Anda di halaman 1dari 61

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM

Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama


dan Ruang Lingkupnya
Oleh : Dra. Ulil Uswah, MH
A. Pengertian hukum acara perdata(HAP)/PA
Sebelum mempelajari hukum acara perdata peradilan agama, kita perlu
mengetahui istilah yang terdapat dalam perundang-undangan yaitu pengertian peradilan1
dan pengadilan2 yang sama-sama memiliki kata dasar “adil”. Kata dasar adil tersebut
memiliki pengertian : Proses mengadili, Upaya untuk mencari keadilan, Penyelesaian
sengketa hukum dihadapan badan peradilan, dan berdasar hukum yang berlaku3
Adapun kedua istilah tersebut pengertiannya adalah
1. Peradilan: dalam istilah inggris disebut Judiciary dan rechtspraak dalam bahasa
Belanda, maksudnya adalah segala sesuatu yang berubungan dengan tugas
negara dalam menegakkan hukum dan keadilan4
2. Pengadilan: dalam istilah inggris disebut Court dan rechtbank dalam bahasa
Belanda, maksudnya adalah badan yang melakukan peradilan berupa
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara5
Kemudian mengenai pengertian hukum acara perdata (HAP) dan hukum acara
perdata (HAP)/PA, terdapat beberapa pendapat tentang ini.
1. Pengertian Hukum Acara Perdata (HAP) antara lain :
a. MH. Tirtaamidjaja,HAP adalah suatu akibat yang timbul dari hukum
perdata materiil6
b. Sudikno Mertokusumo, HAP adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil7
c. Wiryono Projodikoro, HAP adalah rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak dimuka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata8
2. Pengertian Hukum Acara Perdata (HAP) Peradilan Agama antara lain
a. Abdul Manan, HAP agama merupakan hukum yang mengatur tentang cara
mengajukan gugatan kepada pengadilan agama, bagaimana pihak tergugat
1
Lihat Pasal 2 ayat (1), (2), (3),(4) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
2
Lihat Pasal 1 ayat (8), Pasal 4, 10 ayat (1), 11 ayat (1), 12 ayat (1), 15 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
3
Ahmad Mujahidin, Pembaruan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Indonesia, Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, Jakarta, Cet.1,2008, h.3
4
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978, h.91-92
5
Ibid
6
K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata,HIR/RBG, jakarta, Ghalia Indonesia, 1981, h.9
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung 1982, h.2
8
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung, Sumur, 1982, h.12
2

mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim


bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan
bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat
tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana
mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan
kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata agama dapat
berjalan sebagaimana mestinya9
b. Mukti Arto, HAP agama adalah semua kaidah hukum yang menentukan
dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata
materiil yang berlaku dilingkungan peradilan agama10
c. Ahmad Mujahidin, HAP dalam pengertian lebih luas adalah sekumpulan
peraturan yang membuat bagaimana caranya orang harus bertindak
dihadapan pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak,
untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum materiil sekaligus untuk
memelihara ketertiban hukum perdata
Yang disebut dengan ketertiban hukum adalah keadaan dimana hubungan
perseorangan antar subyek hukum sesuai dengan apa yang seharusnya
menurut peraturan hukum yang berlaku, sehingga terwujud tegaknya hukum
dan keadilan11
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, kemudian dikaitkan dengan ketentuan pasal
Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, maka HAP
adalah sekumpulan peraturan tentang bagaimana orang harus bertindak dihadapan
pengadilan dan bagaimana pengadilan itu harus bertindak, untuk melaksanakan
berjalannya hukum materiil, agar terpelihara ketertiban hukum perdata, demi tegaknya
hukum yang berkeadilan berdasarkan pancasila.
Adapun HAP yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini, hal ini didasarkan pada pasal 54 UU No.7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pasal ini tidak diubah dalam UU No.3 tahun
2006 maupun UU No.50 tahun 2009.
B. Sejarah HIR
1. Sebelum merdeka
2. Setelah merdeka
C. Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah
1. Kedudukan
Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruak dalam penerapan sistem
peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UU 1945 Pasal 24 ayat
(2) dan Pasal 18 UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman tahun 2009
9
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah,
Jakarta, 2000,h.1-2
10
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, h.9
11
Ahmad Mujahidin, Pembaruan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Indonesia, Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, Jakarta, Cet.1,2008, h.6-7
3

tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh


sebuah Mahkamah Agung dan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi, kemudian dalam
Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa mahkamah Agung merupakan pengadilan negara
tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara
Disamping dasar hukum tersebut juga berdasar pada ketentuan Pasal 2 dan 3 UU No.7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.3
tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No.50 tahun 2009 serta Pasal 128 UU
No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh
Jadi kedudukan peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah adalah:
a. Pengadilan Agama adalah merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
dan merupakan pengadilan tingkat pertama, kemudian tingkat banding bernama
Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Syar’iyah adalah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang
beragama Islam dan berada di Aceh
2. Kewenangan
Terdapat dua kewenangan Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yaitu:
a. Kewenangan absolut (absolud competensi) atau disebut juga kewenangan
mutlak adalah kewenangan suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan
pengadilan lain12.
Kewenangan absolut Pengadilan berkaitan dengan materi hukum (Pasal 2
UU No.3 tahun 2006 jo UU No.50 tahun 2009 )
Kewenangan Pengadilan Agama adalah bidang a. Perkawinan; b. Waris; c.
Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah dan i. Ekonomi
syari’ah (Pasal 49 UU No.3 tahun 2006 jo UU No.50 tahun 2009),
sedangkan mahkamah Syar’iyah disamping bertugas dan berwenang
sebagaimana tersebut di atas, juga perkara bidang jinayah (hukum pidana)
yang didasarkan atas syari’at Islam.
b. Kewenangan relatif (dalam buku II tidak dijelaskan pengertiannya) : adalah
kewenangan mengadili dan memeriksa perkara dalam suatu peradilan
berdasarkan daerah hukum (Stbl 1937 No.630. 638 UU No.1/51 dan UU
No.1/61)
Dasar hukum kewenangan ini adalah Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg, dan
dalam perkara perceraian didasarkan pada ketentuan Pasal 66 dan 73 UU
No.7 tahun 1989
.C. HAP yang berlaku di Pengadilan Agama

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi 2010, Mahkamah
12

Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama 2010, h. 67


4

Berdasar ketentuan pasal 54 UU No.7 tahun 1989 bahwa Hukum Acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini,
(tugas mahasiswa menulis pasal-pasal Hukum Acara)
Mengacu kepada ketentuan Pasal tersebut di atas, maka yang kita pelajari dalam bab ini
mengenai sumber hukum acara peradilan agama dan asas-asanya adalah:
1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
a. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
b. Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (RBg) Reglemen Daerah Seberang
c. B. Rv (Reglement Op De Bugerlijke Rechtsvordering ) atau Reglement of de
Rechtsvordering/RV),
d. Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (BW)
e. Wetboek van Koophandel (Wvk)
f. UU No.20 tahun 1947
g. UU No.14 tahun 1970 yang diubah dengan UU No.35 tahun 1999, dan
dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya UU No.4 tahun 2004 dan
diubah lagi dengan UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
h. UU No.1 tahun 1974 dan PP.9 tahun 1975
i. UU No.14 tahun 1985 yang telah diubah dan disempurnakan dengan UU No. 5
tahun 2004 dan di ubah dengan UU No.3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
j. UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan UU No.3
tahun 2006 Jo UU No.50 tahun 2009
k. UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
l. UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
m. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
n. UU No.8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum
o. Inpres No.1 tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum
Islam
p. Surat Edaran MARI dan PERMA RI sepanjang menyangkut Hukum Acara
Perdata
q. Yurisprudensi MA
r. Kutub Fikh Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya13
2. Asas-Asas Hukum Acara perdata(HAP)/PA14
1. Asas Bebas Merdeka, tetapi wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku
hakim (Ps.24 UUD 1945 dan jo Ps.5 ayat (3) UU No.48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman, UU No.7 th 1989 jo UU no.3 tahun 2006 jo UU no.50 th
2009)
2. Asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (Ps.2 dan 3 UU No.7 tahun
1989)
3. Asas Ketuhanan (Ps.24 ayat (1) UU No.48 tahun 2009)
4. Asas Fleksibilitas (Ps. 57 ayat (3) UU No.7 tahun 1989

13
Lihat buku II, h. 55-56 dan Ahmad Mujahidin, h. 37-41
14
Ibid
5

5. Asas Non Ekstra Yudisial (Ps.3 UU No.48 tahun 2009)


6. Asas Legalitas (Ps.4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009)
7. Asas Personalitas Ke-Islaman (Ps.2 penjelasan umum alenia ketiga dan Ps. 49
UU No.3 tahun 2006 yang diubah dengan UU No.50 tahun 2009 )
8. Asas Ishlah (Upaya Perdamaian) (Ps. 39 UU No.1 th 1974 ttg perkawinan jo
Ps 31 PP No.9 th 1975 jo Ps 65 dan 82 (1dan2) UU No.7 th 1989, jo Ps 115 KHI
jo Ps. 16 (2) UU No.4 tahun 2004.
9. Asas Terbuka untuk umum (Ps. 59 (1) UU No.7 th 1989 jo Ps. 13 UU No.48
th 2009) kecuali dalam pemeriksaan Cerai talak dan Cerai Gugat (Ps.68 (2) UU
No.7 th 1989)
10. Asas Equality (tdk diskriminatif) (Ps.58 ayat (1) UU No.7 th 1989 jo Ps. 4 (1)
UU No.48 th 2009
11. Asas Aktif memberi bantuan (Ps.119 HIR/143 Rbg jo Ps.58 (2) UU No.7 th
1989 jo Ps.4 (2) UU No 48 th 2009)
Asas penyelesaian Perkara Perdata Agama
1. Asas Ketentuan Formil
2. Asas Beracara Dikenakan Biaya
3. Asas hakim aktif dalam pemeriksaan
4. Asas inisiatif dari pihak yang berkepentingan
5. Asas “Inter Partes”15 dan /atau “Erga omnes” 16
6. Asas Retroaktif dan atau Prospektif17
7. Asas Hk Ac menurut Umar Bin Khotthob
Asas Kedudukan Pejabat Pengadilan
1. Asas kedudukan hakim
2. Asas Ius Curia Novit
3. Asas Integritas hakim
15
Inter Partes, adalah putusan yang akibat-akibatnya hanya berlaku pada perkara yang diputus. terhadap
perkara lain yang datang kemudian dan mengandung persamaan belum tentu diberlakukan, semuanya
diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutusnya,
16
asas Erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung
persamaan yang mungkin terjadi dimasa mendatang.
17
Asas Retroaktif bersifat ex tune yaitu peraturan perundang-undangan dianggap tidak pernah ada dan
tidak pernah merupakan suatu peraturan perundang-undangan. Jadi setiap putusan ex tune adalah berlaku
surut ke saat peraturan perundang-undangan itu ditetapkan (lihat bagir Manan, Organisasi Peradilan di
Indonesia, Penataran Hukum Administrasi th 1997/1998, kerjasama Hukum Indonesia-Belanda,
FH.Unair, Surabaya, 1998, h.29). karena dalam sistem retroaktif peraturan perundang-undangan tidak
pernah ada, maka putusan hakim tidak berisi pembatalan (annul) tetapi menyatakan sebagai suatu tidak
sah (nullity), putusan yang menyatakan tidak sah tersebut bersifat deklaratur bukan konstitutif (lihat Allan
R.Brewer carias, Judicial Review In Comparative Law, Cambridge Univercity, Press, Cambridge, 1989,
h.154
Asas Prospektif bersifat ex nune atau pro furuto, putusan ini hanya berlaku ke depan. Peraturan
perundang-undangan dipandang sebagai sesuatu yang sah sampai saat dinyatakan batal (dibatalkan) (lihat
Baqir Manan---)
6

4. Asas Independensi hakim


5. Pengawasan Eksternal hakim
6. Asas Social Justice
7. Asas pengunduran diri bagi hakim dalam persidangan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
POLA BINDALMIN
27-10-2012/3-11-2012
Pola Bindalmin: Pola Pembinaan dan pengendalian administrasi perkara di
lingkungan Peradilan Agama
Pasca UU No.7 th 1989 yang diamandemen dengan UU No.3 tahun 2006 jo UU No. 50
th 2009,diharapkan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama mandiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disebut dengan Court of Law
bukan lagi quasi peradilan (peradilan semu), adapun salah satu ciri-ciri dari Court of
Law adalah adanya hukum acara, minutasi dilaksanakan dengan baik dan benar, tertib
dalam melaksanakan administrasi perkara dan putusan dilaksanakan sendiri oleh
pengadilan yang memutus perkara tersebut. Hal tersebut diperlukan agar peradilan
agama di Indonesia mempunyai kesamaan pola tindak, pola pikir atau dalam istilah
peradilan disebut dengan legal frame work and unified legal opinion.
Dalam rangka melaksanakan tertib administrasi perkara di pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama serta dalam rangka penyelenggaraan administrasi peradilan
yang seragam baik dan tertib, maka Ketua Mahkamah Agung RI dengan suratnya
tertanggal 24 Januari 1991 Nomor: KMA/001/SK/1991 telah menetapkan pola-pola
pembinaan dan pengendalian administrasi perkara yang meliputi lima bidang yaitu:
1. Pola prosedur penyelenggaraan administrasi perkara Tingkat Pertama,
Banding, Kasasi dan PK
2. Pola tentang register perkara
3. Pola tentang keuangan perkara
4. Pola tentang laporan perkara
5. Pola tentang kearsipan perkara
(lihat di power point)
BANTUAN HUKUM
27-10-2012/3-11-2012
1. Pengertian Bantuan Hukum adalah pemberian jasa hukum yang difasilitasi oleh
negara melalui peradilan agama, baik dalam perkara gugatan dan permohonan
maupun perkara jinayat (Ps.1 ayat (4) Lampiran B Pedoman Pemberian Bantuan
Hukum di Lingkungan Peradilan Agama
Yang meliputi pelayanan perkara Prodeo, penyelenggaraan sidang keliling,
penyediaan pos bantuan hukum di Pengadilan agama bagi masyarakat yang tidak
mampu, termasuk Advokat pendamping di mahkamah syar’iyah (Ps.1 ayat 5 dan
6)
7

2. Dasar Hukum : Ps. 60 B dan 60 C UU No. 50 tahun 2009, surat Edaran MARI
No. 10 tahun 2010
3. Tujuan Bantuan Hukum (Ps.2)
1. Membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomis
dalam menjalankan proses hukum di Pengadilan
2. Meningkatkan akses terhadap keadilan
3. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum
melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan
kewajibannya
4. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
KUASA
1. Pengertian Kuasa secara umum merujuk pada pasal 1792 KUH Perdata (BW)
yang berbunyi :” Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk
dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”18
Mengacu kepada pasal tersebut di atas, maka dalam kuasa ini terdapat dua pihak
yaitu a. Pemberi kuasa atau lastgever; b. Penerima kuasa atau disingkat kuasa
yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama
pemberi kuasa
2. Sifat perjanjian kuasa
a. Penerima Kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, hal ini
dikecualikan dalam hal mediasi perkara perceraian ( Pasal 82 UU No.7 tahun
1989)
b. Pemberian kuasa bersifat konsensual yaitu perjanjian berdasarkan
kesepakatan (agreement)
c. Berkarakter Garansi-Kontrak yaitu 1) kekuatan mengikatnya terbatas
sepanjang kewenangan (Volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi
kuasa ; 2) apabila kuasa melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi
kuasa hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat yang diberikan,
sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa (Pasal 1806 KUH
Perdata)
3. Barakhirnya Kuasa
a. Pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak (Ps.1814 KUH Perdata)
b. Salah satu pihak meninggal ( Ps. 1813 KUH Perdata)
c. Penerima Kuasa melepas kuasa ( Ps. 1817 KUH Perdata)
d. Dapat disepakati kuasa mutlak (menganut asas kebebasan berkontrak Ps.
1338 KUH Perdata) yang dikatakan bahwa para pihak bebas mengatur
kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan

R. Subekti,R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet.25
18

h. 382
8

dengan Ps. 1337 yakni tidak mengandung hal yang dilarang oleh Undang-
Undang, berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
B . Jenis Kuasa
1. Kuasa Umum : pemberian kuasa mengenai pengurusan untuk mengatur
kepentingan pemberi kuasa, diatur dalam Ps. 1795 KUH Perdata), oleh karena
itu ditinjau dari segi hukum surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di
depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa (Ps. 123 HIR) karena agar
dapat tampil didepan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa
harus mendapat surat kuasa khusus, hal ini ditegaskan dalam Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung No.149/1972 (2-8-1972)19 bahwa seorang manager yang
bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa
Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di pengadilan, karena surat kuasa
itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT
tersebut, bukan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud pasal 123 HIR
2. Kuasa Khusus: berdasarkan Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk
bertindak didepan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai
pihak principal (psl. 123 HIR)
Misalnya : kuasa untuk melakukan penjualan rumah, kuasa itu merupakan
kuasa khusus, terbatas hanya untuk menjula rumah, akan tetapi meskipun
bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk tampil didepan
pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat khusus yang
dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk menjual
rumah
Advokat: Adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
UU (Ps. 1 ayat (1) UU No.18 tahun 2003)
Klien : adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa
hukum dari advokat (Ps.1 ayat (3)—
Bantuan Hukum : adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara
Cuma-Cuma kepada klien yang tidak mampu (Ps.1 ayat (9)
3. Kuasa Istimewa: berdasarkan Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal
pemberian kuasa istimewa, hal ini berkait dengan Pasal 157 HIR/184 RBG
Syarat-syarat kuasa istimewa
a. Bersifat limitatif
b. Berbentuk Akta otentik
4. Kuasa Perantara
Kuasa Perantara disebut juga dengan agen (agent), kuasa ini dikonstruksikan
berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan
agen perdagangan (Commer agency) atau makelar disebut juga broker dan factor

Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Armico, Bandung, 1983, h. 187
19
9

Tetapi lazim disebut perwakilan dagang


Dalam hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah ( intruction)
kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga . apa yang dilakukan
agen langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan
atau melampaui batas kewenangan yang diberikan
C. KUASA MENURUT HUKUM
Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoordig atau legal mandatry
(legal representative) maksudnya undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang
atau suatu badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang
atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa
Contoh : Pasal 123 HIR/147 RBG
Ada beberapa kuasa menurut hukum antara lain:
1. Wali terhadap anak di bawah perwalian (Ps. 51 UU No.1 tahun 1974)
2. Kurator atas orang yang tidak waras (Ps. 229 HIR)
3. Orang tua terhadap anak yang belum dewasa (Ps. 45 ayat (2) UU No. 1 tahun
1974)
4. BHP (Balai Harta Peninggalan) sebagai kurator Kepailitan (Ps.13 ayat (1) huruf
b UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan). Dalam putusan pernyataan pailit,
harus diangkat kurator, selanjutnya menurut pasal 13 ayat (2) UU dimaksud
adalah :
a. Jika debitur atau kreditur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator
kepada pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum BHP bertindak
sebagai kurator
b. Jadi yang dapat bertindak sebagai kurator dalam kepailitan adalah kurator
yang ditetapkan pengadilan berdasarkan usul debitur dan kreditur. Dalam hal
debitur dan kreditur tidak mengajukan usul dengan sendirinya menurut
hukum BHP yang bertindak sebagai kurator
Adapun tugas kurator (Ps.67)
1) Melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit
2) Dalam melakukan tugas, tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari
atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau
salah satu orang debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan,
persetujuan atau pemberitahuan demikian disyaratkan
5. Direksi atau Pengurus Badan Hukum yaitu Direksi atau pemimpin (pengurus)
badan hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai kuasa menurut hukum
(legal mandatory) mewakili badan hukum yang bersangkutan
Contoh : Ps. 30 ayat (2) huruf a UU No.25 tahun 1992 yang menyatakan bahwa
pengurus berwenang mewakili koperasi didalam dan di luar pengadilan.
6. Direksi Perusahaan Perseroan (Persero)
10

7. Pimpinan Perwakilan Perusahaan asing


8. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik
D. BENTUK KUASA DI DEPAN PENGADILAN
Dasar Ps. 123 ayat (1) HIR
Bentuk-bentuk kuasa di depan pengadilan:
1. Kuasa secara lisan (Ps. 123 ayat (1) HIR/147 ayat (1) RBG serta Ps. 120 HIR
yaitu:
a. Dinyatakan secara lisan oleh penggugat di hadapan Ketua PN/PA (Ps. 120
HIR) sekarang jarang
b. Kuasa yang ditunjuk secara lisan dipersidangan (dianggap tersirat dalam Ps.
123 ayat (1) HIR/147 ayat (1) RBG) dan dengan cara diucapkan secara
tegas dipersidangan selanjutnya majelis memerintahkan panitera untuk
mencatatnya dalam berita acara sidang
2. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan (Ps. 123 ayat (1) HIR/147 ayat (1)
RBG terkait dengan Pasal 118 HIR/142 RBG)
3. Surat Kuasa Khusus (Ps. 123 ayat (1) HIR/147 ayat (1) RBG)
a. Syarat dan formulasi Surat Kuasa Khusus
Berdasarkan SEMA No.6 tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994 bahwa syarat
kuasa yang sah adalah 1) menyebut dengan jelas dan spesifik surat kuasa,
untuk berperan di Pengadilan; 2) menyebut kompetensi relatif; 3) menyebut
identitas dan kedudukan para pihak; dan 4) menyebut secara ringkas dan
konkret pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan.
Syarat ini bersifat komulatif, tidak terpenuhinya salah satu syarat,
mengakibatkan kuasa tidak sah. Selanjutnya berdasarkan SEMA No.1
tahun 1971, PN dan PT tidak dibenarkan lagi untuk memberi kesempatan
perbaikan, karena SEMA ini telah mencabut SEMA No.5 tahun 1962 yang
memberi kemungkinan bagi PN atau PT memanggil pemberi kuasa untuk
menyempurnakan kekurangan syarat yang terjadi20
b. Bentuk formil Surat Kuasa Khusus
1) Akta Notaris yaitu surat kuasa itu dibuat dihadapan notaris yang dihadiri
pemberi dan penerima kuasa. Perlu di mengerti bahwa UU dan praktek
peradilan tidak mengharuskan surat kuasa khusus mesti berbentuk akta
otentik yang berupa akta notaris
2) Akta yang dibuat di depan Panitera yaitu dibuat dihadapan panitera
pengadilan sesuai dengan kompetensi relatif, dilegalisir oleh Ketua atau
Hakim
3) Akta di bawah tangan 21-

20
Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,h. 16
21
Ibid
11

Kuasa atau wakil dalam persidangan di pengadilan Agama22


1. Kuasa Hukum yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari
Penggugat/Tergugat atau Pemohon/Termohon di Pengadilan
a. Advokat: Adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
UU (Ps. 1 ayat (1) UU No.18 tahun 2003), adapun Klien : adalah orang, badan
hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari advokat (Ps.1 ayat (3)
serta Bantuan Hukum : adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara
Cuma-Cuma kepada klien yang tidak mampu (Ps.1 ayat (9)
b. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai
dengan pasal 30 ayat (2) UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
c. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI
d. Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum
e. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan, seperti lembaga bantuan hukum (LBH), hubungan keluarga, biro
hukum TNI/POLRI untuk perkara-perkara yang menyangkut
anggota/keluarga TNI/POLRI
2. Kuasa/wakil harus memiliki surat kuasa khusus yang diserahkan dipersidangan,
atau pada saat mengajukan gugatan/permohonan
3. Surat Kuasa Khusus harus mencantumkan secara jelas bahwa surat kuasa itu
hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu dengan subyek, obyek dan
Pengadilan tertentu
4. Dalam surat kuasa tersebut harus dengan jelas disebutkan kedudukan pihak-
pihak berperkara
5. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut disebutkan bahwa kuasa tersebut
mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa
tersebut tetap sah dan berlaku hingga pemeriksaan tingkat kasasi tanpa
diperlukan surat kuasa khusus yang baru (Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA No. 6 tahun 1994)
6. Kuasa/wakil yang ditunjuk oleh para pihak dalam persidangan cukup di catat
dalam berita acara persidangan
7. Pencabutan kuasa oleh pemberi kuasa tidak perlu persetujuan pemberi kuasa

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
RUANG LINGKUP
PERMOHONAN DAN GUGATAN
1. Permohonan

Lihat buku II h.68-69


22
12

Surat Permohonan adalah suatu permohonan yang di dalamnya berisi


tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal
yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili
dapat dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya. Terdapat
satu pihak saja yaitu Pemohon
Di Pengadilan Agama ada perkara permohonan, tetapi mengandung
sengketa sehingga di dalamnya ada dua pihak yang disebut Pemohon dan
Termohon yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan ijin
beristeri lebih dari seorang.
Beberapa hal yang berkaitan dengan permohonan yaitu:23
a. Permohonan diajukan diajukan kepada Ketua pengadilan agama ditempat
tinggal pemohon secara tertulis yang ditandatangani oleh pemohon atau
kuasanya yang sah (Ps.6 ayat (5) UU No.1 th 1974)
b. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan
permohonanya secara lisan dihadapan Ketua pengadilan agama, permohonan
tersebut di catat oleh ketua atau hakim yang ditunjuk (Ps.120 HIR/144 RBG)
c. Permohonan didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor perkara
setelah pemohon membayar verskot biaya perkara yang besarnya sudah
ditentukan oleh Pengadilan agama (Ps. 121 ayat (4) HIR/145 ayat (4) RBG)
d. Perkara permohonan harus diputus oleh hakim dalam bentuk penetapan
e. Pengadilan agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara
permohonan sepanjang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan
atau jika ada kepentingan hukum
f. Jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui pengadilan agama
adalah:
1) Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum mencapai umur
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua (Ps. 50 UU No.1 th 1974)
2) Permohonan pengangkatan wali/pengampu bagi orang dewasa yang
kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya
lagi, misalnya karena pikun (Ps.229 HIR/262 RBG)
3) Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang belum mencapai umur 19
tahun dan bagi wanita yang belum mencapai 16 th (Ps.7 ayat (2) UU
No.1 th 1974)
4) Permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berumur 21
tahun (Ps.6 ayat (5) UU No.1 th 1974)
5) Permohonan pengangkatan anak (penjelasan Ps.49 UU No.3 th 2006)
6) Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit (arbiter)
oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk
wasit (arbiter) Ps. 13 dan 14 UU No.30 th 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa)
Lihat buku II, h. 59-60
23
13

7) Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam
hal salah satu dari suami isteri melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya
(Ps.95 ayat (1) KHI)
8) Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status
sita untuk kepentingan keluarga (Ps. 95 ayat (2) KHI)
9) Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan mafqud (Ps.96
ayat (2) dan Pasal 171 KHI)
10) Permohonan penetapan ahli waris (penjelasan Ps. 49 huruf (b) UU No.3
tahun 2006)

2. Gugatan
Pengertian Surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh Penggugat
kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan
pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak24
Terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu Penggugat dan Tergugat bahkan
dalam praktek ada yang mengistilahkan Turut Penggugat/Turut Tergugat, Tergugat
berkepentingan ? ),
M. Yahya harahap berpendapat bahwa yang dimaksud dengan gugatan perdata
adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa diantara pihak yang berperkara
yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan
posisi para pihak :
 Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai
penggugat (plaintiff = planctus, the party who institutes a legal action or
claim),6
 Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian, disebut dan
berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party against whom a civil action
is brought)7
Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan perdata :
 Permasalahan hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa
(disputes, differences),
 Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara dua pihak,
 Berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang
satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain,
berkedudukan sebagai tergugat.25

3. Bentuk-bentuk Gugatan

a. Berbentuk Lisan

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h.39
24

Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
25

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,h. 47


14

Bentuk gugatan lisan, diatur dalam pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang
menegaskan : “Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu
atau menyuruh mencatatnya”.
Pada saat undang-undang (HIR) ini dibuat tahun 1941 (St. 1941, No 44),
ketentuan Pasal 120 ini benar-benar realistis, mengakomodasi kepentingan masyarakat
buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat
membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi
gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua PN, yang
oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan
selanjutnya Ketua PN menformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini
melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara,
karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua PN
untuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini
tidak relevan lagi. Bukankah kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding
masa lalu. Apalagi, perkembangan pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten,
memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan. Namun demikian,
memerhatikan luasnya Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di
pelosok pedesaan, dihubungkan dengan biaya mahalnya pengacara, ketentuan Pasal 120
HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang
akan dating.
Terlepas dari hal di atas, terdapat beberapa segi yang perlu dibicarakan
mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai
berikut.

1) Syarat Formil Gugatan Lisan


Penggugat tidak bisa membaca dan menulis. Dengan kata lain, penggugat buta
buta aksara. Dalam Pasal 120 HIR, hanya disebut buta aksara. Tidak termasauk
orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum. Juga tidak disyaratkan
orang yang tidak mampu secara financial. Tidak dimasukkan syarat kemampuan
financial sebagai syarat yang diakumulasi dengan buta aksara, membuat ketentuan
ini kurang adil. Alasannya orang yang kaya tapi buta aksara, pada dasarnya dapat
membiayai pengacara, sehingga kurang layak mendapat bantuan dari Ketua PN.

a) Cara Pengajuan Gugatan Lisan


Pengajuan gugatan dilakukan dengan
 Diajukan dengan lisan,
 Kepada Ketua PN, dan
 Menjelaskan dan menerangkan isi dan maksud gugatan.
Pengajuan atau pemasukan gugatan secara lisan, disampaikan sendiri oleh
penggugat. Tidak boleh diwakilkan oleh kuasa atau pengacara yang ditunjuknya.
Dengan menunjuk pengacara sebagai kuasa yang akan mewakili kepentingannya,
menurut hukum dianggap telah melenyapkan syarat buta aksara. Kecuali yang
ditunjuk sebagai kuasa terdiri dari keluarga yang juga buta aksara, pada diri kuasa
dianggap melekat syarat tersebut. Mengenai larangan ini, tertera juga dalam satu
Putusan MA yang menegaskan,8 orang yang diberi kuasa, tidak berhak mengajukan
gugatan secara lisan.
15

b) Fungsi Ketua PN
 Ketua PN wajib memberi layanan,
 Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN :
- Mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
- Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang
diterangkan penggugat.
Sehubungan dengan mencatat dan merumuskan gugatan sebaik mungkin, Ketua
PN perlu memerhatikan Putusan MA tentang ini yang menegaskan, 9 Adalah tugas
Hakim Pengadilan Negeri (baca Agama)untuk menyempurnakan gugatan tertulis
tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai
apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.

2.Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RGB). Menurut pasal ini,
gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang
ditandangani oleh penggugat atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini, yang
berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai
berikut.

a. Penggugat Sendiri
Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. kebolehan
penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN,
adalah karena HIR atau RBG, tidak menganut sistem Verplichte Procureur Stelling,
yang mewajibkan penggugat harus member kuasa kepada yang berpredikat
pengacar atau advokat untuk mewakilinya, sebagaimana hal ini dahulu dianut oleh
Reglement op de Rechtvordering (Rv). Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam
pasal 118 ayat (1) HIR.

b. Kuasa
Selanjutnya, Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada
kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau
menyampaikan surat gugatan kepada PN. Ketentuan ini, sejalan dengan yang
digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR yang mengatakan, baik penggugat dan
tergugat (kedua belah pihak) :
 Dapat dibantu atau diwakili oleh kuaa yang dikuasakan untuk melakukan
tindakan didepan pengadilan, dan
 Kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of attorney).
Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan surat gugatan yang
dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut.
 Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan
bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus.
 Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan
mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat atau pemberi
kuasa (lastgever, mandate).
 Apabila kuasa atau penerima kuasa (lasthebber, mandataris), membuat,
menandatangani dan mengajukan surat gugatan sebelum mendapat kuasanatau
16

lebih dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat


kuasa :
o Gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu dianggap mengandung cact
formil;
o Akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat
diterima atas alasan, gugatan ditandatangi oleh yang tidak berwenang
(unauthorized) untuk itu, karena pada saat kuasa menandatangi gugatan, dia
sendiri belum mempunyai surat kuasa.
Dari penjelasan di atas, jika yang bertindak membuat dan menandatangani
surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, ia harus lebih dahulu
mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusu dari penggugat.
Paling tidak agar penandatanganan surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat
kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat pada hari
dan tanggal yang sama.

4. Formulasi Surat Gugatan


Yang dimaksud formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat
gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian
ini akan dikemukakan berbagai ketentuan formil yang wajib terdapat dan tercantum
dalam surat gugatan. Syarat-syarat tersebut,akan ditampilkan secara berurutan
sesuai dengan sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan. Memang
benar, apa yang dikemukakan Prof. Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal
120 HIR, tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan. 10 Akan tetapi, sesuai
dengan perkembangan praktik, ada yang menuntut perkembangan formulasi
gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem
dagvaarding. Oleh karena itu, tanpa mengurangi penjelasan Soepomo tersebut,
akan diuraikan secara rinci hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat gugatan.

a. Ditujukan (Dialamatkan) kepada PN sesuai Kompetensi Relatif


Surat gugatan, secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai
dengan kompetensi relatif. Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju, sesuai
dengan patokan kompetensi relative yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila
surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif :
 Mengakibatkan gugatan cacat formil, karena gugatan disampaikan dan
dialamatkan kepada PN yang berda di luar wilayah hukum yang berwenang
untuk memeriksa dan mengadilinya;
 Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak diterima (niet onvankelijke
verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.

1) Diberi Tanggal
Ketentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus zmencantumkan
tanggal. Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta
sebagai alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 UH Perdata, tidak menyebut
pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik tolak dari ketentuan
Pasla 118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti,
pada dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai syarat formil. Oleh
karena itu, ditinjau dari segi hukum :
17

 Pencantuman tanggal, tidak imperative dan bahkan tidak merupakan syarat


formil surat gugatan;
 Dengan demikian , kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakibatkan
surat gugatan mengandung cacat formil;
 Surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, sah menurut hukum, sehingga
tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Namun demikian, sebaiknya dicantumkan guna menjamin kepastian hukum atas
pembuatan dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah
penandatangan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan
penandatanganan surat kuasa, segera dapat diselesaikan. Menghadapi surat gugatan
yang tidak mencantumkan tanggal, dapat diselesaikan berdasarkan pada tanggal
register perkara di kepaniteraan. Masalah ini perlu dipahami oleh semua pihak, baik
penggugat, tergugat, maupun pengadilan, agar dapat ditegakkan kepastian hukum
apabila timbul masalah yang berkaitan langsung dengan surat gugatan.
Jalan keluar yang paling cepat, pengadilan memerintahkan perbaikan gugatan
dengan cara mencantumkan tanggal. Hal itu dapat dilakukan panitera pada saat
surat gugatan diajukan atau oleh hakim dalam persidangan, terutama pada sidang
pertama. Perbaikan pencantuman tanggal surat gugatan, tidak bertentangan dengan
hukum. Perbaikan atau penambahan tanggal tersebut,tidak dapat dianggap dan
dikualifikasai mengubah materi gugatan.

2) Ditandatangani Penggugat atau Kuasa


Mengenai tanda tangan dengan tegas disebut sebagai syarat formil surat gugatan.
Pasal 118 ayat (1) HIR menyatakan :
 Gugatan perdata harus dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relative,
dan
 Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani
oleh penggugat atau oleh wakilnya (kuasanya)

3) Tanda Tangan Ditulis dengan Tangan Sendiri


Yang dimaksud dengan tanda tangan (handtekening, signature), pada umumnya
merupakan tanda atau inisial nama yang ditulis dengan tangan sendiri oleh
penanda tangan. Penandatanganan dapat dilakukan oleh penggugat sendiri atau
kuasanya, asal pada saat kuasa ditandatangani, lebih dahulu telah dibuat dan
diberikan surat kuasa khusus.

4) Cap Jempol Disamakan dengan Tanda Tangan Berdasarkan St. 1919-


776
Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat membubuhkan cap jempol di atas
surat gugatan sebagai pengganti tanda tangan.
Menurut St. 1919-776, cap jempol, berupa cap ibu jari tangan :
 Disamakan dengan tanda tangan (handtekening);
 Akan tetapi agar benar-benar sah sebagai tanda tangan, harus dipenuhi syarat,
cap jempol tersebut dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang (camat, hakim,
atau panitera)
Mengenai penerapan legalisasi dalam praktik, pada dasarnya dianggap sebagai
syarat imperative atas keabsahan cap jempol.namun sifat imperatifnya diperlunak
18

atau dilenturkan (fleksible). Apabila hakim menemukan cap jempol yang belum
dilegalisasi dalam surat gugatan :
 Tidak layak hakim langsung menyatakan gugatan cacat formil, atas alasan cap
jempol tidak dilegalisasi;
 Tetapi hakim menyuruh atau memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk
melegalisasinya.
Penerapan yang seperti itu bisa dilihat dalam salah satu putusan MA 11 yang
mempertimbangkan :
Cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat gugatan batal demi
hukum, tetapi cukup diperbaiki dengan jalan menyuruh penggugat untuk
melegalisir.

5) Identitas Para Pihak


Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan
gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak
menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak
ada. Tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Tidak
seperti yang disyaratkan dalam surat dakwaan perkara pidana yang diatur dalam
Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP (meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
tersangka).
Tidak seluas itu syarat yang harus disebut dalam surat gugatan.bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan, cukup
memadai sebagai dasar untuk;
 Menyampaikan panggilan, atau
 Menyampaikan pemberitahuan.
Dengan demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat
disampaikan panggilan dan pemberiatahuan, identitas yang wajib disebut, cukup
meliputi :

a) Nama Lengkap
1) Nama Terang dan Lengkap, Termasuk Gelar atau Alias (jika Ada)
Maksud mencantumkan gelar atau alias, untuk membedakan orang tersebut
dengan orang lain yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal.12
2) Kekeliruan Penyebutan Nama yang Serius
 Kekeliruan penulisan atau penyebutan nama Tergugat yang sangat serius
menyimpang dari yang semestinya, sehingga benar-benar mengubah identitas,
dianggap melanggar syarat formil yang mengakibatkan surat gugatan cacat
formil;
 Dalam hal yang seperti ini, timbul ketidakpastian mengenai orang atau pihak
yang berperkara, sehingga cukup dasar alasan untuk menyatakan gugatan
error in persona atau obscuur libel,dalam arti orang yang digugat kabur atau
tidak jelas. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak diterima.
3) Penulisan Nama Tidak Boleh Didekati secara Sempit atau Kaku (Strict Law),
tetapi harus dengan Lentur (fleksible)
 Apabila kekeliruan ini sangat kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolelir,
misalnya, salah menulis a menjadi o, kesalahan itu dikategorikan sebagai
kesalahan pengetikan (clerical error);
19

 Oleh karena itu, kesalahan dimaksud dapat diperbaiki oleh Penggugat dalam
persidangan melalui surat perbaikan atau perbaikan dilakukan dalam replik
(balasan atas jawaban tergugat). Bahkan hakim sendiri dapat memperbaiki
dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan.
4) Penulisan Nama Perseroan Harus Lengkap dan Jelas
Sama halnya dengan penulisan nama orang, penulisan korporasi atau badan
hukum (legal entity), harus lengkap dan jelas sesuai dengan nama yang
sesungguhnya berdasarkan :
 Nama yang disebut dalam anggaran dasar atau yang tercantum pada papan
nama maupun yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan;
 Biasanya, selain ditulis nama lengkap perseroan, ditulis juga nama singkatan
sebagaimana yang disebut dalam anggaran dasar atau papan nama.

b) Alamat atau Tempat Tinggal


Identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat
tinggal tergugat atau para pihak.
1) Yang Dimaksud dengan Alamat
Menurut hukum sesuai dengan tata tertib beracara, yang dimaksud dengan
alamat, meliputi :
 Alamat kediaman pokok,
 Bisa juga alamat kediaman tambahan,
 Atau tempat tinggal riil.
Pokoknya didasarkan pada asas yang bersangkutan secara nyata bertempat
tinggal.
2) Sumber Keabsahan Alamat
Terdapat beberapa sumber dokumen atau akta yang dapat dijadikan sumber
alamat yang legal :
 Bagi perorangan (physical person), dapat diambil dari KTP, NPWP (Nomor
Pokok Wajib Pajak), dan Kartu Rumah Tangga (KK);
 Bagi perseroan (legal entity), dapat diambil dari NPWP, Anggaran Dasar, Izin
Usaha atau dari Papan Nama.
Alamat yang diambil dari dokumen atau akta, sah menurut hukum. Oleh karena
itu, pencantuman alamat yang didasarkan dari sumber alamat itu, tidak dapat
diajukan bantahan.
3) Perubahan Alamat Tergugat Sesudah Gugatan Diajukan
Apabila terjadi perubahan alamat tergugat sesudah gugatan diajukan penggugat,
sehingga alamat yang disebut dalam gugatan berbeda dengan tempat tinggal riil
tergugat :
 Tidak mengakibatkan gugatan cacat formil, sehingga perubahan dan perbedaan
alamat itu, tidak memengaruhi keabsahan gugatan,
 Oleh karena itu, tergugat tidak dapat menjadikan hak itu sebagai dasar bantahan
atau ekspresi agar gugatan dinyatakan salah alamat, atau untuk dijadikan dasar
alasan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Rasio yang terkandung dalam penerapan yang dijelaskan di atas, untuk
menghindari tindakan sewenang-wenang dari tergugat. Sebab kalau perubahan
alamat sesudah gugatan diajukan dibenarkan mengakibatkan gugatan cacat formil,
perubahan itu akan dimanfaatkan tergugat yang beriktikad buruk untuk
melumpuhkan dan mempermainkan penggugat dan peradilan. Cara tergugat
20

memperolok peradilan, dengan jalan saat gugatan diajukan oleh penggugat ke PN,
buru-buru tergugat pindah tempat atau mengubah alamat. Demikian seterusnya,
sehingga jika hal itu dibenarkan mengakibatkan runtuh dan hancur kepastian
hukum. Dampak yang lebih jauh, mengakibatkan perkara tersebut tidak dapat
diselesaikan.
4) Tidak Diketahui Alamat Tempat Tinggal Tergugat
Apabila alamat tergugat tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi penggugat
untuk mengajukan gugatan. Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi
kemungkinan tersebut dalam bentuk pemanggilan umum oleh wali kota atau bupati.
Hukum dan undang-undang tidak boleh mematikan hak perdata seseorang untuk
menggugat orang lain, hanya atas alasan tidak diketahui tempat tinggal tergugat.
Penegakan hukum yang seperti itu, bertentangan dengan rasa keadilan dan
kepatutan. Sehubungan dengan itu, apabila penggugat dihadapkan dengan
permasalahan hukum yang seperti itu, dapat ditempuh cara perumusan identitas
alamat sebagai berikut :
 Mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir, dalam penulisan identitas
alamat, cukup atau dapat mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir,
dengan kata-kata : terakhir bertempat tinggal atau bertempat kediaman di…,
atau
 Dengan tegas menyebutkan, tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya.
Supaya cara ini benar-benar beralasan, pernyatan itu sebaiknya didukung oleh
surat keterangan kepala desa di tempat tergugat terakhir bertempat tinggal. Oleh
karena itu, apabila penggugat menghadapi kasus, tempat tergugat tidak diketahui,
sebaiknya diminta lebih dahulu surat keterangan kepala desa tentang hal itu.
Berdasarkan surat keterangan itu, penggugat dapat merumuskan identitas alamat
tempat tinggal yang berbunyi : alamat atau tempat tinggal tergugat tidak diketahui
berdasarkan surat keterangan kepala desa Tanggal…Nomor….
Berdasarkan surat keterangan itu, pengadilan dapat langsung menempuh proses
pemeriksaan melalui panggilan umum berdasarkan Pasal 390 ayat
(3) HIR.

c) Penyebutan Identitas Lain, Tidak Imperatif


Tidak dilarang mencantumkan identitas tergugat yang lengkap, meliputi umur,
pekerjaan, agama, jenis kelamin dan suku bangsa. 12 lebih lengkap tentunya lebih
baik dan lebih pasti. Akan tetapi, hal itu jangan diterapkan secara sempit, yang
menjadikan pencantuman identitas secara lengkap sebagai syarat formil. Penerapan
yang demikian merupakan pemerkosaan hukum bagi penggugat, karena tidak
mudah untuk mendapat identitas tergugat secara lengkap. Sangat sulit bagi
penggugat untuk mengetahui dan memperoleh data umur dan tanggal lahir. Kecuali
apabila yang digugat itu perseroan, perlu atau harus disebut kedudukan atau jabatan
orang yang bertindak mewakilinya. Biasanya yang mewakili itu direktur.
Memerhatikan kesulitan itu, tepat dan beralasan penggarisan undang-undang dan
praktik perdilan yang mencukupkan pencantuman identitas tergugat atau para pihak
sebatas penyebutan :
 Nama lengkap dengan jelas, ditambah alias (jika ada),
 Alamat tempat tinggal atau tempat kediaman pokok atau tambahan,
 Jabatan yang mewakili perseroan, apabila yang digugat atau penggugatnya
perseroan.
21

Penyebutan identitas yang demikian, sah menurut hukum, dengan ketentuan,


penyebutan identitas yang lengkap adalah lebih baik, namun tidak bersifat
imperatif.

6) Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi, berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslakg van
de lis).13 Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan,
antara lain :
 Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
 Dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian
perkara. Pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan.
Juga sekaligus memikulkan beban wajib bukti kepada penggugat untuk
membuktikan dalil gugatan sesuai yang digariskan Pasal 1865 KUHAP Perdata dan
Pasal 163 HIR, yang menegaskan, setiap orang yang mendalilkan suatu hak, atau
guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan
membuktikan hak atau peristiwa tersebut.
Mengenai perumusan fundamentum petendinatau dalil gugat, muncul dua teori14
:
1) Pertama, disebut substantierings theorie yang mengajarkan, dalil gugatan tidak
cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi
juga harusa menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang
menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
2) Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie), yang menjelaskan
peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan
jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar
tuntutan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya
hubungan hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Tentang hal itu Prof. Sudikno mengemukakan
salah satu Putusan MA yang menegaskan : perumusan kejadian materi secara
singkat sudah memenuhi syarat.14

Unsur Fundamentum Petendi


Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori di atas
digabung, tidak dipisah secara kaku dan sempit. Penggabungan kedua isi teori itu
dalam perumusan gugatan, untuk menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan
yang kabur atau obscuur libeln(gugatan yang gelap).
Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi yang dianggap lengkap
memenuhi syarat, memuat dua unsur :
1) Dasar Hukum (Rechtelijke Grond)
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara :
 Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
 Antara Penggugat dengan Tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa
2) Dasar Fakta (feitelijk Grond)
Memuat penjelasan pernyataan mengenai :
 Fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan
hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun
dengan pihak tergugat,
22

 Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau
hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
Berdasarkan penjelasan diatas, posita yang dianggap terhindar dan cacat
obscuur libel, adalah surat gugatan yang jelas sekaligus memuat penjelasan dan
penegasan dasar hukum (rechtelijke grond) yang menjadi dasar hubungan hukum
serta dasar fakta atau peristiwa (feitelijke grond) yang terjadi disekitar hubungan
hukum yang dimaksud.

7) Petitum Gugatan
Ada beberapa istilah tentang petitum yaitu petita atau petitory maupun
conclusum, tetapi dalam praktek sering digunakan kata petitum.
Petitum ini berisi pokok tuntutan penggugat, berupa diskripsi yang jelas
menyebut satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok
tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada Tergugat, adapun
bentuk Petitum ada dua yaitu:
- Bentuk Tunggal apabila deskripsi yang menyebut satu persatu pokok
tuntutan, tidak diikuti dengan susunan diskripsi petitum lain yang
bersifat alternatif atau subsidair. Perlu diingat bahwa bentuk petitum
tunggal tidak boleh hanya berbentuk compositur (ex-aequo et bono)atau
mohon keadilan. Petitum yang hanya mohon keadilan saja tidak
memenuhi syarat formil dan materiil petitum akibatnya dianggap cacat
formil sehingga harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima
- Bentuk alternatif yaitu apabila petitum primair dan subsidair sama-sama
dirinci, atau petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum subsidair
berbentuk compositur (ex-aequo et bono)atau mohon keadilan

Pencabutan Gugatan
Gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila Tergugat belum memberikan jawaban.
Jika tergugat sudah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat
persetujuan dari tergugat (hal ini tidak diatur dalam HIR atau RBG, tetapi ada dalam
pasal 271, 272 RV)

Perubahan Gugatan
1) Perubahan gugatan diperkenankan, apabila diajukan sebelum tergugat
mengajukan jawaban dan apabila sudah ada jawaban tergugat, maka perubahan
tersebut harus dengan persetujuan tergugat
2) Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum acara perdata, tidak merubah atau menyimpang dari kejadian
materiil (Ps. 127 RV)

Rekonvensi (Gugat Balik atau Gugat Balasan)


1) Gugatan rekonvensi, menurut pasal 132a HIR dapat diajukan dalam setiap
perkara kecuali
a) Penggugat dalam gugatan asal menuntut mengenai sifat, sedangkan gugatan
rekonvensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya
b) Pengadilan agama tidak berwenang memeriksa tuntutan balik itu berhubung
dengan pokok perselisihan (kompetensi absolut)
c) Dalam perkara tentang menjalankan putusan hakim
23

2) Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban selambat-


lambatnya sebelum pemeriksaan mengenai pembuktian, baik jawaban secara
tertulis maupun lisan (Ps. 132 b HIR/Ps 158 RBG)
3) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan dalam
rekonvensi, maka dalam pemeriksaan tingkat banding tidak dapat diajukan
gugatan rekonvensi (Ps. 132 a ayat (2) HIR/156 ayat (2) RBG)
4) Gugatan dalam konvensi dan rekonvensi diperiksa dan diputus dalam satu
putusan kecuali apabila menurut pendapat hakim salah satu dari gugatan dapat di
putus terlebih dahulu
5) Gugatan rekonvensi hanya boleh diterima apabila berhubungan dengan gugatan
konvensi.
6) Apabila gugatan konvensi dicabut, maka gugatan rekonvensi tidak dapat
dilanjutkan

Kumulasi Gugatan
1) Penggabungan dapat berupa kumulasi subyektif atau kumulasi obyektif.
kumulasi subyektif adalah penggabungan beberapa penggugat atau tergugat
dalam satu gugatan, sedangkan kumulasi obyektif adalah penggabungan
beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan
2) Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan diperkenankan apabila
penggabungan itu menguntungkan proses, yaitu apabila antara tuntutan yang
digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan
pemeriksaan serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan
yang saling berbeda/bertentangan.
3) Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan apabila antara
tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada
koneksitas dan hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-faktanya.
4) Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya
gugatan cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa
(gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak dapat
dikumulasikan dalam satu gugatan
5) Apabila dalam salah satu tuntutan hakim tidak berwenang memeriksa sedangkan
tuntutan lainnya hakimApabila dalam salah satu tuntutan hakim tidak berwenang
memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim berwenang, maka kedua tuntutan
itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.

Masuknya pihak ke tiga dalam proses perkara


1. Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara tidak diatur dalam HIR/ RBG
kemudian berpedoman pada ketentuan pasal 279 RV dst dan Pasal 70 RV dst, hal
ini sesuai dengan prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan hukum, baik
dalam hukum materiil maupun hukum formil, adapun jenis-jenisnya adalah
a. Voeging, adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada
penggugat dan tergugat
24

b. Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses
perkara atas alasan ada kepentingannya yang terganggu, intervensi diajukan
oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya
disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat
c. Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab(untuk
membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring
diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara
oleh tergugat secara lisan atau tertulis.
2. Adapun tatacara intervensi adalah:
a. Voeging dan Tussenkomst
1) Pihak ketiga (intervenient) yang ingin masuk dalam proses perkara yang
sedang berjalan, mengajukan surat permohonan kepada ketua pengadilan
agama dengan maksud untuk ikut dalam proses berperkara, kemudian
ketua pengadilan agama mendisposisikan surat tersebut kepada majelis
hakim yang bersangkutan
2) Majelis hakim memeriksa surat permohonan tersebut apakah
intervenient mempunyai hubungan hukum, kepentingan hukum dan
kerugian
3) Majelis hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk
menanggapi, selanjutnya menjatuhkan putusan sela baik di tolak atau
dikabulkan, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus
disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut, sehingga kedudukan para
pihak menjadi berubah dan ada dua perkara yang diperiksa bersama-
sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi
b. Vrijwaring
1) Setelah ada permohonan Vrijwaring, hakim memberi kesempatan para
pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan
putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut
2) Apabila ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang
dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi
harus bersama-sama dengan perkara pokok.
25

3) Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya


permohonan banding dari intervinient tidak dapat diteruskan dan yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri.
4) Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan
putusan sela, dicatat dalam berita acara dan selanjutnya pemeriksaan
perkara diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi ke dalam
pokok perkara.
Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Perma Nomor 1 tahun 2002
1. Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tatacara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
dirinya sendiri atau untuk dirinya dan kelompok yang diwakilinya.
2. Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam perkara wakaf, zakat, infak dan
shadaqah
3. Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam hal:
a. Jumlah anggota kelompok semakin banyak sehingga tidaklah efektif dan
efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-
sama dalam satu gugatan.
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang
digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan
diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
c. Wakil kelompok mempunyai kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya
4. Surat gugatan kelompok mengacu pada persyaratan-persyaratan yang diatur oleh
hukum acara perdata dan harus memuat
a. Identitas lengkap dan jelas dari wakil kelompok
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik walaupun tanpa menyebutkan
nama anggota kelompok satu persatu
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan
kewajiban melakukan pemberitahuan
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota
kelompok yang teridentifikasi maupun tidak, yang dikemukakan secara jelas
dan terinci
26

e. Gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau


sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang
berbeda
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan
rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tatacara pendistribusian ganti
kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang
pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian
ganti kerugian
5. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak
dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4
PERMA)
6. Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib memeriksa dan
mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok dan memberikan
nasehat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan perwakilan kelompok,
selanjutnya hakim memberikan penetapan mengenai sah tidaknya gugatan
perwakilan kelompok tersebut;--
7. Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah,
maka hakim segera memerintahkan Penggugat mengajukan usulan model
pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
8. Apabila penggunaan tatacara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak
sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.
9. Dalam proses perkara tersebut, hakim wajib mendorong para pihak untuk
menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal
persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
10. Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media
cetak dan /atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan,
kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota
kelompok yang bersangkutan sepanjang dapat diidentifikasi berdasarkan
persetujuan hakim.
11. Pemberitahuan kepada anggota kelompok wajib dilakukan pada tahab-tahab:
27

a. Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tatacara gugatan


perwakilan kelompok dinyatakan sah, dan selanjutnya anggota kelompok
dapat membuat pernyataan keluar
b. Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan
dikabulkan
12. Pemberitahuan memuat:
a. Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil
kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat
b. Penjelasan singkat tentang kasus
c. Penjelasan tentang pendefinisian kelompok
d. Penjelasan dan implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok
e. Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam
definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok
f. Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan
pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan
g. Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyatan
keluar.
h. Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa yang tepat yang
tersedia bagi penyediaan informasi tambahan
i. Formulir isian tentang pernyatan keluar anggota kelompok sebagaimana
diatur dalam lampiran peraturan Mahkamah Agung
j. Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akandiajukan
13. Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan
hakim, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim
diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan
mengisi formulir yang diatur dalam lampiran peraturan MA (PERMA)
14. Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan
kelompok secara hukum tidak terkait dengan putusan atas gugatan perwakilan
kelompok yang dimaksud
15. Dalam gugatan perwakilan kelompok, apabila gugatan ganti rugi dikabulkan,
hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok
dan /atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan
28

langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses


penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan
pemberitahuan atau notifikasi (psl 9 perma)
Gugatan untuk kepentingan umum
1. Organisasi kemasyarakatan/ lembaga swadaya masyarakat dapat mengajukan
gugatan untuk kepentingan masyarakat, dalam perkara wakaf, zakat, infaq dan
shadaqah
2. Organisasi kemasyarakatan/ lembaga swadaya masyarakat yang mengajukan
gugatan untuk kepentingan umum harus memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam Undang-Undang

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
MEDIASI DAN RUANG LINGKUPNYA

Mediasi diatur dalam pasal 130 HIR/154 RBG, kemudian dalam PERMA No.1 tahun
2008, khusus perceraian diatur pula dalam pasal 82 UU No.7 tahun 1989 jo UU No.3
tahun 2006 jo UU No.50 th 2009
Tatacara mediasi
1. Dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak hadir di persidangan,
hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak
2. Apabila kedua belah pihak berada di luar negeri, maka penggugat pada sidang
perdamaian harus menghadap secara pribadi dalam bidang perceraian (Ps. 82
ayat (3) UU No.7 th 1989 buku II angka 3 h.83)
3. Dalam mengupayakan perdamaian harus mempedomani PERMA No.1 th 2008,
yang mewajibkan agar semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk dilakukan perdamaian dengan bantuan mediator
4. Perkara yang tidak wajib mediasi adalah perkara volunter dan perkara yang
menyangkut legalitas hukum, seperti itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan
wasiat serta perkara yang salah satu pihaknya tidak hadir dipersidangan.
5. Jika terjadi perdamaian dalam perkara pemeriksaan verzet atas putusan verstek
dalam perkara perceraian, maka majelis hakim membatalkan putusan verstek.
Amarnya: 1. menyatakan pelawan/tergugat adalah pelawan yang benar
29

2. membatalkan putusan verstek nomor:...tanggal...


3. Menyatakan gugatan penggugat/terlawan tidak dapat diterima
4. Membebankan biaya perkara kepada ...sejumlah...
6. Jika terjadi perdamaian dalam perkara pemeriksaan verzet atas putusan verstek
dalam perkara selain perceraian, maka majelis hakim membatalkan putusan
verstek dengan amar:
- Menyatakan pelawan/tergugat adalah pelawan yang benar
- Membatalkan putusan verstek nomor:...tanggal...
- Menghukum kedua belah pihak untuk mentaati perdamaian
- Membebankan biaya perkara kepada ...sejumlah...
7. Pada sidang pertama hakim yang memeriksa perkara wajib:
a. Menjelaskan kewajiban para pihak untuk menempuh mediasi
b. Menyarankan para pihak untuk memilih mediator yang tersedia dalam daftar
mediator
c. Membuat penetapan mediator yang dipilih oleh para pihak
d. Jika para pihak gagal memilih mediator, majelis menunjuk mediator dari
salah satu hakim yang bersertifikat, jika tidak ada hakim yang bersertifikat,
ketua majelis menunjuk anggota majelis yang memeriksa perkara
e. Setelah penunjukan mediator, majelis menunda persidangan untuk
memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh mediasi
f. Terhadap perkara perceraian yang dikumulasikan dengan perkara lainnya
dan ternyata mediasi perceraiannya gagal, maka mediasi di lanjutkan
terhadap perkara assesoirnya (hadlanah, harta bersama dll). Jika mediasi
terhadap perkara assesoirnya ternyata berhasil, dan dalam proses litigasi
ternyata majelis hakim berhasil pula mendamaikan perkara perceraiannya,
maka kesepakatan para pihak tentang perkara assesoir tersebut tidak berlaku
g. Para pihak menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan laporan mediasi yang berhasil
h. Mediator wajib memberitahukan secara tertulis kepada hakim pada hari
persidangan yang telah ditentukan bahwa mediasi gagal, selanjutnya
pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan.
30

8. Akta/putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan


hakim yang berkekuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, dapat
dimintakan eksekusi kepada ketua pengadilan agama yang bersangkutan.
9. Akta/putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi
dan peninjauan kembali
10. Jika tergugat lebih dari satu, dan yang hadir hanya sebagian, mediasi tetap dapat
dijalankan dengan memanggil lagi tergugat yang tidak hadir secara patut dengan
bantuan ketua majelis, dan jika tergugat yang bersangkutan juga tetap tidak
hadir, mediasi berjalan hanya antara penggugat dengan tergugat yang hadir, jika
antara penggugat dengan tergugat yang hadir tercapai kesepakatan perdamaian,
penggugat mengubah gugatannya dengan cara mencabut gugatan terhadap
tergugat yang tidak hadir.
11. Jika para pihak/ salah satu pihak menolak untuk mediasi setelah diperintahkan
oleh pengadilan, maka penolakan para pihak/ salah satu pihak untuk mediasi
dicatat dalam berita acara sidang dan putusan
12. Jika terjadi perdamaian ditingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali, maka
dalam kesepakatan perdamain dicantumkan klausula bahwa kedua belah pihak
mengesampingkan putusan yang telah ada (Ps.21 dan 22 PERMA No.1 th 2008)
Penggugat/Tergugat Meninggal Dunia
1. Jika penggugat setelah mengajukan gugatan meninggal dunia, maka ahli
warisnya dapat melanjutkan perkara
2. Jika dalam proses pemeriksaan perkara tergugat meninggal dunia, maka ahli
warisnya dapat melanjutkan perkara
3. Dalam perkara perkara perceraian jika salah satu pihak suami/isteri meninggal
dunia, maka gugatan perceraian digugurkan (Ps.25 PP No.9 th 1975)
Pengunduran sidang
1. Jika perkara tidak dapat diselesaikan pada sidang pertama, pemeriksaan
diundurkan sampai sidang berikutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama
2. Pengunduran sidang harus diumumkan di dalam persidangan dan bagi pihak
yang hadir pemberitahuan pengunduran sidang berlaku sebagai panggilan,
sedangkan bagi pihak yang tidak hadir harus dipanggil lagi (ps.159 HIR/186
RBG)
31

Replik dan Duplik


Tangkisan/ Eksepsi
1. Tangkisan mengenai pokok perkara atau eksepsi absolut tidak harus diajukan
pada permulaan sidang, tapi dapat diajukan selama proses pemeriksaan perkara
dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara, bahkan eksepsi menyangkut
pokok perkara yang belum diajukan dipengadilan tingkat pertama dapat diajukan
pada tingkat banding, terlebih dahulu diputus sela (ps. 136 HIR/162 RBG)
2. Tangkisan/eksepsi tergugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara atau
eksepsi relatif
3. Tangkisan/eksepsi yang diajukan oleh tergugat, diperiksa dan diputus bersama-
sama dengan pokok perkara, kecuali jika eksepsi itu mengenai tidak
berwenangnya pengadilan agama untuk memeriksa perkara tersebut, maka harus
di putus dengan putusan sela
4. Apabila eksepsi yang diajukan tidak mengenai kewenangan, maka diputus
bersama-sama dengan pokok perkara, dan dalam pertimbangan hukum maupun
dalam diktum putusan tetap disebutkan
---Dalam eksepsi.......... (pertimbangan lengkap)
---Dalam pokok perkara...........( pertimbangan lengkap)
Pengunduran diri Hakim
1. Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota,
jaksa, advokat, atau panitera, atau dengan pihak yang diadili (ps. 17 ayat (3) dan
(4) UU No.48 th 2009)
2. Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai
kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang
diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara (ps. 17 ayat (5) UU No.48 th 2009) “ kepentingan langsung atau
tidak langsung “ menurut penjelasan pasal ini adalah termasuk apabila hakim
atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara
tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan
sebelumnya
32

3. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut diatas, putusan
dinyatakan tidak sah
4. Untuk perkara verzet terhadap verstek tidak termasuk dalam pengertian tersebut
dalam ps. 17 ayat (5) UU No.48 th 2009

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PEMBUKTIAN DAN RUANG LINGKUPNYA
1. Jika dalil penggugat dibantah oleh tergugat, maka penggugat wajib
membuktikan, sedang tergugat tidak wajib membuktikan dalil bantahannya
(Ps.163 HIR/283 RBG)
2. Sesuai dengan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG, ada 5 macam alat bukti yaitu:
a. Bukti surat
b. Bukti saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Bukti Surat
Ada 3 macam yaitu:
a. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk
itu oleh penguasa, menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan
maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik
ini merupakan bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
serta mereka yang mendapat hak dari padanya tentang segala hal yang tercantum
di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai
pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta (ps.165
HIR/285 RBG/1868 KUH Perdata/BW
a) Syarat formil akta otentik:
(1) Bersifat partai, yaitu dibuat atas kehendak dan kesepakatan sekurang-
kurangnya dua pihak, tapi ada juga yang bersifat sepihak, seperti Akta
Nikah, KTP, IMB, Surat izin usaha, dsb
33

(2) Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu,
antara lain Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Hakim, Panitera dsb
(3) Memuat tanggal, hari, dan tahun pembuatan
(4) Ditandatangani oleh pejabat yang membuat
b) Syarat materiil Akta otentik
(1) Isi yang tertuang dalam akta otentik berubungan langsung dengan apa
yang disengketakan di pengadilan
(2) Isi akta otentik tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama,
dan ketertiban hukum
(3) Pembuatannya sengaja dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti
c) Kekuatan pembuktian akta otentik
(1) akta otentik mempunyai nilai pembuktian sempurna dan mengikat
(2) akta otentik dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lawan, nilai
pembuktiannya jatuh menjadi alat bukti permulaan
(3) agar dapat mencapai batas minimal pembuktian, harus ditambah
dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain
1) Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang ditanda tangani di bawah tangan
dan dibuat tidak dengan perantaraan pejabat umum
a) Syarat formil akta di bawah tangan
(1) Bersifat partai, maksudnya apa yang tersebut didalamnya merupakan
kesepakatan kedua belah pihak
(2) Dibuat tidak dihadapan pejabat atau tidak ada campur tangan pejabat
atas pembuatnya
(3) Harus bermeterai
(4) Ditandatangani oleh kedua belah pihak, jika menggunakan cap jempol
harus disahkan oleh pejabat atau notaris
b) Syarat materiil akta di bawah tangan
(1) Isi akta di bawah tangan berkaitan langsung dengan apa yang
diperkarakan.
(2) Isi akta di bawah tangan tidak bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama, dan ketertiban hukum
(3) Sengaja dibuat untuk alat bukti
34

d) Batas minimal pembuktian akta di bawah tangan


(1) Apabila diakui isi dan tanda tangan, maka nilainya disamakan dengan
akta otentik
(2) Apabila tidak diakui isi dan tanda tangannya, maka jatuh nilai
pembuktiannya menjadi alat bukti permulaan (begin van bewijs)
(3) Untuk mencapai batas minimal pembuktian, harus ditambah dan
didukung oleh sekurang-kurangnya satu alat bukti lain
2) Akta sepihak adalah akta yang bentuknya berupa surat pengakuan yang berisi
pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa ia akan
membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan
melakukan sesuatu kepada seseorang tertentu (Ps. 1878 BW/291 RBG)
a) Syarat formil akta sepihak
(1) Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang membuat atau yang
menandatanganinya
(2) Atau sekurang-kurangnya penandatanganan menulis sendiri dengan
huruf (bukan dengan angka) tentang jumlah atau tentang sesuatu yang
akan diberikan, diserahkan atau dilakukannya
(3) Diberi tanggal dan ditandatangani oleh pembuat
b) Syarat materiil akta sepihak
(1) Isi akta sepihak berkaitan langsung dengan pokok perkara yang
disengketakan.
(2) Isi akta sepihak tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama,
dan ketertiban hukum
(3) Sengaja dibuat untuk alat bukti
c) Batas minimal pembuktian akta sepihak
(1) Apabila diakui isi dan tanda tangan, maka nilainya disamakan dengan
akta otentik yaitu sempurna dan mengikat, dalam hal ini dia bisa
berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti yang lain
(2) Jika akta sepihak, tanda tangan dan tulisan dimungkiri atau disangkal
oleh pihak lawan, maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan
bukti permulaan, jika dijadikan alat bukti maka harus ditambah alat
35

bukti lain, untuk mencapai batas minimal pembuktian, jika dijadikan


alat bukti maka harus ditambah alat bukti lain.
d) Nilai kekuatan pembuktiannya
Bila isi dan tandatangan diakui maka sama nilai kekuatan pembuktiannya
dengan akta otentik, yaitu kekuatan pembuktianya bersifat sempurna dan
mengikat . bila isi dan tanda tangannya diingkari maka jatuh menjadi alat
bukti permulaan sehingga tidak bisa berdiri sendiri, harus ditambah
dengan salah satu alat bukti yang lain untuk mencapai batas minimal
pembuktian. dalam hal ini nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bebas.
b. Bukti saksi
1) Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara
lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang
dipanggil ke persidangan
2) Dalam menimbang kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian
kesaksian saksi yang satu dengan lainnya, alasan atau sebab mengapa saksi-
saksi memberikan keterangan tersebut, cara hidup, adat dan martabat saksi
dan segala ikhwal yang dapat mempengaruhi saksi sehingga saksi itu dapat
dipercaya atau kurang dipercayai (psl. 172 HIR/309 RBG)
3) Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah sebagai berikut:
a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus
dari salah satu pihak
b) Suami atau isteri salah satu pihak meskipun telah bercerai
c) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka
sudah berumur lima belas tahun
d) Orang tua walaupun kadang-kadang ingatannya terang (ps.145 HIR/172
Rbg)
4) Keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi
karena keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hukum sipil dan
pada orang yang berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
36

5) Anak-anak atau orang-orang tua yang kadang-kadang terang ingatannya


dapat mendengar di luar sumaph, akan tetapi keterangan mereka hanya
dipakai selaku penjelasan saja (Ps.145 HIR/172 RGB)
6) Yang dapat mengundurkan diri untuk memberi kesaksian adalah
a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar
perempuan dari salah satu pihak
b) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki
atau perempuan dari suami atau istri salah satu pihak
c) Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya
yang sah diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi hanya semata-mata
mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabatnya,
pekerjaannya atau jabatannya itu (Ps.146 ayat (1) HIR/174 Rbg)
7) Testimonium de auditu adalah keterangan yang diperoleh saksi dari orang
lain, tidak didengar atau dialami sendiri, kesaksian de auditu dapat
dipergunakan sebagai sumber persangkaan
8) Unus testis nullus testis (satu saksi buka saksi) adalah keterangan seorang
saksi tanpa adanya bukti lain, untuk dapat dijadikan alat bukti minimal,
harus didukung dengan bukti lain
- Syarat formil alat bukti saksi
(a) Memberi keterangan didepan sidang pengadilan
(b) Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi (ps.145
HIR/172 Rbg)
(c) Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri menyatakan
kesediaannya untuk diperiksa sebagai saksi
(d) Mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya
- Syarat materiil alat bukti saksi
(1) Keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami,
didengar, dan dilihat sendiri oleh saksi
(2) Keterangan yang diberikan harus mempunyai sumber pengetahuan
yang jelas (Ps.171 HIR/368 (1) Rbg). Pendapat atau persangkaan
saksi yang disusun berdasarkan akal pikiran atau perasaan tidak
bernilai sebagai alat bukti yang sah (Ps. 171 (2) HIR/368 (2) Rbg)
37

(3) Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu
dengan yang lain atau alat bukti yang sah(Ps.171 HIR/309 Rbg)
- Nilai kekuatan pembuktian saksi
(1) Apabila alat bukti saksi yang diajukan telah memenuhi syarat formil
dan materiil dan jumlahnya telah mencapai batas minimal
pembuktian, maka nilai kekuatan pembuktian yang terkandung di
dalamnya bersifat bebas (vrij bewijs kracht), maksudnya hakim bebas
untuk menilai
(2) Jika saksi hanya seorang dan tidak dapat ditambah dengan alat bukti
lain, maka nilai kekuatan pembuktianya bersifat bukti permulaan.
c. Persangkaan
1. Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik
dari suatu peristiwa yang diketahui umum kearah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum (Ps.1915 BW)
2. Persangkaan ada 2 (dua) yaitu: a. Persangkaan berdasarkan undang-undang;
b. Persangkaan bukan berdasarkan undang-undang
3. Persangkaan berdasarkan undang-undang ialah persangkaan yang
berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan
perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu (Ps.1916 BW)
4. Persangkaan bukan berdasarkan undang-undang adalah Persangkaan bukan
berdasarkan undang-undang tertentu, hanya saja harus diperhatikan oleh
hakim waktu menjatuhkan putusan, jika persangkaan itu penting, seksama,
tertentu dan satu sama lain bersesuaian (Ps.173 HIR/310 Rbg)
5. Persangkaan berdasarkan undang-undang sebagai alat bukti mempunyai
kekuatan pembuktian pasti
6. Persangkaan bukan berdasarkan undang-undang sebagai alat bukti
mempunyai kekuatan pembuktian bebas
7. Seiring dengan perkembangan teknologi, fax, email, sms, fotocopy, rekaman
dan sebagainya, dapat diterima sebagai alat bukti persangkaan
d. Pengakuan
38

1. Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam satu
perkara dimana ia membenarkan apa-apa yang dikemukakan oleh pihak
lawan (Ps.174 HIR/311 Rbg/1923-1928 BW)
2. Pengakuan dihadapan hakim, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan
perantaraan kuasanya, menjadi bukti yang cukup dan mutlak(Ps.174
HIR/311 Rbg)
3. Pengakuan yang diberikan diluar sidang, diserahkan kepada pertimbangan
hakim ((Ps.175 HIR/311 Rbg)
4. Pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan yaitu tiap-tiap pengakuan harus
diterima seluruhnya, hakim tidak berwenang untuk menerima sebagian dan
menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku, kecuali
jika seorang debitur dengan maksud melepaskan dirinya menyebutkan hal
yang terbukti tidak benar ((Ps.176 HIR/311 Rbg)
5. Pengakuan sebagai alat bukti dibagi 3 (tiga) yaitu:
a) Pengakuan murni yakni pengakuan yang sesungguhnya terhadap semua
dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Misalnya penggugat
menuntut tergugat untuk membayar hutang sebanyak satu juta, tergugat
mengakui bahwa ia berhutang kepada penggugat satu juta. Dalam hal ini
tidak ada alasan bagi hakim untuk memisah-misah pengakuan tersebut
karena tidak ada yang perlu dipisahkan
b) Pengakuan berkualifikasi yaitu pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan penggugat. Misalnya
penggugat menyatakan bahwa tergugat berhutang sebesar lima juta
rupiah, dalam hal ini tergugat mengaku telah berhutang kepada
penggugat, akan tetapi bukan lima juta melainkan tiga juta
c) Pengakuan berklausula yaitu suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Misalnya penggugat
menyatakan bahwa tergugat telah berhutang sejumlah lima juta rupiah,
tergugat mengakui bahwa ia telah berhutang lima juta rupiah, tetapi
tergugat menyatakan bahwa hutang telah dibayar lunas, jadi pengakuan
disini adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan penyangkalan.
39

6. Penerapan asas onsplitbaaraveau: adalah pengakuan bersyarat tidak boleh


dipecah atau dipisah-pisahkan dengan cara menerima sebagian dan menolak
sebagian. Dalam penerapannya pengakuan bersyarat harus diterima secara
keseluruhan. Rasio dari larangan memecah pengakuan bersyarat adalah
untuk menghindari cara-cara penerapan yang menimbulkan kerugian secara
tidak adil dan wajar bagi salah satu pihak.
7. Pengakuan dapat dicabut atau ditarik kembali hanya dimungkinkan dalam
hal adanya kekeliruhan terhadap suatu peristiwa dan dapat dicabut kembali
asal pencabutan diganti dengan keterangan yang dapat dibuktikan
kebenarannya dengan dalil baru.
8. Syarat formal alat bukti pengakuan:
a. Disampaikan di muka persidangan
b. Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara atau kuasanya dalam
bentuk lisan atau tertulis
9. Syarat formal alat bukti pengakuan:
a. Pengakuan yang diberikan berubungan langsung dengan pokok perkara
b. Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang
c. Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral, dan
ketertiban umum.
10. Batas minimal pembuktian pengakuan:
a. Pengakuan murni, mengandung nilai pembuktian yang sempurna
(volleleg), mengikat (bindend), menentukan atau memaksa (beslisend,
dwingend). Oleh karena itu alat bukti pengakuan murni dan bulat dapat
berdiri sendiri sebagai alat bukti, tidak memerlukan tambahan atau
dukungan dari alat bukti yang lain. Dengan demikian pada diri alat bukti
pengakuan murni dan bulat sudah mencapai batasan minimal
pembuktian.
b. Batas minimal pembuktian pengakuan bersyarat; tidak mempunyai nilai
yang sempurna, mengikat dan menentukan. Oleh karena itu tidak dapat
berdiri sendiri, harus dibantu sekurang-kurangnya salah satu alat bukti
yang lain. Nilai kekuatan pembuktiannya hanya bersifat bukti
permulaan , tidak dapat berdiri sendiri, harus ditambah sekurang-
40

kurangnya salah satu alat bukti yang lain, maka dalam hal ini nilai
kekuatan pembuktiannya bersifat bebas.
e. Sumpah
1. Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
kemahakuasaan Allah yang percaya bahwa siapa yang memberikan
keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya (Ps.182-185
dan 314 HIR, 155-158 dan 177 Rbg serta 1929-1945 BW)
2. Apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk
meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah (Ps.177 HIR/314 Rbg)
3. Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan salah satu pihak yang
berperkara untuk mengangkat sumpah tambahan, supaya dengan sumpah itu
perkara dapat diputuskan (Ps. 155 HIR/182 Rbg)
4. Apabila hakim akan menambah bukti baru dengan sumpah penambah, harus
dibuat dengan putusan sela, dengan pertimbangan yang memuat alasannya.
a. Syarat formil sumpah penambah/pelengkap:
1) Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian
yang sudah ada tetapi belum mencapai batas minimal pembuktian
2) Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan
3) Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat
bukti dengan alat bukti lain
4) Sumpah dibebankan atas perintah hakim dan diucapkan didepan
sidang secara langsung oleh yang bersangkutan atau oleh kuasanya
dengan surat kuasa istimewa
5) Apabila sumpah tersebut diucapkan oleh kuasanya, maka di dalam
surat kuasa istimewa harus memuat lafal sumpah
b. Syarat materiil sumpah penambah/pelengkap:
1) Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri
oleh pihak yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah tersebut
2) Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak
bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban
umum
41

5. Sumpah pemutus atau sering juga disebut sumpah yang menentukan diatur
dalam pasal 156 HIR/183 Rbg/1930 BW. Dalam pasal-pasal ini
dikemukakan bahwa jika sesuatu keterangan tidak untuk menguatkan
gugatan atau jawaban atas gugatan, maka salah satu pihak dapat meminta
supaya pihak lawan bersumpah di muka hakim. Pembebanan sumpah
pemutus ini dapat dilakukan selama pemeriksaan perkara sedang berjalan
dan sumpah pemutus ini harus mengenai suatu perbuatan yang dilakukan
sendiri oleh pihak yang disuruh bersumpah. Apabila perbuatan itu suatu
tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan pihak yang disuruh
bersumpah tidak bersedia melakukan sumpah itu, maka ia boleh
mengembalikan sumpah itu kepada lawannya, atau jika lawannya tidak
bersedia melakukan sumpah yang dikembalikan kepadanya itu, maka
perkaranya akan dikalahkan. Pengangkatan sumpah harus dilakukan didepan
pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah dan dihadiri oleh pihak lawan atau
setelah pihak lawan itu dipanggil dengan patut (Ps. 158 (1) HIR/185 ayat (1)
Rbg)
6. Syarat formil sumpah pemutus
a. Sumpah pemutus dapat dimintakan oleh salah satu pihak berperkara
apabila tidak ada bukti sama sekali
b. Pembebanan sumpah pemutus harus atas permintaan salah satu pihak
yang berperkara
c. Apabila lafal dalam sumpah mengenai perbuatan sepihak yang dilakukan
oleh pihak yang diminta untuk bersumpah, sumpah tersebut tidak dapat
dikembalikan kepada pihak lawan
d. Apabila yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan yang
dilakukan kedua belah pihak, pihak yang diminta bersumpah dapat
mengembalikan kepada pihak lawannya.
e. Apabila pihak lawan mengembalikan sumpah, maka pihak lain tidak
boleh mengembalikan lagi sumpah yang dimintakan
f. Sumpah pemutus diucapkan di muka persidangan oleh yang
bersangkutan langsung atau oleh kuasanya dengan surat kuasa istimewa
7. Syarat materiil sumpah pemutus
42

a. Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau
yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak yang berperkara
b. Isi sumpah harus mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara
yang disengketakan
8. Batas minimal pembuktiannya baik sumpah tambahan maupun sumpah yang
menentukan, terkandung nilai pembuktian yang bersifat sempurna,
mengikat, menentukan atau memaksa. Oleh karena itu mutlak dapat berdiri
sendiri tanpa bantuan alat bukti yang lain.
9. Cara penerapanya:
a. Sumpah tambahan harus dengan putusan sela, ada bukti permulaan,
berfungsi menyelesaikan perkara, sumpah tidak dapat dikembalikan
kepada pihak lawan, dan tidak ada bukti lain.
b. Sumpah pemutus harus dengan putusan sela, tidak ada bukti sama sekali,
diminta salah satu pihak berperkara, harus litis decisoir, apabila hal yang
akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan sepihak yang
dilakukan oleh pihak yang diminta untuk bersumpah, maka sumpah
tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan
c. Apabila yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan yang
dilakukan kedua belah pihak, maka pihak yang diminta bersumpah dapat
mengembalikannya kepada pihak lawan
d. Pembuktian sumpah pemutus dan sumpah penambah mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang sama yakni nilai kekuatan pembuktiannya
bersifat sempurna, mengikat, menentukan atau memaksa.
e. Sumpah pemutus dan sumpah penambah hanya dapat dilumpuhkan
dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum yang tetap atas
dasar sumpah yang dilakukan palsu
f. Sumpah pemutus mempunyai sifat dan daya litis decissoir yaitu
1) Dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara
2) Diikuti dengan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang
diucapkan
43

3) Undang-undang melekatkan pada sumpah pemutus tersebut nilai


kekuatan pembuktian sempurna, mengikat dan menentukan (ps. 156
HIR/183 Rbg/1932 KUHPerdata)
g. Sumpah pemutus maupun sumpah penambah hanya dapat dilakukan
apabila pihak lawan telah dipanggil dengan patut (Ps.158 ayat (2)
HIR/185 ayat (3) Rbg)
h. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diucapkan untuk menetapkan
jumlah ganti rugi atau harga barang yang akan dikabulkan (Ps.155
HIR/182 Rbg/1940 KUHPerdata)
i. Sumpah li’an adalah sumpah yang diperintahkan hakim kepada salah
satu pihak dalam perkara permohonan atau gugatan cerai dengan alasan
salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat
tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon dan tergugat
menyanggah alasan tersebut (Ps. 126 KHI)
w. Pemeriksaan Setempat
1) Untuk perkara-perkara mengenai tanah, hakim wajib memperhatikan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2001 tentang Pemeriksaan
Setempat, yaitu agar Majelis Hakim melakukan pemeriksaan setempat atas
obyek perkara, terutama tentang letak, luas dan batas tanah untuk mendapatkan
penjelasan/keterangan secara terperinci atas obyek perkara agar menjadikan
pertimbangan hakim dalam memutus perkara
2) Apabila tanah terletak di wilayah pengadilan agama lain, pengadilan agama
meminta bantuan pemeriksaan setempat kepada ketua pengadilan agama tempat
tanah sengketa berada dan berita acaranya dikirim kepada pengadilan agama
yang meminta
3) Biaya pemeriksaan setempat dibebankan kepada pemohon pemeriksaan
setempat dan dimasukkan sebagai persekot biaya perkara, yang kemudian hari
akan diperhitungkan dengan biaya perkara
4) Jika hakim memandang perlu pemeriksaan setempat, maka hakim dapat
memerintahkan pemeriksaan setempat dan biaya pemeriksaan setempat tersebut
secara tanggung renteng (Ps. 160 HIR/Ps. 187 Rbg)
44

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PENYITAAN DAN RUANG LINGKUPNYA

MOV02233.AVI

A. Pengertian
penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah tetapi
istilah bakunya ialah sita atau penyitaan, adapun pengertian yang terkandung
didalamnya adalah:
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam
keadaan penjagaan
2. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim
45

3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang


disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat, dengan jalan
menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut
4. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses
pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan tersebut.26
B. Tujuan penyitaan : agar gugatan tidak illusoir dan obyek eksekusi sudah pasti 27
C. Macam-macam Sita
1. Sita Jaminan28
a. Sita jaminan dilakukan atas perintah hakim/ketua majelis atas permintaan
pemohon sita sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung
b. Ada dua macam sita jaminan yaitu (1) sita jaminan terhadap milik tergugat
(conservatoir beslaag) yaitu menyita barang bergerak dan tidak bergerak milik
tergugat untuk menjamin agar putusan tidak illusoir (hampa); (2) sita jaminan
terhadap barang bergerak milik penggugat (revindicatoir beslaag) yaitu
menyita barang bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat (Ps. 226
dan 227 HIR/260 dan 261 Rbg).
c. Apabila permohonan sita diajukan bersama-sama dalam surat gugatan, maka
majelis hakim mempelajari gugatan tersebut dengan seksama apakah
permohonan sita yang diajukan itu beralasan atau tidak, sudah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku atau tidak, dan apakah ada hubungan hukum
dengan perkara yang sedang diajukan oleh penggugat kepada pengadilan
d. Apabila ketentuan tersebut telah terpenuhi, maka majelis hakim yang memeriksa
perkara tersebut dapat menempuh salah satu dari 3 (tiga) alternatif sebagai
berikut:
1) Secara langsung mengeluarkan penetapan yang berisi mengabulkan
permohonan sita tersebut tanpa dilaksanakan sidang insidentil lebih dahulu,
perintah sita ini disertai dengan penetapan hari sidang dan memerintahkan

26
M. Yahya Harahap Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,h. 282
27
Ibid h. 285-286
28
Buku II, 2010
46

para pihak yang berpekara untuk menghadap sidang sebagaimana yang telah
ditentukan; atau
2) Apabila permintaan sita itu tidak beralasan, maka majelis hakim membuat
penetapan hari sidang sekaligus berisi penolakan permohonan sita.
Ketentuan ini juga tidak perlu diadakan sidang insidentil; atau
3) Majelis membuat penetapan hari sidang sekaligus berisi penangguhan
permohonan sita. Terhadap ketentuan ini diperlukan sidang insidentil lebih
dahulu dan harus dibuat putusan sela.
e. Apabila permohonan sita diajukan secara terpisah dari pokok perkara, maka ada
dua kemungkinan yang terjadi yaitu:
1) Diajukan tertulis yang terpisah dari surat gugat, biasanya dalam pemeriksaan
persidangan pengadilan atau selama putusan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap
2) Diajukan secara lisan dalam persidangan pengadilan.
3) Apabila permohonan sita diajukan dalam bentuk tertulis pada saat
berlangsungnya pemeriksaan perkara, maka Majelis Hakim menunda
persidangan dan memerintahkan penggugat untuk mendaftarkan permohonan
sita di kepaniteraan (meja I)
4) Apabila permohonan sita diajukan dalam bentuk lisan, Majelis hakim
membuat catatan permohonan sita tersebut dan memerintahkan panitera
untuk mencatatnya dalam berita acara sidang, setelah itu sidang ditunda dan
memerintahkan penggugat mendaftarkan permohonan sita tersebut di
kepaniteraan (meja satu). Terhadap hal ini diadakan sidang insidentil untuk
menetapkan peninjauan kembali sita dan dibuat putusan sela.
f. Penyitaan dilaksanakan oleh panitera pengadilan agama/ jurusita dengan dua
orang pegawai pengadilan sebagai saksi
g. Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan ketua pengadilan/majelis wajib
terlebih dahulu mendengar pihak tergugat.
h. Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, hakim wajib memperhatikan:
a) Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal
sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang
ada ditangan Tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih
47

dahulu mendengar keterangan pihak tergugat (Ps. 227 ayat (2) HIR/Ps. 261
ayat (2) RBg
b) Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka
berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan pasal (Ps. 227 (3),
198, 199 HIR/Ps. 261, 213, 214 RBg
c) Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar/bersertifikat, penyitaan harus
didaftarkan di badan pertanahan nasional . dan dalam hal tanah yang disita
belum terdaftar/bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan dikelurahan
d) Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita
dengan sita revindicatoir, harus tetap dipegang /dikuasai oleh tersita. Barang
yang disita tidak dapat dititipkan kepada lurah atau kepada penggugat atau
membawa barang itu untuk di simpan digedung pengadilan agama
e) Apabila barang yang disita berupa barang yang habis dipakai, maka dapat
dipindahkan dari tempat tersita ke gedung pengadilan agama, akan tetapi
pengawasannya tetap pada tersita
9) Apabila telah dilakukan sita jaminan dan kemudian tercapai perdamaian atau
gugatan ditolak/tidak diterima, maka sita jaminan harus diangkat
(1) sita jaminan terhadap milik tergugat (conservatoir beslaag)
(a) Majelis hakim dalam mengabulkan permohonan sita harus ada sangkaan
yang beralasan bahwa tergugat berupaya mengalihkan barang-barangnya
untuk menghindari gugatan penggugat
(b) Yang disita adalah barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak
milik tergugat.......29
(c) Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga
oleh hakim dalam amar putusannya, dan apabila gugatan ditolak atau
dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat
(d) Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara
dilarang (vide pasal 50 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara menyatakan “ pihak manapun dilarang melakukan penyitaan
terhadap:

Ibid h. 103-104
29
48

(a.1) uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada
pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga.
(a.2) uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah
(a.3) barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi
pemerintah maupun pihak ketiga
(a.4) barang bergerak dan hal kebendaan lainnya milik negara/daerah
(a.5) barang milik pihak ketiga yang dilunasi negara/daerah yang
diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan
(e) dilarang menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh
tersita untuk mencari nafkah (Ps. 197 (8) HIR/Ps.211 Rbg)
(f) hakim tidak boleh melakukan sita jaminan atas saham. Pemblokiran atas
saham dilakukan oleh BAPEPAM atas permintaan ketua pengadilan
agama dalam hal ada hubungan dengan perkara
(2) sita jaminan terhadap barang bergerak milik penggugat (revindicatoir
beslaag)
(a) Revindicatoir beslaag adalah penyitaan atas barang bergerak milik
Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat.
(b) Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugatan
atau permohonan tersendiri secara jelas dan terperinci
(c) Apabila gugatan dikabulkan, sita revindicatoir dinyatakan sah dan
berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut
kepada penggugat
(d) Tatacara sitanya sama dengan CB
(3) Sita Persamaan ( yahya harahap mengistilahkan sita penyesuaian) Ps.
463 RV
(a) Apabila barang yang akan disita telah diletakkan sita oleh pengadilan
lain, maka jurusita tidak dapat melakukan penyitaan lagi, namun jurusita
dapat melakukan sita persamaan...
(4) Sita Harta Bersama
(a) Sita harta bersama dimohonkan oleh pihak isteri/suami terhadap harta
perkawinan baik yang bergerak atau tidak bergerak, sebagai jaminan
untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian,
49

agar selama proses berlangsung barang-barang tersebut tidak dialihkan


suami/isteri
(b) Bahwa sita terhadap harta bersama dapat juga diajukan oleh suami/isteri
walaupun tidak terjadi perceraian, bilamana isteri/suami melakukan
tindakan yang mengarah pada pengalihan harta bersama (Ps. 95 KHI)
(5) Sita Buntut
(a) Sita buntut adalah permohonan sita yang diajukan setelah putusan
pengadilan tingkat pertama dijatuhkan dan perkaranya dimintakan
banding (Ps.227 (1) HIR/261 RBG)
(b) Permohonan penyitaan diajukan kepada ketua pengadilan agama untuk
diteruskan kepada pengadilan tinggi agama
(c) ...
(6) Sita eksekusi
(1) Sita jaminan dan sita revindicatoir yang telah dinyatakan sah dan
berharga dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap, berubah
menjadi sita eksekusi
(2) Sita eksekusi hanya menyangkut pembayaran sejumlah uang
KESIMPULAN: pada tahap ini baik penggugat maupun tergugat diberikan
kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan
kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut pandangan
masing-masing

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PUTUSAN DAN RUANG LINGKUPNYA

PUTUSAN : adalah pernyataan hakim yang tuangkan dalam bentuk tertulis


dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil
dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius)
PENETAPAN : adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara permohonan (voluntair)
50

Akta Perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil
musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri
sengketa dan berlaku sebagai putusan.
1. Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan agama yang
diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan
verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding. Putusan
pengadilan tinggi agama yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak
dimohonkan kasasi. Dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
2. Menurut sifatnya ada (3) macam putusan yaitu:
a. Putusan deklaratif, adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, putusan yang menolak gugatan
b. Putusan konstitutif, adalah putusan yang bersifat menghentikan atau
menimbulkan hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan
paksa, misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan
c. Putusan kondemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Dalam
putusan yang bersifat kondemnatoir amar putusan harus mengandung
kalimat: “ Menghukum Tergugat (berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu,
menyerahkan sesuatu, membongkar sesuatu, menyerahkan sejumlah uang,
membagi dan mengosongkan)
3. Dari segi isinya terdiri:
a. Niet ontvankelijk verklaart (NO), yaitu putusan pengadilan yang diajukan
oleh penggugat tidak dapat diterima karena ada alasan yang dibenarkan oleh
hukum, alasan tersebut kemungkinan sebagai berikut:
1) Gugatan tidak berdasar hukum, artinya gugatan yang diajukan oleh
penggugat harus jelas dasar hukumnya dalam menuntut haknya, jadi
kalau tidak ada dasar hukumnya maka gugatan tersebut tidak dapat
diterima
2) Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang
melekat pada diri penggugat,...
3) Surat gugatan kabur (obscuur libel)...
51

4) Gugatan prematur
5) Gugatan nebis in idem
6) Gugatan error in persona
7) Gugatan yang telah lampau waktu (daluwarsa)
8) Gugatan dihentikan (aan hanging)...ex. bila terjadi sengketa mengadili
b. Putusan Gugur (ps. 124 HIR/148 Rbg)
c. Putusan Verstek (Ps.125 HIR)
d. Putusan ditolak
e. Putusan dikabulkan
4. Dari segi jenisnya
a. Putusan sela adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Dan
putusan ini tidak mengikat hakim bahkan hakim yang menjatuhkan putusan
sela berwenang mengubah putusan sela tersebut jika ternyata mengandung
kesalahan (Ps.48 dan 332 Rv). Putusan sela terdiri dari:
1) Putusan preparatoir adalah putusan untuk mempersiapkan putusan akhir
tanpa ada pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Contoh
putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak
diundurkannya pemeriksaan saksi-saksi.
2) Putusan interlucotoir adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir, misalnya putusan
untuk memeriksa saksi-saksi ?, pemeriksaan setempat ?, dan intervensi
3) Putusan insidentil adalah putusan yang tidak mempengaruhi pokok
perkara yaitu putusan prodeo, penetapan sita.
4) Putusan provisi adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionail
b. Putusan akhir
Bentuk putusan akhir
1) Putusan deklaratif,
2) Putusan konstitutif,
3) Putusan kondemnatoir
c. Putusan Provisi
1) Putusan provisi adalah tindakan sementara yang diajukan oleh hakim
yang mendahului putusan akhir
52

2) Putusan provisi atas permohonan Penggugat agar dilakukan suatu


tindakan sementara, yang apabila putusan provisi dikabulkan,
dilaksanakan secara serta merta walaupun ada perlawanan atau banding
3) Hakim wajib mempertimbangkan gugatan provisi dengan seksama
apakah memang perlu dilakukan suatu tindakan yang sangat mendesak
untuk melindungi hak penggugat, yang apabila tidak segera dilakukan
akan membawa kerugian yang sangat besar
4) Gugatan provisi dapat diajukan bersamaan dengan surat gugat dan
apabila dikabulkan dibuat putusan sela yang memerintahkan agar
putusan sela tersebut dilaksanakan
5) Putusan Provisi dilaksanakan oleh ketua pengadilan agama setelah
mendapatkan izin dari ketua pengadilan tinggi agama yang bersangkutan
(vide Surat Edaran MA No.3 tahun 2000 jo SEMA No.4 tahun 2001)
6) Pemeriksaan banding atas putusan provisi dilakukan bersama-sama
pokok perkara
7) Dalam kasus perceraian gugatan yang diatur dalam pasal 24 ayat (1) dan
(2) PP.9 tahun 1975 diajukan dalam gugatan provisi;--
d. Putusan Serta Merta atau Uitvoerbaar bij voorraad
1) Putusan Serta Merta adalah putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu
meskipun ada upaya hukum verzet, banding, kasasi (Ps. 180 (1) HIR/191
Rbg)
2) Wewenang menjatuhkan putusan serta merta hanya pada pengadilan
agama. Pengadilan tinggi dilarang menjatuhkan putusan serta merta.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
UPAYA HUKUM DAN RUANG LINGKUPNYA

1. Pengertian Upaya Hukum


53

Adalah suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya atau atas
kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/ kepastian
hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang30
2. Jenis-Jenis Upaya Hukum
a. Upaya hukum melawan gugatan
1) Eksepsi
2) Rekonvensi
3) Minta vrijwaring
b. Upaya hukum melawan putusan
1) Upaya hukum biasa
a) Verzet
b) Banding
c) Kasasi
2) Upaya hukum luar biasa (istimewa)
a) Rekes Sipil (Peninjauan kembali)
b) Derden verzet
c. Upaya hukum melawan sita
1) Verzet yang bersangkutan
2) Verzet Pihak ketiga
d. Upaya hukum melawan eksekusi
1) Verzet yang bersangkutan
2) Verzet Pihak ketiga
e. Upaya hukum untuk mencampuri proses (intervensi)
1) Tussenkomt
2) Voeging
3) Vrijwaring
f. Upaya hukum pembuktian
1) Tulisan
2) Saksi-saksi
3) Persangkaan
4) Pengakuan

Mukti Arto, h.271


30
54

5) Sumpah
B. Upaya Hukum Banding
1. pengertian upaya hukum banding adalah mohon supaya perkara yang telah diputus
oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan Tinggi (tingkat
banding) karena merasa belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama
C. Upaya hukum Kasasi
1. pengertian upaya hukum kasasi adalah upaya hukum agar putusan yudex factie
dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena telah salah dalam melaksanakan peradilan.
D. Upaya hukum Peninjaun kembali
1. Pengertian Upaya hukum Peninjaun kembali adalah meninjau kembali putusan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru
yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya
maka putusan hakim akan menjadi lain
E. Prorogasi
Pengertian Prorogasi adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu
persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak berwenang
memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih
tinggi

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) DAN RUANG LINGKUPNYA
A. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama
Bahwa tujuan akhir pencari keadilan adalah agar segala hak-haknya yang
dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan hakim. Hal ini bisa
tercapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan
Putusan hakim bisa dilaksanakan :
1. Secara Sukarela
2. Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum
tidak mau melaksanakan secara sukarela
B. Jenis-jenis Pelaksanaan Putusan
1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
Vide Pasal 196 HIR/208 Rbg
55

2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu


perbuatan (Ps.225 HIR/259 Rbg)
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu
benda tetap (Ps. 1033 Rv)
4. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang (Ps.200 HIR/218 Rbg)31
++
SITA EKSEKUSI
1. Sita jaminan atau sita revindicatoir yang telah dinyatakan sah dan berharga
dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap, berubah menjadi sita eksekusi
2. Sita eksekusi hanya menyangkut pembayaran sejumlah uang
EKSEKUSI GROSSE AKTA
1. Sesuai pasal 224 HIR/258 Rbg ada dua macam Grosse yang mempunyai
kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta hipotik dan surat-surat utang
2. Grosse adalah salinan pertama dan akta autentik salinan pertama ini diberikan
kepada kreditur
3. Oleh karena salinan pertama dan atas pengakuan utang yang dibuat oleh notaris
mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini harus ada kepala irah-
irah yang berbunyi “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/irah-irah”
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Asli dari akta (minit)
disimpan oleh notaris dalam arsip dan tidak memakai kepala/irah-irah
4. ;;;
5. Grosse akta pengakuan utang yang diatur dalam pasal 224 HIR/258 Rbg adalah
sebuah surat yang dibuat oleh notaris antara orang alamiah/badan hukum yang
dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku, berhutang uang
sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu
tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan, dengan disertai bunga sebesar 2
% sebulan
6. Jumlah yang sudah pasti dalam surat pengakuan utang bentuknya sangat
sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan lain

Mukti Arto, h.
31
56

7. Kreditur yang memegang grosse atas pengakuan utang yang berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung memohon
eksekusi kepada ketua pengadilan agama yang bersangkutan dalam hal debitur
ingkar janji
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
1. Pasal 1 butir 1 UU No.4 th 1996 menyebutkan bahwa Hak tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya
disebut” Hak Tanggungan” adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 th 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain
2. ...
EKSEKUSI JAMINAN
1. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut
tetap dalam penguasaan pemilik benda
2. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
+++

Permohonan eksekusi kepada pengadilan agama yang memutus perkara


3. Asas eksekusi
a. Putusan telah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan serta merta, putusan
provisi dan eksekusi berdasarkan groze akte (ps.180, 224 HIR/191, 250 Rbg
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
c. Putusan mengandung amar condemnatoir (menghukum)
d. Eksekusi dipimpin oleh ketua pengadilan agama dan dilaksanakan oleh
panitera
4. Eksekusi terdiri dari dua jenis yaitu:
57

a. Eksekusi riil dapat berupa pengosongan, penyerahan, pembagian,


pembongkaran, berbuat sesuatu dan memerintahkan atau menghentikan
sesuatu perbuatan (Ps. 200 ayat (11) HIR/Ps. 218 ayat (2) Rbg/1033 Rv
b. Eksekusi pembayaran sejumlah uang (executie verkoof) dilakukan melalui
mekanisme lelang (Ps. 196 HIR/208 Rbg)
5. Lelang (penjualan umum)
a. Lelang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi sejumlah uang sebagaimana
diatur dalam pasal 197-200 HIR/208-218 Rbg
b. Pejabat yang berwenang melakukan pelelangan adalah kantor lelang
c. Tatacara lelang adalah:
1) Setelah pengadilan agama/mahkamah syar’iyah menerima permohonan
eksekusi segera mengeluarkan surat panggilan kepada pihak yang kalah
untuk menghadiri sidang aanmaning (tegoran) agar pihak yang kalah
tersebut melaksanakan putusan secara sukarela
2) Apabila setelah aanmaning pihak yang kalah tidak bersedia
melaksanakan putusan secara sukarela, ketua pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah menerbitkan penetapan sita eksekusi.
Bentuk sita eksekusi adalah berupa penetapan yang ditujukan kepada
panitera atau jurusita (nama Panitera atau jurusita disebutkan dengan
jelas)
3) Panitera/jurusita melaksanakan sita eksekusi, jika atas obyek eksekusi
belum diletakkan sita, apabila terhadap barang tersebut telah diletakkan
sita jaminan, maka sita eksekusi tidak diperlukan lagi dan sita jaminan
tersebut dengan sendirinya menjadi sita eksekusi dengan mengeluarkan
surat penegasan bahwa sita jaminan itu menjadi sita eksekusi
4) Setelah sita eksekusi dilaksanakan, ketua pengadilan agama/mahkamah
syar’iyah mengeluarkan surat perintah eksekusi. Surat perintah eksekusi
tersebut berisi perintah penjualan lelang barang-barang yang telah
diletakkan sita eksekusinya dengan menyebut jelas obyek yang akan
dieksekusi serta menyebutkan putusan yang menjadi dasar eksekusi
tersebut.
58

5) Panitera/jurusita mengumumkan tentang akan adanya lelang di papan


pengumuman pengadilan agama/mahkamah syar’iyah dan beberapa mas
media atau menurut kebiasaan setempat.

Masuknya pihak ketiga dalam Proses Perkara


59

a. Dalil Gugat yang Dianggap Tidak Mempunyai Dasar Hukum


Dalam uraian ini, diperhatikan beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap
tidak memenuhi atau tidak memenuhi landasan hukum.
1) Pembebasan Pemidanaan atas Laporan Tergugat, Tidak Dapat Dijadikan Dasar
Hukum Menuntut Ganti-Rugi
Penggugat dilaporkan tergugat melakukan tindak pidana. Berdasarkan laporan
itu dilakukan proses penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan. Ternyata
pengadilan menjatuhkan putusan bebas (vrijspaak, acquittal) terhadapnya. Setelah
putusan berkekuatan tetap, dia mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelapor.
Dalam kasus ini, Ma menjatuhkan putusan dengan pertimbangan antara lain : 14
 Memang benar Tergugat I melaporkan penggugat melakukan tindak pidana
penipuan, dan berdasarkan laporan itu, penggugat telah diperiksa sampai proses
persidangan pengadilan. Selanjutnya pengadilan telah menjatuhkan putusan
yang menyatakan penggugat bebas;
 Akan tetapi, putusan bebas itu, tidak dapat dijadikan dasar alasan menggugat
pelapor melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang diikuti dengan tuntutan
pidana yang dialami atau yang diketahuinya, sedang masalah apakah tindak
pidana yang dilaporkan memenuhi unsure delik, merupakan hak sepenuhnya dari
pengadilan untuk menilainya. Dengan demikian gugatan yang diajukan tidak
mempunyai dasar hukum.
Dalam kasus ini, fakta-fakta atau peristiwanya mempunyai dasar. Nmun
demikian, oleh karena landasan hukumnya tidak ada, gugatan dianggap cacat
formil, dan dinyatakan tidak dapat diterima.
Kasus yang sama dapat dilihat dalam Putusan MA yang lain, 15
yang
menegaskan, gugatan wanprestasyang didasarkan atas alasan telah dilaporkan
kepada polisi, tidak cukup menjadi dalil gugatan menunut ganti rugi kepada
pelapor, karena setiap orang berhak mengajukan laporan kepada polisi atau kepada
aparat penegak hukum.
60

Soal Ujian Tengah Semester TA 2012/2012


Mata Kuliah Hukum Acara Perdata/PA
Dosen Pengampu: Dra.Ulil Uswah,MH

1. Apakah pengertian Hukum Acara Perdata Peradilan Agama ? pilih salah satu
pendapat dari para pakar hukum, dan bagaimana menurut pendapatmu?
2. Bagaimana kedudukan Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah menurut
ketentuan perundang-undangan di Indonesia?
3. Apakah yang dimaksud dengan kewenangan absolut dan relatif Pengadilan
Agama?
4. Apa saja kewenangan absolut Pengadilan Agama? Tulis dasar hukumnya dan
bagaimana menurut pendapatmu tentang kewenangan absolut tersebut, apakah
telah sesuai dengan masyarakat Indonesia sekarang ini?
5. Sebutkan 5 sumber hukum Acara Perdata Peradilan Agama?
61

6. Sebutkan 5 asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama?


7. Apa yang dimaksud dengan pola bindalmin? Mengapa diperlukan pola bindamin
?
8. Apa yang dimaksud dengan bantuan hukum di Pengadilan Agama, dan apa dasar
hukumnya (tulis salah satu pasal dalam UU yang mengatur tentang bantuan
hukum ini) dan bagaimana menurut pendapatmu, apakah pasal tersebut telah
sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini?
9. Bagaimana kuasa atau wakil dalam persidangan di Pengadilan Agama?
10. Apa pengertian gugatan dan permohonan ?

Anda mungkin juga menyukai