Anda di halaman 1dari 6

Ciri-Ciri Hukum Islam

Ciri-ciri hukum Islam adalah sebagai berikut :

1. Merupakan dan bersumber dari agama islam.


2. Mmempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau kaidah
dan kesusilaan atau ahlak islam.
3. Mempunyai dua istilah kunci, yaitu :
1. Syariat : Terdiri dari wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad.
2. Fikih : pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariah.
4. Terdiri dari dua bidang utama, yaitu :
1. Ibadat bersifat tertutup karena telah sempurna.
2. Muamalat dalam arti luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia
yang memenuhi syarat dari masa ke masa.
5. Strukturnya berlapis, terdiri dari :
1. Nas atau teks alqur’an.
2. Sunnah Nabi Muhammad (untuk syari’at)
3. Hasil ijtihad (doktrin) manusia yang memenuhi syarat tentang al-qur’an dan
as-sunnah.
4. Pelaksanaan dalam praktek baik :
1. - Berupa keputusan hakim, maupun;
2. - Berupa amalan amaln umat islam dalam masyarakat (untuk fikih)
6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala.
7. Dapat dibagi menjadi :
1. Hukum takifi atau hukum taklif.
1. Yakni al-ahkam, al-khamsah, yaitu:
 Lima kaidah jenis hukum
 Lima kategori hukum
 Lima penggolongan hukum, yakni :
 Jaiz
 Sunnah
 Makruh
 Wajib
 Haram
2. Hukum Wadh’i
 Yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau
terwujudnya hubungan hukum.
 Dalam bukunya Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi,
Ashsieddiegy menyebutkan ciri ciri khas hukum Islam yang
relevan untuk dicatat: hukum Islam.
8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat islam dimanapun mereka berada tidak
terbatas pada umat umat Islam disuatu tempat atau Negara pada suatu masa saja.
9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani
serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan.
10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat islam.
Ruang Lingkup Hukum Islam

Membicarakan syariat dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan-pemisahan


bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam tidak
membedakan secara tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti
yang dipahami dalam ilmu hukum Barat. Hal ini karena dalam hukum privat Islam
terdapat segi-segi hukum publik; demikian juga sebaliknya. Ruang lingkup hukum
Islam dalam arti fiqih Islam meliputi: ibadah dan muamalah.
Ibadah mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan muamalat
dalam pengertian yang sangat luas terkait dengan hubungan antara manusia dengan
sesamanya. Dalam konteks ini, muamalah mencakup beberapa bidang, di antaranya:
(a) munâkahat, (b) wirâtsah, (c) mu’âmalat dalam arti khusus, (d) jinâyat atau uqûbat,
(e) al-ahkâm as-shulthâniyyah (khilafah), (f) siyâr, dan (g) mukhâsamat.19
Apabila Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata hukum Indonesia, maka akan
tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti luas sebagai berikut:
1. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan
perceraian serta segala akibat hukumnya;
b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta
pembagian warisan.
Hukum warisan Islam ini disebut juga hukum
farâidh;
c. Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah
kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, kontrak, dan sebagainya.
2. Hukum Publik
Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman, baik dalam jarîmah hudûd (pidana berat) maupun dalam jarîmah
ta’zîr (pidana ringan). Yang dimaksud dengan jarîmah adalah tindak pidana. Jarîmah
hudûd adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya
dalam al-Quran dan as- Sunnah (hudûd jamaknya hadd, artinya batas). Jarîmah ta’zîr
adalah perbuatan tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zîr artinya ajaran atau pelajaran);
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasa- lahan yang berhubungan dengan
kepala negara/ pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang pajak, dan
sebagainya;
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama lain
dan negara lain;
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
Apabila bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat dalam arti luas tersebut
dibandingkan dengan susunan hukum barat, seperti Dasar adanya taklîf kepada
mukallaf ialah karena adanya akal dan kemampuan memahami. Saifuddin Al-Amidi
menegaskan bahwa syarat seseorang dapat dikatakan mukallaf adalah jika ia berakal
dan telah mampu memahami. Karena suatu firman jika dihadapkan kepada orang
yang tidak berakal dan tidak dapat memahami maka akan sia-sia belaka. Seperti
halnya kepada anak kecil yang belum balig, orang gila, dan sebagainya.
Pernyataan Rasulullah saw:
Artinya: “Ditiadakan hukum dari tiga orang, ialah dari anak-anak sehingga sampai usia
baligh, dari orang tidur sehingga ia bangun, dan dari orang gila sehingga sehat
kembali”
Al-Amidi secara ringkas menjelaskan sebagai berikut:
1. Yang menjadi dasar taklîf adalah akal karena taklîf bersumber pada firman yang harus
dipahami oleh akal.
2. Akal tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur semenjak usia muda, dan
dipandang belum sampai pada ke batas taklîf melainkan jika akal sudah mencapai
kesempurnaan dalam pertumbuhannya.
3. Pertumbuhan akal secara berangsur-angsur ini terjadi dari masa ke masa secara
tersembunyi sehingga baru jelas permulaan kesempurnaannya (kematangannya) jika
sudah mencapai usia balig atau dewasa secara biologis. Sebagai batas pemisah antara
masa masih kurang sempurna akal dengan mulai mencapai kesempunaannya ialah
balig. Di kala orang sudah baligh maka masuklah ia dalam kategori mukallaf. Dan
setiap orang mukallaf harus bertanggung jawab terhadap hukum taklîfiy.
Peranan akal merupakan faktor utama dalam syariat Islam untuk menetukan seseorang
sebagai mukallaf. Sekalipun seseorang telah mencapai usia balig namun tidak sehat
akal maka hukum taklîfi tidak dibebankan kepadanya. Hal ini sejalan dengan hukum
positif yang mengenal istilah personae miserabile, yaitu seorang manusia yang
dianggap tidak cakap bertindak atau melakukan perbuatan hukum.
Dalam hukum Islam dikenal konsep kecakapan hukum yang biasa disebut ahliyyah.
Kecakapan ini terkait dengan mampu tidaknya seseorang menjalankan fungsinya
sebagai subjek hukum yang sempurna. Ada dua klasifikasi ahliyyah, yakni ahliyyah
al-adâ’ dan ahliyyah al-wujûb. Yang pertama terkait dengan kecakapan seseorang
untuk menunaikan tindakan hukum. Sedangkan yang kedua terkait dengan kecapakan
seseorang untuk menerima hak, meskipun belum mampu menunaikan kewajiban,
misalnya ahliyyah al-wujûb dalam hak waris bagi bayi.
Subjek hukum dalam hukum Islam berbeda dengan subjek hukum dalam hukup positif di
Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia yang dimaksud dengan subjek hukum
adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki
hak dan kewajiban). Dalam kamus Ilmu Hukum subjek hukum disebut juga dengan
“Orang atau pendukung hak dan kewajiban”. Dalam artian subjek hukum memiliki
kewenangan untuk bertindak menurut tata cara yang ditentukan dan dibenarkan
hukum. Sehingga di dalam ilmu hukum yang dikenal sebagai subjek hukum adalah
manusia dan badan hukum.

Tujuan Hukum Islam


Maslahat merupakan tujuan utama dalam agama Islam, Allah menurunkan ajaran
terutama dalam masalah hukum Islam tidak bisa dilepaskan untuk kemaslahatan manusia,
walaupun terjadi perbedaan pada hakikat kemaslahatan dari segi sumber maslahat, tetapi
ulama bersepakat dalam hal tujuan utama hukum Islam adalah jalb al-mashalih wa daru al-
mafasid, bagaimana hukum Islam dapat sebanyak mungkin memberikan manfaat dan
kebaikan pada manusia sekaligus menghilangkan segala kemungkinan terjadinya kerusakan
dan bahaya bagi manusia.

Pada dasarnya, pembagian maslahat berdasarkan kualitas dan kepentingan kemaslahatan


adalah pembagian yang sekaligus berimplikasi pada tingkatan prioritas maslahat itu sendiri.
Para ulama membagi maslahat berdasarkan kualitas dan kepentingan kepada tiga tingkatan,
yaitu:

a. Al-mashlahah al-dharûriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan


kebutuhan pokok manusia, baik terkait dengan dunia maupun terkait akhirat.
Kemaslahatan dalam hal ini adalah al-muhâfazhah al-khamsahatau al-mashâlîh al-
khamsah yang mencakup: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam
menjaga maslahat yang bersifat dharûrî (primer), diperoleh dengan dua hal yaitu:
mempertahankan eksistensi kemaslahatan yang sudah ada (jalb al-mashâlih); dan
mengantisipasi ataumencegah hal yang dapat merusak atau menghilangkan potensi
(dar’u al-mafâsid), atau dalam ungkapan al-Syâthibî, jânib al-wujûd dan jânib
al-‘adam

1) Memelihara agama. Salah satu fitrah atau naluri kemanusiaan yang tidak dapat
dipungkiri dan sangat dibutuhkan oleh manusia adalah kebutuhan memeluk
agama. Dalam rangka memenuhi fitrah dan naluri tersebut, maka Allah SWT.
mensyariatkan agama yang wajib dipelihara dan dijaga oleh setiap orang dalam
segala hal, baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah. Dari segi al-wujûd,
memelihara agama ditempuh misalnya dengan syariat salat, puasa, zakat, dan haji.
Sedangkan dari segi al-‘adam, disyariatkan jihad dan memerangi orang murtad.
2) Memelihara jiwa. Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi manusia.
Dalam rangka menjaga kemaslahatan dan keselamatan jiwa serta kehidupan
manusia, maka Allah SWT. mensyariatkan berbagai hukum yang terkait dengan
hal tersebut. Dari segi al-wujûd, Islam misalnya mensyariatkan makan, minum,
berpakaian, dan bertempat tinggal. Sedangkan dari segi al-‘adam, di dalam Islam
dikenal hukum kisas, diat, dan kafarat. Semua syariat tersebut dalam rangka
mempertahankan kehidupan manusia.
3) Memelihara akal. Tidak dapat dipungkiri bahwa akal merupakan satu faktor
penentu utama bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya, sehingga Allah
swt. menjadikan pemeliharaan akal sebagai salah satu hal dharûrî. Dari segi al-
wujûd, menjaga akal diwujudkan misalnya dengan menambah dan memperluas
ilmu dan wawasan. Sedangkan dari segi al-‘adam, Allah SWT. melarang
meminum minuman keras, karena bisa mengganggu atau merusak fungsi akal dan
hidup manusia.
4) Memelihara keturunan. Berketurunan adalah masalah pokok bagi manusia dalam
menjaga kelangsungannya di muka bumi. Dari segi al-wujûd, Islam
mensyariatkan banyak hal, mulai dari menjaga pandangan terhadap lawan jenis
sampai kepada syariat nikah, persusuan, dan nafkah. Sedangkan dari segi
al-‘adam, Islam melarang perzinaan, dan hal terkait seperti menuduh zina, serta
segala konsekuensi hukumnya.
5) Memelihara harta benda. Harta benda juga merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam kehidupan manusia, karena manusia tidak dapat hidup tanpa
harta. Dari segi al-wujûd, Islam mensyariatkan untuk mendapatkan harta dengan
cara bermuamalah sesuai syariat, misalnya berusaha atau berbisnis untuk
mendapatkan keuntungan. Sedangkan dari segi al-‘adam, Islam melarang
pencurian dengan ancaman hukuman dan konsekuensinya.

b. Al-mashlahah al-hâjiyyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam


menyempurnakan kebutuhan pokok atau mendasar sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Dalil
akan hal ini adalah bahwa agama dibangun atas prinsip dasar untuk mencegah
kesulitan dan kesukaran serta mendatangkan kemudahan. Persoalan hâjiyyât
(sekunder) menjadi salah satu lapangan dalam pembahasan maslahat, yaitu dalam
menjaga pemenuhan dan penyempurnaan kebutuhan asasi. Dalam rangka
mewujudkan maslahat sekunder ini, Allah SWT. mensyariatkan banyak hal dalam
berbagai bidang, termasuk ibadah, muamalah, dan lain-lain, yang semuanya untuk
menunjang kebutuhan mendasar al-mashâlih al-khamsah. Dalam kaitan ibadah,
misalnya Islam memberi keringanan meringkas salat (salat jamak, salat qasar), dan
opsi berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Dalam bidang muamalah, antara
lain Islam membolehkan berburu binatang, melakukan jual beli pesanan (baî‘ al-
salam), bekerja sama dalam pertanian (muzâra‘ah) dan perkebunan (musâqah)

c. Al-mashlahah al-tahsîniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap berupa


keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Tahsîniyyah juga
berhubungan dengan al-mashâlih al-khamsah, meski tahsîniyyah merupakan
kebutuhan manusia yang tidak sampai kepada kebutuhan dharûrî, juga tidak sampai
kepada kebutuhan hâjî, namun kebutuhan ini perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Al-Syâthibî mengistilahkan hal-hal
tahsîniyyah ini dengan makârim al-akhlâq. Dalam pandangan Ibn Âsyûr, tahsîniyyah
termasuk faktor penunjang dalam mencapai kehidupan pribadi yang bahagia serta
tatanan kehidupan bermasyarakat yang elok, aman dan tenteram, yang turut
mencerminkan keindahan akhlak Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan agama Islam
secara umum. Kaitannya dengan hal ini misalnya, Islam menganjurkan memakan
makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus dengan menutup aurat, melakukan
amalan-amalan sunnah sebagai ibadah tambahan, sampai pada hal-hal detail terkait
adat masyarakat, baik itu adat yang berlaku universal seperti berbusana yang sopan,
maupun adat yang berlaku lokal sepertiurusan memanjangkan jenggot.
sumber :
http://berandahukum.com/a/ciri-ciri-hukum-islam
Buku Pengantar Hukum Islam (Dr.Rohidin, SH. M.Ag)
https://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/diktum/article/view/432/328

Anda mungkin juga menyukai