Disusun Oleh:
1. Lina Dwi Kartika 190711100121
2. Ardita Putri Cahyani 190711100056
3. Moh. Nawawi 190711100043
4. Ali Mahfud 190711100122
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. Pengertian Waris.......................................................................................3
B. Unsur dan Syarat Pembagian Warisan dalam KUHPer dan KHI..............5
C. Dasar Hukum Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 Bagian dalam KUHPer dan
KHI............................................................................................................6
D. Model Model Perhitungan Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 bagian.............19
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian
dari waris?
2. Apa saja
unsur dan
2
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari waris,
2. Agar mengetahui apa saja unsur dan syarat pembagian warisan di dalam
KUHPer dan KHI,
3. Untuk mengetahui dasar hukum dari pembagian waris 2/3 dan 1/3
bagian,
4. Mengetahui model-model perhitungan pembagian waris 2/3 dan 1/3
bagian,
5. Agar memahami bagaimana cara memecahkan permasalahan dalam
perhitungan pembagian waris 2/3 dan 1/3 Bagian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Waris
Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena
dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah
1
ditentukan dalam Al Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat
perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat
yang tidak menguntungkan.
Definisi hukum kewarisan dalam KUHAP tidak dimuat secara tegas,
Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas
diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan. Para ahli hukum mengemukakan tentang
pengertian Hukum Kewarisan. Khususnya mengenai hukum kewarisan
Perdata sebagai berikut :
Menurut Wiryono Prodjodikoro, “Hukum Waris adalah hukum-hukum
atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah
berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Sedangkan menurut Soepomo, “Hukum Waris memuat peraturan yang
mengatur proses penerusan serta peralihan barang berwujud dan barang tidak
terwujud dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Maka secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris / PEWARISAN adalah
“Semua perbuatan hukum tentang pemindahan semua harta benda kekayaan
seseorang/suatu kelompok (kaum, kerabat, kampung) kepada keturunan-nya,
wafatnya seseorang ataupun setelah wafatnya, keduanya merupakan
kebulatan yang tidak dipisah-kan satu dengan yang lain”.
1
Sabri Deki Suwarna, “FIQH MAWARIS (SYARIAT KEWARISAN) DI INDONESIA”, Jurnal
Syariah Hukum Islam (2018), Vol.1(2). Hlm. 94
Adapun perbedaan hak yang berhubungan dengan pemindahan /
pengoperan harta yang disebut pewarisan itu dapat dibedakan :
1. Penerusan/ Pengoperan yang terjadi pada saat si pemilik orang
yang menguasai harta masih hidup. Soepomo menyebut sebagai
PEWARISAN Jurisprudensi menyebut sebagai PENGHIBAAN /
PENGHIBAHAN (jangan diartikan dengan hibah menurut Hukum
Islam, tetapi disini hibah diartikan sebagai pemberian kepada orang
yang berhak menjadi ahli waris).
2. Penerusan/pengoperan yang terjadi setelah meninggalnya atau
wafatnya pemilik harta kekayaan (orang yang meninggalkan
warisan) yang bisa terjadi karena adanya
/Wasiat/Welingan/Wekasan/Amanat (minang) sedang orang
modern/sekarang menyebut sebagai Testamen. Tetapi dapat pula
karena pembagian tanpa adanya wasiat.2
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Hukum kewarisan sering dikenal
dengan istilah Faraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan
yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al-Qur'an . Hukum
kewarisan dalam islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan
sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.
Hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan
dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai
kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib
diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain
atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats. Sedangkan makna
Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup, baik yang
2
Sapto Sigit, Hukum Waris Adat Di Indonesia, 2016, (Solo: Pustaka Iltizam), 16-22.
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak
milik legal menurut syari’i.3
Secara etimologis Faridh diambil dari kata Fardh yang berati Takdir
(ketentuan). Sesangkan dalam istilah syara’, kata Fardh adalah bagian.
Menurut Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam yaitu; “Hukum yang
mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada
orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar bagiannya
masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan
petunjuk dalam Al-Qur’an, Hadits ijtihad para ahli/ulama”.
Dari pendapat diatas, dapat dipahami bahwa hukum waris islam
merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang
masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, ahli waris, bagian
masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya.4
3
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.hal. 36
4
Ahmad Zahari, 2008, Hukum Kewarisan Islam (Pontianak : FH.Vnta n Pres), 148.
2. Ahli waris (Warits) yakni Seseorang yang masih hidup dan
memiliki hubungan dengan pewaris baik hubungan kekerabatan,
perkawinan ataupun hubungan lainnya.
3. Warisan (Mauruts), yakni Sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris
baik berupa benda bergerak maupun tak bergerak.5
C. Dasar Hukum Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 Bagian dalam KUHPer dan KHI
a. Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan
dari orang yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti
keluarga dan kerabat-kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam
diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An Nisa yang menyebutkan bahwa
Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6 tipe persentase
pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3),
dan seperenam (1/6). Ketentuannya adalah sebagai berikut:
a) Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta
waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan
empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah
suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah.
b) Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat
dari harta peninggalannya hanya ada dua yaitu suami dan istri.
3. Seperdelapan
Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh
bagian warisan seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri baik seorang
maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan
suaminya,
5
Ibid, 31.
bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya atau rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah
SWT: "Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau )dan) sesudah dibayar utang-utangmu." (an-Nisa:
12)
4. Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta
peninggalan pewaris ada empat dan semuanya terdiri dari wanita:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5. Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan
sepertiga bagian hanya dua yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-
laki ataupun perempuan) yang seibu.
6. Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian
seperenam, ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli
(bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak
laki- laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7)
saudara laki- laki dan perempuan seibu.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris
seseorang menjadi gugur yakni:
- Budak
Seseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak
untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala
sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya.
- Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris
(misalnya: seorang anak membunuh ayahnya), maka ia
tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah SAW:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta
orang yang dibunuhnya."
- Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi
oleh orang non muslim, apapun agamanya. Hal ini telah
diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir
dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (HR.
Bukhari dan Muslim).
Hukum waris Islam terdapat dalam Al-Quran yaitu Surat An-Nisa (4)
ayat 11, ayat 12, dan ayat 176.
a. Suami
Dengan meninggal dunianya isteri maka terbukalah waris bagi ahli waris
sebagai berikut:
c. Duda/Janda
1. Ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, adalah ahli waris yang
bagiannya sudah disebutkan dalam Surat An-Nisa ayat 11, ayat, 12,
dan ayat 176, adapun bagian dimaksud adalah 1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6,
dan 1/8.
2. Ahli waris yang mendapat bagian sisa/tidak ditentukan, adalah ahli
waris yang mendapat bagian seluruh atau sisa harta, setelah
dilakukan perhitungan waris sesuai dengan ketentuan.6
Selain itu juga dijelaskan Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam,
ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.
6
Al-Qur’an, Annisa, 11-12-176.
2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan
putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan
harta peninggalan.
3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk
menjadi ahli waris.
4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris
baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun
hak-haknya.
5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
hutang dan pemberian untuk kerabat.
6. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-
orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.
7. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
8. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal
175 KHI adalah:
1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan
termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
3. Menyelesaiakan wasiat pewaris.
4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui
permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188
KHI).7
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas
putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal
untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri
berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan
suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik
para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat
seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara
jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
1. Perkawinan.
2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam.
3. Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga
wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak
perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja).
7
Abdurrahman, Komplikasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2015). Hlm. 159
Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak
laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) “Waris”.
menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli
waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris
dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut
Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH
Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut
system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya
pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris.
Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya.
Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem
kewarisan individul bilateral, sedangkan perbedaannya adalah terletak
pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi
dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah
dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau
merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris,
sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan
selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima
para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata
semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak,
atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut
hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang
ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat
yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu
disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis
dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan
materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam
didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).9
9
Ibid
18
D. Model-Model Perhitungan Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 bagian
Dalam perhtiungan waris islam dikenal beberapa istilah yang harus
diketahui sebelu melakukan perhitungan waris, yaitu:
1. Ahli waris: suami mendapat 1/4, ibu mendapat 1/6, dan anak laki-
laki mendapatkan sisa (ashabah).
2. Asal masalah: adalah 12, karena habis dibagi penyebut 4 dan
penyebut 6.
3. Anak laki-laki mendapatkan sisanya.
Suami : ¼ x 12 = 3 (siham)
10
Ibid.
Mendapat warisan dengan jalan ta’sίb (sisa warisan) contohnya: Ketika
pewaris tidak mempunyai keturunan, dan ayah mendapat bagian ashâbah,
maka harta warisan pun akan terbagi habis dan rasa keadilan pun terwujud,
hal ini terlihat dalam contoh kasus sebagai berikut: Jika seseorang
meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris terdiri dari duda, bapak
dan ibu sedangkan harta warisan peninggalan si pewaris/mayyit sebesar Rp
54.000.000,- maka bagian masing-masing adalah: duda mendapat 1/2,
bapak mendapat ashâbah dan ibu mendapat 1/3 sisa (karena berkumpul
dengan ayah dan duda) cara penghitungan adalah:
a. Cara ‘Aul
b. Cara Al-Radd
c. Cara Gharawin
Masalah ini terjadi ketika ahli waris hanya terdiri dari suami dan
istri, serta ibu dan bapak saja. Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu
menerima 1/3 dan bapak sisinya 2/3 dengan kata lain bagian laki-laki dua
kali dari bagian perempuan (li al-dzakari misl hazh al-unsayain) keadaan
ini tetap berlaku mana kala ibu dan bapak Bersama-sama dengan ahli waris
suami atau istri. Jadi setelah bagian suami dan istri diserahkan ibu
menerima 1/3 dan bapak sisanya.13
d. Cara Musyarakah
11
Ahmad Rofiq. 1998. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 84
12
Ibid., hlm.97
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli waris yang masih hidup. Adapun pengertian hukum kewarisan
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a
KHI). Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta
peninggalan orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang
bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta
kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Hukum Perdata yang
berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk
Wetboek/BW). Dalam KUHPerdata hukum waris merupakan bagian dari hukum
harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH
Perdata tentang Benda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2015. Komplikasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo.
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
Rofiq, Ahmad. 1998. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Sigit, Sapto. 2016. Hukum Waris Adat Di IIndonesi, Solo: Pustaka Iltizam.