Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Peradilan
Mahkamah

syariat

Syariyah

Islam

di

merupakan

Aceh

yang

Pengadilan

dilakukan
Khusus

oleh
dalam

lingkungan Peradilan Agama. Peradilan syariat Islam di Aceh


(Mahkamah

Syariyah)

merupakan

pengadilan

khusus

dalam

lingkungan peradilan agama sepanjang wewenangnya menyangkut


wewenang peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus
dalam

lingkungan

peradilan

umum

sepanjang

wewenangnya

menyangkut wewenang peradilan umum. Wewenang Mahkamah


Syar'iyah sebagai pengadilan khusus seperti yang dijelaskan dalam
Pasal 3A Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak lagi terbatas
dalam bidang perdata, tetapi juga mencakup bidang mu'amalah dan
jinayah. Sebagai bagian dari sistem peradilan Indonesia, Mahkamah
Syariyah memiliki dua kompetensi dasar, yaitu wewenang Peradilan
Agama

dan

sebahagian

wewenang

Peradilan

Umum.

Penyempurnaan yang menyangkut dengan kewenangan tambahan


dari Mahkamah Syar'iyah tersebut harus dibuat dalam bentuk
undang-undang

yang

khusus

mengatur

tentang

Mahkamah

Syariyah sebagai pengadilan khusus sebagaimana yang diatur


dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar belakang dan dasar ketentuan Mahkamah Syariah
UU No: 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah
istimewa aceh sebagai provinsi nangroe aceh Darussalam (selanjutnya UU
PNAD) membawa perkembangan baru di aceh dalam system peradilan di
Indonesia. pasal 25-26 UU PNAD mengatur mengenai mahkamah syariah
NAD yang merupakan peradilan syariat islam sebagai bagian dari system
peradilan nasional.mahkamah syariah adalah lembaga peradilan yang
bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku
untuk pemeluk agama islam.kewenangan mahkamah syariah selanjutnya
di atur lebih lanjut dengan qonun PNAD. qonon PNAD adalah peraturan
daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No.
18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan mahkamah agung berwenang
melakukan uji materiil terhadap qonun.1
mahkamah syariah tersebut terdiri dari:
1.

Mahkamah syariah kabupaten/sagoe dan kota/banda sebagai

pengadilan tingkat pertama.


2.

Mahkamah syariah provinsi sebagai pengadilan tingkat banding

yang berada di ibukota provinsi, yaitu di banda aceh.


Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di mahkamah
agung sebagai peradilan Negara tertinggi. hal ini di sebutkan dalam pasal
24A UUD NRI 1945, yaitu mahkamah agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang undangan di bawah undang1 Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam,,
Lembaran Negara RI No. 114, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, Pasal 1
Butir 7

undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang.


Wewenang yang di berikan pemerintah pusat kepada NAD dalam hal
memberlakukan otonomi khusus sedikit banyak telah merubah pola hidup
pemerintahan

yang

berlangsung

di

daerah

tersebut.

mulai

dari

pembagian hak dan kewajiban antara pemerintah daerah dan pemerintah


pusat dan sebagainya, bahkan dalam pemerintah aceh sudah mulai
terdapat mahkamah syariah yang berfungsi sebagai tempat untuk
menjalankan hukum yang berbasiskan pada hukum islam. artinya
beberapa kebijakan sudah tidak lagi mengacu pada aturan-aturan hukum
pemerintah.2
Sebagai satu contoh bahwa dalam mahkamah syariah telah
menghasilkan produk hukum yang mengatur tentang tindak pidana
hukum islam atau lebih sering dikenal dengan istilah qonun dimana
sebenarnya kompetensi qonun dalam mengatur kehidupan masyarakat
yang sangat luas masih terbilang masih jauh dari sempurna. bisa dilihat
bahwa selama ini qonun yang digunakan hanya beberapa qonun yang
dihadapi masyarakat, seperti korupsi, tidak pernah terjangkau oleh
ketentuan syariah. lumprah jika kemudian sebagian kalangan menilai
dengan sebelah mata atas pelaksanaan syariat Islam di Aceh.3
Oleh karena itu, ini menjadi permasalahan untuk keberlangsungan
eksistensi aturan hukum yang berlaki di Indonesia. satu sisi dikatakan
bahwa dalam pelaksanaan hukum, terutama hukum pidana selalu
diterapkan unifikasi hukum pidana. artinya dalam mempraktekkan hukum
pidana tidak boleh diatur dengan kesepakatan tiap-tiap daerah, tetapi
harus mengacu pada ketetapan yang dilakukan dan telah dilaksanakan
oleh pemerintah dalam membentuk hukum pidana. tapi dalam system
pemerintah aceh, pelaksanaan hukum pidana dilaksanakan berdasarkan
pada ketentuan yang dibuat oleh mahkamah syariah. lebih lanjut lagi
22 Djoko Sudantoko, Dilema Otonomi Daerah, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003,
hlm. 33
3 Ibid, hlm. 41

berarti dalam pemerintah aceh tidak mempraktekkan unifikasi hukum


pidana. praktek menggunakan hukum sendiri tersebut berdasarkan UU
No. 11 tahun 2006 yang memberikan keleluasaan kepada aceh untuk
membuat qonun yang mengatur pelaksanaan syariat islam. bahkan
khusus untuk pidana (jinayah), sanksi yang diatur dalam qanun boleh
berbeda dengan batasan untuk peraturan daerah umum lainnya. selain
itu, ada ketentuan bahwa qanun syariat islam hanya dapat dibatalkan
melalui uji materi oleh mahkamah agung.
B. Kewenangan dan Kekuasaan Mahkamah Syariah di
Indonesia
1. Kewenangan Relatif
Kewenangan relatif adalah kewenangan mengadili oleh mahkamah
syariyah berdasarkan pada wilayah teritorialnya masing-masing. Pada
kewenangan ini mahkamah syariyah hanya menerima perkara yang
berada pada wilayahnya.
2. Kewenangan Absolute
Kewenangan absolute adalah kewenangan mengadili oleh
mahkamah syariyah berdasarkan hukum materiil yang menjadi lingkup
kewenanganya. Mahkamah Syariyah adalah pengalihan wujud dari
Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya, maka hingga saat ini ada
23 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Aceh dan satu
Mahkamah Syariyah Provinsi selaku pengadilan tingkat banding yang
berkedudukan di ibukota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yakni di
Banda Aceh.
Adapun Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah dan
Mahkamah
Syar`iyah Provinsi (disebut Mahkamah Syariyah Aceh) adalah kekuasaan
dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syi`ar Islam yang
ditetapkan dalam Qanun.
Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama, sesuai dengan Pasal 49
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:
1. perkawinan

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

waris
wasiat
hibah
wakaf
zakat
infaq
shadaqah dan
ekonomi syariah

Dalam melaksanakan amanat dari Pasal 25 Undang-Undang Nomor


18 Tahun 2001 dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10
Tahun 2002 telah memberikan kewenangan terhadap Mahkamah
Syar`iyah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaraperkara pada tingkat pertama dalam bidang:
a. Al-Ahwal al-Syakhshiyah;
b. Mu'amalah;
c. Jinayah.
Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara
bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan
sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.
Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh tidak merubah status dan kewenangan Mahkamah Syariyah di Aceh.
Bahkan dengan Undang-undang tersebut, kewenangan Mahkamah
Syariyah telah disebut langsung di dalamnya yakni sebagaimana diatur
dalam pasal 128 ayat (3) yang berbunyi : Mahkamah Syariyah
berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan dan menyelesaikan
perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhshiah (hokum keluarga),
muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan
atas syariat Islam. Di samping itu Undang-undang tersebut
mengamanatkan pula untuk membentuk Qanun tentang hukum acara
bagi Mahkamah Syariyah di Aceh, baik hukum acara perdata Islam
maupun hukum acara jinayah Islam.
Secara rinci kewengan absolute
dikelompokan sebagai berikut ini:

mahkamah

syariyah

dapat

a. Bidang Ahwal Al-Syakhshiyah10


Dalam bidang Munakahah mahkamah syariayah berwenang
mengadili perkaraperkara, yang meliputi kewenangan dalam bidang alAhwal al-Syakhshiyah dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut,
kecuali waqaf, hibah, dan sadaqah.
b. Bidang Muamalah11
Dalam bidang muamalah
mengadili perkaraperkara
yang meliputi:
1) Jual beli

mahkamah

syariayah

berwenang

2) Hutang piutang
3) Qiradh (Permodalan)
4) Musaqah, muzara`ah, mukharabah (bagi hasil pertanian)
5) Wakilah (Perwakilan)
6) Syirkah (Perkongsian)
7) `Ariyah (Pinjam-meminjam)
8) Hajru (Penyitaan harta)
9) Syuf`ah (Hak lang-geh)
10) Rahnun (Gadai)
11) Ihya`ul mawat (Pembukaan la-han)
12) Ma`din (Tambang)
13) Luqathah (Barang temuan)
14) Perbankan
15) Ijarah (Sewa me-nyewa)
16) Takaful
17) Perburuhan
18) Wakaf
19) Hibah
20) Shadaqah
21) Hadiah
Dengan demikian Mahkamah syariyah juga berwenang mengadili
ekonomi syariah yang meliputi :
1) Bank syariah;
2) Lembaga keuangan mikro syariah;
3) Asuransi syariah;
4) Reasuransi syariah;
5) Reksa dana syariah;
6) Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah
syariah;
7) Sekuritas syariah;
8) Pembiayaan syariah;
9) Pegadaian syariah;
10) Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
11) Bisnis syariah12.
c. Bidang Jinayah
Dalam bidang Jinayah13 mahkamah syariyah berwenang mengadili
perkara-perkara yang meliputi: hudud, Qishas/diyat dan tazir, secara
rinci sebagai berikut:
Hudud, yang meliputi :
1) Zina
2) Qadzaf (Menu-duh berzina)
3) Mencuri
4) Merampok
5) Minuman ke-ras dan Nafza
6) Murtad
7) Pemberontakan
Qishash/Diyat, meliputi :

1) Pembunuhan
2) Penganiayaan
Tazir, hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan
pelanggaran
syariat selain hudud dan qishash, me-liputi :
1) Judi
2) Penipuan
3) Pemalsuan
4) Khalwat
5) Meninggalkan shalat fardhu
6) Meninggalkan puasa Ramadhan.

Anda mungkin juga menyukai