Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi 2010, Mahkamah
12
Berdasar ketentuan pasal 54 UU No.7 tahun 1989 bahwa Hukum Acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini,
(tugas mahasiswa menulis pasal-pasal Hukum Acara)
Mengacu kepada ketentuan Pasal tersebut di atas, maka yang kita pelajari dalam bab ini
mengenai sumber hukum acara peradilan agama dan asas-asanya adalah:
1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
a. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
b. Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (RBg) Reglemen Daerah Seberang
c. B. Rv (Reglement Op De Bugerlijke Rechtsvordering ) atau Reglement of de
Rechtsvordering/RV),
d. Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (BW)
e. Wetboek van Koophandel (Wvk)
f. UU No.20 tahun 1947
g. UU No.14 tahun 1970 yang diubah dengan UU No.35 tahun 1999, dan
dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya UU No.4 tahun 2004 dan
diubah lagi dengan UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
h. UU No.1 tahun 1974 dan PP.9 tahun 1975
i. UU No.14 tahun 1985 yang telah diubah dan disempurnakan dengan UU No. 5
tahun 2004 dan di ubah dengan UU No.3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
j. UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan UU No.3
tahun 2006 Jo UU No.50 tahun 2009
k. UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
l. UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
m. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
n. UU No.8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum
o. Inpres No.1 tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum
Islam
p. Surat Edaran MARI dan PERMA RI sepanjang menyangkut Hukum Acara
Perdata
q. Yurisprudensi MA
r. Kutub Fikh Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya13
2. Asas-Asas Hukum Acara perdata(HAP)/PA14
1. Asas Bebas Merdeka, tetapi wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku
hakim (Ps.24 UUD 1945 dan jo Ps.5 ayat (3) UU No.48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman, UU No.7 th 1989 jo UU no.3 tahun 2006 jo UU no.50 th
2009)
2. Asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (Ps.2 dan 3 UU No.7 tahun
1989)
3. Asas Ketuhanan (Ps.24 ayat (1) UU No.48 tahun 2009)
4. Asas Fleksibilitas (Ps. 57 ayat (3) UU No.7 tahun 1989
13
Lihat buku II, h. 55-56 dan Ahmad Mujahidin, h. 37-41
14
Ibid
5
2. Dasar Hukum : Ps. 60 B dan 60 C UU No. 50 tahun 2009, surat Edaran MARI
No. 10 tahun 2010
3. Tujuan Bantuan Hukum (Ps.2)
1. Membantu masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomis
dalam menjalankan proses hukum di Pengadilan
2. Meningkatkan akses terhadap keadilan
3. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum
melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak dan
kewajibannya
4. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
KUASA
1. Pengertian Kuasa secara umum merujuk pada pasal 1792 KUH Perdata (BW)
yang berbunyi :” Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk
dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”18
Mengacu kepada pasal tersebut di atas, maka dalam kuasa ini terdapat dua pihak
yaitu a. Pemberi kuasa atau lastgever; b. Penerima kuasa atau disingkat kuasa
yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama
pemberi kuasa
2. Sifat perjanjian kuasa
a. Penerima Kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, hal ini
dikecualikan dalam hal mediasi perkara perceraian ( Pasal 82 UU No.7 tahun
1989)
b. Pemberian kuasa bersifat konsensual yaitu perjanjian berdasarkan
kesepakatan (agreement)
c. Berkarakter Garansi-Kontrak yaitu 1) kekuatan mengikatnya terbatas
sepanjang kewenangan (Volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi
kuasa ; 2) apabila kuasa melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi
kuasa hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat yang diberikan,
sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa (Pasal 1806 KUH
Perdata)
3. Barakhirnya Kuasa
a. Pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak (Ps.1814 KUH Perdata)
b. Salah satu pihak meninggal ( Ps. 1813 KUH Perdata)
c. Penerima Kuasa melepas kuasa ( Ps. 1817 KUH Perdata)
d. Dapat disepakati kuasa mutlak (menganut asas kebebasan berkontrak Ps.
1338 KUH Perdata) yang dikatakan bahwa para pihak bebas mengatur
kesepakatan yang mereka kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan
R. Subekti,R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet.25
18
h. 382
8
dengan Ps. 1337 yakni tidak mengandung hal yang dilarang oleh Undang-
Undang, berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
B . Jenis Kuasa
1. Kuasa Umum : pemberian kuasa mengenai pengurusan untuk mengatur
kepentingan pemberi kuasa, diatur dalam Ps. 1795 KUH Perdata), oleh karena
itu ditinjau dari segi hukum surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di
depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa (Ps. 123 HIR) karena agar
dapat tampil didepan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa
harus mendapat surat kuasa khusus, hal ini ditegaskan dalam Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung No.149/1972 (2-8-1972)19 bahwa seorang manager yang
bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa
Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di pengadilan, karena surat kuasa
itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT
tersebut, bukan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud pasal 123 HIR
2. Kuasa Khusus: berdasarkan Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberian
kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan
tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk
bertindak didepan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai
pihak principal (psl. 123 HIR)
Misalnya : kuasa untuk melakukan penjualan rumah, kuasa itu merupakan
kuasa khusus, terbatas hanya untuk menjula rumah, akan tetapi meskipun
bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk tampil didepan
pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat khusus yang
dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk menjual
rumah
Advokat: Adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
UU (Ps. 1 ayat (1) UU No.18 tahun 2003)
Klien : adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa
hukum dari advokat (Ps.1 ayat (3)—
Bantuan Hukum : adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara
Cuma-Cuma kepada klien yang tidak mampu (Ps.1 ayat (9)
3. Kuasa Istimewa: berdasarkan Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal
pemberian kuasa istimewa, hal ini berkait dengan Pasal 157 HIR/184 RBG
Syarat-syarat kuasa istimewa
a. Bersifat limitatif
b. Berbentuk Akta otentik
4. Kuasa Perantara
Kuasa Perantara disebut juga dengan agen (agent), kuasa ini dikonstruksikan
berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan
agen perdagangan (Commer agency) atau makelar disebut juga broker dan factor
Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Armico, Bandung, 1983, h. 187
19
9
20
Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,h. 16
21
Ibid
11
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
RUANG LINGKUP
PERMOHONAN DAN GUGATAN
1. Permohonan
7) Permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya gugatan cerai dalam
hal salah satu dari suami isteri melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya
(Ps.95 ayat (1) KHI)
8) Permohonan izin untuk menjual harta bersama yang berada dalam status
sita untuk kepentingan keluarga (Ps. 95 ayat (2) KHI)
9) Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan mafqud (Ps.96
ayat (2) dan Pasal 171 KHI)
10) Permohonan penetapan ahli waris (penjelasan Ps. 49 huruf (b) UU No.3
tahun 2006)
2. Gugatan
Pengertian Surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh Penggugat
kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di
dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan
pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak24
Terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu Penggugat dan Tergugat bahkan
dalam praktek ada yang mengistilahkan Turut Penggugat/Turut Tergugat, Tergugat
berkepentingan ? ),
M. Yahya harahap berpendapat bahwa yang dimaksud dengan gugatan perdata
adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa diantara pihak yang berperkara
yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan
posisi para pihak :
Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai
penggugat (plaintiff = planctus, the party who institutes a legal action or
claim),6
Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian, disebut dan
berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party against whom a civil action
is brought)7
Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan perdata :
Permasalahan hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa
(disputes, differences),
Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara dua pihak,
Berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang
satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain,
berkedudukan sebagai tergugat.25
3. Bentuk-bentuk Gugatan
a. Berbentuk Lisan
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h.39
24
Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
25
Bentuk gugatan lisan, diatur dalam pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang
menegaskan : “Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat
dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu
atau menyuruh mencatatnya”.
Pada saat undang-undang (HIR) ini dibuat tahun 1941 (St. 1941, No 44),
ketentuan Pasal 120 ini benar-benar realistis, mengakomodasi kepentingan masyarakat
buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bermanfaat
membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi
gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua PN, yang
oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan
selanjutnya Ketua PN menformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini
melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara,
karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua PN
untuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini
tidak relevan lagi. Bukankah kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding
masa lalu. Apalagi, perkembangan pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten,
memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan. Namun demikian,
memerhatikan luasnya Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di
pelosok pedesaan, dihubungkan dengan biaya mahalnya pengacara, ketentuan Pasal 120
HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang
akan dating.
Terlepas dari hal di atas, terdapat beberapa segi yang perlu dibicarakan
mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai
berikut.
b) Fungsi Ketua PN
Ketua PN wajib memberi layanan,
Pelayanan yang harus diberikan Ketua PN :
- Mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
- Merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang
diterangkan penggugat.
Sehubungan dengan mencatat dan merumuskan gugatan sebaik mungkin, Ketua
PN perlu memerhatikan Putusan MA tentang ini yang menegaskan, 9 Adalah tugas
Hakim Pengadilan Negeri (baca Agama)untuk menyempurnakan gugatan tertulis
tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai
apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.
2.Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RGB). Menurut pasal ini,
gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang
ditandangani oleh penggugat atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini, yang
berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai
berikut.
a. Penggugat Sendiri
Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. kebolehan
penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN,
adalah karena HIR atau RBG, tidak menganut sistem Verplichte Procureur Stelling,
yang mewajibkan penggugat harus member kuasa kepada yang berpredikat
pengacar atau advokat untuk mewakilinya, sebagaimana hal ini dahulu dianut oleh
Reglement op de Rechtvordering (Rv). Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam
pasal 118 ayat (1) HIR.
b. Kuasa
Selanjutnya, Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada
kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau
menyampaikan surat gugatan kepada PN. Ketentuan ini, sejalan dengan yang
digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR yang mengatakan, baik penggugat dan
tergugat (kedua belah pihak) :
Dapat dibantu atau diwakili oleh kuaa yang dikuasakan untuk melakukan
tindakan didepan pengadilan, dan
Kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of attorney).
Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan surat gugatan yang
dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut.
Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan
bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa khusus.
Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan
mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat atau pemberi
kuasa (lastgever, mandate).
Apabila kuasa atau penerima kuasa (lasthebber, mandataris), membuat,
menandatangani dan mengajukan surat gugatan sebelum mendapat kuasanatau
16
1) Diberi Tanggal
Ketentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus zmencantumkan
tanggal. Begitu juga halnya jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta
sebagai alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 UH Perdata, tidak menyebut
pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu, jika bertitik tolak dari ketentuan
Pasla 118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti,
pada dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai syarat formil. Oleh
karena itu, ditinjau dari segi hukum :
17
atau dilenturkan (fleksible). Apabila hakim menemukan cap jempol yang belum
dilegalisasi dalam surat gugatan :
Tidak layak hakim langsung menyatakan gugatan cacat formil, atas alasan cap
jempol tidak dilegalisasi;
Tetapi hakim menyuruh atau memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk
melegalisasinya.
Penerapan yang seperti itu bisa dilihat dalam salah satu putusan MA 11 yang
mempertimbangkan :
Cap jempol yang tidak dilegalisir, tidak mengakibatkan surat gugatan batal demi
hukum, tetapi cukup diperbaiki dengan jalan menyuruh penggugat untuk
melegalisir.
a) Nama Lengkap
1) Nama Terang dan Lengkap, Termasuk Gelar atau Alias (jika Ada)
Maksud mencantumkan gelar atau alias, untuk membedakan orang tersebut
dengan orang lain yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal.12
2) Kekeliruan Penyebutan Nama yang Serius
Kekeliruan penulisan atau penyebutan nama Tergugat yang sangat serius
menyimpang dari yang semestinya, sehingga benar-benar mengubah identitas,
dianggap melanggar syarat formil yang mengakibatkan surat gugatan cacat
formil;
Dalam hal yang seperti ini, timbul ketidakpastian mengenai orang atau pihak
yang berperkara, sehingga cukup dasar alasan untuk menyatakan gugatan
error in persona atau obscuur libel,dalam arti orang yang digugat kabur atau
tidak jelas. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak diterima.
3) Penulisan Nama Tidak Boleh Didekati secara Sempit atau Kaku (Strict Law),
tetapi harus dengan Lentur (fleksible)
Apabila kekeliruan ini sangat kecil dan tidak berarti dapat atau harus ditolelir,
misalnya, salah menulis a menjadi o, kesalahan itu dikategorikan sebagai
kesalahan pengetikan (clerical error);
19
Oleh karena itu, kesalahan dimaksud dapat diperbaiki oleh Penggugat dalam
persidangan melalui surat perbaikan atau perbaikan dilakukan dalam replik
(balasan atas jawaban tergugat). Bahkan hakim sendiri dapat memperbaiki
dalam berita acara persidangan maupun dalam putusan.
4) Penulisan Nama Perseroan Harus Lengkap dan Jelas
Sama halnya dengan penulisan nama orang, penulisan korporasi atau badan
hukum (legal entity), harus lengkap dan jelas sesuai dengan nama yang
sesungguhnya berdasarkan :
Nama yang disebut dalam anggaran dasar atau yang tercantum pada papan
nama maupun yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan;
Biasanya, selain ditulis nama lengkap perseroan, ditulis juga nama singkatan
sebagaimana yang disebut dalam anggaran dasar atau papan nama.
memperolok peradilan, dengan jalan saat gugatan diajukan oleh penggugat ke PN,
buru-buru tergugat pindah tempat atau mengubah alamat. Demikian seterusnya,
sehingga jika hal itu dibenarkan mengakibatkan runtuh dan hancur kepastian
hukum. Dampak yang lebih jauh, mengakibatkan perkara tersebut tidak dapat
diselesaikan.
4) Tidak Diketahui Alamat Tempat Tinggal Tergugat
Apabila alamat tergugat tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi penggugat
untuk mengajukan gugatan. Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi
kemungkinan tersebut dalam bentuk pemanggilan umum oleh wali kota atau bupati.
Hukum dan undang-undang tidak boleh mematikan hak perdata seseorang untuk
menggugat orang lain, hanya atas alasan tidak diketahui tempat tinggal tergugat.
Penegakan hukum yang seperti itu, bertentangan dengan rasa keadilan dan
kepatutan. Sehubungan dengan itu, apabila penggugat dihadapkan dengan
permasalahan hukum yang seperti itu, dapat ditempuh cara perumusan identitas
alamat sebagai berikut :
Mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir, dalam penulisan identitas
alamat, cukup atau dapat mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir,
dengan kata-kata : terakhir bertempat tinggal atau bertempat kediaman di…,
atau
Dengan tegas menyebutkan, tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya.
Supaya cara ini benar-benar beralasan, pernyatan itu sebaiknya didukung oleh
surat keterangan kepala desa di tempat tergugat terakhir bertempat tinggal. Oleh
karena itu, apabila penggugat menghadapi kasus, tempat tergugat tidak diketahui,
sebaiknya diminta lebih dahulu surat keterangan kepala desa tentang hal itu.
Berdasarkan surat keterangan itu, penggugat dapat merumuskan identitas alamat
tempat tinggal yang berbunyi : alamat atau tempat tinggal tergugat tidak diketahui
berdasarkan surat keterangan kepala desa Tanggal…Nomor….
Berdasarkan surat keterangan itu, pengadilan dapat langsung menempuh proses
pemeriksaan melalui panggilan umum berdasarkan Pasal 390 ayat
(3) HIR.
6) Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi, berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslakg van
de lis).13 Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan,
antara lain :
Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
Dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
Posita atau dalil gugatan merupakan landasan pemeriksaan dan penyelesaian
perkara. Pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil gugatan.
Juga sekaligus memikulkan beban wajib bukti kepada penggugat untuk
membuktikan dalil gugatan sesuai yang digariskan Pasal 1865 KUHAP Perdata dan
Pasal 163 HIR, yang menegaskan, setiap orang yang mendalilkan suatu hak, atau
guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan
membuktikan hak atau peristiwa tersebut.
Mengenai perumusan fundamentum petendinatau dalil gugat, muncul dua teori14
:
1) Pertama, disebut substantierings theorie yang mengajarkan, dalil gugatan tidak
cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi
juga harusa menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang
menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut.
2) Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie), yang menjelaskan
peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan, harus dengan
jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar
tuntutan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya
hubungan hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Tentang hal itu Prof. Sudikno mengemukakan
salah satu Putusan MA yang menegaskan : perumusan kejadian materi secara
singkat sudah memenuhi syarat.14
Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau
hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
Berdasarkan penjelasan diatas, posita yang dianggap terhindar dan cacat
obscuur libel, adalah surat gugatan yang jelas sekaligus memuat penjelasan dan
penegasan dasar hukum (rechtelijke grond) yang menjadi dasar hubungan hukum
serta dasar fakta atau peristiwa (feitelijke grond) yang terjadi disekitar hubungan
hukum yang dimaksud.
7) Petitum Gugatan
Ada beberapa istilah tentang petitum yaitu petita atau petitory maupun
conclusum, tetapi dalam praktek sering digunakan kata petitum.
Petitum ini berisi pokok tuntutan penggugat, berupa diskripsi yang jelas
menyebut satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok
tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada Tergugat, adapun
bentuk Petitum ada dua yaitu:
- Bentuk Tunggal apabila deskripsi yang menyebut satu persatu pokok
tuntutan, tidak diikuti dengan susunan diskripsi petitum lain yang
bersifat alternatif atau subsidair. Perlu diingat bahwa bentuk petitum
tunggal tidak boleh hanya berbentuk compositur (ex-aequo et bono)atau
mohon keadilan. Petitum yang hanya mohon keadilan saja tidak
memenuhi syarat formil dan materiil petitum akibatnya dianggap cacat
formil sehingga harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima
- Bentuk alternatif yaitu apabila petitum primair dan subsidair sama-sama
dirinci, atau petitum primair dirinci, diikuti dengan petitum subsidair
berbentuk compositur (ex-aequo et bono)atau mohon keadilan
Pencabutan Gugatan
Gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila Tergugat belum memberikan jawaban.
Jika tergugat sudah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat
persetujuan dari tergugat (hal ini tidak diatur dalam HIR atau RBG, tetapi ada dalam
pasal 271, 272 RV)
Perubahan Gugatan
1) Perubahan gugatan diperkenankan, apabila diajukan sebelum tergugat
mengajukan jawaban dan apabila sudah ada jawaban tergugat, maka perubahan
tersebut harus dengan persetujuan tergugat
2) Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum acara perdata, tidak merubah atau menyimpang dari kejadian
materiil (Ps. 127 RV)
Kumulasi Gugatan
1) Penggabungan dapat berupa kumulasi subyektif atau kumulasi obyektif.
kumulasi subyektif adalah penggabungan beberapa penggugat atau tergugat
dalam satu gugatan, sedangkan kumulasi obyektif adalah penggabungan
beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan
2) Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan diperkenankan apabila
penggabungan itu menguntungkan proses, yaitu apabila antara tuntutan yang
digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan akan memudahkan
pemeriksaan serta akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan
yang saling berbeda/bertentangan.
3) Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu gugatan apabila antara
tuntutan-tuntutan yang digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada
koneksitas dan hubungan erat ini harus dibuktikan berdasarkan fakta-faktanya.
4) Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu acara khusus (misalnya
gugatan cerai) sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa
(gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka kedua tuntutan itu tidak dapat
dikumulasikan dalam satu gugatan
5) Apabila dalam salah satu tuntutan hakim tidak berwenang memeriksa sedangkan
tuntutan lainnya hakimApabila dalam salah satu tuntutan hakim tidak berwenang
memeriksa sedangkan tuntutan lainnya hakim berwenang, maka kedua tuntutan
itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.
b. Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses
perkara atas alasan ada kepentingannya yang terganggu, intervensi diajukan
oleh karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya
disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat
c. Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab(untuk
membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring
diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara
oleh tergugat secara lisan atau tertulis.
2. Adapun tatacara intervensi adalah:
a. Voeging dan Tussenkomst
1) Pihak ketiga (intervenient) yang ingin masuk dalam proses perkara yang
sedang berjalan, mengajukan surat permohonan kepada ketua pengadilan
agama dengan maksud untuk ikut dalam proses berperkara, kemudian
ketua pengadilan agama mendisposisikan surat tersebut kepada majelis
hakim yang bersangkutan
2) Majelis hakim memeriksa surat permohonan tersebut apakah
intervenient mempunyai hubungan hukum, kepentingan hukum dan
kerugian
3) Majelis hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk
menanggapi, selanjutnya menjatuhkan putusan sela baik di tolak atau
dikabulkan, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus
disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut, sehingga kedudukan para
pihak menjadi berubah dan ada dua perkara yang diperiksa bersama-
sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi
b. Vrijwaring
1) Setelah ada permohonan Vrijwaring, hakim memberi kesempatan para
pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan
putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut
2) Apabila ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang
dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi
harus bersama-sama dengan perkara pokok.
25
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
MEDIASI DAN RUANG LINGKUPNYA
Mediasi diatur dalam pasal 130 HIR/154 RBG, kemudian dalam PERMA No.1 tahun
2008, khusus perceraian diatur pula dalam pasal 82 UU No.7 tahun 1989 jo UU No.3
tahun 2006 jo UU No.50 th 2009
Tatacara mediasi
1. Dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak hadir di persidangan,
hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak
2. Apabila kedua belah pihak berada di luar negeri, maka penggugat pada sidang
perdamaian harus menghadap secara pribadi dalam bidang perceraian (Ps. 82
ayat (3) UU No.7 th 1989 buku II angka 3 h.83)
3. Dalam mengupayakan perdamaian harus mempedomani PERMA No.1 th 2008,
yang mewajibkan agar semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk dilakukan perdamaian dengan bantuan mediator
4. Perkara yang tidak wajib mediasi adalah perkara volunter dan perkara yang
menyangkut legalitas hukum, seperti itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan
wasiat serta perkara yang salah satu pihaknya tidak hadir dipersidangan.
5. Jika terjadi perdamaian dalam perkara pemeriksaan verzet atas putusan verstek
dalam perkara perceraian, maka majelis hakim membatalkan putusan verstek.
Amarnya: 1. menyatakan pelawan/tergugat adalah pelawan yang benar
29
3. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut diatas, putusan
dinyatakan tidak sah
4. Untuk perkara verzet terhadap verstek tidak termasuk dalam pengertian tersebut
dalam ps. 17 ayat (5) UU No.48 th 2009
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PEMBUKTIAN DAN RUANG LINGKUPNYA
1. Jika dalil penggugat dibantah oleh tergugat, maka penggugat wajib
membuktikan, sedang tergugat tidak wajib membuktikan dalil bantahannya
(Ps.163 HIR/283 RBG)
2. Sesuai dengan ketentuan pasal 164 HIR/284 RBG, ada 5 macam alat bukti yaitu:
a. Bukti surat
b. Bukti saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Bukti Surat
Ada 3 macam yaitu:
a. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk
itu oleh penguasa, menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan
maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik
ini merupakan bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
serta mereka yang mendapat hak dari padanya tentang segala hal yang tercantum
di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai
pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta (ps.165
HIR/285 RBG/1868 KUH Perdata/BW
a) Syarat formil akta otentik:
(1) Bersifat partai, yaitu dibuat atas kehendak dan kesepakatan sekurang-
kurangnya dua pihak, tapi ada juga yang bersifat sepihak, seperti Akta
Nikah, KTP, IMB, Surat izin usaha, dsb
33
(2) Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu,
antara lain Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Hakim, Panitera dsb
(3) Memuat tanggal, hari, dan tahun pembuatan
(4) Ditandatangani oleh pejabat yang membuat
b) Syarat materiil Akta otentik
(1) Isi yang tertuang dalam akta otentik berubungan langsung dengan apa
yang disengketakan di pengadilan
(2) Isi akta otentik tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama,
dan ketertiban hukum
(3) Pembuatannya sengaja dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti
c) Kekuatan pembuktian akta otentik
(1) akta otentik mempunyai nilai pembuktian sempurna dan mengikat
(2) akta otentik dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lawan, nilai
pembuktiannya jatuh menjadi alat bukti permulaan
(3) agar dapat mencapai batas minimal pembuktian, harus ditambah
dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain
1) Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang ditanda tangani di bawah tangan
dan dibuat tidak dengan perantaraan pejabat umum
a) Syarat formil akta di bawah tangan
(1) Bersifat partai, maksudnya apa yang tersebut didalamnya merupakan
kesepakatan kedua belah pihak
(2) Dibuat tidak dihadapan pejabat atau tidak ada campur tangan pejabat
atas pembuatnya
(3) Harus bermeterai
(4) Ditandatangani oleh kedua belah pihak, jika menggunakan cap jempol
harus disahkan oleh pejabat atau notaris
b) Syarat materiil akta di bawah tangan
(1) Isi akta di bawah tangan berkaitan langsung dengan apa yang
diperkarakan.
(2) Isi akta di bawah tangan tidak bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama, dan ketertiban hukum
(3) Sengaja dibuat untuk alat bukti
34
(3) Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu
dengan yang lain atau alat bukti yang sah(Ps.171 HIR/309 Rbg)
- Nilai kekuatan pembuktian saksi
(1) Apabila alat bukti saksi yang diajukan telah memenuhi syarat formil
dan materiil dan jumlahnya telah mencapai batas minimal
pembuktian, maka nilai kekuatan pembuktian yang terkandung di
dalamnya bersifat bebas (vrij bewijs kracht), maksudnya hakim bebas
untuk menilai
(2) Jika saksi hanya seorang dan tidak dapat ditambah dengan alat bukti
lain, maka nilai kekuatan pembuktianya bersifat bukti permulaan.
c. Persangkaan
1. Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik
dari suatu peristiwa yang diketahui umum kearah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum (Ps.1915 BW)
2. Persangkaan ada 2 (dua) yaitu: a. Persangkaan berdasarkan undang-undang;
b. Persangkaan bukan berdasarkan undang-undang
3. Persangkaan berdasarkan undang-undang ialah persangkaan yang
berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan
perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu (Ps.1916 BW)
4. Persangkaan bukan berdasarkan undang-undang adalah Persangkaan bukan
berdasarkan undang-undang tertentu, hanya saja harus diperhatikan oleh
hakim waktu menjatuhkan putusan, jika persangkaan itu penting, seksama,
tertentu dan satu sama lain bersesuaian (Ps.173 HIR/310 Rbg)
5. Persangkaan berdasarkan undang-undang sebagai alat bukti mempunyai
kekuatan pembuktian pasti
6. Persangkaan bukan berdasarkan undang-undang sebagai alat bukti
mempunyai kekuatan pembuktian bebas
7. Seiring dengan perkembangan teknologi, fax, email, sms, fotocopy, rekaman
dan sebagainya, dapat diterima sebagai alat bukti persangkaan
d. Pengakuan
38
1. Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam satu
perkara dimana ia membenarkan apa-apa yang dikemukakan oleh pihak
lawan (Ps.174 HIR/311 Rbg/1923-1928 BW)
2. Pengakuan dihadapan hakim, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan
perantaraan kuasanya, menjadi bukti yang cukup dan mutlak(Ps.174
HIR/311 Rbg)
3. Pengakuan yang diberikan diluar sidang, diserahkan kepada pertimbangan
hakim ((Ps.175 HIR/311 Rbg)
4. Pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan yaitu tiap-tiap pengakuan harus
diterima seluruhnya, hakim tidak berwenang untuk menerima sebagian dan
menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku, kecuali
jika seorang debitur dengan maksud melepaskan dirinya menyebutkan hal
yang terbukti tidak benar ((Ps.176 HIR/311 Rbg)
5. Pengakuan sebagai alat bukti dibagi 3 (tiga) yaitu:
a) Pengakuan murni yakni pengakuan yang sesungguhnya terhadap semua
dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Misalnya penggugat
menuntut tergugat untuk membayar hutang sebanyak satu juta, tergugat
mengakui bahwa ia berhutang kepada penggugat satu juta. Dalam hal ini
tidak ada alasan bagi hakim untuk memisah-misah pengakuan tersebut
karena tidak ada yang perlu dipisahkan
b) Pengakuan berkualifikasi yaitu pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan penggugat. Misalnya
penggugat menyatakan bahwa tergugat berhutang sebesar lima juta
rupiah, dalam hal ini tergugat mengaku telah berhutang kepada
penggugat, akan tetapi bukan lima juta melainkan tiga juta
c) Pengakuan berklausula yaitu suatu pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Misalnya penggugat
menyatakan bahwa tergugat telah berhutang sejumlah lima juta rupiah,
tergugat mengakui bahwa ia telah berhutang lima juta rupiah, tetapi
tergugat menyatakan bahwa hutang telah dibayar lunas, jadi pengakuan
disini adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan penyangkalan.
39
kurangnya salah satu alat bukti yang lain, maka dalam hal ini nilai
kekuatan pembuktiannya bersifat bebas.
e. Sumpah
1. Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
kemahakuasaan Allah yang percaya bahwa siapa yang memberikan
keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya (Ps.182-185
dan 314 HIR, 155-158 dan 177 Rbg serta 1929-1945 BW)
2. Apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk
meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah (Ps.177 HIR/314 Rbg)
3. Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan salah satu pihak yang
berperkara untuk mengangkat sumpah tambahan, supaya dengan sumpah itu
perkara dapat diputuskan (Ps. 155 HIR/182 Rbg)
4. Apabila hakim akan menambah bukti baru dengan sumpah penambah, harus
dibuat dengan putusan sela, dengan pertimbangan yang memuat alasannya.
a. Syarat formil sumpah penambah/pelengkap:
1) Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian
yang sudah ada tetapi belum mencapai batas minimal pembuktian
2) Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan
3) Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat
bukti dengan alat bukti lain
4) Sumpah dibebankan atas perintah hakim dan diucapkan didepan
sidang secara langsung oleh yang bersangkutan atau oleh kuasanya
dengan surat kuasa istimewa
5) Apabila sumpah tersebut diucapkan oleh kuasanya, maka di dalam
surat kuasa istimewa harus memuat lafal sumpah
b. Syarat materiil sumpah penambah/pelengkap:
1) Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri
oleh pihak yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah tersebut
2) Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak
bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban
umum
41
5. Sumpah pemutus atau sering juga disebut sumpah yang menentukan diatur
dalam pasal 156 HIR/183 Rbg/1930 BW. Dalam pasal-pasal ini
dikemukakan bahwa jika sesuatu keterangan tidak untuk menguatkan
gugatan atau jawaban atas gugatan, maka salah satu pihak dapat meminta
supaya pihak lawan bersumpah di muka hakim. Pembebanan sumpah
pemutus ini dapat dilakukan selama pemeriksaan perkara sedang berjalan
dan sumpah pemutus ini harus mengenai suatu perbuatan yang dilakukan
sendiri oleh pihak yang disuruh bersumpah. Apabila perbuatan itu suatu
tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan pihak yang disuruh
bersumpah tidak bersedia melakukan sumpah itu, maka ia boleh
mengembalikan sumpah itu kepada lawannya, atau jika lawannya tidak
bersedia melakukan sumpah yang dikembalikan kepadanya itu, maka
perkaranya akan dikalahkan. Pengangkatan sumpah harus dilakukan didepan
pengadilan agama/ mahkamah syar’iyah dan dihadiri oleh pihak lawan atau
setelah pihak lawan itu dipanggil dengan patut (Ps. 158 (1) HIR/185 ayat (1)
Rbg)
6. Syarat formil sumpah pemutus
a. Sumpah pemutus dapat dimintakan oleh salah satu pihak berperkara
apabila tidak ada bukti sama sekali
b. Pembebanan sumpah pemutus harus atas permintaan salah satu pihak
yang berperkara
c. Apabila lafal dalam sumpah mengenai perbuatan sepihak yang dilakukan
oleh pihak yang diminta untuk bersumpah, sumpah tersebut tidak dapat
dikembalikan kepada pihak lawan
d. Apabila yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan yang
dilakukan kedua belah pihak, pihak yang diminta bersumpah dapat
mengembalikan kepada pihak lawannya.
e. Apabila pihak lawan mengembalikan sumpah, maka pihak lain tidak
boleh mengembalikan lagi sumpah yang dimintakan
f. Sumpah pemutus diucapkan di muka persidangan oleh yang
bersangkutan langsung atau oleh kuasanya dengan surat kuasa istimewa
7. Syarat materiil sumpah pemutus
42
a. Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau
yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak yang berperkara
b. Isi sumpah harus mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara
yang disengketakan
8. Batas minimal pembuktiannya baik sumpah tambahan maupun sumpah yang
menentukan, terkandung nilai pembuktian yang bersifat sempurna,
mengikat, menentukan atau memaksa. Oleh karena itu mutlak dapat berdiri
sendiri tanpa bantuan alat bukti yang lain.
9. Cara penerapanya:
a. Sumpah tambahan harus dengan putusan sela, ada bukti permulaan,
berfungsi menyelesaikan perkara, sumpah tidak dapat dikembalikan
kepada pihak lawan, dan tidak ada bukti lain.
b. Sumpah pemutus harus dengan putusan sela, tidak ada bukti sama sekali,
diminta salah satu pihak berperkara, harus litis decisoir, apabila hal yang
akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan sepihak yang
dilakukan oleh pihak yang diminta untuk bersumpah, maka sumpah
tersebut tidak dapat dikembalikan kepada pihak lawan
c. Apabila yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan yang
dilakukan kedua belah pihak, maka pihak yang diminta bersumpah dapat
mengembalikannya kepada pihak lawan
d. Pembuktian sumpah pemutus dan sumpah penambah mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang sama yakni nilai kekuatan pembuktiannya
bersifat sempurna, mengikat, menentukan atau memaksa.
e. Sumpah pemutus dan sumpah penambah hanya dapat dilumpuhkan
dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum yang tetap atas
dasar sumpah yang dilakukan palsu
f. Sumpah pemutus mempunyai sifat dan daya litis decissoir yaitu
1) Dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara
2) Diikuti dengan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang
diucapkan
43
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PENYITAAN DAN RUANG LINGKUPNYA
MOV02233.AVI
A. Pengertian
penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah tetapi
istilah bakunya ialah sita atau penyitaan, adapun pengertian yang terkandung
didalamnya adalah:
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam
keadaan penjagaan
2. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim
45
26
M. Yahya Harahap Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,h. 282
27
Ibid h. 285-286
28
Buku II, 2010
46
para pihak yang berpekara untuk menghadap sidang sebagaimana yang telah
ditentukan; atau
2) Apabila permintaan sita itu tidak beralasan, maka majelis hakim membuat
penetapan hari sidang sekaligus berisi penolakan permohonan sita.
Ketentuan ini juga tidak perlu diadakan sidang insidentil; atau
3) Majelis membuat penetapan hari sidang sekaligus berisi penangguhan
permohonan sita. Terhadap ketentuan ini diperlukan sidang insidentil lebih
dahulu dan harus dibuat putusan sela.
e. Apabila permohonan sita diajukan secara terpisah dari pokok perkara, maka ada
dua kemungkinan yang terjadi yaitu:
1) Diajukan tertulis yang terpisah dari surat gugat, biasanya dalam pemeriksaan
persidangan pengadilan atau selama putusan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap
2) Diajukan secara lisan dalam persidangan pengadilan.
3) Apabila permohonan sita diajukan dalam bentuk tertulis pada saat
berlangsungnya pemeriksaan perkara, maka Majelis Hakim menunda
persidangan dan memerintahkan penggugat untuk mendaftarkan permohonan
sita di kepaniteraan (meja I)
4) Apabila permohonan sita diajukan dalam bentuk lisan, Majelis hakim
membuat catatan permohonan sita tersebut dan memerintahkan panitera
untuk mencatatnya dalam berita acara sidang, setelah itu sidang ditunda dan
memerintahkan penggugat mendaftarkan permohonan sita tersebut di
kepaniteraan (meja satu). Terhadap hal ini diadakan sidang insidentil untuk
menetapkan peninjauan kembali sita dan dibuat putusan sela.
f. Penyitaan dilaksanakan oleh panitera pengadilan agama/ jurusita dengan dua
orang pegawai pengadilan sebagai saksi
g. Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan ketua pengadilan/majelis wajib
terlebih dahulu mendengar pihak tergugat.
h. Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, hakim wajib memperhatikan:
a) Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal
sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang
ada ditangan Tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih
47
dahulu mendengar keterangan pihak tergugat (Ps. 227 ayat (2) HIR/Ps. 261
ayat (2) RBg
b) Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka
berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan pasal (Ps. 227 (3),
198, 199 HIR/Ps. 261, 213, 214 RBg
c) Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar/bersertifikat, penyitaan harus
didaftarkan di badan pertanahan nasional . dan dalam hal tanah yang disita
belum terdaftar/bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan dikelurahan
d) Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita
dengan sita revindicatoir, harus tetap dipegang /dikuasai oleh tersita. Barang
yang disita tidak dapat dititipkan kepada lurah atau kepada penggugat atau
membawa barang itu untuk di simpan digedung pengadilan agama
e) Apabila barang yang disita berupa barang yang habis dipakai, maka dapat
dipindahkan dari tempat tersita ke gedung pengadilan agama, akan tetapi
pengawasannya tetap pada tersita
9) Apabila telah dilakukan sita jaminan dan kemudian tercapai perdamaian atau
gugatan ditolak/tidak diterima, maka sita jaminan harus diangkat
(1) sita jaminan terhadap milik tergugat (conservatoir beslaag)
(a) Majelis hakim dalam mengabulkan permohonan sita harus ada sangkaan
yang beralasan bahwa tergugat berupaya mengalihkan barang-barangnya
untuk menghindari gugatan penggugat
(b) Yang disita adalah barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak
milik tergugat.......29
(c) Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan sah dan berharga
oleh hakim dalam amar putusannya, dan apabila gugatan ditolak atau
dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat
(d) Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik negara
dilarang (vide pasal 50 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara menyatakan “ pihak manapun dilarang melakukan penyitaan
terhadap:
Ibid h. 103-104
29
48
(a.1) uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada
pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga.
(a.2) uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah
(a.3) barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi
pemerintah maupun pihak ketiga
(a.4) barang bergerak dan hal kebendaan lainnya milik negara/daerah
(a.5) barang milik pihak ketiga yang dilunasi negara/daerah yang
diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan
(e) dilarang menyita hewan atau perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh
tersita untuk mencari nafkah (Ps. 197 (8) HIR/Ps.211 Rbg)
(f) hakim tidak boleh melakukan sita jaminan atas saham. Pemblokiran atas
saham dilakukan oleh BAPEPAM atas permintaan ketua pengadilan
agama dalam hal ada hubungan dengan perkara
(2) sita jaminan terhadap barang bergerak milik penggugat (revindicatoir
beslaag)
(a) Revindicatoir beslaag adalah penyitaan atas barang bergerak milik
Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat.
(b) Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan dalam surat gugatan
atau permohonan tersendiri secara jelas dan terperinci
(c) Apabila gugatan dikabulkan, sita revindicatoir dinyatakan sah dan
berharga dan tergugat dihukum untuk menyerahkan barang tersebut
kepada penggugat
(d) Tatacara sitanya sama dengan CB
(3) Sita Persamaan ( yahya harahap mengistilahkan sita penyesuaian) Ps.
463 RV
(a) Apabila barang yang akan disita telah diletakkan sita oleh pengadilan
lain, maka jurusita tidak dapat melakukan penyitaan lagi, namun jurusita
dapat melakukan sita persamaan...
(4) Sita Harta Bersama
(a) Sita harta bersama dimohonkan oleh pihak isteri/suami terhadap harta
perkawinan baik yang bergerak atau tidak bergerak, sebagai jaminan
untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian,
49
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PUTUSAN DAN RUANG LINGKUPNYA
Akta Perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil
musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri
sengketa dan berlaku sebagai putusan.
1. Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan agama yang
diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan
verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding. Putusan
pengadilan tinggi agama yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak
dimohonkan kasasi. Dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
2. Menurut sifatnya ada (3) macam putusan yaitu:
a. Putusan deklaratif, adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, putusan yang menolak gugatan
b. Putusan konstitutif, adalah putusan yang bersifat menghentikan atau
menimbulkan hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan
paksa, misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan
c. Putusan kondemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Dalam
putusan yang bersifat kondemnatoir amar putusan harus mengandung
kalimat: “ Menghukum Tergugat (berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu,
menyerahkan sesuatu, membongkar sesuatu, menyerahkan sejumlah uang,
membagi dan mengosongkan)
3. Dari segi isinya terdiri:
a. Niet ontvankelijk verklaart (NO), yaitu putusan pengadilan yang diajukan
oleh penggugat tidak dapat diterima karena ada alasan yang dibenarkan oleh
hukum, alasan tersebut kemungkinan sebagai berikut:
1) Gugatan tidak berdasar hukum, artinya gugatan yang diajukan oleh
penggugat harus jelas dasar hukumnya dalam menuntut haknya, jadi
kalau tidak ada dasar hukumnya maka gugatan tersebut tidak dapat
diterima
2) Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang
melekat pada diri penggugat,...
3) Surat gugatan kabur (obscuur libel)...
51
4) Gugatan prematur
5) Gugatan nebis in idem
6) Gugatan error in persona
7) Gugatan yang telah lampau waktu (daluwarsa)
8) Gugatan dihentikan (aan hanging)...ex. bila terjadi sengketa mengadili
b. Putusan Gugur (ps. 124 HIR/148 Rbg)
c. Putusan Verstek (Ps.125 HIR)
d. Putusan ditolak
e. Putusan dikabulkan
4. Dari segi jenisnya
a. Putusan sela adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Dan
putusan ini tidak mengikat hakim bahkan hakim yang menjatuhkan putusan
sela berwenang mengubah putusan sela tersebut jika ternyata mengandung
kesalahan (Ps.48 dan 332 Rv). Putusan sela terdiri dari:
1) Putusan preparatoir adalah putusan untuk mempersiapkan putusan akhir
tanpa ada pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir. Contoh
putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak
diundurkannya pemeriksaan saksi-saksi.
2) Putusan interlucotoir adalah putusan yang isinya memerintahkan
pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir, misalnya putusan
untuk memeriksa saksi-saksi ?, pemeriksaan setempat ?, dan intervensi
3) Putusan insidentil adalah putusan yang tidak mempengaruhi pokok
perkara yaitu putusan prodeo, penetapan sita.
4) Putusan provisi adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionail
b. Putusan akhir
Bentuk putusan akhir
1) Putusan deklaratif,
2) Putusan konstitutif,
3) Putusan kondemnatoir
c. Putusan Provisi
1) Putusan provisi adalah tindakan sementara yang diajukan oleh hakim
yang mendahului putusan akhir
52
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
UPAYA HUKUM DAN RUANG LINGKUPNYA
Adalah suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya atau atas
kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/ kepastian
hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang30
2. Jenis-Jenis Upaya Hukum
a. Upaya hukum melawan gugatan
1) Eksepsi
2) Rekonvensi
3) Minta vrijwaring
b. Upaya hukum melawan putusan
1) Upaya hukum biasa
a) Verzet
b) Banding
c) Kasasi
2) Upaya hukum luar biasa (istimewa)
a) Rekes Sipil (Peninjauan kembali)
b) Derden verzet
c. Upaya hukum melawan sita
1) Verzet yang bersangkutan
2) Verzet Pihak ketiga
d. Upaya hukum melawan eksekusi
1) Verzet yang bersangkutan
2) Verzet Pihak ketiga
e. Upaya hukum untuk mencampuri proses (intervensi)
1) Tussenkomt
2) Voeging
3) Vrijwaring
f. Upaya hukum pembuktian
1) Tulisan
2) Saksi-saksi
3) Persangkaan
4) Pengakuan
5) Sumpah
B. Upaya Hukum Banding
1. pengertian upaya hukum banding adalah mohon supaya perkara yang telah diputus
oleh pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan Tinggi (tingkat
banding) karena merasa belum puas dengan keputusan pengadilan tingkat pertama
C. Upaya hukum Kasasi
1. pengertian upaya hukum kasasi adalah upaya hukum agar putusan yudex factie
dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena telah salah dalam melaksanakan peradilan.
D. Upaya hukum Peninjaun kembali
1. Pengertian Upaya hukum Peninjaun kembali adalah meninjau kembali putusan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru
yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya
maka putusan hakim akan menjadi lain
E. Prorogasi
Pengertian Prorogasi adalah mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu
persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak berwenang
memeriksa sengketa tersebut, yaitu kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih
tinggi
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) DAN RUANG LINGKUPNYA
A. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama
Bahwa tujuan akhir pencari keadilan adalah agar segala hak-haknya yang
dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan hakim. Hal ini bisa
tercapai jika putusan hakim dapat dilaksanakan
Putusan hakim bisa dilaksanakan :
1. Secara Sukarela
2. Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak terhukum
tidak mau melaksanakan secara sukarela
B. Jenis-jenis Pelaksanaan Putusan
1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang
Vide Pasal 196 HIR/208 Rbg
55
Mukti Arto, h.
31
56
7. Kreditur yang memegang grosse atas pengakuan utang yang berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung memohon
eksekusi kepada ketua pengadilan agama yang bersangkutan dalam hal debitur
ingkar janji
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
1. Pasal 1 butir 1 UU No.4 th 1996 menyebutkan bahwa Hak tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya
disebut” Hak Tanggungan” adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 th 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain
2. ...
EKSEKUSI JAMINAN
1. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut
tetap dalam penguasaan pemilik benda
2. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
+++
1. Apakah pengertian Hukum Acara Perdata Peradilan Agama ? pilih salah satu
pendapat dari para pakar hukum, dan bagaimana menurut pendapatmu?
2. Bagaimana kedudukan Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah menurut
ketentuan perundang-undangan di Indonesia?
3. Apakah yang dimaksud dengan kewenangan absolut dan relatif Pengadilan
Agama?
4. Apa saja kewenangan absolut Pengadilan Agama? Tulis dasar hukumnya dan
bagaimana menurut pendapatmu tentang kewenangan absolut tersebut, apakah
telah sesuai dengan masyarakat Indonesia sekarang ini?
5. Sebutkan 5 sumber hukum Acara Perdata Peradilan Agama?
61