KELAS/SEMESTER : B (lima)
Jawaban: Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum
bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat bahwa sistem
Peradilan Agama di Indonesia sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke-
7 Masehi. Pada masa itu hukum Islam mulai berkembang di wilayah nusantara bersama dengan
hukum adat. Kendati demikian, dalam perjalanannya keberadaan peradilan agama mengalami
pasang surut. Sejarah perkembangan peradilan agama ini dibagi menjadi enam masa yaitu masa
Prapemerintahan Hindia Belanda, Periode Transisi, masa Pemerintahan Hindia Belanda I, masa
Pemerintahan Hindia Belanda II, masa Penjajahan Jepang, masa Setelah Kemerdekaan Republik
Indonesia. Akhirnya eksistensi Peradilan Agama itu dilatarbelakangi oleh Undang-undang No. 14
tahun 1970 terdapat kekosongan hukum ( rectvacuum ) mengenai wewenang tingkat kasasi di
lingkungan peradilan agama. Oleh karena itu, menteri agama Republik Indonesia mengeluarkan
Surat Keputusan No. 10 tahun 1963 yang memberi wewenang dan kewajiban kepada jawatan
Peradilan Agama (sekarang Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama) untuk melaksanakan
tugas Peradilan Agama. Sehingga pada akhirnya lahirlah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1986
jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama yang menjadi dasar eksistensi Peradilan Agama di Indonesia.
2. Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang. Sebutkan beberapa perbedaan Hukum Acara Peradilan
Agama dengan Hukum Acara Perdata Umum!
Jawaban: Perbedaan dilihat dari sifatnya bahwa Hukum Acara Peradilan Agama berlaku khusus
dalam hubungan perdata khusus berdasarkan kewenangan peradilan untuk yang beragama
Islam saja, sedangkan Hukum Acara Peradilan Perdata Umum berlaku umum meliputi perkara
perkara perdata umum lainnya. Kemudian perbedaan dilihat dari prosesnya bahwa Hukum
Acara Peradilan Agama prosesnya menggunakan ketentuan pasal 59 Undang-undang Nomor 50
tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang menyebutkan bahwa hukum acara di peradilan
agama berlaku hukum acara perdata pada umumnya kecuali yang diatur dalam undang-undang
ini yakni dalam hal yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama itu sendiri mengenai
perkara waris, wasiat, wakaf, hibah, perceraian, sadaqah, infak, zakat, dan ekonomi syariah dan
hubungan hukum lainnya yang berdasarkan hukum Islam, sedangkan Hukum Acara Peradilan
Perdata Umum prosesnya sepenuhnya menggunakan ketentuan dalam HIR/Rbg dan sumber
hukum lainnya yang ditujukan terhadap perkara perdata umumnya. Selanjutnya perbedaan
dilihat khusus dari perkara peceraian bahwa dalam Hukum Acara Peradilan Agama tidak
mengacu pasal 118 HIR tetapi mengacu ke Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 yaitu
berperspektif perempuan, sedangkan dalam Hukum Acara Perdata Umum menggunakan
ketentuan pasal 118 HIR dan berlaku asas actor sequitor forum rei. Kemudian dalam proses
pembuktian perkara perceraian dalam Hukum Acara Peradilan Agama saksi diutamakan dari
kalangan keluarga dan ada ketentuan untuk saksi perempuan minimal dua orang sebagai
perimbangan saksi seorang laki- laki, selain saksi berlaku ketentuan dalam HIR, mengenal proses
li’an (perceraian dengan alasan zina tetapi hanya berlaku bagi suami atau laki-laki), dan tidak
membedakan pengertian antara gugatan dan permohonan (sama-sama mengandung sengketa),
hanya saja permohonan diajukan oleh suami (pihak laki-laki) dan gugatan diajukan oleh istri
(pihak perempuan), sedangakan dalam Hukum Acara Perdata Umum pembuktian perkara
perceraian saksi-saksi (bukan keluarga/saudara, bukan mantan suami/istri) dan berlaku
ketentuan dalam HIR, tidak mengenal proses li’an serta membedakan pengertian antara
gugatan dan permohonan.
3. Jelaskan apa yang disebut Kompetensi Relatif (Kekuasaan Relatif) Pengadilan Agama dan
bagaimana ketentuan komptensi relatif Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 4
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Jelaskan!
Jawaban: Kompetensi Relatif (Kekuasaan Relatif) Pengadilan Agama adalah mengatur
pembagian kekuasaan antara pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal
tergugat mau menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Agama Kotamadya atau Ibukota
Kabupatennya dan atau melanjutkan perkaranya di Pengadilan Tinggi Agama Ibukota
Provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989.
4. Sebutkan asas-asas dalam Hukum Acara Peradilan Agama, minimal 4 (empat) macam?
Jawaban: a. Asas personalitas ke-Islaman, bahwa yang tunduk dan yang dapat ditundukkan
kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam.
Asas personalitas ke-Islaman diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 2
Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama. Ketentuan yang melekat pada Undang-undang No. 3 Tahun
2006 Tentang asas personalitas ke-Islaman adalah para pihak yang bersengketa harus sama-
sama beragama Islam, perkara perdata yang disengketakan mengenai waris, wasiat, wakaf,
hibah, perceraian, sadaqah, infak, zakat, dan ekonomi syariah serta ubungan hukum yang
melandasi berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam.
b. Asas ishlah (upaya perdamaian), upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tentang Perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1) dan (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap
perselisihan dengan melalui pendekatan atau i shlah. Oleh karena itu, tepat bagi para hakim
peradilan agama untuk menjalankan fungsi mendamaikan, sebab bagaimanapun adilnya suatu
putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
c. Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
yang jo. Pasal 19 (3) dan (4) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara
di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang
memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan
sidang tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan
dengan sidang tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan
atau cerai gugat.
d. Asas equality , detiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan
kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat diskriminatif baik dalam
diskriminasi normatif maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam
upaya menerapkan asas equality pada setiap penyelesaian perkara di persidangan adalah:
Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equality
before the law.
Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equality protection on the law.
Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equality justice under the law.
e. Asas aktif memberi bantuan, terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah
pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam
HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama.
f. Asas upaya hukum banding, terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan
banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang- undang
menentukan lain.
g. Asas upaya hukum kasasi, terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali
undang-undang menentukan lain.
h. Asas upaya hukum peninjauan kembali, terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
i. Asas pertimbangan hukum ( racio decidendi ), segala putusan pengadilan selain harus
memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan
perundang- undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.
Berhasil, apabila mediasi berhasil dilakukan, maka perkara tidak akan dilanjutkan dalam
persidangan, melainkan hasil Mediasi akan dijadikan Akta Perdamaian sebagaimana tercantum
dalam pasal 1 angka 10 Perma No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Dengan demikian, konsekuensi dari terlahirnya akta perdamaian dapat dilakukan pencabutan
permohonan.
Gagal, apabila mediasi tidak berhasil (gagal), maka konsekuensinya yaitu proses persidangan
dilanjutkan kembali sebagaimana mestinya. Yakni dalam hal ini setelah pembacaan tuntutan
dilanjutkan kepada tahap jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian, putusan, hingga
menggunakan proses upaya hukum biasa yaitu banding dan kasasi, kemudian upaya hukum luar
biasa yaitu peninjauan kembali (PK) supaya pada akhirnya melahirkan putusan yang incracht
(putusan yang tetap dan mempunyai kekuatan hukum).