Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Islam dalam siyasah Qadhaiyyah merupakan perkara yang di


syariatkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah SWT memerintahkan untuk
memutuskan hukum atau menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan.
Rasul SAW secara langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di
tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan
keputusan dalam beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan uqubat
umumnya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peradilan dan pengadilan dalam islam ?


2. Bagaimana peradilan agama disebut juga peradilan islam ?
3. Bagaimana aspek dan dinamika peradilan ?
4. Bagaimana model-model pengkajian peradilan islam ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi peradilan dan pengadilan dalam islam.

2. Untuk mengetahui sejarah peradilan agama sidebut juga peradilan islam.

3. Untuk mengetahui aspek dan dinamika peradilan.

4. Untuk mengetahui model-model pengkajian islam.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan dan pengadilan Islam

Peradilan dalam pembahasan fiqh diistilahkan dengan qodho yang memiliki arti
memutuskan,menyempurnakan,menetapkan. Adapun secara makna terminology,
peradilan adalah suatu lembaga pemerintah atau negara yang ditugaskan untuk
menyelesaikan atau menetapkan keputusan perkara dengan adil berdasarkan hukum
yang berlaku.

Peradilan islam adalah peradilan agama islam yang mencakup seluruh hukum tanpa
terbatas. Dimana peradilan islam memiliki kesamaan dengan negara-negara lain.
Dalam pengkajian Peradilan Islam di Indonesia dan peradilan pada umumnya, dikenal
berbagai kata atau istilah khusus yang menjadi lambing dari suatu konsep, di antaranya
peradilan agama, peradilan agama islam, peradilan islam, Islamic judiciary, badan
kehakiman, badan peradilan agama, badan peradilan agama islam, pengadilan
agama, mahkamah syar’iyah, kerapatan qadi, pengadilan agama islam, dan Islamic
court.

Ada dua istilah yang berasal dari kata dasar yang sama tetapi memiliki pengertian
yang berbeda, yaitu peradilan dan pengadilan. Peradilan merupakan salah satu pranata
dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam penegakan hukum dan keadilan, yang
mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan pengadilan merupakan satuan
organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut. Karena
peradilan diidentifikasi sebagai pranata hukum, didalamnya terdapat jaringan
hubungan antarmanusia yang meliputi komponen-komponen sebagaimana telah
dikemukakan. Untuk mewujudkan dan mengorganisasikan jaringan hubungan tersebut

2
dilaksanakan oleh pengadilan. Berkenaan dengan hal itu, dalam setiap lingkungan
peradilan terdiri atas pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding.

Peradilan dapat diidentifikasi sebagai bagian dari pranata sosial. Dalam


kenyataannya, peradilan berhubungan secara timbal balik, bahkan saling bergantung
dengan pranata hukum lainnya, seperti perangkat hukum, sistem hukuman, politik
hukum, dan nilai-nilai hukum. Gambaran ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan Peradilan Agama dan hukum pada umumnya sangat bergantung kepada
pranata politik yang berbasis kepada struktur sosial, pola budaya, dan perkembangan
ekonomi. Begitu juga, proses peradilan merupakan suatu mekanisme yang bersifat
aktual dalam mewujudkan penegakan hukum dan keadilan yang mengacu kepada nilai-
nilai yang dianut masyarakat. Atau dengan perkataan lain, peradilan tidak berdiri dan
bekerja secara otonom, melainkan berada dalam proses pertukaran dengan
lingkungannya (Satjipto Rahardjo, 1973:33). Oleh karena itu, pertumbuhan dan
perkembangan peradilan terletak pada kemampuan masyarakat untuk melakukan
artikulasi politik dalam mengalokasikan dan merumuskan nilai-nilai budaya yang
dianutnya ke dalam pranata hukum yang menjadi kebutuhan mereka. Dalam hal ini,
tentu saja terletak pada kemampuan elite Islam dalam mengalokasikan hukum islam
dalam peraturan perundang-undangan yang dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan
Peradilan Agama atau Peradilan Islam di Indonesia.

B. Peradilan agama sebagai peradilan Islam

Ada beberapa landasan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi Peradilan


Agama sebagai Peradilan Islam. Pertama, landasan teologis yang mengacu kepada
kekuasaan dan kehendak Allah berkenaan dengan penegakan hukum dan keadilan.
Kedua, landasan historis yang menghubungkan mata rantai Peradilan Agama dengan
Peradilan Islam yang menurut pandangan fuqaha dan pakar Islam itu tumbuh dan
berkembang sejak masa Rasulullah. Ketiga, landasan yuridis yang mengacu pada

3
konsisten dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
Republik Indonesia. Keempat, landasan sosiologis yang menunjukkan bahwa Peradilan
Agama merupakan produk interaksi antara Elite Islam dengan elite nasional lainnya,
terutama dengan elite penguasa. Apabila keempat landasan itu terpenuhi, Peradilan
Agama dapat diidentifikasi sebagai Peradilan Islam.

Secara filosofis, peradilan agama dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan


hukum dan keadilan dalam pergaulan hidup manusia, khususnya di kalangan orang-
orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, dan shadaqah. Hukum yang ditegakkan adalah hukum Allah yang telah
disistematisasi oleh manusia melalui kekuasaan negara (Cf. Busthanul Arifin,1996:78).

Secara historis, Peradilan Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam
yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah Saw. Peradilan Islam mengalami
perkembanagn pasang surut, sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di
berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam merupakan basis utama
dalam melakukan artikulasi dan perumusan politik hukum di berbagai kawasan dan
negara tersebut. Karena masyarakat Islam tersebar di berbagai kawasan yang beraneka
ragam struktur, pola budaya, dan perkembangannya, pengorganisasian Peradilan Islam
pun beraneka ragam pula. Meskipun demikian ia mengacu kepada prinsip yang sama.
Peradilan Islam pada masa Rasulullah Saw bersifat sederhana, baik dalam
pengorganisasiannya maupun prosedurnya. Ketika masyarakat Islam telah tersebar di
berbagai kawasan, yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khathab, pengorganisasiannya
dikembangkan.

Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam merupakan produk interaksi di


dalam tatanan masyarakat, termasuk dengan pranat peradilan yang telah tersedia. Salah
satu unsur yang paling menentukan dalam proses itu adalah kemampuan dan peranan
para pendukungnya, yaitu ulama dan anggota masyarakat Islam pada umumnya, dalam
merumuskan dan menerapkan hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan.

4
Proses interaksi itu dialami oleh masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang, sejak masyarakat Islam menjadi kekuatan politik
pada masa kesultanan Islam hingga sekarang. Salah satu produk interaksi itu adalah
Peradilan Islam di Indonesia, yang secara resmi disebut Peradilan Agama, sebagai
salah satu bagian dari peradilan negara. Dengan demikian, Peradilan Agama adalah
Peradilan Islam di Indonesia.

Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia dapat dideskripsikan


sebagaimana dikemukakan oleh Lev (1972: ix) dalam Kata Pengantar bukunya, Islamic
Courts in Indonesia. “Peradilan Islam di Indonesia yang kelihatannya ganjil, tidak
hanya mampu bertahan hidup tetapi dalam berbagai hal mengalami perkembangan
yang semakin kuat. Sedangkan di negeri-negeri Islam lainnya, pranata-pranata hukum
keagamaan banyak yang dihapus dan dibatasi”.

Secara Yuridis hukum Islam (dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah) berlaku di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
Ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan
perkawinan bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam adalah hukum
agamanya, yaitu hukum Islam.

Selanjutnya dalam ketentuan pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989


dinyatakan, “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu
yang diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan yang diatur dalam undang-undang
tersebut, antara lain dalam pasal 49 ayat (1): “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :

5
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah

Secara sosiologis, pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama didukung dan


dikembangkan di dalam masyarakat Islam Indonesia. Ia merupakan produk interaksi
politik elite Islam (ulama bebas, pejabat agama, pemimpin organisasi islam, dan
cendekiawan muslim) dengan elite nasional lainnya. Interaksi politik itu merupakan
proses alokasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui
supra struktur politik. Ia dilakukan melalui saluran badan penyelenggara kekuasaan
negara, yaitu kekuasaan legislatif dan eksekutif. Ia terjadi pada masa kesultanan Islam,
pada masa penjajahan Belanda dan Jepang,pada masa awal kemerdekaan, dan pada
masa Orde Baru. Cukup banyak peristiwa penting yang menujukkan hal itu,
sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan demikian, Peradilan Agama merupakan
perwujudan Peradilan Islam yang dapat dicapai oleh elite Islam serta para pedukung
mereka, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

C. Aspek Statika dan Dinamika Peradilan

Aspek-aspek statika mencerminkan anatomi Peradilan Agama sebagai salah satu


pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Ia mencakup komponen-komponen
peradilan sebagaimana menjadi perhatian utama di kalangan fuqaha. Ia terdiri atas
hukum (substansial dan prosedural) yang berlaku, hakim dan para pengemban tugas
peradilan lainnya, para pihak yang berperkara, struktur dan hierarki pengadilan,
kekuasaan pengadilan, hukum acara yang berlaku, dan mekanisme pembinaan dan
pengawasan badan peradilan (teknis dan administrasi). Hal itu semua menunjukkan
bahwa pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama merupakan suatu court of law
yang memiliki kemandirian, setelah melalui fase sebagai ‘pengadilan semu’ dalam
rentang waktu lebih dari satu abad sejak masa penjajahan Belanda.

6
Aspek-aspek dinamika mencerminkan pertumbuhan dan perkembangannya yang
telah dicapai, serta prospeknya pada masa yang akan datang. Kini Peradilan Agama
memiliki kedudukan yang sangat jelas. Ia semakin besar dan menyebar dengan
pengorganisasian yang semakin rumit. Posisinya semakin kuat, karena memiliki
berbagai landasan sebagaimana telah dikemukakan. Aspek-aspek dinamika itu
merupakan aktualisasi aspek-aspek statika, baik yang berkenaan dengan pemberdayaan
potensi internal maupun yang berkenaan dengan perkembangan eksternal yang
berlangsung secara berencana dan dalam frekuensi yang sangat cepat.

Berkenaan dengan kedua macam aspek itu, ia dihadapkan pada berbagai tantangan
dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai salah satu pilar hukum dalam kehidupan
masyarakat yang semakin rumit. Tantangan itu antara lain semacam tajamnya
diferensiasi sosial yang mampu mengubah tata hubungan antarmanusia termasuk di
dalam lingkungan keluarga. Hal itu menuntut perubahan pengaturan hubungan
antarmanusia dalam keluarga ataupun masyarakat yang terdiri atas kumpulan keluarga.
Ia mencakup dimensi psikologis, antropologis, dan sosiologis yang terkait dengan
perkembangan ekonomi yang menempati skala prioritas dalam pembangunan nasional.
Hal itu akan berpengaruh terhadap penyelesaian konflik kleuarga yang menjadi
cakupan wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

D. Ruang Lingkup Pengkajian Peradilan Islam

Ruang Lingkup Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia mengacu pada konsep


yang digunakan. Ia bertitik tolak dari pengertian yang dirumuskan, berbagai unsur yang
tercakup didalamnya, dan relasinya dengan unsur-unsur lain. Secara sederhana, ruang
lingkup itu dapat dipertela dari pengertiannya, yang meliputi hal-hal berikut :

1. Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan
kekuasaan negara dan pihak luar lainnya.
2. Badan peradilan sebagai satuan penyelenggara kekuasaan kehakiman.

7
3. Prosedur berperkara di pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hukum
prosedural, dan produk-produknya.
4. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
shadaqah. Ia mencakup variasi dan frekuensi sebarannya dalam berbagai
pengadilan.
5. Orang-orang yang beragama Islam sebagai pihak yang berperkara (berselisih
atau bersengketa), atau para pencari keadilan.
6. Hukum Islam sebagai hukum substansial yang dijadikan rujukan dalam proses
peradilan.
7. Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa ruang lingkup pengkajian mencakup wilayah


yang sangat luas. Ruang lingkup itu sekaligus menunjukkan batasannya, yang secara
teknis dalam penelitian disebut wilayah penelitian (research area). Hal itu memberi
kemungkinan dalam menentukan berbagai wilayah penelitian dan masalah penelitian
(research problem), serta metode penelitian yang digunakan untuk mengembangkan
penelitian pengkajian pada umumnya.

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam pengkajian Peradilan Islam di
Indonesia. Pertama, pendekatan normatif-moralistis. Peradilan Islam dideduksi dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diacu dari doktrin para ahli, termasuk
fuqaha. Kedua, pendekatan antropologis atau pendekatan sosiologis. Peradilan Islam
diinduksi dari suatu realitas yang dipandang sebagai gejala budaya dan gejala sosial.
Kedua pendekatan itu masing-masing memiliki kelebihan dan sekaligus merupakan
kekurangannya.

Pendekatan pertama lebih mudah digunakan karena memiliki pola yang telah baku,
yaitu peraturan. Pola itu dapat dijadikan patokan untuk melakukan penilaian terhadap
Peradilan Islam berdasarkan peraturan yang berlaku. Dengan demikian dapat dilakukan
pengkajian evaluasi untuk mengukur ‘apa yang senyatanya’ (das sein) yang bersifat

8
aktual diukur dengan ‘apa yang seharusnya’ (das sollen) yang bersifat ideal. Apabila
terdapat perbedaan atau kesenjangan antara das sein dan das sollen dengan mudah
dapat dinyatakan bahwa yang senyatanya itu inkonsisten atau salah dan menyimpang.
Atau sebaliknya, terjadi idealisasi Peradilan Islam karena tuntutan ideologis atau
pembelaan, sehingga terjadi bias yang sangat menonjol. Ia kehilangan objektivitasnya
dan mengabaikan akurasi.

Pendekatan kedua memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan bahkan untuk


menjelaskan (eksplanasi) gejala Peradilan Islam menurut sudut pandang antopologis
atau sosiologis. Ia mampu menjelaskan tentang aspek-aspek statika dan dinamika, yang
terkait dengan lingkungannya yang lebih luas. Cukup banyak teori, bahkan paradigma
yang dapat digunakan dalam pendekatan ini. Namun ia kehilangan jejak dalam
menjelaskan hubungan das sollen dengan das sein yang bertitik tolak dari keyakinan
yang kemudian terwujud dalam pranata hukum dan pranata sosial. Ia tidak mampu
memberikan makna terhadap gejala empirik yang selayaknya dihayati.

E. Peragaan tentang Model-model Pengkajian

Pengkajian Peradilan Islam di Indonesia dapat dilakukan dengan beraneka ragam


model atau bentuk diantaranya pengkajian relasional, pengkajian sosio historis,
pengkajian sistemik, pengkajian aspektual, pengkajian perbandingan, dan pengkajian
analisis yurisprudensi. Di samping itu, dapat juga dilakukan kombinasi dari berbagai
model itu sesuai dengan tujuan dan keperluan pengkajian yang dilakukan. Sebagai
gambaran ringkas tentang keenam model pengkajian tersebut, dapat disimak dalam
uraian berikut :

1. Model Pengkajian Relasional

Dalam model pengkajian ini dititikberatkan pada hubungan antara Peradilan Islam
dengan pranata hukum dan pranata sosial lainnya, atau dengan tatanan masyarakat
secara makro. Misalnya pengkajian “Perkembangan Peradilan Islam”. Ia mencakup
beberapa unsur yang saling berhubungan yaitu (1) landasan konstitusional, (2)

9
perubahan masyarakat, (3) politik hukum nasional, (4) kesinambungan Peradilan
Islam, (5) interaksi antar elite masyarakat, dan (6) Peradilan Islam. Keenam unsur itu
memiliki variasi hubungan yaitu hubungan fungsional (simetric), hubungan searah
(assimetric), dan hubungan timbal balik (reciprocal).

Model pengkajian relasional dapat dilakukan dengan menggunakan metode


penelitian sejarah, dengan menitikberatkan hubungan antara Peradilan Islam dengan
pranata hukum dan pranata sosial lainnya dalam rentang waktu dan dalam kawasan
tertentu. Ia juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei.
Pengkajian itu dititikberatkan pada hubungan antara Peradilan Islam dengan asosiasi
atau stratifikasi sosial tertentu. Misalnya tentang hubungan antara Peradilan Islam
dengan penggunaan jasa keahlian pengacara di kota-kota besar dan hubungan antara
frekuensi penerimaan perkara dengan kesadaran hukum di kalangan masyarakat
tertentu. Metode penelitian grounded pun dapat digunakan dalam pengkajian model
ini, misalnya dalam pengkajian hubungan antara kesadaran hukum masyarakat dengan
pelaksanaan tugas badan peradilan.

2. Model Pengkajian Sosio Historis

Pengkajian ini dititikberatkan pada kronologi pertumbuhan dan perkembangan


Peradilan Islam dalam suatu rentangan waktu tertentu atau dalam suatu kawasan
kebudayaan (lokal) tertentu. Kerangka berpikir yang digunakan adalah sebagai berikut.
Pertama, hukum Islam dalam hal ini fikih merupaka produk pemikiran fuqaha dalam
memahami dan mensistematisasi kehendak Allah yang dideduksi dari Al-Qur’an dan
Sunah Rasulullah. Kedua,salah satu produk pemikiran itu adalah pengaturan tentang
penyelesaian konflik antar manusia dengan melibatkan kekuasaan publik (negara).
Ketiga, institusi yang berwewenang menyelesaikan konflik itu adalah peradilan yang
didalamnya terdiri atas beberapa unsur antara lain hukum, hakim, pihak yang
berperkara, dan keputusan satuan penyelenggara peradilan. Keempat, penyelenggaraan
peradilan dilakukan secara berkesinambungan di dalam berbagai satuan masyarakat

10
Islam, setelah Islam menjadi kekuatan politik. Kelima,corak penyelenggaraan
peradilan bersifat majemuk karena bersentuhan dengan struktur, pola budaya
masyarakat (lokal atau nasional), dan perkembangan tradisi intelektual Islam. Keenam,
kedudukan, susunan organisasi, dan alokasi kekuasaan penyelenggaraan peradilan
didasarkan pada sistem peradilan nasional dalam tatanan hukum nasional yang berlaku.
Melalui kerangka berpikir tersebut dapat dilakukan pengkajian hubungan antara dua
unsur atau lebih dalam suatu rentang waktu dan kawasan tertentu, baik aspek-aspek
statikanya maupun aspek-aspek dinamikanya.

Pengkajian sosio historis paling tepat dilakukan dengan menggunakan metode


penelitian sejarah. Berkenaan dengan pengkajian tersebut, penelitian analisis ini dapat
ditempatkan sebagai unsur pembantu. Ia berposisi sebagai cara untuk memahami
sumber-sumber tertulis yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Atau metode
analisis ini dapat digunakan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menjelaskan
perkembangan produk badan peradilan dalam rentang waktu tertentu.

3. Model Pengkajian Sistemik

Pengkajian ini dititikberatkan pada pandangan bahwa Peradilan Islam merupakan


suatu kesatuan terintegrasi yang terdiri atas berbagai unsur. Ia dipandang sebagai suatu
sistem yang otonom meskipun secara makro ia berhubungan secara timbal balik dengan
sistem lainnya dalam keseluruhan tatanan masyarakat. Berkenaan dengan hal itu,
secara konkret sistem itu adalah satuan penyelenggara peradilan,yaitu pengadilan.
Secara sederhana ia terdiri atas susunan, kekuasaan dan hukum acara yang berlaku,
serta hukum substansial yang dijadiakan dasar dalam pelaksanaan kekuasaannya itu.
Seluruh unsur itu ditentukan oleh peraturan yang berlaku terhadapnya, dalam hal ini
adalah peraturan perundang-undangan.

Dalam pengkajian sistemik dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu


pendekatan normatif-moralistis dan pendekatan antropologis-sosiologis. Dalam
pendekatan normatif-moralistis sistem peradilan dideduksi dari peraturan yang berlaku.

11
Ia dilakukan dengan cara menafsirkan peraturan perundang-undangan. Pengkajian ini
diarahkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan aspek-aspek statika pengadilan. Ia
mencakup tentang kedudukan pengadilan, susunan pengadilan, kekuasaan pengadilan,
dan hukum acara yang berlaku. Adapun pendekatan antropologis-sosiologis diarahkan
untuk mendeskripsikan dan menjelaskan aspek-aspek dinamika dari sistem peradilan
secara empirik. Model pengkajian dengan pendekatan seperti ini masih jarang
dilakukan, kecuali dalam pembahasan singkat.

4. Model Pengkajian Aspektual

Pengkajian aspektual dititikberatkan pada salah satu atau bagian dari unsur dalam
sistem peradilan . kerangka berpikir, pendekatan, dan metode penelitian yang
digunakannya sama dengan model pengkajian sistemik. Yang berbeda hanya dalam
ruang lingkup pengkajiannya, yang lebih terbatas dan lebih sempit tetapi
memungkinkan pengkajian yang lebih spesifik dan mendalam.

5. Model Pengkajian Perbandingan

Pengkajian perbandingan dapat menggunakan metode pengkajian hukum.


Maksudnya membandingkan aspek-aspek normatif yang mengikat peradilan yang
diselenggarakan. Pengkajian itu juga dapat menggunakan metode peneltian sejarah,
yang menitikberatkan unsur-unsur persamaan, perbedaan, dan relasi di antara sistem
atau badan peradilan yang dibandingkan dalam suatu rentang waktu dan di dalam
kawasan tertentu. Dalam pengkajian model ini,metode penelitian analisis isi
(pendekatan kualitatif) dapat ditempatkan sebagai salah satu metode dalam memahami
sumber data tertulis.

6. Model Pengkajian Analisis Yurisprudensi

Pengkajian ini dititikberatkan pada pembahasan isi keputusan Peradilan Islam, baik
putusan (vonis) maupun penetapan (beschiking) yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Model pengkajian ini didasarkan pada kerangka berpikir berikut :

12
pertama, keputusan pengadilan, putusan atau penetapan, memiliki dua dimensi. Di satu
pihak ia merupakan wujud penerapan hukum dalam peristiwa hukum yang sangat
konkret. Di pihak lain, ia mencerminkan pembentukan hukum oleh hakim yang
memiliki kewajiban untuk melakukan ijtihad. Kedua, keputusan pengadilan didasarkan
pada hukum tertulis, baik hukum material/ substansial maupun hukum formal/
prosedural. Ketiga, keputusan pengadilan juga didasarkan pada sumber hukum tidak
tertulis, nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, dan pandangan para ahli.
Keempat, keputusan pengadilan itu dilakukan terhadap perkara yang diajukan, setelah
melalui proses peradilan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Kelima, keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi bagian sumber
hukum tertulis dalam wujud yang konkret dan terbatas.

Secara sederhana keputusan pengadilan itu meliputi unsur (1) sumber hukum
tertulis, (2) sumber hukum tidak tertulis, (3) hukum tertulis, (4) hukum tidak tertulis,
(5) perkara, dan keputusan pengadilan.

F. Tahapan-tahapan Pengkajian

Secara teknis, pengkajian Peradilan Islam dilaksanakan dalam kegiatan penelitian,


suatu kerja ilmiah yang dilakukan dengan mengolah unsur-unsur informasi dan
metodologi. Ia dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sehingga dapat
mencerminkan keunikan setiap model pengkajian. Meskipun demikian, secara umum
ia dilakukan dengan pola dan langkah yang relatif sama, yaitu melalui beberapa
tahapan sebagai berikut :

1. Perumusan masalah penelitian 5. Penentuan sumber data


2. Pengkajian bahan pustaka 6. Pengumpulan data
3. Perumusan kerangka berpikir 7. Analisis data
4. Pemilihan metode penelitian 8. Penulisan laporan penelitian

13
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Peradilan islam adalah peradilan agama islam yang mencakup seluruh hukum
tanpa terbatas. Peradilan agama disebut peradilan islam dapat diidentifikasi
menggunakan empat landasan yaitu landasan teologis, historis, yuridis, dan sosiologis.
Aspek yang digunakan dalam peradilan adalah aspek statika dan dinamika serta model
pengkajiannya adalah model pengkajian relasional, model pengkajian sosio historis,
model pengkajian sistemik, model pengkajian aspektual, model pengkajian
perbandingan, dan model pengkajian analisis yurisprudensi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bisri,Cik Hasan, 1997, Peradilan Islam : dalam tatanan masyarakat Indonesia,

Remaja Rosdakarya Offset : Bandung

15

Anda mungkin juga menyukai