Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang

Peradilan Agama di Indonesia merupakan salah satu lingkungan peradilan yang


memiliki spesifikasi dan keunikan tersendiri karena ia tunduk pada dua sistem hukum
yang sumbernya berbeda. Ditinjau dari sudut asal muasal, tujuan dibentuk dan
diselenggarakan serta fungsi yang diembannya, maka Peradilan Agama merupakan
peradilan syari’ah Islam, maka berdasarkan ideologi, tunduk pada hukum syari’ah
Islam. Sedang jika ditinjau dari sudut statusnya yang dibentuk dan diselenggarakan
oleh negara, Peradilan Agama termasuk Pengadilan Negara, maka berdasarkan
konstitusi, Peradilan Agama tunduk pada hukum negara (Mukti, 2012:1).
Pergumulan dua sistem hukum tersebut, melahirkan peradilan negara di bidang
syari’ah Islam yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kemudian disebut dengan
Peradilan Agama. Peradilan Agama di Indonesia berkaitan erat dengan aspek
ideologis, filosofis, sosiologis, politis, maupun yuridis terus mengalami perkembangan
yang unik dari waktu ke waktu. Disamping itu mempunyai kompetensi dalam
memecahakan permasalahan hukum keluarga Islam bagi warga muslim di Indonesia,
permasalahan inilah yang hendak dijadikan fokus kajian karena sangat diperlukan
dalam praktik penyelenggaraan peradilan guna melayani perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat Islam di Indonesia. Gunaryo, A., (2006: 9) menyatakan bahwa
Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia tidak sekedar ada, tetapi selalu
tumbuh dan berkembang menjadi lebih kuat. Peradilan Agama menjadi salah satu
peradilan yang diakui oleh negara, dan hukum Islam menjadi salah satu unsur
pembentuk hukum nasional. Menurut Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adam,
dalam ajaran syari’ah Islam, jabatan dan fungsi hakim atau qadli merupakan alat
kelengkapan dalam pelaksanaan syariah Islam (1983: 29). Oleh karena itu, peradilan
syariah Islam ada dan tumbuh sejak diturunkannya syariat Islam pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW adalah hakim yang pertama dalam Islam
(Madkur, t.th :12).
Di Indonesia, peradilan syariah Islam sudah ada sejak mula-mula agama Islam
menginjak bumi Indonesia. Ia tumbuh dan berkembang bersama-sama perkembangan
kelompok masyarakat Islam di kala itu, kemudian memperoleh bentuk ketatanegaraan
yang sempurna dalam kerajaan-keajaan Islam, seperti di Aceh, Demak, Banten,
Mataram dan lain-lain (Adnan, 1983:29). di mana peradilan syariah Islam telah
tumbuh dan berkembang sebagai pengadilan negara dalam sistem ketetanegaraan
kerajaan. Gelombang reformasi yang mulai melanda Indonesia pada tahun 1997 terus
bergulir di semua sudut kehidupan kenegaraan Indonesia. Hartono Marjono
mengatakan bahwa reformasi tersebut merupakan suatu keharusan (1998:3).
Reformasi hendak menempatkan hukum sebagai panglima (Charles,2003:X), dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menurut Satjipto
Rahardjo, dalam era hukum sebagai panglima, hukum memang memegang kendali
dalam manajemen kenegaraan, sosial, politik, ekonomi dan lain-lainnya (1977:180).
Namun kenyataannya, di tengah-tengah semangat supremasi hukum yang
menempatkan hukum sebagai panglima, pengadilan sebagai benteng terakhir penegak
hukum justru mengalami krisis kepercayaan dan krisis kinerja akibat dari sistem
ketatanegaraan masa lalu dan budaya korupsi yang tidak menguntungkan dunia
peradilan pada umumnya. Dengan demikian, dipilihnya Kompetensi Peradilan Agama
dalam Interpretasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia sebagai legal issue dalam
kajian ini didasarkan atas beberapa pertimbangan, dari segi kebutuhan umat Islam.
Peradilan Agama secara pragmatis merupakan lembaga yang sangat dibutuhkan
masyarakat Islam. Karena : (1) Agama Islam mewajibkan adanya peradilan syariah
Islam dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, bernegara; (2) Jumlah penduduk
Indonesia yang beragama Islam merupakan mayoritas, yakni 89% dari seluruh
penduduk Indonesia. (3) Menurut ajaran Islam, dalam menyelesaikan perkara syariah
Islam, tidak dikenal dengan adanya pilihan hukum dan pengadilan selain hukum
syariah diselenggarakan peradilan syariah Islam untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat (Mukti,2012:5)

Rumusan Masalah
1. Apa itu kompetensi peradilan agama di Indonesia?
2. Apa saja jenis kompetensi peradilan agama di Indonesia?

Pembahasan

peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam undang undang. Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa
kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama.
Pengertian peradilan dan pengadilan, menurut Hartono, 1977, hal. 95 :

1. Peradilan adalah tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang
dibebankan kepada pengadilan.
2. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas dan fungsi
peradilan tersebut.
Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia.
Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara
perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam struktur 0rganisasi
Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara
langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding
sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara- antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur
dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Fungsi peradilan agama antara lain Fungsi mengadili (judicial power), Fungsi
pembinaan Fungsi pengawasan, Fungsi nasehat, Fungsi administrative dan fungsi
lainnya melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain, serta
pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta
memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan
Transparansi Informasi Peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi
di Pengadilan.

Dalam peradilan agama terdapat dua (2) jenis kompetensi :


1. Kompetensi Relatif Peradilan Islam di Indonesia
Kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan peradilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
yang sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan
Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan
Agama Baturaja. Dari pengertian ini, maka pengertian kewenangan relatif
merupakan wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah
hukum Pengadilan dan wilayah tempat kediaman atau domisili pihak yang
berperkara. pasal 4 ayat (1) dan (2) berbunyi: Pengadilan Agama berkedudukan
di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kotamadya atau kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota
provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Dengan demikian,
tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan
mempunyai "yurisdiksi" tertentu, sehingga dalam hal ini meliputi satu
kotamadya atau satu kabupaten, demikian juga dengan Pengadilan Tinggi
Agama. Dalam penjelasan pasal di atas disebutkan dalam keadaan tetentu
sebagai pengecualian, munkin lebih atau munkin kurang. Misalnya di
kabupaten Riau terdapat empat buah Pengadilan Agama disebabkan kondisi
transportasi sulit.

2. Kompetensi Absolut Peradilan Islam di Indonesia


Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah wewenang badan
pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak
dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan
yang sama maupun dalam dalam lingkungan peradilan yang lain . Kekuasaan
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu,
yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama
diatur dalam pasal 49 , dan 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama . Pasal 49 menyebutkan “Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan; (b ) waris; (c)
wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infaq; (h) shadaqah ; dan (i) ekonomi
syari’ah. Selanjutnya dalam pasal 50 ayat (1) disebutkan "dalam hal terjadi
sengketa hak milik dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49,
khusus mengenai objek sengketa tersebut. "dalam hal terjadi sengketa hak
milik dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai
objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum”. Sementara apabila sengketa yang dimaksud
terjadi antara orang-orang yang beragama Islam maka objek sengketa diputus
oleh Pengadilan Agama, sebagaimana di atur dalam pasal 50 ayat (2). Ekonomi
syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah, antara lain meliputi: Bank syari'ah; Lembaga keuangan; Mikro
syari’ah; Asuransi syari'ah; Reksa dana syari'ah; Obligasi syari'ah dan surat
berharga berjangka menengah syari'ah; Sekuritas syari’ah; Pembiayaan
syari’ah; Pegadaian syari'ah; Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
Bisnis syari'ah. Konsekuensi ditambahnya kompetensi absolut pengadilan
agama, maka kewenangan pengadilan agama setara dengan pengadilan negeri
dalam memeriksa sengketa-sengketa bisnis yang diajukan kepadanya. Satu hal
yang secara prinsipil membedakan pengadilan agama dengan pengadilan negeri
dalam memeriksa sengketa bisnis adalah basis sengketanya, yaitu lembaga
ekonomi syariah. Sedangkan apabila sengketa yang timbul itu mengenai hak
milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka khusus mengenai objek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan negeri
dalam lingkungan Peradilan Umum.

"Kompetensi Pengadilan Negeri adalah wewenang pengadilan negeri dalam


menyelenggarakan kekuasaan kehakiman untuk menerima, memeriksa, dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya". Dalam teori hukum
acara perdata yang bermuara pada civil law system Eropa Continental, dikenal dua
jenis kompetensi, yakni kompetensi (attributie van rechtsmacht) dan kompetensi
relatif (distributie van rechtsmacht). Kompetensi absolut pengadilan adalah wewenang
badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak
dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Sedangkan kompetensi relatif badan
pengadilan adalah pembagian kekuasaan mengadili antara badan pengadilan yang
serupa yang didasarkan pada tempat tinggal tergugat. Jadi kompetensi relatif ini
berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan seperti yang terlampir dalam
Undang-undang RI No. 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 2
Tahun 1986 Pasal 4 ayat (1) Pengadilan Negeri berkedudukan di ibukota
Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota dan ayat (2)
Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Provinsi. Pengadilan Umum termasuk badan pengadilan yang menguruskan
segala perkara hukum (baik pidana maupun perdata) yang terjadi di kalangan
penduduk sipil.. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang
penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia,
pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.
Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP). Pengadilan Umum mempunyai
tingkatan sebagai berikut yaitu Pengadilan Negeri yaitu Pengadilan negeri sehari-hari
yang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara
perdata dan perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk (warganegara dan
orang asing). Pengadilan Tinggi ialah pengadilan banding yang mengadili pada tingkat
kedua (tingkat banding) sesuatu perkara perdata dan perkara pidana, yang telah diadili
atau diputuskan oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama. Adapun kekuasaan
mengadili Pengadilan Tinggi ialah: Memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir
sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai