Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PEMBAGIAN WARIS DENGAN BAGIAN 2/3 DAN 1/3


Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Mawaris
Dosen pengampu: Mohammad Hipni, S.H.I., M.H.I.

Disusun Oleh:
1. Lina Dwi Kartika 190711100121
2. Ardita Putri Cahyani 190711100056
3. Moh. Nawawi 190711100043
4. Ali Mahfud 190711100122

PRODI HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb, alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah serta petunjuk-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah matakuliah fiqih mawaris dengan judul
“PEMBAGIAN WARIS DENGAN BAGIAN 2/3 DAN 1/3”. Shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang mana telah
menuntun kita menuju jalan yang terang benderang yakni Addinul islam.
Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu matakuliah fiqih
mawaris atas bimbingan yang telah diberikan serta terimakasih pula kepada rekan
dan juga teman-teman semua untuk pastisipasi dan dukungannya sehingga
kelompok kami dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.
Pada bab ini akan membahas tentang pembagian harta warisan sesuai dengan
pengatura hukum dalam KUHAP (BW) dan juga Kompilasi Hukum Islam.
Sehingga dari sini kita dapat mengetahui bagaimana perbedaan pembagiannya
berdasarkan dua sumber tersebut dan juga dapat memudahkan kita untuk
mengatasi permasalahan waris yang ada.
Semoga apa yang kami sampaikan dalam makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembacanya. Apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah,
kami memohon maaf dan mohon untuk memberikan koreks, kritik dan saran agar
kedepannya dapat lebih baik lagi dan dapat menjadi evaluasi.

Bangkalan, 21 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. Pengertian Waris.......................................................................................3
B. Unsur dan Syarat Pembagian Warisan dalam KUHPer dan KHI..............5
C. Dasar Hukum Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 Bagian dalam KUHPer dan
KHI............................................................................................................6
D. Model Model Perhitungan Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 bagian.............19

E. Pemecahan Permasalahan Perhitungan 2/3 & 1/3 Bagian.........................21


BAB III PENUTUP.............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam menetapkan aturan waris
dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.
Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan
harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal.
Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah
meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan,
besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci
secara detail hukum-hukum yang berkaitan
dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab
terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak,
ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu,
atau bahkan hanya sebatas saudara seayah
atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan
tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah SAW dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum
dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-
Qur'an yang merinci suatu hukum secara
detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan
1
sal syarat pembagian warisan di dalam KUHPer dan KHI?
ah 3. Bagaimana dengan dasar hukum
sat yang menjadi
u patokan dalam pembagian
be waris 2/3 dan 1/3 bagian dalam KUHPer
ntu dan KHI?
k 4. Bagaimana cara model-model perhitungan
ke pembagian waris 2/3 dan 1/3 bagian?
pe 5. Bagaimana cara memecahankan
mi permasalahan perhitungan dalam
lik pembagian waris 2/3 & 1/3 Bagian?
an
ya
ng
leg
al
da
n
dib
en
ark
an
Al
Iah
S
W
T.

B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian
dari waris?
2. Apa saja
unsur dan
2
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari waris,
2. Agar mengetahui apa saja unsur dan syarat pembagian warisan di dalam
KUHPer dan KHI,
3. Untuk mengetahui dasar hukum dari pembagian waris 2/3 dan 1/3
bagian,
4. Mengetahui model-model perhitungan pembagian waris 2/3 dan 1/3
bagian,
5. Agar memahami bagaimana cara memecahkan permasalahan dalam
perhitungan pembagian waris 2/3 dan 1/3 Bagian.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris
Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena
dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah
1
ditentukan dalam Al Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat
perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat
yang tidak menguntungkan.
Definisi hukum kewarisan dalam KUHAP tidak dimuat secara tegas,
Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas
diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan. Para ahli hukum mengemukakan tentang
pengertian Hukum Kewarisan. Khususnya mengenai hukum kewarisan
Perdata sebagai berikut :
Menurut Wiryono Prodjodikoro, “Hukum Waris adalah hukum-hukum
atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah
berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Sedangkan menurut Soepomo, “Hukum Waris memuat peraturan yang
mengatur proses penerusan serta peralihan barang berwujud dan barang tidak
terwujud dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Maka secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris / PEWARISAN adalah
“Semua perbuatan hukum tentang pemindahan semua harta benda kekayaan
seseorang/suatu kelompok (kaum, kerabat, kampung) kepada keturunan-nya,
wafatnya seseorang ataupun setelah wafatnya, keduanya merupakan
kebulatan yang tidak dipisah-kan satu dengan yang lain”.

1
Sabri Deki Suwarna, “FIQH MAWARIS (SYARIAT KEWARISAN) DI INDONESIA”, Jurnal
Syariah Hukum Islam (2018), Vol.1(2). Hlm. 94
Adapun perbedaan hak yang berhubungan dengan pemindahan /
pengoperan harta yang disebut pewarisan itu dapat dibedakan :
1. Penerusan/ Pengoperan yang terjadi pada saat si pemilik orang
yang menguasai harta masih hidup. Soepomo menyebut sebagai
PEWARISAN Jurisprudensi menyebut sebagai PENGHIBAAN /
PENGHIBAHAN (jangan diartikan dengan hibah menurut Hukum
Islam, tetapi disini hibah diartikan sebagai pemberian kepada orang
yang berhak menjadi ahli waris).
2. Penerusan/pengoperan yang terjadi setelah meninggalnya atau
wafatnya pemilik harta kekayaan (orang yang meninggalkan
warisan) yang bisa terjadi karena adanya
/Wasiat/Welingan/Wekasan/Amanat (minang) sedang orang
modern/sekarang menyebut sebagai Testamen. Tetapi dapat pula
karena pembagian tanpa adanya wasiat.2
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Hukum kewarisan sering dikenal
dengan istilah Faraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan
yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al-Qur'an . Hukum
kewarisan dalam islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan
sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.
Hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan
dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai
kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib
diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain
atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats. Sedangkan makna
Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup, baik yang

2
Sapto Sigit, Hukum Waris Adat Di Indonesia, 2016, (Solo: Pustaka Iltizam), 16-22.
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak
milik legal menurut syari’i.3
Secara etimologis Faridh diambil dari kata Fardh yang berati Takdir
(ketentuan). Sesangkan dalam istilah syara’, kata Fardh adalah bagian.
Menurut Ahmad Zahari, Hukum Kewarisan Islam yaitu; “Hukum yang
mengatur tentang peralihan hak milik atas harta warisan dari pewaris kepada
orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris), berapa besar bagiannya
masing-masing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai ketentuan dan
petunjuk dalam Al-Qur’an, Hadits ijtihad para ahli/ulama”.
Dari pendapat diatas, dapat dipahami bahwa hukum waris islam
merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan dan pembagian harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang
masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, ahli waris, bagian
masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagiannya.4

B. Unsur dan Syarat Pembagian Warisan dalam KUHPer dan KHI


a) Unsur-Unsur Pembagian Waris dalam KUHPer
1. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada saat wafatnya
meninggalkan kekayaan.
2. Adanya seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang
berhak menerima kekayaan peninggalan.
3. Adanya Harta warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang
ditinggalkan dan beralih pada ahli waris.
b) Unsur-Unsur Pembagian Waris dalam KHI
1. Pewaris (Muwarit), yakni Seorang yang telah meninggal dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang
masih hidup.

3
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.hal. 36
4
Ahmad Zahari, 2008, Hukum Kewarisan Islam (Pontianak : FH.Vnta n Pres), 148.
2. Ahli waris (Warits) yakni Seseorang yang masih hidup dan
memiliki hubungan dengan pewaris baik hubungan kekerabatan,
perkawinan ataupun hubungan lainnya.
3. Warisan (Mauruts), yakni Sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris
baik berupa benda bergerak maupun tak bergerak.5

C. Dasar Hukum Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 Bagian dalam KUHPer dan KHI
a. Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan
dari orang yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti
keluarga dan kerabat-kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam
diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An Nisa yang menyebutkan bahwa
Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6 tipe persentase
pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3),
dan seperenam (1/6). Ketentuannya adalah sebagai berikut:

a) Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta
waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan
empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah
suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah.
b) Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat
dari harta peninggalannya hanya ada dua yaitu suami dan istri.
3. Seperdelapan
Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh
bagian warisan seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri baik seorang
maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan
suaminya,

5
Ibid, 31.
bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya atau rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah
SWT: "Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau )dan) sesudah dibayar utang-utangmu." (an-Nisa:
12)
4. Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta
peninggalan pewaris ada empat dan semuanya terdiri dari wanita:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5. Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan
sepertiga bagian hanya dua yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-
laki ataupun perempuan) yang seibu.
6. Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian
seperenam, ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli
(bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak
laki- laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7)
saudara laki- laki dan perempuan seibu.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris
seseorang menjadi gugur yakni:
- Budak
Seseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak
untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala
sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya.
- Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris
(misalnya: seorang anak membunuh ayahnya), maka ia
tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah SAW:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta
orang yang dibunuhnya."
- Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi
oleh orang non muslim, apapun agamanya. Hal ini telah
diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir
dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (HR.
Bukhari dan Muslim).
Hukum waris Islam terdapat dalam Al-Quran yaitu Surat An-Nisa (4)
ayat 11, ayat 12, dan ayat 176.

Terbukanya waris setelah yang bersangkutan meninggal dunia dan


meninggalkan harta, yang dimaksud dengan yang bersangkutan adalah:

a. Suami

Dengan meninggal dunianya suami maka terbukalah waris bagi ahli


waris sebagai berikut:

1. Anak laki-laki dan anak perempuan, maka anak laki-laki


mendapat bagian dua kali bagian anak perempuan.
2. Anak perempuan saja dan jumlahlah lebih dari dua orang, maka
anak-anak perempuan tersebut mendapatkan 2/3 bagian.
3. Anak perempuan tunggal mendapatkan ½ bagian.
4. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai anak.
5. Bapak mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum memiliki
anak.
6. Ibu mendapatkan ½ bagian harta, jika almarhum tidak memiliki
anak.
7. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai
saudara kandung.
8. Isteri mendapatkan ¼ bagian harta, jika almarhum tidak memilki
anak.
9. Isteri mendapatkan 1/8, jika almarhum memilki anak.

Surat An-Nisa ayat 11


‫و ِإ ْن‬ ۚ ‫مث ْنثَ َي ْي ِن‬
ۖ ‫سا اثْ َنتَ\ ْي ِن َفَل ُه ن ثُ\ُل َث\ا ت َرك‬ ‫ِإ ْن‬ ‫ُيو صي ّ أَ ْو ََلِد ُك ْم ۖ لذ َك‬
‫ما‬ ‫ْوق‬ ‫ء‬ ‫كن‬ ُ‫ل ح ظ ا ْْل‬ ‫ِر‬ ‫ي‬ ‫ُك ُ م ل‬
‫ل‬
‫ُا‬
‫لَهُ ولَد فَِإ ْن ل ُك ْن‬ ْ ‫ُه س س م‬ ‫َب َو ل وا ِح‬ ۚ ‫كا َن ِحَدة فَلَ َها ال‬
‫ْم‬ ‫كان‬ ‫َما ال د َما تَ\ َر ن‬ ‫ِن ت وا ص ْي ِه و ِْلَ ل د‬
‫ك‬ ‫م ْن‬ ‫ُك‬ ‫ف‬
‫ة صي َها أَ\ ْو‬ ‫َف ِِلُ\ ِ م ِه ال ۚ م ْع‬ ُ‫ُه ولَد َأ َب َواُه َف ِِلُ\ ِ م ِه الثُّ\لُ و ۚ َفإ كان ه‬
‫ُيو‬ ‫خ َوة سدُس ْن ِد و‬ ‫َو ِرثَُه ْن ث‬
‫ص َي‬
‫ن كان ع ِلي ما ِكي‬ ۗ ‫َف ضة‬ ۚ ‫َتْد ُرو ُه ْم َأ\ ْق َن ْف عا‬ ‫دَ ْي ن ۗ آ َبا ُؤ ُك َنا ُؤ‬
‫ما‬ ‫َّلال‬ ‫ب ُْكم ِري من ل ِّال‬ \َ‫َل َر ن أ‬ َ‫ْم ُك ْم وأ‬
‫ح‬ ‫ْب‬
‫ّي‬
Artinya:
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak- anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
b. Istri

Dengan meninggal dunianya isteri maka terbukalah waris bagi ahli waris
sebagai berikut:

1. Suami mendapatkan ½ bagian harta, jika almarhumah tidak


mempunyai anak.
2. Suami mendapatkan ¼ bagian harta, jika almarhumah mempunyai
anak.

Surat An-Nisa ayat 12


‫ْع ِد‬
‫ِإ لَ ُهن ولَ ُم ال ُّرب تَ َر ْكن ۚ م م‬ ‫ْ ن ل ولَد‬ ‫ما تَ\ َر ك َأ ْز ُ ْن‬ ‫ولَ ُك ْم‬
‫َما ْن‬ ‫ُع َل ُك‬ ‫كان د‬ ‫ْن‬ ‫َوا ك ْم ُهن ُك‬ ‫صف‬
‫ْم‬
‫ج‬
ّ \
ُ
‫ِإ لَ ُك ْم ولَد َفل ن الث ُمن‬ ‫ولَ ال ُّرب م َما تَ\ َر ْن ْ ن لَ ُك ولَد‬ ‫وص َي ة ُيو َها أَ\ ْو دَ ْي‬
‫ُه‬ ‫كان‬ ‫ْن‬ ‫ْكتُ\ ْم ْم ْم ُك‬ ‫ن ۚ صين ِب ُه ُع ن‬
‫ك لَلة أَ\ ِو ا ْم ولَهُ خ أَ\ ْو‬ ‫رجل ُيو‬ ‫دَ ْي ن ۗ و ِإ كان‬ ‫ص‬ ‫ة‬ ‫م َما تَ\ َر ْكتُ\ ْم ۚ م ْع‬
‫أ‬ ‫َرأَة‬ ‫َرث‬ ‫َها أَ\ ْو ْن‬ ‫ون‬ ‫تُ\و‬ ‫ْن ِد و‬
‫ص َي‬
‫الثّلُث ۚ ي م ْع ص َي ة‬ ‫أَ\ ْكثَ\ َر م ذ َف ُه َر‬ ‫َفإِ\ ْن‬ ‫ْ ن ُه س‬ ‫أُ\ ْخ ِ ل ُك وا ِح‬
‫ْن ِد و‬ ‫كانُوا ْن َ ْم ك َكا ُء‬ ۚ‫س‬ ‫ل ت د َما ال م د‬
‫ش‬ ِ‫ل‬
‫ّلُوال ع ح ِلي م‬ ۗ ‫ۚ َية من‬ ‫ُيو َها أَ\ ْو دَ ْي ْي‬
‫ِل ي‬ ِّ ‫وص ل‬ ‫ضا‬ ‫ن ص َر م‬
‫م‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫غ‬
‫َى ِب‬

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

c. Duda/Janda

Dengan meninggal dunianya seorang bujangan baik laki-laki maupun


perempuan maka terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut:

1. Seorang saudara laki-laki seibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika


yang meninggal dunia tidak memiliki ayah dan tidak memilki anak.
2. Seorang saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian harta,
jika yang meninggal dunia tidak memilki ayah dan tidak memilki
anak.
3. Beberapa orang saudara laki-laki seibu mendapatkan 1/3 bagian
harta, jika yang meninggal dunia tidak memilki ayah dan tidak
memilki anak.
4. Beberapa orang saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 bagian
harta, jika yang meninggal dunia tidak memilki ayah dan tidak
memilki anak.
5. Saudara perempuan mendapatkan ½ bagian, jika tidak mempunyai
anak.
6. Saudara laki-laki mendapatkan seluruh bagian, jika tidak
mempunyai anak.
7. Dua saudara perempuan mendapatkan 2/3, jika tidak mempunyai
anak.
8. Seorang saudara laki-laki mendapatkan sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan (2/3), jika tidak mempunyai anak.

Surat An-Nisa ayat 176


‫صف ما تَ\ َرك‬ َ‫َفل‬ ۚ ‫ُي ْف ِتي َك َلَل ِة‬
‫ِن ا ْم ه لَ س ولَ ولَُه أ‬ ُ‫َيستَ\ ْفتُ\و َن ق‬
‫ْخ َها‬ ‫َله د‬ ‫ُر ؤ ل ْي‬ ‫ي ا ْل‬ ‫ُك ْم ّل ُال‬ ‫ِل‬
‫ت‬ ‫ك‬
‫رجا َل‬ ‫خ وة‬ ‫كانُوا‬ ‫و ِإ ْن‬ ‫َت‬ ‫ك َر‬ ۚ ‫ِن َفلَ ُه َما الثُّ\لُثَ\ا ِن كا ْي مَما‬
َ
‫نَ تَ\ا اثْ نَ َت‬ ‫ِإ‬ ‫ْن‬ ‫وَل‬ ‫د‬ ‫َها‬ ‫وهُ َو َها ِرثُ ن ْ ك ْن ُ‬
‫ل َ ْم‬
‫ع ِل ي م‬ ‫ّلُوال ل ء‬ ‫ۗ‬ ‫و ِن سا ِ لذَ مث ْنثَ َي ْي ِن ۗ ُي َب ِ ّ ْم أَ\ ْن‬
‫ُ ش‬ ‫ضل‬ ‫تَ\ ُك‬ ‫ء َك ِر ل ح ظ ا ْْلُ ين ل‬
‫ك ي‬ ‫ّوا‬ ‫ل‬
‫ُا‬
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.

Berdasarkan uraian di atas, maka ahli waris dikelompokan menjadi:

1. Ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, adalah ahli waris yang
bagiannya sudah disebutkan dalam Surat An-Nisa ayat 11, ayat, 12,
dan ayat 176, adapun bagian dimaksud adalah 1/2, 1/4, 1/3, 2/3, 1/6,
dan 1/8.
2. Ahli waris yang mendapat bagian sisa/tidak ditentukan, adalah ahli
waris yang mendapat bagian seluruh atau sisa harta, setelah
dilakukan perhitungan waris sesuai dengan ketentuan.6

Selain itu juga dijelaskan Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam,
ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.

6
Al-Qur’an, Annisa, 11-12-176.
2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan
putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan
harta peninggalan.
3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk
menjadi ahli waris.
4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris
baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun
hak-haknya.
5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran
hutang dan pemberian untuk kerabat.
6. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-
orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.
7. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
8. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal
175 KHI adalah:
1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan
termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
3. Menyelesaiakan wasiat pewaris.
4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui
permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
melalui
Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188
KHI).7
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas
putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal
untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri
berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan
suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik
para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat
seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara
jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:
1. Perkawinan.
2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam.
3. Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga
wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak
perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja).

7
Abdurrahman, Komplikasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2015). Hlm. 159
Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak
laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.

b. Sistem Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata (BW).


Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau
“ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara
“testamentair”. Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-
hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda
saja yang dapat diwariskan.
Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang saja. Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat
testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian
warisan sebagai berikut:
1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri
dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang
sama jumlahnya (pasal 852 BW).
2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang
kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara
dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa
orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka
warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh
lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia,
keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-
anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia
sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853
BW).
 Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
1. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan
pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang
mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya.
Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara
Saudara
2. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila
pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan
demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau
keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang
mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung
pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya
bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian.
3. GOLONGAN III
kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak
mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris
adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu
maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah
kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah
menjadi
½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
4. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah
keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini
mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain
dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian
sisanya.
Dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang
tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai
harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu
dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka
Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu
perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus
memberitahukan kepada pihak Pengadilan.
Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat
dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan
oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan
tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului
dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan
segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain.
Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga
diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan
panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar
dan lain-lain cara yang dianggapa tepat.
Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris
yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan
melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta
peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan
menjadi milik negara.8

c. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem


KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan
antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka
berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian
anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian
anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata
menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu

8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) “Waris”.
menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli
waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris
dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut
Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH
Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut
system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya
pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris.
Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya.
Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem
kewarisan individul bilateral, sedangkan perbedaannya adalah terletak
pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi
dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah
dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau
merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris,
sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan
selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima
para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata
semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak,
atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut
hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang
ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat
yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu
disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis
dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan
materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam
didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).9

9
Ibid

18
D. Model-Model Perhitungan Pembagian Waris 2/3 dan 1/3 bagian
Dalam perhtiungan waris islam dikenal beberapa istilah yang harus
diketahui sebelu melakukan perhitungan waris, yaitu:

1. Asal masalah; yang dimaksud dengan asal masalah adalah bilangan


terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing ahli
waris secara benar tanpa adanya ppecaha. Asal masalah ini adalah
angka yang ditentukan berdasarkan kelipatan terkecil harus dapat
dibagi dengan “penyebut” (istilah matematika) yang sudah
ditentukan bagiannya sebagaimana tertulis dalam Al-Quran Surat
An-Nisa ayat 11, ayat 12 dan ayat 176.
2. ‘Adadur Ru’us; adalah bilangan yang dihitung berdasarkan jumlah
kepala (Quantity) karena jumlah bagian tidak disebutkan dengan
pasti, dan hal ini yang dijadikan sebagai pedoman dalam menetukan
asal masalah.
3. Siham; adalah nilai yang diperoleh dari hasil kali antara asal
masalah dan bagian pasti seorang ahli waris yang sudah ditentukan
dalam Al- Quran.
4. Majmu’ Siham; adalah jumlah keseluruhan siham.

Selanjutnya hal-hal yang harus ditentukan dalam perhitungan waris


adalah:

1. Menentukan ahli waris.


2. Menentukan bagiannya berdasarkan bagian yang sudah pasti dan
diatur dalam Al-Quran.
3. Menentukan asal masalah.
4. Menentukan siham.

Sebagai ilustrasi untuk memahami perhintungan waris, berikut ini


disampaikan contoh soal tentang perhitungan waris:
Seorang perempuan meninggal dunia dengan ahli waris seorang suami,
seorang ibu dan seorang anak laik-laki. Harta yang ditinggalkan sebesar
Rp120.000.000,- maka perhitungan warisnya adalah:

1. Ahli waris: suami mendapat 1/4, ibu mendapat 1/6, dan anak laki-
laki mendapatkan sisa (ashabah).
2. Asal masalah: adalah 12, karena habis dibagi penyebut 4 dan
penyebut 6.
3. Anak laki-laki mendapatkan sisanya.

Jadi jika dituliskan adalah sebagai berikut:

Suami : ¼ x 12 = 3 (siham)

Ibu : 1/6 x 12 = 2 (siham)

Anak laki : 12 (asal masalah) – 3 (siham) – 2 (siham) = 7 (siham)

Kemudian harta sebesar Rp120.000.000,- : 12 (majmu’ siham) =


Rp10.000.000,-

Sehingga hasil perhitungan warisnya adalah:

Suami : 3 (siham) x Rp10.000.000,- = Rp30.000.000,-

Ibu : 2 (siham) x Rp10.000.000,- = Rp20.000.000,-

Anak laki : 7 (siham) x Rp10.000.000,- = Rp70.000.000,-

Dengan demikian harta warisan sebesar Rp120.000.000,- habis terbagi


kepada ahli waris. Sebagai catatan, perhitungan pembagian waris dapat
dilaksanakan setelah dijalankan wasiat dan dibayarkan hutang-hutang
almarhum/almarhumah.10

10
Ibid.
Mendapat warisan dengan jalan ta’sίb (sisa warisan) contohnya: Ketika
pewaris tidak mempunyai keturunan, dan ayah mendapat bagian ashâbah,
maka harta warisan pun akan terbagi habis dan rasa keadilan pun terwujud,
hal ini terlihat dalam contoh kasus sebagai berikut: Jika seseorang
meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris terdiri dari duda, bapak
dan ibu sedangkan harta warisan peninggalan si pewaris/mayyit sebesar Rp
54.000.000,- maka bagian masing-masing adalah: duda mendapat 1/2,
bapak mendapat ashâbah dan ibu mendapat 1/3 sisa (karena berkumpul
dengan ayah dan duda) cara penghitungan adalah:

Ahli waris Bag AM AM Harta Penerimaan


6 6 Peninggalan (Rp).
: AM = Nilai
Persaham
(Rp.)
Duda 1/2 3 X 27.000.000,-
9.000.000,-
Ibu 1/3 3 1 X 9.000.000,-
9.000.000,-
Bapak Sisa-Sisa 3 2 X 18.000.000,-
9.000.000,-
6 6 X 54.000.000,-
9.000.000,-

E. Pemecahan Permasalahan Perhitungan 2/3 & 1/3

a. Cara ‘Aul

Secara harfiah ‘aul artinya bertambah atau meningkat. Dikatakan


‘aul karena di dalam praktek pembagian waris angka asal masalah harus
ditingkatkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli waris, karena
apabila diselesaikan menurut ketentuan baku secara semestinya akan terjadi
kekurangan harta.11

b. Cara Al-Radd

Merupakan kebalikan dari masalah ‘aul. Karena masalah itu terjadi


apabila di dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli
waris ashhab al-furudh memperoleh bagiannya. Cara ini ditempuh untuk
mengembalikan sisa harta kepada ahli waris sehingga seimbang dengan
bagian yang diterima masing-masing secara proposional.12

c. Cara Gharawin

Masalah ini terjadi ketika ahli waris hanya terdiri dari suami dan
istri, serta ibu dan bapak saja. Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu
menerima 1/3 dan bapak sisinya 2/3 dengan kata lain bagian laki-laki dua
kali dari bagian perempuan (li al-dzakari misl hazh al-unsayain) keadaan
ini tetap berlaku mana kala ibu dan bapak Bersama-sama dengan ahli waris
suami atau istri. Jadi setelah bagian suami dan istri diserahkan ibu
menerima 1/3 dan bapak sisanya.13

d. Cara Musyarakah

Menurut Bahasa musyarakah berarti berserikat antara dua orang atau


lebih dalam sesuatu hal (urusan). Dalam hal waris terjadi apabila dalam
pembagian warisan terdapat suatu kejadian bahwa saudara-saudara
sekandung (tunggal ataupun jama’) sebagai ahli waris ‘ashabah tidak
mendapat harta sedikitpun, karena telah dihabiskan ahli waris ashabah al-
furudh.

11
Ahmad Rofiq. 1998. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 84
12
Ibid., hlm.97
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli waris yang masih hidup. Adapun pengertian hukum kewarisan
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a
KHI). Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta
peninggalan orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang
bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta
kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Hukum Perdata yang
berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk
Wetboek/BW). Dalam KUHPerdata hukum waris merupakan bagian dari hukum
harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH
Perdata tentang Benda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2015. Komplikasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) “Waris”.

Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
Rofiq, Ahmad. 1998. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Sigit, Sapto. 2016. Hukum Waris Adat Di IIndonesi, Solo: Pustaka Iltizam.

Suwarna, Sabri Deki. 2018. “FIQH MAWARIS (SYARIAT KEWARISAN) DI


INDONESIA”, Jurnal Syariah Hukum Islam, Vol.1(2).
Zahari, Ahmad. 2008. Hukum Kewarisan Islam, Pontianak : FH.Vnta n Pres.

Anda mungkin juga menyukai