Anda di halaman 1dari 20

HUKUM ACARA

PERADILAN AGAMA
Sejarah
• Sejak VOC berkuasa badan-badan peradilan menerapkan hukum Belanda. Akan tetapi tidak efektif karena
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat di bidang hukum Islam. Atas dasar teori resepcio 
komplexu dari Van den Berg, maka dikeluarkan Statuta Batavia 1942 yang pada Intinya penegasan bahwa
“Mengenai soal hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam, harus dipergunakan hukum Islam
yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
• Pada tahun 1882 dibentuk Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura dengan Stb. Th. 1882
Nomor 152 dihubungkan dengan Stb. Th. 1937 No. 116 dan 610.
• Pada Tahun 1937, kemudian dibentuk Stb. 1937 No. 638 dan No. 639 tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan
Qadi Besar untuk sebagian Residen Kalimantan Selatan dan Timur Setelah Merdeka: PP No. 45 Th. 1957
tentang Pembentukan Peradilan Agama/Mahkamah Syariah di Luar Jawa dan Madura.
• Pada tanggal 29 Desember 1989 terbitlah UU No. 7 Th 1989 tentang Peradilan Agama, yang menghapus
adanya  dualisme kewenangan mengenai perkara kewarisan.
Tujuan utama pembentukan UU Peradilan Agama mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama
sebagai kekuasaan kehakiman sesuai dengan UU No. 14 Th. 1970 Menciptakan kesatuan hukum peradilan
agama khususnya terkait perkara kewarisan. Menciptakan kesatuan hukum peradilan agama Putusan PA tidak
lagi dikukuhkan (executoir verklaaring) oleh PN.
Pengertian
Hukum Acara Peradilan Agama adalah keseluruhan peraturan atau
norma hukum yang mengatur tata cara orang-orang atau badan pribadi
yang beragama Islam memperatankan dan melaksanakan hak-haknya di
Peradilan Agama.
Dengan kata lain bahwa, hukum acara peradilan agama adalah hukum
yang mengatur bagaimana cara orang atau badan pribadi yang
beragama Islam bersengketa di Peradilan Agama.
Perbedaan Peradilan Pengadilan
Pengertian peradilan dan pengadilan, menurut Hartono, 1977, hal. 95 :
• Peradilan adalah tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan
yang dibebankan kepada pengadilan.
• Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas dan
fungsi peradilan tersebut.
Tugas Peradilan Agama
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:
Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syariah.
Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Senghketa Perkawinan
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang
tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
Senghketa Perkawinan
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab
tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban
bagi bekas istri;
14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wall dicabut;
18. penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cult-upumur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal
kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
waris
Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masingmasing ahli waris.
wasiat
Yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia.
HIBAH
Yang dimaksud dengan hibah adalah pembegan suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
WAKAF
Yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
ZAKAT
Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
INFAQ
Yang dimaksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Shadaqah
Yang dimaksud dengan Shadaqahadalah perbuatar; seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum
secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan
pahala semata.
EKONOMI SYARI’AH
Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
1. bank syari’ah;
2. lembaga keuangan mikro syari’ah;
3. asuransi syari’ah;
4. reasuransi syari’ah;
5. reksa dana syari’ah;
6. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
7. sekuritas syari’ah;
8. pembiayaan syari’ah;
9. pegadaian syari’ah;
10. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
11. bisnis syari’ah.
Fungsi Peradilan Agama
Fungsi peradilan agama antara lain Fungsi mengadili (judicial power),
Fungsi pembinaan Fungsi pengawasan, Fungsi nasehat, Fungsi
administrative dan fungsi lainnya melakukan koordinasi dalam
pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait,
seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain, serta pelayanan
penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya serta
memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan Transparansi Informasi Peradilan, sepanjang diatur
dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
•Kompilasi Hukum Islam dan Kebiasaan praktek peradilan;
•Kompilasi Hukum Islam dan Kebiasaan praktek peradilan;

Sumber Hukum Acara Peradilan Agama


• UUD 1945;
• UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No.
4 tahun 2004, dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Kekuasaan Kehakiman);
• UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No. 5
Tahun 2004, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
• UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama (perubahan dari Undang-Undang No. 3
Tahun 2006, dan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama);
• HIR/RIB dan Rbg;
• Kompilasi Hukum islam dan kebiasaan Praktek Peradilan;
• Yurisprudensi;
• Doktrin atau pendapat para ahli hukum Islam.
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan ( Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tenta

Asas Hukum Acara Peradilan Agama


1. Asas Personalitas Keislaman (Pasal 2 jo Pasal 49 UU Peradilan Agama);
2. Asas hukum yang berlaku adalah hukum islam (Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 49  UU No. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama );
3. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
jo Pasal 57 ayat (3) UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama);
4. Asas equality before the law atau asas persamaan hak di muka hukum (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Agama);
5. Asas beracara dikenakan biaya (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR jo Pasal 145 ayat (4), 192, 193, 194  Rbg);
6. Asas hakim bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan gugatan dan menjawab gugatan diserahkan
sepenuhnya kepada penggugat dan tergugat atau pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Asas hakim bersifat aktif, artinya sejak awal sampai akhir persidangan, hakim membantu pencari keadilan dan
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) UUNo. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman  jo Pasal 58 ayat
(2) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama);
Asas Hukum Acara Peradilan Agama
8. Asas persidangan bersifat terbuka untuk umum (Pasal 18, 19 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman  jo. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama);
9. Asas tidak wajib diwakilkan, artinya para pihak yang berperkara tidak diharuskan mewakilkan kepada
penasehat hukum atau advokat;
10. Asas audi et alteram partem artinya hakim mendengar dari kedua belah pihak (Pasal 121 ayat (2), 132 a HIR
jo. Pasal 142, dan 145 Rbg);
11. Asas beracara boleh diwakilkan  (Pasal 123 HIR jo. Pasal 142 ayat (2) dan 147 Rbg);
12. Asas hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa (Pasal 130 HIR jo Pasal 16 ayat (2) UU
No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman  jo Pasal 56 ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama );
13. Asas putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau dasar hukum (Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 62 UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Pasal 184 ayat
(1), 319 ayat (2) HIR);
14. Asas putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 60 UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama ).
Sumber
• https://konspirasikeadilan.id/artikel/hukum-acara-peradilan-agama9437 diakses pada
tanggal 16 Maret 2023
• https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-daerah/apa-sih-p
eradilan-agama
diakses pada tanggal 16 Maret 2023
• https://fh.unpatti.ac.id/hukum-acara-peradilan-agama/ dikases pada tanggal 16 Maret
2023
• https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-antara-hir-dan-rbg-lt54dc318596a4d
diakses pada tanggal 16 Maret 2023
• Manan, A. (2013). Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama. Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(2), 189-202.
• Sudirman L, S. L. (2021). Hukum Acara Peradilan Agama.
• SH, H. B. D. (2010). Peradilan Agama di Indonesia. Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai