Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama

Kata "Asas" menurut yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, tt: 6)
berarti: 1. dasar, alas, pedoman; 2. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan
berpikir (berpendapat dan sebagainya); 3. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara, dan
sebagainya). Jadi, Asas Hukum Acara Peradilan Agama berarti "suatu kebenaran yang menjadi dasar
atau tumpuan berpikir dalam Hukum Acara Peradilan Agama".
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama sama dengan asas-asas hukum acara perdata Peradilan
Umum ditambah asas-asas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006, Jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Hal ini terjadi karena
sumber hukum acara Peradilan Agama sama dengan sumber hukum acara perdata Peradilan Umum
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006,
Jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

Asas Umum Peradilan Agama


1. Asas bebas merdeka
2. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
3. Asas Ketuhanan
4. Asas Fleksibilitas atau Speedy Administration of Justice
5. Asas Non Ekstra Yudisial
6. Asas Legalitas
7. Asas Legitima Persona Standi in Yudicio
8. Asas Ultra Pertium Partem
9. Asas Audi et Alteram Partem
10.Asas Unus Testis Nulus Testis, (satu orang saksi, bukan saksi)
11.Asas Actor Squitur Forum Rei
12.Asas Actor Squitur Forum Rei Sitai

Asas Penyelesaian Perkara Perdata Agama


Asas Ketentuan Formal, Untuk menerapkan hukum acara Peradilan Agama dengan baik, maka harus
memperhatikan beberapa prinsip
Asas Beracara Dikenakan Biaya, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970, Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, dan Pasal 183 HIR, atau Pasal 145 ayat (4), Pasal 193, dan Pasal
194 RBg.
Asas Hakim Aktif dalam Pemeriksaan, Majelis hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadila
Asas Judex Ne Pralebat Ex Officio (Inisiatif dari pihak yang berkepentingan) atau Asas Nemo,
Yudex Sine Actor (Tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada Hakim)
Asas Retroaktif dan/atau Prospektif, Pasal 63 dan 64 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Pengertian Kompetensi Peradilan Agama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kompetensi berarti
kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutus sesuatu). Adapun
Pengertian kompetensi Peradilan Agama menurut Undang-Undang
Kekuasaan kehakiman Pasal 25 ayat 3, “Peradilan Agama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.1 Kompetensi
ini merupakan implementasi dari tugas pokoknya, yaitu Pengadilan
Agama sebagai salah satu badan atau instansi resmi kekuasaan kehakiman
di bawah Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu yang diatur oleh Undang-Undang.

Mengacu pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, untuk
dapat mewujudkan serta menegakkan hukum dan keadilan tersebut, maka
diperlukan kepastian hukum, dalam hal ini tentang kompetensi
(kewenangan) peradilan agama, baik yang berkaitan dengan Subjek hukum
maupun objek hukumnya.

Kompetensi Absolut Peradilan Agama


Bicara mengenai kompetensi peradilan, tentunya tidak akan terlepas
dari dua hal yaitu, kewenangan kekuasaan absolut dan relatif. Kekuasaan
Absolute yang juga disebut kekuasaan kehakiman atribusi (atributie van
rechtsmacht) adalah kewenangan mutlak atau kompetensi absolut suatu
pengadilan; kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis
perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
pengadilan lain (R. Soeroso, 1994: 6).
Contoh perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan
perkawinannya dilakukan secara Islam menjadi kewenangan mutlak
Pengadilan Agama. Kekuasan absolut haruslah dipahami dan dimengerti
oleh seorang Hakim dan juga oleh Panitera/Panitera Pengganti, karena
dalam perkara tertentu ada persinggungan antara Peradilan Agama dan
Peradilan Umum meskipun sudah diatur dalam undang-undang bahwa
setiap peradilan mempunyai kewenangan yang berbeda.

Kompetensi Relatif Peradilan Agama


Kompetensi (kewenangan) relatif berhubungan dengan daerah
hukum suatu Pengadilan, baik Pengadilan tingkat pertama maupun
Pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan
relatif Pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan.5

1. Hukum acara Peradilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur tentang
bagaimana menaati dan melaksanakan hukum perdata material dengan perantaraan
Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau
permohonan dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.

2. Sumber-SumberHukumAcaraPeradilan Agama
1) HerzieneIndonesischeReglement (HIR)
2) ReglementVoor de Buitegewesten (Rbg)
3) Reglement op de BurgelijkeRechtvordering (Rv)
4) Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang diamandemenmenjadi UU No. 4 tahun
2004 dandiamandemenmenjadi UU Nomor 48 tahun 2009 tentangketentuan-
ketentuanpokokkekuasaankehakiman yang
memuatjugabeberapaKetentuanHukumAcara.
5) Di tingkat banding berlaku UU No. 20 tahun 1847 untuk di Jawadan Madura.
Tetapikemudianolehyurisprudensidianggapberlakuseluruh
Indonesia.Denganberlaku UU ini, makaketentuandalam HIR/Rbgtentang banding
tidakberlakulagi.
6) UU No. 14 tahun 1985 tentangMahkamahAgung yang diubahmenjadi UU No. 5
tahun 2004.
7) Yurisprudensiatauputusan-putusan hakim yang berkembang di
lingkungandansudahpernah di putusdipengadilan.
8) KompilasiHukum Islam (KHI)
9) PeraturanMenteri Agama
10) KeputusanMenteri Agama
11) Kitab-KitabFiqh Islam danSumberHukumTidakTertulisLainnya
12) AdatKebiasaan
13) Doktrin
14) InstruksidansuratedaranMahkamahAgung
15) UU No. 1 tahun 1974 tentangperkawinandan PP No. 9 tahun 1975
16) UU No. 5 tahun 1986 tentangperadilantatausahaNegara
17) UU No. 7 tahun 1989 Jo. UU Nomor 3 tahun 2006 Jo. UU Nomor 50 tahun 2009
tentangperadilan agama

Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk
permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu
gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.

A. Prosedur Pengajuan Permohonan


Untuk Gugatan/Permohonan
Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dengan membawa surat gugatan atau
permohonan.
Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan
atau permohonan, 4 (empat) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan
dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara
diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan
pada pasal 182 ayat (1) HIR.
4. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada
pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap
3 (tiga).
Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau
permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak
berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.

3. Gugatan

Gugatan adalah suatu tuntutan seseorang atau beberapa orang selaku penggugat yang

berkaitan dengan permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara dua pihak atau

lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai

penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat.

B. Syarat-syarat Gugatan

Berupa Tuntutan, Yaitu merupakan suatu aksi atau tindakan hukum yang bertujuan untuk
memperoleh perlindungan hukum dari Pengadilan dan untuk mencegah tindakan main hakim
sendiri.
Ada Kepentingan Hukum Maksudnya yaitu setiap gugatan harus merupakan tuntutan hak dan
mempunyai kepentingan hukum yang cukup.
Sengketa Yaitu tuntutan hak tersebut harus merupakan sengketa. Tidak ada sengketa maka
tidak ada perkara (geen belang, geen actie)
Dibuat dengan Cermat dan Terang Yaitu dengan alasan atau dasar hukumnya harus jelas dan
dapat dibuktikan apabila disangkal, pihak-pihaknya juga harus jelas demikian juga obyeknya.
Jika tidak jelas maka surat gugatan tersebut akan dinyatakan gugatan kabur (Obscure Libel).

Panggilan merupakan suatu proses pemeriksaan persidangan yang harus

berjalan menurut tata cara yang telah ditentukan. Pemeriksaan persidangan

pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) atau di Pengadilan Agama

(PA), tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT), dan tingkat Kasasi di

Mahkamah Agung (MA), diawali dengan proses pemanggilan (atau biasa

disebut panggilan) dan pemberitahuan.

Akan tetapi dalam hukum acara perdata, sebagaimana dijelaskan dalam


Pasal 388 HIR pengertian panggilan mempunyai makna cakupan yang lebih

luas, yaitu:2

a. Panggilan sidang hari pertama kepada penggugat dan tergugat.

b. Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau

salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa

alasan yang sah maupun berdasarkan alasan yang sah.

c. Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu

Pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat

menghadiri saksi yang penting ke persidangan).

Tata Cara Pemanggilan11

a. Hakim ketua majelis setelah menerima berkas perkara dari ketua pengadilan,

setelah itu ia harus mempelajarinya dengan seksama bersama hakim

anggotanya.

b. Hakim ketua majelis, setelah bermusyawarah dengan hakim-hakim anggotanya

menetapkan hari dan tanggal serta jamnya kapan perkara itu akan disidangkan

untuk hadir dalam sidang tersebut.

c. Penetapan dan perintah tersebut dituangkan dalam “penetapan hari sidang”

(PHS) yang ditandatangani oleh hakim ketua majelis.

Dalam perkara perdata, kedudukan hakim adalah sebagai penengah diantara pihak yang
berperkara, ia perlu memeriksa (mendengar) dengan teliti terhadap pihak-pihak yang
berselisih itu. Itu sebabnya pihak-pihak pada prinsipnya harus semua hadir di muka sidang.
Berdasarkan prinsip ini maka di dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil yang kedua
kali (dalam sidang pertama), sebelum ia memutus verstek atau digugurkan. Jika salah satu
pihak berperkara meninggal dunia, maka akan digantikan oleh ahli warisnya terkecuali dalam
kasus perceraian.
Perubahan dan pecabutan gugatan diperkenankan,asal diajukan pada hari sidang pertama
dimana para pihak hadir,perubahan bersifat

menyempurnakan,menegaskan atau menjelaskan surat gugatan/permohonan dapat


diijinkan,demikian dalam hal mengurangi gugatan. Dalam hal terjadi perubahan gugatan,
hakim harus memberikan kesempatan kepada tergugat untuk membela kepentingannya.
Jika pada hari sidang yang telah ditentukan salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak
dan tidak mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap pada sidang tersebut, maka
gugatannya dinyatakan gugur dan pengugat tersebut dihukum membayar biaya perkara.
Namun demikian pengugat tersebut masih berhak memasukkan kembali gugutannya sekali
lagi,setelah membayar biaya perkara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai