Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

Dosen Pengampu : Dr. Husnawadi, MA

Disusun Oleh Kelompok 3

1. Maryun
2. Hikmatul izzati

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOTIM

FAKULTAS SYARI’AH PRODI MUAMALAH

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-nya sehingga
makalahini dapat tersusun dengan selesai, serta sholawat beriring salam atas junjungan alam nabi
besar Muhammad SAW. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharaplebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam
menulis makalah maupun karya ilmiah lainnya. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan masalah

BAB II : PEMBAHASAN

A. Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama


B. Ganjalan Terhadap kekuasaan Peradilan Agama

KESIMPULAN

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peradilan agama merupakan peradilan negara yang sah disamping sebagai peradilan
khusus yang dijelaskan dala Pasal 10 ayat (1) UU Nomor Tahun 1999. Peradilan agama
adalah peradilan islam di Indonesia yang diberi kekuasaan oleh peraturan perundang-
undangan negara di Indonesia untuk mewujudkan hukum material islam dalam batas-
batas yang ada dalam kekuasaan, kata kekuasaan disini sering disebut juga dengan
“Kompetensi”, yang berasal dari bahasa belanda Competentie, yang kadang-kadang
diterjemahkan juga dengan arti “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dapat
dianggap semakana. Peradilan agama memiliki kekuasaan yang bersifat relative dan
absolut yng mana dalam kekuasaan terebut dijelaskan secara terperinci ruang lingkup dari
peradiln agama itu sendiri untuk meneima, memutus dan mengadili kasus-kasus tertentu
serta didalam kekuasaan relative dan absolut dari peradilan agama ini juga membagi
kewenangan dari masing-masing pengadilan agama karena di dalam pengadilan agama
itu sendiri masih terdapat ganjalan-ganjalan yang menimbulkan kebingungan, yang mana
itu lebih berdasarka kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur peradilan
agama tersebut yaitu UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
B. RUMUSAN MASALAH
1. APA Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama?
2. APA Ganjalan Terhadap kekuasaan Peradilan Agama?
C. TUJUAN MASALAH
Untuk Mengetahui Rumusan Masalah Di Atas
BAB II

PEMBAHASAN
A. Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif Di Pengadilan Agama
Kata “kewenangan” bisa diartikan “kekuasaan” sering juga disebut juga “kompetensi”
atau dalam bahasa Belanda disebut “competentie” dalam Hukum Acara Perdata biasanya
menyangkut 2 hal yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
1. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan jenis perkara yang menjadi kewenangannya.
Pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2019 Tentang Pengadilan Agama serta asas personalitas keislaman menjadi
dasar kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam menerima, memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara :
a. Perkawinan.
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut
Syari’at Islam, antara lain:
1. Ijin beristri lebih dari seorang (poligami);
2. Ijin melangsungkan perkawinan bagi oreang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun dalam hal wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalauan atas kewajiban suami atau isteri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang
seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain.cDalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan
kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:
23. Penetapan Wali Adlal;
24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
b. Waris
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris
c. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku
setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
d. Hibah
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan
hukum untuk dimiliki.
e. Wakaf
Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok
orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari’ah.
f. Zakat
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan
ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
g. Infaq
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada
orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
h. Shodaqoh
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela
tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah
Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
i. Ekonomi Syari`ah
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
1. Bank syari’ah;
2. Lembaga keuangan mikro syari’ah;
3. Asuransi syari’ah;
4. Reksa dana syari’ah;
5. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
6. Sekuritas syari’ah;
7. Pembiayaan syari’ah;
8. Pegadaian syari’ah;
9. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
10. Bisnis syari’ah.
2. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Agama dalam artian sederhananya adalah kewenangan
Pengadilan Agama yang satu tingkat atau satu jenis berdasarkan wilayah. Contoh
Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dengan Pengadilan Agama Ngawi. Dalam hal
ini antara Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan Pengadilan Agama Ngawi
adalah satu jenis dalam satu lingkungan dan satu tingkatan yaitu tingkat pertama.
Kompetensi relatif yang berlaku pada setiap peradilan dilihat pada hukum acara yang
digunakan, dalam hal ini Pengadilan Agama dalam hukum acaranya adalah Hukum
Acara Perdata. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama menerangkan bahwa dalam Peradilan Agama berlaku Hukum Acara Perdata
yang berlaku di Peradilan Umum. Untuk itu dasar kompetensi relatif Pengadilan
Agama adalah Pasal 118 Ayat 1 HIR atau Pasal 142 R.Bg jo Pasal 73 Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan bahwa suatu gugatan itu harus diajukan sesuai
dengan daerah hukum tergugat berada. Namun dalam hal ini ada pengecualian
sebagaimana dalam Pasal 118 Ayat 2, 3, dan 4 yaitu
1) Apabila terdapat 2 tergugat maka gugatan boleh diajukan pada salah satu dari dua
daerah tergugat berada.
2) Apabila tergugat tidak diketahui, gugatan diajukan pada daerah penggugat.
3) Apabila gugatan yang diajukan terkait benda tidak bergerak maka gugatan
diajukan di mana letak benda tidak bergerak tersebut berada.
4) Apabila ada tempat tinggal yang disebut dalam suatu akad maka gugatan diajukan
pada tempat yang dipilih dalam akad tersebut.
B. Ganjalan Terhadap kekuasaan Peradilan Agama
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi ganjalan dalam
pelaksanaan kekuasaan peradilan agama, tiga hal itu adalah Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun
1989, sebagaimana diketahui bahwa hapir seartus persen perkara kewarisan menyangkut
langsung perihal sengketa harta benda baik antara pihak-pihak itu sendiri bahkan
kemungkinan menyangkut pihak lain yang interveniren atau sebagai vrijwaring. Jarang
sekali orang perkara kewarisan hanya sekedar meminta ditetapkan sebagai ahli waris saja,
yang egunaannya hanya untuk membayar hutang-hutang si mayit atau untuk keperluan
balik nama benda tetap dari atas nama si mayit kepada atau nama ahli waris. Apa
gunanya Pasal 49 ayat (3) yang menyatakan “penentuan mangenai harta peninggalan dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut”. Adilkah bila pengadilan agama
salah dalam mebagikan harta peninggalan tersebut karena memikul kesalahan yang
disebabkan oleh pengadilan umum. Seperti yang dikemukakan dalam Pasal 50 itu
kalaupun karena alasan untuk menghindari sengketa kewenangan dan harus dipaksakan
dimasukkan dalam UU No.7 Tahun 1989.3 Yang menjadi ganjalan kedua ialah
penjelasan umum UU No.7 Tahun 1989 angka 2 yang mengatakan bidang kewarisan
adalah mengenai penentuan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian
harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum
islam, sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian
warisan.
Jika penjelasan ini dibaca secara harfiah maka akan menbuat keburnya permasalahan
serta akan menimbulkan serba ketidakpastian hukum. Kiranya tepatlah kalau kita
berpegangan kepada patokan “apa agama si mayit” ketika wafatnya dan hal ini sejalan
betul dengan hasil seminar nasional I dan II Hukum waris islam.4 Adapun ganjalan
terakhir yang terdapat pada pelaksanaan kekuasaaan peradilan agama yaitu ada pada
Pasal 86 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989, yang berbunyi “Jika ada tututan pihak ketiga,
maka pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada
putusan engadilan dalam lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap tentang hal itu.” Apa pengertian pihak ketiga disini, apakah selain
suami istri yang bersangkutan, misalnya anak kandung mereka, orang tua kandung
mereka, orang lain sama sekali, atau siapa. Mengapa harta bersama sebagai akibat dari
cerai talak seperti dijumpai dalam Pasal 66 ayat (5) tidak memuat ketentuan seperti
dijumpai dalam Pasal 86 ayat (2) ini, apakah harta bersama karena cerai talak berlainan
dengan harta bersama karena cerai gugat, selanjutnya apakahharta bersama perkawinan,
bila menyangkut pihak ketiga dianggap terlepas dari perkawa perkawinan bagi orang
islam.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan ini adalah dimana peradilan agama
yang memiliki kekuasaan yang bersifat relative dan aboslut masih memiliki ganjalan-
ganjalan yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
peradilan agama itu sendiri. Hal-hal tersebut juga dapat mempengaruhi eksistensi dari
proses yang terjai dalam peradilan agama yang sedang berkembang sekarang dan
dapat menimbulkan pertanyaan besar masyarakat terhadap kinerja dan
profesionalisme dari peradilan agama di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB21413223081.pdf

https://www.pa-magetan.go.id/artikel/215-sumber-hukum-dan-kompetensi-absolut-dan-
kompetensi-relatif-di-pengadilan-agama

Surya, A., & Suharta, N. (N.D.). Tinjauan Terhadap Kekuasaan Relatif Dan Absolut
Serta Ganjalan Dalam Kekuasaan Peradilan Agama Di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai