Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ketika politik hukum kolonial menempatkan kedudukan Hukum Islam
sebagai bagian dari Hukum Adat, dalam perkembangannya pasca-
kemerdekaan Republik Indonesia bermunculan teori-teori yang membantah
masunya Hukum Islam kedalam bagian Hukum Adat. Politik hukum penguasa
Indonesia pasca-kemerdekaan turut mendorong kenyataan yang berkembang,
seperti penghapusan peradilan adat (adatrechspraak) secara berangsurangsur.
Hapusnya pengadilan Adat telah merusak dan menggerus kekuatah hukum
Adat sebagai suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya
Hukum Islam memperlihatkan penguatan peradilan agama yang terakhir ini
diatur berdasarkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Eksistensi Hukum Islam semakin menguat dengan berlakunya sejumlah


peraturan perundang-undangan dalam bidang Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) (Sukuk), Perbankan Syariah, Pengelolaan Haji, Pengelolaan Zakat,
dan lain-lainnya, dan sebagai suatu sistem hukum, Hukum Islam yang
mengusung nilai-nilai Islami (Prinsip-prinsip Syariah), semakin memberi arti
dalam pola perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, meskipun
secara konstitusional ditegaskan bahwa Negara Indonesia bukan Negara
berdasarkan atas dasar Hukum Islam, namun dalam tataran implementatif,
kedudukan dan peran Hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum
nasional dihadapkan pada berbagai tantangan, apakah nantinya Hukum Islam,
tetap eksis atau akan mengalami nasib yang sama seperti Hukum Adat,
apalagi di era globalisasi dan menguatnya demokratisasi dan HAM yang
membutuhkan jawaban terhadap berbagai masalah dan isu kontemporer.

Bahwa Hukum Islam dan Hukum Adat merupakan bagian dari sistem hukum
yang berlaku di Indonesia selain hukum perundang-undangan. Konsep
2

Hukum Islam berbeda dari konsep hukum perundang-undangan, karena ajaran


Islam meyakini hukum-hukumnya sebagai aturan yang bersumber dari wahyu
Illahi, dan dengan demikian, hukum Perundang-undangan yang merupakan
konsep hukum karya manusia memiliki ciri khas yang berbeda dari Hukum
Islam.

Ditinjau secara etimologis dan terminologis tentang Hukum Islam, secara


etimologis, secara terminologis, merupakan pandangan tentang masalah
tertentu yang terkait dengan tindakan atau perbuatan manusia.Hukum Islam
dipandang sebagai bagian dari ajaran agama (Islam) yang norma-norma
hukum (Islam) bersumber dari agama (Islam). Syamsu Anwar
mengemukakan, umat Islam meyakini bahwa Hukum Islam berdasarkan
kepada wahyu Illahi. Oleh karena itu, ia disebut syariah, yang berarti jalan
yang digariskan Tuhan untuk manusia (Anwar, 2007).
Abd.Shomad, menjelaskan, karakteristik yang khas dari Hukum Islam yang
membedakannya dari sistem hukum lainnya, di antaranya dalah hal sumber
hukum yang Mengenal dua macam sumber hukum yang Naqly dan Aqly.
Perihal Hukum Adat (Adatrecht) adalah sistem hukum yang tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan-kebiasaan (customs) dalam masyarakat. R.
Soepomo (1983), merumuskan, Hukum Adat adalah hukum non-statutior
yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil Hukum
Islam. Hukum Adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-
keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, di mana ia
memutuskan perkara. Berdasarkan rumusan ini, Hukum Adat adalah hukum
tidak tertulis (non-statutior) yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan
sebagian kecil adalah Hukum Islam, dan diterapkan dalam peradilan adat
(adatrechtspraak). Von Savigny (1799-1861) terkenal dengan tesisnya
Volkgeist, bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara seperti
yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa biasa. Hukum itu mulanya
dibentuk oleh adat kebiasaan dan kepercayaan umum, kemudian oleh
yurisprudensi.
3

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu :
1. Apa Pengertian Konsep Hukum Islam ?
2. Apa Konstribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional ?
3. Apa Pengertian Hukum Adat ?
4. Bagaimana Eksistensi Hukum Adat dalam Perkembangan Tata Hukum di
Indonesia ?
5. Apa Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat
6. Bagaimana Hukum Adat Sebagai Pembentukan Hukum Nasional ?

C. Tujuan Pembahasan
Adapan tujuan Pembahasan kami yaitu :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Konsep Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui Konstribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum
Nasional.
3. Untuk mengetahui Pengertian Hukum Adat
4. Untuk mengetahui Eksistensi Hukum Adat dalam Perkembangan Tata
Hukum di Indonesia.
5. Untuk mengetahui Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat.
6. Untuk mengetahui Hukum Adat Sebagai Pembentukan Hukum Nasional
4

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Konsep Islam


a) Hukum Islam berasal dari dua kata yaitu „hukum‟ dan „Islam‟. Pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata „hukum‟ diartikan dengan: 1)
peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; 2) undang-
undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Secara sederhana hukum dapat kita pahami sebagai sekumpulan peraturan
atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam
bermasyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa hal yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat atau Peraturan atau norma yang dibuat dan
ditegakkan oleh penguasa.1

Hasbi Asy-Syiddiqy memberikan definisi hukum Islam dengan “koleksi


daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan
kebutuhan masyarakat”. 2 Pengertian hukum Islam dalam definisi ini
mendekati kepada makna fiqh. Bila hukum dihubungkan dengan Islam,
maka hukum Islam berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang
diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang
beragama Islam”.3 Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami
bahwa hukum Islam mencakup Hukum Syari’ah dan Hukum Fiqh, karena
arti syarak dan fiqh terkandung di dalamnya.

b) Prinsip dasar hukum Islam ada empat, yaitu :


 Hukum Islam meminimalkan beban sehingga tidak mempersulit dan
memberatkan. Prinsip ini banyak ditemukan dalam al-Quran, seperti

1
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, h. 38
2
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1993, hlm. 44
3
Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm. 14.
5

dalam Q.S. alMaidah (5): 6; Q.S. al-Hajj (22): 78; Q.S. al-Fath (48):
17; Q.S. al-Baqarah (2): 185; dan Q.S. al-Nisa‟ (4): 28. Dari ayat-ayat
ini terlihat Allah mengetahui tingkat kesehatan dan kesakitan,
kekuatan dan kelemahan manusia, serta mengangkat kesulitan dari
seluruh manusia pada umumnya dan dari orangorang yang sakit dan
terkena musibah pada khususnya. Banyak bukti yang menunjukkan
pengangkatan kesulitan tersebut, ada yang di bidang ibadah dan ada
yang di bidang muamalah. Dalam bidang ibadah dapat dilihat
pembebanan al-Quran sehingga mudah dilaksanakan tanpa ada
kesulitan dan kepayahan. Misalnya, ketentuan boleh menjama‟ dan
mengqashar shalat ketika seseorang sedang bepergian, boleh tidak
berpuasa ketika sakit dan bepergian, dan diwajibkan zakat dan haji
dengan persyaratan tertentu.

 Hukum Islam memperhatikan kesejahteraan umat manusia seluruhnya.


Tujuan hukum Islam yang pokok adalah mewujudkan kesejahteraan
yang hakiki bagi seluruh manusia, tanpa ada perbedaan antara ras dan
bangsa, bahkan agama. Dalam hal ini al-Syathibi mengatakan: Dengan
penelitian induktif kita mengetahui bahwa Allah bermaksud
mewujudkan kesejahteraan hamba-hamba-Nya. Hukum-hukum
muamalah dibuat sejalan dengan maksud itu. Satu transaksi suatu saat
dilarang karena tidak ada manfaatnya dan di saat yang lain dibolehkan
karena mengandung manfaat. Seperti satu dirham tidak boleh dijual
dengan satu dirham, tetapi boleh diutang. Begitu pula tidak boleh
menjual buah basah dengan buah yang sudah kering (seperti korma
umpamanya), karena hanya merupakan penipuan dan riba yang tidak
ada gunanya, tetapi jual beli ini dibolehkan jika ada manfaatnya yang
nyata. Dan seterusnya ...” (dalam Kemaslahatan manusia menjadi
acuan penting dalam penetapan hukum Islam. Untuk mewujudkan
kemaslahatan ini ada lima hal yang harus dijaga oleh setiap Muslim,
yaitu: 1) menjaga agama (iman), 2) menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4)
6

menjaga keturunan, dan 5) menjaga harta. Kelima hal ini sekaligus


juga menjadi tujuan disyariatkannya hukum dalam Islam. 4

 Hukum Islam mewujudkan keadilan secara merata. Islam memandang


semua manusia sama. Tidak ada perbedaan di antara manusia di
hadapan hukum. Perbedaan derajat, pangkat, harta, etnis, bahasa,
bahkan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berbuat tidak
adil. AlQuran surat al-Maidah (5): 8 menegaskan larangan berbuat
zalim (tidak adil) terhadap suatu kaum karena didorong oleh
kebencian. Masih banyak lagi ayat al-Quran yang memerintahkan
keadilan diiringi dengan pemberian pahala dan melarang berbuat zalim
yang diiringi dengan pemberian hukuman, dan ketentuan seperti ini
juga banyak ditemukan dalam Sunnah.

 Ditetapkan secara bertahap. Seperti diketahui, al-Quran turun kepada


Nabi Muhammad saw. Secara berangsur-angsur, ayat demi ayat, surat
demi surat, sesuai dengan peristiwa, situasi, kondisi yang terjadi.
Dengan cara ini hukum yang dibawanya lebih disenangi oleh jiwa
penganutnya dan lebih mendorongnya untuk menaati aturan-
aturannya. Hikmah yang pokok dari penetapan hukum secara bertahap
ini adalah untuk memudahkan umat Islam dalam mengamalkan setiap
hukum yang ditetapkan. Sebagai contoh adalah pemberlakuan hukum
haram bagi menuman keras. Dalam hal ini hukum Islam (al-Quran)
dengan jelas memberikan tahapan-tahapan dalam penetapan
hukumnya, dimulai dari aturan yang sederhana sampai pada penetapan
keharamannya.

c) Karakteristik Hukum Islam


Karakteristik Hukum Islam Hukum Islam memiliki beberapa karakteristik
yang dapat membedakannya dari berbagai sistem hukum yang ada di
dunia. Karaktersitik hukum Islam ini ada yang merupakan produk dari
4
Muhammad Yusuf Musa, 1988: 186).
7

watak hukum Islam itu sendiri, dan ada yang disebabkan oleh evolusinya
dalam mencapai tujuan yang diridoi Allah. Yang dimana karkteristik
tersebut yaitu :

 Asal mula hukum Islam berbeda dengan asal mula hukum umum.
Perbedaan yang paling mendasar dari hukum Islam dengan hukum
Barat adalah bahwa konsep hukum Islam merupakan apa yang
dijabarkan dari wahyu Allah. Yang dimana hukum Islam bersumber
pada wahyu Allah. Sumber tersebut kemudian dijabarkan menjadi
wahyu Allah (alQuran).Hukum yang diciptakan manusia sangatlah
berbeda dengan hukum yang datang dari Allah.
Para ahli fikih terikat dengan al-Quran dan Sunnah selama ditemukan
nash-nash di dalamnya. Ketika pada kedua sumber ini tidak ditemukan
dasardasar tersebut, maka para ahli fikih akan melakukan ijtihad untuk
menemukan dasar-dasar yang belum ditemukan dalam al-Quran dan
Sunnah. Para ahli hukum umum terus menerus mengkaji undang-
undang dan menafsirkan teksteksnya pasal demi pasal, dengan asumsi
bahwa undang-undang itu memuat segala sesuatu yang menyangkut
isinya. Oleh karena itu ketika para ahli hukum sepakat mengatakan
bahwa teks hukum memuat semua kaidah hukum tanpa ada yang
terlewat, tidak ada pilihan lagi bagi seorang ahli hukum kecuali
membahas dan menafsirkan teks-teks itu pasal demi pasal.

 Balasan hukum Islam didapatkan di dunia dan akhirat.


Hal yang terdapat undang-undang hanyalah berisikan tentang
sanksisanksi duniawi yang mampu ditakar melalui berapa lama
seseorang akan menjalani sanksi tersebut.Tidak ada ketentuan dalam
undang-undang tersebut yang akan memberikan sanksi diakhirat kelak.
Hukum Islam menjanjikan pahala ketika kita mematuhi segala aturan
yang telah dibuat oleh Allah dan akan mendapatkan siksa di dunia dan
akhirat ketika menjalankan larangannya. Sanksi di akhirat tentunya
8

jauh lebih berat dari sanksi di dunia.Oleh karena itu, orang yang
beriman merasa memiliki dorongan jiwa yang kuat untuk menjalankan
segala hukum Islam dengan mentaati perintah dan menjauhi segala
larangan. Hukum yang disandarkan kepada agama memiliki tujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan baik itu individu maupun
masyarakat.Oleh karena itu, hukum tersebut tidak akan menetapkan
suatu aturan yang akan bertentangan dengan kehendak keduanya.

Karakteristik hukum Islam yang hakiki tidak hanya memiliki tujuan


untuk keselamatan dan kebahagiaan individu saja, tetapi juga untuk
mewujudkan kemaslahatan di masyarakat. sebagaimana yang telah
kita jumpai dalam al-Quran, Sunnah, dan putusan-putusan para ulama
melalui ijtihad. Sangat berbeda dengan hukum yang telah diciptakan
oleh manusia yang pada umumnya memiliki kecenderungan
individual, yang dimana akibatnya hukum yang diciptakan banyak
menyebabkan benturan antar individu ketika kepentingan individu itu
berbeda.

 Hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan lingkungan waktu, dan


tempat. Hukum menghendaki adanya perkembangan untuk dapat
bertahan di tengah-tengah perbedaan waktu dan tempat. Jika tidak
demikian, hukum tersebut akan mati dan tidak dapat bertahan. Hukum
Islam mempunyai sifat dinamis yang membuatnya tetap bertahan dan
berkembang seiring perkembangan zaman Karena kaidah hukum Islam
tidak terbatas pemberlakuannya pada kaum dan masa tertentu. Kaidah-
kaidah hukum Islam merupakan kaidah umum yang berlaku untuk
setiap masa, tempat, dan golongan. Telah terbukti dalam sejarah
hukum Islam telah berlaku dari awal diturunkannya ke bumi hingga
saat ini. Di saat terjadi berbagai perubahan hukum Islam tetap eksis
dan berlaku untuk semua zaman dan tempat.
9

Hukum Islam bersifat elastis yang dimana meliputi segala bidang dan
menjangkau seluruh kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan,
kehidupan jasmani dan rohani, hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan sesama makhluk, serta ajaran hidup dunia dan akhirat
terkandung dalam ajaran hukum Islam. Hukum Islam juga
memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik bidang ibadah,
muamalah, maupun bidang-bidang yang lain5 . Tujuan hukum positif
terlihat pragmatis dan terbatas, yakni hanya menegakkan ketertiban
dalam masyarakat dengan satu cara tertentu. Tujuan ini sangat
diinginkan oleh pembuat undang-undang, meskipun terkadang
memaksakan untuk menyimpang dari kaidah-kaidah yang ada.

2. Konstribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional


Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional Sebagai
upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum Islam telah
memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya.
Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen. Pertama, UU No. I tahun
1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 Undang-undang ini, ditulis bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud
pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam.

Kedua, di dalam UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,


disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya adalah
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani, mempunyai
kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.

5 (Manna‟ al-Qaththan, 2001: 21; Fathurrahman Djamil, 1997: 47)


10

Ketiga, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini


membuktikan bahwa Peradilan Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh,
serta dikembangkan di bumi Indonesia. Hal ini membuktikan adanya
kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas.

Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak terbentuk Undang-


undang, melainkan Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991. Kompilasi ini
sangat membantu para hakim dalam memutuskan perkara, terutama di
Peradilan Agama.

Kelima, PP No.28 tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, disamping


UU No.5 tahun 1960 sebagai pengaturan pokok masalah pertanahan di
Indonsia. Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan juga Peraturan Menteri
Agama No. Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksana PP No. 28 tahun 1978.
Untuk pelaksanaan tersebut telah dikeluarkan beberapa peraturan sebagai
berikut :
 Keputusan Menteri Agama No.73 tahun 1978 tentang Pendelegasian
Wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama
Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia untuk
mengangkat/memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai PAIW;
 Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
masingmasing No. 1 tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No.28 tahun 1978; 3. Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun
1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73
tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil
Dep. Agama Propinsi/Setingkat untuk mengangkat/memberhentikan
setiap Kepala KUA Kec. sebagai PPAIW; 4. Peraturan Direktur Jenderal
Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian
Bea Materai dengan lampiran rekaman Surat Direktorat Jenderal Pajak
No. S-629/ PJ.331/1080 tentang Ketentuan Menteri Keuangan atas tanda-
tanda sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Th. 1978
11

tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Th. 1977; 5. Peraturan Menteri


Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah
mengenai Perwakafan Tanah Milik. 6. Surat Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji No. D.II/5/Ed/07/1981 tentang Pendaftaran Perwakafan
Tanah Milik; 7. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.
D.II/5/Ed/ll/1981 tentang Petunjuk Pengisian nomor pada formulir
Perwakafan Tanah Milik. M. Yasir, Pelaksanaan Perwakafan di
Indonesia, Permasalahan dan Pemecahannya.6

Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh
mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah
hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan
Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan
dalam pembinaan dan pengembangannya. Sejarah perjalanan hukum di
Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan
perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional
Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa
hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun
yang tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan
praktik hukum.

Teori eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang
menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia,
yaitu: (1) Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional
Indonesia; (2) Ada, dalam arti kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan
dan wibawanya, dan diberi status sebagai hukum nasional; (3) Ada, dalam
arti hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi sebagai
penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia; (4) Ada, dalam arti
sebagai bahan utama dan unsur utama.
Jadi, secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional

6 Fakultas Syariah UIN Jakarta; Jurnal Ahkam No. 16/VII/2005. hlm. 275
12

merupakan sub sistem dari hukum nasional. Karenanya, hukum Islam juga
mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka
pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui
problema dan kendalanya yang belum pernah usai. Secara sosiologis,
kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman.
Bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan
masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum, selalu
sama-sama menuntut ketaatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan
antara keduanya sangat erat. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan
kepatuhan dari warga masyarakat. Keduanya harus dikembangkan secara
searah, serasi, dan seimbang. Keduanya tidak boleh dibiarkan saling
bertentangan.

Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena merupakan


bagian dari agama Islam yang universal sifatnya. Maka otomatis hukum
Islam berlaku bagi orang Islam di manapun ia berada, apapun
nasionalitasnya. Hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional adalah
hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu.
Dalam kasus Indonesia, hukum nasional juga berarti hukum yang dibangun
oleh bangsa Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat muslim lebih banyak
dibandingkan dengan masyarakat yang beragama lain. Masyarakat yang
lebih banyak tersebut berperan lebih besar dalam menjalankan ajaran
agamanya khususnya dalam menerapkan hukum Islam. Dalam menerapkan
hukum Islam tersebut membutuhkan kajian yang komprehensif dan
menyeluruh dengan mempertimbangkan eksistensi masyarakat yang akan
melaksanakan aturan/hukum tersebut, yang bukan hanya masyarakat muslim
tetapi juga masyarakat umat lain (non muslim) yang ada di Indonesia.

Kajian keberadaan hukum Islam dalam konteks ini dimaksudkan untuk


mengenal dan menganalisis hukum Islam dalam konteks budaya hukum
13

Indonesia sebagai sesuatu yang hidup dan berkembang secara dinamis.


Setiap masyarakat memiliki ciri khas dan karakter-karakter sendiri, termasuk
budaya hukum. Budaya hukum tersebut berasal dari berbagai sumber, antara
lain norma-norma sosial kemasyarakatan yang dipegang teguh dan diyakini
mampu mengatur lingkungan sosial kemasyarakatan. Dalam konteks
keindonesiaan, maka hukum Islam diyakini sebagian besar umat Islam
Indonesia sebagai sesuatu norma hukum yang benar mempunyai peran
dominan dalam mengatur budaya hukum tersebut. Pelaksanaan hukum Islam
kaitannya dengan sistem hukum positif di Indonesia, atau antara hukum
Islam dan negara sudah banyak ditulis oleh para sarjana, termasuk sarjana
barat. Membicarakan tentang kekuatan hukum dari hukum Islam di
Indonesia perlu dipahami dari macam produk pemikiran hukum Islam.
Bahwa setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam yang telah
berkembang dan berlaku di
Indonesia, seiring pertumbuhan dan perkembangannya. Empat produk
pemikiran hukum Islam tersebut adalah fikhi, fatwa ulama- hakim, keputusan
pengadilan, dan perundang-undangan.

Produk pemikiran ini khususnya di Indonesia telah berlaku dan sudah


dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, dengan diundangkannya perarturan
perundang-undangan, fatwa ulama, dan putusan hakim yang memiliki
kekuatan hukum. Tetapi hal ini masih membutuhkan langkah-langkah yang
strategis dalam rangka penguatan upaya penerapan hukum Islam di
Indonesia. Penerapan hukum Islam membutuhkan langkah-langkah sebagai
alat penekanan dan pemaksa, yakni dengan meningkatkan kesadaran umat
Islam, tentang tuntutan ajaran agamanya secara menyeluruh, kemudian
berupaya meyakinkan umat beragama lain tentang kemampuan hukum Islam
(dalam formulasinya yang baru) sebagai hukum negara. 7 Akhir-akhir ini,
tingkat kesadaran dalam beragama di kalangan umat Islam semakin baik.

7
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: ISU-ISU Penting hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, hal 40.
14

Sebelumnya memang dirasakan adanya usaha pihak tertentu untuk


meminggirkan umat Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya, namun
saat ini usaha untuk menyudutkan umat Islam tersebut dapat dihindarkan,
meskipun belum seluruhnya. Hal ini merupakan kesempatan untuk
menyiapkan masuknya hukum Islam dalam hukum yang diberlakukan di
Indonesia.

3. Konsep Hukum Adat

Hukum adat ini sejatinya akan tumbuh selaras dengan perkembangan yang
ada di masyarakat, biasanya mengikuti pada tradisi rakyat yang ada. Hukum
adat ini menjadi dasar dari norma kesusilaan dalam masyarakat yang
penegakannya memperoleh pengakuan dari masyarakat itu sendiri. 8 Hukum
adat di Indonesia merupakan kompleks norma-norma yang terdapat sumber
atas perasaan dari keadilan rakyat yang senantiasa ikut tumbuh serta
menyangkut segala aturan perilaku manusia di keseharian hidupnya, sebagian
besar tidak tertulis, selalu dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat, sebab
memiliki akibat hukum (sanksi). Peraturan hukum adat akan selalu terus
mengalami perkembangan, yang mengakibatkan hukum adat akan terus
terjadi sebuah perubahan. Setiap aturan hukum adat akan lahir, tumbuh serta
lenyap karena munculnya peraturan baru sesuai dengan masa-masa
perkembangan hukum adat itu sendiri. Maka dari itu ciri khas dari hukum
adat yang dinamis ini, dengan kata lain dapat dikatakan fleksibel, sehingga
pada aturan hukum adat ini perlu ada kesepahaman atas penetapan supaya
terbentuk hukum positif. Pada bagian ini telah jelas dengan tujuan dalam
mempertahankan eksistensi yang bisa menciptakan aturan hukum ini untuk
menjadi sebuah aturan hukum tertulis serta mempunyai kekuatan hukum yang

8
Ridho Saputra, dkk., ‘Keberadaan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia’ (2020)
<https://law.unja.ac.id /keberadaan-hukum-adat-dalam-sistem-hukum-indonesia/>, dikunjungi
pada 1 Juni 2022.
15

paten.9 Dalam implementasinya terdapat masyarakat bahkan sebagian besar,


masih menjalankan sistem dari hukum adat untuk mengarahkan semua
kegiatan dalam kehidupan sehari-harinya dan menjadi sebuah titik terang jika
muncul suatu permasalahan. Pada seluruh daerah di Indonesia dipastikan
memiliki tatanan hukum adatnya masing-masing dalam menegakkan sebuah
aturan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari yang hanya tunggal atau
seragam saja, dan dari sebagian besar hukum adat itu berbentuk hukum yang
tidak tertulis.

Hukum adat menjadi hukum khas masyarakat Indonesia, berpusat pada adat
istiadat yang menjadi penjabaran atas nilai-nilai dasar kebudayaan masyarakat
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat mengikat dan
menemukan berbagai kebiasaan, sehingga diakui oleh konstitusi Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

4. Eksistensi Hukum Adat dalam Perkembangan Tata Hukum di Indonesia


Hukum adat di Indonesia telah lahir dan tumbuh berkembang ketika zaman
kuno. Bahkan sampai saat ini juga masih dianut dan berkembang di berbagai
daerah di Indonesia. Hukum adat ialah sebuah peraturan yang telah melekat
dan lahir di dalam masyarakat tradisional (masyarakat adat). Hukum adat
sudah muncul dan mulai berkembang di Indonesia sejak zaman kerajaan
Hindu Budha di Indonesia berkembang. Sejatinya perkembangan dari hukum
adat di Indonesia selaras dengan perkembangan dari negara Indonesia itu
sendiri. Hukum adat yang berkembang pada masa penguasa zaman Hindu
sebagai aturan masyarakat telah berlangsung sejak masa Polinesia Melayu
yang berlanjut sampai masa kesultanan, termasuk Kerajaan Sriwijaya,
Mataram, Majapahit.
Hukum adat terus berkembang dan terus mengalami penyesuaian hingga
Islam masuk pada abad ke-1 Hijriyah (abad ke-7 Masehi). Pada abad ke-13

9
Bibit Joko, ‘Sejarah Hukum Adat di Indonesia’
<https://www.academia.edu/9468017/sejarah_hukum_adat_di_indonesia>, dikunjungi pada 1 Juni
2022.
16

berdiri kerajaan Islam (kesultanan) pertama yakni Samudera Pasai yang


terletak di ujung Utara pulau Sumatra. Tidak lepas begitu saja hukum juga
mengalami monopoli terhadap hukum positif barat yang diberlakukan selama
terjadinya masa penjajahan oleh bangsa kolonial. Hingga eksistensi dari
sejarah perkembangan hukum adat ini bermuara pada masa pasca proklamasi.
Karena bangsa Indonesia merupakan negara yang menganut keanekaragaman
dalam bidang hukumnya, dimana terdapat tiga hukum yang eksistensinya
diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Maka
eksistensi dari hukum adat juga tidak dapat dipandang sebelah mata dalam
tata hukum Indonesia, sebab keberadaan hukum adat ini sudah secara resmi
telah diakui oleh negara keberadaannya yang tertuang pada pasal 18B ayat (2)
10
UUD NRI 1945, meskipun dalam penerapannya masih terbatas Yang
menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Kemudian
ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan pasal 28
I ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dari masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

 Perkembangan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat


Sejak reformasi bergulir tahun 1998 sudah banyak peraturan
perundangundangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak
masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak dasar lainnya.
Berbagai produk legislasi tersebut menyentuh semua level mulai dari
konstitusi sampai peraturan desa. Pada level konstitusi misalkan dipertegas
dengan keberadaan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Kemudian sejumlah
undang-undang khususnya yang terkait dengan sumber daya alam berisi
pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Seakan tidak lengkap
10
Syahidah Izzata, ‘Sejarah Singkat Hukum Adat di Indonesia’ <https://news.detik.com /berita/d-
6005955/hukum-adat-di-indonesia-sejarah-bukti-hingga-perkembangannya>, dikunjungi pada 1
Juni 2022
17

sebuah peraturan bila tidak berisi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-
hak masyarakat adat.

Hal ini sangat dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh masyarakat
adat dan para pendukungnya yang sejak kemunculannya memang hendak
mengatur ulang hubungan antara masyarakat adat dengan negara. Reposisi
hubungan antara masyarakat adat dengan negara nampak dalam semboyan
yang dikumandangkan pada saat pendirian AMAN pada tahun 1999: “Bila
negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara.”11

Tidak berhenti pada level nasional, pada level daerah pun terdapat sejumlah
inisiatif serupa. Hal sejalan dengan semangat desentralisasi dan juga
diinspirasikan oleh lahirnya Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat. MeskipunPermenag itu mengatur bahwa penyelesaian hak ulayat
masyarakat adat dapat dilakukan dengan Perda, tetapi pada kenyataannya
diterjemahkan bahwa Perda dapat dipakai untuk mengakui keberadaan dan
hak-hak masyarakat adat atas tanah. Politik pengakuan (politic of recognition)
menjadi kata kunci dalam memperlakukan masyarakat adat pada situasi
kontemporer. Latif Fariqun : “... pernyataan penerimaan dan pemberian status
keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-
hak warga negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat
sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak-hak asasi warga negara"12

Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia merupakan sebuah hal


keniscayaan yang tidak terbantahkan. Keberadaan masyarakat hukum adat
dewasa ini juga perlu mendapatkan perhatian secara optimal, mengingat
11
Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan Hukum”,
https://www.academia.edu/3537826/Masyarakat_adat_dalam_kontestasi_pembaruan_hukum
(diakses tanggal 13 Februari 2014).
12
A. Latief Fariqun, “Nasional”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, 2007),
hlm. 81.
18

bahwa keberadaan masyarakat adat beserta hukum adatnya mengalami


degradasi pengakuan. Sejumlah inisiatif legislasi yang telah dan sedang
berproses saat ini merupakan wujud dari “kontrak ulang” antara negara
dengan masyarakat hukum adat yang berada dalam konteks sosial, politik
yang berbeda dengan masa lalu. Oleh karena itu, segala program yang hendak
ditujukan kepada masyarakat hukum adat pun harus dengan semangat baru
yang berbeda itu pula. Pergeseran paradigma itu tidak lagi memposisikan
masyarakat hukum adat sebagai kelompok tradisional yang perlu
dimodernkan dengan tolak ukur orang kota, yang ‘mendesak’ perubahan pola
sosial ekonomi masyarakat adat ke dalam kategori kesejahteraan menurut
penguasa. Hal ini sejalan pula dengan semangat zaman yang melampaui
paham linearitas dari tradisional ke modern. Dalam paham lama ini, semua
masyarakat adat harus dimodernkan, diubah gaya hidup dan cara produksinya
menjadi sebuah model tunggal yang mudah dikendalikan. Cara pandang
bahwa semua masyarakat dapat direkayasa agar berubah dari tradisional ke
modern sudah mulai ditinggalkan. Diganti dengan pandanganbahwa
masyarakat akan menentukan sendiri perubahannya sebagai sebuah subjek
yang memiliki sejarah, peradaban dan kepentingannya masing-masing. Hal
ini sejalan dengan paradigma post-modern yang bertujuan menyediakan
keberagaman agar masing-masing subjek dapat berinteraksi dalam ruang
sosial yang bersaing. Cara pandang ini didukung dengan politik pengakuan
(politics of recognition) yang mengakui masyarakat adat sebagai subjek
hukum, sosial dan politik yang harus diterima keberadaan dan hak-haknya.13
Hal ini sejalan pula dengan prinsip self-determination yang sudah dikenal
secara internasional. Cara pandang bahwa masyarakat hukum adat merupakan
subjek yang lemah dan perlu diberdayakan sudah mulai bergeser. Istilah
pemberdayaan beranjak dari asumsi bahwa masyarakat hukum adat
merupakan kelompok yang lemah, lumpuh, tidak tahu apa-apa, tidak tahu

13
Charles Tylor, Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition. (Princeton: Princeton
University Press. 1994)\
19

mana yang baik untuk kepentingannya sendiri, sehingga perlu dibantu


berjalan mengarungi kehidupannya.
 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal
6. Pasal 6 Undang-undang ini secara formal mengakui eksistensi dan hak
tradisional masyarakat hukum adat berdasar norma yang terdapat dalam
Ketetapan MPR Nomor TAP-XVII/MPR/1998 tersebut di atas.
 Sambutan pada acara peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum
SeDunia di Taman Mini Indonesia Indah pada tanggal 9 Agustus 2006,
namun pidato Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
yang bukan saja menerima baik pembentukan Sekretariat Nasional
Masyarakat Hukum Adat, empat prinsip penyelesaian masalah masyarakat
hukum adat dengan pihak-pihak terkait, serta pembentukan rancangan
undangundang tentang hak masyarakat hukum adat merupakan komitmen
politik Pemerintah. Komitmen politik ini telah dan sedang ditindaklanjuti
oleh Menteri Sosial, yang berdasar Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun
1999 mempunyai tugas pokok dalam penanganan salah satu bagian dari
masyarakat hukum adat , yaitu komunitas adat terpencil (KAT).

5. Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat


Pembahasan mengenai hak masyarakat hukum adat masih sangat kompleks.
Pada dasarnya hubungan masyarakat adat dengan sumber daya alam,
lingkungan atau wilayah kehidupannya lebih tepat dikategorikan sebagai
hubungan kewajiban daripada hak. Hubungan tersebut baru dikategorikan
sebagai hak bila mereka berhubungan dengan pihak luar, baik itu komunitas
lain, pengusaha bahkan dengan pemerintah. Ketika berhubungan dengan
pihak luar, maka konsepsi tentang hak kemudian menjadi sesuatu yang
bermuatan politis yang diperebutkan sekaligus menjadi objek peraturan di
dalam hukum. Sebelum memaparkan mengenai hak-hak tradisional
masyarakat hukum adat, terdapat hak yang berkaitan yakni hak-hak
Konstitusional Masyarakat Hukum Adat. Hak-hak konstitusional masyarakat
20

hukum adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi International
Labour Organization (ILO) Tahun 1986 meliputi :14
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi;
4. Hak atas pendidikan;
5. Hak atas pekerjaan;
6. Hak anak;
7. Hak pekerja;
8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
9. Hak atas tanah;
10. Hak atas persamaan;
11. Hak atas perlindungan lingkungan;
12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;
13. Hak atas penegakan hukum yang adil.

Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling
penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah
satu ukuran keberadaaan suatu komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu,
di dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, persoalan hak atas
tanah dan sumber daya alam ini diatur : Pasal 26 ayat (1) : “Masyarakat adat
memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber
daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-
tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan
atau yang telah didapatkan (Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat)”

Pasal 26 ayat (2): “Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki,


menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-

14
Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia., Aktualisasi
Masyarakat Hukum Adat (MHA): Perspektif Hukum dan Keadilan terkait dengan status MHA dan
Hak-Hak Konstitusionalnya, Pusat
21

wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka atas dasar kepemilikan
tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga
tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya yang dimiliki dengan cara lain
(Pasal 26 ayat 2 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)”

Sedangkan Abdon Nababan menyebutkan dari sekian banyak kategori hak


yang berhubungan dengan masyarakat adat, setidaknya ada empat hak
masyarakat adat yang paling sering disuarakan, antara lain15 :
1) Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) dan mengelola
(memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
2) Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk
peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh
masyarakat adat;
3) Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem
kepengurusan/kelembagaan adat;
4) Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim
pengetahuan (kearifan) dan bahasa asli.
Mengenai fungsi hak-hak tradisional Moh. Koesnoe mengemukakan terdapat
empat fungsi yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam persekutuan
masyarakat hukum pedesaan (adat) berkenaan dengan menjaga tata harmoni
antara masyarakat dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan,
Fungsi pemeliharaan roh, Fungsi pemeliharaan agama, dan fungsi pembinaan
hukum adat.16

15
Yance Arizona., Satu Dekade Legislasi MAsyarakat adat: Trend Legislasi Nasional tentang
Keberadaan dan Hak-Hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (1999 2009).
Kertas Kerja Epistema No. 07/2010.
Lihathttp://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Vorking_Paper_Epistema_Institute_07-
2010.pdf (diakses pada 14 Februari 2014)
16
Irfan Nur Rahman, et.al., Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah
Konstitusi. (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011), hlm. 4.
22

6. Hukum Adat Sebagai Pembentukan Hukum Nasional


Hukum adat adalah bagian dari kebudayaan Indonesia. Dimana ada
masyarakat disana ada hukum (Ubi Societas Ubi lus), demikian dikatakan oleh
Cicero 2000 tahun yang lalu. Hukum yang terdapat di dalam masyarakat
manusia, betapa sederhana dan kecilpun masyarakat itu menjadi cerminnya.
Karena tiap masyarakat, tiap rakyat mempunyai kebudayaan sendiri dengan
corak dan sifatnya sendiri biarpun dalam kebudayaan beberapa rakyat tertentu
(misalnya semua rakyat Eropa Barat) ada banyak persamaan pula, mempunyai
cara berpikir geestestructuur sendiri, maka hukum di dalam masyarakat
sebagai salah satu penjelmaan geetestructuur masyarakat yang bersangkutan,
mempunyai corak dan sifatnya sendiri sehingga hukum masing-masing
masyarakat itu berlain-lainan."17

Von Savigny pernah mengajarkan bahwa hukum mengikuti Volkgeist dari


masyarakat tempat hukum itu berlaku, karena Volkgeist masing-masing
masyarakat berlain-lainan. Demikian halnya dengan Hukum Adat di
Indonesia. Seperti halnya dengan semua sistem hukum di bagian di muka
bumi ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh, adat Indonesia karena
timbul dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan padangan hidup
yang keseluruhannya merupaka kebudayaan tempat hukum itu berlaku.

Ketetapan MPRS No.1/MPRS/1960 pada Lampiran A Paragraf 402 telah


menetapkan hukum adat sebagai asas-asas pembinaan hukum nasional, yang
merupakan garis-garis politik di bidang hukum, yang bunyi selengkapnya
sebagai berikut:
a) Azas-azas pembinaan hukum Nasional supaya sesuai dengan haluan
negara dan berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan makmur.
b) Di dalam usaha ke arah homogenitas dalam bidang hukum supaya
diperhatikan kenyataan- kenyataan yang hidup di Indonesia

17
Bar Manmad ,1978. Asas-ass Hukum Autot Janata Preye Para 40 bid, m. 49
23

c) Dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum


waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat

Berpijak pada Tap MPRS No.II/MPRS/1960 tersebut diatas, maka


kedudukan serta peranan hukum adat dalam pembinaan hukum nasional
menjadi lebih jelas dan tegas, yaitu sepanjang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan makmur merupakan landasannya. Sangat
tepat. Ketetapan MPRS tersebut, karena hukum adat bagian dari kebudayaan
Indonesia. Suatu hukum yang timbul dari keseluruhan tingkah laku,
kesusilaan dan kebiasaan bangsa Indonesia sehari hari. Hukum yang dipatuhi,
ditaati serta dipertahankan oleh rakyat Indonesia, sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum adat merupakan hukum rakyat Indonesia.

Menurut van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatsrecht van


Nederlandch Indie Jilid III, dikatakan bahwa 19 lingkaran hukum
(rechtskringen), di mana tiap-tiap lingkaran hukum itu memperlihatkan sifat
dan coraknya sendiri. Oleh karena itu hukum adat yang dipakai sebagai asas-
asas atau landasan pembinaan hukum nasional harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara yang berkembang serta dipertahankan oleh masyarakat berdasarkan
atas persatuan bangsa.
2) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan hidup yang nyata, cara hidup
dan pandangan hidup negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila; yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan.
3) Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan masyarakat tempat hukum
adat itu berlaku.
4) Hukum adat yang bersih dari sifat-sifat Feodalisme, Kapitalisme serta
penghisapan manusia atas manusia;
5) Hukum adat yang tidak bertentangan dengan Unsur-unsur agama.
24

Dengan demikian hukum adat yang dapat Azas-azas pembinaan hukum


nasional supaya dipakai sebagai asas-asas atau landasan pembinaan hukum
nasional adalah bukan hukum adat murmi, tetapi hukum adat yang sudah
bersih dan memenuhi syarat-syarat di atas. Ketentuan syarat-syarat di atas
mengharuskan kita untuk melakukan penelitian yang seksama terhadap
seluruh komplek adat yang sedang hidup dan berkembang di dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Penelitian tersebut diharapkan akan menghasilkan
kaidah-kaidah adat yang perlu ditinggalkan karena dikualifikasi dapat
menghambat perkembangan masyarakat yang adil dan makmur, serta-kaidah-
kaidah mana yang memenuhi syarat untuk diperkembangkan menjadi
landasan pembinaan hukum nasional.

Untuk memenuhi persyaratan seperti tersebut di atas, bagi hukum adat


tidaklah sulit, karena hukum adat mempunyai sifat-sifat yang istimewa antara
lain: "Hukum adat adalah hukum rakyat yang tidak tertulis. Demikian pula
tidak ada suatu Badan Legislatif yang secara revolusioner membuat peraturan
baru pada setiap perubahan keadaan dan perubahan kebutuhan hukum.
Sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupannya sendiri yang terus-
menerus berubah dan berkembang, hukum adat selalu pula menjalani
perubahan-perubahan yang terus melalui keputusan-keputusan atau
penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil
temu rasa dan kata tentang pengisian sesuatu hukum adat dalam
permusyawaratan rakyat. Dalam hal itu, setiap perkembangan yang terjadi
selalu mendapatkan tempatnya di dalam tata hukum adat. Dan hal-hal yang
lama yang tidak lagi dapat dipergunakan atau dipakai secara tidak
revolusioner pula lalu ditinggalkan."

Dari apa yang dikemukakan oleh Moch Koesnoe di atas sekaligus


menjawab pula pendapat yang mengatakan bahwa hukum adat bersifat kaku,
sulit berkembang, sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan
zaman. Senada dengan apa yang ditulis oleh Moch Kosnoe di atas, Soepomo
25

menulis: ditegaskan bahwa di dalam usaha-usaha ke arah homogenitas dalam


bidang hukum diperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
Hal ini berarti, bahwa perasaan keadilan yang tercermin serta terpantul dalam
kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari, wajib dijadikan pedoman di
dalam pelaksanaan perwujudan homogenitas dalam bidang hukum. Hal ini
berarti pula usaha usaha ke arah homogenitas dalam bidang hukum adalah
usaha-usaha mengkonkritkan rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan
masyarakat ini tentunya berpedoman kepada ukuran-ukuran baru,
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan nasional bangsa Indonesia yang
disesuaikan dengan tuntutan hidup modern pada dewasa ini. Oleh karena itu
sedapat mungkin kita harus mengutamakan nilai-nilai dari pada kebudayaan
bangsa sendiri walaupun tidak menutup kemungkinan kita menerima
lembaga-lembaga asing (baca: Barat) sepanjang tidak bertentangan dengan
filsafat negara yaitu Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia.

Mengenal kedudukan hukum adat dan peranannya dalam pembinaan


hukum nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional
tanggal 15-17 Januari 1975 yang diselenggarakan oleh BPHN bekerjasama
dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyimpulkan sebagai
berikut
 Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk
memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang
menuju kepada unifikasi hukum yang terutama akan dilakukan melalui
pembuatan-pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan, dengan
tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan perkembangannya hukum
kebiasaan dan peranan pengadilan dan pembinaan hukum
 Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat
a) Pengunaan konsep-konsep dan asas-asas hukum dan hukum adat untuk
dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan
masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka pembangunan
26

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-


Undang Dasar 1945.
b) Pembangunan lembaga-lembaga hukum adat yang modernisasi dan
disesuaikan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri-ciri kepribadian
Indoensia;
c) Memasukkan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum adat ke dalam
lembaga hukum baru dan lembaga-lembaga hukum asing yang digunakan
untuk dan memperkembangkan hukum nasional, agar tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

 Hukum Adat Dalam Suasana Globalisasi


Membicarakan globalisasi sesungguhnya yang terjadi adalah ketika
manusia telah menguasai dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang telekomunikasi transformasi Menghadapi yang demikian,
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa kerangka formal bagi pembangunan
sistem hukum nasional harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945,
sehingga setiap bidang hukum yang akan dibangun merupakan bagian dari
sistem hukum nasional, yang terdiri dari sejumlah peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi, maupun hukum kebiasaan, wajib bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945. Apabila pluralisme hukum tidak ingin
dipertahankan lagi, maka unsur-unsur hukum adat dan hukum agama
ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum dalam
sistem yang akan berkembang dalam bidang masing-masing.

Bagaimana globalisasi mempengaruhi pola perilaku dan kebiasaan-


kebiasaan dari bangsa Indonesia, dapat dijelaskan dengan contoh yang
diberikan oleh Sunaryati Hartono. Apabila kini Indonesia sudah timbul
semacam sopan santun untuk bertanya lebih dahulu apakah kita boleh
merokok, maka hal itu dilandasi oleh suatu kesadaran bahwa asap rokok itu
mencemari lingkungan dan karena itu membahayakan seluruh lingkungan
sekitarnya. Di Singapura sudah menjadi hukum kebiasaan orang akan segera
27

demonstratif menutup mulutnya dengan sapu tangan, atau bahkan menyatakan


keberatannya kepada orang yang merokok di dekatnya. Di tempat-tempat
umum merokok sudah dilarang oleh hukum tertulis, Di sinilah kita melihat
pengaruh globalisasi dari suatu hasil penelitian yang diinformasikan secara
luas, yang tumbuh menjadi kesadaran untuk berkembang menjadi nilai, yang
kemudian dimplementasikan ke dalam perilaku, dan melalui sopan santun,
dan kebiasaan, akhimya akan menjadi norma hukum. Di masa mendatang
dapat diperkirakan, masih banyak norma hukum yang didasarkan pada
penelitian ilmiah yang kemudian diakui secara internasional, sebagai suatu
kaidah hukum intemasional atau memiliki nilai universal, akan juga diterima
dan direpresikan kedalam hukum nasional kita.

Perubahan nilai dan kesadaran sebagai akibat globalisasi di bidang


teknologi dan informasi, secara langsung maupun tidak langsung juga akan
mempengaruhi isi dan corak dari sistem hukum nasional kita. Dengan
demikian, maka hukum adat yang bersumber dari kesadaran dan budaya
bangsa, yakni hukum yang merupakan pernyataan langsung dari kesadaran
dan perasaan hukum bangsa Indonesia atas dasar tata budaya nasional, akan
memegang peranan yang penting dalam pembangunan hukum nasional.
Dengan globalisasi, hukum adat yang demikian itu tidak akan bergeser
sebagai salah satu sumber yang penting dalam pembangunan hukum nasional.
Hanya saja hukum adat perlu disesuaikan dengan keadaan yang jauh berbeda
dengan sebelumnya, namun asas-asasnya tetap akan mewamai setiap
pembentukan hukum nasional.
Iman Sudiyat dalam kaitannya dengan modernisasi mengatakan bahwa
hukum adat yang bersifat klasik-modern dan berurat berakar di dalam jiwa
rakyat Indonesia itu seyogyanya dijadikan modal dasar utama bagi
pembentukan dan pembinaan hukum nasional. Hukum adat yang semula
dianggap primitif, kolot, konservatif. ketinggalan zaman, statis, a-rasional,
dan sebagainya, dalam banyak segi temyata lebih dahulu maju daripada
hukum barat, c.q. hukum Inggris dan hukum Belanda, misalnya:
28

 Sifatnya yang konkret/riil/empiris itu.


Membuatnya lebih plasis, membesarkan kemungkinan untuk selalu
menyegarkan diri, lebih lincah dalam menanggapi tantangan alam dan
zaman.
 Tiadanya pembeda-pemisah Ketat antara hukum privat dengan hukum
publik dari jebakan ranjau yang menghambat gerak langkahnya.
 Fungsi sosial bagi personal maupun benda dapat mendidik masyarakat
untuk hidup dan berdasarkan tiga asas kerja yaitu rukun, patut, dan
berperilaku yang serba proporsional-manusiawi.
 Pragmatisme dan fungsionalisme religius dapat merangsang manusia
budaya beradab untuk memanfaatkan serbaragam wahana penghidupan
secara efektif.
 Pemilikan tanah sebagai benda vital bagi kehidupan masyarakat yang
menjadi pendorong kuat untuk berusaha melestarikan dan membina daya
produktivitasnya demi kebahagiaan hidup bersama.
 Asas pemisahan yang ternyata lebih relevan untuk taraf pembangunan
masa kini dan masa mendatang, mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan teknologi yang serba kompleks/canggih/canggih.
 Toleransi hidup antar tetangga yang tidak memerlukan pengaturan tertulis
yang terperinci, dapat membina rasa solidaritas ke arah integrasi harmonis
dalam kehidupan alam semesta.
 Pengutamaan kepentingan bersama tanpa mengabaikan kepentingan
perorangan, disertai perhatian mendalam terhadap nasib si kecil dan si
lemah-yang justru merupakan mayoritas rakyat-dapat memperlancar usaha
mencapai idaman masyarakat adil-makmur lahir-batin berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa sekarang kita tidak bisa


menempatkan hukum nasional berhadapan dengan hukum adat, karena hukum
adat dirangkum masuk ke dalam hukum nasional itu sendiri. Dengan kata lain,
hukum adat merupakan kekayaan dalam hukum nasional, karena hukum
29

nasional ini dibangun dari kekayaan tersebut, dan hukum adat tidak dapat
dipertahankan keutuhannya dan di dalam hukum nasional. Untuk itu struktur
hukum adat yang mana cenderung untuk berubah, untuk mengetahui itu
bantuan antropologi hukum akan terasa penting.

Dalam kehidupan modern Soetandyo Wigiosoebroto¹⁰Soetandy


Wigonoobroto, 1998 Peranan Husum Adat dalam Menata Hubungan Kerja
Masyarakat industri dam Hukum Adat Dan Modemias Hukum mengutip
pendapat Koesnoe mengatakan bahwa jika terjadi sengketa di antara warga
masyarakat, diselesaikan, bukan diputuskan, laras. Inilah nilai harmoni, yang
dalam setiap perhubungan sosial, implisit hubungan kerja, dapat dijabarkan
sebagai berikut: pertama, hubungan antara manajemen dengan tenaga kerja
merupakan suatu paguyuban yang dilandasi oleh kaidah rukun dan hormat
satu sama lain. Hal ini berarti bahwa hubungan antara manajemen dengan
tenaga kerja ketika akan mengadakan hubungan kerja adalah saling menjadi,
bukan memiliki. Kedua, agar hubungan kerja senantiasa berasa dalam suasana
paguyuban, perlu ada perlindungan terhadap tenaga kerja, yang bukan semata-
mata perlindungan dengan usaha mencukupi kebutuhan, tetapi dimensi
immaterilnya hendaknya tidak diabaikan, artinya tenaga kerja tidak
diperlakukan sebagai orang lain.

Menurut Achid Masduki," dalam masyarakat modern maka hukum adat


yang kita pakai haruslah bukan hukum adat level persekutuan, yaitu hukum
adat yang oleh F.D. Holleman memiliki cin religius- magis, komunal, kontan
dan konkret,tetapi telah diubah oleh UU No.5 Tahun 1960 tentang Ketentuan
Pokok Agraria, sehingga telah berubah menjadi religius-rasional,
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, konsensual, dan
abstrak. Sehubungan dengan itu maka peranan hukum adat dalam menata
masalah pemilikan dalam masyarakat industri ialah agar hak milik bersifat
individual (contoh sertifikat tanah), ada kepastian hukum (contohnya
30

pendaftaran tanah). tetap berfungsi sosial, dan terjaga keseimbangan antara


kepentingan individu dan masyarakat.

Di dalam kancah penegakan hukum, peranan dan sumbangan hukum adat


tidak dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum merupakan penyerasian nilai-
nilai dengan perilaku manusia, dengan jalan mewujukan ide-ide atau nilai-
nilai ke dalam hukum in concreto dengan mewajibkan hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hal demikian itu dengan tandas
mengisyaratkan bahwa hukum adat adalah faktor penting dalam penegakan
hukum, karena sasarannya adalah terwujudnya rasa keadilan yang hidup di
dalam masyarakat.

lembaga-lembaga hukum yang dalam bentuk pernyataan modern. Karena


penyesuaian ini maka tidak menutup kemungkinan kemumian penerapan
kaidah-kaidah hukum adat menjadi hukum nasional akan mengalami
pergeseran, sepanjang untuk memperkaya dan mengembangkan hukum
nasional, asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
31

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum Islam berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah
dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.
2. Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional Sebagai
upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum Islam telah
memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya.
3. Hukum adat menjadi hukum khas masyarakat Indonesia, berpusat pada
adat istiadat yang menjadi penjabaran atas nilai-nilai dasar kebudayaan
masyarakat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat mengikat
dan menemukan berbagai kebiasaan, sehingga diakui oleh konstitusi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945).
4. Bangsa Indonesia merupakan negara yang menganut keanekaragaman
dalam bidang hukumnya, dimana terdapat tiga hukum yang eksistensinya
diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat.
Maka eksistensi dari hukum adat juga tidak dapat dipandang sebelah mata
dalam tata hukum Indonesia, sebab keberadaan hukum adat ini sudah
secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya yang tertuang pada
pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.
5. Hak-hak Tradisional masyarakat adat, persoalan hak atas tanah dan sumber
daya alam ini diatur : Pasal 26 ayat (1) : “Masyarakat adat memiliki hak
atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang
mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah,
wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau
yang telah didapatkan (Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak
Masyarakat Adat)”
6. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju kepada
32

unifikasi hukum yang terutama akan dilakukan melalui pembuatan-


pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan, dengan tidak
mengabaikan timbul/tumbuh dan perkembangannya hukum kebiasaan dan
peranan pengadilan dan pembinaan hukum.

B. Saran
Kami pembuat makalah ini sangat berharap sekali bahwa makalah ini dapat
diterima oleh Bapak Dosen dan harapan semoga yang membaca makalah ini
dapat memahami dan mengerti isi makalah kami ini. Kami berterima kasih
kepada para pendukung dalam membuat makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai