Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan Syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI )
tidak hanya sebagai sebuah wacana, namun sudah dipraktikkan oleh mayoritas
penduduknya. Diantara daerah yang ada dalam wilayah NKRI ini adalah Aceh,
yang merupakan provinsi paling barat di pulau Sumatera ini sedang menerapkan
pelaksanaan syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam ini diberlakukan dan
mendapat legalitas karena didukung sosio-kultural dan historis masyarakatnya,
seperti Aceh dulunya dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di nusantara.
Namun demikian, pelaksanaan syariat Islam tersebut tidak serta merta berjalan
sesuai yang diharapkan. Ini terjadi disebabkan belum adanya rujukan yang jelas dan
formulasi yang tepat dalam penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, meskipun ada
beberapa Negara yang menerapkan syariat Islam bagi penduduknya.
Di masa dewasa ini, masyarakat Aceh tidak berperang melawan para
penjajah-penjajah seperti masa perjuangannya dahulu. Tetapi maksiat dan perbuatan
mungkarlah yang menjadi musuh terbesar masyarakat Aceh saat ini. Ini merupakan
tugas mulia sekaligus berat yang dipikul oleh Pemda Nanggroe Aceh Darussalam
( NAD ). Khususnya Dinas Syariat Islam yang membantu dalam proses pemulusan
pengimplementasiaan syariat Islam secara kaffah ( sempurna ) di propinsi paling
barat Indonesia ini. Pemberantasan budaya pacaran dan hubungan seks diluar nikah
yang digemari oleh para pemuda-pemudi Aceh dalam pergaulannya saat ini
merupakan sekelumit contoh-contoh yang bisa diangkat untuk menggambarkan
betapa beratnya tugas menjalankan syariat Islam secara sempurna karena hal ini
berkenaan dengan proses bagaimana mengubah cara pendang dunia seseorang.
Beranjak dari pemikiran tersebut maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya
implementasi syariat Islam secara kaffah memang tidak bisa dilaksanakan dengan
secara instan.
Pro kontra masih saja terjadi menyangkut diberlakukannya pelaksanaan
syariat Islam, apalagi dalam bidang hukum publik ( pidana ). Lahirnya UndangUndang Pemerintahan Aceh ( UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam

perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh , karena


dengan Undang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang
langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana
pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang
sejahtera.
Ada berbagai macam landasan dalam menerapkan syariat Islam di tanah
rencong ini. Landasan-landasan ini pula yang yang akan berpengaruh terhadap
perkembangan dan proses pemberian nilai-nilai islam yang positif dalam pribadi
masyarakat Aceh itu sendiri. Oleh karena itu, landasan-landasan tersebut sangat
penting dipelajari agar terciptanya rasa peduli terhadap agamanya sendiri yang telah
dijunjung tinggi dan diperjuangkannya selama ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimakah landasan historis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?
2. Bagaimakah landasan filosofis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?
3. Bagaimakah landasan yuridis dalam penerapan syariat Islam di Aceh?
4. Apakah syariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif ?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami bagaimana landasan historis dalam penerapan syariat Islam
di Aceh.
2. Untuk memahami bagaimana landasan filosofis dalam penerapan syariat Islam
di Aceh.
3. Untuk memahami bagaimana landasan yuridis dalam penerapan syariat Islam di
Aceh.
4. Untuk mengetahui apakah syariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif.

BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Syariat Islam
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah
untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al Quran maupun dengan
sunnah Rasul.
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) syariat islam secara
harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh
setiap muslum, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan
Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh
aspek manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan
atau hukum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam Al
Quran maupun hadits dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup
umat manusia di dunia dan di akhirat.

Dalam hunbungannya dengan syariat islam yang berlaku di Aceh, dapatlah


dijelaskan lembaga lembaga yang memiliki wewenang sebagai berikut :
a. Dinas syariat islam.
Dinas syariat islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 Februari 2002.
Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat islam. Tugas
utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat
islam di NAD.
b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
3

Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah


bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di
bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat islam adalah lembaga ini
bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran
dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada
pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c. Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenang memberitahu dan
mengingatkan anggota anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada
yang harus di ikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta
perbuatan yang harus di hindari karena bertentangan dengan peraturan.
d. Mahkamah syariah.
Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadilan agama yang sudah
di hapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah
(pidana) yang sudah ada Qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan
yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam. Tingkat kabupaten
dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi
yang diesmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).

2.2 Pengertian Qanun


Qanun adalah peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah Aceh dan
disahkan oleh DPR yang di tanda tangain oleh Gubernur (Tingkat propinsi) dan
bupati atau walikota pada daerah tingkat dua. Dasar berlakunya Qanun adalah
undang undang tentang otonomi khusus Aceh, dalam undang-undang nomor 18
disebutkan bahwa mahkamah syariyah akan melaksanakan syariat islam yang di
tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan yang dibuat
oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di
Aceh.
4

Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :


a. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah,
ibadah dan syariat islam.
b. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku
yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim
tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi
yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman tazir berupa kurungan paling
lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000
(tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta
rupiah).
c. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
d. Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
e. Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
2.3 Pengertian Landasan Historis
Secara bahasa, landasan Historis terdiri atas dua suku kata yaitu Landasan
dan Historis. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia kata Landasan berasal dari
kata landas yang berakhiran an yang berarti alas, dasar, paron, besi yang menempa,
bukti (keterangan) untuk menguatkan suatu keterangan. Sedangkan kata Historis
diambil dari kata plural (jamak) bahasa inggris History yang berarti segala hal yang
berkenaan dengan sejarah dan masa lalu.
Jadi, dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa landasan historis adalah
segala bukti sejarah yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan
dasar dari suatu permasalahan. Adapun yang menjadi permasalahan dari landasan
historis ini adalah pelaksaan Syariat Islam di Aceh.
2.4 Pengertian Landasan Filosofis
Secara Bahasa, Kata filsafat berasal dari kata dalam bahasa Yunani Filosofia,
yang berasal dari kata kerja Filosofien yang berarti mencintai kebijaksaan. Kata
tersebut juga berasal dari kata dalam bahasa Yunani Philosophis yang berasal dari
kata Philein yang berarti mencintai, atau Philia yang berarti cinta, dan kata Sophia
yang berarti kearifan atau kebijaksaan. Dari kata tersebut lahirlah kata inggris
Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Menurut Al Farabi

filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segalanya yang
ada (al ilm bil maujudat bi ma hiya al maujudat).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis adalah segala bukti filosofis
yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu
permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan filosofis ini adalah
pelaksaan Syariat Islam di Aceh.
2.5 Pengertian Landasan Yuridis
Menurut bahasa, Yuridis dapat juga diartikan Rechtens yang berarti segala hal
yang berdasarkan hukum, menurut hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata Yuridis berarti menurut hukum; secara hokum.
Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan yuridis adalah segala bukti yang
yuridis atau berdasarkan hukum yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan
sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan.

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Landasan Historis dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh


Sejarah ajaran Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah melalui Aceh
oleh Kesultanan Samudera Pasai atau dikenal juga dengan nama Samudera
Darussalam yang hancur pada abad ke-16. Syariat Islam sebenarnya bukan hal baru
bagi daerah penghasil gas alam cair di ujung pulau Sumatera ini. Beberapa literatur
sejarah menginformasikan tentang penerapan Syariat Islam dalam kehidupan sosial
dan pemerintahan ketika Aceh masih diperintah raja-raja setempat. Menurut Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), empat kerajaan besar di Aceh yaitu
Peureulak, Pasai, Pedir dan Daya telah berasaskan Islam sebelum bersatu dan
membentuk kerajaan Islam Bandar Aceh Darussalam yang dibentuk oleh Sultan
Johan Syah pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 Hijriyah atau 22 April 1205 Masehi.
Bahkan kerajaan Islam ini juga memiliki kitab rujukan yang bernama Qanun AlAsyi (Adat Meukuta Alam) sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Islam
Darussalam. Dari latar belakang sejarah tersebut, ajaran Islam telah mengakar dalam
kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Aceh, Islam dijadikan sebagai pedoman
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, Islam telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Mereka amat tunduk kepada ajaran Islam dan sangat memperhatikan fatwa-fatwa
dari para ulama karena mereka menganggap ulama adalah ahli waris dari nabi.
inilah bukti kenapa para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam
hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk
menetapkan suatu kebijakan.
Sebagaimana diketahui Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman
sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif
sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan
Syariat Islam secara kaffah. Aceh dalam sejarahnya yang panjang, juga memiliki

pasang surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri Aceh memiliki
masyarakat yang unik, misalnya disebutkan heroik, berani, ulet, tanpa mengenal
menyerah dan malah ada yang menyebutkan dengannya dengan sebutan Moorden.
Julukan yang terakhir bermakna kegilaan, yang disebutkan oleh seorang jurnalis
Belanda, RA. Kern. Masyarakat Aceh menurutnya memilliki sifat-sifat kegilaan,
suka membuang nyawa atau suka mati dengan melakukan penyerangan terhadap
orang-orang Belanda yang siaga dengan persenjataan mereka yang lengkap demi
membela agama mereka dan tanah airnya, padahal mereka tidak memiliki senjata
yang berarti untuk mengimbangi senjata lawan (Belanda). Nilai-nilai Islami
memang telah mendarah-daging dalam masyarakat Aceh. Karenanya, meskipun
Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang dikumandangkan
Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya tetap
bersendikan pada syariat Islam.
3.2 Landasan Filosofis dalam Penerapan Syariat Islam di Aceh
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma
dasar Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena
dari Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam
sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh, karena setiap Negara didirikan atas
dasar falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.
Keberadaan Pancasila dalam Qanun Aceh merupakan pelaksanaan Pancasila
yang terdapat dalam isi Qanun tersebut, karena sila pertama tersebut mengandung
sisi mutlak, bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada tempat
bagi pertentangan dalam hal ketuhanan atau keagamaan, karena di Indonesia tidak
hanya memiliki satu agama saja yaitu agama Islam, melainkan banyak agama yang
ada di Indonesia, oleh karena itu setiap manusia yang ada di Indonesia diberikan
kesempatan untuk memeluk agamanya masing-masing. Dalam hal ini, pemeluk
agama Islam, bagaimana yang ditafsirkan dalam sila pertama Pancasila bahwasanya
dijamin untuk melakukan pelaksanaan syariat yang diajarkan oleh agama Islam,
yang diistilahkan dengan nilai adil dan beradab. Kata wajib dalam pelaksanaan
8

Syariat yang diajarkan oleh Islam Pancasila menafsirkan bahwasanya kewajiban


religius dan kewajiban moril tertanam dan meresap pada sanubari setiap orang,
sesuai dengan keadilan dan keadaban sebagaimana yang diajarkan oleh Negara
Indonesia.
Landasan ini adalah dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi
dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) ke
dalam suatu rencana atau draf peraturan Negara. Falsafah dan pandangan hidup
suatu bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Hal ini
bertujuan supaya nilai filosofi bangsa tersebut tidak bertentangan dengan kaidah
hukum dan norma yang ada dalam bangsa tersebut. Bahwasanya kedudukan
Pancasila dalam Qanun Aceh merupakan sebagai sumber hukum yang menjadi
Filosofi Qanun Aceh yang sebagai upaya pengharmonisasian antara Peraturan
nasional dengan Qanun Aceh yang berlaku hanya di Aceh.
Kedudukan Pancasila sebagai landasan filosofi dalam Qanun Aceh merupakan
norma hukum yang di cita-citakan oleh masyarakat. Qanun dapat dijadikan sebagai
keinginan kolektif masyarakat Aceh dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari,
dengan melalui pelaksanaan Qanun diharapkan masyarakat Aceh bisa merasakan
hukum yang dicita-citakan selama ini. Adapun dasar pembentukan Qanun Aceh
adalah berdasarkan filosofi yaitu keberadaan masyarakat Aceh yang meyakini
keberadaan bumi ini tidak terlepas dari aturan-aturan (hukum) yang ditetapkan oleh
Allah SWT. Dalam tatanan hidup bernegara di Indonesia hal ini dengan jelas diatur
dalam Pancasila yang sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pada itu,
keberadaan Qanun Aceh di Negara Kesatuan Indonesia adalah merupakan kesadaran
masyarakat Aceh sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang telah
disebutkan dalam sila pertama Pancasila, dan oleh karena itu pula adanya pengakuan
terhadap Qanun Aceh sebagai peraturan dalam melaksanakan Syariat Islam.
3.3 Landasan Yuridis dalam penerapan syariat Islam di Aceh
Adapun yang menjadi permasalahan dari landasan Yuridis ini adalah
pelaksaan Syariat Islam di Aceh itu sendiri. UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18
tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariat Islam
secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undangundang ini masyarakat Aceh melaksanakan syariat Islam secara terbatas terutama

dalam bidang hukum keluarga dan sebagian kecil bidang muamalah seperti wakaf,
hibah, sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang
muamalah lainnya hampir sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan
undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment
penting dalam rangka menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living
law) di Aceh. Artinya, keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan
hukum nasional yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat
formalisasi syariat Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah
berbagai aturan syariat Islam dapat ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Yang menjadi persoalan sekarang adalah merumuskan materi Qanun
yang sesuai dengan semangat sosiologis yang dikandung syariat.
Dari beberapa Qanun yang pernah dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam
kelihatannya belum seluruhnya mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka
kontekstual. Klausul yang dirumuskan dalam Qanun masih sangat normatif
sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh klasik dan kering dengan nuansa
sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa
pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi pemikiran hukum Islam di
Aceh hari ini.
Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat
Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan bahwa orang Islam yang
melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh. Ancaman pidana yang
dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara komprehensif melihat konteks
sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariatkan. Akibatnya, Qanun No 11 Tahun
2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama di
Aceh. Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata hukuman bunuh bagi orang
Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan peristiwa orang Islam yang
keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh (desertir). Jadi, ancaman bunuh
bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari Islam, akan tetapi karena ada unsur
desertirnya. Al Quran mengakui adanya kebebasan beragama, dan menghargai
orang yang berbeda agama.

10

Dalam perjalanan perumusan materi Qanun NAD kadang-kadang terasa


masih ada keinginan untuk mengadopsi aturan fiqh tanpa memperhatikan aspekaspek sosial dan humanistis. Padahal Qanun ini akan diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Pandangan yang menginginkan adopsi aturan fiqih tanpa filter, ternyata
telah melahirkan Qanun yang kurang memiliki daya ikat sosial yang tinggi.
3.4 Syariat Islam Sebagai Hukum Positif di Aceh
Syariat Islam di Aceh berlaku sebagai hukum positif sejak zaman kerajaan
aceh Darussalam yang mencapai puncak kejayaan pada jaman Sultan Iskandar
Muda. Syariat Islam tersebut berlaku dalam seluruh aspek kehidupan bernegara baik
berdasarkan hukum private yang meliputi Fiqih, yaitu berkaitan dengan kewajiban
secara perorangan, maupun hukum publik yang berupa hukum pidana Islam
(Jinayat), maisyir (Judi), khamar (minuman keras), maupun khalawat yaitu berduaduaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mukhrim.
Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah UU no 44 tahun 1999
dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat Islam
didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam.
Seiring dengan berjalannya waktu sampai dengan era kemerdekaan Negara
republik Indonesia, Aceh dinyatakan oleh pemerintah pusat sebagai daerah istimewa
yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum positif atau hukum yang
seharusnya (ius constituendum) yang meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman
keras), dan khalawat. Namun pada kenyataannya tidak menjadi hukum yang berlaku
(ius

constitutum),

hal

inilah

yang

memicu

masyarakat Aceh

menuntut

diberlakukannya kembali hukum Islam dan sebagai salah satu penyebab Aceh untuk
merdeka.
Dari seluruh rangkaian sejarah tuntutan masyarakat Aceh akhirnya
pemerintah pusat memberikan otonomi khusus berdasarkan undang undang otsus
yang disebut Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dan pada akhirnya
pemerintah daerah Aceh atau yang disebut pemerintah Aceh membuat peraturan
daerah yang disebut Qanun dan secara resmi menjadikan hukum islam sebagai
hukum positif yaitu hukum public yang meliputi maisyir (Judi), khamar (minuman
keras), dan khalawat.
Proses pelaksanaan hukum public tersebut di atas dilaksanakan oleh polisi
syariat dan polri sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan

11

pengadilan agama yang disebut sebagai mahkamah syariah sebagai yang berwenang
mengadili. Dengan ancaman hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.

12

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah
disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya
lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah.
Nilai-nilai Islami memang telah mendarahdaging dalam masyarakat Aceh.
Karenanya, meskipun Aceh menyatakan dukungannya terhadap proklamasi yang
dikumandangkan Soekarno-Hatta, dan itu berarti bergabung dalam negara Kesatuan
Republik Indonesia, masyarakat Aceh menginginkan agar tata pemerintahannya
tetap bersendikan pada syariat Islam.
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan Pancasila sebagai norma
dasar Negara, yang merupakan sebagai landasan filosofis dalam bernegara, karena
dari Pancasila ini pula dibentuknya norma-norma Pancasila dan Syariat Islam
Sebagai Asas Pembentukan Qanun di Aceh. Karena setiap Negara didirikan atas
dasar falsafah tertentu dan merupakan keinginan dari rakyatnya. Oleh karena, setiap
Negara mempunyai falsafah yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengambil
falsafah Negara lain dan kemudian mejadikannya sebagai falsafah pada suatu
Negara.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat
bagi tegaknya pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh
melaksanakan syariat Islam secara terbatas terutama dalam bidang hukum keluarga
dan sebagian kecil bidang mumalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan wasiat.
Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang mumalah lainnya hampir sama
sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No. 44
Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka
menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya,
keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Proses pelaksanaan hukum publik dilaksanakan oleh polisi syariat dan polri
sebagai penyelidik dan penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan mahkamah
13

syariah sebagai yang berwenang mengadili dengan ancaman hukuman cambuk bagi
para pelanggarnya.
4.2 Saran
a. Hukum publik tetap diberlakukan di Aceh dan ditambah pidana Islam atau
jinayat.
b. Dengan adanya hukum public, pelaksanaan hukum cambuk di Aceh, hendaknya
dapat menjadikan masyarakat muslim lainnya untuk memilki kesadaran hukum
agar lebih mentaati ketentuan ketentuan yang berlaku dengan kesadaran yang
paling dalam bahwa perbuatan tersebut adalah melanggar agama.
c. Untuk pembaca, hendaknya mempelajari landasan dalam penerapan syariat
Islam dengan begitu dapat menambah wawasan kita dalam mengetahui agama
Islam di Aceh sehingga dapat menambah rasa bangga kepada agama Islam yang
kita anut ini.

14

DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar. Al yasa.2006. Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh DarussalamParadigma, Kebijakan dan Kegiatan. Dinas syariat islam: Banda aceh.
Musa, Muhammad Yusuf.1988.Islam: Suatu Kajian Komprehensif. Jakarta: Rajawali
Press.
Adan, Hassanuddin Yusuf. Sejarah dan Perkembangan Islam di Aceh. Jurnal Ar-Raniry,
Nomor

82

Tahun

2003.

Tersedia

dalam

https://www.academia.edu/10291095/makalah_studi_syariat_islam_di_aceh_qanun
Amanda, Rizky Rachmani. 2014. Aceh dan Syariat Islam. diambil pada 20 Mei 2015
dari https://www.academia.edu/7475125/ACEH_DAN_SYARIAT_ISLAM
Amal, Taufik Adnan, dkk. 2004. Politik syariat Islam: dari Indonesia
hingga Nigeria. Pustaka Alvabet : Jakarta. Tersedia dalam
https://books.google.co.id/books?
id=3PTxZVyzIfwC&pg=PA26&dq=buku+tentang+syariat+islam+di+a
ceh&hl=id&sa=X&ei=qzFjVfTBD82ruQSxvoKgDA&redir_esc=y#v=one
page&q=buku%20tentang%20syariat%20islam%20di
%20aceh&f=false diakses pada 19 Mei 2015 pukul 20:15

Berutu, Ali Geno .2014. Review Disertasi Tentang Penerapan Syariat Islam di Aceh.
Diambil pada 19 Mei 2015 dari
https://www.academia.edu/7419800/REVIEW_DISERTASI_TENTANG_PENERAPA
N_SYARIAT_ISLAM_DI_ACEH

15

16

Anda mungkin juga menyukai