Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA


Tentang
KEKUASAAN BADAN PERADILAN AGAMA

Disusun oleh kelompok 11:

Nur Aisyah : 2213040143


Melvhila Ladies Hendrika : 2213040161
Nur Atikah Siregar : 2213040104
Nur Aflah Batubara : 2213040148

DosenPengampuh:
Prof. Dr. H. Asasriwarni, M.H.

PRODI STUDI HUKUM EKONOMI SYARIA(C)


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat karunia
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah
kepada nabi Muhammad Saw yang telah membawa perubahan umat manusia kepada jalan yang
benar. Dalam makalah ini penulis membahas tentang “Kekuasaan Badan Agama”. Karena itu
penulis berharap agar makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta ilmu
pengetahuan pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan,
masukan berupa kritikan dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna dan bisa menjadi pedoman bagi mahasiswa
untuk dapat mempelajari serta memahami tentang segala yang terkait dengan hukum kewarisan,
sekian dan terima kasih.

Padang, 20 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ................................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................
1.1 . Latar Belakang ..........................................................................................................
1.2 . Rumusan Masalah .....................................................................................................
1.3 .Tujuan ........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................
2.1 Kekuasaan mutlak badan peradilan agama. ................................................................
2.2 Kekuasaan relatif badan peradilan agama. ................................................................
2.3 Sumber hukum materil dan hukum formil .................................................................
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................
3.1 kesimpulan .................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Badan peradilan agama memainkan peran penting dalam menyediakan layanan
peradilan teknis bagi masyarakat yang mencari keadilan dalam masalah hukum, terutama
dalam kasus-kasus perdata yang terkait dengan agama, seperti perceraian, pewarisan, dan
masalah keluarga lainnya. Badan peradilan agama beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan, kejujuran, dan kebenaran, dengan mengutamakan aspek etika dan profesionalitas.
Dalam makalah ini, kami akan membahas kekuasaan badan peradilan agama, termasuk
kekuasaan mutlak dan relatif, serta sumber hukum materil dan formil yang menjadi dasar
pengambilan keputusan mereka.
Kekuasaan Mutlak Badan Peradilan Agama Kekuasaan mutlak badan peradilan agama
merujuk pada wewenang mereka untuk menyelesaikan kasus-kasus yang secara eksklusif
berada dalam yurisdiksinya. Contoh kasus yang termasuk dalam kekuasaan mutlak badan
peradilan agama adalah kasus-kasus perceraian yang diajukan oleh pasangan Muslim.
Dalam kasus-kasus ini, badan peradilan agama memiliki kewenangan penuh untuk
mengadili dan memutuskan perkara berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam.
Kekuasaan Relatif Badan Peradilan Agama Selain kekuasaan mutlak, badan peradilan
agama juga memiliki kekuasaan relatif. Kekuasaan relatif merujuk pada kasus-kasus yang
dapat diselesaikan baik oleh badan peradilan agama maupun lembaga peradilan lainnya.
Contohnya adalah kasus-kasus waris yang melibatkan harta benda yang berasal dari
warisan Islam. Dalam kasus-kasus ini, pihak yang terlibat dapat memilih untuk
mengajukan perkara ke badan peradilan agama atau ke pengadilan umum, dengan
mempertimbangkan kepercayaan agama dan preferensi pribadi mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kekuasaan mutlak badan peradilan agama?
2. Bagaimana kekuasaan relatif badan peradilan agama?
3. Apa sumber hukum materil dan sumber hukum formil?

C. Tujuan makalah
1. Untuk mengetahui kekuasaan mutlak badan peradilan agama
2. Untuk mengetahui kekuasaan relatif badan peradilan agama
3. Untuk mengetahui sumber hukum materil dan hukum formil
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 kekuasaan mutlak badan peradilan agama
Badan Peradilan Agama merupakan lembaga peradilan yang
berwenang menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum agama,
seperti pernikahan, warisan, dan perkara lainnya yang berkaitan dengan
kehidupan beragama. Kekuasaan badan peradilan agama umumnya
didasarkan pada hukum agama yang berlaku di suatu negara atau masyarakat.
Badan Peradilan Agama biasanya memiliki yurisdiksi yang terbatas
pada perkara-perkara tertentu, terutama yang berkaitan dengan hukum
keluarga dan hukum waris. Keputusan badan peradilan agama dapat memiliki
dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial dan agama masyarakat,
oleh karena itu, independensi badan peradilan agama sering kali menjadi
pertimbangan penting dalam menjaga keadilan dan keseimbangan antara
kepentingan individu dan nilai-nilai agama.
Selain itu, badan peradilan agama juga dapat berperan dalam
penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang berselisih dalam ranah agama,
dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan nilai-nilai keagamaan
yang diakui oleh masyarakat. Dalam pelaksanaan tugasnya, badan peradilan
agama biasanya dipimpin oleh para hakim yang memiliki keahlian khusus
dalam hukum agama serta norma-norma yang berlaku. Di beberapa negara,
badan peradilan agama dapat beroperasi secara paralel dengan sistem
peradilan sipil, namun dalam lingkup yurisdiksinya yang terbatas.
Kekuasaan mutlak badan peradilan agama merujuk pada wewenang
penuh yang dimiliki oleh badan peradilan agama dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa yang berhubungan dengan hukum agama. Hal ini
mencakup kewenangan untuk menafsirkan dan menerapkan hukum agama
sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang diakui dalam komunitas
agama yang bersangkutan. Dalam konteks kekuasaan mutlak, badan
peradilan agama dapat mengeluarkan keputusan atau fatwa yang bersifat
mengikat dan mengatur tata tertib kehidupan masyarakat agama. Namun,
keputusan-keputusan ini biasanya terbatas pada domain tertentu, seperti
perkawinan, perceraian, pewarisan, dan masalah-masalah lain yang terkait
dengan hukum agama.
Kekuasaan mutlak badan peradilan agama sering kali merupakan
bagian integral dari sistem hukum agama yang diterapkan dalam suatu negara
atau komunitas. Namun, di berbagai negara, batas kekuasaan ini dapat
menjadi perdebatan karena implikasinya terhadap hak asasi individu dan
potensi konflik antara hukum agama dengan hukum sipil.
Penting untuk diingat bahwa, meskipun badan peradilan agama
memiliki kekuasaan mutlak dalam domain hukum agama, prinsip-prinsip
keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia tetap harus dijunjung tinggi. Hal
ini akan membantu menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan
kepentingan umum, serta memastikan bahwa keputusan badan peradilan
agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
keadilan dan kebebasan.

2.2 kekuasaan relatif badan peradilan agama


Kata “kewenangan” bisa diartikan “kekuasaan” sering juga disebut
juga “kompetensi” atau dalam bahasa Belanda disebut “competentie” dalam
Hukum Acara Perdata biasanya menyangkut 2 hal yaitu kompetensi absolut
dan kompetensi relatif.
A. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan
Pengadilan Agama yang berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi
kewenangannya. Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan
kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2019 Tentang Pengadilan Agama
serta asas personalitas keislaman menjadi dasar kompetensi absolut
Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara:
a) Perkawinan.
b) Kewarisan.
c) Wasiat.
d) Hibah.
e) Wakaf.
f) Zakat.
g) Infaq.
h) Shadaqah.
i) Ekonomi syari’ah.
Selain dari yang tersebut di atas Pengadilan Agama juga diberi
kewenangan: Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat Hukum
Islam kepada Institusi Pemerintah didaerahnya apabila diminta. Pun
demikian diberi tugas tambahan atau yang didasarkan pada undang-
undang seperti pengawasan pada advokad yang beracara dilingkungan
Pengadilan Agama, Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.

B. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya
adalah kewenangan Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis
berdasarkan wilayah. Contoh Pengadilan Agama Kabupaten Magetan
dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal ini antara Pengadilan
Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi adalah satu
jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada
hukum acara yang digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam
hukum acaranya adalah Hukum Acara Perdata. Pasal 54 Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menerangkan bahwa
dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan Agama
adalah Pasal 118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus
diajukan sesuai dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal
ini ada pengecualian sebagaimana dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu
Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu
dari dua daerah tergugat berada. Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan
diajukan pada daerah penggugat. Apabila gugatan yang diajukan terkait
benda tidak bergerak maka gugatan diajukan di mana letak benda tidak
bergerak tersebut berada.Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam
suatu akad maka gugatan diajukan pada tempat yang dipilih dalam akad
tersebut.

C. Pihak-Pihak Berperkara di Pengadilan Agama


1. Penggugat dan Tergugat
Syarat untuk mengajukan sebuah gugatan adalah adanya
kepentingan hukum (sengketa) yang melekat pada penggugat, dalam hal
ini maka tidak semua orang dapat mengajukan gugatan, dalam hal ini
orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung dapat memperoleh
kuasa dari orang yang kepentingannya dilanggar untuk mengajukan
sebuah gugatan. Penggugat adalah orang yang menuntut hak perdataannya
kemuka pengadilan perdata. Tergugat adalah orang yang terhadapnya
diajukan gugatan atau tuntutan. Tergugat bisa per-orangan, atau beberapa
orang. Perkara perdata yang terdiri dari 2 pihak yaitu dengan adanya
penggugat dan tergugat yang mana saling berlawanan disebut contentieuse
juridictie (peradilan sungguhan), dalam hal ini maka produk hukumnya
adalah putusan.
2. Pemohon dan Termohon
Pemohon adalah seorang yang memohon kepada pengadilan untuk
ditetapkan atau mohon ditegaskan suatu hak bagi dirinya tentang situasi
hukum tertentu. Contoh perkara permohonan di Pengadilan Agama adalah
permohonan dispensasi kawin, permohonan istbath nikah, namun ini tidak
berlaku bagi perkara cerai talaq sebagaimana dalam SEMA No.2 tahun
1990 menyebutkan asasnya cerai talaq adalah merupakan sengketa
perkawinan yang meliatkan kedua belah pihak, sehingga walaupun pihak
yang berkera disebut dengan pemohon dan termohon akan tetapi
merupakan perkara contentious dan produk hakim berupa putusan dengan
amar dalam bentuk penetapan. Termohon dalam arti yang sebenarnya
bukanlah sebagai pihak namun perlu halnya dihadirkan didepan sidang
untuk didengar keterangan dan untuk kepentingan pemeriksaan. Peradilan
yang menyelesaikan perkara permohonan disebut voluntaire jurisdictie
(peradilan tidak sesungguhnya), produk hukum dari peradilan tersebut
adalah penetapan.
2.3 Sumber hukum materil dan hukum formil
A. Sumber hukum materil
1. Undang undang
Penjelasan tentang bagaimana undang-undang menjadi sumber
utama hukum materiil dalam banyak sistem hukum. Contoh-contoh
bagaimana undang-undang mencakup berbagai aspek kehidupan dan
tindakan hukum.
2. Kebiasaan
Diskusi tentang peran kebiasaan dalam pembentukan hukum
materiil. Contoh-contoh kebiasaan yang telah diakui sebagai sumber
hukum dalam berbagai budaya.
3. Putusan pengadilan
Bagaimana putusan pengadilan menciptakan preseden dan menjadi
bagian integral dari hukum materiil. Contoh kasus hukum yang
menunjukkan pengaruh putusan pengadilan terhadap hukum materiil.

B . Sumber Hukum Formil


1. Konstitusi
Pengertian dan peran konstitusi dalam mengatur kerangka dasar
pemerintahan dan hak-hak warga negara. Contoh konstitusi dalam
beberapa sistem hukum nasional.
2. Hukum Acara
Penerangan tentang hukum acara dan bagaimana prosedur
pengadilan diatur olehnya. Pentingnya hukum acara dalam menjamin
proses hukum yang adil.
3. Peraturan Pemerintah
Bagaimana peraturan pemerintah digunakan untuk melaksanakan
undang-undang dan regulasi yang lebih rinci. Contoh peraturan pemerintah
dalam sejumlah bidang seperti lingkungan, kesehatan, dan bisnis.

B. Hubungan Antara Sumber Hukum Materiil dan Hukum Formil


Penjelasan tentang bagaimana sumber hukum materiil dan hukum formil
saling terkait. Contoh konkret tentang bagaimana hukum materiil dihasilkan,
diterapkan, dan ditegakkan melalui kerangka kerja hukum formil.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Kekuasaan badan peradilan agama terdiri dari kekuasaan mutlak dan relatif.
Kekuasaan mutlak mencakup kasus-kasus yang secara eksklusif berada dalam yurisdiksi
mereka, seperti kasus perceraian dalam agama Islam. Di sisi lain, kekuasaan relatif
mencakup kasus-kasus yang dapat diselesaikan oleh badan peradilan agama maupun
lembaga peradilan lainnya, seperti kasus waris yang melibatkan harta benda Islam.
Sumber hukum materil bagi badan peradilan agama terdiri dari Al-Quran, Hadis,
ijma', dan qiyas. Sumber-sumber ini memberikan dasar hukum Islam untuk pengambilan
keputusan. Sementara itu, sumber hukum formil bagi badan peradilan agama terdiri dari
undang-undang dan peraturan-peraturan yang secara khusus mengatur tentang lembaga
peradilan agama.
Dengan menjaga kekuasaan mutlak dan relatif badan peradilan agama serta
memperhatikan sumber-sumber hukum yang relevan, diharapkan bahwa badan peradilan
agama dapat menyelesaikan kasus dengan cepat, akurat, dan adil, serta melindungi hak-
hak masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Suhaimi, M. (2019). Kekuasaan Badan Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa
Perkawinan. Jurnal Hukum Islam, 16(2), 276-297.

Syarifuddin, A. (2018). Kekuasaan Badan Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa


Ekonomi Syariah. Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial, 13(1), 1-16.

Afif, M. (2017). Kekuasaan Badan Peradilan Agama Dalam Memberikan Putusan Perkara
Perdata. Jurnal Hukum dan Peradaban, 5(2), 148-161.

Kurniawan, A. (2016). Kekuasaan Badan Peradilan Agama Dalam Menangani Sengketa Waris.
Jurnal Hukum dan Pembangunan, 46(2), 167-182.

Nasution, M. (2015). Kekuasaan Badan Peradilan Agama Dalam Menyelesaikan Konflik


Sosial. Jurnal Ilmiah Syariah, 13(2), 205-221

Anda mungkin juga menyukai