PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Peradilan dalam pembahasan fiqh diistilahkan dengan qodho yang memiliki arti
memutuskan,menyempurnakan,menetapkan. Adapun secara makna terminology,
peradilan adalah suatu lembaga pemerintah atau negara yang ditugaskan untuk
menyelesaikan atau menetapkan keputusan perkara dengan adil berdasarkan hukum
yang berlaku.
Peradilan islam adalah peradilan agama islam yang mencakup seluruh hukum tanpa
terbatas. Dimana peradilan islam memiliki kesamaan dengan negara-negara lain.
Dalam pengkajian Peradilan Islam di Indonesia dan peradilan pada umumnya, dikenal
berbagai kata atau istilah khusus yang menjadi lambing dari suatu konsep, di antaranya
peradilan agama, peradilan agama islam, peradilan islam, Islamic judiciary, badan
kehakiman, badan peradilan agama, badan peradilan agama islam, pengadilan
agama, mahkamah syar’iyah, kerapatan qadi, pengadilan agama islam, dan Islamic
court.
Ada dua istilah yang berasal dari kata dasar yang sama tetapi memiliki pengertian
yang berbeda, yaitu peradilan dan pengadilan. Peradilan merupakan salah satu pranata
dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam penegakan hukum dan keadilan, yang
mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan pengadilan merupakan satuan
organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut. Karena
peradilan diidentifikasi sebagai pranata hukum, didalamnya terdapat jaringan
hubungan antarmanusia yang meliputi komponen-komponen sebagaimana telah
dikemukakan. Untuk mewujudkan dan mengorganisasikan jaringan hubungan tersebut
2
dilaksanakan oleh pengadilan. Berkenaan dengan hal itu, dalam setiap lingkungan
peradilan terdiri atas pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding.
3
konsisten dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
Republik Indonesia. Keempat, landasan sosiologis yang menunjukkan bahwa Peradilan
Agama merupakan produk interaksi antara Elite Islam dengan elite nasional lainnya,
terutama dengan elite penguasa. Apabila keempat landasan itu terpenuhi, Peradilan
Agama dapat diidentifikasi sebagai Peradilan Islam.
Secara historis, Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam
yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah Saw. Peradilan Islam mengalami
perkembanagn pasang surut, sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di
berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam merupakan basis utama
dalam melakukan artikulasi dan perumusan politik hukum di berbagai kawasan dan
negara tersebut. Karena masyarakat Islam tersebar di berbagai kawasan yang beraneka
ragam struktur, pola budaya, dan perkembangannya, pengorganisasian Peradilan Islam
pun beraneka ragam pula. Meskipun demikian ia mengacu kepada prinsip yang sama.
Peradilan Islam pada masa Rasulullah Saw bersifat sederhana, baik dalam
pengorganisasiannya maupun prosedurnya. Ketika masyarakat Islam telah tersebar di
berbagai kawasan, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khathab, pengorganisasiannya
dikembangkan.
4
Proses interaksi itu dialami oleh masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang, sejak masyarakat Islam menjadi kekuatan politik
pada masa kesultanan Islam hingga sekarang. Salah satu produk interaksi itu adalah
Peradilan Islam di Indonesia, yang secara resmi disebut Peradilan Agama, sebagai
salah satu bagian dari peradilan negara. Dengan demikian, Peradilan Agama adalah
Peradilan Islam di Indonesia.
Secara Yuridis hukum Islam (dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah) berlaku di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan
perkawinan bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam adalah hukum
agamanya, yaitu hukum Islam.
5
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah
6
Aspek-aspek dinamika mencerminkan pertumbuhan dan perkembangannya yang
telah dicapai, serta prospeknya pada masa yang akan datang. Kini Peradilan Agama
memiliki kedudukan yang sangat jelas. Ia semakin besar dan menyebar dengan
pengorganisasian yang semakin rumit. Posisinya semakin kuat, karena memiliki
berbagai landasan sebagaimana telah dikemukakan. Aspek-aspek dinamika itu
merupakan aktualisasi aspek-aspek statika, baik yang berkenaan dengan pemberdayaan
potensi internal maupun yang berkenaan dengan perkembangan eksternal yang
berlangsung secara berencana dan dalam frekuensi yang sangat cepat.
Berkenaan dengan kedua macam aspek itu, ia dihadapkan pada berbagai tantangan
dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai salah satu pilar hukum dalam kehidupan
masyarakat yang semakin rumit. Tantangan itu antara lain semacam tajamnya
diferensiasi sosial yang mampu mengubah tata hubungan antarmanusia termasuk di
dalam lingkungan keluarga. Hal itu menuntut perubahan pengaturan hubungan
antarmanusia dalam keluarga ataupun masyarakat yang terdiri atas kumpulan keluarga.
Ia mencakup dimensi psikologis, antropologis, dan sosiologis yang terkait dengan
perkembangan ekonomi yang menempati skala prioritas dalam pembangunan nasional.
Hal itu akan berpengaruh terhadap penyelesaian konflik kleuarga yang menjadi
cakupan wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
1. Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan
kekuasaan negara dan pihak luar lainnya.
2. Badan peradilan sebagai satuan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
7
3. Prosedur berperkara di pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hukum
prosedural, dan produk-produknya.
4. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
shadaqah. Ia mencakup variasi dan frekuensi sebarannya dalam berbagai
pengadilan.
5. Orang-orang yang beragama Islam sebagai pihak yang berperkara (berselisih
atau bersengketa), atau para pencari keadilan.
6. Hukum Islam sebagai hukum substansial yang dijadikan rujukan dalam proses
peradilan.
7. Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam pengkajian Peradilan Islam di
Indonesia. Pertama, pendekatan normatif-moralistis. Peradilan Islam dideduksi dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diacu dari doktrin para ahli, termasuk
fuqaha. Kedua, pendekatan antropologis atau pendekatan sosiologis. Peradilan Islam
diinduksi dari suatu realitas yang dipandang sebagai gejala budaya dan gejala sosial.
Kedua pendekatan itu masing-masing memiliki kelebihan dan sekaligus merupakan
kekurangannya.
Pendekatan pertama lebih mudah digunakan karena memiliki pola yang telah baku,
yaitu peraturan. Pola itu dapat dijadikan patokan untuk melakukan penilaian terhadap
Peradilan Islam berdasarkan peraturan yang berlaku. Dengan demikian dapat dilakukan
pengkajian evaluasi untuk mengukur ‘apa yang senyatanya’ (das sein) yang bersifat
8
aktual diukur dengan ‘apa yang seharusnya’ (das sollen) yang bersifat ideal. Apabila
terdapat perbedaan atau kesenjangan antara das sein dan das sollen dengan mudah
dapat dinyatakan bahwa yang senyatanya itu inkonsisten atau salah dan menyimpang.
Atau sebaliknya, terjadi idealisasi Peradilan Islam karena tuntutan ideologis atau
pembelaan, sehingga terjadi bias yang sangat menonjol. Ia kehilangan objektivitasnya
dan mengabaikan akurasi.
Dalam model pengkajian ini dititikberatkan pada hubungan antara Peradilan Islam
dengan pranata hukum dan pranata sosial lainnya, atau dengan tatanan masyarakat
secara makro. Misalnya pengkajian “Perkembangan Peradilan Islam”. Ia mencakup
beberapa unsur yang saling berhubungan yaitu (1) landasan konstitusional, (2)
9
perubahan masyarakat, (3) politik hukum nasional, (4) kesinambungan Peradilan
Islam, (5) interaksi antar elite masyarakat, dan (6) Peradilan Islam. Keenam unsur itu
memiliki variasi hubungan yaitu hubungan fungsional (simetric), hubungan searah
(assimetric), dan hubungan timbal balik (reciprocal).
10
Islam, setelah Islam menjadi kekuatan politik. Kelima,corak penyelenggaraan
peradilan bersifat majemuk karena bersentuhan dengan struktur, pola budaya
masyarakat (lokal atau nasional), dan perkembangan tradisi intelektual Islam. Keenam,
kedudukan, susunan organisasi, dan alokasi kekuasaan penyelenggaraan peradilan
didasarkan pada sistem peradilan nasional dalam tatanan hukum nasional yang berlaku.
Melalui kerangka berpikir tersebut dapat dilakukan pengkajian hubungan antara dua
unsur atau lebih dalam suatu rentang waktu dan kawasan tertentu, baik aspek-aspek
statikanya maupun aspek-aspek dinamikanya.
11
Ia dilakukan dengan cara menafsirkan peraturan perundang-undangan. Pengkajian ini
diarahkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan aspek-aspek statika pengadilan. Ia
mencakup tentang kedudukan pengadilan, susunan pengadilan, kekuasaan pengadilan,
dan hukum acara yang berlaku. Adapun pendekatan antropologis-sosiologis diarahkan
untuk mendeskripsikan dan menjelaskan aspek-aspek dinamika dari sistem peradilan
secara empirik. Model pengkajian dengan pendekatan seperti ini masih jarang
dilakukan, kecuali dalam pembahasan singkat.
Pengkajian aspektual dititikberatkan pada salah satu atau bagian dari unsur dalam
sistem peradilan . kerangka berpikir, pendekatan, dan metode penelitian yang
digunakannya sama dengan model pengkajian sistemik. Yang berbeda hanya dalam
ruang lingkup pengkajiannya, yang lebih terbatas dan lebih sempit tetapi
memungkinkan pengkajian yang lebih spesifik dan mendalam.
Pengkajian ini dititikberatkan pada pembahasan isi keputusan Peradilan Islam, baik
putusan (vonis) maupun penetapan (beschiking) yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Model pengkajian ini didasarkan pada kerangka berpikir berikut :
12
pertama, keputusan pengadilan, putusan atau penetapan, memiliki dua dimensi. Di satu
pihak ia merupakan wujud penerapan hukum dalam peristiwa hukum yang sangat
konkret. Di pihak lain, ia mencerminkan pembentukan hukum oleh hakim yang
memiliki kewajiban untuk melakukan ijtihad. Kedua, keputusan pengadilan didasarkan
pada hukum tertulis, baik hukum material/ substansial maupun hukum formal/
prosedural. Ketiga, keputusan pengadilan juga didasarkan pada sumber hukum tidak
tertulis, nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, dan pandangan para ahli.
Keempat, keputusan pengadilan itu dilakukan terhadap perkara yang diajukan, setelah
melalui proses peradilan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kelima, keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi bagian sumber
hukum tertulis dalam wujud yang konkret dan terbatas.
Secara sederhana keputusan pengadilan itu meliputi unsur (1) sumber hukum
tertulis, (2) sumber hukum tidak tertulis, (3) hukum tertulis, (4) hukum tidak tertulis,
(5) perkara, dan keputusan pengadilan.
F. Tahapan-tahapan Pengkajian
13
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Peradilan islam adalah peradilan agama islam yang mencakup seluruh hukum
tanpa terbatas. Peradilan agama disebut peradilan islam dapat diidentifikasi
menggunakan empat landasan yaitu landasan teologis, historis, yuridis, dan sosiologis.
Aspek yang digunakan dalam peradilan adalah aspek statika dan dinamika serta model
pengkajiannya adalah model pengkajian relasional, model pengkajian sosio historis,
model pengkajian sistemik, model pengkajian aspektual, model pengkajian
perbandingan, dan model pengkajian analisis yurisprudensi.
14
DAFTAR PUSTAKA
15