Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Zakat dan Wakaf
Oleh Kelompok 3:
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb, alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah serta petunjuk-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah matakuliah Hukum Zakat dan Wakaf dengan judul “ZAKAT
VERSUS PAJAK DI INDONESIA”. Shalawat serta salam selalu tercurahkah kepada Nabi
besar Muhammad SAW, yang mana telah menuntun kita menuju jalan yang terang benderang
yakni Addinul islam.
Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu matakuliah Hukum
Zakat dan Wakaf atas bimbingan yang telah diberikan serta terimakasih pula kepada rekan
dan juga teman-teman semua untuk partisipasi dan dukungannya sehingga kelompok kami
dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Pada bab ini akan membahas tentang
bagaimana ketentuan pajak dan zakat di Indonesia.
Semoga apa yang kami sampaikan dalam makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembacanya. Apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah, kami memohon maaf dan
mohon untuk memberikan koreksi, kritik dan saran agar kedepannya dapat lebih baik lagi dan
dapat menjadi evaluasi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................1
C. Tujuan .........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Pajak Yang Ada di Indonesia dan Dalam Islam……………………..…………..1
B. Hubungan Zakat, Pajak dan Kebijakan Tentang Ketentuan Zakat Atas Pajak di
Indonesia…………………………………………………………………………10
C. Hubungan Zakat, Pajak dan Kebijakan Tentang Ketentuan Zakat Atas Pajak di
Indonesia…………………………………………………………………………17
BAB III PENUTUP..........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22
ii
BAB I
PEMBUKAAN
A. Latar belakang
Salah satu sumber pendanaan terbesar atas pembiayaan semua pengeluaran
pemerintah yang didapat saat ini adalah melalui pajak. Upaya meningkatkan
optimalisasi penerimaan pajak, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak,
sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan beberapa usaha, salah satunya
dengan membidik wajib pajak baru melalui program ekstensifikasi. Kendala besar
dalam upaya meningkatkan optimalisasi penerimaan pajak tersebut salah satunya
adalah pajak belum diterima sebagai
sebuah kewajiban keagamaan, sebagaimana halnya zakat bagi mayoritas kaum
muslim. Masalah kedua yang membuat kaum muslim menjadi enggan membayar
pajak adalah adanya dualisme pemungutan dengan pajak (double taxes). Jadi seorang
muzakki (Wajib Zakat), juga sebagai wajib pajak. Masalah ketiga adalah minimnya
alokasi uang pajak untuk kaum miskin.
Dengan adanya kenyataan tersebut, masyarakat semakin meragukan sistem
perpajakan yang diterapkan pemerintah saat ini. Masyarakat sebenarnya
menginginkan suatu sistem alternatif untuk mengatasi problem perpajakan yang ada.
Oleh karena itulah dalam penelitian ini, penulis ingin membandingkan dua suatu
sistem perpajakan, yakni antara sistem perpajakan yang diterapkan pemerintahan
Indonesia dan sistem perpajakan menurut Islam. Konsep perpajakan menurut Islam
bukan merupakan konsep baru tetapi telah diterapkan selama kurang lebih 13 abad
pada masa kekhalifahan Islam. Berdasarkan konsep tersebut pajak bersifat temporary
(sementara), dalam arti pajak hanya diberlakukan ketika kondisi keuangan negara
(Baitul Mal) kosong.
Jika diberlakukan, pemungutannya hanya dibebankan kepada orang kaya,
sehingga orang miskin tidak perlu memikul beban pajak. Tulisan ini bertujuan untuk
mendiskusikan bagaimana perbedaan sistem perpajakan di Indonesia dengan sistem
perpajakan menurut Islam dan bagaimana penerapan sistem perpajakan di Indonesia
menurut Islam.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja ketentuan pajak dalam Islam dan di Indonesia?
2. Bagaimana hubungan zakat, pajak dan kebijakan tentang ketentuan zakat atas pajak
di Indonesia?
1
3. Bagaimana upaya dan kajian serta upaya kebiajkan dan sinkronisasi zakat atas
pajak?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui ketentuan pajak dalam Islam dan di Indonesia?
2. Untuk mengetahui hubungan zakat, pajak dan kebijakan tentang ketentuan zakat
atas pajak di Indonesia?
3. Untuk mengetahui upaya dan kajian serta upaya kebiajkan dan sinkronisasi zakat
atas pajak?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Untuk badan dikenakan tarif pajak sebesar 28% dari penghasilan kena pajaknya.
3) Selanjutnya jumlah tersebut dituangkan dalam SSP (Surat Setor Pajak) yang terdiri
dari 5 lembar dan dibayarkan ke Bank.
5) Dari lembar SSP tersebut digunakan sebagai pedoman pengisian SPT (Surat
Pemberitahuan) tahunan yang kemudian harus dilaporkan ke KPP.
6) Pelaporan SPT Tahunan tidak boleh melebihi 20 April tahun pajak berikutnya,
karena jika melebihi tanggal tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp. 500.000,00.1
2) Setelah didapat jumlah laba dalam laporan laba/rugi fiskal, jumlah tersebut
dikalikan dengan jumlah tarif pajak. Hasilnya merupakan jumlah pajak terutang yang
harus dibayarkan.
3) Selanjutnya jumlah tersebut dituangkan dalam SSP (Surat Setor Pajak) yang terdiri
dari 5 lembar dan dibayarkan ke Bank.
5) Dari lembar SSP tersebut digunakan sebagai pedoman pengisian SPT (Surat
Pemberitahuan) tahunan yang kemudian harus dilaporkan ke KPP.
6) Pelaporan SPT Tahunan Tidak boleh melebihi 20 April tahun pajak berikutnya,
karena jika melebihi tanggal tersebut akan dikenakan denda sebesar Rp.1.000.000,00
1
Fitri Kurniawati, Analisis Komparasi Sistem Perpajakan Indonesia Dengan Sistem Perpajakan Menurut Islam,
Jurnal Infestasi Vol. 5, No. 1, Juni 2009 H. 24-27
Pajak pertambahan nilai adalah pajak yang dikenakan karena adanya konsumsi
yang dikenakan kepada konsumen akhir. Jenis pajak ini memberlakukan tarif tetap
sebesar 10% atas harga barang atau jasa yang diperjualbelikan. Subjek PPN adalah
Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik orang pribadi maupun badan yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP)
yang dikenakan pajak, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk
mengkukuhkan diri sebagai PKP.
a) PKP harus menerbitkan faktur pajak. Dalam faktur tersebut harus dicantumkan
nama, jenis barang, jumlah barang, harga per satuan barang dan jumlah harga dalam
satuan rupiah.
b) Dalam pajak ini berlaku mekanisme pengkreditan jumlah pajak. Ketika PKP
menjual barang dan mengeluarkan faktur hal tersebut disebut pajak keluaran,
sedangkan ketika PKP membeli barang (untuk persediaan atau bahan baku dari PKP
lain) hal tersebut disebut pajak masukan. Dari jumlah pajak masukan dan pajak
keluaran tersebut harus dikurangkan dalam periode bulanan. Ketika pajak masukan
lebih besar dari pajak keluaran maka PKP dapat melakukan restitusi atau meminta
kembali kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan PKP ke KPP. Sedangkan jika
pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan maka PKP harus membayar pajak
kelalui bank dengan SPT PPN masa (SPT jangka Bulanan)
c) Ketika PKP tidak menyetorkan SPT melebihi waktu yang ditetukan dikenakan
denda sebesar Rp. 500.000,00 perbulan dan denda bunga 2% perbulan dari jumlah
pajak terutang yang dikenakan bertingkat maksimal 24 bulan. Terdapat dan jasa
yang dibebaskan dari PPN yang telah diatur dengan undang-undang, antara lain
barang kebutuhan pokok (Sembako), garam, peralatan untuk TNI, buku agama yang
memdapat rekomendasi, bibit tanaman, jasa pendidikan, dan lain-lain.
a. Terdapat beberapa objek PBB yang dibebaskan dari PBB, antara lain: sekolah,
masjid/mushollah wakaf, serta tanah dan bangunan yang digunakan untuk
kepentingan umum dan tujuan sosial.
antara lain: veteran atau pensiunan, orang yang memperoleh hasil dari tanah yang ada
disekelilingnya, badan yang mengalami kesulitan keuangan dengan syarat tertentu
yang diatur dalam undang-undang. Kesalahan yang dikenakan sanksi dalam sistem
perpajakan di Indonesia dibagi menjadi 2 katagori, yakni:
1. Kealpaan
2. Kesengajaan
1. Jizyah
Dalam terminologi keuangan Islam, istilah ini digunakan untuk beban
yang diambil dari penduduk non-muslim (ahl al-dzimmah) yang ada di negara
Islam sebagai biaya perlindungan yang diberikan kepada mereka atas kehidupan
dan kekayaan serta kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Jizyah
dikenakan atas diri mereka bukan atas harta mereka. Jizyah sebagai pajak individu
(kepala) diambil dari pria dan yang mampu membayarnya. Objek dari jizyah
adalah jiwa orang kafir karena kekafirannya.
2. Kharaj
Secara harfiah, kharaj berarti kontrak, sewa menyewa atau menyerahkan.
Dalam terminologi keuangan Islam, istilah ini berarti pajak atas tanah atau hasil
tanah, dimana para pengelola wilayah taklukan harus membayar kepada negara
Islam.
3. ‘Ushr (Bea Cukai)
Dikalangan ahli fiqih, ‘ushr (sepersepuluh) memiliki dua arti. Pertama,
sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua,
sepersepuluh yang diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah
Islam dengan membawa barang dagangan. Jadi kebijakan ini lebih mirip dengan
kebijakan bea cukai pada saat ini. Sistem Perpajakan Indonesia Menurut Islam
Secara struktur pemerintahan Indonesia bukanlah yang seutuhnya negara Islam
tetapi Indonesia adalah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, selain itu
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya menganut berbagai macam aliran
keagamaan, tidak hanya Islam semata. Keberagaman aliran agama tersebut
dihargai dan dijunjung tinggi oleh negara, sehingga setiap kebebasan beragama
masyarakatnya dilindungi dengan hukum. Berbeda dengan keadaan negara dimasa
pemerintahan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, pada zaman tersebut
pemerintahan malah memerangi kaum yang tidak menganut ajaran Islam.
Keadaan lain yang perlu diperhatikan adalah pada kondisi sekarang ini negara
tidak bisa lagi menganut
3
Ibid
B. Pajak dan Kebijakan Tentang Ketentuan Zakat Atas Pajak di Indonesia
4
Husnul Fatarib Dan Amalia Rizmaharani, PAJAK DALAM PERSEPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH (Konsep
Pajak Dan Sistem Perpajakan Dalam Keadilan Islam), Jurnal Hukum, VOL. 15 NO.2, November 2018.
Hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai sejak masa-masa awal
pengembangan islam.5 Itu terjadi takala pasukan muslimin baru saja berhasil
menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran-saran pembantunya memutuskan untuk
tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan.
Tanah-tanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik
penduduk setempat. Konsekuensinya penduduk di wilayah Irak tersebut diwajibkan
membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam.
Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.
Penarikan pajak di luar zakat selanjutnya terus berlangsung meski dengan alasan yang
berbeda-beda. Seiring berjalannya waktu, hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik.
Dimulai dengan kemunduran kaum Muslimin, penjajahan Eropa, dan hegemoini
peradaban Barat sehingga hokum-hukum syar’I semakin ditinggalkan, dan sebaliknya
hokum-hukum Barat buatan manusia diutamakan.Kewajiban zakat disubordinasikan
dan diganti dengan kewajiban pajak. Akibatnya muncul pertanyaan: wajibkah kaum
Muslimin membayar zakat sementara ia telah membayar pajak, padahal sebenarnya
pajak tidak mempunyai hubungan keterkaitan langsung dengan keyakinan agam?
Oleh sebab itu tidaklah bias dipersamakan antara zakat dan pajak, sehingga muncullah
perdebatan tentang kewajiban membayar zakat setelah pajak ataupun sebaliknya.
Perbedaannya, zakat diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah kepada orang-
orang beriman untuk mengharapkan keridhoan-Nya, sedangkan pajak diwajibkan oleh
11
Negara kepada warga Negara yang didasarkan pada Undang-Undang yang
pemungutannya dapat dipaksakan.Tujuan pajak dan zakat sebenarnya tidak jauh
berbed yaitu sama-sama menginginkan terciptanya kesejahteraan umat. Zakat dan
pajak merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar
pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau
memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan agama dan sosial. Membahas
hubungan antara zakat dan pajak disebabkan dari beberapa hal diantaranya yaitu zakat
dan pajak merupakan hal yang signifikan di dalam upaya untuk mensejahterakan
rakyat.Zakat dan pajak memiliki kesamaan, memiliki unsur paksaan, keduanya harus
disetorkan kepada lembaga masyarakat (Negara), keduanya tidak menyediakan
imbalan tertentu, dan keduanya memiliki tujuan kemasyarakatan, ekonomi, politik di
5
Edi Haskar, "HUBUNGAN PAJAK DAN ZAKAT MENURUT PERSPEKTIF ISLAM", Vol. XIV No.02 April 2020, hlm.
34
samping tujuan keuangan. Zakat dan pajak memiliki perbedaan dalam beberpaa hal,
yakni dalam hal nama dan etika, hakikat dan tujuan, nishab dan ketentuan, kelestarian
dan kelangsungan, pengeluaran, dalam hal hubungan dengan penguasa, dan dalam hal
maksud dan tujuannya. Mengenai hukum pajak dalam Islam, ada dua pandangan yang
dapat muncul, seperti pandangan pertama yakni menyetujui kebolehan dari adanya
pajak, sedangkan pandangan kedua yakni yang memandang bahwa penarikan pajak
merupakan suatu tindakan kezhaliman dan hal tersebut merupakan haram. Pajak ialah
suatu hal yang diperbolehkan, pendapat ini ini diambil dengan menganggap bahwa
pajak ialah sebagai ibadah tambahan setelah adanya zakat. Pajak ini bahkan bisa jadi
menjadi wajib karena sebagai bentuk ketaatan kepada waliyyul amri, yang disebut
amri ini dapat disebutkan sebagai pemerintah.
Mengenai hubungan antara zakat dan pajak sebenarnya bukanlah masalah
yang baru dalam Islam. Berdasarkan jejak rekam sejarah, setidaknya masalah tersebut
telah terjadi semenjak pasukan muslimin yang baru saja berhasil menaklukkan Irak
(Ardun Sawad). Kemudian setelah terjadi perdebatan panjang, khalifah Umar Ibn
Khattab R.A berijtihad untuk tidak membagikan harta rampasan perang tersebut
(mejadikan Ardun Sawad sebagi Fa’i), dengan mempertimbangkan generasi
mendatang.Akan tetapi, tanah taklukan tersebut dikenakan Kharaj (pajak) kepada
penduduk sekalipun telah memeluk ajaran Islam.Semenjak itulah, tonggak awal
diberlakukannya kewajiban pajak disamping zakat (Kharaj dan Ushr) bagi kaum
muslimin berlandaskan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Dan ketentuan tersebut
berlanjut hingga masa dauliyyah (Daulah Umayyah, Abbasiyyah, dan terakhir daulah
Utsmaniyyah).
12
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat
penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Menurut Muhammad Abdul Mannan, salah
seorang pemikir ekonomi Islam di era kontemporer, memandang bahwa zakat sebagai
poros utama keuangan publik Islam. Zakat bukan pula pajak, namun justru dipandang
sebagai sumber utama pendapatan dan juga “a religious obligation”. Muhammad
Abdul Mannan menegaskan bahwa zakat memeang tidak memilki efek merugikan
dalam motivasi bekerja. Justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu yang
membangkitkan semangat untuk bekerja. Akan tetapi seriring dengan kemunduran
peradaban Islam disertai hegemoni peradaban barat, hukum syar’i semakin
ditinggalkan dan digantikan dengan hokum Wad’I (buatan manusia), implikasinya
berbagai penyimpangan tidak terelakkan bahkan penyalahgunaan fungsi dari pajak
tidak dapat dihindarkan, fungsi zakat sebagai pemasukan Negara dikebiri dan
menggantikannya dengan pajak. Lahirnya dokumen Magna Charta di inggris (1215),
Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1775-1781) dengan jargonya yang
terkenal “No Taxation without representation, Taxation without representation is
tyranny, Taxation without representatiton is robbery” merupakan bukti konkrit dari
adanya penyimpangan-penyimpangan dan ketidakpuasan rakyat terhadap ketentuan-
ketentuan perpajakan yang berlebihan dan semena-mena oleh para penguasa. Di masa
kini, pajak merupakan sumber pemasukan terbesar bagi Negara, mengingat semakin
bertambahnya pegawai Negara, dan juga bertambahnya kewajiban serta tanggung
jawab Negara dibidang ekonomi maupun social. Di tengah menguatnya peranan pajak
sebagai pemasukan Negara, secara bersamaan muncul pula kesadaran umat untuk
membayar zakat serta peran zakat sebagai sarana untuk menanggulangi permasalahan
ekonomi maupun social. Dua hal ini memantik beberapa permasalahan penting
mengingat adanya perbedaan antara keduanya (pajak dan zakat) yaitu timbulnya
dualism pemungutan (pajak dan zakat) atas objek yang sama. Dualisme pemungutan
ini pada gilirannya tentu akan menyulitkan pemilik harta atau pemilik penghasilan.
Kontraksi dana dengan dualism system ini potensial menimbulkan efek yang
kontraproduktif dalam konteks mensejahterakan rakyat. Walaupun terdapat perbedaan
nilai di dalam pemungutan pajak dan zakat, namun zakat dapat dihubungkan dengan
empat norma perpajakan :
1. Norma Persamaan
Setiap warga dari suatu negara sedapat mungkin harus menyumbang untuk
13
menyokong pemerintah, sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. Hal ini
berlaku dalam sistem modern perpajakan yang menentukanpemungutan pajak
berdasarkan penghasilan seseorang. Sebaliknya zakat dipungut atas tabungan yang
terhimpun dengan tarif seragam, yang menjamin pengorbanan yang sama, di samping
itu zakat tidak dapat digunakan oleh negara sekehendak hatinya.”
2. Norma Kepastian
Pajak yang harus dibayar seseorang adalah pasti dan tidak dapat ditetapkan
cara sewenang-wenang. Waktu pembayaran, jumlah yang akan dibayar, harus jelas
dan nyata bagi si wajib pajak dan orang lainnya.”Pembayarpajak harus mengetahui
jumlah yang harus dibayarnya sehingga ia dapat menyesuaikan pengeluaran dengan
pendapatannya. Mengenai kepastian zakat, tidak ada perbandingannya karena
ketentuan-ketentuan pokoknya ditetapkan secara pasti dan tidak berubah-ubah
berdasarkan ketentuan Illahi.
3. Norma Kemudahan
Setiap pajak harus direncanakan sedemikian rupa sehingga hanya mengambil
dan menyingkirkan dari kantor rakyat sesedikit mungkin, di samping yang
dimasukkannya ke dalam perbendaharaan negara. Ketentuan tentang pemungutan
zakat pun harus dibuat sesederhana mungkin sehingga tidak diperlukan pengetahuan
khusus untuk mengetahuinya, dan karena itu biayanya pasti menjadi ekonomis. Selain
norma-norma di atas, zakat juga memiliki norma produktivitas dan norma elastisitas,
tidak perlu dikatakan bahwa zakat sangat konsisten dengan norma produktivitas,
karena dikenakannya pajak pada uang yang menganggur dalam bentuk zakat yang
dengan sendirinya mengeluarkan hasil pajak itu ke bidang produksi sehingga pada
gilirannya dapat menambah kekayaan Nasional suatu negara, memang benar bahwa
tampaknya zakat tidak elastis dalam arti istilah negara tetapi masalah elastisitas
kehilangan kekuatannya, karena dalam rangka masyarakat Islami kepala negara
membuat dan menetapkan pajak baru menurut perubahan keadaan.
Baik dan buruknya sistem perpajakan tergantung akibatnya pada masyarakat.
Sistem perpajakan terbaik adalah sistem yang menjamin keuntungan sosial terbanyak
dimana sistem kesejahteraan ekonomi suatu masyarakat dapat ditingkatkan, yakni
dengan cara perbaikan dalam hal produksi serta distribusi yang dihasilkan”. Zakat
dapat memperbaiki pola konsumsi, produksi dan distribusi dalam masyarakat Islam,
karena
zakat adalah musuh bagi penimbun dan penguasaan serta pemilikan sumber daya
14
16
6. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Dirjen
Pajak Nomor 33 Tahun 2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan
Oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.
Dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
dan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, wajib pajak
orang pribadi melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak dan sekaligus wajib
6
https://pid.baznas.go.id/hubungan-zakat-pajak/ diakses pada 26 Maret 2021 pukul 14.07
zakat. Kebijakan pengelolaan zakat bahwa zakat sebagai pengurang penghasilan kena
pajak dapat dipandang menjadi menjadi langkah maju menuju sinergi dalam
pengelolaan yang baik, baik dari sisi zakat maupun sisi pajak sehingga demi
tercapainya tujuan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atas Undang-undang
Nomor 23 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang No. 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan serta diperkuat juga dengan adanya Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2010 Tentang Zakat Atau Sumbangan
Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.7
18
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama islam dan atau badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintahan;
8
Mawarni, Intan Oktavia Angga, 2016, Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak, Jurnal Akuntasi, vol.
1 No. 1, hal. 1-25
Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama selain agama islam dan atau oleh wajib pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama islam, yang diakui di
Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah.
Sedangkan, badan atau lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11 Juni 2012 yang sebelumnya diatur
sengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011, yang diantaranya:
Dalam pasal 14 ayat (3) UU No. 38 Tahun 1999 mengatur bahwa zakat yang
telah dibayarkan kepada badan amil zakat dikurangkan dari laba pendapatan sisa kena
pajak dari Wajib Pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003
menjadikan zakat sebagai pengurang atas penghasilan apabila dibayarkan oleh wajib
pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan Wajib Pajak Badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam. Selain itu dijelaskan juga tentang perlakuan zakat
19
atas penghasilan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Zakat yang boleh
dikurangkan dari penghasilan adalah zakat atas penghasilan saja yang nyata-nyata
dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga zakat yang
dibentuk dan disahkan oleh pemerintah berdasarkan bukti setoran zakat yang sah.
9
Masnun Tahir, Zusiana Elly Triantini, “Integrasi Zakat Dan Pajak di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum
Positif Dan Hukum Islam”. AL-‘ADALAH. Vol. XII No. 3, Juni 2015, hal. 517-518.
Dengan demikian zakat bukan sebagai pengurang Pajak Penghasilan secara langsung
akan tetapi sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak.10
20
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
10
Herman, H. Atang, 2016, Pembentukan Peraturan Pelaksana Zakat Mengurangi Penghasilan Kena Pajak
Dihubungkan Dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Jurnal Wawasan Hukum. vol. 34 No. 1, hal. 1-20
Karakteristik pokok daru pajak yang diterapkan di Indonesia adalah
pemungutannya harus berdasarkan Undang-undang yang tertulis, hal ini tercantum
pada UUD 1945 Pasal 23 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk
keperluan negara diatur dengan “Undang-Undang.
Para ulama sebenarnya sudah banyak yang menjelaskan mengenai sumber
pendapatan pemerintah yang dapat digunakan untuk membiayai belanjanya, misalnya Al-
Mawardi (2006, 227) telah menjelaskan bahwa sumber pendapatan pemerintah dapat berasal
dari ghonimah (harta rampasan perang), fai (harta yang didapatkan oleh pemerintah dari
negara non-muslim tanpa perang), kharaj (pajak atas tanah), ushur (bea masuk), dan zakat.
Akan tetapi, saat ini jenis pendapatan ghonimah serta fai sudah tidak mungkin lagi didapatkan
oleh suatu negara, sehingga menurut Chapra (2001, 335) pada zaman ini pemerintah dapat
membuat jenis pajak baru yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Kemudian para ulama juga telah berselisih pendapat mengenai bolehnya pemerintah
memungut pajak lain selain zakat.
Zakat merupakan kewajiban ummat islam yang pertanggung jawabannya
langsung kepada Allah SWT. Sebagai ummat Islam mereka harus membayar zakat
dan pajak, meskipun hal ini membebani ummat islam sebab adanya beban ganda.
21
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawati Fitri, Analisis Komparasi Sistem Perpajakan Indonesia Dengan Sistem
Perpajakan Menurut Islam, Jurnal Infestasi Vol. 5, No. 1, Juni 2009;
Tahir Masnun, Dkk “Integrasi Zakat Dan Pajak di Indonesia Dalam Tinjauan Hukum
Positif Dan Hukum Islam”. AL-‘ADALAH. Vol. XII No. 3, Juni 2015;
Mawarni, Dkk,, Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak, Jurnal Akuntasi,
vol. 1 No. 1, 2016;
Haskar Edi, "HUBUNGAN PAJAK DAN ZAKAT MENURUT PERSPEKTIF ISLAM", Vol. XIV
No.02 April 2020.
22