Anda di halaman 1dari 11

Dasar Hukum Peradilan Agama Di Indonesia dan

Fungsi Peradilan Agama

Kelompok 5 :
Achmad Nurul Hafidz
Alwi Rizky Ananda
Caturianto
Filzah Anis Rahmah
Halum Hilwah
Muktia Arumsari
Kelas : XI – Agama
Mata Pelajaran : Fikih Ushul Fikih
Madrasah Aliyah Negeri 9 Jakarta
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah fikih tentang “Dasar Hukum
Peradilan Agama Di Indonesia dan Fungsi Peradilan Agama”.

Makalah fikih ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
   
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah fikih ini.
   
 Akhir kata kami berharap semoga makalah fikih tentang “Dasar Hukum Peradilan Agama Di
Indonesia dan Fungsi Peradilan Agama” ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Jakarta,1 September 2019

Penyusun
   
Daftar Isi
1. Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Pembelajaran
2. Bab II Pembahasan
2.1 Dasar Hukum Peradilan Agama
2.2 Fungsi Peradilan Agama
3. Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
4. Daftar Pustaka
1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.[1] Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama dilaksanakan oleh:

 Pengadilan Tinggi Agama (pengadilan tingkat banding)


 Pengadilan Agama (pengadilan tingkat pertama)
 Pengadilan Khusus
 Mahkamah Syar'iyah :
 Mahkamah Syar'iyah Provinsi (pengadilan tingkat banding)
 Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/Kota (pengadilan tingkat pertama)

B. Rumusan Masalah
a. Apa dasar hukum peradilan agama?
b. Apa fungsi peradilan agama?

C. Tujuan
a. Dapat mengetahui dasar hukum peradilan agama
b. Dapat mengetahui fungsi peradilan agama
2. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Hukum Peradilan Agama
Berikut merupakan dasar hukum peradilan agama yang terdapat didalam Undang-Undang
Dasar 1945.

 Pasal 1 ayat 3 UUD 1945

UUD tersebut merupakan dasar hukum peradilan agama yang berisi tentang kekuasaan Negara
yaitu menegaskan bahwa kekuasaan Negara dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.

 Pasal 24 ayat 1 UUD 1945

Tidak hanya UUD 1945 pasal 1 ayat 3 saja, pasal 24 ayat 1 UUD 19 45 juga merupakan landasan
hukum yang menjadi dasar hukum peradilan agama. UUD ini berisi tentang kekuasaan yang
mengaskan bahwa kekuasaan hakim harus bebas dari campur tangan kekuasaan lain.

 Pasal 24 ayat 2 UUD 1945

Adapun pasal 24 ayat 2 pada UUD 1945 yang juga menjadi dasar hukum peradilan agama. Pasal
ini juga berisi tentang kekuasaan peradilan agama dimana ini menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman harus dilaksanakan oleh MA (mahkamah Agung) dan badan peradilan di bawahnya.

 Pasal 24 B UUD 1945

Dalam pasal 24 B UUD 1945, mengatur bahwa suatu lembaga baru yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kekuasaan hakim.

 UU no 14 tahun 1970

Selain UUD 1945, adapun Undang- Undang nomor 14 tahun 19 70 yang juga menjadi dasar
hukum peradilan agama. Undang- Undang ini berisi tentang ketentuan pokok kekuasaan Hakim
terkait dengan peradilan Agama.

Itulah dasar- dasar hukum peradilan agama, sebenarnya masih banyak sekali dasar hukumnya
seperti UU nomor 4 tahun 2004. Undang- undang ini berisi tentang kekuasaan kehakiman,
mengatur badan- badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas- asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi
setiap orang dalam hukum serta dalam mencari keadilan.
Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan Dasar Hukum Peradilan Agama

Setiap badan yang ada dalam lingkup peradilan agama juga memiliki perannya masing- masing
didasari oleh dasar hukum peradilan agama. Peran tersebut tentunya berkaitan dengan
kewenangan penyelenggara hukum. Beberapa kewenangan yang ada tersebut dikelompokkan
menjadi berbagai macam jenis perkara seperti berikut ini.

 Peradilan Agama

Peradilan Agama berwenang mengadili perkara perdata Agama seperti : izin poligami,
pencegahan perkawinan, penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), cerai
talak, cerai gugat, pembatalan perkawinan, kelalaian suami atau isteri, nafkah anak oleh ibu,
penguasaan anak, harta bersama, hak- hak bekas isteri, pengangkatan anak, pencabutan
kekuasaan orang tua, perwalian, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan wali, ganti rugi
terhadap wali, asal usul anak, penolakan kawin campuran, isbat nikah, izin kwin, dispensasi
kawin, wali adhol, ekonomi syariah, kewarisan, hibah, wasiat, zakat, infaq, sodaqoh, penetapan
ahli waris,

 Mahkamah Syar’iyah

Berbeda dengan peradilan Agama yang mengurusi permasalahan di bidang perdata, jika ada
berbagai permasalahan lain yang tidak berhubungan dengan kasus perdata bisa ditindak oleh
Mahkamah Syar’iyah. Beberapa perkara yang ditindak oleh Mahkamah Syar’iyah diantaranya
yaitu perkara jinayat seperti Khamr atau biasa disebut dengan minuman keras dan napza,
maisir atau perjudian dan khalwat.

Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur'an dapat dilihat dalam beberapa ayat berikut:

" Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (Q.S. an-Nisa: 135)

Ayat di atas memberikan minimalnya tiga pedoman garis hukum dalam peradilan islam.
Pertama, menegakkan keadilan adalah kewajiban orang-orang yang beriman. Kedua, setiap
mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya
dan seadil-adilnya. Ketiga, manusia dilarang mengikuti hawa nafsu serta menyelewengkan
kebenaran.
       
.  "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S.al-Maidah :8)

Adanya ayat diatas memberikan keimpulan bahwa prinsip dan aturan tentang sitem peradilan
islam harus didasarkan pada prinsip keadilan. Setiap orang yang beriman wajib memegang
prinsip keadilan baik ia menjadi hakim, saksi atau yang lainnya, tanpa dipengaruhi oleh sesuatu
perasaan apapun, kecuali kebenaran.
 
. " Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan  keji, kemungkaran dan permusuhan. dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran"(Q.S. an-Nahl:90)

Ayat ini memberikan beberapa kesimpulan yang diantaranya, perintah menegakkan keadilan,
perintah melakukan kebaikan, perintah membantu secara materil kepada sanak-famili atau
kaum kerabat, manusia dilarang melakukan perbuatan keji dan buruk, manusia dilarang
melakukan kemungkaran dan manusia dilarang bersikap bermusuhan.

 "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S.an-Nisa':58)

Ayat terakhir ini selain menyinggung keadilan juga menyinggun amanah. Ia diartikan sebagai
titipan" atau "pesan". Namun dalam konteks "kekuasaan Negara" perkataan amanah diartikan
dengan pelimpahan kewenangan serta kekuasaan atau dapat juga disebut sebagai "mandat".
 Amanah yang dimaksud dalam ayat diatas menitik berarkan pada mandat dan kekuasaan itu
dipelihara serta dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang
telah ditetapkan dalam al-Qur'an dan dicontohkan oleh sunah Rasulullah karena dikemudian
akan ada pertanggung jawaban. Ia tidak boleh di salah gunakan demi kekuasaan yang ia
pegang, sehingga prinsip keadilan yang menjadi tolak ukur utama menjadi konsong.

Kemudian sebagaimana disinggung dalam pengantar diatas, bahwa tidak hanya dalam Al-
Qur'an saja yang berbincang prinsip peradilan islam namun hadis  Nabi juga pun juga
menyentuhnya, sebagaimana berikut:

“Apabila seorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka ia memperoleh dua pahala, dan
apabila ia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala". Dari Buraidah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hakim itu ada
tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia
memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak
memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia
memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka." Riwayat Imam
Empat. Hadits shahih menurut Hakim.

" Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau." Riwayat
Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban."

 "Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah seseorang menghukum antara dua orang dalam keadaan marah."
Muttafaq Alaihi."

 Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
ada dua orang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan
untuk orang yang pertama sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau
mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum." Ali berkata: Setelah itu aku selalu menjadi
hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi,
dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam peradilan islam yang menjadi prinsip pokok dan
menjiwai aturan-aturan lainnya adalah prinsip keadilan. Ia tidak boleh dikesampingkan karena
kedua hal pokok berikut: pertama karena Allah memiliki sifat  maha adil, keadilannya penuh
dengan kasih sayang kepada mahluk-mahluk-NYa. 

Kedua, dalam islam, keadilan adalah kebenaran yang juga merupakan salah satu nama Allah.
Keadilan dan kebenaran dapat diumpamakan sebagai dua saudara kembar yang sulit untuk
dipisahkan. Ketiga keadilan yang berasal dari perkataan adil dalam bahasa arab dari segi
etimologi artinya sama. Ia menunjukkan suatu keseimbangan atau dalam posisi dipertengahan.

2.2 Fungsi Peradilan Agama


1. Melakukan pembinaan terhadap pejabat strukturan dan fungsional dan pegawai lainnya
baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum

2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai
lainnya (pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No.3 Tahun 2006)

3. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat Pertama. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni menyangkut perkara-
perkara:
a.  Perkawinan;
b.  Waris;
c. Wasiat;
d.  Hibah;
e.  Wakaf;
f.  Zakat;
g.  Infaq;
h.  Shadaqah;dan
i.  EkonomiSyari'ah.

Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan
bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal
bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini
pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat)
terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap
memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri
Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan
1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai
perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.Di samping itu, dalam
penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 diberikan pula kewenangan kepada PA untuk
Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.

Untuk   melaksanakan   tugas  -  tugas   pokok   tersebut  Pengadilan  Agama mempunyai


fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing ;

(vide Pasal 49 Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006) ;

b. Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah
laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal 53 ayat (1) Undang
- Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006) ;

Serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang - Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman).

Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim Pengawas Bidang ;


c. Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada
jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan maupun
administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) ;

d. Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi


perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan
peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan
administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang
Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;

e. Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang


hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama ;

f. Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta
memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan
transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan;
dan Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi
lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain ( vide: Pasal 52 A
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
3. Penutup
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

4. Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama_di_Indonesia
https://guruppkn.com/perkembangan-dasar-hukum-peradilan-agama-islam
https://www.kompasiana.com/mohammadhafidzanshory6938/5c4c040f677ffb6f9a0f7de5/me
mbincang-dasar-dasar-peradilan-islam-dalam-al-qur-an-dan-hadis
http://pa-muaratebo.go.id/index.php/tentang-pa/multimedia/com-jce/tugas-pokok-dan-
fungsi-peradilan-agama
http://www.pa-batang.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=118&Itemid=117
https://ceritadandongengrakyat.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai