Anda di halaman 1dari 16

Makalah sistem peradilan pidana

MAHKAMAH SYARIYAH
Disusun oleh:

Fajarul Iman

: 1103101010412

Hasyimi Pradana : 1203101010247


Siti Wilda Lisma
Lisa Novita

: 1203101010377
: 1203101010347

Agus Munanzar
1203101010103

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
menurut UUD 1945 mengatur tentang otonomi khusus suatu daerah atau
bersifat istimewa. Daerah yang telah mendapat otonomi khusus tersebut
salah satunya adalah Aceh. Salah satu bentuk formal otonomi khusus
Aceh adalah implementasi syariat Islam yang kemudian dibentuklah
Mahkamah Syar'iyah yang menjadi salah satu bagian dari otonomi khusus
yang ada di Aceh. Hak dan kesempatan untuk membentuk Peradilan
Syariat Islam adalah satu kekhususan yang diberikan kepada NAD yang
berbeda dengan daerah-daerah lainnya sebagai bagian dari pelaksanaan
otonomi khusus.
Dalam harapan masyarakat masyarakat Aceh, Mahkamah
Syariyah akan menangani semua sengketa dan permasalahan hukum
yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat. Dengan demikian
kewenangan absolut mahkamah ini mencakup hukum publik dan privat,
sesuai dengan aturan yang ada dalam syariat Islam. Untuk ini masyarakat
Aceh sangat berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat
disiapkan tenaga hakim yang ahli tentang syariat dan juga dapat di susun
Qanun Syariyah yang akan digunakan sebagai hukum materil oleh
Mahkamah Syariyah.
Dari beberapa pilihan yang mungkin dilakukan mengenai format
Peradilan Syariat Islam dengan berbagai pertimbangan disepakati untuk
tidak membentuk lembaga baru, tapi mengembangkan Peradilan Agama
yang sudah ada menjadi Mahkamah Syariyah. Pilihan ini dapat kita lihat
dari bunyi Qanun No. 10 Tahun 2002 ayat 3 yang berbunyi : Mahkamah
Syariyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan pengembangan
dari Peradilan Agama yang sudah ada.
Peradilan Syariat Islam (Mahkamah Syariyah) di Aceh merupakan
bagian dari sistem Peradilan Nasional dalam lingkungan peradilan agama
yang diresmikan dalam satu upacara pada tanggal 1 Muharram 1424 H/ 4
Maret 2003 M sesuai dengan Kepres No. 11 Tahun 2003 yang merupakan
pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh
(pasal 128 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2006).

Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama,


berwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah
serta wakaf dan shadaqah. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama
berwenang mengadili perkara tersebut untuk tingkat banding atau tingkat
kasasi.

B. Permasalahan
1. Apa dasar hukum yang mengatur mengenai mahkamah syariyah?
2. Apa saja tugas dan wewenang dari Mahkamah Syariyah menurut
Qanun Aceh?
3. Apa saja permasalahan utama dari Mahkamah syariyah berkaitan
dengan tupoksinya?
4. Bagaimanakah alur koordinasi antara Mahkamah Syariyah dengan
institusi lainnya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Mahkamah Syariyah


Mahkamah Syar'iyah adalah salah satu Pengadilan Khusus yang
berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari
Peradilan Agama. Mahkamah Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah
Provinsi dan Mahkamah Syar'iyah (tingkat Kabupaten dan Kota).
Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Syariyah dan Mahkamah
Syariyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan
kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam
bidang ibadah dan Syariat Islam yang ditetapkan dalam Qanun Provinsi
Aceh Nomor 10 Tahun 2002. Saat ini terdapat satu Mahkamah Syar'iyah
Provinsi dan 20 Mahkamah Syar'iyah.
Mahkamah Syar'iyah ini ditetapkan dan dinyatakan berlaku pada
tanggal 1 Maret 2003 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1424 H.
Pada hari itu juga diresmikan pembentukan Mahkamah Syar'iyah dan
Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Aceh. Pembentukan tersebut berdasarkan
UU No. 18 Tahun 2001, Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 dan
Keppres No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah
Syar'iyah Provinsi.

B. Tugas dan Wewenang Mahkamah Syariyah


Ada 2 kewenangan Mahkamah Syariyah untuk melaksanakan tugas pokok
nya dalam pengadilan, diantaranya :
a. Kewenangan relatif

Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan


untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
suatu perkara yang di ajukan kepadanya, didasarkan pada wilayah
hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal
b. Kewenangan absolut (mutlak)
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang
badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
mutlak tidak dapat diperiksa peradilan lain.
Mahkamah Syariyah merupakan pengembangan dari Peradilan
Agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sudah pasti
kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Syariyah lebih luas
dari kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama. Dalam
UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989
ditegaskan bahwa Tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah
Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Waris,
Wasiat, Hibah, Wakaf, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah
Kewenangan Mahkamah Syariyah diatur dalam UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang selengkapnya berbunyi :
1. Peradilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem
Peradilan Nasional dalam lingkup Peradilan Agama yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Syariyah yang bebas dari
pengaruh pihak manapun.
2. Mahkamah Syariyah merupakan pengadilan bagi setiap
setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.
3. Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa, mengedili,
memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang
ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalat (hukum
perdata), dan jinayat (hukum pidana) yang berdasarkan atas
syariat islam.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalat (hukum perdata), dan jinayat
(hukum pidana) sebagaimana dimaksud ayat 3 diatur dengan
Qanun.
Kewenangan Mahkamah Syariyah sebagaimana tersebut di atas juga
telah diatur dalam Qanun Prov. NAD No. 10 Tahun 2002, yaitu dibidang :
a. Al-Ahwal al-Sakhshiyah
b. Muamalat
c. Jinayat
Dalam pasal 50 juga dijelaskan:

(1) Mahkamah Syar'iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa


dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah
Syar'iyah dalam tingkat banding.
(2) Mahkamah Syar'iyah Provinsi juga bertugas dan berwenang
mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan antar Mahkamah Syar'iyah di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Dalam pasal 51 disebutkan "Selain tugas dan kewenangan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50, Mahkamah
dapat diserahi tugas dan kewenangan lain yang diatur dengan Qanun"
Kewenangan Mahkamah Syariyah di bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), diantaranya meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal
49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989,
kecuali waqaf, hibah, shadaqah, zakat, infaq, dan ekonomi syariah.
Kewenangan Mahkamah Syariyah di bidang muamalat (hukum perdata),
diantaranya meliputi hukum kebendaan dan perikatan, seperti : jual beli,
hutang piutang, qirad (permodalan), musaaqah, muzaraah, mukhabarah
(bagi hasil pertanian), wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian), ariah
(pinjam meminjam), hijru (penyitaan harta), rahnun (gadai ), ihyaul mawat
(pembukaan lahan), madin (tambang), luqathah (barang temuan), ijarah
(sewa menyewa), takaful (penjaminan) perbankan, perburuhan, harta
rampasan, waqaf, shadaqah, hadiah, zakat, infaq, dan ekonomi syariah.
Kewenangan Mahkamah Syariyah di bidang jinayat (hukum pidana)
diantaranya adalah :
a. Hudud, meliputi : zina, khazaf (menuduh zina), mencuri, merampok,
meminum
minuman
keras
dan
napza,
murtad,
bughah
(pemberontakan).
Hudud (hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukuranya).
Mengingat hudud ini telah jelas hukumannya, baik bentuk maupun
ukurannya maka hakim tidak punya kebebasan lagi untuk menemukan
hukum lain, dalam kesempatan ini hakim hanya memiliki kesempatan
berijtihat untuk menetapkan (apakah tindak pidana itu benar telah
dilakukan ataupun tidak,) bila ini telah jelas dilakukan maka hakim tinggal
mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu.
Sejalan dengan ketentuan hudud seperti di kemukakan di atas,
ternyata di daerah Aceh baru menetapkan satu kasus hudud saja, yaitu
tentang mengkonsumsi khamar (minuman keras) dan sejenisnya,
dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Hal ini bukanlah atas
dasar hasil pemikiran pemerintah Aceh dalam menetapkan hukumannya

berupa hukum cambuk sebanyak 40 x, tetapi berupa ketentuan Tuhan


yang harus diikuti, karena penentuan hukum seperti ini telah tegas
tercantum di dalam nash syariat, dengan demikian pemerintah Aceh
tinggal mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya.
b. Qishash/diat, meliputi : pembunuhan dan penganiayaan.
c. Tazir yaitu hukuman terhadap pelanggaran syariat islam selain hudud
dan qishash, seperti : judi, khalwat, meninggalkan sholat fardhu dan
puasaramadhan (telah diatur dalam qanun No. 11 tahun 2002),
penipuan, pemalsuan, dll.
Tazir (hukuman di beri kebebasan bagi hakim menentukannya).
Mengingat adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman dalam
kasus tazir ini maka kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa
hukuman yang akan di tetapkan bagi pelakunya, dan bagaimana cara
pelaksanaannya sangat besar. Dengan demikian, kejelian hakim untuk
menentukan hukum yang akurat dalam hal ini sangat diperlukan.
Dari apa yang diatur dalam undang undang dan qanun, dapat
secara nyata bahwa kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah
Syariyah amatlah luas, menyamai kewenangan yang dimiliki peradilan
umum saat ini, namun hukum materil (qanun) yang berkaitan dengan
kewenangan Mahkamah Syariyah tersebut belum selesai seluruhnya.
Pemerintahan Prov. NAD telah mengeluarkan beberapa qanun yang
mendukung pelaksanaan syariat Islam yang telah diberlakukan, dintara
qanun tersebut adalah :
1. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan
sejenisnya
Khamar dan sejenisnya adalah minuman
yang
memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan
terganggunya kesehatan, kesadaran dan daya fikir
(pasal 1 angka 20)
Mengkonsumsi adalah memakan atau meminum
minuman khamar dan sejenisnya, baik dilakukan sendiri
maupun dengan bantuan orang lain (pasal 1 angka 28)
Ketentuan Uqubat :
a. Peminum (pasal 5) diancam dengan uqubat hudud
40 kali cambuk (Pasal 26 ayat 1)
b. Setiap
orang/badan
hukum
memproduksi,
menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan,
mengangkut,
menyimpan,
menimbun,
memperdagangkan,
menghadiahkan
dan
mempromosikan minuman khamar, diancam dengan

uqubat tazir berupa kurungan paling lama 1 (satu)


tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp. 75 juta, paling sedikit Rp. 25 juta
(Pasal 26 ayat 2)
2. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian)
Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan atau perbuatan yang
bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih, dimana pihak yang
menang mendapatkan bayaran (pasal 1 angka 20)
Ketentuan uqubat :
a. Penjudi (pasal 5) diancam dengan uqubat cambuk di depan
umum paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali (Pasal 23
ayat 1)
b. Setiap orang/badan hukum atau badan usaha yang
menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang
lain yang akan melakukan maisir atau menjadi pelindung
terhadap perbuatan maisir, diancam dengan uqubat atau
denda paling banyak Rp. 35 juta, paling sedikit Rp. 15 juta
(Pasal 23 ayat 2)
3. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Kahlwat (Mesum)
Khalwat (mesum) adalah perbuatan bersunyi sunyi
antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan
jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan
(pasal 1 angka 20).
Khalwat/mesum tidak hanya terjadi di tempat-tempat
tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi
juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan
atau di tempat-tempat lain, seumpama dalam mobil
atau
kendaraan
lainnya,
dimana
laki-laki
dan
perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah atau
hubungan mahram ( Penjelasan atas Qanun 14/2003
Penjelasaan Umum)
Ketentuan uqubat :
a. Melakukan khalwat (pasal 4) diancam dengan
uqubat tazir berupa dicambuk paling tinggi 9 kali
dan rendah 3 kali dan/atau denda paling banyak
Rp. 10 juta, paling sedikit Rp. 2,5 juta (Pasal 22
ayat1)
b. Memberi fasilitas dan/atau kemudahan diancam
dengan uqubat tazir berupa kurungan paling lama
6 bulan, paling sedikit 2 bulan dan/ atau denda
paling banyak Rp. 15 juta, paling sedikit 5 juta.
(Pasal 22 ayat 2).

C. Permasalahan Utama Instansi Berkaitan dengan Tupoksinya.


1. Mahkamah syariyah tidak bisa menuntut jaksa untuk segera
dilaksanakannya putusan
pengadilan, yang mana banyak kasus
yang telah di putuskan pengadilan tapi tidak di jalankan oleh
kejaksaan setempat, dan seolah olah putusan ini hanya bersifat
main main.
2. Mahkamah syariyah belum mempunyai kewenangan untuk
merekrut pegawai sendiri sesuai kebutuhan pengadilan
3. Rekrutmen PNS yang diterima belum sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan kerja yang dibutuhkan di Mahkamah syariyah.
Beberapa tantangan lain yang dihadapi oleh Mahkamah Syariyah:

Tantangan Internal
1. Fasilitas lembaga

Secara logika setiap bertambahnya kewenangan, secara otomatis


akan berimbas dengan berbagai variabel yang lain, seperti sarana dan
prasarana, keuangan dan berbagai fasilitas yang lain. Salah satu kendala
yang dihadapi mahkamah syariyyah saat ini adalah ruangan yang terlalu
sempit. Sebelumnya Mahkamah Syariyyah yang dahulu merupakan
Pengadilan Agama hanya menyidang perkara-perkara ahwal al syakhsiyah
dan muamalah, sehingga ruangannya tidak terlalu besar. Tapi sejak kasuskasus jinayah seperti khalwat, maisir dan khamar, maka Mahkamah
Syariyyah memerlukan ruangan sidang yang lebih besar lagi karena
diperlukan tempat khusus bagi jaksa penunutut umum dan juga para
penasehat hukum.
2. SDM Hakim dan Panitera
Untuk menjalankan fungsi dan wewenang tersebut, maka lembaga
peradilan menuntut adanya hakim dan penegak hukum yang baik dan
memiliki profesional tinggi. Baik dalam memutuskan perkara, maupun
dibidang pergaulan lainnya, yang tidak terlepas dari tuntutan komitmen
moralitas keIslaman. Hal ini akan sangat berpengaruh pula terhadap mutu
putusan hakim, yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat
kepercayaan masyarakat tentang lembaga peradilan itu sendiri. Akhirakhir ini sudah ditambah satu lagi kewenangan mahkamah syariyyah
dalam bidang ekonomi syariah. Tambahan wewenang ini, di satu sisi dapat
menambah beban kerja bagi hakim, dan juga disisi lain bertumpuknya
volume perkara yang masuk ke Mahkamah Syariyyah, yang berdampak
pada kapasitas dan kapabilitas para hakim dan paniteranya.

Tantangan Eksternal
1. Dukungan Pemerintah Pusat

Salah satu kendala yang dihadapi oleh hakim Mahkamah Syariyyah


dalam menyelesaikan berbagai perkara tentang ekonomi syariah karena
sampai saat ini belum ada UU khusus yang mengatur tentang perbankan
syariah dan juga lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Hal ini
menjadi preseden yang tidak baik bagi penegakan hukum, khususnya di
bidang ekonomi syariah. Karena sistem hukum yang berlaku di indonesia
menganut sistem hukum civil law, maka kehadiran sumber hukum tertulis
dalam bentuk peraturan perundang-undangan mutlak diperlukan.
2. Dukungan Pemerintah Aceh
Khusus untuk Aceh,
sistem ekonomi syariah ini mendapat
momentum yang cukup baik dengan pemberlakuan Syariat Islam. Karena
aspek ekonomi juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
dinamika syariah yang kaffah itu sendiri. Dalam memberikan
konstribusinya, Pemerintah Aceh dapat mengeluarkan berbagai Qanun
pendukung sebagai manifestasi dari amanat Undang-undang dalam
memajukan ekonomi syariah dan menyelesaikan perkara-perkara yang
ada kaitannya dengan bidang wewenang Mahkamah Syariyyah.
3.

Dukungan masyarakat

Dalam penerapan hukum harus ditekankan tentang hukum yang


hidup dalam masyarakat. Sebab hukum yang paling baik adalah hukum
yang lahir dari masyarakat atau paling tidak hasil dari aspirasi dari
masyarakat. Oleh karena itu, untuk mencapai hal ini dibutuhkan budaya
hukum yang baik dan teratur dalam segala bidang, termasuk ekonomi.
Sudah cukup lama masyarakat tidak mengetahui bahwa wewenang
Mahkamah Syariyyah itu sudah cukup luas dan bahwa mencakup bidang
ekonomi syariah. Pada tahap awal masyarakat akan merasa bingung dan
heran akan kemajuan yang sudah ada ini, oleh karena itu sosialisasi dari
berbagai pihak dibutuhkan dalam rangka memberikan berbagai
penjelasan dan pengetahuan kepada masyarakat, agar mereka dapat
memahami dan memenuhi berbagai ketentuan baru ini.

Pendapat masyarakat tentang Mahkamah Syariyah:


1. Muhammad Rizki Kamal : Mahkamah syariyah sudah berjalan dengan
baik dan menjalankan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2. Erik Novriansyah : Mahkamah syariyah sudah menjalankan fungsinya


dengan baik yang mana belum ada keputusan yang telah dijatuhkan
menimbulkan kontroversi.
3. Hendri dwitanto : Mahkamah syariyah sudah menjalankan tugasnya
dengan baik dimana jarang media memuat tanggapan miring mengenai
Mahkamah syariyah.

D. Alur Koordinasi Antara Mahkamah Syariyah dengan Instansi


Lainnnya.
1. Kepolisian
Hubungan antara kepolisian dengan mahkamah syariyah adalah
dalam hal penyelidikan perkara jinaiyah dan melakukan pengamanan
dalam persidangan. Dalam pasal 133 menyebutkan: Tugas
penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syariat islam yang
menjadi wewenang mahkamah syariyah sepanjang mengenai jinaiyah
dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil.
2. Kejaksaan
Kejaksaaan di Aceh melaksanakan tugas dan kebijakan teknis
dibidang penegakan hukum termasuk pelaksanaan syariat islam,
maka tugas penututan dalam sistem peradilan jinaiyah di mahkamah
syariyah menjadi wewenang jaksa penuntut umum, walaupun jaksa
penegak hukum yang ada di Aceh merupakan jaksa nasional.
Tugas penuntutan dan pelaksanaan pidana dibidang syariat islam
di Aceh menjadi tugas dan wewenang jaksa yang diemban oleh jaksa
secara penuh tanpa dibantu oleh pihak lain yang bersifat lokal.
3. Pengadilan Adat
Hubungan antara pengadilan adat dengan Mahkamah Syariah
adalah bagian pelimpahan perkara khususnya di Aceh dimana dalam
perkara jinaiya yang tidak dapat diselesaikan dari peradilan adat akan
di limpahkan ke Mahkamah Syariyah, misalnya dalam hal seseorang
melakukan penganiaya, di Aceh perkara tersebut akan diselesaikan
secara adat melalui lembaga Diyat misalnya dengan pemberian
kompensasi berupa misalnya untuk membayar 100 ekor kambing,
apabila tidak memcapai suatu penyelesaian maka akan diselesaikan di
Mahkamah Syariyah.
4. WH
Wilayatul Hisbah merupakan unit kepolisian yang dibentuk oleh
bupati/walikota sebagai bagian dari satuan polisi pamong praja dan di

angkat sebagai Penidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Dalam hal


penyidikan ini WH bekerja sama dengan kepolisian dalam penyidik
perkara jinaiyah.
WH juga sebagai pelaksana pidana cambuk berdasarkan putusan
dari mahkamh syariyah. Dimana dalam kesepakatan pihak
pemerintah Aceh dengan kejaksaan tinggi, pengadilan tinggi Banda
Aceh, Mahkamah Syariyah provinsi dan kantor wilayah departemen
hukum dan HAM Aceh melalui peraturan Gubernur no 10 tahun 2005
pasal 3 ditetapkan bahwa petugas pencambukan disediakan oleh
Dinas Syariat Islam, dalam hal ini adalah Wilayatul Hisbah. Jadi dapat
dikatakan bahwa WH sebagai pelaksaan eksekusi dan bekerja sama
dengan kejaksaan.
5. Pengadilan
Hubungan pengadilan umum dengan mahkamah syariyah adalah
apabila terjadi perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama antara
yang beragama islam dan bukan yang beragama islam, maka pelaku
yang bukan beragama islam dapat memilih apakah ingin di adili di
mahkamah syariyah dengan ketentuan hukum jinaiyah atau
pengadilan umum dengan aturan hukum nasional.

6. Lapas
Hubungan mahkamah syariyah dengan lapas adalah bagi kasus
yang memiliki pemidanaan penjara terhadap kasus jinaiyah yang
diputuskan oleh hakim mahkamah syariyah, maka terdakwa akan
ditahan di lapas. Ini disebabkan karena mahkamah syariyah belum
memiliki rumah tahanan khusus untuk perkara jinaiyah, karenanya
dalam kasus jinaiyah juga akan di tahan di dalam lapas.

Kepolisia
n
- penyidik
-keamanan
persidangan

Pengadila
n

Kejaksaa
n
- Penuntut
umum

- mengadili
mahka
mah
syar'iya
h

Lapas
-eksekusi

WH

Pengadiilan
adat
perlimpaha
n perkara

-penyidik
- petugas
eksekusi

BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Mahkamah Syar'iyah adalah salah satu Pengadilan Khusus yang
berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari
Peradilan Agama. Mahkamah Syar'iyah ini ditetapkan dan dinyatakan
berlaku pada tanggal 1 Maret 2003 bertepatan dengan tanggal 1
Muharram 1424 H. Pada hari itu juga diresmikan pembentukan

Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Aceh.


Pembentukan tersebut berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001, Qanun
Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002 dan Keppres No. 11 Tahun 2003
tentang Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi.
kewenangan Mahkamah Syariyah untuk melaksanakan tugas
pokok nya dalam pengadilan, diantaranya :
a. Kewenangan relatif
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan
untuk
menerima,
memeriksa
dan
mengadili
serta
menyelesaikan suatu perkara yang di ajukan kepadanya,
didasarkan pada wilayah hukum pengadilan mana tergugat
bertempat tinggal
b. Kewenangan absolut (mutlak)
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah
wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa peradilan lain.
Salah satu permasalahan yang terjadi di Mahkamah Syariyah
adalah Mahkamah syariyah tidak bisa menuntut jaksa untuk segera
dilaksanakannya putusan
pengadilan, yang mana banyak kasus yang
telah di putuskan pengadilan tapi tidak di jalankan oleh kejaksaan
setempat, dan seolah olah putusan ini hanya bersifat main main.
Mahkamah Syariyah memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan
beberapa instansi lain, apabila tidak ada bantuan dari instansi yang lain
seperti pengadilan umum, kepolisian, kejaksaan, pengadilan adat, WH,
dan lapas, maka Mahkamah Syariyah tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan benar dan penyelesaian perkara-perkara yang seharusnya
diselesaikan di Mahkamah Syariyah akan terhambat. Mislanya Hubungan
mahkamah syariyah dengan lapas dimana bagi kasus yang memiliki
pemidanaan penjara terhadap kasus jinaiyah yang diputuskan oleh hakim
mahkamah syariyah, maka terdakwa akan ditahan di lapas, jika
Mahkamah Syariyah tidak memiliki hubungan dengan Lapas, maka
terdakwa yang seharusnya di tahan tidak dapat ditahan karena tidak
adanya rumah tahanan untuk melakukan penahanan.

b. Saran (Rekomendasi)
Seharusnya Mahkamah Syariyah harus lebih diperkuat mengenai
aturan yang lebih jelas dan ketegasan dalam pelaksanaan syariat islam
khususnya di Aceh. Mengenai permasalah di Mahkamah syariyah yang
tidak bisa menuntut jaksa untuk segera dilaksanakannya putusan
pengadilan, yang mana banyak kasus yang telah di putuskan pengadilan

tapi tidak di jalankan oleh kejaksaan setempat, dan seolah olah


putusan ini hanya bersifat main main. Seharusnya ada aturan khusus
mengenai jangka waktu untuk pelaksanaan putusan tersebut dan adanya
sanksi bagi keterlambatan pelaksanaan putusan tersebut agar idak
adanya kesan main-main dalam penegakan hukum.
Mahkamah syariyah belum mempunyai kewenangan untuk
merekrut pegawai sendiri sesuai kebutuhan pengadilan. Masalah ini juga
akan menghambat dalam pelaksanaan pengadilan di Mahkamah
Syariyah, selain pengadilan umun pemerintah juga seharusnya
memperhatikan kekurangan-kekurangan yang ada di Mahkamah
Syariyah. Di mana pada dasarnya perkara jinaiyah merupakan perkara
yang terbanyak terjadi di Aceh.
Rekrutmen PNS yang diterima belum sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan kerja yang dibutuhkan di Mahkamah syariyah. Kurang nya
informasi ke masyarakat mengenai bagaimana sebenarnya kinerja dari
Mahkamah Syariyah tersebut juga merupakan kendala dalam
terwujudnya tujuan dari Mahkamah Syariyah itu sendiri. Sebelum
merekrut PNS, harus di pastikan bahwa yang di rekrut tersebu memiliki
kinerja kerja dan mengerti mengenai Mahkamah Syariyah. Dari proses
pengangkatan yang salah itulah nantinya akan timbul permasalahan
yang lain juga.

Daftar Pustaka

Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2002


Undang-undang No 11 tahun 2006.
Bahan kuliah pak mohd. Din, Sistem Peradilan Jinaiyah di
Aceh
http://nandhadhyzilianz.blogspot.co.id/2013/01/mahkamahsyariyah-di-provinsi-nangroe.html.
http://fikritoo.blogspot.co.id/2015/03/kewenanganmahkamah-syariyah.html.

Anda mungkin juga menyukai