta peninggalannya pindah ke tangan yang
lain 9 ahli warisnya), dan ia adalah si mayit.
2. Ahli waris adalah orang yang menerima harta peninggalan si mayit
3. Yang diwariskan adalah harta peninggalan (si mayit)

Syarat warisan ada tiga:

1. Yang mewariskan sudah mati secara hakiki atau dihukum sudah mati
2. Ahli waris masih hidup setelah kematian yang mewariskan walaupun sesaat, baik
secara hakiki atau dihukum masih hidup.
MATERI 12

Ahli Waris dan Ketentuan Bagian Ahli Waris

A. Pengertian Ahli Waris

Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fiqih ialah orang yang berhak
atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak
menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau
hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Disamping adanya hubungan
kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum
dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:

1. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.
2. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima
warisan.
3. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat

B.Ketentuan Bagian Ahli Waris

1. Ahli waris terdiri dari duda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu.Maka
pembagiannya sebagai berikut: duda memperoleh ¼, ayahmemperoleh 1/6, ibu
memperoleh 1/6, anak dan/atau keturunannyamemperoleh sisa.
2. Ahli waris erdiri dari janda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu.Maka
pembagiannya sebagai berikut: janda memperoleh 1/8, ayahmemperoleh 1/6, ibu
memperoleh 1/6, anak dan/atau keturunannyamemperoleh sisa.
3. Ahli waris terdiri dari duda, ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagaiberikut:
duda memperoleh ½, ayah memperoleh 1/3, ibu memperoleh1/3. Karena bagian
waris lebih dari 1 (satu), maka dilakukan aul.
4. Ahli waris terdiri dari janda, ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagaiberikut:
janda memperoleh ¼, ayah 1/3, ibu 1/3. Sisanya di rad kepadaayah dan ibu berbagi
sama.
5. Ahli waris terdiri dari janda/duda, ibu dan seorang saudara lakilaki/perempuan
(sekandung, seayah atau seibu). Maka pembagiannyasebagai berikut: janda
memperoleh 1/4 atau jika duda ia memperoleh ½,ibu memperoleh 1/3 dan seorang
saudara laki-laki/perempuan(sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6
bagian. Jika jumlahbagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan aul dan
jika jumlahbagian kurang dari satu, maka harus dilakukan rad.
6. Ahli waris terdiri dari janda/duda, ibu dan dua orang atau lebih saudaralaki-
laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Maka pembagiannyasebagai
berikut: Janda memperoleh ¼, atau jika duda memperoleh ½,Ibu memperoleh 1/6
dan dua orang atau lebih saudara perempuan(sekandung, seayah atau seibu)
memperoleh 1/3 bagian. Jika jumlahbagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus
dilakukan aul, jika jumlahbagian lebih kecil dari nilai 1 (satu) dilakukan rad.
7. Ahli waris terdiri dari janda/duda, kakek dan nenek pihak ayah, kakek dannenek
pihak ibu, seorang saudara laki-laki/perempuan sekandung, seayahatau seibu).
Maka pembagiannya sebagai berikut: janda memperoleh ¼ atau jika duda ia
memperoleh ½, kakek dan nenek pihak ayah memperoleh 1/3 berbagi sama, seorang
saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6. Jika
jumlah bagian lebih dari 1 (satu) dilakukan aul untuk kakek dan nenek pihak ayah
dan ibu serta saudara. Jika jumlah bagian kurang dari nilai 1 (satu) dilakukan rad.
8. Ahli waris terdiri dari janda/duda, kakek dan nenek dari pihak ayah danibu serta
dua orang atau lebih saudara laki-laki atau perempuan(sekandung, seayah atau
seibu). Maka pembagiannya sebagai berikut:Janda memperoleh ¼ atau jika duda ia
memperoleh ½, kakek dan nenekpihak ayah masing-masing memperoleh 1/6
berbagi sama, kakek dannenek pihak ibu memperoleh 1/6 berbagi sama, dua orang
atau lebihsaudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu)
memperoleh1/3 bagian. Jika jumlah nilai bagian kurang dari nilai 1 (satu),
makadilakukan rad untuk kakek dan nenek pihak ayah dan pihak ibu serta duaorang
atau lebih saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atauseibu). Jika jumlah
bagian melebihi nilai 1 (satu), maka dilakukan aul.
9. Ahli waris terdiri dari janda/duda, paman/bibi pihak ayah dan ibudan/atau
keturunannya. Maka pembagiannya sebagai berikut: Jandamemperoleh ¼ atau jika
duda ia memperoleh ½, paman/bibi dari paihakayah dan/atau keturunannya
memperoleh bagian ayah (1/3 bagian),paman/bibi dari pihak ibu dan/atau
keturunannya memperoleh bagian ibu(1/3 bagian). Jika jumlah bagian kurang dari
nilai 1 (satu), makadilakukan rad untuk paman/bibi dari pihak ayah atau ibu
dan/atauketurunannya. Jika jumlah bagian lebih dari 1 (satu), maka dilakukan aul.
Materi 13

Masalah masalah istimewa tentang pembagian warisan


Masalah waris adalah masalah yang sangat penting dan selalu menjadi salah satu pokok
bahasan utama dalam hukum Islam, karena hal ini selalu ada dalam setiap keluarga dan masalah
waris ini rentan dengan masalah/konflik di masyarakat akibat pembagian yang dianggap
kurang adil atau ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Oleh sebab itu syariat Islam membuat
aturan yang begitu lengkap tentang masalah waris yang terdapat dalam Alquran seperti (QS.
An-Naml: 16 dan An-Nisa : 7-12). Berikut permasalahan dalam pelaksanaan pembagian
warisan, yaitu :

A. Al-Aul
Al-Aul artinya bertambah. Dalam ilmu Faraidh istilah Al-Aul diartikan bagian-bagian
yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak dari pada asal masalahnya, sehingga asal
masalahnya harus ditambah atau diubah.

B. Ar-Radd
Ar-Radd (ar-raddu) yaitu : “mengembalikan”. Menurut istilah faraidh ialah membagi
sisa harta warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing mnerima
bagiannya. Ar-Radd dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris ternyata
masih terdapat sisa, sedangkan tidak ada ‘ashobah. Maka harta yang tersisa tersebut dibagikan
kepada ahli-waris yang ada kecuali suami atau isteri.

C. Gharawain
Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya
yaitu :
1. Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu dan bapak
2. Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu dan bapak

Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit.
Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah
karena jika di bagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil dari pada
ibu. Untuk itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana dibawah ini :
Untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa
(setelah diambil suami) dan bapak ‘ashobah. Misalkan harta peninggalannya adalah Rp.
30.000.000,-. Maka cara pembagiannya dalah sebagai berikut :

Suami 1/2 x Rp. 30.000.000,- = Rp. 15.000.000,- sisanya adalah Rp. 15.000.000,-
Ibu 1/3 x Rp.15.000.000,-= = Rp. 5.000.000,-
Bapak (‘ashobah) = Rp. 10.000.000,-
Jumlah = Rp. 30.000.000,-
(dan begitu pula untuk pembagian pada masalah ke-2 yakni dengan ahli waris istri 1/4, ibu
1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak ‘ ashobah )

D. Masalah Musyarakah
Musyarakah atau Musyarikah ialah yang diserikatkan. Yaitu jika ahli waris yang dalam
perhitungan mawaris memperolah warisan akan tetapi tidak memperolehnya, maka ahli waris
tersebut disyarikatkan kepada ahli waris lain yang memperolah bagian.
Masalah ini terjadi pada ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara seibu dan
saudara laki-laki sekandung, yang jika dihitung menurut perhitungan semestinya
mengakibatkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh warisan. Dalam masalah ini.
Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang diiuti oleh Imam Tsauri, Syafe’i dan lain-lain,
pembagian tersebut tidak adil.
Maka, untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu
didalam baigiannya yang 1/3. sehingga penyelesaian tersebut dapat diketahui dalam pembagian
berikut :
Suami ½ = 3/6 = 3
Ibu 1/6 = 1/6 = 1
Dua orang saudara seibu dan saudara (lk) sekandung 1/3 = 2/6 = 2
Jumlah =6
Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata, meskipun diantara mereka
ada ahli waris laki-laki maupun perempuan.

E. Masalah Akdariyah
Akdariyah artinya mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek menyusahkan saudara
perempuan dalam pembagian warisan. Masalah ini terjadi jika ahli waris terdiri suami, ibu,
saudara perempuan kandung/sebapak dan kakek.
Bila diselesaikan dalam kaidah yang umum, maka dapat diketahui bahwa kakek bagian
lebih kecil dari pada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan mempunyai
keduduka yang sama dalam susunan ahli waris. Bahakn kakek adalah garis laki-laki, yang
biasanya memperoleh bagian lebih besar dari pada perempuan, maka dalam masaah ini terdapat
tiga pendapat dalam penyelesaiannya, yaitu :
1. Menurut pendapat Abu Bakar ra. Saudara perempuan kandung/sebapak mahjub oleh
kakek. Sehingga bagia yang diperoleh oleh masing-masing ahli waris adalah suami
1/4, ibu 1/3, kakek ‘ashobah, dan saudara perempuan terhijab hirman.
2. Menurut pandangan Umar bin Khatib dan Ibn Mas’ud, untuk memecahkan masalah
diatas, amak bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian
ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu tidak lebih besar
dari pada bagian kakek. Sehingga bagian yang doioerolah masing-masing ahli waris
adalah suami 1/2, ibu 1/6, saudara perempuan ½ dan kakek 1/6. diselesaikan dengan
Aul.
3. Menurut pendapat Zaid bin Tsabit, yaitu dengan cara menghimpun bagian saudara
perempuan dan kakek, lalu membaginya dengan prinsip laki-laki memperolah dua kali
bagian perempuan. Sebagaimana jatah pembagian umum, saudara perempuan 1/2 dan
kakek 1/6. 1/2 dan 1/6 digabungkan lalu dibagikan untuk berdua dengan perbandingan
pembagian saudara perempuanndan kakek = 2 : 1.

F. Hal-hal yang berkenaan dengan harta Peninggalan


Beberapa masalah yang berkaitan dengan harta yang terlebih dahulu wajib ditunaikan oleh
ahli waris sepeninggal seorang muslim yang meniggalkan harta, yaitu:
1. Biaya penyelenggaratan Jenazah
2. Pelunasan hutang
3. pelaksanaan wasiat

G. Penetapan Ahli Waris yang Mendapat Bagian (Itsbatul Waris)


Dalam Itsabatul Waris ini harus dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini :
1. Meneliti siapa saja yang menjadi ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan
maupun karena sebab lainnya.
2. Meneliti siapa saja yang terhalang menerima warisan. Misalnya karena membunuh atau
atau beda agama.
3. Meneliti ahli waris yang dapat terhijab.
4. Menetapkan ahli waris yang berhak menerima warisan, setelah melakukan perhitungan
yang tepat tentang jumlah harta peniggalan almarhum/almarhumah.

H. Cara Pembagian Sisa Harta


Yang dimaksud dengan sisa harta warisan adalah :
1. Sisa harta setelah semua ahli waris menerima bagiannya
2. Sisa harta karena orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris

Didalam menyelesaikan masalah diatas menurut para ulama dalah sebagai berikut :
1. Jumhur sahabat, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama Syi’ah berpendapat :
2. dibagikan kembali kepada dzawil furudh selain suami/istri dengan jalan radd.
3. Bila tidak ada ahli waris, maka harta warisan diberikan kepada dzawil arham.
4. Bila dzawil arham pun tidak ada, maka harta peniggalan diserahkan ke baitul mall.
5. Imam Malik, Iamam Syafe’i, Al-Auza’i dan lain-lain berpendapat bahwa sisa harta
warisan, baik setelah ahli waris mendapatkan bagiannya maupun karena tidak ada
ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan radd maupun diserahkan ke dzawil
arham, tetapi harus diserahkan ke baitul mall untuk kepentingan umat islam.

I. Bagian Anak dalam Kandungan


Beberapa permasalahan yang menyangkut dengan anak yang masih berada dalam kandungan
yaitu :
1. Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekrabatan yang
sah dengan si mati, maka perlu diperhatikan tenggang waktu anara akad nikah dengan
usia kandungan.
2. Belum bisa dipastikan jenis keamin dan jumlah bayi yang ada dalam kandungan
tersebut.
3. Belum bisa dipastikan, apakah janin tersebut akan lahir dalam keadaan hidup atau mati.
4. Jika harta warisan dibagikan maka akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan
yang bisa saja terjadi.

Bayi yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai hak warisan dari ayahnya yang meninggal.
Sabda Rasulullah saw. :“Jika anak yang dilahirkan berteriak, mak ia diberi warisan”
Jalan Keluar dalam masalah ini adalah :
1. Para ahli waris yang ada boleh mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari
kemungkinan-kemngkinan yang bisa terjadi.
2. Apabila harta warisan dapat dijaga dan pembagianya tidak mendesak, maka pembagian
warisan ditunda sampai bayi lahir.

J. Bagian Orang Yang Hilang

Yang dimaksud dengan orang yang hilang disini ialah yang tidak diketahui keberadaannya
dalm jangka waktu yang relatif lama. Orang yang hilang tersebut bisa
sebagai muwaris maupun ahli waris, maka dapat ilaksanakan sebagai berikut :
Apabila kedudukannya sebagai Muwarits
1. Harta yang hilang sebaiknya ditahn sampai ada kepastian keberadaannya atau
kepastian tentang hidup atau matinya
2. Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Adul Hakim ditunggu
sampai batas usia kurang 70 tahun.

Apabila kedudukannya sebagai ahli waris


Harta warisan dibagikan, dan ia (orang yang hilang) diberikan bagian sebagaimana bagian
semestinya dan diberikan bila ia masih hidup atau datang. Dan diserahkan kepada ahli waris
lain bila ia sudah meninggal.

K. Bagian orang yang meninggal bersama-sama


Orang yang meninggal secara bersamaan yang disebabkan oleh penyebab-penyebab tertentu,
tidak saling waris mewarisi baik ada hubungan kekerabatan maupun pernikahan. Sebab adanya
saling waris mewarisi ialah adanya al –muwarits yang sudah meninggal dunia dan al-
Warits yang masih hidup.
Pendapat ini dipegang oleh Abu Bakar dan Umar, lalu diikuti oleh jumhur Fuqaha. Antara lain
Imam Malik, Imam Syafe’i, Imam Abu Hanifah dan lain-lain.

L. Hikmah Pembagian Warisan


1. Menghindari terjadinya persengketaan dalam keluarga karena maslah pembagian harta
warisan
2. Menghidari timbulnya fitnah. Karena pembagian harta warisan yang tidak benar
3. dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak psitif bagi
keadilan dalm masyarakat
4. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota
keluarganya
5. Menjunjung tinggi hukum Allah dan Sunnah Rasulullah.
Materi 14

Teknik penyelesaian pembagian warisan


1. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Kekeluargaan

Dalam praktik khususnya pada perselisihan pembagian harta warisan umat islam lebih
baik memilih menyelesaikan sengketa warisan melalui jalur kekeluargaan. Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan ditempuh melalui lembaga peradilan apabila tidak ada
kemungkinan lagi agar dilakukan secara kekeluargaan.

Untuk memudahkan suatu proses pembagian warisan dilakukan terlebih dahulu


mengenai penentuan ahli waris yang akan menerima harta warisan. Ahli waris yang dimaksud
adalah yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris. Apabila pewaris
tidak mempunyai istri dan anak maka akan ditetapkan ahli waris yang lain yang mempunyai
hubungan darah terkait dengan pewaris.

Dalam menyelesaikan pembagian warisan atas harta peninggalan dengan cara


kekeluargaan, biasanya ahli waris mengundang orang yang dituakan dalam keluarga. Disini
orang yang dituakan ini guna untuk menjadi penengah dan memberikan saran dalam hal
penyelesaian sengketa harta warisan ini.

Adapun cara penyelesaian sengketa dengan cara yaitu dengan mengumpullkan para ahli
waris, dijelaskan duduk perkaranya lalu diberikan pendapat oleh orang yang dituakan dan
dibagikan harta warisan menurut hukum islam.

Apabila sengketa harta warisan tidak dapat ditempuh dengan cara duduk pakat
keluarga, ahli waris juga dapat mengundang alim ulama yang dianggap lebih mengetahui cara
pembagian harta warisan menurut hukum islam.

2. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Pengadilan

Sebelum ahli waris menyelesaikan sengketa harta warisan dengan cara pengadilan, ahli
waris telah melakukan penyelesaian sengketa dengan cara kekeluargaan. Apabila sengketa
harta warisan tidak dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, maka ahli waris dapat
memasukan gugatan ke mahkamah syariah.

Agar perkara sengketa ini dapat diselesaikan oleh mahkamah syariah, maka ahli waris
harus mengajukan gugatan terlebih dahulu ke Mahkamah Syari’ah. Ketika gugatan telah
diajukan dan para pihak dipanggil ke persidangan sudah menjadi kewajiban Hakim untuk
menawarkan perdamaian kepada kedua belah pihak, upaya damai yang harus dilakukan oleh
hakim dalam penyelesaian sengketa warisan di Mahkamah Syariah tertuju pada ketentuan
peraturan Mahkamah agung no.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator.

Apabila tidak ada kesepakatan dengan cara mediasi maka pemeriksaan perkara harus
dilanjutkan. Maka akan dibacakan suarat gugatan oleh penggugat. Lalu disusul dengan proses
jawab menjawab yang diawali oleh pihak tergugat, kemuadian replik penggugat dan diakhiri
dengan duplik tergugat. Setelah jawab menjawab selesai dilanjutkan dengan acara pembuktian,
dimana pada tahap ini para pihak dituntut untuk memberikan bukti-bukti. Setelah para pihak
memeberikan bukti-bukti, maka para pihak memberikan kesimpulan yang merupakan tahap
akhir dari proses pemeriksaan perkara. Setelah tahap pemeriksaan selesai, hakim mengambil
putusan dan memberikan keadilan dalam perkara tersebut.

Sebelum hakim memutuskan dan mengadili perkara tersebut, hakim menguji benar atau
tidaknya peristiwa yang diajukan para pihak dengan memberikan alat-alat bukti dan hakim juga
melakukan pemeriksaan di tempat (descente) yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim
karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung pengadilan untuk menyesuaikan yang menjadi
objek sengketa gugatan dengan keadaan lapangan.
SUMBER BACAAN

Ainiyah, Q. (2018). Prinsip Pernikahan dalam Cedaw Perspektif Hukum Islam. Jurnal

Qolamuna, 4(1), 26-28.

Ramulyo, M. I. (2004). Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1

Tahu 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Jamaludin & Nanda Amalia (2016). Buku Ajar Hukum Perkawinan. Lhokseumawe : Unimal
Press.

Arif Furqan. (2002).Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI

Rohidin. (2017). Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia Hingga
Indonesia.Yogyakarta : Lintang Raksai Aksara Books

Muhammad Alim.(2010). Asas-Asas Hukum Modern dalam Hukum Islam. No. 1 Vol. 17

Ali, M. D. (2015). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Agama, hal. 176-179.
Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Jakarta :
Intermassa,1986.hlm. 41

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Press, Cet. ke-15, 2004, hlm. 3.

https://media.neliti.com/media/publications/97045-ID-kedudukan-hukum-islam-dalam-
sistem-hukum.pdf

https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/tahkim/article/viewFile/3174/2137

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/Dr.+Marzuki,+M.Ag_.++Buku+
Hukum+Islam+BAB+2.+Tinjauan+Umum+Hukum+Islam.pdf

Anda mungkin juga menyukai