Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH HUKUM PAJAK

SANKSI PERPAJAKAN

Dosen Pengampu :

Lisda Apriliani Sobirin, S.H., M.H.

Oleh :

Nabil Habibi ( 442110104)

Vira Della Puspita (442110062)

Daffa Putra Fahrezi (442110159)

Widari Regita Cahyani (442110053)

Tesalonika Natasya Sinaga (442110123)

Fitria Wahyuningsih (442110063)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS PELITA BANGSA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN HUMANIORA

PROGRAM STUDI HUKUM

T.A GENAP 2022-2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini dapat selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah
Hukum Pajak dan Perpajakan yang telah membimbing kami dalam menyusun
makalah ini dan tak lupa kepada rekan-rekan kelompok yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik
dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
A. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 3
B. Pembahasan .............................................................................................. 4
a) Pengertian Sanksi Perpajakan ................................................................. 4
b) Jenis-Jenis Sanksi Perpajakan ................................................................. 7
c) Contoh Pengenaan Sanksi Perpajakan .................................................. 29
d) Dasar Hukum Penagihan Pajak ............................................................. 29
e) Dasar Penagihan pajak ......................................................................... 31
f) Daluwarsa Penagihan Pajak .................................................................. 32
g) Penghapusan Piutang Pajak .................................................................. 32
h) Tata Cara Penyitaan Piutang Penanggung Pajak Dalam Rangka
Penagihan dengan Surat Paksa.............................................................. 35
c) Tindakan Penagihan Pajak.................................................................... 39
d) Studi Kasus .......................................................................................... 41
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 43
A. Kesimpulan ............................................................................................. 43
B. Saran ....................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Sanksi Administrasi Berupa Denda, Bentuk pengenaan Denda, dan


Besarnya Denda ................................................................................................. 11
Tabel 2 Sanksi Administrasi Berupa Bunga, Bentuk Pengenaan Bunga, dan
Besarnya Bunga ................................................................................................. 23
Tabel 3 Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan, Bentuk Pengenaan Kenaikan, dan
Besarnya Kenaikan ............................................................................................ 26
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan salah satu dari negara yang
mempunyai jumlah penduduk yang sangat banyak. Menurut data yang
terakhir sumber penghasilan bangsa Indonesia ini 95% adalah dari sektor
Pajak. Dikarenakan jumlah penduduk yang sangat banyak yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Jadi, Wajib Pajak di Inonesia juga sangat banyak.
Sedangkan Pajak sendiri mempunyai jenis atau macamnya sendiri.
Sehingga secara tidak di sadari oleh Wajib Pajak masyarakat Indonesia
maka dengan sendirinya mereka telah membayar Pajak berdasarkan jenis
atau macamnya Pajak itu sendiri.
Dengan banyaknya jenis pajak di Indonesia membuat para wajib
pajak tidak begitu paham mengenai pajak. Hal itulah yang menyebabkan
wajib pajak yang memenuhi kewajibannya membayar pajak sangat sedikit.
Sehingga sanksi pajak di berlakukan kepada para wajib pajak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud sanksi perpajakan?
2. Apa saja jenis-jenis sanksi perpajakan?
3. Apa saja contoh pengenaan sanksi perpajakan?
4. Apa saja dasar hukum penagihan pajak?
5. Apa saja dasar penagihan pajak?
6. Bagaimana daluarsa penagihan pajak?
7. Bagaimana penghapusan piutang pajak?
8. Bagaimana tata cara penyitaan piutang penanggung pajak dalam rangka
penagihan dengan surat paksa?
9. Bagaimana tindakan penagihan pajak?

C. Tujuan
1. Mendeskripsikan pengertian sanksi perpajakan.

1
2

2. Mendeskripsikan jenis-jenis sanksi perpajakan.


3. Mendeskripsikan contoh pengenaan sanksi perpajakan.
4. Mendeskripsikan dasar hukum penagihan pajak.
5. Mendeskripsikan dasar penagihan pajak.
6. Mendeskripsikan dalauarsa penagihan pajak.
7. Mendeskripsikan penghapusan piutang pajak.
8. Mendeskripsikan tata cara penyitaan piutang penanggung pajak dalam
rangka penagihan dengan surat paksa.
9. Mendeskripsikan tindakan penagihan pajak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka
Pajak merupakan sumber pasti dalam memberikan kontribusi dana
kepada negara. Untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah
melakuakan reformasi perpajakan secara menyeluruh pada tahun 1984.
Sejak saat itu, Indonesia menganut self assessment system yaitu sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak terutang (Mardiasmo, 2009:7).
Konsekuensi dari perubahan ini adalah Direktorat Jenderal Pajak
berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan
penerapan sanksi pajak (Maria, 2012). Menurut Darmayanti (2004) dalam
(Elia, 2006), penerapan self assessment system akan efektif apabila kondisi
kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pada masyarakat telah
terbentuk. Kepatuhan wajib pajak diidentifikasi dari kepatuhan dalam
mendaftarkan diri, menyetor kembali Surat Pemberitahuan (SPT),
menghitung dan membayar pajak terutang serta membayar tunggakan pajak.
Hal tersebut dipertegas dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak Patuh, yaitu jika memenuhi
kriteria berikut ini:
1) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua
jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak.
3) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.
4) Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP, dan dalam hal wajib
pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang
terakhir untuk tiaptiap jenis pajak yang terutang paling banyak lima

3
4

persen. Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir
diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian,
atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak memengaruhi laba
rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long
form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal.
Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diadit oleh
akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada angka 1,
2, 3, dan 4 di atas.
Namun tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah, seperti yang
dipaparkan oleh Wahyu (2008) bahwa kondisi kepatuhan wajib pajak di
Indonesia masih rendah, hal tersebut ditunjukkan dari total wajib pajak yang
terdaftar hanya sebagian yang melaporkan kewajiban perpajakannya.
Penelitian-penelitan yang pernah dilakukan di Indonesia
menyatakan bahwa kepatuhan pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol, dkk (2007) dan
Yadnyana (2011) menunjukkan bahwa variabel-variabel yang memengaruhi
kepatuhan pajak salah satunya adalah sanksi pajak. Muliari (2010) dalam
penelitiannya menyatakan kepatuhan pajak dipengaruhi oleh kesadaran
wajib pajak. Ari (2011) dalam penelitiannya menyatakan faktor-faktor yang
memengaruhi kepatuhan pajak meliputi kesadaran wajib pajak, kualitas
pelayanan dan penyuluhan perpajakan.

B. Pembahasan
a) Pengertian Sanksi Perpajakan
Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan
kepada orang yang melanggar peraturan. Peraturan atau undang-
undang merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan
sesuatu mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya
tidak dilakukan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau undang-undang
tidak dilanggar. Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan
dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan
5

merupakan alat pencegah agar Wajib Pajak tidak melanggar norma


perpajakan.
Menurut Tjahjono (2005), sanksi pajak adalah suatu tindakan
yang diberikan kepada Wajib Pajak ataupun pejabat yang berhubungan
dengan pajak yang melakukan pelanggaran baik secara sengaja maupun
karena alpa. Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan akan dipatuhi. Dengan kata
lain, sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak
melanggar norma perpajakan.
Pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib Pajak memahami
sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukumdari
apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan
gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak
dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikantentang jenis-
jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.
Sanksi pajak terdiri dari dua jenis yaitu sanksi administrasi dan
sanksi pidana.Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian
kepada Negara, khususnya berupa bunga dan kenaikan. Sanksi pidana
merupakan siksaan atau penderitaan dan merupakan suatu alat terakhir
atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan
dipatuhi. Sanksi pidana dalam perpajakan berupa penderitaan atau
siksaan dalam hal pelanggaran pajak. Pengenaan sanksi pidana tidak
menghilangkan kewenangan untuk menagih pajak yang masih terutang
(Mardiasmo, 2006).
Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi,
yaitu Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana. Ancaman terhadap
pelanggaran suatu norma perpajakan ada yang diancam dengan sanksi
administrasi saja, ada yang diancam dengan sanksi pidana saja, danada
pula yang diancam dengan sanksi administrasi dan sanksi pidana
(Mardiasmo, 2011).
6

Masyarakat selama ini beranggapan bahwa akan dikenakan


sanksi perpajakan bila tidak membayar pajak. Padahal, dalam
kenyataannya banyak hal yang membuat masyarakat atau wajib pajak
terkena sanksi perpajakan, baik itu berupa sanksi administrasi (bunga,
denda, dan kenaikan) maupun sanksi pidana. Secara konvensional,
terdapat dua macam sanksi yaitu sanksi positif dan sanksi negatif.
Sanksi positif merupakan suatu imbalan, sedangkan sanksi negatif
merupakan suatu hukuman (Soekanto, 1988 dalam Ilyas dan Burton,
2010).
Namun pemberian imbalan apabila wajib pajak patuh dan telah
memasukan Surat Pemberitahuan tepat pada waktunya belum
diperhatikan. Saat ini DJP masih berfokus pada pemberian sanksi
negatif dalam menuntut wajib pajak agar patuh terhadap peraturan
perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU Perpajakan yang berlaku,
menurut Ilyas dan Burton (2010) terdapat empat hal yang diharapkan
atau dituntut dari para wajib pajak, yaitu:
1) Dituntut kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam membayar
pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh.
2) Dituntut tanggung jawab (responsibility) wajib pajak dalam
menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu.
3) Dituntut kejujuran (honesty) wajib pajak dalam mengisi Surat
pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya.
4) Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepadawajib
pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku.
Dari keempat hal di atas, paling efektif menurut Ilyas danBurton
(2010) adalah dengan menerapkan sanksi (law enforcement)
tanpapandang bulu dan dilaksanakan secara konsekuen. Sekarang ini,
wajib pajak yang tidak atau terlambat memasukan atau menyampaikan
SPT dikenakan dendan SPT ditambah Rp100.000,00 atau
Rp500.000,00 atau Rp1.000.000,00. Semakin tinggi atau beratnya
sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu,
7

sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat


kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.

b) Jenis-Jenis Sanksi Perpajakan


Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting
karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self assessment
system dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan
sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung
menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib
Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun
teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai
dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-
rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur
pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan,
maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum
tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan
untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak
memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui
konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan.
Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja
yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah
ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal
pengenaannya. Ada 2 macam sanksi dalam perpajakan yaitu sebagai
berikut.
1) Sanksi Administrasi
a) Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak
ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda
8

dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah


tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan
ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai
sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau
disengaja.
Untuk mengetahui lebih laniut, dalam tabel 1 dimuat hal-
hal yang dapat menyebabkan sanksi administrasi berupa denda,
bentuk pengenaan denda, dan besarnya denda.

b) Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas
pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar.
Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu
jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai
dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga
utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang
pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga).
Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung
berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok
pajak yang tidak atau kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Wajib
Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi
bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah
diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali
dengan disertai bunga.
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya
adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya
dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan
dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hal-hal yang
9

dapat menyebabkan sanksi bunga dan penghitungan besarnya


bunga dalam pajak, dapat melihat dalam tabel 2.

c) Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi
berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib
Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlahpajak
yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa
kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase
tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya
dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-
informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak
terutang. Untuk lebih jelasnya, hal-hal yang dapat menyebabkan
sanksi berupa kenaikan dan besarnya kenaikan dapat dilihat
dalam tabel 3.

2) Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan
umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU
KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana
merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam
pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak
yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak
dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT
atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,
atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
10

Hukum pidana diterapkan karena adanya tindakpelanggaran


dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan,
tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja,
lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak
mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah
jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini
dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,
berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini
disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen
perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang
terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai
sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai
hukum pajak formal. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat
juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan
sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada. Hal-
hal yang dapat menyebabkan sanksi pidana dan bentuk sanksinya
dapat juga dilihat pada tabel 1.
11

Tabel 1
Sanksi Administrasi Berupa Denda, Bentuk pengenaan Denda, dan Besarnya Denda

1 SPT tidak disampaikan sesuai atas waktu Pasal 7 ayat (1) UU KUP a. Rp500.000,- untukSPTMasa PPN
penyampaian atau batas waktu perpanjangan b. Rp100.000,- untuk SPT Masa lainnya;
penyampaian SPT. c. Rpl.000.000,- untuk SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak Badan;
d. Rp100.000,- untuk SPT Tahunan PPh Wajib
Pajak Orang Pribadi.
2 Meskipun telah dilakukan pemeriksaan, tetapi Pasal 8 ayat (3) UU KUP 150% dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
belum dilakukan tindakan penyidikan, WajibPajak
dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran tentang data yang dilaporkan
dalam SPT dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
sebenarnya terutang.
3 Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pasal 14ayat (4) UU KUP 2% dari dasar pengenaan pajak.
PKP, tetapi tidak membuat Faktur pajak atau
membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat
waktu.
12

4 PKP tidak mengisi Faktur pajak secara lengkap Pasal 14 ayat (4) UU KUP 2% dari dasar pengenaan pajak
sesuai dengan ketentuan Pasal l3 ayat (5) UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang perubahan Ketiga
atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), selain:
1) ldentitas pembeli, dalam hal penyerahan
dilakukan oleh PKP pada umumnya; atau
2) ldentitas pembeli serta nama dan tanda
tangan, dalam hal penyerahan dilakukan oleh
PKP pedagang eceran.
5 PKP melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai Pasal 4 ayat (4) UU KUP 2% dari dasar pengenaan pajak
dengan masa penerbitan Faktur Pajak.
6 Keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan Pasal 25 ayat (9) UU KUP 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
sebagian. keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan. Sanksi
administrasi berupa denda 50% tersebut tidak
dikenakan dalam hal Wajib Pajak
mengajukan banding.
13

7 Permohonan banding ditolak atau dikabulkan Pasal 21 ayat (5d) UU 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan
sebagian. KUP banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan.
8 Setiap orang yang karena kealpaan: Pasal 33 UU KUP Didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah
a. Tidak menyampaikan SPT; atau pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
b. Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
atau tidak lengkap, atau Melampirkan terutang yang tidak atau kurang dibayal atau
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan bulan atau paling Iama 1 (satu) tahun.
negara dan perbuatan tersebut merupakan
perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A UU
KUP.
9 Setiap orang yang dengan sengaja: Pasal 39 ayat (1) dan ayat Didenda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan (2) UU KUP pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) atau dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
tidak melaporkan usahanya untuk terutang yang tidak atau kurang dibayar,
dikukuhkan sebagai PKP; dan dipidana dengan pidana penjara paling
14

b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
hak NPWP atau Nomor Pengukuhan (enam) tahun. Pidana diatas ditambahkan 1
Pengusaha Kena Pajak (NPPKP); (satu) kali menjad i2 (dua) kali sanksi pidana
c. Tidak menyampaikan SPT; apabila seseorang melakukan lagi tindak
d. Menyampaikan SPT dan atau keterangan pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan; menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau
dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan
keadaan yang sebenarnya
g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan di lndonesia, tidak memperlihatkan
atau meminjam buku, catatan atau dokumen
lain;
h. Tidak menyimpan buku, catatan atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari
15

pembukuan yang dikelola secara elektronik


atau diselenggarakan secara program
aplikasi online di lndonesia; atau
i. Tidak menyetorkan pajak yang telah
dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara
10 Setiap orang yang: Pasal 39 ayat (3) UU KUP Didenda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
a. Melakukan percobaan menyalah gunakan atau restitusi yang dimohonkan dan atau
menggunakan tanpa hak NPWP atau kompensasi atau pengkreditan yang
pengukuhan PKP; atau dilakukan, paling banyak 4 (empat) kalijumlah
b. Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang restitusi yang dimohonkan dan atau
isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam kompensasi atau pengkreditan yang
rangka mengajukan permohonan restitusi atau dilakukan, dan dipidana penjara palingsingkat
melakukan kompensasi pajak atau 6 (enam) bulan dan paling lama 2
pengkreditan pajak. (dua) tahun.
11 Setiap orang yang dengan sengaja: Pasal 39A UU KUP Didenda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
a. Menerbitkan dan atau menggunakan Faktur pajak dalam Faktur Pajak, bukti pemungutan
Pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pajak, bukti pemotongan pajak, dan atau bukti
16

pemotongan pajak dan atau bukti setoran setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali
pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang jumlah pajak dalam Faktur Pajak, bukti
sebenarnya; atau pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,
b. Menerbitkan Faktur Pajak tetapi belum dan atau bukti setoran pajak, serta dipidana
dikukuhkan sebagai PKP. dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 6 (enam)tahun.
12 Bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, Pasal 41A UU KUP Didenda paling banyak Rp25.000.000,- dan
kantor administrasi dan atau pihak ketiga lainnya- dipidana dengan pidana kurungan paling lama
yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak 1 (satu) tahun.
yang sedang diperiksa, ditagih pajaknya dan disidik
karena adanya tindak pidana perpajakan- dengan
sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
memberikan keterangan atau bukti
yang tidak benar.
13 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi Pasal 4l B UU KUP Paling banyak Rp75.000.000,- dan pidana
atau mempersulit penyidikan tindak pidana di penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
bidang perpajakan.
14 Setiap orang dalam instansi pemerintah, lembaga, Pasal 41C ayat (1) UU Didenda paling banyak Rp 1 .000.000.000,-
asosiasi, dan pihak lain, yang dengan sengaja tidak KUP atau dipidana dengan pidana kurungan paling
17

memberikan data lama 1 (satu) tahun.


dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan
kepada Direktorat Jenderal (Ditjenl Pajak.
15 Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan Pasal 41C ayat (2) UU Didenda paling banyak Rp800.000.000,- atau
tidak KUP pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh)
terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain di bulan.
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan
lainnya.
16 Setiap orang yang dengan sengaja tidak Pasal 41C ayat (3) UU Didenda paling banyak Rp800.000.000,- atau
memberikan data dan informasi yang diminta oleh KUP dipidana kurungan paling lama 10 (sepuluh)
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak. bulan.
17 Setiap orang yang dengan sengaja Pasal4lC ayat (4) UU Didenda paling banyak Rp500.000.000,- atau
menyalahgunakan data dan informasi perpajakan, KUP dipidana kurungan paling lama 1 (satu)tahun.
sehingga menimbulkan kerugian pada negara.
18 Wajib Pajak yang sedang dilakukan tindakan Pasal 448 UU KUP Didenda 4 (empat) kali jumlah pajak yangtidak
penyidikan pajak namun kemudian memilih untuk atau kurang dibayar, atau yang tidak
melunasi utang pajak yang tidak atau kurang seharusnya dikembalikan.
dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan.
18

19 Penanggung pajak yang: Pasal 41A ayat (1) UU Paling banyak Rp12.000.000,- dan pidana
a. Memindahkan hak,memindahtangankan, Nomor 19 Tahun 2000 penjara paling lama 4 (empat) tahun.
menyewakan, meminjamkan, tentang Perubahan Atas
menyembunyikan, menghilangkan, atau UU Nomor 19 Tahun 1997
merusak barang yang telah disita; tentang Penagihan Pajak
b. Membebani barang tidak bergerak yang telah dengan Surat Paksa (UU
disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan PPSP)
utang tertentu;
c. Membebani barang bergerak yang telah disita
dengan fidusia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu; dan atau
d. Merusak, mencabut, atau menghilangkan segel
sita atau
salinan Berita Acara paksanaan Sita yang telah
ditempel pada barang sitaan.
20 Apabila bank termasuk lembaga keuangan lainnya, Pasal 41 A ayat (1 ) UU Didenda paling banyak Rp10.000.000,- dan
bursa efek, pejabat, notaris dan debitur, tidak PPSP dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
melaksanakan kewajibannya. (empat) bulan 2 (dua) minggu
19

21 Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti Pasal 41 A ayat (2) UU Didenda paling banyak Rp10.000.000,- dan
perintah atau permintaan yang dilakukan menurut PPSP pidana dengan pidana penjara paling lama 4
UU atau dengan sengaja mencegah, menghalang- (empat) bulan 2 (dua) minggu.
halangi, atau menggagalkan tindakan dalam
pelaksanakan ketentuan
undang-undang yang dilakukan oleh jurusita pajak.
22 Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti Pasal 41 A ayat (3) UU Paling banyak Rp10.000.000,- dan pidana
perintah atau permintaan yang dilakukan menurut PPSP penjara paling lama 4 bulan 2 minggu.
UU, atau dengan
sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan tindakan jurusita pajak.
23 Dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang Pasal 8 UU Nomor 13 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang
dilunasi sebagaimana mestinya. Tahun 1985 tentang Bea dibayar. Pemegang dokumen harus melunasi
Dokumen-dokumen yang dikenai Bea meterai: Meterai Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dengan cara pemeteraian kemudian.
dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai
alat pembuktian mengenai perbuatan,
kenyataan atau keadaan yang bersifat Perdata;
b. Akta-akta notaries termasuk salinannya;
20

c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat


Akta Tanah termasuk angka prangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah uang
lebih dari Rp1.000.000,-:
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau
penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di
bank;
4) Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang
seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi
atau diperhitungkan;
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan
cek yang harga nominalnya lebih dari
Rp1.000.000,-;
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun,
sepanjang harga nominalnya lebih dari
Rp1.000.000,-.
21

24 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak Pasal '10 ayat (3) UU 25% dihitung dari pokok pajak.
disampaikan tepat waktu dan setelah ditegur secara Nomor 12 Tahun 1994
tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan tentang Perubahan atasUU
dalam Surat Teguran. Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
(UU PBB)
25 Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan Pasal 10 ayat (4) UU PBB 25% dari selisih pajak yang terutang.
lain, ternyata jumlah pajak yang terutang lebih
besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan
SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
26 Barang siapa karena kealpaannya: Pasal24 UU PPB Setinggi-tingginya 2 (dua) kali pajak yang
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP terutang atau pidana kurungan selama-
kepada Ditjen Pajak; lamanya 6 (enam) bulan.
b. Menyampaikan SPOP. tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap dan atau melampirkan
keterangan yang tidak benar, sehingga
menimbulkan keruqian neqara.
22

27 Barang siapa dengan sengaja: Pasal 25 UU PBB Setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan yang terutang atau pidana penjara selama-
SPOP kepada Ditjen Pajak; lamanya 2 (dua) tahun.
b. Menyampaikan SPOB tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap dan atau melampirkan
keterangan yang tidak benar;
c. Memperlihatkan surat atau dokumen palsu;
d. Tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
e. Tidak menunjukkan data atau tidak
menyampaikan keterangan yang diperlukan,
Sehingga menimbulkan kerugian pada negara
23

Tabel 2
Sanksi Administrasi Berupa Bunga, Bentuk Pengenaan Bunga, dan Besarnya Bunga

1 Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Pasal 8 ayat Pasal 8 ayat (2) UU KUP 2%per bulan atas jumlah pajak yang kurang
(2) UU KUP Tahunan yang mengakibatkan utang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT
pajak menjadi lebih berakhir sampai dengan tanggal
besar. pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
2 Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang Pasal 8 ayat (2a) UU KUP 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar. dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian
dari bulan dihitung
Penuh 1 (satu) bulan.
3 Pembayaran atau penyetoran Pasal 9 ayat (2a) UU Pasal 9 ayat (2a) UU KUP 2% pet bulan dihitung dari tanggal jatuh tempo
KUP pajak pembayaran sampai
berdasarkan SPT Masa yang dilakukan setelah dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari
tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
pajak.
4 Pembayaran atau penyetoran pajak berdasarkan SPT Pasal 9 ayat (2b) UU KUP 2% per bulan dihitung mulai dari berakhirnya
Tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai
24

penyampaian SPT Tahunan. dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari


bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
5 Dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain, Pasal 13 ayat (2) UU KUP 2% per bulan dari jumlah pajak yang tidak atau
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar kurang dibayar, paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau
tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
6 Apabila Wajib Pajak diterbitkan NPWP dan atau Pasal 13 ayat (2) UU KUP 2% per bulan dari jumlah pajak yang tidak atau
dikukuhkan PKP secara jabatan. kurang dibayar, paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan
diterbitkannya 5KPKB.
7 SKPKB yang diterbitkan setelah melewati jangka Pasal 13 ayat (5) UU KUP 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
waktu 5 (lima) tahun, yang diterima oleh Wajib Pajak dibayar.
yang dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
25

lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada


pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

8 Dari penelitian rutin: Pasal 14 ayat (3) UU KUP 2% per bulan untuk selama-lamanya 24 (dua
a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang puluh empat) bulan dihitung sejak saat
dibayar; terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau
b. SPT salah tulis/salah hitung sehingga terdapat tahun pajak sampai dengan diterbitkannya STP.
kekurangan pembayaran pajak.
9 Bagi PKP yang gagal berproduksi dan telah Pasal 14 ayat (5) UU KUP 2% pet bulan dari jumlah yang ditagih kembali,
diberikan pengembalian Pajak Masukan. dihitung dari tanggal penerbitan Surat keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
sampai dengan tanggal penerbitan STP, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
26

Tabel 3
Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan, Bentuk Pengenaan Kenaikan, dan Besarnya Kenaikan

1 Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT Pasal 8 ayat (5) UU 50% dari pajak yang kurang dibayar.
setelah jangka waktu pembetulan SPT berakhir dan belum KUP
pernah diterbitkan surat
ketetapan pajak, yang mengakibatkan pajak kurang dibayar.
2 SPT tidak disampaikan sesuai jangka waktu penyampaiannya Pasal 13 ayat (l) a. 50% dari PPh yang tidak atau kurang
dan setelah ditegur secara tertulis 5PT tetap tidak disampaikan huruf b UU KUP dibayar dalam satu tahun pajak
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut
tidak atau kurang disetor, dan dipotong
atau dipungut tetapi tidak atau kurang
disetor.
3 Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain Pasal 13 ayat (l) huruf 100% dari PPN atas barang dan jasa dan
mengenai PPN dan PPn BM, ternyata tidak seharusnya c UU KUP Ph BM yang tidak atau kurang dibayar.
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya
dikenai tarif 0%.
27

4 Apabila Wajib Pajak tidak melakukan pembukuan atau ketikaPasal 13 ayat (3) UU a. 50% dari PPh yang tidak atau kurang
diperiksa Wajib Pajak tidak: KUP dibayar dalam satu tahun pajak;
a. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, b. 100% dari PPh yang tidak atau kurang
dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang dipotong, tidak atau kurang dipungut;
berhubungan dengan penghasilan yang dipeproleh, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek atau dipungut tetapi tidak atau kurang
yang terutang pajak; disetor.
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna
kelancaranpemeriksaan; dan atau
c. Memberikan keterangan lain yang diperlukan,sehingga
tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
5 Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Pasal 134 UU KUP Sanksi kenaikan sebesar 200% dari
SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau jumlah pajak yang kurang dibayar yang
tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak ditetapkan melalui penerbitan 5KPKB.
benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara. Kealpaan yang dilakukan ini adalah
kealpaan yang pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak.
28

6 Diterbitkan SKPKBT, karena ditemukan data baru dan atau data Pasal 15 ayat (2) UU 100% dari jumlah kekurangan pajak.
yang semula belum terungkap. KUP
7 Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Pasal 17C ayat (5) 100% dari jumlah kekurangan pajak.
dengan kriteria tertentu yang telah mendapat pengembalian UU KUP
pendahuluan kelebihan pajak, diterbitkan SKPKB.
29

c) Contoh Pengenaan Sanksi Perpajakan


PT Java Triangle Solutions adalah PKP yang sudah dikukuhkan pada
tanggal 15 Januari 1995. Administrasi perpajakannya diketahuisebagai
berikut:
- SPT Masa PPN untuk Masa Agustus 2001 tidak dimasukan
walaupun sudah ditegur
- Wajib Pajak juga tidak melakukan pembukan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 28 dan 29
Terhadap Wajib Pajak ini dilakukan pemeriksaan dan menghasilkan
kurang bayar sebesar Rp200.000.000,00. SKPKB diterbitkan Januari
2002.

Penyelesaian:
Terhadap kasus tersebut dapat diterbitkan SKPKB beserta sanksinya;
SKPKB
Pokok Pajak kurang dibayar Rp 200.000.000,00
Sanksi Pasal 13 ayat (3) 100% Rp 200.000.000,00
Sanksi Pasal 13 ayat (2) (5 × 2%) Rp 20.000.000,00
STP Rp 50.000,00 +
Pajak yang harus dibayar Rp 420.050.000,00
Catatan :
Pada kasus di atas Wajib Pajak melakukan tindak pelanggaran dua
kali tetapi sanksi yang dikenakan tetap satu kali yaitu 100%.

d) Dasar Hukum Penagihan Pajak


 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Tata Cara
Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
30

 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Tata Cara


Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara
Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Penyanderaan
Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 335/KMK.04/1996 Tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya
Penghapusan
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2000 Tentang
Tata Cara Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat
Paksa Tanggal 26 Desember 2000
 Peraturan Menteri Keuangan - 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan
Penagihan Seketika dan Sekaligus
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 Tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya
Penghapusan tanggal 26 Desember 2000.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 147/KMK.04/1998 Tentang
Penunjukan Pejabat Untuk Penagihan Pajak Pusat, Tata Cara dan
Jadwal Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.04/1995 Tentang
Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 608/KMK.04/1994
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak dan Penunjukan
Pejabat Yang berwenang Mengeluarkan Surat Paksa Tanggal 21
Desember 1994.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 148/KMK.04/1998 Tentang
Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak
Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 Tentang
Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak
31

Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan


Surat Paksa. Tanggal 26 Desember 2000.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 149/KMK.04/1998 Tentang
Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita
Pajak.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 562/KMK.04/2000 Tentang
Syarat-syarat, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita
Pajak. Tanggal 26 Desember 2000.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.04/2000 Tentang
Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar Wilayah
Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. Tanggal 26 Desember
2000.
 Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 20/PJ./1995 Tentang Jadwal
Waktu Tindakan Penagihan Pajak Tanggal 23 Februari 1995.
 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 01/PJ.7/1996
Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan
Besarnya Penghapusan Piutang Pajak.
 Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-21/PJ.7/1996 Tentang
Penagihan dan Pencegahan Daluwarsa.
 Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-05/PJ.75/1998 Tentang
Upaya Peningkatan Pencairan Tungakan Pajak.
 Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-13/PJ.75/1998 Tentang Jadwal
Waktu Pelaksanaan Penagihan Pajak.

e) Dasar Penagihan Pajak


Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000,dasar
yang dipakai dalam melakukan penagihan pajak adalah Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pembetulan, Surat
Ketetapan Keberatan, dan Putusan Banding.
Pada dasarnya besarnya utang pajak dihitung sendiri oleh Wajib
Pajak. Apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam
32

penghitungan pajak terhutang tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak


dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal
tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo,
penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.

f) Daluwarsa Penagihan Pajak


Jangka waktu DJP dapat melaksanakan penagihan pajak,
termasuk bunga, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, terhadap Wajib
Pajak adalah 5 (lima) tahun sejak penerbitan dasar penagihan pajak.
Namun dapat tertangguh/melewati 5 (lima) tahun apabila:
1. Diterbitkan Surat Paksa
2. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung, misalnya mengajukan permohonan
pengangsuran/penundaan pembayaran.
3. Diterbitkannya SKPKB atau SKPKBT karena Wajib Pajak
melakukan tindak pidana perpajakan dan tindak pidana lain yang
merugikan pendapatan negara.
4. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

g) Penghapusan Piutang Pajak


Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.03/2002
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menter Keuangan No.
68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan
Penetapan Besarnya Piutang Pajak mengatur tentang Piutang Pajak
yang dapat dihapuskan.
Dirjen Pajak memberikan kebijaksanaan dan kepastian hukum
bagi Wajib Pajak yang masih memiliki kewajiban pajak yang masih
terhutang namun dapat dihapuskan sebagaimana dalam ketentuan
tersebut.
1) Piutang pajak yang dapat dihapuskan adalah piutang pajak yang
tercantum dalam:
33

a) Surat Tagihan Pajak (STP);


b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
c) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
d) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);
e) Surat Ketetapan Pajak (SKP);
f) Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT);
g) Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
2) Piutang pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk Wajib Pajak orang pribadi adalah piutang pajak yang
tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
a) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak meninggal dunia dan
tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;
b) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan;
c) Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
d) Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan
telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
e) Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat
dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya
perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3) Piutang pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk Wajib Pajak badan adalah piutang pajak yang tidak
dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
a. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak
tidak dapat ditemukan;
b. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
34

c. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan


telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
d. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat
dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya
perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Penghapusan piutang pajak dapat dilakukan dalam hal hak
menagih Direktorat Jenderal Pajak telah melampaui jangka waktu
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta
Putusan Peninjauan Kembali.
Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak
yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, Direktorat Jenderal
Pajak wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi
dan hasilnya dilaporkan dalam Laporan Hasil Penelitian. Laporan Hasil
Penelitian tersebut harus menggambarkan keadaan Wajib Pajak atau
Piutang Pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan
besarnya Piutang Pajak yang tidak dapat ditagih lagi sehingga diusulkan
untuk dihapus.
Piutang Pajak hanya dapat diusulkan untuk dihapuskan setelah
adanya Laporan Hasil Penelitian dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setiap akhir tahun takwim menyusun Daftar Usulan Penghapusan
Piutang Pajak berdasarkan Laporan Hasil Penelitian. Usulan
Penghapusan Piutang Pajak setiap awal tahun berikutnya disampaikan
kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya.
Selanjutnya, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
menyampaikan Daftar Usulan Penghapusan Piutang Pajak yang telah
diteliti kepada Direktur Jenderal Pajak.
35

Dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor


625/PJ./2001 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan
Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Pajak dijelaskan yang
dimaksud dengan penelitian setempat dan penelitian administrasi.
Penelitian setempat dilakukan oleh Juru Sita Pajak Negara terhadap
piutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi karena:
 Wajib Pajak yang meninggal dunia dengan tidak meninggalkanharta
warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat
ditemukan, yang dibuktikan dengan Surat Keterangankematian dan
surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang
meninggal dunia tersebut tidak meninggalkan harta warisan dan
tidak mempunyai ahli waris dari pejabat yang berwenang;
 Wajib Pajak yang tidak mempunyai harta kekayaan lagi, dibuktikan
dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang yang
menyatakan bahwa Wajib Pajak memang benar-benar sudah tidak
mempunyai harta kekayaan lagi;
 Berdasarkan surat perintah penelitian setempat yang diterbitkanoleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Selanjutnya, penelitian administrasi adalah penelitian terhadap
piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena Wajib Pajak yang
hak penagihannya telah daluwarsa berdasarkan Pasal 22 UU KUP dan
hasilnya dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian Administrasi.

h) Tata Cara Penyitaan Piutang Penanggung Pajak Dalam Rangka


Penagihan dengan Surat Paksa
Penyitaan terhadap barang, dimana barang yang akan disita
berada diluar wilayah kerja pejabat kantot pajak yang menerbitkan
Surat Paksa dapat dilakukan dengan berdasarkan pasal 20 undang-
undang penagihan yang menegaskan bahwa dalam hal objek sita yang
berada di luar wilayah kerja pejabat yag menerbitkan Surat Paksa,
pejabat harus meminta bantuan kepada kepala kantor pajak yang
36

wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan


Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita tersebut.
Sedangkan jika objek sita berada jauh dari tempat kedudukan pejabat
tetapi masih dalam wilayah kerjanya, dapat dengan meminta bantuan
kepada kepala kantor pajak yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat
objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan. Penyitaan dilakukan dengan tata cara sebagai berikut:

 Pejabat menyampaikan surat peringatan kepada Penanggung Pajak

bahwa piutangnya akan digunakan untuk melunasi utang pajak dan


biaya penagihan pajak.

 Setelah batas waktu 14 (empat belas hari) sejak tanggal surat

peringatan, Penanggung Pajak tidak juga melunasi utang pajakdan


biaya penagihan pajak, maka Jurusita akan melakukan penyitaan.

 Jurusita Pajak melakukan inventarisasi dan rincian tentang jenis

dan jumlah Piutang yang disita dalam suatu lampiran Berita Acara
Pelaksaan Sita.

 Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita.

 Jurusita Pajak membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak

Menagih Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat


berwenang, dan salinannya disampaikan kepada Penanggung Pajak
dan Debitur.

 Pelunasan utang pajak dan biaya penagihan pajak dilakukan

dengan cara menjual Piutang Penanggung Pajak atau disetor


langsung oleh debitur ke Kas Negara

Berikut terdapat enam jenis barang yang tidak dapat disita atau
diperkecualikan dari penyitaan sesuai dengan yang terkandung dalam
pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997, yaitu:
1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan
oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
37

2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan


beserta peralatan masak yang ada di rumah.
3) Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas.
4) Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan
Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk
pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan.
5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah
seluruhnya tidak melebihi Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak
dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pada prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah
status kepemilikan atas suatu barang, bahkan barang yang telah disita
dapat dititipkan kepada Penanggung Pajak atau dapat disimpan di
tempat lain. Pemilik barang masih dapat menggunakan barangnya
selama barang tersebut tidak dialihkan hukumnya kepada orang lain
atau merusak barang, atau menghilangkan barang yang merupakan
tindakan pidana sesuai dengan Pasal 231 KUH Pidana. Pengertian
tumpang tindih penyitaan adalah dimana suatu barang yang sebelumnya
telah disita oleh satu intansi yang berwenang, lalu disita lagi oleh intansi
berwenang yang berbeda. Sedangkan penyitaan tambahan (Pasal 21),
juru sita dapat melakukan penyitaan apabila:
a) Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang
biaya penagihan pajak.
b) hasil dari lelang barang yang telah disita tidak cukup melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak.
Terhadap barang yang sudah disita, Penanggung Pajak dilarang
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan,
meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak
barng yang telah disita.
38

2) Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak


tanggungan untuk pelunasan utang tertentu.
3) Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau
diagunkan untuk pelunasan utang tertentu.
4) Merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan
Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barag sitaan.
Apabila wajib pajak melanggar ketentuan di atas, maka akan
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam
pasal-pasal berikut:
1) Pasal 231 ayat (1) KUHP, menegaskan bahwa “barang siapa dengan
sengaja menarik suatu barang yang disita menurut ketentuan
undang-undang atau yang dititipkan (sequestratie) atas perintah
hakim atau dengan mengetahui, bahwa barang ditarik dari situ,
menyembunyikan, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.”
2) Pasal 372 KUHP menegaskan bahwa “barangsiapa dengan sengaja
dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (aich
toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaanya bukan
karena kejahatan, diancam, karena penggelapan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam
puluh juta rupiah.”
3) Pasal 375 KUHP menegaskan bahwa “penggelapan yang dilakukan
oleh orang yang terpaksa diberi barang untuk disimpan atau yang
dilakukan oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat
wasiat, pengurus lembaga social atau yayasan, terhadap barang
sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana
penjara paling lama enam tahun.”
Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi
salah satu dari tiga hal di bawah ini:
39

1) Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan


pajak.
2) Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak.
3) Ada ketentuan lain yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah.

c) Tindakan Penagihan Pajak


Dalam melaksanakan ketentuan penagihan pajak, juru sita
pajak sebagai penagih pajak perlu melaksanakan serangkaian tindakan
penagihan ini demi kelancaran penagihan pajak terhadap penanggung
pajak:
a) Melaksanakan dan Menyerahkan Surat Perintah Penagihan Seketika
dan Sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus merupakan tindakan
penagihan pajak yang dilaksanakan oleh juru sita pajak kepada
penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran. Seketika mengandung artian bahwa penagihan pajak
dilakukan pada saat itu juga tanpa menunggu jatuh tempo.
Sedangkan, sekaligus mengandung artian bahwa penagihan pajak
meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan
tahun pajak.
Juru sita melaksanakan penagihan atas utang pajak sebelum
surat tagihan pajak atau surat ketetapan pajak yang diterbitkan jatuh
tempo. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya utang pajak
yang tidak dapat ditagih. Apabila saat ditagih seketika dan sekaligus
penanggung pajak belum membayar, maka juru sita pajak akan
menunggu pembayaran dan pelunasan sampai dengan jatuh tempo.
b) Menerbitkan Surat Teguran
Surat teguran atau surat peringatan merupakan surat yang
diterbitkan pejabat (pihak yang berwenang menerbitkan surat
teguran dan surat lain sesuai dengan ketentuan penagihan pajak).
40

Surat ini diterbitkan apabila dalam waktu tujuh hari setelah tanggal
jatuh tempo surat ketetapan, penanggung pajak belum melunasi
utang pajaknya. Tujuan diterbitkannya surat teguran adalah untuk
memberi peringatan kepada penanggung pajak agar segera melunasi
utang pajak sehingga tidak perlu dilakukan penagihan secara paksa.
c) Memberitahukan Surat Paksa
Surat Paksa merupakan surat yang diterbitkan apabila 21 hari
setelah jatuh tempo surat teguran, penanggung pajak tidak melunasi
utang pajaknya. Surat paksa harus dilunasi oleh penanggung pajak
dalam waktu 2 x 24 jam.
d) Melaksanakan Penyitaan Barang atau Aset dengan Surat Sita
Surat sita merupakan surat yang diterbitkan apabila dalam
waktu 2×24 jam penanggung pajak belum membayar dan melunasi
kewajiban utang pajak. Penerbitan surat sita ini dibebani biaya
pelaksanaan sita sebesar Rp75.000,00 (tujuh puluh lima ribu rupiah)
dan ditanggung penanggung pajak. Tindakan Penyitaan tidak
ditujukan untuk menjual barang milik penanggung pajak, melainkan
hanya digunakan sebagai jaminan agar penanggung pajak melunasi
utang pajak.
Dengan demikian, penanggung pajak masih memiliki
kesempatan untuk melunasi utang pajak sampai dengan
dilakukannya penyitaan. Penyitaan dilaksanakan oleh juru sita pajak
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang dewasa,
penduduk Indonesia, dikenal oleh juru sita pajak, dan dapat
dipercaya (kredibel).
e) Melaksanakan Pelelangan
Pelelangan dilakukan apabila dalam waktu 14 hari setelah
dilakukan penyitaan, utang pajak belum dibayar. Dalam hal
penanggung pajak belum membayar biaya atas penagihan paksa dan
pelaksanaan penyitaan, maka biaya tersebut akan digabungkan
41

dengan biaya iklan pelelangan dalam surat kabar dan biaya pada saat
pelelangan.

d) Studi Kasus
a. Bapak Joshua Timothy merupakan seorang karyawan yang NPWP-
nya terdaftar di KPP Gambir. Pada tanggal 31 Maret 2018, Bapak
Joshua Timothy sedang melakukan pekerjaan dinas di Surabaya,
padahal hari itu adalah batas terakhir untuk menyampaikan SPT
Tahunan Orang Pribadi untuk tahun pajak 2017. Bapak Joshua
Timothy memiliki semua data perpajakan dalam notebook yang
dibawanya.

Penyelesaian:
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU KUP, Bapak Joshua Timothy
dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp100.000,00 untuk
keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang
Pribadi.

b. JTS memasukan SPT Tahunan 2000 pada tanggal 30 Maret 2001


dengan kondisi kurang bayar Rp100.000.000,00 yang disetor
tanggal 25 Maret 2001. Pada tanggal 10 Juni 2001 PT JTS
melakukan pembetulan SPT Tahunan dengan kondisi kurang bayar
Rp200.000.000,00. Pajak yang kurang bayar Rp100.000.000,00
dibayar tanggal 11 Juni 2001.

Penyelesaian:
Dari kasus ini akan diterbitkan STP dengan sanksi 2%.
STP
- Pajak Kurang Bayar berdasarkan SPT sebelum pembetulan
Rp100.000.000,00.
- Pajak Kurang Bayar berdasarkan SPT setelah pembetulan
Rp200.000.000,00
42

Pajak kurang bayar Rp100.000.000,00


Sanksi (2% × 3 × 100.000.000) Rp 6.000.000,00 +
Pajak yang harus dibayar Rp106.000.000,00

c. PT JTS sedang dilakukan pemeriksaan dan belum dilakukan


penyidikan, tetapi PT JTS dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT Tahunannya sehingga SPT
Tahunannya terdapat kurang bayar Rp250.000.000,00.

Penyelesaian:
Dari kasus ini diterbitkan SKPKB dan sanksi sebagai berikut;
SKPKB
Kurang bayar Rp250.000.000,00
Sanksi 2 ×Pajak Kurang Bayar Rp500.000.000,00 +
Pajak yang harus dibayar Rp750.000.000,00
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika
kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum
yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-
sanksi perpajakan. Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan
diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Sanksi pajak sendiri di bagi menjadi 2 bagian yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Sanski administrasi merupakan sanksi tahap
awal kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran. Sanksi administrasi
di bagi menjadi 3 bagian yaitu sanksi adrninistrasi berupa denda, sanksi
aministrasi berupa bunga, dan sanksi administrasi berupa kenaikan.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan
tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak
pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-
hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak
kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban
pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Dalam sanksi pedana terdapat 3 tipe yang di terapkan dalam perpajakan
yaitu Sanksi Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan, Daluwarsa Tindak
Pidana Di Bidang Perpajakan, dan Delik Aduan Dan Sanksinya.
Di Indonesia wajib pajak bisa mendapatkan pengecualian sanksi
pajak. Pengecualian ini berisi 7 kriteria. Wajib pajak yang terkena sanksi
pajak tetapi terdapat salah satu kriteria maka wajib pajak mendapatkan
pengecualian tersebut. Pengecualian berlaku bagi wajib pajak individu
maupun wajib pajak badan.

43
44

B. Saran
Berdasarkan pemaparan di atas, sanksi perpajakan memiliki peran
yang signifikan dalam perpajakan di Indonesia. Kami menyarankan agar
selanjutnya pelaksanaan penagihan pajak dapat dilakukan lebih baik lagi
sehingga meminimalisir dikenakannya sanksi pajak terhadap Wajib Pajak
untuk menghindari kesalahpahaman antara Wajib Pajak dan penagihnya.
Kami juga berharap semoga pemerintah dapat meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak dengan
diterapkannya sanksi perpajakan.
DAFTAR PUSTAKA

Dipetik Desember 10, 2019, dari http://www.pajakonline.com


Tata Cara Penyitaan. (2010, Oktober 10). Dipetik Desember 16, 2019, dari
https://zetzu.blogspot.com
Aviantara, A. (2011, April 18). Mengenal Sanksi Pajak. Dipetik Desember 10, 2019, dari
https://aviantara.wordpress.com
Padeliman. (2012, Agustus). Penghapusan Piutang Pajak Normal. DipetikDesember 16,
2019, dari https://padeliman.blogspot.com

Rohmawati, A. N. Pengaruh Kesadaran, Penyuluhan, Pelayanan, dan SanksiPerpajakan Pada


Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Tindakan dan Ketentuan Penagihan Pajak. Dipetik Desember 16, 2019, darihttps://klikpajak.id

45

Anda mungkin juga menyukai